CBT untuk Halusinasi Auditorik
TERAPI KOGNITIF-PERILAKU SEBAGAI TATALAKSANA HALUSINASI AUDITORIK PADA SKIZOFRENIA PARANOID
COGNITIVE BEHAVIORAL THERAPY AS A TREATMENT FOR AUDITORY HALLUCINATIONS IN PARANOID SCHIZOPHRENIA Oleh: Hafid Algristian1, Fatimah Haniman2
1
Dokter umum, peserta PPDS I Ilmu Kedokteran Jiwa Depatemen/SMF Ilmu Penyakit Jiwa FK Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 2 Guru Besar, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa/Psikiater (Konsultan), Staf pengajar pada Depatemen/SMF Ilmu Penyakit Jiwa FK Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
0
CBT untuk Halusinasi Auditorik
ABSTRAK Skizofrenia paranoid adalah salah satu coping mechanism individu terhadap stresful life event. Salah satu gejala yang menimbulkan disabilitas pada individu dengan skizofrenia paranoid adalah halusinasi auditorik. Asesmen gejala spesifik terkait halusinasi auditorik dapat digunakan PSYRATS dan BAVQ-R. Halusinasi auditorik dijelaskan sebagai suatu fenomena sisipan dalam kenyataan (intrusion into awareness). Sisipan ini mengalami misintepretasi sebagai suara-suara diakibatkan belief individu yang salah, lalu mengalami proyeksi keluar. Misintepretasi dan proyeksi ini bila terjadi terus menerus, menyebabkan korteks prefrontal menjadi tidak berkembang. Akibatnya, terjadi sindrom diskonektivitas sehingga suara-suara tersebut memiliki personifikasi karakter tertentu (merupakan complex hallucinations) dan bersifat involunter. Target dari aplikasi terapi kognitif-perilaku terhadap halusinasi auditorik ini adalah mengajak individu untuk mengevaluasi beliefnya, yang mendasari munculnya halusinasi auditorik. Terapi kognitif-perilaku berfokus untuk melatih coping skill yang adaptif untuk membentuk belief yang baru terhadap halusinasi auditoriknya. Pendekatan terapi ini dapat dilakukan intervensi kognitif dengan Socratic Questioning, sementara pendekatan perilaku dapat digunakan reality testing. Terapis dapat menggunakan intervensi kognitif untuk membentuk perilaku baru, atau menggunakan eksperimen perilaku untuk membentuk self statement baru. Keyword: terapi kognitif-perilaku, skizofrenia paranoid, halusinasi auditorik
ABSTRACT Paranoid schizophrenia is one of coping mechanism against stresful life event. One of the symptoms that causes disability in individuals with paranoid schizophrenia is auditory hallucinations. Assessment of specific symptoms related to auditory hallucinations can be used PSYRATS and BAVQ-R. Auditory hallucinations described as a phenomenon in reality inserts (intrusion into awareness). This intrusion had been misintepretated as voices caused by the wrong individual set of beliefs, and had been projected out. When misintepretation and projection occurs continuously, causing the prefrontal cortex become less developed. The result is disconnectivity syndrome, so that these voices have a certain character personification (a complex hallucinations) and is involuntary. The target of the application of cognitive-behavioral therapy for auditory hallucinations are invited individuals to evaluate their beliefs, which underlies the emergence of auditory hallucinations. Cognitive- behavioral therapy focuses to train adaptive coping skills to form a new set of beliefs to auditory hallucinations. This therapeutic approach can be done using the Socratic Questioning cognitive intervention, while behavioral approach could use reality testing. The therapist may use cognitive interventions to establish a new while behavioral, or using behavioral experiments to form a new self statement. Keywords: cognitive-behavioral therapy, paranoid schizophrenia, auditory hallucinations
1
CBT untuk Halusinasi Auditorik
PENDAHULUAN Behavioris, sebutan para ahli Behavioral Therapy (termasuk terapi kognitif-perilaku), mengatakan skizofrenia adalah salah satu coping mechanism individu terhadap stresful life event. Skizofrenia memiliki tampilan gejala bervariasi, yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan perilaku. Dibanding lainnya, skizofrenia paranoid adalah jenis yang paling sering dijumpai di negara manapun (Trigoboff, 2007; Harris, 2009; Sadock & Sadock, 2007). Gambaran klinis skizofrenia paranoid didominasi oleh waham-waham yang secara relatif stabil, seringkali bersifat paranoid, biasanya disertai beberapa halusinasi. Beberapa penelitian menyebutkan, gejala halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran yaitu sebesar 70% dari populasi penderita skizofrenia (Depkes RI, 1993; Kusuma, 1997; Boksa, 2009; King, 1983). Di Amerika Serikat, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan pada tahun 1998 ditemukan 121.000 kasus rawat inap skizofrenia paranoid di rumah sakit swasta. Tren kasus skizofrenia paranoid akan semakin meningkat pada abad 20-an. Seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran, di samping itu semakin mudahnya akses pelayanan kesehatan jiwa dan kesadaran masyarakat, meningkatkan cakupan kasus setidaknya 1,5 kali lipat lebih banyak selama sepuluh tahun ke depan. Di Indonesia, sebanyak 7 provinsi mempunyai prevalensi skizofrenia di atas prevalensi nasional (0,5%) adalah NAD, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat (Torrey, 1981; Kilburn, 2000; Trigoboff, 2007; Depkes RI, 2008). Tatalaksana skizofrenia paranoid membutuhkan bukan hanya pengobatan, namun juga peningkatan kualitas hidup yang dicapai melalui psikoterapi. Terapi kognitif-perilaku menunjukkan efektifitasnya dalam mengatasi baik waham maupun halusinasi pada skizofrenia paranoid, menyamai efektifitas clozapine (Smith et al, 2003; First, 2004; Maramis, 2009). Gejala sisa pada skizofrenia seperti waham, halusinasi, dan gangguan proses berpikir, cukup mengganggu fungsi hidup individu. Gejala sisa tersebut masih sangat umum terjadi pada 50% kasus pasca rawat inap. Kombinasi terapi kognitif-perilaku dengan terapi antipsikotik, terbukti mampu meningkatkan fungsi hidup individu dan mengurangi morbiditas dan mortalitas kasus (Smith et al, 2003; Trower et al, 2004; Sudak, 2011).
2
CBT untuk Halusinasi Auditorik
PEMBAHASAN 1. Diagnosis Skizofrenia Paranoid Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia paranoid menurut PPDGJ-III, kriteria umum diagnosis skizofrenia harus dipenuhi. Sebagai tambahan, halusinasi dan/atau waham harus menonjol, sedangkan gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata. Halusinasi biasanya seperti berikut ini (Boksa, 2009; Depkes RI, 1993): 1.
Suara-suara yang mengancam individu atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);
2.
Halusinasi pembauan atau pengecapan-rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol. Halusinasi pada skizofrenia paranoid umumnya berjenis auditorik, dan seringkali bersifat kejam dan
mengancam. Suara-suara tersebut memperingatkan bahwa mereka sedang mengawasi setiap gerak-gerik penderita. Biasanya ketika pertama kali terjangkit, penderita menjadi curiga bahwa orang lain membicarakannya tanpa sepengetahuannya (Boksa, 2009; First, 2004).
2. Halusinasi Auditorik Wells dan Matthews menyebutkan halusinasi auditorik adalah fenomena “sisipan ke dalam kesadaran” (intrusions into awareness), dimana seseorang yang mengalami halusinasi auditorik memiliki suatu gambaran mental yang diyakininya sebagai stmulus dari luar. Sisipan ini oleh Hoffman disebut sebagai “parasitic memories” karena dirasa mengganggu. Menurut Morrison, sebenarnya mendengar suara-suara adalah fenomena psikologis yang wajar dan bisa dialami siapapun, dengan atau tanpa fenomena traumatis. Honig et al menemukan bahwa halusinasi auditorik sering diawali dengan peristiwa lain yang mengingatkan seseorang pada pengalaman traumatis di masa lalunya. Pengalaman ini dirasakan menjadi sebab munculnya rasa gagal dalam dirinya (faulty-self) yang mempengaruhi pembentukan beliefs seseorang, kemudian membuatnya mengintepretasikan sisipan (intrusion) sebagai bagian dari kesadaran (awareness). Proses pembentukan belief seseorang dipengaruhi oleh proses belajar akan pengalamannya di masa lalu (experience). Proses belajar ini salah satunya adalah uji terhadap realitas (reality testing). Dari ABC framework oleh Chadwick berikut, menunjukkan adanya kecenderungan seseorang dengan halusinasi auditorik langsung menuju kesimpulan (jump into conclusion) tanpa disertai reality testing (Chadwick et al 2000; Morrison, 2001; Smith et al, 2003; Greyson & Liester, 2004; Trower et al, 2004; Sadock & Sadock, 2007; Casey & Kelly, 2007; Hagen & Nordahl, 2008; Boksa, 2009; Hatzipetrou & Po Oei, 2010; Smeets et al, 2010; Jackson et al, 2010; Beck, 2011).
3
CBT untuk Halusinasi Auditorik
Tabel 1. Jenis Halusinasi Auditorik (dirangkum dari Depkes RI, 1993; Morrison, 2001; Trower et al, 2004; Casey & Kelly, 2007; Sommer et al, 2012). Berdasarkan Kualitasnya Complex Hallucinations Membentuk kalimat lengkap, dapat dimengerti maksud kalimatnya, memiliki nada suara yang dapat dibedakan dan dikenali, karena diintepretasikan memiliki personifikasi atau karakter tertentu.
Crude Hallucinations Seringkali berupa bunyi berisik (noises), bergumam (humming), atau peluit (whistling). Pada tingkatan selanjutnya, berupa banyak orang berbicara namun belum dapat dimengerti isi pembicaraannya.
Berdasarkan Isinya Command Hallucinations Bersifat memerintah dan mengancam, baik kepada pasien atau lingkungannya. Beberapa pasien dapat menolak (resist), namun tidak sedikit yang justru menuruti. Angka self-harm hingga suicide attempt banyak pada kelompok ini.
Hummiliating Voices Bersifat merendahkan, mengejek, bahwa tidak ada siapapun yang berpihak kepada pasien, bahwa pasien sendirian dan tidak ada yang peduli terhadapnya. Banyak kejadian pasien yang kemudian menyendiri dan menjadi depresi.
Critical Voices Reperceptive atau Memory-based Hallucinations Bersifat mengkritik atau mengomentari, bisa Sebelas hingga 52% pasien dengan skizofrenia secara langsung (directly) atau terdiri dari memiliki komorbiditas dengan PTSD. Seringkali beberapa suara yang membicarakan atau terjadi pada mereka yang mengalami sexual menggosipkan pasien. abuse. Halusinasi yang dialami pasien dapat merupakan inner-speech pasien yang mengalami personifikasi, menimbulkan semacam reexperiencing pasien terhadap traumanya; dan siklus ini justru semakin memperberat keadaan pasien. Bagan 1. Vicious Cycle pada proses terjadinya halusinasi auditorik. Siklus ini menyebabkan gejala halusinasi semakin memberat karena beliefs terus menerus dipupuk dengan safety behavior yang tidak sehat (dirangkum dari Morrison, 2001; Smith et al, 2003; Jackson et al, 2010; Smeets et al, 2010; Trower et al, 2004; Hatzipetrou & Po Oei, 2010).
Antecedent: Sisipan (intrusion), berupa mental image tertentu, sifatnya netral, dapat terjadi pada siapa saja.
Beliefs: Sisipan mengalami misintepretasi sbg parasitic memories, dan diproyeksikan sebagai external stimulus.
Consequences (1): Thought: Sisipan menjadi kesadaran (intrusion into awareness)
Consequences (2): Feelings: Aktivitas otak menjadi patologis, perasaan terganggu.
Consequences (3): Do’s: Mencari safety behavior, tanpa reality testing dahulu. 4
CBT untuk Halusinasi Auditorik
3. Terapi Kognitif Perilaku untuk Halusinasi Auditorik 3.1. Pendekatan Kognitif Prinsip terapi kognitif-perilaku didasarkan pada teori belajar (learning theory), yang meyakini setiap manusia memiliki kemampuan dalam mempelajari suatu perilaku. BF. Skinner mengatakan bahwa sebuah perilaku (behavior, B) dipengaruhi oleh beberapa kejadian yang mendahului (antecedents, A) lalu diikuti oleh konsekuensi (consequences, C). Albert Ellis menyebutkan, ada satu faktor yang menyebabkan sikap antar individu bisa berbeda meski dihadapkan pada kejadian yang sama. Faktor tersebut adalah belief. Ellis mengusulkan bahwa faktor “B” bukan sekedar behavior, melainkan belief (keyakinan), yang merupakan kumpulan persepsi dan nilai individu yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya. Belief inilah yang menjadi faktor utama bagaimana individu tersebut memandang antecedent atau activating events, A, yang dapat diamati dalam consequences, C, berupa perubahan sikap dan perasaan individu tersebut. (Harris 2009; Corey, 2009; Sudak, 2011). Untuk mengevaluasi keyakinan ini, Beck menggunakan teknik yang disebut cognitive restructuring. Cognitive restructuring ini berdasarkan filosofi Socrates dalam mendidik murid-muridnya, yakni “I know that I know nothing.”—saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa. Filosofi ini mengharuskan terapis banyak bertanya kepada kliennya. Tujuannya adalah mendorong klien lebih banyak berbicara untuk mengungkapkan dirinya, sehingga terapis dapat mendeteksi automatic thought pasien. Dengan mengobservasi automatic thought-nya, terapis bersama-sama klien dapat menggali kegagalan logika (logical errors) yang dikenal sebagai cognitive distortions, kemudian mencari ide atau pemahaman yang lebih adaptif. Model cognitive restructuring ini menggunakan tehnik Socratic questioning sebagai berikut:
Tabel 2. Socratic Questioning untuk Cognitive Restructuring (Dirangkum dari Hagen & Nordahl, 2008; Smith et al, 2003; Padesky, 1993; Beck, 2011) Simple Socratic Questioning: Formal hypothesis testing: “Jika [premis-1], apakah [premis-2] akan terjadi?” Discovery-oriented method: “Apa yang akan terjadi jika [premis-1]?” In-Depth Socratic Questioning: 1. The “Evidence” Questions (tujuan: mencari bukti yang mendukung dan melemahkan) Saat ini, apa yang Anda pikirkan jika mengingat kejadian tersebut? Apa yang membuat Anda yakin hal tersebut benar? Adakah penjelasan sebaliknya? Apa yang membuat Anda berpikir bahwa Anda gagal? Apakah ada kejadian tertentu yang mendahului, ataukah sepanjang waktu Anda merasa gagal seperti ini? 2. The “Alternative Explanation” Questions (tujuan: mencari penjelasan alternatif tentang fokus masalah) Seberapa sering Anda mengalami kesedihan seperti sekarang ini? Adakah saat-saat Anda tidak teringat tentang kejadian tersebut? Adakah saat-saat Anda meski teringat kejadian tersebut, namun tidak merasa sedih seperti sekarang ini? Kapankah itu? (Pada beberapa kasus, langkah ini bisa dilakukan terapis dengan menjelaskan proses kesedihan dari segi biokimiawi otak, atau fakta ilmiah lainnya). 3. The “Decatastrophizing” Questions (tujuan: melihat kondisi terbaik dan terburuk dari fokus masalah) 5
CBT untuk Halusinasi Auditorik
4. 5. 6.
Hal apa yang Anda bayangkan yang akan terjadi ketika Anda belum bisa lepas dari kesedihan Anda? Apa yang ingin Anda lakukan ketika merasa sedih? Hal apa yang Anda bayangkan yang akan terjadi ketika Anda lepas dari kesedihan Anda? Bagaimana pekerjaan Anda? Bagaimana teman-teman dan keluarga Anda? The “Impact of The Automatic Thought” Questions (tujuan: menilai akibat jika mengikuti atau tidak mengikuti pola berpikirnya) Apa akibatnya jika Anda meyakini bahwa hal tersebut membuat Anda sedih? Apa manfaatnya jika Anda meyakini sebaliknya? The “Distancing” Questions (tujuan: memberikan “jarak psikologis” dengan fokus masalah) Ketika Anda mampu melakukan hal yang berbeda untuk mengatasi kesedihan ini, bagaimana kira-kira tanggapan orang lain? Ketika mungkin ada teman atau keluarga yang mengalami hal yang sama seperti Anda, apa yang Anda katakan untuk mereka? The “Problem Solving” Questions (tujuan: mengubah hal yang abstrak ke rencana konkrit) Apa yang Anda rencanakan selanjutnya untuk situasi ini?
3.2. Pendekatan Perilaku Pendekatan perilaku adalah dengan menggunakan reality testing. Hagen dan Nordahl menggunakan teknik ini pada satu kasus yang dilaporkannya. Pertama-tama terapis menggunakan Socratic questioning untuk membantu pasien menelisik lebih jauh mengenai struktur halusinasi auditoriknya. Dapat juga digunakan kuesioner PSYRATS dan BAVQ-R untuk mengevaluasi distres yang muncul dan belief pasien terhadap halusinasi auditoriknya. Pada kasus yang ditulis Hagen dan Nordahl, pasien meyakini bahwa meletakkan botol-botol minuman yang telah terisi air ledeng, lalu melapisi kasurnya dengan aluminium foil, dapat mengurangi frekuensi halusinasi auditoriknya. Perilaku ini diidentifikasi sebagai safety behavior yang menyuburkan halusinasinya. Terapis memandu pasien untuk menyimpulkan, semakin banyak botol, maka suara-suara semakin berkurang, sementara semakin sedikit botol, maka suara-suara semakin bertambah. Kemudian terapis mengajak pasien untuk bereksperimen untuk membuktikan hipotesis tersebut. Pada dua hari eksperimen, pasien menemukan bahwa tidak ada perbedaan mencolok terhadap halusinasinya ketika ditambah maupun dikurangi jumlah botolnya. Terapis memandu pasien untuk membuat kesimpulan baru, bahwa strategi coping yang dilakukan pasien ternyata tidak efektif mengurangi halusinasinya (Chadwick et al, 2000; Favrod et al, 2004; Hagen & Nordahl, 2008). Pada titik ini, terjadi “kekosongan pendapat” atau emptiness of self-statements dalam diri pasien. Ini adalah resiko yang sering terjadi dalam proses reality testing. Terapis hendaknya waspada ketika pasien mulai mengalami kebingungan. Dalam hal ini, ‘pendapat’ adalah domain kognitif, sehingga pasien perlu mendapatkan penjelasan baru tentang halusinasinya. Jika tidak segera mendapatkan penjelasan baru tentang apa yang sebenarnya dialami, pasien kemungkinan besar akan kembali kepada safety behavior-nya. Hagen dan Nordahl memandu pasiennya agar tidak terlalu lama mengalami kebingungan, dengan cara memverbalkan apa yang mungkin dipikirkan pasien. Terapis dapat memandu pasien dengan beberapa pertanyaan berikut: 6
CBT untuk Halusinasi Auditorik
1) “Apa sebabnya hingga saat ini saya tidak diganggu atau dibunuh? Apakah suara-suara tersebut bohong?” atau, 2) “Sebenarnya seberapa sering suara-suara tersebut berkata benar tentang ancaman mereka kepada saya?” Diharapkan pasien mulai memahami lebih jelas, bahwa fenomena halusinasi auditorik tak lain adalah sisipan yang dipersepsikannya sebagai suara-suara. Setelah pasien memahami, maka rasa percaya dirinya bertambah, kecemasannya mereda, dan perasaan pasien menjadi lebih baik (Morrison, 2001; Smith et al, 2003; Hagen & Nordahl, 2008).
3.3. Tahapan Terapi Kognitif-Perilaku Masing-masing tahapan terapi kognitif-perilaku dapat dibagi lagi menjadi sesi-sesi yang lebih kecil dengan tujuan yang lebih spesifik sesuai permasalahan atau kondisi pasien saat itu. Berikut adalah tahapan-tahapannya (Smith et al, 2003; Hatzipetrou & Po Oei, 2010; Valmaggia et al, 2005): 1.
Fase Early Engagement: Membangun rapport, psikoedukasi dan penjelasan program terapi, melakukan asesmen awal, meredakan gejala suasana perasaan (mungkin depresi atau kecemasan) yang menyertai halusinasi auditoriknya, membicarakan target terapi pasien untuk pertemuan berikutnya.
2.
Fase Kedua: Menyusun formulasi kasus berdasarkan asesemen awal, menetapkan target terapi yang lebih spesifik, membuat koneksi pikiran dan perasaan (thoughts and feels) dan relabelling symptoms, meredakan gejala suasana perasaan yang menyertai halusinasi dengan relaksasi, changing activity levels dengan graded exposure.
3.
Fase Terminasi: Mendiskusikan manfaat terapi yang dapat digunakan pasien secara mandiri dalam kehidupannya sehari-hari, strategi pencegahan kekambuhan (relapse prevention strategies). Antar sesi terdapat sebuah proses yang disebut jembatan antar-sesi (bridging session). Pada
bridging session ini dilakukan dengan me-review target yang sudah dicapai dan tugas rumah apa yang sudah dikerjakan pasien saat akan menuju sesi berikutnya. Saat menerima umpan balik, terapis melakukan reinforcement, bahwa pasien telah berhasil mempelajari sesuatu pada pertemuan sebelumnya. Melalui reinfrocement diharapkan dapat mendorong pasien agar aktif mempraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. (Smith et al, 2003; Cully & Teten, 2008; Beck, 2011).
3.4. Beberapa Kendala yang Mungkin Dihadapi Terapis seringkali terburu-buru menggunakan terapi kognitif-perilaku, padahal pasien masih berada pada fase akut, dimana gejala halusinasi auditorik dan wahamnya masih menonjol. Sehingga perlu intervensi farmakologis untuk mengatasi keparahan gejala selama fase akut. Jika fase akut sudah terlewati, maka sebaiknya terapis membuka pembicaraan dengan hal-hal yang dikenal pasien tanpa perlu masuk ke dalam inti permasalahan pasien. Terapis perlu menerapkan Colombo technique (sebuah teknik untuk membangun rapport) untuk mengatasi hal ini. Selain itu, Adanya ketidakmampuan kognisi yang menonjol akibat kronisitas penyakit, sehingga intervensi kognitif kurang dapat dilakukan. 7
CBT untuk Halusinasi Auditorik
Maka terapis perlu beralih ke intervensi perilaku, mengawali terapi dengan eksperimen perilaku, kemudian secara berkala melakukan umpan balik bertahap sebagai intervensi kognitif kepada pasien. Pada kondisi ini sangat dibutuhkan pendampingan dari keluarga atau caregiver, untuk membantu pasien menerapkan intervensi perilaku di rumah. Perlu diingat bahwa terapis harus membuat prioritas masalah, kira-kira mana yang sangat mendesak untuk ditangani. Jika didapatkan adanya kepribadian premorbid yang mungkin dapat mengganggu proses terapi, maka terapis perlu menggunakan modalitas psikoterapi lainnya yang berfokus pada terapi untuk Axis II. (Smith et al, 2003; Hagen & Nordahl, 2008).
4. Kesimpulan Terapi kognitif-perilaku pada makalah ini berfokus melatih coping skill yang adaptif untuk membentuk belief yang baru terhadap halusinasi auditoriknya. Pendekatan terapi ini dapat dilakukan intervensi kognitif dengan Socratic Questioning, sementara pendekatan perilaku dapat digunakan reality testing. Terapis dapat menggunakan intervensi kognitif untuk membentuk perilaku baru, atau menggunakan eksperimen perilaku untuk membentuk self statement baru.
8
CBT untuk Halusinasi Auditorik
DAFTAR PUSTAKA Beck J.S.. (2011) Cognitive Behavior Therapy: Basic and Beyond, 2nd Edition. New York: The Guilford Press. Boksa P. (2009) On The Neurobiology of Hallucinations. J Psychiatry Neurosci. 34 (4): 260-262. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2702442/, diunduh 10 Juli 2013, 01:37. Casey P., Brendan K. (2007) Fish’s Clinical Psychopathology: Signs and Symptoms in Psychiatry, Third Edition. New Delhi, India: Gaskell. Chadwick P., Lees S., Birchwood M. (2000) The Revised Beliefs About Voices Questionaire (BAVQ-R). British Journal of Psychiatry. 177, 229-232. http://bjp.rcpsych.org/content/177/3/229.full.pdf, diunduh 2 Agustus 17:14. Corey G. (2009) Theory and Practice of Counseling & Psychotherapy, Eightth Edition. Belmont, CA, USA: Brooks/Cole—Cengage Learning. Cully J.A., Teten A.L. (2008) A Therapist’s Guide to Brief Cognitive Behavioral Therapy. Houston: Department of Veterans Affairs South Central MIRECC. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993) Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III. Cet. Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008) Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan. Favrod J., Grasset F., Spreng S., Grossenbacher B., Hode Y. (2004) Benevolent Voices Are Not So Kind: The Functional Significane of Auditory Hallucinations. Psychopathology. 37: 304-308. http://homepage.hispeed.ch/Jerome_Favrod/benevolent.pdf, diunduh 18 Agustus 2013, 9:30. Favrod J, Rexhaj S., Ferrari P., Bardy S., Hayoz C., Morandi S., Bonsack C., Giuliani F. (2012) French Version Validation of The Psychotic Symptoms Rating Scales (PSYRATS) for Outpatients with Persistent Psychotic Symptoms. BMC Psychiatry. 12: 161. http://www.biomedcentral.com/1471244X/12/161, diunduh 2 September 2013, 06:12. First M.B., Tasman A. (2004) DSM-IV-TR Mental Disorders: Diagnosis, Etiology, and Treatment. England: John Wiley & Sons, Ltd. Greyson B., Liester M. B. (2004) Auditory Hallucinations Following Near-Death Experiences. Jurnal of Humanistic Psychology. 44: 320. Sage Publications. http://jhp.sagepub.com/content/44/3/320, diunduh 2 Agustus 2013, 14:15. Hagen R., Nordahl H. M. (2008) Behavioral Experiments in the Treatment of Paranoid Schizophrenia: A Single
Case
Study.
Cognitive
and
Behavioral
Practice
15:
296-305.
Elsevier
Ltd.
http://web.comhem.se/u68426711/22/Hagen2008BehavioralExperiment.pdf, diunduh 10 Juli 2013, 01:03. Harris R. (2009) The Happiness Trap. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hatzipetrou L., Oei T. P. (2010) Coping Psychological Distress Associated to Positive Symptoms of Schizophrenia: A Brief Cognitive Behavioral Intervention. Clinical Case Studies. 9: 339. Sage Publications. http://ccs.sagepub.com/content/9/5/339, diunduh 2 Agustus 2013, 14:24. ix
CBT untuk Halusinasi Auditorik
Jackson, L. J., Hayward M., Cooke A. (2010) Developing Positive Relationship with Voices: A Preliminary Grounded
Theory.
Int
J
Soc
Psychiatry
57:
487.
Sage
Publications.
http://isp.sagepub.com/content/57/5/487, diunduh 2 Agustus 2013, 14:16. Kilburn B. B. (2000) Schizophrenia, Paranoid Type. http://www.mdguidelines.com/schizophrenia-paranoidtype, diunduh 18 Juli 2013, 00:57 King L. J., et al. (1983) Psychiatry in Primary Care. Toronto, London: The CV Mosby Company. Maramis W. F. (2009) Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Ed. 2. Surabaya: Airlangga University Press. Morrison A. P. (2001) The Interpretation of Intrusions in Psychosis: An Integrative Cognitive Approach to Hallucinations and Delusions. Behavioral and Cognitive Psychotherapy. UK: Cambridge University Press. Padesky C. A. (1993) Socratic Questioning: Changing Minds or Guiding Discovery? Disampaikan pada The European Congress of Behavioral and Cognitive Therapies, London. http://padesky.com/newpad/wpcontent/uploads/2012/11/socquest.pdf diunduh 2 Agustus 2013, 12:10 Sadock B. J., Sadock V. A. (2007) Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry 10 Edition. Philadelphia, USA: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer Business. Smeets F., Lataster T., Dominguez M., Hommes J., Lieb R., Wittchen H., Os J. (2010) Evidence That Onset of Psychosis in The Population Reflects Early Hallucinatory Experiences That Through Enviromental Risks and Affective Dysregulation Become Complicated by Delusions. Schizophrenia Bulletin vol. 38 no. 3 pp. 531-542. Oxford University Press. http://schizophreniabulletin.oxfordjournals.org/, diunduh 2 Agustus 2013, 14:33. Smith L., Nathan P., Juniper U., Kingsep P., & Lim L. (2003) Cognitive Behavioural Therapy for Psychotic Symptoms: A Therapist’s Manual. Perth, Australia: Centre for Clinical Intervensions. Sommer, I. E. C., Slotema C.W., Daskalakis Z. J., Derks E. M., Blom J. D., Gaag M. V. D. (2012) The Treatment Hallucinations in Schizophrenia Spectrum Disorders. Schizophrenia Bulletin. vol 38 no. 4 pp 704-714. http://schizophreniabulletin.oxfordjournals.org/content/38/4/704.full.pdf+html, diunduh 2 Agustus 2013, 17: 29. Sudak D. M. (2011) Combining CBT and Medication: An Evidence Based Approach. New Jersey, USA: John Wiley & Sons, Inc. Torrey E. F. (1981) The Epidemiology of Paranoid Schizophrenia. Schiz Bull. Vol.7 no.4: 588-593. Trigoboff E. (2007) Schizophrenia and Other Psychotic Symptoms. Pearson’s Community Nursing. England: Prentice Hall Nursing. Trower P., Birchwood M., Meaden A., Byrne S., Nelson A., Ross K. (2004) Cognitive Therapy for Command Hallucinations:
Randomised
Control
Trial.
British
Journal
of
Psychiatry.
184:
312-320.
http://bjp.rcpsych.org/content/184/4/312.full.pdf+html, diunduh 2 Agustus 2013, 17:37. Valmaggia, L. R., Gaag M. V. D., Tarrier N., Pijnenborg M., Slooff C. J. (2005) Cognitive-Behavioural Therapy for Refractory Psychotic Symptoms of Schizophrenia Resistant to Atypical Antipsychotic Medication, A Randomized Controlled Trial. British Journal of Psychiatry. 186: 324-330. http://bjp.rcpsych.org/content/186/4/324.full.pdf+html, diunduh 2 Agustus 2013, 17:34. x