[112] Tegas Menentang Kezaliman Penguasa Tuesday, 12 November 2013 17:41
Syeikh Abdul Aziz Al-Badri
Ulama Asal Irak (1929-1969)
Dalam peristiwa pembukaan Masjid Raya, Syeikh Abdul Aziz Al-Badri sedang menyampaikan khutbah di atas mimbar. Tiba-tiba masuk presiden Irak ketika itu, Presiden Abdul Salam Arif. Belum sempat Abdul Salam Arif mengambil tempat duduknya, al-Badri mulai memberi nasihat kepadanya dengan kata-kata yang masyhur, tanpa merasa ragu-ragu dan takut.
“Wahai Abdul Salam! Terapkan Islam! Jika Engkau mendekati Islam sehasta, maka kami akan mendekati sedepa. Wahai Abdul Salam, nasionalisme tidak layak bagi kami. Hanya Islam tempat kami berlindung!” tegasnya.
Ketika khutbah selesai al-Badri duduk di sebelah Presiden Irak itu tanpa menoleh kepadanya. Akhirnya, presiden berdiri dan bersalam dengan al-Badri lalu berkata: "Aku berterima kasih atas 'keberanian' ini!"
Itulah secuplik keberanian dan ketegasan ulama yang di Indonesia dikenal dengan sejumlah karyanya. Di antaranya adalah Al Islam Baynal Ulama wal Hukam (Diterbitkan Penerbit Darul Falah dengan judul Hitam Putih Wajah Ulama-Penguasa "), Al Islam: Dhaminun Lil Haajat Al Asasiyah Likulli Fardin wa Ya'malu lirafaahiyatihi (diterbitkan Penerbit GIP dengan judul Hidup Sejahtera Dalam Naungan Islam ), dan sejumlah buku ideologis lainnya.
1/6
[112] Tegas Menentang Kezaliman Penguasa Tuesday, 12 November 2013 17:41
Bahkan, Al-Badri pun masuk sebagai salah satu tokoh berpengaruh dalam buku Tokoh-Tokoh Yang Berpengaruh Abad 20, yang ditulis Herry Mohammad, dkk yang diterbitkan GIP pada 2006.
Menentang Sosialisme
Al-Badri, lahir di Kota Samira’, Irak, pada tahun 1929. Dibesarkan dari lingkungan islami yang berjuang untuk dakwah. Masa kecilnya diisi dengan tarbiyah Islamiyah yang intensif. Sejumlah ulama besar di Baghdad, seperti Syekh Amjad Az-Zahawi, Syekh Muhammad Fuad Al-Alusi, Syekh Abdul Qadir Al-Khatib pernah menjadi gurunya.
Al-Badri dikenal sebagai seorang ulama yang kritis terhadap para penguasa. Seakan hendak mengikuti jejak Hamzah–paman Nabi SAW–sebagai penghulu para syuhada, Al-Badri adalah ulama pemberani yang berdiri di hadapan penguasa, mengatakan yang haq, menasihati para pemimpin negeri agar taat terhadap hukum-hukum Allah SWT. Karena itu pula ia menjemput syahid.
Dalam buku Hukmul Islam fil Isytirakiyah, Al-Badri menentang habis-habisan pendapat yang menyatakan adanya sosialisme dalam Islam. Dalam kata pengantar buku tersebut yang ditulis oleh Syekh Amjad Az-Zahawi, ditulis:
“Ketika tersebar pendapat ada bentuk sosialisme tertentu dalam Islam, Al-Badri segera menentang perkataan tersebut, dengan menjelaskan tidak ada sosialisme dalam Islam. Sosialisme justru bertentangan dengan hukum-hukum Islam yang mulia dan kaedah-kaedah Islam menolaknya. Dalam melawan ide-ide menyimpang tersebut, Al-Badri selalu menggunakan bahasa yang gamblang dan didukung oleh dalil-dalil qath’i sehingga tidak ada ruang untuk ragu-ragu, karena sesuai dengan nash-nash syariat yang qath’i.”
Bertemu Hizbut Tahrir
2/6
[112] Tegas Menentang Kezaliman Penguasa Tuesday, 12 November 2013 17:41
Pemikiran Al-Badri banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Imam al-’Allamah Syekh Taqiyuddin An Nabhany (pendiri dan pemimpin umum Hizbut Tahrir), terutama mengenai ide-ide kebangkitan umat, perbandingan ideologi dan fiqh daulah.
Begitu mendengar diumumkan berdirinya Hizbut Tahrir di Al-Quds, Al-Badri dengan ditemani dua rekannya melakukan perjalanan untuk mencari Hizb. Di Al-Quds, mereka bertemu dengan An Nabhaniy di rumah Tawfik Abu Khalaf.
Hadir juga Syeikh Abdul Hayi ‘Arafah, Syeikh Abdul Qadim Zallum, As’ad Bayoudh dan yang lainnya. Maka terbentuklah tiga orang sel pertama Hizb di Irak. Di Irak, Al-Badri aktif berdakwah untuk menegakkan kembali khilafah.
Pada akhir tahun 1954 M, Al-Badri bersama sekelompok anggota Hizbut Tahrir mengajukan surat permohonan izin melakukan aktivitas politik kepada Departemen Dalam Negeri pada masa Kerajaan.
Akan tetapi, Departemen Dalam Negeri Irak menolak permohonan itu, dengan alasan bertentangan dengan UUD dan sistem kerajaan. Hizbut Tahrir mengajukan kasasi atas penolakan permohonannya ini, namun kasasinya juga ditolak.
Akhirnya, Hizbut Tahrir mengeluarkan manifesto yang isinya menjelaskan tentang sikapnya terhadap penolakan ini, dan menyerang dengan tegas perjanjian Irak – Inggris tentang minyak tanah tahun 1955 M, menyerang sekutu di Baghdad, dan menggambarkan keberadaan raja, Nuri as-Sa’id sebagai antek Inggris.
Sayangnya, pada tahun 1958 M terjadi kesalahpahaman antara Al-Badri dengan pimpinan umum Hizbut Tahrir dan tidak lama setelah itu, Al-Badri keluar dari Hizbut Tahrir. Kesalahpahaman terjadi lantaran Al-Badri mengirim telegram ucapan selamat kepada para perwira yang telah melakukan revolusi 14 Juli 1958 M serta memuji mereka.
Kemudian, setelah An-Nabhaniy mengetahui, An Nabhaniy menyalahkannya karena
3/6
[112] Tegas Menentang Kezaliman Penguasa Tuesday, 12 November 2013 17:41
tergesa-gesa memuji mereka tanpa terlebih dahulu mengetahui kenyataan mereka sebenarnya, dan tanpa koordinasi dengan pimpinan. Meski telah keluar, ia tetap menjalin hubungan baik dengan partai Islam idelogis internasional tersebut.
Ustadz Abdullah Al-Husaini dalam kata pengantar buku Al-Badri berjudul Al-Islam bainal Ulama wal Hukkam pada cetakan kedua yang diterbitkan oleh Darul Qalam Kuwait tahun 1986 menulis:
Pada perang 1967, Yahudi menyerbu Al-Quds, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Sinai, selama enam hari atau bahkan enam jam. Syekh Al-Badri kelihatan marah sekali. Beliau mengirim telegram kepada pemimpin negara-negara Islam, membebankan pada mereka tanggung jawab terhadap Al-Quds, dan menuduh orang-orang yang menyetujui gencatan senjata sebagai penghianat.
Ia juga membentuk delegasi nasional Islam yang berkeliling ke dunia Islam, untuk mendorong kekuatan dan massa Islam bangkit memikul tanggung jawab terhadap krisis ini dan menegaskan Islam bukan sebab kekalahan, karena di perang sama sekali tidak ada nama Islam. Delegasi ini mengunjungi India, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Iran, dan Afghanistan.
Setelah delegasi tersebut kembali ke Baghdad, Al-Badri menyelenggarakan konferensi pers untuk menjelaskan apa yang ia saksikan di dunia Islam, yaitu potensi yang tidak tergarap, padahal seharusnya dapat didayagunakan untuk membantu kasus Palestina.
Ia tidak setuju krisis ini dikatakan krisis lokal dunia Arab saja, bukan krisis umum dunia Islam yang luas. Ia khawatir penyempitan area krisis ini terus berlanjut, sebab itu berarti kelak krisis Palestina menjadi persoalan internal bangsa Palestina saja.
Keberanian Al-Badri dalam menyampaikan kebenaran tidak pilih-pilih. Dalam setiap kesempatan, baik itu khutbah ataupun ceramah-ceramah keislaman, Al-Badri selalu menyampaikan kalimat haq walaupun di hadapan penguasa. Abdul Karim Qasim, perdana menteri Irak pada saat itu, memerintah dengan ‘tangan besi’. Dia menobatkan dirinya sebagai “Penguasa Tunggal”.
4/6
[112] Tegas Menentang Kezaliman Penguasa Tuesday, 12 November 2013 17:41
Tindakan ini langsung dikomentari oleh Al-Badri dengan menjuluki Abdul Karim Qasim sebagai: Orang kaku, kasar, dan terkenal kejahatannya.
Koreksi Al-Badri terhadap pemerintah mencapai puncaknya ketika Abdul Karim Qasim menetapkan hukuman mati kepada sebagian komandan pasukan yang ikhlas, seperti Nazhim Ath-Thabqajali, Rafa’at Haji Siri, dan lain-lain.
Al-Badri pun menggerakkan massa dan memimpin demonstrasi besar yang jumlahnya diperkirakan mencapai empat puluh ribu demonstran. Semuanya menuntut lengsernya Abdul Karim Qasim. Al-Badri juga mengeluarkan fatwa memvonis kafir orang-orang komunis yang menjadi pembela dan pendukung Abdul Karim Qasim. Al-Badri menuntut memerangi dan menggagalkan rekayasa jahat mereka.
Atas tindakan tersebut, Abdul Karim Qasim akhirnya menetapkan status tahanan rumah kepada Al-Badri dari 2 Desember 1959 sampai 7 Agustus 1960. Namun, perjuangan Al Badri tidak terhenti hanya karena tahanan rumah tersebut.
Ketika hukuman ini dicabut, Al-Badri tidak menghentikan khutbah-khutbahnya, memobilisasi massa untuk melawan Abdul Karim Qasim dan antek-anteknya. Atas tindakannya tersebut, kembali ia dijatuhi hukuman untuk kedua kalinya, dengan menetapkan status tahanan rumah.
Pada 1960, Al-Badri wafat karena kekejaman rezim Saddam Hussain. Mengenai kekejaman Saddam ini, Dr. Abbas Bakhtiar menulis: Diantara ratusan eksekusi dan pembunuhan, Saddam juga bertanggungjawab terhadap pembunuhan tokoh-tokoh agama dari Sunni seperti Syeikh Abdu Aziz Al-Badri, Syeikh Nadhum Al Asi, Syeikh Al Shahrazori, Syeikh Umar Shaqlawa, Syeikh Rami Al Kirkukly, Syeikh Mohamad Shafeeq Al Badri, Abdul Ghani Shindala, dll.[] joy d ari berbagai sumber
5/6
[112] Tegas Menentang Kezaliman Penguasa Tuesday, 12 November 2013 17:41
6/6