STUDI KOMPARATIF KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH ELEKTRONIK DI NEGARA BERKEMBANG Sudaryanto, Kiayati Yusriyah, Erry T. Andesta Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Universitas Gunadarma
I. Pendahuluan Istilah sampah elektronik (e-waste) secara umum didefinisikan barang atau peralatan elektrik dan elektronik yang sudah usang, telah berakhir daur hidupnya dan tidak lagi memberikan nilai atau manfaat bagi pemiliknya (UNEP web, 2010). Sampah elektronik dunia bertambah sekitar 40 juta ton per tahun (UNEP, 2005). dimana Amerika Serikat adalah produsen sampah elektronik terbanyak mencapai 3 juta ton, diikuti Cina dengan jumlah 2,3 juta ton. Sampah Peralatan Listrik dan Elektronik adalah salah satu jenis sampah yang paling cepat pertumbuhannya di dunia. Di negara maju, jumlahnya mencapai sekitar 1% dari total sampah dan diperkirakan tumbuh rata-rata 2% per tahun. Di wilayah Uni Eropa jumlah produksi sampah elektronik diperkirakan antara 5 sampai 7 juta ton per tahun yang setara dengan 14 sampai 15 kg per kapita dengan pertumbuhan 3% -5% per tahun jauh di atas peningkatan sampah rumah tangga. Di negara berkembang seperti China dan India, meskipun tingkat sampah elektronik per kapita kurang dari 1 kg per tahun, namun jenis sampah ini tumbuh secara pada eksponensial seiiring dengan meningkatnya tingkat pendapatan dan penetrasi pasar elektronik di negara berkembang. Meningkatnya penggunaan perangkat teknologi terutama dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi, harga produk yang menjadi lebih terjangkau, dan dan cepat usangnya produk elekronik telah berakibat meningkatnya laju pertumbuhan sampah elektronik di Negara berkembang. Tingkat akumulasi sampah elektronik yang tinggi sebenarnya tidak hanya terjadi di Negara-negara maju saja, namun juga terjadi di Negara-negara berkembang. Jumlah sampah komputer bekas pada tahun 2008 melonjak dari 200% pada tahun 2007 menjadi 400% persen di Afrika Selatan dan Cina, bahkan di India mencapai 500%. Hal tersebut diperparah dengan meningkatnya aliran produk elektronik bekas yang sudah hampir habis umurnya dari Negara-negara maju ke Negara-negara berkembang. Perkembangan teknologi yang pesat menyebabkan 1
semakin pendeknya daur hidup produk elektronik, sehingga memacu peningkatan jumlah sampah elektronik yang paling pesat, jauh di atas jenis sampah lainnya.
Terkait dengan hal tersebut, pemerintah Negara-negara berkembang mulai menyadari perlunya pengelolaan sampah elektronik dengan menerbitkan kerangka peraturan dalam rangka untuk melindungi masyarakat dari ancaman sampah elektronik. Kebijakan dalam pengelolaan sampah elektronik antara lain mencakup penggunaan kembali (reuse), pengurangan jumlah (reduce), dan daur ulang (recycle) atau pembuangan akhir. Konvensi Basel menegaskan bahwa Negara penandatangan harus memastikan adanya pengelolaan yang baik terhadap limbah berbahaya, termasuk menguranginya jumlah dan dampaknya pada kesehatan dan lingkungan menjadi menjadi minimum, dengan mempertimbangkan aspek sosial, teknologi dan ekonomi. Termasuk dalam hal ini adalah dengan membuang sampah tersebut dengan cara yang ramah lingkungan dan efisien, sehingga meminimalkan polusi dan konsekuensi kesehatan dan kerusakan lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan komparasi manajemen pengelolaan sampah elektronik yang dilakukan oleh Negara-negara berkembang, antara lain mencakup penentuan dasar kebijakan dan kerangka peraturan pengelolaan sampah elektronik, kesadaran lingkungan, kategori sampah elektronik, penentuan kelompok sasaran, dan prosedur pengelolaan dan pembuangan.
2. Permasalahan Sampah Elektronik Sampah elektronik mengandung berbagai jenis zat, mulai dari yang masuk kategori tidak berbahaya sampai dengan yang sangat berbahaya dan memberikan potensi ancaman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Secara umum sampah elektronik terdiri dari logam, kayu, plastik, keramik, karet, gas dsb. Uni Eropa melakukan pemilahan jenis sampah elektronik menjadi 10 jenis, yang secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Berbeda dengan sampah rumah tangga yang biasanya bersifat dapat diuraikan (degradable), sampah elektronik memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan dan lingkungan karena kandungan racun, bahkan beberapa diantaranya bersifat karsinogenik yang dapat memicu penyakit kanker. Jenis sampah ini apabila tidak ditangani dan dikelola dengan baik akan berpotensi menimbulkan ancaman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Berbeda dengan negara maju yang secara 2
finansial sangat mampu untuk menggunakan dan menerapkan sistem penghancuran atau sistem kelola sampah modern berteknologi tinggi, Negara –negara berkembang kekurangan sumberdaya teknologi dan biaya untuk mengelola sampah elektronik tersebut secara benar. Tabel 1. Jenis-jenis Sampah Elektronik sesuai Arahan Uni Eropa No. Kategori Peralatan rumah tangga 1. besar
Label Large HH
2.
Peralatan rumah tangga Small HH kecil
3.
Peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
ICT
4.
Peralatan Konsumen
CE
5.
Lampu penerangan
Lighting
6.
Peralatan listrik dan elektronik (dengan pengecualian peralatan industri skala besar) Mainan, peralatan hiburan dan olahraga
E & E Tools
8.
Peralatan medis (dengan pengecualian seluruh peralatan tertanam dan produk terinfeksi)
Medical Equipment
9.
Instrumen Monitoring dan kontrol I
M&C
10.
Dispenser Otomatis
Dispenser
7.
Toys
Contoh jenis produk C, Refrigerators, Freezers, cold storage, mesin cuci, pengering pakaian, pemanas, radiator Vacuum cleaner, penghisap debu, mesin jahit, setrika, toaster, pengering rambut, pemotong rambut, alat cukur, mesin pembuat kopi, mesin pemijat, CPU, mainframes, komputer mini, komputer desktop, laptop, printer, ipad, mesin fotokopi, mesin ketik elektronik, kalkulator, mesin telpon, mesin fax, telpon selular, akses point, Radio, TV, Kamera Video, Video recorders, Hifi recorders, Audio amplifiers, peralatan musik elektronik Lampu fluorescence, lampu pijar, lampu lainnya kecuali bola lampu filamen Bor, gergaji, mesin jahit, peralatan pemotong kayu atau besi, pembengkok, pelubang, alat pemasang paku rivet, alat ulir, peralatan penyiram, dan kegiatan pertamanan Mainan kereta listrik, mainan mobil listrik, konsol video game, komputer untuk bersepeda, menyelam, lari, dayung, peralatan olahraga dengan komponen listrik dan elektronik, Peralatan radioterapi, kardiologi, dialisis, ventilator, pengobatan nuklir, alat diagnosis laboratorium in vitro, analyser, freezer, alat uji fertilisasi, peralatan untuk deteksi, monitor, penanganan, peringan sakit. Detektor asap, regulator panas, termostat, alat ukur, alat timbang dan pengatur peralatan rumah tangga dan laboratorium, alat monitoring dan kontrol dalam instalasi industri seperti panel control Dispenser otomatis untuk minuman panas, dingin, atau kaleng, dispenser untuk produk padat, dispenser untuk uang
Sumber (Unep, 2007)
3
Sampah elektonik tersebut mengandung berbagai komponen, baik yang memiliki nilai ekonomis maupun potensi ancaman bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Logam besi merupakan komponen utama dari sampah elektronik peralatan rumah tangga dan peralatan TIK, yang berkisar antara 29 % - 43% dari bobot sampah elektronik, diikuti plastik (12- 37%) tembaga (4-17%), dan aluminium (5-14%). Logam bukan besi yang bisa ditemukan pada sampah elektronik antara lain tembaga, aluminium dan logam mulia seperti perak, emas, platinum, paladium. Komposisi sampah elektronik tersebut menunjukkan adanya potensi yang sangat besar untuk dapat mengambil kembali (recover) bahan-bahan berharga tersebut dari sampah elektronik. Selain bahan-bahan yang bermanfaat, samaph elektronik mengandung komponen yang dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) seperti timbal, merkuri, arsenik, kadmium, selenium, dan retardan api yang apabila melampaui jumlah ambang batas akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan mencemari lingkungan, baik tanah, udara dan air. Ancaman terhadap kesehatan dari bahan beracun dan berbahaya yang dikandung dalam sampah elektronik antara lain dapat meracuni manusia dan merusak sistem saraf, menganggu sistem peredaran darah, ginjal, perkembangan otak anak, alergi, kerusakan DNA serta menyebabkan cacat bawaan, mengganggu sistem peredaran darah, ginjal dan kanker. Tabel 2. Komposisi Beberapa Jenis Sampah Elektronik (%) Peralatan rumah tangga besar
Peralatan rumah tangga kecil
Peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Lampu
Logam besi
43
29
36
-
Aluminium Tembaga Timbal
14 12 1.6
9.3 17 0.57
5 4 0.29
14 0.22 -
Kadmium Air raksa Emas
0.0014 0.000038 0.00000067
0.0068 0.000018 0.00000061
0.018 0.00007 0.00024
0.02 -
Perak Palladium Indium
0.0000077 0.0000003 0
0.000007 0.00000024 0
0.0012 0.00006 0.0005
0.0005
0.29
0.75
18
3.7
19
37
12
0
0
0
19
0
0.017
0.16
0.3
77
10 100
6.9 100
5.7 100
5 100
Bahan
plastik brom Plastik Timbal – gelas Gelas Lainnya Total
Sumber: E waste composition, http: http://ewasteguide.info/material_composition, diakses 20 Desember 2011 4
Pembuangan sampah elektronik tanpa melalui prosedur yang benar menimbulkan masalah baru karena banyaknya potensi ancaman terhadap kesehatan dan permasalahan lingkungan yang serius di masa depan. Pembuangan sampah elektronik dengan cara penimbunan bukan merupakan solusi yang baik, oleh karena itu diperlukan suatu cara terbaik untuk menangani masalah tersebut adalah dengan untuk mendaur ulang sampah elektronik. Salah satu masalah spesifik yang dihadapi oleh Negara-negara berkembang adalah kurangnya ketersediaan kebijakan atau kerangka legal terkait sistem pengelolaan sampah elektronik yang belum tersedia atau kurang memadai yang digunakan untuk mengatasi sampah elektronik yang terus bertambah.
3. Metodologi Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan melakukan studi pustaka terhadap kebijakan pengelolaan sampah eletronik di Negara-negara berkembang, antara lain mencakup ketersediaan kerangka legal kebijakan pengelolaan sampah elektronik, kebijakan inventori, pengumpulan, teknologi daur ulang, prosedur pengelolaan dan pembuangan. Dari hasil studi pustaka dilakukan analisis secara mendalam tentang kesiapan Negara dalam pengelolaan sampah elektronik dan kemudian dilakukan pengelompokkan masing-masing Negara yang disurvai ke dalam satu dari 5 (lima) tingkatan, yaitu level 1 untuk ketiadaan kebijakan sampai dengan level 5 untuk ketersediaan yang sangat memadai terkait dengan kebijakan pengelolaan sampah elektronik di Negara yang bersangkutan. Selain itu dilakukan pula studi terhadap manajemen pengelolaan sampah elektronik di Negara maju yang telah melakukan praktek baik dalam manajemen pengelolaan sampah elektronik sebagai standar baku. Pada bagian akhir akan dibahas tentang implikasi kebijakan pengelolaan sebagai bentuk respon dan antisipasi dari potensi permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat terus meningkatnya jumlah sampah elektronik. 4. Hasil Studi Kebijakan pengelolaan sampah elektronik di Negara berkembang Badan PBB untuk lingkungan hidup (UNEP), pada tahun 2007 melakukan studi pengelolaan sampah elektronik di beberapa Negara berkembang yaitu Indonesia, Kamboja, China, India, Malaysia, Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand, Argentina dan Filipina. Hasil studi memfokuskan pada ketersediaan kerangka legal pengelolaan sampah elektronik, inventori sampah elektronik, pengumpulan dan teknologi daur ulang yang digunakan. Hasil studi menunjukkan adanya variasi yang besar diantara Negaranegara yang disurvai. Sacara umum, hasil studi tersebut dirangkum pada Tabel 3.
5
Dari aspek kebijakan pengelolaan sampah elektronik, Kamboja dan Filipina sama sekali belum memiliki kerangka legal sedangkan Afrika Selatan, Argentina dan Indonesia sudah memiliki rencana untuk menyusun kerangka legal formal. Indonesia saat ini sudah memiliki Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah, namun belum secara eksplisit mengatur tentang sampah elektonik, dimana sampah elektronik dapat dimasukkan dalam kategori jenis sampah spesifik. Sri Lanka dan India sedang menyusun kerangka legal formal dan berencana untuk memberlakukannya dalam waktu dekat. China, Malaysia dan Thailand sudah mulai memberlakukan kerangka legal/formal, namun ketersediaan kerangka legalnya masih dirasakan belum memadai. Tidak ada satupun Negara-negara berkembang yang disurvai tersebut yang telah memiliki dan memberlakukan secara penuh kerangka legal pengelolaan sampah elektronik sebagaimana yang telah dilakukan oleh Negara-negara maju seperti Jepang, Singapura dan Jerman. Kebijakan pengelolaan sampah elektronik yang belum memadai di Negara-negara berkembang secara intuitif bisa dipahami mengingat latar belakang legislatif yang yang sebagian masih menganggap sampah elektronik belum merupakan prioritas untuk ditangani. Tabel 3. Kerangka kebijakan/regulasi pengelolaan sampah elektronik di berbagai negara Praktek Kerangka legal (legal framework)
2 Hanya ada rencana untuk membuat kerangka legal
Kamboja, Filipina
Afrika Selatan, Argentina, Indonesia Ada inventori untuk sampah padat, namun tidak ada inventori yang secara khusus ditujukan untuk sampah elektronik Malaysia, Sri Lanka, Afrika Selatan
Tidak ada inventori
Inventory
Pengumpulan terpisah
Rendah (1) Tidak ada kerangka legal atau norma
secara
Teknologi Daur Ulang/ pemanfaatan kembali
Tidak ada pengumpulan secara terpisah
Indonesia, Argentina, Filipina Tidak ada mekanisme pemanfaatan kembali /daur ulang
Kamboja
Sampah elektonik dikumpulkan pada tingkat lokal oleh pendaur ulang lokal, tanpa ada kerangka legal. Hanya yang bisa didaur ulang yang dikumpulkan dengan baik Kamboja, China, Sri Langka Hanya sampah elektronik yang bisa di pergunakan kembali / di daur ulang yang dioproses oleh pemangku kepentingan lokal Sri Lanka, Argentina, Indonesia, Philippines,
Level kebijakan 3 Kerangka legal sedang disusun dan akan dikeluarkan /diberlakukan dalam waktu dekat Sri Lanka, India
4 Diberlakukan, namun kerangka legalnya kurang memadai
(Tinggi (5) Pemberlakuan penuh dg menggunakan model kerangka legal Negara lain
China, Malaysia,Thailand
Jepang, Korea, Taiwan, Jerman Inventori sampah elektronik dilakukan dan informasinya tersedia di website
Inventori untuk sampah elektronik sedang dipersiapkan
Inventori untuk sampah elektronik dilakukan, namun kekurangan data dan informasi
China, Thailand, Indonesia, Argentina, Filipina Sampah elektronik dikumpulkan dengan mekanisme baik pada tingkat lokal. Contoh sistem pengumpulan dan pemisahan telah dibangun Malaysia, Afrika Selatan
Kamboja
India, Jepang, Korea, Taiwan, Jerman
Sistem pengumpulan sampah elektronik telah berjalan dengan baik termasuk pembuangan yang berwawasan lingkungan
Sistem pengumpulan sampah elektronik telah telah sepenuhnya berjalan dengan baik. Sistem pengumpulan telah diakui oleh Negara lain.
Jepang, Korea, Taiwan
Jerman
Terdapat rencana untuk membangun fasilitas pengolahan sampah elektronik
Terdapat fasilitas daur ulang sampah elektronik namun belum beroperasi penuh untuk seluruh sampah elektronik di Negara ybs.
Fasilitas daur ulang sampah elektronik telah sepenuhnya beroperasi untuk seluruh sampah elektronik di Negara ybs.dan menjadi model untuk pengolahan sampah elektronik Jepang, Korea, Taiwan, Jerman
Malaysia, Afrika Selatan
Sumber: UNEP, 2007.
Terkait dengan pendataan/inventori untuk sampah elektronik, Kamboja telah melakukan inventori untuk sampah elektronik, namun dalam implementasinya masih kekurangan 6
data atau informasi yang diperlukan. Malaysia, Afrika Selatan dan Sri Lanka sudah melaksanakan inventori sampah padat, namun belum melakukannya secara khusus untuk sampah elektronik. China, Thailand, Indonesia, Argentina dan Filipina sedang mempersiapkan inventori untuk sampah elektronik, meskipun masih belum memberikan fokus yang jelas. Hal ini menunjukkan dengan jelas masih belum adanya kesiapan dalam inventori sampah elekronik di Negara-negara berkembang yang disurvai. Malaysia dan Afrika Selatan telah melakukan pengumpulan Sampah elektronik dengan mekanisme yang cukup baik pada tingkat lokal, bahkan telah membangun suatu percontohan sistem pengumpulan dan pemisahan sampah elektronik. Indonesia, Argentina dan Filipina sampai saat ini belum melaksanakan pengumpulan sampah secara terpisah, karena masih memfokuskan pada sampah padat dari rumah tangga. Kamboja, China dan Sri Lanka telah melakukan pengumpulan sampah elektronik pada tingkat lokal oleh para pendaur ulang, meskipun hal ini tidak didasari pada adanya kerangka legal. Akibatnya, hanya sampah elektronik yang bisa di daeur ulang saja yang dikumpulkan dengan baik. Tidak ada satupun dari Negara-negara berkembang yang disurvai telah memiliki Sistem pengumpulan sampah elektronik yang baik, termasuk pembuangan dan daur ulang yang berwawasan lingkungan sebagimana yang telah dilakukan di Jepang dan Jerman. Terkait dengan teknologi daur ulang, tidak ada satupun dari Negara-negara berkembang tersebut yang telah memiliki fasilitas daur ulang sampah elektronik yang lengkap dan telah sepenuhnya beroperasi untuk seluruh Negara. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan Negara-negara berkembang untuk mengolah sampah elektronik, yang mungkin disebabkan oleh tidak terpenuhinya aspek kelayakan ekonomi dan mahalnya teknologi daur ulang. 5. Implikasi Kebijakan Pengelolaan sampah elektronik di Negara berkembang Di antara negara-negara berkembang Asia, Cina dan Thailand adalah yang paling siap mengimplementasikan peraturan baru terkait dengan perspektif perluasan tangungjawab produsen (extended producers responsibility–EPR). Negara-negara tersebut telah memasukkan bahwa adanya tanggungjawab ekonomi (biaya) produsen untuk pengelolaan sampah elektronik, dimana produsen harus memiliki kontribusi untuk membayar biaya daur ulang sampah elektronik yang dihasilkan. Implementasi kebijakan ini dirasakan masih sulit di Negara berkembang pada umumnya, karena tanggungjawab fisik untuk daur ulang sampah elektronik tidak jelas diatur dengan baik dalam rancangan peraturan yang dibuat. Sebagai jalan keluar, produsen peralatan elektronik dapat membayar pihak ketiga untuk melakukan daur ulang sampah elektronik, sehingga hal ini akan berfungsi sebagai insentif bagi perusahaan daur ulang komersial untuk melaksanakan daur ulang sampah elektronik.
7
Jepang, Korea Selatan dan Taiwan telah melakukan pengelolaan sampah elektronik menangani sampah elektronik sejak sekitar 2000. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir beberapa negara Asia berkembang termasuk China dan Thailand telah mempersiapkan diri untuk menerapkan peraturan baru pada manajemen sampah elektronik. Meningkatnya kelangkaan tempat pembuangan sampah dan peningkatan biaya untuk pembuangan sampah. Jepang mengelola sampah elektronik dalam dua cara, yang pertama berfokus pada peningkatan langkah-langkah untuk daur ulang barang dan yang kedua dengan cara mengurangi sampah elektronik. Untuk jenis sampah elektronik kecil seperti komputer pribadi, baterai termasuk dalam kelompok sampah yang dapat menimbulkan masalah, sehingga pemerintah mendorong produsen untuk melakukan daur ulang secara sukarela. Sementara untuk empat jenis produk televisi, lemari es, mesin cuci dan AC ada kewajiban produsen untuk melakukan daur ulang. Hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar Negra-negara berkembang belum memiliki kerangka legal yang memadai untuk menangani sampah elektronik ditengah ancaman jumlah sampah elektronik yang terus meningkat dan berpotensi menjadi ancaman bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Hal ini jelas menunjukkan adanya kerentanan yang tinggi, terutama dengan adanya aliran impor barang elektronik bekas dari Negara-negara maju, yang mungkin salah sayu motifnya adalah membuang elektronik dengan cara yang murah. Negara-negara berkembang sebagian besar telah meratifikasi kerangka hukum internasional pengelolaan sampah seperti Konvensi Basel, namun masih diperlukan upaya lebih aktual dengan menyediakan kerangka peraturan legal yang dibutuhkan terkait dengan langkah-langkah dalam pengelolaan sampah elektronik. Beberapa permasalahan yang mungkin timbul terkait dengan pengelolaan sampah elektronik perlu mendapat perhatian yang serius, antara lain terkait dengan aspek teknologi daur ulang, aspek ekonomi, politik dan maslah social yang menyertainya. Sampah elektonik dapat didaur ulang secara ekonomis bila mampu menghasilkan bahan-bahan yang berharga dalam jumlah yang memadai melalui proses daur ulang. Dalam banyak hal, alasan ekonomis tidak dapat digunakan sebagai justifikasi pengelolaan sampah elektronik karena kandungan bahan yang rendah, sehingga secara ekonomis tidak layak dilakukan, sehingga membuangya ketempat pembuangan akhir (TPA) dianggap sebagai alternatif yang layak. Alasan lain adalah mahalnya biaya teknologi yang diperlukan untuk mendapatkan kembali bahan dengan tingkat kemurnian tinggi, dan hal ini mustahil dilakukan oleh sebagian besar Negara-negara berkembang. Biaya daur ulang Sampah Listrik dan Elektronika juga dipengaruhi oleh banyak faktor yang meliputi pengumpulan dan pengangkutan peralatan ini untuk industri daur ulang. Terlepas dari biaya, ada juga pengolahan biaya di industri daur ulang yang melibatkan pemilahan, pembongkaran, pengecilan ukuran, pemisahan sampah, pembakaran, pembuangan di TPA. Hal ini bahkan menjadi lebih semakin mahal dengan produk yang terus menerus diproduksi dengan kompleksitas yang lebih. Produk kompleks diindikasikan oleh banyaknya jenis bahan atau komponen yang digunakan dalam 8
produk. Semakin kompleks produk yang didaur ulang, semakin besar biaya yang diperlukan untuk mendaur ulang, sehingga kadang-kadang tidak ekonomis untuk dilakukan. Permasalahan teknis dan praktis masalah pengelolaan sampah elektronik harus diatasi, terutama terkait dengan pengumpulan dan transportasi sampah elektronik perlu didesain sehingga secara teknik dan ekonomis layak untuk dilaksanakan. Pemerintah di Negara-negara berkembang hendaknya mampu menemukan cara terbaik untuk mengurangi sampah elektronik dan mendorong penggunaan kembali serta daur ulang produkusak atau usang. Untuk itu diperlukan adanya kerangka formal yang mengatur hal tersebut dalam upaya menerapkan peraturan ketat dan memberikan kewajiban bagi produsen untuk mendaur ulang sampah elektronik yang diakibatkan oleh produk mereka. Proses daur ulang sampah elektronik saat ini telah menjadi industri baru, namun dalam banyak kasus bukanlah merupakan industri yang menguntungkan untuk dilaksanakan. Akibatnya, banyak pihak yang mengelola industri ini, terutama di Negara-negara berkembang tidak banyak yang tertarik untuk melakukan proses pengumpulan dan pengolahan sampah elektronik. Hal lain adalah ada kecenderungan industri ini menggunakan tenaga kerja murah dalam kegiatannya., sehingga manfaat dari industri daur ulang sampah elektronik ini belum sepenuhnya memberikan manfaat bagi sebagian besar anggota masyarakat. Sampah Elektronik mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan sehingga memerlukan penanganan khusus dan hati-hati selama proses daur ulang. Dampak kesehatan negatif bagi kesehatan dan lingkungan bilamana proses daur ulang tidak dilakukan secara hati-hati dan memperhatikan aspek-aspek keselamatan dan kesehatan kerja. Hal tersebut disebabkan karena adanya kontak yang menyebabkan akumulasi bahan-bahan beracun dan berbahaya yang diduga dapat menjadi pemicu kasus kanker. Di beberapa negara lain seperti Jepang dan Amerika Serikat, pengguna peralatan listrik dan elektronik dikenakan biaya minimal untuk mensubsidi biaya industri daur ulang sehingga efektif. Pola ini diterapkan pada saat pembelian atau pada saat konsumen melakukan pembuangan sampah elektronik yang pada akhirnya dirasakan memberikan beban tambahan biaya bagi konsumen. 6. Kesimpulan Volume sampah elektronik di Negara-negara berkembang terus mengalami peningkatan baik jumlah maupun jenisnya sehingga memberikan potensi ancaman terhadap kesehatan dan lingkungan hidup. Negara-negara berkembang secara umum belum memiliki kesiapan yang memadai terutama dalam hal penyediaan kerangka formal legal pengelolaan sampah elektronik, inventori sampah elektronik, pengumpulan dan kepemilikan teknologi daur ulang yang memadai. Negara-negara berkembang saat ini masih belum memiliki fasilitas daur ulang sampah elektronik yang memadai 9
atau mampu menampung semua sampah elektronik yang terus meningkat jumlahnya. Selain itu, teknologi yang digunakan masih relatif sederhana berupa pemisahan mekanis tanpa ada penanganan khusus untuk bahan beracun dan berbahaya. Sementara untuk mendapatkan teknologi yang lebih baru yang lebih maju masih terkendala masalah ketersediaan dana. Di antara negara-negara berkembang Asia, Cina dan Thailand adalah yang paling siap mengimplementasikan peraturan baru terkait dengan perspektif perluasan tangungjawab produsen (extended producers responsibility) yang sudah diadopsi dan diterapkan, terutama untuk alat elektronik besar. Daftar Pustaka Anonimous. E waste composition, http: http://ewasteguide.info/material_composition, diakses 20 Desember 2011 Meidiana, Christia, Development of Waste Management Practices in Indonesia, European Journal of Scientific Research, ISSN 1450-216X Vol.40 No.2 (2010), pp.199-210. Pilane, Tshepo Skuuman, 2006, Recycling Consumer Electrical and Electronic Equipment, Dissertation for Bachelor of Engineering, Faculty of Engineering and Surveying, University of Southern Queensland. Stanley, Tan Heng Tsin, 2007, Recycling of Used Electronics in Singapore , Dissertation for Bachelor of Engineering, Faculty of Engineering and Surveying, University of Southern Queensland. UNEP, 2007, E-waste Volume I: Inventory Assessment Manual, United Nations Environment Programme, Osaka/Shiga UNEP, 2007, E-waste Volume II: E-waste Management Manual, United Nations Environment Programme, Osaka/Shiga
10