9
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Perdagangan Badan Pusat Statistik (2006) mendefinisikan perdagangan sebagai
kegiatan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis) barang baru maupun bekas, yang meliputi penjualan mobil, sepeda motor, serta penjualan eceran bahan bakar kendaraan, perdagangan besar dalam negeri, perdagangan eceran, perdagangan ekspor, dan perdagangan impor. 1)
Penjualan mobil, sepeda motor, serta penjualan eceran bahan bakar kendaraan adalah kegiatan penjualan (tanpa perubahan teknis) mobil dan sepeda motor, baik baru maupun bekas yang dilakukan dalam partai besar dan eceran, dan juga penjualan suku cadang dan aksesorisnya, serta penjualan eceran bahan bakar kendaraan.
2)
Perdagangan besar dalam negeri adalah kegiatan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis) barang baru maupun bekas yang pada umumnya dalam partai besar kepada pedagang eceran, perusahaan industri, kantor, rumah sakit, rumah makan, akomodasi, atau kepada pedagang besar lainnya, atau kegiatan sebagai agen atau perantara dalam pembelian atau penjualan barang dagangan dari atau kepada orang atau perusahaan sejenis di dalam negeri.
3)
Perdagangan eceran adalah kegiatan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis) barang baru maupun bekas yang pada umumnya dalam partai kecil oleh toko, toko serba ada (toserba), kios, tempat penjualan melalui pesanan, penjaja atau penjualan keliling, perusahaan konsumen, tempat pelelangan, dan sebagainya kepada masyarakat umum untuk penggunaan atau konsumsi perorangan atau rumah tangga.
4)
Perdagangan ekspor adalah kegiatan penjualan barang baru maupun barang bekas, atau jasa dari dalam ke luar wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5)
Perdagangan impor adalah kegiatan penjualan barang baru maupun bekas, atau jasa dari luar ke dalam wilayah kepabean Indonesia dengan memenuhi ketetuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10
Kotler (2008) mendefinisikan pengeceran (retailling) sebagai kegiatan yang mencakup penjualan produk atau jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi, non bisnis konsumen. Salah satu contoh perdagangan eceran adalah pedagang eceran tradisional atau pedagang eceran di daerah pemukiman yang biasa disebut warung. Sedangkan perdagangan besar (wholesaling) meliputi semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang dan jasa kepada pihak yang membeli untuk dijual kembali atau pemakaian bisnis (Kotler, 2008). Jenis perdagangan yang termasuk dalam pedagang besar adalah distributor utama, perkulakan (grosir), sub distributor, pemasok besar, agen tunggal pemegang merek, eksportir dan importir.
2.2.
Teori Tentang Pasar Pasar didefinisikan sebagai satu kelompok penjual dan pembeli yang
mempertukarkan barang yang dapat disubstitusikan. Terdapat dua jenis pasar, yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar
menawar
(Peraturan
Menteri
Perdagangan
RI
No.
53/M-
DAG/PER/12/2008). Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007, toko modern atau pasar modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. Barang yang dijual di pasar modern memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barang-barang lokal, pasar modern juga menyediakan barang impor. Barang yang dijual di pasar modern memiliki kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian secara ketat. Secara kuantitas, pasar modern umumnya mempunyai persediaan barang di gudang yang
11
terukur. Dari segi harga, pasar modern memiliki label harga yang pasti (tercantum harga sebelum dan setelah dikenakan pajak). Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 tahun 2007, macam-macam pasar modern diantaranya: a. Minimarket, yaitu gerai yang menjual produk-produk eceran seperti ritel kelontong dengan fasilitas pelayanan yang lebih modern. Luas ruang minimarket kurang dari 400 m2. b. Supermarket menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya dengan luas antara 400 m2 sampai dengan 5.000 m2. c. Hypermarket menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya dengan luas di atas 5.000 m2. d. Department Store menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan barang berdasarkan jenis kelamin dan/atau tingkat usia konsumen dengan luas di atas 400 m2. e. Perkulakan atau gudang rabat menjual produk dalam kuantitas besar kepada pembeli non-konsumen akhir untuk tujuan dijual kembali atau pemakaian bisnis dengan luas di atas 5.000 m2. Pasar tradisional adalah pasar yang dikelola dengan manajemen yang lebih tradisional dan sederhana dibandingkan pasar modern, umumnya pasar tradisional terdapat di pinggiran perkotaan/jalan atau lingkungan perumahan. Pasar tradisional diantaranya yaitu ritel rumah tangga, ritel kios, pedagang kaki lima dan sebagainya. Barang yang dijual hampir sama seperti barang-barang yang dijual di pasar modern dengan variasi jenis yang beragam. Perbedaannya, pasar tradisional cenderung menjual barang-barang lokal dan jarang ditemui barang impor. Umumnya pasar tradisional mempunyai persediaan barang yang jumlahnya sedikit sesuai dengan modal yang dimiliki pedagang atau permintaan dari konsumen. Dari segi harga, pasar tradisional tidak memiliki label harga yang pasti karena harga disesuaikan dengan besarnya keuntungan yang diinginkan oleh setiap pemilik usaha. Harga pasar yang selalu berubah-ubah membuat pedagang di pasar tradisional enggan membuat label harga pada barang dagangannya (Wijayanti, 2011).
12
2.3
Omzet Kata omzet berarti jumlah penghasilan yang diperoleh dari hasil menjual
barang (dagangan) tertentu selama suatu masa jual. Omzet pedagang eceran tradisional terkadang tidak sama setiap bulannya. Oleh karena itu, pada penelitian ini omzet yang dimaksud adalah rata-rata omzet bulanan yang diperoleh dari pedagang eceran tradisional dari hasil menjual barang tentunya bertujuan untuk mencari keuntungan. 2.4
Jarak Apabila antara satu pedagang dengan pedagang lainnya terdapat jarak
dimana untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan biaya, maka salah satu pedagang dapat menaikkan sedikit harga tanpa kehilangan seluruh pembelinya. Pelanggan yang terjauh darinya akan beralih ke pedagang lain yang tidak menaikkan harga tetapi pelanggan yang dekat dengannya tidak akan beralih jika waktu dan biaya untuk menempuh jarak tersebut masih lebih besar daripada perbedaan harga jual diantara pedagang. Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2011) menganalisis bahwa jarak antara warung tradisional dengan minimarket berpengaruh terhadap penurunan omzet warung tradisional di Kecamatan Padurungan Kota Semarang. Semakin dekat jarak antara keduanya, maka penurunan omzet warung tradisional semakin besar. Kedekatan lokasi antara keduanya dapat berpengaruh negatif terhadap perubahan keuntungan usaha warung tradisional. Harga di minimarket sebagian besar lebih murah dibandingkan pedagang eceran tradisional. Akibatnya, pelanggan yang dekat akan beralih jika waktu dan biaya untuk menempuh jarak tersebut lebih kecil daripada perbedaan harga jual diantara pedagang. Hal ini disebabkan karena adanya persaingan usaha yang diukur dengan meter pada jarak antara keduanya.
2.5
Analisis Crosstab – Chi Square Analisis Crosstab merupakan analisis dasar untuk hubungan antar variabel
kategori (nominal - ordinal). Penambahan variabel kontrol untuk mempertajam analisis sangat dimungkinkan. Crosstab data digunakan untuk mengetahui hubungan atau distribusi respons antara variabel data dalam bentuk baris dan
13
kolom. Sedangkan analisis Crosstab – Chi Square adalah suatu analisis hubungan antar variabel data nominal. Tabulasi silang digunakan untuk menggambarkan jumlah data dan hubungan antar variabel. Selain itu, untuk menguji ada tidaknya hubungan antar variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh dimana salah satu variabel minimal nominal dilakukan uji hipotesa. Crosstab digunakan untuk menyajikan deskripsi data dalam bentuk tabel silang yang terdiri atas baris dan kolam. Data input yang dimasukan dalam penggunaan crosstab adalah data nominal atau ordinal. Uji ketergantungan crosstab pada statistik ditentukan melalui Chi-Square test dengan mengamati ada tidaknya hubungan antarvariabel yang dimasukan (baris dan kolam). Penentuan Chi-Square test menggunakan hipotesis yaitu: H0 : Tidak ada hubungan antara baris dan kolam H1 : Ada hubungan antara baris dan kolam Pengambilan keputusan akan lebih mudah jika menggunakan program SPSS dengan menggunakan nilai Asymp. Sig. (2-sided) yang terdapat pada ChiSquare test. Apabila nilai Asymp. Sig. (2-sided) lebih dari 0,05 maka H0 diterima. Apabila nilai Asymp. Sig. (2-sided) kurang dari 0,05 maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan antara baris dan kolam (Wahana, 2007).
2.6
Model Logit Analisis regresi logit merupakan bagian dari analisis regresi. Analisis ini
mengkaji hubungan pengaruh-pengaruh peubah bebas terhadap peubah terikat melalui model persamaan matematis tertentu. Namun jika peubah terikat dari analisis regresinya berupa kategorik, maka analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi logit (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Peubah kategori bisa merupakan suatu pilihan ya/tidak atau suka/tidak. Sedangkan peubah bebas pada analisis regresi logit ini dapat berupa peubah kategori maupun numerik, untuk menduga besarnya peluang kejadian tertentu dari kategori peubah terikat. Model logit
diturunkan
berdasarkan
fungsi
peluang
logistik
kumulatif
yang
dispesifikasikan sebagai berikut: Pi = F(Zi) = F(α + βXi) =
𝟏 𝟏+𝓮−𝒛
=
𝟏 𝟏+𝓮−(𝜶+𝜷𝒙)
.......................................... (2.1)
14
𝐞𝐳 =
𝟏−𝐏𝐢 𝐏𝐢
......................................................................................................... (2.2)
ℯ mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (ℯ = 2,718). Peubah Pi/(1-Pi) dalam persamaan di atas disebut odds, yang sering juga diistilahkan dengan risiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadi pilihan satu terhadap peluang terjadinya pilihan nol alternatifnya. Nilai odds adalah suatu indikator kecenderungan seseorang menentukan pilihan satu. Jika persamaan (2.2) ditransformasikan dengan logaritma natural maka: 𝒛𝒊 = ln
𝟏−𝐏𝐢 𝐏𝐢
→
ln
𝟏−𝐏𝐢 𝐏𝐢
= 𝐳𝐢 = α + βXi ................................................ (2.3)
Persamaan (2.3) menunjukkan bahwa salah satu karakteristik penting dari model logit adalah dapat mentransformasikan masalah prediksi peluang dalam selang (0;1) ke masalah prediksi log odds tentang kejadian (Y=1) dalam selang bilangan riil (Juanda, 2009).
2.7
Tinjauan Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil survei AC Nielsen pada tahun 2010 di seluruh kawasan
Asia Pasifik, jumlah pasar modern meningkat dari 35 persen pada tahun 2000 menjadi 53 persen pada tahun 2010. Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan pasar modern paling cepat di Asia Tenggara sebesar 1,6 persen per tahun selama 10 tahun terakhir. Saluran distribusi yang paling cepat di Indonesia adalah minimarket yang dipimpin oleh Indomaret dan Alfamart. Selama satu dekade, peningkatan jumlah minimarket dari hanya sekitar 2000 menjadi lebih dari 11.500. Saat ini sulit berdiri di sudut kota tanpa tidak melihat setidaknya 2 minimarket, yaitu alfamart dan indomaret. Pangsa pasar minimarket tersebut telah meningkat hingga 17 persen. India dan Indonesia adalah satu-satunya pasar di mana lebih dari 60 persen pembeli utamanya adalah ibu rumah tangga. Penelitian yang dilakukan oleh Rasidin (2011) menganalisis tentang kehadiran pasar modern yang berpengaruh negatif terhadap UKM sektor perdagangan dengan rata-rata penurunan omzetnya sebesar 25 persen pada usaha mikro, 22,48 persen pada usaha kecil dan 21,60 persen pada usaha menengah. Harga dan mutu produk UKM Kabupaten Subang belum mampu bersaing secara
15
seimbang dengan harga dan mutu produk yang dijual di pasar modern pada industri pengolahan. Hal ini berimbas terhadap penurunan omzet UKM sektor industri pengolahan berkisar 36,43 persen hingga 40 persen. Rata-rata tingkat penyerapan tenaga kerja pasar modern di Kabupaten Subang adalah sebesar 7 orang tenaga kerja per-unit usaha pasar modern. Pasar modern dapat dikatakan tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja karena tingkat penyerapannya lebih kecil dibandingkan dengan UKM sektor industri pengolahan yang bisa mencapai 53 orang per unit usaha. Bisnis ritel selain mempunyai fungsi sebagai perantara dalam saluran pemasaran juga mempunyai fungsi-fungsi dalam hal informasi, promosi, negosiasi, pemesanan, pembiayaan, pengambilan resiko, pembayaran dan hak milik. Peran bisnis ritel dalam saluran pemasaran bagi produsen mencakup pada produk, pendanaan, iklan dan promosi, konsumen, dan pesaing. Iklan dan promosi yang dilakukan bisnis ritel meningkatkan kemampuan pasar. Produsen juga mendapatkan informasi mengenai konsumen dan pesaing dari peritel, sehingga bisa mengevaluasi produk sendiri dan kekuatan pesaing (Utomo, 2009). Suryadharma, Poesoro, dan Budiyati (2007) melakukan kajian terhadap masalah kehadiran pasar modern terhadap pasar tradisional. Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dan didukung dengan metode kualitatif yang dilakukan di Depok dan Bandung sebagai proksi dari kota besar di Indonesia. Hasil analisis menjelaskan bahwa supermarket berdampak terhadap kinerja usaha pedagang di pasar tradisional. Para pedagang di pasar tradisional mengeluhkan keberadaan pasar modern, khususnya hypermarket di sekitar mereka yang mempengaruhi kuntungan mereka. Hasil analisis kuantitatif memperlihatkan adanya dampak yang berbeda dari keberadaan supermarket terhadap beberapa aspek dari kinerja usaha perdagangan di pasar tradisional yang diukur melalui variabel omzet, keuntungan, dan jumlah pegawai. Kehadiran ritel modern, di satu sisi dapat membantu masyarakat mendapatkan barang kebutuhan dengan mudah dan harga terjangkau serta penyerapan tenaga kerja, namun di sisi lain, dapat mematikan usaha-usaha kecil tradisional yang kegiatannya tidak lebih dari sekedar untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan analisis kualitatif, ritel modern memberi dampak
16
negatif pada ritel tradisional. Pasar tradisional yang berada dekat dengan ritel modern (ritel modern yang mengambil lokasi dekat dengan pasar tradisional) terkena dampak yang lebih buruk dibanding yang berada jauh dari peritel modern. Kecenderungan untuk mendapatkan kontribusi sebagai penerimaan pendapatan daerah, seringkali menjadi pertimbangan untuk mengeluarkan izin-izin bagi pasar modern, baik peritel lokal maupun asing, sehingga mengurangi peran dalam melakukan pengawasan dan pembinaan bagi pasar-pasar tradisional. Tidak adanya hambatan masuk pada bisnis ritel ini, membuat para peritel asing merajalela memasuki pasar Indonesia (Martadisastra, 2010). Penelitian yang telah dilakukan Agustina (2009) menganalisis tentang pertumbuhan pasar modern di Kota Bogor pada periode tahun 1998-2003 yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pasar modern di Kabupaten Bogor. Sedangkan pada periode tahun 2003-2008, pertumbuhan pasar modern di Kota Bogor lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pasar modern di Kabupaten Bogor. Jumlah pasar tradisional di Kota Bogor pada periode tahun 1998-2003 mengalami pertumbuhan positif sedangkan di Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan yang stagnan atau tidak terjadi pertumbuhan pasar tradisional pada periode tersebut. Namun pada periode tahun 2003-2008 pertumbuhan pasar tradisional di Kota Bogor mengalami pertumbuhan yang negatif. Faktor yang berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan pasar modern di Kota dan Kabupaten Bogor adalah populasi penduduk, jumlah rumah tangga dan tingkat pendapatan per kapita. Nuvitasari (2009) melakukan kajian mengenai pengeluaran rumah tangga di Propinsi Kepulauan Riau, khususnya kota Batam dan Kabupaten Karimun. Hasil kajian empiris menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga sebagai salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga secara signifikan dipengaruhi oleh umur kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, dan upah kepala rumah tangga. Perubahan pola konsumsi rumah tangga di Kabupaten Tuban dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pertumbuhan jumlah anggota rumah tangga, perubahan harga relatif komoditi pangan bersangkutan dan komoditi pangan lain sebagai substitusi atau komplementer, perubahan pendapatan, preferensi serta beberapa
17
faktor lain. Pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, dan jenis pekerjaan kepala keluarga berpengaruh secara nyata terhadap konsumsi beras maupun non beras di Kabupaten Tuban (Taufiq, 2007).
2.8
Kerangka Pemikiran Kehidupan masyarakat akan senantiasa mengalami perubahan dan akan
selalu menuju ke tahap yang lebih maju dan lebih modern. Sejalan dengan kehidupan yang semakin maju dan modern, maka akan muncul kebutuhankebutuhan yang lebih kompleks dan lebih banyak jumlahnya sehingga diperlukan pula fasilitas pendukung yang lebih baik, lebih banyak dan lebih variatif daripada yang tersedia saat ini. Peningkatan fasilitas ini hanya mungkin terjadi melalui suatu pembangunan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta. Pembangunan pada sektor perdagangan untuk memfasilitasi proses distribusi barang dan jasa yang berkaitan langsung dengan konsumsi masyarakat seperti pembangunan pasar modern saat ini marak dilakukan. Maraknya pembangunan pasar modern berimbas pada semakin ketatnya persaingan dalam industri ritel (Hartati, 2006). Perubahan
life
style
masyarakat
yang
menjadi
lebih
modern
mempengaruhi pola belanja atau tingkat pengeluaran konsumen. Masyarakat menjadi lebih konsumtif dan cenderung lebih suka berbelanja di pasar modern yang memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan pedagang eceran tradisional. Preferensi masyarakat yang saat ini cenderung lebih menyukai berbelanja di pasar modern, salah satunya minimarket, menjadi salah satu faktor pemicu tingginya pertumbuhan minimarket. Pertumbuhan minimarket tidak dapat dipungkiri menimbulkan berbagai dampak positif bagi konsumen, antara lain dimanjakannya konsumen dengan tempat perbelanjaan yang nyaman, variasi produk yang beragam, dan juga harga produk yang bersaing. Menjamurnya minimarket di wilayah pemukiman yang padat penduduk dan di pedesaan menyebabkan tersingkirnya pedagang eceran tradisional. Persaingan ini tidak sebanding karena kemampuan bersaing pedagang eceran tradisional yang masih rendah dan juga minimnya modal yang menunjang kegiatan bisnis para peritel tradisional. Minimarket dengan sistem waralaba dapat
18
memutus rantai distribusi dari produsen sehingga saluran distribusinya lebih pendek dibandingkan pedagang eceran tradisional. Akibatnya, harga di minimarket menjadi lebih murah. Hal ini menjadi ancaman yang serius bagi pedagang eceran tradisional. Tumbuh pesatnya minimarket ke wilayah pemukiman dengan jarak yang berdekatan, berdampak buruk bagi pedagang eceran tradisional. Semakin dekat jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket membuat tingkat persaingan diantara keduanya semakin besar yang berakibat pada perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional. Ekspansi minimarket menjadi tantangan yang berat bagi pedagang eceran tradisional. Saat ini pedagang eceran tradisional yang lokasinya berdekatan dengan minimarket mulai kehilangan pembeli yang berdampak pada penurunan omzet usaha pedagang eceran tradisional. Pedagang eceran tradisional sebenarnya memiliki nilai strategis, antara lain adalah lokasinya yang dekat dengan pemukiman penduduk dan terkadang pedagang eceran memperbolehkan konsumennya untuk berhutang. Namun jika nilai strategis tersebut tidak dapat diunggulkan, maka keberadaan pedagang eceran tradisional akan tergantikan oleh keberadaan minimarket. Diperlukan pemikiran kritis dalam menghasilkan rekomendasi kebijakan bagi pedagang eceran tradisional maupun minimarket agar terjadi harmonisasi pada sektor perdagangan. Sektor perdagangan yang memiliki nilai strategis dalam perekonomian Indonesia ini selanjutnya diharapkan dapat memantapkan peranannya dalam mendorong pertumbuhan produksi, distribusi, pemenuhan kebutuhan konsumen, serta penciptaan lapangan pekerjaan (Agustina, 2009).
19
Perkembangan Sektor Ritel
Kondisi Umum Pedagang Eceran Tradisional
Kondisi Umum Minimarket
Persaingan Industri Ritel
Perubahan Omzet Pedagang Eceran Tradisional
Perubahan Tingkat Pengeluaran Masyarakat
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Omzet Usaha Pedagang Eceran Tradisional Akibat Pendirian Minimarket
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Tingkat Pengeluaran Masyarakat Akibat Pendirian Minimarket
Analisis Tabulasi Silang (Crosstab)
Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis Regresi Logit
Rekomendasi Kebijakan Gambar 1. Kerangka Pemikiran 2.9
Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian dampak pendirian minimarket terhadap
perubahan omzet pedagang eceran tradisional adalah: 1. Tingkat pendidikan berhubungan negatif dengan perubahan omzet pedagang eceran tradisional. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka perubahan omzet akan semakin kecil. 2. Jam kerja pedagang eceran tradisional berhubungan negatif dengan perubahan omzet pedagang eceran tradisional. Semakin lama jam kerja pedagang eceran tradisional maka perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional akan semakin kecil.
20
3. Lama usaha pedagang eceran tradisional berhubungan negatif dengan perubahan omzet pedagang eceran tradisional. Semakin lama pedagang eceran tradisional beroperasi, maka perubahan omzet pedagang eceran tradisional akan semakin kecil. 4. Jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket berhubungan negatif dengan perubahan omzet pedagang eceran tradisional. Semakin jauh lokasi usaha ritel tradisional dengan minimarket maka perubahan omzet pedagang eceran tradisional akan semakin kecil. Hipotesis dari penelitian dampak pendirian minimarket terhadap perubahan tingkat pengeluaran masyarakat adalah: 1. Usia berhubungan negatif dengan perubahan tingkat pengeluaran masyarakat. Semakin tua usia, maka tingkat pengeluaran responden cenderung akan semakin tidak meningkat. 2. Jarak antara tempat tinggal responden dengan minimarket berhubungan
negatif dengan perubahan tingkat pengeluaran masyarakat. Semakin jauh jarak antara tempat tinggal responden dengan minimarket, maka tingkat pengeluaran responden akan semakin tidak meningkat.