Tgl 5
Juli 2011 Judul Hutan Terkikis
Isi Berita Maluku Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Maluku: -
Deforestasi/Alih Sekitar 1,3 juta hektar atau 30 persen dari 4,4 juta hektar hutan di Maluku terancam hilang status dan fungsi setelah pemerintah kabupaten/kota di Maluku mengusulkan agar seluruh area hutan itu kawasan hutan beralih fungsi. Kebijakan itu dikhawatirkan menimbulkan bencana lingkungan. Area hutan yang diusulkan beralih fungsi menjadi area dengan penggunaan lain itu tersebar di semua (11) kabupaten/kota di Maluku. Pemerintah kabupaten yang mengusulkan alih fungsi hutan terbesar adalah Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru seluas 541.529 hektar, Kabupaten Seram Bagian Barat 278.011 hektar, dan Kabupaten Seram Bagian Timur 173.770 hektar.
Kepala SubBidang Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Maluku (Djalaludin Salampess): -
-
Alih fungsi hutan diusulkan semua pemerintah kabupaten/kota di Maluku untuk perluasan pembangunan daerah. Sebagian area hutan diperlukan untuk pembangunan ibu kota dari kabupaten yang baru dimekarkan, seperti Buru Selatan, Seram Bagian Timur, dan Seram Bagian Barat. Usulan pengalihfungsian hutan telah diajukan Pemerintah Provinsi Maluku ke Kementerian Kehutanan pada akhir Januari 2011.
Ketua Komisi B DPRD Maluku (Melky Frans): -
Keterangan
Jika alih fungsi hutan dilakukan asal‐asalan, hal itu justru berdampak buruk kepada masyarakat dan lingkungan di kabupaten/kota itu. ”Bencana lingkungan besar‐besaran bisa terjadi, apalagi area hutan yang diusulkan pemerintah beralih fungsi itu sangat besar,” katanya.
(APA) http://cetak.kompas.com/read/2011/07/05/03274520/hutan.maluku.terkikis 6
Petani Lokal Terdesak
-
Keberadaan perkebunan sawit skala perusahaan tidak selamanya menyejahterakan petani setempat. Di beberapa sentra perkebunan sawit di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Aceh, kesejahteraan warga sekitar malah merosot. Sungai, hutan, dan sawah yang dulunya menghidupi mereka terus terdesak.
Ancaman deforestasi terhadap kehidupan masyarakat Kepala Desa Karang Anyar, Kecamatan Lawang Wetan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera kawasan hutan Selatan, (Ade Kurnia): -
Kehadiran perkebunan sawit di desanya 11 tahun terakhir membuat sungai dan sawah jadi rusak. Warga kehilangan mata pencarian. Saat ini, lahan seluas 3.000 hektar di Desa Karang Anyar ditempati perkebunan milik perusahaan asal Malaysia. Seluas 880 hektar di antaranya masih dalam status sengketa kepemilikan antara masyarakat dan perusahaan. Berulang kali warga berunjuk rasa agar lahan seluas 880 hektar itu dijadikan plasma.
-
Kepala Desa Teluk Kijing II, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin (Margareta): -
Perkebunan sawit PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII di desa mereka belum meningkatkan kesejahteraan warga. ” Sejak tahun 2002, sejumlah penduduk Teluk Kijing menuntut pembagian lahan plasma dari PTPN VII seluas 1.693 hektar. Warga mengklaim lahan itu sebagai lahan desa mereka dan digunakan PTPN VII tanpa hak guna usaha.
Hutan adat -
Di Malinau, Kalimantan Timur, penebangan hutan adat Setarap mengancam hak ekonomi dan budaya masyarakat adat setempat. Hutan adat tersebut merupakan salah satu sumber
-
penghidupan warga. Penduduk biasa mengambil hasil hutan untuk dijual atau digunakan sendiri. Jika hal ini dibiarkan, warga akan kehilangan sumber penghasilan. Di Aceh, penguasaan lahan hutan oleh perusahaan sawit yang tak terkendali bukan saja merusak lingkungan, tetapi juga kian memiskinkan warga sekitarnya.
Camat Kuala Tripa (Abdul Kadir): -
Dari 51.063 hektar lahan darat berawa bekas hutan di daerahnya, 22.101 hektar di antaranya sudah dikuasai swasta sejak tahun 1999. Dampaknya, dari 2.286 keluarga di kecamatan itu, 60 persen tergolong miskin.
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/06/03514177/.petani..lokal.terdesak 6
Izin Eksplorasi Dihentikan
-
-
-
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bone Bolango mendesak pemerintah agar tidak memperpanjang izin eksplorasi pertambangan di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Kerusakan Wartabone. Izin itu sendiri akan habis masa berlakunya pada 18 Juni. Rencana eksploitasi di lingkungan akibat pertambangan kawasan taman nasional itu diduga akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Dalam rapat antara DPRD Kabupaten Bone Bolango serta Dinas Kehutanan, Pertambangan, dan Energi Kabupaten Bone Bolango, Selasa (5/7). DPRD sebenarnya juga mengundang PT Gorontalo Minerals, anak perusahaan PT Bumi Resources, selaku pemegang izin eksplorasi untuk pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Namun, tak satu perwakilan PT Gorontalo Minerals pun hadir. Aktivis lingkungan di Gorontalo menduga, banjir bandang di Kecamatan Bone, Kabupaten Bone Bolango, pada 15 Juni akibat penebangan pohon di kawasan hulu Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/06/03581197/izin.eksplorasi.dihentikan 6
Kalbar Dirugikan Rp Koalisi Anti Mafia Perkebunan, (Kontak Rakyat Borneo, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat, Gemawan, Yayasan Titian, Riak Bumi, Lembaga Pengkajian Sosial dan Arus Korupsi
sektor
70 Triliun
Informasi, serta Indonesia Corruption Watch): -
Perluasan perkebunan kelapa sawit yang baru seluas 1,3 juta hektar di Kalimantan Barat diduga disertai tindak pidana korupsi melalui berbagai moda. Negara dirugikan sedikitnya Rp 70 triliun dari praktik korupsi itu.
Koordinator Kontak Rakyat Borneo (Salman): -
”Korupsi dilakukan sejak mencari izin, yakni dengan menyuap. Ada juga modus memberikan izin terhadap kroni atau keluarga kepala daerah. Terakhir, pembiaran beroperasinya perusahaan yang melanggar hukum,” ujarnya. ”Setiap hektar lahan yang hendak dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dikenai biaya Rp 500.000 hingga Rp 1 juta,” kata Salman.
Staf Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat (Herman S Simanjuntak,): -
-
”Ada lima perusahaan di Kalimantan Barat yang membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan merambah hutan produksi tanpa mengantongi izin pemanfaatan kayu. Selain mendapatkan keuntungan pribadi, perusahaan juga jelas‐jelas merusak lingkungan,” ujar Herman. Pada tahun 2010 diketahui ada 332.000 hektar lahan hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit tanpa izin itu sebagian besar ada di Kabupaten Ketapang,
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (Emerson Yuntho): -
Kasus dugaan korupsi di sektor perkebunan kelapa sawit di Kalbar akan segera dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satuan Tugas Anti‐Mafia Hukum. Menurut Emerson, penggunaan Undang‐Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sudah diubah dan ditambah menjadi Undang‐ Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi efektif untuk menjerat mafia kehutanan. ”Sudah ada indikasi suap, merugikan
perkebunan
-
7
Peta Baru Tunjukkan Terdegradasi
Tak Lahan
keuangan negara, dan pemberian gratifikasi sehingga bisa dijera,” katanya. Selain menggunakan Undang‐Undang Tindak Pidana Korupsi, penegak hukum bisa menjerat jaringan mafia kehutanan menggunakan Undang‐Undang Pencucian Uang. ”Diharapkan ada efek jera bagi pelaku korupsi di sektor kehutanan.”
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/06/04004325/kalbar.dirugikan.rp.70.triliun - Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan telah menerbitkan peta indikatif moratorium baru dengan skala lebih besar, yakni 1:250.000. Meskipun lebih detail dibandingkan dengan peta sebelumnya yang berskala 1:19 juta, peta baru itu tak menunjukkan areal hutan primer terdegradasi yang dapat dimanfaatkan investor. Keakuratan datanya juga diragukan karena sebagian berbeda dengan kondisi di lapangan. Greenpeace Indonesia (Yuyun Indradi): -
Pada peta baru yang diluncurkan pada pekan lalu tidak tercantum lokasi hutan primer terdegradasi. Padahal, pemerintah terus mengundang investor untuk memanfaatkan hutan terdegradasi ini untuk perkebunan/kehutanan. Pada berbagai kesempatan, pemerintah menyebut luas lahan terdegradasi yang dapat dimanfaatkan mencapai 35,4 juta hektar dari total 42 juta lahan terdegradasi. Apabila ditampilkan, selain menjadi kejelasan bagi investor, hal itu juga bisa menjadi acuan memindahkan lokasi izin hak pengusahaan hutan di hutan primer ke lahan terdegradasi yang membutuhkan pengelolaan lebih baik.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Hadi Daryanto): -
Hutan terdegradasi dari seluruh daerah telah diumumkan dua tahun lalu saat dirinya menjabat direktur jenderal Bina Usaha Kehutanan. Seluruh data dari seluruh Indonesia itu bisa diakses di website Kementerian Kehutanan dengan judul ”Peta Sebaran untuk Investasi HPH, HTI, RE, HTR, HHBK, dan IUPJL tahun 2010‐2014”.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) (Pius
Ginting): -
Pihaknya menemukan ketidakakuratan dalam peta baru tersebut. Ia menunjukkan foto kondisi Pulau Gei di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yang dalam kondisi gundul atau rusak karena eksploitasi tambang perusahaan Aneka Tambang. Foto diambil akhir 2010. Namun, di peta yang sudah direvisi, Pulau Gei berwarna hijau atau berarti termasuk hutan primer. ”Ini baru temuan kecil di satu pulau kecil karena kami baru mengamati daerah itu. Bagaimana dengan daerah‐daerah lainnya,” ujarnya. (ICH)
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/07/04012176/peta.baru.tak.tunjukkan.lahan.terdegradasi
Tata Kembali Kepemilikan Lahan Kebun Sawit
-
Untuk mencegah konflik berkepanjangan, kepemilikan kebun sawit perlu ditata kembali. Luas lahan inti sebaiknya hanya 40 persen dan lahan plasma mencapai 60 persen dari total luas KONFLIK LAHAN perkebunan kelapa sawit. Selain itu, izin untuk perkebunan rakyat juga perlu diprioritaskan dibandingkan swasta besar.
Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Selatan (Singgih Himawan): -
”Di perkebunan karet, nyaris tak pernah ada konflik lahan yang melibatkan petani dan investor karena 95 persen kebun milik rakyat,” Luas kebun sawit di Sumsel pada tahun 2010 mencapai 818.248 hektar. Sebanyak 55,56 persen di antaranya merupakan kebun inti, 28,89 persen kebun plasma, dan hanya 15,55 persen kebun sawit milik rakyat. Dari data Badan Pertanahan Nasional Sumsel, ada 30 sengketa lahan yang belum terselesaikan. Lima sengketa di antaranya memicu konflik sosial, seperti unjuk rasa, pendudukan lahan perkebunan, dan bentrokan. April lalu, tujuh orang tewas dalam bentrokan masyarakat Desa Sei Sodong, Kecamatan Ogan Komering Ilir, dengan petugas perkebunan PT Sumber Wangi Alam.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumsel Anwar Sadat:
-
”Dua tahun terakhir, konflik lahan sawit di Sumsel memang memanas. Jumlah dan tingkat aksi masyarakat meningkat,” kata Di Kalimatan Timur, izin usaha perkebunan sawit yang dikeluarkan hingga akhir 2010 mencapai 2,4 juta hektar, yang dikuasai 201 perusahaan swasta. Sejauh ini belum ada pengaturan dan pembatasan izin usaha sawit di Kaltim.
Kepala Bidang Usaha Dinas Perkebunan Kaltim Etnawati Usman -
”Kini sawit sedang berkembang, kenapa harus dibatasi?” Yang berwenang memberikan izin adalah pemerintah kabupaten/ kota, pemerintah provinsi hanya memberikan rekomendasi. Sejauh ini, belum ada izin baru karena kabupaten dan kota masih menunggu pengesahan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang baru. Sekitar 991.010 hektar sudah jadi hak guna usaha. Lahan yang sudah ditanam 724.842 hektar.(IRE/ILO)
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/07/03353689/tata.kembali.kepemilikan.lahan.kebu n.sawit
8
Instruksi Presiden Tak Jalan
-
Dari semua instruksi yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para menterinya, ternyata hanya kurang dari 50 persen yang dijalankan. Namun, situasi semacam itu dinilai bukan sebagai tanda bahwa pemerintahan Yudhoyono‐Boediono selama ini tak berjalan efektif.
Presiden SBY: -
”Setelah para menko (menteri koordinator) menjelaskan presentasi, saya tugaskan Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) melaporkan kepada saya dan kepada Saudara semua, apa yang Saudara lakukan terhadap instruksi, baik tertulis maupun lisan, yang saya keluarkan. Saya mendapat laporan, kurang dari 50 persen
yang sudah Saudara kerjakan.” Kepala UKP4 (Kuntoro Mangkusubroto): -
Sejak Januari hingga saat ini banyak arahan dan instruksi Presiden yang belum tuntas dikerjakan, kebanyakan karena belum bisa dilaksanakan.
Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indria Samego): -
Presiden harus menghentikan cara‐cara normatif dan prosedural. Banyak instruksi Presiden tidak bisa dilaksanakan karena normatif. Jika ada menteri yang tak becus, harus diganti. Karakter birokrasi hanya sampai tataran wacana dan mengutamakan citra dari tataran paling rendah sampai paling tinggi. Akibatnya, rakyat marah karena dari judul kebijakan itu baik, padahal tak ada isinya..
Ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat (Yuddy Chrisnandi): -
9
Antisipasi Kelumpuhan akibat Iklim
Pengakuan Presiden bahwa instruksinya tidak dijalankan semestinya ditangkap sebagai sinyal saatnya dilakukan perombakan kabinet dalam waktu dekat. (ato/edn/dik)
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/08/03090465/instruksi.presiden.tak.jalan - Analisis iklim dan pemodelan dinamis spasial pembangunan Pulau Jawa menunjukkan, Jawa Adaptasi terhadap Jawa akan ”lumpuh” satu dasawarsa lagi bila tak ada perubahan tata ruang dan pola pertanian dan perubahan iklim industri mengadaptasi iklim. Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika: -
Indonesia merupakan kawasan tropis paling rentan perubahan iklim. Sebab, wilayah Nusantara menjadi pusat konveksi masa udara dan pelepasan panas laten. Komponen dominan penyebab perubahan atau variabilitas iklim adalah pola angin musiman. Pengaruhnya lebih kuat dibandingkan pengaruh El Nino Southern Oscillation (ENSO).
-
Daerah beriklim tipe monsun atau musiman, yaitu di bagian selatan Indonesia akan menurun curah hujannya, antara lain, selatan Sumatera, Bali, hingga Nusa Tenggara. Jawa perlu mendapat perhatian khusus. Selain punya kerentanan ekologi, pulau berpenduduk terpadat ini juga rentan dari aspek ekonomi dan sosial. Tanpa rekayasa, dampak perubahan iklim di Jawa berpotensi menimbulkan konflik, kerusuhan sosial, dan masalah ekonomi. Bali tergolong kurang rentan dibandingkan wilayah lain karena sistem pertanian Subak serta patronisasi adat dan agama yang mendukung konservasi lingkungan sejalan dengan upaya adaptasi menghadapi perubahan iklim.
Arifin Rudiyanto, Direktur Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional: -
15
Kaji Ulang HPH di Moratorium
Pada tahun 2023 Pulau Jawa mengalami penurunan pertumbuhan. Pada saat itu daya dukung lahan tak mampu lagi menopang kehidupan masyarakatnya, terutama sektor pertanian dan ekonomi. Untuk menghadapi kerterbatasan sumber daya air dan lahan pertanian di Jawa pada masa mendatang, perlu dikembangkan sistem pertanian intermiten, yaitu pola tanam berselang seling padi dan palawija. Selain itu, introduksi varietas padi yang tak memerlukan banyak air.
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/11/04154727/antisipasi.kelumpuhan.jawa.akibat.iklim Konsesi Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global: Areal - Pelaksanaan moratorium konversi dan penebangan hutan yang mengacu Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 kurang efektif, terutama untuk mengurangi emisi karbon. - Selain persoalan akurasi data kehutanan, di lapangan juga ditemukan indikasi pembukaan kawasan hutan baru oleh sejumlah perusahaan pertambangan dan perkebunan, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan. - Untuk itu, izin‐izin konsensi pemanfaatan hutan, baik baru maupun lama, mesti dikaji ulang.
Kiki Taufik, senior GIS specialist dari Greenpeace Indonesia: -
Dari hasil telaah data dan verifikasi di lapangan, pihaknya menemukan banyak areal hutan moratorium yang tumpang tindih dengan izin konsensi yang ada, baik untuk tambang, perkebunan, maupun pertanian. Luas areal yang tumpang tindih diperkirakan sedikitnya 1,7 juta hektar (ha). Itu, antara lain, 260.323 ha untuk hak pengusahaan hutan, 283.919 ha untuk hutan tanaman industri (HTI), dan 495.239 ha untuk tambang yang kebanyakan batubara. Sebagian kawasan konsensi yang berada di areal hutan gambut saat ini mulai dikonversi menjadi kawasan produksi. Itu, antara lain, terjadi di Riau dan Kalimantan Barat. ”Di Riau, sebagian mulai dibuka. Kanal‐kanal mulai dibangun,”
Yuyun Indradi, Juru Kampanye Politik Hutan Greenpeace Indonesia: -
Greenpeace pesimistis kebijakan moratorium yang sudah lama dinantikan efektif berkontribusi menurunkan emisi karbon. Moratorium hutan kurang efektif melindungi kawasan hutan. Dari total 72 juta ha kawasan hutan yang masuk kawasan moratorium, sebagian termasuk hutan lindung dan konservasi. Sementara, hutan sekunder tak masuk.
Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia: -
Pendataan soal tutupan hutan di Indonesia saat ini rentan menyimpang dari kondisi faktual karena sarat dengan kepentingan ekonomi dan tekanan pengusaha. ”Interpretator peta lebih berkuasa daripada menteri. Temuan kami di Riau, ada hutan primer yang ditargetkan oleh perusahaan pemegang HTI diubah (dalam peta) menjadi kawasan sekunder. Untungnya, begitu kami laporkan, Kemenhut lantas mengubah kembali,” Sekitar 1,17 juta ha hutan di Provinsi Kalimantan Tengah digunakan untuk areal 511 blok konsesi kelapa sawit. Ini ditelusuri dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.292/Menhut‐II/2011 tanggal 31 Mei 2011. Temuan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Kementerian Kehutanan pada Februari 2011 mengungkapkan, perambahan hutan di Kalteng dan Kaltim merugikan negara
Rp 158,5 triliun. Itu, di antaranya, akibat operasi perkebunan sawit dan pertambangan dalam kawasan hutan. Teguh Surya, Kepala Departemen Perubahan Iklim Walhi: -
Moratorium hutan sulit berhasil jika tidak didukung perbaikan tata kelola kehutanan yang dilakukan jajaran Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan: -
21
Perubahan fungsi hutan mengacu UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. Sesuai UU itu, pemda mengevaluasi wilayah hutannya dibantu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jika evaluasi kawasan menunjukkan keanekaragaman hayati berkurang dan tak layak lagi disebut hutan konservasi, bisa diubah jadi hutan produksi.
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/15/04364115/kaji.ulang.konsesi.hph.di.areal.moratorium Bisnis Stok Karbon - Praktik bisnis stok karbon dari hutan tanaman dan konservasi hutan alam terus tumbuh. Bisnis Kalangan perbankan asing mulai melirik bisnis stok karbon sebagai salah satu instrumen Karbon/Investasi Tumbuh investasi baru. Karbon Indonesia, yang memiliki kawasan hutan seluas 133 juta hektar, berpeluang menjadi penyedia stok karbon terbesar dunia. Terlebih setelah DPR menyetujui Undang‐Undang tentang Perubahan Undang‐Undang Nomor 37 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi pada Senin (19/7) lalu. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengapresiasi keberhasilan pemulihan kawasan hutan alam telantar dengan hutan tanaman industri dalam konsesi PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, PT Bumi Mekar Hijau, dan PT Bumi Andalas Permai di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (20/7). Ketiga perusahaan merupakan penghasil kayu bahan baku bagi industri pulp milik Sinar Mas Forestry, anak usaha kelompok Sinarmas. Sinar Mas Forestry menanam 201.000 hektar lahan gambut terdegradasi akibat kebakaran hutan tahun 1997‐ 1998. Riset intensif membuat lahan gambut tersebut bisa ditanami Akasia crassicarpa dan Akasia
mangium sejak tahun 2007. Direktur Eksekutif Lingkungan dan Hubungan Pemangku Kepentingan Sinar Mas Forestry Canecio P Muñoz: -
22
Konservasi hutan alam dan perkembangan hutan tanaman dalam konsesi perseroan telah meningkatkan stok karbon. ”Sudah ada bank internasional yang berminat membeli stok karbon sebagai instrumen investasi,”
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/21/03011555/bisnis.stok.karbon.tumbuh Salam bagi Perempuan Saya pernah beraktivitas bersama masyarakat adat suku Anak Dalam di Jambi. Suatu hari pada tahun Peran Masyarakat 2006, saya diajak menyaksikan proses musyawarah para rerayo, sebutan untuk orangtua dan Adat dalam Rimba Penentuan penghulu adat untuk menentukan perkara dua sejoli keturunan mereka yang saling mengasihi. Kawasan Hutan Nur Azizah Musyawarah akan memutuskan apakah keduanya direstui atau masih ada kesempatan bagi laki‐laki berinduk semang kepada orangtua perempuan. Dalam adat orang rimba, laki‐laki yang hendak menikahi perempuan harus lebih dulu berinduk semang. Proses ini mengharuskan laki‐laki berbakti kepada orangtua dan keluarga pihak perempuan sebelum dibolehkan menikah. Dalam musyawarah itu, semua rerayo laki‐laki dan perempuan berkumpul dan mendapat kesempatan sama menyampaikan pendapat. Pada hari lain, saya diajak mendatangi musyawarah mengatasi konflik tentang rencana pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas. Semua penghulu adat berkumpul. Demikian juga para rerayo, tetapi kali ini laki‐laki, remaja, dan anak‐anak yang kebanyakan laki‐laki. Tak ada perempuan rimba hadir dalam rembukan itu. Dua hal di atas menarik perhatian. Manakala proses mufakat perihal perkawinan, laki‐laki dan perempuan seolah dua kutub yang saling memberi dukungan dan keseimbangan. namun, menyangkut keberadaan tanah adat, perempuan tak mendapat ruang. Risau itu memaksa saya bertanya tentang arti hutan kepada beberapa induk (ibu) di sana. Induk
Beranya (ibunya Beranya) menuturkan, rimba adalah rumah bagi mereka. Sementara bini mangku tuha (salah satu penghulu adat di rimba) berkisah, mereka dinamai orang rimba karena lahir dan hidup di rimba. ”Jika rimba habiy, kami pula piado lagi disobut orang rimba,” kata perempuan yang dikatakan Besiap (anak mendiang Tumenggung Mirak). Suara itu tak pernah terdengar di setiap musyawarah adat mengkaji kebijakan baru tentang penggantian status kawasan cagar biosfer menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas yang dikukuhkan melalui SK Menhutbun Nomor 285/Kpts‐II/2000. Suara perempuan rimba tak mendapat ruang untuk menuturkan pengetahuan dan argumen mereka terkait penetapan taman konservasi. Hal lain yang menjadi kegundahan saya, pernyataan remaja rimba yang mengatakan, perempuan dan anak‐anak rimba (yang belum menggunakan cawat) dilindungi Tuhan. Ia juga menuturkan, ”suara” perempuan rimba diakui sebagai suara Tuhan. Kalau begitu, mengapa perempuan rimba tak diberi kesempatan berpendapat tentang rimba? Bukankah suara perempuan mewakili suara Tuhan? Remaja rimba seraya bingung menjawab, ”Iya, ya.” Salah satu aturan adat yang masih juga saya ingat menyebutkan, ”mentimun begolek ke duriyon, mentimun jugo nang luko. Duriyon begolek ke mentimun, mentimun jugo nang luko.” (Mentimun berputar ke arah durian, mentimun juga yang luka. Durian berputar ke mentimun, mentimun juga yang luka). Aturan adat tersebut biasanya digunakan pada hubungan laki‐laki dan perempuan: mentimun simbol laki‐laki dan durian simbol perempuan. Menurut Mijak, salah seorang murid Butet Manurung, aturan itu bermakna jika terjadi sesuatu dalam hubungan laki‐laki dan perempuan, laki‐laki juga yang salah. Saya tergelitik bertanya mengapa aturan adat itu tak diterapkan dalam pengambilan keputusan terkait konflik pembentukan taman nasional, menilik penuturan bini mangku tuha yang menyiratkan makna orang rimba adalah laki‐laki dan perempuan sejak budak (anak) sampai rerayo (orangtua). Bukankah rimba dan manusianya adalah keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos yang sama‐sama harus diperhatikan? Praktik keseimbangan telah mereka jalani turun‐temurun. Salah satunya pembuatan wadah dari rotan
(ambung). Perempuan rimba memproduksi ambung sesuai kebutuhan. Begitu juga dengan jarak reproduksi yang mereka atur berselang‐seling: jika tahun ini melahirkan, tahun depan jeda, dan tahun berikutnya baru boleh hamil lagi. Ada dua hal yang hendak saya sampaikan terkait dengan pengakuan terhadap masyarakat adat, termasuk perempuan adat. Pertama, aturan adat rimba tak melulu melukai hak perempuan adat. Meski dalam praktik aturan itu kerap terelakkan, hal ini bukan sepenuhnya kesalahan adat atau orang rimba. Banyak hal menyebabkan aturan itu terpolarisasi, mulai dari pengaruh ekonomi, budaya, sosial, hingga jual‐beli lahan. Faktor inilah yang kemudian melahirkan rasa tidak adil pada masyarakat adat, pun perempuan adat. Kedua, pengakuan atas mereka adalah ketika masyarakat di luar mereka bisa menerima keberadaan mereka lengkap dengan tata cara adat dan budayanya yang khas. Termasuk batas wilayah yang sering jadi pemicu konflik atas rencana pembangunan maupun konservasi. Berpijak pada definisi masyarakat adat yang disampaikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, yaitu masyarakat adat sebagai ”komunitas yang memiliki asal‐usul leluhur secara turun‐temurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya, dan sosial yang khas”, kita patut mengakui, masyarakat adat—laki‐laki dan perempuan—adalah saudara sedarah Nusantara. Nur Azizah Pernah Aktif sebagai Fasilitator Pendidikan di Sokola Rimba, Suku Anak Dalam, Jambi.
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/22/04135591/salam.bagi.perempuan.rimba "Bagaimana Nasib Kami jika REDD+ KOMPAS.com Berjalan?" Penulis: Yunanto Wiji Utomo - Beberapa proyek percontohan REDD+ telah berjalan. Namun, kenyataan di lapangan Editor: Tri Wahono menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang dilibatkan belum memahami tujuan dari proyek ini.
Apa yang terjadi di Desa Petak Puti di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah, adalah salah satu contohnya. Di desa yang menjadi proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) hasil kerja sama Indonesia Australia dilakukan itu, masyarakat justru khawatir tentang proyek percontohan yang dijalankan. Yuyo P Dulin, Kepala Desa Petak Puti: -
"Tahun 2013, proyek KFCP ini kan berakhir. Kami khawatir nanti mereka akan menjadi hak kami. Hak itu misalnya kebun. Sampai sekarang kami tidak tahu apakah nanti akan terjadi seperti itu atau tidak," Sekitar tahun 2004, ada pihak yang datang serta melaksanakan proyeknya tanpa izin dan merugikan masyarakat setempat. "Bagaimana nasib kami kalau REDD+ berjalan karena nanti hutan tidak dapat dijangkau manusia. Bagaimana kalau kita punya kebutuhan. Mau bikin kandang ayam atau rumah misalnya," Banyak hal tentang REDD+ yang belum dimengerti masyarakat. Dirinya sendiri mengaku bahwa hanya memahami REDD+ sebatas pada upaya mengurangi gas rumah kaca, belum pada semua konsekuensi jika REDD+ dijalankan nantinya. Masyarakat perlu diberi pengetahuan soal REDD+ dan konsekuensinya. Yuyo juga meminta jaminan bahwa REDD+ ataupun proyek percontohannya tidak mengambil hak masyarakat. Ada hal lebih penting yang perlu diupayakan jika nanti masyarakat benar‐benar tidak bisa mengakses hutan, yakni mata pencarian alternatif. "Sekarang masyarakat bergantung pada karet dan ikan. Bagaimana KFCP juga ikut memikirkan hal ini. Jadi bagaimana masa depannya nanti Petak Puti ini," Mata pencaharian alternatif penting sebab beberapa warga masih melakukan praktik yang merusak lingkungan, seperti menambang emas.
25
Praktik REDD+ Rentan Teguh Surya (WALHI): Korupsi - REDD+ dalam praktiknya rentan korupsi. "Korupsi itu terbukti ada dalam sektor kehutanan dan ini mengikat semua lini yang ada. Sejak tahun 2000, menteri kehutanan saat itu juga sudah mengakuinya. Jadi kalau kita bicara REDD+ dan korupsi, bibit itu ada," - Faktor resiko: 1) masuknya Indonesia dalam 16 negara terkorup di Asia Pasifik dan salah satu negara terkorup di dunia, 2) lemahnya birokrasi, 3) belum adanya transparansi, dan 4) tak adanya lembaga independen yang mengelola dan mengawasi dana REDD+. - "Jika persoalan ini tidak mendapat prioritas, maka kemungkinan besar dana REDD+ akan dikorupsi oleh kalangan pemerintahan. - Yang saat ini ditemukan adalah korupsi kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia. - "Pemerintah sudah punya komitmen tunda pembukaan hutan baru sejak 2010. Juni 2010‐ Desember 2010, Pemerintah Indonesia harusnya tidak mengeluarkan izin konsesi. Tapi, pemerintah menggunakan periode jeda Januari sampai Mei untuk memberikan banyak izin pembukaan hutan," - Mulai dari Juni 2010 sampai April 2011, 100.000 hektar hutan dibuka untuk tambang, sawit, dan sebagainya. - Walhi merasa skeptis REDD+ bisa menjawab tantangan penyelamatan hutan, pengurangan emisi, dan penanggulangan dampak perubahan iklim. - " REDD+ adalah false solution. Saya tidak melihat alasan yang kuat REDD+ bisa menghentikan deforestasi," - Beberapa permasalahan membuat implementasi REDD+ rumit: definisi hutan yang dimaksud dalam program REDD+ sendiri belum jelas sehingga berdampak pada siapa yang didefinisikan sebagai aktor perusak hutan dan pada siapa insentif REDD+ nanti diberikan. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:HDHqIcStkT4J:sains.kompas.com/read/201 1/07/25/18444898/Praktek.REDD.Rentan.Korupsi+REDD+kompas&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&clie nt=firefox‐a&source=www.google.co.id Perlu Transparansi Cecilia Luttrell, (CIFOR): dalam Mekanisme REDD+ - Salah satu yang dibutuhkan dalam implementasi REDD+ ialah mekanisme Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) Karbon. Mekanisme tersebut menentukan kompensasi dari upaya menurunkan emisi yang dilakukan.
-
27
Lahan Hutan
Pangan
Data yang kredibel berkaitan dengan beberapa nilai yang penting dan critical dalam REDD+. Mulai volume illegal logging, tingkat deforestasi hingga emisi karbon dan penurunannya. "Untuk mengupayakan data yang kredibel, jelas bahwa nantinya dalam mekanisme MRV, perlu berbagi dan transparansi, baik antar lembaga maupun dalam lembaga itu sendiri," Dibutuhkan lembaga independen yang bisa memberikan informasi yang tepat, bisa diverifikasi serta understandable.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:Ymczd7JufP8J:sains.kompas.com/read/201 1/07/25/19230649/Perlu.Transparansi.dalam.Mekanisme.REDD+REDD+kompas&cd=2&hl=id&ct=cl nk&gl=id&client=firefox‐a&source=www.google.co.id di Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa: -
Pemerintah menetapkan, moratorium pembukaan lahan hutan dapat dikecualikan untuk pengembangan panas bumi dan pengembangan lahan tanaman pangan. Jika memang dibutuhkan, moratorium (pembukaan hutan) pun dapat dikecualikan untuk panas bumi dan kebutuhan yang sangat penting, termasuk pangan.
Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada Prof M Maksum: -
-
Pemanfaatan kawasan hutan tidak menjadi masalah sepanjang tidak merusak hutan. ”Tetapi jangan sampai memanfaatkan hutan yang membabat pohon,” Ada lima kriteria yang bisa dimanfaatkan. Pertama hutan yang sudah ada tegakan tetapi sebagian celah lahannya bisa ditumpang sari. Kedua, kawasan hutan yang gundul, sebelum ditanami kembali bisa ditanami komoditas pangan, sampai saatnya tanaman besar dan tak bisa lagi dimanfaatkan. Berikutnya, adalah hutan yang masuk areal penggunaan lain (APL). Lahan ini bagus kalau bisa dimanfaatkan untuk pangan, demi menyejahterakan masyarakat sekitar. ”Saya sendiri lebih merekomendasikan kalau yang dimanfaatkan adalah APL yang telantar,”
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu: -
Indonesia sebaiknya tidak berharap pada perluasan lahan untuk menaikkan produksi pangan.
Pengcualian Moratorium
(OIN/MAS) 27
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/27/04230693/lahan.pangan.di.hutan Analisis Stok Karbon Laporan Terbaru dari Lapangan: Mekanisme Pengawasan, Pelaporan, dan Verifikasi Hutan Bisnis Karbon dalam Konsesi Permudah Investor Gambut:
-
-
Kemajuan teknologi dan ilmu kehutanan semakin memudahkan investor menganalisis perkembangan stok karbon di konsesi mereka. Kombinasi satelit dan radar membuat pemantauan tutupan hutan dapat meningkatkan akurasi penilaian stok karbon. Citra satelit berkait pengawasan, pelaporan, dan verifikasi (monitoring reporting and verification/MRV) belum efektif karena kerap terganggu awan. Oleh karena itu, data radar yang dipasang di bawah badan dan sayap pesawat atau pesawat ringan terbang di atas kawasan pemantauan bisa disinkronkan dengan citra satelit yang belum komplet. Teknologi radar membuat investor bisa menilai, antara lain, peningkatan stok karbon dari pertumbuhan tanaman. Kombinasi ini memudahkan pelaksanaan MRV sebagai mekanisme penting untuk menilai pengurangan degradasi lahan dan penggundulan hutan dalam menekan emisi karbon.
Sekjen Menhut Hadi Daryanto: -
”Kita memerlukan MRV dengan teknologi baru. Teknologi citra satelit dari Amerika Serikat dan radar dari Jepang adalah kerja sama yang baik sehingga kita bisa mengetahui seberapa besar emisi karbon ada di lahan gambut,” ujar Hadi.
Peneliti Institut Pertanian Bogor, Mahmud A Raimadoya: -
Penelitian di konsesi hutan tanaman industri PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries dan mitra kerja di Sumatera Selatan, yang merupakan pemasok bahan baku pulp PT Indah Kiat Pulp and Paper, menunjukkan stok karbon naik. Investor pun tinggal memilih, ingin mengembangkan bisnis hutan tanaman berbasis lacak stok karbon atau langsung memperdagangkan stok karbon sambil menunggu daur tanam‐panen tiba.
Pakar lahan gambut IPB, Basuki Sumawinata: -
29
Strategi REDDplus Diluncurkan Agustus 2011
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/27/04242653/analisis.stok.karbon.permudah.investor Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kuntoro Mangkusubroto: -
Peneliti harus cermat menghitung emisi karbon. Penelitian dilakukan pada musim hujan dan kemarau karena suhu, temperatur, dan kelembaban memengaruhi emisi karbon. ”Selama ini, ada blow up yang berlebihan soal lahan gambut. Emisi karbon rendah saat musim hujan atau banjir dan naik saat kemarau,” ujar Basuki. (ham)
-
Pemerintah berencana meluncurkan Strategi Implementasi dan Kerangka Kerja Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi, serta menjaga konservasi hutan alias REDD+ pada Agustus 2011. Panduan ini menjadi acuan menjalankan mekanisme penurunan emisi karbon di Indonesia. Pelibatan masyarakat dalam mendukung REDD+ akan ditingkatkan. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi, seperti kamera dan penanda posisi geografis (GPS). Detail penggunaan akses teknologi ini sedang dikerjakan stafnya.
Bustar Maitar, Kepala Juru Kampanye Hutan Global Forest NetworkGreenpeace: -
Upaya pengurangan emisi dan pengereman penggundulan hutan harus dilakukan dengan tanpa atau bantuan Norwegia. ”Anggap saja bantuan Norwegia itu sebagai bonus. Pasalnya, upaya menekan laju degradasi hutan penting bagi Indonesia sendiri,” kata Bustar. (ICH)
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/29/03490762/strategi.reddplus.diluncurkan.agustu s.2011
Strategi REDD+