TINJAUAN PUSTAKA Makanan ringan Makanan ringan merupakan terjemahan langsung dari snack foods, yang berarti pangan yang dikonsumsi di antara waktu makan biasa yang terdiri dari makan pagi atau sarapan, makan siang dan makan malam. Makanan yang dikonsumsi di antara waktu makan biasa tersebut bersifat ringan dan tidak mengenyangkan (Lusas, 2001). Secara tradisional, Indonesia sudah memiliki jenis makanan ringan yang terdiri atas kue basah dan kue kering; keduanya terbagi atas rasa manis dan asin. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2006) membagi kategori pangan dan memasukkan istilah ini ke dalam Kategori Pangan 15.0-Makanan ringan siap santap. Makanan ringan siap santap ini termasuk semua jenis makanan ringan asin, gurih atau savory dan rasa lainnya, sering juga disebut sebagai camilan. Jenis makanan ringan simulasi adalah makanan ringan yang terbuat dari tepung pati-patian (serealia, umbi-umbian) dengan pencampuran bahan lain, dibentuk atau dipotong, dijemur atau dikeringkan atau langsung digoreng atau dipanggang. Produk ini tidak termasuk keripik kentang, keripik singkong atau keripik umbi-umbian lainnya. Camilan lainnya terbuat dari umbi-umbian yang digoreng langsung ataupun dipanggang. Selain rasa yang gurih, Lusas (2001) memaparkan sifat makanan ringan yang modern sebagai berikut: 1) aman, bebas dari bahan-bahan kimia berbahaya, bahan beracun dan mikroorganisme patogen sesuai dengan peraturan dan hukum pangan yang berlaku, 2) diproduksi secara komersial dalam jumlah besar dengan proses kontinu, 3) diberi bumbu atau seasoning berupa garam dan tambahan bahan penambah rasa, 4) stabil
dalam
penyimpanan
dan
tidak
memerlukan
pendinginan
untuk
mengawetkan, 5) dikemas untuk langsung dimakan dengan ukuran mudah dimakan, mudah dipegang, memiliki permukaan yang berminyak ataupun kering sesuai dengan proses produksi makanan ringan tersebut, 6) dijual kepada konsumen dalam keadaan segar. Agar makanan ringan dapat selalu segar, maka diperlukan jenis bahan kemasan yang dapat melindungi dari uap air, oksigen dan cahaya untuk melindungi kerenyahan produk, untuk memperlambat oksidasi minyak, dan dapat
5
menghilangkan katalis oksidasi. Nitrogen atau sistem antioksidan lainnya dapat ditambahkan di dalam kemasan makanan ringan untuk menambah proteksi terhadap minyak goreng. Produsen wajib mencantumkan
kode
tanggal
kadaluarsa pada kemasan, sehingga produk bisa ditarik dari pasar jika tidak terjual setelah masa kadaluarsa berlalu. Makanan ringan pada penelitian ini tergolong makanan ringan modern atau snack food seperti disebutkan oleh Lusas (2001) dan bukan tergolong makanan ringan basah seperti kue-kue atau camilan tradisional seperti kue apem, risoles, kroket dan gorengan lainnya. Berbagai teknologi digunakan agar makanan ringan bisa tergolong sebagai makanan ringan siap untuk dimakan dalam keadaan kering dan mengandung air maksimum 5%. Fellows (2000) membagi prinsip-prinsip dasar teknologi pengolahan pangan menjadi proses suhu ruang, proses dengan aplikasi panas dan operasi paska proses pengolahan. Ketiga proses dirangkai untuk menghasilkan makanan ringan. Proses dimulai dengan pencampuran atau pengadukan bahan baku (jika bahan baku terdiri lebih dari 1 jenis bahan baku), ekstrusi tanpa panas yang lebih berfungsi sebagai pengaduk dan pembentuk adonan,
ekstrusi
dengan
pemasakan,
pengeringan,
penggorengan
yang
dilanjutkan dengan proses pelapisan dengan bumbu dan terakhir adalah pengemasan. Teknologi Ekstrusi Ekstrusi merupakan proses yang menggabungkan beberapa unit operasi pengolahan
seperti
pengadukan,
pemasakan,
pengulenan,
penggesekan,
pembentukan dan pencetakan. Ekstruder diklasifikasikan berdasarkan 1) metode operasi dan 2) metode konstruksi. Metode operasi dibagi menjadi ekstruder tanpa panas dan ekstruder untuk memasak, sedangkan metode konstruksi terdiri dari ulir tunggal atau single screw dan ulir ganda atau double screw. Jika produk pangan yang melalui ekstruder dipanaskan menjadi 100°C maka proses ekstrusi tergolong kepada ekstrusi panas untuk memasak atau cooking extruder (Fellows, 2000). Ekstruder makanan ringan yang digunakan pada penelitian ini merupakan golongan ekstruder ulir tunggal yang tergolong pada gesekan medium karena
6
ekstruder ini bersuhu tabung maksimal 110°C, suhu produk maksimum 79°C dan tekanan tabung ulir (screw barrel) +/- 2000-4000 kPa (Tabel 1). Kadar air adonan yang ideal untuk ekstruder ini adalah maksimal 30% agar adonan masih berbentuk tepung lembab dan tidak menggumpal.
Tabel 1. Data operasi bermacam -macam ekstruderª Parameter
Energi input pada produk
Unit
k Wh
Gesekan
Gesekan
Gesekan
Tinggi*)
Medium**)
Rendah***)
0.10 -0.16
0.02-0.08
0.01 -0.04
2 – 15
10 – 25
5 - 22
Kg¯¹ Panjang Tabung/diameter
L/D
Kecepatan Ulir
rpm
> 300
> 200
> 100
ºC
110 – 180
55 – 145
20 - 65
Suhu Tabung Maksimum Suhu Produk maksimum Tekanan Tabung
ºC
149
79
52
kPa
4000-17000
2000-4000
550-6000
Maksimum Kadar Air Produk
%
5-8
15-30
25-75
Densitas produk
kg/m³
32-160
160-500
320 -800
ªHauck (1993) dan Harper (1979) di dalam Fellows (2000) *)Gesekan Tinggi Kecepatan tinggi dan sayap screw dangkal menyebabkan tekan tinggi dan suhu yang diperlukan untuk membuat makanan ringan yang memuai/mengembang. **)Gesekan Medium Untuk Teksturasi Protein Nabati (TVP) dan makanan hewan setengah basah ***)Gesekan Rendah Sayap screw yang dalam d an kecepatan rendah menghasilkan tekanan rendah untuk memproduksi pasta, produk daging dan gum.
Karena ekstrusi merupakan kombinasi dari beberapa proses seperti pengadukan, pemasakan, dan pengulenan secara bersamaan, maka terjadi beberapa perubahan fisik dan kimia pada bahan pangan seperti hidrasi pati dan protein, homogenisasi, gelasi, gesekan, pelelehan lemak, denaturasi, atau reorientasi protein, plastifikasi, dan pengembangan dari struktur pangan. Beberapa jenis makanan ringan bisa dihasilkan melalui beberapa teknologi ekstrusi seperti makanan ringan direct expanded atau makanan ringan generasi kedua seperti makanan ekstrudat, makanan ringan generasi ketiga berbentuk pellet kerupuk mentah, produk ko-ekstrusi, makanan ringan berbasis masa dan crispbread. Pengukuran mutu akhir ekstrudat adalah kadar air, tingkat pengembangan, kelarutan, penyerapan, tekstur, warna dan citarasa (Huber, 2001 di dalam Lusas dan Rooney, 2001). Kadar air menentukan umur simpan dan stabilitas produk.
7
Tingkat pengembangan diukur melalui densitas kamba, bentuk dan ukuran, sedangkan tekstur diukur secara organoleptik berupa mouth feel dan struktur sel yang menentukan kerenyahan.
Makanan ringan generasi kedua dan ketiga Produk makanan ringan generasi kedua disebut juga direct expanded. Jenis ini biasanya memiliki karakteristik produk dengan densitas kamba yang rendah dan dilapisi dengan pemberi rasa dalam bentuk campuran dengan minyak dan garam. Ekstrudat bisa diproses lebih lanjut dengan proses penggorengan atau proses pemanggangan sebelum dilakukan pelapisan dengan larutan minyak dan bumbu. Produk makanan ringan generasi ketiga biasanya menunjuk pada produk setengah jadi atau pellet kerupuk mentah; diproduksi dengan ekstruder dengan pemasakan dan hasilnya dikeringkan sampai kadar air yang stabil (9-10%) untuk menjaga stabilitas selama penyimpanan. Selanjutnya pellet mentah ini akan dikembangkan melalui media minyak goreng panas maupun media udara panas. Bahan baku yang dipakai kebanyakan dari pati dan tepung-tepungan. Klasifikasi proses terbagi menjadi ekstrusi pembentukan dingin atau ekstrusi pemasakan. Jika menggunakan ekstrusi pembentukan dingin, digunakan tepung kentang atau pati lain yang sudah tergelatinisasi atau pregelatinisasi agar didapatkan pengembangan yang optimal setelah pellet digoreng. Pada ekstrusi pemasakan, bahan baku harus masak sempurna kecuali dipakai pati yang sudah mengalami pregelatinisasi. Agar adonan masak sempurna, maka kombinasi suhu, waktu tinggal adonan dalam daerah ekstruder dan kadar air selama ekstrusi untuk membuat gelatinisasi sempurna harus optimal. Suhu pada ekstruder tergantung dari bahan baku yang dipakai, konfigurasi ekstruder dan kondisi proses. Suhu pemasakan harus dibuat di atas suhu gelatinisasi dari pati yang digunakan (Tabel 2). Ekstruder pemasakan memiliki 4 daerah dengan fungsi yang berbeda dalam tabung ulir ekstruder yaitu daerah pengadukan adonan, pemasakan adonan, daerah pembentukan di mana adonan mulai didinginkan (70-95°C) dan adonan yang bersifat lentur mulai mengembang, daerah pencetakan dengan
8
lubang cetakan atau outlet die yang memiliki daerah yang cukup terbuka agar ekspansi tidak terjadi (Gambar 2). Tabel 2. Kandungan Rata-rata amilosa dan amilopektin dari beberapa Pati Tipe Pati
Amilosa (%)
Amilopektin (%)
GTR (°C)ª
Tapioka / Singkong Gandum
17
83
52-61
25
75
58-63
Beras
19
81
68-78
Beras Ketan
<10
>99
68-77
ªGTR = Gelatinization Temperature Rate Huang dan Rooney di dalam Lusas dan Rooney (2001)
Adonan yang akan dicetak ini memiliki kadar air 20-25%. Adonan yang sudah tercetak akan dikeringkan pada oven 70-80°C selama 3 jam sampai menjadi pellet berkadar air 9-10% (Huber 2001 di dalam Lusas dan Rooney, 2001).
Gambar 2. Bagian bagian dalam tabung ekstruder ulir tunggal untuk produksi makanan ringan generasi ketiga. Peralatan ekstrusi terdiri dari ulir yang berputar pada tabung silindris yang berulir. Tabung ini terbuat dari baja keras atau stainless steel yang dimampatkan agar tahan terhadap gesekan atau shear. Perbandingan panjang dengan diameter tabung berkisar antara 2:1 dan 25:1 (Hauck, 1933). Gerak ulir
9
disebabkan oleh motor listrik dengan kecepatan putar yang berbeda-beda dan cukup kuat untuk mendorong bahan pangan terhadap hambatan tekanan yang terbentuk di dalam tabung. Kecepatan ulir merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja ekstruder dalam hal waktu tumpuk bahan pangan di dalam tabung, jumlah panas yang ditimbulkan oleh gesekan, laju transfer panas, dan kekuatan gesekan dari produk. Kisaran kecepatan ulir adalah 150-600 rpm tergantung pada aplikasinya. Teknologi ekstrusi pada proses produksi bihun Proses pembuatan bihun berbeda dengan pembuatan mi atau pasta karena beras yang digunakan harus dijadikan bubur beras lebih dahulu dengan cara penggilingan basah. Bubur beras disaring dan dibuat adonan kukus sebelum diekstrusi menjadi untaian halus diameter 1 sampai 1,2 mm. Pengukusan diperlukan untuk proses gelatinisasi sempurna dari beras. Ada 2 proses ekstrusi yang terdapat pada rangkaian proses produksi bihun, yaitu 1) ekstruder strap yang berfungsi untuk mengaduk adonan hasil kukusan dan membentuk menjadi untaian tambang dengan diameter 100 mm, 2) ekstruder vermicelli yang akan mengaduk untaian tambang dan membentuk menjadi untaian halus diameter 1 sampai 1,2 mm. Kedua ekstruder merupakan ekstruder tanpa panas dan tidak berfungsi sebagai ekstruder pemasakan. Spesifikasi kedua jenis ekstruder dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Spesifikasi ekstruder strap dan ekstruder vermicelli pada rangkaian proses produksi bihun Ekstruder Strap 7.5 kw 50 Hz 2 buah Panjang 56 cm Jumlah putaran 10 Diameter 12.5 cm Ulir 2 Panjang 26 cm Jumlah putaran 6 Diameter 9 cm Bahan Screw Conveyor Besi hitam Power motor Jumlah ulir Ulir 1
Ekstruder Vermicelli 18.5 kw 50 Hz 2 buah Panjang 90 cm Jumlah putaran 13 Diameter 14.5 cm Panjang 90 cm Jumlah putaran 13 Diameter 14.5 cm Besi hitam
10
Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati Gelatinisasi adalah kerusakan urutan molekul dalam butiran pati yang 1) tergantung pada suhu dan kandungan air, 2) bersifat tidak dapat berubah ,3) berawal dari pembesaran ukuran granulasi pati, 4) menyebabkan kenaikan kekentalan larutan atau suspensi 5) bervariasi tergantung pada kondisi pemasakan, 6) bervariasi tergantung kepada tipe butiran dari sumber tanaman. Kisaran suhu gelatinisasi pati dari umbi-umbian atau akar biasanya lebih rendah daripada pati serealia (Tabel 2). Butir pati terdiri dari bagian yang tidak berbentuk atau amorphous dan bagian yang terlihat seperti kristal. Pati dalam air yang dipanaskan menyebabkan gangguan ikatan Hidrogen di antara rantai polimer sehingga melemahkan butiran. Pembesaran awal terjadi pada daerah amorphous di mana ikatan hidrogen kurang banyak dan polimer bersifat rentan terhadap pemutusan ikatan. Pada saat struktur menjadi melemah, butiran mengikat air dan membesar. Karena tidak semua butiran serentak gelatinisasi, maka terjadi perbedaan tingkat kekacauan dan pembesaran butiran. Bagian yang tidak berbentuk pada butir pati lebih mudah terdegradasi oleh asam dan enzim jika dibandingkan daerah kristal. Butiran pati dianggap sebagai polimer seperti kaca. Bentuk seperti kaca akan bertahan sampai tercapai suhu transisi gelas (Tg= glass transition temperature) di mana molekul mulai terlepas dan polimer bersifat kenyal seperti karet.
Akhirnya suhu titik leleh Tm akan
dicapai di mana butir pati akan meleleh dan kehilangan ikatan secara menyeluruh. Air menjadi penyebab keliatan atau kekenyalan yang secara nyata mempengaruhi suhu Tm dan Tg dari butir pati. Pada saat pembesaran butir pati dan pelelehan terjadi, butir pati mengalami gelatinisasi, pembentukan pasta atau pasting, dispersi dan akhirnya retrogradasi pada saat bahan mengalami pendinginan. Perubahan ini pada Gambar 3 dipengaruhi oleh suhu, kadar air, energi mekanis dan faktor lainnya. Tekstur keripik atau hasil pemanggangan akan renyah pada kadar air <3% dan jika di atas 3% maka tekstur akan menjadi keras, kenyal karena Tg dikurangi oleh molekul air.
11
Retrogradasi merupakan proses lanjut setelah gelatinisasi. Polimer pati yang terlarut dan sis a bagian butir yang tidak larut kembali bersatu setelah pemanasan.
Retrogradasi
menghasilkan
formasi
agregat
kristal
yang
mempengaruhi tekstur. Molekul amilosa linier lebih cenderung bersatu dan membentuk ikatan hidrogen daripada molekul amilopektin yang lebih besar dan bercabang. Pada saat retrogradasi, pasta pati menjadi berwarna opak dan membentuk gel. Gel berangsur-angsur menjadi seperti elastis atau kenyal dan cenderung melepas air. Perubahan ini terjadi selama dan setelah ekstrusi, pemanggangan, penggorengan, dan proses lainnya (Huang dan Rooney dalam Lusas dan Rooney, 2001). Dehidrasi melepas air dan meningkatkan retrogradasi. Lapisan film yang terbentuk tergantung dari jumlah relatif air, jenis pati dan interaksinya dengan bahan lainnya dalam formula. Retrogradasi luas dari amilosa menghasilkan fraksi pati yang tahan terhadap kerja enzim pencernaan. Retrogradasi amilopektin pada produk hasil pemanggangan berhubungan dengan peristiwa ‘melempem’. Pada makanan ringan, hal ini menghasilkan tekstur yang ringan, garing dan renyah.
Gambar 3 . Perubahan pada butir pati selama pemanasan dan pendinginan dalam air. Tg=suhu transisi kaca ;Tm=suhu pelelehan (Huang dan Rooney, 2000 dalam Lusas dan Rooney, 2001)
12
Tekstur pangan dan Kerenyahan Menurut definisi British Standard Institution dalam Carpenter et al. (2000) indera yang berperan dalam menentukan tekstur adalah sentuhan, penglihatan dan pendengaran, sehingga tekstur didefinisikan sebagai : atribut dari sebuah benda yang dihasilkan oleh kombinasi dari sifat fisik dan diartikan atau diterima oleh sensasi atau rangsangan dari sentuhan (termasuk kinestesia atau daya menyadari gerakan otot dan rasa dalam mulut), penglihatan dan pendengaran. Tekstur berperan dalam penerimaan keseluruhan dari sebuah produk pangan dan merupakan kriteria penting bagi konsumen untuk menyatakan mutu dan kesegaran dari produk pangan. Makanan ringan yang disukai adalah makanan ringan yang bertekstur renyah, garing tidak keras, dan tidak melempem. Persepsi terhadap tekstur pangan adalah merupakan proses yang dinamik karena sifat-sifat fisik pangan berubah-ubah secara terus menerus dengan adanya proses pengunyahan, pembalutan dengan air liur dan perubahan suhu tubuh. Szczesniak (1963) dalam Carpenter et al. (2000) membuat klasifikasi tekstur menjadi 3 kelompok utama yaitu 1) Karakteristik mekanik yang berhubungan dengan reaksi pangan ke tekanan, 2) Sifat geometrik yang berhubungan dengan ukuran, bentuk dan orientasi partikel dalam pangan dan 3) Karakteristik lain-lain yang berhubungan dengan persepsi kadar air dan kadar lemak. Proses Penggorengan Penggorengan merupakan suatu unit operasi yang dipakai terutama untuk mengubah mutu pangan dari segi organoleptik teks tur ~ kerenyahan dan rasa gurih. Tujuan kedua proses penggorengan adalah untuk mendapatkan efek pengawetan yang merupakan hasil perusakan enzim dan mikroba oleh panas yang dihasilkan oleh proses penggorengan. Peralatan penggorengan untuk proses mi instan terdiri dari sumber panas untuk memanaskan minyak, rantai ban berjalan untuk memindahkan produk melalui penggorengan untuk mengeluarkan uap air dan uap. Produk pangan
13
mentah akan dibenamkan ke dalam minyak panas dan naik kembali pada saat uap air di bagian dalam berubah menjadi uap. Menurut Fellows (2000), penggorengan tipe ini tergolong kepada deep-fat frying di mana transfer panas merupakan kombinasi dari konveksi yang terjadi pada minyak panas dan konduksi pada bagian dalam produk pangan. Semua permukaan pangan menerima perlakuan panas yang sama untuk menghasilkan penampilan dan warna hasil goreng yang seragam. Mesin penggorengan mi instan mempunyai dimensi panjang 10 m dan lebar 1 m; kondisi penggorengan untuk mi instan adalah 145-150°C selama 60-70 detik (Sung-Kon Kim ,1996 di dalam Kruger et al. 1996). Menurut teori, jika bahan pangan dimasukkan ke dalam minyak panas, suhu permukaan bahan pangan akan meningkat dengan cepat dan air terevaporasi sebagai uap air dan permukaan mulai mengering. Jalur evaporasi air yang bergerak di dalam pangan akan membentuk lapisan kerak. Suhu permukaan pangan akan naik sama seperti suhu minyak panas dan suhu bagian dalam akan naik dengan laju yang lebih lambat ke suhu 100°C. Laju transfer panas ditentukan oleh perbedaan suhu antara minyak panas dengan pangan oleh koefisien transfer panas pada permukaan pangan (Fellows, 2000). Tekstur pangan hasil penggorengan dihasilkan oleh perubahan pada protein, lemak dan karbohidrat polimer. Perubahan pada protein terjadi sebagai hasil reaksi Mailard dengan asam amino pada kerak. Kandungan lemak produk pangan akan meningkat karena penyerapan minyak goreng. Banks dan Lusas (2000) di dalam Lusas dan Rooney (2001) membagi perubahan bahan pangan yang digoreng menjadi 6 tahap, yaitu : 1) Masuk Penggorengan, 2) Pengerasan permukaan produk (case hardening), 3) Pengerasan permukaan, 4) Pengurangan uap air atau pemasakan, 5) Selesai Penggorengan dan 6) Penyerapan minyak. Tahap masuk ke penggorengan adalah saat pangan terendam dalam minyak panas di mana pati pada permukaan secara cepat tergelatinisasi dan produk terbungkus oleh gelembung uap kecil karena uap air pada permukaan mulai menguap. Perubahan uap dan gelembung pada permukaan meningkat secara cepat sehingga menghindari produk lengket satu dengan lainnya.
14
Perubahan atau evolusi uap air yang sangat cepat membatasi suhu produk mencapai titik didih air dan menghambat penetrasi minyak ke dalam produk. Pada pengerasan permukaan produk (case hardening), lapisan sel terluar pada permukaan produk mengering dan kempes menjadi seperti tekstur lapisan kayu halus. Sedikit perubahan pada evolusi uap air memperlihatkan bahwa proses ini sedang berlanjut di mana sebagian permukaan masih bergelembung lebih cepat dari bagian lainnya. Pada saat uap air pada permukaan menghilang, uap air di bagian dalam mulai berubah menjadi uap dan merusak saluran melalui struktur produk. Pada titik ini, dehidrasi tidak akan akan menghasilkan tekstur permukaan yang renyah, akan tetapi akan terjadi keutuhan struktur, sebagai contoh keripik kentang yang digoreng pada tahap ini masih bisa dibengkokkan dan kembali ke bentuk semula. Tahap pengerasan permukaan menyebabkan beberapa lapisan sel permukaan mulai mengering dan menambah pembentukan struktur remah. Produk yang digoreng pada suhu tinggi akan membentuk lapisan remah yang tipis dan tekstur ringan, sedangkan produk yang digoreng secara lambat dengan suhu rendah akan mendukung pembentukan remah yang lebih tebal dan tekstur lebih garing. Struktur sel di bawah lapisan remah akan terganggu dan membentuk tiang-tiang dalam dan besar dan substruktur bagian dalam terus menerus dipengaruhi oleh suhu penggorengan. Pada tahap ini, formasi remahremah dan struktur bagian dalam masih belum lengkap tetapi elemen yang paling kuat mempengaruhi tekstur produk jadi sudah terbentuk. Penekanan utama pada tahap pemasakan adalah pada penetrasi panas dan pengurangan kadar air. Keseragaman dalam ukuran produk yang digoreng merupakan kunci untuk
menentukan beban penggorengan yang tepat, profil
suhu dan waktu produk dan pemasakan. Selama tahap akhir penggorengan, suhu permukaan produk secara cepat menjadi sama dengan suhu minyak. Kadar air rendah dan suhu tinggi memperkuat reaksi pembentukan flavor yang melibatkan asam amino, protein dan karbohidrat. Suhu yang meningkat mendukung pengurangan kadar air akhir, pembentukan remah yang renyah dan berwarna pekat. Kadar minyak meningkat selama tahap akhir penggorengan, akan tetapi kebanyakan minyak melekat pada
15
permukaan produk. Tahap akhir ini harus dikontrol dengan waktu yang tepat pada saat produk diangkat dari minyak untuk menghasilkan mutu optimal dari poduk hasil penggorengan. Tahap selanjutnya adalah penyerapan minyak. Kadar minyak merupakan akibat dari pembasahan permukaan, aksi kapiler dan penyerapan vakum. Tekstur permukaan produk mempengaruhi pembasahan awal dan penyerapan kapiler selama tahap awal penggorengan, tetapi evolusi uap air membatasi penyerapan yang nyata. Selama akhir tahap penggorengan, sejumlah minyak tambahan akan diserap oleh aksi kapiler saat ruang hampa terbentuk di dalam produk. Selama pendinginan setelah penggorengan, uap air di dalam produk akan terkondensasi sehingga terbentuk ruang vakum yang mempercepat penyerapan minyak dari permukaan ke dalam produk. Untuk mengurangi kandungan minyak, maka dilakukan penirisan pada tabung sentrifugal yang berlubang untuk drainase minyak yang lengket pada permukaan produk.