BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam bab II ini penulis akan menjelaskan konsep-konsep yang relevan dengan masalah yang diteliti. Konsep-konsep tersebut digunakan agar pembahasan masalah dalam skripsi ini dapat dilakukan dengan sistematis. Konsep-Konsep yang relevan yang berkaitan dengan konsep-konsep atau teori-teori hukum yang berkaitan dengan kedudukan dan fungsi peradilan adat didalam sistem hukum di Indoensia
A. Fungsi dan Kedudukan Peradilan Dalam Sistem Hukum Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan itu menunjuk kepada pengertian organnya, sedangkan peradilan merupakan fungsinya. Namun, menurut Soedikno Mertokusumo, pada dasarnya, peradilan itu selalu berkaitan dengan pengadilan, dan pengadilan itu sendiri bukanlah semata-mata badan, tetapi juga terkait dengan pengertian yang abstrak, yaitu memberikan keadilan.1 Lain lagi Rochmat Soemitro yang berpendapat bahwa pengadilan dan peradilan, juga berbeda dari badan pengadilan. Titik berat kata peradilan tertuju kepada prosesnya, pengadilan menitikberatkan caranya, sedangkan badan pengadilan tertuju kepada badan, wan, hakim, atau instansi pemerintah.2 Namun, menurut hasil penelitian mengenai 1
SudiknoMertokosumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa Indonesia, (disertai), Kilat Maju Bandung, 1971 hlm.2
2
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, cetakan ketiga, 1997, hlm.23
pemakaian kata-kata pengadilan dan peradilan itu dalam praktik, ternyata kata pengadilan itu memang tertuju kepada badannya, sedangkan peradilan adalah prosesnya. Atas dasar itu, maka Sjachran Basan berpendapat bahwa penggunaan istilah pengadilan itu ditujukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan, sedangkan peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum atau het rechtspreken. Pengadilan selalu bertalian dengan peradilan, meskipun pengadilan bukanlah satu-satunya badan yang menyelenggarakan peradilan.3 Peradilan itu sendiri sebagai suatu proses harus terdiri atas unsur-unsur tertentu. Menurut pendapat Rochmat Soemitro, setelah menelaah berbagai pendapat dari Paul Scholten, Bellefroid, George Jellineck, dan Kranenburg, unsur-unsur peradilan itu terdiri atas empat anasir, yaitu : 4 1. Adanya aturar hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan. 2. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit 3. Ada sekurang-kurangnya dua pihak 4. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.
Namun, menurut Sjachran Basan, unsur-unsur peradilan itu yang lebih lengkap mencakup pula adanya hukum formal dalam rangka penerapan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) “in conreto” untuk menjamin ditaatinya hukum
3
Ibid., hlm. 24
4
Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, (disertasi), Eresco, Bandung, 1976, hlm. 7-8.
materiil yang disebut sebagai unsur (a) tersebut di atas. Atas dasar itu, maka oleh Sjachran Basan dikatakan bahwa,5 “Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.” Proses peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, tetapi sebaliknya tanpa hukum formal akan liar dan bertindak semaunya, dan dapat mengarah kepada apa yang biasa ditakutkan orang sebagai “judicial tyrany”. Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) dan prinsip the rule of law. Demokrasi mengutamakan the will of the people, Negara Hukum mengutamakan the rule of law. Banyak sarjana yang membahas kedua konsep itu, yakni demokrasi dan negara hukum dalam satu kontinum yang tak terpisahkan satu sama lain. 6 Namun keduanya perlu dibedakan dan dicerminkan dalam institusi yang terpisah satu sama lain. Di lingkungan para pembelajar perumusan kebijakan publik terdapat sejumlah model.Thomas R. Dye merumuskan model-model secara lengkap dalam Sembilan model formulasi kebijakan, yaitu :7 1. Model Kelembagaan(Institutional) 5
Sjachran Basah, Op.Cit hlm. 29.
6
Lihat Jose Maria Maravall and Adam Przeworski (eds.), Democracy and the Rule of Law, Cambridge University Press, 2003; baca misalnya tulisan John Ferejohn and Pasquale Pasquino, Rule of Democracy and Rule of Law dalam Ibid. hlm. 242-260
7
http://www.scribd.com/doc/85362787/FORMULASI-KEBIJAKAN-roby/download : Minggu 15 Maret 2014/ 7:21 PM
2. Model Proses(Process) 3. Model Kelompok (Grub) 4. Model Elit(Elite) 5. Model Rasional(Rational) 6. Model Incremental(Incremental) 7. Model Teori Permainan(Game theory) 8. Model Pilihan Publik (Public choice) 9. Model Sistem (System)
Model
Kelembagaan
(Institutional)
adalah
Formulasi
kebijakan
model
kelembagaan secara sederhana bermakna bahwaTugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi apapun yang dibuat pemerintahdengan cara apa pun adalah kebijakan publik. Ini adalah model yang paling sempit dansederhana di dalam formulasi kebijakan publik. Model ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat, di dalam formulasi kebijakan.8 Thomas. R. Dye menyebutkan ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini, yaitu pemerintah membuat kebijakan publik, bersifat universal, dan memonopoli fungsi pemaksaan
(koersi)
dalam
kehidupan
implementasinya
didalam
kehidupan
bermasyarakat. Pendekatan kelembagaan (institutionalism) merupakan salah satu ilmu politik yang tertua. Kehidupan politik umumnya berkisar pada lembaga pemerintah seperti: legislatif, eksekutif, pengadilan dan partai politik, lebih jauh lagi kebijakan publik awalnya
8
lib.ui.ac.id/file?file=digital/124874-T%20304...
berdasarkan kewenangannya ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah. Secara tradisional pendekatan kelembagaan menitikberatkan pada penjelasan lembaga pemerintah dengan aspek yang lebih formal dan legal yang meliputi organisasi formal, kekuasaan legal, aturan prosedural, dan fungsi atau aktivitasnya. Hubungan formal dengan lembaga lainnya juga menjadi titik berat dari pendekatan kelembagaan. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan dimana kebijakan itu diterapkan.9
B. Pengaturan Otonomi Khusus Bagi Papua. Adapun pengaturan otonomi khusus bagi Papua didalam Undang-Undang adalah hasil rekomendasi Majelis Pemusyawaratan Rakyat didalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan mengapresiasikan apa yang menjadi suara rakyat dari tanah Papua. Dalam rangka menampung aspirasi masyarakat tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat berpendapat bahwa penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar, dan berdimensi jauh ke depan. Pemikiran mengenai otonomi bagi Papua tersebut kemudian dirumuskan dalam romawi II Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 yang berkaitan dengan kebijaksanaan otonomi daerah yang sifatnya menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan disertai oleh kesadaran akan keanekaragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut:
9
Wibawa,1994,6
1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah. 2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar -pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan. 3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah. 4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah
Adapun rekomendasi dari Majelis Permusyaratan Rakyat didalam Romawi III Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 yakni berkaitan dengan rekomendasi ini ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar ditindaklanjuti sesuai dengan butir- butir rekomendasi di bawah ini : 1. Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majeli Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan. 2. Pelaksanaan otonomi daerah bagi daerah-daerah lain sesuai dengan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Peribangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah dilakukan sesuai jadwal yang telahditetapkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Keseluruhan peraturan pemeritah sebagai pelaksanaan dari kedua undang-undang tersebut agar diterbitkan selambat-lambatnya akhir Desember tahun 2000. b. Daerah yang sanggup melaksanakan otonomi secara penuh dapat segera memulai pelaksanaannya terhitung 1 Januari 2001 yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. c. Daerah yang belum mempunyai kesanggupan melaksanakan otonomi secara penuh dapat memulai pelaksanaannya secara bertahap sesuai kemampuan yang dimilikinya.
3.
4.
5.
6.
7.
d. Apabila keseluruhan peraturan pemerintah belum diterbitkan sampai dengan akhir Desember 2000, daerah yang mempunyai kesanggupan penuh untuk menyelenggarakan otonomi diberikan kesempatan untuk menerbitkan, peraturan daerah yang mengatur pelaksanaanya. Jika peratura pemerintah telah diterbitkan peraturan daerah yang terkait harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah dimaksud. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, masing-masing daerah menyusun rencana induk pelaksanaan otonomi daerahnya, dengan mempertimbangkan antara lain tahap- tahap pelaksanaan, keterbatasan kelembagaan, kapasitas dan prasarana, serta sistem manajemen anggaran dan manajemen publik. Bagi daerah yang terbatas sumber daya alamnya, perimbangan keuangan dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan untuk mendapatkan bagian dari keuntungan badan usaha milik negara yang ada di daerah bersangkutan dan bagian dari pajak penghasilan perusahaan yang beroperasi. Bagi daerah yang kaya sumber daya alamnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kewajaran. Terhadap daerahdaerah yang ketersediaan sumber daya manusia terdidiknya terbatas perlu mendapatkan perhatian khusus. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah agar dibetuk tim koordinasi antar-instansi pada masing-masing daerah untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, memfungsikan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah guna memperlancar penyelenggaraan otonomi dengan program yang jelas. Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbagan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya
Adapun istilah otonomi dalam tinjau etimologis dari bahasa latin “auotos” yang berarti sendiri dan nomos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti aturan. Pengertian “otonom”secara bahasa adalah berdiri sendiri atau dengan Pemerinahan sendiri, sedangkan daerah adalah suatu wilayah atau lingkungan pemerintah. Dengan demikian pengertian secara istilah otonomi daerah adalah wewenang kekuasaan pada suatu wilayah mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah daerah masyarakat itu sendiri, dam
pengertian lebih luas lagi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah daerah yang menagatur dan mengelolah untuk kepentingan wilayah daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan pertimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.10
Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus endiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangudangan. Pada hakekatnya, otonomi ini memberikan ruang gerak bagi Pemerintah didaerah untuk mengelolah daerahnya, agar lebih mampu bersaing dan profesional dalam menjalankan roda Pemerintahan dan mengelolah sumber daya dan potensi. Pelaksananaan kewenangan otonomi diperngaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan pelaksanaan pemerintahan, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah itu tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilam, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan Pemerintah Pusat, Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Otonomi khusus bagi Papua harus diartikan secara jelas dan tegas sejak awal, karena telah terbentuk berbagai pemahaman yang negatif mengenai otonomi dikalangan masayrakat papua. Istilah Otonomi dalam Otonomi khusus haruslah diartikan sebagai
10
http://e-journal.uajy.ac.id/4505/3/2MIH01164.pdf download : selasa, 16 Juli 2014:3:44AM
kebebasan bagi masyarakat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaaan alam Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat Papua dengan tidak meninggalkan tanggug jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politk yang sesuai dengan karaktersitk dan kekhasan sumber daya manusia serta kondisi alam dan kebudayaaan orang papua. Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang diajukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya termasuk dengan dimikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang. Istilah khusus hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan ini dapat ditnjau dari berbagi aspek , yaitu 11: 1. Aspek Geografis Yaitu bahwa Papua meliki daerah yang seluas tiga setengah pulau Jawa, dengan topografi yang bervariasi dimana adawilayah dibawah permukaan air laut , beberapa tempat diatas permukaaan air laut , dan bahkan pegunugan yang senantiasa ditutupi salju.
11
Bonai Sandhi, Makna pengibaran Bendera Bintang Kejora bagiPemerintah dan UKSW, 2010.
Masyarakat Papua, FH.
2. Aspek Fisiologis Yaitu orang Papua berasal dari ras Negroid rumpun Melanesian
3. Aspek Politik Yaitu orang Papua adah bagian dari NKRI melalui proses politk tersendiri yang dilegitimasi melalui kesepakatan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) dan New York
4. Aspek Sosial dan Budaya Yaitu kondisi penduduk papua masih terbatas, sekitar 75 persen penduduk tidak memiliki pendidikan yang layak , gizi rendah, serta pelayanan lesehatan yang terbatas, dan memiliki ragam budaya yang unik (kurang lebih 254 suku dan bahasa
Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya,
ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua.12 Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya termasuk dengan dimilikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang. Istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya, kekhususnya otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.13 Dalam rangka mewujudkan terpenuhi hak dan kewajiban dasar rakyat Papua, Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dikembangkan dan dilaksanakan dengan berpedoman pada sejumlah nilai-nilai dasar. Nilai-nilai dasar ini bersumber dari adat istiadat rakyat Papua, nasionalisme yang bertumpu pada prinsip-prinsip manusia universal, dan penghormatan akan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Karena itulah, nilai-nilai dasar yang dimaksudkan merupakan prinsip-prinsip pokok dan suasana kebatinan yang melatarbelakangkangi penyusunan kerangka dasar Rancangan Undang-
12
http://pahalajunedipandapotanhutauruk.blogspot.com/2012/06/otonomi-daerah.html di download pada Kamis, 8 Agustus 2014, Jam 8:29
13
http://pahalajunedipandapotanhutauruk.blogspot.com/2012/06/otonomi-daerah.html di download pada Kamis, 8 Agustus 2014, Jam 8:29
Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang selanjutnya diharapkan akan berfungsi sebagai pedoman dasar bagi pelaksanaan berbagai aspek Otonomi Khusus Papua di masa mendatang. Ada tujuh butir Nilai-nilai Otonomi Khusus Papua. Nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah 14:
1. Perlindungan terhadap Hak-hak Dasar Penduduk Asli Papua 2. Demokrasi dan Kedewasaan Berdemokrasi 3. Penghargaan tehadap Etika dan Moral 4. Penghargaan terhadap Hak-hak Asasi Manusia 5. Penegakan Supremasi Hukum 6. Penghargaan terhadap Pluralisme 7. Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara
1. Peraturan Daerah Khusus Pemberian Otonmi Khusus bagi Propinsi Papua diatur dalam UU Otsus. Selanjutnya, Papua diberi kewenangan untuk mempunyai Perdasus, yaitu Peraturan Daerah Khusus yang mengatur kondisi khusus atau hal-hal yang tidak diatur dalam UU Otsus serta Perdasi yaitu Peraturan Daerah Propinsi yaitu peraturan yang menjalankan aturan-aturan dalam undang-undang ini. Hal ini berbeda dengan undang-undang pada umumnya, sebab jika pengaturan lebih
14
http://www.academia.edu/1596060/esai_otsus_papua didownload pada jumat, 8 Agustus 2014, Jam 8:33
lanjut dari suatu undang-undang adalah Peraturan Pemerintah, maka kelanjutan dari UU ini adalah Perdasi dan Perdasus15. Bertolak dari pengertian tentang otonomi, maka isi dari otonomi itu sendiri adalah pemberian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana pemberian kewenangan tersebut haruslah dijalankan sesuai dengan UU. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi dilakukan dengan menggunakan pendekatan “Residu”, yakni menentukan terlebih dahulu kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi. Kewenangan Pemerintah Propinsi sebagian diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dengan menggunakan pendekatan formal, yakni adanya kebebasan mengurus dan mengatur segala sesuatu yang dianggap penting bagi ekssistensi daerahnya, asalkan tidak mencakup urusan yang talah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi yang telah diatur dalam suatu produk hukum tertentu.
2. Pembagian Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua Dalam Undang-Undang ini, ditetapkan kewenangan Pemerintah Pusat mencakup urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan monoter dan fiskal, peradilan, agama serta kewenangan tertentu dibidang lain (kebijakan tentang
15
Bonai Sandhi, Makna pengibaran Bendera Bintang Kejora bagiPemerintah dan UKSW, 2010.
Masyarakat Papua, FH.
perencanaan
dan
pengendalian
pembangunan
nasional
secara
makro,
dan
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan Sumber Daya Manusia, pendayagunaan Sumbar Daya Alam serta teknilogi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional). Mengingat Undang-Undang ini bersifat khusus, maka semua kewenangan Pemerintah Pusat tersebut dilaksanakan dengan kekhususan dengan kekhususan di Propinsi Papua. Beberapa kekhususan dalam pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat yang dimaksud antara lain :
a. Bidang Politik Luar Negeri
Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Propinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Propinsi Papua dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan diluar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. Bidang Pertahanan dan Keamanan
Gubernur berhak berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertanahan di Propinsi Papua.
Kebijakan mengenai keamanan di Propinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisisan Daerah Propinsi Papua kepada Gubernur.
Hal-hal mengenai tugas kepolisian dibidanbg ketertiban dan ketentraman masyarakat di Propinsi Papua, termasuk pembiayaannya, diatur dengan Perdasi
dan dipertanggungjawabkan Kepala Kepolisian Daerah Propinsi Papua kepada Gubernur.
Pengankatan Kepala Kepolisian Daerah Propinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesian atas persetujuan Gubernur Propinsi Papua
c. Bidang Moneter dan Fiskal
Propinsi Papua dapat menerima bantuan Negari setelah memberitahukan kepada Pemerintah.
Data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan Negara bukan pajak yang berasal dari Propinsi Papua disampaikan kepada Pemerintah Propinsi dan DPRD setiap tahun anggaran.
d. Bidang Peradilan
Pengakuan adanya peradilan adat dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Pengankatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Propinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
e. Bidang Agama
Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga kerja asing bidang keagamaan di Propinsi Papua kepada Gubernur Propinsi Papua.
C. Hukum Adat, Masyarakat Adat dan Peradilan Adat
1. Hukum Adat
Hukum adat yang merupakan hukum kebiasaan harus dibedakan dari hukum agama, namun mengandung unsur regionalitas. Van Vollen Hoven menyatakan bahwa salah satu cirri hukum adat adalah ciri hukum adat adalah sifat regionalitasnya. Van Vollenhoven berpendapat bahwa hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi. Pengertian istilah adat pelaksanaa putusan peradilan adat ditetapkan dalam sidang adat dengan persetujuan para pihak. Menurut Van Vollenhoven adalah kebiasaan yang sangat religious dan yang bersifat komunal. Kebiasaan tersebut terdiri dari tingkah laku-tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang sudah sepatutnya untuk dilakukan oleh masyarakat.16 Dengan demikian Hukum adat adalah aturan atau norma tidak tertulis dan hidup didalam masyarakat adat, mengatur, mengikat, dan dipertahankan serta memiliki sanksi. Perkembangan hukum adat tidak tergantung pada Pemerintah. Hukum adat dibangun dengan tujuan mempertahankan nilai, prinsip norma tertentu yang dianggap masih patut dipertahankan oleh Masyarakat adat. Dalam hukum adat Prof. Ter Haar mengemukakan teori keseimbangan, dan teori yang dimaksudkan adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan tenaga-tenaga gaib, tanah, dan harta benda agar hidup menjadi makmur dan harmonis. Manusia dan masyarakat merupakan titik-titik pusat dari suatu kompleks perhubungan-perhubungan dari semua elemen kehidupan. Dititik pusat itulah terjilah proses kearah kepribadian (individualiseringprocess). Kepribadian
16
Artikel Peradilan Adat :Membangun Asas Peradilan Adat 09/09/2014 ; 9:29PM
ini mencakup kepribadian masyarakat maupun individu dalam lingkaranlingkaran manusia tanah-harta (MTH)17. Kesadaran bahwa masyarakat dan individu beserta segala sesuatu disekelilingnya merupakan satu kesatuan yang berproses atau berkembang bersama-sama menghasilkan cara berpikir sebagai berikut:
Setiap subyek (MTH) di dalam persekutuan diberi nilai dan penghargaan yang sama, kekayaan kebendaan dan kekayaan batin dapat dipertukarkan untuk memperbaiki keseimbangan yang sudah terganggu.
Setiap sebyek yang berpikir, maka ia berpikir dalam masyarakat. Pemikiran dan pendapat seorang bernama Bambang dalam masyarakat Selopamioro misalnya, maka pemikirannya itu merupakan resultante daripada cara berpikir sebagai bagian atau anggota dari masyarakat itu dan sekaligus mewakili pandangan masyarakat (representations collectives).
Representasi pemikiran kolektif yang disebutkan di nomor terdahulu (ii) diterapkan pula ke dalam setiap peristiwa kehidupan, misalnya pelanggaran atau delik. Anggota masyarakat sadar bahwa ia / mereka wajib mengganti nilai yang terganggu itu untuk mempertahankan diri, jika lingkungan / persekutuan hidupnya terganggu. Pemikiran yang demikian oleh Prof. Terr Haar disebut reciprociteitsidee (van Dijk / Soehardi, 1964 : 116 )
17
http://www.academia.edu/7003414/Natal_Kristiono_S.Pd._M.H._Materi_Hukum_Adat_dari_berbagai_sumber download : selasa, 16 juni 2014: 8:10
Berdasarkan ketiga pemikiran diatas, yang dapat disebutkan sebagai dalil logika Prof. Ter Har, maka Ter Har menyampaikan pokok pikirannya tentang delik adat sebagai berikut :
Penuntutan
pembayaran
(ganjaran)
delik
dimaksudkan
untuk
mengembalikan keseimbangan kosmis (MTH).
Berdasarkan jalan pikiran itu (i) Ter Har mengartikan delik (adat) sebagai perbuatan merusak keseimbangan yang dilakukan oleh satu pihak dan yang sebelumnya itu tidak disetujui secara tegas atau secara diam-diam oleh pihak lain.
Dalam delik dan pembalasan atau pembayaran terjalin unsur yang bersifat sangat pribadi dari masyarakat yakni rasa malu, tak senang hati, marah, dendam, benci-membenci, dan sebagainya.
2. Masyarakat Adat
Masyarakat tradisional atau masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun disuatu wilayah adat, yang memilikikedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial yang diatur oleh hukum adat atau lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakat. Hak-hak masyarkat adat yakni18 : a. Menjalankan sistem pemerintahan sendiri
18
Artikel Peradilan Adat : Pengelolaan Hutan Mukim dan Persiapan Masyarakat Adat 10/09/2014; 20:44
b. Menguasai dan mengelola sumber daya alam dalam wilayahnya terutama memberi manfaat bagi warganya c. Bertindak kedalam mengurus dan mengatur warga dan lingkunganya d. Hak ikut serta dalam transaksi yang menyangkut dengan lingkungannya e. Hak membentuk adat f. Hak membentuk dan menyelenggrakan peradilan adat
Masyarakat tradisonal atau masyarakt adat didaerah biasanya memiliki tradisi hukum yang kuat berdasarkan hukum adatnya dalam memecahkan masalah yang terjadi dalam lingkungannya. Hal ini merupakan realitas dimana tradisi atau custom masih berlaku dibanyak tempat. Ini juga merupakan relaitas dimana perubahan masyarakat kadang kala terbentur dengan batas wilayah, dan hal ini juga merupakan kenyataan dimana terdapat daerah-daearah yang masih steril dari keberlakuan hukum formal. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan menjelasakan secara rinci berkatain dengan masyarakat adat yakni :keberadaan masyarakat adat diakui dengan memenuhi unsur antara lain19 : a. Masyarakat Adat masih dalam bentuk paguyuban b. Ada lembaga dalam bentuk perangkat penguasa adat c. Ada wilayah hukum adat yang jelas
19
Artikel Peradilan Adat : Posisi Peradilan Adat Dalam RUU KUHAP : 9/10/2014: 21:20
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati e. Masih mengadakan pungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hedar Laudjeng mengatakan : dimana ada masyarakat adat disitu ada peradilan adat, ungkapan tersebut mengikuti ungkapan yang sangat terkenal dalam kajian hukum yang diperkenalkan oleh Tullius Cicero(106-43 SM) Ubi Societas Ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Ungkapan itu kemudian dikembangkan dan berlaku juga kepada masyarkat adat “Dimana ada masyarakat adat disitu ada peradilan adat”, karena setiap hukum membutuhkan peradilan, bagaimanapun sederhana bentuknya, termasuk pada masyarakat adat.20 Adanya masyarakat adat maka ada aturan-aturan adat dan juga sanksi adat yang demikian juga membentuk peradilan adat yang dipimpin oleh para pemangku adat atau dewan adat.
3. Peradilan Adat
Pada masa penjajahan Belanda (tak semua dijajah), pengakuan atas peradilan adat di sejumlah tempat di Kepulauan Melayu atau Kepulauan Indian atau India Belakang atau India Timur atau India (Hindia) Belanda ini diberikan melalui
20
Artikel Peradilan Adat : Kedudukan Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Nasional 09/09/2014 ;20:20
berbagai Statblad (Stb). Dalam buku Sejarah Peradilan dan PerundangUndangannya di Indonesia Sejak 1942: Dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia (1983), Sudikno Mertokusumo memaparkan secara gamblang hal ini.21
Sudikno menyebutkan beberapa pengakuan tersebut, seperti Stb. 1881 Nomor 83 untuk Aceh Besar, Stb. 1886 Nomor 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb. 1889 Nomor 90 untuk daerah Gorontalo, Stb. 1906 Nomor 402 untuk Kepulauan Mentawai, Stb. 1908 Nomor 231 untuk Hulu Mahakam, Stb. 1908 Nomor 234 untuk daerah Irian Barat, dan Stb. 1908 Nomor 269 untuk daerah Pasir.
Pada 1932, tepatnya tanggal 18 Februari, pemerintah Belanda mengeluarkan Stb. 1932 Nomor 80 yang mencabut dan menggantikan berbagai ketentuan atau Stb. yang memberikan pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-daerah di atas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah baru. Pasal 1 Stb. 1932 Nomor 80 menyatakan pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-daerah yang disebutkan, dengan pelaksana peradilannya adalah hakim dari masyarakat pribumi. Pemberlakuan peraturan baru ini dilakukan secara bertahap. Untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur dimulai pada 1 April 1934 dengan Stb. 1934 Nomor 116 dan Stb. Nomor 340, untuk Aceh pada 1 Oktober 1934 dengan Stb. 1935 Nomor 465, untuk Kalimantan Barat dan Maluku pada 1 Januari 1936 melalui Stb. 1936 Nomor 490 dan pada 1 Januari 1937 untuk Bali dan Lombok. Sedangkan peradilan adat di Irian Barat (Papua) dimuat dalam Ordonantie op de Inheemse
21
http://lenteratimur.com/memartabatkan-kembali-hukum-adat/download : Selasa, 16 Juni 2014: 3:52
Rechtspraak in Rechtstreek Bestuurd Gebeid S. 1932 Nomor 80 dan Inheemse Rechstpraak Verordening Molukken Jav. Crt. 24 September 1935 Nomor 77, Extra Bijvoegsel Nomor 57.22
Pada 1935, melalui Stb. 1935 Nomor 102, disisipkan pasal 3a ke dalam Rechterlijke Organisatie (RO). Dengan disisipkannya pasal ini, muncullah peradilan desa yang merupakan bagian dari peradilan adat. Karena itu, hadirlah dua bentuk peradilan untuk pribumi, yaitu “peradilan adat” dan “peradilan desa”. Antara keduanya sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Peradilan desa umumnya terdapat di hampir di seluruh masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial. Namun peradilan adat ditemukan pada masyarakat yang bersifat teritorial maupun genealogis.
Pada zaman penjajahan Jepang (tak semua negara dijajah), keberadaan peradilan swapraja dan peradilan adat tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1942. Akan tetapi, untuk Sumatera, kedua-duanya dengan tegas dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan oleh pasal 1 Sjihososjiki-rei (UndangUndang Tentang Peraturan Hakim dan Mahkamah) yang dimuat dalam Tomi-seireiotsu Nomor 40 tanggal 1 Desember 1943. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1944.
Pengadilan-pengadilan adat, yang berdasar staatsblad 1932 No 80 setelah diubah oleh Stbl 1938 No. 264 dan 370, dan atas pasal-pasal 1 dan 12 Reglemen Kalimantan Timur Besar, 1 Reglemen Pengadilan Indonesia Timur, 2 Voorlopig 22
http://lenteratimur.com/memartabatkan-kembali-hukum-adat/ Selasa, 16 Juni 2014: 3:52
Rechtreglement, 2 Voorlopige Regeling Rechtswezen, 1 dan 2 Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 1 tahun 1950 Juncto Undang-Undang No. 8 tahun 1950 dan pasal 101, 102 dan 142 Undang-Undang Dasar Sementara, selain dari tidak mencukupi syarat-syarat yang Undang-undang Dasar Sementara menuntut dari suatu alat perlengkapan pengadilan, juga tidak diingini lagi oleh seluruh
rakyat
yang
bersangkutan
yang
berulang-ulang
telah
mohon
penghapusannya.23
a. Alat-alat Pelengkapan dan Tugasnya dalam Persekutuan Hukum Dalam setiap persekutuan hukum terdapat banyak hal yang perlu diurus. Untuk keperluan itu, dibutuhkan alat perlengkapan. Tidak cukup bahwa itu semua diatur apalagi dilengkapi oleh Negara. Sering tidak disadari bahwa bahwa banyak urusan dapat selesai dan itu adalah berkat adat yang hidup dalam masyarakat. Tetapi kiranya apa yang diistilahkan oleh Eugen Ehrlich sebagai das lebende Recht atau the living law itu. Dalam uraian ini akan disampaikan sampel dari beberapa lingkaran hukum adat berkenaan dengan alat perlengkapan itu. Ada 4 sifat umum alat perlengkapan persekutuan hukum di Indonesia :
Pemerintah dalam persekutuan hukum Indonesia di pelbagai tempat terletak di tangan beberapa pembesar, kepala desa, kepala nagari, kepala urung, kepala negorai, kepala suku dan seterusnya. Di antara kepala-kepala itu, biasanya ada seseorang atau lebih yang terhitung paling tinggi.
23
http://lenteratimur.com/memartabatkan-kembali-hukum-adat/ Selasa, 16 Juni 2014: 3:52
Putusan penting dalam perkara-perkara umum diambil dalam satu rapat oleh semua warga persekutuan, ada kalanya dibatasi pada orangorang baku, dan laki-laki yang sudah kawin. Seperti biasa, dalam rapat-rapat seperti itu, warga persekutuan yang terkemuka lebih banyak bersuara dan berpengaruh.
Dalam hal-hal umum yang penting, para kepala pengambil keputusan akhir melakukan pembicaraan pendahuluan dan lobi-lobi dengan para pemimpin tingkat bawah. Karena itu, pendapat umum benar-benar terakomodasi
Pengangkatan kepala (adat) dan pembantunya didasarkan pada syaratsyarat yang ketat. Para ahli waris mendapatkan priorita. Apabila ahli waris pertama tak memenuhi syarat, ia diganti atau dilompati oleh adiknya dan seterusnya.
b. Delik Adat Menurut pemahaman masyarakat dalam persekutuan-persekutuan atau tertib adat, delik adalah setiap gangguan keseimbangan dari satu pihak, setiap pelanggran dari satu pihak terhadap kekayaan-hidup materiil ataupun bukan materiil(kekayaan batin) dari seseorang ataupun sejumlah manusia yang
merupakan
suatu
kesatuan
(suatu
golongan);
perbuatan
demikian
menghendaki suatu reaksi dan sifat-sifat besarnya reaksi itu diterapkan oleh hukum ada, suatu reaksi adat dan reaksi itu(biasanya suatu penebusan delik dengan barang ataupun uang) dapat dan harus memperbaiki keseimbangan itu kembali.24 Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam definisi itu adalah sebagai berikut :
Terjadinya gangguan terhadap keseimbangan atau pelanggaran terhadap :
Kekayaan-hidup materiil atau nonmateriil dari:
Seseorang atau kelompok yang bergabung dalam suatu kesatuan;
Perbuatan itu menghendaki reaksi yang sifat dan besarnya berlaku dalam hukum adat
Perbuatan itu menghendaki penebusan dalam bentuk barang atau uang, dengan tujuan :
Memperbaiki keseimbangan yang sudah terganggu.
D. Peradilan Adat Papua
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum
24
http://www.academia.edu/7003414/Natal_Kristiono_S.Pd._M.H._Materi_Hukum_Adat_dari_berbagai_sumber download : selasa, 16 juni 2014: 8:10
adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.25
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
25
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_khusus_Papua download: selasa, 16 juni 2014:4:16AM
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.26
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
26
http://books.google.co.id/books?id=lq8xNB9Fro8C&pg=PA165&lpg=PA165&dq=Kekuasaan+keh: kehakiman+di+Provinsi+Papua+dilaksanakan+oleh+Badan+Peradilan+sesuai+dengan+peraturan+perundangundangan. Download : Selasa, 16 Juni 2014: 4:25
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
Kekuasaan Peradilan berdasarkan Pasal 50 dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua menjelaskan kekuasaan peradilan mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan lain yang diakui dalam peraturan perundang-undangan.
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
Kekuasaan Peradilan berdasarkan Pasal 50 dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua menjelaskan kekuasaan peradilan mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan lain yang diakui dalam peraturan perundang-undangan.
Peradilan adat di Papua diatur berdasarkan Peraturan Khusus Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat Papua Perdasus ini adalah pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberian Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua
Pengakuan dan Penghormatan tersebut tidak hanya terhadap identitas sosial budaya, tetapi juga terhadap eksistensinya sebagaisubjek hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 18B Ayat (2) UUD1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan masyarakat danprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang27. Jaminan konstitusional merupakan dasar hukum yang sangat kuat bagi kesatuan masyarakat hukum adat. Namun, untuk dapat tetap bertahan dan eksis tentu diperlukan upaya revitalisasi, baik oleh negara melalui instrumen hukum, upaya secara akademis, maupun upaya nyata terhadap kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri.
Salah satu kekhususan otonomi bagi Provinsi Papua adalah adanya penyelenggaraan pengadilan adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8) UU Otsus. Pada kenyataannya kehidupan
masyarakat
adat
di
Papua
masih
terus
memberlakukan,
mempertahankan dan tunduk pada pengadilan adatnya masing-masing terutama dalam penyelesaian perkara adat yang terjadi diantara sesama warga masyarakat hukum adat. Kenyataan ini makin diperkuat dengan pengaturannya dalam Perdasus Peradilan Adat. Berangkat dari uraianuraian latar belakang diatas, bahwa sudah saatnya dilakukan penelitian yang mendalam untuk mengkaji secara kritis mengenai pelaksanaan fungsi lembaga peradilan adat.
27
Moh. Mahfud. MD, 2010, Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat Dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong Globalisasi, Seminar Awig-Awig II, Bali, 30 September 2010, hlm. 4