TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kelompok Kelompok bukan hanya sekedar kumpulan
orang-orang.
Iver dan Page (1961) mengartikan kelompok sebagai
suatu
himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup
ber-
sama.
Soekanto (1987) mempertanyakan apakah setiap him-
punan manusia dapat dinamakan kelompok ?
Menurut Homans
(1950), dan Bonner (1953) kelompok adalah sejumlah orangorang yang saling melakukan interaksi, dan proses interaksi inilah yang membedakan kelompok dengan sekedar kumpulan
orang-orang.
Sejalan
dengan itu,
Lewin (1951),
Fiedler (1967), Cartwright dan Zander (1968), dan Wiriaatmadja (1971) mengemukakan bahwa kelompok adalah kumpulan manusia, dua orang atau lebih, menunjukkan saling ketergantungan, dengan pola interaksi yang nyata. Cartwright dan Zander (1968) beranggapan bahwa, interaksi adalah salah satu bentuk aktual dari saling
ke-
tergantungan dan merupakan unsur utama
ke-
lompok.
terwujudnya
Sherif dan Sherif (1956) mengartikan
kelompok
sebagai suatu unit sosial yang terdiri dari sejumlah individu dengan kedudukan tertentu,
memiliki hubungan pe-
ranan antara satu dengan lainnya, dan seperangkat nilainilai atau norma yang mengatur perilaku anggotanya. McDavid dan
Harari (1968) memandang
kelompok
sebagai
17 suatu sistem pengorganisasian dari dua individu atau lebih,
yang saling mengadakan hubungan memiliki mekanisme
hubungan peranan yang baku dengan seperangkat norma yang mengatur fungsi kelompok dan anggotanya.
Kedua definisi
tersebut walaupun cara memandangnya berbeda, sat perhatiannya adalah sama pada lompok.
Cattel (1951),
tetapi pu-
pengorganisasian
Bass (1960), dan Reitz
ke-
(1977)
mengartikan kelompok bertolak dari terminologi motivasi; dikemukakan bahwa
kelompok merupakan kumpulan
manusia,
terdiri dua orang atau lebih yang saling berhubungan, dengan tujuan pemenuhan kebutuhan masing-masing anggotanya, Pendapat
yang memberikan
dikemukakan
tekanan pada unsur
Gunardi (1976),
yang mengartikan
sebagai dua atau lebih individu,
kesamaan, kelompok
mempunyai beberapa ke-
samaan obyek perhatian, berinteraksi secara mantap, bersama-sama menyusun struktur
dan bekerjasama dalam
men-
capai tujuan. Smith (1945),
Bales (1950),
mengemukakan unsur persepsi,
maupun
Thelen (1959)
dan tindakan bersama untuk
membedakan anggota dan bukan anggota kelompok, an
Berkait-
dengan konsep-konsep tersebut Hare (1962) memberikan
ciri-ciri yang membedakan kelompok dengan sekedar kumpulan orang-orang.
Ciri-ciri tersebut adalah (1) para ang-
gota kelompok mengadakan interaksi satu sama lain
dalam
18 kelompok, (2) mempunyai tujuan
yang memberi arah
gerak
kelompok dan anggotanya untuk mencapainya, (3) membentuk norma-norma yang mengatur ikatan dan aktivitas (4) mengembangkan status dan peranan,
serta
jaringan ikatan perorangan dalam kelompok.
anggota, (5) adanya
Sedangkan Ho-
mans (1950) mengemukakan tentang teori kelompok berdasar hasil analisis tipe kelompok kecil, yakni (1) interaksi, (2) sentimen, (3) aktivitas dan (4) kedudukan dalam sis-
tem eksternalnya. White dan Lippitt (Cartwright dan Zander, 1968) memberikan saran bahwa untuk mempelajari kehidupan kelompok sebagai suatu konsepsi,
hendaknya ditekankan pada aspek
(1) interaksi, (2) struktur, (3) kekompakan, (4) aktivi-
tas
dan (5) kepemimpinan.
Unsur-unsur yang dikemukakan
tersebut mencerminkan perilaku kelompok.
Jenis-jenis Kelompok Olmsted (1959), dan Cooley (Gerungan, 1972) memandang kelompok dari tingkat keeratan hubungan kebersamaan dan
membedakannya menjadi (a) kelompok primer,
kelompok sekunder.
dan (b)
Lebih lanjut dikemukakan, bahwa yang
dimaksud : (a) Kelompok Primer adalah kumpulan orang-orang yang saling kenal-mengenal satu sama lain,
sering bertemu
19 tatap muka bergaul akrab dalam waktu yang cukup lama, kerjasama tanpa perantara dan berbagi perasaan. (b) Kelompok Sekunder
adalah kumpulan orang-orang yang
jarang bertemu tatap muka, berhubungan hanya sepintas atau dengan perantara, dan kurang keakrabannya. Pendapat Olmsted
dan Colley,
dibantah oleh
Davis
(1960) bahwa hubungan saling kenal, sering bertemu tatap muka, belum cukup menerangkan persyaratan penting adanya kelompok primer.
Sebagai persyaratan yang sangat
pen-
ting adalah (a) anggota-anggota kelompok berdekatan, dan saling
mengenal secara fisik
dan psikis,
(b) kelompok
itu kecil, dan (c) ada kelanggengan hubungan. Dari proses pembentukan dan strukturnya, Soedijanto ( 1980)
, maupun
~ardikanto( 1993 ) membedakan (a) kelompok
formal, dan (b) kelompok informal.
Makna
dari
konsep-
dibentuk dengan menqikuti
pedoman
konsep tersebut adalah sebagai berikut : (a) Kelompok Formal
atau aturan-aturan tertentu,
serta memiliki struk-
tur jelas yang menggambarkan kedudukan, dan peranan masing-masing individu yang menjadi anggotanya, dan pembentukan kelompok tersebut sering dinyatakan dengan tegas secara tertulis (Shaw, 1979). (b) Kelompok Informal dibentuk tanpa melalui tertentu,
struktur
dan pembagian tugas
ketentuan pada para
20
anggota tidak pernah diatur secara jelas.
Kelompok
yang demikian biasanya terbentuk karena adanya pertemuan-pertemuan yang terjadi berulangkali, dan berdasar pengalaman yang sama, dan kepentingan yang sama pula (Soedijanto, 1980). Berdasarkan bentuk hubungan antar anggotanya mencapai tujuan bersama, kan kelompok menjadi
dalam
Margono Slamet (1978) membeda-
(a) kelompok interacting,
(b) ke-
lompok coacting, dan (c) kelompok counteracting. (a) Kelompok interacting merupakan kelompok yang pencapaian tujuan menuntut adanya kerjasama
dalam antara
para anggotanya.
Kelompok ini menuntut adanya rasa
kesetiakawanan,
saling menghargai, saling menjaga,
saling memuaskan.
Kegiatan setiap anggotanya
akan
mempengaruhi seluruh anggota yang lain, yang menentukan keberhasilan (Kinneberg, 1954;
atau kegagalan tujuan
kelompok
Thibaut dan Kelly, 1959).
(b) Kelompok coacting berbeda dengan
kelompok interac-
ting tujuan kelompok hanya dapat dicapai dengan baik, apabila masing-masing anggota melaksanakan
tu-
gas
dan
sesuai dengan peran yang telah ditetapkan
menunjukkan prestasi sebaik-baiknya,
masing-masing
anggota tidak harus bekerjasama dengan anggota yang lain (Vinanche et al., 1973).
21
(c) Kelompok counteracting berlawanan
dengan
kelompok
interacting, untuk mencapai tujuan kelompok
justru
para anggotanya harus saling bersaing (Krech et al. 1962; Zimbardo dan Ruch, 1975). Miles (1959) menggolongkan kelompok dilihat dari tujuan bersama yang ingin dicapai, dibedakan dalam (a) kelompok sosial, dan (b) kelompok tugas : (a) Kelompok Sosial : Dilihat dicapai,
dari tujuan yang
ingin
kelompok sosial lebih menekankan pada pe-
menuhan fungsi-fungsi sosial,
seperti mencapai ke-
senangan atau kesehatan rohani (Bertrand, 1974). (b) Kelompok Tugas : Berdasarkan tujuan yang ingin
di-
capai kelompok tugas lebih menekankan pada penyelesaian tugas-tugas, dalam jangka waktu tertentu (Miles, 1959). Jenis-jenis kelompok tersebut merupakan bentuk ide-
al.
Dalam kehidupan sehari-hari hubungan
kelompok
masing-masing
dalam setiap penggolongan tersebut
merupakan
suatu garis kontinum, sehingga akan ditemui jenis kelompok yang letaknya berada di antara keduanya. kelompok ini
mempunyai arti penting
dengan pembinaan,
dalam
Pembedaan hubungannya
sebab caranya masing-masing berbeda.
Misalnya, pembinaan kelompok interacting perlu
menekan-
kan pada kesamaan-kesamaan yang mengarah pada kerjasama.
22
Pembinaan kelompok coacting yang harus ditingkatkan adalah kemampuan atau prestasi dari masing-masing anggota. Dinamika Kelompok Konsep dinamika kelompok sering digunakan dalam makna yang berbeda.
Bagi para ahli ilmu sosial konsep
di-
namika kelompok diartikan sebagai bidang studi yang mempelajari gerak atau kekuatan dalam kelompok, yang menentukan perilaku kelompok dan anggotanya. tisi,
dinamika kelompok digunakan
kualitas cepderung
Bagi para prak-
untuk menunjuk
pada
suatu kelompok dalam mencapai tujuannya,
jadi
ditujukan untuk mengukur
tingkat keefektifan
kelompok dalam mencapai tujuan (Margono Slamet, 1981). Mengapa dinamika
kelompok
dipandang sebagai
cara
pendekatan yang efektif, dalam upaya pemberdayaan petani ke arah kemandirian dan ketangguhan berusahatani ?
Se-
tiap kelompok pada dasarnya mempunyai dinamika, yang berbeda adalah tingkatannya, dinamikanya dari yang lain.
yang satu dapat lebih
tinggi
Menurut Beal et al. (1962),
dan Cartwright dan Zander (1968),
dinamika kelompok se-
bagai pengetahuan yang mengkaji kehidupan kelompok, yakni menganalisis cara-cara mengorganisir, mengelola, serta pengambilan keputusan dalam kelompok.
Berkaitan
de-
ngan ha1 itu Homans (1950) mengartikan dinamika kelompok
23
dengan menekankan pada analisis hubungan-hubungan
dalam
kelompok, berdasar prinsip bahwa perilaku kelompok merupakan hasil interaksi dinamis di antara para anggota. Bradford et al.
(1964) membuktikan bahwa
melalui
dinamika kelompok seseorang akan dapat diubah atau ubah
konsepsi dan perilakunya,
ber-
karena adanya interaksi
Sejalan dengan pendapat ter-
diantara sesama anggotanya.
sebut, Jenkins (1961) mengemukakan bahwa dinamika kelompok merupakan kekuatan atau gerak yang terdapat di dalam kelompok, yang menentukan atau berpengaruh terhadap perilaku kelompok dan perilaku para anggotanya dalam
menca-
pai tujuan bersama, Menurut pengamatan Etzioni (1985) suatu akan memiliki berhasil
efektivitas yang tinggi,
mencapai tujuannya.
(1953) mengemukakan bahwa
organisasi
jika organisasi
Sejalan dengan itu Bonner
dinamika kelompok
diwujudkan
oleh unsur-unsur yang rnenyebabkan suatu kelompok itu hidup,
bergerak, aktif dan efektif dalam mencapai
tujuan
yang produktif, Unsur-unsur tersebut mencakup berbagai peranan yang perlu dilaksanakan oleh mereka yang menempati posisi tertentu dalam sruktur kelompok, yakni pengurus inti maupun para anggotanya.
24
Peranan adalah tindakan atau perilaku yang perlu dilaksanakan oleh seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam suatu struktur sosial (Margono Slamet, 1985).
Pen-
dapat tersebut sejalan dengan Katz dan Kahn (1966), yang menggambarkan peranan dan kedudukan sebagai dua sisi dari satu mata uang yang sama, namun merupakan dua konsepsi terpisah.
Pareek (1985) mengemukakan bahwa
posisi
atau kedudukan pada dasarnya merupakan konsepsi relasional yang
berkaitan dengan kekuasaan,
sedangkan peranan
merupakan konsepsi kewajiban yang berkaitan dengan posisi atau kedudukan.
Sekelompok perilaku yang
diharapkan
dari suatu peranan disebut fungsi. Berdasarkan pada konsep-konsep tersebut, tarik suatu kesimpulan,
dapat di-
bahwa kelompok akan menjadi di-
namis apabila mereka yang menempati posisi dengan peranan
tertentu dalam suatu struktur kelompok
berbagai fungsi
fungsinya
dalam
melaksanakan
pencapaian tujuan.
yang perlu dilaksanakan oleh mereka yang
Berbagai mendu-
duki suatu posisi dengan peranan tertentu dalam struktur kelompok tersebut, merupakan unsur-unsur yang menjadikan suatu kelompok hidup,
dan menjadi dinamis atau efektif.
Dengan demikian untuk menentukan kedinamisan kelompok,
perlu terlebih dahulu mengetahui unsur-unsur dina-
mika
tersebut.
Dalam kajian ini
akan digunakan
cara
25
pendekatan psikologi sosial. a1 lebih
memusatkan perhatiannya pada fungsi (Bertrand,
1974) dan proses sosial dalam 1967). pat
Pendekatan psikologi sosi-
bentuk perilaku (Loomis,
Melalui pendekatan tersebut, diharapkan lebih da-
memberikan gambaran mengenai peranan kelompok
yang
menjadi pusat perhatian penelitian ini.
Unsur-unsur Dinamika Kelompok Menilai dinamika kelompok berarti menilai
kekuatan
atau gerak yang terdapat di dalam kelompok yang menentukan perilaku kelompok tujuan.
dan anggotanya, dalam
pencapaian
Kekuatan-kekuatan tersebut ditinjau dari pende-
katan psikologi sosial,
seperti dikemukakan Beal e t al.
(1962), Cartwright dan Zander (1968), dan Margono Slamet (1978) berasal dari unsur-unsur (1) tujuan kelompok, (2) struktur kelompok, lompok,
(3) fungsi tugas,
(5) kekompakan kelompok,
(4) pembinaan ke-
(6) suasana kelompok,
(7) tekanan pada kelompok dan (8) keefektifan kelompok : (1) Tujuan K e l o n p k : Cartwright dan Zander (1968) mengemukakan
bahwa tujuan
kelompok merupakan Sejalan
hasil
yang ingin dicapai
oleh kelompok.
pendapat tersebut,
Hays dan Bush (1954), dan Bar-
ker et a l . (1987) mengatakan bahwa tujuan
dengan
kelompok
adalah hasil akhir yang ingin dicapai kelompok
dan
26 merupakan unsur-unsur yang mendorong seseorang masuki
Menurut Margono Slamet
kelompok.
me-
(1981),
tujuan kelompok tidak saja mempunyai fungsi sebagai sumber utama yang membangkitkan motivasi, tetapi juga merupakan petunjuk bagi para anggota kelompok dalam mencapai tujuan.
Berkaitan dengan ha1 tersebut,
Cartwrigt dan Zander (1968) menekankan bahwa kejelasan tujuan kelompok akan sangat berpengaruh aktivitas Sejalan
anggota dalam mencapai
dengan
pada
tujuan kelompok.
pendapat tersebut,
Margono Slamet
(1989) mengemukakan bahwa kejelasan
dan formalitas
tujuan kelompok akan mempengaruhi kedinamisan kelompok, sebab tujuan yang tidak jelas dan tidak formal akan menyebabkan kekaburan bagi anggota, memotivasi anggota untuk bertindak.
Anggota kelom-
pok tidak tahu arah dan kegiatan kelompok ha1
yang harus dilakukan,
dan tidak
dan hal-
sehingga tujuan sebagai
salah satu unsur dinamika kelompok menjadi lemah. Tujuan yang terlalu abstrak,
dan berjangka panjang
untumnya kurang mampu memotivasi anggota untuk capainya.
Suyatna (1982) membuktikan
men-
bahwa tujuan
kelompok sebagai salah satu unsur dinamika kelompok, menjadi semakin kuat apabila tujuan kelompok kin
mendukung tujuan
para anggota dalam
sema-
memenuhi
27
kebutuhannya.
Keadaan yang ideal,
kelompok searah dengan
apabila tujuan
tujuan anggota.
Berkaitan
dengan ha1 tersebut, Adjid (1985) mengakui bahwa kebutuhan
dari masing-masing individu umumnya
tidak
identik, baik dalam jenis, bobot, maupun mutunya sehingga
perlu adanya pengintegrasian
tujuan-tujuan
individual dalam tujuan kelompok. Dikaitkan dengan ha1 itu Margono Slamet (1981) berpendapat
bahwa kelompok harus
dapat memberikan
kesempatan kepada anggota-anggotanya untuk siatif memberikan gagasan dan pemikiran, ngolah menjadi tindakan nyata. mukakan bahwa sumber inisiatif,
berini-
serta me-
Lebih lanjut
dike-
gagasan dan
pemi-
kiran, serta pengambilan keputusan, jangan hanya ditentukan oleh pemimpin atau fihak-fihak di luar kelompok. nyuluh
Demikian
pula kecenderungan
dominasi pe-
dalam pengambilan keputusan kelompok, tidak
akan membantu
kedinamisan kelompok,
menimbulkan ketergdntungan kelompbk
tetapi justru pada penyuluh.
(2) S t r u k t u r Kelompok : Untuk menggerakkan,
mengatur,
dan mengendalikan kegiatan-kegiatan kelompok diperlukan adanya struktur.
Gerungan (1972) menyatakan
bahwa struktur kelompok merupakan susunan hierarkis mengenai hubungan-hubungan, berdasarkan peranan dan
28
status antara masing-masing anggota kelompok mencapai tujuan.
dalam
Sejalan dengan pendapat tersebut,
Cartwright dan Zander (1968) menyatakan bahwa struktur kelompok adalah bentuk hubungan antara individu di dalam kelompok,
yang disesuaikan
dan peranan masing-masing individu. pok dapat disusun secara formal, secara informal.
dengan posisi Struktur kelom-
tetapi dapat pula
Pada kelompok formal pembagian tu-
gas, norma-norma, dan mekanisme
kerja
disusun de-
ngan jelas dan tertulis, sehingga semua anggota mengetahui.
Pada kelompok yang strukturnya tidak di-
tetapkan secara formal dan tertulis, tetap memiliki dinamika sepanjang masing-masing
anggota menyadari
dan melaksanakan tugas dengan baik. Margono Slamet (1978) mengemukakan bahwa struktur kelompok adalah cara bagaimana kelompok
menga-
tur dirinya sendiri untuk mencapai tujuan yang
di-
inginkan.
ha1
Lebih lanjut dikatakan bahwa banyak
yang menentukan bentuk struktur,
tetapi yang utama
adalah menyangkut : (a) struktur kekuasaan atau pengambilan keputusan,
(b) struktur tugas/ pembagian
pekerjaan, (c) struktur komunikasi yaitu bentuk dari
aliran komunikasi yang terjadi dalam
dan (d) wahana untuk terjadinya interaksi.
kelompok,
29 (3)
Fungsi Tugas : Menurut
Soedijanto (1981), fungsi
tugas adalah segala ha1 yang harus dilakukan kelompok yang berorientasi pada pencapaian tujuan. Margono Slamet (1978) memberikan beberapa
kriteria
yang dapat digunakan untuk mengkaji fungsi tugas kelompok, yakni
(a) adanya kepuasan di kalangan ang-
gota karena tercapainya tujuan-tujuan kelompok maupun tujuan pribadi;
(b) para anggota selalu menda-
patkan informasi baru sehingga mereka selalu
dapat
meningkatkan berbagai tujuan yang ingin dicapainya, dan dapat meningkatkan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut; karena ada
(c) kesimpang siuran
koordinasi yang baik;
dapat dicegah
(d) para anggota
selalu bergairah untuk berpartisipasi karena selalu ada motivasi; (e) komunikasi di dalam ik dan lancar;
kelompok ba-
(f) kelompok selalu memberikan pen-
jelasan kepada para anggotanya bila mereka
mengha-
dapi situasi yang membingungkan. (4)
Pembinaan Kelompk : Miles (1959) dan Beal et a l . (1962) mengartikan pembinaan kelompok sebagai upaya
untuk tetap memelihara dan mengembangkan
kelompok,
yakni berusaha memelihara tata kerja kelompok, mengatur, memperkuat dan memgekalkan kehidupan kelompok.
Margono Slamet
(1978) menawarkan
kriteria
30
kinerja kelompok yang dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan pembinaan dalam melestarikan
kehi-
dupan kelompok, yakni (a) kelompok selalu meningkatkan partisipasi anggota; menjadi
(b) semua anggota
bagian dari kelompok;
merasa
(c) kelompok selalu
mengusahakan adanya kegiatan-kegiatan yang melibatkan anggota serta menyediakan fasilitas yang diperlukan; (d) melakukan koordinasi, pengawasan, dan kelancaran komunikasi agar tidak terjadi kesirnpangsiuran dalam pelaksanaan tugas; (e) mendapatkan anggota baru, membinanya agar menjadi anggota yang baik. ( 5 ) Kekompakan Kelompok : Tujuan-tujuan kelompok
yang
harus dicapai bersama akan benar-benar dapat dicapai bila semua anggota mengarah ke tujuan yang sama. Untuk itu para
perlu adanya rasa keterikatan
anggota kelompok.
Tingkat
di antara
keterikatan
yang
berbeda-beda, menyebabkan tingkat kekompakan kelompok berbeda.
Menurut Schachter (Cartwright dan Zan-
der, 1968) kekompakan kelompok akan mempengaruhi moral kelompok, perasaan kesetiakawanan, keterlibatan dalam berbagai kegiatan, dan semangat untuk
menca-
pai produtivitas kelompok.
(1978)
Margono Slamet
mengatakan bahwa kekompakan kelompok adalah perasaan keterikatan anggota terhadap kelompok
atau rasa
31
memiliki kelompok.
Selanjutnya ditunjukkan bebera-
pa faktor yang dapat mempengaruhi kekompakan kelompok, yakni :
(a) ada tidaknya rasa kebersamaan dan
saling memiliki antara pemimpin dan para anggota kelompok,
(b) pandangan anggota terhadap nilai-nilai
yang melekat pada tujuan yang ingin dicapai, (c) homogenitas dalam berpartisipasi dan keterpaduan
da-
lam pelaksanaan kegiatan kelompok, dan (d) jiwa serta semangat kerjasama yang tinggi di antara ta.
anggo-
Schachter (Cartwright dan Zander, 1968) berang-
gapan bahwa faktor yang mempengaruhi kekompakan kelompok adalah pada daya tarik. Back (1951) mengungkapkan adanya tiga daya tarik yang mendorong seseorang untuk bergabung
dalam
kelompok, yakni (1) daya tarik pribadi, (2) daya tarik terhadap tugas, dan (3) daya tarik untuk mendapatkan prestise.
Dari sisi yang berbeda Soedijanto
(1980) melihat kekompakan kelompok dari tingkat solidaritas anggota, dikemukakan bahwa kekompakan kelompok merupakan kesatuan kelompok yang dipengaruhi oleh tanggung jawab para anggotanya untuk
melaksa-
nakan hal-ha1 yang telah disepakati bersama.
Besar-
nya tanggung jawab akan ditentukan oleh tingkat solidaritas
para anggotanya.
Kelompok
yang
jumlah
32
anggotanya relatif banyak, biasanya tingkat solidaritas antara sesama anggota menjadi rendah. da dengan pendapat Soedijanto, yang menentukan
Berbe-
menurut Shaw (1979)
kekompakan kelompok adalah
adanya
interaksi anggota, produktivitas kelompok dan kepuasan anggota. (6) Suasana Kelompok : Beal et al. (1962) mengemukakan bahwa
ling-
suasana kelompok adalah suasana dalam
kungan
kelompok bersifat fisik maupun mental
yang
mempengaruhi perasaan senang atau tidak senang pada anggota kelompok.
Sejalan dengan pendapat tersebut
Bhatnagar dan Dahama
(1980),
mengungkapkan
bahwa
lingkungan fisik dan nonfisik yang mempengaruhi perasaan setiap anggota akan berpengaruh terhadap kelompok.
Berbeda dengan kedua konsep tersebut, Mar-
gono Slamet (1989) mengungkapkan bahwa suasana
ke-
lompok pada dasarnya merupakan keadaan moral, sikap dan perasaan-perasaan yang terdapat di dalam kelompok.
Sebagai indikatornya dapat dilihat pada sikap
anggota, mereka itu bersemangat atau sebaliknya apatis
terhadap kegiatan dan kehidupan kelompok.
lompok menjadi semakin dinamis jika anggota
Ke-
kelom-
pok semakin bersemangat dalam kegiatan dan kehidupan kelompok.
Suasana kelompok itu dipengaruhi oleh
33
berbagai ha1 di antaranya adalah hubungan antara para anggota kelompok, kebebasan berpartisipasi, dan lingkungan fisik. (7) Tekanan Kelompok : Tekanan ada kelompok yaitu sega-
la sesuatu yang dapat menimbulkan ketegangan atau tantangan pada kelompok. Margono Slamet (1978) meyakini bahwa tekanan itu perlu
untuk
menumbuhkan
kedinamisan, tetapi tekanan yang terlalu kuat juga dapat mematikan kedinamisan. Tekanan yang dapat meningkatkan atau melemahkan motivasi dapat berasal baik dari dalam kelompok sendiri ataupun dari luar. Cartwright dan Zander (1968) menyatakan bahwa
ke-
lompok dapat memberikan tekanan kepada para anggotanya melalui nilai-nilai
tertentu yang mengikat
perilaku anggota dalam kehidupan berkelompok.
Se-
makin dirasakan sistem penghargaan ataupun hukuman karena penerimaan atau pelanggaran terhadap nilainilai tersebut, akan semakin dirasakan tekanan pada kelompok.
Tekanan akan memberikan dorongan bertin-
dak untuk mencapai tujuan kelompok, sedangkan tekanan yang berasal
dari luar dapat muncul
sendiri
atau dicari dalam bentuk tantangan untuk peningkatan prestasi atau kritik dari luar kelompok.
34
(8) Keefektifan Kelompok : Schachter et al. (1951) menggunakan istilah produktivitas kelompok, yang maknanya
disamakan dengan konsep
efektivitas kelompok.
Mereka mengartikan secara khusus bahwa
produktivi-
tas kelompok sebagai keluaran kelompok per kesatuan waktu.
Secara umum
produktivitas kelompok diarti-
kan sebagai (1) mutu hasil kelompok,
(2) kecepatan
dan efisiensi dari gerak kelompok dalam mencapai tujuan, dan (3) tingkat realisasi potensi kelompok. Lewin et al. (1939) menawarkan kriteria untuk ngukur keefektifan kelompok,
me-
yakni : (1) efisiensi
biaya, (2) menggerakkan kelompok,
(3) menekan
ke-
mungkinan terjadinya kesalahan, (4) memberikan ganjaran dan kepuasan kepada anggota, (5) menjaga lestarian kehidupan kelompok, mutu hubungan interpersonal.
ke-
dan (6) meningkatkan Margono Slamet (1978)
menyatakan bahwa efektivitas kelompok mempunyai pengaruh timbal-balik dengan dinamika kelompok. Dinamika kelompok dapat diukur dari keefektifan kelompok mencapai tujuan, walaupun tujuan itu sendiri merupakan salah satu unsur dari dinamika.
Selanjut-
nya Margono Slamet mengatakan bahwa efektivitas kelompok dapat dilihat dari tiga segi, sil
yang dicapai kelompok dipakai
yakni (1) ha-
untuk
mengukur
35
produktivitas kelompok, (2) keadaan moral atau mangat,
dan (3) sikap para anggota
kepuasan anggota.
se-
untuk mengukur
Ketiga faktor tersebut
biasanya
dalam keadaan tumpang tindih sehingga dapat terjadi tujuan kelompok
tercapai karena produktivitas
me-
ningkat, tetapi anggota tidak puas karena peningkatan pendapatan sebagai tujuan pribadi belum tercapai. Pendekatan psikologi sosial beranggapan apabila kedelapan
fungsi kelompok
tersebut
dilaksanakan
efektif, maka dapat dikatakan kelompok memiliki
dengan kedina-
misan yang tinggi. Kelompok Petani
Mosher (1966) mengemukakan bahwa salah satu
syarat
pelancar dalam pembangunan pertanian adalah adanya jasama kelompok petani.
ker-
Menurut Abbas (1995) pengelom-
pokan petani di Indonesia telah mulai sejak zaman penjajahan Belanda, di Jawa Barat dengan nama saat itu Tani dan di Jawa Timur dengan nama Kring Tani. macam
kelompok petani yang
pernah dibentuk
Rukun
Berbagai dan dikem-
bangkan di Indonesia antara lain pada tahun 1961 sejalan dengan gerakan swasembada beras maka dibentuk "Organisasi Gerakan Swasembada Berasw (OPSSB). pulan
Petani Pemakai Air
(P3A)"
Kemudian "Perkurn-
dan "Kelompok
Petani
36
Demonstrasi Area."
Akhirnya sejak tahun 1976 dengan di-
laksanakannya "Proyek Penyuluhan Tanaman Pangan*' dan dilaksanakannya sistem kerja "Latihan dan Kunjunganl*dalam penyuluhan pertanian,
maka kerjasama antar petani
pada
satu wilayah hamparan yang sama kemudian dibakukan sebagai "Kelompok Tani Hamparan" (Soewardi H., 1980). Berbagai kelompok
petani yang pernah dibentuk
dan
dikembangkan tersebut, oleh Hadisaputro (1978) dibedakan menjadi dua bentuk kelompok petani yang didasarkan wilayahnya,
pada
yakni (1) kelompok petani hamparan dan
kelompok petani domisili.
(2)
Kelompok-kelompok petani yang
sejak semula telah terbentuk menjadi bagian
dari kedua
penggolongan tersebut. Secara konsepsional kelompok tani, gai kumpulan
petani yang terikat secara informal
suatu wilayah kelompok, tuhan
diartikan seba-
bersama serta
dalam
atas dasar keserasian dan kebu-
berada di lingkungan pengaruh
dan
pimpinan seorang kontaktani. Menurut Abbas (1995), Kontaktani dalam sebagai pemimpin kelompok, mempunyai fungsi
peranannya mengorgani-
sir, menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan kelompoknya. pembangunan
Kontaktani sebagai
pembaharu
di desanya, berfungsi sebagai
kegiatan
dan pelopor mitra
kerja
37
penyuluh pertanian, karsa.
dan membantu sebagai penyuluh
Kontaktani sebagai ketua
swa-
kelas belajar,
mempu-
nyai fungsi menampung, menggali dan menyampaikan
keper-
luan belajar para anggotanya.
Kontaktani adalah petani
yang mempunyai sikap sangat positif terhadap pembaharuan teknologi pertanian, memiliki tanggung jawab sosial, dinamika, inisiatif kemasyarakatan dan penggerak pembaharuan teknologi (Anonim, 1980). Kelompok tani terbentuk melalui suatu proses interaksi informal para
petani,
dengan pengakuan dari
para
tokoh pemimpin formal maupun informal masyarakat desa setempat.
Pengaruh mereka ini terhadap kedinamisan kelom-
pok dan
kepemimpinan kelompok sangat besar.
Menteri Pertanian No. 881/Kpts/OT.210/ kan bahwa
Sesuai SK.
12/1988
ditetap-
kelompok tani berperan dan berfungsi
sebagai
unit produksi usahatani, kelas belajar dan wahana kerjasama antara adalah
kelompok dengan
organisasi informal.
pihak lain.
Kelompok tani
Namun berdasar
pengamatan
Margono Slamet (1995) kelompok-kelompok tersebut sebagian
dibentuk dari atas,
media
dan hanya dimanfaatkan
sebagai
komunikasi untuk
menyampaikan pesan-pesan pemba-
ngunan dari pemerintah.
Meskipun kelompok tani batasan-
nya sebagai kelompok informal, tetapi dalam perkembangannya telah menjadi suatu tatanan berstruktur hirarki yang
38 menetapkan
adanya alokasi fungsi, tugas,
tanggung jawab
para anggotanya dalam
yang telah ditetapkan bersama.
wewenang
dan
pencapaian tujuan
Situmorang (1982) mencon-
tohkan bahwa organisasi kelompok tani Insus pada umumnya mempunyai susunan pengurus yang terdiri atas
Ketua, Se-
kretaris, Bendahara, dan Anggota pembantu yang sebagai pimpinan kelompok.
berperan
Untuk penyelenggaraan kegiat-
an teknis dibentuk Regu Kerja untuk menangani bidang pekerjaan tertentu, di samping ada pembagian hamparan yang menjadi tanggung jawab pengawasan seorang petugas seksi. Mardikanto (1983) menyatakan bahwa
kelompok
tani
secara konsepsional bukan lagi kelompok informal, tetapi lebih tepat disebut kelompok formal.
Secara
sosiologis
Rusidi (1978) menyimpulkan bahwa kelompok tani yang
se-
mula merupakan kelompok sosial berkembang menjadi kelompok tugas. Keberhasilan kelompok tani berintensifikasi nian
diukur dengan sepuluh jurus kemampuan
perta-
berkelompok
yang merupakan perwujudan dari perilaku dinamis kelompok (Adjid, 1985).
Soelbijati Soebroto (1989) mengemukakan
bahwa kriteria kemampuan kelompok, meliputi (1) daya serap dan pemanfaatan informasi, (2) perencanaan kegiatan, (3) kerjasama, (4) pengadaan dan pengembangan sarana ker-
ja, (5) kemampuan memupuk modal, (6) menaati perjanjian,
39
(7) mengatasi
hal-ha1 darurat,
(9) hubungan kelompok dengan KUD,
(8) pengembangan kader,
dan (10) tingkat pro-
duktivitas usahatani. Berdasar tingkat kemampuan berintensifikasi
terse-
but, kelompok tani dibedakan menjadi empat strata
yakni
kelompok tani pemula, lanjut, madya dan utama. Fungsi Kepemimpinan Margono Slamet (1981) mengemukakan bahwa pertumbuhan
dinamika kelompok
akan dipengaruhi oleh
lingkungan
sosial dari kelompok tersebut, terutama pengaruh pimpinan
formal dan informal cukup besar dalam memberikan pe-
ngakuan terhadap kelompok dan kepemimpinan kelompok. Dalam sosial,
pengkajian kepemimpinan dari segi
psikologi
terdapat dua pendekatan yang pada dasarnya men-
dasarkan pada (a) fungsi pemimpin, dan (b) karakteristik individual
(Cartwright dan Zanders,
Jones, 1980).
1968;
Hare, 1976;
Pendekatan pertama, orang berasumsi bahwa
keberhasilan seorang pemimpin akan muncul dalam sosial tertentu.
konteks
Kemampuan menyeimbangkan atau menyela-
raskan potensi yang ada dalam kelompok,
menentukan
berhasilan seorang pemimpin (Muhadjir, 1967).
ke-
Suatu pe-
ranan mungkin diperlukan pada situasi tertentu,
dan pe-
ranan lain mungkin diharapkan dalam situasi yang berbeda.
40
Kemampuan seseorang melaksanakan fungsi tertentu secara sadar dan tepat, tidak konvensional, memodifikasikan sistem sosialnya pada konteks perubahan sosial
yang
dihadapi cenderung menjamin keberhasilan seseorang dalam memerankan kepemimpinan.
Berdasar uraian tersebut fung-
si kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi : (1) fungsi tanggap terhadap inovasi, (2) fungsi pembinaan, fungsi mengarahkan.
dan (3)
Ketiga fungsi tersebut diasumsikan
sebagai faktor yang menentukan kinerja kepemimpinan seorang
se-
.
Pada pendekatan yang kedua, keberhasilan
seorang pemimpin
orang berasumsi
berhubungan
bahwa
erat dengan
karakteristik tertentu yang dimilikinya, seperti intelegensi, kestabilan emosi, percaya diri dan sifat lainnya. Kepemimpinan
kadangkala diartikan
sebagai fungsi
yang
harus dilaksanakan dalam organisasi atau kelompok, sebab kepemimpinan itulah yang setiap kali mengambil keputusan tentang
hal-ha1 yang
harus dilakukan
atau kelompok (Fiedler, 1967).
oleh
organisasi
Sejalan dengan
pendapat
tersebut, Hemphill (1954), dan Margono Slamet (1989) mengartikan kepemimpinan sebagai pengambilan prakarsa bertindak yang menghasilkan suatu pola interaksi yang tap dalam rangka memecahkan masalah bersama atau pai tujuan-tujuan bersama.
man-
menca-
Terry (1960) menyatakan bahwa
41 kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk ngaruhi
orang lain,
untuk mencapai tujuan.
mempe-
bekerja keras dengan penuh kemauan Sejalan dengan pendapat tersebut,
Hersey dan Blanchard (1977) menekankan bahwa kepemimpinan terjadi bila dalam situasi tertentu seseorang
mempe-
ngaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan kelompok.
Berbeda dengan pendapat tersebut,
atau
Cartwright
dan Zander (1968) mengartikan kepemimpinan sebagai kegiatan yang membantu kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Lippitt dan White (1969) berkesimpulan bahwa
kepe-
mimpinan merupakan faktor yang mewarnai kinerja kelompok, sedangkan
Likert (1953) mengungkapkan
adanya hubungan
yang erat antara kepemimpinan, dan efektivitas kelompok. Pendapat-pendapat tersebut di atas belum memberikan kriteria karakteristik pemimpin. menawarkan
kriteria karakteristik
Margono Slamet (1989) yang harus
dimiliki
setiap pemimpin, yaitu : (1) memiliki empati, (2) menjadikan dirinya sebagai bagian dari kelompoknya, (3) penuh pertimbangan pada orang lain, (4) lincah dan penggembira, dan
(5) memiliki kestabilan emosi.
(Wahjosumidjo, 1984;
Ki
Soekanto, 1987;
Hajar Dewantoro dan
Mardikanto,
1993) memberikan tiga kriteria yang harus dilakukan oleh setiap pemimpin,
kriteri tersebut yakni
(a) Ing ngarso
42
sung tulodho, (b) Ing madyo mangun karso, dan (c) Tut wuri handayani :
(a) Ing ngarso sung tulodho,
artinya bila di depan
memberi keteladanan, sehingga perilaku, ucapan, dan tindakannya selalu
dapat dijadikan
contoh
yang baik bagi anggota dan lingkungannya. (b) Ing madyo mangun karso,
artinya mau terjun
tengah-tengah anggotanya,
di
merasa senasib sepe-
nanggungan, sanggup memggugah dan membangkitkan gairah semangat kerja, semangat juang, dan etos kerja yang tinggi. (c) Tut wuri handayani, artinya pada saat-saat tertentu
sanggup berdiri di belakang
untuk
memberi kesempatan,
anggotanya agar mau, tusan yang tepat,
memberdayakan para
dan mampu mengambil kepu-
berprakarsa dan memiliki ke-
percayaan diri untuk bertindak, agar tindakannya
anggotanya,
serta
tidak menyimpang
menjaga
dari norma-
n o m a yang ada. Konsep
tersebut
secara keseluruhannya
mengandung
makna bahwa dalam menjalankan kepemimpinan, maka seorang pemimpin tidak harus selalu di depan, dan memaksakan kehendaknya kepada mereka yang dipimpin.
Pemimpin hendak-
nya memberikan kesempatan dan kebebasan sebesar-besarnya
43
kepada para anggota keberanian
bertindak,
keputusan-keputusan dihadapi.
untuk lebih mengembangkan dan berinisiatif
kemauan,
dalam
membuat
yang berkenaan dengan masalah
yang
Sejalan dengan pendapat tersebut Yusuf (1988)
memberikan kriteria kepemimpinan kelompok
yang efektif,
yakni bila pemimpin menunjukkan kemampuan
untuk :
(1) Membuat orang lain menjadi kuat,
dalam arti
mampu
mempengaruhi, dan menentukan masa depannya. (2)
Menumbuhkan kepercayaan anggota pada diri pemimpin.
(3)
Membantu, memupuk, dan menumbuhkan hubungan sama antar sesama anggota kelompok
kerja-
dan fihak lain.
(4) Memecahkan konflik yang timbul dalam kelompok. (5) Mendorong berkembangnya perilaku dan cara
berpikir
yang berpedoman dan mengarah pada pencapaian tujuan yang telah disepakati bersama. Untuk maksud tersebut Margono Slamet (1989) menunjukkan fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan setiap
pe-
mimpin, yakni (a) menganalisis organisasi dan tujuannya, (b) menentukan struktur dan mekanisme kerja, (c) mengam-
bil prakarsa, (d) pencapaian tujuan, (e) menyediakan fasilitas untuk komunikasi, (f) menumbuhkan rasa kesatuan, (g) menumbuhkan rasa kebahagian, dan (h) menciptakan kekompakan dalam kejiwaan dan tindakan.
44
Demikianlah hal-ha1 yang perlu dilakukan oleh pemimpin dalam kehidupan sosial.
Dengan melaksanakan hal-
ha1 tersebut berarti pemimpin akan menghidupkan kesadaran kerja anggota-anggotanya dalam upaya pencapaian tujuan bersama. Fungsi Penelitian Keberhasilan pembangunan pertanian, menurut Rogers dan Kinchaid (1981), adalah karena digunakannya teknologi baru hasil penelitian.
Fungsi penelitian adalah un-
tuk menemukan dan mengembangkan teknologi b a r ~yang
le-
bih baik, mendorong fungsi lain dalam mengadaptasi temuan, dan membantu penyebarannya.
Havelock (1969) menge-
mukakan bahwa fungsi penelitian menghasilkan ide-ide baru dan kemudian ide-ide baru itu disuluhkan oleh fungsi penyuluhan, pada fungsi pengguna dalam proses alih teknologi.
Pendapat ini kemdian diperkuat oleh Prabowo Tji-
tropranoto (1993) yang menekankan perlunya ada keterkaitan hubungan yang erat antara peneliti dan penyuluh. Penyuluh memerlukan informasi teknologi dari peneliti, untuk disampaikan kepada masyarakat pengguna, dan sebaliknya peneliti memerlukan umpan balik dari penyuluh mengenai kebutuhan masyarakat di lapang, untuk menentukan program penelitiannya.
Swanson (1984) menunjukkan bahwa
45
untuk menyampaian teknologi dari fungsi penelitian, lalui fungsi penyuluhan kepada fungsi pengguna
me-
diperli-
hatkan pada Gambar 1. Pembangunan pertanian dalam PJP I1 berbagai
dihadapkan pada
tantangan antara lain persaingan yang
semakin
meningkat dalam menghadapi era perdagangan bebas, untuk mempertahankan swasembada pangan
upaya
khususnya beras,
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desaan yang sebagian terbesar adalah petani,
pe-
serta tun-
tutan akan penyedian lapangan kerja produktif dan kesempatan usaha.
Dalam rangka menjawab
tantangan tersebut,
maka strategi dan kebijakan pembangunan pertanian diarahkan pada penerapan sistem agribisnis secara terpadu. Sehubungan dengan itu, fungsi penelitian dan pengembangan pertanian di Indonesia diarahkan untuk menemukan atau menghasilkan teknologi baru yang lebih maju untuk judkan semakin
pertanian modern, efisien,
mewu-
dan tangguh sehingga
mampu meningkatkan dan menganekaragamkan
hasil
melalui pengembangan komoditas spesifik lokasi dengan memanfaatkan keunggulan komperatif, serta keunggulan
kom-
petitif semua potensi sumberdaya alam pertanian.
Seja-
lan
diupayakan peningkatan kualitas
hasil
untuk meningkatkan daya saing komoditas pertanian
Indo-
dengan itu,
nesia di pasar dalam negeri maupun internasional.
Gambar 1.
Alur Penyampaian Teknologi dari Fungsi Penelitian kepada Petani, melalui Fungsi Penyuluhan (Swanson, 1984)
Agar penelitian dan pengembangan
pertanian mampu
menghasilkan teknologi komoditas pertanian spesifik lokasi yang memiliki keunggulan komperatif, dan keunggulan kompetitif naka
dilakukan penelitian terhadap berbagai
komoditas pertanian spesifik lokasi, pengujian dan perakitan teknologi pertanian hasil penelitian, dan penyampaian umpan balik untuk penyempurnaan program penelitian; penyampaian paket teknologi hasil pengujian dan perakitan, disertai peningkatan kemitraan antara penyuluh dan petani (Anonim, 1995).
Mekanisme perencanaan peneli-
tian dan pengujian teknologi disajikan pada Gambar 2.
I
I I I
1
ES ( I LITBANG
rJ-qJ?. I
I
A A
f
I
LlTaANG BAoAN
~AVI
t,wNrhN
KOUlSl
I I
-
A1 = A2 A3 s A4
&I I 89
*
Identd+.n>a k.butu*.n Iekno10g~Lte:ompok Tan1 %ebvtUhan Tekn010g1 Sces*Rk lohast Kebutuhan Tekrolagt SubteWCr Cencana Kcbutuhan Teknelogi P e n a n r n Tingkat Wilayah Pfagrmrn Pembsngunen Penaman Svbteklor Proplam Pene141nn Komod?las dan Penpu(ann Teknologi Sp*soIIk L o b s 1
Gambar 2.
82 84 84
-
= =
+ -t +
Program Penelnl.an Penanian (ealiliLokalil) Progrsm Penelnun dan Penqujian (UK €9. A) Progrem Penelaten aen Pengemamgan Teknologi Penanten Nasmnsl AN* Kebutuhln Teknolcpi Petianian Arah K*bi)ekaaneen P*neli(lan 6 P*ngembanqen P e n e n m Tembusm
Mekanisme Perencanaan Penelitian dan Pengujian Teknologi Pertanian (Anonim, 1995)
Penyelenggaraan fungsi-fungsi penelitian secara teknis jawab
fungsional menjadi wewenang
pertanian
dan tanggung
Badan ~enelitian, sedangkan penelitian komoditas
spesifik lokasi dan pengujian teknologi pertanian kukan oleh dan
Balai Penelitian Teknologi Pertanian
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian
pelaksanaan
dila(BPTP)
(LPTP).
Dalam
pengujian teknologi spesifik lokasi,
BPTP/
LPTP mengikut sertakan
penyuluh pertanian di
BPP.
Pe-
ngujian yang dilakukan BPTP/LPTP hasilnya dirakit menjadi paket teknologi. Fungsi Penyuluhan dan Informasi Harapan keberhasilan penyuluhan akan tergantung pada pelaksanaan fungsi yang diberikan pada konsep
terse-
but, yakni kumpulan perilaku yang diharapkan dari peranan penyuluh. nya
Fungsi penyuluhan sebenarnya tidaklah ha-
sekedar menghubungkan antara fungsi penelitian
fungsi pengguna seperti dikemukakan
dan
Mosher (1966), Ro-
gers dan Shoemaker (1971), dan Swanson (1984). Sebagaimana dikemukakan Lippitt et al. (1958), Havelock (1973), Lionberger dan Gwin (1982), fungsi penyuluhan di samping menyampaikan informasi,
juga berupaya
perilaku masyarakat sasarannya.
Perilaku
tindakan atau tingkah
laku seseorang,
mengubah
adalah segala
atau
sekelompok
orang dalam memenuhi kebutuhan yang dirasakan, dan litasnya dipengaruhi oleh hal-ha1 yang telah
kua-
dipelajari
helalui berbagai macam pengalaman belajar. Aspek perilaku, menurut Grondlund (1970), kawasan kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
mencakup Dalam ha1
ini Bloom (1956) telah membuat hierarki kawasan kognitif
49
mulai dari terendah mengetahui, kemudian mengerti, menggunakan, menganalisis, mensintesis dan tertinggi menilai. Krathwohl et al. (1964) membuat hierarki afektif, yaitu dari terendah menyadari, menanggapi, melibatkan diri, mengatur dan tertinggi menghayati.
Simpson (Winkel, 1989)
membuat hierarki psikomotorik, yaitu dari terendah berupa tertarik, menerima, mencoba, mempermahir, adaptasi, dan mampu memodifikasi. Penyuluhan juga berfungsi menghubungkan antara fungsi pelayanan, dan fungsi pengaturan dengan fungsi pengusahaan usahatani.
Pada negara dengan sistem perekonomi-
an terpusat, menurut Blanckenburg (Bechtold, 1988) fungsi penyuluhan hanya sekedar alat kebijakan untuk mendukung program-program
pemerintah.
Untuk menghindarkan
pengertian yang demikian, Margono Slamet (1995) memberikan rumusan mengenai fungsi penyuluhan, sebagai industri jasa yang menawarkan pelayanan pendidikan nonformal, pelayanan informasi kepada petani dan pihak lain yang memerlukan
.
Fungsi-fungsi tersebut merupakan sekumpulan perilaku yang diharapkan sehubungan dengan serangkaian peranan penyuluh.
Sebagaimana dikemukakan Lippitt et al. (1958),
Havelock (1973), Lionberger dan Gwin (1982) peran penyuluh adalah
sebagai agen perubahan.
Menurut Rogers dan
50
Shoemaker (1971), Bhatnagar dan Dahama (1980) peranan penyuluh adalah sebagai pendidik, komunikator, dinamisator dan organisator.
Sejalan dengan pendapat tersebut
Mo-
sher (1969) menyatakan bahwa peranan penyuluh pertanian adalah sebagai penasehat, guru, penganalisis, nisator.
dan orga-
Sanders (1966) dan Bertrand (1974) mengemuka-
kan bahwa peranan penyuluh sebagai pendidik berkaitan dengan fungsi penyuluh untuk meningkatkan pengetahuan
dan
sikap petani menjadi lebih positif terhadap ide-ide baru. Berlo (1960), Mills (1967) dan Schramm (Depari dan McAndrews,
1988) menekankan
pentingnya kemampuan
penyuluh
berkomunikasi, yakni kemampuan dalam berinteraksi dengan masyarakat sasaran.
Menurut Lippitt et al. (1958) peran
penyuluh adalah sebagai motivator, yakni dalam fungsi menumbuhkan kebutuhan untuk berubah, menganalisis pemasalahan, menjalin hubungan baik dengan sasaran, dan menciptakan
tujuan perubahan
menjadi tujuan bersama kelompok
sasaran, melaksanakan rencana perubahan menjadi tindakan nyata, menstabilkan perubahan dengan memutuskan hubungan dengan kelompok sasaran agar tidak menimbulkan ketergantungan
.
Mosher (1966) menyatakan
peranan penyuluh
sebagai
organisator, dalam kaitannya dengan fungsi membantu
pe-
tani mengatur usaha mereka secara individu atau kelompok
51 untuk dapat memanfaatkan sumberdaya atau kesempatan yang tersedia. Sejalan dengan pendapat tersebut Margono Slamet (1981) mengemukakan peranan penyuluh lapangan sangat besar
pengaruhnya dalam pembinaan kelompok petani.
Pe-
nyuluh tidak saja diharapkan memiliki pengetahuan, keterampilan kultur teknis, tetapi juga di bidang sosial ha1 tersebut memerlukan perubahan kebijaksanaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian yaitu dari kebijaksanaan yang bertumpu pada menjadikan petani hanya terampil berproduksi menjadi kebijaksanaan yang dapat menciptakan iklim motivasi petani untuk lebih rasional dan efisien dalam mengembangkan usahatani berdasarkan kemampuan wilayah, informasi, dan mengenali potensi pasar bagi hasil usahataninya
.
Carpenter (Vines dan Anderson,
1976) mengemukakan
penyuluhan tidak hanya mengubah perilaku petani ke arah produktivitas yang semakin meningkat tetapi juga terwujudnya kehidupan petani yang lebih baik.
Kartasapoetra
(1988) mencirikan perubahan perilaku tersebut dengan terwujudnya (a) usahatani dengan cara-cara
yang lebih baik
(better farming), (b) usahatani yang lebih menguntungkan (better business), dan (c) peningkatan kesejahteraan petani beserta keluarganya (better living).
52
Menurut Gafur (Kentar, 1990) perubahan perilaku yang tampak (overt behavior) hanya akan berlangsung berkelanjutan, apabila perubahan tersebut didasarkan pada proses psikologis bahan
yang tidak nampak
(covert behavior).
perilaku yang tampak saja akan
Peru-
cenderung kembali
pada perilaku lama, bila keadaan yang memaksa untuk berperilaku
sudah tidak ada.
Pesson (1966) mengemukakan
bahwa masyarakat akan menerima perubahan yang dilakukan melalui program penyuluhan tergantung dari keterlibatannya dalam perencanaan, dan pengambilan keputusan. Taylor (1975), dan Smith (1982) memperkuat pendapat tersebut yang mengemukakan bahwa
petani-petani yang tidak
dilibatkan dalam penentuan kegiatan, jarang bersedia melaksanakan sesuatu yang telah diputuskan.
Rogers dan
Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa keputusan seseorang untuk menerima atau menolak ide baru, dipengaruhi oleh sifat-sifat yang melekat pada ide baru itu sendiri, yakni
(1) relatif menguntungkan,
(2) pelaksanaanya
rumit, (3) sesuai dengan kondisi lingkungan, dicoba dan
(5)
hasilnya cepat diamati.
(4)
tidak mudah
Dilihat dari si-
fat pribadi manusianya, Madrie (1986) menyatakan tingkat pendidikan, pengalaman, keberanian menghadapi resiko, sistem nilai budaya, kekosmopolitan, merupakan karakteristik pribadi seseorang, yang dapat mempengaruhi tingkat
53
keterlibatannya dalam proses perubahan, sedangkan faktor luar adalah
tingkat kemampuan
sosial ekonomi.
Menurut
Mubyarto dan Kartodirdjo (1988) dalam masyarakat pedesaan indikator kemampuan ekonomi yang dominan adalah penguasaan umumnya, bentuk Ru'yat
lahan usahatani.
Hal ini disebabkan
petani
lebih suka menginvestasikan kekayaannya
membeli atau menyewa tanah
untuk
luas
dalam
usahataninya.
dan Azril (1988) mengatakan bahwa kemampuan
eko-
nomi juga ditunjukkan oleh jumlah modal dan tenaga kerja yang digunakan dalam usahataninya. Menurut pandangan Mosher (Leagans dan Loomis, 1971) bukan hanya
petani yang harus
dan tindakannya,
berubah dalam
akan tetapi juga mereka
pemikiran
yang berperan
dalam agri-support activities dan agri-climate activities, perlu mengadakan penyesuaian dengan perubahan. Bentuk
usahatani di Indonesia umumnya tidak
kultur, kecuali perkebunan.
Pola pertanian
memerlukan sistem penyuluhan yang sesuai.
mono-
multikultur
Kebutuhan ma-
teri penyuluhan dan informasi yang diperlukan petani sangat beragam.
Demikian pula dengan berkembangnya usaha-
tani yang makin berorientasi pada kebutuhan pasar,
akan
memerlukan berbagai macam informasi untuk pengambilan keputusan, perencanaan yang tepat, rasional dan menguntungkan.
Perubahan
tersebut membawa konsekuensi
perlunya
54
penyesuaian-penyesuaian dalam penyelenggaraan fungsi peyuluhan dan informasi, serta fungsi-fungsi lain yang terkait. Padmanagara (1995) mengemukakan penyesuaian-penyesuaian tersebut hendaknya menuju terciptanya suasana, iklim, lingkungan dan kesempatan yang memungkinkan petatani
untuk berkembang
secara mandiri
sebagai manajer
atau jurutani yang melaksanakan usahatani.
Petani hen-
daknya lebih diberi kesempatan untuk memilih, dan menentukan keputusan mengenai usahataninya, dan semakin diperhatikan kebutuhan dan harapan-harapanya.
Penyuluhan
yang berorientasi pada program, perlu disesuaikan mengarah pada pemecahan masalah lokal spesifik. Fungsi Pelayanan Pembangunan pertanian akan dapat terlaksana dengan efektif bila ada dukungan dari fihak-fihak di luar pertanian.
Pada umumnya ide-ide baru yang dapat meningkatkan
produksi pertanian memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi, seperti bibit unggul, pupuk, obatobatan penberantas hama, dan perkakas pertanian.
Untuk
mendapatkan sarana produksi tersebut dapat dibiayai modal sendiri atau melalui kredit produksi. Fungsi pelayanan adalah menyediakan, menyalurkan sarana produksi pertanian dan modal yang digunakan untuk
55
mendukung penerapan ide baru.
Fungsi pelayanan terdiri
atas kegiatan pelayanan sarana produksi, alat dan mesinmesin pertanian serta pelayanan kredit produksi usahatani.
Pembangunan pertanian memerlukan semua itu dan ter-
sedia di berbagai tempat yang mudah dicapai petani, dalam
dan
jumlah yang memenuhi keperluan setiap petani yang
akan menggunakannya.
Mengenai fungsi pelayanan ini, Mo-
sher (Leagans dan Loomis, 1971) menyebutnya dengan a g r i support activities. ping
Dalam pengertian tersebut
fungsi pelayanan sarana produksi,
penelitian dan penyuluhhan.
di sam-
termasuk fungsi
Keberadaan fungsi pelayanan
menurut Lionberger dan Gwin (1982) mempunyai peranan penting
dalam proses
penerimaan ide baru.
Weitz (1971), Swanson (1984), Leagans mengemukakan
Mosher (1966),
dan Loomis (1971)
tersedianya sarana produksi seperti pupuk,
pestisida, peralatan pertanian, dan kredit produksi akan mempercepat proses penerimaan ide baru. Menurut Popkin (1978),
dan Mosher (1976) kebutuhan
akan sarana produksi dan modal usaha bagi petani riasi
sesuai dengan tingkat kemajuan petani.
berva-
Kebutuhan
pelayanan sarana, dan kredit produksi untuk petani
sub-
sisten relatif kecil, bila dibandingkan dengan petani komersial yang lebih berorientasi pada kebutuhan pasar. Berdasarkan kebutuhan terhadap pelayanan kredit produksi,
56
Donald (1976) mengidentifikasi petani menjadi lima kategori, yakni : (1) Petani dengan skala usaha menengah
dan besar
yang
memiliki persyaratan bank teknis. (2)
Petani dengan skala usaha kecil tetapi cukup lancar usahanya dan memberikan keuntungan,
sehingga meme-
nuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit. (3)
Petani yang usahanya mempunyai prospek untuk dikembangkan,
tetapi tidak memenuhi
persyaratan
untuk
mendapatkan kredit. (4) Petani yang usahanya memiliki potensi
dikembangkan
bila mendapat subsidi dalam periode tertentu. (5)
Petani yang hanya dapat berkembang bila mendapatkan subsidi secara terus menerus. Dikemukakan pula bahwa petani
yang termasuk
dalam
kategori dua sampai dengan lima adalah mereka yang disebut- petani kecil,
namun mereka
yang memiliki
untuk memperoleh kredit adalah petani
masalah
yang termasuk da-
lam kategori tiga sampai dengan lima, yang perlu
menda-
patkan perhatian secara khusus. Menurut Schulz (1964), dan Mosher (1966) fungsi pelayanan
sarana produksi pertanian dapat dilakukan
swasta, pemerintah ataupun koperasi. yang
oleh
Salah satu keadaan
harus dihindarkan ialah terjadinya monopoli
usaha
57 oleh perorangan atau organisasi yang merugikan petani. Di Indonesia pelaksanaan fungsi pelayanan sarana produksi pertanian oleh Badan Usaha Milik Negara dibantu usaha swasta dan Koperasi Unit Desa (KUD) (Anonim, 1987). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Bina Desa, Yayasan Bina Swadaya, Yayasan Dian Desa dan beberapa lainnya
yang
juga melaksanakan fungsi pelayanan pada petani.
Berdasarkan telaah pustaka menunjukkan bahwa fungsi pelayanan menunjang fungsi penyuluhan dalam menyediakan dan menyalurkan sarana produksi maupun modal bagi petani untuk penerapan ide baru atau peningkatan usahatani. Fungsi Pengaturan Salah satu kekuatan yang berpengaruh pada
bekerja-
nya kehidupan suatu negara adalah pengaturan oleh pemerintah.
Kegiatan penyuluhan pertanian, sebagaimana hal-
nya pada kegiatan yang lain, memerlukan pengaturan agar semua fungsi yang terkait di dalam sistem penyuluhan dapat berperan dan saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama.
Schiekele (1954) menyatakan bahwa fungsi penga-
turan pada dasarnya meliputi : (1) kebijakan yang bersifat mengatur (regulating policies) dan (2) kebijakan distribusi pendapatan (distributive policies).
Menurut Mu-
byarto (1983) kebijakan pertanian perlu dibedakan dalam :
58
(1) kebijakan stabilisasi, (2) pengaturan dan pengarahan perdagangan, (3) pengaturan dan pengarahan mobilitas faktor-faktor produksi pertanian, (4) pengaturan yang
men-
dorong pertumbuhan pertanian dan (5) kebijakan dalam bidang
ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Mosher (Leagans
dan Loomis, 1971) menamakan fungsi pengaturan ini
seba-
gai agri-climate activities. Pentingnya keberadaan fungsi pengaturan dikemukakan oleh
Leagans (Leagans dan Loomis,
1971),
dan Mubyarto
(1983) yakni sebagai koordinator yang mengatur
hubungan
antar fungsi agar dapat saling mendukung mencapai keberhasilan.
Mellor (1989) menganggap fungsi pengaturan se-
bagai stabilisator dalam penentuan kebijakan harga dasar dan subsidi harga dalam rangka melindungi petani. Dalam Pembangunan Jangka Panjang 11, khususnya pada Pelita VI
penyelenggaraan pengaturan, dan pelayanan
di
bidang pertanian menghadapi berbagai tantangan perubahan lingkungan sosial ekonomi nasional,
maupun global
dinamis antara lain (1) orientasi pembangunan
yang
pertanian
ke arah penerapan pendekatan agribisnis, (2) peningkatan peranan dan peranserta petani, serta (3) pelaksanaan desentralisasi yang mengarah pada pelaksanaan otonomi Daerah Tingkat I1 yang lebih luas dan lebih wab.
Tantangan
tersebut memerlukan
bertanggungja-
penyesuaian,
dan
59
rubahan dalam penyelenggaraan pelayanan, dan pengaturan yang dapat menciptakan iklim menunjang
terhadap adanya
perubahan-perubahan tersebut. Kemandirian Petani dan Ketangguhan Bemsahatani Keterbukaan ekonomi sebagai akibat adanya globalisasi ekonomi dunia menciptakan kondisi yang lebih menuntut adanya tingkat efisiensi yang lebih tinggi serta daya
saing yang lebih baik di pasar internasional maupun
nasional.
Implikasinya adalah kualitas menjadi bagian
sangat penting dari komoditas pertanian yang dikembangkan.
Keterbukaan pasar
juga akan meningkatkan derajad
komersialisasi komoditas pertanian.
Menghadapi berbagai
tantangan dalam era perdagangan bebas tersebut, perspektif kebijakan pembangunan pertanian pada Pelita VI
di-
arahkan sebagai peletakan dasar peningkatan kualitas swerdaya manusia pertanian yang mandiri, untuk mewujudkan pertanian yang maju dan tangguh (Anonim, 1993). Menurut Sukardi (1993) manusia yang tangguh sebagai subyek pembangunan dalam era globalisasi, memiliki ciri : (1) etos kerja tinggi, (2) prestatif, (3) peka dan cepat
tanggap terhadap perubahan, (4) inovatif, (5) religius, (6) bermoral, (7) mandiri,
diri.
dan (8) mampu
mengendalikan
Hadiwigeno (1985) memberikan ciri-ciri petani yang
60
memiliki ketangguhan berusahatani, yakni:
(1) mempunyai
pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan ide-ide baru, (2) memperoleh tingkat pendapatan yang layak, (3) berani menghadapi berbagai resiko, (4) mampu menarik
man-
faat dari asas skala ekonomi, dan (5) memiliki kekuatan untuk mandiri dalam berusahatani. Baharsyah dkk. (1985), dan Kasryno (1988) menyatakan pertanian yang tangguh dicirikan oleh meningkatnya produktivitas tenaga kerja, dan meningkatnya daya saing (efisiensi).
Sedangkan Abbas (1995) menunjukkan
ciri-
ciri petani yang mempunyai ketangguhan berusahatani bagai berikut :
se-
(1) mampu untuk memanfaatkan sumberdaya
secara optimal dan efisien, (2) mampu mengatasi hambatan dan tantangan,
segala
(3) mampu menyesuaikan diri da-
lam pola dan struktur produksinya terhadap perubahan musim, permintaan pasar, maupun perkembangan teknologi, (4)
berperan aktif dalam peningkatan produksi, serta (5)
mampu menciptakan pasar yang menguntungkan produksinya. Berdasar pendapat tersebut di atas, disimpulkan bahwa ketangguhan berusahatani adalah perwujudan kekuatan/ daya saing yang dimiliki petani dalam mengantisipasi pengaruh dari perubahan permintaan pasar, perkembangan teknologi, ataupun perubahan kondisi alam sehingga masih mampu mendapatkan keuntungan yang layak dari usahataninya, dengan
61
tetap memperhatikan nilai-nilai moral, dan kaidah agama dalam mendapatkannya. tingkat usahatani
Menurut Soekartawi
(1990) pada
untuk mengatasi resiko dari ketidak
stabilan harga, dan produksi dapat dilakukan melalui diversifikasi yang mengarah pada upaya mengoptimalkan pemakaian suberdaya. Untuk mewujudkan ketangguhan berusahatani dengan ciri-ciri tersebut menuntut kemandirian petani dalam berusahatani. Kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik (Hubeis, 1992). Menggunakan konsep yang berbeda, Rahardjo (1992) mengartikan upaya seseorang yang didasarkan pada kepercayaan kemampuan diri dan pada sumberdaya yang dimiliki sebagai semangat keswadayaan.
Dikemukakan bahwa faktor-faktor
tot yang membentuk kemampuan swadaya adalah
(1) keulet-
tan, (2) kerja keras, dan (3) jiwa kewirausahaan.
Pan-
dangan ini diperkuat oleh Rasyid dan Adjid (1992),
yang
lebih menekankan kemandirian pada kepercayaan diri dalam pengambilan keputusan secara bebas dan bijaksana. Margono Slamet (1995) berpendapat bahwa untuk menumbuhkan dan membina kemandiriannya, petani perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya berupaya untuk
62 bekerjasama untuk mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Kemandirian tidak berarti anti terhadap kerjasama atau menolak saling keterkaitan dan saling ketergantungan.
Kemandirian justru menekankan perlunya ker-
jasama yang disertai tumbuh dan berkembangnya
(1) aspi-
rasi, (2) kreativitas, (3) keberanian menghadapi resiko dan
(4)
prakarsa seseorang bertindak atas dasar kekuatan
sendiri dalam kebersamaan (collective self-reliance). (1) Aspirasi :
Dinamika untuk mencapai sesuatu dengan
kerja keras atau kerja ulet, disebut aspirasi.
Se-
seorang yang mendisiplin diri untuk mencapai sesuatu, seperti mendapatkan penghasilan yang lebih baik, keuntungan lebih besar dan dapat menyekolahkan anak ke Perguruan Tinggi, menunjukkan yang tinggi.
adanya aspirasi
Dalam studi Ramsey, (1959) konsep as-
pirasi diungkapkan dalam bentuk tingkat hidup lebih tinggi, dan usahanya lebih maju.
Dalam studi Wilke-
ning (1950), konsep aspirasi diungkapkan dengan menanyakan tentang pendidikan yang diharapkan untuk anaknya, dengan asumsi bahwa masyarakat menganggap pendidikan merupakan sarana untuk mendapatkan status atau jabatan. (2) Kreativitas : Berabstraksi merupakan berpikir tingkat tinggi, dan berhubungan erat dengan kreativitas
63 (Shouksmith, 1970). pat
Orang yang berpikir kreatif da-
lebih cepat menemukan pemecahan baru
masalah-masalah yang dihadapinya.
terhadap
Rogers
(Shouk-
smith, 1970) menyebutkan tiga karakteristik orang kreatif, yaitu
(a) keterbukaan pada pengalaman ba-
ru, (b) evaluasi diri, dan (c) kemampuan dalam mengembangkan konsep. (3)
Berani menghadapi resiko :
Pembangunan pertanian
dapat dipercepat dengan diperkenalkannya teknologi baru kepada petani.
Dalam rangka memajukan
Scott (1976) mengemukakan
bahwa petani
petani
subsisten,
prinsip hidupnya mengutamakan selamat, dan berusaha menghindari resiko.
Orang yang mengutamakan
sela-
mat berusaha mencari jalan yang kecil resikonya. Ramsey (1959) menafsirkan orang yang berorientasi pada rasa aman, akan menggunakan pertimbangan yang dapat meyakinkan dirinya dalam mengambil keputusan. Cancian (1967) mengasumsikan adanya hubungan linear antara keberanian mengambil resiko, dan penerimaan ide baru.
Berbeda dengan pandangan
Scott (1976),
maka Popkin (1978) mengemukakan bahwa petani itu rasional dalam berusahatani.
Dikemukakan petani yang
rasional adalah petani yang berani menghadapi resiko yang ditandai oleh sifat inovatif yakni selalu
64 mencari peluang untuk meningkatkan kehidupannya dan memiliki kemampuan mengantisipasi masa depannya. Wallach et al. (Cartwright dan Zander, 1968) mengemukakan
bahwa melalui interaksi didalam kelompok,
anggota akan mengenal kemungkinan resiko, sehingga menjadi berani menghadapi/menerima resiko. (4) Prakarsa untuk bertindak : Inisiatif untuk memulai sesuatu kegiatan ke arah tercapainya tujuan. Pemberdayaan Petani Kemandirian petani adalah suatu kondisi yang dapat ditumbuhkan melalui
proses pemberdayaan (empowerment,)
yakni memberikan kekuatan atau daya.
Menurut Bryant dan
White (1982) pemberdayaan adalah sebagai pemberian kesempatan untuk secara bebas memilih berbagai
alternatif
dan mengambil keputusan sesuai dengan tingkat kesadaran, kemampuan, dan keinginan mereka; serta memberi kesempatan kepada mereka belajar dari keberhasilan, serta kegagalan dalam memberi respons terhadap perubahan sehingga mampu
mengendalikan masa depannya.
Sebagai pembanding
Scott dan Jaffe (1994), mencirikan pemberdayaan sebagai upaya (1) meningkatkan kepuasan kerja, (2) memperluas pengetahuan, dan keterampilan meningkatkan kualitas kerja, (3) memberikan
kebebasan berkreasi
serta mengembangkan
65 hal-ha1 baru,
(4)
pengawasan dilakukan melalui berbagai
keputusan bersama, (5) pemberian tugas lengkap tidak parsial, (6) berorientasi pada kepuasan orang yang dilayani
1
dan (7) memenuhi kebutuhan pasar.
Ke udian Ndraha
(1987) memberikan ciri-ciri pemberdayaan, yakni : (1) me-
ningkatkan kemampuan, (2) mendorong tumbuhnya kebersamaan, (3) kebebasan memilih dan memutuskan,
(4)
membangkit-
kan kemandirian dan (5) mengurangi ketergantungan serta menciptakan hubungan yang saling menguntungkan, Mochtar (1993) mengemukakan bentuk dan cara pemberdayaan sangat beraneka ragam.
Mengacu pada
konsep-kon-
sep tersebut pemberdayaan petani ke arah kemandirian dan ketangguhannya dalam berusahatani merupakan kondisi yang dapat ditumbuhkan, melalui pendidikan/ penyuluhan dalam bentuk perubahan perilaku, yakni rneningkatkan kemampuan petani untuk
dapat menentukan sendiri pilihannya, dan
memberikan respons yang tepat terhadap berbagai perubahan sehingga mampu mengendalikan masa depannya dan dorongan untuk lebih mandiri.
Pemberdayaan petani ini penting
karena dalam proses pembangunan pertanian, petani merupakan sumberdaya pembangunan yang berperan sebagai pelaku utama dalam mengembangkan usahataninya. Sehubungan dengan upaya tersebut, dan
Loomis, 1971) menekankan bahwa
Mosher (Leagans
dalam
pembangunan
66
pertanian, yang sifatnya mendasar adalah perubahan perilaku petani agar mampu mengembangkan usahataninya.
Me-
nurut Kartasapoetra (1988) penyuluhan pembangunan pertanian merupakan sistem pendidikan nonformal untuk mengubah
perilaku petani dan keluarganya, agar mereka tahu,
mau dan mampu memecahkan masalahnya sendiri dalam meningkatkan usahataninya dan tingkat kehidupannya, Dalam kaitan ini Padmanagara (Margono Slamet, 1978) mengemukakan penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan di luar sekolah untuk petani dan keluarganya, dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki maupun meningkatkan kesejahteraan sendiri dan mayarakatnya.
Pe-
tani perlu dilibatkan dalam proses belajar agar mampu memilih, dan menentukan sendiri pemanfaatan ide baru untuk memperbaiki usahataninya, dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Belajar dimaksudkan sebagai proses aktif
sese-
orang atau petani untuk mengubah perilakunya, yakni untuk merubah produktivitasnya dalam berusahatani dan menggunakan hasil usahataninya dari konsumtif menjadi produktif.
Perubahan tersebut terjadi karena pengalaman-penga-
laman baru yang diperoleh dan dialami oleh orang yang belajar tersebut, Kedinamisan proses belajar akan terjadi bila
(a) ada keaktifan dari individu yang belajar untuk
mengembangkan diri dan potensinya,
(b) terjadi proses
67 internal atau proses mental, dan (c) perubahan perilaku. Mengenai ha1 ini Apps (1973), dan Freire (1974) menegaskan
produktivitas petani dapat berubah atau diubah
lalui proses belajar.
me-
Pentingnya meningkatkan produkti-
vitas petani, Rogers (1969) dan Weitz (1971), mengemukakan agar mereka mampu menggunakan sumberdaya patan berusaha. informasikan,
dan kesem-
Dalam hubungan ini Mosher (1976) mengbahwa produktivitas usahatani pada petani
maju terlihat dari kecepatan petani menerima dan menggunakan ide baru,
dalam mengusahakan komoditas
orientasi pada pasar.
yang ber-
Sejalan dengan pendapat
tersebut
Morgan et al. (1976) menyatakan bahwa perubahan perilaku petani
untuk menggunakan hasil usaha
sebagai pemenuhan
kebutuhan dasar menjadi kebutuhan pengembangan usaha, merupakan akibat dari proses belajar. Barker et al. (1987) dan Gibson et al. (1988), mengemukakan bahwa untuk mewujudkan keinginan tersebut dapat
dilakukan melalui lembaga atau kelompok yang
dahi pembangunan masyarakat.
mewa-
Memperkuat pendapat terse-
but Syarwani (1992) menyatakan bahwa dalam kelompok, seseorang akan
menemukan identifikasi pribadinya,
bersama-sama
dengan orang lain merasakan
adanya saling
kasih sayang, kesetiaan, tanggung jawab bersama, men,
tradisi
dan persahabatan
karena
yang diperoleh
sentimelalui
68
komunikasi dan kegiatan bersama.
Sejalan dengan penda-
pat tersebut Jedlicka (1977) menyarankan cara penyampaian teknologi kepada masyarakat pedesaan agar efektif perlu pemanfaatan kelompok, serta pengorganisasian sistem penyuluhan yang demokratis. Abbas (1995) mengemukakan bahwa kelompok petani memiliki potensi berperan sebagai : (1) wahana belajar mengajar, (2) unit berusahatani, dan (3) wahana kerjasama dalam mengatasi masalah, tantangan dan hambatan. (1) Wahana Belajar Mengajar : Sebagai wahana bela-
jar, kelompok tani merupakan'wadah bagi setiap anggota untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam berusahatani yang
lebih baik
dan menguntungkan,
serta menumbuhkan dorongan lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera. (2) Unit Produksi Usahatani : Sebagai unit produksit kelompok tani merupakan kesatuan unit usahatani untuk bertindak dalam
(a) meningkatkan
produktivitas, (b) meningkatkan mutu hasil produksi, dan (c) mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan. (3)
Wahana kerjasama : Sebagai wahana
kerjasama,
kelompok tani merupakan wadah untuk memperkuat
69
kerjasama antara anggota kelompok, kelompok dengan kelommpok dan pihak lain untuk mengatasi tantangan, dan hambatan pada prapanen, pascapanen, pemasaran dan pemupukan modal sehingga petani mempunyai kekuatan tawar (bargaining position). Dalam pemberdayaan petani ke arah kemandirian, dan ketangguhan berusahatani, ketiga potensi peran kelompok sebagai unit produksi usahatani, wahana proses belajar, dan wahana kerjasama perlu diupayakan serasi, selalu dalam keadaan dinamis dan saling mendukung.
Kondisi sema-
cam ini tidak dengan sendirinya akan muncul, tetapi memerlukan
stimulasi dan motivasi yang lahir dari proses
interaksi sosial yang berupa gerak atau kekuatan dari masyarakat itu sendiri (Adjid, 1992).