SUSUNAN REDAKSI Penanggungjawab : Uli Parulian Sihombing, SH, MH Redaktur Pelaksana : Fulthoni, AM, SH Dewan Redaksi : Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH Dadang Trisasongko Renata Arianingtyas Uli Parulian Sihombing Sony Setyana Siti Aminah Tardi. Keuangan dan Sirkulasi : Evi Yuliawaty Herman Susilo.
Alamat Redaksi : Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan, Ph : 021-93821173, Fax : 021- 8356641, Email :
[email protected], Website : www.mitrahukum.org Penerbitan Jurnal Keadilan Sosial edisi 1 didukung oleh Open Society Institute (OSI)
Jurnal KEADILAN SOSIAL diterbitkan sebagai sarana untuk mengembangkan diskursus tentang HAM dan keadilan sosial. Jurnal ini diharapkan menjadi wadah persemaian pemikiranpemikiran kritis tentang HAM dan Keadilan Sosial. Redaksi menerima tulisan ilmiah dengan tema HAM dan keadilan sosial, dengan ketentuan tulisan berjumlah 4.500 - 5.000 kata atau setara 15-17 halaman kuarto dengan spasi ganda. Tulisan diawali abstraksi, deskripsi masalah, rumusan masalah, pembahasan dan diakhiri dengan kesimpulan. Tulisan dikirim ke Redaksi Jurnal KEADILAN SOSIAL, Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan, Telp. 021-93821173, Faks. 021-8356641, Email :
[email protected].
Daftar Isi DAFTAR ISI Pengantar Redaksi
~ 03
Diskursus
2
Rule of Law: Suatu Perbincangan di Seputar Masalah Kesamaan Akses untuk Memperoleh Keadilan Khususnya yang Menyangkut Kepentingan Kaum Miskin Oleh : Prof. Soetandyo Wignjosoebroto
~ 05
Keraguan & Keadilan dalam Hukum, (Sebuah Pembacaan Dekonstruktif) Oleh : Dr. Anthon F. Susanto
~ 23
Menuju Kepemimpinan yang Berkeadilan Sosial Oleh: Ria Mardiana Yusuf dan M. Guntur Hamzah
~ 45
Telaah Buku Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia Oleh : Uli Parulian Sihombing
~ 73
Profile Penulis
~ 78
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
PENGANTAR REDAKSI Pengarusutamaan keadilan sosial di dalam pendidikan tinggi hukum merupakan salah satu misi dari The Indonesian Legal Resource Center (ILRC). Berangkat dari hal tersebut, maka kami melihat bahwa memang perlu mengangkat isu keadilan sosial melalui Jurnal Keadilan Sosial ini. Kami berharap Jurnal Keadilan Sosial ini akan mampu menyebarkan gagasan dan konsep kontemporer tentang keadilan sosial, serta mengupas/menganalisis kasus-kasus nyata yang bersinggungan dengan keadilan sosial di tanah air. Kami juga berharap masyarakat luas, khususnya mereka yang tertarik dengan keadilan sosial dan para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pengarusutamaan keadilan sosial di perguruan tinggi hukum, dapat menarik mamfaat dari Jurnal Keadilan ini untuk pengembangan dan perkembangan keadilan sosial. Ke depan, kami berharap Jurnal Keadilan Sosial ini dapat menjadi referensi alternatif untuk mengembangkan keadilan sosial di dalam pendidikan tinggi hukum. Edisi perdana Jurnal Keadilan Sosial ini, kami mengundang beberapa penulis yang memiliki kompetensi, pengalaman dan integritas di bidang keadilan sosial, sehingga kami memandang memang perlu untuk menyebarkan gagasan dan konsep kontemporer tentang keadilan sosial kepada masyarakat luas. Keadilan sosial dan keadilan hukum memang berbeda, akan tetapi sebenarnya keduanya bisa saling melengkapi. Keadilan sosial bisa mewarnai keadilan hukum melalui apa yang disebut transformative constitutionalism. Di mana nilai-nilai keadilan sosial yang ada di masyarakat seperti local wisdoms atau customary laws dapat hidup berdampi-ngan (coexistence) dengan ketentuan hukum positif yang ada. Ataupun di dalam spektrum yang lebih luas, ketika keadilan hukum dan keadilan sosial berkonflik, maka aparat penegak hukum seharusnya secara bijak menentukan pilihan pada nilai-nilai keadilan sosial yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pengantar Redaksi Kami mengucapkan terima kasih kepada penulis atas kontribusinya dan Open Society Institute (OSI) atas dukungan dalam penerbitan Jurnal Keadilan Sosial ini. Tidak lupa juga, kami mohon maaf apabila di dalam penulisan Jurnal Keadilan Sosial ini terdapat kesalahan, dan untuk itu kami terbuka menerima saran dan kritik untuk memperbaiki kualitas jurnal ini ke depan.
Jakarta, 18 Agustus 2010
Uli Parulian Sihombing Direktur Eksekutif ILRC
4
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Rule of Law: Suatu Perbincangan di Seputar Masalah Kesamaan Akses untuk Memperoleh Keadilan Khususnya yang Menyangkut Kepentingan Kaum Miskin Oleh : Prof. Soetandyo Wignjosoebroto Risalah berikut ini bermaksud mengetengahkan suatu isu lama, yang sekalipun lama namun demikian tak kunjung surut dari perbincangan. Isu lama manakah itu? Ialah isu tentang tiadanya kesempatan yang sama, yang bisa dinikmati semua warga negara tanpa kecualinya, untuk memperoleh keadilan dalam soal pemenuhan hak-hak hukumnya, khususnya yang asasi. Permasalahan ini harus dipandang kian serius lagi manakala asas ‘kesamaan akses untuk memperoleh keadilan dalam ihwal pemenuhan hak’ itu bersangkut paut dengan kesulitan orang-orang miskin untuk memperoleh akses dalam rangka upaya mereka untuk menuntut dipenuhinya hak-hak sosial-ekonomi mereka yang asasi. Perbincangan berikut ini akan berkisar di seputar tiga pokok permasalahan. Akan diketengahkan ihwal adanya celah selisih yang lebar antara suatu ekspektasi normatif yang merupakan esensi prinsip rule of law, ialah bahwa equality is for all dan kenyataan empiriknya bahwa equality not for all. Menyusul kemudian kontroversi teoretik-paradigmatif yang mencoba berspekulasi tentang penyebab terjadinya wide gaps antara yang normatif dan yang faktual tersebut itu. Pada bagian-bagian akhir perbincangan akan banyak diketengahkan pemikiran-pemikiran sugestif tentang apa yang dapat dipertimbangkan untuk diambil guna mengatasi masalah.
Equality is for all? Equality is not for all ! Bagaimanakah Penjelasannya? Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan ‘rule of law’ dalam
Diskursus suatu rujukan yang terbaca sebagai berikut: bahwa “… rule of law refers to a principle of governance in which all persons, institutions and entities, public and private including the state itself, are accountable to law are publicly promulgated, equally enforced and independently adjudicated, and which are consistent with international human rights norms and standards. It requires as well, measures to ensure adherence to the principles of supremacy of law, equality before the law, accountability to the law, fairness in the application of law, separation of powers, participation in decision making, legal certainty, avoidance of arbitrariness and procedural and legal transparency”.1
6
Sebagus itu rumusannya, juga yang terdapat dan terbaca dalam khazanah hukum perundang-undangan nasional, yang tanpa ragu bersikukuh sepanjang waktu pada ide normatif yang menyatakan bahwa “ everybody is equal before the law”, namun faktanya dalam kehidupan sehari-hari acapkali berbicara lain. Kenyataan sosialekonomi selalu saja memperlihatkan suatu gambaran adanya suatu stratifikasi yang bertahan untuk menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari di permukaan bumi ini “not everybody is equal before the law”. Yang mapan di papan atas akan selalu memperoleh respek dan kesejahteraan yang terkadang berlebihan, sedangkan yang terpuruk di strata bawah akan selalu saja tidak tertolong untuk memperbaiki nasibnya. Mengapa sampai demikian keadaannya? Bagaimana orang menjelaskannya? Dan apakah ada upaya yang diusahakan untuk mengatasi masalah ini? Akhir-akhir ini, perbincangan dalam persoalan itu cukup ramai diketengahkan orang untuk memperoleh penjelasan. Perbincangan terpecah kedalam dua pendapat: Apakah kemiskinan -yang mencakup juga pengertiannya yang lebih luas daripada sebatas definisinya yang ekonomik- itu merupakan suatu yang given, yang harus dipahami sebagai sesuatu yang sudah “tersaji sebagai kenyataan yang tak terelakkan” dan oleh sebab itu harus diterima seperti apa adanya?2 Ataukah sebagai sesuatu yang “tak alami dan tak wajar”, yang oleh sebab itu harus bisa dihadapi dengan sikap-sikap yang 1 UN Secretary General Report S/2004/616 2 Baca Kingsley Davis dan Davis Moore, “Some Principle of Stratification”, American Sociological Review, Th. 1945 (10), hlm. 242-249.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus kritis dan langkah-langkah kebijakan, berikut implementasinya yang korektif?3 Tentang Fungsi Kemiskinan dan Disfungsi Kemiskinan Struktural Dalam kehidupan nasional berideologi liberal, di mana banyak pikiran dihegemoni oleh keyakinan dasar bahwa manusia individu itu menurut kodratnya dikaruniai kemampuan rasional yang sama, kemiskinan dan nasib buruk lainnya bukanlah sekali-kali kekeliruan sistem melainkan kesalahan individu itu sendiri. Dalam tesis utama teori evolusi, khususnya yang klasik, bahkan dikatakan bahwa kegagalan sebagian individu dalam masyarakat untuk menggapai ”kedudukan yang menyelamatkan” itu disebabkan oleh bekerjanya mekanisme seleksi alamiah, yang akan menyingkirkan mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan lingkungan yang secara berterusan berubah. Berdasarkan teori-teori klasik, pemberian bantuan macam apapun kepada mereka yang miskin atau yang terpuruk di strata bawah itu akan sia-sia belaka, dan karena itu tidak perlu. Kemiskinan dan status apapun yang menimpa mereka yang terpuruk di stratum bawah itu bukanlah kesalahan kerja sistem, melainkan oleh sebab ”dosa moral” etika atau estetika yang berseluk beluk dengan ihwal moral dan seni keindahan, kemiskinan itu -dan apapun yang mungkin dinilai cacat menurut tolok etis dan/atau estetis- itu sesung-guhnya mempunyai fungsi, ialah untuk menjaga kelestarian eksistensi sistem kehidupan masyarakat.4 Dalam riwayatnya 3 Baca Randall Collins, Conflict Sociology: Towards Explanatory Science (New York: Academic Press, 1975) 4 Herbert Gans, menyebutkan tak kurang adanya 13 fungsi kemiskinan, antara lain bahwa adanya kemiskinan akan memberikan jaminan bahwa ’pekerjaan-pekerjaan kotor’ dalam masyarakat akan selalu ada yang bersedia mengerjakan, yang dengan demikian mensubsidi berbagai macam aktivitas ekonomi yang menguntungkan golongan kaya; bahwa adanya kemiskinan akan membuka berbagai lapangan kerja pengentasan dan penyantunan bagi mereka yang terpelajar dan tak miskin; bahwa orang-orang miskin bisa dan mudah dijadikan “kambing hitam” yang akan dipersalahkan disetiap ada kegagalan yang dilakukan oleh para elit politik; bahwa mereka yang miskin bisa membantu mengurangi sampah karena kesediaannya “mengkonsumsi” makanan dan barang bekas yang dibuang mereka yang berkekayaan; dan seterusnya. Analisis ini tentu saja tidak selalu dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ‘karena sifatnya yang fungsional, maka eksistensi kemiskinana harus dipertahankan’. Acapkali ditunjukan bahwa fenomena macam kemiskinan ini mempunyai juga konsekuensikonsekuensi yang disfungsional. Baca: Herbert J. Gans, “The Positive Functions of Poverty”, American Journal Sociology, Th. 78 (1972), hlm 275-289; juga “Positive Functions of The Underserving
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
7
Diskursus analisis berdasarkan konsep fungsionalisme seperti dilakukan untuk pertama kalinya oleh Robert Merton ketika ia mencoba menjelaskan terjadinya banyak praktik dalam proses politik yang nyatanyata mampu eksis dan bertahan secara terus menerus, sekalipun secara etis boleh dinilai sebagai sesuatu yang harus dinistakan.5
8
Kini, kajian fungsionalisme yang lugas atas dasar prinsip-prinsip saintifik seperti itu mulai memperoleh koreksi melalui pemikiranpemikiran yang lebih kritis, yang pada akhirnya membenarkan intervensi, juga atas dasar pertimbangan etis-humanistik, untuk membantu mereka yang belum beruntung dalam kehidupan ini. Tidak kurang-kurangnya, bantuan juga diberikan kepada mereka yang belum beruntung ini dalam upaya pencarian perlindungan hukum. Tanpa bantuan yang memadai, mereka yang bernasib malang sebagai akibat belum sempurnanya kerja sistem, dan dalam hal ini ialah ’kerja sistem hukum’, dan bukan karena kesalahan pribadi, akan tetap saja tak tertolong. Kemiskinan yang terjadi sebagai akibat sistem yang belum atau tidak selamanya sempurna seperti itu, berikut perlakuan-perlakuan diskriminatif yang diterima si miskin sebagai konsekuensinya, disebut kemiskinan struktural. Di panggung kehidupan hukum, kemiskinan struktural seperti itu ditengarai oleh kelangkaan sumber daya yang dialami golongan rakyat miskin, bukan karena tiadanya sumber daya itu dalam masyarakat melainkan tiadanya akses bagi orang-orang miskin yang malang itu untuk memasuki pengetahuan tentang hak, akan menyebabkan banyak orang yang berstatus marjinal terdiskriminasi dan teringkari hak-haknya untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber pendapatan yang menjamin taraf kehidupan yang layak. Tanpa dapat diletakkan, dalam tatanan struktural yang amat terstratifikasi ketat seperti itu, tanpa intervensi dalam bentuk pemberian bantuan untuk mengkoreksi kerja mekanisme sistem, maka—dengan meminjam sekali lagi kata-kata Donald Black—the downward law akan tetap saja greater than the upward law. Kelas Poor: Uses of Underclass in America”, Politics and Society, No. 20 (1994), hlm. 269-283. 5 Robert K. Merton, “Manifest And Latent Functions”, dalam Social Theory And Social Structure (Ney York: Free Press, 1968), hlm. 73-138
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus atas akan lebih banyak dan lebih mudah terbantu oleh hadirnya struktur yang diskriminatif seperti itu daripada apa yang bisa diperoleh mereka yang berada di kelas bawah. Kehidupan orang-orang kelas atas yang memang juga dipenuhi oleh kehidupan berorganisasi, akan menambah-nambah kemampuannya untuk menguasai dan memonopoli akses ke sumber-sumber yang menjamin kelanggengan keberdayaan.6 Maka pula, apabila semua yang ada dibiarkan eksis dan berkembang seperti apa adanya, suatu institusi yang disebut hukum itupun akan nyata-nyata berkarakter diskriminatif. Disini hukum undangundang akan amat fungsional untuk kehidupan kelas atas yang mapan didalam struktur kekuasaan politik maupun ekonomi, namun amat disfungsional untuk kehidupan kelas bawah yang lemah dan terperangkap di jurang kemiskinan. Hukum itupun lalu secara teknis menjadi amat politis dan eksploitatif. Sebagai institusi sosial-kultural yang bertolak dari idealisme keadilan, hukum undangundang inipun lalu serta merta kehilangan maknanya. Undang-undang yang bernuansa liberal-kapitalistik, yang banyak berkenaan soal perlindungan milik (yang materiil ataupun yang intelektual, bersarankan hukum privat ataupun hukum publik), adalah salah satu saja dari sekian banyak contoh betapa hukum semacam itu akan lebih fungsional bagi siapapun yang berharta daripada yang dhuafa. Apapun hasil analisisnya, dari perspektif kaum fungsionalis ataupun perspektif kaum pengkritiknya, suatu kebijakan reformatif yang harus diambil telah pasti ialah perlu adanya program pemberian bantuan kepada mereka yang miskin dan/atau kepada siapapun yang mengalami perlakuan diskriminatif didalam kehidupannya sehari-hari. Hanya saja, apabila kaum fungsionalis (yang menyebut kemiskinan sebagai kemalangan) itu memberikan bantuan atas dasar motivasi untuk berbuat amal dengan niatnya untuk bersedekah, kaum pengkritiknya (yang menyebut kemiskinan sebagai kesalahan sistem) akan bergerak dan menggerakkan kaum miskin di ranah politik untuk mengkoreksi sistem. Disini, dalam urusan hukum, bantuan hukum kaum fungsionalis akan berupa pemberian 6 Donald Black, The Behavior of Law (New York: Academic Press, 1976)
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
9
Diskursus konsultasi dan/atau pembelaan hukum di sidang-sidang pengadilan, sedangkan bantuan yang diberikan kaum kritisi akan lebih banyak, berupa advokasi-advokasi diluar sidang pengadilan, mulai dari kerja-kerja menggalang opini sampai ke kerja-kerja melobi anggota badan legislatif. Dua Model Bantuan Hukum Untuk Orang-Orang Miskin: Yang Konvensional dan Yang Struktural
10
Para ahli hukum yang berprofesi sebagai pengacara, beberapa diantaranya, mencoba membantu mengatasi persoalan kesenjangan kaya-miskin ini dengan cara memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada golongan rakyat miskin, ialah apabila mereka yang miskin ini harus berperkara dan beracara di sidang-sidang pengadilan. Inilah bentuk bantuan hukum yang didalam bahasa inggris diistilahkan legal aid. Para ahli hukum yang tanggap kepada kebutuhan hukum rakyat miskin ini berpendapat bahwa tanpa adanya bantuan hukum yang serius dari pihak-pihak yang mamahami likuliku hukum nasional yang modern, orang-orang miskin -yang pada umumnya juga tidak berketerpelajaran tinggi itu- akan terdiskriminasi dihadapan hukum dan hadapan sidang pengadilan.7 Bantuan hukum akan membantu mereka yang miskin itu untuk berkedudukan sama dengan golongan-golongan lain yang lebih mampu, baik di hadapan hukum maupun di hadapan kekuasaan pengadilan.8 Bantuan hukum pun akan memulihkan kepercayaan mereka yang berada dilapisan bawah itu kepada hukum, karena -dengan bantuan hukum itu- mereka akan didengar dan ditanggapi juga oleh hukum dan para penegaknya. Sementara itu, dari sudut pandang kaum kritisi, bantuan hukum yang terbatas dalam bentuk penyelesaian perkara dari kasus ke 7 Robert Egerton, Legal Aid (London: Routlegde, 1998). Buku ini merupakan cetak ulang dengan revisi dari penerbitan yang cetakan pertamanya bertarikh tahun 1945, yang mengisahkan sejarah perkembangan prosedur bantuan hukum untuk golongan rakyat miskin yang memerlukan layanan hukum berdasarkan sistem common law atau the continental cvil lawsystem. Tentang kebijakan dan sejarah bantuan hukum di Indonesia, baca Asfinawati, Mas Achmad Santosa dan Gatot (ed), Bantuan Hukum, Akses Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan (Jakarta: LBH/YLBHI, 2007). 8 Aubert menganggap prinsip equality before the law itu kurang memadai, alih-alih, equality before the court itulah yang lebih menentukan dan lebih bermakna.; dalam Vilhelm Aubert, In Search Of Law: Sociological Approaches To Law (Oxford: Martin Robertson, 1983), hlm. 145 dst.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus kasus lewat sidang pengadilan itu dipandang tidak cukup memadai untuk melepaskan kaum miskin, dan orang-orang lain siapapun yang terdiskriminasi, dari statusnya yang tak menguntungkan. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, di negeri-negeri berkembang dimana kesenjangan-kesenjangan sosial dan ekonomi masih demikian parahnya, bantuan-bantuan hukum acapkali diberikan kepada lapisan rakyat miskin di luar forum pengadilan. Langkah-langkah diambil untuk melakukan koreksi inovatif yang lebih menyeluruh, yang tidak hendak menyelesaikan perkara dari kasus ke kasus di forum yudisial. Alih-alih, bantuan dan usaha dikerjakan sejak dari pangkal awalnya, ialah sejak tahap tatkala suatu legislatif. Hanya dengan usaha seperti ini sajalah apa yang disebut legal aid itu akan lebih berkarakter sebagai legal reform yang progressif.9 Adalah keyakinan para kritisi ini, bahwa di tengah-tengah kehidupan yang amat dinamik, dengan berbagai permasalahan yang tak mungkin diselesaikan dari satu sisi keahlian saja, banyak penyelesaian perkara hukum yang acapkali harus dimulai dengan mengoreksi terlebih dahulu tata kehidupan yang tak mustahil bisa juga berpotensi menstrukturkan ketidakadilan. Bertolak dari pendapat seperti ini, sebagian dari yuris menceburkan diri dalam gerakan sosial-politik untuk ikut mengintervensi jalanya proses pembentukan dan pembuatan undang-undang. Adalah pendapat mereka bahwa hukum undang-undang itu, apabila telah dapat dikoreksi sejak dari ”hulu”nya, maka perjuangan bertolak dari pendapat seperti ini, banyak diantara para yuris yang kemudian ikut bergerak juga di lingkungan institusi sosial dan/atau politik. Memasuki ranah politik dengan maksud mempengaruhi jalannya pembuatan undang-undang, mereka bersiap sedia menggunakan kekuatan sosial untuk bergerak sebagai kelompok tekan, dengan segala aktivitasnya untuk mempengaruhi kata putus yang akan diambil oleh pihak yang berwenang, khususnya dalam proses legislatif. Bantuan hukum kepada golongan miskin proses litigatif ini disebut ’bantuan hukum struktural’. Disebut demikian karena 9 Seperti tulisan Egerton, loc. cit., tulisan Francis Regan, The Transformation of Legal Aid: Comparaive And Historical Studies (Oxpord: Oxpord Univercity Press, 1999) juga tak bicara masalah khusus negara-negara berkembang ini, yang lebih banyak bicara tentang prosedur daripada soal lingkup permasalahan.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
11
Diskursus menyangkut kepentingan seluruh golongan yang berposisi lemah didalam struktur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di dalam bahasa Inggris, bantuan hukum struktural macam ini disebut legal service (yang dibedakan dari legal aid yang berupa bantuan hukum dalam proses peradilan).10 Disini peran media massa amat bermakna dan tak begitu saja dapat diabaikan.11
12
Bantuan hukum struktural mengarah ke perjuangan reformatif untuk melahirkan perundang-undangan baru yang dapat menjamin hak-hak tambahan yang berdaya guna untuk melindungi kepentingan golongan yang miskin dan yang lemah dalam posisi di stratum bawah. Bantuan hukum struktural macam ini nyata kalau bertolak dari asumsi bahwa hukum perundang-undangan sebagai produk proses politik, notabene proses politik yang dikontrol golongan kelas atas, tidak selamanya -baik yang manifes sebagai norma perundang-undangan maupun yang terwujud dalam perilaku aparatnya- dapat dibilang netral alias tak memihak. Tak jarang dapat disimak betapa, dalam pelaksanaannya di lapangan, di sidang-sidang pengadilan sekalipun,12 hukum undang-undang itu acapkali secara nyata mencerminkan hadirnya kesemena-menaan golongan kaya kelas atas, atau juga dari golongan militer dan tentu saja juga dari pemerintah berikut aparat birokratiknya, yang dimanapun selalu berkedudukan relatif kuat. Langkah-langkah pengupayaan bantuan hukum lewat badan legislatif yang politis, sebagai bagian dari upaya mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi sebagai akibat dari kesenjangan dalam soal distribusi hak, adalah sebenarnya langkah kontemporer yang lebih inovatif untuk menyandingi cara kerja konvensional untuk menyelesaikan perkara hanya di forum yudisial saja. Inilah cara mengatasi persoalan yang ditempuh para ahli hukum dari generasi baru yang tak cuma hendak berwawasan yuridis murni di alam pikiran yang 10 Dapat dibaca di artikel: Clarence J. Dias, “Research On Legal Service And Program In Developing Countries”, Washington Univercity Law Quartely, Th 1975, No 1, hlm 147-163. 11 Baca misalnya: Shmual Lock, Crime, Public Opinion, and Civil Liberties (Westport, CT: Prageer,1999 12 Duncan Kennedy, A critique of Adjustcation (Cambridge, Mass,; Harvard Univercity Press, 1998), yang dalam karya tulisnya itu memusatkan kajiannya pada persoalan bagaimana politik mempengaruhi aktivitas-aktivitas yudisial, dan pada gilirannya bagaimana putusan-putusan pengadilan mempengaruhi dunia perpolitikan.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus diajarkan oleh Hans Kelsen.13 Alih-alih mereka mengembangkan wawasan dan wacana politik, dengan menyatakan tanpa ragu bahwa papan percaturan yang sesungguhnya untuk membantu orangorang miskin itu tidaklah harus terbatas pada urusan-urusan litigasi semata. Arena perjuangan yang sebenarnya tidaklah mungkin kalau cuma dibataskan di ranah yuridis yang berarena di ruangan pengadilan semata. Manakala sepakat ini dasar legalitas setiap amar putusan hakim itu masih selalu saja dicari dan ditemukan di satunya yang selalu mesti diingat, maka salah satu upaya yang terbilang strategik tak akan mungkin lain dari upaya ”memenangkan” lobi dan pengaruh di badan-badan legislatif ini. Di beberapa negara yang sedang berkembang, seperti misalnya di India dan juga Filipina atau Indonesia, bantuan hukum struktural ini tak jarang mencakup pula bantuan kepada mereka yang lemah ini untuk mengorganisasi diri. Organisasi-organisasi masyarakat lapis bawah ini, yang dikenal dengan sebutan Grass Root Organization (GRO), diharapkan akan mampu memperjuangkan pengakuan dan/atau pelaksanaan hakhak baru yang diperoleh dari perubahan undang-undang. Disadari benar ditengah kehidupan masyarakat nasional yang serba terorganisasi, pemilikan hak dan kesadaran hak yang tak ditunjang oleh kekuatan organisasi yang memadai akan menyebabkab hak-hak itu hanya akan bagus diatas kertas saja, dan tak akan mempunyai arti apa-apa dalam kenyataan. Di India, misalnya, untuk menghadapi pelaksanaan landreform dan realisasi hak-hak yang baru diperoleh para petani penggarap (untuk memperoleh hak milik atas tanah-tanah garapan yang didistribusikan oleh undang-undang), para petani penggarap telah diorganisasi kedalam organsasi-organisasi otonom non pemerintah. Salah satu daripadanya adalah organisasi akar rumput yang bernama Bhoomi Sena, didirikan dengan prakarsa dan bantuan sarjana-sarjana hukum usia muda yang benaknya dipenuhi cita-cita kemanusiaan. Di Indonesia, organisasi petani yang serupa juga pernah dikenal, seperti misalnya yang didirikan oleh para petani Jawa Timur dengan nama Paguyuban Petani Jawa Timur, disingkat ’Pa13 Hans Klesen, Pure Theory of Law (Union, N.J.; Law Book Exchane, 2002), hlm 72 dst.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
13
Diskursus pajati’, dengan tujuan memperjuangkan kembalinya hak historis— yang mereka sebut ”reclaiming”—atas tanah-tanah perkebunan, yang mereka aku sebagai tanah rakyat sejak zaman revolusi dan zaman landreform menurut undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960. Di Jakarta, organisasi-organisasi orang pinggiran mencoba memperoleh pengakuan akan eksistensinya, dengan tunjangan sejumlah organisasi non pemerintah yang bergabung dalam sebuah konsorsium yang menamakan diri The Urban Poor Consorsium. Masalah Kebutuhan Rakyat yang Terpuruk di Stratum Bawah
14
Betapapun juga idealistik dan altruistik mereka yang ”turun ke bawah” untuk membantu kepentingan golongan miskin dan semua lapisan masyarakat yang lemah dan terdiskriminasi, ada satu masalah yang perlu dipikirkan. Ialah, apakah para yuris yang aktivis dan populis ini benar-benar memahami kebutuhan kaum miskin yang sesungguhnya? Apakah sebenarnya yang dibutuhkan oleh mereka yang miskin itu? Siapakah sebenarnya yang berhak mendefinisikan kebutuhan hukum rakyat miskin itu? Mereka yang miskin itu sendiri, ataukah para yuris berdasarkan persepsinya sendiri, yang mungkin saja—secara subjektif dan dibawah sadar—masih dipengaruhi oleh kepentingan politik kelasnya sendiri (yang sebenarnya bukan kepentingan kelas bawah) itu? Dalam percakapan sehari-hari, apa yang disebut ’kebutuhan’ (yang didalam bahasa Inggris diistilahi ’need’) dan ’keinginan’(want) tidaklah dibedakan.14 Akan tetapi, dalam perbincangan kali ini, perbedaan arti antara keduanya perlulah diutarakan. ”Kebutuhan” adalah ’kondisi obyektif yang menyatakan hadirnya keharusan dalam diri sejumlah subyek yang tergolong pemuka untuk segera memperoleh sejumlah sumber daya guna memungkinkan kelangsungan eksistensi mereka’. Kebutuhan bukanlah sekedar keinginan, ialah ’suatu kondisi subyektif yang dirasakan mendesak sebagaimana dinyatakan oleh sejumlah subyek awam untuk memperoleh sumber daya guna memuaskan hajatnya, dan sekaligus meredakan 14 Dalam The New American Roget’s College Thesaurus (New York: Signet Book, 1985), kedua kata tersebut—need dan want—diartikan identik, ialah ‘necessity’.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus keresahannya’. Pada dasarnya ’kebutuhan’ merefleksikan adanya sesuatu yang amat terasa diperlukan, khususnya dalam rentang waktu yang relatif panjang, sementara itu ’keinginan’ hanya merefleksikan hadirnya sesuatu hasrat sesaat, yang pemuasannya, untuk kepentingan jangka panjang sebenarnya tidak diperlukan. Dari definisi tersebut di muka ini dapatlah disimpulkan bahwa apa yang disebut ’kebutuhan’ itu ialah suatu persyaratan obyektif yang harus dipenuhi guna menjamin kelestarian eksistensi seorang atau sekelompok orang dalam jangka yang relatif panjang. Sementara itu, yang disebut ’keinginan’ adalah tak lain daripada suatu kondisi subyetif yang dirasakan seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh kepuasan yang berjangka sesaat. Tak pelak lagi, untuk dapat menentukan ”kebutuhan sesungguhnya yang obyektif” itu, seseorang haruslah mampu beranalisis untuk memperoleh wawasan atas situasinya yang makro. Sementara itu, untuk ”sekedar merasakan keinginan yang subyektif”, seseorang cukuplah apabila mampu bertindak jujur pada dirinya, tanpa hendak mengingkari nafsu dan nalurinya yang bersifat dasar. Sekarang bagaimana halnya dengan orang-orang miskin? Adakah mereka memiliki kebutuhan juga? kebutuhan apa? Ialah kebutuhan hukum yang terwujud dalam bentuk untuk memperoleh jaminan hak guna perbaikan status sosial politiknya dalam jangka panjang sebagai warga negara yang bermartabat dalam kehidupan bernegara bangsa yang demokratik? Ataukah sebenarnya, yang tersimak ada pada diri mereka itu, hanyalah keinginan-kainginan yang terasa mendesak untuk segera memperoleh sandang dan pangan dan ruang papan yang dapat dimanfaatkan tanpa tunda-tunda guna memenuhi keperluan sesaat. Tentang persoalan ini banyak kalangan mengatakan—mungkin saja dengan prasangka—bahwa, per definisi, orang miskin itu tidak dapat mengetahui apa kebutuhan mereka yang sebenarnya. Apa yang mereka nyatakan sebagai kebutuhan, umumnya dan sebenarnya tak lain daripada apa yang mereka inginkan. Maka, apa yang harus didefinisikan sebagai kebutuhan orang-orang miskin itu (seperti misalnya kebutuhan hukum dan kebutuhan akan hak) tentulah Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
15
Diskursus hanya akan dirumuskan oleh mereka yang profesional, tidak hanya profesional dalam permasalahan hukum, tetapi juga dalam permasalahan sosial dan ekonomi.
16
Acapkali dikatakan bahwa mereka yang terperangkap dalam situasi dan kondisi kemiskinan, yang oleh sebab itu harus bergelut dari hari ke hari untuk mempertahankan hidupnya, tidaklah akan sekali-kali dapat dan sempat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri, khususnya yang berjangka panjang. Untuk maksud itu diperlukanlah bantuan orang lain yang tak terdesak situasi kedaruratan orang miskin. Dari hari ke hari, orang-orang miskin tak hendak menghendaki apapun kecuali pangan, dan sesudah itu sandang dan papan. Semua itu adalah kebutuhan pokok untuk bertahan hidup dalam jangka pendek, yang untuk mendapatkannya, kalaupun perlu, akan dilakukan dengan jalan menghamba, menjual diri dan kesetiaan kepada mereka yang telah mapan di stratumnya yang elit dan berada di atas. Prasangka seperti inilah yang menjadi dasar penjelas mengapa orang-orang miskin sulit diorganisasi untuk suatu perjuangan jangka panjang guna merekontruksi tatanan sosial yang telah terlanjur senjang. Mereka lebih suka menerima sedekah untuk keperluan jangka pendek daripada menerima hak-hak mereka yang asasi yang masih harus diperjuangkan dalam jangka panjang. Mereka lebih menginginkan nasi dan sebotol air mineral, ditambah 25 ribu untuk transport daripada mengukuhi hak suara mereka tatkala acara pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah tiba. Tetapi, betul dan benarkah untuk mengatakan bahwa hanya sembako itu saja yang pada dasarnya dibutuhkan orang miskin? Tidakkah untuk maksud memperoleh kesejahteraan jangka panjang, juga bagi anak cucu mereka kelak, yang mereka butuhkan juga harus lebih jauh daripada sekedar keinginan untuk menegakkan hukum sesaat? Tidakkah sesungguhnya yang lebih dibutuhkan itu ialah jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang layak, pendidikan yang sepadan, dan yang sejalan dengan tuntutan zaman yang terus berubah? Tidakkah orang itu, miskin ataupun tak miskin membutuhkan jaminan undang-undang atas hak-hak yang asasi agar tidak Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus didiskriminasikan secara semena-mena dalam berbagai bidang kehidupan ekonomi dan sosial? Yang Harus Diputuskan dan Dilanjutkan Sebagai Kebijakan Sosial Maka tidaklah salah kalau dikatakan oleh mereka yang hendak memberikan bantuan hukum struktural kepada golongan stratum bawah, bahwa—demi terlindunginya kepentingan mereka yang tergolong kelas bawah yang miskin—hak-hak sosial-ekonomi mereka dalam jangka panjang, haruslah dapat dijamin. Jaminan hukum perundang-undangan untuk maksud ini tentu saja tidaklah cukup manakala hanya terwujud dalam bentuk statemen-statemen normatif sebagaimana ditulis dalam tubuh undang-undang saja. Jaminan inipun haruslah terwujud pula dalam realisasi implementatifnya, yang serta merta akan membuktikan telah benar-benar terjadinya reformasi hukum. Namun demikian, jaminan akan terbebaskannya orang-orang miskin dari segala bentuk kekurangan itu tidaklah pula cukup apabila hanya sebatas pembaharuan undang-undang saja (yang dalam istilah asingnya legal reform). Upaya tak boleh berhenti pada tahap proses-prosesnya yang legislatifnya saja, melainkan harus bersiterus pada tahap-tahap pelaksanaanya, sebagaimana tertampakkan dalam wujud keberpihakan mereka yang berempati kepada golongan rakyat miskin, baik yang berkedudukan di badan-badan eksekutif dan yudisial, maupun mereka yang bergerak sebagai aktivis diberbagai organisasi non-pemerintah, tatkala mereka ini harus mengambil kata putus yang berkonsekuensi hukum.15 Jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang di lapisanlapisan bawah sebagai orang-orang miskin dalam perhitungan kepentingan jangka panjang tidaklah cukup apabila hanya diwujudkan dalam bentuk amal-amal penyedekahan semata. Beramal sedekah itu, walaupun terpuji dari sudut etika dan/atau kaidah agama, pada 15 Harus diakui bahwa upaya seperti ini tidak selamanya mudah, dan tidak mungkin berhasil apabila segala upaya berkuat pada formalisme yang terlanjur menjadi esensi hukum undang-undang. Baca: Eugene, V. Rostow, Is Law Dead? (New York: Simon and Schuster, 1971), hlm. 24.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
17
Diskursus ujung-ujungnya hanya akan melahirkan ketergantungan-ketergantungan semata. Kalaupun amal-amal penyedekahan ini diwujudkan dalam bentuk pemberian subsidi-subsidi, lewat anggaran negara yang memperbesar pos bantuan sosial lewat kebijakan perpajakan, efeknya tidaklah jauh berbeda, ialah meningkatnya ketergantungan yang waktu demikian tidak juga segera teratasinya kesenjangan sosial-ekonomi, yang pada gilirannya akan mengancam stabilitas politik, terkendalanya perkembangan dan pengembangan modal sosial, dan tetap rendahnya produktivitas nasional.
18
Dalam jangka panjang, pembaharuan yang menyeluruh dan bersifat struktural pada tatarannya yang makro tak ayal ikut diperlukan. Inilah upaya yang tak cuma sebatas legal reform, melainkan sudah selayaknya apabila diteruskan sebagai pembaharuan seluruh institusi hukum (yang disebut law reform). Bahkan, kesempatan harus dibuka, dan kemampuan harus diupayakan pula, agar mereka yang terbilang golongan lemah dan belum diuntungkan ini dapat mengembangkan kekuatannnya secara terorganisasi dalam percaturan politik dan pembelaan hak. Terbentuknya organisasiorganisasi akar rumput (GRO) sudah selayaknya pula memperoleh kemudahan, dengan tunjangan organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO) yang berpeluang mengembangkan perannya. Semua itu diupayakan demi tegaknya hak-hak ekonomi dan hakhak sosial rakyat yang asasi, yang sebagian besar masih harus diperjuangkan, dari statusnya sebagai ius contituendum menjadi ius constitutum. Manakala selama ini terkesan bahwa kehidupan yang ada cenderung berlaku diskriminatif terhadap mereka yang terbilang miskin dan lemah, kini pemberdayaan rakyat melalui proses-proses yang sering juga disebut ”diskriminasi terbalik atau diskriminasi positif” mestilah terus diupayakan, tidak hanya dalam tahap pembaharuan undang-undang in abstracto tetapi juga pada tahap pengambilan kata putus in concreto, di loket-loket layanan publik manapun. Usaha seperti ini, kini ini bersejajar benar dengan suatu program baru yang akhir-akhir ini mulai digalakkan dengan sebutan legal literacy program.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Membangun Kesadaran Hukum Sebagai Gerakan Pemberantasan Buta Hak16 Apakah yang disebut legal literacy program itu? Secara harfiah, bolehlah diartikan sebagai ‘program untuk membikin warga melek hukum’. Akan diketahuilah nanti bahwa program ini tidak hanya sebatas maksudnya untuk menyadarkan orang akan hadirnya suatu undang-undang dalam kahidupan berikut kewajiban apa saja yang menurut undang-undang itu harus dipenuhi warga, tetapi lebih lanjut lagi dari batas-batas itu. Schuler dan Kadirgam-Rajashingham mendefinisikan legal literacy yang dinyatakan sebagai tujuan utama program itu sebagai “(the) acquiring of critical awareness about rights and the law, the ability to assert rights, and the capacity to mobilize for change”.17 Jelas dari definisi ini bahwa istilah legal literacy secara implisit juga hendak menyorongkan suatu ide advokatif yang baru tentang hukum sebagai kekuatan politik yang diharapkan akan mampu menggerakkan roda perubahan, yang pada akhirnya akan memihak kepentingan golongan rakyat yang selama ini didudukan pada posisinya yang marjinal. Dari definisi tersebut dimuka diketahui bahwa legal literacy itu bukanlah sekadar gambaran laten tentang status koginitif seseorang, melainkan benar-benar suatu proses sosio-politik yang manifest. Inilah proses yang sengaja direncanakan dan diupayakan secara sistematis untuk membangunkan kesadaran warga dalam rangka menggalakkan upaya memberantas buta hak dikalangan mereka. Inilah upaya yang didasari ide tentang pentingnya menyeimbangkan kekuatan tawar antara khalayak awam yang selama ini berposisi marjinal (karena buta hukum dan buta hak) dan pihak-pihak yang selama ini terlalu berkekuasaan, dan yang oleh sebab itu juga akan terlalu dominan dalam setiap bidang kehidupan. Dihipotesiskan bahwa keseimbangan daya tawar itu hanya akan terwujud manakala rakyat bisa dibikin sadar mengenai hak-haknya 16 Sebagian besar tulisan yang terpapar dalam paragraph ini berasal dari tulisan ulang atas tulisan saya yang termuat sebagai ”kata pengantar” dalam buku Herbin M. Siahaan (ed), Penberdayaan Hukum Untuk Meningkatkan Tata Pemerintahan Yang Baik dan Mengurangi Kemiskinan (Jakarta: The Asia Foundation dan Asian Developing Bank, 2003), hlm. 3-8. 17 Margaret Schuler dan Shakuntala Kadirgamar-Rajashingham (ed), Legal Literacy: A Tool for Woman’s Empowerment, (New York: UNIFEM, 1992).
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
19
Diskursus menurut hukum yang berlaku. kesadaran rakyat akan hak-haknya itu pada gilirannya diyakini akan bisa menggugah keberanian mereka untuk mempertanyakan hak-hak mereka yang selama ini telah diakui menurut peraturan perundang-undangan. Ditunjang oleh suatu pengorganisasian yang sehat, kesadaran akan hak-hak menjadi daya dorong yang kuat untuk terjadinya perubahan yang lagi digerakkan demi kepentingan yang mapan melainkan untuk kepentingan mereka yang selama ini terperangkap dalam posisiposisi yang rawan.
20
Tujuan program ini membangun kesadaran hak- dalam rangka memberantas buta hak-sudahlah jelas, ialah agar warga masyarakat menyadari hak-hak yang mereka punyai menurut ketentuan undang-undang, dan pula agar mereka bangkit kepercayaan dirinya kemudian bergerak—secara perorangan ataupun secara kolektif— mengubah keadaan, dengan memajukan taraf kesejahteraan hidupnya, atas dasar kebenaran hak-hak yang telah mereka sadari itu. Kesadaran hak diprakirakan akan membangkitkan keberanian khalayak untuk mempertanyakan hak-hak hukum mereka di hadapan para penguasa negara, yang pada gilirannya boleh pula didugakan akan mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas para pejabat publik dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Dihipotesiskan disini bahwa legal knowledge yang luas dikalangan warga masyarakat pada akhirnya akan berujung pada maraknya legal actions, ialah manakala terjadi banyak pengingkaran pada hakhak rakyat. Namun demikian, dari berbagai pengamatan lapangan, setidak-tidaknya dalam pengalaman Indonesia, hubungan antara legal knowledge dan legal action itu tidak sekali-kali merupakan hubungan kausal yang mekanistik sifatnya. Ada dua variable penyela yang ikut berpengaruh dan mensyarati terwujudnya hubungan sebab-akibat antara variabel pengintervensi tersebut pertama adalah struktur sedangkan variabel yang kedua adalah kultur. Dalam kehidupan yang masih amat nyata dikonfigurasi oleh struktur otokratisme dan dihegemoni oleh kultur feodalisme, hubungan antara ideal legal knowledge dan actual legal actions cenderung lemah dan tidak, atau kurang, memperlihatkan kausalitas yang kuat. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Di negeri-negeri yang bertradisi feodalisme dan/atau “bapakisme”, dengan segala bentuk struktur kekuasaan hierarki dan kultur patriarkiknya, mereka yang minoritas dan terpinggirkan—dalam arti sosial dan ekonomiknya—umumnya cenderung menyikapi dirinya sebagai insan-insan dhuafa yang harus menerima nasib dengan cara menggantungkan kesejahteraan hidup mereka kepada “para bapak” yang bersedia menzakati mereka (dengan imbalan kesetiaan). Disini orang mempunyai hak tetapi karena bermental hamba ia tak kunjung berani menyatakannya, dan segala perilakunya tetap saja mencerminkan budaya ewuh-pakewuh. Tak urung, program-program legal literacy yang bertujuan memberantas buta hak itu pada akhirnya juga harus dibarengi dengan program-program lain yang dikenal sebagai program—yang malah berlanjut ke ’sebuah gerakan’—pemberdayaan rakyat, yang umumnya digalakkan lewat pemberian pelajaran rakyat tentang tata cara berorganisasi dan bersinergi dalam setiap upaya memperjuangkan hak. Organisasi seperti ini diupayakan tumbuh kembangnya pada aras paling bawah, disebut ‘organisasi akar rumput’ (sebagai terjemahan dari grass root organization, disingkat GRO), yang lebihlebih pada masa awal perkembangannya memerlukan pendampingan oleh organisasi-organisasi aktivis yang di kenal dan terkenal dengan penamaan ‘organisasi non-pemerintah’ (sebagai terjemahan dari non-government organization, disingkat NGO).18 Pada tahap perkembangannya yang terkini, program pemberantasan buta hak pada akhirnya secara berangsur tetapi pasti bersalin rupa manjadi sebuah gerakan penyadaran hak dan pemberdayaan rakyat. Inilah gerakan pembebasan rakyat dari sembarang bentuk “kebutaan” yang merupakan salah satu penyebab keterbatasan dan ketidakberdayaan mereka. Gerakan melek hak dimarakkan oleh para aktivis -yang banyak dari mereka ternyata tidak selalu keterpelajaran hukum sebagai latar pendidikan formalnya19- dengan maksud untuk menyadarkan rakyat, bahwa keadaan mereka yang 18 Tentang peran NGO dalam berbagai gerakan penyadaran hukum dan hak untuk golongan rakyat yang belum diuntungkan dalam era transisi di banyak negeri berkembang, baca lebih lanjut: Michael Shifter, “Weathering The Storm: NGO’s Adapting to Major Political Transition” dalam Mary McClymont dan Stephen Golub, Many Roads To Justice (The Ford Fondation, 2000), hlm. 327-337. 19 Stephen Golub, “Nonlawyer As Legal Resource For Their Communities”, dalam Mary McClaymont dan Stephen Golub, op. cit., hlm. 297-313.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
21
Diskursus kurang diuntungkan itu sebenarnya bersebab dari pengingkaran yang sistematis atas hak-hak mereka yang asasi. Itulah pengingkaran atas hak-hak yang sebenarnya telah dijamin konstitusi dan berbagai kovenan internasional untuk beroleh pekerjaan dan pendapatan yang layak, dan kemudian juga untuk menikmati kehidupan berkeluarga yang sejahtera dalam tarafnya yang layak.20
22
Kesadaran warga akan hak-haknya harus dipandang penting karena hanya apabila para warga menyadari hak-hak dan batas hak-haknya sajalah infrastruktur kehidupan demokratik kan dapat diwujudkan. Mengingat kenyataan bahwa kini permasalahan kemiskinan dan diskriminasi yang berimplikasi ketertindasan itu, telah kian marak sebagai isu global, maka program-program pemberantasan buta hak dan pemberdayaan masyarakat marjinal itu kinipun telah merupakan program pada arasnya yang internasional. Kalaupun organisasi-organisasi akar rumput itu umumnya masih terikat pada konteks-konteksnya yang lokal, kini banyak organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam jejaring-jejaringnya yang telah beroperasi pada arasnya yang transnasional.
20 Dalam mengembangkan gerakan, tidak selamanya para aktivis NGO dikatakan terlalu berseberangan dengan pihak-pihak yang dipandang sebagai kaum mapan; catatan kritis mengenai hal ini dapat dibaca antara lain buku David Hulme dan Michael Edwards, NGOs, State And Donors: Too Close For Comforts? (New York: St. Martin’s Press, 1997), khusus bagian IV. Tentang pertanggungan jawab kinerjanya: Michael Edwards dan David Hulme, Beyond The Magic Bullet: NGO Performance And Accountability in the Post-Cold War World (West Hartford, Coonecticut: Kumarian Press, 1996).
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Keraguan & Keadilan dalam Hukum (Sebuah Pembacaan Dekonstruktif) Oleh : Dr. Anthon F. Susanto
“We need to interpret interpretations more than to interpret things” (Montaigne – dalam Derrida Writing and Difference) The instant of Decision is Madness (Kierkegaard – dalam Derrida Writing and Difference) Abstrak Keadilan adalah realitas yang a-simetris yaitu realitas yang keotik (chaos) dan sulit diprediksi, diukur atau diberi makna yang pasti, keadilan tidak hanya ada di dalam dan di luar tatanan namun ada di antara tatanan. Memahami keadilan tidak cukup dengan hanya memahami teks undang-undang, tetapi memahami keadilan harus dibenturkan dengan ketidakadilan, hanya melalui pemahaman tentang ketidakadilan maka keadilan akan dapat dirasakan. Keadilan adalah ”sebuah pengalaman tentang yang tidak mungkin”, sehingga tidak ada seseorang yang mampu merasakan keadilan sejati, dan keadilan tidak dapat dibekukan Pendahuluan Tulisan ini menampilkan sesuatu yang tidak biasa dalam memahami tentang keadilan. Mengapa tidak biasa? Terkait dengan substansi yang ada di dalamnya, keadilan akan dibenturkan dengan keraguan dan ketidakadilan, bahwa sesungguhnya keadilan tidak akan berdaya tanpa ketidakadilan dan keraguan. Tulisan ini mencoba menampilkan konsep-konsep yang sering dipertentangkan,
Diskursus namun sesungguhnya memiliki keterkaitan, tentang keadilan dengan ketidakadilan, atau tentang keraguan dengan kepastian, juga tentang keadilan dengan undang-undang, keadilan merupakan konsep yang luas sementara undang-undang adalah teks formal yang terbatas. Pendek kata kita akan menemukan banyak argumen yang berbenturan atau bertabrakan yang akan membawa kepada pemahaman chaos atau a-simestris dalam keadilan.
24
Roberto M. Unger (eksponen terdepan gerakan critical legal studies) menguraikan secara panjang lebar, tentang proses pergeseran masyarakat feodal – kuno modern dan birokratis.1 Hukumpun bergerak dari tatanan hukum tradisional, menuju kepada tatanan hukum modern yang birokratis dan berformat undang-undang. Sejak saat itu hukum birokratis yang berformat undang-undang menjadi tatanan hukum utama dalam kehidupan bernegara. Tatanan-tatanan hukum berformat lokal (adat, kebiasan) kemudian tersisihkan dan hanya hidup dalam jargon dan mitos. Situasi demikian itu membawa konsekuensi tertentu terhadap konsep/tatanan keadilan. Tatanan/konsep keadilan yang begitu luas awalnya kemudian berubah menjadi formal dan terbatas. Kaum positivistik, dan ini adalah para pemikir yang dominan ada pada saat ini, memandang bahwa undang-undang merupakan sarana penuangan keadilan yang bersifat formal, melalui undang-undang itu keadilan dibuat menjadi formal, keadilan merupakan nilai-nilai yang pasti dan tergambar dalam teks undang-undang itu. Apakah demikian adanya? Membahas konsep keadilan yang kemudian dibenturkan dengan ketidakadilan dan keraguan, kita akan memasuki medan wilayah non-sistematik/atau saya menyebutnya anti sistematik, bahkan hampir bersifat aphoristic, karena membicarakan keadilan, ketidakadilan dan keraguan kita berdiri pada wilayah yang labil, goyah, atau cair (melee). Sehingga ketika konsep keadilan yang bersifat nonsistematik itu dibenturkan dengan undang-undang yang sangat sistematik, maka terjadi rekahan atau markah yang terbuka yang dapat menjelaskan hakekat sesungguhnya tentang realitas keadilan itu sendiri. 1 Roberto M. Unger, Law in Modern Society; Toward a Criticism of Social Theory, The Free Press New York, 1976, hl. 58 – dst.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Tulisan ini hadir membawa pesan tertentu, yaitu hendaknya kita lebih peka akan perubahan sosial atau realitas sosial di seputar kita. Tulisan ini juga membawa semangat lain, bahwa kita seyogyanya memahami dan menginterpretasikan aspek-aspek yang relevan (bisa jadi sangat penting) terkait dengan bidang keilmuan kita, yang diperkuat melalui pendapat Edward O. Wilson, bahwa jika kita punya komitmen dalam usaha ini dan tidak berhasil maka akan ada alasan pemaaf. Jika tersesat, tentu masih ada jalan lain, tidak penting berhasil atau tidak asalkan ada usaha yang bersifat terhormat maka kegagalannya tentu patut di ingat.2 Substansi Tulisan Ini Tulisan ini menguraikan satu sisi/satu sudut pandang dari beragam makna tentang keadilan, dengan terlebih dahulu mengurai konsepkonsep filosofisnya. Sekalipun tema tulisan awalnya diarahkan untuk mengkaji tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK), mengenai Undang-Undang Ketenagalistrikan dan Undang-undang APBN, namun demikian uraian di dalamnya dapat dipandang sebagai kritik terhadap pengambilan keputusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam keputusan Nomor 011-021-022/PPU-I/2003 tertanggal 15 Desember 2004, bahwa, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dengan demikian Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Demikian pula dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN tahun 2008 tentang APBN tahun anggaran 2008, melalui Putusan Nomor 13 – PPU – VI/2008 tertanggal 13 Agustus 2008. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Melihat secara sepintas dalam dua keputusan tersebut nampak bahwa (seolah-olah) sebagai bentuk atau wujud putusan yang adil, apakah demikian adanya?
2 Edward O. Wilson, Consilience, The Unity Of Knowledge, Alfred A. Knopf, New York, 1998, hlm. 6-7.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
25
Diskursus
26
Untuk mengulas dua hal di atas, kita akan memulainya dengan membahas apa yang disebut dengan ”pengambilan keputusan”. Undang-Undang, Putusan Hakim, Putusan Mahkamah Konstitusi atau apapun namanya yang disebut dengan substansi hukum atau produk/hasil dari sistem hukum, merupakan hasil dari sebuah pengambilan keputusan. Umumnya pengambilan keputusan senantiasa diletakkan dalam kedirian atau subjek, subjek dipahami sebagai segalanya, yaitu yang senantiasa (mencoba untuk) mencari keseimbangan dengan bersandar pada kebiasaan, setiap pengambilan keputusan yang dilakukan subjek selalu memperlihatkan dua hal yaitu dualistis dan sistematis-hirarkhis. Secara umum pemikiranpemikiran filsuf modern selalu menempatkan relasi subjek-objek atau bersifat dikhotomis (dualistik) dalam pengambilan keputusan di mana subjek memiliki tingkatan lebih tinggi dari objek (hirarkhis). Pada posisi ini misalnya subjek (hakim, anggota DPR, atau lainnya) selalu ditempatkan di atas teks (undang-undang dan lainnya), sehingga teks sangat ditentukan oleh subjek. Demikian juga, bahwa pengambilan keputusan selalu terpilah, dikhotomis yaitu (seolah-olah) ada pada wilayah/ruang ”ya” atau ”tidak”, ”benar” atau ”salah”, ”baik atau buruk” pengambilan keputusan seolaholah ada dalam ruang yang pasti namun terbatas, dengan kata lain tidak ada keputusan di luar dari pilihan yang disediakan di atas. Apakah tersedia ruang lain, selain ruang dikhotomis (pasti dan terbatas) di atas dalam pengambilan keputusan? Menjawab persoalan ini kita memasuki wilayah yang berbeda yaitu ”keraguan”. Keraguan dalam tulisan ini akan disajikan sebagai bagian penting dalam proses pengambilan keputusan. Pembentukan dan perubahan Undang-undang Dasar, undang-undang, putusan hakim atau proses lainnya, melibatkan keraguan di dalamnya, artinya setiap keputusan yang diambil senantiasa mengalami lompatan melebihi semua persiapan yang terdahulu (yang sudah direncanakan atau diramalkan sebelumnya), dan sekelompok atau seseorang dalam memutus akan selalu ada pada kondisi tanpa keseimbangan dan tanpa stabilitas. Bagaimana hal itu terjadi? Karena secara umum pengambilan keputusan senantiasa didasarkan dan bertujuan untuk mencari Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus keseimbangan dunia, meminimalisasi konfrontasi serta menciptakan situasi-situasi yang dapat diprediksi, pendek kata keputusan umumnya senantiasa diiringi kehadiran dan kepastian. Hal itu pula yang dapat kita lihat di dalam teks undang-undang, teks putusan hakim dan teks-teks hukum lainnya yang kalimatnya (teksnya) dibuat sedemikian rupa untuk menghadirkkan jaminan kepastian dan keadilan. Apa yang terjadi dengan keputusan yang didasarkan kepada keraguan, apabila kita melihat hukum yang senantiasa menanempatkan kepastian sebagai suatu yang utama. Di sinilah letak keunikannya, bahwa keraguan selalu dilawankan dengan kepastian, keyakinan, prediksi dan lain-lain. Apakah mungkin pengambilan keputusan dilakukan pada momen keraguan tersebut? Menjawab hal itu kita dapat mengutip pandangan seorang dekonstruksionis, Jacques Derrida. Dalam bukunya yang terkenal Of Grammatology (sekalipun tidak tersurat), Derrida menampilkan”konsep keraguan” sebagai upaya untuk memecahkan problem dualisme dan relasi hirarkhis yang senantiasa hadir dalam pengambilan keputusan. Kita dapat menemukan relevansi dari pemikiran Derrida di atas tidak saja untuk pengambilan keputusan yang dilakukan oleh hakim (seperti hakim Mahkamah Konstitusi) tetapi juga dapat menjelaskan model pengambilan secara lebih luas, misalnya saja dalam sidang-sidang legislatif, atau pengambilan keputusan sebagai sebuah kebijakan birokrasi, pendek kata stretegi pengambilan keputusan pada umumnya. Keraguan ini juga secara prinsip memberikan penjelasan yang unik tentang apa yang kita sebut dengan ”keadilan”. Untuk menjelaskan hal ini lebih jauh, akan diuraikan sebagai berikut: Keraguan dalam Keputusan Jacques Derrida telah mencoba untuk membuat semacam kecenderungan untuk membentuk istilah dalam konteks baru atau sesuatu yang berbeda tentang keraguan dalam pengambilan keputusan ini. Derrida3 sering menggunakannya ketika menjelaskan tentang kon3 Jack Reynolds, Habitualy and Undecidability; A Comparison Of Merleau-Ponty and Derrida on The Decision, International Journal of Philosophical Studies, Taylor and Francis Ltd, 2002. Hlm.450.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
27
Diskursus sep aporia ”mungkin-tidak mungkin”, misalnya saja tentang keramahan sejati mungkin ataukah tidak mungkin? Keyakinan sejati mungkin atau tidak mungkin, ketertiban sejati mungkin atau tidak mungkin, kepastian sejati mungkinkah? keadilan sejati mungkin ataukah tidak mungkin?
28
Sebuah keputusan pada dasarnya tidak akan bijak, atau bahkan akan lebih parah dari itu (provokatif) bahkan mungkin sebuah keputusan adalah sebuah ketidakwarasan,4 dengan melihat kepada pandangan Kierkegaard, misalnya Derrida5 menyampaikan pandangannya bahwa sebuah keputusan itu memerlukan lompatan keraguan melebihi atau melampaui semua persiapan (rencana, perkiraan prediksi, ramalan dll) yang telah dilakukan untuk keputusan tersebut, yang menurutnya hal ini berlaku untuk seluruh bentuk keputusan. Gambaran keputusan sebagai moment ketidakwarasan ini pada dasarnya telah melampaui rasionalitas dan alasan-alasan kalkulatif yang senantiasa dominan dalam keputusan, meskipun hal ini menurut Jack Reynolds6 terlihat agak paradoksial. Apabila kita setuju maka keputusan memerlukan sebuah ”lompatan kepercayaan” yang melebihi penjumlahan total dari seluruh fakta. Ini barangkali salah satu persoalan mengapa kita cukup sulit untuk memahami dan menerima ”Ruang/jeda/moment Keraguan” di dalam pengambilan keputusan. Derrida7 pada posisi ini mencoba sesuatu yang lain, meskipun sesuatu itu berada pada subjek. Derrida sendiri menyakini keterbatasan subjek dalam segala hal, termasuk dalam pengambilan keputusan, sesuatu yang ditanyakan Derrida secara retoris ”apakah tidak dibenarkan kita melihat sebuah pertentangan dalam diri kita (batin kita)?”8 dengan kata lain, jika sebuah keputusan telah ditetapkan dan dibayangkan seperti semata-mata mengikuti sifat 4 Jacques Derrida, Deconstruction and Possibility of Justice, ed, Cornell, Carlson and Benjamin, Routledge, 1992.hlm.26. Lihat pula karya yang lain yaitu, De la Grammatologie, Paris: Les Editions de Minuit, diterjemahkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak, Of Gramatology, Baltimore; The John Hopkins 5 Jacques Derrida, Ibid; hlm. 77 6 Jack Reynolds Op.,Cit, 7 Jacques. Derrida, Adieu to Emmanuel Levinas, Trans, Brault and Naas, Standford California, Stanford University Press, 1999. Hlm. 23-24 8 Jacques Derrida, Ibid, hlm.24.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus karakter tertentu, hal itu tidak akan murni menjadi sebuah keputusan, di sini pentingnya sebuah lompatan yang melebihi alasan-alasan kalkulatif dalam sebuah keputusan. Menempatkan keraguan dalam keputusan artinya keputusan di coba untuk ditempatkan di luar kendali subjek. Sebuah keputusan harus mewakili aspek-aspek yang termarjinalkan dalam diri kita. Apa yang dimaksudkan di atas tidak lain adalah sebuah konsep yang secara simultan berkaitan dengan penjelasan a-simetris dari batin manusia, dengan demikian tidak mungkin sebuah keputusan hanya dihasilkan melalui logika internalnya sendiri. Artinya tidak mungkin subjek menyampingkan aspek-aspek lain dalam dirinya dan yang digunakan hanya logika semata. Inilah konsep fundamental dari filsafat keraguan yang dikembangkan. Misalnya, dalam essay awalnya Violence and Metaphysics, Derrida menyarankan bahwa apabila kita ingin berhasil dalam melakukan pembacaan dekonstruktif, kebimbangan menjadi faktor yang menentukan, sebagaimana dilakukan oleh Albert Camus dalam The Rebel, yaitu tanpa pembukaan etis dan tanpa logosentrik-totalitas.9 Derrida dalam konsep keraguannya enggan untuk menggunakan istilah etik karena persoalan ”logosentriknya”, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa perilaku - ”etika” (untuk penggunaan sesuatu yang lebih baik) adalah sebuah produk penundaan (jeda/markah) dan akan membawa sebuah keputusan pada posisi kemungkinan bukan posisi yang definitif. Inilah hal yang unik yang akan memasukan kita kepada penjelasan melampaui logika, sesuatu yang dapat kita temukan dalam tulisannya ”the Gifth of Death”, bagaimana Derrida memuji Ibrahim untuk tetap pada pendirian dalam pengambilan keputusannya. Dalam sebuah diskusi dengan Richard Beardsworths, Derrida mengkarakterisasikan keraguan sebagai berikut, ”Secara teoretis bagaimanapun seseorang harus berhati-hati dalam pengambilan sebuah keputusan, sebenarnya keputusan itu, jika hal itu dijadikan sebuah keputusan pastilah bersifat heterogen dengan akumulasi ilmu pengetahuan, kalau tidak maka tidak akan ada sebuah tanggung jawab, dalam hal ini bukan hanya apakah seseorang tidak tahu 9 Jacques Derrida, 1976, Op., Cit, hlm.84.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
29
Diskursus apapun ... sebuah keputusan, jika ada sebuah keputusan, harus juga melihat ke masa depan yang tidak diketahui dan tidak dapat diprediksi (diantisipasi),”.10
30
Keputusan tidak dapat mengantisipasi masa depan, karena keputusan merupakan intuisi balik. Sekalipun keputusan (setidaknya) muncul berdasarkan antisipasi (melalui situasi dan pengalaman kita), dan meskipun kita benar (artinya prediksi dan ramalan itu benar), hasilnya tidak terelakkan tidak seperti yang seharusnya. Gagasan ini pada dasarnya bukan hanya penolakan terhadap ide-ide tradisional mengenai bagaimana memutuskan atas pertimbangan, dan menghadirkan pilihan tertentu, namun juga menjelaskan bahwa sugesti antisipasi itu sangat tidak mungkin, dan oleh karena itu”bagaimanapun kita melakukan antisipasi, setiap keputusan tetap tidak dapat diprediksi”. Artinya sekali lagi ingin ditegaskan bahwa, secara fundamental sebuah keputusan harus berbeda dari apa yang dikehendaki (tujuan yang diramalkan). Derrida mengemukakan pula tentang kelaziman yang selalu muncul dalam setiap keputusan yaitu apa yang disebutnya dengan ”kehadiran”, sesuatu yang menjadi objek Derrida sejak mulai menulis buku pertamanya terhadap Husserl. Kehadiran dalam sebuah keputusan adalah sebuah dominasi subjek yang melampaui batas yang dalam keputusan disebut sebagai ”kebiasaan” (sesuatu yang selalu diulang/berulang), yang berkaitan tidak saja dengan masa sekarang tetapi juga dengan masa lalu. Kehadiran yang mewujud dalam kebiasaan ini dibangun berdasarkan ketrampilan yang telah dipelajari pada masa lalu yang dipandang masih relevan. Inipula yang mengakibatkan kita seolah-olah (selalu) berkeinginan mengantisipasi apa yang akan terjadi, meramalkan apa yang dapat terjadi. Pemunculan kehadiran terkait dengan stabilitas absolut dalam setiap keputusan. Konsep kehadiran atau logosentrisme ini dipandang bahwa subjek senantiasa bertujuan untuk mencapai keseimbangan, keputusan yang diambil akan selalu bertujuan untuk merespon apa yang difikirkannya dan hal itu harus sesuai dengan apa yang terjadi. Bagi 10 Jack Reynolds, Op., Cit.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Derrida yang menolak dengan tegas dominasi logos, melihat bahwa hal demikian sangatlah tidak mungkin, untuk memperjelas hal ini marilah kita uraikan contoh seorang pemain catur yang pandai atau seorang ahli debat di pengadilan (advocat) mampu untuk merespon situasi tanpa campur tangan pemikiran. Dreyfus11 dalam sebuah studi yang dilakukannya menemukan bahwa seorang pecatur (ahli catur) master dapat dengan mudah mengalahkan lawan caturnya bahkan jika mereka harus merespon pergerakan lawannya kurang dari lima detik. Dreyfus menggambarkan bahwa tingkat pemain catur master dilakukan dengan tanpa melihat, reaksi pemain catur master adalah reaksi terhadap konfigurasi tertentu pada papan catur, pecatur ahli memiliki prioritas ”aku bisa” dari pada ”aku pikir”12 Hal yang umum pula menurut Dreyfus bahwa dalam fikiran pecatur pemula seringkali ada upaya untuk memastikan konsekuensi yang mungkin timbul dari apa yang dilakukan olehnya, haruskah ksatriaku aku arahkan kesana atau kesini? atau perlukah menteri melakukan pergerakan seperti ini dan seperti itu?. Uraian di atas memperlihatkan bahwa baik pecatur pemula atau pecatur ahli mengalami situasi atau kondisi tentang keraguan sebagaimana dijelaskan oleh Derrida. Derrida telah mengembangkan gagasan penting yang dapat dilakukan untuk mendekonstruksi ide kebiasaan dalam pengambilan keputusan, dengan harapan bahwa tidak ada sebuah peristiwa yang identik dan dengan demikian tidak ada sebuah putusan yang terulang, karena lingkungan di mana kita melakukan proses pencarian (secara linguistik maupun eksistensial) selalu berbeda-beda. Bahasan Derrida tentang keraguan dalam pengambilan keputusan nampaknya menolak paradigma pengambilan keputusan yang berbasis “rasionalitas absolut” yang menekankan konsep pengetahuan parsial, namun demikian tetap merupakan sebuah teka-teki yang sulit untuk dipecahkan bahwa ”akan ada lompatan melebihi keputusan dalam tubuh kita?” Melalui filosofi keraguan Derrida membawa kita pada pemahaman bahwa setiap keputusan memperlihatkan dimensi a-simetris / chaos. 11 Jack Reynolds, Ibid, 12 Merleau Ponty, Phenomenology of Perception, Trans, Smith, London, Routledge & Kegan Paul, 1962.hlm. 137
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
31
Diskursus Keadilan yang Melampaui Tatanan Kita telah mengurai beberapa hal berkaitan dengan konsep keraguan dalam pengambilan keputusan, uraian selanjutnya berkaitan erat dengan keputusan yaitu tentang keadilan. Apabila kita hendak berkata bahwa keadilan berkait erat dengan pengambilan keputusan, dan keputusan sangat dipengaruhi oleh keraguan, maka keadilan akan hadir dan bekerja dalam ruang yang bersifat tidak simetris/chaos. Untuk hal tersebut akan saya uraikan sebagai berikut:
32
Hans Kelsen13 menjelaskan bahwa, apa arti sesungguhnya dari perkataan bahwa suatu tata sosial adalah tata yang adil? Pertanyaan ini berarti bahwa tata tersebut mengatur perbuatan manusia menurut suatu cara yang memuaskan bagi semua orang, yakni agar semua orang menemukan kebahagiaannya di dalam tata tersebut. Kerinduan akan keadilan adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan. Kebahagiaan inilah yang tidak dapat ditemukan manusia sebagai seorang individu tersendiri dan oleh sebab itu berusaha mencarinya di dalam masyarakat. Keadilan adalah kebahagiaan sosial. Melihat sedikit (mundur) ke belakang, Aristoteles14 dalam buku kelima ”Etika Nikomakea” menjelaskan bahwa ”yang sesuai dengan undang-undang dan yang sama itu adil”. Immanuel Kant15 dan para pengikutnya mengembalikan makna tindakan yang adil pada suatu undang-undang (tatanan/order) yakni undang-undang akal budi, pada asas rasio, pada maxim. Menurut Kant, ketentuan moral memerlukan keadilan, yakni kebahagiaan yang sebanding dengan kebajikan. Hanya Tuhan yang bisa menjamin hal ini, karena itulah ada Tuhan dan kehidupan mendatang, dan ada pula kebebasan. Kant menjelaskan pula bahwa Tuhan, kebebasan dan keabadian merupakan tiga ”gagasan tentang rasio”. Rasio murni yang mendorong 13 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Soemardi dengan judul “Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press bandung, 1995.Hlm.4. 14 F. Budi Hardiman, Derrida Mengurai Hukum dan Keadilan, dalam “Kalam 19” Jurnal Kebudayaan, 2002. 15 Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan kondisi Sosio-Politik zaman kuno hingga sekarang, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2004. Hlm. 926
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus kita untuk membentuk gagasan-gagasan ini....”. Habermas16 berbicara tentang prinsip diskursus, yaitu tentang prosedur penetapan norma-norma yang dapat dikembalikan pada rasio komunikatif. John Rawls17 juga mencoba menetapkan makna keadilan. Bertolak dari konstruksi pikiran tentang posisi asli Rawls menekankan tuntutan ketidak-berpihakan sebagai prinsip keadilan. Apabila kemudian kita memfokuskan kajian terhadap pendanganpandangan di atas maka ”keadilan tidak dapat ditemukan di luar sebuah tatanan yang tertib dan teratur, entah tatanan hukum, tatanan moral atau tatanan itu adalah tatanan rasio, dan keadilan eksis di dalam tatanan tersebut”. Apabila kita melihat kembali pandangan yang dikemukakan oleh kaum Positivisme Hukum khususnya Hans Kelsen, berpandangan bahwa baik tatanan Hukum positif atau rasio, bekerja dengan logika keteraturan atau sebuah tatanan yang bekerja sistematis, oleh karena itu kita dapat memprediksi dan mengenali paham tentang tuntutan keadilan yang tertuang dalam hukum positif itu. Kepatuhan terhadap undang-undang bisa jadi dianggap adil, sebuah tindakan akan disebut adil atau tidak adil melihat dari berlaku atau tidaknya undang-undang tersebut. Atau dengan kata lain kaum Positivisme Hukum melihat bahwa makna keadilan adalah ”keadilan yang diberlakukan”. Pandangan Positivisme hukum ini apabila ditelusuri lebih jauh terlihat bahwa pencarian keadilan di luar tatanan adalah (seolah) tidak mungkin, artinya pencarian keadilan di luar tatanan telah dihentikan. Dengan mengambil contoh misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Undang-Undang Ketenagalistrikan yaitu UndangUndang Nomor. 20 Tahun 2002 dan Undang-Undang APBN tentang alokasi dana pendidikan, terhadap kedua Undang-Undang tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya Mahakamah konstitusi melihat bahwa ada aspek-aspek ketidak-adilan yang tertuang dari kedua undang-undang tersebut, dengan melihat pertimbangan yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi kita dapat menemukan bahwa keputusan MK diambil 16 Habermas, Between Facts and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, (translated by William Rehg) Polity Press Blackwell Publishers, London, 1996. 17 John Rawls, A Theory of Justice, Belknap Press, Harvard Univesity Press Cambridge Massachusetts, 1971. Hlm.17.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
33
Diskursus dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat umum, dan perlindungan hak-hak masyarakat, untuk undang-undang Ketenagalistrikan MK berpendapat selain bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945, Undang-undang tersebut juga dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat, artinya bahwa UU ketenagalistrikan yang lama yang di pandang tetap berlaku. Sementara terhadap undang-undang APBN tentang alokasi dana pendidikan, MK menyatakan bahwa UU tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar, namun Undang-undang tersebut tetap dinyatakan berlaku untuk menghindari kekosongan hukum.
34
Melihat dua keputusan MK di atas, sekalipun dengan pertimbangan hukum yang beragam, namun MK tidak dapat melepaskan diri dari logosentrisme dan struktur hirakhis tatanan hukum formal. Mahkamah Konstitusi memandang bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah tatanan tertinggi yang dapat dijadikan parameter untuk mengukur tentang rasa keadilan masyarakat, dengan demikian Mahkamah Konstitusi memandang bahwa keadilan sebagai sesuatu yang diberlakukan dan diformalkan artinya keadilan dipandang hadir/ada/eksist di dalam tatanan yaitu Tatanan UndangUndang Dasar 1945, yang pada akhirnya keadilan tetap mewujud dalam bentuk kekerasan yang diberlakukan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang demikian itu terkait dengan kewenangan dan dan sistem hukum yang berlaku, sehingga setiap bentuk peraturan perundang-undangan yang di uji harus dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai hukum dasar atau hukum tertinggi di Indonesia (lihat ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945). Namun apakah demikian seharusnya? Tentu saja tidak, sekalipun kelembagaan Mahkamah Konstitusi terikat oleh kewenangannya sebagai Lembaga Negara yang ditetapkan oleh UUD 1945 tersebut, namun Hakim di Mahkamah Konstitusi adalah orang sama seperti Hakim-Hakim lainnya yang memiliki keleluasaan dan kemampuan untuk melakukan interpretasi secara mendasar menyangkut persoalan-persoalan yang terjadi di masyatakat sementara ini. Seberapa jauh Mahkamah Konstitusi mampu berperan sebagai jembatan keadilan bagi masyarakat melalui putusannya, atau hanya sekedar bersifat formal, normatif dan dogmatik. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Untuk memahami persoalan ini lebih jauh, marilah kita mencoba memahami pemberlakuan sebuah aturan (hukum positif). Kata ’pemberlakuan’ (Inkraftsetzen) yaitu menetapkan (Setzen) suatu kekuatan (Kraft) telah menyiratkan arti bahwa proses ini merupakan sebuah ”kekerasan”. Dengan bantuan pemikiran Pascal dan Montaigne, keadilan pada dirinya sendiri dapat terwujud hanya jika keadilan itu memiliki daya atau kekerasan untuk diberlakukan; Dalam kaitannya dengan hal di atas dengan meminjam pandangan Derrida ketika mencontohkan kata Gewalt dalam bahasa Jerman. Kata Gewalt dalam bahasa Jerman tersebut, tidak dapat begitu saja diterjemahkan dengan violence (baik dalam bahasa Inggris maupun Perancis), karena kata itu dalam bahasa Jerman memiliki dua arti yakni ’kekerasan’ dan ’kekuasaan atau otoritas yang sahih’. Berdasarkan pandangan di atas kita dapat mengikuti argumen Derrida, bahwa apa dasar otoritas Undang-undang Dasar? darimana asal Undang-undang Dasar? Untuk menjawab persoalan ini Derrida menguraikan mengenai ’momen revolusioner’ saat sebuah tatanan hukum (Rechtsordnung) didirikan. Di dalam situasi revolusioner pendirian sebuah negara, kekuasaan sahih (Gewalt), daya kekuatan (Kraft), kekerasan (Gewalttaetigkeit) dan kekuasaan (Macht) jalin menjalin satu sama lain.18 Institutionalisasi keadilan sebagai bagian dari tatanan hukum atau sebuah tatanan Undang-Undang Dasar, adalah momen saat orang mendefinisikan apa yang adil dan tidak adil jelas merupakan sebuah tindakan kekerasan, sebuah kekerasan performatif dan dengan demikian juga kekerasan instruktif yang pada dirinya tidak bersifat adil dan juga tidak bersifat tidak adil. 19 Di dalam momen kelahiran hukum (negara/tertulis/formal) ini orang tidak bisa menjawab pertanyaan, mengapa sesuatu adil atau tidak adil, karena momen ini secara hakiki tanpa dasar (grundlos), sebagaimana juga konstitusi (Undang-Undang Dasar) makna sebuah kata pada akhirnya bersifat arbriter. Dalam arti ini penetapan sebuah tatanan hukum berdasarkan pada dirinya sendiri, tak 18 F. Budi Hardiman, Op.,Cit;66-67 Lihat pula O.Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia, Kwitang Jakarta Pusat, 1975, hlm. 12. 19 F. Budi Hardiman, Ibid.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
35
Diskursus
36
berdasar, yaitu suatu kekerasan tanpa fundamen, suatu dasar tanpa dasar lebih lanjut dan suatu kebungkaman dalam arti bahwa orang pada momen ini terbentur pada batas-batas kemungkinan bahasa. Pada saat ini pembedaan konseptual menjadi sia-sia, karena kekerasan, keadilan, dan hukum di sini sama-sebangun. Perbedaan ini saling berkontaminasi. Menurut F. Budi Hardiman,20 Derrida menghubungkan momen ini dengan konsep yang dikembangkannya yang Derrida menyebut momen revolusioner pendirian tatanan hukum itu ”momen différance atau suspensi”. Dan menurut hemat saya inilah juga merupakan moment yang saya sebut keraguan, bahwa: a. Momen tersebut membuktikan keadilan dalam hukum memperoleh daya kekuataan sebenarnya tidak dari sumber-sumber di dalam tatanan hukum, melainkan dari sesuatu yang melampaui hukum itu sendiri. Pemahaman tentang keadilan sebagai kesesuaian dengan Undang-undang/Undang-Undang Dasar tidak dapat selalu meyakinkan; b. Momen ini menunjukkan bahwa hukum dapat didekonstruksikan. Dari kenyataan bahwa pendirian sebuah tatanan hukum tak berdasar, terbuktilah bahwa Ur-text sama sekali tidak ada, entah ini bernama asas, prinsip, kriteria atau hal-hal sejenisnya yang dapat memainkan sebagai metabahasa untuk membenarkan momen itu. Dalam arti ini hukum tidak berpijak di atas alas manapun, berdiri di atas kekosongan, dan karena itu hukum dapat diubah, diperbaiki dan diinterpretasikan tak henti-hentinya; Momen tersebut juga menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan konseptual antara hukum dan keadilan, antara keadilan sebagai hukum dan keadilan an-sich didestabilisasikan. Tentu sulit untuk membedakan apakah suatu termasuk di dalam hukum atau di dalam keadilan, karena garis pemisah di antara keduanya tidak dapat ditarik. Oleh karenanya tidak mungkin mereduksi keadilan ke dalam lingkup hukum atau terbatas kedalam lingkup Undang-Undang Dasar atau undang-undang semata, karena akan terbentur sebuah aporia yaitu bernama ’kekerasan.’ Dengan demikian stabilisasi makna keadilan sebagai sesuatu yang 20 F. Budi Hardiman, Ibid.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus berkesesuaian dengan Undang-Undang Dasar, atau sesuatu yang tertanam dalam Undang-undang berakhir sebagai sesuatu yang dapat disangsikan (diragukan). Apakah keadilan dapat ditemukan di dalam dimensi yang melampaui hukum (negara/tertulis/formal)? atau dengan kata lain apakah keadilan itu bertahta di luar hukum (negara/tertulis)? dengan kata lain terlihat bahwa setiap pemastian secara legal (hukum positif/tertulis/undang-undang) dari keadilan ditetapkan atas alas yang goyah, hal ini sesuai dengan konsep keraguan di dalam dekonstruksi itu sendiri. Artinya teks hukum tidak hanya menyangkut pernyataan-pernyataan penulis teks itu, melainkan struktur ganjil teks itu sendiri. Tidak ada ada prioritas dalam teks yang bersifat oposisi binari, sebagaimana dikatakan Derrida,21 ”Saya yakin bahwa setiap kemajuan konseptual akan sama hakikinya dengan perubahan konsep ke usaha untuk memperburuk hubungan yang diakui secara sah, antara sebuah kata dengan sebuah konsep, antara kiasan dengan sesuatu yang penggunaannya sudah tidak berubah lagi, selayaknya, apa adanya ataupun sudah lazim ditetapkan orang…. Semua pengelompokan ini ada di bawah pengertian dekonstruksi.” Artinya menetapkan keadilan di wilayah hukum positif (UndangUndang Dasar) dan hal-hal yang dapat diprediksi dan dikalkulasi tidak dapat dipertahankan. Pandangan–pandangan kedilan yang ada dalam sebuah tatanan merupakan tradisi pemikiran hukum kodrat dan Positivisme Hukum, tentang apa yang kita sebuat sebagai ”dogma dasar bersama”. Walter Benjamin22 menjelaskan ”tujuan tujuan yang adil dapat dicapai lewat sarana yang sah, sarana yang sah dapat diarahkan kepada tujuan-tujuan yang adil”. Dengan kata lain, baik tradisi hukum kodrat maupun Positivisme Hukum tetap tinggal dalam sarana-tujuan, yakni dalam sebuah tatanan yang telah ditetapkan sebelumnya, saat keduanya memberikan penilaian atas penggunaan kekerasan. Hal ini bermakna bahwa kekerasan di luar hukum sama sekali tidak diizinkan. Dengan demikian mereduksi keadilan pada sebuah tatanan sejak awal tidak dapat dipertahankan. 21 Alan Montefiore, , Philoshophy in France Today, Cambridge, Cambridge Univ. Press, 1983. Hlm. 40-41 Lihat pula E.Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Jakarta, 1999. Hlm. 120. 22 Budi Hardiman, Op.,Cit, hlm. 70
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
37
Diskursus
38
Kita melihat lebih konkrit pernyataan-pernyataan di atas, misalnya melalui contoh tentang apa yang kita sebut dengan ”hak untuk mogok”. Bukankah hak untuk mogok bertentangan dengan tatanan itu sendiri? Andaikan hak untuk mogok itu dipraktekkan secara ekstrem dalam bentuk pemogokan massal, hal itu akan membahayakan negara dan tatanan hukum secara internal. Karena hak untuk mogok itu selalu tampil sebagai kekerasan yang menetapkan, melegitimasikan atau mendasarkan hubungan-hubungan hukum atau tatanan baru. Karena itu (praktek radikal) dari hak ini akan memunculkan momen pendirian negara, momen asal usul sebuah aturan (hukum) yang baru atau situasi revolusioner. Dengan munculnya momen ini, kesinambungan tatanan yang lama terputus, atau ditangguhkan. Contoh lain kita dapat juga menjelaskan tentang hak untuk melakukan demonstrasi, yang apabila hak untuk melakukan demonstrasi dilaksanakan secara ekstrem dalam bentuk demonstrasi masal hal ini akan membahayakan negara dan hukum, namun demikian kita melihat bahwa momen reformasi terbentuk melalui demonstrasi masal tersebut, artinya lahirnya sebuah situasi baru (reformasi). Momen penangguhan (markah/jeda/différance) yang menghasilkan pemogokan masal, demonstrasi masal (reformasi) memperlihatkan bahwa di dalam hukum itu sendiri terdapat kontradiksi yang dapat melampaui hukum. Menurut Derrida, ”orang mendirikan hubungan yang baru karenanya tetap tinggal di dalam sebuah tatanan. Karena itu tindakan melampaui berarti bahwa pembedaan antara kekerasan/kekuasaan yang berada di dalam negara dan kekerasan/kekuasaan yang melampaui undang-undang tidak dapat distabilkan, karena keduanya adalah kekuasaan yang menetapkan hukum. Praktek kekuasaan merupakan sebuah medan yang telah ditetapkan terlebih dahulu dan akhirnya tidak mampu melampaui tatanan hukum, jadi dengan demikian ada semacam institusi ”kekuasaan untuk menetapkan hukum” (parlemen-pengadilan) dan kekuasaan yang bernama ”kekuasaan yang menjaga hukum (aparatur hukum, polisi dan lain-lain). Gagasan di atas memperlihatkan bahwa keadilan yang membatasi dirinya pada hubungan internal sebuah tatanan yang ditetapkan terjebak ke dalam konJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus tradiksi internal.” Contoh lain dapat disampaikan terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang penggunaan KTP dan kartu keluarga bagi warga masyarakat yang tidak tercantum dalam DPT, dan penggunaan pasport bagi masyarakat Indonesia di luar negeri, terlihat bagaimana keputusan MK tersebut lahir dari momen atau jeda/markah/ keraguan, ketika sebuah tatanan Undang-Undang tidak dapat menyediakan keadilan bagi masyarakat, maka diperlukan lompatan yang melebihi rules and logic. Pada momen ini keadilan tidak dapat ditetapkan dalam tatanan undang-undang, dan dia tidak dapat dibelenggu oleh teks, melainkan di luar tatanan tersebut, artinya kontradiksi yang melahirkan keadilan. Mahkamah Konstitusi mencoba keluar dari teks formal yang sudah ada dengan melihat perubahan, pergerakan realitas masyarakat yang bersifat a-simetris, gagasan undang-undang yang menyatakan bahwa pemilih cukup ditetapkan melalui DPT jelas tanpa alas hak yang benar, di sini momen, markah atau jeda terjadi, bagaimana Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan di tengah benturan ”kepastian undangundang - tuntutan masyarakat” sehingga melahirkan putusan yang demikian itu. Keadilan dalam Keraguan Lantas apakah keadilan itu? Keadilan adalah ”sebuah pengalaman tentang yang tidak mungkin”.23 Pengalaman sebagai ”melintasi” dalam arti bahwa sebuah pengalaman merupakan sesuatu yang membuka jalan, membuat akses dan mendobrak. Keadilan adalah sebuah pengalaman aporia, yaitu sesuatu batas-batas dari hal yang bisa dialami misalnya ”orang terjebak kedalam sebuah jalan buntu, atau dengan kata lain aporia tidak adanya akses, ”jalan buntu”, artinya di sini seseorang tidak dapat sepenuhnya mengalami keadilan, kita selalu berada pada batas antara apa yang dialami dan apa yang tidak dapat dialami. Apabila sebuah keadilan adalah pengalaman aporia, maka: pertama, sebuah keputusan yang adil harus di satu pihak memperoleh pengakuan dengan cara mengindahkan aturan, 23 F. Budi Hardiman, Ibid.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
39
Diskursus
40
namun di lain pihak mengakui hal-hal di luar aturan itu, artinya sesuatu akan dianggap adil apabila keputusan tidak sekedar mematuhi aturan (hukum) itu. Sebuah keputusan akan menjadi adil apabila diambil melalui sebuah proses interpretasi hukum. Seorang hakim misalnya pada setiap pembacaan yang menetapkan sesuatu menghasilkan yang adil apabila menjaga undang-undang sekaligus menghancurkan atau menghapuskan undang-undang. Karena itu setiap momen pada hakekatnya unik, dan inilah hekekat atau esensi dari ”Keraguan dalam hukum” yaitu di mana interpretasi hukum (yang selalu baru) harus dilakukan terus menerus agar sebuah keputusan adil dapat diambil, tanpa hal demikian itu, sebuah keputusan tidak dapat dianggap adil, meskipun keputusan itu sahih. Artinya di sini setiap keputusan adalah peristiwa, sebuah keputusan yang dijamin dengan sebuah aturan yang sahih dan mengikuti begitu saja aturan tersebut adalah sebuah keputusan yang terprogram. Momen pengambilan keputusan bukanlah kontinum dimana orang mempertahankan rentetan waktu, tetapi sebuah keputusan yang adil harus ”merobek waktu dan membangkang terhadap berbagai dilektika”. Melalui konsep keraguan ini makna keadilan menjadi tidak stabil atau tidak dapat distabilkan, namun demikian pandangan ini apakah bersifat nonsense? Karena kita bertemu dengan makna keadilan yang tidak menentu? Ketidakstabilan keadilan atau ketidakmenentuan keadilan akan membawa kita kepada ”ide keadilan yang tidak terbatas”. Tuntutan keadilan yang tidak ada habis-habisnya ini berarti kewajiban mendekonstruksi setiap konsep keadilan. Penangguhan (keraguan) terus menerus ini dengan kata lain adalah sebuah gerakan interpretasi tak terbatas tentang keadilan. Keadilan tidak dapat direduksi sebagaimana cara berfikir Descartes, Kant, Hegel ataupun Marx. Keadilan tidak dapat dilukiskan, keadilan tidak hadir tetapi juga tidak absen, keadilan adalah sebuah gerakan, dan sebagai gerakan keadilan tidak dapat dibekukan, keadilan mengalir dan begerak secara a-simetris, keadilan juga bersifat melee, konsep keraguan dalam tulisan ini membawa kita kepada konsep keadilan yang bersifat chaos.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Kesimpulan Demikian beberapa catatan singkat dan dangkal tentang keraguan dan keadilan dalam hukum di lihat dari perspektif dekonstruksionis. Bagi kita uraian di atas memberikan keyakinan tentang semakin lunturnya paradigma dominan yang berfokus pada dominasi subjek dalam setiap penjelasannya. Tugas kita saat ini mengumpulkan yang tercecer, termarjinalisasi, dan terlupakan serta melakukan sesuatu yang lebih besar demi upaya yang kita senantiasa perjuangkan, dan perjuangan yang paling berat adalah melawan dominasi subjek dalam diri kita, mengurangi dominasi logos dalam otak kita dan menghilangkan hirarkhi serta mengikis oposisi binari dalam logika kita. Ke depan mungkinkah kita membicarakan persoalan ini dalam skala lebih luas namun sekaligus spesifik menyangkut aspek ontologis, epistemologis dan axiologis Ilmu Hukum, artinya ke depan sudah saatnya kita mendekonstruksi Ilmu Hukum. Semoga. Daftar Pustaka Alan Montefiore, Philoshophy in France Today, Cambridge, Cambridge Univ. Press, 1983. Aristoteles, Nichomachische Ethi, terjemahan Jerman dari Olof Gigon, Munchen: dtv/Artemis, 1995, Jilid II. Bambang Sugiharto, Dekonstruksi Atas Agama; Penghancuran Diri Agama-agama, Basis, Edisi Khusus Derrida, Ni. 11-12. Tahun ke 54, November-Desember 2005. Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan kondisi Sosio-Politik zaman kuno hingga sekarang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Jakarta, 1999. F. Budi Hardiman, Derrida Mengurai Hukum dan Keadilan, dalam “Kalam 19” Jurnal Kebudayaan, 2002. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Soemardi dengan judul “Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press bandung, 1995. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
41
Diskursus
42
Jack Reynolds, Habitualy and Undecidability; A Comparison Of Merleau-Ponty and Derrida on The Decision, International Journal of Philosophical Studies, Taylor and Francis Ltd, 2002. Jacques Derrida, Deconstruction and Possibility of Justice, ed, Cornell, Carlson and Benjamin, Routledge, 1992. _______________, Gift Of Death, trans. Wills, Chicago; University Of Chicago Press,1995. _______________, Adieu to Emmanuel Levinas, Trans, Brault and Naas, Standford California, Stanford University Press, 1999. ________________, Writing and Difference, Trans Bass, Chicago, University Of Chicago Press, 1978. ______________,. De la Grammatologie, Paris: Les Editions de Minuit, diterjemahkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak, Of Gramatology, Baltimore; The John Hopkins University Press, 1974, revisi, 1976. Jürgen Habermas, Theorie des Kommunikativen Handelns, Band I: Handlungsrationalität und gesellschaftliche Rationalisierung, Suhrkamp Verlag, 1981, edisi terjemahannya berjudul ” Teori Tindakan Komunikatif I; Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, penerjemah, Nurhadi, Penerbit, Kreasi Wacana, Jogyakarta, 2006. _________________, Between Facts and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, (translated by William Rehg) Polity Press Blackwell Publishers, London, 1996. John Rawls, A Theory of Justice, Belknap Press, Harvard Univesity Press Cambridge Massachusetts, 1971. Merleau Ponty, Phenomenology of Perception, Trans, Smith, London, Routledge & Kegan Paul, 1962. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia, Kwitang Jakarta Pusat, 1975. Wilson, Edward O. Consilience, The Unity Of Knowledge, Alfred A. Knopf, New York, 1998. Majalah Basis, Edisi Khusus Derrida, Tahun 54, November – Desember 2005. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-021-022/PPU-I/2003 tertanggal 15 Desember 2004. Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 terhadap undang-Undang Dasar 1945 di muat dalam Berita Lembaran Negara RI Nomor 102 Tahun 2004 terbit hari Selasa Tanggal 21 Desember 2004 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13 – PPU – VI/2008 tertanggal 13 Agustus 2008. Permohonan Pengujian UU Nomor. 16 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 Tentang APBN Tahun anggaran 2008
43
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Menuju Kepemimpinan yang Berkeadilan Sosial Oleh: Dr. Ria Mardiana Yusuf, SE.,M.Si. Prof. Dr. Muh. Guntur, SH., M.H.
Abstract The greatest challenge of leadership in era market global is to be an effective leader. The era of which leaders are expected to make a change with next generation of leadership, which was called by social justice leadership. The social justice leadership was a new paradigm of leader which was combination of theory of justice and leadership theory, Which was want and able to manage with sensitivity, responsive to the society problem, have a personal integrity, with demokratic leadership style, and open mind. The most important is the leadership that respect of equality of rights, deserts and needs of society. Key words: next generation, new paradigm, leadership, social justice.
Pendahuluan Kepemimpinan (leadership) telah menjadi salah satu topik kajian keilmuan yang sangat menarik dan relevan untuk ditelaah. Pengkajian terhadap kepemimpinan mulai marak dilakukan oleh para ahli, praktisi dan teoritisi pada awal abad 20 (Daft, 1999), dan hingga saat ini “leadership is one of the most observed and least understood phenomena on earth” (Daft, 1999). Banyaknya perhatian terhadap kepemimpinan dilatarbelakangi oleh urgensi peran strategis yang melekat dalam diri seorang pemimpin suatu organisasi, baik publik yakni pemerintahan, dunia usaha maupun kemasyarakatan.
Diskursus Peran strategis tersebut berupa penentu arah perjalanan organisasi dalam mempertahahankan keberadaan organisasi tersebut di kancah persaingan global.
46
Leadership has never been easy, but at the beginning of the twentyfirst century, it is tougher than before (Hannay, 2007). Kepemimpinan tidak pernah menjadi sesuatu kajian yang mudah untuk ditelaah, meskipun telah dilakukan sejak awal abad 21. Sampai sekarang soal kepemimpinan masih menjadi salah satu topik yang menarik untuk diperbincangkan. Adapun yang menjadi fokus kebanyakan penelitian ini adalah berbagai faktor penentu efektivitas kepemimpinan. Para ilmuwan khususnya bidang keperilakuan (behavioral scientific) telah berusaha mengungkapkan faktor-faktor tersebut, yang antara lain ditemukan bahwa ciri-ciri, kemampuan, perilaku, sumber-sumber kekuasaan dan situasi menjadi penentu baik tidaknya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikutnya, dalam rangka mencapai tujuan kelompok atau organisasi yang dipimpinnya. Ilmu administrasi negara meninjau kepemimpinan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyelenggaraan administrasi publik (Basuki, 2007). Selain itu dalam menghadapi berbagai tuntutan perubahan, kepemimpinan menjadi agen perubahan (change agent) bagi reformasi birokrasi yang dicanangkan dalam mengakomodir perubahan tersebut. Oleh sebab itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kemampuan, kemauan, serta memiliki keunggulan dalam memimpin organisasi. Suatu ungkapan mulia menyatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan serta kegagalan suatu pekerjaan sehingga menjadikan pentingnya posisi pemimpin dalam suatu organisasi. Kepemimpinan bertindak sebagai penentu keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi dalam menjaga eksistensinya di kancah persaingan (Thoaha, 1983). Pada zaman Yunani kuno pemimpin adalah seorang guru dan pencipta kehidupan yang harmoni. Bagi Thomas Aquinas (1225-1274) pemimpin adalah seorang penyedia sumber daya dan penuntun bagi orang lain. Dan Machiavelli menganggap bahwa pemimpin adalah orang yang Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus mengendalikan nasib orang lain. Urgensi peran kepemimpinan disebabkan oleh dua kekuatan utama yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang tidak dimiliki oleh orang lain yang bukan pemimpin, yakni pemimpin memiliki kekuatan legalitas (legality power) dan kekuatan atas kemampuan (ability power). Kekuatan legalitas adalah kekuatan yang dimiliki pemimpin karena dia dipilih dan diangkat secara sah berdasarkan standar yang dipersyaratkan oleh organisasi. Dengan kekuatan tersebut, menyebabkan pemimpin dalam posisinya memiliki kekuasaan untuk merencanakan, mengelola dan mengendalikan para bawahannya. Sedangkan kekuatan atas kemampuan (ability power) adalah kekuatan atas dasar kapasitas dan kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi para bawahannya. Dan pada dasarnya, kepemimpinan identik dengan “pengaruh” (Daft, 1999). Maxwell (2002) salah seorang mantan manajer General Electric menyebutkan bahwa kepemimpinan bukanlah soal gelar, nama jabatan, atau struktur organisasi, melainkan soal seseorang mempengaruhi orang lain. Namun bukan berarti bahwa gelar, jabatan, maupun struktur organisasi itu tidak penting dalam kepemimpinan. Akan tetapi itu semua menjadi penunjang pemimpin dalam menebarkan jejaring (networking) pengaruhnya ke orang lain. Lebih lengkap lagi, Daft (1999) menyatakan bahwa terdapat beberapa ele-men penting dalam membahas kepemimpinan, antara lain pertama, kepemimpinan melibatkan pengaruh; kedua, terjadi diantara sekelompok orang; ketiga, sekelompok orang tersebut menghendaki dan berkeinginan terjadinya perubahan; dan keempat, perubahan tersebut merefleksikan keinginan bersama baik pemimpin (leader) dan bawahan (follower). Sehingga Daft (1999) mengkategorikan kepemimpinan sebagai konsep pengaruh berbagai arah (multidirectional influences), dimana pemimpin mempengaruhi bawahan dan bawahan akan mempengaruhi berbagai kebijakan dan implementasi kepemimpinan dari seorang pemimpin. Adapun pengaruh tersebut diharapkan dapat menciptakan perubahan-perubahan “positif” yang merefleksikan keinginan bersama (purpose shared) dan bukan mempertahankan “status quo”. Studi tentang kepemimpinan ini sejak dulu telah banyak menarik Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
47
Diskursus
48
perhatian para ahli terutama evolusi tentang perkembangan teori kepemimpinan. Adapun studi yang dilakukan tersebut sangat tergantung pada preferensi metodologi dari peneliti dan sudut pandang peneliti dalam menelaah konsep kepemimpinan tersebut (Yukl, 1994). Kadang terjadi pula dimana peneliti hanya meninjau sekelumit aspek kepemimpinan yang mengkhususkan pada bidangbidang tertentu saja. Secara umum berdasarkan evolusi perkembangannya selama 20 abad, teori kepemimpinan dibagi menjadi beberapa pendekatan. Diantaranya adalah pendekatan sifat (trait approach), pendekatan teori kelompok (group theory), pendekatan kontijensi (contingency approach), pendekatan situasional (situational approach) dan pendekatan perilaku (behavioral approach) (Yukl, 1994). Selain itu terdapat pula kepemimpinan multikultural (multiculturalism leadership), kepemimpinan transaksional (transactional leadership) dan kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership) (Daft, 1999), serta kepemimpinan yang berkeadilan sosial (social justice leadership). Pendekatan teori-teori kepemimpinan terakhir tersebut oleh William (2008) dijuluki sebagai “the next generation leadership”. Yakni pendekatan kepemimpinan yang mengaitkan teori kepemimpinan “konvensional” dengan kajian domain keilmuan lain seperti teori keadian sosial (social justice theory). Artikel ini membahas kepemimpinan berdasarkan pendekatan teori kepemimpinan (leadership theory) dan teori keadilan sosial (social justice theory) menjadi kepemimpinan yang berkeadilan sosial (social justice leadership). Bagaimanakah gambaran kepemimpinan yang berkeadilan sosial tersebut, menjadi hal yang menarik untuk dikaji dalam artikel ini. Pembahasan akan dimulai dengan tantangan yang dihadapi oleh kepemimpinan, dilanjutkan dengan teori kepemimpinan, serta teori keadilan sosial, yang diakhiri dengan membahas kepemimpinan yang berkeadilan sosial dengan pendekatan teori kepemimpinan dan keadilan sosial. Tantangan Kepemimpinan Kepemimpinan adalah menyangkut aktivitas manusia yang saJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus ngat berbeda dengan aktivitas administratif berupa pekerjaan, atau perencanaan yang bersifat kebendaan. Kepemimpinan juga terjadi diantara manusia, karenanya salah satu persyaratan mutlak bagi terlaksananya kepemimpinan adalah keberadaan pengikut atau sekelompok orang yang dipimpin (folllowers). Dengan kata lain, kepemimpinan dapat berjalan dengan baik apabila ada pemimpin (leader) dan ada pula bawahan (follower). Terdapat perbedaan konsep mendasar yang membedakan pemimpin dengan bawahannya. Adalah para ilmuwan (scientist) dan para musisi (musician) yang mungkin saja merupakan pemimpin di bidang mereka. Namun yang dimaksud sebagai pemimpin sebenarnya adalah pemimpin dalam arti yang bisa melibatkan para bawahan dalam aktivitas utamanya, dan pada suatu ketika bisa juga bertindak sebagai bawahan. Daft (1999) menyebutkan bahwa “good leaders knows how to follow and they set an example for others”. Artinya bahwa intensi untuk melakukan sesuatu yang baik untuk semua pihak harus dipelopori oleh pimpinan dan menjadi tanggung jawab bersama dengan para bawahannya. Oleh sebab itu tidak dapat dipungkiri bahwa hingga kini menciptakan pemimpin panutan (figurehead leadership) menjadi salah satu tantangan besar yang senantiasa dihadapi oleh umumnya pemimpin di seluruh dunia (Yukl, 1994; Daft, 1999). Secara umum Daft (1999) menyebutkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh kepemimpinan: 1. Realitas yang dihadapi organisasi saat ini, yakni perubahan organisasi berupa penyesuaian yang harus dilakukan oleh organisasi untuk menjaga eksistensi organisasi dalam persaingan global. Implikasinya antara lain organisasi harus melakukan outsourcing, memperkecil ukuran perusahaan (downsizing), meningkatkan teknologi (advancing technology), dan memperkecil wilayah pekerjaan (down scoping). Perubahan-perubahan tersebut tentunya akan memicu perubahan paradigma kepemimpinan yang dianut oleh para pimpinan organisasi baik sektor publik maupun sektor swasta. Daft (1999) mengidentifikasi berbagai perubahan paradigma kepemimpinan, sebagai berikut: Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
49
Diskursus
THE NEW REALITY FOR LEADERSHIP Old Paradigm New Paradigm Industrial Age Informational Age Stability Change Control Empowerment Competition Collaboration Things People and Relationship Uniformity Diversity Sumber: Richard L. Daft, 1999, Leadership Theory and Practice, The Dryden Press, New York.
50
3. Kualitas kepemimpinan. Leadership is not automatically (Daft, 1999), yang artinya bahwa kepemimpinan bukan muncul dengan sendirinya. Akan tetapi melalui suatu proses pembelajaran tertentu. Proses pembelajaran tersebut yang kemudian menjadikan prinsip-prinsip dan praktek-praktek kepemimpinan di era industrialisasi postmodern ini dapat disikapi dengan menggunakan pendekatan kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan. Daft (1999) mensinyalir penekanan prinsip dan praktek kepemimpinan di era ini pada pencapaian kinerja tim (teamwork), pemberdayaan (empowerment), dan keberagaman dalam organisasi. Sehingga pendekatan yang sesuai menurut Daft adalah pendekatan saling pengertian (enlightened approach). 4. Kemampuan untuk mengelola ilmu melalui pengelolaan internal organisasi. Drucker (2000) menyatakan bahwa “to succeed in new world, we have to learn who we are, what you’re good at? so that you get the full benefit of your strenghts?” Menurutnya kepemimpinan pada prakteknya menyangkut bagaimana seorang pemimpin mampu untuk mengelola organisasi secara efektif dengan terlebih dahulu mengetahui kekuatan individual karyawan dalam organisasi, menempatkan mereka pada tempat dimana mereka dapat memberikan kontribusi terbesar, perlakukan mereka sebagaimana rekan sejawat dan bukan bawahan semata, serta motivasi mereka untuk menghadapi tantangan yang lebih besar lagi, sehingga tercipta para knowledge worker. Sebagaimana kata-kata bijak menyebutkan bahwa begitu seseorang berhenti belajar, maka orang tersebut tidak lagi Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus memimpin (Rick Warren cq Maxwell, 2002). Sekali lagi kutipan tersebut mempertegas pentingnya menjadi pemimpin yang sanggup untuk terus belajar dalam mencari solusi pengambilan keputusan yang efektif. 5. Kemampuan untuk mengelola perbedaan diantara karyawan organisasi. Brazzell (2007) mengidentifikasi dua aspek perbedaan yang mendasar dalam suatu organisasi dewasa ini, yakni 1) perbedaan dalam pengukuran (diversity in measures) dan 2) perbedaan dalam proses (diversity in process). Perbedaan dalam pengukuran diartikan sebagai a) perbedaan yang timbul dari atribut yang melekat pada individual karyawan (human differences). Misalnya nasionalisme, komunitas, kelompok, ras dll., b) Perbedaan dari aspek pengalaman individual (human experience) akan tercermin pada ide-ide yang timbul pada individual karyawan, perilaku, tingkat emosional individu dll. Serta c) perbedaan pengukuran dari aspek budaya yang terdiri dari otoritas, kekuasaan dan status, tradisi, kebiasaan dll. Perbedaan dalam proses (diversity in process) adalah menyangkut perbedaan kemampuan budaya (cultural competency), yakni kemampuan individual untuk menjadi lebih efektif dalam bertindak dan berkomunikasi yang berasal dari perbedaan orientasi, ras usia dan aspek human differences lainnya. Perbedaan dalam proses asimilasi, pembauran dan integrasi, serta perbedaan dalam pluralisme lainnya. Mengakomodir berbagai kompleksitas perbedaan tersebut menjadikan peran kepemimpinan sebagai “nakhoda” yang mengarahkan engine power armada organisasi menuju pelabuhan impian. 6. Kemampuan berempati terhadap lingkungan sosialnya. Pemimpin yang mempu berempati adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan kemampuan afeksi dan kognisinya dalam segala aspek pengambilan keputusan yang berpihak pada kepentingan sosial masyarakat. Empati itu sendiri berarti suatu keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya di keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991). Oleh karena itu, empati yang melekat dalam Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
51
Diskursus kepemimpinan tersebut diharapkan dapat tercermin dalam segala aspek perilaku keseharian seorang pemimpin, terutama dalam pengambilan keputusan yang senantiasa mempertimbangkan kepentingan sosial masyarakat. Teori Kepemimpinan
52
Berbagai literatur kepemimpinan mengindikasikan berbagai perkembangan teori kepemimpinan. Dan diantara teori-teori tersebut terdapat tiga perkembangan teori kepemimpinan yang umum terdapat pada setiap kajian kepemimpinan. Teori-teori tersebut sekaligus menggambarkan sudut pandang, serta cara pendekatan yang dipakai oleh para pakar tersebut di dalam melakukan studi kepemimpinan (Yukl, 1994; Nimran, 1997). Diantara teori-teori kepemimpinan yang dimaksud antara lain: 1. Teori Sifat (Trait Theory). Teori ini dikenal pula sebagai “the great man theory” yakni suatu pendekatan yang mempertanyakan sifat-sifat apakah yang membuat seseorang menjadi pemimpin. Dari pertanyaan tersebut selanjutnya melahirkan pernyataan bahwa kepemimpinan melahirkan seorang pemimpin. Teori ini bermula pada zaman Yunani Kuno yang mempercayai bahwa pemimpin itu dilahirkan bukannya diciptakan. Sehingga teori ini meyakini bahwa yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin terletak pada sifat bawaan sejak lahir (innate qualities) dan melekat pada orang tersebut. Adapun siat-sifat yang berkorelasi kuat dengan kepemimpinan menurut teori ini, antara lain populeritas, kemampuan bermasyarakat, agresifitas, kemampuan memberi penilaian, rasa humor, keinginnan untuk unggul, dan daya kooperatif. 2. Teori Perilaku (Behavior Theory), teori ini mencoba mencari jawaban atas teori sifat yang menurut para peneliti masih tidak menunjukkan hasil yang konsisten bagi kepemimpinan yang efektif (Yukl, 1994). Teori ini mencoba mengidentifikasi prilaku atau gaya yang memungkinkan seseorang menjadi pemimpin yang efektif. Penelitian ini berbasis serangkaian penelitian yang dialkukan oleh Kurt Lewin dkk. pada tahun 1930-an, yang mengJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus hasilkan tiga bentuk kepemimpinan, yakni otokratik, demokratik dan laissez faire. 3. Teori Kelompok (Group Theory), yakni teori yang beranggapan bahwa kepemimpinan ditentukan oleh pertukaran-pertukaran yang positif antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya. Teori ini muncul setelah para peneliti tidak mendapatkan hasil yang memuaskan bagi efektivitas kepemimpinan dari pendekatan perilaku Lewin. Teori ini mengaitkan perilaku kepemimpinan dengan psikologi sosial yang menekankan keinginan-keinginan pihak pimpinan dan bawahan untuk mengembangkan peranan masing-masing. Universitas Ohio menemukan bahwa dengan memberikan perhatian kepada para bawahan merupakan wujud pertukaran positif yang bersifat mendukung bawahan untuk mendukung efektivitas kepemimpinan organisasi. Gaya kepemimpinan demikian dikenal sebagai gaya kepemimpinan consideration. Sebaliknya gaya kepemimpinan initiating structure lebih menekankan pada tugas yang diselesaikan oleh para bawahan. Gaya demikian bercirikan pemimpin yang suka memberi instruksi, memperhatikan hal-hal mendetail dan menetapkan waktu penyelesaian yang tegas.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Michigan University juga melakukan penelitian yang kemudian dikenal sebagai “Michigan Study”. Temuan mereka hampir sama dengan Ohio Study, yakni terdapat dua dimensi perilaku kepemimpinan; kepemimpinan yang berorientasi karyawan (employee oriented behavior) dan kepemimpinan yang berorientasi tugas (task oriented behavior). Kepemimpinan berorientasi karyawan bercirikan senantiasa memberi dukungan pada bawahan, lebih sabar dan bersahabat, menyukai komunikasi terbuka, serta memperhatikan kesejahteraan bawahan. Sedangkan kepemimpinan yang beroientasi tugas atau pekerjaan senantiasa mengarahkan para karyawan untuk melakukan efisiensi, pemotongan biaya dan penyusunan jadwal kerja. Temuan ini identik dengan temuan studi Ohio dimana kepemimpinan yang berorientasi karyawan sama dengan ciri kepemimpinan consideration. Sedangkan kepemimpinan yang menekankan pada tugas, identik dengan kepemimpinan Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
53
Diskursus intiating structure sebagaimana studi Ohio.
54
Temuan dari Ohio University dan Michigan University tersebut kemudian dilanjutkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton (Daft, 1999) dari University of Texas. Mereka membuat disain model kepemimpinan yang disebut dengan “The Leadership Grid”. Yakni grid yang dibuat berdasarkan dua kriteria yakni memberi perhatian pada manusia dan memberi perhatian pada produksi. Grid yang dibuat mulai dari satu hingga sembilan. Grid 1.1 disebut impoverished management – manajemen yang miskin usaha. Disebut demikian karena usaha yang dilakukan pimpinan untuk memikirkan orang-orang yang bekerjasama dengannya dan produksi yang seharusnya dihasilkan organisasi sangat sedikit. Grid 9.9 adalah tipikal pemimpin yang ideal karena memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memikirkan baik produksi maupun karyawan. Pemimpin demikian senantiasa mendedikasikan usahanya melalui perencanaan yang matang agar dua kepentingan, yakni kepentingan organisasi melalui produktivitas optimal dapat tercapai dan kepentingan kesejahteraan karyawan terwujud. Grid 1.9 disebut sebagai country club management, yakni kepemimpinan yang lebih mengutamakan kepentingan karyawan yang bekerja padanya. Sebaliknya Grid 9.1 adalah tipikal pemimpin yang otokratik sehingga dijuluki the authority compliance management.
4. Teori Kontijensi, Selain meyakini keberadaan teori sifat, perilaku dan kelompok, pendekatan ini menganggap bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling bergantung satu sama lainnya. Artinya bahwa sifat dan perilaku tertentu hanya sesuai diterapkan pada situasi dan kondisi tertentu. Banyak ahli yang menelaah teori ini, diantaranya yang terkenal dan sering dirujuk oleh peneliti lain adalah Fred Fiedler (Daft, 1999). Ia menemukan bahwa efektivitas kepemimpinan sangat ditentukan kombinasi beberapa hal, antara lain, kekuasaan, posisi, struktur tugas, dan hubungan relasional pimpinan dengan bawahan (Thoaha, 2003).
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus 5. Teori Situasional, menganggap efektivitas kepemimpinan tercapai pada situasi dan kondisi tertentu. Teori ini merupakan pengembangan dari Studi Michigan yang oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard mengkombinasikan tiga variabel perilaku kepemimpinan; yakni perilaku berorientasi tugas, perilaku berorientasi hubungan relasional, dan tingkat kesiapan dan kematangan karyawan dalam menjalankan fungsi organisasi. Sejatinya teori situasional Hersey dan Blanchard ini tidak semata-mata terfokus pada perilaku pimpinan saja. Akan tetapi juga membahas kesiapan dan kematangan para karyawan untuk menerima instruksi dan tanggung jawab yang dibebankan pada mereka. Teori ini menganut empat model gaya kepemimpinan; yakni telling (S1). Gaya ini mengharuskan pimpinan untuk senantiasa memberikan instruksi kepada bawahan mengenai apa, dimana, dan kapan tugas harus dilakukan. Oleh karena tingkat kesiapan para bawahan yang rendah. Selling (S2) menekankan pada perilaku pimpinan yang senantiasa menyampaikan keputusan yang dibuat dan memberi kesempatan pada para pengikut untuk mengklarifikasi keputusan tersebut. Gaya ini cocok untuk bawahan yang memiliki kemauan namun tidak memiliki kemampuan. Participating (S3), yakni situasi dimana pemimpin dan bawahan salaing berbagi dalam pengembilan keputusan dan implementasinya. Gaya ini sesuai diterapkan pada kondisi dimana pemimpin memiliki kemampuan tetapi tidak memiliki kemauan. Delegating (S4), keadaan dimana pemimpin menyediakan sedikit pengarahan secara seksama, spesifik dan bersifat mendukung bawahan. Keputusan dan implementasinya diserahkan sepenuhnya kepada para pengikut. Gaya kepemimpinan ini sesuai diterapkan pada bawahan yang memiliki kemauan dan kemampuan. Teori Keadilan dan Keadilan Sosial Keadilan sosial memiliki kedudukan yang teramat penting bagi setiap lapisan masyarakat. Di Indonesia, kata dan makna keadilan sosial diyakini dan diakui secara eksplisit dalam UUD 1945. Keadilan sosial tidak hanya dinyatakan sebagai salah satu sila di samJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
55
Diskursus ping empat sila lainnya dalam Pancasila. Tetapi juga sebagai tujuan dan falsafah bangsa yang harus dicapai oleh negara sebagaimana diamanatkan oleh para pendiri bangsa ini. Sesungguhnya, keadilan sosial merupakan visi bangsa Indonesia yang hendak dicapai oleh bangsa ini di masa yang akan datang.
56
Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa “......Negara Indonesia terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dari paragraf ke-4 Pembukaan UUD 1945 tersebut ditemukan kata “adil” dan “keadilan sosial”. Di samping itu, dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 juga ditemukan kara “peri-keadilan” dan “keadilan”. Jika ditelusuri lebih jauh, maka tidak kurang dari 12 kata adil, keadilan, peri-keadilan dan keadilan sosial yang terdapat dalam UUD 1945 setelah empat kali diamandemen. Apakah adil, keadilan, peri-keadilan dan keadilan sosial memiliki makna yang sama? Kebanyakan uraian keadilan hanyalah mengenai pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan singkat, bahkan berbentuk lingkaran yang tidak jelas arahnya. Umumnya kata adil, keadilan, dan keadilan sosial digunakan secara bergantian sebagai sinonim. Padahal jika ditelusuri lebih jauh katakata dan frase tersebut berbeda satu sama lain. Kata adil merupakan kata dasar untuk frase keadilan, peri-keadilan, dan keadilan sosial. Kata “adil” itu sendiri berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak. Namun kata “adil” itu sendiri juga bisa diartikan berpihak kepada yang benar atau berpegang pada kebenaran, serta tidak berbuat sewenang-wenang. Kata “peri-keadilan” mengacu pada pengertian yang lebih semantik. Artinya setiap perbuatan harus mewujudkan nilai-nilai keadilan atau memperhatikan dengan sangat sisi-sisi keadilan. Kata “keadilan” merupakan kata sifat untuk semua perbuatan atau perlakuan yang adil. Sedangkan “keadilan sosial (social justice) adalah keadilan dalam hubungan yang luas (holistik) yaitu menyangkut hubungan antara negara dengan warJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus ganya, atau sebaliknya. Sehingga adil, peri-keadilan, dan keadilan merupakan frase yang paralel dan searah. Literatur Inggris menggunakan istilah “justice” untuk keadilan yang berarti hukum atau hak. “The encyclopedia of Americana” mendefinisikan keadilan sosial antara lain, the end of civil society, the right to obtain a hearing and decision by a court which is free of prejudice and improper influence, dan all recognized equitable rights as well as technical legal right. Rumusan keadilan yang paling awal oleh ahli hukum Romawi, Ulpianus (200 M) sebagai “tribuere jus suum quique” yang berarti memberi berdasarkan hak masing-masing. Pengertian tersebut kemudian diadopsi oleh Corpus Juris Kaisar Justinianus dan ahliahi filsafat hukum zaman Romawi. Dasar teori keadilan tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Aristoteles (384-322 SM) yang menyebutkan bahwa keadilan adalah kebajikan yang yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Lebih jelas lagi Ia membedakan dua jenis keadilan, yakni keadilan sebagai keutamaan umum yang kemudian melahirkan konsep keadilan umum (justisia universalis) dan keadilan sebagai keutamaan moral khusus yang kemudian melahirkan konsep keadilan komutatif (justisia commutative) serta keadilan distributif (justisia distributive). Dalam tatanan implementasi, Aristoteles membagi ranah hukum menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam adalah hukum yang berlaku secara universal dan berlangsung secara terus-menerus dalam kaitannya dengan aturan-aturan alam. Adapun hukum positif adalah hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Berikutnya keadilan sebagai keutamaan umum adalah ketaatan atau kepatuhan terhadap ranah hukum alam dan hukum positif. St Thomas Aquinas (1225-1275) selanjutnya mengupas secara lebih mendalam teori keadlian komutatif, distributif dan keadilan hukum (justicia legalis) sebagaimana yang dikemukakan Aristoteles. Keadilan komutatif adalah keadilan yang besangkut paut dengan urusan tukar menukar yang seimbang antar pribadi. Dan yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah kesetaraan kedudukan sebagai manusia tanpa memandang status sosial. Keadilan Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
57
Diskursus
58
distributif adalah keadilan yang bersangkut paut dengan urusan yang bersifat publik dalam hubungan kewajiban negara kepada warga atau rakyatnya. Tema utama dalam keadilan publik ini adalah bagaimana mengelola benda-benda publik (public goods) dan mendistribusikannya kepada warga secara adil. Dalam artian memberi kesempatan atau akses yang sama kepada semua warga masyarakat untuk menfaatkan benda-benda publik. Benda-benda publik merupakan warisan bersama untuk seluruh umat manusia (common herritage of mindkind). Keadilan hukum adalah keadilan yang bersangkut paut dengan persoalan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan suatu negara. Tema pokok dari keadilan hukum adalah bagaimana mewujudkan keadilan melalui aturan hukum. Dalam artian kepatuhan terhadap hukum merupakan barometer keadilan dalam masyarakat. Premis yang melekat pada teori keadilan ini adalah semakin besar tingkat kepatuhan hukum masyarakat, maka semakin besar pula tingkat keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Christian Wolff (1679-1754) dalam Huijbers (1982), mengemukakan teori keadilan dari perspektif pemahaman terhadap karakter orang adil. Karakter orang adil menurut Wolfff adalah orang yang dengan bertolak dari kebaikan hatinya mengejar kebahagiaan dan kesempurnaan. Kebahagiaan dan kesempurnaan tersebut hanya dapat dicapai melalui cinta kasih kepada Allah dan sesama manusia. Adam Smith (1985) mengemukakan teori keadilan berdasarkan pendekatan ekonomi. Sebagai seorang filosof di bidang ekonomi, Smith mempersoalkan keadilan berdasarkan perspektif ketimpangan ekonomi. Menurutnya, keadilan adalah terletak pada tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Kedua, prinsip berbuat baik sebagai keutamaan positif (beneficence) adalah prinsip yang mendorong manusia untuk mengupayakan kebahagiaan orang lain. Ketiga, prinsip kearifan (prudence) yakni kewaspadaan, kejelian dan kehati-hatian, serta selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap tindakan, dengan tujuan untuk menghindari kejahatan yang paling besar. Prinsip ini merupakan keutamaan moral yang berkaitan dengan Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus tindakan yang tertuju pada diri sendiri. Sebelum sampai ke pemikiran John Rawls (1971), terdapat beberapa pemikir lainnya yang membahas tentang keadilan. Namun Rawls adalah salah satu pemikir keadilan yang konsepnya mendapat sambutan hangat di kalangan masyarakat luas. Teori keadilan Rawls pada dasarnya adalah teori keadilan yang mengutamakan kebebasan individual yang bertanggung jawab. Buah pemikiran Rawls tentang keadilan merupakan sinergi dari pemikiran-pemikiran teori keadilan sebelumnya. Ia dikenal pula sebagai penganut realisme hukum. Yang pada prinsipnya tidak menolak pandangan bahwa kebebasan individu terlalu penting untuk diabaikan begitu saja dalam masyarakat modern ini. Dengan kebebasan yang dimiliki, manusia dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreativitasnya, yang hasilnya tentu saja sangat bermanfaat bagi individu yang bersangkutan dan masyarakat sekelilingnya. Dalam pandangan Rawls, banyak kelompok masyarakat yang belum tertata dengan baik. Dan menurut Rawls seseorang tidak mungkin dapat merumuskan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat yang tidak teratur. Oleh karena itu untuk daapt merumuskan prinsip-prinsip keadilan yang bisa mengayomi semua pihak maka orang harus kembali pada posisi aslinya (original position) (Meuwissen, 1985). Konsep original position inilah yang membedakan Rawls dengan pemerhati masalah keadilan lainnya. Melalui konsep ini Rawls terkesan ingin “membujuk” orang-orang ysng secara struktural telah diuntungkan dengan keadaan saat ini untuk bersedia menerima prinsip-prinsip keadlian yang diyakini Rawls sulit diterima oleh kalangan ini, jika tidak dengan melakukan rekonstruksi sosial dalam bentuk original position tersebut. Dengan kata lain Rawls menyatakan bahwa di dalam hak milik seseorang terdapat hak orang lain yang kurang beruntung (the least well off). Berlandaskan pada konsep original position, selanjutnya Rawls merumuskan dua prinsip dasar, yakni prinsip persamaan yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar sebesar mungkin yang setara dengan kebebasan bagi orang lain (each person is to have an equal right to the most Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
59
Diskursus extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others). Prinsip yang kedua adalah prinsip perbedaan. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga ketidaksamaan tersebut a) menguntungkan setiap orang sebagaimana yang diharapkan, dan b) melekat atau terkait pada jabatan-jabatan atau kedudukan yang terbuka bagi semua orang di bawah kondisi persamaan kesempatan yang sama (social and economic inequalities are to be arranged so that they are both a) reasonable expected to be everyone’s advantages, and b)attached to positions and offices open to all).
60
Berlandaskan pada kedua prinsip tersebut, Rawls memandang pasar bebas justru menimbulakn ketidakadilan (injustice). Ketidakadilan yang paling jelas adalah bahwa sistem ini memungkinkan pembagian kekayaan dipengaruhi ---tidak ada tempatnya--- oleh kondisi-kondisi alamiah dan sosial yang secara kebetulan, yang dari sudut pandang moral sedemikian sewenang-wenang. Keadaan ini trejadi karena setiap orang yang masuk ke dalam pasar dengan bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, sehingga peluang yang sama yang diberikan pasar tidak menguntungkan semua pihak. Bahkan yang terjadi adalah distribusi yang tidak adil atas kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Pandangan Rawls diatas, sebetulnya merupakan kritik terhadap pandangan Smith dan pengikut ajaran pasar bebas lainnya, yang menilai pasar bebas pasar bebas sebagai sarana yang paling tepat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia secara adil. Dalam ajaran pasar bebas “Adam Smith” (1985), diyakini bahwa yang kaya akan dibimbing oleh “tangan tidak tampak” untuk mendistribusikan kebutuhan hidup secara alamiah. Kritik terhadap pendapat Smith tersebut juga dilakukan oleh Keynes dan Amartya Sen (1994). Yang menyatakan bahwa perekonomian yang berjalan berdasarkan pasar bebas akan mengalami kegagalan pasar (market failure) jika tidak dilakukan pembenahan terhadap institusi yang terlibat dalam pasar. Dan kebebasan tersebut hanya dapat diterima sepanjang dapat meningkatkan kesejahteraan lapisan masyarakat bawah.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus David Miller seorang filosof yang mengemukakan teori keadilan dalam social justice (1976). Teori ini kemudian diperbarui menjadi principles of social justice pada tahun 1999. Menurut Miller dalam membicarakan keadilan, khususnya keadilan sosial harus dibedakan ke dalam tiga jenis keadilan, yakni 1) keadilan atas dasar persamaan hak. 2) keadilan atas dasar jasa, dan 3) keadilan atas dasar kebutuhan. Ketiga jenis keadilan tersebut seyogianya diterapkan dengan memperhatikan situasi dan kondisi tertentu (principles of justice must be understood contextually). Serta memperhatikan penerapan prinsip keadilan tersebut pada jasa (desert), hak (equality) dan kebutuhan (need). Sebagai ilustrasi dari penerapan teori keadilan tersebut, jika terdapat dua orang pekerja yakni A dan B. Si A sangat rajin dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, sehingga A memiliki prestasi yang jauh lebih dari si B. Bagaimana pemberian upah terhadap A dan B? Berdasarkan perjanjian yang telah disepakati, masing-masing A dan B tetap mendapatkan upah yang sama. Keadilan jenis ini merupakan keadilan hak. Sehingga teori keadilan atas dasar hak diterapkan dengan berpatokan pada perjanjian yang sudah disepakati bersama. Sedangkan apabila si A diberikan upah lebih tinggi dari si B karena prestasi A jauh lebih baik dari B, maka kebijakan ini disebut keadlian atas dasar jasa. Namun masalahnya menjadi lebih rumit manakala ternyata si B berasal dari keluarga yang sangat miskin dan si A berasal dari keluarga yang cukup. Maka keadilan atas dasar kebutuhan menuntut bahwa kepada si B diberikan upah lebih besar dari yang lain. Menurut Miller, dalam masyarakat modern tentu saja persoalan yang dihadapi masyarakatnya sangat kompleks. Persoalan-persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan dengan cara pandang “hitamputih”. Oleh karena itu setiap penerapan prinsip keadilan harus dilakukan secara tidak kaku, melainkan diupayakan sedinamis mungkin. Penerapan prinsip keadilan yang secara kaku, tidak saja menimbulkan ketidakadilan tetapi juga tidak baik bagi perkembangan budaya masyarakat.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
61
Diskursus Teori Keadilan Sosial Sebagian besar teori keadilan yang telah dipaparkan di atas, pada dasarnya adalah juga termasuk dalam wilayah teori keadilan sosial (social justice theory). Teori yang dikemukakan Aristoteles, Aquinas, Wolff, Smith, Rawls dan Miller secara substantif merupakan teori keadilan sosial. Teori keadilan distributif Aristoteles menghendaki agar dalam penempatan jabatan publik harus memperhatikan bakat dan prestasi orang tersebut. Teori keadilan distributif Aquinas juga menginginkan pendistribusian benda-benda publik kepada warga yang menjadi hak seluruh warga harus dilakukan seadil mungkin. Negara wajib mendistribusikan dan memberikan akses yang sama kepada seluruh warga untuk memanfaatkan benda-benda publik.
62
Perspektif keadilan sosial dalam teori Wolff juga terlihat pada teori keadilan distributifnya. Hak untuk hidup dalam masyarakat bersama orang lain secara pantas (ius societatis) sangat dijunjung tinggi. Pandangan Wolff ini mencerminkan dimensi keadilan sosial dari teori keadilannya. Miller pada prinsipnya meletakkan teori keadilannya dalam koridor keadilan sosial. Baik prinsip atas dasar hak, jasa maupun kebutuhan semuanya merupakan prinsip-prinsip keadilan sosial. Yang artinya bahwa seseorang sebagai warga masyarakat, masyarakat itu sendiri, maupun negara wajib memperhatikan ketiga prinsip keadilan sosial Miller tersebut. Bagaimana pandangan Rawls tentang keadilan sosial? Meskipun Rawls tidak secara spesifik merumuskan teori keadilannya dalam format keadilan sosial, namun jika kita memperhatikan prinsipprinsip keadilan Rawls, khususnya prinsip kedua (the different principles), maka tampak jelas bahwa rumusan prinsip kedua itu mengacu pada keadilan sosial. Pada teori keadilan sosial Rawls, prinsip perbedaan (the different principles) Rawls menuntut agar segala produksi yang dihasilkan masyarakat dibagi merata untuk semua warga. Namun pemerataan itu tidak berarti semua orang mendapat pembagian yang sama. Rawls pun memahami betul kenyataan ini, bahwa semua orang tidak sama dan tidak mungkin sama. Kesamaan total hanya mungkin melalui penghapusan kebebasan total, dan itu jelas bertentangan dengan martabat manusia. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Apalagi kesamaan total menuntut lembaga pengawas yang kuat, yang justru akan melanggar prinsip kesamaan tersebut. Berdasarkan pandang ahli tersebut, maka dapat dikatakan bahwa urgensi keadilan itu tidak hanya berguna bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat, keadilan yang berguna bagi masyarakat inilah yang kemudian lebih dikenal dengan istilah keadilan sosial. William Drummond (1995) dalam bukunya yang berjudul “Social Justice” menghendaki agar penggunaan hak pribadi jangan sampai melupakan kewajiban sosialnya. Dengan demikian unsur individu (warga) dan sosial (negara) dalam keadilan selalu melekat, bagaikan dua sisi dari sebuat koin, dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Kata “sosial” dalam keadilan sosial itu menunjuk pada masyarakat, yaitu dalam hal-hal tertentu “masyarakat” sebagai subyeknya dan dalam hal-hal lain sebagai obyek atau sasarannya. Artinya, di satu sisi keadilan sosial mewajibkan masyarakat termasuk negara agar demi tercapainya kesejahteraan umum, membagi beban dan berkat kepada warganya secara adil, sambil membantu yang terkebelakang. Di sisi lain mewajibkan para warganya untuk memberikan kepada masyarakat apa yang menjadi haknya. Dengan demikian keadilan sosial tidak lain adalah manfaat yang diperoleh warga terhadap penggunaan hak dan kewajiban dalam hubungan antara masyarakat atau negara dengan warga dan sebaliknya. Tujuan keadilan sosial adalah mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Caranya, dengan jalan menyusun suatu masyarakat yang seimbang dan teratur di mana semua warganya mendapat kesempatan yang sama untuk membangun suatu kehidupan yang lebih baik. Sedang mereka yang terbelakang diberikan bantuan agar bisa survive dan pada saatnya dapat hidup lebih baik. Kepemimpinan yang Berkeadilan Sosial Membahas tentang kepemimpinan tidak akan pernah ada habisnya. Teori tersebut akan senantiasa berkembang sejalan dengan perJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
63
Diskursus jalanan hidup masyarakat serta ilmu pengetahuan yang diselenggarakan dalam rangka memecahkan permasalahan yang senantiasan timbul dalam kehidupan masyarakat. Hunt (2003) menyebutkan bahwa salah satu pilar ilmu pengetahuan adalah dapat diuji secara empiris (empirical testable). Berarti bahwa perkembangan keilmuan bergerak searah dengan pragmatisme fenomena kebutuhan masyarakat. Manakala kebutuhan masyarakat mengisyaratkan adanya gejala permasalahan tertentu yang membutuhkan jawaban terhadap gejala tersebut, maka pencarian terhadap suatu ilmu pengetahuan akan dimulai. Setelah ditemukan jawaban terhadap permasalahan melalui berbagai penelitian, yang kemudian kebasahan pemberlakuannya, serta terdapat berbagai pihak yang benarbenar mengakuinya, maka kemudian muncul yang namanya ilmu pengetahuan.
64
Kepemimpinan yang Berkeadilan Sosial merupakan suatu bentuk jawaban dari gejala-gejala permasalahan yang timbul di masyarakat. Gejala-gejala tersebut diindikasikan melalui tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari angka kemiskinan dan jumlah pengangguran masyarakat. BPS mencatat pada Bulan Maret 2008 angka kemiskinan Indonesia adalah sebanyak 34,96 juta orang –hampir 15% dari total penduduk Indonesia-- (Portal Nasional, 2009). Sedangkan tingkat pengangguran terbuka Indonesia ( bagian dari angkatan kerja Indonesia yang tidak bekerja) oleh BPS pada Agustus 2007, tercatat mencapai 9,11% (Portal Indonesia, 2009). Nampaknya angka tersebut tergolong masih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Tetangga terdekat kita Malaysia hanya sekitar 3,50% (perkiraan 2006). Sedangkan Singapura pada tahun yang sama memiliki angka pengangguran sekitar 2,7%. Philipina dan Thailand adalah 7,9% dan 2,10% (Wikipedia, 2009). Apabila pembanding yang digunakan adalah negara-negara yang berpenduduk terbesar didunia, seperti China dan India, Indonesia masih memiliki angka pengangguran yang jauh lebih tinggi. Yakni 4,2% untuk China pada tahun 2006 dan 7,9% untuk India di tahun yang sama (Wikipedia, 2009). Sudah barang tentu kenyataan ini menunjukkan bahwa memang ada gejala permasalahan yang terjadi di masyarakat Indonesia, yang membutuhkan pemecahan terhadap permasalahan tersebut. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Perspektif ekonomi makro menyebutkan bahwa pengangguran dan kemiskinan merupakan permasalahan laten yang dihadapi oleh hampir semua negara di dunia. Samuelson (1985) menyatakan bahwa jika tingkat pengangguran tinggi, berarti sumber daya terbuang percuma dan tingkat pendapatan masyarakat akan merosot. Konsekuensinya adalah tingkat kemiskinan menjadi semakin tinggi yang akan mengakibatkan terjadi kelesuan ekonomi yang berkepanjangan. Pada kondisi demikian makan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan semakin sulit untuk dicapai. Parahnya lagi akan mempengaruhi kestabilan emosi masyarakat dan kehidupan keluarga sehari-hari. Misalnya terjadi peningkatan kasus tindak kriminal di masyarakat, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta pengguna psikotropika di kalangan remaja dan anak2 usia sekolah dll. Keadaan ini tentunya menjadi tanggungjawab intelektual dan moral segenap teoritisi dan praktisi kelembagaan adminitrasi publik pemerintah dan swasta manapun untuk memberikan jawaban atas berbagai permasalahan pengangguran dan kesejahteraan masyarakat ini. Dan nampaknya dibutuhkan upaya yang lebih serius dalam menangani permasalahan tersebut. Selanjutnya timbul pertanyaan, mengapa harus administrasi publik? Oleh karena administrasi publik yang mengurusi segala urusan kehidupan berkebangsaan suatu negara, dan dalam transformasi berbagai lapisan kehidupan masyarakat menuju kearah yang lebih baik, antara lain mengurangi angka pengangguran dan tingkat kemiskinan tercakup dalam wilayah tugas dari administrasi publik (Basuki, 2007). Gray (1989) dalam Basuki (2007) menyatakan bahwa dalam arena perubahan yang dinamis, perdebatan mengenai peranan administrasi publik dalam sistem ekonomi nampaknya memang cenderung mengarah kepada upaya untuk memberikan agenda positif bagi pemerintah untuk memainkan peranan yang kondusif. Selanjutnya disebutkan secara rinci peranan admnistrasi publik antara lain; pertama administrasi publik berperan menjamin pemerataan distribusi pendapatan nasional kepada kelompok masyarakat. Kedua administrasi publik berperan melindungi hak-hak pribadi masyarakat atas pemilikan kekayaan, serta menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakan tanggung jawab atas diri mereka sendiri dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan pelayanJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
65
Diskursus an kepada kelompok masyarakat lanjut usia. Ketiga administrasi publik berperan melestarikan nilai-nilai tradisi masyarakat yang sangat bervariasi, dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta memberikan jaminan dan dukungan sumber-sumber sehingga nilai-nilai tersebut mampu tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan perubahan zaman. Keadaan ini menjadikan peran administrasi publik menjadi sangat penting dalam menerapkan dan mengimplementasikan teori keadilan sosial sebagaimana yang sudah dirumuskan antara lain oleh; Aristoteles, Aquinas, Wolff, Smith, Rawls, Miller dan para tokoh keadilan sosial lainnya.
66
Saat ini tuntutan fenomena globalisasi mengarah kepada pembangunan di banyak negara yang bernuansa market driven development. Sehingga membutuhkan sosok enterpreneurial bureaucracy sejati (Mulyarto, cq Basuki, 2007) yang mampu dan mau, serta memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan persamaan hak atas dasar kebutuhan, akses penggunaan jasa atau layanan publik, serta mendistribusikannya secara adil dan merata kepada masyarakat. Falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah secara tegas menyebutkan bahwa keadian dan pemerataan kesejahteraan adalah hak masyarakat yang harus diupayakan oleh pemerintah beserta jajarannya. Organ pemerintah mempunyai kekuasaan riil yang terus bertahan (staying power) dan kekuasaan untuk membuat keputusan (policy-making power). Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut mencakup keputusan mengenai pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat menurut kaidah hukum pemerintah mutlak menjadi tanggung jawab negara (Wijoyo, 2006). Oleh karenanya negara yang terdiri dari lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait sangat membutuhkan sosok negarawan yang berwawasan luas, yang mampu mengelaborasi segala tuntutan kebutuhan masyarakat terutama, lingkungan internal maupun eksternal. Melalui penerapan aturan dan implementasi dari aturan tersebut yang berkarakter proper administration, democratic administration, transparant administraion serta human rihgts administration dari sosok kepemimpinan tersebut, maka diharapkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat dapat tercapai (G.H. Addink cq Wijoyo, 2006). Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus Secara ekstrim Rita (2008) mengistilahkan pemimpin sebagai sosok “pengawal konstitusi”. Yakni yang memiliki kemampuan untuk menjalankan tugasnya dengan baik, dengan berbagai ciri yang melekat padanya. Antara lain memiliki integritas, kredibilitas, serta pemikiran dan perilaku keseharian yang dapat dijadikan panutan. Kajian Perilaku Organisasi melalui telaah Kouzes dan Posner (1987) menyatakan bahwa indikator yang menentukan keberhasilan dan pencapaian kinerja organisasi salah satunya ditentukan oleh kepemimpinan. Navahandi dan Malekzadeh (1993) mempertegas pendapat tersebut dengan menyebutkan bahwa pemimpin memegang peranan kunci dalam memformulasikan dan mengimplementasikan strategi organisasi sehingga kinerja optimal suatu lembaga pemerintahan maupun swasta dapat tercapai. Basuki (2007) mengidentifikasi kebutuhan akan paradigma baru kepemimpinan, saat ini sudah tidak dapat ditunda lagi. Kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan yang memiliki karakteristik sebagai pemimpin yang dapat mengenal dirinya sebagai pribadi dan masyarakat yang dipimpinnya, perkembangan dan permasalahan lingkungan stratejik yang dihadapi dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian setiap pemimpin harus memiliki kompetensi dan kualifikasi tertentu sebagaimana tuntutan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya. Perspektif teori kepemimpinan mengenal berbagai model kepemimpinan “konvensional” dan “kontemporer”. Dikatakan konvensional karena teori-teori tersebut lahir pada awal abad 19. Namun universalitas teori tersebut masih tetap terjaga hingga saat ini. Terbukti dari berbagai penelitian kepemimpinan yang mana masih menjadikan teori-teori tersebut sebagai acuan. Selanjutnya, dikatakan kontemporer karena saat ini telah muncul berbagai model kepemimpinan era baru yang oleh William (2008) diistilahkan sebagai “the next generation leadership” atau “the new paradigm of leadership” (Basuki 2007). Model kepemimpinan generasi kedua tersebut pada prinsipnya merupakan pengembangan model kepemimpinan “konvensional” yang dicetuskan oleh para tokoh sebelumnya. Model kepemimpinan generasi kedua ini umumnya membahas kepemimpinan pada konJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
67
Diskursus teks yang lebih spesifik. Antara lain kepemimpinan dalam situasi keberagaman budaya menjadi kepemimpinan lintas budaya (cross cultural leadership). Selain itu terdapat pula kepemimpinan publik dalam administrasi publik yang mengaitkan kepemimpinan dalam organisasi publik. Salah satunya yang sudah dikemukakan oleh Rita tersebut.
68
Basuki (2007) menyebutkan bahwa berdasarkan perspektif administrasi publik kepemimpinan yang efektif merupakan penggabungan dari tiga unsur yang saling terkait satu sama lain. Ketiga unsur tersebut adalah sosok pemimpin itu sendiri, kondisi masyarakat dan perkembangan lingkungan. Pemimpin yang dimaksud nampaknya merupakan pengggabungan dari unsur kepemimpinan kontijensi, situasional, perilaku serta sifat. Dikategorikan memiliki unsur kontinjensi karena efektivitas kepemimpinan publik tersebut menggabungkan faktor pembentuk kepemimpinan itu sendiri. Yakni faktor kepribadian pemimpin, sifat yang melekat pada diri pemimpin tersebut, latar belakang (track record) kehidupan pribadinya, jalur karir yang sudah ditempuh, dsb. Faktor masyarakat berbicara tentang tingkat kehidupan masyarakat, pendapatan, pendidikan yang membentuk pola pikir serta perilaku masyarakat. Yang terakhir faktor lingkungan yakni budaya yang mencerminkan kecenderungan pola perilaku dan cara berpikir masyarakat. Dikategorikan memiliki unsur situasional karena mengasumsikan bahwa kepemimpinan tersebut diharapkan sesuai diterapkan pada situasi dan kondisi kelembagaan publik, yang oleh Martin Albrow (Wijoyo, 2006) sangat kental dengan karakter spesialisasi, birokrasi, hirarki wewenang, sistem peraturan dan hubungan yang bersifat formalimpersonal. Sedangkan teori sifat, karena kepemimpinan publik tersebut memiliki sifat; sensitif, responsif terhadap permasalahan dan peluang yang ada, kreatif, innovatif dan memiliki integritas yang tinggi (Basuki, 2007). Berdasarkan sifat tersebut, maka kepemimpinan birokratif seyogianya berperilaku sebagai pemimpin yang demokratis. Yakni memiliki wawasan berpikir yang luas (open mind), bijaksana, serta memiliki integritas personal (personal integrity) dan kemampuan memimpin yang baik (ability to lead) dan kemampuan menganalisis Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus segala permasalahan yang timbul di masyarakat serta mencarikan pemecahan bagi permasalahan yang timbul tersebut melalui tameng aturan dan kebijakan pendistribusian produk konsumsi dan jasa secara adil, mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan memberikan persamaan hak kepada masyarakat dalam mengakses pemenuhan kebutuhan. Selain itu menjalankan mekanisme check and balance dalam rangka menciptakan enabling social setting bagi masyarakat, demi pencapaian masyarakat berkeadilan sosial dan sejahtera. Kesimpulan Kepemimpinan adalah kajian keilmuan yang sangat menarik untuk ditelaah karena kepemimpinan memiliki peran yang sangat strategis sebagai penentu arah perjalanan organisasi. Keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan tersebut tentunya harus ditunjang oleh kemampuan dan kemauan pemimpin untuk melaksanakan aktivitas manajerial yang efektif, serta pengorganisasian seluruh sumber daya organisasi. Oleh karena itu mempelajari kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang mudah. Namun sampai sekarang, kepemimpinan menjadi topik yang masih digemari bagi para pemerhati kepemimpinan. Berkaitan dengan kehidupan sebuah organisasi, mengapa kepemimpinan dibutuhkan? Salah satu hal yang menjadi alasan adalah bahwa organisasi tidak hidup dalam ruang tersendiri yang terisolasi dari lingkungannya atau hampa sosial (social vacuum). Perubahan dan dinamika lingkungan secara langsung akan berdampak pada pengelolaan internal organisasi. Oleh karenanya semakin lingkungan mengalami perubahan secara dinamis, maka semakin organisasi membutuhkan peran kepemimpinan. Fenomena dinamika perubahan lingkungan dan era globalisasi menjadi tantangan utama kepemimpinan. Berikut beberapa tantangan kepemimpinan yang diajukan dalam tulisan ini, antara lain: 1. Perubahan dan pengembangan organisasi untuk mengadaptasi dengan dinamika lingkungan. 2. Kualitas kepemimpinan Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
69
Diskursus 3. Kemampuan menciptakan organizational learning 4. Kemampuan mengelola keberagaman yang dialami oleh anggota organisasi. 5. Kemampuan berempati terhadap lingkungan sosialnya.
70
Beberapa tantangan tersebut menjadikan kepemimpinan sebagai topik yang berlaku secara universal, dari waktu ke waktu senantiasa menarik untuk dibahas. Berdasarkan tahapan perkembangannya, tulisan ini membagi teori kepemimpinan menjadi dua bagian. Yakni teori kepemimpinan “konvensional” dan teori kepemimpinan “kontemporer”. Dikategorikan konvensional karena lahirnya lebih awal (abad 19), serta bersifat universal dan dijadikan acuan dasar para ahli kepemimpinan. Yang dimasukkan dalam teori kepemimpinan konvensional ini antara lain teori sifat (trait theory), teori perilaku (behavioral theory), teori kontijensi (contingency theory), dan teori situasional (situational theory). Sedangkan teori kepemimpinan kontemporer adalah teori kepemimpinan yang mengaitkan teori dasar dengan pendekatan kelimuan lain, misalnya teori kepemimpinan lintas budaya, kepemimpinan administrasi publik dan kepemimpinan yang berkeadilan sosial (social justice perspectives). Teori kepemimpinan yang berkeadilan sosial (social justice leadership) adalah teori kepemimpinan yang mengaitkan teori dasar kepemimpinan dengan teori keadilan sosial. Terdapat beberapa teori keadilan sosial yang dirujuk dalam tulisan ini, antara lain teori keadilan sosial dari Aristoteles, Aquinas, Wolff, Smith, Rawls dan Miller. Kesemua teori tersebut pada prinsipnya membahas tentang persamaan hak dalam aksesibilitas layanan publik, hak untuk mendapatkan penghidupan dan kesejahteraan, mendapatkan pendistibusian pemenuhan kebutuhan dan keadilan dalam koridor hukum. Dalam rangka mengimplementasikan teori keadlian tersebut maka dibutuhkan sosok kepemimpinan yang memiliki komitmen dan mampu untuk mengusung teori keadilan tersebut. Sosok pemimpin yang memiliki karakter sifat yang sensitif, berempati, responsif terhadap permasalahan dan peluang yang ada, kreatif, innovatif dan memiliki integritas yang tinggi. Pemimpin tersebut seyogianya adalah pemimpin yang demokratis, berwawasan luas (open mind), bijaksana, serta memiliki integritas personal (personJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Diskursus al integrity), mampu menjadi pemimpin yang baik (ability to lead) dan tepat dan tangkas dalam memecahkan segala permasalahan yang timbul di masyarakat. Daftar Pustaka Aquinas, St. Thomas, Summa Theologica (Translated by Fthers of the English Dominican Province), Tabor Publishing Co., London, 1981. Barbera, Lucy, SUNNY, New Platz, Leadership for Social Justice: An Arts-Based-Inquiry, http://qcpages.qc.cuny.edu Basuki, Johanes, Tantangan Ilmu Administrasi Publik: Paradigma Baru Kepemimpinan Aparatur Negara, Internet.... 2007. Brazzel, Michael, PHD, Deep Diversity, Social Justice, And Development, Summary Paper of a Conference Session, Preparedfor the Conference CD Proceeding, 2007, OD Network Conference, Baltimore, MD, October 21-24, 2007. Daft, Richard L., Leadership Theory and Practice, The Dryden Press, New York, 1999. Drucker, Peter, Managing Knowlwdge Means Managing Oneself, Leader to Leader, No. 16 Spring 2000. Fiedler, F.E., A Theory of Leadership Effectiveness, New York, Mc Graw Hill, 1967. Hanay, Maureen, The Cross-Cultural Leader: The Application Of Servant Leadership Theory In International Context, Journal of International Culture Studies, Troy University (2007). Huijbers OSC., Theo, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982. Hunt, Darwin P., The Concept of Knowledge and How to Measure It, Journal of Intellectual Capital, Vol.4, No.1,p.100-113, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Edisi 2, 1991. Kouzes, James M and Barry Z. Posner, The Leadership Challenge: How to Keep Getting Extraordinary things done in Organization, San Francisco: Jossey-Bass Inc., 1995. Maxwell, John C., Kekuatan Kepemimpinan, Alih Bahasa Arvin Saputra, Interaksara, Batam, 2002. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
71
Diskursus
72
Miller, David, Social Justice, Clerendon Press, Oxford, 1976. Miller, David, Principles of Social Justice, Harvard University Press, Cambridge, 1999. Navahandi dan Malekzadeh, Leader Style in Strategy and Organizational Performance: An Integrative Framework, Journal of Management Studies, 1993, p. 405-425. Nimran, Umar, Perilaku Organisasi, CV. Citra Media, Surabaya, 1997. Rawls, John, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, 1971. Rita, Susana, Membidik Sang Negarawan, Harian Kompas, Sabtu 15 Maret 2008, hal. 6. Samuelson, Paul A. dan William Nordhaus , Ekonomi, Alih Bahasa Jaka Wasana, 12 ed, 1992. Sen Amartya, On Ethics and Economics, Blackwell Publishers, Oxford, 1994. Siagian, Sondang P., Manajemen Abad 21, Bumi Aksara, 1998. Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations, diedit oleh R. L. Meek, D.D. Raphael, dan P. G. Stein, Clerendon Press, Oxford, 1978. Thoha, Miftah, Kepemimpinan dalam Manajemen, Rajawali Press, Jakarta, 2003. Widodo, Joko, Good Governance, Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi, Insan Cendekia, 2001. Wijoyo, Suparto, Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi, Airlangga University Press, 2006. Wikipedia, Pengangguran, http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran William Ken, Non Profit Leadership Development A Select Annotated Bibliography, AED Centre for Leadership Development, December 2008, http://cld.aed.org/PDF/Leadership Bibliography Wolff, Jonathan, Robert Nozick, Property, Justice, and Minimal State, Stanford University Press, New York, 1991. Yukl, Gary A. Kepemimpinan dalam Organisasi, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Prenhalindo, 1998.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
TELAAH BUKU Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia Oleh : Uli Parulian Sihombing
Judul Buku
: Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia (Kaitannya Dengan Profesi Hukum Dan Pembangunan Hukum Nasional) Pengarang : Satjipto Raharjo Editor : Ufran Penerbit : Genta Publishing April 2009 Jumlah Halaman dan Bab : 216 halaman dan XIII Buku ini merupakan kumpulan makalah Satjipto Raharjo dalam rentang dua puluh tahun. Makalah-makalah tersebut ada yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan hukum. Di buku ini, terdapat lima bab yang berkaitan langsung dengan pendidikan hukum yaitu Bab I membangun fakultas hukum sebagai kekuatan sosial, Bab II hukum dan pendidikan hukum dalam masa pembangunan, Bab III delapan puluh tahun pendidikan
Telaah Buku tinggi hukum Indonesia, Bab IV memperbaharui pendidikan di Indonesia untuk apa dan ke arah mana, dan Bab V pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia. Sementara bab-bab lainnya lebih menyentuh realitas bekerjanya hukum di lapangan dan keragaman hukum kaitannya dengan tantangan di masa globalisasi.
74
Satjipto Raharjo menawarkan posisi dosen sebagai kekuatan sosial, oleh karenanya dosen dipanggil untuk membantu mengajukan solusi-solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh bangsanya (hal.2). Konkritisasi memposisikan dosen sebagai kekuatan sosial adalah dibentuknya beberapa pusat studi di kampus-kampus yang bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap permasalahan sosial yang ada di masyarakat seperti pemberantasan korupsi, hak azasi manusia (HAM), dan lingkungan hidup. Di sini lain, Satjipto Raharjo menegaskan pendidikan hukum dalam konteks warisan kolonial (Hindia Belanda dan Jepang) lebih disiapkan untuk terjun dalam bidang pelayanan atau penyelenggaraan pemerintah masa itu. Kondisi sekarang sudah berubah, di mana seharusnya kurikulum pendidikan hukum merupakan cerminan pikiran dan cita-cita dalam pendidikan, sehingga kurikulum bukan suatu hal yang terlepas dari kaitannya dengan semua aspek dalam pendidikan (hal.16). Satjipto Raharjo juga membahas politik pendidikan hukum di Indonesia. Awal pendidikan hukum di Indonesia lebih dipersiapkan untuk menjadikan mahasiswa sebagai tenaga terampil (professional). Namun demikian, terdapat juga scholar dari Belanda yang menggagas pendidikan hukum yang ditujukan untuk kebutuhan bangsa Indonesia, seperti gagasan Paul Scholten yang membuat dua pedoman pendidikan hukum di Indonesia yaitu kemandirian dan menemukan identitas Indonesia, dan menyelenggarakan ilmu pengetahuan harus berorientasi kebutuhan keragaman masyarakat Indonesia. Kemudian Satjipto Raharjo membandingkan model pendidikan hukum di Negara-negara common law dan continental. Mengutip pendapat Trubek dkk, model pendidikan hukum di Negara-negara kontinetal lebih ditujukan untuk kepentingan akademik dibandingkan dengan pengembangan keterampilan (skill). Hal ini sangat kontras dengan perkembangan pendidikan hukum di tanah air, di mana program strata1 (S1) lebih banyak berupa pengemJurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Telaah Buku bangan skill atau didasarkan pada rules atau logic. Trubek dkk sendiri menekankan pengembangan keterampilan lebih menegaskan kepada yang bersifat akademis, dan bukan keterampilan untuk mengolah realitas hukum. Berbeda dengan pendidikan hukum di Negara-negara common law, di mana pembelajaran untuk menjadi ahli hukum tidak dilakukan di “sekolah”, melainkan di lapangan (hal.22). Inti dari buku ini adalah kritik Satjipto Raharjo terhadap orientasi pendidikan hukum di Indonesia yang lebih menekankan kepada pembinaan keterampilan (professional) yang berbasis pada pengetahuan hukum dan cara-cara penggunaan hukum tersebut. Akibatnya, aspek-aspek kemanusian dan manusia yang ada pada hukum menjadi kurang diperhatikan dan terdorong ke belakang (hal.33). Lalu bagimana dengan posisi institusi penyelenggara pendidikan hukum di Indonesia? Satjipto Raharjo menegaskan pendidikan bukanlah lembaga yang otonom mutlak, melainkan merupakan bagian dari proses sosial besar yang melingkupinya. Persinggungan antara dunia pendidikan dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan timbulnya dinamika dan tuntutan perubahan terhadap lembaga tersebut (hal.39). Kritik Satjipto Raharjo terhadap pendidikan hukum yang berorientasi professional, ternyata berasal dari gagasan Gerry Spence, yang mana Gerry Spence sendiri mengkritik pendidikan hukum di Amerika Serikat yang berorientasi pada professional lawyer. Spence mengatakan kelemahan pada lawyer di Amerika Serikat bukanlah terletak pada kompetensi profesionalisme melainkan pada kelemahan mereka sebagai manusia (hal.66). Konkritisasi pendidikan hukum yang berorientasi kemanusian dan manusia adalah kurikulum pendidikan hukum harus lebih menekankan pengajaran yang bermuatan manusia dan kemanusian, dan pada saat mahasiswa/ mahasiswi masuk ke dunia pendidikan hukum maka yang pertamatama diajarkan adalah tentang keadilan, ketidakadilan, diskiminasi dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kemanusian dan manusia.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
75
Telaah Buku Pada bagian akhir buku ini, Satjipto Raharjo membandingkan kondisi hukum di Indonesia dengan Jepang. Di mana kondisi hukum di Indonesia bukan merupakan produk sosial-budaya Indonesia sendiri, melainkan suatu institute yang dipaksakan dari luar. Contoh konkritnya adalah kata hukum dan hakim tidak berasal dari Indonesia, melainkan diimpor dari luar. Hal tesebut sama dengan Jepang, yang harus menciptakan sendiri kata hak yaitu kenri. Ini berarti istilah dan konsep right adalah suatu konsep yang asing bagi Jepang (hal.193).
76
Gagasan Satjipto Raharjo yang menegaskan pendidikan hukum yang ditujukan untuk kemanusian dan manusia patut mendapatkan penghormatan. Di mana terdapat manfaat besar untuk mahasiswa dan mahasiswi serta untuk institusi penyelenggara pendidikan hukum itu sendiri untuk membangun karaktek lulusan pendidikan hukum yang lebih memahami dan menegaskan keberpihakan kepada kondisi sosial yang ada di masyarakat. Kemudian juga institusi pendidikan hukum itu memang bukanlah institusi yang otonom, dia juga merupakan bagian dari masyarakat. Namun demikian kritik buku ini berkaitan dengan konkritisasi pendidikan hukum yang berorientasi manusia dan kemanusian. Terutama sejauh mana keterlibatan mahasiswa dan masyarakat dalam pendidikan hukum itu sendiri khususnya dalam kurikulum dan metode pengajaran. Sayang buku ini tidak menjelaskan hal tersebut. Ini seharusnya dijadikan perhatian juga di dalam pendidikan hukum, mengingat mahasiswa dan mahasiswi juga merupakan pelaku pendidikan hukum, begitu juga masyarakat yang merupakan penerima manfaat (the beneficiary) dari pendidikan hukum. Lagi, institusi pendidikan hukum bukan merupakan institusi otonom seperti dijelaskan di atas, sehingga keterlibatan masyarakat di dalam pendidikan hukum adalah perlu. Kemudian ketika penulis buku ini membandingkan kondisi hukum di Indonesia dengan Jepang kaitannya dengan konsep dan istilah right, tidak melihat perkembangan konsep dan istilah right secara kontekstual sekarang ini. Istilah right berkembang, tidak hanya konsep dan istilah right secara individu tetapi juga ada konsep dan Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Telaah Buku istilah right secara komunal seperti dirumuskan di dalam Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol), serta Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Seperti hak atas kebebasan berkumpul (right to assembly) merupakan hak individu dan juga hak komunal masyarakat, begitu juga hak atas kebebasan beragama merupakan hak individu dan komunal organisasi keagamaan. Kemudian dalam konteks hak-hak ekosob, terdapat hak dari buruh untuk membentuk serikat pekerja yang notabene merupakan hak bersama. Intinya hak dalam konteks hak azasi manusia adalah universal, dan tidak relatif.
77
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Profil Penulis
TENTANG PENULIS
78
SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO adalah guru besar emeritius pada Universitas Airlangga, Surabaya. Beliau lahir di Madiun pada 19 November 1932. Belajar ilmu hukum di Universitas Airlangga serta government studies and public administration di University of Michigan. Ia juga pernah belajar sociolegal theory and method dari Dr. Nilam Tiruchelvam dar Marga Institute Srilangka. Buku yang ditulisnya antara lain Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (1994), Toleransi dalam Keragaman (2003), Desentralisasi Pemerintahan pada Babak Akhir Pemerintahan Kolonial (2004), dan Hukum dalam Masyarakat; Masalah dan Perkembangannya (2007). Kumpulan pemikirannya tentang Hukum; Paradigma, Metode dan Masalah, disunting oleh Ifdhal Kasim dkk (2002). Beliau pernah menjadi anggota Komnas HAM, dan aktif di sejumlah NGO diantaranya Perkumpulan HuMA dan The Indonesian Legal Resource Center (ILRC). ANTHON FREDDY SUSANTO, lahir di Bandung, 17 Mei 1970. Doktor di bidang Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Sehari-hari merupakan dosen fakultas hukum di sejumlah perguruan tinggi, diantaranya Universitas Pasundan, Universitas Parahyangan, UNIKOM, Universitas Majalengka, dan Universitas Bung Hatta, Padang. Aktif menulis buku dan artikel. Diantaranya, Mitos Hukum di dalam Percepatan Perubahan (2001), Memaknai dan menyikapi Syari’at Islam secara Global dan Nasional (2004), Beberapa Aspek Sosiologi Hukum (2004), Wajah Peradilan Kita; Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana (2004), Teori Hukum ; Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali (2004), Menuju kejahatan Sempurna (2005), Semiotika Hukum, Dari ekonstruksi menuju Progresivitas Makna (2005), Hukum, dari Consilience ke Paradigma Hukum Konstruktif Transgresif (2006), Korupsi di antara Mitos dan Logos; Telaah Semiotika Hukum (2006). Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
Profil Penulis RIA MARLIANA YUSUF, adalah dosen di Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. MUH.GUNTUR, lahir di Makassar, 8 Januari 1965. Doktor di bidang Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Sehari-hari merupakan dosen di fakultas hukum Universitas Hasanudin (Unhas) dan menjabat Pembantu Dekan 1. Karya ilmiah yang telah dihasilkan, diantaranya Memahami Rasa Keadilan Masyarakat (2001), Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat Menuju Indonesia Baru (2002), Adam Smith dan Teori Campur Tangan Negara (2003), Konsep “Rechtsstaat” dan “Rule of Law” dalam Negara Hukum Republik Indonesia (2004), Soal Sanksi Tindakan Administratif Dalam Pasal 47 UU 5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (2006), dan Model Advokasi Struktur dan Kultur Dalam Menjaga Harkat, Martabat, dan Kehormatan Hakim (2007).
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi I / 2010]
79
TELAH TERBIT METODE PEMBELAJARAN HAK ASASI MANUSIA: Panduan Praktis Bagi Pengajar HAM di Perguruan Tinggi Edisi Cet 1 ISBN/ISSN 978-979-17584-9-9 Pengarang : Uli Parulian Sihombing, Fulthoni dan Siti Aminah Buku panduan ini menyediakan berbagai metode pembelajaran HAM, ditujukan untuk mendinamisasi proses pembelajaran dan membekali peserta dengan konsep hak asasi manusia. Tujuan penerbitan buku ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran HAM khususnya meningkatkan kualitas metode pembelajaran dan penyedian materi. Sehingga baik mahasiswa dan tenaga pengajar dapat memahami dan mengerti konsep HAM di dalam teori dan prakteknya. Untuk tenaga pengajar diharapkan dapat memilih metode pembelajaran HAM sesuai dengan kebutuhan. CD MATERI PEMBELAJARAN HAK ASASI MANUSIA Kumpulan materi pembelajaran hak asasi manusia dalam bentuk cakram memuat instrument hukum internasional, nasional, laporan-laporan HAM, referensi HAM (Buku/hasil penelitian/artikel), kasuskasus pelanggaran HAM dan media pembelajaran berupa ilustrasi dalam bentuk visual (film). CD ini praktis untuk pengajar dalam memberikan materi dan mengembangkan metode pembelajaran yang lebih menyenangkan.
Untuk mendapatkannya, silahkan hubungi : The Indonesian Legal Resource Center / Herman Susilo. Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan, Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641, Email :
[email protected], Website : www.mitrahukum.org