TINJAUAN PUSTAKA Oksidasi Lipid Lipid mempakan biomolekul yang paling rentan terhadap oksidasi terutama asam-asam lemak tak jenuh. Tingkat ketidak jenuhan, jumlah dan ikatan rangkap suatu asam lemak berhubungan langsung dengan kerentanan terhadap oksidasi. Oksidasi pada lipid sering disebut sebagai autooksidasi karena reaksi dapat terjadi walaupun tanpa ada zat pengoksidasi. Oksidasi lipid biasanya berlangsung melalui proses pembentukan radikal bebas yang terdiri dari tiga proses dasar yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi (Buck, 1991). Inisiasi :
RH
h
R
ROOH+ Mn+
'
+
B'
RO'
+
M("+"' +OH
+
M"+
+ H+
ROO' +
RO'
+ HzO
ROOK+ M("'*
-----,ROO'
2 ROOH
--+
Propagasi : R'
+0
ROO'
+ RH
----a- ROOH
RO'
+ RH
-----+
ROH
R'
+
R'
----+
RR
R'
+
ROO' ----+ ROOR
2
-----+ ROO'
+
R'
+
R'
Terminasi :
ROO' + ROO'
---+
ROOR
+0
2
Gambar 1 Reaksi autooksidasi lipid (Kochhar, 1990)
RH, R', RO', ROO', ROOH dan M bertumt-turut merupakan simbol untuk asam lemak tidak jenuh atau ester dengan atom H pada atom karhon alilik, radikal alkil, radikal alkoksi, radikal peroksi, hidroperoksida dan logam transisi (Kochhar, 1990).
Pa& tahap awal reaksi terjadi pelepasan hidrogen dari asam lemak tidak jenuh secara homolitik sehingga terbentuk radikal alkil yang terjadi karena adanya inisiator (panas, oksigen aktif, logam atau cahaya). Reaksi oksidasi lipid juga dapat diinisiasi oleh beberapa faktor seperti molekul H202, ROOH, '02. Tahap propagasi dimulai dengan penambahan molekul oksigen pada radikal alkil. Pada keadaan normal radikal alkil cepat bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi dimana radikal peroksi ini bereaksi lebih lanjut dengan asam lemak tidak jenuh membentuk hidroperoksida dengan radial alkil, kemudian radikal alkil yang terbentuk bereaksi dengan oksigen. Dengan demikian reaksi autoksidasi adalah reaksi berantai radikal bebas(Gutteridge, 1995). Laju reaksi antara r a d i l alkil dengan oksigen berlangsung cepat, maka kebanyakan radikal bebas berbentuk radikal peroksi. Akibatnya, reaksi terminasi utama biasanya melibatkan 2 radikal peroksi. Laju oksidasi meningkat dengan meningkatnya jumlah ikatan rangkap pada asam Iemak, sebagai contoh, asam lioleat (18:2) dioksidasi 10 kali lebii cepat daripada asam oleat (18:l) dan asam linoleat (18:3) dioksidasi 20-30 kali lebih cepat daripada asam oleat. Hidroperoksida dapat terbentuk pada berbagai posisi dimana ikatan rangkap berada, sebagai contoh pada asam oleat terdapat 4 hidroperoksida yang dibedakan atas posisi peroksida yaitu dapat pada posisi 8, 9, 10 atau 11. Semakin banyak ikatan rangkap asam lemak, maka semakin banyak pula kemungkinan posisi hidroperoksida yang terbentuk. Hal ini berarti akan semakin banyak jenis produk degradasi asam lemak yang bersangkutan. Hidroperoksida asam lemak tak jenuh yang terbentuk karena oksidasi sangat tidak stabil dan dengan mudah terdegradasi membentuk berbagai senyawa volatil dan nonvolatil. Dekomposisi hidroperoksida melibatkan pemutusan gugus -0OH sehingga terbentuk radikal alkoksi dan radikal hidroksi. Radikal alkoksi kemudian mengalami pemutusan beta pada rantai C-C sehingga terbentuk aldehid dan radikal alkil atau vinil. Berbagai komponen
dihasilkan dari degradasi lipid diantaranya hidrokarbon, aldehid, keton, asam karboksilat. alkohol dan heterosiklik (Buck, 1991).
Antioksidan Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat mencegah kerusakan pada makanan yang mengandung lemak. Adanya antioksidan dalam lemak akan mengurangi kecepatan proses oksidasi. Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlarnbat atau mencegah terjadinya proses oksidasi lipida. Dalarn arti k h m q antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah teijadinya reaksi autooksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipida @dash et d.2006).
Berdasarkan fimgsinya, antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan primer d m antioksidan sekmder. Antioksidan primer (antioksidan pemecah rantai) yaitu antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipida lalu mengubahnya kebentuk yang lebii stabil. Lebii jauh dijelaskan bahwa suatu molekul antioksidan
dapat disebut sebagai antioksidan piimei (AH), jika dapat mendonorkan atom hidrogennya secara cepat ke radikal lipida (RO')dan radial turunan antioksidan tersebut (A*) lebih stabil dibandingkan radikal lipida atau mengubahnya ke bentuk lebii stabil (Gordor, 1990). Gordon (1990) mendefinisikan bahwa antioksidan sekunder mempakan antioksidan pencegah yaitu suatu senyawa yang dapat memperlambat laju reaksi autooksidasi lipida. Antioksidan ini bekeja dengan berbagai mekanisme seperti mengikat ion metal, menangkap oksigen, memecah hidroperoksida ke bentukbentuk non radikal, menyerap radiasi ultra violet atau mendeaktifkan singlet oksigen. Berdasarkan sumber asalnya, antioksidan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia. Sedangkan antioksidan alami adalah antioksidan hasil ekstraksi bahan alami (Ardiansyah, 2008).
Antioksidan sintetik yang penggunaannya luas dan teeebar diselumh dunia antara lain adalah Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), Tert-
ButiI Hidroksi Quinon (TBHQ, Propil Galaf dan Tokoferol. Antioksidan tokoferol merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck, 1991). BHA memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada lemak hewan dalam system makanan panggang, namun relatif tidak efekti pada minyak tanaman. BHA bersifat sangat larut dalam lemak dan tidak larut dalam air, berbentuk padat putih, dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih bersifat volatile sehingga berguna ke material pengemas (Buck, 1991). Menurut Sherwin (1990) antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA sehingga antioksian ini dapat memberikan efek sinergis bila dimanfaatkan bersama dengan BHA,berbentuk kristal putih, dan digunakan secara luas karena harganya yang relatif murah. Propil galat merupakan kristal putih yang mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas dan terdekomposisi pada titik cair 14S°C, dapat membentuk kompleks warna dengan ion metal sehingga kemampuan antioksidamya rendah. Antioksidan ini memberikan efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck, 1991). TBHQ merupakan antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak khususnya minyak tanaman karena memiliki kamampuan antioksidan yang baik pada penggorengan dan kurang baik pada pembakaran. TBHQ yang dikombinasiican dengan BHA akan memiliki kemampuan antioksidn yang baik pada pemanwgan. Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir disetiap minyak tanaman tetapi saat ini telah diproduksi secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwama kuning terang, larut dalam lipida karena mempunyai rantai C yang panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari tokoferol belum diketahui tetapi a-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E. Di dalam jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung a->f3->x->6-tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik 6-%->f3->a-tokoferol (Belitz dan Grosch, 1987). Sedangkan menurut Sherwin (1990) urutan tersebut kadang bervariasi tergantung pada substrat dan kondisi lain seperti suhu. Trolox atau Trolox-C (asam 6-hidroksi-2,5,7,8-tetrameti1 kruman-2karboksilat) merupakan antioksidan sintetik. Secara struktur, trolox sempa dengan atokoferol kecuali penamtian rantai samping hidrokarbon dengan gugus COOH.
Trolox me~pZ+kan padatan tidak b e m a , dan tidak berasa. Trolox stabil pada suhu 22-45'~(Madhavi et ~2.1996).
Gambar 2 Struktur Trolox (Madhavi et ~1.1996). Trolox mempunyai aktivitas antioksidan 2 sampai 4 kaii lebii besar daripada
BHA dan BHT dalam minyak tumbuhan dan lemak hewan. Disamping itu troloxjuga dilaporkan bersifat lebih aktif dibandigkan dengan a-tokoferol, propil galat secta askorbil palmitat (Madhavi et al. 1996).
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang t e h t u k dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditamhhkm ke makanan sebagai M a n pangan .
Menurut Pratt dan Hudson (1992), kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat diiakan. Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman seperti pada kayu,kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biuji dan serbuk sari. Menurut Apak et al. (2007) senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolii yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanon dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat bereaksi sebagai (a)
pereduksi, @) penangkap radial bebas, (c) pengkelat logam, (d) peredam terbentuknya singlet oksigen (Javanmardi et al. 2003) Menurut Ivkukham (1988), kira-kira 2%dari seluruh k a b n yang dii~to~ntesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang behitan erat dengannya, sehingga flavonoid melupakan salah satu golongan fenol alam terbesar. Lebi lanjut disebutkan bahwa sebenamya flavonoid terdapat ddam semua tumbuhan hijau, sehingga
@lab ditemukan pula p& setiap telaah ekstmk tumbuhan. Ditulii oleh Pratt dan Hudson (1992), kebanyakan golongan dari 5avonoid dan senyawa yang behitan erat dengannya memiliki sifatsifaf antioksidan baik di &lam
lipida cair maupun dalam
makananberlipida,
Berdasarkan mekanisme kejanya, antioksidan memiliii dua fungsi. Fungsi pertama adalah sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang nempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogennya secara cepat ke radikal lipida
(R', ROO') atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A') tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding mdikal lipida. Fungsi kedua melupakan hngsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk yang lebih stabil (Gordon, 1990). Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 3). Radikal-radikal antioksidan (A') yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk m d i i l lipida baru. Menurut Apak et al. (2007), mekanisme pemutusan rantai dapat terjadi dengan cara :
L* + AH
Tahap inisiasi:
Radikal lipida
Tahap Propagasi:
LO* LOO'
+ AH
-
+ AH -----+
LH
+A
LQH LOOH
+A +A
Gambar 3. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Apak et al. 2007) Konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut lenyap menjadi prooksidan (Gambar 4). Pengaruh
-
jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel yang diujikan. AH
+02
A'
+ HOUAH + ROOH
I
Gambar 4 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon, 1990). Pratt dan Hudson (1992) berpendapat bahwa penghambatan oksidasi lipida
oleh antioksidan melalui lebih dari satu mekanisme tergantung pada kondisi reaksi dan sistem makanan. Ada empat kemungkinan mekanisme penghambatan tersebut, yaitu (a) pemberian hidrogen, @) pemberian elektron, (c) penambahan lipida pada cincin aromatik antioksidan, (d) pembentukan kompleks antara lipida dan cincin aromatik antioksidan. Studi lebih lanjut mengamati bahwa ketika atom hidrogen labil pada' suatu antioksidan tertentu diganti dengan deuterium, antioksidan tersebut menjadi tidak efektif. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan dengan pemberian hidrogen lebih baik dibandig pemberian elektron. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemberian hidrogen atau elektron mempakan mekanisme. utama, sementara pembentukan kompleks antara antioksidan dengan rantai lipida adalah reaksi sekunder.
Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang menghambat laju reaksi autooksidasi lipid melalui m e h i s m e yang berbeda dari antioksidanprimer. Antioksidan sekunder seperti asam sitrat, asam askorbat, clan estemya, sering ditambahkan pada lemak dan minyak sebagai kombiiasi dengan antioksidan primer. K o m b i i i tersebut dapat memberi efek sinergis sehiigga menambah keefektifan kerja antioksidan primer. Antioksidan sekunder ini bekej a dengan satu atau lebih mekanisme berikut (a) memberikan suasana asam pada medium (sistem makanan), (b) meregenemi antioksidan utama, (c) mengkelat atau m e n d e a k t i i kontaminan prooksidan, (d) menangkap oksigen, (e) mengikat singlet oksigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen (Godon, 1990). Antioksidan sebaiknya ditambahkan ke lipida seawal mungkin untuk menghasilkan efek maksimum. Menurut Coppen (1983), antioksidan hanya akan benar-benar efektif bila ditambahkan seawal mungkin selama periode induksi, yaitu suatu periode pada awal oksidasi lipida tejadi d i a n a oksidasi masih lmjalan secara lambat dengan laju kecepatan semgam. Faktor-Faktor yang Mempengamhi Aktivitas Antioksidan Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap oksidasi lipid juga mempengaruhi aktivitas antioksidan seperti s~lbstrat lipid, faktor fisik serta keadaan fisiko kimia sistem lipid. Disamping itu, aktivitas antioksidan juga sangat dipengaruhi oleh faktor lain seperti struktur dan konsentrasi antioksidan. Pada umumnya yang tergolong sebagai antioksidan primer adalah senyawa-senyawa fenolik. Walaupun sebenamya senyawa fen01 tidak bersifat sebagai antioksidan, tetapi terdapatnya substituen atau gugus pada posisi orto dan para dapat meningkatkan densitas elektron pada gugus hidroksil melalui efek induktif. Peningkatan densitas elektron pada OH akan menurunkan energi ikat oksigen-hidrogen sehingga berakibat pada meningkatnya reaktivitas terhadap radikal bebas alkil (Gordon, 1990; Maslarova, 2001). Disamping pengaruh induktif, faktor sterik dan elektronik serta adanya ikatzn hidrogen juga mempengaruhi kekuatan ikatan atom hidrogen pada antioksidan (A-H).
Aktivitas antioksidan secara mum dipengaruhi oleh konsentrasi dan shuktur kimia dari 5avonoid Tiga sk&m
yang berpengaruh terfiadap aktivitas antioksidan
adalah :(1) struktur odihidroksi (btekol) pada cinch B, berperan sebagai donor elektron
dan menjadi target radiil. Struktur 3-0H dari cinch C juga menguntungkan untuk aktivitas antioksidan 5avonoid; (2) Konjugasi ikatan rangkap pada C2C3 dengan gugus 4ket0, berperan untuk delokalisasi elektron dari cinch B, menin-
kapasitas
scavenging radikal; (3) adanya gugus 3-OH dan 5-OH dalam kombinasi dengan h g s i 4-
karb.mil dan ikatan rangkap C2C3 menaikkan aktivitas scavenging radikal (Amic et al. 2003). Metode Pengujian AMivitas Antiohidan Berdasarkan reaksi kimia yang terjadi, metode pengujian aktivitas antioksidan dapat dibagi dalam dua katagori yaitu: (I) berdasarkan transfer atom hidrogen (hydrogen atom fransrfer, HAT) dan (2) berdasarkan transfer elektron (electron tranfer, ET). Pengujian dengan metode HAT didasarkan pada reaksi
kinetik, dan melibatkan reaksi kompetisi dimana antioksidan dan substrat bersaing membentuk radikal peroksil yang dihasilkan melalui dekomposisi senyawa azo (Huang et al. 2005). HAT digunakan untuk mengukur kemampuan antioksidan dalam menghambat radikal bebas (radikal peroksil) oleh donor atom hidrogen. Mekanisme HAT dari antioksidan yaitu atom hidrogen yang berasal dari phenol (Ar-OH) ditransfer pada radikal ROO, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : ROO'
+ AWArOH ------+
ROOH
+ A- 1ArO'
Radikal ariloksi (ArO') dibentuk dari reaksi antioksidan phenol dengan peroksil radikal yang distabilisasi dengan resonansi. Oksidan dan antioksidan bereaksi dengan ROO', aktivitas antioksidan dapat diukur dari kompetisi kinetik dengan cara mengukur penghilangan wama oksidan karena kahadiran antioksidan (Huang et al. 2005).
Sedangkan metode ET didasarkan pada reaksi redoks. Metode ini digunakan untuk mengukur kapasitas antioksidan yang ditandai dengan perubahzn
wama pada saat reaksi reduksi terjadi. Mekanisme reaksi elektron transfer
-
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5.
RQQ' + AWArQkl A H C I A ~ O P+ H20 ROQ'
+ H3Q'
RQQ' + AH+ I&Q@ A-/ArO'
+~30'
ROQH + H2Q
Gambar 5 Mekanisme reaksi elektron transfer (Ou et al. 2002) Pada metode ET, reaksi berjalan lebih lambat dibandiigkan dengan metode HAT dan reaksi dipengaruhi oleh jenis pelarut dan kondisi pH. Metode ini merupakan metode yang sangat popuier. Termasuk dalam metode ini adalah pengukuran
total
fenol
menggunakan
reagen Folin-Ciccalteau
TEACIABTS, DPPH dan reducing power.
(FCR),
Dalam reaksinya, metode ini
dipengaruhi oleh dua komponen yaitu antioksidan dan oksidan. Dasar dari reaksi ini adalah reaksi transfer elektron. Oksidan yang memperoleh elektron dari antioksidan akan mengalami pembahan wama. Tingkat pembahan wama sebanding dengan konsentrasi antioksidan. Titik akhir reaksi dicapai ketika perubahan wama sudah tidak terjadi lagi. Perubahan nilai absorbansi diplot terhadap konsentrasi antioksidan yang digambarkan pada kurva linier. Slope kurva menunjukkan kapasitas reduksi dari antioksidan, yang diekspresikan sebagai
Polox equivalen (TE) atau gaNic acid equivalent (GAE) untuk pengujian total fenol (Huang et al. 2005).
1. Metode Pengujian DPPH (2,2-diphenyl-I-picrylhidracyr) DPPH adalah salah satu radikal bebas yang secara komersial tersedia dalam bentuk radikal nitrogen dan mempunyai penghambatan maksimum pada panjang gelombang 515 nm. Pada saat reduksi, wama larutan akan menghilang dan selanjutnya dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Huang et al. (2005) melaporkan bahwa DPPH merupakan metode pengujian yang didasarkan pada elektron transfer (ET).
Aktivitas antioksidan dapat diukur dengan menggunakan metode penangkapan radikal bebas stabil DPPH (2,2-diphenyl-I-picrylhidracyl).DPPH adalah suatu radial bebas stabil yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk suatu senyawa stabil. Selain itu DPPH juga dapat bereaksi dengan atom hidrogen @erasal dari suatu antioksidan) membentuk DPPH tereduksi @PP Hidrazin) yang stabil (Molyneux, 2004). Prinsip pengujian aktivitas antioksidan dengan metode ini adalah mengukur daya peredaman sampel (ekstrak sayuran indigenous) terhadap radial bebas DPPH. DPPH akan bereaksi dengan atom hidrogen dari senyawa peredam radikal bebas membentuk DPP Hidrazin yang lebih stabil. Senyawa peredam radikal bebas yang bereaksi dengan DPPH akan menjadi radial baru yang stabil atau senyawa bukan radikal. Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan persentase penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi absorbansi sample (Singh et al. 2002). Untuk mengetahui aktivitas antioksidan suatu ekstrak tumbuhan, metode DPPH adalah metode yang cepat, mudah, dan sensitive. Reaksi peredaman (scnvenging) antara radikal DPPH dan flavonoid dapat ditulis sebagai berikut :
...-
DPPH
Gambar 6 Reaksi antara DPPH dan antioksidan (Prakash et al. 2008) Antioksidan bereaksi dengan DPPH' yang menstabilkan radikal bebas dan mereduksi DPPH. Sebagai konsekuensinya penyerapan radikal DPPH* menurun ke bentuk DPPH-H. Derajat diskolorasi menunjukkan potensi peredaman radikal bebas dari substansi antioksidan atau ekstrak dengan memberikan hidrogen. DPPH yang bereaksi dengan antioksidan akan mengalami perubahan warna dari ungu ke kuning, intensitas warna tergantung kemampuan dari antioksidan (Molineux et al. 2004). Sebaliknya peredam radikal bebas yang kehilangan H' akan menjadi radikal baru yang reaktif. Banyak senyawa yang mampu meredam radikal bebas,
tetapi suatu senyawa dapat digunakan sebagai peredam radikal bebas yang bermanfaat jika setelah bereaksi dengan radikal bebas akan menghasilkan radikal baru yang stabil atau senyawa bukan radikal. Pada radial bebas stabilitasnya dapat disebabkan oleh pengaruh resonansi, halangan ruang maupun besamya molekul (Apak et al. 2007).
2. Metode Pengujian TEAUABTS Metode TEACIABTS pertama kali dikembangkan oleh Miller dan RiceEvans pada tahun 1993 dan saat ini telah banyak mengalami perkembangan. Re et al. mengembangkan pengujian radikal kation ABTS menggunakan persulfat dari
2,2'-azinobis(3-ethylbenzothiazole-6-sulfoic acid) (ABTs'.)
sebagai oksidan.
Metode TEAC dikembangkan dalam tiga periode, TEAC I (ABTs'
dihasilkan
secara enzimatik dengan metmioglobin dan hidrogen peroksidase), TEAC I1 (radikal dihasilkan dengan fiitrasi menggunakan MnOz sebagai oksidan) dan TEAC 111(dengan KzSaOssebagai oksidan). Dari ketiga metode tersebut, metode TEACIABTS mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya yaitu pengujian sederhana, mudah diulang. dan yang paling penting adalah fleksibel dan dapat diynakan untuk mengukur aktivitas antioksidan yang bersifat hidrophilik maupun lipophilik dalam ekstrak makanan dan cairan (Apak et al. 2007). Metode TEAC/ABTS merdpakan metode pengujian untuk mengukur jumlah radikal yang dapat ditangkal oleh antioksidan yang dikenal dengan kapasitas antioksidan (Lien et al. 1999). Senyawa yang biasa digunakan untuk pengujian metode TEAC adalah trolox. Trolox bereaksi sangat cepat dengan AJ3TS', hanya dalam beberapa detik reaksi berjalan sempuma. Cara terbaru yang dikembangkan pada metode ini adalah dengan menambahkan larutan ABTS radikal (ABTS')
kedalam antioksidan dan setelah stabil diukur dengan
menggunakan spektrofotometer (Berg van den
et al. 1999). Penurunan
konsentrasi ABTS' dinyatakan sebagai konsentrasi antioksidan, ekivalen dengan trolox dan dinyatakan sebagai nilai TEAC dari antioksidan. Namun demikian, terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua metode tersebut dalam ha1 kemampuannya menangkal radikal bebas. Metode ABTS' lebih baik dibandingkan dengan metode DPPH'. Hal ini disebabkan karena metode
ABTS' dapat dioperasikan pada range pH yang besar, mudah, murah, berkorelasi terhadap aktivitas antioksidan dalam system biologis dan lebih cepat '
dibandingkan dengan metode DPPH (Arts et al. 2004). Prinsip pengujian dengan metode ini adalah mengukur daya peredaman antioksidan terhadap radikal bebas ABTS. Sebagai pembandig digunakan standar Trolox, dan hasil pengujian dinyatakan sebagai Trolox Ekivalen. Radikal kation ABTs" akan bereaksi dengan atom hidrogen dari senyawa peredam radikal bebas dan menjadi ABTS yang lebih stabil. Senyawa peredam radikal bebas yang bereaksi dengan ABTs+ akan menjadi mdikal baru yang stabil atau senyawa bukan radikal.
Gambar 7 Mekanisme reaksi radikal ABTS (Huang et al. 2005)
3. Metode Pengujian TBA Efektivitas suatu antioksidan baik sintetik maupun alami dapat diukur dengan menentukan stabilitas oksidatif lipid. Penentuan stabilitas oksidatif lipid dapat dibagi menjadi dua yaitu pembahan primer dan perubahan sekunder. Pembahan primer pada umumnya diukur dengan memonitor (1) hilangnya asamasam lemak tidak jenuh, (2) oxygen uptake, (3) biIangan peroksida, (4) bilangan diena terkonjugasi. Perubahan sekunder mengukur secara kuantitatif pembentukan (1) senyawa karbonil, (2) malonaldehid serta hidrokarbon (Shahidi dan
Wanasundara, 1997). Hidroperoksida asam linoleat (LOOH) merupakan salah satu produk primer oksidasi asam linoleat yang mampu mengoksidasi Fez+ menjadi ~ e ~ + . Reaksi oksidasi yang dikemukakan oleh Fenton di dalam Mathew (2000) adalah sebagai berikut:
Pada metode FTC ini, reaksi antara ~ e hasil ~ + oksidasi FeClz oleh hidroperoksida dengan SCN menghasilkan senyawa kompleks benvarna merah Fe[Fe(SCN)6] dengan serapan maksimum pada panjang gelombang 500 nm. 2 ~ e ' ++ 6 SCN ----)
Fe[Fe(SCN)6]
Absorbansi dari kompleks berwama merah tersebut berbanding lums dengan konsentrasi hidroperoksida asam linoleat yang terbentuk. Oleh karena itu dilakukan pengukuran absorbansi setiap 24 jam hingga tercapai absorbansi maksimum. Beberapa faktor yang mempengaruhi autooksidasi asam linoleat adalah panas, pH, cahaya, oksigen, ion logam katalitk dan radikal lipid itu sendiri (Buck, 1991). Pada sistem ini, asam linoleat ditempatkan pada botol gelap bertutup kemudian diinkubasi selama 6 hari pada suhu 40°C. Inkubasi sampel dikondisikan sedemikian mpa sehingga hanya panas, oksigen, pH dan radikal lipid yang mempengaruhi oksidasi asam linoleat. Pada tahap awal oksidasi asam linoleat (fase lag) akan terbentuk hidroperoksida. Selanjutnya diikuti tahap propagasi dimana kadar hidroperoksida terus meningkat dan mencapai nilai maksimum pada hari ke-5. Kemudian disusul dengan tahap terminasi dimana hidroperoksida akan mengalami dekomposisi membentuk malonaldehid. Menurut Chen (1998) nilai absorbansi pada hari ke-0 hams dibawah 0.3, karena jika absorbansinya lebih dari 0.3 menunjukkan asam linoleat telah msak (teroksidasi). Waktu selama absorbansi masih di bawah 0.3 dinyatakan sebagai periode induksi dari autooksidasi lipida Periode induksi juga menunjukkan lamanya tahap inisiasi berlangsung. Peroksidasi lipid akan menghasilkan produk akhir berupa senyawa malonaldehid (MDA), yaitu senyawa aldehida berkarbon tiga yang reaktif dengan berat molekul yang rendah yang mempakan hasil aktivitas peroksidase pada asam
lemak tak jenuh rantai panjang. Peroksidasi lipid mudah tejadi pada asam lemak berantai panjang dengan lebii dari satu ikatan rangkap seperti linoleat, linolenat, dan arakidonat (Murray et al. 2003).
Gambar 8 Struktur kompleks MDA-TBA (Anonim, 2008b) Senyawa MDA yang dihasilkan dari peroksidasi lipid tersebut dapat diukur dengan metode TBA (Thiobarbituric Acid), karena MDA dapat bereaksi dengan TBA membentuk produk berwarna yang dapat diukur pada panjang gelombang 532 nm. Pada penelitian ini, MDA akan bereaksi dengan TBA menghasilkan kompleks MDA-TBA yang dapat dilihat pada Gambar 8 dengan menghasilkan warna merah muda (pink) dengan serapan maksimum pada panjang gelombang 532 nm (Behbahani et al. 2007) Sayuran Itzdrgetww
Sayuran indigenous adalah spesies sayuran asli Indonesia yang berasal dari daerah tertentu, termasuk spesies pendatang dari daerah atau wilayah lain yang telah berevolusi dengan iklim dan geografis wilayah Indonesia. Sayuran lokal di Indonesia ini memiliki potensi yang cukup baik dalam kontribusi terhadap kandungan flavonoidnya. Jenis sayuran indigenous yang digunakan dalam penelitian ini adalah sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat khususnya masyarakat daerah Jawa Barat. Sayuran tersebut antara lain adalah kenikir, beluntas, mangkokan. bunga kecombrang, kemangi, katuk, kedondong cina, antanan, pohpohan, daun ginseng dan krokot. Bagian dari sayuran ini yang digunakan dalam penelitian adalah bagian yang biasa dikonsurnsi yaitu dapat berupa batang, daun, bunga ataupun seluruh bagian dari sayuran tersebut.
Batari (2007) teiah melakukan penelitian terhadap kandungan senyawa flavonoid yang terdapat dalam sayuran indigenous (beluntas, kenikir, mangkokan, kemangi, pohpohan, katuk,antanan, ginseng, kedondong cina, bunga kecombrang dan krokot). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua sayuran indigenous yang diuji mengandung senyawa flavonoid. Komponen flavonoid yang diperoleh berupa senyawa flavonol dan flavon. Perbedaan yang paling utama antara flavonol dan flavon yaitu pada flavonol terdapat gugus hidroksil pada C3. Kedua senyawa ini banyak terdapat pada daun dan bagian luar dari tanaman, dan hanya sedikit sekali ditemukan pada bagian tanaman yang berada di bawah permukaan tanah (Hertog et al. 1992). Robinson (1995) menambahkan bahwa flavonol dan flavon merupakan dua dari jenis flavonoid yang paling banyak ditemukan pada sayursayuran. Flavonol terdiri dari quercetin, yang umumnya merupakan komponen terbanyak dalam tanaman, miricetin dan kaempferol. Sedangkan flavon terdiri atas apigenin dan luteolin. Kandungan flavonoid yang terdapat dalam sayuran indigenous sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Nilai total fenol dan kandungan flavonol dan flavon pada sayuran
Sumber : Batari (2007) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Batari (2007) menunjukkan bahwa tidak semua sayuran yang diuji mengandung kelima komponen flavonoid sebagaimana disebutkan di atas, namun diperoleh hasil bahwa semua sampel
mengandung senyawa quercetin. Senyawa quercetin merupakan golongan flavonol yang paling banyak terdapat dalam tanaman dan mempakan senyawa paling aktif dibanding senyawa f~avonollaimya (Fuhrman dan Aviram, 2002).
Polifenol yang banyak terdapat dalam tanaman adalah senyawa hidroksil aromatik, yang biasa ditemukan dalam sayuran, buah-buahan dan sumber makanan lain. Senyawa tersebut merupakan komponen penting dalam diet makanan. Polifenol memiliki struktur kimia yang sangat baik dalam aktivitas scavenging radikal dan menunjukkan aktivitas antioksidasi yang lebih efektif
secara in vitro dibandingkan dengan asam askorbat dan a-tokoferol. Aktivitas antioksidasi dari polifenol ini ditandai dengan aktivitas yang relatif tinggi sebagai donor hidrogen atau elektron dan kemampuan dari turunan radikal polifenol untuk menstabilkan dan memindahkan elektron yang tidak berpasangan (fungsi pemutusan rantai) juga kemampuan untuk mengkelat transisi iogam (Apak et al. 2007)
Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Golongan flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospennae. Flavonoid mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam, sebagian besar merupakan pigmen benvarna kuning, dapat larut dalam air dan pelarut organik, mudah temrai pada temperatur tinggi. Flavonoid merupakan persenyawaan glukosida yang terdiri dari gula yang terikat dengan flavon.Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deret senyawa C6-C3-C6 artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubtitusi) disambungkan oleh rantai alifatik ketiga karbon. Flavonoid mempunyai struktur bervariasi yang menunjukkan perbedaan tipe, misalnya flavonol, flavon, isoflavon dan flavonone sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9. Aktivitas ~ t ~ k t dari u r flavonoid sangat bergantung pada jumlah dan lokasi gugus fenolik 4 H yang berperan dalam menetralkan radikal bebas. Terdapat tiga struktur yang memungkinkan aktivitas scavenging radikal dari flavonoid yaitu
adanya 3,4dihidroksil misalnya o-diidroksil (sldctu~katekol) pada cincin B, berperan sebagai donor elektron dan menjadi target radikal. Strukhu 3 0 H dari cinch C j u g menguntungkan untuk aktivitas antioksidan flavonoid. Konjugasi ikatan rangkap pada C2C3 dengan gugus 4ket0, berpemn untuk delokalii elektmn dari cincin B,
meningkatkan kapdltas s w e r g h g mdikal. Selain itu adanya gugus 3-OH dan 5 0 H dalam k d i i dengan h g s i 4 k a h n i l dan ikatan rangkap CZC3 menaikkan aktivitas swengingradikal. (Amic et d 2002).
Flavonol
Isoflavon
Flavon
Flavonone
Gambar 9. Struktur beberapa senyawa flavonoid (Apak et al. 2207)
Aktivitas flavonoid sebagai antioksidan terutama ditentukan oleh posisi dan tingkat hidroksilasinya. Gugus o-dihidroksi dalam cincin B berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan. Struktur p-quinol pada cincin B mernberikan aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan struktur o-quinol. Sernentara konfigurasi meta tidak memiliki efek terhadap aktivitas antioksidan. Semua flavonoid dengan konfigurasi 3', 4'-dihidroksilasi memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Amic et 01. 2002). Struktur flavonoid dengan aktivitas yang tinggi ditunjukkan pada Gambar 10. Sedangkan bentuk substitusi flavonoid yang terdapat pada sayuran indigenous yang diketahui mernpunyai aktivitas antiradikal sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 11.
I
@ ..
't!o
. . 7~
5:'-. OH'
- ; l . I - -c1 OK OH
..
,
Galnbar 10. Struktur flavonoid dengan aktivitas antiradikal yang tinggi Gambar yang diligkari merniliki aktivitas antiradikal bebas (Amic et al. 2002) Tabel 2 Bentuk substitusi dari flavonoid yang melnpunyai aktivitas antiradikal No
Senyawa
R3
Rs
R7
R8
1
Quercetin
OH
OH
OH
2
Miricetin
OH
OH
3
Kaempferol
OH
4
Luteolin
5
Apigenin
CZ=C~
R3-
R33
Rp
H
Rr H
OH
OH
H
+
OH
H
H
OH
OH
OH
+
OH
OH
H
H
H
OH
H
H
OH
OH
H
H
OH
OH
H
+ +
H
OH
OH
H
H
H
OH
H
+
Sumber : Amic et al. (2003)
Quercetin
Kaempferol
Myricetin ,.s-;P"
"0...<.....&
,_..4. ...I I2
222,22
.+ ! . ,, ,_,>
11
._.,
OH
: :
Luteolin
ov,
R i
4
Apigenin
Gambar 11. Bentuk substitusi senpawa flavonoid yang terdapat pada sayuran indigenozrs (Amic et al., 2003)