“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Alloh memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..” (QS. An-Nisa : 1) Sebagian besar mufassirin (ahli tafsir) menjelaskan yang dimaksud ‚dari padanya‛ itu adalah bagian tubuh (tulang rusuk) Adam sebagaimana hadist yang diriwayatkan Bukhari Muslim yang akan penulis sampaikan nanti. Dari ayat tersebut, Iman kita diajarkan untuk mengetahui bahwa, wanita tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Selanjutnya, ternyata bukan hanya secara biologis seorang wanita membawa unsur tulang rusuk laki-laki. Melainkan kejiwaannya juga mensifati tulang rusuk. Bengkok dan rapuh. Sebagaimana sabda Rosulullah : Berwasiatlah kalian mengenai kaum wanita. Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika kau meluruskannya, maka kau mematahkannya. Jika kau membiarkannya, maka ia akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian mengenai wanita (HR Bukhari) Begitulah, dalam fitrahnya wanita membawa sisi-sisi perbedaan dengan kaum laki-laki. Terkadang, perbedaan itu terwujud berupa kelemahan atau kebengkokan. Suatu ketika Rasulullah harus sedikit menegur Aisyah ketika sang Humaira cemburu berat. Aisyah berkata ‚Rasulullah jika mengingat Khadijah, tak bosan-bosannya memuji dan beristighfar untuknya. Hingga pada suatu hari beliau menyebut-nyebutnya yang membuatku terbawa oleh rasa cemburu. Aku berkata, ‘Alloh telah menggantikan yang lanjut usia itu bagimu.’ Aku saksikan beliau sangat marah seraya berkata, ‚Apa yang kau katakan? Demi Allah, ia beriman ketika orang-orang mendustakan aku. Ia melindungi ketika orang-orang menolakku. Darinya aku dikaruniai anak-anak dan tidak aku dapatkan dari kalian.‛ Aku sangat menyesal sambil berdoa dalam hati: Ya Allah, jika Engkau hilangkan kemarahan RasulMu terhadapku, aku tak akan lagi menyebutkan kejelekannya,‛ Perilaku itu bukanlah aib bagi Aisyah. Sikap itu bukanlah lahir dari tempaan hidup yang salah. Atau bukan karena pergaulan dan didikan orangtua yang keliru. Itulah kejiwaannya sebagai wanita, yang pastinya itu juga ada pada semua wanita. Kebengkokan itu sesekali muncul ke permukaan. Aisyah adalah seorang wanita ahli Syurga, tapi di dunia, ia tetap hidup sebagaimana fitrah wanita pada umumnya.
1
Sifat bengkok itu sudah ada sejak Allah meniupkan ruh ke dalam rahim ibu seorang wanita. Maka dari itu, kebengkokan seorang wanita bukanlah untuk dibenci. Kebengkokan mereka bukanlah aib. Apalagi tanpa ampun dijadikan pembenar untuk menyakiti. Karena kebengkokan itu bukanlah berkaitan dengan rendahnya derajat dirinya di hadapan Allah. Di hadapan Allah kemuliaan seorang wanita dan laki-laki tetap secara adil dilihat dari amal sholihnya. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal sholih, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (QS. An-Nisa : 124) Kebengkokan itu, menurut Dr. Akram Ridha, juga bersifat emosional dan bukan karakter yang melekat terus menerus. Seorang wanita kadang dikuasai oleh emosinya hingga tak mampu bersikap bijaksana saat mengambil keputusan, atau kadang ia berbuat atau berkata tidak pantas pada suaminya. Maka sebaiknya suami harus bersabar dan melihat kebengkokan istri tersebut sebagai kondisi diluar kendali dirinya. Ia tak bermaksud menyempitkan dan menyakiti suaminya. Bila Rasul mengabarkannya untuk kita tentang kelemahan perempuan, bukan maksud merendahkan kedudukan mereka. Melainkan untuk diketahui, dimaklumi dan selanjutnya dipergauli dengan ma’ruf dan penuh kasih sayang. DIA ADALAH KITA Suatu ketika bukan tidak mungkin kebengkokan itu muncul berupa sikap egois, cemburu berlebihan, atau membantah suami. Dalam kondisi itu seorang suami sejatinya jangan sampai berkurang dalam hal mempergauli istrinya dengan lembut dan kasih sayang. Walaupun sang istri berperilaku cacat kepadanya. Tak semestinya perilaku cacat dibalas perilaku cacat pula.
Sebagai seorang muslim, dalam berakhlak kita harus bersikap memaafkan kepada siapapun. Itu kepada orang lain. Lalu bagaimana dengan istri. Bukankah istri lebih berhak terhadap dibukanya pintu maaf itu?
Sebagaimana sabda Nabi, marilah kita bergaul dengannya dalam bingkai pemahaman bahwa ia adalah bagian dari tulang rusuk kita dengan segala sifat-sifat yang dibawanya. Sekiranya ada empat hikmah dari pemahaman tulang rusuk ini :
2
Pertama, ia bagian dari kita maka semestinya kita bertanggungjawab Oleh karena itu seorang suami wajib merawat dan menjaganya dengan baik. Saat menjadi istri, ia tidak dilihat lagi sebagai anak dari si fulan, mertua kita yang tak ada hubungan darah dengan kita. Melainkan cobalah untuk dilihat, ia adalah bagian dari diri kita yang terpisah dan Alloh mempertemukannya dengan pernikahan. Sakitnya adalah sakit kita juga. Senangnya adalah senang kita juga. Kita bertanggungjawab kepadanya dalam nafkah lahir dan bathin. Meninggalkannya ibarat kita memotong satu bagian tubuh kita sendiri. Kedua, Ia bengkok maka harus diluruskan Ikut berdosa bila seorang suami membiarkan istrinya melakukan kesalahan-kesalahan yang mengakibatkan semakin hari tabiatnya semakin memburuk. Sebagaimana dalam Al-Qur’an diperintahkan, suami sebagai pemimpin wajib menyelamatkan anak dan istrinya dari siksa api Neraka (QS. At-Tahrim : 6). Dr. Akram Ridha mengatakan, kondisi bengkok seorang wanita yang semulanya karena lahir dari letupan emosi, apabila dilakukan secara sering dan berulangulang maka ia akan berubah menjadi karakter. Dan ketika menjadi karakter inilah seorang wanita berpotensi berbuat Nusyuz (durhaka pada suami). Katakanlah, cemburu adalah kondisi emosional yang wajar. Tapi bila dibiarkan tanpa diberi pemahaman dan diingatkan tentang kerugiannya, bukan tak mungkin akan berubah jadi sikap serba curiga dan tidak percaya. Yang selanjutnya perilaku acuh, membantah, berkata pedas kepada suami menjadi bagian yang tak pernah lepas dari dirinya. Oleh karena itu suami tak boleh membiarkan. Dengan penuh kesabaran dan lemah lembut suami perlu mengingatkan istri tentang akhlak-akhlak islami sebagai seorang istri. Pelurusan itu sebaiknya jangan masuk ke dalam ranah jiwa kewanitaan yang tak mungkin dirubah seperti sifat emosional, perasa, haus perhatian dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut bukan termasuk yang harus dirubah tapi cukup perlu dipahami oleh laki-laki. Sungguh sifatsifat kewanitaan itu sekali lagi bukanlah cela bagi mereka. Bahkan dalam suatu keadaan tertentu dan bersifat asasi seperti merawat bayi, sifat itu justru dibutuhkan. Lebih penting dari itu adalah, membimbing mereka untuk menguatkan iman dan amal sholih. Mengajaknya tahajjud, menyarankan ikut majelis ta’lim, membaca Al-Qur’an, atau pula menasehatinya untuk menjauhi ghibah. Disinilah letak kesuksesan kita sebagai suami. Inilah ukuran keberhasilan kita dalam menunaikan amanah dari Alloh. 3
Ketiga, Ia mudah Patah maka jangan dipaksakan Satu sisi, kita tak bisa mengharapkan Istri sepenuhnya berubah sama dengan tabiat kita. Melakukan itu sama seperti menggarami air laut. Tak ada gunanya. Kita tidak bisa memaksakan semua kebengkokannya menjadi lurus. Bila kita memaksakan, maka ia akan patah. Hatinya yang lembut akan lebur dan hancur. Dalam relaitas di lapangan, akan terjadi percekcokan dan perselisihan yang kadang diwarnai kata-kata kasar. Pada akhirnya jatuhlah perceraian, itulah patahnya tulang.
Ketahuilah, dengan kondisi fitrahnya yang bengkok, bukan berarti membuat dia tidak mulia di sisi Alloh. Allah ta’ala yang menciptakan mereka justru memberi kemurahan, pemuliaan dan husnudzan yang tinggi kepada mereka, “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa : 19) Maka batas-batas yang bisa kita lakukan adalah, mengkondisikan kebengkokan itu dalam batas kewajarannya. Yaitu cukupkan sekedar dalam kapasitas letupan emosional saja. Dan menjaga jangan sampai terbawa menjadi karakter yang mengakar. Itu saja. Keempat, satu bagian tubuh bermasalah mungkin karena pola hidup kita yang keliru.
Inilah yang menjadi muhasabah bagi kita, para suami. Selain melihat kesalahan yang dilakukan oleh istri, lihatlah diri kita. Pandanglah bahwa, bila istri ‚bermasalah‛ kita juga terlibat sebagai pihak yang membuatnya ‚bermasalah‛. Bila istri adalah bagian dari tubuh kita, maka sejatinya yang ‚sakit‛ adalah kita. Ibarat satu organ tubuh kita ada yang sakit, katakanlah paru-paru, bukankah tidak ada yang disalahkan kecuali kita sendiri yang kurang olahraga, kurang istirahat atau merokok.
Ya, kita sedang berhadapan dengan bagian tubuh kita sendiri, tulang rusuk kita. Maka jika istri berbuat buruk, jangan-jangan karena pola hidup kita yang buruk pula. Sebagaimana paru-paru bermasalah tadi, tulang rusuk yang bermasalah juga adalah imbas dari cara hidup kita yang keliru.
4
Misalkan, kalau tadi malam ‚sang tulang rusuk‛ berperilaku buruk, emosi, berkata kasar, maka selain fokus untuk membenahi tabiatnya, maka sempatkan juga untuk melihat diri sendiri. Jangan-jangan siangnya kita melakukan kemaksiatan. Dibelakang dia jangan-jangan mata kita terlalu liar melihat sesuatu yang dilarang. Jangan-jangan tangan kita mengambil sesuatu yang diharamkan Allah. Atau mulut kita, sepanjang hari terlalu banyak ghibah. Hingga akhirnya ‚tulang rusuk‛ kita bermasalah.
Jika anda terkena flu, yang bermasalah di hidung tapi kepala malah juga ikut pusing, bukan?. Kira-kira sama, mata, tangan, mulut, atau telinga kita yang bermaksiat, bisa jadi tulang rusuk juga ikut-ikutan maksiat. Gambaran tersebut akan kita temukan di dalam Al-Qur’an. Bagi mereka yang berpaling dari peringatan Alloh, tidak menjalankan perintah dan banyak maksiat, maka kehidupan sempit sajalah yang akan dia terima. “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, …” (QS. Thaha : 124) Salah satu kesempitan hidup itu bisa jadi berupa istri yang tidak taat, berperangai buruk, keluarga berantakan. Sungguh, tidak ada kondisi paling sempit bagi suami selain ketika ia mendapati istri yang ia cintai berlaku buruk kepadanya.
5