TESIS
KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
IRSYAN BASRI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS
KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
IRSYAN BASRI NIM 1290261015
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana
IRSYAN BASRI NIM 1290261015
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL MEI 2014
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU.
Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.
NIP 194409231976021001
NIP 194305211983032001
Mengetahui,
Ketua Program Magister (S2)
Direktur
Kajian Budaya
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. I Gst. Ketut Gde Arsana, M.Si
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K)
NIP. 195208151981031004
NIP. 195902151985102001
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA
: IRSYAN BASRI
NIM
: 1290261015
PROGRAM STUDI
: KAJIAN BUDAYA
JUDUL TESIS/DISERTASI*
: Komodifikasi Ritual Duata Pada Etnik Bajo Di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi* ini bebas plagiat
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 12 Juni 2014 Yang membuat pernyataan
IRSYAN BASRI
Ket : *) Coret yang tidak perlu UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama saya mengucapkan puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha kuasa karena berkat rahmat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Komodifikasi Ritual Duata Pada Etnik Bajo Di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara” selesai tepat pada waktunya. Penulisan tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana wujudnya sekarang ini berkat bantuan dan kerja sama, baik langsung maupun tidak langsung dari semua pihak. Oleh karena itu, sebagai wujud nyata ucapan terima kasih penulis
kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerja sama yang penulis terima dengan penuh kebaikan dan cinta, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada : 1)
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U, selaku pembimbing I yang dengan semangat kekeluargaan membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis dalam berbagai kesulitan, khususnya dalam mendeskripsikan gagasangagasan yang rumit dan abstrak dengan cara yang lebih sederhana dan konkret;
2)
Prof. Dr. Emiliana Mariyah selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan, motivasi yang tak henti-hentinya khususnya di bidang Tradisi Lisan;
3)
Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KE selaku Rektor Universitas Udayana ; Ibu Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana; Bapak Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si., selaku Ketua Program Magister Kajian Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana, atas segala tuntunan dan petunjuknya dalam pengerjaan laporan penelitian;
4)
Dewan penguji yang telah membaca dan memberikan masukan-masukan kritis dan objektif terhadap keseluruhan tesis ini. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A, Dr. Ni Luh Nyoman Kebayantini dan Dr. I Nyoman Dhana, M.A;
5)
Seluruh staf pengajar di Program Pendidikan Magister Kajian Budaya yang telah membekali penulis dengan berbagai konsep, teori, dan metodologi sehingga penulis dapat melakukan penelitian dengan baik.
6)
Seluruh staf pegawai administrasi dan perpustakaan Program Studi S2 Kajian Budaya : Bapak I Putu Sukaryawan, Bapak Madya, Ibu Luh, Ibu Aryati, Ibu Cok, Ibu Agung, Bapak Candra, Bapak Hendra yang dengan semangat kekeluargaan dan persaudaraan melayani berbagai urusan administrasi akademik dan kemahasiswaan.
7)
Para informan dan pegawai kantor desa Mola Selatan dan masyarakat Bajo Mola Selatan yang telah memberikan data bagi penulis secara langsung maupun tidak langsung selama masa penelitian dengan penuh semangat kekeluargaan dan persaudaraan.
8)
Teman-teman S2 Kajian Budaya angkatan 2012: Paulus Jeramun, Kadek Dedy Prawirajaya R, Made Dewi Antari, Ni Putu Ayu Rastiti, Rico Aprisa, Kemala Taufiq, Ni Ketut Ayu Widiantari, I Ketut Sutarwiyasa, I Putu Puspa Artayas, Pammuda, Kadek Agus Ardiaka dan Immelfi Mudiarti Mursal serta teman-teman di asrama Banyusari Denpasar: Sahrun, La Aso, Rahmat Suraya, La Ode Yusuf, Muhammad Awaluddin, Syarifudin, Hardin, Awaludin, dan Ali azhar yang telah memberikan dukungan, semangat, nasehat dan doa sampai penulisan tesis ini.
9)
Ayahanda H. Muh. Salihi, A.Ma.Pd, Ibunda Hj.Wa Ode Abda, serta saudara-saudariku Asrif, S.Pd.M.Hum, Suhardiman SH, Bripda Cahyadi, Iswahyuddin, S.Pd, Rini Astuti dan yang terspesial dan tercinta keluarga besar almarhum La Ode Rawa dan almarhum La Madira yang tak hentihentinya selalu memberikan perhatian, doa, dan cinta kasih mereka telah memberikan inspirasi dalam menyelesaikan tesisi ini
10) Keluarga Besar di perkampungan Bajo Mola Selatan Bapak Daud dan Bapak Dasseng selaku sandro dalam ritual duata, trimakasih nasehat, petuah dan kesediaannya untuk mendampingi penulis selama di lokasi penelitian. Akhirnya, penulis hanya dapat mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas budi baik mereka dengan balasan yang setimpal.
Denpasar, Juni 2014
Penulis
ABSTRAK Tesis ini membahas komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam perspektif kajian budaya dan tradisi lisan, penelitian ini mengangkat realitas lapangan yang empirik yang berkaitan dengan permasalahan komodifikasi. Adanya arus budaya global pada etnik Bajo berimplikasi terhadap praktik-praktik budaya kapitalisme. Ritual duata yang merupakan sebuah ritual dalam upaya permohonan kesembuhan dari penyakit yang secara medis tidak bisa disembuhkan lagi. Namun dalam perkembangannya ritual duata mengalami pergeseran dari sakral ke arah profan yang melahirkan praktik komodifikasi. Masalah yang diteliti dirumuskan dalam empat pertanyaan berikut ini. (1) bagaimana proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara? (2) faktor apakah yang menyebabkan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara? (3) bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi ritual
duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara? (4) bagaimana strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, multidimensional. Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif sedangkan sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data lapangan diperoleh dari informan yang dipilih secara purposif. Peneliti bertindak sebagai instrumen utama, dibantu pedoman wawancara, kamera-foto, dan alat tulis. Data lapangan dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Data dianalisis dengan menggunakan teori (1) teori komodifikasi, (2) teori semiotika dan (3) teori wacana pengetahuan atau kekuasaan dengan teknik analisis deskriptif kualitatif, dan interpretatif. Hasilnya disajikan secara formal dan informal. Komodifikasi ritual duata dalam penelitian ini bukan hanya menjadikan ritual duata yang sebelumnya bukan barang komoditi menjadi barang komoditi tetapi komodifikasi berkaitan pula dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi. Faktor penyebab komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu sifat masyarakat yang terbuka, dan kreativitas masyarakat, media massa, ekonomi dan pariwisata. Dampak dan makna komodifikasi ritual duata yaitu berdampak terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat yang cenderung merugikan setelah ritual duata dikomodifikasi seperti adanya komersialisasi ritual duata dan kaburnya identitas budaya. Adapun makna komodifikasi ritual duata yaitu sebagai bagian dari pelestarian budaya, identitas budaya dan kreativitas. Disamping itu strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan dalam tiga bentuk yaitu (1) pemberdayaan (2) dokumentasi dan (3) pengembangan.
Kata kunci: komodifikasi, ritual duata, dan etnik Bajo.
ABSTRACT
This thesis discussed about the duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency, southeast Sulawesi. In the perspective of cultural study and oral tradition this thesis raised the facts in field which is empirical that related problems of commodification. The existance of globalization at Bajo ethnic has implications for the practices of Capitalism. Duata ritual is an oral tradition that is full of values and meanings in an effort to suplicate the cure of diseases that medically cannot be cured anymore. But in its development duata ritual changed from sacred to profane which raised commodification practice. The research problems were formulated as follows: (1) how is the commodification process of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency Southeast Sulawesi province? (2) What are the factors that led to the commodification of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency Southeast
Sulawesi province? (3) How are the impacts and meanings of the commodification of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency Southeast Sulawesi Province? (4) How the inheritance strategies of the duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency Southeast Sulawesi Province. This thesis used the qualitative method with the approach of cultural study that is critical, interdisciplinary, and multidimensional. The data which is used are qualitative and quantitative data and the data source of this study are primary and secondary data.The field data is obtained from informants who were selected purposively. The researcher acts as an main instrument, assisted with interview guide, camera, and stationery. The field data is collected by observation method, interviews, and study of documentation. The data is analysed by using (1) the commodification theory (2) the semiotic theory, and (3) the theory of discourse power or knowledge with the technique of descriptive qualitative analysis, and interpretative. The results are presented in formal and informal ways. The commodification of duata ritual in this study not only makes the ritual before not comodity becoming comodity but the commodification is also related to the proccess of production, distribution, and consumption. The factors that caused the commodification of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatoby regency southeast Sulawesi are the characters of the open society, the creativity of society, mass media, economic, and tourism. The impacts and meanings of the commodification of duata ritual impacts on the social and cultural life that tend to harm after duata ritual is commodificated such as commercialization of duata ritual and the blur of cultural identity. The meanings of its commodification of duata ritual are the part of culture preservation, the cultural identity and creativity. In addition, it is also associated with tourism strategies the duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency Southeast Sulawesi Province is divided into three forms of inheritance strategies: (1) preservation, (2) documentation, (3) development.
Keywords: commodification, duata ritual and Bajo ethnic
RINGKASAN Penelitian ini membahas mengenai komodifikasi ritual duata di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam perspektif kajian budaya, penelitian ini mengangkat realitas lapangan yang empirik berkaitan dengan praktik komodifikasi. Perkembangan budaya global melahirkan praktikpraktik budaya kapitalisme. Ritual duata mengalami komodifikasi sebagai adaptif budaya global yang melahirkan makna baru. Ritual duata pada awalnya merupakan ritual yang penuh kesakralan tinggi yang dilakukan hanya pada prosesi pengobatan. Karena adanya pengaruh budaya global menyebabkan ritual duata tidak hanya berfungsi sakral tetapi juga berkaitan erat dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat menjadi
bertendensi ekonomi. Akibatnya, terjadi pergeseran pemaknaan terhadap nilai esensi ritual duata serta perubahan prilaku terhadap praktik-praktik budaya masyarakat pendukung produk budaya tersebut. Proses modernisasi melalui pembangunan yang kapitalistik menyebabkan komodifikasi. Komodifikasi yaitu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi sehingga kini menjadi komoditi untuk diperjual-belikan serta menyangkut pula pada proses produksi, distribusi dan konsumsi ritual duata. Tarik menarik kepentingan dalam proses komodifikasi ritual duata terjadi antara para pelaku produksi, distribusi dan konsumen. Proses komodifikasi ritual duata dimainkan oleh masyarakat (dukun) yang bekerja sama dengan seniman Bajo bersama pemerintah dalam mendistribusikannya sehingga menarik untuk diteliti dalam kajian budaya khususnya tradisi lisan. Memahami begitu kompleksnya komodifikasi ritual duata dalam konteks kebudayaan global, maka penelitian ini terfokus pada empat masalah pokok, yaitu (1) bagaimana proses komodifikasi ritual duata, (2) faktor penyebab ritual duata (3) bagaimana dampak dan makna komodifikasi ritual duata dan (4) strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dengan perspektif kajian budaya, serta strategi pewarisan ritual duata dalam upaya revitalisasi tradisi lisan yang semakin hari semakin punah. Selain itu, secara khusus penelitian ini bertujuan menemukan bagaimana proses
komodifikasi
ritual
duata,
memahami
faktor-faktor
penyebab
komodifikasi dan menginterpretasi apa dampak dan makna komodifikasi ritual duata serta strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, digunakan metode kualitatif, dengan format desain pengumpulan data, dan analisis data bersifat deskriptif kualitatif. Adapun sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder didapat melalui studi pustaka dan studi dokumen. Selanjutnya data dianalisis lebih mendalam dengan menggunakan teori-teori yang relevan seperti teori komodifikasi, teori semiotika, teori wacana kekuasaan atau pengetahuan, dan hasil analisis disajikan secara informal melalui deskriptif analisis yang dilengkapi dengan penyajian formal dalam bentuk gambar dan tabel (data sekunder). Hasil yang didapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama ritual duata etnik Bajo mengalami komodifikasi akibat dari transformasi budaya ke ruang budaya global sehingga saling mempengaruhi sehingga menimbulkan pergeseran nilai sakral ke arah profan. Komodifikasi ritual duata terjadi melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi, baik sebagai satu kesatuan maupun komodifikasi pada bagian-bagian atau unsur-unsur dalam ritual duata. Produksi dan distribusi ritual duata dilakukan atas inisiatif sendiri oleh masyarakat Bajo dalam hal ini dukun dan sanggar seni Bajo dan secara kelembagaan dengan pemerintah Kabupaten Wakatobi menyebabkan ritual duata mengalami komodifikasi, yaitu suatu proses menjadi komoditas yang berorientasi nilai jual. Produk ritual duata yang mengalami komodifikasi terlihat pada peralatan sarana upacara/ritual seperti sesajian (buas bubu rinti), bendera (ula-ula), kain berwarna (palisier), panggung, pakaian (busana), dan gerak tari (ngigal). Dalam proses pendistribusian ritual duata dilakukan dalam dua hal yaitu melalui media massa dan komunikasi lisan. Media massa merupakan sarana penyebarluasan informasi atau berita kepada khalayak luas baik secara lokal maupun internasional dalam hal ini ritual duata disampaikan melalui media televisi, internet maupun koran (brosur) sebagai media yang cukup efektif sedangkan komunikasi lisan merupakan salah salah satu cara untuk membantu kelancaran jual beli produk/jasa ritual duata yang sangat sederhana dan masih sering digunakan baik secara disengaja maupun tidak. Komunikasi lisan masih cukup efektif sebagai cara penyampaian atau menginformasikan ritual duata yang
diproduksi sehingga diketahui oleh masyarakat secara umum. Pada proses konsumsi ritual duata dimaksudkan yaitu suatu tindakan menggunakan atau menghabiskan suatu barang/jasa (ritual duata) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung, selain itu juga mengandung makna tindakan penggunaan simbol untuk menandai posisi sosial tertentu. Berkenaan dengan konsumsi ritual duata dilihat dalam dua bentuk yaitu konsumsi ritual duata untuk pengobatan dan konsumsi ritual duata untuk pariwisata (hiburan). Ritual duata untuk pengobatan yaitu tindakan memakai produk/jasa ritual duata sesuai dengan fungsinya sebagai upaya penyembuhan dari penyakit yang segala sesuatunya mulai dari sarana sesajian sampai pada prosesi pelarungan sesajian dilakukan oleh dukun (sandro). Pengetahuan mengenai nilai atau manfaat ritual duata oleh sandro mampu menguasai konsumen dalam hal ini pasien hanya bisa menerima konsekwensi dari apa yang dilakukan oleh dukun sehingga terlihat ada interaksi yang melahirkan praktik komodifikasi dari penggunaan sarana upacara/ritual dan pemberian upah. Sedangkan konsumsi ritual duata untuk pariwisata yaitu dimaksudkan bahwa ritual duata sengaja di produksi sebagai pertunjukan hiburan. Konsumsi ritual duata untuk pariwisata dilihat bagaimana ritual duata dikonsumsi oleh konsumennya dalam sebuah hiburan (wisatawan asing maupun nusantara) yang secara umum bertujuan untuk kebutuhan hiburan dan untuk mendapatkan kesenangan. Jika dilihat dari segi waktu/tempat pelaksanaan serta bentuk sesajian, ritual duata berorientasi pada hukum pasar yang mengikuti selera konsumen. Kedua, hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor yang menyebabkan komodifikasi ritual duata muncul dari konstruksi budaya lokal sendiri seperti adanya sikap masyarakat yang terbuka dengan hal-hal yang baru melalui proses akulturasi budaya/kontak budaya yang menginginkan sebuah perubahan kearah kemajuan
dalam
peningkatan
kemakmuran
dan
kesejahteraan
dengan
memanfaatkan produk budaya (ritual duata) sebagai modal untuk dijadikan sebagai barang komoditi yang bernilai jual, sedangkan kreativitas masyarakat etnik Bajo yang berusaha mendesain/mendaur ulang potensi budaya (ritual
duata) menjadi sebuah kesenian yang bernilai jual. Kreativitas dalam hal ini mengubah, menambah yang sudah ada sebelumnya ataupun menciptakan sesuatu yang belum ada. Ide atau pemikiran baru terlihat pada kreativitas seniman atau dukun dalam menata gerakan tari dalam ritual duata dengan mengkombinasikan dengan tari-tarian lainnya, penggunaan ragam hias seperti palisier, sesajian (buas bubu rinti) dengan tampilan yang lebih semarak dari aslinya serta terlihat pada busana penari yang selalu mengikiti trend fashion. Selanjutnya didasarkan pada perkembangan media massa, ekonomi dan pariwisata. Melalui media massa, banyak opini atau pemikiran baru untuk berimajinasi. Media massa menjadikan ritual duata menjadi budaya populer sehingga diketahui bahkan dikonsumsi oleh masyarakat luas dengan berbagai kepentingan baik dalam pengobatan maupun untuk hiburan. Terkait dengan faktor ekonomi, masyarakat etnik Bajo mermanfaatkan produk budaya/ritual duata untuk meraih keuntungan demi meningkatkan kesejahteraannya yang dapat dilihat dari berbagai produk/jasa ritual yang sengaja didaur ulang dalam bentuk pertunjukkan seni, sedangkan dalam kaitannya dengan pariwisata, maka dengan adanya praktik ritual duata kiranya mampu memberikan suguhan dalam bentuk pertunjukkan hiburan sehingga terjalin kerja sama yang menguntungkan antara wisatawan dan pelaku seni (dukun) yang mengakibatkan orientasi pemikiran masyarakat Bajo terpusat pada kegiatan ekonomi kepariwisataan. Ketiga, komodifikasi ritual duata memiliki dampak dan pemaknaan pada kehidupan sosial dan budaya etnik Bajo. Dampak komodifikasi ritual duata terhadap kehidupan sosial budaya cenderung negatif, yaitu terjadinya komersialisasi ritual duata karena sengaja dijadikan sebagai produk budaya untuk memenuhi selera pasar dimana ada penyesuaian unsur-unsur tradisi ke dalam konteks budaya moderen sehingga banyak nilai-nilai tradisi yang teralihkkan dari nilai magis religius ke nilai profan yang berorientasi nilai jual. Dampak selanjutnya yaitu mengakibatkan kaburnya identitas budaya dalam hal ini
tergambar
ketika
ritual
duata
dikomersilkan
dalam
produk
kesenian/pertunjukkan melalui ornamen perlengkapan dalam ritual duata yang mengikuti selera pasar. Hal ini terjadi karena ada kesempatan dan peluang,
sehingga masyarakat pemilik kebudayaan ritual duata, termotivasi melahirkan kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban masyarakat global. Ritual duata yang merupakan bagian dari identitas kebudayaan etnik Bajo dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata yang dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi dengan kesadaran penuh didesain seindah mungkin yang lambat laun akan melunturkan akar budaya Bajo yang terkandung dalam ritual duata. Selanjutnya, mengenai makna komodifikasi ritual duata diartikan sebagai arti, maksud, yang ditunjukkan oleh masyarakat etnik Bajo dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang budayanya, serta bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Terkait dengan praktik komodifikasi ritual duata masyarakat etnik Bajo memaknainya sebagai bentuk pelestarian budaya, identitas budaya dan kreativitas. Makna pelestarian budaya terkait dengan kesadaran budaya yang senantiasa ditumbuh kembangkan agar berkembang kepekaan untuk menghargai budaya. Makna identitas budaya sebagai ciri khas sebuah kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan yang lain, terkait dengan praktik komodifikasi ritual duata maka di dalam pertunjukkan terdapat berbagai macam penggunaan ornamen ritual seperti bendera (ula-ula), kain berwarna (palisier), busana, sesajian (buah bubu rinti) dan gerakan tari yang menunjukkan identitas kebudayaan Bajo dalam praktik ritual sehingga bisa membedakan etnik Bajo dengan etnik lainnya di Kepulauan Wakatobi. Selanjutnya makna kreativitas yaitu dengan adanya praktik komodifikasi ritual duata maka akan melahirkan pemikiran kreatif yang bisa dikembangkan melalui proses produksi ritual duata dimana di dalam prosesnya memerlukan pemikiran dan jiwa kreativitas tinggi sehingga bernilai jual dan mengandung daya tarik seni tinggi. Keempat, mengenai strategi pewarisan ritual duata untuk menghindari kepunahan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dalam penelitian ini dijelaskan beberapa bentuk yakni (1) pemberdayaan yaitu upaya memanfaatkan tradisi ritual duata sebagai modal budaya serta melibatkan masyarakat pendukung tradisi untuk bisa berpartisipasi
dalam industri budaya yang bisa meningkatkan pendapatan masyarakat (2) pendokumentasian merupakan salah satu cara untuk melestarikan dan mewariskan ritual duata pada generasi muda agar mampu bertahan dan hidup berdampingan dengan kemajuan tekhnologi modernisasi berupa inventarisasi gambar (vidio), (3) pengembangan yaitu upaya pewarisan ritual duata yang ditata
dalam
berbagai
bentuk
kesenian
(pertunjukkan)
dengan
tidak
menghilangkan identitas dan nilai dari tradisi etnik Bajo.
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL......................................................................................
i
PRASARAT GELAR.....................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH...........................................................................
v
ABSTRAK......................................................................................................
viii
ABSTRACT....................................................................................................
x
RINGKASAN.................................................................................................
xi
DAFTAR ISI...................................................................................................
xvii
DAFTAR TABEL...........................................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
xxii
GLOSARIUM
xxiii
.........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………………….......…………………………....
1
1.2 Rumusan Masalah…………………….......……………………...…
10
1.3 Tujuan Penelitan …………………...……….......……………...…..
11
1.3.1 Tujuan Umum………………………………....……..............
11
1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………........………
12
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………........……....
12
1.4.1 Manfaat Teoretis…………………………………...........…..
12
1.4.2 Manfaat Praktis…………………………………....…..….…
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka……………………………………………….……..
14
2.2 Konsep………………………………………………………...........
19
2.2.1 Komodifikasi .......…............................................................
19
2.2.2 Ritual Duata.……….......................…………………..........
21
2.2.3 Etnik......................................................................................
22
2.2.4 Komodifikasi Ritual Duata...................................................
23
2.3 Landasan Teori..................................................................................
24
2.3.1 Teori Komodifikasi.…....……………………………..............
24
2.3.2 Teori Semiotik.........................………....... ……..…...…........
25
2.3.3 Teori Wacana Kekuasaan atau Pengetahuan............................
30
2.4 Model Penelitian………………………………………........………
33
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ……………………………………......……..
36
3.2 Lokasi Penelitian……………………………………...........…….....
37
3.3 Jenis dan Sumber Data……………………………………....……...
37
3.4 Teknik Penentuan informan .........………………………….........…
38
3.5 Instrumen Penelitian……………………………………..................
39
3.6 Teknik Pengumpulan Data……....................…………………........
40
3.6.1 Teknik Observasi.........................………..………………......
41
3.6.2 Teknik Wawancara……...........……………………………...
42
3.6.3 Studi Dokumen....………………………………….........…...
43
3.7 Teknik Analisis Data………….........…………................................
43
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data…….....................….......…...
44
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis ...........................................................................
46
4.1.1 Letak, Luas, Batas Desa Mola Selatan.....................................
47
4.1.2 Iklim.........................................................................................
47
4.2 Kondisi Demografi...........................................................................
48
4.2.1 Jumlah Penduduk.....................................................................
48
4.2.2 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan...................
50
4.2.3 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian.....................
52
4.3 Agama dan Kepercayaan................................................................
60
4.4 Sistem Kekerabatan........................................................................
63
4.5 Bahasa dan Kesenian.......................................................................
65
4.6 Sejarah Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi...................................
70
4.7 Ritual Duata....................................................................................
73
BAB V PROSES KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI
TENGGARA
5.1 Produksi Ritual Duata.......................................................................
91
5.1.1 Sesajian (Buas Bubu Rinti)......................................................
93
5.1.2 Bendera (Ula-ula)....................................................................
101
5.1.3 Kain Berwarna (palisier).........................................................
106
5.1.4 Panggung (Pentas)...................................................................
113
5.1.5 Pakaian (Busana).....................................................................
115
5.1.6 Gerak Tari (ngigal)..................................................................
120
5.2 Distribusi Ritual Duata......................................................................
125
5.2.1 Media Massa............................................................................
126
5.2.2 Komunikasi Lisan....................................................................
133
5.3 Konsumsi Ritual Duata......................................................................
136
5.3.1 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pengobatan.............................
137
5.3.2 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pariwisata...............................
138
BAB VI FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
6.1 Sikap Terbuka.............................................................................
143
6.2 Kreativitas Masyarakat...............................................................
154
6.3 Media Massa...............................................................................
151
6.4 Ekonomi......................................................................................
157
6.5 Pariwisata....................................................................................
161
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
7.1 Dampak Komodifikasi Ritual Duata.............................................
167
7.1.1 Komersialisasi Ritual Duata................................................
168
7.1.2 Kaburnya Identitas Budaya..................................................
170
7.2 Makna Komodifikasi Ritual Duata...............................................
174
7.2.1 Pelestarian Budaya................................................................
175
7.2.2 Identitas Budaya....................................................................
180
7.2.3 Kreativitas Masyarakat.........................................................
184
7.2.4 Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...............................
189
BAB VIII STRATEGI RITUAL DUATA 8.1 Pemberdayaan.................................................................................
196
8.2 Pendokumentasian..........................................................................
200
8.3 Pengembangan................................................................................
202
Refleksi...........................................................................................................
204
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Simpulan..........................................................................................
208
9.2 Saran................................................................................................
212
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
215
LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................
222
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1
Komposisi Penduduk Desa Mola Selatan Menurut
48
Umur dan Jenis Kelamin................................................. Tabel 4.2
Komposisi Penduduk Desa Mola Selatan Menurut
51
Mata Pencaharian............................................................ Tabel 5.1
Daftar Harga Peralatan Ritual Duata..............................
103
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 4.1
Warung sembako di Desa Mola Selatan................................
55
Gambar 4.2
Aktivitas pertukangan di Desa Mola selatan.........................
57
Gambar 4.3
Memandikan pasien dengan iringan gendang.......................
77
Gambar 4.4
Proses pelarungan sesajian di laut.........................................
79
Gambar 4.5
Dukun menguji mental pasien...............................................
86
Gambar 4.6
Sabung ayam untuk mengetahui kesembuhan pasien...........
87
Gambar 4.7
Dukun menghamburkan beras kearah kepala pasien.............
89
Gambar 5.1
Materi pendukung ritual duata..............................................
94
Gambar 5.2
Sesajian buas bubu rinti........................................................
96
Gambar 5.3
Dukun menentukan isi materi sesajian..................................
99
Gambar 5.4
Materi Ritual Duata (Pariwisata)..........................................
100
arung palakka
: raja Bone (manusia yang sering memakai sarung)
Gambar 5.5
Bendera Kebesaran suku Bajo (ula-ula)................................
105
Gambar 5.6
Kain Berwarna (palisier).......................................................
107
Gambar 5.7
Palisier dengan tampilan yang lebih meriah.........................
112
Gambar 5.8
Panggung Permanen..............................................................
114
Gambar 5.9
Pakaian khas etnik Bajo.........................................................
116
Gambar 5.10
Pakaian yang sudah dimodifikasi..........................................
117
Gambar 5.11
Pakaian dengan sentuhan warna pakaian adat Buton...........
118
Gambar 5.12
Gerakan tari (ngigal).............................................................
121
Gambar 5.13
Gerakan tari ngigal yang mengalami perubahan...................
123
Gambar 5.14
Promosi ritual duata melalui internet....................................
128
Gambar 5.15
Koran dan brosur dalam pendistribusian ritual duata...........
131
Gambar 7.1
Kelompok penari ritual duata................................................
181
Gambar 7.2
Ula-ula sebagai penanda identitas etnik Bajo.......................
183
Gambar 7.3
Kreativitas dalam penyajian isi sesajian................................
187
GLOSARIUM
asemmu
: namamu
ba’go
: kapal penangkap ikan yang menggunakan jala
bangkawa
: atap
battu
: tiba
baong sama
: bahasa yang dipakai sama-sama orang Bajo
bido
: perahu tradisonal yang terbuat dari kayu
boe
: air
bonto
: gelar bangsawan Bajo
daleq
: rezekiku (Bugis)
buas bubu rinti
: beras warna-warni
bubura
: beras
dansihitang
: keluarga besar
dooda
: atap
dewata
: Tuhan Yang Maha Esa
duata
: Dewata (Tuhan Yang Maha Esa)
darumah
: tinggal bersama satu atap
extended family
: keluarga luas
gadha
: gendang terbuat dari kulit kambing/sapi
gula nawa-nawamu
: gula pikiranmu
ikka
: ganggilan kepada saudara yang tua
iko-iko
: nyanyian yang mengisahkan suku Bajo dalam melawan musuh
indi
: panggilan kepada saudara yang lebih muda
jalunya
: alat perangkap ikan (jala)
kadandio
: nyanyian pada saat berangkat berlayar atau melaut
kae pakana
: perahu penangkap ikan
kaka
: sebutan bagi saudara kembar manusia yang ada di laut
keke
: sebutan bagi penguasa laut
kalongko
: batok kelapa
kanjilo
: nyanyian suku Bajo saat hendak turun melaut
kasungki
: ritual untuk menyembuhkan penyakit tutura
kuneh
: warna kuning
kutta
: hewan laut berupa gurita yang masih dekat dengan kehidupan masyarakat Bajo
lama
: pola hidup orang Bajo dalam mencari nafkah yang dilakukan secara nomaden dalam waktu tertentu beserta anggota keluarganya.
lameh
: janur kuning (kelapa)
lekko
: daun sirih
lepa taha
: perahu panjang
lolo
: gelar bangsawan suku Bajo
lo’o
: hitam
majala
: menangkap ikan dengan jaring (jala)
manu
: ayam
mappandesasi
: ritual keselamatan bagi etnik Mandar di Kota Kendari
mappaleppa
: upacara pemberkatan perahu
marriage preference
: perkawinan yang ideal
mayah
: buah pinang muda yang masih menempel
ditandannya (kecil-kecil)
mbo
: nenek atau penguasa laut
mbo duga
: makhluk halus di laut yang bertugas di sebelah barat
mbo lumu
: makhluk halus di laut yang bertugas menjaga batu
mbo janggo
: makhluk halus di laut yang bertugas disebelah timur
mbo tambirah
: makhluk halus yang mengendalikan angin kencang
mireh
: merah
monimbanga di lao
; Dewa di laut
ngigal
: gerakan kaki naik turun (tari Bajo)
noan
: penyakit yang bersumber dari roh jahat dari darat
nucleus family
: keluarga batih
paddeanganna
: gelarnya
palemana
: rumah di atas laut
panggroak kampoh
: setan penggangu dari laut
panggroak sappa
: setan penghuni batu di dasar laut
palilibu
: pola menagkap ikan, dimana hasil tangkapannya dapat di bawa pulang pada hari itu untuk dikonsumsi atau dijual.
palisier
: kain persegi panjang kombinasi beberapa warna
palito nyalo
: tradisi lisan dalam kesenian drama tari di Kota Padang
papu
: Tuhan Yang Maha Esa (bahasa Bajo halus)
piddi
: Pennyakit
passengng riangnging
: penggunaan mantra melalui media angin
passengng ri olokkolo
: penggunaan mantra melalui media hewan
pomali
: pantangan yang tidak boleh dilanggar
pongka
: Pola menangkap ikan dalam waktu 1 minggu sampai 10 hari dimana hasilnya mereka jual setelah mereka kembali.
qun fa yaqun
: jadi maka jadilah
randai
: kesenian tari dari daerah Padang
rumah jage
: rumah utama sebagai tempat tinggal setan pengganggu
sagala
: nyanyian yang dilantunkan saat saat pengobatan
sakai
: pola mencari ikan berkelompok selama 1 sampai 6 bulan kemudian hasilnya mereka pasarkan keluar daerah, setelah itu mereka bagi hasilnya.
sama
: serupa
sumanga
: jiwa
sandro
: dukun kampung pemimpin upacara
to sama
: orang Bajo yang memiliki banyak kesamaan
tuli
: buaya (hewan yang diyakini memiliki hubungan erat dengan orang Bajo)
tali sumanga
: tali yang berasal dari langit ketujuh untuk mengambil semangat hidup untuk pasien
tomuni
: ari-ari
turura
: penyakit akibat tidak melaksanakan kasungki
uija
: nyanyian Bajo
uwwa
: panggilan kepada orang tua (ayah)
umma
: panggilan kepada orang tua (ibu)
ula-ula
: bendera kebesaran suku Bajo/ambar laut
wajalala
: perintah untuk membuang sesuatu
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat dan budaya merupakan dua aspek yang tidak dapat terpisahkan. Dalam arti bahwa setiap kelompok masyarakat entah itu masyarakat yang bersifat tradisional maupun modern pasti memiliki suatu budaya yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pendukungnya. Karena budaya itu melekat pada individu-individu dalam suatu komunitas yang diwujudkan dalam bentuk nilai-nilai, sikap, kepercayaan, norma, hukum dan sistem perilaku serta hasilhasil karya. Kebudayaan sebagai identitas komunitas bukan hanya dipahami sebagai pembeda dengan komunitas lain, melainkan sebagai suatu hal yang dapat digunakan untuk mengenal kehidupan komunitas, cara-cara kumunitas menyusun pengetahuan, menampilkan perasaan, dan cara mereka bertindak. Peranan kebudayaan menjadi sangat besar dalam ekosistem komunikasi, karena karakteristik kebudayaan antar komunitas dapat membedakan kebudayaan lisan dan
tertulis
yang
merupakan
kebiasaan
suatu
komunitas
dalam
mengkomunikasikan identitasnya. Kebudayaan di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat terlepas dari tradisi. Tradisi bukanlah dilihat sebagai barang yang menunjukan unsur kekunoan (sakral) yang harus disimpan yang merupakan warisan dari peradaban masa lalu, justru sudut pandang seperti ini akan mengangkat citra eksistensi tradisi khususnya tradisi lisan yang telah diungkapkan dalam berbagai macam
penelitian, dalam sejarah kegemilangan masa lalunya saja tanpa dapat mengaktualkannya dalam ksituasi masa kini. Pada hakikatnya tradisi lisan dalam perkembangannya mengalami transformasi yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, karena sebuah tradisi tidak akan hidup kalau tidak mengalami transformasi. Akibat persinggungan sebuah tradisi dengan modernisasi akan menciptakan sebuah kedinamisan sebuah tradisi (Sibarani, 2012: 3). Transformasi yang tidak dapat dielakkan dimasa mendatang adalah transformasi tradisi lisan kearah industri budaya. Sebuah tradisi lisan diangkat dengan kreativitas yang tinggi melalui teknologi
informasi
modern
tanpa
mematikan
tradisi
itu,
tetapi
menghidupkannya kembali dalam bentuk lain yang lebih disukai baik oleh masyarakat pemiliknya maupun oleh masyarakat global. Fenomena yang terjadi pada kebudayaan di Indonesia adalah peleburan budaya lokal yang dikendarai oleh kapitalisme yang berkaitan dengan ekonomi, kekuatan budaya dominan, kekuatan ideologi-ideologi dunia yang tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Terkait dengan fenomena globalisasi, sejak Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dijadikan sebagai daerah destinasi pariwisata nasional, gejala praktik kapitalisme mulai nampak dengan munculnya industri budaya yang mengacu kepada komodifikasi bentuk-bentuk budaya, sebagai industri hiburan. Banyak tradisi kebudayaan dan kesenian yang mengalami komersialisasi seni akibat tuntutan pasar yang berorientasi pada ideologi kapitalisme dimana ikon, tanda, barang serta indeks dijadikan sebagai modal prodak sebuah karya untuk dijadikan barang komoditi yang bernilai jual.
Dalam hal ini, sebuah industri budaya telah memproduksi berbagai bentuk kebudayaan yang seolah-olah telah menjadi kebutuhan massa dan menjadi faktor penentu dalam proses produksinya, sehingga sebuah budaya yang sebelumnya dipenuhi dengan nilai-nilai tinggi, otentik (authenticity), dan kebenaran (truth), oleh industri budaya diproduksi secara massal menjadi komoditas yang penuh dengan perhitungan laba (profit). Etnik Bajo yang ada dikawasan sepanjang pesisir pantai di Kepulauan Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan komunitas masyarakat yang memiliki tradisi yang kental dengan ritual pemujaan terhadap penguasa laut (mbo) serta berkenaan dengan permohonan keselamatan dari berbagai bencana (penyakit) dan kegiatan melaut lainnya. Pada awalnya etnik Bajo di desa Mola Selatan kurang begitu terbuka dengan perubahan khususnya perkembangan teknologi dan informasi hal ini terlihat pada struktur masyarakat, adat istiadat, kebudayaan termasuk ritual-ritual yang pada dasarnya nampak berbeda dalam pelaksanaannya dengan praktik tradisi diwilayah lain yang ada di kepulauan Wakatobi. Salah satu tradisi lisan yang khas yang terdapat di desa Mola Selatan Kabupaten Wakatobi adalah adalah ritual duata. Ritual ini merupakan warisan leluhur etnik Bajo sebagai ritual penyembuhan penyakit secara tradisional yang dilakukan sewaktu-waktu. Ritual duata sebagai sarana permohonan kepada penguasa alam memiliki prinsip-prinsip yang menjelaskan keyakinan tentang hubungan manusia dengan makhluk penguasa alam, hubungan manusia dengan alam sekitarnya serta makhluk-makhluk metafisik lainnya. Kesemuanya terlihat
pada sistem kepercayaan masyarakat lokal dalam memanifestasikan wujud penghormatan mereka dalam bentuk upacara adat/ritual. Berkaitan dengan ritual Van Ball, J, (1997:12) menyatakan bahwa peranan upacara (baik ritual maupun seremonial) adalah selalu mengingatkan manusia berkenan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan mereka, dengan adanya upacara-upacara suatu warga masyarakat bukan hanya selalu diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Sama halnya dengan pernyataan Giddens (2003: 48-50) dimana tradisi merupakan adat atau kebiasaan (custom or habit), yang merupakan penanda identitas baik secara pribadi maupun kolektif masyarakat pendukungnya. Identitas
adalah
penciptaan
konstansi
dalam
perjalanan
waktu,
yang
menghubungkan masa lalu dengan masa depan masyarakat pewarisnya dengan realitas identitas sosial yang lebih luas, dalam hal ini disebut dengan perhatian psikologis. Demikian pula dalam ritual duata berkaitan dengan pemujaan terhadap penguasa alam dan roh-roh leluhur dalam upaya permohonan keselamatan dan kesejahteraan yang tidak terlepas dari mitos bagi pendukung kebudayaan untuk menjaga dan mempertahankan keharmonisan dalam kehidupan etnik Bajo. Keyakinan etnik Bajo bahwa ritual duata ini berkaitan dengan pemujaan terhadap penguasa laut dan saudara kembaran (kaka) yang dipercayai bahwa setiap kelahiran anak memiliki kembaran di laut (kaka) berupa gurita dan
buaya. Sehingga jika salah satu diantara mereka ada yang sedang sakit, itu berarti sebagian semangat hidupnya (sumanga) telah diambil oleh saudara kembarnya ke laut dan sebagian lagi diambil oleh Dewata (Tuhan Yang Maha Esa) dan dibawa ke langit ketujuh. Secara harfiah ritual duata merupakan sebuah ritual yang berhubungan dengan tindakan penyelamatan dalam bentuk interaksi secara metafisik dengan makhluk-makhluk gaib lainnya untuk memohon kesembuhan dan meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar semangat hidup bagi seseorang yang sedang sakit bisa dimiliki kembali. Jadi, secara filosofis masyarakat etnik Bajo diajarkan untuk lebih menjaga keharmonisan hubungannya dengan sesama, lingkungan dan pencipta, dimana ekosistem dan biota laut berupa gurita (kutta) dan buaya (tuli) merupakan sebuah mitos yang dibangun oleh masyarakatnya sebagai perumpamaan hewan laut yang memiliki kekuatan besar untuk menjaga dan melindungi ekosistem laut dari kerusakan yang diakibatkan ulah manusia. Melalui nilai-nilai tradisi inilah manusia belajar mengadaptasikan dirinya dengan keadaan lingkungan supaya tetap menjaga keharmonisan dalam lingkup sosial dan hubungannya dengan Tuhan serta makhluk gaib lainnya. Dalam beradaptasi dan mendayagunakan alam lingkungannya itu, maka manusia berusaha melakukannya dengan cermat, penuh kehati-hatian dan terarah agar dapat menunjang kebutuhan hidupnya. Pengetahuan akan nilai-nilai dari mitos tersebut terkandung pula dalam ritual duata yang telah dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Pengetahuan tersebut secara terus menerus berkembang dan digunakan untuk
dapat memahami dan menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan bendabenda yang ada dalam lingkungannya. Pudentia (1998: 170) mengatakan, bahwa tradisi lisan dapat menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran, perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu. Sejalan dengan itu Hoed (Pudentia 1998:195),
menjelaskan
tujuan
analisis
tradisi
lisan
adalah
untuk
mengungkapkan yang terkandung dalam teks lisan itu, yaitu yang disebut cognate system, yakni hal-hal yang terlahir dan mentradisi dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang. Tradisi budaya atau tradisi lisan masa lalu tidak akan mungkin dapat lagi dihadirkan pada masa kini persis seperti dahulu karena telah mengalami transformasi sedemikian rupa bahkan mungkin telah mati karena tidak lagi hidup pada komunitasnya, tetapi nilai dan norma tradisi budaya atau tradisi lisan dapat juga dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak memperkuat identitas dan karakter mereka dalam menghadapi masa depan sebagai generasi penerus bangsa. Untuk itulah kita seharusnya mampu mnyikapi secara cerdas bagaimana tradisi dalam aspek kemayarakatan yang bersumber dari nenek moyang diwariskan kegenerasi selanjutnya agar tidak mengalami kepunahan (Sibarani, 2012: 2). Tradisi lisan memegang peranan penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia, karena tradisi lisan sebagai salah satu bentuk budaya lokal yang memiliki hubungan batin dengan para pewarisnya dan diyakini dapat
dimanfaatkan
untuk
meningkatkan
kualitas
kehidupan
masyarakat
pendukungnya. Hanya saja, seiring perkembangan zaman kian banyak tradisi lisan mengalami perubahan akibat dari persinggungan dari budaya tradisional dan budaya moderen sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan menggunakan akar budaya leluhur. Akibat globalisasi menyebabkan fungsi ritual duata berubah dari sakral ke profan dan dalam kaitannya dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat menjadi tendensi ekonomi, akibatnya ritual pun menjadi alat komoditas dan dikonsepkan sebagai salah satu bentuk mata pencaharian. Ritual duata yang merupakan bagian dari prosesi pengobatan adat etnik Bajo sengaja diproduksi oleh masyarakat Bajo (sandro/seniman) dimana dalam pendistribusiannya menggunakan media massa dan komunikasi lisan dengan harapan agar wisatawan
baik
lokal
maupun
mancanegara
tertarik
dan
bahkan
mengonsumsinya sehingga mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Proses komodifikasi ritual duata dalam perkembangannya mengalami penolakan terhadap perubahan dialektika sakral ritual duata kearah profan menuju komersialisasi tradisi. Dalam hal ini masyarakat pendukung tradisi yang menginginkan tradisi ritual duata jangan dikomersialkan harus tetap pada fungsi utama dengan menjaga nilai dan makna originalitas ritual dari pengaruh budaya luar namun dilain pihak sebagian masyarakat Bajo menginginkan komodifikasi ritual duata dengan alih-alih sebagai bentuk penyelamatan tradisi dari kepunahan sehingga tradisi budaya Bajo dikenal masyarakat luas serta bisa
berkiprah dalam industri pariwisata budaya yang bisa memperbaiki taraf kehidupannya. Pada era globalisasi saat ini ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi yang menyebabkan berubahnya pola pikir msyarakat etnik Bajo menjadi lebih terbuka dalam mengolah kebudayaannya. Produk ini sebelumnya tidak dianggap sebagai barang/jasa dagangan dan hanya dimiliki oleh dukun (sandro) dalam pengobatan. Namun kini menjadi produk komoditas yang berorientasi
ekonomi
(pasar).
Hal
tersebut
tentu
ada
faktor
yang
menyebabkannya sehingga komersialisasi ritual duata mengalami transformasi kearah profan. Hal tersebut menarik untuk dikaji dengan perspektif kajian budaya. Dalam penelitian ini aspek yang dikaji berkaitan dengan objek formal dan objek material. Wujud hakiki dari objek penelitian tersebut berupa segala aktivitas, perilaku, dan hasil karya berupa komodifikasi ritual duata yang terjadi pada masyarakat Bajo. Hubungan antara objek penelitian dengan daya tangkap manusia berkaitan dengan cara berpikir, memahami, dan mengindra ritual duata yang pada akhirnya membuahkan pengetahuan yang mendalam tentang hal tersebut. Objek formal dalam penelitian ini, yaitu mengkaji manusia dari aspek hakikatnya sebagai makhluk yang memiliki tradisi dan budaya. Dari sudut pandang kajian budaya dikaji adalah pemikiran-pemikiran masyarakat terkait dengan komodifikasi ritual duata. Untuk itu, maka dalam penelitian digunakan sudut pandang historis guna merunut peristiwa-peristiwa, sudut pandang sosiologis untuk mengamati faktor-faktor penyebab masyarakat Bajo membuat
ritual duata. Selanjutnya dalam hubungan dengan objek formal penelitian ini, maka yang diteliti adalah proses komodifikasi ritual duata hingga menjadi barang/jasa dagangan. Mengapa hal ini terjadi, apa penyebab dan faktor apa yang menyebabkan ritual duata menjadi produk yang berorientasi daya jual. Sehingga dampak dan makna terhadap komodifikasi ritual duata dapat diketahui. Objek formal dalam penelitian ini mengarah kepada proses komodifikasi ritual duata, pemikiran tentang faktor penyebab serta pemikiran tentang dampak dan makna komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo sebagai produk komoditas. Terjadinya komodifikasi ritual duata sebagai akibat dari persemaian budaya global bersumber dari berbagai faktor baik dari dalam (tradisi/budaya etnik Bajo) dan berasal dari luar (budaya global) yang masuk ke dalam kebudayaan lokal. Hal itu tidak bisa dipungkiri karena sebuah kebudayaan akan mengalami perubahan-perubahan yang menyesuaikan dengan konteks kekinian sehingga sadar dan tidak sadar akan berubah bentuk dari budaya aslinya. Penyesuaian-penyesuaian budaya tersebut akan melahirkan dampak dan pemaknaan tersendiri bagi kelangsungan akan eksistensi budaya asli serta masyarakat pendukungnya. Dampak negatif dari perubahan ritual duata kelingkup profan jika perubahan tersebut menuju perubahan yang mengancam tradisi kearah kepunahan yang menyebabkan penurunan nilai sakralitas dan pendangkalan dari esensi ritual duata. Selanjutnya dengan adanya profanisasi ritual duata tentunya
melahirkan pemaknaan sebagai usaha pelestarian dan pengembangan potensi tradisi bagi masyarakat pendukung tradisi. Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut akan menciptakan sebuah paradigma baru atau makna baru akan esensi dari ritual duata dalam kehidupan sekarang. Untuk itulah diperlukan suatu penelitian khusus untuk bisa melihat serta memberikan pendampingan agar tradisi leluhur masih bisa eksis dan hidup berdampingan dengan budaya modernisasi sekarang sehingga harus ada strategi-strategi pewarisan yang ditanamkan ke generasi penerus tradisi pendukung budaya Bajo. Berdasarkan dari observasi di lapangan dan menyimak kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat etnik Bajo khususnya ritual duata, maka peneliti mempunyai harapan untuk mengetahui lebih dalam praktik ritual duata yang mengalami pergeseran kearah komodifikasi sehingga perlu pengkajian secara mendalam mengenai proses komodifikasi ritual duata, faktor penyebab serta dampak dan makna komodifikasi ritual duata termasuk di dalamnya strategi perwarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai kajian sosial-budaya yang kritis, kajian budaya (lubis, 2006: 136) bertujuan untuk menyingkap berbagai kepentingan (ideologi) dominasi, hegemoni, kuasa, hak, kebebasan, keadilan, kepentingan yang ada di dalamnya. Untuk itulah peneliti mengambil sebuah judul penelitian: “Komodifikasi Ritual Duata Pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara”. 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan beberapa permasalahan yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara? 3. Bagaimana dampak dan makna komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara? 4. Bagaimana strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara? 1.2.1
Tujuan Penelitian Ada dua tujuan yang mendasar dalam penelitian ini. Tujuan penelitian
ini terdiri dari dua macam yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1
Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
khasanah budaya daerah sebagai hak kekayaan intelektual bangsa Indonesia dalam usaha untuk memperkokoh persatuan nasional yang tentunya ikut memperkaya khasanah budaya nasional. Di samping itu pula, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami serta mendekskripsikan tentang proses komodifikasi ritual duata, faktor yang menyebabkan, dampak dan makna komodifikasi ritual duata dan strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara yang dijadikan
cerminan dan pedoman hidup bagi masyarakat pendukungnya yang berkaitan dengan nilai religi yang harus dilestarikan dan dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. 1.3.2
Tujuan Khusus Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan tersebut. Maka
secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. 2. Untuk mengetahui faktor penyebab komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. 3. Untuk menginterpretasi dampak dan makna komodifikasi ritual duata terhadap kehidupan etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. 4. Untuk mengidentifikasi strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. 1.2.2
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dibedakan atas dua, yakni
manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1.4.1
Manfaat Teoretis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan secara logis, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Selain itu, hasil penelitian ini bisa bermanfaat dalam pengembangan cakrawala
keilmuan dari kajian budaya, khususnya dalam pengkajian tradisi lisan yang kini mulai terlupakan oleh masyarakat. 1.4.2
Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: (1)
pemerintah, khususnya pemerintah Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dalam menentukan dan menetapkan kebijakan yang tepat dalam pelestarian budaya-budaya lokal yang dimiliki masyarakat etnik Bajo pada khususnya dan masyarakat Wakatobi pada umumnya, (2) pihak-pihak yang peduli dengan pelestarian budaya-budaya lokal yang berkaitan dengan ritual yang dimiliki oleh masyarakat yang kian hari kian punah, (3) penelitian lain yang yang mengkaji kebudayaan etnik Bajo yang diharapkan dapat memberikan informasi, pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan arti penting menggali dan memaknai ritual yang merupakan bagian dari masa lalu, (4) membawa wawasan masyarakat, khususnya masyarakat etnik Bajo akan pentingnya pelestarian budaya leluhur sebagai identitas dan jati diri etnis secara khusus, (5) sebagai langkah inventarisasi budaya dan tradisi lisan yang kian hari keadaanya semakin menurun masyarakat pendukungnya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian tentang ritual dengan siklus hidup manusia baik berupa penyembuhan penyakit, permohonan keselamatan dan pemujaan terhadap sang pencipta, sudah banyak yang melakukan penelitian. Namun penelitian yang berkaitan dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara sejauh peneliti ketahui belum ada yang meneliti. Dalam penyempurnaan tulisan ini, peneliti menelusuri penulisanpenulisan terdahulu yang berkaitan dengan penelitian sebagai bahan rujukan dan pembanding yang relevan dengan penelitian ini. Kajian buku pustaka yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Saleh Buchari (2012) meneliti “Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi”. Tulisan ini merupakan penelitian tesis pada program studi pendidikan bahasa Indonesia sekolah pasca sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, yang lebih menekankan kepada nilai pendidikan bermuatan kearifan lokal dalam upacara laut pada komunitas suku Bajo, bahwasanya dalam komunitas suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi peranan orang tua terhadap pendidikan anak sangat besar itu diaktualisasikan dalam kegiatan upacara laut yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang kuat dan dianggap benar oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut terdapat dalam beberapa doa, mantra (jajampi) dan nyanyian
rakyat suku Bajo yang diikut sertakan dalam upacara laut masyarakat suku Bajo. Dalam penelitian ini ada beberapa persamaan yakni sama-sama mengkaji tentang ritual atau upacara dalam tradisi masyarakat suku Bajo di Kabupaten Wakatobi. Dimana dalam pelaksanaan upacara laut masyarakat suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi terdapat beberapa mantra (jajampi) dan berapa media dan digunakan dalam ritual duata yang peneliti kaji serta teknik analisis data yang sama menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif serta teknik pengumpulan data triangulasi yaitu gabungan teknik observasi partisipatif, teknik wawancara mendalam dan teknik dokumen dengan menggunakan teoriteori postmoderen sedangkan Buchari mengkaji prosesi upacara laut yang berkaitan dengan nilai pendidikan bermuatan kearifan lokal pada masyarakat suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi dengan pendekatan teori-teori post positivistik. Serta peneliti mengkaji ritual duata sebagai ritual pengobatan tradisional yang mengalami komodifikasi pada masyarakat etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara Hardin
(2013)
meneliti,
“Bentuk
Ritual
Kasungki
dan
Keterancamannya Pada Masyarakat Muna di Kecamatan Abeli Kota Kendari Sulawesi Tenggara”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis pada program studi kajian budaya Universitas Udayana. Dalam penelitiannya Hardin mengkaji bahwa ritual kasungki merupakan sebuah ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Muna untuk memohon kesehatan dan keselamatan sekaligus penyembuhan penyakit akibat terkena penyakit aneh (tutura). Namun pada perkembangan
dan
kemajuan
zaman
yang
membawa
budaya
global
mengakibatkan perubahan dimana gaya hidup dan cara pandang masyarakat Muna terhadap ritual kasungki ikut mengalami perubahan dan keterancaman bentuk. Keterancaman yang dimaksud yaitu berkurangnya rutinitas pelaksanaan ritual, berkurangnya waktu orang yang dilibatkan, tidak utuhnya proses pelaksanaan ritual, dan sarana prasarana sebagai media berubah. Di samping itu keterancaman ritual kasungki pada masyarakat Muna diakibatkan karena beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa teknologi media sebagai budaya populer ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan, tingkat pendidikan, dan formalisasi syariat islam sedangkan faktor internal berupa minimnya pengetahuan generasi muda mengenai ritual kasungki dan tidak adanya pewarisan ritual kasungki secara berkesinambungan dari generasi tua kepada generasi muda. Berdasarkan hasil penelitian Hardin tersebut, peneliti mendapatkan data awal tentang konsep, penggunaan teori, serta definisi ritual. Penelitian Hardin dan peneliti mempunyai persamaan yaitu sama-sama mengkaji tentang ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia serta permohonan keselamatan, kesehatan, serta dijauhkan hambatan dalam menjalani kehidupan dengan pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Dengan penggunaan teori dalam menganalisis permasalahan diantaranya teori semiotika dan teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan. Penelitian Hardin berbeda dengan penelitian yang peneliti kaji, dimana Hardin meneliti tentang “Bentuk Ritual Kasungki dan Keterancamannya Pada Masyarakat Muna di Kecamatan Abeli Kota Kendari Sulawesi Tenggara”
sedangkan peneliti dalam penelitian ini mengkaji tentang “Komodifikasi Ritual Duata Pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara” kemudian melihat objek dan lokasi penelitian sudah menggambarkan perbedan yang jauh. Hasil penelitian Hardin tersebut, peneliti jadikan kepustakaan utama, bahan pembanding dan rujukan bagi peneliti untuk mengkaji “Komodifikasi Ritual Duata Pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara”. Serta dari penelitian ini peneliti menemukan beberapa definisi yang menunjang dan memperkuat penelitian penulis. Muhamad
Alkausar
(2011)
melakukan
penelitian
tentang
“Keterancaman Ritual Mappandesasi Pada Masyarakat Nelayan Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara”. Dalam penelitian Alkausar, ritual mappandesasi bertujuan sebagai bentuk permohonan keselamatan, dan rezeki yang banyak bagi para nelayan. Ritual ini dilaksanakan sebelum para nelayan hendak berlayar agar mendapatkan hasil yang banyak. Namun dalam era sekarang proses pewarisan yang ada malah terjadi penyusutan terhadap eksistensi ritual tersebut. Terjadinya pengurangan dan pembaruan terhadap sarana-sarana dari ritual mappandesasi. Penelitian di atas, banyak hal memberikan sumbangsih dalam berpikir, khususnya pemahaman peneliti terhadap konsep, bentuk, faktor-faktor penyebab penurunan, serta dampak dan makna dari penurunan ritual. Sehingga, penelitian yang dilakukan oleh Alkausar menjadi sumber masukan yang membangun sekaligus sebagai bahan pembanding dalam penelitian ini.
Hasilnya menunjukkan bahwa dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko tidak lagi ditemukan ritual, mappandesasi sebagai bentuk perwujudan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap kepercayaan terhadap mitos penguasa laut. Ritual mappandesasi yang dilakukan oleh etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan kerja sama atau memperkuat rasa solidaritas sesama nelayan etnik Mandar. Berdasarkan penelitian yang dikakukan oleh Alkausar memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan yang dimaksud adalah sama-sama mengakaji ritual yang dilakukan oleh masyarakat nelayan dalam kaitannya dengan siklus kehidupan manusia dalam upaya permintaan keselamatan dan pemberian makanan terhadap penguasa laut dengan pendekatan penelitian kajian budaya. Sedangkan perbedaannya Alkausar melihat ritual nelayan yang mengalami keterancaman karena sudah jarang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Sementara dalam penelitian ini melihat ritual yang mengalami komodifikasi. Melihat lokasi dan objeknya sudah tentu menujukan perbedaan yang jauh. Dasrul (2013) meneliti, “Komodifikasi Pertunjukan Randai Pada Kelompok Seni Tradisi Palito Nyalo Kecamatan Pauh Kota Padang”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis pada program kajian budaya Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam penelitiannya ini Dasrul mengemukakan tentang pertunjukan Randai pada kelompok seni tradisi Palito Nyalo di Kecamatan Pauh Kota Padang, merupakan proses kreatifitas seniman dan kelompok seni pertunjukan Randai dalam rangka menarik kunjungan wisatawan bahkan
dijadikan sebagai event promosi pariwisata dalam pekan budaya Sumatera Selatan dan Padang Fair. Dalam tulisan ini, disimpulkan telah terjadi pergeseran bentuk, fungsi dan makna pada pertunjukan Randai pada kelompok tradisi Palito Nyalo Kecamatan Pauh Kota Padang yang lebih berorientasi pada selera pasar yang tidak lepas dari dari sentuhan budaya kapitalis yang berorientasi pada kesenian pasar. Penelitian Dasrul ini akan menjadi sumber rujukan dan referensi untuk penelitian “Komodifikasi Ritual Duata pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara” hal ini dilakukan karena ada persamaan pada konsep komodifikasi, penggunaan teori komodifikasi dan semiotik serta samasama meneliti tentang tradisi namun perbedaannya terletak pada jenis objek dan lokasi penelitian. Pada penelitian Dasrul pertunjukan Randai dijadikan sebagai yang dikomodifikasi sedangkan pada penelitian ini ritual duata sebagai yang dikomodifikasi sehingga dilihat dari segi obyeknya berbeda dengan penelitian ini. 2.2
Konsep Dalam melakukan penelitian ini konsep dilakukan sebagai penggambaran
secara abstrak yang seluruhnya menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep
tersebut
sebagai
peneliti
dapat
melihat
tujuan
dan
dapat
menyederhanakan pemikiran dalam penelitian. Dalam kaitannya perumusan konsep dalam penelitian terhadap komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, ada beberapa konsep terkait
dengan perumusan yang meliputi komodifikasi, ritual duata, etnik Bajo dan komodifikasi ritual duata. 2.2.1
Komodifikasi Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme
dimana objek, tanda-tanda diubah menjadi komoditas yaitu sesuai dengan tujuan utamanya adalah terjual di pasar (Barker, 2005: 517). Dinyatakan oleh Piliang (2004: 21) komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi. Sedangkan komodifikasi di dalam kesenian menurut Hasan (Dasrul, 2013: 18) biasanya dari suatu proses/produsen individual/komunitas akan menjadi suatu produk komoditi, sehingga pembagian kerja lama pun berubah, dari pembagian kerja spontan menuju pembagian kerja yang direncanakan. Komodifikasi merupakan konsep yang luas, tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yaang sangat sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan. Permasalahan bagaimana barang-barang tersebut diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi termasuk juga di dalamnya. Adapun tiga bentuk proses komodifikasi yang dimaksud dalam penelitian yakni (1) produksi adalah suatu kegiatan untuk menambah nilai suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dan memenuhi kebutuhan manusia. Dalam penelitian ini produksi ritual duata adalah analisis tentang mekanisme atau rangkaian tindakan mengenai bagaimana ritual duata diproduksi atau dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen termasuk di
dalamnya adalah produksi barang dan jasa yang dibutuhkan untuk mendukung ritual duata. (2) distribusi adalah proses penyaluran barang dan jasa sehingga sampai kepada pihak konsumen. Dalam penelitian ini distribusi merupakan usaha menyalurkan produk ritual duata dalam artian diperkenalkan atau dipromosikan sehingga sampai atau diketahui oleh masyarakat yang pada akhirnya masyarakat tertarik dan mau mengonsumsi ritual duata (3) konsumsi yaitu suatu proses menggunakan atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Dalam penelitian ini konsumsi yaitu tidak hanya sekedar menggunakan produk ritual duata namun dengan memakai produk ritual duata berarti mengomunikasikan sesuatu produk ritual duata ke masyarakat luas. 2.2.2
Ritual Duata Menurut Hadi (1999: 29-30) ritual merupakan suatu bentuk upacara atau
perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur, dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Seperti yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat (Hardin, 2013: 24) bahwa sistem upacara merupakan wujud kelakuan dan religi dan seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam upacara yang bersifat harian, musiman dan kadang kala. Ritual duata memiliki muatan norma-norma dan nilai-nilai hidup bagi masyarakat etnik Bajo yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup sehingga tercipta keharmonisan antara manusia dengan wujud tertinggi, manusia dengan leluhur, manusia dengan lingkungannya dengan wujud tertinggi, manusia
dengan leluhur, manusia dengan lingkungan alamnya dan manusia dengan sesamanya. Berkaitan dengan hal tersebut ritual duata adalah sebuah upacara/ritual yang dilaksanakan sewaktu-waktu jika masyarakat ada yang terkena penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara medis. Melalui ritual duata penyakit tersebut bisa disembuhkan dengan jalan melakukan ritual meminta, memohon akan keselamatan yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta makhluk lainnya (roh). 2.2.3 Etnik Konsep etnik adalah konsep kultural yang terpusat pada persamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik kultural. Terbentuknya etnik bangsa bersandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu dan yang mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama. Barth (1988: 11-16) menyatakan bahwa pada umumnya definisi tentang kelompok etnik mengemukakan ciri-ciri suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang dan bertahan. Ciri-ciri yang dimaksud yaitu (1) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (2) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan (3) menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain. Etnik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah etnik Bajo yang memiliki ikatan persamaan norma, nilai, kepercayaan, serta memiliki
seperangkat tata cara dalam menjalani kehidupan serta aktivitas kesehariannya. Etnik minoritas ini sampai sekarang masih kental dengan adat dan tradisi sebagai identitas keetnikannya yang membedakan dengan etnik-etnik lain yang ada di kepulauan Wakatobi. Etnik Bajo merupakan komunitas manusia yang pada umumnya tinggal di atas permukan laut dengan cara mendirikan rumah yang terbuat dari kayu dengan beratapkan rumbia (daun kelapa) dan mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kehidupan laut. Umumnya etnik Bajo dijumpai disepanjang perairan/ pesisir pantai di nusantara. Sebagai etnik yang akrab dengan laut, mereka memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka sadar bagaimana laut harus diperlakukan atau diberdayakan tanpa merusak ekosistem lainnya. 2.2.4
Komodifikasi Ritual Duata Dalam kaitannya dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan sebuah proses yang semulanya ritual duata bukan sebuah produk seni (komoditi) yang tujuannya bukan untuk dikomersialkan. Namun pada kini ritual duata dikomersialkan dan mengalami komodifikasi karena diciptakan dengan sengaja sebagai produk barang atau jasa perdagangan. Komodifikasi ritual duata bukan hanya menyangkut barang/jasa yang sebelumnya bukan komoditas kini dijadikan barang komoditas namun komodifikasi juga berkaitan dengan dengan proses produksi, distribusi dan upaya memenuhi permintaan pasar (konsumsi). Dalam penciptaannya terdapat penyesuaian-penyesuaian unsur budaya lokal untuk mendapatkan nilai tukar yang tentunya dalam prosesnya dilakukan
bukan hanya pemilik kebudayaan, namun melibatkan banyak pihak. Dalam proses komodifikasi ritual duata kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan hanya untuk menggali nilai utilitas (nilai guna) akan tetapi mencari keuntungan dari nilai tukar yang merupakan bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme. Dalam hal ini kapitalisme memproduksi komoditi untuk kebutuhan pemakai yang telah dirasionalisasi dalam sistem ekonomi. 2.3
Landasan Teori Pada hakikatnya, teori merupakan seperangkat konsep, defenisi dan
proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena atas realitas sosial. Ada beberapa teori yang menjadi dasar dalam penelitian ini agar diperoleh data yang bisa dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Adapun teori-teori yang digunakan, sebagai landasan untuk menganalisis permasalahan yaitu (1) teori komodifikasi ; (2) teori semiotik; (3) teori wacana kekuasaan atau pengetahuan; 2.3.1
Teori Komodifikasi Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di
mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar (Barker, 2005: 517). Komodifikasi adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit yang sebelumnya sebagai karya sakral untuk persembahan. Dengan kesadaran penuh dan perhitungan yang matang dari seniman maupun konsumen diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang membutukan karya seni tersebut (Tester, 2009: 84).
Dinyatakan oleh Piliang (2011: 23) komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi. Sedangkan komoditi adalah segala sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu lain, biasanya uang, dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan. Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas tentang barang dan jasa yang diperjual-belikan. Permasalahan bagaimana barang dan jasa tersebut didistribusikan dan dikonsumsi juga termasuk di dalamnya (Fairclough, 1995: 207). Komodifikasi, gejalanya dapat dirujuk dari pemikiran Marx dan Simmel yang sepakat bahwa akibat ekonomi uang yang berdasarkan kapitalisme, semangat menciptakan keuntungan
sebanyak-banyaknya
mengakibatkan
munculnya
gejala
komodifikasi diberbagai sendi kehidupan masyarakat (Turner, 1992: 115-138). Jika dikaitkan dengan praktik komodifikasi ritual duata merupakan sebuah proses menjadikan ritual duata yang sebelumnya bukan komoditi menjadi produk komoditi. Ritual duata yang semula berfungsi sebagai ritual pengobatan tradisional namun dalam perkembangannya, ritual duata dijadikan objek yang memiliki nilai tukar dan kapitalisme melalui industri budaya memproduksi dan mendistribusikan dan dikonsumsi bersama-sama dengan industri jasa lainnya sebagai komoditas belaka dengan mengharapkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam penelitian ini, teori komodifikasi digunakan sebagai landasan untuk mengkaji rumusan masalah pertama dan kedua yaitu bagaimana proses
komodifikasi ritual duata dan faktor apa yang menyebabkan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. 2.3.2
Teori Semiotik Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia,
artinya semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (Hoed, 2011:3), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). Ferdinand de Saussure menggunakan istilah signifier (penanda) untuk segi bentuk suatu tanda, dan signified (petanda) untuk segi maknanya. Sebagai penanda adalah bentuk-bentuk atau medium yang diambil oleh suatu tanda, seperti bunyi, gambar, atau coretan yang membentuk kata disuatu halaman. Sedangkan petanda adalah konsep dan makna-makna. Hubungan antara bunyi dan bentuk-bentuk bahasa atau penanda dengan makna yang disandangnya atau petanda bukan merupakan hubungan yang pasti atau selalu demikian. Pengaturan hubungan antara penanda dengan petanda bersifat arbitrer (Barker, 2005: 90-91). Menurut Piliang (2008: 46) semiotika tidak saja sebagai “metode kajian” tetapi juga sebagai “metode penciptaan”. Sebagai sebuah disiplin keilmuan, yaitu ilmu tentang “tanda” (the science of sign) tentu semiotika mempunyai prinsip, sistem, aturan dan prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku. Namun, semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan
dan objektivitas seperti ilmu alam. Semiotika adalah sebuah ranah keilmuan yang jauh lebih dinamis, lentur, dan terbuka bagai pelbagai bembacaan dan interpretasi. Sehubungan dengan hal itu semiotika tidak
dibangun
oleh
kebenaran tunggal, melainkan makna yang jamak. Dalam logika semiotika, interpretasi
tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan
berdasarkan derajat kelogisannya, interpretasi yang satu lebih masuk akal dari yang lain. Karakter arbirter hubungan penanda-penanda menunjukkan bahwa makna itu mengalir, secara kultural dan historis bersifat spesifik, tidak bersifat tetap dan universal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Culler (Barker, 2005: 91-92), karena sifatnya yang arbiter, maka tanda sepenuhnya berada di bawah pengaruh sejarah dan kombinasi dari suatu penanda dan petanda pada saat tertentu merupakan akibat dari proses sejarah. Barthes dengan menggunakan pendekatan Saussure dalam mengkaji makna dimana ada dua macam sistem pemaknaan yakni denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya (referent) yang selanjutnya menghasilkan makna secara eksplisit secara langsung dan pasti. Maka denotatif ini adalah makna dari apa yang nampak yang bisa disebut juga makna leksikal atau makna referensial. Konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti, yang terbuka terhadap berbagai kemungkinan penafsiran.
Barthes
melihat
pemaknaan
tanda
secara
lebih
dinamis
dan
mengembangkannya terutama menjadi teori konotasi yang justru dimiliki masyarakat budaya tertentu (bukan secara individual). Barthes mengkritik masyarakatnya dengan mengatakan bahwa semua yang dianggap sudah wajar di dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil dari proses konotasi. Bila konotasi menjadi tetap, itu akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, akan menjadi sebuah ideologi. Tekanan teori Barthes ada pada konotasi dan mitos. Ia mengatakan bahwa sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakat. Melalui kumpulan esainya yang berjudul Mythologies (1957) ia ingin membebaskan masyarakatnya dari “penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami mengapa berbagai pemaknaan yang seolah-olah sudah diterima di masyarakat itu bisa terjadi (Hoed, 2011: 18). Apapun di dalam masyarakat ini, pengetahuan, pendidikan, jasa, informasi, olahraga, tubuh, seks bahkan kematian menjadi komoditi, dan setiap komoditi ini dimuati dengan tanda-tanda dan makna-makna sosial. Di dalam masyarakat seperti ini, menurut Baudrillard, justru permainan tanda-tanda (status, prestise, simbol) yang didambakan dan dibeli, ketimbang nilai guna atau utilitas seperti yang diinginkan Marx (Piliang, 2003: 163). Sama halnya dalam ritual duata banyak menggunakan gerakan-gerakan, benda-benda perlengkapan ritual sebagai media ungkap merupakan ‘penanda’, terdapat lambang/simbol dan memiliki makna dan ‘petanda’ makna yang dihasilkan oleh pertunjukan ritual duata. Sistem tanda tersebut tentu saja memiliki berbagai makna dan makna
tersebut tentu saja dapat dianalisa sehingga mendapatkan gambaran terkait peristiwa budaya masyarakat pendukung dan pemilik kebudayaan tersebut. Sebagai suatu sistem tanda yang berkaitan ritual duata merupakan salah satu wujud kebudayaan yang ada dalam masyarakat etnik Bajo yang sarat dengan simbol-simbol. Ritual duata harus diinterpretasikan dan diterjemahkan agar generasi muda sebagai pewaris dan penerus nilai-nilai budaya dapat menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya di masyarakat (Hoed. 2011: 5). Dalam kajian semiotika data yang dijadikan objek analisis pada umumnya teks. Teks dalam teori kebudayaan tidak hanya terbatas pada tulisan tetapi termasuk pula pola perilaku dan tindakan yang mengungkapkan pesan-pesan budaya yang secara umum menjadi teks kognitif dan teks sosial, baik verbal maupun non verbal (Hoed, 2008: 41). Dari teori semiotika di tersebut, sejalan dengan konsep formula Lord dan Finnegan (Magara, 2012: 27) dalam situasi tertentu penutur yang pewarisannya mencoba mengingat frasa-frasa yang didengarnya dari pencerita lain dan yang sebelumnya berkali-kali dipergunakan oleh penutur ritual duata. Penutur menggunakan ingatan tanpa sadar ungkapan-ungkapan dalam ucapan biasa, bukan hafalan jadi penutur ritual duata menggunakan sekelompok kata-kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi-kondisi mantra (jajampi) yang sama untuk mengungkapkan satu ide yang hakiki. Hal ini berarti bahwa penutur ritual duata mampu mengingat formula, dan menggunakanya sesuai dengan keinginan pada waktu proses penciptaan atau menampilkan kembali tuturan.
Ritual duata merupakan salah satu wujud tradisi yang ada pada masyarakat Bajo yang sekaligus juga syarat akan simbol-simbol yang harus di interpretasikan maknanya. Menurut kepercayaan di dalamnya terkandung berbagai makna dari simbol-simbol ritual duata tersebut. Sehingga dari interpretasi itulah, generasi muda/remaja sebagai pewaris budaya dan penerus nilai-nilai
luhur yang ada dalam kebudayaan dapat memahami sekaligus
memetik nilai yang terkandung di dalamnya sebagai pedoman dan tuntutan dalam hidupnya dikalangan keluarga dan masyarakat dengan mengacu dari teori semiotika tersebut. Dalam konteks penelitian mengenai komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, peneliti akan mengungkap makna-makna konotatif yang ada pada praktik ritual duata yang mengalami pergeseran kearah komodifikasi. Seperti yang kita ketahui bahwa ritual duata merupakan sebuah ritual pengobatan pada etnik Bajo yang sarat akan nilai, simbol, tanda dan ikon yang berkaitan dengan siklus kehidupan dalam upaya mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan yang telah dilakukan secara turun temurun. Ritual duata memiliki dampak makna dalam menyikapi realita kehidupan yang membutuhkan banyak pengkajian lebih mendalam, sehingga makna tersebut bisa diungkap terlebih dalam praktik ritual duata yang mengalami pergeseran kearah komodifikasi ritual yang berorientasi nilai jual. Teori semiotika dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengungkap rumusan masalah ketiga dan keempat mengenai dampak dan makna
komodifikasi ritual duata dan strategi pewarisan ritual duata melalui tanda-tanda yang ada di dalam ritual duata. 2.3.3
Teori Wacana Kekuasaan atau Pengetahuan Dalam arti luas wacana berarti segala sesuatu yang ditulis atau diucapkan
atau yang dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda. Wacana adalah pernyataan-pernyataan. Wacana menurut Foucoult merupakan bentuk penuturan yang sarat dengan kepentingan penutur, yaitu berupa akumulasi ideologi yang tidak terlepaskan oleh dukungan tradisi, kekuasaan, dan lembaga-lembaga dengan berbagai modus penyebaran dalam bentuk pengetahuan. Foucoult menginginkan bahwa ketika sebuah diskursus dilahirkan, maka diskursus itu sesungguhnya telah dikontrol, diseleksi, diorganisasi , dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya. Wacana itu jiga dikonstruksi berdasarkan aturan-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, Foucoult menyatakan dengan tegas bahwa “kebenaran memiliki mata rantai dengan kekuasaan” (Lubis, 2004: 150). Foucault (Hoed, 2011: 284) berpendapat bahwa melalui wacana, seseorang, sekelompok orang, atau suatu lembaga dapat merealisasikan kuasa (baca: power). Untuk merealisasikan kuasa tersebut, seperti yang dikatakan oleh Foucault, tidak selalu diperoleh melalui fisik (badaniah, atau senjata) tetapi juga melalui pengetahuan yang dimiliki. Foucault menempatkan kuasa diperoleh dengan menguasai pengetahuan. Para penguasa (baik dalam masyarakat primitif, tradisional, pengetahuan lebih dari pada mereka yang dikuasai (Hoed, 2011:284).
Teori diskursus kekuasaan atau pengetahuan dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan praktik-praktik kekuasaan yang berelasi dengan pengetahuan. Pengetahuan dapat saja berupa teks-teks tulisan yang termuat dalam lembaran-lembaran, iklan, potret, media elektronik, buku sekolah dan sebagainya. Dalam implikasinya, pengetahuan ini digunakan untuk menguasai secara aplikatif, misalnya informasi iklan. Fenomena sosial budaya selalu terkait dengan praktik-praktik wacana, karena menyangkut berbagai gagasan, pengetahuan, pernyataan, dan kata-kata, tulisan dan teks-teks, aturan-aturan, dan praktik-praktik sosial, serta kekuasaan/ kepentingan yang menyertai atau tersembunyi. Diskursus yang non-language “stuff” dalam pandangan James Paul Gee, dalam Hamad (2004:34) menyangkut “cara beraksi, interaksi, perasaan, kepercayaan, penilaian, untuk mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain yang bermaka dan penuh arti dengan caracara tertentu”. Dalam diskursus sesungguhnya juga tersembunyi subjektivitas atau pihak-pihak di balik diskursus. Ideologi apa yang bermain di dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingan apa yang bersembunyi di baliknya. Foucault menyatakan, relasi kekuasaan dan pengetahuan terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk terpusat. Disini diskursus membangun, mendefinisikan, dan memproduksi objek
pengetahuan yang dapat dimengerti,kemudian disisi yang lain
mengesampingkan cara penalaran lain karena tidak masuk akal. Dalam kaitan ini alam subjektivitas yang terbentuk darinya merupakan relasi kekuasaan yang
ada dibalik pengetahuan dalam pratik sosial ditengah masyarakat saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Dukun yang melakukan ritual menciptakan kekuasaan terhadap diri sendiri dan terhadap kelompok masyarakat dengan menciptakan simbol yang berupa bahan-bahan sesajian, bahasa mantra (jajampi), bentuk ritual dan sistem ritual. Berdasarkan hal tersebut menggambarkan sebuah siklus adanya relasi kekuasaan terhadap pengetahuan tentang ritual duata. Selain itu dasar penggunaan teori
diskursus
kekuasaan
atau
pengetahuan dalam penelitian ini dapat dijelaskan pula bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh dukun selaku yang melaksanakan ritual duata, tentang cara-cara dan aturan-aturan serta bahasa mantera yang diucapkan dalam prosesi acara ritual dapat melahirkan sebuah kekuasaan. Dalam ritual itu juga ada aturan-aturan mengenai cara-cara dalam ritual, waktu pelaksanaan ritual dan tempat pelaksanaan ritual yang kesemuanya ini akan melahirkan sebuah kekuasaan karena tempat, waktu dan cara-cara pelaksanaan prosesi ritual tersebut sudah ditentukan dan tidak boleh dirubah oleh siapapun. Bentuk kekuasaan seperti inilah yang dimaksud dalam ritual duata. Teori Foucault lebih tepat untuk mengungkap pertanyaan kedua dan keempat yaitu untuk mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya komodifikasi ritual duata dan strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. 2.4 Model Penelitian
Model penelitian adalah penyederhanaan pola pikir dalam menelaah masalah-masalah yang terdapat dalam penelitian sekaligus menjadi fokus penelitian. Model penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. Budaya Global
Ritual duata (Mitos) [;
Media massa Ekonomi pariwisata
Komodifikasi Ritual Duata
Proses Keterangan Garis : Komodifikasi
Faktor penyebab
Dampak dan Makna
Budaya Lokal Etnik Bajo
Sikap terbuka Kreativitas
Strategi Pewarisan
: Hubungan Langsung (dwiarah) : Hubungan Searah (searah) Penjelasan Model Penelitian Di era globalisasi saat ini sudah mengarah kepada terjadinya pengerutan dunia dan peningkatan kesadaran akan dunia, yang berarti pula meningkatnya koneksi global dalam pemahaman dunia itu sendiri. Kebudayaan etnik Bajo bersifat dinamis bukan statis yang menerima pengaruh globalisasi sebagai sesuatu yang positif meskipun disisi lain dapat mengancam tradisi lokal yang hidup di dalam masyarakat etnik Bajo. Salah satu tradisi etnik Bajo yang mengalami perubahan akibat persemaian budaya global yaitu adanya praktik komodifikasi ritual duata yang
menjadikan ritual duata berorientasi nilai jual (komoditas). Media massa, ekonomi dan pariwisata memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan ritual duata. Akibatanya kedua kebudayaan ini saling mengisi dan mempengaruhi sehingga ritual duata yang memiliki nilai kesakralan tinggi ikut mengalami transformasi kearah komodifikasi yang melahirkan suatu produk budaya yang berorientasi nilai jual (komoditas) mengikuti selera pasar. Berdasarkan hal tersebut, maka penggalian tentang proses komodifikasi ritual duata menjadi sesuatu yang penting untuk menemukan proses komodifikasi ritual duata, faktor penyebab komodifikasi ritual duata, dampak dan makna komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, serta bagaimana strategi pewarisannya. Dengan metodologis yang telah ditentukan, data dianalisis
dengan
menggunakan beberapa teori secara eklektik (terpadu), yaitu teori komodifikasi, teori semiotika, dan teori wacana pengetahuan atau kekuasaan. Dengan demikian, dalam analisis tahap akhir diharapkan dapat menemukan suatu hal yang baru tentang komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian ajian budaya yang secara khusus
meneliti tentang tradisi lisan yang berkaitan dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis deskriptif-kualitatif yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut prespektif peneliti. Bogdan dan Taylor (Ratna, 2010: 94) menyebutkan bahwa penelitian kulaitatif pada gilirannya menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata, baik tertulis maupun lisan. Ciri-ciri terpenting dalam metode kualitatif adalah terletak pada makna pesan, pada proses, tidak ada jarak antara subyek dan penelitian, bersifat terbuka dan ilmiah (Ratna, 2009:48). Sedangkan pendekatan historis obyek penelitian sangat berguna untuk menelusuri apakah terjadi perubahan sosial dan budaya sesuai konteks zaman dan lingkungannya. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri yang menjadi informan kunci baik dalam pengumpulan data maupun analisis data. Selanjutnya ada beberapa metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu melalui pengamatan, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara simultan dengan mendalami bentuk, faktor-faktor, serta interpretasi makna melalui teori komodifikasi, teori semiotika dan teori wacana pengetahuan atau kekuasaan.
3.2
Lokasi Penelitian Tahapan penenentuan lokasi penelitian dilakukan dengan penjajakan
awal tentang pemanfaatan dan pewarisan tradisi mengenai ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi. Pada tahap ini dikumpulkan informasi awal tentang kondisi yang menjadi lokasi penelitian serta orang-orang yang mengetahui tentang ritual duata. Berdasarkan rancangan dan pemetaan wilayah yang telah ditetapkan, maka dihasilkan kesimpulan bahwa penelitian ini dilakukan pada etnik Bajo di desa Mola Selatan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemilihan lokasi dengan didasari atas beberapa pertimbangan antara lain (1) Desa Mola Selatan merupakan desa tempat keberadaan masyarakat etnik Bajo terbesar di Kabupaten Wakatobi (2) ikatan kekerabatan etnik Bajo masih sangat kental (3) praktik ritual duata masih dilakukan oleh masyarakat etnik Bajo yang menjadi topik penelitian. 3.3
Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif dan data
kuantitaf. Data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata dan tindakan sedangkan data kuantitatif adalah data penunjang yang berupa angka-angka misalnya, dalam menyatakan jumlah penduduk, jumlah orang yang terlibat dalam proses komodifikasi ritual duata dan sebagainya. Berdasarkan sumbernya data dalam sebuah penelitian dibagi menjadi dua kategori yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah
data berupa mantra (jajampi) yang bersumber dari hasil wawancara dan observasi dengan informan yang mengetahui ritual duata pada etnik Bajo. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil membaca sumbersumber tertulis, khususnya dari dokumen dan kajian-kajian pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini baik berupa buku, makalah, jurnal, laporan penelitian yang dilakukan oleh akademisi lembaga pemerintah mauapun lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan naskah yang berkaitan dengan ritual khususnya ritual duata yang menunjang data primer. 3.4
Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Informan adalah orang yang memberikan informasi tentang data yang diperlukan. Guna menunjang data maksimal dalam metode kualitatif ini penentuan informan dilakukan secara purposif (informan sudah diketahui) yakni cara-cara penentuan subjek atau informan berdasarkan kriteria dan tujuan tertentu. Sesuai dengan teknik purposif peneliti memilih subjek sebagai unit analisis, dipilih informan yang punya pengetahuan dan pengalaman dalam ritual duata. Selanjutnya
dalam
teknik
penentuan
informan
ini
penulis
mengelompokkan menjadi dua yaitu informan kunci dan informan biasa. Perbedaan informan kunci dan informan biasa adalah jika informan kunci merupakan orang yang memberi data serta informasi secara mendetail, komprehensip dan mempunyai pengetahuan serta pemahaman tentang masalah
yang diteliti sedangkan informan biasa adalah keluarga yang mengalami atau orang yang dapat memberi informasi tambahan mengenai objek yang diteliti. Sehubungan dengan penelitian ini, peneliti telah menentukan sejumlah informan yaitu pemilik ritual (dukun), tokoh adat/masyarakat setempat, kepala desa, pihak-pihak yang terkait dalam pariwisata (Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi). Sedangkan informan biasa dipilih orang-orang yang terlibat langsung dalam pelaksanaan ritual duata dan melihat praktik ritual duata yang diharapkan mampu memberikan informasi yang seluas-luasnya dan selengkap-lengkapnya sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu sumber primer berasal dari orang yang pertama yang terlibat langsung pada pelaksanaan ritual duata. 3.5
Instrumen Penelitian Agar penelitian lebih terarah dan tidak kehilangan data dari hasil
pengamatan dan wawancara, penggunaan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara yang disusun sedemikian rupa untuk mendapatkan data yang diinginkan. Instrumen penelitian adalah alat yang wajib digunakan untuk mengumpulkan data-data setiap penelitian ilmiah. Penggunaan instrumen penelitian yang tepat dan berhubungan dengan objek penelitian yang dikaji menghasilkan data yang maksimal. Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah terdiri dari peneliti sendiri. Sebagai alat penunjang yang digunakan peneliti untuk mempermudah proses dalam pengambilan dan pengumpulan data di lapangan berupa pedoman wawancara dan kartu-kartu data. Kartu-kartu data digunakan untuk pencatatan, kategorisasi, dan klasifikasi data, sedangkan pedoman wawancara digunakan
sebagai panduan peneliti dalam melakukan wawancara. Dalam hal ini pedoman wawancara sebagai alat yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan informan yang berbentuk sejumlah pertanyaan yang dijawab secara lisan oleh informan yang berkaitan dengan topik pembahasan yang dikaitkan dengan proses, faktor penyebab komodifikasi ritual duata, dampak dan makna komodifikasi ritual duata serta strategi pewarisannya. Selain itu peneliti dilengkapi pula dengan tape recorder untuk merekam pendapat dan pembicaraan dengan para informan, kamera untuk mengambil gambar pada saat kegiatan ritual dan saat wawancara dengan informan, handycam untuk mengambil gambar hidup berupa sotingan kegiatan ritual. Muhajir (1994: 143) menegaskan, bahwa manusia merupakan instrumen penelitian karena lebih mampu menyesuaikan diri pada situasi dan keadaan tertentu yang kemudian dapat membangun pengetahuan diri yang tak terkatakan, disamping yang terkatakan. Disamping itu pengamatan secara langsung diperlukan untuk memperkuat data-data hasil wawancara agar peneliti dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam penelitian dimana penelitian ini menggunakan alat perekam dalam bentuk foto maupun vidio. 3.6
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Menurut Sugiyono
(2009: 225) teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu, observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen.
3.6.1
Teknik Observasi Observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan
panca indra mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Dengan demikian, sesungguhnya metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2010: 115). Observasi dilakukan dengan menggunakan teknik observasi partisipan atau pengamatan terlibat. Namun keterlibatan peneliti hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan fokus kajian atau pokok masalah penelitian (Garna, 1999: 63). Sehubungan dengan hal tersebut maka peneliti tinggal di lokasi penelitian yakni di desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, sehingga membaur dengan masyarakat setempat. Hal ini bertujuan untuk dapat melakukan perekaman secara mendalam terhadap beberapa fenomena kehidupan berkaitan dengan masalah ritual duata. Dalam melakukan observasi, peneliti dibekali dengan alat pencatatan secara manual dan elektronik untuk merekam data secara akurat sebagai pola prilaku dan lingkungan fisiknya. Dengan demikian aspek yang diamati tidak hanya bentuk/prosesnya, tetapi makna, atau dampak ritual duata termasuk strategi pewarisannya. 3.6.2
Teknik Wawancara
Wawancara adalah cara-cara memperoleh data dengan berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Instrumen pokok yang dipakai dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara merupakan instrumen pokok penelitian yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat sesuai dengan maksud memperoleh data yang akurat dan mendalam. Teknik wawancara dilakukan secara mendalam (interview) dan menggunakan pola-pola yang tidak kaku dan baku seperti dalam penelitian ilmu alam tetapi dengan pola wawancara terbuka. Melalui proses tatap muka, tanya jawab antara peneliti dan informan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan data secara lisan, baik berupa keterangan, pandangan, dan pendirian informan yang diteliti. Wawancara sangat berguna untuk melengkapi data yang diperoleh dari pengamatan di lapangan yang berkaitan dengan ritual duata dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fokus penelitian. Pedoman wawancara (interview guide) substansi pertanyaan telah disusun sedemikian rupa dan secara terbuka artinya mudah dipahami oleh informan dan dengan mudah peneliti dapat menjaring data, informasi, keterangan melalui pengetahuan, pendapat, dan gagasan informan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan objek pebelitian. Untuk menghindari distorsi data, maka dilakukan pencatatan secara manual dan perekaman baik menggunakan alat perekam berupa tape recorder, kamera, pengumpulan data melalui wawancara mendalam dapat diakhiri apabila informasi yang diperoleh sudah dianggap mencukupi atau sudah mendapatkan data yang memadai.
3.6.3
Studi Dokumen Dalam rangka pengumpulan data untuk memperkaya dan memperluas
wawasan dan pengetahuan peneliti tentang objek atau masalah yang dikaji, maka peneliti menelusuri, mencatat, dan mempelajari kepustakaan-kepustakaan yang relevan dengan objek kajian yang sudah dipublikasikan. Materi-materi kepustakaan yang dimaksud oleh peneliti adalah buku-buku, koran, majalah, dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan dan pelestarian budaya daerah, laporan-laporan instansi pemerintah dan swasta, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan buku-buku bacaan lain yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah dokumen tentang ritual duata. Apabila data sudah didapatkan dilanjutkan dengan menganalisis dokumen tersebut. Keseluruhan data sekunder dianalisis seperti dokumen dan laporan terkait dengan dokumen ritual duata. Dokumen-dokumen yang dibutuhkan adalah dokumen dalam arti luas, seperti foto, klipping media massa, dan arsip, warga serta pemerintah daerah yang berkaitan dengan praktik ritual duata di desa Mola Selatan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. 3.7
Teknik Analisis Data Proses analisis data dalam penelitian kulaitatif ini dilakukan secara terus
menerus sepanjang proses penelitian berlangsung dimana proses dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, baik wawancara, pengamatan langsung yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, foto, gambar, rekaman, dokumen resmi, dan sebagainya.
Pengolahan data menggunakan analisis deskriptif dan interpreatif. Dimana data penelitian yang sudah terkumpul terlebih dahulu dilakukan seleksi data baik dari hasil observasi, wawancara, studi dokumen maupun studi literatur. Kemudian dari data tersebut diadakan klasifikasi, kategorisasi dan interpretasi dengan mencari hubungan antar data guna mengungkapkan unsur-unsur yang saling terkait sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Dalam penelitian ini juga
dilakukan interpretasi terhadap data-data
yang diperoleh dari informan mengenai bentuk komodifikasi ritual duata, faktor yang mempengaruhi komodifikasi ritual duata, dampak dan makna komodifikasi ritual duata serta strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara sehingga menghasilkan pemaknaan data untuk menghasilkan suatu kajian serta simpulan yaang sejalan dengan tujuan penelitian. 3.8
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini bersifat informal dan
formal. Penyajian hasil analsisis data informal yakni menyajikan analisis data berupa uraian kata-kata dengan memaparkan keadaan subyek yang diselidiki sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat penelitian dilakukan. Penyajian hasil analisis data formal adalah disajikan dalam bentuk tabel, bagan, atau gambar tentang ritual duata dalam upacara adat masyarakat etnik Bajo dengan cara mendiskusikan, dan memberikan penafsiran serta interprestasi. Dalam hal ini interprestasi adalah memberikan arti yang lebih luas
dari penemuan penelitian. Akhir dari penyajian analisis data adalah pengambilan simpulan.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Keadaan geografis Secara geografis, Kabupaten Wakatobi terletak di bagian selatan garis
khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara 5.000 – 6.250 Lintang Selatan ( sepanjang ± 160 km ) dan membentang dari Barat ke Timur di antara 123.340 - 124.640 Bujur Timur (sepanjang ± 120 km). Di sebelah utara berbatasan dengan laut Banda, di sebelah selatan dengan laut Flores, di sebelah timur berbatasan dengan laut Banda dan sebelah barat berbatasan dengan laut Flores. Kabupaten Wakatobi memiliki luas wilayah daratan ± 823 km² atau hanya sekitar 4,5 % dari total wilayah Kabupaten Wakatobi secara keseluruhan. Sisanya merupakan wilayah perairan laut yang luasnya mencapai ±19.200 km². Sebelum lebih jauh membahas etnik Bajo di Wakatobi, peneliti lebih awal menjelaskan bahwa Wakatobi adalah singkatan dari; Wa dari kata WangiWangi, Ka dari kata Kaledupa, To dari kata Tomia dan Bi dari kata Binongko. Keempat lokasi ini saling berseberangan karena dipisahkan oleh laut, bentuknya adalah pulau-pulau kecil dan masing-masing menjadi kecamatan yang terikat oleh Kabupaten Wakatobi. Keempat pulau itu telah dihuni oleh sebahagian kecil komunitas etnik Bajo. Namun penelitian ini terkonsentrasi di desa Mola Selatan Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, dengan alasan di lokasi ini lebih banyak berdomisili komunitas etnik Bajo.
4.1.1
Letak, Luas dan Batas Desa Mola Selatan Desa Mola Selatan merupakan salah satu dari 21 desa/kelurahan yang
ada di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Jarak Desa ini dari ibukota Kecamatan adalah sekitar 1,20 km2. Luas wilayahnya yakni 400 Ha atau 1,80 % dari luas Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Adapun batas wilayahnya yakni sebelah utara berbatasan dengan desa Mola Utara, sebelah timur berbatasan dengan desa Numana, sebelah selatan berbatasan dengan desa Mola Nelayan Bakti, dan sebelah barat berbatasan dengan laut. Lokasi desa ini terletak di wilayah pantai dan bentuk desanya agak memanjang mengikuti garis pantai. Topografi wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian hanya 1 sampai 2 meter dari atas permukaan air laut. Sebagian besar lahannya terbentuk dari timbunan batu karang yang awal mulanya merupakan teluk laut dangkal. Karena kebutuhan akan pemukiman, penduduk kemudian sedikit demi sedikit menimbun lahan laut dengan batu karang dan pasir yang pada akhirnya menjadi lahan yang dapat digunakan untuk pemukiman. 4.1.2
Iklim Kabupaten Wakatobi juga mengenal adanya musim angin barat
berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret yang ditandai
dengan sering terjadi hujan, sementara itu musim angin timur berlangsung bulan Juni sampai dengan September yang ditandai dengan kondisi laut yang teduh, gelombang tenang dan jarang terjadi hujan. Peralihan musim yang biasa disebut musim pancaroba bulan Oktober sampai November dan bulan April sampai Mei. Kondisi gelombang laut tidak menentu, sangat tergantung dengan cuaca. Data sepuluh tahun terakhir menyebutkan jumlah curah hujan di kepulauan Wakatobi tidak begitu tinggi. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan September (2,5 mm) dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari yang dapat mencapai 229,5 mm. 4.2
Kondisi Demografi Dilihat dari aspek kependudukan etnik Bajo di desa Mola Selatan
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan masyarakat yang hidupnya berkelompok dan merupakan masyarakat yang bermigrasi dari etnik Bajo Kaledupa (Mantigola) dan Nusa Tenggara Timur. Desa Mola Selatan terdiri dari empat dusun yakni dusun Mekar Satu, dusun Mekar Dua, dusun Bahari dan dusun Nelayan Bakti yang sebagian wilayahnya mendiami pesisir pantai di Kabupaten Wakatobi. 4.2.1
Jumlah Penduduk Penduduk desa Mola Selatan pada akhir tahun 2012 berjumlah 1.280
jiwa, sedangkan pada akhir penelitian ini (Februari, 2014), berdasarkan data dari kantor desa Mola Selatan, penduduknya telah mencapai jumlah 1.461 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian penduduk etnik Bajo yaitu sebagai nelayan.
Struktur umur penduduk disuatu wilayah sangat ditentukan oleh tingkat kelahiran, kematian, dan migrasi. Oleh karena itu, jika angka kelahiran disuatu daerah sangat tinggi maka dapat mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang berpenduduk usia muda. Keadaan struktur penduduk di desa Mola Selatan berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat dalam tebel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Mola Selatan Menurut Umur dan Jenis Kelamin.
Kelompok Umur (tahun)
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
(L)
(P)
(L+P)
0–4
91
85
175
5–9
91
74
163
10 – 14
67
67
134
15 – 19
78
74
150
20 – 24
75
100
175
24 – 29
78
77
153
30 – 34
57
60
117
35 – 39
55
58
113
40 – 44
42
37
79
45 – 49
33
34
67
50 – 54
29
29
58
55 -59
14
10
24
60 – 64
12
9
21
65 – 69
9
4
13
70 – 74
6
6
12
Jumlah Total
737
724
1.461
Sumber : Kantor Desa Mola Selatan 2014
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 hampir seperdua jumlah penduduk desa Mola Selatan, yakni 48,06 persen dari jumlah penduduk desa Mola Selatan secara keseluruhan atau sebanyak 622 jiwa adalah penduduk usia muda yang berumur di bawah 20 tahun. Tabel di atas, juga menunjukkan bahwa desa Mola Selatan tidak tergolong desa yang berpenduduk usia muda. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa penduduk desa Mola Selatan berjumlah 1.461 jiwa. Apabila ditinjau dari besarnya jumlah penduduk desa Mola Selatan berdasarkan jenis kelamin, maka ternyata bahwa jumlah perempuan lebih sedikit dari jumlah laki-laki. Perempuan berjumlah 724 jiwa, sedangkan laki-laki berjumlah 737 jiwa. Desa Mola Selatan yang memiliki penduduk usia muda berpotensi besar dalam mensosialisasikan (pewarisan dan pengembangan) warisan budaya Bajo terutama ritual duata sebagai tradisi lisan yang sangat penting sehingga bisa
bertahan dalam keterancamannya akibat arus modernisasi yang semakin terus berkembang dan bisa memanfaatkannya dalam industri budaya kreatif yang bisa memberikan efek positif bagi kebertahanan ritual duata serta peningkatan ekonomi masyarakat pendukungnya. 4.2.2
Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Pada hakikatnya pengertian pendidikan sebenarnya tidak terbatas pada
pengertian proses belajar mengajar, tetapi pendidikan mempunyai makna yang lebih luas, tugas manusia mengatur manusia baik secara individu maupun kelompok. Terkait dengan hal ini pendidikan etnik Bajo di desa Mola Selatan Kabupaten Wakatobi relatif maju. Ditandai dengan sikap masyarakatnya yang relatif terbuka dengan keadaan disekitar dan kedatangan orang sehingga bisa mengikuti perkembangan bahkan bisa menyesuaikan dengan situasi yang bisa menguntungkan dirinya. Utamanya dari segi usaha menyekolahkan anak-anak dapat memperoleh informasi lebih banyak kepada orang yang sudah sarjana, memberi masukan agar dipertimbangkan di sekolah dan jurusan mana baik menyekolahkan anak. Para orang tua memberi prioritas utama kepada anakanaknya untuk bersekolah. Namun ada sebahagian kecil masyarakatnya yang belum juga memahami pentingnya pendidikan, dan biasanya masyarakat etnik Bajo ini hidupnya berpindah-pindah. Tepografi wilayah pesisir pantai menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Selain itu pula faktor budaya etnik Bajo menjadi penyebab utama. Kebiasaan hidup mengembara di laut yang
sejak awal mereka tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah. Begitulah dalam kehidupan etnik Bajo nilai anak dalam keluarga khususnya anak laki-laki sangat penting. Sejak usia dini anak laki-laki disosialisasikan dengan aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan laut termasuk dalam cara menangkap ikan di laut yang sering kali diikut sertakannya. Desa Mola Selatan memiliki beberapa unit sekolah dasar (SD) inpres yang terdiri dari enam kelas. Untuk melanjutkan kejenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) anak-anak etnik Bajo harus bersekolah di darat yakni di ibukota Kabupaten Wakatobi yang berjarak ± 15 km dari desa Mola Selatan yang ditempuh dengan berjalan kaki atau kenderaan bermotor. Jauhnya jarak sekolah kelokasi SMP mengakibatkan banyak anak-anak tamatan SD tidak melanjutkan pendidikannya ketingkat SMP sementara yang lanjut merupakan anak-anak dari keluarga yang berekonomi menengah. Faktor jarak sekolah merupakan faktor utama yang menyebabkan sebahagian masyarakatnya tidak mengenyam pendidikan di sekolah. Meskipun tingkat pendidikan masyarakatnya berbeda-beda namun ikatan solidaritasnya tetap terjaga, yang terpenting bagi mereka bisa saling menghargai dan menghormati sehingga tercipta kehidupan yang rukun, damai dan tentram. Dalam kaitannya dengan keberadaan praktik ritual duata di desa Mola Selatan meskipun sebahagian telah memiliki pemahaman serta pemikiran yang rasional namun tetap menghargai praktik ritual duata, bagi masyarakatnya ritual duata merupakan budaya (tradisi leluhur) yang mesti dijaga kelestariannya dan merupakan bukti nyata bahwa masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang
berbudaya. Efek positifnya yang perlu diterima dan yang dianggap berbenturan dengan pemahaman masyarakatnya tidak begitu dipermasalahkan sehingga terjadi keharmonisan dalam menjaga solidaritas dalam masyarakatnya. 4.2.3
Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian Secara umum sumber mata pencaharian utama masyarakat di desa Mola
Selatan berprofesi sebagai nelayan. Selain mempunyai keahlian kelautan, ada sebahagian beberapa profesi lainnya yang ditekuni oleh masyarakat Bajo seperti berdagang dan tukang (pembuat perahu/kapal kayu dan bangunan rumah) yang dianggap sebagai pekerjaan sambilan untuk memperoleh penghasilan tambahan dan sebagian kecil bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Komposisi mata pencaharian menduduk di desa Mola Selatan dapat dilihat dalam tabel 4.2. Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Mola Selatan Menurut Mata Pencaharian
Jumlah No
Mata Pencaharian (Jiwa)
1
Nelayan
1226
2
Pegawai Negeri Sipil
65
3
Berdagang
32
4
Tukang
14
Jumlah
1337
Sumber: Kantor Desa Mola Selatan 2014
A. Nelayan Keterampilan penduduk di desa Mola Selatan adalah menangkap ikan (nelayan) dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Tabel 4.2 di atas, secara jelas menunjukkan bahwa hampir seperdua atau berjumlah 1226 jiwa dari jumlah keseluruhan penduduk di desa Mola Selatan (1337 jiwa) adalah bermata pencaharian sebagai nelayan. Cara penangkapan ikan dilakukan dengan pancing dan memburunya di dalam air dengan menggunakan panah ikan dan tombak yang dibuat sendiri. Hal ini dilakukan karena dianggap penangkapan dengan cara ini tidak merusak ekosistem laut yang pada akhirnya isi kandungan laut tetap terjaga kelestariannya. Jika dilihat dari peralatan tangkapnya, nelayan etnik Bajo sudah termasuk dalam kategori nelayan modern karena telah menggunakan alat-alat penagkapan ikan yang begitu moderen seperti perahu yang menggunakan mesin. Berkaitan dengan pekerjaan melaut, sebelum pergi menangkap ikan, terlebih dahulu melakukan upacara/ritual untuk menghindari musibah selama diperjalanan serta meminta restu terhadap penguasa laut (mbo ma dilao) agar mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Ritual dilakukan melalui pemberian sesajian ke laut dengan materi sesajian berupa satu buah telur ayam, ketan putih, ketan hitam, empat lembar daun sirih bertemu urat, arang kayu yang ada apinya untuk membakar kemenyan.
Mereka meyakini ketika dilakukan ritual melaut akan mendapatkan berkah perlindungan, keselamatan dan rezeki yang melimpah sehingga hasil dari tangkapan ikan tersebut bisa memenuhi kebutuhan keluarga serta pendidikan anak-anaknya. Masyarakat Bajo sangat menghargai ekosistem laut, bagi mereka sangat takut dengan pantangan (pemali) untuk melakukan usaha penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti pemboman atau pembiusan. Jika hal tersebut dilanggar maka akan ada musibah yang kelak mereka terima disamping itu penguasa laut (mbo ma dilao) akan membuatnya sakit sehingga aktivitasnya terganggu. Untuk itulah upacara laut yang masih berkaitan dengan upaya penghormatan terhadap penguasa laut sangat erat pula dengan keberadaan ritual duata yang merupakan ritual dalam meminta keselamatan. B. Pegawai Negeri Sipil Selain nelayan penduduk di desa Mola Selatan ada yang berprofesi sebagai poegawai negeri sipil (PNS). Jumlah penduduk di desa Mola Selatan yang berprofesi sebagai PNS berjumlah 65 jiwa yang tersebar diseluruh instansi pemerintah di Kabupaten Wakatobi. Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di desa Mola Selatan kuranng begitu banyak ketimbang aktivitas sebagai nelayan yang lebih banyak digemari oleh warga setempat, khususnya etnik Bajo. Hal ini diakibatkan oleh selain keterbatasan sumberdaya manusia dalam komunitas etnik Bajo, juga diakibatkan oleh kebiasaan etnik Bajo yang sejak kecil sudah melaut. Aktivitas melaut menurut etnik Bajo gampang untuk mendapatkan uang, nelayan etnik Bajo dapat menikmati hasilnya setelah pulang dari melaut.
Pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil menurut masyarakatnya sangat lama untuk mendapatkan uang karena nanti setiap awal bulan baru mendapatkan hasilnya (wawancara 6 Pebruari 2014). Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya yang telah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang orang Bajo, bahwa orang Bajo tidak akan pernah sukses meraih hidup dengan bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil, kecuali berwiraswasta dalam hal yang halal. Selain itu, didorong oleh keinginan masyarakat untuk mendapatkan uang pada setiap hari. Semua ini diakibatkan oleh pola hidup sebagian besar masyarakatnya yang cenderung boros dan royal dalam hal penggunaan uang. Bagi sebahagian masyarakat Bajo yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil sekiranya dalam pemenuhan kebutuhannya dianggap mapan namun mereka masih ada ketergantungannya terhadap nelayan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bajo yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil bukan pula mereka terlepas dari kehidupan melaut namun mereka sering pula melakukan aktivitas melaut pada hari libur kerja. Sama halnya dengan masyarakat yang berprofesi nelayan ketika hendak melaut terlebih dahulu melakukan ritual melaut. Mereka pantang akan musibah jika tidak meminta izin kepada menguasa laut (mbo ma dilao).
Hal tersebut mereka
lakukan secara turun temurun jika terjadi musibah yang disebabkan oleh pantangan yang mereka lakukan maka mereka akan melakukan ritual duata untuk meminta kesembuhan. Namun hal tersebut harus melalui perantaraan
sandro untuk melihat apa yang seharusnya dilakukan dan harus melihat sumber dari mana penyakit (musibah) tersebut. C. Pedagang Penduduk desa Mola Selatan yang berprofesi sebagai pedagang sangatlah rendah. Aktivitas bedagang ini dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dengan membuka kios untuk berjualan di dalam rumah. Umumnya jenis barang yang diperdagangkan seperti beras, minyak tanah, minyak goreng, telur ayam, bawang, terigu, makanan siap saji (instant) ikan kering, beberapa jenis peralatan melaut sederhana seperti yang tampak pada gambar 4.1.
Gambar 4.1 Warung Sembako di Desa Mola selatan (Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Pada gambar 4.1 menggambarkan berbagai macam keperluan masyarakat yang dijual oleh pedagang. Pedagang yang ada di desa Mola Selatan umumnya dalam kategori peagang konvensional yang menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga saja. Hal tersebut dilakukan karena faktor modal usaha yang tidak begitu
besar sehingga barang-barang yang dianggap keperluan pokoklah yang mereka bisa jual. Keberadaan pedangang tersebut sangat membantu masyarakat Bajo karena dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka tidak begitu jauh untuk mendapatkannya di daerah lain seperti di pasar sentral yang ada di pusat kota. Bahan-bahan atau sarana upacara/ritual duata umumnya mereka dapatkan melalui para pedagang tersebut, misalnya beras, minyak kelapa, telur ayam, pisang, daun sirih dan buah pinang terkecuali pernak-pernik seperti kain harus membelinya di toko-toko besar yang ada dipusat ibu kota Kabupaten. D. Tukang Kayu Keterampilan tukang kayu yang dimiliki orang Bajo diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka. Biasanya seorang ayah selalu mengajak anaknya ikut serta dimana dia bekerja utamanya anak laki-laki. Anak akan membantu dengan kemampuan yang dimilikinya sebagai bukti baktinya terhadap orang tua. Proses tersebut diawali dengan ajakan ayah untuk membuat sesuatu atau memperhatikan apa yang dikerjakan oleh orang tuanya. Pengetahuan akan cara membuat bangunan atau perahu didapatkan melalui petuah atau perintah sang ayah dalam proses pembuatan rumah atau perahu. Meskipun anak-anak Bajo terlahir dengan budaya kelautan tapi tak mengurangi semangat mereka untuk memahami atau belajar dengan keahlian selain profesi nelayan. Mereka sadar bahwa keahlian dalam bidang pertukangan juga sangat penting mengingat orang Bajo telah memiliki tempat tinggal (rumah) juga perahu-perahu sebagai sarana untuk melaut dan transportasi.
Oleh karena itu, penduduk senantiasa memiliki ketergantungan pada jasa tukang, bila ingin membangun rumah baru, atau ingin memiliki peralatan rumah,. Bahan-bahan pembuatan rumah biasanya disediakan oleh pemesan melalui saran dari tukang. Biasanya bahannya didatangkan dari pengumpul kayu bahan rumah untuk rumah panggung dan dari pengumpul bahan bangunan, seperti batu, pasir, untuk rumah batu. Melakukan aktivitas sebagai tukang, biasanya dijalani pada saat tidak ada aktivitas melaut. Keadaan tidak melaut umumnya pada musim terang bulan, kencang ombak, atau memang ada pesanan untuk menyelesaikan pekerjaan. Jenis pekerjaan yang dipesan seperti membuat rumah, atau perabot rumah lainnya. Hal tersebut seperti yang dituturkan Udin (47 tahun) sebagai berikut. “Orang Bajo umumnya tidak bisa melakukan aktivitas membuat rumah atau perahu sendiri, dalam mendesain rumah atau perahu harus ada bantuan dari orang lain sehingga apa yang dinginkan bisa tercapai dan ringan dilakukan. Biaya membuat rumah atau perahu sangat berfariasi, tergantung jenis barang yang dipesan misalnya biaya untuk mengerjakan rumah mulai dari Rp 3.000.000 sampai Rp 6.000.000/unit. Kalau perahu terkadang sesuai dengan kesepakan kalau masih keluarga dekat itu bisa dibahasakanlah tapi kalau kerabat jauh mengingat tenaga dan waktu terpakai selama ini aku kasi dari harga Rp 500.000 sampai Rp 5.000.000/unit itu sudah termasuk dengan upah teman kerja” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Proses pertukangan seperti pembuatan perahu umumnya dilakukan didekat rumah dengan alasan agar proses pembuatannya cepat dan bisa dilakukan kapan saja. Terkecuali rumah umumnya dilakukan dilokasi/tempat dimana bangunan tersebut dibangun. Pernyataan tersebut tampak pada gambar 4.2.
Gambar 4.2 Aktivitas pertukangan di desa Mola Selatan (Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Kehidupan ekonomi masyarakat Bajo yang memiliki profesi tukang cukup menjanjikan mengingat profesi tukang tidak begitu banyak yang melakukannya sehingga tiap harinya akan ada selalu pekerjaan yang akan mereka lakukan. Profesi tukang sangat membantu masyarakat Bajo utamanya masyarakat Bajo yang memiliki keterbatasan untuk membuat rumah sebagai tempat tinggal apa lagi pemukiman warganya masih ada yang tinggal di atas permukaan laut sehingga harus ada yang ahli dalam bangunan untuk membuat fondasi atau peletakan tiang rumah agar tetap koko dan kuat meski diterjang ombak dan badai. Terkait dengan sarana upacara/ritual duata sebagian sarana upacara menggunakan material berupa kayu seperti panggung (pentas) serta perahu kayu yang dimodifikasi hal tersebut membutuhkan jasa tukang untuk membuatnya
atau mendesain sesuai keinginan dukun (produsen) ataupun konsumen. Seperti yang dituturkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut. “Kalau saya bikin perahu atau panggung ritual sama hubungi pak Udin karna saya tidak bisa buat. Apa lagi panggungnya besar begitu juga perahunya harus dua perahu dipake sehingga berbentuk empat persegi. Aku pernah kasi upah sebesar Rp 2.000.000 itu sudah semuanya mau perahu atau kayu yang aku sengaja pesan untuk membuat rangka panggung” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas menunjukan adanya kerja sama antara sandro dan tukang. Kerja sama terjalin karena ketidakmampuan sandro untuk membuat sarana upacara berupa panggung dan perahu sehingga harus memerlukan jasa tukang dalam pembuatannya. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Marx bahwa komodifikasi berarti transformasi hubungan yang sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan menjual. 4.3 Agama dan Kepercayaan Sistem religi dan kepercayaan pada masyarakat Bajo tertuang dalam kegiatan ritual keseharian. Sebagai tempat dalam kegiatan ritual keagamaan tersebut terlihat adanya sarana peribadatan seperti masjid sebagai tempat untuk melakukan peribadatan. Ibadah atau sholat fardhu dilakukan di masjid secara berjamaah disamping itu masjid juga memiliki fungsi sebagai tempat pertemuan, pengajian ataupun acara-acara yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan lainnya.
Walaupun
masyarakatnya
mayoritas
beragama
Islam,
namun
kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus (gaib) selain kepercayaan terhadap Allah SWT tetap dijalankan oleh masyarakat Bajo. Kepercayaan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk tindakan dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Agama dan tradisi tumbuh kembang saling melengkapi sehingga memberikan kesan harmonis dalam menjalankannya. Tradisi budaya etnik Bajo bersumber dari ajaran agama Islam sehingga banyak persamaan. Begitupun juga dengan praktek pemujaan terhadap makhluk selain Allah SWT masih dilakukan oleh masyarakat Bajo namun mereka lebih mempercayai kekuatan yang besar hanya pada Allah SWT. Mereka menganggap ritual duata merupakan bagian dari budaya leluhur oleh karena itu antara budaya dan agama memiliki ruang masing-masing dan berjalan sesuai dengan koridornya. Indikasi yang menandakan bahwa etnik Bajo masih mempercayai makhluk lain selain Allah SWT adalah sering dijumpainya praktek ritual yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap enam penjaga laut seperti yang mereka namakan mbo biba, mbo janggo, mbo tambirah, mbo lumu, mbo duga dan mbo bubura. Makhluk-makhluk tersebut memiliki tugas dalam menjaga laut sehingga dalam kepercayaan masyarakat etnik Bajo dalam kaitannya dengan melaut makhluk-makhluk tersebut bisa mendatangkan rezeki dan bisa membuat musibah jika masyarakat Bajo lalai akan larangan (pomali) yang membuat kekacauan atau pengrusakan terhadap lingkungan (laut). Dalam membangun interaksi dengan makhluk-makhluk tersebut biasanya masyarakat meminta sandro (dukun) yang merupakan orang yang memiliki
kelebihan di luar jangkauan manusia (supranatural) untuk melakukannya. Wujudnya dalam bentuk upacara laut seperti duata, i dua tuli dan raki, sesuai dengan hajat yang diinginkan. Kepercayaan yang mereka miliki tidak terlepas dari apa yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu. Etnik Bajo yakin bahwa makhluk halus itu ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat jahat (pangroak kampoh). Roh-roh ini berfungsi mengendalikan dunia mereka. Kebahagiaan, kesedihan, dan bahkan suatu penyakit merupakan pengaruh dari roh tersebut. Makhluk-makhluk tersebut menempati media seperti pohon, batu-batuan maupun hewan di air. Pangroak sappa merupakan roh yang tinggal di batu. Sebagian masyarakat etnik Bajo yang masih percaya menyediakan tempat tinggal bagi roh ini yang disebut rumah jage. Hal ini dimaksudkan agar roh tersebut terlindung dan tidak menggangu pada aktivitas hidup mereka. Mengingat dalam praktik ritual duata memiliki nilai yang dijadikan sebagai pedoman hidup yang mengatur hubungan manusia. Sekiranya praktik ritual duata pun dijadikan acuan sehingga menjadi tradisi dalam etnik Bajo. Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dibakukan dalam kehidupan masyarakat (Ghazali, 2011: 33). Hubungan kebudayaan dan agama dalam konteks agama dipandang sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dan tindakan-tindakan sosial maupun budaya. Agama, dan kepercayaan lainnya, seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama tidak hanya dapat didekati
melalui ajaran-ajaran atau lembaga-lembaganya, tetapi juga didekati sebagai suatu sistem sosial, suatu realitas sosial di antara realitas sosial yang lain. Sejalan dengan pendapat Parsons (dalam Ghazali, 2011: 33) bahwa agama merupakan
sesuatu
komitmen
terhadap
perilaku,
agama
tidak
hanya
kepercayaan, tetapi perilaku atau amaliah. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan termanifestasikan di dalam masyarakat. 4.4 Sistem Kekerabatan Menurut Koentjaraningrat (Saad 2009: 105), untuk mengetahui lebih jauh tentang suatu sistem kekerabatan harus dipandang dari tiga sudut, yaitu: (1) Memandang unit kekerabatan dari segi batas-batas lingkungan pergaulan antar kerabat (rangers of kinship affiliation); (2) Dari segi prinsip yang menentukan seleksi untuk berpartisipasi dari suatu kompleks hak dan kewajiban kekerabatan ( principles of descent) dan (3) Dari aspek adat perkawinan yang menentukan komposisi kaum kerabat yang hidup mengelompok disuatu lingkungan tertentu (principles of residence). Ketiga cara pandang tersebut dapat membantu pemahaman yang lebih jauh tentang unit kekerabatan sebagai kesadaran bersama yang mengandung tatanan kehidupan yang sakral dan mulia bagi etnik Bajo. Dilihat dari sudut rangers of kinship affiliation. Etnik Bajo tergolong dalam sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan ayah dan ibu (bilateral). Karena tidak bersifat selektif dalam melihat batas-batas lingkungan tempat tinggal.
Demikian pula bila dilihat dari sudut principles of descent. Etnik Bajo tergolong bilineal, karena mereka memperhitungkan hak dan kewajiban harta benda bagi keturunan laki-laki dan perempuan. Misalnya peralatan nelayan dan mantera-mantera penangkapan ikan diturunkan kepada anak laki-laki, sedangkan rumah beserta segala isinya diwariskan kepada anak perempuan. Jika dinilai dari nilai barang yang diwariskan, perempuan memperoleh nilai yang lebih rendah dari anak laki-laki. Dalam
hal
principles
of
residence,
masyarakat
etnik
Bajo
memberlakukan uxorilokal, karena diharapkan sepasang pengantin tinggal didekat kaum kerabat istrinya. Tapi pada gilirannya diberi kebebasan untuk menentukan tempat tinggalnya. Meski tidak dapat dipungkiri pada awalnya mereka membebani kerabat perempuan. Dalam segi perikatan perkawinan, Etnik Bajo bertumpu pada landasan nilai agama Islam dan aturan-aturan adat. Sebagai refleksi dari pandangan hidup yang berorientasi kolektif, maka sistem kekerabatan dalam etnik Bajo mengenai keluarga inti (darumah) atau keluarga batih (Nucleus Family) dan keluarga luas (Extended Family). Sesungguhnya dimasa lalu mereka tidak mengenal rumpun keluarga yang berbentuk keluarga inti. Karena dalam satu keluarga luas terdapat beberapa orang anggota rumah tangga yang sudah menikah dan tinggal bersama. Hubungan antar anggota keluarga inti dalam sistem kekerabatan etnik Bajo, disesuaikan dengan norma-norma yang mengatur peranan sosial setiap anggota keluarga yang bersangkutan. Misalnya hubungan ayah atau ibu dengan
anak-anaknya tercermin dalam sapaan uwwa (untuk ayah), umma (untuk ibu) atau ana’ (untuk anak). Unit keluarga yang lebih luas disebut dansihitang, istilah ini pada awalnya hanya ditujukan kepada sesama orang Bajo. Keluarga luas (dansihitang), secara horizontal dan vertikal termasuk dalam tujuh generasi dari ego, baik berdasarkan garis keturunan ayah maupun ibu. Mereka yang termasuk pada kriteria keanggotaan keluarga tersebut disebut orang sama yang berarti orang-orang yang sama dari satu rumpun yakni rumpun Bajo. Begitu pula bentuk perkawinan pada masyarakat Bajo pada awalnya “endogami kerabat” (dansihitang) dimana saudara sepupu dua kali hingga sepupu tiga kali merupakan perkawinan yang ideal (marriage preference) sedangkan kawin dengan saudara sepupu satu kali dianggap perkawinan baru. Dalam
berinteraksi
anggota
keluarga
tetap
memegang
teguh
aturan/norma adat yang berhubungan dengan tradisi budaya Bajo. Baik kaum pria maupun wanita dalam kegiatan ritual melaut maupun upacara laut samasama berperan aktif dan upaya pelestarian tradisi yang berhubungan dengan ritual duata tidak mengenal kelompok umur maupun jenis kelamin siapa saja boleh mempelajarinya namun dalam penguasaan ilmu atau keahlian dalam hal pengobatan melalui ritual duata tidak sembarangan orang untuk bisa melakukannya karena ilmu ini merupakan sebuah mukzizat (wahyu) pada diri seseorang yang masih memiliki turunan dari duata yang pewarisannya dari nenek moyang yang memiliki turunan duata. 4.5.1
Bahasa dan Kesenian
A. Bahasa
Sebagai masyarakat yang dinamis, bahasa merupakan kekuatan yang tetap bertahan dalam perubahan lingkungan yang cepat dan terjadi secara terus menerus. Bahasa Bajo secara jelas mengartikan siapa dan bagian dari komunitas mana yang dapat dituturkan oleh hampir semua lapisan masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang tua. Pergaulan
hidup
sehari-hari
penduduk
di
desa
Mola
Selatan
menggunakan bahasa Bajo sebagai bahasa persatuan (baong sama). Hal ini diakibatkan oleh dominasi etnik Bajo yang tinggal di desa Mola Selatan dan tidak ada bahasa daerah dari etnik-etnik tersebut untuk dijadikan bahasa yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan bahasa Bajo (baong sama) sebagai bahasa sehari-hari bukan berarti bahasa daerah lain tidak bisa digunakan untuk berkomunikasi. Semua bahasa daerah dapat digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Mola Selatan tetapi dilihat dari konteks sama siapa mereka berkomunikasi. Misalnya bahasa Wanci digunakan berkomunikasi dengan sesama orang darat (Wanci). Bahasa Bajo memiliki tiga tingkatan penggunaannya, yaitu bahasa paling tinggi (halus), halus (santun) dan bahasa pasaran (kasar). 1. Bahasa paling halus biasanya digunakan dalam berpantun, doa-doa dan nyanyian dalam melakukan upacara adat. Nyanyian etnik Bajo seperti monimbanga di lao (ya dewa laut), wajalala (buanglah), jalunya (jala), kae pakana (perahu penangkap ikan). 2. Bahasa halus digunakan oleh para ketua adat “lolo” (bangsawan) dalam acara-acara adat etnik Bajo dalam artian digunakan pula orang yang lebih
muda ketika berinteraksi dengan orang yang lebih tua dengan kesantunan dalam bahasa misalnya uwwa (bapak), bangkawa (atap), lepa (perahu), alo (air) serta gadoh (gendang). Umumnya bahasa ini jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari 3. Bahasa pasaran biasanya terlihat pada penggunaan bahasa Bajo bagi kalangan anak muda baik laki-laki dan perempuan yang tidak mengenal usia namun etika dan kesantunan masih terjaga misalnya boe (air), papu (Tuhan), tinggi (jalan), ambo (bapak), dooda (atap),lepa taha (perahu panjang) dan lain-lain. Walaupun ada etnik lain yang mendiami desa Mola Selatan sebagai penduduk pribumi tetapi jumlahnya sangat minoritas. Hal itu yang mambuat bahasa Wanci tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari karena tidak populer di kalangan masyarakat desa Mola Selatan. Akan tetapi, sekarang bahasa Wanci sebagai bahasa etnik pribumi sudah dijadikan bahas pergaulan anak muda etnik Bajo. Dialek bahasa Bajo memiliki penekanan pada akhir huruf kata yang diucapkan. Contohnya andinta (makanan), dibaca andinnta. Seringkali, kalimat diucapkan dengan suara tunggal yang nyaring, sementara kata terakhir ditahan hingga suara menurun. Terkait dengan praktik ritual duata ketiga bentuk bahasa tersebut merupakan alat komunikasi lisan yang mereka sering gunakan dalam berinteraksi, baik sandro maupun keluarga pasien sama-sama menggunakannya. Orang Bajo lebih senang kita menggunakan bahasa pasaran karena mudah dipahami meskipun sedikit terkesan kasar namun mereka tetap memiliki jarak
dalam berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Dalam pendistribusian ritual duata bahasa memiliki peranan penting agar masyarakat memahami maksud dari esensi ritual duata. Umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa pasaran siapa saja mampu dicerna dan dipahami. B. Kesenian Mudah terbukanya hubungan antara masyarakat Bajo di desa Mola Selatan dengan dunia luar sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat etnik Bajo. Pengaruh tekhnologi media massa merupakan gejala perubahan yang besar pengaruhnya terhadap pola pemikiran masyarakat etnik Bajo sehingga lambat laun ide-ide baru mampu berinovasi terhadap kultur kebudayaan terutama kesenian masyarakat etnik Bajo. Masyarakat di desa Mola Selatan yang sebahagian besar didominasi oleh etnik Bajo
yang memiliki kesenian khas seperti daerah-daerah lain di
Indonsesia. Misalnya, kesenian berpantun dimana kesenian ini dipentaskan pada saat melakukan acara hajatan aqiqah dan pada saat menyambut tamu akan tetapi di zaman sekarang ditampilkan pada saat melakukan acara pernikahan. Selain seni berpantun, masyarakat etnik Bajo mempunyai seni suara (nyanyian) yang disebut uija yang terdiri atas empat macam sebagai berikut: 1. Kadandio, yaitu nyanyian yang dilakukan pada saat hendak berangkat berlayar atau melaut,
2. Iko-iko, yaitu nyanyian yang menceritakan suatu kisah atau sejumlah orang Bajo dan biasa dinyanyikan pada saat mereka akan berperang atau bertemu musuh di perjalanan, 3. Sagala, nyanyian yang dilantunkan saat ada anggota masyarakat yang sakit (pada saat pengobatan), dan 4. Kanjilo ini selalu dinyanyikan oleh etnik Bajo pada saat mereka hendak turun melaut Kesenian orang Bajo yang berupa tari misalnya dero yaitu berpantun sambil berpegangan tangan. Dero tercipta dari ungkapan rasa syukur istri-istri nelayan Bajo ketika melihat hasil tangkapan suaminya melimpah ruah dengan tidak sengaja mereka menari mengitari perahu sambil berpegangan tangan sambil berpantun. Hal ini dituturkan oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut. “Tari dero tercipta dari wujud rasa syukur istri-istri nelayan ketika melihat suami mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak. Mereka menari mengelilingi perahu sambil berpegang tangan sekarang tari dero dipakai pada acara hajatan dan umumnya dilakukan oleh mudamudi atau anak-anak bajo dengan bergooyang membentuk bundaran besar sambil berbalas pantun dengan posisi tangan saling berpegangan.(wawancara 6 Pebruari 2014).
Tuturan di atas menggambarkan bahwa etnik Bajo memiliki kesenian tari sebagai identitas budayanya yang membedakan etnik Bajo dengan etnik lainnya. Tari dero memiliki banyak nilai yang dilakukan dalam bentuk gerakan tari. Nilai kesyukuran disimbolkan dalam gerakan berpegang tangan wujud rasa persaudaraan dan menggoyangkan kaki dan tangan melambangkan kesyukuran
atas nikmat dan kebahagiaan yang didapatkan dalam menjalankan roda kehidupan dilingkungannya. Pada kegiatan promosi budaya di Kabupaten Wakatobi kesenian tersebut seringkali diikut sertakan bersama pertunjukan ritual duata sehingga mengundang nilai lebih terhadap potensi kebudayaan etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi. Adanya berbagai macam kreativitas dalam mengolah potensi kesenian etnik Bajo ikut memberikan pengaruh besar terhadap pertunjukan ritual duata yang terkadang gerakan penari mengadopsi gerakan tari dero sehingga nampak indah dengan memberikan warna seni tari yang unik. 4.6
Sejarah Etnik Bajo Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara Beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti dan praktisi
tentang kehidupan etnik Bajo menunjukkan bahwa pada umumnya merupakan kelompok manusia yang hidupnya di laut. Dimana tersebar luas diseluruh nusantara misalnya Kalimantan, Sulawesi, bahkan disekitar negara Singapura, Philipina, Brunai Darussalam dan Malaysia. Etnik yang umumnya tinggal di atas rumah-rumah yang diberi tiang di atas laut ini cenderung hidup dekat dengan laut yang menandakan etnik ini khas dibanding dengan etnik-etnik lain di Indonesia. Versi yang cukup melegenda merngenai asal usul etnik Bajo di Sulawesi Tenggara konon kabarnya berasal dari Johor, Malaysia, mereka adalah keturunan orang-orang Johor yang dititahkan raja untuk mencari putrinya yang melarikan diri. Orang-orang tersebut diperintahkan mencari kesegala penjuru
negeri hingga ke Sulawesi. Menurut cerita sang putri lebih memilih tinggal dan tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon ceritanya sang putri yang menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya didaerah yang sekarang bernama Bajoe. Hal tersebut dituturkan pula oleh Bakri (63 tahun) sebagai berikut. “Cerita yang saya tau dari orang tua dulu, Bajo di Wakatobi ini berasal dari Bugis, daerah Bone Sulawesi Selatan. Konon katanya mereka ini adalah orang-orang yang ditugaskan oleh seorang raja untuk mencari putrinya yang hilang, tapi mereka tidak menemukannya yang pada akhirnya mereka tidak berani kembali ke daratan, kemudian mereka berpencar menelusuri pantai-pantai sambil mencari makanan untuk tetap bertahan dalam perjalanan” (wawancara 6 Pebruari 2014).
Di dalam naskah lontarak (dalam aksara lontarak berbahasa Bugis) yang di tulis oleh orang Bajo di Kendari berasal dari Bajoe Kabupaten Bone yang sebelumnya mereka berawal dari Ussu Luwu, kemudian setelah terjadi peperangan, mereka mengungsi ke Kerajaan Gowa (Makassar). Setelah Gowa jatuh ke tangan Belanda yang bersekutu dengan Bone 1667, maka orang Bajo mengungsi ke Bone atau Bajoe. Selanjutnya pada saat Kerajaan Bone diserang Belanda maka sebahagian di antara mereka mengungsi ke berbagai daerah di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Ada dua faktor yang menyebabkan orang Bajo sampai ke kepulauan Wakatobi. Pertama, situasi politik dimana daerah sebelumnya sering dilanda peperangan sehingga mereka pergi meninggalkan daerah asalnya. Pada
umumnya etnik Bajo cinta damai sehingga peristiwa-peristiwa yang mengancam dirinya merupakan sebuah alasan untuk pergi jauh meninggalkan daratan. Ke dua, sosial budaya, etnik Bajo yang dikenal sebagai pelaut ulung sebagai karakter manusia berbudaya bahari dengan keahlian mereka sebagai nelayan. Umumnya mereka akan mencari daerah-daerah yang memiliki potensi daerah yang kaya akan sumber daya laut yakni ikan sehingga mereka selalu bermigrasi menjelajahi pantai-pantai atau laut yang memiliki sumber daya laut yang melimpah. Dari pernyataan tersebut kedua faktor ini memungkinkan etnik Bajo bermigrasi sampai ke Wakatobi. Berdasarkan catatan sejarah, Etnik Bajo yang tersebar dibanyak tempat di Indonesia memiliki asal usul yang sama. Sejumlah antropolog menjelaskan bahwa kecintaan Etnik Bajo terhadap laut bermula ketika mereka berusaha menghindari peperangan dan kericuhan di darat. Saad (2010) mencatat bahwa nenek moyang Etnik Bajo memasuki pulau Sulawesi sekitar tahun 1698. Penyebaran Etnik Bajo yang terdapat diberbagai daerah disebabkan karena kebiasaan mereka menyeberangi lautan lepas. Filosofi hidup Etnik Bajo sebagai manusia perahu yang diberikan pada Etnik Bajo dikarenakan kebiasaan mereka yang selalu berpindah-pindah. Diperkirakan pada tahun 1950-an Etnik Bajo mulai menempati Wakatobi (Stanley, 2005). Hal ini didasarkan pada potensi keanekaragaman laut Wakatobi yang sangat melimpah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Di Kepulauan Wakatobi, etnik Bajo menetap mulai terjadi sekitar tahun 1955 yang berpindah dari komunitas awal di pulau Kaledupa karena gangguan
DI/TII dan menempati wilayah adat Mandati. Hal tersebut dituturkan oleh Mustamin (56 tahun) sebagai berikut. “Awalnya orang Bajo masih bersatu di sampela waktu itu belum begitu banyak, orang Bajo masih takut menelusuri pulau-pulau di Wakatobi sehingga lambat laun orang Bajo meningkat jumlahnya. Ada sebuah kejadian yang menimpa orang Bajo di Kaledupa waktu itu pasukan gerombolan Kahar Muzakar datang memberontak sehingga pemukiman orang Bajo dibakar dan dihancurkan yang pada akhirnya orang Bajo menyelamatkan diri ke pulau-pulau lainnya seperti Wanci, Tomia dan daerah lainnya. Orang Bajo yang melarikan diri ke wilayah wanci menetap dipinggir pantai setelah mereka tau pasukan gerombolan telah pergi maka orang-orang Bajo kembali lagi ke Kaledupa namun ada juga yang tidak kembali dan menetap ditempat yang mereka rasa aman.(wawancara 7 Pebruari 2014). Masyarakat adat Mandati merupakan salah satu komunitas masyarakat adat di Pulau Wangi-wangi yang memiliki kelembagaan adat yang jelas. Berdasarkan penjelasan dari tokoh adat Mandati, Etnik Bajo yang diijinkan untuk menempati wilayah adat Mandati hanya 30 KK. Namun penduduk Etnik Bajo terus bertambah dari waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan sekitar tahun 1960an banyak Etnik Bajo dari tempat lain datang dan menetap di pulau Wangi-wangi, karena potensi perikanannya masih cukup melimpah. Seiring berjalannya waktu Etnik Bajo di pulau Wangi-Wangi semakin bertambah, sehingga pada tahun 1977 perkampungan Etnik Bajo telah menjadi dua desa pemerintahan, yaitu Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti. Jumlah penduduk Etnik Bajo terus mengalami peningkatan dan perkampungan masyarakat terus bertambah luas. Hingga jumlah penduduk Bajo di Mola mencapai 6.883 jiwa dan terdiri dari 1.846 kepala keluarga. Kondisi ini menyebabkan desa Mola saat ini terbagi lima desa pemerintahan yaitu desa Mola Selatan, Mola Utara, Mola Samaturu, Mola Bahari dan Mola Nelayan Bakti.
4.7
Ritual Duata Ritual duata adalah salah satu ritual pengobatan adat pada etnik Bajo
dengan memohon/meminta kesembuhan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (dewata/pappu) serta makhluk halus lainnya (mbo/keke) dengan cara memberi sesajian berupa beras warna-warni yang dilarungkan ke laut karena masyarakat Bajo memiliki hubungan dekat dengan makhluk yang ada di laut (kaka). Etnik Bajo meyakini bahwa dalam pengobatan secara duata tersebut ada hal-hal yang tentunya harus dipercaya bahwa segala penyakit yang diderita tidak selamanya disembuhkan dengan menggunakan tenaga medis apa lagi kebanyakan masyarakat Bajo memiliki penyakit turunan (duata). Pada umumnya penyakit yang menyerang masyarakat Bajo seperti demam berkepanjangan (piddi), kolera, ataupun penyakit yang bagi mereka anggap aneh ketika perkampungan dimasuki wabah penyakit. Kebiasaan masyarakat Bajo dalam memberikan sesajian terhadap penguasa laut dan saudara kembaran yang dilaut (kaka) tidak terlepas dari mitos yang dipercaya secara turun temurun bahwasanya setiap anggota masyarakat etnik Bajo yang dilahirkan memiliki saudara kembar yang dilaut (kaka) sehingga jika anggota masyarakat etnik Bajo ada yang mengalami gangguan kesehatan itu menandakan bahwa saudara kembarnya telah mengganggunya sehingga ada upaya untuk memisahkan mereka agar tidak saling mengganggu dengan cara pemberian sesajian atau pun dengan ritual duata.
Ritual duata dilakukan ketika ada masyarakat yang sedang sakit yang secara medis tidak bisa disembuhkan lagi. Sebelum dukun melakukan ritual duata, ada beberapa tahapan yang mesti dilakukan yakni mengumpulkan sarana/materi ritual. Sarana/material ritual biasanya dikumpulkan langsung di rumah pasien dan disanalah materi itu diproduksi di bawah pengawasan sandro. Mengingat lamanya prosesi ritual berlangsung biasanya sandro memiliki beberapa orang yang membantu dalam jalannya ritual sehingga ada pola pembagian kerja di dalamnya. Ada yang bertugas membuat sesajian, memasang pernak-pernik ritual, serta penabuh gendang. Dukun yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam upaya penyembuhan penyakit memiliki peranan penting sehingga apa yang diperintahkannya, tentunya masyarakat Bajo akan melakukannya. Dukun terlebih dahulu memeriksa tubuh pasien yang terkena penyakit (piddi) apakah bisa disembuhkan atau sebaliknya. Diawali dengan komunikasi antara sandro dan roh dan itu suatu keharusan yang perlu dilakukan oleh sandro walaupun setannya sangat jahat karena bisa jadi yang menahan semangat hidup pasien (sumanga), biasanya ruh yang merasuki jiwa pasien akan meminta sesajian sehingga demi kesembuhan pasien tersebut sandro akan memberikannya sesuai dengan apa yang setan (roh) minta. Jika sebuah penyakit berasal dari darat maka sandro akan berkomunikasi dengan setan darat (mbo ma di dara) dan sebaliknya jika penyakit tersebut bersumber dari laut maka sandro akan berkomunikasi dengan setan laut (mbo ma di lao). Tentunya komunikasi tersebut hanya bisa dilakukan dan dirasakan
oleh sandro sehingga kita hanya bisa melihat aktivitas-aktivitas sandro yang nyata seperti pengucapan mantra (jajampi) dalam bahasa Arab ataupun Bugis. Mantra (jajampi) yang biasa diucapkan oleh sandro untuk mencegah agar tidak terjadi malapetaka dan meminta perlindungan keselamatn bagi masyarakat Bajo. Mantra (jajampi) yang sering digunakan sebagai berikut. Jajampi pertama:
Bismillahirrahmanirrahim Opapu oh mbo madilao Ombotumbira Daha aku Sasapata madilao
Terjemahan:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Oh Tuhan oh nenek di laut dan wakilnya Jangan saya ditegur dan jangan saya diganggu di laut
Jajampi kedua:
Embo madilao Pamopparahta aku 3 x
Terjemahan:
Oh nenek penguasa laut Maafkanlah saya 3 x
Jajampi ketiga:
Bismillahirahmanirrahim Opapu bunantu aku dalleq Dalleq pappara-para
Terjemahan:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Oh Tuhan berikanlah rezeki padaku Rezeki yang banyak.
Dalam pengobatan sandro mengawalinya dengan komunikasi khusus dengan makhluk yang merasuki pasien dengan media mantra (jajampi) khusus. Mantra (jajampi) yang diucapkan oleh sandro merupakan sebuah kata-kata dan suara tertentu yang dianggap memiliki kesaktian dan diyakini secara mendalam.
Mantra (jajampi) selalu dimulai dengan ucapan Bismillahirahmanirrahim dan umumnya pendek-pendek. Hanya pada mantra (jajampi) tertentu terdapat pengulangan
kata.
Jika
dikaitkan
dengan
teori
semiotik
yang
telah
dikembangkan Barthes (Hardin 2013: 36) pandangannya tentang tanda baik denotatif maupun konotatif terkait dengan bahasa yang mengkomunikasikan sesuatu pesan (tanda) bermakna. Dalam teorinya secara khusus digunakan untuk mengungkapkan makna dibalik kata-kata (mantra), ungkapan-ungkapan dan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan tardisi ritual duata. Prosesi ritual duata pelaksanaanya mulai dari jam 18.00 Wita dengan ditandai dengan prosesi penyiraman (mamandi) pasien yang sakit dengan menggunakan air yang sudah diberi mantra oleh dukun sambil diiringi bunyibunyian tetabuhan gendang tanda dimulainya duata. Dalam tahap ini dukun sendiri yang memandikan pasien setelah itu pasien mengganti pakaiannya dengan menggunakan sarung dengan catatan pasien tersebut tidak boleh keluar rumah sampai acara ritual selesai. Selanjutnya pada waktu jam 04.00 dini hari sandro mulai dengan tahapan selanjutnya dengan memandikan pasien dengan air yang sama dengan menggunakan buah mayah untuk mengalirkan air keseluruh tubuh pasien dan berlangsung sampai hari ketiga berturut-turut yang tidak terlepas dengan bunyi tetabuhan gendang yang berirama sehingga seluruh warga masyarakat etnik Bajo antusias untuk menjaga jalannya prosesi duata. Sepanjang prosesi siraman tersebut bunyi gendang tak henti-hentinya dibunyikan terkadang orang yang mendengarnya kerasukan oleh karena itu sandro mewaspadai hal tersebut agar prosesi ritual berjalan lancar. Bunyi
gendang juga sebagai penyemangat jiwa pasien dan orang-orang yang terlibat dalam ritual duata. Hal tersebut dituturkan oleh Bakri (63 tahun) sebagai berikut. “Ketika pasien ini dimandikan oleh sandro, bunyi gendang tak boleh lepas karena bunyi gendang ini sakral, memiliki kekuatan yang bisa memberikan kekuatan ke dalam jiwa pasien sehingga ada keinginan kuat pasien untuk lekas sembuh. Bunyi gendang ini bukan hanya untuk pasien saja namun ketika bunyi gendang ini terdengar oleh orang yang memiliki turunan duata akan mengalami kerasukan” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas memberikan penjelasan bahwasanya bunyi gendang sebagai bagian dari ritual duata memberikan fungsi sebagai penyemangat kepada pasien yang menurut orang Bajo bunyi yang dihasilkan oleh gendang memiliki kekuatan magis untuk memperkuat jiwa pasien agar bisa segera sembuh. Bunyi gendang memberikan tanda sehingga masyarakat ketika mendengar bunyi gendang bisa memahami dan mengetahui bahwa di kampung mereka ada sebuah peristiwa atau kegiatan yang sedang terjadi. Seperti yang dijelaskan oleh Saussure (Hoed, 2008: 3), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan sebuah makna (atau isi, yakni tentang apa yang dipahami oleh manusia sebagai pemakai tanda). Hal tersebut ditunjukkan pada gambar 4.3.
Gambar 4.3 Memandikan pasien disertai dengan iringan gendang (Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Pada gambar 4.3 terlihat kepala pasien yang dilapisi buah mayah (pinang muda) disirami air oleh sandro. Buah mayah memiliki fungsi untuk menetralkan pengaruh roh jahat yang merasuki tubuh pasien. Terlihat pula tukang pukul gendang mengiringi prosesi siraman sehingga suasana menjadi hidup. Bunyibunyian yang dihasilkan dari pukulan gendang merupakan penanda simbolik
akan adanya prosesi pengobatan. Ritme atau bunyi memberikan kesan tidak langsung kepada semua yang berpartisipasi yang memiliki nilai kebersamaan, kerja sama terbangun, dan keharmonisan. Bunyi gendang (gandha) dan gong (mbololo) merupakan keharusan dalam proses ritual duata dari awal sampai akhir prosesi ritual. Tentunya bunyi-bunyian tersebut mengandung makna tersembunyi selain bisa dinikmati dan membuat suasana hidup. Tahapan selanjutnya adalah pelarungan sarana ritual berupa sesajian yang berisi nasi berwarna-warni (buas buburinti), telur (antillo manok), pisang (pissa) , pinang dan daun sirih untuk dilarung ke laut dalam prosesi ini pasien bisa saja ikut bersama sandro namun harus memiliki kemampuan fisik yang sehat. Media yang digunakan untuk menuju ketengah laut biasanya sandro dan keluarga pasien menggunakan bido (perahu). Lokasi dalam melarung sesaji di laut dilakukan sepenuhnya atas arahan sandro, tidak selamanya sesajian bisa dilarung disemua tempat di laut terkecuali sandro memberikan sinyal dan mendapat petunjuk dari arwah penguasa laut (mbo janggo) dimana tempat yang tepat untuk sesajian dilarungkan. Terkait dengan hal tersebut diungkapkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut. “Setelah pasien dimandikan maka sesajian di bawa ke laut menggunakan bido diarah buritan perahu dipasang bendera ula-ula dan dibagian ujung perahu disimpan sebuah obor. Setelah saya menemukan tempat yang tepat untuk sesajian dijatuhkan maka saya terlebih dahulu membuat dua garis berbentuk silang menggunakan pisau supaya apa yang sudah dihajatkan ini diterima oleh penjaga laut” (wawancara 7 Pebruari 2014)
Ungkapan di atas menjelaskan bahwasanya dalam prosesi melarung sesaji tidak semua lokasi di laut bisa dijadikan tempat untuk menyimpan sesajian harus ada petunjuk dari dukun. Dukun yang memiliki pengetahuan akan tanda yang diinginkan oleh penguasa laut akan segera melarung sesajian tersebut yang diawali dengan goresan berbentuk tanda silang ( X ) sebagai tanda membuka pintu menuju alam penguasa laut. Hal tersebut tampak pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Proses pelarungan sesajian di laut (Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Pada gambar 4.4 menunjukkan bahwa sebelum sesajian dilarungkan ke laut terlebih dahulu dukun akan membuat goresan untuk memberikan tanda bahwa sesajian yang dilarungkan akan diteruskan sampai pada penguasa laut. Ula-ula dan sebuah obor digunakan untuk memberikan tanda kepada masyarakat jikalau di laut ada prosesi melarung sesajian dan obor dimaksudkan untuk memberi penerangan jika kondisi dalam keadaan gelap. Hal tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Alex Sobur dalam Piliang (2003:21) yaitu tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah
manusia dan bersama-sama manusia. Sehingga simbol dapat
dikatakan sesuatu yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran berikutnya dibagikan oleh masyarakat sendiri yang kemudian akan diwariskan secara turun temurun. Kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dibakukan dalam masyarakat (Ghazali 2011: 32). Ritual duata pada masyarakat etnik Bajo telah berkembang menjadi sebuah aturan atau acuan dalam kehidupan masyarakat utamanya yang berkaitan dengan mitos dan konsep pemali (larangan) yang menimbulkan mala petaka setiap masyarakat yang melanggarnya. Jika dihubungkan antara kebudayaan dan agama yang dianut oleh etnik Bajo yang mayoritas beragama Islam nampaknya akan menimbulkan paradigma atau perspektif berbeda bagi masyarakat lainnya. Apa lagi dalam ajaran Islam tidak mengenal yang namanya pemujaan selain memuja Allah SWT. Namun disinilah keunikan dan berbagai macam bentuk toleransi saling mengisi dan mengkait antara kebudayaan dan agama. Dalam konteks ini agama dipandang sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus sebagai sumber nilai dalam tindakantindakan sosial maupun budaya. Agama, dan juga sistem kepercayaan lainnyasering kali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama tidak hanya dapat
didekati melalui ajaran-ajaran atau lembaga-lembaganya, tetapi juga dapat didekati
sebagai sistem sosial, suatu realitas sosial di antar realitas sosial
lainnya. Seperti yang diungkapkan Parsons (Ghazali 2011:33) bahwa agama merupakan suatu komitmen terhadap perilaku, agama tidak hanya kepercayaan, tetapi perilaku atau amaliah. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan termanifestasikan di dalam masyarakat. Tahapan terakhir dalam ritual duata adalah permohonan keselamatan dan kesembuhan terhadap penguasa alam (Tuhan Yang Maha Esa), roh-roh penguasa laut, dan leluhur (keke). Pada dasarnya segala sesuatu yang menimpa manusia adalah akibat dari apa yang telah diperbuatnya. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa ada sebab, apa yang sudah terjadi kiranya kita bisa mengintrospeksi diri apa yang sesungguhnya kita perbuat. Perwujudan rasa maaf mereka diungkapkan dalam bentuk doa (mantra) yang bagi masyarakat Bajo dianggap memiliki nilai tersendiri apa lagi etnik Bajo masih memegang teguh tradisi masyarakatnya. Mantra biasanya diucapkan dalam keadaan tertentu seperti pendapat Sudjiman (Uniawati, 2006: 3) mengatakan bahwa mantra-mantra mengandung tantangan atau kutukan terhadap sesuatu kekuatan gaib dan dapat berisikan bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan. Mantra yang digunakan dalam pengobatan melaui dua meia yaitu melalui media angin (passeng rianging) dan melalui media perantara hewan (paseng ri olokkolo). Bacaan pada mantra diakhiri dengan kalimat qun fa yaqun (jadi maka jadilah). Dukun (sandro) pada masyarakat Bajo khususnya yang dipercaya memmbaca mantra, banyak pantangan yang harus dihindari agar mantra yang
diucapkan ampuh. Pantangan (pomali) yang dimaksud adalah tidak boleh sembarang berbicara, tidak boleh bersenda gurau pada siapapun, bertutur kata yang santun, tidak boleh berbohong, dan semua yang bisa merugikan orang lain perlu dihindari. Mantra dalam prosesi ritual duata dilakukan setelah prosesi larung sesaji selesai. Beberapa mantra dan doa yang diperuntukkan terhadap penguasa alam sebagai bentuk interaksi manusia dan dilakukan oleh sandro karena memiliki keahlian dalam berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa serta makhlukmakhluk gaib lainnya misalnya. Mantra (jajampi) I Bismillahirrahmanirrahim Juru mudi Juru batu Aliyah arliyah Sitti Sariyani Raja Mariyani Lesseqko ri tubunna Palesseqko ri nyawana
Terjemahan:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Tukang kemudi Tukang Batu Aliyah Arliyah Sitti Sariyani Raja Mariyani Enyah kamu dari tubuhnya Enyahkan dari nyawanya
Mantra (jajampi) II
Bismillahirrahmanirrahim Allah taala pukedo nyawaku Muhammad pukedo atikku Sininna uniakengnge Pasitaika karena Allah taala Sininna balai Elo natattuppaq ri iya Mutulakabbalaqka karena Allah taala Wa balaq ana wa balagana mamaeng
Terjemahan
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Allah SWT yang menggerakanna nyawaku Muhammad menggerakan hatiku Semua yang kuniatkan Mempertemukanku karena Allah SWT Semua rezeki Akan tertumpah padaku Memohon saya karena Allah SWT Wa balaq ana wa balagna mamaeng
Mantra (jajampi) III
Bismillahirrahmanirrahim Aubakkar mata lotonna Usman mata putenu Cenning atinnu Gula nawa-nawanu Akuali kumpayakum
Terjemahan
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Abubakar mata hitmnya Usman mata hijaunya
Ali mata putihmu Manis hatimu Gula pikiranmu Saya laki-laki Jadi maka jadilah
Mantra (jajmpi) IV
Bismillahirrahmanirrahim Raja anggun Raja turun Raja Menurun A
Terjemahan
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Raja Anggun Raja turun Raja Menurun A Konsep semiotik yang telah dikembangkan, Junus (dalam Muniati 2011: 13) menyatakan mantra adalah keseluruhan yang utuh, yang dirinya sendiri
mempunyai signified. Lebih lanjut, Junus mengungkapkan hakikat mantra sebagai berikut: a. Ada bagian rayuan dan perintah b. Mengungkapkan expression unit kesatuan pengucapan c. Merupakan sesuatu yang utuh, yang tak dapat dipahami melalui pemahaman unsur-unsurnya. d. Merupakan sesuatu yang tak dapat dipahami oleh manusia sesuatu yang misterius e. Ada kecenderungan esoteris dari kata-katanya atau ada hubungan esoteris f. Terasa merupakan permainan bunyi belaka. Mantra dapat berupa kata atau suara tertentu yang dianggap memiliki kesaktian. Pengucapan kata yang diiringi dengan bunyi tertentu terkadang tidak memiliki makna tetapi sangat erat kaitannya dan memberi pengaruh yang kuat pada munculnya kekuatan gaib karena mantra merupakan unsur utama dalam dunia gaib (magis). Pada perkembangannya mantra dalam segi penggunaannya dalam masyarakat Bajo masih terdapat beberapa paradigma terutama masyarakat yang dibekali dengan pemahaman agama yang mendalam utamanya agama Islam yang dianut masyarakat Bajo yang menentang penggunaan mantra-mantra itu dengan dalih bahwa agama Islam melarang meminta dan memohon sesuatu kecuali terhadap Allah SWT sebab makhluk lain yang ditempati dan ditujukan untuk memuja tidak lebih mulia kedudukannya daripada manusia.
Mantra Bajo umumnya menggunakan kosakata bahasa Bajo saja, tetapi juga menggunakan kosakata dari bahasa lain seperti bahasa Arab, Bugis, Makassar, dan bahasa Indonesia. Penggunaan kosakata dimaksud agar ada kesesuaian bunyi baris mantra. Kosa kata bahasa Arab banyak terdapat dalam mantra melaut etnik Bajo terutama dalam pembukaan dan penutupan setiap mantra. Hal ini terkait dengan agama yang dianut oleh masyarakat etnik Bajo, yaitu agama Islam. Demikian halnya dengan kosakata bahasa Bugis dan Makassar yang terdapat dalam mantra melaut etnik Bajo. Kosakata bahasa Bugis dan Makassar dalam mantra itu adalah kosakata bahasa Bugis dan Makassar yang dilafalkan dengan fonem bahasa Bugis dan Makassar, misalnya dalleq (rezekiku), asemmu (namamu), paddeanganna (gelarnya), dan battu (tiba). Hal ini ada hubungannya dengan sejarah dan cara hidup masyarakat Bajo sebagai pengembara laut sehingga menjelajah dari satu pulau ke pulau lain. Pada mantra III setiap barisnya menggunakan simbol-simbol manusia yang menggambarkan tabiat setiap manusia yang diwakilinya. Misalnya pada kalimat gula nawa-nawanu yang berarti gula pikiranmu yang secara harfiah tidak ada orang yang pikirannya terdiri dari gula. Namun, jika dicermati lebih dalam, kata gula dalam kalimat itu sebagai simbol yang melambangkan pikiran yang sehat dan jernih serta senantiasa berprilaku baik terhadap sesama manusia. Dengan demikian, segala sikap benci dan permusuhan ditanggalkan kemudian diganti dengan rasa persahabatan yang manis.
Mantra IV pada baris akhir mantra di atas hanya terdapat fonem /A/ yang digunakan dalam mantra tersebut adalah simbol yang memiliki makna pemerintah. Perintah itu ditujukan kepada suatu wujud yang tidak terlihat. Dalam mantar tersebut , /A/ diartikan dengan “kembalilah kau ke asalmu” artinya dalam segala sesuatu yang berwujud akan selalu berakhir dengan kematian atau kepunahan dan kembali keasalnya. Masyarakat Bajo pada umumnya mengenal konsep pamali (pantangan). Biasanya ketika mereka melanggar pamali yaang telah mereka yakini turun temurun akan berimbas kedirinya sendiri. Hal tersebut dibenarkan oleh sandro bahwa sesungguhnya dosa atau musibah yang menimpa diri manusia itu akan kembali kediri manusia sendiri, oleh karena itu kita harus tau apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu untuk mengungkapkan rasa maaf dan bersalah dengan apa yang telah diperbuat maka banyak cara untuk mempraktekannya seperti dalam ritual duata ini adalah bentuk permohonan maaf dan meminta pertolongan sehingga apa yang kita alami segera dihilangkan seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5.
Gambar 4.5 Dukun menguji mental pasien (sakit) (Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Selanjutnya untuk menguji mental pasien, dukun akan menancapkan sebilah keris tepat di atas ubun-ubunnya, meski terasa kuat namun dengan kekuatan supra natural keris sang dukun tidak melukai bahkan pasien tidak mengalami luka seditik pun. Itu dimaksudkan agar roh yang telah dipanggil oleh dukun masuk kejiwa pasien. Prosesi ini sangat sakral karena pasien mengalami kerasukan sambil menari (ngigal) tak sadarkan diri ditemani sandro suasana menjadi sangat mistik tak satupun yang berani berbicara hanya bunyi tetabuhan gendang yang semakin kuat untuk meberikan semangat kepada pasien. Hal tersebut terlihat pada gambar 4.6.
Gambar 4.6 Sabung ayam untuk mengetahui kesembuhan pasien (Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Pada gambar 4.6 menunjukkan pasien memegang ayam yang akan bertarung dengan ayam yang disediakan oleh dukun. Ayam dalam ritual duata digunakan sebagai media untuk menguji kekuatan fisik pasien setelah diberi mantra (jajampi). Hal tersebut dituturkan oleh Mustamin (56 tahun) sebagai berikut. “Untuk menguji kesembuhan pasien maka ada dua ekor ayam yang diadu, dimana salah satu ayam pemiliknya adalah pasien yang diobati, kalau ayam pasien itu menang berarti dia lekas sembuh tapi jika kalah maka dia dinyatakan tidak bisa disembuhkan lagi, biasanya keluarga pasien merasa ada kekhawatiran dalam tahap ini karna ini sebuah penentuan akhir” (wawancara 8 Pebruari 2014).
Tuturan tersebut menunjukkan bahwa dua ekor ayam jantan yang diadu merupakan mediator untuk membuktikan kekuatan yang dimiliki oleh pasien, jika ayam pasien menang menandakan pasien lekas sembuh dan jika ayam pasien kalah, itu menandakan bahwa pasien tidak bisa disembuhkan lagi dengan cara apapun karena ritual duata ini merupakan langkah terakhir yang ditempuh ketika cara pengobatan baik medis atau alternatif sudah dilakukan. Untuk menunjukkan rasa senang akan kesembuhan biasanya dukun akan melemparkan beras pecah (matang) kearah pasien dikuti oleh keluarga pasien yang ikut menghambur-hamburkan beras. Tradisi menghamburkan beras dalam masyarakat Bajo dilakukan turun-temurun jika dalam keadaan bahagia. Menghamburkan
beras
bukan
membuang
rezeki
namun
disini
beras
dihamburkan sebagai perwujudan rasa hormat dan terima kasih kepada penguasa alam atas keselamatan atau kesuksesan dari sebuah upacara adat/agama. Seperti yang terlihat pada gambar 4.7.
Gambar 4.7 Dukun menghamburkan beras kearah kepala pasien
(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Gambar 4.7 memperlihatkan ekspresi dukun dalam bentuk rasa gembira dengan menghamburkan beras (beras pecah) kearah tubuh pasien. praktik tersebut dimaknai bahwa beras melambangkan kesejahteraan atau kemakmuran manusia serta kain (sarung) memiliki makna pelindung, yaitu melindungi manusia dalam keadaan apapun. Dalam kebudayaan etnik Bajo beras merupakan sesuatu barang yang bernilai karena mereka sadar bahwa mereka hidup di laut tak akan ada tanaman seperti padi bisa tumbuh sehingga beras memiliki nilai yang sangat mahal untuk dimiliki. Dalam praktik pengobatan pun beras disimbolkan sebagai barang yang memiliki nilai kemakmuran atau kesejahteraan sehingga ketika masyarakatnya terlepas dari masalah baik berupa bencana alam maupun penyakit, tentunya barang yang bernilai tersebut mereka persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (dewata/papu) sebagai bentuk rasa syukur mereka. Dalam pemaknaannya tentunya nilai budaya/simbol sifatnya abstrak berada dialam pikiran tiap manusia ataupun pada masyarakat penganutnya. Mencermati kondisi tersebut maka budaya atau kebudayaan tidak bisa lepas dari ideologi terutama yang mengatur medan makna yang selanjutnya dapat diartikulasi sebagai sistem otoritas yang dapat menentukan identitas pada suatu kelompok masyarakat.
BAB V PROSES KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Dalam bab ini, uraian difokuskan pada pembahasan mengenai masalah bagaimanakah proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Proses komodifikasi ritual duata dalam penelitian ini ditinjau dari proses produksi, distribusi dan komsumsi ritual duata. Untuk mendapatkan pemahaman yang berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam analisis pembahasan digunakan teori komodifikasi. Dalam kaitan dengan penelitian ini perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai istilah proses yaitu mengandung arti runtutan perubahan atau peristiwa dalam perkembangan sesuatu. Proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 899) berarti runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu, rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk. Perkembangan produk yang dimaksudkan adalah komodikasi ritual duata menjadi produk komoditas. Berdasarkan uraian di atas maka proses dalam uraian bab ini mengarah pada rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk terkait dengan runtutan yang menyebabkan komodifikasi ritual duata, proses produksinya, varian bentuk yang dihasilkan oleh dukun dan pemasaran produk hingga konsumen ritual duata. 5.1
Produksi Ritual Duata Produksi ritual duata pada penelitian ini berarti sebuah rangkaian atau
kegiatan menciptakan atau menghasilkan suatu produk barang/jasa. Sedangkan
produk adalah barang/benda/jasa, yang dalam masyarakat kapitalis adalah komoditas yang dihasilkan dari suatu sistem produksi untuk suatu kepentingan, yang tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi yang paling penting adalah nilai tukar. Produk yang dihasilkan dalam proses produksi ritual duata berwujud barang atau benda, desain dan jasa yang merupakan variabel pertama dari suatu pemasaran dan dianggap cukup penting karena dapat mempengaruhi tingkat kepuasaan konsumen. Jika dilihat dari perkembangan ritual duata pada awalnya berlangsung alamiah seperti kegiatan ritual lain yang ada di Kabupaten Wakatobi. Masyarakat etnik Bajo melakukan praktik ritual duata secara konvensional sebagai wujud solidaritas dalam kehidupan masyarakatnya. Namun sekarang praktik ritual duata semakin banyak diminati dengan berbagai macam kepentingan khususnya bagi masyarakat etnik Bajo sendiri. Hal tersebut membuat dukun kewalahan dalam memberikan pelayanan. Dengan keterbatasan tenaga dan modal material dalam memproduksi sarana ritual duata membuat dukun harus mengumpulkan tenaga (pekerja) dan biaya produksi material. Lambat laun praktik ritual duata bergeser kearah pelayanan masyarakat yang membutuhkan imbalan jasa. Hal tersebut menyebabkan praktik ritual duata mengalami perubahan kearah komersialisasi. Komodifikasi disini dapat kita definisikan sebagai proses mengubah nilai pada suatu produk yang tadinya hanya memiliki nilai guna kemudian menjadi nilai tukar (nilai jual) dimana nilai kebutuhan atas produk ini ditentukan lewat harga yang sudah dirancang oleh produsen (Mosco, 2009: 132). Dalam hal ini
ritual duata yang tadinya hanya memiliki fungsi sebagai ritual pengobatan etnik Bajo kemudian menjadi nilai tukar (produk budaya) yang berorientasi terhadap nilai pasar. Dalam produksi ritual duata untuk menjadi komoditi diperlukan pembagian kerja yang sesuai dengan keterampilannya. Tentunya pembagian kerja yang dimaksud hanyalah untuk memudahkan dalam proses pengerjaannya (produksi). Hal ini mencirikan bahwa ritual duata telah melakukan komodifikasi. Pembagian kerja yang dilakukan akan berpengaruh pada sistem produksi, maupun distribusi ritual duata. Dalam hal ini peneliti akan mengungkap produksi ritual duata dari segi produk ritual duata berupa sesajian (buah bubu rinti), bendera etnik Bajo (ula-ula), kain berwarna (palisier), panggung, pakaian dan gerak tari. 5.1.1
Sesajian (Buas Bubu Rinti) Pembuatan sesajian terdiri dari beras berwarna (merah, putih, kuning,
dan hitam), yang dibuat berbentuk bundar di atas wadah yang dilapisi daun pisang dengan kombinasi empat warna berlapis-lapis. Buas bubu rinti pada pelaksanaan ritual duata bermacam ukuran, pada prosesi ritual duata yang lebih besar dibuat sebanyak tujuh bentuk yang sama (bundar) sehingga dibutuhkan tenaga dan keahlian dalam membuatnya. Pada penyajian beras berwarna tersebut ada komponen penting pendukung sesajian yang merupakan barang wajib seperti daun sirih (leko), pisang tembaga (pissa), telur ayam (antillo manu), kelapa muda, buah pinang, buah mayah, dan janur kuning (tenda koneh). Hal tersebut terlihat pada gambar 5.1.
Gambar 5.1 Materi pendukung ritual duata (Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi) Gambar di atas menunjukan proses pembuatan materi ritual duata dilakukan oleh dukun dan beberapa orang pekerja yang ikut membantu dalam memproduksi materi sesajian dimana materi ritual seperti telur ayam, daun sirih dan lain sebagainya merupakan materi pokok selain beras berwarna (buas bubu rinti). Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam pengerjaan materi ritual duata telah terjadi pembagian kerja. Hal tersebut seperti yang dituturkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut. “Kalau cara berobat secara duata ini saya yang membuatnya, bahanbahannya saya kumpul dan dibuat di rumah pasien, tapi kalau acaranya besar biasanya saya memakai tenaga orang lain tapi selalu juga tetangga lain ikut membantu. Isi sesajian itu ada telur ayam, daun sirih, beras warna-warni, daun pisang, pisang, pinang semuanya saya atur juga yang menyimpannya” (wawancara 7 Pebruari 2014). Wawancara di atas menjelaskan bahwa banyaknya materi sesajian yang harus dipersiapkan maka sandro mempekerjakan beberapa orang untuk membantu dalam proses pembuatannya meskipun terkadang banyak masyarakat yang pamrih ikut berpartisipasi. Pada tahapan ini semua sarana ritual diproduksi oleh sandro beserta beberapa anak buahnya. Sebagai orang yang memiliki
pengetahuan ritual duata maka posisi sandro sangat penting sehingga masyarakat tunduk dengan apa yang dilakukan atau disarankan oleh sandro. Pengetahuan yang dimiliki oleh dukun mampu menguasai masyarakat sehingga tercipta hubungan antara dukun dan pasien. Terkait dengan hal tersebut dijelaskan oleh Foucault (Hoed, 2011: 284) bahwa melalui wacana, seseorang, sekelompok orang, atau suatu lembaga dapat merealisasikan kuasa (baca: power). Untuk merealisasikan kuasa tersebut, tidak selalu diperoleh melalui fisik (badaniah, atau senjata) tetapi juga melalui pengetahuan yang dimiliki. Terkait dengan pengetahuan yang dimiliki oleh sandro tidak menutup kemungkinan dalam proses pembuatan sarana ritual duata ideologi sandro turut berpengaruh yakni ideologi kapitalis yang menginginkan sarana ritual bukan hanya sebagai pelengkap dalam ritual namun bisa dimanfaatkan sebagai modal usaha untuk mendapatkan nilai tukar guna mendapatkan keuntungan. Sejalan dengan pikiran Tester (2009: 84) bahwa komodifikasi adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit yang sebelumnya sebagai karya sakral untuk persembahan, dengan kesadaran penuh dan perhitungan yang matang dari seniman maupun konsumen diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang membutukan karya seni tersebut. Sarana ritual duata berupa beras berwarna bisa dilihat pada gambar 5.2.
Gambar 5.2 Sesajian buas bubu rinti (Dokumentasi: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014) Gambar 5.2 menunjukan bahwa beras berwarna warni yang diletakan di atas wadah yang dilapisi daun pisang, beras berwarna tersebut memiliki kekhasan dalam tampilannya dan keunikan yang bernilai seni yang pada umumnya masyarakat di Kabupaten Wakatobi tidak pernah melihatnya terkecuali pada upacara/ritual duata etnik Bajo. Untuk mendapatkan warna yang diinginkan sandro menggunakan pewarna alami dengan tambahan kapur dan arang tempurung. Warna-warna tersebut disamping memberikan kesan indah dan perbedaan namun memiliki arti dan makna tersembunyi dibaliknya. Terkait dengan hal tersebut jika dikaitkan dengan pandangan manusia Bajo yang mengkonsepsikan alam sekitar sebagai ruang dan waktu yang di dalamnya terdapat benda-benda biotik seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan ikan yang terdapat di gunung, bukit, rawa, danau, sungai dan laut serta benda-benda nonbiotik yaitu air, tanah, api dan cahaya. Menurut keyakinan etnik Bajo, semua unsur yang ada dalam benda-benda nonbiotik terdapat di dalam diri manusia. Tanah adalah tubuh, api adalah nafsu amarah, air melambangkan kesabaran,
angin melambangkan nyawa, serta cahaya merupakan Nur Allah dan Nur Muhammad yang menjadi sumber penciptaan langit dan bumi beserta isinya, terutama anak manusia (Saad, 2009: 65). Pernyataan tersebut seperti yang diungkapkan oleh Djamrin (38 Tahun) sebagai berikut. “Bubura mirah adalah unsur api dalam diri manusia terbentuk beberapa unsur sifat dimana hawa nafsu amarah terkadang bisa menjiwai diri seseorang sehingga sifat-sifat tersebut harus bisa dinetralisir dengan unsur-unsur lainnya. Bubura puteh yaitu udara dimana jiwa manusia akan hidup jika memiliki nyawa. Tubuh manusia akan senantiasa bisa berpikir, begerak karena masih memiliki ruh. Bubura loo adalah unsur tanah, dalam tubuh manusia dibentuk dari segumpal tanah yang pada akhirnya jasad akan kembali pada asalnya. Bubura kuneh unsur air dalam hal ini air sebuah sifat kesabaran dalam diri manusia dan telo mano yaitu unsur cahaya yang merupakan satu kesatuan dari empat unsur tersebut (api, angin, tanah, dan air) sehingga tercipta manusia. (wawancara 6 Pebruari 2014). Ungkapan di atas dijelaskan warna-warna yang ada pada beras yang digunakan oleh dukun dalam ritual duata dimana memiliki simbol dan makna akan proses pembentukan manusia yang memiliki unsur-unsur seperti hawa/amarah, ruh (udara), tanah (jasad), dan cairan (air). Hal tersebut jika dikaitkan dalam konteks semiotika Geertz bahwa simbol-simbol yang tersedia dikehidupan umum sebuah masyarakat yang sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga masyarakat yang bersangkutan melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia mereka dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Etnik Bajo sangat meyakini bila seseorang memahami karakter keberadaan benda-benda biotik dan nonbiotik tersebut maka tidak mungkin malapetaka akan menimpa mereka dimana saja mereka berada, meski di tengah laut dengan ombak setinggi gunung disertai dengan angin kencang. Sebab angin kencang dapat diantisipasi dengan cara mengatur keluar masuk nafas, seperti
halnya emosi salah satu anggota keluarga dapat dikendalikan dengan menyiram api dengan air. Dengan cahaya atau nur ilahi dapat menyingkirkan berbagai bencana (Saad 2009: 66). Mencermati penuturan informan Djamrin di atas maka sejalan dengan pemikiran Geertz (Sibarani, 2012:106), bahwa hidup manusia penuh dengan lambang dan tanda (semiotika) yang disatu sisi membutuhkan usaha rekonstruksi pelambangan kehidupan manusia, tetapi disisi lain perlu dekonstruksi untuk memaknai lambang kehidupan tersebut. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang di dalamnya termasuk praktek sosial merupakan lambang semiotik yang mengekspresikan perasaan masyarakat komunitasnya. Selanjutnya pola makna ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik. Melalui bentuk simbolik ini manusia berkomunikasi, memantapkan dan mengemukakan bahwa tanda budaya merupakan sebuah jaringan yang sangat kompleks dari tanda-tanda, simbol-simbol, mitos-mitos, rutinitas, kebiasaankebiasaan yang membutuhkan pendekatan tertentu. Selanjutnya dalam menentukan isi (materi) yang akan dipersembahkan harus dilakukan oleh dukun begitupun dalam penataannya harus benar-benar tepat sesuai dengan keinginannya. Tidak sembarangan menempatkan materi sesajian, ini dimaksudkan agar persembahan yang kelak akan dilakukan sesuai dengan harapan para penguasa laut. Hal tersebut terlihat pada gambar 5.3.
Gambar 5.3 Dukun menentukan isi dari materi sesajian (Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014) Gambar 5.3 memperlihatkan proses penentuan dan penataan materi ritual duata yang berisi beras warna-warni, telur, daun sirih dimana penyusunan dan pembuatannya dilakukan sepenuhnya oleh sandro (dukun) kampung. Hal ini dimaksudkan karena dukun adalah orang yang memahami apa yang mesti dipersiapkan dalam melakukan ritual sehingga perangkat-perangkat isi dari sesajian pun tepat sesuai dengan harapan. Sebagaimana dijelaskan oleh teori semiotika Saussure (Hoed, 2008: 3) yang melihat tanda sesungguhnya sebuah pertemuan antara bentuk yang tercitra dalam kognisi seseorang dengan sebuah makna dan isi tentang apa yang dipahami manusia sebagai pemakna sebuah tanda (semiotika). Dalam hal ini ritual duata sebagai sarana untuk membangun relasi yang baik dalam hubungan manusia dengan sang pencipta serta kekuatan transenden lainnya. Dalam pertunjukkan ritual duata untuk pariwisata dalam hal ini buas bubu rinti tampak jelas perbedaannya dengan buas bubu rinti pada ritual duata
(sakral). Munculnya sajian beras dengan tampilan dan bentuk baru yang disajikan merupakan produk kapitalis yang menekankan unsur estetika dari pada nilai utilitas dari ritual duata. Dalam pertunjukan hal tersebut umum terjadi dimana ikon, tanda, simbol maupun barang diubah dengan maksud mengubah tampilan dengan estetika baru sehingga menarik untuk dinikmati. Hal tersebut tampak pada gambar 5.4.
Gambar 5.4 Materi Ritual Duata Pertunjukkan (pariwisata) (Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014) Gambar 5.4 menunjukkan perbedaan isi materi ritual duata khususnya beras yang disajikan dengan beras untuk saran ritual duata (sakral). Pada pertunjukan ritual duata dalam industri pariwisata mengalami perubahan dengan munculnya warna-warna baru (hijau, merah tua, dan nila) dengan cara penyajian yang berbeda. Jika dianalisa maka disini terlihat bahwasanya ada perbedaan ideologi yang dimiliki oleh produsen dalam memberikan penyajian materi ritual terhadap konsumen. Ideologi yang dimiliki produsen telah mengalami transformasi kedalam pemikiran kapitalis yang lebih menekankan aspek nilai jual dari pada aspek nilai esensi dari ritual duata. Tentunya nilai dan makna yang terkandung
dalam sarana ritual akan mengalami pemaknaan yang berbeda dalam ekonomi pasar. Perubahan materi ritual duata berupa beras warna-warni dengan tampilan yang berbeda tidak terlepas dari keinginan pasar. Tentunya sangat berpengaruh terhadap pemaknaan materi ritual baik bagi masyarakat pendukung materi maupun penikmat ritual duata. Dalam pemikiran kapitalisme hal tersebut tak jarang dilakukan demi mendapatkan nilai estetika tinggi sekiranya mampu menjadikan tampilan ritual mengundang daya tarik yang bisa dipertukarkan dengan mengharapkan keuntungan lebih. 5.1.2
Bendera (ula-ula) Bendera ula-ula merupakan simbol identitas etnik Bajo yang terbuat dari
kain berbentuk segit tiga yang merupakan interpretasi sebuah mitos berupa binatang raksasa (gurita) yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan etnik Bajo yang bisa membawa keselamatan atau musibah. Dalam kebudayaan etnik Bajo ula-ula biasa difungsikan pada saat prosesi adat, perkawinan, atau dalam pengobatan (wabah pennyakit). Hewan laut berwujud gurita (kutta) merupakan saudara kembar (kaka) yang terlahir bersama bayi (manusia) bersamaan dengan ari-ari (tomuni). Hubungan antara kedua makhluk yang berbeda alam ini terlihat ketika manusia (sama) mengalami sakit keras (piddi) atau dalam musibah di lautan (tenggelam) maka saudara (kutta) akan memberikan tanda terhadap masyarakat adanya musibah yang kelak menimpa penduduk. Ula-ula yang digunakan terdiri dari beberapa macam ada yang berwarna putih, merah, merah putih dan cokelat. Warna merah biasanya digunakan oleh
masyarakat untuk mengusir setan, baik yang berasal dari darat (noana/ mbo ma di dara) maupun di laut (mbo ma di lao). Ula-ula dengan panjang sisi satu meter dua puluh, terdiri dari tiga potong kain berbentuk segi tiga. Ujungujungnya yang lancip mengarah ke bawah dan dipasangi rumbai-rumbai. Bahan kain pembuatan ula-ula dibeli di toko tekstil oleh dukun dan mengggunakan jasa penjahit dalam menyatukan perpaduan warna dan bentuknya. Biaya yang dikeluarkan oleh sandro untuk mendesain bendera (ulaula) ± Rp 300.000 per lembar. Hal tersebut dituturkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut. “Ula-ula ini terbuat dari kain yang dibentuk meyerupai segitiga terbalik, fungsinya sebagai tanda kalau ada kegiatan di kampung, kain ini saya beli di toko terus saya bawa kepenjahit untuk dijahit sesuai dengan gambar yang aku buat. Harga kainnya waktu itu satu meter masih seharga Rp 30.000. Satu bendera ula-ula ini kalau dihitung ongkos jahit dan kainnya bisa mencapai Rp 300.000”.(wawancara 6 Pebruari 2014). Penuturan informan di atas menjelaskan bahwa bendera (ula-ula) memiliki makna akan sebuah kegiatan pada masyarakat Bajo. Ula-ula merupakan sebuah bendera yang terbuat dari kain yang didesain oleh dukun namun dalam pengerjaannya dukun memakai jasa penjahit untuk membentuknya sesuai dengan keinginan dan karakter bendera ula-ula dari leluhur sebelumnya. Berikut ini daftar harga masing-masing perlengkapan dalam ritual duata.
Tabel 5.1 Daftar Harga Peralatan Ritual Duata Nama Barang
Satuan
Harga
Ula-ula
1
Rp 300.000/lembar
Gendang
2
Rp 150.000/unit
Tawa-tawa
3
Rp 50.000/unit
Gong besar/kecil
1
Rp 100.000/unit
Palisier
5
Rp 2.000.000
Pakaian
8
Rp 50.000/lembar
Sumber: Data Primer,Wawancara 7 Pebruari 2014 Dalam menyusun konsep warna dalam budaya Bajo warna putih mewakili keadaan masyarakat yang menginginkan pengharapan lebih akan sebuah musibah yang menimpa masyarakat. Warna putih merupakan sebuah warna yang netral (polos) sehingga wabah penyakit (makhluk halus) yang mengganggu atau membawa malapetaka segera pergi meninggalkan masyarakat Bajo. Selain warna putih dijumpai pula ula-ula berwarna merah, kuning, merah putih, dan coklat. Semuanya memiliki fungsi yang sama yang membedakannya hanya dalam prosesi
pengobatan dan yang memutuskannya adalah dukun
sendiri mengenai bendera apa yang sebaiknya digunakan untuk menangkal pengaruh jahat dari setan pengganggu. Dalam interpretasi pemaknaan ula-ula dalam keyakinan orang Bajo merupakan sebuah simbol proses terbentuknya pergantian siang dan malam. Sejalan dengan apa yang dikatakan Pierce (dalam Dasrul, 2013: 26) bahwa sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili
sesuatu yang lain dalam beberapa hal dan kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan (interpretant) dari tanda yang pertama- pada gilirannya mengacu kepada objek (object). Dengan demikian sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan objeknya. Jadi, Pierce (Piliang, 2003: 226) melihat tanda (representament) sebagai bagian yang tak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretant). Interpretasi dari ula-ula merupakan simbol terjadinya pergantian waktu di Bumi. Hal tersebut diperjelas dengan penuturan Udin (47 tahun) sebagai berikut. “Ula-ula merupakan simbol falsafah budaya sama. Ula-ula merupakan bahasa simbolik untuk mengungkap dimensi realitas yang tidak diungkapkan melalui bahasa non simbolik. Ula-ula dikaitkan dengan mitos hubungan antara matahari dan bumi dimana bentuk bulat pada ulaula merupakan matahari sedangkan umbai-umbai tersebut merupakan pancaran cahaya menuju bumi sehingga pada perputaran bumi pada matahari menyebabkan adanya pergantian waktu. Setiap waktu matahari akan mempetakan bumi menjadi empat dimensi yang disimbolkan dengan empat warna ula-ula. Hari ketujuh merupakan tujuh pandang matahari pada bumi yang terjadi pada setiap saat. (wawancara 7 Pebruari 2014). Penuturan informan di atas memberikan penjelasan bahwa hari ketujuh dianalogikan sebagai tujuh titik simpul kekuatan sekaligus tujuh titik simpul kekuatan pada diri setiap pribadi. Hal ini menjadi landasan perhitungan waktu yang kemudian dipilah menjadi hari, bulan, tahun dan di dalamnya berlangsung proses perubahan (peristiwa) yang berintikan dua hal yaitu baik atau buruk. Dalam batas-batas tertentu hasil dari proses perubahan itu bisa diukur. Bendera (ula-ula) dalam kebudayaan etnik Bajo berkaitan dengan simbol-simbol yang dibangun oleh masyarakatnya. Simbol tersebut memiliki kaitan yang sangat erat
dengan konsep terciptanya manusia ke dunia. Tentunya hubungan-hubungan tersebut juga menunjukan adanya sebuah mitos yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya sehingga ada keterikatan masyarakat dengan sebuah mitos. Mitos-mitos tersebut hanya dapat hidup dan diwariskan melalui semacam kenderaan yaitu kenderaan bahasa dan tanda (Piliang 2012: 353). Bendera ulaula terlihat seperti gambar 5.5.
Gambar 5.5 Bendera kebesaran etnik Bajo (ula-ula) (Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014) Pada gambar 5.5 menggambarkan sebuah bendera kebesaran etnik Bajo (ulaula) berwarna p utih berbentuk segi tiga yang disimpan diujung tongkat dan dikaitkan pada buritan perahu (bido). Bendera ula-ula merupakan sebuah tanda/simbol akan sebuah peristiwa yang merupakan bagian dari produk budaya leluhur etnik Bajo. Sebagai suatu simbol/tanda tentu memiliki suatu maksud atau makna akan sebuah nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Pemaknaan terhadap simbol-simbol atau tanda-tanda atas benda-benda dalam ritual duata sebagai mana diungkapkan oleh informan di atas, sesuai dengan teori semiotika yang berorientasi pada pemahaman terhadap berbagai tanda dalam nilai-nilai budaya.
Piliang (Sobur 2003: 15), semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Berdasarkan dari penturan informan di atas, yang memberikan penafsiran terhadap berbagai simbol dari pelaksanaan ritual duata, sejalan dengan pendapat Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Setiap kebudayaan memiliki berbagai kekayaan mitos, yang hidup dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mitos-mitos tersebut hanya bisa hidup dan diwariskan melalui semacam kenderaan, kenderaan bahasa dan tanda. Dengan perkataan lain, mitos selalu menampakkan dirinya melalui tanda-tanda sebagai kenderaan semiotika (Piliang, 2012: 353). Selain
itu,
mitos
pada
perumpamaan atau metafora
sebuah
kebudayaan
berkaitan
dengan
yang digunakan oleh masyarakat untuk
menyampaikan berbagai pesan secara tidak langsung di dalam berbagai media ekspresi. Dalam hal ini mitos ula-ula yang dibangun oleh masyarakat Bajo menggunakan bendera berbentuk umbai-umbai sebagai perumpamaan pancaran sinar matahari yang menyebabkan pergantian waktu yang sangat berlawanan. Mitos tersebut merupakan sebuah paradigma masyarakat etnik Bajo yang masih diyakini sehingga memiliki fungsi dan keyakinan yang sama sehingga tercipta keharmonisan dan solidaritas sosial pada masyarakat etnik Bajo. 5.1.3 Kain Berwarna (palisier) Pada umumnya kain berwarna yang biasa mereka sebut palisier memiliki fungsi untuk memberikan kesan indah serta nuansa kesakralan secara adat
karena kain tersebut jarang digunakan terkecuali pada acara-acara khusus seperti, keselamatan, perkawinan dan acara-acara adat lainnya. Warna yang ada pada palisier juga terdiri dari empat warna sama halnya warna yang ada pada beras berwarna dan itu merupakan satu kesatuan yang saling mengikat. Hal tersebut tampak pada gambar 5.6.
Gambar 5.6 Palisier (Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014) Gambar 5.6 menunjukkan bahwa palisier dalam ritual duata atau upacara adat lainnya dilakukan pada saat-saat tertentu. Warna putih, merah, hitam dan kuning pada palisier umumnya digunakan pula pada materi sesajian berupa beras berwarna. Ini merupakan satu kesatuan antara yang dipersembahkan untuk di laut (keke) dan yang diperuntukkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (pappu/dewata). Tidak ada perbedaan karena bagi mereka yang diharapkan
adalah permohonan keselamatan bagi yang sedang diobati sehingga penguasa alam dan makhluk gaib lainnya sama-sama memberikan kekuatan. Palisier diproduksi oleh dukun sendiri yang mendesain dan memadukan warna sesuai dengan penggunaan warna yang digunakan oleh leluhurnya secara turun temurun. Bahan-bahan baku pembuatannya berupa kain berwaarna harus dibeli di pasar. Cara memproduksi palisier dituturkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut. “Jenis kain yang digunakan sebagai bahan dasar palisier dari kain katun, dulu aku membelinya seharga Rp 35.0000/meter. Jadi kalau dihitung setiap palisier berbeda-beda ukurannya, untuk palisier besar berukuran 10 x 15 meter, terus palisier sedang 5 x 10 meter untuk setiap warnanya membutuhkan ukuran 3 meter itu ada empat warna belum lagi kain yang menutup bagian pinggir itu ± 15 meter, yang jahit itu sama penjahit yang ada di pasar.(wawancara 7 Pebruari 2014) Tuturan di atas memberikan gambaran bahwa dalam pembuatan palisier membutuhkan bahan dasar kain yang begitu banyak tentunya biaya operasionalnya pun tinggi. Peran dukun dalam pembuatan palisier hanya mendesain gambar dan mengumpulkan bahan dasarnya, untuk membuatnya menjadi satu dibutuhkan jasa penjahit. Produksi palisier dilakukan secara konvensional yang membutuhkan tenaga, pikiran dan waktu jauh lebih banyak dalam pembuatannya. Dukun dan penjahit membangun kerja sama sehingga produk yang dihasilkan merupakan produk desain dukun dimana desain gambar merupakan hasil rancangan dukun sendiri. Berkenaan dengan itu, menurut Berry (Kebayantini 2013: 31) pemilikan merupakan salah satu aspek pembagian pekerjaan merupakan dasar hubungan kekuasaan. Oleh karena itu palisier bukan
hanya tidak diperjual belikan di pasar namun penjahit pun tidak diizinkan untuk memproduksi palisier persis dengan palisier yang dirancang oleh dukun sendiri. Tentunya dukun sebagai pihak yang memproduksinya memiliki kekuasaan dalam menetapkan biaya pemakaian sarana ritual. Memahami praktik produksi ritual duata yang begitu panjang memungkinkan pemikiran konsumen akan kepraktisan penggunaan sarana ritual yang telah disediakan oleh sandro. Konsumen tidak lagi memikirkan bagaimana menyediakan dan mendapatkan materi ritual duata melainkan kepraktisan yang telah disediakan oleh sandro. Di dalam fenomenologi (Kebayantini 2013: 35) inilah wilayah kepribadian yang berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan yang disebut dengan kesadaran praktis. Mengingat banyaknya perlengkapan yang akan digunakan dan lamanya penggunaan waktu dan tenaga dalam pelaksanaan ritual duata maka sandro akan menentukan bentuk dan patokan harga dalam pelaksanaannya. Patokan harga pada umumnya bervariasi tergantung siapa dan dimana ritual duata dipertunjukan. Khususnya dalam mengisi acara pemerintahan atau pariwisata biasanya pihak terkait/penyelenggara akan berkoordinasi dengan sandro. Biasanya ritual duata ketika diminta dipertunjukkan di gedung atau hotel, patokan harga berkisar Rp 7.000.000 sampai 15.000.000 tergantung jenis tampilan, materi ritual dan lama pertunjukan. Seperti yang diungkapkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut: “Ritual duata ini kalau tampil diacara pemerintah patokan harga mulai dari harga Rp 10.000.000 - Rp 15.000.0000, mengingat ritual ini banyak sekali prosesnya atau dekorasi yang digunakan terlebih penarinya dan tukang gendang serta biaya transportasi dan sebagainya sudah termasuk
di dalamnya. Biasanya pihak penyelenggara melakukan nego atas kecocokan harga dengan kami. (wawancara 7 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ritual duata dalam pertunjukannya dilakukan oleh sandro dan kelompok sanggar kesenian Bajo sebagai media perantara. Mengenai patokan harga ditentukan sebelumnya oleh sandro. Disini tampak bahwa ada pengaruh kekuasaan sandro sesuai dengan gagasan Marx dalam (Berry, 1983: 198) yang melihat kekuasaan bersumber dalam kegiatan produktif dari hubungan sosial yang terlibat dalam sarana produksi. Berbeda dengan ritual duata untuk konsumsi pengobatan biasanya sandro menentukan harga sesuai dengan kondisi yang dialami pasien. Alasan penggunaan waktu, materi ritual dan besarnya energi/tenaga (supranatural) yang digunakan sandro dalam mengkomunikasikannya dengan roh-roh tersebut merupakan bagian dari patokan harga. Dalam kasus seperti ini biasanya keluarga pasien akan melakukan upaya negosiasi harga sehingga memperoleh kecocokan. Namun ada juga keluarga pasien yang tidak cocok dengan harga sehingga upaya penyembuhan tidak dilakukan. Hal tersebut diungkapkan oleh Daud (47 tahun) sebagai berikut: “Kalau orang berobat dengan duata memang bajetnya sangat besar mulai dari harga Rp 3.000.0000 sampai Rp 7.000.000 ada yang sanggup ada juga yang tidak. Biasanya yang bajetnya besar jenis penyakitnya sudah sangat parah sekali dan memiliki resiko besar terhadap sandro” (wawancara 7 Pebruari 2014). Ungkapan di atas dianalisis bahwa terkadang bajet yang diberikan oleh sandro sangat memberatkan pasien sehingga keinginan atau harapan akan kesembuhan pasien bisa dinilai dari berapa kesanggupan dari pihak pasien. Pemutusan
hubungan ini dilakukan sepenuhnya oleh sandro sebagai pihak produsen karena tidak ada kesepakatan yang tepat dengan pihak konsumen. Produksi ritual duata untuk pertunjukan (hiburan) biasanya produsen memproduksinya dengan mendaur ulang kembali ritual duata yang sakral namun alat-alat yang digunakan masih alat yang sama yang berbeda adalah gerakan tarian, kostum, jumlah penari, tempat, materi sesajian, dan waktu pertunjukan. Dalam pengelolaan ritual duata dalam pertunjukan hak sepenuhnya untuk melakukan perubahan baik penambahan maupun pengurangan waktu atau lamanya pertunjukan sepenuhnya dilakukan dukun sekaligus seniman Bajo sebagai pemilik tradisi ritual duata. Penambahan atau pengurangan materi ritual atau estetika ritual duata ke dalam pertunjukan dimaksudkan agar tampilan ritual duata lebih menarik lagi sehingga memunculkan minat dan daya tarik bagi konsumen. Hal tersebut diungkapkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut. “Tentunya ritual duata yang sakral dan profan memiliki perbedaan. Tampak pada perbedaan isi sesajian ada yang dikurangi ada juga yang malah menambahkan dengan sesuatu yang baru, mengenai panggung terkadang mengikuti selera konsumen, jumlah penari dan gerakannya serta pakaian yang dikenakannya. Saya bersama dukun bersepakat untuk merubah tergantung konteks dimana ritual duata digunakan yang terpenting orang yang menikmatinya memahami dan tertarik untuk melihatnya. (wawancara 8 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa tanda atau komponen ritual duata yang memiliki nilai dan makna di dalamnya sengaja dirubah oleh produsen untuk mendapatkan tampilan yang baru guna mengundang selera penonton dan tentunya memiliki nilai guna (ekonomis). Sejalan dengan pemikiran Tester (2009: 84) komodifikasi adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit yang sebelumnya sebagai karya sakral untuk persembahan. Dengan kesadaran
penuh dan perhitungan yang matang dari seniman maupun konsumen diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang membutukan karya seni tersebut. Penggunaan palisier dalam pertunjukkan ritual duata untuk pariwisata sangat berbeda tampilannya dengan pertunjukan ritual duata untuk pengobatan (sakral). Terlihat dalam pertunjukan ritual untuk pariwisata nampak berbagai macam kombinasi warna yang dipadukan dengan berbagai macam warna yang memperlihatkan kesan kemeriahan atau kemewahan dalam proses jalannya pertunjukan ritual duata. Tikar yang terbuat dari daun pandan yang biasa digunakan dalam pengobatan diganti dengan menggunakan karpet yang lebih praktis. Terlihat pada pertunjukan ritual duata senantiasa mengikuti selera pasar dimana tanda-tanda, ikon maupun simbol-simbol diolah untuk bisa memperoleh nilai guna yakni keuntungan. Pernyataan tersebut terlihat pada gambar 5.7.
Gambar 5.7 Palisier dengan tampilan lebih meriah (Dokumen : Jukni 7 Maret 2012) Gambar 5.7 menunjukkan adanya perubahan tampilan materi-materi ritual (palisier) dari keasliannya sehingga menyebabkan komponen-komponen dalam
ritual mengalami perubahan yang lebih mewah yang menandakan praktek kapitalisme telah mengaduk-aduk nilai-nilai otentik sehingga mengarah kepada turbelensi budaya. Komodifikasi tanda dalam ritual duata terjadi karena permintaan pasar yang menyesuaikan dengan keinginan konsumen. Dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai utilitas atau nilai guna, akan tetapi untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar. Proses komodifikasi yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar, menurut Adorno dalam piliang (2011: 87) merupakan satu bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme. 5.1.4
Panggung (Pentas) Panggung (pentas) merupakan wadah dimana berlangsungnya sebuah
acara/kegiatan yang dengan sengaja dibuat untuk maksud dan tujuan tertentu. Dalam hal ini panggung dalam kaitannya dengan ritual duata yaitu sebuah tempat dimana ritual duata itu dilakukan. Pada umumnya ritual duata berlangsung di rumah warga yang membutuhkan pengobatan. Rumah etnik Bajo berada di atas permukaan laut berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu dan papan beratapkan rumbia (daun ijuk) atau kelapa. Hal tersebut dituturkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut. “Untuk pengobatan ritual duata sebenarnya tidak ada panggung makanya ada kain palisier ini untuk tanda saja, tapi untuk pertunjukkan maka kami buatkan panngung karena kejadiannya bukan sama lagi dengan di rumah, akan tetapi kami buat kadang di atas perahu atau di panggung permanen seperti di gedung.” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas menunjukkan bahwa dalam konteks pertunjukkan ritual duata, panggung didesain khusus dengan membuat perumpamaan sebuah rumah di atas laut atau mengikuti selera konsumen. Panggung bisa dilakukan di atas perahu bisa juga di atas pentas permanen dalam sebuah gedung, tergantung hajatan atau acara. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses komodifikasi ritual duata telah terjadi praktek pemalsuan identitas atau tanda. Dalam hal ini objek yang ditampilkan tidak sesuai dengan esensi ritual duata. Akibat dari penyesuaian akan unsur-unsur budaya lokal ke dalam industri budaya massa. Seperti yang dikatakan Piliang (2011:11) bahwa budaya massa merupakan kategori kebudayaan yang diciptakan untuk massa yang luas, sehingga oleh Adorno cenderung dilihat sebagai kebudayaan yang menghasilkan selera massal atau rendah. Jika dikaitkan dengan wacana kapitalisme estetika merupakan produk dari sistem percepatan produksi konsumsi akibat dari komodifikasi produk secara total (Piliang 2011: 165). Berkaitan dengan komodifikasi ritual duata, panggung merupakan modal estetik yang sengaja dibentuk, didesain seindah mungkin sehingga memiliki nilai estetika yang mengundang daya tarik. Terlebih terkadang komponen pendukung panggung seperti lampu dengan penataan yang begitu indah memberikan kesan meriah akan tampilan ritual duata. Hal tersebut ditunjukkan pada gambar 5.8.
Gambar 5.8 Panggung permanen (Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014) Pada gambar 5.8 memberikan penggambaran bahwasanya ritual duata yang bernilai sakral sebelumnya dilakukan di dalam rumah pasien namun dalam konteks pertunjukan ritual duata, panggung diubah mengikuti permintaan konsumen sebagai imitasi dari rumah panggung etnik Bajo. Fasilitas pendukung lainnya seperti lampu penerangan pada panggung menunjukkan bahwa panggung telah mengalami komodifikasi. Sesuai dengan konsep komodifikasi, dimana tanda, indeks, simbol yang sebelumnya bukan barang komoditas karena permintaan pasar diubah menjadi barang komoditi. Proses komodifikasi yang menjadikan panggung, pementasan bukan lagi menjadi objek utama yang dibeli dan mendapatkan nilai guna (sesuai fungsinya) melainkan dibeli (panggung digunakan) sebagai tanda suatu komoditas (Barker, 2005: 145-146). Tempat pementasan, panggung ditentukan melalui suatu proses pertukaran yang menandakan nilai sosial, status, dan kekuasaan dalam konteks makna budaya, yang mencirikan adanya suatu masyarakat konsumer, masyarakat komodifikasi.
Dalam budaya populer, suatu barang menjadi komoditi untuk dikonsumsi sebagai bagian dari kapitalisme konsumsi. Dalam hal ini tempat pementasan, panggung menjadi barang komoditi yang diciptakan kapitalisme sebagai bagian dari gaya hidup berkesenian. Menurut Sunardi (Robert 2010: 207) kapitalisme menciptakan massifikasi atau penyeragaman konsumsi, melalui berbagai indera perasa, pendengaran, penglihatan dan penciuman. 5.1.5
Pakaian (Busana) Pakaian atau busana merupakan sebuah benda berupa kain yang
berfungsi menutupi diri (aurat) dan melindungi diri dari perubahan cuaca serta penanda dari identitas diri. Pakaian yang dimaksudkan disini yaitu berupa kain yang sengaja dibuat untuk dipakai oleh perempuan Bajo dalam ritual duata. Umumnya pakaian yang digunakan perempuan Bajo berupa sarung adat berwarna gelap (ungu) yang diikatkan dibagian tubuh bagian atas (sejajar dada) sehingga bagian tubuh punggung tampak terbuka dengan sehelai kain (selendang) warna merah muda disempatkan di atas bahu. Busana yang digunakan dalam pementasan ritual duata disediakan oleh sandro. Namun terkadang demi memenuhi selera pasar tak jarang pula sandro harus meminjam pakaian di salon-salon kecantikan guna memenuhi permintaan pasar (konsumen). Pakaian khas etnik Bajo tampak pada gambar 5.9.
Gambar 5.9 Pakaian khas etnik Bajo (Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014) Pada gambar 5.9 terlihat pakaian khas etnik Bajo yang biasanya digunakan pada ritual duata. Umumnya pakaian mereka tampil sesederhana mungkin. Dalam pertunjukan ritual duata (hiburan) perubahan pakaian penari tampak sangat menonjol disesuaikan dengan selera dan kondisi era kekinian. Perubahan warna maupun ornamen-ornamen tambahan yang dikenakan penari ikut menghiasi diri penari seolah-olah memberikan kesan lebih meriah dan memiliki daya tarik bagi penikmat (konsumen). Perubahan tersebut sebagai bentuk kreativitas seni yang dihasilkan oleh produsen untuk membuat tampilan ritual duata lebih meriah. Pakaian penari yang telah mengalami perubahan telihat pada gambar 5.10.
Gambar 5.10 Pakaian yang sudah dimodifikasi (Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014) Gambar 5.10 menunjukan adanya perbedaan pakaian yang digunakan penari dalam pementasan. Hal ini terjadi karena permintaan pasar atau keinginan produsen agar tampilan ritual duata tidak monoton. Mereka mendaur ulang bentuk pakaian agar lebih menarik dan tampil dengan trend masa kini. Penyesuaian busana juga harus memperhatikan situasi dan kondisi dimana mereka tampil. Hal tersebut menunjukan bahwa perubahan tampilan dalam ritual duata berkaitan dengan gaya hidup (life style) demi mengikuti selera konsumen. Terkait dengan hal tersebut nampaknya perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh kultur kapitalis, tak lain merupakan bentuk manipulasi dan penguasaan yang secara total meresapi struktur psikis dan sosial Beilharz (dalam Suyanto 2013: 115). Di era perkembangan masyarakat yang didominasi kekuatan kapitalisme, sifat kapitalisme akan membawa masyarakat menjadi massa, artinya masyarakat dilebur dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu masif konsumsi. Ketika
persaingan antar kekuatan kapital makin kuat dan masing-masing berusaha mencari corak pasar baru dan berusaha memaksimalkan produksi serta keuntungan, maka yang terjadi adalah bagaimana mencari peluang pasar secara terus menerus, merawat loyalitas pelanggan, dan mencoba menawarkan produkproduk termasuk produk budaya secara masif. Komodifikasi bagi Adorno (dalam Piliang 2010: 87) tidak saja merujuk pada barang-barang kebutuhan konsumer akan tetapi merambat pada bidang seni dan kebudayaanya. Selain mengacu pada konsep pakaian khas etnik Bajo, pihak produsen juga menggunakan corak warna pakaian dan tata cara berpenampilan dari corak pakaian adat Buton pada umumnya. Seperti yang digambarkan pada gambar 5.11.
Gambar 5.11 Pakaian penari dengan sentuhan warna pakaian adat Buton (Dokumen: Asrif 6 Maret 2013) Pada gambar 5.11 terlihat penari duata menggunakan pakaian dengan kombinasi warna, kuning, hitam, merah dan putih dengan motif bergaris-garis yang memiliki kemiripan dengan corak pakaian adat khas perempuan Buton pada
umumnya. Pakaian tersebut sengaja didesain dengan mengambil sentuhan kultur budaya etnik Buton (Wakatobi) untuk menunjukkkan identitas etnik Bajo dari kepulauan Wakatobi. Hal ini dituturkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut. “Kami khususnya dari pihak produsen dan sanggar tari Bajo mendesain pakaian penari ini sesuai selera dan acara dimana mereka akan tampil. Ada beberapa koleksi pakaian yang kami desain khusus, seperti pada pertunjukan ritual duata yang diadakan di kampung Bajo sendiri maka kamu menggunakan corak identitas Bajo dengan motif-motif warna gelap tapi kalau untuk pertunjukan dalam kegiatan pemerintah atau pariwisata maka kami akan menggunakan pakaian dengan sentuhan etnik Bajo dan Buton biar ada kolaborasi identitas kami dengan etnik Buton (Wakatobi) disamping itu juga dengan perpaduan warna tersebut bisa mengundang daya tarik dan selera penikmat seni’ (wawancara 7 Pebruari 2014). Tuturan di atas menunjukkan bahwa pada segi pakaian yang digunakan pada ritual duata untuk pertunjukkan nampaknya produsen telah membuka diri untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan gaya hidup dan estetika warna yang dipengaruhi oleh permintaan pasar. Jika ritual duata dilakukan kampung Bajo maka mereka akan menggunakan sarung dan selendang tanpa menggunakan baju sedangkan pada pertunjukan pariwisata atau untuk acara pemerintah maka akan menggunakan berbagai macam pakaian dan warna-warna menarik. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kapital (selera pasar) mempengaruhi estetika masyarakat sebagaimana yang dinyatakan oleh Piliang (2012: 98) budaya global (kapital) masuk kesegala lini kehidupan masyarakat dunia tidak terkecuali pada bidang seni dan estetika masyarakat. Produsen mampu menempatkan posisi dan melihat kondisi pasar agar ritual duata tetap diterima oleh masyarakat pendukungnya dan para penikmat seni bisa menerima sesuai dengan harapan mereka.
5.1.6
Gerak Tari (ngigal) Gerakan tari pada ritual duata sebenarnya berupa gerakan-gerakan kecil
dengan kaki menjinjit secara bergantian (kiri kanan) mengikuti ketukan bunyi gendang sebagai pengiringnya. Gerakan tangan diarahkan ke kiri dan ke kanan dengan posisi kedua tangan searah memutari pasien yang diobati. Sebuah mitos dalam gerakan ini terkadang makhluk halus merasuki penari dan ikut menari sesuai dengan kehendaknya. Fungsi gerakan ini dimaksudkan untuk memberikan semangat hidup bagi pasien serta memanggil roh (arwah) pengganggu yang menyebabkan pasien sakit serta bentuk ucapan kegirangan ketika sang pasien dinyatakan sembuh. Hal tersebut dituturkan oleh Bakri (63 tahun) sebagai berikut. “Ngigal pada dasarnya sebuah gerakan-gerakan loncat secara halus disertai dengan gerakan tangan yang memegang kipas. Pada saat pasien dinyatakan sembuh maka keluarga pasien akan bersorak gembira sambil loncat-loncat dengan berbagai gerakan tangan” (wawancara 7 Pebruari 2014). Tuturan tersebut memberikan gambaran bahwa gerakan ngigal yang dilakukan pada saat berlangsungnya ritual duata merupakan gerakan penyemangat agar pasien tetap kuat melakukan selama prosesi ritual duata. Jiwa pasien yang lemah akan senantiasa dibangun dengan semangat dari keluarga atau kerabat pasien yang ada disekelilingnya. Agar tidak tampak sepi maka cara yang dilakukan keluarganya yaitu dengan menari-nari mengikuti bunyi-bunyian dari gendang dan gong. Pada gerakan tari (ngigal) tidak menutup kemungkinan
yang
melakukannya bisa laki-laki ataupun perempuan dengan jumlah tak terbatas.
Pada gerakan ini sandro juga ikut melakukannya dengan menggunakan keris mempertujukkan kelihaiannya dalam menari diikuti penari lainnya yang memegang kipas sehingga suasana nampak menjiwai. Hal tersebut tampak pada gambar 5.12.
Gambar 5.12 Gerakan tari (ngigal) (Dokumen: Dinas Pariwisata Wakatobi 7 Pebruari 2013) Gambar 5.12 menunjukkan bahwa gerakan tari dalam ritual duata memiliki kekuatan dan makna sehingga ritual duata lebih tampak dengan unsur-unsur magisnya. Namun dalam pertunjukan hiburan mengalami perubahan bentuk baik formasi maupun jumlah penari dan pada umumnya dilakukan oleh kaum perempuan Bajo. Banyak gerakan tambahan yang dimasukan atau pengurangan dalam tarian misalnya gerakan menggunakan selendang, kipas dan gerakan dalam posisi duduk. Perubahan tersebut memiliki alasan yakni tidak memberikan kesan monoton akan gerakan tangan dan kaki tapi dengan variasi
posisi penari saling berhadapan dan melingkar membuat suasana hidup dan menarik perhatian penonton. Dalam formasi gerakan terkadang satu penari memiliki peran ganda yakni sebagai dukun dan pasien tak jarang juga hanya gerakan-gerakan kaki dan tangan tanpa ada yang memainkan peran dukun yang menunjukan ada prosesi pengobatan misalnya pada acara penyambutan tamu. Disinilah letak perubahan yang sangat jauh dari kesan aslinya yang seharusnya bendera ula-ula yang menandai berlangsungnya ritual duata adanya di atas perahu namun dalam pertunjukan dipegang oleh penari. Nampaknya produksi ritual duata yang mengalami komodifikasi posisi dukun (sandro) sangat penting dalam mengubah struktur/bentuk ritual duata. Seperti yang diungkapkan oleh Djamrin (38 tahun) sebagai berikut: “Jadi pembentukan struktur ritual duata dalam pertunjukan duata maupun pengobatan, para seniman bekerja sama dengan sandro untuk menata ulang jalannya ritual. Sandro akan menentukan sendiri apa yang bisa dipertunjukan dan apa yang tidak boleh, karena mengingat ritual ini masih sangat sakral sehingga ada batasan untuk bisa dipertontonkan” (wawancara 7 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukan adanya relasi kerja sama antara seniman dan sandro dalam mengolah atau memproduksi ritual duata dalam bentuk produk baru. Struktur atau bentuk ritual duata sengaja dirubah dengan alasan menjaga esensi nilai kesakralannya. Nampaknya pada proses produksi sandro memiliki kekuasaan penuh dalam mendesain atau menciptakan desain baru dalam mendaur ulang ritual duata agar lebih menarik. Perubahan estetika bentuk gerakan dan pakaian ditunjukkan pada gambar 5.13.
Gambar 5.13 Gerakan tari (ngigal) yang mengalami perubahan (Sumber: Dinas Pariwisata Wakatobi 2014) Dalam proses mendaur ulang ritual duata kedalam kreasi seni sandro memiliki beberapa anggota sanggar yang berpartisipasi didalamnya. Untuk mendapatkan gerakan tari yang indah maka sandro meminta penata tari (koreografer) dan penata busana untuk memberikan kesan estetika sehingga benilai jual untuk di konsumsi oleh penikmat seni. Dalam masyarakat cara produksi semacam itu disebut hubungan produksi, yang menurut Marx (Berry, 1983: 200) hubungan produksi ini adalah hubungan sosial. Pada masyarakat kapitalis gagasan cara berproduksi tersebut menggambarkan hubungan antara pekerja dengan majikannya, peralatan, teman sekerjanya dan kegiatannya (Kebayantini 2013: 23). Hubungan sandro, dan pelaku seni (koreo dan busana) serta pekerja lainnya merupakan hubungan kerja yang saling melengkapi dengan keahlian masing-masing sehingga hubungan ini terjalin dari spesialisasi dan pembagian kerja sehingga tenaga kerjanya diberikan upah sejalan dengan
konsepsi Marx (dalam Kebayantini 2013: 23) hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat kapitalis tenaga kerjanya diupah uang. Seni pertunjukan pada umumnya salah satu bentuk produk budaya kekaryaan manusia yang berbasis pada kegiatan kreatif. Kesenian akan hidup jika ada kreativitas. Kreatif dalam membuat karya, kreatif dalam menggelar maupun
dalam
menyosialisasikan
dan
menghidupi
dirinya,
termasuk
menggalang dana dengan berbagai cara. Seniman dapat menjadi mesin uang dari industri, sebaliknya seniman dapat juga memanfaatkan dunia industri sebagai sarana promosi dan memasarkan diri dan karya-karyanya. Ritual duata dalam perkembangannya dari waktu kewaktu mengalami kesinambungan yang mengalami perubahan. Gencarnya arus globalisasi saat ini menimbulkan pertanyaan mengenai keberadaan tradisi yang merupakan kebudayaan adiluhung nenek moyang. Tidak dapat dihindari bahwa dalam kehidupan dan perkembangan seni tradisi utamanya seni-seni yang berkaitan dengan unsur tradisional selalu dihadapkan pada dinamika masyarakat dan zaman yang selalu berdampak pada sebuah perubahan karena pada dasarnya perubahan tersebut merupakan tanda-tanda kehidupaan akan tradisi tersebut. namun dilain pihak akan berimbas pada paradigma masyarakat akan esensi nilai kesakralan dan makna ritual dari ancaman polusi dan pengkaburan makna dalam tradisi tersebut. Sejak ritual duata dijadikan sebagai salah satu bentuk kesenian etnik Bajo tentunya mengalami banyak perubahan. Perubahan yang dimaksud mengikuti selera pasar. Apa yang pasar inginkan pastinya sandro bersama
seniman Bajo akan melakukan pembaharuan dengan melihat situasi dan kondisi dimana dipertunjukan sehingga waktu pelaksanaan ritual duata sekarang mengikuti waktu yang ditentukan oleh konsumen atau panitia penyelenggara. Hal tersebut nampak pada perubahan waktu yang digunakan sudah sangat berbeda dengan penggunaan waktu ritual duata yang original. Pada hal dengan perubahan waktu yang dilakukan tersebut banyak aspek-aspek ritual yang dikesampingkan sehingga menimbulkan pengaburan makna yang terkandung didalam prosesnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Udin (47 tahun) sebagai berikut. “Tentunya dalam penggunaan waktu ritual duata yang asli dengan yang sudah dijadikan pertunjukan tersebut sangat berbeda. Pada hal dengan adanya waktu yang lama tersebut ada bagian-bagian ritual yang semestinya ditampilkan namun karena dibatasi oleh panitia maka bagianbagian tersebut tidak ditampilkan yang pada akibatnya akan menimbulkan pengkaburan tanda atau makna ritual duata” (wawancara 8 Pebruari 2014). Ungkapan tersebut nampaknya ritual duata dalam pertunjukannya mengikuti selera pasar sehingga dari segi penggunaan waktu pelaksanaan pun sangat berpengaruh karena panitia memberikan batasan lama pertunjukan sehingga dengan keterbatasan waktu tersebut banyak bagian-bagian ritual yang dihilangkan bahkan dipersingkat sehingga tidak utuh seperti aslinya. 5.2
Distribusi Ritual Duata Distribusi dalam penelitian ini adalah usaha untuk menyalurkan dalam
arti memperkenalkan, mempromosikan tradisi lisan berupa ritual duata, agar dapat diketahui oleh masyarakat umum, termasuk wisatawan lokal dan wisatawan asing. Dengan diperkenalkan atau dipromosikan ritual duata pada
masyarakat luas akan mengundang ketertarikan dan berkeinginan untuk mengetahui lebih dekat bahkan mengonsumsinya. Dalam penelitian ini, pendistribusian ritual duata bukan hanya sebatas bagaimana ritual duata bisa sampai pada konsumen atau dinikmati oleh konsumen namun berkaitan dengan upaya bagaimana ritual duata bisa dikenali oleh masyarakat luas yang tidak melihat atau menikmati secara langsung. Fungsi distribusi, menurut Yoeti (1996:110), adalah sebagai penghubung antara produsen dan konsumen maupun pemakai. Disamping
itu,
dalam
pendistribusian
mendistribusikan produk jasa/barang kepada
tidak
hanya
konsumen namun
sebatas terjadi
pendistribusian ideologi dan kekuasaan dimana pemasaran dan promosi ideologi dibelakang produk-produk tersebut (Burton 1999: 38). Dalam pengertian ini orang yang mengkonsumsi ritual duata juga mengonsumsi kepercayaan yang diminati orang-orang yang mengosumsi ritual duata sebelumnya dalam artian ini merupakan sebuah prestise sendiri yang dicapai. Proses pendistribusian ritual duata dalam penelitian ini dibagi melalui dua hal yaitu (1) media massa dan (2) komunikasi lisan. 5.2.1 Media Massa Media massa dalam penelitian ini terkait dengan sebuah wadah/saluran komunikasi yang memberikan informasi secara luas kepada masyarakat dalam hal ini media massa digunakan sebagai sarana pendistribusian produk/jasa ritual duata. Media massa terbagi menjadi dua yaitu media elektronik dan media cetak.
Media elektronik merupakan sarana penyebarluasan berita dan informasi kepada khalayak luas, baik secara lokal, nasional, maupun internasional. Hal ini selaras dengan fungsi media massa sebagai lembaga siaran yang berkepentingan dengan penyebaran informasi dan bisnis serta upaya mempengaruhi opini publik internasional (Shoelhi, 2009). Dalam pendistribusin produk jasa/barang ritual duata bisa melalui iklan baik melalui internet, radio, koran, brosur, televisi, sehingga berkembanglah apa yang secara umum diberi label industri budaya. Iklan di media massa bukan lagi sebagai elemen pelengkap sistem industrialisasi dan kapitalisme melainkan telah menjadi salah satu instrumen paling vital. Dikatakan demikian karena iklan telah terbukti mempunyai kekuatan dahsyat untuk membujuk nafsu dan hasrat (desire) konsumen terhadap produk barang ataupun jasa melalui serangkaian asosiasi ideologi citra yang dibangunnya (Kebayantini, 2013: 63). Iklan sebagai media perantara cukup efektif bisa dikonsumsi oleh masyarakat khususnya produk budaya ritual duata sejauh ini hanya pada iklan pariwisata yang dilakukan oleh dinas pariwisata Kabupaten Waktobi pada televisi serta internet untuk memberikan informasi layanan jasa pariwisata dan mensosialisasikan potensi budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Wakatobi sehingga masyarakat memahami dan ikut serta dalam mengonsumsi, melestarikan dan mengembangkan produk budaya lokal. Seperti yang dituturkan oleh Djamrin (38) sebagai berikut. “Untuk sekarang ini, yang saya ketahui bahwa ritual duata telah dikenal oleh masyarakat luas waktu itu saya melihat ditayangan iklan pariwisata Wakatobi di televisi lokal dan di internet sehingga kami juga bangga
bahkan mau berbuat lebih lagi untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Bajo khususnya ritual duata ini” (wawancara 5 Pebruari 2014). Penuturan Djamrin tersebut menggambarkan bahwa peran iklan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerhati tradisi sangat membantu dalam usaha pelestarian dan pemberian informasi sekaligus memperkenalkan kebudayaan Bajo dimasyarakat luas yang pada akhirnya orang ataupun wisatawan mau dan tertarik ingin melihat kebudayaan Bajo di Kabupaten Wakatobi. Peryataan tersebut seperti pada gambar 5.14.
Gambar 5.14 Promosi ritual duata melalui intenet (Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014) Gambar di 5.14 menunjukkan bahwa ritual duata dalam pendistribusiannya menggunakan media internet dalam mengiklankannya. Internet dijadikan alat untuk mendukung pemasaran produk budaya etnik Bajo agar masyarakat luas bisa mengenali dan tentunya ada keinginan untuk lebih mengenali ritual duata lebih dekat lagi. Iklan merupakan bagian teknik komunikasi. Iklan tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar dengan citra bergerak (motion picture), warna dan bunyi-bunyi dimana
perpaduan keseluruhan akan menghasilkan komunikasi periklanan yang efektif (Mulyana, 2007:68). Iklan mendesain berbagai macam tanda yang mengandung pemaknaan sehingga masyarakat mau dan berkeinginan untuk mengonsumsi tanda lewat media tersebut. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Piliang (2003) bahwa pada era post-industri media terlibat dalam mempengaruhi makna yang termuat dalam objek-objek seni melalui proses komunikasi. Media bahkan disebut sebagai bagian dari kekuasaan yang menentukan proses produksi-konsumsi objek-objek estetik. Objek-objek seni yang merupakan bagian dari kebudayaan materi yang diproduksi dan dikonsumsi kemudian dijadikan alat untuk menyampaikan makna-makna dan kepentingan-kepentingan sosial yang ada dibelakangnya. Media, khususnya media elektronik tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada dibalik media tersebut. Di dalam perkembangan media mutakhir, ada satu kepentingan utama dibalik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest). Iklan telah terbukti mempunyai kekuatan dahsyat untuk membujuk hasrat konsumen terhadap produk melalui serangkaian ideologi citra yang dibangunnya. Sejalan dengan Kasiyan (dalam Kebayantini, 2010: 186) Iklan dipahami sebagai aktivitas penyampaian pesan-pesan visual kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau mempengaruhi mereka untuk membeli produk barang dan jasa yang direproduksi. Iklan dirancang sebagai penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak tertentu, untuk menerima penawaran produk dengan mengeluarkan biaya.
Iklan televisi menarik bagi konsumen karena keunggulannya menyajikan audio dan visual secara bersamaan. Televisi sebagai media periklanan, merupakan salah satu media yang paling mudah untuk mempromosikan produk barang dan jasa kepada masyarakat. Dalam iklan banyak permainan tanda yang pada prosesnya harus diinterpetasikan sehingga tanda tersubut mempunyai makna yang mudah dipahami oleh masyarakat. Dalam hal ini komodifikasi ritual duata
dikemas
dalam
iklan
penuh
dengan
permainan
tanda
dalam
mempromosikannya. Iklan sebagai proses pertukaran tanda dan makna adalah sistem tanda terorganisir menurut kode-kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap dan juga keyakinan tertentu. Setiap pesan dalam iklan ada dua tingkatan makna yang dinyatakan secara eksplisit di permukaan dan makna yang dikemukakan secara implisit di balik permukaan iklan. Dengan demikian, semiotika menjadi metode yang sesuai untuk mengetahui kontruksi makna yang terjadi dalam iklan dengan menekankan peran sistem tanda dengan konstruksi realitas, maka melaui semiotika ideologi- ideologi dibalik iklan bisa dibongkar. Iklan dalam perkembangannya di era post modernisme bukan sekedar pengumuman ringan, penyebarluasan informasi, dan promosi barang dan jasa namun iklan dijadikan sebagai organisasi bisnis bagi kaum kapitalis. Di negara manapun kehadiran dan peran iklan telah menguasai seluruh lapisan komunikasi di media massa sehingga keduanya tidak bisa hidup tanpa iklan. Dengan menguasai media dan merekayasa citra melalui iklan, seseorang yang dekat dengan media massa akan mampu dengan mudah masuk kedalam pasaran.
Dengan perantaraan iklan melalui media massa maka kekuatan kapitalis dengan mudah akan memperkenalkan produk barang/jasa mereka hasilkan ke pasar, menggambarkan sesuatu janji atau keunggulan sebuah barang/jasa yang sering kali berlawanan dengan kenyataan namun justru disinilah sebenarnya letak kekuatan iklan. Sesuai dengan pendapat Kasiyan (dalam Suyanto, 2013: 231) iklan tidak hanya menyajikan sebuah fungsi (use value), melainkan juga menekankan janji atas nilai. Selain media massa yang digunakan dalam pendistribusian ritual duata juga digunakan media cetak yang mengutamakan pesan-pesan visual, dan umumnya media ini berbentuk lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto bagian-bagian yang menarik dari produk tersebut. Media cetak jenis ini terutama berbentuk surat kabar, brosur, dan selebaran seperti pada gambar 5.15.
Gambar 5.15 Koran dan Brosur dalam pendistribusian ritual duata (Dokumen: Kantor Desa Mola Selatan 2014)
Media sebagai sebuah diskursus sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan kesalingberkaitan antara bahasa yang digunakan di dalamnya, pengetahuan yang melandasinya, dan bentuk-bentuk kepentingan yang beroperasi dibaliknya. Dengan kata lain, media tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang membentuknya, yang pada akhirnya mempengaruhi bahasa yang digunakan dan pengetahuan yang dihasilkan (Piliang, 2009 : 134). Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu para realitas di dunia nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realias kedua yang refrensinya adalah dirinya sendiri yang disebut simulakra. Simulakra tampil seperti realitas yang sesungguhnya, pada hal ia adalah realitas artifisial, yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi, sehingga pada tingkat tertentu realita media ini dipercaya lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya (Piliang, 2009 : 141). Ritual duata sebagai produk budaya dipromosikan melalui media massa cetak. Hal ini memperjelas bahwa disisi lain pengaruh modernisasi berdampak positif bagi kelangsungan dan perkembangan budaya lokal yang semakin terpinggirkan atau terancam punah. Promo media semacam ini cukup efektif untuk digunakan mengingat manusia memiliki keterbatasan dalam mempromosikannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Piliang (2012: 63) objek seni dalam kebudayaan moderen dan post modern merupakan dari kebudayaan materi. Produk seni tidak hanya diproduksi, dikonsumsi namun juga didistribusikan melalui media khususnya dalam bentuk iklan atau koran.
Sekiranya melalui media massa ritual duata mampu menjadi sebuah prodak kesenian disamping bernilai jual juga bisa menjadi benteng pemertahanan tradisi yang hampir punah, melalui pendokumentasian kiranya generasi muda penerus tradisi khususnya masyarakat Bajo mampu mewarisi dan memahami nilai-nilai yang telah dibangun oleh leluhur sebelumnya. Disinilah bagian-bagian keterkaitan antara budaya tradisional dan budaya moderen yang saling bersinergi, saling mengisi dan membutuhkan. Tradisi lokal bisa dikembangkan keruang lingkup budaya moderen dengan berbagai kreativitas dalam memproduksi, mendesain atau mengembangkannya sehingga mampu menjadi sumber nilai baik secara ekonomi maupun dalam plestarian budaya pada konteks era globalisasi. 5.2.2 Komunikasi Lisan Komunikasi lisan atau verbal atau juga disebut “the word of mouth” yang diungkapkan Kasiyan (dalam Kebayantini, 2010: 194) merupakan salah salah satu cara untuk membantu kelancaran jual beli dalam masyarakat yang masih sangat sederhana. Meskipun demikian sampai saat ini cara tersebut ternyata masih bertahan dan masih sering digunakan baik secara disengaja maupun tidak. Komunikasi lisan masih cukup efektif sebagai cara penyampaian atau menginformasikan ritual duata yang diproduksi sehingga diketahui oleh masyarakat secara umum. Komunikasi lisan dapat terjadi karena disengaja ataupun tidak dan bisa terjadi antara pihak produsen dengan anggota masyarakat atau antar anggota masyarakat.
Dalam kaitannya dengan distribusi ritual duata maka langkah yang biasa dilakukan oleh produsen ataupun konsumen yaitu dengan cara bertemu langsung dan masing-masing melakukan berbagai macam cara agar keinginan kedua pihak sama-sama diuntungkan. Biasanya pihak produsen sebelumnya melakukan sosialisasi secara lisan dengan masyarakat Bajo sendiri akan nilai-nilai dan fungsi ritual duata. Masyarakat Bajo yang memahami manfaat dan pentingnya ritual duata tersebut melakukan hal yang sama kepada orang lain, kerabat, keluarga ataupun dimana saja mereka berada dengan maksud agar kebudayaan Bajo dikenal orang banyak dan memahami esensi dari ritual duata sendiri. Informasi tersebut didapatkan dari mulut kemulut sehingga rasa penasaran akan kebenarannya membuat orang mau melihat bahkan mengkonsumsi ritual duata untuk berbagai kepentingan. Seperti yang diungkapkan oleh Romi (40 tahun) sebagai berikut. “Saya sendiri orang di darat (bukan Bajo) mengetahui akan adanya cerita ritual duata dari teman-teman didekat rumah katanya di Bajo itu ada dukun yang bisa mengobati orang dan rata-rata sembuh, saya penasaran maka aku mencoba kerumah dukun itu nampaknya dirumahnya banyak orang datang berobat dengan berbagai macam keluhan dan menurut informasi yang saya dapatkan dari pasiennya rata-rata bisa disembuhkan apapun jenis penyakitnya. (wawancara 7 Pebruari 2014) Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa komunikasi lisan yang dilakukan dari mulut ke mulut memberikan pengaruh besar terhadap penyebaran informasi ke masyarakat. Melalui komunikasi lisan yang dilakukan oleh dukun terhadap pasien memberikan pemahaman baru akan nilai-nilai ritual duata. Konsumen yang paham dan merasa penting untuk diketahui orang banyak maka konsumen akan melakukan komunikasi lisan ke konsumen lainnya.
Kebudayaan sebuah masyarakat juga tak bisa dipisahkan dari komunikasi. Komunikasi penting bagi kelangsungan hidup manusia. Melalui komunikasi kita membangun budaya, dan ketika kita berkomunikasi, kita berkomunikasi secara budaya Lull (dalam Ibrahim: 2007: xx). Melalui komunikasi ideologi budaya bisa menyelinap kepemikiran masyarakat melalui pemahaman atau cara pandang tentang kebudayaan tersebut. Dalam komunikasi lisan ide-ide atau gagasan nilai yang dimiliki dukun dengan pemahamannya tentang ritual duata bisa dikonsumsi pula sebagai sumber informasi penting bagi masyarakat pemilik/pendukung tradisi ritual duata. Tidak hanya produk dalam bentuk barang (benda) tapi ide-ide atau gagasan berupa petuah, nilai-nilai kearifan lokal pun bisa dijadikan sebagai sesuatu yang dikonsumsi dalam pemahaman konsep religi. Dukun selaku pemilik ritual duata memiliki kekuatan/ideologi kuat dalam mengembangkan ritual duata. Melalui pengetahuan akan nilai-nilai dalam ritual duata mampu menguasai masyarakat Bajo. Sebagai orang yang memiliki kemampuan lebih tidak memutup kemungkinan pola pemikirannya dipengaruhi ide-ide manusia moderen yang mampu merubah sesuatu barang yang sebelumnya bukan untuk diperjual belikan menjadi sesuatu yang bernilai jual. Seperti halnya dalam komersialisasi ritual duata tentunya sandro sebagai manusia akan mengalami perubahan pola pikir untuk mengembangkan ritual duata kedalam industri budaya kreatif guna menopang kehidupan ekonomi. Pengaruh globalisasi dalam bidang ilmu pengetahuan yang semakin maju, ditandai dengan berbagai macam produk kesenian yang berasal dari
budaya tradisional telah dikonsumsi oleh masyarakat melalui media massa. Tentunya akan mendorong masyarakat yang memiliki produk budaya lokal untuk mengembangkannya sehingga bisa mendapatkan keuntungan (nilai guna). Berpikir tentang budaya sebagai aktivitas komunikasi dengan jitu mencampurkan aspek-aspek abadi dengan unsur-unsur yang dimediakan, yang lebih dinamis. Oleh karena itu bentuk-bentuk budaya telah menjadi bersifat simbolik, termediakan, sintetis, dan bergerak, seperti halnya dinamika produk media dan artefak budaya populer itu sendiri (Ibrahim, 2007: xxi). Komunikasi
lisan
merupakan
karakteristik
manusia
dalam
mengungkapkan ide-ide atau maksud tertentu berupa kata-kata agar keinginan dan harapannya orang lain memahami dan mau berinteraksi. Tentunya pemikiran atau ide-ide itu berasal dari pemikiran produsen sehingga yang menyampaikan pesan secara lisan tersebut mengadopsi maksud dengan menambahkan berbagai gaya penyampaian pesan sehingga mampu membuat orang tertarik. Komunikasi lisan yang dilakukan dalam pendistribusian ritual duata ke masyarakat luas memberikan pengaruh yang begitu besar mengingat sarana tekhnologi komunikasi yang moderen tidak semua masyarakat memilikinya sehingga dengan komunikasi lisan mampu memberikan penyebaran informasi budaya yang efektif bagi masyarakat etnik Bajo. Dalam komunikasi lisan seperti inilah terkadang ideologi-ideologi produsen menyelinap dalam pemikiran konsumen sehingga tertarik dan mengkonsumsi ritual duata. 5.3
Konsumsi Ritual Duata
Konsumsi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai kegiatan yang bertujuan menghabiskan suatu barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung, tetapi juga seperti yang dinyatakan Piliang (2005: 189) mengandung makna tertentu, merupakan tindakan penggunaan simbol untuk menandai posisi sosial tertentu. Berkenaan dengan itu konsumsi ritual duata ditekankan pada analisis bagaimana ritual duata dikonsumsi atau digunakan dalam arti dilaksanakan oleh para konsumennya untuk memenuhi kebutuhan rohani serta menunjukan identitas status tertentu. Membicarakan proses konsumsi ritual duata erat kaitannya dengan hukum pasar dimana produk yang dihasilkan termasuk produk ritual duata akan dipengaruhi oleh keinginan pasar atau ideologi pasar. Ideologi pasar menurut Atmaja (2005: 123) yang disebutnya ‘Agama Pasar’ sebagai salah satu sistem kepercayaan yang mengagungkan pasar sebagai media utama bagi pemenuhan segala kebutuhan manusia. ‘Agama Pasar’ tujuannya mengalihkan modal budaya, mengalihkan tradisi ritual duata menjadi modal ekonomi. Disini peneliti melihat dua bentuk konsumsi yakni (1) konsumsi ritual duata untuk pengobatan (2) Konsumsi ritual duata untuk pariwisata (hiburan). 5.3.1
Konsumsi Ritual Duata Untuk Pengobatan Sesuai dengan fungsinya ritual duata etnik Bajo digunakan dalam hal
upaya penyembuhan penyakit. Dalam prosesi pengobatan melalui ritual duata masyarakat menyampaikan maksud keinginan mereka melalui komunikasi lisan dan teknologi komunikasi (telepon) dengan sandro agar bisa melakukan pengobatan. Banyak hal yang dipersiapkan oleh sandro dalam prosesinya mulai
dari meracik sesajian sampai tahap pelarungan sesajian di laut. Pada proses konsumsi, praktik pengobatan bisa dilakukan di rumah pasien ataupun di rumah sandro. Konsumen hanya akan menunggu arahan dari sandro hal-hal apa yang perlu mereka persiapkan. Disini nampak pola kerja sama antara pihak produsen (sandro) dan pihak konsumen (pasien) dalam melakukan upaya pengobatan. Dalam proses konsumsi, semua sarana ritual dipersiapkan oleh sandro mulai dari pemasangan palisier sampai pada pelarungan sesajian di laut di bawah perintah dukun. Dalam hal ini sandro memiliki kekuatan dan kekuasaan besar dalam menjalankan prosesi ritual duata. Segala sesuatu yang berkaitan dengan persoalan ritual duata harus di bawah pengawasan sandro. Sandro sebagai oarng yang dipercaya mampu melakukan interaksi dengan makhluk gaib dengan kekuasaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat Bajo mampu membuat pola pikir masyarakat etnik Bajo untuk lebih meyakini keberadaan leluhur dan roh-roh halus lainnya. Seperti yang dikatakan Faucoult dimana menempatkan kuasa diperoleh dengan menguasai pengetahuan. Kekuasaan yang dimaksud adalah pengetahuan yang dimiliki oleh dukun ritual duata sehingga dengan pengetahuannya tersebut bisa menguasai masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki dukun bisa membuat orang percaya dan mau mengkonsumsi dengan melakukan upaya penyembuhan penyakit dengan ritual duata sehingga konsumen tunduk dan patuh dengan ideologi yang dimiliki oleh sandro. 5.3.2
Konsumsi Ritual Duata Untuk Pariwisata Hakekat konsumsi bukan hanya merupakan objek kepuasan dan
kesenangan individu, melainkan seluruh arena kehidupan manusia sehari-hari
(Baudrillard, 2009:18). Konsumsi terkait dengan hasrat atau keinginan individu, maupun kolektif terhadap suatu objek sebagaimana komentar Ritzer berikut terhadap pandangan Baudrillard tentang konsumsi. Bagi Baudrillard konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli berbagai komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi objek. Konsumsi berada dalam satu tatanan pemaknaan pada satu panoply objek, satu sistem, atau kode, tanda, “satu tatanan manipulasi tanda”, manipulasi objek sebagai tanda, satu sistem komunikasi (seperti bahasa) satu sistem pertukaran (seperti kekerabatan primitif) satu moralitas, yaitu satu sistem pertukaran ideologis, produksi perbedaan, satu generalisasi proses fashion secara kombinatif”, menciptakan isolasi dan mengindividu, satu pengekang secara bawah sadar, baik dari sistem tanda dan dari sistem sosio-ekonomi-politik dan satu logika sosial. Praktik konsumsi dalam penelitian ini dimaksudkan bahwa ritual duata sebagai pertunjukan pariwisata. Konsumsi ritual duata dilihat bagaimana ritual duata dikonsumsi oleh para konsumennya dalam sebuah hiburan para wisatawan (asing, nusantara) yang mengonsumsi ritual duata secara umum bertujuan untuk kebutuhan hiburan dan untuk mendapatkan kesenangan. Perubahan tersebut sesuai dengan pendapat Piliang (Safarudin, 2010: 140) bahwa kapitalisme global telah memangsa apa saja (artinya menjadikan komoditi apa saja) mulai dari hiburan, olah raga, pendidikan, informasi, kesehatan, hingga kebugaran, kepribadian, mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan hingga ilusi, halusinasi, dan
fantasi demi keberlangsungan perputaran kapital, demi menggelembungnya kapital. Jika dilihat dari segi waktu pelaksanaan ritual duata dilakukan sewaktu waktu jika ada anggota masyarakat membutuhkannya. Dalam pelaksanaan ritual duata, dukun selaku produsen berhak menentukan kapan prosesinya dilakukan dengan melihat situasi dan kondisi. Sementara itu, dilihat berdasarkan tempat dan keterlibatan konsumennya sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang (Pebruari 2014) masih dilakukan jika ada yang menginginkan namun dalam pertunjukan seni ritual duata dilakukan jika ada kunjungan tamu wisatawan yang berkunjung keperkampungan Bajo bahkan dalam acara penyambutan tamutamu di Kabupaten Wakatobi. Konsumsi yang pada saat sekarang tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai kegiatan yang bertujuan menghabiskan suatu barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung, tetapi juga mengandung makna tertentu, yaitu tindakan menggunakan simbol untuk menandai posisi sosial tertentu (Piliang, 2004:189) yang oleh Douglas & Isherwood (Abdullah, 2006:32) disebut sebagai penanda identitas. Terkait dengan hal tersebut adalah konsumen yang mengonsumsi ritual duata. Karakteristik konsumen sangat beragam baik dilihat dari daerah asal/desanya, pendidikannya, status sosial tradisionalnya, maupun status sosial ekonominya. Konsumennya juga bisa bersifat orang perorangan, lembaga tradisional baik yang ada di desa Mola Selatan maupun di luar sampai pada hotel-hotel yang menginginkan pertunjukan duata sebagai hiburan para tamu.
Dibalik tindakan konsumen yang mengonsumsi ritual duata memberi petunjuk tentang identitas konsumennya. Ketika konsumen menggunakan ritual duata
dengan tampilan yang begitu meriah maka seringkali diidentikkan
sebagai orang yang terpandang dan digambarkan sebagai orang glamour. Hal tersebut seperti pendapa Baudrillard (Wijaya, 2007), menjelaskan fenomena era Postmodern, dimana masyarakat lebih mengutamakan simbol dan citra sehingga konsumsi adalah usaha memenuhi keinginan (want) ketimbang kebutuhan (need). Kultur konsumerisme adalah sebuah propaganda kaum kapitalis. Ini sejajar dengan apa yang dikatakan oleh Adorno bahwa kebudayaan juga diorganisasi dan dikendalikan oleh sistem administrasi industri. Penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme membangun kesadaran palsu dalam mengkonsumsi barang dipertegas oleh Fairclough (1995) bahwa proses konsumsi menyangkut bagaimana barang didistribusikan dan dikonsumsi. Kaum kapitalis tidak lagi mencari keuntungan dari nilai guna (utility value) suatu barang melainkan dari nilai tukarnya (exchange value). Victor Lebow seorang Retail Analyst (dalam Boot, 2008) mengatakan bahwa budaya konsumsi adalah agenda kaum kapitalis. Konsumerisme merupakan sebuah trend global yang menyebar keseluruh penjuru dunia melalui agen-agen kapitalis. Bahkan kekuatan konsumen menjadi energi sosial yang sangat kuat dalam merubah struktur masyarakat. Konsumen global saat ini memiliki bargain position yang mempengaruhi keputusan dalam proses produksi. Oleh karena itu kaum kapitalis segera mengambil posisi untuk
merekayasa struktur masyarakat konsumtif melalui manipulasi hasrat lewat penciptaan citra dan imaji. Tujuannya adalah merangsang lahirnya kebutuhankebutuhan palsu untuk kemudian dikonsumsi secara membabi-buta. Akhirnya tampaklah belanja dan konsumerisme sebagai gaya hidup kekinian masyarakat kontemporer. Menurut Piliang (2004) transformasi aktifitas ekonomi manufaktur menuju ekonomi hasrat (libidinal economy) telah menular kesetiap tempat bahkan untuk tempat yang paling privat sekalipun. Hasrat atau libidinal adalah konsepsi yang berarti hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya immaterial, berupa citraan, status, kelas sosial, prestise, pujian, dan hal-hal immaterial lainnya. Ekonomi hasrat oleh Baudrillard dijelaskan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan perkembangbiakan dan naturalisasi hasrat dimana apapuun diproduksi, apapun normal, apapun nyata. Lyotard (1994) mengganggap bahwa ekonomi libido dalam budaya konsumerisme memanfaatkan potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam diri individu tanpa takut akan tabu dan adat, gunakan dan pertotonkan sebebas bebasnya keindahan-keindahan penampilan, busana, kepribadian, wajah dan tubuh untuk membangkitkan gairah perputaran modal.
BAB VI FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Uraian dalam bab ini difokuskan pada faktor penyebab komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Ada beberapa faktor penyebab ritual duata mengalami komodifikasi diantaranya berupa sikap terbuka, kreativitas masyarakat, media massa, ekonomi dan pariwisata. 6.1
Sikap Terbuka Sikap terbuka yang dimaksud dalam penelitian ini adalah transformasi
nilai-nilai yang bersumber dari luar konteks budaya lokal etnik Bajo yang terjadi melalui kontak budaya (akulturasi) dengan kebudayaan lain. Secara jelas perubahan yang diinginkan adalah sebuah kemajuan. Dalam hal ini para sosiolog menyebutkan ada empat faktor penyebab perubahan sosial yaitu lingkungan alam, perubahan penduduk, isolasi dan kontak sosial, serta struktur suatu budaya. Perubahan yang terjadi pada masyarakat Bajo adalah perubahan yang bersumber dari keterbukaan sikap masyarakat akan menerima berbagai macam penyesuaian sehingga mereka mampu hidup berdampingan dengan kehidupan masyarakat moderen. Penyesuaian-penyesuaian tersebut merupakan sebuah rentetan proses yang panjang dimana ideologi-ideologi baru dan berkembang pada era globalisasi sekarang merasuki budaya lokal sehingga memungkinkan
perubahan pola pikir masyarakatnya untuk bisa berbuat sesuatu yang lebih dengan maksud mendapatkan nilai guna. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama dalam waktu yang berbeda, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern (Garna, 1992 : 1-2). Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut. “Terjadinya perubahan ritual duata ke dalam seni pertunjukkan tidak terlepas dari adanya akulturasi budaya serta keinginan masyarakat Bajo untuk mengembangkan ritual duata sebagai kesenian, bukan hanya dipandang sebagai ritual duata yang sakral namun bisa pula dijadikan sebagai atraksi seni seperti tari-tarian ataupun pertunjukkan budaya sehingga bisa menjadi sebuah tuntunan dan tontonan yang bernilai dan ini juga merupakan tindakan penyelamatan budaya dan ajang promosi budaya Bajo ke masyarakat luas dan mampu mensejajarkan diri dengan atraksi budaya yang ada di daerah lainnya”. (wawancara 7 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa perubahan ritual duata sakral ke arah profan tidak terlepas dari akulturasi budaya serta keinginan dari masyarakat pendukung kebudayaan Bajo untuk bisa mensejajarkan diri seperti kebudayaan lainnya. Perubahan tersebut tentunya dilakukan dengan kesadaran yang rasional sehingga harapan dari masyarakat etnik Bajo bisa tercapai. Dengan tindakan-tindakan yang dianggap rasional ini, masyarakat bergerak
dengan
sejumlah
tindakan
untuk
memuaskan
kebutuhannya,
diantaranya dengan memproduksi, mengkonsumsi, dan mendistribusikan barang atau jasa dari ritual duata dengan berbagai macam kepentingan. Praktek seperti ini yang memungkinkan adanya praktek komodifikasi dalam kebudayaan. Komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh pelaku ekonomi, masyarakat
lokal pun berpotensi karena mereka mempunyai hak untuk melakukannya (Ardika, 2008). Terkait dalam penelitian ini, salah satu tradisi Bajo yaitu ritual duata mengalami komodifikasi. Baik dukun atau seniman Bajo juga terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses komodifikasi ritual duata. Hal ini dituturkan oleh Jukni (25 tahun) seorang pelatih tari di desa Mola Selatan. “Sebenarnya kami tau akan esensi dari ritual duata ini, tapi kami juga menginginkan ritual duata ini dikenal masyarakat sampai dunia. Sudah cukup dengan stigma negatif dari pandangan orang lain kalau kami ini orang tak berbudaya karena dorongan itu juga kami berupaya bagaimana ritual ini dimodifikasi tanpa harus merubah total sehingga mampu menjadi sumber pendapatan bagi kami pelaku seni” (wawancara 7 Pebruari 2014). Tuturan di atas menunjukkan ada motif kesadaran dan dorongan dari masyarakat Bajo terlebih ada anggapan masyarakat Bajo tak berbudaya sehingga hal itu memberikan motivasi untuk menjadikan riual duata sebagai ajang promosi identitas budaya yang pada akhirnya akan membawa nilai ekonomi pada masyarakatnya.
Tentunya
perubahan
itu
dipengaruhi
oleh
paradigma
masyarakatnya yang menginginkan sesuatu yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Proses perubahan tersebut nampaknya berasal dari keterbukaan masyarakat Bajo akan sesuatu yang dianggap baik dan perlu untuk dikembangkan. Oleh karena itu ideologi atau paradigma yang mereka miliki baik berasal dari ilmu pengetahuan atau penngalaman hidup mereka mendorong perubahan tersebut semakin cepat. Paradigma dalam konteks ini diartikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang berfungsi untuk menuntun
tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama dalam kehidupan seharihari (Ratna, 2008: 2). Globalisasi yang masuk ke lingkup kebudayaan etnik Bajo telah mempengaruhi ideologi tradisional ke arah pemikiran kreatif dan moderen sehingga menyebabkan perubahan yang sangat struktural bagi masyarakat. Perubahan karakter masyarakat merupakan hal yang menonjol, sementara pada saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih besar. Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global tidak terelakkan lagi. Tradisi kultur pribumi atau lokal semakin bergeser ke arah modernisasi, sehingga menyebabkan kultur konsumen atau budaya model barat menjalar dalam kehidupan masyarakat. Cara pandang atau paradigma masyarakat yang mampu mengolah sesuatu yang sebelumnya bukan sebuah komoditas menjadi barang yang bernilai guna (ekonomis) nampaknya terjadi pada masyarakat Bajo yang menjadikan ritual duata yang sebelumnya merupakan produk murni pengobatan secara adat kini menjadi produk pertunjukan bernilai seni tinggi. 6.2
Kreativitas Masyarakat Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru
(Ratna, 2005 : 313). Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi atau mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya. Terkait dengan kreativitas masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan masyarakat etnik Bajo untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan mengubah, menambah struktur/bentuk ritual duata sehingga menjadi sebuah pertunjukkan
seni sehingga memiliki daya tarik dari konsumen dengan harapan mendapatkan keuntungan. Kreativitas atau berpikir kreatif (creatif thinking) sering disebut juga dengan berpikir inovatif (innovative thinking) adalah salah satu kemampuan intelektual manusia yang oleh kebanyakan ahli psikologi kognitif disamakan dengan proses berpikir, kemampuan memecahkan masalah, berkaitan dengan usaha menemukan atau menciptakan gagasan-gagasan, hal-hal baru, dan berguna (Suharman 2005: 373). Munculnya kreativitas telah mendorong pengembangan kebudayaan etnik Bajo khususnya pengembangan ritual duata. Pengembangan ritual duata melalui penggalian-penggalian ritual itu sendiri menimbulkan pemahaman dan kesadaran akan kebudayaan serta menumbuhkan keyakinan akan kemampuan diri sendiri dan sadar berbudaya. Dalam perspektif psikologi, sesuatu dikatakan baru atau original, apabila gagasan atau sesuatu yang dihasilkan oleh pemikir sendiri merasa belum pernah menghasilkan hal serupa, dan pemikir sendiri merasa bahwa itu memang sesuatu yaang baru baginya, walaupun di tempat lain hal serupa secara kebetulan sudah ada dan sama yang tidak diketahuinya. Adapun dalam perspektif budaya, sesuatu kreativitas dianggap baru atau original apabila memang benar dalam lingkungan budaya masyarakatnya belum dijumpai atau ada sebelumnya, walaupun di tempat lain hal serupa tanpa diketahui sudah ada. Boleh jadi, suatu kreativitas baru itu dikembangkan dari hasil modifikasi atau mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya. Apa yang dihasilkan dari proses kreativitas dengan
memodifikasi, secara ideal harus memenuhi satu atau dua kriteria, yaitu kriteria baru dan juga berguna (Suharman, 2005: 374). Komodifikasi ritual duata dalam perkembangannya tidak terlepas dari kreativitas manusia (orang Bajo) yang menjadi satu dalam memenuhi rasa keindahan.
Kreativitas
tersebut
dituangkan
dalam
pemikiran-pemikiran
masyarakat Bajo dari dulu hingga sekarang sehingga terangkum dalam seni pertunjukan yang indah. Seperti yang diungkapkan Dasseng (84 Tahun) sebagai berikut. “Ritual duata yang sekarang lebih berbeda tampilannya dengan yang dulu, ini berkat dari kreativitas orang Bajo dan keinginan untuk tampil lebih yang menginginkan keindahan yang memiliki unsur-unsur baru demi pemenuhan keburuhan dalam berkesenian, serta dengan tampil beda bisa membuat orang tertarik untuk melihatnya namun tak terlepas dari kulktur budaya Bajo” (wawancara 7 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukan bahwa dalam berkesenian, ekspresi dan kreatifitas menjadi bagian yang dimiliki orang Bajo untuk menciptakan sesuatu yang lebih guna memperoleh nilai estetika yang tinggi. Namun kebebasan berekspresi dan kreativitas harus pula memiliki tingkat nilai nirsadar dalam lingkup spirit budaya Bajo. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jukni (25 Tahun). “Waktu ritual duata ditampilkan dalam perlombaan kesenian tradisional di Makassar ritual duata sedikit memodifikasi tarian klasik yang ada di Wakatobi sehingga unsur tampilan dalam koreo dan busana kami sesuaikan seperti tari-tarian yang lain di Wakatobi. Perpaduan tersebut memberikan warna baru dalam pertunjukan ritual duata. Karena kalau tidak dirobah bentuknya akan kelihatan kurang enak dipandang. (wawancara 7 Pebruari 2014) Ungkapan di atas jelaslah bahwa para seniman juga mampu berkreasi dengan berbagai macam tari yang ada di berbagai daerah. Akan tetapi nilai original dan filosofi dari ritual tersebut harus tetap hidup agar aspek originalitas ritual tetap
tergambar. Pada perkembangannya ritual duata selalu mengalami perubahan baik bentuk, makna yang merupakan efek dari selera pasar yang telah mengglobal, bentuk kekaryaan seni tradisi cenderung mengalami keseragaman, hal tersebut mengakibatkan berbagai macam ide-ide dan inisiatif akan kebutuhan bermunculan dalam pemikiran manusia. Seni tradisi dalam kaitannya denga ritual duata etnik Bajo nampaknya mengalami perubahan bentuk, fungsi dan makna akibat pelaku seni yang memiliki modal kreativitas yang tinggi. Berbagai bentuk ide kreatif seniman Bajo yang bekerja sama dengan dukun sebagai pemilik ritual duata untuk memberikan unsur kebaruan dalam segi bentuk tampilan agar mengundang selera konsumen untuk mengonsumsinya. Kretivitas adalah wujud kesadaran manusia dalam mencapai apa yang tidak dapat orang lain lakukan. Kreativitas merupakan kemampuan untuk mencipta, guna menghasilkan sesuatu yang baru Rusyana dalam (Erlinda, 2011: 255). Kreativitas diperlukan oleh semua pihak yang terlibat dalam kerja sama sebelum dan sesudah pembuatan serta penyajian ritual duata. Kreatif bukan hanya berurusan dengan dengan masalah inovatif dan kebaruan dalam membuat (menciptakan) dan menggelar sebuah atraksi budaya namun berkaitan pula dengan kualitas karya, berguna dan bermakna yang disertai dengan rasa tanggung jawab. Kualitas berurusan dengan masalah estetis, fungsi, manfaat dan guna untuk berbagai hal dan pihak, bermanfaat bagi kehidupan kesenian dan kemaslahatan manusia, sedangkan tanggung jawab berurusan dengan masalah etika dan akademik.
Sanggar seni etnik Bajo yang beranggotakan orang-orang lokal yang bergerak di bidang seni mulai intens dalam berbagai kreativitas dan inovasi. Sebagai salah satu organisasi yang bergerak di bidang kesenian khususnya ritual duata, para anggota ritual duata mulai mengomodifikasi bentuk tatanan koreografi pada ritual duata. Perobakan bentuk ritual duata tampak dalam hal durasi penyajian, tata tari, jumlah penari serta media untuk pertunjukan (panngung). Hal tersebut dilakukan untuk mendaur ulang dengan berusaha mendapatkan kembali unsur kebaruan dalam fungsi keaslian ritual duata, misalnya fungsi ekonomi, fungsi hiburan dan pendidikan. Dalam pementasan ritual duata kreativitas tersebut terjadi pada durasi waktu ritual duata dilakukan dimana biasnya ritual duata dilakukan selama tiga hari tiga malam sekarang bisa menghabiskan waktu 10 sampai 15 menit. Terkait deengan hal tersebut sama yang diungkapkan oleh Dasseng (84 tahun). “Ritual duata asli kalau dilakukan memakan waktu tiga hari tiga malam, prosesinya panjang sekali, butuh waktu dalam pengerjaanya, tapi sekarang kalau diminta orang untuk dipentaskan biasanya paling lama 15 menit saja jadi banyak yang diubah-ubah sebagian tidak kaya aslinya” (wawancara 7 pebruari 2014). Ungkapan di atas menandakan bahwa dalam pementasan ritual duata yang murni pengobatan dengan pertunjukan untuk kesenian sangat jauh perbedaannya jika dilihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan. Hal tersebut tentulah akan mengurangi nilai keaslian ritual duata karena dengan waktu yang singkat tersebut banyak komponen ritual yang mesti dihilangkan. Pementasan ritual duata yang mengikuti selera pasar sangat mempengaruhi bagian-bagian pokok ritual duata sehingga pelaku seni juga mengkondisikan bentuk tampilan penari
bahkan jumlah penari dalam ritual tersebut tergantung dimana mereka dipentaskan. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Jukni (25 Tahun) “Kami sebagai seniman Bajo bersama sandro ketika diminta oleh pihak hotel selalu mengkondisikan jumlah pemain dan ada beberapa bentuk tampilan yang kami ubah sehingga bisa menyesuaikan dengan harapan pihak panitia, tentunya kalau duata dipentaskan diperahu nelayan akan berbeda dengan panggung yang disediakan oleh pihak hotel karen itu struktur penari bahkan bentuk gerakan akan sangat berpengaruh. (wawancara 7 Pebruari 2014) Ungkapan di atas memberikan gambaran bahwasanya ketika ritual duata mengikuti selera pasar ada bagian-bagian ritual
yang dirubah
yang
mengkondisiskan dengan permintaan konsumen (acara). Kreativitas dalam perombakan ritual duata selalu berkaitan dengan dunia pariwisata. Seperti yang dikatakan Nurhayati (2004: 19), bahwa dilihat dari sudut pandang kesenian, maka berkembangnya industri pariwisata secara nyata telah mendorong tumbuhnya kreativitas pelaku seni untuk mengembangkan karya ciptanya sehingga mampu menarik minat pengunjung atau wisatawan. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan hasrat ekonomi maka produsen ritual duata harus memenuhi permintaan pasar dengan cara berkreativitas meskipun tidak terlepas dari peniruan tarian lain. Nampaknya globalisasi yang melanda berbagai sendi kehidupan masyarakat merupakan sebuah fenomena transformasi budaya yang tak perlu dihindari namun harus mampu menyeimbangkan bagaimana budaya lokal dan budaya global mampu saling mengisi sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan. Di satu sisi globalisasi menuntut keseragaman, tetapi di sisi lain membutuhkan perbedaan dan kekhasan sebagai suatu identitas.
6.3
Media Massa Era globalisasi yang menempatkan media sebagai salah satu faktor
komodifikasi yang penting dalam dimensi perubahan sosial budaya. Melalui media massa, banyak imaji, opini tentang dunia dapat diciptakannnya. Media dapat diartikan sebagai suatu institusi yang kompleks, multidimensional yang melahirkan banyak relasi, dan segala sesuatu yang dapat dijadikan agen publikasi, baik secara visual maupun secara tertulis. Dalam konteks media massa saat ini, menurut Adorno (1979: 123) media telah memiliki kemampuan untuk menghasilkan industri budaya yaitu budaya yang sudah mengalami komodifikasi karena produk budaya yang dihasilkan pertama,
tidak
otentik
dimana,
kebudayaan
yang
diproduksi
secara
otonom/murni tidak lagi dihasilkan oleh rakyat atau masyarakat yang memilikinya, akan tetapi ada campur tangan industri dengan segala sistem pasar dalam proses produksinya. Benda budaya, yang dipenuhi dengan nilai-nilai tinggi, otentik dan kebenaran telah mengalami pergeseran makna, diproduksi secara massal berdasarkan selera pasar. Kedua, manipulatif dimana kebudayaan yang diproduksi oleh industri budaya dengan tujuan agar dibeli di pasar, bukan lagi pada daya kreativitas sang kreator sehingga telah menghasilkan kebudayaan semu/palsu. Ketiga, terstandarisasi dimana, adanya bentuk penyeragaman yang terjadi dalam mekanisme industri budaya. Semua produk budaya yang dihasilkan telah diseragamkan dengan kriteria-kriteria tertentu untuk mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat atau berdasarakan selera pasar. Hal tersebut dikarenakan semua prosedur organisasi produksi diarahkan hanya pada satu tujuan, yaitu
keuntungan/laba (profit oriented). Argumen yang melatarbelakangi standarisasi adalah tidak adanya spontanitas dalam peoses produksi. Semua mekanisme sudah diatur sedemikian rupa secara rutin dengan mengaplikasikan formula-formula tertentu. Industri budaya telah menyingkirkan produk-produk budaya yang mempunyai kualitas-kualitas yang unik/khas.
Sebagai wahana penyampaian pesan, media massa mempunyai kekuatan tersendiri karena daya pengaruhnya yang besar terhadap khalayak ramai. Media massa adalah sarana pembudayaan (proses penanaman nilai-nilai budaya) yang efektif, ia sama kuat, atau bahkan lebih kuat dari pada pendidikan formal sebagai sarana pembudayaan. Dalam hal ini media massa memegang peran penting dalam proses komodifikasi ritual duata. Melalui media massa ritual duata dikomodifikasi sehingga menjadi budaya populer. Media massa, di satu sisi merupakan salah satu hasil budaya dan di sisi lain juga merupakan sarana ritual pengobatan bagi masyarakat etnik Bajo yang diyakini bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Dengan kedekatan manusia dengan media menjadikan dunia semakin sempit, tanpa batas yang memiliki pola hubungan yang bebas dan terbuka. Hal tersebut berpegaruh terhadap kehidupan masyarakat etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan adanya modernisasi yang semakin merambah kesegala aspek kehidupan manusia menimbulkan efek baru dalam tradisi, budaya dan adat istiadat masyarakat. Tampaknya dengan berbagai macam kecanggihan teknologi mutakhir yang mengglobal menjadikan jiwa manusia menjadi lebih kreatif untuk memanfaatkan media sebagai sarana untuk berkreativitas.
Di dalam perkembangan media, setidak ada dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economie interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest). Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik menjadikan media tidak netral, jujur, adil, dan objektif. Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan objektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri. Di satu pihak, ketika ranah publik dikuasai oleh politik informasi (politics of information) yang menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media menjelma menjadi perpanjangan tangan penguasa dengan menguasai ruang publik tersebut. Di pihak lain, ketika media dikuasai oleh ekonomi politik informasi (politicaleconomy of information), informasi menjadi alat kepentingan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mengeksploitasi publik sebagai satu prinsip dasar dari kapitalisme (Piliang, 2009 : 134). Kemampuan alami media massa dalam menyebarkan pesan dengan karakter one-to-many menciptakan penerimaan pesan yang efektif. Fenomena perubahan adat tradisi menuju era kekinian melanda hampir semua etnik hal tersebut disadari mengalami dinamika perubahan yang harus ada demi menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Pengaruh tekhnologi dan media yang begitu pesat selain membawa pengaruh positif dilain pihak membawa pengaruh negatif pada tataran sosial tradisional terhadap budaya lokal dalam kelompok masyarakat. Banyak tradisi yang mengalami dinamika yang memberikan perubahan baik nilai maupun bentuknya. Ritual duata dalam hal ini mengalami perubahan akibat
perkembangan
media
hari
ini.
Keterkaitan
antara
keduanya
sangat
menguntungkan bagi kalangan pelaku karya seni pada etnik Bajo. Lewat media terutama televisi yang memberikan sajian berita tentang kebudayaan etnik-etnik lain berimbas terhadap keinginan masyarakat etnik Bajo untuk mengekspos ritual duata untuk lebih dikenal pada masyarakat umum lainnya. Hal ini sesuai dengan penuturan Dasseng (84 tahun) sebagai berikut: “Dulu kalau orang berobat tidak ada orang meliput, tapi sekarang tekadang orang membawa kamera untuk ambil vidionya, katanya untuk disimpan dan bisa ditonton nanti. Tapi kalau ritual duata dipanggil oleh pemerintah tampil dipanggung biasanya banyak wartawan atau orang yang mendokumentasikannya yang nantinya dimasukan di TV kabel untuk diperlihatkan kemasyarat” (Wawancara 6 Pebruari 2014). Dewasa ini, media tidak hanya diartikan secara sempit, tetapi telah berkembang maju sebagai ruang publik, yang setiap saat dikonsumsi dan menggiring manusia menciptakan berbagai imajinasi dan opini. Sebagai bagian dari kehidupan manusia, media sangat mempengaruhi pola pikir manusia. Media massa sebagai bagian dari ruang publik yang di dalamnya bahasa dan simbolsimbol diproduksi dan disebarluaskan bukanlah sebuah hegemoni. Media massa membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya perang bahasa atau perang simbol untuk memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai peranan penting. Bahwa makna (meaning) dan nilai (value) dominan yang dihasilkan lewat media sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial (Ritzer dan Goodman, 2007 : 599).
Laju perkembanagan teknologi dan media sekarang mampu merubah cara berpikir masyarakat etnik Bajo. Dengan adanya media surat kabar terlebih dunia pertelevisian dengan sajian berbagai macam perkembangan life style,dan modifikasi berbagai bentuk kebudayaan nampaknya mampu menyulap para pelaku seni untuk bisa memulai dengan bentuk seni karya baru dengan mencoba mengangangkat sebuah seni tinggi untuk dijadikan jasa untuk pertunjukan yang benilai ekonomi. Hal tersebut nampak pada para pelaku seni di perkampungan Bajo yang berusaha dan mecoba meraih keuntungan dengan memodifikasi dan menkomersialkan berbagai seni dan tradisi mereka diantaranya ritual duata. Ritual duata yang bernilai seni tinggi dan disakralkan dalam hal pengobatan dalam etnik Bajo perlahan-lahan memiliki fungsi lain dari pengobatan yakni untuk kepentingan seni pertunjukan. Alasan utama para seniman Bajo memodifikasi ritual duata yaitu untuk menunjukan eksistensi keberadaan dan kekuatan etnik Bajo dalam berkesenian serta dengan adanya tontonan karya seni tersebut mampu menarik peminat seni untuk mau datang berkunjung di Kabupaten Wakatobi khususnya diperkampungan Bajo sehingga roda perekonomian masyarakatnya meningkat. Hal ini sesuai dengan penuturan seorang Bakri (63 tahun) sebagai berikut: “Duata sering digunakan sampai sekarang untuk pengobatan,masyarakat masih yakin akan kekuatan pengobatan bisa menyembuhkan segala penyakit namun sekarang orang Bajo banyak yang menggunakan duata untuk dijadikan pertunjukan tari, karena biasanya pemerintah mengundang kami untuk melakukan atraksi duata seperti kalau ada tamu daerah, tamu hotel atau dalam acara-acara adat. Kami senang karena degan sering kami diundang jadi kami juga dikenali banyak orang. (wawancara, 8 Pebruari 2014).
Teknologi sebagai hasil kebudayaan yang bersifat fisik dan tanpa sipritualitas nilai-nilai yang terkandung dalam adat, agama, dan kesenian, sudah kehilangan fungsinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kehidupan di era global yang ditandai dengan kemajuan iptek telah mempercepat tercabutnya akar budaya dari komunitasnya, terserabut dari landasan dasarnya, berupa nilai-nilai, norma, dan etika (Wibowo, 2007:30). Lebih lanjut Geertz (dalam Wibowo, 2007:31) menjelaskan bahwa kapitalisme sepenuhnya telah menguasai teknologi, sementara ideologi-ideologi lain yang merupakan simbol-simbol kebudayaan tidak dapat lagi berfungsi sebagai referensi orientasi dunia dalam nilai-nilai karena didominasi kapitalisme. Media merupakan salah satu saluran yang berpengaruh dalam distribusi kebudayaan global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup (Abdullah, 2009:50). Saling ketergantungan hidup yang difasilitasi oleh kemudahan komunikasi dan kedalaman interaksi antar warga masyarakat lintas etnik bahkan dengan masyarakat dunia umumnya merupakan kekuatan pengubah dan pengembang kebudayaan. 6.4
Ekonomi Salah
satu
wujud globalisasi
adalah
kapitalisme
dalam fokus
penekanannya dalam bidang ekonomi. Wacana globalisasi ini turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang secara multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas (Barker 2005 : 133). Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik budaya kapitalisme bentuk-bentuk budaya untuk mengikuti ideologi pasar. Pada
awalnya ritual duata bukan produk budaya yang sengaja dibuat untuk tujuan komersil. Kita ketahui bahwa dengan adanya pengaruh globalisasi terhadap bidang kehidupan manusia tak luput menggerogoti pemikiran manusia kearah kapitalisme. Dimana dengan mengandalkan dan memberdayakan segala kekuatan yang bersumber dari tradisi dan budaya leluhur mampu mendongkrak dan memperbaiki taraf ekonomi masyarakat lokal. Khusus pada masyarakat etnik Bajo para pelaku seni termasuk dukun ritual duata telah menjadikan ritual sebagai barang komoditas yang bisa memperbaiki tingkat ekonomi keluarga. Dengan membutuhkan ide-ide kreatif dengan jiwa seni yang tinggi banyak hal yang bisa diberdayakan melalui tradisi yang kita miliki. Dampak globalisasi ekonomi telah menggiring manusia ke dalam suatu arena interaksi sosial baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Model komunikasi global yang ada sekarang ini telah mengubah karakter, gaya hidup, dan perilaku masyarakat menjadi lebih kritis dan lebih peka. Kondisi yang mengharuskan setiap bidang meningkatkan persaingan dengan biaya yang seminim-minimnya. Maka dibutuhkanlah suatu strategi yang ditawarkan dalam pembangunan ekonomi kreatif. Kreativitas seni, berasal dan lahir ide serta pikiran manusia, Ia bermodalkan ide-ide kreatif, talenta dan keterampilan yang harus ditumbuhkembangkan, tetapi tidak berarti bahwa manusia (Indonesia) memiliki kebebasan mutlak menuangkan kreativitasnya seperti apa yang ada dalam otaknya, Kreativitas tetap punya aturan, nilai-nilai dan tanggung jawab. Karena hasil
kreativitas itu akan bertemu dan dinikmati oleh masyarakat sekitarnya yang punya aturan nilai-nilai dan tanggung jawab terhadap lingkungannya, kebudayaannya, serta terhadap negara dan bangsa. Ritual duata yang sekarang mengalami profan dalam atraksi budaya di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, tidak terlepas dari adanya pengaruh globalisasi ekonomi. Nampaknya pemikiran masyarakat Bajo telah terkontaminasi dengan ide-ide kapitalisme yang ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya melalui pemberdayaan budaya lokal. Dengan banyaknya tingkan konsumsi masyarakat yang berkaitan dengan seni tradisi menjadikan ritual duata semakin menunjukan eksistensinya. Komodifikasi ritual duata dilakukan perubahan agar ritual duata mempunyai nilai ekonomis sehingga memunculkan pemenejemenan yang lebih baru dalam mengolah suatu produksi, pelayanan dalam pendistribusian dan pengikutan terhadap selera pasar. Komodifikasi ritual duata ini mulai mendorong masyarakat setempat, karena ada dorongan kebutuhan ekonomi. Seniman dan sandro mulai menekuni ritual duata sebagai pekerjaan yang dapat memberikan kesejahteraan. Oleh karena itu para seniman Bajo mulai mengemas dan memikirkan unsur-unsur ritual duata yang dapat dijadikan sebagai sumber komoditi. Seperti yang peneliti ketahui bahwa Dasseng (84 tahun) sebelumnya hanya seorang dukun namun sekarang merangkap menjadi pelaku seni. Biasanya dalam mementaskan ritual duata diberikan bajet sebanyak Rp 15.000.000. dan itu sangat menunjang pendapatan para pelaku karya seni ritual duata. Biasanya
sekali mentas dibayar Rp15.000.000 oleh yang meminta, dan itu bisa saja berubah tergantung dimana dan bagaiamana kami mementaskannya. (wawancara 7 Pebruari 2014). Dalam komodifikasi ritual duata sudah ada pembagian kerja dan sistem penggajian. Pembagian kerja dan sistem penggajian ini juga berpengaruh pada pola kerja para anggotanya. Di sini terlihat para pelatih dan penari tari ritual duata antusias berlatih karena melihat bajet yang didapatkannya begitu banyak. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Piliang (2010:23) dan Hasan (2011:188), bahwa komodifikasi itu ditandai dengan adanya pembagian kerja di dalam proses memproduksi suatu komoditi. Sedangkan komoditi adalah segala sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, biasnya uang, dalam rangka memperoleh keuntungan atau nilai lebih. Faktor ekonomi sebagai salah satu pendorong terhadap komersialisasi ritual duata menjadi suatu pro dan kontra pada masyarakat pendukungnya. Akan tetapi dikarenakan faktor ekonomi yang melekat kuat pada masyarakat setempat, pengomodifikasian ritual duata semakin kuat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Dasseng (84 tahun): “Karena pariwisata perekonomian di kampung Bajo mengalami kemajuan terutama dengan datangnya orang-orang kekampung kami jadi sering diminta pertunjukan duata untuk tampil sehingga pedagang makanan dan kerajian banyak yang berjualan dan dibeli sama orang yang datang” (wawancara 6 Pebruari 2014). Dalam kenyataanya kehadiran pariwisata di Kabupaten Wakatobi terlebih dahulu sejak perkampungan Bajo menjadi daya tarik bagi wisatawan dengan budaya yang unik maka kesempatan tersebut tidak disia-siakan untuk
meraih manfaat ekonomi yang dibawa oleh pariwisata itu sendiri. Masyarakat seharusnya sadar bahwa dunia bisnis, termasuk sumber daya dalam hal berbisnis. Perdagangan dan uang tidak bisa dipisahkan karena saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Secara sosiologis uang memiliki dua wajah, disatu sisi berwajah normatif dan pada sisi lain berwajah pragmatis. Dalam wajah normatif uang dapat dipandang dari sisi das sollen (seharusnya), dan sisi pragmatisnya uang dapat dipandang dari sisi das sein (kenyataannya). Diantara keduanya terjadi diskrepansi atau kesenjangan yang tajam, yakni bagaimana uang seharusnya digunakan tentunya berdasarkan pada norma-norma sosial dengan uang yang digunakan oleh warga untuk kepentingan praktis sehari-hari (Nugroho, 2001 : xi). Dalam kaitannya dengan masyarakat etnik Bajo uang memiliki fungsi penting sehingga berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan uang. Apapun layak untuk dijual untuk mendapatkan uang termasuk menjual harta warisan untuk mendapatkan uang. Ritual duata sebagai warisan budaya dari leluhur etnik Bajo lambat laun berubah bentuk kerah komoditas yang layak untuk dijadikan barang komoditas yang berorientasi nilai jual. Uang merupakan sarana ekonomi tetapi saat digunakan dalam masyarakat dipahami sebagai fenomena sosiologis, yakni cenderung kehilangan material dasarnya karena menjadi alat interaksi. Fenomena di kalalangan masyarakat etnik Bajo berkembang pemikiran bahwa dengan mendapatkan uang maka status sosial kita akan semakin tinggi dan dihargai oleh masyarakat.
Semangat kapitalisme nampaknya muncul dalam pemikiran masyarakat Bajo yang memnginginkan pola interaksi yang berorioentasi ekonomi. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi maka pemilik modal berusaha untuk menumpuk kekayaan yang akan beribas terhadap peningkatan ekonomi. 6.5
Pariwisata Pariwisata adalah suatu fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu
bentuk kegiatan manusia, yaitu suatu kegiatan yang lazim disebut perjalanan (travel). Ada beberapa tujuan manusia melakukan perjalanan misalnya ingin mendapatkan pengalaman baru, kerena menghindari konflik dan peperangan, bencana alam, atau musibah lainnya. Perjalanan yang dilakukan dapat saja didorong oleh sekedar rasa ingin tahu untuk keperluan-keperluan yang bersifat rekreatif, atau yang bersifat edukatif. Namun ada yang melakukan perjalanan karena ada alasan-alasan yang bersifat praktis dan pragmatis, yaitu mencari dan menemukan sumber kehidupan atau mencari nafkah untuk keberlangsungan hidup. Pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang sebelumnya belum pernah diketahuinya, seperti menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapatkan perjalanan yang baru. Sejak Kabupaten Wakatobi ditetapkan menjadi daerah tujuan wisata maka menimbulkan peluang baru bagi masyarakat lokal untuk membuka lapangan pekerjaan baru dalam dunia kepariwisataan. Wakatobi memiliki daya tarik tersendiri selain pariwisata alam dengan potensi
kebahariannya juga dikembangkannya wisata budaya dengan potensi nilai tradisi dan kesenian masyarakatnya. Kehadiran wisatawan dengan sistem budaya yang mereka anut dari daerah asalnya menciptakan sebuah interaksi antara pendatang dengan penduduk setempat sehingga ada perubahan pola pemikiran baru dengan berpusat pada kegiatan
ekonomi
kepariwisataan.
Mereka
yang
berinteraksi
disini
sesungguhnya tanpa disadari telah terikat oleh sistem ekonomi pasar yakni jualbeli barang / jasa dengan mata uang asing. Efek lain yang dimunculkan oleh pariwisata di Kabupaten Wakatobi adalah semakin tingginya permintaan jasa dalam bentuk art shop, hiburan dan hotel-hotel. Kontribusi lainnya memberikan ruang baru bagi masyarakat lokal untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam seni pertunjukan tardisional. Keinginan wisatawan yang datang berkunjung di Kabupaten Wakatobi diantaranya melihat masih banyaknya potensi budaya utamanya ritual yang memiliki sisi nilai yang begitu tinggi untuk dinikmati bahkan dimanfaatkan untuk kepentinan rohani. Ritual duata yang merupakan yang merupakan sebuah ritual pengobatan etnik Bajo yang semula digunakan untuk kebutuhan dalam hal pengobatan dengan berkembangnya pariwisata budaya di kawasan Wakatobi lambat laun ritual tersebut mengalami pergeseran fungsi dan makna serta mampu dijadikan sebagai komoditas yang bisa meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekitarnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Udin (47 tahun) sebagai berikut. “Semula ritual duata hanya digunakan untuk pengobatan jika ada yang sakit, tapi sekarang duata sudah berubah fungsi karena duata dipandang
unik oleh turis yang datang sehingga turis mau melihat bagaimana duata itu sebenarnya dan itu bagi masyarakat Bajo mau dipertunjukan karena setelah mereka tampil mereka di kasi uang”. (wawancara 7 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa pergeseran fungsi ritual duata karena pengaruh wisatawan
(pariwisata)
yang menginginkan sebuah suguhan
pertunjukkan dari potensi tradisi masyarakat lokal, hal ini memotivasi dan mendorong kreativitas masyarakat Bajo untuk mengembangkan ritual duata dalam industri budaya dalam hal ini pertunjukkan seni. Nampaknya dalam hubungan antara pihak wisatawan yang berkunjung keperkampungan Bajo di Mola Selatan memberikan keuntungan positif terhadap masyarakatnya. Bukan hanya para pelaku seni ataupun dukun yang diuntungkan namun masyarakat sekitarnya pun merasa diuntungkan karena dengan adanya beberapa wisatawan yang berkunjung barang dagangan mereka seperti minuman ataupun pernakpernik hasil kerajinan tangan orang Bajo laris dibeli oleh wisatawan. Senada dengan yang diungkapkan oleh Hasna (34 tahun) sebagai berikut. “Mereka datang untuk melihat budaya Bajo itu dan kesempatan kami ibuibu untuk menjual barang dagangan kami misalnya kalung-kalung, gelang, sarung atau gantungan kunci dan kami merasa untung dengan apa yang mereka inginkan tentunya keuntungan dagangan kami bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan keluarga” (wawancara 7 Pebruari 2014). Tuturan di atas jelas menggambarkan adanya tuntutan akan kebutuhan disatu pihak dan terbukanya peluang disisi lain. Industri pariwisata sebagai bagian dari globalisasi menciptakan peluan lapangan usaha dan pekerjaan di sektor pariwisata. Peluang dan kesempatan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup harus dimanfaatkan secara optimal agar menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan.
Untuk memenuhi kepentingan pariwisata selain terpacunya kreativitas seniman ritual duata maka bermuncullah sanggar-sanggar seni tari yang berkecimpung dalam dunia pariwisata. Tidak tanggung-tanggung terkadang pihak sanggar seni bekerja sama dengan pihak hotel atau penyelenggara sebuah acara/festival untuk saling bekerja sama dalam menunjang layanan terhadap kosumen dengan suguhan atraksi seni. Sebagai suatu industri, tentu ada produk pariwisata, konsumen, permintaan, dan penawaran. Dalam bisnis pariwisata konsumennya adalah wisatawan, kebutuhan dan permintaan-permintaan wisatawanlah yang harus dipenuhi oleh produsen. Komersialisasi seni tradisi karena tuntutan ekonomi telah menjadi suatu realitas di masyarakat. Penanganan komersialisasi seni tradisi dengan baik berpotensi membawa dampak positif bagi seni tradisi yang menjadi komoditas itu sendiri maupun para pihak-pihak yang terkait, seperti halnya berbagai tari klasik, musik klasik, maupun opera yang dikelola dan dibisniskan secara baik di negara-negara maju. Walaupun demikian tidak bisa ditolak pula adanya realitas bahwa komersialisasi seni tradisi juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan terhadap seni tradisi itu sendiri. Meskipun faktor yang cenderung kepada standarisasi budaya datang dari luar, yang mempengaruhi dan mendorong terjadinya komodifikasi ritual duata. Ritual duata sebagai salah satu produk budaya dibangun dalam proses akumulasi sejarah dan budaya dengan pijakan berbagai representasi masyarakat Bajo sebagai pemilik budaya. Ritual duata sebagai representasi masyarakat telah dikomodifikasi sesuai dengan konstruksi yang dibangun sendiri untuk
kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya sebagai ideologi baru. Dengan semangat kapitalisme, ritual duata telah menjadi komoditas produk yang diupayakan untuk mengikuti selera pasar.
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Dalam bab ini pembahasan difokuskan mengenai dampak dan makna komodifikasi ritual duata. Perlu dikemukakan bahwa dampak dalam penelitian ini, adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya rencana atau pada suatu aktivitas tertentu. Menurut Soemarwoto (dalam Puspa 2011: 286) dampak dapat bersifat negatif dan positif. Di Indonesia pun dampak sering memiliki konotasi negatif. Oleh karena itu dalam tulisan ini dampak komodifikasi ritual duata ada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara adalah dampak yang berkonotasi negatif. Dampak negatif akan dilihat dari adanya perubahan ritual duata setelah terjadi praktik komodifikasi. Oleh karena itu dalam pembahasan ini dampak komodifikasi ritual duata yang cenderung merugikan (berkonotasi negatif). sedangkan makna dalam pembahasan ini diartikan sebagai arti dari suatu tanda, keadaan, teks yang diartikan, diinterpretasi oleh pelaku ataupun yang melihatnya. Apa saja yang dilakukan seseorang dapat diberikan makna tertentu baik oleh si pelakunya sendiri maupun orang lain. Makna merupakan arti dari suatu objek. Barthes (Barker, 2005: 93; Sibarani, 2006: 31-32) membagi sistem pemaknaan ke dalam dua tingkat yaitu tingkat denotasi dan tingkat konotasi. Lebih lanjut, Barthes dan Gadamer (dalam Ratna, 2008: 261) menyatakan bahwa makna tidak ada di dalam teks, tetapi ada di dalam kompromi antara teks dan penafsir.
Berkenaan dengan itu, dalam tulisan ini digunakan sistem pemaknaan konotasi dari Barthes, yaitu memberikan makna terhadap simbol-simbol atau tanda-tanda yang ada dalam ritual duata berdasarkan penafsir (produsen dalam hal ini sandro berserta rekan usaha/kerjanya, konsumen dan penulis) dengan cara mengaitkan dengan sikap, keyakinan, kerangka kerja dan ideologi yang dianut dan berkembang di masyarakat sekitarnya. Komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo sebagai sebuah tanda dalam ruang budaya dapat diberi beragam makna dengan menciptakan tafsir-tafsir baru mengenai taanda-tanda budaya yang mengitarinya. Melalui tafsir-tafsir yang diciptakan terhadap berbagai tanda terkandung berbagai makna. 7.1
Dampak Komodifikasi Ritual Duata Dalam sub bab ini akan dibahas dampak komodifikasi ritual duata pada
etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dampak dalam penelitian
ini
yaitu
sesuatu
yang
muncul
setelah
terjadi
sebuah
kejadian/peristiwa. Jadi dampak komodifikasi ritual duata merupakan sesuatu yang muncul setelah terjadinya perubahan sebuah tradisi (ritual duata) ke dalam konteks budaya moderen (global) sehingga memunculkan perubahan bagi eksistensi ritual duata bagi masyarakat pendukung tradisi (Bajo) serta masyarakat penikmat ritual duata. Adapun dampak yang ditimbulkan dari komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu perubahan terhadap kehidupan sosial budaya etnik Bajo sebagai pemilik tradisi ritual duata yaitu komersialisasi ritual duata dan kaburnya identitas budaya.
7.1.1
Komersialisasi Ritual Duata Ritual duata dari waktu ke waktu
kekinian
yang
mampu
menyesuaikan
mengalami transformasi ke era dengan
kehidupan
masyarakat
pendukungnya. Transformasi tata nilai sosial dalam suatu kebudayaan tentulah membawa dampak sosial bagi kehidupan masyarakat. Ritual duata pada awalnya bukan produk budaya yang sengaja diciptakan untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangannya ritual duata mengalami komersialisasi karena sengaja dijadikan produk budaya untuk memenuhi selera pasar. Hal seperti itu menurut Saifullah (1994: 12) menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan modernitas yang telah diubah menjadi hubungan komersial. Adanya berbagai kepentingan kapitalisme yang menjadikan ritual duata sebagai alat komoditas yang bernilai jual, dimana dalam hal ini, pasar turut menentukan arah ritual duata dalam penampilannya, yakni objek, kualitas tari, ornamen, pewarnaan material, dan penataan yang semua dikemas untuk dijadikan komoditas dengan tujuan utamanya adalah memenuhi selera pasar. Akibat penyesuaian unsur-unsur tradisi ke dalam konteks budaya moderen banyak nilai-nilai tradisi yang teralihkkan dari nilai magis religius ke nilai profan. Pergeseran dari nilai sakralitas ke profanitas tentunya tidak dengan sendirinya terjadi, tetapi melalui proses pertentangan-pertentangan, sejalan dengan perubahan sosial masyarakat. Jika dikaitkan dengan perkembangan zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terbukanya akses
pengaruh luar dalam bentuk pariwisata terhadap pandangan hidup manusia, maka perlahan-lahan mulai terjadi pergeseran nilai-nilai tradisi. Dalam hal ini ritual duata mengalami komersialisasi sehingga menimbulkan perubahan dalam bentuk dan fungsi ritual. Komersialisasi ritual duata terlihat pada proses produksi produk ritual duata seperti buas bubuh rinti (beras berwarna), palisier, ula-ula dan produk ritual lainnya yang sengaja diproduksi oleh dukun kemudian dilakukan penyewaan terhadap konsumen. Produk ritual di distribusikan dalam berbagai bentuk produk barang/jasa sehingga terjalin orientasi jual-beli antara produsen dan konsumen. Seperti dalam praktek pengobatan pasien memberikan upah sebesar Rp 3.000.000 setiap kali pengobatan (paket). Dengan demikian ritual duata bukan hanya sebagai bagian dari tradisi etnik Bajo yang difungsikan sebagai ritual pengobatan namun juga dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi masyarakat pendukungnya. Begitu juga pada konteks pertunjukkan ritual duata untuk pariwisata menunjukkan upah yang begitu berlipat ganda dari biaya ritual pengobatan
fenomena
tersebut
sehingga
menunjukkan
logika
pasar
memunculkan pemaknaan baru terhadap nilai sakralitas ritual duata sebagai komoditas atau barang/jasa dagangan. Hal tersebut diungkapkan oleh Romi (40 tahun) sebagai berikut. “Ritual duata ini saya lihat kayaknya dimanfaatkan oleh masyarakat Bajo khususnya dukun, bukan hanya jasa pengobatan saja tapi ada semacam transaksi jual-beli produk sehingga dukun diuntungkan kalau banyak yang berobat karena makin banyak pasien dia makin banyak dapat uang, apa lagi semua bahan-bahan untuk obat itu dukun sendiri yang membuatnya. Orang Bajo sangat pantang kalau tidak berobat duata, mereka merasa tidak puas kalau tidak memalui pengobatan duata” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ritual duata sengaja dimanfaatkan oleh dukun melalui pengobatan dengan memanfaatkan produk material ritual untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. Material ritual duata berupa palisier, buas bubu rinti, ula-ula dan panggung sengaja dibuat sehingga melalui produk ritual duata mereka bisa meraih keuntungan. Sesuai dengan pemikiran Barker (2005: 517) komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar. Dalam hal ini sistem ekonomi kapitalis telah merasuki ideologi produsen, dimana pasar adalah tempat membeli dan menjual komoditas. Ritual duata merupakan komoditas bagi masyarakat etnik Bajo khususnya dukun. Masyarakat etnik Bajo sadar apa yang telah mereka lakukan yang memanfaatkan produk ritual duata untuk kepentingan ekonomi. Ritual duata mengalami perubahan fungsi kearah pemanfaatan secara ekonomi dan masyarakat pun menerima hal tersebut. Hal ini didasarkan atar dorongan ekonomi yang memanfaatkan produk budaya untuk dikembangkan kearah industri budaya kreatif yang melahirkan perubahan baru yang memungkinkan ritual duata mengundang selera konsumen baik untuk pengobatan maupun pertunjukkan (pariwisata) dengan desain khusus seindah mungkin sehingga memperoleh keuntungan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Bajo. 7.1.2
Kaburnya Identitas Budaya Identitas adalah penanda benda, baik secara individual maupun secara
kolektif, terlebih benda tersebut dianggap bernilai dan bersejarah yang
membedakan dengan identitas lainnya. Dala hal ini identitas budaya terkait dengan produk ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi provinsi Sulawesi Tenggara.Pesatnya arus globalisasi yang masuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat tak henti-hentinya ikut membawa perubahan. Tumbuhnya kesadaran dan motivasi manusia merupakan perwujudan dari sebuah perubahan paradigma masyarakat akan sesuatu yang baru dari sebelumnya. Tak terkecuali kesadaran akan identitas sebuah masyarakat khususnya etnik Bajo yang memiliki warisan budaya yang berwujud praktik ritual duata, dimana dalam prosesinya mampu membedakan kebudayaannya dengan kebudayaan etnik lain di Indonesia. Ritual duata yang merupakan warisan leluhur etnik Bajo mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Sebagai ritual pengobatan tentunya masyarakat Bajo masih meyakini sakralitas ritual duata sehingga nilai ritual tersebut tetap dijaga kelestariannya. Sebagai masyarakat yang masih mengonsumsi ritual tersebut tidak menginginkan adanya pengaruh dari luar maupun dalam yang mengancam bahkan memusnahkan ritual tersebut dengan berbagai alasan demi tuntutan pemikiran manusia moderen yang maju dan berpikir rasional. Paham lama yang menginginkan akan keaslian ritual duata berharap ritual tersebut jangan dikomersilkan karena akan memecahkan tatanan sosial dan keharmonisan masyarakat Bajo, yang menyebabkan penurunan kekuatan yang terkandung dalam ritual duata. Pandangan tersebut bertolak belakang dengan pemikiran baru masyarakat etnik Bajo yang berharap akan perubahan sakralitas
kearah profan sebagai tindakan penyelamatan ritual duata dengan alasan tuntutan pembanguanan sekarang yang menginginkan penggalian potensi sumber daya yang berasal dari tradisi lokal untuk bisa dikembangkan kearah industri budaya kreatif. Hal tersebut seperti yang dituturkan oleh Djamrin (38 tahun) sebagai berikut. “Memang kami menyadari sendiri yang hari ini kami lakukan bukan bermaksud semata-mata untuk mau dikenal masyarakat dengan ritual duata, namun ini dilakukan karena ritual duata kalau tidak dijdikan sebuah pertunjukan banyak yang tidak tau. Tetapi ritual duata ketika dijadikan sebagai hiburan banyak yang menolaknya khususnya generasi tua yang menentang keras hal tersebut dilakukan. Akibatnya banyak perselisihan dikampung ini karena kekurang pahaman antara dua generasi ini”. (wawancara 7 Pebruari 2014). Tuturan di atas menunjukkan bahwa transformasi ritual duata keranah profan sangat berlawananan dengan pemikiran generasi tua yang menginginkan ritual duata jangan dikomersilkan. Perbedaan tersebut menimbulkan problema bagi keharmonisan dan solidaritas masyarakat Bajo sendiri yang pada akhirnya mengancam bahkan merusak sistem tatanan sosial masyarakatnya. Sementara itu, perkembangan masyarakat kontemporer yang dicirikan oleh kecenderungan pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme, dan permainan citra pada tingkat kedalaman tertentu, telah menyeret berbagai realitas ritual keagamaan dalam ruang-ruang pengaruhnya. Ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut (komoditi, konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di dalam sifatsifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya dari makna dan nilai-nilai hakikatnya.
Ritual duata mengalami proses komodifikasi karena dijadikan komoditas untuk dijual kepada wisatawan. Richards (1996: 262) mengidentifikasi hal seperti itu sebagai komodifikasi budaya, yaitu bergesernya batas-batas budaya dan ekonomi sebagaimana telah terjadi dalam praktik-praktik kepariwisataan, khususnya pariwisata budaya. Hal penting dari keberadaan ritual duata adalah sebuah identitas diri, tercermin dari perpaduan unsur-unsur budaya Bajo yang terkandung di dalamnya. Komodifikasi ritual duata menyebabkan kaburnya sebuah identitas budaya. Hal tersebut diungkapkan oleh Udin (47 tahun) sebagai berikut. “Ritual duata ini sebenarnya harus pada fungsinya sebagai pengobatan adat, sekarang ini masyarakat membuat pertunjukan seni dengan berbagai macam bentuk, banyak variasi yang dibuat-buat, saya heran termasuk masyarakat Bajo sendiri bingung apa yang ada dalam perangkat ritual itu, yang menghawatirkan saking banyaknya penambahan atau pengurangan dari unsur ritual duata akan melunturkan bahkan memudarkan kekhasan nilai-nilai yang menunjukkan identitas orang Bajo sendiri”, (wawancara 8 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukkan ada ketidaksesuaian ritual duata dikomersilkan (komodifikasi) yang mengarah kepada proses pengkaburan sebuah identitas yang berimbas kepada generasi penwaris ritual duata sendiri. Ritual duata yang mengalami perubahan setiap tampilan, lambat laun akan tercabut dari akar budaya
semestinya.
Sungguh
disayangkan
kalau
ritual
duata
hanya
meninggalkan nama namun nilai esensinya terlupakan akbiat komersialisasi tradisi yang berkiblat kepada produk budaya massa. Fenomena memudarnya identitas budaya Bajo tergambar ketika ritual duata dikomersilkan dalam produk kesenian/pertunjukkan melalui ornamen perlengkapan dalam ritual duata yang mengikuti selera pasar. Hal ini terjadi karena ada kesempatan dan peluang,
sehingga masyarakat pemilik kebudayaan ritual duata, termotivasi melahirkan kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban masyarakat global, seperti industri pariwisata yang berciri kekuatan kapitalisme dibidang ekonomi. Ritual duata yang merupakan bagian dari identitas kebudayaan etnik Bajo dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata yang dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi dengan kesadaran penuh didesain seindah mungkin yang lambat laun akan melunturkan akar budaya Bajo yang terkandung dalam ritual duata. 7. 2
Makna Komodifikasi Ritual Duata Makna dalam konteks penelitian ini diartikan sebagai, arti, maksud, yang
ditunjukkan masyarakat dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang budayanya, serta bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Makna dihasilkan melalui proses interaksi antara objek dengan subjek. Makna merupakan arti dari suatu objek. Untuk memahami makna komodifikasi ritual duata, teori semiotika menjadi sangat penting, karena semiotika merupakan ilmu yang mengkaji tentang makna
sebagai bagian dari kehidupan sosial. Penggunaan teori
semiotika dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, dan lain-lain sebagai fenomena bahasa. Barthes (dalam Piliang, 2003 : 261) mengembangkan sistem pemaknaan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi (connotation). Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan
tanda dengan rujukannya yang menghasilkan makna langsung dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang menghasilkan makna tidak pasti, artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Berkenaan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan sistem pemaknaan konotasi, yaitu memberikan makna terhadap tanda-tanda yang ada dalam konteks komodifikasi duata berdasarkan penafsir dengan cara mengaitkan dengan sikap, keyakinan, dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat sekitarnya. Komodifikasi ritual duata sebagai sebuah tanda dalam ruang budaya dapat diberi beragam makna dengan menciptakan tafsir-tafsir baru mengenai tanda-tanda budaya yang mengitarinya. Melalui tafsir-tafsir yang diciptakan terhadap berbagai tanda terkandung berbagai makna. Makna komodifikasi ritual duata berkaitan erat dengan proses terjadinya komodifikasi budaya, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Proses berlangsungnya industrialisasi terhadap produk budaya ritual duata telah menjadikan duata sebagai barang komoditi. Untuk kepentingan industri pariwisata, duata dikonstruksi kapitalisme sebagai suatu bentuk representasi budaya masyarakat etnik Bajo dengan tujuan komersial. Pembangunan kebudayaan dalam rangka untuk kepentingan pariwisata sebagai bagian dari upaya pelestarian menyebabkan ritual duata menjadi produk budaya tontonan. Sadar atau tidak sadar masyarakat sesungguhnya telah ikut ambil bagian dalam proses komodifikasi ritual duata. Makna komodifikasi ritual duata
terkait dengan penelitian ini dapat didasarkan pada upaya pelestarian budaya, identitas budaya, kreativitas masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 7.2.1
Pelestarian Budaya Kebudayaan adalah pemikiran ideal mengenai apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia untuk menyempurnakan keberlangsungan hidupnya. Dalam perjalanannya kebudayaan akan selalu mengalami penyesuaian dan penyempurnaan dengan harapan memperbaiki apa yang belum sempurna tanpa merusak akar kebudayaan. Kebudayaan yang terus mengalami dinamika berdasarkan pada ideologi yang berasal dari diri manusia sendiri namun dalam prosesnya dibutuhkan sebuah aturan (norma) agar bisa mengendalikan dan memahami apa yang semestinya dilakukan dan sebaliknya demi kebertahanan kebudayaan tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri terkadang hasil dari berbagai inovasi kebudayaan melahirkan efek baru yang bertentangan dengan kebudayaan yang sebelumnya. Patut disayangkan jika kebudayaan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang kita jika tidak dilestarikan akan mengalami kepunahan akibat gempuran kebudayaan global. Pada hal kebudayaan memiliki filosofi makna yang identik dengan simbol-simbol yang memiliki kaitan dengan perjalanan peradaban manusia pada masa itu. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan yang lain yang didapat seorang sebagai anggota masyarakat. Sesuai dengan pendapat Suparlan (dalam
Ghazali 2011: 32) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan, atau pedomanan bagi kehidupan masyarakat, yaitu merupakan perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Untuk memahami makna dibalik simbol yang digambarkan oleh pemilik kebudayaan diperlukan pemikiran kritis yang harus diterjemahkan sehingga generasi muda bisa mewarisi
dan
memahami makna kebudayaan tersebut. Ritual duata memiliki banyak simbol-simbol yang tidak begitu saja ditentukan namun memiliki sumber dan kaitan terhadap komponen-komponen yang dianggap baik oleh leluhur. Seiring dengan perkembangan zaman simbolsimbol tersebut mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan konteks kebutuhan manusia. Simbol yang memiliki nilai makna begitu saja diubah, diperlakukan sehingga menimbulkan berbagai macam pemaknaan baru akan filosofi nilai-nilai yang digambarkan dalam ritual duata. Oleh karena itu sudah saatnya ada upaya pelestarian ritual duata kegenerasi selanjutnya sebagai hak kekayaan intelektual lokal masyarakat Bajo yang memiliki makna simbolik yang mampu menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan manusia, alam dan sang pencipta (Tuhan Yang Maha Esa). Terkait denga praktik komodifikasi ritual duata merupakan fenomena budaya yang mengalami transformasi budaya yang menjadikan budaya sebagai komoditinya. Transformasi ritual duata ke arah profanisasi bukan hanya didasarkan pada pemanfaatan produk ritual sebagai modal untuk dijadikan
barang/jasa untuk dijual, namun masyarakat harus menyikapinya bahwa komersialisasi ritual duata adalah bagian dari upaya pelestarian tradisi/ritual dari ancaman kepunahan. Untuk itulah masyarakat etnik Bajo dengan adanya praktik komodifikasi ritual duata bisa melestarikan tradisi/ritual dan disisi lain bisa memanfaatkannya guna meningkatkan perbaikan kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut terkait dengan pendapat Sibarani (2012: 71) mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia yang sangat kaya akan keberagaman budaya, Indonesia sangat penting, bukan hanya dari segi pelestarian sebagai warisan budaya yang perlu dijaga dan dilindungi demi jati diri, harkat dan harga diri bangsa, tetap dari segi modal budaya dapat diolah hingga dapat memberi nilai tambah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Manan (46 tahun) sebagai berikut. “Masyarakat Bajo sendiri harus sadar bahwa ritual duata ini tidak disalah gunakan seperti isu yang berkembang selama ini. Tetapi ritual duata kenapa dijadikan sebagai pertunjukan seperti tari-tarian ini sebagai tindakan penyelamatan budaya Bajo, karena kalau tidak dijadikan seperti ini, makan duata ini lama-kelamaan hilang, bisa dilihat buktinya sekarang orang Bajo dipandang lebih oleh masyarakat di darat dan akhirnya juga membawa keberuntungan bagi masyarakat dari segi ekonomi dan budaya” (wawancara 7 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa praktik komersialisasi ritual duata bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata secara ekonomi namun dengan adanya praktik ritual duata ke arah profan akan memberikan upaya pelestarian budaya dari ancaman kepunahan. Dalam perkembangannya tradisi lisan diarahkan pada suatu karya bersifat estetik dan profan. Oleh karena itu tradisi lisan dianggap sebuah karya yang dapat dikomunikasikan di dalam masyarakat yang dimaksudkan bahwa
tradisi lisan bisa dinikmati, ditonton dan didengar oleh penikmat. Ritual duata semenjak dijadikan sebagai salah satu kesenian dalam bentuk atraksi budaya sangat menguntungkan banyak pihak khususnya masyarakat etnik Bajo sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Nampaknya masyarakat antusias menerima perubahan ritual duata dijadikan sebagai bentuk kesenian yang membuka lapangan pekerjaan dan melahirkan seniman-seniman kreatif yang mampu memperbaiki taraf kehidupannya yang pada akhirnya ritual duata bisa eksis pada era modernisasi. Hal tersebut dituturkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut. “Ritual duata sebagai tradisi pengobatan Bajo ini dulu sebelum adanya wisatawan yang datang ke kampung kami, belum begitu dikenal jadi tampaknya hanya orang Bajo saja yang mengetahui dan mengkonsumsinya. Tetapi sekarang setelah dikenal oleh orang banyak jadinya ritual ini sering dipanggil mengisi acara-acara pemerintah atau tamu-tamu yang datang ke Wakatobi. Saya sendiri sangat bangga tentunya bagi masyarakat Bajo juga sehingga budaya kami sedikit demi sedikit bisa dikenal, bahkan upah yang diberikan dari jasa pertunjukan kami ini bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, disamping itu ritual duata bisa bertahan” (wawancara 7 Pebruari 2014). Tuturan di atas menunjukkan kehadiran wisatawan/penikmat seni khususnya tradisi lokal masyarakat Bajo membawa manfaat yang begitu besar terhadap eksistensi kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat Bajo. Dimana dengan semakin dipertunjukan ritual duata mereka bisa menunjukan eksitensi diri dan budaya Bajo kemasyarakat luas sehingga mampu melakukan kreativitas dan pelestarian dalam bentuk pertunjukkan yang mengundang daya tarik bagi wisatawan dan tentunya jerih payah yang mereka lakukan benilai guna untuk kesejahteraan keluarganya. Hal tersebut nampaknya telah memberikan perubahan bagi tatanan sosial masyarakat etnik Bajo karena ritual duata bukan saja merupakan hak milik atau budaya Bajo namun sekarang berubah menjadi
sebuah produk yang tentunya bisa dikonsumsi oleh siapa saja termasuk wisatawan mancanegara sehingga bukan hanya menimbulkan jiwa kosumerisme bagi penikmat seni namun sebuah prestise tersendiri. Oleh karena itu, komodifikasi ritual duata hendaknya dilakukan melalui pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan (multi disiplien). Pendekatan terpadu ini pada dasarnya bersifat knowledge based dan mengintegrasikan beberapa bidang pengetahuan sebagai landasannya (Spillane, 1994: 3). Mengingat pentingnya nilai-nilai ritual duata pada etnik Bajo maka perlu dibawah pengawasan yang tentunya melibatkan masyarakat lokal (pemilik tradisi) serta praktisi budaya (pemerintah) sehingga dalam komodifikasi ritual duata, akar budaya dan nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal yang mencerminkan jati diri masyarakat Bajo tidak hilang akibat dari komersialisasi tradisi. 7.2.2
Identitas Budaya Perkembangan tekhnologi dan informatika yang semakin pesat
membawa perubahan signifikan bagi eksistensi nilai tradisi lokal yang dimiliki bangsa kita. Hal tersebut bukan lagi sebuah gejala perubahan nilai namun akan membawa kepada perubahan nilai tradisi kearah konteks kebudayaan global. Terjadinya komersialisasi berbagai bentuk kebudayaan leluhur yang dilakukan oleh masyarakat pendukung kebudayaan nampaknya lebih memperhatikan nilai ekonomi ketimbang filosofi nilai, makna dari tradisi tersebut. Ritual duata sebagai warisan leluhur syarat akan berbagai macam makna, nilai yang bisa dijadikan sebagai pegangan dan pedoman dalam membina
keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Bajo. Sebagai ritual pengobatan adat etnik Bajo sepatutnya bisa menjaga dan memelihara kelestarian ritual tersebut dari kepunahan. Bukan hanya dalam upaya penyembuhan berbagai pennyakit, namun ritual duata erat kaitannya dengan kearifan lokal serta hubungan antara manusia dengan sesamanya, lingkungan alam, dan penguasa alam. Namun di era globalisasi sekarang ini eksitensi ritual duata berangsur-angsur mengalami perubahan nilai namun juga pemaknaan yang berbeda bagi masyarakat pendukung juga pihak konsumen (penikmat tradisi). Representasi ritual duata yang syarat akan tanda-tanda yang melekat pada prosesinya memberikan corak yang unik terhadap kehidupan pemilik kebudayaan etnik Bajo. Tanda-tanda tersebut bisa dikatakan sebagai identitas etnik Bajo yang hidup dengan budaya lautnya. Dalam memproduksi makna ritual duata sebagai identitas etnik Bajo terlihat dari penanda (signifier), pakaian yang dipakai oleh penari maupun dukun (sandro), gendang, sesajian, serta bendera kebesaran (ula-ula) sebagai tanda (semiotik) yang mempunyai petanda (signified) untuk menjelaskan makna. Produksi makna disini bersifat implisit, tersembunyi yang disebut makna konotatif (Piliang, 2004 aa:90). Makna konotasi berdasarkan latar budaya etnik pemberi konotasi (Hoed, 161-162). Selanjutnya
bagaimana
teks-teks
budaya
dapat
memunculkan
makna
representasi identitas etnik Bajo melalui sistem penandaan yang dalam konteks ini misalnya: berupa pakaian tradisional, tari, suara gendang, ula-ula, jenis sesajian, maupun doa (jajampi). Pakaian penari sebagai identitas suku Bajo terlihat pada gambar 7.1.
Gambar 7.1 Kelompok penari ritual duata (ngigal) (Dokumen, Irsyan Basri: 6 Pebruari 2014) Gambar 7.1 menunjukkan para penari (ngigal) dengan pakaian yang seragam memberikan identitas etnik Bajo. Nampak sarung yang digunakan oleh penari duata berwarna gelap karena pada umumnya kehidupan etnik Bajo dulu masih tinggal di atas perahu (bido) sehingga apapun media yang digunakan masih bersifat natural yang berasal dari alam mereka belum menyukai warna terang. Sarung yang mereka pakai memiliki kemiripan dengan sarung songket etnik Bugis karena mereka masih mempunyai garis keturunan yang sama. Umumnya orang Bajo baik pria maupun wanita senang memakai sarung. Sarung pada zaman dahulu memiliki banyak fungsi dalam kehidupan masyarakat etnik Bajo terutama bagi kaum wanita. Seperti yang diungkapkan oleh Ambe (51 Tahun) sebagai berikut. “Dulu kami orang Bajo belum memakai Baju seperti sekarang ini, untuk menutupi aurat kami menggunakan kain atau sarung. Sarung ini bukan hanya bisa menutup aurat namun bisa digunakan sebagai layar untuk membantu kami dalam mengarungi laut. Kami tidak memakai baju hanya sarung saja sama juga dengan laki-laki, sehingga bagi orang bagai memandang kami seperti orang aneh apa lagi warna kulit kami ini tidak seperti orang di darat. Sarung ini biasanya kami dapat dari kerabat kami
dari Bugis jadi dulu sarung ini penting juga karena bisa orang kenal kita dari motif sarung yang digunakan. (wawancara 5 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa etnik Bajo pada kehidupannya di atas perahu baik pria maupun wanita hanya menggunakan sarung. Sarung memiliki manfaat dan sangat penting disamping untuk melindungi mereka dari cuaca panas atau dingin juga bisa sewaktu-waktu dijadikan sebagai layar untuk membangkitkan kekuatan tenaga angin dalam mengarungi samdera. Sebagai identitas etnik Bajo sarung tersebut memiliki corak yang sama dengan etnik Bugis karena masih mempunyai garis keturunan yang sama menurut sejarahnya. Disamping itu bendera (ula-ula) merupakan unsur pokok dalam ritual duata seperti pada gambar di 7.2.
Gambar 7.2 Ula-ula sebagai penanda identitas suku Bajo (Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014) Pada gambar 7.2 terlihat bendera kebesaran etnik Bajo (ula-ula). Ada beberapa bendera yang digunakan oleh masyarakat etnik Bajo sehingga bisa dibedakan jenis bendera untuk pengobatan maupun acara-acara adat lainnya. Kain yang berbentuk segi tiga yang disimpan diujung tongkat dan biasanya dikaitkan pada
buritan perahu (bido). Sudah bisa digambarkan bahwasanya ketika pada saatsaat tertentu bendera (ula-ula) bisa dikibarkan sehingga masyarakat Bajo memahami kalau di desanya akan ada sebuah kegiatan atau peritiwa. Bendera sebagai identitas etnik Bajo memiliki makna yang mendalam dengan warna dan bentuk yang unik memggambarkan sebuah mitos yang diyakini dari leluhurnya akan keperkasaan dan kekuatan hewan laut berupa gurita raksasa yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Bajo. Sejalan dengan penggambaran di atas, Maunati (2004: 23) dan Ardhana (2004:101-102) menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan persoalan identitas. Ia menyebut bahwa penanda-penanda identitas budaya misalnya bisa berasal dari sebuah kekhasan yang diyakini ada pada agama, bahasa, adat serta tradisi pada budaya yang bersangkutan. Selanjutnya dalam pandangan semiotika simbol atau benda menjadi tanda yang sekaligus sebagai identitas yang memiliki makna. Identitas sebenarnya sebuah kontruksi, dalam artian identitas budaya dapat dengan sengaja dibentuk atau dibangun. Dalam proses pembentukan identitas tersebut tergantung pada pengalaman masa lalu atau sejarah yang berbeda. 7.2.3
Kreativitas Masyarakat Kebudayaan telah mengalami perubahan fungsi menjadi sesuatu yang
bisa sewaktu-waktu berubah mengikuti apa yang diharapkan oleh masyarakat (konsumen). Dalam hal ini ritual duata bisa menjadi suguhan untuk kepentingan pariwisata dimana kebudayaan yang berkembang bukan hanya didasarkan pada nilai esensi yang terkandung didalamnya melainkan efektifitasnya dan nilai jual
yang terkandung di dalamnya. Dalam tataran ekonomi kebudayaan merupakan tontonan yang dapat diperjual belikan dimana komunitas atau pendukung kebudayaan diharuskan mendaur ulang atau mengemasnya sehingga ada unsur kebaruan dalam tampilannya. Hal tersebut sejalan dengan Tester (2009:84) komodifikasi adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit yang sebelumnya sebagai karya sakral untuk persembahan dengan kesadaran penuh dan perhitungan yang matang dari seniman maupun konsumen diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang membutukan karya seni tersebut. Hal tersebut dituturkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut. “Kalau ritual duata untuk kepentingan pertunjukkan kami selalu mengikuti perkembangan tari-tarian yang sudah ada. Kebetulan di Wakatobi ini banyak sekali tari-tarian sehingga untuk gerakan tari dalam ritual ini terkadang mengikuti tari daerah lain sama halnya busana pasti akan selalu tampil dengn perkembangan gaya masa kini” (wawancara 7 Pebruari 2014). Tuturan di atas menunjukkan bahwa untuk menarik minat atau daya tarik konsumen/wisatawan tentunya harus memiliki modal kreativitas seperti halnya pelatih atau penari selalu mengikuti konsep perkembangan tari kontenporer yang tentunya bertolak pada tradisi sebelumnya begitu juga pada perkembangan busana harus siap dengan tampilan baru sehingga nampak berbeda dan mengundang daya tarik. Dalam rangka mencari keuntungan lebih kekuatan kapitalis di era postmodernisme tidak lagi hanya mengandalkan pada ekspansi dan misifikasi komoditas, tetapi sudah lebih berorientasi dan kemunculan inovasi atau ide-ide baru yang dibutuhkan dan diinginkan pasar. Karena tanpa melakukan inovasi-
inovasi terbaru akan mengalami ketertinggalan yang pada akhirnya tidak diminati oleh konsumen. Hal tersebut nampak pada praktek ritual duata dimana dalam memenuhi tuntutan pasar selalu melakukan perubahan-perubahan tampilan baik dalam bentuk materi ritual atau formasi gerakan-gerakan ritual. Persaingan-persaingan dalam industri budaya melahirkan juga potensi persaingan dibidang ekonomi lainnya sehingga karakter masyarakat Bajo semakin tertantang dengan budaya persaingan. Kedua sisi itu tampak berlawanan, tetapi berjalan berdampingan saling melengkapi
dan
memperkokoh
eksistensi
masing-masing.
Sekat
yang
menjadikan ritual duata sebagai ritual pengobatan adat etnik Bajo dan daya tarik wisata dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Ritual duata yang mengalami komodifikasi tentunya tunduk pada selera konsumen (pasar) sehingga dalam perubahannya dibutuhkan pemikiran dan modal kreativitas seni tinggi sehingga mengundang daya tarik seni terhadap penikmat atau konsumennya. Kretivitas sandro dan seniman Bajo dalam mendesain struktur tari, sesajian dan pakaian yang digunakan dalam ritual memberikan kesan tersendiri karena apa yang mereka tunjukan akan bernilai seni dihadapan penikmat seni/konsumen. Makna kreativitas dalam komodifikasi ritual duata yang dilakukan oleh sandro dan pelaku seni di etnik Bajo dilihat dari beberapa bentuk yang memiliki perubahan dari media aslinya yakni pada awalnya ritual duata dilakukan oleh masyarakat Bajo dalam hal pengobatan. Namun pada perkembangannya kearah
komodifikasi, ritual duata mengalami perubahan dalam konteks tempat, dan waktu pelaksanaanya. Ritual duata sebagai ritual pengobatan adat kini bisa dilakukan
kapan saja dan dimana tergantung pengoder/selera konsumen
sehingga dilihat dari prosesnya ritual duata terkesan berubah dalam bentuk penggunaan waktu pelaksanaan, dan fungsinya. Ritual duata yang seharusnya menggunakan waktu selama tiga hari dengan mengikuti selera pasar bisa dipadatkan menjadi 10 sampai 15 menit sehingga ada perubahan karakter dan tampilan yang menyesuaikan dengan keadaan dimana mereka tampilkan. Hal ini juga akan berimbas pada materi-materi ritual seperti sesajian, pakaian yang digunakan oleh pelaku dalam ritual, serta identitas-identitas yang ditunjukan mengalami perubahan. Perubahan tersebut menunjukan bahwa eksisatensi ritual duata serkarang lebih kepada tuntutan ekonomi pasar yang mengikuti apa yang diinginkan
oleh
pasar
sehingga
terjadi
pemaknaaan
baru
dalam
perkembangannya. Sisi lain dari kreativitas akan melahirkan sebuah karya seni yang penuh dengan pemalsuan karena pada dasarnya yang diharapkan adalah mengejar estetika dengan harapan mendapatkan keuntungan lebih. Perubahan tampilan isi materi sesajian seperti pada gambar 7.3.
Gambar 7.3 Kreativitas dalam penyajian isi sesajian (Dokumentasi: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi) Gambar 7.3 menunjukkan bahwa ritual duata bukan saja merupakan sebuah ritual yang memiliki makna kesakralan tinggi namun dengan adanya pengaruh pariwisata dan ekonomi maka ritual duata merupakan sebuah tuntunan dan tontonan sebagai sajian seni yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dalam jasa yang mengikuti selera pasar. Hal tersebut menumbuhkan modal kreativitas bagi seniman untuk lebih menginginkan hal-hal baru yang bisa memperkaya dan membuat ritual duata tampil lebih dan tentunya bernilai jual. Sementara itu, perkembangan masyarakat kontemporer yang dicirikan oleh kecenderungan pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme, dan permainan citra pada tingkat kedalaman tertentu, telah menyeret berbagai realitas ritual keagamaan dalam ruang-ruang pengaruhnya. Ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut (komoditi, konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di dalam sifat-sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya dari makna dan nilai-nilai hakikatnya (Piliang, 2009 : 336).
Fenomena seperti itu oleh Baudrillard (1997 : 36-37) disebut dengan simulakra yang menyatakan bahwa semua sistem, semua hal yang ada, merupakan kehampaan. Tidak ada apapun, kecuali kepurapuraan atau simulasi. Seseorang tidak pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri, tetapi hanya purapura menjadi dirinya sendiri. Ketradisionalan mereka hanya sekedar tampilan fisik sebagai suatu bentuk kepura-puraan. Secara sepintas dapat dilihat bahwa masyarakat masih kuat melakukan tradisi spiritualnya. Namun sesungguhnya ternyata merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh orang-orang modern yang berpura-pura tradisional. Dalam konteks kekinian, komodifikasi ritual duata yang dilakukan oleh masyarakat Bajo dianggap sebagai bentuk kreatifitas masyarakat Bajo untuk menciptakan atau berinovasi dengan hal-hal baru sehingga mengundang daya tarik tersendiri dan ini merupakan bagian dari sebuah pengembangan kreativitas seniman Bajo dalam melestarikan ritual duata. Kreativitas dijadikan sebagai modal utama dalam mendaur ulang ritual duata sehingga membangkitkan libido/hasrat untuk mengonsumsinya kembali sehingga nilai-nilai yang terkandung didalam ritual duata mampu diterima oleh masyarakat yang menikmatinya. 7.2.4
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Komodifikasi ritual duata mengandung makna kesejahteraan bagi
masyarakat pendukung maupun sekitarnya. Ritual duata tampil dengan estetika baru yang sengaja diproduksi untuk menarik wisatawan guna meningkatkan pendapatan secara ekonomi. Dengan demikian para seniman berlomba-lomba
untuk menggali dan mengembangkan kreatifitasnya dengan memanfaatkan potensi tradisi sebagai objek bernilai jual. Kesejahteraan (Kebayantini, 2013: 192) yaitu menyangkut berbagai aspek yang kompleks. Sejahtera tidak hanya dipandang dari segi terpenuhinya kebutuhan ekonomi semata, tetapi juga kebutuhan sosial dan mental spritual. Terkait dengan hal ini makna kesejahteraan adalah dalam penelitian ini menyangkut terpenuhinya kebutuhan ekonomi, sosial, dan mental spritual para pelau ritual duata. Ritual
duata
pada
hakikatnya
dikonsumsi
oleh
masyarakat
pendukungnya karena nilai esensinya yang membawa manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut dirasakan ketika apa yang mereka inginkan dalam upaya penyembuhan dari penyakit terkabulkan. Ritual duata umumnya diperuntukkan atau dikonsumsi oleh orang-orang Bajo sendiri, namun pada perkembangannya mengalami transformasi yang menyesuaikan dengan budaya yang dibawa oleh kapitalisme sehingga ritual duata yang sebelumnya bukan barang komoditas menjadi barang komoditas yang berorientasi nilai jual. Pada masyarakat moderen hal apapun berpotensi menjadi komoditas, memiliki nilai moneter, dan diperjualbelikan sehingga melahirkan apa yang disebut komodifikasi. Hal tersebut sejalan dengan konsep Barker (2005: 517) komodifikasi yaitu proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar.
Perkembangan
kreativitas seni masyarakat Bajo dalam pertunjukan
ritual duata secara ekonomi sangat diuntungkan mengingat dalam prosesnya ada ketetapan harga yang diberikan oleh konsumennya sehingga secara ekonomi akan mampu mensejahterakan pemilik ritual duata (pelaku dalam pertunjukan) dan masyarakat Bajo pada umumnya. Senada dengan apa yang dikatakan Ardika dalam (Dasrul, 2013: 151) bahwa praktek budaya global memberikan pengaruh positif bagi kelangsungan ekonomi. Dengan penetapan harga/upah tersebut akan memberikan modal dalam segi pembiayaan dalam proses produksi dan distribusi ritual duata. Tentunya bukan hanya diuntungkan secara ekonomi namun dengan adanya komodifikasi ritual duata yang diperuntukan kepada masyarakat luas dianggap sebagai ajang promosi dan pelestarian akan kebudayaan etnik Bajo. Masyarakat Bajo yang telah diboncengi pemikiran kapitalis dengan menjadikan ritual duata sebagai modal untuk ditukarkan dengan uang memiliki harapan akan peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan nilai tukar berupa uang maka mereka bisa memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Hal tersebut diungkapkan oleh Hapsa (45 tahun) seperti berikut. “Ritual duata ini setelah sering dipertunjukkan pada acara pemerintah kami merasakan ada perubahan ekonomi keluarga dengan hasil upah setiap kali kami tampilkan. Lumayan untuk makan sehari-hari juga meyekolahkan anak-anak kami. Setiap kali tampil saya terkadang dikasi uang Rp300.000 belum lagi tip-tip dari bapak ibu yang beri saweran” (wawancara 7 Pebruari 2014) Ungkapan di atas menunjukkan bahwa dorongan ekonomi kapital yang dilakukan oleh masyarakat Bajo untuk mengkomersialkan ritual duata sangat bermanfaat dalam perbaikan ekonomi keluarganya. Dengan memanfaatkan produk budaya ritual duata nampaknya melahirkan paradigma berpikir kritis
untuk memanfaatkan sesuatu yang sebelumnya bukan barang bernilai yang pada akhirnya memberi manfaat dengan nilai tukar dari barang/jasa tersebut. Komodifikasi ritual duata jika dikaitkan dengan ekonomi erat hubungannya karena oleh produsen sengaja memproduksinya dengan menata ulang (daur ulang) dari apa yang sebelumnya kurang menarik untuk dinikmati (jual) yang pada akhirnya menjadi barang/jasa untuk dikonsumsi sebagai produk budaya massal yang berorientasi pada pasar. Dalam melakukan daur ulang tentunya harus dipertimbangkan aspek penting yang bisa memiliki nilai guna, dalam artian produk yang kita hasilkan dapat bermanfaat atau memuaskan kebutuhan tertentu. Disamping itu sebuah komoditas harus bisa dipertukarkan dengan barang atau jasa lain yang disebut nilai tukar (Suyanto 2013: 176). Komodifikasi ritual duata bukan saja dinikmati berdasarkan fungsi esensinya sebagai ritual penyembuhan namun disisi lain harus ada nilai lebih yang berorientasi pada pemenuhan selera konsumen. Etnik Bajo yang dominan bermata pencaharian sebagai nelayan lambat laun mengalami perubahan pola mata pencaharian ke bidang pekerjan yang lain seperti bidang kesenian atau usaha perdagangan sehingga memberikan variasi pekerjaan bagi masyarakatnya. Seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan sosial budaya maka adat, tradisi, dan budaya masyarakat juga mengalami perubahan. Hal tersebut diungkapkan oleh Bakri (63 tahun) sebagai berikut. “Orang Bajo dulu semua pekerjaannya melaut, boleh dikata kami ini orang yang hidup mati dengan namanya laut. Pekerjaan melaut ini kami dapat dari leluhur sebelum kami, jadi yang namanya gejala alam atau perubahan iklim yang berkaitan dengan kegiatan melaut orang Bajo
sangat pintar. Tapi sekarang setelah adanya pariwisata di Wakatobi anakanak udah banyak yang sekolah bahkan menjadi orang besar. Terlebih di kampung ini sudah banyak terlihat perubahan rumah-rumah sudah permanen bukan kaya dulu masih di atas laut. Semuanya itu karena orang Bajo sudah menghargai yang namanya uang sehingga bisa bekerja mencari uang untuk berdagang atau pekerja seni, bahkan membuat kerajianan khas Bajo dan itu sangat menunjang perekonomian keluarga. (wawancara 8 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kehadiran industri pariwisata yang ada di kawasan kepulauan Wakatobi berimbas terhadap pola pekerjaan masyarakat Bajo dari profesi nelayan bergeser kepekerjaan lainnya seperti berdagang, pekerja seni ataupun penjual kerajian khas suku Bajo. Dengan adanya berbagai macam profesi masyarakatnya membuat tingkat kesejahteraan masyarakatnya pun maju dan lebih meningkat. Bagi pelaku seni khususnya dukun pemilik ritual duata merespon baik adanya praktik komodifikasi. Hal tersebut membuat perubahan bagi kondisi keluarganya kearah yang lebi baik. Ritual duata baik dijadikan sebagai pengobatan atau atraksi seni sangat membantu perekonomian terlihat dalam sekali pertunjukan terkadang dukun memperoleh keuntungan bersih Rp 5.000.000 sekali pertunjukan dan itu dirasakan sangat diuntungkan. Hal ini seperti yang dituturkan oleh dukun (Dasseng) sebagai berikut. “Kalau dulu pengobatan saya kasi harga mulai dari Rp 3.000.000 sekali pengobatan dan itu tidak tiap hari tapi sekarang kalau ada tamu datang pertunjukan duata pasti akan diminta dan dibayar mahal karna kalau untuk pertunjukan saya banyak gunakan tenaga yah taksiran untung saya Rp 5.000.000 jadi saya merasa untung bisa berjalan keduanya” (wawancara 7 Pebruari 2014). Tuturan di atas menunjukkan ritual duata dapat dijadikan sebagai mata pencaharian. Terbukti apa yang dilakukan oleh dukun bisa mendapatkan
keuntungan yang begitu besar. Perubahan ritual duata dari sakral ke profan tidak terlepas dari pengaruh golbalisasi. Ideologi dan tingkat pengetahuan masyarakat yang bervariasi ikut berperan dalam mengubah pemaknaan ritual duata. Masyarakat Bajo memainkan peranan penting dalam industri budaya dengan memanfaatkan dan memberdayakan tardisi/ritual duata sebagai komoditi. Pemberdayaan tradisi/ritual mengakibatkan pola pikir masyarakatnya untuk menekuni profesi sebagai pekerja seni yang dapat mendatangkan keuntungan. Terbukti setelah ritual duata dikomersialkan masyarakat pendukung ritual khususnya dukun dan pelaku seni lainnya mengalami perubahan perekonomian yang begitu besar serta masyarakat sekitarnya pun ikut merasakan manfaatnya.
Kedatangan
wisatawan
keperkampungan
Bajo
mendorong
masyarakatnya untuk membuka jasa layanan seperti penginapan, penyewaan perahu serta pedagang yang menawarkan barang produk seni kepada tamu/wisatawan yang berkunjung. Hal tersebut diungkapkan oleh Daud (47 tahun) sebagai berikut. “Saya sendiri merasakan efeknya ketika banyak orang yang datang keperkampungan Bajo, diantaranya saya menyewakan perahu kalau ada tamu yang mau jalan-jalan disekitar kampung sekali pakai aku beri harga Rp 250.000 dan kebetulan istri saya membuka usah kecil-kecilan seperti gorengan atau makanan dan ada sedikit dagangan seperti kalung atau cincin yang terbuat dari kulit penyu dan itu laku terjual kalau ada wisatawan, hitung-hitung keuntungan yang kami dapat ini mampu menyekolahkan anak-anak kami sampai kuliah” (wawancara, 7 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa bukan hanya pemilik ritual duata yang diuntungkan dalam hal ini masyarakat sekitar turut andil dalam mendukung praktik komodifikasi ritual duata. Dengan kehadiran wisatawan untuk melihat
praktik ritual duata, oleh masyarakat etnik Bajo memanfaatkannya untuk memberi layanan jasa atau dagangan untuk ditawarkan kepada wisatawan yang pada akhirnya terjadi transaksi jula-beli yang sangat menguntungkan.
BAB VIII STRATEGI PEWARISAN RITUAL DUATA Strategi
pewarisan
merupakan
suatu
upaya
atau
cara
untuk
melindungi/memanfaatkan budaya/tardisi khususnya tradisi lisan dari berbagai macam ancaman kepunahan akibat dari arus budaya global yang merambah ke dalam kebudayaan lokal. Tradisi lisan yang berisi tontonan dan tuntunan tersebut sekiranya perlu mendapat perhatian khusus sehingga mampu bertahan dan dimanfaatkan dalam konteks kehidupan sekarang. Sebuah tradisi tidak akan hidup jika tidak mengalami transformasi dimana terdapat penyesuaian antara tradisi dengan modernisasi
yang merupakan sebuah kewajaran karena
kebudayaan merupakan sebuah aspek yang akan senantiasa mengalami dinamika. Setiap tradisi memiliki nilai budaya yang sebahagian besar dimanfaatkan pada generasi masa kini demi masa depan yang sejahtera dan bermartabat, sehingga dibutuhkan ahli yang dapat menggali, menginterpretasi, dan menerapkan nilai budaya itu dengan baik. Nilai budaya yang dimaksud disini adalah nilai luhur yang ada pada tradisi lisan dan yang menjadi pedoman komunitas pada zaman itu. Harus diakui juga bahwa nilai luhur yang dahulu menjadi pedoman leluhur belum tentu sepenuhnya relevan dengan kehidupan masa kini, bahkan mungkin ada yang telah bertentangan dengan kehidupan sekarang. Nilai budaya yang masih relevan dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial suatu komunitas dengan arif. Oleh karena itu tradisi lisan yang mengandung kearifan perlu dilakukan pewarisan untuk diterapkan dan diajarkan
pada generasi muda sekarang demi penciptaan kedamaian dan peningkatan kesejahteraan bangsa di masa depan. Sebagai langkah strategi pewarisan yang dilakukan oleh masyarakat Bajo terhadap keberadaan ritual duata yaitu dalam upaya (1) pemberdayaan, (2) pendokumentasian dan (3) pengembangan 8.1
Pemberdayaan Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang mendapat awalan ber
menjadi kata “berdaya” artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya kekuatan, berdaya artinya memiliki kekuatan. Pemberdayaan artinya membuat sesuatu menjadi berdaya atau mempunyai kekuatan. Pemberdayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya memberikan kebebasan kepada masyarakat pendukung tradisi untuk memanfaatkan modal budaya berupa ritual duata untuk dijadikan sebagai produk budaya yang bernilai guna sehingga bisa meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Melihat kuatnya pengaruh globalisasi dalam bidang kehidupan manusia seakan-akan nilai-nilai dan ideologi global meruntuhkan segala tatanan sosial yang bersumber dari tradisi dan kebudayaan leluhurnya. Nilai keluhuran yang bersumber dari tradisi kebudayaan nenek moyang yang dijunjung tinggi sebagai aturan adat yang ampuh dalam memperbaiki dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan manusia diperhadapkan dengan pemikiran praktis yang berdasarkan dari budaya global. Tradisi seakan-akan kurang andil dijadikan sebuah nilai yang bisa difungsikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Seolah-olah tradisi dianggap sebuah unsur kekunoan yang membuat masyarakat semakin tertutup (koservatif)
jauh dari
perkembangan manusia-manusia moderen seperti di
negara barat. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap nilai tradisi leluhur akan mengalami keterancaman (punah) yang lambat laun masyarakat bisa meninggalkannya. Hal tersebut mendorong pihak-pihak terkait pemerhati kebudayaan untuk melakukan upaya dalam perlestarian tradisi lokal baik lisan maupun tulisan untuk bisa dipertahankan dan diberdayakan dalam budaya kekinian. Budaya global (moderen) yang semakin berkembang tidak bisa dihindari dalam perkembangan kebudayaan lokal. Harus kita sadari bersama bahwa kebudayaan akan terus mengalami dinamika kearah tingkat peradaban manusia yang moderen. Tradisi budaya (lisan) selalu mengalami transformasi akibat perkembangan zaman dan akibat penyesuaiannya dengan konteks zaman (Sibarani , 2012: 3). Tradisi akan selalu hidup dalam sebuah transformasi sebagai bentuk penyesuaian budaya lokal (tradisi lisan) dengan unsur modernisasi sehingga menciptakan sebuah kedinamisan budaya. Terkait dengan hal tersebut ritual duata sebagai tradisi lisan masyarakat etnik Bajo yang sekarang ini mengalami transformasi dari unsur kesakralan menuju profan merupakan bagian dari pengaruh praktik kapitalisme global. Sebagai warisan budaya leluhur masyarakat etnik Bajo masih berusaha menjaga kesakralannya, karena dinilai sesuatu yang tabuh yang tidak boleh disalah gunakan terkecuali dalam koridor yang semestinya (pengobatan). Namun dilain pihak timbul pemikiran baru dari sebagian masyarakat pendukung kebudayaan tersebut untuk memanfaatkan potensi yang diwariskan oleh leluhur untuk bisa diberdayakan dalam upaya melestarikan dan mengangkat kebudayaan tersebut
keranah pertunjukan. Hal tersebut diungkapkan oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut: “Kami memang sadar akan kesakralan ritual duata yang bagi kami memiliki kekuatan supranatural yang ampuh dalam hal pengobatan. Pemikiran-pemikiran akan nilai gaib dalam pengobatan itu membuat kami masyarakat Bajo ini terpecah-pecah untuk membuat ritual ini sebagai bentuk kesenian. Banyak orang Bajo yang tidak menginginkan akan hal tersebut namun ada juga yang setuju, dengan alasan kalau yang dipertunjukan ini bukan yang asli tapi sebuah karya seni dengan menggunakan unsur-unsur dalam prosesi duata. Terlebih kalau duata tidak dijadikan kesenian akan punah bahkan orang-orang diluar sana tidak tau apa yang dimiliki orang Bajo hari ini. Jadi, dengan pertunjukan saya kira bisa menghidupkan ritual tersebut dan bisa dimanfaatkan sehingga diharapkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan suguhan kesenian dari kami ini bisa mensejahterakan pemilik ritual dan masyarakat sekitar etnik Bajo.(wawancara 7 Pebruari 2014). Ungkapan di atas menunjukkan kesadaran akan pentingnya ritual duata dijadikan sebuah pertunjukan bukan begitu saja terjadi namun ada perbedaan pendapat dari pihak pendukung tradisi dengan pihak yang menginginkan perubahan kearah profan. Alasan kedua belah pihak memiliki kekuatan untuk melestarikan tradisi masyarakat yang bersumber dari leluhurnya. Budaya merupakan suatu komponen yang sangat berarti bagi suatu bangsa karena budaya merupakan perekat bangsa dan menjadi ciri khas dari suatu negara. Dengan adanya kebudayaan maka suatu negara dapat dibedakan dengan negara lainnya. Karena peranan kebudayaan sangat penting maka dilakukan upaya pelestariannya agar tidak mengalami kepunahan. Hal ini dilakukan karena generasi muda sekarang ini kurang berminat mempelajari sejarah tradisi kehidupan leluhur masa lampau. Adanya sosialisasi dan penanaman nilai-nilai budaya sejak kecil perlu ditanamkan serta upaya dalam
memberdayakan masyarakat pendukung kebudayaan demi kelestarian tradisi dan nilai budaya. Ritual duata sebagai kekayaan budaya yang dimiliki etnik Bajo perlu diberdayakan disamping sebagai ritual pengobatan juga bisa diberdayakan dalam sektor industri budaya kreatif yang mengundang daya tarik wisatawan. Oleh karena itu dengan memberdayakan ritual duata masyarakat etnik Bajo berarti menyelamatkan tradisi dari gempuran globalisasi budaya yang berusaha melumpuhkan bahkan bisa memusnahkan berbagai macam tardisi termasuk ritual duata dengan budaya moderen yang lebih praktis dan ekonomis. Memberdayakan ritual duata bersama masyarakat pendukungnya sejatinya bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat etnik Bajo. Salah satu bentuk pemberdayaan tradisi ritual duata yaitu dengan melakukan pelatihan tari-tarian dari unsur ritual duata yang dilakukan oleh remaja putri etnik Bajo serta mendorong usaha jasa pembuatan pernakpernik yang digunakan dalam ritual duata sebagai oleh-oleh khas etnik Bajo yakni sarung tenun, gelang, dan kerajian tangan lainnya yang bisa meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat etnik Bajo. Seperti yang diungkapkan oleh Djamrin (38 Tahun) sebagai berikut: “Salah satu model pemberdayaan ritual duata yang dilakukan oleh seniman Bajo bersama sandro sejauh ini dilakukan dengan cara melatih remaja-remaja putri Bajo untuk menari ngigal yang merupakan komponen penting dalam ritual duata, serta memberdayakan ibu-ibu untuk bisa membuat aksesoris khas etnik Bajo yang kiranya bisa ditawarkan kepada wisatawan yang datang ke perkampungan Bajo, dan ini sangat membantu perekonomian keluarga. (wawancara 7 Pebruari 2014).
Berdasarkan ungkapan di atas bahwa dengan modal kreativitas tangan-tangan seniman mampu membuat tampilan ritual duata bernilai jual
yang berisi
tuntunan dan nilai-nilai yang begitu tinggi yang menggugah mata bagi para pecinta seni pertunjukan budaya. Dengan semakin dilakukannya perberdayaan ritual dengan menyajikannya sebagai atraksi seni akan semakin dikenal oleh masyarakat luas dan generasi muda etnik Bajo semakin mengenali tradisinya dan mampu mewarisi ritual tersebut dimasa akan mendatang. Dalam teori relasi kuasa, Foucoult dalam struktur relasi kuasa yakni ada pihak menguasai dan dikuasai (Hoed, 2011:284). Sebagai ritual yang diwariskan secara turun temurun tentunya ada agen-agen yang berpengaruh dalam hal ini. Sandro sebagai pemimpin ritual duata dalam hal ini memiliki kekuasaan penuh dan pengetahuan yang banyak akan ritual pengobatan (duata) untuk itu sebagai sosok yang ditokohkan dalam etnik Bajo beliau tidak henti-hentinya memberikan pemahaman terhadap keluarga, kerabat bahkan pasien-pasiennya akan pentingnya melakukan pengobatan adat seperti duata. Tentunya ketika masyarakat Bajo memahami dan mengkonsumsi ritual tersebut mereka semakin berusaha menjaga kelestarian ritual duata tersebut. Bila mana mereka sendiri yang menghancurkan tradisi tersebut itu akan mengancam keselamatan dan solidaritas diantara sesama orang Bajo. Disnilah terlihat bagaimana peran kuasa yang dimiliki oleh sandro dengan pengetahuan dan kemampuannya maka wacana yang dibangun akan selalu diyakini dan dikembangkan oleh masyarakat etnik Bajo.
Bukanlah hal yang mudah dalam memberdayaan ritual duata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat etnik Bajo harus ada pengawasan dan pendampingan sehingga tujuan dari masyarakat pendukung bahkan pemerintah sebagai pihak pemeberi kebijakan dalam hal ini dinas pariwisata dalam pemberdayaan ritual duata bisa tercapai. Dalam k 8.2
Pendokumentasian Berbagai macam pengaruh globalisasi hingga menembus kehidupan
terkecil bagi manusia tak dapat terelakkan. Tidak sedikit masyarakat yang masuk ke dalam kehidupan yang semakin praktis dalam diri mereka. Sehingga kondisi tersebut berimplikasi pada kurangnya pemahaman terhadap suatu tradisi yang telah dibangun sejak dahulu oleh pemiliknya. Arus globalisasi membuat peranan tradisi lisan semakin tersisihkan sehingga menimbulkan hilangnya seperangkat sistem kebudayaan lokal berimplikasi pada tatanan kebudayaan masyarakat. Untuk menghindari dan menyelamakan tradisi lisan yang mengalami keterancaman
harus
dilakukan
upaya
penyelamatan
dalam
bentuk
pendokumentasian agar tidak hilang ditelan zaman. Pendokumentasian merupakan salah satu cara untuk melestarikan dan mewariskan ritual duata pada generasi muda agar mampu bertahan dan hidup berdampingan
dengan
kemajuan
tekhnologi
modernisasi.
Pengumpulan
informasi dan menyimpan data-data yang berkaitan dengan ritual duata merupakan suatu bentuk usaha dalam menyelamatkan warisan leluhur etnik Bajo tersebut. Salah satu langkah yang dilakukan oleh sanggar seni yang dilakukan sandro yaitu dengan cara setiap kali ritual duata dilakukan, pihak pengelola
diminta untuk bisa mendokumentasikan prosesi ritual dari awal sampai akhir seperti rekaman vidio ataupun gambar (foto) sehingga ada arsip ataupun dokumentasi yang nantinya akan menjadi bukti konkrit bagi masyarakat etnik Bajo ke generasi penerus kelak. Seperti yang dituturkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut: “Saya kalau ada pertunjukan ritual duata yang diminta oleh pemerintah selalu saya bilang kalau bisa diliput atau difoto, karena saya sendiri mau juga melihat jalannya ritual ini. Juga untuk pegangan bagi saya, keluarga dan masyarakat di Desa Mola Selatan karena sering orang datang mau lihat bagaimana itu ritual duata” (wawancara 7 Pebruari 2014) Tuturan diatas nampaknya sandro (dukun) ritual duata sudah melakukan upaya untuk mendokumentasikan ritual duata agar dikemudian hari kalau keluarga atau masyarakat mau merlihat jalannya ritual duata bisa diperlihatkan melalui dokumentasi sebelumnya berupa rekaman vidio atau pun berupa foto (gambar). Sejauh peneliti lihat dilapangan, hasil dari pendokumentasian ritual duata ini masih jauh dari yang sempurna seperti perpustakaan modern. Foto-foto jalannya ritual duata hanya disimpan di dalam album foto selebihnya dijadikan hiasan rumah sehingga jika masyarakat atau orang yang berkepentingan mau melihat dokumentasi ritual duata maka bisa langsung dilihat. Pendokumentasian yang dilakukan oleh masyarakat etnik Bajo sangat penting mengingat kemampuan daya ingat manusia serta keterbatasan penutur ritual duata dalam menjaga dan mewariskan kegenerasi selanjutnya sehingga adanya dokumentasi berupa tulisan, foto ataupun vidio akan sangat membantu sebagai media sosialisasi dan pembelajaran kepada generasi muda Bajo pemilik dan pedukung ritual duata.
8.3
Pengembangan Secara konkret kebudayaan mengacu pada adat istiadat, bentuk tradisi
lisan, karya seni, bahasa, pola, interaksi dan sebagainya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan fakta kompleks yang selain memiliki kekhasan pada batas tertentu juga memiliki ciri yang bersifat universal. Dalam pengembangan kebudayaan termasuk tradisi lisan adalah sebagai langkah pelestarian yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat. Garis-garis besar haluan negara (GBHN) menetapkan kewajiban pemerintah untuk “memajukan kebudayaan nasional Indonesia” dalam pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945. Dimana di dalamnya tercantum “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah dan berbagai kekhasan sebagai kekayaan budaya bangsa”. Hal ini berarti bahwa berbagai kebudayaan termasuk tradisi lisan yang interaksinya melalui media verbal maupun non verbal mendapat pengakuan yang semestinya harus dijaga, dilestarikan maupun dikembangkan. Ritual duata sebagai warisan budaya tidaklah harus selalu statis dengan kemurniannya dalam era modernisasi. Dalam konteks kekinian ritual duata harus mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian namun tidak harus merusak nilai-nilai dan makna yang terkandung di dalamnya, namun ritual duata harus mampu dikembangkan dalam proses yang dinamis. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Giddens (2003:72) bahwa mempertahankan tradisi secara murni atau tradisional berarti menegaskan keterpisahaan. Menurutnya, tradisi harus dikreasi sehingga melahirkan corak baru yang sesuai dengan
konteks zaman sehingga memiliki nilai tawar demi kelangsungan tradisi tersebut. hal tersebut diungkapkan oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut. “Saya kira dengan adanya praktik ritual duata dijadikan sebagai bentuk atraksi budaya ini, bisa melindungi bahkan melestarikan ritual duata dan kami juga sebagai masyarakat Bajo merespon positif namun harus disadari bahwa dalam penggarapannya harus benar-benar serius tanpa menghilangkan unsur nilai filosofi dari ritual duata yang sakral dan ke depannya dengan adanya ritual duata ini identitas Bajo dan kesejahhteraan masyarakat Bajo labih baik dengan mengandalkan potensi budaya sebagai modal dalam pengembangannya” (wawancara 7 Pebruari 2014) Oleh karena itu pengembangan tradisi lisan ritual duata harus direkonstruksi kearah lebih baik, menarik, dan masyarakat mampu menyerap apa yang ditampilkan dalam ritual duata. Tentunya dengan pengembangan ritual duata harus dilakukan dengan kesadaran yang tinggi tanpa menghilangkan akar budaya etnik Bajo dan identitasnya sehingga konsep, makna bentuk dan fungsi ritual masih tergambar walaupun dengan sajian yang berbeda dengan aslinya. Sajian tersebut dikembangkan dengan kreativitas tinggi dalam penyajiannya sehingga masyarakat tertarik dan berinisiatif untuk mempelajarinya. Hal tersebut dengan yang diungkapkan Sedyawati dalam Hardin (2013: 208) bahwa warisan budaya tak terkecuali tradisi lisan, baik yang tangible maupun intangible tidak boleh
dibiarkan
terbengkalai,
namun
harus
terus
ditumbuhkan
dan
dikembangkan dalam iklim yang sehat. Mengingat peran tradisi lisan dalam masyarakat sangat penting sebagai sumber kearifan lokal, digali dari nilai dan norma budaya yang dimiliki oleh tradisi lisan maka kedudukan tradisi lisan memiliki fungsi sebagai alat penyampai pengetahuan dan informasi yang menghidupkan sejarah dan budaya
komunitasnya dalam bentuk populer dan menghibur (Sibarani 2012: 50). Terkait dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo merupakan wujud transformasi atau pengembangan dari tradisi lisan dalam konteks kekinian yang melahirkan apa yang dikatakan sebagai budaya populer. Sejalan dengan apa yang dikatakan Fiske (Ibrahim 2007: xxv) bahwa “kebudayaan” (dalam kajian budaya) seharusnya “tidak sekedar menekankan pada aspek estetis atau humanis, tetapi juga aspek politis”. Jadi objek kajian budaya populer bukanlah kebudayaan dalam pengertian sempit (yang dikacaukan dengan istilah kesenian atau kegiatan intelektual atau spritual) melainkan kebudayaan dengan pengertian cara hidup tertentu bagi sekelompok orang yang berlaku pada suatu periode tertentu. Pengembangan tradisi/ritual duata untuk kepentingan pariwisata harus melibatkan masyarakat lokal, baik dalam perencanaan maupun implementasinya. Pemanfaatan ritual duata untuk pariwisata harus menguntungkan masyarakat lokal dengan memperhatikan prinsip-prinsip kode etik pariwisata maka sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran terhadap kelestarian ritual atau budaya lokal dalam kaitannya dengan kegiatan pariwisata. Kode etik telah mengharuskan pelaku pariwisata dan wisatawan untuk menghormati dan mengapresiasi budaya masyarakat tuan rumah. Refleksi Ritual duata merupakan salah satu ritual pada etnik Bajo dimana ritual ini bertujuan dalam upaya meminta keselamatan, kesembuhan dari berbagai macam pennyakit akibat sebuah pantangan (pomali) yang telah dilanggar oleh
anggota masyarakat Bajo. Biasanya penyakit ini tidak bisa disembuhkan secara medis maka langkah terakhir yang harus dilakukan dalam penyembuhannya harus melalui ritual duata. Duata yang merupakan kata saduran dari kata dewata (Bajo) dimana dalam keyakinan masyarakat Bajo akan sesuatu yang berkaitan dengan mitos saudara kembar (keke) manusia (orang Bajo) berupa gurita raksasa (kutta) dan buaya (tuli) yang merupakan jelmaan dari penguasa laut yang biasa disebut mbo ma dilao. Makhluk-makhluk inilah yang bisa mendatangkan keselamatan dan bencana bagi masyarakat Bajo. Oleh karena itu masyarakat Bajo harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan makhluk-makhluk tersebut sehingga tercipta hubungan harmonis antara sesama manusia baik lingkungan alam maupun sang pencita (Tuhan) serta makhluk gaib lainnya (mbo). Jalinan interaksi tersebut berwujud pada upacara-upacara adat sebagai bentuk rasa hormat dan ucapan maaf ketika terjadi ketidaksesuaian dengan apa yang mereka lakukan. Sebagai bagian dari tradisi lisan, ritual duata dalam perkembangannya mengalami
transformasi
kearah
profan
sehingga
melahirkan
parktik
komodifikasi. Ritual duata oleh masyarakatnya serta pemerintah selaku pemberi kebijakan telah menjadikan ritual duata yang sebelumnya bukan barang komoditi kini menjadi barang komoditi yang bisa bernilai jual. Hal tersebut merupakan sebuah fenomena perubahan budaya karena kebudayaan merupakan sesuatu yang dinamis dalam artian budaya selalu meyesuaikan diri dengan era perkembangan zaman. Dalam pandangan kajian tradisi lisan merupakan sesuatu hal yang dapat diterima karena ternyata budaya global dan budaya tradisional
sekarang ini perlu disikapi lebih bijak lagi. Hal tersebut dapat hidup berdampingan, saling melengkapi dimana masing-masing bentuk memiliki habitat, pendukung, dan aturan main sendiri, yang tidak perlu dipertentangkan dan dicampuradukkan. Kalau masing-masih bentuk tradisi dapat berkembang di habitatnya masing-masing dan tidak saling bertentangan, terdapat potensi sinergi yang baik antar keduanya. Pengomodifikasian jelas terlihat ketika ritual duata mengalami perubahan pada proses produksi, distribusi dan konsumsi ritual duata. Ritual duata yang sebelumnya bukan untuk dikomersilkan menjadi usaha yang dikomersilkan. Hal tersebut didasari karena hasrat yang mendorong sehingga terjadi tuntutan kebutuhan-kebutuhan masyarakat baik dari dalam maupun di luar masyarakat. Komodifikasi ritual duata dimana pada perkembangannya dapat melestarikan tradisi sendiri serta meningkatkan kesejahteraan para pelakunya. Komersialisasi kebudayaan disebabkan pula karena karena tuntutan ekonomi telah menjadi suatu realitas di masyarakat. Namun dengan penanganan komersialisasi tradisi dengan baik berpotensi membawa dampak positif bagi seni tradisi yang menjadi komoditas itu sendiri maupun para pihak-pihak yang terkait, seperti halnya berbagai tari klasik, musik klasik, ritual yang dikelolah dan dibisniskan secara baik di negara-negara maju akan berdampak baik pada perkembangan kebudaaannya bahkan mensejahterakan pelaku budaya tersebut. Walaupun demikian tidak bisa ditolak pula adanya realitas bahwa komersialisasi
tradisi juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan terhadap seni tradisi itu sendiri. Sungguh
disayangkan
fenomena
perubahan
budaya
kekonteks
kebudayaan moderen selalu diperdebatkan karena sejatinya kedua budaya tersebut mampu bersinergi dan bekerja sama demi memenuhi tuntutan masingmasing. Ritual duata sebagai warisan budaya etnik Bajo tanpa dikembangkan kedalam industri budaya kreatif perlahan-lahan akan mati (punah) bahkan akan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Untuk itu tradisi leluhur yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal perlu mendapat tempat untuk dilindungi dan dilestarikan. Hal ini bisa dijadikan acuan dan renungan bagi kita generasi pewaris kebudayaan untuk berbuat lebih terhadap segala bentuk warisan kebudayaan leluhur.
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Simpulan Ritual duata pada dasarnya dilaksanakan pada etnik Bajo yang memiliki
garis ketururunan yang sama (Bajo). Ritual duata memiliki tujuan untuk meminta kesembuhan atau kekuatan dalam pengobatan dari berbagai penyakit yang secara medis tidak bisa disembuhkan. Untuk memohon permintaan keselamatan, diwujudkan dalam bentuk upacara keagamaan/ritual. Ritual duata memiliki banyak nilai dan makna yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat laut yang pada proses pelaksanaannya memerlukan waktu yang relatif lama. Seiring dengan kemajuan zaman, ritual duata mengalami perubahan akibat persinggungan budaya lokal (Bajo) dan budaya moderen (global) yang mengakibatkankan ritual duata mengalami pergeseran dari sakralitas menuju profanisasi. Ideologi kapitalisme yang masuk ke ranah nilai-nilai tradisi masyarakat Bajo ikut mempengaruhi ideologi masyarakat Bajo akan sebuah nilai budaya yang dapat dijadikan sebuah komoditi yang pastinya bernilai jual sehingga ritual duata mengalami pergeseran sehingga memunculkan praktik komodifikasi. Proses komodifikasi ritual duata
bukan saja menjadikan barang/jasa
ritual duata sebagai produk yang sebelumnya bukan barang komoditi menjadi barang komoditi, namun terlihat pula pada proses produksi, distribusi dan konsumsi. Pada proses produksi ritual duata produsen melibatkan dukun dan seniman dalam mendesain, merancang bentuk dan struktur ritual agar bernilai
jual dimana sebelumnya produk ritual duata merupakan produk budaya yang bersifat sakral yang di produksi oleh dukun sendiri namun pada konteks komodifikasi produk ritual duata melibatkan banyak pihak dalam pengerjaannya sehingga terjalin hubungan kerja yang didasarkanpada pemberian upah. Distribusi ritual duata yaitu cara memasarkan, mempromosikan dan memperkenalkan produk ritual duata agar dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat dengan menggunakan media massa yakni internet dan koran serta komunikasi lisan sehingga dalam pendistribusiannya ritual duata diketahui oleh orang banyak. Sedangkan proses konsumsi ritual duata yaitu kegiatan yang bertujuan menghabiskan barang/jasa ritual duata untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung dan merupakan tindakan memakai simbol untuk menandai posisi sosial tertentu. Konsumsi ritual duata terbagi dalam dua bentuk yakni konsumsi ritual duata untuk pengobatan dan kosumsi ritual duata untuk pariwisata dalam hal ini ritual duata dijadikan sebagai hiburan. Adapun faktor yang meyebabkan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo yaitu sikap masyarakatnya yang terbuka dengan hal-hal baru melalui kontak budaya yang menimbulkan akulturasi sehingga mengakibatkan paradigma masyarakatnya berubah menyesuaikan dengan konteks masyarakat moderen yang memanfaatkan produk budaya (ritual duata) untuk dijadikan barang/jasa yang bernilai jual. Paradigma masyarakat etnik Bajo yang didasarkan pada perolehan keuntungan dari produk ritual duata melahirkan kreativitas seni yang berusaha melakukan daur ulang atau inovasi yang mengarah kepada estetika yang bernilai jual. Kreativitas tentunya merupakan
unsur pokok dalam merubah tampilan ritual duata sehingga mengundang daya tarik wisatawan. Media massa telah berelasi kedalam industri budaya, banyak imaji, opini tentang dunia diciptakannya. Sebagai agen publikasi, media massa mampu mempengaruhi paradigma masyarakat Bajo. Paradigma masyarakat yang memanfaatkan produk kebudayaan tentunya tidak terlepas pada keinginan akan perubahan pada tataran kesejahteraanya. Hal ini terkait dengan orientasi perbaikan ekonomi yang merupakan wujud orientasi kapitalisme dengaan mengharapkan keuntungan dari produk ritual duata. Selain itu tidak terlepas dari adanya perkembangan kepariwisataan, dimana Kabupaten Wakatobi sebagai daerah tujuan destinasi pariwisata dunia telah mempengaruhi masyarakatnya dengan nilai-nilai yang digandeng oleh wisatawan yang masuk. Interaksi antara wisatawan dan penduduk lokal nampaknya menghaslkan kerja sama dalam memanfaatkan produk ritual duata sebagai bagian dari atraksi budaya untuk kepentingan pariwisata sehingga lambat laun akan menggeser nilai sakralitas ritual ke arah profanisasi demi mendapatkan keuntungan. Pergeseran nilai sakralitas ke arah profan tersebut menimbulkan dampak dan pemaknaan terhadap eksistensi ritual duata bagi masyarakat pendukung dan masyarakat penikmat ritual duata. Dampak yang ditimbulkan dari komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo cenderung merugikan (negatif) misalnya terjadinya komersialisasi ritual yang lambat laun mengakibatkan kadar nilai sakralitas ritual duata menurun akibat unsur-unsur ritual selalu di daur ulang demi tuntutan nilai estetika pertunjukan yang bernilai jual yang berorientasi pada selera konsumen. Disamping itu identitas etnik Bajo menjadi kabur akibat ritual duata yang
mengalami perubahan setiap tampilan, lambat laun akan tercabut dari akar budaya semestinya. Melalui ornamen perlengkapan dalam ritual duata dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata yang dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman manusia yang sifatnya
praktis untuk memperoleh keuntungan
ekonomi dengan kesadaran penuh didesain seindah mungkin yang lambat laun akan melunturkan akar budaya Bajo yang terkandung dalam ritual duata. Makna komodifikasi ritual duata dengan adanya praktik komodifikasi ritual duata mampu melestarikan atau menghidupkan tradisi lokal dalam penciptaan/daur ulang produk ritual duata seperti sesajian, palisier, ula-ula ,tari dan sebagainya sehingga menunjukan eksistensi identitas etnik Bajo melalui tanda dan simbol dalam prosesi ritual duata. Adanya praktik komodifikasi ritual duata mendorong semangat dan kreativitas masyarakat untuk mendesain seindah mungkin perlngkapan ritual yang pada akhirnya bernilai jual sehingga mampu menciptakan perbaikan kesejahteraan masyarakat bagi pemilik tradisi. Untuk menjaga agar eksistensi ritual duata tetap bertahan meskipun pada perkembangannya telah mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan tuntutan zaman namun sekiranya perlu dilakukan upaya strategi pewarisan agar nantinya generasi muda penerus tradisi Bajo mampu memahami, mengajarkan dan mengamalkan nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam ritual duata yang mencerminkan sikap dan karakter identitans etnik Bajo. Strategi pewarisan yang dilakukan melalui (1) pemberdayaan, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat etnik Bajo menggunakan produk ritual duata untuk dimanfaatkan sebagai bentuk kreativitas seni sehingga mampu memberikan manfaat bagi
masyarakat pendukungnya terlebih ritual duata terselamatkan dari kepunahan (2) pendokumentasian yaitu salah satu cara untuk melestarikan ritual duata dalam bentuk film (vidio), gambar atau inventarisasi produk ritual sehingga mampu dijadikan alat/barang bukti
dalam upaya pelestarian budaya. agar
mampu bertahan dan hidup berdampingan dengan kemajuan tekhnologi modernisasi (3) pengembangan yaitu tradisi lisan ritual duata harus direkonstruksi ke arah lebih baik, menarik, dan masyarakat mampu menyerap apa yang ditampilkan dalam ritual duata. Tentunya dengan pengembangan ritual duata harus dilakukan dengan kesadaran yang tinggi tanpa menghilangkan akar budaya etnik Bajo dan identitasnya sehingga konsep, makna bentuk dan fungsi ritual masih tergambar walaupun dengan sajian yang berbeda dengan aslinya. Sajian tersebut dikembangkan
dalam industri budaya kreatif dimana dalam
penyajiannya harus tetap menggambarkan unsur-unsur identitas budaya Bajo meskipun telah ada perubahan dalam desain tampilan. 9.2 Saran Globalisasi bukanlah sebuah mimpi buruk. Tetapi bukan pula sebuah hadiah kemajuan zaman yang tanpa cela. Suka atau tidak, setuju atau menolak, gejala perubahan yang cepat ini telah hadir di tengah-tengah kita. Namun dilain pihak mungkin bingung, ketakutan bahkan mengalami kegoncangan budaya (culture shock). Yang terpenting adalah bagaimana cara kita menyikapinya agar kita dapat memanfaatkan nilai dan produk yang menyertainya dan terhindar dari dampak negatif yang ditimbulkannya.
Globalisasi tidak harus dilawan atau dihindari melainkan harus disikapi dengan arif agar kita dapat memanfaatkan dan menghindari konsekuensi yang dilahirkannya. Fenomena yang dihadirkan dari produk budaya lokal bukan sesuatu yang harus disesali namun harus pula disyukuri. Sebagaimana dalam pandangan kajian budaya, produk budaya lokal memiliki dua peran yang strategis yakni peran yang bermuatan politis dan peran yang bermuatan ekonomis. Peran yang bermuatan politis yaitu berkaitan dengan adat-istiadat, budi pekerti, sikap dan pandangan hidup, sopan santun, dan perilaku sosial lain yang produktif dan kondusif bagi bertumbuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh persatuan dan kesatuan. Sedangkan peran strategis yang bermuatan ekonomis berkaitan dengan produk-produk budaya lokal yang memiliki nilai ekonomis yakni yang dapat dijadikan komoditas untuk menunjang pembangunan ekonomi bangsa seperti kerajinan rakyat, pakaian adat, perhiasa, obat-obatan, makanan, minuman aupacara/ritual tradisional. Dalam hal ini terjadinya pada praktik komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan bagian yang terlahir dari budaya kapitalisme global. Dengan kata lain produk ritual duata yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi kelangsungan hidupnya. Produk-produk kebudayaan yang berupa cipta dan karya kreatif dapat dijadikan komoditas untuk menunjang pemberdayaan ekonomi rakyat sedangkan produk-produk kebudayaan yang berupa nilai dapat digunakan untuk memperkokoh integrasi dan integritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Produk budaya lokal termasuk tradisi lisan yang di dalamnya banyak mengandung ajaran, tuntunan dapat digunakan sebagai perekat untuk membangun harmoni, empati, dan toleransi serta menyatukan kelompok masyarakat. Selama ini kita selalu bergantung pada kekuatan asing, baik secara politik maupun ekonomi, dan budaya. Ketergantungan kita ini telah membuat kita tidak kreatif dan daya tahan kita lemah. Untuk itulah melalui pendekatan kajian budaya kiranya harus disikapi dengan cara-cara kritis dan bijaksana melalui penggunaan produk-produk budaya sebagai sebuah produk alternatif yang efektif yang bisa mendorong tumbuhnya pemahaman lintas budaya, empati, toleransi antar kelompok, menumbuh kembangkan pemahaman kita terhadap budaya lokal melalui penelitian yang sungguh-sungguh sehingga kekuatan budaya lokal dapat kita manfaatkan dan kelemahannya bisa dihindarkan serta mengangkat budaya lokal ke dalam khazanah budaya nasional untuk pemberdayaan ekonomi dan kebanggan pemiliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Alkausar, Muhammad. 2011. “Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Asosiasi Tradisi Lisan. 2009. Buku Pedoman Kajian Tradisi Lisan: Pengembangan Kajian Langka, Kajian Tradisi Lisan sebagai kekuatan Kultural. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Barker, Chirs. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik (terjemahan). Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. Barth, Fredrik. 1998. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Pers. Buchari, Saleh Muhammad. 2012. “Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi” (tesis). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Burhan, Bungin. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Pranada Media Group. Burton, Graeme. 1999. Pengantar Untuk Memahami Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jala Sutra. Darmadi, I G.N.A. Eka. 2006. “Pariwisata antara Kewirausahaan dan Kewirabudayaan”, Jurnal Kajian Budaya, Vol. 3, No. 5, Januari, Hal. 67-87. Dasrul. 2013. “Komodifikasi Pertunjukan Randai Pada Kelompok Seni Tradisi Palito Nyalo Kecamatan Pauh Kota Padang” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Erlinda. 2011. “Diskursus Estetika Tari Minangkabau di Kota Padang Sumatera Barat dalam Era Globalisasi” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Fairclough, Norman. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press. Garna, Judistira K, 1999. Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Bandung: CV. Primaco Academia. Ghazali, Adeng Mukhtar.2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD
Hadi, Y Sumandiyo. 1999. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. Hardin, 2013. “Bentuk Ritual Kasungki dan Keterancamannya Pada Masyarakat Muna di Kecamatan Abeli Kota Kendari Sulawesi Tenggara”(tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa: sebuah studi critical discourse analysis terhadap berita-berita politik. Jakarta: Granit. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: FIB-UI _______2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Ibrahim. Idi Subandi. 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi.Yogyakarta: Jalasutra. Kebayantini, Ni Luh Nyoman. 2010. “Komodifikasi Upacara Ngaben Gotong Royong di Gerya Tamansari Lingga, Kelurahan Banyusari, Kabupaten Buleleng” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. .................... 2013. Komodifikasi Upacara Ngaben di Bali. Denpasar: Udayana University Press. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari Postmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak Komodifikasi Dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS. Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nugroho, Heru. 2001. Uang Renteiner dan Hutang Piutang di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Piliang, Amir Yasraf. 2003, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. _____, 2011, Dunia yang Dilipat. Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung. Matahari. Pudentia MPSS. ed. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Ratna, Nyoman Kutha, 2009. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ______, .2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Richard, G. 1996. “Production and Consumption of European Cultural Tourism”. Dalam Annal of Tourism Research. Vol. 23. No. 2. hal. 261-283. Kaunang, I.R.B.2010. “Komodifikasi Tari Maengket Minahasa, Sulawesi Utara Di Era globalisasi”. (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Muhajir, Noeng. 1994. Metode Penelitian Kualitatif, Telaah Poistivistik, Rasionalistik, Phenomenalogik, Realism Methaphisik. Yogyakarta: Rake Sarasian. Saad, Sudirman. 2009. Bajo Berumah di Laut Nusantara. Jakarta. Coremap II Safaruddin, Balok. 2013. Komodifikasi Wayang Topeng Malangan Di Pedepokan Seni Asmoro Bangun Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Setiawan, I Ketut. 2011. “Komodifikasi Pusaka Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata Global”. (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Sifullah. 1994. ”Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan”, dalam Majalah Prima, No. x, Edisi Juli, hal. 32-41. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung. Alfabeta. Suherman. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi. Soekanto, Soerjono. 1993. Struktur Masyarakat. Jakarta: PT Grafindo Persada Sutarto, Ayu.2004. Menjinakkan Globalisasi Tentang Peran Strategis ProdukProduk Budaya Lokal. Jawa Timur: Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah. Sobur.Alex. 2009. Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika & Analisa Framing.Remaja Rosdakarya: Bandung.
Tary Puspa, Ida Ayu. 2011. “Komodifikasi Upacara Ngaben Di Desa Pakraman Sanur Denpasar Dalam Era Globalisasi” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Thompson, John B. 2006. Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Krisis Tentang Relasi dan Komunikasi Massa. (Terjemahan). Yogyakarta: IRCiSoD. Tester, Keith 2009. Immor(t)alitas Media. Yogyakarta: Juxtapose. Turner, Bryan S. 1992. Max Weber: From History to Modernity, London: Routledge. Van Ball, J. 1997. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Budaya, Jakarta: Gramedia. Yoeti, H. Oka A. 1996. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Penerbit Angkasa Yunus. Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia. Zacot, Francius R. 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
LAMPIRAN-LAMPIRAN PEDOMAN WAWANCARA Pedoman wawancara ini merupakan bahan pertanyaan untuk wawancara dengan para informan yang terkait dengan penelitian “Komodifikasi Ritual Duata Pada Etnik Bajo Di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai pedoman dalam bentuk bahan pertanyaan, seluruh pertanyaan yang ditulis tidak disampaikan secara kaku, melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat melakukan wawancara. Seluruh jawaban dicatat dalam buku catatan yang telah disiapkan sebelumnya. A. Pertanyaan Mengenai Gambaran Umum 1. Bagaimana pola pemukiman masyarakat etnik Bajo? 2. Bagaimana bahasa dan dan tradisi budaya yang berkembang dalam masyarakat etnik Bajo? 3. Bagaimana mata pencaharian penduduk masyarakat etnik Bajo? 4. Bagaimana agama dan kepercayaan masyarakat etnik Bajo? 5. Bagaimana asal mula etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi? 6. Bagaimana prosesi ritual duata? B. Pertanyaan Mengenai Proses Komodifikasi Ritual Duata? 1. Sejak kapan ritual duata dikenal oleh masyarakat luas? 2. Materi apa saja yang ada di dalam sesajian ritual duata? 3. Pada sesajian itu ada beberapa warna yang jelas digunakan pada beras, apa ada artinya?
4. Disamping persembahan berupa sesajian apa ada perlengkapan pendukung lainnya yang digunakan dalam ritual duata dan apa fungsinya ? 5. Berapa harga masing-masing perlengkapan tersebut? 6. Bagian-bagian apa saja yang diubah dalam ritual duata baik untuk pengobatan maupun pertunjukkan? 7. Siapa saja pihak yang terlibat dalam membuat tampilan ritual duata baik untuk pengobatan atau pertunjukan? 8. Bagaimana cara mempromosikan atau memasarkan ritual duata? 9. Dalam hal apa ritual duata dipertunjukkan? 10. Bagaimana proses/cara menarik konsumen? 11. Siapa saja yang mengonsumsi ritual duata? C. Pertanyaan Mengenai Faktor Komodifikasi Ritual Duata 1. Faktor apa yang membuat anda melakukan inovasi/perubahan terhadap ritual duata? 2. Mengapa ritual duata dalam pertunjukan mengikuti permintaan konsumen? 3. Bagaimana pendapat anda dengan perkembangan ritual duata yang sekarang ini? D. Pertanyaan Mengenai Dampak dan Makna Komodifikasi Ritual Duata 1. Apa yang terjadi setelah ritual duata mengalami perubahan fungsi? 2. Seberapa besar perubahan ritual duata terhadap kehidupan sosial masyarakat Bajo?
3. Adakah kecenderungan identitas Bajo menjadi kabur setelah ritual duata dijadikan pertunjukkan seni? 4. Bagaimana pemaknaan ritual duata yang berkembang saat ini? 5. Apa yang membuat anda sehingga ada keinginan untuk merubah ritual duata ke dalam pertunjukkan seni? 6. Apakah ada penguatan identitas setelah ritual duata dipertunjukkan? 7. Apakah yang memotivasi anda sehingga melakukan perubahan tampilan ritual duata pada pertunjukkan seni? 8. Apakah ritual duata dapat menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat? E. Pertanyaan tentang strategi pewarisan ritual duata 1. Bagaimana usaha anda dalam mewariskan ritual duata agar tidak mengalami kepunahan? 2. Cara apa yang anda lakukan dalam menyelamatkan tradisi ritual duata bisa diwariskan tanpa harus diceritakan? 3. Bagaimana harapan anda mengenai ritual duata ke depannya? 4. Bagaimana pengembangan ritual duata agar tetrap hidup di masyarakat!
PETA LOKASI PENELITIAN ETNIK BAJO KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA
DAFTAR INFORMAN
1. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Abdul Manan 46 Laki-Laki PNS S2 Jabal
2. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Ambe 51 Perempuan Pedagang Dusun Mekar Dua
3. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Bakri 63 Laki-Laki Nelayan Desa Lamanggau
4. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Daud 47 Laki-Laki Tukang Bangunan SMA Dusun Mekar Dua
5. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Djamrin 38 Laki-Laki PNS SI Dusun Nelayan Bakti
6. Naman Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Dasseng 84 Laki-Laki Dukun Dusun Mekar Dua
7. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Hapsa 45 Perempuan Pedagang Dukun Mekar Satu
8. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Hasna 34 Perempuan Pedagang Dusun Mekar Satu
9. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Jukni 25 Perempuan Pelatih Tari/Seniman SI Dusun Mekar Satu
10. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
La Ode Mustamin 56 Laki-Laki Pensiunan PNS SMA Dusun Mekar Satu
11. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Romi 40 Laki-Laki Wiraswasta SMA Mandati
12. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : : :
Udin 47 Laki-Laki Tukang Kayu SMA Dusun Mekar Satu