TINJAUAN PUSTAKA
Buah Sirsak Tanaman sirsak tumbuh baik di dataran rendah yang bertipe iklim lembab dataran tinggi 1.000 m di atas permukaan laut. Di dataran yang beriklim kering, tanaman masih mampu tumbuh dan berbuah asalkan air tanahnya dangkal, kurang dari 150 cm. Curah hujan yang sesuai adalah antara 1.500-2.000 mm/tahun dengan musim kemarau 4-6 bulan. Tanah yang baik bagi tanaman sirsak yaitu yang mempunyai pH antara 5,5-7 (Sunarjono, 1997). Buah sirsak dipanen setelah tua penuh, yakni setelah durinya tampak jarang dan beraroma, dan warnanya kekuning-kuningan. Buah dipanen dengan memotong tangkainya. Hasil buah sirsak rata-rata 10 buah/pohon/tahun dengan bobot berkisar 5-30 kg. Di Hawaii, produksi buah sirsak bisa mencapai 7-18 ton/ha/tahun. Sirsak ditanam pada jarak 4-5 m. Biasanya setelah tanaman berumur 8 tahun lebih, produksinya akan menurun (Sunarjono, 1997). Mutu buah sirsak terutama ditentukan oleh derajat ketuaan dan kematangan serta kemulusannya. Buah sirsak dinyatakan tua apabila telah mencapai tingkat perkembangan maksimum, yang menjamin dapat tercapainya proses pematangan yang sempurna. Ketuaan dapat ditandai dari bentuk buah, warna kulit, ukuran buah (panjang, lebar dan berat) serta kerapatan duri (Sjaifullah, 1996). Daging buah sirsak yang matang dapat dimakan segar atau dibuat jus. Namu sebagian besar dikonsumsi berupa minuman olahan. Produk olahan lainnya adalah sebagai jely, permen atau dodol. Daging buah yang ada dalam satu buah
4
Universitas Sumatera Utara
sirsak matang sekitar 67,5%, kulit buahnya sekitar 20%, bijinya 8,5% dan 4% berupa tangkai buah. Tanaman sirsak diperbanyak dengan biji (Ashari, 2006). Buah sirsak yang telah matang enak dimakan, manis sampai manis kemasaman, dan dapat dibuat bentuk olahan yang tahan lama disimpan. Selain itu, sirsak juga dapat dibuat sirup. Varietas unggul yang dianjurkan untuk pengembangan ialah sirsak ratu, yang tergolong sirsak manis. Sirsak yang rasanya masam tidak terlalu disenangi konsumen (Sunarjono, 1997). Buah sirsak kaya akan vitamin C, yaitu sekitar 20 mg dari setiap 100 g daging buah, sementara itu kandungan vitamin B-nya sebesar 0,06 mg. Daging buah sirsak memiliki aroma yang kuat. Buah sirsak digunakan sebagai bahan industri minuman. Hal ini karena rasanya yang khas, asam dan segar serta banyak mengandung vitamin. Hasil kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya adalah buah sirsak yang rasanya manis, kadar airnya sedikit namun dagingnya tidak tahan lama, mudah berubah menjadi berwarna coklat dan rasanya menjadi kurang enak. Diduga derajat kematangan buah sangat menentukan cita rasa (Ashari, 2006). Buah sirsak mempunyai kandungan pektin mencapai 0,91%. Pola pematangan sirsak mengikuti pola respirasi klimakterik dengan produksi autokatalis etilen. Buah sirsak mempunyai bentuk yang tidak beraturan, tetapi biasanya berbentuk hati atau ovoid. Buah sirsak yang bentuknya tidak beraturan ada yang bulat, lonjong bahkan ada yang membengkok seperti ginjal atau bentuk telur (Bueso, 1980). Komposisi kimia buah sirsak disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Komposisi kimia buah sirsak per 100 g bahan
Universitas Sumatera Utara
Komposisi Kimia
Jumlah
Kalori (cal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (%)
65,0 1.0 0,3 16,3 14,0 27,0 0,6 10,0 0,07 20,0 80.0
Sumber: Departemen Kesehatan RI, (1996) Khasiat dari buah sirsak memberikan efek anti tumor/kanker yang sangat kuat, dan terbukti secara medis menyembuhkan segala jenis kanker. Selain menyembuhkan kanker, buah sirsak juga berfungsi sebagai anti bakteri, anti jamur (fungi), efektif melawan berbagai jenis parasit (cacing), menurunkan tekanan darah tinggi, depresi, stress, dan menormalkan kembali sistem syaraf yang kurang baik (Verheij dan Coronel, 1997). Selai Selai merupakan makanan kental atau semi padat yang dibuat dari buahbuahan ditambah gula kemudian dipekatkan agar terbentuk padatan gula terlarut. Selai digunakan untuk mengisi berbagai jenis makanan, seperti isian berbagai jenis roti maupun jenis kue kering. Selai sebagai jenis makanan yang sudah dikenal oleh masyarakat dalam maupun luar negeri serta mempunyai potensi sebagai produk olahan makanan untuk diperdagangkan (Palupi et al., 2009). Pemanfaatan agar-agar sebagai bahan tambahan selai diharapkan mampu mengubah teksur selai menjadi lembaran yang disukai. Selain itu diharapkan produk ini mampu menjadi salah satu alternatif diversifikasi pengolahan pangan
Universitas Sumatera Utara
semi basah yang telah ada. Buah-buahan yang dijadikan selai biasanya buah yang sudah masak, tapi tidak terlalu matang dan mempunyai rasa sedikit masam misalnya: stroberi, blueberi, apel, anggur dan pir. Selain itu, selai bisa dibuat dari sayur-sayuran seperti wortel dan seledri. Di Indonesia sebagian besar selai dibuat dari buah-buahan tropis seperti: nanas, srikaya, jambu biji, pala dan ceremai, sedangkan jenis selai yang lain adalah selai kacang (peanut butter) yang dibuat dari kacang tanah yang sudah dihaluskan dicampur mentega atau margarin (Wikipedia, 2011). Untuk menghasilkan selai yang bermutu baik, buah yang akan diolah menjadi selai harus benar-benar matang penuh. Buah seperti ini aromanya sangat kuat, sehingga hasil olahannya mempunyai aroma yang kuat dan wangi pula, meskipun demikian penggunaan buah yang mengkal masih disarankan. Pencampuran buah matang dengan buah yang mengkal dapat memperbaiki konsistensi selai yang dihasilkan. Hal ini disebabkan buah yang mengkal banyak mengandung pektin. Pektin ini sangat diperlukan pada pembuatan selai. Fungsinya ialah untuk menggumpalkan (mengentalkan). Dengan semakin cepatnya selai mengental maka jumlah rendemen meningkat (Satuhu, 1994). Bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan selai harus memenuhi persyaratan diantaranya, komposisi bahan berada dalam kondisi ideal yaitu, kandungan gula 65-75%, nilai pH antara 3.3-3.4, dan kandungan pektin 0,75-1,5%. Selai yang baik harus memiliki aroma dan rasa buah asli, serta punya daya oles yang baik artinya tidak terlalu encer (Abidanbita, 2010). Syarat mutu selai disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Syarat mutu selai SNI 3746-2008 No. Kriteria Uji Satuan 1 Keadaan
Persyaratan
Universitas Sumatera Utara
1. 1 1. 2 1. 3 2 3 4 4. 1 5 6 6. 1 6. 2 6. 3 6. 4 6. 5
Aroma Warna Rasa Serat Buah Padatan terlarut Cemaran Logam Timah (Sn) Cemaran Arsen (As) Cemaran Mikroba Angka Lempeng Total Bakteri Coliform Staphylococcus aureus Clostridium sp. Kapang/Khamir
% Fraksi Massa mg/kg
Normal Normal Normal Positif Minimal 65 Maksimal 250,0
mg/kg
Maksimal 1,0
Koloni/g APM/g
Maksimal 1 x 10 <3
Koloni/g Koloni/g Koloni/g
Maksimal 2 x 10 <10 Maksimal 5 x 10
Keterangan :* Didalam kemasan kaleng Sumber : SNI3746, 2008. Bahan-bahan Tambahan dalam Pembuatan Selai Sirsak Lembaran Gula Selain sebagai bahan pemanis, gula juga merupakan pengawet. Kandungan air pada bahan yang diawetkan ditarik dari sel buah sehingga mikroba menjadi tidak cocok lagi tumbuh disana. Gula banyak digunakan untuk mengawetkan bahan makanan yang berasal dari buah-buahan. Bentuk produk olahan yang menggunakan gula sebagai pengawet antara lain sari buah, jam, jelly, marmalade, sirup, manisan basah, manisan kering dan sebagainya (Satuhu, 1994). Fungsi gula dalam produk bukanlah rasa manis saja meskipun sifat ini penting. Jadi gula bersifat menyempurnakan pada rasa asam dan cita rasa lainnya. Daya larut yang tinggi dari gula, ternyata memiliki kemampuan mengurangi keseimbangan kelembaban relatif (ERH) dan bersifat mengikat air, sehingga gula dipakai dalam pengawetan pangan (Buckle et al., 1987). Penambahan gula dengan konsentrasi tinggi dapat menyerap dan mengikat air sehingga mikroba tidak bebas menggunakan air untuk tumbuh dan
Universitas Sumatera Utara
berkembang pada produk. Mikroba yang paling mengkontaminasi selai adalah kapang dan kamir. Larutan gula yang pekat dapat menyebabkan tekanan osmotik pada sel jasad renik. Air dari dalam sel terserap keluar sehingga kekurangan air dan mengakibatkan jasad renik mati (Astawan et al., 2004). Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan keadaan makanan atau minuman. Gula sederhana, seperti glukosa (yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam), menyimpan energi yang akan digunakan oleh sel. Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula, atau aren. Meskipun demikian, terdapat sumber-sumber gula minor lainnya, seperti kelapa. Sumber-sumber pemanis lain, seperti umbi dahlia, anggur, atau jagung, juga menghasilkan semacam gula/pemanis namun bukan tersusun dari sukrosa (Wikipedia, 2012). Komposisi kimia gula putih disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Komposisi kimia gula putih dalam 100 g bahan Komponen Kalori Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Posfor (mg) Besi (mg) Sumber : Gayo, (1987).
Jumlah 364 94 5 1 0,1
Karagenan Karagenan merupakan bahan pengenyal yang terbuat dari rumput laut. Bahan ini dapat digunakan untuk mengenyalkan bakso, ikan asin, maupun mie sehingga dapat dijadikan alternatife pengganti boraks. Harga karagenan relative murah, hanya sekitar 750-900 rupiah untuk 0,5-1,5 gramnya (Yuliarti, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Karagenan diperoleh dari ekstrak rumput laut merah Chondrus sp., Gigartina sp., dan Eucheuma sp., hingga 86 spesies telah dimanfaatkan. Setiap spesies memiliki polimer karagenan yang beragam, dan hal itu juga tergantung umur rumput laut, musim, dan lain sebagainya. Karagenan larut dalam air, tetapi sedikit larut dalam pelarut-pelarut lainnya, umumnya perlu pemanasan agar karagenan larut semuanya. Kemampuan karagenan membentuk gel dengan ionion merupakan dasar dalam penggunaannya di bidang pangan. Sifat-sifat karagenan yang unik sebagai hidrokoloid adalah reaktivitasnya dengan beberapa jenis protein, khususnya dengan protein susu yang menyebabkan timbulnya sifatsifat yang menjadi alasan banyak penggunaannya dalam pangan (Cahyadi, 2006). Karagenan merupakan polisakarida berantai linear dengan berat molekul yang tinggi. Rantai polisakarida tersebut terdiri dari ikatan berulang antara gugus galaktosa dengan 3,6-anhidrogalaktosa (3,6 AG), keduanya baik yang berikatan dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan dengan ikatan glikosidik α-(1,3) dan β-(1,4). Kappa karagenan tersusun atas α-(1,3) D-galaktosa-4-sulfat danβ-(1,4) 3,6-anhidrogalaktosa. Kappa karagenan mengandung 25% esters ulfat dan 34% 3,6-anhidrogalaktosa. Jumlah 3,6-anhidrogalaktosa yang terkandung dalam kappa karagenan adalah yang terbesar diantara dua jenis karagenan lainnya. Iota karagenan tersusun atas α-(1,3) D-galaktosa-4-sulfat dan β-(1,4) 3,6anhidrogalaktosa-2-sulfat. Iota karagenan mengandung 32% ester sulfat dan 30% 3,6-anhidrogalaktosa. Lambda karagenan tersusun atas α-(1,3) D-galaktosa-2sulfat dan β-(1,4) D-galaktosa-2,6-disulfat. Lambda karagenan mengandung 35% ester sulfat dan hanya mengandung sedikit atau tidak mengandung 3,6 anhidrogalaktosa. Semua jenis karagenan dapat larut pada air panas tetapi hanya
Universitas Sumatera Utara
lambda serta bentuk garam sodium dari kappa dan iota karagenan yang dapat larut dalam air dingin. Kappa karagenan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin sehingga dibutuhkan panas untuk dapat melarutkannya. Lambda karagenan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (Glicksman, 1969). Hanya kappa dan iota karagenan saja yang mampu membentuk gel. Lambda karagenan tidak mampu membentuk gel karena tidak mengandung 3,6 anhidrogalaktosa. Proses pembentukan gel karagenan terjadi ketika larutan panas karagenan
dibiarkan
menjadi
dingin.
Gel
yang
dihasilkan
bersifat
thermoreversible yaitu gel akan mencair jika dipanaskan dan akan membentuk gel kembali bila didinginkan (Glicksman, 1983). Kemampuan membentuk gel dari kappa karagenan dipengaruhi oleh beberapa jenis kation seperti K+, Rb+, dan Cs+. Diantara jenis kation tersebut hanya ion K+ yang memberikan efek terbaik dalam pembentukan gel kappa karagenan. Gel yang dihasilkan kappa karagenan memiliki tekstur yang solid. Iota karagenan dapat membentuk gel jika direaksikan dengan ion Ca2+ dan menghasilkan gel dengan tekstur yang lembut (BeMiller dan Whistler, 1996).
Universitas Sumatera Utara