THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK
RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009 Risma Juniarti Paulina Silitonga NIM B251064064
ABSTRACT RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA. Theileriosis in Australian Cattle Imported through Tanjung Priok Port. Under direction of A. WINNY SANJAYA and TUTUK ASTYAWATI. The study was conducted for three months started from August until October 2008. The purpose of this study were to identify (i) theileriosis case prevalence on cattle imported from Australia, (ii) the risk factors of theileriosis incidences like ship transportation and installation sanitary, vectors, management during quarantine and sex, age, breed as parameter (iii) prevention and control of theileriosis. Blood samples were collected randomly from 409 cattle, in four different quarantine installation at Teluk Naga, Legok, Lebak and Cileungsi. Blood samples were stained with Giemsa and examined under the microscope. The result showed that theileriosis prevalence was 55,01%. Prevalence from four different quarantine installation successively were 83,3%, 46,8%, 43% and 46,9%. Brahman cross cattle had higher prevalence compare to Santa gertrudis (OR=1,95;SK95%=1,24-3,08). The other factor like sanitary, the presence of vector, management during quarantine could not used as a parameter in this study that happened at this research, caused they were in the same condition. Keywords : prevalence, theileriosis, cattle, quarantine, Australia
RINGKASAN RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA. Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh A. WINNY SANJAYA, dan TUTUK ASTYAWATI. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian dan di empat lokasi Instalasi Karantina Hewan Sementara Teluk Naga, Legok, Lebak, dan Cileungsi, yang berlangsung mulai bulan Agustus sampai Oktober 2008. Tujuan penelitian ini adalah : (1) Menghitung prevalensi kasus theileriosis pada sapi potong impor Australia. (2) Mencari faktor-faktor pemicu terjadinya theileriosis seperti sanitasi kapal dan instalasi, letak kandang/pen di kapal, manajemen di instalasi karantina dan adanya vektor (caplak) di kapal/instalasi selama masa karantina. (3) Pencegahan dan pengendalian theileriosis di Indonesia dihubungkan dengan tindakan karantina di masa yang akan datang. Pada penelitian ini telah diambil sebanyak 409 sampel darah sapi dari 4 lokasi IKHS milik importir sapi yang berlokasi di Teluk Naga, Legok, Lebak dan Cileungsi. Penentuan sampel di kandang dilakukan dengan acak random. Sampel darah dibuat preparat ulas darah, lalu dilakukan pewarnaan dengan larutan Giemsa, dan diperiksa dengan mikroskop. Hasil pemeriksaan ulas darah untuk menentukan prevalensi theileriosis. Kemudian dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui nilai pack cell volume (PCV) dan butir darah merah (BDM), penghitungan average daily gain (ADG) serta pengumpulan data kuesioner. Parameter yang diamati dibuat dalam blanko kuesioner meliputi keterangan tentang sapi yang diimpor (bangsa, umur, jenis kelamin), keadaan selama perjalanan dari Australia (kematian, lamanya perjalanan, adanya hewan lain yang diangkut), kondisi kesehatan hewan (ketersediaan pakan, penyakit), kondisi kapal dan instalasi (sanitasi, kapasitas, konstruksi), populasi caplak di kapal dan instalasi, populasi sapi di sekitar instalasi serta perlakuan yang pernah diberikan. Analisis data menggunakan uji chi-square (x2) dan uji-t (t-test). Data kuesioner diolah berdasarkan peubah yang dilihat yaitu jenis kelamin, kelompok umur, bangsa sapi, daerah asal peternakan (farm), serta lokasi instalasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin dan umur sapi semua sama sehingga tidak dapat dijadikan sebagai peubah. Waktu pengambilan sampel juga tidak mempengaruhi, 4 lokasi pengambilan sampel juga memiliki kondisi yang sama sehingga tidak dapat diukur pengaruhnya. Hasil pemeriksaan mikroskopik preparat ulas darah menunjukkan bahwa di semua lokasi ditemukan bentuk Theileria sp. di dalam eritrosit. Dari 409 sampel yang diperiksa, 225 sampel dinyatakan positif Theileria sp., sehingga prevalensi keseluruhan adalah 55,01%. Prevalensi di masing-masing lokasi IKHS sebagai berikut Teluk Naga 85/102 (83,3%), Legok 51/109 (46,8%), Lebak 43/100 (43%) dan Cileungsi 46/98 (46,9%). Sapi-sapi yang diamati tidak menunjukkan kelainan klinis seperti halnya sapi yang terinfeksi theileriosis. Sapi yang diamati seluruhnya berasal dari peternakan (farm) di Australia bagian utara. Sebelum pengapalan ke negara tujuan sapi diberi perlakuan yang sama yaitu telah diberikan acaricide, ivermectin atau
anthelmintic. Transportasi sapi dari Australia sampai ke Pelabuhan Tanjung Priok berlangsung selama minimal 5 hari dan paling lama 7 hari bila kondisi cuaca buruk. Sapi ditempatkan dalam kandang terbuat dari besi, dengan batas antar kandang berupa tiang besi, lantai tidak beralas, dilengkapi dengan bak pakan dan air minum. Bahan-bahan konstruksi semua mudah dibersihkan. Tempat pakan terbuat dari bahan plastik, demikian juga bak air minum terbuat dari plastik dengan kran otomatis. Selama pengangkutan hewan keempat kapal yang diamti tidak singgah di pelabuhan lain dan tidak memuat hewan lain, pakan dan air minum cukup tersedia, ada kematian 1-2 ekor karena diinjak/trauma fisik dan bukan karena adanya penyakit infeksius, kapasitas kandang/pen < 2-3 m2/ekor. Sanitasi kapal yaitu pembersihan kandang dilakukan setiap kali setelah di bongkar atau diturunkan sapi-sapinya, serta kondisi ventilasi baik karena ada exhaust fan yang terus dinyalakan di deck kapal bagian bawah dan di deck kapal yang tidak ada jendela. Tidak ditemukan populasi caplak di kapal maupun di instalasi. Tingkat parasitosis 1% dalam penelitian ini termasuk dalam kategori tingkat lebih berat namun tidak mengakibatkan hewan terlihat lebih hebat infeksinya karena kasus 1% hanya terjadi pada 16 ekor sapi dan 209 ekor sapi lainnya memiliki tingkat parasitemia 0,5%. Pemeriksaan darah memperlihatkan bahwa dari 163 sampel darah yang diperiksa diperoleh bahwa nilai PCV tidak signifikan (P>0,05) terhadap terpaparnya theileriosis. Nilai BDM juga tidak signifikan (P>0,05) dengan kejadian infeksi Theileria sp. pada selang kepercayaan 95%. Bangsa/breed sebagai peubah berkaitan secara signifikan terhadap keterpaparan theileriosis (OR=1,95;SK95%=1,24-3,08) artinya bahwa infeksi theileriosis ini lebih tinggi kejadiannya pada Brahman cross dibandingkan Santa gertrudis. Kenaikan berat badan sapi tidak signifikan atau tidak berbeda nyata terhadap terpaparnya theileriosis pada selang kepercayaan 95% (P>0,05). Lokasi IKHS yang diamati semua memiliki kondisi yang hampir sama. Kata kunci : prevalensi, theileriosis, sapi potong, Australia, karantina
©Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK
RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Sri Utami Handajani, M.S.
Judul Tesis Nama NIM
: Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok : Risma Juniarti Paulina Silitonga : B251064064
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S. Ketua
drh. Tutuk Astyawati, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 15 Januari 2009
Tanggal Lulus :
Januari 2009
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan berkatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini bertemakan parasit darah pada sapi potong yang diimpor dari Australia yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 dengan judul Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Karantina Pertanian khususnya Bapak Ir. Syukur Iwantoro, M.S. MBA., yang memberikan dukungan moril dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana, Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S. dan Ibu drh. Tutuk Astyawati, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, tenaga serta motivasi dalam membimbing dari saat persiapan penelitian sampai selesainya tesis ini. Demikian juga kepada pimpinan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu proses pendidikan dan berlangsungnya penelitian. Ucapan yang sama disampaikan kepada Kepala dan staf di Laboratorium Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), Kepala dan staf di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok khususnya Bapak drh. Hadi Wardoko, MM., drh. Pratiwi, drh. Agus Wasana dan temanteman paramedis yang telah membantu selama pengumpulan dan pengujian sampel, Kepala dan staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, Kepala dan staf Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta khususnya Bapak D. Indra Mulya S.Sos, M.Si., Bapak drh. Dwi Agus Sudaryanto serta Bapak drh. Basir Nainggolan yang turut serta membantu proses pendidikan, memberikan motivasi dan memberikan ijin. Tidak terkecuali, kepada teman-teman seangkatan Kelas Khusus Karantina Hewan (Rita, Edi, Arif, Duma, Nunung, Muji, Era, Tatit, Yoyok, Iswan, Endah, Maya, Melani, Arum), teman-teman Pascasarjana lainnya (Sophia, Elfa, Umi, dkk) dan teman-teman kantor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ananda, ibunda tercinta serta seluruh keluarga besar Op. Gabriel Nababan dan Op. Gilbert Silitonga atas segala doa, pengorbanan, semangat dan kasih sayang yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk ilmu pengetahuan khususnya karantina hewan.
Jakarta, Januari 2009 Risma Juniarti Paulina Silitonga
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tapanuli Utara pada tanggal 21 Juni 1976 dari Ayahanda Ir. Jannes Silitonga (Alm) dan Ibunda Ir. Sumarni Nurhaida, BSc. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Tamat dari Sekolah Dasar Negeri IX Dili Timor-Timur tahun 1988 dan Sekolah Menengah Pertama Negeri I Dili Timor-Timur tahun 1991. Pada tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 11 Yogyakarta dan tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Gadjah Mada melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan, lulus Sarjana Kedokteran Hewan tahun 1998 dan lulus Ujian Profesi Dokter Hewan tahun 2000. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Kesehatan Masyarakat Veteriner pada tahun ajaran 1997/1998. Tahun 1999 penulis mulai bekerja sebagai Medik Veteriner Pertama di Balai Karantina Hewan Kelas I Tanjung Priok dan tahun 2007 sampai sekarang sebagai Medik Veteriner Muda di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………………
iii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………...
iv
PENDAHULUAN………………………………………………………............
1
Latar Belakang……………………………………………………………. Permasalahan……………………………………………………………… Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………… Hipotesis Penelitian………………………………………………………..
1 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….
3
Ternak Sapi Potong Australia………………………………...…………… Etiologi Theileriosis……………………………………………………….. Siklus Hidup……………………………………………………………….. Gejala Klinis……………………………………………………………….. Epizootiologi………………………………………………………………. Vektor……………………………………………………………….. Cara Penularan……………………………………………………… Infeksi pada Inang…………………………………………………... Infeksi pada Caplak…………………………………………………. Kejadian Theileriosis di Indonesia………………………………….. Kejadian Theileriosis di Australia…………………………………... Pengenalan Penyakit……………………………………………………….. Berdasarkan Gejala Klinis…………………………………………… Berdasarkan Hematologi…………………………………………….. Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian………………………………... Persyaratan Karantina……………………………………………………… Dampak Theileriosis terhadap Masyarakat…………………………………
3 3 5 6 7 7 8 8 9 10 11 11 11 12 13 13 14
BAHAN DAN METODE………………………………………………………
16
Bahan……………………………………………………………………….. Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………. Bahan Penelitian…………………………………………………….. Metode……………………………………………………………………… Pengambilan Sampel………………………………………………... Pemeriksaan Parasit………………………………………………… Pemeriksaan Darah………………………………………………….. Penimbangan Berat Badan………………………………….............. Pengumpulan Data Kuesioner………………………………………. Pengolahan Data……………………………………………………..
16 16 16 16 16 17 18 18 18 19
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………
20
Pengambilan Sampel……………………………………………………….. Pemeriksaan Parasit………………………………………………………... Gejala Klinis………………………………………………………………... Daerah Asal Peternakan……………………………………………………. Perlakuan di Negara Asal…………………………………………………... Kondisi Kapal selama Perjalanan dari Negara Asal……………………….. Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS)……………………. Vektor………………………………………………………………………. Tingkat Parasitemia………………………………………………………… Pemeriksaan Darah…………………………………………………………. Bangsa/breed……………………………………………………………….. Kenaikan Berat Badan Perhari/Average Daily Gain (ADG)……………….
20 21 22 22 23 24 25 25 25 26 27 28
SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………
30
Simpulan…………………………………………………………………… Saran………………………………………………………………………...
30 30
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
31
LAMPIRAN……………………………………………………………………
36
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Jumlah sampel yang diambil di IKHS……………………………
20
2
Prevalensi Theileria sp. di IKHS…………………………………
21
3
Hasil pemeriksaan tingkat parasitemia pada preparat ulas darah...
26
4
Hasil pemeriksaan darah dengan metode automatic hematology analyzer…………………………………………………………………..
27
Prevalensi Theileria sp. berdasarkan bangsa/breed sapi………….
28
5
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Skizon di dalam limfosit dan piroplasma di dalam eritrosit……...
5
2
Siklus hidup Theileria sp. …………..……………………………
6
3
Theileria sp. di dalam sel darah merah…………………………...
21
DAFTAR SINGKATAN
HPHK spp sp LAI kg ECF OIE AS WOAH IL-2 µm IFAT BPPH FH DI DPIF WTO DFID TD Tsh IKHS BBUS KP FKH IPB BBKP EDTA ml PCV BDM ADG DOF 0 C m2 SE OR SK
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Hama Penyakit Hewan Karantina sub spesies spesies Lembaga Australia Indonesia kilogram East Coast Fever The Office of International des Epizooties Amerika Serikat World Organization for Animal Health Interleukin-2 mikrometer Indirect Fluorescent Antibody Technique Balai Penyidikan Penyakit Hewan Friesian Holstein Daerah Istimewa Department of Primary Industries and Fisheries World Trade Organization Department for International Development Tunisia Dollar Tanzania shilling Instalasi Karantina Hewan Sementara Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Balai Besar Karantina Pertanian Ethylene Diamine Tetraacetic Acid Mililiter Pack Cell Volume Butir Darah Merah Average Daily Gain Day Of Feed derajat celcius meter persegi Septikemia Epizootica Odds Ratio Selang Kepercayaan
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangan hewani khususnya daging sapi, masih harus mengimpor sapi potong dan salah satunya dilakukan dari Australia. Data Departemen Pertanian tahun 2007 menyatakan hampir setiap tahun terjadi peningkatan impor sapi potong. Jumlah impor sapi potong dari Australia tahun 2002 sampai 2005 rata-rata 325.000 – 375.000 ekor sapi, untuk tahun 2006 dan 2007 meningkat menjadi 496.000 ekor sapi (Boediyana 2008). Menurut Meat Livestock Australia (2007), jumlah ekspor sapi potong Australia ke Indonesia tahun 1997 sebesar 424.000 ekor atau sekitar 47% dari total ekspor sapi Australia. Tahun 1998 terjadi penurunan drastis sekitar 41.000 ekor karena terjadi devaluasi rupiah dan tahun 2002 terjadi peningkatan drastis menjadi 426.000 ekor. Kewaspadaan terhadap masuknya berbagai macam penyakit hewan menular tetap harus ditingkatkan sesuai dengan peningkatan impor sapi karena Australia merupakan negara dengan status penyakit yang hampir sama dengan Indonesia. Setiap hewan yang dilalulintaskan harus bebas dari Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK). Dalam hal ini Karantina Hewan harus mampu mendeteksi berbagai penyakit yang mungkin saja lolos dari hasil pemeriksaan di negara asal. Salah satu jenis penyakit yang harus dicegah penyebarannya melalui importasi sapi potong adalah theileriosis. Theileriosis merupakan salah satu HPHK Golongan II yaitu jenis penyakit yang sudah diketahui cara penanganannya dan telah dinyatakan ada di suatu area atau wilayah Negara Republik Indonesia (Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.110/Kpts/TN.530/2/2008). Penyakit parasit darah yang disebabkan oleh Theileria spp. dan Babesia spp. lebih dikenal dengan nama piroplasmosis. Penyakit ini sudah lama menyerang ternak di Indonesia, kejadian penyakit selalu meningkat setiap tahun dan penyebarannya ke seluruh dunia dilakukan oleh caplak. Protozoa ini mengalami siklus hidup di dalam tubuh induk semang antara dan induk semang definitif. Piroplasmosis sangat merugikan peternakan sapi perah dan sapi pedaging karena menyebabkan demam, anemia akibat kerusakan eritrosit, penurunan produksi susu dan kematian (Astyawati 1987).
Permasalahan Kajian tentang theileriosis pada sapi potong asal Australia belum pernah dilakukan. Dalam sertifikat kesehatan hewan (health certificate) yang diterbitkan oleh Australia dinyatakan bahwa sapi-sapi yang diekspor ke Indonesia berasal dari peternakan (farm) yang dalam enam bulan terakhir telah bebas wabah atau tidak menunjukkan gejala klinis theileriosis. Sehubungan hal tersebut perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap theileriosis karena tanpa disadari dampak penyakit ini sangat besar terutama secara ekonomi dapat menyebabkan kerugian akibat penurunan produksi daging dari sapi potong (berat badan turun).
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menghitung prevalensi kasus theileriosis pada sapi potong impor Australia. 2. Mencari faktor-faktor pemicu terjadinya theileriosis seperti sanitasi kapal dan instalasi, letak kandang/pen di kapal, manajemen di instalasi karantina dan adanya vektor (caplak) di kapal/instalasi selama masa karantina. 3. Pencegahan dan pengendalian theileriosis di Indonesia dihubungkan dengan tindakan karantina di masa yang akan datang. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dan memberikan informasi tentang Theileria sp. pada sapi potong impor serta dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi pembuat kebijakan dalam menyusun persyaratan kesehatan hewan (health requirement) untuk importasi hewan khususnya sapi potong asal Australia.
Hipotesis Penelitian Theileria sp. ditemukan atau terdeteksi pada sapi potong impor Australia sejak dari pengapalan, kepadatan kandang dan sanitasi kapal mempengaruhi prevalensi theileriosis.
TINJAUAN PUSTAKA
Ternak Sapi Potong Australia Menurut LAI (1999), ternak sapi banyak dipelihara di daerah tropis di Australia sebelah utara dan di daerah beriklim sedang di bagian selatan. Sebagian besar dipelihara di Australia sebelah utara, di sepanjang pantai maupun di daerah pedalaman. Cara pemeliharaannya dengan menempatkan sapi di kawasan berpagar dan diberi makan. Tujuannya adalah untuk menggemukkan sapi tersebut dalam jangka waktu yang pendek sehingga berat badannya dapat bertambah 1 kilogram beratnya setiap hari. Sekitar 26 juta ekor sapi yang dipelihara terdiri dari berbagai macam keturunan diantaranya sapi campuran khusus yang sangat berhasil diternakkan di daerah tropis. Sapi campuran ini adalah kombinasi antara sapi jenis Eropa Bos taurus dengan sapi jenis Asia berleher bonggol Bos indicus. Beberapa jenis ternak sapi yang dipelihara di Australia adalah Brahman-Bos indicus, Hereford-Bos taurus, Belman Red-Africander/Hereford/Shorthorn (Bos indicus/Bos taurus), Braford-Brahman, Droughtmaster (Bos indicus/Bos taurus), Santa Gertrudis-Shorthorn/Brahman (Bos indicus/Bos taurus). Australia mengekspor ternak hidup ke Indonesia terutama jenis sapi Bos indicus seperti sapi jenis Brahman atau jenis campuran silang seperti sapi jenis Braford dan Droughtmaster. Sapi-sapi jenis ini sangat berhasil diternakkan di daerah tropis. Sapi ini mempunyai ciri yang dimiliki sapi jenis Bos indicus seperti tahan panas, tahan terhadap kekeringan dan serangan kutu. Sapi tersebut juga mempunyai ciri sapi jenis Bos taurus misalnya laju pertumbuhannya tinggi, produksi susunya banyak dan tingkat kesuburannya tinggi. Tahun 1995 Indonesia mulai menjadi tujuan ekspor ternak paling penting bagi Australia dan Indonesia mengimpor lebih dari 220.000 ekor sapi pertahun (LAI 1999).
Etiologi Theileriosis Theileria spp. tergolong protozoa dalam Phylum Apicomplexa, Class Sporozoa, Subclass Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Theileriidae. Apicomplexa merupakan parasit pada hewan dan spesies lainnya yang dapat menyebabkan penyakit malaria, coccidiosis, babesiosis dan theileriosis. Spesies
Theileria yang
menginfeksi sapi yaitu T. parva, T. annulata,
T. mutans,
T. sergenti, T. taurotragi dan T. velifera (Uilenberg 1981 ; Billiouw 2005). Theileriae adalah obligat parasit protozoa intraselular yang menginfeksi sapi domestik maupun liar di seluruh bagian dunia, beberapa spesies juga menginfeksi ruminansia kecil. Parasit ini ditularkan oleh caplak ixodidae dan memiliki siklus hidup yang komplek di dalam inang vertebrata dan invertebrata. Ada enam spesies Theileria spp. yang menginfeksi sapi, dua spesies yang bersifat patogen dan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi adalah T. parva dan T. annulata (Siegel et al. 2006). Theileria parva menginfeksi sapi di 13 negara di Sub-Saharan Afrika mengakibatkan East Coast Fever (ECF), Corridor Disease dan January disease. Theileria annulata menyebabkan Tropical Theileriosis terjadi di Pesisir Mediterania bagian utara Afrika, sampai ke Sudan bagian utara dan Eropa Selatan, Eropa Selatan bagian timur, Timur Tengah, India, China dan Asia Tengah. Theileria taurotragi dan T. mutans umumnya tidak menyebabkan sakit atau penyakit yang ditimbulkannya ringan dan T. velifera bersifat non patogenik. Theileria taurotragi, T. mutans dan T. velifera ditemukan terutama di Afrika, secara epidemiologi hal ini menimbulkan hambatan di dalam mengetahui penyebaran theileriosis pada sapi. Kelompok parasit ini berhubungan dengan T. sergenti/T. buffeli/T. orientalis dan terdistribusi di seluruh dunia (OIE 2008). East Coast Fever ditularkan oleh African brown ear tick “Rhipicephalus appendiculatus” dengan karakterisasi proliferasi limfoblast oleh skizon Theileria yang masuk ke tubuh inang khususnya pada bagian nodul limpatikus, limpa, ginjal, hati dan paru-paru. Lebih dari 20 juta ekor sapi tertular dan mengalami kerugian sebesar 100 juta dollar AS pertahun. ECF merupakan tick borne disease yang sangat penting di Afrika bagian timur dan tengah (Billiouw 2005). Theileria sp. menginfeksi sapi, kambing dan domba. Parasit ini terdistribusi di seluruh dunia, umumnya mengancam produksi peternakan. Spesies paling penting dan dikenal yaitu T. annulata dan T. parva bersifat lymphoproliferative dengan mortalitas serta morbiditas yang tinggi. Disamping spesies Theileria yang memiliki sifat patogen (ganas), ada pula jenis yang tidak ganas (benign) ditemukan menyebar luas pada sapi-sapi di daerah subtropis dan daerah dingin. Taxonomi
dan
nomenklatur
kelompok
parasit
ini
memang
masih
membingungkan. Karakteristik parasit ini kadang sama tetapi sering diberi nama berbeda tergantung pada geografisnya. Pada umumnya, benign Theileria yang dikenal adalah T. sergenti, T. buffeli dan T. orientalis tersebar di Jepang, Australia dan Eropa (Kerdmanee et al. 2001).
Gambar 1 Skizon di dalam limfosit dan piroplasma di dalam eritrosit. (Sumber : Anonim 2007) Siklus Hidup Sporozoit protozoa diproduksi oleh kelenjar ludah nimfa atau caplak dewasa kemudian diinokulasi masuk ke tubuh hewan yang peka pada waktu pemberian pakan. Sporozoit merupakan bentuk infektif masuk ke dalam tubuh sapi melalui gigitan caplak. Sporozoit masuk ke inang melalui sistem limfe menuju ke jaringan limfoid terutama limfonodus dan limpa yang dalam beberapa hari berkembang membentuk badan berinti banyak yang disebut Skizon (Koch’s body) berada dalam sitoplasma limfosit, membentuk merozoit. Merozoit bergerak masuk ke dalam eritrosit, terjadi binary fission di dalam eritrosit. Beberapa merozoit memasuki eritrosit lain, membentuk fase spherical atau ovoid (gamon). Melalui isapan darah gamon masuk ke intestinal nimfa caplak membentuk mikrogamon. Mikrogamon 4 inti membelah menjadi mikrogamet 1 inti kemudian bergabung dengan makrogamet membentuk zigot. Setelah terlihat zigot maka terbentuk kinet motil dari ovoid immobile zigot dan masuk ke dalam sel intestinal caplak. Kinet menjadi menonjol membentuk vakuola. Setelah caplak mengalami rontok (moult) dan menempel ke inang baru, kinet masuk ke dalam sitoplasma sel kelenjar ludah. Selanjutnya kinet membentuk sporon muda yang tumbuh dan mengalami pembelahan inti berulang. Parasit menuju ke dalam sel inang dan dalam sel inang giant, sporon membentuk ribuan sporozoit. Kemudian disebarkan melalui isapan darah (Siegel et al. 2006).
Gambar 2 Siklus hidup Theileria sp. Keterangan : 1. Sporozoit 3. Merozoit 6. Gamon. 8.1-8.4 Mikrogamon dengan 4 inti 8.2 mikrogamet 1 inti. 9. Makrogamet. 10. Zigot. 11-13. Kinete motil 14. sporon muda (Sumber : Mehlhorn, Schein 1984)
Gejala Klinis Masa inkubasi infeksi T. mutans melalui gigitan caplak ialah 10 – 25 hari. Biasanya tidak terlihat gejala-gejala klinik yang jelas, hanya terlihat demam ringan, kebengkakkan kelenjar-kelenjar limfe, ikterus, tremor, menurunnya berat badan, kelemahan dan sedikit anemia. Infeksi T. mutans yang akut pernah dilaporkan dari Afrika Selatan (Tzaneen disease), Jepang, Korea, India dan Australia. Bentuk-bentuk cerebral theileriosis pada sapi yang di Afrika dikenal turning sickness yang disebabkan oleh skizon-skizon T. mutans (WOAH 2005). Patogenesis T. mutans seluruhnya terkait dengan adanya proliferasi intraeritrosit piroplasmosis. Penyakit ini bersifat ringan kadang-kadang terlihat gejala anemia, ikterus dan hemoglobinuria. T. lestoquardi (T. hirci) sangat patogen pada domba dan kambing menunjukkan gejala klinis yang sama dengan
ECF pada sapi yaitu tingkat morbiditas 100% dan mortalitas 46 – 100% (Brown 2007). Menurut Morzaria (1990) patogenesitas Theileria untuk setiap spesies berbeda-beda tergantung kepada strain parasit, tingkat kepekaan inang dan jumlah parasit. Theileria mutans adalah salah satu jenis yang dikenal benign, meskipun strain yang patogen ditemukan di Afrika Selatan. Theileria mutans mengalami limfositik merogoni, pembelahan terjadi di eritrosit dan menyebabkan piroplasma parasitemia dan hemolitik anemia pada inang. Theileria parva membelah di dalam limfosit dan secara patologi dihubungkan dengan kerusakan limfosit. Eritrositik merogoni terbatas dan hemolitik anemia tidak terjadi. Theileria annulata membelah di dalam limfosit dan eritrosit, menyebabkan limfositopenia berat, anemia dan kadang-kadang jaundice. Theileria taurotragi mengalami limfositik dan eritrositik merogoni, dapat menjadi patogen pada rusa tetapi tidak patogen pada sapi.
Epizootiologi Vektor Jenis caplak yang berperan sebagai vektor T. orientalis, T. sergenti dan T. buffeli adalah Haemaphysalis sp. (Fujisaki et al. 1994). Galur caplak disetiap lokasi dapat berbeda kemampuannya dalam menularkan Theileria sp. misalnya H. longcornis di Australia hanya dapat menularkan T. sergenti tetapi tidak menularkan T. buffeli, sebaliknya H. longcornis di Jepang dapat menularkan kedua spesies tersebut (Fujisaki et al. 1993). Pada tahun 1974, Australia mengalami kerugian akibat caplak pada sapi diperkirakan sekitar 62 juta dollar AS (Springell 1983). Brazil mengalami kerugian sekitar 2 juta dollar AS pertahun (Grisi et al. 2002). Caplak mengakibatkan kerugian ekonomi secara langsung menghisap darah dan secara tidak langsung sebagai vektor patogen dan beracun (Rajput et al. 2006). Caplak berpengaruh terhadap menurunnya produksi peternakan melalui perannya sebagai vektor, sebagai contoh kerugian langsung adalah turunnya berat badan, kulit rusak, serta penurunan produksi susu. Kehilangan berat badan pada sapi karena Rhipicephallus appendiculatus betina sekitar 4,4 gram dan Amblyoma
haebraeum betina sekitar 10 gram. Caplak dapat mempengaruhi 800 juta ekor sapi dan sama dengan jumlah domba di dunia. Kerugian secara moneter akibat caplak pada industri peternakan sapi diperkirakan sekitar 7 juta dollar AS pertahun (Imamura et al. 2007).
Cara Penularan Theileriosis secara alami hanya dapat ditularkan oleh caplak secara stage to stage, tanpa ada penularan transovarial karena parasit ini tidak dapat hidup dalam caplak lebih lama dari satu kali ekdisis
(penyilihan).
Theileria parva dan
T. annulata disebarkan oleh caplak. Vektor penting untuk T. parva adalah R. appendiculatus. R. zembeziensis di Afrika Selatan dan R. duttoni di Angola juga dapat menyebarkan ECF, sedangkan T. annulata ditularkan melalui caplak genus Hyalomma (Siegel et al. 2006).
Infeksi pada Inang Mekanisme infeksi T. orientalis dalam tubuh inang dimulai dengan tahap skizogoni yang berlangsung di limfosit dan berakhir dengan bentuk piroplasma yang menginfeksi eritrosit. Mula-mula sporozoit yang dilepaskan oleh caplak dari kelenjar ludah segera menginfeksi leukosit (Morrisson, Taracha, Keever 1995). Sel leukosit yang diinfeksi oleh Theileria sp. pada umumnya adalah limfosit sel-T kecuali T. parva menginfeksi sel-T dan sel-B (Baldwin et al. 1988) dan T. annulata menginfeksi monosit dan sel-B (Spooner et al. 1989). Bentuk sporozoit T. orientalis menginfeksi monosit yaitu setelah kontak dengan monosit sporozoit segera menembus ke dalam monosit secara progresif dan mengikatkan ligand di permukaannya ke reseptor di permukaan monosit. Sporozoit kemudian segera melisiskan membran sel inang yang mengelilinginya, sehingga sporozoit terhindar dari pengaruh lisosomal dan kerusakan serta bebas berkembang di dalam sitoplasma. Di dalam limfosit sporozoit membesar dan intinya membelah berulang-ulang sehingga terbentuk skizon banyak inti yang disebut makroskizon agamon atau Koch’s blue bodies. Makroskizon melekat pada mikrotubuli sel limfosit dan ikut terbelah menjadi dua selama proses mitosis, sehingga makroskizon akan ditemukan lagi pada kedua sel anak (Eichhorn, Dobbelaere
1994). Selama terinfeksi oleh makroskizon, monosit terangsang secara aktif untuk mengekskresikan bahan autokrin yang berfungsi menggertak interleukin-2 (IL-2), sehingga selama terinfeksi
monosit
mengalami
perubahan
bentuk
dan
berproliferasi dengan hebat (Eichhorn, Dobbelaere 1994 ; Morrisson et al. 1995). Selama memperbanyak diri, makroskizon juga melepaskan makromerozoit untuk menyerang
monosit
baru,
kemudian
makromerozoit
berubah
menjadi
makroskizon baru, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh. Setelah 2 minggu, di dalam eritrosit ditemukan makroskizon yang akan menghasilkan mikromerozoit, kemudian mikromerozoit menginfeksi eritrosit dan di dalam eritrosit akan berubah menjadi bentuk piroplasma yang selanjutnya akan menulari caplak lain (Preston 1992).
Infeksi pada Caplak Mekanisme infeksi Theileria sp. pada larva caplak dimulai dari terjadinya perubahan bentuk piroplasma menjadi mikrogamon, mikrogamet, makrogamet, zigot dan kinet di dalam usus, sampai ditemukannya sporozoit dalam kelenjar ludah caplak. Terjadinya infeksi piroplasma pada caplak dimulai sejak larva caplak menghisap darah inang terinfeksi, dan setelah kenyang larva akan jatuh ke tanah. Menurut Higuchi (1987) setelah larva jatuh ke tanah, 10 jam kemudian di dalam isi ususnya ditemukan merozoit, baik di dalam maupun di luar eritrosit terinfeksi. Dalam waktu 24 jam sebagian besar eritrosit hancur, dan di dalam usus nimfa ditemukan merozoit dalam berbagai bentuk, yakni bentuk bundar seperti koma dan bentuk kumparan dengan ukuran antara 1 sampai 2,5 µm. Sekitar 24 sampai 48 jam kemudian, merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi seperti cincin yang berukuran 1-2 µm, dengan sitoplasma bersifat basofilik. Dalam waktu 48-72 jam bentuk cincin berubah menjadi makrogamet, yaitu berbentuk bundar dan lonjong berukuran 3-4 µm dengan inti bersifat eosinofilik dan sitoplasmanya basofilik. Makrogamet juga mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet yaitu seperti kumparan yang berukuran panjang 5 µm. Setelah 3 sampai 5 hari sejak terinfeksi, di dalam usus nimfa akan ditemukan zigot yang berbentuk bundar dan lonjong, dengan ukuran 4-5 µm dan sitoplasmanya berwarna biru terang. Pada
hari ke-6 post infeksi, jumlah zigot dalam usus terlihat mulai berkurang dan pada hari ke-8 semua zigot lenyap dari usus. Pada hari ke-9 di dalam epitel usus nimfa ditemukan protozoa berbentuk bundar berukuran 4-5 µm dan sitoplasmanya berwarna biru gelap. Selanjutnya pada hari ke-13, protozoa bundar membentuk kelompok seperti koloni bakteri pada sitoplasma epitel usus. Kinet terbentuk segera terlihatnya bentuk zigot (Warnecke et al. 1980) dan pada hari ke-50 sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah nimfa (Fujisaki, Kamio 1988 diacu dalam Siswansyah 1996).
Kejadian Theileriosis di Indonesia Prevalensi Theileria sp. pada sapi di Indonesia masih belum banyak diketahui. Theileriosis pada sapi di Indonesia pertama kali ditemukan di Pulau Jawa pada tahun 1912 dan agen penyebabnya mula-mula diduga T. mutans. Namun berdasarkan identifikasi morfologi piroplasma dan uji serologi Indirect Fluorescent Antibody Technique (IFAT), agen penyebab theileriosis pada sapi di Indonesia ditetapkan T. orientalis (Astyawati 1987). Menurut Siswansyah (1990) theileriosis pada ternak sapi dan kerbau di Indonesia umumnya disebabkan oleh T. orientalis (sin. T. mutans). Gejala yang ditimbulkan biasanya tidak jelas dan dikenal pula dengan nama “benign bovine theileriosis”. Prevalensi T. orientalis pada sapi dilaporkan sebesar 30,8% (178/578) dengan tingkat parasitemia ≤ 1% pada 6 kabupaten di Kalimantan Selatan. Menurut Marquerita et al. (1997) berdasarkan pemeriksaan spesimen yang masuk ke Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wilayah I Medan Sumatera Utara pada 10 kabupaten tahun 1995 maka prevalensi atau kejadian theileriosis sebesar 1,3% (4/307) lebih rendah dibandingkan prevalensi Daerah Istimewa Aceh (DI. Aceh) yaitu sebesar 4,3% (10/231). Pada tahun 1996 kejadian theileriosis di Sumatera Utara meningkat menjadi sebesar 3,8% (7/185) sedangkan di Propinsi DI.Aceh menurun menjadi sebesar 0,4% (1/251). Prevalensi rata-rata T. orientalis pada sapi perah Friesian Holstein (FH) laktasi di Kabupaten Bogor dan Cianjur adalah (77/247) 31,2% (Siswansyah 1996).
Kejadian Theileriosis di Australia Distribusi dan prevalensi T. buffeli pada sapi di Queensland, Australia berturut-turut adalah 75% dan 41 %. Hasil tersebut diperoleh dengan pemeriksaan 8854 serum darah diambil dari 357 peternakan menggunakan metode IFAT dan 347 serum darah perifer diambil dari 147 peternakan dengan identifikasi piroplasma. Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa kejadian theileriosis tertinggi di bagian utara dan barat Australia (Stewart et al. 2008). Caplak pada sapi pertama kali ditemukan di Benua Australia bagian utara sebelum abad-19, kemudian menyebar dari Darwin sampai hampir seluruh bagian utara Australia. Distribusi caplak paling utama disebabkan oleh faktor iklim yaitu dibutuhkan kondisi dengan kelembaban tinggi serta berkembang baik pada suhu 15-200C untuk bertelur dan menetas. Kondisi tersebut ditemukan hanya di bagian utara dan pantai utara timur Australia (Anonim 2005). Di Queensland bagian selatan, jumlah caplak menurun diantara pertengahan bulan April sampai bulan Juni. Caplak betina menurun jumlahnya pada awal musim gugur dan dapat memproduksi larva dan bertahan sampai musim dingin, akhirnya menghasilkan jumlah caplak yang sangat banyak pada musim semi. Jika tidak dapat dikendalikan maka caplak berkembang biak lebih banyak pada awal musim gugur dan musim semi. Di bagian utara, caplak meletakkan telur yang produktif di mana saja. Di Queensland bagian tengah, jumlah caplak menurun selama musim dingin ketika di bagian utara Queensland berlangsung musim hujan yang menghambat produksi caplak (DPIF 2007). Di Australia, beberapa caplak keras (ixodid ticks) merupakan vektor penyebab parasit darah pada sapi yaitu T. buffeli. Caplak sapi, Boophilus microplus dianggap merupakan vektor penting. Sekarang ini paling tidak 2 spesies Haemaphysalis yaitu H. longicornis dan H. bancrofti yang dipercaya merupakan vektor paling utama untuk T. buffeli di Australia (Stewart et al. 1987).
Pengenalan Penyakit Berdasarkan Gejala Klinis Gejala klinis yang biasa tampak pada sapi yang terinfeksi adalah kelemahan, berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, petekia pada mukosa konjunctiva,
pembengkakkan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Infeksi pada stadium lanjut menyebabkan hewan tidak bisa berdiri, suhu tubuh dibawah normal (T<38,50C), ikterus, dehidrasi, dan ada kalanya darah ditemukan di feses (Keles et al. 2001). Terjadinya demam hebat ada kaitannya dengan meningkatnya makroskizon, mikroskizon dan piroplasma. Pengamatan klinis ditentukan dengan temperatur rektal dan demam dinyatakan pada temperatur lebih dari 39,50C (Preston 1992). Pemeriksaan parasitologi dilakukan dengan cara mikroskopik pada sediaan ulas darah tipis dan sediaan sentuh limfoglandula, yang diwarnai dengan Giemsa. Pemeriksaan sediaan ulas darah bertujuan untuk menemukan bentuk piroplasma dalam eritrosit dan menentukan tingkat parasitemia hewan terinfeksi, sedangkan pemeriksaan pada sediaan seluruh limfoglandula bertujuan untuk menemukan bentuk makroskizon dan mikroskizon (Preston 1992). Cara menentukan tingkat parasitemia antara lain dapat berdasarkan pada persentasi (%) jumlah eritrosit berparasit dalam 1.000 eritrosit (Kamio, Fujisaki, Minami 1989), jumlah eritrosit yang ditemukan dalam 50 lapangan pandang mikroskop dibagi dengan 100 lapangan pandang (Flach, Ouhelli 1992) atau berdasarkan persentasi eritrosit berparasit dalam beberapa ratus sampai 1.000 eritrosit (Garcia 2001)
Berdasarkan Hematologi Theileria sergenti menyebabkan hypertermia dan anemia (Tanaka et al. 1993). Theileria orientalis menyebabkan anemia kronik yang progresif pada hewan terinfeksi di alam (Uilenberg 1981). Pada keadaan stres, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan parasitemia yang diikuti oleh anemia akut, dengan ditandai turunnya nilai hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit (Kamio et al. 1990). Theileriosis dapat menyebabkan anemia normositik, kemudian berubah menjadi makrositik, yang diikuti dengan menurunnya jumlah limfosit dan meningkatnya jumlah monosit (Preston 1992). Menurut Mbassa et al. (1994), theileriosis dapat menyebabkan panleukemia, yang terdiri dari neutropenia, limfopenia dan eosinopenia. Profil hematologi yang diamati pada penyakit theileriosis adalah nilai hematokrit, eritrosit, lekosit, hemoglobin dan deferensial lekosit yang terdiri dari limfosit, netrofil, eosinofil, monosit dan basofil. Anemia
ditentukan berdasarkan jumlah eritrosit sebesar <5.106/ml, lekopenia berdasarkan jumlah lekosit <4.103/ml, dan lekositik berdasarkan jumlah lekosit >13.103/ml.
Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian Pengobatan infeksi Theileria sp. adalah dengan theilericidal yakni senyawa parvaquone dan turunannya (Keles et al. 2001). Efektifitas penggunaan obat tersebut sangat efektif jika digunakan pada stadium awal munculnya gejala klinis tetapi kurang efektif pada stadium lanjut karena telah terjadi kerusakan yang lebih luas pada limfoid dan jaringan hematopoietik (Siegel et al. 2006 ; Kahn et al. 2008). Beberapa obat lain seperti parvaquone, buparvaquone dan halofuginone laktat dapat digunakan untuk pengobatan ECF. Tetrasiklin juga dapat diberikan tetapi
kadang
menyebabkan
resisten
terhadap
antibiotika.
Keberhasilan
pengobatan sangat ditentukan oleh waktu pemberiannya yaitu pada awal munculnya gejala klinis. Umumnya metode pencegahan theileriosis adalah memberi perlakuan terhadap hewan yang peka. Hewan diinokulasi sporozoit dengan dosis sangat tinggi, yang diperoleh dari caplak dan diberikan secara bersamaan dengan salah satu jenis obat theilericidal. Bila tidak terbentuk proteksi silang (cross protection), maka inokulum harus berisi berbagai spesies atau strain Theileria. Imunitas yang terbentuk dari metode ini akan berlangsung kira-kira 3,5 tahun lamanya. Pengendalian penyakit ini berdasarkan banyak faktor termasuk manajemen, seleksi kelompok hewan resisten, pengendalian caplak, dan imunisasi (Siegel et al. 2006).
Persyaratan Karantina Menurut badan kesehatan hewan dunia (The Office of International des Epizooties/OIE) bekerjasama dengan World Trade Organization (WTO) menetapkan standar perdagangan hewan dan produknya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam importasi sapi dan kerbau dari negara yang dianggap terinfeksi ECF harus tercantum dalam dokumen kesehatan hewan (International Veterinary Certificate).
Adapun
persyaratan
yang
ditetapkan
adalah
hewan
tidak
menunjukkan gejala klinis theileriosis pada saat keberangkatan atau pengapalan, sejak lahir hewan dipelihara di daerah bebas theileriosis selama 2 tahun
sebelumnya, telah dilakukan uji laboratorium 30 hari sebelum pengapalan dengan hasil negatif terhadap parasitemia pada ulas darah dengan metode mikroskopik dan berdasarkan kondisi diatas hewan juga telah diberi perlakuan acaricid sebelum keberangkatan dan sama sekali bebas dari caplak (Siegel et al. 2006).
Dampak Theileriosis terhadap Masyarakat Penyakit disebabkan protozoa genus Theileria, Babesia, Anaplasma dan Cowdria mengakibatkan kerugian besar dalam dunia peternakan. Theileriosis, babesiosis dan anaplasmosis menyebabkan 56.000 – 60.000 ekor sapi mati setiap tahunnya, atau sekitar 74,4% dari total kematian sapi di Tanzania. Bila dikonversikan dengan kerugian daging atau karkas harga 1.000 Tsh/kg (Tsh = Tanzania shilling), dan rata-rata berat karkas yang dihasilkan 100 kg untuk setiap ekor sapi maka ekuivalen dengan 5.614.700.000 Tsh atau 9.357.834 dollar AS. Jika dianggap 40% sapi yang mati adalah betina dewasa dan mampu memproduksi susu rata-rata 1,5 liter maka hal ini ekuivalen dengan 10.106.460 liter susu yang rugi setiap tahunnya. Bila dikonversikan 200 Tsh/liter maka kerugian sebesar 2.021.292.000 Tsh atau 3.368.820 dollar AS, belum termasuk biaya pengobatan. Total kerugian karkas, susu dan biaya pengobatan 8.769.373.000 atau lebih dari 14 juta dollar AS. Kerugian langsung juga mengakibatkan penurunan berat badan hewan, penurunan keuntungan dari penjualan karkas, terlambatnya proses pencapaian target berat badan, penurunan produksi dalam satu generasi/keturunan, kelemahan atau penyakit keturunan, pengafkiran karkas dan organ, penurunan kualitas daging, pembuangan dari kematian atau pengafkiran karkas atau organ, kerugian produksi susu, kerusakan kulit, kehilangan pekerjaan pekerja di peternakan, meningkatnya biaya lain-lain seperti jasa dokter hewan, laboratorium, surveilans, ganti kerugian, vaksinasi, administrasi dan munculnya penyakit harus diimbangi dengan upaya pencegahan dan pengendalian yang tidak dapat tergantikan (Mbassa 1998). Kerugian langsung akibat wabah theileriosis di Zambia Timur didasarkan hanya pada kematian hewan dan biaya pengendalian yang dihitung selama lebih dari 4 tahun diperkirakan sebesar 6 dollar AS pertahun/hewan (Billiouw et al. 2002).
Theileriosis disebabkan oleh T. annulata dapat mengakibatkan kematian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gharbi et al. (2006) terhadap 24 kasus sapi terdiagnosa secara klinis pada tiga peternakan di Tunisia Utara, diperkirakan mengalami kerugian sebesar 1293.733 TD (TD = Tunisia Dollar) atau rata-rata sekitar 53.905 TD setiap kasus yang terjadi. Sapi yang mengalami theileriosis tetap mengalami peningkatan berat badan, pada sapi tidak terinfeksi peningkatan berat badan lebih tinggi dibandingkan sapi terinfeksi theileriosis sub-klinis tanpa anemia. Kehilangan berat badan merupakan komponen paling utama kerugian theileriosis yaitu sekitar 70%, kerugian akibat kematian 22% dan kerugian untuk biaya pengendalian penyakit sebesar 8%. Menurut DFID (2009) tick borne disease termasuk kendala utama dalam dunia peternakan di daerah tropis. Pengaruh theileriosis di Afrika Timur dan Afrika Selatan diperkirakan 168 juta dollar AS, untuk sapi lokal biaya pengendalian penyakit ini diperkirakan 5-14 AS dollar setiap hewan per tahun. Dampak theileriosis di Indonesia yang pernah diteliti pada kasus di Sukabumi pada tahun 1979 terhadap 48 ekor sapi mengakibatkan penurunan produksi susu sekitar 1-2 liter. Disamping itu gejala klinis yang nyata berupa demam dan sebagian besar memperlihatkan gejala subklinis (Supadmo 1980).
BAHAN DAN METODE
Bahan Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah kerja Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok meliputi Pelabuhan Tanjung Priok dan 4 lokasi Instalasi Karantina
Hewan
Sementara
(IKHS).
Pengujian
sampel
dilakukan
di
Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUS KP) Jakarta dan Laboratorium Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB). Penelitian berlangsung selama 3 bulan mulai bulan Agustus 2008 sampai Oktober 2008.
Bahan Penelitian Sebagai bahan penelitian adalah sapi potong impor dari Australia yang diambil sampel darahnya, metanol absolut (95%) untuk fiksasi preparat apus darah, larutan Giemsa sebagai zat pewarna dan minyak emersi. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung venojek ukuran 5 ml dengan jarum dan holder, tabung EDTA (ethylene diamine tetraacetic acid) ukuran 5 ml, gelas obyek, rak preparat, bak pengecatan, mikroskop perbesaran 1000 kali.
Metode Pengambilan Sampel Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel di IKHS. IKHS merupakan lokasi yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina milik importir sapi selama masa karantina. Penentuan jumlah sampel berdasarkan rumus jumlah sampel untuk menduga prevalensi penyakit pada tingkat kepercayaan 95% menurut Thrusfield (2005) yaitu :
1,962 Pexp (1 – Pexp) n = d2 n
= ukuran contoh
Pexp = prevalensi yang diharapkan d
= tingkat kesalahan
Kemudian jumlah sampel di sesuaikan (adjust) dengan formula : N x n nadj = N + n* nadj = ukuran contoh disesuaikan n
= ukuran contoh
n* = ukuran contoh pada populasi besar N = ukuran populasi Berdasarkan rumus diatas, data prevalensi theileriosis di Australia 41% (Stewart et al. 2008) serta asumsi bahwa jumlah populasi rata-rata sapi yang masuk setiap satu bulan melalui Pelabuhan Tanjung Priok sekitar 5.000–10.000 ekor maka jumlah sampel yang diambil adalah 372 sampel. Sampel tersebut diperoleh dari berbagai lokasi IKHS milik importir sapi yang berlokasi disekitar wilayah Jakarta. Penentuan sampel di kandang dilakukan dengan acak random.
Pemeriksaan Parasit Preparat ulas darah tipis dibuat dengan darah sapi yang diambil dari vena coccygealis menggunakan tabung venojek steril berukuran 5 ml yang berisi zat antikoagulan EDTA. Cara pembuatan sediaan ulas darah yaitu mula-mula darah EDTA diulaskan setipis mungkin pada gelas obyek, kemudian segera dikeringkan di udara dengan cara dikipas-kipaskan. Setelah kering difiksasi dengan metanol absolut (95%) selama 2-3 menit. Kemudian dilakukan pewarnaan dengan larutan Giemsa selama 30 menit, dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan di udara, lalu diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali dengan minyak emersi (Ditkeswan 1999). Tujuan pemeriksaan preparat ulas darah tipis ini adalah untuk menemukan bentuk Theileria sp. dalam eritrosit dan menentukan
tingkat parasitemianya yaitu persentasi (%) eritrosit berparasit dalam 200 eritrosit yang diperiksa (Garcia 2001). Prevalensi (%) ditentukan berdasarkan persentasi dari jumlah sapi sampel terinfeksi dari semua sampel yang diperiksa atau jumlah hewan yang sakit pada periode waktu tertentu dari jumlah individu dalam populasi yang berisiko pada periode waktu tertentu (Budiharta 2007). Pemeriksaan Darah Pemeriksaan darah ditujukan untuk mengetahui adanya anemia dan tipe anemia pada hewan yang diperiksa berdasarkan nilai pack cell volume (PCV) dan butir darah merah (BDM). Pemeriksaan dilakukan menggunakan automatic hematology analyzer yang hasil analisanya bisa langsung dibaca setelah sampel darah masuk.
Penimbangan Berat Badan Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh infeksi Theileria sp. terhadap kenaikan berat badan sapi. Data diperoleh dengan menimbang berat badan sapi pada awal kedatangan dan satu bulan setelah tiba di IKHS. Sapi ditimbang berat badannya sebanyak 95 ekor berasal dari satu lokasi IKHS yaitu Lebak-Banten. Kenaikan berat badan perhari atau average daily gain (ADG) dihitung dengan membagi selisih berat badan dengan jumlah hari pemberian pakan atau day of feed (DOF).
Pengumpulan Data Kuesioner Pengumpulan data kuesioner dilakukan oleh peneliti dengan cara wawancara langsung kepada petugas karantina (Dokter Hewan/Paramedis) dan perusahaan feedloters. Parameter yang diamati dibuat dalam blanko kuesioner (Lampiran 1) yaitu meliputi keterangan tentang sapi yang diimpor (bangsa, umur, jenis kelamin), keadaan selama perjalanan dari Australia (kematian, lamanya perjalanan, adanya hewan lain yang diangkut), kondisi kesehatan hewan (ketersediaan pakan, penyakit), kondisi kapal dan instalasi (sanitasi, kapasitas, konstruksi), populasi caplak di kapal dan instalasi, populasi sapi di sekitar instalasi serta perlakuan yang pernah diberikan.
Pengolahan Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji chi-square (x2) untuk menganalisis signifikansi asosiasi antara kejadian penyakit dan faktor resiko dan uji-t (t-test) untuk menganalisis perbedaan data kontinyu (jujuh) berdasarkan dua kategori (Martin et al. 1987). Data kuesioner diolah berdasarkan peubah yang dilihat yaitu kelompok umur, lokasi atau daerah asal peternakan (farm), waktu pengambilan sampel (bulan, musim), jenis kelamin serta lokasi instalasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengambilan Sampel Jumlah sampel menurut Thrusfield (2005) dihitung berdasarkan prevalensi theileriosis di Australia 41% (Stewart et al. 2008) dan rata-rata populasi sapi yang diimpor sebanyak 5.000-10.000 ekor maka jumlah sampel yang diambil sebanyak 372 sampel, sedangkan dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 409 dari 4 lokasi IKHS (Tabel 1). Tabel 1 Jumlah sampel yang diambil di IKHS
No
1 2 3 4
Lokasi IKHS
Teluk Naga-Tangerang Legok-Tangerang Lebak-Banten Cileungsi-Bogor
Total
Jenis kelamin Betina
<1 tahun
Umur 1-3 tahun
>3 tahun
100 109 98 102
-
-
100 109 98 102
-
409
-
-
409
-
Jumlah sampel (ekor)
Jantan
100 109 98 102
409
Berdasarkan tabel diatas semua sapi yang diimpor berjenis kelamin jantan dan berumur 1-3 tahun sehingga dalam hal ini tidak dapat dijadikan sebagai peubah. Parameter waktu pengambilan sampel, apakah musim hujan atau kemarau tidak dapat dijadikan acuan karena pengambilan sampel seluruhnya dilakukan pada bulan September (musim kemarau), jadi peubah ini seragam. Pengambilan sampel darah sapi dilakukan di empat lokasi (Tabel 1) IKHS yang berada pada kondisi lingkungan dan manajemen pemeliharaan sapi juga seragam.
Pemeriksaan Parasit Hasil pemeriksaan mikroskopik preparat ulas darah menunjukkan bahwa di semua lokasi ditemukan bentuk Theileria sp. di dalam eritrosit (Gambar 3).
Gambar 3 Theileria sp. di dalam sel darah merah. Dari total 409 sampel yang diperiksa, 225 sampel dinyatakan positif Theileria sp., sehingga dinyatakan bahwa prevalensi keseluruhan sapi potong dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah 55,01%. Berturut-turut prevalensi di masing-masing lokasi IKHS sebagai berikut Teluk Naga 85/102 (83,3%), Legok 51/109 (46,8%), Lebak 43/100 (43,0%) dan Cileungsi 46/98 (46,9%) (Tabel 2).
Tabel 2 Prevalensi Theileria sp. di IKHS
No.
1 2 3 4
Lokasi IKHS
Teluk Naga-Tangerang Legok-Tangerang Lebak-Banten Cileungsi-Bogor
Total rata-rata
Jumlah sapi Jumlah darah sapi diamati positif Theileria sp. Prevalensi (ekor) (ekor)
Persentasi (%)
102 109 100 98
85 51 43 46
85/102 51/109 43/100 46/98
83,3 46,8 43,0 46,9
409
225
225/409
55,01
Prevalensi theileriosis tertinggi terjadi di Teluk Naga, bila dilihat dari topografi letak lokasi Teluk Naga dekat dengan permukaan laut (dataran rendah) dibandingkan dengan lokasi lainnya. Dilihat dari sudut letak lokasi seharusnya parasit banyak ditemukan di dataran tinggi. Penelitian yang dilakukan Siswansyah (1996) menunjukkan bahwa prevalensi T. orientalis pada sapi FH di daerah
dataran tinggi relatif tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah. Hal ini diduga erat kaitannya dengan tingkat keberhasilan perkembangan T. orientalis di dalam tubuh vektor yang lebih menyenangi kondisi lingkungan dengan temperatur antara 20-250C. Vektor infektif yang terdapat di daerah dataran tinggi, populasinya relatif lebih tinggi dibandingkan dataran rendah. Variasi prevalensi di masingmasing lokasi IKHS kemungkinan ada hubungannya dengan keadaan alam yaitu iklim tropis yang dapat menyebabkan berlangsungnya perkembangan induk semang antara dan vektor di sepanjang tahun. Berperan sebagai induk semang antara, yakni caplak dan vektor mekanik, terutama lalat penghisap darah dan nyamuk. Disamping itu sanitasi lingkungan meliputi kebersihan kandang dan kebersihan ternak diduga dapat mendukung perkembangan serangga.
Gejala Klinis Pada penelitian ini sapi-sapi yang diamati tidak menunjukkan adanya kelainan klinis seperti halnya sapi yang terinfeksi Theileria sp. yaitu demam, kebengkakkan kelenjar-kelenjar limfe, ikterus, tremor, menurunnya berat badan, kelemahan dan sedikit anemia. Sapi-sapi terlihat sehat dan tidak tampak kurus ataupun lemah. Bila dikaitkan dengan hasil pemeriksaan parasit maka tidak terlihat adanya perbedaan kondisi kesehatan antara sapi terinfeksi Theileria sp. dengan sapi tidak terinfeksi. Hal ini menunjukkan bahwa sapi terinfeksi Theileria sp. pada penelitian ini infeksinya bersifat sub klinis sehingga tidak berpengaruh terhadap kenaikan berat badan. Sesuai dengan pendapat Kamio et al. (1990) bahwa sapi potong yang terinfeksi T. Orientalis di alam dilaporkan prevalensinya cukup tinggi, tetapi tingkat parasitemianya rendah dan tidak menunjukkan gejala klinis.
Daerah Asal Peternakan Berdasarkan data kuesioner diperoleh informasi bahwa sapi yang diamati seluruhnya berasal dari peternakan (farm) di Australia bagian utara (Northern Territory). Daerah bagian utara Australia merupakan daerah peternakan sapi dan paling banyak populasi caplaknya karena daerah ini memiliki kelembaban tinggi yang baik untuk berkembangnya caplak (Anonim 2005). Daerah ini meliputi
Darwin, Queensland, Broome. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Stewart et al. (1992) bahwa kejadian theileriosis tertinggi di bagian utara dan barat Australia. Jadi kemungkinan ada kaitannya dengan infeksi Theileria sp. pada sapi bakalan/potong yang diamati dalam penelitian ini.
Perlakuan di Negara Asal Data yang diperoleh dari sertifikat kesehatan hewan dari negara asal yang diterbitkan oleh Dokter Hewan berwenang di negara asal menyatakan bahwa sebelum pengapalan ke negara tujuan sapi diberi perlakuan yang sama yaitu telah diberikan parasiticide dan perendaman disinfektan (dipping) untuk parasit eksternal dalam 14 hari sebelum pengapalan dan telah diberikan ivermectin atau anthelmintic untuk endoparasit dalam 40 hari sebelum diekspor. Menurut Kahn et al. (2008) maksud pemberian parasitide berupa akarisida adalah untuk membunuh larva, nimfa dan dewasa caplak ixodidae. Akarisida biasanya digunakan pada ternak dengan cara perendaman dan penyemprotan serta dianggap sistem perendaman lebih efektif. Baru-baru ini, beberapa jenis akarisida telah dikembangkan termasuk bentuk implan dan bolus, pour-on (digunakan pada punggung dan menyebar lebih cepat ke semua permukaan tubuh) dan spot-on (hampir sama dengan pour-on tetapi penyebarannya kurang cepat). Adanya perlakuan tersebut menyatakan bahwa Australia belum bebas theileriosis, sedangkan
pemilihan waktu pemberian dimaksudkan
untuk
memotong siklus hidup dari parasit eksternal maupun endoparasit. Perlakuan parasiticide sebelum pengapalan berdampak terhadap tidak ditemukannya caplak di kapal. Hal ini berkaitan pula dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa jumlah parasit yang ditemukan masih sedikit dan kemungkinan berada dalam stadium gamon, sehingga gejala klinisnya juga tidak jelas. Bila dikaitkan dengan aturan OIE yaitu telah dilakukan uji laboratorium dengan hasil negatif 30 hari sebelum pengapalan dan juga negatif terhadap parasitemia maka dapat dikatakan Australia sebagai negara asal tidak menjalankan aturan yang telah ditetapkan. Indonesia seharusnya sebagai negara pengimpor tetap waspada terhadap berbagai penyakit yang mungkin saja dapat terbawa saat impor hewan hidup.
Pada suatu area yang tidak dilakukan pengendalian, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan program pengendalian caplak secara intensif dapat menjadi penghalang. Atas dasar tersebut, strategi pengendalian caplak terpadu dapat dilakukan. Efektifitas dari strategi tersebut memerlukan pengetahuan yang lebih baik tentang dinamika dari agen penyakit, hospes, vektor caplak dan lingkungan hidupnya. Peraturan karantina yang ketat perlu dilakukan untuk mencegah masuknya kembali caplak di negara yang pernah tertular tick borne disease dan telah dilakukan pemberantasan. Kesesuaian tentang iklim, sistem informasi geografis dan sistem yang canggih (expert system) yang berdasarkan pada pengetahuan para ahli dipergunakan untuk mengidentifikasi area yang tidak dapat terinfeksi caplak atau caplak tersebut tidak bisa berkembang jika masuk di suatu area (Kahn et al. 2008).
Kondisi Kapal selama Perjalanan dari Negara Asal Transportasi sapi dari Australia sampai ke Pelabuhan Tanjung Priok berlangsung selama minimal 5 hari dan paling lama 7 hari bila kondisi cuaca buruk, diangkut dengan kapal khusus angkut hewan berkapasitas antara 2.000 sampai 15.000 ekor tergantung besarnya kapal. Sapi ditempatkan dalam kandang terbuat dari besi memiliki batas antar kandang berupa tiang besi, lantai tidak beralas, dilengkapi dengan bak pakan dan air minum. Bahan-bahan konstruksi semua mudah dibersihkan. Tempat pakan terbuat dari bahan plastik, demikian juga bak air minum terbuat dari plastik dengan kran otomatis. Pengamatan terhadap empat kapal pengangkut sapi diperoleh gambaran bahwa selama pengangkutan hewan, kapal tidak singgah di pelabuhan lain dan tidak memuat hewan lain, pakan dan air minum cukup tersedia. Kematian 1-2 ekor terjadi selama perjalanan karena diinjak/trauma fisik dan bukan karena adanya penyakit infeksius, kapasitas kandang/pen < 2-3 m2/ekor. Pembersihan kandang dilakukan setiap kali setelah di bongkar atau diturunkan sapi-sapinya, serta kondisi ventilasi baik karena ada exhaust fan yang terus dinyalakan di deck kapal bagian bawah dan di deck kapal yang tidak ada jendela.
Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) Pengamatan juga dilakukan di IKHS yang merupakan tempat penampungan untuk penggemukan sapi selama kurang lebih 3 bulan sebelum dijual. Di IKHS inilah petugas karantina melakukan tindakan pengamatan selama minimal 14 hari. Semua lokasi IKHS yang diamati memiliki kondisi yang hampir sama yaitu konstruksi kandang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan merupakan bangunan permanen, lantai kandang terbuat dari semen, batas antar kandang berupa tiang besi, bentuk naungan berupa atap asbes. Sanitasi kandang baik yaitu kandang dibersihkan 1x/hari, sinar matahari masuk ke kandang, jumlah pakan dan waktu pemberian pakan 2x/hari dan minum ad libitum dengan jenis pakan berupa konsentrat. Kapasitas kandang perekor 2-3 m2/ekor, tidak ditemukan populasi caplak serta tidak ada populasi ruminansia lain di sekitar kandang. Jenis vaksinasi yang diberikan adalah Septikemia Epizootica (SE) dan bila kondisi hewan sehat tidak diberikan antibiotika.
Vektor Pengamatan terhadap keberadaan caplak di kapal dan di lokasi instalasi, ternyata tidak ditemukan adanya populasi caplak di kapal maupun di lokasi instalasi. Ini menunjukkan bahwa sanitasi sapi, kapal maupun instalasi cukup baik. Sinar matahari yang masuk dan ventilasi yang cukup di kandang maupun di kapal selama pengangkutan dari Australia mendukung tidak berkembangnya vektor ini.
Tingkat Parasitemia Tingkat parasitemia sapi-sapi yang diamati dalam penelitian ini sangat kecil yaitu 0,5% sampai 1% (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil pemeriksaan tingkat parasitemia pada preparat ulas darah
Tingkat Parasitemia 0,5% 1%
No.
Lokasi IKHS
Jumlah Sampel (ekor)
Jumlah Positif Theileria sp. (ekor)
1 2 3 4
Teluk Naga-Tangerang Legok-Tangerang Lebak- Banten Cileungsi-Bogor
102 109 100 98
85 51 43 46
79 51 36 43
6 7 3
409
225
209
16
Jumlah Total
Menurut Ndungu, Brown, Dolan (2005) tingkat parasitosis theilerioisis diklasifikasikan menjadi tingkat ringan (mild reaction) adalah bila skizon ditemukan satu dalam satu lapang pandang (parasitosis <1%), tingkat yang lebih berat (severe reaction) yaitu bila ditemukan skizon 50% atau lebih dari total eritrosit yang diperiksa (parasitosis 1-5%), sedangkan tingkat yang berat sekali (very severe reaction) yaitu skizon ditemukan pada semua lapang pandang (parasitosisnya >5%). Tingkat parasitosis 1% dalam penelitian ini termasuk dalam kategori tingkat lebih berat namun tidak mengakibatkan hewan terlihat sakit karena kasus 1% hanya terjadi pada 16 ekor sapi dan 209 ekor sapi memiliki tingkat parasitemia 0,5%. Gejala klinis berupa demam terjadi pada saat parasitemia 1% (Siswansyah 1996).
Pemeriksaan Darah Hasil pemeriksaan darah menunjukkan bahwa profil hematologi sangat dipengaruhi oleh tingkat parasitemia (Siswansyah 1996). Hasil pemeriksaan darah (Tabel 4) memperlihatkan bahwa nilai PCV tidak signifikan (P>0,05) terhadap terpaparnya theileriosis, artinya nilai PCV tidak berbeda nyata dengan infeksi Theileria sp. pada selang kepercayaan 95%. Demikian pula dengan nilai BDM juga tidak signifikan (P>0,05) atau nilai BDM tidak berbeda nyata dengan kejadian infeksi Theileria sp. pada selang kepercayaan 95%. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Kamio et al. (1990) yang menyatakan bahwa
theileriosis dapat menyebabkan menurunnya nilai hematokrit dan eritrosit yang diikuti dengan gejala anemia akut, sedangkan dalam penelitian ini tidak tampak gambaran darah sapi terinfeksi mengalami perubahan.
Tabel 4 Hasil pemeriksaan darah dengan metode automatic hematology analyzer
Jenis analisa darah
PCV : - Normal - Dibawah normal
Nilai
Jumlah sampel (ekor)
24-46% < 24%
149 14
5,0-10,0 x 106/µl
160
BDM : - Normal - Dibawah normal
6
< 5,0 x 10 /µl
3
Sumber : Schalm et al. (1975)
Bangsa/breed Bangsa sapi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 2 jenis yaitu 309 ekor Brahman cross dan 100 ekor Santa gertrudis. Tabel 5 memperlihatkan bahwa bangsa/breed sebagai peubah berkaitan secara signifikan terhadap keterpaparan terhadap theileriosis (OR=1,95;SK95%=1,24-3,08) artinya bahwa infeksi theileriosis ini lebih tinggi kejadiannya pada Brahman cross dibandingkan Santa gertrudis. Hal ini menunjukkan bahwa jenis bangsa atau breed berpengaruh terhadap kejadian theileriosis, meskipun kedua jenis ini termasuk dalam kategori yang sama yaitu Bos indicus. Menurut DPIF (2007) dan McGregor (2006), Bos indicus merupakan jenis sapi Asia yang biasanya hidup di daerah tropis bahkan sering disebut dengan tropical breed, memiliki tingkat resistensi yang lebih baik dalam menahan berkembangnya caplak pada tubuh sapi sebagai vektor dibandingkan Bos taurus (ras British dan Eropa). Adanya pengaruh yang signifikan ini kemungkinan dapat disebabkan cara hidup (habitat) di lingkungannya, atau karena genetik hewan itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Ndungu, Brown, Dolan (2005) menyatakan tidak ada perbedaan signifikan
antara Bos indicus dan Bos taurus untuk terpaparnya infeksi T. parva, sedangkan penelitian yang dilakukan terhadap Bos indicus didaerah endemik dan Bos indicus di daerah bebas ECF menyatakan bahwa ada perbedaan signifikan dalam mengontrol ECF. Bos Indicus di daerah endemik lebih resisten dibandingkan di daerah bebas ECF. Tabel 5 Prevalensi Theileria sp. berdasarkan bangsa/breed sapi
No.
Bangsa/Breed
Jumlah sampel
Negatif Theileria sp. (ekor )
%
Positif Theileria sp. (ekor)
%
1 2
Santa gertrudis Brahman cross
100 309
57 127
57 41,1
43 182
43 58,9
409
184
45
225
55
Total Rata-rata
Kenaikan Berat Badan Perhari / Average Daily Gain (ADG) Tujuan mengetahui ADG untuk mendapat gambaran pengaruh berat badan sapi dan kerugian secara ekonomi akibat infeksi parasit darah ini. Pada keadaan normal pertambahan berat badan sapi potong Brahman cross rata-rata 1,2 kg/hari (Harjono 2008). Penimbangan berat badan dilakukan terhadap 95 ekor sapi yang diamati menunjukkan bahwa 75 ekor dengan ADG normal (≥ 1,2 kg/hari) dan 20 ekor lainnya memiliki ADG tidak normal (< 1,2 kg/hari). Kenaikan berat badan sapi tidak signifikan atau tidak berbeda nyata terhadap terpaparnya theileriosis pada selang kepercayaan 95% (P>0,05). Hal ini sesuai dengan theileriosis pada penelitian ini bersifat sub klinis sehingga tidak mempengaruhi berat badan. Theileria sp. pada sapi potong dari Australia ini diperoleh sejak pengapalan dari Australia. Waktu perjalanan sapi dari maksimum 7 hari, waktu pengambilan sampel ulas darah pada hari ke-4 setelah hewan tiba dikaitkan dengan masa inkubasi parasit ini selama 10-25 hari mendukung pernyataan tersebut. Prevalensi penyakit parasit darah ini cukup tinggi, namun tingkat parasitemia pada hewan-hewan terinfeksi rata-rata hanya 0,5%. Demikian pula gejala klinisnya tidak terlihat jelas. Dari berbagai faktor dapat disimpulkan bahwa
spesies Theileria yang menginfeksi sapi-sapi impor ini adalah spesies Theileria yang tidak ganas (benign). Sesuai dengan pendapat Uilenberg (1981) dan Kerdmanee et al. (2001) bahwa Theileria spp. ada yang tidak ganas menyebar luas pada sapi-sapi di daerah subtropis dan daerah dingin. Benign Theileria yang biasa dikenal adalah T. sergenti, T. buffeli dan T. orientalis yang tersebar di Jepang, Australia dan Eropa. Penyakit ini perlu mendapat perhatian karena apabila hewan-hewan terinfeksi ini mengalami stres, maka penyakit yang bersifat laten tersebut dapat berubah menjadi akut dan bisa berakibat fatal (kematian). Disamping itu, pada penyakit yang bersifat menahun, walaupun gejalanya tidak begitu serius, hewan yang bersangkutan akan mengalami penurunan berat badan, gangguan pertumbuhan, penurunan produksi daging dan produksi kerja (Siswansyah 1990). Faktor lingkungan yaitu iklim, kelembaban dan adanya populasi vektor theileriosis di negara kita dapat menjadi pemicu berkembangnya parasit darah ini. Dalam hal ini pencegahan yang diperlukan adalah perlakuan untuk mengurangi vektor dengan dipping, sanitasi kandang, sanitasi hewan dan manajemen pemeliharaan yang baik atau diberikan imunitas melalui vaksinasi. Pencegahan berkembangnya penyakit ini diperlukan pula usaha-usaha yang penting dilakukan oleh negara-negara pengimpor sapi yaitu dengan mengurangi stres. Tindakan yang diperlukan untuk mengurangi stres pada sapi yang diimpor adalah memilih waktu importasi yang tepat, penanganan sapi yang baik saat pembongkaran,
meningkatkan
pengetahuan
ataupun
pengalaman
pengenalan penyakit, seleksi hewan dan lain sebagainya (Callow 1980).
dalam
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Theileriosis diduga kuat diperoleh sapi sejak sebelum pengapalan dari Australia dengan prevalensi 55,01% dan tingkat parasitemia rendah (0,5%-1%). Prevalensi di lokasi IKHS bervariasi yaitu Teluk Naga 85/102 (83,3%), Legok 51/109 (46,8%), Lebak 43/100 (43%) dan Cileungsi 46/98 (46,9%). Brahman cross lebih peka terhadap Theileria sp. dibandingkan Santa gertrudis. Faktorfaktor lain seperti sanitasi kapal dan instalasi, keberadaan vektor serta manajemen selama masa karantina tidak dapat dijadikan parameter karena memiliki kondisi yang
sama.
Tindakan
karantina
untuk
pencegahan
theileriosis
dengan
mempersyaratkan letak IKHS terisolasi dari populasi ruminansia lain dan selama di IKHS tetap dilakukan dipping dan spraying. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis/spesies Theileria yang menginfeksi sapi potong asal Australia apakah sudah ada di Indonesia. Persyaratan kesehatan hewan untuk pemasukan sapi potong hidup yang sudah ada supaya diperbaharui yaitu dengan memperketat ketentuan impor bagi ruminansia hidup.
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2005. Livestock health. Animal Health in Australia 2005. http://www.aeva.ava.com.au/policies/ehv.htm [12 Nopember 2007]. [Anonim]. 2007.Theileriosis. http://theileria.animaldiseases.org/index.php?Option =com_ joomlaboard&func =view&id=12&catid=4#12 [5 Nopember 2007] Astyawati T. 1987. Diagnosis piroplasmosis pada sapi perah dengan metode Fluoresein Antibodi Tidak Langsung dibandingkan dengan Giemsa-MayGrunwald. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Baldwin CL, Black SJ, Brown WC, Conrad PA, Goddeeris BM, Kinuthia SW, Loler PA, Mac Hugh ND, Morrison WI, Morzaria SP, Naessens J, Newson J. 1988. Bovine T-cells, B-cells and null cells are transformed by the protozoan parasite Theileria parva. Infect. Immun 56:462-467 Billiouw M, Vercruysse J, Marcotty T, Speybroeck N, Chaka G, Berkvens D. 2002. Theileria parva epidemics : a case study in eastern Zambia. Vet parasitol 107:51-63 Billiouw M. 2005. The epidemiology of bovine theileriosis in the Eastern Province of Zambia. Laboratorium voor Parasitologie. Faculteit Diergeneeskunde. Universiteit Gent. Boediyana T. 2008. Industri sapi potong Indonesia. www.agribisnews.com [10 Oktober 2008] Brown CGD. 2007. Diagnosis and control tropical theileriosis. DFID Animal Health Programme. Centre for Tropical Veterinary Medicine. University of Edinburgh Press. United Kingdom. Budiharta S, Suardana IW. 2007. Buku Ajar Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Ed ke-1. Penerbit Universitas Udayana. Callow LL. 1980. Tick and tick-borne diseases as a barrier to the introduction of exotic cattle to the tropics. Department of Primary Industries, Animal Research Institute, Yeerongpilly, Queensland 4105 Australia [Ditkeswan] Direktorat Bina Kesehatan Hewan. 1999. Manual Standar Metode Diagnosa. Laboratorium Kesehatan Hewan. Direktur Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
[DFID] Department for International Development. 2009. Animal Health Programme. Centre for Tropical Veterinary Medicine. http://www.vet.ed.ac.uk/ctvm/AHP/ahp/index.htm [4 Januari 2009] [DPIF] Department of Primary Industries and Fisheries. 2007. The cattle tick. Queensland Government. http://www.vet.ed.ac.uk/dpif/CT/ct/index.htm [4 Januari 2009] Eichhorn M, Dobbelaere DAE. 1994. Induction of signal transduction pathways in lymphocytes infected by Theileria parva. Parasitologi today 10:469-472 Flach EJ, Ouhelli H. 1992. The epidemiology of tropical theileriosis (Theileria annulata in catlle) in an endemic area of Marrocco. Vet Parasitol 44:51-65 Fujisaki K, Kamio T, Kawazu S, Shimizu S, Shimura S. 1993. Theileria sergenti experimental transmission by the long-nosed cattle lose, Linognathus vituli Annals. Trop. Med. Parasitol 87:217-218. Fujisaki K, Kawazu S, Kamio T. 1994. The taxonomy of the bovine Theileria sp. Parasitology Today 10:31-33. Garcia LS. 2001. Diagnostic Medical Parasitology. Ed ke-4. Washington DC. ASM Press. Gharbi M, Sassi L, Dorchies P, Darghouth MA. 2006. Infection of calves with Theileria annulata in Tunisia : Economic analysis and evaluation of the potential benefit of vaccination. Vet Parasitol 137:231-241 Grisi L, Massard CL, Moya BGE, Pereira JB. 2002. Impacto economico das principais ectoparasitoses em bovinos no Brasil. A Hora Veterinaria 21:810 Harjono M. 2008. Penggemukan sapi Australia untuk peternak di sekitar perusahaan dengan pola inti plasma pada perusahaan Kadila Lestari Jaya Cijapati Bandung. Karya Tulis Ilmiah. Program Studi Peternakan. Politeknik Pertanian Universitas Andalas. Higuchi S. 1987. Development of Theileria sergenti in the midgut of the tick, Haemaphysalis longicornis. Jpn. J. Vet. Sci 49:341-347 Hussein AH, Mohammed N.A.-E.-S, Mohammed HK. 2003. Theileriosis and babesiosis in cattle : Haemogram and some biochemical parameters. Egypt. Assiut University, 71526 Assiut.
Department of Animal Medicine. Faculty of Veterinary Medicine. Imamura S, Konnai S, Chashi K, Onuma M. 2007. Recent topics of candidate antigens for immunological control of ixodid ticks. Acta Scientiae Vet 35:1-16. Kahn CM et al. 2008. The Merck Veterinary Manual. Ed ke-9. Whitehouse Station, NJ USA. Merck & Co., Inc. Kamio T, Fujisaki K, Minami T. 1989. Correlation between the infection rate of the vector tick, Haemaphysalis longicornis and the parasitaemia of catlle infected with Theileria sergenti. Annals. Trop. Med. Parasitol. 83:77-83 Kamio T, Rajamanickam C, Kawazu, Fujisaki F. 1990. Epidemiology and pathogenicity of bovine theileriosis in Malaysia. JARQ 24:231-234 Keles I, Deger S, Altug N, Karaca M, Akdemir C. 2001. Tick-borne disease in cattle : clinical and haematological findings, diagnosis, treatment, seasonal distribution, breed, sex and age factors and the transmitter of the disease. Yyu Vet.Fak.Derg 12:26-32 Kerdmanee C, Sarataphan N, Mungthin M, Chansiri K, Chansiri G, Tan-ariya P. 2001. A preliminary study on drug responsiveness of a benign Theileria Thai isolate to anti-hemosporozoal compounds and plant extract using two different methods. J. Trop. Med. Parasitol 24:63-70. [LAI] Lembaga Australia Indonesia. 1999. Pertanian Australia. Geografi Australia. http://www.australia.lai/geografi/pertanian.htm. [21 Juli 2008]. Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. Principles and Methods First Edition. Iowa State University Press. Ames. Marquerita I, Sembiring S, Pakpahan S. 1997. Laporan hasil pemeriksaan terhadap theileriosis dan anaplasmosis pada sapi di Propinsi Sumatera Utara dan D.I. Aceh tahun 1995-1996. BPPH Wilayah I Medan. Dirjen Peternakan. Bulletin Veteriner No I. Mbassa GKO, Balemba O, Maselle RM, Mwaga NV. 1994. Severe anemia due to haematopoietic precursor cell destruction in field cases of East Coast Fever in Tanzania. Vet Parasitol 52:243-256 Mbassa GKO. 1998. Impact economic of blood parasite. Departement of Veterinary Anatomy. Faculty of Veterinary Medicine. Sokoine University of Agriculture. McGregor P. 2006. Cattle ticks. Agriculture and Fisheries Compliance Operations, Wollongbar. NSW Department of Primary Industries. Primefact 79.
Mehlhorn H, Schein E. 1984. The piroplasm ; lifecycle and sexual stages. In J.R.baker and R.Muller, ed. Advances in Parasitology 23:37-103 [MLA] Meat and Livestock Australia Limited. 2007. Live cattle export trade. Importance to Nothern and Shouthern Australian Beef Industries. www.mla.com.au [2 Juli 2008]. Morzaria SP. 1990. Identification of Theleria spesies and characterization of Theileria parva stocks. International Laboratory for Research on Animal Disease. Kenya. Morrison WI, Tarracha ELN, McKeever DJ. 1995. Theileriosis : progress towards vaccine development through understanding immune responses to the parasite. Vet.parasitol. 57:177-187 Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of susceptibility between Bos indicus and Bos taurus cattle types to Theileria parva infection. Onderstepoort Journal of Veterinary Research 72:13-22 Preston PM. 1992. Tropical theileriosis in Bos taurus dan Bos taurus cross Bos indicus calves, response to infection with graded doses of sporozoites of Theileria annulata. Res. Vet. Res. Sci. 53:230-243 Rajput ZI, Song-hua HU, Chen W, Arijo AG, Xiao C. 2006. Importance of tick and their chemical and immunological control in livestock. J Zhejiang Univ Sci B 7:912-921 Schalm OW, Jain NC, Caroll EJ. 1975. Veterinary Hematology. Lea and Febriger, Philadelphia. Siswansyah DD. 1990. Prevalensi theileriosis, babesiosis dan anaplasmosis pada sapi dan kerbau di Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Veteriner. Balitbang Pertanian. Penyakit Hewan XXII 39:50-54. Siswansyah DD. 1996. Studi patogenesitas Theileria orientalis pada sapi Friesian Holstein. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Siegel S, Howerth E, Leroy BE. 2006. East Coast Fever (Theileria parva)-A Review. Veterinary Clinical Pathology Clerkship Program. Department of Pathology, College of Veterinary Medicine. University of Geo Athens. Spooner RL, Innes EA, Glass EJ, Brown CGD. 1989. Theileria annulata and Theileria parva infect and transform different bovine mononuclear cells. Immunology 66:284-288
Springell PH. 1983. The cattle tick in relation to animal production in Australia. Wld Anim Rev (FAO) 36:1-5 Stewart NP, McGregor W, Shiels I. 1987. Haemaphysalis humerosa, not H.longicornis, is the likely vector of Theileria buffeli in Australia. Austr Vet Journ 64:20-282. Stewart NP, Standfast NF, Baldock FC, Reid DJ, de Vos AJ. 2008. The distribution and prevalence of Theileria buffeli in cattle in Queensland. Austr Vet Journ 69:59-61. Supadmo T. 1980. Kasus theileriosis di Sukabumi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tanaka M et al. 1993. Detection of Theileria sergenti infection in cattle by Polymerase Chain Reaction amplification of parasite-spesific DNA. J.Clin.Micro 31:2565-2569 Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology Ed ke-3. Veterinary Clinical Studies, Royal (Dick) School of Veterinary Studies, University of Edinburgh. Blackwell Science Ltd. Butterworth & Co, London. Uilenberg G. 1981. Theileria species of domestic livestock. Martinus Nijhoff Publishers. The Hague. Boston, London.hlm 4-37 [OIE] The Office of International des Epizooties. OIE Terrestrial Manual 2008. Theileriosis. Chapter 2.4.16. http://www.oie.int/eng/normes/mmanual/a summry.htm [2 Agustus 2008]. Warnecke M, Schein E, Voight WP, Young AS. 1980. Development of Theileria mutans in the guit and haemolymp of the tick, Amblyomma variegatum. Z. Parasitenkd. 62:119-125 [WOAH] World Organization for Animal Health. 2005. Theileriosis-Theileria parva and Theileria annulata. http//:www.cfsph.iastate.edu [24 Oktober 2007].
LAMPIRAN
DAFTAR ISIAN KUESIONER
A.
Transportasi Perjalanan
1.
Nama kapal
2.
Tanggal keberangkatan kapal : ……………………………………………………...
3.
Pelabuhan muat/asal : …………...…………………………………………………..
4.
Jumlah sapi yang dibawa dalam kapal :….………………………………..........ekor
5.
Bangsa/breed sapi :
: …………………………………………………………………..
a. Brahman b. Brahman cross c. Shorthon d. Angus 6.
Hewan lain dalam kapal : a. Ada : …………………Jenis : ………………………… b. Tidak ada
7.
Keterangan komoditi : Jumlah sapi
< 1 tahun
Kelompok umur 1-3 tahun
> 3 tahun
Jumlah
Jantan Betina Jumlah total 8.
Jumlah kematian selama perjalanan dari negara asal :……………ekor
9.
Penyebab kematian : a. Diinjak/trauma fisik b. Dehidrasi/kurang makan c. Sakit : a. infeksius b. non infeksius
10.
Keadaan kapal : 1. Sanitasi : a. Kandang dibersihkan a.……x/hari b.……x/minggu c.……x/bulan b. Ventilasi : a. Ada : a. exhaust fan b. ruangan terbuka c. jendela b. Tidak ada 2. Pakan dan air minum : a. Jumlah pakan : ………………………….(ton/ekor) b. Waktu pemberian pakan : a. 1x/hari b. 2x/hari c. tak terbatas c. Waktu pemberian minum : a. 1x/hari b. 2x/hari c. tak terbatas d. Jenis pakan : a. konsentrat b. pelet c. lainnya…………………..
3. Konstruksi kandang a. Batas antar kandang : a. ada b. tidak ada b. Alas lantai : a. karet b. kayu c. tanpa alas c. Bahan konstruksi : a. mudah dibersihkan b. tidak mudah dibersihkan 4. Kapasitas kandang sapi panjang x lebar per ekor a. 2 – 3 m2/ekor b. < 2 – 3 m2/ekor 5. Populasi caplak (per letak/posisi) : a. tidak ada b. kurang dari 50
c. lebih dari 50
6. Letak/posisi caplak : a. Antar teracak/perineal b. Ventral tubuh/dada c. Dorsal tubuh/punggung d. Kepala 7. Keterangan waktu : Waktu kegiatan
Tanggal
Jam
Kedatangan kapal Pembongkaran sapi Tiba di instalasi c.
Nama importir
: ………………………………………………………..
d.
Nama eksportir
: ………………………………………………………….
B.
Instalasi/kandang
1.
Lokasi instalasi : …………………………………………………………….
2.
Keadaan instalasi : 1. Sanitasi : a. Kandang dibersihkan : a.……x/hari b……x/minggu c……x/bulan b. Sinar matahari : a. masuk ke kandang b. tidak masuk ke kandang 2. Pakan dan air minum : a. Jumlah pakan : ………………………….(ton/ekor) b. Waktu pemberian pakan : a. 1x/hari b. 2x/hari c. tak terbatas c. Waktu pemberian minum : a. 1x/hari b. 2x/hari c. tak terbatas 3. Jenis pakan : a.konsentrat b. pelet c. hijauan segar d. hijauan kering 4. Konstruksi kandang a. Batas antar kandang : a.ada b. Lantai kandang : a.semen
b.tidak ada b.tanah
c.
Bentuk naungan : a.atap asbes b.paranett c.atap aluminium
5. Bahan konstruksi : a. Permanen b. Tidak permanen : a.kayu b. bambu c. setengah permanen 6. Kapasitas kandang sapi panjang x lebar per ekor a. 2 – 3 m2/ekor b. < 2 – 3 m2/ekor 8. Populasi caplak (per letak/posisi) : a. tidak ada b. kurang dari 50
c. lebih dari 50
7. Letak/posisi caplak : a. Antar teracak/perineal b. Ventral tubuh/dada c. Dorsal tubuh/punggung d. Kepala 3.
Populasi ruminansia lain sekitar kandang/instalasi a. Ada, Jenis hewan :………………………, Jarak : ………meter b. Tidak ada
4.
Jenis obat-obatan yang pernah diberikan : a. Jenis vaksinasi :….…………………………. b. Jenis antibiotika : ……………………………..
5.
Waktu pemberian : a. sebelum pengapalan
6.
Waktu pengambilan sampel : a. Tanggal :……………………………………… b. Jumlah sampel :…………………………………………
b.sesudah tiba di instalasi