STUDI PROSES MEKANISME PENGADUKAN DENGAN METODE STATIC -MIXER UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK SAWIT MENJADI BIODIESEL
RIZAL ALAMSYAH
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Studi Proses Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static-Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Transesterifikasi Minyak Sawit Menjadi Biodiesel” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2010 Rizal Alamsyah NIM . F161060042
ABSTRACT RIZAL ALAMSYAH. Study on Mixing Process Using Static-mixer Method to Increase Transesterification Efficiency of Refined Palm Oil into Biodiesel. SUPERVISORS: ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO, and DADAN KUSDIANA One of the difficulties faced in the current technology for biodiesel production is the requirement for rigorous mixing of methanol with the feedstock oil in the reactor. Utilization of blade mixer has limitation due to the immiscible state of those substances. This research was devoted to assess of static-mixer utilization in a transesterification reactor for biodiesel production in terms of kinetics reaction (reaction rate coefficient k, activation energy Ea, and collision factor or coefficient factor A). The experiments were conducted by reacting refined bleached deodorized palm olein (triglyceride or TG) with methanol (MeOH) at 50, 55, 60, 65, and 70o C, using potassium hydroxide (KOH) as a catalyst at atmospheric pressure. Molar ratio of TG and MeOH was 1 : 11.5 and KOH used was 1% of palm oil weight. Transesterification process using blade agitator with the same reaction condition was performed as base of comparison to those of static-mixer. Energy consumption was measured for heater during oil heating, transesterification, boiling water and biodiesel drying by kWh meter. It was also conducted for pump for distribution, reactant mixing, and impeller of blade agitator. The experiments showed that static-mixer has significant effect in reducing reaction time to reach required fatty acid methyl ester content (FAME) i.e. 96.5% than those of blade agitator. Transesterification reaction time with static-mixer were shorter than with blade agitator for all temperature levels. Reaction temperature of 65o C with 5 minutes of reaction time demonstrated the best condition for running the static-mixer reactor. The kinetics satudy was conducted based on the decrease of bounded glicerol or unmethyl esterified compound (uME) which consists of triglyceride TG, digliceryde DG, and monoglyceride MG during transesterification reaction. Since the bounded glycerol decreased rapidly in the first stage reaction so the reation rate was evaluated into two stages reaction of transesterification that gived the initial and the final reaction rate coefficient (k1 and k2), the initial and final activation energy (Ea1 and Ea2) and the initial and final collision factor (A1 and A2). The value of Ea1, Ea2, A1, and A2 for static-mixer experiments were 1.33 J/mol, 16.71 J/mol, 6.48, minute-1 and 8.89 minute-1, respectively. The energy ratios of static-mixer are 2,4 times higher than those of blade agitator reactor for all temperature reaction levels. It means that transesterification by
static-mixer improved the energy ratio of blade agitator. The static-mixer experiment at reaction temperature 65oC demonstrated the lowest energy consumption (Qin) e.g 1804.35 kJ/kg, meanwhile Qin for 50, 55, 60 and 70 oC were 1810.45 kJ/kg, 1807.77 kJ/kg, 1801.79 kJ/kg, and 1838.66 kJ/kg respectively. Based on the heat transfer analysis, the overall heat transfer from the reactor wall was 260.62 kJ, meanwhile the highest of heat transfer was released from pipe for circulating the reactants. Keywords : static mixer, blade agitator, activation energy, biodiesel, collision factor, energy ratio, and transesterification
RINGKASAN RIZAL ALAMSYAH. Studi Proses Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static -Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Transesterifikasi Minyak Sawit Menjadi Biodiesel. Dibimbing oleh ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO, dan DADAN KUSDIANA Biodiesel merupakan monoalkil ester (misal: fatty acid methyl ester atau FAME) yang diproses dengan metode transesterifikasi antara trigliserida yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek terutama metanol untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Proses esterifikasi atau transesterifikasi dapat dilangsungkan dengan menggunakan katalis atau tanpa katalis. Sejauh ini dalam produksi biodiesel umumnya dilakukan dengan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa. Kekurangan dari proses katalis basa adalah: 1) terdapat dua fase campuran minyak nabati-metanol (MeOH) yang memerlukan mekanisme pengadukan yang kuat agar proses transesterifikasi bisa efektif dan reaksi mengarah ke sebelah kanan, 2) dalam purifikasi biodiesel kasar (crude biodiesel) diperlukan proses yang panjang karena di dalam produk masih terkandung impurities yang terdiri dari residu katalis, metanol yang tidak bereaksi, dan sabun yang harus dipisahkan. Waktu reaksi transesterifikasi dengan sistem pengadukan ini berkisar antara 60 – 90 menit. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk: 1) menentukan kinetika reaksi transesterifikasi (laju reaksi, konstanta laju reaksi k, energi aktivasi Ea, dan frekuensi tumbukan A) menggunakan reaktor static-mixer pada beberapa tingkat suhu yaitu 50, 55, 60, 65, dan 70oC pada tekanan atmosfir. Sebagai pembanding proses transesterifikasi dengan menggunakan blade agitator dilakukan pada tingkat suhu yang sama, dan 2) mengkaji kebutuhan energi transesterifikasi, kebutuhan energi pemanasan awal, purifikasi (pencucian dan pengeringan) dan rasio energi biodiesel dari minyak curah sawit (refined bleached deodorized palm olein - RBDPO). Pembuatan biodiesel dilakukan dengan proses transesterifikasi RBDPO dengan metanol (MeOH) menggunakan reaktor static-mixer. Rasio molar antara RBDPO dan MeOH adalah 1 : 11,5. Jumlah KOH yang digunakan sebanyak 1% dari RBDPO. Proses pembuatan biodiesel adalah diawali dengan pemanasan awal RBDPO dalam reaktor sesuai suhu yang ditentukan (50, 55, 60, 65, dan 70oC) dan pada saat yang sama juga MeOH dipanaskan. Saat suhu yang diinginkan tercapai, campuran MeOH-KOH dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian pengadukan dimulai dengan menghidupkan pompa static-mixer sehingga campuran melewati static-mixer. Sampling dilakukan pada biodiesel dengan mengambil contoh di keran bagian atas pada selang waktu menit ke 1, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 55, 60, 65, 70, 80, dan 90 untuk dianalisis mutunya sesuai dengan Sandard SNI 04-7128-2006. Sampel ditampung dalam glass jar untuk kemudian diendapkan (settling) hingga terbentuk 2 lapisan (bagian atas biodiesel kasar dan bagian bawah adalah gliserol kasar). Biodiesel kasar kemudian dicuci dan dianalisa berdasarkan standard
SNI 04-7128-2006 untuk biodiesel. Pengujian dilakukan untuk beberapa parameter mutu utama antara lain untuk: gliserol bebas dan total gliserol dengan metoda uji (AOCS: Ca 14-56), kandungan metil ester (biodiesel), angka asam (AOCS: Cd 3-63), angka penyabunan (AOCS: Cd 3-25), viskositas, densitas, dan kadar air. Biodiesel yang dihasilkan secara visual memiliki warna kuning jernih dan terlihat encer. Hasil samping reaksi transesterifikasi adalah gliserol yang berwarna coklat gelap dan lebih kental dibanding metil ester, yang berada pada lapisan bagian bawah. Reaksi transesterifikasi menunjukkan bahwa laju reaksi metil ester menggunakan static-mixer lebih cepat dibanding dengan blade agitator pada periode awal proses. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggunaan static-mixer mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan waktu reaksi untuk mencapai kandungan metil ester minimum yaitu 96,5% dibanding menggunakan blade agitator, untuk seluruh perlakuan suhu yang diberikan. Waktu reaksi transesterifikasi dengan static-mixer lebih pendek dibanding dengan blade agitator unrtuk semua perlakuan suhu. Suhu reaksi 65o C dan waktu reaksi 5 menit memperlihatkan kondisi terbaik untuk mengoperasikan reactor static-mixer. Hasil yang sama juga ditunjukkan dengan hasil penurunan, gliserol terikat (triglierida TG, digliserida DG, dan monogliserida MG) yang tidak bereaksi, viskositas dan angka asam dari biodiesel untuk penggunaan kedua metode pengadukan tersebut. Perhitungan kinetika didasarkan atas penurunan jumlah gliserol terikat atau unmethyl esterified compound (uME) yang tidak bereaksi dan terdiri dari TG, DG, dan MG). Karena penurunan jumlah gliserol terikat dengan static-mixer lebih cepat pada tahap awal proses, maka laju reaksi dievaluasi ke dalam 2 tahap proses transesterifikasi sehingga memberikan konstanta laju reaksi awal (k1) dan laju raksi akhir (k2). Perubahan dari laju reaksi awal menuju laju reaksi akhir terlihat naik turun, akan tetapi hasil masih menunjukkan kecenderungan penurunan. Perubahan jumlah gliserol terikat dengan blade agitator menunjukkan penurunan yang stabil sehingga laju reaksi dievaluasi dalam satu tahap reaksi transesterifikasi. Dari hasil yang diperoleh laju reaksi awal (k1) dengan static-mixer pada tahap awal lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan blade agitator. Waktu reaksi transesterifikasi dengan static-mixer lebih pendek dibanding dengan blade agitator untuk semua perlakuan suhu. Suhu reaksi 65oC dan waktu reaksi 5 menit memperlihatkan kondisi terbaik untuk mengoperasikan reaktor staticmixer. Energi aktifasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A) dihitung berdasarkan persamaan Arhenius untuk tahap awal dan akhir reaksi untuk static-mixer, serta untuk satu tahap pada blade agitator. Dengan demikian muntuk static-mixer dihasilkan energi aktivasi awal dan akhir (Ea1 and Ea2) serta frekuensi tumbukan awal dan akhir (A1 and A2) yang masing-masing nilainya adalah : 1,33 J/mol, 16,71 J/mol, 6,48, menit-1 dan 8,89 menit-1. Nilai Ea dan A untuk percobaan blade agitator adalah 10,49 J/mol, dan 2,9 menit-1. Energi transesterifikasi rata-rata menggunakan reaktor static-mixer adalah 84,53 kJ/kg lebih kecil dibanding menggunakan blade agitator yaitu 484,16 kJ/kg.
Kebutuhan energi rata-rata untuk produksi biodiesel (Qin) menggunakan static-mixer adalah 1812,60 kJ/kg, sedangkan bila menggunakan blade agitator adalah 2212,32 kJ/kg. Energi transesterifikasi terkecil didapat pada suhu operasi (static-mixer) 65 oC yaitu 56,01 kJ/kg. Dari hasil percobaan static-mixer pada suhu 50, 55, 55, 60, 65, dan 70oC dihasilkan rasio energi masing-masing 3,67 , 3,3, 3,65, 3,73, 3,75, dan 3,34. Rasio energi dalam pengolahan biodiesel dengan menggunakan static-mixer 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan menggunkan blade agitator. Hal ini menunjukan bahwa reaktor static-mixer dapat mengurangi konsumsi energi (meningkatkan efisiensi proses transesterifikasi). Dari hasil analisis kehilangan panas terlihat bahwa kehilangan terbesar terjadi pada pipa untuk saluran sirkulasi reaktan (116,57 kJ/kg) disusul dengan dinding tangki (73,98 kJ), tutup atas (38,47 kJ), static-mixer (27,72 kJ), dan tutup bawah (8,38 kJ).
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Penulisan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STUDI PROSES PENGADUKAN DENGAN METODE STATIC MIXER UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK SAWIT MENJADI BIODIESEL
RIZAL ALAMSYAH
Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Penguji pada Ujian Tertutup:
Dr. Ir. Kohar Irwanto, MSi. Dr. Ir. Leopold E. Nelwan, MSi.
Penguji pada Ujian Terbuka:
Dr. Ir. Joelianingsih, MT. Dr. Ir. Desrial, M.Eng.
Judul Disertasi
:
Nama NIM
: :
STUDI PROSES PENGADUKAN DENGAN METODE STATIC -MIXER UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK SAWIT MENJADI BIODIESEL Rizal Alamsyah F 161060042
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan Ketua
Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, MSc. Anggota
Dr. Ir. Dadan Kusdiana, MSc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS.
Tanggal Ujian: 21 September 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala izin, ridha dan karuniaNya sehingga disertasi
berjudul
Studi Proses Mekanisme Pengadukan
Dengan Metode Static-Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Transesterifikasi Minyak Sawit Menjadi Biodiesel dapat dirancang dan diselesaikan.
Kegiatan
penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret 2008 hingga September 2009. Disertasi ini dibuat dalam rangka penelitian untuk penyelesaian studi program Doktor (S3) di bidang Ilmu Keteknikan Pertanian pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dirancang sedemikian rupa yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam khazanah
teknologi energi terbarukan (renewable
energy). Dalam penyelesaian disertasi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan, arahan, serta koreksi konstruktif dari komisi pembimbing. Oleh karena itu ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan (ketua), Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc. (anggota) dan Dr. Ir. Dadan Kusdiana, MSc. (anggota). Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Kohar Irwanto, MSi. dan Dr. Ir. Leopold E. Nelwan, MSi. selaku dosen penguji pada ujian tertutup. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Joelianingsih, MT. dan Dr. Ir. Desrial, M.Eng. selaku dosen penguji pada Ujian Terbuka. Penelitian Disertasi S3 di sekolah Pasaca Sarjana IPB ini didanai oleh Pusat Pendidikan Latihan (Pusdiklat) Industri Kementerian Perindustrian dan The Indonesian International Education Foundation (IIEF).
Karenanya penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuannya. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Laboratorium energi dan Elektrifikasi Fateta IPB serta kepada Ir. Yang-yang Setiawan, MSc. selaku Kepala Balai Besar Industri Agro di mana penulis bekerja atas dukungan sarana dan prasarana yang berharga terhadap penelitian ini.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada: 1. Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Sekolah Pasca Sarjana IPB atas penerimaan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program DOKTOR (S3) di IPB melalui jalur penelitian (by research). Tak lupa staf pengajar dan pegawai yang ada di lingkup Sekolah Pasaca Sarjana IPB, atas segala ilmu pengetahuan dan pelayanan yang telah diberikan selama menempuh pendidikan di IPB. 2. Dr.
Sony Solistia Wirawan (BPPT), Prof. Hiroshi Nabetani (Food National
Research, Japan), Dr. Milan Martinov (CIGR), Dr. Zazueta Ranahan (CIGR), Ir. Ari Rahmadi, MSc. dan Ir. Maharani (BPPT) atas masukan dan arahan teknis penulisan karya ilmiah yang telah disusun, 3. Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah (Universitas Persada), Prof. Dr. Ir. Irawadi Djamaran (TIN, IPB), dan Dr. Ir. Setyo Pertiwi, MSc. (TEP, IPB) atas arahan teknisnya 4. Ayahanda (H. Abdul Moeis Abdullah) dan
Ibunda (Hj. Nelly Sadiah) atas
asuhan, didikan, perhatian, doa yang tulus, serta dorongan morilnya. 5. Istri (Dra. Ariyanti) dan anak-anak penulis tercinta (Arizia Tamara dan Amira Mayariza Ghina) atas segala dorongan semangat motivasi dan
yang telah
bersabar menanti selama pendidikan. 6. Staf Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Pak Harto, Firman, dan Darma atas segala bantuan teknis. 7. Bengkel Tanggerang (Kota Tanggerang) atas pembuatan dan pengujian awal static-mixer dan Ir. Asadi, MSi (UPN Jakarta) atas masukan teknis selama konstruksi reaktor. 8. Saudara/i Ir. Sri Wuri Hadono, MAppSc, Anton Simorangkir, SH, Anita Pardede, dan Ir. Nurdin Kurnia, MSi (BBIA), Ir. Lukman Junaidi, Hendra Wijaya, Ssi, MSi, Ir. Nobel Christian Siregar, ST., M Eng., Eni Hawani Lubis, Dipl. IV Kim, MSi., Reno Fitri Hasrini, SP., MSi., Yuliasri Ramadhani Meutia, STP, MSi., Irma Susanti, STP, Msi., Fitri Hasanah, STP., MSi, Henggar, ST., Ir. Dadang
Supriatna, MSi., Ramlan Ruvendi, SE, MM., dan teman-teman di Bidang Sarana Riset dan Standardisasi BBIA serta Ir. Wawan Kartiwa, MSi (BPK, Bandung) yang sering memberikan dorongan moril selama studi. 9. Saudara/i Ade Wahyuni SP, Atika SP, Retno STP, Ismail STP, dan Didin N, STP atas bantuan teknis pengujian laboratorium, dan 10. Rasa terimakasih juga disampaikan kepada sdr. Mulyawatulloh, Firman, Darma, Rusmawati, dan Harto (TEP) atas kelancaran teknis dan administrasi penelitian. Penulis menyadari tulisan ini masih mempunyai kekurangan, untuk itu saran, masukan, maupun kritik yang konstruktif sangat diharapkan. Penulis turut berdoa semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya kepada semuanya. Akhir kata semoga dari disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukannya. Aaamiin ya rabbal a’lamin. Bogor, September 2010 Rizal Alamsyah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 10 Juli 1959 sebagai anak keempat dari H. Abdul Muis Abdullah dan Hj. Nely Sadiah. Pada tanggal 10 Desember 1990 penulis menikah dengan Hj. Dra. Ariyanti dan dikaruniai dua anak yaitu Arizia Tamara dan Amira Mayariza Ghina. Penulis menyelesaikan pendidikan SD, SMP sampai SMA di Bogor masingmasing tahun 1971, 1974 dan 1977. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh pada Jurusan Mekanisasi Pertanian Fateta IPB dan diselesaikan pada tahun 1983. Selanjutnya penulis mendapat kesempatan melanjutkan Pendidikan Pasca Sarjana (S2) di School Applied Science jurusan Food Engineering, The University of New South Wales (UNSW), Sydney-Australia dan diselesaikan pada tahun 1990. Penulis juga pernah mengikuti program pendidikan training for trainer di Cornell University USA dalam bidang Food Technology pada tahun 1993 serta pernah mengikuti Training Course on Biomass Integrated Utilization Technologies, di China Agricultural University (CAU) Beijing China pada tahin 2008. Selanjutnya, sejak Agustus 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian (TEP) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur penelitian (by research).
Penulis bekerja sebagai peneliti sejak tahun 1986 hingga sekarang dan
menjabat sebagai Kepala Bidang Sarana Riset dan Standardisasi di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Kementerian Perindustrian, Bogor dari tahun 2009 hingga sekarang. Karya ilmiah dari hasil penelitian disertasi S3 berupa Jurnal internasional telah dipublikasikan pada Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal Volume 12, Nomor 1 (manuskrip 1566 April), Tahun 2010 dengan judul ” Comparison of Static-Mixer and Blade Agitator Reactor in Biodiesel Production ” Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal. Karya ilmiah lain dari hasil penelitian ini juga dipublikasikan pada Jurnal Riset Industri (JRI) Volume 4 Nomor 2 (Agustus) Tahun 2010 dengan judul “Energy Consumption Analysis in
Biodiesel Production Process from Palm Oil Olein by Utilizing Static-Mixer Reactor”.
Sebuah review berjudul “The Current Status Of Biodiesel Production
Technology: A Review, dipublikasikan pada Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol. 21 No. 4 (Desember) Tahun. 2007. Karya ilmiah berjudul “Rekayasa Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static-mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Proses Transesterifikasi Minyak Nabati Menjadi Biodiesel” dipresentasikan dan dipublikasikan pada Prosiding Seminar Nasional Perteta, Yogyakarta 18 November 2008.
Karya ilmiah tersebut juga
merupakan bagian dari hasil penelitian Disertasi S3 penulis. Disertasi yang berjudul “Rekayasa Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Proses Transesterifikasi Minyak Nabati Menjadi Biodiesel” ini juga telah mendapat anugerah (award) yang dilombakan dalam momen DISSERTATION SCHOLAR DISSERTATION AWARD, yang disponsori
FORD FOUNDATION dan dilaksanakan oleh The Indonesian
International Education Foundation (IIEF) pada bulan Mei 2010.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….........
v
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………....
viii
DAFTAR SIMBOL ……………………………………………………....
x
I. PENDAHULUAN …………………………………………..………. 1.1 Latar Belakang ………………………………………………...… 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………….. 1.3 Kerangka Pemikiran ………………………………………..……. 1.4 Hipotesis …………………………………………………………. 1.5 Tujuan Penelitian ……………………………………………….... 1.6 Manfaat Penelitian ………………………………………….......... 1.7 Ruang Lingkup dan Outline Disertasi ……………………………
1 1 5 6 8 8 9 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………….………… 2.1 Biodiesel ……………………………………..….......................... 2.2 Proses Transesterifikasi …………………………………….…… 2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Transesterifikasi 2.2.2 Penggunaan Katalis……………………..…………………. 2.2.3 Kinetika Reaksi …………………………………………… 2.3 Static-mixer ……………………………………………….……... 2.3.1 Profil Turbulensi Fluida dalam Static-mixer ......................... 2.3.2 Jenis Static-mixer ……………………………………….. 2.3.3 Aplikasi Static-mixer …………………………………….. 2.4 Blade agitator ……………………………………………………
11 11 12 13 16 25 30 30 31 33 34
III. METODE PENELITIAN ………………………………………… 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian …………………………….…….. 3.2 Bahan …………………………………………….…………….... 3.3 Reaktor Static-mixer ……….…………………………………….
37 37 37 37
3.4 Kondisi Percobaan ……………………………………………………...
39
3.5 Prosedur Percobaan …………….………………………………. 3.5.1 Uji Performansi ………………………………………... 3.5.2 Analisis Parameter Uji ………………………...………. 3.5.3 Kinetika Reaksi .................................................................. 3.5.4 Analisis Kehilangan Panas …………………………...… 3.5.5 Analisis Energi …………………………………………...
41 41 42 42
44 44 i
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …….……………………………… 4.1 Karakteristik Teknik Reaktor ……….…………………………… 4.1.1 Uji Performansi………………..…………………………….. 4.1.2 Analisis Parameter Uji ……..…………………..……………. 4.2 Kinetika Reaksi …….…………………………………………… 4.2.1 Laju Reaksi ………………………………………………… 4.2.2 Perbandingan Reaksi menggunakan Static-mixer dan Blade agitator……………………………………………………… 4.2.3 Konstanta Laju Reaksi (k) ....................................................... 4.2.4 Energi Aktifasi (Ea) dan Frekuensi Tumbukan (A) ……….... 4.3 Analisis Energi …………….. …………………………………… 4.3.1 Analisis Kehilangan Panas ………..………………………… 4.3.2 Kebutuhan Energi untuk Proses Transesterifikasi ………..…. 4.3.3 Kebutuhan Energi untuk Pemanasan awal dan Purifikasi……… 4.3.4 Rasio Energi ………………………….……………………...
47 47 47 51 56 56 61 63 68 72 72 78 79 81
V. KESIMPULAN ……………….…………………………………….. 5.1 Kesimpulan ……...…………………………………………… 5.2 Saran ……………………………………………………….....
86 86 87
DAFTAR PUSTAKA ……………….…………………………………..
88
LAMPIRAN ………………………..……………………………………
95
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Data konsumsi BBM Indonesia tahun 2009 ....................................
2
2 Karakteristik katalis asam homogen ................................................
22
3 Karakteristik katalis asam heterogen ...............................................
22
4 Perbandingan metode katalis lipase dan alkali dalam pengolahan biodiesel………………………………………………………………
24
5 Komparasi metode katalis dan non-katalis.......................................
24
6 Petunjuk penggunaan static mixer....................................................
33
7 Hasil uji coba reaktor static-mixer....................................................
50
8 Keseimbangan masa pengolahan biodiesel dengan static-mixer…..
50
9 Konstanta laju reaksi transesterifikasi dengan static-mixer dan blade agitator ..................................................................................
65
10 Perbandingan energi aktivasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A)
70
11 Konsumsi energi untuk setiap tahap produksi biodiesel …….........
79
12 Hasil perhitungan rasio energi (Er) ……………………….…........
82
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bauran energi Indonesia tahun 2006 dan proyeksinya tahun 2025
1
2
Opsi proses transesterifikasi ………………………………..……
4
3
Kerangka pemikiran penelitian …………………………………
7
4
Reaksi alkoholisis trigliserida dengan metanol ............................
12
5
Diagram proses transesterifikasi (untuk FFA minyak < 0,5 %)
19
6
Diagram proses Es-trans (esterifikasi-transesterifikasi) untuk FFA minyak > 0,5 %) ..................................................................
20
7
Mekanisme reaksi katalis asam ....................................................
21
8
Reaksi transesterifikasi TG dan MeOH ........................................
25
9
Hubungan energi dan reaksi bahan kimia ……………………….
27
10
Jenis elemen dan housing dari static-mixer tipe helical ………..
32
11
Profil zona reaksi reaktan A dan B dalam reaktor blade agitator
35
12
Profil zona reaksi reaktan, produk, serta reaktan yang tidak bereaksi .........................................................................................
35
13
Diagram reaktor dan setting percobaan ...………………………..
49
14
Diagram rancangan (a) elemen static-mixer , (b) balde agitator
41
15
Diagram posisi pengukuran kondisi proses ...........................
42
16
Diagram alir percobaan penelitian………………………………
45
17
Sampel produk biodiesel selama proses transesterifikasi ….....…
47
18
Produk hasil pengendapan .......………………………...…...……
48
19
Proses pencucian biodiesel ..……………………………………..
48
20
Perbandingan biodiesel pada tahap transesterifikasi, pencucian, dan pengeringan ……………………..……………......................
21
FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC …………………………..…………….........................
22
49 52
Angka asam FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC ………….………………………….........
53
iv
23
Gliserol total FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC ...................................................................
24
Viskositas AME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC ...................................................................
25
67
Hubungan Konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 70o C
37
66
Hubungan konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 65o C
36
66
Hubungan konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 60o C
35
65
Hubungan konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 55o C
34
60
Hubungan konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 50o C
33
60
Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 70o C ………….…………………………….
32
58
Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 50o C .............................................................
31
58
Angka asam FAME yang dihasilkan dengan static-mixerdan blade agitator pada suhu 65o C ....................................................
30
57
Viskositas FAME yang dihasilkan dengan static-mixerdan blade agitator pada suhu 65o C ..............................................................
29
57
Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan blade agitator ................................................................................
28
56
Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan static-mixer .................................................................................
27
55
Densitas FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC ............................................................................
26
54
67
Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k) tahap awal dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer ……..
68
v
38
Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k) tahap akhir dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer………
39
69
Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k) dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan blade agitator ……………
69
40
Posisi pengukuran suhu pada reaktor, static-mixer ......................
72
41
Sebaran suhu pada tutup atas, uap keluar, heater,dan kran atas
73
42
Sebaran suhu pada pipa sirkulasi, dinding luar, static-mixer, dan kran bawah ……………………………….……………………..
43
73
Sebaran suhu pada tutup bawah, dinding dalam, glas wool, dan kran tengah ……………………………........................................
74
44
Sebaran suhu rata-rata pada reaktor……………………………
76
45
Kehilangan panas pada reaktor ………………………………..
77
46
Kebutuhan energi transesterifikasi yang dibutuhkan untuk staticmixer dan blade agitator ………….……………………………..
79
47
Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor static-mixer
80
48
Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor blade agitator ………………………………………………………….
49
Rasio energi produksi biodiesel dengan tanpa melibatkan energi purifikasi …………………………………………………...……
50
81 82
Rasio energi produksi biodiesel dengan melibatkan energi purifikasi …………………………………………….…………..
83
51
Reaktor static-mixer ……………………………………….…….
100
52
Tangki penampung (tangki pencucian) ………………………….
101
53
Rumahan (Casing) dan elemen static-mixer ......………………..
102
54
Pompa static-mixer .....………………………………..…………
103
55
Pemanas (Heater) ……………………..………………………..
103
56
Kondenser …………………………………….…………………
104
57
Kontrol panel static-mixer…………………………..……………
104
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Gambar piktorial reaktor static-mixer ..............................................
95
2 Gambar irisan reaktor static-mixer ....................................................
96
3 Tampak atas reaktor static-mixer ......................................................
97
4 Spesifikasi Reaktor Static-Mixer .....................................................
98
5 Rancangan Fungsional Reaktor Static-mixer ……………….………...
100
6 Perhitungan rancangan tangki reaktor static-mixer ……………..…
105
7 Perhitungan rancangan settling tank dan pencucian.........................
106
8 Perhitungan tenaga pompa …......................................................….
107
9 Perhitungan tenaga pemanas (Heater)...............................................
110
10 Perhitungan rancangan kondensor.....................................................
112
11 Perhitungan komposisi bahan baku
sesuai dengan rasio yang
ditetapkan dan keseimbangan massa biodiesel ...............................
115
12 kWh meter untuk pengukuran konsimsi energi..................................
116
13 Pengujian Reaktor dan pengukuran proses transesterifikasi …........
117
14 Standard Nasional Indonesia–SNI 04-718-2006 (biodiesel)..............
118
15 Data hasil pengukuran kandungan metil ester....................................
119
16 Hubungan parameter mutu biodiesel dengan waktu ................…….
120
17 Data sebaran suhu alat 70°C..............................................................
130
18 Data sebaran suhu reaktor static-mixer..............................................
131
19 Perhitungan pindah panas pada dinding tangki utama.......................
132
20 Perhitungan kehilangan panas dari dinding luar ke udara sekitar
133
21 Perhitungan kehilangan panas dari pipa ke udara luar …………......
134
22 Perhitungan kehilangan panas melalui dinding static-mixer ............
135
23 Perhitungan kehilangan panas melalui tutup atas ............................
136
24 Perhitungan kehilangan panas melalui tutup bawah ………………
137
25 Perhitungan Er suhu 50oC ……………………………………...…
138
o
26 Perhitungan Er suhu 55 C ………………………………………...........
139
vii
27 Perhitungan Er suhu 60oC ……………………………………............
140
o
141
o
29 Perhitungan Er suhu 70 C ……………………………….....………..
142
30 Roadmap biodiesel Indonesia ...........................................................
143
31 Roadmap pemanfaatan biofuel Indonesia ........................................
144
28 Perhitungan Er suhu 65 C ………………….....………………………
viii
DAFTAR SINGKATAN A
:
Frekuensi tumbukkan atau faktor pre-eksponensial (tidak berdimensi)
As
:
Angka penyabunan (mg KOH/g biodiesel)
Aa
:
Angka asam (mg KOH/g biodiesel) luas / penampang dinding tangki reaktor (m2)
Ad CN:
:
Bilangan setana (tidak berdimensi)
CP
:
Cloud Point atau titik kabut (oC)
CR
:
Residu karbon (% w/w),
Dd
:
Diameter dinding tangki reaktor (m)
DG
:
Digliserida
Ef
:
Rasio energi
Ea
:
Energi aktivasi (kj/mol)
f
:
Koefisien gesekan
FFA
:
Free fatty acyd atau kadar asam lemak bebas (% )
FP
:
Flash point atau titik nyala (oC)
g
:
percepatan gravitasi (m/det2)
GL
:
Gliserol
Gb
:
Gliserol bebas (% massa)
Gttl
:
Gliserol total (% massa)
hp
:
Tenaga motor (Watt)
h
:
koefisien pindah panas konveksi (W/m2°K),
hf
:
Kehilangan tekanan akibat gesekan (m)
hb
:
Kehilangan tekanan akibat belokan (m)
hl
:
Kehilangan tekanan akibat kran (m)
hsm
:
Kehilangan tekanan akibat static-mixer (m)
ht
:
Kehilangan total (m)
k
:
Konstanta laju reaksi transesterifikasi keseluruhan (menit -1)
k1
:
Konstanta laju reaksi transesterifikasi tahap awal (menit -1)
k2
:
Konstanta laju reaksi transesterifikasi tahap akhir (menit -1)
kn
:
Konstanta laju reaksi konversi TG, DG dan MG (menit -1)
ix
kr
:
Konstanta laju reaksi konversi TG menjadi ME (menit -1)
kl
:
Konstanta laju reaksi konversi Me menjadi TG (menit -1)
k’
:
Pseudo konstanta laju reaksi transesterifikasi (menit -1)
Kt
:
Parameter pressure drop aliran turbulen
MeOH
:
Metanol
ME
:
Kandungan metil ester (% w/w)
MG
:
Monogliserida
NNu
:
bilangan Nusselt (tidak berdimensi)
n
:
Jumlah elemen static-mixer
n
:
Jumlah mol
PP
:
Pour point atau titik tuang (oC)
NGr
:
bilangan Grashoff (tidak berdimensi)
Npr
:
bilangan Prandtl (tidak berdimensi)
p
:
Panjang pipa (m)
Q
:
Laju volumetrik (m3/menit)
qn
:
kehilangan panas (kJ),
R
:
Tetapan gas (8,31 jK-1mol-1)
Rn
:
Asam lemak, n :1,2,3....dst
RBDPO
:
Refined bleached deodorized palm olein
Re
:
Bilangan Reynolds (tidak berdimensi)
T
:
Suhu biodiesel (oC)
TG
:
Trigliserida
[ TG ]
:
Kadar trigliserida (%,w/w)
t
:
Waktu (jam)
td
:
temperatur dinding luar (°K)
tu
:
suhu udara luar (°K)
μ ME
:
unmethyl esterfied compounds
[μ ME]
:
Kadar unmethyl esterfied compounds (% w/w)
w
:
Lebar elemen
v
:
kecepatan alir (m/det)
∆LTMD
:
Perbedaan suhu logaritmik (°C)
x
DAFTAR SIMBOL ß
:
koefisien muai volume (1/K)
ρ
:
Densitas (kg/L)
μ
:
Viskositas kinematik (cSt)
μd
:
Viskositas dinamik (Pa.s)
xi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar minyak berbasis fosil seperti solar, premium (bensin), premix dan minyak tanah sangat memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan energi nasional antara lain untuk transportasi, industri, mesin pertanian, dan keperluan rumah tangga. Dilihat dari kebutuhan energi nasional, sekitar lima puluh persen bahan bakar tersebut dipasok dari bahan bakar yang berasal dari minyak bumi, sedangkan sebagian lagi dipenuhi dari sumber energi lain seperti batu bara, gas bumi, panas bumi dan tenaga air. Sumber energi terbarukan (renewable energy) seperti biomassa sejauh ini belum banyak dimanfaatkan sehingga menyebabkan bauran energi (energy mix) dirasakan masih timpang. Bauran energi di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan energi nasional adalah: minyak bumi 52 %, gas bumi 29 %, batu bara 15 %, PLTA 3 %, panas bumi 1 % dan energi terbarukan 0,2 %. Ketimpangan ini dimungkinkan karena penguasaan teknologi yang belum maksimal dan sistem pengelolaan energi yang kurang baik (Komara, 2007). Pada tahun 2025 direncanakan target bauran energi berubah dengan penurunan penggunaan minyak bumi dan peningkatan penggunaan sumber energi gas, batu bara, dan energi baru terbarukan seperti terlihat dalam Gambar 1.
Dibagi menjadi: biofuel (5%), panas bumi (5%), biomasa nuklir, tenaga air dan tenaga angin (5%), batu bara cair (2%)
Gambar 1. Bauran energi Indonesia tahun 2006 dan proyeksinya tahun 2025 (Perpres No. 5 Tahun 2006) 1
Kebutuhan energi bersifat primer dan selalu beriringan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan industri dan produksi kendaraan transportasi yang terus meningkat mengakibatkan kenaikan permintaan bahan bakar dari minyak bumi. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang terus dipacu dan membaik, bisa dipastikan konsumsi energi juga akan meningkat. Data terakhir konsumsi BBM (bensin, solar, dan minyak tanah) pada tahun 2009 disajikan dalam Tabel 1. Dalam tabel tersebut disajikan data konsumsi bahan bakar menurut sektor (industri, rumah tangga, dan transportasi) dan terlihat bahwa jenis BBM solar merupakan jumlah terbanyak dikonsumsi dengan jumlah 122,25 kL, sedangkan dilihat dari sektor maka sektor transportasi mengkonsumsi BBM kedua terbanyak yaitu 35,05 % setelah sektor industri. Tabel 1. Data Konsumsi BBM Indonesia Tahun 2008 Konsumsi Menurut Jenis (Juta kL) Jenis BBM bersubsidi Jumlah
Bensin 114,79
Solar 122,25
Minyak tanah 46,83
Jumlah 283,87
Konsumsi Menurut Sektor (%) Sektor
Industri
Transportasi
Jumlah
39,84
35,05
Rumah tangga 15,50
komersial
Lain-lain
5,06
Jumlah
4,55
100
Sumber : Pusdatin KESDM (2009). Sebagian dari kebutuhan BBM dalam negeri dipenuhi oleh minyak impor dan saat ini impor BBM mencapai 30 persen dari kebutuhan dalam negeri (Ariati, 2007). Angka tersebut relatif tinggi karena Indonesia merupakan negara penghasil minyak mentah. Di sisi lain laju peningkatan konsumsi bahan bakar minyak di dalam negeri yang semakin tinggi menyebabkan jumlah impor bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2010 diperkirakan akan meningkat 40 persen dari kebutuhan dalam negeri. Oleh sebab itu, ketergantungan impor Indonesia terhadap komoditas BBM dan minyak mentah akan terus meningkat. Di sisi lain cadangan minyak bumi Indonesia terbatas. Untuk
mengurangi
jumlah
penggunaan
BBM,
pemerintah
telah
mengeluarkan peraturan antara lain INPRES No.1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain, dan
2
PERPRES No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional yang menjelaskan target pemerintah di bidang konversi energi melalui pemanfaatan sumber energi alternatif. Biodiesel berpotensi menggantikan solar dan bisa menjadi solusi permasalahan bahan bakar minyak (BBM) di masa mendatang. Informasi yang menyatakan FAME (biodiesel) dengan stabilitas oksidasi dan termal yang lebih rendah dibanding petroleum diesel telah mendorong beberapa fihak untuk melakukan hydrogenated vegetable oil (HVO) agar stabilitas oksidasi dan oksidasi termal lebih baik dari peroleum diesel.
dengan
pertimbangan bila tidak dilakukan akan membuat FAME (biodiesel) akan tidak kompetitif dengan HVO. Sebenarnya reaksi oksidasi ini terjadi karena pengaruh oksigen atmosfir dalam biodiesel (autoxidation). Proses ini berlangsung selama transportasi dan penyimpanan biodiesel dan dalam tangki bahan bakar di kendaraan. Biodiesel termasuk golongan alkil ester dengan nama kimia alkil ester mempunyai kemiripan sifat dengan solar. Biodiesel merupakan salah satu jenis bahan bakar pengganti solar yang yang berasal dari minyak nabati yang bahan bakunya bisa diperbaharui dengan cara budidaya.
Beberapa sumber minyak
nabati yang bisa digunakan sebagai sumber bahan biodiesel adalah biji sawit, biji jarak, biji nyamplung, kelapa, kedelai dan lainnya. Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar untuk mesin diesel mempunyai beberapa keuntungan antara lain bisa mengurangi ketergantungan terhadap pasar minyak dunia, menjadikan substitusi bahan bakar solar (biosolar) dan bisa mengurangi emisi gas buang kendaraan (Wirawan, et al., 2008; Carraretto, et. al., 2004). Biodiesel merupakan metil ester (fatty acid methyl ester) yang diproses dengan cara transesterifikasi antara trigliserida yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewan dengan alkohol rantai pendek terutama metanol untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel (Mettelbach dan Remschmidt, 2004; Knothe, 2005). Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar substitusi solar harus diikuti dengan pengembangan teknologi proses yang efisien dan ekonomis. Hal ini sejalan dengan road map biodiesel yang mengharuskan menerapkan teknologi
3
yang lebih maju sejalan dengan waktu (Ariyati, 2007). Proses transesterifikasi tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan katalis atau tanpa katalis. Katalis yang digunakan dalam proses transesterifikasi (catalytic transesterification) bisa terdiri dari katalis asam, basa, dan biokatalis (enzim), sedangkan untuk untuk proses transesterifikasi tanpa katalis (non-catalytic transesterification) bisa diproses pada tekanan atmosfir dan kondisi tekanan tinggi (supercritical). Secara skematis metode-metode transesterifikasi dapat dilihat dalam Gambar 2.
Gambar 2. Opsi proses transesterifikasi (Joeliangsih, 2008; Mettelbach dan Remschmidt, 2004) Sejauh ini teknik produksi biodiesel komersil umumnya dilakukan dengan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa.
Salah satu masalah yang
dihadapi dalam menghasilkan biodiesel dengan metode ini adalah laju reaksi atau efektifitas proses transesterifikasi yang masih relatif lambat sehingga berimplikasi terhadap jumlah energi yang dibutuhkan dalam proses relatif besar (Carraretto et al., 2004; Mootabadi et al., 2008; Ajav dan Akingbehin, 2002). Untuk lebih mendapatkan proses yang lebih efisien dari proses katalis basa ini, maka perlu dikembangkan suatu rekayasa proses yang lebih efisien diilihat dari pemakaian energi, laju reaksi, waktu reaksi. Masalah dalam proses transesterifikasi katalis basa tersebut adalah sukar bercampurnya trigliserida dan metanol. Dengan mekanisme pencampuran biasa menggunakan blade agitator, frekuensi tumbukan kurang optimal bila dilakukan
4
pada putaran (rpm) yang rendah. Bahan-bahan tersebut bisa bereaksi atau proses reaksi bisa mengarah ke kanan bila diterapkan mekanisme pengadukan yang amat kuat (vigorous stirring) dan suhu yang relatif tinggi (Darnoko dan Cheryan, 2000a). Dengan kata lain dibutuhkan putaran (rpm) yang amat tinggi, di mana sebagai konsekuensinya memerlukan daya (horse power / hp) yang cukup besar. Untuk memperbaiki rekayasa proses ini maka perlu dikembangkan suatu proses pengolahan biodiesel dengan katalis basa yang mempunyai sistem pengadukan (stirring) yang lebih intensif sehingga laju reaksi lebih tinggi dari yang sudah dicapai, konstanta reaksi (k) lebih tinggi, dan energi aktivasi (Ea) yang lebih rendah. Untuk pengembangan rekayasa proses ini diperlukan suatu pendekatan rancangan peralatan yang baru. Salah satu pendekatannya adalah pemanfatan sistem pengadukan static-mixer pada reaktor biodiesel. Rasio energi (perbandingan energi output – input) di dalam suatu proses pengolahan biodiesel dapat dijadikan suatu ukuran nilai efisiensi ekonomis dan teknis selama proses berlangsung sehingga dapat dijadikan cara untuk menentukan metode yang terbaik dalam pengolahan biodiesel (Costa, 2006; Mootabadi, et al., 2008; Spath dan Mann, 2000 ). Semakin tinggi nilai rasio energi maka akan semakin efisien energi yang digunakan untuk poduksi biodiesel. Penelitian yang membahas analisis rasio energi dari pengolahan biodiesel masih belum banyak dilakukan. Sejauh ini penelitian rasio energi biodesel dilakukan dengan menggunakan reaktor konvensional (blade agitator). Dalam penelitian ini akan dilakukan proses transesterifikasi dengan menggunakan reaktor static-mixer di samping itu juga dihitung energi input untuk pemanasan awal minyak dan purifikasi (pencucian dan pengeringan). 1.2 Rumusan Masalah Sistematika perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Transesterifikasi minyak nabati menjadi biodisel dengan katalis basa masih menghasilkan laju reaksi yang rendah sehingga waktu reaksi transesterifikasi relatif masih lama (1-2 jam pada kondisi reaksi T 65 oC dan tekanan atmosfir).
5
Metode pengadukan yang banyak diterapkan masih menggunakan metode pengadukan (mixing) konvensional dalam proses produksi biodisel (blade agitator); akibatnya bila pengadukan kurang kuat mengakibatkan efektifitas reaksi (frekuensi) tumbukan berkurang serta menghasilkan nilai konstanta reaksi (k) yang relatif kecil, Konversi biodiesel (metil ester) dari minyak nabati (triglserida) dengan katalis basa dipengaruhi pengadukan (vigorous stiring), semakin tinggi rpm produksi semakin tinggi produksi/laju pembentukan metil ester.
Pengadukan
yang efektif diperkirakan dapat meningkatkan reaksi tumbukan, laju reaksi, dan meningkatkan konstanta reaksi pada proses produksi biodiesel. 1.3 Kerangka Pemikiran Waktu reaksi yang relatif
lama dan konsumsi energi yang tinggi
merupakan kendala dalam pengolahan biodiesel dari minyak nabati dengan metode katalitik basa. Lamanya reaksi disebabkan laju reaksi pembentukan metil ester (biodiesel) masih lambat.
Lambatnya pembentukan metil ester ini erat
kaitannya dengan mekanisme pengadukan yang selama ini digunakan. Umumnya pengolahan biodiesel menggunakan reaktor yang dilengkapi dengan blade agitator untuk melangsungkan reaksi transesterifikasi. Persoalan dengan sistem pengadukan bahan seperti ini adalah dua fase bahan dalam reaksi sulit bercampur. Bila putaran blade agitator tidak tinggi akan memberikan efek pencampuran yang tidak maksimal (laju reaksi yang lambat), sehingga sulit untuk mendapatkan waktu reaksi yang singkat. Untuk memecahkan masalah ini diperlukan suatu rekayasa proses dengan suatu mekanisme sehingga proses dapat dilangsungkan dengan waktu yang relatif singkat dan jumlah energi yang lebih kecil.
Salah satu
metode yang bisa
diterapkan adalah dengan penerapan sistem pengadukan statis (static-mixer). Mekanisme pengadukan dengan static-mixer adalah suatu sistem pengadukan yang
menggabungkan mekanisme pencampuran bahan dengan cara dividing
(membagi),
rotating
(memutar),
channeling
(menghubungkan),
diverting
(membelokan), dan recombining (menggabung kembali) aliran atau bahan yang dicampur. Secara skematis skema kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 3.
6
Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian 7
Sejauh ini penelitian pengolahan biodiesel dengan menggunakan staticmixer masih terbatas. Thompson (2007) melakukan penelitian pengolahan biodiesel (canola metil ester) dari minyak canola menggunakan static-mixer skala 30 ml dengan melihat pengaruh berbagai konsentrasi katalis. Reaktor static-mixer merupakan reaktor skala laboratorium dengan lebar elemen 4,9 mm dan panjang 300 mm. Hasil penelitian menunjukkan waktu pengolahan metil ester yang terbaik (total gliserol terendah) dicapai pada suhu 60 oC, konsentrasi katalis 1,5 % dengan waktu proses 30 menit. Untuk memperbaiki rekayasa proses ini diperlukan suatu rancangan peralatan yang baru yaitu reaktor static mixer yang mampu memberikan konstanta reaksi yang lebih tinggi dan memberikan efisiensi energi (rasio energi outputinput) yang tinggi. 1.4 Hipotesis Tiga hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Konstanta laju reaksi (k) dan frekuensi tumbukan (A) dapat meningkat dengan sistem pengadukan static-mixer 2. Waktu reaksi pembentukan biodiesel (fatty acid methyl ester atau FAME) dengan static-mixer akan lebih singkat dibandingkan waktu reaksi menggunakan blade agitator 3. Konsumsi energi dapat berkurang dengan penerapan static-mixer dalam reaktor pengolahan biodiesel 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji reaksi pengolahan biodiesel dari minyak
sawit
dengan
reaktor
static-mixer
sehingga
diperoleh
waktu
transesterifikasi lebih singkat dan kebutuhan energi pengolahan relatif lebih kecil dibandingkan reaktor blade agitator. Secara spesifik tujuan penelitian adalah untuk: 1. Menentukan kinetika reaksi transesterifikasi (laju reaksi, konstanta laju reaksi k, energi aktivasi Ea, dan frekuensi tumbukan A) menggunakan reaktor
8
static-mixer pada beberapa tingkat suhu yaitu 50, 55, 60, 65, dan 70oC pada tingkat suhu yang sama pada tekanan atmosfir. Sebagai pembanding proses transesterifikasi dengan menggunakan blade agitator dilakukan. 2. Mengkaji kebutuhan energi transesterifikasi, kebutuhan energi pemanasan awal dan purifikasi (pencucian dan pengeringan) dan rasio energi biodiesel dari minyak curah sawit (refined bleached deodorized palm olein RBDPO). 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk 1) memberikan informasi karakteristik transesterifikasi biodiesel dengan reaktor static-mixer, 2) memberikan informasi rancangan sebagai bahan scale up reaktor, dan 3) memberikan alternatif rancangan pengolahan biodiesel dengan waktu yang lebih singkat dan energi pengolahan biodiesel lebih kecil. 1.7 Ruang Lingkup dan Outline Disertasi Penelitian ini mengkaji pembuatan biodiesel dengan menggunakan sistem pengadukan static-mixer. Dalam proses pembuatan biodiesel tersebut digunakan bahan baku (feedstock) trigliserida (TG) dari minyak goreng sawit (RBDPO), methanol (MeOH) dengan bantuan katalis KOH. Percobaan dilakukan dengan mengunakan reaktor static-mixer dengan mereaksikan reaktan (TG, MeOH, dan katalis sebanyak 16,5 liter (kapasitas maksimum reaktor 23 liter). Secara garis besar pembuatan biodiesel terdiri dari tahap proses pemanasan awal minyak, proses transesterifikasi, dan proses purifikasi (pencucian dan pengeringan). Untuk memvalidasi hasil proses transesterifikasi dengan static-mixer maka dilakukan juga percobaan yang sama dengan menggunakan reaktor blade agitator. Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 3 pembahasan, yaitu: Pertama, pembahasan mengenai uji performansi (keseimbangan massa) dan analisis pindah panas reaktor static-mixer. Analisis pindah panas yang diamati dalam reaktor pada bagian pipa, dinding tangki, tutup atas, tutup bawah, dan staticmixer.
9
Kedua, pembahasan mengenai kajian tentang menentukan kinetika reaksi transesterifikasi (laju reaksi, konstanta laju reaksi k, energi aktivasi Ea, dan frekuensi tumbukan A) menggunakan reaktor static-mixer pada beberapa tingkat suhu yaitu
50, 55, 60, 65, and 70oC pada tekanan atmosfir.
Hasilnya
dibandingkan dengan hasil yang dicoba dengan menggunakan reaktor blade agitator pada kondisi percobaan yang sama. Ketiga, pembahasan mengenai analisis kebutuhan energi pemanasan awal, energi transesterifikasi, dan energi untuk purifikasi (pencucian dan pengeringan) dan rasio energi biodiesel dari minyak curah sawit RBDPO. Penelitian dilakukan dengan menggunakan reaktor static-mixer yang dioperasikan pada suhu 50, 55, 60, 65, and 70oC. Percobaan dengan kondisi yang sama juga dilakukan dengan reaktor blade agitator untuk memvalidasi efisiensi energi.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan sejenis bahan bakar diesel yang diproses dari bahan hayati terutama minyak nabati dan lemak hewan dan secara kimiawi dinyatakan sebagai monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang yang bersumber dari golongan lipida (Darnoko, et al., 2001; Tapasvi, et al., 2005; Ma dan Hanna, 1999). Biodiesel didefinisikan sebagai monoalkil ester rantai panjang dari asam lemak yang diderivasi dari bahan yang dapat diperbaharui (renewable feedstocks), seperti minyak nabati dan lemak hewan, untuk penggunaan penyundutan kompresi (compression-ignition) dari mesin diesel (Krawczyk, 1996). Biodiesel dianggap sebagai bahan bakar pengganti (alternatif) dari bahan bakar konvensional diesel solar yang tersusun dari metil ester asam lemak (FAME). Terminologi biodiesel berasal dari persetujuan Department of Energy (DOE), The Environmental Protection Agency (EPA) dan The American Society of Testing Materials (ASTM) sebagai salah satu energi alternatif untuk mesin diesel (ASTM, 2002; DOE, 2009; EPA 2009 ).
Istilah bio merujuk kepada bahan
terbarukan dan bahan hayati yang berbeda dari solar yang berbahan baku minyak bumi. Dalam kenyataannya, biodiesel bisa digunakan murni (100 % metil ester) atau sebagai campuran dengan perbandingan tertentu dengan bahan bakar solar. Dalam istilah perdagangan campuran biodiesel dengan solar dinamakan dengan notasi BXX. Misalnya bila campuran biosolar mengandung 5 % atau 10 % solar maka notasi masing-masing biosolar dinyatakan sebagai B5 dan B10. Biodiesel merupakan
monoalkil ester (misal: fatty acid methyl
ester/FAME) yang diproses dengan metode transesterifikasi antara trigliserida yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek terutama metanol untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel (Krawczyk, 1996; Mittelbach, and Reshmidt, 2004; Knothe, 2005).
Sehubungan dengan
proses transesterifikasi ini proses pengolahan banyak diteliti dan dikembangkan untuk mendapatkan proses yang lebih efisien.
11
2.2 Proses Transesterifikasi Reaksi transesterifikasi memegang peranan penting dalam pengolahan biodiesel dari minyak nabati (trigliserida atau TG). Reaksi transesterifikasi disebut juga reaksi alkoholisis dan proses ini sering dikaitkan dengan proses untuk mengurangi viskositas trigliserida (TG) (Otera, 1993).
Reaksi transesterifikasi
secara umum dinyatakan sebagi berikut (persamaan 1): RCOOR1 + R2OH
RCOOR2
Ester
Ester
Alkohol
+ R1OH
………………….…..…..[1]
Alkohol
Bila methanol (MeOH) digunakan dalam reaksi di atas maka reaksinya disebut metanolisis dan reaksinya bisa dilihat seperti pada Gambar 4. Untuk menjadikan biodiesel,
minyak nabati diproses secara kimia dengan cara
transesterifikasi dengan keberadaan alkohol (metanol atau etanol) dan katalis (basa atau asam) untuk menghasilkan alkil ester (biodiesel) dan gliserol sebagai hasil samping. O H2C HC
O
O
O
C O
R1
C
R2
H3C 3CH3OH
H3C
O
O
O H2C
O
C
+ + +
R1
C
R2
H2C
O R3
H3C
O
CH3OH CH3OH CH3OH
C
FAME
MeOH
TG
TG DG MG
C O
DG MG GL
+ + +
HC H2C
OH OH ............ [2] OH
R3 GL
CH3COOR1 CH3COOR2 ……......[3] CH3COOR3.
Gambar 4. Reaksi alkoholisis TG dengan MeOH reaksi keseluruhan pers. [2]; tiga reaksi berurutan dan reversibel pers. [3] (R1,2,3 = asam lemak) Trigliserida (TG) sebagai komponen utama dari minyak nabati bila direaksikan dengan dengan alkohol (misal methanol), maka ketiga rantai asam lemak akan dibebaskan dari skeleton gliserol dan bergabung dengan methanol untuk menghasilkan asam lemak alkil ester (misal asam lemak metil ester atau 12
FAME). Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi tiga tahap dan reaksi balik (reversible) yang membentuk tiga molar FAME dan satu molar gliserol (GL) dari satu molar trigliserida (TG) dan tiga molar methanol. Digliserida (DG) dan monogliserida (MG) merupakan hasil reaksi antara (intermediate). Terdapat dua jenis proses transesterifikasi
yaitu transesterifikasi dengan katalis dan
transesterifikasi tanpa katalis. Katalis diharapkan dapat mempengaruhi laju reaksi dalam memproduksi biodiesel secara katalitik pada skala komersial. 2.2.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Transesterifikasi Transesterifikasi minyak nabati menjadi biodesel merupakan suatu proses bertahap dan reversible. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain: 1) Homogenisasi reaksi (keseragaman pencampuran), 2) molar rasio antara methanol and minyak nabati, 3) suhu reaksi, 4) tekanan dalam reaksi, 5) waktu reaksi, dan 6) jenis katalis (Mettelbach dan Reshmidt, 2004). 2.2.1.1 Homogenisasi Reaksi (Pencampuran) Homogenisasi campuran dalam reaksi merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi efektifitas reaksi karena dari kondisi ini maka reaksi tumbukan akan terjadi yang pada akhirnya akan mempengaruhi laju reaksi, konstanta reaksi, energi aktivasi dan lama reaksi. Transesterifikasi tidak akan berlangsung baik bila campuran bahan tidak dihomogenisasi terutama selama tahap awal proses. Pengadukan yang kuat (vigorous stirring) merupakan salah satu metode homogenisasi yang cukup berhasil untuk proses yang dilakukan secara batch dan kontinyu (darnoko dan Cheryan, 2000).. 2.2.1.2 Rasio Molar Rasio molar antara methanol dan minyak nabati tergantung dari jenis katalis yang digunakan. Untuk menjamin reaksi transesterifikasi berlangsung ke arah kanan maka direkomendasikan menggunakan katalis berlebih. Menurut Freedman et al.,(1986), perbandingan rasio molar 6 : 1 dari methanol terhadap katalis basa bisa digunakan untuk mendapat rendemen ester yang maksimum. Rasio molar yang digunakan biasanya tidak melebihi perbandingan ini, dan bila
13
jumlah alkohol terlalu berlebih maka akan berakibat menganggu pemisahan gliserol (Srivasta dan Prasad, 2000). Rasio molar untuk proses transesterifikasi dengan katalis asam perbandingannya direkomendasikan bisa mencapai 30 : 1 (Mittelbach dan Reshmidt, 2004). 2.2.1.3 Suhu Reaksi Transesterifikasi dapat dilakukan pada berbagai tingkatan suhu tergantung dari jenis minyak nabati yang digunakan. Dalam proses metanolisis kastor oil menjadi metil risinoleat, reaksi akan berlangsung memuaskan bila dioperasikan pada suhu 20 – 35oC dengan rasio molar 6 :1 and 12 : 1 menggunakan NaOH sebagai katalis (Fredman et al., 1984). Untuk transesterifikasi minyak kedelai dengan metanol molar ratio yang digunakan adalah 6 : 1 dengan 1 % NaOH, untuk berbagai suhu transesterifikasi (Fredman et al., 1986). Setelah satu jam proses ester yang terbentuk adalah 94,87 % dan 64 % untuk suhu 45 dan 32 oC. Suhu reaksi mempengaruhi laju reaksi dan ester yang terbentuk. Yamazaki et al., (2007) menjelaskan flowrate produksi FAME meningkat dari 0,1 g/menit mulai pada suhu 250 oC menjadi 1,0 g/menit pada suhu 330 oC. 2.2.1.4 Waktu Reaksi Laju produksi transesterifikasi.
metil ester sangat dipengaruhi oleh waktu reaksi
Fredman et al. (1984) melaporkan bahwa transesterifikasi
minyak kacang, cotton seed, minyak bunga matahari, dan kedelai dengan rasio molar metanol terhadap minyak 6 : 1 dengan katalis sodium methoxide pada suhu 60oC. Hasil pengamatan menunjukkan setelah 1 menit diperoleh hasil metil ester 80 % dan mencapai maksimum setelah waktu reaksi 1 jam dengan hasil metil ester 93 -98 % (Fredman et al., 1986). Ma dan Hanna (1999) juga melaporkan bahwa pengaruh waktu reaksi dalam proses transesterifikasi lemak hewan dengan hasil metil ester 1 – 38 %. Laju produksi metil ester mencapai maksimum setelah waktu berjalan 15 menit (Fredman et al.,
1984).
Yuswono et al. (2008)
mengolah minyak minyak CPO dengan rasio molar metanol terhadap minyak 6 : 1 (katalis NaOH) dengan hasil metil ester 97 – 99 % dalam waktu 1 jam dengan
14
penghitungan waktu reaksi dimulai saat suhu bahan secara keseluruhan telah mencapai 70 oC 2.2.1.5 Tekanan Reaksi Metil ester dapat direaksikan dalam kondisi tekanan rendah dan tinggi. Secara komersil produksi biodiesel dari minyak nabati dilangsungkan pada tekanan rendah guna mengurangi biaya pengolahan dan keamanan dan umumnya dilakukan pada tekanan atmosfir.
Proses produksi biodiesel dengan tekanan
tinggi dapat dilangsungkan di atas tekanan 100 bar pada suhu 250 oC dengan kelipatan 7 hingga 8 molar ekses dalam keberadaan katalis basa (Gerpen dan Knothe, 2005).
Tekanan reaksi yang tinggi ini juga bisa dilakukan pada
transesterifikasi tanpa katalis yang dilakukan pada tekanan 8,09 MPa dan suhu optimal 350 oC (Kusdiana dan Saka, 2000). Keuntungan penggunaan tekanan tinggi dalam proses transesterifikasi adalah bahan baku yang mengandung lebih 20 % FFA dapat diolah tanpa perlakuan pendahuluan serta dapat menghasilkan gliserol kandungan tinggi dapat dihasilkan sebagai hasil samping (Kusdiana dan Saka, 2000 Kusdiana dan Saka, 2000). Pendekatan yang diusulkan Mittelbach dan Junek (1986) yaitu penggunaan tekanan rendah merupakan rekomendasi yang sudah banyak diterapkan dan berhasil dilakukan dalam mengolah biodiesel. 2.2.1.6 Jenis Katalis Untuk mencapai hasil atau rendemen yang
maksimum,
transesterifikasi
biasanya dilangsungkan dengan keberadaan katalis baik katalis basa (alkali) ataupun asam. Katalis basa yang sering digunakan adalah NaOH dan KOH. Katalis NaOH sering digunakan karena lebih reaktif dan murah. Katalis dari kompon logam, silikat, dan enzim atau biokatalis seperti enzim lipase bisa juga digunakan dalam sintesis biodiesel.
Jumlah optimum alkali basa yang baik
digunakan berkisar anatar 0,5-1,0 % dari berat minyak nabati (Fredman et al., 1984).
Katalis asam bisa juga digunakan untuk proses produksi biodiesel.
Transesterifikasi dengan katalis asam lebih lambat dari katalis basa. Katalis asam cocok untuk proses trigliserida dengan kandungan asam lemak dan kandungan air
15
yang tinggi (Aksoy et al., 1988). Contoh katalis asam yang sering digunakan adalah H2SO4 (disajikan lebih lanjut dalam sub Bab 2.2.2). 2.2.2 Penggunaan Katalis Katalis
dalam
proses
produksi
biofuel
(misal
esterifikasi
atau
transesterifikasi) merupakan suatu bahan (misal basa, asam atau enzim) yang berfungsi untuk mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan energi aktivasi (actifation energy, Ea) dan tidak mengubah kesetimbangan reaksi, serta bersifat sangat spesifik. Sebenarnya proses produksi bisa berlangsung tanpa katalis akan tetapi reaksi akan berlangsung sangat lambat, membutuhkan suhu yang tinggi dan tekanan yang tinggi pula. Umumnya untuk mencapai hasil (yields) ester yang memuaskan dalam kondisi reaksi yang sedang, produksi biodiesel dilakukan dengan keberadaan katalis yang meliputi katalis basa (alkali), asam termasuk katalis bahan transisi logam, dan katalis enzim. Menurut perbedaan fase dengan reaktan, katalis dapat dibagi menjadi katalis homogen yang memiliki fase yang sama dengan reaktannya dan katalis heterogen yang berbeda fase dengan reaktannya (contohnya, katalis padat pada campuran reaktan cair). Katalis heterogen menyediakan permukaan luas untuk tempat reaksi kimia terjadi. Agar reaksi terjadi, satu atau lebih reaktan harus tersebar pada permukaan katalis dan teradsorb ke dalamnya. Setelah reaksi selesai, produk menjauh dari permukaan katalis padat. Seringkali, perpindahan reaktan dan produk dari satu fase ke fase lainnya ini berperan dalam menurunkan energi aktivasi (Mittelbach dan Remschmidt, 2004). 2.2.2.1 Katalis Basa Kelebihan (keuntungan) penggunaan katalis basa adalah kondisi operasi dapat dilakukan dalam kondisi reaksi sedang (mild) seperti tekanan dan suhu rendah (1 atm, suhu 60-65oC ), molar rasio yang rendah (1 % dari jumlah minyak nabati), memberikan waktu reaksi yang relatif cepat (sekitar 1 jam), dan memberikan efek korosi yang rendah terhadap peralatan pengolahan (bisa digunakan jenis bahan logam berkarbon / carbon steel reaktor). Kelemahan
16
penggunaan katalis basa adalah memerlukan pengadukan yang cukup kuat sehingga merata untuk memperoleh hasil yang maksimal. Di samping itu dalam proses purifikasi biodiesel dari katalis dan bahan lainnya memerlukan waktu yang cukup lama seperti dalam proses decanting, netralisasi, washing, dan drying. (Friedman et al., 1984; Friedman et al., 1986; Noureddini and Zhu, 1997; Darnoko dan Cheryan, 2000). Saat ini hampir seluruh reaksi pengolahan biodiesel skala komersial menggunakan katalis basa homogen. Katalis yang bersifat basa lebih umum digunakan pada reaksi transesterifikasi karena menghasilkan metil ester yang tinggi dan waktu yang cepat. Konsentrasi katalis yang umum digunakan adalah 0.5-4% dari berat minyak (Mittelbach dan Reschmidt, 2004; Zhang et al., 2003,). Namun pemakaian katalis basa hanya berlangsung sempurna bila minyak dalam kondisi netral dan tanpa keberadaan air. Secara garis besar reaksi yang berlangsung disajikan dalam persamaan [4]
dan reaksi pembentukan sabun
disajikan dalam persamaan [5]. RONa Na + ROH NaOH + ROH R1COOR2 + NaOH
RORORO-
+ Na+ + Na+ + ½ H2 (g) + Na+ + H2O
R1COONa + R2OH
...….............[4]
……………............[5]
Katalis homogen selama ini telah digunakan secara luas pada produksi biodiesel, karena harganya yang murah. Walaupun begitu, untuk aplikasi industri katalis heterogen yang berwujud padat menawarkan keuntungan dibandingkan katalis homogen, yaitu mudahnya pemisahan katalis dari produk dengan cara penyaringan dan tidak perlu proses netralisasi untuk menghilangkan sisa katalis. Beberapa katalis heterogen pada proses pembuatan biodiesel menggambarkan bahwa katalis yang mengandung campuran unsur Ca dan Mg, serta katalis yang mengandung K menghasilkan rendemen metil ester yang tinggi. Katalis bersifat basa yang umum digunakan adalah basa Brönsted sederhana seperti NaOH dan KOH. Freedman et al. (1984) membandingkan penggunaan katalis basa NaOH dan NaOCH3 pada saat memproduksi biodiesel
17
dari minyak kedelai. Hasil penelitian mereka adalah bahwa jumlah katalis optimal adalah 1% NaOH atau 0,5% NaOCH3. Noureddini dan Zhu (1997) menghasilkan rendemen metil ester 80% dari minyak kedelai pada rasio molar metanol-asam lemak 6:1, suhu 60°C, laju pengadukan 300 rpm selama dua jam, dan katalis NaOH 2-4%. Freedman et al. (1984) menyebutkan metil ester dari minyak jelantah dengan kondisi terbaik pada rasio molar metanol terhadap minyak 6:1, katalis KOH 1% dan suhu 65°C. Secara komersial biodiesel banyak diproduksi dengan transesterifikasi alkali (basa) di bawah tekanan atmosfir, diproses secara batch, dioperasikan pada suhu 60 – 70 oC dengan methanol berlebih serta menggunakan katalis NaOH. Dalam proses ini metil ester akan terbentuk secara maksimal dalam waktu 60 menit. Dengan kondisi proses tersebut hasil atau kandungan metil ester yang terbentuk sekitar 97 - 99% (Freedman et al.,1984,) dan proses yang dipilih bergantung dari mutu bahan baku (minyak nabati) awal. Bila minyak mempunyai nilai FFA < 0,5 % maka bisa langsung diproses dengan transesterifikasi dengan katalis basa eperti tersaji dalam diagram proses pada Gambar 5. Bila kandungan FFA > 5 % maka proses harus dilakukan dengan Es-trans (esterifikasi-transesterifikasi). Tahap awal dilakukan netralisasi dengan mereaksikan minyak dengan metanol dan asam misal H2SO4 (proses ini disebut esterifikasi) sehingga nilai FFA minyak akan turun atau < 0,5 dan selanjutnya dilanjutkan dengan proses transesterifikasi. Proses esterifikasi dan esterifikasi-transesterifikasi (estrans) disajikan dalam Gambar 6. Setelah reaksi selesai akan terbentuk 2 lapisan, lapisan atas berupa metil ester atau biodiesel serta bagian bawah adalah gliserol. Pada metil ester yang terbentuk ditambahkan asam untuk menetralisir katalis basa dan didiamkan (settling). Untuk purifikasi lebih lanjut biodiesel yang terbentuk dicuci dengan air panas (90 oC) sehingga impurities (pengotor) seperti FFA, NaOH, sedimen terlarut. Pengeringan (drying) perlu dilakukan guna mencapai kandungan air yang serendahnya dari biodiesel, dan metanol yang tidak bereaksi (unreacted methanol) dalam biodiesel digunakan ulang (recovery) dengan jalan destilasi atau evaporasi
18
(Freedman et al., 1984; Noureddini dan Zhu, 1997; Darnoko dan Cheryan, (2000). Untuk lebih meningkatkan mutu biodiesel hasil purifikasi difilter kembali sehingga grade biodiesel akan lebih baik.
Gambar 5. Diagram proses transesterifikasi (untuk FFA minyak < 0,5 %)
19
Gambar 6. Diagram 2.2.2.2 Katalis Asam proses Es-trans (esterifikasi-transesterifikasi) untuk FFA minyak > 0,5 %) Katalis asam memberikan keuntungan antara lain cocok untuk proses pengolahan biodiesel dengan bahan baku (feedstock) dengan tingkat keasaman yang tinggi atau untuk proses / transesterifikasi (dengan asam lemak bebas yang tinggi). Oleh karena itu cocok untuk proses transesterifikasi minyak sawit atau minyak jelantah (waste edible oil), pada reaksi [6] proses esterifikasi dari asam lemak bebas, sedangkan pada persamaan [7] disajikan mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis asam. Keunggulan lain dari katalis asam adalah mampu menjadikan produk ester dengan rantai cabang yang panjang, dan katalis asam dapat digunakan dalam tahap pra-esterifikasi. Mekanisme reaksi katalis asam disajikan dalam Gambar 7. Kekurangan penggunaan katalis asam adalah: 1) memberikan reaksi yang sangat lambat (pada T 65oC, rasio molar metanol terhadap minyak 30, memerlukan waktu 50 jam), 2)
menghasilkan produk yang tidak diinginkan
(dialkil eter atau gliserol eter bila suhu reaksi dinaikan), dan 3) konversi ester menurun dengan adanya kandungan air. Transesterifikasi berkatalis asam lebih
20
toleran terhadap asam lemak bebas tinggi, tetapi membutuhkan pemanasan tinggi dan waktu yang lama (Canakci dan Gerpen, 1999). RCOOH + R’OH
H2SO4
OOR’ + H2O ..………………………………....[6]
2H+ + SO42- .………..…….…………………...….........,….[7] OR
RCOOCR1 + H+
R1
OR R1
C
C
OH+ ...................................[8]
OR OH+ + HOR’
OR R1
C
R1
C
OH
+
H+ ......................[9]
OR’ OH
R1COOR’ + HOR ..........................................[10]
OR’ Gambar 7. Mekanisme reaksi katalis asam (Schuchardt et al., 1998) Secara garis besar katalis asam terdiri dari katalis asam homogen dan katalis asam heterogen. Katalis asam homogen terdiri dari beberapa jenis yang masing-masing memberikan kinerja yang berbeda seperti terlihat dalam Tabel 2. Demikian juga dengan katalis asam heterogen mempunyai fungsi dan karakteristik yang spesifik tergantung dari jenisnya seperti dapat dilihat dalam Tabel 3. Transesterifikasi katalis asam dilakukan dalam rangka mensintesis minyak yang mempunyai nilai FFA tinggi. Katalis asam seperti asam sulfat, asam phospat, asam klorida cocok untuk reaksi yang minyak mempunyai bilangan asam lemak bebas yang tinggi. Menyerupai sistem katalis enzimatis, reaksi katalis asam memerlukan waktu reaksi jauh lebih panjang dibanding reaksi katalis basa (Nelson et al., 1996; Watanabe et al., 2001, Canakci, M dan Gerpen, 2001; Linko et al., 1998).
Proses transesterifikasi tidak banyak diterapkan dalam skala
produksi karena dianggap tidak ekonomis dan dianggap time consuming.
21
Tabel 2. Karakteristik katalis asam homogen Jenis katalis
Contoh katalis H2SO4, H3PO4
Minyak lemak Minyak nabati FFA tinggi
Asam alfatik dan sulfonik
p-toluen, xilen dan asam sulfat benzena (+H2SO4) C10-C12 asam sulfat benzena alkil, asam sulfat metana
Minyak nabati FFA tinggi
Asam Lewis dan halogenida
BF3 (NaOH), AlCl3, SnCl2, CoCl2InI3
Minyak sunflower, minyak lain
Asam mineral
&
Kondisi reaksi T 65-250o C alkohol:minyak= 5,5-30:1 waktu 3 -50 jam T 50-130o C alkohol:minyak= 3-7:1
T 80-180o C alkohol:minyak= 6:1, Waktu 8 jam
Jenis alkohol Metanol, etanol, 1butanol
Yield ester 99 %
Metanol, aqu etanol
90,5-97 %
metanol
tidak ada data
Sumber : Mittlebach dan Remschmidt (2004)
Tabel 3. Karakteristik katalis asam heterogen Jenis katalis
Contoh katalis
Minyak - lemak
Kondisi reaksi
Penukar ion kuat
H2SO4, H3PO4
Minyak nabati FFA tinggi
Fosfat logam
p-toluen, xilen dan asam sulfat benzena (+H2SO4) C10-C12 asam sulfat benzena alkil, asam sulfat metana BF3 (NaOH), SnCl2, AlCl3, CoCl2InI3
Minyak nabati FFA tinggi
T 65-250o C alkohol:minyak= 5,5-30:1 waktu 3 -50 jam T 50-130o C alkohol:minyak= 3-7:1
Logam oksida transisi Garam logam transisi dari asam amino Garam logam transisi dari asam lemak Garam logam transisi dari alkil asam sulfonik benzena dan asamsulfonik alkana
T 80-180o C alkohol:minyak= 6:1 Waktu 8 jam 3 jam
Jenis alkohol Metanol, etanol, 1butanol
Yield ester
Metanol, etanol
90,5-97 %
99 %
Zn dan Cd ariginate
Minyak sunflower, dan minyaknabati lain Palm oil dn sunflower oil
Zn dan Mn palmitat
Minyak nabati FFA tinggi
-
metanol
> 92 %
Zn, Ti, Cr, Co, Cd
Minyak nabati FFA tinggi (unrefined) dari FFA tallow
4,75 jam
metanol
96 %
metanol
tidak ada data
metanol
> 50 %
Sumber : Mittlebach dan Remschmidt (2004)
22
2.2.2.3 Katalis Enzim Katalis enzim memberikan kemampuan untuk : 1) penggunaan berulangulang hingga 50 kali tanpa kehilangan potensi katalitiknya, 2) penggunaan metanol yang sedikit. 3) katalis enzim bisa mengkonversi metil ester pada suhu, tekanan, dan pH sedang, 4) hasil reaksi memberikan proses purifikasi lebih mudah, 5) mutu gliserol yang tinggi sebagai by product, 6) menunjang pencegahan kerusakan lingkungan (mengurangi limbah cair), 7) dilakukan dalam satu tahap proses, dan 8) bisa mengolah feedstock dengan keasaman yang tinggi tanpa perlakuan awal (Choo dan Ong, 1986; Mittelbach, 1990; Nelson et al.,1996; Wu et al.,1999; Fukuda et al., 2001; Ban et al.,2001) Kekurangannya terkait dengan waktu transesterifikasi yang lama, berlangsung pada pH tertentu, cocok dengan pelarut tertentu, dan kandungan air tertentu, harga katalis yang mahal, efisiensi reaksi rendah, enzim membutuhkan imobilisasi dan membutuhkan penambahan air (10 wt %) sehingga yield ester turun drastis, serta enzim mudah untuk non aktif dalam minyak (phospolipid), sehingga minyak nabati harus dilakukan degumming
(Choo and Ong, 1986;
Nelson et al.,1996; Wu et al.,1999; Fukuda et al., 2001; Ban et al.,2001) Katalis enzim akan mudah mengubah FFA menjadi FAME
dengan
konversi yang cukup seperti untuk bahan baku minyak jelantah (Fukuda et al., 2001). Alkoholisis enzimatis masih memerlukan biaya lebih tinggi dibandingkan katalis basa. Enzim lipase sering digunakan sebagai katalis, dan hasil dari proses ini adalah gliserol yang terbentuk dapat dengan mudah digunakan tanpa proses yang rumit serta FFA dalam minyak dapat dengan mudah dikonversi menjadi metil ester. Sebagai perbandingan dari proses katalis basa dan enzimatis dapat dilihat dalam Tabel 4.
23
Tabel 4. Perbandingan Metode katalis lipase dan alkali dalam pengolahan biodiesel Parameter Katalis basa Katalis lipase 60 – 70 oC
30 – 40 oC
FFA dalam bahan
saponified products
metil ester
Air dalam bahan Hasil metil ester
bereaksi normal
tidak ada pengaruh lebih tinggi
Recovery glyserol
sulit
mudah
berulang
tidak ada
murah
relatif mahal
Suhu reaksi
Purifikasi metil ester Biaya produksi *)Sumber : (Fukuda et al., 2001)
2.2.2.4 Transesterifikasi non-Katalis Transesterifikasi non-katalis merupakan salah satu metode pengolahan biodiesel dengan tujuan pengurangan waktu reaksi, peniadaan penggunaan katalis, purifikiasi yang lebih baik, dan meningkatkan mutu hasil proses biodiesel.
Pada
Tabel 5 disajikan perbandingan karakteristik pengolahan biodiesel dengan bantuan katalis dan non-katalis. Tabel 5. Komparasi metode katalis dan non-katalis *) Parameter
Katalis
Superkritik MeOH
Waktu reaksi Kondisi reaksi
1 – 8 jam 120 – 240 detik tekanan 0,1 MPa, Tekanan > 8.09 MPa suhu 30 – 65 oC suhu > 239.4 oC Katalis basa atau asam tidak ada FFA metil ester saponified products Hasil (yield) normal lebih tinggi Hasil purifikasi metanol, katalis dan metanol saponified products Proses bertahap sederhana Konsumsi energi rendah tinggi *)Sumber : (Fukuda et al., 2001; Saka and Kusdiana, 2000)
24
2.2.3 Kinetika Reaksi 2.2.3.1 Tumbukan (collisions) Reaksi yang hanya melibatkan satu partikel mekanisme tumbukan berlangsung secara sederhana akan tetapi bila reaksi yang melibatkan tumbukan antara dua atau lebih partikel mekanisme reaksi menjadi lebih rumit. Reaksi yang melibatkan tumbukan antara dua partikel dapat bereaksi jika partikel-partikel melakukan kontak satu dengan yang lain. Partikel-partikel harus bertumbukan sehingga terjadi reaksi.
Reaksi terjadi karena kedua partikel tersebut harus
bertumbukan dengan mekanisme yang tepat, dan partikel-partikel harus bertumbukan dengan energi yang cukup untuk memutuskan ikatan-ikatan. Bila dikaitkan mekanisme tumbukan dalam proses transesterifikasi (biodiesel) antara trigliserida (TG) dan methanol (MeOH) maka dapat dijelaskan seperti dalam Gambar 8 di bawah ini.
Gambar 8. Reaksi transesterifikasi TG dan MeOH (E = ester, G = gliserida, A = alkohol, B = alkil dari alkohol) Tumbukan terjadi antara tiga molekul CH3OH atau (3A) dan satu molekul trigliserida (TG).
Keduanya bereaksi untuk menghasilkan 3 molekul fatty acid
methyl ester (FAME) dan 1 molekul gliserol (G). Sebagai hasil dari tumbukan antara satu molekul TG dan tiga molekul methanol (MeOH) berubah menjadi tiga moleklul FAME dan satu molekul GL.
Di dalam reaksi transesterifikasi,
sebenarnya antara TG dan MeOH sukar sekali untuk bersatu (bereaksi) karena
25
kedua bahan tersebut mempunyai phase yang berbeda, di samping itu TG dan MeOH mempunyai sifat elektronegatifitas yang berbeda dan menyebabkan ikatan keduanya menimbulkan tolakan karena keduanya memiliki elektronegatifitas yang tinggi (Atkins, 1986) Untuk menjadikan reaksi berlangsung dan mengarah ke sebelah kanan sehingga terbentuk 3 BE (biodiesel) maka diperlukan efek pengadukan yang sangat tinggi (vigorous stirring) yang salah satunya dipunyai oleh static-mixer yang bisa menghasilkan gaya inersia yang tinggi atau shear stress yang tinggi. Kondisi ini sangat diperlukan terutama dalam tahap-tahap awal
reaksi
transesterifikasi (persamaan 11) : k1
TG
+
CH3OH
DG
+
CH3COOR1
MG
+
CH3COOR2 …………..…[11]
GL
+
CH3COOR3
k2 DG
+
CH3OH k3
MG
+
CH3OH
Di dalam reaksi transesterifikasi seperti di atas maka nilai konstanta laju reaksi (k) harus mengikuti k1 > k2 >k3 (Levenspiel, 1972) 2.2.3.2. Energi tumbukan dan Laju Reaksi Di dalam reaksi transesterifikasi partikel-partikel tersebut tidak dapat bertumbukan melampui energi minimum yang disebut dengan energi aktivasi reaksi (Ea). Ea adalah adalah energi minimum yang diperlukan untuk melangsungkan terjadinya suatu reaksi. Secara garis besar reaksi eksotermal (termasuk reaksi transesterifikasi) dapat dijelaskan seperti Gambar 9 di bawah ini
26
Gambar 9. Hubungan energi dan reaksi bahan kimia
Ea adalah energi minimum untuk menghasilkan FAME dan gliserol dari reaktan TG dan MeOH. Jika partikel-partikel bertumbukan dengan energi yang lebih rendah dari energi aktivasi (Ea) maka fluida yang diproses masih dalam bentuk reaktan (TG dan MeOH) dan tidak akan terjadi reaksi transesterifikasi. Reaktan akan kembali ke keadaan semula energi aktivasi sebagai tembok dari reaksi. Hanya tumbukan yang memiliki energi sama atau lebih besar dari energi aktivasi yang dapat menghasilkan terjadinya reaksi (product). Di dalam reaksi kimia, ikatan-ikatan dipisahkan (membutuhkan energi) dan membentuk ikatan-ikatan baru (melepaskan energi). Umumnya, ikatan-ikatan harus diceraikan sebelum yang baru terbentuk. Energi aktivasi dilibatkan dalam menceraikan beberapa dari ikatan-ikatan tersebut (TG, DG, dan MG). Hubungan antara jumlah atau persentase (frekuensi) tumbukan energi aktivasi (Ea) dan konstanta reaksi dinyatakan dalam rumus Arhenius, dalam persamaan [12] dan konstanta laju reaksi dinyatakan dalam persamaan [13] (Levenspiel, 1972):
27
2.2.3.3 Kinetika Kimia Kinetika kimia adalah studi tentang laju reaksi atau perubahan konsentrasi reaktan (atau produk) per satuan waktu (Atkins., 1986). Laju reaksi sangat penting untuk diketahui karena mampu meramalkan kecepatan campuran reaksi mendekati keseimbangan. Tahap awal dalam analisis kinetika reaksi adalah menentukan stoikiometri reaksi dan mengenali setiap reaksi samping, maka data dasar tentang kinetika kimia adalah konsentrasi reaktan dan produk pada waktu yang berbeda-beda setelah reaksi dimulai. Karena reaksi kimia pada umumnya peka terhadap suhu, maka suhu campuran reaksi harus dijaga konstan selama reaksi berlangsung, jika tidak maka laju reaksi yang diamati akan merupakan laju rata-rata pada temperatur yang berbeda-beda yang tidak berarti (Atkins, 1986). Faktor yang mempengaruhi laju reaksi antara lain adalah sifat alami reaktan, konsentrasi reaktan, suhu, dan adanya katalis. Hukum laju reaksi adalah persamaan yang menyatakan laju reaksi sebagai fungsi dari konsentrasi semua spesies yang ada, termasuk produknya. Konstanta laju reaksi (k) tidak bergantung pada konsentrasi, tetapi bergantung pada temperatur. Hukum laju reaksi ditentukan secara eksperimen dan umumnya tidak dapat diduga dari persamaan reaksi. Dengan diketahuinya hukum laju reaksi dan konstanta laju maka laju reaksi dapat diramalkan dari komposisi campurannya, selain itu hukum laju merupakan pemandu untuk mekanisme reaksi. Orde dari suatu reaksi menggambarkan bentuk matematika yang dapat ditunjukkan oleh hasil percobaan (Atkins, 1986). Orde reaksi hanya dapat ditentukan berdasarkan eksperimen, dan hanya dapat diramalkan jika suatu mekanisme reaksi diketahui. Orde reaksi terhadap suatu komponen merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu di dalam hukum laju, sedangkan orde keseluruhan reaksi adalah penjumlahan orde semua komponennya (Atkins, 1996).
28
Secara umum laju reaksi bertambah dengan naiknya temperatur. Pengamatan empiris menunjukkan bahwa reaksi mempunyai konstanta laju yang mentaati persamaan Arrhenius (Atkins, 1996): Ln k = ln A – Ea/RT ………...………………………………………..…..…..[12] Untuk kebanyakan reaksi ternyata grafik antara ln k terhadap 1/T menghasilkan garis lurus. Persamaan Arrhenius sering dituliskan sebagai: k = A e – Ea/RT ………...…………………………………………...……..……[13] A disebut faktor praeksponensial atau frekuensi tumbukan dan Ea merupakan energi pengaktifan atau energi aktivasi. Energi aktivasi merupakan energi minimum yang harus dimiliki reaktan untuk berlangsungnya proses, sedangkan faktor praeksponensial ditafsirkan sebagai fraksi tumbukan yang mempunyai cukup energi untuk menghasilkan reaksi. Secara bersamaan keduanya disebut parameter Arrhenius reaksi (Atkins, 1996). Secara garis besar (reaksi secara keseluruhan) dari reaksi trasnesterifikasi dapat dituliskan sebagai nerikut (persamaan 14): kr TG + 3 CH3OH TG + 3CH3OH kl
3 CH3COOR + GL ………………………….……[14] ⇔ 3CH3COOR + GL ..............................[10]
Karena reaksi yang berlangsung merupakan reaksi bolak-balik dan mengikuti reaksi orde pertama , konstanta reaksi (k) ke arah kanan berdasarkan k1 dan ke arah kiri berdasarkan k2 sehingga reaksi mengikuti pseudo orde pertrama k’. Kalau dimisalkan reaksi 11 dengan
reaksi yang
dituliskan sebagai berikut
(persamaan 15) kr D + C …………………...…………………………..…[15]
A + B kl
29
Laju reaksi pengurangan reaktan A adalah : - dCA / dt = k r CA - k l CA = (k r - k l) CA = k ’ CA dCA / CA = k ’ dt ln CA = k’ t , ( batas integrasi CA dan CAo ), CAo adalah konsentrasi awal CA CA / CA o = e - k ’ t CA = CA o e - k ’ t Untuk jumlah masa metil ester asam lemak (D) ekivalen dengan : CD = 3 (CA o - CA) CD = 3 (CA o - CA o e - k ’ t) CD = 3 CA o (1- e - k ’ t) C Me = 3 C awal TG (1- e - k ’ t)
..................................................................[16]
Me adalah konsentrasi metil ester, dan sehingga jumlah mol metil ester yang terbentuk 3 kali mol awal TG dikalikan (1- e - k ’ t) 2.3. Static-mixer 2.3.1 Profil Turbulensi Fluida dalam Static-mixer Static-mixer merupakan rangkaian elemen untuk pencampuran yang diletakkan dalam sebuah pipa dan menggunakan energi dari aliran untuk menciptakan pencampuran antara dua atau lebih fluida (Oldshue, 1983; Paul et al., 2003).
Static-mixer merupakan satu jenis mixer yang mempunyai kehilangan
tekanan yang sangat rendah di samping memberikan efek getaran yang sangat rendah sehingga dikenal sebagai motionless mixer. Dalam operasionalnya input tenaga listrik static-mixer yang diperlukan cukup rendah dibandingkan dengan jenis mixer lainnya. Static-mixer dapat diaplikasikan untuk mencampur fluida yang mempunyai viskositas rendah, viskositas tinggi, material berserat (fibrous materials) dan untuk keperluan proses blending (Odlshue, 1983; Paul, 2003). Dalam operasinya static-mixer ditempatkan dalam pipa dan pada kedua ujung pipa dibuat flens. Struktur bagian dalam static-mixer bersifat rigid dan dihubungkan dengan cara pengelasan dengan housing atau bisa juga dilepas
30
(removable). Umumnya panjang static-mixer mencapai 10 inci dengan diameter 1 inci dengan bahan yang beerasal dari metil, fiberglass, atau polyester (FRP). Dalam operasinya static-mixer berada dalam posisi tidak bergerak (stationary) dan proses mixing terjadi dari proses aliran yang melalui mixer. Static-mixer terdiri dari beberapa elemen atau beberapa seri pitch yang berulang (basic flight unit) sepanjang ruang static-mixer (mixing chamber) (Paul, 2003).. Nomenclature static-mixer sejauh ini belum seragam dan referensi tentang static-mixer banyak berasal dari beberapa buku manual produsen static-mixer. Static-mixer bisa mengintensifkan proses fisik dan kimia dan menciptakan aliran
turbulensi
untuk
meningkatkan
efektifitas
Mekanisme
mixing.
pencampuran fluida yang dihasilkannya terdiri dari: 1) pembagian (dividing), 2) pembelokkan, 3) pemutaran (rotating), 4) penghubungan (channelling). Pencampuran
tersebut
bisa
meningkatkan
homogenitas
dan
mencegah
sedimentasi.
Mekanisme pengadukan ini juga menghasilkan getaran yang
minimal (motionless mixer) serta memberikan kehilangan tekanan yang minimal (low pressure loss). Static-mixer dikendalikan oleh auxiliary equipment seperti as, speed reducer, dan motor listrik (Oldshue, 1983). Mekanisme aliran dalam static-mixer adalah pada tahap awal fluida dipecah dalam elemen pertama, dan aliran (channel) yang dihasilkan kemudian diputar 180o . Setiap channel dipecah kembali dan diputar 180o dalam arah yang berlawanan. Posisi elemen diatur sedemikian rupa sehingga membentuk sudut 90o. Proses pembagian (division), pemutaran (rotation), dan pengaliran (flow) yang terjadi secara reversal akan meningkat dengan bertambahnya jumlah perputaran (travel) selama melalui ruang pencampuran (mixing chamber). Menurut Oldshoe (1983) jumlah lapisan yang terbentuk ekivalen dengan 2 kali lipat jumlah elemen yang ada. Pada Gambar 10 (a) disajikan profil aliran dalam static-mixer. 2.3.2 Jenis Static-mixer Jenis static-mixer antara lain 1) blade design static-mixer, 2) helical design static-mixer, 3) non-clog static-mixer, dan 4) wafer style mixer (Oldshue, 1983; Koflo corp, 2006; Kenics corp, 2007). Blade design Static-mixer dirancang terutama untuk fluida dengan viskositas rendah hingga sedang, helical design 31
static-mixer dirancang untuk dua aliran fluida dengan viskositas tinggi atau untuk mencampur (blending) dua atau lebih bahan (ingredients), non-clog static-mixer digunakan untuk mencampur bahan-bahan yang berserat (fibrous materials), dan wafer style mixer diaplikasikan untuk pencampuran aliran bahan yang mempunyai kecepatan tinggi atau bahan-bahan yang dicampur mempunyai masalah dengan kepanjangan pipa. Pada Gambar 10 (b). dapat dilihat salah satu jenis static-mixer jenis helical.
(a) Profil turbulensi static-mixer
(b) Elemen static-mixer jenis helical Gambar 10. Profil turbulensi static mixer dan jenis elemen tipe helical 32
2.3.3 Aplikasi Static-mixer Secara garis besar klasifikasi atau pemakaian static-mixer terbagi dalam bidang-bidang sebgai berikut : 1. Umum (General Use) Untuk reaksi pengadukan biasa, ekstraksi, pewarnaan, polimerisasi, emulsifikasi, netralisasi, pindah panas, pengendalian pH, netralisasi, pencampuran gas dan serbuk. Bahan berasal dari : Carbon Steel, 304SS, 316SS, PVC, Teflon, PP, PE, dan lainnya 2. Pangan dan Farmasi Untuk pengadukan edible oil, mayonnaise, es krim, coklat, minuman, susu, kecap, dan pengadukan bahan-bahan farmasi, bahan biasanya terbuat dari metil stainless steel (304SS, 316SS) 3. Pilot Plant Biasanya digunakan untuk pengadukan dalam jumlah kecil resin dan hardener, bahan biasanya terbuat dari metil (304SS, 316SS, Glass atau Acrylic Housing dengan 304SS atau 316SS element) 4. Viscous Fluids/High Pressure Digunakan untuk mengaduk polimer cair dan resin, pencampuran dan distribusi panas, pencampuran fluida dengan kecepatan tinggi. Bahan konstruksi biasanya terbuat dari metil Carbon Steel, 304SS, 316SS, 316SS TI 5. High Shear Mixers (HSM) Digunakan untuk pencampuran yang efektif dari dispersi larutan dengan berbagai viskositas, untuk waktu pengadukan yang pendek, untuk reaksi bahanbahan kimia (cair dan gas) yang mempunyai viskositas rendah.
Beberapa
(guidelines) penggunaan static-mixer disajikan dalam Tabel 6 di bawah ini
33
Tabel 6. Petunjuk penggunaan static-mixer Applikasi
Kecepatan
Jumlah elemen
Material (bahan konstruksi)
1-3 fps
2-4
FRP
3-5 fps
2-4
1-3 fps Chemical Premixing 3-5 fps Polymer Dilution 1-2 fps Polymer Addition 3-5 fps PH Adjustment Chlorination/Dechlorination 1-5 fps Liquid/Liquid
2-4
Stainless Steel, FRP, PVC Stainless Steel, FRP, PVC Stainless Steel, PVC FRP, PVC FRP, PVC
Raw Water Blending Flash mixing
4-10 fps Gas/Liquid 8-10 fps In-line Aeration 10-12 fps (60 psi) Dissolved Air Flotation 1-3 fps Sludge Blending Sumber: Paul (2003)
6-12 6-12 4-6 2-4 4-6 4-6 4-6
Stainless Steel, FRP, PVC FRP, Stainless Steel Stainless Steel, FRP Stainless Steel
4-6
Stainless Steel, FRP
2.4. Blade agitator Sejauh ini reaktor transesterifikasi biodiesel skala pilot plant atau skala produksi masih menggunakan blade agitator atau reaktor CSTR (continous stirrer tank reaktor). Komponen utama untuk reaktor transesterifikasi tersebut terdiri dari tangki reaktor, pemanas (heater) dari steam, pengaduk (blade agitator), serta pompa transfer untuk pengaliran atau sirkulasi produk. Kekurangan reaktor ini yaitu turbulensi yang dihasilkan kurang intensif dan menimbulkan vortex atau shear stress
yang tidak maksimal karena fluida hanya diputar dibandingkan
dengan mekanisme homogenisasi yang terjadi pada static-mixer.
Menurut
Levenspiel (1972), bila reaktan/fluida A dan reaktan B dicampur dengan menggunakan blade agitator maka bila terjadi reaksi, reaksi yang terbentuk berada pada suatu zona reaksi sekitar as pengaduk blade agitator, di samping itu akan terbentuk pula zona non-homgen di mana terdapat reaktan yang masih belum bereaksi (Gambar 11). Bila reaktan yang bereaksi antara A dan B membentuk R kemudian R beraksi dengan B membentuk S maka profil zona reaksi masingmasing reaktan dan produk akan terlihat seperti Gambar 12 (Levenspiel, 1972).
34
Zona non-homogen
Zona reaksi reaktan A dan B
Gambar 11. Profil zona reaksi reaktan A dan B dalam reaktor blade agitator (Levenspiel, 1972)
kadar A tinggi
Zona reaksi
kadar B tinggi
Konsentrasi A + B →R R + B→ S
jarak Gambar 12. Profil zona reaksi reaktan, produk, serta reaktan yang tidak bereaksi (Levenspiel, 1972) 35
Di dalam suatu reaktor pencampur di atas fluida yang masuk segera akan didispersikan (disebarkan) di dalam tangki. Apabila homogenisasi dalam tangki dilakukan dengan sistem kontinyu (terdapat bagian input dan out put) beberapa bahan pereaksi akan berada lebih lama dalam tangki dari pada mean residence time (waktu tinggal) dan beberapa bagian lainnya akan berada (tinggal) lebih pendek waktunya (Oldshoe et al, 1983). Jenis reaktor / tangki dengan blade agitator) khususnya berguna untuk sistem pengadukan dengan selang konsentrasi mutu yang dihasilkan lebih besar. Jenis tangki dengan balade agitator ini cocok untuk reaksi berordo nol
untuk berbagai tingkat volume yang diinginkan.
Sedangkan umumnya proses transesterifikasi biodiesel berordo 1, sehingga dengan demikian untuk reaktor dengan blade agitator dalam mengefektifkan homogenisasi campuran dan meningkatkan konversi FAME dibutuhkan pengadukan yang kuat (vigorous stirring) dan waktu lebih lama.
Salah satu
penelitian yang dilakukan berkaitan dengan hal ini dilakukan oleh Yamazaki et al (2007) menyatakan bahwa production rate FAME meningkat dari 0,28 gram/menit menjadi 0,3 gram/menit ketika putaran homogenisasi dinaikan dari 400 rpm menjadi 700 rpm. Hasil pengujian menunjukkan dalam tangki pengadukan dengan blade agitator atau column mixer yang mempunyai kapasitas homogenisasi antara 1 hingga 15 000 galon/menit (3,8 hingga 5,7 x 104 liter/menit) dalam tangki yang berkapasitas antara 1 hingga 100 galon (3,8 hingga 380 liter) retention time yang diperlukan berkisar antara waktu beberapa menit hingga jam, akan tetapi bila menggunakan static-mixer atau conventional in-line blender dengan hasil homogenisasi yang sama dibutuhkan waktu homogenisasi (retention time) bisa dalam dalam hitungan detik (Oldshoe, 1983).
36
III. METODA PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Proses Balai Besar Industri Agro (BBIA), Jalan Ir. H. Juanda No 11 Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Maret 2008 sampai dengan bulan September 2009. Pengerjaan konstruksi rancangan alat dibuat di bengkel lokal Kota Bogor (untuk tangki transesterifikasi dan decanter) dan di bengkel kota Tangerang (untuk elemen static-mixer). 3.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama yaitu minyak goreng curah (Refined Bleached Deodorized Palm Olein-RBDPO) dan bahan penolong yang terdiri dari methanol (MeOH), dan katalis kalium hidroksida (KOH), serta bahan kimia lain yang digunakan untuk pengujian bahan dan hasil proses biodiesel. Karakteristik RBDPO adalah sebagai berikut: angka asam (0,41 mg KOH/g minyak), angka penyabunan (212,9 mg KOH/g minyak), asam lemak bebas-FFA (0,1 %), kandungan air (0,3%), dan berat jenis
(0,84 g/ml).
Kemurnian MeOH adalah 99% dan kemurnian KOH adalah 66 % sebagai katalis. Bahan kimia untuk pengujian mutu biodiesel terdiri dari etanol, toluen, kloroform, NaOH, Na2CO3, indikator PP (fenolftaline), asam oksalat, natrium borax, dan kalium iodida. Seluruh bahan kimia tersebut mempunyai kualitas analytical grade dan digunakan untuk menganalisis parameter mutu biodiesel anatara lain
gliserol bebas, gliserol total, methil ester, angka penyabunan,
bilangan asam, dan kandungan asam lemak bebas (FFA). 3.3 Reaktor Static-mixer Untuk melaksanakan percobaan dirancang reaktor static-mixer dengan volume percobaan reaktor 16,5 liter (kapasitas maksimum 23 liter). Reaktor static-mixer terdiri dari: 1) tangki utama, 2) static-mixer, 3) kondenser untuk mengkondensasi MeOH (reflux condenser), 4) pompa untuk sirkulasi reaktan (125 watt), 5) inlet untuk input bahan baku (minyak curah, metanol, dan KOH), 6) 37
tempat pengambilan sampel, 7) heater (untuk pemanasan minyak, 1550 Watt), 8) outlet produk, 9)
kaca pengamatan (sight glass), 10)
rangka, 11) tangki
pencucian, 12) inlet pencucian, 13) outlet pencucian. Pada Gambar 13 disajikan gambar reaktor static-mixer beserta komponen utamanaya. Pada Gambar 14 disajikan experimental setting percobaan static-mixer dan blade agitator, Gambar teknis reaktor static-mixer hasil rancangan disajikan dalam Lampiran 1, 2, dan 3. PadaLlampiran 4 dan 5 disajikan spesifikasi reaktor staticmixer dan rancangan fungsional reaktor. Pada Lampiran 6 dan 7 disajikan analisis teknik tangki utama static-mixer dan tangki pencucian, sedangkan pada Lampiran 8 dan 9 disajikan analisis teknik tenaga pompa/motor dan pemanas (heater). Pada Lampiran 10 disajikan analisis teknik pendingin (kondensor) Static-mixer terdiri dari 5 buah elemen dan setiap elemen berukuran pajang 6 cm, dan lebar 5 cm. Static-mixer diletakkan dalam pipa yang berukuran panjang 30 cm dan diameter dalam 5 cm. Reaktor dilengkapi dengan blade agitator yang digunakan untuk memperoleh perbandingan data. Kecepatan aliran campuran reaktan dalam static-mixer adalah 1,25 m/detik (kecepatan alir maksimum).
Pengukuran kecepatan dilakukan secara manual dengan cara
mengukur laju volumetrik atau volume per menit dibagi dengan luas penampang pipa. Posisi pengukuran laju aliran reaktan dan skema dari static-mixer disajikan dalam Gambar 16. Tangki pencucian berfungsi sebagai tempat untuk menampung produk hasil reaksi. Tangki penampung berbentuk silinder yang memiliki cekungan pada bagian dasarnya. Terbuat dari stainless steel dengan diameter 30 cm, tinggi 40 cm dan tinggi bagian kerucut adalah 15 cm.
38
Gambar 13. Diagram reaktor static-mixer (a) elemen (b) reaktor, (c) tangki pencucian 3.4
Kondisi Percobaan (Experimental condition)
Secara garis besar kondisi percobaan yang diberikan dapat dijelaskan sebagai berikut: Static-mixer: Bahan : Minyak curah (RBDCO), metanol, KOH (11 liter : 5,5 liter : 101 gram) Rasio molar TG : MeOH = 1 : 11,5 Kecepatan aliran dalam pipa : 1,25 m/detik Perlakuan suhu percobaan : 50,55,60,65,70°C Spesifikasi elemen :
Panjang pipa (p) = 30 cm Diameter dalam pipa = 5 cm Jumlah elemen (n) = 5 Panjang elemen = 6 cm Lebar elemen (w) = 5 cm (a) Spesifikasi static mixer
39
Blade agitator : Bahan : Minyak curah (RBDCO), metanol, KOH (11 liter : 5,5 liter : 101 gram) Rasio molar TG : MeOH = 1 : 11,5 RPM : 150 Perlakuan suhu percobaan : 50,55,60,65,70°C Spesifikasi blade agitator :
(b) spesifikasi blade agitator
40
Gambar 14. Diagram setting percobaan static-mixer dan blade agitator 3.5 Prosedur Percobaan 3.5.1 Uji Performansi Pada Gambar 15 disajikan flow proses pembuatan biodiesel dalam uji performansi reaktor biodiesel.
Uji performansi dilakukan dengan mengamati
analisis keseimbangan massa dengan mengukur dan menghitung massa input (MeOH, TG, KOH) dan massa ouput (produk biodiesel kasar, GL kasar) serta loss yang terjadi. Minyak dipanaskan hingga suhu yang ditentukan tercapai dan pada saat yang sama metanol dipanaskan. Perlakuan suhu transesterifikasi terdiri dari proses yang dilakukan pada suhu 50, 55, 60, 65, dan 70oC. Sampel diambil pada selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 55, 60, 65, 70 dan 90 menit. Setelah proses transesterifikasi hasil proses diendapkan dalam settling tank sehingga terbentuk 2 lapisan (bagian atas biodiesel kasar dan bagian bawah dalah gliserol kasar).
Biodiesel kasar kemudian dicuci dan dikeringkan serta dianalisa
berdasarkan standard SNI 04-7128-2006 untuk biodiesel.
41
Pemanasan MeOH Pemanasan awal RBDPO (TG) sampai T50,55,60,65,atau 70°C
KOH
Pompa static-mixer (on) Sampling dan Analsis mutu (SNI 04-7182-2006
Transesterifikasi
T=f{50,55,60,65,70°C} }
Pengendapan Pemisahan ME dan GL Pencucian
Pengeringan
Suhu 90
30 menit, T 110 oC
Gambar 15. Diagram alir percobaan penelitian
3.5.2 Analisis Parameter Uji Parameter uji dalam penelitian ini terdiri dari parameter mutu utama yang antara lain kadar metil ester karena menunjukkan besarnya perubahan reaktan TG menjadi metil ester. Dalam penentuannya dibutuhkan nilai bilangan asam, dan kadar gliserol total. Selain itu, keberhasilan produksi biodiesel dilihat dari tingkat viskositasnya karena tujuan transesterifikasi adalah memperoleh ester dengan kekentalan yang menyerupai bahan bakar solar.
Hasil analisis parameter uji
tersebut dibandingkan dengan standard mutu biodiseel yang dipersyaratkan yaitu SNI 04-7128-2006 untuk mengetahui apakah mutu biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
42
3.5.3 Kinetika Reaksi Proses transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan minyak sawit (TG) dengan MeOH dengan rasio molar 1 : 11,5, sedangkan KOH digunakan sebagai katalis dengan jumlah 1 % dari berat minyak sawit. Metanol diberikan dalam jumlah berlebih agar reaksi transesterifikasi selalu mengarah ke kanan (persamaan 17). Berdasarkan persamaan tersebut jumlah minyak yang direaksikan adalah 11 liter, metanol 5,5 liter dan KOH 100 gram. Perlakuan suhu transesterifikasi terdiri dari proses yang dilakukan pada suhu 50, 55, 60, 65, dan 70oC. Perhitungan jumlah reaktan berdasarkan rasio molar di atas disajikan dalam lampiran 11. TG
3 MeOH
3 ME
GL
……...………………..…….[17]
Pompa sirkulasi static-mixer dioperasikan pada kecepatan maksimum yaitu 1,25 m/detik. Pengukuran laju aliran dilakukan secara manual dengan mengukur jumlah volume per menit dibagi dengan luas penampang pipa. Posisi pengukuran kecepatan alir reaktan atau biodiesel disajikan dalam Gambar 13. Sampel diambil (dengan jumlah 2 sampel) pada selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 55, 60, 65, 70 dan 90 menit.
Sampel ditampung dalam glass jar untuk kemudian
diendapkan (settling) hingga terbentuk 2 lapisan (bagian atas biodiesel kasar dan bagian bawah dalah gliserol kasar).
Biodiesel kasar kemudian dicuci dan
dikeringkan serta dianalisa sesuai standard SNI 04-7128-2006 untuk biodiesel. Pengujian dilakukan untuk beberapa parameter mutu antara lain untuk: gliserol bebas dan total gliserol dengan metoda uji (AOCS: Ca 14-56), kandungan metil ester (biodiesel), angka asam (AOCS: Cd 3-63), angka penyabunan (AOCS: Cd 325), dan viskositas. Standard Biodiesel SNI No. 04-7182-2006 untuk perhitungan kandungan metil ester disajikan dalam persamaan [18] ME % w/w
100 (A
A
4.57 G
/A ………………………….[18]
di mana: As : angka penyabunan biodiesel ditentukan berdasarkan dengan metode AOCS Cd 3-25 (mg KOH/g biodiesel) Aa : angka asam biodiesel ditentukan berdasarkan dengan metode AOCS Cd 3-63, (mg KOH/g biodiesel) Gttl : gliserol total dalam biodiesel ditentukan berdasarkan dengan metode AOCS Ca 14-56 (% w/w) 43
Selama proses pengolahan dilakukan pengambilan sampel hasil untuk dianalisis. Pengukuran dilakukan untuk selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 55, 60, 65, 70, 80, dan 90 menit. Tujuan pengukuran hasil adalah untuk mengetahui waktu yang diperlukan proses transesterifikasi untuk mencapai kandungan metil ester standard (96,5 % w/w)). Posisi pengambilan sampel untuk masing-masing percobaan baik reaktor static-mixer dan blade agitator disajikan dalam Gambar 16. Parameter mutu metil ester dianalisa dengan menggunakan metoda uji bioddiesel SNI 04-7128-2006. Pada Gambar 15 disajikan flow proses pembuatan biodiesel secara keseluruhan. 3.5.4 Analisis Kehilangan Panas Analisis kehilangan panas pada reaktor dilakukan dengan cara pengukuran suhu dilakukan terhadap 13 titik pengukuran, yakni suhu pada :
1) uap MeOH
keluar, 2) tutup atas 3) kran sampel atas 4) kran sampel tengah, 5) heater, 6) tutup bawah, 7). kran sampel bawah, 8) dinding luar, 9) glasswool, 10) dinding static-mixer,
11) dinding dalam,
12) pipa,
13) lingkungan. Data hasil
pengukuran suhu tersebut digunakan untuk mengukur kehilangan panas pada dinding tangki utama (q1), kehilangan panas dari dinding luar ke udara sekitar (q2), kehilangan panas dari pipa ke udara luar (q3), kehilangan panas melalui dinding static-mixer (q4), kehilangan panas melalui tutup atas (q5), dan kehilangan panas melalui tutup bawah (q6). 3.5.5 Analisis Energi Pengukuran energi dilakukan dengan menggunakan kWh-meter pada pemanas (heater) dan pompa. Pengukuran energi untuk heater dilakukan pada tahap: 1) pemanasan awal minyak, 2) proses transesterifikasi, 3) pemanasan air dan pencucian, dan 4) pengeringan biodiesel. Pengukuran energi untuk pompa digunakan untuk: 1) pengaliran dan pencampuran reaktan 2) distribusi air panas untuk pencucian, 3) pengaliran atau distribusi biodiesel untuk pengeringan, dan 4) tenaga motor blade gitator.
Pengukuran dan pengamatan dalam proses
transesterifikasi dilakukan hingga kandungan metil ester persyaratan minimum memenuhi yang dipersyaratkan Standard National Indonesia (SNI) yaitu 96.5%.
44
Secara skematis diagram produksi biodiesel dan pengukuran energi dengan kWhmeter disajikan dalam Gambar 16. Pada lampiran 12 disajikan gambar kWh meter untuk pengukuran konsumsi energi.
Gambar 16.
Diagram posisi pengukuran kondisi proses (a) static-mixer , (b) reaktor, dan (c) tangki pencucian
Energi yang dibutuhkan untuk memproduksi biodiesel (Qin) dihitung dengan menjumlahkan energi untuk pemanasan awal RBDPO dan MeOH (Epemanasan
awal),
energi untuk proses transesterifikasi (Etrans), dan energi untuk
proses purifikasi atau untuk pencucian dan pengeringan biodiesel (Epurifikasi) seperti yang disajikan dalam persamaan [19]. Energi untuk pencucian adalah energi untuk memanaskan 30 liter air hingga temperatur 90°C sedangkan energi untuk pengeringan adalah energi yang digunakan untuk menguapkan air selama 30 menit pada temperatur 110°C. Pengujian Reaktor dan pengukuran proses transesterifikasi disajikan dalam lampiran 13.
45
Q
E
E
E
f
…………………......................[19]
Energi untuk proses transesterifikasi (Etrans) dihitung dengan menjumlahkan energi yang dibutuhkan untuk proses pemanasan campuran TG, MeOH, dan katalis (Eheating-mix) dalam proses transesterifikasi dan energi untuk motor /pompa staticmixer (Emotor) seperti disajikan dalam persamaan [20] E
E
E
…………………..……………...…....………....[20]
Rasio energi (Er) didefinisikan sebagai perbedaan kandungan energi dari biodiesel yang dihasilkan (Q2) dikurangi dengan energi yang terkandung dalam RBDPO sebelum proses transesterifikasi (Q1) dibagi dengan energi yang dibutuhkan untuk proses pengolahan biodiesel (Qin). Dalam analisa energi ini kandungan energi didasarkan atas kandungan energi low heating value (LHV). Menurut Pischinger et al., (1982) LHV dari biodiesel dari minyak curah atau palm oil (Q2) adalah 37.8 MJ/kg, sedangkan LHV dari RBDPO (Q1) adalah 36.70 MJ/kg (Gros, 2009). Persamaan rasio energi dalam produksi biodiesel disajikan dalam persamaan [21] dan [22]. TG
3MeOH
Q1
E
3ME Qin
GL......................................................................[21]
Q2
.................................................................................................[22]
di mana : Qin : jumlah energi pemanasan awal, transesterifikasi, dan purifikasi (kJ/kg) Q2 : nilai kalor biodiesel dari RBDPO sebesar 37.8 MJ/kg (Pischinger et al.,1982) Q1 : nilai kalor RBDPO sebesar 36.70 MJ/kg (Gros, 2009)
46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Teknik Reaktor 4.1.1 Uji Performansi Secara garis besar proses produksi biodiesel yang dilakukan terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap proses (pemanasan awal dan transesterifikasi), tahap pemisahan (pengendapan) dan purifikasi. Selama proses transesterifikasi yang berlangsung 90 menit diambil sampel (Gambar 17) untuk dianalisis mutunya sesuai standard SNI No. 04-7182-2006 (Lampiran 14). Produk yang dihasilkan selama pembuatan biodiesel melalui proses transesterefikasi dengan menggunakan reaktor static-mixer selanjutnya diendapkan (Gambar 18).
Biodiesel yang
dihasilkan pada tahap proses adalah biodiesel kasar yang bercampur dengan gliserol, sabun, sisa katalis, dan sebagainya.
Pengendapan dilakukan untuk
memudahkan proses pemisahan etil ester dan gliserol dan bahan lain yang memiliki massa jenis lebih besar dari metil ester.
Pada lapisan atas terdapat
campuran metil ester dengan metanol, sedangkan lapisan bawah yang berwarna kecoklatan dan lebih kental adalah gliserol (Gambar 16). Gliserol kemudian dialirkan melalui corong pada bagian bawah tangki pemisah. Dari gambar terlihat biodiesel kasar yang masih mengandung metanol dan sabun berada pada lapisan atas. Biodiesel kasar terlihat berwarna kuning keemasan. Sedangkan gliserol yang berada pada lapisan paling bawah memiliki warna merah kecoklatan.
Biodiesel kasar
Gliserol kasar
Gambar 17. Sampel produk biodiesel selama proses transesterifikasi
47
Biodiesel kasar
Gliserol kasar
Gambar 18. Produk hasil pengendapan Pada saat awal pencucian biodiesel kasar, air hasil pencucian akan berwarna putih susu, seperti pada Gambar 19. Pencucian dilakukan beberapa kali sampai air pencucian berwarna bening. Setelah pencucian dilanjutkan dengan pengeringan yang dilakukan untuk menghilangkan kandungan metanol dan menurunkan kadar air biodiesel yang terikut dalam proses pencucian. Pengeringan dilakukan dengan cara memanaskan biodiesel pada suhu 110 °C dan waktu yang diperlukan selama 30 menit. Biodiesel
Air pencucian
Gambar 19. Proses pencucian
48
Biodiesel hasil pengeringan akan berwarna lebih mengkilap. Penampilan selama proses transesterifikasi, hasil pencucian, dan pengeringan disajikan pada Gambar 20. Gambar 20a adalah biodiesel pada tahap reaksi transesterifikasi pada proses produksi pada suhu 70 °C. Gambar 20b merupakan biodiesel hasil pencucian dengan air bersuhu 90 °C dan hasil pencucian terlihat agak sedikit keruh karena kadar air biodiesel meningkat (biodiesel masih mengandung air pencucian). Gambar 20c merupakan biodiesel hasil pengeringan dengan cara pemanasan pada suhu 110°C.
(a)
(b)
(c)
Gambar 20. Perbandingan biodiesel pada tahap transesterifikasi, pencucian, dan pengeringan Hasil uji alat reaktor static-mixer disajikan dalam Tabel 7.
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pembuatan biodiesel dengan reaktor staticmixer menghasilkan rendemen rata-rata sebesar 98,70 % w/w setelah melewati proses transesterifikasi 90 menit yang merubah TG dari minyak goreng kelapa sawit menjadi metil ester. Dari proses reaksi antara 10,01 kg minyak goreng dengan 4,35 kg metanol dihasilkan volume biodisel kasar rata-rata 9,24 kg dan volume gliserol rata-rata 3,81 kg. Massa rata-rata biodiesel rata-rata yang diperoleh setelah proses pencucian dan pengeringan adalah sebanyak 8,78 kg. Analisis keseimbangan massa pembuatan biodiesel setelah dilakukan perhitungan konversi volume hasil pengamatan disajikan pada Tabel 8. Perhitungan
49
keseimbangan massa tersebut disajikan dalam Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis keseimbangan massa tersebut terlihat massa ouput lebih kecil yaitu 13,05 kg yang berkurang sebanyak 1,41 kg.
Kekurangan ini dimugkinkan karena
terdapat produk yang tersisa dalam reaktor (tercecer). Gliserol kasar yang diperoleh 3,81 kg dan jumlah ini relatif masih mengandung metanol yang berlebih.
Kemungkinan lain adalah adanya penguapan massa MeOH selama
proses transesterifikasi Air pendingin diperlukan untuk mempercepat terjadinya proses kondensasi uap metanol menjadi bentuk cair di dalam kondensor. Air digunakan sebagai media penukar panas untuk memindahkan panas dari uap ke air pendingin. Dari hasil pengukuran didapatkan laju konsumsi air pendingin adalah 150 ml/detik untuk proses selama 90 menit atau 5400 detik. Table 7. Hasil uji coba reaktor static-mixer Suhu reaksi (oC)
Tahap- hasil 50oC
55oC
60 oC
65 oC
70 oC
7
9
11
13
15
15
15
10
5
5
Persentase metil ester (%)
96.5
96.8
96,5
96,5
97,35
Biodiesel kasar (kg)
9,25
9,24
9,24
9,24
9,23
Debit air kondensor (ml/detik)
150
150
150
150
150
Jumlah air untuk pencucian (liter)
30
30
30
30
30
Pemanasan awal 11 liter RBDPO atau TG (menit) Transesterifikasi (menit)
Tabel 8. Keseimbangan masa rata-rata pengolahan biodiesel dengan static-mixer (kg) Komponen Minyak (TG)
Masa input
Masa ouput 10,01
MeOH
4,35
KOH
0,10
Produk biodiesel
9,24
Lapisan bawah (gliserol kasar)
3,81 (ouput) 13,05 1,41
Loss TOTAL
(total input) 14,46
(total ouput) 14,46
50
4.1.2 Analisis Parameter Uji Biodiesel yang dihasilkan secara visual memiliki warna kuning jernih dan terlihat encer. Penampakan biodiesel ini berbeda dengan minyak kelapa sawit yang berwarna lebih pekat dan terlihat kental. Hasil samping reaksi transesterifikasi adalah gliserol yang berwarna cokelat gelap dan lebih kental dibanding metil ester serta terdapat di lapisan bagian bawah. Parameter utama dalam penelitian ini adalah kadar metil ester karena menunjukkan besarnya perubahan TG menjadi metil ester. Dalam penentuannya dengan metode SNI dibutuhkan nilai bilangan asam, angka penyabunan, dan kadar gliserol total. Selain itu, keberhasilan produksi biodiesel dilihat dari viskositasnya karena tujuan transesterifikasi adalah memperoleh ester dengan kekentalan yang menyerupai bahan bakar solar. Viskositas sendiri berkaitan erat dengan densitas. Oleh karena itu, pengujian sifat fisik dan kimia pada biodiesel yang telah dimurnikan meliputi metil ester, bilangan asam, kadar gliserol total, kadar metil ester, densitas, dan viskositas. Nilai-nilai parameter ini dibandingkan dengan nilai SNI biodisel yang dipersyaratkan 4.1.2.1 Metil ester Metil ester yang terdapat dalam biodiesel memiliki kisaran yaitu 98,0098,65 (% w/w). Perolehan ini berada di atas standar biodiesel SNI 04-7182-2006 yaitu 96,50 (% w/w). Rendemen metil ester yang tinggi pada pembuatan biodiesel dapat disimpulkan karena berasal dari bahan baku dengan karakteristik yang baik, yaitu nilai bilangan asam minyak kelapa sawit yang rendah (0,4 mg KOH/g minyak). Biodiesel yang dihasilkan berupa metil ester karena dalam reaksi transesterifikasi menggunakan metanol. Kadar metil ester tidak dapat langsung ditentukan, tapi dihitung melalui perolehan bilangan penyabunan, bilangan asam, dan kadar gliserol total sehingga analisis penentuan bilangan penyabunan juga dilakukan.
51
Metil ester (%, w/w)
99 98 T 60⁰C 97
T 65⁰C T 70⁰C
96
SNI 95 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Gambar 21. FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 60, 65 dan 70oC Secara figuratif pada Gambar 21 dapat dilihat sedikit peningkatan kadar metil ester terjadi dengan semakin tingginya suhu pada waktu reaksi yang sama. Konversi yang semakin besar juga didapat dengan semakin lamanya waktu reaksi. Peningkatan yang tajam terlihat pada awal reaksi dan beranjak landai atau cenderung stabil pada waktu transesterifikasi yang lebih lama. Penyebab lain adalah adanya proses pemurnian mengakibatkan biodiesel tidak lagi atau hanya sedikit mengandung air dan gliserol. Metanol yang digunakan dalam kondisi berlebih (3,83 kali stoikiometri) dan katalis KOH juga bekerja dengan baik dalam mempercepat laju transesterifikasi. 4.1.2.2 Angka Asam Hasil transesterifikasi minyak kelapa sawit secara umum memiliki angka asam yang rendah dan memenuhi standar biodiesel berdasarkan SNI 04-71822006 (0,80 mg KOH/g). Perolehan angka asam yang rendah ini dikarenakan karakteristik minyak kelapa sawit yang digunakan sudah cukup baik dengan angka asam 0,41 mg KOH/g minyak dan kadar asam lemak bebas yang kecil yaitu 0,1 %. Nilai angka asam pada contoh biodiesel dari percobaan static-mixer secara umum mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu reaksi pada semua kisaran suhu seperti terlihat pada Gambar 22. Pada suhu yang lebih tinggi bilangan asam juga menunjukkan nilai yang lebih kecil. Dari hasil pengamatan 52
terlihat angka asam mengalami penurunan selama proses transesterifikasi hal ini sangat dimungkinkan karena asam lemak metil ester akan semakin banyak dengan bertambahnya waktu reaksi transesterifikasi sehingga keasamannya akan semakin
Angka asam (mg KOH/g)
rendah. 1 0.8 0.6
T 50 ⁰C T 60 ⁰C
0.4
T 70 ⁰C
0.2
SNI
0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Gambar 22. Angka asam FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC 4.1.2.3 Gliserol Total Gliserol total pada biodiesel mengalami penurunan dengan lamanya waktu reaksi dan terjadinya peningkatan suhu seperti terlihat pada Gambar 23. Hal ini terjadi karena jumlah gliserol terikat (TG, DG, dan MG) dalam contoh biodiesel yang semakin mengecil. Beberapa contoh biodiesel memiliki kadar gliserol total yang tinggi, yaitu melewati batas maksimum untuk gliseol total SNI 04-71822006, yaitu 0,24 %. Kadar gliserol total memenuhi standar dimulai pada menit ke 15, 20, 30, dan seterusnya untuk suhu 70 oC secara berurutan. sedangkan untuk suhu 50 dan 60 oC masih di atas batas yang ditentukan. Hal ini terjadi karena pada awal reaksi masih banyak trigliserida dalam minyak kelapa sawit yang belum terkonversi menjadi metil ester. Konversi tersebut memenuhi standar pada waktu reaksi yang lebih cepat dengan kondisi suhu yang lebih tinggi, karena panas yang diberikan membantu mempercepat reaksi.
53
Kadar gliserol total biodiesel yang diproses pada suhu 50 dan 60 C tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh SNI 04-7182-2006, hal
ini
dimungkinkan oleh kurangnya panas (suhu) reaksi yang diberikan serta adanya reaksi balik yang memungkinkan sebagian produk berubah kembali menjadi reaktan (TG).
Gliserol total (% w/w)
4 3.5 3 2.5
T 50 ⁰C
2 1.5
T 60 ⁰C
1
T 70 ⁰C SNI
0.5 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Gambar 23. Gliserol total FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC 4.1.2.4 Viskositas Biodiesel harus memiliki kisaran viskositas 2,30–6,00 cSt pada suhu 40 oC sesuai SNI biodiesel yang ditentukan. Biodiesel yang dihasilkan memiliki viskositas yang beragam pada berbagai macam waktu dan suhu seperti pada Gambar 24. Beberapa contoh memiliki viskositas yang besar, terutama pada awal reaksi, sehingga nilainya tidak memenuhi standar biodiesel. Namun, nilai viskositas biodiesel mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu reaksi dan semakin meningkatnya suhu.
54
Nilai viskositas memenuhi standar SNI 04-7182-2006 dimulai pada menit ke 5 untuk suhu 70 oC dan menit ke 20 dan seterusnya untuk suhu 50 dan 60 oC secara berturut-turut. Perolehan ini menunjukkan bahwa pada waktu yang lama, biodiesel akan lebih encer pada semua kisaran suhu, karena semakin banyak minyak kelapa sawit yang bereaksi dengan metanol. Nilai viskositas tinggi pada menit ke-1 pada suhu 50, 60 dan 70 oC dan pada menit ke 5 pada suhu 50 dan 60 o
C karena waktu yang relatif singkat dan suhu yang rendah trigliserida masih
banyak yang belum terkonversi menjadi metil ester. 30 Viskositas (cSt)
25 20 T 50 ⁰C
15
T 60 ⁰C
10
T 70 ⁰C
5
SNI
0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Gambar 24. Viskositas FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC 4.1.2.5 Densitas Biodiesel yang dihasilkan secara umum memenuhi kisaran densitas SNI04-7182-2006, yaitu 850,0–890,0 kg/m3, kecuali beberapa contoh pada menitmenit awal reaksi berlangsung seperti terlihat pada Gambar 25. Nilai densitas biodiesel mengalami penurunan dengan semakin tingginya suhu dan lamanya waktu reaksi. Interaksi antara waktu dan suhu dengan densitas terbesar adalah menit ke-1 pada suhu 50 dan 60 oC. Nilai densitas pada menit ke-1 dan ke-2 tidak memenuhi standar SNI-04-7182-2006. Hal ini dikarena waktu yang pendek menyebabkan reaktan yang terkonversi masih sedikit. Dengan demikian, proporsi trigliserida yang berbobot molekul besar dalam produk lebih banyak dibanding
55
metil ester dengan bobot molekul lebih kecil.
Pada lampiran 15 disajikan
hubungan parameter mutu biodiesel dengan waktu hasil percobaan. 900 Denitas (kg/m3)
890 880
T 50 C
870
T 60 C
860
T 70 C SNI
850
SNI
840 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Gambar 25. Densitas FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC 4.2 Kinetika Reaksi Kajian kinetika reaksi yang disajikan dari penelitian ini meliputi hasil pembahasan dari laju reaksi, kajian static-mixer dan blade agitator, energi aktivasi (Ea), dan frekuensi tumbukan (A). 4.2.1 Laju Reaksi Kurva konsentrasi dalam reaksi transesterifikasi menggunakan staticmixer dan blade agitator disajikan dalam Gambar 26 dan 27. Dalam gambar tersebut diperlihatkan perubahan proses transesterifikasi selama 90 menit waktu reaksi. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan produksi metil ester dengan menggunakan static-mixer lebih cepat dibanding menggunakan blade agitator pada periode awal proses.
Dalam lampiran 16 disajikan hasil pengukuran
kandungan metil ester dengan static-mixer dan blade agitator. Hasil percobaan tersebut juga menunjukkan bahwa static-mixer memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengurangi waktu reaksi untuk mencapai kandungan asam lemak metil ester (fatty acid methyl ester-FAME) yaitu 96.5% dibandingkan
56
dengan menggunakan blade agitator.
Waktu reaksi transesterifikasi dengan
static-mixer jauh lebih singkat dari pada waktu reaksi dengan blade agitator pada setiap tingkat perlakuan suhu. Efektifitas pengadukan dengan static-mixer juga diperkuat dengan hasil pengamatan penurunan gliserol terikat (lihat pembahasan konstanta laju rekasi Bab. 4.2.3), penurunan viskositas dan angka asam biodiesel untuk kedua sistem tersebut seperti diperlihatkan dalam Gambar 28 dan 29.
Metil ester (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0 T50 C
20 T55 C
40 60 Waktu (menit) T60 C
80 T65 C
100 T70 C
Gambar 26. Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan staticmixer
Metil ester (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0 T 50 C
20
40 60 80 Waktu (menit) T 55 C T 60 C T 65 C
100 T 70 C
Gambar 27. Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan blade agitator 57
30
Viskositas (cSt)
25 20 15 10 5 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
Gambar 28. Viskositas FAME yang dihasilkan dengan staticmixer dan blade agitator pada suhu 65o C
Angka asam (mg KOH/g)
0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0
20
40 60 80 Waktu (menit) Blade Agitator Static-mixer
100
Gambar 29. Angka asam FAME yang dihasilkan dengan staticmixer dan blade agitator pada suhu 65o C
58
Pada Gambar 30 dan 31 ditunjukkan efektifitas pengadukan dari staticmixer dan blade agitator pada suhu yang lebih spesifik. Gambar 30 diperlihatkan pengaruh pengadukan
static-mixer pada suhu yang rendah yaitu 50oC lebih
signifikan dibandingkan blade agitator ketika reaksi transesterifikasi berlangsung. Pembentukan metil ester berlangsung sangat cepat pada 5 menit pertama untuk static-mixer dan 60 menit pertama untuk blade agitator kemudian lajunya menurun dan selanjutnya mencapai keseimbangan (laju pembentukan konstan dan kecil). Pembentukan ester dari asam-asam lemak (FAME) menjadi tidak terlalu signifikan bila reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu 70oC. Dalam keadaan tersebut laju reaksi terutama dipengaruhi oleh suhu reaksi dan ditunjukkan dengan jelas oleh kemiringan kurva yang dihasilkan. mempengaruhi
Penurunan jumlah reaktan
pembentukkan jumlah produk yang dihasilkan.
Gambar 30
memperlihatkan fenomena bahwa kurva produksi metil ester baik yang dihasilkan dengan static-mixer maupun blade agitator hampir mendekati. Pada Lampiran 17 disajikan hasil pengamatan hubungan parameter mutu FAME dengan waktu selama proses transesterifikasi berlangsung pada berbagai tingkat suhu. Perbedaan jarak kurva pembentukan metil ester dengan static-mixer dan blade agitator pada suhu 50oC dan 70oC dikarenakan pembentukan metil ester pada blade agitator sangat dipengaruhi oleh suhu transesterifikasi yang berlangsung di mana semakin tinggi suhu maka produksinya akan semakin cepat. Hal ini ditunjukkan semakin tinggi suhu proses mengakibatkan kemiringan kurva pembentukan metil ester akan semakin besar seperti yang terjadi pada Gambar 30.
59
Metil ester (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40 60 Waktu (menit)
Blade agitator
80
100
Static-mixer
Gambar 30. Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 50o C
Metil ester (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit) Blade agitator
Static-mixer
Gambar 31. Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 70o C
60
4.2.2 Perbandingan Reaksi menggunakan Static-mixer dan Blade agitator Waktu reaksi transesterifikasi untuk mencapai kandungan metil ester dengan static-mixer lebih singkat dengan blade agitator. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal : 1) Pengaruh elemen static-mixer Di dalam elemen dalam rumahan (casing) static-mixer fluida (reaktan) dipecah menjadi beberapa lapisan. Jumlah lapisan yang terbentuk setara dengan 2n di mana n adalah jumlah elemen (Paul, 2003; Oldshoe, 1983). Di dalam penelitian ini elemen yang dirancang berjumlah 5 elemen, jadi jumlah lapisan yang dihasilkan adalah 10 lapisan. Pada tahap awal fluida dipecah dalam elemen pertama untuk membentuk lapisan, dan lapisan yang dihasilkan kemudian diputar 180o.
Setiap lapisan dipecah kembali dan diputar 180o dalam arah yang
berlawanan. 90o.
Posisi elemen diatur sedemikian rupa sehingga membentuk sudut
Di dalam setiap elemen atau (mixing chamber), setiap lapisan akan
mengalami proses (1) pemecahan, (2) pemutaran, (3) pembalikan, dan (4) penggabungan lapisan aliran reaktan yang terjadi secara reversal. Secara teoritis semakin banyak elemen maka akan meningkatkan jumlah perputaran (travel) dan jumlah lapisan yang dihasilkan serta menghasilkan tegangan geser lapisan dan tumbukan antara molekul reaktan yang lebih tinggi pula. Nilai laju pengurangan reaktan yang dalam static-mixer dinyatakan dalam dCA/dt = kr CA - kl CA sesuai persamaan [16] akan semakin besar. Nilai dCA/dt akan tinggi terutama pada saat awal reaksi di mana jumlah TG, DG, dan MG masih banyak dan langsung terkonversi menjadi FAME dan GL. Berdasarkan persamaan [11] pula jumlah FAME yang terbentuk (CMe) sebanyak 3 konsentrasi awal TG (1- e-k’t).
Nilai dCA/dt akan semakin mengecil sejalan dengan
berkurangnya jumlah gliserol terikat tersebut dan akan mencapai nilai mendekati keseimbangan ketika gliserol terikat hampir semua terkonversi menjadi FAME. Dari hasil kurva Gambar 26 tersebut, pengaruh suhu reaksi terhadap waktu reaksi tidak terlalu besar bila menggunakan static-mixer.
61
2) Pengaruh sirkulasi aliran Adanya sirkulasi aliran dalam pipa saluran reaktan baik sebelum dan seseudah elemen static-mixer sedikit banyak juga akan mempengaruhi proses laju rekasi pembentukan produk (ME dan GL) atau laju jumlah reaktan yang bereaksi (TG dan MeOH). Aliran reaktan selama melalui saluran akan mempercepat laju reaksi yang dimungkinkan akibat pengaruh panas dari dinding pipa saluran. Di samping itu pengaruh pompa sentrifugal yang digunakan juga dimungkinkan untuk mempengaruhi laju reaksi karena reaktan di dalam pompa sentrifugal akan diputar sebelum dialirkan ke dalam elemen static-mixer.
Mekanisme lain yang
berpengaruh adalah pada saat reaktan melalui tangki utama sebelum menuju pompa sentrifugal dan elemen static-mixer terjadi reaksi secara kimiawi karena pengaruh aliran dari atas ke bagian bawah tangki dan karena pengaruh panas. 3) Blade agitator Di sisi lain penggunaan sistem pengadukan blade agitator terlihat dipengaruhi oleh suhu reaksi (lihat Gambar 27). Hal ini dimungkinkan karena dalam mekanisme pengadukan blade agitator menghasilkan aliran melingkar dalam tangki dengan arah aksial dan tangensial, serta memberikan turbulensi yang minimal (Paul et al., 2003 ).
Intensitas reaksi antar molekul atau reaktan tidak
begitu tinggi serta laju reaksi dan waktu reaksi transesterifikasi lebih lambat. Kondisi ini akan mempengaruhi frekuensi tumbukan yang tidak sebesar pada static-mixer sehingga akan mengakibatkan laju reaksi yang relatif rendah. Dalam skala laboratorium, produksi metil ester dengan rendemen tertinggi diperoleh pada suhu 60 oC setelah 1 jam menggunakan katalis basa (Vicente et al., 2004, Meher et al., 2006, Hazkil, 2008). Di samping itu menurut Livenspiel (1972), bila reaktan yang berbeda dicampur ( terlebih lagi bila reaktan bersifat immiscible) dengan menggunakan blade agitator dan bila terjadi reaksi, maka reaksi yang terbentuk berada pada suatu zona reaksi sekitar as pengaduk blade agitator, di samping itu akan terbentuk pula zona non-homgen di mana terdapat reaktan yang masih belum bereaksi. Untuk memperbesar zona reaksi maka diperlukan jumlah putaran yang tinggi (vigorous stirring).
62
4.2.3 Konstanta Laju Reaksi (k) Perbedaan laju reaksi sebenarnya dapat diklarifikasi melalui kajian kinetika reaksi. Pada dasarnya reaksi transesterifikasi meliputi 3 tahap yaitu pada tahap pertama TG bereaksi dengan MeOH untuk digliserida (DG), yang dilanjutkan pada tahap kedua DG dengan MeOH bereaksi menghasilkan monogliserida (MG). Pada tahap akhir MG bereaksi dengan MeOH menghasilkan gliserida (GL). Pada setiap tahap reaksi, satu molekul metil ester (ME) akan dihasilkan untuk setiap satu molekul MeOH yang bereaksi. Kusdiana dan Saka (2001) menyederhanakan model matematik untuk ketiga tahap proses tersebut dalam suatu proses transesterifkasi secara keseluruhan dengan mengabaikan reaksi intermediate (DG) dan (MG), sehingga ketiga tahap proses tersebut dapat disajikan seperti persamaan [23] beikut; k TG + 3 MeOH
3 ME + GL ………………………….............……[23]
Di mana k adalah konstanta laju reaksi secara keseluruhan reaksi transesterifikasi. Diasumsikan bahwa reaktan jumlah MeOH tidak berubah karena MeOH diberikan dalam jumlah berlebih di samping itu reaksi juga diasumsikan mengikuti reaksi orde pertama. Konstanta laju reaksi dapat ditentukan berdasarkan penurunan jumlah reaktan misal TG dalam interval waktu tertentu (Barrow, 1973; Steinfeld et al, 1989). Dalam penelitian ini, laju reaksi diprediksi dari pengurangan jumlah TG sehingga persamaan konstanta reaksinya dapat ditulis dengan persamaan [24].
Laju reaksi
G
...….......…..........................................................[24]
Dalam proses transesterifikasi tidak semua TG dapat bereaksi. Selain TG terdapat produk antara yang tidak bereaksi yaitu DG, MG, dan asam lemak. Reaktan yang tidak bereaksi tersebut disebut sebagai unmethyl esterified compound (uME), sehingga persamaan [24] dapat ditulis dengan persamaan [25].
Nilai uME
(gliserol terikat) diperoleh dari jumlah total gliserol dikurangi dengan gliserol bebas.
63
ME
Laju reaksi ME
, atau
k uME ...….…......................................................................[25]
Dengan mengasumsikan konsentrasi awal uME, pada t= 0 adalah uME, 0 dan turun menjadi uME, t pada waktu t, maka integrasi persamaan [25] menjadi persamaan [26] dan [27] dan k dapat dihitung berdasarkan persamaan [28] uME,
uME
uMEt ,
ln
uME,
kt
uME,
k
k
uME
uME,t
dt.........................................................................[26]
.......................................................................................[27] uME,
..................................................................................[28]
Hasil pengamatan penurunan uME disajikan dalam Gambar 32 hingga Gambar 36. Dalam static-mixer, karena penurunan uME jauh lebih cepat pada tahap awal proses maka laju reaksi dievaluasi dalam 2 tahap yaitu laju reaksi awal dengan konstanta laju reaksi k1 (dari waktu 0 sampai 1 menit) dan laju reaksi akhir dengan konstanta laju reaksi k2 (dari waktu 1 hingga 90 menit). Perubahan dari laju reaksi awal menuju laju raeaksi akhir terlihat naik turun, akan tetapi hasil masih menunjukkan konsistensi penurunan. Penurunan uME pada proses transesterifikasi dengan menggunakan blade agitator menunjukkan pola yang stabil sehingga laju reaksi dievaluasi dalam satu tahap.
Hasil nilai k
menggunakan static-mixer dan blade agitator ditunjukkan dalam Tabel 9. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat secara jelas laju reaksi awal (k1) dengan static-mixer lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan blade agitator. Meskipun demikian konstanta laju reaksi dengan blade agitator lebih tinggi dibandingkan dengan konstanta laju reaksi k2 menggunakan static-mixer, hal ini beralasan karena pada tahap akhir jumlah reaktan dalm reaktor blade agitator masih tinggi dibandingkan dengan menggunakan static-mixer pada waktu yang sama. 64
Tabel 9. Konstanta laju reaksi transesterifikasi dengan static-mixer dan blade agitator T
Static-mixer
(oC) 50
k1 (menit-1) 3,912
55
3,995
60
4,000
65
4,006
70
4,051
R2 (%)
Blade agitator R2 (%)
100
k2 (menit-1) 0,016
R2 (%)
93,4
k (menit-1) 0,045
100
0,021
90,1
0,049
97,7
100
0,022
90,8
0,054
97,6
100
0,023
94,4
0,052
95,1
100
0,024
95,1
0,057
91,7
94,7
5 y = -0.052x + 4.210 R² = 0.951
ln uME (% w/w)
4 3 2
y = -3.912x + 4.605 R² = 1
1 0 -1
y = -0.016x + 0.626 R² = 0.934
-2 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit) uME tahap awal static-mixer
uME tahap akhir static-mixer
uME blade agitator
Gambar 32. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 50o C
65
5
ln uME (% w/w)
4 y = -0.049x + 4.601 R² = 0.977
3 y = -3.995x + 4.605 R² = 1
2 1 0 -1
y = -0.021x + 0.165 R² = 0.901
-2 -3 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit) uME tahap awal static-mixer
uME tahap akhir static-mixer
uME blade agitator
Gambar 33. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 55o C
5
ln uME (% w/w)
4 y = -0.054x + 4.403 R² = 0.976
3 y = -4.000x + 4.605 R² = 1
2 1 0 -1
y = -0.022x + 0.217 R² = 0.908
-2 -3 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit) uME tahap awal static-mixer
uME tahap akhir static-mixer
uME blade agitator
Gambar 34. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 60o C
66
5
ln uME (% w/w)
4 3
y = -0.052x + 4.210 R² = 0.951
+ 4.605 2y = -4.006x R² = 1
1 0 -1 y = -0.023x + 0.257 R² = 0.944
-2 -3 0
20
40 60 Waktu (menit)
uME tahap awal static-mixer
80
uMEtahap akhir static-mixer
100 uME blade agitator
Gambar 35. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 65o C 5
ln uME (% w/w)
4 3 2
y = -0.057x + 3.977 R² = 0.913
y = -4.051x + 4.605 R² = 1
1 0 -1
y = -0.024x + 0.268 R² = 0.951
-2 -3 0
20
uME tahap awal static-mixer
40 60 Waktu (menit) uME tahap akhir static-mixer
80
100 uME blade agitator
Gambar 36. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 70o C 67
4.2.4 Energi Aktivasi (Ea) dan Frekuensi Tumbukan (A) Menurut persamaan Arhenius (Atkins, 1986), hubungan antara konstanta laju, energi aktivasi, dan frekuensi tumbukan dapat dinyatakan dalam persamaan [29]: ln k = ln A – Ea/RT …………………………………………………….……[29] di mana Ea adalah energi aktivasi (kJ/mol), R adalah konstanta gas (0.00813 kJ mol-1 K-1) dan A adalah frekuensi tumbukan (menit-1).
Data pada Tabel 11
digunakan untuk menentukan Ea dan A dengan melakukan plot antara ln k dengan kebalikan suhu absolute (1/T) seperti tersaji dalam Gambar 37, 38 untuk staticmixer dan Gambar 39 untuk blade agitator. Energi aktivasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A) yang dihitung berdasarkan persamaan [29] baik tahap awal dan akhir reaksi dalam static-mixer serta E dan A hasil reaksi dalam blade agitator disajikan dalam Tabel 10. Tabel tersebut juga menunjukkan hasil dari percobaan yang dilakukan oleh penelitian lain. 1/T (x 10 ‐3°K) 2.9
2.95
3
3.05
3.1
3.15
1.41
ln k (min‐1)
1.4 1.39
y = ‐0.161x + 1.869 R² = 0.827
1.38 1.37 1.36
Gambar 37. Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k1) tahap awal dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer
68
1/T (x 10 ‐3°K) 2.9
2.95
3
3.05
3.1
3.15
‐3.6
ln k (min‐1)
‐3.7 y = ‐2.013x + 2.185 R² = 0.807
‐3.8 ‐3.9 ‐4 ‐4.1 ‐4.2
Gambar 38. Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k2) tahap akhir dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer
1/T (x 10 ‐3°K) 2.9
2.95
3
3.05
3.1
3.15
‐2.8
ln k (min‐1)
‐2.9 y = ‐1.265x + 0.830 R² = 0.983 ‐3
‐3.1
‐3.2
Gambar 39. Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k) dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan blade agitator
69
Table 10. Perbandingan Energi aktivasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A) Hasil Percobaan Ea (J/mol) 1,33
A (menit-1) 6,48
Tahap percobaan Tahap awal static-mixer
16,71
8,89
Tahap akhir static-mixer
1 - 90
10,49
2,29
blade agitator
0 - 90
Waktu ( menit) 0- 1
Hasil Penelitian lain Ea (J/mol) 0,026
A (menit-1) -
Metode batch reaktor (katalitik)
Referensi Darnoko dan Cheryan (2000a)
69,0 x 10
3
31,0 x 10
3
6936
superkritik MeOH (non-katalitik)
Kusdiana dan Saka (2001)
4,2
reaktor kolom gelembung
Joelianingsih et al.
(superheated/non-katalitik)
(2008)
Energi aktivasi (Ea) adalah energi minimum yang diperlukan untuk melangsungkan terjadinya suatu reaksi. Dalam reaksi transesterifikasi Ea adalah energi minimum untuk menghasilkan FAME dan gliserol dari reaktan TG dan MeOH. Jika partikel-partikel bertumbukan dengan energi yang lebih rendah dari energi aktivasi (Ea) maka fluida yang diproses masih dalam bentuk reaktan (TG dan MeOH) dan tidak akan terjadi reaksi transesterifikasi. Dalam percobaan static-mixer, nilai Ea dan A pada tahap awal lebih kecil dari Ea dan A tahap akhir yaitu 1,33 J/mol, 16,71 J/mol, 6,48 , menit-1 dan 8,89 menit-1.
Hal ini
menunjukkan energi minimum yang digunakan untuk memecah beberapa ikatanikatan TG, DG, dan MG menjadi ME dan GL realatif kecil.
Kondisi
ini
dikarenakan jumlah TG dan produk intermediate (DG dan MG) masih berada dalam jumlah yang cukup banyak. Akan tetapi ketika jumlah reaktan tersebut berada dalam jumlah yang sedikit pada tahap akhir reaksi di mana sebagian sudah terkonversi menjadi produk (ME dan GL) energi untuk memecahnya akan semakin besar (meningkat 15,38 J/mol). Fekuensi tumbukan (A) dapat diartikan sebagai persentase tumbukan antara bahan yang bereaksi, semakin besar A semakin besar kecepatan reaksi. Dalam percobaan static-mixer, nilai A pada tahap akhir terlihat semakin besar dan meningkat dari 6,48 menit-1 menjadi 8,89 menit-1, hal ini menunjukkan bahwa tumbukkan yang terjadi antar molekul zat pereaksi semakin banyak. Pada tahap 70
akhir ini
jumlah TG, MG, dan DG semakin minimal sehingga untuk
melangsungkan laju reaksi diperlukan A semakin besar. Intensitas tumbukan yang tinggi juga sangat diperlukan dikarenakan reakssi transesterifikasi ini juga termasuk reaksi balik (reversible) yang memungkinkan reaksi mengarah ke kiri. Untuk membandingkan kedua hasil tersebut dengan hasil yang ditemukan dari hasil penelitian lain tidak mudah dikarenakan terdapat adopsi dua tahap laju reaksi dalam penelitian ini. Konstanta laju reaksi untuk non katalis untuk transesterifikais minyak rapseed dalam kondisi superkritik yang dilakukan Kusdiana and Saka (2001) adalah 0,041 menit-1 pada suhu 543o K dan tekanan 2 MPa, sedangkan Ea and A adalah 69 kJ/kmol and 6936 menit-1. Nilai Ea dan A tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai hasil percobaan dengan hasil percobaan static-mixer.
Perbedaan hasil percobaan tersebut disebabkan
perbedaan kondisi reaksi yang dicoba.
oleh adanya
Pada percobaan Kusdiana dan Saka
dilakukan reaksi pada tekanan 40 MPa di mana polaritas MeOH akan menurun. Sebagai akibatnya TG yang bersifat non-polar dapat disolfasi dengan MeOH superkritik untuk mengubah fase tunggal dari minyak nabati/MeOH. Pada Tabel 10 disajikan nilai Ea dan A hasil penelitian static-mixer yang dilakukan dan dari hasil peneliti lain. Penelitian Ea dan A juga dilakukan oleh Joelianingsih et al. (2008) untuk transesterifikasi minyak sawit dalam reaktor kolom gelembung sistem batch secara non-katalis.
Di dalam hasil penelitiannya, reaksi transesterifikasi
dilangsungkan dalam tekanan atmosfir, MeOH superheated, dan tanpa pengadukan (stirring). Nilai EA dan A yang rendah dihasilkan masing-masing 31 kJ/mol and 4,2 menit-1. Percobaan tersebut dilakukan dengan gelembung MeOH yang disebar ke dalam fase minyak serta sistem terdiri dari dua fase. Laju reaksi dibawah kendali/pengaruh pindah masa antara fase gas dan liquid. Mekanisme pengadukan seperti ini tentunya akan mempengaruhi besar nilai k, Ea, A, dan waktu reaksi.
71
4.3 Analisis Energi 4.3.1 Analisis Kehilangan Panas Pada saat proses produksi berlangsung, dilakukan pengukuran suhu pada reaktor. Pengukuran suhu dilakukan terhadap 13 titik pengukuran, yakni suhu pada : 1) uap MeOH keluar, 2) tutup atas 3) kran sampel atas 4) kran sampel tengah, 5) heater, 6) tutup bawah, 7). kran sampel bawah, 8) dinding luar, 9) glasswool,
10) dinding static-mixer,
11) dinding dalam,
lingkungan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 40.
12) pipa,
13)
Hasil sebaran suhu
pengukuran suhu pada setiap bagian reaktor disajikan dalam Gambar 41, 42, dan 43.
Pada lampiran 17 dan 18 disajikan data hasil pengukuran sebaran suhu
reaktor static-mixer.
Gambar 40. Posisi pengukuran suhu pada reaktor, static-mixer
72
70 60 Suhu ( C)
50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit) Tutup atas
Uap keluar
Heater
Kran atas
Gambar 41. Sebaran suhu pada tutup atas, uap keluar, heater,dan kran atas 70 60 Suhu ( C)
50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit) Pipa
Dinding luar
Static-mixer
Kran bawah
Gambar 42. Sebaran suhu pada pipa sirkulasi, dinding luar, static-mixer, dan kran bawah
73
70 60
Suhu ( C)
50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit) Tutup bawah
Dinding dalam
Glass wool
Lingkungan
Kran tengah
Gambar 43. Sebaran suhu pada tutup bawah, dinding dalam, glas wool, dan kran tengah Sebaran suhu hasil pengukuran di dalam tangki untuk kondisi proses pada suhu 70 °C dapat dilihat pada Gambar 41. Suhu heater yang dimaksud adalah suhu campuran di sekitar heater. Sebagai daerah yang lebih dekat dengan sumber panas, pada saat awal pompa dihidupkan dan campuran reaktan disirkulasikan melewati static-mixer terlihat bahwa suhu heater memang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di titik pengukuran lainnya. Berdasarkan grafik pada Gambar 41, 42 dan 43 pada menit ke-0 suhu heater tercatat sebesar 67 °C, sedangkan suhu kran bawah adalah 66 °C, kran tengah 67 °C, dan kran atas yang jauh lebih dari sumber panas bersuhu 66 °C. Pada saat proses sirkulasi berlangsung, campuran pada bagian dasar tangki yang bersuhu lebih tinggi mengalir melewati pipa dan static-mixer dan kembali lagi ke tangki utama melewati pipa penyebaran. Setelah keluar dari pipa penyebaran, campuran akan menyentuh kran bagian atas terlebih dahulu, kemudian baru turun perlahan-lahan ke bagian dasar tangki. Akibatnya walaupun pada saat awal suhu
74
di sekitar heater lebih tinggi, setelah beberapa menit proses berlangsung, suhu pada kran sampel atas lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada bagian lain. Perpindahan panas yang diamati pada reaktor berhubungan dengan perpindahan panas secara konduksi dan konveksi. Pindah panas konduksi terjadi pada dinding tangki bagian atas dan bawah, dan pada pipa-pipa saluran serta dinding static-mixer.
Sedangkan pindah panas secara konveksi yang diamati
adalah pindah panas dari dinding bagian luar tangki ke udara luar (lingkungan). Pindah panas secara konduksi pada plat datar dapat dihitung dengan persamaan Fourier (Bacon, 1990) Pada reaktor static-mixer, kehilangan panas merupakan gabungan kehilangan panas secara konduksi dan koveksi. Kehilangan panas yang diamati terjadi pada dinding tangki, tutup atas, tutup bawah, pipa, dan dinding static-mixer. Dengan mengetahui suhu pada daerah-daerah tersebut dan sifat-sifat udara di sekitarnya, kehilangan panas gabungan dapat dihitung. Kehilangan panas yang terjadi sebanding dengan perbedan suhu yang terjadi dan luasan daerah yang mengalami proses perpindahan panas. Sebaran suhu pada pipa, dinding tangki tutup atas, tutup bawah, dan dinding static-mixer ditampilkan pada Gambar 44. Kehilangan panas yang terjadi dapat dihitung dengan menghitung pindah panas pada dinding tangki utama (q1), kehilangan panas dari dinding luar ke udara sekitar (q2), kehilangan panas dari pipa ke udara luar (q3), kehilangan panas melalui dinding static-mixer (q4), kehilangan panas memalui tutup atas (q5), dan kehilangan panas melalui tutup bawah (q6). Persamaan pindah panas tersebut didasarkan pada pindah panas secara konveksi, dengan bentuk umum : qn = h Ad (td – tu) ....................................................................................[30] h = NNu k /Dd ..........................................................................................[31] NGr Npr = NNu ...........................................................................................[32] NNu = 0,53 (NGr Npr)0,25 ..........................................................................[33] NGr = (Dd)3 (gßρ2/µ)∆T ........................................................................[34] 75
Keterangan : qn = kehilangan panas (kJ), n =1, 2, 3, ...., h = koefisien pindah panas konveksi (W/m2°K), Ad = luas / penampang (m2), td = temperatur dinding luar (°K), tu = suhu udara luar (°K), Dd = diameter (m), NNu = bilangan Nusselt (tidak berdimensi), Npr = bilangan Prandtl (tidak berdimensi), NGr = bilangan Grashoff (tidak berdimensi), g = percepatan gravitasi m/dt2, ρ = kerapatan udara (kg/m3), µ = viskositas (poise), ß = koefisien muai volume (1/K) Cara perhitungannya disajikan pada Lampiran 19 sampai dengan 24. 70 60
57.37
57.05
54
Suhu (oC)
50 39.37
38.47
40 30 20 10 0 Pipa
Dinding tangki
Tutup atas
Static-mixer Tutup bawah
Komponen reaktor
Gambar 44. Sebaran suhu rata-rata pada reaktor Berdasarkan Gambar 44, disajikan grafik penyebaraan suhu dan terlihat bahwa pipa dan tutup tangki bagian atas memiliki suhu paling tinggi. Keduanya memiliki suhu rata-rata 57,37 °C dan 57,05 °C.
Dinding static-mixer juga
memiliki suhu yang relatif tinggi. Sedangkan dinding dan tutup bagian bawah tangki (dasar) memiliki suhu rata-rata yang lebih rendah. Pipa, tutup atas, dan dinding static-mixer memiliki suhu yang lebih tinggi pada bagian luarnya karena ketiga daerah tersebut tidak dilapisi oleh bahan isolator, sehingga panas dari bahan langsung berpindah ke dinding yang terbuat dari baja tahan karat, dan diteruskan ke lingkungan luar. Sedangkan pada dinding dan dasar tangki terdapat
76
ruang isolasi yang berisi glasswool. Jumlah energi yang hilang dalam bentuk panas (dalam kJ) pada kelima daerah tersebut dapat dilihat dari grafik pada Gambar 45. Dari grafik pada Gambar 45 terlihat bahwa kehilangan panas terbesar terjadi pada pipa yang berfungsi sebagai saluran sirkulasi reaktan. Pada pipa, selain suhu yang relatif lebih tinggi luasan permukaan pipa yang berhubungan dengan udara luar juga mempengaruhi besarnya kehilangan panas yang terjadi. Luasan pipa bagian luar dari hasil perhitungan didapatkan sebesar 0,102 m². Sehingga kehilangan panas yang terjadi pada pipa adalah sebesar 116,57 kJ. Walaupun dinding memiliki luasan permukaan yang cukup besar dibandingkan daerah lainnya, namun karena fungsi bahan isolasi yang memberikan keuntungan dengan mencegah perpindahan panas yang terlalu besar ke lingkungan, perpindahan panas pun tidak terlalau besar.
Pada lampiran 19 hingga 24 disajikan perhitungan
pindah panas pada pipa, dinding tangki, tutup atas-bawah, dan static-mixer.
Kehilangan panas (kJ)
140 120
116.57
100 76.22
80 60
38.13
40
27.71
20
8.38
0 pipa
dinding tangki
Tutup atas
Static-mixer Tutup bawah
Komponen reaktor
Gambar 45. Kehilangan panas pada reaktor Luasan dinding dari hasil perhitungan adalah sebesar 0,53 m², sedangkan kehilangan panasnya adalah sebesar 76,22 kJ. Tutup tangki bagian atas tidak terlalu luas, mengalami kehilangan panas yang cukup besar jika dibandingkan 77
dengan tutup bagian bawah tangki. Dengan luasan yang sama yaitu 0,047m², kehilangan panas penutup tangki bagian atas adalah 38,13 kJ, sedangkan kehilangan panas yang terjadi pada penutup tangki bagian bawah hanya 8,38 kJ. Besarnya kehilangan panas yang terjadi pada tutup tangki bagian atas disebabkan oleh tidak adanya bahan isolasi yang dapat mencegah perpindahan panas dari dinding penutup tangki ke lingkungan luar. Metanol yang menguap juga menyebabkan suhu pada dinding penutup atas tangki cukup tinggi. Pemberian bahan isolasi pada dinding penutup bagian bawah memberikan kehilangan panas yang minimal. Dari kelima daerah yang mengalami kehilangan panas, dinding penutup tangki bagian bawah mengalami kehilangan panas paling kecil. Kemudian static-mixer juga mengalami kehilangan panas yang cukup kecil, karena dengan tinggi 30 cm, luasnya hanya 0,03 m², dan kehilangan panas hanya sebesar 27,71 kJ.
Bila dihitung dalam persen maka terlihat bahwa kehilangan
panas terbesar terjadi pada pipa saluran sebesar 44 persen dari total kehilangan panas pada alat. Dinding menempati urutan ke dua dengan presentase sebesar 28 persen, kemudian tutup atas sebesar 14 persen, dinding static-mixer sebesar 11 persen, dan terakhir tutup bawah sebesar 3 persen. Kehilangan panas ke lingkungan luar tentu saja tidak diinginkan karena akan meningkatkan kebutuhan energi untuk pemanasan bahan. Pemberian bahan isolator pada bagian-bagian yang membuat kehilangan panas menjadi tinggi dapat mengatasi pemborosan energi. 4.3.2 Kebutuhan Energi untuk Proses Transesterifikasi Hasil pengukuran energi pemanasan awal dan proses transesterifikasi disajikan dalam Tabel 11. Pengaruh suhu terhadap konsumsi energi dalam proses transesterifikasi untuk setiap suhu disajikan dalam Gambar 46. Peningkatan suhu cenderung
akan
mengurangi
energi
yang
dibutuhkan
untuk
proses
transesterifikasi. Berdasarkan gambar tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan energi transesterifikasi dengan blade agitator lebih besar dibandingkan dari energi menggunakan static-mixer pada temperature yang sama.
Hasil percobaan
menunjukkan bahwa static-mixer dapat mengurangi secara signifikan kebutuhan
78
energi transesterifikasi yang dibutuhkan. Dengan demikian, efektifitas energi pengadukan dari reaktan (TG dan MeOH) menjadi metil ester (biodiesel) dalam static-mixer jauh lebih besar dibanding dalam blade agitator Table 11. Kebutuhan energi untuk setiap tahap produksi biodiesel T (oC) 50 55 60 65 70 Ratarata
Pemana san awal 160,94 182,52 196,90 218,48 240,06
Static-mixer (kJ/kg) Transeste- Purifika ifikasi si 119,66 1529,86 99,29 1525,96 78,93 1525,96 56,01 1529,86 68,74 1529,86
199,78
84,53
1528,30
Total (Qin) 1810,45 1807,77 1801,79 1804,35 1838,66
Pemana san awal 160,94 182,52 196,90 218,48 240,06
1812,60
Blade agitator (kJ/kg) Transeste- Purifika rifikasi si 529,26 1529,86 493,82 1525,96 519,38 1525,96 478,64 1529,86 399,72 1529,86
199,78
484,16
1528,30
Total (Qin) 2220,36 2202,39 2242,24 2226,98 2169,63 2212,32
Energi transesterifikasi (kJ/kg)
600 500 400 300 200 100 0 40
50
60
70
80
Suhu ( C) Static-mixer
Blade-agitator
Gambar 46. Kebutuhan energi transesterifikasi yang dibutuhkan untuk static-mixer
dan blade agitator 4.3.3 Kebutuhan Energi Untuk Pemanasan Awal dan Purifikasi Distribusi
energi input (Qin) dalam produksi biodiesel menggunakan
static-mixer dan blade agitator dapat dilihat dalam Gambar 47 dan 48. Energi
79
input berasal dari: 1) energi panas dari heater untuk pemanasan awal RBDPO dan MeOH, 2) energi panas dari heater untuk proses transesterifikasi dan energi dari motor untuk sirkulasi (static-mixer), dan 3) energi panas dari heater untuk memanaskan air yang digunakan untuk pencucian dan pengeringan serta energi motor untuk mengalirkan air panas dan produk dari tangki utama ke tangki pencucian. Dari Gambar 47 dan 48 menunjukkan bahwa penurunan energi untuk proses transeterifikasi dengan peningkatan suhu reaksinya dikompensasi dengan energi untuk pemanasan awal RBDPO. Penggunaan energi untuk pemanasan awal RBDPO lebih besar untuk suhu yang lebih tinggi. Konsumsi energi pada setiap tahap proses produksi disajikan dalam Tabel 12. Dalam penelitian ini, purifikasi biodiesel dilangsungkan dengan menggunakan pencucian air panas. Metode purifikasi dengan pencucian seperti ini mempunyai kelemahan yaitu proses dilakukan dengan waktu yang relatif lama hingga mencapai waktu 2,5 jam serta membutuhkan jumlah air yang cukup banyak. Di samping itu dibutuhkan proses evaporasi air dalam biodiesel hasil pencucian. 2000
Energi (kJ/kg)
1600 1200 800 400 0
50 C
55 C
60 C
65 C
70 C
Pemanasan awal
160.94
182.52
196.9
218.48
240.06
Transesterifikasi
119.66
99.29
78.93
56.01
68.74
Purifikasi
1529.26
1525.96
1525.96
1529.26
1529.26
Gambar 47. Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor static-mixer
80
1800 1600
Energi (kJ/kg)
1400 1200 1000 800 600 400 200 0
50 C
55 C
60 C
65 C
70 C
Pemanasan awal
160.94
182.52
196.9
218.48
240.06
Transesterifikasi
529.26
493.82
519.38
478.64
399.72
Purifikasi
1529.26
1525.96
1525.96
1529.26
1529.26
Gambar 48. Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor blade agitator 4.3.4 Rasio Energi Rasio energi (Er) dihitung berdasarkan persamaan [27]. Secara garis besar hasil perhitungan Er biodiesel dengan static-mixer dan blade agitator disajikan dalam Tabel 12. Dari hasil pengukuran tersebut dapat dilihat bahwa suhu reaksi tidak begitu memberikan pengaruh yang jelas terhadap rasio energi. Hal ini dikarenakan kecenderungan adanya kompensasi dari energi transesterifikasi terhadap energi pemanasan awal. Fenomena ini terjadi baik untuk penggunaan static-mixer dan blade agitator. Dalam Gambar 49 dan 50 disajikan gambar atau pola perubahan Er untuk yang tanpa melibatkan energi purifikasi dan memasukan energi purifikasi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa Er rata-rata untuk memproduksi biodiesel dari RBDPO dengan menggunakan static-mixer adalah 3,63 dan nilai ini lebih tinggi dibandingkan rasio energi rata-rata yang dihasilkan menggunakan blade agitator yaitu 1,51. Pemasukan energi purifikasi dalam perhitungan mengakibatkan Er rata-rata menurun dengan nilai 0,57 dan 0,46 masing-masing untuk static-mixer dan blade agitator. Dengan mempertimbangkan definisi Er yang digunakan dalam 81
dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa nilai Er yang tinggi memerlukan input energi yang rendah untuk meningkatkan energi biodiesel dari kandungan energi bahan baku yang diolah. Pada lampiran 26 hingga 30 disajikan data dan hasil perhitungan Er untuk suhu 50, 55, 60, 65, dan 70oC. Tabel 12. Perhitungan Rasio Energi (Er) T (oC)
Er (Static-mixer)
Er (Blade agitator)
50
Qin (kJ/kg) 1810,45
Er dengan purifikasi 0,57
Er tanpa Qin purifikasi (kJ/kg) 3,67 2220,36
Er dengan purifikasi 0,46
Er tanpa purifikasi 1,49
55
1807,77
0,57
3,65
2202,39
0,47
1,52
60
1801,79
0,57
3,73
2242,24
0,46
1,44
65
1804,35
0,57
3,75
2226,98
0,46
1,48
70
1838,66
0,56
3,34
2169,63
0,47
1,61
Rata-rata
1812,60
0,57
3,63
2212,32
0,46
1,51
Keterangan : Er : (Q2-Q1)/Qin Qin: jumlah energi pemanasan awal, transesterifikasi, dan purifikasi (kJ, lihat Tabel 12) Q2 : nilai kalor biodiesel dari RBDPO sebesar 37,8 MJ/kg (Pischinger et al.,1982) Q1 : nilai kalor RBDPO sebesar 36,70 MJ/kg (Gros, 2009) 4
Rasio energi
3 2 1 0 45
50
55
60 Suhu (oC)
Static-mixer
65
70
75
Blade agitator
Gambar 49. Rasio energi produksi biodiesel dengan tanpa melibatkan energi purifikasi pada saat nilai ME mencapai 96,5 % w/w 82
2
Rasio energi
1.6 1.2 0.8 0.4 0 45
55 Suhu (oC) Static-mixer
65
75
Blade agitator
Gambar 50. Rasio energi produksi biodiesel dengan melibatkan energi purifikasi pada saat nilai ME mencapai 96,5 % w/w Pada Tabel 13 disajikan hasil perhitungan dari penelitian lain tentang Er yang dioperasikan pada kondisi yang berbeda. Terdapat disparitas nilai Er dari hasil penelitian yang ada, Kinast (2003) and Lurgi (2008) menghasilkan pehitungan Er pengolahan biodiesel dari minyak sawit yang dioperasikan pada suhu 60oC sebesar 31,8 and 32,3 (lihat Tabel 14). Nilai rasio energi tersebut jauh lebih besar dari hasil penelitian yang dilakukan, akan tetapi nilai-nilai tersebut diperoleh dengan dasar perhitungan yang berbeda yaitu dengan membandingkan energi biodiesel terhadap energi proses serta tanpa melibatkan kandungan energi yang terdapat dalam minyak sawit sebesar 36,7 MJ/kg (Gros, 2009) serta dalam perhitungan tidak melibatkan energi input dari pupuk yang dikonsumsi dan transportasi.
Sagara (2006) juga melaporkan nili Er yang diperoleh dari
pengolahan biodiesel dari minyak sawit menggunakan metoda non-catalytic bubble column reaktor sebesar 6,3. Nilai rasio energi tersebut juga diperoleh dengan dasar perhitungan yang sama tanpa melibatkan kandungan energi minyak sawit yang nilainya cukup besar 36,70 MJ/kg dan energi input atau pupuk selama penanaman sawit
83
Di lain pihak hasil penelitian Er yang dilakukan oleh Pimentel dan Patzek (2005) adalah 0,79. Dalam penelitian tersebut nilai Er didasarkan pada persamaan yang tidak komprehensif dan hanya didasarkan pada perbandingan nilai energi biodiesel terhadap jumlah energi untuk penanaman kedelai dan pengolahan kedelai menjadi biodiesel dan tepung kedelai. Sheehan et. al. (1998) melaporkan penelitian Er dengan lebih detail dengan melibatkan fraksi biodiesel dan produk lain sehingga dihasilkan nilai yang lebih jelas dan komprehensif. Nilai Er dari perhitungan ini dengan melibatkan energi untuk kultivasi, penggilingan, transesterifikasi dan transportasi serta nilai Er yang dihasilkan adalah 3,21. Ahmed (1994), dan Hill et. al. (2006) juga melaporkan perhitungan Er biodiesel dari minyak kedelai masing-masing sebesar 2,51, dan 1,93. Dalam perhitungannya dilibatkan nilai kalori co-product biodiesel (gliserol dan tepung kedelai). Nilai-nilai Er tersebut di atas cukup beragam karena diperoleh dengan perhitungan (persamaan) yang berbeda.
Dalam perhitungan-perhitungan
Er
tersebut, nilai energi input berasal dari pupuk dilibatkan (tanpa melibatkan input sinar matahari), energi listrik dan boiler untuk pengolahan biodiesel, pengurangan energi yang terkandung dalam tepung biji kedelai (soybean meal), energi untuk pengangkutan/transportasi. Di samping itu masing-masing percobaan digunakan reaktor dengan kapasitas dan kondisi proses yang berbeda (molar rasio, suhu, tekanan, dan kecepatan pengadukan). Tabel 13. Hasil perhitungan rasio energi (Er) Rasio Sumber energi (Er) 3,63 Hasil penelitian 1,51 Hasil penelitian 0,79 Pimentel and Patzek (2005) 3,21 Sheehan et al. (1998) 2,51 Ahmed et al. (1994) 1,93 Hill et al. (2006) 32,3 Lurgi (2008) 31,8 Kinast (2003) 6,3 Sagara (2006) keterangan: *: tanpa energi purifikasi, **: dengan energi purifikasi
Persamaan Pers. [27]* Pers. [27]** Er = Eb/(Es+Ep) Er=Eb/(E1f1+ E2f2+ E3f3) Er = (Eb+Ec)/(E1+E2+E3) Er = (Eb+Ec)Etp Er = Eb/Etp Er = Eb/Etp Er = Ecb/Etp
84
Eb: energi biodiesel (kJ / kg) Es: energi untuk pemanenan kedelai tanpa energi untuk transportasi (kJ / kg) Ep: energi input pengolahan biodiesel dan tepung kedelai tanpa energi transportasi (kJ/kg) Ec: nilai kalori biodiesel co-products (glycerol and soy flour) (kJ / kg) Ecb : nilai kalori biodiesel (kJ/kg) Es : energi supply dalam reaktor (kJ/kg) E1: energi inputs untuk kultivasi and transportasi (kJ / kg) E2: energi input untuk penggilingan dan transportasi (kJ / kg) E3: energi input untuk transesterifikasi dan transportasi (kJ / kg) Etp : energi transesterifikasi dan purifikasi (kJ/kg) f1, 2,3: fraksi dari energi input biodiesel (%)
85
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat disajikan dari percobaan penelitian transesterifikasi RBDPO menggunakan reaktor static-mixer dan blade agitator: 1. Waktu reaksi transesterifikasi untuk mencapai kandungan metil ester standard (minimum 96,5 % w/w, sesuai SNI 04-7128-2006 ) menggunakan static-mixer lebih singkat dibanding menggunakan blade agitator. Hal ini menandakan mekanisme pengadukan static-mixer lebih efektif dibandingkan pengadukan blade agitator, 2. Pengaruh suhu reaksi transesterifikasi pada percobaan menggunkan staticmixer tidak terlalu signifikan terhadap pembentukan metil ester, 3. Laju reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer menghasilkan dua tahap reaksi sehingga memberikan dua konstanta lau reaksi yaitu konstanta laju reaksi awal (k1) dan konstanta laju reaksi akhir (k2) sedangkan pada percobaan blade agitator memberikan satu tahap laju reaksi (k). (dengan perbandingan k1 lebih besar dari k), 4. Hasil percobaan menggunakan static-mixer menghasilkan nilai Ea1, Ea2, A1, dan A2 yaitu 1,33 J/mol, 16,71 J/mol, 6,48, menit-1 dan 8,89 menit-1.. Sedangkan nilai Ea dan A untuk blade agitator adalah 10,49 J/mol, dan 2,9 menit-1. Hasil tersebut menunjukkan frekuensi tumbukan pada staticmixer lebih tinggi dari blade agitator. 5. Energi transesterifikasi rata-rata menggunakan reaktor static-mixer adalah 84,53 kJ/kg lebih kecil dibanding menggunakan blade agitator yaitu 484,2 kJ/kg.
Energi transesterifikasi terkecil didapat pada suhu operasi 65 oC
yaitu adalah 56,1 kJ/kg. 6. Kebutuhan energi rata-rata untuk produksi biodiesel (Qin) menggunakan static-mixer adalah 1812,60 kJ/kg, sedangkan bila menggunakan blade agitator adalah 2212,32 kJ/kg. 7. Energi yang dibutuhkan untuk purifikasi biodiesel (pencucian dan pengeringan) lebih tinggi dibanding untuk pemanasan awal minyak (TG)
86
dan MeOH dan proses transesterifikasi (84 % untuk purifikasi, 11 % untuk pemanasan awal RBDPO atau TG dan MeOH, 5 % untuk transesterifikasi) 8. Rasio energi (Er tanpa melibatkan energi purifikasi ) rata-rata dengan menggunakan static-mixer adalah
3,63, sedangkan bila menggunakan
blade agitator adalah 1,51 (Er static-mixer 2,41 lebih besar dari Er blade agitator). Er yang dioperasikan dengan static-mixer pada suhu 65°C, memberikan nilai yang terbesar yaitu 3,75. 9. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa kehilangan panas terbesar terjadi pada pipa untuk saluran sirkulasi reaktan (116,57 kJ/kg) disusul dengan dinding tangki (73,98 kJ), tutup atas (38,47 kJ), static-mixer (27,72 kJ), dan tutup bawah (8,38 kJ). 5.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian penggunaan static-mixer dengan mengubah dimensi diameter elemen, jumlah elemen, panjang casing dan kecepatan aliran fluida (reaktan) untuk mengetahui laju dan kinetika reaksi yang terjadi, 2. Perlu dilakukan metoda purifikasi (pencucian) lain, karena energi yang dibutuhkan pada tahap ini masih cukup besar. Salah satu cara yang bisa diterapkan adalah dengan menggunakan metode pencucian kering (tanpa menggunakan air), 3. Perlu dipelajari suatu model pabrik (industri pengolahan) yang bisa menggambarkan waktu reaksi dan kandungan metil ester sebagai fungsi atau pengaruh jenis bahan baku, suhu dan molar rasio reaktan, dan suhu reaksi transesterifikasi.
87
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, I., J. Decker, and D. Morris. (1994). How much energi does it take to make a gallon of soydiesel? Jefferson City, Mo.:National Soydiesel Development Board. Ajav, E.A. and A.O. Akingbehin (2002). “A Study of Some Fuel Properties of Local Ethanol Blended with Diesel Fuel”. Agricultural Engineering International: The CIGR Journal of Scientific Research and Development. IV: EE 01 003. Aksoy, H. A., Kahrahman, I., Karaosmanoglu, F., Chvelevkoglu, H., (1988). Evaluation of Turkish sulphuric olive oil as Alternative Diesel Fuel Oil. J. Am. Oil Chem. Soc. 65 : 935-938. American Society for Testing and Materials, Standard Specification for Biodiesel Fuel(B100) Blend Stock for Distillate Fuels, Designation D6751-02, ASTM International, West Conshohocken, PA (2002). Ariati, R.
(2007).
Kebijakan Nasional Pengembangan Biofuel. Makalah
disampaikan dalam Workshop Desain Pabrik Biodiesel Skala Mini, Serpong 13-15 Nopember 2007.
BRDST (BPPT), MerRistek, DJLPE
(ESDM), dan PT. Astra Agro Lestari Tbk. Atkins PW (1986). Physical Chemistry. 3rd ed. New York: Oxford University Press Bacon, D.H. dan R.C. Stephens (1990). Mechanical Technology. Second Edition, Oxford, Butterworth-Heinemann Ltd. Ban, K., Kaieda, T. Matsumoto, A. Konodo and H. Fukuda (2001). Whole cell biocatalyst for biodiesel fuel production utilizing Rhizopus oryzae cells immobilized within biomass support particles. Biochemical Engineering Journal 8 (2001): 39-43 Barrow GM. (1973). Physical chemistry. Tokyo: McGraw-Hill Kokusha Ltd, hal. 419. Brennan, J.G., Butters, J.R., Cowell, N.D., and Lilly, A.E.F. (1969). Food Engineering Operations, Elseiver, New York, hal. 69-75
88
BSN (2006), ‘Indonesian National Standard on Biodiesel, SNI No. 04-71822006’ SNI Canacki, M. And Gerpen, J.V. (1999). Biodiesel production via acid catalysis. Transaction of ASAE 42 (5) : 1203 – 1210. Carraretto, C., A. Macor, A. Mirandola, A. Stopatto and S. Tonon. (2004). Biodiesel as alternative fuel: Experimental analysis and energetic evaluations. In Energi 29:2195 -2211. Choo, Y.M., and S.H. Ong (1986). Transaction of fats and oils. British patent GB 2 188 057 A (1986). Costa, R. S., Lora, E. E. S. (2006). The energi balance in the production of palm oil biodiesel- two case tudies: Brazil and Colombia”. Federal University of Itajubá/Excellence Group in Thermal and Distributed Generation NEST (IEM/UNIFEI), Oil Palm Research Center CENIPALMA/Colombia and Bahia Federal University – UFBA. Darnoko, D. and Cheryan, M. (2000a). Continous production of palm methyl esters, JAOCS, 77 (12), 1269-1272 Darnoko, D. and Cheryan, M. (2000). Kinetics of palm oil transesterification in a batch reaktor, JAOCS, 77 (12), 1263-1267 Darnoko, Herawan, T., and Guritno, P. (2001). Biodiesel production technology and its develpoment prospect Indonesia. Warta PPKS 9 : 17 – 27. Department of Energi-DOE (2009). Energi Sources, DOE News Media, U.S. Department of Energi ,Washington, DC 20585 Freedman, B., E. H. Pryde and T. L. Mounts (1984).
Variables affecting the
yields of fatty esters from transesterified vegetable oils, JAOCS, 61 : 1638-1643. Freedman, B., R. O. Butterfield and E. H. Pryde (1986). Transesterification of kinetics of soybean oil. JAOCS, 63 : 1375-1380 Fukuda, H., A. Kondo, H. Noda (2001).
Biodiesel fuel production by
transesterification of oils, Journal of Bioscience and Bioengineering, 92 (5) : 405-416
89
Gerpen, J.V. and G. Knothe. (2005). Basics of transesterification reaction. In : Knothe, J.V. , G. Knothe and J. Krahl, (ed). The biodiesel handbook, AOCS Press, Champaign, Illinois Gros, S. Bio-oils for diesel engine (Technology in focus), Energi News, Issue 15, http://www.wartsita.com/ global/docs/en/powermedia_publication/ energi_news/ _for_diesel_engines.pdf (dikases 10 Oktober 2008). Hazkil B. (2008). Pengaruh Suhu dan Waktu Esterifikasi - Transesterifikasi pada Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan, Universitas Djuanda. Hill, J., E. Nelson, D. Tilman, S. Polasky, and D. Tifanny (2006). Environmental, economic, and energetic costs and benefits of biodiesel and ethanol biofuels. PNAS 103(30): 11206‐11210. Holman, J.P. (1994).
Perpindahan Kalor.
Edisi ke-6, Penerjemah Jasfi, E,
Jakarta, Erlangga, hal. 859. INPRES No.1 (2006).
Penyediaan dan Pemanfaatan BahanBakar Nabati
(Biofuel). Joelianingsih, Maeda, H., Hagiwara, S., Nabetani, H., Sagara,Y., Soerawidjaya, T.H., and Tambunan, A.H. and Abdullah K (2008). Biodiesel fuels from palm oil via the non-catalytic transesterification in a bubble column reactor at atmospheric pressure: A kinetic study Renewable Energy 33 : 1629– 1636 Joelianingsih (2008). Biodiesel Production From Palm Oil In A Bubble Column Reactor By Non-Catalytic Process.
Dissertation, Bogor Agricultural
University, Bogor. Kenics (2007). Kenics Mixing Technology, Chemeneer, Inc, Dayton, OH. http:// www.kenics.com (access ed on April, 2009) Kinast J.A,. (2003). ” Production of Biodiesels from Multiple Feedstocks and Properties of Biodiesels and Biodiesel/Diesel Blends,” Final Report , National Renewable Energy Laboratory (NREL/SR-510-31460), Gas Technology Institute Des Plaines, Illinois, March 2003. P: 3.
90
Knothe G. (2005). Analitycal methods for biodiesel. In : Knothe, J.V. , G. Knothe and J. Krahl, (ed).
The biodiesel handbook, AOCS Press,
Champaign, Illinois Knothe G. (2005). Introduction : What is biodiesel ?. In Knothe G. Gerpen, J.V. , Krahl J. editors. The biodiesel handbook. Champaign Illinois: AOCS Press, p: 1-3 Koflo Corp. (2006). Staticmixers from "The Staticmixer Experts". Koflo Corp. Information, Cary, Ilinois Komara, D. (2007). Development of Biofuel/Green Energi in Indonesia: Plan and Strategy, makalah disampaikan pada “Workshop on M s to Investment and Flexible Mechanism 30-31 August, Bangkok, UNCC. Streaming Policies and Investment in Low Carbon: Opportunities for New Approach. Krawczyk T. (1996). Biodiesel-alternative fuel makes inroads but hurdles remain. INFORM 7 (8): 800-815. Kusdiana D, Saka S. (2001). “Kinetics of transesterification in rapeseed oil to biodiesel fuel as treated in supercritical methanol”. Fuel 2001;80:693–8. Linko, Y.Y., Lamsa, M., Wu., X., Uosukainen, W., Sapppala, J. and Linko, P. (1998). Biodegradable products by lypase biocatalysis. J. Biotechnol, 66 : 41-50 Levenspiel O (1972). Chemical Reaction Engineering. 2nd ed. New York:Wiley; 1972. pp. 448-449 Lurgi AG. (2008). Biodiesel from renewable resources. Internet: www.lurgi.com (accessed at April 10, 2008). Ma F, and Hanna MA. Biodiesel production (1999). A review. Bioresource Technology 1999;70:1-15. Meher, L.C., Vidya Sagar, D. and Naik, S.N., (2006). Technical aspects of biodiesel production by transesterification. Renew. Sustain. Energi Rev., 10, p. 248-268. Mittelbach, M. and C. Remschmidt. (2004). Biodiesel: The comprehensive handbook. 1st Ed”. Boersedruck Ges.m.b.H. Vienna.
91
Mittelbach, M., M Wortgetter, J. Pernkopf, and H. Junek. (1983). Diesel Fuel Dirived from Vegetable Oils: Preparation and Use of Rape Oil Methyl Ester. Energy in Agriculture 2 (1983): 369-384 Moestofa dan Badeges, F. (1986).
“Penyulingan Minyak Daun Kayu Manis
Secara Kohobasi dan Identifikasi dan Identifikasi Komponen Minyak Atsiri yang dihasilkan”. J. of Agro-Based Industry, Vol. 3. No.1 Mootabadi, H,, Salamatania, B., Razali, N.Bathia, S., and Abdullah, A.Z. (2008). “Energi Balance Production of Biodiesel”.
Paper
presented
on
International Conference on Environmental Research and Technology (2008).
http://www.ppti.usm.my/ICERT_website/Proceeding/ (accessed
at February 10, 2009). Mujumdar, A.S. (2004). Handbook of Industrial Drying, 2 nd Ed. (Rev. And expanded), Marcel Dekker Ltd. Nelson, L.A., Foglia, A., adnd Marmer, W.N. (1996).
Lipase- catalyzed
production of biodiesel . J. Am. Oil Chem. Soc. 73 : 168-170 Noureddini, H., Zhu, D., (1997). “Kinetics of transesterification of soybean oil”. J. Am. Oil Soc. Chem. 74, 1457–1463. Oldshue, J.Y. (1983). Fluid Mixing Technology. Chemical Engineering Mc. Graw-Hill Pub. Co, New York. Otera J. (1993). Transesterification, Chem Rev ;93 (4):1449-1470 Paul, E., Obeng, V.A.A., dan Kresta, S.M. (2003). Handbook of Industrial Mixing. Wiley-Interscience, New York. PERPRES No. 5 (2006). Kebijakan Energi Nasional (Target Pemerintah Bidang Konversi Energi Melaui Pemanfaatan Sumber Energi Alternatif. Perry R, Green D, editors. Perry’s Chemical Engineer’s Handbook. 7th ed. McGraw-Hill; 1997. Peterson, C.L., (1993). “Commercial process feasibility analysis and bench scale process system design”. University of Idaho, Departments of Agricultural Engineering and Chemical Engineering, US Department of Energi Agreement No. DE-B179-93BPO9233. NTIS, Springfield, VA, 15 pp.
92
Pimentel, D. and T.W. Patzek. (2005). “Ethanol Production Using Corn, Switchgrass, and Wood; Biodiesel Production Using Soybean and Sunflower,” Natural Resources Research, 14(1): 65-75, 2005. Pischinger, G.H., A.M. Falcon, R.W. Siekmann and F.R. Fernandes. (1982). ” Methylesters of Plant Oils as Diesel Fuels, Either Straight or in Blends,” pp 198-208. in Vegetable Oils Fuels. ASAE Publication 4-82. Amer. Soc.Agric. Engrs., St. Joseph.MI. USA . Pusdatin KESDM (2009).
Buku Statistik Energi, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Energi (KESDM), Jakarta Sagara (2006). State of the art Technologies in Non-Catalytic Methanolisis for Biodiesel Fuel Production. In : Proceeding of the Development in Biofuel Production and Biomass Technology Seminar. Jakatra, February 21-22 , Saka S, Kusdiana D (2001). Biodiesel fuel from rapeseed oil as prepared in supercritical methanol. Fuel 2001;80:225-231. Schuchardt, U.R., Sercheli and R.M. Vargas (1998). Transasctions of vegetable oils; a review. Journal of the Brazilian Chemical Society 9 (3) (1998): 199210 Sheehan, J., V. Camobreco, J. Duffield, M. Graboski, and H. Shapouri (1998). Life cycle inventory of biodiesel and petroleum diesel for use in an urban bus. NREL/SR‐580‐24089 Golden, Colo.: National Renewable Energi Laboratory. Spath, P. L., and M. K. Mann. (2000). Life cycle assessment of a natural gas combined‐cycle power generation system. NREL/TP‐570‐27715. Golden, Colo.: National Renewable Energi Laboratory. Srivasta, A. and R. Prasad (2000). Triglycerides-based diesel fuels. Renewable and Sustainable Energi Reviews, 4 : 111-133 Steinfeld JI, Francisco JS, Hase WL. (1989). Chemical kinetics and dynamics. New York: Prentice Hall, (p. 6). Stoecker, W.F. and J.W. Jones (1994). Refrigerasi dan Pengkondisian udara. Penerjemah Supratman Hara, Jakarta, Erlangga, hal. 132. Tapasvi, D. , Wiesenborn, D, Gustafson, C. (2005). Process model for biodiesel production from various eedstocks. Transaction of the ASAE 48 (6): 2215 -2221
93
The Environment Protection Agency-EPA (2009), DOE Announce New Steps to Strengthen ENERGI STAR, DOE News Media, U.S. Department of Energi ,Washington, DC 20585 Thompson, J.C. and He, B.B. (2007).
“Biodiesel Production Using Static-
mixers”, Transactions of the ASABE Vol. 50(1): 161−165. Vincente, G., Martinez, M, dan Aracil, J. (2004). “Integrated biodiesel production: a comparison of different homogeneous catalysts systems“, Bioresource Technology , Vol. 92 (3): 297-305 Watanabe, Y., Shimada, Y., Sugihara, A., and Tominaga, Y. (2001). Enzymatic conversion of waste edible oil to biodiesel in a fixed-bed bioreaktor. J. Am. Oil Chem. Soc. 78 (7) : 703-707 Wirawan, S.S., A.H. Tambunan, M. Djamin, and H. Nabetani (2008). “The Effect of Palm Biodiesel Fuel on the Performance and Emission of the Automotive Diesel Engine”. Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal. Manuscript EE 07 005. Vol. X. April, 2008. Wu WH, Foglia TA, Marmer WN, Phillips JG. Optimizing production of ethyl esters of grease using 95% ethanol by response surface methodology. J Am Oil Chemists’ Soc 1999, 76(4):517-521. Yamazaki R, Iwamoto S, Nabetani H, Osakada K, Miyawaki O, Sagara Y. (2007). “Noncatalytic alcoholysis of oils for biodiesel fuel production by semibach process”. Jpn J Food Eng. ;8:11–9. Yuswono, Triyono, and Tahir, I. (2008). Kinetics of palm oil transesterification in methanol with potassium hydroxide as a catalyst. Indo. J. Chem., 2008, 8 (2): 219 - 225 Zhang, Y., Dub, M.A., McLean, D.D., Kates, M., (2003). Review paper: Biodiesel production from waste cooking oil: 1. rocess design and technological assessment, Bioresource Technology 89 (2003) 1–16 Zandy A, Destianna M, Nazef, Puspasari F. 2007. Intensifikasi Proses Produksi Biodiesel. Bandung: ITB.
94
Lampiran l. Gambar piktorial reaktor Static-mixer
95
Lampiran 2. Gambar irisan reaktor static-mixer
96
Lampiran 3. Tampak atas reaktor static-mixer
97
Lampiran 4. Spesifikasi Reaktor Static-mixer Tangki Utama Bahan Tebal Diameter Tinggi Tinggi penutup dari dasar tangki Tangki kaki penyangga Diameter kaki penyangga Panjang pengaduk Blade pengaduk Kaca Bahan Tinggi Lebar Kedalaman dari dinding luar Insulasi Bahan Tebal Tinggi Pipa saluran Bahan Ukuran Tebal Pipa keluar tangki Pipa masuk tangki Panjang horizontal bawah dan atas Panjang sebelumSM Panjang setelah SM Saluran minyak Bahan Tebal Diameter Tinggi silinder Tinggi kerucut Pipa Kondensor Bahan Diamter spiral Tebal spiral Bahan Diameter Tinggi
: : : : : : : : :
Stainless steel 304 2 mm 25 cm 50 cm 6 cm 29 cm 51 cm 65,5 cm 4
: : : :
Kaca 12,25 cm 9,4 cm 3,5 cm
: : :
Glaswool 4.5 cm 35 cm
: : : : : : : :
pipa baja ¾” 3 mm 4,5 cm 10 cm 33 cm 65 cm 43,5 cm
: : : : : :
Stainless steel 304 2 mm 12 cm 6 cm 6,5 cm 15 cm
: : : : : :
Spiral 6 m 10 mm 1 mm stainless steel 14.8 cm 37.5 cm
98
Motor/pompa static-mixer Type Daya Hmax Suction max Frekuensi RPM Tegangan Motor blade agitator Daya Rpm Frequensi Voltase Heater Jenis Daya Tegangan Panjang Diameter Panel Heater, motor, pompa, 3 display suhu Penampung produk/tangki pencucian Bahan Diameter Tinggi badan tangki Tinggi kaki penyangga Penutup Dasar kerucut
: : : : : : :
sentrifugal 125 W 24 m 9m 50 Hz 2850 220-240 V
: : : :
125 W 150 50 Hz 220 V
: : : : :
SG1203 1550 W 240 V 25 cm 7 mm
: : : : : :
Stainless steel 30 cm 40 cm 60 cm 5 cm 15 cm
99
Lampiran 5. Rancangan Fungsional Reaktor Static-mixer 1.
Tangki Utama Tangki Utama merupakan tangki untuk menampung seluruh bahan baku
yakni campuran minyak nabati, methanol, dan katalis (Gambar 51). Kapasitas tangki utama dapat menampung campuran sebanyak 23 liter/proses. Di dalam tangki utama terjadi mekanisme pencampuran tanpa proses pengadukan. Pencampuran terjadi secara kimiawi karena pengaruh aliran dari atas ke bagian bawah tangki dan karena pengaruh panas. Secara mekanik, di dalam tangki utama tidak diupayakan terjadinya proses pencampuran. Karena proses pencampuran secara mekanik diharapkan terjadi pada saluran di mana terdapat static-mixer di dalamnya.
Gambar 51. Reaktor static-mixer 2. Tangki Penampung/pencucian Tangki penampung berfungsi sebagai tempat untuk menampung produk hasil reaksi (Gambar 52). Di tangki penampang biodiesel kasar didiamkan (settling) kemudian di pisahkan dari gliserol. Setelah itu biodiesel dicuci dengan air bersuhu 90
dan dikeringkan. Tangki penampung berbentuk silinder yang
100
memiliki cekungan pada bagian dasarnya. Terbuat dari stainless steel dengan diameter 30 cm, tinggi 40 cm dan tinggi bagian kerucut adalah 15 cm.
Gambar 52. Tangki penampung (tangki pencucian). 3.
Static-mixer Static-mixer atau yang sering disebut juga dengan istilah mixer tanpa
gerak (motionless mixer) digunakan untuk proses di dalam pipa. Struktur di dalamnya padat dan elemen static-mixer dapat dipindahkan. Ukuran diameter adalah 5 cm dan pajang 6 cm, terbuat dari logam plat stainles steel. Ketika digunakan, mixer dalam keadaan diam dan pencampuran terjadi dari proses aliran yang melewati mixer. Mixer statis terdiri dari suatu rangkaian struktur gambaran cermin yang terpasang pada sebuah saluran atau poros (helix). Struktur seperti ini disebut dengan istilah “elemen” yang berulang secara berurutan sepanjang ruang pencampuran. Aliran tuerbulen dihasilkan oleh bentuk elemen dan dinding saluran yang berbentuk ulir. Elemen diputar 180 dan elemen berikutnya berpotong dengan elemen sebelumnya dengan membentuk sudut 90 . Bentuk static-mixer dapat dilihat pada Gambar 53.
101
Gambar 533. Rumahan (Casing) daan elemen staatic-mixer 4. 4 Pompa/m motor static--mixer Pomppa menghassilkan alirann yang mem mbawa energi dan tekaanan. Daya yang y dihasillkan pompa melalui fluida akan mellewati static-mixer deng gan struktur heliks. h Fluid da dipaksa mengikuti m jaalur tersebut sehingga ddi dalamnyaa terbentuk aliran a turbuulen. Aliran turbulen inni menyebaabkan terjaddinya pencaampuran di dalam d casing g (rumahan)) static-mixeer. Komponnen utama sisstem pemom mpaan pada reaktor r stattic-mixer ad dalah : Pom mpa untuk memompa m ccairan, pemiipaan yang digunakan d u untuk memb bawa fluida,, kran yang g digunakan untuk menngendalikan aliran a dalam m sistem, sam mbungan, peengendalian dan instrum mentasi lainnnya. Pompa memiliki m daaya 125 W, W 220 Volt dan 0.6 Ampere.. A Poompa yang digunakan ditampilkan d pada Gambar 54.
102
Gambar 54. Pompa static-mixer 5.
Heater Heater berfungsi sebagai penyedia panas untuk mempercepat terjadinya
proses pencampuran methanol dengan minyak nabati. Panas dihasilkan dari energi listrik yang diubah oleh koil/elemen pemanas. Heater yang digunakan adalah jenis batangan berbahan besi dengan panjang 25 cm, diameter 7 mm. Daya elemen pemanas adalah 1550 Watt (hasil pengukuran). Heater yang digunakan dapat dilihat pada gambar 55.
Gambar 55. Pemanas (heater) 6.
Kondensor Kondensor berfungsi sebagai pendingin dan penukar panas untuk
mengubah uap methanol menjadi cair kembali. Kondensor yang digunakan adalah jenis spiral dengan panjang spiral 6 m, diameter pipa spiral 10 mm, tebal 1 mm. 103
diameter dan tinggi tabung masing – masing 14,8 dan 37,5 cm. kondensor yang digunakan ditampilkan pada gambar 56.
Gambar 56. Kondenser 7.
Pipa Saluran Pipa saluran berfungsi untuk mengalihkan campuran dari pompa melewati
static-mixer . Panjang saluran keseluruhan adalah 1,41 meter. Diameter pipa ¾ inci dengan tebal 3mm. Pada pipa terdapat katup untuk mengatur aliran fluida. 8.
Kontrol Panel Kontrol panel merupakan pusat pengaturan daya dan kontrol suhu reaktor.
Terdiri dari saklar pompa, heater, dan pengatur suhu. Kontrol panel ditampilkan pada gambar 57.
Gambar 57. Kontrol panel static-mixer
104
Lampiran 6. Perhitungan rancangan tangki reaktor static-mixer Tangki utama dirancang untuk dapat menampung bahan campuran trigeliserida (TG) dan metanol (MeOH) sebanyak 20 liter, dengan perhitungan sebagai berikut : Volume bahan total (TG + MeOH) = 20 liter Volume Tangki (V) = 20 liter + (15 % x Volume bahan) sebagai head space (Brenan et al., 1969, halaman 69-75) Vtotal = 20 liter + 3 liter Vt otal = 23 liter Vt dirancang dengan perbandingan T (tinggi) : Diameter (D) = 2 : 1 (Paul, 2003) Vt = T π D2 = 2 D D2 4 23 1000
4 3
m =
π D3
D3 = 46 / (1000 π)
2
D3 = 0,01465 D = 0,2447 m ~ 25 cm T = 2xD = 50 cm
Keterangan : Fungsi suatu tangki bukan hanya sekadar tempat menampung bahan, melainkan yang lebih penting adalah sebagai tempat reaksi (TG + MeOH + katalis). Untuk itu harus tersedia ruang kosong untuk menjaga kondisi bahan tetap baik selama proses pencampuran terjadi. Ruang kosong (head space) berkisar antara 15-20 % dari volume bahan (Brenan et al., 1969).
105
Lampiran 7. Perhitungan rancangan settling tank dan pencucian Settling tank dirancang untuk : 1) menampung hasil reaksi , dan 2) pencucian. Hasil reaksi akan membentuk 2 lapisan; FAME (lapisan atas) + GL (lapisan bawah). Pecncucian FAME menggunakan air dan dilakukan setelah GL dipisahkan. Untuk pencucian diharapkan dapat menampung 32 liter (12 liter FAME dan 20 liter air). Untuk pencucian, jumlah air yang dibutuhkan sekitar 2 kali jumlah FAME. Dimensi tinggi tangki dapat dihitung: Va = 3,5 liter
D
Vd = (32-3,5) liter = 28,5 liter Vd = ¼ π D2 T
T
28,5 x 10-3 = ¼ π (0,75 T)2 T
Vd
T = 40,30 cm (pilih T = 40 cm) Tinggi tangki ( T) = 40 cm Diameter tangki (D) = 0,75 x 40 = 30 cm Va = 1/3 ( ¼ π D2 t) 3,5 x 10-3 = 1/3 ( ¼ π (0.3)2 t
t
Va
3,5 x 10-3 = 0,02355 t t = 3,5 x 10-3
= 0,15 m = 15 cm `
0,02355 Tinggi tangki dasar (t) = 15 cm
106
Lampiran 8. Perhitungan Tenaga Pompa/motor static-mixer Pompa dibutuhkan untuk mengalirkan campuran minyak melewati static mixer. Kecepatan aliran yang akan dirancang didasarkan atas referensi Paul et. al. (2003) berkisar 1-5 fps (ambil 1,5 m/detik). V (kecepatan aliran) =
A
, A=¼
D2 = ¼
(0.01885)2 = 2,79 x 10-4 m2
m=VρA = 1,5 m/det x 857 kg/m3 x 2,79 x 10-4 m2 = 0,36 kg/dt Bilangan Reynold : Re
= = (857 x 1,5 x 0,01885)/6,17 x 10-3 = 3927,4
Faktor gesekan : = 0,079/Re0.25
f
= 0,079/(3927,4)0.25 = 0,01 Kehilangan tekanan akibat gesekan ²
hf =
= 4 x 0,01 x 1,41 x 1,52/(2 x 9,8 x 0,01885) = 0,34 m Kehilangan tekanan akibat belokan hl =
²
Jumlah belokan 4 buah, nilai dari k = 0.8 (didalam Stoecker tabel 7-4 hal 132) 107
= 4 x 0,8 x 1,52 / (2 x 9,8) = 0,37 m Kehilangan tekanan akibat valve: ²
hl =
, jumlah valve 2 buah, nilai k = 6 (didalam Stoecker tabel
7-4 hal 132) = 2 x 6 x 1,52 /(2 x 9,8) = 1,38 m Head akibat static mixer : hsm = hf x KT, dengan mengambil nilai KT sebesar 100, (didalam Oldshoe, 1983 tabel 7-6 hal 431). = 0,34 x 100 = 34 m Head Total Head total merupakan penjumlahan dari head statis dan head gesekan.
ht
= (1,41) + (0,34 + 0,37 + 1,38 + 34) = 37,5 m = Q x ht x
Daya
xg
= 0,35 x 10-3 x 37,5 x 857 x 9,8 = 113,4 W Daya terpasang 125 W keterangan : f I V g D Re
= faktor gesekan = panjang saluran (m) = 1,41 m = kecepatan aliran (m/s) = gaya gravitasi (9,8 m/s2) = diameter dalam pipa (m) = 18,85 mm = bilangan Reynold 108
m d
A k n
= densitas (kg/m3) = massa aliran (kg/dtk) = viskositas dinamik (Pa.s) = 6,17 x 10-3 Pa.s = luas penampang (m2) = 2,79 x 10-4 m2 = faktor kali untuk belokan dan kran = jumlah belokan
Dari hasil pengukuran debit aliran adalah 0,35 liter/detik atau 2,1 liter/menit Massa aliran (m)
= Q x ρ , (hasil dari pengukuran
= 857 kg/m3)
= 0,35 x 10-3 m3/dtk x 857 kg/m3 = 0,3 kg/detik
109
Lampiran 9. Perhitungan Tenaga pemanas (Heater) Sebagian panas yang disuplai oleh elemen pamanas digunakan untuk memanaskan minyak (TG) dan campuran (TG + MeOH + katalis). Atau dapat dinyatakan dengan persamaan: Qheater = Qminyak + Qcampuran (TG + MeOH + katalis) Dalam kenyataannya heater tidak digunakan sekaligus untuk pemanasan seluruh bahan tersebut akan tetapi berurutan, jadi untuk menentukan kebutuhan heater didasarkan atas salah satu konsumsi panas tertinggi dari operasi pemanasan tersebut. Panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu minyak Volume minyak
(V)
= 11 liter
Massa jenis minyak
( )
= 910 kg/m3 (Srivastava and Prassad, 2000)
Panas jenis
(Cp)
Massa minyak (m)
= 2,16 kJ/kg =Vx = 11 x 10-3 x 910 = 10,01 kg
Suhu awal
= 28
Suhu akhir
= 70
Qminyak
= m Cp ∆ = 10,01 kg x 2,16 kJ/kg
x (70-28)
= 908,1 kJ, (waktu pemanasan 15 menit = 900 detik) = 1008,9 W Panas yang dibutuhkan untuk memanaskan metanol Volume metanol
(V)
Massa jenis metanol ( )
= 5,5 liter = 790 kg/m3 (Yuswono, et al.,2008)
panas jenis metanol (cpMeOH) = 2,55 kJ/kg Massa metanol (m)
=Vx = 5,5 x 10-3 x 790 = 4,435 kg
Suhu awal
= 28
Suhu akhir
= 64 110
= m Cp ∆ = 4,435 kg x 2,55 kJ/kg x (64-28) = 407 kJ, (waktu pemanasan 10 menit = 600 s) = 678,5 W
Qmetanol
Panas yang dibutuhkan untuk memanaskan campuran V = volume campuran TG + MeOH + NaOH = 16,5 liter Massa jenis campuran ( )
= 857 kg/m3 (hasil pengukuran)
Massa campuran (m)
=
xV
= 857 x 16.5 x 10-3 = 14,14 kg Panas jenis campuran (cp)
= 3,78 kJ/ kg
Suhu awal campuran = 64,26 (dari perhitungan) Perhitungan suhu awal campuran; Setelah minyak mencapai suhu 65
, maka campuran metanol dan katalis
dimasukkan ke dalam tangki, sehingga suhu kesetimbangan dapat dihitung dengan persamaan : Qminyak = Qmetanol mm cpm ∆ T = mme cpme ∆ T massa minyak (mm)
= 10,01 kg
massa metanol (mme)
= 5,5 kg
panas jenis minyak (cpm)
= 2,16 kJ/kg
panas jenis metanol (cpme)
= 2,55 kJ/kg
mm cpm (Tm-Te) = mMeOH cpMeOH (Te-Tme) 10,01 x 2,16 (70- Te) = 4,345 x 2,55 ( Te - 64) 1513,5 – 21,6 Te = 11,1 Te – 709,1 Te = 68,0oC Qcampuran (TG + MeOH + katalis) = m Cp ∆ T = 14,14 x 3,78 x (70- 68,0) = 107 kJ (waktu pemanasan 5 menit) = 356,7 W Total daya maksimal yang terpakai untuk proses 1008,9 W Dengan demikian Daya terpasang dipilih = 1550 W
111
Lampiran 10. Perhitungan rancangan kondensor Asumsi Suhu uap MeOH masuk
= 64,50C
Suhu uap keluar
= 330C
Suhu air masuk
= 250C
Suhu air keluar
= 350C
Laju kondensasi
= 1 g/s (Moestofa dan Badeges., 1986)
Perhitungan kalor Qair = Q MeOH Q MeOH = m cp ΔT + m L Dimana : Q : kalor yang dihasilkan (kJ) m : massa methanol yang diuapkan (kg) cp : panas jenis methanol (2,55 kJ/kg 0C) ΔT : beda suhu L : kalor laten penguapan methanol (1100 kJ/kg) Sihingga : QMethanol = (1 x 10-3 kg/s x 2,55 kJ/kg 0C x (64,5-33)) + (1 x 10-3 kg/s x 1100 kJ/kg) = 1180,325 J/s Jadi, besarnya kalor yang dikondensasikan kondensor sebesar 1180,325 J/s Laju aliran air pendingin Qair = Q methanol Q
= m cp ΔT
m = Q/ (cp ΔT), Cp air = 4190 j/kg K m = 1180.325 /4190(35-25) m = 0,02817 kg/s = 28,17 g/s Laju aliran air pendingin ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan laju aliran air pendingin yang tersedia.
112
Perubahan suhu pada kondensor Kondensat 33 0C=T1’
0
Uap 64,5 C =
kondensor
Air keluar 350C =T2’
Air masuk 25 0C= T2
Perbedaan suhu logaritmik (LMTD) Perbedaan suhu logaritmik untuk aliran berlawanan (countercurent flow) adalah sebagai berikut: T1 S u h u
T2
T1
T2
Panjang kondensor ΔTLMTD = (T1-T2’)-(T1’-T2) ln (T1-T2’)/(T1’-T2) =(64.5-35)-(33-25) ln (64.5-35)/(33-25) ΔTLMTD = 16,48 0C = 62 0F Perpindahan panas antara dua zat alir yang terpisah sekat dapat dinyatakan dengan persamaan : Q = U A ΔT Dimana : Q = jumlah panas (kJ) U = koefisien pindah panas keseluruhan A = luas penampang ΔT = beda suhu
113
Nilai U = 50 Btu/ft2 jam 0F ( di dalam Perry dan Chilton, 1999 tabel 1010 hal 10-44). Q = 1180.325 J/s x 1 Btu/1055 J x 3600 s/jam = 4028 Btu/jam A = Q/(U ΔTLMTD) = 4028/ (50 x 62) =1,30 ft2 L = A/a A = 0.0655 ft (di dalam Perry dan Chilton tabel 11-2 hal 10-11), L = 1.30/0.0655 = 19.84 ft = 6.05 m Sehingga dipilih pipa dengan panjang 6 m, diameter 10 mm.
114
Lampiran 11. Perhitungan komposisi bahan baku sesuai dengan rasio yang ditetapkan dan keseimbangan massa biodiesel
Sebelum reaksi Berat awal (gr) Berat molekul mol
TG
3 MeOH
10010 850 11,77647
4345 32 135,78130
Sesudah reaksi Berat mol % ME Kandungan ME (gr) gmol TG yang bereaksi (mol) TG yang tdk bereaksi (mol) TG yang tdk bereaksi (gr)
Reaksi Bobot molekul
TG +
3 ME
GL
287
92
9240 35,32941 98,7 9119,88 31,77660
381 11,77647
11,62337 0,15309 130,12299
3 MeOH
850
32
10,010 11,776
4,345 35,328
→
3 ME 287
+
GL 92
Sebelum reaksi : Massa (kg) mol Sesudah reaksi : mol Massa (kg)
35,328 11,776 35,328 mol x 287 11,776 x 92 1000 1000 = 10,139 = 1,083 Jadi secara teoritis perbandingan produk ME : GL = 10,139 : 1,083 Mol real MeOH = 4345/32= 135,7813 Mol MeOH sisa (yang berlebih) = 135,7813 - 35,3280 = 100,453 3 Rasio molar TG : MeOH = 11,776/135,7813 = 1/11,5 Lampiran 12. kWh meter untuk pengukuran konsumsi energi
115
116
Lampiran 13. Pengujian Reaktor dan pengukuran proses transesterifikasi
117
Lampiran 14. Standard Nasional Indonesia – SNI 04-718-2006 (biodiesel) Properties Method SNI ASTM Units Masa jenis, 40oC
ASTM D 1298
850 - 890 (40°C)
-
kg/m3
Viskositas kinematik, 40 ° C Angka setana
ASTM D 445
2.3 – 6.0
9 – 6.0
mm2/s (cSt)
ASTM D 613
51 min
47 min
-
Titik nyala
ASTM D 93
100 min.
130 min
°C
Titik kabut
ASTM D 2500
18 max
Report to
°C
customer Korosi lempeng tenbaga Residu karbpon - in undistilled sampdalam contoh asli, atau Dalam 10 % distillation residueampas destilasi Air dan sedimen
ASTM D 130
no 3 max
No. 3 max
Rating (3 hours at 50°C)
ASTM D 4530
05 max. 0.3 max. 0
0.05 max
% (m/m) % (m/m)
ASTM D 2709 or ASTM D-1796
0.05 max
0.050 max
%-vol.
ASTM D 1160
360 max
ASTM D 874
0,02 maks
0.020 max
%-massa
ASTM D 5453 or ASTM D-1266 AOCS Ca 12-55
100 max.
ppm
10 max
Total sulfur 0.05 max 10
0.8 max
0.8 max
mg-KOH/g
0.02 max
0.02
%
0.24 max
0.24
%
Kadar alkil ester
AOCS Cd 3d-63 or ASTM D-664 AOCS Ca 14-56 or ASTM D-6584 AOCS Ca 14-56 or ASTM D-6584 calculated
96.5 min.
-
%
Angka Iodium
AOCS Cd 1-25
115 max
-
Uji Halphen
AOCS Cb 1-25
AOAC Cb 1-25
AOAC Cb 1-25
% (m/m) (gI2/100g) -
Temperature destilasi 90 % (v/v) Sulfated ash Belerang Fosfor Angka asam Glicerol bebas Gliserol total
°C
ppm
118
Lampiran 15. Data hasil pengukuran kandungan metil ester Blade agitator Waktu (menit)
T 50
T55
T 60
T 65
T 70
0
0
0
0
0
0
1
10,72
10,66
11,21
15,27
16,76
5
20,92
30,57
37,43
47,05
49,12
10
35,86
42,34
54,29
60,44
69,22
15
44,40
50,84
71,26
77,41
87,95
20
50,58
64,91
83,47
87,59
90,48
30
60,91
72,82
89,27
93,27
92,82
50
73,44
85,42
93,88
94,38
97,81
55
87,60
89,35
95,40
94,73
98,83
60
90,81
95,23
97,08
97,79
99,10
65
96,11
96,43
98,53
98,67
99,04
70
96,31
98,72
98,76
98,70
99,03
90
97,04
98,72
99,00
98,67
99,08
(menit)
T 50
T55
T 60
T 65
T 70
0
0
0
0
0
0
1
95,80
95,83
95,94
96,38
96,16
5
96,00
95,37
96,04
96,45
97,35
10
96,30
95,56
96,55
96,66
97,83
15
96,44
96,89
96,53
97,02
98,23
20
97,50
96,52
96,65
97,58
97,80
30
98,03
96,61
96,61
97,42
98,04
50
98,20
96,65
96,82
97,51
98,28
55
98,23
96,72
97,21
97,63
98,42
60
98,20
97,15
97,76
97,84
98,57
65
98,40
97,34
97,77
97,95
98,58
70
98,50
97,77
97,81
97,98
98,58
90
98,65
9,.80
97,82
98,00
98,60
Static-mixer Waktu
119
Lampiran 16. Hubungan parameter mutu biodiesel dengan waktu Metil ester Suhu 50 °C
Metil ester (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
Metil ester suhu 55°C
Metil ester (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
120
Metil ester suhu 60 °C
Metil ester (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
Metil ester suhu 65 °C 120
Metilester (% w/w)
100 80 60 40 20 0 0
20
40 60 Waktu (menit)
Blade agitator
80
100
Static-mixer
121
Metil ester suhu 70 °C 120
Metil ester (% w/w)
100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
Viskositas suhu 50 °C 30
Viskositas (cSt)
25 20 15 10 5 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
122
Viskositas suhu 55 °C
30
Viskositas (cSt)
25 20 15 10 5 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
Viskositas suhu 60 °C 30
Viskositas (cSt)
25 20 15 10 5 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
123
Viskositas suhu 65 °C 30
Visositas (cSt)
25 20 15 10 5 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
Viskositas suhu 70 °C 30
Viskositas (cSt)
25 20 15 10 5 0 0
20
40 60 Waktu (menit
Blade agitator
80
100
Static-mixer
124
Gliserol total (Gtl) suhu 50 °C
120
Gliserol total (% w/w)
100 80 60 40 20 0 0
20
40
Waktu (menit)
Blade agitator
60
80
100
Static-mixer
Gliserol total (Gtl) suhu 55 °C
Gliserol total (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
125
Gliserol total (Gtl) suhu 60 °C
Gliserol total (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
Gliserol total (Gtl) suhu 65 °C
Gliserol total (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
126
Gliserol total (Gtl) suhu 70 °C
Gliserol total (% w/w)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
Angka asam suhu 50 °C
Angka asam (mg KOH/g)
0.45 0.41 0.37 0.33 0.29 0.25 0
20
40 60 80 Waktu (menit) Blade agitator Static-mixer
100
127
Angka asam suhu 55 °C
Angka asam (mg KOH/g)
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
Angka asam suhu 60 °C
Angka asam (mg KOH/g)
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit) Blade agitator
Static-mixer
128
Angka asam suhu 65 °C
Angka asam (mg KOH/g)
0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0
20
40 60 80 Waktu (menit) Blade Agitator Static-mixer
100
Angka asam suhu 70 °C
Angka asam (mg KOH/g)
0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Blade agitator
Static-mixer
129
Lampiran 17. Data sebaran suhu alat 70°C Pengujian dengan static-mixer pada suhu 70 Waktu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Rata - rata
Heater 67 67 68 68 69 69 70 70 70 70 68,8
Suhu ( ) Kran bawah Kran tengah 66 66 67 66 68 67 68 67 68 67 69 68 70 68 70 68 70 69 70 69 68,5 67,5
Kran atas 67 68 68 69 70 70 70 70 71 70 69,3
Pipa 64 65 65 65 66 67 67 67 69 68 66,4
Pengujian dengan blade agitator pada suhu 70 Waktu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Rata – rata
Heater 68 68 69 69 69 69 70 69 70 70 69,1
Suhu Kran atas 67 67 68 68 69 69 69 68 70 69 68,4
Kran tengah 68 69 69 70 70 71 71 71 71 71 70,1
130
Lampiran 18. Data sebaran suhu reaktor static-mixer (° C) Waktu
Tutup atas 0 51 5 56 10 56 15 55 20 56 25 58 30 58 35 58 40 58 45 58 50 58 55 58 60 58 65 57 70 58 75 58 80 57 85 58 90 58 Rata - 50,75 rata
Uap keluar 32 32 31 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30,26
Heater 64 63 63 62 64 66 65 65 65 65 65 65 64 65 65 65 65 64 65 65,53
Kran atas 60 64 63 63 64 66 66 66 66 66 66 66 65 66 66 66 66 65 66 65,05
Pipa 54 56 55 56 57 57 59 59 59 59 59 58 57 58 57 59 56 58 57 57,37
Dinding luar 37 38 39 38 38 38 38 38 39 39 39 39 39 39 39 39 39 39 39 38,47
Staticmixer 48 50 49 52 50 50 50 56 56 55 56 56 56 57 58 57 55 57 58 54,00
Kran bawah 63 64 62 64 64 65 66 65 64 64 64 64 64 65 64 65 64 64 64 64,16
Tutup bawah 38 38 38 38 38 39 39 39 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 41 39,37
Dinding dalam 38 38 38 46 47 47 47 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 46,05
Kran tengah 62 64 62 64 64 66 66 66 66 65 65 65 65 64 64 65 64 64 64 64,47
Glasswool Lingkungan 38 38 39 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 39,74
29 32 31 31 31 31 27 28.5 28 29 29 31 30 28.5 30 30 28 30 31 29,74
131
Lampiran 19. Perhitungan pindah panas pada dinding tangki utama
Lapisan 1 = stainless steel Lapisan 2 = glasswool Lapisan 3 = stainless steel r1
= 12,5 cm
r2
= 12,7 cm
r3
= 17,2 cm
r4
= 17.4 cm
h1 = 60 W/m2 K (Mujumdar, 2004) = 2,94 W/m2 K (perhitungan) h2 k1 = k3 = 15 W/m2.K (Mujumdar, 2004) L = 0.5 m
=
=
+
,
+
+
+ , ,
+
+ , ,
,
+
, ,
+
1 2 π x 0,174 x 2,94 1/U = 0,02123 + 1,685 x 10-4 + 9,01 x 10-3 + 1,2273 x 10-4 + 0,3113 1/U = 0,3418 U = 2,925 W/m.K Pindah panas pada dinding pada menit ke -90 Q =U1∆T = 2,925 x 0,5 x (64-31) = 48,2625 W = 260,62 kJ
132
Lampiran 20. Perhitungan kehilangan panas dari dinding luar ke udara sekitar Suhu dinding luar (td) = 38,47 Suhu udara luar
= 311,47 K (lihat Lampiran 18)
(tu) = 29,74
= 302,74 K
Tf = (td + tu)/2 + 273 = 307,105 K Npr = (tabel sifat fisik udara) = 0,70 (Holman, 1994, Daftar A-5, hal. 859) Mencari nilai NGr Dd
= 0.34 m
g βρ /µ
= 114.357.584,3
NGr
= (Dd3) (g βρ /µ ) ( T) = 39.238.822,62
NGr Npr
= 27.859.564,06
NNu
= 0,53 (NGr Npr)0.25 = 38,1
Menghitung nilai h k = 0,026 (Holman, 1994, Daftar A-5, hal. 859) nilai h = (NNu k)/ Dd = 2,94 W/m2. K Menghitung nilai q Ad = 0,55 m2 q
= h Ad (td - tu) = 14,12 J/s
lama operasi = 5400 s kehilangan panas = 76,22 kJ
133
Lampiran 21. Perhitungan kehilangan panas dari pipa ke udara luar Suhu luar pipa (tp) = 57,37
= 330,37 K
Suhu udara luar (tu) = 29,74
= 302,74 K
Tf = (tp + tu)/2 + 273 =316,56 K Npr = (tabel sifat fisik udara = 0,70 Mencari nilai NGr Dp
= 0,019 m
g βρ /µ = 106.325.314 NGr
= (Dp3) (g βρ /µ ) ( T) = 45,902,63
NGr Npr
= 32,131,84
NNu
= 0.53 (NGr Npr)0.25 = 7,096
Menghitung nilai h k = 0,026 Nilai h = (NNu k)/ Dd = 7,66 W/m2.K menghitung nilai q Ap= 0,102 m2 q = h Ad (td - tu) = 21,59 J/s lama operasi = 5400 s kehilangan panas = 116,57 kJ
134
Lampiran 22. Perhitungan kehilangan panas melalui dinding static-mixer Suhu luar pipa (tp) = 54,0
= 327,0 K
Suhu udara luar (tu) = 29,74
= 302,74 K
Tf = (tp + tu)/2 + 273 =314.,7 K Npr = (tabel sifat fisik udara) = 0,70 Mencari nilai NGr Dp
=
G βρ /µ =
0,025 m 110.890.000
NGr
=
(Dp3) (g βρ /µ ) ( T) = 88.152.19
NGr Npr
=
61.706,53
NNu
= 0.53 (NGr Npr)0.25 = 8,35
Menghitung nilai h k = 0,027 nilai h = (NNu k)/ Dd = 7,05 W/m2.K menghitung nilai q Ap = 0,03 m2 q = h Ad (td - tu) = 5,13 J/s lama operasi = 5400 s kehilangan panas = 27,71 kJ
135
Lampiran 23. Perhitungan kehilangan panas melalui tutup atas Suhu luar tutup atas (tt) = 57,05
= 330,05 K
Suhu udara luar (tu)
= 302,74 K
= 29,74
Tf = (tt + tu)/2 + 273 = 316,4 K Npr = (tabel sifat fisik udara) =0,70 Mencari nilai NGr Dp
=
0,25 m
G βρ /µ =
106.717.561
NGr
=
(Dp3) (g βρ /µ ) ( T) = 45,538.384.22
NGr Npr
=
84.423.895,13
NNu
=
0,53 (NGr Npr)0.25 = 50,80
Menghitung nilai h k = 0,027 nilai h = (NNu k)/ Dd = 5,49 W/m2.K menghitung nilai q Ap = 0,047 m2 q = h Ad (td - tu) = 7,06 J/s lama operasi = 5400 s kehilangan panas = 38,13 kJ
136
Lampiran 24. Perhitungan kehilangan panas melalui tutup bawah Suhu luar tutup atas (tt) = 39,37
= 312,37 K
Suhu udara luar (tu)
= 302,74 K
= 29,74
Tf = (tt + tu)/2 + 273 =307,56 K Npr = (tabel sifat fisik udara = 0,71 Mencari nilai NGr Dp
= 0,25 m
G βρ /µ = 119.640.900.3 NGr
= (Dp3) (g βρ /µ ) ( T) =18.002.216,72
NGr Npr
= 12.781.573,87
NNu
= 0,53 (NGr Npr)0.25 = 31,69
Menghitung nilai h k = 0.027 nilai h = (NNu k)/ Dd = 3,42 W/m2.K menghitung nilai q Ap = 0.0471 m2 q = h Ad (td - tu) = 1,55 J/s lama operasi = 5400 s kehilangan panas = 8,38 kJ
137
Lampiran 25. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 50oC) (1 kWh=3600 kJ) PROSES (static-mixer) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Washing 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa
daya (kWh) 0,22 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 792 360
energi (kJ/kg) 79,12 81,82
0,44 0,04
14,14 14,14
1584 108
112,02 7,64
2,96 0,03
9,24 9,24
10656 108
1153,25 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
16812
1810,45
Qin (Energi input) Q1 (energi RBDPO)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,57 3,67
PROSES (blade agitator) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Washing 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa Qin (Energi input)
daya (kWh) 0,22 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 792 360
energi (kJ/kg) 79,12 81,82
2,05 0,14
14,14 14,14
7380 108
521,92 7,64
2,96 0,03
9,24 9,24
10656 108
1153,25 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
22608
2220,36
Q1 (energi RBDPO)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,46 1,49
138
Lampiran 26. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 55oC) (1 kWh=3600 kJ) PROSES (static-mixer) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Washing 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa
daya (kWh) 0,28 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 1008 360
energi (kJ/kg) 100,70 81,82
0,36 0,04
14,14 14,14
1296 108
91,65 7,64
2,95 0,03
9,24 9,24
10620 108
1149,35 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
16704
1807,77
Qin (Energi input) Q1 (energi RBDPO)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,57 3,65
PROSES (blade agitator) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Washing 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa Qin (Energi input)
daya (kWh) 0,28 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 1008 360
energi (kJ/kg) 100,70 81,82
1,91 0,13
14,14 14,14
6876 108
486,28 7,64
2,95 0,03
9,24 9,24
10620 108
1149,35 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
22284
2202,39
Q1 (energi RBDPO)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,47 1,52
139
Lampiran 27. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 60oC) (1 kWh=3600 kJ) PROSES (static-mixer) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Washing 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa
daya (kWh) 0,32 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 1152 360
energi (kJ/kg) 115,08 81,82
0,28 0,03
14,14 14,14
1008 108
71,29 7,64
2,95 0,03
9,24 9,24
10620 108
1149,35 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
16560
1801,79
Qin (Energi input) Q1 (energi RBDPO)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,57 3,73
PROSES (blade agitator) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Pencuian 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa Qin (Energi input)
daya (kWh) 0,32 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 1152 360
energi (kJ/kg) 115,08 81,82
1,91 0,13
14,14 14,14
6876 468
486,28 33,10
2,95 0,03
9,24 9,24
10620 108
1149,35 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
22788
2242,24
Q1 (energi RBDPO)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,46 1,44
140
Lampiran 28. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 65oC) (1 kWh=3600 kJ) PROSES (static-mixer) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Washing 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa
daya (kWh) 0,38 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 1368 360
energi (kJ/kg) 136,66 81,82
0,19 0,03
14,14 14,14
684 108
48,37 7,64
2,96 0,03
9,24 9,24
10656 108
1153,25 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
16488
1804,35
Qin (Energi input) Q1 (energi RBDPO)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,57 3,75
PROSES (blade agitator) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Washing 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa Qin (Energi input)
daya (kWh) 0,38 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 1368 360
energi (kJ/kg) 136,66 81,82
1,76 0,12
14,14 14,14
6336 432
448,09 30,55
2,96 0,03
9,24 9,24
10656 108
1153,25 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
22464
2226,98
Q1 (energi RBDPO)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,46 1,48
141
Lampiran 29. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 70oC) (1 kWh=3600 kJ) PROSES (static-mixer) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Washing 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa
daya (kWh) 0,44 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 1584 360
energi (kJ/kg) 158,24 81,82
0,24 0,03
14,14 14,14
864 108
61,10 7,64
2,96 0,03
9,24 9,24
10656 108
1153,25 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
16884
1838,66
Qin (Energi input) Q1 (energi RBDPO)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,56 3,34
PROSES (blade agitator) Pemanasan TG (heater) Pemanasan MeOH (heater) Transesterifikasi 1. heater 2. pompa Washing 1. heater 2. pompa Drying 1. heater 2. pompa Qin (Energi input)
daya (kWh) 0,44 0,1
massa (kg) 10,01 4,4
energi (kJ) 1584 360
energi (kJ/kg) 158,24 81,82
1,47 0,1
14,14 14,14
5292 360
374,26 25,46
2,96 0,03
9,24 9,24
10656 108
1153,25 11,69
0,88 0,01
8,78 8,78
3168 36
360,82 4,10
21564
2169,63
Q1 (energi refined palm oil)
36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin Er tanpa drying dan washing
37800 0,47 1,61
142
Lampiran 30. Roadmap biodiesel Indonesia
Year Market
2006-2010
2011-2015
Biodiesel Supply 1.5 Million kL 10% of ADO
2016-2025
Biodiesel Supply 3 Million kL 15% of ADO
Biodiesel Supply 6.4 Million kL 20% of ADO
NATIONAL BIODIESEL STANDARD
Product Palm/Jatropha Biodiesel
Technology
Research And Development
Commercial Plant (5000 – 20.000 Tons/Year)
Commercial Plant (20.000 100.000 Tons/year)
Design & Engineering Plant
Biodiesel Process Intensification
Blending Technology
High Quality Biodiesel High Cetane Number Low Cloud Point
Biodiesel Low Production Cost
Updating of Standard & Performance Test
Commercial Plant of High Quality Biodiesel
Performance test
Fuel Additive Technology
Optimization & Modification of Plant D i
143
Lampiran 31. Roadmap pemanfaatan biofuel Indonesia
144