5
TINJAUAN PUSTAKA Campylobacter jejuni Taksonomi dan nomenklatur dari genus Campylobacter diperbaharui pada tahun 1991. Genus Campylobacter memiliki 16 spesies dan 6 subspesies (Ray & Bhunia 2008). Campylobacter merupakan bakteri Gram negatif (OIE 2008). Karakteristik morfologi dari genus Campylobacter berukuran sangat kecil (lebar 0.2-0.5 μm dan panjang 0.5-5 μm), tidak membentuk spora, merupakan bakteri yang bersifat mikroaerofilik yaitu dapat tumbuh optimal dengan kadar oksigen rendah. Semua Campylobacter tumbuh dengan baik pada media pertumbuhan dengan pH 5.5-8.0, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan C. jejuni yaitu pada kisaran 6.5-7.5 dan tidak tumbuh pada pH 4.9 (Stern et al. 1992, diacu dalam Abdy 2007). Tiga spesies utama dari genus Campylobacter yang bersifat termofilik adalah C. jejuni, C. lari, dan C. coli, dibedakan dengan spesies lain karena kemampuannya tumbuh pada suhu 42-43 oC (Evans 2001). Menurut Staley et al. (2000) taksonomi Campylobacter jejuni yaitu: Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Proteobacteria
Class
: Epsilonproteobacteria
Order
: Campylobacterales
Family
: Campylobacteraceae
Genus
: Campylobacter
Species
: Campylobacter jejuni
Campylobacter jejuni bersifat motil, bergerak dengan sebuah flagel polar, oksidasi positif, dan tidak dapat membentuk spora (Jawetz et al. 2007). Campylobacter jejuni tumbuh pada media dengan kadar oksigen rendah (5-10%) seperti Campylobacter lainnya. Pertumbuhannya memerlukan waktu 2 sampai 4 hari terkadang lebih dari satu minggu. Struktur Campylobacter memiliki komponen yang ditemukan pada struktur bakteri Gram negatif lain seperti membran luar dan lipopolisakarida (LPS). Bakteri ini tidak dapat memecah karbohidrat tetapi menggunakan asam amino dan metabolisme intermediet untuk energinya, hal tersebut membedakannya dengan Vibrio (Ryan & Ray 2004).
6
Gambar 1 Morfologi C. jejuni secara mikroskopik (Miller 1997).
Campylobacter jejuni biasanya tidak dapat tumbuh dengan baik pada bahan pangan sehingga untuk mendeteksi adanya kontaminasi bakteri ini diperlukan media cair yang telah diberi enrichment terlebih dahulu, kemudian dilakukan subkultur pada media agar yang telah ditambah dengan 5% darah kuda. Inkubasi dapat dilakukan pada suhu 37 °C selama 4 sampai 6 jam kemudian diteruskan inkubasinya pada suhu 42 °C. Inkubasi dilakukan pada kondisi mikroaerofilik yaitu 5% oksigen, 10% karbondioksida, dan 85% nitrogen (Andriani et al. 2006). Sifat biakan merupakan hal penting dalam isolasi dan identifikasi C. jejuni. Cara untuk mendapatkan lingkungan inkubasi dengan kondisi mikroaerofilik yaitu dengan menyimpan media pada tabung anaerob tanpa katalis dan memberi gas dengan pembangkit gas atau penukaran gas. Inkubasi media harus dilakukan pada suhu 42 OC. Meskipun C. jejuni tumbuh baik pada suhu 36-37 OC, inkubasi pada suhu 42 OC akan menghambat pertumbuhan banyak bakteri lainnya yang ada di feses, sehingga akan memudahkan identifikasi C. jejuni. Koloni yang terbentuk cenderung tidak berwarna atau abu-abu. Koloni ini berair, meluas atau bulat, dan konveks. Kedua tipe koloni dapat muncul pada pelat agar (Jawetz et al. 2007). Sediaan apus yang diwarnai dengan pewarnaan Carbon Fuchsin menunjukkan morfologi yang khas. Reduksi nitrat, pembentukan hidrogen sulfida, tes hipurat, dan kepekaan terhadap antimikroorganisme dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies ini lebih lanjut (Jawetz et al. 2007).
7
Campylobacter jejuni tidak tumbuh di luar tubuh inang, namun dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama di air (Newell 2002). Bakteri ini mati pada suhu pasteurisasi dan sangat sensitif dalam kondisi asam. Pada suhu beku, C. jejuni mampu bertahan lama namun kelangsungan hidupnya menurun, sehingga bakteri ini dapat bertahan dalam produk unggas hingga beberapa bulan (Songer & Post 2005).
Patogenesa Jalur transmisi dari infeksi C. jejuni pada manusia dapat terjadi melalui berbagai cara diantaranya melalui makanan (misalnya susu yang tidak dipasteurisasi), minuman (misalnya air terkontaminasi), kontak dengan hewan yang terinfeksi (unggas, anjing, kucing, domba, dan babi), atau feses hewan yang mencemari makanan yang tidak dimasak dengan baik. Campylobacter jejuni peka terhadap asam lambung. Infeksi dapat terjadi hanya dengan memakan 104 sel. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah organisme yang diperlukan pada infeksi Salmonella dan Shigella tetapi lebih sedikit daripada yang diperlukan oleh infeksi Vibrio pada manusia (Jawetz et al. 2007). Campylobacter jejuni melakukan penetrasi pada membran mukosa usus halus dan usus besar. Campylobacter jejuni melekat pada sel epitel dengan bantuan fibronectin-binding protein (CADF), lipoprotein (JlpA), dan Peb1A. Faktor perlekatan atau adhesin lainnya untuk mengikat C. jejuni terhadap sel-sel epitel adalah flagellin, pili, dan lipopolisakarida (LPS). Sel epitel memungkinkan bakteri untuk menempati tempat yang tahan terhadap pembersihan usus, seperti aliran fluida dan peristaltik (Joens 2004). Campylobacter jejuni berkembang biak di usus kecil, menginvasi epitel
kemudian menyebabkan radang yang mengakibatkan munculnya sel darah merah dan darah putih pada tinja. Campylobacter jejuni masuk ke dalam aliran darah sehingga timbul gejala klinik seperti demam enterik. Invasi jaringan yang terlokalisasi
serta
aktivitas
toksin
menyebabkan
timbulnya
enteritis.
Campylobacter jejuni memiliki lipopolisakarida dengan aktivitas endotoksik. (Jawetz et al. 2007).
8
Campylobacteriosis pada Ayam Ayam dianggap sebagai salah satu sumber utama campylobacteriosis (Kapperud et al. 1992). Spesies utama dari genus Campylobacter yang ditemukan pada ayam adalah C. jejuni dan C. coli. Infeksi C. jejuni tidak mempengaruhi nafsu makan ayam. Menurut Pisestyani (2010), infeksi C. jejuni tidak mengurangi konsumsi kumulatif dan tidak mengurangi nafsu makan ayam, tetapi mengurangi berat badan yang seharusnya dicapai. Infeksi C. jejuni dapat ditemukan sejak ayam berumur 7 hari (Evans 2001). Ayam yang mengalami campylobacteriosis tidak memiliki gejala yang patognomonis. Gejala yang terlihat adalah gejala yang berhubungan dengan saluran pencernaan seperti diare, sedangkan gejala lainnya tidak tampak. Diare terjadi karena kerusakan pada epitel usus sehingga tidak dapat menyerap cairan. Diare dan diare berdarah terlihat pada hari ke-2 pasca infeksi (Pisestyani 2010). Manusia dapat terinfeksi Campylobacter karena mengonsumsi daging ayam yang dipanaskan secara tidak benar atau kontaminasi silang Campylobacter saat persiapan (Potter et al. 2003). Salah satu penilaian risiko pada daging ayam menunjukkan bahwa isi saluran pencernaan dapat mengontaminasi karkas selama proses pengolahan. Menurut Berrang et al. (2004), jumlah feses yang sedikit pun dapat menjadi sumber kontaminasi C. jejuni dalam jumlah yang banyak pada karkas, sehingga perlu penanganan yang baik selama proses pengolahan. Serangga bisa menjadi perantara penyebaran C. jejuni. Lalat merupakan vektor yang dapat menyebarkan C. jejuni di peternakan ayam (Evans 2001).
Penggunaan Antibiotika di Peternakan Ayam Antibiotika mulai dipakai sebagai campuran pakan ternak ayam pada tahun 1950. Penggunaan antibiotika yang dicampurkan ke dalam pakan bertujuan untuk merangsang pertumbuhan dan membasmi penyakit. Dalam dosis yang rendah, antibiotika dapat merangsang pertumbuhan, sedangkan dalam dosis yang tinggi atau optimal antibiotika tersebut mampu membasmi infeksi penyakit. Berbagai jenis antibiotika yang biasanya digunakan dalam campuran pakan ialah tetramisin, bacitrasin, spiramisin, dan lain-lain (Sudarmono 2003).
9
Penggunaan antibiotika dalam usaha peternakan ayam dewasa ini semakin populer, bahkan sudah berlebihan. Penggunaan antibiotika dirasakan mempunyai peranan penting dalam merangsang dan sekaligus memperbaiki efisiensi dalam penggunaan pakan. Hasil penelitian di beberapa negara Asia, dilaporkan bahwa penggunaan euramisin terbukti dapat memperbaiki pertumbuhan ayam rata-rata sebesar 6%, meningkatkan efisiensi pakan sebesar 3%, dan menurunkan kasus diare berdarah sebesar 3-6% (Murtidjo 2008). Antibiotika apabila digunakan secara tidak tepat akan menimbulkan sifat kebal atau resistensi dari mikroorganisme, sehingga penggunaan antibiotika yang berlebihan
dapat
menghambat
pengendalian
atau
pengobatan
penyakit.
Penggunaan antibiotika merupakan usaha terakhir untuk tujuan pengobatan atau meningkatkan keuntungan (Murtidjo 2008). Dampak negatif penggunaan antibiotika dalam waktu yang lama adalah meningkatkan kejadian mutasi pada kromosom, sehingga menghasilkan modifikasi jenis bakteri baru. Jenis bakteri ini kemungkinan kebal terhadap antibiotika. Bakteri-bakteri patogen cenderung menjadi kebal terhadap khasiat antibiotika. Oleh karena itu, para peternak ayam harus hati-hati dan selektif dalam memilih dan menggunakan antibiotika (Murtidjo 2008).
Karakteristik Ayam Broiler Ayam ras pedaging (ayam broiler) merupakan ras unggulan hasil persilangan berbagai ras ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Ayam broiler ini populer di Indonesia sejak tahun 1980-an (Rasyaf 2008). Pertumbuhan ayam broiler pada saat masih bibit tidak selalu sama. Ada bibit yang masa awalnya tumbuh dengan cepat tetapi di akhir biasa-biasa saja atau sebaliknya. Pertumbuhan bibit yang cepat di masa awal lebih sering terjadi dan hal tersebut memang baik untuk kondisi di Indonesia yang umumnya memasarkan ayam pada umur 4-5 minggu karena sangat membantu manajemen peternakan dalam mencapai sasaran yang telah direncanakan (Rasyaf 2008). Pertumbuhan yang cepat dipengaruhi oleh konsumsi ransum yang banyak, terlebih ayam broiler termasuk ayam yang senang makan. Bila ransum diberikan
10
tidak terbatas atau ad libitum, ayam broiler akan terus makan hingga kekenyangan. Oleh karena itu, sebaiknya setiap bibit ayam sudah ditentukan taraf konsumsi ransumnya pada batas tertentu sehingga kemampuan prima ayam akan muncul. Konsumsi inilah yang kemudian disebut sebagai konsumsi standar yakni sesuai dengan arah pembentukan bibit. Pemberian ransum ada yang lebih banyak di masa awal sedangkan di masa akhir biasa saja atau sebaliknya (Rasyaf 2008). Keunggulan ayam broiler akan terbentuk bila didukung oleh lingkungan dan pakan yang tepat, karena sifat genetis saja tidak menjamin keunggulan bisa segera terlihat. Pakan yang dimaksud adalah menyangkut kualitas dan kuantitasnya. Pertumbuhan yang sangat cepat tidak akan tampak apabila tidak didukung dengan pemberian ransum yang mengandung protein dan asam amino seimbang sesuai kebutuhan ayam. Ransum juga harus memenuhi syarat kuantitas karena jumlah ransum yang dimakan berkaitan dengan jumlah unsur nutrisi yang harus masuk ke dalam tubuh ayam, misalnya ransum berbau tengik atau peternak salah menimbangnya maka jumlah unsur nutrisi yang masuk dan diserap tubuh ayam menjadi berkurang (Rasyaf 2008). Ayam broiler akan tumbuh optimal pada suhu lingkungan 19-21 oC. Suhu lingkungan yang terlalu panas akan membuat ayam lebih memilih banyak minum daripada makan, tujuannya adalah mengurangi beban panas. Hal ini mengakibatkan sejumlah unsur dan keperluan nutrisi utama bagi ayam tidak terpenuhi sehingga keunggulan ayam menjadi tidak tampak (Rasyaf 2008). Feed Conversion Ratio Ayam broiler adalah ayam penghasil daging yang dipelihara sampai umur 56 minggu dengan berat 1.5-2.0 kg. Konversi pakannya berkisar 1.48-1.62 (±1.54) (Beer et al. 2011). Feed conversion ratio (FCR) atau konversi pakan merupakan perbandingan jumlah konsumsi pakan yang dihabiskan dengan rata-rata bobot badan pada umur yang sama (untuk ayam broiler) (Leeson & Summers 2005). Konversi pakan ayam broiler = jumlah konsumsi pakan pada umur yang sama(kg) jumlah bobot badan pada umur yang sama (kg) Konversi ransum melibatkan pertumbuhan ayam dan konsumsi ransum. Harapan yang dikehendaki peternak adalah pertumbuhan yang cepat walau hanya dengan makanan yang sedikit. Hal ini mencerminkan efisiensi penggunaan pakan
11
yang baik. Pertumbuhan yang cepat bermakna bahwa ayam diusahakan sesuai dengan ambang batas genetisnya, sedangkan dari segi bisnis berarti waktu jual semakin cepat dicapai. Konversi ini selalu diperbaiki dari masa ke masa oleh para peternak sesuai dengan kemampuan genetis ayam dan ditunjang dengan lingkungan yang baik. Oleh karena itu, angka konversi sebaiknya diusahakan rendah (Rasyaf 2008). Efisiensi pakan semakin besar berarti semakin baik, sedangkan konversi pakan semakin kecil berarti semakin baik, artinya dengan konsumsi pakan yang sedikit dapat menghasilkan daging yang maksimal.
Case Fatality Rate Case fatality rate didefinisikan sebagai jumlah kematian yang terjadi dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah kejadian dalam waktu tertentu dikalikan seratus persen (Yuwanta 2008). Case fatality rate dapat digunakan untuk mengetahui distribusi penyakit dan tingkat kematian yang diakibatkan oleh suatu penyakit, sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat untuk menanggulanginya (Budiarto & Anggraeni 2001). CFR = jumlah kematian akibat penyakit X dalam waktu tertentu X 100 jumlah kasus penyakit X dalam waktu tertentu