TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Staphylococcus aureus Bakteri berkebangsaan
Staphylococcus Skotlandia
pertama kali
sebagai
akibat
ditemukan
oleh
ahli
banyaknya
infeksi
bedah
piogenik
(terbentuknya pus) pada manusia (Martin dan Landolo 1999; Adams dan Moss 2008). Staphylococcus aureus adalah salah satu spesies dari 32 spesies dalam genus Staphylococcus.
Spesies yang lain pada umumya tidak menginfeksi
manusia tetapi hanya ditemukan di mamalia.
Nama Staphylococcus sendiri
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “staphyle” dan “kokkos”, yang berarti seperti kelompok anggur dan berbentuk kokus atau bulat (Martin dan Landolo 1999); sedangkan nama aureus berasal dari bahasa Latin yaitu “gold” yang berarti bakteri ini tumbuh dalam koloni besar yang berwarna kuning (Cook dan Cook 2006; Bhunia 2008). Staphylococcus aureus adalah bakteri yang bersifat Gram positif dan tidak motil (Holt 1994 yang dikutip oleh Soriano et al. 2002; Bhunia 2008). S. aureus hidup di kulit (Meggitt 2003) dan membran mukosa dari hewan berdarah panas. Manusia adalah salah satu pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena hangat dan basah (Genigeorgis 1989, Jablonski dan Bohach 1997 yang dikutip oleh Soriano et al. 2002 ). S. aureus dapat ditemukan di hidung pada 10-40% manusia dewasa (Meggitt 2003). Selain itu S. aureus juga ditemukan pada habitat lain, seperti di dalam air, bahan yang busuk, dan di berbagai permukaaan (Cook dan Cook 2006). Bakteri S. aureus sering juga ditemukan di ayam hidup dan kalkun. Bakteri ini masuk ke kulit atau lubang hidung berbagai burung dan sesudah itu dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh dengan jumlah yang sedikit (Mead 1989; ICMSF 1998). S. aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif serta memiliki metabolisme melalui respirasi atau fermentasi. S. aureus memiliki sifat katalase positif dan mampu memecah sebagian besar karbohidrat (Harvey dan Gilmour 2000). Bakteri S. aureus tumbuh optimum pada suhu sekitar 37 °C dan mampu bertahan pada suhu rendah di bawah 8 °C, sehingga digolongkan menjadi bakteri
5 mesofilik. Derajat keasaman (pH) yang memungkinkan bakteri ini tumbuh adalah pada interval antara 4.5 dan 9.3, dengan pH optimum antara 7.0 dan 7.5 (Martin dan Landolo 1999). S. aureus adalah bakteri yang dapat tumbuh dengan aktivitas air (a w ) yang rendah, yaitu minimum 0.86 (ICMSF 1980; Reichart dan Fung 1976 yang dikutip oleh Forsythe dan Hayes 1998). Selain itu, S. aureus dapat tumbuh pada konsentrasi garam yang tinggi sehingga disebut osmotoleran (Anonim 2011). Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin, yang dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan (food intoxication) pada konsumen (Halpin-Dohnalek dan Marth 1989 yang dikutip oleh Forsythe dan Hayes 1998). Keenam enterotoksin tersebut adalah A, B, C1, C2, D, dan E (SEA, SEB, dan lain-lain), yang mana tipe A dan D banyak ditemukan di makanan. Enterotoksin S. aureus berbentuk protein rantai tunggal yang bersifat antigenik dengan berat molekul 26-29 kDa (Normanno et al. 2005). Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus memiliki sifat resisten terhadap panas atau heat resistant (Meggitt 2003). Kebanyakan enterotoksin tersebut mampu bertahan pada suhu didih dalam makanan sampai 30 menit dan enterotoksin tipe B menunjukkan stabilitas paling tinggi. Enterotoksin tipe B akan kehilangan 6070% aktivitasnya dalam beberapa menit pada suhu di atas 80 °C. Pengaktifan kembali dapat terjadi selama penyimpanan yang lama pada suhu kamar atau pemanasan pada suhu lebih tinggi (Forsythe dan Hayes 1998). Toksin ini bersifat neutral-base protein dengan titik isoelektrik 7.0-8.6. Toksin ini sangat resisten terhadap enzim proteolitik seperti tripsin, kimotripsin, renin, dan papain (Bergdoll dan Wong 2006).
Secara rinci, pertumbuhan S. aureus dan produksi
enterotoksinnya dapat dilihat pada Tabel 1. Keberadaan sejumlah besar S. aureus dalam makanan tidak berarti bahwa enterotoksin dihasilkan.
Banyak faktor
yang mempengaruhi produksi
enterotoksin, antara lain jenis makanan, nilai pH (enterotoksin sedikit dihasilkan pada pH di bawah 5.0), suhu (suhu optimum produksi enterotoksin 37 °C, namun rentang suhu cukup lebar), keberadaan oksigen (produksi enterotoksin buruk pada kondisi anaerob) dan keberadaan mikroorganisme lain yang dapat menghambat pertumbuhan S. aureus (Forsythe dan Hayes 1998).
6 Tabel 1
Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enterotoksin (Pawsey 2002)
Karakteristik
Suhu °C
pH
Aktivitas air (a w )
Atmosfer
37
6-7
0.98
Aerobik
Rentang (range) pertumbuhan (di bawah kondisi optimum)
7-48
4-10
0.83 - >0.99 (aerobik)
Anaerobikaerobik
Optimum untuk produksi toksin
40-45
7-8
0.98
Aerobik (5-20% dissolved oxygen)
Rentang produksi toksin (di bawah kondisi optimum)
10-48
4.5-9.6 (aerobik)
0.87 - >0.99 (aerobik)
Anaerobikaerobik
Optimum untuk pertumbuhan
0.90 - >0.99 (anaerobik)
0.92 - >0.99 (anaerobik)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian keracunan makanan oleh enterotoksin S. aureus adalah: (1) galur S. aureus penghasil enterotoksin berada pada makanan selama produksi, pengolahan, atau penyiapan makanan; (2) bakteri dipindahkan dari sumber ke makanan; (3) makanan harus tercemar dengan jumlah ribuan S. aureus per gram atau biasanya lebih dan makanan sudah dipanaskan sebelum tercemar S. aureus, atau makanan mengandung banyak garam atau gula; (4) bakteri harus dapat bertahan hidup di makanan, tidak tumbuh berlebihan atau dihambat oleh mikroorganisme lain, atau dimatikan oleh pemanasan, pH rendah, atau kondisi yang tidak buruk sebelum S. aureus menghasilkan enterotoksin; (5) makanan, setelah tercemar oleh S. aureus, kondisi makanan mendukung pertumbuhan bakteri tersebut; (6) makanan yang tercemar disimpan pada rentang suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan perbanyakan S. aureus sampai menghasilkan cukup enterotoksin; (7) jumlah enterotoksin dalam makanan yang dikonsumsi harus melebihi ambang batas individu sehingga menghasilkan keracunan makanan (Forsythe dan Hayes 1998).
Pencemaran dan Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus Mikroorganisme patogen yang sering menimbulkan wabah foodborne disease tidak menyebabkan perubahan fisik pada pangan, sehingga tidak mudah
7 dikenali secara sensoris, melainkan memerlukan pengujian laboratorium. Mikroorganisme patogen itu dapat menyebabkan infeksi pangan (food infection), toksiko-infeksi pangan (food-toxico infection), dan intoksikasi pangan (food intoxication) (Lukman 2009). S. aureus merupakan penyebab foodborne illness terpenting ketiga di dunia.
Beberapa dekade sebelumnya, S. aureus sebagai
penyebab 25% wabah foodborne illness di Amerika Serikat, namun pada tahun 1988 sampai 1992 persentase peran bakteri tersebut dalam wabah foodborne illness menurun, yaitu 1.8% (1988), 2.8% (1989), 2.4% (1990), 1.7% (1991) dan 1.5% (1992). Selama periode 5 tahun tersebut, S. aureus menyebabkan 5.1% wabah keracunan makanan di Eropa dan di Italia menyebabkan 4 dari 233 wabah yang dilaporkan (Normanno et al. 2005). Kontaminasi S. aureus pada makanan mentah, khususnya yang berasal dari hewan, biasanya tidak berhubungan dengan kontaminasi dari manusia. Kontaminasi S. aureus pada karkas/daging berasal dari kulit hewan, bulu, dan kulit yang berasal dari lesio atau kerusakan jaringan. Kontaminasi S. aureus dari kulit pada karkas sering tidak dapat dihindarkan (Lancette dan Bennet 2001). Sejumlah besar S. aureus pada makanan dibutuhkan untuk menyebabkan kejadian keracunan makanan agar menghasilkan jumlah enterotoksin yang cukup, namun jumlahnya tidak pasti.
Jumlah S. aureus penghasil enterotoksin yang dapat
menyebabkan keracunan makanan diduga jika melebihi 1 juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak 1 µg. Jumlah 1 µg enterotoksin cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg (Forsythe dan Hayes 1998). Masalah utama dalam mengidentifikasi enterotoksin pada makanan adalah kadar enterotoksin pada makanan yang sangat kecil.
Enterotoksin dapat
teridentifikasi di dalam makanan apabila jumlah Staphylococcus >106 sel/g (Lancette dan Bennet 2001), sedangkan menurut Bremer et al. (2004) yang dikutip oleh Malheiros et al. (2010), jumlah S. aureus harus sudah mencapai minimum 1000 cfu/g atau ml untuk menyebabkan keracunan pada manusia. Makanan yang terkontaminasi oleh toksin S. aureus akan menimbulkan gejala klinis pada orang yang mengonsumsi makanan tersebut dalam rentang waktu antara 1 dan 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam (Meggitt 2003). Gejala
8 klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh rasa mual. Frekuensi muntah dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang muncul. Gejala klinis lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare (Forsythe dan Hayes 1998; Meggitt 2003). Respon muntah terjadi karena adanya enterotoksin dari S. aureus yang sering dikategorikan ke dalam neurotoksin berbahaya.
Enterotoksin tersebut
dapat menimbulkan respon muntah karena dapat mengaktifkan reseptor yang ada di usus yang akan menstimulasi pusat muntah di otak melalui nervus vagus dan simpatis (Adams dan Moss 2008). Pada manusia S. aureus menyebabkan berbagai infeksi yang sebagian besarnya terdapat di kulit, namun tidak menyebabkan kematian.
Bakteri ini
membuat lesio di permukaan kulit, seperti infeksi pada folikel rambut, jerawat, sties atau peradangan kelenjar di kelopak mata, serta menyebabkan abses di kulit dan di dasar jaringan. Pada kondisi lain, S. aureus juga dapat menimbulkan penyakit swimmer’s ear, infeksi di bagian tengah telinga, dan gangguan di saluran kemih.
S. aureus juga dapat mengakibatkan peradangan yang serius, seperti
pneumonia. Selain itu, bakteri ini dapat menyebabkan meningitis (peradangan pada meningen dan medulla spinalis), artritis, osteomielitis, dan endokarditis (Cook dan Cook 2006). Keberadaan S. aureus dalam makanan harus diinterpretasikan secara hatihati. Adanya bakteri tersebut dalam jumlah besar di makanan tidak cukup untuk menjadikan makanan tersebut sebagai wahana keracunan makanan karena tidak semua galur S. aureus memproduksi enterotoksin. Potensi intoksikasi oleh S. aureus tidak dapat dipastikan tanpa pengujian enterotoksigenisitas dari isolat S. aureus atau membuktikan keberadaan enterotoksin S. aureus dalam makanan. Ketidak-beradaan S. aureus dan/atau jumlah S. aureus yang sedikit menjamin makanan aman (Lancette dan Bennet 2001). S. aureus merupakan agen foodborne disease yang diisolasi dari rumah potong unggas (RPU), yang juga penyebab masalah penyakit yang signifikan pada ayam dan kalkun, walaupun galur yang terlibat biasanya berbeda (Capita et al. 2002). Dalam survei pada 8 RPU yang mengambil sekitar 2500 sampel hati diperoleh 22 dari 35 galur S. aureus koagulase-positif dan 2 dari 122 galur S. aureus koagulase-negatif yang merupakan phagetype manusia. Dari 14 galur S.
9 aureus koagulasi-positif, 7 galur bersifat enterotoksigenik.
Hanya 1.6% dari
sampel hati unggas mengandung galur S. aureus koagulase-negatif (Genigeorgis dan Sadler 1966 yang dikutip oleh Cunningham 1988). Penelitian Aydin et al. (2011) di Turki mendapatkan bahwa dari 1070 sampel makanan ditemukan 147 galur (13.8%) S. aureus, yang mana 92 galur (62.6%) diisolasi dari daging (13/13), produk olahan daging (6/6), susu segar (31/63), perusahaan susu (36/54), perusahaan roti (5/9), dan makanan siap saji (1/2). Galur ini diisolasi dari sampel yang diambil dari Istanbul (n=42), Edirne (n=15), Balikesir (n=13), Tekirdag (n=7), Kirklareli (n=7), Bursa (n=6), dan Canakkale (n=2). Penelitian Crago et al. (2012) di Alberta, Kanada dari tahun 2007 sampai 2010 mendapatkan bahwa dari 693 sampel makanan ditemukan 73 sampel (10.5%) yang positif terkontaminasi S. aureus, yang mana (29/73) sampel berasal dari daging (dimasak atau tidak dimasak; daging unggas n=9, daging sapi n=7, daging babi n=6, dan tidak diketahui 5), (20/73) sampel dari makanan yang mengandung daging (daging sapi n=8, daging unggas n=4, seafood n=3, daging babi n=1, dan tidak diketahui 4), (11/73) diisolasi dari makanan yang tidak mengandung daging, (10/73) diisolasi dari perusahaan susu (susu n=8, keju n=1, es krim n=1), dan tiga makanan olahan. Pada penelitian ini ditemukan 81% (59/73) sampel positif terkontaminasi S. aureus yang mana berasal dari daging, makanan yang berasal dari daging, dan perusahaan susu. Prevalensi S. aureus pada makanan di beberapa negara dan pada beberapa makanan dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5.
Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus pada Makanan Metode yang digunakan untuk mendeteksi dan menghitung S. aureus tergantung dari tujuan pengujian.
Makanan yang diduga sebagai penyebab
keracunan S. aureus biasanya mengandung jumlah S. aureus yang sangat tinggi,
10 Tabel 2
Prevalensi Staphylococcus aureus pada makanan di beberapa negara
Tempat León, Barat Daya Spanyol
Jenis sampel
Prevalensi
Pustaka
Potongan ayam (kaki, sayap, giblet); n = 30
Sayap dan giblet 60% (jumlah ratarata log 10 2.47 cfu/g atau log 10 1.65 cfu/cm2)
Álvarez-Astorga et al. (2002)
Kaki 40% (jumlah rata-rata log 10 3.48 cfu/g atau log 10 2.66 cfu/cm2) Central Anatolia, Turki
Sampel makanan, n = 413
Diisolasi sebanyak 138 galur dan 83 (60.1%) galur menghasilkan satu atau dua enterotoksin.
Guven et al. (2010)
Portugal
Bermacam sampel makanan, n = 148
Diobservasi sebanyak 101 (68.2%)
Pereira et al. (2009)
Tidak diketahui
Hati kalkun, n = 360
Sebelum dicuci berjumlah 62 (17%); setelah dicuci berjumlah 3 (<1%)
Salzer et al. (1964)
Tidak diketahui
Karkas kalkun mentah, n = 24
Ditemukan 20%
Bryan dan McKinley (1974)
Yordania
Daging merah, n = 286
Ditemukan sebanyak 231 (80.8%), jumlah rata-rata 5.3 x 102 sampai 4.3 x 104 cfu/g
Al-Tarazi et al. (2009)
Italia
Susu dan produk olahan daging
Diisolasi sebanyak 59.8%
Normanno et al. (2007)
Nigeria barat
Daging, ikan dan sayur
Diisolasi sebanyak 48%
Sokari (1991)
Ankara, di supermarket
Potongan ayam (giblets dan karkas) n = 60
Giblets diisolasi sebanyak 9 sampel; karkas diisolasi sebanyak 17 sampel
Gundogan et al. (2005)
Tabel 3
Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan (Seo dan Bohach 2010)
Jumlah sampel
Jumlah sampel terkontaminasi (%)
Jumlah dari S. aureus cfu/g
% positif terhadap SE
Daging babi mentah
135
57.7
TD
34.6
Daging mentah
139
2.8
TD
7.8
Susu mentah
714
7.9
TD
31.8
Daging sapi
1090
30
<100
TD
Daging kalkun
50
6
>10
TD
Udang beku
46
23.9
>3
26
1155
28.7
<10
TD
Produk
Karkas daging sapi
SE = Staphylococcal enterotoxin TD = tidak dapat ditentukan
11 Tabel 4
Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan di Alberta, Kanada dari tahun 2007 sampai 2010 (Crago et al. 2012) Produk
2007
2008
2009
2010
Total
Makanan berisi daging
6
6
3
5
20
Makanan tidak berisi daging
6
1
1
3
11
Daging
8
6
8
7
29
Perusahaan susu
2
1
6
1
10
Makanan olahan
0
1
2
0
3
Total
22
15
19
17
73
Tabel 5
Prevalensi Staphylococcus aureus pada daging mentah di pasar Cina (Wang et al. 2012) Jumlah sampel
Jumlah sampel terkontaminasi (%)
Beijing
144
28 (19.4)
Provinsi Henan
144
20 (13.9)
Provinsi Shaanxi
144
57 (39.6)
Provinsi Sichuan
144
38 (26.4)
Provinsi Guangxi
144
19 (13.2)
Provinsi Guangdong
144
38 (26.4)
Provinsi Fujian
144
45 (31.3)
Shanghai
144
34 (23.6)
Total
1152
279 (24.2)
Provinsi/Ibukota
sehingga tidak dibutuhkan pengujian dengan sensitifitas tinggi.
Uji dengan
sensitifitas tinggi diperlukan untuk menguji proses yang tidak bersih atau kontaminasi setelah proses pengolahan, mengingat jumlah S. aureus dalam keadaan tersebut sangat kecil. Biasanya S. aureus bukan merupakan spesies di dalam makanan sehingga dalam isolasi dan penghitungan S. aureus secara umum menggunakan media penghambat (Lancette dan Bennet 2001). Isolasi dengan pengayaan (enrichment) dan pemupukan langsung pada cawan petri (direct plating) merupakan metode yang paling umum digunakan
12 untuk deteksi dan penghitungan S. aureus pada makanan. Prosedur pengayaan dapat bersifat selektif atau non-selektif. Pengayaan non-selektif bermanfaat untuk memulihkan sel-sel yang rusak (injured cells), yang mana pertumbuhan sel-sel tersebut dihambat oleh bahan-bahan toksik dalam media pengaya selektif (selective enrichment media). Penghitungan dengan cara enrichment isolation atau selective enrichment isolation dapat dilakukan melalui penentuan jumlah atau most probable number (MPN). Prosedur MPN dapat menggunakan tiga tabung atau lima tabung untuk setiap pengenceran (Lancette dan Bennet 2001). Dalam penghitungan menggunakan prosedur direct plating, sampel dipupuk pada suatu media selektif dengan dua cara, yatu cara sebar permukaan (surface spreading) dan penuangan (pour plates). Metode cara sebar permukaan memiliki keuntungan bahwa bentuk dan tampak koloni pada permukaan media lebih jelas dibandingkan dengan koloni dalam media pada pengujian cara pour plate. Sedangkan keuntungan cara pour plate dapat menggunakan volume sampel lebih banyak (Lancette dan Bennet 2001). Parbandingan media-media yang dipakai dalam penghitungan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 6. Media selektif yang berhasil dan biasa digunakan untuk menghitung S. aureus
dibuat
oleh
Baird
Parker
pada
awal
tahun
1960-an,
yang
mengombinasikan media selektif terbaik dengan karakteristik reaksi diagnostik dan kemampuan untuk memperbaiki sel yang stres, yang dikenal sebagai Baird Parker agar (BPA). BPA mengandung potassium tellurite dan litium klorida yang berperan sebagai bahan selektif. Selain itu, BPA mengandung kuning telur yang membantu perbaikan sel bakteri yang rusak (injured). Reduksi potassium tellurite oleh S. aureus memberikan karakteristik berkilau, koloni berwarna hitam, dan dikelilingi oleh zona berwarna terang (clear) yang dihasilkan oleh protein kuning telur lipovitellenin.
Koloni tersebut sering juga memperlihatkan tepi bagian
dalamnya berwarna putih yang disebabkan oleh presipitasi asam lemak (Adam dan Moss 2008). Karakteristik koloni S. aureus pada beberapa media isolasi dapat dilihat pada Tabel 7.
13 Tabel 6
Selektivitas dan sistem diagnosa yang digunakan untuk mengisolasi Staphylococcus aureus (Rosamund dan Lee 1995)
Media cawan petri
Selektivitas sistem
Sistem diagnosa
Mannitol salt agar (MSA)
Sodium klorida
Mannitol-phenol red
Lipovitellin salt mannitol agar (LSMA)
Sodium klorida
Mannitol-phenol red kuning telur
Vogel Johnson agar (VJA)
Potassium tellurite, litium klorida, glisin
Potassium tellurite manitolphenol red
Modified Vogel Johnson (PCVJ) dengan phosphatidyl choline
Potassium tellurite, litium klorida, glisin
Potassium tellurite manitolphenol red, DNA
Baird-Parker agar (BPA)
Potassium tellurite, litium klorida, glisin
Potassium tellurite , kuning telur
Baird-Parker with pig plasma (BPP)
Potassium tellurite, litium klorida, glisin
Potassium tellurite, pig plasma
Baird-Parker with fibrinogen (BPF)
Potassium tellurite, lithium klorida, glisin
Potassium tellurite , pig plasma, bovine fibrinogen
Tabel 7
Penampakan Staphylococcus aureus pada beberapa jenis media isolasi (Rosamund dan Lee 1995)
Media pemupukan pada cawan petri
Penampakan koloni
Baird Parker agar (BPA)
Hitam, berkilau, konveks berukuran 1.0-1.5 mm dengan tepi putih dan dikelilingi zona luar yang jelas dengan luas 2-5 mm ke media opaque.
Mannitol salt agar (MSA)
Koloni dikelilingi zona kuning cerah
Vogel Johnson agar (VJA)
Hitam, konveks, berkilau dan dikelilingi zona berwarna kuning
Modified Vogel Johnson (PCVJ) dengan phospatidyl choline
Hitam, konveks, berkilau dengan zona berwarna kuning yang jelas
Media agar selain mengandung bahan selektif, juga ditambahkan bahan lain untuk meningkatkan produktivitas.
Piruvat dan katalase ditambahkan untuk
memperbaiki sel bakteri yang stres pada kedua media isolasi baik padat maupun cair. Piruvat dan katalase mencegah kematian sel dari akumulasi H 2 O 2 selama pertumbuhan aerobik dan perbaikan diri (Baird dan Parker 1962 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995).
Beberapa substansi untuk penggunaan diagnostik
14 diantaranya manitol, egg yolk, DNA (Andrew dan Martin 1978 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995), dan plasma babi (Stadhouders et al. 1976 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995), serta fibrinogen (hauschild) digunakan untuk melapisi media. Baird dan van Doorne (1982) yang dikutip oleh Rosamund dan Lee (1995) membandingkan tingkat perbaikan sel bakteri dari sampel makanan yang terkontaminasi secara alami dengan menggunakan teknik pelapisan langsung ke dalam BPA dan agar VJA, serta teknik enrichment yaitu triptone soya broth (TSB) dan liquid Baird Parker (LBP) diikuti dengan pelapisan ke dalam BPA. Hasil terbaik diperlihatkan oleh kombinasi LBP (liquid Baird Parker) untuk enrichment dan BPA untuk pemupukan pada cawan petri (plating).
LBP
digunakan untuk perbaikan sel stres (stress cell) dalam jumlah yang sedikit. Hasil percobaan dengan menggunakan media isolasi yang berbeda menunjukkan bahwa enrichment selektif di LBP diikuti subkultur pada BPA memberikan tingkat perbaikan sel (cell recovery) yang sangat tinggi. Banyak studi komparatif yang telah dilakukan pada beberapa macam media yang digunakan untuk identifikasi dan penghitungan S. aureus (Terplan et al. 1982 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995). Hasil perbandingan tingkat perbaikan (recovery) dari sel bakteri yang stres pada empat media selektif yaitu BPA dan plasma BPA (pig plasma) ternyata lebih baik dibandingkan dengan potassium thiosianat actidione sodium azide egg yolk pyruvate agar (KRANEP) (Sinell dan Baumgart 1967 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995) dan modified Vogel Johnson agar (PCVJ) (Andrews dan Martin 1978 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995).