PREVALENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI PADA KARKAS AYAM DAN PENGEMBANGAN UJI DETEKSINYA
ANDRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: Prevalensi Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012 Andriani B 261070021
ABSTRACT ANDRIANI. Prevalence of Campylobacter jejuni from Chicken Carcasses and Developing Detection Method. Under direction of MIRNAWATI SUDARWANTO, SURACHMI SETIYANINGSIH, and HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM. Chicken meat and eggs are the main source of animal protein in Indonesia because they are relative cheaper than cattle products. Campylobacter jejuni is a foodborne zoonotic pathogen predominantly found in chicken carcasses. C. jejuni causes gastroenteritis in humans, had a very low infectious dose that is easy to cause infection in humans. The study was aimed to (1) rapidly detect C. jejuni contamination in chicken carcass (2) determine the prevalence of contamination and quantitative analyse of the risk of thermophilic Campylobacter sp. when mishandling consume. (3) produce immune sera against the local isolates that can be used as a reagent for ELISA. A total of 298 chicken carcass samples sold in modern and traditional markets in the area of Jakarta, West Java (Bogor and Sukabumi) and Central Java (Kudus and Demak) were collected and attempted for isolation following ISO/ DIS 10272-1994 protocol, identification using biochemical API Campy, and polymerase chain reaction (PCR) assay using hipO, glyA, fla, and 23S rRNA primer sets for species identification. The result is chicken carcasses sold in the sampling area both traditional markets and supermarkets are contaminated with C. jejuni and C. coli. Prevalence of Campylobacter sp. contamination on chicken carcasses was isolated by conventional (19.8%) and PCR (41.6%). The contamination rate of Campylobacter sp. on chicken carcasses sold in supermarkets, markedly 14.09% is higher than in traditional markets 5.70%. It is also confirmed that the prevalence for contamination of C. jejuni was higher than C. coli. Prevalence of C. jejuni contamination that sold in traditional markets 88.23% was higher than C. coli 11.76%. The prevalence of C. jejuni contamination in carcasses sold in swalayan was 78.57%. These were higher than contamination of C. coli that was identified by conventional methods 21.42%. Flagella and whole cell antigen purification from a local isolate of C. jejuni (C1) was done by glycine extraction and produced flagellar protein of 31 kDa. Animal immunization against flagellar protein extract induced higher specific antibody titers in chicken than rabbits and sheep. A probability model describing variability but not uncertainty was developed in betapoisson model. The result is microorganism reduction 2 log cfu/gram and the output sof the model was the probability of illness per handling if the roasted chicken mishandled is 4 for 1 000 humans. Key words: chicken carcasses, Campylobacter jejuni, antigens, antibody.
RINGKASAN ANDRIANI. Prevalensi Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO, SURACHMI SETIYANINGSIH, dan HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM. Bahan pangan asal ternak seperti daging, susu, dan telur adalah sumber protein hewani. Saat ini kebutuhan bahan pangan asal ternak terutama daging ayam di Indonesia terus meningkat. Selain harganya relatif murah, rasanya yang lezat menjadikannya sangat disukai oleh konsumen. Untuk itu perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan kualitas bahan pangan tersebut. Kontaminasi mikroorganisme pada bahan pangan asal ternak yang kandungan proteinnya tinggi dapat menurunkan kualitas bahan pangan tersebut. Kontaminasi mikroorganisme patogen selain menurunkan kualitas bahan pangan juga merupakan agen foodborne zoonosis. Campylobacter jejuni adalah bakteri patogen yang umumnya mengkontaminasi karkas ayam. Campylobacter sp. memiliki dosis infektif yang sangat rendah sehingga mudah menyebabkan infeksi pada manusia. Campylobacter sp. bersifat mikroaerofilik dan sangat fragile sehingga menyebabkan bakteri ini sulit dikultur meskipun menggunakan media penyubur dan media selektif. Prosedur isolasi dan identifikasi Campylobacter sp. memerlukan waktu yang cukup lama serta harus dilakukan secara intensif melalui beberapa tahapan uji. Untuk mengetahui adanya kontaminasi Campylobacter jejuni pada bahan pangan sehingga dapat memberi keyakinan pada konsumen mengenai keamanan bahan pangan tersebut, maka penelitian ini diperlukan untuk mengurangi kejadian kontaminasi bakteri Campylobacter sp. Sampel berupa karkas ayam diambil dari pasar tradisional dan swalayan di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi), Jawa Tengah (Kudus dan Demak). Isolat C1 hasil isolasi dari karkas ayam yang diambil dari Sukabumi dan telah dikarakterisasi sebagai Campylobacter jejuni digunakan sebagai antigen untuk memproduksi antibodi pada hewan percobaan kelinci, domba, dan ayam. Mengkonsumsi ayam panggang yang dimasak tidak sempurna mempunyai peluang menyebabkan campylobacteriosis pada manusia sehingga dilakukan kajian risikonya. Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui metode yang cepat dan tepat untuk deteksi C. jejuni sebagai kontaminan pada karkas ayam (2) mengetahui prevalensi C. jejuni pada karkas ayam serta kajian risikonya (3) memproduksi antigen isolat lokal dan serum hiperimun Campylobacter jejuni untuk mengembangkan metode ELISA. Prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. pada karkas ayam dilakukan secara konvensional sesuai ISO/DIS 10272-1994. Spesies C. jejuni adalah kontaminan utama karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan pada lokasi pengambilan sampel. Hasil yang diperoleh adalah prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. 59 (19.8%) dimana 48 (81.4%) diidentifikasi sebagai spesies C. jejuni dan C. coli 11 (18.7%). Kontaminasi Campylobacter sp. di pasar swalayan, 42 kasus (14.1%) lebih tinggi jika dibandingkan pasar tradisional 17 kasus (5.7%). Sebanyak 17 isolat positif Campylobacter sp. dari karkas ayam yang dijual di pasar tradisional sebanyak 15 (88.2%) adalah C. jejuni dan C. coli 2 (11.8%), sedangkan 42 sampel dari karkas yang dijual di swalayan 33 (78.57%) adalah C. jejuni dan 9 (21.42%) adalah C. coli.
Identifikasi secara PCR dilakukan menggunakan pasangan primer yang mengkode gen hipO, glyA, fla, dan 23S rRNA. Metode cepat PCR pada penelitian ini dapat digunakan untuk mendeteksi C. jejuni dan C. coli sebagai kontaminan pada daging ayam yang dijual di pasar swalayan dan tradisonal di lokasi pengambilan sampel. Hasil yang diperoleh adalah metode cepat PCR lebih sensitif mendeteksi C. jejuni dan C. coli daripada metode konvensional dengan deteksi minimum C. jejuni 103 cfu/ml, sensitivitas 91.7%, dan spesifitasnya 75.9%. Isolat lokal C. jejuni yang berasal dari karkas ayam di Sukabumi, setelah dikarakterisasi secara PCR dengan gen hipO digunakan sebagai antigen untuk memperoleh antibodi pada hewan percobaan kelinci, domba, dan ayam. Respon antibodi pada hewan percobaan terhadap antigen flagella yang diimunisasikan memperlihatkan respon peningkatan titer antibodi yang lebih tinggi daripada whole cell. Antibodi yang dihasilkan dari serum ayam memberikan respon yang lebih baik jika dibandingkan kelinci dan domba terhadap imunisasi antigen C. jejuni whole cell maupun flagella. Pemurnian antigen C. jejuni isolat lokal (C1) melalui ekstraksi glycin menghasilkan protein flagella dengan berat molekul 31 kDa yang merupakan protein flagella dan bersifat imunogenik. Protein tersebut tidak dapat ditemukan bila diekstraksi menggunakan sarcosinate. Proses pemanggangan ayam secara simulasi menggunakan oven suhu 150 oC selama 30 menit dapat menurunkan 2 log cfu/gram Campylobacter sp. Kajian risiko paparan Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi daging ayam diperoleh dari data survei sehingga diperoleh jumlah kontaminasi Campylobacter sp. yang terdapat dalam satu porsi daging ayam yang berpotensi dan terpapar ketika dikonsumsi. Paparan kontaminasi Campylobacter sp. diperoleh dari data sekunder. Rataan paparan kontaminasi pada karkas ayam yaitu 1.3x103 cfu/100 gram, sedangkan pada ayam panggang adalah 1.23 cfu/ 100 gram. Angka prevalensi kontaminasi diperoleh dari rataan data sekunder di Indonesia dan hasil penelitian yaitu 23.7%. Peluang risiko menderita campylobacteriosis pada manusia dianalisa mengunakan Model Beta poison adalah 4 dari 1 000 orang yang mengkonsumsi ayam panggang, namun hasil tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi kontaminasi karkas ayam sebelum diproses, virulensi mikroorganisme serta faktor kekebalan individu. Kata kunci : karkas ayam, Campylobacter jejuni, flagella, antigen, antibodi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Diseratasi Nama NRP
: Prevalensi Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya : Andriani : B 261070021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto Ketua
drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. Anggota
Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si .
Tanggal Ujian : 21 Juni 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus :
PREVALENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI PADA KARKAS AYAM DAN PENGEMBANGAN UJI DETEKSINYA
ANDRIANI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji luar komisi pada ujian tertutup
: Prof. drh. Roostita Balia, M.App.Sc., Ph.D. Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si.
Penguji luar komisi pada ujian terbuka
: Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto SU, M.Sc. Dr. drh. Hardiman, MM.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan HidayahNya sehingga desertasi berjudul Prevalensi Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya dapat disusun dan diselesaikan. Disertasi ini memuat topik yang merupakan kajian mengenai bakteri patogen Campylobacter jejuni
berikutkajian risiko terhadap infeksinya serta upaya
pengembangan metode ELISA. Tiga topik naskah telah diterima oleh redaksi jurnal terakreditasi. Naskah berjudul “Metode Direct PCR untuk Deteksi Campylobacter sp. pada Daging Ayam.” sudah diterima untuk dipublikasikan pada Jurnal Veteriner ISSN: 1411-8327 Volume 14, No. 1, Edisi Maret tahun 2013. Naskah berjudul “Prevalensi Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli pada Karkas Ayam dari Pasar Tradisional dan Swalayan” sudah diterima untuk dimuat dalam Jurnal Teknologi Industri Pangan dengan Nomor Naskah 49/JTIP/03/12. Naskah berjudul “Kajian Risiko Campylobacter sp. pada Ayam Panggang” sudah diterima dan akan dimuat pada artikel Jurnal Kedokteran Hewan Universitas Syah Kuala Volume 17 No. 1 Edisi Maret Tahun 2013. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Ketua Komisi Pembimbing Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto, atas segala arahan dan bimbingannya selama pendidikan sampai penyelesaian studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang terhormat drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. dan Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.Terima kasih drh. Herwin Pisestyani, M.Si., drh. Rama Prima Syahti Fauzi, M.Si., Ir. Dela Ayu Basuki, dan Ir. Ashari Widhiasmoro atas kerjasamanya selama penelitian. Terima kasih kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner beserta seluruh staf pengajar dan laboran di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Laboratorium Terpadu Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah meluangkan waktu selama penelitian. Terima kasih kepada Prof. drh. Roostita Balia, M.App.Sc., Ph.D. dan Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Prof. Dr.
drh. Bambang Sumiarto SU, M.Sc. dan Dr. drh. Hardiman, MM. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada Dr. Hardiman, MM. selaku Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) beserta peneliti dan teknisi di Laboratorium Bakteriologi BBALITVET, Zakiah Muhajan, SS, M.Hum. selaku pustakawan di BBALITVET atas segala bantuan selama menyelesaikan penelitian. Disertasi ini masih banyak ditemukan beberapa kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan menyempurnakan disertasi ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat secara umum, khususnya di bidang kesehatan masyarakat veteriner.
Bogor, Agustus 2012
Andriani
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak kedua dari 3 bersaudara putri Bapak Drs. Harsojo dan Ibu Endang Tedjowati, dilahirkan di Yogyakarta 13 Juni 1968. Telah memiliki dua orang putra Muhammad Bima Samudera Pratama dan Fachri Muhammad Dananjaya. Pendidikan sekolah dasar sampai menengah dijalani di Sekolah Dasar Negeri Ungaran I Yogyakartapada tahun 1975-1981, Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Yogyakarta pada tahun 1981-1984, Sekolah Menengah Atas Negeri 8 pada tahun 1984-1987. Pendidikan dokter hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM) masuk tahun 1987 hingga mendapat gelar sarjana pada tahun 1991 dan gelar sebagai dokter hewan di peroleh pada tahun 1993. Setelah lulus dari kuliah FKH UGM bekerja pada Puslitbang Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai tenaga honorer sampai tahun 1995. Sejak tahun 1998 hingga saat ini bekerja sebagai peneliti pada Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Pada tahun 2000-2003 mendapat beasiswa pendidikan pascasarjana dari Badan Litbang Pertanian Kementrian Pertanian untuk melanjutkan pendidikan Master (Strata 2) dan tahun 2007 mendapat beasiswa pendidikan Doktor (Strata 3) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………………..
xix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….....
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………..
xxiii
1
2
3
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………….......... 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………....... 1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………....... 1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………..... TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Campylobacter sp. ………………………………………………….. 2.2 Campylobacteriosis pada Manusia …………………………............. 2.2.1 Guillain-Barre Syndrome (GBS) ……………………………… 2.2.2 Reactive Arthritis (ReA) ………………………………………. 2.2.3 Enteritis ……………………………………………………….. 2.3 Kontaminasi Campylobacter sp. ……………………………………. 2.3.1 Infeksi Campylobacter sp. pada peternakan ayam ……………. 2.3.2 Kontaminasi pada tahap proses pengolahan …………………... 2.4 Kajian Risiko Terjangkit Penyakit Tular Pangan …………………... 2.4.1 Identifikasi bahaya …………………………………………….. 2.4.2 Karakterisasi bahaya …………………………………………... 2.4.3 Kajian paparan ………………………………………………… 2.4.4 Karakterisasi risiko ……………………………………………. 2.5 Isolasi dan Identifikasi Campylobacter sp. pada Bahan Pangan Asal Ternak ……………………………………………………………… 2.5.1 Metode konvensional ………………………………………….. 2.5.2 Metode deteksi cepat ………………………………………….. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat ………………………………………………….. 3.2 Bahan ……………………………………………………………….. 3.2.1 Sampel ………………………………………………………… 3.2.2 Media ………………………………………………………….. 3.2.3 Bahan kimia …………………………………………………… 3.2.4 Peralatan ………………………………………………………. 3.3 Metode ……………………………………………………………… 3.3.1 Isolasi dan identifikasi ………………………………………… 3.3.2 Produksi antibodi untuk pengembangan metode ELISA …….. 3.3.3 Kajian risiko …………………………………………………...
1 3 4 4
5 11 14 14 14 17 17 19 21 22 23 25 25 26 26 27
35 35 35 36 37 37 37 37 40 43
4
PREVALENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI DAN CAMPYLOBACTER COLI PADA KARKAS AYAM DARI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN Abstrak ………………………………………………………………. Abstract ………………………………………………………………. Pendahuluan …………………………………………………………. Bahan dan Metode …………………………………………………… Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….. Simpulan ……………………………………………………………... Daftar Pustaka ………………………………………………………..
45 45 46 47 48 55 55
METODE PCR UNTUK DETEKSI CAMPYLOBACTER sp. PADA KARKAS AYAM Abstrak ………………………………………………………………. Abstract ………………………………………………………………. Pendahuluan …………………………………………………………. Bahan dan Metode …………………………………………………… Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….. Simpulan ……………………………………………………………... Daftar Pustaka ………………………………………………………..
59 59 60 61 63 69 69
PRODUKSI ANTIBODI UNTUK PENGEMBANGAN METODE ELISA DETEKSI ANTIGEN CAMPYLOBACTER JEJUNI Abstrak ………………………………………………………………. Abstract ………………………………………………………………. Pendahuluan …………………………………………………………. Bahan dan Metode …………………………………………………… Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….. Simpulan ……………………………………………………………... Daftar Pustaka ………………………………………………………..
73 73 74 75 78 83 83
KAJIAN RISIKO CAMPYLOBACTER SP. PADA AYAM PANGGANG Abstrak ………………………………………………………………. Abstract ………………………………………………………………. Pendahuluan …………………………………………………………. Bahan dan Metode …………………………………………………… Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….. Simpulan ……………………………………………………………... Daftar Pustaka ………………………………………………………..
87 87 88 89 92 98 98
8
PEMBAHASAN UMUM ………………………………………………..
103
9
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………..
117
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
119
LAMPIRAN ……………………………………………………………..
141
5
6
7
DAFTAR TABEL Halaman 1
Famili Campylobacteriaceae ....................................................................
9
2
Bakteri patogen yang diisolasi dari pasien diare di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 1995-2001 ..............................................................
13
3
Primer yang digunakan untuk mendeteksi genus Campylobacter ……...
30
4
Jumlah sampel karkas ayam yang diambil dari sejumlah pasar tradisional dan swalayan ………………………………………………...
36
5
Susunan oligonukleotid primer ………………………………………….
39
6
Isolat Campylobacter sp, C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam yang diperoleh dari pasar tradisional dan swalayan pada tahun 2009-2011 menggunakan metode konvensional …………………………………….
50
Pasangan hasil identifikasi Campylobacter jejuni metode PCR menggunakan primer hipO dan konvensional ..........................................
68
8
Data prevalensi kontaminasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam ...
94
9
Data jumlah cemaran Campylobacter sp. pada 100 gram karkas ayam ..
95
10 Reduksi koloni C. jejuni pada karkas ayam setelah pemanggangan ……
95
11 Perhitungan risiko paparan C. jejuni ……………………………………
96
12 Peluang terjadinya infeksi Campylobacter jejuni ………………………
98
13 Identifikasi Campylobacter sp. yang dideteksi secara PCR …………….
109
7
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Morfologi spesies Campylobacter jejuni ……………………………..........
6
2
Virulensi C. jejuni menyebabkan enteritis …………………………………
16
3
Skema penyebaran infeksi Campylobacter jejuni melalui penanganan, konsumsi karkas ayam, susu tanpa pasteurisasi dan air ……………….......
20
4
Skema kajian risiko Campylobacter sp. dimulai dari peternakan ayam……
25
5
Tahapan keterpaparan Campylobacter sp. pada tahapan penyiapan daging ayam sebelum dikonsumsi …………………………………………………
25
6
Tahapan setiap siklus amplifikasi dalam proses PCR ..................................
28
7
Konsentrasi protein terlalu tinggi dalam larutan coating .............................
32
8
Tahapan kegiatan penelitian ........................................................................
35
9
Tahapan penelitian menentukan kajian risiko ……………………………...
43
10 Jar yang digunakan untuk inkubasi secara mikroaerofilik …………………
49
11 Koloni C. jejuni yang ditumbuhkan pada media CCDA …………………...
49
12 Pemeriksaan mikroskopis menggunakan pewarnaan Gram .........................
50
13 Uji catalase positif isolat lapang C. jejuni………………………………….
50
14 Uji oksidase positif isolat lapang C. jejuni………………………………….
50
15 Uji API campy isolat C. jejuni ....................................................................
51
16 Prevalensi C. jejuni dan C. coli pada pasar tradisional dan swalayan ..........
52
17 Produk PCR menggunakan primer hipO dan glyA yang diseparasi dalam agarose 1% dari dari sampel yang diuji ......................................................
64
18 Hasil PCR menggunakan primer hipO yang diseparasi dalam agarose 1% dari isolat yang berasal dari ATCC C. jejuni dan sampel………………….
65
19 Hasil PCR menggunakan primer glyA dan hipO isolat yang berasal dari sampel dan ATCC C. coli sebagai kontrol positif…………………………
66
20 Jumlah isolat Campylobacter sp. pada karkas ayam yang diambil pada tahun 2009 dan 2011 di isolasi secara konvensional dan PCR .....................
67
21 Sensitivitas uji PCR menggunakan primer hipO dengan besar target gen 323 bp ............................................................................................................
67
22 Memupuk bakteri C. jejuni pada media agar selektif CCDA …………….
78
23 Suspensi antigen C. jejuni ………………………………………………….
79
24 Suspensi hasil panen koloni C. jejuni .……………………………………...
79
25 SDS PAGE antigen yang diperoleh dari ekstraksi glycine ...........................
80
26 Antigen flagella yang diekstraksi sarcosinate………………………...........
81
27 Hasil uji ELISA antibodi kelinci yang diimunisasi antigen C. jejuni whole cell dan flagella …………………………………………………………….
81
28 Hasil uji ELISA antibodi domba yang diimunisasi antigen C. jejuni whole cell dan flagella……………………………………………………………..
82
29 Hasil uji ELISA antibodi ayam yang diimunisasi antigen C. jejuni whole cell dan flagella……………………………………………………………..
82
30 Hasil uji ELISA antibodi kelinci, domba, dan ayam yang diimunisasi antigen flagella C. jejuni isolat lapang C1 …………………………………
83
31 Hasil uji ELISA antibodi kelinci, domba, dan ayam yang diimunisasi antigen whole cell C. jejuni ………………………………………………...
83
32 Hemoragi pada usus kelompok perlakuan yang diinfeksi isolat lokal C. jejuni ……………………………………………………………………….. 33 Hati pada kelompok ayam perlakuan diinfeksi isolat lokal terlihat membengkak disertai adanya perubahan warna pucat dan belang disertai fokal nekrosis …………………………………………………………….
92
92
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Surat Keterangan naskah diterima di Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
143
2
Surat Keterangan naskah diterima di Jurnal Veteriner ……………………..
145
3
Surat Keterangan naskah diterima di Jurnal Kedokteran Hewan …………… 147
4
Naskah berjudul : Gejala Klinis Patologi Anatomi Pasca Infeksi Campylobacter jejuni pada Ayam Broiler …………………………….......... 149
5
Naskah berjudul : Sensitivitas Antibiotika Terhadap Isolat Campylobacter jejuni Asal Karkas Ayam ……………………………………………………
171
1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan pangan asal ternak susu, daging, dan telur merupakan sumber protein dan setiap tahun kebutuhannya semakin meningkat. Saat ini tuntutan masyarakat terhadap kualitas bahan pangan yang akan dikonsumsi juga semakin meningkat. Bahan pangan asal ternak yang kaya protein (merupakan bahan yang mudah rusak) mudah terkontaminasi oleh mikroba baik yang bersifat patogen maupun nonpatogen sehingga mudah rusak. Kontaminasi oleh mikroba pada bahan pangan menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan. Untuk melindungi konsumen di Indonesia terhadap adanya kontaminasi mikroba patogen pada bahan pangan asal ternak telah dicantumkan dalam SNI No. 01-6366-2000 mengenai batas maksimum cemaran mikroba patogen yang direkomendasikan dapat diterima dalam bahan makanan asal ternak harus negatif. Saat ini penyakit campylobacteriosis merupakan zoonosis yang penting bagi negara-negara industri dan berkembang, namun di Indonesia belum banyak dilaporkan. Spesies C. jejuni dan C. coli adalah bakteri enterik yang patogen pada manusia dan hewan. Spesies C. jejuni umumnya ditemukan pada feses (sapi perah, sapi potong, kambing, domba, bebek), karkas ayam, daging kambing, susu serta air (Nielsen et al. 1997). Usaha untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pangan terutama produk peternakan seperti susu, daging, dan telur perlu dilakukan dengan menguji keberadaan mikroba patogen seperti C. jejuni untuk mengurangi kejadian foodborne disease. Deteksi menggunakan uji yang mudah dan sensitif untuk mendeteksi lebih awal adanya kontaminasi C. jejuni diharapkan dapat mengurangi kejadian kontaminasi silang dan foodborne disease. Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada manusia biasanya disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Penularan infeksi secara person to person dapat terjadi karena penderita campylobacteriosis menyiapkan makanan dan menyebabkan kontaminasi pada makanan. Sumber kontaminasi yang utama adalah mengkonsumsi daging ayam, susu, dan kontak dengan hewan peliharaan. Mengkonsumsi daging ayam yang tidak dimasak sempurna merupakan penyebab utama kejadian campylobacteriosis (Kapperud et al. 1992; Gregory et al. 1997; Anonim 2007). Prosedur isolasi dan identifikasi Campylobacter spp.
2 memerlukan waktu yang cukup lama serta harus dilakukan secara intensif karena harus melalui beberapa tahapan uji dengan menumbuhkan pada media preenrichment, enrichment, melakukan penanaman/ penumbuhan pada media agar kemudian dilanjutkan dengan identifikasi secara biokimia (Stern et al. 1992; Mead et al. 1999; Feng 2001). Menurut
Blackburn
dan
Clure
(2003)
Campylobacter
sp.
adalah
mikroorganisme yang sulit dikultur, oleh sebab itu perlu dikembangkan metode deteksi cepat untuk mendeteksi keberadaan Campylobacer sp. yang terdapat pada bahan pangan. Metode deteksi cepat terhadap Campylobacter sp. sangat penting dilakukan dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner terutama higiene makanan dengan maksud untuk mengurangi kejadian foodborne disease (Boxal 2005) dan digunakan untuk memberi keyakinan pada konsumen mengenai keamanan makanan tersebut (Feng 2001). Metode deteksi cepat untuk mendeteksi kontaminan pada bahan makanan telah diatur oleh organisasi Internasional Association of Official Analytical Chemists (AOAC), harus dapat digunakan sebagai alat deteksi yang memberikan hasil yang akurat dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu dengan menggunakan metode deteksi cepat akan mengurangi terjadinya kontaminasi dari laboran pada saat melakukan isolasi secara konvensional. Namun demikian evaluasi pada bahan makanan menggunakan metode deteksi cepat biasanya memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah jika digunakan langsung untuk menguji sampel berupa bahan makanan. Untuk itu diperlukan tahapan sampel dikultur dalam media penyubur terlebih dahulu sebelum dilakukan analisa untuk meningkatkan viabilitas sel yang mengalami stres atau injury. Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode deteksi cepat dan sensitifnamun memerlukan biaya yang lebih banyak. Secara teori PCR dapat memperbanyak single DNA dalam waktu kurang dari dua jam. Namun deteksi secara PCR pada sample bahan makanan sering terhambat karena adanya substansi yang terdapat pada bahan makanan yang mencegah pengikatan primer dan mengurangi efisiensi amplifikasi. Akibatnya sensitivitas metode PCR akan berkurang bila digunakan untuk menguji langsung pada bahan makanan dibandingkan untuk menguji isolat murni. Untuk itu diperlukan teknik untuk menghilangkan substansi penghambat sebelum dilakukan analisa secara PCR (BAM
3 2001b). Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) adalah metode cepat secara biokimia yang digunakan sebagai uji imunologik untuk mendeteksi adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang terdapat dalam sampel. Metode ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi adanya mikroba patogen pada makanan. Di Indonesia, metode ELISA sudah mulai digunakan untuk mendeteksi keberadaan kontaminan mikroba patogen pada produk pangan. Metode ELISA yang dikembangkan dari antibodi yang diproduksi dari antigen yang berasal dari isolat lokal belum tersedia. Pada dasarnya metode ELISA adalah menggunakan antibodi spesifik pada permukaan microplate yang akan mengikat antigen yang dikenali dalam sampel. Antigen dalam sampel yang tidak dikenali oleh antibodi akan tercuci atau lepas dari microplate. Antibodi yang digunakan untuk menangkap antigen selanjutnya diikat menggunakan enzim. Pada uji tahap akhir ditambahkan substansi yang dapat memberikan sinyal terhadap enzim yang digunakan. Model ELISA yang biasa digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminan patogen adalah uji ”sandwich”, dimana ikatan antibodi pada matriks digunakan untuk menangkap antigen yang terdapat dalam media kultur dan antibodi sekunder yang dikonjugasikan dengan enzim digunakan untuk mendeteksi. Pada penelitian ini antibodi spesifik akan diproduksi dari kelinci, domba dan ayam yang telah diinfeksi menggunakan antigen spesifik whole cell dan flagella C. jejuni yang diperoleh dari isolat lokal C. jejuni. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang maka bakteri patogen Campylobacter jejuni merupakan foodborne zoonosis dan sumber utama kontaminasinya adalah karkas ayam. Untuk itu maka perlu dilakukan penelitian mengenai bakteri patogen Campylobacter jejuni pada ayam maupun produk pangan asal ayam dengan perumusan masalah sebagai berikut : (1) Bakteri Campylobacter sp. sulit diisolasi sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengembangan metode isolasi dan identifikasi Campylobacter sp. yang tepat dan cepat, sehingga dengan dihasilkannya metode deteksi cepat diharapkan kemanan produk pangan asal hewan dapat ditingkatkan dan dapat mengurangi kejadian foodborne disease. (2) Saat ini belum banyak dilaporkan angka kontaminasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam di Indonesia serta kajian risikonya.
4 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui prevalensi Campylobacter jejuni pada karkas ayam. 2. Mengetahui metode yang cepat dan tepat untuk isolasi dan identifikasi bakteri Campylobacter sp. pada ayam 3. Memperoleh serum hiperimun Campylobacter jejuni yang selanjutnya akan digunakan untuk pengembangan metode ELISA. 4. Mengetahui kajian risiko akibat terinfeksi Campylobacter jejuni sehingga diperoleh angka peluang risiko menderita campylobacteriosis. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian adalah : (1) Diketahui metode yang cepat dan tepat untuk isolasi dan identifikasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam untuk meningkatkan kualitas dan keamanan daging ayam. (2) Diperoleh angka prevalensi kontaminasi C. jejuni pada karkas ayam sehingga dapat diketahui peluang risiko manusia menderita campylobacteriosis.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Campylobacter sp. Campylobacter sebagai bakteri microaerophilic vibrio petama kali dikenali oleh Theodor Escherich pada tahun 1886 (Altekruse & Linda 2003).Pada tahun 1913 di negara Inggris, peneliti McFadyean dan Stockman melaporkan bahwa bakteri tersebut bersifat patogen dan dapat menyebabkan keguguran pada domba (Allos 2001). Tahun 1918 peneliti bernama Smith di Amerika melaporkan adanya bakteri yang sifatnya mirip dan menyebabkan keguguran pada sapi (Karmali & Skirrow 1984).Selanjutnya oleh Smith dan Taylor bakteri yang diisolasi dari fetus sapi tersebut diberi nama Vibrio fetus karena morfologinya mirip spesies Vibrio, dan penyakitnya dikenal sebagai vibrionic abortion. Pada sekitar tahun 1970an mulai dikembangkan media selective menggunakan antibiotika dan dilakukan inkubasi secara microaerophilic untuk isolasi Campylobacter yang berasal dari feses (Butzler 1984). Pada periode yang sama telah dilakukan studi tentang taxonomi Campylobacter sp. dan dilaporkan adanya reaksi biokimia yang khas pada isolat Vibrio fetus yang bebeda dengan vibrio pada umumnya. Selanjutnya spesies Vibrio fetus dibedakan dengan vibrio dan dinyatakan sebagai genus baru yaitu Campylobacter sp. (Butzler 1984). Tahun 1980an Campylobacter sp. mulai dilaporkan dapat menyebabkan diare pada manusia di Amerika (Nachamkin et al.1992; Allos 2001). Campylobacter sp. termasuk dalam family Campylobacteriaceae. Nama genus Campylobacter berasal dari bahasa Yunani ”campylos” berarti melengkung dan ”bactron”berarti batang. Campylobacteriosis adalah penyakit pada manusia yang disebabkan oleh infeksi bakteri Campylobacter sp. terutama spesies C. jejuni, C. coli, dan C. laridis. Bakteri ini masuk dalam kelompok bakteri termofilik (Shane 2000). Campylobacter
sp. merupakan agen foodborne disease penyebab
gastroenteritis akut pada manusia. Penyakit ini sudah tersebar luas di banyak negara di dunia. Campylobacter spp. adalah bakteri Gram-negatif. Bakteri ini memiliki ukuran kecil, panjang antara 0.2-5.0 m dan lebar antara 0.2-0.9 m. Bakteri ini berbentuk spiral, motil dengan uniflagella (Gambar 1). Meskipun sebagian besar Campylobacter sp. motil dengan unipolar flagellum pada satu atau dua sisinya, tapi beberapa spesies seperti C. gracilis adalah tidak motil. Spesies lain seperti C.
6 showae bersifat motil dengan multiflagella (Vandamme 2000).Terkadang bakteri dapat menjadi berbentuk bulat atau coccoid bila isolat telah berumur lebih dari 72 jam atau telah kontak dengan udara pada waktu yang cukup lama (Blaser 1986; Mahon & Manuselis 2000). Morfologi koloni thermophilic Campylobacter dibagi dalam dua tipe. Tipe pertama yaitu koloni C. jejuni dan C. coli berbentuk mukoid, rata, tampak basah biasanya koloni tumbuh berkelompok, pertumbuhannya spreading di sekitar goresan. Tipe kedua yaitu koloni C. jejuni dan C. coli berbentuk bulat dan cembung dengan batas tepi terlihat jelas. Namun kedua jenis tipe koloni tersebut dapat bersamaan terjadi dalam satu kultur pada media agar (Skirrow & Benjamin 1980). Pada umumnya C. jejuni dan C. coli berbentuk seperti tetesan air berwarna keabu-abuan pada koloni yang diinkubasikan selama 18-24 jam (Shane & Mantrose 1985). Setelah masa inkubasi lebih dari 24 jam, koloni menjadi berbentuk menebal, berwarna abu-abu atau bahkan cokelat atau sedikit merah muda dan oranye abu-abu atau merah muda dan kekuningan (Shane & Mantrose 1985). Terkadang muncul warna metalik pada permukaan koloni C. jejuni yang diinkubasi lebih lama dari 48 jam, tetapi pada koloni C. coli hal ini tidak terlihat jelas.
Gambar 1 Morfologi spesies Campylobacter jejuni (Anonim 2002) Menurut Humphrey et al. (2007) Campylobacter sp. ada 14 spesies, 6 subspesies dan 2 biovar (Tabel 1). Pertumbuhan bakteri Campylobacter sp. dalam media sangat lambat, melakukan isolasi dari sampel feses memerlukan waktu sampai 96 jam dan memerlukan waktu lebih lama untuk melakukan isolasi dari sampel darah (Allos 2001). Sebagian besar spesies Campylobacter sp. bersifat
7 resisten terhadap antibiotika cephalothin sedangkan mikroflora lain bersifat rentan, sehingga antibiotika ini sering digunakan dalam media selektif untuk isolasi. Sebagian besar strain Campylobacter sp. menunjukkan reaksi positif pada uji catalase dan oxidase, mampu mereduksi fumarate menjadi succinate, mereduksi nitrate menjadi nitrite, tidak dapat menghidrolisa urea dan tidak dapat tumbuh pada 3.5% NaCl (Penner 1988; Shane & Montrose 1985; Skirrow & Benjamine 1980; Vandame 2000). Spesies C. jejuni, C. coli, dan C. lari memperlihatkan kemiripan dalam uji biokimia tapi hanya spesies C. jejuni yang memberikan reaksi positif menghidrolisa hippurate, meskipun ada juga spesies C. jejuni yang bereaksi negatif (Blaser 2000; Nachamkin 1999). Bakteri thermophilic Campylobacter tidak memfermentasi atau mengoksidasi karbohidrat serta glukosa, dan memanfaatkan asam amino seperti aspartate dan glutamate sebagai sumber energi (Blaser 1986; Vandamme 2000). Berbeda dengan bakteri foodborne yang lain bahwa Campylobacter sp. bersifat
microaerophilic
yaitu
hanya
memerlukan
sedikit
oksigen
untuk
pertumbuhannya (Butzler 1984) dan tumbuh baik pada suhu optimum 37 o-42 oC (Hayes 1996). Inkubasi merupakan faktor yang cukup penting dalam melakukan isolasi Campylobacter sp. (Forbes et al. 1998). Kondisi atmosfer microaerophilic optimal adalah oksigen 5-10%, karbondioksida 8-10%, dannitrogen 85% (Hayes 1996). Semua bakteri Campylobacter sp. tumbuh pada suhu 37 oC, tetapi spesies C. jejuni dan C. coli tumbuh optimal pada suhu 42 oC (Blaser 2000). Spesies thermophilic Campylobacter fetus mampu tumbuh baik pada suhu 25 oC, sehingga perbedaan suhu optimum dapat digunakan untuk membedakan C. fetus dengan spesies lainnya (Skirrow & Benjamin 1980). Media selektif untuk isolasi Campylobacter sp. yang dikembangkan sejak tahun 1970an mengandung antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri lain yang banyak terdapat pada sampel. Penambahan antibiotika dalam media selektif sangat diperlukan karena laju pertumbuhan bakteri Campylobacter sp. lebih lambat dari bakteri yang lain (Allos& Taylor 1998; Blaser 2000). Antibiotika rimfampicin merupakan salah satu jenis antimkroba yang ditambahkan pada media selektif karena mampu menghambat bakteri Gram positive dan Gram negative lain selain Campylobacter sp (Corry 2000). Jenis antibiotika yang biasa digunakan dalam media selektif adalah kombinasi antimikroba vancomycin,
8 bacitracin, dan golongan cephalosporins seperti cephalothin dan cefoperazone. Antimikroba tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri lain yang termasuk Gram positive, sedangkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negative yang lain dapat ditambahkan antibiotika polymyxin E (colistin) ke dalam media selektif (Corry 2000). Media selektif untuk isolasi Campylobacter sp. selain mengandung antibiotika juga memerlukan substansi yang mampu melindungi Campylobacter kontak dengan oksigen. Susbstansi tersebut harus mampu menetralisasi efek toksik dari oksigen, yaitu darah lisis dan defibrinated, charcoal, kombinasi ferrous sulfate, sodium metabisulfite, dan sodium pyruvat (FBP), serta haemin atau haematin (Sahin et al. 2003b). Isolasi Campylobacter sp. dapat dilakukan secara langsung menumbuhkan pada media agar atau terlebih dahulu dalam media enrichment, tergantung dari jenis sampel yang diuji (Sahin et al. 2003b). Sampel berupa feses ayam mengandung bakteri dalam jumlah yang banyak sehingga isolasi dapat dilakukan dengan cara langsung menumbuhkan pada media agar selektif (Musgrove et al. 2001; Sahin et al. 2003b). Sampel berupa bahan pangan atau air yang mengandung jumlah bakteri Campylobacter sp. sedikit, isolasi dilakukan dalam media selektif yang mengandung enrichment terlebih dahulu sebelum ditanam pada media agar (Sahin et al. 2003b). Metode enrichment secara optimal dapat memulihkan (recovery) bakteri jika dilakukan inkubasi tidak lebih dari 24 jam (Sahin et al. 2003b). Isolasi bakteri Campylobacter sp. dapat menggunakan metode filtrasi menggunakan membran filter berukuran 0.45 atau 0.65 µm (Blaser 2000; Corry 2000). Kombinasi antara metode filtrasi dan enrichment merupakan metode yang baik untuk melakukan isolasi dari sampel bahan pangan atau air yang diperkirakan jumlah bakterinya sangat sedikit (Sahin et al. 2003b). Identifikasi genus Campylobacter dapat dilakukan dengan membedakan morfologi koloni dan secara mikroskopis, bakteri Gram negative, berbentuk batang pendek berukuran lebar 0.2-0.5 µm dan panjang 0.5-5 µm (Butzler 1984). Bakteri yang berumur muda antara 24-48 jam secara mikroskopis berbentuk seperti huruf ”S”, spiral, atau ”koma”. Jika isolat telah berumur lebih dari 72 jam maka dapat berubah menjadi bulat atau ”coccoid” atau ”coccobacilli” (Butzler 1984; Blaser 1986). Selain perbedaan morfologi identifikasi juga dapat dilakukan dengan uji oxidase dan catalase (Sahin et al. 2003b). Uji biokimia untuk membedakan spesies
9 thermophilic Campylobacter adalah uji catalase dan oxidase, hidrolisa hippurate, hidrolisa indole, produksi urea, produksi hydrogen sulfide (H2S) pada media triple sugar iron agar (TSIA), mereduksi nitrate (Forbes et al. 1998; Skirrow & Benjamin 1980). Saat ini identifikasi bakteri thermophilic Campylobacter secara biokimia dapat dilakukan menggunakan kit komersial API Campy. Tabel 1 FamiliCampylobacteriaceae (Humphrey et al. 2007) Spesies
C. concisus
Sumber infeksi Babi, ayam, sapi, domba, burung Manusia
C. curvus
Manusia
C. fetus sub sp. fetus
Sapi, domba
C. fetus sub sp. veneralis C. gracilis
Sapi Manusia
C. helveticus C. hyointestinalis subsp hyointestinalis C. hyointestinalis subsp lawsonii C. hyoilei
Kucing, anjing Babi, sapi, hamster, rusa Babi Babi
-
C. jejuni subsp. doylei
Manusia
C. jejuni subsp. jejuni
Ayam, babi, sapi, domba, anjing, kucing, air, burung, mink, kelinci, serangga Burung, ayam, air, anjing, kucing, monyet, kuda Babi
Gastroenteritis, gastritis, septichaemia Gastroenteritis, septichaemia, meningitis, aborsi, proctitis, GBS
C. coli
C. lari
C. mucosalis C. rectus C. showae C. sputorum bv. Sputorum C. sputorum bv. Faecalis C. upsaliensis
Manusia Manusia Manusia, sapi, babi Sapi, kerbau Anjing, kucing
C. insulaenigrae
Seals, porpoises
C. lanienae
Sapi, babi, manusia Manusia
C. hominis
Penyakit pada manusia Gastroenteritis, septichaemia Periodontal disease, gastroenteritis Periodontal disease, gastroenteritis Septichaemia, gastroenteritis, aborsi, meningitis Septichaemia Periodontal disease, ephyema, abses Gastroenteritis
Penyakit pada hewan Gastroenteritis
-
Porcine proliferative enteritis -
Aborsi
Infertility Gastroenteritis Enteritis
Gastroenteritis, avian hepatitis
Gastroenteritis, septichaemia
Avian gastroenteritis
Periodontal disease Periodontal disease Abses,gastroenteritis
Porcin necrotic enteritis, ileitis -
Gastroenteritis, Septichaemia, abses -
Canin dan feline gastroenteritis -
-
-
Gastroenteritis in immunocompromised
-
10 Perbedaan perilaku Campylobacter dalam induk semang manusia dan hewan belum banyak diketahui, namun diperkirakan perbedaan itu disebabkan oleh adanya perbedaan ekspresi gen Campylobacter. Saat ini campylobacteriosis merupakan zoonosis yang cukup penting bagi negara-negara berkembang dan industri. C. jejuni umumnya ditemukan pada feses hewan seperti sapi perah, sapi potong, kambing, domba, bebek dan ayam. Selain ditemukan pada feses, C. jejuni juga dapat ditemukan pada karkas ayam, karkas kambing serta air (Nielsen et al. 1997). Bakteri Campylobacter sp. memiliki keragaman fenotipik dan genotipik. Keragaman fenotipik dari masing-masing spesies dapat dibedakan menggunakan prosedur serotyping. Diferensiasi Campylobacter sp. dapat dilakukan menggunakan antigen heat-stable (HS) secara passive hemagglutination (Penner & Hennessy 1980) dan antigen heat-labile (HL) secara slide agglutination (Lior et al. 1982). Produksi serum dan kontrol stabilitasnya memerlukan biaya dan antigen tersebut sulit diperoleh secara komersial. Adanya masalah yang dihadapi dalam melakukan serotyping, saat ini dikembangkan metode molekular subtyping (Wassenaar & Newell et al. 2000). Metode genotyping dapat dilakukan secara ribotyping, pulsedfield gel electrophoresis (PFGE), flagellin typing (fla typing) (Wassenaar & Newell 2000). Gen lokus C. jejuni terdiri dari gen dua flagellin yaitu flaA dan flaB yang bersifat highly conserve disusun secara tandem dan dipisahkan oleh 170 nukleotida (Meinersmann et al. 1997). Gen fla selain terdapat dalam C. jejuni, juga mayoritas terdapat pada C. coli, C. lari, C. helveticus, serta C. jejuni subsp. doylei (Owen et al. 1993). Pada beberapa metode amplifikasi, lebih dari satu primer atau satu primer dapat digunakan (Ayiing et al. 1996; Mohran et al.1996). Enzym restriksi yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk PCR adalah AluI, DdeI, Hinfl, EcoRI, dan PstI (Birkenhead et al. 1993; Nachamkin et al. 1993; Owen et al. 1993). Diskriminasi dapat ditingkatkan dengan menggabungkan dua enzim DdeI dan Hinfl. Namun menggunakan satu jenis enzim SmaI pada prosedur pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) dan enzim HindIII pada single-enzyme-amplified fragment length polymorphism (SAFLP) dapat mendiskriminasi Campylobacter sp. dari kejadian outbreak (Champion et al. 2002). Gene C. jejuni yang mengkode protein GTPase tersusun dari 383 asam amino bersifat highly conserve dapat mendeteksi empat spesies Campylobacter sp. (C. jejuni, C. coli, C. lari, dan C. upsaliensis) pada 117 bp (Jan van Doorn et al. 1997).
11 Komponen permukaan sel bakteri sangat bervariasi dan berperan pada invasi ke dalam sel. Namun peranan komponen protein sel bakteri Campylobacter sp. dalam proses patogenesis belum banyak diketahui (Melo & Pechere 1990). Bakteri Gram negative yang bersifat patogen tersusun dari
polysaccharide capsules,
lipopolisaccharide (LPS), dan outer membrane protein (OMP) (Zollinger et al. 1979). Campylobacter jejuni
tidak memiliki polysaccharide capsules, tetapi
dilaporkan tersusun dari suatu protein microcapsule (Rautellin & Kosonen 1983). Peranan LPS pada patogenesis bakteri Campylobacter sp. masih belum banyak dilaporkan (Walker et al. 1986). OMP adalah salah satu komponen yang bersifat antigenik (Zollinger et al. 1979) tersusun mengelilingi sel. Sebagai bakteri patogen, komponen outer membrane berperan untuk perlekatan dan invasi ke dalam induk semang, bertahan dari fagositosis oleh induk semang. Khususnya pada Campylobacter, outer membrane merupakan tempat penetrasi flagella (Trust & Logan 1984). Pada sel bakteri tumbuh, OMP berfungsi untuk masuknya nutrisi dan keluarnya sisa produk (Trust & Logan 1984). Pertumbuhan bakteriCampylobacter sp. selanjutnya menyebabkan perubahan bentuk sel dari vibroid atau spiral menjadi coccoid. Di dalam saluran pencernaan, OMP berfungsi untuk melindungi membran sitoplasmik dari cairan empedu yang dapat melisiskan sel (Trust & Logan 1984). Proses invasi bakteri patogen mempunyai peran terhadap virulensi bakteri. Campylobacter sp. bersifat motil, sehingga diperkirakan flagella mempunyai peran pada proses kolonisasi pada saluran pencernaan (Lee et al. 1998). Flagellum merupakan bagian mayor bakteri C. jejuni yang bersifat antigenik (Harris et al. 1987; Logan & Trust 1982). Protein flagella umumnya digunakan untuk mendeferensiasi genus Campylobacter (Mills et al. 1988).Tsang et al. (2001) melaporkan bahwa sekuen asam amino pada lokasi gen flagella (flaA) mempunyai peran terhadap penyakit Guillain Bare Syndrome. 2.2. Campylobacteriosis pada Manusia Mikroorganisme C. jejuni dan C. coli adalah bakteri patogen tetapi dapat juga bersifat komensal pada saluran pencernaan ayam. Pada manusia ke dua spesies tersebut bersifat patogen (Altekruse & Linda 2003). Infeksi Campylobacter sp. pada manusia terjadi karena mencerna makanan yang terkontaminasi. Penularan infeksi secara person to person dapat terjadi karena penderita campylobacteriosis
12 menyiapkan makanan sehingga menyebabkan kontaminasi pada makanan. Sumber kontaminasi yang utama adalah karena mengkonsumsi daging ayam, susu, dan kontak dengan hewan peliharaan. Mengkonsumsi daging ayam yang tidak dimasak sempurna merupakan penyebab utama kejadian campylobacteriosis (Kapperud et al. 1992; Gregoryet al. 1997; Anonim 2007). Gejala yang timbul akibat infeksi C. jejuni dapat bersifat ringan sampai berat yang disertai diare bercampur darah dengan demam dan kram perut. Masa inkubasi berkisar antara 2 sampai 7 hari dan penyakit ini dapat bersifat self-limiting pada manusia yang memiliki sistem pertahanan tubuh yang baik. Variasi penyakit dapat berupa infeksi tidak menunjukkan gejala spesifik atau asymptomatis sampai diare, bahkan inflamatory diarrhea, meningitis, bakteremia, localized extraintestinal infection, immuno reactive complications seperti Guillain-Barre syndrome (GBS) dan reactive arthritis. GBS yaitu acute demyelinating polyneuropathy yang ditandai dengan paralisa. Kejadian GBS di negara Amerika mayoritas disebabkan oleh C. jejuni serotipe O:19 (Tsang et al.2001; Smith 2002) . Hasil survey di Eropa dan Amerika Serikat, kasus campylobacteriosis lebih dari 1% per tahun. Pada tahun 1996, CDC melaporkan di Amerika kasus campylobacteriosis sebanyak 46% (Sean et al. 1999). Di Denmark, insiden campylobacteriosis mencapai 66 per 100 000 manusia pada tahun 2003. Sebanyak 90% kasus disebabkan oleh C. jejuni dan 5% disebabkan oleh C. coli. Daging ayam dan daging sapi dapat bertindak sebagai reservoir C. jejuni sedangkan C. coli banyak ditemukan pada babi (Boes et al. 2005). Campylobacteriosis merupakan infeksi bakteri yang dapat ditularkan melalui makanan. Di negara yang sudah maju, campylobacteriosis terutama disebabkan oleh Campylobacter jejuni yang kemudian diikuti oleh Campylobacter coli sebagai penyebab sekunder (Anonim 2006). Pada tahun 1999 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa sebanyak 2.5 juta manusia per tahun di Amerika Serikat menderita campylobacteriosis (Mead et al. 1999). Pada tahun 1996 sampai 2001 meskipun terjadi penurunan angka kejadian campylobacteriosis tetapi bakteri Campylobacter spp. merupakan penyebab utama infeksi yang ditularkan melalui makanan (Walz et al. 2001). Tjaniadi et al.
(2003) melaporkan hasil
surveinya di beberapa provinsi di Indonesia dari tahun 1995 sampai 2000 sebanyak
13 2 812 bakteri patogen yang berhasil diisolasi dari beberapa pasien rawat inap prevalensi 3.6% disebabkan oleh infeksi C. jejuni (Tabel 2). Membuat laporan secara internasional mengenai kejadian penyakit yang disebabkan oleh makanan tidak mudah. Jaringan Foodnet yang mencatat kejadian penyakit ditularkan melalui makanan di Amerika Serikat menyatakan bahwa diantara 10 agen penyebab yang bersifat patogen yang menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui makanan di Amerika adalah Salmonella, Campylobacter dan Shigella. Ketiga agen tersebut merupakan penyebab utama sebagai agen food-borne disease (IFT 2000). Tabel 2 Bakteri patogen yang diisolasi dari pasien diare di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 1995-2001 (Tjaniadi et al. 2003) Bakteri patogen
Angka kejadian (%)
Shigella spp.
27.3
Salmonella spp.
17.7
Vibrio parahaemolyticus
7.3
Salmonella typhi
3.9
Campylobacter jejuni
3.6
Vibrio cholera non-O1
2.4
Salmonella paratyphi A
0.7
Cliver (1997) melaporkan bahwa kejadian penyakit akibat mengkonsumsi makanan sebagian besar (67%) disebabkan oleh virus, tetapi kemudian Mead et al. (1999) melaporkan bahwa sebanyak 13.8 juta kasus penyakit yang disebabkan oleh makanan, sebanyak 30% disebabkan oleh bakteri, dan sisanya sebanyak 3% disebabkan oleh parasit (Orlandi et al. 2002). Mead et al. (1999) juga melaporkan bahwa sebanyak 60% kasus infeksi yang disebabkan oleh bakteri menyebabkan penderita di rawat di rumah sakit. Bakteri Salmonella menyebabkan kematian sebanyak 31%, kemudian diikuti oleh Listeria (28%), Campylobacter (5%), dan Escherichia coli O157:H7 (3%). World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa sekitar 2.1 juta setiap tahun, anak-anak di negara yang sudah maju menderita penyakit yang ditularkan melalui makanan dan air (Anonim 2002). Sumber
14 kontaminasi Campylobacter dapat berasal dari manusia (Hald et al. 2000), lalat (Hald et al. 2004) dan air minum yang terkontaminasi (Snelling et al. 2005). 2.2.1. Guillain-Barre Syndrome (GBS) GBS adalah sindrom berupa acute demyelinating polyneuropathy, dimana terjadi kerusakan myelin di sekitar sel syaraf (Nachamkin 2002). Kejadian GBS biasanya terjadi secara sporadis, jarang terjadi outbreak. Di negara US dan Jepang, beberapa kasus GBS berhubungan dengan infeksi strain C. jejuni serotipe O:19. Flagella yang dikode oleh gen flaA dari C. jejuni berperan pada patogenesis GBS. Wanita hamil yang menderita GBS akibat infeksi C. jejuni kemungkinan berpengaruh pada bayi yang berada dalam kandungan. GBS terjadi akibat adanya infeksi virus atau bakteri pada saluran pernafasan atas serta saluran gastrointestinal, salah satunya diawali dengan enteritis yang disebabkan oleh C. jejuni. Pada penderita GBS sebanyak 28.6% pasien menunjukkan hasil positif C. jejuni pada pemeriksaan feses dan serologis. Peneliti sebelumnya Nachamkin (2002) dan Takahashi et al. (2005) melaporkan kejadian GBS di negara Jepang disebabkan oleh infeksi C. jejuni Heat Stable (Penner) serotypes HS19 dan HS4, dengan dosis infeksi sangat rendah yaitu 500 sel (Anonim 2005). 2.2.2 Reactive Arthritis (ReA) Reactive arthritis (ReA) adalah sindrom dengan karakteristik ditandai inflamasi steril pada persendian. Bakteri enterobacter lain yang dapat menginduksi ReA selain C. jejuni adalah Salmonella, Shigella, Yersinia. Di dalam cairan persendian yang terinfeksi meskipun tidak terdapat mikroorganisme penyebab infeksi. Mekanisme antigen tersebut dapat mencapai membrane synovial belum diketahui dengan pasti. 2.2.3.Enteritis Kejadian Campylobacter enteritis pada manusia bervariasi dari yang tidak menunjukkan gejala spesifik sampai yang berbahaya sehingga menyebabkan kematian. Sebanyak 25-50% kejadian infeksi adalah bentuk asimptomatik. Hanya sekitar 10% kasus terinfeksi dirawat di rumah sakit. Dosis infeksi C. jejuni sangat rendah. Dari suatu studi sebelumnya sebanyak 50% volunteers yang diinfeksi
15 menggunakan dosis 800 mikroorganisme dinyatakan positive stool specimen. Infeksi oleh C. jejuni akan berlanjut bakteremia terutama pada manusia yang mengalami
immunocompromised
sehingga
menyebabkan kematian.
Insiden
bakteremia yang diinduksi oleh C. jejuni adalah 0.3 kasus per 1 000 pasien umur 1-4 tahun, dan 5.9 kasus per 1 000 pasien berumur lebih dari 65 tahun. Penderita bakteremia mengalami demam, diare bercampur darah, pusing, menggigil, sakit perut. Gejala bakteremia berkisar 8 hari dan pasien akan sembuhsendiri. Mekanisme patogenik C. jejuni menyebabkan enteritis telah dipelajari secara in vitro (Konkel et al. 2001). Kerusakan yang terjadi adalah disebabkan adanya cytotoxin atau invasi C. jejuni ke dalam sel epitel. Peranan motilitas, kolonisasi, produksi toksin, attachment, internalization dan translocation pada virulensi C. jejuni telah diinvestigasi secara in vitro. Mekanisme C. jejuni menyebabkan infeksi secara umum adalah sebagai berikut: 1). Setelah ingesti bakteri melakukan kolonisasi di intestinal. 2). Invasi bakteri pada sel intestinal akan menyebabkan kerusakan mukosa permukaan sel jejunum, ileum, dan colon. 3). Terjadi extra intestinal translocation yaitu organisme menyeberang dan migrasi dari epitel intestinummelalui sistem limpatik menuju extra intestinal (Konkel et al. 2001). Pada Gambar 2 dapat dilihat diagram proses terjadinya infeksi pada manusia. Infeksi C. jejuni dimulai dari masuknya mikroorganisme ke dalam mulut kemudian masuk ke dalam lambung dan selanjutnya masuk ke dalam intestinal. C. jejuni melakukan kolonisasi pada bagian jejunum dan ileum kemudian masuk ke bagian colon manusia. Mikroorganisme yang terdapat di dalam lumen intestinal akan menembus bagian mukosa saluran intestinal melalui sel M, yang dikenal sebagai sel epitel pada folikel saluran gastrointestinal yang memiliki kemampuan trancytosis baik mikroorganisme maupun makromolekul. Secara fungsional sel M berbeda dengan absorbtive enterosit, dimana sel M tidak mendorong antigen ke dalam lumen, namun sel M berfungsi sebagai barier pada epitel yang ”terbuka”. Morfologi sel M berbeda dengan enterosit, dimana sel M memiliki sedikit microvilli pada permukaan, tetapi memiliki filamen brush border, sehingga fungsi utama sel M adalah sebagai perantara antigen atau mikroorganisme sehingga mencapai sel immune dari folikel limfoid untuk menginduksi respon imun. Kemampuan motilitas dan kemotaksis dari C. jejuni memiliki peran penting dalam menimbulkan penyakit. Di dalam usus halus mikroorganisme mengalami
16 migrasi dari mukus ke daerah kripta. Secara in vitro dilaporkan bahwa C. jejuni mampu menembus enterocytes melalui jalur paracellular atau transcellular. Kemungkinan keterlibatan proses adherence mengawali proses infeksi dan C. jejuni secara spesifik melekat pada reseptor yang terdapat pada sel inang. Kemudian diikuti terjadinya intimate binding antara C. jejuni dan sel inang. Nekrosis pada vili terjadi karena diakibatkan oleh toxin yang diproduksi oleh mikroorganisme. Cytolethal Distending Toxin (CDT) mampu menyebabkan atrophi pada vili dengan cara melakukan proliferasi sel bakteri di dalam kripta.
Gambar 2 Virulensi C. jejuni menyebabkan enteritis. Panel atas: ilustrasi interaksi C. jejuni
dan enterosit. Panel Bawah: ilustrasi perubahan morfologi
saluran intestinal inang yang terinfeksi C. jejuni Penyakit enteritis akibat infeksi Campylobacter sp. pada manusia biasanya tidak memerlukan pengobatan antibiotika apabila infeksi bersifat ringan atau selflimited (Lastovica & Penner 1983). Namun pada beberapa kasus infeksi dengan gejala klinis lebih berat, septichaemia, atau infeksi ekstra intestinal, penderita immunosuppress diperlukan pengobatan menggunakan antibiotika (Engberg et al.
17 2001; Luber et al. 2003). Infeksi Campylobacter pada manusia umumnya menyebabkan gastroenteritis, tetapi setelah bakteri invasi
dapat menyebabkan
bakteremia, reactive arthritis, meningitis, dan Gullain-Barre Syndrome (Altekruse et al. 1999). Resistensi Campylobacter sp. terhadap antimikrobial sudah banyak di laporkan terutama di negara maju sehingga menyulitkan pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Campylobacter sp. Infeksi Campylobacter sp. pada ayam sebagai sumber kontaminasi dapat diatasi dengan pemberian antibiotika. Sejak tahun 1980 fluoroquinolon sudah digunakan untuk mengobati enteritis yang disebabkan oleh Campylobacter sp. serta bakteri patogen lainnya. Antibiotika lainnya
yang
chloramphenicol,
sering
digunakan
untuk
pengobatan
adalah
tetracycline,
ampicillin, dan gentamicin (Engberg et al. 2001). Menurut
Caprioli et al. (2000) penggunaan antibiotika terutama di bidang veteriner perlu ditanggapi secara bijaksana berhubungan dengan semakin banyak mikroorganisme yang resisten terhadap beberapa jenis antibiotika. Erythromycin dan golongan fluoroquinolone adalah antibiotika yang umumnya digunakan untuk mengobati manusia
penderita
campylobacteriosis,
sedangkan
kejadian
resistensi
fluoroquinolone pada manusia dan hewan banyak dilaporkan (Endz et al. 1991; Ge et al. 2002). 2.3. Kontaminasi Campylobacter sp. 2.3.1. Infeksi Campylobacter sp. pada peternakan ayam Spesies bakteri Campylobacter adalah agen foodborne zoonosis yang dapat menginfeksi manusia maupun hewan, terutama unggas. Bakteri ini merupakan penyebab campylobacteriosis yang masih menjadi masalah penting dalam bidang kesehatan masyarakat baik di tingkat peternakan, penjualan (pasar) maupun pada tingkat makanan siap saji. Daging ayam merupakan sumber utama kontaminasi, karena saluran pencernaan unggas merupakan tempat predileksi Campylobacter jejuni. Selama ini infeksi C. jejuni pada ayam tidak memperlihatkan gejala klinis yang khas, sehingga deteksi penyakit ini ditingkat peternakan cukup sulit. Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada ayam broiler di negara maju 5-90%. Saat ini produksi pangan unggas dan konsumennya diperkirakan terus meningkat seiring dengan tingginya kebutuhan sumber protein yang harganya relatif lebih murah.
18 Penularan Campylobacter spp. secara vertikal pada ayam di peternakan ayam petelur, sangat jarang terjadi atau bahkan tidak mungkin terjadi. Hasil penelitian Sahin (2003) menunjukkan bahwa pada peternakan ayam petelur dan hatchery tidak ditemukan keberadaan Campylobacter spp. karena C. jejuni tidak dapat melewati eggshell. Infeksi pada ayam petelur menunjukkan keberadaan bakteri C. jejuni pada feses tapi negatif pada telur yang dihasilkan (Shane et al. 1986; Sahin et al. 2003a). Bakteri Campylobacter jejuni yang terdapat di dalam sel epitel dan sel mononuklear dapat mengakibatkan kerusakan usus pada bagian jejunum dan ileum. Kerusakan sel epitel yang terjadi merupakan degenerasi dari epitel bagian superfisial sehingga terjadi pemendekan vili disertai produksi eksudat dalam lumen usus. Infeksi dapat terjadi pada lapisan yang lebih dalam lagi sehingga terjadi necrosis hemorrhagic pada lamina propria, abses pada kripta serta terjadi inflamasi (Shane 2000; Stern & Kazmi 1989). Infeksi C. jejuni dapat menyebabkan pembengkakan dan nekrotik hati (Dhillon 2006). Campylobacter spp. yang pada awalnya menginfeksi usus sehingga akhirnya bakteri tersebut sampai ke organ hati dan limpa serta organ interna lainnya melalui aliran darah. Warna belang pada hati terjadi akibat sel hati mengalami degenerasi atau nekrose (Sanyal et al. 2003). Infeksi oleh C. jejuni setelah terjadi kolonisasi di usus selanjutnya aktif menginvasi sel intestinal dan bakteri melakukan ekstra translokasi sehingga menembus sel epitel dan migrasi ke sistem limpatik (Sahin 2003). Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada hewan sangat bervariasi, meskipun infeksi yang terjadi pada peternakan ayam memegang peranan penting dalam penyebaran atau kontaminasi C. jejuni. Usaha untuk mengurangi kejadian infeksi pada ayam merupakan usaha penting dalam memperbaiki sistem produksi. Usaha tersebut akan berdampak pada pengurangan kejadian kontaminasi agen infeksi C. jejuni yang sangat berperan pada kesehatan masyarakat. Hasil studi case control menyatakan bahwa sumber utama infeksi disebabkan karena mengkonsumsi daging ayam, daging sapi, dan susu yang terkontaminasi. Hasil penelitian Poeloengan dan Noor (2003) karkas ayam yang diambil di pasar tradisional dan supermarket di daerah Jakarta, Sukabumi, dan Bogor telah terkontaminasi oleh C. jejuni. Daging ayam yang dimasak tidak sempurna diperkirakan merupakan satu-satunya penyebab utama kasus campylobacteriosis. Beberapa jenis bahan pangan lain seperti daging
19 kambing, daging sapi giling, sosis, daging sapi, dan daging babi juga dilaporkan merupakan sumber kontaminasi (Stern et al. 1988; Gill & Harris 1982a; Bolton dan Hitchinson 1985; Kwiatkek et al. 1990; Abeyta et al. 1993). Menurut Lindqvist et al. (2000) dan Kramer et al. (2000), kontaminasi C. jejuni yang paling banyak terjadi adalah pada karkas ayam. Hal ini dapat juga digunakan untuk indikasi tentang kondisi lingkungan di sekitar karkas. Menurut Evans (1992) sebanyak 50% dari ayam yang berasal dari peternakan ayam yang terinfeksi, akan membawa mikroorganisme Campylobacter sp. sampai ayam tersebut dipotong. Hal ini memperlihatkan bahwa telah terjadi kolonisasi Campylobacter sp. pada saluran pencernaan unggas. Kolonisasi Campylobacter sp. pada umumnya terjadi pada saluran pencernaan ayam broiler, dan bakteri dapat dideteksi pada kelompok ayam setelah masa pemeliharaan satu minggu (Lindmark et al. 2006). Kejadian campylobacteriosis pada ayam broiler telah dilaporkan oleh Rudi et al. (2004) yang melakukan identifikasi Campylobacter sp. dari feses ayam broiler. Menurut Van Gerwe et al. (2005) ayam yang terinfeksi Campylobacter pada fesesnya dapat mengandung sejumlah bakteri berkisar antara 105 sampai 106cfu/gram feses. Pada tahun sebelumnya Cawthraw et al. (1996) telah melaporkan bahwa anak ayam yang terinfeksi Campylobacter di dalam sekumnya dapat mengandung jumlah Campylobacter yang lebih banyak mencapai 1010 cfu/gram. Sekelompok ayam yang terinfeksi dapat bertindak sebagai karier pada suatu peternakan. Sekam kandang yang menempel pada bulu dan kulit ayam yang lain pada saat transportasi dapat bertindak sebagai sumber kontaminasi dan dapat meningkatkan jumlah kontaminasi bakteri pada karkas ayam (Buhr et al. 2000; Stern et al. 1995). Pembersihan kandang ayam yang telah terinfeksi tidak dapat menghilangkan semua bakteri Campylobacter (Hansson et al. 2005; Newel et al. 2001; Slader et al. 2002). 2.3.2. Kontaminasi pada tahap proses pengolahan Pada saat pemotongan ayam di rumah potong ayam, karkas ayam dapat merupakan sumber kontaminan mikroorganisme. Selain kontaminasi berasal pada saat pemotongan, dapat juga terjadi pada saat prosesing serta penyimpanan. Kontaminasi yang terjadi di rumah potong biasanya berasal dari kulit, saluran pencernaan, saluran pernafasan, pisau, pekerja (meliputi tangan dan baju) serta air
20 yang digunakan untuk mencuci karkas (Upton 1995). Pada gambar 3 dapat dilihat kejadian infeksi C. jejuni dari ayam ke manusia.
Gambar 3 Skema penyebaran infeksi Campylobacter jejuni melalui penanganan, konsumsi karkas ayam, susu tanpa pasteurisasi dan air (Konkel et al. 2001) Kejadian campylobacteriosis pada manusia dapat terjadi akibat kontaminasi silang pada saat penanganan karkas ayam dan memakan daging ayam yang kurang matang atau kontaminasi yang berasal dari air yang digunakan untuk mencuci karkas (Altekruse 1998). Kontaminasi mikroba biasanya terjadi pada permukaan bahan pangan. Pada karkas ayam biasanya terjadi pada kulitnya. Lee et al. (1998) melaporkan bahwa C. jejuni dapat tumbuh dengan baik pada kulit ayam yang lepas dari karkas. Berrang et al. (2001) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah mikroba yang terdapat pada karkas tanpa kulit maupun beserta kulit, walaupun dalam penelitian tersebut menunjukkan ada sedikit perbedaan jumlah Campylobacter sp. yang terdapat pada karkas beserta kulitnya lebih banyak jika dibandingkan karkas tanpa kulit. Kejadian campylobacteriosis selain disebabkan karena mengkonsumsi karkas ayam yang telah terkontaminasi dapat juga terjadi akibat mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi, serta minuman yang terkontaminasi. Di Taiwan telah dilakukan isolasi C. jejuni pada karkas ayam (55%), karkas bebek 20%, karkas babi 10%, dan susu segar 30% (Shao et al. 2006).
21 Pada umumnya pertumbuhan Campylobacter sp. pada bahan pangan tidak berkembang dengan baik. Mikroba tidak mampu berproliferasi pada suhu ruang maupun refrigerator. Mikroba sifatnya sangat fragile dan sensitif terhadap beberapa jenis antimikroba, akan tetapi kontaminasi mikroba pada karkas dalam jumlah sedikit (± 800 sel) sudah mampu menimbulkan penyakit pada manusia (Norman & Pretanik 2006). Menurut Lee et al. (1998) pada penyimpanan -20 oC dan -70 oC mikroba dapat bertahan hidup namun tidak mampu mengadakan replikasi. Pada suhu ruang dan suhu 4 oC dapat tumbuh dan memperbanyak diri meskipun lambat, sehingga pada saat dilakukan thawing maka mikroba yang masih bertahan hidup dalam karkas pada suhu freezing akan tetap memiliki kemampuan hidup. Kerusakan bahan pangan yang disebabkan oleh C. jejuni dapat terjadi apabila pada penyimpanan terdapat pertumbuhan mikroba sampai berjumlah 100 kali lipat. Perubahan yang terjadi berupa lendir, perubahan warna kulit dan bau sehingga menyebabkan penampakan karkas yang kurang disukai (Lee et al. 1998). 2.4. Kajian Risiko Terjangkit Penyakit Tular Pangan Keamanan pangan saat ini merupakan masalah penting di beberapa negara, hal ini disebabkan karena kesadaran yang tinggi dari konsumen dalam mengkonsumsi bahan pangan berkualitas dan aman. Munculnya risiko antara lain ditentukan karena terjadinya perubahan dalam proses produksi dan pengolahan bahan pangan asal ternak, adanya laporan mengenai munculnya foodborne pathogen sebagai emerging dan re-emerging disease, serta pola masyarakat mengkonsumsi bahan pangan. Perdagangan pangan internasional yang semakian luas juga dapat meningkatkan risiko penyebaran mikroorganisme patogen ke negara lain, sehingga dapat meningkatkan risiko manusia menderita food-borne disease. Perkembangan Commission (CAC) Organization
(WHO)
analisa
risiko
dilaporkan
oleh
Codex
Alimentarius
terus meningkat selama dekade terakhir. World Health dan
Food
and
Agriculture
Organization
(FAO)
mengembangkan pendekatan risiko berbasis bahaya pada bahan pangan dalam bidang kesehatan masyarakat menggunakan analisa risiko. Analisa risiko adalah suatu proses yang terdiri dari tiga komponen yaitu kajian risiko (risk assessment), manajemen risiko (risk management), dan komunikasi risiko (risk communication) (WHO 1995). Kajian risiko merupakan proses dimana risiko dari bahaya dievaluasi
22 secara kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi kajian risiko secara kuantitatif telah dilakukan sejak tahun 1970an untuk mengetahui risiko manusia yang terpapar oleh bahan kimia (Soller 2006).
Melakukan evaluasi kajian risiko terhadap bakteri
patogen sebagai agen foodborne disease penting dilakukan untuk mengetahui secara kuantitatif peluang terjadinya risiko yang dapat diakibatkan oleh patogen serta dapat digunakan untuk mengambil kebijakan dalam bidang kesehatan masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional. Hasil evaluasi kajian dapat disampaikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kajian risiko pada agen foodborne disease dievalusi dengan melakukan kajian pada semua tahapan mata rantai pangan hingga siap saji. Kajian risiko sebaiknya mampu menjawab permasalahan yang ada, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manajer risiko untuk mencapai keputusan. Manajemen risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan risiko termasuk hasil dari kajian risiko, digunakan untuk membuat keputusan tentang bagaimana risiko tersebut akan dikendalikan kemudian bagaimana keputusan itu akan diterapkan. Komunikasi risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan kajian dan manajemen risiko merupakan media untuk berlangsungnya proses kajian dan manajemen risiko (Buchanan 2004). Kajian risiko sering disebut sebagai microbial risk assessment (MRA) dievaluasi untuk mengetahui kemungkinan atau probabilitas keparahan suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu agen patogen. CAC mendefinisikan kajian risiko sebagai proses berbasis ilmiah yang terdiri dari empat langkah yaitu: 1) identifikasi bahaya, 2) karakterisasi bahaya, 3) kajian paparan, dan 4) karakterisasi risiko (FAO 2000). 2.4.1. Identifikasi bahaya Bakteri thermophilic Campylobacter sp. dilaporkan sebagai penyebab utama infeksi gastrointestinal pada manusia. Ayam yang terinfeksi Campylobacter menyebabkan kontaminasi pada karkas yang dihasilkan. Karkas ayam merupakan sumber utama foodborne disease. Saluran pencernaan dan air merupakan sumber kontaminasi pada proses pemotongan di rumah potong (Atanassova et al. 2007). Cara penyimpanan daging ayam di pasar tradisional dan swalayan menyebabkan perbedaan tingkat prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. (Andriani et al. 2012a). Pengobatan terhadap infeksi Campylobacter sp. saat ini adalah
23 menggunakan antibiotika namun bervariasinya pola resistensi terhadap antibiotika menyebabkan sulitnya pengobatan pada peternakan ayam maupun manusia. 2.4.2. Karakterisasi bahaya Gastroenteritis akibat infeksi Campylobacter sp. meskipun dapat sembuh sendiri (self-limiting) namun dilaporkan mortalitasnya mencapai 32% pada isolat yang patogenitasnya sangat tinggi hasil isolasi dari ayam dan penderita memiliki sistem imun yang rendah (Anonim 2005). Selain menyebabkan gastroenteritis C. jejuni juga dapat menyebabkan penyakit sistemik seperti meningitis, bakteremia, localized extraintestinal infection, immuno reactive complications seperti GuillainBarre syndrome (GBS) dan reactive arthritis. Mengkonsumsi daging ayam yang terkontaminasi Campylobacter sp dapat menyebabkan kejadian foodborne gastrointestinal disease. Dosis respon merupakan faktor penting yang berhubungan dengan virulensi mikroorganisme patogen terhadap kejadian infeksi pada manusia sebagai host. Apabila tidak diperoleh data dosis respon yang sesuai maka kemampuan mikroorganisme patogen menginfeksi manusia dapat digunakan sebagai faktor virulensi (WHO 1999). Kemungkinan terjadinya penyakit pada manusia setelah mengkonsumsi bahan pangan yang terkontaminasi tergantung pada tiga probabilitas yaitu: probabilitas mikroorganisme tertelan, mikroorganisme mampu bertahan dan menginfeksi host setelah ditelan, dan kemungkinan host menjadi sakit setelah terinfeksi. Lingkungan, patogen dan host adalah meruapakan variabel yang berperan penting dalam probabilitas munculnya penyakit. Pengaruh lingkungan termasuk makanan yang telah terkontaminasi dan kondisi ekosistem saluran pencernaan. Pengaruh patogen meliputi dosis, virulensi, dan kolonisasi pada saluran pencernaan host. Pengaruh host meliputi status usia, kekebalan dan perut isi (Coleman & Marks 1998). Terdapat dua hipotesis yang dapat digunakan untuk analisa hubungan dosis-respons terhadap mikroorganisme patogen sebagai kontaminan pada bahan pangan. Yang pertama didasarkan pada dosis infeksi minimal, yang harus dicerna sebelum infeksi atau efek samping terjadi. Hipotesis kedua adalah bahwa sel patogen tunggal memiliki kemampuan untuk memulai infeksi atau penyakit (Haas 1983; Rubin 1987; Rubin & Moxon 1984). Pada hipotesis kedua, tidak menggunkan jumlah ambang batas, dan meningkatnya probabilitas infeksi disebabkan karena jumlah mikroorganisme patogen. Beberapa
24 peneliti telah menganalisa data yang tersedia menggunakan model tanpa jumlah ambang batas untuk sejumlah patogen (Haas, 1983; Teunis et al. 1996). Selain memiliki linearitas dosis rendah, maka FAO/WHO (2003) merekomendasikan untuk digunakan dalam menentukan karakterisasi bahaya sebagai model yang digunakan dalam penilaian risiko mikroba adalah model dosis respon exponensial dan Beta Poisson. Model exponensial, diasumsikan bahwa semua organisme tertelan memiliki probabilitas yang sama menyebabkan infeksi (r). Dosis tertelan diasumsikan menggunakan Poisson dengan rataan N organisme per porsi (Haas 1983). Pinf = 1- exp (-r × N) Dimana :
Pinf adalah probabilitas infeksi r adalah probabilitas satu sel menyebabkan infeksi N adalah dosis
Model Beta Poisson menggunakan heterogenitas interaksi mikrorganisme dan host yaitu kemungkinan mikroorganisme menyebabkan infeksi pada host, diasumsikan mengikuti distribusi Beta (Haas 1983). Dengan asumsi β jauh lebih besar daripada α dan 1, dengan rumus sebagai berikut: Pinf = 1- (1 + N/β)-α Dimana :
Pinf adalah probabilitas infeksi N adalah dosis mikroorganisme yang tertelan α dan β adalah parameter dosis respon untuk Campylobacter sp.
Parameter dosis respon α = 0.21 dan β = 59.95 dapat digunakan untuk mengetahui probabilitas infeksi yang disebabkan oleh satu mikroorganisme. Jumlah mikroorganisme yang tertelan diperkirakan menggunakan distribusi Poisson, yang mengasumsikan kontaminasi mikroorganisme pada karkas ayam dengan beberapa konsentrasi rataan didistribusikan secara acak. Probabilitas infeksi dari dosis mikroorganisme yang tertelan diasumsikan secara binomial,
dengan melakukan
jumlah percobaan sama pada dosis yang tertelan dan probabilitas 'keberhasilan' pada setiap percobaan memiliki nilai yang sesuai dengan distribusi beta.
25 2.4.3. Kajian paparan Analisa yang digunakan untuk mengetahui adanya keterpaparan patogen pada rantai makanan dimulai dari karkas ayam setelah keluar dari rumah potong dan berakhir di dapur sehingga daging ayam sudah siap dikonsumsi. Pada kajian paparan dilakukan evaluasi terhadap bahaya akibat kontaminasi Campylobacter sp. yang terdapat pada bahan pangan pada saat dikonsumsi. Proses ini menggabungkan informasi keberadaan dan konsentrasi Campylobacter sp. dalam bahan pangan yang dikonsumsi dan kemungkinan jumlahnya yang bervariasi. Informasi keberadaan dan konsentrasi mikroorganisme meliputi jumlah Campylobacter sp. per porsi penyajian. Dosis Respon n
Prevalensi Peternakan dan Trasnportasi
Rumah Potong
Penyiapan sebelum dikonsumsi
RISIKO
Konsentrasi
Gambar 4 Skema kajian risiko Campylobacter sp. dimulai dari peternakan ayam (FAO 2002) 2.4.4. Karakterisasi risiko Tahapan
karakterisasi risiko merupakan integrasi dari informasi yang
dikumpulkan selama identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, dan tahapan kajian paparan yang perkiraan terjadi peningkatan risiko akibat mengkonsumsi daging ayam akibat proses pemasakan yang tidak sempurna (Gambar 4). Pada
tahapan
ini
digabungkan
probablitas
dan
besarnya
paparan
Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi daging ayam terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi. Risiko yang dihasilkan dinyatakan sebagai risiko individu atau risiko per porsi ayam akibat pemasakan yang tidak sempurna (Gambar 5).
26
Karkas ayam
Kontaminasi silang
Pemasakan tidak sempurna
Keterpaparan
Gambar 5 Tahapan keterpaparan Campylobacter sp. pada tahapan penyiapan daging ayam sebelum dikonsumsi (FAO 2002) 2.5. Isolasi dan Identifikasi Campylobacter sp. pada Bahan Pangan Asal Ternak 2.5.1. Metode konvensional Melakukan isolasi bakteri Campylobacter sp. dari sampel pangan berbeda dengan isolasi bakteri kontaminan lain. Isolasi Campylobacter sp. memerlukan media selektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri enterik yang lainnya, karena bakteri Campylobacter sp. mengalami pertumbuhan lebih lambat dibandingkan dengan bakteri enterik yang lain (Blaser 2000). Sejak ditemukannya bakteri Campylobacter sp, pada bahan pangan asal ternak, metode deteksi yang digunakan adalah isolasi pada media pre enrichment dan enrichment yang dilanjutkan dengan uji biokimia untuk melakukan identifikasi. Prosedur isolasi dan identifikasi Campylobacter spp. memerlukan waktu yang cukup lama serta harus dilakukan secara intensif (Stern et al. 1992; Mead et al. 1999; Feng 2001). Sejak tahun 1970 telah digunakan beberapa media selektive untuk isolasi Campylobacter sp. antara lain media agar modified charcoal cefoperazone deoxycholate (mCCDA), charchoal-based selective medium (CSM), Karmali agar, Skirrow’s medium, Butzler’s medium, Blaser’s medium, Campy-BAP medium, dan Preston agar (Bolton & Robertson 1982; Bolton et al. 1983; Bolton et al. 1984; Corry et al. 1995; Corry 2000; Goossens et al. 1989; Karmali et al. 1986; Sahin et al. 2003b; Skirrow 1977). Menurut
Blackburn
dan
Clure
(2003)
Campylobacter
adalah
mikroorganisme yang sulit dikultur. Untuk itu perlu dikembangkan metode deteksi
27 cepat untuk mendeteksi keberadaan mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan. 2.5.2. Metode deteksi cepat Metode deteksi cepat terhadap Campylobacter spp. sangat penting dilakukan dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner terutama higiene makanan dengan maksud untuk mengurangi kejadian foodborne disease (Boxal 2005). Metode deteksi cepat untuk mengetahui keberadaan kontaminasi bakteri patogen pada makanan adalah untuk memberi keyakinan pada konsumen mengenai keamanan makanan tersebut (Feng 2001). Metode deteksi cepat harus dapat digunakan sebagai alat deteksi yang memberikan hasil yang akurat serta dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu, metode deteksi cepat akan mengurangi terjadinya kontaminasi dari laboran pada saat melakukan isolasi secara konvensional. Namun demikian evaluasi pada bahan makanan menggunakan metode deteksi cepat biasanya memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah jika digunakan langsung untuk menguji sampel berupa bahan makanan. Untuk itu diperlukan tahapan, sampel dikultur dalam media enrichment terlebih dahulu sebelum dilakukan analisa untuk meningkatkan viabilitas sel yang mengalami stres atau injury selama penyiapan. Deteksi cepat bakteri patogen sebagai kontaminan dalam makanan sangat penting untuk menjamin keselamatan konsumen. Metode konvensional untuk mendeteksi bakteri kontaminan dalam bahan pangan memakan waktu pertumbuhan dalam media kultur, diikuti oleh isolasi, identifikasi biokimia (BAM 2001b). Saat ini teknik yang baru untuk deteksi dan identifikasi spesies Campylobacter telah banyak dilaporkan, yaitu teknik deteksi cepat yang berbasis interaksi antigen dan antibodi dan DNA moluker. Metode cepat komersial telah divalidasi dan dievaluasi oleh Association of Official Analytical Chemists (AOAC) (Andrew 1996). 2.5.2.1. Polymerase Chain Reaction (PCR) Metode cepat PCR berbasis asam nukleat atau DNA untuk mendeteksi Campylobacter sp. telah banyak dilakukan. PCR merupakan metode in vitro untuk memperbanyak urutan DNA yang diterjemahkan. Melakukan proses PCR terdiri
28 dari tiga tahap dalam setiap siklus amplifikasi, masing-masing ditentukan oleh suhu yang berbeda untuk memungkinkan putusnya rantai ganda DNA, annealing primer, dan perpanjangan primer oleh polimerase, dengan melakukan antara 25 sampai 40 siklus (Gambar 6).
Gambar 6 Tahapan setiap siklus amflifikasi dalam proses PCR
Primer adalah molekul DNA pendek beruntai tunggal, biasanya terdiri dari 18 sampai 35 basa yang diperlukan untuk replikasi. Sekuen DNA susunannya spesifik untuk masing-masing organisme dengan urutan yang khas. PCR merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Prinsip metode PCR adalah pada suhu 94-95 o
C, DNA mengalami denaturasi, pembelahan DNA untai ganda menjadi untai
tunggal. Waktu yang diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 95 oC atau 15 detik pada suhu 97 oC. Denaturasi yang tidak lengkap akan menyebabkan renaturasi secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat mempengaruhi enzim polymerase, sehingga hal ini dapat mempengaruhi keberhasilan proses PCR. Umumnya sebelum proses siklus PCR dimulai seringkali dilakukan tahap pre-denaturasi selama 3-5 menit untuk meyakinkan bahwa molekul DNA target yang akan
dilipatgandakan jumlahnya benar-benar terdenaturasi
(Sulandari & Zein 2003). Apabila suhu diturunkan antara 36-72 oC terjadi proses penempelan primer (annealing) yang merupakan penempelan primer pada DNA yang telah terbelah pada tempat yang spesifik. Primer sebaiknya berukuran 18-25
29 basa. Semakin panjang primernya semakin tinggi temperatur annealing (Sulandari & Zein 2003). Apabila suhu dinaikkan sampai 72 oC, maka primer dengan bantuan enzim DNA polymerase akan membentuk untaian DNA sesuai dengan runutan DNA yang terbelah, proses ini disebut elongasi (extension). Umumnya setelah proses siklus PCR selesai, ditambah waktu post elongasi selama 5-10 menit pada temperatur 72 oC agar semua hasil PCR berbentuk untai ganda (Sulandari & Zein 2003). Ketiga tahapan tersebut merupakan satu siklus termal. Jumlah fragmen DNA yang digandakan adalah 2n dimana n adalah banyaknya siklus termal. Rumus tersebut berasal dari penambahan jumlah keping (copy) DNA secara eksponensial, dimana keping DNA yang terbentuk menjadi cetakan bagi reaksi selanjutnya. Banyaknya siklus yang dilakukan tergantung pada banyaknya produk PCR yang diinginkan (Sulandari & Zein 2003). Menurut Sahin et al. (2003) metode molekuler PCR selain dapat mendeteksi dan mengidentifikasi Campylobacter sp. juga dapat mendeteksi adanya bakteri patogen kontaminan yang lain pada bahan pangan. Analisis PCR pada bahan pangan secara umum meliputi tahapan isolasi DNA dari sampel makanan, amplifikasi sekuen target secara PCR, visualisasi dengan melakukan separasi produk amplifikasi pada elektroforesis gel agarosa sehingga diketahui ukuran fragmen yang dihasilkan dibandingkan dengan DNA marker setelah perlakuan staining menggunakan etidium bromida. Metode PCR dapat mendeteksi dan mengidentifikasi Campylobacter sp. tergantung primer yang digunakan. Primer gen 16S rRNA atau 23S rRNA umumnya digunakan untuk mendeteksi genus thermophilic Campylobacter pada lokasi susunan sekuen gen hipO, flaA, mapA, ceuE, glyA, cadF atau lpxA (Al Rashid 2000; Wang et al. 2002). Beberapa jenis uji PCR seperti multiplex PCR (Wang et al. 2002) dan real-time PCR (Logan et al. 2001) (Sails et al. 1998) telah dilaporkan dapat mendeteksi Campylobacter sp. Multiplex PCR dilakukan menggunakan beberapa primer spesifik dalam satu reaksi sehingga deteksi dan identifikasi dapat dilakukan secara bersamaan (Sahin et al. 2003b). Real-time PCR dapat secara akurat mengukur kuantitas DNA template dan dapat memberikan perkiraan jumlah organisme yang ada dalam sampel, meskipun memerlukan peralatan dan reagen yang lebih mahal daripada metode PCR konvensional (Sahin et al. 2003b). Metode PCR dapat digunakan untuk identifikasi enteropathogen C. jejuni dan C. coli menggunakan
30 probe gene ceuE yang diduga mengkode faktor virulensi Campylobacter (Gonzales et al. 1997). Peneliti Mateo et al. (2005) telah mengembangkan metode PCR sebagai alat deteksi dan identifikasi C. jejuni dan C. coli yang mengkontaminasi produk perunggasan menggunakan probe gene mapA dan ceuE. Eyigor et al. (1999) melakukan deteksi dan analisa isolat C. jejuni dan C. coli menggunakan metode PCR menggunakan gen cytolethal distending toxin (cdt), gen cdt yang dihasilkan oleh C. jejuni dan C. coli dan merupakan faktor virulen dari kedua spesies tersebut, memperlihatkan sekuen yang berbeda. Susunan nukleotida primer yang dapat digunakan untuk identifikasi Campylobacter sp. disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Primer yang digunakan untuk mendeteksi genus Campylobacter Primer
Gen Target
Produk
Referensi
PCR (bp) cadF
outer membran proteinCampylobacter
400
Nayak et al. (2005)
ceuE
komponen lipoprotein enterochelin (C. coli)
894
Nayak et al. (2005)
23S rRNA
thermophilic Campylobacter sp.
650
Trust et al. (1994); Eyers et al. (1993)
16S rRNA
Campylobacter sp.
816
Linton et al. (1997); Kulkarni et al. (2002)
glyA
Serine hydroxymethyltransferase (C. coli, C. lari, C. upsaliensis)
126
Rashid et al. (2000)
fla
Flagellin (C. jejuni, C. coli)
450
Oyofo et al. (1992)
hipO
Hippuricase (C. jejuni)
323
Wang et al. (2002)
sapB2
Surface layer protein (C. fetus subs. fetus)
435
Wang et al. (2002)
asp
Aspartokinase (C. coli)
500
Linton et al. (1997); Amri et al. (2007)
cdt
cytolethal distending toxin(C. jejuni dan C. coli)
-
Eyigor et al. (1999)
omp50
outer membrane protein(Campylobacter sp.
1100
Dedieu et al. (2004)
31 2.5.2.2. Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) Metode cepat secara immunochemical menggunakan antibodi merupakan uji yang sensitif untuk mendeteksi bakteri kontaminan pada bahan pangan (Blankenfeld-Enkvist & Brannback 2002). Metode cepat yang dapat dikembangkan antara lain uji latex-agglutination, immunodiffusion test, dan enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA). Uji latex-agglutination menggunakan antibodi yang dilapisi partikel lateks berwarna yang dapat mengidentifikasi secara cepat serologis atau isolat kultur murni bakteri. Adanya aglutinasi antaraantibodi dan antigen dapat dibaca secara visual. Uji immunodiffusion dilakukan dengan meletakkan sampel yang telah diinkubaskan dalam media enrichment pada matriks gel yang telah mengandung antibodi. Adanya antigen pada matriks akan menyebabkan presipitasi yang terlihat seperti garis. ELISA (Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay) adalah salah satu metode cepat secara biokimia yang digunakan sebagai uji imunologi untuk mendeteksi adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang terdapat dalam sampel. Ciri utama teknik ini adalah menggunakan indikator enzim untuk reaksi imunologi (Burgess 1995). Tahapan ELISA diawali coating yaitu adsorbsi
secara pasif antibodi pada permukaan padat 96-well
microtiter plate yang terbuat dari polyvinyl chloride atau polystyrene. Protein yang teradsorb pada permukaan plastik mengalami ikatan hydrophobic antara protein nonpolar dengan matriks plastik. Terjadinya ikatan antibodi pada permukaan plastik tergantung pada perbandingan volume antibodi yang dilarutkan dalam larutan bufer coating dengan luas permukaan matriks padat, konsentrasi larutan, temperatur, serta waktu inkubasi sehingga dapat ditentukan konsentrasi antibodi yang akan dicoating (Burgess 1995; Crowther 2009). Jika protein yang digunakan untuk coating adalah murni, biasanya digunakan volume 50 µl dengan konsentrasi protein 1-10 µg/ml (Crowther 2009). Konsentrasi protein yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penumpukan dan penebalan lapisan protein sehingga dapat mengganggu interaksi ikatan protein dengan matrik padat (Crowther 2009) (Gambar 7). Inkubasi dapat dilakukan pada temperatur 37 oC selama 1-3 jam atau pada 4 oC selama semalam.
32
Gambar 7 Konsentrasi protein terlalu tinggi dalam larutan coating
Antibodi yang memiliki spesifitas yang tinggi dapat dikembangkan untuk mendeteksi bakteri yang mengkontaminasi bahan pangan. Terdapat tiga jenis antibodi yang dapat dikembangkan untuk deteksi, yaitu poliklonal, monoklonal, dan rekombinan (Crowther 2009). Pemilihan larutan pencuci dapat juga mempengaruhi hasil pengujian. Pada umumnya larutan pencuci mengandung deterjen yang digunakan untuk mengurangi reaksi pengikatan non-spesifik (Burgess 1995; Crowther 2009). Antigen merupakan protein yang diinjeksikan pada hewan percobaan sehingga dapat menghasilkan antibodi. Selanjutnya antibodi tersebut dapat bereaksi secara spesifik dengan antigen yang diuji terdapat dalam sampel. Enzim adalah substansi yang dapat bereaksi pada konsentrasi rendah sebagai katalis untuk meningkatkan reaksi spesifik, dan mengikat secara langsung ke antibodi. Enzim yang dipilih digunakan sesuai dengan substrat karena tiap enzim biasanya sepesifik terhadap substrat tertentu. Konjugat merupakan enzim yang dilekatkan pada antibodi, misalnya antiserum kelinci anti IgG tikus dikonjugasikan dengan horseradish peroxidase (Crowther 2009). Substrat adalah bahan kimia yang mampu bereaksi dengan enzim sehingga menghasilkan signal berupa perubahan warna tertentu sebagai hasil interaksi enzim dengan substrat. Pembacaan hasil ELISA dengan mengukur intensitas perubahan warna yang terjadi menggunakan spectrophotometer dengan memilih panjang gelombang yang tepat, sesuai dengan warna spesifik yang dihasilkan dari reaksi enzim pada ELISA (Burgess 1995). Uji ELISA terdapat bermacam-macam format. Namun untuk mendeteksi antigen dalam sampel bahan pangan biasanya menggunakan format “sandwich”. Antibodi dilekatkan pada matriks padat 96 well plate kemudian sampel ditambahkan. Adanya ikatan antibodi dan antigen yang terjadi dapat pantau menggunakan antibodi sekunder yang telah diikat enzim. Setelah ditambahkan substrat maka ikatan yang telah terjadi tersebut mengalami perubahan warna.
33 Deteksi limit uji ELISA berkisar antara 104-106 cfu/ml. Jika konsentrasi bakteri sebagai antigen sangat rendah perlu dilakukan inkubasi dalam media enrichment. Format komersial untuk deteksi Campylobacter sp. yang tersedia saat ini adalah VIDAS (bioMerieux, France), EIA (BioControl, USA), TECRA CAMVIA (TECRA Campylobacter Visual Immunoassay), dan Transia Plate ELISA. Metode latex agglutination secara cepat mampu mendeteksi koloni Campylobacter dari isolat yang diduga, tetapi tidak mampu mengidentifikasi spesies dan hanya membedakan genus Campylobacter (Hodinka & Gilligan 1988). Metode ini tidak bisa mendeteksi adanya Campylobacter sp. secara langsung dari sampel (Sahin et al. 2003b). Metode latex agglutination komersial (Meritec-Campy Ohio) mampu mendeteksi C. jejuni dan C. coli dengan sensitivitas tinggi, tetapi tidak terhadap C. lari dan C. upsaliensis (Nachamkin & Barbagallo 1990). Metode ELISA menggunakan kit komersial (Transia Plate ELISA) secara cepat dapat mendeteksi adanya bakteri kontaminan Campylobacter sp. yang terdapat dalam sampel (Wicker et al. 2001). Secara umum jenis ELISA dibedakan dalam dua jenis
sesuai dengan
fungsinya yaitu ELISA deteksi antibodi dan antigen.Metode ELISA deteksi antigen dapat digunakan untuk mendeteksi adanya mikroba patogen pada makanan. Di Indonesia, metode ELISA sudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan kontaminan mikroba patogen pada produk pangan. Metode ELISA yang dikembangkan dari antibodi yang diproduksi dari antigen yang berasal dari isolat lokal belum tersedia. Pada dasarnya uji ELISA ini mengikat antigen yang dikenali dalam sampel. Sedangkan antigen dalam sampel yang tidak dikenali oleh antibodi akan tercuci atau lepas dari microplate. Antibodi yang digunakan kemudian dilinked (diikat) menggunakan enzim. Pada uji tahap akhir ditambahkan substansi yang dapat memberikan sinyal terhadap enzim yang digunakan. Pada penelitian ini antibodi spesifik akan diproduksi dari domba, kelinci, dan ayam SPF yang telah diinfeksi menggunakan antigen spesifik yang diperoleh dari isolat lokal C. jejuni. Konfigurasi dalam ELISA dapat dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu ELISA langsung, tidak langsung, sandwich, dan kompotetitif (Burgess 1995; Crowther 2009). Konfigurasi ELISA langsung atau direct ELISA merupakan konfigurasi paling sederhana. Antigen secara langsung diadsorbsi pada permukaan mtariks padat. Sistem ini memerlukan antiserum yang spesifik untuk antigen yang diuji. Permukaan matriks dicuci kemudian antibodi yang telah diikat enzim
34 digunakan untuk menunjukkan adanya antigen. Keuntungan konfigurasi ini adalah sederhana namun hasil yang diperoleh bersifat semi kuantitatif (Burgess 1995). Konfigurasi ELISA tidak langsung atau indirect ELISA merupakan konfigurasi paling sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada matriks padat. Antibodi dari serum yang diuji sebagai antibodi primer sedangkan antibodi sekunder terikat pada enzim sebagai konjugat. Kelemahan konfigurasi ini adalah kurang spesifik interaksi antigen dan antibodi. Keuntungannya adalah antiserum dapat dideteksi menggunakan satu jenis antibodi yang telah dikonjugasikan, sehingga dapat digunakan untuk melakukan screening diagnosa suatu penyakit dalam jumlah sampel banyak (Crowther 2009). Konfigurasi sandwich ELISA menggunakan antibodi yang teradsorb pada permukaan matriks untuk menangkap antigen secara spesifik. Menurut Crowther (2009) terdapat 2 model sandwich ELISA yaitu direct dan indirect sandwich ELISA. Model direct sandwich ELISA menggunakan antibodi yang diadsorb pada permukaan matriks padat. Antibodi tersebut akan mengikat antigen yang ditambahkan atau terdapat dalam sampel. Antigen dilarutkan dalam bloking bufer untuk mencegah terjadinya ikatan non-spesifik pada matriks. Setelah diinkubasi dan dicuci maka terjadi ikatan komplek antibodi dengan antigen, dan adanya antigen dideteksi menggunakan antibodi spesifik yang telah diikat enzim. Antibodi sekunder yang digunakan sebagai konjugat bisa berasal dari hewan yang sama maupun berbeda. Model indirect sandwich ELISA pada tahap awal mirip dengan model direct ELISA, namun setelah penambahan antigen selanjutnya antigen dideteksi menggunakan antibodi yang berasal dari spesies atau hewan lain. Antibodi tersebut telah berikatan dengan antigen yang telah menempel pada antibodi yang telah diadsorb pada matrik selanjutnya dideteksi menggunakan antibodi sekunder yang telah diikat enzim. Keuntungan dari model ini adalah mampu mendeteksi antigen lebih spesifik karena menggunakan dua antibodi yang dapat mendeteksi antigen.
35
3. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yang dapat dilihat pada bagan sebagai berikut: Sampel (karkas ayam)
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI C. jejuni (Konvensional dan PCR)
ISOLAT
PREVALENSI
KAJIAN RISIKO
ANTIGEN
ANTIBODI
ELISA Gambar 8 Tahapan kegiatan penelitian 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dari Januari 2009 sampai Desember 2011. Pengambilan sampel karkas ayam dilakukan pada beberapa pasar tradisional dan swalayan di daerah Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi), Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Tengah (Demak dan Kudus). Penelitian dilakukan pada laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner dan laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, serta laboratorium Bakteriologi Balai Besar Penelitian Veteriner. 3.2. Bahan 3.2.1. Sampel Sampel berupa karkas ayam diambil pada tahun 2009 sampai 2011 dari pasar tradisional dan swalayan di daerah Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi), DKI Jakarta,
36 dan Jawa Tengah (Kudus dan Demak). Pada tahun 2009 dari tujuh pasar tradisional diambil sebanyak 49 sampel dan dari tujuh swalayan 49 sampel. Pada tahun 2010 dari tujuh pasar tradisional diambil 50 sampel sedangkan dari delapan swalayan 50 sampel. Tahun 2011 dari sepuluh pasar tradisional dan sepuluh swalayan diambil masing-masing 50 sampel. Jumlah sampel yang diambil dari pasar tradisional dan swalayan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah sampel karkas ayam yang diambil dari sejumlah pasar tradisional dan swalayan Lokasi Pengambilan Sampel
Jumlah Sampel yang diambil pada lokasi Swalayan
Total
Karkas
Sampel
Pasar
Karkas
Tradisional
Ayam
Jawa Barat
7
45
9
49
94
DKI Jakarta
7
54
6
50
104
Jawa Tengah
10
50
10
50
100
24
149
25
149
298
Ayam
Sampel dibawa ke laboratorium dalam kondisi dingin dan dalam plastik kedap udara. Jika sampel tidak langsung dikerjakan dapat disimpan dalam lemari pendingin suhu -20 oC sampai dilakukan isolasi. 3.2.2. Media Bahan yang digunakan untuk melakukan isolasi adalah media preenrichment yaitu Nutrient Broth No 2 yang telah ditambahkan enrichment berupa growth supplement yang mengandung sodium pyruvate, sodium metabisulphite, dan ferrous sulphate serta selective supplement yang mengandung antibiotik.
Media agar
selektif yang digunakan adalah media agar Campylobacter Blood-Free Selective Medium Modified CCDA-Preston dengan selective supplement untuk CCDA Identifikasi secara biokimia sesuai ISO 10272 dilakukan pengecatan Gram untuk mengetahui morfologi, uji motilitas menggunakan media semisolid, uji oksidase, dan uji gula-gula glucose, sucrose, lactose. Identifikasi untuk membedakan spesies dari Campylobacer sp. dilakukan uji catalase, oxidase, dan hidrolisa hippurate. Bahan gula-gula untuk identifikasi dan deferensiasi tersebut diatas terdapat dalam
37 API Campy. Isolat yang akan diidentifikasi merupakan isolat yang telah murni dan dilakukan perbanyakan pada media blood agar base ditambah 5% darah domba yang telah lisis. 3.2.3. Bahan kimia Bahan kimia yang digunakan untuk melakukan metode PCR (polymerase chain reaction) adalah Dream TaqTMmaster mix fermentas, primer, marker DNA, serta water nuclease free. Agarose gel elektroforesis yang dibuat dari agarose gel mengandung ethidium bromide. Untuk pembuatan antigen diperlukan formalin pa, NaCl fisiologis, dan NaCl nonpyrogenic, glycine hydrochloride. 3.2.4. Peralatan Alat yang diperlukan untuk isolasi dan identifikasi adalah ose, timbangan, gunting, pinset, Erlenmeyer, stomacher, alat vakum plastik, inkubator 42oC, jar anaerob ukuran 2.5 L. Melakukan uji PCR diperlukan mikropipet, tube PCR, mesin PCR, electrophoresis horisontal, micro centrifuge, waterbath. 3.3. Metode 3.3.1. Isolasi dan identifikasi 3.3.1.1. Konvensional Isolasi C. jejuni dari karkas ayam dilakukan menggunakan metode modifikasi dari International Organization for Standardization (ISO/DIS 102721994). Sampel karkas sebanyak 25 gram dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam kantong steril yang berisi media preenrichmnet Nutrient Broth No 2 yang telah ditambah campylobacter growth supplement (Oxoid SR0232E) dan Preston selective suplemen (Oxoid SR117E), kemudian digunakan stomacher untuk melumatkan karkas ayam. Inkubasidilakukan pada suhu 42 oC, dimasukkan kedalam jar yang telah diisi CampyGen (Oxoid CN0025A) untuk menyediakan kondisi mikroaerofilik dengan atmosphere 5% O2, 10% CO2, 85% N2. Lama inkubasi selama 18-24 jam. Selanjutnya dilakukan inokulasi kultur pada media selective agar CCDA dan kembali diinkubasikan pada suhu dan kondisi yang sama seperti sebelumnya selama 24-28 jam. Sebanyak 5 koloni yang khas yaitu berbentuk bulat
38 warna keabuan dan lengket disubkultur pada media agar darah, selanjutnya dilakukan identifikasi uji motilitas, mikroskopis menggunakan pewarnaan Gram, uji katalase dan oksidase. Uji terhadap gula-gula (glucose, sucrose, lactose) dan hidrolisa hipuratte dilakukan menggunakan Hasil identifikasi dengan teknik PCR diperoleh hasil 124 karkas ayam telah terkontaminasi Campylobacter sp., sebanyak 70 (56.5%) adalah C. jejuni dan 54 (43.5%) adalah C. coli, prosedur uji disesuaikan dengan petunjuk yang telah tersedia. Pada saat melakukan isolasi maupun identifkasi terhadap sampel yang diuji, setiap tahap uji selalu disesuaikan dengan isolat standar Campylobacter jejuni ATCC 33291. 3.3.1.2. Polymerase Chain Reaction (PCR) Sampel karkas ayam dalam suspensi media Nut Broth No 2 yang telah diinkubasi, diambil sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tube ukuran 1.8 ml kemudian disentrifus menggunakan microcentrifuge dengan kecepatan 10 000 rpm pada suhu 4 oC selama 10 menit. Pelet yang diperoleh ditambahkan 1 ml akuades steril dan dikocok menggunakan vorteks kemudian disentrifus kembali dengan kecepatan dan waktu yang sama seperti sebelumnya (Alexandrino et al. 2004). Purifikasi DNA dilakukan dengan cara tube tersebut dipanaskan dalam air mendidih dengan suhu 100 oC dalam waterbath. Setelah 10 menit, suspensi segera didinginkan sehingga mencapai suhu 37 oC dan disentrifus kembali dengan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit, suspensi yang ada diambil sebagai DNA dan disimpan pada suhu -20 oC. Isolat Campylobacter sp. yang telah murni dan ditumbuhkan pada media agar darah, diambil sebanyak 1 ose dimasukkan ke dalam 1 ml akuades kemudian dikocok
menggunakan
divorteks.
Selanjutnya
disentrifuse
menggunakan
microsentrifuge dengan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 oC. Supernatan dibuang dan endapan (pelet) dibuat suspensi dengan ditambahkan100 l akuades, kemudian suspensi dipanaskan pada suhu 100 oC selama 10 menit dalam waterbath. Suspensi segera didinginkan sehingga mencapai suhu 4 oC kemudian kembali disentrifuse 12 000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang dihasilkan digunakansebagai DNA template, yang dapat disimpan pada 4 oC selama kurang lebih 1 (satu) bulan atau -20 oC selama berbulan-bulan.
39 Primer yang digunakan pada uji PCR dapat dilihat pada Tabel 5. Primer yang digunakan adalah untuk mengidentifikasi gen hipO (hippuricase) dari C. jejuni, genglyA (serine hydroxymethyl transferase) dari C. coli. Selain itu untuk mengidentifikasi Campylobacter thermophilic digunakan primer 23S rRNA. Spesies C. jejuni dan C. coli memiliki flagella yang diidentifikasi oleh primer dengan sekuen gen fla.
Tabel 5 Susunan oligonukleotid primer Primer
Sekuen
Target Gen
Ukuran (bp)
CJ-F
ACT TCT TTA TTG CTT GCT GC
CJ-R
GCC ACA ACA AGT AAA GAA GC
CC-F
GTA AAA CCA AAG CTT ATC GTG
CC-R
TCC AGC AAT GTG TGC AAT G
23S-F
TAT ACC CGT AAG GAG TGC TGG AG
23S-R
ATC AAT TAA CCT TCG AGC ACC G
fla-F
GTA AAA CCA AAG CTT ATC GTG
fla-R
TCCA GCA ATG TGT GCA ATG
C. jejuni hipO
323
C. coli glyA
126
C. jejuni 23S rRNA
650
Flagella C. jejuni
450
Program amplifikasi yang dilakukan untuk primer forward maupun reverse CJ, CC dan 23S adalah sama yaitu 1 siklus pada suhu 95 oC selama 6 menit kemudian 35 siklus pada suhu denaturasi 95 oC selama 30 detik, suhu annealing 59 o
C selama 30 detik, dan suhu extension 72 oC selama 30 detik kemudian dilanjutkan
dengan 1 siklus pada suhu 72 oC selama 7 menit (Wang et al. 2002). Amplifikasi primer forward dan reverse fla dilakukan menggunakan modifikasi metode Wang et al. (2002) pada suhu annealing 48 oC, sedangkan suhu yang digunakan untuk tahap lainnya sama. Perkiraan suhu annealing dilakukan menggunakan perhitungan banyaknya asam nukleotid yang menyusun primer, menggunakan rumus sebagai berikut : Suhu annealing = 4(G+C) + 2 (A+T) Formulasi untuk PCR menggunakan volume larutan reaksi 50 µl terdiri dari PCR master mix 25 µl, masing-masing primer forward dan reverse 1 µl (0.25
40 µM/µl), water nuclease free 23 µl, 2 µl DNA template. Produk PCR yang dihasilkan selanjutnya diseparasi secara elektroforesis dalam agarose gel 1% yang dilarutkan dalam 1x TBE (Tris Boric EDTA) ditambah 5 l ethidium bromide solution pada tegangan 100 volt selama 60 menit, dimana agar direndam dalam larutan 1x TBE. Marker yang digunakan adalah 100 bp DNA ladder (GeneRulerTM Fermentas). Gambar pita DNA didokumentasi menggunakan UV (254 nm) trans-illuminator. 3.3.2. Produksi antibodi untuk pengembangan metode ELISA 3.3.2.1. Perbanyakan antigen Antigen dibuat dari isolat lapang hasil isolasi dan identifikasi sampel karkas ayam. Isolat yang secara PCR menunjukkan spesies C. jejuni dipilih untuk diperbanyak sebagai antigen. Isolat terpilih yang telah murni ditumbuhkan pada media Nutrient Broth No 2 dengan ditambah growth suplement dan selective suplement. Inkubasi dilakukan pada suhu 42 oC selama 48 jam pada kondisi mikroerofilik 5% O2, 10% CO2, 85% N2 menggunakan jar yang diisi Campy gen. Perbanyakan dilakukan secara bertingkat dengan menumbuhkan 100 µl isolat murni yang telah dithawing (setelah dibekukan) dalam 10 ml media cair diinkubasi pada suhu, waktu dan kondisi yang sama seperti di atas. Selanjutnya larutan suspensi tersebut dimasukkan ke dalam 100 ml media cair, setelah selesai inkubasi larutan suspensi disubkultur pada 1000 ml media cair dan dilakukan inkubasi kembali. Larutan suspensi (1000 ml) yang diperoleh selanjutnya disiapkan sebagai antigen. Sebelum mikroorganisme dimatikan dengan cara menambahkan 1% formalin pa, dilakukan uji kemurnian terlebih dahulu dengan melakukan subkultur pada media selective CCDA. Larutan suspensi disentrifus selama 20 menit menggunakan kecepatan 10 000 rpm. Pelet yang diperoleh dicuci 3 kali dengan cara menambahkan 100 ml NaCl fisiologis steril dan disentrifuse 10 000 rpm. Pelet yang dihasilkan ditambah 10 ml NaCl nonpyrogenic selanjutnya disiapkan sebagai suspensi antigen. Antigen whole cell disiapkan dengan melakukan sonikasi suspensi antigen selama 30 detik menggunakan sonicator. Pada saat proses sonikasi suspensi dipertahankan dalam kondisi suhu 4 oC. Antigen flagela dibuat menggunakan metode ekstraksi glycine (Logan & Trust 1983; Harris et al. 1987). Sebanyak 1 ml suspensi antigen Campylobacter
41 jejuni ditambahkan ke dalam 10 ml dalam 0.2 M glycine hydrochloride (pH 2.2). Suspensi distirer menggunakan magnet stirer pada suhu kamar selama 15 menit. Kemudian dilakukan sentrifuse 12 000 rpm selama 15 menit, supernatan yang dihasilkan dinetralisasi menggunakan NaOH. Selanjutnya dilakukan dialisis dalam NaCl fisiologis suhu 4 oC selama semalam. Antigen whole cell dan flagellin masing- masing dimasukkan ke dalam buffer yang mengandung 5% (v/v) 2-mercaptoethanol, 10% (v/v) glycerol, 2% (v/v) sodium dodecyl sulfate, dan 0.0625 M Tris base. Sampel dipanaskan pada suhu 100 o
C selama 3 menit. Sebanyak 5 µl sample yang mengandung 10
g protein
dimasukkan ke dalam tiap sumuran gel electrophoresis. Pemisahan protein menggunakan gel electrophoresis sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dilakukan dalam 4.5% stacking gel dan 12% sodium dodecyl sulfate-polyacrilamide gel. Electrophoresis dilakukan pada 8 mA semalam atau menggunakan 4% stacking gel dan 10% separating gel (Wenman et al. 1985). 3.3.2.2. Pembuatan antiserum Antiserum dibuat dengan melakukan imunisasi antigen pada hewan percobaan. Hewan percobaan yang digunakan adalah kelinci Newzealand White umur 2 bulan, domba 4 bulan, dan ayam SPF umur 1 bulan. Antigen whole cell konsentrasi 90 mg dan flagella 40
g yang telah diemulsikan dalam Freund’s
complete adjuvant/FCA (Sigma) masing-masing diinjeksikan pada hewan kelinci secara intramuskuler. Sebelum hewan percobaan diimunisasi, diambil darahnya terlebih dahulu untuk mengetahui titer antibodi preimunisasi. Booster dilakukan secara subcutan pada hari ke-14 menggunakan antigen yang diemulsifikasi menggunakan Incomplete Freund’s Adjuvant/IFA (Sigma) (Newell et al. 1984). Pengambilan serum dilakukan sepuluh hari setelah booster dan setiap 2 minggu setelah pengambilan darah dilakukan. Titer antibodi yang terjadi diukur dengan menggunakan ELISA. Prosedur uji yang digunakan adalah direct ELISA seperti yang telah dilakukan oleh Blaser dan Duncan (1984) dan Stird et al.(2001), terlebih dahulu ditentukan optimal dilution dari semua reagen secara checkerboard titration dan waktu serta temperatur yang optimum untuk inkubasi sebelum digunakan untuk menguji.
42 Antigen whole cell disiapkan dalam larutan buffer coating 0.5 M carbonate buffer pH 9.6, sebanyak 100 µl larutan antigen (mengandung protein 10 mg) ditambahkan ke dalam masing-masing U-bottom maxisorp microwell plates. Plate ditutup dan diinkubasikan pada suhu 4o C selama 24 jam. Setelah selesai inkubasi plate dikosongkan dan dicuci empat kali menggunakan washing bufferPBS (phosphate-bufferd saline) pH 7.4 mengandung 0.1% Tween 20 dan 100 µl blocking bufferPBS mengandung 5% Tween 20. Serum yang akan diuji diencerkan 1:200 dalam PBS mengandung 0.01% (w/v) sodium azide. Serum yang diuji dan kontrol diuji duplikasi dengan inkubasi pada suhu ruang selama 75 menit, diikuti empat kali pencucian. Horseradish peroxidase-labeled antiserum chicken diencerkan 1:8000 dalam washing buffer selanjutnya 100 µl ditambahkan ke dalam masing-masing lubang plate dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 75 menit sebelum dicuci. Terakhir ditambahkan 100 µl tetramethyl benzidine sebagai substrat dan diinkubasikan selama 10 menit kemudian ditambahkan 100 µl stop reaction 0.2 M H2SO4. Nilai optical density (OD) di baca menggunakan ELISA reader panjang gelombang 450 nm. 3.3.2.3. Pemisahan Ig G dari serum Purifikasi terhadap serum hiperimun yang telah dikoleksi dari hewan percobaan dilakukan menurut metode Harlow dan Lane (1988) yaitu dengan cara menambahkan amonium sulfat jenuh ke dalam serum dengan perbandingan 1:1. Campuran serum dan ammonium sulfat tersebut digoyang secara perlahan-lahan sampai tercampur rata selama 10 menit. Pada suspensi akan terjadi presipitasi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5 000 rpm selama 15 menit. Setelah sentrifugasi, kemudian supernatan dibuang perlahan-lahan atau dibuang dengan cara dipipet. Presipitat dilarutkan kembali dengan akuades yang volumenya sama dengan volume serum awal. Larutan presipitat dalam akuades kemudian di dialisis menggunakan
0.01
M
phosphate
buffer
saline
(PBS)
dalam
membran
semipermeabel beberapa kali pada suhu 4 ºC selama 24 jam. Setelah dialysis suspensi Ig G antiflagela kemudian disimpan pada suhu -20 oC sampai digunakan untuk uji ELISA.
43 3.3.3. Kajian risiko Secara garis besar penelitian mengenai kajian risiko dapat dilihat pada bagan di bawah yaitu meliputi penentuan prevalensi dan tingkat cemaran Campylobacter sp. pada karkas ayam serta penentuan tingkat laju penurunan cemaran Campylobacter sp. pada proses pemanggangan secara simulasi untuk menentukan risiko paparan Campylobacter sp. dan menentukan peluang infeksi Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi ayam yang dipanggang. Tahapan penelitian mengenai kajian risiko dapat dilihat pada Gambar 9. Inokulasi Campylobacter sp. pada karkas steril Simulasi pemanggangan pada suhu dan waktu komersial Pengumpulan data sekunder - Prevalensi (p) - Tingkat cemaran (c)
Kuantifikasi Campylobacter sp. Penentuan tingkat penurunan cemaran
Penentuan rusiko paparan Campyloacter sp. pada konsumsi ayam Penentuan peluang infeksi Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi ayam Gambar 9 Tahapan penelitian menentukan kajian risiko
3.3.3.1. Prevalensi dan tingkat cemaran Campylobacter sp. pada karkas ayam Data prevalensi yang digunakan diperoleh penelusuran data prevalensi sekunder dan tingkat cemaran Campylobacter sp. dari laporan penelitian sebelumnya. 3.3.3.2. Risiko paparan Campylobacter sp. Data pendukung untuk mengetahui risiko paparan Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi daging ayam diperoleh dari penelitian dan survei yang sudah dilakukan sebelumnya sehingga diperoleh jumlah kontaminasi Campylobacter sp. yang terdapat dalam satu porsi daging ayam yang berpotensi dan terpapar ketika dikonsumsi. Sebuah analisis risiko kuantitatif dapat dilakukan beberapa cara yang
44 berbeda. Salah satu cara menggunakan satu-titik perkiraan atau deterministik. Dengan menggunakan distribusi probabilitas, variabel dapat memiliki probabilitas yang berbeda dari hasil yang berbeda terjadi serta mampu menggambarkan ketidakpastian dalam variabel dari analisis risiko. Bentuk kajian yang dilakukan pada penelitian ini adalah model deterministik yang menggunakan perkiraan tunggal sebagai data input. 3.3.3.3. Peluang infeksi Hubungan antara termakannya sejumlah tertentu mikroba dan kemungkinan terjadi akibatnya dapat dideskripsikan dengan Model dose-response, yang digunakan pada penelitian ini adalah Model beta-poisson. Peluang terjadinya infeksi per porsi penyajian dapat dihitung secara : Pi = [1-(1+Ce/β)]-α Dimana
Pi = peluang infeksi Ce = jumlah mikroba yang tertelan α dan β =
0.21 dan 59.95 adalah parameter spesifik untuk
Campylobacter sp. (WHO 2001)
45
4. PREVALENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI DAN CAMPYLOBACTER COLI PADA KARKAS AYAM DARI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN ABSTRAK Bakteri patogen Campylobacter sp. merupakan agen utama foodborne disease penyebab gastroenteritis pada manusia. Campylobacteriosis umumnya disebabkan oleh spesies Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli. Karkas ayam yang terinfeksi adalah sumber infeksi campylobacteriosis pada manusia. Di Indonesia cara penjualan karkas ayam di pasar tradisional dan swalayan berbeda. Di pasar tradisional karkas ayam dijual tanpa penutup (atau di ruangan terbuka) dan disimpan pada suhu ruang dalam waktu lama sehingga memungkinkan bakteri patogen tumbuh. Sedangkan di swalayan karkas ayam dijual dalam kemasan plastik tertutup disimpan dalam lemari pendingin. Sebanyak 298 sampel karkas ayam dari pasar tradisional dan swalayan di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi) dan Jawa Tengah (Kudus dan Demak) dilakukan isolasi dan identifikasi Campylobacter sp. secara konvensional untuk mengetahui prevalensi kontaminasi C. jejuni dan C. coli. Hasil yang diperoleh adalah karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan telah terkontaminasi Campylobacter sp. 19.8% yang terdiri dari spesies C. jejuni dan C. coli. Angka kontaminasi Campylobacter sp. pada karkas ayam yang dijual di swalayan 14.09% adalah lebih tinggi dari pada pasar tradisional 5.7% Kontaminasi Campylobacter sp. pada karkas ayam diketahui spesies C. jejuni lebih tinggi dari C.coli. Kontaminasi spesies C. jejuni dari sampel yang berasal dari pasar tradisional 88.23% dan kontaminasi C. coli 11.76%. Prevalensi kontaminasi C. jejuni pada karkas ayam yang dijual di pasar swalayan 78.5% lebih tinggi jika dibandingkan kontaminasi C. coli 21.42%. Kata kunci : Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, karkas ayam, pasar tradisional, swalayan ABSTRACT Campylobacter spp. are a major cause of bacterial gastroenteritis. Human clinical infections are most frequently caused by Campylobacter jejuni and Campylobacter coli. Contaminated chicken carcasses were source of infection to human campylobacteriosis. In Indonesia, the chicken carcasses are sold in traditional markets and supermarkets. In traditional markets, chicken carcasses are sold without a proper packaging (or in a open space) and stored at room temperature for a prolonged period allowing pathogenic bacteria to grow. While at supermarkets, chicken carcasses are displayed/enclosed in plastic wrap and stored in a refrigerator. A total of 298 samples of chicken carcasses from traditional markets and supermarkets in the area of DKI Jakarta, West Java (Bogor and Sukabumi) and Central Java (Kudus and Demak) were collected, isolated and identified for Campylobacter sp. (19.8%) with conventional method to determine the prevalence for contamination of C. jejuni and C.coli. The result is chicken carcasses
46 sold in the sampling area both traditional markets and supermarkets are contaminated with C. jejuni and C. coli. The contamination rate of Campylobacter sp. on chicken carcasses sold in supermarkets, markedly 14.09% is higher than in traditional markets 5.70%. It is also confirmed that the prevalence for contamination of C. jejuni was higher than C. coli. Prevalence of C. jejuni contamination that sold in traditional markets 88.23% was higher than C. coli 11.76%. The prevalence of C. jejuni contamination in carcasses sold in swalayan was 78.57%. These were higher than contamination of C. coli that was identified by conventional methods 21.42%. Key words : Campylobacter coli, Campylobacter jejuni, poultry carcasses, retail, supermarket PENDAHULUAN Laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika tahun 1996 sampai tahun 1999 bahwa Campylobacter sp. adalah bakteri agen foodborne disease yang utama kemudian diikuti infeksi yang disebabkan oleh Salmonella sp., Shigellasp., Escherichia coli O:157 H:7, dan Yersinia sp. Organisasi World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 1% populasi di Eropa terinfeksi Campylobacter sp. setiap tahunnya (Wheeler et al. 1999). Epidemiologi infeksi Campylobacter sp. di negara yang sedang berkembang berbeda dengan negara industri. Infeksi Campylobacter sp. di negara yang sedang berkembang lebih banyak terjadi pada anak-anak berumur kurang dari 2 tahun dan infeksi penyakit bersifat asimptomatik. Di negara yang sedang berkembang kejadian penyakit tidak terlihat jelas seperti di negara maju. Campylobacteriosis di Indonesia telah dilaporkan oleh Oyofo et al. (2002), Tjaniadi et al. (2003), dan Allos (2001) bahwa infeksi yang disebabkan oleh Campylobacter jejuni pada penderita diare di beberapa kota merupakan bakteri patogen utama penyebab diare. Campylobacter spp. telah dikenal sebagai bakteri penyebab diare pada manusia sejak tahun 1972 sebagai agen foodborne disease. Spesies Campylobacter yang berhubungan dengan foodborne disease adalah Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, Campylobacter lari dan Campylobacter upsaliensis. Menurut Hariharan et al. (2004) infeksi terbanyak yang dilaporkan disebabkan oleh spesies C. jejuni meskipun
spesies C. coli kadang dilaporkan juga. Kejadian infeksi
Campylobacter sp. terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama dua puluh tahun terakhir, kejadian campylobacteriosis pada manusia meningkat secara eksponential di beberapa negara tetapi penyebab terjadi peningkatan belum diketahui secara jelas
47 (WHO 2001). Sumber infeksi pada manusia sebagian besar disebabkan karena mengkonsumsi daging ayam terkontaminasi Campylobacter sp. yang dimasak dengan pemanasan tidak sempurna. Penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui
prevalensi
kontaminasi
Campylobacter sp. pada karkas ayam. Perbedaan kondisi lingkungan pasar dan pengemasan karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan mempengaruhi kemampuan pertumbuhan bakteri kontaminan Campylobacter sp. Di Indonesia karkas ayam dijual di pasar tradisional dan swalayan. Karkas ayam dijual di pasar tradisional dengan cara disimpan tanpa penutup dalam suhu ruang, sedangkan di swalayan dijual dalam kemasan ditutup menggunakan wrap plastic dan disimpan dalam refrigerator. Spesies C. jejuni merupakan penyebab utama campylobacteriosis dengan angka kejadian sekitar 90%. Spesies yang lain yaitu C. coli adalah penyebab kedua setelah C. jejuni yang angka kejadiannya sekitar 5-10% (Gillespie et al. 2002). Meskipun angka kejadiannya lebih kecil namun hal ini memperlihatkan bahwa risiko campylobacteriosis pada manusia akibat infeksi C. coli perlu diperhatikan. BAHAN DAN METODE Sampel Sampel
sejumlah 298 karkas ayam yang digunakan pada penelitian ini
adalah berupa karkas ayam diperoleh dari pasar tradisional dan swalayan di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi) dan Jawa Tengah (Kudus dan Demak) dari tahun 2009 sampai 2011. Sampel yang dikoleksi dimasukkan ke dalam kantung plastik kedap udara, kemudian
dimasukkan kedalam boks pendingin
kisaran suhu 4-5 oC untuk dibawa ke laboratorium. Media yang digunakan untuk melakukan isolasi secara konvensional adalah media preenrichment Nut Broth No 2 (Oxoid, England), media agar selektif Campylobacter Blood Free Selective Agar Base (modified CCDA-Preston) (Oxoid, England) serta growth supplement(Oxoid, England) (komposisi sodium pyruvate, ferrous sulphate, dan sodium metabisulfite) dan selective supplement(Oxoid, England) (mengandung Cefoperazone dan Amphotericin B). Peralatan yang digunakan adalah jar untuk inkubasi mikroaerofilik, dan inkubator.
48 Isolasi dan Identifikasi secara Konvensional (ISO/DIS 10272-1994) Sebanyak 298 sampel masing-masing sampel diambil 25 gram dimasukkan ke dalam kantong steril yang berisi media Nut Broth No 2 (Oxoid) yang telah ditambah growth suplement (Oxoid SR 232E)
dan dihancurkan menggunakan
stomacher kemudian diinkubasikan pada suhu 42 oC selama 24 jam dalam kondisi mikroerofilik (5% O2, 10%, CO2, 85% N2). Inkubasi dilakukan menggunakan jar yang telah diisi CampyGen (oxoid). Setelah diinkubasi selanjutnya kultur diinokulasikan pada media Campylobacter Blood Free Selective Agar Base (modified CCDA-Preston) (Oxoid) yang mengandung CCDA selective suplement (Oxoid SR 155E), kemudian diinkubasikan kembali pada kondisi mikroerofilik seperti di atas selama 24-48 jam. Selanjutnya dilakukan pewarnaan Gram dan pemeriksaan mikroskopis. Identifikasi dilakukan dengan uji oksidase, motilitas, fermentasi glukosa, laktosa, sukrosa (Barrow & Feltham 2003). Untuk konfirmasi dilakukan secara biokimia menggunakan API Campy test (BioMerieux, Perancis) untuk menentukan spesies C. jejuni atau C. coli. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini sebanyak 298 sampel karkas ayam dari pasar tradisional dan swalayan di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi) dan Jawa Tengah (Kudus dan Demak) telah dilakukan isolasi untuk mengetahui adanya kontaminasi Campylobacter sp. dari tahun 2009 sampai 2011. Sampel diambil setiap tahun pada lokasi yang berbeda dengan jumlah yang tidak berbeda signifikan pada pasar tradisional dan swalayan. Sampel karkas ayam sebanyak 149 yang diperoleh dari pasar tradisional dan 149 dari swalayan dilakukan isolasi secara konvensional sesuai dengan ISO/DIS 10272-1994. Isolasi secara
konvensional menggunakan media cair yang telah
ditambahkan growth supplement dan selective supplement kemudian dilakukan inkubasi secara mikroaerophilic menggunakan jar (Gambar 10) pada suhu 42 oC. Selanjutnya dilakukan subkultur pada media agar selektif modified CCDA-Preston diperoleh 59 isolat Campylobacter sp. Isolat murni yang tumbuh pada media agar selektif disajikan pada Gambar 11. Selanjutnya dilakukan uji konfirmasi secara mikroskopis dengan pewarnaan Gram (Gambar 12) dan uji katalase (Gambar 13) serta oksidase (Gambar 14). Identifikasi isolat yang diperoleh dilakukan
49 menggunakan API Campy (BioMerieux, Perancis) dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 6.
Gambar 10 Jar yang digunakan untuk inkubasi secara mikroaerofilik
Gambar 11 Koloni C. jejuni yang ditumbuhkan pada media CCDA
50
Gambar 12 Pemeriksaan mikroskopis menggunakan pewarnaan Gram
Gambar 13 Uji catalase positif isolat lokal C. jejuni
Gambar 14 Uji oksidase positif isolat lokal C. jejuni Tabel 6 Isolat Campylobacter sp, C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam yang diperoleh dari pasar tradisional dan sawalayan pada tahun 2009-2011 menggunakan metode konvensional Tahun
Campylobacter sp.
C. jejuni
C. coli
2009
12
12
0
2010
9
0
9
2011
38
36
2
51 Isolasi dan identifikasi bakteri patogen Campylobacter sp. sebagai kontaminan pada karkas ayam menggunakan metode konvensional diperoleh 59 (19.8%) dimana 48 (81.4%) diidentifikasi sebagai spesies C. jejuni dan C. coli 11 (18.7%). Hasil penelitian sebelumnya Humphrey et al. (2007) menyatakan bahwa infeksi campylobacteriosis pada manusia pada umumnya disebabkan oleh spesies C. jejuni dan C. coli yang berasal dari saluran pencernaan hewan terutama ayam. Menurut Frost (2001) sebagian besar kejadiannya gastroenteritis disebabkan oleh bakteri patogen Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli.
Gambar 15 Hasil uji API Campy isolat C. jejuni Karkas ayam yang dipakai sampel diambil di pasar tradisional dan swalayan dari beberapa kota di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah dengan terlebih dahulu dilakukan isolasi dan identifikasi Campylobacter sp. Selanjutnya dilakukan uji menggunakan API Campy untuk mengidentifikasi dengan prinsip menguji isolat Campylobacter spp. secara biokimia (Gambar 15). Menurut Hu dan Kopecko (2003) yang dapat membedakan C. jejuni dan C. coli dengan menggunakan uji hidrolisis enzim hipurat karena C. jejuni mampu menghidrolisis enzim tersebut sedangkan C. coli tidak. Hasil ini memperlihatkan bahwa karkas ayam yang diambil dari pasar tradisional maupun pasar swalayan masing-masing telah terkontaminasi oleh C. jejuni dan C. coli. Beberapa peneliti sebelumnya telah melaporkan bahwa daging ayam yang dijual di pasar di Amerika Serikat telah terkontaminasi C. jejuni dan C. coli adalah 2.3 sampai 98% (Stern & Line 1992; Meldrum et al. 2005; Stern & Pretanik 2006).
Identifikasi secara biokimia menggunakan metode yang sama
52 dengan API Campy telah dilaporkan oleh Flynn et al. 1994 bahwa 99 (64.7%) dari 153 sampel bagian sayap ayam positif terkontaminasi Campylobacter sp. Sebanyak 70 (45.7%) teridentifikasi C. jejuni dan C. coli. Sebanyak 45 (29.4%) C. jejuni dan 25 (16.3%) C. coli.
Prevalensi isolat C. jejuni dan C. coli dari karkas ayam yang
diperoleh dari pasar tradisional maupun swalayan dapat dilihat pada Gambar 16.
35 30 25
Ps Tradisonal 20
Swalayan
15 10 5 0 C. jejuni
C. coli
Gambar 16 Prevalensi C. jejuni dan C. coli pada pasar tradisional dan swalayan
Laporan hasil survei Meldrum et al. (2005) di Wales terhadap daging ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan dinyatakan positif terkontaminasi Campylobacter sp. secara berurutan 73% (n=565) dan 71% (n=171). Pada penelitian ini, prosentase kontaminasi bakteri patogen C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam yang diambil di pasar tradisional lebih rendah jika dibandingkan swalayan dapat dilihat pada Gambar 16. Secara metode konvensional dari 298 sampel diperoleh hasil bahwa karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan telah terkontaminasi Campylobacter sp. secara berurutan 17 kasus (5.7%) dan 42 kasus (14.1%). Isolat kontaminan Campylobacter sp. tersebut telah dilakukan identifikasi spesies sehingga diperoleh hasil secara konvensional di pasar tradisional dari 17 sampel yang terkontaminasi Campylobacter sp, sebanyak 15 (88.2%) adalah C. jejuni dan C. coli 2 (11.8%), dan identifikasi 42 sampel kontaminan Campylobacter sp. pada karkas ayam yang dijual di swalayan terdiri dari (78.57%) dan C. coli 9 kasus (21.42%).
C. jejuni 33 kasus
53 Poeloengan dan Noor (2003) pernah melaporkan adanya kontaminasi bakteri Campylobacter sp. pada karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan di daerah Bogor, isolasi menggunakan
metode konvensional menghasilkan
prosentase kontaminasi pada pasar tradisonal lebih rendah dari pada swalayan. Hal ini disebabkan karena bakteri Campylobacter sp. meskipun termasuk kelompok bakteri thermophilic namun bersifat fastidious, fragile dan tidak mampu berkompetisi dengan bakteri lain dalam pertumbuhannya. Penelitian Gill dan Haris (1982b) menyatakan bahwa pertumbuhan Campylobacter sp. pada daging mengalami penurunan pada saat pertumbuhan
mikroflora normal dan bakteri
patogen lain jumlahnya meningkat maksimum mencapai 109/cm2. Hasil penelitian karkas ayam yang diambil dari pasar tradisional dijual tanpa penutup memungkinkan banyak bakteri kontaminan baik patogen maupun non patogen yang tumbuh dan mengurangi kesempatan Campylobacter sp. untuk tumbuh dan memperbanyak diri. Di pasar swalayan karkas dijual dengan dibungkus plastik memberikan kondisi atmosfer yang lebih optimal bagi pertumbuhan Campylobacter sp. yang bersifat microaerophilic, dimana adanya oksigen di udara dapat mengganggu pertumbuhan Campylobacter sp. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Balamurugan et al. (2011) dan Hilbert et al. (2010) yang menyatakan bahwa kemasan vakum pada daging dan adanya mikroflora normal yang tumbuh pada kemasan vakum seperti Pseudomonas sp. dapat meningkatkan kamampuan tumbuh dan berkembangnya C. jejuni.
Perbedaan suhu penyimpanan karkas ayam
mempengaruhi kemampuan pertumbuhan Campylobacter sp. Menurut Upton (1995) karkas ayam yang disimpan pada suhu 4 oC dengan kondisi vakum mampu hidup dan berproliferasi meskipun pada penyimpanan hari ke-28 hanya dapat dideteksi 500 sel per gram karkas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kontaminasi bakteri C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam yang dijual di swalayan lebih tinggi dari pada karkas yang dijual di pasar tradisional, karena di swalayan karkas disimpan pada suhu refrigerator sehingga memungkinkan Campylobacter sp. masih mampu tumbuh dan berkembang. Didukung oleh hasil penelitian Huezo et al. (2007) bahwa proses chilling tidak mempengaruhi prevalensi Campylobacter pada karkas. Prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. pada karkas ayam yang dijual di pasar tradisional lebih rendah dari pada swalayan tidak memberikan arti bahwa
54 karkas ayam yang dijual di pasar tradisional lebih baik. Menurut Meldrum et al. (2005) terdapat perbedaan yang nyata adanya kontaminasi Salmonella pada karkas ayam yang dijual di pasar tradisional lebih tinggi dari pada di toko daging yang dilengkapi dengan pendingin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dengan cara penyimpanan terbuka dan disimpan pada suhu kamar memungkinkan lebih banyak mengandung bakteri patogen sebagai kontaminan selain Campylobacter sp.
Meskipun pervalensi
Campylobacter sp. pada karkas ayam yang dijual di pasar tradisional memperlihatkan lebih rendah dari swalayan namun dosis infeksi bakteri patogen Campylobacter jejuni sangat rendah yaitu 900 sel hidup (Stern & Pretanik 2006), sehingga, apabila manusia mengkonsumsi karkas ayam yang telah terkontaminasi Campylobacter sp. dapat menyebabkan campylobacteriosis. Menurut Kramer et al. (2000) dan Gurtler (2005) terdapat beberapa jenis spesies Campylobacter yang dapat diisolasi dari karkas ayam. Adanya perbedaan prevalensi C. jejuni dan C. coli sebagai kontaminan pada bahan pangan menyebabkan perbedaan faktor risiko sehingga strategi kontrol yang perlu dilakukan juga berbeda. Menurut Mateo et al. (2005) spesies C. jejuni dan C. coli merupakan mikroba yang umumnya mengkontaminasi karkas ayam, namun Tam et al. (2003) melaporkan bahwa terdapat perbedaan morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan oleh masing-masing spesies tersebut. Menurut Allos (2001) penanganan yang tidak baik selama prosesing pada karkas ayam di rumah potong serta meningkatnya konsumsi daging ayam dapat merupakan sumber utama infeksi pada manusia. Adanya kontaminasi spesies C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam pada penelitian ini dengan prevalensi yang berbeda memberikan laporan pentingnya peranan kesehatan masyarakat dalam penyediaan bahan pangan yang berkualitas. Sesuai dengan laporan Tam et al. (2003) bahwa meskipun C. coli mempunyai peran minor dalam
menyebabkan
campylobacteriosis
pada
manusia
tetapi
mempunyai
berpengaruh cukup besar pada kesehatan manusia. Usaha untuk mengurangi jumlah kontaminasi Campylobacter sp. dapat dilakukan dengan melakukan dekontaminasi. Menurut Li et al. (2002) dekontaminasi karkas ayam menggunakan klorin seperti yang biasa dilakukan pada karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan konsentrasi 50 ppm dapat menurunkan jumlah Campylobacter sp. sebanyak 1 log cfu/ karkas. Peningkatkan sanitasi termasuk klorinasi air dan higiene
55 pada saat produksi karkas ayam, mengurangi kejadian kontaminasi silang dan memisahkan bahan mentah sebagai sumber kontaminan dengan bahan pangan siap saji, memegang peranan cukup penting untuk mengurangi terjadinya infeksi Campylobacter sp. pada manusia. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karkas ayam yang dijual pada pasar tradisional dan swalayan di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi), Jawa Tengah (Kudus dan Demak) positif terkontaminasi bakteri enteropatogen C. jejuni dan C. coli. Spesies C. jejuni adalah kontaminan utama karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan dengan angka prevalensi yang lebih lebih tinggi dari C. coli. Prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. 59 (19.8%) terdiri dari 48 (81.4%) spesies C. jejuni
dan
C. coli 11 (18.7%).
Kontaminasi Campylobacter sp. di pasar swalayan, 42 kasus (14.1%) lebih tinggi jika dibandingkan pasar tradisional 17 kasus (5.7%). Sebanyak 42 sampel dari karkas yang dijual di swalayan 33 kasus (78.57%) adalah C. jejuni dan 9 kasus (21.42%) adalah C. coli, sedangkan 17 isolat positif Campylobacter sp. dari karkas ayam yang dijual di pasar tradisional sebanyak 15 (88.2%) adalah C. jejuni dan C. coli 2 (11.8%). Keberadaan kontaminasi C. jejuni dan C. coli sebagai agen foodborne enteropatogen pada karkas ayam dapat menyebabkan infeksi pada manusia sehingga merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian dalam bidang kesehatan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Allos BM. 2001. Campylobacter jejuni infections: update on Emerging issues and trends. Invited Article. Food Safety 32: 1201-1206. Balamurugan S, Nattress FM, Baker LP, Dilts BD. Survival of Campylobacter jejuni on beef and pork under vacuum packaged and retail storage conditions: examination of the role of natural meat microflora on C. jejuni survival. Food Microbiol 30: 1-8. Barrow, Feltham. 2003. Character of gram-negative bacteria. Di dalam Cowan and Steel’s manual for the identification of medical bacteria. New York: Cambridge University Press.
56 Flyn OMJ, Ian SB, David AM. 1994. Prevalence of Campylobacter species on fresh retail chicken wings in Northern Ireland. J Food Prot 57(4): 334-336. Frost JA. 2001. Current epidemiology issues in human campylobacteriosis. J Appl Microbiol 30: 85-95. Gill CO, Haris LM. 1982b. Survival and growth of Campylobacter fetus subs. jejuni on meat and cooked foods. Appl Environ Microbiol 44(2): 259-263. Gillespie IA, O’Brien SJ, Frost JA. 2002. A case-case comparison of Campylobacter coli and Campylobacter jejuni infection: a tool for generating hypotheses. Emerg Infect Dis 8(9): 937-942. Gurtler M, Alter T, Kasimir S, Fehlhaber K. 2005. The importance of Campylobacter coli in human campylobacteriosis: prevalence and genetic characterization. Epidemiol Infect 133: 1081-1087. Hariharan H, Murphy GA, Kempf I. 2004. Campylobacter jejuni: public health hazards and potential control methods in poultry: a review. Vet Med-Czech 49(11): 441-446. Hilbert F, Scherwitzel M, Paulsen P, Szostak M. 2010. Survival of Campylobacter jejuni under condition of atmospheric oxygen tension with the support of Pseudomonas spp. Appl Environ Microbiol 76(17): 5911-5917. Huezo R, Northcutt JK, Smith DP, Fletcher DL, Ingram KD. 2007. Effect of dray air or immersion chilling on recovery of bacteria from broiler carcasses. J Food Prot 70(8): 1829-1834. Hu I, Kopecko. 2003. Campylobacter spesies. Di dalam: International Handbook of Foodborne Pathogens. Miliotis MD, Bier JF, editor. New York: Marcell Dekker. Humphrey T, O’Briens S, Madsen M. 2007. Campylobacters as zoonotic pathogens: A food production perspective. Int J Food Microbiol 117: 237-257. Kramer JM, Frost JA, Bolton FJ, Wareing DRA. 2000. Campylobacter contamination of raw meat and poultry at retail sale: identification of multiple types and comparison with isolates from human infection. J Food Prot 63(12): 1654-1659. Li Y, Yang H, Swem BL, 2002. Effect of high-temperature inside-outside spray on survival ofCampylobacter jejuni attached to prechill chicken carcasses. Poult Sci 81: 1371-1377. Mateo E, Carcamo J, Urquijo M, Perales I, Fernandez-Astorga A. 2005. Evaluation of a PCR assay for the detection and identification of Cmpylobacter jejuni and Campylobacter coli in retail poultry products. Res in Microbiol: 156568. Meldrum RJ, Tucker D, Smith RMM, Edwards C. 2005. Survey of Salmonella and Campylobacter contamination of whole, raw poultry on retail sale in Wales in 2003. J Food Prot 68(7): 1447-1449.
57 Oyofo et al. 2002. Surveilance of bacterial pathogens of diarrhea disease in Indonesia. Diag Microbiol and Infect Dis 44: 227-234. Poeloengan M, Noor SM. 2003. Isolasi Campylobacter jejuni pada daging ayam dari pasar tradisional dan supermarket. Di Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Puslitbang Peternakan. Stern NJ, Line JE. 1992. Comparion of three methods of recovery of Campylobacter spp. from broiler carcasses. J Food Prot 55: 663-666. Stern NJ, Pretanik S. 2006. Counts of Campylobacter spp. on U.S. broiler carcasses. J Food Prot 69(5): 1034-1039. Tam CC, Brien SJO, Adak GK, Meakins SM, Frost JA. 2003. Campylobacter coli–an important foodborne pathogens. J Infect 47: 28-32. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, Machpud N, Komalarini S, Santoso W, Simanjuntak CH, Punjabi N, Campbell JR, Alexander WK, Beecham HJ, Corwin AL, Oyofo BA. 2003. Antimicrobial resistance of bacteria pathogens associated with diarrheal patients in Indonesia. Am J Trop Med Hyg 68(6): 666-670. Upton M. 1995. Relationship between pathogen growth and the general microbiota on raw and processed meat and poultry. J Food Safety 15: 133-144. Wheeler JG, Sethi D, Cowden JM, Wall PG, Rodrigues LC, Tomkins DS, Hudson MJ, Roderick PJ. 1999. Study of infectious intestinal disease in England: rates in community, presenting to general practice and reported to national surveillance. British Medical J (Clinical research ed) 318: 1046-1050. [WHO] World Health Organization. 2000. The increasing incidence of human campylobacteriosis: report and proc. Of a WHO Consultation of Experts, Copenhagen, 21-25 November. WHO/CDC/CSR/APH/2001.7. Geneva.
59
5. METODE PCR UNTUK DETEKSI CAMPYLOBACTER sp. PADA KARKAS AYAM ABSTRAK Campylobacter sp. adalah bakteri agen foodborne zoonosis yang menyebabkan gastroenteritis akut pada manusia. Daging ayam telah dilaporkan sebagai sumber infeksi C. jejuni pada manusia. Metode konvensional untuk deteksi bakteri yang ditularkan melalui bahan makanan memerlukan waktu lebih lama dengan terlebih dahulu menumbuhkan bakteri pada media dan dilanjutkan dengan identifikasi secara biokimia. Metode cepat polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi Campylobacter sp. telah banyak dilaporkan. Terhadap 298 sampel karkas ayam yang dibeli dari swalayan dan pasar tradisional dilakukan isolasi Campylobacter mengikuti ISO/ DIS 10272-1994 dan selanjutnya dilakukan identifikasi menggunakan API Campy. Metode PCR menggunakan dua pasang primer digunakan untuk melakukan isolasi dan identifikasi C. jejuni dan C. coli. Prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. pada daging ayam lebih tinggi pada uji PCR (41.6%) dibandingkan dengan cara konvensional (19.8%). Hal tersebut menunjukkan bahwa metode PCR lebih sensitif jika dibandingkan dengan metode konvensional untuk mendeteksi kontaminan Campylobacter sp. dengan batas minimum deteksi C. jejuni 103 cfu/ ml. Kata kunci : polymerase chain reaction, Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, daging ayam. ABSTRACT Campylobacter sp. is the most commonly reported as agent offoodborne zoonosiscause of acute gastroenteritis in humans. Poultry meat is considered a major source of C. jejuni infection for human. The conventional methods to detect foodborne bacteria often rely on time-consuming growth in culture media, followed by biochemical identification. Polymerase chain reaction (PCR) technique for rapid identification of the pathogens Campylobacter sp. was undertaken. There are 298 chicken carcass samples sold insupermarkets and traditional markets have been carried out in accordance isolation protocol ISO/ DIS 10272-1994. Identification is performed using biochemical API Campy. The PCR assay with two sets of primers was employed for isolation and identification of C. jejuni and C. coli. The result of the isolation and identification either by conventional or PCR methods showed that chicken carcasses both from traditional market and supermarket were contaminated with C. jejuni and or C. coli. Prevalence of Campylobacter sp. contaminant in chicken meat was higher by PCR (41.6%) than by conventional (19.8%), indication that PCR technique is more sensitive than conventional method with detection limit for C. jejuni was103cfu/ml. Key words : polymerase chain reaction, Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, poultry meat
60 PENDAHULUAN Campylobacter jejuni adalah bakteri agen foodborne zoonosis yang menyebabkan gastroenteritis akut pada manusia. Genus Campylobacter termasuk dalam famili Spirallaceae. Campylobacteriosis disease dapat disebabkan oleh infeksi Campylobacter sp. kelompok
termofilik, yaitu Campylobacter jejuni,
Campylobacter coli, dan Campylobacter laridis (Shane 2000). Selain menyebabkan gastroenteritis pada manusia, infeksi C. jejuni juga berhubungan dengan kondisi autoimmune yang disebut Guillain-Barre Syndrome (GBS) (Raymond et al. 2001). C. jejuni dan C. coli adalah bakteri enterik yang patogen pada manusia dan hewan. Kejadian campylobacteriosis telah banyak dilaporkan baik di negara-negara maju maupun berkembang. Kejadian campylobacteriosis pada manusia di Indonesia pernah dilaporkan oleh Ringertz et al. (1980). Poeloengan dan Noor (2003) melaporkan bahwa
karkas ayam yang diperoleh dari pasar tradisional dan
supermarket di daerah Jakarta, Sukabumi, dan Bogor telah terkontaminasi C. jejuni. Di Taiwan, dilaporkan bahwa sebanyak 55%, 20%, 30%, dan 30% masing-masing dari karkas ayam, bebek, babi dan susu segar dapat diisolasi C. jejuni (Shao et al. 2006). Di Irlandia Utara dilaporkan 64.7% karkas ayam telah terkontaminasi oleh C. dan C. coli (Flynn et al.1994). Dosis infeksi C. jejuni pada manusia sangat rendah yaitu 500-900 sel (Stern & Pretanik 2006). Sumber utama infeksi disebabkan karena mengkonsumsi daging ayam, daging sapi, dan susu yang telah terkontaminasi. Menurut Lindqvist et al. (2000) dan Kramer et al. (2000), kontaminasi C. jejuni yang paling banyak terjadi adalah pada daging ayam. Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada hewan sangat bervariasi, akan tetapi infeksi C. jejuni pada peternakan ayam memegang peranan penting. Usaha mengurangi kejadian infeksi pada ayam merupakan usaha yang penting untuk memperbaiki sistem produksi dan untuk mengeliminasi atau mengurangi kejadian kontaminasi agen infeksi C. jejuni serta mempunyai peranan penting untuk kesehatan masyarakat. Metode cepat untuk deteksi C. jejuni sangat diperlukan untuk mengetahui sumber kontaminasi. Metode PCR merupakan deteksi cepat dan
sensitifuntuk
menentukan keberadaan bakteri patogen dalam sampel tanpa melakukan isolasi DNA (Fode-Vaughan et al. 2001). Metode PCR digunakan sebagai teknik deteksi
61 dasar dalam produksi bahan pangan untuk meningkatkan standar keamanan pangan (Archana & Taha 2010). Menurut Blackburn dan Clure (2003) Campylobacter sp. adalah mikroorganisme yang sulit dikultur. Pendekatan secara molekuler untuk mendeteksi bakteri kontaminan dalam bahan pangan terutama Campylobacter sp. mampu membedakan sampai tingkat spesies. Metode PCR telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya dengan menggunakan primer yang spesifik untuk mendeteksi C. jejuni. Gonzales et al. (1997) melakukan penelitian menggunakan gene probe ceuE sebagai komponen binding protein transport system terhadap siderophore enterochelin. Sekuen gen cdt dapat digunakan untuk membedakan spesies C. jejuni dan C. coli (Eyigor et al. 1999). Penelitian ini dilakukan unuk isolasi C. jejuni secara konvensional menggunakan media selektif dan deteksi cepat molekular secara PCR. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sensitivitas metode PCR mendeteksi Campylobacter sp. pada daging ayam yang dijual di swalayan dan pasar tradisonal sebagai agen foodborne disease dengan menggunakan pasangan primer hipO sebagai novel primer untuk menentukan spesies C. jejuni dan pasangan gene glyA untuk membedakan spesies C. jejuni dan C. coli (Wang et al. 2002). BAHAN DAN METODE Sampel Sebanyak 298 sampel karkas ayam diperoleh dari pasar tradisional dan swalayan di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi), dan Jawa Tengah (Demak dan Kudus). Sampel yang dikoleksi dimasukkan ke dalam kantung plastik kedap udara, kemudian dimasukkan ke dalam boks pendingin untuk dibawa ke laboratorium untuk dilakukan uji. Laboratorium yang digunakan penelitian adalah laboratorium Bakteriologi Balai Besar Penelitian Veteriner, Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Isolat standar murni Isolat murni diperoleh dengan melakukan subkultur pada media selective yang mengandung enrichment seperti pada metode isolasi dalam Bab 4. Beberapa koloni isolat standar American Type Culture Collection (ATCC) Campylobacter sp.
62 hasil isolasi dimasukkan ke dalam 1 ml akuades kemudian dikocok dengan menggunakan vorteks. Kekeruhan diukur pada OD 0.3 dengan panjang gelombang 600 nm, dan disentrifus dengan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit. Purifikasi DNA dilakukan dengan cara menambahkan akuades 100
l (1:500) pada pelet,
kemudian dipanaskandalam air mendidih dengan suhu 100 oC. Setelah 10 menit dipanaskan, segera didinginkan dan disentrifus kembali dengan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit, suspensi yang diperoleh merupakan DNA (Alexandrino et al. 2004). Kultur pengkayaan Sampel karkas ayam dalam suspensi media Nut Broth No 2 yang telah diinkubasikan (dapat dilihat pada Metode sub Bab 4 mengenai isolasi dan identifikasi secara konvensional), diambil sebanyak 1 ml kemudian disentrifus dengan kecepatan 10 000 rpm pada suhu 4 oC selama 10 menit. Pelet yang diperoleh ditambah 1 ml akuades dan disentrifus kembali dengan kecepatan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit. Purifikasi DNA dilakukan dengan cara menambahkan akuades 100 l (1:500) pada pelet, kemudian dipanaskandalam air mendidih dengan suhu 100 oC. Setelah 10 menit, suspensi segera didinginkan dan disentrifus kembali dengan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit, selanjutnya suspensi yang ada diambil sebagai DNA (Alexandrino et al. 2004). Sensitivitas Uji PCR Menentukan limit deteksi uji DPCR dilakukan untuk mengetahui jumlah minimum koloni (cfu/ml) yang mampu dideteksi dengan metode DPCR menggunakan pasangan basa gen hipO. Besarnya sensitivitas ditentukan dengan menumbuhkan suspensi koloni yang sudah dilakukan pengenceran berseri. Suspensi yang telah diketahui jumlah koloni pada masing-masing pengenceran selanjutnya dilakukan purifikasi DNA dengan teknik seperti di atas. Sensitivitas dan spesifitas uji PCR dianalisa sesuai dengan ISO 1610-2003 (Anonim 2003). Deteksi Campylobacter spp. dengan PCR (Wang et al. 2002) Primer yang digunakan adalah untuk mengidentifikasi gen hippuricase (hipO), serine hydroxymethyl transferase (glyA) dan 23S rRNA. Amplifikasi DNA
63 dilakukan pada mesin PCR dengan 35 cycle pada suhu initial denaturation 95°C selama 6 menit, denaturation 95 °C selama 30 detik, annealing 59 °C selama 30 detik, extension 72 °C selama 30 detik dan final extension 72 °C selama 7 menit. Hasil PCR kemudian diperiksa dengan electrophoresis gel agarose. Agarose gel (invitrogen, New Zealand) 1% dengan 1x TBE/ Tris Boric EDTA (invitrogen, New Zealand) ditambah 5 l ethidium bromide (Sigma, Germany) solution (dalam 100 ml). Run electrophoresis 150 volt selama 30 menit. Primer yang digunakan untuk mengidentifikasi gen hippuricase (hipO) dan serine hydroxymethyl transferase (glyA) disajikan pada. Amplifikasi DNA dilakukan pada mesin PCR dengan 35 cycle pada suhu initial denaturation 95 oC selama 6 menit, denaturation 95 oC selama 30 detik, annealing 59 oC selama 30 detik, extension 72 oC selama 30 detik dan final extension 72 oC selama 7 menit (Wang et al. 2002). Produk PCR kemudian diperiksa dengan electrophoresis gel agarose. Agarose gel 1% dengan 1x TBE (Tris Boric EDTA) ditambah 5
l
ethidium
bromide solution. Run electrophoresis 150 volt selama 30 menit, visualisasi (untuk melihat pita gen target) digunakan transluminator ultraviolet. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mendeteksi keberadaan Campylobacter sp. secara PCR, salah satunya menggunakan susunan basa primer 23S rRNA yang merupakan kontrol gen yang bersifat highly polymorphic terletak di helix antara 43 dan 69 (Eyers et al. 1993; Fermer & Engvall 1999; Rashid et al. 2000; Wang et al. 2002) untuk mendeteksi keberadaan Campylobacter sp. Gen rRNA memiliki struktur mosaik yang conserve. Sekuen asam nukleat gen 23S rRNA dapat mengidentifikasi beberapa strain bakteri termofilik Campylobacter spesies yaitu C. jejuni, C. coli, C. lari, dan C. upsaliensis (Eyers et al. 1993). Gambar 17 memperlihatkan bahwa sampel pada sumur 1 sampai 17 yang diuji secara PCR menggunakan primer hipO dan glyA menunjukkan positif spesies C. jejuni pada sumur 5, 6, 12, dan 14 sedangkan C. coli pada sumur 2-4, 9, dan 1517. Kontaminasi bakteri thermophilic Campylobacter pada karkas ayam pada pasar tradisional dan swalayan di lokasi pengambilan sampel tidak hanya spesies C. jejuni saja tetapi juga C. coli. Spesies C.
jejuni merupakan agen penyebab infeksi
gastrointestinal yang utama pada manusia namun bakteri C. coli juga dianggap
64 sebagai agen foodborne disease yang penting meskipun angka kejadiannya lebih rendah (Tam et al. 2003). Spesies C. jejuni menyebabkan campylobacteriosis pada manusia mencapai 90% sedangkan spesies C. coli berkisar 5-10% (Gillespie et al. 2002). 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
15 16 17 18 19
323 bp 126 bp
Gambar 17
Produk PCR menggunakan primer hipO dan glyA yang diseparasi dalam agarose 1% dari dari sampel (sumur 1-17) yang diuji. Sebagai kontrol positif digunakan isolat ATCC C. jejuni (323 bp) pada sumur 19 dan ATCC C. coli (126 bp) pada sumur 18.
Hasil yang diperoleh peneliti Gurtler et al. (2005) adalah sebanyak 18.6% campylobacteriosis pada manusia disebabkan oleh spesies C. coli. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dari 59 isolat positif Campylobacter sp. 11 (18.6%) adalah C. coli diuji secara metode konvensional. Sedangkan dari 124 dideteksi Campylobacter sp. secara PCR sebanyak 54 (43.5%) adalah spesies C. coli. Meskipun prevalensi kontaminasi C. coli lebih rendah jika dibandingkan dengan C. jejuni dan menyebabkan campylobacteriosis minor pada manusia namun kenyataannya dapat mengakibatkan gangguan kesehatanyang cukup serius pada manusia karena hasil yang diperoleh oleh Tam et al. (2003) memperlihatkan bahwa di England sebanyak 25 000 kasus foodborne disease disebabkan oleh spesies C. coli sehingga menyebabkan 12 000 menderita sakit dengan 1000 pasien dirawat di rumah sakit dan 11 orang meninggal. Peternakan ayam dan sapi perah serta produknya merupakan sumber utama infeksi C. jejuni sedangkan perternakan babi serta produknya berperan terhadap infeksi C. coli (Gillespie et al. 2002; Alter et al. 2005). Hasil penelitian Gurtler et al. (2005) menyatakan bahwa spesies C. coli jugaberperan pada infeksi Campylobacter pada manusia namun terdapat perbedaan sumber infeksi. Pada penelitian ini, sampel
65 karkas ayam yang diperiksa menunjukkan bahwa karkas telah terinfeksi oleh C. jejuni dan C. coli.
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 18 Hasil PCR menggunakan primer hipO yang diseparasi dalam agarose 1% dari isolat yang berasal dari ATCC C. jejuni pada sumur 7 sebagai kontrol positif dengan target gen 323 bp dan sampel pada sumur 1-6
Karakterisasi genetik isolat Campylobacter sp. dilakukan secara PCR. Primer yang digunakan yaitu gen hipO dan glyA. Gen hipO (hippuricase) merupakan novel primer yang hanya terdapat pada C. jejuni. Strain ini memberikan reaksi positif pada uji hidrolisis hippurate (Wang et al. 2002), sedangkan C. coli memberikan reaksi negatif (Nakari et al. 2008) dengan besaran target gen yang diharapkan yaitu C. jejuni pada 323 bp. Target gen C. jejuni menggunakan primer gen hipO terdapat pada lokasi gen 1662-1965 bp menunjukkan hasil positif C. jejuni pada pita 323 bp yang disajikan pada Gambar 18. Gen glyA mengkode serine hydroxymethyl transferase bersifat sangat conserve yang terdapat pada Campylobacter thermophilic seperti C. coli, C. lari, C. upsaliensis (Wang et al. 2002). Lokasi gen target terletak pada 337-444 bp dengan ukuran 126 bp (Gambar 19). Bakteri spesies C. jejuni dan C. coli yang mengkontaminasi daging ayam merupakan bakteri penyebab enterokolitis pada manusia. Wabah Campylobacter enteritis yang terjadi terutama disebabkan karena mengkonsumsi daging ayam yang terkontaminasi oleh C. jejuni (Fang et al. 2006), sekalipun demikian spesies C. coli juga telah dilaporkan sebagai agen penyebab enteritis pada manusis (Flyn et al. 1994). Jamshidi et al. (2008) melaporkan bahwa metode PCR menggunakan primer
66 cadF dapat mendeteksi kontaminasi genus Campylobacter sp. (76%) lebih banyak dari
C. coli (2%) pada daging ayam. Spesies C. coli umumnya lebih banyak
ditemukan pada daging babi. Kasus infeksi C. coli sehingga menyebabkan enteritis pada manusia di Denmark jarang terjadi, namun infeksi diperkirakan akibat mengkonsumsi daging babi (Cabrita et al. 1992). Meskipun belum jelas kasus enteritis akibat mengonsumsi daging babi atau ayam yang terkontaminasi C. jejuni atau C. coli, tetapi hasil penelitian Boes et al. (2005) melaporkan bahwa daging babi telah terkontaminasi spesies C. jejuni dan C. coli.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Gambar 19 Hasil PCR menggunakan primer glyA (sumur 1-9) dan hipO (sumur 10 dan 11) isolat yang berasal dari sampel (sumur 2-9) dan ATCC C. coli (sumur1) sebagai kontrol positif dengan target gen 126 bp
Hasil identifikasi dengan teknik PCR diperoleh hasil 124 (41.6%) karkas ayam
telah terkontaminasi
Campylobacter
sp.
Dari 124 sampel
positif
Campylobacter sp. sebanyak 70 (56.5%) adalah C. jejuni dan 54 (43.5%) adalah C. coli. Hal tersebut memperlihatkan bahwa karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan di DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi) dan Jawa Tengah (Kudus dan Demak) telah terkontaminasi oleh bakteri Campylobacter spp, terutama spesies C. jejuni dan C. coli.
67
70 60 50
isolat
konvensional
40
PCR
30 20 10 0 2009
2010
2011
Gambar 20 Jumlah isolat Campylobacter sp. pada karkas ayam yang diambil pada tahun 2009 dan 2011 di isolasi secara konvensional dan PCR
Isolasi Campylobacter sp. menggunakan metode konvensional umumnya memerlukan waktu empat hari untuk mengetahui hasil negatif dan 6-7 hari untuk melakukan konfirmasi hasil yang positif. Pada penelitian ini teknik PCR dengan menggunakan target gen hipO dan glyA mampu membedakan Campylobacter sp. antara spesies C. jejuni dan C. coli pada waktu yang lebih cepat. Hasil uji ini (Gambar 20) sejalan dengan hasil penelitian Lawson et al. (1998) dan Kulkarni et al. (2002) yang melaporkan untuk identifikasi C. jejuni dan C. coli menggunakan metode PCR lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional. Sensitivitas uji PCR Hasil sensitivitas uji PCR untuk mendeteksi C. jejuni disajikan pada Gambar 21 di bawah ini. (cfu/ ml)
106
105
104
103
10 2
101
Gambar 21 Sensitivitas uji PCR menggunakan primer hipO dengan besar target gen 323 bp
68
Metode PCR yang digunakan pada penelitian dapat mendeteksi minimum 103cfu/ml, hasil ini sama dengan hasil penelitian Fode-Vaughan et al. (2001) yang menggunakan
metode
PCR
untuk
mendeteksi
gen
stx1
mikroorganisme
enteropatogen Escherichia coli O157:H7 dari susu pada deteksi limit 103 cfu/ml. Hasil penelitian lebih sensitif dari hasil penelitian Inglish dan Lisa (2003) menggunakan metode nested multiplex PCR untuk mendeteksi Campylobacter sp. dari feses sapi pada 104 cfu/g. Peneliti lain Lablanc-Maridor et al (2011) juga melakukan uji sensitivitas mendeteksi gen glyA bakteri C. coli dari sampel kandang babi menggunakan metode real-time PCR dengan deteksi limit 103 cfu/m2.
Tabel 7 Pasangan hasil identifikasi Campylobacter jejuni metode PCR menggunakan primer hipO dan konvensional Konvensional (+)
Konvensional (-)
PCR (+)
22
42
PCR (-)
2
132
Validasi metode PCR sebagai metode alternatif untuk mendeteksi Campylobacter jejuni dengan gold standart metode konvensional dianalisa menggunakan data yang disajikan pada Tabel 7. Hasil yang diperoleh adalah sensitivitas dan spesifitas metode PCR mengidentifikasi Campylobacter sp. adalah 91.7% dan 75.9% secara berurutan. Nilai sensitivitas 91.7% menunjukkan bahwa metode PCR sensitif dapat digunakan untuk membedakan isolat Campylobacter sp. dengan bakteri yang lain.
Nakari et al. 2008 melaporkan 32% dari 145 isolat C.
jejuni menunjukkan reaksi negatif pada uji hippurate. Data pada Tabel 7 memperlihatkan adanya 2 isolat positif pada uji konvensional hasl identifikasi menggunakan API Campy tetapi negatif pada uji PCR, sehingga menyebabkan rendahnya spesifitas (75.9%) metode PCR untuk mendeteksi isolat sampai tingkat spesies Campylobacter jejuni.
69 SIMPULAN PCR dapat digunakan untuk mendeteksi C. jejuni dan C. coli sebagai kontaminan pada daging ayam yang dijual di pasar swalayan dan tradisonal di lokasi pengambilan sampel. Isolasi dan identifikasi secara PCR lebih sensitif mendeteksi C. jejuni dan C. coli daripada metode konvensional dengan deteksi minimum C. jejuni 103 cfu/ml, sensitivitas 91.7%, dan spesifitasnya 75.9%. DAFTAR PUSTAKA Alexandrino M, Grohmann E, Szewzyk U. 2004. Optimation of PCR-based for rapid detection of Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, and Yersinia enterocolitica serovar 0:3 in waste samples. Water Res 38: 1340-1346. Alter T. Gaull F, Kasimir S, Gurtler M, Fehlhaber K. 2005. Distribution and genetic characterization of porcine Campylobacter coli isolates. Berl Munch Tierarztl Wochenschr 118: 214-219. Anonim. 2003. Microbiology of food and animal feeding stuffs-protocol for the validation of alternative methods. The European Standard EN ISO 16140:2003 has the status of a British Standard. Archana PI, Taha AK. 2010. PCR based detection of food borne pathogens. Engin and Technol 68: 689-691. Barrow, Feltham. 2003. Character of gram-negative bacteria. Dalam Cowan and Steel’s manual for the identification of medical bacteria. New York: Cambridge University Press. Blackburn CW, Clure PJ. 2003. Campylobacter dan Areobacter. Di dalam: Foodborne Pathogens. Hazards, Risk Analysis and Control. New York: CRC Press. Boes J, Nersting L, Nielsen EM, Kranker S, Enoe C, Wachmann HC, dan Baggesen DL. 2005. Prevalence and diversity of Campylobacter jejuni in pig herds on farms with and without cattle or poultry. J Food Prot 68(4): 722-727. Cabrita J, Rodrigues J, Braganca F, Morgado C, Pires I, Goncalves AP. 1992. Prevalence, biotypes, plasmid profil and antimicrobial resistance of Campylobacter isolated from wild and domestic animals from northeast Portugal. J Appl Bacteriol 73: 279-285. Eyers M, Sabine C, Guy VC, Herman G, Rupert DW. 1993. Discrimination among thermophilic Campylbacter species by polymerase chain reaction amplification of 23S rRNA gene fragments. J Clin Microbiol 31(12): 33403343.
70 Eyigor A, Dawson KA, Langlois BE, Pickett CL. 1999. Cytolethal distending toxin genes in Campylobacter jejuni and Campylobacter coli isolates: detection and analysis by PCR. J Clin Microbiol 37(5): 1646. Fang SW, Ching JY, Daniel YCS, Cheng CC, Roch CY. 2006. Amplified fragment length polymorphism, serotyping, and quinolone resistence of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli strains from chicken-related samples and humans in Taiwan. J Food Prot 69(4): 775-784. Fermer C, Engvall EO. 1999. Specific PCR Identification and differentiation of the thermophilic Campylobacters, Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, and C. upsaliensis. J Clin Microbiol 10: 3370-3373. Flynn OMJ, Ian SB, David AM. 1994. Prevalence of Campylobacter species on fresh retail chicken wings in Northern Ireland. J Food Prot 57(4): 334-336. Fode-Vaughan KA, Wimpee CF, Remsen CC, Collins ML. 2001. Detection of bacteria in environtmental samples by direct PCR without DNA extraction. Biotechniques 31: 598-607. Gillespie IA, O’Brien SJ, Frost JA. 2002. A case-case comparison of Campylobacter coli and Campylobacter jejuni infection: a tool for generating hypotheses. Emerg Infect Dis 8(9): 937-942. Gonzales I, Grant KA, Peter T, Richardson, Park SF, Collins MD. 1997. Specific identification of the enteropathogens Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli by using a PCR test based on the ceuEgene encoding a putaive virulence determinant. J Clin Microbiol 35(3): 759. Inglis GD, Lisa DK. 2003. Use of PCR for Direct Dtection of Campylobacter species in bovine feces. Appl Environ Microbiol 69(6): 3435-3447. Jamshidi A, Bassami MR, Farkhondeh T. 2008. Isolation and identification of Campylobacter coli from poultry carcasses by conventional and multiplex PCR methods in Mashhad, Iran. Iranian J Vet Res 9(2): 138-144. Kramer JM, Frost JA, Bolton FJ, Wareing DRA. 2000. Campylobactercontamination of raw meat and poultry at retail sale: identification of multiple types and comparison with isolates from human infection. J Food Prot 63(12): 1654-1659. Kulkarni SP, Lever S, Logan JMJ, Lawson AJ. 2002. Detection of campylobacter species: a comparison of culture and polymerase chain reaction based methods. J Clin Pathol 55: 749-753. Lawson AJ, Shafi MS, Pathak K, Stanley J. 1998. Detection of Campylobacter in gastroenteritis: comparison of direct PCR assay faecal samples with selective culture. Epidemiol Infect 121: 547-553. Lindqvist R, Andersson Y, Jong B, Norberg B. 2000. A Summary of Reported Foodborne Disease Incidents in Sweeden, 1992 to 1997. J Food Prot 63(10): 1315-1320.
71 Meldrum RJ, Tucker D, Smith RMM, Edwards C. 2005. Survey of Salmonella and Campylobacter contamination of whole, raw poultry on retail sale in Wales in 2003. J Food Prot 68(7): 1447-1449. Nakari UM, Puhakka A, Sitonen A. 2008. Correct identification and discrimination between Campylobacter jejuni and Campylobacter coli by a standardized hippurate test and spesies-specific polymerase chain reaction. Eur J Clin Microbiol Infect Dis DOI 10.1007/s10096-008-0467-9. Oyofo BA et al. 2002. Surveilance of bacterial pathogens of diarrhea disease in Indonesia. Diag Microbiol and Infect Dis 44: 227-234. Poeloengan M, Noor SM. 2003. Isolasi Campylobacter jejuni pada daging ayam dari pasar tradisional dan supermarket. Di Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Puslitbang Peternakan. Rashid ST, Dakuna I, Louie H, Ng D, Vandamme P, Johnson W, Chan VL. 2000. Identification of Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, Arcobacter butzleri, dan A. butzleri-like species based on the glyA gene. J Clin Microbiol 4: 1488-1494. Raymond S, Tsang W, Figueroa T, Bryden L, Lai-King Ng. 2001. Flagella as potential marker Campylobacter jejuni strains associated with Guillain-Barre Syndrome. J Clin Microbiol 2: 762-764. Ringertz S, Robert CR, Olof R, Arini S. 1980. Campylobacteer fetus subsp. jejuni as a cause of gastroenteritis in Jakarta, Indonesia. J Clin Microbiol 10: 538-540. Shane SM. 2000. Campylobacteriosis. Di dalam: Disease of Poultry. 9th Ed. Ames, Iowa: State University Press. hlm 236-246. Shao WF, Yang CJ, Shih DYC, Chou CC, Yu RC. 2006. Amplified fragment length polymorphism, serotyping, and quinolone resistance of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli strains from chicken-related Samples and human in Taiwan. J Food Prot 69(4): 775-783. Stern NJ, Pretanik S. 2006. Counts of Campylobacter spp. on U.S. broiler carcasses. J Food Prot 69(5): 1034-1039. Tam CC, Brien SJO, Adak GK, Meakins SM, Frost JA. 2003. Campylobacter coli – an important foodborne pathogens. J Infect 47: 28-32. Wang G, Clifford G, Tracy M, Taylor, Chad P, Connie B, Lawrence P, David L, Woodward, Frank GR. 2002. Colony multiplex PCR assay for identification and differentiation of Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, and C. fetus subsp. fetus. J Clin Microbiol 40(12): 4744-4747.
72
73
6. PRODUKSI ANTIBODI UNTUK PENGEMBANGAN METODE ELISA DETEKSI ANTIGEN CAMPYLOBACTER JEJUNI ABSTRAK Campylobacter jejuni merupakan bakteri patogen peyebab diare dan telah banyak dilaporkan di negara-negara yang sudah maju maupun sedang berkembang. Konsumsi unggas telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama terhadap infeksi Campylobacter jejuni pada manusia. Melakukan kontrol kontaminasi Campylobacter sp. pada ayam broiler merupakan strategi yang tepat untuk mengurangi kejadian infeksi pada manusia yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Campylobacter sp. bersifat sulit diisolasi dan diidentifikasi sehingga uji fenotipik terhadap isolat sangat terbatas. Identifikasi sampai tingkat spesies sangat bervariasi dan bersifat subyektif dalam menyimpulkan hasil interpretasi dari hasil uji biokimia. Metode standar deteksi Campylobacter sp. dianggap sensitif tapi juga memerlukan ketelitian, membutuhkan waktu yang lama, dan mahal. Keterbatasan ini memungkinkan untuk menentukan teknik diagnsa yang cepat dan sensitif untuk mendeteksi Campylobacter sp. Teknik deteksi berbasis immunoassay seperti Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) merupakan metode alternatif dan komplementer untuk mendeteksi Campylobacter sp. dalam sampel. Metode ELISA tidak memerlukan biaya mahal dan peralatan canggih. Komponen utama dari teknik ELISA adalah antibodi yang mampu mengenal secara spesifik dan sensitif terhadap antigen yang terletak pada permukaan sel-sel Campylobacter sp. Pada penelitian ini dilakukan produksi antibodi dari hewan kelinci, domba, dan ayam yang telah diimunisasi menggunakan antigen flagella dan whole cell isolat lokal C. jejuni yang akan digunakan untuk mengembangkan metode ELISA. Hasil yang diperoleh adalah antibodi yang dihasilkan oleh ayam memiliki nilai OD yang lebih tinggi dari pada kelinci dan domba. Kata kunci : Antibodi, antigen, Campylobacter jejuni, ELISA ABSTRACT Campylobacter jejuni is a frequent enteric pathogen that causes diarrheal disease in both developed and developing countries. Poultry consumption has been identified as a major risk factor for human infection with Campylobacter jejuni. Controlling contamination of Campylobacter sp. on chickens carcass has been identified as an appropriate strategy for reducing the incidence of human infection with this public health pathogen. Campylobacters are fastidious bacteria, and this limits the available phenotypic tests by which isolates may be differentiated. Identification to species level is hindered by variations in methodology and the subjective interpretation of biochemical test results. Standard methods of detection of campylobacteria are very sensitive but also very laborious, timeconsuming, and expensive. These limitations emphasize the necessity for a rapid and sensitive
74 techniques for the detection of Campylobacter in foods and foodstuffs. Immunochemical techniques are alternative and complementary methods for the detection of Campylobacter spp. in food, environmental, and clinical samples for their sensitivity reliability, simplicity, and cost-effectiveness. These methods do not require expensive, sophisticated instrumentation and it is possible to adapt them for field measurement. The major component of immunoassays is the antibody that is responsible for specific and sensitive recognition of antigens located on the surface of the Campylobacter cells. In this research, the production of antibodies from animals rabbits, sheep, and chickens were immunized using flagella and whole cell antigen local isolate C. jejuni that will be used to develop an ELISA method. The result is an antibody produced by the chickens have optical density (OD) values higher than in rabbits and sheep. Key word : Antibody, antigen, Campylobacter jejuni, ELISA
PENDAHULUAN Campylobacter jejuni merupakan agen penyebab penyakit gastrointestinal pada manusia. Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada manusia umumnya bersifat sporadik (Nachamkin 1999). Menurut Kapperud et al. (1992) ingesti dan menangani daging ayam serta produk olahannya yang terkontaminasi memiliki faktor risiko terjadinya Campylobacteriosis. Metode isolasi kontaminan Campylobacter sp. pada bahan pangan dapat dilakukan dengan melakukan kultur pada media yang mengandung enrichment dan dilanjutkan isolasi pada agar selective (Skirrow 1977; Bolton et al 1984; Karmali et al. 1986). Mendeteksi kontaminan bakteri Campylobacter sp. pada bahan pangan menggunakan metode konvensional memerlukan waktu yang cukup lama dan untuk melakukan deferensiasi secara fenotipik menentukan spesies tidak selalu akurat (Rautellin et al. 1999). Metode cepat secara polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi dan mengidentifikasi C. jejuni telah dilaporkan (Inglis & Lisa 2003; Rashid et al. 2000; Fermer & Engvall 1999). Metode deteksi secara analisis immunochemical berbasis antibodi lebih sederhana, cepat dan sensitif untuk mendeteksi serta mendeferensiasi tipe bakteri kontaminan pada bahan pangan. Antibodi dapat mendeteksi mikroorganisme kontaminan pada bahan pangan apabila dikembangkan dengan antibodi yang spesifik dan memiliki kemampuan menangkap target antigen sebagai analyte (Gabriela & Malin 2002). Komponen utama metode immunoassay adalah antibodi yang spesifik dan sensitif menangkap antigen terletak pada permukaan sel
75 Campylobacter sp. Metode ini dapat digunakan untuk serotyping dan mendeteksi Campylobacter sp. (Penner & Hennessy 1980; Penner et al. 1983; Bailey et al. 2008; Tomas et al. 2005). ELISA (Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay) merupakan metode cepat yang digunakan sebagai uji imunologi untuk mendeteksi adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang terdapat dalam sampel, menggunakan indikator enzim untuk reaksi imunologi (Burgess 1995). Menurut Wicker et al. (2001) adanya bakteri kontaminan Campylobacter sp. yang terdapat dalam sampel dapat dideteksi menggunakan kit komersial seperti Transia Plate ELISA secara cepat. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh antibodi yang spesifik dapat mendeteksi antigen Campylobacter secara ELISA. BAHAN DAN METODE Produksi antibodi untuk pengembangan metode ELISA Perbanyakan antigen Isolat terpilih yang telah murni ditumbuhkan pada media Nutrient Broth No 2 dan dinkubasi pada suhu 42 oC selama 48 jam pada kondisi mikroerofilik 5% O2, 10% CO2, 85% N2. Perbanyakan dilakukan secara bertingkat dengan menumbuhkan 100 µl isolat murni yang telah dithawing (setelah dibekukan) dalam 10 ml media cair diinkubasi pada suhu, waktu dan kondisi yang sama seperti di atas. Selanjutnya larutan suspensi tersebut dimasukkan ke dalam 100 ml media cair, setelah selesai inkubasi larutan suspensi disubkultur pada 1000 ml media cair dan dilakukan inkubasi kembali. Sebelum mikroorganisme dimatikan menggunakan 1% formalin pa dan dilakukan uji kemurnian media selective CCDA. Larutan suspensi disentrifus selama 20 menit menggunakan kecepatan 10 000 rpm. Pelet yang diperoleh dicuci 3 kali dengan cara menambahkan 100 ml NaCl fisiologis steril dan disentrifuse 10 000 rpm. Pelet yang dihasilkan ditambah 10 ml NaCl nonpyrogenic selanjutnya disiapkan sebagai suspensi antigen. Antigen whole cell disiapkan dengan melakukan sonikasi suspensi antigen selama 30 detik dalam kondisi suhu 4 oC menggunakan sonicator. Antigen flagella dibuat menggunakan metode ekstraksi glycine (Logan & Trust 1982; Harris et al. 1987). Sebanyak 1 ml suspensi antigen Campylobacter
76 jejuniditambahkan ke dalam 10 ml dalam 0.2 M glycine hydrochloride (pH 2.2). Suspensi distirer menggunakan magnet stirer pada suhu kamar selama 15 menit. Kemudian dilakukan sentrifuse 12 000 rpm selama 15 menit, supernatan yang dihasilkan dinetralisasi menggunakan NaOH. Selanjutnya dilakukan dialisis dalam NaCl fisiologis suhu 4 oC selama semalam. Pembuatan antigen outer membrane protein (OMP) dilakukan dengan melakukan sonikasi pada suspensi selama 30 detik. Sel debris dibuang setelah dilakukan sentrifuse 5 000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang dihasilkan selanjutnya disentrifus menggunakan kecepatan 100 000 rpm selama 30 menit pada suhu 4
o
C. Pelet yang dihasilkan disuspensikan dalam destilated water dan
ditambahkan 2% (w/v) sodiumN-lauryl-sarcosine sampai pH 7.5. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37
o
C selama 20 menit dan dilakukan sentrifus
menggunakan kecepatan 100 000 rpm selama 50 menit pada suhu 4 oC. Ekstrak pelet yang dihasilkan di cuci dua kali dalam 0.05 M Tris hydrochloride buffer (pH 7.5) dan disuspensikan menggunakan distilled water sebagai antigen dapat disimpan pada suhu -20 oC (De Melo & Pecheree 1990). Antigen whole cell, flagellin dan outer membrane protein masing- masing dimasukkan ke dalam buffer yang mengandung 5% (v/v) 2-mercaptoethanol, 10% (v/v) glycerol, 2% (v/v) sodium dodecyl sulfate, dan 0,0625 M Tris base. Sampel dipanaskan pada suhu 100 oC selama 3 menit. Sebanyak 5 µl sample yang mengandung 10 g protein dimasukkan ke dalam tiap sumuran gel electrophoresis. Pemisahan protein menggunakan gel electrophoresis sodium dodecyl sulfatepolyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dilakukan dalam 4.5% stacking gel dan 12% sodium dodecyl sulfate-polyacrilamide gel. Electrophoresis dilakukan pada 8 mA semalam) atau menggunakan 4% stacking gel dan 10% separating gel (Wenman et al. 1985). Pembuatan Antiserum Antiserum diproduksi dengan melakukan imunisasi antigen pada hewan percobaan. Antigen whole cell konsentrasi 90 mg dan flagella 40
g yang telah
diemulsikan dalam Freund’s complete adjuvan/FCA (Sigma) masing-masing diinjeksikan pada hewan kelinci, domba, dan ayam SPF secara intramuskuler. Injeksi dilakukan pada empat sisi sehingga total 2 ml. Sebelum hewan percobaan
77 diimunisasi, diambil darahnya terlebih dahulu untuk mengetahui titer antibodi preimunisasi. Booster dilakukan secara subcutan pada hari ke-14 atau dua minggu kemudian menggunakan antigen yang diemulsifikasi menggunakan Incomplete Freund’s Adjuvant/IFA (Sigma) (Newell et al. 1984). Respon antibodi terhadap anti C.jejunidiamati setiap dilakukan booster (Ritter et al. 1996). Titer antibodi yang terjadi diukur dengan menggunakan ELISA. Prosedur uji yang digunakan adalah direct ELISA seperti yang telah dilakukan oleh Blaser dan Duncan (1984) dan Stird et al. (2001), terlebih dahulu ditentukan optimal dilution dari semua reagen secara checkerboard titration dan waktu serta pengenceran yang optimum untuk inkubasi sebelum digunakan untuk menguji. Antigen whole cell disiapkan dalam larutan buffer coating 0.5 M carbonate buffer pH 9.6, sebanyak 100 µl larutan antigen (mengandung protein 10 mg) ditambahkan ke dalam masing-masing U-bottom maxisorp microwell plates. Plate ditutup dan diinkubasikan pada suhu 4 oC selama 24 jam. Setelah selesai inkubasi plate dikosongkan dan dicuci empat kali menggunakan washing buffer PBS (phosphate-bufferd saline) pH7.4 mengandung 0.1% Tween 20 dan 100 µl blocking buffer PBS mengandung 5% Tween 20. Serum yang akan diuji diencerkan 1:200 dalam PBS mengandung 0.01% (w/v) sodium azide. Serum yang diuji dan kontrol diuji duplikasi dengan inkubasi pada suhu ruang selama 75 menit, diikuti empat kali pencucian. Horseradish peroxidase-labeled antiserum chicken diencerkan 1:8000 dalam washing buffer selanjutnya 100 µl ditambahkan ke dalam masing-masing lubang plate dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 75 menit sebelum dicuci. Terakhir ditambahkan 100 µl tetramethyl benzidine sebagai substrat dan diinkubasikan selama 10 menit kemudian ditambahkan 100 µl stop reaction 0.2 M H2SO4. Nilai optical density (OD) di baca menggunakan ELISA reader panjang gelombang 450 nm. Pemisahan Ig G Purifikasi terhadap serum hiperimun yang telah dikoleksi dari hewan percobaan dilakukan menurut metode Harlow dan Lane (1988). Campuran serum dan ammonium sulfat tersebut digoyang secara perlahan-lahan sampai tercampur rata selama 10 menit. Setelah terjadi presipitasi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5 000 rpm selama 15 menit. Suspensi di bagian atas dibuang perlahan-
78 lahan atau dibuang dengan cara dipipet. Presipitat dilarutkan kembali dengan akuades yang volumenya sama dengan volume serum awal. Larutan presipitat dalam akuades kemudian di dialisis menggunakan 0.01 M phosphate buffer saline (PBS) dalam plastik semipermeabel beberapa kali pada suhu 4 ºC selama 24 jam. Ig G antiflagela diperoleh menggunakan column protein A (HiTrap Protein A HP, GE) selanjutnya dapat disimpan pada suhu -20 oC sampai digunakan untuk uji ELISA. HASIL DAN PEMBAHASAN Antigen C. jejuni Isolat lokal C1 Campylobacter jejuni yang telah murni diperbanyak dengan menumbuhkan pada media agar selective CCDA seperti pada Gambar 22.
Gambar 22 Memupuk bakteri C. jejuni pada media agar selektif CCDA Setelah selesai dilakukan inkubasi selama 48 jam secara mikroaerofilik menggunakan jar seperti pada Gambar 10 kemudian isolat dipanen dimasukkan ke dalam botol yang telah diisi aquadest steril (Gambar 23 dan 24).
79
Gambar 23 Suspensi antigen C. jejuni
Gambar 24 Suspensi hasil panen koloni C. jejuni Hasil karakterisasi antigen yang diperoleh disajikan pada Gambar 25 adalah antigen yang diperoleh menggunakan ekstraksi glycine pH 2.2 pada isolat local C. jejuni (C1) maupun isolat standar C. jejuni ATCC memiliki protein antigen dengan berat molekul 30 kDa dan 31 kDa. Menurut Logan dan Trust (1982) ekstraksi menggunakan glycine dapat melepaskan protein antigen yang utama pada permukaan C. jejuni termasuk flagellum yaitu komponen protein flagellin yang memiliki besaran molekul 31 kDa, namun protein ini tidak dapat ditemukan pada perlakuan ekstraksi menggunakan sarcosine.
80
kDa
1
2
3
4
60 40 30
Gambar 25 SDS PAGE antigen yang diekstraksi glycine. (1) adalah standar protein, (2) antigen whole cell ATCC Campylobacter jejuni, (3) antigen flagella C. jejuni isolat C1 asal Sukabumi, (4) Antigen flagella Campylobacter jejuni ATCC Antigen lain yang diperoleh baik pada isolat C1 maupun standar ATCC C. jejuni adalah protein yang memiliki besar molekul 40 kDa dan 60 kDa. Namun demikian terdapat beberapa perbedaan protein yang dihasilkan menggunakan ekstraksi glycine pada isolat C1 dan standar. Isolat C1 memiliki protein yang besar molekulnya 41 kDa yang tidak muncul pada isolat standar, sedangkan isolat standar memiliki protein dengan berat molekul 58 kDa yang tidak muncul pada isolat C1. Antigen outer membrane protein (OMP) dapat diperoleh menggunakan ekstraksi sarcosinate (Blaser et al. 1984), besaran protein yang diperoleh adalah 92.5 kDa, flagellin 57-63 kDa, porin protein 43-45 kDa yang imunogeniknya rendah, serta beberapa protein minor 29-31 kDa yang bersifat imunogenik (Logan &Trust 1982; Rautelin & Kosonen 1983). Protein OMP yang memiliki berat molekul 41 kDa dan 45 kDa merupakan mayor protein (50%) pada permukaan Campylobacter jejuni (Blaser et al. 1984). Hasil penelitian ekstraksi sarcosinate dapat dilihat pada Gambar 26, bahwa protein antigen yang diperoleh dari isolat C. jejuni lapang (C1) memiliki besar molekul 41 kDa dan 60 kDa, sedangkan isolat standar C. jejuni ATCC memiliki besar molekul 37 kDa dan 60 kDa. Kedua isolat tersebut yaitu C. jejuni standart dan lapang tidak terdapat protein besar molekul 30 kDa yang merupakan protein imunogenik (Blaser et al. 1984).
81 1
kDa
2
3
60 40 30
Gambar 26 Antigen flagella yang diekstraksi sarcosinate. (1) standar protein (2) antigen C. jejuni isolat C1 asal Sukabumi (3) antigen C. jejuni ATCC
Antibodi Hasil uji ELISA antibodi dari serum kelinci yang diimunisasi menggunakan antigen C. jejuni whole cell dan flagella dapat dilihat pada Gambar 27, sedangkan dari serum domba dan ayam disajikan pada Gambar 28 dan Gambar 29. Nilai OD dari serum kelinci, domba, dan ayam yang diimunisasi antigen C. jejuni flagella lebih tinggi daripada yang diimunisasi antigen whole cell. 0.9 0.8 0.7
OD
0.6
flagela
0.5
whole cell
0.4 0.3 0.2 0.1 0 10
2 14
328
4 42
552
6 59
7 62
Hari ke Hari ke
Gambar 27 Hasil uji ELISA antibodi kelinci yang diimunisasi antigen C. jejuni whole cell dan flagella
82 0.7 0.6 0.5
OD
flagela
0.4
whole cell
0.3 0.2 0.1 0 1 0
2 14
3 28
4 42
5 52
6 59
7 62
Hari ke
Gambar 28 Hasil uji ELISA antibodi domba yang diimunisasi antigen C. jejuni Hari ke
whole cell dan flagella 2.5 2
OD
1.5 flagela whole cell
1 0.5 0 10
2 14
328
4 42
5 52
6 59
627
Hari ke
Gambar 29 Hasil uji ELISA antibodi ayam yang diimunisasi antigen C. jejuni whole Hari ke
cell dan flagella
Respon antibodi kelinci, domba, dan ayam setelah diinfeksi antigen C. jejuni flagella (Gambar 30) dan whole cell (Gambar 31), memperlihatkan antibodi dari serum ayam memberikan respon antibodi yang lebih baik dibandingkan serum kelinci dan domba.
83 2.5 2
OD
1.5
ayam kelinci
1
domba 0.5 0 10
214
3 28
442
552
6 59
7 62
Hari ke
Gambar 30
Hasil uji ELISA antibodi kelinci, domba, dan ayam yang diimunisasi Hari ke antigen flagella C. jejuni isolat C1 asal Sukabumi
2 1.8 1.6 1.4 1.2 ayam
1
kelinci
0.8
domba
0.6 0.4 0.2 0 01
2 14
328
442
552
6 59
627
Hari ke Hari ke Gambar 31 Hasil uji ELISA antibodi kelinci, domba, dan ayam yang diimunisasi
antigen C. jejuni whole cell
84 SIMPULAN Kesimpulan penelitian adalah antigen Campylobacter jejuni asal isolat lokal C1 dan standar ATCC yang diekstraksi glycine memiliki protein 31 kDa yang merupakan protein flagella dan bersifat imunogenik. Protein tersebut tidak dapat ditemukan bila diekstraksi menggunakan sarcosinate. Antibodi yang dihasilkan dari serum ayam memberikan respon yang lebih baik jika dibandingkan kelinci dan domba terhadap imunisasi antigen C. jejuni whole cell maupun flagella. DAFTAR PUSTAKA Bailey JS, Fedorka-Cray P, Richardson LJ, Cox NA, Cox JM. 2008. Detection of Campylobacter from broiler carcass rinse samples utilizing the TECRA visual immunoassay (VIA). J Rapid Automation Microbiol 16: 374-380. Blaser MJ, Duncan DJ. 1984. Human serum antibody response to Campylobacter jejuni infection as measured in an Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Infect and Immun 5: 292-298. Bolton FJ, Hutchinson DN, Coates D. 1984. Blood-free selective medium for isolation of Campylobacter jejuni from feces. J Clin Microbiol 19: 169-171. Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan variasi konfigurasinya. Di dalam: Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Artama WT, Moeljono MPE, editor. Yogyakarta: Gajdah Mada University Press. hlm 50-69. De Melo M, Pecheree JC. 1990. Identification of Campylobacter jejuni surface proteins that bind to eucaryotic cells in vitro. Infect Immun 58(6): 1749-1756. Fermer C, Engvall EO. 1999. Specific PCR Identification and differentiation of the thermophilic Campylobacters, Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, and C. upsaliensis. J Clin Microbiol 10: 3370-3373. Gabriela B, Malin B. 2002. Technological Trends and Needs in Food Diagnostics. Technology Review 132/2002. Helsinki: National Technology Agency. Harlow E, Lane DP. 1988. Antibodies: A laboratory manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory, Cold Spring Harbor. Harris LA, Logan SM, Guerry P, Trust TJ. 1987. Antigenic variation of Campylobacter flagella. J Bacteriol 169(11): 5066-5071. Inglis GD, Lisa DK. 2003. Use of PCR for Direct Dtection of Campylobacter species in bovine feces. Appl Environ Microbiol 69(6): 3435-3447.
85 Kapperud G, Skjerve E, Bean NH, Ostroff SM, lassenJ. 1992. Risk factor for sporadic Campylobacter infection: Results of a case-control study in southeastern Norway. J Clin Microbiol 30(12): 3117. Karmali MA, Simor AE, Roscoe M, Fleming PC, Smith SS, Lane J. 1986. Evaluation of a blood free, charcoal-based, selective medium for the isolation of Campylobacter organism from feces. J Clin Microbiol 23:456459. Logan SM, Trust TJ. 1982. Outer membrane characteristics of Campylobacter jejuni. Infect Immunol 38(3): 898-906. Nachamkin I. 1999. Campylobacter and Arcobacter. Di dalam: Murray PR, Baron EJ, Pfaller MA, Tenover FC, Yolken RH, editor. Manual of Clinical Microbiology, 7th Ed. Washington: American Society for Microbiology. hlm 716-725. Newell DG, McBride H, Pearson AD. 1984. The identification of outer membran proteins and flagella of Campylobacter jejuni. J Gen Microbiol 130:12011208. Penner JL, Hennessy JN. 1980. Passive heaglutination technique for serotyping Campylobacter fetus subs. jejuni on the basis of soluble heat-stable antigens. J Clin Microbiol 12:732-737. Penner JL, Hennessy JN, Congi RV. 1983. Serotyping of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli on the basis of thermostable antigen. Eur J Clin Microbiol 2: 378-383. Rashid ST, Dakuna I, Louie H, Ng D, Vandamme P, Johnson W, Chan VL. 2000. Identification of Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, Arcobacter butzleri, dan A. butzleri-like species based on the glyA gene. J Clin Microbiol 4: 1488-1494. Rautelin A, Kosonen TV. 1983. An acid extract as a common antigen in Campylobacter coli and Campylobacter jejuni strain. J. Clin Microbiol 17: 700-701. Rautellin H, Jusufovic J, Hanninen ML. 1999. Idenification of hippurate-negative thermophilic Campylobacter sp. Diag Microbiol Infect Dis 35:9-12. Ritter G, Sheila RF, Leonard C, Yuji N, Edward MB, Elisabeth S, Lloyd JO. 1996. Induction of antibodies reactive with GM2 ganglioside after immunization with lipopolysaccharides from Campylobacter jejuni. Int J Cancer 66: 184190. Skirrow MB. 1977. Campylobacter enteritis: a”new” disease. Br Med J 2: 9-11. Strid MA, Engberg J, Larsen LB, Begtrup K, Molbak K, Krogfelt KA. 2001. Antibody response to Campylobacter infection Determined by an EnzymeLinked Immunosorbent Assay: 2-year follow-up study of 210 patients. Clin and Diag Lab Immunol 3: 314-319.
86 Tomas J, Zdenka S, Katerina D, Jarmila P. 2005. Two rapid diagnostic procedures for the identification of Campylobacter jejuni/coli in food matrix. J Food Sci 23: 121-125. Wenman WM, Chai J, Louie TJ, Goudreau C, Lior H, Newel DG, Pearson AD, Taylor DE. 1985. Antigenic analysis of Campylobacter flagellar protein and other proteins. J Clin Microbiol 21(1): 108-112. Wicker C, Giordano M, Rougier S, Sorin ML, Arbault P. 2001. Campylobacter detection in food using an ELISA-based methods. Int J Med Microbiol 291(31): 1-12.
87
7. KAJIAN RISIKO CAMPYLOBACTER SP. PADA AYAM PANGGANG ABSTRAK Campylobacter sp. adalah mikroorganisme penyebab campylobacteriosis pada manusia. Penanganan yang kurang baik pada karkas ayam dan mengkonsumsi daging ayam yang terkontaminasi dapat meningkatkan faktor risiko. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisa kuantitaf dari risiko mengkonsumsi ayam panggang apabila terjadi salah penanganan. Biasanya manusia yang terinfeksi oleh Campylobacter sp. tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas. Adanya kontaminasi C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan di beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan. FDA juga melaporkan bahwa 20100% daging ayam yang dijual di pasar telah terkontaminasi Campylobacter sp. dan hanya sekitar 500 sel bakteri sudah dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Meskipun kasus kejadian infeksi jarang terjadi (berkisar antara 15 dari 100 000 orang terinfeksi setiap tahunnya) namun infeksi Camoylobacter sp. merupakan bahaya atau “hazard” dalam kehidupan manusia, karena diperkirakan menyebabkan kematian 100 orang setiap tahun akibat campylobacteriosis. Konsumsi daging ayam yang terkontaminasi dengan proses pemasangan yang tidak sempurna merupakan sumber infeksi yang utama. Proses pemanggangan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan suhu dan waktu komersial yaitu 150 oC selama 30 menit. Simulasi penambahan kultur Campylobacter sp. 106 cfu/ml sebelum dilakukan pemanggangan dilakukan untuk mengetahui angka reduksi Campylobacter sp. Model probabilitas digunakan untuk memperkirakan variabilitas data yang digunakan pada penelitian ini adalah Model beta poisson. Hasil yang diperoleh adalah terjadi penurunan jumlah mikroorganisme sebanyak 2 log cfu/gram dan peluang sakit bagi manusia yang mengkonsumsi daging ayam yang dipanggang seperti pada simulasi yang dilakukan berkisar antara 4 dari 1 000 manusia. Kata kunci : Campylobacter sp. kontaminasi, ayam panggang ABSTRACT Campylobacter sp. is an organism that cause an infectious disease called Campylobacteriosis. Handling and consumption of chicken has been identified as important risk factor. The purpose of this research was to quantitative analyse of the risk of thermophilic Campylobacter sp. in roasted chicken when mishandling cunsume. However some people may not experience any symptoms at all. Contamination Campylobacter jejuni and Campylobacter coli in poultry carcasses that sold in retail and swalayan has been reported. According to the FDA, 20-100% of retail chickens are contaminated with Campylobacter sp., and as little as 500 bacteria can cause infection. While cases are rare (approximately 15 out of 100.000 people become infected each year), it can be life threatening. It is estimated that 100 people may die every year from Campylobacter. Roasting process which used commercial setting of time and temperature are 30 minutes and 150 oC. Simulation by adding of 106cfu/ml Campylobacter sp. prior to roasting conducted to determine
88 the rate of reduction of Campylobacter sp. A probability model describing variability but not uncertainty was developed in beta-poisson model. The result is microorganism reduction 2 log cfu/gram and the output of the model was the probability of illness per handling if the roasted chicken mishandled is 4 for 1 000 humans. Key words: Campylobacter sp., contamination, roasted chicken PENDAHULUAN Bahan pangan asal ternak susu, daging, dan telur merupakan sumber protein dan setiap tahun kebutuhannya semakin meningkat. Saat ini tuntutan masyarakat akan kualitas bahan pangan yang akan dikonsumsi juga semakin meningkat. Bahan pangan asal ternak yang kaya protein merupakan bahan yang mudah rusak dan mudah terkontaminasi oleh cemaran mikroba baik yang bersifat patogen maupun nonpatogen. Kontaminasi oleh mikroba pada bahan pangan menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan. Untuk melindungi konsumen di Indonesia terhadap adanya kontaminasi mikroba patogen pada bahan pangan asal ternak telah dicantumkan dalam SNI No. 01-6366-2000 mengenai batas maksimum cemaran mikroba patogen yang direkomendasikan dapat diterima dalam bahan makanan asal ternak adalah negatif. Usaha meningkatkan kualitas dan keamanan pangan terutama produk peternakan seperti susu, daging, dan telur perlu dilakukan untuk mengurangi kejadian foodborne disease. Salah satu usaha meningkatkan kualitas dan keamanan pangan adalah dengan melakukan uji keberadaan mikroba patogen seperti Campylobacter jejuni pada bahan pangan asal ternak. Dengan demikian bahan pangan asal ternak yang terkontaminasi oleh C. jejuni dapat segera dideteksi dan kontaminasi C. jejuni pada produk yang tidak terkontaminasi dan
kejadian
kontaminasi silang dapat dihindari. Bakteri Campylobacter sp. adalah agen foodborne disease penyebab utama gastroenteritis akut pada manusia di seluruh dunia. Infeksi Campylobacter sp. juga dapat menyebabkan enteritis dan keguguran pada sapi. C. jejuni dan C. coli adalah bakteri enterik yang patogen pada manusia dan hewan. Saat ini campylobacteriosis merupakan agen zoonosis yang cukup penting bagi negara-negara industri dan berkembang. Campylobacter jejuni umumnya ditemukan pada feses sapi perah, sapi potong, kambing, domba, bebek, karkas ayam, daging kambing serta air (Nielsen et al. 1997).
89 Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada hewan sangat bervariasi, meskipun infeksi yang terjadi pada peternakan ayam memegang peranan penting dalam penyebaran atau kontaminasi C. jejuni. Sehingga usaha mengurangi kejadian infeksi pada ayam merupakan usaha yang penting dalam memperbaiki sistem produksi dan usaha mengeliminasi atau mengurangi kejadian kontaminasi agen infeksi C. jejuni sangat berperan pada kesehatan masyarakat. Hasil studi case control menyatakan bahwa sumber utama infeksi disebabkan karena mengkonsumsi daging ayam, daging sapi, dan susu yang terkontaminasi. Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada manusia biasanya disebabkan karena ingesti makanan yang terkontaminasi (Kusumaningrum 2003). Penularan infeksi secara person to person dapat terjadi karena penderita campylobacteriosis menyiapkan makanan sehingga menyebabkan kontaminasi pada makanan. Sumber kontaminasi yang utama adalah karena mengkonsumsi daging ayam, susu, dan kontak dengan hewan peliharaan. Mengkonsumsi daging ayam yang tidak dimasak sempurna merupakan penyebab utama kejadian campylobacteriosis (Kapperud et al. 1992; Gregory et al. 1997; Anonim 2007). Masyarakat di Indonesia banyak memilih mengkonsumsi daging ayam karena selain mengandung protein yang cukup tinggi dan harganya lebih terjangkau, daging ayam memiliki rasa yang lezat. Sehingga perlu dilakukan identifikasi faktor resiko menderita campylobacteriosis apabila mengkonsumsi daging ayam. Berdasar uraian pada latar belakang tersebut maka perlu dilakukan kajian risiko menderita campylobacteriosis apabila mengkonsumsi daging ayam. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji risiko
terjangkit
Campylobacter sp. melalui konsumsi daging ayam panggang. BAHAN DAN METODE Secara keseluruhan garis besar penelitian ini meliputi penentuan prevalensi dan tingkat cemaran Campylobacter sp. pada karkas ayam serta penentuan tingkat laju penurunan cemaran Campylobacter sp. pada proses pemanggangan secara simulasi untuk menentukan risiko paparan Campylobacter sp. dan menentukan peluang infeksi Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi ayam yang dipanggang.
90 Prevalensi dan Tingkat Cemaran Campylobacter sp. pada Karkas Ayam Data prevalensi yang digunakan diperoleh penelusuran data prevalensi sekunder dan tingkat cemaran Campylobacter sp. dari laporan penelitian sebelumnya. Pengaruh Pemanggangan terhadap Reduksi Jumlah Koloni Persiapan kultur Campylobacter sp. Kultur isolat Campylobacter sp. yang sudah murni diambil 1 ose dan ditumbuhkan pada 10 ml media broth heart infusion( BHI) dan diinkubasikan pada suhu 42 oC dengan kondisi mikroaerofilik (5% O2, 10% CO2, 85% N2) selama 48 jam. Kemudian dilakukan inokulasi kultur pada media agar selectiveCampylobacter Blood Free Selective Agar Base (modified CCDA-Preston) untuk mengetahui kuantitas (cfu/ml) dan diinkubasikan pada suhu dan waktu seperti diatas, sebelum diinokulasikan pada sampel karkas ayam. Persiapan pemanggangan Karkas ayam dicuci dengan aquadestdan dilakukan pasteurisasi pada suhu 80 o
C selama 15 menit dengan cara steam. Kultur Campylobacter yang telah diketahui
kuantitasnya diinokulasikan pada sampel yang telah didingankan hingga mencapai suhu ruang. Suhu dan waktu pemanggangan yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil survei beberapa pedagang ayam panggang oven komersial, yaitu 150 o
C selama 70 menit.
Penentuan faktor reduksi jumlah koloni Penentuan reduksi Campylobacter sp. dilakukan dengan membandingkan jumlah koloni awal yang diinokulasikan pada sampel ayam yang sudah dipasteurisasi dengan setelah dilakukan pemanggangan. Kultur Campylobacter sp. sebanyak 250 ml konsentrasi 106 cfu/ml diinokulasikan pada karkas ayam dan didiamkan selama 15 menit. Cara menghitung jumlah koloni sebelum dan sesudah pemanggangan adalah Sampel sebanyak 25 gram karkas ayam dimasukkan ke dalam kantong steril yang berisi media Nut Broth No 2 yang telah ditambah growth suplement (OXOID SR 232E), kemudian sebanyal 1 ml kultur diinokulasikan pada
91 media Campylobacter Blood Free Selective Agar Base (modified CCDA-Preston) yang mengandung CCDA selective suplement (OXOID SR 155E), kemudian diinkubasikan kembali pada kondisi mikroerofilik (5% O2, 10%, CO2, 85% N2) selama 24-48 jam dan dilakukan penghitungan jumlah koloni. Risiko Paparan Campylobacter sp. Analisa yang digunakan untuk mengetahui adanya keterpaparan patogen pada rantai makanan dimulai dari karkas ayam setelah keluar dari rumah potong dan berakhir di dapur sehingga daging ayam sudah siap dikonsumsi. Pada kajian paparan dilakukan evaluasi terhadap bahaya akibat kontaminasi Campylobacter sp. yang terdapat pada bahan pangan pada saat dikonsumsi. Proses ini menggabungkan informasi keberadaan dan konsentrasi Campylobacter sp. dalam bahan panganyang dikonsumsi dan kemungkinan jumlahnya yang bervariasi. Informasi keberadaan dan konsentrasi mikroorganisme meliputi jumlah Campylobacter sp. pada per porsi penyajian. Data pendukung untuk mengetahui risiko paparan Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi daging ayam diperoleh dari penelitian dan survei yang sudah dilakukan sebelumnya sehingga diperoleh jumlah kontaminasi Campylobacter sp. yang terdapat dalam satu porsi daging ayam yang berpotensi dan terpapar ketika dikonsumsi. Peluang Infeksi Hubungan antara termakannya sejumlah tertentu mikroba dan kemungkinan terjadi akibatnya dapat dideskripsikan dengan Model dosis-response. Pada penelitian ini digunakan Model beta-poisson. Peluang terjadinya infeksi per porsi penyajian dapat dihitung secara : Pi = [1-(1+Ce/β)]-α Dimana
Pi = peluang infeksi Ce = jumlah mikroba yang tertelan α dan β =
0.21 dan 59.95 adalah parameter spesifik untuk
Campylobacter sp. (WHO 2001)
92 HASIL DAN PEMBAHASAN Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli berperan penting sebagai bakteri gastrointestinal yang patogen karena menyebabkan diare akut pada manusia (Blasser & Reller 1981). Campylobacter enteritis merupakan penyebab utama terjadinya enteritis di banyak negara berkembang dan menyebabkan angka kematian yang tinggi pada anak-anak di negara yang sedang berkembang (Allos 2001). Identifikasi Bahaya Bakteri patogen Campylobacter jejuni sebagai agen foodborne zoonosis secara umum
dapat
menyebabkan
gejala
gastroenteritis
pada
manusia.
Infeksi
Campylobacter sp. pada ayam menyebabkan diare (Pisestyani 2010). Diare yang terjadi merupakan akibat kemampuan C. jejuni yang telah masuk ke dalam saluran pencernaan melakukan multiplikasi dan kolonisasi pada saluran pencernaan serta terjadinya invasi bakteri (Sahin et al. 2003a; Sanyal et al. 2003).
Gambar 32 Hemoragi pada usus ayam kelompok perlakuan yang
diinfeksi isolat
lokal C. jejuni (Pisestyani 2010)
Ayam yang semasa hidup di peternakan yang terinfeksi dapat menyebabkan kontaminasi pada daging yang dihasilkan. Hanninen et al. (2000) dan JacobsReitsma (2000) melaporkan bahwa peternakan ayam yang terinfeksi Campylobacter sp. akan membawa mikroorganisme sampai ayam tersebut dipotong, sehingga daging ayam merupakan sumber kontaminasi Campylobacter yang utama. Secara mikroskopis infeksi C. jejuni pada usus menimbulkan perubahan mikroskopik
93 berupa edema, pendarahan dan infiltrasi sel radang. Hasil penelitian sebelumnya melaporkan terdapat perubahan makroskopis usus
mengalami hemoragi pasca
infeksi C. jejuni (Gambar 32). Infeksi C. jejuni dapat menyebabkan pembengkakan dan nekrotik hati (Dhillon 2006). Campylobacter spp. yang pada awalnya menginfeksi usus sehingga akhirnya bakteri tersebut sampai ke organ hati dan limpa serta organ interna lainnya melalui aliran darah. Infeksi C. jejuni setelah kolonisasi di usus selanjutnya secara aktif menginvasi sel intestinal dan bakteri melakukan ekstra translokasi sehingga menembus sel epitel dan migrasi ke sistem limpatik (Sahin 2003). Pada penelitian sebelumnya hati kelompok ayam yang diinfeksi isolat lokal C1 C. jejuni terlihat bengkak dengan perubahan warna pucat dan belang disertai adanya fokal nekrosis (Gambar 33).
Gambar 33 Hati pada kelompok ayam perlakuan diinfeksi isolat lokal terlihat membengkak disertai adanya perubahan warna pucat dan belang disertai fokal nekrosis (Pisestyani 2010) Proses penyiapan daging ayam yang meliputi proses penyembelihan, pendinginan, proses penyimpanan sebelum sampai konsumen, dan proses pemasakan sangat mempengaruhi jumlah kontaminan dan kualitas daging ayam yang dihasilkan. Daging ayam merupakan sumber kontaminasi yang terbanyak dapat menularkan Campylobacter sp. pada manusia (Studahl & Andersson 2000). Menurut
Pearson
dan
Healing
(1992)
mendeteksi
adanya
kontaminasi
Campylobacter pada karkas ayam mempunyai peran penting untuk menentukan sumber kontaminasi yang berhubungan dengan konsumsi daging ayam yang dimasak kurang sempurna. Pada Tabel 8 dapat dilihat prevalensi kontaminasi
94 Campylobacter sp. pada karkas ayam yang merupakan hasil penelitian beberapa penelitian sebelumnya. Dari data sekunder hasil penelitian sebelumnya, prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. bervariasi antara 16% sampai 88% dengan rataan 49.4%. Apabila digunakan data sekunder hasil penelitian di Indonesia maka rataan prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. yang diisolasi secra konvensional adalah 23.7 %. Sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh Blackburn dan Clure (2003) yang menyatakan hasil survei tentang produk unggas yang dijual di pasar di beberapa negara telah dilaporkan terkontaminasi Campylobacter dengan tingkat kontaminasi antara 3.7% sampai 93.6%. Tabel 8 Data prevalensi kontaminasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam Jumlah
Positif
Prevalensi
Metode
Referensi
Sampel
Campylobacter sp.
(%)
298
59
19.8
Konvensional
Andriani et al. 2012a
298
124
41.6
PCR
Andriani et al. 2012c
100
76
76
Konvensional
Jamshidi et al. 2008
84
30
36
Konvensional
Nanang 2008
398
350
88
TECRA
Bailey et al. 2003
70
11
16
Konvensional
Abdi 2007
4200
3108
74
Campy-Cefex
Stern & Pretanik 2006
115
26
23
Konvensional
Poeloengan & Noor 2003
Karakterisasi Bahaya dan Kajian Paparan Hasil
survey
yang
telah
dilakukan
terhadap
kesukaan
responden
mengkonsumsi ayam panggang 100 gram setiap porsi sekali makan adalah 1.5 % dari 400 responden menyukai ayam panggang dengan frekuensi mengkonsumsi yang terbanyak 2-3 kali dalam seminggu. Data konsentrasi jumlah cemaran Campylobacter sp. yang digunakan dalam perhitungan diperoleh dari beberapa sumber hasil penelitian sebelumnya. Metode yang sama juga dilakukan oleh Rosenquist et al. (2003) dimana apabila data tidak diperoleh dari hasil penelitian di dalam negeri maka dapat digunakan data dari hasil penelitian negara lain. Konsentrasi bakteri Campylobacter sp. pada daging ayam adalah lebih dari 105cfu per karkas (Jorgensen et al. 2002; Stern & Pretanik 2006).
95 Menurut Luber dan Bartlet (2007) prevalensi daging ayam bagian dada terkontaminasi adalah 87% dengan jumlah bakteri 1.9x103 cfu/fillet. Data tingkat cemaran Campylobacter sp. pada karkas ayam dapat dilihat pada Tabel 9, diperoleh rataan cemaran Campylobacter sp. adalah 1.3 x 103cfu per 100 gram karkas ayam. Tabel 9 Data jumlah cemaran Campylobacter sp. pada 100 gram karkas ayam Konsentrasi C. jejuni (cfu/100 gram)
Sumber
1.0 x 103
Altekruse et al. 1999
5.5 x 102
Jorgensen et al. 2002
1.0 x 102
Stern dan Pretanik 2006
1.9 x 103
Luber dan Bartlet 2007
2.8 x 103
EFSA 2008
Suhu dan waktu pemanggangan yang digunakan pada penalitian ini disesuaikan dengan kondisi suhu dan waktu pedagang ayam panggang oven komersial yaitu 150 oC selama 70 menit. Sampel dianalisis pada menit ke-30 dan 70. Konsentrasi Campylobacter jejuni pada karkas sebelum dilakukan pemanggangan adalah rata-rata 2.44 log cfu/gram. Setelah dilakukan pemanggangan terlihat penurunan jumlah koloni. Reduksi koloni C. jejuni dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Reduksi koloni C. jejuni pada karkas ayam setelah pemanggangan (Widhiasmoro 2011) Ulangan
Reduksi
1 2 3 4 5 6 7
10/ 2340 10/2380 10/2590 10/2680 10/2140 10/2470 10/2500
Perhitungan reduksi jumlah koloni Campylobacter sp. menggunakan asumsi bahwa koloni yang tersisa setelah pemanggangan adalah 10 cfu/gram, cara ini gunakan dalam perhitungan jika tidak ditemukan koloni yang tumbuh setelah pemanggangan. Reduksi koloni dihitung dengan membandingkan jumlah koloni
96 sebelum pemanggangan yaitu 2.44 log cfu/gram dan setelah pemanggangan. Rataan reduksi koloni C. jejuni yang diperoleh adalah 10/2431 (0.004). Pemanggangan pada menit ke 30 menyebabkan penurunan jumlah koloni sekitar 2 log cfu/gram. Bakteri Campylobcater sp. termasuk kelompok termofilik tetapi tidak tahan terhadap suhu pemasakan
atau
pasteurisasi.
Pemanasan
yang
tidak
sempurna
sehingga
menyebabkan bahan pangan menjadi kurang matang (undercooked) dapat bertindak sebagai sumber penyebab campylobacteriosis (EFSA 2008). Tabel 11 Perhitungan risiko paparan C. jejuni Variabel/ Proses P
Prevalensi kontaminasi pada
Satuan (Rumus)
Rataan
%
23.7
cfu/100 gram
1.3 x 103
-
0.004
PxNxR
1.23
karkas ayam N
Tingkat cemaran C. jejuni pada karkas ayam
R
Faktor reduksi pemanggangan
Cv
Tingkat cemaran pada ayam panggang
U
Ukuran per porsi
Ce
(cfu/100 gram) gram
100
Dosis patogen per porsi ayam
Cv/ 100 gram
1.23
dipanggang
(cfu/100 gram)
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pemanasan pada suhu 150 oC selama 30 menit sudah mampu mereduksi Campylobacter sp. sekitar 2 log cfu/gram. Hal ini sesuai dengan pendapat Martinez-Roddriguez dan Mackey (2005) yang menyatakan bahwa C. jejuni adalah mikroorganisme yang rentan terhadap perubahan lingkungan seperti pemanasan, pegasaman, pembekuan, dan tekanan hidrostatik tinggi. Menurut Stern dan Line (2000) pemasakan daging giling yang mengandung 106 cfu Campylobacter jejuni menggunakan suhu internal 60 oC selama 10 menit menghasilkan tidak terdeteksinya bakteri setelah pemanasan. Campylobacter sp. sangat rentan pada perlakuan antimikroba, pengolahan dan faktor lingkungan, tetapi laporan kasus foodborne disease yang disebabkan oleh Campylobacter jejuni terus meningkat (Blackburn & Clure 2003). Dosis infeksi pada ayam adalah 103 cfu sedangkan dosis infeksi manusia sangat rendah yaitu 900
97 sel bakteri (Stern & Pretanik 2006), sehingga proses pemasakan yang kurang sempurna dan kondisi sanitasi serta higiene kurang bagus selama proses pemasakan dan penyiapan bahan pangan sejak bahan mentah sampai menjadi produk siap saji dapat menyebabkan risiko terjadinya camylobacteriosis. Adanya kontaminasi paparan Campylobacter sp. pada karkas ayam dapat menimbulkan bahaya bagi konsumen yang perlu dikaji secara kuantitatif serta dilakukan manajemen pengendalian risiko yang tepat untuk mengurangi kejadian penyakit dengan adanya data-data kajian risiko. Risiko paparan Campylobacter jejuni yang kemungkinan dikonsumsi oleh manusia setiap porsi dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil perhitungan adalah satu porsi ayam dipanggang (100 gram) kemungkinan terdapat kontaminan
1.23 cfu
Campylobacter sp. Kontaminasi pada daging ayam siap saji juga dapat berasal dari kontaminasi silang akibat penanganan setelah pemasakan, pada saat penyajian yang bersumber dari karkas ayam atau peralatan makan atau peralatan masak yang telah terkontaminasi. Penambahan bumbu rempah pada karkas saat proses pemasakan dapat mengurangi jumlah kontaminan Campylobacter sp. Gonzalez dan Hanninen (2011) melaporkan bahwa kombinasi bumbu dapat menyebabkan penurunan jumlah C. jejuni antara 1.09-1.66 log cfu selama tujuh hari penyimpanan pada suhu 4 oC. Peluang Infeksi Menentukan peluang infeksi Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi daging ayam dengan simulasi pemanggangan digunakan Model beta-poisson dapat dilihat pada Tabel 12. Nilai peluang infeksi dapat diartikan sebagai berapa banyak kemungkinan orang terinfeksi pada suatu populasi. Hasil perhitungan yang diperoleh adalah sebanyak 2 dari 1 000 orang mempunyai peluang terinfeksi Campylobacter jejuni akibat mengkonsumsi daging ayam yang telah dipanggang selama 30 menit pada suhu 150 oC, dengan asumsi jumlah kontaminasi pada karkas 2 log cfu/gram dan faktor reduksi 0.004. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan laporan dari Stern dan Robach (2003) bahwa di Islandia terjadi 116 kasus campylobacteriosis pada 100 000 orang. Di Denmark kasus campylobacteriosis diperkirakan sekitar 0.6% sampai 8.3% dari populasi atau sekitar 6-83 kasus per 1000 orang. Sedangkan di Belgia terdapat 0.71% kasus dan di Italia sekitar 1.8% populasi diperkirakan mengalami campylobacteriosis (Uytendaele et al. 2006).
98 Namun demikian nilai peluang dari model ini dapat bervariasi karena adanya faktor virulensi mikroorganisme, kemampuan kolonisasinya setelah masuk saluran pencernaan manusia, serta status kekebalan tubuh manusia (Coleman & Marks 1998). Seperti yang dilaporkan oleh Rosenquist et al. (2003) bahwa manusia usia 18-19 tahun ternyata memiliki risiko infeksi Campylobacter sp. yang lebih besar dibandingkan kelompok usia lain. Sedangkan Buchanan et al. (2000) melaporkan bahwa model dosis respon juga dipengaruhi oleh faktor mikrobiologis, faktor inang, faktor matriks makanan, sumber data yang digunakan, serta model empiris yang digunakan.
Tabel 12 Peluang terjadinya infeksi Campylobacter jejuni Variabel
Satuan (Rumus)
Rataan
Ce
Dosis patogen per porsi ayam
cfu/100 gram
1.23
Pi
Peluang infeksi per porsi ayam model
[1-(1+Ce/β)]-α
4 x 10-3
beta-poisson α=0.21; β=59.95
SIMPULAN Hasil yang diperoleh pada penelitian adalah proses pemanggangan pada suhu 150 oC selama 30 menit dapat menurunkan jumlah Campylobacter sp. sebanyak 2 log cfu/gram pada simulasi jumlah awal mikroorganisme 2 log cfu/gram. Peluang risiko menderita campylobacteriosis adalah 4 dari 1 000 orang yang mengkonsumsi ayam panggang, ditentukan juga oleh kondisi kontaminasi karkas ayam sebelum diproses, virulensi mikroorganisme serta faktor kekebalan individu. DAFTAR PUSTAKA Abdi I. 2007. Isolasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam dan uji efektivitas klorin , asam asetat sebagai sanitaiser terhadap Campylobacter jejuni dengan metode suspension test [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Allos BM, Taylor DN. 1998. Campylobacter Infections. Di dalam: Evans AS, Brachman PS, editor. Bacterial Infections of Humans: Epidemiology and Control. Edisi ke-3. New York: Plenum Medical Book Company. hlm 169190.
99 Altekruse SF, Stern NJ, Fields PI, Swerdlow DL. 1999. Campylobacter jejuni an Emerging foodborne pathogen. J Emerg Infect Dis 5 (1): 23-29. Andriani, Sudarwanto M, Setiyaningsih S, Kusumaningrum HD. 2012a. Prevalensi Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli pada karkas ayam dari pasar tradisional dan swalayan. J Teknol Ind Pangan. Dalam proses dipublikasi. Andriani, Sudarwanto M, Setiyaningsih S, Kusumaningrum HD. 2012c. Metode direct polymerase chain reaction (DPCR) untuk deteksi campylobacter sp. pada daging ayam. J Vet. Dalam proses dipublikasi. Anonim. 2007. Local meat, milk and raw salad carry high levels of Campylobacter. Daily Timer, Saturday-February 03, 2007. Pakistan. Bailey GD, Vanselow BA, Hornitzky MA, Hum SI, Eamens GJ, Gill PA, Walker KH, Cronin JP. 2003. A Study of the food-borne pathogens: Campylobacter, Listeria and Yersinia in faeces from slaughterage cattle and sheep in Austria. Commun Dis Intell 27: 249-257. Blackburn CW, Clure PJ. 2003. Campylobacter dan Areobacter. Di dalam: Foodborne Pathogens. Hazards, Risk Analysis and Control. New York: CRC Press. Blasser MJ, Reller LB. 1981. Campylobacter enteritis. N Engl J Med 305: 14441452. Buchanan RL, Smith JL, Longa W. 2000. Microbial risk assessment: dose-response relations and risk characterization. Int J Food Microbiol 58:159-172. Coleman M, Marks H. 1998. Topics in dose-response modeling. J Food Prot 61: 1550-1559. Dhillon AS. 2006. Campylobacter jejuni infection in broiler chickens. Avian Dis 50(1): 55-58. [EFSA] European Food Safety Authorithy. 2008. Analysis of the baseline survey on the prevalence of campylobacter in broiler batches and Campylobacter and Salmonella on broiler carcasses in the EU. EFSA J 8(3): 1503. Gonzales M, Hanninen MI. 2011. Reduction of Campylobacter jejuni counts on chicken meat treated with different seasonings. Food Control 22: 1785-1789. Gregory E, Barnhart H, Dreesen DW, Stern NJ, dan Corn JL. 1997. Epidemiological study of Campylobacter spp. In broiler: source, time of colonization, and prevalence. Avian Dis 41 (4): 890-894. Hanninen ML, Perko-Makela P, Pitkala A, Rautelin H. 2000. A three-year study of Campylobacter jejuni genotypes in humans with domestically acquired infection and in chicken samples from the Helsinki area. J Clin Microbiol 38: 1998-2000. Jacobs-Reitsma W. 2000. Campylobacter in the Food Supply. Di dalam: Nachamkin I, Blaser MJ, editor. Campylobacter. Washington DC: American Society for Microbiology. hlm 467-481.
100 Jamshidi A, Bassami MR, Farkhondeh T. 2008. Isolation and identification of Campylobacter coli from poultry carcasses by conventional and multiplex PCR methods in Mashhad, Iran. Iranian J Vet Res 9(2): 138-144. Jorgensen F, Bailey R, Williams S, Henderson P, Wareing DRA, Bolton J, Frost A, Ward L, Humphrey TJ. 2002. Prevalence and numbers of Salmonella and Campylobacter spp. on raw, whole chickens in relation to sampling methods. Int J Food Microbiol 76: 151-164. Kapperud G, Skjerve E, Bean NH, Ostroff SM, Lassen J. 1992. Risk factor for sporadic Campylobacter infection: Results of a case-control study in southeastern Norway. J Clin Microbiol 30(12): 3117. Kusumaningrum HD. 2003. Behavior and cross-contamination of pathogenic bacteria in household kitchens - relevance to exposure assessment [Ph.D. thesis]. Wageningen, The Netherlands: Wageningen University. Luber P, Bartlet E. 2007. Enumeration of Campylobacter spp. on the surface and within chicken breast fillets. J Appl Microbiol 102: 313-318. Martinez-Rodriguez A, Mackey BM. 2005. Physiological changes in Campylobacter jejuni on entry into stationary phase. J Food M icrobiol 10: 1-8. Nanang MK. 2008. Penentuan prevalensi Campylobacter jejuni sampel potongan karkas ayam di wilayah Bogor dan Jakarta menggunakan metode modifikasi BAM 2001 [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Nielsen EM, Engberg J, Madsen M. 1997. Distribution of serotype of Campylobacter jejuni dan C. coli from Danish patients, poultry, cattle and swine. FEMS Immunol Med Microbiol 19 (1): 47. Pearson AD, Healing TD. 1992. The surveillance and control of Campylobacter infection. Commun Dis Rev 2: 133-139. Pisestyani H. 2010. Isolasi dan identifikasi Campylobacter jejuni menggunakan metode konvensional dan molekuler serta mekanisme pathogenesis pada saluran pencernaan ayam broiler [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Poeloengan M, Noor SM. 2003. Isolasi Campylobacter jejuni pada daging ayam dari pasar tradisional dan supermarket. Di Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Puslitbang Peternakan. Rosenquist H, Nielsen NL, Somer HM, Norrung B, Christensen B. 2003. Quantitative risk assessment of human campylobacteriosis with thermophilic Campylobacter species in chicken. J Food Microbiol 83: 87-103. Sahin O. 2003. Ecology of Campylobacter colonization in poultry role of maternal antibodies in protection and sources of flock infection [dissertation]. Ohio: The Graduate School of The Ohio State University.
101 Sahin O, Luo N, Huang S, Zhang Q. 2003a. Effect of Campylobacter-specific maternal antibodies on Campylobacter jejuni colonization in young chickens. Appl Environ Microbiol 69: 5372-5379. Sanyal SC, Islam KMN, Neogy PKB, Islam M, Speelman P, Huq MI. 2003. Campylobacter jejuni diarrhea model in infant chickens. Infect and Immunity 43(3): 931-936. Stern NJ, Line JE. 2000. Campylobacter. Di dalam: Baird Parker TC, Gould GW, editor. The Microbiologycal Safety and Quality of Food Vol II. New York: Aspen Publication. Stern NJ, Robach MC. 2003. Enumeration of Campylobacter spp. in broiler feces and ind corresponding processed carcasses. J Food Prot 66(9): 1557-1563. Stern NJ, Pretanik S. 2006. Counts of Campylobacter spp. on U.S. broiler carcasses. J Food Prot 69(5): 1034-1039. Studahl A, Andersson Y. 2000. Risk factors for indigenous Campylobacter infection: a Swedish case-control study. Epidemiol Infect 125: 269-275. Uytendaele M, Baert K, Ghafir Y, Daube G, De Zutter L, Herman K, Pierard D, Dubois J. Horison B, Debevere J. 2006. Quantitative risk assessment of Campylobacter sp. in poultry based meat preparation as one of the factors to support the development of risk-based microbiological criteria in Belgium. J Food Microbiol 111: 149-163. [WHO] World Health Organisation. 2001. The Increasing Incidence of Human Campylobacteriosis. Report and Proceedings of a WHO Consultation of Experts Copenhagen. Denmark. Widhiasmoro A. 2011. Kajian paparan Campylobacter jejuni pada konsumsi ayam panggang [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor.
102
103
8. PEMBAHASAN UMUM Penelitian mengenai deteksi Campylobacer jejuni dimulai awal tahun 1970 sejak ditemukannya media selective yang dapat digunakan untuk melakukan isolasi Campylobacter sp. dari hewan yang terinfeksi (Butzler 1984). Peneliti Doyle (1984) dan Silva et al. (2011) melaporkan beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan hidup dan pertumbuhan Campylobacter sp. pada daging dan susu, yang dapat mempengaruhi keberhasilan isolasi. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kemampuan hidup dan pertumbuhan Campylobacter sp. in vitro adalah temperatur, pH, dan konsentrasi oksigen (Doyle 1984). Atanasova et al. (2007) di German melaporkan prevalensi Campylobacter sp. pada karkas kalkun adalah 34% (n=100), isolasi dilakukan secara konvensional menggunakan metode ISO-10272. Peneliti Rahimi et al. (2010) di Iran melakukan isolasi Campylobacter sp. dari daging unta secara
konvensional
memperoleh
prevalensi
1.1%
(n=282).
Prevalensi
Campylobacter sp. pada daging sapi dari rumah potong di Finlandia dan diisolasi secara konvensional dilanjutkan uji konfirmasi secara biokimia menggunakan LAB M, Bury England) adalah 3.5% (n=948) dilaporkan oleh Hakkinen et al. (2007). Isolasi Campylobacter menggunakan metode konvensional juga dilakukan oleh Bolton (2007). Isolasi Campylobacter sp. menggunakan metode konvensional pada umumnya menggunakan media selektif untuk menghambat pertumbuhan mikroflora enterik, karena multiplikasi bakteri Campylobacter sp. lebih lambat dari bakteri enterik yang lain (Blaser 2000). Menurut Sahin et al. (2003b) media selektif lain yang biasa digunakan antara lain media Skirrow’s, Butzler’s, Blaser’s, dan Preston agar. Media selektif umumnya mengandung kombinasi beberapa antibiotik yang resisten terhadap bakteri Campylobacter sp. tapi bakteri enterik yang lain peka (Sahin et al. 2003b). Penelitian diawali dengan melakukan pengambilan sampel di swalayan dan pasar tradisional yang terletak di daerah Bogor, Sukabumi, dan DKI Jakarta pada tahun 2009 dan 2010, sedangkan tahun 2011 di daerah Jawa Tengah (Demak dan Kudus) sampel yang diambil berupa karkas ayam. Sejumlah 298 sampel dilakukan isolasi untuk mendapatkan isolat Campylobacter sp. Isolasi dilakukan menggunakan modifikasi metode ISO/DIS 10272-1994 dan identifikasi untuk membedakan spesies C. jejuni dan C. coli dilakukan secara biokimia menggunakan API Campy. Media
104 modifikasi pada penelitian adalah menggunakan media Nutrien Broth No 2, dimana pada ISO 10272 media yang digunakan adalah Preston Broth. Modifikasi media yang digunakan pada penelitian Nutrient Broth No 2 (oxoid) ditambah growth supplement (oxoid) yang mengandung ferrous sulfate, sodium metabisulfite, dan sodium pyruvat (FBP) sebagai supplement pengganti darah dan untuk memberi kesempatan bakteri sublethal tumbuh lebih baik (recovery). Identifikasi isolat yang dinyatakan positif C. jejuni dilakukan secara uji oksidasi, motilitas, dan utilization glukosa, laktosa, dan sukrosa. Identifikasi isolat yang diperoleh dari lapangan dilakukan juga menggunakan API Campy. Sampel berupa karkas ayam diambil dari beberapa pasar tadisional dan swalayan. Karkas ayam yang dijual di pasar tradisional di simpan pada suhu ruang dan tempat terbuka, sedangkan di swalayan karkas ayam dijual di dalam lemari pendingin dengan penutup plastik (wrap plastic). Karkas ayam yang diambil dari pasar tradisional dijual tanpa penutup memungkinkan banyak bakteri kontaminan baik patogen maupun non patogen yang tumbuh dan memperbanyak diri pada sampel. Di pasar swalayan karkas dijual dengan dibungkus plastik memberikan kondisi atmosfer yang lebih optimal bagi pertumbuhan Campylobacter sp. yang bersifat microaerophilic, dimana adanya oksigen di udara dapat mengganggu pertumbuhan Campylobacter sp. Campylobacter sp. bersifat mikroaerofilik dan menurut Murphy et al. (2006) bakteri tersebut termasuk dalam kelompok bakteri viable but nonculturable (VBNC). Nachamkin (1999) melaporkan bahwa isolasi bakteri memerlukan kondisi mikroaerofilik pada atmosfer 5% O2, 10% CO2 dan 85% N2. Menurut Bolton dan Coates (1983) kondisi mikroaerofilik diperoleh dengan menumbuhkan isolat di dalam jar yang telah dilengkapi dengan gas generating sachet. Isolasi dilakukan dengan menumbuhkan isolat yang telah ditanam dalam media selektif dan dimasukkan ke dalam jar yang diisi CampyGen (oxoid). Bakteri C. jejuni dapat tumbuh pada suhu antara 32 oC sampai 45 oC meskipun pertumbuhannnya lambat karena suhu optimum untuk pertumbuhan adalah antara 37 oC sampai 42 oC. Hasil isolasi Campylobacter sp. secara konvensional diperoleh 59 isolat Campylobacter sp. Identifikasi isolat Campylobacter sp. yang diperoleh dilanjutkan dengan uji biokimia menggunakan API Campy (Biomeriux, German). Isolat Campylobacter sp. sebanyak 59 (19.8%) dilakukan identifikasi untuk membedakan
105 spesies Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli. Hasil uji API Campy memperlihatkan bahwa kontaminasi C. jejuni adalah 16% (n=298) dan C. coli 3.6% (n=298).
Menurut
Humphrey
et
al.
(2007)
dan
Frost
(2001)
infeksi
campylobacteriosis pada manusia terutama disebabkan oleh spesies C. jejuni namun spesies C. coli yang berasal dari saluran pencernaan hewan terutama ayam sering dilaporkan, karena sebagian besar kejadiannya gastroenteritis dapat disebabkan oleh bakteri patogen C. jejuni dan C. coli. Fang et al. (2006) dan Flyn et al. (1994) melaporkan bahwa campylobacteriosis terutama disebabkan karena mengkonsumsi daging ayam yang terkontaminasi C. jejunidan C. coli. Mendeteksi Campylobacter sp. dari bahan pangan secara konvensional menggunakan media selektif dan uji biokimiawi meskipun sensitif tetapi memerlukan waktu yang cukup lama yaitu 4-6 hari dan identifikasi secara fenotipik sulit mendapatkan interpretasinya, karena pada saat stres, bakteri akan berubah menjadi viable but nonculturable (VBNC) sehingga bakteri Campylobacter sp. tidak dapat ditumbuhkan lagi pada media (On 2001). Sifat mikroaerofilik yang sangat rentan terhadap oksigen dapat menyebabkan negatif pada hasil isolasi apabila pada saat melakukan subkultur terlalu lama kontak dengan udara terbuka. Metode PCR merupakan teknik deteksi yang memiliki spesifitas dan sensitivitas yang tinggi (Mullis & Faloona 1987) dan telah dikembangkan untuk identifikasi Campylobacter sp, tetapi untuk mendeteksi dari bahan pangan sensitivitasnya masih rendah (Moreno et al. 2001). Isolat
hasil
isolasi
dan
identifikasi secara konvensional dari sampel yang dinyatakan positif Campylobacter jejuni
selanjutnya dilakukan karakterisasi genetik menggunakan uji polymerase
chain reaction (PCR) untuk membedakan spesies C. jejuni dan C. coli secara molekuler. Metode PCR
dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan agen
infeksius dengan melakukan amplifikasi DNA pada bagian daerah terpilih sehingga PCR merupakan teknik yang memiliki spesifitas dan sensitivitas yang tinggi (Oyofo et al. 1992). Primer yang digunakan pada penelitian ini untuk membedakan spesies C. jejuni dan C. coli adalah gen hipO, glyA, 23S rRNA, dan fla. Gen hipO mengkode enzim hippuricase. Menurut Nakari et al. (2008) spesies C. jejuni memberikan reaksi positif pada uji hidrolisis hippurate sedangkan C. coli memberikan reaksi negatif.
106 Identifikasi C. jejuni secara PCR menggunakan gen hipO menurut Steinhauserova et al. (2001) memberikan hasil yang efektif. Peneliti Wang et al. (2002) melaporkan keuntungan gen hipO dapat digunakan untuk mendeteksi strain C. jejuni yang secara biokimia bereaksi negatif pada uji hippuricase namun hal ini menyebabkan kesulitan untuk membedakan dengan C. coli. Laporan penelitian Totten et al. (1987) isolat Campylobacter sp. yang secara fenotipik positif maupun negatif pada uji hidrolisa hippurate setelah dilakukan karakterisasi genetik hasilnya adalah seluruh uji hippurate positif adalah C. jejuni, dari strain hippurate negatif sebanyak 20% adalah C. jejuni dan 78% adalah C. coli sedangkan yang 2% adalah C. laridis. Gen glyA mengkode serine hydroxymethyltransferase bersifat sangat conserve yang terdapat pada Campylobacter thermophilik seperti C. coli, C. lari, C. upsaliensis, serta Arcobacter butzleri (Al Rashid et al. 2000; Wang et al. 2002). Lokasi gen terletak pada 337-444 bp dengan ukuran 126 bp. Hasil produk PCR menggunakan sequen oligo primer glyA-F (5’ GTA AAA CCA AAG CTT ATC GTG) dan lyA-R (5’ TCC AGC AAT GTG TGC AAT G) adalah isolat sampel yang diuji menunjukkan hasil negatif dengan kontrol positif ATCC C. coli dan kontrol negatif ATCC C. jejuni, sehingga dapat diketahui bahwa hasil uji sampel adalah C. jejuni atau C. coli. Primer 23S rRNA sebagai kontrol gen yang merupakan bagian yang bersifat highly polymorphic yang terletak di helix antara 43 dan 69 (Eyers et al.1993; Fermer & Engvall 1999; Rashid et al. 2000; Wang et al. 2002). Campylobacter 23S rRNA ditampilkan sebagai bentuk helix yang terbagi dalam subdivisi alpha, beta, dan gamma (Trust et al. 1994). Sequen oligo primer yang digunakan pada penelitian adalah pasangan gen C. jejuni 23S rRNA-F (5’ TAT ACC CGT AAG GAG TGC TGG AG) dan C. jejuni 23S rRNA-R (5’ ATC AAT TAA CCT TCG AGC ACC G) lokasi gen pada 3807-4435 dengan besaran gen target 650 bp. Primer 23S rRNA yang digunakan pada penelitian mengacu peneliti sebelumnya Wang et al. (2002) dengan target gen 650 bp dapat mendeteksi genus Campylobacter, Arcobacter, dan Helicobacter pylori. Spesies bakteri termofilik Campylobacter yang dapat dideteksi menggunakan amplikon primer 23S rRNA adalah C. jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, C. fetus, C. hyointestinalis, dan C. sputorum. Menurut Hurtado dan
107 Owen (1997) gen 23S mampu mengamplifikasi 118 strain termasuk 15 spesies Campylobacter dan empat spesies Arcobacter. Flagella pada C. jejuni dan C. coli tersusun atas dua subunit flagellin yang disusun oleh gen flaA dan flaB. Sedangkan Gen flagellin (fla) adalah salah satu gen Campylobacter spp. yang bersifat highly conserve terhadap strain C. coli dan C. jejuni sehingga dapat digunakan sebagai target indentifikasi secara PCR terhadap thermophilic enteropathogenic campylobacter (Oyofo et al.1992). Pada penelitian ini digunakan sekuen oligo pasangan primer Campylobacter fla-F (5’ GTA AAA CCA AAG CTT ATC GTG) dan Campylobacter fla-R (5’ TCCA GCA ATG TGT GCA ATG). Gen flagellin (fla) merupakan salah satu gen Campylobacter yang berpotensi untuk mengidentifikasi C. jejuni dan C. coli, karena flagella C. jejuni dan C. coli tersusun dari dua subunit flagellin yaitu gen flaA dan flaB (Fischer & Nachamkin 1991). Menurut Oyofo et al. (1992) gen flaA dari C. coli VC167 untuk amplifikasi PCR lokasi 450 bp mampu mendeteksi C. jejuni dan C. coli, tetapi tidak mampu mendeteksi spesies yang lain seperti C. fetus, C. lari, C. upsaliensis, C butzleri. Gen flagellin merupakan highly conserve dan mampu mendeteksi secara spesifik bakteri termofilik Campylobacter sp. termasuk spesies C. jejuni dan C. coli (Thornton et al. 1990; Eyers et al. 1993). Metode PCR yang telah dilaporkan digunakan untuk identifikasi Campylobacter sp. disajika pada Tabel 13. Hasil identifikasi isolat Campylobacter sp. secara PCR dapat mendeteksi adanya kontaminan bakteri patogen Campylobacter sp. pada karkas ayam dengan prevalensi 62.6% (lebih sensitif)
dari pada metode konvensional dan
mendeferensiasi spesies C. jejuni dan C. coli dari sampel karkas ayam. Hasil yang diperoleh adalah uji PCR dapat mendeteksi kontaminasi Campylobacter sp. pada daging ayam lebih tinggi 41.6% dibandingkan dengan cara konvensional 19.8%. Metode PCR selain dapat mendeferensiasi spesies kontaminan Campylobacter sp. yang terdapat pada karkas ayam juga dapat mengidentifikasi keberadaan Campylobacter sp. pada feses ayam setelah dilakukan inokulasi peroral Campylobacter 104 cfu/ml pada ayam broiler (Pisestyani 2010). Talukder et al. (2008) melakukan identifikasi C. jejuni dari 300 sampel feses penderita diare di Bangladesh menggunakan gen yang mengkode cytolethal distending toxin. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa metode PCR mampu mendeteksi lebih sensitif adanya kontaminan bakteri patogen Campylobacter sp.
serta
108 mendeferensiasi sampai spesies pada bahan pangan terutama karkas ayam. Menurut Kulkarni et al. (2002) metode PCR mampu mengidentifikasi Campylobacter sp. sampai spesies dalam waktu yang lebih cepat daripada metode konvensional. Deteksi menggunakan metode PCR dapat dilakukan dalam waktu 2 hari, dimana pada uji konvensional memerlukan waktu 4-6 hari. Naravaneni dan Jamil (2005) melaporkan bahwa metode cepat PCR efektif digunakan untuk mendeteksi bakteri foodborne. Evaluasi menggunakan metode PCR pada bahan pangan dapat menghasilkan sensitivitas dan spesifitas yang lebih rendah apabila dilakukan menguji sampel secara langsung. Untuk itu diperlukan tahapan, sampel dikultur dalam media enrichment terlebih dahulu sebelum dilakukan analisa untuk meningkatkan viabilitas sel yang mengalami stres atau injury selama penyiapan. Sifat bakteri Campylobacter sp. sangat fragile, mikroaerofilik, dan mudah berubah menjadi VBNC dapat menyulitkan isolasi apabila dilakukan secara konvensional. Sehingga hal ini dapat memberikan hasil negatif palsu maka deteksi secara PCR dapat memberikan hasil lebih akurat. Pada
penelitian
ini
metode
PCR
digunakan
juga
untuk
deteksi
Campylobacter jejuni dari feses untuk melakukan reisolasi pasca infeksi. Deteksi Campylobacter sp. secara PCR dapat digunakan untuk mengidentifikasi sempel feses dan lingkungan. Identifikasi secara PCR dari sempel telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya Inglish dan Kalischuk (2003), sedangkan Alexandrino et al. (2004) melakukan deteksi Campylobacter sp. dari air limbah. Kelemahan metode PCR digunakan identifikasi Campylobacter sp. pada bahan pangan adalah diperlukan biaya mahal untuk reagen dan
peralatan,
diperlukan tahap pengkayaan untuk mendapatkan DNA template yang cukup terkait dengan deteksi limit, adanya inhibitor dari bahan pangan terutama asal hewan seperti lemak, darah, serta banyaknya jumlah bakteri yang lain dapat mengganggu tahap purifikasi DNA (Englen & Kelley 2000). Kejadian campylobacteriosis di Indonesia telah dilaporkan oleh Ringertz et al. (1980) dengan melakukan isolasi Campylobacter fetus subsp. jejuni dari feses manusia penderita gastroenteritis dengan gejala demam typhoid. Oyofo et al. (2002) melaporkan ditemukannya 4.4% isolat Campylobacter sp. (n=6760) pada pasien penderita diare di beberapa provinsi di Indonesia. Kontaminasi Campylobacter sp.
109 pada karkas ayam yang dijual di pasar tradisional maupun swalayan telah dilaporkan oleh Poelongan dan Noor 2003, Abdi 2007, dan Nanang 2008. Infeksi Campylobacter jejuni dapat menyebabkan gastroenteritis pada manusia dengan gejala diare, demam, dan sakit perut. Selain menyebabkan infeksi gastrointestinal,
Campylobacter
jejuni
dapat
menyebabkan
infeksi
non-
gastrointestinal pada manusia. Kejadian infeksi gastrointestinal secara foodborne telah dilaporkan merupakan akibat mengkonsumsi bahan makanan yang telah terkontaminasi. Bakteri Campylobacter jejuni merupakan patogen zoonosis yang dapat menyebabkan campylobacteriosis pada manusia dan ditularkan dengan cara mengkonsumsi daging ayam.
Tabel 13 Identifikasi Campylobacter sp. yang dideteksi secara PCR Sampel
Karkas ayam
Prevalensi / Jumah Sampel 28% / 100
Gen
Genus/Spesies Campylobacter
Sumber
cadF (outer membran protein Campylobacter sp.)
Campylobacter sp.
Jamshidi et al. 2008
Feses manusia
18%/ 343
16S rRNA (Campylobacter thermophilic)
Campylobacter sp.
Kulkarni et al. 2002
Feses sapi
25% / 198
16S rRNA Campylobacter thermophilic
Campylobacter sp
Inglish & Kalischuk 2003
Feses manusia
0.07%/ 50 0.94%/ 50
flaA (Flagellin)
C. coli C. jejuni
Oyofo et al. (1992)
IsolatCampylobacter sp.
-
glyA (serine hydroxymethyltransferase)
C. coli, C. jejuni, C. lari, C. upsaliensis
Al Rashid et al. 2000
IsolatCampylobacter sp.
-
23S rRNA (Campylobacter thermophilic)
Campylobacter sp.
Fermer & Engvall 1999
124/ 137
hipO (hippuricase) glyA (serine hydroxymethyltransferase) sapB2 (surface layer protein)
C. jejuni C. coli
Wang et al. 2002
hipO (hippuricase)
C. jejuni
Isolat spesies Enterobacteria
Karkas ayam
70.7% / 187
C. fetus
Zhao et al. 2001
110 Saluran pencernaan ayam broiler, ayam petelur, kalkun, dan bebek merupakan lokasi yang disukai oleh bakteri Campylobacter spp. (Yogasundram et al. 1989). Anak ayam yang terinfeksi Campylobacter spp. tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas dan perubahan patologis (Dhillon 2006), tetapi infeksi Campylylobacter spp. secara umum dapat menyebabkan enteritis pada pada ayam dan unggas lainnya dengan gejala klinis diare. Hasil penelitian ayam yang diinfeksi menunjukkan gejala klinis berupa diare berdarah, meskipun gejala klinis yang nampak tidak memperlihatkan gejala yang khas (Pisestyani 2010). Kejadian campylobacteriosis pada peternakan komersial jarang terjadi pada anak ayam berumur kurang dari 2-3 minggu, hal ini berhubungan dengan titer maternal antibody yang tinggi pada anak ayam (Bull et al. 2006; Gregory et al. 1997; JacobsReitsma 2000; Ring et al.2005). Bakteri Campylobacter jejuni yang terdapat di dalam sel epitel dan sel mononuklear dapat mengakibatkan kerusakan usus pada bagian jejunum dan ileum. Kerusakan sel epitel yang terjadi merupakan degenerasi dari epitel bagian superfisial sehingga terjadi pemendekan vili disertai produksi eksudat dalam lumen usus. Infeksi dapat terjadi pada lapisan yang lebih dalam lagi sehingga terjadi necrosis hemorrhagic pada lamina propria, abses pada kripta serta terjadi inflamasi (Shane 2000; Stern & Kazmi 1989). Skor lesi mikroskopis yang diamati pada penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar kelompok ayam (P>0.05), meskipun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun skor perubahan mikroskopis usus kelompok ayam perlakuan yang diinfeksi C. jejuni lebih tinggi dari skor pada kelompok ayam kontrol yang tidak diinfeksi (Pisestyani 2010). Vashin et al. (2009), menyatakan bahwa infeksi C. jejuni dapat menyebabkan lesi berupa nekrotik pada hati burung puyuh pada hari ke-1 sampai ke-7 pasca infeksi, serta ditemukan C. jejuni sebesar 21% pada hati yang mengalami nekrotik dan 12% pada hati yang normal. Gejala klinis diare pada ayam bervariasi dari ringan sampai diare berdarah. Meskipun tidak memperlihatkan diare yang khas namun adanya gambaran mikroanatomi berupa enteric hemorrhagic pada usus dan degenerasi hepatosit dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan absorbsi sehingga bobot badan optimum tidak dapat tercapai, hal ini dapat menyebabkan kerugian bagi peternak. Kejadian ini dapat menyebabkan kondisi kesehatan ayam menjadi lemah sehingga sistem pertahanan tubuh ayam akan mengalami gangguan.
111 Kejadian ini sesuai dengan hasil penelitian Beery et al. 1988, bahwa kolonisasi C. jejuni yang terjadi pada sekum akan menembus bagian mukosa yang lebih dalam melalui kripta usus dan menembus vili selanjutnya terjadi translokasi ke bagian organ yang lain (Cox et al. 2005; Cox et al. 2006). Infeksi C. jejuni pada ayam dengan dosis 35-40 cfu dapat mengakibatkan kolonisasi bakteri (Cawthraw et al. 1996; Stern et al. 1995). Kemampuan C. jejuni membentuk koloni pada saluran pencernaan ayam dan bertahan membentuk mukus pada sel epitel terutama usus halus maka mikroorganisme akan hidup dan berkembang biak dalam jumlah yang banyak. Meskipun prevalensi infeksi C. jejuni pada ayam tinggi namun Beery et al. (1988) dan Meinersmann et al. (1991) melaporkan bahwa inflamasi saluran pencernaan, attachmnent serta invasion pada usus tidak terlihat. Meskipun tidak mengalami adhesi pada sel epitel namun dalam waktu cepat mikroorganisme akan berkembang dalam jumlah yang banyak di dalam sekum sehingga mencapai jumlah 105 hingga 109 cfu/gram (Woodal et al. 2005). Peningkatan jumlah kolonisasi mikroorganisme terjadi sejak ayam berumur 2 minggu sampai umur siap potong yang berkisar antara 5-8 minggu (Bouwknegt et al. 2004; Evans & Sayers 2000). Hal ini memungkinkan C. jejuni dikeluarkan terus menerus melalui feses sepanjang hidupnya dan merupakan sumber kontaminasi pada karkas yang dihasilkan setelah dilakukan proses pemotongan. Kebiasaan masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging ayam yang dimasak memiliki risiko menderita campylobacteriosis apabila dimasak kurang sempurna. Daging ayam merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Dari
data
sekunder
hasil
penelitian
sebelumnya,
prevalensi
kontaminasi
Campylobacter sp. bervariasi antara 16% sampai 88% dengan rataan 49.4 %. Apabila digunakan data sekunder hasil penelitian di Indonesia maka rataan prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. yang diisolasi secra konvensional adalah 23.7 % (Tabel 8). Keberadaan C. jejuni pada bahan makanan ayam panggang yang proses pemasakannya kurang sempurna merupakan agen foodborne zooosis. Konsentrasi bakteri Campylobacter sp. pada daging ayam adalah lebih dari 105cfu per karkas (Jorgensen et al. 2002; Stern & Pretanik 2006). Menurut Luber dan Bartlet (2007) prevalensi daging ayam bagian dada terkontaminasi adalah 87% dengan jumlah bakteri 1.9x103 cfu/fillet. Data tingkat cemaran Campylobacter sp. pada karkas ayam
112 diperoleh rataan cemaran Campylobacter sp. adalah 1.3 x 103cfu per 100 gram karkas ayam. Reduksi koloni dihitung dengan membandingkan jumlah koloni sebelum pemanggangan yaitu 2.44 log cfu/gram dan setelah pemanggangan. Rataan reduksi koloni C. jejuni yang diperoleh adalah 10/2431 (0.004) (Widhiasmoro 2011). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pemanasan pada suhu 150 oC selama 30 menit sudah mampu mereduksi Campylobacter sp. sekitar 2 log cfu/gram. Ayam panggang merupakan produk olahan daging ayam yang banyak dijual dan umum dikonsumsi. Pemanasan yang tidak sempurna sehingga bahan pangan terutama daging ayam menjadi kurang matang (undercooked) merupakan salah satu agen penyebab campylobacteriosis. Jumlah satu porsi makan ayam panggang sekali konsumsi hasil survey adalah 100 gram (Basuki 2011). Dari hasil perhitungan diperoleh angka risiko paparan Campylobacter jejuni yang dikonsumsi oleh manusia setiap porsi ayam panggang (100 gram) kemungkinan terdapat kontaminan 1.23 cfu Campylobacter sp.Manusia dapat terpapar oleh Campylobacter sp. apabila mengkonsumsi bahan pangan yang telah terkontaminasi, terjadi kontaminasi silang pada saat menyiapkan bahan pangan. Menurut Petra et al. (2006) kontaminasi C. jejuni yang berasal dari peralatan dapur dan tangan pekerja pada bahan pangan ready to eat prevalensinya berkisar antara 2.9-27.5%. Sejak tahun 1980 fluoroquinolone sudah digunakan untuk mengobati enteritis yang disebabkan oleh Campylobacter sp. serta bakteri patogen lainnya, antibiotika lainnya yang sering digunakan untuk pengobatan adalah tetracycline, chloramphenicol, ampicillin dan gentamicin (Engberg et al. 2001). Menurut Caprioli et al. (2000) penggunaan antibiotika terutama di bidang veteriner perlu ditanggapi secara bijaksana berhubungan dengan semakin banyak mikroorganisme yang resisten
terhadap
beberapa
jenis
antibiotika.
Erythromycindan
golongan
fluoroquinolone adalah antibiotika yang umumnya digunakan untuk mengobati manusia
penderita
campylobacteriosis,
sedangkan
kejadian
resistensi
fluoroquinolone pada manusia dan hewan banyak dilaporkan (Endz et al. 1991; Ge et al. 2002). Isolat lokal Campylobacter jejuni yang diisolasi dari karkas ayam memiliki pola resistensi terhadap jenis antibiotika yang berbeda (Fauzi 2012). Hasil penelitian Waldenstro”m et al. (2005), Zirnsteinet al. (1999), dan Miflin et al. (2007) bahwa isolat C. jejuni mengalami resistensi terhadap antimikroba golongan quinolone dan tetracycline. Hasil penelitian Ristic et al. (2009) bahwa isolat C.
113 jejuni tidak resisten terhadap jenis antibiotika erythromycin, sehingga antibiotika erythromycin dapat digunakan untuk mengobati manusia penderita diare yang disebabkan oleh infeksi C. jejuni. Namun hasil penelitian secara in vivo adalah pengobatan pada ayam menggunakan antibiotika erythromycin pada dosis 40 µg/ml belum efektif digunakan untuk mengobati infeksi isolat local C. jejuni asal Demak, meskipun pada uji in vitro memberikan hasil sensitif. Peternakan ayam yang terinfeksi Campylobacter sp. 50% sampai 98% dari ayam yang terinfeksi akan membawa mikroorganisme sampai ayam tersebut dipotong (Evans 1992; Hanninen et al. 2000; Jacobs-Reitsma 2000; Pearson et al. 2000). Untuk itu pencegahan infeksi C. jejuni pada ayam sejak di perternakan diperlukan
untuk
mengurangi
kejadian
campylobacteriosis.
Daging
ayam
merupakan sumber kontaminasi Campylobacter yang utama. Proses pemotongan ayam yang tidak menerapkan good manufacturing practice (GMP) dapat meningkatkan kontaminasi C. jejuni pada karkas ayam yang dihasilkan. Cara penyimpanan daging ayam selama di pasar mampu meningkatkan jumlah C. jejuni (Andriani et al. 2012a). Peluang manusia sakit atau menderita campylobacteriosis yang dihitung dari data sekunder dan hasil penelitian adalah 4 dari 1000 manusia (Andriani et al. 2012b). Cara pengemasan dan penyimpanan ayam panggang yang dijajakan serta waktu penyimpanan sebelum dikonsumsi mempengaruhi laju pertumbuhan C. jejuni apabila terdapat kontaminasi silang dari air dan peralatan makan. Risiko manusia menderita sakit dapat menjadi lebih buruk apabila individu memiliki sistem imun yang rendah. Kontaminasi Campylobacter sp. merupakan paparan adanya bakteri patogen pada karkas ayam dapat menimbulkan bahaya bagi konsumen sehingga dari kajian secara kuantitatif serta dilakukan manajemen pengendalian risiko yang tepat diharapkan dapat mengurangi kejadian penyakit. Peluang sakit atau menderita campylobacteriosis yang dihitung dari data sekunder dan hasil penelitian adalah 4 dari 1000 manusia. Kontaminasi Campylobacter sp. merupakan paparan adanya patogen pada karkas ayam dapat menimbulkan bahaya bagi konsumen sehingga dari kajian secara kuantitatif serta dilakukan manajemen pengendalian risiko yang tepat diharapkan dapat mengurangi kejadian penyakit. Pengendalian risiko terjadinya campylobacteriosis dapat dilakukan dengan mengetahui faktor risiko sejak ayam dipelihara di peternakan, proses pemotongan, cara penyimpanan di pasar, serta mengurangi kejadian
114 kontaminasi silang pada makanan siap saji. Informasi data prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. pada setiap tahapan mata rantai from farm to table perlu diketahui untuk mengurangi kejadian foodborne disease, namun data tersebut belum banyak dilaporkan di Indonesia. Untuk itu perlu dikembangkan metode cepat untuk mendeteksi Campylobacter sp. yang sensitif, relatif murahdan mudah digunakan seperti metode ELISA. Pengembangan metode ELISA menggunakan serum spesifik dari antigen Campylobacter sp. yang berasal dari isolat lokal dan mempunyai patogenitas tinggi perlu dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan upaya pengembangan metode ELISA menggunakan antigen yang memberikan respon imun yang tinggi yaitu flagella (Gambar 27-30). Isolat C. jejuni lokal (C1) dikembangkan sebagai antigen dalam penelitian ini karena memiliki virulensi yang tinggi dan dapat menyebabkan diare, haemoraghi pada usus, serta menimbulkan lesi nekrotik pada hepar (Pisestyani 2010). Penelitian
mengenai
komponen
karakteristik
sifat-sifat
imunologi
Campylobacter sp. belum banyak dilaporkan. Struktur antigen Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli belum banyak diketahui, tetapi peneliti terdahulu telah melaporkan adanya beberapa antigen somatik dan flagela (Jones et al. 1980). Protein yang bersifat imunogenik pada Campylobacter adalah flagellin (Pavlovskis et al. 1991; Cawthraw et al. 2000). Protein sebagai antigen pada permukaan C. jejuni sudah banyak dipelajari, namun peran protein antigen tersebut dalam patogenesis infeksi belum banyak diketahui. Ekstraksi antigen permukaan dapat dilakukan dengan beberapa cara (Blasser et al. 1984; Logan & Trust 1984; Rautelin & Kosonen 1983). Menurut Mc Coy et al. (1975) protein pada permukaan Campylobacter fetus yang merupakan komponen protein yang bersifat antigenik dapat diperoleh menggunakan acid buffer. Ekstraksi antigen permukaan dari C. fetus menggunakan buffer glycine pH 2.2 telah dilakukan oleh beberapa peneliti untuk deteksi serum antibodi, dan Rautelin dan Konsunen (1983) telah melakukan ekstraksi antigen C. jejuni dan C. coli menggunakan 0.2 M glycin-hydrochloride buffer pH 2.2. Respon antibodi serum manusia terinfeksi C. jejuni maupun C. coli dapat dideteksi menggunakan antigen yang diekstraksi menggunakan glycine pH rendah, tetapi secara tepat aktivitas dari protein antigen belum diketahui secara pasti (Zhiheng et al. 1991). Ekstraksi antigen C. jejuni menggunakan glycin pH 2.2 mengandung antigen flagella yang merupakan antigen utama dan beberapa protein
115 heterogen (Harris et al. 1987). Hasil karakterisasi antigen C. jejuni isolat lokal setelah diekstraksi menggunakan glycin diperoleh protein 31 kDa, yaitu protein flagella yang bersifat imunogenik (Logan &Trust 1983). Namun menurut Rautelin & Kosonen 1983 protein 31 kDa merupakan protein minor jika dibandingkan dengan protein 40 kDa yang bersifat mayor tetapi tidak imunogenik. Ekstraksi antigen C. jejuni menggunakan glycin juga diperoleh protein 60 kDa, menurut Widders et al. (1998) protein C. jejuni 61-63 kDa merupakan protein flagella yang bersifat imunogenik hanya berperan terhadap respon antibodi pada sekresi saluran gastrointestinal ayam. Produksi serum hiperimun dilakukan dengan cara melakukan imunisasi antigen pada hewan percobaan kelinci, domba, dan ayam sesuai dengan jadual imunisasi. Imunisasi pada hewan percobaan dilakukan dengan dosis beringkat. Setelah dilakukan imunisasi maka dilakukan koleksi serum. Serum yang telah diperoleh dari antigen whole cell dan flagella C. jejuni selanjutnya dilakukan uji ELISA untuk mengetahui respon antibodi yang dihasilkan. Hasil yang diperoleh respon antibodi dari serum ayam memiliki OD yang lebih tinggi daripada serum kelinci dan domba. Sebelum dilakukan imunisasi nilai OD hasil uji ELISA serum kelinci, domba, dan ayam adalah 0.5, 0.4, dan 0.7. Setelah dilakukan imunisasi maka respon antibodi kelinci, domba, dan ayam secara berurutan adalah pada hari ke-52 0.8, 0.6, dan 2.3 (imunisasi antigen flagella) dan 0.65, 0.5, 1.75 (imunisasi antigen wholle cell) dapat dilihat pada Gambar 31.
117
9. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian adalah : (1) bakteri patogen Campylobacter sp. yang mengontaminasi karkas ayam dari pasar tradisional dan swalayan pada daerah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi) serta Jawa Tengah (Demak dan Kudus) adalah spesies Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli. (2) Deteksi kontaminan Campylobacter sp. pada karkas ayam secara PCR lebih cepat dan sensitif dari pada metode konvensional (3) Kejadian kontaminasi C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam yang dijual di swalayan prevalensinya lebih tinggi dari pada pasar tradisional. (4) Antigen dari isolat lokal C. jejuni yang diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan larutan pH rendah glycine menghasilkan protein 31 kDa yang merupakan protein minor bersifat imunogenik. (5) Uji ELISA serum hiperimun yang diperoleh dari dari hewan percobaan ayam SPF memiliki nilai OD yang lebih tinggi daripada kelinci dan domba. (6) Kajian risiko manusia dapat terinfeksi C. jejuni setelah mengkonsumsi ayam panggang, dengan data sekunder dan hasil penelitian diperoleh angka peluang sakit adalah 4 dari 1 000 manusia. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memproduksi serum hiperimun spesifik terhadap antigen C. jejuni isolat lokal sehingga dapat digunakan untuk pengembangan metode ELISA deteksi antigen C. jejuni yang terdapat pada sampel bahan pangan asal ternak terutama daging ayam secara sensitif, spesifik dan murah. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keberadaan bakteri patogen C. jejuni pada tahapan mata rantai pangan sejak dari awal yaitu peternakan hingga daging ayam siap saji untuk mengetahui prevalensi dan kejadian kontaminasi C. jejuni pada seluruh mata rantai untuk mengurangi kejadian foodborne disease.
119
DAFTAR PUSTAKA Abdi I. 2007. Isolasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam dan uji efektivitas klorin , asam asetat sebagai sanitaiser terhadap Campylobacter jejuni dengan metode suspension test [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Abeyta C, Deeter FG, Kaysner CA, Stott RF, Wekell MW. 1993. Campylobacter jejuni in Washington State shellfish growing bed associated with illness. J Food Prot 56(4): 323. Al Rashid ST, Irene D, Helena L, David Ng, Peter V, Wendy J, Voon LC. 2000. Identification of Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, Arcobacter butzleri, and A. butzleri-Like species based on the glyA gene. J Clin Microbiol 36(4): 1488-1494. Alexandrino M, Grohmann E, Szewzyk U. 2004. Optimation of PCR-based for rapid detection of Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, and Yersinia enterocolitica serovar 0:3 in waste samples. Water Res 38: 1340-1346. Allos BM, Taylor DN. 1998. Campylobacter Infections. Di dalam: Evans AS, Brachman PS, editor. Bacterial Infections of Humans: Epidemiology and Control. Edisi ke-3. New York: Plenum Medical Book Company. hlm 169190. Allos BM. 2001. Campylobacter jejuni infections: update on Emerging issues and trends. Invited Article. Food Safety 32: 1201-1206. Altekruse SF, Linda JK. 2003. Human campylobacteriosis: a challenge for veterinary profession. JAVMA Zoonosis Update. 15 Januari 2003. Altekruse SF, Stern NJ, Fields PI, Swerdlow DL. 1999. Campylobacter jejuni an Emerging foodborne pathogen. J Emerg Infect Dis 5 (1): 23-29. Altekruse SF. 1998. Campylobacter jejuni in foods. JAVMA. 213 (12):1774-1775. Alter T. Gaull F, Kasimir S, Gurtler M, Fehlhaber K. 2005. Distribution and genetic characterization of porcine Campylobacter coli isolates. Berl Munch Tierarztl Wochenschr 118: 214-219. Amri AA, Senok AC, Ismaeel AY, Al-Mahmeed AE, Botta GA. 2007. Multiplex PCR for direct identification of Campylobacter spp. in human and chicken stools. J Med Microbiol 56: 1350-1355. Andrew WH. 1996. AOAC International “S three validation programs for methods used in the microbiological analysis of food. Trend in Food Sci Technol 7: 147-151. Andriani, Sudarwanto M, Setiyaningsih S, Kusumaningrum HD. 2012a. Prevalensi Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli pada karkas ayam dari pasar tradisional dan swalayan. J Teknol Ind Pangan. Dalam proses dipublikasi.
120 Andriani, Sudarwanto M, Setiyaningsih S, Kusumaningrum HD. 2012b. Kajian risiko campylobacter sp. pada ayam panggang. J Ked Hewan. Dalam proses dipublikasi Andriani, Sudarwanto M, Setiyaningsih S, Kusumaningrum HD. 2012c. Metode direct polymerase chain reaction (DPCR) untuk deteksi campylobacter sp. pada daging ayam. J Vet. Dalam proses dipublikasi. Anggorodi R. 1995. Aneka Nutrisi unggas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Anonim. 2002. Fact Sheet 237: Food Safety and Food-borne illness. World Health Organization, Geneva, Switzerland. [terhubung berkala]. www.who.int/mediacentre/factsheets/fs237/en/ [5 Juni 2010]. Anonim. 2003. Microbiology of food and animal feeding stuffs-protocol for the validation of alternative methods. The European Standard EN ISO 16140:2003 has the status of a British Standard. Anonim. 2005. ACMSF second report on Campylobacter. HMSO. London. Anonim. 2006. Trend and sources of zoonoses, zoonotic agent and antimicrobial resistance in the European union in 2004. European Food Safety Authority, Pharma, Italy. Anonim. 2007. Local meat, milk and raw salad carry high levels of Campylobacter. Daily Timer, Saturday-February 03, 2007. Pakistan. Archana PI , Taha AK. 2010. PCR based detection of food borne pathogens. Engin and Tech 68: 689-691. Atanassova V, Reich F, Beckmann L, Klein G. 2007. Prevalence of Campylobacter spp. In turkey meat from a slaughterhouse and in turkey meat reatil products. FEMS Imunol Med Microbiol 49: 141-145. Ayiing RD, Woodward MJ, Evans S, Newell DG. 1996. Restriction fragment length polymorphism of polymerase chain reaction products applied to the differentiation of poultry campylobacters for epidemiological investigations. Res Vet Sci 60: 168-172. Bailey GD, Vanselow BA, Hornitzky MA, Hum SI, Eamens GJ, Gill PA, Walker KH, Cronin JP. 2003. A Study of the food-borne pathogens: Campylobacter, Listeria and Yersinia in faeces from slaughterage cattle and sheep in Austria. Commun Dis Intell 27: 249-257. Bailey JS, Fedorka-Cray P, Richardson LJ, Cox NA, Cox JM. 2008. Detection of Campylobacter from broiler carcass rinse samples utilizing the TECRA visual immunoassay (VIA). J Rapid Automation Microbiol 16: 374-380. Balamurugan S, Nattress FM, Baker LP, Dilts BD. Survival of Campylobacter jejuni on beef and pork under vacuum packaged and retail storage conditions: examination of the role of natural meat microflora on C. jejuni survival. Food Microbiol 30: 1-8.
121 [BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001a. Campylobacter. Chapter 7. Ed 8th. Authors: Jan M. Hunt, Carlos Abeyta and Tony Tran Updated and revised: 2000-Dec-29. Media Instructions Modified on 2001Mar-08. [BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001b. Rapid Methods fot Detecting Foodborne Pathogens. Author: Peter Feng. 8th Ed, Revision A, 1998. Revised 2000-July-18. Barrow, Feltham. 2003. Character of gram-negative bacteria. Di dalam Cowan and Steel’s manual for the identification of medical bacteria. New York: Cambridge University Press. Basuki DA. 2011. Peluang Terjadinya Diare Akibat Konsumsi Produk Hewan di Kecamatan Bogor Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Buchanan RL. 2004. Principles of risk analysis as applied to microbial food safety concerns. Mitt lebensm Hyg 95: 6-12. Beery JT, MB Hugdahl, MP Doyle. 1988. Colonization of gastrointestinal tracts of chicks by Campylobacter jejuni. Appl and Environ Microbiol 54: 2365-2370. Berrang ME, Ladely SR, Buhr RJ. 2001. Presence and level of Campylobacter, Coliforms, Escherichia coli, and total aerobic bacteria recovered from broiler parts with and without skin. J Food Prot 64(2): 184-188. Birkenhead D, PM Hawkey, J Heritage, DM Gascoyne-Binzi, P Kite. 1993. PCR for the detection and typing of campylobacters. Lett Appl Microbiol 17: 235237. Black RE, Levine MM, Clements ML, Hughes TP, Blaser M. 1988. Experimental Campylobacter jejuni infection in humans. J Infect Dis 157: 472-479. Blackburn CW, Clure PJ. 2003. Campylobacter dan Areobacter. Di dalam: Foodborne Pathogens. Hazards, Risk Analysis and Control. New York: CRC Press. Blaser MJ, Duncan DJ. 1984. Human serum antibody response to Campylobacter jejuni infection as measured in an Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Infect and Immun 5: 292-298. Blaser MJ, J. Engberg. 2008. Clinical Aspects of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli Infection. Di dalam: Campylobacter. Nachamkin I, Szymanski CM, Blaser MJ, editor.Washington DC: ASM Press. hlm 99-121. Blaser MJ. 1986. Campylobacter jejuni. Di dalam: Baron S, editor. Medical Microbiology, Ed ke-2. Menlo Park: Addison-Wesley Publishing Company, Inc. hlm 466-472. Blaser MJ. 2000. Campylobacter jejuni and related species. Di dalam: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, editor. Mandell, Douglas, and Bennett’s principles and
122 Practice of Infectious Diseases, vol 2, 5th ed. Philadelphia: Livingstone. hlm 2276-2285.
Churchill
Blasser MJ, Hopkins JA, Vasil ML. 1984. Campylobacter jejuni outer membrane protein are antigenic for humans. Infect Immun 43: 276-284. Blasser MJ, Reller LB. 1981. Campylobacter enteritis. N Engl J Med 305: 14441452. Boes J, Nersting L, Nielsen EM, Kranker S, Enoe C, Wachmann HC, Baggesen DL. 2005. Prevalence and diversity of Campylobacter jejuni in pig herds on farms with and without cattle or poultry. J Food Prot 68(4): 722-727. Bolton FJ, Coates D, Hinchliffe PM, Robertson L. 1983. Comparison of selective media for isolation of campylobacter jejuni/coli. J Clin Pathol 36: 78-83. Bolton FJ, Coates D, Hitchinson DN. 1985. Biotypes and serotypes of thermophilic Campylobacters isolated from cattle, sheep and pig offal and other red meat. J Hyg Lond 95: 1. Bolton FJ, Coates D. 1983. A comparison of microarobic system for the culture of Campylobacter jejuni/coli. Eur J Clin Microbiol 2:105-110 . Bolton FJ, Hutchinson DN, Coates D. 1984. Blood-free selective medium for isolation of Campylobacter jejuni from feces. J Clin Microbiol 19: 169-171. Bolton FJ, Robertson L. 1982. A selective medium for isolating Campylobacter jejuni/coli. J Clin Pathol 35: 462-467. Bolton FJ. 2007. Campylobacter infections: food-borne sources and isolation methods. Jpn J Food Microbiol 24(4): 151-156. Bouwknegt M, AW Van De Giessen, WD Dam-Deisz, AH Havelaar, NJ Nagelkerke, AM Henken. 2004. Risk factors for the presence of Campylobacter spp. in Dutch broiler flocks. Prev Vet Med 62: 35-49. Boxal N. 2005. The Epidemiology of Campylobacter jejuni in Commercial Broiler Flocks in New Zealand [disertasi]. New Zealand: Massey Unversity, Palmerston North. Buchanan RL, Smith JL, Longa W. 2000. Microbial risk assessment: dose-response relations and risk characterization. Int J Food Microbiol 58: 159-172. Buchanan RL. 2004. Principles of risk analysis as applied to microbial food safety concern. Mitt Lebensems Hyg 95: 6-12. Buchanan TM, Pearce WA. 1979. Pathogenic aspect of outer membrane components of gram-negative bacteria. Di dalam: Inouye M, editor. Bacterial Outer Membrane. New York: John Wiley & Sons, Inc. Buhr RJ, Cason JA, Dickens JA, Hinton A Jr, Ingram KD. 2000. Influence of flooring type during transport and holding on bacteria recovery from broiler carcass rinses before and after defeathering. Poult Sci 79: 436-441.
123 Bull SA, VM Allen, G Domingue, F Jorgensen, JA Frost, R Ure, R Whyte, D Tinker, JEL Corry, J Gillard-King, TJ Humphrey. 2006. Sources of Campylobacter spp. colonizing housed broiler flocks during rearing. Appl and Environ Microbiol 72: 645-652. Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan variasi konfigurasinya. Di dalam: Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Artama WT, Moeljono MPE, editor. Yogyakarta: Gajdah Mada University Press. hlm 50-69. Butzler JP. 1984. Campylobacter infection in man and animals. CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. Cabrita J, Rodrigues J, Braganca F, Morgado C, Pires I, Goncalves AP. 1992. Prevalence, biotypes, plasmid profil and antimicrobial resistance of Campylobacter isolated from wild and domestic animals from northeast Portugal. J Appl Bacteriol 73: 279-285. Caprioli A, L Busani, JL Martel, R Helmuth. 2000. Monitoring of antibiotic resistence in bacteria of animal origin: epidemiological and microbiological methodologies. Intern J Anti Agents 14: 295-301. Cawthraw SA, Lind L, Kaijser B, Newel DG. 2000. Antibodies directed toward Campylobacter jejuni antigens, in sera from poultry abattoir workers. Clin Exp Immunol 122: 55-60. Cawthraw SA, Wassenaar TM, Ayling R, Newell DG. 1996. Increased colonization potential of Campylobacter jejuni strain 81116 after passage through chickens and its implication on the rate of transmission within flocks. Epidand Infect 117: 213-215. Champion OL, Best EL, Frost JA. 2002. Comparison of pulsed-field gel electrophoresis and amplified fragment length polymorphism techniques for investigating outbreaks of enteritis due to campylobacters. J Clin Microbiol40(6): 2263-2265. Cinco M, Banfi E, Ruaro E, Crevatin D, Crotti D. 1984. Evidence for 1-fucose(6deoxy-1-galactopyranose) mediated adherence of Campylobacter spp. to epithelial cells. FEMS Microbiol Lett 21: 347-351. Coleman M, Marks H. 1998. Topics in dose-response modeling. J Food Prot 61: 1550-1559. Corry JE, Post DE, Colin P, Laisney MJ. 1995. Culture media for the isolation of campylobacters. Int J Food Microbiol 26: 43-76. Corry JE. 2000. Campylobacter: Detection by Cultural and Modern Techniques. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encyclopedia of food microbiology. San Diego: Academic Press. hlm 341-347. Cox NA, CL Hofacre, JS Bailey, RJ Buhr, JL Wilson, KL Hiett, LJ Richardson, MT Musgrove, DE Cosby, JD Tankson, YLVizzier, PF Cray, LE Vaughn, PS Holt, DV Bourassaa. 2005. Presence of Campylobacter jejuni in various
124 organs one hour, one day, and one week following oral or intracloacal inoculations of broiler chicks. Avian Dis 49: 155-158. Cox NA, Richardson LJ, Buhr RJ, Bailey JS, Wilson JL, Hiett KL. 2006. Detection of Campylobacter jejuni in various lymphoid organs of broiler breeder hens after oral or intravaginal inoculation. Poult Sci 85: 1378-1382. Crowther JR. 2009. Methods in molecular biology, the ELISA guidebook. Edisi ke2. New York: Humana Press. De Melo M, Pecheree JC. 1990. Identification of Campylobacter jejuni surface proteins that bind to eucaryotic cells in vitro. Infect Immun 58(6): 1749-1756. Dedieu LL, Page`s JM, Bolla JM. 2004. Use of the omp50 gene for identification of Campylobacter species by PCR. J Clin Microbiol 42(5): 2301-2305. Dhillon AS. 2006. Campylobacter jejuni infection in broiler chickens. Avian Dis 50(1): 55-58. Doyle MP. 1984. Campylobacter in food. Di dalam: Butzler, editor. Campylobacter Infection in Man and Animals.. Florida: CRC Press. [EFSA] European Food Safety Authorithy. 2008. Analysis of the baseline survey on the prevalence of campylobacter in broiler batches and Campylobacter and Salmonella on broiler carcasses in the EU. EFSA J 8(3): 1503. Endz HP, Ruijs GH, van Klingeren B, Jansen WH, Vvan der Reyden, Mouton RP. 1991. Quinolone resistance in Campylobacter isolated from man and poultry following the introduction of fluoroquinolones in veterinary medicine. J Ant Chem 27: 199-208. Engberg J, Aarestrup FM, Taylor DE, Gerner-Smidt P, Nachamkin I. 2001. Quinolone and macrolide resistance in Campylobacter jejuni and C. coli: resistance mechanisms and trends in human isolates. Emerg Infect Dis 2001; 7(1): 24-34. Evans SJ, AR Sayers. 2000. A longitudinal study of Campylobacter infection of broiler flocks in Great Britain. Prev Vet Med 46: 209-223. Evans SJ. 1992. Introduction and spread of thermophilic Campylobacter in broiler flocks. The Veterynary Record 131: 574-576. Eyers M, Sabine C, Guy VC, Herman G, Rupert DW. 1993. Discrimination among thermophilic Campylbacter species by polymerase chain reaction amplification of 23S rRNA gene fragments. J Clin Microbiol 31(12): 33403343. Eyigor A, Dawson KA, Langlois BE, Pickett CL. 1999. Cytolethal distending toxin genes in Campylobacter jejuni and Campylobacter coli isolates: detection and analysis by PCR. J Clin Microbiol 37(5): 1646.
125 [FAO]
Food and Agriculture Organization. 2000. Risk Assessment of Microbiological hazards in Foods: An International Approach. Rome: 17-21 July 2000.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2002. Risk Assessment of Campylobacter spp. in Broiler Chickens and Vibrio spp. in Seafood. Report of a Joint FAO/WHO Expert Consultation. Bangkok, Thailand: 5-9 Agustus 2002. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2003. Hazard Characterization for Pathogens in Food and Water. Guidelines Microbiological Risk Assessment Series, No 3. Hlm 61. Fang SW, Ching JY, Daniel YCS, Cheng CC, Roch CY. 2006. Amplified fragment length polymorphism, serotyping, and quinolone resistence of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli strains from chicken-related samples and humans in Taiwan. J Food Prot 69(4): 775-784. Fauzi RPS. 2012. Resistensi Campylobacter jejuni Isolat Lokal Terhadap Lima Jenis Antimikroba secara In Vitro dan In Vivo [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Felix R, Viktoria A, Eberhard H, Gunter K. 2008. The effect of Campylobacter number in caeca on the contamination of broiler carcasses with Campylobacter. Int J Food Microbiol 127:116-120. Feng P. 2001. Rapid Methods for Detecting Foodborne Pathogens. Di dalam Bacteriological Analytical Manual Appendix 1. Akses: http://www.cfsan.fda.gov/~ebam/bam-a1.html#author. Fermer C, Engvall EO. 1999. Specific PCR Identification and differentiation of the thermophilic Campylobacters, Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, and C. upsaliensis. J Clin Microbiol 10: 3370-3373. Fischer SH, Nachamkin. 1991. Common and variable domains of the flagellin gene, flaA, in Campylobacter jejuni. Mol Microbiol 5: 1151-1158. Fitzgerald C, Owen RJ, Stanley J. 1996. Comprehensive ribotyping scheme for heatstable serotypes of Campylobacter jejuni. J Clin Microbiol 34: 265-259. Flyn OMJ, Ian SB, David AM. 1994. Prevalence of Campylobacter species on fresh retail chicken wings in Northern Ireland. J Food Prot 57(4): 334-336. Fode-Vaughan KA, Wimpee CF, Remsen CC, Collins ML. 2001. Detection of bacteria in environtmental samples by direct PCR without DNA extraction. Biotech 31: 598-607. Forbes BA, Sahm DF, Weissfeld AS. 1998. Di dalam: Bailey & Scott’s Diagnostic Microbiology, Edisi ke-10. Chicago: Mosby. hlm 569-576. Frost JA. 2001. Current epidemiology issues in human campylobacteriosis. J Appl Microbiol 30: 85-95.
126 Gabriela B, Malin B. 2002. Technological Trends and Needs in Food Diagnostics. Technology Review 132/2002. Helsinki: National Technology Agency. Ge B, Bodeis S, Walker RD, White DG, Zhao S, McDermott PF. 2002. Comparison of the Etest and agar dilution for in vitro antimicrobial susceptibility testing of Campylobacter. J Antimicrob Chem 50: 487-94. Gill CO, Haris LM. 1982a. Contamination of red meat carcasses by Campylobacter fetus subsp. jejuni. Appl Environ Microbiol 43(5): 977-981. Gill CO, Haris LM. 1982b. Survival and growth of Campylobacter fetus subs. jejuni on meat and cooked foods. Appl Environ Microbiol 44(2): 259-263. Gillespie IA, O’Brien SJ, Frost JA. 2002. A case-case comparison of Campylobacter coli and Campylobacter jejuni infection: a tool for generating hypotheses. Emerg Infect Dis 8(9): 937-942. Gonzales I, Grant KA, Peter T, Richardson, Park SF, Collins MD. 1997. Specific identification of the enteropathogens Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli by using a PCR test based on the ceuE gene encoding a putaive virulence determinant. J Clin Microbiol 35(3): 759-763. Gonzales M, Hanninen MI. 2011. Reduction of Campylobacter jejuni counts on chicken meat treated with different seasonings. Food Control 22: 1785-1789. Goossens H, Vlaes L, Galand I, Van den Borre C, Butzler JP. 1989. Semisolid blood-free selective-motility medium for the isolation of campylobacters from stoll specimens. J Clin Microbiol 27: 1077-1080. Gregory E, Barnhart H, Dreesen DW, Stern NJ, Corn JL. 1997. Epidemiological study of Campylobacter spp. in broilers: source, time of colonization, and prevalence. Avian Dis 41: 890-898. Gurtler M, Alter T, Kasimir S, Fehlhaber K. 2005. The importance of Campylobacter coli in human campylobacteriosis: prevalence and genetic characterization. Epidemiol Infect 133: 1081-1087. Hakkinen M, Heiska H, Hanninen ML. 2007. Prevalence of campylobacter spp. in cattle in Finland and Antimicrobial susceptibilities of bovine Campylobacter jejuni strain. Appl Environ Microbiol 73(10): 3232-3238. Hald B, Rattenborg E, Madsen M. 2000. Thermophilic Campylobacter spp. in Danish broiler production: a cross sectional survey and a retrospective analysis of risk factors for occurrence in broiler flocks. Avian Dis 29: 123131. Hald B, Skovgard H, Bang DD, Pedersen K, Dybdahl J, Jespersen JB, Madsen M. 2004. Flies and Campylobacter infection of broiler flocks. Emerg Infect Dis 10: 1490-1492. Hamid H, Martindah E, Syafriati T, Bahri S. 1997. Laporan penyidikan kasus ayam kerdil. Bogor: Balai Penelitian Veteriner, Balai Penelitian dan Peternakan.
127 Hani EK, Chan VL. 1995. Expression and characterization of Campylobacter jejuni benzoylglycine amidohydrolase (Hippuricase) gene in Escherichia coli. J Bacteriol 117(9): 2396-2402. Hanninen ML, Perko-Makela P, Pitkala A, Rautelin H. 2000. A three-year study of Campylobacter jejuni genotypes in humans with domestically acquired infection and in chicken samples from the Helsinki area. J Clin Microbiol 38: 1998-2000. Hansson L, Ederoth M, Andersson L, Vagsholm I, Engvall EO. 2005. Transmission of Campylobacter spp. to chickens during transport to slaughter. J Appl Microbiol 99: 1149-1157. Hariharan H, Murphy GA, Kempf I. 2004. Campylobacter jejuni: public health hazards and potential control methods in poultry: a review. Vet Med-Czech 49(11): 441-446. Harlow E, Lane DP. 1988. Antibodies: A Laboratory Manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory, Cold Spring Harbor. Harris LA, Logan SM, Guerry P, Trust TJ. 1987. Antigenic variation of Campylobacter flagella. J Bacteriol 169(11): 5066-5071. Haas CN. 1983. Estimation of risk due to low doses of microorganisms: A comparison of alternative methodologies. Am J Epidemiol 118: 573-582. Hayes. 1996. Food Microbiology and Hygiene. Ed ke-2. London: Chapman and Hall. Hilbert F, Scherwitzel M, Paulsen P, Szostak M. 2010. Survival of Campylobacter jejuni under condition of atmospheric oxygen tension with the support of Pseudomonas spp. Appl Environ Microbiol 76(17): 5911-5917. Hodinka RL, Gilligan PH. 1988. Evaluation of the campyslide agglutination test for confirmatory identification of selected Campylobacter species. J Clin Microbiol 26(1): 47-49. Hu I, Kopecko. 2003. Campylobacter spesies. Di dalam: International Handbook of Foodborne Pathogens. Miliotis MD, Bier JF, editor. New York: Marcell Dekker. Huezo R, Northcutt JK, Smith DP, Fletcher DL, Ingram KD. 2007. Effect of dray air or immersion chilling on recovery of bacteria from broiler carcasses. J Food Prot 70(8): 1829-1834. Humphrey T, O’Briens S, Madsen M. 2007. Campylobacters as zoonotic pathogens: A food production perspective. Int J Food Microbiol 117: 237-257. Hurtado A, Owen RJ. 1997. A molecular scheme based on 23S rRNA gene polymorphisms for rapid identification of Campylobacter and Arcobacter species. J Clin Microbiol 35(9): 2401-2404.
128 [IFT] Institute of Food Technologist. 2000. Emerging microbiological food safety issues: implications for control in the 21st century. An expert report of the Institute of Food Technologist. Chicago. Inglis GD, Lisa DK. 2003. Use of PCR for Direct Dtection of Campylobacter species in bovine feces. Appl Environ Microbiol 69(6): 3435-3447. Jacobs-Reitsma W. 2000. Campylobacter in the Food Supply. Di dalam: Nachamkin I, Blaser MJ, editor. Campylobacter. Washington DC: American Society for Microbiology. hlm 467-481. Jamshidi A, Bassami MR, Farkhondeh T. 2008. Isolation and identification of Campylobacter coli from poultry carcasses by conventional and multiplex PCR methods in Mashhad, Iran. Iranian J Vet Res 9(2): 138-144. Jan van Doorn L, Giesendorf BAJ, Bax R, van der Zeijst BAM, Vandamme P, Quint WGV. 1997. Molecular discrimination between Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, Campylobacter lari, Campylobacter upsaliensis by polymerase chain reaction based on a novel putative GTPase gene. Mol Cell Probes 11: 177-185. Jones DM, Eldridge J, Dale B. 1980. Serological response to Campylobacter jejuni/coli infection. J Clin Pathol 33: 767-769. Jones TC, Hunt D. 1983. Febiger.
Veterinary pathology.
5th.
Philadelphia: Lea and
Jorgensen F, Bailey R, Williams S, Henderson P, Wareing DRA, Bolton J, Frost A, Ward L, Humphrey TJ. 2002. Prevalence and numbers of Salmonella and Campylobacter spp. on raw, whole chickens in relation to sampling methods. Int J Food Microbiol 76: 151-164. Kapperud G, Skjerve E, Bean NH, Ostroff SM, Lassen J. 1992. Risk factor for sporadic Campylobacter infection: Results of a case-control study in southeastern Norway. J Clin.Microbiol 30(12): 3117. Karmali MA, Simor AE, Roscoe M, Fleming PC, Smith SS, Lane J. 1986. Evaluation of a blood free, charcoal-based, selective medium for the isolation of Campylobacter organism from feces. J Clin Microbiol 23:456459. Konkel ME, Monteville MR, Rivera-Amill V, Joens LA. 2001. The Pathogenesis of Campylobacter jejuni-Mediated Enteritis. Intest Microbiol 2(2): 55-71. Kramer JM, Frost JA, Bolton FJ, Wareing DRA. 2000. Campylobacter contamination of raw meat and poultry at retail sale: identification of multiple types and comparison with isolates from human infection. J Food Prot 63(12): 1654-1659. Kulkarni SP, Lever S, Logan JMJ, Lawson AJ. 2002. Detection of campylobacter species: a comparison of culture and polymerase chain reaction based methods. J Clin Pathol 55: 749-753.
129 Kusumaningrum HD. 2003. Behavior and cross-contamination of pathogenic bacteria in household kitchens - relevance to exposure assessment [Ph.D. thesis]. Wageningen, The Netherlands: Wageningen University. Kwiatkek KB, Wojton, N Stern. 1990. Prevalence and distribution of Campylobacter spp. on poultry and selected red meat carcasses in Poland. J Food Prot 53(2): 127. Lalitha MK. 2008. Manual on antimicrobial susceptibility testing. Vellore Tamil Nadu: Departement of Microbiology. Chritian Medical College. Lange D, Aleksic S, Kassubek J, Vrvic MM, Kist M, Steinbrückner B, Mitova M. 1999. Detection of antibodies against Campylobacter jejuni serogroup PEN O:19 purified flagellar protein in a patient with Guillain-Barré syndrome. Zentralbl Bakteriol 289(4): 429-44. Larkin C, Donkersgoed C, Mahdi A, Johnson P, McNab B, Odumeru J. Antibiotic resistance of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli isolated from hog, beef, and chicken carcass samples from provincially inspected abattoirs in Ontario. J Food Prot 69(1):22-26. Lastovica AJ, Penner JL. 1983. Serotypes of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli in bacteremic, hospitalized children. J Infect Dis 147: 592. Lawson AJ, Shafi MS, Pathak K, Stanley J. 1998. Detection of Campylobacter in gastroenteritis: comparison of direct PCR assay faecal samples with selective culture. Epidemiol Infect 121: 547-553. Lee A, Smith SC, Coloe PJ. 1998. Survival and Growth of Campylobacter jejuni after artificial inoculation on to chicken skin as a function of temperatur and packaging condition. J Food Prot 61(12):1609-1614. Li Y, Yang H, Swem BL, 2002. Effect of high-temperature inside-outside spray on survival of Campylobacter jejuni attached to prechill chicken carcasses. Poult Sci 81: 1371-1377. Lindmark H, Diedrich C, Anderson L, Lindqvist R, Engvall EO. 2006. Distribution of Campylobacter genotypes on broilers during slaughter. J Food Prot 69 (12): 2902-2907. Lindqvist R, Andersson Y, Jong B, Norberg B. 2000. A Summary of Reported Foodborne Disease Incidents in Sweeden, 1992 to 1997. J Food Prot 63(10): 1315-1320. Lindqvist R, Lindblad M. 2008. Quantitative risk assessment of thermophilic Campylobacter spp. and cross-contamination during handling of raw broiler chickens evaluating strategies at the producer level to reduce human campylobacteriosis in Sweden. Int J Food Microbiol 121:41-45.
130 Linton D, Lawson AJ, Owen RJ, Stanley J. 1997. PCR detection, identification to species level, and fingerprinting of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli direct from diarrheic samples. J Clin Microbiol 35: 2568-2572. Lior H, Woodward DL, Edgar JA, Laroche LJ, Gill P. 1982. Serotyping of Campylobacter jejuni by slide agglutination based on heat-labile antigens factors. J Clin Microbiol 15: 761-768. Logan SM, Trust TJ. 1982. Outer membrane characteristics of Campylobacter jejuni. Infect Immunol 38(3): 898-906. Logan SM, Trust TJ. 1983. Molecular identification of surface protein antigen of Campylobacter jejuni. Infect Immunol 42: 675-682. Looveren V, Daube MG, Jutter L, Dumont JM, Lammens C, Wijdooghe M, Vandamme P, Jouret M, Cornelis M, Goossens H. 2001. Antimicrobial susceptibilities of Campylobacter strain isolated from food animals in Belgium. J Ant Chem 48: 235-240. Luber P, Bartlet E. 2007. Enumeration of Campylobacter spp. on the surface and within chicken breast fillets. J Appl Microbiol 102: 313-318. Luber P, Wagner J, Hahn H, Bartelt E. 2003. Antimicrobial resistance in Campylobacter jejuni and Campylobacter coli Strains Isolated in 1991 and 2001-2002 from Poulty and Humans in Berlin, Germany. Antimicrob Agents Chem : 3825-3830. Mahon CR, Manuselis G. 2000. Textbook of Diagnostic Microbiology, 2th Ed. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm 505-512. Martinez-Rodriguez A, Mackey BM. 2005. Physiological changes in Campylobacter jejuni on entry into stationary phase. J Food Microbiol 10: 1-8. Mateo E, Carcamo J, Urquijo M, Perales I, Fernandez-Astorga A. 2005. Evaluation of a PCR assay for the detection and identification of Cmpylobacter jejuni and Campylobacter coli in retail poultry products. Res in Microbiol: 156568. Mattjik AA dan IM Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 2. Bogor: IPB Pr. McSweegan E, Walker RI. 1986. Identication and characterization of two Campylobacter jejuni adhesions for cellular and mucus substrat. Infect Immunol 53: 141-148. Mead PS, L Slutsker, V Dietz, L F McCraig, J S Bresee, C Shapiro, PM Griffin, RV Tauxe. 1999. Food-related illness and death in the United States. Emerg Infect Dis 5(5): 607. Meinersmann RJ. Rigsby WE, Stern NJ, Kelley LC, Hill JE, Doyle MP. 1991. Comparative study of colonizing and noncolonizing Campylobacter jejuni. Am J Vet Res 52: 1518-1522.
131 Meldrum RJ, Tucker D, Smith RMM, Edwards C. 2005. Survey of Salmonella and Campylobacter contamination of whole, raw poultry on retail sale in Wales in 2003. J Food Prot 68(7): 1447-1449. Melo MA, Pechere JC. 1990. Identification of Campylobacter jejuni surface protein that bind to eukaryotic cells in vitro. Infect Immun 58(6): 1749-1756. Miflin JK, Jillian MT, Blackall PJ. 2007. Antibiotic resistance in Campylobacter jejuni and Campylobacter coli isolated from poultry in the South-East Queensland region. J Antimicrob Chemo 59: 775–778. Mills SD, Kurjanczyk LA, Penner JL. 1988. Identification of an antigen common to different species of the genus Campylobacter. J Clin Microbiol 26: 14111413. Mohran ZS, Guerry P, Lior H, Murphy JR, El-Gendy AM, Mikhail MM, Oyofo BA. 1996. Restriction fragment length polymorphism of flagellin genes of Campylobacter jejuni and/or C. coli isolated from Egypt. J Clin Microbiol 34: 1216-1219. Moreno Y, Hernandez M, Ferrus MA, Alonso JL, Botella S, Montes R, Hernandez J. 2001. Direct detection of thermotolerant campylobacters in chicken pruducts by PCR and in situ hybridization. Res Microbiol 152: 577-582 Mullis KB, Faloona FA. 1987. Specific synthesis of DNA in vitro via a polymerase chain reaction. Methods Enzymol 155: 335-350. Murphy C, Caroll C, Jordan KN. 2006. Environmental survival mechanisms of the foodborne pathogen Campylobacter jejuni. J Appl Microbiol 100(4): 623632. Musgrove MT, Berrang ME, Byrd JA, Stern NJ, Cox NA. 2001. Detection of Campylobacter spp. in ceca and crops with and without enrichment. Poult Sci80: 825-828. Nachamkin I, Barbagallo S. 1990. Culture confirmation of Campylobacter spp. by latex agglutination. J Clin Microbiol 28(4): 817-818. Nachamkin I, Blaser MJ, Tompkins LS. 1992. Campylobacter jejuni Current Status and Future Trends. Washington: American Society for Microbiology. Nachamkin I, Bohachick K, Patton CM. 1993. Flagellin gene typing of Campylobacter jejuni by restriction fragment length polymorphism analysis. J Clin Microbiol 31: 1531-1436. Nachamkin I. 1999. Campylobacter and Arcobacter. Di dalam: Murray PR, Baron EJ, Pfaller MA, Tenover FC, Yolken RH, editor. Manual of Clinical Microbiology, 7th Ed. Washington: American Society for Microbiology. hlm 716-725. Nachamkin I. 2002. Chronic effects of Campylobacter infection. J Microbes and Infect 4: 399-403.
132 Nakari UM, Puhakka A, Sitonen A. 2008. Correct identification and discrimination between Campylobacter jejuni and Campylobacter coli by a standardized hippurate test and spesies-specific polymerase chain reaction. Eur J Clin Microbiol Infect Dis DOI 10.1007/s10096-008-0467-9. Nanang MK. 2008. Penentuan prevalensi Campylobacter jejuni sampel potongan karkas ayam di wilayah Bogor dan Jakarta menggunakan metode modifikasi BAM 2001 [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Naravaneni R, Jamil K. 2005. Rapid detection of foodborne pathogens by using molecular techniques. J Med Microbiol 54: 51-54. Nayak R, Stewart TM, Nawas MS. 2005. PCR identification of Campylobacter coli and Campylobacter jejuni by partial sequencing of virulence genes. Mol Cell Probes 19: 187-193. Newel DG, Shreeve JE, Toszeghy M, Domingue G, Bull S, Humprey T, Mead G. 2001. Changes in the carriage of Campylobacter strains by poultry carcasses during processing in abattoirs. Appl Environ Microbiol 67: 2636-2640. Newell DG, McBride H, Pearson AD. 1984. The identification of outer membran proteins and flagella of Campylobacter jejuni. J Gen Microbiol 130: 12011208. Nielsen EM, Engberg J, Madsen M. 1997. Distribution of serotype of Campylobacter jejuni dan C. coli from Danish patients, poultry, cattle and swine. FEMS Immunol Med Microbiol 19 (1): 47. Norman, Stern J, Pretanik S. 2006. Counts of Campylobacter spp. on U.S. broiler carcasses. J Food Prot 69(5): 1034-1039. On SLW. 2001. Taxonomi of Campylobacter, Arcobacter, Helicobacter and related bacteria: current status, future prospects and immediate concerns. Symposium Series(Society for Applied Microbiology) 90: 1-15. Owen RJ, Fayos A, Hernandez J, Lastovica A. 1993. PCR-based restriction fragment length polymorphism analysis of DNA sequence diversity of flagellin genes of Campylobacter jejuni and allied species. Mol Cell Probes 7: 471-480. Oyofo BA et al. 2002. Surveilance of bacterial pathogens of diarrhea disease in Indonesia. Diag Microbiol and Infect Dis 44: 227-234. Oyofo BA, Thornton SA, Burr DH, Trust TJ, Pavlovskis OR, Guerry P. 1992. Specific Detection of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli by Using Polymerase Chain Reaction. J Clin Microbiol 10: 2613-2619. Pavlovskis OR. Rollins DM, Haberberger RL, Jr Green AE, Habash L, Strocko S, Walker RI. 1991. Significance of flagella in colonization resistance of rabbits immunized with Campylobacter spp. Infect Immunol 59: 2259-2264.
133 Pearson AD, Greenwood MH, Donaldson J, Healing TD, Jones DM, Shahamat M, Feltham RK, Colwell RR. 2000. Continuous source outbreak of campylobacteriosis traced to chicken. J Food Prot 63: 309-314. Pearson AD, Healing TD. 1992. The surveillance and control of Campylobacter infection. Commun Dis Rev 2:133-139. Pearson AD, MH Greenwood, J Donaldson, TD Healing, DM Jones, M Shahamat, RK Feltham, RR Colwell. 2000. Continuous source outbreak of campylobacteriosis traced to chicken. J Food Prot 63: 309-314. Penner JL, Hennessy JN, Congi RV. 1983. Serotyping of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli on the basis of thermostable antigen. Eur J Clin Microbiol 2:378-383. Penner JL, Hennessy JN. 1980. Passive heaglutination technique for serotyping Campylobacter fetus subs. jejuni on the basis of soluble heat-stable antigens. J Clin Microbiol 12:732-737. Penner JL. 1988. The genus Campylobacter: a decade of progress. Clin Microbiol Rev1: 157-172. Petra L, Sigrid B, Daniela T, Kathrin S, Edda B. 2006. Quantification of Campylobacter species cross-contamination during handling of contaminated fresh chicken parts in kitchens. Appl Environ Microbiol 72(1): 66-70. Pisestyani H. 2010. Isolasi dan identifikasi Campylobacter jejuni menggunakan metode konvensional dan molekuler serta mekanisme pathogenesis pada saluran pencernaan ayam broiler [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Poeloengan M, Noor SM. 2003. Isolasi Campylobacter jejuni pada daging ayam dari pasar tradisional dan supermarket. Di Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Puslitbang Peternakan. Rahimi E, Momtaz H, Nozarpour N. 2010. Prevalence of Listeria spp, Campylobacteer spp. And Escherichia coli O157:H7 isolated from camel carcasses during processing. Bulgarioan J Vet Med 13(3): 179-185. Rashid ST, Dakuna I, Louie H, Ng D, Vandamme P, Johnson W, Chan VL. 2000. Identification of Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, Arcobacter butzleri, dan A. butzleri-like species based on the glyA gene. J Clin Microbiol 4: 1488-1494. Rautelin A, Kosonen TV. 1983. An acid extract as a common antigen in Campylobacter coli and Campylobacter jejuni strain. J. Clin Microbiol 17: 700-701. Rautellin H, Jusufovic J, Hanninen ML. 1999. Idenfication of hippurate-negative thermophilic Campylobacter sp. Diag Microbiol Infect Dis 35: 9-12.
134 Raymond S, Tsang W, Figueroa T, Bryden L, Lai-King Ng. 2001. Flagella as potential marker Campylobacter jejuni strains associated with Guillain-Barre Syndrome. J Clin Microbiol 2: 762-764. Ring M, MA Zychowska, R Stephan. 2005. Dynamics of Campylobacter spp. spread investigated in 14 broiler flocks in Switzerland. Avian Dis 49:390-396. Ringertz S, Robert CR, Olof R, Arini S. 1980. Campylobacteer fetus subsp. jejuni as a cause of gastroenteritis in Jakarta, Indonesia. J Clin Microbiol 10: 538-540. Ristic L, Tatjana B , Branislava K, Miljkovic-Selimovic B. 2009. Presence of resistance in Campylobacter jejuni and Campylobacter coli. Acta Medica Medianae 48(2): 14-17. Ritter G, Sheila RF, Leonard C, Yuji N, Edward MB, Elisabeth S, Lloyd JO. 1996. Induction of antibodies reactive with GM2 ganglioside after immunization with lipopolysaccharides from Campylobacter jejuni. Int J Cancer 66: 184190. Rosenquist H, Nielsen NL, Somer HM, Norrung B, Christensen B. 2003. Quantitative risk assessment of human campylobacteriosis with thermophilic Campylobacter species in chicken. J Food Microbiol 83: 87-103. Rubin LG. 1987. Bacterial colonization and infection resulting from multiplication of a single organism. Rev Infect Dis 9(3): 488-493. Rubin LG, Moxon ER. 1984. Haemophilius influenzae type b colonization resulting from survival of a single organism. J Infect Dis 149: 278. Rudi K, Hoidal HK, Katla T, Johansen BK, Nordal J, Jakobsen KS. 2004. Direct real-time PCR quantification of Campylobacter jejuni in chicken fecal and cecal samples by integrated cell concentration and DNA purification. Appl Environ Microbiol 70: 790-797. Sahin O, Luo N, Huang S, Zhang Q. 2003a. Effect of Campylobacter-specific maternal antibodies on Campylobacter jejuni colonization in young chickens. Appl Environ Microbiol 69: 5372-5379. Sahin O, Zhang Q, Morishita TY. 2003b. Detection of Campylobacter. Di dalam: Torrence ME, Isaacson RE, editor. Microbial Food Safety in Animal Agriculture: Current Topics. Ames : Iowa State Press. hlm 183-193. Sahin O. 2003. Ecology of Campylobacter colonization in poultry role of maternal antibodies in protection and sources of flock infection [dissertation]. Ohio: The Graduate School of The Ohio State University. Sanyal SC, Islam KMN, Neogy PKB, Islam M, Speelman P, Huq MI. 2003. Campylobacter jejuni diarrhea model in infant chickens. Infect and Immunity 43(3): 931-936. Shane SM, Gifford DH, Yogasundram K. 1986. Campylobacter jejuni contamination of eggs. Vet Res Commun 10: 487-492.
135 Shane SM, Montrose MS. 1985. The occurrence and significance of Campylobacter jejuni in man and animals. Vet ResCommun9: 167-198. Shane SM. 2000. Campylobacteriosis. Di dalam: Disease of Poultry. 9th Ed. Ames, Iowa: State University Press. hlm 236-246. Shao WF, Yang CJ, Shih DYC, Chou CC, Yu RC. 2006. Amplified fragment length polymorphism, serotyping, and quinolone resistance of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli strains from chicken-related Samples and human in Taiwan. J Food Prot 69(4): 775-783. Silva J, Leite D, Fernandes M, Mena C. Gibbs PA, Teixeira P. 2011. Campylobacter spp. as a foodborne pathogen: a review. Frontiers in Microbiol: Food Microbiol 2: 1-12. Skirrow MB, Benjamin J. 1980. '1001' Campylobacters: cultural characteristics of intestinal campylobacters from man and animals. J Hyg (Lond) 85: 427-442. Skirrow MB. 1977. Campylobacter enteritis: a”new” disease. Br Med J 2: 9-11. Smith JL. 2002. Campylobacter jejuni infection during pregnancy: long-term consequences of associated bacteremia, Guillain-Barre syndrome, and reactive arthritis. J Food Prot 65(4): 696. Snelling WJ, JP Mc. Kenna, DM Lecky, JS Dooley. 2005. Survival of Campylobacter jejuni in waterborn protozoa. Appl Environ Microbiol 71:5560-5571. Soller JA. 2006. Use of microbial risk assessment to inform the national estimate of acute gastrointestinal illness attributable to microbes in drinking water. J Wat Health 4: 165-186. Steinhauserova I, Ceskova J, Fojtikova K, Obrovska I. 2001. Identification of thermophilic Campylobacter spp. by phenotypic and molecular methods. Appl Microbiol 90: 470-475. Stern NJ, Clavero MR, Bailey JS, Cox NA, Robach MC. 1995. Campylobacter spp. in broilers on farm and after transport. Poultry Sci 74(6): 937-941. Stern NJ, CM Patton, MP Doyle, CE Park, BA Mc Caedell. 1992. Campylobacter. Compendium of Methods for theMicrobiological Examination of Foods. Ed ke-3. American Public Health Association. Stern NJ, Kazmi SU. 1989. Campylobacter jejuni. Di dalam: Foodborne Bacterial Pathogens. New York: Marcell Dekker. hlm 71-110. Stern NJ, Line JE. 1992. Comparion of three methods of recovery of Campylobacter spp. from broiler carcasses. J Food Prot 55: 663-666. Stern NJ, Line JE. 2000. Campylobacter. Di dalam: Baird Parker TC, Gould GW, editor. The Microbiologycal Safety and Quality of Food Vol II. New York: Aspen Publication.
136 Stern NJ, Clavero MR, Bailey JS, Cox NA, Robach MC. 1995. Campylobacter spp. in broilers on farm and after transport. Poultry Sci 74(6): 937-941. Stern NJ, Patton CM, Doyle MP, Park CE, McCaedell BA. 1992. Campylobacter. Compendium of Methods for theMicrobiological Examination of Foods. Ed ke-3. American Public Health Association. Stern NJ, Pretanik S. 2006. Counts of Campylobacter spp. on U.S. broiler carcasses. J Food Prot 69(5): 1034-1039. Stern NJ, Robach MC. 2003. Enumeration of Campylobacter spp. in broiler feces and ind corresponding processed carcasses. J Food Prot 66(9):1557-1563. Stird MA, Engberg J, Larsen LB, Begtrup K, Molbak K, Krogfelt KA. 2001. Antibody response to Campylobacter infection Determined by an EnzymeLinked Immunosorbent Assa: 2-year follow-up study of 210 patients. Clin and Diag Lab Immunol 3: 314-319. Studahl A, Andersson Y. 2000. Risk factors for indigenous campylobacter infection: a Swedish case-control study. Epidemiol Infect 125: 269-275. Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bidang Zoologi, Bogor: Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm 87-96. Takahashi M, Koga M, Yokoyama K, Yuki N. 2005. Epidemiology of Campylobacter jejuni isolated from patients with Guillain Barre and Fisher syndromes in Japan. J Cinical Microbiol 43: 335-339. Talukder KA, Aslam M, Islam Z, Azmi IJ, Dutta DK. 2008. Prevalence of virulence genes and cytolethal distending toxin production in Campylobacter jejuni isolates from diarrheal patient in Bangladesh. J Clin Microbiol 46(4): 14851488. Tam CC, Brien SJO, Adak GK, Meakins SM, Frost JA. 2003. Campylobacter coli – an important foodborne pathogens. J Infect 47: 28-32. Teunis PFM, van der Heijden OG, van der Giessen JWB, Havelaar AH. 1996. The doseresponse relation in human volunteers for gastro-intestinal pathogens. RIVM report #284550002. Thornton SA, Logan SM, Trust TJ, Guerry P. 1990. Polynucleotide sequence relationships among flagellin genes of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli. Infect Immun 58: 2686-2689. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, Machpud N, Komalarini S, Santoso W, Simanjuntak CH, Punjabi N, Campbell JR, Alexander WK, Beecham HJ, Corwin AL, Oyofo BA. 2003. Antimicrobial resistance of bacteria pathogens associated with diarrheal patients in Indonesia. Am J Trop Med Hyg 68(6): 666-670.
137 Tomas J, Zdenka S, Katerina D, Jarmila P. 2005. Two rapid diagnostic procedures for the identification of Campylobacter jejuni/coli in food matrix. J Food Sci 23: 121-125. Totten PA, Patton CM, Tenover FC, Barrett TJ, Stamm WE, Steigerwalt AG, Lin JY, Holmes KK, Brenner DJ. Prevalence and characterization of hippuratenegative Campylobacter jejuni in King Country, Washington. J Clin Microbiol 25(9): 1747-1752. Trust TJ, Logan SM. 1984. Outer membrane and surface structure of Campylobacter jejuni. Di dalam: Butzler JP, editor. Campylobacter Infection in Man and Animals. Florida,Boca Raton: CRC Pr. Tsang RSW, Figuermo G, Bryden L, Lai-King Ng. 2001. Flagella as a Potential Marker for Campylobacter jejuni Strains Associated with Guillain-Barre Syndrome. J Clin Microbiol 39(2): 762-764. Upton M. 1995. Relationship between pathogen growth and the general microbiota an raw and processed meat and poultry. J Food Safety15: 133-144. Uytendaele M, Baert K, Ghafir Y, Daube G, De Zutter L, Herman K, Pierard D, Dubois J. Horison B, Debevere J. 2006. Quantitative risk assessment of Campylobacter sp. in poultry based meat preparation as one of the factors to support the development of risk-based microbiological criteria in Belgium. J Food Microbiol 111: 149-163. Van Gerwe TJ, Bouma A, Jacobs-Reitsma WE, van den Broek J, Klinkenberg D, Stegeman JA, Heesterbeek JA. 2005. Quantifying transmission of Campylobacter spp. among broilers. Appl Environ Microbiol 71:5765-5770. Vandamme P. 2000. Taxonomy of the family Campylobacteriaceae. Di dalam Nachamkin I, Blaser MJ, editor. Campylobacter. Washington: ASM Press. hlm 3-26. Vandeplas S, Marcq C, Dauphin RD, Thonart YBP, Thewis A. 2008. Contamination of Poultry flocks by the human pathogen Campylobacter spp. and strategies to reduce its prevalence at the farm level. Biotech, Agron, Soc and Environ 12(3): 317-334. Vashin I, Stoyanchev T, Ring CH, Atanassova V. 2009. Prevalence of Campylobacter spp in frozen poultry giblets at Bulgarian retail markets. Trakia J Sci 7(4): 55-57. Wagenaar JA, Mevius DJ, Havelaar AH. 2006. Campylobacter in primary animal production and control strategies to reduce the burden of human campylobacteriosis. Rev sci tech Off int Epiz 25(2): 581-594. Waldenstro¨m J, Mevius D,Kees V, Tina B, Dennis H, Bjo¨rn O. 2005. Antimicrobial Resistance Profiles of Campylobacter jejuni Isolates from Wild Birds in Sweden. Appl Environ Microbiol 71(5): 2438-2441.
138 Walker R, Caldwell MB, Lee EC, Guerry P, Trust TJ, Ruiz-Palacios MR. 1986. Pathophysiology of Campylobacter Enteritis. Microbiol Rev:81-94. Waltz SE, Baqar S, Beecham HJ. 2001. Pre-exposure anti-Campylobacter jejuni immunology associated with reduced risk of Campylobacter diarrhea in adults traveling to Thailand. Am J 65: 652-656. Wang G, Clifford G, Tracy M, Taylor, Chad P, Connie B, Lawrence P, David L, Woodward, Frank GR. 2002. Colony multiplex PCR assay for identification and differentiation of Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, and C. fetus subsp. fetus. J Clin Microbiol 40(12): 4744-4747. Wassenaar TM, Newell. 2000. Minireview genotyping of Campylobacter spp. App Environ Microbiol 66: 1-9. Wenman WM, Chai J, Louie TJ, Goudreau C, Lior H, Newel DG, Pearson AD, Taylor DE. 1985. Antigenic analysis of Campylobacter flagellar protein and other proteins. J Clin Microbiol 21(1): 108-112. Wheeler JG, Sethi D, Cowden JM, Wall PG, Rodrigues LC, Tomkins DS, Hudson MJ, Roderick PJ. 1999. Study of infectious intestinal disease in England: rates in community, presenting to general practice and reported to national surveillance. British Medical J (Clinical research ed) 318: 1046-1050. [WHO] World Health Organisation. 1995. Application of Risk Analysis to Food Standards Issues. Report of the Joint FAO/WHO Expert Consultation 13-17 March, Geneva. [WHO] World Health Organization. 1999. Principles and Guidelines for the Conduct of Microbiological Risk Assessment. CAC/GL-30. Geneva. Switzerland. [WHO] World Health Organization. 2001. The increasing incidence of human campylobacteriosis: report and proc. Of a WHO Consultation of Experts, Copenhagen, 21-25 November. WHO/CDC/CSR/APH/2001.7. Geneva. Wicker C, Giordano M, Rougier S, Sorin ML, Arbault P. 2001. Campylobacter detection in food using an ELISA-based methods. Int J Med Microbiol 291(31): 1-12. Widders PR, Thomas LM, Long KA, Tokhi MA, Panaccio M, Apos E. 1998. The specificity of antibody in chickens immunised to reduce intestinal colonization with Campylobacter jejuni. Vet Microbiol 64: 39-50. Widhiasmoro A. 2011. Kajian paparan Campylobacter jejuni pada konsumsi ayam panggang [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Woodall CA. MA Jones, PA Barrow, J Hinds, GL Marsden, DJ Kelly, N. Dorrell, BW. Wren, DJ Maskell. 2005. Campylobacter jejuni gene expression in the chick cecum: evidence for adaptation to low oxygen environtment. Infect and Immun 73(8): 5278-5285.
139 Yogasundram K, SM Shane, KS Harrington. 1989. Prevalence of Campylobacter jejuni in selected domestic and wild birds in Louisiana. Avian Dis 33: 664667. Zhao C, Ge B, De Villena J, Sudler R, Yeh E, Zhao S. 2001. Prevalence of Campylobacter spp., Escherichia coli, and Salmonella Serovars in Retail Chicken, Turkey, Pork, and Beef. Appl Environ Microbial 67(12): 54315436. Zhiheng P, Ellison RT, Blaser MJ. 1991. Identification, purification and characterization of major antigenic protein of Campylobacter jejuni. J Biol Chem 25(266): 16363-16369. Zirnstein G, Yu L, Bala S, Frederick A. 1999. Ciprofloxacin resistance in Campylobacter jejuni isolates: Detection of gyrA resistance mutations by Mismatch Amplification Mutation Assay PCR and DNA sequence analysis. J Clin Microbiol 37(10): 3276-3280. Zollinger WD, Mandrell RE, Griffiss JM, Altieri P, Berman S. 1979. Complex of meningococcal group B polysaccharide and outer membrane protein immunogenic in man. J Clin Invest 63: 836-848.
140
141
LAMPIRAN
143 Lampiran 1
145 Lampiran 2
147 Lampiran 3
149 Lampiran 4
GEJALA KLINIS DAN PATOLOGI ANATOMI PASCA INFEKSI CAMPYLOBACTER JEJUNI PADA AYAM BROILER (CLINICAL SYMPTOMS AND PATHOLOGY ANATOMY DUE TO INFECTION CAMPYLOBACTER JEJUNI ON BROILERS) Andriani1*), Mirnawati Sudarwanto2), Surachmi Setiyaningsih2), Harsi Dewantari Kusumaningrum3), Herwin Pisestyani2) 1)
Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET). Jl. RE. Martadinata 30 Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor, Bogor3)Fakultas Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, Bogor
2)
ABSTRAK Spesies bakteri Campylobacter adalah agen foodborne zoonosis yang dapat menginfeksi manusia maupun hewan, terutama unggas. Bakteri ini merupakan penyebab campylobacteriosis yang masih menjadi masalah penting dalam bidang kesehatan masyarakat baik di tingkat peternakan, penjualan (pasar) maupun pada tingkat makanan siap saji. Daging ayam merupakan sumber utama kontaminasi, karena saluran pencernaan unggas merupakan tempat predileksi Campylobacter jejuni.Selama ini infeksi C. jejuni pada ayam tidak memperlihatkan gejala klinis yang khas, sehingga deteksi penyakit ini ditingkat peternakan cukup sulit. Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada ayam broiler di negara maju 5-90%. Saat ini produksi pangan unggas dan konsumennya diperkirakan terus meningkat seiring dengan tingginya kebutuhan sumber protein yang harganya relatif lebih murah. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gejala klinis dan gambaran patologis anatomi (PA) pada saluran pencernaan ayampasca infeksi C. jejuni. Sebanyak 105 ekor day old chicken (DOC) dibagi menjadi 3 kelompok, masingmasing terdiri dari 35 ekor. Kelompok A adalah kontrol (tanpa diinfeksi), kelompok B (diinfeksi bakteri C. jejuni ATCC 33291) dan kelompok C (diinfeksi C. jejuni isolat lapang C1). Infeksi C jejuni pada ayam dilakukan secara peroral suspensi konsentrasi 104 cfu/ml sebanyak 0,5 ml. Anova Duncan digunakan untuk menganalisa data hasil penimbangan bobot badan, penambahan bobot badan, jumlah konsumsi pakan, nilai FCR. Metode Kurskall Walis digunakan untuk menganalisa data non parametrik berupa nilai skor perubahan makroskopis dan mikroskopis usus dan hati. Infeksi Campylobacter spp menyebabkan adanya perubahan PA pada usus berupa hiperemi, enteritis, dan enteritis catharalis haemorrhagic. Perubahan mikroskopis pada usus berupa udema, hemoragidaninfiltrasisel radang. Perubahan PA hati adalah nekrotik hepatosit, hemoragi, pembendungan, warna belang, bengkak dan pucat, serta rapuh. Perubahan mikroskopik hati berupa degenerasi dan focal hepatic necrosis. Kelompok ayam yang diinfeksi C. jejuni menyebabkan bobot
150 badan tidak tercapai maksimal dan dapat merugikan peternakn karena meningkatkan nilai feed conversion ratio (FCR). Kata kunci : Campylobacter jejuni, gejala klinis, patologi anatomi, bobot badan, FCR ABSTRACT Campylobacter spp. is a bacteria foodborne zoonotic agent that can infect humans and animals, especially birds. This bacteria can cause important problems in the public health since the beginning at the farm level, the level of retail and to on the table. Poultry meat is the main source of contamination because the digestive tract of poultry is the predilection of C. jejuni. During this infection C. jejuni in poultry did not show typical clinical symptoms, making detection quite difficult to diagnose this disease at the farm level. Incidence infection of Campylobacter sp. in developed countries had 5-90%. Currently poultry production and consumption are predicted to still increase and a high demand for low price protein. This research was conducted to determine the clinical and pathologic anatomy due to an infection of C. jejuni on chicken digestive tract. A total of 105day-old chickens are divided into 3 groups, each consisting of 35 individuals. Group A was the control group (not infected) group B (infected with C. jejuni ATCC 33291), and group C (infected with field isolate of C. jejuni/ C1). Infection of the chicken is done 0.5 ml peroral suspension concentration of 104cfu/ml. Anova Duncan was used to analyze parameters of body weight, increase weight gain ,feed consumption, FCR values. Kurskall Walis method used to analyze the parameters non-parametric form of the score changes in the macroscopic and microscopic intestinal and liver. Infection C. jejuni was change of pathology anatomy intestinal are hyperemia, enteritis, and enteritis catharalis haemorrhagic. A microscopic change of intestinal is oedema, haemorrhage and infiltration of inflammatory cell. Changes of pathology anatomy liver are colour smeary, congesti, pale, fragile, and necrotic. Microscopic changes of liver are degeneration and focal hepatic necrosis. Group which infected C. jejuni cause chicken cannot reach maximum body weight tand can be detrimental to farmers because of increase of the value of the feed conversion ratio (FCR). Key word : Campylobacter jejuni, clinical symptom, pathology anatomy, body weight, FCR PENDAHULUAN Campylobacter spp adalahsalah satu bakteri patogen penyebab emerging foodborne zoonoses, disamping bakteriSalmonella spp. dan Escherichia coli O157 (Trevejo et al. 2005). Saat ini genus Campylobacter terdiri dari 17 spesies, adapun spesies lain yang mampu menyebabkan penyakit pada manusia antara lain C. fetus,
151 C. coli, C. sputorum, C. concisus, C. curvus, dan C. rectus(Debruyne et al. 2008), dimana C. jejuni dan C. coli merupakan spesies yang penting dan paling banyak dilaporkan menginfeksi manusia (Blaser et al. 2008; Lastovica et al. 2008). Infeksi Campylobactersp. pada manusia dapat menyebabkan gastroenteritis (radang saluran pencernaan), Guillain-Bare Syndrome/GBS (radang akut yang menyebabkan kerusakan sel saraf), dan artritis (radang sendi) pada manusia (Skirrow dan Blasser, 2000). Radang saluran pencernaan akut umumnya disertai gejala kram perut diikuti diare, diare berdarah, demam, sakit kepala, nyeri otot, dan muntah (Blaser et al. 2008). Dosis infeksi pada manusia sangat rendah yaitu 50-500 sel C. jejuni (Hu dan Kopecko 2003). Hasil survey di Eropa dan United States, kasus campylobacteriosis lebih dari 1% per tahun. Pada tahun 1996, CDC melaporkan sebanyak 46% kasus campylobacteriosis (Altekruse et al. 1999). Di negara Denmark tahun 2003, kejadian campylobacteriosis mencapai 66 per 100.000. Di Belgia, infeksi microorganisme patogen Campylobacter sp. merupakan penyebab utama penyakit yang ditularkan melalui makanan jumlah kasus sekitar 65 per 100.000 manusia. Menurut Vandeplas et al. 2008 penyakit diare yang di sebabkan oleh infeksi Campylobacter spp. dapat menimbulkan dampak yang penting dalam bidang ekonomi sosial. Penularan Campylobacter spp. secara vertikal pada ayam di peternakan ayam petelur, sangat jarang terjadi atau bahkan tidak mungkin terjadi. Hasil penelitian Sahin (2003) menunjukkan bahwa pada peternakan ayam petelur dan hatchery tidak ditemukan keberadaan Campylobacter spp, karena C. jejuni tidak dapat melewati eggshell.Infeksi pada ayam petelur menunjukkan keberadaan bakteri C. jejuni pada feses tapi negatif pada telur yang dihasilkan (Shane et al. 1986; Sahin et al. 2003). Sumber utama infeksi pada manusia disebabkan karena mengkonsumsi daging ayam, daging sapi, dan susu yang telah terkontaminasi (Yogasundram et al., 1989). Sebanyak 90 % kasus disebabkan oleh C. jejuni dan 5% disebabkan oleh C. coli. Daging ayam dan daging sapi dapat bertindak sebagai reservoir C. jejuni sedangkan C.
coli
banyak
ditemukan
pada
babi
(Boes
et
al.
2005).
Kejadian
Campylobacteriosis pada ayam broiler yang berhubungan dengan penularan atau penyebaran C. jejuni pada karkas sebagai sumber infeksi pada manusia banyak dilaporkan. Menurut Lindqvist et al. (2000) dan Kramer et al. (2000), kontaminasi C. jejuni yang paling banyak terjadi adalah pada karkas ayam. Peternakan ayam
152 yang terinfeksi Campylobacter sp. 50% sampai 98% dari ayam yang terinfeksi akan membawa mikroorganisme sampai ayam tersebut dipotong (Evans 1992; Hanninen et al. 2000; Jacobs-Reitsma 2000; Pearson et al. 2000), sehingga daging ayam merupakan sumber kontaminasi Campylobacter yang utama. Hasil penelitian di beberapa negara menyimpulkan bahwa suatu hal yang tidak mungkin untuk membangun peternakan ayam yang bebas Campylobacter (Bolton 2007). Laporan dari European Food Safety Authority (EFSA) tahun 2005 prosentase peternakan ayam broiler yang terinfeksi Campylobacter sp. berkisar antara 5% hingga 90%. Kejadian infeksi oleh Campylobacter sp. pada peternakan ayam di Indonesia belum pernah dilaporkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari akibat infeksi Campylobacter jejuni pada ayam broiler dengan mengamati gejala klinis dan perubahan patologi anatomi saluran pencernaan ayam broiler pasca infeksi C. jejuni, sehingga kejadian infeksi C. jejunipada ayam broiler diketahui
sejak awal di peternakan untuk
menghindari terjadinya kerugian yang dialami oleh peternak serta mengurangi kejadian foodborne disease akibat kontaminasi silang mikroorganisme patogen C. jejuni pada karkas ayam yang dihasilkan. MATERI DAN METODA Suspensi Isolat Campylobacter jejuni Bakteri C. jejuni yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat standar C. jejuni American Type Culture Collection (ATCC) 33291 dan isolat lapang (C1) yang diperoleh dari sampel karkas ayam di wilayah Bogor. Isolat C. jejuni ditumbuhkan pada media selektif Campylobacter Blood Free Selective Agar Base (modified CCDA-Preston)dan diinkubasikan pada suhu 42oC pada kondisi mikroaerofilik (5% O2, 10% CO2, 85% N2) selama 48 jam. Selanjutnya dibuat suspensi kuman dengan konsentrasi 104 cfu/ml dalam aquadest steril dan diinfeksikan pada ayam secara peroral. Hewan Percobaan Kandang yang akan digunakan sebelumnya dilakukan desinfeksi menggunakan larutan formalin 37%. Peralatan yang digunakan untuk
153 memelihara
ayam
(tempat
pakan
dan
minum)
dilakukan
desinfeksi
menggunakan larutan desinfektan. Penelitian ini menggunakan ayam broiler berumur 1 hari (DOC) dari bangsa Cobb sebanyak 105 ekor. Sebelum diberikan perlakuan, ayam DOC diberi antibiotika melalui air minum selama 5 hari untuk memastikan tidak adanya infeksi bakteri patogen. Ayam DOC dibagi menjadi 3 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 35 ekor, yaitu kelompok A adalah kontrol negatif (tanpa infeksi), kelompok B (diinfeksi C. jejuni isolat standart ATCC (33291) dan kelompok C (diinfeksi C. jejuni isolat lapang C1). Infeksi C. jejuni pada ayam kelompok B dan C dilakukan secara peroral sebanyak 0.5 ml dengan konsentrasi 104 cfu/ml (dalam larutan NaCl fisiologis). Kelompok ayam kontrol diinfeksi 0.5 ml larutan NaCl fisioologis. Pengamatan Performan Paramater yang diamati adalah bobot badan, pertambahan bobot badan, jumlah pakan yang dikonsumsi (konsumsi kumulatif) dan nilai feed conversation ratio (FCR). Bobot badan diukur dengan menimbang bobot badan ayam setiap 7 (tujuh) hari.Pertambahan bobot badan ayam merupakan selisih bobot badan yang dihitung dengan melakukan pengurangan rataan bobot badan ayam pada saat itu dengan rataan bobot badan seminggu sebelumnya. Jumlah pakan yang dikonsumsi ayam setiap hari dihitung dengan melakukan penimbangan pakan yang diberikan dan sisa pakan. Pengamatan Gejala Klinis Gejala klinis diamati dengan parameter (a) konsistensi feses yang dikeluarkan untuk menunjukkan terjadianya diare dan (b) kondisi tubuh antara lain: lesu, sayap terkulai, bulu terbalik, kekerdilan. Perubahan Patologi Anatomi (PA) Perubahan PA pada organ usus dan hati diamati secara makroskopis dan mikroskopis dengan memberikan skoring berdasarkan perubahan yang diamati. Nekropsi dilakukan pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 12, dan 19 pasca infeksi (pi), dari setiap kelompok diambil 5 ekor untuk dilakukan nekropsi.
154 Organ usus Perubahan yang diamati pada pemeriksaan organ usus secara makroskopis dilakukan dengan memberikan skor 0-4, yaitu 0 = tidak ada perubahan, 1 = hiperemi, 2 = enteritis kataralis, 3 = enteritis hemoragik, dan 4 = nekrotik. Adapun penilaian lesi secara mikroskopis dilakukan berdasarkan derajat perubahan 0-5 yaitu, 0 = tidak ada perubahan, 1 = hiperemi, 2 = edema, 3 = perdarahan, 4 = infiltrasi sel radang, dan 5 = deskuamasi epitel. Organ hati Perubahan yang diamati pada pemeriksaan organ hati secara makroskopis dilakukan dengan memberikan skor 0-4, yaitu 0 = tidak ada perubahan, 1 = hiperemi yang ditandai warna belang, 2 = membesar dan pucat, 3 = rapuh, 4 = pendarahan, dan 5 = nekrotik. Penilaian lesi secara mikroskopis dilakukan berdasarkan derajat perubahan 0-4, yaitu 0 = tidak ada perubahan, 1 = hiperemi, 2 = degenerasi hepatosit, 3 = infiltrasi sel radang, 4 = nekrotik hepatosit. Reisolasi C. jejuni Isolasi ulang C. jejuni dilakukan sebagai konfirmasi untuk mengetahui keberadaan C. jejuni pasca infeksi. Isolasi dilakukan pada setiap kelompok perlakuan dengan mengambil sampel berupa usus bagian jejunum pada hari ke 1, 2, 3, 4, 5, 12, dan 19. Usus dibuka menggunakan gunting dan dimasukkan dalam buffered pepton water (BPW) 0.1%. Sebanyak 2 ml suspensi dimasukkan ke dalam media Nutrient Broth No. 2 dan dilakukan inkubasi pada suhu 42 oC dalam kondisi mikroaerofilik selama 48 jam. Sebanyak 5 ml inokulum disentrifus 3000 rpm selama 20 menit sehingga diperoleh peletnya untuk uji PCR (Alexandrino et al. 2004). Polymerase Chain Reaction/PCR (Wang et al. 2002) Primer yang digunakan untuk menetukan spesies Campylobacter adalah gen fla(GTA AAA CCA AAG CTT ATC GTGTCCA GCA ATG TGT GCA ATG), sedangkan gen Hip O (ACT TCT TTA TTG CTT GCT GC GCC ACA ACA AGT AAA GAA GC) untuk membedakan spesies C. jejuni dan C. coli. Amplifikasi DNA dilakukan pada mesin PCR dengan 35 cycle pada suhuinitial denaturation 95oC selama 6 menit, denaturation 95oC selama 30 detik, annealing 59oC selama 30
155 detik, extension 72oC selama 30 detik dan final extension 72oC selama 7 menit. Produk PCR kemudian diperiksa dengan electrophoresis gel agarose. Agarose gel 1% dengan 1x TBE (Tris Boric EDTA) ditambah 5 l ethidium bromide solution dalam 100 ml. Run electrophoresis 150 volt selama 30 menit. Analisa Data Data yang diperoleh dianalisa menggunakan
Anova Duncan dan secara
deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan grafik
pada peubah bobot badan,
konsumsi kumulatif, nilai FCR, berat relative hati dan reisolasi. Data non parametrik pada peubah gejala klinis dan PA dilakukan analisa menggunakan uji Kurskall Walis (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). HASIL Pengaruh Infeksi Campylobacter jejuni terhadap Performan Ayam Broiler Bobot
badan
ayam
mengalami
peningkatan
setiap
minggu
sesuai
bertambahnya umur. Kelompok ayam kontrol dan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan bobot badan pada pengamatan sampai minggu keempat (P>0,05) (Gambar 1). Pertambahan bobot badan ayam pada minggu pertama pengamatan tidak ada perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan (P>0,05). Pengamatan minggu kedua sampai minggu keempat menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) pertambahan bobot badan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (Tabel 1). 1200 1000
g r 800 a 600 m
A B
400
C
200 0 0
1
2
3
4
minggu
Gambar 1 Rataan bobot badan (gram/ekor) pada kelompok A, B, dan C.
156 Tabel 1 Rataan pertambahan bobot badan/ekor (gram)
A
1 115.00
Waktu (Minggu) 2 3 d 342.00 320.00c
4 300.00ab
B C
115.00 115.00
302.00ab 294.00a 306.00ab 304.00ab
292.00a 290.00a
Kelompok
Rataan pada kolom yang sama dengan huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (P<0.05)
Tabel 2 Rataan konsumsi kumulatif/ekor (gram) Kelompok
Waktu (Minggu) 2 3
1
ab
4 cd
A
101.56±0.00
331.83±0.31
750.00±0.70
954.55±0.08ef
B C
101.56±0.00 101.56±0.00
329.08±0.86ab 308.12±0.27a
745.88±0.72c 751.43±0.73cd
947.52±0.12e 951.00±0.53ef
Konsumsi kumulatif atau jumlah pakan yang dikonsumsi selama pengamatan juga tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0.05) antara kelompok kontrol dan perlakuan (Tabel 2). Nilai feed convertion ratio (FCR) pada masing-masing kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang nyata P>0.05 (Gambar 2). Namun pada kelompok perlakuan B yang diinfeksi menggunakan isolat standart C. jejuni ATCC 33291 dan kelompok C yang diinfeksi isolat lapang C1 memperlihatkan nilai FCR yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif yang tidak diinfeksi. 3.50 3.00 Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
FCR (%)
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 A
B Kelompok
C
Gambar 2 Nilai Feed conversion ratio (FCR)
157 Pengaruh Infeksi Campylobacter jejuni Terhadap Gejala Klinis Ayam Broiler Gejala klinis yang dapat diamati pada kelompok perlakuan B yang diinfeksi isolat C. jejuni ATCC 33291 dan kelompok C yang diinfeksi isolat lapang C1 adalah hampir semua ayam(80-100%)mengalami diare.Meskipun timbul gejala diare tetapi ayam tidak menunjukkan sakit ataupun lesu dan sayap terkulai. Pada hari ke-2 pasca infeksi kelompok perlakuan ini memperlihatkan diare berdarah dan semakin parah sampai hari ke-7. Gejala klinis berupa kekerdilan yang biasa nampak pada ayam yang terinfeksi Campylobacter spp. juga tidak terlihat pada kelompok ayam kontrol negatif (A) maupun ayam yang diinfeksi (B dan C). Kasus sindroma kekerdilan pada ayam pedaging di Indonesia sudah dilaporkan oleh Hamid et al. (1997) yang menyerang peternakan ayam pedaging dengan tingkat kejadian sekitar 20% (Syafriati et al., 2000). Penyakit yang dikenal dengan nama Infectious runting stunting syndrome (IRSS), malabsorbtion syndrome (MAS), pale birds, dan helicopter disease masih belum jelas agen penyebab utamanya. Hasil penelitian Syafriati et al. (2000) menunjukkan tingginya kasus kekerdilan pada ayam broiler. Noor et al. (2000) melaporkan bahwa agen infeksius virus kelompok enterolike particles virus diduga adalah penyebab utama penyakit kekerdilan dan akan menunjukkan gejala klinis yang nyata bila diikuti infeksi sekunder bakteri entero termasuk Campylobacter spp. Perubahan Patologis Anatomi (PA) Saluran Pencernaan Ayam Broiler Organ Usus Pemeriksaan makroskopis usus pada kelompok B dan C yang diinfeksi C. jejuni memperlihatkan adanya peningkatan skor perubahan makroskopis (Tabel 4). Kelompok ayam yang diinfeksi C. jejuni isolat standart ATCC 33291 (B) dan isolat lapang C1(C) memperlihatkan adanya lesi berupa pembesaran jejunum (usus halus), hyperemia, catarrhalisenteritis dan hemorrhagic enteritis pada jejunum (Gambar 3). Hari pertama pasca
infeksi pada semua kelompok ayam belum menunjukkan
adanya perubahan anatomi. Stern et al. (1995) menyatakan bahwa ayam yang terinfeksi, sebagian besar C. jejuni dapat dideteksi pada usus dan feses selama 12 minggu (108 cfu/ g feses) tanpa memperlihatkan gejala klinis yang khas. Infeksi menggunakan dosis yang tinggi dapat mengakibatkan kolonisasi pada hari ke-1 dan
158 kolonisasi pada sekum secara maksimal terjadi pada hari ke-5 dengan jumlah 8-910 Log cfu/g (Knudsen et al. 2006; Shanker et al. 1988).
Tabel 4 Rataan skor perubahan PA pada usus
Kelompok
1
A
0
B
0
C
0
Waktu (Hari Pasca Infeksi) 2 3 4 5 12 1.00± 1.80± 2.00± 1.60± 0.80± 0.00 0.45 0.00 0.55 0.84 2.80± 2.00± 3.00± 3.00± 2.00± 0.45 0.00 0.00 0.00 0.00 3.00± 2.00± 2.00± 2.80± 2.00± 0.00 0.00 0.00 0.45 0.00
a
19 1.20± 1.095 1.20± 1.095 0.80± 1.095
b
Gambar 3 Hemoragi pada usus kelompok perlakuan B (a) dan kelompok perlakuan C (b)
Pada penelitian ini lesi terlihat mulai hari ke-2 sampai hari ke-19 pada akhir pengamatan. Masa inkubasi dari infeksi Campylobacter spp. adalah 2-5 hari dan C. jejuni umumnya ditemukan pada broiler umur 2-3 minggu, bersamaan dengan penurunan titer antibodi (Sahin et al. 2003).
Tabel 5 Rataan skor perubahan mikroskopis usus Kelompok A B C
Waktu (Hari Pasca Infeksi) 2 3 4 5 3.20 0.45 2.80 0.45 2.00 0.00 2.20 0.45 3.00 0.00 3.00 0.00 2.80 0.45 3.00 0.00 3.40 0.55 2.60 0.55 3.00 0.00 3.20 0.45 3.00 0.00 3.00 0.00 3.00 0.00 1
159 Organ Hati Hasil pemeriksaan PA hati pada kelompok perlakuan terjadi perubahan patologis berupa kongesti, warna belang, bengkak, pucat, pendarahan dan adanya jaringan nekrotik. Menurut Denbow (2000) pertumbuhan organ mencapai puncaknya pada umur 4 minggu.Pada umumnya berat relatif hati menurun seiring dengan bertambahnya umur. Berat organ dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis maupun patologis organ tersebut (Jones dan Hunt 1983). Berat relatif hati pada kelompok perlakuan yang diinfeksi C. jejuni menunjukkan adanya peningkatan berat relatif hati terutama pada hari ke-2 pasca infeksi (Tabel 6). Peningkatan berat relatif hati
ini terjadi akibat adanya infeksi C. jejuni yang menyebabkan
pembengkakan, kongesti, hiperemi, edema serta degenerasi sel-sel hati yang dapat meningkatkan berat organ.
Tabel 6 Rataan berat relatif hati (gram)
Kelompok A B C
1 2 0.041± 0.039± 0.006 0.006 0.047± 0.048± 0.009 0.009 0.041± 0.042± 0.006 0.005
Waktu (Hari Pasca Infeksi) 3 4 5 0.044± 0.033± 0.036± 0.002 0.004 0.004 0.039± 0.034± 0.036± 0.002 0.007 0.004 0.039± 0.038± 0.036± 0.008 0.003 0.002
12 19 0.026± 0.027± 0.003 0.003 0.029± 0.030± 0.003 0.006 0.028± 0.028± 0.006 0.004
Pemeriksaan PA hati kelompok perlakuan B dan C menunjukkan adanya perubahan berupa degenerasi sel hati dengan derajat kerusakan ringan sampai berat dan terjadi hepatik nekrosis dengan nilai skor pada Tabel 7. Lesi yang terlihat bervariasi berupa warna belang, merah kehijauan, bengkak, pucat dan rapuh. Kelompok ayam yang diinfeksi isolat lokal C1 (C), pada hari ke-3 dan ke-4 pasca infeksi menunjukkan peningkatan nilai skor, meskipun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (P>0,05).
160 Tabel 7 Rataan skor perubahan patologi anatomi
Kelompok A B C
Gambar 4
1 1.80± 1.79 0.80± 0.45 0.20± 0.45
Waktu (Hari Pasca Infeksi) 2 3 4 5 0.20± 0.40± 0.40± 2.00± 0.45 0.54 0.54 0.00 1.40± 1.20± 2.00± 3.20± 0.54 0.45 0.00 1.64 1.80± 4.20± 5.00± 2.60± 1.79 1.79 0.00 1.34
12 1.00± 0.00 1.00± 0.00 1.00± 0.00
19 0.60± 0.89 1.00± 1.00 1.20± 0.83
Hati pada kelompok ayam C (diinfeksi isolat lokal), membengkak disertai adanya perubahan warna pucat dan belang disertai fokal nekrosis.
Pada pemeriksaan mikroskopis hati kelompok ayam yang diinfeksi C. jejuni isolat standart ATCC 33291 (B) dan kelompok ayam yang diinfeksi isolat lapang C1 secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kelompok ayam yang tidak diinfeksi (Tabel 8). Namun nilai skor ayam kelompok C pada hari ke-3 dan ke-4 lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok ayam yang lain.
Tabel 8 Rataan skor perubahan mikroskopis hati Kelompok A B C
Waktu (Hari Pasca Infeksi) 1 2 3 4 5 2.60±0.89 0.40±0.89 1.20±1.64 0.80±1.09 2.20±0.45 1.60±0.89 2.60±0.89 3.00±0.00 2.60±0.55 3.20±0.84 2.20±0.45 2.40±0.89 3.60±0.89 4.00±0.00 3.00±0.71
161 Kelompok ayam yang diinfeksi C. jejuni isolat standart ATCC 33291 (B) dan isolat lapang C1 (C) menunjukkan perubahan histopatologi berupa degenerasi sel hati dengan derajat ringan sampai terjadi nekrosis (Gambar 4).
a
b
Gambar 5. (a) Degenerasi hepatositpada ayam kelompok perlakuan B . (b) Fokal nekrosis pada ayam kelompok perlakuan C
Reisolasi C. jejuni Isolasi C. jejuni pada usus ayam dilakukan untuk mengetahui keberadaan bakteri pasca infeksi menggunakan metode PCR. Pada Tabel 9 dapat dilihat hasil reisolasi C. jejuni pada semua kelompok perlakuan.
Tabel 9 Persentase keberadaan C. jejuni Kelompok A B C
1 0 0 20
Waktu (Hari Pasca Infeksi) 2 3 4 0 0 0 0 0 0 40 100 20
5 0 0 60
12 0 0 40
19 0 20 40
Primer yang digunakan pada penelitian ini untuk membedakan spesies C.jejuni dan adalah gen HipO dan fla. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah sampel yang diuji PCR menggunakan sequen oligo primer HipO. Target gen C. jejuni HipO yang memiliki lokasi gen 1662-1965 bp memberikan hasil positif pada 323 bp yang dapat dilihat pada Gambar 6. Sumuran 1-6 adalah isolate yang berasal dari sampel sedangkan sumuran 7 adalah kontrol positif (ATCC C. jejuni), sumuran 8 adalah kontrol negatif (ATCC C. coli).
162
1
2
3
4
5
6
7
8
323 bp
Gambar 6 Hasil PCR menggunakan primer HipO. Target Gen flayang memberikan hasil positif pada 450 bp dapat dilihat pada Gambar 7. Sumuran 1 sampai dengan 5 adalah isolat sampel sedangkan sumuran 6 adalah ATCC C. jejuni, dan sumuran 7 adalah ATCC C. coli.
1
2
3
4
5
6
7
450 bp
Gambar7. Hasil PCR menggunakan primer fla.
PEMBAHASAN Pengaruh Infeksi Campylobacter jejuni terhadap Performan Ayam Broiler Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa adanta infeksi Campylobacter sp. pada ayam broiler menyebabkan berkurangnya bobot badan ayam kelompok perlakuan B dan C minggu ke-4 yaitu pada ayam umur 35. Secara berturutan bobot badan ayam pada kelompok A, B, dan C adalah 1036, 1016, 1026 gram secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0.05). Rataan bobot badan ayam pada penelitian ini lebih rendah dari bobot badan pada standar pemeliharaan ayam broiler pada usia 35 yaitu 1800 gram (Anggoridi 1995). Rataan pertambahan bobot badan pada pengamatan minggu kedua menunjukkan adanya perbedaan (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan perlakuan. Hal ini
163 menunjukkan bahwa campylobacteriosis dapat mempengaruhi bobot badan ayam yaitu menghambat tercapainya bobot badan optimum. Jumlah pakan yang dikonsumsi atau konsumsi kumulatif meningkat sesuai dengan bertambahnya umur ayam.Pada penelitian ini, infeksi Campylobacter sp. tidak mengurangi konsumsi kumulatif pada semua kelompok.Hal ini menunjukkan bahwa campylobacteriosis tidak mengganggu nafsu makan ayam. Adanya infeksi C. jejuni ternyata tidak mengurangi jumlah konsumsi kumulatif pada semua kelompok ayam, sehingga dapat dikatakan bahwa ayam broiler pada penelitian ini meskipun diinfeksi dengan C. jejuni tidak mengalami gangguan nafsu makan. Meskipun ayam yang digunakan pada penelitian ini tidak mengalami gangguan nafsu makan namun bobot badan optimum ayam tidak tercapai hal ini disebakan karena pada kondisi hewan terinfeksi menurut Winarsih (2005) pada umumnya mengalami penurunan bobot berat badan sekitar 70% akibat dari penurunan asupan makanan yang dikonsumsi dan 30% disebabkan oleh inefisiensi proses metabolisme dan penyerapan nutrisi. Pada penelitian ini bobot badan optimum tidak dapat tercapai disebakan karena adanya gangguan pada proses pencernaan sehingga penyerapan makanan tidak sempurna. Nilai FCR kelompok A, B, dan C pada penelitian ini lebih besar dari nilai FCR pada standart pemeliharaan ayam broiler di tingkat peternakan komersial pada minggu ke-1, 2, 3 dan 4 secara berturutan adalah 0.56; 0.64; 0.71; dan 0.78 (Anggoridi. 1995). Meningkatnya nilai FCR pada kelompok ayam perlakuan B dan C disebabkan karena terjadinya penurunan nilai pertambahan bobot badan pada kelompok perlakuan tersebut namun tidak terjadi penurunan jumlah kunsumsi kumulatif. Pengaruh Infeksi Campylobacter jejuni terhadap Gejala Klinis Ayam Broiler Anak ayam yang terinfeksi Campylobacter spp. tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas dan perubahan patologis (Dhillon. 2006).Namun pada penelitian ini ayam yang diinfeksi menunjukkan gejala klinis berupa diare berdarah, meskipun gejala klinis yang nampak tidak memperlihatkan gejala yang khas.Diare yang terjadi merupakan akibat kemampuan C. jejuni melakukan multiplikasi dan kolonisasi pada saluran pencernaan serta terjadinya invasi bakteri (Sahin et al. 2003; Sanyal et al, 1984).
164 Perubahan Patologis Anatomi (PA) Saluran Pencernaan Ayam Broiler Bakteri Campylobacter jejuni yang terdapat di dalam sel epitel dan sel mononuklear dapat mengakibatkan kerusakan usus pada bagian jejunum dan ileum.Kerusakan sel epitel yang terjadi adalah degenerasi pada epitel bagian superfisial sehingga terjadi pemendekan vili dan produksi eksudat pada lumen usus. Infeksi dapat terjadi pada lapisan yang lebih dalam lagi sehingga terjadi necrosis hemorrhagic pada lamina propria, abses pada kripta serta terjadi inflamasi (Shane 2000; Stern & Kazmi 1989). Secara mikroskopis infeksi C. jejuni pada usus menimbulkan perubahan mikroskopik berupa edema, pendarahan dan infiltrasi sel radang.Skor lesi mikroskopis yang diamati pada penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar kelompok ayam (P>0.05). Meskipun secra statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun skor perubahan mikroskopis usus kelompok ayam yang diinfeksi C. jejuni lebih tinggi dari skor pada kelompok ayam yang tidak diinfeksi pada hari ke-2 sampai hari ke-4 pasca infeksi (Tabel 5). Kejadian campylobacteriosis pada peternakan komersial jarang terjadi pada anak ayam berumur kurang dari 2-3 minggu, hal ini berhubungan dengan titer maternal antibodyyang tinggi pada anak ayam (Bullet al., 2006; Gregoryet al., 1997; Jacobs-Reitsma, 2000; Ringet al., 2005). Infeksi C. jejuni dapat menyebabkan pembengkakan dan nekrotik hati (Dhillon, 2006). Campylobacter spp. yang pada awalnya menginfeksi usus sehingga akhirnya bakteri tersebut sampai ke organ hati dan limpa serta organ interna lainnya melalui aliran darah. Warna belang pada hati terjadi akibat sel hati mengalami degenerasi atau nekrose (Sanyal et al. 1984). Infeksi oleh C. jejuni setelah terjadi kolonisasi di usus selanjutnya mengalami invasi pada sel intestinal dan bakteri melakukan ekstra translokasi sehingga menembus sel epitel dan migrasi ke sistem limpatik (Sahin 2003). Pada penelitian ini hati kelompok ayam yang diinfeksi isolat lokal C1 terlihat bengkak dengan perubahan warna pucat dan belang disertai adanya fokal nekrosis (Gambar 3). Vashin et al. (2009), menyatakan bahwa infeksi C. jejuni dapat menyebabkan lesi berupa nekrotik pada hati burung puyuh pada hari ke-1 sampai ke-7 pasca infeksi, serta ditemukan C. jejuni sebesar 21% pada hati yang mengalami nekrotik dan 12% pada hati yang normal.
165 Saluran pencernaan ayam broiler, ayam petelur, kalkun, dan bebek merupakan lokasi yang disukai oleh bakteri Campylobacter spp. (Yogasundram et al. 1989). Kejadian infeksi Campylylobacter spp. secara umum dapat menyebabkan enteritis pada pada ayam dan unggas lainnya dengan gejala klinis diare. Gejala klinis diare bervariasi dari ringan sampai diare berdarah. Meskipun tidak memperlihatkan diare yang khas namun adanya gambaran mikro anatomi berupa enteric hemorrhagic pada usus dan degenerasi hepatosit dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan absorbsi
sehingga bobot badan optimum tidak dapat tercapai, hal ini dapat
menyebabkan kerugian bagi peternas. Kejadian ini dapat menyebabkan kondisi kesehatan ayam menjadi lemah sehingga ssstem pertahanan tubuh ayam akan mengalami gangguan. Kejadian ini sesuai dengan hasil penelitian Beery et al. 1988, bahwa kolonisasi C. jejuni yang terjadi pada sekum akan menembus bagian mukosa yang lebih dalam melalui kripta usus dan menembus vili
selanjutnya terjadi
translokasi ke bagian organ yang lain (Cox et al. 2005; Cox et al. 2006). Infeksi C. jejuni pada ayam dengan dosis 35-40 cfu dapat mengakibatkan kolonisasi bakteri (Cawthraw et al. 1996; Stern et al. 1988). Kemampuan C. jejuni membentuk koloni pada saluran pencernaan ayam dan bertahan membentuk mucus pada sel epitel terutama usus halus maka mikroorganisme akan hidup dan berkembang biak dalam jumlah yang banyak. Meskipun prevalensi infeksi C. jejuni pada ayam tinggi namun Beery et al. (1988) dan Meinersmann et al. (1991) melaporkan bahwa inflamasi saluran pencernaan, attachmnent serta invasion pada usus tidak terlihat. Meskipun tidak mengalami adhesi pada sel epitel namun dalam waktu cepat mikroorganisme akan berkembang dalam jumlah yang banyak di dalam sekum sehingga mencapai jumlah 10-5 hingga 10-9 cfu/gram (Woodal et al. 2005). Peningkatan jumlah kolonisasi mikroorganisme terjadi sejak ayam berumur 2 minggu sampai umur siap potong yang berkisar antara 5-8 minggu (Bouwknegtet al. 2004; Evans and Sayers 2000). Hal ini memungkinkan C. jejuni dikeluarkan terus menerus melalui feses sepanjang hidupnya dan merupakan sumber kontaminasi pada karkas yang dihasilkan setelah dilakukan proses pemotongan.
Reisolasi C. jejuni Gen HipO (Hippuricase) merupakan novel primer yang hanya terdapat pada C. jejuni. C. jejuni memberikan reaksi positive pada uji hidrolisis hippurate (Wang
166 et al. 2002; Persson dan Olsen 2005). Menurut (Nakari et al. 2008) uji hidrolisis hippurate pada isolat C. jejuni menunjukkan hasil positive tetapi isolat C. coli memberikan reaksi negatif. Flagella pada C. jejuni dan C. coli tersusun atas dua subunit flagellin yang disusun oleh gen flaA dan flaB. Gen flagellin (fla) adalah salah satu gen Campylobacter spp. yang bersifat highly conserve terhadap strain C. coli dan C. jejuni sehingga dapat digunakan sebagai target indentifikasi secara PCR terhadap thermophilic enteropathogenic campylobacter (Oyofo et al. 1992). Isolasi pada kelompok ayam kontrol yang tidak diinfeksi (A) hasilnya negatif.Isolasi pada kelompok ayam yang diinfeksi C. jejuni isolat standart ATCC 33291 (B) ditemukan bakteri pada isolasi hari ke-19 pi.Kelompok ayam yang diinfeksi isolat lapang C1 (C), bakteri ditemukan sejak hari ke-1 sampai hari ke-19 pi. SIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari pelitian ini adalah bahwa ayam broiler yang diinfeksi oleh Campylobacter jejuni tidak menunjukkan gejala klinis yang khas selain diare dan diare berdarah. Perubahan makroskopis yang terjadi pada usus adalah hemorrhagic enteritis dan perubahan pada hati adalah pembengkakan, berwarna pucat serta rapuh.Perubahan mikroskopis usus yang terjadi adalah edema, nekrosis, disertai infiltrasi sel radang, dan hati mengalami degenerasi diikuti dengan nekrosis hepatosit. Infeksi Campylobacter jejuni isolat lokal yang diperoleh dari karkas ayam di wilayah Bogor pada ayam broiler secara ekonomi dapat menyebabkan kerugian bagi peternak karena menyebabkan bobot badan optimum tidak tercapai dan meningkatkan nilai FCR. Dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, infeksi C. jejuni pada ayam broiler di peternakan perlu mendapatkan perhatian karena ayam yang terinfeksi merupakan carrier dan sebagai sumber kontaminan terhadap lingkungan serta karkas ayam yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA Altekrus SF, JS. Norman, IF Patricia, DL Swerdlow. 1999. Campylobacter jejuni an emerging foodborne pathogen. Emerging Infectious Diease 5(1), 28-35
167 Anggoridi R. 1995. Aneka Nutrisi unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama , Jakarta. Beery JT, MB Hugdahl, MP Doyle. 1988. Colonization of gastrointestinal tracts of chicks by Campylobacter jejuni. Applied and Environmental Microbiology 54, 2365-2370. Blaser MJ, J. Engberg. 2008. Clinical Aspects of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli Infection. In:Campylobacter. Nachamkin I, CM Szymanski, MJ Blaser (Eds).,99-121. ASM Press. Washington DC. Boes J, L Nersting, EM Nielsen, S Kranker, C Enoe, HC Wachmann, DL Baggesen. 2005. Prevalence and diversity of Campylobacter jejuni in pig herds on farms with and without cattle or poultry. Journal of Food Protection 68(4), 722-727. Bolton FJ. 2007. Campylobacter infections: food-borne sources and isolation methods. Japan Journal of Food Microbiology 24(4), 151-156. Bouwknegt M, AW Van De Giessen, WD Dam-Deisz, AH Havelaar, NJ Nagelkerke, AM Henken. 2004. Risk factors for the presence of Campylobacter spp. in Dutch broiler flocks. Preventive Veterinary Medicine 62, 35-49. Bull SA, VM Allen, G Domingue, F Jorgensen, JA Frost, R Ure, R Whyte, D Tinker, JEL Corry, J Gillard-King, TJ Humphrey. 2006. Sources of Campylobacter spp. colonizing housed broiler flocks during rearing. Applied and Environmental Microbiology 72, 645-652. Cawthraw SA, TM Wassenaar, R Ayling, DG Newell. 1996. Increased colonization potential of Campylobacter jejuni strain 81116 after passage through chickens and its implication on the rate of transmission within flocks. Epidemiology and Infection. 117, 213-215. Cox NA, CL Hofacre, JS Bailey, RJ Buhr, JL Wilson, KL Hiett, LJ Richardson, MT Musgrove, DE Cosby, JD Tankson, YLVizzier, PF Cray, LE Vaughn, PS Holt, DV Bourassaa. 2005. Presence of Campylobacter jejuni in various organs one hour, one day, and one week following oral or intracloacal inoculations of broiler chicks. Avian Diseases 49, 155-158. Cox NA, LJ Richardson, RJ Buhr, JS Bailey, JL Wilson, KL Hiett. 2006. Detection of Campylobacter jejuni in various lymphoid organs of broiler breeder hens after oral or intravaginal inoculation. Poultry Science 85, 1378-1382. Debruyne L, D Gevers, P Vandame. 2008. Taxonomy of the family Campylobacteraceae. In: Campylobacter, 3-25. Nachamkin L, CM Szymanski, MJ Blaser (Eds). ASM Press. Washington DC. Dhillon AS. 2006. Campylobacter jejuni infection in broiler chickens. Avian Diseases 50(1), 55-58. Evans SJ. 1992. Introduction and spread of thermophilic Campylobacter in broiler flocks. The Veterynary Record 131, 574-576. Evans SJ, AR Sayers. 2000. A longitudinal study of Campylobacter infection of broiler flocks in Great Britain. Preventive Veterinary Medicine 46, 209-223.
168 Gregory E, H Barnhart, DW Dreesen, NJ Stern, JL Corn. 1997. Epidemiological study of Campylobacter spp. in broilers: source, time of colonization, and prevalence. Avian Diseases 41, 890-898. Hamid H, E Martindah, T Syafriati, S Bahri. 1997. Laporan penyidikikan kasus ayam kerdil. Balai Penelitian Veteriner, Balai Penelitian dan Pengembangan. Bogor. Hanninen ML, P Perko-Makela, A Pitkala, H. Rautelin. 2000. A three-year study of Campylobacter jejuni genotypes in humans with domestically acquired infection and in chicken samples from the Helsinki area. Journal of Clinical Microbiology 38, 1998-2000. Hu I dan Kopecko. 2003. Campylobacter spesies. In: International Handbook of Foodborne Pathogens. Miliotis MD dan JF Bier (Eds), Marcell Dekker. New York. Jacobs-Reitsma W. 2000. Campylobacter in the Food Supply.In: Campylobacter, 467-481. I. Nachamkin dan MJ Blaser (Eds), American Society for Microbiology. Washington DC. Jones TC dan D Hunt. 1983. Veterinary pathology. 5th. Lea and Febiger , Philadelphia. Knudsen KN, DD Bang, LO Andresen, M Madsen. 2006. Campylobacter jejuni strains of human and chicken origin are invasive in chickens after oral challenge. Avian Diseases 50, 10-14. Kramer JM, JA Frost, FJ Bolton, DRA Wareing. 2000. Campylobacter Contamination of Raw Meat and Poultry at Retail Sale: Identification of Multiple Types and Comparison With Isolates From Human infection. Journal of Food Protection 63(12), 1654-1659. Lastovica AJ, BM Allos. 2008. Clinical significance of Campylobacter and related species other than Campylobacter jejuni and Campylobacter coli.In: Campylobacter. 123-149. I Nachamkin , CM Szymanski, MJ Blaser (Eds). ASM Press, Washington DC. Lindqvist R, Y Andersson, B Jong, P Norberg. 2000. A Summary of Reported Foodborne Disease Incidents in Sweeden, 1992 to 1997. Journal of Food Protection 63(10), 1315-1320. Mattjik AA dan IM Sumertajaya.2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 2. IPB Pr, Bogor. Meinersmann RJ. WE Rigsby NJ Stern, LC Kelley, JE Hill, MP Doyle. 1991. Comparative study of colonizing and noncolonizing Campylobacter jejuni. American Journal of Veterinary Research 52, 1518-1522. Nakari UM, Puhakka A, Sitonen A. 2008. Correct identification and discrimination between Campylobacter jejuni andCampylobacter coli by a standardized hippurate test and spesies-specific polymerase chain reaction. Europe Journal Clinical Microbiology Infection Disease DOI 10.1007/s10096008-0467-9.
169 Noor SM, L Parede, M Poeloengan, Andriani, T Syafriati, S Wahyuwardani, Y. Sani. 2000. Uji pertumbuhan Campylobacter spp. dari kasus kekerdilan terhadap ayam pedaging Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor: 520-524. Oyofo BA, SA Thornton, DH Burr, TJ Trust, OR Pavlovskis, P Guerry. 1992. Specific Detection of Campylobacter jejuni andCampylobacter coli by Using Polymerase Chain Reaction.Journal of Clinical Microbiology 10, 2613-2619. Pearson AD, MH Greenwood, J Donaldson, TD Healing, DM Jones, M Shahamat, RK Feltham, RR Colwell. 2000. Continuous source outbreak of campylobacteriosis traced to chicken. Journal of Food Protection 63, 309314. Persson S, KEP Olsen. 2005. Multiplex PCR for identification of Campylobacter coli andCampylobacter jejuni from pure cultures and directly on stool samples. Journal of Medical Microbiology 54, 1043-1047. Ring M, MA Zychowska, R Stephan. 2005. Dynamics of Campylobacter spp. spread investigated in 14 broiler flocks in Switzerland. Avian Diseases 49, 390-396. Sanyal SC, KMN Islam, PKB Neogy, M Islam, P Speelman, MI Huq. 2003. Campylobacter jejuni diarrhea model in infant chickens. Infection and Immunity 43(3), 931-936. Sahin O. 2003. Ecology of Campylobacter colonization in poultry role of maternal antibodies in protection and sources of flock infection [dissertation]. Ohio: The Graduate School of The Ohio State University. Sahin O, N Luo, S Huang, Q Zhang. 2003. Effect of Campylobacter-specific maternal antibodies on Campylobacter jejuni colonization in young chickens. Applied and Environmental Microbiology 69, 5372-5379. Shane SM, DH Gifford, K Yogasundram. 1986. Campylobacter jejuni contamination of eggs. Veterinary Research Communication 10, 487-492. Shane SM. 2000. Campylobacteriosis. Di dalam: Disease of Poultry. 9 State University Pr. hlm 236-246.
th
Ed. Iowa:
Shanker S, Lee A, Sorrell TC. 1988. Experimental colonization of broiler chicks with Campylobacter jejuni. Epid and Infec100: 27-34. Skirrow MB, Blaser MJ. 2000. Clinical aspects of Campylobacter infection. Di dalam: Nachamkin I, Blaser MJ, editor. Campylobacter. Washington: American Society for Microbiology. hlm 69-88. Stern NJ, Bailey JS, Blankenship LC, Cox NA, Mc Han F. 1988. Colonization characteristics of Campylobacter jejuni in chick ceca. Avian Dis 32: 330334. Stern NJ, Kazmi SU. 1989. Campylobacter jejuni. Di dalam: Foodborne Bacterial Pathogens. New York: Marcell Dekker. hlm 71-110. Stern NJ, Clavero MR, Bailey JS, Cox NA, Robach MC. 1995. Campylobacter spp. in broilers on farm and after transport. Poultry Sci 74(6): 937-941.
170 Syafriati T, Parede L, Noor SM, Wardhani SW. 2001. Kasus sindroma kekerdilan pada ayam niaga pedaging di Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2000. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 737-745. Trevejo RT, Barr MC, Robinson RA. 2005. Important emerging bacterial zoonotic infections affecting the immunocompromised. Vet Res 36: 493-506. Vandeplas S, Marcq C, Dauphin RD, Thonart YBP, Thewis A. 2008. Contamination of Poultry flocks by the human pathogen Campylobacter spp. and strategies to reduce its prevalence at the farm level. Biotech, Agron, Soc and Environ 12(3): 317-334. Vashin I, Stoyanchev T, Ring CH, Atanassova V. 2009. Prevalence of Campylobacter spp in frozen poultry giblets at Bulgarian retail markets. Trakia J Sci 7(4): 55-57. Wang G, Clifford G, Tracy M, Taylor, Chad P, Connie B, Lawrence P, David L, Woodward, Frank GR. 2002. Colony multiplex PCR assay for identification and differentiation of Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, and C. fetus subsp. fetus. J Clin Microbiol 40(12): 4744-4747. Winarsih W. 2005. Pengaruh probiotik dalam pengendalian salmonellosis subklinis pada ayam: gambaran patologis dan performan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Woodall CA. Jones MA, Barrow PA, Hinds J, Marsden GL, Kelly DJ, Dorrell N, Wren BW, Maskell DJ. 2005. Campylobacter jejuni gene expression in the chick cecum: evidence for adaptation to low oxygen environtment. Infect and Immunity 73(8): 5278-5285. Yogasundram K, Shane SM, Harrington KS. 1989. Prevalence of Campylobacter jejuni in selected domestic and wild birds in Louisiana. Avian Dis 33: 664667.
171 Lampiran 5
SENSITIVITAS ANTIBIOTIKA TERHADAP ISOLAT CAMPYLOBACTER JEJUNI ASAL KARKAS AYAM
(ANTIBIOTIC SENSITIVITY OF CAMPYLOBACTER JEJUNI ISOLATED FROM CHICKEN CARCASSES) Andriani1*), Mirnawati Sudarwanto2), Surachmi Setitaningsih2), Harsi Dewantarai Kusumaningrum3), Rama Prima Syahti Fauzi4) 1)
Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET). Jl. RE. Martadinata 30 Bogor, 2) Fakultas Kedokteran Hewan-IPB, 3)Fakultas Teknologi Pangan IPB, Bogor, 4) Mahasiswa pascasarjana, Mayor KMV-IPB *
[email protected] ABSTRAK
Campylobacter jejuni adalah salah satu bakteri patogen penyebab foodborne disease.Kontaminasi C. jejuni pada karkas ayam di Indonesia sudah mulai dilaporkan.Karkas ayam telah dilaporkan sebagai sumber kontaminasi yang utama terhadap infeksi pada manusia.Infeksi Campylobacter sp. pada manusia umumnya menyebabkan gastroenteris.Resistensi Campylobacter sp. terhadap antimikrobial sudah banyak di laporkan terutama di negara maju sehingga menyulitkan pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Campylobacter sp. Infeksi Campylobacter sp. pada ayam sebagai sumber kontaminasi dapat diatasi dengan pemberian antibiotika.Tujuan penelitian adalah mengetahui sensitivitas jenis antibiotika yang dapat digunakan untuk mengobati infeksi ayam. Penelitian dilakukan dua tahap, pertama secara in vitro untuk mengetahui minimal inhibitory concentration (MIC) sehingga dapat ditentukan jenis dan dosis antibiotika yang dapat digunakan untuk mengobati infeksi pada ayam dan kedua secara in vivo untuk mengetahui respon ayam terhadap pengobatan antibiotika. Jenis antibiotika yang diuji adalah amoksilin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, dan siprofloksasin.Isolat yang digunakan adalah 2 isolat C. jejuni, yaitu isolat asal Demak dan asal Kudus hasil isolasi dari karkas ayam. Sebanyak 140 ekor ayam broiler strain Cobb di bagi menjadi tujuh kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor ayam, pertama adalah kontrol positif yaitu diinfeksi tapi tidak diterapi antibiotika. Kelompok kedua adalah kontrol negatif yaitu tidak diinfeksi dan tidak diterapi antibiotika. Kelima kelompok yang lain, masing-masing ayam diinfeksi C. jejuni peroral 104cfu/ ml serta masing-masing kelompok ayam diterapi menggunakan lika jenis antibiotika. Hasil yang diperoleh bahwa kedua isolat yang digunakan memperlihatkan pola resistensi yang berbeda terhadap kelima jenis antibiotika yang digunakan secara in vitro isolat C. jejuni asal Demak bersifat resisten terhadap antibiotika ciprofloxacin dan tetracylin, sedangkan isolat asal Kudus berada pada zona hambat intermediate terhadap antibiotika erythromycin. Secara in vivo hasil pengobatan
172 pada ayam menggunakan antibiotika erythromycin pada dosis 40 µg/ml belum efektif digunakan untuk mengobati infeksi isolat C. jejuni asal Demak, meskipun pada uji in vitro memberikan hasil sensitif. Pengobatan menggunakan antibiotika tetracycline dosis 1.25 µg/ml dan chloramphenicol pada dosis 0.625 µg/ml pada ayam tidak dapat menghilangkan infeksi C. jejuni di dalam usus.
Kata kunci : antibiotika, Campylobacter jejuni, karkas ayam PENDAHULUAN Infeksi
Campylobacter
pada
manusia
umumnya
menyebabkan
gastroenteritis, tetapi setelah bakteri invasi dapat menyebabkan bakteremia, reactive arthritis, meningitis, dan Gullain-Barre syndrome (Altekruse et al. 1999). Penyakit enteritis akibat infeksi Campylobacter sp. pada manusia biasanya tidak memerlukan pengobatan antibiotika apabila infeksi bersifat ringan atau self-limited (Lastovica & Penner 1983). Namun pada beberapa kasus infeksi dengan gejala klinis lebih berat, septichaemia, atau infeksi ekstra intestinal, penderita immunosuppress diperlukan pengobatan menggunakan antibiotika (Engberg et al. 2001; Luber et al. 2003). Sejak tahun 1980 fluoroquinolone sudah digunakan untuk mengobati enteritis yang disebabkan oleh Campylobacter sp. serta bakteri patogen lainnya, antibiotika lainnya yang sering digunakan untuk pengobatan adalah tetracycline, chloramphenicol, ampicillin dan gentamicin (Engberg et al. 2001). Menurut Caprioli et al. (2000) penggunaan antibiotika terutama di bidang veteriner perlu ditanggapi secara bijaksana berhubungan dengan semakin banyak mikroorganisme yang resisten terhadap beberapa jenis antibiotika. Erythromycin dan golongan fluoroquinolone adalah antibiotika yang umumnya digunakan untuk mengobati manusia
penderita
campylobacteriosis,
sedangkan
kejadian
resistensi
fluoroquinolone pada manusia dan hewan banyak dilaporkan. (Endz et al. 1991; Ge et al. 2002). Tujuan dilakukan penelitian adalah untuk mengetahui sensitivitas isolat C. jejuni asal karkas ayam terhadap antibiotika amoksisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, dan siprofloksasin.
173 BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Keseahatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan fasilitas kandang Unit Pengembangan, Pemeliharaan dan Pelayanan Hewan (UP3H) Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bakteri Campylobacter jejuni Bakteri C. jejuni yang digunakan pada penelitian merupakan isolat hasil isolasi dari karkas ayam yang diambil dari pasar tradisional dan swalayan di daerah Demak dan Kudus. Isolasi dilakukan sesuai dengan Bacteriological Analytical Manual (BAM 2001). Isolat murni yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi menggunakan API Campy (Biomerieux, France). Uji Resistensi Antimikroba (Lalitha 2008) Uji resistensi pada penelitian ini dilakukan secara in vitro menggunakan dua metode yaitu difusi agar dan pengenceran. Pada metode difusi digunakan kertas cakram yang telah diisi antibiotika, masing-masing amoksilin 10 µg, tetrasiklin 30 µg, kloramfenikol 30 µg, eritromisin 15 µg, dan siprofloksasin 5 µg. Pembacaan hasil pada metode difusi adalah mengukur diameter zona hambat setelah inkubasi, untuk mengetahui jenis antibiotika yang sensitif dan resisten terhadap isolate C. jejuni. Metode pengenceran dilakukan secara broth dilution dengan ditambahkan berbagai konsentrasi (320, 160, 80, 40, 20, 10, 5, 2.5, 1.25, dan 0.675 µg/ml) dari masing-masing antibiotika. Nilai minimal inhibitory concentration (MIC) ditentukan dari pengenceran antibiotika paling rendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri C. jejuni. Uji in vivo pada ayam broiler Nilai MIC yang diperoleh dari hasil uji in vitro selanjutnya digunakan pada uji in vivo untuk mengetahui dosis yang efektif untuk pengobatan ayam broiler yang sebelumnya diinfeksi C. jejuni. Uji in vivo dilakukan pada ayam broiler umur satu hari. Tujuh kelompok ayam yaitu kontrol positif diinfeksi C. jejuni tanpa pengobatan antibiotika, kelompok kontrol negatif tidak diinfeksi C. jejuni dan tanpa
174 pengobatan, serta lima kelompok perlakuan diinfeksi C. jejuni dan dilakukan pengobatan menggunakan antibiotika, masing-masing amoksilin, tetrasiklin, amoksisilin, eritromisin, dan siprofloksasin. Dosis infeksi yang digunakan adalah 104cfu/ml diberikan secara peroral. Pengobatan menggunakan antibiotika dilakukan selama lima hari dimulai pada ayam umur 14 hari hingga 18 hari. Evaluasi hasil pengobatan menggunakan antibiotika terhadap keberadaan C. jejuni di dalam usus dilakukan pada ayam umur 19 hari dengan melakukan isolasi C. jejuni dari swab usus. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji in vitro menggunakan metode difusi agar pada isolat C. jejuni yang berasal dari Demak terhadap kelima jenis antibiotika disajikan pada Tabel 1. Isolat C. jejuni asal Demak memperlihatkan diameter zona hambat daerah hambat (DDH) antibiotika siprofloksasin dan tetrasiklin berada dalam zona resisten. Isolat C. jejuni asal Demak sensitif terhadap antibiotika yang lain (amoksilin, erytromisin, dan kloramfenikol). Tabel 1 Diameter daerah hambat isolat C. jejuni asal Demak terhadap lima jenis antibiotika dengan standar NCCLS (2002) Antibiotika Amoxylin (10 µg) Chloramphenicol (30 µg) Ciprofloxacin (5 µg) Erythromycin (15 µg) Tetracyclin (30 µg)
Standar DDH (mm)* S I R ≥ 10 ≥ 23 ≥ 24 ≥ 19 ≥33
12-22 19-23 16-18 16-32
≤9 ≤ 11 ≤ 18 ≤ 15 ≤ 15
Hasil uji (mm) 16.9 40.3 9.0 37.5 12.2
Keterangan *
S : sensitive I : intermediate R : resistance : NCCLS (2002) untuk Enterobacteriaceae Sesuai dengan hasil penelitian Waldenstro¨m et al. (2005) dan Zirnstein et al.
(1999) bahwa isolat C. jejuni mengalami resistensi terhadap antimikroba golongan quinolone. Sesuai juga dengan laporan Miflin et al. (2007) bahwa isolat C. jejuni yang diuji bersifat resisten terhadap antibotika tetracycline. Isolat C. jejuni asalKudus
memperlihatkan sensitif terhadap amoxylin, kloramfenikol, dan
175 siprofloksasin, tetapi terhadap antibiotika eritromisin dan tetrasiklin berada pada zona intermediate seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Diameter daerah hambat isolat C. jejuni asal Kudus terhadap lima jenis antibiotika dengan standar NCCLS (2002) Antibiotika Amoxylin (10 µg) Chloramphenicol (30 µg) Ciprofloxacin (5 µg) Erythromycin (15 µg) Tetracyclin (30 µg)
Standar DDH (mm)* S I R ≥ 10 ≥ 23 ≥ 24 ≥ 19 ≥33
Hasil uji (mm)
≤9 ≤ 11 ≤ 18 ≤ 15 ≤ 15
12-22 19-23 16-18 16-32
21.6 27.0 27.3 18.9 27.5
Keterangan *
S :sensitive I :intermediate R :resistance : NCCLS (2002) untuk Enterobacteriaceae Kedua isolat C. jejuni yang digunakan pada penelitian ini yaitu asal Demak
dan
Kudus
menunjukkan
hasil
yang
berbeda
terhadap
uji
antibiotika
ciprofloxacin.Isolat asal Demak bersifat resisten terhadap antibiotika ciprofloxacin tetapi isolat asal Kudus bersifat sensitif. Peneliti Miflin et al. (2007) dari Australia melaporkan bahwa MIC dan diameter daerah hambat isolat C. jejuni
sensitif
terhadap ciprofloxacin, hal ini sesuai dengan hasil uji isolat C. jejuni asal Kudus. Peneliti lain Waldenstro¨m et al. (2005) dan Zirnstein et al. (1999) melaporkan hasil bahwa C. jejuni resisten terhadap antimikroba golongan quinolone, sesuai dengan hasil penelitian terhadap isolat C. jejuni asal Demak. Tabel 3 MIC isolat C. jeuni asal Demak dan Kudus Antibiotika Amoxylin Chloramphenicol Ciprofloxacin Erythromycin Tetracyclin
Keterangan *
Hasil MIC (µg/ml) Demak Kudus 20 10 5 ≤0.625 5 1.25 40 ≤0.625 20 1.25
S :sensitive I :intermediate R :resistance : NAMRS (2006) untuk Campylobacter sp.
R ≥ 32 ≥ 32 ≥4 ≥8 ≥ 16
Standar MIC (µg/ml)* I 16 16 2 1-4 8
S ≤8 ≤8 ≤1 ≤ 0.5 ≤4
176 Isolat asal Kudus memperlihatkan hasil di daerah zona hambat intermediate terhadap antibiotika erythromycin pada uji difusi cakram namun pada uji MICmemberikan hasil sensitif. Hal ini berhubungan dengan jarangnya penggunakan jenis antibiotika erythromycin untuk pengobatan di bidang veteriner terutama unggas. Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Ristic et al. (2009) bahwa isolat C. jejuni tidak resisten terhadap jenis antibiotika erythromycin, sehingga antibiotika erythromycin dapat digunakan untuk mengobati manusia penderita diare yang disebabkan oleh infeksi C. jejuni. Tabel 4 Hasil uji vivo isolat C. jejuni asal Demak pada pengobatan ayam broiler (Fauzi 2012) Kelompok ayam diobati Amoxylin Chloramphenicol Ciprofloxacin Erythromycin Tetracyclin Kontrol positif Kontrol negatif
dosis pengobatan (µg/ml)
isolasiC. jejuni pada usus
20 5 5 40 20 -
+ (1/3) -
Hasil isolasi pada swab usus setelah dilakukan infeksi isolat C. jejuni asal Demak dan pengobatan menggunakan kelima jenis antibiotika seperti pada Tabel 4, bahwa pengobatan menggunakan antibiotika erythtomycin memperlihatkan masih ditemukan bakteri C. jejuni di dalam usus. Tabel 5 Hasil uji vivo isolat C. jejuni asal Kudus pada pengobatan ayam broiler (Fauzi 2012) Kelompok ayam diobati Amoxylin Chloramphenicol Ciprofloxacin Erythromycin Tetracyclin Kontrol positif Kontrol negatif
dosis pengobatan (µg/ml)
Isolasi C. jejuni pada usus
10 0.625 1.25 0.625 1.25 -
+ (1/3) + (2/3) -
177 Uji in vivo yang dilakukan pada isolat asal Kudus menunjukkan hasil bahwa setelah
pengobatan
terhadap
infeksi
C.
jejuni
menggunakan
antibiotika
chloramphenicol dan tetracycline masih dapat ditemukan bakteri C. jeuni di dalam usus. Peneliti lain Miflin et al. (2007) melaporkan bahwa isolat C. jejuni yang diuji secara in vitro resisten terhadap antibiotika chloramphenicol. Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Ristic et al. (2009) bahwa isolat C. jejuni tidak resisten terhadap jenis antibiotika erythromycin, sehingga antibiotika erythromycin dapat digunakan untuk mengobati manusia penderita diare yang disebabkan oleh infeksi C. jejuni. Hasil penelitian secara in vivo pada pengobatan menggunakan antibiotika erythromycin pada ayam broiler yang diinfeksi isolat C. jejuni asal Demak, di dalam ususnya masih dapat diisolasi adanya bakteri C. jejuni. Pengobatan menggunakan antibiotika chloramphenicol dan tetracycline pada ayam setelah diinfeksi isolat C. jejuni asal Kudus, bakteri C. jejuni masih dapat diisolasi dari dalam ususnya. SIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian adalah secara in vitro isolat C. jejuni asal Demak bersifat resisten terhadap antibiotika ciprofloxacin dan tetracylin, sedangkan isolat asal Kudus berada pada zona hambat intermediate terhadap antibiotika erythromycin. Secara in vivo hasil yang dapat disimpulkan adalah pengobatan pada ayam menggunakan antibiotika erythromycin pada dosis 40 µg/ml belum efektif digunakan untuk mengobati infeksi isolat C. jejuni asal Demak, meskipun pada uji in vitro memberikan hasil sensitif. Pengobatan menggunakan antibiotika tetracycline dosis 1.25 µg/ml dan chloramphenicol dosis 0.625 µg/ml pada ayam tidak dapat menghilangkan infeksi C. jejuni di dalam usus. SARAN Perlu dilakukan penelitian mengenai sensitivitas berbagai variasi dosis dan jenis antibiotika untuk pengobatan pada infeksi C. jejuni. Selain itu parameter yang diamati perlu ditambahkan gejala klinis dan performance ayam untuk bisa mengetahui respon pengobatan antibiotika terhadap infeksi C. jejuni.
178 DAFTAR PUSTAKA Altekruse SF, Stern NJ, Fields PI, Swerdlow DL. 1999. Campylobacter jejuni an Emerging foodborne pathogen. J Emerg Infect Dis 5 (1): 23-29. [BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. Campylobacter. Chapter 7. Ed ke 8. Authors: Jan M. Hunt, Carlos Abeyta and Tony Tran Updated and revised: 2000-Dec-29. Media Instructions Modified on 2001Mar-08. Caprioli A, Busani L, Martel JL, Helmuth R. 2000. Monitoring of antibiotic resistence in bacteria of animal origin: epidemiological and microbiological methodologies. Intern J Anti Agents 14: 295-301. Endz HP, Ruijs GH, van Klingeren B, Jansen WH, Vvan der Reyden, Mouton RP. 1991. Quinolone resistance in Campylobacter isolated from man and poultry following the introduction of fluoroquinolones in veterinary medicine. J Ant Chem 27: 199-208. Engberg J, Aarestrup FM, Taylor DE, Gerner-SmidtP, Nachamkin I. 2001.Quinolone and macrolide resistancein Campylobacter jejuni and C. coli: resistancemechanisms and trends in human isolates. Emerg Infect Dis 7(1): 24-34. Ge B, Bodeis S, Walker RD, White DG, Zhao S,McDermott PF. 2002. Comparison of the Etest andagar dilution for in vitro antimicrobial susceptibilitytesting of Campylobacter.J Antimicroibial Chem 50: 487-94. Lalitha MK. 2008. Manual on antimicrobial susceptibility testing. Vellore Tamil Nadu: Departement of Microbiology. Chritian Medical College. Lastovica AJ, Penner JL. 1983. Serotypes of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli in bacteremic, hospitalized children. J Infect Dis 147: 592. Luber P, Wagner J, Hahn H and Bartelt E. 2003.Antimicrobialresistance in Campylobacter jejuni and Campylobactercoli Strains Isolated in 1991 and 2001-2002 fromPoulty and Humans in Berlin, Germany. Antimicrob Agents Chemother: 3825-3830. Miflin JK, Jillian MT, Blackall PJ. 2007. Antibiotic resistance in Campylobacter jejuni and Campylobacter coliisolated from poultry in the South-East Queensland region. J Antimicrob Chem 59: 775–778. [NAMRS] National Antimicrobial Resistance Monitoring System. 2006. Enteric bacteria human isolate final report. Atlanta Center for Disease Control and Prevention [NCCLS] National Committee for Clinical Laboratory Standards. 2002. Performance Standards for Antimicrobial Disk and Dilution Susceptibility Tests for Bacteria Isolated from Animals.Second Edition: Approved Standard M31-A2. NCCLS, Wayne, PA USA.
179 Rama PS. 2012. Resistensi Campylobacter jejuni isolate lokal terhadap lima jenis antimikroba secara in vitro dan in vivo [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor. Ristic L, Tatjana B, Branislava K, Miljkovic-Selimovic B. 2009. Presence of resistance in Campylobacter jejuni and Campylobacter coli. Acta Medica Medianae 48(2): 14-17. Waldenstro¨m J,Mevius D,Kees V, Tina B, Dennis H, Bjo¨rn O. 2005. Antimicrobial Resistance Profiles of Campylobacter jejuni Isolatesfrom Wild Birds in Sweden. Appl Environ Microbiol 71(5): 2438-2441. Zirnstein G, Yu L, Bala S, Frederick A. 1999. Ciprofloxacin resistance in Campylobacter jejuni isolates: Detectionof gyrA resistance mutations by Mismatch AmplificationMutation Assay PCR and DNA sequence analysis. J Clin Microbiol 37(10): 3276-3280