Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
TAMPILAN PERTUMBUHAN SAPI PERANAKAN ONGGOLE SAPIHAN TERAPAN LOW EXTERNAL INPUT DI FOUNDATION STOCK (The Growth Performance of Weaned Calf of Ongole Grade Implementing Low External Input Model in Foundation Stock) DIDI BUDI WIJONO, MARIYONO, HARTATI dan P.W. PRIHANDINI Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan, Grati, Pasuruan 67184
ABSTRACK Weaning had importance role in calf growth to enter the adaptation of environment phase including feed. This research aimed to reach calf growth at pass weaning by using agriculture agro industrial waste (low priced of feed). Weaning was done as long as 7 months age and animals were raised by grouping. Calf were fed of agriculture waste consisted of rice straw, coffee pulp, corn waste/tumpi and elephant grass. The amount of given elephant grass was 2-3 kg, coffee pulp 0.5 kg, while tumpi and rice straw ad lib. Average daily gain was predicted as 0.4-0.6 kg. The research was done from weaning until yearling of animal age. Result showed that the gain of calf, which fed from single agriculture waste, was low as much as at 0.14 kg/head/day and there wasn’t gain due to adaptability and calf behavior. So, there was a need for complete nutrient in calf rations. Key Words: PO Calf, Growth Rate, Agriculture Waste ABSTRAK Penyapihan memiliki peranan penting didalam pertumbuhan pedet untuk melalui fase adaptasi lingkungan termasuk pakan. Pengamatan bertujuan untuk mendapatkan informasi pertumbuhan pedet setelah disapih dengan pemanfaatan pakan limbah agroindustri pertanian (pakan lokal yang murah). Penyapihan dilakukan pada umur 7 bulan dan dikelola dengan menggunakan kandang kelompok. Pemberian pakan berupa limbah pertanian yaitu, jerami padi, kulit kopi, tumpi dan rumput gajah. Rumput diberikan dengan kisaran 2−3 kg, kulit kopi 0,5 kg dan tumpi ad lib. Prediksi pertambahan bobot hidupnya sekitar 0,4−0,6 kg. Pengamatan dilakukan sejak penyapihan sampai umur 1 tahun. Hasil pengamatan menunjukkan kemampuan pertambahan bobot hidup dengan pakan yang berasal dari limbah pertanian secara tunggal tidak memberikan respon yang memadai yaitu sekitar 0,14 kg/ekor/hari dan terjadi pertambahan bobot yang stagnan, hal ini dapat terjadi akibat adanya fase adaptasi dan bihaviour pedet. Dengan demikian untuk pakan pedet dengan pola pemeliharaan kelompok masih diperlukan pakan tambahan yang memiliki nilai gizi lebih komplit. Kata Kunci: Pedet, Laju Pertumbuhan, Limbah Pertanian
PENDAHULUAN Penyapihan merupakan kondisi transisi antara pemenuhan kebutuhan nutrisi asal susu beralih pada pemenuhan kebutuhan nutrisi berupa konsentrat dan pakan hijauan yang dikonsumsi. Penggantian pola pakan selaras dengan bertambahnya umur dan meningkatnya fungsi pencernaan khususnya rumen sehingga pemenuhan kebutuhan nutrisi harus mampu dipenuhi oleh kemampuan dari perkembangan organ pencernaan sendiri.
Perubahan kondisi rumen akan menghambat proses kerja mikroba pencernaan dan akan mengalami depresi proses maupun pertumbuhan mikroba rumen, sehingga akan mengurangi kemampuan penguraian bahan pakan dalam rumen yang mengakibatkan kecernaan pakan menurun dan absorbsi pakan akan menurun pula. TILLMAN et al. (1998) dan LEIBHOIZ (1975) menyatakan perkembangan dan fungsi organ pencernaan sapi lepas sapih adalah belum maksimal terutama rumen dan
131
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
reticulum sehingga belum mampu menjadi ruminan sejati. Pertumbuhan lepas sapih merupakan titik awal kehidupan mandiri secara biologis yang perlu dipertimbangkan secara cermat, karena pertumbuhan dan perkembangan organ tubuh sangat tinggi semasa muda. Pemberian pakan pola low external input yaitu dengan pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri sebagai bahan pakan. Umumnya bahan pakan tersebut memiliki kandungan nutrisi yang rendah serta kandungan serat kasar tinggi, sehingga pemberian pakan asal limbah pertanian yang diberikan kepada sapi sapihan, akan memberikan respon biologis terhadap kecernaan pakan dan mempengaruhi tingkat pertumbuhan sapi. TILLMAN et al. (1998) menyatakan bahwa kekurangan zat gizi dengan porsi yang sama pada sapi, akan memberikan dampak penurunan bobot hidup lebih besar terjadi pada sapi yang memiliki bobot hidup lebih tinggi. Pada akhirnya laju pertumbuhan pedet sapihan tidak terlepas dari kesiapan organ pencernaan, ketersediaan zat nutrisi pakan, kesehatan dan kondisi ternak pada saat disapih. Kebutuhan pakan dapat dipenuhi tidak hanya tergantung kepada kandungan nutrisi tapi juga terpenuhinya jumlah pakannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan bobot hidup saat disapih terhadap laju pertumbuhan pedet sapihan dengan terapan model low external input, dengan pemanfaatan biomas lokal. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan pada tahun 2003-2004 di Loka Penelitian Sapi Potong terhadap sapi potong pedet Peranakan Onggole (PO) yang disapih pada umur 7 bulan sebanyak 19 ekor dengan rataan bobot hidup awal 91,40 kg dan pola pemeliharaan dilakukan secara kelompok.
Pengamatan pertumb uhan tidak dibedakan atas jenis kelamin dan parameter yang diamati adalah bobot hidup dan penimbangan bobot hidup dilakukan secara berkelanjutan setiap 12 bulan. Data penimbangan dikelompokkan dalam kelompok bobot hidup sapih <100 kg dan kelompok bobot hidup >100 kg. Pakan yang diberikan terdiri dari rumput gajah sebanyak 2-3 kg, kulit kopi 0,5 kg per ekor perhari, sedangkan tumpi dan jerami padi kering ad libitum, dengan prediksi kebutuhan pakan 2-3% bobot hidup berdasarkan bahan kering dengan pertambahan bobot hidup sekitar 0,4-0,6 kg/ekor/hari. Analisis data secara diskriptif terhadap bobot hidup dan PBHH (pertambahan bobot hidup harian). HASIL DAN PEMBAHASAN Pakan Sebagaimana yang dikemukakan ROY (1980) bahwa ditinjau dari aspek fisiologi terhadap pola pemberian pakan pada sapi tidak berpengaruh terhadap kemampuan pencernaan bahan pakan baik berbentuk hay, konsentrat atau keduanya setelah berumur 4 bulan–2 tahun. Pemberian pakan dan pemeliharaan dilakukan secara kelompok dengan komposisi ransum yang diberikan terdiri dari bahan pakan rumput gajah sebanyak 2-3 kg, tumpi dan jerami padi kering ad libitum, kulit kapi sebanyak 0,5 kg dan garam dapur 50 gr. Komposisi kandungan bahan pakan yang diberikan disajikan dalam Tabel 1. Untuk memenuhi kebutuhan pakan dilakukan pendekatan prediksi komposisi nutrisi dalam ransum yang diberikan dengan kandungan bahan kering sekitar 5,15 kg, protein kasar 0,45 kg (8,89%) dan lemak kasar 0,73 kg (1,42%) dan serat kasar 1,17 kg (22,64%).
Tabel 1. Komposisi kandungan nutrisi bahan pakan yang diberikan selama pangamatan Jenis bahan
Bahan kering (%)
Protein kasar (%)
Lemak kasar (%)
Serat kasar (%)
Total digestable nutrien (%)
R. Gajah Jerami padi
20,29 74,52
6,26 4,27
2,06 0,71
32,60 34,60
52,20 37,46
Tumpi jagung Kulit kopi
88,28 91,77
8,04 11,18
2,44 2,50
11,70 21,74
51,16 57,20
132
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
ARYOGI (2005) mendapatkan konsumsi nutrisi ransum sebesar BK 2,46-3,34 kg/ekor/hari, PK 0,33-0,37 kg/ekor/hari TDN 1,35-1,86 kg/ekor/hari. Konsumsi tergantung pada ketinggian tempat dan konsumsi tertinggi terjadi pada tempat lebih tinggi dengan temperatur lebih rendah, akan tetapi antar bangsa sapi yaitu sapi hasil crossing dengan Limosin maupun Simental tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat terjadi akibat perkembangan dan fungsi organ pencernaan sapi lepas sapih adalah belum maksimal terutama rumen dan reticulum sehingga belum mampu menjadi ruminan sejati (TILLMAN et al. 1998). Hasil pengamatan menunjukkan kecukupan pakan pada sapihan secara konsumsi diprediksikan relatif lebih baik dari dari hasil pengamatan ARYOGI (2005) kecuali TDN nya lebih rendah, sehingga akan mempengaruhi kondisi nutrisi pakan. Laju pertumbuhan Pengamatan bobot hidup yang dilakukan terhadap pedet sapihan PO secara berkala sebanyak 19 ekor dan tidak dibedakan atas jenis kelamin. Rataan hasil pengamatan bobot hidup sapihan sebesar 91,40 kg dan pada saat
berumur 1 tahun adalah 112,95 kg, disajikan dalam Tabel 2. BALIARTI (1991) mendapatkan bobot sapih 205 hari pada peternakan rakyat sebesar 155 kg masih lebih tinggi. Demikian pula ARYOGI (2005) mendapatkan bobot sapih sapi PO sekitar 125,67-129,78 kg dan pada saat mencapai umur 365 hari didapatkan bobot hidup sebesar 160,22-189,28 kg. PBHH lepas sapih sampai umur 365 hari pada ketinggian tempat yang berbeda yaitu didataran rendah lebih rendah PBHHnya dibandingkan dengan kondisi dataran tinggi, masing-masing adalah 0,22−0,37 dan 0,45−0,49 kg/ekor/hari. Sedangkan hasil penelitian dengan pemanfaatan pakan lokal pencapaian cukup rendah yaitu PBHHnya sebesar 0,14 kg ekor/ hari. TALIB et al. (1999) dari pengamatannya didapatkan bobot hidup 205 hari pada sapi PO pada peternakan rakyat adalah 130,8±10,9 kg, masih lebih baik dari hasil penelitian. Hal ini dapat terjadi akibat pemberian pakan di peternak yang tergantung kepada keragaman jenis yang diberikan cukup beragam dan masih diberikan dedak, sehingga kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi. WARWICK et al. (1983) menyatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan pakan dapat mencapai >50%, sehingga konsumsi dan nilai gizi pakan akan mempengaruhi pertumbuhan atau pertambahan bobot hidup.
Tabel 2. Rataan bobot hidup per bulan, PBHH dan Coeficien of Variance pedet sapihan sampai berumur 12 bulan Umur (bulan)
Bobot hidup (kg) BH<100 (11 ekor)
BH>100 (8 ekor)
Rataan (19 ekor)
7
80,00 ± 14,50
107,11 ± 5,51
91,40 ± 17,82
8
84,69 ± 19,68
110,97 ± 6,39
95,75 ± 20,21
9
89,12 ± 18,49
113,24 ± 9,64
99,28 ± 19,38
10
90,01 ± 12,45
113,86 ± 12,06
100,05 ± 17,00
11
97,18 ± 13,93
116,46 ± 14,43
105,30 ± 16,86
12
105,64 ± 20,65
122,82 ± 15,84
112,95 ± 20,84
PBHH
0,17
0,12
0,14
CV %
19,54
12,89
17,94
BB = PBHH = CV =
Bobot hidup Pertambahan bobot hidup harian Coefisien of Variance
133
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Pengamatan perubahan bobot hidup dikelompokkan berdasarkan kelompok bobot hidup saat disapih yaitu kelompok bobot hidup <100 kg dan kelompok bobot hidup >100 kg dengan pakan yang diberikan berbasis pemanfaatan pakan lokal adalah 80.00–105,64 kg dan 107,11–122,82 kg. Sedangkan pertambahan bobot hidup hariannya (PBHH) masing-masing sebesar 0,17 kg ekor/hari dan 0,12 kg ekor/hari disajikan dalam Tabel 2. Hasil pengamatan masih dibawah yang (2003) dalam dilaporkan SUGIHARTO pengamatannya terhadap sapi potong PO pada 4–12 bulan PBHH mencapai 0,34–0,40 kg. Demikian pula hasil pengamatan PURNOMOADI et al. (2003) terhadap sapi PO yang berumur 10 bulan dengan pemberian pakan jerami fermentasi dan konsentrat mampu meningkatkan PBHH sebesar 0, 24 kg. Pemberian pakan berbasis pakan lokal pada kedua kelompok belum mampu meningkatkan pertambahan bobot hidup harian sesuai dengan target karena rendahnya kandungan zat nutrisi pakan, akan tetapi baru mencukupi kebutuhan minimal. Walaupun demikian tampaknya bobot hidup sapih yang tinggi akan berpengaruh terhadap bobot hidup selanjutnya yang tinggi pula, diakibatkan oleh perbedaan PBHH yang tidak signifikans (P<0,05). Menurut BURNHAM et al. (2000) bahwa pertambahan bobot hidup dan konsumsi pakan sapi dara dan pejantan muda mulai umur 9–25 bulan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri bagi pakan sapihan tidak memberikan dampak penurunan bobot hidup, akan tetapi pertambahan bobot hidupnya minimal atau cukup rendah. Sebagaimana diketahui perkembangan rumen dan fungsinya sebagai lambung fermentasi terjadi semasa menyusui dan bahan pakan yang dikonsumsi, sampai umur 3 bulan sudah mampu mngkonsumsi hay sebanyak 3 kg (DONAHUE, et al. 1985). Hal ini menunjukkan pakan yang diberikan belum mampu mendukung pemenuhan kebutuhan nutrisi sapi sapihan baik pada yang memiliki bobot hidup yang rendah maupun yang tinggi dan tidak mengganggu kecernaan pedet sapihan.
134
Fluktuasi bobot hidup Fluktuasi bobot hidup masing-masing dengan coeficien of variance untuk kelompok bobot hidup <100 kg adalah 19,54%, kelompok bobot hidup >100 kg 12,89% dan rataan 17,94% (Gambar 1). Tampak keragaman terkecil terjadi pada kelompok bobot hidup >100 kg, hal ini menunjukkan dengan manajemen pemberian pakan yang sama pada sapi dengan bobot awal yang tinggi mampu mempertahankan laju pertumbuhan yang lebih stabil/konsisten dibandingkan dengan kelompok dengan bobot hidup yang rendah. Sebagaimana dinyatakan HINOJOSA et al. (2003) bahwa bobot sapih yang tinggi nantinya akan menghasilkan sapi dengan pertumbuhan dan perkembngan berikutnya yang lebih baik. Hasil pengamatan terhadap sapi PO muda menunjukkan hal yang sama yaitu dilakukan klasifikasi atas bobot hidup pada umur dan manajemen pemberian pakan yang sama yaitu A = 220,2 ± 20,1 kg; B = 202,8 ± 13,0 kg dan C = 188,0 ± 15,0 kg menjadi bobot hidup akhir A = 318,7 ± 40,9 kg; B = 298,0 ± 42,2 kg dan C = 271,0 ± 45,7 kg; dengan PBHH masing-masing A = 0,29 kg; B= 0,27 kg dan C = 0,26 kg; didapatkan perbedaan pertambahan bobot hidup yaitu pada kondisi bobot hidup sapi yang lebih tinggi akan memberikan bobot hidup yang lebih tinggi pula, dengan PBHH yang didapat tidak signifikan (WIJONO, et al. 2004). Laju pertumbuhan sapi PO sapihan dengan pemanfaatan pakan lokal secara penuh berpengaruh terhadap pertambahan bobot hidup akhir. Pada sapi sapihan yang memiliki bobot hidup tinggi akan memberikan dampak terhadap bobot hidup akhir yaitu bobot hidup 12 bulan, yaitu tingginya bobot hidup sapihan (>100 kg) akan memberikan dampak hasil bobot hidup lebih tinggi dan seragam atau efektivitas penggunaan pakan yang lebih baik (CV = 12,89 %). Dengan demikian pemberian pakan asal limbah pertanian tidak memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan. Disamping itu akibat kekurangan zat gizi didalam ransum akan memberikan dampak yang lebih buruk, sebagaimana yang dinyatakan TILLMAN et al. (1998) bahwa kekurangan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Laju Pertumbuhan 140 Bobot hidup (kg)
120 100
BH < 100
80
BH > 100
60
BH Rataan
40 20 0 0
30
60
90
120
150
Hari
Gambar1. Laju pertumbuhan sapi sapihan berdasarkan bobot hidup
zat gizi dengan porsi yang sama akan memberikan dampak penurunan bobot hidup yang lebih besar pada sapi yang lebih berat.
DONAHUE, P. B., C.G. SCWAB, J.D. QUIGLY, III, dan W.E. HYLTON. 1985. Methyionine deficiency in early-weaned dairy calves fed pelleted rations based on corn and alfafa or corn and soybean. J. Dairy Sci. 68.
KESIMPULAN
HINOJOSA, A., A. FRANCO dan I. BOLIO. 2003. Genetic and Enviromental Factors Affecting Calving Interval in a Commercial Beef Herd in a Semi-Humid Tropical Enviromrnt. Htt://www. Fao.org/Aga/ag/agap/FRG.
Pemanfaatan pakan hijauan yang berasal dari pakan lokal mampu mendukung kebutuhan pakan sapi potong sapihan sebatas kebutuhan pokok. Pakan pedet dengan manajemen pemeliharaan kelompok masih diperlukan pakan tambahan yang memiliki nilai gizi lebih komplit. Bobot sapih lebih tinggi (>100 kg) mampu memberikan respon yang lebih baik terhadap pakan asal limbah pertanian. DAFTAR PUSTAKA ARYOGI. 2005. Kemungkina interaksi genetik dan ketinggian tempat terhadap performans sapi potong persilangan peranakan Ongole di Jawa Timur. Tesis S2. BALIARTI. E.1991. Bobot hidup anak sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Brahman. Hasil IB di Kabupaten Gunung Kidul. Bull. Peternakan. 15(2). BURNHAM, D.L., R.W. PURDEAS and S.T. MORRIS. 2000. The relationship between growth performance and feed intake bulls and streers at pasture. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13, July 2000 Supplement: 165.
LEIBHOLZ, J. 1975. The development of ruminan digestion in the calf. I. The digention of barley and soy bean meal. Aust. J. Agric. Res. 26. PURNONAMOADI, A., AGUSTI WONGA BELLA dan SULARNO DARTOSUKARNO. 2003. Eating behaviour of Ongole crossbred and Limosin crossbred steers fed with fermented rice straw and concentrate. JITV 8(4). ROY, J.H.B. 1980. The Calf. 4th Ed. Butterworth. London, Boston. SUGIHARTO, Y. 2003. Produktivitas sapi Peranakan Ongole pada Pola Pemeliharaan Sistem Perkampungan Ternak dan Kandang individu. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. TALIB, C. dan A.R. SIREGAR. 1999. Faktor-faktor yang mempengaruhi petumbuhan pedet PO dan crossbrednya dengan Bos indicus dan Bos taurus dalam pemeliharaan tradisional. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 200−207. TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke 4. Gajah Mada University Press. Fapet UGM. Yogyakarta.
135
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
WARWICK, E.J., J.M. ASTUTIK dan W. HARDJOSUBROTO. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
136
WIJONO D.B., MARIYONO dan P.W. PRIHANDINI. 2004. Pengaruh stratifikasi fenotipe terhadap laju pertumbuhan sapi potong pada kondisi foundation stock. Buku 1. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Puslitbangnak. Bogor. hlm. 16-20.