UNIVERSITAS INDONESIA
KAPITAL SOSIAL KOMUNITAS SUKU BAJO Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara
DISERTASI
La Ode Taufik Nuryadin NPM. 890405008Y
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DEPOK JANUARI 2010
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
KAPITAL SOSIAL KOMUNITAS SUKU BAJO Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Sosiologi
La Ode Taufik Nuryadin NPM. 890405008Y
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DEPOK JANUARI 2010
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Kado ulang tahun yang selama ini terabaikan; Betty istriku, dan tiga malaikat kecilku; Athiffah, Adibah, Atiqah yang lahir di awal, di tengah dan di akhir kuliah. Semoga ini kelak menginspirasi kalian. Amin ya Allah....
Mana same to samean Mana ugi to ugian Ugi ri somba Same ri somba tonji. Biar bajo tetap bajo Biar bugis tetap bugis Bugis dihormati Bajo dihormati juga.
Di antara hukum-hukum yang mengendalikan masyarakat, ada sebuah hukum yang lebih tepat dan jelas ketimbang hukum-hukum lainnya. Jika manusia ingin tetap atau ingin menjadi beradab, maka “seni untuk hidup bergaul bersama” harus tumbuh dan disempurnakan sesuai dengan peningkatan persamaan kondisi. (Alexis de Tocqueville)
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertandatangan dibawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa Disertasi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia
Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia lepada saya.
Depok, 13 Januari 2009
La Ode Taufik Nuryadin
i
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini ádalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber yang dikutip dan yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: La Ode Taufik Nuryadin
NPM
: 890405008Y.
Tanda tangan :
Tanggal
: 13 Januari 2010
ii
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kelancaran studi meski harus melewati perjalanan waktu yang cukup panjang. Sebagai manusia biasa, tidak mudah bagi penulis dikarunia begitu banyak nikmat Allah pada saat yang bersamaan. Beranjak dari keyakinan bahwa semua berawal dan berakhir dari-Nya, maka penulis hanya tinggal menjalani saja, termasuk pada masa-masa kosong pemikiran. Tidak hanya itu rupanya, studi tentang kapital sosial ini berjalan seiring dengan ada banyak kapital-kapital lain yang mengalir kepada penulis sehingga studi ini menjadi mungkin hingga ke titik finalty. Kepada mereka penulis haturkan terima kasih yang tak terhingga. Semoga Allah membalas dengan kapital yang setimpal kepada : 1. Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang, selaku Promotor yang banyak menginspirasi dan membimbing penulis, tidak hanya pada penulisan disertasi ini saja tetapi juga dalam bersikap akademik secara sabar, santun, kritis, dan tidak bertele-tele. 2. Makmur Sunusi, Ph.D. selaku Ko Promotor yang dalam kesibukannya selaku Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI tapi masih bisa meluangkan waktu dan pikirannya ke Depok dengan cara yang khas. 3. Dr. Linda Darmajanti Ibrahim, M.T. (Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI) dan Lugina Setyawati, M.A., Ph.D. (Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UI) yang telah menguji dan memberi pencerahan metodologi yang baik dan benar. Lidya Triana, M.Si. beserta jajarannya; Mas Santoso, Mbak Widi, dan Kang Agus yang dengan pelayanan primanya telah memprovokasi penulis agar studi cepat selesai. 4. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc. (Ketua Sidang), Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin, M.A. (Penguji Internal) dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A. (Penguji Eksternal dari IPB) yang telah berkenan menguji penulis pada Sidang Pra Promosi dan Promosi Doktor dengan cara yang amat mengesankan. 5. Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc., Prof. Dr. der. Soz. Gumilar R. Somantri, Francisia S.S.E. Seda, Ph.D, Iwan Gardono Soedjatmiko, Ph.D., Dr. der. Soz. Rochman Achwan, Hanneman Samuel, Ph.D., dan Prof. Dr. Manasse Malo (Alm), yang telah merekonstruksi penulis secara egaliter dari pemikiran Pekerja Sosial yang birokratis ke arah sosiologis. 6. Pihak COREMAP II yang telah memberi dukungan Bea Siswa Penulisan Disertasi Tahun 2009 yang cair tepat waktu. Rasanya seperti minum coca cola di tengah teriknya matahari di Gurun Sahara. Tetapi penulis belum pernah kesana, apalagi sambil minum coca cola. 7. Hj. Betty Indah Tristanty, S.E. isteri tercinta dan tiga ‘malaikat’ kecilku yang tercantik: Garin Athiffah Saraswati, Nabila Adibah Larasati, Qanita Atiqah Nailatulbariza. Ketika di pengasingan Jalan Sawo 24 yang sejuk hingga hijrah ke Lambang Biru yang sepoi-sepoi, mereka kerap menegur, menyapa, bercerita, menyanyi, menangis, dan suara-suara yang tak berstruktur lainnya di ujung N8250 yang unik. Suara isteri dan para malaikat kecil tercantik inilah justeru kembali menghadirkan inspirasi ketika pemikiran hang tak dapat menulis untuk satu kata awal sekalipun. Abi akan petik berjuta bintang untuk kalian semua.
iv
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
8. Ibunda Hj. Rastimah La Ode M. Saleh, wanita perkasa tiada tara yang tak gentar dibalas malas selalu mengingatkan spirit of Apih ke dalam jiwa dan raga penulis agar tetap menyelesaikan studi, sekalipun di Depok tsunami datang. Kepada kakak dan adik semua yang supportnya melebihi The Viking Persib. Kepada Mamah, Ir. Hj. Tuti Ruchyati dan Pak Tuo, Ir. H. Rapiloes Kasoep, serta semua saudara, kerabat, handai taulan di Kendari, Pulau Baliara, Muara Enim, Bandung, Cirebon, Indramayu, Salemba 28, dan entah dari mana lagi. Ada banyak kapital sosial yang masuk di hati penulis tanpa nama dan alamat yang jelas. Hadir dengan caranya sendiri-sendiri dari segala penjuru arah mata angin. 9. Al-Mukarrom of Dr. Imron Rosadi, M.Si. (bocah lemu sing pegagan cerbon), teman senasib dan seperjuangan untuk dua episode bersejarah yang banyak membantu dalam segala hal, termasuk untuk hal-hal yang paling mubazir sekalipun. Terima kasih Allah untuk teman yang sebaik dan selucu ini. Dan supporter setia sejak awal studi ini dimulai hingga ujian sepi penonton kecuali isteri tercinta. Mereka bukan sekedar Kandidat Doktor, tetapi Jakobus Simellian, Luthfi Khaldunian dan Gian Kartasasmita yang akhirnya beranjak dari pemikiran sosiologis menuju renungan yang lebih filosofis. 10. Teman petualang suku Bajo: Drs. Musyafir Said, Drs. Joni Purba, Pak Alimuddin, Ustad Said, Prof. Dr. Nasruddin Suyuti, M.A. dan Drs. Mr. Daeng Kamaruddin dan keluarga. Diskusi tentang suku Bajo sambil makan ikan bakar memang lebih empati daripada tanpa apa-apa. Sebaiknya ajak yang lain sebanyak mungkin untuk bersinerji karena ikan di laut juga tidak akan habis dimakan. 11. Drs. Toto Utomo Budi Santoso dan Drs. H. Moch. Helmi Tahrir serta keluarga yang banyak membantu dalam kapasitas sebagai kakak dan kawan ketimbang atasan, sejak membuka jalan studi S.2 tahun 1998 dari Kendari, hingga bertemu kembali di Jakarta tahun 2006 ketika studi ini berada di tengah perjalanan. 12. Para Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial RI selama masa studi berlangsung; Drs. H. M. Natsir Abdullah, M.Si., Drs. M. Rondang Siahaan, M.Si., Drs. Hartono Laras, M.Si., Drs. Teguh Haryono Rahardjo, M.Si. Drs. Charles Sandrajaya Talimbo, M.Si. beserta jajarannya, yang telah memberi macam-macam dukungan dan bantuan, terutama ketika Bea Siswa memasuki tahun ke 4 purna bina. Tentu masih banyak sejumlah nama yang embedded di hati penulis dari yang agak misterius hingga diam-diam berdo’a untuk kelancaran studi penulis. Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan akan memberi balasan atas amal kebaikan dari arah yang tak terduga. Akhirnya, kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Sinerji koreksi, saran dan masukan lainnya tentu akan sangat membantu disertasi ini menjadi lebih baik. Sekian dan terima kasih. Depok, Januari 2009 La Ode Taufik Nuryadin
v
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : La Ode Taufik Nuryadin NPM : 890405008Y Program Studi : Pascasarjana Departemen : Sosiologi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Jenis Karya : Disertasi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : KAPITAL SOSIAL KOMUNITAS SUKU BAJO; Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti NonEksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai Pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 13 Januari 2010 Yang menyatakan :
La Ode Taufik Nuryadin
vi
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
ABSTRAK Nama : La Ode Taufik Nuryadin Program Studi : Sosiologi Judul : Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo: Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara. Studi ini terfokus pada struktur sosial dimana kapital sosial tertambat (embedded) didalamnya pada komunitas suku Bajo di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara. Studi dengan metode kuantitatif ini juga menggunakan teknik-teknik pengumpulan data yang bersifat kualitatif, seperti wawancara, pengamatan terbatas dan dokumentasi serta penyebaran angket itu sendiri. Penulis tidak bermaksud menguji kebenaran teori atau konsep kapital sosial yang dikembangkan oleh para ahli, tetapi teori dan konep-konseo tersebut digunakan untuk membantu dalam memperkaya data ketika teknik-teknik kualitatif digunakan Melalui studi ini, penulis ingin mengetahui model kapital sosial pada komunitas suku Bajo dengan melihat struktur sosial baik dalam cakupan mikro, messo, dan makro serta bagaimana relasi terjalin diantara mereka yang dilandasi nilai atau norma (norms) serta sangsi, kepercayaan (trust), serta jaringan sosial (linking) sebagai kekuatan yang dapat diandalkan dalam memecahkan masalah atau kebutuhan bersama (societal needs). Studi juga melihat secara kuantitatif pada tingkatan struktur soial cakupan mana yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat serta bagaimana sinerji antar kapital dilakukan. Studi menyimpulkan bahwa struktur sosial yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat pada skala komunitas, yaitu bonding social capital dimana tingkatan kinerja integrasi dan jejaring yang ada menunjukan indikator-indikator yang relatif tinggi karena faktor-faktor: (1) homogenitas etnik (suku) yang penuh didasari hubungan kekeluargaan (dansihitang), kekerabatan (kinship), relatif kecil (small scale), gotong royong (sitabangan), dan menghindari konflik (orrai lesse), dan (2) homogenitas pekerjaan yaitu nelayan dimana bekerja sebagai nelayan adalah sumber atau tempat menggantungkan hidup (kalumanine). Relasi sosial nelayan suku Bajo dengan pemilik modal (punggawa) tidak hanya berdimensi patron klien, tetapi juga mutual simbiosis karena fungsi punggawa selain sebagai pemodal dan pengumpul, tetapi juga sebagai institusi jaminan sosial nelayan. Dalam konteks inilah maka sinerji antar kapital perlu dibangun, baik kapital sosial, kapital manusia, dan kapital ekonomi dengan melakukan revitalisasi peran dan fungsi punggawa bukan sebagai aktor tetapi sebagai agen perubah (agent of change), serta menata struktur dan relasi yang membawa keuntungan bukan pada perspektif masingmasing tetapi dalam perspektif bersama Katakunci: Struktur sosial, Kapital Sosial, Suku Bajo.
vii
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
ABSTACT Name Study Programe Title
: La Ode Taufik Nuryadin : Sociology : Social Capital of Ethnic Bajo Community: A Case Study of Ethnic Bajo Community in Baliara Island Southeast Sulawesi Province
The study shows how social capital is found to be embedded in the social structure of Bajo community in Baliara island, Southeast Sulawesi Province. Using the quantitative paradigm of deduction, this study employs qualitative data and information gathering techniques such as interviews, observation and documentation. However, it is not the intention of the author to contest the theories or concepts on social capital as proposed by the experts; but rather to enrich the gatherings of data and information when qualitative techniques are applied. Throughout the study, the author focuses on how the social capital model within ethnic Bajo's social structure relates at the micro, mezo and macro levels. Based on the norms and sanctions, as well as trust and social link, the study indicates those aspects to be the contributing factors in the problem solving method when problems arise. Using the quantitative measurement, this study shows in which aspect of social capital that is embedded in the social structure of ethnic Bajo and what kind of synergy mechanism employed within. The study concludes that social capital is indeed embedded at the scale of community in the social structure of ethnic Bajo. A relatively high indicator of social capital bonding is seen through integration mechanism and networking. The contributing factors are found in the following (1) Ethnic homogeneity based on family relations (danshitang), kinship, small scale, gotong royong (sitabangan) and conflict avoidance (orai lesse); (2) Labor homogeneity whereby the fisherman's work place serves mainly as the source of income (kalumanine). Social relation of ethnic Bajo's fisherman with the financier (punggawa) does not only have a patron-client relationship dimension in it but also a mutual symbiotic relationship. Punggawa also stands as the institution that provides social guarantee for the fisherman. Therefore, within this context, the synergy created between various capitals found in social, human resources and economy need to be established by revitalizing the roles and functions of punggawa. Punggawa acts as both an actor and an agent of change. It is also important to rearrange the social structure and relations that are more beneficial for the community of ethnic Bajo. Keywords: Social Structure, Social Capital, Ethnic Bajo
viii
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
DAFTAR ISI Isi
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ....................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................... HALAMAN PENGESAHAN ........................................................... KATA PENGANTAR ....................................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ....................... ABSTRAK ............................................................................................... ABSTRACT ............................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................... DAFTAR BAGAN ................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................
vi vii viii ix xii xiii xiv xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................... B. Permasalahan Penelitian ........................................................... C. Tujuan Penelitian ........................................................... D. Keterbatasan Penelitian ........................................................... E. Hipotesa Penelitian ........................................................... F. Definisi Operasional ........................................................... G. Manfaat Penelitian ........................................................... H. Lokasi Penelitian ........................................................... I. Sistematika Penulisan ...........................................................
1 6 8 9 10 10 12 12 14
BAB II KERANGKA TEORI A. Teori Kapital Sosial ........................................................... B. Kritik terhadap teori Kapital Sosial ................................... C. Teori Struktur Sosial ........................................................... D. Kerangka Berfikir Studi ...........................................................
16 20 22 29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ........................................................... B. Jenis Penelitian ....................................................................... C. Pemilihan Responden ........................................................... D. Jenis dan Sumber Data ........................................................... E. Teknik Pengumpulan Data ............................................... F. Waktu dan Tahapan Pengumpulan Data ................................... G. Teknik Analisis Data ...........................................................
34 35 35 37 37 38 41
ix
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
i ii iii iv
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI A. Sejarah Lokasi ....................................................................... B. Aksesibilitas ....................................................................... C. Letak dan Keadaan Geografis ............................................... D. Iklim dan Musim ....................................................................... E. Administrasi Pemerintahan ............................................... F. Keadaan Penduduk ........................................................... G. Pola Pemukiman ....................................................................... H. Mata Pencaharian dan Teknologi Penangkapan .......................
48 50 51 51 52 52 57 58
BAB V STRUKTUR SOSIAL A. Komunitas Nelayan ............................................................ 1. Keadaan Kampung Dermaga ................................................ 2. Keadaan Kampung Tengah ................................................ 3. Keadaan Kampung Ujung ................................................ B. Kelompok-kelompok Sosial ................................................ 1. Keluarga Nelayan ............................................................ 2. Kelompok Pengajian ............................................................ 3. Kelompok Penjualan Ikan (Papalele) .................................... 4. Kelompok Kios/Warung ................................................ 5. Kelompok Budidaya Rumput Laut .................................... 6. Kelompok Nelayan ............................................................ C. Stratifikasi Sosial Nelayan ................................................ 1. Nelayan Dayung ............................................................ 2. Nelayan Mesin ........................................................................ 3. Nelayan Punggawa ............................................................ D. Relasi Antar Komponen Struktur Sosial .................................... 1. Relasi Komunitas Nelayan ................................................ 2. Relasi Kelompok-kelompok Sosial .................................... 3. Relasi Stratifikasi Sosial Nelayan ....................................
71 72 74 75 77 77 84 86 87 88 88 89 93 95 97 99 99 119 129
BAB VI KAPITAL SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL A. Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo di Pulau Baliara ............. 1. Kepercayaan (mutual trust) ................................................. 2. Norma (norms) dan nilai (values) ..................................... 3. Jaringan Sosial (networks) ................................................. B. Kapital sosial yang tertambat pada Struktur Sosial ............. 1. Kapital Sosial yang tertambat pada Komunitas ............. 2. Kapital Sosial yang tertambat pada Kelompok Sosial .......... 3. Kapital Sosial yang tertambat pada Stratifikasi Sosial ........ C. Struktur Sosial yang paling memungkinkan Kapital Sosial tertambat ..................................................................................... D. Sinerji Antar Kapital ............................................................. E. Diskusi .....................................................................................
x
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
150 150 155 160 168 168 171 176 186 192 198
BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................... B. Pokok Pikiran Rekomendasi ..............................................
201 203
DAFTAR BACAAN
212
......................................................................
xi
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1. : Peta Lokasi Penelitian
..................................................
Gambar 4.1. : Aksesibilitas Perhubungan Laut
13
......................................
50
Gambar 4.2. : Fasilitas Umum / Pelayanan Sosial ......................................
56
Gambar 4.3. : Pola Pemukiman
58
..............................................................
Gambar 4.4. : Usaha Budidaya Rumput Laut Gambar 4.5. : Jenis-jenis Alat Pancing
......................................
60
..................................................
62
Gambar 4.6. : Alat Tangkap Pukat / Jaring (Gilnet)
..........................
Gambar 4.7. : Keramba Tempat Penyimpanan Ikan / Lobster
63
..............
68
Gambar 4.8. : Aktifitas Usaha Penjualan Ikan (Papalele) ..........................
68
Gambar 4.9. : Jenis Kios / Warung di Pulau Baliara
..........................
69
Gambar 5.1. : Keadaan Pemukiman Kampung Dermaga ..........................
73
Gambar 5.2. : Keadaan Pemukiman Kampung Tengah
..........................
75
Gambar 5.3. : Keadaan Pemukiman Kampung Ujung
..........................
76
Gambar 5.4. : Profil Keluarga Suku Bajo Di Pulau Baliara
..............
81
..................................................
83
Gambar 5.6. : Sarana Ibadah dan Aktifitas Membersihkan TPU ..............
85
Gambar 5.7. : Profil Nelayan Kecil
..................................................
95
Gambar 5.8. : Profil Nelayan Mesin
..................................................
96
Gambar 5.9. : Profil Nelayan Punggawa
..................................................
98
Gambar 5.5. : Aktifitas Anak Bermain
Gambar 5.10. : Aktifitas Para Isteri dan Anak-anak Nelayan
..............
119
Gambar 5.11. : Perawatan Katinting dan Body Batang
..........................
139
Gambar 5.12. : Jenis-jenis Hasil Tangkapan Nelayan
..........................
142
xii
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
DAFTAR BAGAN Halaman Bagan 2.1.
: Kerangka Berfikir Penelitian
......................................
32
Bagan 2.2.
: Pembangunan Top Down dan Bottom Up Dan Bentuk Kapital Sosial ......................................
33
Bagan 5.1.
: Struktur Pemerintahan Dusun Pulau Baliara
..............
71
Bagan 5.2.
: Struktur Keluarga Inti
..................................................
78
Bagan 5.3.
: Struktur Keluarga Besar (Dansihitang)
..........................
80
Bagan 6.1.
: Faktor-faktor Kepercayaan ..................................................
154
Bagan 6.2.
: Unsur-unsur Kebudyaan Suku Bajo
..........................
156
Bagan 6.3.
: Jaringan dan Mobilitas Sosial
......................................
162
Bagan 6.4.
: Relasi Komunitas Nelayan ..................................................
163
Bagan 6.5.
: Relasi Kelompok Sosial
164
Bagan 6.6.
: Relasi Stratifikasi Sosial Nelayan
Bagan 6.7.
: Sinerji Antar Kapital
.................................................. ......................................
167
..................................................
193
xiii
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1.
: Karakteristik Responden
Tabel 3.2.
: Kinerja Relasi Antar Kapital
Tabel 3.3.
: Alat Ukur Kinerja Bonding Social Capital Komunitas
43
Tabel 3.4.
: Alat Ukur Kinerja Bonding Social Capital Kelompok Sosial
44
Tabel 3.5.
: Alat Ukur Kinerja Bridging Social Capital Stratifikasi Sosial
45
Tabel 4.1
: Jumlah KK Nelayan Suku Bajo Di Pulau Baliara Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian ...........................
59
: Pengukuran Stratifikasi Sosial Nelayan Suku Bajo Di Pulau Baliara
...........................
92
Tabel 5.2.
: Persebaran Kelompok-kelompok Sosial
...........................
100
Tabel 6.1.
: Analisis Bonding Social Capital Komunitas Nelayan Suku Bajo Di Pulau Baliara ...........................
169
: Analisis Bonding Social Capital Kelompok Sosial Suku Bajo Di Pulau Baliara ......................................
172
Tabel 6.3. `
: Analisis Bridging Social Capital Stratifikasi Sosial Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara .........................
177
Tabel 6.4.
: Kinerja Bonding Social Capital Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara
...........................
187
: Kinerja Bonding Social Capital Kelompok Sosial Suku Bajo Di Pulau Baliara .......................................
188
: Kinerja Bridging Social Capital Stratifikasi Sosial Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara ...........................
189
: Sinerji Antar Kapital
196
Tabel 5.1.
Tabel 6.2.
Tabel 6.5.
Tabel 6.6.
Tabel 6.7.
................................................... .......................................
...................................................
xiv
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
36 41
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. : Instrumen Data Sekunder Lampiran 2. : Hasil Pengukuran Kinerja Bonding Social Capital Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Lampiran 3. : Hasil Pengukuran Kinerja Bonding Socail Capital Kelompok Sosial Suku Bajo Di Pulau Baliara Lampiran 4. : Hasil Pengukuran Kinerja Bridging Social Capital Stratifikasi Sosial Suku Bajo Di Pulau Baliara Lampiran 5. : Instrumen Survey Kecil: Pengukuran Stratifikasi Sosial Nelayan Lampiran 6. : Pedoman Observasi Lampiran 7. : Pedoman Wawancara Lampiran 8. : Daftar Responden dan Anggota Keluarga Nelayan Suku Bajo Di Pulau Baliara. Lampiran 9. : Data Pemasaran dan Nama Punggawa.
xv
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan sosial yang paling dominan dihadapi nelayan di wilayah pesisir adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan yang mereka alami menyebabkan tidak ada pilihan lain selain terus-menerus memanfaatkan sumber daya laut yang pada gilirannya jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan secara perlahan dapat merusak ekosistem terumbu karang sebagai tempat berkumpul dan tumbuh kembangnya ikan serta biota laut lainnya. Meski data akurat mengenai jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa masyarakat pesisir Indonesia. Hasil studi COREMAP tahun 2006 di sepuluh provinsi di Indonesia menunjukkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan antara Rp 750.000Rp.1.500.000,- per bulan. Angka tersebut masih di bawah upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama (Laporan Studi MPA, 2006). Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir. Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi rumit karena penduduk miskin sering dianggap sebagai penyebab rusaknya lingkungan pesisir, namun di sisi lain penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi
1
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
2
masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan di wilayah pesisir itu sendiri. Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Faktor utama bukan semata-mata karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi, namun ternyata juga banyak disebabkan oleh kurangnya aktifitas penyuluhan, teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif antara tingkat kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya, kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu untuk berlayar. Indikator tersebut tidak selalu sama di setiap daerah. Pada daerah tertentu, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonomi karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh hutang yang dipinjam dari para juragan. Mereka biasanya membayar hutang tersebut dengan ikan hasil tangkapannya yang harganya ditetapkan menurut selera para juragan. Bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.
2
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
3
Pada kasus lain misalnya dalam proses transaksi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), nelayan berhadapan dengan banyak pembeli sehingga nelayan yang menjual hasil ikan di TPI umumnya akan mendapat harga yang paling menarik jika dibandingkan dengan mereka yang menjual di laut lepas atau di luar TPI. Sayangnya, tidak semua proses transaksi dilakukan secara kontan, terkadang di beberapa TPI banyak nelayan yang harus menunggu pembayaran dua sampai tiga hari karena tidak semua pembeli membawa uang yang cukup. Hal ini mendorong para nelayan yang memerlukan uang kontan untuk segera dan tidak sabar menjual hasilnya di luar TPI. Akibatnya harga ikan yang mereka jual jauh di bawah harga TPI dan seringkali hanya bisa untuk menutup biaya operasional menangkap ikan di laut lepas. Pemerintah tampaknya perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap TPI yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Pada sisi lain, dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari para nelayan. Salah satu kelompok masyarakat nelayan yang masih banyak mengalami masalah kemiskinan di Indonesia antara lain adalah warga komunitas nelayan suku Bajo1 yang hidup dalam kondisi terpencil dan sulit 1
Studi Nuryadin, dkk (1995) tentang kehidupan sosial budaya masyarakat terasing suku Bajo di kampung Sulaho Provinsi Sulawesi Tenggara mengungkapkan bahwa pada tahun 2500 SM masyarakat Bajo berasal dari satu rumpun dengan bahasa persatuan baong same. Mereka termasuk bangsa Proto Melayu dari Funan (Melayu Tua) yang menyebar di seluruh kawasan Asia Tenggara, terutama Filipina, Malaysia dan Indonesia. Di kepulauan nusantara Indonesia mereka menyebar ke Sumatera, Riau, Sulawesi, Maluku, Flores dan lai-lain. Versi lain mengungkapkan bahwa orang Bajo berasal dari kampung Ussu kerajaan Luwu (sekarang Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan). Pada saat itu di kampung Ussu atas perintah Raja Luwu bernama Sawerigading terjadi penebangan pohon besar yang bernama waelenrengnge untuk dijadikan perahu. Tumbangnya pohon tersebut mengakibatkan telur burung yang ada di atas pohon tersebut jatuh dan pecah berhamburan sehingga menimbulkan banjir besar yang menghanyutkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Banjir menyebabkan orang tersebar mengikuti aliran air hingga jauh. Dari daratan mereka tak dikenali lagi hanya nampak terlihat seperti terbayang-bayang atau bayangan (tabajo bajo). Pohon besar tersebut jatuh menimpa gunung hingga terbelah menjadi dua, yaitu kampung Ussu dan kampung Bulu Poloe (sekarang wilayah Kolaka Utara Sulawesi Tenggara).
3
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
4
dijangkau. Komunitas nelayan tersebut merupakan salah satu komponen dalam struktur masyarakat Indonesia yang belum optimal menikmati hasilhasil pembangunan. Dalam keadaan tersebut, hampir seluruh upaya pemenuhan kebutuhannya dilakukan dengan kekuatan dan kemampuan mereka sendiri untuk mengelola sumberdaya laut. Berdasarkan data yang ada, di Indonesia saat ini masih terdapat sekitar 229.479 KK yang tersebar pada 2.650 lokasi pemukiman. Dari jumlah tersebut diantaranya adalah suku Bajo yang berjumlah sekitar 30% dari komunitas adat yang ada di Indonesia. Masyakat Bajo tersebut antara lain terdapat di Provinsi Riau (dikenal dengan suku duano), Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT, Maluku, dan Maluku Utara (Departemen Sosial RI, 2009). Masuknya investor asing ke dalam wilayah penangkapan ikan nelayan suku Bajo. menjadi area budidaya mutiara telah mengubah sistem ekonomi nelayan suku Bajo di Boenaga (Nuryadin dkk, 1995). Penerapan teknologi penangkapan yang dilakukan para nelayan kerapkali dilakukan dengan caracara yang justru melanggar hukum, merusak lingkungan, mengancam keselamatan dan kelestarian sumber ikan itu sendiri seperti penggunaan bom rakitan dan racun (Nuryadin dkk, 1995, 1996). Kehadiran lembaga ekonomi, seperti koperasi, belum sepenuhnya membantu peningkatan taraf hidup nelayan (Rudiatin, 1997; Kusnadi, 2000; dan Satria, 2001). Berbagai hubungan yang dibina oleh para nelayan tersebut menunjukkan hubungan seimbang atau tidak seimbang dimana kerapkali nelayan menempati posisi yang tidak menguntungkan (Ruswanto, 2000). Hubungan tidak seimbang biasanya berupa hubungan patron-klien, dimana patron mempunyai dan memperoleh sumber daya yang berlebih dibanding kliennya. Sedangkan hubungan yang seimbang memperlihatkan pola hubungan yang bersifat pertemanan, seperti hubungan antar nelayan. Kedua Bajo dari bahasa tagalog Filipina yaitu bajau artinya orang-orang yang hidup di laut; Bajo dari dua suku kata melayu yaitu ba (bangsa) dan jo (johor), artinya orang yang hidup di laut secara tidak menetap dan tersebar; Orang melayu di Malaysia menyebut sebagai orang sama, artinya kelompok orang yang hidup di laut.
4
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
5
pola hubungan sosial tersebut terjadi pada kelompok nelayan skala kecil dan kelompok nelayan skala besar (Pollnac dalam Cernea 1988:239-280). Dalam konteks suku Bajo, maka permasalahan yang dihadapi tidak sekedar masalah yang terjadi pada masyarakat neleyan pada umumnya tetapi ada sejumlah permasalahan yang secara spesifik melekat (embedded) pula dalam kehidupan sosial budaya mereka sebagai kelompok etnik tradisional yang masih memegang kuat nilai-nilai tradisi kebudayaan Bajo. Secara umum, dari sudut pandang kita sebagai orang luar (ethic) tentu berbeda dengan sudut pandang mereka sebagai komunitas yang merasakan masalahnya sendiri (emic). Bisa jadi sesuatu yang mereka hadapi kita pandang sebagai suatu masalah namun bagi mereka bukan merupakan masalah tetapi sebagai realitas budaya mereka sendiri, demikian pula sebaliknya. Terlepas dari dua sudut pandang yang berbeda tersebut, secara umum permasalahan spesifik dan merupakan ciri / karakteristik komunitas nelayan suku Bajo sebagaimana komunitas adat tradisional lainnya di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Berbentuk komunitas relatif kecil, tertutup dan homogen; Pada umumnya komunitas suku Bajo hidup dalam jumlah yang relatif kecil terpencar, berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat berikutnya yang dianggap aman dan nyaman, bersifat tertutup dan homogen suku Bajo saja. 2. Organisasi sosial dan pranata sosialnya bertumpu pada hubungan kekerabatan; Dalam melakaukan aktifitas kehidupan sehari-hari mereka berpedoman pada sistim nilai adat atau tradisi suku Bajo, khususnya dalam aktifitas penangkapan ikan. Saat ini di beberapa lokasi sudah banyak mengalami perubahan karena desakan kebutuhan dan dinamika interaksi sosial suku Bajo dengan komunitas lain yang sulit dihindari. 3. Pada umumnya terpencil secara geografis dan secara sosial budaya dengan masyarakat yang lebih luas; Lokasi pemukiman suku Bajo pada umumnya secara geografis berada pada lokasi yang terisolir, terpencil dan sulit dijangkau. Belum ada sarana transportasi umum yang menjangkau lokasi
5
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
6
pemukiman mereka sehingga perkembangan kehidupan sosial budaya mereka relatif lamban dibanding komunitas lain pada umumnya. 4. Pada umumnya suku Bajo masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu dan meramu, dan berpindah-pindah; Pada awalnya penangkapan ikan yang mereka lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya saja. Namun pada saat ini tentu sudah berbeda karena mereka sudah mengenal pasar sehingga produksi yang mereka lakukan sudah berorientasi pada pasar. 5. Peralatan dan teknologinya masih sederhana; Dalam melakukan aktifitas sehari-hari dan interaksinya dengan alam, suku Bajo masih menggunakan peralatan dan cara-cara yang relatif tradisional seperti menangkap ikan dan memasak. Konsekuensinya jumlah produksi dan kualitas konsumsi yang dihasilkan masih sangat terbatas. 6. Ketergantungan pada lingkungan dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi; Bagi suku Bajo laut adalah sumber kehidupan dan penghidupan atau tempat menggantungkan hidup (kalumanine) sehingga mereka tidak dapat dipisahkan dari lingkungan laut. Menurut mereka, memindahkan orang Bajo untuk hidup di darat, sama saja dengan memindahkan penyu hidup di darat. Ungkapan tersebut sebagai simbol ketegasan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan laut. 7. Terbatasnya akses pelayanan sosial dasar; Lokasi pemukiman yang terpencil, terisolir, sulit dijangkau, jumlah yang relatif kecil serta adanya hambatan cuaca dan musim merupakan faktor-faktor yang menjadi kendala pemerintah untuk menyediakan pelayanan sosial dasar bagi mereka seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok lainnya. B. Permasalahan Penelitian Kehidupan nelayan terutama nelayan tradisional dianggap sebagai kelompok masyarakat miskin dan seringkali dijadikan objek eksploitatif para pemilik modal (Bailey, 1982). Harga ikan sebagai sumber pendapatannya dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang / tengkulak
6
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
7
(Mubyarto dan Dove, 1985), sehingga distribusi pendapatan menjadi tidak merata. Gejala modernisasi perikanan tidak banyak membantu bahkan membuat nelayan atau nelayan buruh menjadi terpinggirkan (Satria, 2001). Untuk mengatasi persoalan sebagaimana urain sebelumnya nampaknya perlu memperhatikan dimensi kapital sosial (social capital). Pendekatan ini dilakukan untuk melihat sejauhmana persoalan tersebut dapat dipecahkan berdasarkan potensi dan sumber yang dimiliki masyarakat nelayan itu sendiri. Di dalam masyarakat kita, kapital sosial ini menjadi suatu alternatif pemberdayaan masyarakat mengingat masyarakat kita sangatlah komunal dan mempunyai nilai-nilai yang sangat mendukung pengembangan dan penguatan kapital sosial itu sendiri. Perhatian terhadap dimensi sosial dalam pengentasan masalah kemiskinan nelayan berkaitan dengan perubahan paradigma pembangunan yang tidak hanya menekankan pada aspek material semata tetapi juga pada aspek manusianya. Strategi tersebut dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat, penguatan pemerintah lokal, dan keterlibatan lembaga non pemerintah dan masyarakat sipil. Upaya tersebut seringkali dikaitkan dengan kapital sosial sebagai suatu konsep yang berkaitan dengan norma dan jaringan yang mendukung tindakan kolektif. Kapital sosial memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi sebagai pilar penting pemberdayaan masyarakat sekaligus pilar bagi demokrasi dan good governance (tata pemerintahan yang baik). Konsep kapital sosial banyak digunakan dalam analisis tindakantindakan kolektif seperti masalah keluarga, kelompok-kelompok sosial masyarakat, sekolah, pekerjaan, dunia usaha, pemerintahan, demokrasi, dan isu-isu pembangunan (Woolcock, 1998). Kapital sosial juga mempengaruhi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat (Fukuyama, 1995, 2001; Putnam, 1993; Grootaert, 1999; Dasgupta dan Serageldin, 2000; Heffner, 2000). Namun demikian, studi tentang kapital sosial pada masyarakat nelayan tradisional seperti halnya komunitas suku Bajo belum banyak ditemukan sehingga studi ini bermaksud mengisi kekosongan studi tersebut. 7
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
8
Studi tentang kapital sosial pada masyarakat tradisional nelayan suku Bajo dilakukan dengan dengan asumsi; Pertama, kapital sosial dimiliki dan ada dalam setiap komunitas (embedded) sehingga dapat didayagunakan untuk kepentingan komunitas itu sendiri. Kedua, kapital sosial ada dalam nilai-nilai (norms) yang berfungsi mengarahkan dan mengontrol perilaku anggota masyarakat dalam mempertahankan struktur sosial. Ketiga. kapital sosial dapat dikembangkan melalui pembentukan struktur baru atau penataan kembali struktur yang lama sehingga lebih memungkinkan kapital sosial yang fungsional untuk pemenuhan kebutuhan. Berdasarkan uraian di atas maka persoalan pokok yang akan dikaji dalam studi ini adalah struktur sosial yang ada pada masyarakat nelayan suku Bajo di Pulau Baliara yang menjadi kekuatan dan diandalkan menjadi kapital sosial. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam studi ini adalah : 1. Bagaimana struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara? Aspek ini mencakup komponen struktur sosial yang meliputi komunitas, kelompok-kelompok sosial, dan stratifikasi sosial nelayan dimana kapital sosial tertambat didalamnya. 2. Struktur sosial mana yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat sehingga komunitas suku Bajo di Pulau Baliara dapat mengatasi masalahnya? 3. Bagaimana sinerji antar kapital yang dapat diterapkan sehingga komunitas suku Bajo di Pulau Baliara dapat mengatasi masalahnnya? Aspek ini mencakup kapital manusia, kapital ekonomi, dan kapital fisik serta kapitalkapital lainnya, termasuk bagaimana pelaksanannya. C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara yang meliputi komunitas, kelompok-kelompok sosial, dan stratifikasi sosial nelayan dimana kapital sosial tertambat didalamnya.
8
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
9
2. Untuk mengetahui struktur sosial mana yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat yang dapat diandalkan untuk mengatasi masalah komunitas suku Bajo di Pulau Baliara. 3. Untuk mengetahui sinerji antar kapital yang dapat diterapkan sehingga komunitas suku Bajo di Pulau Baliara dapat mengatasi masalahnnya yang mencakup kapital manusia, kapital ekonomi, dan kapital fisik serta kapitalkapital lainnya, termasuk bagaimana pelaksanannya. D. Keterbatasan Penelitian Dalam upaya pemberdayaan komunitas atau masyarakat melalui pendekatan sosiologi dengan kontribusi teori social capital maka teori atau konsep tersebut perlu dikaitkan dengan lingkungan sosial dimana konsep itu diterapkan (Lawang, 2004). Konsep atau teori-teori tentang kapital sosial yang dijadikan dasar sebagai acuan dalam beberapa kajian yang telah dilaksanakan di Indonesia selama ini kebanyakan dilakukan pada masyarakat perkotaan sedangkan terhadap masyarakat tradisional belum banyak dilakukan. Kerangka teoritik sosiologi yang digunakan dalam tesis-tesis belum terlalu jelas dan kurang mengarah pada penajaman konsep yang bercirikan lokalitas: kapital sosial di Indonesia (Lawang, 2004:221). Implikasinya dalam kajian ini adalah; apakah konsep atau teori-teori yang diajukan sebagai dasar dalam pengkajian kapital sosial terhadap komunitas (adat) nelayan suku Bajo ini dapat sesuai secara kontekstual?. Untuk itu konsep atau teori-teori tentang kapital sosial yang akan diajukan pada penelitian ini akan dilihat secara keseluruhan dari referensi yang didapat namun yang akan diajukan sebagai acuan adalah yang paling relevan dengan kondisi empirik di lapangan (Bryman, 1988, Levitte, 2004). Penelitian ini menggunakan metoda kuantitatif namun literatur yang terkait dengan bagaimana mengukur kinerja kapital-kapital sosial sebagaimana yang dikembangkan Woolcok (1998) masih terbatas sehingga dalam studi ini, penulis membuat sendiri alat ukur kinerja tipologi kapital sosial pada tiap cakupan struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara. Untuk
9
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
10
memperoleh penjelasan yang lebih luas pada penilaian kinerja kapital sosial maka penulis juga menggali makna dari jawaban responden sehingga dituntut kepekaan penulis untuk menangkap fakta-fakta dan fenomena-fenomena sosial di lapangan secara mendalam. Untuk mengklasifikasikan kelompok-kelompok atau lapisan-lapisan dalam komunitas nelayan suku Bajo, penulis mengukur indikator-indikator yang ada di lapangan yang diperoleh melalui pengamatan, wawancara secara triangulasi dengan beberapa informan kunci, serta pengisian angket pada setiap kepala keluarga (KK) yang ada di lokasi penelitian. Guna memperoleh informasi yang obyektif maka diskusi-diskusi dengan pihak pihak terkait yang memahami komunitas suku Bajo dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi dan instansi terkait dilakukan sehingga subyektifitas penulis dapat ditekan sekecil mungkin. Keterbatasan lainnya adalah lokasi penelitian cenderung terisolir dan berada di lokasi kepulauan terpencil yang sulit dijangkau, belum ada sarana transportasi umum baik yang disediakan pemerintah maupun swasta. Keadaan tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang relatif lama sehingga pengumpulan data/informasi. tidak dapat dilakukan secara kontinyu / terus menerus di lokasi kajian. Untuk mengatasi hambatan tersebut, penulis melakukan pengumpulan data/informasi di lokasi penelitian selama tiga periode tinggal di lokasi penelitian. E. Hipotesa Penelitian Struktur sosial yang ada pada masyarakat nelayan suku Bajo di Pulau Baliara merupakan kekuatan yang dapat diandalkan menjadi kapital sosial dalam upaya pengentasan masalah kemiskinan. F. Definisi Operasional Selanjutnya beberapa konsep pokok dalam teori kapital sosial menurut Woolcock ((2001) yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan dalam definisi operasional sebagai berikut :
10
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
11
1. Bonding social capital adalah kapital sosial yang tertambat pada komunitas dan kelompok-kelompok sosial suku Bajo di Pulau Baliara yang dilihat dari tingkat integrasi dalam komunitas dan kelompok serta tingkat jangkauan dalam komunitas dan kelompok yang memiliki kemampuan dan dalam komunitas yang sama berkaitan dengan keberadaan dirinya dan sumber daya sosial yang berasal dari dalam komunitas atau kelompok tersebut. 2. Bridging social capital adalah kapital sosial yang tertambat pada kelompok-kelompok sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara yang dilihat dari tingkat integrasi dalam kelompok dan tingkat jangkauan sinerji dengan kelompok lainnya yang memiliki kemampuan lebih di luar kelompoknya namun masih dalam satu komunitas yang sama untuk memperoleh dukungan, bantuan, fasilitas, dan kemudahan lainnya. Kekuatan kapital sosial ini dilihat dari tingkat integrasi kelompok yang berkaitan dengan kapasitas dan koherensi kelompok dalam mengelola usaha nelayan dan tingkat sinerji dengan institusi lain yang terkait dengan usaha penangkapan ikan. 3. Linking social capital adalah kapital sosial yang tertambat pada kelompokkelompok sosial komunitas nelayan suku Bajo di Pulau Baliara yang dilihat dari tingkat integrasi dalam kelompok dan tingkat jangkauan sinerji dengan kelompok lainnya yang memiliki kemampuan lebih baik di luar kelompok maupun di luar komunitas yang dapat memberikan dukungan, bantuan, fasilitas, dan kemudahan lainnya. 4. Komunitas adalah sekumpulan orang yang menghuni suatu tempat dalam jangka waktu yang relatif lama, memiliki ciri-ciri dan kepentingan tertentu yang diatur dengan seperangkat norma-norma atau nilai-nilai yang disepakati untuk mencapai tujuan bersama. 5. Kelompok-kelompok Sosial adalah kumpulan orang-orang yang terikat satu sama lain karena struktur sosial dalam suatu komunitas yang memiliki ikatan, kepentingan dan / atau kebutuhan serta tujuan bersama baik sosial
11
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
12
maupun ekonomi yang diatur melalui pola dan mekanisme tertentu sebagai kegiatan bersama. 6. Stratifikasi Sosial adalah suatu sistem berlapis-lapis yang membagi wargawarga masyarakat dalam beberapa lapisan secara bertingkat diamana suatu lapisan tertentu kedudukannya lebih tinggi dari lapisan lainnya dimana tiap lapisan tersebut berisikan warga-warga masyarakat tertentu dengan ukuran-ukuran tertentu pula. G. Manfaat Penelitian Secara akademik, penelitian ini telah menambah referensi pengetahuan dan teori tentang kapital sosial khususnya dalam konteks masyarakat nelayan di Indonesia. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak dalam rangka melakukan upaya pemberdayaan bagi komunitas adat suku Bajo dan komunitas adat di Indonesia pada umumnya dengan pendekatan kapital sosial. Demikian pula secara tidak langsung penelitian ini memberi sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan komunitas nelayan suku Bajo, baik pemerintah, swasta / dunia usaha, dan civil society. H. Lokasi Penelitian Studi kapital sosial ini dilaksanakan di Pulau Baliara Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara dengan alasan; (i) peneliti bekerja di bidang pemberdayaan komunitas adat terpencil, (ii) populasi dan persebaran suku Bajo terbanyak di Indonesia terdapat di Sulawesi Tenggara, (iii) peneliti memiliki pengalaman bertugas selama lima tahun di Sulawesi Tenggara, (iv) referensi dan relasi yang dimiliki peneliti terkait dengan suku Bajo cukup memadai, dan (v) ketertarikan peneliti terhadap kehidupan komunitas suku Bajo yang memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Selanjutnya untuk melihat gambaran letak lokasi penelitian, dapat disajikan melalui peta berikut ini. 12
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
13
Gambar 1.1. Peta Lokasi Penelitian
13
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
14
I. Sistematika Penulisan Bab I merupakan landasan pemikiran penelitian yang memuat latar belakang, perumusan masalah dan pertanyaan penelitian, definisi operasional, tujuan penelitian, keterbatasan studi, hipotesa kerja, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang kerangka teori yang memuat beberapa teori / konsep yang menjadi acuan dalam memperkaya data dan informasi yang terkait tentang kapital sosial dan struktur sosial. Dalam pengertian tersebut maka posisi teori / konsep yang diajukan dalam studi ini bukan untuk diuji kebenarannya. Berdasarkan teori / konsep selanjutnya dirumuskan kerangka berfikir studi kapital sosial sebagaimana yang pernah dikembangkan oleh Woolcock (1998). Bab III memuat tentang metodologi penelitian, yaitu beberapa metoda dan teknik yang digunakan dalam studi. Dalam bab ini ditegasakan bahwa studi ini dilakukan dengan paradigma kuantitatif (deduktif) namun untuk memperkaya data dan informasi maka digunakan metoda / teknik kualitatif seperti wawancara, pengamatan terbatas, dan dokumentasi. Bab IV berisi tentang gambaran umum lokasi penelitain yang memuat tentang sejarah keberadaan lokasi, keadaan penduduk dan fasilitas pemukiman yang ada, pola pemukiman serta jenis mata pencaharian dan teknologi penangkapan yang digunakan komunitas nelayan suku Bajo di Pulau Baliara. Bab V menyajikan temuan lapangan yaitu sruktur sosial, antara lain berupa komunitas nelayan, kelompok-kelompok sosial, dan stratifikasi sosial. Dalam komunitas nelayan digambarkan keadaan tiap satuan komunitas yang terbagi dalam beberapa wilayah administratif pemerintahan. Pada komunitas nelayan terdapat kelompok-kelompok sosial yang dalam perkembangannya melahirkan stratifikasi sosial sebagai konsekuensi dari perbedaan penguasaan alat-alat produksi dan pemasaran. Selanjutnya pada bab ini disajikan pula relasi sosial antar berbagai komponen struktur sosial komunitas nelayan suku Bajo di Pulau Baliara.
14
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
15
Bab VI merupakan ruang diskusi teori / konsep tentang kapital sosial dan struktur sosial. Pembahasan secara komprehensif dan mendalam diarahkan untuk mengidentifikasi kapital sosial yang tertambat pada struktur sosial, struktur sosial mana yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat, serta sinerji antar kapital yang dapat diterapkan dalam pemberdayaan komunitas nelayan suku Bajo di Pulau Baliara. Bab VII merupakan bagian akhir dari hasil studi yang berisi beberapa temuan yang dirumuskan ke dalam beberapa pointers kesimpulan substantif dan pokok pikiran rekomendasi berupa alternatif-alternatif yang penulis ajukan dalam mengatasi persoalan-persoalan komunitas nelayan suku Bajo di Pulau Baliara, bahkan masyarakat nelayan pada umumnya.
15
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
16
BAB II KERANGKA TEORI A. Teori Kapital Sosial Kapital sosial awalnya dipahami sebagai suatu bentuk di mana masyarakat menaruh kepercayaan terhadap komunitas dan individu sebagai bagian didalamnya. Mereka membuat aturan kesepakatan bersama sebagai suatu nilai dalam komunitasnya. Di sini aspirasi masyarakat mulai terakomodasi, komunitas dan jaringan lokal teradaptasi sebagai suatu modal pengembangan komunitas dan pemberdayaan masyarakat. Bourdieu (1986) mendefinisikan kapital sosial sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif2. Coleman (1988) mendefinisikan kapital sosial sebagai sesuatu yang memiliki dua ciri, yaitu merupakan aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut. Dalam pengertian ini, bentuk-bentuk kapital sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara tepat melahirkan kontrak sosial. Putnam (1993) mendefinisikan kapital sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Kapital sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan 2
Dalam pengertian ini kapital sosial menekankan pentingnya transformasi dari hubungan sosial yang sesaat dan rapuh, seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan, menjadi hubungan yang bersifat jangka panjang yang diwarnai oleh perasaan kewajiban terhadap orang lain. Bourdieu menegaskan kapital sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk social capital berupa institusi lokal maupun kekayaan sumberdaya alamnya. Bourdieu juga menegaskan bahwa kapital sosial mengacu pada keuntungan dan kesempatan yang didapat seseorang di dalam masyarakat melalui keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu (paguyuban, kelompok arisan, asosiasi tertentu) (Bourdieu (1986:243).
16
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
17
kooperasi) untuk kepentingan bersama. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa diperlukan adanya suatu
social networks (networks of civic
engagement) atau ikatan/jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, dan norma yang mendorong produktivitas komunitas. Bahkan lebih jauh, Putnam melonggarkan pemaknaan asosiasi horisontal, tidak hanya yang memberi desireable outcome (hasil pendapatan yang diharapkan) melainkan juga undesirable outcome (hasil tambahan). Fukuyama (1993, 1999) menjelaskan kapital sosial menunjuk pada kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya’. Fukuyama merumuskan kapital sosial menunjuk pada serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka (dalam Lawang, 2004). Menurut Fukuyama, kapital sosial mengandung beberapa aspek nilai (values), setidaknya terdapat empat nilai yang sangat erat kaitannya yakni (1) universalism yaitu nilai tentang pemahaman terhadap orang lain, apresiasi, toleransi serta proteksi terhadap manusia dan makhluk ciptaan Tuhan, (2) benevolence yaitu nilai tentang pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan orang lain, (3) tradition yaitu nilai yang mengandung penghargaan, komitmen dan penerimaan terhadap tradisi dan gagasan budaya tradisional, dan (4) conformity yaitu nilai yang terkait dengan pengekangan diri terhadap dorongan dan tindakan yang merugikan orang lain, serta security nilai yang mengandung keselamatan, keharmonisan, kestabilan dalam berhubungan dengan orang lain dan memperlakukan diri sendiri (Ancok, 2003). Lawang (2004) merumuskan kapital sosial sedikit lain dari yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Kapital sosial menunjuk pada semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksikan oleh individu atau kelompok yang mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan / atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital-kapital lainnya. Definisi ini dijelaskan oleh Lawang dalam perspektif sosiologi sebagai berikut; 17
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
18
Kekuatan sosial menunjuk pada semua mekanisme yang sudah dan dikembangkan oleh komunitas dalam mempertahankan hidupnya.
Pengertian komunitas dapat mengacu pada komunitas mikro, mezo dan makro. Kekuatan-kekuatan sosial sebagai kapital sosial dapat terbatas pada komunitas itu saja yang dilihat sebagai bounded social capital atau jika sudah dikaitkan dalam bentuk jaringan dengan kapital sosial meso dan makro dapat disebut sebagai bridging social capital. Kalau satuan pengamatan dan analisisnya adalah meso sebagai bounded maka yang makro adalah bridging.
Kapital sosial itu pada dasarnya adalah konstruksi sosial, artinya, melalui interaksi sosial individu-individu membangun kekuatan sosial (kolektif) bersama untuk mengatasi masalah sosial yang dihadapi.
Kapital sosial dalam pengertian ini merupakan alat (means) yang dikonstruksikan individu-individu mencapai tujuan (end) bersama.
Ada kemungkinan kapital sosial dominan dalam mengatasi suatu masalah sosial tetapi mungkin juga tidak seberapa pentingnya. Namun prinsip sinerji tetap berlaku agar kapital sosial dapat digunakan sebagai kekuatan sosial untuk mencapai tujuan bersama. Berbagai pandangan tentang kapital sosial tersebut di atas bukan
sesuatu yang bertentangan. Ada keterkaitan dan saling mengisi sebagai sebuah alat analisa penampakan kapital sosial di masyarakat. Dengan menyimak tentang berbagai pengertian kapital sosial yang sudah dikemukakan di atas, kita bisa mendapatkan pengertian kapital sosial yang lebih luas yaitu berupa jaringan sosial, atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan ini bisa dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan genealogis, dan lain-lain. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan kapital sosial dari jaringan tersebut. Dalam keadaan tersebut, dalam level mekanismenya kapital sosial dapat mengambil bentuk 18
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
19
kerjasama. Perlu ditegaskan bahwa ciri penting kapital sosial sebagai sebuah kapital, dibandingkan dengan bentuk kapital lainnya adalah asal usulnya yang bersifat sosial, yaitu relasi sosial itu dianggap sinerji atau kompetisi dimana kemenangan seseorang hanya dapat dicap di atas kekalahan orang lain. Selanjutnya Woolcock (2001) membedakan tiga tipe kapital sosial, yaitu (1) bonding social capital, (2) bridging social capital, dan (3) linking social capital. Ketiga tipe modal sosial ini dapat bekerja tergantung keadaannya3. Ia dapat bekerja dalam kelemahan maupun kelebihan dalam suatu masyarakat. Ia juga dapat digunakan dan dijadikan pendukung sekaligus penghambat dalam ikatan sosial sehingga tergantung bagaimana individu dan masyarakat memaknainya. Suatu program yang operasional efektif dan efisien harus memiliki instrumen yang mengarah pencapaian tujuan dengan pendekatan sinerji, dengan asumsi bahwa hasil akhir dari suatu program ditentukan oleh banyak faktor: kapital finansial, kapital alam, kapital fisik, kapital personal, kapital budaya, kapital simbolik, kapital sosial. Karena itu kapital sosial bukan satusatunya (Lawang, 2004:62). Tujuan ekonomi atau pengatasan masalah akan tercapai kalau semua kapital yang tersedia dalam masyarakat dikerahkan dalam suatu sinerji. Prinsip sinerji mengatakan bahwa kapital manusia4, atau kapital fisik5, dan kapital sosial saja tidak cukup dari dirinya sendiri. Energi yang terkandung di dalam masing-masing kapital perlu disatukan untuk 3
Bonding social capital bisa berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom). Pengertian social bounding adalah, tipe kapital sosial denga karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam suatu sistem kemasyarakatan, Bridging social capital bisa berupa institusi maupun mekanisme. Social bridging (jembatan sosial) merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai kelemahan sehingga memutuskan untuk membangaun kekuatan di luar dirinya, Linking social capital bisa berupa hubungan / jaringan sosial yang dikarakteristikkan dengan adanya hubungna di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat (Lawang:2004).
4
Kapital manusia menunjuk pada kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan dan atau pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang perlu untuk melakukan kegiatan tertentu (Lawang, 2005:13)
5
Kapital fisik merupakan suatu bentuk yang disengaja dibuat manusia untuk keperluan tertentu dalam suatuproses produksi barang atau jasa, yang memungkinkan orang memperoleh keuntungan pendapatan di masa yang akan dating (Lawang, 2005:11)
19
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
20
menjadi kekuatan yang efektif. Yang menjadi pertanyaan adalah; apakah prinsip ini bersifat mutlak? apakah tanpa sinerji ketiganya tidak mungkin efektivitas tercapai? dan apakah sinerji itu terbentuk dapat dipukul rata? (seperti yang pernah disinggung Fukuyama dengan solusi 20 : 80 dimana kapital sosial 20, dan kapital ekonomi 80). Implementasi dari uraian di atas adalah bahwa semua institusi yang ada dalam masyarakat (misalnya: pendidikan, keluarga, perkawinan, agama, ekonomi, pasar, politik, pemerintahan, hukum, dan sebagainya) berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan struktural yang saling mendukung sehingga
kebutuhan
masyarakat
(societal
needs)
dapat
terpenuhi.
Pengorganisasian kebutuhan dan kegiatan masyarakat hendaknya bersifat lintas batas (borderless) dengan membentuk sinerji antar kegiatan. Dengan demikian sumberdaya (resources) yang dimiliki oleh tiap institusi akan dapat digunakan secara bersama-sama agar diperoleh efisiensi dan nilai tambah yang tinggi. Oleh karena suatu masyarakat memiliki banyak institusi sebaiknya ada cara untuk mempertemukan kepentingan masyarakat yang berbeda-beda dalam suatu wadah, sehingga sebuah sinerji yang positif bisa diperoleh. B. Kritik terhadap teori Kapital Sosial Perhatian terhadap dimensi sosial dalam studi pembangunan atau pemberdayaan masyarakat berjalan seiring dengan kritik terhadap teori-teori sosial yang digunakan, termasuk kapital sosial. Para ahli Sosiologi mempertanyakan metoda pengumpulan data/informasi untuk menganalisis teori kapital sosial karena komunitas seringkali dianggap homogen sehingga sampling data tidak menggambarkan keadaan masyarakat yang sebenarnya (Levi, 1996; Fox, 1996, Tarrow, 1996). Terkait dengan studi di atas, Krishna (2002) menganalisis tingkat partisipasi demokrasi komunitas pedesaan di India yang menemukan bahwa pengaruh kapital sosial lebih menonjol pada kelompok/komunitas kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan ikatan komunitas akan meningkatkan kapital sosial. Kapital sosial menyediakan perekat dan mampu
20
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
21
menggerakan aksi kolektif bagi demokrasi, meskipun kemampuan agen juga diperlukan. Dengan demikian dari dua studi tersebut maka timbul pertanyaan, apakah teori kapital sosial merupakan suatu konsep yang berguna untuk semua kasus dan bagaimana konsep tersebut pada komunitas yang lebih luas yang cenderung heterogen? Studi yang dilakukan oleh Levitte (2004) dengan tema Bonding Social Capital In Entrepreneurial Developing Communities–Survival Networks Or Barriers? cukup menarik. Studi yang terfokus pada hubungan antara kapital sosial dan kewirausahaan pada komunitas pribumi di Kanada. Studi tersebut menggunakan analisis data statistik dari tiga komunitas di negara pertama Ontario Kanada Selatan. Studi tersebut menguji tentang kapan dan bagaimana ikatan jaringan komunitas lokasi kajian dapat berubah menjadi sumberdaya yang nyata bagi pengembangan bisnis mereka. Kesimpulan dari studi tersebut ditemukan adanya hubungan-hubungan komunitas dengan pihak luar (linking social capital) yang justeru menghambat kewirausahaan mereka daripada mendorong. Dengan demikian, studi tersebut membuktikan bahwa tidak selamanya jaringan hubungan sosial dapat mengembangkan usaha-usaha komunitas sehingga perlu dikaji kembali bagaimana memahami interaksi antara kebijakan publik dan jaringan sosial yang dapat membantu memahami hambatan dan peluang usaha suatu komunitas yang sedang berkembang. Seperti studi Levitte (2004), maka Portes dan Landolt (1996) juga mengkritik studi kapital sosial yang dilakukan oleh Coleman (1988, 1990) dan Putnam (1993) yang cenderung menyoroti manfaat dan sisi positifnya dan mengabaikan sisi negatifnya. Portes dan Landolt berpendapat bahwa kepercayaan dan jaringan justru dapat menjadi penyebab terjadinya eksklusi sosial, hambatan kemajuan individu dalam kelompok tertentu, berkembangnya kelompok sosial tertentu tidak dikehendaki oleh kelompok sosial lainnya. Kritik juga datang dari para ahli ekonomi yang menyatakan bahawa ide pengukuran kepercayaan sebagaimana kapital pada umumnya tidak dapat diterima. Menurut Arrow (2000), sesuatu dianggap kapital harus memenuhi tiga syarat, yaitu (i) perluasan pada waktu, (ii) nilai pengorbananan saat ini 21
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
22
untuk manfaat yang akan datang, dan (iii) dapat dipindahtempatkan. Menurutnya, kapital sosial tidak memenuhi syarat kedua yaitu motif interaksi bukanlah motif ekonomi. Kritik Arrow (2000) tersebut sejalan dengan kritik pada studi sebelumnya yang dilakukan Popkin (1979) tentang ekonomi rasional yang mengkritik studi Scott (1979) tentang ekonomi moral. Penganut ekonomi moral menggunakan model filosofis tentang manusia yang biasa disebut moral model dan ilmu ekonomi dengan dasar filosofis seperti ini sering disebut cultural economics atau ekonomi budaya (Wilk, 1996). Sedangkan pandangan ekonomi rasional yang menjadi dasar studi Popkin mengenai petani Asia Tenggara adalah ekonomi politik (political economy). Rasional artinya dilatarbelakangi keinginan mendapatkan keuntungan. Hubungan sosial ini menolak anggapan Scott (1979) sebelumnya dimana menurut Popkin (1979) petani Asia Tenggara sebenarnya tidak berbeda dengan manusia-manusia lain yang bertindak rasional, yang memperhitungkan segala sesuatunya dalam kerangka untung dan rugi sehingga ekonomi mereka adalah ekonomi rasional seperti halnya ekonomi Barat. Kritik-kritik terhadap teori kapital sosial sebagaimana uraian di atas dan studi kapital sosial pada komunitas nelayan suku Bajo ini nampaknya akan menambah khasanah pengembangan konsep-konsep atau teori-teori sosial khususnya kapital sosial untuk mempertajam konsep dan metodologinya sehingga dapat diterima sebagai sebuah konsep. C. Teori Struktur Sosial Pembahasan tentang teori struktur sosial di sini tidak membahas sebagai sebuah konsep yang mendalam namun tetap mengacu pada tema studi tentang kapital sosial dimana kapital sosial tertambat (embedded) dalam struktur sosial itu sendiri. Dalam pandangan Coleman (1988:19) kapital sosial merupakan nilai dasar dari aspek-aspek struktur sosial bagi aktor sebagai sumber yang dapat digunakan untuk mencapai tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa struktur sosial tidak mempunyai nilai kapital sosial
22
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
23
secara intrinsik tetapi yang membuat nilai adalah aktor. Oleh karena itu Coleman menolak determinisme struktur terhadap aktor. Sedangkan menurut Weber (dalam Lawang, 2005:173) menyatakan bahwa yang membuat struktur bersifat deterministik adalah pilihan aktor itu sendiri. Jalan tengah dari perbedaan kedua pandangan tersebut adalah teori strukturasi dari Giddens (1997) yang melihat agen tidak dapat merubah struktur6, akan tetapi di dalam kehidupan sosial masyarakat dapat saja agen mempengaruhi struktur dimana ia menjadi bagian di dalamnya melalui tindakan-tindakan tertentu yang dianggap terbaik bagi diri dan kelompoknya daripada berada di bawah tekanan struktur selamanya. Secara konseptual, Peter M. Blau (1977) menyatakan bahwa struktur sosial adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas dalam berbagai posisi sosial yang berbeda dan mempengaruhi hubungan diantara mereka. Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya berbagai tingkat yang tidak sama atau keberagaman antarbagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama sehingga mempengaruhi derajat hubungan antarbagian tersebut berupa dominasi, eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama. Dalam penjelasan selanjutnya Blau membagi basis parameter pembedaan struktur menjadi dua, yaitu (i) nominal dan (2) gradual7. Interaksi antarbagian dalam kehidupaan bersama antarkelompok, baik atas dasar parameter nominal maupun gradual, bahkan tidak hanya secara internal tetapi juga eksternal. Interaksi antarbagian dalam kehidupan sosial atas dasar
6
Untuk membedakan analisisnya, Giddens (1997) mengidentifikasi tiga jenis struktur dalam sistem sosial yaitu (i) signifikansi, (ii) legitimasi, dan (iii) dominasi. Signifikansi menghasilkan makna melalui pengorganisasian bahasa (kode, semantik, skema, interpretasi, dan praktek diskursif). Legitimasi menghasilkan tatanan moral melalui naturalisasi dalam nilai-nilai, norma, dan standar. Dominasi menghasilkan praktek kekuasaan dari penguasaan sumber daya.
7
Parameter nominal membagi komunitas menjadi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup jelas seperti agama, ras, jenis kelamin, pekerjaan, marga, tempat kerja, tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa, nasionalitas, dan sebagainya. Pengelompokkan ini bersifat horisontal dan akan melahirkan berbagai golongan. Parameter gradual membagi kelompok komunitas ke dalam kelompok sosial atas dasar peringkat status yang menciptakan perbedaan kelas, seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, kewibaan, intelegensia, dan sebagainya. Pengelompokkan ini bersifat vertikal yang akan melahirkan berbagai lapisan (Blau, 1977).
23
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
24
paramater nominal atau gradual dapat menimbulkan konflik antarindividu anggota dari berbagai golongan dan lapisan. Dalam pandangan lain, Lawang (2005:94-95) menjelasakan bahwa kapital sosial merupakan suatu kekuatan yang tertambat (embedded) pada struktur sosial itu sendiri yang terbentuk dengan dua cara, yaitu existing structure dan emergent structure. Existing structure merupakan struktur yang telah ada, diterima dan diteruskan antargenerasi melalui proses sosialisasi. Emergent structure muncul dari interaksi sosial, baik karena makna, penghargaan atau adanya kebutuhan dan permasalahan bersama yang muncul. Berdasarkan cakupannya, struktur sosial dikelompokan dalam tiga kategori, yaitu (i) stuktur sosial mikro yang mencakup status-peran, norma, nilai, kontrol sosial, sosialisasi dan sebagainya, (ii) struktur sosial meso berupa institusi-institusi sosial yang dibentuk untuk pengaturan pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan (iii) struktur sosial makro yang menunjuk pada stratifikasi sosial (Lawang, 2005). Pada kuliah sosiologinya, Lawang (2009) menjelaskan bahwa teoriteori yang lazim digunakan untuk menjelaskan stratifikasi sosial salah satunya adalah teori konflik dari Karl Marx (dan kaum Marxian) dengan beberapa asumsi, antara lain :
Stratifikasi sosial merupakan sebuah ekspresi dari kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda-beda. Stratifikasi seperti itu merupakan sumber konflik dalam masyarakat.
Distribusi kekuasaan, privilese dan prestise pada dasarnya tidak adil, tidak perlu, merusak / mengganggu kesejahteraan sosial dan individu.
Penggunaan kekuasaan melalui manipulasi dan paksaan memegang peran penting dalam mempertahankan sistem privilese masyarakat.
Institusi dalam masyarakat berfungsi meningkatkan keuntungan lapis atas dengan mengorbankan orang-orang lainnya dalam masyarakat.
Penghargaan yang tidak merata untuk posisi-posisi sosial berfungsi mempertahankan dan meningkatkan kepentingan lapis atas.
24
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
25
Posisi individu dalam masyarakat merupakan fungsi dari akses yang tidak sama untuk motivasi, pelatihan dan saluran untuk maju. Berdasarkan beberapa asumsi tersebut, kaum Marxian klasik membagi
masyarakat kapitalis menjadi dua kelas dengan menyilangkan tiga macam pembagian dikotomi, yaitu (1) masyarakat yang memiliki alat-alat produksi dan yang tidak memiliki alat-alat produksi, (2) masyarakat yang menguasai nilai lebih secara langsung dan yang menguasai nilai lebih secara tidak langsung, dan (3) kaum miskin murni, yaitu kaum buruh dan kaum miskin yang menjadi pengusaha kecil tanpa menggunakan tenaga kerja upahan (Lawang, 2009). Dalam konteks masyarakat nelayan di Indonesia, secara kasat mata struktur sosial masyarakat nelayan dapat diidentifikasi dengan mengamati pola-pola penguasaan aset produksi, seperti modal, peralatan tangkap, dan pasar. Perbedaan-perbedaan kemampuan ekonomi di antara lapisan-lapisan sosial itu diwujudkan atau ditampakkan dalam ketimpangan pemilikan asetaset produksi dan barang-barang kekayaan. Menurut Kusnadi (2002), pelapisan sosial dalam masyarakat nelayan pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat produksi (perahu, jaring dan perlengkapan yang lain) maka struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaga dengan memperoleh hak-hak yang terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal maka struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan besar memiliki jumlah modal yang diinvestasikan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap maka masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. 25
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
26
Dalam pandangan lain, struktur sosial masyarakat nelayan pada umumnya bercirikan kuatnya ikatan patron-klien sebagai konsekuaensi dari sifat kegiatan penangkapan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah penting untuk menjaga kelangsungan hidup dan produksi melaut karena pola patronklien merupakaan institusi jaminan sosial ekonomi karena hingga saat ini belum ditemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi nelayan. Legg (dalam Najib, 1999) mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien umumnya berkaitan dengan (1) hubungan diantara pelaku yang menguasai sumberdaya tidak sama, (2) hubungan yang bersifat khusus berupa hubungan pribadi yang mengandung keakraban, dan (3) hubungan yang didasarkan atas dasar saling menguntungkan. Koentjaraningrat (1990) melihat patron-klien dalam kerangka jaringan sosial dimana pola patron-klien merupakan pola hubungan yang didasarkan pada principle of reciprocity atau asas timbal balik. Merujuk pada Foster, Koentjaraningrat (1990) juga menemukan istilah lain untuk menjelaskan gejala patron-klien, yaitu dyadic contract atau hubungan antara dua satuan yang bekerjasama. Scott, 1972:92 (dalam Ahimsa, 2007:4) mengatakan bahwa hubungan patron-klien adalah : ” ....a special case of dyadic (two person) ties, involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefits or both, for a person of a lower status (clien) who for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal services, to the patron”. Dalam penjelasannya, Scott melihat hubungan patron-klien sebagai fenomena yang terbentuk atas dasar ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi. Dalam pertukaran tersebut, berarti ada arus dari patron ke klien, demikian pula sebaliknya dari klien kepada patron. Arus dari patron ke klien menurut Scott (1993) adalah (1) penghidupan subsistensi dasar berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan saprodi, jasa 26
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
27
pemasaran, dan bantuan teknis, (2) jaminan krisis subsistensi berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi, (3) perlindungan terhadap klien baik dari ancaman pribadi, seperti musuh pribadi maupun ancaman umum seperti tentara, aparat, pejabat, pemungut pajak, dan lain-lain, dan (4) memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat (sekolah, tempat ibadah, jalan, dan lain-lain).serta mensponsori festival serta perayaan desa. Sedangkan arus dari klien ke patron menurut Scott (1993) sulit untuk dikategorisasi karena klien adalah orangnya patron yang menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apapun bentuknya seperti pekerjaan dasar, jasa tambahan bagi rumah tangga patron, jasa domestik pribadi, dan juga klien merupakan anggota setia dari faksi lokal patron tersebut. Meskipun apa yang digambarkan Scott tersebut merupakan hasil kajiannya berdasarkan konteks sosial agraris, namun gambarannya tentang hubungan patron-klien dapat membantu untuk menggambarkan kondisi masyarakat nelayan. Berdasarkan tata hubungan tersebut jelaslah bahwa antara nelayan dengan patronnya menguasai sumberdaya yang tidak sama, artinya patron menguasai sumberdaya modal jauh lebih besar daripada nelayan (klien). Karena ketidaksamaan penguasaan sumberdaya tersebut menyebabkan ikatan patron-klien terjalin. Nelayan akan mencari hutang kepada patron dengan jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan yang dijual kepada patron kendati dengan harga yang lebih rendah daripada di pasar. Ikatan patron-klien tersebut merupakan mekanisme pertukaran antara patron dan klien. Dalam hal ini, patron memberikan bantuan modal, kapal motor, serta alat tangkap kepada klien. Patron tersebut menyediakan berbagai bentuk bantuan yang diperlukan klien di luar kepentingan modal. Sebagai imbalannya maka nelayan (klien) harus menjual hasil tangkapannya kepada patron dengan harga yang umumnya ditetapkan secara berpihak oleh patron (Satria, 2002). Dengan pola patron-klien yang demikian, klien sering dihadapkan pada sejumlah masalah seperti tidak berakhirnya pelunasan hutang atau kredit. 27
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
28
Menurut patron, kliennya tidak disiplin dan mementingkan pengeluaran konsumtif seperti barang-barang elektronik. Di pihak lain, klien menganggap hal itu merupakan taktik patron untuk terus mengikat klien sehingga bisnisnya bisa terus berjalan. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat suku laut dimana pada umumnya penduduk asli tidak memiliki alat tangkap sendiri sehingga mereka harus sewa pada pemodal. Hubungan tersebut tidak hanya sebatas pinjam meminjam uang dan alat tangkap namun ada keterikatan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya kepada pemodal. Permasalahannya adalah peran pemodal sebagai penentu harga (price maker) dan seringkali harga yang diberikan kepada nelayan di bawah harga jual pasar. Menghadapi kenyataan seperti ini nelayan tidak memiliki kekuatan untuk meningkatkan posisi tawar meskipun mereka sadar kondisi demikian sangat merugikan. Dalam pandangan Satria (2007), hubungan patron-klien memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada tiap daerah. Mekanisme patron-klien di berbagai
kasus
tersebut
seolah
merupakan
hubungan
yang
saling
menguntungkan. Namun berdasarkan hasil studi, derajat keuntungannya berbeda, yakni bahwa patron lebih banyak memetik keuntungan dibandingkan klien. Ini sesuai dengan hasil studi Najib (1999) yang mengungkapkana bahwa mekanisme hubungan tersebut seringkali bersifat eksploitatif, dan sengaja dipelihara patron. Inti dari pengertian eksploitasi adalah bahwa ada individu atau kelompok yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas kerugian orang lain. Di dalam pengertian ini tercakup sekurang-kurangnya dua ciri eksploitasi, yakni (i) eksploitasi itu harus dilihat sebagai satu tata-hubungan antara perorangan atau kelompok; adanya pihak yang dieksploitasi mengimplikasikan adanya pihak yang mengeksploitasi, (2) eksploitasi merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Hal ini memerlukan adanya suatu ukuran tentang keadilan distribusi untuk mengukur tata hubungan yang ada. Adanya ketidakadilan mengimplikasikan suatu norma tentang keadilan (Kasiyan, 2003:2).
28
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
29
Hubungan patron-klien dapat pula merupakan suatu pola hubungan yang bersifat positif karena mampu mendorong terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Selain terdapat sisi negatif ternyata pola patron-klien juga memiliki sisi positif. Sisi positif ini muncul karena memang secara riil institusi patronklien mampu men-trigger kehidupan nelayan untuk keluar dari perangkap keterbelakangan. Apa yang digambarkan Najib (1999) tersebut belum dapat digeneralisasi bahwa antara patron yang umumnya tengkulak itu menciptakan hubungan yang asimetris. Artinya ternyata ditemukan juga adanya pola hubungan tengkulak dengan nelayan yang relatif tidak bersifat eksploitatif. D. Kerangka Berfikir Studi Dalam memecahkan masalah yang dialami komunitas nelayan suku Bajo diperlukan upaya sistematis dan operasional yang dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pendekatan tersebut adalah pendekatan sinerji dengan asumsi bahwa hasil akhir dari suatu program ditentukan oleh banyak faktor seperti kapital finansial, kapital alam, kapital fisik, kapital personal (manusia), kapital budaya, kapital simbolik, dan kapital sosial itu sendiri sehingga kapital sosial bukan satu-satunya (Lawang, 2004:62). Pendekatan kapital sosial diasumsikan pada kata kapital itu sendiri yang bermakna sebagai sumber atau modal yang dapat dikelola, dimanfaatkan dan didayagunakan secara optimal. Kapital juga dipandang sebagai suatu hal yang sangat penting dalam proses investasi yang tanpa itu tidak mungkin investasi itu dapat berjalan (Coleman, 1988). Program / kegiatan dengan pendekatan kapital sosial dimaksud adalah pemberdayaan (empowerement)8 8
Pemberdayaan dilaksanakan dengan mengacu pada konsep keberlanjutan: ekologis, sosialekonomi, komunitas, dan institusi (Charles, 2001 dalam Satria, 2007). .Keberlanjutan ekologis terwujud dari praktek perikanan (produksi) yang tidak merusak lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak melebihi daya dukung lingkungan sehingga dibutuhkan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir atau laut yang dapat menjamin kesinambungan ekologi tersebut. Keberlanjutan sosial ekonomi mengacu pada tercapainya derajat kesejahteraan sosial ekonomi komunitas ke arah yang lebih baik. Keberlanjutan komunitas mengacu pada stabilitas sistem sosial, terjaminnya peran komunitas dalam pembangunan, adanya akses nelayan pada sumberdaya dalam pemanfaatan dan pengelolaannya. Keberlanjutan institusi merupakan prasyarat bagi tercapainya tiga dimensi keberlanjutan sebelumnya yang mencakup institusi politik (kapabilitas birokrasi desa), institusi sosial ekonomi (misalnya lembaga keuangan desa dan pasar), dan institusi sumberdaya yang mengelola sumberdaya.
29
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
30
dengan mengutamakan kemandirian nelayan suku Bajo untuk memanfaatkan dan mengelola kapital-kapital yang ada dalam diri dan jaringannya. Pendekatan pemberdayaan tersebut sesuai dengan kerangka berfikir Woolcock (2001) yang mengintegrasikan tiga tipe kapital sosial, yaitu yaitu (1) social bounding, yang bekerja pada kelompok-kelompok sosial dan komunitas (2) social bridging, yang muncul dan berkembang dalam hubungan antar kelompok-kelompok sosial pada satu komunitas dan (3) social linking, yang muncul dan berkembang dalam hubungan antara kelompok-kelompok sosial atau komunitas dengan pemerintah. Menurut Woolcock (2001), social bounding bisa berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom). Pengertian social bounding adalah tipe kapital sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat dalam sistem sosial seperti halnya keluarga yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga lain yang masih satu etnik. Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati / kebersamaan, mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yang mereka percaya. Norma-norma seperti nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom) tercermin dalam kehidupan sehari-hari9. Social bridging bisa berupa institusi atau mekanisme. Social bridging merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada didalamnya sehingga memutuskan untuk membangaun kekuatan dari luar dirinya. Wilayah kerja social bridging lebih luas dari social bounding karena dapat bekerja lintas kelompok etnik, maupun kelompok kepentingan. Social bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan.
9
Menurut Lawang (2004), yang perlu diingat adalah bahwa norma yang fungsional atau ditaati yang merupakan kapital sosial sedangkan yang dilanggar bukan merupakan kapital sosial. Norma tersebut ditaati karena dianggap berguna untuk individu dan banyak orang, tidak merugikan dan keinginan untuk melindungi nilai tersebut sehingga bagi pelanggar akan mendapat sanksi yang tegas.
30
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
31
Tujuannya adalah mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas agar mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik sumberdaya manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Social linking bisa berupa hubungan atau jaringan sosial. Hubungan sosial dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya hubungan antara nelayan suku Bajo dengan lembaga perbankan atau pemerintah yang dianggap memiliki kapital ekonomi yang dapat mendukung kegiatan produksi dan memfasilitasi pemasarannya secara lebih proporsional. Berdasarkan pemikiran Woolcock jika dikaitkan dengan posisi ketidakberdayaan nelayan suku Bajo maka daya dukung social bounding rendah atau terbatas pada pemenuhan kebutuhan subsisten keluarga namun kurang mendukung dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang lebih luas sehingga dibutuhkan adanya social bridging dan socail linking. Namun demikian social bridging yang muncul antara nelayan suku Bajo dengan Pemilik Modal berkembang pada suatu bentuk relasi sosial yang berbeda kepentingan sehingga relasi berlangsung secara tidak berimbang yang cenderung menguntungkan Pemilik Modal selaku pemodal (menguasai alat produksi) dan pengumpul hasil tangkapan (menguasai pemasaran). Dalam situasi relasi tersebut maka dibutuhkan social linking yang mampu memfasilitasi kedua kepentingan tersebut antara nelayan suku Bajo dan Pemilik Modal untuk mencipatakan relasi sosial atau kerjasama ekonomi produksi yang saling menguntungkan (mutual symbiosis). Uraian tentang relasi sosial yang terjalin antara nelayan suku Bajo dan Pemilik Modal yang dikaitkan dengan kerangka teori kapital sosial menurut Woolcock ((2001) sebagaimana uraian di atas dapat disajikan pada gambar sebagai berikut :
31
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
32
Bagan 2.1. Kerangka Berfikir Penelitian
PEMERINTAH Kapital Ekonomi Kapital Fisik (Tak terbatas)
Linking social capital
PEMILIK MODAL Kapital Ekonomi Kapital Fisik (Terbatas)
PASAR
Bridging social capital NELAYAN BAJO Kapital Fisik Kapital Manusia
HASIL PRODUKSI
Bonding social capital
Sumber : Adaptasi dari Woolcock (2001) Dalam pembahasan tentang teori kapital sosial, Woolcock ((2001) mengembangkan empat model jaringan sosial yang muncul dalam pendekatan pembangunan, yaitu dua model jaringan sosial bersifat bottom up dan dua model jaringan sosial yang bersifat top down. Dua model jaringan sosial bersifat bottom up adalah integrasi (integration) dan jejaring (linkage). Integrasi merujuk pada ikatan dalam komunitas itui sendiri sedangkan jejaring merujuk pada tingkat jangkauan komunitas berhubungan dengan keberadaan sumberdaya sosial yang berasal dari luar komunitas. Dua model jaringan sosial bersifat top down yaitu integritas (integrity) dan sinergi (synergy). Integritas merujuk pada tingkat efisiensi dan efektifitas kelompok-kelompok sosial, koherensi, dan kapasitas kelompok-kelompok sosial, sedangkan sinergi merupakan jaringan eksternal kelompok-kelompok sosial di tingkat atas antara 32
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
33
pemerintah dan lembaga keuangan yang merupakan jaringan kunci antara sektor privat dan publik. Bagan 2.2. Pembangunan Top Down dan Bottom Up dan bentuk Kapital Sosial Top Down
Bridging - Linking social capital
Autonomy (Integritas)
Autonomy (Jejaring)
Embeddedness (Sinerji)
Embeddedness (Integrasi)
Bonding social capital
Bottom Up
Sumber : Adaptasi dari Woolcock, 1998 dalam Saegaert et. al, 2001. Gambar yang disajikan Woolcock tersebut dapat dijelaskan bahwa sinerji dari jaringan sosial top down (bridging dan linking social capital) berinteraksi dengan jaringan sosial bottom up (bonding social capital) atau sebaliknya, akan menghasilkan hubungan yang maksimal jika integrasi dalam komunitas didukung oleh kelompok-kelompok sosial yang bekerja secara sinerji dengan pemerintah secara efektif dan efisien. Dari dua interaksi jaringan sosial baik bersifat top down maupun bottom up tersebut akan menghasilkan derajat hubungan yang berbeda-beda. Kinerja hubungan yang terbaik disebut beneficient autonomy, yaitu interaksi antar kapital sosial model top down dengan bottom up menghasilkan derajat yang tinggi, sedangkan jika sebaliknya disebut anarchic individualism. 33
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian Studi ini berparadigma kuantitatif (deduktif) dengan model kapital untuk melihat contoh-contoh yang dapat diterapkan pada komunitas suku Bajo. Namun demikian untuk memverifikasi dan pengkayaan data secara mendalam, penulis menerapkan metode / teknik-teknik kualitatif seperti halnya wawancara, pengamatan terbatas, studi dokumentasi, termasuk pengambilan gambar-gambar situasi dan aktifitas sosial komunitas suku Bajo (Creswell, 2002:186-187). Posisi konsep atau teori yang dikemukakan para ahli dalam studi ini bukan untuk diuji kebenarannya tetapi digunakan untuk merangsang pengamatan dan wawancara di lokasi studi. (sinthesizing). Metoda seperti ini seperti halnya dilakukan Levite (2004) pada komunitas pribumi di Kanada bahwa I approached this project qualitatively, by conducting in-depth interviews, using an interview guide to help keep the interviews on track, which also resulted in rich data. The interview guide was developed based on a literature review relating to social networks and economic development (e.g., Edwards & Foley, 1997; Erickson, 1998; Newton, 1997; Woolcock, 1998; 2000), as well as the Social Capital Assessment Tool developed by Krishna and Shrader (1999). Alasan lainnya bahwa masalah yang diteliti merupakan fakta atau fenomena sosial dinamis berupa tindakan-tindakan agen atau aktor baik perorangan maupun kolektif, termasuk hubungan masing-masing di dalamnya. Dalam interaksi tersebut dikembangkan pemikiran, tindakan, dan simbol sesuai dengan status dan peran dalam struktur sosial dan sistem nilai yang berlaku. Tindakan-tindakan sosial tersebut dapat diamati dan dijelaskan melalui interaksi sosial yang memberikan gambaran proses perubahan relasi agen atau aktor dan struktur sosial.
34
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
35
B. Jenis Penelitian Jenis penelitian bersifat deskriptif berupa studi kasus yang dilakukan pada suatu lokasi dan karakteristik tertentu yang ditemukan di lapangan. Studi kasus ditandai dengan kegiatan untuk mengumpulkan data dan informasi untuk menggali proses terjadinya peristiwa atau pengalaman aktor pada suatu kejadian secara utuh dan mendalam (Creswell, 1994:71). Selanjutnya menurut Denzin (1994:236-237) dijelaskan bahwa kasuskasus dipelajari secara mendalam dengan memperhatikaan pada konteksnya, serta memaparkan aktivitas tersebut yang terjadi secara rinci. Kasus-kasus yang
ditemukan
selaanjutnya
dikategorisasi
secara
tipikal
untuk
merekonstruksi atau mendapatkaan pola substantif yang tepat sesuai dengan teori yang diajukan yaitu kapital sosial. C. Pemilihan Responden Penelitian ini adalah studi kasus pada komunitas suku Bajo di Pulau Baliara sebanyak 79 KK yang berada pada satu lokasi pemukiman pulau yang relatif kecil dan jarak antar rumah dekat / mudah dijangkau. Sedangkan berdasarkan karakteristiknya, mereka relatif homogen yaitu dalam hal etnik dan pekerjaan. Namun demikian, mengingat studi kapital sosial ini terfokus pada struktur sosial dimana kapital sosial tertambat didalamnya, maka pemilihan responden dilakukan terhadap beberapa aktor yang dianggap dapat merepresentasikan beberapa komponen struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara. Dengan pertimbangan tersebut maka pemilihan responden dilakukan dengan metoda random samping. Namun demikian agar lebih fokus dalam pengumpulan data dan informasi maka subyek atau informan dipilih secara purposive (bertujuan) berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai tujuan penelitian (Marshall and Rossman, 1989). Dalam studi kasus ini melibatkan sejumlah informan kunci yang dipilih secara sengaja berdasarkan pertimbangan tujuan penelitian, serta informasi dari beberapa informan itu sendiri, antara lain (i) orang-orang yang dianggap memahami dengan baik berbagai fakta, fenomena, dan persoalan 35
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
36
masyarakat nelayan seperti Kepala Dusuna, Kepala Kampung, Pemimpin Agama, Pendamping, dan orang-orang yang paling tua usianya atau paling lama menetap di lokasi studi, (ii) orang-orang yang terlibat secara langsung dalam berbagai peristiwa/kejadian, aktifitas sosial ekonomi nelayan seperti nelayan, pemilik modal, pedagang, dan jaringan usaha dan mobilitas nelayan, termasuk isteri-isteri nelayan, (iii) orang-orang yang dianggap memiliki pandangan luas dan dapat mengambil jarak sehingga objektif seperti pendamping, LSM, perguruan tinggi, dan aparat pemerintah daerah yang terkait, (iv) orang-orang yang memiliki kesediaan dan waktu untuk memberikan pandangan-pandangan dan informasi, dan (v) orang-orang yang dianggap tepat untuk memberikan informasi sesuai dengan data/informasi yang diinginkan peneliti (Spradley, 1978). Berdasarkan uraian dimaksud, berikut melalui tabel, penulis sajikan beberapa karakteristik responden. Tabel 3.1. Karakteristik Responden Karakteristik Responden
Jumlah
Satuan comunitas Kampung Dermaga Kampung Tengah Kampung Ujung
26 KK / 67 jiwa 37 KK / 135 jiwa 16 KK / 40 jiwa
30 jiwa 62 jiwa 18 jiwa
37 jiwa 73 jiwa 22 jiwa
12 KK 16 KK 8 KK
79 keluarga 1 kelompok 35 orang 10 orang 7 unit 43 KK 27 KK 9 KK
-
10 orang 7 unit -
34 keluarga 1 kelompok 10 orang 5 orang 4 unit 20 KK 10 KK 4 KK
43 orang 27 orang 9 orang
-
-
20 orang 10 orang 4 orang
-
-
-
5 petugas 3 unit 1 unit 3 institusi
Kelompok Social Keluarga Nelayan Kelompok Pengajian Budidaya Rumput Laut Papalele Kios / warung Nelayan Dayung Nelayan Mesin Nelayan Punggawa Stratifikasi social Nelayan Dayung Nelayan Mesin Nelayan Punggawa
Laki-laki
Pihak - pihak terkait Pemerintah Pasar Bank / koperasi / swasta Civil society (LSM, PT)
36
Perempuan
Responden
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
37
D. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini yang dikumpulkan adalah data/informasi kualitatif baik primer maupun sekunder berupa uraian atau penjelasan faktafakta atau fenomena-fenomena yang muncul dalam komunitas nelayan suku Bajo yang terkait dengan pertanyaan penelitian. Namun demikian untuk memperkuat informasi kualitatif tersebut maka data kuantitatif dikumpulkan juga, misalnya menyangkut data demografis atau kependudukan yang dilakukan secara langsung maupun diperoleh berdasarkan data sekunder yang ada pada pihak-pihak pemerintahan lokal. Sumber data/informasi tersebut diperoleh antara lain dari para nelayan suku Bajo dan punggawa, papalele, dan pemilik kios/warung, serta beberapa pihak yang terkait dalam jaringan dan mobilitas sosial nelayan suku Bajo di Pulau Baliara. Data dan informasi yang diperoleh dari nelayan, antara lain profil nelayan (nama, jenis kelamin, usia, dan jumlah tanggungan) jenis perahu, jenis alat tangkap, cara pengoperasian, jumlah kelompok ketika melaut, pembagian kerja, waktu dan bekal yang dibutuhkan selama kegiatan produksi, status kepemilikan alat produksi, jumlah rata-rata hasil tangkapan, sistim bagi hasil, dan informasi lainnya. Data dan informasi yang diperoleh dari punggawa adalah profil punggawa (nama, jenis kelamin, usia, dan jumlah tanggungan), pengadaan alat produksi menyangkut jenis, harga, tempat pengadaan, jumlah nelayan yang menjadi anggotanya, pemilihan anggota kelompok ketika melaut, pembagian kerja, pengadaan bekal melaut seperti jenis dan jumlahnya, jumlah rata-rata hasil tangkapan dan harga, sistim bagi hasil, dan lain-lain. Pertanyaan yang sama terhadap punggawa juga diajukan kepada papalele dan pemilik kios/warung, khususnya dalam proses jual beli. E. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer kualitatif dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview), pengamatan (observation) dan triangulasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang sama kepada 37
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
38
informan yang berbeda untuk memastikan jawaban. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara terbuka dan tidak terstruktur. Observasi dilakukan terhadap obyek-obyek yang relevan sehingga membantu dalam memperkaya dan memperkuat hasil-hasil temuan (Spradley, 1979; Marshall and Rossman, 1989:79) yang didokumentasikan dalam bentuk fotofoto, gambar atau sketsa situasi lokasi penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan teknik wawancara, pencatatan dan dokumentasi yang dihimpun dari berbagai pihak yang terkait dengan keberadaan komunitas nelayan Bajo di Pulau Baliara seperti Kantor Desa, Dinas Sosial Kabupaten Bombana dan Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara, serta pihak-pihak lain yang dipandang perlu seperti Peneliti suku Bajo dari UNHALU Kendari, Yayasan Sama Kendari, dan Kerukunan Keluarga Bajo di Kendari. F. Waktu dan Tahapan Pengumpulan Data Pengambilan data/informasi lapangan dilakukan sekitar tiga bulan yang dilakukan secara bertahap yaitu pada periode bulan Juni-Juli 2007, periode bulan Januari-Februari 2008 dan periode bulan Juli-Agustus 2008, dimana pada setiap tahap tersebut peneliti tinggal / menetap di lokasi studi. Proses pengumpulan data/informasi dalam studi ini dilakukan pada tiga tahapan ke lokasi sebagai berikut : 1. Tahap I : Perijinan dan Pendahuluan Tahap ini dilaksanakan pada selama kurang lebih 2 minggu pada bulan Juni 2007 dimana Peneliti membawa Surat Pengantar penelitian dari Ketua Program Studi Sosiologi kepada Badan Riset Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, untuk selanjutnya memperoleh ijin penelitian yang ditembuskan kepada pihak-pihak terkait di tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Bombana, Kecamatan Kabaena Barat dan Desa Baliara.
38
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
39
Peneliti menyampaikan surat ijin penelitian kepada berbagai pihak sekaligus perkenalan dan melakukan pengumpulan data-data sekunder, termasuk wawancara dengan pakar dan pemerhati masalah suku Bajo di Sulawesi Tenggara. Pihak-pihak tersebut antara lain Badan Riset Daerah Sulawesi Tenggara, Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara, Kantor Bupati Bombana, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bombana, Kantor Camat Kabaena Barat, dan Kantor Desa Baliara, Peneliti suku Bajo dari Universitas Haluoleo Kendari, LSM Yayasan Sama Kendari, dan Kerukunan Keluarga Bajo Sulawesi Tenggara. Maksud perijinan dan pendahuluan ini adalah agar kegiatan studi yang dilakukan peneliti memperoleh ijin dan diketahui berbagai pihak, serta menciptakan suasana akrab antara peneliti dan komunitas nelayan suku Bajo yang menjadi lokasi kajian. Pada tahap ini dicatat dan dikumpulkan data sekunder sebagai informasi awal untuk menentukan tahap berikutnya darimana kegiatan pengumpulan data/informasi akan dimulai, membuat pedoman wawancara, dan menyusun instrumen untuk melakukan survey kecil untuk mendapat data kuantitatif seperti keadaan demografi, geografis, sarana dan prasarana, profil nelayan serta infrastruktur termasuk potensi sumberdaya alam Pulau Baliara. 2. Tahap II : Pengumpulan Data Setelah dua minggu pertama pada bulan Juni 2007 Peneliti mengurus perijinan dan perkenalan pada berbagai pihak, selanjutnya Peneliti melakukan pengumpulan data / informasi dengan menetap di Pulau Baliara selama kurang lebih tiga bulan, yaitu antara periode bulan Juni-Juli 2007, periode bulan Januari-Februari 2008 dan periode bulan Juli-Agustus 2008. Pengumpulan data/informasi tidak dilakukan secara berturut-turut dikarenakan faktor keterbatasan biaya penelitian sehingga dilakukan secara bertahap. 39
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
40
Kegiatan pengumpulan data/informasi diawali dengan melakukan kunjungan kepada informan nelayan, punggawa, tokoh masyarakat, pemilik warung/kios dan papalele untuk melakukan wawancara, survey kecil dan pengamatan secara langsung pada objek-objek tertentu aktivitas nelayan, baik pada proses produksi maupun pemasaran hasil tangkapan. Pengamatan juga dilakukan Peneliti pada beberapa lokasi jaringan dan mobilitas nelayan suku Bajo Pulau Baliara yang bisa dijangkau seperti Sikeli, Bambanipa, Pu’u Nunu, Pongaklero, Kasipute, Kendari, dan Buton (Bau-Bau). Pengumpulan data/informasi dilakukan setiap hari secara bertahap pada objek-objek tertentu, dimulai dari tempat peneliti menetap di rumah salah seorang warga Pulau Baliara, yaitu Said (49 tahun) salah seorang Punggawa di Pulau Baliara. Kunjungan dilakukan pada pagi, siang, sore, maupun malam hari. Kunjungan kepada punggawa, papalele, dan pemilik kios/warung biasanya pada sore hari karena pada jam sore biasanya mereka berkumpul di warung atau di rumah masing-masing dalam keadaan santai atau tidak bekerja. Kunjungan kepada nelayan tidak teratur waktu (pagi, siang, sore, atau malam) dan tempatnya (di rumah, di perahu, di warung, di jalan, di pantai, di dermaga, dan lain-lain) namun dilakukan ketika mereka tidak melaut. Kunjungan wawancara pada beberapa tokoh masyarakat (yang juga nelayan atau punggawa) pada sore atau malam hari. Pencatatan, penelaahan
dokumen,
pengelompokan
data
dan
penghitungan prosentase jawaban hasil survey kecil
informasi,
dan
dilakukan pada
malam hari ketika data dan informasi dianggap cukup terkumpul untuk dianalisis sementara dan ketika peneliti tidak melakukan kunjungan. Survey kecil dilakukan terhadap 79 orang (KK) nelayan yang ada di Pulau Baliara secara keseluruhan untuk mengetahui profil masingmasing nelayan dan selanjutnya data dan informasi yang diperoleh dijadikan dasar analisis stratifikasi sosial nelayan suku Bajo di Pulau Baliara untuk menentukan lapisan-lapisan sosial nelayan. 40
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
41
3. Tahap III : Terminasi Tahap ini adalah pengakhiran pengumpulan data lapangan dengan cara pamitan dan ucapan terima kasih atas bantuan dan dukungan warga suku Bajo di Pulau Baliara dan pihak pemerintah Desa dan Kecamatan pada bulan Agustus 2008. G. Teknik Analisis Data Data dan informasi hasil temuan lapangan selanjutnya dianalisis secara mendalam dengan metode inductive analysis dan logical analysis yang mengandung unsur reduksi data dan interpretasi (Marshall dan Rossman, 1989:114). Data kualitatif yang terkumpul dianalisis secara cross check untuk kemudian ditarik kesimpulan. Analisis informasi kapital sosial yang tertambat pada hubungan antar komponen struktur sosial dilakukan dengan analisis empat model jaringan sosial yang muncul dalam pendekatan pembangunan yang dilakukan Woolcock (1998). Dalam penjelasan Woolcock tersebut, sinerji dari jaringan sosial top down (bridging dan linking social capital) berinteraksi dengan jaringan sosial bottom up (bonding social capital) atau sebaliknya akan menghasilkan kinerja hubungan yang berbeda-beda atau akan memunculkan 16 (enambelas) kemungkinan kinerja hasil kapital sosial seperti tersaji pada tabel berikut : Tabel 3.2. Kinerja Relasi Antar Kapital
Kemungkinan
Kapital Sosial Bottom Up Integrasi Jejaring
Kapital Sosial Top Down Integrasi Sinerji
16
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
15
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
.....
.....
.....
.....
.....
3
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
2
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
1
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Hasil Kinerja Beneficient autonomy ......
Anarchic individualism
Sumber : Woolcock, 1988. 41
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
42
Dalam artikel srudi Woolcock, penulis tidak memperoleh penjelasan indikator dan bagaimana pengukuran dilakukan. Dengan demikian dalam studi ini, ada keterbatasan penulis dalam menyusun indikator-indikator kinerja kapital sosial karena terbatasnya literatur yang terkait dengan bagaimana mengukur kinerja kapital-kapital sosial sebagaimana dikembangkan oleh Woolcock. Untuk maksud tersebut maka pada studi ini, penulis membuat alat ukur kinerja bonding social capital pada tingkatan komunitas dan kelompokkelompok sosial, serta alat ukur kinerja bridging social capital pada tingkatan stratifikasi sosial. Indikator-indikator yang dirumuskan pada masing-masing alat ukur kinerja tersebut didasarkan atau sesuai dengan definisi operasional yang telah disampaikan pada Bab I serta serta penjelasan yang dimaksud dengan tipologi kapital sosial menurut Woolcock (1998) pada Bab II sub bab kerangka berfikir studi. Dengan demikian ada konsistensi antara teori atau konsep-konsep yang diajukan dalam studi ini dengan teknik-teknik pengumpulan data yang diterapkan melalui penyebaran angket kepada responden, termasuk dalam membuata pedoman wawancara dan pedoman observasi dalam rangka memperoleh data-data kualitatif. Indikator-indikator dibuat dalam bentuk daftar pertanyaan, dimana masing-masing pertanyaan memiliki tiga alternatif jawaban dan masingmasing alternatif tersebut memiliki skor nilai jawaban dengan skala nominal yaitu rendah (skor 1), sedang (skor2), dan tinggi (skor 3). Untuk menentukan tingkatan penilaian aspek integrasi dan aspek jejaring (bonding social capital), serta aspek integrasi dan aspek sinerji (bridging social capital) maka dibuat range jumlah skor penilaian masing-masing aspek tersebut. Selanjutnya untuk menentukan kinerja tipologi kapital sosial maka dibuat range jumlah total skor penilaian dari kedua aspek tersebut, yaitu aspek integrasi dan aspek jejaring (bonding social capital), serta aspek integrasi dan aspek sinerji (bridging social capital). Berdasarkan uraian tentang alat ukur tersebut maka perumusan alat ukur kinerja tipologi kapital dapat disajikan melalui beberapa tabel sebagai berikut : 42
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
43
Tabel 3.3. Alat Ukur Kinerja Bonding Social Capital Komunitas Integrasi Sosial Indikator
Jejaring Sosial Penilaian
Indikator
Penilaian
Jumlah penduduk Skor 1: Sedikit (< 20% penduduk) Skor 2: Sedang (20 -30 % penduduk) Skor 3: Banyak (> 40 % penduduk)
Rendah Sedang Tinggi
Intra komunitas (dalam komunitas) Skor 1: Tidak terjalin Skor 2: Kurang terjalin Skor 3: Terjalin dengan baik
Rendah Sedang Tinggi
Lamanya tinggal / menetap Skor 1: Tidak menetap Skor 2: Pendatang Skor 3: Penduduk asli
Rendah Sedang Tinggi
Inter komunitas (antar komunitas) Skor 1: Tidak terjalin Skor 2: Kurang terjalin Skor 3: Terjalin dengan baik
Rendah Sedang Tinggi
Ruang wilayah pemukiman Skor 1: Sempit Skor 2: Terbatas Skor 3: Luas
Rendah Sedang Tinggi
Supra komunitas (swasta, pasar) Skor 1: Tidak terjalin Skor 2: Kurang terjalin Skor 3: Terjalin dengan baik
Rendah Sedang Tinggi
Homogenitas suku/etnik Skor 1: Heterogen Skor 2: Relatif homogen Skor 3: Homogen
Rendah Sedang Tinggi
Peran / keterlibatan pemerintah Skor 1: Tidak berperan Skor 2: Kurang berperan Skor 3: Memfasilitasi
Rendah Sedang Tinggi
Jenis pekerjaan Skor 1: Heterogen Skor 2: Relatif homogen Skor 3: Homogen
Rendah Sedang Tinggi
Aksesibilitas jejaring Skor 1: Terhambat Skor 2: Agak terhambat Skor 3: Lancar
Rendah Sedang Tinggi
Fasilitas ruang publik / arena sosial Skor 1: Tidak ada Skor 2: Sedikit (1 – 2 unit) Skor 3: Banyak (> 3 unit)
Rendah Sedang Tinggi
Frekuensi interaksi jejaring Skor 1: Tidak ada Skor 2: Kadang-kadang Skor 3: Intensif
Rendah Sedang Tinggi
Keberfungsian norma-norma / nilai Skor 1: Tidak berfungsi / pudar Skor 2: Longgar Skor 3: Berfungsi kuat / mengikat
Rendah Sedang Tinggi
Kriteria dalam penentuan jejaring Skor 1: Tidak ada kriteria tertentu Skor 2: Menguntungkan sepihak Skor 3: Saling menguntungkan
Rendah Sedang Tinggi
Keberfungsian sangsi pelanggaran Skor 1: Tidak berfungsi / pudar Skor 2: Longgar Skor 3: Berfungsi kuat / tegas
Rendah Sedang Tinggi
Manfaat jejaring Skor 1: Tidak ada manfaat Skor 2: Kurang bermanfaat Skor 3: Sangat Bermanfaat
Rendah Sedang Tinggi
Keterangan Tabel 3.3 : Ukuran penilaian Kinerja Bonding Social Capital Komunitas, meliputi : 1. Integrasi Sosial
Jumlah skor penilaian
: 8 – 13 = Rendah
Jumlah skor penilaian
: 14 – 19 = Sedang
Jumlah skor penilaian
: 20 – 24 = Tinggi 43
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
44
2. Jejaring Sosial
Jumlah skor penilaian
: 8 – 13 = Rendah
Jumlah skor penilaian
: 14 – 19 = Sedang
Jumlah skor penilaian
: 20 – 24 = Tinggi
3. Kapital Sosial
Jumlah total skor penilaian
: 16 – 27 = Rendah
Jumlah total skor penilaian
: 28 – 39 = Sedang
Jumlah total skor penilaian
: 40 – 48 = Tinggi
Tabel 3.4. Alat Ukur Kinerja Bonding Social Capital Kelompok Social Integrasi Sosial Indikator
Jejaring Sosial Penilaian
Indikator
Penilaian
Dasar pembentukan kelompok Skor 1: Ikatan keluarga Skor 2: Anggota tertentu Skor 3: Kebutuhan bersama
Rendah Sedang Tinggi
Intra kelompok Skor 1: Tidak terjalin Skor 2: Kurang terjalin Skor 3: Terjalin dengan baik
Rendah Sedang Tinggi
Penetapan tujuan kelompok Skor 1: Ditetapkan pengurus Skor 2: Sesuai kebutuhan Skor 3: Musyawarah bersama
Rendah Sedang Tinggi
Inter kelompok Skor 1: Tidak terjalin Skor 2: Kurang terjalin Skor 3: Terjalin dengan baik
Rendah Sedang Tinggi
Pola / mekanisme kelompok Skor 1: Tidak diatur Skor 2: Kurang diatur Skor 3: Teratur dengan jelas
Rendah Sedang Tinggi
Supra kelompok Skor 1: Tidak terjalin Skor 2: Kurang terjalin Skor 3: Terjalin dengan baik
Rendah Sedang Tinggi
Status keanggotaan kelompok Skor 1: Tidak mengikat Skor 2: Kurang mengikat Skor 3: Mengikat
Rendah Sedang Tinggi
Peran / keterlibatan pemerintah Skor 1: Tidak berperan Skor 2: Kurang berperan Skor 3: Memfasilitasi
Rendah Sedang Tinggi
Agenda / aktifitas kegiatan Skor 1: Tidak terencana Skor 2: Sesuai kebutuhan Skor 3: Terencana
Rendah Sedang Tinggi
Aksesibilitas Skor 1; Terhambat Skor 2: Agak terhambat Skor 3: Lancar
Rendah Sedang Tinggi
Daya tarik pelibatan anggota Skor 1: Tidak diminati Skor 2: Kurang diminati Skor 3: Antusias
Rendah Sedang Tinggi
Frekuensi jaringan Skor 1: Tidak ada Skor 2: Kadang-kadang Skor 3: Intensif
Rendah Sedang Tinggi
Tingkat pemanfaatan kelompok Skor 1: Kurang dimanfaatkan Skor 2: Sesuai kebutuhan Skor 3: Intensif oleh anggota
Rendah Sedang Tinggi
Kriteria dalam penentuan jejaring Skor 1: Tidak ada kriteria tertentu Skor 2: Menguntungkan sepihak Skor 3: Saling menguntungkan
Rendah Sedang Tinggi
44
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
45
Aturan dan sangsi Skor 1: Tidak berfungsi / pudar Skor 2: Longgar Skor 3: Berfungsi kuat / tegas
Rendah Sedang Tinggi
Manfaat jejaring Skor 1: Tidak ada manfaat Skor 2: Kurang bermanfaat Skor 3: Sangat bermanfaat
Rendah Sedang Tinggi
Keterangan Tabel 3.4 : Ukuran penilaian Kinerja Bonding Social Capital Kelompok Sosial, meliputi : 1. Integrasi Sosial
Jumlah skor penilaian
: 8 – 13 = Rendah
Jumlah skor penilaian
: 14 – 19 = Sedang
Jumlah skor penilaian
: 20 – 24 = Tinggi
2. Jejaring Sosial
Jumlah skor penilaian
: 8 – 13 = Rendah
Jumlah skor penilaian
: 14 – 19 = Sedang
Jumlah skor penilaian
: 20 – 24 = Tinggi
3. Kapital Sosial
Jumlah total skor penilaian
: 16 – 27 = Rendah
Jumlah total skor penilaian
: 28 – 39 = Sedang
Jumlah total skor penilaian
: 40 – 48 = Tinggi
Selain alat ukur kapital sosial pada skala messo dari struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara, penulis juga juga membuat alat ukur kinerja bridging social capital pada skala makro yang mengacu pada stratifikasi sosial sebagaimana tersaji pada tabel sebagai berikut : Tabel 3.5. Alat Ukur Kinerja Bridging Social Capital Stratifikasi Social Integrasi Sosial Indikator Status pemilikan alat produksi Skor 1: Tidak memiliki Skor 2: Pinjam atau sewa Skor 3: Milik sendiri
Sinerji Sosial Penilaian
Rendah Sedang Tinggi
45
Indikator Intra lapisan (lapisan yang sama) Skor 1: Tidak terjalin Skor 2: Kurang terjalin Skor 3: Terjalin dengan baik
Penilaian
Rendah Sedang Tinggi
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
46
Cara pemilikan alat produksi Skor 1: Pinjaman kredit Skor 2: Hasil warisan keluarga Skor 3: Membeli sendiri
Rendah Sedang Tinggi
Inter lapisan (dengan lapisan lain) Skor 1: Tidak terjalin Skor 2: Kurang terjalin Skor 3: Terjalin dengan baik
Rendah Sedang Tinggi
Sumber modal produksi Skor 1: Bantuan keluarga / kerabat Skor 2: Pinjam Skor 3: Modal sendiri
Rendah Sedang Tinggi
Relasi dengan swasta, dan pasar Skor 1: Tidak terjalin Skor 2: Kurang terjalin Skor 3: Terjalin dengan baik
Rendah Sedang Tinggi
Status keanggotaan kegiatan produksi Skor 1: Buruh Skor 2: Buruh dan pemilik Skor 3: Mandiri
Rendah Sedang Tinggi
Peran / keterlibatan pemerintah Skor 1: Tidak berperan Skor 2: Kurang berperan Skor 3: Memfasilitasi
Rendah Sedang Tinggi
Orientasi kegiatan produksi Skor 1: Subsisten / keluarga Skor 2: Subsisten dan pasar Skor 3: Pasar
Rendah Sedang Tinggi
Aksesibilitas sinerji Skor 1: Terhambat Skor 2: Agak terhambat Skor 3: Lancar
Rendah Sedang Tinggi
Sistim bagi hasil Skor 1: Tidak seimbang Skor 2: Kurang seimbang Skor 3: Seimbang
Rendah Sedang Tinggi
Frekuensi sinerji Skor 1: Tidak ada Skor 2: Kadang-kadang Skor 3: Intensif
Rendah Sedang Tinggi
Pendistribusian hasil produksi Skor 1: Konsumsi keluarga Skor 2: Konsumsi dan saving Skor 3: Investasi / modal produksi
Rendah Sedang Tinggi
Kriteria dalam bersinerji Skor 1: Tidak ada kriteria tertentu Skor 2: Menguntungkan sepihak Skor 3: Saling menguntungkan
Rendah Sedang Tinggi
Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga Skor 1: Tidak terpenuhi Skor 2: Kurang terpenuhi Skor 3: Relatif terpenuhi
Rendah Sedang Tinggi
Manfaat dalam bersinerji Skor 1: Tidak ada manfaat Skor 2: Kurang bermanfaat Skor 3: Sangat bermanfaat
Rendah Sedang Tinggi
Keterangan Tabel 3.5 : Ukuran penilaian Kinerja Bridging Social Capital Stratifikasi Sosial, meliputi: 1. Integrasi Sosial
Jumlah skor penilaian
: 8 – 13 = Rendah
Jumlah skor penilaian
: 14 – 19 = Sedang
Jumlah skor penilaian
: 20 – 24 = Tinggi
2. Sinerji Sosial
Jumlah skor penilaian
: 8 – 13 = Rendah
Jumlah skor penilaian
: 14 – 19 = Sedang
Jumlah skor penilaian
: 20 – 24 = Tinggi
46
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
47
3. Kapital Sosial
Jumlah total skor penilaian
: 16 – 27 = Rendah
Jumlah total skor penilaian
: 28 – 39 = Sedang
Jumlah total skor penilaian
: 40 – 48 = Tinggi
Analisis data kuantitatif dilakukan dengan cara / teknik statistik sederhana berupa pengelompokan dan persentase yang disajikan dalam bentuk tabel dan narasi seperti halnya untuk untuk melihat stratifikasi sosial nelayan. Mengingat stratifikasi sosial suku Bajo di lokasi studi sudah tidak ada lagi maka penulis melakukan pengukuran dengan menggunakan paramater gradual (Blau, 1977) yang dibuat dalam bentuk instrumen tertutup. Pengukuran dilakukan dengan menentukan faktor-faktor produksi dan pemasaran serta berbagai pandangan komunitas tentang kegiatan tersebut. Instrumen survey kecil dimaksud tersaji dalam lampiran 2 disertasi ini.
47
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI A. Sejarah Lokasi Suku Bajo adalah sekumpulan orang yang hidup di laut, tepian laut (pesisir pantai) dan di antara gugusan pulau. Mereka hidup bebas berkelana (nomaden) mencari tempat yang dianggap dapat aman untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Laut adalah bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan; pinde kulitang kadare, bone pinde same kadare, artinya memindahkan orang Bajo (hidup) di darat sama halnya memindahkan penyu (hidup) di darat. Ungkapan tersebut untuk menggambarkan suatu hal yang tidak mungkin terjadi karena sudah kehendak takdir alam. Namun demikian mereka tetap mendarat untuk mengambil air tawar, kayu bakar dan keperluan lainnya sebagai bekal selama hidup di laut. Berdasarkan studi Nuryadin (1996) di beberapa lokasi pemukiman suku Bajo di Sulawesi Tenggara mengungkapkan bahwa persebaran orangorang Bajo di berbagai lokasi pemukiman adalah untuk mencari tempat yang aman, tersendiri (eksklusif) dan dekat laut sehingga mudah menjangkau lokasi penangkapan ikan10. Studi lain belum berhasil mengungkapkan secara pasti dari mana sesungguhnya asal usul orang Bajo kecuali mitos. Mitos-mitos itupun pada tiap lokasi pemukiman suku Bajo muncul cerita yang beragam versi. Konsep tentang kriteria pemilihan lokasi pemukiman juga tidak terlepas dari pengalaman selama hidup mengembara dari suatu tempat ke tempat lain. Sebagian dari mereka memiliki pengalaman pahit ketika berinteraksi dengan masyarakat yang hidup di darat (bagai) seperti penolakan dan pengusiran serta bentuk-bentuk pertentangan lainnya.
10
Bandingkan dengan kriteria lingkungan pemukiman menurut Budhisantoso (1994) yang setidaknya harus dapat menjamin keselamatan hidup manusia, penyediaan sumberdaya makanan, tersedianya tempat untuk mengembangkan keturunan, menciptakan arena untuk mengaktualisasikan diri dan mengembangkan kreatifitas, mewujudkan media sosial guna mengembangkan kesetikawanan kelompok sosial. Selanjutnya ditambahkan pula oleh Achadiyat (1994) tersedianya aksesbilitas pada sistem sosial yang lebih luas.
48
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Demikian halnya suku Bajo Pulau di Pulau Baliara saat ini merupakan salah satu dusun wilayah Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana. Menurut penuturan Taming (50 tahun) penamaan pulau ini pertama kali diberikan oleh orang yang berasal dari Pulau Buton untuk menandai pulau tersebut. Menurutnya, kata “Baliara” terdiri dari dari dua suku kata yaitu Bali dan Ara. Kata Bali menunjukkan orang Bali sedang kata Ara menunjukkan orang Selayar. Versi lain menceritakan bahwa ketika orang Bugis hendak menuju pulau tersebut, di perjalanan terjadi dialog antara orang Bugis dan orang Bajo yang berpapasan di tengah laut. Orang Bugis bertanya tentang nama pulau yang dilaluinya pada orang Bajo. Angin saat itu bertiup kencang sehingga pertanyaan tersebut tidak jelas didengar oleh orang Bajo sehingga dijawab ”Bali Ara” karena dirinya saat itu sedang membawa Arak yang baru saja dibeli. Orang Bugis yang mendengarkan jawaban tersebut kemudian menyebut pulau tersebut sebagai Pulau Baliara. Cerita lain tentang asal muasal Pulau Baliara diperoleh dari Ruslan (47 tahun), seorang Punggawa lahir di Pulau Kabaena yang letaknya berhadapan dengan Pulau Baliara. Menurut cerita Ruslan, Pulau Baliara pada ratusan tahun yang lalu sebenarnya pertama kali dihuni oleh orang-orang Bugis yang datang untuk mangangkap ikan di sekitar perairan laut Pulau Baliara dan sekitarnya seperti Pulau Kabaena, Pulau Bangko, Pulau Patengge, Pulau Masoka, dan lain-lain. Ketika terjadi peristiwa gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar maka orang-orang Bugis pergi meninggalkan Pulau Baliara menuju Pulau Kabaena yang dianggap lebih aman. Sampai saat ini orang-orang Bugis masih menetap di Pulau Kabaena. Setelah aman pada tahun 1970-an secara bertahap berdatangan etnik Bajo menetap di Pulau Baliara. Namun sebenarnya pada tahun 1964 telah datang beberapa orang Bajo tetapi mulai ramai berdatangan orang Bajo sejak tahun 1970-an. Mereka datang secara bertahap dalam kelompok-kelompok kecil antara 3 KK – 5 KK atas dasar hubungan keluarga, kekerabatan, dan tempat tinggal sebelumnya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Hingga 49
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
saat ini di Pulau Baliara didominasi orang Bajo, sedangkan orang Bugis sekitar 10 KK pada umumnya bekerja sebagai pengumpul hasil-hasil sumber laut atau berjualan berbagai kebutuhan rumah tangga. B. Aksesibilitas Untuk menjangkau Pulau Baliara dilakukan dalam beberapa route perjalanan. Dari Kendari (Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara) menuju Kasipute (Ibukota Kabupaten Bombana) berjarak sekitar 175 km ditempuh melalui jalur darat sekitar 4 jam perjalanan dengan ongkos Rp. 40.000,-. Dari Kasipute menuju Pulau Kabaena (Sikeli) hanya dapat dijangkau melalui jalur laut dengan jarak sekitar 40 mil. Setiap harinya beroperasi hanya satu kapal pergi-pulang (PP) dengan waktu tempuh 3 jam perjalanan dan biaya sebesar Rp. 55.000,- untuk satu kali perjalanan.
Pelabuhan Kab. Bombana
Jalur menuju Pulau Baliara
Pelabuhan Kec. Kabaena Barat
Dermaga Pulau Baliara
Gambar 4.1. Aksesibilitas Perhubungan Laut
50
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Dari Sikeli menuju Pulau Baliara berjarak 3-4 mil hanya dapat ditempuh melalui jalur laut sekitar satu jam dengan biaya sewa perahu Rp. 100.000,- Selama penelitian berlangsung, belum ada angkutan umum reguler dari dan menuju Pulau Baliara, namun pada umumnya masyarakat memiliki perahu baik sebagai alat transportasi maupun sebagai alat untuk mencari ikan di laut. Melalui perahu-perahu inilah biasanya orang ikut menumpang dari dan menuju Pulau Baliara. C. Letak dan Keadaan Geografis Pulau Baliara merupakan salah satu wilayah dusun yang terpisah dari desa induknya yaitu Desa Baliara yang terletak di Pulau Kabaena. Pulau Baliara terletak di jazirah tenggara Pulau Sulawesi dan di bagian selatan garis khaktulistiwa, memanjang dari utara dan selatan antara 4.30° - 6.25° LS dan 120.80° - 122.2° BT. Luas wilayah daratan Pulau Baliara seluruhnya mencapai sekitar 2.200 m² dengan batas-batas ke segala arah dengan wilayah dusun lainnya berupa laut atau pantai. D.
Iklim dan Musim Sebagaimana wilayah Indonesia pada umumnya, Pulau Baliara beriklim tropis yang ditandai dengan adanya dua musim yaitu musim kemarau yang berlangsung pada bulan Agustus hingga bulan Januari dan musim penghujan yang berlangsung antara bulan September hingga bulan Desember Selain musim cuaca tersebut, Pulau Baliara juga memiliki dua musim angin, yaitu musim angin barat (angin darat) yang berlangsung selama bulan Desember hingga bulan Mei dan musim angin timur (angin laut) yang berlangsung pada bulan Juni hingga bulan November. Secara umum musim cuaca dan angin tersebut tidak secara signifikan mempengaruhi kehidupan dan penghidupan masyarakat karena ketika musim penghujan dan musim angin laut berlangsung, aktifitas warga dalam melakukan penangkapan ikan di laut tetap berlangsung meskipun dilakukan pada jarak dan waktu yang terbatas.
51
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
E. Administrasi Pemerintahan Pulau Baliara adalah salah satu dusun Desa Baliara dimana ibukota desa terletak di Pulau Kabaena. Pulau lain yang masih termasuk dalam Desa Baliara adalah Pulau Bangko, Pulau Patengge, dan Pulau Masoka. Menurut Kepala Dusun Pulau Baliara Mudahang (60 tahun) bahwa seiring dengan pemekaran Kabupaten Bombana pada tahun 2003, selanjutnya banyak wilayah Desa yang dimekarkan menjadi Kecamatan dan Dusun menjadi Desa. Menurut Mudahang, Pulau Baliara dalam waktu dekat akan menjadi Desa Baliara Kepulauan yang terlepas dari desa induknya. F. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Pulau Baliara tercatat sebanyak 95 KK atau 300 jiwa yang seluruhnya adalah merupakan etnik/suku Bajo. Ketika studi berlangsung yang berhasil terdata sebanyak 79 KK nelayan dan 242 jiwa, terdiri dari 110 laki-laki dan 132 perempuan. Berdasarkan informasi Mudahang (60 tahun) Kepala Dusun Pulau Baliara bahwa penduduk yang tidak tercatat sebanyak 16 KK terdiri atas 10 KK dari suku Bugis yang memiliki kerabat di Pulau Baliara bekerja dan bekerja sebagai pengumpul atau pedagang hasil tangkapan laut di Pulau Baliara dan pulau-pulau sekitarnya. Sedangkan 6 KK lainnya adalah suku Bajo yang masih menetap sementara di Pulau Baliara namun rencananya akan menetap di Pulau Baliara jika perkembangan kehidupannya membaik.
1. Pendidikan Sarana pendidikan yang ada di Pulau Baliara terdapat 1 (satu) unit Sekolah Dasar (SD) permanent dengan 4 (empat) ruang kelas untuk menampung murid dari kelas 1 sampai kelas 6 yang berjumlah 47 orang. Tenaga pengajar SD tersebut sebanyak 6 orang guru, yang terdiri dari 3 orang guru yang berstatus PNS (termasuk 1 orang Kepala Sekolah) dan dibantu oleh 3 orang guru yang masih berstatus Honorer. Ke-enam tenaga pendidik tersebut seluruhnya berasal dari Desa Baliara dan bukan dari suku Bajo tetapi suku Bugis 4 orang dan suku Moronene 2 orang.
52
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Pendidikan formal komunitas Bajo pada umumnya rendah yaitu hanya pada tingkat SD dan kebanyakan tidak tamat SD. Hanya sebagian kecil saja yang melanjutkan sampai ke tingkat SMP, apalagi SMA. Penyebabnya antara lain adalah rendahnya para orang tua terhadap pentingnya pendidikan formal, hidup di lokasi terpencil, ketiadaan sarana pendidikan formal yang lebih tinggi di wilayah terdekat, terlalu lama meninggalkan sekolah karena ikut melaut, dan pindah tempat tinggal. Menurut sebagian besar orang tua, kemampuan membaca, menulis dan berhitung dianggap cukup membantu kelangsungan hidup anak kelak. Menurut Ahlan (43 tahun) orang dari suku Moronene yang bekerja sebagai Guru SD di Pulau Baliara mengatakan bahwa : Pengamatan saya anak-anak Bajo itu dalam pergaulan di sekolah seperti kurang percaya diri dan minder sehingga sulit beradaptasi di sekolah. Padahal diantara mereka ada juga yang berprestasi, terutama dalam hal kekuatan fisik seperti olah raga. Anak-anak Bajo terbiasa berlari di pesisir pantai yang berpasir sehingga berat dan tertanam. Ketika mereka berlari di atas tanah yang keras maka larinya menjadi cepat dibanding anak-anak pada umumnya (Wawancara Ahlan, Januari 2008). Menurut Ahlan (43 tahun), meskipun demikian keadaan tersebut sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu karena tidak ada satupun anak orang Bajo yang mau sekolah, paling tinggi lulus SD saja dan seringnya tidak sampai lulus. Ahlan juga menceritakan bahwa ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung di kelas, para orang tua (seringkali para ibu) memanggil dan membawa pulang anaknya untuk membantu pekerjaan di rumah seperti membeli sesuatu ke warung, ambil air, dan lain-lain sehingga kegiatan belajar mengajar tidak berjalan dengan baik. Rendahnya tingkatan pendidikan nelayan (65% tidak tamat SD) dan tingginya angka anak putus sekolah dasar (40%) di Pulau Baliara perlu dikaji lebih mendalam, misalnya dengan perubahan materi atau kurikulum belajar yang dapat menarik minat dan membawa manfaat langsung bagi mereka sebagai calon pelaut ulung dimasa datang misalnya tentang
53
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
perikanan laut, serta pengembangan fasilitas kegiatan belajar mengajar. Ir. Abdul Manan (46 tahun)11 mengatakan bahwa : Pendidikan belum dipandang sebagai prioritas hidup bagi orang Bajo. Anak-anak suku Bajo memang tidak didorong bersekolah oleh orang tuanya, sehingga mereka sangat tertinggal. Tingkat partisipasi sekolah di Sulawesi Tenggara 64 %, namun Suku Bajo cuma mencapai 0,5 %. Kita tidak ingin muluk-muluk, mencapai satu persen saja sudah bagus. (Wawanacara, Juli 2008). Abdul Manan memimpikan suatu saat Suku Bajo maju secara ekonomi dan pendidikan. Salah satunya yang didorong adalah membangun sekolah lebih banyak untuk membantu anak-anak Suku Bajo. Hal itu sudah diwujudkan dengan membangun khusus sekolah di Kendari yang memberikan kesempatan bagi anak Suku Bajo bersekolah gratis. Di Pulaupulau yang dihuni Suku Bajo juga diberikan sistem kejar paket untuk yang berpendidikan tertinggal.
2. Kesehatan dan Air Bersih Fasilitas kesehatan yang ada di Pulau Baliara adalah Puskesmas Pembantu yang dibangun setahun yang lalu namun belum berfungsi karena tidak ada tenaga medis yang bertugas. Persalinan ibu melahirkan dilakukan oleh dukun kampung (sandro) Pulau Baliara, termasuk melakukan pengobatan orang sakit jika dengan obat-obatan yang diperoleh di kios/warung belum kunjung sembuh. Jika penyakit yang diderita tidak dapat ditangani dukun, maka satu-satunya upaya yang dilakukan adalah membawanya ke Puskesmas yang berada di Sikeli Pulau Kabena. Masalah sehari-hari yang paling mendasar adalah kebutuhan air bersih berupa air tawar karena di Pulau Baliara tidak ada sumber mata air tawar atau sungai. Untuk memperoleh air bersih, para warga mengambil 11
Ir. Abdul Manan adalah Ketua Kerukunan Keluarga Bajo. Untuk memajukan suku Bajo, dirinya menjalin hubungan dengan suku-suku Bajo yang terpencar di tiga negara lainnya, Malaysia, Thailand, dan Filipina dengan membentuk The Bajau International Communities Confederation (BICC). Dibandingkan empat negara tersebut, suku Bajo di Indonesia paling tertinggal. Di Malaysia sudah bukan lagi nelayan tradisional karena sudah maju. Phuket tempat wisata terkenal di Thailand adalah salah satu bisnis suku Bajo.
54
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
ke daratan Pulau Kabaena atau pula-pulau lainnya dengan waktu tempuh antar 1,5 hingga 2 jam. Dalam keadaan tersebut, terdapat 3 orang warga Pulau Baliara yang berjualan air bersih seharga Rp. 1.500,-/ jerigen yang berisi 20 liter air bersih / tawar.
3. Agama Penduduk Pulau Baliara seluruhnya beragama Islam, dan satusatunya sarana keagamaan yang terdapat di desa ini adalah sebuah masjid beratap seng yang baru dibangun secara swadaya oleh warga masyarakat. Kehidupan keagamaan penduduk Pulau Baliara cukup menonjol, hal itu dapat dilihat pada saat menjelang sholat magrib, sebagian penduduk berbondong-bondong menuju mesjid. Meskipun tidak semua penduduk melaksanakan sholat lima waktu secara berjamaah di mesjid namun pada hari Jum’at, tidak satupun penduduk yang melaksanakan aktivitas penangkapan ikan. Mereka mempersiapkan diri melaksanakan sholat Jumat sehingga hari Jumat dianggap hari libur.
4. Fasilitas Umum / Pelayanan Sosial Meskipun keberadaannya tergolong daerah terpencil dan terisolir namun Pulau Baliara cukup memiliki berbagai fasilitas umum atau pelayanan sosial yang cukup memadai, antara lain :
Dermaga sepanjang 60 meter dibangun Pemda Kabupaten Bomban yang berfungsi sebagai pangkalan perahu warga.
Jalan poros kampung sepanjang 200 meter yang terletak di tengahtengah pemukiman yang dibangun oleh Departemen Sosial.
Balai sosial satu unit dari bantuan Departemen Sosial yang berfungsi sebagai pusat administrasi, dan kegiatan pertemuan warga.
Listrik tenaga diesel dua unit yang diusahakan oleh dua orang warga dengan tarif Rp. 3.000,-/malam yang ditagih setiap minggu. Listrik menyala mulai pukul 18.00 WITA - 24.00 WITA.
55
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Listrik tenaga surya sebanyak 71 unit dari bantuan Departemen Sosial yang dipasang di rumah-rumah warga dengan kapasitas 150 watt.
Antena parabola sebanyak 70 unit terpasang di rumah-rumah warga yang mampu menangkap lebih dari 20 stasiun TV dalam / luar negeri.
Kios / warung 10 unit yang menjual berbagai kebutuhan pokok warga, BBM, peralatan produksi penangkapan ikan (dalam jumlah dan jenis terbatas), peralatan dan kebutuhan dapur, rumah tangga, makanan ringan dan berbagai jenis sembako pada umumnya.
Gedung SD
Gedung Puskesmas Pembantu
Balai Sosial
Tempat Pemakaman Umum
Gambar 4.2. Fasilitas Umum / Pelayanan Sosial
56
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
G. Pola Pemukiman Bertahannya orang-orang etnik Bajo untuk menetap di Pulau Baliara yang diikuti dengan masuknya kelompok etnik Bajo lainnya secara bertahap ke Pulau Baliara telah berkembang menjadi sebuah komunitas keluarga12, lalu menjadi komunitas etnik Bajo13. Keterbatasan lahan darat sebagai pemukiman bagi orang Bajo tidak terlalu penting dibanding dengan keberadaan laut sebagai sumber mata pencaharian. Pemilihan lokasi pemukiman orang Bajo adalah letak geografisnya di pesisir pantai sehingga dapat mengembangkan kreativitas produksi sumberdaya laut. Mereka hidup dalam hubungan kekerabatan pada suatu lingkungan tinggal dengan sesama etnik Bajo sehingga dapat terhindar dari pengaruh orang luar (bagai) yang dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan hidup mereka. Di Pulau Baliara ada 83 unit rumah (ruma) yang dibangun dengan pola memanjang sepanjang pesisir pantai. Dari jumlah tersebut, 79 unit rumah telah dihuni oleh 79 keluarga nelayan dan 4 unit rumah lainnya berupa gudang penyimpanan hasil laut atau rumah tidak berpenghuni karena sudah dijual kepada nelayan di Pulau Baliara dan pemilik lama pindah ke tempat lain dengan alasan ikut keluarga, atau mencari kehidupan yang lebih baik. Rumah-rumah dibangun dengan papan / kayu berbentuk panggung dengan ketinggian sekitar dua meter ketika air laut surut. Saat air pasang, kaki-kaki rumah terendam air laut dengan ketinggian sekitar 1-1,5 meter. Jarak antar rumah antara 3- 5 meter saling berhadapan atau bersisian. Ruang rumah pada umumnya terdiri dari empat bagian, yaitu ruang tamu (lontah), ruang tidur (paditoran), ruang memasak (dapuran), dan ruang belakang 12
Dilihat dari proses terbentuknya komunitas, dasar awalnya adalah keluarga. Sejalan dengan perkembangan demografi, keluarga ini menjadi anak beranak sehingga anggota komunitas semakin bertambah banyak. Komunitas tersebut disebut komunitas keluarga (Lawang, 2004).
13
Komunitas menunjuk pada sekumpulan orang yang menghuni suatu tempat dalam jangka waktu yang relatif lama (Lawang, 2004). Pada mulanya mereka terdiri dari beberapa orang saja lalu kemudian bertambah karena kehadiran orang-orang Bajo berikutnya atau adanya kelahiran. Dalam terminologi komunitas, perhatikan pula tipologi H. Geertz (dalam Lawang, 2004) dimana komunitas suku Bajo berdasarkan karakteristiknya termasuk dalam satu komunitas dengan satu struktur sosial tunggal baik pada tingkat mikro, mezo dan makro.
57
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
(galampa). Pada lahan darat di tengah pemukiman terdapat jalan kampung yang dibuat dengan bahan pasir semen sepanjang 200 meter dan lebar 1,5 meter. Di ujung pemukiman terdapat lahan kuburan sekitar 300 m², dimana ketika air pasang sebagian lahan kuburan tersebut terendam air laut.
Pemukiman Pulau Baliara
Lahan darat sebagai jalan poros
Jembatan penghubung antar rumah
Teras belakang rumah
Gambar 4.3. Pola pemukiman H. Mata Pencaharian dan Teknologi Penangkapan Masyarakat nelayan Bajo di Pulau Baliara telah menggantungkan kehidupan dan penghidupan sepenuhnya pada sumberdaya laut (kalumanine). Namun demikian, mata pencaharian penduduk yaitu para Kepala Keluarga tidak sepenuhnya bekerja sebagai nelayan tetapi terdapat beberapa diantaranya yang melakukan diversifikasi usaha yang masih terkait dengan produksi penangkapan ikan. Hal tersebut dilakukan mengingat bekerja sebagai nelayan
58
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
adalah jenis pekerjaan yang penuh resiko dan dibayangi oleh ketidakpastian akibat kendala iklim, cuaca, kondisi fisik, dan lain-lain. Perahu adalah alat produksi utama nelayan. Jumlah perahu (bodi) yang ada di Pulau Baliara sebanyak 75 buah yang terdiri dari perahu besar (bodi batang) sebanyak 17 buah, perahu bercadik (katinting) sebanyak 27 buah dan perahu kecil (lepa-lepa) sebanyak 31 buah. Nelayan di Pulau Baliara hampir menggunakan semua jenis teknologi yang ada di Pulau Baliara. Jenis-jenis mata pencaharian di Pulau Baliara disajikan melalui tabel sebagai berikut : Tabel 4.1. Jumlah KK Nelayan Suku Bajo di Pulau Baliara Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian No.
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
1.
Nelayan
79
2.
Budidaya rumput laut
35
3.
Pengumpul (Punggawa)
9
4.
Papalele
7
5.
Usaha kios / warung
10
Sumber : Data Lapangan, Februari 2008.
1. Budidaya Rumput Laut Di Pulau Baliara hampir setengahnya nelayan melakukan usaha produksi rumput laut baik berupa rumput laut alam yang diperoleh langsung dengan cara menyelam ke dasar laut maupun rumput laut budidaya. Namun karena resiko keselamatan dan harga rumput laut budidaya lebih tinggi maka umumnya rumput laut budidaya lebih banyak diusahakan. Produksi budidaya rumput laut dilakukan dengan cara menanam bibit rumput laut di atas permukaan laut di sekitar pantai Pulau Baliara berjarak 500 m - 1 km. Bibit rumput laut diikat pada bentangan tambang
59
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
plastik sepanjang 50-100 m dimana bibit diikat dengan tali tasi yang sudah terpasang di tambang berjarak tiap 50 cm. Bentangan tambang yang sudah berisi ikatan bibit rumpu laut, selanjutnya dibawa ke tempat penanaman rumput laut untuk dibentangkan diatas permukaan laut dengan cara diikat ujung-ujungnya pada tegakkan bambu yang sudah tertanam di dasar laut dengan kedalaman sekitar 50 meter. Masa panen rumpu laut kurang lebih 40 hari namun perawatan dalam seminggu bentangan tanaman rumput laut tersebut diperiksa atau dibersihkan dari lumut untuk menjamin hasil yang maksimal.
Penanaman di pesisir pantai
Penjemuran rumput laut
Pemanenan dan pembibitan
Pengarungan untuk dipasarkan
Gambar 4.4. Usaha Budidaya Rumput Laut
Kegiatan budidaya rumput laut melibatkan hampir semua warga dari anak-anak hingga orang tua, khususnya perempuan. Untuk pekerjaan pemetikan hasil panen dan pengikatan/merakit kembali bibit rumput laut pada bentangan tambang, pada umumnya dilakukan oleh perempuan yaitu 60
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
anak-anak, gadis-gadis, istri nelayan, dan nenek-nenek dengan upah Rp. 1.500,-/bentangan. Sedangkan untuk kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan di laut, penjemuran, pengarungan hingga penjualan kepada pengumpul dilakukan oleh para laki-laki dewasa. Biaya yang dibutuhkan untuk setiap kali tanam rumput laut sekitar Rp. 100.000,- hingga Rp. 150.000,- yang diperuntukan untuk keperluan pembelian tambang, tali nilon, bibit rumput laut, upah pengikatan bibit (jika dikerjakan orang lain), dan karung untuk rumput laut yang sudah dikeringkan. Biaya produksi tersebut tersebut bisa ditekan lebih dari 50% pada masa tanam berikutnya karena tambang, tali nilon, bibit dan karung sudah ada sehingga tidak keluar biaya lagi kecuali jika ingin menambah jumlah tanaman. Hasil yang diperoleh setiap kali panen diperoleh sekitar 80 – 100 kg dalam keadaan kering yang dikumpulkan secara bertahap selama masa panen dan penjemuran antara 5-7 hari. 2. Pancing Cara menangkap ikan dengan pancing merupakan cara pertama dan paling lama dilakukan nelayan Bajo. Dahulu mata pancing dibuat sendiri dengan menggunakan bahan dari besi bekas dan sebagai tali penghubung digunakan serat kayu suka, kayu bagu dan akar tuwa. Saat ini nelayan suku Bajo menggunakan mata pancing dan tali nilon (tasi) yang mudah diperoleh di pasar bahkan kios-kios di Pulau Baliara. Ukuran mata pancing dan nilon yang digunakan tergantung pada jenis ikan yang akan ditangkap. Untuk jenis ikan ukuran kecil dengan mata pancing nomor 16-20 yang dibeli seharga Rp. 5.000,- perkotak berisi sekitar 20 mata pancing, tali nilon (tasi) yang digunakan berukuran sedang sepanjang 50-100 meter seharga Rp. 30.000,- Untuk jenis ikan hiu digunakan mata pancing ukuran nomor 1-57, untuk ikan ukuran sedang dan besar menggunakan mata pancing nomor 6-15. Terdapat pula alat pancing gurita (cumi-cumi ukuran besar) yang berbentuk jangkar kecil yang diikat pada boneka menyerupai gurita yang terbuat dari kain sutera agar nampak menarik dan mengkilat.
61
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Alat pancing ikan besar
Alat pancing gurita
Gambar 4.5. Jenis-jenis Alat Pancing Tali nilon (tasi) memiliki ukuran yang berbeda-beda pula dengan panjang bervariasi antara 50-100 meter. Pada tasi tersebut dipasang mata pancing berbagai ukuran dengan jarak tiap 0,5-1 meter. Pada tiap mata pancing dipasangkan bulu ayam atau bulu kambing sebagai umpan. Pemancingan dilakukan dengan cara menenggelamkan bentangan tasi yang sudah berisi umpan ke dalam laut selama jangka waktu tertentu yang dianggap cukup memperoleh hasil tangkapan (biasanya 15 – 30 menit). Lokasi penangkapan ikan dengan cara pancing dilakukan di sekitar Pulau Baliara dan pulau-pulau sekitarnya. Untuk menjangkau lokasi tersebut biasanya nelayan menggunakan perahu dayung (lepa-lepa) tetapi untuk jarak jauh ke laut lepas, digunakan perahu bermesin seperti katinting (perahu bercadik) atau bodi batang (perahu besar). Hasil yang didapat pada setiap kali tarikan pancing sangat variatif, misalnya tasi sepanjang 100 m bisa menghasilkan antara 25 hingga 75 ekor ikan dari berbagai jenis dan ukuran ikan, misalnya ikan lajang, cakalang, como-como, ikan putih, ikan sunu, dan lain-lain. Tenaga yang dibutuhkan untuk memancing ikan antara 1-3 orang. Jika lebih dari 3 orang, biasanya diikuti kegiatan lainnya seperti menyelam untuk mencari teripang dan sumber laut lainnya.
62
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
3. Pukat / Jaring Berdasarkan cerita tokoh Bajo di Pulau Baliara, dahulu orang Bajo membuat pukat atau jaring (ringgi) sendiri dengan bahan-bahan seperti serat kulit kayu bagu, suka dan akar tuba. Kulit kayu atau serat tersebut terlebih dahulu direndam sekitar tiga hari, kemudian dipukul-pukul untuk memisahkan antara serat dan kulit kayu. Serat dipilih hingga berbentuk benang untuk kemudian dirajut menjadi jaring. Namun demikian untuk saat ini tentu saja mereka tidak ada lagi yang membuatnya karena jaring sudah banyak tersedia di toko atau pasar.
Penyimpanan jaring
Perbaikan jaring
Gambar 4.6. Alat Tangkap Pukat / Jaring (Gilnet)
Ukuran pukat yang digunakan terdiri dari berbagai macam ukuran yang tergantung pada ukuran jenis ikan yang akan ditangkap. Untuk menjaring ikan-ikan kecil digunakan pukat berukuran 1,5-2 inci yang diperoleh dengan harga beli sekitar Rp. 200.000,- hingga Rp. 350.000,-/ pics. Untuk ikan besar dan hiu digunakan pukat berukuran 10-15 inci seharga Rp. 800.000,- hingga Rp. 1.000.000,-/pics. Tiap 1 pics berukuran panjang 30-60 meter dimana untuk melakukan penangkapan ikan dengan cara pukat ini biasanya dibutuhkan pukat sebanyak 5 pics. Penangkapan ikan dengan cara pukat atau jaring ini biasanya dilakukan oleh 3-5 orang di lautan lepas sekitar Teluk Bone dalam waktu 3-7 hari di laut atau tergantung persediaan bekal makanan yang dibawa. 63
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Mereka pergi menggunakan perahu bermesin seperti katinting atau perahu (bido) serta beberapa perahu dayung (lepa-lepa) yang digunakan untuk merentangkan jaring. Pada bagian ujung atau sisi-sisi jaring digantungkan beban berupa plastik, timah, atau juga batu sehingga jaring dapat tenggelam hingga ke dasar laut. Tebaran jaring dilakukan secara dinamis atau bergerak mencari lokasi atau tempat berkumpulnya ikan sehingga tidak jarang ada beberapa orang yang menyelam atau berenang untuk mengarahkan jaring agar senantiasa tenggelam secara mengembang. Hasil tangkapan pada tiap kali tarikan cukup variatif antara 25 – 100 kg berisi antara 150-200 ekor ikan dengan berbagai jenis dan ukuran seperti ikan cakalang, ikan sunu, ikan kakap, ikan baronang, udang lobster, dan lain-lain dengan hasil penjualan mencapai Rp. 400.000,- hingga Rp. 600.000,- selama satu atau dua hari.
4. Mallanra Penangkapan ikan dengan cara ini secara umum sama halnya dengan cara pukat atau jaring karena alat yang digunakan adalah pukat atau jaring tetapi dalam ukuran yang lebih kecil yaitu 1,5-2 inci. Lokasi penangkapan ikan dilakukan di sekitar pesisir pantai Pulau Baliara yang relatif dangkal sehingga cukup menggunakan lepa-lepa bahkan dengan cara berjalan kaki sambil menebar jaring. Kegiatan ini dilakukan cukup satu orang pada waktu pagi, sore atau malam saat ombak laut tenang. Cara ini sering dilakukan anak-anak dan para wanita untuk kebutuhan konsumsi sendiri tetapi jika hasil tangkapan banyak ada pula yang dijual. 5. Mallampu Sesuai dengan namanya yaitu mallampu yang artinya melampu atau menggunakan lampu maka kegiatan ini dilakukan pada malam hari atau dalam keadaan gelap. Cara ini dilakukan sama halnya seperti mallanra namun yang membedakan dilakukan pada keadaan gelap seperti saat bulan purnama dan ombak tenang, saat air surut sebatas lutut karena
64
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
dilakukan sambil berjalan kaki sambil memegang lampu baterai atau petromak. Alat penangkapan yang dibawa antara lain panah atau tombak, parang atau golok, dan ember sebagai tempat hasil tangkapan. Cara ini dilakukan oleh 2 orang atau lebih dimana satu orang bertugas sebagai pembawa alat penerangan dan ember, dan satu orang lagi bertugas sebagai pemburu ikan dengan cara menombak atau memukulnya dengan parang. Ikan hasil tangkapan biasanya berukuran kecil atau jenis ikan yang berjalan lamban seperti kepiting (karama), ikan pote mate, ikan bandeng (daya bolu), ikan kerung-kerung, dan lain-lain. Pada musim-musim tertentu seperti misalnya pada bulan Mei hingga Agustus, kegiatan mallampu ini hampir tiap hari dilakukan karena pada bulan tersebut sedang musim teripang dengan jenis mata tujuh. Teripang jenis ini memiliki nilai jual yang cukup mahal sehingga umumnya dilakukan sejak sore hari hingga tengah malam. 6. Menyelam Teknologi penangkapan cara menyelam adalah cara yang paling mahal karena setidaknya dibutuhkan biaya sebesar Rp. 5.000.000,- hingga Rp. 6.000.000,- , antara lain untuk membeli kompressor, tabung oksigen, selang 100-150 meter, dakor atau marphis (alat bantu pernafasan dengan cara gigit/pasang dimulut), kacamata menyelam, sepatu menyelam, dan timah pemberat yang diikatkan di pinggang. Untuk pergi melaut dengan cara ini dibutuhkan waktu 7-10 hari, bekal makanan untuk 4-5 orang, BBM solar setidaknya (100 liter (@ Rp.5.000,-). Lokasi menyelam bergerak secara dinamis pada kedalaman 20-30 depa (1 depa=5 meter) di dasar laut yang banyak terdapat terumbu karang, atau bangkai kapal yang karam. Jadi dapat dipastikan bahwa teknologi menyelam ini hanya dilakukan oleh para nelayan yang tangguh dan berpengalaman. Pembagian tugasnya adalah 2-3 orang menyelam dan 2-3
65
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
orang lainnya tetap diatas kapal menjaga mesin dan posisi perahu, serta menyiapkan berbagai peralatan yang dibutuhkan para penyelam. Penyelam turun ke dasar laut membawa keranjang sebagai tempat hasil tangkapan yang dihubungkan dengan tambang sehingga dapat ditarik ke atas jika hasil tangkapan sudah cukup banyak. Jika penyelam hendak naik ke atas perahu, terlebih dahulu memberi kode melalui tarikan selang atau tambang. Sesampainya di atas permukaan laut, penyelam terlebih dahulu berlindung sekitar 15 menit di balik perahu untuk menghindari sengatan matahari secara langsung hingga suhu badan kembali normal. Jika penyelam langsung naik ke perahu bisa berakibat fatal karena perbedaan suhu tubuh di dasar laut dan di atas permukaan laut. Jenis-jenis hasil laut yang ditangkap di dasar laut antara lain berbagai jenis teripang, mutiara dan kerang-kerangan (seperti kima, lola, dan japing-japing). Hasil tangkapan yang didapat untuk setiap kali turun melaut cukup bervariasi antara 50-150 ekor teripang, sedangkan kerangkerangan adalah sambilan tidak menjadi sasaran utama. Teripang tersebut selanjutnya dikeringkan hingga tidak ada kadar air sama sekali. Prosesnya cukup panjang, mulai dari penggaraman, dimasak/direbus hingga matang lalu dijemur hingga kering. Dalam keadaan kering dan jumlah yang dianggap cukup, teripang siap untuk dijual secara bertahap, tergantung pada jenis, ukuran, kualitas olahan dan harga pasaran Untuk sekali penjualan bisa mencapai puluhan juta tetapi rata-rata Rp. 5.000.000,- - Rp. 10.000.000,- Teripang memiliki nilai jual yang sangat tinggi untuk kebutuhan ekspor ke Jepang, Cina, Korea dan Eropah. Jikapun dikonsumsi di Indonesia, hanya dapat dinikmati di restoran atau hotel-hotel mahal di kota-kota besar. 7. Rumpon Penangkapan ikan dengan cara rumpon (rompong) adalah membuat rumah ikan seperti halnya terumbu karang sehingga memudahkan nelayan untuk menangkap ikan. Untuk pembuatan rumpon ini dibutuhkan biaya
66
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
antara Rp. 3.000.000,- hingga Rp. 5.000.000,- Bahan yang digunakan adalah batangan bambu yang ditancapkan didasar laut berbentuk empat persegi panjang dimana pada sisi batangan bambu tersebut dipasang batang daun kelapa serimbun mungkin sehingga ikan-ikan berkembang biak didalam atau sekitar rumpon tersebut. Rumpon yang telah dibuat baru bisa menghasilkan sekitar tiga hingga empat bulan namun jumlah ikan masih sangat terbatas dan jenis-jenis ikan yang memiliki nilai jual rendah. Namun jika sudah mencapai enam bulan sudah cukup banyak dihuni ikan dengan ukuran dan jenis yang bernilai tinggi. Semakin lama rumpon tersebut berada maka akan semakin banyak pula kemungkinan ikan-ikan hidup di rumpon tersebut sehingga jika tancapan rumpon ini tidak kuat maka seringkali rumpon tersebut hanyut seiring arah ombak. Untuk mengantisipasinya, biasanya nelayan suku Bajo menancapkan rumpon tidak jauh dari Pulau Baliara sehingga mudah dipantau dan ditancapkan pada dasar laut yang tidak terlalu dalam antara 10-25 meter. Hasil yang diperoleh melalui rumpon berkisar 100-150 ekor ikan dengan hasil penjualan mencapai Rp. 300.000,- hingga Rp. 350.000,dengan waktu sekitar delapan jam karena diam di sekitar rumpon saja. 8. Keramba Keramba berfungsi sebagai tempat penyimpanan ikan atau udang yang masih hidup dengan tujuan penggemukan atau menyimpan hingga jumlahnya cukup banyak untuk dijual. Untuk membuat keramba dibutuhkan biaya sekitar Rp. 200.000,- hingga Rp. 300.000,- Keramba dibuat dalam ukuran yang lebih kecil dan ditanam pada dasar laut yang tidak terlalu dalam, yaitu sekitar 2 – 5 meter. Pada tiap sisi bambu dilingkari dengan jaring sehingga ikan atau udang yang sudah tersimpan di dalam tidak dapat keluar.
67
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Keramba ukuran kecil
Keramba ukuran besar
Gambar 4.7. Keramba tempat penyimpanan ikan / lobster 9. Usaha Penjualan Ikan (Papalele) Papalele adalah istilah sebutan untuk penjual ikan yang dilakukan para istri nelayan untuk membantu suami dalam mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Usaha ini dilakukan secara individual oleh 7 orang isteri nelayan. Pengadaan ikan-ikan diperoleh dari hasil tangkapan suami atau dari nelayan lain dari melaut, tetapi ada pula nelayan yang datang untuk menjualnya kepada papalele.
Papalele isteri nelayan
Papalele isteri punggawa
Gambar 4.8. Aktifitas Usaha Penjualan Ikan (Papalele)
68
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Penjualan dilakukan papalele dengan cara menjajakan jualannya dari rumah ke rumah berkeliling kampung berupa ikan basah yang masih segar untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, tetapi ada pula warga yang datang sendiri membeli di rumah papalele. Jika tidak laku, ikan-ikan dikeringkan untuk dijadikan ikan asin lalu dijual kembali kepada warga maupun di pasar-pasar yang berada di pulau / desa lain. Penjualan ikan oleh para istri punggawa biasanya antara 3 – 5 hari pengumpulan ikan hingga cukup untuk dijual ke pasar. Jenis-jenis ikan yang dikumpulkan relatif memiliki kualitas dan harga yang lebih tinggi seperti ikan sunu, gurita, dan lobster yang disimpan dalam keramba atau diawetkan dalam kotak pendingin. 10.
Kios / Warung Jumlah kios/warung di Pulau Baliara sebanyak 10 kios/warung yang berada di depan halaman rumah atau cara membuka jendela depan rumah. Dari 10 kios/warung tersebut, 6 unit diantaranya milik para punggawa yang dikelola oleh isteri punggawa. Hal ini terkait dengan peran punggawa yang selain sebagai pengumpul, juga sebagai pemasok perbekalan produksi nelayan.
Warung sembako
Kios alat rumah tangga
Gambar 4.9.. Jenis Warung / Kios di Pulau Baliara
69
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Barang-barang yang dijual adalah berbagai kebutuhan pangan seperti halnya sembako seperti beras, minyak sayur, bumbu-bumbuan, gula, kopi, makanan ringan, susu, BBM, peralatan rumah tangga seperti ember, sapu, peralatan memasak seperti panci, wajan, gelas, piring, termos, dan lain-lain. Ada pula peralatan sekolah seperti buku dan pensil, berbagai jenis obat-obatan, berbagai jenis suku cadang peralatan menangkap ikan seperti pancing, nilon, tambang, jaring/pukat ukuran kecil. Untuk kebutuhan yang tidak terdapat di Pulau Baliara, warung / kios ini juga menerima pesanan barang / bahan yang dibutuhkan warga yang diperoleh di pasar-pasar luar Pulau Baliara ketika pemiliki warung / kios tersebut belanja barang. Harga barang-barang tersebut relatif terjangkau meskipun harganya lebih mahal antara 5%-10% dari harga di pasaran pada umumnya. Pembelian dapat dilakukan secara tunai, hutang atau panjar yaitu pembayaran dilakukan dengan cara penyerahan berbagai hasil tangkapan untuk kemudian dihitung sebagai pembayaran hutang. Warung/kios buka sepanjang hari sejak pagi hingga malam sehingga masyarakat dapat membeli ke warung jam berapapun ketika dibutuhkan, kecuali jika pemiliknya sedang pergi berbelanja.
70
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
BAB V STRUKTUR SOSIAL A. Komunitas Nelayan Saat dilakukan studi, secara administratif pemerintahan Pulau Baliara adalah salah satu Dusun dari Desa Baliara dimana Ibukota desa terletak di Pulau Kabaena. Mudahang (60 tahun) Kepala Dusun Pulau Baliara menjelaskan bahwa berdasarkan hasil musyawarah warga maka Dusun Pulau Baliara dibagi menjadi tiga wilayah Rukun Tetangga (RT) yang disebut Kampung. Penetapan wilayah didasarkan pada letak atau posisi rumah-rumah pemukiman penduduk yaitu RT 1 Kampung Dermaga diketuai oleh David (43 tahun) , RT 2 Kampung Tengah diketuai Said (49 tahun) , dan RT 3 Kampung Ujung diketuai H. Basir (45 tahun). Struktur pemerintahan Dusun Baliara dapat dilihat pada gambar berikut : Bagan 5.1. Struktur Pemerintahan Dusun Pulau Baliara
Kepala Dusun Mudahang
Sekertaris Rahim
Ketua RT. 1 Kampung Dermaga
Ketua RT. 2 Kampung Tengah
Ketua RT. 3 Kampung Ujung
David
Said
H. Basir
71
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Struktur pemerintahan Dusun Pulau Baliara tersebut dibentuk pada tahun 2003 seiring dengan pemekaran Kabupaten Bombana dari wilayah induknya yaitu Kabupaten Buton. Sebelum dibentuk wilayah pemerintahan, orang lebih mengenal sebagai Pulau Baliara dan hampir tidak pernah didatangi oleh petugas pemerintahan. Namun demikian sebagai komunitas yang biasa hidup berpindah tempat, ketiadaan program pembangunan bagi mereka tidak dianggap sebagai masalah karena mereka terbiasa hidup mandiri dengan menggantungkan didup dari sumberdaya laut (kalumanine). Keadaan penduduk yang relatif homogen yaitu komunitas etnik suku Bajo Dusun Pulau Baliara sangat kental dengan suasana komunal dimana hubungan antar individu dan kelompok dalam komunitas selalu berbentuk kekeluargaan dan kekerabatan yang terjalin atas dasar perkawinan maupun pertemanan dan kesamaan kepentingan dalam kegiatan produksi (pekerjaan). Untuk membangun kerukunan hidup dalam satu rumpun Bajo (baong same) dan / atau dengan orang lain di darat (baong bagai) mereka memiliki falsafah sitabangan (gotong royong) dan orai lesse, yaitu prinsip menghindari pertentangan dengan orang lain dan dirinya sendiri. 1. Keadaan Kampung Dermaga Jumlah penduduk Kampung Dermaga adalah 26 KK / 67 jiwa, dengan jenis kelamin laki-laki 30 jiwa dan perempuan 37 jiwa yang menetap pada 26 unit rumah. Mata pencaharian relatif homogen seperti nelayan dayung 15 KK, nelayan mesin 9 KK, nelayan punggawa 2 KK, usaha papalele 3 orang, dan usaha kios/warung 1 unit, dan budidaya rumput laut 6 orang. Wilayah ini merupakan pusat pelayan umum yang ditandai dengan keberadaan sarana fisik seperti Dermaga perahu, Gedung SD, dan Puskesmas Pembantu (Pustu) yang belum berfungsi karena belum ada petugas medis yang ditugaskan di Pulau Baliara. Dilihat dari posisinya, Kampung Dermaga terletak di depan yang menjadi pintu masuk dan keluar Pulau Baliara. Perahu-perahu nelayan berukuran besar ditambatkan di dermaga secara bersisian sepanjang lorong
72
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
dermaga yang menjadi jembatan / penghubung dengan lahan darat. Rumah-rumah dibangun berbentuk panggung di atas permukaan laut di tepai pantai saling bersisian dan berhadapan. Untuk menjangkau dari rumah ke rumah dan ke lahan darat, dibuat jembatan kayu sebagai yang menghubungkan rumah-rumah warga dengan cara jalan kaki. Di kolongkolong rumah warga, umumnya ditambatkan perahu dayungl (lepa-lepa) atau perahu mesin bercadik (katinting) yang kerap digunakan warga untuk menjangkau rumah warga lain yang dianggap cukup jauh karena jika melewati lorong jembatan dengan jalan kaki dianggap jauh dan lama.
Rumah Ketua kampung Dermaga
Calon bangunan rumah
Gambar 5.1. Keadaan Pemukiman Kampung Dermaga Di kampung ini tidak ada lahan darat kecuali diperuntukan bagi fasilitas umum yaitu gedung SD, Puskesemas Pembantu dan rumah petugas Pustu. Dalam keadaan tersebut maka arena publik yang menjadi tempat sosialisasi warga kampung adalah Dermaga. Dengan melihat perahu-perahu yang ditembatkan di dermaga, para warga umumnya tahu siapa saja warga yang sedang berada atau sedang keluar Pulau Baliara, termasuk jika ada orang luar yang masuk atau keluar Pulau Baliara. Dari dermaga dapat dilihat pula lalu lintas perahu-perahu yang melintasi Pulau Baliara, baik pedagang, petugas pemerintah, atau warga dari pulau lain. Dermaga juga berfungsi sebagai tambatan atau mangkalnya para pedagang keliling yang menggunakan perahu dari pulau ke pulau. 73
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Meskipun belum ada hari pasar, seringkali kehadiran pedagang ditunggu warga baik ketika pedagang melintasi atau sengaja datang ke Pulau Baliara. Lorong dermaga kerap menjadi arena jual beli pada waktu yang tidak tentu. Barang dagangan yang paling diminati umumnya bagi perempuan seperti pakaian, peralatan rias, aksesori dan pernik-pernik lainnya. Barang dagangan juga bisa dipesan warga kepada para pedagang sehingga dinamika pasar ini selalu ada. 2. Keadaan Kampung Tengah Jumlah penduduk Kampung Tengah sebanyak 37 KK / 135 jiwa, dengan jenis kelamin laki-laki 62 jiwa dan perempuan 73 jiwa yang menetap pada 37 unit rumah. Di kampung ini ada 2 unit rumah kosong yang ditinggal penghuninya namun dirawat oleh kerabat yang ada di kampung. Mata pencaharian relatif homogen antara lain nelayan dayung 20 KK, nelayan mesin 13 KK, nelayan punggawa 4 KK, usaha papalele 4 orang, dan usaha kios/warung 3 unit, budidaya rumput laut 16 orang. Dulu kampung ini dikenal Baliara saja, namun setelah dibagi dalam beberapa unit pemukiman maka sesuai posisinya di tengah pulau maka disebut sebagai Kampung Tengah. Penduduk Pulau Baliara ada pula yang menyebut kampung ini sebagai Kampung Lama atau Kampung Tua. Meskipun wilayah kampung ini seluruhnya daratan atau tanah akan tetapi rumah-rumah warga dibangun berbentuk panggung di pesisir pantai secara bersisian. Pada saat air pasang, dibawah rumah terendam air antara 1,5-2 meter. Di kampung ini terdapat sekitar 12 unit rumah yang dibangun di atas lahan tanah namun tetap berbentuk panggung. Lahan tanah yang ada digunakan sebagai jalan poros kampung dan sarana ibadah yaitu masjid. Di tinjau dari jumlah penduduk dan posisinya, Kampung Tengah dapat dikatakan sebagai pusat pemukiman. Meskipun fasilitas umum yang ada hanya masjid tetapi karena lahan seluruhnya darat maka kampung ini merupakan arena sosialisasi dan pertemuan warga Pulau Baliara. Ketika nelayan tidak melaut atau pulang melaut maka aktifitas warga dusun
74
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
terkonsentrasi di Kampung Tengah, khususnya di warung-warung yang umumnya milik para nelayan punggawa.
Arena sosialisasi warga
Warung tempat berkumpul warga
Gambar 5.2. Keadaan Pemukiman Kampung Tengah
Para nelayan duduk berkumpul di warung memesan kopi, rokok, dan makanan lalu bercerita. Berdasarkan pengamatan penulis selama berinteraksi dengan mereka maka dari tampilan dan materi pembicaraan, dapat dengan mudah dikenali posisi atau status sosial ekonomi mereka. Nelayan punggawa dapat dikenali dari pakaian dan aksesori yang dikenakan biasanya berpakaian lengkap, rapih, memakai jam tangan dan membicarakan soal pasokan barang (sumber laut, harga, jenis, sampai keadaan keluarga nelayan). Sedangkan nelayan bukan punggawa, biasanya datang memakai pakaian seadanya seperti celana pendek dan kaos, memakai sarung, bahkan ada yang hanya memakai celana pendek atau sarung tanpa baju, kaos, dan alas kaki. 3. Keadaan Kampung Ujung Jumlah penduduk Kampung Ujung paling sedikit yaiatu 16 KK / 40 jwa, dengan jenis kelamin laki-laki 18 jiwa dan perempuan 22 jiwa yang menetap pada 16 unit rumah. Di kampung ini juga ada 2 unit rumah kosong yang ditinggal penghuninya namun dirawat oleh kerabat yang ada di kampung dan salah satunya digunakan sebagai gudang penyimpanan 75
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
hasil sumberdaya laut milik punggawa H. Basir. Seperti kampung lainnya, mata pencaharian relatif homogen antara lain nelayan dayung 8 KK, nelayan mesin 5 KK, nelayan punggawa 3 KK, usaha papalele 3 orang, dan usaha kios/warung 3 unit, budidaya rumput laut 13 orang.
Kondisi rawa dan dekat TPU
Lahan penjemuran rumput laut
Gambar 5.3. Keadaan Pemukiman Kampung Ujung Fasilitas umum yang ada di Kampung Ujung antara lain Tempat Pemakaman Umum (TPU) berupa lahan kuburan yang tergenang pada sore hari ketika air laut pasang, Balai Sosial dan Kantor Kepala Dusun yang letaknya bersebelahan. Di lihat dari letaknya, kampung ini berada di belakang dusun yang merupakan batas pulau dengan laut lepas. Di ujung pemukiman berupa pesisir ditumbuhi pohon bakau yang berfungsi sebagai penahan laju ombak. Jenis pohon lain yang tumbuh adalah pohon kelapa, pohon ketapang, dan pohon mangga seingga nampak teduh dan rimbun. Kampung Ujung meskipun penduduknya paling sedikit namun dapat dikatakan merupakan pusat kegiatan usaha ekonomi nelayan. Rumah-rumah milik nelayan punggawa yang relatif besar setiap hari dipoenuhi warga untuk beraktifitas usaha seperti jual beli ikan, gurita, cumi-cumi, udang, dan lain-lain, baik untuk kebutuhan konsumsi warga maupun stock untuk dijual di pasaran. Lahan darat di samping kuburan yang kering ketika pagi hingga sore hari ketika air surut, digunakan sebagai tempat penjemuran berbagai produk hasil tangkapan atau olahan 76
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
sumber laut seperti rumput laut, teripang, dan ikan asin. Terdapat pula beberapa hewan peliharaan warga seperti ayam, kambing, dan anjing. Aktifitas pengolahan sumber laut tidak hanya dilakukan para nelayan tetapi juga para perempuan, baik isteri-isteri nelayan, neneknenek, gadis-gadis, dan anak-anak perempuan yang banyak dilibatkan dalam mengolah tanaman budidaya rumput laut, baik mengolah hasil panen (memetik dan memisahkan rumput laut, yang berlumut dan cacat dipisahkan), atau mengikat bibit rumput laut pada bentangan tambang untuk ditanam kembal di atas permukaan laut pesisir pantai Pulau Baliara. B. Kelompok-kelompok Sosial Kelompok sosial maupun komunitas sepanjang ada orang-orang yang berinteraksi, baik kepentingan sosial maupun ekonomi didalamnya tidak terlepas dari struktur sosial.14. Kelompok-kelompok sosial yang ada dalam komunitas suku di Pulau Baliara cukup banyak ragam dan jumlahnya, baik yang muncul dengan sendirinya (existing) maupun yang muncul dari interaksi sosial (emergent) untuk tujuan bersama. 1. Keluarga Nelayan Kelompok sosial yang paling pertama dan utama dalam komunitas nelayan suku Bajo di Pulau Baliara adalah keluarga nelayan berjumlah 79 kepala keluarga (KK). Komunitas suku Bajo mengenal garis keturunan bilateral consentris yaitu garis keturunan didasarkan pada pada garis keturunan ayah dan ibu yang dihitung tujuh derajat secara vertikal dan horizontal yang disebut dansihitang. Hubungan
kekerabatan
berbentuk
simetris
sebagaimana
masyarakat sukubangsa (etnicity) Indonesia pada umumnya. Mereka juga 14
Dalam pengertian ini maka kelompok sosial adalah kumpulan orang-orang yang terikat satu sama lain karena struktur sosial (Lawang, 2004:105). Dalam tulisannya, Lawang juga menjelaskan secara singkat beberapa pengertian kelompok sosial menurut beberapa sosiolog mulai dari Simmel (1950), Cooley (1909), Homans (1974), dan Merton (1968). Meskipun belum mempelajari sumber aslinya, namun penjelasan ini memperkaya penulis dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok sosial di lokasi kajian.
77
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
mengenal istilah kekerabatan baik istilah panggilan (term of refference) atau istilah sebutan (term of address). Status-peran tiap anggota keluarga suku Bajo di Pulau Baliara diketahui melalui sistem kekerabatan pada unit keluarga sebagai berikut : a. Keluarga inti Unit keluarga yang terkecil pada komunitas suku Bajo adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Umumnya dalam satu rumah ditempati oleh satu keluarga inti senior dan beberapa keluarga inti junior15 dari anak-anaknya yang sudah menikah namun belum mandiri. Beberapa keluarga inti junior tersebut tinggal dalam satu rumah tangga keluarga inti senior, baik orang tua laki-laki atau orang tua perempuan secara bergantian (bilokal). Bagan 5.2. Struktur Keluarga Inti Keluarga Inti Senior Bapak – Ibu Suami – Isteri (KK)
Keluarga Inti Junior Anak – Menantu Suami – Isteri (KK)
Keluarga Inti Junior Anak – Menantu Isteri – Suami (KK)
Anak Laki-laki /Perempuan Belum Menikah
Anak Laki-laki/Perempuan (Cucu)
15
Istilah keluarga inti senior dan keluarga inti junior bukan merupakan konsep dalam ilmu sosiologi namun istilah tersebut lazim digunakan dalam penelitian antropologi seperti halnya Malinowsky dan Redclief. Istilah ini penulis ini gunakan agar lebih memudahkan pemahaman atau penyebutan dalam struktur keluarga yang ada pada komunitas suku Bajo.
78
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Hubungan dalam satu rumah tangga tersebut berstatus anak dan menantu dimana ekonomi rumah tangga menjadi tanggung jawab keluarga inti senior dengan kepala rumah tangga dipegang oleh suami dari keluarga inti senior. Dengan demikian dalam satu rumah tangga yang terdiri dari satu keluarga inti merupakan sistem ekonomi keluarga baik dalam kegiatan produksi yang dilakukan oleh KK inti senior, serta distribusi dan konsumsi dilakukan oleh isteri KK inti senior. b. Keluarga luas (Dansihitang) Unit keluarga yang lebih luas pada masyarakat Bajo disebut dansihitang yaitu bentuk keluarga luas dalam satu rumah tangga terdiri dari beberapa keluarga inti yang berasal dari satu ikatan kekerabatan berdasarkan garis keturunan bilateral. Dalam satu rumah tangga ini, ada anggota keluarga kerabat keluarga laki-laki ataupun perempuan dari keluarga inti senior maupun keluarga inti junior, baik sudah berkeluarga maupun belum berkeluarga namun status mereka tetap sebagai anggota keluarga. Dengan demikian maka dalam satu rumah tangga tersebut terdiri dari orang tua bapak atau ibu (kakek dan nenek), bapak dan ibu (keluarga inti), anak yang belum menikah, anak dan menantu (dengan anak-anaknya sebagai cucu), serta ipar (keluarga bapak atau ibu) baik yang belum menikah maupun sudah menikah berikut anak-anaknya sebagai kamanakan. Namun demikian, seperti halnya dalam struktur keluarga inti, keluarga luas juga merupakan sistem ekonomi keluarga baik dalam kegiatan produksi yang dilakukan oleh KK inti senior, serta distribusi dan konsumsi dilakukan oleh isteri KK inti senior.
79
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Bagan 5.3. Struktur Keluarga Besar (Dansihitang)
Orang tua Bapak
Orang tua Ibu
Kakek – Nenek Suami – Isteri (KK)
Kakek – Nenek Suami – Isteri (KK) Keluarga Inti Senior Bapak – Ibu Suami – Isteri (KK)
Keluarga Bapak
Keluarga Ibu
Adik Ipar – Adik Bapak Suami – Isteri (KK)
Adik Ipar – Adik Ibu Suami – Isteri (KK)
Anak Laki-laki/Perempuan (Kamanakan)
Keluarga Inti Junior
Keluarga Inti Junior
Anak – Menantu Suami – Isteri (KK)
Anak – Menantu Isteri – Suami (KK)
Anak Laki-laki /Perempuan Belum Menikah
Anak Laki-laki/Perempuan (Cucu)
80
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Sebagai sebuah unit terkecil dalam masyarakat, keluarga merupakan sebuah institusi yang memiliki berbagai fungsi seperti regenerasi / pengembangan keturunan, kebutuhan seks, pendidikan, sosialisasi, dan lain-lain. Dalam unit keluarga suku Bajo, seringkali fungsifungsi tersebut dilakukan oleh bukan pasangannya kecuali kebutuhan seks dan pengembangan keturunan. Hal ini terjadi karena pada satu unit rumah pada umumnya terdiri dari beberapa keluarga inti junior dengan satu keluarga inti senior. Peran kepala keluarga inti senior sangat sentral dan penting dalam pengambilan keputusan yang bersifat ekonomi, sedangkan dalam hal pendidikan dan pengasuhan lebih banyak dilakukan para istri, terutama istri dari kepala keluarga inti senior.
Keluarga inti
Keluarga Besar (Dansihitang)
Gambar 5.4. Profil Keluarga Suku Bajo Di Pulau Baliara Eratnya hubungan keluarga dan kerabat dalam masyarakat suku Bajo diperkuat pula dengan sistem perkawinan yang bersifat endogami dansihitang atau antara sesama suku Bajo (baong same) dimana perkawinan yang dilakukan dengan saudara-saudara sepupu dua kali hingga tiga kali merupakan perkawinan yang paling ideal (mariage of refernce) sedangkan perkawinan yang dilakukan dengan saudara sepupu satu kali dianggap sumbang (incest). Saat ini sudah banyak warga suku Bajo di Pulau Baliara yang menikah dengan bentuk endogami kampung
81
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
(suku Bajo kampung lain) eksogami rumpun (dengan suku lain yang masih dianggap kerabat) dan amalgamasi (dengan suku lain). Adat menetap setelah menikah dalam masyarakat suku Bajo adalah bersifat bilokal yaitu setelah menikah sepasang pengantin tersebut tinggal dan menetap di rumah tinggal orang tua pengantin laki-laki atau di tempat tinggal orang tua pengantin perempuan secara permanen atau untuk beberapa lama lalu kemudian kembali lagi, dan seterusnya secara bergantian hingga sepasang pengantin tersebut merasa atau dianggap mampu / mandiri. Pada saat pengantin tersebut mulai mandiri, orang tua laki-laki membekali keperluan hidup sehari-hari seperti sembako, peralatan masak, alat produksi melaut, dan kebutuhan-kebutuan lainnya. Demikian pula dari pihak keluarga perempuan membekali pula beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya seperti tempat tidur, kasur, lemari pakaian, meja, kursi, dan lain-lain sesuai dengan kemampuan para orang tuanya masing-masing. Tiap anggota keluarga dalam satu unit keluarga suku Bajo memiliki peran, tugas dan fungsi masing-masing baik di dalam rumah (rumah tangga) maupun di luar rumah. Secara umum tugas dan pekerjaan laki-laki dilakukan di luar rumah sebagai pencari nafkah dengan cara melaut (malao) baik dilakukan secara bersama dalam satu awak kapal atau perahu ataupun dengan bekerja pada punggawa. Jika tidak malao, para suami dibantu anak laki-laki dewasa melakukan pekerjaan perbaikan atau perawatan alat produksi seperti perahu besar (bido/body batang) perahu kecil (lepa-lepa), perahu mesin (katinting), pancing, jala, pukat, jaring, mesin atau motor penggerak perahu, peralatan menyelam, atau memeriksa rumpon (rompong) yang terletak di pesisir laut, mallanra atau mallampu. Para anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa namun belum menikah (baik status anak, ipar dan kamanakan) berperan membantu pekerjaan orang tua. Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu bentuk sosialisasi (transfer of knowledge) sebelum mereka menikah. Anak laki-laki adalah unit ekonomi keluarga dan pkerjaan menangkap ikan di 82
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
laut paling tidak dibutuhkan 2-3 orang sehingga para orang tua nelayan membawa anak-anak laki-laki dewasa melaut. Pada saat melaut, para orang tua laki-laki mengajarkan kepada anak laki-lakinya tentang teknik berlayar (navigasi), tanda-tanda alam seperti iklim, cuaca, perbintangan, pemilihan lokasi yang banyak ikan, memasak nasi / air, membuat air minum teh / kopi, menyalakan petromak, melakukan pengawetan (fermentasi) seperti membelah ikan, menggarami, menjemur, menjaga mesin ketika orang tua menyelam. Selain fungsi sosialisasi, alasana lain adalah jika dibantu orang lain yang bukan anggota keluarga maka perlu upah dan hasilnya dibagi dengan orang lain.
Gambar 5.5. Aktifitas Anak Bermain Sosialisasi juga dilakukan para isteri nelayan di rumah kepada anak perempuan remaja (ningkila). Para istri bekerja sepanjang hari sejak pagi hingga malam hari, antara lain membeli bahan masakan, menyiapkan makanan, mencuci pakaian / piring, mencari dan mengumpulkan kayu bakar, merawat unggas, menjaga kios/warung (bagi yang memilikinya), bagi papalele membeli dan atau menjual ikan hasil tangkapan baik dalam
83
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
keadaan ikan segar maupun yang sudah diawetkan (ikan asin) yang dilakukan di sekitar Pulau Baliara. Ketika suami melaut, waktu istri lebih banyak di rumah bersama anak-anak yang menyebabkan peran istri sangat dominan dan menentukan dalam proses tumbuh kembang anak, termasuk pendidikan anak. Anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil umumnya tidak atau putus sekolah dan tidak dibebani pekerjaan apapun kecuali dibutuhkan sehingga anak-anak menghabiskan waktu sepanjang hari dengan bermain dan jajan di warung. Bagi orang Bajo, laut adalah sumber kekayaan yang tidak akan pernah habis untuk diambil berapapun banyaknya karena saat diambil selalu ada gantinya16. Kemampuan membaca, menulis dan berhitung sudah dianggap cukup untuk membantu kelangsungan hidup anak kelak. 2. Kelompok Pengajian Kelompok sosial lain yang ada adalah kelompok pengajian dimana penduduk suku Bajo di Pulau Baliara adalah Islam17. Kelompok ini secara rutin setiap malam jum’at melakukan pengajian di masjid setelah shalat isya bersama. Tempat pengajian seringkali juga berganti tempat atau bergilir di rumah warga sesuai dengan kesanggupan atau permintaan warga karena alasan peringatan seperti syukuran atau tahlilan (pengajian di rumah warga yang meninggal). Said (49 tahun), seorang ustad dan imam masjid yang memimpin pengajian tersebut menuturkan bahwa tujuan dibentuknya kelompok pengajian sebagai berikut:
16
17
Terdapat ungkapan optimis orang Bajo terhadap sumber laut yang tidak akan pernah habis dan selalu ada saat dibutuhkan, yaitu perlu aku modai nadua yaiaku sikara ha di lao, sikara tumuku daya, sikara hidulaku, artinya saat kapan saja perlu uang, saat itu juga pergi ke laut menangkap ikan dan hasilnya langsung bisa dijual jadi uang. Dalam studi Nuryadin (1996), tidak tidak diketahui secara pasti bagaimana pada awalnya mereka beragama Islam, namun jika dilihat dari lingkungan tinggalnya di pesisir laut maka diperkirakan karena adanya interaksi orang-orang Bajo dengan orang-orang Islam dimana Islam di Indonesia pertama kali masuk dan diperkenalkan di daerah pesisir pantai/laut melalui para saudagar.
84
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Sebenarnya saya tidak tau apa alasan saya ditunjuk jadi Ustad di Pulau ini padahal saya kan bukan asli dari sini. Mungkin karena rumahku bersebelahan dengan Masjid dan saya sering pigi sholat dan mengaji situ jadi orang cari gampangnya saja tunjuk saya jadi ustad. Tapi tidak apa-apa, saya juga tidak terbebani harus macammacam kecuali pimpin sholat kalau waktunya tiba. Lama-lama saya pikir kasian juga kalo ada orang meninggal di sini dikubur begitu saja, tidak ada yang urus secara agama bagaimana memandikan jenazah, mengkafani jenazah, lalu sholat ghoib, dan dikubur. Akhirnya saya usulkan sama warga agar dibentuk kelompok pengajian biar semua dibicarakan di situ. Nah kita ini kan semua beragama Islam toh? Mereka setuju semua tapi tidaak tau bagaimana caranya. Lalu sayang bilang, kamu orang tinggal datang saja kalao ada pengajian, nanti di situ kita belajar samasama. Tujuan bikin pengajian kan untuk meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT, jadi silahkan siapa saja mau datang, tidak juga mengikat, tidak juga dipungut biaya atau apa. Di sini kan kalo jumat libur, orang tidak pigi malao kecuali sudah ada memang di laut pigi pongka. Jadi bagus juga kalo pengajian malam jumat karena saya juga biasa mengaji malam jumat jadi sekalian saja. Yang bisa datang silahkan datang, kalo tidak juga tidak ada masalah. Setelah mengaji kita biasa cerita-cerita soal ibadah anak-anak, bagaimana kalo ada yang meninggal, pengajian keliling atau kalo ada yang meninggal, urus kebersihan makam. Pokoknya apa saja kita bicara, bahkan Pak Dusun sering juga datang kesini kasih tau warga untuk urus macam-macam dari Desa atau Kecamatan, terutama kalo ada 17 Agustusan, wuih ramenya itu acara banyak sekali. Kita juga kadang suruh datang ke Sikeli ikut lomba macam-macam. (Wawancara Said, NP, Juli 2008).
Pusat kegiatan pengajian
Mengantar jenazah ke TPU
Gambar 5.6. Sarana Ibadah dan Aktifitas Membersihkan TPU 85
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Menurut Said, kehadiran warga pada kegiatan pengajian cukup baik yaitu sekitar 20-30 orang warga baik para orang tua, remaja, dan terutama anak-anak belajar membaca Al Quran. Tempat dan waktu pengajian baik di masjid maupun keliling ke rumah warga seringkali dimanfaatkan Kepala Dusun atau warga sebagai media penyampaian informasi atau untuk bermusyawarah jika ada kejadian, kegiatan atau peristiwa baik yang sudah maupun akan dilaksanakan.
3. Kelompok Penjualan Ikan (Papalele) Menurut penuturan Taming (53 tahun) warga generasi pertama yang menetap di Pulau Baliara menceritakan bahwa pada tahun 1980-an muncul jenis usaha papalele oleh para wanita atau isteri nelayan. Jenis usaha ini merupakan cikal bakal adanya kegiatan perdagangan di Pulau Baliara, sekaligus menandai adanya perubahan peran perempuan dan para isteri nelayan yang biasanya hanya tinggal di dalam rumah. Penjualan ikan sebelumnya dilakukan oleh para nelayan langsung ke pasar-pasar lalu hasil penjualannya digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan rumah tangga. Setelah ada usaha papalele yang dilakukan oleh kaum perempuan, terutama isteri-isteri nelayan maka penjualan di pasar dilakukan oleh para isteri-isteri nelayan. Sama halnya seperti para suami dulu, maka setelah selesai menjual ikan maka uang hasil penjualan dibelanjakan untuk membeli berbagai kebutuhan pokok keluarga. Pembelian kebutuhan tersebut biasanya dilakukan dalam jumlah yang besar karena selain untuk kebutuhan rumah tangga sendiri dan cadangan untuk beberapa hari. Pembelian juga dilakukan sebagai pesanan atau titipan dari saudara, kerabat, tetangga atau teman. Perkembangan berikutnya aktifitas papalele menjadi meningkat dan menjadi agen perantara antara warga Pulau Baliara dengan pasar. Kemudian muncul gagasan dari salah seorang papalele (tidak diketahui namanya) untuk membuka usaha kios atau warung seperti halnya di pasar
86
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
yang kemudian dikuti oleh 2-3 orang papalele lainnya. Inilah pula yang menandai untuk pertama kali keberadaan kios / warung di Pulau Baliara. Para isteri nelayan jika ingin bekerja sebagai papalele harus mendapat persetujuan dari suami, orang tua / mertua dan punggawa, yaitu punggawa dimana suaminya biasa bekerja sebagai buruh. Keputusan yang paling dominan justeru dari punggawa meskipun mendapat persetujuan suami dan keluarganya karena punggawa umumnya khawatir para istri nelayan akan menjual hasil tangkapan suaminya langsung pada konsumen tanpa melalui punggawa sebagai pemilik modal dan pengumpul. Dengan demikian maka ikan-ikan yang dijual papalele adalah jenis-jenis dan ukuran ikan yang tidak dipilih punggawa. Keadaan tersebut berbeda dengan usaha papalele yang dikelola oleh para isteri punggawa yang justeru mengusahakan kepada para isterinya. 4. Kelompok Kios/Warung Usaha penjualan ikan (papalele) adalah cikal bakal kios/warung seperti telah diceritakan pada bagian sebelumnya. Pada perkembangan berikutnya, usaha kios / warung berkembang pesat mengingat kios atau warung lebih lengkap dan langsung bisa dikonsumsi, seperti halnya makanan dan minuman. Secara bertahap kios / warung berkembang seiring dengan tuntutan kebutuhan konsumen lokal. Barang-barang yang dijual umumya relatif terjangkau yang kemudian pada perkembangannya bisa diperoleh dengan cara hutang. Jumlah kios/warung yang ada di Pulau Baliara sebanyak 10 kios/warung. Usaha ini dilakukan di halaman rumah maupun dengan cara membuka jendela depan rumah. Dari 10 kios/warung, 6 unit diantaranya dikelola oleh isteri punggawa karena terkait dengan posisi punggawa selain sebagai pengumpul, juga sebagai pemasok perbekalan produksi nelayan. Barangbarang yang dijual tidak hanya dibeli dengan cara kontan / tunai dengan uang tetapi lebih banyak berupa hutang atau panjar. Pembayaran dilakukan
87
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
dengan cara penyerahan berbagai hasil tangkapan untuk kemudian dihitung sebagai pembayaran hutang. 5. Kelompok Budidaya Rumput Laut Usaha budidaya rumput laut bersifat musiman yaitu ketika musim angin darat dimana ombak di perairan laut Pulau Baliara relatif tenang. Ketika musimnya tiba, hampir setengah keluarga melakukan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut cukup banyak melibatkan warga dari anak-anak hingga orang tua, khususnya perempuan. Untuk pekerjaan pemetikan hasil panen dan pengikatan/merakit kembali bibit rumput laut pada bentangan tambang, pada umumnya dilakukan oleh perempuan yaitu anak-anak, gadis-gadis, istri nelayan, dan nenek-nenek dengan
upah
Rp.
1.500,-/bentangan.
Kegiatan
penanaman
dan
pemeliharaan (selama 40 hari), pemanenan, penjemuran, pengarungan hingga penjualan dilakukan oleh para laki-laki dan perempuan dewasa. 6. Kelompok Nelayan Kelompok sosial lainnya adalah kelompok nelayan yaitu para kepala keluarga sebanyak 79 KK. Di tinjau dari aktifitas produksinya, kelompok usaha nelayan ini terbagi dua, yaitu kelompok nelayan yang secara langsung menangkap ikan di laut sebanyak 70 KK dan kelompok nelayan yang tidak secara langsung menangkap ikan sebanyak 9 KK disebut punggawa. Punggawa adalah pemilik modal dan pengumpul hasil tangkapan ikan (dan sumber laut lainnya) dari para nelayan. Dari 70 KK nelayan tersebut, jika dilihat dari alat tangkap utama yang digunakan yaitu perahu maka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perahu dayung (lepa-lepa) sebanyak 43 KK dan kelompok perahu bermesin (katinting dan / atau body batang) sebanyak 27 KK. Demikian halnya dengan punggawa, jika dilihat dari jenis sumber laut yang dikumpulkannya terbagi dua, yaitu pengumpul kering (sirip hiu dan teripang) 4 KK dan 5 KK lainnya pengumpul campuran (semua jenis).
88
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Pengelompokan terhadap kelompok-kelompok sosial atas dasar kepentingan ekonomi seperti papalele, usaha kios/warung, dan usaha nelayan sebagaimana uraian di atas adalah pengelompoka atas dasar kegiatan masingmasing mengelola usahanya sendiri-sendiri dan tidak mengorganisir sebagai kelompok kerjasama Namun demikian, diantara kelompok-kelompok tersebut kerap bekerjasama dalam konteks tolong menolong baik tetap atau permanen maupun insidental, misalnya dalam hal peminjaman, pemesanan dan pengambilan baik modal maupun barang/bahan dagangan18. C. Stratifikasi Sosial Nelayan Dalam stratifikasi suku Bajo dikenal dua lapisan masyarakat yaitu keturunan bangsawan Bajo (lolo Bajo) dan orang Bajo biasa (same)19. Orang yang bukan termasuk dalam rumpun Bajo disebut orang bagai atau orang darat20. Dalam kelembagaan adat (pamangku ade) suku Bajo dipimpin oleh kepala suku (punggawe) yang diangkat berdasarkan keturunan bangsawan suku Bajo (lolo bajo). Untuk menjalankan tugasnya, Punggawe dibantu oleh beberapa orang yang dipercaya dan disetujui oleh masyarakat yaitu Hakim (pegawe sara) dan Dukun (sandro). Pegawe Sara diangkat oleh Punggawe dari rakyat suku Bajo biasa sepanjang memiliki kecakapan dan memenuhi
18
Menurut Homans (dalam Lawang, 2004:107), kelompok ini merupakan cara orang hidup, cara orang bekerja, cara orang melakukan kegiatan (activity). Kegiatan adalah rangkaian tindakan sendiri-sendiri dan/atau bersama orang lain dalam satu kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi ada kegiatan individual, ada kegiatan kelompok.
19
20
Menurut Soesangobeng, 1977 (dalam Ahimsa, 2006:210), orang sama di atas dibedakan lagi menjadi dua kategori yaitu mereka yang telah hidup menetap di darat (mandarek, mendarat) dan membangun rumah-rumah di tepi pantai, kita sebut saja mereka Bajo darat, dan mereka yang masih tetap bertahan hidup dalam perahu-perahu (bido, biduk) di laut (mandelauk, melaut), yang dapat kita sebut Bajo laut. Menurut Zacot, 1978 (dalam Ahimsa 2006:210), orang Bajo menamakan dirinya orang sama, yang menggunakan bahasa yang sama, dan menyebut orang yang tidak menggunakan bahasa mereka sebagai orang bagai atau orang luar. Sebagai orang yang selalu berpindah tempat, orang Bajo merasa bahwa bahasa merupakan unsur budaya yang tetap bertahan dalam perubahan lingkungan alam dan sosial yang terus menerus (Brown, 1994:13). Bahasa Bajo secara jelas dapat menunjukkan identitas pemakainya, siapa dia, bagian dari komunitas mana, dan siapa pula yang tidak termasuk di dalamnya, yang masuk dalam ketegori “orang luar”.
89
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
persyaratan tertentu. Sedangkan sandro diangkat berdasarkan keahlian yang diwariskan secara turun temurun dari orang tuanya yang juga sebagai sandro. Secara umum, punggawe berperan sebagai kepala suku Bajo yang bertugas membina dan melayani masyarakat Bajo biasa. Jika terjadi konflik maka punggawe menugaskan pegawe sara untuk menyelesaikannya secara baik-baik, namun jika tidak dapat diselesaikan maka penggawe-lah yang akan memutuskan pemecahan masalah warganya. Dalam menjalankan tugasnya, baik punggawe maupun pegawe sara tidak mendapat imbalan materi karena tugas tersebut dianggap sebagai bentuk kewajiban melayani rakyatnya. Sesuai dengan keahliannya, sandro bekerja ketika ada warganya yang sakit, melahirkan atau selamatan kelahiran anak, dan kematian. Jumlah sandro di Pulau Baliara dua orang. Tugas sandro antara lain memimpin acara-acara adat seperti mappaduai (selamatan perahu pertama kali turun ke laut), malaku ade (upacara persembahan dewa), pinde ruma bau (pindah ke rumah baru), dongko-dongkoreng (mengobati orang kesurupan), ma bantan (selamatan usia kandungan tiga bulan), luai mamadi kalubangan (upacara mandi bagi ibu yang baru melahirkan) dan lain-lain. Seperti halnya, punggawe dan pegawe sara maka sandro-pun tidak mendapat imbalan materi. Stratifikasi sosial suku Bajo sebagaimana uraian di atas di Pulau Baliara pada saat ini sudah tidak ada lagi kecuali sandro (dukun) sebanyak 2 orang melakukan pengobatan tradisional jika ada warga sakit. Untuk melihat stratifikasi sosial yang ada pada komunitas suku Bajo di Pulau Baliara, penulis menggunakan parameter gradual (Blau, 1977). Dengan mengacu pada kategori-kategori hasil kajian sebelumnya (Polnac dalam Cernea, 1988; Wahyuningsih dkk, 1997; Kusnadi, 2002; Kinseng, 2006) maka beberapa faktor yang menjadi landasan dalam menganlisis stratifikasi sosial yang dikaitkan pada konteks komunitas suku Bajo di Pulau Baliara agak sulit karena faktor-faktor yang ada sangat kompleks dan tumpang tindih sehingga membentuk karakteristik stratifikasi sosial nelayan tersendiri yang mungkin berbeda dibandingkan pada stratifikasi sosial masyarakat nelayan lainnya.
90
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Dalam konteks komunitas suku Bajo di Pulau Baliara, pengukuran stratifikasi sosial dilihat dari fakto-faktor yang mempengaruhi kegiatan ekonomi nelayan yang memiliki nilai kuantitatif yang berbeda atau bertingkat, antara lain (1) jenis usaha (2) jenis teknologi alat tangkap, (3) jumlah personil yang terlibat, (4) jumlah/nilai harga perbekalan yang dibawa selama melaut, (5) jenis-jenis hasil tangkapan, (6) waktu yang dibutuhkan selama melaut, (7) sumber perolehan modal selama melaut, (8) status kepemilikan alat, (9) wilayah produksi penangkapan ikan, (10) jumlah rata-rata hasil tangkapan, dan (11) sistim bagi hasil. Berdasarkan hasil survey kecil, pengamatan terbatas, dan wawancara, diperoleh stratifikasi sosial nelayan suku Bajo di Pulau Baliara sebagaimana tabel berikut.
91
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Tabel 5.1. Pengukuran Stratifikasi sosial Nelayan suku Bajo di Pulau Baliara No.
Jumlah Lapisan Sosial Nelayan
Faktor produksi dan pemasaran
Dayung (1) 43 KK - Rumput laut - Pancing - Pukat / jarring - Mallanra - Mallampu - Papalele
1.
Jenis usaha (4)
2.
Jenis perahu (5)
- Katinting - Lepa-lepa
3. 4. 5.
Jumlah personil (6) Nilai bekal melaut (7) Jenis hasil tangkapan (8)
1 - 2 orang Rp. 25 – 100 ribu - Rumpu Laut - Teripang - Kerang-kerangan - Ikan - Gurita - Lobster - Mata tujuh
6.
Waktu melaut (9)
7.
Sumber modal (10)
- Pulang pergi - 2 atau 3 hari Pinjam (Hutang)
8.
Status kepemilikan alat produksi (11) Wilayah produksi (12)
9.
10. 11.
Nilai rata-rata hasil tangkapan (13) Sistim bagi hasil (14)
Mesin (2) 27 KK - Rumput laut - Pancing - Pukat / jarring - Papalele - Menyelam - Rumpon - Keramba - Body batang atau Katinting - Lepa-lepa 3 – 4 orang Rp. 2 - 3 juta rupiah - Rumpu Laut - Teripang - Kerang-kerangan - Sirip hiu - Ikan - Gurita - Lobster - Mata tujuh - 7 sampai 10 hari Pinjam (Hutang)
Punggawa (3) 9 KK - Rumpon - Keramba - Kotak es
- Body batang - Katinting - Lepa-lepa Perorangan Modal 5 – 30 jt - Rumpu Laut - Teripang - Kerang-kerangan - Sirip hiu - Ikan - Gurita - Lobster - Mata tujuh Dikumpulkan 1 - 3 bulan - Modal sendiri - Pinjam Bank Milik sendiri Penjualan ke : - Sikeli - Kasipute - Boepinang - Buton - Kendari - Bulukumba - Bone - Makassar - Surabaya - Jakarta
Milik sendiri Kredit (pinjam) Perairan laut : - Pulau Kabaena - Pulau Pasiewakuba - Pulau Bangko - Pulau Baliara
Milik sendiri Kredit (pinjam) Perairan laut Teluk Bone yaitu sekitar pulau : - Sagori - Malandahi - Pongkalero - Batuawu Perairan laut lain : - Wakatobi - Laut Flores - Laut Maluku
Rp. 150 – 300 ribu
Rp. 3 - 7 juta
5 – 10 juta
Katinting = 1 bagian Mesin = 1 bagian Nelayan = 1 bag/org
Produksi Rp. 500.000,Mesin 1,5 bagian Body/perahu 1 bagian Nelayan 1 bag/org
Harga jual ditentukan oleh Punggawa.
Sumbar : Obyek penelitian (data diolah penulis, 2008).
92
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Keterangan Tabel 3: (1) Nelayan Dayung adalah kelompok nelayan pemilik alat-alat produksi terbatas yang hanya menghasilkan jumlah hasil tangkapan bersifat subsisten sehingga kadang-kadang menjadi nelayan buruh yang menyumbangkan tenaganya kepada para Punggawa, (2) Nelayan Mesin adalah kelompok nelayan pemilik alat-alat produksi yang cukup memadai namun untuk melakukan kegiatan produksi melaut memperoleh modal berupa perbekalan konsumsi dan lat-alat produksi dari Punggawa, (3) Nelayan Punggawa adalah kelompok nelayan pemilik modal alat-alat dan bekal produksi yang diusahakan oleh Nelayan Dayung dan Nelayan Mesin dalam bentuk kredit (cicilan) dan pengumpul hasil tangkapan dari Nelayan Dayung dan menengah sebagai bentuk pengembalian cicilan alat-alat dan bekal produksi. (4) Jenis usaha adalah macam-macam kegiatan usaha penangkapan ikan dan sumber laut lainnya yang dibedakan berdasarkan teknologi dan / atau tata cara tertentu yang digunakan untuk menghasilkan sumber laut tertentu (5) Jenis perahu adalah macam-macam alat produksi utama nelayan yang digunakan dalam penangkapan ikan dan sumber laut lainnya yang dibedakan berdasarkan bentuk dan ukuran sehingga memiliki nilai jual atau harga yang berbeda. (6) Jumlah personil adalah satuan tenaga yang dibutuhkan dan / atau terlibat dalam kegiatan produksi penagnkapan ikan di laut. (7) Nilai bekal melaut adalah harga keseluruhan dari sejumlah perbekalan produksi penangkapan ikan dan sumber laut lainnya yaitu berupa alat-alat produksi, bekal konsumsi dan bahan bakar minyak (BBM) yang dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. (8) Jenis hasil tangkapan adalah macam-macam hasil produksi melaut yang diperoleh sesuai dengan teknologi yang digunakan selama periode tangkapan tertentu. (9) Waktu melaut adalah jumlah waktu yang dibutuhkan oleh kelompok nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan dan sumber laut lainnya. (10) Sumber modal adalah asal atau cara yang dilakukan kelompok nelayan untuk memperoleh bekal melaut selama periode melaut. (11) Status kepemilikan alat produksi adalah hak atas kepemilikan alat-alat produksi melaut baik milik sendiri yang telah lunas cicilan atau masih dalam bentuk pinjaman / kredit dari para punggawa (pemilik modal). (12) Wilayah produksi adalah daerah-daerah tujuan perairan laut yang dijadikan sasaran kelompok nelayan sebagai tempat produksi penangkapan ikan dan sumber laut lainnya. (13) Nilai rata-rata hasil tangkapan adalah jumlah keseluruhan harga jual hasil tangkapan ikan dan sumber laut lainnya yang diperoleh pada setiap kali periode tangkapan. (14) Sistim bagi hasil adalah tata cara pembagian hasil penjualan tangkapan ikan dan sumber laut lainnya yang diatur sesuai dengan kesepakatan bersama antara nelayan dengan pemilik modal.
Profil masing-masing lapisan sosial nelayan suku Bajo di Pulau Baliara sebagaimana tabel 5.1. adalah sebagai berikut : 1. Nelayan Dayung Jumlah lapisan Nelayan Dayung sebanyak 43 kepala keluarga (KK) ini masing-masing berupa keluarga yang terdiri dari satu suami sebagai kepala keluarga (KK), satu isteri dan satu, dua atau tiga anak yang mendiami satu unit rumah panggung. Rumah keluarga Nelayan Dayung ini umumnya hanya memiliki satu ruang berukuran 4 X 3 meter yang berfungsi sebagai ruang keluarga untuk tidur, memasak, dan menerima
93
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
tamu. Peralatan rumah tangga yang ada hanya meja dan lemari pakaian sedangkan kursi, tempat tidur dan peralatan elektronik belum dimiliki. Alat tangkap ikan yang dimiliki umumnya satu unit perahu dayung (lepa-lepa) dan sebagian ada pula yang memiliki satu unit perahu bercadik (katinting) yang ditambatkan dikolong rumah, dan jaring (pukat) serta pancing ukuran kecil yang ditaruh pada dinding rumah. Dengan alat tangkap ini, mereka menangkap ikan di sekitar pesisir laut Pulau Kabaena. Jenis usaha lain Nelayan Dayung adalah budidaya rumput laut, mallanra, mallampu, dan isteri nelayan bekerja sebagai papalele. Jenis-jenis pekerjaan ini paling sederhana dan paling lama dilakukan oleh nelayan untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga sehari-hari. Jika hasil melimpah akan dijual baik dalam bentuk ikan segar (basah) maupun sudah diawetkan seperti halnya ikan asin, ikan kare-kare, dan ikan asap. Jika menggunakan katinting, biasanya lokasi pemancingan agak jauh tergantung bekal BBM dan makanan yang dibawa (rata-rata 5 liter @ Rp. 5.000,-/liter untuk PP). Tetapi jika menggunakan lepa-lepa (perahu dayung) maka lokasinya dekat di sekitar Pulau Baliara. Nelayan Dayung ini juga kerap saling meminjam alat pancing kepada nelayan lain jika tidak sedang digunakan, misalnya alat pancing gurita. Hasil yang diperoleh setiap kali memancing sekitar 20 – 50 ekor ikan dengan jenis dan ukuran yang beragam. Hasil tangkapan tersebut diserahkan kepada istri nelayan untuk diputuskan pembagiannya untuk kebutuhan konsumsi dan untuk dijual. Hasil penjualan umumnya Rp. 50.000,- hingga Rp. 100.000,karena sangat tergantung pada cuaca, musim dan keberuntungan. Alat penangkapan pukat/jaring yang digunakan Nelayan Dayung adalah dalam ukuran kecil yaitu berukuran 1,5-2 inci yang diperoleh dengan harga beli sekitar Rp. 200.000,- hingga Rp. 350.000,-/ pics. Alat ini biasanya digunakan pada kedalaman laut yang tidak terlalu dalam yaitu di sekitar pantai saja. Sama halnya dengan memancing, kegiatan ini dilakukan oleh satu atau dua orang saja dengan alat angkut katinting atau lepa-lepa. Pukat ini juga digunalan untuk mallanra yaitu menjaring ikan 94
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
dengan cara berjalan kaki di pesisir pantai yang banyak terdapat terumbu karang. Kegiatan mallanra juga dilakukan pada malam hari yang disebut mallampu dengan alat bantu penerang (petromak) atau ketika bulan purnama untuk menjaring ikan-ikan yang naik ke atas permukaan laut.
Perahu Dayung
Sosok nelayan kecil
Gambar 5.7. Profil Nelayan Kecil Hasil tangkapan yang diperoleh dengan pukat / jaring sekitar 100 – 150 ekor ikan dengan jenis dan ukuran yang beragam. Hasil tangkapan ini biasanya dijual kepada papalele (untuk ukuran kecil) dan pengumpul (untuk ukuran besar) namun tetap diserahkan kepada istri nelayan untuk diputuskan pembagiannya. Jika dijual rata-rata diperoleh Rp. 150.000,hingga Rp. 300.000,-. Namun untuk hasil kegiatan mallanra tidak terlalu banyak dimana umumnya unuk konsumsi sendiri, kecuali untuk jenis cumi-cumi dan kepiting ketika musimnya tiba (bulan mei-agustus). 2. Nelayan Mesin Jumlah lapisan Nelayan Mesin sebanyak 27 KK ini masing-masing berupa keluarga yang terdiri dari satu suami sebagai kepala keluarga (KK), satu isteri dan satu, dua atau tiga anak yang mendiami satu unit rumah panggung. Rumah keluarga Nelayan Mesin umumnya berukuran 7 X 4 meter dengan membagi satu atau dua ruang untuk kamar tidur orang tua dan anak-anaknya. Sedangkan fungsi ruang tamu dan dapur belum ada 95
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
ruang khusus. Peralatan rumah tangga yang ada umunya sudah memiliki meja dan kursi tamu, lemari hias, lemari pakaian dan peralatan elektronik seperti radio, tape, tv, bahkan antena parabola.
Perahu Mesin
Rumah Nelayan Mesin
Gambar 5.8. Profil rumah dan perahu Nelayan Mesin Alat tangkap ikan yang dimiliki umumnya berupa satu atau dua unit perahu dayung (lepa-lepa) dan sebagian lagi telah memiliki satu unit perahu bercadik (katinting) atau satu unit perahu besar (body batang) yang diperoleh dengan cara kredit dari pemilik modal. Dengan alat tangkap ini yang cukup memadai ini, mereka bebas menangkap ikan di sekitar pesisir laut Pulau Kabaena atau laut lepas selama berhari-hari. Seperti halnya Nelayan Dayung, maka jenis usaha lainpun dilakukan seperti budidaya rumput laut, mallanra, mallampu, dan isteri nelayan bekerja sebagai papalele untuk menjamin kebutuhan subsisten sehari-hari keluarga mereka. Perbedaan yang menonjol dengan kelompok Nelayan Dayung adalah bahwa kelompok Nelayan Mesin mengusahakan jenis usaha tertentu dalam skala yang lebih besar seperti halnya budidaya rumput laut dan pada jenis teknologi tertentu lebih intensif atau lebih tinggi frekuensi melaut yang disertai dengan jenis usaha lain seperti pukat ukuran besar, menyelam untuk mencari teripang, usaha rumpon dan keramba. Untuk
96
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
jenis usaha budidaya rumput laut, jumlah bentangan tanaman bisa mencapai 5 – 10 kali yang diusahakan kelompok Nelayan Dayung sehingga hasil yang diperolehpun lebih banyak. Rata-rata penghasilan mereka dari rumput laut mencapai 150-300 kg atau sekitar Rp. 900.000,hingga Rp. 1.800.000,- pada tiap 40 hari musim tanam. 3. Nelayan Punggawa Jumlah lapisan nelayan punggawa sebanyak 9 KK ini masingmasing berupa keluarga yang terdiri dari satu suami sebagai kepala keluarga (KK), satu isteri dan satu, dua atau tiga anak yang mendiami satu unit rumah panggung. Nelayan punggawa umumnya memiliki 2 – 3 unit rumah berukuran relatif lebih besar dibanding kelompok nelayan lainnya. Rumah utama yang dihuni keluarga nelayan punggawa umumnya berukuran 12 X 7 meter berbentuk panggung yang dibangun di atas lahan darat. Rumah ini seluruhnya memiliki berbagai ruangan yang berfungsi untuk ruang tidur, ruang dapaur, ruang tamu, ruang MCK, serta berbagai perlengakapan rumah tangga yang relatif lengkap seperti meja, kursi, lemari hias, lemari pakaian, dan berbagai perlengkapan elektronik seperti lemari es, radio, tape recorder, tv, antena parabola. Rumah-rumah lainnya dibangun berukuran 7 X 5 meter berbentuk panggung di pesisir pantai atau berbentuk rumah darat yang berfungsi sebagai tempat atau gudang penampungan hasil tangkapan ikan dan sumber laut lainnya serta berbagai peralatan produksi seperti kompressor, jaring / pukat, tambang, bahan makanan dan barang dagangan sembako di kios, dan beberapa kotak es pendingin untuk pengawetan ikan. Berbeda dengan dua kelompok nelayan lainnya, maka punggawa sebagai pemilik modal dan pengumpul hasil sumber laut tidak bekerja secara langsung turun ke laut namun beberapa diantaranya sebelumnya bekerja sebagai nelayan. Jumlah modal yang dimiliki punggawa ini tidak merata, yakni antara Rp. 10.000.000,- hingga Rp. 30.000.000,-. Modal tersebut digunakan pada umumnya untuk membeli alat produksi nelayan
97
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
yang dipinjam secara kredit seperti jenis perahu dan peralatan yang diminta nelayan. Penggunaan modal juga digunakan untuk pengadaan perbekalan konsumsi dan peralatan produksi seperti bahan makanan, sembako, dan bahan bakar minyak (BBM) yang dibutuhkan sesuai dengan periode waktu melaut dan jumlah anggota kelompok nelayan. Modal juga digunakan untuk membeli berbagai sumberdaya laut hasil tangkapan para nelayan seperti rumput laut, berbagai jenis dan ukuran ikan, sirip ikan hiu, teripang dan kerang-kerangan.
Punggawa dan sirip hiu
Punggawa dan teripang
Gambar 5.9. Profil Nelayan Punggawa Beberapa punggawa ada yang terspesialisasi pengumpul hasil laut tertentu seperti khusus pengumpul sirip hiu dan teripang sebanyak 4 orang dengan alasan lebih praktis dan mudah dibawa dalam jumlah besar dan tidak membutuhkan tempat yang luas namun dibutuhkan modal yang relatif lebih besar. Lima orang punggawa lainnya mengumpulkan semua jenis hasil laut sehingga dibutuhkan banyak sarana, prasarana, termasuk lahan atau ruangan yang luas dan tertutup, sejak pengadaan, perawatan dan pemakaian. Sarana dan prasarana tersebut misalnya kotak es pendingin, pasokan es batu untuk pengawetan ikan, berbagai jenis dan ukuran ember, gudang sebagai tempat penyimpanan ikan, teripang, kerangan-kerangan, rumput laut, dan lain-lain belum lagi untuk menjaga keamanan barang.
98
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Rumah-rumah mereka terkesan seperti depot ikan karena banyak terdapat lemari pendingin untuk pengawetan berbagai jenis ikan, baik berupa pesanan maupun untuk konsumsi pasar. Dinding-dinding rumah mereka bergelantungan berbagai jenis sirip dan ekor ikan hiu yang sudah mengering. Sementara di sisi-sisi rumah bertebaran berbagai jenis kerangkerangan yang tengah dibersihkan. Dalam kondisi tersebut, biasanya rumah para punggawa ini berukuran besar, luas dan banyak terdapat kamar untuk penyimpanan berbagai hasil laut. Jenis usaha lain yang diusahakan oleh punggawa adalah membuka kios / warung yang umumnya dikelola oleh para isteri punggawa yaitu sebanyak enam orang. Kios/warung tersebut terletak di hadapan rumah atau dengan membuat jendela pada bagian depan rumah. Usaha ini terkait dengan dirinya sebagai pemodal yang memberikan bekal konsumsi dalam kegiatan produksi nelayan, termasuk keluarga yang ditinggalkan nelayan selama melaut. Rumah-rumah punggawa umumnya lebih ramai dan banyak orang berkumpul, baik bertamu maupun sekedar ngobrol.terutama ketika nelayan tidak melaut. Selain usaha di atas, para punggawa hampir seluruhnya memiliki keramba sebagai tempat penyimpanan atau penggemukan lobster dan ikan sunu bahkan jumlahnya sekitar 3-5 keramba. Sedangkan rumpon hanya tiga orang saja yang memilikinya yang disewakan kepada para nelayan. Di antara mereka juga ada yang mengusahakan sewa berbagai jenis alat penangkapan ikan seperti perahu, kompressor dan pukat/jaring. Mereka juga bertindak selaku agen pemesanan untuk kebutuhan alat tangkap tertentu yang tidak terdapat di Pulau Baliara. D. Relasi Antar Komponen Struktur Sosial 1. Relasi Komunitas Nelayan Hubungan atau relasi sosial tentu ada dalam suatu komunitas manapun, terlebih komunitas etnik yang homogen sarat dengan hubungan komunal yang didasarkan pada kekerabatan (kinship), relatif kecil (small 99
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
scale), pertemanan, dan keakraban. Namun dalam konteks kajian kapital sosial, maka hanya nilai-nilai (values) atau norma-norma (norms), kepercayaan (trust) dan jaringan (relations) yang saling menguntungkan saja dapat dikatakan sebagai kapital sosial. Terkait dengan penjelasan di atas maka sebelum disajikan relasi sosial dalam komunitas etnik Bajo di Pulau Baliara maka penulis sajikan terlebih dahulu pemetaan terhadap persebaran kelompok-kelompok sosial yang ada di tiap satuan wilayah administratif Dusun Pulau Baliara yang disajikan melalui tabel berikut. Tabel 5.2. Persebaran Kelompok-kelompok Sosial
No.
1.
Jenis Kelompok
Kampung Dermaga
Kampung Tengah
Kampung Ujung
26 -
37 1
16 -
79 1
Jumlah
2.
Keluarga Nelayan Kelompok Pengajian
3.
Usaha Papalele
3
4
3
10
4.
Usaha Kios / Warung
1
3
3
7
5.
Budidaya Rumpu Laut
6
16
13
35
6.
Nelayan Dayung
15
20
8
43
7.
Nelayan Mesin
9
13
5
27
8.
Nelayan Punggawa
2
4
3
9
Sumber : Survey Lapangan, 1998. a. Relasi Kampung Dermaga Ditinjau dari lamanya bermukim di Pulau Baliara, maka warga Kampung Dermaga umumnya adalah pendatang baik sudah menghuni rumah sendiri maupun masih menumpang di rumah keluarga atau kerabatnya. Rumah bagi pendatang diperoleh dengan dua cara, yaitu membeli dari pemilik lama atau membangun sendiri. Pemilik lama ada yang pindah ke kampung lain, ke pulau lain atau membangun rumah
100
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
baru di tempat lain. Jika ingin membangun rumah maka harus mendapat ijin dari Ketua Kampung, Kepala Dusun dan calon tetangga dimana rumah akan dibangun sehingga lokasi tersebut dipastikan dalam keadaan bebas, tidak ada yang mengklaim sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Tidak ada proses jual beli ruang atau lahan dalam membangun rumah karena seperti halnya laut dan seisinya dianggap milik bersama, siapa cepat maka dia yang dapat. Ketika ijin, biasanya calon warga baru sudah melakukan penjajagan dan penelusuran pada lokasi mana rumah akan dibangun sehingga tidak menimbulkan masalah. Kehadiran calon warga baru tersebut pada mulanya atas ajakan/tawaran atau informasi dari kerabatnya yang ada di Pulau Baliara karena alasan ingin mencari kehidupan yang lebih baik atau turut kerabat karena perkawinan. Orang Bajo biasa tinggal pindah-pindah. Dulu kita berangkat pindah rumah rame-rame antara 4 sampai 5 KK. Tapi sekarang orang pindah satu KK saja dan sudah ditau kemana tujuannya karena ssebelumnya sudah dilihat memang. Di sini sebenarnya sudah cukup padat tetapi tidak bisa kita larang orang mau datang pindah kesini karena ada juga keluarga atau kerabatnya di sini. Belum tentu juga mereka cocok atau ada baik nasibnya disini toh? jadi biar saja sepanjang ditau datang dan perginya. Dulu orang datang atau pergi dari sini dibiarkan begitu saja, sekarang tidak karena saya sama Pak Camat disuruh catat, jangan sampai ada nama dobol-dobol (maksudnya double) di Pulau lain. Orang Bajo kan biasa pindah-pindah makanya dia tidak pernah urus KTP, apalagi pake gambar dirinya, mau cari dimana itu gambar? Sebelum pindah kesini, biasanya saya sudah dikasih tau sama keluarganya soal tempat dimana dia mau tinggal. Kalo rumah, rumah mana yang dipake? Kalo mau bangun, dimana rumah mau dibangun, jangan sampe itu sudah punya orang? Tapi tidak ada masalah karena memang mereka sudah mau dan tidak ada juga yang punya, jadi silahkan atur kapan mau pindah atau mau bangun rumah. Laut milik sama-sama jadi sama-sama juga kita tinggal, tidak ada masalah. (Wawancara Taming, KD, Juli 2008).
101
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Calon warga baru tidak saja berasal dari luar Pulau Baliara, tetapi juga dari kampung lain di Pulau Baliara yaitu keluarga inti junior yang dianggap cukup mampu hidup mandiri dan lepas dari anggota rumah tangga keluarga intin seniornya. Lokasi Kampung Dermaga kerap dijadikan alternatif pemukiman karena ruang atau lahan di kampung yang lain sudah padat, termasuk ruang atau lahan yang dicadangkan bagi kerabatnya di kampung asal. Dalam kapasitasnya sebagai warga baru yang masih menata hidup / merintis usaha maka keadaan ekonomi warga Kampung Dermaga relatif paling rendah dibanding warga kampung lainnya. Secara fisik rumah-rumah warga yang dibangun di atas permukaan laut dan ketiadaan lahan darat dapat menyebabkan frekuensi interaksi warga relatif rendah. Arena sosial satu-satunya yang ada hanyalah dermaga, sedangkan gedung SD dan Pustu jarang digunakan sebagai arena sosial kecuali bagi anak-anak sekolah. Tidak seperti halnya punggawa di kampung lain, David (43 tahun) yang juga merupakan Ketua Kampung kurang memiliki modal yang besar untuk menjadi sandaran modal dan pembelian hasil laut bagi nelayan di wilayahnya. David kadangkala pergi melaut bersama nelayan keluarganya karena alat produksi yang dimiliki cukup memadai. Modalku tidak banyak kasian, paling 5 atau 7 juta saja kalau sedang ramai penjualan. Tapi dari modal segitu saya kasih nelayan di Kampung Dermaga karena jumlah yang dipinjam juga tidak banyak, paling pulang balik atau dua sampai tiga hari saja, tapi seringnya yang pulang balik. Hasilnya tidak banyak, paling cukup untuk mereka makan hari-hari saja. Saya kan juga sering pigi pongka dengan anakku, ya keluargaku saja biar hasilnya juga buat sendiri. Syukur ada yang bisa kita jual, kalau tidak ya kita makan sendiri saja. (Wawancara David, NP, Juli 2008). Demikian pula Wahyudin (37 tahun) meskipun memiliki modal yang lebih besar, namun modalnya lebih banyak digunakan modal warung/kios yang dikelola isterinya. Warung/kios yang dikelola isteri
102
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Wahyudin kurang memiliki banyak variasi dan jumlah barang, sehingga ketika persediaan barang habis maka modal yang ada dkan digunakan untuk berbelanja barang / bahan dagangan di Pulau Kabaaena. Dengan keterbatasan modal yang dimiliki punggawa tersebut, hanya Nelayan Dayung saja (15 KK) yang sering menggunakan jasanya kepada Wahyudin, sedangkan kepada David dalam pengumpulan saja. Nelayan perahu mesin (9 KK) umumnya memesan bekal produksi pada punggawa (kios/warung) yang berada di luar kampungnya. Ada juga usahaku itu warung kecil-kecil saja, paling jual makanan untuk anak-anak atau warga kampung sini untuk harihari. Barangkali tidak sampai 10 juta modalku. Istriku selalunya bilang: Pak jualan habis, bagaimana ini? Saya bilang tunggutunggu mi nanti kalau saya ke Sikeli karena tidak mungkin juga kita belanja tidak sekaligus toh. Jadi warga di sini sering pigi membeli makanan atau apa di warung lain. Kadang saya juga mau belanja tapi modal belum kembali karena dipinjam teman, jadi ya begitu mi.. kita tunggu-tunggu saja kalau ada uang kumpul, baru kita belanja. Orang kan ada yang pinjam uang, tapi banyaknya makanan buat pigi pongka pulang hari atau untuk keluarganya. Di sini kan banyak pendatang mau cari hidup kasian, siapa tau berhasil dari tempat sebelumnya. Jadi kita bantu-bantu juga sedikit orang supaya dia betah-betah tinggal di sini (Wawancara Wahyudin, NP, Juli 2008). Dari 26 KK keluarga nelayan di Kampung Dermaga, lebih dari 20 KK adalah pendatang dari pulau lain. Menurut mereka meskipun luas Pulau Baliara tidak terlalu besar untuk menampung penduduk baru tetapi mereka tetap mencoba menggantungkan harapan untuk mencari kehidupan yang lebih baik serta adanya keluarga dan kerabat yang sudah menetap lebih dulu di Pulau Baliara. Mereka umumnya mendapat informasi dan mengalami sendiri besarnya potensi sumber laut yang mudah diperoleh di sekitar perairan laut Pulau Baliara, serta keberadaan beberapa punggawa yang dapat dijadikan sandaran dalam membantu usaha penangkapan ikan. Rukman (30 tahun) sebelumnya tinggal bersama orang tuanya di Pulau Patengge yang berjarak sekitar 3 jam dengan perahu dayung dari 103
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Pulau Baliara. Setelah menikah, Rukman mencoba peruntungan menata hidup baru di Pulau Baliara dengan menempati rumah pinjaman keluarganya di Kampung Dermaga. Menurut Rukman, setelah menikah dengan isterinya (Onde, 25 tahun) memisahkan diri dari keluarganya karena dirinya di rumah orang tuanya sudah sempit dan banyak anggota keluarga sehingga ketika ada tawaran dari keluarganya di Pulau Baliara untuk menempati rumah kosong di Kampung Dermaga, dirinya sangat senang apalagi dirinya selama ini sudah terbiasa bekerjasama dengan para nelayan dan punggawa (H. Basir ) yang ada di Pulau Baliara. Di rumah orang tuaku di Pulau Patengge sudah banyak kakak dan iparku menikah dan punya anak tetapi masih tinggal dengan orang tua. Sebenarnya saya juga tidak apa-apa tinggal disana tetapi karena ada tawaran keluargaku di sini, saya ambil saja. Daripada saya tiap mau pigi pongka repot bolak-balik kesini dan juga sering tidur di rumah Haji Basir, ya sudah saja saya tempati rumah di sini, kebetulan juga istriku mau dan banyak juga kawannya di sini. Tapi namanya orang baru mau mulai usaha, ya begini mi saja dulu karena saya belum banyak dapat uang toh? Hari-hari saya sebenarnya memancing saja kalo tidak pigi pongka. Itu di belakang rumahku banyaknya ikan tinggal pancing saja lalu bakar, yang penting ada nasi dan sambal. Kalo banyak-banyak makan ikan tidak kenyang, nanti mencret juga tapi kalo tidak ada nasi, ya sudah kita makan ikan saja. Haji Basir sering juga kasih saya beras tapi tidak enak juga kalo saya tidak bekerja. Jadi, kalo sedang tidak kerja sama Haji Basir, saya biasa pinjam bekal sama Pak David atau Pak Wahyudin untuk tangkap ikan pulang hari saja. Ada juga perahuku lepa-lepa, atau katinting pinjam teman lalu kita pigi sama-sama, terus hasilnya kita bagi. (Wawancara Rukman, ND, Juli 2008). Seperti halnya Rukman (30 tahun) maka nelayan lain kurang lebih memiliki kisah yang sama ketika memulai kehidupan baru di Pulau Baliara. Sebagian pendatang lainnya penduduk Kampung Dermaga adalah pecahan keluarga baru yang berasal dari kampung lain di Pulau Baliara. Salah satu dari mereka adalah Limpo (35 tahun) anak dari Takile (50 tahun) yang menetap di Kampung Ujung. Limpo
104
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
menikah 3 tahun yang lalu dengan Udia (30 tahun) yang sama-sama berasal dari Kampung Ujung Pulau Baliara. Limpo dan isteri telah menempati rumahnya di Kampung Dermaga kurang lebih 1 tahun yang lalu dan telah memiliki anak perempuan bernama Ecce (2 bulan). Penuturan Limpo dapat disampaikan berikut ini : Setelah menikah dua tahun dengan istriku, saya baru bisa buat rumah dan tinggal di sini. Dulunya saya dan isteri tinggal di rumah orang tuaku atau mertuaku karena jaraknya juga dekatdekat saja. Saya tidak sekolah karena waktu kecil tidak ada memang sekolah di sini tapi saya bisa baca dan menulis setelah besar diajar saudara-saudara. Dari kecil memang saya ikut bapakku tangkap-tangkap ikan di laut atau urus perahu. Jadi nelayan tidak ada sekolahnya pak, kita ikut-ikut saja sambil liatliat orang pigi tangkap ikan, akhirnya kita jadi tau. Waktu awalnya tinggal di sini, kalo saya malao tidak ada teman istriku jadi sering juga dia pulang balik ke rumah orang tuanya atau ke rumah orang tuaku, tapi sekarang sudah ada anak paling sekali-kali saja kita tidur disana, terutama kalau tidak ada yang bisa kita makan di rumah. Kita ini nelayan kecil saja, cuma pigi tangkap-tangkap ikan pake pancing atau jaring buat makan harihari. Syukur kalo dapat banyak karena ada juga yang bisa kita jual sama papalele lalu uangnya kita belikan beras, itu saja. Kalau lagi musimnya banyak ikan, saya sering ikut pigi pongka sama yang lain. Kalau susah tangkap ikan, jarang saya ikut pigi pongka karena tidak ada juga nanti kita dapat ikan lalu bagaimana kita bayar hutang sama punggawa toh? Itulah makanya warga disini lain, kita hari-hari pigi malao cari ikan buat makan hari-hari jadi jarang warga di sini kumpul-kumpul karena pulang sudah capek juga. Tapi kita sudah baku tau sama semua warga kampung disini, cuma jarang kita bikin acara kecuali kalo Pak Dusun panggil kita di rumah sosial sana (maksudnya adalah Balai Sosial yang ada di Kampung Ujung). (Wawancara Limpo, ND, Juli 2008). Cerita-cerita seperti yang dikemukakan oleh Rukman dan Limpo sebagimana di atas, hampir serupa ketika penulis melakukan wawancara dengan nelayan-nelayan lain yang umumnya pendatang atau penduduk baru. Relasi-relasi yang dibangun diantara mereka masih intensif berlangsung dengan keluarga atau kerabat lamanya terutama 105
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
ketika mengalami kesulitan / masalah. Hubungan diantara warga Kampung Dermaga sendiri masih bersifat insidental dan pada aktifitas tertentu saja seperti ketika melaut, di dermaga atau pertemuanpertemuan di tingkat Dusun. Dengan situasi gambaran di atas maka relasi sosial antar sesama warga Kampung Dermaga relatif terbatas. Mereka mengakui bahwa hubungan pertetanggan baik dan saling mengenal, namun ikatan sosial terbatas pada kepentingan ekonomi antara keluarga dengan warung / kios, keluarga dengan papalele, dan keluarga dengan punggawa yang ada di Kampung Dermaga. Warung/kios yang intensif dimanfaatkan warga, hanya ada satu warung dan barang yang dijualpun terbatas baik variasi maupun jumlahnya sehingga untuk kebutuhan tertentu, para warga memperolehnya di warung lain yang berada di kampung lain. Demikian halnya dengan papalele, mereka kerap tidak bisa berjualan jika suaminya kurang mendapat ikan yang cukup atau pantas dijual, sedang jika ingin mendapat dari nelayan lain atau punggawa perlu modal awal sebab meskipun dibayar setelah ikan laku dijual tetapi resiko jika tidak laku dijual maka ikan tidak dapat dikembalikan dan tetap harus dibayar. Jika diawetkan, mereka perlu modal untuk membeli garam dan perlengkapan lainnya, termasuk tempat untuk menjemur.
b. Relasi Kampung Tengah Ditinjau dari jumlah penduduknya (37 KK/135) jiwa maka Kampung Tengah dapat dikatakan sebagai pusat pemukiman penduduk komunitas suku Bajo di Pulau Baliara. Keadaan topografi tanah datar dan relatif lebih luas dibanding wilayah lainnya, menjadikan warga kampung dapat dengan leluasa berinteraksi, terutama aktifitas bermain anak-anak seperti bermain bola di tengah pemukiman yang berfungsi sebagai jalan poros kampung. Keberadaan atau posisi 3 unit kios/warung yang terkonsentrasi di tengah pemukiman seringkali menjadi tempat kumpul warga, terutama menjelang sore dan malam 106
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
hari. Suara musik (umumnya dangdut atau disko) yang keras terdengar dari rumah-rumah warga hampir tidak ada yang protes bahkan warga turut menikmatinya. Menurut Said (49 tahun) diceritakan bahwa: Warga RT 2 ini saya liat paling kompak dan mau datang kalau ada acara kumpul-kumpul warga, terutama pengajian. Selesai pigi pongka atau kalau tidak malao, biar belum mandi mereka suka datang main bola, kumpul-kumpul sambil cerita-cerita, minum kopi, makan keuh atau pesan indomi, dan merokok. Dari dulu mereka sudah biasa begitu karena ini kan kampung lama. Kebiasaan ini selalunya dilakukan nelayan waktu istirahat atau tidak melaut. (Wawancara Said, NP, Juli 2008). Faktor tingginya interaksi warga dikarenakan warga Kampung Tengah adalah penduduk asli yang telah lama menetap di Pulau Baliara sehingga semua warga dapat dianggap sebagai kampung keluarga besar (dansihitang). Jika bukan karena hubungan keluarga (satu darah) maka hubungannya kekerabatan karena perkawinan. Keadaan ekonomi warga kampung ini relatif seimbang yang ditandai dengan keberadaan 4 KK punggawa yang pada umumnya adalah KK inti senior dari beberapa KK inti junornya masing-masing sehingga dalam pengorganisasian usaha nelayan relatif lebih teratur dan mapan. Faktor lain tingginya interaksi sosial Kampung Tengah adalah keberadaan dua orang dukun (sandro) yaitu Mamara (56 tahun) dan Yedde (55 tahun) yang kerap didatangi warga untuk meminta kesembuhan. Keberadaan dua orang dukun ini seringkali didatangi warga dari Kampung Tengah (dan kampung lain) jika ada yang sakit, atau sebaliknya dukun mendatangi rumah warga yang sakit baik di dalam maupun di luar Kampung Tengah. Tidak hanya peyembuhan saja, sandro juga kerap memimpin acara atau ritual adat lainnya seperti diceritakan Mamara berikut ini : Mamaku dulu sandro dan sejak kecil saya suka diajar mamaku pigi sembuhkan orang sakit. Awalnya takut karena setiap bacabaca sepertinya panggil-panggil setan untuk datang tolong tapi lama-lama biasa juga. Saya diajari macam-macam tentang obat dan baca-baca doa agar orang bisa sembuh, setelah mamaku tidak kuat pigi jauh-jauh maka saya gantikan dirinya. Kalo 107
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
sekarang kan sudah banyak obat jadi kalo kita pigi obatin orang cuma dekat-dekat di kampung sini saja atau pulau sebelah, tapi jaranglah... kecuali kalo ada acara (adat) saja. (Wawancara Mamara, SO, Juli 2008). Faktor lainnya adalah keberadaan tempat tinggal Mudahang, Kepala Dusun Pulau Baliara juga terletak di Kampung Tengah. Seperti halnya sandro, rumah tinggal dirinya kerap didatangi warga baik dari Kampung Tengah maupun kampung lainnya. Menurut Mudahang, pada umumya kehadiran warga adalah berkisar tentang rencana kedatangan atau kepergian penduduk menuju dan keluar Pulau Baliara, masalah rumah tangga seperti kesulitan karena sakit, tidak punya bekal makanan, anggota keluarga meninggal, serta masalah-masalah bersama seperti kebersihan, kesehatan, transportasi dan perhubungan, dan acara atau
kegiatan
kemasyarakatan
lainnya.
Faktor
lainnya
adalah
keberadaan sarana ibadah berupa masjid dan aktifitas ibadah keagamaan yang berpusat di Kampung Tengah berupa pengajian rutin setiap kamis malam. Meskipun penyelenggaraannya satu kali dalam seminggu dan tingkat kehadiran anggota pengajian antara 20-30 orang namun keberadaan kelompok pengajian ini cukup berperan dalam menambah frekuensi interaksi warga. Hubungan pertetanggan berlangsung dengan baik dan saling erat mengenal satu sama lain. Ketika di lapangan, penulis mudah berinteraksi di kampung ini karena sikapnya lebih terbuka dan faham dengan materi pembicaraan yang penulis ajukan. Umumnya warga mengetahui letak / posisi rumah tiap warga, termasuk para penghuni di dalamnya. Di sini lain pak, semua orang sudah baku kenal karena sudah lama memang kita tinggal sama-sama di sini. Ini kan Kampung Lama atau Kampung Tua orang-orang bilang karena dulu tidak banyak orang Bajo tinggal di sini. Dulu kan orang Bajo juga takut-takut tinggal di sini karena suka datang tentaranya Kahar (maksudnya Kahar Muzakar) tapi setelah aman, datanglah keluarga mereka kesini gabung sama-sama.
108
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Awalnya tidak banyak begini rumah dibangun, paling tidak sampai 10 rumah saja. Orang Bajo suka tinggal sama-sama tatumpuk satu rumah dari cucu sampai neneknya karena lakilakinya pigi pongka jarang ada di rumah hari-hari. Sekarang kan lain, biar orang Bajo tapi perahunya sudah pake mesin jadi tidak perlu cape lama-lama dayung perahu. Dari situlah orang mulai pikir bangun rumah disebelah untuk anak-anaknya yang sudah menikah, terus saja begitu sampai sekarang. Jadi semua orang di sini baku kenal karena semua saudara. Karena tanah di sini tidak banyak, apalagi juga banyak yang datang kesini maka orang mulai bangun di ujung sana, dermaga dulunya juga tidak ada. Kalau disana (menunjuk Kampung Ujung) orang jarang mau mungkin karena ada kuburan barangkali suka takut-takut. (Wawancara Bedu Hasan, ND, Juli 2008). Interaksi sosial yang intensif terjadi di Kampung Tengah adalah keberadaan warung / kios. Barang jualan kios/warung yang sangat variatif jenisnya dan cukup memiliki persediaan sehingga warga Pulau Baliara menjadikan kios/warung di Kampung Tengah sebagai pilihan utama dalam memperoleh kebutuhan sehari-hari, termasuk sebagai tempat berkumpulnya nelayan ketika pulang melaut atau tidak melaut. Interaksi sosial di kios/warung berlangsung sepanjang hari sejak pagi hingga malam hari, khususnya milik Said yang merupakan Ustad Masjid sehingga waktu subuh, kiosnya sudah dibuka21.. Jam setengah ampat saya sudah bangun lalu pigi ke mesjid stel pengajian lalu kembali ke rumah. Disitu ditau orang kalau saya sudah bangun. Saya beres-beres warung karena kadang orang datang kesini sampai malam jadi tidak sempat bersih-bersih. Jam ampat istriku sudah bangun pigi memasak dan beres-beres warung. Setelah ambil air wudhu saya ke mesjid untuk adzan shubuh dan sholat. Paling ada 2 atau 3 orang tua yang datang sholat sama-sama, tapi awalanya cuma saya saja sendirinya (Wawancara Said, NP, Juli 2008). 21
Selama studi berlangsung, penulis menetap di rumah Said namun kadang menginap di rumah warga di Kampung lain. Ketika warga Dusun Pulau Baliara masih terlelap tidur, Said dan istri (Aminah) sudah mulai berktifitas sehari-hario mulai dari persiapan shaolat subuh, memasak, membersihkan kios/warung, halaman rumah, dan lain-lain. Ketika fajar tiba, hari mulai terang ada sebagian warga yang sudah terbangun, anak atau isteri nelayan yang datang ke warung Said untuk membeli sesuatu (umumnya bumbu-bumbuan makanan, indomi, telur, gula, kopi).
109
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Punggawa yang ada di Kampung Tengah ada 4 orang, hanya 1 orang yang tergolong muda dan baru, yaitu Anwar (33 tahun) baru 7 tahun sebagai punggawa, sedangkan 3 orang lainnya yaitu Said (49 tahun), Nurdin (55 tahun), dan Mahamo (50 tahun) adalah punggawa senior dan dianggap panutan bagi warga kampungnya. Modal yang mereka miliki cukup dapat diandalkan nelayan Pulau Baliara dan aturan yang diterapkan lebih fleksibel bahkan sering memberikan motivasi dan bimbingan kepada nelayan yang menjadi anggotanya. Pengalaman Nurdin dan Mahamo yang sebelumnya juga nelayan membuat para nelayan merasa nyaman bekerjasama. Demikian halnya Said lebih banyak dilihat dalam kapasitasnya sebagai Ustad Pulau Baliara. Berikut beberapa penuturan nelayan. Saya jadi anggotanya Pak Mahamo sudah lama sejak dia masih suka pigi pongka. Bukan main dia, selalu ada saja yang dia dapat kalau menyelam, pokoknya apa yang bisa dijual, dia bawa. Banyak orang suka jadi anggotanya karena pasti ada saja hasilnya didapat untuk dibagi. Kalo disini (maksudnya di Pulau Baliara) belum ada tandingannya dia menyelam sampai 2 jam lebih. Tapi sekarang kan sudah tua kasian makanya dia jadi punggawa. Banyak ilmu kita dapat dari dia. Banyak nelayan yang suka datang ke rumahnya cerita-cerita soal tangkap ikan. Pak Mahamo juga pintar servis mesin. Tidak ada yang pigi ajar dia tapi dia suka rawat mesin. Dia juga tidak marah kalo kita punya isteri pigi jual langsung ikan, na tidak seberapa ji asal cukup buat makan saja? Kalo punggawa lain, dibombenya kita lama-lama baru dia tegur... (maksudnya didiamkan tidak diajak bicara sebagai sangsi atas pelanggaran. Ketika sudah lama dan mencair, mereka saling tegur sapa kembali. (Wawancara Saka, ND, Juli 2008). Kalo saya jadi anggotanya Pak Nurdin sudah lima tahun barangkali dan sekarang malah besanku. Anak Pak Nurdin datang melamar anak saya, dan sekarang sudah dua tahun menikah tapi belum ada anak. Saya biasa datang ambil bekal untuk pigi pongka di rumah Pak Nurdin. Dua atau tiga hari sebelumnya saya sudah pesan memang kapan mau ke laut. (Karena sudah berlaku umum, antara nelayan dan punggawa umumnya sudah mengetahui berapa lama dan berapa banyak
110
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
orang yang berangakat, yaitu 7-10 hari dan 3-4 orang. Nelayan hanya memberitahukan rencana kapan mereka berangkat) .......... Tidak adalah pak bedanya dulu dengan sekarang, hutang tetap saja hutang. Cuma barangkali kalo sekarang karena anakku tinggal di rumah Pak Nurdin, saya biasa pesan sama anakku untuk pigi sampaikan sama mertuanya kalo mau pigi pongka, tapi tidak ada juga bedannya. Sama-sama saja. (Wawancara, Samide, ND, Juli 2008). c. Relasi Kampung Ujung Dibanding kampung lainnya maka jumlah warga Kampung Ujung paling kecil yaitu 16 KK / 40 jiwa yang menetap pada 16 unit rumah. Selain rumah-rumah tinggal penduduk, terdapat 1 unit rumah yang digunakan sebagai gudang penyimpanan hasil laut milik H. Basir (45 tahun) salah seorang punggawa yang bertindak sebagai Ketua Kampung dan terdapat 1 unit rumah kosong yang ditinggal karena pindah keluar Pulau Baliara. Berdasarkan keadaan ekonominya, meskipun penduduknya paling kecil namun dapat dikatakan paling sejahtera yang ditandai hanya terdapat 8 KK nelayan dayung. Jenis usaha yang ada di Kampung ini masing-masing dikelola oleh para punggawa sebanyak 3 orang yang juga memiliki usaha kios/warung 3 unit dan papalele 3 orang yang tidak lain adalah para isteri punggawa. Di rumah tiap punggawa, ketika siang hari hampir tidak pernah sepi dari kegiatan ekonomi, baik jasa barang maupun perdagangan sumberdaya laut. Informasi dan transaksi sering dilakukan di Kampung Ujung ini, termasuk kehadiran punggawa atau agen punggawa dari luar Pulau Baliara. Kampung sini ramenya kalau siang saja. Banyak nelayan datang kesini untuk cari-cari informasi jenis tangkapaan apa yang sedang laku di pasar dan berapa harganya. Memang saya bilang sama mereka jangan sembarang kamu tangkap ikan, kamu ambil kerang, atau macam-macam dari laut baru tidak ada harganya. Jadi kalau mau ditau, ya sering-sering kamu orang datang kesini tanya-tanya karena kita hampir setiap hari pergi ke Sikeli atau Rumbia, bahkan seminggu sekali ke Kendari atau Bulukumba.
111
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Saya kasih tau memang barang ini harganya berapa, teripang, gurita, sirip, lobster, ikan, mata tujuh, semuanya saya kasih tau. Saya tidak bohongi mereka karena sering juga ada datang orang suruhan toke dari Sikeli, Kendari, Bau-Bau datang ambil barang kesini. Kadang mereka juga kan ke pasar jadi untuk apa saya bohong soal harga. Kalau harganya beda, kamu orang harus ngerti bawa barang pake ongkos, kita beli sama mereka juga tidak langsung kita jual tapi simpan-simpan dulu, kalo sudah cukup baru kita bawa naik. Tapi saya rasa mereka semua mengerti. Belum lagi kalau kita jual juga tidak langsung uangnya kita dapat. Tapi mereka harus dapat karena ditunggu anak isterinya di rumah buat makan. Inilah pentingnya kita komunikasi dengan mereka. Kamu orang butuh pigi pongka kita bekali, maka hasilnya kita yang ambil. Jadi sama-sama juga kita kerjasama toh? Saya kasian juga kalau mereka bawa barang kesini untuk dijual tapi dipasaran tidak laku. Laku ji tapi tidak ada harganya jadi percuma saja. Kita mau beli, tidak laku. Tidak dibeli juga kasian orang perlu makan. Kalau saya selalu saja beli asal cukup buat mereka makan, karena kalau banyak-banyak juga kita ambil mau ditaruh dimana. Itu liat di belakang rumahku, banyaknya kulit kerang, japing-japing, lola, karang yang diambil nelayan tapi belum juga kita jual karena harganya murah. Tidak cukup ongkos kembali, jadi hanya berat-berat saja kita bawa. Biarlah saya simpan kalau sewaktu-waktu sudah ada harga, baru kita bawa naik. (Wawancara, H. Basir, NP, Juli 2008) Ketika studi berlangsung di Pulau Baliara sedang berlangsung panen budidaya rumput laut. Di kampung ini setiap hari ramai dikunjungi warga untuk bekerja sebagai buruh petik hasil panen. Ketika musim angin darat, umumnya warga menanam rumput laut dengan masa tanam 40 hari. Minat warga mengusahakan rumput laut juga dipengaruhi jika ada permintaan dan harga pasar yang tinggi. Warga Kampung Ujung ini dikerahkaan para punggawa untuk mengelola jenis usaha ini sehingga 16 KK yang ada di kampung seluruhnya mengerjakan usaha ini. Dari sini interaksi dan hubungan sosial warga meningkat, termasuk dengan warga kampung lainnya. Sini pak duduk-duduk mi sambil petik rumput laut biar bapak juga rasakan toh? Banyak juga cewek-cewek di sini, janda juga ada... jangan marah ya pak, kita kan hanya bercanda saja. Di 112
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
kampung sini kalo sudah datang musimnya baru rame orang pigi tanam rumput laut. Entah itu ibu-ibu, cewek-cewek, anak-anak, nenek-nenek pigi datang kesini petik hasilnya. Kan lumayan ji toh kita dapat upah petik satu bentangan Rp. 1.500,-. Kalo 5 bentangan saja kita dapat Rp. 7.500,- Lumayan buat makan satu dua hari. Tapi sayang pak, tidak selalunya kita begini kasian karena kadang juga tidak ada pesanan. Kalo ada pesanan, musim ombak datang jadi jelek dan murah harganya. Mumpung sekarang sedang bagus-bagusnya ini musim jadi kita tanam memang banyak-banyak. (Wawancara Sahtia, IND, Juli 2008) Keberadaan fasilitas umum berupa Balai Sosial sebagai tempat pertemuan warga dan Kantor Kepala Dusun sebagai pusat administrasi justeru sepi dan jarang dimanfaatkan warga kampung. Namun demikian yang menarik bahwa ketika malam hari, warga kampung ini jarang berkumpul di luar rumah dan paling sepi dari aktifitas. Jikapun ada yang keluar rumah, itu dilakukan di wilayah kampung lain untuk bergabung. Menurut H. Basir (45 tahun), dirinya tidak tahu secara pasti tetapi diperkirakan karena warga kampung pada umumnya adalah nelayan dan punggawa aktif sehingga ketika malam sudah lelah. Informasi yang berkembang dalam komunitas, Kampung Ujung sangat sepi ketika malam karena letaknya dengan lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU) sehingga pada malam hari warga takut keluar rumah, termasuk warga kampung lain berkunjung kesana pada malam hari. Orang Bajo sejak dahulu dikenal penakut terhadap hal-hal yang bersifat ghaib sehingga jangankan mendekati kuburan, jika melewati pohon besarpun mereka harus memutar atau lewat laut (dengan perahu) untuk menghindari pohon yang dianggap tempat berkumpulnya makhluk-makhluk halus (dongko dongkoreng)22.
22
Dalam kepercayaan suku Bajo dipercayai adanya dunia ghaib yang dihuni oleh makhluk halus (pamakitalo) yang kekuatan ghaib untuk mendatangkan bencana atau berkah kepada manusia. Makhluk tersebut merupakan jelmaan dari roh nenek moyang, leluhur atau roh dari orang-orang yang sudah meninggal. Dunia ghaib tersebut dikendalikan dewata bernama petta sa’dampalie atau nenek baliang yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya. Nenek Baliang ini dipercayai kerap menampakan diri baik di darat, laut dan permukaan laut (Nuryadin, 1996).
113
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Entahlah saya juga tidak tau kenapa di sini kalau siang ramenya tapi kalau sudah agak gelap-gelap sedikit orang tidak ada yang keluar. Takut setan barangkali ha..ha..ha.. padahal sendiriku juga takut keluar. Biar siang kalau sepi orang tidak berani lewat pohon itu, taputar orang jalan atau pake sampan, ha...ha...ha... padahal dekatnya ini jalan. Kalau kena dongko-dongkoreng, orang sibuk cari sandro pigi obati lalu nanti dia minta macammacam jadi repot. Na kalau kita ada, atau mintanya ikan tapi kalau mintanya ayam bagaimana mi... terpaksa kita pigi berhutang untuk carikan dia obat. Memang kejadian itu jarang karena orang menghindar toh? Biasa kejadian kalau hari sudah mulai gelap-gelap. Itu anaknya Acco pernah kena karena tidak ditahu orang tuanya. Namanya anak-anak keluar rumah sore-sore tidak ditahu orang tuanya. Lama orang tuanya cari-cari, lalu dia dapat ada di rumah sosial sedang duduk-duduk sendirinya. Waktu pulang ke rumah, itu anak menangis tidak ada berhentinya. Rupanya ada dongkodongkoreng dalam dirinya minta pulang karena rumahnya bukan di situ. Wah... setengah matinya sandro pigi bujuk-bujuk supaya dia keluar pulang sendiri. Setelah dikasih makan nasi ketan, ikan, lalu daun sirih baru keluar. Tapi ededeh... setengah matinya itu sandro. Semuanya dibikin sibuk, jadi jangan mi lagi-lagi kita dapat begitu, setengah matinya kita... (Wawancara Jahadang, NM, Juli 2008). Kepercayaan terhadap hal-hal ghaib ini pula yang menyebabkan wilayah Kampung Ujung kurang diminati calon pemukim baru kendatipun ruang rumah di pesisir masih cukup luas atau di sekitar hutan bakau ketika siang berupa daratan (air laut surut). d. Relasi Kampung Dermaga dengan Kampung Tengah Letak wilayah Kampung Dermaga berbatasan langsung dengan Kampung Tengah dibatasi oleh gedung SD dan Puskesmas Pembantu. Interaksi antar warga sangat intensif karena keberadaan berbagai fasilitas umum yang sama-sama dibutuhkan pada dua wilayah tersebut, khususnya SD. Dermaga sebagai tempat tambatan perahu nelayan yang berukuran besar (body batang) tidak dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan sehingga setiap saat dilihat karena di dalam perahu terdapat
114
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
berbagai penunjang kegiatan produksi atau khawatir menghalangi jika ada perahu lain yang hendak sandar atau keluar. Hampir semua warga di sini pasti tiap hari pergi ke Kampung Tengah karena banyak juga keluarganya disana, utamanya warung. Warung disini cuma satu dan sering habis jualannya jadi yang paling dekat dan lengkap di Kampung Tengah. Di warung Ustad Said biasa juga kita kumpul-kumpul sama nelayan dari kampung lain, duduk-duduk cerita saja. Ada juga pigi mengaji, ke Pak Dusun, kalau berobat jarang karena sudah banyak obat di warung kecuali kita panggil sandro untuk bacabaca kita punya rumah. Nah sebaliknya banyak juga orang Kampung Tengah datang kesini meski tidak banyak. Paling tengok-tengok sodaranya di sini, tengok-tengok kapal di dermaga, apalagi kalau ada pedagang di dermaga, wah tertumpah orang semua satu dusun di situ, padahal tidak juga selalunya beli. Kalo hari-hari, paling ya itu saja anak-anak pigi sekolah, kadang datang orang tuanya jemput pigi ambil. Pokoknya di Kampung Tengah itu pusatnya orang Baliara, jadi selalu saja banyak orang kampung kesitu.. (Wawancara Rukman, ND, Juli 2008). Hubungan sosial yang terjalin antara kedua kampung ini hampir tidak pernah terjadi konflik karena cukup banyak pecahan keluarga Kampung Tengah yang bermukim di Kampung Dermaga sehingga relasi sosial sarat dilandasi hubungan keluarga (sepupu), kekerabatan (perkawinan), dan pertemanan. Selain banyak pecahan keluarga dari Kampung Tengah, warga di Kampung Dermaga umumnya datang ke Pulau Baliara karena informasi atau ajakan dari nelayan warga Kampung Tengah. Fakta ini ditandai dengan sekitar 8 KK dari Kampung Dermaga merupakan anggota nelayan dari punggawa yang ada di Kampung Tengah. Relasi sosial lain adalah keberadaan masjid (dan kelompok pengajian), 2 orang dukun (sandro) dan Kepala Dusun yang ada di Kampung Tengah yang sering dimanfaatkan oleh warga Kampung Dermaga. Ini kampung kecil pak, barangkali tidak sampai lima menit kita lari sudah sampai dari ujung ke ujung jadi sudah tentu orang Kampung Dermaga pigi datang kesini, sebaliknya orang Kampung Tengah juga pigi datang kesana karena ada perlunya. 115
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Menurut saya yang paling banyak urusan tidak salah lagi karena warung karena hari-hari kita makan jadi pasti semua orang datang kesini. Kalo warung-warung di Kampung Ujung lebih banyak dipake buat nelayan pigi pongka. Memang dijual tapi tidak semua karena stok toh? Lebih khusus lagi orang Kampung Dermaga yang baru tinggal, tentu dia datang kesini main ke rumah keluarganya, atau sebaliknya orang di sini tengok-tengok keluarganya disana. (Wawancara Bedu Hasan, ND, Juli 2008). e. Relasi Kampung Dermaga dengan Kampung Ujung Secara fisik posisi Kampung Dermaga dan Kampung Ujung terpisah oleh Kampung Tengah maka frekuensi interaksi sosial antara warga Kampung Dermaga dengan Kampung Ujung relatif kurang intensif jika posisinya bersebelahan. Meskipun demikian, jarak antar kedua kampung dapat ditempuh dengan waktu sekitar 10 menit saja cara dengan jalan kaki. Fasilitas umum yang mendasar dan dibutuhkan sehari-hari oleh kedua kampung relatif sudah terpenuhi di Kampung Tengah. Namun relasi kekeluargaan dan kekerabatan tetap berlangsung secara intensif. Ketika studi berlangsung, terdapat 2 KK warga Kampung Ujung setiap hari berkunjung ke Kampung Dermaga untuk membantu anaknya yang baru saja melahirkan dan bermukim di Kampung Dermaga. Kunjungan dilakukan mengingat suami dari anaknya (menanantu) pergi melaut sehingga dirinya memandan perlu untuk membantu / menemani anak dan cucunya. Belum satu bulan saya punya cucu di Kampung Dermaga, cucu saya laki-laki, lahirnya di Sikeli di rumah saudaranya di Bambanipa (pemukiman suku Bajo di Pulau Kabaena). Bisa juga sebenarnya melahirkan di sini tapi bapaknya khawatir ada apa-apa jadi bawa saja ke Bambanipa karena ada Bidan disana. Kebetulan disini juga tidak ada kerjaku jadi pigi kesana temani cucuku. Kadang juga saya bawa kesini kalau ibunya banyak kerja di rumah. Kalau sudaah datang suaminya, baru saya pulang juga kemari. Begitu saja hari-hariku..(Wawancara Assi, INM, Juli 2008).
116
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Berbeda halnya dengan Kampung Dermaga yang relatif sering dikunjungi karena adanya fasilitas dermaga dan SD bagi anak-anak yang sekolah, maka fasilitas umum Balai Sosial dan Kantor Dusun jarang jarang dibutuhkan warga Kampung Dermaga. Keberadaan Mudahang sebagai Kepala Dusun yang bermukim di Kampung Tengah lebih banyak dikunjung rumahnya daripada kantor maupun balai sosialnya, terlebih lagi TPU hanya ketika siang dan mengantar warga yang dikubur saja berani datang kesana. Menurut Mudahang, warga jarang memanafaatlkan balai sosial karena aktifitas musyawarah sudah dilakukan di rumah punggawa, warung, atau pengajian sehingga tidak perlu waktu secara khusus untuk mebicarakannya di balai sosial.
f. Relasi Kampung Tengah dengan Kampung Ujung Relasi sosial yang terjalin antara warga Kampung Tengah dan Kampung Ujung lebih variatif daripada Kampung Tengah dengan Kampung Dermaga. Dalam pengertian lain, Kampung Tengah adalah perekat bagi warga komunitas Dusun Pulau Baliara. Fasilitas umum di Kampung Ujung yang tidak intensif digunakan oleh warga Kampung Tengah namun karena letaknya berbatasan langsung maka frekuensi interaksi cukup tinggi dan dinamis. Secara kekerabatan, hampir seluruh warga Kampung Ujung adalah kerabat Kampung Tengah. Kondisi ekonomi Kampung Ujung yang relatif paling stabil, lebih banyak melebur dengan warga Kampung Tengah ketika siang dan malam hari, serta aktifitas perdagangan di Kampung
Ujung
sedang
sepi.
Ketika
siang,
aktifitas
warga
terkonsentrasi di rumah-rumah punggawa yang saling bersaudara dan bersebelahan dengan kios/warung serta gudang penyimpanan hasil-hasil sumber laut. Pasokan bekal melaut lebih banyak dilakukan di Kampung Ujung, demikian pula informasi tentang aktifitas nelayan melaut baik waktu, anggota kelompok, harga pasaran alat produksi, dan jenis-jenis hasil tangkapan nelayan. 117
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Relasi yang cukup menarik adalah relasi antar kios dan papalele dari kedua kampung karena meskipun tidak ada kesepakatan diantara mereka, tetapi seperti sudah memiliki pasar masing-masing dan saling membantu. Kios/warung yang ada di Kampung Tengah lebih banyak berisi barang jaualan unuk kebutuhan konsumsi sehari-hari warga, sedangkan kios/warung yang ada di Kampung Ujung lebih fokus sebagai stok bekal melaut nelayan dan keluarga nelayan sehingga meski jumlah dan variasinya cukup banyak tetapi di simpan di gudang. Dalam posisi barang di gudang, kerap pemilik kios/warung di Kampung Ujung mengalihkan pembelinya ke kios lain. Penjelasan H. Basir dapat dikutip sebagai berikut : Di Pulau Baliara meskipun pulaunya kecil, penduduknya sedikit tapi ada sepuluh warung. Itu sudah banyak dibanding pulau lain cuma dua atau tiga warung saja. Tapi namanya jualan makanan har-hari dimakan, pasti laku dan cepat habis. Nelayan kan kuat kerja, jadi kuat juga makan, apalagi orang Bajo kalau tidak melaut maka tidak ada ada juga dikerja, tanah tidak ada, mau apa ditanam? Jadi kalau tidak tidur, ya makan.. pokoknya apa saja yang bisa dimakan. Apalagi kalau duit ditangan? Itulah sebabnya, supaya makanan tidak habis dimakan, baru (tapi) orang tidak pigi malao jadi kita simpan-simpan memang supaya kita selalu ada stok buat orang pigi malao. Itu kan buat bekal dua sampai tiga hari, dan biasa banyak orang cari. Tapi kalau pigi pongka biasanya kita pesan memang, lalu kita ambil. (Wawancara H. Basir, NP, Juli 2008). Berdasarkan penuturan tersebut maka dapat difahami bahwa itu merupakan strategi para punggawa agar kegiatan produksi tidak terhambat karena ketiadaan stok bekal nelayan melaut. Kegemaran orang Bajo makan dikhawatirkan akan menghabiskan stok bekal melaut yang pada akhirnya berdampak pada penghasilan punggawa dari hasil pembelian hasil produksi nelayan. Hubungan yang baik juga terjadi antar nelayan. Punggawa kedua kampung ini sering menawarkan stok barang jika berlebih atau memberikan informasi harga pasaran jenisjenis sumber laut bahkan saling meminjam modal usaha jika dalam
118
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
keadaan darurat. Punggawa di Kampung Ujung relatif bermodal besar dibanding punggawa lainnya, tetapi jika mereka kehabisan atau kekurangan stok pesanan maka, punggawa Kampung Tengah akan menawarkan stok yang mereka miliki sehingga kepercayaan dengan pelanggan tetap terjaga. Nelayan dayung yang ada di kedua kampung juga sering saling membantu dan menawarkan keikutsertaan nelayan lainnya ketika hendak melaut. Keadaan ini sudah lama terjalin dibanding dengan Kampung Dermaga yang umumnya penduduknya adalah warga baru sehingga rasa saling percaya diantara mereka masih belum teruji oleh waktu dan frekuensi relasi.
2. Relasi Kelompok Sosial a. Relasi Keluarga Nelayan Dalam kebudayaan suku Bajo (sama) tiap orang Bajo adalah saudara. Menurut Jahadang (45) tahun, ’ ..... jika dirunut asal usulnya tiap orang Bajo pasti bersaudara karena ada anggota keluarganya yang masih kerabat karena perkawinan antar keluarga orang Bajo”. Penuturan tersebut benar adanya dimana antar keluarga di Pulau Baliara umumnya memiliki hubungan saudara maupun kerabat.
Berkumpul di kolong rumah
Jembatan arena bermain anak
Gambar 5.10. Aktifitas Para Isteri dan Anak-anak Nelayan
119
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Letak rumah-rumah antar keluarga dibangun bersebelahan dengan sesama saudara mereka sendiri mulai dari kakek-nenek, orang tua, dan anak-anak mereka yang sudah berkeluarga. Dalam lingkungan pemukiman yang terbatas, jarak antar rumah di Pulau Baliara dapat dijangkau dengan jalan kaki, kecuali ketika air pasang. Kejadian apapun yang terjadi pada suatu keluarga akan cepat diketahui dan tersebar luas di kampung. Jika ada KK nelayan sakit sehingga tidak melaut, biasanya KK nelayan lain menyisihkan secara cuma-cuma untuk kebutuhan lauk makan.
b. Relasi Keluarga Nelayan dengan Kelompok Pengajian Keluarga memandang kelompok pengajian sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas ibadah kepada Sang Pencipta, khususnya bagi anak-anak. Sebaliknya kelompok pengajian dibentuk dengan sasaran para anggota keluarga sesuai dengan kegiatannya yaitu pengajian agar anak-anak mampu membaca dan menulis Al Quran. Dalam pelaksanaannya, kelompok pengajian tidak mengikat dan memiliki jadwal pengajian rutin pada setiap malam jumat setelah sholat isya bersama. Namun demikian kehadirannya tergantung pada aktifitas tiap keluarga dimana kehadiran antara 20-30 orang yang umumnya dihadiri para KK yang tidak melaut dan anak-anak laki-laki. Sedangkan para isteri dan perempuan tidak ikut dengan alasan belum ada tenaga perempuan yang membimbing. Selain tempat pengajian di mesjid, tempat dan waktu seringkali berubah yaitu di rumah keluarga secara bergiliran sesuai dengan permintaan keluarga untuk acara pengajian, syukuran, dan tahlilan jika ada peristiwa kematian salah satu anggota keluarga. c. Relasi Keluarga Nelayan dengan Papalele Hasil tangkapan ikan KK nelayan yang tidak dipilih oleh punggawa selain untuk kebutuhan konsumsi keluarga, juga dijual
120
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
kepada papalele. Papalele membeli dan menjualnya kembali pada keluarga-keluarga untuk kebutuhan konsumsi pangan sehari-hari. Dengan demikian maka bagi keluarga, papalele adalah tempat menjual sekaligus membeli ikan, dan sebaliknya demikian papalele membeli dan menjual ikan kepada keluarga. Jumlah dan harga yaang dijual papalele adalah skala kecil sehingga harga terjangkau bahkan pembelian atau penjualan seringkali tidak dilakukan dengan pembayaran langsung (hutang). Masing-masing sudah saling percaya sehingga tidak ada proses pencatatan dan batas pembayaran yang longgar sesuai kesepakatan bersama. d. Relasi Keluarga Nelayan dengan Kios / Warung Peran kios/warung sangat dominan dalam memasok atau sumber kebutuhan pangan sehari-hari dan peralatan rumah tangga. Seperti warung umumnya, kios/warung menyediakan berbagai kebutuhan pangan seperti halnya sembako, misalnya beras, minyak sayur, bumbu-bumbuan, gula, kopi, makanan ringan, susu, BBM, peralatan rumah tangga seperti ember, sapu, peralatan memasak seperti panci, wajan, gelas, piring, termos, dan lain-lain. Ada pula peralatan sekolah seperti buku dan pensil, berbagai jenis obat-obatan, berbagai jenis suku cadang peralatan menangkap ikan seperti pancing, nilon, tambang, jaring/pukat ukuran kecil, dan lain-lain. Barang-barang tersebut relatif terjangkau meskipun harganya lebih mahal antara 5%-10% dari harga di pasaran pada umumnya. Pembayaran bisa dilakukan dengan cara hutang atau panjar dimana pembayaran dilakukan setalah ada uang. Warung/kios buka sepanjang hari sejak pagi hingga malam, kecuali jika pemiliknya pergi berbelanja sehingga masyarakat dapat membeli ke warung jam berapapun ketika dibutuhkan. Menurut Aminah (35 tahun) isteri dari Said (49 tahun) yang mengelola usaha Kios / Warung menyatakan bahwa pada umumnya hutang nelayan Bajo tidak pernah lunas karena belum
121
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
selesai hutangya selalu mengambil panjar kembali. Dirinya tidak kuasa menolak karena tidak tega dan sudah terbiasa seperti itu. Pembayaranpun sebenarnya lancar jika mereka memang memiliki uang. “Mereka itu tidak punya uang kontan saja, uangnya masih berupa ikan atau belum dibayar dari Punggawa”. Demikian penuturan Aminah (35 tahun) yang dilanjutkan dengan tanggapan suaminya yaitu Said (49) yang menceritakan pengalaamannya berikut ini : Saya tidak membungakan hutang para nelayan karena pembayaran tetap dihitung dengan harga pasaran dan untuk menutupi hutang sesuai dengan jumlah yang dipinjam. Saya juga tidak kasih sangsi apa-apa kepada anggotaku kalau lama tidak membayar hutang, atau kalau anggotaku menjual hasil tangkapan kepada Punggawa lain. Kalau anggotaku tadi kembali mau berhutang tetap juga saya kasih sepanjang ada uang atau barang yang diminta. Apalagi kalo yang datang istrinya kadang juga sambil menangis, jadi saya kasih saja... Orang tua (suku Bajo) tidak ada bedanya dengan anak-anak suka jajan di kios membeli macam-macam jajanan makanan ringan. Berapapun uang yang dia belanjakan, jika masih ada kembalian maka akan kembali lagi untuk membeli jajanan yang lain hingga habis uang ditangan. Orang Bajo itu tidak tenang tidurnya selagi masih ada makanan di rumah, kecuali kalo habis makanan, baru dia tertidur (Wawancara Said, NP, Juli 2008). Menurut Lakudo (46 tahun) nelayan di Pulau Baliara, ”...di darat nelayan tidak ada pekerjaan kecuali rawat perahu, kalau sudah itu makanlah terus, mau di apa?. e. Relasi Papalele dengan Kios / Warung Untuk penjualan konsumsi sehari-hari, jenis ikan yang dijual papalele umumnya ikan yang masih segar, sedangkan kios/warung dalam bentuk ikan kering yang kadang dibeli dari papalele. Jenis ikan basah yang dijual di kios milik punggawa adalah stok sampai dalam jumlah yang cukup untuk dijual di pasaran di luar Pulau Baliara.
122
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Hubungan lain yang terjadi adalah antara pembeli dan penjual dimana papalele membeli peralatan jualan ikan di warung/kios seperti ember atau baskom sebagai tempat ikan untuk dibawa keliling kampung. Sebaliknya, warung/kios membeli produk papalele baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual kembali, yaitu berupa ikan yang sudah dikeringkan. f. Relasi Nelayan dengan Papalele Hasil tangkapan ikan nelayan yang tidak dipilih oleh punggawa selain untuk kebutuhan konsumsi keluarga, juga dijual kepada papalele. Papalele membeli dan menjualnya kembali pada keluarga-keluarga untuk kebutuhan konsumsi pangan sehari-hari. Dengan demikian maka bagi nelayan, papalele adalah tempat menjual ikan, dan sebaliknya demikian bagi papalele, nelayan adalah sumber bahan / barang dagangan dengan cara membeli kepada nelayan. Jumlah dan harga yaang dijual kepada papalele adalah skala kecil dengan harga terjangkau tergantung hasil tawar menawar. Pembelian atau penjualan seringkali tidak dilakukan dengan pembayaran langsung (hutang) karena masing-masing sudah saling percaya dan waktu pembayaran yang longgar, yaitu jika setelah papalele selesai menjualnya kembali. g. Relasi Nelayan dengan Kios/Warung Kios/warung juga berperan sebagai pemasok kebutuhan pokok keluarga jika KK nelayan melaut. Pasokan biasanya dilakukan oleh kios/warung dimana KK nelayan menjadi buruh dari punggawa (suami pemilik kios) dalam jumlah tertentu. Pembayaran dilakukan dengan cara memotong bagi hasil tangkapan. Peran penting kios/warung juga sebagai pemasok (suplier) perbekalan melaut, baik untuk nelayan selama di laut maupun untuk bekal keluarga nelayan di rumah yang ditinggalkan selama periode melaut. Dari 10 kios/warung yang ada di Pulau Baliara, maka 6 unit diantaranya adalah miliki dari para 123
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
punggawa. Hal ini terkait dengan peran punggawa yang selain sebagai pengumpul, juga sebagai pemodal bagi kegiatan produksi nelayan. Pemesanan dan pengadaan biasanya dilakukan oleh para isteri punggawa, termasuk dalam hal pencatatannya. Pengangkutan dari pasar ke Pulau Baliara, pada umumnya mereka memiliki perahu sendiri yang relatif ukurannya lebih besar daripada perahu body batang untuk mencari ikan sehingga bisa kapan saja barang / pesanan diambil ketika nelayan membutuhkannya. h. Relasi Punggawa dengan Papalele Hubungan sosial yang terjadi antara punggawa dengan paplele cukup signifikan yang ditandai dengan awalnya para isteri nelayan ketika ingin melakukan usaha penjualan ikan, selain mendapat ijin suami dan keluarga, juga harus seijin punggawa. Ijin diberikan jika punggawa menganggap usaha tersebut tidak akan mengganggu usaha punggawa dalam mengumpulkan stok penjualan ikan. Punggawa khwatir jika papalele menerima atau menjual ikan tanpa sepengetahuan punggawa dari nelayan yang menjadi buruhnya kepada pihak lain, baik punggawa lain atau langsung ke pasaran. Dengan demikian maka ikan-ikan yang dijual papalele adalah jenis dan ukuran ikan yang tidak dipilih punggawa dari nelayan (suami papalele). Ikan-ikan yang dijinkan umumnya memilki jenis dan ukuran bernilai rendah sehingga relatif terjangkau oleh warga Pulau Baliara. Awalnya saya bicara sama suamiku bagaimana kalau ada sisa ikan yang tidak dipilih punggawa kita jual saja karena tidak mungkin juga habis kita makan. Boleh tapi nanti saya bicara dulu sama Pak Haji (maksudnya Haji Basir) karena jangan sampai disangka saya pigi jual sendiri ikan. Ternyata Pak Haji setuju, jadi saya jualan sampai sekarang. Kadang Pak Haji juga bantu-bantu saya kasih ikan untuk dijual kalau suamiku tidak melaut. Nanti kalu sudah laku, saya bayar sama Pak Haji... (Wawancara Ecce, PL, Juli 2008) Hubungan lainnya adalah bahwa papalele juga kerap minta bantuan kepada punggawa berupa modal, baik berupa uang maupun 124
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
ikan-ikan untuk dijual sehingga pembayarannya dilakukan setelah ikanikan tersebut laku dijual. Meskipun hubungan tersebut bersifat dominatif oleh punggawa, namun papalele memahami dan menerima keputusan tersebut untuk menjaga hubungan baik antara punggawa dengan suami papalele. i. Relasi Punggawa dengan Kios/Warung Dari 10 unit warung/kios yang ada, 6 unit diantaranya milik punggawa yang dikelola para isteri punggawa. Secara umum hubungan punggawa dengan kios/warung terkait dengan pasokan bekal nelayan melaut dan keluarga nelayan selama KK nelayan melaut. Jumlah dan jenis pasokan adalah sesuai dengan permintaan nelayan yang menjadi buruh punggawa, yang disesuaikan dengan jumlah personil dan lamanya periode melaut. Sebagai pengelola kios / warung, isteri punggawa mencatat semua barang yang keluar dan masuk, termasuk barang-barang yang akan dipesan untuk stok penjualan maupun stok bekal melaut nelayan. Punggawa yang tidak memiliki kios/warung biasanya memesan pada warung/kios milik punggawa karena relatif lebih lengkap dan memiliki modal besar dan pembayaran dilakukan setelah penjualan hasil tangkapan nelayan yang menjadi buruhnya.
j. Relasi Pemerintah dengan Nelayan Hubungan atau jaringan pemerintah dengan komunitas suku Bajo di Pulau Baliara secara kasat mata dapat dilihat fasilitas fisik yang dibangun pemerintah antara lain fasilitas pendidikan, dermaga pelabuhan, dan listrik tenaga surya. Puskesmas Pembantu meskipun sudah dibangun tetapi belum beroperasi karena belum ada petugas kesehatan yang ditugaskan / ditempatkan di Pulau Baliara. Program pemerintah yang terkait langsung dengan peningkatan usaha nelayan pernah dilakukan oleh Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara
125
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
melalui Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Menurut penuturan Kamaruddin (45 tahun) : Sebelum program tersebut dilaksanakan, kami melakukan persiapan dengan kegiatan penjajagan dan studi kelayakan yang melibatkan perguruan tinggi dan dinas/instansi terkait dari tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten. Hasill kajian tersebut disosialisasikan dalam bentuk seminar dan loka karya, baik di tingkat ptovinsi maupun pusat agar memperoleh dukungan program/kegiatan dari sektor lainnya. Berdasarkan studi pada tahun berikutnya dilaksanakan program pemberdayaan yang meliputi sumberdaya manusia, lingkungan sosial dan usaha ekonomi nelayan selama tiga tahun berturutturut. Pada aspek lingkungan dibangun rumah warga dan sarana dan prasarana lingkungan pemukiman. Pada aspek sumberdaya manusia dilakukan bimbingan sosial dan keterampilan yang terkait dengan usaha nelayan. Pada aspek usaha ekonomi diberikan bantuan usaha nelayan secara berkelompok (Wawancara Kamaruddin, Agustus 2008). Menurut Prof. Dr. Nasruddin Suyuti, M.A. (48 tahun), Guru Besar Antropologi UNHALU Kendari yang sering melakukan kajian pada komunitas suku Bajo di Sulawesi Tenggara, mengemukakan bahwa : Diakui bahwa program pemberdayaan pada komunitas suku Bajo yang dilaksanakan pemerintah belum membawa dampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan warga karena bantuan stimulans yang diberikan terbatas pada usaha perikanan subsisten, seperti pancing dan jala. Komunitas suku Bajo saat ini pada umumnya sudah berorientasi pada pasar sehingga sumber laut yang ditangkap sesuai dengan permintaan pasar dengan nilai jual yang tinggi seperti teripang, lola dan sirip hiu. Dengan orientasi tersebut maka aktifitas melaut terkonsentrasi pada modal besar seperti yang sudah selama ini berlangsung dengan para Punggawa. Dalam jangka panjang, program tersebut telah memberikan investasi sosial yang tidak kecil karena mereka semakin merasa nyaman tinggal di lingkungannya sendiri. Inilah awal yang penting mengingat mobilitas mereka masih cukup tinggi. Dukungan sektor lain pada program tersebut juga masih belum optimal karena program pemberdayaan yang dilaksanakan Dinas Sosial, terletak pada manusianya sehingga untuk aspekaspek yang lain menjadi tanggung jawab sektor lain (Wawancara Prof. Nasrudin, Agustus 2008). 126
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Program lainnya adalah pada tahun 2006, pemerintah memberikan bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) berupa alat-alat produksi nelayan, yaitu berbagai jenis dan ukuran pancing dan pukat (jaring) kepada tiap kelompok senilai Rp. 2.500.000,- Jumlah kelompok penerima bantuan sebanyak 6 kelompok dimana anggota tiap kelompok 10 KK sehingga secara keseluruhan jumlah penerima bantuan sebanyak 60 KK. Berdasarkan pengamatan penulis, kelompok-kelompok UEP ini pada umumnya tidak berfungsi kecuali ada sisa-sisa bantuan yang sudah rusak bahkan ada yang tidak diketahui keberadaannya. Kelompok UEP hanya tinggal nama karena tiap anggota kembali bekerja dengan usahanya sendiri-sendiri seperti sebelum menerima bantuan. Dari beberapa fakta ini dapat diduga bahwa kelompok UEP tidak dapat mengembangkan usaha secara bersama sehingga untuk memperbaharui, apalagi menambah alat-alat produksi tidak tercapai. Ada banyak alasan yang dapat dikemukakan mengapa kelompok UEP ini tidak berfungsi, antara lain pemilihan anggota kelompok kurang melihat aspek kekerabatan karena mereka sudah biasa dengan itu, tugas-tugas manajemen administratif sama sekali bukan kebudayaan mereka (meskipun sebelum menerima bantuan mereka sudah dibimbing/dilatih), rendahnya tindak lanjut bimbingan dari pemerintah terkait, dan yang paling utama adalah bahwa jenis bantuan alat-alat produksi tersebut terbatas pada hasil tangkapan ikan yang bersifat subsisten sedangkan hasil produksi nelayan umumnya sudah berorientasi pada kebutuhan pasar. Komunitas nelayan suku Bajo di Pulau Baliara (mungkin juga pada umumnya) sudah lama mengenal pasar kendatipun hidup mereka masih tergolong miskin. Orientasi produksi yang dilakukan pada umumnya ditujukan pada hasil tangkapan dalam jumlah besar dan jenis-jenis ikan tertentu serta berbagai sumber laut lainnya yang bernilai jual tinggi di pasaran. Jika bantuan yang diberikan hanya 127
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
menghasilkan tangkapan subsisten maka bantuan tersebut kurang bermakna karena hidup mereka memang sudah subsisten. k. Relasi Pemerintah dengan Punggawa Secara kongkrit dan jelas, hubungan pemerintah dengan Punggawa belum maksimal dan terputus di jalan tidak ada tindak lanjut. Mahamo (50 tahun) seorang Punggawa di Pulau Baliara menuturkan bahwa: Sejak dulu tidak ada orang Bajo yang mau masuk Koperasi karena alasan tidak bisa baca tulis, tidak mengerti dengan aturan main, dan merasa terikat. Saya dan punggawa yang lain dua tahun yang lalu diajak pemerintah Kecamatan membentuk Koperasi di Pongkalero tetapi sekarang sudah tidak ada lagi dan anggotanya tidak ada satupun dari orang Bajo. Orang Bajo itu tidak sekolah atau rendah pendidikan jadi kurang tertarik apalagi memahami kegiatan yang sifatnya resmi. (Wawancara Mahamo, ND, Juli 2008). Ruslan (47 tahun) dan Ahmad (42) Punggawa dari Sikeli dan Bambanipa menceritakan bahwa Dinas Sosial memberi bantuan kepada nelayan berupa mesin kompressor tidak lengkap sehingga bantuan
tersebut
tidak
terpakai.
Kedua
punggawa
tersebut
mengusulkan kepada Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUBE) untuk melengkapi beberapa peralatan yang kurang seperti timah pemberat, dakor, kacamata menyelam, dan lain-lain sekitar Rp. 1.100.000. Setelah dilengkapi, Ahmad dan Ruslan jika hendak menggunakan peralatan tersebut tetap menyewa Rp. 200.000,- agara ada pemasukan kas KUBE tersebut. H. Basir (45 tahun) Punggawa di Pulau Baliara berpendapat : Bantuan pemerintah secara berkelompok tidak efektif, misalnya satu kelompok terdiri dari 10 KK. Orang Bajo biasa bekerja perorangan, jikapun berkelompok harus dalam satu keluarga saja. Bantuan mesin dari pemerintah umumnya cepat rusak jika sudah berusia 2-3 tahun. Mesin buatan Cina murah dan suku cadangnya murah tapi cepat rusak. Kalau merk Ratna atau Dompeng awet dengan harga Rp. 2.000.000,- hingga Rp.
128
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
3.500.000,- dengan mesin kapasitas 7 PK hingga 24 PK yang terbesar (Wawancara Basir, Juli 2008). H. Encere (43 tahun) Punggawa asal Bambanipa berpendapat : Selama ini tidak ada bimbingan dari petugas pemerintah. Dirinya pernah menghadiri penyuluhan di Desa Baliara, tetapi yang terjadi malah nelayan Bajo lebih paham tentang jenisjenis dan harga teripang daripada petugas sehingga masyarakat merasa tidak mendapat sesuatu yang baru dan bermanfaat (Wawancara Encer, Juli 2008).. H. Encere menyarankan bahwa untuk merubah tingkah laku orang Bajo melalui penyuluhan sebaiknya tentang usaha budidaya dan diversifikasi ketika musim angin laut tiba.
3. Relasi Stratifikasi Sosial Nelayan
a. Relasi Nelayan Dayung Dalam melakukan kegiatan melaut, kelompok Nelayan Dayung paling sederhana karena dilakukan oleh satu atau dua orang saja, misalnya orang tua laki-laki dengan anak laki-laki, atau kakak-adik laki-laki, atau antar saudara yang masih memiliki hubungan darah. Mereka pergi melaut membawa perbekalan makanan dan peralatan pancing serta pukat dengan menggunakan perahu lepa-lepa dari pagi hingga sore hari. Jika yang digunakan perahu katinting, maka wilayah penangkapannya agak jauh dari perairan laut Pulau Baliara. Sumber bekal melaut umumnya diperoleh sendiri, berupa nasi dan lauk pauk. Di perahu mereka biasanya ada tungku memasak yang terbuat dari ember kaleng dengan bahan bakar serabut dan batok kelapa yang mudah diperoleh di Pulau Baliara. Tungku tersebut berfungi untuk menghangatkan nasi dan air minum yang sudah matang di bawa dari rumah dan membakar ikan sebagai lauk makan mereka di laut. Namun ada pula nelayan yang mengambil panjar atau pinjam ke warung. Besarnya pinjaman tiap kali melaut satu hari (PP) sekitar Rp.
129
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
20.000,- dengan rincian; solar 2 liter x Rp.5.500,- = Rp. 11.000,-, rokok satu bungkus = Rp. 7.000,-, gula satu bungkus = Rp. 1.000,-, dan kopi bungkus = Rp. 1.000,-. Orientasi penangkapan ikan ini terbatas untuk kebutuhan subsisten keluarga sehari-hari kecuali jika mendapat hasil yang melimpah, jenis ikan tertentu, atau ukuran besar sehingga memiliki nilai jual tinggi maka akan dijual kepada papalele. Frekuansi melaut pulang hari (PP) ini dalam semingga dilakukan antara 3 – 4 kali. Jika menggunakan perahu lepa-lepa maka tidak ada pembagian hasil diantara nelayan karena semaunya untuk keperluan keluarga, namun jika menggunakan katinting ada pembagian hasil, itupun jika dilakukan dengan kerabat atau teman yang bukan hubungan keluarga satu darah karena masing-masing memiliki tanggungan keluarga yang harus dinafkahi. Di antara sesama kelompok Nelayan Dayung ini sudah lazim saling meminjam alat produksi, termasuk perahu sepanjang tidak digunakan pemiliknya dan tidak dibebankan sewa. Biasanya mereka memberi
imbalan
ikan
hasil
tangkapan
secukupnya
sebagai
kompensasi pinjaman. Dalam hal perawatan alat produksipun mereka saling membantu seperti membersihkan lumut, menambal yang bocor, dan mengecat. Jika ada nelayan yang sakit sehingga tidak dapat melaut, maka nelayan yang lain biasanya menyisihkan hasil tangkapan agar keluarga nelayan yang sakit dapat tetap memperoleh lauk makan. Hubungan kerjasama kelompok Nelayan Dayung tersebut berjalan dengan sendirinya tanpa diminta. Letak rumah yang saling berdekatan dalam satu komunitas etnik yang masih ada hubungan saudara dan kerabat pada lahan pemukiman yang terbatas maka tidak ada satu kejadianpun yanag tidak diketahui warga lain karena akan cepat menyebar diketahui keluarga nelayan yang lain.
130
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
b. Relasi Nelayan Dayung dengan Nelayan Mesin Seperti halnya hubungan antar sesama kelompok Nelayan Dayung maka hubungan kelompok Nelayan Dayung dan kelompok Nelayan Mesinpun masih didasari hubungan saudara sedarah (keluarga) dan kekerabatan karena ikatan perkawinan antar keluarga nelayan suku Bajo. Namun dalam hubungan kegiatan melaut agak berbeda, tidak sesederhana antar sesama kelompok Nelayan Dayung karena orientasi produksi tidak untuk kebutuhan subsisten keluarga tetapi sudah berorientasi pada kebutuhan atau tuntutan pasar (penjualan). Dalam membentuk kelompok nelayan, tidak sama halnya antar sesama kelompok Nelayan Dayung yang cenderung mutlak dengan sesama suku Bajo yang masih saudara atau kerabat tetapi dalam hubungan antara kelompok Nelayan Dayung dan menengah sudah banyak membaur dengan nelayan dari suku lain (umumnya suku Bugis, Buton, Muna) yang sudah dikenal lama dengan baik. Anggota kelompok Nelayan Dayung yang melaut dengan kelompok Nelayan Mesin adalah bekerja sebagai buruh karena hanya menyumbangkan tenaganya untuk mendapatkan upah dari sistim bagi hasil, namun tidak bersifat permanen. Jika dilihat dari komposisinya, jumlah mereka 3-4 orang umumnya masih keluarga, kerabat (lintas keluarga), dan teman. Mereka pergi melaut membawa perbekalan makanan dan peralatan pancing serta pukat ukuran besar menggunakan perahu besar (body batang) menuju wilayah penangkapan ikan di laut lepas selama beberapa hari. Untuk itu, bekal melaut umumnya ditanggung bersama yang diperoleh dari punggawa. Besarnya pinjaman tergantung pada periode waktu melaut. Jika melaut selama 2-3 hari, biasanya dipinjam beras 5 kg x Rp.4.500,- = Rp. 22.500,- jadi besaran pinjaman periode 2 – 3 sekitar Rp. 50.000,- – Rp. 70.000,- ribu. Namun jika selama 7 – 10 hari lebih besar yaitu sekitar Rp. 2.000.000,- – Rp. 3.000.000,- juta untuk kebutuhan konsumsi 3 – 4 orang nelayan. Sedangkan perbekalan 131
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
untuk keluarga nelayan yang ditinggalkan selama periode melaut, biasanya diberikan secara bertahap sesuai kebutuhan / permintaan keluarga nelayan. Variasi jumlah pinjaman antara Rp. 200.000, – Rp. 400.000,-/keluarga nelayan (4-5 orang anggota/keluarga). Orientasi penangkapan ikan ini untuk kebutuhan pasar sehingga jenis tangkapanya adalah jenis dan ukuran ikan dan sumber laut lain yang memiliki nilai jual tinggi. Frekuansi melaut seperti ini biasanya dalam seminggu satu kali. Dalam keadaan tersebut maka kelompok Nelayan Dayung relatif kecil atau tidak banyak terlibat karena beban nafkah keluarga yang ditinggalkan kurang tercukupi. Jikapun
ditanggung
oleh
punggawa
maka
akan
dipotong
pembayarannya pada saat bagi hasil nanti. Untuk itu, biasanya anggota kelompok Nelayan Dayung yang terlibat umumnya laki-laki dewasa yang belum menikah karena tidak memiliki tanggungan keluarga. Berbeda halnya dengan anggota dari kelompok Nelayan Mesin yang sudah banyak memiliki perahu body batang sehingga mendapat hasil yaang lebih besar dari bagiaan perahu dan mesin. Jikapun perahu dan mesin milik punggawa, secara ekonomi keaadaan mereka lebih baik. Hubungan di luar kerjasama melaut yaitu dalam hubungan sehari-hari antara kelompok Nelayan Dayung dan menengah tetap saling membantu sama lain karena mereka umumnya masih bersaudara atau kerabat. Jika peralatan ada yang rusak, mereka bisa saling meminjam sepanjang tidak digunakan dan tidak dikenakan sewa, kecuali milik punggawa karena jika rusak/hilang maka tidak sanggup mengganti. c. Relasi Nelayan Dayung dengan Nelayan Punggawa Untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar maka Nelayan Dayung dengan nelayan lainnya bekerja sebagai buruh kepada punggawa. Punggawa tidak secara langsung turut serta dalam kegiatan produksi di laut tetapi menyediakan perbekalan baik untuk melaut
132
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
maupun bekal untuk keluarga nelayan. Kegiatan yang dilakukan adalah penyiapan peralatan, termasuk BBM, penyiapan bekal konsumsi selama melaut dan perbekalan untuk keluarga nelayan selama periode nelayan melaut. Pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut adalah nelayan, keluarga nelayan, punggawa dan warung / kios yang umumnya milik para punggawa yang bertugas menyediakan berbagai peralatan dan perbekalan tersebut. Dalam melakukan penyiapan perahu, mesin, kompressor, jaring dan pancing umumnya dilakukan para anggota kelompok nelayan beserta anggota keluarga masing-masing. Para isteri biasanya menyiapkan pakaian dan penataan perbekalan di perahu, sedangkan
anak-anak
laki-laki
nelayan
biasanya
membantu
mengangkut perbekalan ke perahu. Kegiatan penangkapan ikan pada umumnya dilakukan dengan dua jenis periode melaut, yaitu periode waktu 2 - 3 hari dan periode waktu 7 – 10 hari, tergantung pada musim dan kebutuhan pasar. Perahu yang digunakan adalah body batang. Perbekalan konsumsi melaut (pigi pongka) selama periode melaut dijamin sepenuhnya oleh Punggawa berupa BBM, sembako seperti beras, gula, kopi, susu, teh, rokok, permen, makanan ringan, minyak sayur, bumbu-bumbuan, obatobatan, baterai senter, air tawar, dan suku cadang alat produksi seperti senar, mata pancing, jangkar, dan lain-lain. Harga keseluruhan perbekalan tersebut tergantung pada jumlah dan jenisnya yang disesuaikan dengan periode waktu melaut. Punggawa seperti Abdin (50 tahun) biasanya membatasi perbekalan yang dipinjam karena jika dibiarkan cenderung boros dan tidak bekerja di laut. Dalam membentuk kelompok nelayan, Punggawa biasanya memilih dari keluarga, kerabat atau teman atau tetangga. Jika dilihat dari komposisinya, maka hanya sekitar 25 % nelayan yang dianggap orang lain (bukan anggota biasanya) meskipun nelayan tersebut masih ada hubungan dengan kerabat, tetangga atau teman dari anggota 133
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
kelompok yang berasal dari luar Pulau Baliara. Aspek yang dipentingkan dalam pembentukan kelompok adalah nelayan yang rajin, sehat, jujur, komunikatif (tidak pendiam), bisa kompak kerjasama dan sepakat dengan aturan bagi hasil. Hasil
tangkapan
nelayan
seluruhnya
diberikan
kepada
Punggawa untuk dijual. Harga jual tidak ditentukan berdasarkan harga pasar tetapi ditentukan oleh punggawa yang berpengaruh pada pendapatan nelayan. Menurut para Punggawa, faktor-faktor yang mempengaruhi harga jual hasil laut adalah jenis, ukuran, kualitas olahan (penggaraman dan pengeringan), tempat (jarak pasar), harga pasaran, dan faktor musim yang mempengaruhi pasokan barang. Setelah semua hasil tangkapan dijual maka selanjutnya dilakukan pembagian dengan ketentuan sebagai berikut; untuk melaut jangka waktu 7-10 hari maka potongan ongkos produksi sebesar Rp. 500.000,. Selanjutnya untuk mesin perahu dan kompressor mendapat bagian 1,5, untuk perahu 1 bagian, dan untuk tiap nelayan satu bagian. Jika melaut dilakukan 3 orang dan hasil penjualan mencapai Rp.5.000.000,- maka setelah dipotong Rp. 500.000,- selanjutnya Rp. 4.500.000, dibagi menjadi 5,5 bagian sehingga masing-masing mendapat Rp. 818. 181, 82. Dengan demikian maka pendapatan (income) nelayan untuk sekali melaut sekitar Rp. 820.000,- (jumlah dibulatkan). Sedangkan punggawa berasal dari potongan ongkos produksi, bagian mesin/kompressor dan perahu, seluruhnya mencapai Rp. 2.140.000,- (jumlah dibulatkan). Naik turunnya pendapatan tersebut tergantung pada musim dan frekuensi melaut. Rata-rata nelayan dalam sebulan bisa 2-3 kali melaut sehingga pendapatan nelayan tiap bulan antara Rp. 1.640.000,- - Rp. 2.460.000,- Pada musim ikan atau hasil yang bagus, pendapatan nelayan bisa dalam sebulan mencapai dua kali lipat, yaitu berkisar Rp.3.000.000,- hingga Rp. 5.000.000,- tetapi ini jarang terjadi.
134
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Dalam kondisi yang tidak menguntungkan nelayan, untuk jenis seperti ikan kerapkali mereka tergoda mencari kesempatan menjual hasil tangkapannya pada pembeli langsung tanpa sepengetahuan Punggawa. Tindakan ini pada prinsipnya adalah pelanggaran tetapi ada beberapa punggawa yang memakluminya karena jarang terjadi, dijual dalam jumlah terbatas, dan tidak besar kerugian. Sistim pembagian hasil tangkapan diterima nelayan karena mereka masih memiliki kesempatan untuk mencari nafkah keluarga. Dari
pendapatan
tersebut,
pengeluaran
keluarga
nelayan
terdistribusikan untuk keperluan membayar cicilan hutang 20% kepada Punggawa dan 80% untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Utuk kebutuhan sandang dan tabungan (saving), sakit, sekolah anak dan sejenisnya kurang mendapat prioritas. d. Relasi Nelayan Mesin Hubungan antar sesama kelompok Nelayan Mesin masih didasari hubungan saudara sedarah (keluarga) dan kekerabatan karena ikatan perkawinan antar keluarga nelayan suku Bajo. Namun dalam hubungan kegiatan melaut karena sudah orientasi pada kebutuhan atau tuntutan pasar (penjualan) sehingga dalam membentuk kelompok melaut cenderung dengan nelayan yang tangguh dan berpengalaman, meskipun dengan nelayan dari suku lain (umumnya suku Bugis, Buton, Muna) yang sudah dikenal lama dengan baik. Keanggotaan kelompok ini pada dasarnya tidak permanen namun jika sudah cocok maka cenderung akan berulang pada kegiatan melaut berikutnya. Dalam hubungan kelompok Nelayan Mesin ini tidak ada yang berstatus sebagai buruh karena biasanya mereka adalah pemilik bersama dari alat produksi yang digunakan. Dalam kelompok juga tidak ada yang disebut sebagai ketua meskipun dalam tiap kelompok, ada salah satu anggota yang dianggap paling berpengaruh karena pengalaman dan keahlian melautnya lebih dibanding yang lain.
135
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Mereka pergi melaut membawa perbekalan makanan dan peralatan pancing serta pukat ukuran besar menggunakan perahu besar (body batang) menuju wilayah penangkapan ikan di laut lepas selama beberapa hari. Untuk itu, bekal melaut umumnya ditanggung bersama, baik diperoleh sendiri maupun dari punggawa. Besarnya pinjaman tergantung pada periode waktu melaut. Jika melaut selama 2-3 hari, biasanya dipinjam beras 5 kg x Rp.4.500,- = Rp. 22.500,- jadi besaran pinjaman periode 2 – 3 sekitar Rp. 50.000,- – Rp. 70.000,- ribu. Periode
waktu
ini
jarang
dilakukan
karena
relative
kurang
menguntungkan. Periode yang sering dilakukan adalah selama 7 – 10 hari lebih besar dengan nilai perbekalan sekitar Rp. 2.000.000,- – Rp. 3.000.000,- juta untuk kebutuhan konsumsi 3 – 4 orang nelayan. Frekuansi melaut seperti ini biasanya dalam seminggu satu kali. Pada periode ini, umumnya sasaran tangkapan nelayan adalah teripang dengan cara menyelam atau berburu ikan hiu untuk diambil siripnya. Sedangkan bekal untuk keluarga nelayan yang ditinggalkan selama periode melaut, biasanya sudah tersedia dan jika meminjam jumlahnya relatif kecil antara Rp. 100.000, – Rp. 150.000,- tiap keluarga nelayan (4-5 orang anggota tiap keluarga). Umumnya lokasi penangkapan ikan mereka sama dan tidak ada yang mengklaim milik kelompok tertentu. ”Siapa cepat, dia dapat” kata Alimuddin (56 tahun) nelayan suku Bajo yang telah 30 tahun lebih melaut. Dalam pandangan mereka, laut tidak terbatas dan tidak akan habis diambil asalkan dengan cara-cara yang benar. ”... jadi untuk apa berebut? Kata Alimuddin (56 tahun). Hubungan sehari-hari antar sesama nelayan mesin tetap saling membantu sama lain karena mereka umumnya masih bersaudara atau kerabat. Jika peralatan rusak, mereka bisa saling meminjam sepanjang tidak sedang digunakan dan tidak dikenakan sewa.
136
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
e. Relasi Nelayan Mesin dengan Nelayan Punggawa
1) Kegiatan Produksi Dalam hubungan kerjasama ini, umumnya peralatan produksi yang digunakan para nelayan adalah pinjaman dari para punggawa (pengumpul). Dalam kapasitasnya sebagai pemodal maka punggawa tidak secara langsung turut serta dalam kegiatan produksi di laut tetapi menyediakan perbekalan baik untuk melaut maupun bekal untuk keluarga nelayan yang ditinggalkan nelayan selama periode melaut.
2) Pengadaan Alat-alat Produksi Alat-alat produksi seperti perahu mesin (body batang), pukat/jaring, mesin kompressor, BBM dan bekal makanan berupa sembako ketika melaut (pigi pongka) dan kebutuhan melaut lainnya disediakan oleh punggawa. Peralatan produksi diperoleh dengan cara membeli dari pasar tempat lain. Perahu pada umumnya dibeli dengan cara memesan sebelumnya di Sikeli atau Pongkalero di Pulau Kabaena yang dibuat oleh orang-orang dari suku Bugis atau suku Mandar. Beberapa diantara Punggawa, ada juga yang membeli hingga ke Buton atau Bulukumba (Sulsel) yang letaknya cukup jauh dari Pulau Baliara. Beberapa jenis perahu yang ada di Pulau Baliara antara lain body batang tanpa mesin berharga Rp. 2.000.000,- hingga Rp. 4.000.000,- katinting tanpa mesin berharga Rp. 2.000.000,- hingga Rp. 3.000.000, Kedua jenis perahu ini digerakan dengan mesin tempel seharga Rp. 2.000.000,- Jenis perahu lainnya adalah lepalepa dibeli seharga Rp. 300.000,- hingga Rp. 500.000,- Harga alat produksi yang mahal adalah peralatan menyelam senilai Rp. 5.000.000,- hingga Rp. 6.000.000,- yang dibeli dari Bau-Bau, Kendari, Bulukumba, atau Makassar. Peralatan tersebut berupa 137
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
kompressor serta beberapa kelengkapannya antara lain selang sepanjang 150-200 meter, tabung oksigen, dakor gigit atau marphis, kacamata air, sepatu menyelam, dan timah pemberat. Bagi yang tidak memiliki peralatan menyelam, punggawa mengusahakan sewa senilai Rp. 200.000,- untuk sekali pakai. Haji Basir (45 tahun) memiliki kompressor dan alat-alat menyelam yang dipinjamkan kepada anggotanya namun tidak dihitung sebagai sewa produksi. Hal ini berbeda dari aturan yang diberlakukan oleh Punggawa pada umumnya yang memberlakukan sewa kompressor senilai Rp. 200.000,- untuk sekali kegiatan produksi melaut. Kasus ini menarik dimana dalam posisinya sebagai Punggawa yang selayaknya mengejar keuntungan tetapi ini justeru memberlakukan fasilitas gratis. Penuturan H. Basir (45 tahun) sebagai berikut : Coba bayangkan, mereka sering mengeluh tidak pigi pongka karena tidak ada uang. Lalu saya tanya, apa tangkap ikan pake uang? Kamu kan ke laut cari uang? Jadi apa masalahmu? Kamu di rumah makan, di laut juga tetap makan, tetapi di laut kamu bisa sambil cari uang daripada kamu duduk-duduk di rumah tunggu uang. Dari situlah saya pikir, kalau anggotaku tidak ke laut maka mesin juga menganggur, kita juga tidak ada setoran. Jadi ya sudah pakai saja itu barang, tidak usah pikir ongkos sewa, yang penting pergi ke laut tangkap ikan banyak-banyak, hasilnya nanti kita atur. Itu yang saya lakukan supaya mereka rajin ke laut, tidak ada alasan tidak ada uang.” (Wawancara H. Basir, NP, Juli 2008). Alasan yang disampaikan H. Basir bersikap adalah untuk membangun kepercayaan dengan para nelayan dan merangsang para nelayan agar rajin pigi pongka (melaut). Menurut H. Basir (45 tahun), jika nelayan rajin ke laut maka semakin banyak juga mereka dapat ikan untuk setor padanya. Bagaimanapun hasil tangkapan mereka akan dijual ke dirinya dan akan kembali pada mereka juga sehingga tetap sama-sama menguntungkan.
138
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
3) Pemeliharaan Alat-alat Produksi Peralatan produksi nelayan yang dipinjam secara kredit dari Punggawa menjadi sepenuhnya tanggung jawab nelayan baik keamanan maupun perawatannya. Alat yang secara rutin memerlukan perhatian nelayan adalah jaring penangkap ikan. Berbagai peralatan seperti jaring, pancing, dan perahu dilakukan oleh nelayan dan anggota kelompoknya beserta keluarga masingmasing terutama anak laki-laki, termasuk para isteri misalnya membersihkan lumut yang menempel pada badan perahu.
Gambar 5.11. Perawatan Katinting dan Body batang Untuk mesin perahu dan kompressor biasanya dilakukan oleh nelayan dan anak laki-laki namun jika terjadi kerusakan akan dikerjakan oleh orang yang terampil atau menguasai mesin (bengkel). Bagaimanapun juga, nelayan dan keluarga sangat tergantung pada peralatan tersebut sehingga perawatan ini melibatkan seluruh anggota kelompok dan keluarga nelayan masing-masing.
4) Kegiatan Penangkapan Ikan (pigi pongka/pigi malao) Dalam melakukan penyiapan perahu, mesin, kompressor, jaring dan pancing umumnya dilakukan oleh para anggota kelompok nelayan beserta anggota keluarga masing-masing. Para 139
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
isteri biasanya menyiapkan pakaian dan penataan perbekalan di perahu, sedangkan para anak nelayan yang laki-laki biasanya membantu mengangkut perbekalan ke perahu. Masalah modal produksi memang hal yang krusial dalam memacu nelayan suku Bajo pergi melaut. Tidak ada cara lain yang dilakukan dengan cara pinjam atau panjar. Panjar biaya produksi bukan berupa uang tetapi barang atau bahan seperti BBM dan sembako sebagai bekal konsumsi ketika di laut. Pinjaman berupa barang atau bahan tersebut memiliki harga atau nilai yang bervariasi sesuai kebutuhan jumlah waktu selama melaut. Besarnya pinjaman para Nelayan Dayung tiap kali melaut sekitar Rp. 20.000,- dengan perincian dengan rincian; solar 2 liter x Rp.5.500,= Rp. 11.000,-, rokok satu bungkus = Rp. 7.000,-, gula satu bungkus = Rp. 1.000,-, dan kopi satu bungkus = Rp. 1.000,Perbekalan makanan dan makanan ringan biasanya dibawa sendiri dari rumahnya. Punggawa seperti H. Abdin (50 tahun) biasanya membatasi perbekalan yang dipinjam karena jika dibiarkan cenderung boros dan tidak bekerja di laut. Jika pergi dalam jangka waktu lama (biasanya 5 hari), biasanya dipinjam pula beras 5 kg x Rp.4.500,- = Rp. 22.500,- Menurut H. Abdin (50 tahun) dirinya membatasi jumlah
pinjaman
untuk
mendidik
mereka
supaya
pinjam
seperlunya karena hasil tangkapan belum tentu mereka peroleh dalam jumlah yang cukup. Penuturan Abdin (50 tahun) sebagai berikut : Saya tanya mau berapa lama ke laut, pulang hari (PP) atau berapa hari, berapa orang yang pigi ? Itu saya tanya karena saya juga dulu nelayan jadi saya tahu berapa bekal yang harus mereka bawa. Kalau bawa banyak, tidak juga mubazir karena mereka pasti makan habis tetapi hasilnya bagaimana? Belum tentu dia dapat? Jadi saya bilang sama mereka, kasihan anak isterimu di rumah tunggu-tunggu kami pulang tangkap ikan, kalau tidak ada hasil tentu kasihan anak isterimu. Sudah tidak ada uang (karena tidak 140
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
ada hasil tangkapan), tidak makan, tertumpuk juga hutang di warung? (Wawancara Abdin, NP, Juli 2008). Periode yang sering dilakukan adalah selama 7 – 10 hari lebih besar dengan nilai perbekalan sekitar Rp. 2.000.000,- – Rp. 3.000.000,- juta untuk kebutuhan konsumsi 3 – 4 orang nelayan. Frekuansi melaut seperti ini biasanya dalam seminggu satu kali. Pada periode ini, umumnya sasaran tangkapan nelayan adalah teripang dengan cara menyelam atau berburu ikan hiu untuk diambil siripnya. Sedangkan bekal untuk keluarga nelayan yang ditinggalkan selama periode melaut, biasanya sudah tersedia dan jika meminjam jumlahnya relatif kecil antara Rp. 100.000, – Rp. 150.000,- tiap keluarga nelayan (4-5 orang anggota tiap keluarga). Menurut H. Abdin (50 tahun), dirinya tidak semata-mata mengejar keuntungan atau menjerat nelayan dengan hutang. Ada sikap pembelajaran yang ingin disampaikan kepada nelayan suku Bajo untuk berfikir secara rasioal. Mereka nampaknya menyadari bahwa ada keterbatasan dalam kegiatan produksi dan perlu perhitungan dalam pengeluaran karena pertimbangan keselamatan dan keamanan keluarga (anak isteri nelayan) yang menjadi tanggungan para nelayan. Di sinilah kerjasama ekonomi telah meluas pada hubungan yang bersifat sosial psikologis, terutama dalam kehidupan mereka sehari-hari antara nelayan dengan Punggawa. Para Punggawa telah dapat menempatkan hubungan sosial yang kontekstual dan situasional sehingga tidak hanya mengejar keuntungan semata tetapi juga pembelajaran.
5) Hasil Tangkapan Sesuai dengan peralatan, musim, waktu dan sasaran tangkapan maka hasil tangkapan yang diperoleh berbeda satu sama lain. Pada umumnya nelayan Bajo di Pulau Baliara mengutamakan pada pada tiga jenis tangkapan yang memiliki nilai jual tinggi dan 141
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
diminati oleh Punggawa (sesuai permintaan pasar). Nelayan umumnya ingin memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dengan jenis, ukuran dan kualitas yang baik karena terkait dengan harga dan permintaan pasar. Namun demikian hasil penangkapan tidak selamanya demikian karena beberapa faktor, antara lain kualitas peralatan tangkap, kemampuan atau keterampilan nelayan, cuaca dan musim, dan faktor keberuntungan. Hasil tangkapan nelayan selama melaut sangat bervariasi karena bagi mereka selama di laut, apa saja ditangkap atau diambil sepanjang memiliki nilai jual tinggi dan laku di pasaran. Ketika hasil tangkapan kurang maksimal, maka nelayan akan mencari sumber-sumber laut lain yang dapat dijual.
Penjemuran teripang
Penjemuran sirip hiu
Gurita
Ikan Sunu, kakap, baronang
Gambar 5.12. Jenis-jenis Hasil Tangkapan Nelayan
142
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Masyarakat nelayan suku Bajo di Pulau Baliara mengenal lebih dari 50 jenis ikan yang kadangkala nama ikan tersebut belum banyak diketahui masyarakat umum, antara lain ikan tongkol (daya turingah atau cakalang), ikan buah-buah (daya kakambule), daya rambe, ikan rumah-rumah (daya rurumah), ikan putih (daya poteh), ikan bui-bui (daya bengko), ikan sori (daya sori), ikan pari (daya sarange), ikan hiu (daya kareo), daya sinrili, ikan unyi-unyi, daya dongkar, ikan teri (daya lure), kepiting (karama), dan kerangkerangan (joi). Jenis ikan lain yang mereka kenal seperti cumicumi (daya kede), ikan tapi-tapi, ikan lumba-lumba (daya lummu), ikan tembang (daya tebah), ikan bajubung (daya ande-ande), daya tawasang, ikan nojong (daya mogo), ikan bandeng (daya birrah), ikan banti (daya bante), ikan katamba, ikan boto-boto (daya boboto), ikan angkolo, ikan simbah, ikan alalas, ikan emas, ikan mujair, belut (daya undo), ikan katombong, ikan angke, ikan osepasi, ikan tenro, ikan tampeleh, ikan kapuroh, ikan kakap, ikan katape, ikan tabelo, ikan duyung, ikan kerung-kerung, ikan betebete, ikan kerapu, mutiara (kima), udang, ikan lajang, dan lain-lain. Selain mengenal berbagai jenis ikan, nelayan Bajo di Pulau Baliara juga mengenal berbagai jenis teripang (trochus), antara lain teripang gamat, teripang hitam, teripang polos, teripang binti, teripang kalengkong, teripang gosok, teripang koro, teripang cera merah, teripang cera putih, teripang cera hitam, teripang sutera, dan teripang kuning (sepatu). Berbagai jenis teripang tersebut diperoleh didasar laut yang diambil dengan cara menyelam pada kedalaman sekitar 30 depa atau sekitar 45 meter. Demikian pula dengan berbagai jenis ikan hiu (daya kareo), antara lain hiu lontar, hiu tara, hiu pakke, hiu tinumbu, hiu bingkung dan hiu beto. Namun demikian untuk jenis ikan hiu ini tidak setiap saat dapat diperoleh dan cukup sulit ditangkap.
143
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
b. Kegiatan Pemasaran Setelah semua hasil tangkapan dijual maka selanjutnya dilakukan pembagian dengan ketentuan sebagai berikut; untuk melaut jangka waktu 7-10 hari maka potongan ongkos produksi sebesar Rp. 500.000,- Selanjutnya untuk mesin perahu dan kompressor mendapat bagian 1,5, untuk perahu 1 bagian, dan untuk tiap nelayan satu bagian. Jika melaut dilakukan 3 orang dan hasil penjualan mencapai Rp.5.000.000,- maka setelah dipotong Rp. 500.000,- selanjutnya Rp. 4.500.000, dibagi menjadi 5,5 bagian sehingga masing-masing mendapat Rp. 818. 181, 82. Dengan demikian maka pendapatan (income) nelayan untuk sekali melaut sekitar Rp. 820.000,- (jumlah dibulatkan). Berbeda dengan Nelayan Dayung, maka Nelayan Mesin mendapat bagian dari alat produksi. Jika alat produksi yang digunakan milik Nelayan Mesin maka pembagian untuk alat produksi tersebut 100% diberikan, namun jika masih bersatus cicilan maka bagian alat produksi dipotong sesuai kesepakatan. Menurut punggawa itu tergantung nelayan mau cepat atau lambat sisa cicilannya dilunasi. Sedangkan menurut nelayan, cicilan akan diberikan sesuai dengan kebutuhan keluarga pada saat ini. Dengan melihat sistim bagi hasil tersebut maka pendapatan Punggawa
berasal
dari
potongan
ongkos
produksi,
bagian
mesin/kompressor dan perahu sehingga seluruhnya mencapai Rp. 2.140.000,- (jumlah dibulatkan). Menurut nelayan, bagian untuk mesin dan perahu sebagai biaya perawatan dan kerusakan meskipun dalam kenyataannya biaya perawatan jarang dikeluarkan kecuali jika terjadi kerusakan. Sistim pembagian hasil tangkapan yang tidak seimbang bagi nelayan kecil dan menengah ini dirasakan sebagai sesuatu yang mereka terima karena ada kesempatan untuk mencari nafkah keluarga. Ilustrasi terhadap sistim bagi hasil tersebut di atas adalah ratarata umumnya pendapatan yang diperoleh. Naik turunnya pendapatan 144
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
tersebut tergantung pada musim dan frekuensi melaut. Rata-rata nelayan dalam sebulan bisa 2-3 kali melaut sehingga pendapatan nelayan tiap bulan antara Rp. 1.640.000,- - Rp. 2.460.000,- Pada musim ikan atau hasil yang bagus, pendapatan nelayan bisa dalam sebulan mencapai dua kali lipat, yaitu berkisar Rp.3.000.000,- hingga Rp. 5.000.000,- tetapi ini jarang terjadi. Tambahan lain dilakukan para nelayan utamanya pada musim angin laut (paceklik) yang diperoleh dengan cara mallanra atau malampu di waktu senggang yaitu mencari ikan (daya), kepiting (karama), udang, mata tujuh, atau rumput laut di pesisir laut yang dangkal pada waktu sore atau malam hari. Akan tetapi hasilnya hanya cukup untuk konsumsi keluarga saja dan dijual ketika memperoleh hasil yang melimpah (jika musim mendukung). Terlepas dari pasang surutnya pendapatan nelayan tersebut, maka pengeluaran keluarga nelayan terdistribusikan untuk keperluan membayar cicilan hutang kepada Punggawa dan pembelian kebutuhan pangan sehari-hari, sedangkan untuk kebutuhan sandang dan tabungan (saving) untuk antisipasi sakit, dan sejenisnya kurang diperioritaskan. Jika dilihat proporsinya maka untuk ciciln hutang sekitar 20% dan selebihnya 80% untuk kebutuhan pangan keluarga. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan nelayan, untuk jenis seperti ikan kerapkali mereka tergoda mencari kesempatan dalam kesempitan menjual hasil tangkapannya pada pembeli langsung tanpa sepengetahuan Punggawa. Sikap Punggawa atas hal ini dibiarkan saja karena jarang terjadi, dijual dalam jumlah terbatas, dan tidak besar kerugian. Menurut salah seorang nelayan bernama Taming (50 tahun) mengatakan bahwa : Sangsi tidak ada tapi rasa malunya sampai membebani dalam pergaulan di kampung. Kita sudah dibantu, masa kita mau khianati kita punya Punggawa? Ada juga yang begitu tapi tidak banyak karena sebenarnya Punggawa mananpun tidak suka sebab nanti selalu begitu terus tidak ada puasnya (Wawancara Taming, ND, Juli 2008).
145
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Hasil wawancara dengan Alimaturahim (Ketua Yayasan Sama Kendari merangkap Ketua WALHI Sulawesi Tenggara) yang juga merupakan keturunan suku Bajo, menyatakan bahwa ”.....kehidupan orang Bajo di lautan dan pulau-pulau terpencil, mereka bekerja sepanjang hari menangkap ikan maka ketika mendarat, mereka ingin menikmati hasil yang diperoleh dengan membeli barang-barang yang bisa menghibur seperti tape recorder, TV, antenna parabola, bahkan HP yang ada kameranya. Itu semua mereka pesan dari Punggawa yang dihitung sebagai hutang. Jadi tidak hanya konsumtif pada makanan, tetapi barang-barang yang sebetulnya belum menjadi kebutuhan”. Alimaturahim hampir sudah masuk ke semua lokasi pemukiman orang Bajo di Sulawesi Tenggara (bahkan di Filipina dan Singapura) dan kesimpulan dia adalah sama, orang Bajo dimanapun sama saja. Istilah beliau ”...pergi jauh mengembara di lautan, tetapi sederhana tujuannya, makan”.
f. Relasi Nelayan Punggawa Seperti halnya hubungan sosial yang terjalin diantara para nelayan, maka hubungan sosial yang terjalin antar sesama punggawa juga tidak terlepas dari aktifitas ekonomi produksi dan pemasaran, serta aktifitas sehari-hari dengan masyarakat. Dalam aktifitas produksi, para punggawa saling memberikan informasi dalam hal pengadaan dan perawatan alat-alat produksi misalnya menyangkut harga dan tempat pembelian yang dianggap lebih murah. Jaringan dan mobilitas para Punggawa lebih tinggi dibanding nelayan, misalnya secara rutin atau berkala antara 1 bulan hingga 3 bulan, Punggawa pergi melakukan pemasaran hasil tangkapan ke daerah tertentu misalnya Sikeli, Kasipute, Kendari, dan Bau-Bau (Buton). Ada juga yang hingga sampai ke lintas provinsi seperti ke Bulukumba, Bone, hingga Makassar. Dalam perjalanan, punggawa selain memasarkan hasil tangkapan, juga mencari informasi lainnya atau melakukan pembelian peralatan 146
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
produksi. Dalam waktu dan kebutuhan yang tidak bersamaan, maka biasanya punggawa yang tidak pergi keluar akan memesan barang / bahan peralatan produksi kepada punggawa yang keluar Pulau Baliara. Demikian hal ini berlangsung saling bergantian diantara para punggawa. Tidak terbatas itu saja, bahkan dalam hal permodalan, kerapkali diantara mereka saling membantu memberikan pinjaman sementara pada jangka tertentu sepanjang tidak memberatkan dan ada keleluasaan dalam pengembalian. Komunikasi yang terjalin diantara para punggawa juga berkaitan dengan keanggotaan nelayan, baik menyangkut keanggotaan tetap dan tidak tetap, serta tindakan nelayan atau isteri nelayan yang secara diamdiam melakukan penjualan kepada pihak lain, khususunya kepada punggawa yang bukan merupakan anggotanya. Dalam menyikapi keanggotaan nelayan, sudah ada kesepakatan diantara mereka sepanjang tidak dilakukan jika tidak diperoleh dari produksi yang dibekali oleh punggawa maka bukan merupakan bentuk pelanggaran. Jika ini dilakukan, di antara punggawa tidak akan menerima penjualan tersebut dan hilang kepercayaan pada nelayan tersebut. Sangsi sosial ini cukup efektif sehingga tindakan-tindakan tersebut jarang dilakukan oleh nelayan. Sedangkan tindakan para isteri nelayan yang secara diam-diam melakukan penjualan, dilakukan terbatas pada penjualan ikan dengan jumlah dan harga yanag masih relatif kecil. Penjualan produk-produk tertentu yang memiliki nilai jual tinggi seperti sirip hiu tidak pernah dilakukan karena mekanisme pemantauannya sudah sangat ketat sejak produk tersebut diperoleh nelayan dari laut. Dalam hal kerjasama pemasaran, hubungan diantara punggawa terjalin menyangkut akses pada pasar, informasi tentang harga jenis-jenis produksi, dan saling meminjam modal atau hasil produksi jika terjadi diantara mereka ada yang kelebihan atau kekurangan stok pesanan. Para punggawa sepakat bahwa mempertahankan kepercayaan pasar lebih penting daripada bertindak sendiri-sendiri. Upaya ini juga dilakukan sebagai strategi mereka menjaga stabilitas harga jangan sampai turun di 147
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
pasaran. Di antara para punggawa sudah ada pasarnya masing-masing yaitu para pengumpul atau pengusaha hasil laut untuk selanjutnya di pasarkan keluar daerah hingga keluar negeri. Bagi mereka memasarkan sampai ke tingkat pengumpul sudah cukup karena untuk menjangkau pada pasaran yang lebih jauh tidak memiliki pengetahuan dan dibutuhkan modal yang sangat besar. Di tingkat pengumpul, kadang para punggawa tidak mendapat pembayaran secara penuh dengan alasan stok belum terpenuhi atau tidak cukup uang cash. Dari sinilah diantara para punggawa biasanya saling mendukung dan membantu dalam mengatasi masalah permodalan, Selain aktifitas ekonomi produksi dan pemasaran, punggawa dalam aktifitas sehari hari juga melakukan saling berkunjung, termasuk kepada nelayan yang menjadi anggotanya. Dalam aktifitas ini, tidak hanya persoalan produksi dan pemasaran saja yang dibicarakan tetapi juga tentang berbagai persoalan sehari-hari yang dihadapi anggota keluarga masing-masing. Dari komunikasi inilah diperoleh informasi-informasi keluhan keluarga dan rencana-rencana melaut sehingga punggawa memperoleh gambaran terhadap tindakan apa yang akan dilakukan sesuai dengan persoalan dan situasi yang diperolehnya. Hubungan yang terjalin di antara para punggawa juga tidak terlepas dari hubungan kekerabatan yang sudah terjalin diantara mereka yang sudah ada sebelumnya karena ikatan kekerabatan perkawinan endogami dan eksogami, serta kampung asal masing-masing punggawa. Berdasarkan kampung asalnya maka dari 9 punggawa di Pulau Baliara orang tersebut 6 orang asli dari Pulau Baliara dan 3 orang lainnya dari luar Pulau Baliara namun sudah menetap di Pulau Baliara. Berdasarkan asal sukunya, 7 orang suku Bugis dan 2 orang suku Bajo. Berdasarkan hubungan kekerabatan maka Said (49 tahun) adalah sepupu dari H. Abdin (55 tahun) punggawa dari luar Pulau Baliara, Jusman (32 tahun) yang masih saudara sepupu dan teman sekolah Jafar (30 tahun).
148
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Ditinjau dari asal mulanya bekerja sebagai punggawa 75 % adalah warisan keluarga yaitu Said (49 tahun), Jafar (30 tahun), Jusman (32 tahun), Anwar (33 tahun), Ahmad (42 tahun), dan Ruslan (47 tahun) yang bekerja sebagai punggawa karena merupakan warisan pekerjaan orang tuanya, termasuk H. Abdin (55 tahun) yang melanjutkan usaha kakaknya yang sering sakit-sakitan, Sedangkan punggawa lainnya bekerja sebagai punggawa merintis dari awal ketika mereka memutuskan berhenti menjadi nelayan melaut. Dilihat dari usianya mereka masih relatif muda dimana yang termuda adalah Jafar (30 tahun) dan tertua adalah Nurdin (55 tahun) sehingga diasumsikan bahwa mereka bekerja sebagai pengumpul belum terlalu lama yakni 3-5 tahun kecuali H. Basir dan Nurdin sudah 10 tahun.
149
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
BAB VI KAPITAL SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL A. Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo di Pulau Baliara 1. Kepercayaan (trust) Generasi awal komunitas suku Bajo di Pulau Baliara ketika masih hidup mengembara di lautan lepas seringkali bertemu dengan nelayan dari suku lain. Wilayah perairan laut Teluk Bone yang menjadi orbitasi nelayan Bajo, pada umumnya dikuasai oleh nelayan atau pelaut dari suku Bugis, sebagian juga dari suku Buton dan suku Muna sehingga pertemuan dengan mereka tak dapat dihindari. Orang-orang Bajo dari kejauhan dapat dengan mudah mengenali nelayan bukan dari suku Bajo dengan melihat bentuk perahu (umumnya bermesin) dan alat tangkap yang digunakan sehingga dengan cepat pula mereka menghindar pergi menjauh. “Mereka kan pake mesin dan pukatbharimau, kalo kita cuma sampan dan pancing saja. Jelas kita tidak akan dapat ikan kalo sama-sama dengan mereka” demikian cerita Buo (65 tahun) nelayan Bajo yang sudah tidak melaut lagi. Persoalannya bukan hanya karena khawatir tidak dapat hasil tangkapan akibat kalah alat produksi tetapi yang penting bagi mereka menghindari masalah atau konflik (orrai lesse) dengan orang Bagai (darat). Kepercayaan terhadap orang lain bagi orang Bajo adalah suatu hal yang sangat sulit dan tidak sebentar untuk dibangun. Hal tersebut terjadi karena pengalaman traumatik yang tidak menyenangkan dengan orang lain ketika hidup berpindah-pindah. Faktor keamanan nampaknya menjadi pertimbangan utama sehingga nelayan Bajo cenderung sangat berhati-hati. Sebagai komunitas yang hidup mengembara di laut, mereka merasa lemah dan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi sehingga jika mereka merasa dirugikan maka hubungan tersebut bisa berakhir. Kejadian menghindari pertemuan dengan orang berlangsung lama berpuluh-puluh tahun (termasuk mitos kehadiran pasukan gerombolan tentara pimpinan Kahar Muzakar). Berbagai pengalaman dengan orang 150
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
bagai (darat) membawa stigma tersendiri. Orang Bagai dikenal sebagai orang yang serakah, kasar, dan kuat. Kesan tersebut muncul karena orang bagai mengambil ikan sebanyak-banyaknya, semua jenis ikan dan ukuran ditangkap, bahkan dengan cara alat peledak (sejenis bom molotov). Orang Bajo menangkap ikan hanya sekedar untuk makan (dikonsumsi langsung) dan sebagian lainnya dijual untuk mendapat uang lalu dibelanjakan berbagai jenis kebutuhan dasar pangan seperti beras, lauk pauk, kueh, rokok dan kebutuhan lainnya selama hidup di laut. Pada perkembangan berikutnya, lambat laun persepsi buruk terhadap orang bagai berangsur mengalami perubahan ketika mereka bertemu nelayan bagai yang dianggap baik. Nelayan bagai ini bersedia membantu, misalnya ketika di laut nelayan Bajo dapat memperoleh berbagai jenis kebutuhan seperti air tawar, beras, sembako, dan lain-lain. Demikian sebaliknya nelayan Bajo bersedia membantu nelayan lain ketika mendapaat kesulitan di laut, misalnya menunjukkan arah wilayah tertentu, memberikan informasi kapal-kapal yang ditemui, atau membantu melepaskan jaring yang tersangkut di dasar laut. Dinamika perubahan persepsi inipun berlangsung lama berpuluh-puluh tahun dan mengalami pasang surut. Hubungan nelayan Bajo dan nelayan bagai pada kurun waktu tertentu akhirnya lambat laun berubah menjadi kerjasama yang saling menguntungkan satu sama lain. Dari sinilah muncul adanya kepercayaan (trust) diantara mereka karena saling membutuhkan satu sama lain, meskipun masih terbatas pada hal-hal tertentu saja seperti kegiatan penangkapan ikan di laut dan pemenuhan kebutuhan pokok. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan temuan Putnam (1993) di Italia Utara yang menyimpulkan bahwa stok kapital sosial yang ada merupakan akumulasi perjalanan panjang sejarah masyarakat beberapa ratus tahun. Demikian halnya dengan tumbuhnya rasa saling percaya antara nelayan Bajo dengan para Punggawa di Pulau Baliara pada umumnya telah terjalin dahulu sejak jaman orang tuanya sehingga hubungan 151
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
ekonomi yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan kerjasama sebelumnya yang masih ada ikatan / sangkut paut berupa pinjaman atau hutang. Mereka ini misalnya Abdin (55 tahun) yang melanjutkan usaha kakaknya yang sering sakit-sakitan, Said (49 tahun), Jafar (30 tahun), Jusman (32 tahun), dan Anwar (33 tahun) yang bekerja sebagai Punggawa karena merupakan warisan pekerjaan orang tuanya seperti halnya Said (49 tahun) menjadi Punggawa di Pulau Baliara karena mengikuti jejak orang tuanya yang kini menetap di Pulau Kabaena. Saat ini orang tuanya masih bekerja sebagai Punggawa namun terbatas mengumpulkan jenis tertentu saja seperti teripang dan sirip hiu. Jafar (30 tahun) menjadi Punggawa karena warisan dari orang tuanya yang sudah meninggal, demikian halnya Jusman (32 tahun) yang masih saudara sepupu dan teman sekolah Jafar (30 tahun). Sedangkan Anwar (33 tahun) bekerja sebagai Punggawa karena sepenuhnya mendapat warisan dari orang tua.. Namun yang memiliki keterkaitan langsung dengan kepercayaan adalah bukan terletak pada usaha warisan orang tua Punggawa, tetapi setiap usaha yang diwariskan tersebut juga termasuk nelayan-nelayan yang menjadi anggota dari tiap orang tua Punggawa, khususnya yang masih punya ikatan hutang atau kredit barang. Kepercayaan yang telah dibangun lama sejak jaman orang tua mereka menjadi dasar hubungan kerjasama ekonomi selanjutnya antara nelayan Bajo dengan para Punggawa. Polapola seperti ini sejalan pula dengan temuan Putnam (1993) yang mendefinisikan
kapital
sosial
sebagai
suatu
nilai
mutual
trust
(kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Atau sejalan pula dengan Fukuyama (1993, 1999) yang menjelaskan kapital sosial menunjuk pada kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya’ Ketidakpercayaan muncul dari Punggawa karena faktor sifat atau sikap dari para nelayan Bajo yang dianggap boros, sangat konsumtif, tidak kuat berinvestasi, terlalu suka pada hiburan sehingga menjadi malas 152
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
melaut, dan cepat merasa puas. Faktor-faktor ini dianggap Punggawa tidak produktif sehingga dapat menghambat pengembalian modal usaha dan target pasokan barang yang akan dijual keluar Pulau Baliara. Sebaliknya para Punggawa lebih senang dan percaya pada nelayan yang rajin, ulet dan sehat karena dianggap produktif dan menjamin kelancaran pengumpulan barang dagangan dan pengembalian modal usaha. Hubungan kerjasama ekonomi antara Nelayan dan Punggawa di Pulau Baliara sudah berlangsung cukup lama. Tidak sedikit diantara mereka baik nelayan maupun Punggawa adalah generasi kedua (bahkan ketiga), artinya usaha tersebut merupakan usaha lanjutan dari usaha sebelumnya yang dikerjakan oleh para orang tua atau kerabatnya secara turun temurun. Meskipun nelayan Bajo hidup dinamis berpindah-pindah namun kerjasama ekonomi tersebut masih dipertahankan karena sudah ada hubungan saling percaya yang terbina dengan baik secara turun temurun, aturan main yang sudah jelas dan terinternalisasi, dan dari segi jarak relatif masih bisa dijangkau satu sama lain. Faktor kepercayaan yang paling cepat dan mudah diterima oleh orang Bajo adalah homogenitas suku. Penduduk di Pulau Baliara relatif homogen suku Bajo sehingga dalam urusan apapun, interaksi diantara mereka berlangsung sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang telah mereka pedomani selama ini. Mereka menyadari dirinya hidup dalam satu pulau yang jauh dari jangkauan komunitas atau fasilitas lain sehingga mereka hidup saling berbagi atau saling tolong menolong. Realitas ini merupakan kapital sosial berupa nilai atau falsafah sitabangan dalam kebudayaan suku Bajo yang berarti kebersamaan, gotong royong dan saling membantu. Bagi mereka, sesama orang Bajo adalah saudara (baong same) sehingga kesulitan yang dialami seseorang atau satu keluarga akan menjadi
tanggun
jawab
bersama.
Beberapa
faktor
yang
dapat
menumbuhkan kepercayaan (trust) terhadap orang lain dapat ditampilkan melalui bagan berikut ini.
153
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Bagan 6.1. Faktor-faktor Kepercayaan
T R U S T Kebutuhan
Sama (Bajo)
Sejarah
Bagai (Darat)
Sama (Bajo)
Homogenitas suku
T R U S T
Dalam kaitan usaha produksi penangkapan ikan di laut, dari sembilan Punggawa yang ada di Pulau Baliara, lima orang diantaranya beristrikan wanita suku Bajo. Lima orang isteri tersebut, tiga orang diantaranya berasal dari Pulau Baliara, sedangkan dua orang lainnya berasal dari Pulau Bangko dan Pulau Sagori. Empat Punggawa lainnya meskipun tidak beristerikan suku Bajo namun hampir semuanya memiliki kerabat orang Bajo yaitu dari saudara-saudaranya ada yang beristeri atau memiliki hubungan kekerabatan dengan suku Bajo. Dengan terbentuknya relasi atas dasar perkawinan baik yang bersifat endogami (satu suku) maupun eksogami (berbeda suku) ini maka mereka semakin merasa tidak ada batas atau perbedaan suku sehingga kerjasama ekonomi antara nelayan di Pulau Baliara dengan para Punggawa hampir tidak ada kendala mendasar, kecuali jika diantara mereka sendiri yang mencederai kepercayaan tersebut. Keanggotaan kelompok nelayan yang berlaku di Pulau Baliara tidak bersifat tetap atau permanen karena meskipun tiap Punggawa 154
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
memiliki anggota nelayan masing-masing tetapi Punggawa umumnya tidak mempermasalahkan keanggotaan yang tidak tetap. Pada prinsipnya yang mengikat mereka adalah ikatan kredit, pinjaman atau hutang sehingga tidak etis jika mereka ganti Punggawa selama urusannya belum selesai. H. Abdin (50 tahun) misalnya meskipun Punggawa ini menetap di Pu’u Nunu (Pulau Kabena) sehingga tidak bisa setiap saat mengawasi anggotanya di Pulau Baliara, tetapi dirinya justeru membolehkan anggotanya bebas memilih Punggawa lain, bahkan dalam posisi anggotanya masih terikat hutang. Atas sikapnya yang fleksibel ini, justeru anggota nelayannya H. Abdin paling banyak yaitu 20 orang tetap dan 10 orang tidak tetap. Anggota nelayan H. Abdin ini berasal dari daerah yang berbeda seperti Pu’u Nunu (10 orang), Pongkalero (5 orang) dan Batuawu (5 orang), bahkan 10 orang anggota tidak tetap itu ingin menjadi anggotanya, tetapi diberi pengertian oleh H. Abdin agar tetap kerjasama dengan Punggawa mereka masing-masing sendiri yang tinggal di Pu’u Nunu (1 orang Punggawa dari suku Bajo, 1 orang Punggawa dari suku Moronene). Prinsipnya bagi H. Abdin adalah saling menguntungkan dan berbagi rizki.
2. Norma (norms) dan nilai (values) Keputusan untuk bertindak dilakukan dengan pertimbangan makna atau nilai yang ada pada sesorang, yang dipandu oleh norma, nilai, ide-ide di satu pihak dan dipihak lain adanya kondisi situasional yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan tersebut dipengaruhi oleh struktur sosialnya, tetapi bisa juga tidak, sesuai dengan pertimbangan rasional dan kepentingan aktor (Coleman, 1990). Dalam cakupan komunitas, suku Bajo di Pulau Baliara relatif memiliki karakteristik homogen dalam hal kesukuan (baong same dengan sistem kekerabatan dansihitang)
dan
pekerjaan
sebagai
nelayan
sebagai
tempat
menggantungkan hidup (pandangan hidup kalumanine). Dengan demikian maka dalam skala komunitas, tindakan-tindakan baik individu maupun 155
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
kolektif suku Bajo di Pulau Baliara dipengaruhi oleh norma (norms) dalam unsur-unsur kebudayaan suku Bajo, yaitu berupa nilai (values) yang dianggap baik dan buruk terhadap sesuatu dan mempedomani dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya. Dalam studi ini, penulis tidak menyajikan data dan informasi tentang unsur-unsur kebudayaan suku Bajo23. Untuk memberikan ilustrasi adanya pengaruh unsur-unsur kebudayaan suku Bajo pada komunitas suku Bajo di Pulau Baliara dapat disajikan melalui bagan berikut ini.
Bagan 6.2. Unsur-unsur Kebudayaan Suku Bajo
Bahasa dan Komunikasi
Kesenian
Ilmu Pengetahuan
Agama
Komunitas Suku Bajo
Organisasi Sosial
Teknologi
Ekonomi
23
Pada studi-studi sebelumnya di beberapa lokasi pemukiman komunitas suku Bajo di Sulawesi Tenggara, penulis telah memiliki data dan informasi tentang unsur-unsur kebudayaan tersebut. antara lain di lokasi Sulaho (1994), Boenaga (1996), dan Lengora (1998). Universitas Indonesia 156
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Secara obyektif struktur sosial bersifat deterministik, tetapi secara empirik sebagaimana tersaji pada bagian sebelumnya banyak fakta-fakta yang menunjukkan bahwa tindakan individu maupun kolektif pada komunitas suku Bajo di Pulau Baliara tidak selamanya sesuai atau patuh terhadap struktur sosialnya sendiri, dalam hal ini kebudayaan suku Bajo. Perubahan yang paling mendasar adalah menyangkut unsur atau pranata ekonomi dimana orientasi produksi yang semula bersifat subsisten yaitu untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic humman needs) keluarga beralih pada orientasi pasar (market oriented) yaitu mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya sesuai permintaan pasar (supplai and demand). Perubahan orientasi produksi nelayan komunitas suku Bajo telah merubah atau membawa pergeseran pranata budaya lainnya, antara lain penerapan teknologi sederhana ke arah teknologi modern (perahu dayung menuju perahu mesin, pancing dan jaring diganti dengan pukat dan kompressor),
pengorganisasian
kelompok
nelayan
keluarga
(intra
kelompok) ke arah inter kelompok, peran perempuan dari aktifitas domestik rumah tangga ke arah ekonomi produktif (papalele, usaha kios/warung, budidaya rumput laut), serta lonjakan pola hidup konsumtif baik konsumsi pangan yang berlebihan serta konsumsi kebutuhan tersier (penunjang) yang fungsinya belum banyak memberi kontribusi manfaat yang mendasar kecuali ingin merasakan atau menikmati gaya hidup (life style) sebagaimana komunitas lainnya. Gaya hidup konsumtif tidak hanya terjadi pada Nelayan Dayung dimana Nelayan Mesinpun lebih konsumtif lagi. Hal ini ditandai dengan keberadaan alat-alat rumah tangga dan berbagai jenis barang elektronik seperti radio, TV, VCD atau DVD lengkap dengan koleksi CD lagu-lagu dan film, salon dengan power audio, antena parabola dan lain-lain yang diperoleh secara kredit dari Punggawanya masing-masing. Para Punggawa tidak bisa menolak kredit mereka meskipun sudah diberikan pengertian. Mereka biasanya memaksa dan meminta berulang-ulang kali sehingga terpaksa harus dipenuhi juga. Alasan lain mengapa akhirnya dituruti 157
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
karena para Punggawa juga mengakui jika pengembalian tetap lancar karena mereka tetap rajin turun ke laut (pigi pongka). Faktor lain adalah karena para Punggawa seringkali keluar Pulau Baliara dengan tujuan kotakota besar seperti Bau Bau dan Kendari sehingga nelayan degan mudah memesan barang sesuai keinginan dengan cara hutang. Tindakan nelayan atau papalele menjual ke punggawa lain yang bukan merupakan punggawa-nya tidak ada sangsi berat, paling ditegur agar tidak terulang lagi meskipun ada saja yang sampai tiga kali bahkan berkali-kali. Tindakan ini dimaklumi para Punggawa karena ada alasan tersendiri, misalnya karena malu hutangnya sudah banyak namun karena butuh biaya (untuk berobat, persiapan pernikahan atau keperluan keluarga lainnya). Menurut punggawa, jika tidak ada alasan yang kuat maka nelayan tidak akan berani “main belakang” sebab jika ketahuan bernohong maka ketidakpercayaan tidak hanya dari punggawa dimana nelayan menjadi buruh, tetapi dari punggawa lain karena komunikasi diantara para Punggawa juga cukup intensif, baik di Pulau Baliara maupun di luar ketika mereka menjual hasil tangkapan. Ketidakpercayaan Punggawa terhadap nelayan yang suka pindah-pindah Punggawa biasanya ditunjukan dengan pembatasan pinjaman hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari sehingga nelayan sulit berkembang. Fakta ini menunjukkan bahwa sangsi bersifat longgar atau kompromis sehingga memberikan peluang terhadap pengulangan atau pelanggaran lainnya. Di balik memudarnya norma atau nilai serta longgarnya sangsi, namun masih ditemukan fakta nilai kapital sosial, misalnya sikap H. Abdin (50 tahun) dan H. Basir (45 tahun) yang tidak semata-mata mengejar keuntungan atau menjerat nelayan dengan hutang. Ada sikap pembelajaran yang ingin disampaikan kepada nelayan suku Bajo untuk berfikir secara rasioal. Nelayan diberikan pemahaman tentang adanya keterbatasan dalam kegiatan produksi sehingga perlu perhitungan dalam pengeluaran karena pertimbangan keselamatan dan keamanan keluarga (anak isteri nelayan) yang menjadi tanggungan para nelayan. Di sinilah kerjasama ekonomi 158
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
telah meluas pada hubungan yang bersifat sosial psikologis, terutama dalam kehidupan sehari-hari antara nelayan dengan Punggawa. Para Punggawa telah dapat menempatkan hubungan sosial yang kontekstual dan situasional sehingga tidak hanya mengejar keuntungan semata tetapi juga pembelajaran. Meski demikian, secara sosiologis fakta ini masih bisa diperdebatkan motif apa sebenarnya punggawa bersikap demikian. Dalam hal pendapatan, Punggawa mendapatkan bagian yang lebih tinggi diterima oleh nelayan sebagai konsekuensi logis karena mereka sebagai pemilik peralatan produksi seperti ongkos produksi, mesin dan perahu sehingga nelayan menganggap punggawa pantas memperolah bagian yang lebih besar. Jika dilihat dari proporsi pembagiannya, sistim tersebut relatif adil dimana mereka mendapat bagian yang sama sekitar 20% dari total keseluruhan penjualan ikan yang berhasil mereka tangkap. Semakin besar hasil tangkapan, maka akan semakin besar pula pendapatan mereka. Komponen ongkos produksi, mesin dan perahu bagi mereka diakui sebagai jaring pengaman (safetynet) untuk menjaga kelangsungan usaha mereka menangkap ikan. Pemotongan ongkos produksi diakui sebagai keuntungan atas sejumlah perbekalan melaut yang secara langsung dinikmati mereka sendiri, baik makanan maupun BBM. Mesin dan perahu diberikan proporsi yang sama sebagai bentuk kompensasi sewa / pinjam atas peralatan produksi yang tidak dimiliki oleh para nelayan, sehingga harus dijaga keutuhan dan fungsinya. Yang menjadi persoalan adalah penetapan harga yang dilakukan secara sepihak oleh punggawa (price maker) tanpa mempertimbangkan secara proporsional harga pasaran. Penetapan harga inilah yang sangat signifikan mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan. Relasi ini menjadi tanda bahwa hubungan bersifat patron klien yang cenderung eksploitatif sehingga diperlukan adanya ukuran tentang keadilan distribusi yang wajar atau proporsional untuk mengukur tata hubungan antara nelayan dan punggawa. Adanya ketidakadilan mengimplikasikan suatu norma tentang keadilan (Kasiyan, 2003:2). 159
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Masalah perbedaan harga hasil laut pada berbagi tempat diakui para nelayan sebagai konsekuensi logis dari biaya angkut dan permintaan pasar sehingga di tiap tempat akan berbeda satu sama lain, selain itu merekapun tidak memiliki akses langsung ke pasaran. Umumnya nelayan sudah merasa nyaman berproduksi tanpa harus memikirkan kemana hasil tangkapan akan dijual, bahkan jika tidak memperoleh hasil tangkapan sekalipun, hidup diri dan keluarganya sudah dijamin oleh para Punggawa. Menurut Abdin (55 tahun) nelayan yang menjadi anggotanya sebanyak 20 KK hampir setiap hari ada saja yang pinjam uang atau barang untuk keperluan melaut. Istilahnya “kering dayung, kering juga kerongkongan” artinya jika tidak melaut maka mereka tidak bisa makan. Sayangnya berapapun hasil didapat akan habis juga, istilahnya “dapat hari ini, habis juga hari ini”. Budaya menabung (saving) belum dikenal
3. Jaringan Sosial (network) Perpindahan tempat tinggal bagi suku Bajo merupakan hal biasa. Jika suatu tempat dipandang keluarga nelayan tidak lagi menghasilkan (atau alasan keluarga dan kekerabatan) maka keluarga tersebut akan mencari tempat tinggal baru untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Fenomena migrasi atau perpindahan keluarga suku Bajo ini dalam jangka waktu tertentu dan pada frekuensi tertentu telah membentuk jaringan
hubungan
sosial
diantara
para
nelayan
suku
Bajo24.
Bagaimanapun juga, orang Bajo tidak akan bertahan hidup jika mereka hanya makan dari apa yang peroleh di lautan sehingga mereka berhubungan dengan orang-orang darat untuk mendapatkan makanan lain yang mereka perlukan, terutama air tawar.
24
Pengalaman Alimaturahim (Ketua Yayasan Sama Kendari) yang sudah 20 tahun lebih melakukan pemberdayaan pada suku Bajo. Alimaturahim pernah ke Filipina dan Singapura untuk melihat keberadaan suku Bajo. Dari sana dia mendapat cerita dari orang Bajo ada saudara-saudaranya yang tinggal kepulauan Riau. Sementara dari kepulauan Riau, Alimaturrahim juga pernah mendapatkan keluarga Bajo yang pernah menetap di sekitar kepulauan di Kabupaten Selayar Sulawesi Selatan. Universitas Indonesia 160
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan tersebut, orang-orang Bajo biasanya menjual atau menukarkan hasil tangkapan laut seperti ikan, udang, kepiting, gurita dan kerang-kerangan dengan bahan makanan. Pada mulanya, jenis bahan makanan dari darat yang dikonsumsi orang Bajo tergantung makanan pokok orang darat yang mereka jumpai, misalnya beras, jagung atau sagu maka makanan itu pulalah yang mereka konsumsi. Namun demikian saat ini orang-orang Bajo menggemari beras (nasi) sebagai makanan pokok seperti komunitas lain pada umumnya. Hubungan dengan orang-orang darat merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini dikatakan Zacot (1978) sebagai a condition of their survival, prasyarat bagi keberlangsungan hidup mereka. Pencarian ikan dan sumber laut lainnya tidak selamanya berlangsung sepanjang waktu karena pada musim tertentu mereka tidak dapat melaut, seperti karena cuaca, kerusakan alat produksi, nelayan sakit atau keterbatasan bekal makanan selama melaut. Dalam situasi tersebut, diantara mereka ada yang mulai mencoba jenis usaha di darat, misalnya bertani, berkebun, beternak atau penghasilan tambahan di daratan. Pada kasus suku Bajo di Pulau Baliara, upaya ini dilakukan sangat terbatas. Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa meskipun orang Bajo hidup di lautan atau di pulau-pulau terpencil yang jauh dari jangkauan komunitas lain, namun tetap kebutuhan hidup mereka lebih banyak diperoleh dari daratan khususnya menyangkut kebutuhan dasar pokok pangan sehar-hari. Bagi mereka, laut adalah sumber mata pencaharian sebagai tempat menggantungkan hidup (kalumanine) baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual, lalu kemudian uangnya digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan hidup keluarga yang dibeli di darat. Ada beberapa faktor yang melandasi jaringan dan hubungan sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara dengan komunitas di luar dirinya, antara lain berupa tempat atau lokasi yang dapat memenuhi kebutuhan (dasar pokok) seperti pasar, hubungan kekerabatan, dan fasilitas umum 161
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
lainnya. Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya maka jaringan dan mobilitas sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara dapat dirangkum melalui bagan sebagai berikut. Bagan 6.3. Jaringan dan Mobilitas Sosial
Kendari Jakarta
Bulukumba
Makassar
Bone
Pulau Baliara
Pu’u Nunu
Surabaya
Kasipute
Sikeli
Bambanipa
Buton Pongkalero
Keterangan : = Relasi timbal balik = Relasi satu arah = Relasi tidak langsung
: Pasar, Fasilitas umum, Kekerabatan : Pasar, Fasilitas umum : Pasar
Sedangkan relasi atau hubungan sosial yang terjalin di dalam komunitas suku Bajo di Pulau Baliara yaitu relasi antar satuan kampung pada komunitas suku Bajo di Pulau Baliara penuh diwarnai dengan suasana komunal, etnisitas, kekerabatan (kinship), dan skala kecil (small scale) sehingga ikatan yang kuat (strong ties) relatif terbina dengan baik diantara sesama warga kampung, maupun antar kampung. Beberapa faktor yang melandasi hubungan diantara warga antar satuan kampung sebagaimana telah diuraikan secara rinci pada bagian sebelumnya, dapat digambarkan secara ringkas melalui bagan sebagai berikut. 162
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Bagan 6.4. Relasi Komunitas Nelayan Tambatan perahu
Tambatan perahu
Sekolah anak
Sekolah anak
Kekerabatan
Kekerabatan Perahu dagang
Pengobatan dukun Kampung Dermaga
Kel. Pengajian Kios/warung
Pengobatan
Kekerabatan
Kampung Tengah
Kampung Ujung
Kios / Warung
Kel Pengajian
Kel. Pengajian
Kekerabatan
Pengobatan dukun
Sekolah anak
Tambatan perahu
Kios/warung
Usaha nelayan
Rumput laut
Dari bagan di atas dapat diidentifikasi faktor-faktor terjalinnya relasi diantara mereka. Dari beberapa faktor yang relatif berbeda antar satuan kampung tersebut, terdapat empat faktor yang memiliki kesamaan, yaitu (1) hubungan kekerabatan, (2) kelompok pengajian, (3) pengobatan oleh sandro, dan (4) keberadaan kios / warung. Keempat faktor yang menjadi kebutuhan bersama itu terletak di Kampung Tengah, dengan 163
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
demikian maka Kampung Tengah adalah pengikat bagi keseluruhan warga suku Bajo di Pulau Baliara. Dalam cakupan messo, struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara menunjuk pada institusi-institusi sosial yang diwujudkan dalam bentuk kelompok-kelompok sosial untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan bersama (societal needs). Kelompok-kelompok sosial ini dalam aktifitasnya memiliki tata cara atau mekanisme yang mengatur tugas para anggotanya. Selain relasi terjalin diantara sesama anggota kelompok (internal), relasi juga terjalain diantara kelompokkelompok sosial (intra) namun tetap masih dalam satu komunitas suku Bajo di Pulau Baliara seperti nampak pada bagan berikut ini. Bagan 6.5. Relasi Kelompok Sosial
Papalele Punggawa
Warung/ Kios
Keluarga Nelayan
Budidaya Rumput Laut
Kelompok Pengajian
Pasar
Pemerintah
Keterangan : = Relasi timbal balik yang intensif = Relasi timball balik yang kurang intensif = Relasi satu arah tidak langsung tetapi dominan = Menunjukan adanya relasi = Menunjukan adanya relasi tetapi tidak intensif
164
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Dalam cakupan makro, struktur sosial mengacu pada stratifikasi sosial dimana di Pulau Baliara terdapat tiga lapisan nelayan, yaitu nelayan mesin, nelayan mesin, dan nelayan punggawa. Dalam posisinya sebagai pemilik modal atau pemodal dan pengumpul hasil produksi, punggawa memberikan fasilitas atau jasa kepada nelayan antara lain berupa ongkos/modal melaut, pinjam alat produksi seperti perahu body dan kompressor. Nelayan suku Bajo di Pulau Baliara mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan lainnya dari punggawa untuk mengatasi berbagai kesulitan ekonomi di masa paceklik dan kebutuhan darurat atau mendesak, seperti sakit, bahkan ada pula yang menyewakan rumah tinggal bagi keluarga nelayan suku Bajo calon penduduk Pulau Baliara..Nelayan yang pergi melaut (pigi pongka) untuk jangka waktu 7 – 10 hari harus membawa dan meninggalkan bekal sembako atau uang kepada keluarganya yang ditinggal selama periode melaut. Kedua bekal tersebut umumnya berupa pinjaman/hutang dari Punggawa meskipun dengan harga yang relatif lebih mahal 5% hingga 10% dibanding harga pasar pada umumnya. Pembayaran hutang tersebut akan diperhitungkan dengan memotong penjualan hasil tangkapan. Hubungan mutual symbiosis tersebut tidak hanya berlangsung dalam hubungan kerja yang bersifat ekonomi semata tetapi justru lebih melibatkan dimensi lain, yakni hubungan sosial psikologis dan budaya. Hubungan kerja tersebut tidak hanya terjalin antara nelayan dan Punggawa semata tetapi juga para anggota keluarga masing-masing dalam lingkup kehidupan yang lebih luas sebagai konsekuensi logis dari wujud kebersamaan
untuk
mempertahankan
kelangsungan
hidup
(mata
pencaharian) sehingga mereka harus saling membantu satu sama lain. Nelayan sebagai pihak yang menggantungkan hidup dengan memperoleh pekerjaan (melaut) merasa harus mengikuti aturan main dari Punggawa, demikian pula sebaliknya Punggawa yang mempekerjakan nelayan harus memfasilitasi kebutuhan produksi termasuk terhadap keluarga nelayan ketika nelayan tersebut melaut selama jangka waktu tertentu. 165
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Pada masa sulit ikan akibat cuaca dan musim yang berdampak pada menurunnya pendapatan, para nelayan suku Bajo membutuhkan bantuan dari Punggawa untuk mengatasi kebutuhan hidup keluarga nelayan, artinya Punggawa merupakan sosok yang kerap dijadikan sandaran hidup bagi keluarga nelayan. Peristiwa anak sakit atau keadaankeadaan darurat / mendesak lainnya yang dialami oleh keluarga nelayan merupakan peristiwa umum yang banyak melibatkan Punggawa untuk tidak diam sama sekali. Berbagai bentuk pinjaman atau panjar uang atau barang yang diinginkan nelayan, tidak mampu untuk ditolak oleh Punggawa, demikian pula sebaliknya permintaan bantuan Punggawa untuk melakukan pekerjaan tertentu, misalnya pengangkutan barang, perawatan perahu, dan lain-lain tidak mampu untuk ditolak nelayan sebagai konsekuaensi logis hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Selama musim paceklik, nelayan melakukan kegiatan offfishing seperti mengeringka sirip ikan hiu, memperbaiki body termasuk merawat mesin body, memperbaiki gilnet dan menjahit jala yang sobek, dan lain-lain yang merupakan milik dari para Punggawanya. Hubungan tersebut dipertahankan sepanjang waktu yang dimulai sejak generasi keturunan mereka sebelumnya. Mereka saling menjaga hubungan baik dengan cara saling membantu sesuai kapasitas masingmasing yang dimilikinya. Bagaimanapun juga, nelayan merasa punya kepentingan terhadap Punggawa sehingga mereka harus menjaga hubungan baik tersebut dengan bersikap jujur, terbuka, rajin, tepat waktu dan bersedia membantu tugas-tugas sesuai kebutuhan Punggawa dan keluarganya. Hidup saling membantu dalam aktifitas sehari-hari turut mewarnai hubungan antara nelayan dan Punggawa yang tidak hanya terbatas pada hubungan kerja atau ekonomi semata, tetapi lebih mengarah untuk mempertahankan hubungan sosial di antara mereka. Hubungan patron-klien meskipun disadari tetapi nelayan tetap tak dapat berbuat banyak, terlebih hubungan dengan Punggawa tidak hanya hubungan ekonomi semata, tetapi juga hubungan sosial psikologis dan 166
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
budaya yang sudah berlangsung lama secara turun temurun dari generasi keturunan mereka sebelumnya. Beberapa faktor yang melandasi relasi stratifikasi sosial dapat dirangkum melalui bagan berikut ini.
Bagan 6.6. Relasi Stratifikasi Sosial Nelayan Kredit alat produksi Buruh nelayan
Buruh nelayan Bridging
Bekal produksi
Bekal produksi
Bekal keluarga
Bekal keluarga
Jual hasil produksi
Jual hasil produksi
Nelayan Punggawa
Hub. kekerabatan
Hub. kekerabatan
Hub. patron-klien
Hub. patron-klien
Bekal melaut
Kekerabatan
Nelayan Dayung
Nelayan Mesin
Alat produksi
Buruh lepas
Bridging
Bridging
Hub. kekerabatan
Melaut bersama
Relasi horizontal
Pinjam alat produksi
167
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
B. Kapital Sosial yang tertambat pada Struktur Sosial 1. Kapital Sosial yang tertambat pada Komunitas Dalam pendekatan ekologi, komunitas tidak hanya terdiri dari penghuni-penghuni yang ada di dalamnya, melainkan juga hubungannya dengan semua makhluk yang ada di lingkungan fisik di sekitarnya (Geertz dalam Lawang, 2004:111). Pulau Baliara yang dipilih orang-orang Bajo sebagai lingkungan pemukiman secara teritorial merupakan satuan tempat komunitas yang fungsional karena dianggap dapat memberikan keamanan dan kenyamanan untuk hidup dari generasi ke generasi. Pandangan hidup kalumanine orang Bajo yang menganggap laut beserta sumberdaya di dalamnya sebagai tempat menggantungkan hidup dan pengalaman selama berinteraksi dengan orang luar yang hidup di darat (baong bagai) telah menempatkan orang-orang Bajo di Pulau Baliara hidup menyendiri dengan sesama orang Bajo (baong same) sehingga dapat menghindari konflik atau pertentangan (orai lesse). Letak geografis yang terpencil dan keterbatasan lahan darat sebagai pemukiman bagi orang Bajo tidak terlalu penting dibanding dengan keberadaan laut sebagai sumber menggantungkan hidup dan bersama-sama mengembangkan kreativitas dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut (sitabangan). Keadaan penduduk yang relatif homogen menunjukan bahwa Pulau Baliara merupakan komunitas etnik suku Bajo yang sangat kental dengan suasana komunal dimana hubungan antar individu dan kelompok dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan selalu didasarkan atas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, baik atas dasar perkawinan maupun pertemanan dan kesamaan kepentingan dalam kegiatan produksi sumberdaya laut. Dalam pandangan social bonding, hubungan kekerabatan yang terjalin pada komunitas etnik Bajo menyebabkan adanya rasa empati, simpati, kebersamaan, sikap saling berkewajiban satu sama lain untuk melindungi, rasa percaya, dan resiprositas yang terwujud dan dipedomani dalam nilai-nilai sistem sosial budaya etnik Bajo. Norma-norma seperti 168
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom) tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Norma tersebut ditaati karena dianggap berguna untuk individu, kelompok dan komunitas, tidak merugikan dan keinginan untuk melindungi nilai tersebut sehingga bagi pelanggar akan mendapat sanksi yang tegas. Tradisi atau adat-istiadat (custom) etnik Bajo memiliki kekuatan integrasi yang sangat kuat mengikat pola-pola perilaku orang-orang Bajo dengan beban sanksi bagi pelanggarnya. Hal ini terkait dengan karakteristik sosio-psikologis komunitas yang masih meyakini kepercayaan terhadap sistem nilai sosial budaya etnik Bajo. Terkait dengan tema kajian tentang kapital sosial maka analisis kapital sosial sesuai dengan terminologi Woolcock (2001) yang tertambat pada struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6.1 Analisis Bonding Social Capital Komunitas Nelayan Suku Bajo Di Pulau Baliara Integrasi
Komunitas Nelayan
Indikator
Jejaring Penilaian
Indikator
Penilaian
Kampung Dermaga
1. Jumlah penduduk 20 30% dari keseluruhan 2. Ruang wilayah 20 30% dari keseluruhan 3. Berstatus pendatang 4. Penduduk relatif homogen 5. Jenis pekerjaan homogen 6. Fasilitas ruang publik / arena sosial banyak 7. norma-norma / nilai bersifat longgar 8. Sangsi pelanggaran bersifat longgar
Sedang
1. Intra komunitas kurang terjalin 2. Inter komunitas kurang terjalin 3. Supra komunitas kurang terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah tidak ada 5. Aksesibilitas jejaring agak terhambat 6. Frekuensi interaksi jejaring jarang 7. Tidak afa kriteria dalam jejaring 8. Jejaring kurang bermanfaat
Rendah
Kampung Tengah
1. 2. 3. 4.
Tinggi
1. Intra komunitas terjalin 2. Inter komunitas terjalin 3. Supra komunitas kurang terjalin
Sedang
Jumlah penduduk 70% Ruang wilayah 70 % Penduduk asli Suku/etnik homogen
169
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
5. Pekerjaan homogen 6. Fasilitas ruang publik / arena sosial banyak 7. Norma-norma / nilai bersifat longgar 8. Sangsi pelanggaran bersifat longgar
Kampung Ujung
1. Jumlah penduduk < 20% keseluruhan 2. Ruang wilayah < 20% pemukiman 3. Penduduk asli 4. Suku/etnik homogen 5. Pekerjaan homogen 6. Fasilitas ruang publik / arena sosial sedikit 7. Norma-norma / nilai bersifat longgar 8. Sangsi pelanggaran bersifat longgar
4. Peran / keterlibatan pemerintah kurang 5. Aksesibilitas jejaring agak terhambat 6. Frekuensi interaksi jejaring jarang 7. Kriteria penentuan jejaring saling menguntungkan 8. Jejaring bermanfaat
Sedang
1. Intra komunitas terjalin 2. Inter komunitas terjalin 3. Supra komunitas terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah kurang 5. Aksesibilitas jejaring lancar 6. Frekuensi interaksi jejaring intensif 7. Kriteria dalam penentuan jejaring saling menguntungkan 8. Jejaring bermanfaat
Tinggi
Sumber : Analisis data dan informasi, 2008. Berdasarkan tabel 7.1. di atas, nampak kondisi integrasi dan jejaring pada tiap satuan kampung sangat bervariatif. Kampung Tengah dan Kampung Ujung yang relatif memiliki kondisi yang sama (etnik, pekerjaan, dan pribumi) namun memiliki tingkatan integrasi dan jejaring yang berbeda. Kampung Tengah memiliki tingkatan integrasi yang tinggi namun sebaliknya integrasi di Kampung Ujung sedang. Pada sisi lain, Kampung Ujung memiliki jaringan sosial yang tinggi sedangkan di Kampung Tengah relatif sedang. Perbedaan keadaan tersebut jika dilihat dari indikator disebabkan karena faktor ruang wilayah, jumlah penduduk dan fasilitas umum / arena sosial di Kampung Tengah relatif lebih banyak daripada sehingga memiliki integrasi yang tinggi. Jejaring Kampung Ujung relatif tinggi dikarenakan relasi sosial yang terjalin dengan komunitas luar Pulau Baliara berlangsung intensif, sedangkan di Kampung Tengah agak terhambat. Fakta ini menunjukkan bahwa kapital sosial itu pada dasarnya 170
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
adalah konstruksi sosial, artinya, melalui interaksi sosial individu-individu membangun kekuatan sosial (kolektif) bersama untuk mengatasi masalah sosial yang dihadapi (Lawang, 2004). Berbeda halnya dengan Kampung Dermaga yang memiliki tingkatan jejaring rendah karena mereka pada umumnya adalah warga pendatang atau pecahan keluarga dari kampung lain sehingga relasi yang terjalin dengan warga kampung lain belum berlangsung intensif atau terbatas dengan keluarga asalnya atau pada urusan tertentu saja. Meskipun demikian pada aspek integrasi relatif sedang karena dalam hubungan pertetanggan diantara mereka sudah terjalin dengan baik dan saling mengenal. Pada kasus dan jangka waktu tertentu, sebagai outsider warga Kampung Dermaga dapat menjadi kekuatan sosial baru dengan solidaritas sosial yang khas sebagaimana temuan dalam studi Fukuyama (1993). 2. Kapital Sosial yang tertambat pada Kelompok Sosial Dalam cakupan messo maka struktur sosial mengacu pada institusiinstitusi sosial yang ada dalam komunitas dimana biasanya konsentrasi institusi ada pada pengaturan pemenuhan kebutuhan komunitas (societal needs) yang jika tidak terpenuhi maka komunitas secara keseluruhan akan mengalami goncangan (Lawang, 2004:77). Tidak sampai pada batas itu saja, tetapi sejauhmana institusi sosial tersebut dapat berfungsi sesuai harapan komunitas maka disitulah kapital sosial tertambat (embedded). Beranjak dari sinilah maka komunitas membentuk institusi-institusi sosial tersebut dalam suatu wadah kelompok-kelompok sosial yang dijadikan sebagai alat atau mekanisme untuk mencapai atau memenuhi tujuan pemenuhan kebutuhan bersama Berdasarkan hasil identifikasi penulis, cukup banyak ragam dan jumlah institusi sosial pada komunitas etnik Bajo di Pulau Baliara. Dalam berbagai perspektif institusi sosial, baik dalam pengertian kelompok, organisasi sosial, maupun institusi (institution) itu sendiri maka nampak jelas pada komunitas etnik Bajo di Pulau Baliara bahwa proses 171
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
pembentukannya sarat dengan hubungan kekerabatan (kinship), baik karena sesama suku Bajo, pertemanan, pertetanggaan, serta kepentingan societal needs itu sendiri. Terkait dengan tema kajian tentang kapital sosial maka analisis kapital sosial sesaui dengan terminologi Woolcock (2001) yang tertambat pada institusi sosial sebagai salah satu komponen atau cakupan dalam struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6.2. Analisis Bonding Social Capital Kelompok Sosial Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara
Kelompok Sosial
Integrasi Indikator
Jejaring Penilaian
Indikator
Penilaian
Keluarga Nelayan
1. Dasar pembentukan adalah keluarga 2. Penetapan tujuan hasil musyawarah bersama 3. Pola / mekanisme teratur dengan jelas 4. Status keanggotaan mengikat 5. Agenda / aktifitas kegiatan terencana 6. Daya tarik pelibatan anggota antusias 7. Tingkat pemanfaatan kelompok intensif 8. Aturan dan sangsi berfungsi kuat / tegas
Tinggi
1. Intra kelompok terjalin 2. Inter kelompok terjalin 3. Supra kelompok kurang terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah kurang 5. Aksesibilitas lancar 6. Frekuensi jaringan intensif 7. Kriteria penentuan jejaring saling menuntungkan 8. Jejaring bermanfaat.
Tinggi
Kelompok Pengajian
1. Dasar pembentukan kebutuhan bersama 2. Penetapan tujuan hasil musyawarah bersama 3. Pola / mekanisme kurang teratur 4. Status keanggotaan tidak mengikat 5. Agenda / aktifitas sesuai kebutuhan 6. Daya tarik pelibatan anggota antusias 7. Tingkat pemanfaatan kelompok sesuai kebutuhan 8. Aturan dan sangsi tidak berfungsi
Sedang
1. Intra kelompok terjalin 2. Inter kelompok kurang terjalin 3. Supra kelompok tidak terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah tidak ada 5. Aksesibilitas terhambat 6. Frekuensi jaringan kadang-kadang 7. Kriteria dalam penentuan jejaring tidak aada 8. Manfaat jejaring kurang
Rendah
172
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Kelompok Usaha Papalele
1. Dasar pembentukan kelompok selektif 2. Penetapan tujuan usaha ditentukan punggawa 3. Pola / mekanisme kurang diatur 4. Status keanggotaan tidak mengikat 5. Agenda / aktifitas kegiatan sesuai kebutuhan 6. Daya tarik pelibatan kurang diminati 7. Tingkat pemanfaatan kelompok sesuai kebutuhan 8. Aturan dan sangsi bersifat longgar
Rendah
1. Intra kelompok kurang terjalin 2. Inter kelompok tidak terjalin 3. Supra kelompok tidak terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah tidak ada 5. Aksesibilitas terhambat 6. Frekuensi jaringan tidak ada 7. Kriteria dalam penentuan jejaring tidak ada 8. Manfaat jejaring tidak ada
Rendah
Kelompok Budidaya Rumput Laut
1. Dasar pembentukan kelompok keluarga 2. Penetapan tujuan sesuai kebutuhan 3. Pola / mekanisme kurang diatur 4. Status keanggotaan tidak mengikat 5. Agenda / aktifitas kegiatan sesuai kebutuhan 6. Daya tarik pelibatan anggota antusias 7. Tingkat pemanfaatan sesuai kebutuhan 8. Aturan dan sangsi bersifat longgar
Sedang
1. Intra kelompok terjalin 2. Inter kelompok terjalin 3. Supra kelompok kurang terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah tidak ada 5. Aksesibilitas agak terhambat 6. Frekuensi jaringan kadang-kadang 7. Kriteria penentuan jejaring menguntungkan sepihak 8. Manfaat jejaring kurang
Sedang
Kelompok Kios/ Warung
1. Dasar pembentukan kebutuhan bersama 2. Penetapan tujuan sesuai kebutuhan 3. Pola / mekanisme kurang teratur 4. Status keanggotaan kurang mengikat 5. Agenda / aktifitas sesuai kebutuhan 6. Daya tarik pelibatan anggota antusias 7. Tingkat pemanfaatan kelompok intensif 8. Aturan dan sangsi bersifat longgar
Sedang
1. Intra kelompok terjalin 2. Inter kelompok terjalin 3. Supra kelompok kurang terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah tidak ada 5. Aksesibilitas agak terhambat 6. Frekuensi jaringan intensif 7. Kriteria penentuan jejaring saling menguntungkan 8. Jejaring bermanfaat.
Tinggi
Kelompok Nelayan Dayung
1. Dasar pembentukan kelompok keluarga
Tinggi
1. Intra kelompok terjalin 2. Inter kelompok terjalin
Sedang
173
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
2. Penetapan tujuan kelompok sesuai kebutuhan 3. Pola / mekanisme kelompok teratur dengan jelas 4. Status keanggotaan kelompok kurang mengikat 5. Agenda / aktifitas kegiatan terencana 6. Daya tarik pelibatan anggota antusias 7. Tingkat pemanfaatan kelompok intensif 8. Aturan dan sangsi bersifat longgar
3. Supra kelompok tidak terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah tidak ada 5. Aksesibilitas agak terhambat 6. Frekuensi jaringan kadang-kadang 7. Kriteria penentuan jejaring menguntungkan sepihak 8. Manfaat jejaring kurang
Kelompok Nelayan Mesin
1. Dasar pembentukan kelompok keluarga 2. Penetapan tujuan kelompok sesuai kebutuhan 3. Pola / mekanisme teratur dengan jelas 4. Status keanggotaan kurang mengikat 5. Agenda / aktifitas sesuai kebutuhan 6. Daya tarik pelibatan anggota antusias 7. Tingkat pemanfaatan sesuai kebutuhan 8. Aturan dan sangsi bersifat longgar
Sedang
1. Intra kelompok terjalin 2. Inter kelompok terjalin 3. Supra kelompok kurang terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah tidak ada 5. Aksesibilitas agak terhambat 6. Frekuensi jaringan kadang-kadang 7. Kriteria penentuan jejaring menguntungkan sepihak 8. Manfaat jejaring kurang bermanfaat
Sedang
Kelompok Nelayan Punggawa
1. Dasar pembentukan kelompok selektif 2. Penetapan tujuan sesuai kebutuhan 3. Pola / mekanisme teratur dengan jelas 4. Status keanggotaan kurang mengikat 5. Agenda / aktifitas kegiatan terencana 6. Daya tarik pelibatan anggota antusias 7. Tingkat pemanfaatan kelompok intensif 8. Aturan dan sangsi bersifat kuat / tegas
Tinggi
1. Intra kelompok terjalin 2. Inter kelompok terjalin 3. Supra kelompok kurang terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah kurang 5. Aksesibilitas lancar 6. Frekuensi jaringan intensif 7. Kriteria penentuan jejaring saling menguntungkan 8. Jejaring bermanfaat
Tinggi
Sumber : Analisis data dan informasi, 2008.
174
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Berdasarkan tabel 7.2, di atas, nampak bahwa Keluarga Nelayan dan Kelompok Nelayang Punggawa memiliki bonding social capital yang tinggi baik dalam aspek integrasi maupun jejaring. Tingginya keluarga nelayan sangat dipengaruhi oleh indikator sistim keluarga dan kekerabatan etnik Bajo yang bersifat bilateral consentris yang disebut dansihitang sehingga memungkinkan keluarga nelayan memiliki tingkat integrasi dan jejaring yang tinggi. Fakta ini memperlihatkan bahwa kekuatan sosial dalam keluarga nelayan menunjuk pada semua mekanisme yang sudah ada dan dikembangkan oleh keluarga nelayan untuk dapat mempertahankan hidupnya sehingga memungkinkan bonding social capital berfungsi secara maksimal (Woolcock, 1998: Lawang, 2004). Sedangkan kelompok nelayan punggawa disebabkan karena penguasaan atas faktor produksi dan pemasaran, baik kapital ekonomi, kapital fisik maupun kapital sosial itu sendiri dimana jumlah mereka relatif kecil, yaitu 9 orang dan hubungan diantara mereka terjalin atas dasar hubungan keluarga / kerabat dekat yang saling mendukung usaha ekonomi nelayan (Bourdieu, 1986; Woolcock, 1998; Lawang, 2004). Bonding social capital yang ada pada kelompok-kelompok sosial ekonomi lainnya menghasilkan variasi tingkatan yang beragam karena masing-masing memiliki derajat integrasi dan jejaring yang berbeda satu sama lain. Perbedaan derajat kapital sosial dalam arti jaringan sosial tersebut terjadi karena fleksibelitas (tidak mengikat) baik dalam hal jumlah keanggotaan maupun jumlah anggota yang memanfaatkan kelompokkelompok sosial, artinya semakin tinggi kemanfaatannya maka semakin tinggi integrasi dan jejaring yang dibangun sehingga semakin tinggi pula kapital sosial kelompok sosial tersebut. Sejauhmana kelompok sosial tersebut dapat berfungsi dan membawa manfaat bagi individu dan banyak orang sesuai harapan komunitas maka disitulah kapital sosial yang tinggi akan tertambat (embedded).
175
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
3. Kapital Sosial yang tertambat pada Stratifikasi Sosial Dengan mencermati relasi sosial pada lapisan-lapisan sosial nelayan suku Bajo di Pulau Baliara maka nampak peran punggawa sangat sentral dalam menentukan pendapatan nelayan yang bekerja kepadanya sebagai buruh. Dalam posisinya sebagai pemilik modal (pemasok kebutuhan produksi) dan pengumpul (penampung hasil tangkapan) maka praktis punggawa menguasai dua elemen penting dalam sistem ekonomi usaha nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, nelayan tidak hanya menggantungkan hidup pada sumber laut tetapi juga kepada para punggawa. Bagi nelayan, punggawa adalah institusi jaminan sosial ekonomi dimana dengan bekerja kepada para punggawa maka tidak hanya dirinya yang mendapat jaminan hidup tetapi seluruh anggota keluarganya, baik ketika nelayan pergi melaut maupun ketika mereka di darat. Sistim bagi hasil yang cenderung lebih menguntungkan punggawa disadarai sebagai konsekuensi logis atas pinjaman modal (kapital ekonomi) yang diberikan dalam bentuk bekal makanan dan penggunaan alat produksi (kapital fisik) yang digunakan milik punggawa. Nelayan bekerja hanya menyumbangkan tenaganya (kapital manusia) untuk mendaptkan upah berdasarkan sisitim bagi hasil yang telah ditetapkan. Pertimbangan logis lainnya adalah status kepemilikan alat produksi yang digunakan dipandang perlu mendapat bagian baik sebagai ongkos sewa maupun biaya perawatan untuk menjamin keutuhan dan kelangsungan proses produksi nelayan. Persoalan yang paling mendasar dalam sistim bagi hasil adalah penetapan harga hasil tangkapan yang ditentukan secara sepihak oleh punggawa tanpa mempertimbangkan keseimbangan yang proporsional dengan harga pasaran. Dalam posisinya sebagai price maker, punggawa menentukan harga secara subyektif dan spekulatif dengan pertimbangan kualitas barang, biaya pengawetan, resiko kerusakan, ongkos angkut, serta trend harga pasaran itu sendiri ketika barang tersebut dipasarkan. Nelayan sebagai buruh dari para punggawa tidak memiliki posisi tawar apapaun 176
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
sehingga tingkat pendapatan mereka sangat ditentukan oleh besar kecilnya penetapan harga hasil produksi oleh para punggawa. Tabel 6.3. Analisis Bridging Social Capital pada Stratifikasi Sosial Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Stratifikasi Sosial
Integrasi Indikator
Sinerji Penilaian
Indikator
Penilaian
Nelayan Dayung
1. Status pemilikan alat produksi milik sendiri 2. Cara pemilikan alat produksi hasil warisan keluarga 3. Sumber modal produksi bantuan keluarga / kerabat 4. Status keanggotaan kegiatan produksi buruh dan pemilik 5. Orientasi kegiatan produksi subsisten dan pasar 6. Sistim bagi hasil seimbang 7. Pendistribusian hasil produksi untuk konsumsi keluarga 8. Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga tidak terpenuhi
Sedang
1. Intra lapisan terjalin 2. Inter lapisan kurang terjalin 3. Relasi dengan swasta, dan pasar tidak terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah tidak ada 5. Aksesibilitas sinerji terhambat 6. Frekuensi sinerji kadang-kadang 7. Kriteria dalam bersinerji menguntungkan sepihak 8. Manfaat dalam bersinerji tidak ada
Rendah
Nelayan Mesin
1. Status pemilikan alat produksi milik sendiri 2. Cara pemilikan alat produksi pinjam/kredit 3. Sumber modal produksi pinjam 4. Status keanggotaan kegiatan produksi buruh dan pemilik 5. Orientasi kegiatan produksi pasar 6. Sistim bagi hasil kurang seimbang 7. Pendistribusian hasil produksi konsumsi dan saving 8. Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga kurang terpenuhi
Sedang
1. Intra lapisan terjalin 2. Inter lapisan kurang terjalin 3. Relasi dengan swasta, dan pasar tidak terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah tidak ada 5. Aksesibilitas sinerji lancar 6. Frekuensi sinerji intensif 7. Kriteria dalam bersinerji menguntungkan sepihak 8. Manfaat dalam bersinerji kurang
Sedang
177
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Nelayan Punggawa
1. Status pemilikan alat produksi milik sendiri 2. Cara pemilikan alat produksi membeli sendiri 3. Sumber modal produksi modal sendiri 4. Status keanggotaan kegiatan produksi mandiri 5. Orientasi kegiatan produksi pasar 6. Sistim bagi hasil kurang seimbang 7. Pendistribusian hasil produksi investasi / modal produksi 8. Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga terpenuhi
Tinggi
1. Intra lapisan terjalin 2. Inter lapisan terjalin 3. Relasi dengan swasta, dan pasar kurang terjalin 4. Peran / keterlibatan pemerintah kurang 5. Aksesibilitas sinerji agak terhambat 6. Frekuensi sinerji kadang-kadang 7. Kriteria dalam bersinerji saling menguntungkan 8. Sinerji bermanfaat
Tinggi
Sumber : Analisis data dan informasi, 2008.
Berdasarkan tabel 7.3. di atas, dalam tipologi bridging social capital maka maka lapisan nelayan punggawa memiliki penilaian yang tinggi, baik aspek integrasi maupun sinerji. Seperti pada penilaian sebelumnya pada tipologi bonding social capital nelayan punggawa sebagai suatu kelompok sosial, maka faktor yang mempengaruhi tingginya bridging capital sosial adalah keberadaan atau penguasaan faktor-faktor utama dalam kegiatan ekonomi nelayan di Pulau Baliara, yaitu penguasaan sektor produksi (pemilik modal atau pemodal) dan penguasaan sektor pemasaran (pengumpul dan price maker). Penguasaan terhadap dua sektor penting ekonomi tersebut, dengan kata lain nelayan punggawa memiliki sejumlah kapital yang memadai baik kapital fisik (berupa alat produksi dan perbekalan), kapital ekonomi (berupa uang), kapital sosial (berupa integrasi, jaringan, dan sinerji), serta dikelola oleh kapital manusia (sosok punggawa) yang memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidang nelayan (Bourdieu, 1986; Woolcock, 1998; Lawang, 2004;). Kondisi tersebut berbeda dengan dua lapisan sosial lainnya terutama nelayan dayung yang masih tergantung 178
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
pada kerabat dan lapisan nelayan lainnya serta hasil produksi yang subsisten. Sedangkan lapisan sosial nelayan mesin, meskipun kapital fisik sebagian ada yang memilikinya, namun pada umumnya masih berstatus pinjaman dari para punggawa (Lawang, 2009; Legg dalam Najib, 1999; Scott, 1972:92 dalam Ahimsa, 2007:4). Pada perspektif sosiologis lainnya, dinamika relasi yang terjalin dalam tipologi bridging social capital tersebut memiliki dua dimensi yang berbeda dan menjadi relasi yang khas dengan penjelasan sebagai berikut. a. Dimensi relasi Patron klien Dari fakta-fakta relasi bridging social sebagaimana tersaji pada tabel di atas, penulis menganggap relasi sosial yang dibangun antara nelayan dengan punggawa bersifat vertikal yang mengarah pada patron klien. Relasi patron klien tersebut ditandai dengan peran dominasi punggawa dalam hal (1) menaikkan nilai harga bekal produksi sebesar 5% hingga 10% baik bekal yang dibawa nelayan melaut maupun bekal kepada keluarga nelayan yang ditinggalkan selama melaut, (2) pemotongan modal produksi Rp. 500.000,-, (3) menetapkan komponen perahu, mesin motor dan kompressor untuk mendapat bagian yang sama dengan nelayan, serta ada bagian nelayan yang harus dikembalikan pada punggawa sebagai pembayaran hutang cicilan / kredit alat produksi maupun hutang keluarga, dan (4) penetapan harga produksi secara sepihak tanpa melihat proporsi yang seimbang harga di pasaran. Hubungan Punggawa dan nelayan suku Bajo di Pulau Baliara tersebut dapat dikatakan sebagai hubungan patron-klien (Elfindri, 2002, Fanggidae, 2002). Hubungan ini harus diciptakan apabila seorang individu mempunyai relasi semacam itu dengan pihak lain (Ahimsa-Putra, 1988). Hubungan patron-klien ditandai adanya individu atau kelompok yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas kerugian salah satu pihak. Dominasi punggawa terhadap nelayan suku Bajo dimanifestasikan 179
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
dalam bentuk distribusi pendapatan yang tidak wajar dari usaha dan hasilnya sehingga diperlukan ukuran keadilan distribusi untuk mengukur tata hubungan yang ada. Sesuai dengan hasil studi Najib (1999) yang mengungkapkana bahwa mekanisme hubungan tersebut seringkali bersifat eksploitatif, dan sengaja dipelihara patron. Dengan pola patron-klien yang demikian, klien sering dihadapkan pada persoalan hutang yang tidak pernah habis untuk dilunasi. Tindakan punggawa sebagai salah satu aktor dalam relasi patron klien tersebut mengacu pada tindakan ekonomi rasional yaitu tindakan yang dilakukan pada aktifitas-aktifitas tertentu ditujukan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri. Rasional di sini artinya
dilatarbelakangi
keinginan
mendapatkan
keuntungan.
Hubungan sosial ini menolak anggapan Scott (1979) sebelumnya dimana menurut Popkin (1979) petani Asia Tenggara sebenarnya tidak berbeda dengan manusia-manusia lain dimuka bumi. Mereka juga bertindak rasional yang memperhitungkan segala sesuatunya dalam kerangka untung dan rugi sehingga ekonomi mereka adalah ekonomi yang rasional seperti ekonomi Barat. Dalam konteks hubungan sosial nelayan suku Bajo di Pulau Baliara maka dimensi ekonomi rasional yang mengacu kepada aspek-aspek tindakan punggawa yang dianggap rasional terhadap nelayan suku Bajo, misalnya :
Punggawa mengambil keuntungan dari peningkatan harga sebesar 5-10% dari perbekalan konsumsi nelayan dan keluarga yang ditinggalkan selama periode melaut atau dari bahan / barang kebutuhan pokok yang dipinjam nelayan dari warung/kios
Punggawa memegang kendali penuh dalam menentukan harga jual hasil tangkapan tanpa pertimbangan proporsional harga pasar.
Punggawa menentukan sistim bagi hasil dengan menyertakan beberapa komponen produksi seperti potongan ongkos produksi, perahu (1 bagian), mesin motor dan kompressor (1 bagian)
180
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Pembebasan sewa alat produksi seperti halnya kompressor ditujukan pula untuk memacu kinerja nelayan melaut sehingga Punggawa memperoleh keuntungan dari hasil tangkapan nelayan
Memperoleh keuntungan dari permainan harga atas pemberian fasilitas kredit alat produksi dan kebutuhan rumah tangga lainnya seperti peralatan elektronik (tape, radio, tv, vcd, antenna parabola, active speaker). Dalam pandangan punggawa, nelayan suku Bajo umumnya
tidak disiplin dan lebih mementingkan pengeluaran konsumtif seperti makanan seakan tidak pernah merasa kenyang atau membeli barangbarang elektronik. Punggawa juga menyatakan bahwa prosentase keuntungan dianggap tidak terlalu signifikan, yaitu 30 % – 40 % dari modal yang dikeluarkan setiap kali nelayan melaut. Ketika menjual hasil sumberdaya laut kepada agen pengumpul, punggawa tidak selalu mendapat bayaran kontan (cash) dari agen, sedangkan dirinya harus membayar kepada nelayan secara cash sehingga punggawa (1) kurang mendapat keuntungan yang maksimal, (2) akumulasi modal terhambat. Pada konteks yang sama, nelayan menganggap itu merupakan cara punggawa agar mereka tetap hutang sehingga memacu mereka untuk turun ke laut. Dengan menguasai dua elemen penting usaha ekonomi nelayan yaitu produksi dan pemasaran, maka punggawa merupakan sosok dominan bagi nelayan suku Bajo. Dalam perspektif Marxian, faktor modal (capital) adalah kunci terbentuknya kelas-kelas sosial. Semakin besar penguasaan kapital maka akan semakin besar pula kesempatan mobilitas dari kelas tertentu menuju kelas yang lebih tinggi. Semakin tinggi kelas sosial seseorang maka akan semakin besar pula peluangnya dalam mempengaruhi proses politik, kebijakan publik dan seterusnya (Satria, 2002). Pola patron-klien cenderung akan tetap bertahan karena belum ada institusi lain yang mampu berperan sebagaimana patron. Ada 181
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
kesenjangan kultur institusi yang dibangun secara formal dengan kultur nelayan yang masih menekankan aspek personalitas, seperti misalnya pembentukan kelompok UEP dan KUBE yang dilakukan Dinas Sosial atau usaha pemerintah membangun koperasi di kecamatan (tidak diketahui dari lembaga pemerintah mana) yang relatif jauh dari Pulau Baliara. Pada sisi lain, nelayan sendiri belum mampu membangun institusi baru secara mandiri. Prinsip kalumanine sebagai way of life masih menjadi pegangan sehingga ikatan dengan punggawa dipertahankan untuk menjaga kepentingan subsistensi. b. Dimensi relasi Mutual symbiosis Menurut Satria (2008), mekanisme patron-klien di berbagai kasus seolah merupakan hubungan yang saling menguntungkan namun berdasarkan hasil-hasil studi, derajat keuntungannya berbeda, yakni bahwa patron lebih banyak memetik keuntungan dibandingkan klien. Dalam studi Satria (2001) di Pekalongan dan Anggraini (2002) di Pulau Panggang diperoleh fakta hubungan patron-klien merupakan suatu pola hubungan yang bersifat positif karena mampu mendorong terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Di Pulau Baliara fakta ini tidak ditemukan meskipun jika dilihat dari pendapatan rata-rata nelayan sekali melaut sekitar Rp. 820.000,- tetapi faktanya belum mampu mendorong mobilitas vertikal nelayan pada keadaan yang lebih baik serta rendahnya orientasi nelayan suku Bajo terhadap invesatsi. Hubungan ekonomi yang penuh dilandasi etnisitas, tradisi, kekerabatan (kinship), pertemanan, dan pertalian tempat tinggal membawa hubungan pada dimensi yang tidak terbatas pada hubungan ekonomi semata, tetapi hubungan sosial psikologis dan budaya sehingga hubungan tersebut tidak hanya bersifat vertikal yang mengarah pada patron klien, tetapi juga hubungan bersifat horisontal
182
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
dan diagonal25. Hubungan tersebut dilakukan sebagai strategi nelayan dalam menghadapi lingkungan pekerjaan nelayan yang tidak menentu (Rudiatin; Kusnadi, 2000). Di luar kerjasama ekonomi produksi nelayan, dalam aktifitas sehari-hari ketika tidak melaut diantara keduanya terjadi interaksi sosial yang juga melibatkan anggota keluarga masing-masing. Di sini terbentuk hubungan sosial yang bersifat horisontal (pertemanan) dan diagonal (sejajar) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan (baong same) yang dilandasi hubungan keluarga dan kekerabatan (dansihitang), prinsip menghindari konflik (orrai lesse), dan gotong royong (sitabangan). Beranjak dari hubungan sosial psikologis dan budaya inilah maka punggawa menempatkan pertimbangan dimensi moral dalam kerjasama ekonomi produksi dengan nelayan suku Bajo di Pulau Baliara. Pertimbangan dimensi moral tersebut adalah bahwa nilai-nilai moral di letakkan atas pertimbangan ekonomi di dalam setiap pengambilan
keputusan
untuk
menjalankan
usaha
produksi
penangkapan ikan dan sumberdaya laut lainnya. Pola hubungan sosial seperti ini sama halnya dalam analisis Scott (1979) tentang perilaku petani di Asia Tenggara yang pada umumnya mendasarkan perilaku ekonomi pada pandangan moral tertentu, yang berbeda dengan pandangan yang digunakan oleh golongan masyarakat lain. Model ini memusatkan perhatian pada apa yang dipikirkan dan diyakini oleh petani mengenai dunia mereka, pada pandangan hidup yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan tindakan-tindakan mereka. Di sini
25
Menurut Wolf (1966) dan Scott (1972), jaringan sosial pada komunitas nelayan dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu (1) jaringan vertikal (hirarkis), yaitu hubungan dua pihak yang berlangsung secara tidak seimbang karena satu pihak mempunyai dominasi yang lebih kuat dibanding pihak lain, atau terjadi hubungan patron-klien., (2) jaringan horizontal (pertemanan) yaitu hubungan dua pihak di mana salah satu pihak memiliki dominasi sedikit lebih tinggi dibanding pihak lainnya, dan (3) jaringan diagonal (kakak-adik), yaitu dua pihak di mana masing-masing pihak menempatkan diri secara sejajar satu sama lainnya. Universitas Indonesia 183
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
moral memainkan peranan penting. Motivasi-motivasi moral seseorang dibentuk oleh suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebudayaan. Dalam konteks hubungan sosial nelayan suku Bajo di Pulau Baliara maka nilai-nilai moral yang mengacu kepada aspek-aspek tindakan Punggawa yang dianggap sosial atau kebersamaan dengan nelayan, misalnya :
Nelayan dan punggawa bekerjasama dengan nelayan sudah lama dari generasi keluarga ke generasi keluarga berikutnya.
Punggawa tidak membedakan Nelayan Dayung dan menengah kecuali atas dasar kepemilikan / status alat produksi yang digunakan.
Terdapat diantaranya yang sudah menjalin hubungan kekerabatan melalui perkawinan baik endogami kampung, eksogami rumpun, dan amalgamasi (antar suku).
Tidak membungakan hutang barang atau bahan (karena sebetulnya keuntungan sudah diperoleh dari kenaikan harga 5%-10%).
Terdapat punggawa yang membebaskan biaya sewa alat produksi seperti halnya kompressor.
Menyediakan bekal konsumsi selama melaut dan bagi keluarga nelayan yang ditinggalkan selama periode melaut.
Punggawa melakukan pembelajaran berupa nasehat-nasehat agar nelayan dan keluarganya tidak hidup boros atau konsumtif.
Memberikan fasilitas kredit alat produksi dan cicilan yang sesuai dengan permintaan / kesanggupan nelayan.
Punggawa memberikan bantuan kepada para nelayan jika diminta untuk mengatasi berbagai kesulitan ekonomi di masa paceklik dan kebutuhan
darurat
atau
mendesak
seperti
kesehatan
dan
pendidikan.
Keanggotaan kelompok nelayan tidak permanen dan mentolerir nelayan yang tidak tetap (sepanjang tidak ada ikatan hutang /
184
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
kredit), termasuk terhadap tindakan papalele yang menjual ikan tanpa sepengetahuan punggawa.
Sistim bagi hasil yang membagi secara merata pada tiap komponen produksi Pada hubungan tersebut ada kepentingan-kepentingan tertentu
seperti ketergantungan ekonomi nelayan suku Bajo pada punggawa, demikian pula sebaliknya keuntungan ekonomi punggawa pada nelayan suku Bajo berupa hasil tangkapan. Di sini nampak adanya relasi mutual symbiosis (saling menguntungkan) dalam perspektifnya masing-masing bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, tindakan ekonomi rasional yang dilakukan punggawa bukan tidak disadari oleh nelayan karena nelayan merasa ada tempat untuk menggantungkan jaminan hidup diri dan keluarganya. Popkin (1979) menyatakan bahwa meskipun para petani pada umumnya miskin dan hidup dekat dengan batas minimum atau “close to the margin”, namun tetap ada saat-saat dalam kehidupan mereka ketika surplus dan berani menanamkan modal walaupun penuh resiko. Demikian halnya dengan nelayan suku Bajo di Pulau Baliara, ada saat musim angin darat atau musim ikan sehingga mereka bisa mendapat hasil tangkapan hampir dua kali lipat dan memacu peningkatan frekuensi melaut (pigi pongka) ketika musim ikan tiba. Untuk hidup subsisten, mereka sudah terjamin misalnya dari usaha musiman seperti budidaya rumput laut atau mallanra dan mallampu pada musim paceklik, atau mengambil kerang-kerangan untuk dijual yang bisa diambil kapan saja jika dibutuhkan, Di sini sosok nelayan yang pasrah, menerima apa adanya dan hampir selalu tunduk pada aturan-aturan punggawa diganti dengan sosok seorang manusia ekonomis yang universal (universalized economic man) yang mengambil keputusan di tengah jumlah kendala dan tantangan. Hal ini sesuai dengan tesis Popkin (1979) yang beranggapan bahwa manusia adalah homoeconomicus atau pelaku yang rasional, yang selalu 185
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
melakukan perhitungan secara terus menerus bagaimana di tengah situasi
yang
dihadapi
dapat
meningkatkan
kehidupan
dan
kesejahteraannya atau paling tidak mempertahankan tingkat kehidupan yang tengah dinikmatinya. Dalam pendekatan ini Popkin menyatakan “emphasizes individual decision making and strategic interaction” yang menyiratkan Popkin menggunakan pendekatan keputusan berdasarkan analisa ilmu ekonomi yang mengasumsikan adanya sejumlah pelaku dengan tujuan-tujuan tertentu. Beranjak dari pemikiran ini, keputusan nelayan suku Bajo di Pulau Baliara bekerjasama dengan punggawa dilakukan berdasarkan tujuan rasional, artinya pertama, nelayan sudah mempertimbangkan kesejahteraan dan keamanan diri dan keluarganya atau nelayan melakukan tindakan yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya dengan memperhitungkan kemungkinan memperoleh hasil yang diinginkan, kedua, hubungan nelayan dengan Punggawa tidak selalu didasarkan atas beberapa prinsip moral yang umum, tetapi pada kalkulasi apakah hubungan tersebut menguntungkan atau sebaliknya. C. Struktur Sosial yang paling memungkinkan Kapital Sosial tertambat Konsep ketertambatan (embeddednes) yang dikemukakan Granovetter (1985) berkisar pada melekatnya kapital sosial pada jaringan. Hal yang sama juga kemudian dipertegas oleh Coleman (1988). Jaringan dalam konteks kapital sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan pengatasan masalah dapat berjalan secara efektif dan efisien. Intinya adalah bekerjasama lebih mudah dalam mengatasi masalah daripada bekerja sendiri (Lawang, 2004:51). Meskipun jaringan merupakan faktor penting dalam ketertambatan kapital sosial, namun bukan berarti mengabaikan elemen kapital sosial lainnya yaitu kepercayaan dan norma. Jaringan adalah sumber pengetahuan yang menjadi dasar dalam membentuk kepercayaan, artinya tanpa kepercayaan maka jaringan tidak akan terbentuk. Demikian pula dengan norma yang 186
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
keberadaanya mengikat, mengatur, dan menjaga agar jaringan tersebut dapat dipelihara dan dipertahankan. Dengan mengacu pada pemikiran di atas maka untuk menentukan struktur sosial mana yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat pada struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara maka penulis menganalisis berdasarkan kinerja kapital sosial yang bekerja pada tiap komponen struktur sosial komunitas nelayan suku Bajo di Pulau Baliara, yaitu komunitas, kelompok-kelompok sosial, dan stratifikasi sosial. Kinerja kapital sosial tersebut dilihat dari hasil analisis social bonding dan social bridging yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, yaitu : Tabel 6.4. Kinerja Bonding Social Capital Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Komunitas Nelayan
Integrasi
Jejaring
Kapital Sosial
Kampung Dermaga
Sedang
Rendah
Sedang
Kampung Tengah
Tinggi
Sedang
Tinggi
Kampung Ujung
Sedang
Tinggi
Tinggi
Dusun Pulau Baliara
Tinggi
Sedang
Tinggi
Sumber : Hasil Analisis Data, 2008. Berdasarkan tabel 7.4. di atas, kinerja social bonding komunitas secara umum baik tingkatan integrasi maupun jejaring sehingga kapital sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara adalah tinggi. Hanya Kampung Dermaga yang memiliki tingkatan integrasi sedang karena pada umumnya meraka adalah pendatang dari luar Pulau Baliara atau pecahan keluarga dari keluarga intinya yang ada di kampung lain Pulau Baliara. Dengan mengacu pada sejarah terbentuknya komunitas etnik Bajo yang terdiri dari komunitas keluarga yang relatif homogen maka kepercayaan telah tertanam sejak awal. Norma-norma seperti nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat Universitas Indonesia 187
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
(custom) tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Norma-norma yang telah menjadi pandangan hidup seperti sitabangan (gotong royong) dan orrai lesse (menghindari konflik) telah mempedomani mereka dalam kehidupan seharihari untuk ditaati. Dengan demikian maka kapital sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara masih bergerak dan tertambat pada cakupan mikro yaitu individu dan keluarga dalam kehidupan sehari-hari yang diikat atas dasar hubungan kekerabatan yang homogen, kesamaan tempat tinggal, keyakinan (agama) dan mata pencaharian. Fenomena ini berlaku pada struktur sosial masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih bergerak pada tataran mikro keluarga sehingga pada struktur sosial inilah pada umunya kapital sosial tertambat. Tabel 6.5. Kinerja Bonding Social Capital Kelompok Sosial Dalam Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Kelompok Sosial
Integrasi
Jejaring
Kapital Sosial
Keluarga Nelayan
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Kelompok Pengajian
Sedang
Rendah
Sedang
Kelompok Papalele
Rendah
Rendah
Rendah
Usaha Kios/Warung
Sedang
Tinggi
Sedang
Budidaya Rumput Laut
Sedang
Sedang
Sedang
Nelayan Dayung
Tinggi
Sedang
Sedang
Nelayan Mesin
Sedang
Sedang
Sedang
Nelayan Punggawa
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sumber : Hasil Analisis Data, 2008. Berdasarkan tabel 7.5 di atas, kinerja kapital sosial pada tingkatan social bonding kelompok-kelompok sosial pada umumnya sedang yang ditandai dengan terbatasnya jejaring (rendah atau sedang) pada tiap kelompok 188
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
sosial untuk mendapatkan akses dukungan diluar kelompok sosialnya, baik yang ada dalam komunitas maupun di luar komunitas suku Bajo Pulau Baliara. Meskipun demikian tingkatan integrasi mereka pada umumnya tinggi karena lingkup kerjanya bersifat lokal, terbatas untuk kebutuhan subsisten, dan relasi atas dasar keluarga dan kerabat, khususnya pada kelompok usaha papalele yang lingkup kerjanya bersifat usaha penunjang dan dibatasi atas ijin punggawa serta usaha budidaya rumput laut yang bersifat musiman, yakni dilakukan pada musim angin darat dan berdasarkan permintaan pasar yang dikoordinir oleh para punggawa. Tabel 6.6. Kinerja Bridging Social Capital Stratifikasi Sosial Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Stratifikasi Sosial
Integrasi
Sinerji
Kapital Sosial
Nelayan Dayung
Sedang
Rendah
Sedang
Nelayan Mesin
Sedang
Sedang
Sedang
Nelayan Punggawa
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sumber : Hasil Analisis Data, 2008. Berdasarkan tabel 7.6. di atas, maka kinerja social bridging stratifikasi sosial pada umumnya rendah yang ditandai dengan keterbatasan sinerji (rendah) pada semua lapisan nelayan baik kecil, menengah dan punggawa. Pada tingkatan integrasi antar lapisan sosial nelayan memiliki kinerja bridging social capital sedang karena terbatas untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga pada umumnya relatif terpenuhi dengan mengandalkan alat produksi yang mereka miliki akan tetapi pada tingkatan sinerji, kinerja bridging social capital relatif rendah karena dibatasi faktor kepemilikan alat produksi dan modal produksi berupa perbekalan akomodasi nelayan ketika melaut. Kedua faktor tersebut mempengaruhi frekuensi nelayan melaut karena tergantung pada ketersediaan / penyediaan bekal melaut nelayan dari punggawa, dimana 189
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
punggawa pada waktu dan jumlah tertentu juga memiliki kemampuan yang tebatas untuk memenuhi perbekalan nelayan melaut. Faktor keterbatasan kinerja sinerji antara lapisan sosial nelayan juga dilihat dari aspek distribusi / pemasaran hasil tangkapan dan sumberdaya laut lainnya. Dalam posisinya sebagai buruh, Nelayan Dayung dan menengah tidak dapat menjual hasilnya kepada institusi lain atau pasar karena sudah terikat dengan punggawa selaku pemodal dan pengumpul sehingga mereka tidak memiliki posisi tawar dalam penetapan harga oleh para punggawa dan sistim bagi hasil yang berlaku di Pulau Baliara. Faktor ini sangat mempengaruhi tingkat pendapatan Nelayan Dayung dan menengah. Jika Nelayan Mesin mendapat bagian dari elemen alat produksi yang dimiliki dan digunakan pada kegiatan produksi, tetapi ada potongan untuk pembayararan cicilan alat produksi kepada punggawa. Di lain pihak, keterbatasan kinerja sinerji para punggawa dengan institusi ekonomi lain sangat terbatas yaitu hanya mengandalkan pada institusi pasar lokal berupa hasil penjualan sehingga dalam penetapan harga produksi lebih mengutamakan keuntungan dari modal produksi yang dikeluarkan dan kurang mempertimbangkan kesimbangan yang proporsional dengan harga yang berlaku di pasaran. Beberapa elemen yang menjadi faktor penetapan harga antara lain faktor angkutan transportasi pemasaran, stock permintaan pasar, dan pengawetan sehingga punggawa tidak dapat setiap saat menjual hasil produksi langsung ke pasaran. Dengan demikian, berdasarkan analisis kinerja kapital sosial yang tertambat pada tiap komponen struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara maka struktur sosial yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat untuk bersinerji dalam upaya mencapai kehidupan yang lebih baik adalah pada tingkatan komunitas (bonding social capital). Alasan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 1. Komunitas suku Bajo di Pulau Baliara adalah homogen baik etnik maupun pekerjaan dimana di dalamnya terdiri dari komunitas keluarga besar (dansihitang) yang terjalin karena hubungan darah keluarga dan kerabat 190
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
serta pekerjaan yang sama dalam kegiatan ekonomi mata pencaharian dan tempat menggantungkan hidup (kalumanine). Dalam keadaan tersebut maka pada tingkatan komunitas, kapital sosial paling memungkinkan tertambat karena dapat menjangkau lintas kampung, lintas kelompok dan lintas lapisan sosial nelayan untuk hidup bersama mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan bersama (societal needs). 2. Pada lingkup komunitas, kinerja bonding social capital tinggi baik pada aspek integrasi maupun jejaring. Selain karena homogenitas etnik dan pekerjaan, pertetanggaan dalam lingkup dusun pada ruang / lahan terbatas, relasi yang terjalin sangat kental diwarnai sistem sosial budaya etnik Bajo berupa nilai, norma, kepercayaan dan mekanisme yang mengatur tindakantindakan individu maupun kolektif. Dalam keadaan tersebut maka kapital sosial memungkinkan tertambat dan menjangkau lintas kampung, lintas kelompok sosial, dan lintas lapisan sosial nelayan yang tidak hanya mengedepankan relasi kerjasama ekonomi semata. 3. Pada lingkup kelompok-kelompok sosial, kinerja bonding social capital umumnya sedang karena meskipun aspek integrasinya tinggi namun aspek jejaring masih terbatas pada jangkauan lokal, usaha bersifat penunjang dan musiman, serta masing-masing kelompok sosial memiliki tujuan yang berbeda sehingga kurang melibatkan komunitas secara menyeluruh. Dalam keadaan tersebut maka kapital sosial yang tertambat pada kelompokkelompok sosial kurang dapat diandalkan dalam mengatasi masalahmasalah yang muncul / dialami komunitas suku Bajo di Pulaua Baliara. 4. Pada lingkup stratifikasi sosial, kinerja bridging social capital tergolong rendah dimana meskipun aspek integrasi umumnya sedang namun aspek sinerji umumnya rendah. Kinerja bridging social capital tidak berfungsi secara maksimal karena keterbatasan jumlah dan kemampuan nelayan punggawa yang ada di Pulau Baliara sedangkan linking social capital tidak berfungsi sama sekali, baik dengan pemerintah, civil society maupun lembaga keuangan dan swasta. Dengan demikian maka kapital sosial yang tertambat pada stratifikasi sosial nelayan kurang dapat diandalkan dalam 191
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
struktur sosial untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul / dialami komunitas suku Bajo di Pulaua Baliara.
D. Sinerji Antar Kapital Suatu program yang operasional efektif dan efisien harus memiliki instrumen yang mengarah ke pencapaian tujuan dan yang melekat dalam pendekatan program seperti ini adalah pendekatan sinerji, dengan asumsi bahwa hasil akhir dari suatu program ditentukan oleh banyak faktor: kapital finansial, kapital alam, kapital fisik, kapital personal, kapital budaya, kapital simbolik, kapital sosial. Karena itu kapital sosial bukan satu-satunya (Lawang, 2004:62). Tujuan ekonomi atau pengatasan masalah akan tercapai kalau semua kapital yang tersedia dalam masyarakat dikerahkan dalam suatu sinerji. Prinsip sinerji mengatakan bahwa kapital fisik, atau kapital manusia, dan kapital sosial saja tidak cukup dari dirinya sendiri saja. Energi yang terkandung di dalam masing-masing kapital perlu disatukan untuk menjadi kekuatan yang efektif. Yang menjadi pertanyaan adalah; apakah prinsip ini bersifat mutlak? apakah tanpa sinerji ketiganya tidak mungkin efektivitas tercapai? dan apakah sinerji itu terbentuk dapat dipukul rata? (seperti yang pernah disinggung Fukuyama dengan solusi 20 : 80 dimana kapital sosial 20, dan kapital ekonomi 80). Menurut Lawang (2004:221), hanya penelitian lapangan yang bisa menentukan kontribusi kapital sosial dalam suatu proses produksi. Kalau kapital manusia dan kapital fisik kurang tersedia, maka kapital sosial menjadi andalan utama atau jika dalam kondisi krisis ekonomi maka selayaknya kapital sosial lebih menonjol daripada kapital kapital lainnya.
Sedangkan
menyangkut
kelengkapan
kapital
yang
dapat
mempengaruhi efektifitas sinerji, terdapat dua kemungkinan sinerji yang dapat dikembangkan yaitu (1) sinerji lengkap dan (2) sinerji terbatas jika salah satu kapital tidak tersedia dalam masyarakat. Implementasi dari uraian di atas adalah bahwa semua institusi yang ada dalam komunitas suku Bajo di Pulau Baliara seperti pendidikan, keluarga, perkawinan, agama, dan pemerintahan berhubungan satu sama lain dalam satu 192
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
kesatuan struktural sosial baru yang saling mendukung sehingga kebutuhan masyarakat (societal needs) dapat terpenuhi. Struktur sosial yang muncul ini didorong untuk mengarah pada fungsi pencapaian tujuan dan integrasi sosial komunitas nelayan suku Bajo sebagai suatu kelompok sosial sehingga diharapkan dapat muncul kekuatan sosial baru yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah mereka. Pengorganisasian kebutuhan dan kegiatan masyarakat hendaknya bersifat lintas batas (borderless) dengan membentuk sinerji antar kegiatan. Dengan demikian sumberdaya (resources) yang dimiliki oleh tiap institusi akan dapat digunakan secara bersama-sama agar diperoleh efisiensi dan nilai tambah yang tinggi. Uraian tersebut dapat dirangkum melalui sajian pada bagan berikut ini. Bagan 6.7. Sinerji Antar Kapital
Efektif dan Efisien SUKU BAJO PULAU BALIARA
STRUKTUR SOSIAL
SUMBERDAYA LAUT
KONDISI DEMOGRAFI
Kebutuhan Pokok Keluarga Ekonomi Pendidikan Agama Pemerintahan
PEMERINTAH DUNIA USAHA CIVIL SOCIETY
KAPITAL SOSIAL
Social Linking
S I N E R J I
KAPITAL FISIK
KAPITAL MANUSIA
NELAYAN PUNGGAWA
Social Bridging
NELAYAN MESIN
Social Bridging
K E B U T U H A N B E R S A M A
NELAYAN DAYUNG
Social Bonding
193
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Sinerji kapital dalam pemberdayaan komunitas suku Bajo di Pulau Baliara berkaitan dengan kerjasama atau hubungan interaktif antara komponen good governance, baik secara horizontal maupun vertikal. Pemerintah memfasilitasi pemberdayaan komunitas dengan menyediakan modal usaha (micro finance), kapital fisik, dan kapital sosial dalam bentuk institusi atau norma dan nilai yang mendorong atau memfasilitasi munculnya kapital sosial dalam masyarakat (Lawang, 2004:221). Dalam persepektif tersebut di atas, keberadaan dan keberlangsungan hidup dari suku Bajo di Pulau Baliara selain tergantung pada kekuatan hubungan (sosial, ekonomi, dan politik) dengan masyarakat lain (terutama sekitar), juga tergantung pada kebijakan pemerintah (dengan instansi-instansinya pada berbagai tingkatan: desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, pusat) serta pasar (baik pasar tradisional, pasar hasil sumberdaya laut, dan pasar bebas). Dalam pelaksanaannya mereka menyandarkan diri pada sumbersumber daya yang ada dalam komunitas setempat (kapital manusia dan kapital fisik), tetapi dalam keadaan mereka kekurangan biaya (kapital ekonomi) maka mereka butuh dukungan pemerintah dari instansi tertentu atau badan-badan swasta (Blakely 1979, Hegeman dan Kooperman 1974). Dalam hal ini maka koordinasi sangat penting untuk mengurangi pemborosan. Koordinasi dapat menjadi suatu kekuatan sosial yang berguna dalam mengatasi masalah sosial secara bersama-sama dan komprehensif. Pemberdayaan terhadap komunitas suku Bajo di Pulau Baliara adalah merupakan proses atau upaya sinerji yang terintegrasi dalam visi pembangunan pada berbagai tingkatan. Intervensi yang terbaik dalam upaya memberdayakan komunitas suku Bajo di Pulau Baliara adalah memfasilitasi mereka untuk mengorganisasi diri mereka dalam kelompok yang secara bersama-sama merasakan adanya kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi atau adanya masalah-masalah yang harus mereka atasi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Kelompok tersebut selanjutnya membuat rencana-rencana kerja sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi atau mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi 194
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
untuk dapat diatasi bersama, dan berdasarkan atas itu mereka mengorganisasi diri dalam bentuk kelompok-kelompok kerja atau perkumpulan-perkumpulan untuk melaksanakannya. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran sinerji antar kapital di atas dan dikaitkan dengan hasil analisis kapital sosial yang tertambat pada struktur sosial komunitas nelayan suku Bajo di Pulau Baliara maka sinerji antar kapital yang dapat diterapkan dalam tahapan pemberdayaan sebagai berikut : 1. Melakukan revitalisasi peran punggawa dimana punggawa sebagai institusi jaminan sosial nelayan perlu ditata ulang pola dan mekanismenya untuk mendorong munculnya (emergence) kekuatan relasi sosial baru yang lebih seimbang, proporsional dan saling menguntungkan dalam perspektif sitabangan, orrai lesse, dan sejahtera bersama. 2. Mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dalam komunitas sebagai masalah bersama, dan mengkaji struktur sosial obyektif dalam komunitas yang masih fungsional mempengaruhi tindakan sosial serta kekuatan sosial yang muncul dari struktur sosial obyektif tersebut. 3. Menyusun prioritas secara partisipatif berdasarkan identifikasi masalah yang telah disusun dengan mempertimbangkan besaran masalah yang banyak dibutuhkan anggota komunitas dari yang paling mendesak hingga yang paling tidak mendesak diatasi bersama, serta pertimbangan terhadap keberadaan daya dukung kapital-kapital yang dapat dijangkau. Dalam kaitan tersebut maka beberapa bagian penting dari investasi program pemberdayaan adalah (i) tujuan program, (ii) bagaimana cara mencapai tujuan program dengan semua sumberdaya yang ada, (iii) dari mana sumberdaya tersebut diperoleh, (iv) bagaimana proses sumberdaya tersebut menjadi kapital, dan (v) bagaimana hubungan antar kapital dapat saling bersinerji satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hasil diskusi dengan informan, hasil pengamatan dan analisis kapital sosial, berikut ini penulis sajikan kerangka sinerji antar kapital yang disajikan dalam bentuk tabel 7.7. sebagai berikut : 195
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Tabel 6.7. Sinerji Antar Kapital Sinerji Kapital
Tahap 1. Revitalisasi Punggawa
Tahap 2. Identifikasi Masalah
Tahap 3. Menyusun Prioritas
Tujuan
Terbentuknya kekuatan relasi sosial baru yang lebih proporsional dan saling menguntungkan dalam perspektif bersama.
Menemukenali faktorfaktor penyebab masalah dan mengkaji kekuatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah.
Tersusunnya urutan atau skala prioritas pengatasan masalah yang akan dilakukan bersama secara partisipatif.
Kapital Sosial
Bonding social capital Sistim keluarga / kerabat dan jaringa keluarga nelayan (dansihitang) Semangat / etos kerja dan gotong royong (sitabangan) Norma kebersamaan (orrai lesse), saling percaya, homogenitas etnik dan pekerjaan Sistim sosialisasi pengetahuan dan keterampilan usaha nelayan Sistim kepercayaan dan nilai-nilai kearifan lingkungan Norma-norma sangsi, tabu dan sakral dalam kebudyaan suku Bajo
Bonding social capital Sistim keluarga / kerabat dan jaringa keluarga nelayan (dansihitang) Semangat / etos kerja dan gotong royong (sitabangan) Norma kebersamaan (orrai lesse), saling percaya, homogenitas etnik dan pekerjaan Sistim sosialisasi pengetahuan dan keterampilan usaha nelayan Sistim kepercayaan dan nilai-nilai kearifan lingkungan Norma-norma sangsi, tabu dan sakral dalam kebudyaan suku Bajo
Bonding social capital Sistim keluarga / kerabat dan jaringa keluarga nelayan (dansihitang) Semangat / etos kerja dan gotong royong (sitabangan) Norma kebersamaan (orrai lesse), saling percaya, homogenitas etnik dan pekerjaan Sistim sosialisasi pengetahuan dan keterampilan usaha nelayan Sistim kepercayaan dan nilai-nilai kearifan lingkungan Norma-norma sangsi, tabu dan sakral dalam kebudyaan suku Bajo
Bridging social capital Institusi ekonomi lokal seperti Punggawa, Pedagang keliling Kepala Dusun Kepala Kampung
Bridging social capital Institusi ekonomi lokal seperti Punggawa dan Pedagang keliling Kepala Dusun Kepala Kampung
Bridging social capital Institusi ekonomi lokal seperti Punggawa dan Pedagang keliling Kepala Dusun Kepala Kampung
Linking social capital Pemerintah Desa LSM Sama Kendari Kerukunan Keluarga Bajo Kendari UNHALU Kendari
Linking social capital Pemerintah Desa dan Kecamatan LSM Sama Kendari Kerukunan Keluarga Bajo Kendari UNHALU Kendari LKM / Koperasi
Linking social capital Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten LSM Sama Kendari Kerukunan Keluarga Bajo Kendari UNHALU Kendari LKM / Koperasi
196
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Kapital Manusia
Inventarisasi jumlah KK nelayan sesuai dengan keluarga dan kerabat KK nelayan Penyuluhan sosial Bimbingan sosial dan dinamika kelompok Pembentukan berbagai kelompok jenis usaha nelayan Pengorganisasian forum diskusi warga Pendampingan.LSM
Inventarisasi jumlah anggota keluarga yang bekerja dan tidak bekerja Identifikasi mobilitas dan jaringan nelayan dan keluarga di luar Pulau Baliara Identifikasi jenis-jenis keterampilan dan teknologi usaha yang sudah dikuasai warga Pendampingan LSM
Diklat pengembangan mata pencaharian alternatif bagi isteri dan perempuan nelayan Diklat usaha budidaya sumberdaya pesisir pantai dan laut Pembentukan kelompok usaha simpan pinjam Pendampingan LSM dan LKM
Kapital Fisik
Memfungsikan Balai Sosial sebagai tempat forum diskusi warga Memfunsikan Kantor Kepala Dusun sebagai sekretariat bersama Memfungsikan masjid dan kelompok pengajian sebagai saluran komunikasi dan informasi warga Memfungsikan gedung SD sebagai tempat pembelajaran administrasi usaha kelompok nelayan Penyediaan alat tulis kantor sebagai dokumen kegiatan kelompok nelayan
Inventarisasi jumlah dan kualitas alat tangkap produksi melaut Keterbatasan sarana prasarana & teknologi penyimpanan dan pengawetan hasil sumberdaya laut Jumlah perahu besar cukup memadai Ombak pesisir pantai relatif tenang yang berpotensi sebagai lahan usaha budidaya Potensi sumber laut dan terumbu karang yang mudah dijangkau Potensi hutan bakau di sekitar Pulau Baliara
Pengadaan sarana produksi dan budidaya pesisir dan laut serta teknologi pengawetan Pemanfaatan lahan pesisir dan hutan bakau untuk usaha budidaya sumberdaya laut Pemilihan dan penjadwalan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan terumbu karang secara berkelanjutan Pengawasan dan pengendalian bersama sumberdaya pesisir, laut, terumbu katang di sekitar Pulau Baliara Penyediaan sarana transportasi pemasaran hasil tangkapan dan sumberdaya laut.
Kapital Ekonomi
Penggalanagan dana kelompok sebagai kas bersama Arisan modal usaha kelompok usaha nelayan, isteri nelayan dan perempuan
Inventarisasi jumlah kebutuhan dana tiap keluarga dan sumber yang dapat dicapai Identifikasi institusi ekonomi yang dapat diakses usaha nelayan
Kerjasama bantuan kredit usaha nelayan Bantuan modal usaha produksi nelayan Kebijakan proteksi pemasaran dan harga produksi nelayan
Sumber : Hasil FGD, pengamatan analisis informasi, 2008.
197
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
E. Diskusi Pada bagian awal tentang keterbatasan studi ini telah disampaikan bahwa dalam studi sosiologi dengan kontribusi teori social capital maka teori atau konsep tersebut perlu dikaitkan dengan lingkungan sosial dimana konsep itu diterapkan (Lawang, 2004). Konsep atau teori-teori tentang kapital sosial yang dijadikan dasar sebagai acuan dalam beberapa kajian yang dilaksanakan di Indonesia kebanyakan dilakukan pada masyarakat perkotaan (Linda Ibrahin, 2002; Singgih, 2004 ; Anugraharini, 2004; Brata, 2004; Gaol, 2005; Lee, 2007; Simanjuntak, 2008) sedangkan pada masyarakat tradisional belum banyak dilakukan. Kerangka teoritik sosiologi yang digunakan dalam tesistesis belum terlalu jelas dan kurang mengarah pada penajaman konsep yang bercirikan lokalitas: kapital sosial di Indonesia (Lawang, 2004:221). Implikasinya dalam kajian ini adalah; apakah konsep atau teori-teori kapital sosial yang diajukan pada komunitas suku Bajo ini dapat sesuai secara kontekstual?. Beranjak dari keterbatsan studi ini maka temuan yang diperoleh sebagai diskusi teoritiknya sebagai berikut : 1. Tipologi kapital sosial menurut Woolcock (2001) kurang memberikan ruang yang jelas terhadap keberadaan komunitas, meskipun jika dicermati penjelasannya berada pada tipologi bonding social capital yang menunjuk pada ikatan yang kuat dalam sistem sosial seperti halnya keluarga yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga lain yang masih satu etnik. Posisi komunitas dalam struktur sosial sangat penting sehingga perlu dipertegas keberadaannya dalam tipologi kapital sosial. 2. Lawang menyatakan bahwa apa yang ada dalam komunitas adalah bounded social capital dan yang ada di luar komunitas adalah bridging social capital (Lawang, 2004:110). Ini berbeda dengan Woolcock (2001) karena meskipun bridging social capital wilayah kerjanya lebih luas dari bounding social capital tetapi lintas kelompok yaitu pada kelompok memiliki kemampuan lebih tinggi namun masih di dalam komunitas. Jika wilayah kerjanya di luar komunitas, menurut Woolcock (2001) adalah linking social capital. 198
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
3. Demikian pula dengan cakupan struktur sosial yang dikemukakan Lawang (2004:77) kurang jelas menempatkan komunitas pada cakupan yang mana; mikro menunjuk pada individu berupa status-peran, meso menunjuk pada institusi-institusi sosial berupa cara atau mekanisme sebagai alat untuk mencapai kebutuhan bersama yang diwujudkan dalam kelompokkelompok sosial, dan makro menunjuk pada stratifikasi sosial. 4. Struktur sosial dimana didalamnya bisa berupa kelompok-kelompok sosial. Berdasarkan pengertian kelompok sosial menurut Simmel, Cooley, Homan, Merton, Lawang (dalam Lawang, 2004:104-109) tersebut maka pada komunitas etnik Bajo pada kelompok sosial tertentu, yaitu kelompok usaha nelayan menjadi tumpang tindih dengan stratifikasi sosial sehingga perlu dirumuskan batasan dengan paramater yang terukur secara jelas. 5. Teori-teori yang lazim digunakan untuk menjelaskan stratifikasi sosial salah satunya adalah teori konflik dari Karl Marx (dan kaum Marxian), namun jika dillihat dari beberapa asumsi dan dikaitkan dalam konteks komunitas etnik Bajo di Pulau Baliara kurang tepat. Pada realitasnya, setiap nelayan suku Bajo di Pulau Baliara memiliki alat produksi utama yaitu perahu, pancing, dan jala (jaring) namun dengan ukuran dan kualitas yang berbeda. Untuk kebutuhan subsisten keluarga, mereka mampu memenuhinya namun untuk kebutuhan/pendapatan yang lebih maka nelayan pemilik alat produksi subsisten harus bekerja menyumbangkan tenaganya atau menjadi buruh kepada para punggawa. Mereka juga bukan kaum miskin murni, yaitu kaum buruh dan kaum miskin yang menjadi pengusaha kecil tanpa menggunakan tenaga kerja upahan. 6. Analisis stratifikasi sosial pada komunitas suku Bajo di Pulau Baliara juga kurang sesuai ditinjau dari tiga sudut pandang Kusnadi (2002) dan Kinseng (2006). Nelayan suku Bajo adalah nelayan pemilik yang kadangkadang menjadi buruh kepada para punggawa, termasuk modal dan teknologi (modern) yang digunakan dalam kegiatan produksi diperoleh dari para punggawa. Pada kasus ini lebih tepat disebut sebagai buruh lepas
199
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
yang bekerja dengan punggawa kapan saja jika nelayan ingin menghasilkan pendapatan yang lebih. 7. Relasi antara nelayan dan punggawa bermakna dua dimensi, yaitu relasi vertikal yang ditandai adanya perbedaan tingkatan atau ukuran kuantitatif sehingga relasi mengarah pada relasi patron klien. Pada sisi lain relasi yang terjalin juga bersifat mutual symbiosis
(saling menguntungkan).
Hubungan ekonomi yang sangat signifikan dilandasi etnisitas, tradisi, kekerabatan, pertemanan, dan pertalian tempat tinggal membawa hubungan tersebut pada dimensi lain yang bersifat horisontal dan diagonal, khususnya dalam interaksi sosial sehari-hari.
200
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
BAB VII P E N U T UP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi tentang kapital sosial nelayan suku Bajo di Pulau Baliara maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara dalam berbagai tingkatan yang berhubungan satu sama lain, meliputi : a. Pada tingkatan komunitas, komunitas suku Bajo di Pulau Baliara adalah komunitas etnik dengan satu struktur sosial tunggal dan terbagi dalam tiga satuan wilayah kampung yaitu Kampung Dermaga, Kampung Tengah, dan Kampung Ujung yang merupakan kesatuan wilayah Dusun Pulau Baliara. b. Pada tingkatan meso, komunitas suku Bajo di Pulau Baliara terdiri dari institusi-institusi sosial yang diwujudkan dalam bentuk kelompokkelompok sosial berupa keluarga, kelompok pengajian, kelompok budidaya rumput laut, kelompok penjualan ikan (papalele), kelompok kios / warung, dan kelompok nelayan dimana riap kelompok tersebut memiliki mekanisme masing-masing dalam pemenuhan kebutuhan anggotanya. c. Pada tingkatan makro, komunitas suku Bajo di Pulau Baliara terdiri dari lapisan nelayan dayung, nelayan mesin, dan nelayan punggwa yang terjalin dalam relasi yang berdimensi patron klien dan mutual symbiosis dimana posisi punggawa adalah institusi jaminan sosial bagi nelayan dan keluarganya. d. Pada tingkatan mikro, komunitas suku Bajo di Pulau Baliara terdiri dari individu-individu yang melekat pada status-peran dan fungsi yang terikat dalam posisi dirinya masing-masing pada berbagai tingkatan struktur sosial. 2. Kinerja kapital sosial yang tertambat pada tiap tingkatan struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara adalah sebagai berikut :
201
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
a. Pada tingkatan komunitas, kinerja bonding social capital tinggi baik pada
aspek
integrasi
maupun
jejaring.
Fakto-faktor
yang
mempengaruhi tingginya kinerja adalah homogenitas etnik dan pekerjaan, pertetanggaan dalam lingkup kampung dan dusun pada ruang / lahan terbatas serta faktor sejarah jaringan hubungan sosial ketika masih hidup nomaden sehingga memungkinkan relasi yang terjalin sangat kental diwarnai sistem sosial budaya etnik Bajo berupa nilai, norma, kepercayaan dan mekanisme yang mengatur tindakantindakan individu maupun kolektif. b. Pada tingkatan kelompok-kelompok sosial, kinerja bonding social capital sedang dimana meskipun aspek integrasinya pada tiap kelompok namun pada aspek jejaring masih terbatas atau kurang melibatkan
kelompok-kelompok
sosial
lainnya,
terbatas
pada
jangkauan lokal, usaha bersifat penunjang dan musiman, serta masingmasing kelompok sosial memiliki tujuan yang berbeda sehingga kurang melibatkan komunitas secara keseluruhan. c. Pada tingkatan stratifikasi sosial, kinerja bridging social capital sedang yang ditandai dengan adanya perbedaan tingkat penguasaan kegiatan ekonomi nelayan baik elemen produksi maupun pemasaran. Kinerja bridging social capital tidak berfungsi secara maksimal karena keterbatasan kemampuan modal dan jangkauan punggawa linking social capital tidak berfungsi sama sekali, baik dengan pemerintah, civil society maupun lembaga keuangan dan swasta. 3. Kapital sosial yang paling memungkinkan tertambat pada struktur sosial komunitas suku Bajo di Pulau Baliara adalah pada tingkatan komunitas dimana kinerja bonding social capital tinggi baik pada aspek integrasi maupun jejaring. Kinerja tinggi dipengaruhi faktor komunitas yang homogen baik etnik maupun pekerjaan. Dalam keadaan tersebut jangkauan kapital sosial tertambat pada lintas kampung, lintas kelompok dan bahkan lintas lapisan sosial nelayan.
202
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
4. Sinerji antar kapital yang dapat diterapkan untuk dapat mengatasi masalah nelayan adalah sinergi lengkap, meliputi; kapital sosial, kapital manusia, kapital fisik dan kapital ekonomi.
B. Pokok Pikiran Rekomendasi Beranjak dari temuan studi kapital sosial nelayan suku Bajo di Pulau Baliara maka perlu dikembangkan program-program yang secara operasional dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pendekatan sinerji dengan asumsi bahwa hasil akhir dari suatu program ditentukan oleh banyak faktor seperti kapital manusia, kapital fisik, kapital ekonomi dan kapital sosial itu sendiri. Dengan demikian maka pendekatan sinerji yang diterapkan adalah sinerji lengkap dengan asumsi bahwa semua kapital yang ada merupakan sumber atau modal yang dapat dikelola, dimanfaatkan dan didayagunakan secara optimal. Pendekatan sinerji antar kapital didasarkan atas hak-hak asasi manusia (humman right based approach) nelayan suku Bajo sebagai warga negara Indonesia untuk hidup secara layak bagi kemanusiaan. Dengan sendirinya maka kendala geografis seperti keterisoliran, keterpencilan, dan sulit dijangkau bukanlah alasan yang selama ini dianggap sebagai hambatan dalam pembangunan. Upaya pemberdayaan (empowerement) terhadap nelayan suku Bajo lebih mengutamakan pada kemandirian untuk memanfaatkan dan mengelola kapital-kapital yang ada dalam diri dan jaringannya dengan tujuan (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir / laut, (2) mendorong tumbuhnya ekonomi yang berbasis pada sumberdaya lokal, (3) menciptakan tata pengelolaan untuk kelestarian sumberdaya pesisir yang berpusat pada peranserta masyarakat, dan (4) mendorong pengembangan nilai-nilai lokal yang kondusif bagi kemajuan desa atau masyarakat pesisir dan / atau laut (Satria, 2007). Beranjak dari akar masalah dan prinsip-prinsip keberlanjutan tadi maka untuk mewudkannya diperlukan strategi yang baik yang bertumpu pada peranserta masyarakat maupun komponen masyarakat lainnya seperti 203
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
pemerintah (goverment), civil society (LSM, dan Perguruan Tinggi) dan dunia usaha swasta seperti halnya pasar dan perbankan. Selanjutnya programprogram atau kegiatan-kegiatan yang peneliti rekomendasikan pada tingkatan messo adalah sebagai berikut : a. Revitalisasi peran dan fungsi Punggawa Punggawa sebagai institusi jaminan sosial nelayan perlu ditata ulang pola dan mekanismenya untuk mendorong munculnya (emergence) kekuatan relasi sosial baru yang lebih seimbang, proporsional dan saling menguntungkan tidak dalam perspektif masing-masing namun dalam perspektif sitabangan, orrai lesse, dan sejahtera bersama. Terlepas dari dimensi relasi patron klien, tetapi diakui punggawa adalah institusi jaminan sosial satu-satunya yang telah memberikan jaminan sosial ekonomi keluarga nelayan suku Bajo sehingga perlu urun rembuk bersama mereka untuk meningkatkan usaha nelayan. Yang perlu diperkuat adalah kapital sosial yang fungsional, bukan yang tidak menguntungkan. Kapital sosial yang kurang menguntungkan perlu dikemas dalam mekanisme reinforcement dengan mengkonstruksikan tata aturan yang dirumuskan dan disepakati bersama menyangkut reward (prestise dan material) and punishment (cukup sangsi moral, bukan material) nelayan secara terukur, transparan, dan fleksibel. b. Penumbuhan kelompok dan jaringan institusi ekonomi lokal Penumbuhan institusi ekonomi lokal dimaksud adalah koperasi nelayan di tingkat lokal yaitu di Pulau Baliara. Jika upaya ini pernah gagal (ketika dibangun di kecamatan), maka perlu dikaji kembali mengapa bisa gagal, bukan ditinggalkan. Semangat koperasi adalah kebersamaan dan ini sesuai dengan falsafah suku Bajo sehingga perlu dicoba membuat koperasi di lingkungan mereka (bukan di kecamatan) dengan melibatkan para punggawa sebagai pemegang saham. Penumbuhkembangan kelompok dan institusi ekonomi lokal ini penting untuk menciptakan ketahanan ekonomi sebagai akibat dinamika perubahan ekonomi pasar. Pada konteks ini maka organisasi ekonomi di 204
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
tingkat lokal harus diperkuat dan solid dengan mengembangkan jaringan pada tiga tingkatan; intra komunitas, inter komunitas, dan supra komunitas (Satria, 2007). Jaringan dalam masyarakat (intra community) dimaksudkan untuk mengkonsolidasi kelompok nelayan yang selama ini beragam karena dibentuk oleh proyek program/kegiatan pemerintah sehingga jaringan ini penting untuk integrasi sosial dan sebagai basis kuatnya jaringan tersebut. Jaringan antar masyarakat (inter community) ditujukan untuk membangun kerjasama antar komunitas nelayan dengan prinsip saling pengertian, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya mengingat kegiatan perikanan (produksi dan pemasaran) adalah lintas wilayah administratif sehingga perlu ada integrasi pengelolaan (management) untuk mengantisipasi munculnya persaingan, pertentangan, dan konflik. Jaringan luar masyarakat (supra community) adalah penting untuk integrasi ekonomi karena ekonomi nelayan akana berkembang jika terintegrasi dengan lingkungan ekonomi di luarnya. Untuk itu perlu membangun kemitraan dengan pihak dunia usaha swasta dan pasar (market) sehingga bisnis perikanan yang dibangun bersifat ramah sosial (istilah dalam tulisan Arif Satria, 2007). Koperasi perikanan hendaknya dibangun atas basis kelompok nelayan karena keberhasilannya sangat tergantung pada budaya organisasi nelayan setempat, misalnya keluarga besar dan kerabat. Dari keragaman tersebut maka perlu kecermatan dalam mengorganisasikan kelompokkelompok nelayan, khususnya nelayan suku Bajo yang relatif homogen dan cenderung gagap formalitas. Koperasi adalah organisasi formal karena berbadan hukum. Setelah menjadi koperasi tentu persoalannya tidak hanya kredit tetapi juga pengelolaan perikanan (fisheries management), membangun jaringan, kemitraan dan sebagainya secara bertahap. Dalam jangka panjang, koperasi perikanan tidak semata-mata perjuangan ekonomi nelayan tetapi juga perjuanagan politik nelayan. Jaringan dan kemitraan nelayan hendaknya menguntungkan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya, namun dalam prakteknya keuntungan 205
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
lebih banyak dirasakan oleh pihak-pihak tertentu saja sebagai akibat posisi nelayan (sperti halnya hubungan patron klien suku Bajo di Pulau Baliara) yang lemah secara sumberdaya dan manajerial. c. Bimbingan sosial dan pelatihan Aspek mental spiritual suku Bajo perlu dibangkitkan kembali sebagai manusia yang berpengetahuan tinggi dalam mengembangkan sumberdaya alam laut. Local knowledge, ecological wisdom, dan sustainable development merupakan issu-issu sentral yang perlu digairahkan dalam semangat bahari suku Bajo. Jika ini dilakukan bersinerji dengan teknologi alternatif yaitu teknologi tepat guna yang banyak dikembangkan oleh BPPT yang dikelola oleh Kementrian Riset dan Teknologi, dan Departemen Kelautan dan Perikanan maka akan ditemukan banyak alternatif mata pencaharian yang bisa diterapkan tanpa harus selalu memaksakan diri pigi pongka berhari-hari, kendatipun pada musim angin laut dan hasil tangkapan terbatas. Program/kegiatan bimbingan sosial dan pelatihan ini merupakan inti dari pemberdayaan yang menempatkan masyarakat nelayan suku Bajo sebagai orang dewasa, masyarakat yang sudah sangat mengenal dan memahami dirinya sendiri sehingga teknik yang digunakan lebih pada sharring experience daripada pengajaran dengan materi-materi yang mendukung peningkatan produktivitas usaha ekonomi nelayan melalui diversifikasi usaha, misalnya budidaya ikan dan sumber laut lainnya, usaha pengolahan makanan dari sumber laut seperti kerupuk, terasi, ikan kering, dan kerajinan laut, termasuk kemungkinan keterlibatan para isteri nelayan dan perempuan nelayan pada usaha-usaha ekonomi tersebut. Tugas bimbingan sosial (motivasi) dan pelatihan ini hendaknya dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, dunia usaha dan civil society (LSM dan perguruan tinggi) sesuai dengan cored bussines-nya masing-masing sehingga upaya ini bisa berjalan dari hulu (proses produksi) ke hilir (pemasaran). Dalam konteks ini, penulis menekankan pentingnya sinerji institusional melalui sinkronisasi dan koordinasi karena 206
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
komponen ini penting bagi keberfungsian dan keberlanjutan intervensi dampak program/kegiatan pada masyarakat suku Bajo di Pulau Baliara (dan lokasi lainnya). d. Pengelolaan sumberdaya laut berbasisi masyarakat Menurut Ruddle, 1999 (dalam Satria, 2007), pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat mengandung sejumlah komponen, yaitu wilayah teritorial (territorial boundary), aturan (rules), hak, (rights), pemegang otoritas (authority), sangsi (sanction), dan pemantauan evaluasi (monitoring and evaluation). Model seperti ini dapat ditemukan diberbagai tempat seperti sasi di Maluku, rompong di Sulawesi, dan awig-awig di Lombok NTB. Model-model seperti ini berbasis pada hak ulayat yang diwariskan secara turun temurun namun kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak sehingga lambat laun memudar (lihat berbagai studi yang dilakukan Arif Satria dkk, 2004). Dengan demikian, menurut Satria (2007), ada tiga mekanisme pokok diberlakukannya pengembangan sumberdaya berbasis masyarakat, yaitu; Pertama, mekanisme berlakunya hak ulayat yang sejak dulu berkembang tetap dijalankan (seperti halnya sasi, rompong, awig-awig). Kedua, mekanisme reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai lokal yang telah pudar yang kemudian dijadikan dasar dikembangkannya pengembangan sumberdaya berbasis masyarakat. Ketiga, mekanisme intervensi pihak luar untuk membuat model pengembangan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan hasil pelajaran dan pengalaman. Namun demikian perlu diantisipasi
beberapa
terakomodasikannya
kelemahan
model
tersebut,
pertimbangan-pertimbangan
yaitu
kurang
saintifik
dalam
pengelolaan sumberdaya mengingat umumnya model tersebut berdasar pada pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Antisipasi lainnya adalah intervensi pihak luar yang cenderung dominan dan formal sehingga kurang dipatuhi oleh masyarakat lokal karena bertumpu pada kekuatan organ pemerintah dan bukan pada tokoh informal setempat (Satria, 2007).
207
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Dalam konteks masyarakat nelayan suku Bajo, peneliti mengamati kuatnya prinsip hidup dalam kebudayaan suku Bajo yaitu nilai-nilai kalumanine (ketergantungan pada laut), dansihitang (kekerabatan suku Bajo), sitabangan (gotong royong), dan orrai lesse (menghindari konflik). Dari sudut pandang yang berbeda dan interaksi sosial masyarakat dalam sistem sosial yang lebih luas (misalnya jaringan dan mobilitas sosial), tentu nilai-nilai tersebut bersifat positif, tetapi juga bisa menghambat (negatif). Dalam konteks inilah maka pengembangan sumberdaya berbasis masyarakat yang diterapkan pada nelayan suku Bajo perlu kajian yang lebih mendalam, seperti halnya kajian tentang peningkatan peran isteri nelayan perempuan nelayan suku Bajo yang bersifat tradisional ke arah peran produktif. e. Penyediaan skema kredit Menurut Satria (2007), usaha Nelayan Dayung (ND) dan pembudidayaan ikan kecil (PIK) memang kurang bankable sehingga pemerintah mesti mendorong terciptanya instrumen kleuangan mikro yang mampu menembus persoalan permodalan nelayan, bahkan boleh dibilang: “subsidi”. Menurut penulis, pendapat Satria berlaku pada konteks nelayan di Indonesia, namun untuk nelayan suku Bajo nampaknya masih harus lebih optimal dari sekedar subsidi, yaitu hibah atau bantuan dan jaminan sosial. Upaya yang telah dilakukan Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara sudah tepat dalam hal pemberian bantuan usaha produksi (dalam jumlah yang sangat terbatas) dan jaminan hidup nelayan selama masa pembinaan tiga tahun. Namun sayangnya upaya ini belum sepenuhnya ditunjang oleh sektor pembangunan lain, khususnya di bidang usaha kecil dan mikro serta perikanan. f. Pemberdayaan peran perempuan dan isteri nelayan Para isteri dan anak-anak (perempuan) nelayan suku Bajo (kecuali papalele dan isteri punggawa) tidak banyak terlibat dalam kegiatan produksi dan pemasaran ikan dimana mereka pada umumnya lebih banyak berdiam diri di rumah, melakukan akatifitas rumah tangga seperti 208
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan mengasuh anak dengan dibantu oleh anak-anak (perempuan) nelayan. Anak laki-laki nelayan yang dianggap sudah cukup dewasa biasanya secara bertahap sudah mulai diperkenalkan tentang pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan laut untuk selanjutnya secara bertahap pula mulai diajak pergi melaut. Rendahnya partisipasi kerja perempuan dalam sektor perikanan dimana 75% menganggur karena struktur sosial ekonomi nelayan di Pulau Baliara sedikit sekali memberi kesempatan bagi pekerja perempuan untuk ikut berpartisipasi. Di luar rumah para isteri dan perempuan nelayan dibatasi pada kegiatan-kegiatan di pesisir pantai seperti mallanra yaitu menangkap ikan, kerang-kearangan, kepiting, dan udang (atau mata tujuh ketika musimnya tiba); mencari kayu bakar dari batang atau ranting pohon bakau yang sudah kering untuk dijadikan bahan bakar kayu untuk memasak; atau berkumpul di rumah nelayan lain atau di warung menemani pemilik warung berjualan sambil bercerita sambil menunggu para suami pulang melaut. Peran penting isteri nelayan lebih banyak ditujukan untuk mengelola urusan rumah tangga, termasuk pendistribusian pendapatan nelayan untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Untuk merubah peran istri nelayan dari peran tradisional ke peran yang produktif, misalnya menjadi pengolah/pemasar ikan, istri nelayan harus mendapat persetujuan dari suami, anak, orang tua, mertua, kerabat, silaturahmi_sesama warga dan Punggawa. Ada keengganan dari Punggawa untuk menyetujui para istri nelayan bekerja sebagai tenaga pengolah/pemasar ikan sekalipun sang istri mendapat dukungan penuh dari keluarganya untuk bekerja. Keengganan ini menurut Punggawa, seringkali kedapatan istri nelayan menjual hasil tangkapan suaminya langsung ke pembeli tanpa melalui Punggawa sebagai pemilik perahu kendati mereka masih mempunyai hutang pada Punggawanya sehingga tidak semua istri nelayan memperoleh ijin untuk bekerja, kecuali yang dapat dipercaya.
209
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Dengan mengacu pada realitas sosial peran isteri nelayan tersebut perlu kajian yang lebih serius dan mendalam untuk melakukan perubahan peran perempuan nelayan dalam keluarga kepada peran lain yang lebih produktif. Kajian yang perlu mendapat perhatian adalah menyangkut pengambilan keputusan keluarga isteri nelayan untuk menghindari konflik atau pertentangan terhadap perubahan peran perempuan dari yang tradisional ke peran yang lebih produktif. Studi-studi dengan tema-tema tersebut sudah cukup banyak dilakukan namun pada konteks nelayan suku Bajo perlu ada kajian untuk membangun kepercayaan (trust) sebagai elemen penting kapital sosial khususya bagi Punggawa sehingga mereka yakin dan percaya bahwa upaya pemberdayaan perempuan nelayan memiliki korelasi positif bagi peningkatan keuntungan berbagai pihak termasuk Punggawa. g. Peningkatan sarana dan prasarana fisik Program/kegiatan ini diarahkan untuk membenahi infrastruktur dasar dan tata ruang pemukiman yang memadai seperti halnya moda transportasi umum yang berlangsung secara berkala pada waktu-waktu tertentu sehingga mobilitas keluar masuk Pulau Baliara lebih terorganisir. Sarana air bersih perlu dicarikan solusinya mengingat di Pulau Baliara tidak ada sumbernya. Pasokan listrik, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang sudah ada di Pulau Baliara perlu ditingkatkan kembali dengan penempatan petugas di tingkat lokal. h. Penjangkauan / aksesibilitas program pemerintah Pemberdayaan masyarakat nelayan perlu dilandasi dengan semangat otonomi daerah yang difahami sebagai wujud komitmen bersama untuk meningkatkan kapasitas warga dan aksesibiltas pelayanan sosial dasar bagi warganya. Untuk maksud tersebut maka perlu peningkatan koordinasi dan sinergisitas program lintas unit SKPD di daerah dengan mengkaitkan program / kegiatan pro kemiskinan dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat nelayan suku Bajo. Program / kegiatan yang pro kemiskinan tersebut antara lain Kelompok 210
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Usaha Bersama (KUBE), Penanggulangan Bencana Alam (PBA), Pemberdayaan Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan lain-lain. Selain penjangkauan pada program / kegiatan yang sudah ada dan dilaksanakan pemerintah, perlu ada keberpihakan kebijakan pemerintah dalam hala : a. Melakukan fasilitasi dan advokasi kepada masyarakat nelayan suku Bajo untuk memperoleh akses sumber lain terutama pemerintah (social linking) baik dalam menunjang aktifitas / proses produksi maupun pemasaran. b. Pemerintah Daerah melakukan fasilitasi, proteksi dan regulasi terhadap aktifitas / proses produksi dan pemasaran usaha ekonomi nelayan, terutama terkait dengan kebijakan kredit usaha mikro atau koperasi yang menunjang produksi nelayan dan / atau punggawa serta memantau stabilitas harga produksi ikan dan sumberdaya laut lainnya. c. Penyediaan jalur transportasi laut secara reguler sehingga dapat menghubungkan Pulau Baliara dengan pasar dan institusi ekonomi lainnya
211
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
DAFTAR BACAAN BUKU : Ahimsa-Putra, Heddy Shri (1988) Minawang: Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2002) Ekonomi Moral, Rasional dan Politik Dalam Industri Kecil Di Jawa, Esai-esai Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Kepel Press Alimuddin, Muhammad Ridwan., Orang Mandar Orang Laut; Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman. Cetakan Pertama April 2005, Jakarta: KPG Amaluddin, Moh., Kemiskinan dan Polarisasi Sosial: Studi Kasus di Desa Bulugede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah (Jakarta: UI Press, 1987). Babbie, Earl, 1989. The Practice of Social Research (Fifth Edition). Wadsworth Publishing Company, Belmont, California. Bailey, C. (1982). Mengelola Sumberdaya Yang Terbuka: Kasus Penangkapan Ikan Di Daerah Pantai, dalam D.C. Korten dan Syahrir (Eds). Pembangunan berdimensi kerakyatan. Kerjasama Yayasan Obor Indonesia dan USAID. Jakarta: YOI. Bee, R.L. (1974). Paterns and processs: An introduction to anthropological strategies for the study of sociocultural change. New York: The Free Press. Beteille, Andre, Inequality among Man. London: Basil Blac Well, 1977. Blau, Peter M. Inequality and Heterogenity. London: Collier Macmillan Publishers. Boissevain, J. (1978). Friends of friends: Network, manipulator and coalition. London and Worcester Oxford: Basil Blackwell. Bourdieu, P, 1986, The Forms of Capital (Dalam Richardson, J.G. (ed), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (New York: Greenwood). Bryman, Alan, 1988, Quantity and Quality in Social Research, London Unwin Hyman.
212
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Cernea, Michael M., 1988, Mengutamakan Manusia Di Dalam Pembangunan, Variabel-variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan (Publikasi Bank Dunia), Jakarta : Penerbit UI Press. Chamber, Robert., 1995, PRA: Five Years Later: Where Are We Now ?, United Kingdom Forrest : Tree and People Newsletter, N.26/27, IDS. Chibber, Ajay. 2000, Social Capital, the State, and Development Outcomes (Dalam Dasgupta P. dan Ismail Serageldin,Social Capital: A Multifacted Perspective, hal : 296-309) Coleman, James S., 1988, Social Capital in the Creation of Human Capital (Dalam Dasgupta P. dan Ismail Serageldin, 2000, Social Capital: A Multifacted Perspective, hal : 13-39) Coleman, James S., 1990, Foundations of Social Theory, Cambridge, MA: Harvard University Press. Creswell, John W., 2002, Research Design; Qualitative & Quantitative Approaches, Penerbit KIK Press, Jakarta. Dahrendorf, Ralf, Konflik dan Konflik Kelas dalam Masyarakat Industri. Jakarta: CV Rajawali, 1986. Dasgupta, P. Serageldin, I. 2000, Social Capital; A Multifacted Perspective. Washington, D.C.: World Bank. Elfindri, 2002. Ekonomi Patron-Client. Padang: Andalas University Press Esman , Milton J. And Norman T. Uphoff, 1984, Local Organization: Intermediaries in Rural Development, Ithaca and London : Cornell University Press. Frank, Andre Gunder., 1996, The Development of Underdevelopment : Monthly Review, V.14 Freire, Paulo., 1984, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta : PT. Gramedia. Fukuyama, F., 1995, Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, New York: Free Press. Fukuyama, F., 1999, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social Orde, Touchstone.
213
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Fukuyama, F., 2001, Social Capital, Civil Society and Development, Third World Quarterly, Vol. 22, No.1. Hamilton, Malcolm and Maria Hirszowicz, 1987. Class and Inequality in PreIndustrial, Capitalist and Coomunist Societies. Wheatsheaf BooksSussex, St. Martin’s Press-New York. Kasiyan (2003) Revitalisasi Dialektika Pluralitas Budaya Global Dalam Perspektif Poskolonial. Jurnal Humaniora. Volume XV Nomor 1. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM. Korten, David, C. dan Sjahrir (eds.). 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Kusnadi. (2000). Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press Bandung. Kusnadi. (2007). Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta, Cetakan I September 2007: LKIS Yogyakarta. Lawang, R.M.Z, 2004, Kapital Sosial: Dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar, Edisi Pertama, Desember 2004: FISIP UI Press. Lawang, R.M.Z, 2004, Stratifikasi Sosial Di Cancar Barat Tahun 1950-an dan 1980-an, Edisi Pertama: FISIP UI Press. Marshall, Catherine and Gretchen B. Rossman, 1989. Designing Qualitative Research. Sage Publications. Maeda, Narifumi & Matulada, Transformation of the Agricultural Landscape in Indonesia (Japan: Center for South East Asian Studies, Kyoto University, 1984). Mubyarto, S.L & D.M. (1985). Nelayan dan Kemiskinan; Studi Ekonomi Antropologi Di Dua Desa Pantai. Yayasan Agro Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press. Neuman, W.L. (1997). Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches. Nedham Heigts: Aviacom Company. Popkin, Samuel L., The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam (California: California University Press, 1979). Putnam, R.D., 1995, Bowling Alone: America’s Declining Social Capital, Journal of Democracy, 6:65-78
214
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Putnam, R.D., Leonardi, R. and Nanneti, R.Y., 1993, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton, NJ: Princeton University Press. Rambo, A. Terry, Conceptual Approaches to Human Ecology (Honolulu: EastWest Environment and Policy Institute, 1981). Ritzer, George and Douglas J. Goodman., 2004, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media. Rose, Gerry, 1983. Deciphering Socilogical Research. Sage Publications, IncBeverly Hills, London, New Delhi. Saegert, Susan et.al., 2001, Social Capital and Poor Communities, New York : Russell Sage Foundation. Salim, Agus, Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006). Satria, A. (2001). Dinamika Modernisasi Perikanan Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press. Scott, James C., (1972). Patron Client Polities and Political Change in Southeast Asia. American Political Science Review, 66, hal. 91-113. Scott, James C., The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in South East Asia (New Haven: Yale University Press, 1979). Scott, James C., (1991). Social Networking Analysis. London: Sage Publications. Seidman, Steven., 1998, Contested Knowledge: Social Theory in the Postmodern Era (2nd edition), Massachussetts: Blackwell Publisher. Spradley, James, 1979, The Ethnographic Interview, New York : Rinehart & Winston. Soekanto, S. 1984. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soekanto, S. 2004. Sosiologi. Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Stavenhagen, Rodolfo, 1975. Social Classes in Agrarian Societies (Translate by Judy Alder Hellman). Anchor Press/Doubleday, Garden City, New York.
215
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Tjondronegoro, Sediono M.P. & Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian dari Masa ke Masa (Jakarta: PT Gramedia, 1984). Wilk, R.R (1996) Economics and Culture. Boulder: Westview Press. Wolf, E. (1966). Kinship, Friendship and Patron-client Relation, dalam Banton (Ed). The Social Anthropology of Complex Societies. London: Asociation of Applied Social Anthropology. Wright, Erik Olin, 1987. Classes. Verso, London-New York. Wright, Erik Olin and Donmoon Cho, 1992. The Relative Permeability of Class Boundaries to Cross-Class Friendhsips: A Comparative Study of the United States, Canada, Sweden, and Norway. American Sociological Review, Vol. 57, No. 1, February, 1992. Zacot, Francois Robert, 2008. Orang Bajo; Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog, Jakarta: KPG, Forum Jakarta Paris, Ecole Francaise d’Extreme-Orient. DISERTASI DAN TESIS: Anugrahini, Triyanti, 2004, Modal Sosial Komunitas Migran Dalam Upaya Mempertahankan Eksistensi Komunitasnya (Studi Kasus Komunitas Warga Tembok PJKA di Permukiman Illegal di Sepanjang jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat) Tesis, tidak diterbitkan. Kinseng, Rilus A., 2006, Kelas dan Konflik Kelas Pada Kaum Nelayan Di Indonesia: Studi Kasus di Balikpapan Kalimantan Timur. Disertasi Program Studi Sosiologi Universitas Indonesia, Tidak diterbitkan. Lampe, M. (1989). Strategi-strategi Adaptif Yang Digunakan Nelayan Madura Dalam Kehidupan Ekonomi Perikanan Lautnya. Tesis Program Study Antropologi Universitas Indonesia, Tidak diterbitkan. Rudiatin, E. (1997). Kepercayaan dan Kesetiaan: Bentuk dan Fungsi Jaringan Sosial Nelayan Muara Angke Pantai Utara Jakarta. Tessis. Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia, Tidak diterbitkan. Pramono, Rudi. 2008. Fungsi Kapital Sosial Dalam Program Pemulihan Pasca Bencana (Studi Kasus Pemulihan Pasca Bencana Gempa dan Tsunami Di Desa Lampulo Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh NAD). Disertasi. Program Sosiologi FISIP UI, Tidak diterbitkan.
216
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
INTERNET DAN ARTIKEL : Amy Qiaoming Liu, Terry Besser., Social Capital and Participation in Community Improvement Activities by Elderly Residents in Small Towns and Rural Communities, (Rural Sociology; Sep 2003; 68, 3; Academic Research Library, page 343-365). Ancok, Djamaludin., 2003. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada pada tanggal 3 Mei 2003, (Internet). Brata, Aloysius Gunadi., Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Sektor Informal Perkotaan (Studi Terhadap Pedagang Angkringan di Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya Jogjakarta, Agustus 2004. DeMeulenaere, S. & Lietaer, B., Sustaining Cultural Vitality in a Globalizing World: The Balinese Example, International Journal of Social Economics, Vol. 30 No. 9 2003. Edward Miguel, Paul Gertler, David I. Levine., Does Social Capital Promote Industrialization? Evidence from a Rapid Industrializer (Forthcoming Review of Economics and Statistics). Grootaert, Christiaan., Does Social Capital Help The Poor? A Shynthesis Of Findings From The Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and Indonesia, The World Bank, June 2001. Papanek, Gustav F., The Pribumi Entrepreneurs of Bali and Central Java (Or How Not To Help Indigeneous Enterprise, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 42, No. 1, 2006:79-93. Lasabuda, Ridwan., 2003, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Levitte, Yael, 2004. Bonding Social Capital In Entrepreneurial Developing Communities–Survival Networks Or Barriers? Journal of the Community Development Society Vol. 35 No. 1 2004 Nuryadin dkk, La Ode Taufik, 1995. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Terasing Suku Bajo Kampung Sulaho Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara, Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendari.
217
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Nuryadin dkk, La Ode Taufik, 1996. Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Suku Bajo Di Kampung Boenaga Kecamatan Lasolo Kabupaten Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara, Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendari. Ruswanto, Wawan, 2005. Jaringan Produksi dan Distribusi Pemasaran Pada Komunitas Nelayan di Desa Pangandaran, Universitas Terbuka. Satria, Arif, dkk. 2005, Questioning Community Based Coral Reef Management System; Case Study of Awig-Awig in Gili Indah Indonesia, IPB Bogor. Satria, Arif. Membangun Desa Pesisir Berbasis Masyarakat, Lokakarya Dewan Guru Besar UI Tanggal 21-22 Maret 2007 di UI Depok. Singgih, Doddy Sumbodo. 2009. Prosedur Analisis Stratifikasi Sosial dalam Perspektif Sosiologi, Jurusan Ilmu Sosiologi FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya. Stanley, Caitlyn Louise., Sikap-sikap dan Kesadaran Orang Bajo Terhadap Lingkungan Hidup dan Konservasi (Studi Kasus: Kampung Sampela Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara), Program Penelitian Lapangan UMM-ACICIS, Desember 2005. Therik, Wilson M.A. 2008. Nelayan Dalam Bayang Juragan: Potret Kehidupan Nelayan Tradisional Bajo di Tanjung Pasir, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Institute of Indonesia Tenggara Studies (East Nusa Tenggara Studies) © IITS Publications.
218
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 1.
INSTRUMEN DATA SEKUNDER
STUDI KAPITAL SOSIAL KOMUNITAS SUKU BAJO: Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara Promotor Ko Promotor
: Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang : Makmur Sunusi, Ph.D.
Oleh : La Ode Taufik Nuryadin NPM. 890405008Y
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM DOKTOR JULI, 2008
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 1 : Instrumen Data Sekunder
PETUNJUK PENGISIAN 1.
2.
3.
4.
5.
Instrumen ini disiapkan untuk pengumpulan data dan informasi dalam rangka studi Kapital Sosial Nelayan Suku Bajo: Studi Kasus Nelayan Suku Bajo Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data ini dilaksanakan untuk memperoleh data sekunder melalui pengajuan beberapa pertanyaan kepada para responden yaitu Kepala Keluarga (KK) nelayan suku Bajo di lokasi penelitian dan data-data atau dokumen yang ada pada lembaga pemerintahan di tingkat lokal . Data dan informasi ini diperoleh secara langsung dengan wawancara dan pencatatan pada instrumen untuk memudahkan pendokumentasian data dan informasi sekunder yang terkait dengan masalah penelitian. Informasi yang diberikan para responden dan pihak-pihak terkait sematamata untuk kepentingan studi dan kajian akademik sehingga kerahasiaan akan terjaga dan tidak untuk dipublikasikan. Mohon dengan hormat partisipasi responden dan pihak-pihak terkait guna pengumpulan data dan informasi dimaksud, terima kasih.
A. Identitas Lokasi 1. Nama lokasi 2. Desa 3. Kecamatan 4. Kabupaten 5. Provinsi
: : : : :
…………………………………………………... …………………………………………………... ………………………………………………….. …………………………………………………... …………………………………………………...
B. Luas wilayah lokasi : . . . . . . . . . Km2 C. Keadaan geografis : 1. Letak astronomis : ......................................... 2. Suhu udara rata-rata : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3. Keadaan waktu musim : Kemarau
: ……………………………………………………
Penghujan : ................................................................................. 4. Batas-batas wilayah lokasi dan desa : NO.
SEBELAH / ARAH
1.
UTARA
2.
SELATAN
3.
BARAT
4.
TIMUR
BATAS LOKASI
1
BATAS DESA
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 1 : Instrumen Data Sekunder
D. Keadaan demografi lokasi : 1. Jumlah warga : . . . . . KK . . . . . . . Jiwa. 2. Berdasarkan nama Kepala Keluarga (KK) dan anggota keluarganya : NO. PEKERJAAN / HUBUNGAN DALAM NAMA WARGA L / P UMUR PENDIDIKAN KELUARGA JIWA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 35. 36. 37. 38. 39. 40. DST Keterangan: Jika kolom tidak mencukupi, agar dibuat pada kertas lain dengan format yang sama. NO. KK.
2
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 1 : Instrumen Data Sekunder
3.
Berdasarkan kelompok umur : NO.
KELOMPOK UMUR
JENIS KELAMIN LAKI-LAKI PEREMPUAN
JUMLAH PROSENTASE
JUMLAH Keterangan : Pengelompokan umur dapat menyesuaikan dengan data sekunder yang tersedia di Kantor Desa / Kecamatan atau lembaga terkait. Jika tidak, maka pengelompokan umur agar dilakukan dengan range 5 tahun.
4.
Berdasarkan jenis usaha / mata pencaharian : NO.
5.
NAMA JENIS USAHA / MATA PENCAHARIAN
1.
Mata Pencaharian Pokok
2.
Mata Pencaharian Penunjang
JUMLAH KK
PROSENTASE
PROSENTASE
KETERANGAN
Berdasarkan jenis agama / kepercayaan : NO.
JENIS AGAMA / KEPERCAYAAN
JUMLAH
JUMLAH
6.
Berdasarkan tingkat pendidikan : NO.
TINGKAT PENDIDIKAN
JENIS KELAMIN LAKI-LAKI PEREMPUAN
JUMLAH
JUMLAH
3
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 1 : Instrumen Data Sekunder
E. Keadaan sarana sosial / fasilitas umum :
NO.
JENIS SARANA SOSIAL / FASILITAS UMUM
JUMLAH
JARAK KONDISI UMUM TEMPUH B C R
PENGGUNAAN S J TP
1.
Pendidikan a. SD / sejenis b. SLTP / sejenis c. SLTA / sejenis d. Lainnya : . . . . . . . . . . . . . . . 2. Kesehatan a. Posyandu b. Puskesmas c. Dukun / sejenis d. Lainnya : . . . . . . . . . . . . . . . 3. Perekonomian a. Kios b. Koperasi c. Bank / sejenis d. Lainnya : . . . . . . . . . . . . . . . 4. Transportasi a. Roda-2 b. Roda-4 c. Perahu d. Lainnya : . . . . . . . . . . . . . . . 5. Air Bersih / MCK a. Sumur b. Sungai Matanggoma c. Mata air 6. Lahan Pemakaman/Kuburan 7. Sarana Ibadah / Ritual 8. Sarana / fasilitas lainnya : a. Pangkalan / Dermaga b. Lapangan Olah Raga c. Aula / Balai Pertemuan d. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . e. …………………………… f. …………………………… Keterangan : Kondisi umum : B = Baik, C = Cukup, R = Rusak. Penggunaan : S = Sering, J = Jarang, TP = Tidak Pernah. Kolom jarak tempuh diisi jika keberadaannya terletak di luar lokasi permukiman warga. Jika masih terdapat fasilitas umum lainnya yang belum tertampung pada tabel di atas (misalnya peralatan ritual, perlengkapan acara / upacara adat, alat atau benda-benda seni maupun kesenian, dan lain-lain), mohon disebutkan dan jelaskan secara singkat kondisi umum serta pengguanaannya. ……….……………………. : ….….. unit : Kondisi Umum ( B / C / R ) : Penggunaan : ( S / J / TP ). ……….……………………. : ….….. unit : Kondisi Umum ( B / C / R ) : Penggunaan : ( S / J / TP ). ……….……………………. : ….….. unit : Kondisi Umum ( B / C / R ) : Penggunaan : ( S / J / TP ).
4
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 1 : Instrumen Data Sekunder
F. Keadaan perhubungan/transportasi :
NO.
R O U T E JALUR
ALAT TRANS.
JARAK TEMPUH
WAKTU TEMPUH
BIAYA (Rp.)
MOBILITAS T S TA
FAKTOR KESULITAN
Keterangan :
Jalur Alat transportasi Jarak tempuh Waktu tempuh Biaya Mobilitas Faktor kesulitan
: Tuliskan; Udara / Darat / Laut / Sungai / Lainnya : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .... : Tuliskan; Jalan kaki / Roda-2 / Roda-4 / Perahu / Kuda / Lainnya : . . . . . . . . . . : Tuliskan; Jarak dengan satuan kilometer. : Tuliskan; Waktu dengan satuan jam, menit, atau hari. : Tuliskan; Biaya dengan nilai uang rupiah sesuai tarif lokal. : Cheklist; Frekuensi dengan ukuran T = Tinggi, S = Sedang, TA = Tidak Ada : Tuliskan; Faktor-faktor seperti cuaca, ombak, alat transportasi, dll
G. Program/kegiatan Pemda, Instansi, LSM, Dunia Usaha, dan lain-lain :
NO.
PROGRAM / KEGIATAN NAMA LEMBAGA YANG DILAKSANAKAN PENYELENGGARA
SUMBER BIAYA
TAHUN REALISASI
KET.
Keterangan : Sumber biaya; Tuliskan dari APBN (Dana Dekonsentrasi), Bantuan Menteri, Bantuan Luar Negeri (LOAN), APBD, atau dari lembaga atau kelompok masyarakat lainnya seperti LSM, Perguruan Tinggi, Perusahaan, Dunia Usaha, dan lain-lain agar disebutkan namanya.
5
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 1 : Instrumen Data Sekunder
H. Keadaan potensi dan sumber
NO. 1
JENIS POTENSI / SUMBER 2
A 1. 2. 3. 4. 5.
Alam dan Lingkungan Flora (tanaman, tumbuhan, dll) Fauna (binatang/hewan) Mineral (minyak, logam, batuan, dll) Budidaya Lainnya
B 1. 2. 3. 4.
Manusia dan Kelembagaan Keterampilan (hasta karya) Kelembagaan adat Kesenian lokal Lainnya
BENTUK 3
6
KEADAAN AKTUAL 4
VOLUME 5
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 2
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KOMUNITAS SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kampung Dermaga INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Jumlah penduduk Intra komunitas 1. < 20% jumlah penduduk 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. 20 -30 % jumlah penduduk 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 2 3. 70 % jumlah penduduk 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Ruang wilayah pemukiman Inter komunitas 1. < 20% luas wilayah 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2 2. 20 -30 % luas wilayah 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. 70 % luas wilayah 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Lamanya tinggal / menetap Supra komunitas 1. Tidak menetap 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Pendatang 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 2 3. Penduduk asli 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Homogenitas suku/etnik Peran pemerintah 1 1. Heterogen 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Relatif homogen 2 Sedang 2 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Homogen 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Jenis pekerjaan Aksesibilitas jejaring 1. Heterogen 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2 2. Relatif homogen 2 Sedang 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Homogen 3 Tinggi 3 3. Lancar 3 Tinggi Fasilitas umum / arena sosial Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak ada 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2 2. Sedikit (1-2 unit) 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Banyak (> 3 unit) 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Norma / nilai Kriteria penentuan jejaring 1 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Longgar 2 Sedang 2 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / mengikat 3 Tinggi 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Sangsi pelanggaran Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 1 2. Longgar 2 Sedang 2 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / tegas 3 Tinggi 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 18 Jumlah skor penilaian 13 Kinerja Integrasi Sosial Sedang Kinerja Jejaring Sosial Rendah Jumlah total skor penilaian 30 Kinerja Kapital Sosial SEDANG
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
1
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 2
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KOMUNITAS SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kampung Tengah INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Jumlah penduduk Intra komunitas 1. < 20% jumlah penduduk 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. 20 -30 % jumlah penduduk 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. 70 % jumlah penduduk 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Ruang wilayah pemukiman Inter komunitas 1. < 20% luas wilayah 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. 20 -30 % luas wilayah 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3 3. 70 % luas wilayah 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Lamanya tinggal / menetap Supra komunitas 1. Tidak menetap 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Pendatang 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 2 3. Penduduk asli 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Homogenitas suku/etnik Peran pemerintah 1. Heterogen 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2 2. Relatif homogen 2 Sedang 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Homogen 3 Tinggi 3 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Jenis pekerjaan Aksesibilitas jejaring 1. Heterogen 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2 2. Relatif homogen 2 Sedang 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Homogen 3 Tinggi 3 3. Lancar 3 Tinggi Fasilitas umum / arena sosial Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak ada 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2 2. Sedikit (1-2 unit) 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Banyak (> 3 unit) 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Norma / nilai Kriteria penentuan jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Longgar 2 Sedang 2 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3 3. Berfungsi kuat / mengikat 3 Tinggi 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Sangsi pelanggaran Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgar 2 Sedang 2 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3 3. Berfungsi kuat / tegas 3 Tinggi 3. Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 22 Jumlah skor penilaian 20 Kinerja Integrasi Sosial Tinggi Kinerja Jejaring Sosial Sedang Jumlah total skor penilaian 42 Kinerja Kapital Sosial TINGGI
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
2
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 2
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KOMUNITAS SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kampung Ujung INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Jumlah penduduk Intra komunitas 1. < 20% jumlah penduduk 1 Rendah 1 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. 20 -30 % jumlah penduduk 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. 70 % jumlah penduduk 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Ruang wilayah pemukiman Inter komunitas 1. < 20% luas wilayah 1 Rendah 1 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. 20 -30 % luas wilayah 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3 3. 70 % luas wilayah 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Lamanya tinggal / menetap Supra komunitas 1. Tidak menetap 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Pendatang 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Penduduk asli 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Homogenitas suku/etnik Peran pemerintah 1. Heterogen 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2 2. Relatif homogen 2 Sedang 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Homogen 3 Tinggi 3 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Jenis pekerjaan Aksesibilitas jejaring 1. Heterogen 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Relatif homogen 2 Sedang 2. Agak terhambat 2 Sedang 3 3. Homogen 3 Tinggi 3 3. Lancar 3 Tinggi Fasilitas umum / arena sosial Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak ada 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Sedikit (1-2 unit) 2 Sedang 2 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3 3. Banyak (> 3 unit) 3 Tinggi 3. Intensif 3 Tinggi Norma / nilai Kriteria penentuan jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Longgar 2 Sedang 2 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3 3. Berfungsi kuat / mengikat 3 Tinggi 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Sangsi pelanggaran Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgar 2 Sedang 2 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3 3. Berfungsi kuat / tegas 3 Tinggi 3. Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 17 Jumlah skor penilaian 23 Kinerja Integrasi Sosial Sedang Kinerja Jejaring Sosial Tinggi Jumlah total skor penilaian 40 Kinerja Kapital Sosial TINGGI
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
3
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 3
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Keluarga Nelayan INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Dasar pembentukan kelompok Intra kelompok 1. Selektif 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Keluarga 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Kebutuhan bersama 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Penetapan tujuan kelompok Inter kelompok 1. Ditetapkan pengurus 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Musyawarah bersama 3 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Pola / mekanisme kelompok Supra kelompok 1. Tidak diatur 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Kurang diatur 2 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Teratur dengan jelas 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kelompok Peran pemerintah 1. Tidak mengikat 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Kurang mengikat 2 2 Sedang 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mengikat 3 Tinggi 3 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Agenda / aktifitas kegiatan Aksesibilitas jejaring 1. Tidak terencana 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Terencana 3 3 Tinggi 3 3. Lancar 3 Tinggi Daya tarik pelibatan anggota Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak diminati 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang diminati 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Antusias 3 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Tingkat pemanfaatan kelompok Kriteria penentuan jejaring 1. Kurang dimanfaatkan 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Intensif oleh anggota 3 3 Tinggi 3 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Aturan dan sangsi Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgara 2 Sedang 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / tegas 3 3 Tinggi 3 3. Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 23 Jumlah skor penilaian 22 Kinerja Integrasi Sosial Tinggi Kinerja Jejaring Sosial Tinggi Jumlah total skor penilaian 45 Kinerja Kapital Sosial TINGGI
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
1
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 3
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kelompok Pengajian INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Dasar pembentukan kelompok Intra kelompok 1. Selektif 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Keluarga 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Kebutuhan bersama 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Penetapan tujuan kelompok Inter kelompok 1. Ditetapkan pengurus 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Musyawarah bersama 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Pola / mekanisme kelompok Supra kelompok 1. Tidak diatur 1 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Kurang diatur 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Teratur dengan jelas 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kelompok Peran pemerintah 1. Tidak mengikat 1 1 Rendah 1 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Kurang mengikat 2 Sedang 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mengikat 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Agenda / aktifitas kegiatan Aksesibilitas jejaring 1. Tidak terencana 1 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Terencana 3 Tinggi 3. Lancar 3 Tinggi Daya tarik pelibatan anggota Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak diminati 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang diminati 2 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Antusias 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Tingkat pemanfaatan kelompok Kriteria penentuan jejaring 1. Kurang dimanfaatkan 1 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Intensif oleh anggota 3 Tinggi 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Aturan dan sangsi Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgar 2 2 Sedang 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / tegas 3 Tinggi 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 17 Jumlah skor penilaian 14 Kinerja Integrasi Sosial Sedang Kinerja Jejaring Sosial Rendah Jumlah total skor penilaian 30 Kinerja Kapital Sosial SEDANG
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
2
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 3
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kelompok Budidaya Rumput Laut INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Dasar pembentukan kelompok Intra kelompok 1. Selektif 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Keluarga 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Kebutuhan bersama 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Penetapan tujuan kelompok Inter kelompok 1. Ditetapkan pengurus 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Musyawarah bersama 3 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Pola / mekanisme kelompok Supra kelompok 1. Tidak diatur 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Kurang diatur 2 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Teratur dengan jelas 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kelompok Peran pemerintah 1. Tidak mengikat 1 1 Rendah 1 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Kurang mengikat 2 Sedang 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mengikat 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Agenda / aktifitas kegiatan Aksesibilitas jejaring 1. Tidak terencana 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 2 Sedang 2 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Terencana 3 Tinggi 3. Lancar 3 Tinggi Daya tarik pelibatan anggota Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak diminati 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang diminati 2 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Antusias 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Tingkat pemanfaatan kelompok Kriteria penentuan jejaring 1. Kurang dimanfaatkan 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 2 Sedang 2 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Intensif oleh anggota 3 Tinggi 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Aturan dan sangsi Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgar 2 2 Sedang 2 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / tegas 3 Tinggi 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 16 Jumlah skor penilaian 17 Kinerja Integrasi Sosial Sedang Kinerja Jejaring Sosial Sedang Jumlah total skor penilaian 33 Kinerja Kapital Sosial SEDANG
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
3
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 3
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kelompok Penjualan Ikan Papalele ) INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Dasar pembentukan kelompok Intra kelompok 1. Selektif 1 Rendah 1 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Keluarga 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 2 3. Kebutuhan bersama 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Penetapan tujuan kelompok Inter kelompok 1. Ditetapkan pengurus 1 1 Rendah 1 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Musyawarah bersama 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Pola / mekanisme kelompok Supra kelompok 1. Tidak diatur 1 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Kurang diatur 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Teratur dengan jelas 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kelompok Peran pemerintah 1. Tidak mengikat 1 1 Rendah 1 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Kurang mengikat 2 Sedang 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mengikat 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Agenda / aktifitas kegiatan Aksesibilitas jejaring 1. Tidak terencana 1 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Terencana 3 Tinggi 3. Lancar 3 Tinggi Daya tarik pelibatan anggota Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak diminati 1 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang diminati 2 Sedang 2 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Antusias 3 Tinggi 3. Intensif 3 Tinggi Tingkat pemanfaatan kelompok Kriteria penentuan jejaring 1. Kurang dimanfaatkan 1 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Intensif oleh anggota 3 Tinggi 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Aturan dan sangsi Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgar 2 Sedang 2 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / tegas 3 Tinggi 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 13 Jumlah skor penilaian 9 Kinerja Integrasi Sosial Rendah Kinerja Jejaring Sosial Rendah Jumlah total skor penilaian 22 Kinerja Kapital Sosial RENDAH
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
4
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 3
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kelompok Kios / Warung INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Dasar pembentukan kelompok Intra kelompok 1. Selektif 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Keluarga 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Kebutuhan bersama 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Penetapan tujuan kelompok Inter kelompok 1. Ditetapkan pengurus 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Musyawarah bersama 3 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Pola / mekanisme kelompok Supra kelompok 1. Tidak diatur 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Kurang diatur 2 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Teratur dengan jelas 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kelompok Peran pemerintah 1. Tidak mengikat 1 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Kurang mengikat 2 Sedang 2 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mengikat 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Agenda / aktifitas kegiatan Aksesibilitas jejaring 1. Tidak terencana 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 2 Sedang 2 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Terencana 3 Tinggi 3. Lancar 3 Tinggi Daya tarik pelibatan anggota Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak diminati 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang diminati 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Antusias 3 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Tingkat pemanfaatan kelompok Kriteria penentuan jejaring 1. Kurang dimanfaatkan 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Intensif oleh anggota 3 3 Tinggi 3 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Aturan dan sangsi Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgar 2 Sedang 2 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / tegas 3 3 Tinggi 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 19 Jumlah skor penilaian 20 Kinerja Integrasi Sosial Sedang Kinerja Jejaring Sosial Tinggi Jumlah total skor penilaian 39 Kinerja Kapital Sosial SEDANG
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
5
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 3
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kelompok Nelayan Dayung INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Dasar pembentukan kelompok Intra kelompok 1. Selektif 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Keluarga 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Kebutuhan bersama 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Penetapan tujuan kelompok Inter kelompok 1. Ditetapkan pengurus 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Musyawarah bersama 3 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Pola / mekanisme kelompok Supra kelompok 1. Tidak diatur 1 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Kurang diatur 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Teratur dengan jelas 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kelompok Peran pemerintah 1. Tidak mengikat 1 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Kurang mengikat 2 Sedang 2 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mengikat 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Agenda / aktifitas kegiatan Aksesibilitas jejaring 1. Tidak terencana 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 2 Sedang 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Terencana 3 Tinggi 3 3. Lancar 3 Tinggi Daya tarik pelibatan anggota Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak diminati 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang diminati 2 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Antusias 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Tingkat pemanfaatan kelompok Kriteria penentuan jejaring 1. Kurang dimanfaatkan 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 2 Sedang 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Intensif oleh anggota 3 Tinggi 3 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Aturan dan sangsi Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgar 2 2 Sedang 2 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / tegas 3 Tinggi 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 20 Jumlah skor penilaian 16 Kinerja Integrasi Sosial Tinggi Kinerja Jejaring Sosial Sedang Jumlah total skor penilaian 36 Kinerja Kapital Sosial SEDANG
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
6
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 3
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kelompok Nelayan Mesin INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Dasar pembentukan kelompok Intra kelompok 1. Selektif 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Keluarga 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Kebutuhan bersama 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Penetapan tujuan kelompok Inter kelompok 1. Ditetapkan pengurus 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Musyawarah bersama 3 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Pola / mekanisme kelompok Supra kelompok 1. Tidak diatur 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Kurang diatur 2 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Teratur dengan jelas 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kelompok Peran pemerintah 1. Tidak mengikat 1 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Kurang mengikat 2 Sedang 2 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mengikat 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Agenda / aktifitas kegiatan Aksesibilitas jejaring 1. Tidak terencana 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 2 Sedang 2 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Terencana 3 Tinggi 3. Lancar 3 Tinggi Daya tarik pelibatan anggota Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak diminati 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang diminati 2 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Antusias 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Tingkat pemanfaatan kelompok Kriteria penentuan jejaring 1. Kurang dimanfaatkan 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 2 Sedang 2 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Intensif oleh anggota 3 Tinggi 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Aturan dan sangsi Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgar 2 2 Sedang 2 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / tegas 3 Tinggi 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 18 Jumlah skor penilaian 17 Kinerja Integrasi Sosial Sedang Kinerja Jejaring Sosial Sedang Jumlah total skor penilaian 35 Kinerja Kapital Sosial SEDANG
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
7
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 3
HASIL PENGUKURAN KINERJABONDING SOCIAL CAPITAL KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Kelompok Nelayan Punggawa INTEGRASI SOSIAL JEJARING SOSIAL Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Dasar pembentukan kelompok Intra kelompok 1. Selektif 1 Rendah 1 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Keluarga 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Kebutuhan bersama 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi 3 Penetapan tujuan kelompok Inter kelompok 1. Ditetapkan pengurus 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Musyawarah bersama 3 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Pola / mekanisme kelompok Supra kelompok 1. Tidak diatur 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Kurang diatur 2 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Teratur dengan jelas 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kelompok Peran pemerintah 1. Tidak mengikat 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Kurang mengikat 2 2 Sedang 2 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mengikat 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Agenda / aktifitas kegiatan Aksesibilitas jejaring 1. Tidak terencana 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Terencana 3 3 Tinggi 3 3. Lancar 3 Tinggi Daya tarik pelibatan anggota Frekuensi interaksi jejaring 1. Tidak diminati 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang diminati 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Antusias 3 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Tingkat pemanfaatan kelompok Kriteria penentuan jejaring 1. Kurang dimanfaatkan 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Sesuai kebutuhan 2 Sedang 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Intensif oleh anggota 3 3 Tinggi 3 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Aturan dan sangsi Manfaat jejaring 1. Tidak berfungsi / pudar 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Longgar 2 Sedang 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Berfungsi kuat / tegas 3 3 Tinggi 3 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 20 Jumlah skor penilaian 22 Kinerja Integrasi Sosial Tinggi Kinerja Jejaring Sosial Tinggi Jumlah total skor penilaian 45 Kinerja Kapital Sosial TINGGI
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Jejaring Sosial Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
8
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 4
HASIL PENGUKURAN KINERJABRIDGING SOCIAL CAPITAL STRATIFIKASI SOSIAL NELAYAN SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Nelayan Dayung INTEGRASI SINERJI Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Status pemilikan alat produksi Intra lapisan 1. Tidak memiliki 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Pinjam atau sewa 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Milik sendiri 3 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Cara pemilikan alat produksi Inter lapisan 1. Pinjaman kredit 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Hasil warisan keluarga 2 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Membeli sendiri 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Sumber modal produksi Supra lapisan 1. Bantuan keluarga / kerabat 1 Rendah 1 1 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Pinjam 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Modal sendiri 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kegiatan produksi Peran pemerintah 1. Buruh 1 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Buruh dan pemilik 2 Sedang 2 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mandiri 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Orientasi kegiatan produksi Aksesibilitas sinerji 1. Subsisten / keluarga 1 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Subsisten dan pasar 2 Sedang 2 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Pasar 3 Tinggi 3. Lancar 3 Tinggi Sistim bagi hasil Frekuensi sinerji 1. Tidak seimbang 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang seimbang 2 2 Sedang 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Seimbang 3 Tinggi 3 3. Intensif 3 Tinggi Pendistribusian hasil produksi Kriteria penentuan sinerji 1. Konsumsi keluarga 1 Rendah 1 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Konsumsi dan saving 2 2 Sedang 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Investasi / modal produksi 3 Tinggi 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga Manfaat sinerji 1. Tidak terpenuhi 1 1 Rendah 1 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Kurang terpenuhi 2 Sedang 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Relatif terpenuhi 3 Tinggi 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 15 Jumlah skor penilaian 13 Kinerja Integrasi Sedang Kinerja Sinerji Rendah Jumlah total skor penilaian 28 Kinerja Kapital Sosial SEDANG
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Sinerji Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
1
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Univeritas Indonesia
Lampiran 4
HASIL PENGUKURAN KINERJABRIDGING SOCIAL CAPITAL STRATIFIKASI SOSIAL NELAYAN SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Nelayan Mesin INTEGRASI SINERJI Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Status pemilikan alat produksi Intra lapisan 1. Tidak memiliki 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Pinjam atau sewa 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Milik sendiri 3 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Cara pemilikan alat produksi Inter lapisan 1. Pinjaman kredit 1 Rendah 1 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Hasil warisan keluarga 2 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Membeli sendiri 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Sumber modal produksi Supra lapisan 1. Bantuan keluarga / kerabat 1 Rendah 1 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Pinjam 2 Sedang 2 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Modal sendiri 3 Tinggi 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kegiatan produksi Peran pemerintah 1. Buruh 1 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Buruh dan pemilik 2 Sedang 2 2. Kurang berperan 2 Sedang 3. Mandiri 3 Tinggi 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Orientasi kegiatan produksi Aksesibilitas sinerji 1. Subsisten / keluarga 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Subsisten dan pasar 2 Sedang 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Pasar 3 3 Tinggi 3 3. Lancar 3 Tinggi Sistim bagi hasil Frekuensi sinerji 1. Tidak seimbang 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang seimbang 2 Sedang 2 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Seimbang 3 3 Tinggi 3. Intensif 3 Tinggi Pendistribusian hasil produksi Kriteria penentuan sinerji 1. Konsumsi keluarga 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Konsumsi dan saving 2 2 Sedang 2 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Investasi / modal produksi 3 Tinggi 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga Manfaat sinerji 1. Tidak terpenuhi 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Kurang terpenuhi 2 2 Sedang 2 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Relatif terpenuhi 3 Tinggi 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 17 Jumlah skor penilaian 16 Kinerja Integrasi Sedang Kinerja Sinerji Sedang Jumlah total skor penilaian 33 Kinerja Kapital Sosial SEDANG
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Sinerji Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
2
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Univeritas Indonesia
Lampiran 4
HASIL PENGUKURAN KINERJABRIDGING SOCIAL CAPITAL STRATIFIKASI SOSIAL NELAYAN SUKU BAJO DI PULAU BALIARA
Nelayan Punggawa INTEGRASI SINERJI Indikator Indikator Skor penilaian Nilai Skor penilaian Nilai Status pemilikan alat produksi Intra lapisan 1. Tidak memiliki 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Pinjam atau sewa 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Milik sendiri 3 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Cara pemilikan alat produksi Inter lapisan 1. Pinjaman kredit 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Hasil warisan keluarga 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Membeli sendiri 3 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Sumber modal produksi Supra lapisan 1. Bantuan keluarga / kerabat 1 Rendah 1. Tidak terjalin 1 Rendah 2. Pinjam 2 2 Sedang 2. Kurang terjalin 2 Sedang 3. Modal sendiri 3 Tinggi 3 3. Terjalin dengan baik 3 Tinggi Status keanggotaan kegiatan produksi Peran pemerintah 1. Buruh 1 Rendah 1. Tidak berperan 1 Rendah 2. Buruh dan pemilik alat prod 2 Sedang 2. Kurang berperan 2 Sedang 2 3. Mandiri 3 Tinggi 3 3. Memfasilitasi 3 Tinggi Orientasi kegiatan produksi Aksesibilitas sinerji 1. Subsisten / keluarga 1 Rendah 1. Terhambat 1 Rendah 2. Subsisten dan pasar 2 2 Sedang 2. Agak terhambat 2 Sedang 3. Pasar 3 Tinggi 3 3. Lancar 3 Tinggi Sistim bagi hasil Frekuensi sinerji 1. Tidak seimbang 1 Rendah 1. Tidak ada 1 Rendah 2. Kurang seimbang 2 2 Sedang 2 2. Kadang-kadang 2 Sedang 3. Seimbang 3 Tinggi 3. Intensif 3 Tinggi Pendistribusian hasil produksi Kriteria penentuan sinerji 1. Konsumsi keluarga 1 Rendah 1. Tidak ada kriteria tertentu 1 Rendah 2. Konsumsi dan saving 2 Sedang 2. Menguntungkan sepihak 2 Sedang 3. Investasi / modal produksi 3 Tinggi 3 3 3. Saling menguntungkan 3 Tinggi Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga Manfaat sinerji 1. Tidak terpenuhi 1 Rendah 1. Tidak ada manfaat 1 Rendah 2. Kurang terpenuhi 2 Sedang 2. Kurang bermanfaat 2 Sedang 3. Relatif terpenuhi 3 3 Tinggi 3 3. Sangat Bermanfaat 3 Tinggi Jumlah skor penilaian 23 Jumlah skor penilaian 20 Kinerja Integrasi Tinggi Kinerja Sinerji Tinggi Jumlah total skor penilaian 43 Kinerja Kapital Sosial TINGGI
KETERANGAN UKURAN PENILAIAN KINERJA 1. Integrasi Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 2. Sinerji Jumlah skor penilaian : 8 - 13 = Jumlah skor penilaian : 14 - 19 = Jumlah skor penilaian : 20 - 24 = 3. Kapital Sosial Jumlah total skor penilaian : 16 - 27 = Jumlah total skor penilaian : 28 - 39 = Jumlah total skor penilaian : 40 - 48 =
: Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
3
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Univeritas Indonesia
Lampiran 5.
INSTRUMEN SURVEY KECIL: PENGUKURAN STRATIFIKASI SOSIAL
STUDI KAPITAL SOSIAL KOMUNITAS SUKU BAJO: Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara Promotor Ko Promotor
: Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang : Makmur Sunusi, Ph.D.
Oleh : La Ode Taufik Nuryadin NPM. 890405008Y
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM DOKTOR JULI, 2008
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 5 : Instrumen Survey Kecil
PETUNJUK PENGISIAN 1.
2.
3.
4.
5.
Instrumen ini disiapkan untuk pengumpulan data dan informasi dalam rangka studi Kapital Sosial Nelayan Suku Bajo: Studi Kasus Nelayan Suku Bajo Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data ini dilaksanakan untuk memperoleh data primer melalui pengajuan beberapa pertanyaan kepada para responden yaitu Kepala Keluarga (KK) nelayan suku Bajo di lokasi penelitian dalam bentuk angket dengan jawaban terbatas atau survey kecil. Data dan informasi ini diperoleh secara langsung dengan wawancara dengan alat bantu angket untuk memudahkan jawaban dan pengelompokan jawaban untuk menentukan lapisan-lapisan sosial masyarakat di lokasi penelitian. Informasi yang diberikan para responden semata-mata untuk kepentingan studi dan kajian akademik sehingga kerahasiaan akan terjaga dan tidak untuk dipublikasikan. Mohon dengan hormat partisipasi responden guna pengumpulan data dan informasi dimaksud, terima kasih.
IDENTITAS RESPONDEN 1.
Nama
: …………………………………………… ( L / P )
2.
Usia
: ........………………………......................................
3.
Pendidikan
: ...………………………………...............................
4.
Lamanya bekerja
: ...........…………………………...............................
5.
Alasan/asal pekerjaan
: ..................................................................................
6.
Jumlah tanggungan
: ……………………………………………………..
FAKTOR-FAKTOR PENGUKURAN STRATIFIKASI SOSIAL NELAYAN (Mohon berikan tanda checklist pada pilihan kotak jawaban dan responden dapat memilih lebih dari satu jawaban) 1.
Jenis usaha nelayan / teknologi :
Rumput Laut
Pancing
Pukat/jaring
Papalele
Menyelam
Mallanra
Mallampu 1
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 5 : Instrumen Survey Kecil
2.
Jenis perahu yang digunakan :
Body batang
Katinting
Lepa-lepa
Lainnya Mohon sebutkan : ...............................................................
3.
4.
5.
Jumlah personil yang terlibat :
1 – 2 orang
3 – 4 orang
5 orang atau lebih
Nilai / harga perbekalan kegiatan produksi :
Kurang dari Rp. 100.000,-
Rp. 100.000,- hingga Rp. 500.000,-
Rp. 500.000,- hingga Rp. 1.000.000,-
Rp. 1.000.000,- hingga Rp. 2.000.000,-
Lebih dari Rp. 2.000.000,-
Jenis sumber laut / hasil tangkapan :
Rumpu Laut
Teripang
Kerang-kerangan
Sirip Hiu
Ikan
Gurita
Lobster
Lainnya : Mohon sebutkan : ...............................................................
2
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 5 : Instrumen Survey Kecil
6.
7.
Waktu yang dibutuhkan dalam kegiatan produksi :
Pulang pergi (1 hari)
1-2 hari
3-7 hari
7-14 hari
Lebih dari 14 hari
Sumber perolehan modal produksi :
Modal sendiri
Pinjam
Kredit
Lainnya Mohon sebutkan : ...............................................................
8.
Status kepemilikan alat produksi :
Milik sendiri
Pinjam
Kredit
Lainnya Mohon sebutkan : ...............................................................
9.
10.
Lokasi / wilayah kegiatan produksi :
Sekitar pantai / lokasi pemukiman (jarak dekat)
Di luar lokasi pemukiman (jarak menengah)
Lautan lepas (jarak jauh)
Rata-rata pendapatan tiap kali kegiatan produksi :
Rp. 500.000,-
Rp. 1.000.000,-
Rp. 1.500.000,-
Lebih dari Rp. 1.500.000,3
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 5 : Instrumen Survey Kecil
11.
Pendistribusian hasil kegiatan produksi :
Punggawa
Dijual ke pasar / konsumen
Konsumsi keluarga
Lainnya Mohon sebutkan : ...............................................................
12.
Komponen produksi yang mendapat bagian :
Nelayan
Perahu
Mesin
Pemilik Modal
Lainnya : Mohon sebutkan : ...............................................................
Terima kasih atas partsipasinya. Salam hormat,
La Ode Taufik Nuryadin
4
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 6.
PEDOMAN OBSERVASI
STUDI KAPITAL SOSIAL KOMUNITAS SUKU BAJO: Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara Promotor Ko Promotor
: Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang : Makmur Sunusi, Ph.D.
Oleh : La Ode Taufik Nuryadin NPM. 890405008Y
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM DOKTOR JULI, 2008
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 6 : Pedoman Observasi
PETUNJUK OBERVASI 1.
2.
3.
4.
5.
Pedoman observasi ini disiapkan untuk memperoleh data dan informasi dalam rangka studi Kapital Sosial Nelayan Suku Bajo: Studi Kasus Nelayan Suku Bajo Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data ini dilakukan untuk memperoleh data primer melalui pengamatan pada beberapa objek penelitian yaitu berbagai aktifitas/kegiatan masyarakat khususnya nelayan dalam proses produksi dan pemasaran yang menjadi subjek kajian. Data dan informasi ini diperoleh melalui pengamatan langsung dengan alat bantu pedoman untuk memandu pada objek-objek, sasaran-sasaran, lokasilokasi aktifitas masyarakat, khususnya nelayan yang terkait dengan masalah penelitian. Alat bantu yang digunakan dalam pengamatan adalah alat tulis menulis dan camera digital untuk melengkapi penjelasan realitas dan faktafakta yang terjadi pada lokasi penelitian. Pengamatan yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan studi dan kajian akademik sehingga peneliti akan memperhatikan nilai-nilai budaya yang berlaku dan tidak mengganggu aktifitas objek pengamatan, serta kerahasiaan akan dijaga dan tidak untuk dipublikasikan. Mohon dengan hormat partisipasi responden guna pengumpulan data dan informasi dimaksud, terima kasih.
A. RELASI EKONOMI NELAYAN Jenis Informasi
Tujuan
Data / informasi Yang Diperlukan
Teknik
Objek/sasaran
PRODUKSI 1. Pengadaan alat produksi
Untuk mengetahui alat produksi, tempat pengadaan dan harga.
Alat produksi apa saja Sumber/asal alat produksi Harga tiap alat produksi Cara pembayarannya Sumber modal Pihak pemodal yang lain.
Wawancara Pencatatan Survey
Punggawa Nelayan Pasar/toko Warung/kios
2. Perawatan alat produksi
Untuk mengetahui tempat, cara dan siapa saja yang merawat alat produksi.
.Tempat menyimpan alat Siapa yang merawat Kerusakan/kehilangan alat Pengawasan alat produksi.
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Punggawa Nelayan Pesisir pantai Rumah nelayan
3. Persiapan kegiatan produksi
Untuk mengetahui aktifitas apa saja yang dilakukan dalam persiapan melaut..
.Kapan rencana melaut Pertimbangan melaut Siapa yang berperan melaut Pengawasan alat produksi. Siapa saja yang dilibatkan Berapa orang dan kriterianya
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Punggawa Nelayan Warung/kios Rumah nelayan Pesisir pantai
1
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 6 : Pedoman Observasi
Apa saja yang dibutuhkan Jumlah perbekalan melaut Darimana perbekalan dan alat produksi didapat 4. Kegiatan produksi melaut
Untuk mengetahui aktifitas selama proses melaut..
Lamanya waktu melaut Lokasi/tempat produksi Status kepemilikan lokasi Konflik dengan nelayan laini. Mengatasi kendala alam Apa saja yang dikerjakan Pembagian tugas di laut
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Lokasi melaut
5. Hasil produksi
Untuk mengetahui jumlah dan jenis hasil tangkapan.
Jumlah hasil tangkapan Jenis-jenis hasil tangkapan Faktor-faktor hasil tangkapan
Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Pesisir pantai
1. Pendistribusian sebelum dijual
Untuk mengetahui kepada pihak mana saja hasil tangkapan dibagikan.
Kepada siapa saja distribusi Siapa yang menentukan Apa saja kriterianya Apakah ada kesepakatan sebelumnya Bagaimana kesepakatan itu dilaksanakan
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Punggawa Pesisir panta Rumah Punggawa Rumah nelayan Warung/kios Papalele Pasar
2. Sistim bagi hasil penjualan
Untuk mengetahui kepada pihak mana saja hasil penjualan dibagikan.
Kemana saja hasil dijual Siapa yang menjual Siapa menetapkan harga Apa saja kriterianya Komponen apa/mana saja yang mendapat bagian Siapa yang menetapkan Apa saja kriterianya Apakah ada kesepakatan sebelumnya Berapa bagian tia komponen
Wawancara Pencatatan Survey
Nelayan Punggawa Pesisir panta Rumah Punggawa Rumah nelayan Warung/kios Papalele Pasar
3. Penggunaan pendapata
Untuk mengetahui untuk apa saja pendapatan nelayan digunakan.
Rata2 pendapatan nelayan Pada siapa pendapatan itu diberikan Untuk apa saja digunakan Siapa yang menetapkan Alokasi paling besar Alokasi paling kecil Pola menabung Apakah pendapatan tersebut mencukupi kebutuhan keluarga nelayan
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Punggawa Isteri dan keluarga nelayan Warung/kios Pasar Mobilitas nelayan
PEMASARAN
2
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 6 : Pedoman Observasi
Untuk mengetahui upaya2 apa saja yang dilakukan keluarga nelayan dalam mengatasi masalah terbatasnya pendapatan.
Adakah pendapatan lain Jika ada, darimana diperoleh Siapa saja yang terlibat Apakah hasilnya mencukupi Pihak2 mana yang sering dimintai bantuan Dengan cara apa bantuan diberikan Jika pinjaman, adakah bunga Berapa lama pengembalian Jika tidak tepat waktu, adakah resiko yang diterima Apakah pinjaman tersebut memberatkan nelayan Bagaimana peran anggota keluarga/kerabat nelayan Bentuk bantuan klg/keranat Pihak-pihak yang diharapkan dapat membantu nelayan Bantuan apa yang diinginkan
Wawancara Pencatatan Survey
Nelayan Punggawa Isteri Punggawa Isteri dan keluarga nelayan Warung/kios Jaringan nelayan
1. Jumlah tanggungan
Untuk mengetahui berapa jumlah tanggungan nelayan.
Berapa anggota keluarga Adakah anggota lain
Wawancara Pencatatan Pencatatan
Nelayan Rumah nelayan
2. Volume dan jenis makanan
Untuk mengetahui pola makan tiap anggota keluarga nelayan.
Volume makan tiap hari Jenis makanan apa saja yang dimakan Makanan yang disukai Makanan yang tidak disukai
Wawancara Pencatatan Survey
Nelayan Rumah nelayan
3. Bahan/barang Konsumtif lainnya.
Untuk mengetahui pola makan tiap anggota keluarga nelayan.
Darimana makanan didapat Dengan cara apa didapat Cara pengolahan makanan Bahan bakar yang digunakan Darimana bahan bakarnya Bahan/barang konsumtif lain Darimana diperolehnya Bagaimana cara memperoleh Adakah melalui hutang Jika ya, pada siapa hutang Adakah bunga hutang Kapan pengembaliannya Jika tidak tepat waktu, ada/ apakah resikonya
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Punggawa Isteri Punggawa Isteri dan keluarga nelayan Warung/kios Jaringan nelayan
4. Upaya mengatasi kekurangan pendapatan
KONSUMSI
3
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 6 : Pedoman Observasi
B. RELASI STRUKTUR SOSIAL NELAYAN Jenis Informasi
Tujuan
Data / informasi Yang Diperlukan
Teknik
Objek/sasaran
1. Nelayan dengan nelayan
Untuk mengetahui hubungan antara sesama nelayan.
Dalam hubungan apa saja Sudah berapa lama dijalin Kriteria menjalin hubungan Adanya konflik/persaingan Hubungan yang disukai Hubungan yang tidak disukai Hubungan kekerabatan
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Isteri dan keluarga nelayan Jaringan nelayan
2. Nelayan dengan Punggawa
Untuk mengetahui hubungan nelayan dengan Punggawa
Dalam hubungan apa saja Sudah berapa lama dijalin Kriteria menjalin hubungan Adanya konflik/pertentangan Hubungan yang disukai Hubungan yang tidak disukai Hubungan kekerabatan Aturan main punggawa Sikap nelayan terhadap aturan main punggawa Kesadaran nelayan terhadap dominasi punggawa Apakah nelayan selalu bisa membantu kesulitan nelayan Jika tidak dibantu, mengapa dan bagaimana sikapnya Harapan yang belum dicapai.
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Punggawa Isteri dan keluarga nelayan dan punggawa Jaringan nelayan
3. Nelayan dengan Warung/kios
Untuk mengetahui hubungan nelayan dengan Warung/kios
Dalam hubungan apa saja Sudah berapa lama dijalin Kriteria menjalin hubungan Kebutuhan apa yang sering Frekuensi jual beli Keterjangkauan harga Kesadaran harga lebih mahal Hubungan yang disukai Hubungan yang tidak diukai Masalah pinjaman/hutang Apakah warung selalu bisa membantu kesulitan nelayan Jika tidak dibantu, mengapa dan bagaimana sikapnya Harapan yang belum dicapai
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Punggawa Isteri dan keluarga nelayan dan punggawa Pemilki warung/ kios.
4. Nelayaan dengan Papalele
Untuk mengetahui hubungan nelayan dengan Papalele.
Dalam hubungan apa saja Sudah berapa lama dijalin Kriteria menjalin hubungan Kebutuhan apa yang didapat Frekuensi jual beli ikan Keterjangkauan harga ikan
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Papalele Isteri dan keluarga nelayan dan papalele
4
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 6 : Pedoman Observasi
Hubungan yang disukai Hubungan yang tidak diukai Masalah pinjaman/hutang Kemudahan papalele Harapan yang belum dicapai Untuk mengetahui hubungan Punggawa dengan Punggawa.
5. Punggawa dengan Punggawa
Dalam hubungan apa saja Sudah berapa lama dijalin Kriteria menjalin hubungan Konflik/persaingan yang ada Aturan main sesama punggawa terhadap nelayan Pertimbangan harga jual beli Perimbangan bagi hasil Hubungan yang disukai Hubungan yang tidak disukai Saling membantu modal Bilaman tidak membantu Hubungan kekerabatan.
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Nelayan Punggawa Isteri dan keluarga nelayan dan punggawa Jaringan nelayan
C. JARINGAN HUBUNGAN DAN MOBILITAS SOSIAL Jenis Informasi
Tujuan
Data / informasi Yang Diperlukan
Teknik
Objek/sasaran
1. Pasar
Untuk mengetahui hubungan masyarakat nelayan dengan pasar.
Pasar-pasar mana saja yang sering dikunjungi warga Keperluan apa saja yang dituju dan dicari warga Bagaimana menjangkaunya Keterjangkauan harga Frekuensi kunjungan.
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Pasar Warung/kios Warga nelayan
2. Fasilitas umum
Untuk mengetahui hubungan masyarakat nelayan dengan fasilitas umum.
Tempat-tempat mana saja yang sering dikunjungi warga Keperluan apa saja yang dituju dan dicari warga Bagaimana menjangkaunya Keterjangkauan biaya jasa Frekuensi kunjungan.
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Ibukota Desa Ibukota Kecamatan Tempat lainnya yang dituju warga.
3. Kekerabatan dan keluarga
Untuk mengetahui hubungan masyarakat nelayan dengan kerabat/keluarga di luar lokasi penelitian.
Tempat-tempat mana saja yang sering dikunjungi warga Keperluan apa saja Siapa saja yang pergi Bagaimana menjangkaunya Keterjangkauan biaya jasa Frekuensi kunjungan.
Wawancara Pencatatan Survey Pemotretan
Ibukota Desa Ibukota Kecamatan Tempat lain yang yang sering dituju warga.
5
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 6 : Pedoman Observasi
D. INSTITUSI DAN PERAN PEMERINTAH Jenis Informasi 1. Instusi lokal dan di luar lokasi penelitian
Tujuan Untuk mengetahui keberadaan dan peran institusi local dan di luar lokasi.
. 2. Peran pemerintah
Untuk mengetahui peran pemerintah terhadap permasalahan yang ada di lokasi penelitian.
Data / informasi Yang Diperlukan
Teknik
Objek/sasaran
Institusi apa saja yang ada di lokasi dan di luar lokasi yang dapat dijangkau warga. Sejauhmana peran dan fungsi institusi tersebut Bagaimana pemanfaatan oleh warga nelayan. Apa saja faktor pendukung dan penghambat
Wawancara Pencatatan Dokumen Survey Pemotretan
Lokasipenelitian Ibukota Desa Ibukota Kecamatan Tempat lainnya yang dituju warga. Pengurus institusi local dan di luar
Program/kegiatan apa saja yang sudah dilaksanakan di lokasi penelitian Kapan dan berapa lama Siapa saja yang dilibatkan Partisipasi warga lainnya Manfaat yang dirasakan Faktor pendukung dan yang menghambat pelaksanaan Rencana/kegiatan kedepan di lokasi penelitian.
Wawancara Pencatatan Dokumen Survey Pemotretan
Lembaga pemerintah yang terkait dari tingkat desa hingga pusat.
6
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 7.
PEDOMAN WAWANCARA
STUDI KAPITAL SOSIAL KOMUNITAS SUKU BAJO: Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara Promotor Ko Promotor
: Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang : Makmur Sunusi, Ph.D.
Oleh : La Ode Taufik Nuryadin NPM. 890405008Y
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM DOKTOR JULI, 2008
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 7 : Pedoman Wawancara
PETUNJUK WAWANCARA 1.
2.
3.
4.
5.
Pedoman wawancara ini disiapkan untuk memperoleh data dan informasi dalam rangka studi Kapital Sosial Nelayan Suku Bajo: Studi Kasus Nelayan Suku Bajo Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data ini dilakukan untuk memperoleh data primer melalui pengajuan beberapa pertanyaan (wawancara mendalam) kepada responden yaitu Kepala Keluarga (KK) nelayan suku Bajo di Pulau Baliara. Data dan informasi ini diperoleh melalui wawancara langsung dengan alat bantu peralatan tulis menulis dan tape recorder jika dibutuhkan pada situasi tertentu. Pendalaman pertanyaan dilakukan ketika wawancara berlangsung. Informasi yang diberikan oleh responden semata-mata untuk kepentingan studi dan kajian akademik sehingga kerahasiaan dapat terjaga serta tidak untuk dipublikasikan. Mohon dengan hormat partisipasi responden guna pengumpulan data dan informasi dimaksud, terima kasih.
IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama
: ........……………………………………… ( L / P )
2. Usia
: ……………………………......................................
3. Pendidikan
: ...………………………………...............................
4. Pekerjaan
: ...………………………………...............................
5. Jumlah tanggungan
: ....…………………………………………………..
KEGIATAN EKONOMI NELAYAN A. Kegiatan/Proses Produksi 1. Pengadaan ala-alat produksi Peralatan apa saja yang digunakan untuk menangkap ikan Darimana/dimana memperolehnya Berapa harganya masing-masing peralatan tersebut Bagaimana pembayarannya (cash, kredit, pinjam, atau apa) Jika uang tidak mencukupi untuk membeli, bagaimana mengatasinya Pihak mana saja yang bisa dimintai bantuan Apakah ada pihak lain yang dianggap bisa membantu Bantuan apa dan bagaimana yang diinginkan 2. Perawatan alat-alat produksi Dimana peralatan produksi disimpan Siapa yang bertanggung jawab menjaga keamanan peralatan produksi 1
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 7 : Pedoman Wawancara
Siapa saja yang merawat keberfungsian peralatan produksi Jika peralatan rusak atau hilang, siapa yang bertanggung jawab Bagaimana pengawasan terhadap peralatan produksi Apakah ada pihak lain yang perlu dilibatkan dalam perawatan Jika ada pihak lain, siapa dan bagaimana peranannya
3. Persiapan kegiatan produki (melaut) Kapan atau bilamana kegiatan produksi dilakukan Pertimbangan apa saja yang menentukan Siapa saja yang menentukan/berperanan penting Siapa saja yang dilibatkan, berapa orang dan kriterianya Apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan produksi Peralatan produksi apa saja yang digunakan Perbekalan apa saja yang dibutuhkan dan berapa jumlahnya Darimana memperoleh peralatan dan perbekalan produksi 4. Kegiatan penangkapan ikan Berapa lama jangka waktu Lokasi atau wilayah mana saja Adakah kepemilikan lokasi penangkapan Bagaimana hubungan dengan kelompok nelayan yang lain Bagaimana menghadapi hambatan alam, cuaca, dan lainnya Apa saja yang dikerjakan Bagaimana pembagian tugas antar nelayan 5. Hasil tangkapan Berapa banyak jumlah yang dihasilkan Jenisnya apa saja Seberapa besar pengaruh alam, cuaca, dan lainnya B. Kegiatan/Proses Pemasaran 1. Pendistribusian hasil tangkapan sebelum dijual Berapa bagian untuk Pemilik Modal Berapa bagian untuk dijual ke pasar Berapa bagian untuk dikonsumsi keluarga Adakah bagian-bagain untuk pihak/keperluan lainnya Siapa yang menentukan pembagian tersebut Apa saja dan bagaimana kriterianya Apakah sudah ada kesepakatan/ketentuan sebelumnya 2. Pembagian hasil tangkapan hasil penjualan Kemana penjualan dilakukan Siapa yang melakukan penjualan Patokan harga mana atau siapa yang menetapkan harga Komponen apa/siapa saja yang mendapat bagian 2
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 7 : Pedoman Wawancara
Siapa yang menentukan komponen tersebut Apa dan bagaimana kriterianya Apakah sudah ada kesepakatan/ketentuan sebelumnya Berapa bagian diberikan pada tiap komponen tersebut
3. Penggunaan pendapatan Berapa pendapatan nelayan rata-rata paling rendah Berapa pendapatan nelayan rata-rata paling tinggi Kepada siapa pendapatan tersebut diberikan Untuk apa saja pendapatan tersebut digunakan Berapa alokasi untuk konsumsi keluarga sehari-hari Berapa alokasi untuk membayar cicilan hutang Berapa alokasi untuk kesehatan, pendidikan Alokasi mana yang paling besar, mengapa? Alokasi mana yang paling kecil, mengapa? Adakah alokasi lainnya, sebutkan apa saja Adakah yang disisihkan untuk ditabung Apakah umumnya pendapatan itu mencukupi 4. Upaya mengatasi kekurangan pendapatan Jika pendapatan tidak mencukupi, bagaimana mengatasinya Apakah ada pendapatan lain (tambahan) Jika ada, darimana pendapatan tambahan itu diperoleh Siapa saja yang terlibat dalam mencari pendapatan tambahan Apakah pendapatan tambahan tersebut dapat mencukupi Jika tidak juga mencukupi, pihak mana yang biasa diminta bantuan Dengan cara apa bantuan itu diberikan Jika pinjaman, adakah bunga dan berapa bunga tersebut Berapa lama waktu pengembalian pinjaman Jika tidak tepat waktu, adakah/apa resikonya Apakah pinjaman tersebut terasa memberatkan Bagaimana dengan peran keluarga/kerabat/teman bisa membantu Bantuan apa yang diberikan keluarga/kerabat/teman Adakah pihak lain yang diharapkan dapat membantu Pihak mana dan bantuan apa yang diinginkan C. Kegiatan/Proses Konsumsi 1. Jumlah tanggungan Berapa banyak jumlah anggota keluarga yang ditanggung Selain anggota keluarga, adakah yang lainnya (berapa dan siapa saja) 2. Volume dan jenis makanan Berapa kali makan dalam sehari Apa saja yang dimakan setiap hari (pokok dan tambahan) Jenis-jenis makanan apa yang dikonsumsi 3
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 7 : Pedoman Wawancara
Makanan apa yang paling disukai Makanan apa yang paling tidak disukai
3. Barang/bahan konsumtif lainnya Darimana saja makanan tersebut diperoleh Dengan cara apa makanan tersebut diperoleh Dengan cara apa saja makanan itu dimasak (bakar, goreng, rebus, dll) Bahan bakar apa yang digunakan untuk memasak Darimana bahan bakar tersebut diperoleh Selain untuk makanan, bahan/barang apa lagi yang dibeli Untuk keperluan apa barang/bahan tersebut Dimana memperoleh bahan/barang tersebut Bagaimana cara memperolehnya Adakah yang diperoleh melalui pinjaman hutang Jika ada, kepada siapa meminjam hutang Adakah bunga terhadap pinjaman hutang tersebut Kapan waktu pengembalian pinjaman hutang Jika tidak tepat waktu, adakah/apa resikonya
RELASI STRUKTUR SOSIAL NELAYAN 1. Nelayan dengan nelayan Dalam hal apa saja nelayan bekerjasama dengan nelayan lain Sudah berapa lama hubungan tersebut dilakukan Kriteria apa saja dalam menjalin hubungan selain faktor keluarga Apakah pernah terjadi konflik kepentingan Dalam hubungan apa nelayan merasa tidak nyaman pada nelayan lain Apakah ada yang menjalin melalui perkawinan 2. Nelayan dengan Punggawa Dalam hal apa saja nelayan bekerjasama dengan Punggawa Sudah berapa lama hubungan tersebut dilakukan Kriteria apa saja dalam menjalin hubungan dengan Punggawa Apakah pernah terjadi konflik kepentingan Bagaimana dengan aturan main yang ditetapkan Punggawa Apakah nelayan setuju dengan penetapan harga oleh Punggawa Apakah nelayan menyadari hutang/pinjaman tidak pernah selesai Dalam hubungan apa nelayan merasa nyaman pada Punggawa Dalam hubungan apa nelayan merasa tidak nyaman pada Punggawa Apakah Punggawa selalu dapat membantu kesulitan nelayan Bagaimana/bilamana Punggawa tidak dapat membantu Bagaimana perasaan/tanggapan jika Punggawa tidak dapat membantu Apakah sudah ada yang menjalin melalui perkawinan Adakah keinginan/harapan pada Punggawa yang belum tercapai
4
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 7 : Pedoman Wawancara
3. Nelayan dengan Warung / Kios Dalam hal apa saja nelayan bekerjasama dengan Warung/kios Sudah berapa lama hubungan tersebut dilakukan Kriteria apa saja dalam menjalin hubungan dengan Warung/kios Kebutuhan apa yang sering diperoleh di Warung/kios Frekuensi pembelian/pinjaman ke Warung/kios Apakah harga yang ditetapkan dapat dijangkau Apakah nelayan menyadari jika harganya lebih mahal Dalam hubungan apa nelayan merasa nyaman pada Warung/kios Dalam hubungan apa nelayan merasa tidak nyaman pada Warung/kios Apakah Warung/kios selalu dapat membantu kesulitan nelayan Bagaimana/bilamana Warung/kios tidak dapat membantu Bagaimana perasaan/tanggapan jika Warung/kios tidak dapat membantu Apakah sudah ada yang menjalin melalui perkawinan Adakah keinginan/harapan pada Warung/kios yang belum tercapai 4. Nelayan dengan Papalele Dalam hal apa saja nelayan berhubungan dengan Papalele Sudah berapa lama hubungan tersebut dilakukan Kriteria apa saja dalam menjalin hubungan dengan Papalele Kebutuhan apa yang sering diperoleh dari Papalele Frekuensi hubungan dengan Papalele Apakah harga yang ditetapkan Papalele dapat dijangkau Dalam hubungan apa nelayan merasa nyaman pada Papalele Dalam hubungan apa nelayan merasa tidak nyaman pada Papalele Apakah Papalele mudah dihubungi Bagaimana/bilamana Papalele tidak dapat dihubungi Bagaimana jika Papalele tidak dapat dihubungi Apakah sudah ada yang menjalin melalui perkawinan Adakah keinginan/harapan pada Papalele yang belum tercapai 5. Punggawa dengan Punggawa Dalam hal apa saja nelayan bekerjasama dengan Punggawa lain Sudah berapa lama hubungan tersebut dilakukan Kriteria apa saja dalam menjalin hubungan dengan Punggawa Apakah pernah terjadi konflik kepentingan (persaingan) Bagaimana dengan aturan main yang ditetapkan Punggawa lain Pertimbangan apa saja dalam menetapkan harga Pertimbangan apa saja dalam menetapkan komponen bagi hasil Apakah Punggawa menyadari keputusannya memberatkan nelayan Dalam hubungan apa Punggawa merasa nyaman pada Punggawa lain Dalam hubungan apa Punggawa merasa tidak nyaman pada Punggawa lain Apakah Punggawa lain dapat membantu kesulitan Bagaimana/bilamana Punggawa lain tidak dapat membantu Bagaimana perasaan/tanggapan jika Punggawa lain tidak dapat membantu Apakah sudah ada yang menjalin melalui perkawinan 5
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 7 : Pedoman Wawancara
JARINGAN HUBUNGAN DAN MOBILITAS SOSIAL 1. Pertanyaan untuk warga lokasi penelitian Lokasi/tempat/wilayah mana saja yang jadi tujuan Dengan apa menjangkaunya Untuk kepentingan atau alasan apa saja Berapa kali/bilamana mobilitas dilakukan Berapa lama mobilitas itu dilakukan Siapa saja yang biasanya melakukan hubungan sosial Bagaimana hubungannya dengan masyarakat lain Apa yang mendasari hubungan tersebut Dengan siapa/pihak mana hubungan tersebut dilakukan 2. Pertanyaan untuk warga di luar lokasi penelitian Untuk kepentingan apa saja datang ke lokasi penelitian Dengan apa menjangkau lokasi penelitian Berapa kali/bilamana datang ke lokasi penelitian Berapa lama berada di lokasi penelitian 3. Bagaimana hubungan warga lokasi penelitian dengan masyarakat lain 4. Apa saja yang mendasari hubungan tersebut
INSTITUSI / KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH 1. Pertanyaan untuk warga lokasi penelitian Institusi/kelembagaan apa saja yang ada Fungsi/peran apa saja kelembagaan tersebut bagi masyarakat Adakah fungsi-fungsi ekonomi Punggawa pada institusi tersebut Jika ada, bagaimana pemanfaatannya Adakah hambata/kendala nelayan pada institusi (ekonomi) tersebut Program/kegiatan apa saja yang pernah dilaksanakan pemerintah Kapan pelaksanaannya dan berapa lama dilaksanakan Siapa saja warga masyarakat yang dilibatkan Adakah manfaat yang dirasakan oleh masyarakat Program/kegiatan apa saja yang diharapkan masyarakat 2. Pertanyaan untuk lembaga dan pemerintah terkait Program/kegiatan apa saja yang pernah dilaksanakan pemerintah Kapan pelaksanaannya dan berapa lama dilaksanakan Siapa saja warga masyarakat yang dilibatkan Bagaimana partisipasi/keterlibatan warga Adakah manfaat yang dirasakan oleh warga Apa saja kendala/hambatannya Bagaimana mengatasi kendala/hambatan tersebut Rencana program/kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan
6
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 8 :
Studi Tentang Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo: Studi Kasus Komunitas Bajo Di Pulau Baliara Provinsi Sulawsei Tenggara Oleh : La Ode Taufik Nuryadin DAFTAR RESPONDEN NELAYAN SUKU BAJO DI PULAU BALIARA NO KK
NO JIWA
NAMA WARGA
L/P
USIA
PEK / STATUS
KET.
1
2
3
4
5
6
7
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Japar Atirah Basri Masriani Mustaring Muhsing Basmang Rahmang Sukmawati Kasmawati Megawati Mudahang Kartini Kaseng Anisa Ika Pika Ecce Ruslan Kurnia Rendi Coga Ida
L P L P L P L P P P P L P L P P P P L P L L P
27 25 56 45 23 19 15 12 9 6 3 45 30 35 32 4 3 3 Bln 25 20 1 40 35
Nelayan Dayung Isteri Nelayan Dayung Isteri Nelayan Mesin Menantu Anak Anak Cucu Cucu Cucu Nelayan Dayung Isteri Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Nelayan Mesin Isteri
24 25
Hasda Musda
P P
14 7
26 27 28
Acco Jubaidah Sahriani
L P P
2 Bln 47 13
29 30
Jusmini Zaenal
P L
13 12
2
3 4
5
6
7
Anak Anak Anak Kios/warung Adik
Janda Papalele
Anak Anak
1
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 8 :
1
2
3
4
5
8
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
Amir Becce Mirna Kadang Nia Rukman Onde Akmal Nurma Jannah Nur Amina Arlin Rugaiya Yuki Ida Ecce Suma Bobi Sumarni Sunarto Robing Fadil Rosmina Irwan Aco Tahang Ecce Bunga Dedi Acco Tahring Aminah Ati Panji Asbar Ecce. T
L P P L P L P L P P P P L P P P L P P L L L P L L L P P L L L P P L L P
35 30 11 37 40 30 25 27 22 45 20 13 40 15 17 2 30 25 4 3 2 25 17 2 1 Bln 30 27 5 3 1 35 30 11 6 25 20
9 10 11 12
13
14
15
16
17
18
6
7
Nelayan Mesin Isteri Anak Nelayan Dayung Ibu Nelayan Isteri Nelayan Dayung Isteri Nelayan Dayung Papalele Anak Anak Nelayan Dayung Anak Anak Anak Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Anak Nelayan Mesin Isteri Papalele Anak Anak Anak Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Nelayan Dayung Isteri
2
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 8 :
1
2
19
67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
4
5
Takile Bunga Hasna Bulan Kudus Dawiah Ilman Gisman Rinawati Rusmi Hesmi Limpo Udia Ecce Kamaruddin Darna Aco Mamara Rahim Hasni Amung Imming Minah Supiana Ciwan
L P P P L P L L P P P L P P L P L P L P L P P P L
50 40 22 17 35 30 18 17 11 10 5 35 30 2 Bln 35 30 2 Bln 56 35 30 40 35 15 12 7
92 93
Irna Juliana
P P
5 5
Anak Anak
94 95
Muh. Saidah Suriani
L P
45 25
Nelayan Mesin Anak
27
96 97
Imam Mahamu
L L
7 45
Anak Nelayan Dayung
28
98 99
Idah Tahang Rade
P L
35 45
Isteri Nelayan Dayung
100 101 102 103
Rade Kusman Rita Idin
P L P L
40 12 10 5
Isteri Anak Anak Anak
20
21
22
23 24 25
26
3
6
7
Nelayan Dayung Isteri Anak Anak Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Anak Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Janda Sandro Nelayan Dayung Isteri Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Anak
3
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 8 :
1
2
29
104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137
30
31
32
33 34
35
36
3
4
5
6
Tahang Mila Milah Marni Irwan Sudirman Maryam Aldin Nina Mariang Taslim Taming Sahtia Dikki Dawiah Sakka L. Naiya Saparuddin Adi Tona Ucil Nur Ecce Kastan Nur Indo Ida Ecce Hasbi Lia Winda Linda Sumardi
L P P P L P L P P L L P L P L P L L L L P P L P L P P L P P P L
25 20 7 3 35 30 20 16 15 7 50 45 21 18 40 35 18 16 15 5 4 2 Bln 25 20 35 25 2 Bln 25 20 6 5 25
Nelayan Dayung Isteri Anak Anak Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Anak Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Anak Anak Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Nelayan Dayung Isteri Anak Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Nelayan Dayung
Seda Sandi
P L
20 1
7
Isteri Anak
4
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 8 :
1
2
37
138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170
38
39 40
41
42
43
44
3 Luddin Darna Ardi Aco Bujur Mawati Akbar Suardi Juliati Jupri Liana Julia Ecce Nurdin Ateng Ardi Samidde Timang Addi Erni Hartona Aswin Hawi Agus Tamrin Marlina Lisna Masna Rudi Mansyur Dewi Tanti Ecce
4
5
6
L P L L L P L L P L P P P L P L L P L P L L P L L P P P L L P P P
30 25 1 2 Bln 30 20 8 25 20 30 25 2 1 Bln 30 20 2 45 40 20 18 17 45 40 20 19 17 8 6 3 30 25 2 7 Bln
Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Nelayan Dayung Isteri Nelayan Dayung Isteri Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Anak Anak Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Anak Anak Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Anak
5
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
7
Universitas Indonesia
Lampiran 8 :
1
2
45
46
47
48
49
50
51 52
3
4
5
6
171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186
Wahyuddin Karmatang Taslim Erlisa Fatwar Nur Afda Roni Nurmin Syukur Aco Kacco Jumiati Anja Asmin Jumrin Ancang
L P L P L P L P L L L P L P L L
32 30 8 6 4 2 25 20 2 5 Bln 22 18 5 Bln 30 11 3
Punggawa Isteri Anak Anak Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Nelayan Mesin Kios Adik Anak
187 188 189 190 191 192 193 194 195
Iwang Marni Masni Lisna Andi Ashar Ernawati Alpian Aco Rohani
L P P P L P L L P
4 5 7 2 25 20 4 5 Bln 30
Anak Adik Adik Anak Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Janda
196 197
Sumarni Kayang
P P
16 14
Adik Adik
198 199 200 201 202 203 204 205
Taslim Pira Yedde Yondeng Acco Wati Asnawir Sukirman
L P P P L P L L
10 4 55 35 35 30 12 9
Adik Anak Janda Sandro Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Anak
6
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
7
Kios
Universitas Indonesia
Lampiran 8 :
1
2
53
206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242
54 55
56 57
58 59
60 61 62 63 64
3 Asis Nammi Fatmawati Muh. Yunus Ahmad Erna Beddu Hasan Nurmia Ikmal Rusmawati Nita Marni La Unca Annis Kasse Assi Inna Risna Rusma Jahlia Lukman Suparman Endang Nurdin Misda Sarmila Pirdaus Nurhaeda Rusli Erni Janusing Sariawati Kamaruddin Mastan Sudirman Kasmi Husnul Fatimah
4
5
L P P L L P L P L P P P L P L P P P P P L L P L P P L P L P L P L L L P P
30 25 15 10 6 4 55 30 20 18 16 12 35 30 50 40 20 5 3 25 6 22 19 27 20 2 25 22 23 20 34 20 30 27 29 25 1
6
7
Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Anak Anak Nelayan Dayung Duda Kios/warung Janda Adik Adik Adik Anak Nelayan Dayung Isteri Nelayan Mesin Isteri Anak Anak Anak Anak Janda Cucu Nelayan Dayung Isteri Nelayan Dayung Isteri Anak Nelayan Dayung Isteri Nelayan Dayung Isteri Nelayan Dayung Isteri Nelayan Dayung Isteri Nelayan Dayung Isteri Anak
7
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 8 :
1
2
65
243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278
66
67
68
69 70 71
72 73
74
75 76 77 78 79
3
4
5
6
7
Said Aminah David Hasnah Deswita Jafar Yanti Dinda Jusman Hasnah Anto Nurdin Asmah Anwar Yeni Mahamo Hasniati Surudin Jahadang Nengsih H. Basir Aisah Nasrudin Buo Yecce Palman Alimuddin Yonde Samude Juriyah Takile Hasnah Jupri Sawiyah Lakudo Nimang
L P L P P L P P L P L L P L P L P L L P L P L L P L L P L P L P L P L P
49 35 43 35 16 30 25 8 32 25 5 55 45 33 27 50 45 18 45 40 45 38 12 50 45 20 56 45 53 45 56 40 42 35 46 40
Punggawa Isteri Punggawa Isteri Anak Punggawa Isteri Anak Punggawa Isteri Anak Punggawa Isteri Punggawa Isteri Punggawa Isteri Anak Nelayan Mesin Isteri Punggawa Isteri Anak Nelayan Dayung Isteri Anak Nelayan Mesin Isteri Nelayan Mesin Isteri Nelayan Mesin Isteri Nelayan Mesin Isteri Nelayan Mesin Isteri
Kios Papalele
8
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Kios Papalele Kios Papalele Kios Kios
Kios Papalele
Universitas Indonesia
Lampiran 9 :
DATA PEMASARAN DAN NAMA PUNGGAWA
Hasil tangkapan nelayan seluruhnya diberikan kepada Punggawa untuk dijual. Harga jual tidak ditentukan berdasarkan harga pasar tetapi ditentukan oleh Punggawa sehingga Punggawa memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan pendapatan nelayan. Menurut para Punggawa, faktor-faktor yang mempengaruhi harga jual hasil laut adalah jenis, ukuran, kualitas olahan (penggaraman dan pengeringan), tempat (jarak pasar), harga pasaran, dan faktor musim yang berpengaruh pada pasokan barang. Beberapa jenis hasil tangkapan ikan di laut dan harga yang berlaku ditingkat lokal (Pulau Baliara dan sekitarnya) dan di luar (pasaran), dapat disajikan melalui tabel-tabel sebagai berikut. Tabel 1. Harga Jual Beli Teripang Di Pulau Baliara No. Jenis Teripang Harga beli / kg 1. Gamat Rp. 170.000 2. Hitam Rp. 150.000 3. Polos Rp. 65.000 4. Binti Rp. 70.000 5. Kalengkong Rp. 30.000 6. Gosok Rp. 70.000 7. Koro Rp. 240.000 8. Cera merah Rp. 40.000 9. Cera putih Rp. 40.000 10. Cera hitam Rp. 13.000 11. Sutera Rp. 7.000 12. Kuning/sepatu Rp. 10.000 Sumber, Data Lapangan, 2008.
Harga jual / kg Rp. 200.000 Rp.180.000 Rp.75.000 Rp.80.000 Rp.35.000 Rp.85.000 Rp.250.000 Rp.45.000 Rp.45.000 Rp.17.000 Rp.10.000 Rp.12.5000
Teripang adalah salah satu hasil tangkapan utama yang diperoleh dengan cara menyelam di dasar laut. Di Pulau Baliara dikenal 12 jenis teripang dimana harga tiap jenis teripang tersebut berbeda satu sama lain sebagaimana tersaji pada tabel 6 sebelumnya. Harga beli adalah harga yang ditentukan oleh Punggawa kepada Nelayan dan harga jual adalah harga penjualan Punggawa ke pasaran yaitu kepada 1
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 9 :
Pengumpul di tingkat lokal seperti di Sikeli, Kasipute, Kendari, dan Buton dimana selisih perbedaan harga tersebut berkisar antara 10% hingga 30% . Jenis tangkapan utama lainnya seperti ikan hiu (untuk diambil siripnya), gurita dan lobster diperoleh dengan cara memancing yang diperoleh pada musim-musim tertentu.
Gambar 12. Hasil tangkapan jenis teripang, penggaraman, pengasapan dan penjemuran hingga kering Untuk jenis ikan hiu, nelayan mencarinya hingga ke perairan laut laut lepas seperti di perairan laut Maluku dan Flores yang dianggap cukup banyak terdapat ikan hiu. Jenis tangkapan ini paling mahal sehingga meskipun sulit diperoleh tetapi nelayan tetap mencarinya. Harga sirip ikan hiu berbeda pada tiap bagian dan ukuran yaitu pada bagian punggung, sayap, dan kikir. Perbedaan harga yang berlaku di Pulau Baliara antara harga beli dari nelayan dan harga jual punggawa sekitar 20 % hingga 30 % yang dapat dilihat pada tabel 7 sebagai berikut.
2
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 9 :
Tabel 3. Harga Jual Beli Sirip Hiu Di Pulau Baliara No. 1. 2. 3.
Jenis hiu dan ukuran
Harga beli
Lontar (punggung) 50 cm, Rp. 1.000.000,2,5 kg kering Hiu (sayap) 40 cm Rp. 800.000,1 – 3 kg Kikir (tidak diukur) Rp. 300.000,1 kg
Harga jual / kg Rp. 1.300.000,Rp. 1.000.000,Rp. 500.000,-
Sumber, Data Lapangan, 2008. Jenis tangkapan lainnya yang tergolong mahal adalah udang lobster yang diperoleh di lautan lepas dengan cara dipancing pada lokasi-lokasi terdapat banyak terumbu karang. Perbedaan harga jenis lobster ini cukup menarik karena tergantung pada jenisnya karena memiliki citarasa yang berbeda sedangkan berat kurang menjadi pertimbangan utama. Di Pulau Baliara dikenal 4 jenis lobster dimana lobster tersebut setelah ditangkap biasanya disimpan di dalam keramba untuk diawetkan dan penggemukan jangka waktu untuk selanjutnya dijual di pasar. Perbedaan harga beli dan harga jual antara 10 % hingga 20 % yang dapat dilihat pada tabel 8 berikut. Tabel 4. Harga Jual Beli Lobster Di Pulau Baliara No. Jenis Lobster
Harga beli / kg
Harga jual / kg
1.
Mutiara super (1-2 kg)
Rp.130.000 / kg
Rp.150.000 / kg
2.
Mutiara up (3-4 kg)
Rp.90.000 / kg
Rp.100.000 / kg
3.
Bambu ( >0,3 kg )
Rp.90.000 / kg
Rp.110.000 / kg
4.
Kipas (< 0,3 kg)
Rp.25.000 / kg
Rp.35.000 / kg
Sumber, Data Lapangan, 2008. Jenis tangkapan terakhir yang tergolong mahal adalah gurita, yaitu sejenis cumi-cumi atau sontong namun dalam ukuran besar. Seperti halnya udang lobster, gurita juga
3
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 9 :
diperoleh di lautan lepas dengan cara dipancing pada lokasi-lokasi terdapat banyak terumbu karang. Perbedaan harga jenis gurita ini tergantung pada beratnya, dimana semakin berat (besar) maka akan semakin mahal pula harganya. Harga gurita tidak terlalu mahal sehingga perbedaan harga beli dan jual tidak begitu menyolok yaitu antara 5 % hingga 10 % saja seperti yang terlihat pada tabel 9 berikut ini. Tabel 5. Harga Jual Beli Gurita Di Pulau Baliara No. Berat Gurita / ekor
Harga beli / kg
Harga jual / kg
1.
3 kg
Rp. 23.000
Rp. 28.000
2.
1 – 2 kg
Rp. 18.000
Rp. 22.000
3.
< 1 kg
Rp. 8.000
Rp. 10.000
4.
0,5 kg
Rp. 5.000
Rp, 7.000
Sumber, Data Lapangan, 2008. Jenis tangkapan ikan adalah hasil produksi yang diperoleh nelayan pada umumnya di Pulau Baliara. Terdapat banyak jenis ikan dengan harga yang berbeda tergantung pada jenis dan beratnya. Untuk ikan dalam ukuran kecil biasanya diserahkan oleh Punggawa kepada Papalele untuk dijual ke pasar sedangkan untuk ikan ukuran besar disimpan dalam lemari es untuk diawetkan dan khusus ikan sunu yang masih hidup disimpan dalam keramba untuk beberapa waktu tertentu hingga jumlahnya cukup banyak untuk dijual. Pada tabel 10 disajikan daftar harga beli dan jual ikan di Pulau Baliara berdasarkan jenis ikan dan ukuran dimana selisih harga antara 20 % hingga 40 %.
4
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 9 :
Tabel 6. Harga Jual Beli Ikan Di Pulau Baliara No. Jenis ikan
Harga beli / kg
Harga jual / kg
1.
Sunu cambang
Rp.15.000 / kg
Rp.20.000 / kg
2.
Sunu super
Rp.25.000 / kg
Rp.31.000 / kg
3.
Inti (Lausu)
Rp.8.000 / kg
Rp.11.000 / kg
4.
Merahan (katokang)
Rp.7.000 / kg
Rp.10.000 / kg
5.
Kare-kare Pari
Rp.7.000/ikat
Rp.10.000/ikat
6.
Pari Bone
Rp.3.000 / ekor
Rp.5.000 / ekor
7.
Pari Batu
Rp.1.000 / ekor
Rp.2.000 / ekor
8.
Kare-kare
Rp.3.000 / ikat
Rp.5.000 / ikat
9.
Kakap merah
Rp.17.000 / kg
Rp.25.000 / kg
Sumber, Data Lapangan, 2008. Selain jenis tangkapan berupa makhluk hidup laut, nelayan seringkali mengambil berbagai jenis kerang-kerangan di dasar laut karena memiliki harga jual dan ada permintaan pasar, misalnya sebagai bahan untuk membuat kerajinan atau souvenir laut. Kerang-kerangan ini dijual di kota-kota besar berdasarkan pesanan ketika Punggawa Punggawa pergi kota. Pada tabel 11 disajikan berbagai harga beli dan harga jual 5 jenis kerang-kerangan yang umumnya diperoleh nelayan sebagai berikut. Tabel 7. Harga Jual Bali Kerang-kerangan Di Pulau Baliara No. Jenis kerang
Harga beli
Harga jual / kg
1.
Kulit raci
Rp.500 / kg
Rp.800
2.
Laga
Rp.500 / buah
Rp.700
3.
Taburi (kepala kambing)
Rp.2.000 / buah
Rp.4.500
4.
Japing-japing
Rp.8.000 / kg
Rp.12.000
5.
Lola
Rp.15.000 / kg
Rp.20.000
Sumber, Data Lapangan, 2008.
5
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 9 :
Harga berbagai jenis kerang ini relatif murah dan relatif mudah diperoleh sehingga ketika nelayan kurang memperoleh hasil tangkapan yang maksimal maka kerangkerangan biasanyha diambil untuk menambah pendapatan nelayan.
Gambar 8. Jenis keranga-kerangan yang digunakan sebagai bahan membuat hiasan dan kerajinan.
Jenis produksi laut lainnya yang diusahakan oleh nelayan suku Bajo di Pulau Baliara adalah budidaya rumput laut. Seperti diawal diceritakan bahwa jenis usaha ini sangat cocok dikembangkan di perairan laut Pulau Baliara karena kondisi alam yang mendukung seperti ombak yang tenang karena dilindungi oleh kepulauan Baliara dan banyaknya terumbu karang. Jenis usaha ini banyak melibatkan para isteri nelayan dan perempuan dari anak-anak hingga orang tua, terutama ketika pembibitan dan pemanenan. Jenis rumput laut yang diambil dari alam (dasar laut) memiliki harga yang relatif lebih murah namun nelayan hanya mengambil saja di dasar laut, namun untuk rumput laut hasil budidaya harganya lebih mahal sehingga banyak yang
6
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 9 :
mengusahakannya (35 KK). Harga beli dan jual kedua jenis rumput laut tersebut dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini. Tabel 9. Harga Jual Beli Rumput Laut Di Pulau Baliara No. Jenis Rumput Laut
Harga beli
Harga jual
1.
Agar alam
Rp. 300 – 500 / kg
Rp. 750 / kg
2.
Agar Budidaya
Rp. 6.000-6.100 / kg
Rp. 6.400 / kg
Sumber, Data Lapangan, 2008.
Selain beberapa produk hasil laut di atas, terdapat satu jenis sumber laut lain yang potensial di pasaran namun produksi berlangsung pada musim tertentu saja, yaitu mata tujuh (sejenis teripang /locus) yang diambil ketika air surut pada waktu malam hari pada bulan Mei-Agustus. Harga mata tujuh tersebut yang masih dalam keadaan mentah/basah Rp. 20.000/kg, namun jika dikeringkan Rp. 100-120 ribu/kg.
Daftar nama Punggawa di Pulau Baliara dan dari luar Pulau Baliara.
Tabel 10. Jumlah Punggawa di Pulau Baliara No.
Nama
Usia (th)
Lama jadi Punggawa
Jumlah Anggota Nelayan
Jenis hasil yang dikumpulkan
1.
Said
49
15 tahun
10 orang tetap 2-3 orang tidak tetap
2.
David
43
9 tahun
5 orang tetap 3-4 orang tidak tetap
Rumput laut Teripang Ikan
7
Rumput laut Teripang Kerang-kerangan Sirip Hiu Ikan
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 9 :
3.
Wahyudin
37
5 tahun
7 orang
Rumput laut Teripang Kerang-kerangan Sirip Hiu Ikan Gurita
4.
Jafar
30
4 tahun
5 orang tetap 2-4 orang tidak tetap
Rumput laut Teripang Sirip Hiu Ikan
5.
Jusman
32
7 tahun
4 orang, 2-3 orang tidak tetap
Rumput laut Teripang Sirip Hiu
6.
Nurdin
55
20 tahun
10 orang 4-5 orang tidak tetap
Rumput laut Teripang Sirip hiu
7.
Anwar
33
7 tahun
6 orang 2-3 orang tidak tetap
Rumput laut Teripang Sirip Hiu
8.
Mahamo
50
20 tahun
7 orang 4-5 orang tidak tetap
Rumput laut Teripang Kerang-kerangan Sirip Hiu Ikan Gurita
9.
H. Basir
45
10 tahun
15 orang 5-7 orang tidak tetap
Rumput laut Teripang Kerang-kerangan Sirip Hiu Ikan Gurita
Sumber : Data Lapangan, 2008.
8
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010
Lampiran 9 :
Tabel 11. Jumlah Punggawa dari luar Pulau Baliara No.
Nama dan Asal
Usia (th)
Lama jadi Punggawa
Jumlah Anggota Nelayan 3 orang 3-4 orang tidak tetap
Jenis yang dikumpulkan Teripang Kerang-kerangan Sirip Hiu Ikan
1.
Ahmad Buton
42
7 tahun
2.
H. Encere Bambanipa
50
20 tahun
8 orang 5 orang tidak tetap
Rumput laut Teripang Kerang-kerangan Sirip Hiu Ikan Gurita Mata tujuh
3.
H. Abdin Pu’u Nunu
50
15 tahun
20 orang 10 orang tidak tetap
Rumput laut Teripang Kerang-kerangan Sirip Hiu Ikan Gurita Mata tujuh
4.
Ruslan Sikeli
47
5 tahun
5 orang 2-3 orang tidak tetap
Sirip Hiu Teripang
Sumber : Data Lapangan, 2008.
9
Universitas Indonesia
Kapital sosial..., La Ode Taufik Nuryadin, FISIP UI, 2010