DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL, KEBIJAKAN MONETER DAN KETERBUKAAN PERDAGANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI: STUDI KOMPARATIF NEGARA-NEGARA ASEAN+6
OLEH VEVI RETNO MARETHA H14080020
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
VEVI RETNO MARETHA. Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi : Studi Komparatif Negara – Negara ASEAN+6. (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI). Integrasi ekonomi berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara. Beberapa studi empiris menyatakan bahwa faktor eksternal memberikan dampak yang lebih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Secara teori, integrasi ekonomi dapat meningkatkan daya saing regional terhadap perekonomian global, meningkatkan pangsa pasar, mendorong adanya efisiensi ekonomi, memperbesar tingkat mobilisasi tenaga kerja dan modal hingga mempermudah perolehan modal serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Namun tidak sedikit pula yang meragukan keberhasilan integrasi ekonomi. Integrasi ekonomi hanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang telah siap menerima globalisasi. Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu negara. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional yang tinggi diperlukan serangkaian kabijakan khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tingkat inflasi dan nilai tukar yang relatif stabil merupakan salah satu komponen penting dari setiap kebijakan stabilisasi makroekonomi. Perkembangan ekonomi yang terkadang sulit diprediksi, pengambil kebijakan harus benar-benar mampu mencermati setiap variabel yang bisa menyebabkan gejolak pada pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan terhadap respon suatu kebijakan ekonomi terhadap kebijakan lainnya menjadi sangat penting. Penelitian ini membahas dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6 dengan membandingkan antara kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negara-negara maju. Adapun kawasan ASEAN yang diamati dalam penelitian ini meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina karena keterbatasan data untuk negara anggota ASEAN lainnya. Sedangkan enam negara tambahan lainnya yang tergabung dalam ASEAN+6 adalah China, Korea Selatan,Jepang, Australia serta New Zealand. Variabel pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar (M2) dan trade openness merupakan proksi masing-masing dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan. Model dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga, yaitu model untuk keseluruhan negara di kawasan ASEAN+6, model untuk kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 serta model untuk kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Masing-masing model diestimasi dengan metode panel data dinamis pendekatan GMM (Generalized Method of Moments) dengan periode penelitian dari tahun 2000-2010. Hasil estimasi dari ketiga model terlihat bahwa dampak kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan bagi seluruh negara di kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 dan kelompok negara-negara maju
bersifat ekspansif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sedangkan dampak kebijakan fiskal yang ekspansif hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi di seluruh negara ASEAN+6 dan kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6. Berdasarkan perbandingan nilai koefisien dari ketiga variabel yang diteliti tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal melalui peningkatan pengeluaran pemerintah relatif lebih cepat dibandingkan kebijakan moneter maupun keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6. Hal ini menunjukkan bahwa peranan pemerintah sangat dominan di negara-negara berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter melalui peningkatan jumlah uang beredar (M2) relatif lebih cepat daripada kebijakan fiskal maupun keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju kawasan ASEAN+6. Jumlah uang beredar memainkan peranan penting di negara maju dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya, hal ini karena di negara maju peranan sektor swasta melalui pasar finansial lebih dominan daripada intervensi pemerintah langsung.
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL, KEBIJAKAN MONETER DAN KETERBUKAAN PERDAGANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI: STUDI KOMPARATIF NEGARA - NEGARA ASEAN+6
OLEH VEVI RETNO MARETHA H14080020
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Studi Komparatif Negara-Negara ASEAN+6
Nama
: Vevi Retno Maretha
NIM
: H14080020
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Noer Azam Achsani NIP. 19681229 199203 1 016
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2012
Vevi Retno Maretha H14080020
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Vevi Retno Maretha lahir pada tanggal 3 Maret 1990 di Sumedang. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan bapak Onoy Darsono dan ibu Ukay Kurniasih. Penulis mengawali pendidikan di TK PGRI Situraja, lalu melanjutkan ke jenjang pendidikan SD di SD Negeri Situraja pada tahun 1996 sampai tahun 2002. Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Situraja dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 1 Sumedang dan lulus pada tahun 2008. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Departeman Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) menjabat sebagai sekeretaris divisi Cooperatif and External Relationship (CER) pada tahun 2010 dan ketua divisi Discussion and Analysis (DnA) pada tahun 2011. Penulis memperoleh beberapa penghargaan dalam mengikuti lomba karya tulis ilmiah, diantaranya yaitu Juara 1 dan Karya Tulis Terbaik Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI), National Economics Events di Universitas Jenderal Soedirman, dan Juara II Young Economist Icon IPB pada tahun 2011 serta Peserta PKM bidang Penelitian yang didanai oleh DIKTI tahun 2012. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen untuk responsi Mata Kuliah Ekonomi Umum (2010-2012).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Studi Komparatif Negara-Negara ASEAN+6”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonmi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dan bantuannya untuk penyelesaian skripsi ini, terutama kepada: 1. Prof. Dr. Noer Azam Achsani selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teoritis, teknis, maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. Dr. Sri Hartoyo selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan kritikan guna perbaikan skripsi ini. 3. Ir. Dewi Ulfa Wardani, M.Si. selaku dosen komisi pendidikan atas saran dan masukannya terutama mengenai perbaikan dan tata cara penulisan skripsi ini. 4. Kedua orang tua penulis, Bapak Onoy Darsono dan Ibu Ukay Kurniasih serta kedua adik penulis Dina Fitria Yosilanda dan Doni Aldo yang selalu memberikan perhatian, semangat, motivasi, dan doa yang tidak hentihentinya, serta dukungan baik secara moril maupun materil dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Indra, M.Si. yang telah memberikan banyak bantuan dan informasi terutama mengenai data serta pengolahannya 6. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Deviyantini, Retno Wulandari, dan Dewa Putu Adityadharma yang telah menjadi partner diskusi dan teman berbagi suka duka dalam penyusunan skripsi ini.
7. Ka Retni dan Ka Solihin yang telah bersedia membantu dan menjadi teman diskusi penulis. 8. Seluruh jajaran dosen dan staff Departemen Ilmu Ekonomi atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini. 9. Sahabat-sahabat penulis Fridayanti, Desi, Rahayu, Nurhayati, dan Yunisha yang telah memberikan perhatian, dukungan dan kasih sayang selama penulis menempuh pendidikan di IPB terutama selama penulisan skripsi ini. 10. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 45 yang telah memberikan semangat, motivasi, dan dukungan selama penulis berada di Departemen Ilmu Ekonomi. Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2012
Vevi Retno Maretha H14080020
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .........................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vi
I.
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 4 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. 9
II.
1.4.
Manfaat Penulisan ................................................................................ 9
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 10
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 11 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi ............................................................... 11 2.1.1. Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional ............................... 11 2.1.2. Model Pertumbuhan Endogen .................................................. 13 2.2. Kebijakan Fiskal ................................................................................... 14 2.2.1. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ......................... 17 2.2.2. Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ................................................................................ 17 2.2.3. Hukum Wagner ........................................................................ 18 2.2.4. The Diplacement Effect ............................................................ 19 2.3. Kebijakan Moneter ............................................................................... 20 2.3.1. Jenis Kebijakan Moneter ......................................................... 21 2.3.2. Teori Kuntitas Uang ................................................................. 22 2.4. Efektivitas Relatif pada Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal ..... 24 2.5. Teori Perdagangan Internasional .......................................................... 26
ii
2.6. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 29 2.7. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 34
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 37 3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 37 3.2. Model Penelitian ................................................................................. 38 3.3. Metode Analisis Data .......................................................................... 41 3.3.1. Data Panel ................................................................................ 41 3.3.1.1. Data Panel Dinamis .................................................... 43 3.3.2. Prosedur Analisis dengan Metode Panel Dinamis ................... 50 3.3.3. Granger Causality Test pada Data Panel .................................. 52
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 54 4.1.
Kondisi Umum Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan ASEAN+6 ........ 54
4.2.
Peranan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara ASEAN+6 .................................................................. 56
4.3.
Peranan Jumlah Uang Beredar (M2) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara ASEAN+6 .................................................................. 58
4.4.
Peranan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara ASEAN+6 .................................................................. 61
4.5.
Hasil Estimasi Penelitian .................................................................... 65 4.5.1. Hasil Estimasi Granger Causality Test pada Data Panel ......... 66 4.5.2. Hasil Estimasi dengan Pendekatan Panel Dinamis .................. 69 4.5.2.1. Variabel Lag Dependent (Pertumbuhan Ekonomi) ... 76 4.5.2.2. Variabel Pengeluaran Pemerintah ............................. 77 4.5.2.3. Variabel Jumlah Uang Beredar ................................. 78 4.5.2.4. Variabel Keterbukaan Perdagangan .......................... 80 4.5.2.5. Dampak Efektivitas Relatif antara Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan di Kawasan ASEAN+6 ................................................. 82
iii
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 85 5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 85 5.2. Saran .................................................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 89 LAMPIRAN .......................................................................................................... 92
iv
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
3.1. Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Penelitian ................................. 37 4.1.
Total Perdagangan, Ekspor, Impor dan Ekspor Neto Negara-Negara ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstan ...................... 62
4.2.
Keterbukaan Perdagangan, GDP dan Total Perdagangan Negara-Negara ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstan .................... 64
4.3.
Hasil Granger Causality Test ...................................................................... 67
4.4.
Hasil Estimasi dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Seluruh Negara Kawasan ASEAN+6 (Model 1) ...................................................... 70
4.5.
Hasil Estimasi dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Berkembang di Kawasan ASEAN+6 (Model 2) ......................................... 71
4.6.
Hasil Estimasi dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Maju di Kawasan ASEAN+6 (Model 3) ...................................................... 72
4.7.
Perbandingan Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kelompok Negara di ASEAN+6 ................................................................. 83
v
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
2.1.
Kurva Kebijakan Fiskal Ekspansif .............................................................. 15
2.2.
Kurva Kebijakan Fiskal Kontraktif ............................................................. 16
2.3.
Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif .......................................................... 22
2.4.
Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal ............................................................ 25
2.5.
Kurva Efektivitas Kebijakan Moneter ........................................................ 26
2.6.
Kerangka Pemikiran .................................................................................... 36
4.1.
Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 ............................. 55
4.2.
Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Pengeluaran Pemerintah di Kawasan ASEAN+6 ................................................................................................... 57
4.3.
Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Jumlah Uang Beredar (M2) di Kawasan ASEAN+6 ................................................................................... 59
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Proses integrasi di berbagai belahan dunia telah terjadi selama beberapa
dekade terakhir, terutama dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting dilakukan oleh masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia (Achsani, 2008). Pembentukan integrasi ekonomi di kawasan ini dilandasi karena manfaat yang akan diperoleh dari integrasi lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara dalam kawasan tersebut (Sholihah dan Saichu, 2007). Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait integrasi keuangan dan moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan untuk dapat meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan bersama yaitu menciptakan stabilitas keuangan regional (BI, 2000). Sejak terjadinya krisis ekonomi di Thailand yang menyebar menjadi krisis Asia tahun 1997 sebagai dampak dari globalisasi dan integrasi ekonomi serta keuangan dunia, semakin meningkatkan kesadaran negara-negara anggota ASEAN mengenai pentingnya memulai kerjasama regional dalam memelihara stabilitas kawasan ASEAN. Faktor lainnya yang memengaruhi perlunya integrasi di kawasan ASEAN didasari oleh kesuksesan Uni Eropa yang membentuk suatu single market dengan mata uang tunggal Euro, dimana perdagangan dilakukan secara bebas, tanpa
2
dibebankan adanya pajak. Hal ini mendorong tumbuh pesatnya perekonomian di wilayah Uni Eropa. Gaya regionalisme Asia yang dinamis dan berorientasi ke luar dapat memberikan dampak yang cukup penting dalam era globalisasi. Regionalisme dapat menjadi faktor stabilisasi ketika timbul kejutan (shock) baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan. Regionalisme membawa tanggung jawab akan pengelolaan yang benar, komunikasi yang efektif untuk membantu pasar menyesuaikan diri dan beradaptasi saat munculnya krisis atau potensi krisis. Negara-negara Asia pada prinsipnya dihubungkan melalui pasar, perdagangan internasional, arus keuangan, investasi langsung, dan bentuk-bentuk lain dari pertukaran ekonomi dan sosial. Para pemimpin Asia telah memiliki komitmen untuk bekerja sama lebih erat dan telah mengambil langkah konkret di beberapa tempat. Pencapaian
ASEAN
Community
semakin
kuat
dengan
ditandatanganinya,
Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) terbentuk pada tanggal 15 Januari 2007 di Cebu. Kesepakatan tersebut dibentuk oleh para pemimpin negaranegara ASEAN dan enam tambahan negara yaitu Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, dan New Zealand. Tujuan CEPEA adalah untuk meningkatkan integrasi ekonomi di Negara ASEAN+6 dan memperkecil gap pembangunan di antara negara-negara tersebut guna mencapai pembangunan yang berkesinambungan (Toh, 2009). Diharapkan dengan tambahan enam negara yang perekonomiannya cukup berpengaruh terhadap perekonomian ASEAN dapat membuat ASEAN Economic Community menjadi single market yang lebih besar, mengingat bahwa
3
populasi CEPEA besarnya 49,6% dari populasi dunia dan tujuh kali lebih besar dari populasi EU (CEPEA report, 2008) Pusat gravitasi ekonomi global kini tengah berpindah ke Asia. Produk Domestik Bruto (PDB) Asia sudah hampir sebesar PDB Eropa dan Amerika Utara, dan pengaruhnya ke dunia terus meningkat. Keberhasilan Asia yang luar biasa telah membawa tantangan baru, sementara pertumbuhan ekonomi yang pesat tetap menjadi prioritas. Asia kini sungguh penting bagi ekonomi dunia sehingga Asia juga harus memainkan peranan yang lebih besar dalam kepemimpinana ekonomi global. Hubungan perdagangan internasional yang tumbuh dan hubungan keuangan dapat ditafsirkan menjadi saling ketergantungan ekonomi makro. Implikasinya bahwa pemerintahan nasional suatu negara kian perlu mendasarkan kebijakan mereka pada kebijakan yang dilakukan oleh negara tetangga di dalam kawasan tersebut. Implikasi lainnya adalah bahwa manfaat pengelolaan kebijakan secara bersama-sama untuk memaksimalkan kinerja bersama menjadi lebih besar. Dari berbagai alasan yang menunjukkan bahwa saling ketergantungan yang lebih besar akan menyebabkan variabel-variabel ekonomi makro ASEAN+6 bergerak bersama-sama lebih erat. Asia yang lebih terintegrasi telah menjadi kian sensitif terhadap shock Asia seiring semakin meningkatnya saling ketergantungan makro. Pada saat yang sama, kepekaan kawasan ini terhadap shock global juga tetap tinggi. Krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan krisis keuangan global tahun 2008 memberi pelajaran kepada negaranegara yang tergabung dalam ASEAN+6 bahwa indikator-indikator ekonomi makro yang memuaskan belum menjadi jaminan bahwa kondisi perekonomian ASEAN+6 memang kuat. Pada saat ekonomi dirasakan berjalan terlalu lambat dari yang
4
seharusnya dimana ditandai dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran, maka kebijakan fiskal dan moneter yang tepat diharapkan dapat mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat dan pengangguran dapat ditekan. Sedangkan pada saat perekonomian dianggap terlalu tinggi (overheating) yang ditandai dengan pertumbuhan yang tinggi dan tingkat inflasi yang juga tinggi, kebijakan fiskal dan moneter diharapkan dapat mengarahkan perekonomian agar terhindar dari dampak negatif. Perkembangan ekonomi yang terkadang sulit diprediksi, pengambil kebijakan harus benar-benar mampu mencermati setiap variabel yang bisa menyebabkan gejolak pada pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan terhadap respon suatu kebijakan ekonomi terhadap kebijakan lainnya menjadi sangat penting. Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu negara. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional yang tinggi diperlukan serangkaian kabijakan khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tingkat inflasi dan nilai tukar yang relatif stabil merupakan salah satu komponen penting dari setiap kebijakan stabilisasi makroekonomi.
1.2.
Perumusan Masalah Perkembangan perekonomian yang semakin dinamis dan terintegrasi dengan
perekonomian dunia memberikan implikasi penting bagi para pelaku ekonomi terutama dalam pengambilan kebijakan makroekonomi. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan maroekonomi yang
5
memiliki target yang harus dicapai baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan memberikan sinyal positif bagi pasar dan menjaga stabiltas makroekonomi (Indrawati, 2007). Krisis keuangan global yang bermula dari bencana subprime mortgage di Amerika Serikat telah menekan pertumbuhan ekonomi global dari 5,2 persen pada tahun 2007 menjadi 3,0 persen pada tahun 2008, dan menyusut sebesar 0,6 persen pada tahun 2009. Krisis perekonomian ini berpengaruh terhadap keberhasilan perekonomian suatu negara terutama bila diukur dari kinerja makro ekonominya. Krisis global ini, sempat mengguncang beberapa negara ASEAN+6 diantaranya negara Singapura dan Jepang. Namun dukungan domestik yang besar dalam permintaan produk, membuat beberapa negara ASEAN+6 tetap bertahan dan sedikit terkena dampak krisis global (Lee dan Hong, 2010). Standar hidup suatu bangsa di negara maju dan negara berkembang sangat tergantung pada kebijakan makro ekonomi yang dipilih dan dijalankan oleh pemerintahnya. Integrasi ekonomi berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara. Beberapa studi empiris menyatakan bahwa faktor eksternal memberikan dampak yang lebih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Secara teori, integrasi ekonomi dapat meningkatkan daya saing regional terhadap perekonomian global, meningkatkan pangsa pasar, mendorong adanya efisiensi ekonomi, memperbesar tingkat mobilisasi tenaga kerja dan modal hingga mempermudah perolehan modal serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja (Santoso dkk, 2008).
6
Namun tidak sedikit pula yang meragukan keberhasilan integrasi ekonomi. Integrasi ekonomi hanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang telah siap menerima globalisasi. Negara yang belum siap bersaing dengan negara yang berada dalam integrasi hanya akan menjadi negara konsumsi produk negara lain, sehingga konvergensi akan sulit dicapai. Selanjutnya integrasi ekonomi hanya akan menciptakan negara-negara yang semakin divergen (Achsani, 2008). Hasil studi yang telah dillakukan ADB pada tahun 2008 menununjukkan hasil bahwa meskipun ada konvergensi dalam hasil ekonomi makro regional, hanya ada sedikit bukti akan konvergensi kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter telah mengikuti tren luas yang serupa, tetapi divergen dalam rincian. Setelah konvergen hingga tahun 2004, kebijakan kawasan ini sejak itu (hingga awal 2008) menjadi beragam. Pengetatan moneter yang terus-menerus di RRC dan Taipei (Cina), hingga pengetatan yang makin tajam yang diikuti dengan pelonggaran moneter di Indonesia dan Malaysia, serta pengetatan bertahap di Thailand dan Republik Korea. Strategi yang dilkukan juga berbeda: Indonesia, Republik Korea, Thailand, dan Fhilipina yang mengikuti kebijakan yang lebih bervariasi dan pada beberapa kasus khusus lebih mentargetkan kestabilan nilai tukar. Perbedaan kebijakan itu turut menyebabkan inflasi dan suku bunga menjadi sangat beragam di kawasan ini. Kebijakan fiskal juga beragam, meskipun tak seberagam kebijakan moneter. Tingkat hutang publik di sebagian besar negara Asia telah turun sejak tahun 2000, tetapi konsolidasi fiskal kurang berhasil di India dan terutama di Jepang, yang hutang publiknya mencapai titik kritis. Tahun 2008, posisis fiskal masih berkisar dari defisit
7
sekitar 6 persen dari PDB untuk India dan Jepang hingga surplus 10 persen di Singapura (ADB, 2008). Selain itu, perlu disadari adanya perbedaan karakteristik antar negara anggota ASEAN+6. ASEAN+6 sebagai bentuk dari integrasi ekonomi masih memiliki keragaman antar anggotanya. ASEAN+6 merupakan gabungan negara ASEAN dan beberapa negara Asia Timur yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang. Keragaman antar negara maju dan berkembang cukup besar, sehingga akan berisiko apabila menyamaratakan kondisi negara-negara yang berbeda tersebut. Perbedaan antara negara maju dan negara berkembang dapat dilihat dari struktur politik, struktur pendapatan, standar hidup, produktivitas, pertumbuhan penduduk, dan lain sebagainya. Dengan adanya potensi pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 adanya ancaman divergensi pertumbuhan ekonomi, perbedaan karakteristik antar negara anggota ASEAN+6 tentunya hal ini mencerminkan akan kebijakan makroekonomi yang berbeda pula. Perbedaan ini, juga mencerminkan variasi dalam tingkat pembangunan di kawasan ini dan tujuan kebijakan nasional. Perdebatan mengenai efektivitas kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi masih berlangsung. Perspektif ekonomi arus utama, terutama dari sudut pandang klasik, stimulus fiskal dan kebijakan moneter bukan metode efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi riil. Di sisi lain, terutama pandangan Keynes bahwa stimulus fiskal dan pelonggaran moneter dapat mencegah penurunan output riil. Peningkatan permintaan agregat, yang berasal
8
dari stimulus fiskal dan pelonggran moneter di tengah-tengah kekakuan harga dan kurangnya lapangan kerja, dapat berhasil meningkatkan output riil. Berdasarkan kajian beberapa literatur terbaru, disamping perdebatan mengenai efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, kebijakan yang perlu dikaji selanjutnya yaitu kebijakan perdagangan dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Peran perdagangan luar negeri (kegiatan ekspor-impor) pada perekonomian di negara-negara ASEAN+6 semakin mendapat perhatian secara intensif, terutama oleh para peneliti dan pengambil kebijakan. Adanya sebaran pola interaksi yang berbeda-beda antarnegara menjadi salah satu alasan perlunya penelitian dilakukan di berbagai negara. Lebih lanjut, pemberlakuan liberalisasi perdagangan yang disertai oleh penguatan kerjasama di tingkat regional diharapkan dapat memberi manfaat yang lebih besar bagi kesejahteraan penduduk setiap negara yang terlibat didalamnya, diantaranya melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peneyerapan tenaga kerja yang seluas-luanya. Identifikasi dan pemahaman yang baik mengenai dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi mutlak diperlukan agar kebijakan-kebijakan tersebut dapat berjalan efektif dan tepat sasaran. Berdasarkan latar belakang dan uraian diatas maka permasalahan pokok yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah
dampak
kebijakan fiskal,
kebijakan moneter, dan
keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh
negara
di
kawasan
ASEAN+6,
kelompok
negara-negara
berkembang serta kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6?
9
2. Bagaimanakah pengaruh relatif kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh negara kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. 2. Mengidentifikasi pengaruh relatif dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negaranegara berkembang dan maju di kawasan ASEAN+6.
1.4.
Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Memperluas wawasan mengenai bukti empiris pengaruh relatif dari kebijakan fiskal, kebiakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6.
10
2. Sebagai bahan referensi dan acuan para pembuat kebijakan di negeranegara
ASEAN+6
agar
dapat
menyesuaikan
kebijakan-kebijakan
makroekonominya sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang selaras. 3. Sebagai media implikasi penerapan teori-teori yang telah dipelajari selama perkuliahan serta menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kalangan akademisi sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak dari
kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Kawasan ASEAN yang diamati dalam penelitian ini hanya meliputi lima negara yaitu, Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Adanya keterbatasan data menyebabkan penelitian ini tidak memasukkan seluruh Negara anggota ASEAN. Serta enam negara yang tergabung dalam Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) yaitu Cina, Jepang, Korea Selaatan, India, Australia, dan New Zealand. Periode data yang digunakan dalam analisis ini adalh tahun 2000 sampai 2010.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.1.1.
Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional Dalam argumen pasar bebas neoklasik merupakan keyakinan bahwa
liberalisasi pasar-pasar nasional akan merangsang investasi, baik itu investasi domestik maupun yang berasal dari luar negeri, sehingga dengan sendirinya akan memacu tingkat akumulasi modal. Bila diukur berdasarkan satuan tingkat pertumbuhan Gross National Product (GNP), hal tersebut sama dengan penambahan tingkat tabungan domestik, yang pada gilirannya akan meningkatkan rasio modaltenaga kerja (capital-labor ratios) dan pendapatan per kapita negara-negara berkembang yang pada umumnya miskin modal. Model-model pertumbuhan neoklasik tradisional sesungguhnya bertolak secara langsung dari model HarrodDomar dan Solow. Model pertumbuhan Harrod-Domar menjelaskan mekanisme perekonomian yang mengandalkan peningkatan investasi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Model ini menyarankan bahwa setiap perekonomian pada dasarnya harus senantiasa mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal (gedung, alatalat, dan bahan baku) yang telah susut atau rusak. Namun, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto terhadap cadangan atau stok modal (capital stock).
12
Y s ............................................................................................. (2.1) Y k
Persamaan diatas merupakan versi sederhana dari persamaan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar. Persamaan tersebut menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (ΔY/Y) ditentukan secara bersama-sama oleh tabungan nasional (s) serta rasio modal-output nasional (k). Model pertumbuhan neoklasik selanjutnya yaitu model pertumbuhan neoklasik Solow. Pada intinya, model ini merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua, yakni tenaga kerja, serta memperkenalkan variabel independen ketiga, yaitu teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Berbeda dengan model Harrod-Domar yang mengasumsikan skala hasil tetap (constant return to scale) dengan koefisien baku, model pertumbuhan neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing returns) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah; jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow juga memakai asumsi skala hasil tetap tersebut. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow maupun para teoretisi lainnya diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Dalam bentuk yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow memakai fungsi produksi agregat standar, yakni: Y K AL
1
................................................................................. (2.2)
13
Pada persamaan tersebut Y adalah Produk Domestik Bruto (PDB), K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja, dan A adalah produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal. Karena tingkat kemajuan teknologi ditentukan secara eksogen, model neoklasik Solow terkadang juga disebut sebagi model pertumbuhan “eksogen”. Menurut teori pertumbuhan neoklasik tradisional pertumbuhan output bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor, yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja, penambahan modal, dan penyempurnaan teknologi. Kenaikan kuantitas dan kualitas dari tenaga kerja dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah penduduk dan juga perbaikan pendidikan. Faktor penambahan modal dapat dilihat melalui tabungan dan investasi. 2.1.2. Model Pertumbuhan Endogen Konsep pertumbuhan yang lainnya yaitu konsep pertumbuhan endogen. Konsep ini sering pula disebut dengan teori pertumbuhan baru (new growth theory). Model pertumbuhan endogen mempunyai kemiripan struktural dengan teori pertumbuhan neoklasik, namun berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan kesimpulan yang ditarik darinya. Teori ini berupaya untuk menjelaskan keberadaan skala hasil yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antarnegara. Teori pertumbuhan endogen (theory of endogenous growth) dirintis oleh Romer (1986) dan Lucas (1989). Salvatore (1997) mengatakan bahwa teori ini mampu menyajikan suatu ulasan analitis yang lebih menyeluruh dan meyakinkan
mengenai
hubungan
antara
perdagangan
internasional
dengan
14
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Secara spesifik, teori baru pertumbuhan ekonomi endogen ini menyatakan bahwa pendapatan penurunan hambatan-hambatan perdagangan dalam berbagai bentuk, baik tarif maupun
non-tarif,
akan
mempercepat
tingkat
pertumbuhan
ekonomi
dan
pembangunan di suatu negara dalam jangka panjang. Aspek yang paling menarik dari model pertumbuhan endogen adalah bahwa model tersebut membantu menjelaskan keanehan aliran modal internasional yang memperparah ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang. Potensi tingkat pengembalian investasi yang tinggi yang ditawarkan oleh negara berkembang yang mempunyai rasio modal-tenaga kerja yang rendah berkurang dengan cepat dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer (complementary investments) dalam sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan (R & D).
2.2.
Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal merupakan satu instrumen dari kebijakan makroekonomi.
Kebijakan makroekonomi tersebut bertujuan untuk mencapai output yang tinggi dengan laju pertumbuhan yang cepat, kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas harga serta keseimbangan dalam neraca pembayaran. Dalam literatur klasik, terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai kebijakan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan teori klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada
kebijakan
moneter.
Alasannya
adalah
kebijakan
fiskal
mampu
15
meningkatkan
permintaan
agregat
secara
langsung.
Samuelson
(1997),
mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai salah satu proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran pemerintah atau publik. Proses tersebut merupakan upaya menekan fluktuasi siklus ekonomi, dan ikut berperan menjaga ekonomi yang tumbuh dengan penggunaan tenaga kerja penuh dimana tidak terjadi laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua instrumen pokok di dalamnya, yaitu belanja negara dan perpajakan. Dengan kedua instrumen tersebut, pemerintah dapat menetapkan program pengeluaran publik serta penerimaannya yang sebagian besar adalah pajak. Kondisi anggaran merupakan cerminan dari kebijakan fiskal yang dipilih pemerintah pada periode tersebut. Pada saat anggaran defisit, ini berarti pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami resesi/depresi dan tingkat pengangguran tinggi. Sebaliknya, pada saat anggaran surplus, ini berarti pemerintah mengambil kebijakan kontraktif.
Gambar 2.1. Kurva Kebijakan Fiskal Ekspansif
16
Kebijakan
ekspansif
dilakukan
dengan
cara
menaikkan
pengeluran
pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y), adapun mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan pajak (T) terhadap output. Gambar 2.1. dapat dijelaskan bahwa pada saat pengeluaran pemerintah (∆G) naik atau selisih pajak (∆T) turun makan akan menggeser kurva pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan akan naik dari (Y1) menjadi (Yf).Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. Kebijakan anggaran surplus sebaiknya dilaksanakn ketika perekonomian pada kondisi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Pada saat munculnya ekspansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output aktual (Y1).
Gambar 2.2. Kurva Kebijakan Fiskal Kontraktif Pada Gambar 2.2. di atas ini dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (∆G) turun atau selisih pajak (∆T) naik maka akan menggeser kurva pengeluaran agregat kebawah sehingga pendapatan akan turun dari (Y1) menjadi (Yf).
17
Adapun mekanisme penurunan pengeluaran pemerintah (G) ataupun kenaikan pajak (T) terhadap output (Y). 2.2.1. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah adalah seluruh pembelian atau pembayaran barang dan jasa untuk kepentingan nasional. Pengeluaran pemerintah juga merupakan instrumen pengukur dimana pemerintah menentukan seberapa besar peran sektor pemerintah dan sektor swasta. Di samping itu, pengeluaran pemerintah dapat menjadi penentu pokok jumlah pengeluaran agregat, dan penentu pertumbuhan GNP riil jangka pendek. Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Mangkoesoebroto, 1997), yaitu: 2.2.2. Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, prosentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin membesar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, karena peranan swasta yang semakin besar akan menimbulkan
18
banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya. 2.2.3. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wegner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk suatu hukum Wagner, sebagai berikut : Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “ The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar hukum tersebut adalah pengamatan empiris di negara-negara maju yaitu, Amerika Serikat, Jerman, Jepang. Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkab karena pemerintah harus mengatur hubungan timbal balik dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemlilihan barang-barang publik. Wagner menadasarkan pandangannya dengan suatu teori organis mengenai
19
pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 2.2.4. The Displacement Effect Dari ketiga teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah tersebut, teori Peacock & Wiseman dianggap sebagai teori dan model yang terbaik (Mangkoesoebroto, 1993; 173). Teori mereka sering disebut sebagai
The
Displacement Effect, dimana teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Dalam Mangkoesoebroto
(1993; 173). Peacock dan
Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pungutan pajak. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Peningkatan pada PDB dalam keadaan normal menyebabkan penerimaan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Salah satu cara umtuk meningkatkan penerimaannya tersebut dengan menaikkan tarif paajk sehingga dana
20
swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (Displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah.
2.3.
Kebijakan Moneter Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan makro
melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Kebijakan moneter berlangsung melalui mekanisme transmisi untuk menggeser permintaan agregat, sehingga akan mengubah keseimbangan tingkat pendapatan nasional. Kenaikan JUB (Jumlah Uang Beredar) bersifat ekspansif, sedangkan penurunan JUB bersifat kontraktif dan besarnya pergeseran permintaan agregat sebagai reaksi atas kenaikan JUB tergantung pada besarnya kenaikan investasi dan perubahan JUB akan menyebabkan perubahan yang besar pula pada pengeluaran untuk investasi. Ahli ekonomi klasik mempunyai pendapat bahwa kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Pada perkembangannya, dengan munculnya kaum monetarist yang pada dasarnya beraliran klasik, perbedaan pendapat dengan neo-keynesian tidak lagi berkisar pada kemiringan kurva IS dan LM. Demikian kebijakan fiskal dapat mempengaruhi pendapatan nasional, hanya saja kebijakan moneter lebih besar serta dapat diperkirakan lebih cepat efeknya. Para ahli ekonomi sepakat tentang penting dan sentralnya uang dalam perekonomian modern. Tidaklah mengherankan jika studi tentang dampak perubahan
21
jumlah uang beredar terhadap kinerja perekonomian makro mendapat perhatian yang sangat besar. Dewasa ini studi-studi dalam bidang keterkaitan jumlah uang beredar dengan kinerja makro sudah semakin luas dan dalam. Bidang studi yang mempelajari tentang pengaruh jumlah uang beredar (dan juga tingkat bunga) terhadap kinerja perekonomian makro dikenal sebagai bidang kajian moneter atau lebih sering disebut dengan teori ekonomi moneter. 2.3.1. Jenis Kebijakan Moneter Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan moneter dapat dibedakan menjadi dua yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan moneter ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang beredar. Pada saat munculnya kontraksional gap. Berikut grafik kebijakan moneter ekspansif. Dari Gambar 2.3. dibawah ini dapat dilihat kondisi awal penawaran uang (MS1) dan tingkat suku bunga adalah kurva (R1). Pada kurva R1 tingkat suku bunga yang peka terhadap pengeluaran adalah I, rencana pengeluaran agregat menjadi AE1 dan produk domestik bruto adalah (Y1). Selain itu kurva PDB pada Y1 membantu menentukan posisi kurva permintaan uang pada kurva L(R, Y1) dimana bersama-sama dengan kurva (MS1) menentukan tingkat suku bunga (R1). Ketika MS1 meningkat menjadi MS2 maka tingkat suku bunga turun karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi (R1), AE1 (R1) dan Y1.
22
Gambar. 2.3. Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif Kebijakan moneter kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy). Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), Fasilitas Diskonto (Discount Rate), Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio), Himbauan Moral (Moral Persuasion). 2.3.2. Teori Kuantitas Uang Teori kuantitas uang dikembangkan oleh Irving Fisher pada awal abad ke 20. Teori kuantitas uang disampaikan dalam bukunya The Purchasing Power of Money pada tahun 1911. Teori ini berpandangan bahwa uang hanya sebagai alat tukar, uang akan berputar atau berpindah-pindah tangan dari satu pihak ke pihak lainnya selama satu periode tertentu (biasanya satu tahun) dikenal dengan sebutan velositas uang beredar (velocity of money). Faktor yang mempengaruhi velositas uang adalah faktor
23
kelembagaan, utamanya mekanisme pembayaran yang digunakan (tunai atau cek). Dalam jangka pendek aspek kelembagaan sulit berubah, karena itu dalam jangka pendek velositas uang akan konstan. Dalam persamaan matematis yang sederhana, dapat dinyatakan sebagai: M.V = P.T………………………………….…………………………………(2.3) dimana: M
= Jumlah uang beredar untuk transaksi, dalam praktik dapat dinyatakan M2,
V
= Velositas uang, dalam jangka pendek diasumsikan konstan,
P
= Harga rata-rata output, dalam praktik merupakan tingkat harga umum,
T
= Jumlah output yang ditransaksikan pada tingkat full employment Berdasarkan persamaan di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan jumlah
uang beredar dikalikan denga velositasnya akan sama dengan jumlah produksi dikalikan harga jualnya. Karena output yang dihasilkan adalah pada kondisi full employment dan velositas uang diasumsikan tidak berubah, maka dalam jangka pendek jumlah uang beredar untuk transaksi berubah, maka harga rata-rata output akan berubah juga. Konsekuensinya adalah perubahan harga rata-rata output karena perubahan jumlah uang beredar mempunyai hubungan searah dan proposional. Uraian paragraf di atas dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan yang sangat sederhana, seperti di bawah ini: M = kPY.............................................................................................................(2.4) Karena velositas uang dianggap konstan, maka pendapatan nasional dalam jangka pendek ditentukan oleh jumlah jumlah uang beredar. Hubungan antara jumlah uang
24
beredar dengan tingkat produksi adalah proporsional. Pertumbuhan jumlah uang beredar akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.4
Efektivitas Relatif pada Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal beroperasi secara langsung terhadap pengeluaran agregat.
Kebijakan moneter mempengaruhi pengeluaran agregat hanya secara tidak langsung, dengan cara mengubah jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga. Jika bank sentral mengubah jumlah uang beredar, maka sama saja dengan menggeser kurva permintaan agregat melalui mekanisme transmisi. Pandangan-pandangan yang mempelajari hubungan perilaku utama diubah menjadi pandangan mengenai kekuatan relatif yang ada pada kebijakan moneter dan fiskal. Akibat dari kedua kebijakan tersebut akan tergantung pada sudut kemiringan kurva SRAS dan bagaimana pengaruh kebijakan tersebut pada kurva AD. Bagaimanapun bentuk sudut kemiringan kurva SRAS, hal itu berlaku bagi kedua kebijakan ini. Perbedaan antara kedua kebijakan ini dapat dilihat dari kemampuannya dalam menggeser kurva AD. Dalam melihat efektivitas kebijakan kita membandingkan pada tiga daerah yaitu daerah klasik, intermediate range, dan daerah Keynes . Daerah liquidity trap merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukakan oleh Keynes. Keynes menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah ini yang disebut daerah liquidity trap. Daerah klasik memiliki kurva LM yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan pemahaman kaum klasik bahwa teori permintaan uang, permintaan uang tidak dipengaruhi oleh pendapatan. Karena tidak ada hubungannya dengan suku bunga,
25
maka kurva LM bentuknya tegak lurus. Intermediate range adalah daerah yang menunjukkan kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga. Gambar 2.4. menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah Keynesian dan efektif pada daerah intermediate. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan keseimbangan pendapatan nasional didaerah keynesian. Sementara itu, kebijakan fiskal sama sekali tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan fiskal, keseimbangan pendapatan nasional tidak berubah.
Gambar 2.4. Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal Kebijakan moneter yang ekspansif ditandai dengan bergesernya kurva LM dari LM0 ke LM1. Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter sangat efektif di daerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu, kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.
26
. Gambar 2.5. Kurva Efektivitas Kebijakan Moneter
2.5.
Teori Perdagangan Internasional Keterbukaan perdagangan merupakan indikator untuk memperlihatkan
seberapa besar tingkat ekspor impor suatu negara. Keterbukaan perdagangan dapat diartikan pula sebagai volume perdagangan internasional. Keterbukaan perdagangan dapat dijelaskan dengan penjumlahan nilai ekspor dan impor. Perdagangan internasional memiliki sejumlah argumen yang mendukung serta menolaknya, dengan beragam alasan yang mendasarinya. Namun argumen yang mendukung ataupun menolak tidak ada yang memiliki kebenaran absolut. Manfaat yang diperoleh suatu negara dengan adanya perdagangan internasional bergantung pada struktur perekonomian negara itu sendiri (Lindert dan Kindleberger, 1986). Teori pertumbuhan ekonomi dalam hubungannya dengan perdagangan dapat ditelusuri kembali pada teori keunggukan absolut oleh Adam Smith pada tahun 1776 dan teori keunggulan komparatif oleh David Ricardo pada tahun 1817 (Salvatore, 1997). Menurut teori keunggulan absolut (absolut advantage theory), jika sebuah
27
negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas (memiliki keunggualan absolut), namun kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi komoditas lainnya (memiliki kerugian absolut) maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi pada komoditas yang memiliki kerugian absolut. Menurut Damanhuri (2010), perdagangan luar negeri memiliki peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan pembangunan di suatu negara. Model pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Keynes, perdagangan internasional merupakan salah satu determinan bagi pendapatan suatu negara. Secara sederhana, pemikiran Keynes tersebut dapat dijelaskan dalam persamaan di bawah ini:
Y C I G N X .................................................................................. (2.5) Dalam persamaan tersebut, Y adalah pendapatan sebuah negara, C merupakan pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah tangga, I adalah simbol untuk investasi atau pengeluaran modal yang dilakukan oleh sektor produsen, G adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemerintah, X merupakan ekspor yang dilakukan oleh negara, sementara M adalah simbol untuk impor yang dilakukan oleh sebuah negara. Dalam persamaan tersebut, perdagangan internasional disimbolkan dengan (X-M). Perdagangan internasional mempunyai dua hal penting yang berperan dalam membantu proses pembangunan ekonomi sebuah negara, khususnya negara berkembang, yaitu:
28
a. Adanya pergerakan modal dari negara maju ke negara berkembang. Dengan adanya perdagangan internasional tersebut, diharapkan terjadi perpindahan modal dari negara maju ke negara berkembang yang kekurangan modal. Mengingat salah satu faktor utama rendahnya produktivitas di negara berkembang adalah kurangnya modal yang dimiliki mereka. b. Transfer of technology and know how lewat perusahaan multinasional (Multi National Corporation/MNC). Perdagangan
internasional
sering
pula
dikatakan
sebagai
“mesin
pertumbuhan” (engine of growth). Menurut Salvatore (1997), sekalipun perdagangan internasional tidak bisa menjadi “mesin pertumbuhan” yang efektif bagi negaranegara berkembang, namun bukan berarti perdagangan internasional tidak ada kegunaannya. Para ekonom seperti Haberler mengatakan keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh dari perdagangan internasional, diantaranya: 1. Perdagangan dapat meningkatkan pendayagunaan sumber-sumber daya domestik di suatu negara berkembang. 2. Perdagangan internasional dapat menciptakan pembagian kerja dan skala ekonomi (economies of scale) yang lebih tinggi, melalui peningkatan ukuran pasar. 3. Perdagangan internasional juga berfungsi sebagai wahana transmisi gagasangagasan baru, teknologi yang lebih baik, serta kecakapan manajerial, dan bidang-bidang keahlian lainnya yang diperlukan bagi kegiatan bisnis. 4. Perdagangan antar negara juga merangsang dan memudahkan mengalirnya arus modal internasional dari negara maju ke negara berkembang.
29
5. Impor produk-produk baru dapat merangsang permintaan domestik serta dapat memberikan inspirasi dan membuka lahan bisnis baru yang menguntungkan bagi para produsen setempat. 6. Perdagangan internasional merupakan instrumen yang efektif untuk mencegah monopoli karena perdagangan pada dasarnya dapat merangsang peningkatan efisiensi setiap produsen domestik agar mampu menghadapi persaingan dari negara lain.
2.6.
Penelitian Terdahulu Ajisafe dan Folorunso (2002) menguji secara empiris perbandingan efektivitas
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria pada periode tahun 1970-1998. Dengan menggunkan variabel penelitian narrow money, board money, pendapatan pemerintah, pengeluaran pemerintah, dan budget deficit dengan metode estimasi yang digunakan adalah kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan moneter lebih efektif daripada kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Nigeria. Rahman (2005) meneliti efektivitas relatif antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dalam pertumbuhan output riil di Bangladesh pada tahun 1973-2005. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan moneter secara tunggal berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan output ril di Bangladesh. Hal ini memperkuat temuan Model St. Louis bahwa kebijakan moneter relatif lebih efektif
30
daripada kebijakan fiskal yang disimulasikannya. Variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari Real Government Expenditure, Real Money, Real Interest Rate, Real GDP dengan menggunakan metode estimasi SVAR. Hsing (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan penurunan nilai mata uang terhadap output di Venezuela. Penelitian ini menggunakan metode IS-LM model dan Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasiticity (GARCH). Dengan menggunakan data tahunan selama tahun 1959-2001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa output riil berhubungan positif dengan jumlah uang beredar (M2), pengeluaran pemerintah, depresiasi mata uang Bolivar, tingkat inflasi dan harga minyak. Hastuti (2007) menganalisa dampak kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan nilai tukar terhadap pendapatan nasional, periode sebelum dan sesudah krisis di Indonesia. Metode yang digunakan adalah VAR, dengan variabel yang diteliti adalah jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, nilai tukar, dan PDB. Data merupakan data triwulanan dari triwulan I tahun 1990 sampai triwulan IV tahun 2006. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah uang beredar dan pengeluaran pemerintah memiliki dampak positif terhadap PDB, sedangkan dampak nilai tukar adalah negatif, dengan kata lain, kebijakan moneter dan kebijakan fisklal memiliki dampak yang ekspansif, sedangkan dampak nilai tukar adalah kontraktif. Indrawati (2007) melihat interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Indonesia menggunakan pendekatan VAR. Variabel yang digunakan adalah suku bunga, pengeluaran pemerintah, IHK dan PDB. Data yang digunakan data tahunan dari 1970-2006. Hasilnya memperlihatkan shock kebijakan fiskal bersifat permanen dan
31
negative terhadpa inflasi dan direspon dengan kebijakan moneter yang ketat. Shock kebijakan moneter menyebabkan pengaruh permanen negatif pada menrunnya pertumbuhan ekonomi. Katsimi dan Sarantidies (2008) meneliti dampak kebijakan fiskal pada 19 negara maju selama tahun 1975-2000. Penelitian ini menggunakan metode fixed effect model (FEM). Hasil penelitian ini menunjukkan pengeluaran barang modal mempunyai dampak yang positif terhadap keuntungan. Pajak langsung dan tidak langsung menurunkan keuntungan. Penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (2008) bertujuan untuk mengkaji dampak efektivitas relatif antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di negara-negara Asia Selatan. Dengan periode penelitian dari tahun 1990 – 2007, hal ini dilakukan untuk membuktikan pandangan Monetarist dan Keynesian serta untuk menemukan kebijakan yang lebih efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Uji Im, Pesaran, dan Shin serta Levin, Lin, dan Chu digunakan untuk menguji integrasi. Hubungan jangka pendek dan jangka panjang diestimasi dengan
model Autoregressive Distributed Lag (ARDL) yaitu untuk
menguji kointegrasi pada panel dan Error Correction Method (ECM). Hasil penelitian menunjukkan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang signifikan baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, keseimbangan fiskal tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada jangka pendek dan jangka panjang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter lebih memiliki kekuatan dibandingkan kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Selatan.
32
Kubo (2008) meneliti dampak shock dari kebijakan moneter terhadap perekonomian, pengalaman Thaland. Variabel yang digunakan yaitu indeks Harga Konsumen (IHK). Indeks Produksi, Indeks Harga Produsen (IHP), suku bunga pinjaman dan agregat kredit swasta, dengan menggunakan metode VAR. dari penelitian ini diperoleh bahwa mekanisme transmisi moneter di Thailand mempunyai dampak terhadap dimensi internasional. Kontraksi moneter mempunyai efek yang negative dan cukup kuat pada permintaan impor dalam jangka pendek walaupun harga impor turun. Afonso dan Sousa (2009) meneliti efek dari kebijakan fiskal menggunakan metode Bayesian Structural Vector Autoregression (BSVAR) dengan menganalisis Negara Inggris, Amerika, Jerman dan Italy. Secara umum dapat disimpulkan bahwa shock pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh: (i) efek yang kecil terhadap PDB, (ii) tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap konsumsi swasta, (iii) mempunyai efek negatif terhadap investasi swasta, (iv) mempunyai efek yang bervariasi terhadap harga rumah, (v) mendorong jatuhnya harga saham, (vi) tidak berdampak signifikan terhadap tingkat harga, (vii) efek positif dan kecil terhadap pertumbuhan tingkat agregat moneter dan (viii) mempunyai pengaruh positif terhadap produktivitas. Sementara itu shock penerimaan pemerintah berpengaruh pada (i) efek positif terhadap PDB dan investasi, (ii) efek positif terhadap harga rumah dan harga saham dan (iii) secara umum tidak ada dampak terhadap tingkat harga. Chang et al. (2009) menyatakan bahwa dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi berarti apabila disertai oleh perbaikanperbaikan pada infrastruktur publik, sektor finansial, kualitas modal manusia,
33
fleksibilitas pasar tenaga kerja, serta stabilitas perekonmian dan harga. Perbaikanperbaikan tersebut akan menjadikan keterbukaan perdagngan dapat berlangsung efektif sehingga meningatkan pengalokasian sumber daya, memungkinkan diseminasi pengetahuan dan teknologi, serta mendorong persaingan di pasar domestik dan internasional. Selain dipengaruhi oleh kondisi dari setiap negara, pola interaksi yang terjadi antarvariabel dalam suatu perekonomian juga tidak seragam. Sebagaimana penelitian oleh Miankhel et al. (2009) tentang keterkaitan PMA, ekspor, dan pertumbuhan ekonomi di enam negara berkembang yang memiliki tahap pertumbuhan berbedabeda, yaitu India dan pakistan di Asia Selatan, Malaysia dan Thailand di Asia Tenggara, serta Mexico dan Chile di Amerika lain. Hasil penelitiannya mendukukng hipotesis bahwa ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi (exsport led growth), khususnya di Asia Selatan. Dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan mendorong perkembangan variabel-variabel lainnya, yaitu mendorong ekspor di Pakistan dan mendorong PMA di India. Hubungan yang berbeda terlihat dalam jangka pendek di Amerika Latin, yaitu PMA memengaruhi pertumbuhan melalui ekspor (PMA
Ekspor
PDB) di Chile dan PMA memengaruhi pertumbuhan
secara langsung di Mexico.Ekspor memengaruhi pertumbuhan dan PMA di kedua negara tersebut dalam jangka panjang. Sementara itu, kasus di Asia Tenggara ditemukan hubungan kausalitas dua arah antara PDB dan PMA di Thailand, dan sebaiknya keduanya tidak memiliki hubngan sebab-akibat di Malaysia. Mobolaji dan Adefeso (2010) melakukan penelitian mengenai efektivitas relatif kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di
34
Nigeria dengan menggunakan data tahunan dari 1970-2007. Error Correction Mechanism (ECM) dan teknik kointegrasi dilakukan untuk mengestimasi data penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan dan konsisten dengan penelitian sebelumnya bahwa kebijakan moneter lebih memiliki kekuatan dibandingkan kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Penelitian ini merekomendasikan kebijakan moneter sebagai alat stabilitas perekonomian. Jawaid, Qadri, dan Ali (2011) meneliti pengaruh kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Pakistan dengan menggunakan data tahunan dari 1981-2009. Dengan menggunakan metode estimasi VECM dimana variabel penelitiannya adalah money supply (proksi kebijakan moneter), government expenditure (proksi kebijakan fiskal), share ekspor dan impor terhadap GDP (proksi kebijakan perdagangan). Hasilnya adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal berimplikasi positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan
jangka panjang, sebaliknya untuk kebijakan perdagangan . Dimana
kebijakan moneter lebih efektif daripada kebijakan fiskal.
2.7.
Kerangka Pemikiran Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu
negara. Integrasi ekonomi dan keuangan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6. Integrasi ekonomi dapat membuat pertumbuhan ekonomi menjadi konvergen maupun divergen. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional yang tinggi dan selaras di kawasan ASEAN+6 diperlukan serangkaian kebijakan khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah di masing-masing negara. Ada
35
tiga alternatif utama dalam mencapai tujuan kebijakan yaitu, kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan. Kawasan integrasi ekonomi ASEAN+6 yang terdiri dari negara berkembang dan negara maju. Masing-masing kelompok negara tersebut memiliki perbedaan karakteristik yang mendasar sehingga tidak dapat diterapkan perlakuan yang sama diantara keduanya. Selanjutnya, analisis pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 akan dilakukan dengan memisahkan antara negara berkembang dan negara maju untuk melihat dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Berikut adalah gambaran kerangka pemikiran dari penelitian ini:
36
ASEAN (Indonesia,Malaysia, Singapore,Thailand,Philipina)
China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, New Zealand
Integrasi Ekonomi ASEAN+6 Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+6
Negara
Negara
Berkembang
Maju
Kebijakan Makroekonomi
Kebijakan Fiskal
Pengeluaran Pemerintah
Kebijakan Moneter
Jumlah Uang Beredar (M2)
Kebijakan Perdagangan
Keterbukaan Perdagangan
Metode Panel Data Dinamis dengan Pendekatan GMM (Generalized Method of Moments)
Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber. Adapun data diperoleh dari badan statistik dunia World Development Indicator (WDI), World Bank, CEIC, serta beberapa jurnal dan literatur yang relevan dengan penelitian ini. Tabel 3.1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Penelitian No. 1.
Variabel Y
Keterangan
Sumber
GDP Riil
Satuan
World
Milyar LCU
Development
Konstan 2005
Indicator 2011 2.
GEXP
General
Government
Consumption (GGFCE)
Final World
Expenditure Development sebagai
4.
M2
OPNESS
Konstan 2005
proksi Indicator
kebijakan fiskal 3.
Milyar LCU
2011
Broad Money, sebagai proksi CEIC
Milyar LCU
kebijakan moneter
Konstant 2005
Keterbukaan (Trade)
Perdagangan
, World
Persentase
Development
( share ekspor
Indicator
and impor of
2010
GDP)
38
Data-data yang diperlukan dalam permodelan penelitian ini yaitu GDP (Gross Domestik Product), General Government Final Consumption Expenditure (GEXP), Broad Money (M2), dan keterbukaan perdagangan (OPNESS). Data yang dikumpulkan merupakan data panel dengan time series 2000-2010 dan cross section 11 negara ASEAN+6, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan, China, India, Australia, dan New Zealand.
3.2.
Model Penelitian Metode yang digunakan untuk melihat dampak relatif antara kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter terhadap output riil di negara kawasan ASEAN+6 diukur dengan menggunakan model yang merupakan gabungan dari model Ali et al. (2008), Adefeso dan Mobolaji (2010), dan Jawaid et al. (2011) Ali et all (2008)
meneliti efektivitas relatif antara kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara-Negara Asia Selatan dengan menggunakan metode estimasi OLS, Panel data, Autoregressive Distributed Lag model ARDL a co integration (panel) test dan Error Correction Method (ECM). Ali et all membangun model penelitian tersebut sebagai berikut: Yit 0 FBit 1M 2it it ……………….…….………………………..(3.1)
dimana, Yit
= GDP growth rate
FBit
= Fiscal Balance (defisit fiskal)
M2it
= Broad Money
39
μit
= Error term Adefeso dan Mobolaji (2010) meneliti efektivitas relatif kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria menggunakan metode estimasi Error Correction Mecahanism dan kointegrasi. Adapun model penelitian yang dibangun dalam Adefoso dan Mobolaji (2010) adalah sebagai berikut: Yt f ( DOPNESSt , M 2t , GEXPt ) ……………………………………………(3.2)
Persamaan (3.2) diatas diturunkan dengan menggunakan log linear, didapat persamaan baru sebagai beriut: ln Yt b0 b1 ln M 2t b3 ln GEXPt b4 ln DOPNESSt et …………...………...(3.3)
dimana, Yt
= GDP
M2t
= Broad Money
GEXPt
= Government Expenditure
DOPNESSt
= Degree of Openness
ln
= logaritma natural
et
= error term Sedangkan Jawaid et al. (2011) meneliti secara empirik dampak kebijakan
moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Pakistan dengan data time series dari 1981-2009. Dengan menggunakan metode estimasi kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Model penelitiannya adalah GDPt 0 1MSt 2GEt 3TOt t ……………………..……….………(3.4)
40
dimana, GDPt = Pertumbuhan ekonomi pada tahun ke t MSt
= Money Supply tahun ke t sebagai proksi dari kebijakan moneter
GEt
= Government Expenditure tahun ke t sebagai proksi kebijakan fiskal
TOt
= Share ekspor dan impor terhadap GDP pada tahun ke t sebagai proksi kebijakan perdagangan
t
= Error term Berdasarkan persamaan-persamaan diatas berikut adalah persamaan baru yang
dimodifikasi, yang selanjutnya akan digunakan dalam penelitian ini: ln Yit b1 ln GEXPit b2 ln M 2it b3 OPNESSit it …………..……………....(3.5)
dimana, lnYit
= GDP Riil negara i pada tahun ke t
lnGEXPit
= Pengeluaran Pemerintah (Government Expenditure) sebagai proksi kebijakan fiskal negara i pada tahun ke t
lnM2it
= Jumlah uang beredar (Broad Money) sebagai proksi kebijakan moneter negara i pada tahun ke t
DOPNESSit
= Keterbukaan Ekonomi (Degree of Openness) sebagai proksi kebijakan perdagangan negara i pada tahun ke t
εit
= Error term
41
3.3.
Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
panel data dinamis dengan teknik estimasi model menggunakan pendekatan GMM (Generalized method of moments) yang mengacu pada metodologi Verbeek (2004). Tujuan menggunakan metode panel dinamis dengan pendekatan GMM bertujuan untuk mengontrol bias yang berkaitan dengan simultanitas dan individual special effect setiap negara.
3.3.1. Data Panel Menurut Gujarati (2003), data panel (pooled data) merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Kriteria data panel yang baik adalah ketika N cross section relatif lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah T time series. Dalam data panel, data cross section yang sama di observasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut unbalanced panel. Terdapat dua keuntungan penggunaan data panel dibandingkan data time series atau cross section saja (Verbeek 2004). Pertama, dengan mengombinasikan data time series dan cross section dalam data panel membuat jumlah observasi
42
menjadi lebih besar. Dengan menggunakan model data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga parameter yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Secara teknis menurut Hsio (2004), data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinieritas antarpeubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. Kedua, keuntungan yang lebih penting dari penggunaan data panel adalah mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam cross section atau time series murni. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secra eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak kelebihan, yaitu: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu atau unit cross section. 2. Dapat memberikan informasi lebih banyak, mengurangi kolinieritas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien. 3. Panel data lebih baik untuk studi yang bersifat dinamis atau dynamics of adjustment. 4. Dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang sederhana yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series murni.
43
5. Mampu menguji dan membangun model prilaku (behavioral models) yang lebih kompleks.
3.3.1.1 Data Panel dinamis Firdaus (2011), Sejak awal tahun 1990-an, perkembangan metode data panel memasuki babak baru dengan dipublikasikannya tulisan Arellano dan Bond (1991). Seiring dengan populernya model time series pada saat itu, muncul pula pemikiran untuk merumuskan model data panel yang memasukkan lag dari peubah dependen sebagai regresor dalam regresi. Hal ini berakibat munculnya masalah endogeneity, sehingga bila model diestimasi dengan pendekatan fixed effect maupun random effects akan menghasilkan penduga yang bias dan tidak konsisten (Verbeek 2008). Untuk memecahkan masalah ini, Arellano dan Bond mengusulkan pendekatan method of moments atau yang biasa disebut dengan Generalized Method of Moments (GMM). Indra (2009), relasi antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen diantara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, perhatikan model data panel dinamis sebagai berikut: yit = δyi,t-1 + X’itβ + uit : i = 1, …, N ; t = 1, …, T..............................................(3.6)
44
dengan δ menyatakan suatu skalar, x' it menyatakan matriks berukuran 1 x K dan β matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini, uit diasumsikan mengikuti model one way error component sebagai berikut uit = μi + υit .........................................................................................................(3.7) dengan μi ~ IID 0, 2
menyatakan pengaruh individu dan υit ~ IID 0, 2
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literature disebut transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada Fixed Effect Model (FEM) maupun Random Effect Model (REM) terkait perlakuan terhadap μi. Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena yit merupakan fungsi dari μi maka yi,t-1 juga merupakan fungsi dari μi. Karena μi adalah fungsi dari μit, hal ini akan menyebabkan penduga least squares (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila υit tidak berkorelasi serial sekalipun. Untuk mengilustrasikan kasus tersebut diberikan data panel Autoregresive (AR (1)) tanpa menyertakan variabel eksogen yit yi ,t 1 uit ; |δ| < 1 ; t =1, …, T ................................................................(3.8)
dengan uit = μi + υit dimana μi ~ IID (0, σ2μ) dan υit ~ IID (0, σ2υ) saling bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi δ diberikan oleh N
FE
T
( yit y i )( yi ,t 1 y i ,t 1 )
i 1 t 1
N
T
yi ,t 1 y i ,1
i 1 t 1
2
………………..……(3.9)
45
T
T
t 1
t 1
dengan y t 1/ T yit dan yi ,1 1/ T yi ,t 1 . Untuk menganalisis sifat dari FE , dapat disubstitusi persamaan (3.8) ke (3.9) untuk memperoleh:
FE
1 N T it i yi ,t 1 y i , 1 NT i 1 t 1 ………(3.10) N T 1/ NT yi ,t 1 y i ,1
i 1 t 1
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk N dan T tetap, bentuk pembagian pada persamaan diatas tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila N . Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan (Nickel (1981) dalam Verbeek (2004) bahwa
p lim N
1 N T vit v i NT i 1 t 1
yi ,t 1 y i ,1
v2 T 1 T T 0 ...(3.11) 2 T2 1
Sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang popular. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang
46
terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Terdapat dua prosedur estimasi yang lazim digunakan dalam kerangka GMM untuk mengakomodir permasalah di atas, yaitu: First-Differences GMM (FD-GMM) dan System GMM (SYS-GMM) 1.
First Differences GMM (AB-GMM)
|α| yit = αyi,t-1 + ηi + υt Misalkan terdapat persamaan autoregressive dengan satu beda kala atau AR (1) disertai dengan unobserved individual-spesific effects yaitu dengan < 1 E [υit] = 0, E [ηi] = 0, E [υitηi] = 0 pada persamaan diatas untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T serta ηi + υit = uit mempunyai struktur standard error components sebagai berikut Untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T Asumsikan transient errors tidak berkorelasi antar waktu E [υit υis] = 0 untuk i = 1,..., N dan s ≠ t dan kondisi semula y i1 adalah predetermined E [y i1 υi] = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 2, …, T Secara bersama-sama asumsi tersebut berimplikasi adanya m = 0.5 (T-1) x (T-2) moment restrictions E [y i,t-s∆υi] = 0 untuk t = 3,...,T dan s ≥ 2 E﴾Zi∆υi ﴿ = 0 yang dapat ditulis sebagai, dimana Zi adalah (T-2) x m matriks yaitu:
47
yi1 0 Zi . 0
0 yi1 . 0
0 yi 2 . 0
... ... ... ...
0 ... 0 ... . . yi1 ...
yi ,T 2 0 0 .
dan ∆υi adalah (T - 2) vektor (∆υi 3, ∆υi 4, ..., ∆υi T)„. Ini merupakan kerangka GMM, dimana digunakan lag dari peubah dependen mulai dari t-2, atau disebut FD-GMM. Pendekatan ini akan menghasilkan estimator yang konsisten dari α manakala N → ∞ dengan T relatif kecil. Terdapat keterbatasan dari FD-GMM estimator, terutama bila terjadi korelasi antar lag dari pembeda pertama, sehingga instrumen yang digunakan lemah (Blundell dan Bond 1998). FD-GMM estimator bahkan akan lebih bias ke bawah daripada fixed-effects, terutama bila jumlah periode waktu terbatas. Untuk itu, penggunaan baik nilai sekarang maupun lag dari regresor sebagai instrumen akan dapat memperbaiki FD-GMM estimator. Dalam praktik, keterbatasan FD-GMM tersebut dapat dideteksi dengan membandingkan koefisien dari peubah lag yang diperoleh dari pendekatan pooled least squares, fixed-effects dan FD-GMM. Diketahui bahwa model panel data dengan AR (1) bila diestimasi dengan teknik pooled least squares akan menghasilkan koefisien yang bias ke atas, sedangkan bila diestimasi dengan pendekatan fixedeffects atau within group akan menghasilkan koefisien yang bias ke bawah. Dengan demikian koefisien yang konsisten akan diperoleh bila nilainya berada antara keduanya.
48
2.
System GMM (SYS-GMM) Ide dasar dari penggunaan metode System GMM adalah untuk mengestimasi
sistem persamaan baik pada pembedaan pertama maupun pada level, dimana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret (Indra, 2009). Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
yit yi ,t 1 i it
.................................................................................(3.12)
dengan E (μi) = 0, E (νit) = 0, dan E (μi νit) = 0 untuk i = 1,2,...,N ; t = 1,2,...,T Matriks instrumen untuk SYS-GMM adalah sebagai berikut:
....................................................(3.13)
dengan kondisi momen (moment conditions) derajat kedua dapat dinyatakan sebagai: E Zi*'ui* 0 ..................................................................................................(3.14)
dimana ui* (vi 3 ,..., viT , ui 3 ,..., uiT ) . Dalam hal ini, Blundel dan Bond (1998) memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh E (yi1∆νi3) sedemikian sehingga δ tepat teridentifikasi (just identified).
49
Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan ∆yi2 pada yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari (3.12) yang dievaluasi pada saat t = 2 dengan mengurangi kedua sisi persamaan ini, menjadi
yi 2 1 yi,1 i i 2
…………………......………………………....…(3.15)
Dikarenakan ekspektasi E (yi,1 μi) > 0, maka, maka (δ – 1) akan bias ke atas (upward biased) dengan
plim 1 1
c 2 c 2 u …………………………………………..(3.16)
dengan c 1 / 1 . Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel instrument yi1 mendekati nol. Selain itu, nilai F-statistik dari regresi variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke 12 dengan parameter non-centrality
c 2 u
2
2 u2c
0 ,dengan δ → 1......................................................................(3.17)
Karena 0 maka penduga variabel instrument menjadi lemah. Di sisni, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga firstdifference GMM dengan masalah lemahnya instrument yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi . Dengan
demikian,
SYS-GMM
estimator
mengkombinasikan
gugus
persamaan first-difference dengan nilai level sebagai instrumennya ditambah gugus persamaan level dengan first-difference sebagai instrumen. Validitas dari tambahan
50
instrumen dapat diketahui dengan menggunakan uji-Sargan untuk over-identifying instrument. 3.3.2. Prosedur Analisis dengan Metode Panel Dinamis Untuk menduga parameter model data panel dinamis pada persamaan akan digunakan meode Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM). Dari hasil estimasi AB-GMM, kemudian dilihat apakah instrumen yang digunakan valid. Apabila tidak, kemudian digunakan pendekatan SYS-GMM untuk mengatasi validitas instrumen pada pendekatan AB-GMM. Untuk menguji validitas instrumen pada pendekatan AB-GMM, dapat digunakan uji Sargan.
Uji Sargan untuk
overidentyfing restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrumen. Hipotesis untuk uji ini menyatakn bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen dalam artian bahwa instrumen tersebut tidak berkorelasi dengan error pada persamaan AB-GMM. Nilai statistik Sargan dihitung sebagai ……………………...(3.18)
Pada kondisi kondisi hipotesis nol, nilai statistik di atas memiliki sebaran , dengan q menyatakan jumlah instrumen dikurangi jumlah parameter yang digunakan dalam model. Untuk melihat konsistensi dari hasil estimasi yang dihasilkan dari model ABGMM akan dilakukan uji autokorelasi dengan menggunakan statistik Arellano-Bond dan
. Konsistensi ini ditunjukkan oleh nilai statistik
yang signifikan dan
51
nilai statistik
yang tidak signifikan (Arellano, 2003). Hal yang sama juga akan
dilakukan uji validitas instrumen dengan menggunakan uji Sargan serta uji ArellanoBond
dan
untuk melihat konsistensi estimator yang diperoleh. Pada tahap
berikutnya, model yang lebih valid di antara ketiga pendekatan dalam model data panel statis, selanjutnya hasil estimasi akan dikomparasi dengan hasil estimasi model data panel dinamis untuk kemudiaan ditelaah dan dianalisis lebih lanjut. Selain pemilihan dan komparasi model, dari hasil yang diperoleh juga akan diuji tingkat signifikansi serta tanda setiap koefisien estimasi yang diperoleh. Tanda koefisien estimasi ini kemudian dianalisis apakah relevan dengan teori yang ada. Dari hasil estimasi kedua pendekatan tersebut selanjutnya akan dilakukan telaah dan analisis untuk menjawab dan hipotesis penelitian. Firdaus (2011), Secara ringkas, beberapa kriteria yang digunakan untuk menemukan model dinamis atau GMM terbaik adalah: 1. Tidak Bias. Estimator dari pooled least squares bersifat biased upwards dan estimator dari fixed-effects bersifat biased downward. Estimator yang tidak bias berada di antara keduanya. 2. Instrumen Valid. Validitas ini diperiksa dengan menggunakan Uji Sargan. Instrumen akan valid bila uji Sargan tidak dapat menolak hipotesis nol. 3. Konsisten. Sifat konsistensi dari estimator yang diperoleh dapat diperiksa dari sttistik Arellano-Bond m1 dan m2, yang dihitung secara otomatis pada beberapa perangkat lunak. Estimator akan konsisten bila statistic m1 menunjukkan hipotesis nol ditolak dan m2 menunjukkan hipotesis nol tidak ditolak.
52
3.3.3.Granger Causality Test pada Data Panel Hubungan kausalitas (causality) adalah hubungan jangka pendek antara kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang mencakup juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari analisis spektrum, khususnya hubungan penuh antar spektrum dan hubungan partial antar spektrum. Dari pandangan ekonomtrik, ide utama dari kausalitas adalah sebagai berikut. Pertama, jika X memengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu dalam memprediksikan Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X ke regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan penjelas (explanatory power) dari regresi. Kedua, data masa lalu Y tidak dapat membantu dalam memprediksikan X, karena jika X dapat membantu dalam memprediksikan Y dan Y dapat membantu memprediksikan X, maka kemungkinan besar variabel lain, katakan Z, yang memengaruhi X dan Y (Fauzi, 2007) Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara dua variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah, dan hubungan timbal balik.
Dengan panjang lag optimal, p, maka prinsip kerja dari Granger
Causality Test pada data panel didasarkan pada regresi model pooled sebagaimana diuraikan sebagai berikut: …(3.19) …(3.20)
53
Pada persamaan regresi model pooled pertama (3.19), X memengaruhi Y atau hubungan kausalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien
tidak sama dengan nol
(0). Hal yang sama juga untuk persamaan regresi model pooled kedua (3.20), Y memengaruhi X atau terdapat hubungan kausalitas satu arah dari Y ke X jika koefisien
tidak sama dengan nol (0). Sementara apabila keduanya terjadi maka
dapat dikatakan terdapat hubungan timbal balik (feedback relationship) antara X dan Y atau terdapat hubungan kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X dan Y. Dalam penelitian ini, Granger Causality Test dilakukan untuk menganalisis hubungan pertumbuhan ekonomi dengan variabel-variabel lain pada penelitian. Dengan menggunakan software eviews 6, hipotesis nol yang digunakan untuk hubungan dua variabel adalah X tidak memengaruhi Y dan Y tidak memengaruhi X. Dasar penolakan hipotesis nol dengan menggunakan kriteria probabilitas < 0.1 atau 10 persen.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum yang disajikan secara sistematis mengenai fakta-fakta dan hubungan antar fenomena atau variabel yang akan diamati. Analisis kuantitatif bertujuan untuk memperlihatkan hasil estimasi mengenai dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Selain membahas mengenai analisis deskriptif dan hasil estimasi, pada bab ini juga akan dijelaskan mengenai pengujian Granger Causality untuk mengetahui hubungan antar variabel. 4.1.
Kondisi Umum Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan ASEAN+6 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan tujuan dari
setiap negara. Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi berarti tersedianya lapangan kerja yang lebih luas dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan kemakmuran yang lebih baik bagi negara tersebut. Berdasarkan data pertumbuhan GDP dalam rentang waktu 2000-2010 (Gambar. 4.1.) menunjukkan bahwa kesebelas negara tersebut mengalami pertumbuhan GDP yang cukup bervariasi. Rata-rata tingkat pertumbuhan GDP tertinggi adalah China, namun pada tahun 2010, Singapura memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi untuk kawasan ini.
55
Sumber : World Development Indicator, 2011.(diolah) Gambar 4.1. Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-negara ASEAN+6
Secara umum tingkat pertumbuhan GDP sampai dengan tahun 2007 di kawasan ASEAN+6 mencapai level tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan China mencapai 14% jauh diatas rata-rata pertumbuhan GDP negara lainnya. Persentase GDP ini terus mengalami penurunan sejak tahun 2008 hingga mencapai titik terendah pada tahun 2009. Krisis keuangan global yang bermula dari bencana subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008 telah menekan pertumbuhan ekonomi global dari 5,2 persen pada tahun 2007 menjadi 3,0 persen pada tahun 2008, dan menyusut sebesar 0,6 persen pada tahun 2009. Hal serupa terjadi juga di kawasan ASEAN+6, pada tahun 2009 sebelas negara di kawasan ASEAN+6 mencapai tingkat terendah pertumbuhan GDP. Jepang merupakan negara yang paling dirugikan akibat krisis keuangan global 2008, dimana pada tahun 2009 pertumbuhan GDP negara Jepang mencapai -6,3% diikuti oleh Thailand mencapai -2,3%, Malaysia -1,6%, dan
56
Singapura -0,77%. Pada tahun 2010 pertumbuhan GDP semua negara di kawasan ASEAN+6 mengalami peningkatan yang sangat signifikan, dimana Singapura memiliki pertumbuhan GDP terbesar mencapai 14,5%, diikuti oleh China, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Hal ini cukup membuktikan bahwa perekonomian di kawasan ASEAN+6 mampu bertahan bahkan bisa keluar dari efek krisis keuangan global.
4.2.
Peranan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Salah satu komponen dalam permintaan agregat (Aggregate Demand-AD)
adalah pengeluaran pemerintah. Secara teori dinyatakan bahwa jika pengeluaran pemerintah meningkat maka AD akan meningkat. Peningkatan AD berarti terjadi pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi diukur dari Produk Domestik Bruto (GDP) maka peningkatan GDP berarti peningkatan pendapatan. Pada Gambar 4.2 menampilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pengeluaran pemerintah di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2010. Peranan terbesar pengeluaran pemerintah terhadap GDP terjadi di Jepang dengan rata-rata mencapai 18,25%, diikuti oleh New Zealand dan Australia. Namun walaupun ketiga negara tersebut memiliki tingkat pengeluaran pemerintah tertinggi dibandingkan negara-negara lainnya, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya terendah dibandingkan yang lainnya. Tampak pada gambar kelompok negara maju yang dilingkari dengan garis berwarna merah. Di Jepang, kebijakan fiskal mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan perekonomian.
57
Hal ini sesuai dengan model yang dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomiyang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Jepang merupakan negara maju dimana pengeluaran pemerintahnya tidak lagi untuk biaya investasi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya (Rostow dalam Mangkoesoebroto).
Sumber : World Development Indicator 2011, (diolah). Gambar 4.2. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Pengeluaran Pemerintah di Kawasan ASEAN+6 Kelompok negara berkembang dengan lingkaran berwarna biru. China merupakan satu-satunya negara dimana tingkat pengeluaran pemerintah hampir sebanding dengan tingkat pertumbuhan ekonominya seperti tampak pada gambar 4.2.
58
diatas jika ditarik titik koordinatnya yaitu (10,14) diikuti India (7,11). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhang dan Zou (2001) bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah
di China dan India berperan secara signifikan dalam
pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Peranan pengeluaran pemerintah terhadap GDP di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara yang lainnya di kawasan ASEAN+6. Kontribusi pengeluaran konsumsi pemerintah merupakan komponen yang diatur khusus dengan sistem sehingga besarnya relatif stabil, dengan fluktuasi sesuai dengan kondisi perekonomian dan sosial budaya serta politik yang sedang terjadi (Junaidi, 2010).
4.3.
Peranan Jumlah Uang Beredar (M2) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Para ahli ekonomi masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hubungan
antara jumlah uang beredar dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar para ahli ekonomi setuju bahwa jumlah uang beredar adalah netral dalam jangka panjang dengan berpengaruh pada pendapatan, tetapi sebagian ahli ekonomi lain menolak pernyataan tersebut, dan pengaruh dari jumlah uang beredar dengan pertumbuhan ekonomi masih dalam perbincangan. Walaupun masih terdapatnya perbedaan pendapat para ahli ekonomi tentang pengaruh uang terhadap pertumbuhan ekonomi, namun disini akan mencoba mengeksplorasi data mengenai peranan jumlah uang beredar (M2) terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6 selam periode tahun 2000-2010.
59
Sumber : World Development Indicator 2011, (diolah). Gambar 4.3. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Jumlah Uang Beredar (M2) di Kawasan ASEAN+6
Pada gambar. 4.3. diatas terlihat bahwa Jepang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jumlah uang beredar terendah dibandingkan negara lainnya. China merupakan satu-satunya negara dimana tingkat jumlah uang beredar yang tinggi diikuti juga oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan M2 di China merupakan ukuran luas jumlah uang beredar yang meliputi sirkulasi uang tunai dan semua deposito, meningkat 13,2 persen dari tahun ke tahun. Hal ini memperlihatkan kebijakan China bahwa jumlah uang beredar harus sesuai dengan perekonomian. Sedangkan negara lainnya hampir memiliki karakter yang sama dimana jika dilihat dari plot data tesebar di wilayah yang sama.
60
Peningkatan dan pertumbuhan jumlah uang beredar di China salah satunya diakibatkan oleh kebijakan China yang melakukan pengurangan persyaratan cadangan. Bank sentral China telah memotong jumlah uang bank yang harus dipertahankan dalam cadangan, dalam upaya untuk meningkatkan kredit dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Ini juga meningkatkan harapan bahwa China akan berubah sikap ke arah kebijakan pelonggaran moneter. Peningkatan jumlah uang beredar akan cenderung meningkatkan inflasi tetapi kebijakan moneter rezim China masih belum menyebabkan inflasi yang jelas karena sebagian sebagian besar uang itu masuk ke pasar saham dan real estat. Hal ini sebagian besar menjelaskan pertumbuhan pasar saham dan real estat China terutama di tengahtengah krisi global dari tahun 2008 sampai sekarang. Peran institusional dalam kebijakan moneter (uang dan bank) yang memang pada dasarnya tanggung jawab terbesar itu dipikul oleh bank sentral (otoritas moneter tertinggi) yang melakukan pengelolaan dan pengaturan jumlah uang beredar, dapat dikatakan bahwa hal tersebut tidaklah mudah untuk dilaukan secara sinergis. Apalagi kalau dikaitkan dengan analisis pola perilaku money demand dalam perekonomian uatu negara yang sangat volatile. Apabila laju pertumbuhan jumlah uang beredar mangalami peningkatan pesat (pasar uang), maka Value of Money akan turun dan diikuti oleh kenaikan tingkat harga secara umum dari goods dan services di pasar barang, yang dikenal dengan inflasi. Sedangkan apabila laju pertumbuhan jumlah uang yang diminta oleh masyarakat (money demand) meningkat lebih besar daripada Money supply atau terjadinya excess demand for money, maka pertumbuhan ekonomi akan melambat. Maka dari itu, pengaturan jumlah uang beradar dengan merespon
61
Money Demand masyarakat merupakan hal yang strategis supaya perputaran uang sesuai dengan kapasitas ekonomi dari negara tersebut.
4.4.
Peranan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Peranan perdagangan luar negeri dalam pembangunan ekonomi cukup
menonjol. Para ahli ekonomi klasik dan neo-klasik mengungkapan betapa pentingnya perdagangan internasional dalam pembangunan suatu negara, yang disebut sebagai mesin pertumbuhan. Perdagangan luar negeri (ekspor-impor) mempunyai arti yang sangat penting bagi negara. Bilamana suatu negara mengkhususkan diri pada produksi beberapa barang tertentu sebagai akibat perdagangan luar negeri dan pembagian kerja, negara tersebut dapat mengekspor komoditi yang diproduksi lebih murah untuk dipertukarkan dengan apa yang dihasilkan negara lain dengan biaya yang lebih rendah. Dari perdagangan luar negeri ini, maka negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional meningkat, yang pada giliarannya akan meningkatkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Ekspor dan impor merupakan kegiatan perdagangan luar negeri yang memiliki peranan yang besar dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kecenderungan terhadap membaiknya perekonomian dunia akan berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara terutama aktivitas perdagangan luar negeri, artinya bahwa salah satu faktor yang memengaruhi kegiatn ekspor dan impor adalah kondisi perekonomian dunia. Jika kondisi perekonomian dunia membaik maka akan berdampak positif terhadap aktivitas atau kegiatan perdagangan dunia. Perkembangan
62
perdagangan luar negeri (kegiatan ekspor dan impor) ASEAN+6 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, seiring dengan semakin berkurangnya hambatanhambatan perdagangan. Berikut ini disajikan tabel kegiatan perdagangan luar negeri (ekspor impor) di kawasan ASEAN+6 selama periode tahun 2000-2010 berdasarkan harga konstan. Tabel 4.1. Total Perdagangan, Ekspor, Impor dan Ekspor Neto Negara-negara ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstan. Total Perdagangan (Miliar US$) 2000 2010
Negara
Ekspor (Miliar US$) 2000
2010
Impor (Miliar US$) 2000
2010
Ekspor Neto (Miliar US$) 2000
2010
Indonesia
117.89
225.89
67.62
127.22
50.26
98.67
17.36
28.55
Malaysia
206.72
309.83
112.37
161.84
94.35
148
18.02
13.84
Singapura
356.84
754.09
184.58
404.65
172.26
349.45
12.32
55.2
Philipina
84.86
130.58
41.62
65.31
43.24
65.27
-1.62
0.04
Thailand
153.31
248.57
81.95
133.44
71.36
115.13
10.59
18.31
China
530.25
2551.36
279.56
1467
250.69
1084.36
28.87
382.64
Korea Selatan
396.15
884.28
205.7
497.73
190.46
386.55
15.24
111.18
Jepang
957.6
1308.38
512.74
777.63
444.86
530.75
67.88
246.88
India
126.01
451.13
60.88
216.56
65.13
234.57
-4.25
-18.01
Australia
169.45
303.63
80.66
104.77
88.8
198.87
-8.14
-94.1
New Zealand
35.29
49.69
18.07
23.46
17.21
26.23
0.86
-2.77
ASEAN+6 3134.37 7217.43 1645.75 3979.61 1488.62 3237.85 157.13 741.76 Sumber : World Development Indicators, 2011 (diolah) ASEAN+6 mencatat kinerja perdagangan yang cukup bagus dengan nilai total perdagangan pada tahun 2000 mencapai US$ 3134.37 milyar dan pada tahun 2010 meningkat lebih dari dua kali lipat hingga mencapai nilai US$ 7217.43 milyar. Nilai ekspor ASEAN+6 pada tahun 2000 bernilai US$ 1645.75 milyar sedangkan impor pada tahun yang sama bernilai US$ 1488.62 milyar. Dan pada tahun 2010 ekspor
63
bernilai US$ 3979.61 milyar sedangkan impor pada tahun yang sama bernilai US$ 3237.85 milyar atau mengalami peningkatan total perdagangan sebesar 230.26 persen dabandingkan tahun 2000. Perkembangan tersebut menunjukkan pula kinerja perdagangan semakin membaik, yaitu terlihat dari nilai ekspor yang semakin dominan dibandingkan dengan nilai impornya. Peningkatan nilai ekspor dan surplus perdagangan di kawasan ini lebih didominasi oleh China, Jepang dan Korea Selatan. Tabel 4.1. memperlihatkan bahwa pada tahun 2000 Jepang memiliki nilai total perdagangan terbesar dibandingkan negara-negara lainnya di kawasan ASEAN+6. Total perdagangan mencapai nilai 957.6 miliar US$ dengan nilai ekspor sebesar 512.74 dan nilai impor sebesar 444.86 miliar US$. Namun, pada tahun 2010 kepemimpinan perdagangan luar negeri di kawasan ASEAN+6 beralih ke China diamana total perdagangan Jepang berada di bawah total perdagangan China. Nilai total perdagangan China yang mencapai nilai 2551.36 miliar US$ yang meningkat lebih dari 400 persen dari total perdagangannya pada tahun 2000. Hal ini membuktikan bahwa industrialisasi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan China telah membawa negara terbesar kedua di dunia itu menjadi eksportir terbesar pada tahun 2010 di kawasan ASEAN+6. Capaian pertumbuhan ekonomi dan kinerja perdagangan yang bervariasi antar negara di kawasan ASEAN+6 terkait erat dengan kesiapan dan kekuatan masingmasing negara dalam menghadapi persaingan di tingkat global. Kondisi tersebut juga mencerminkan daya saing ekonomi masing-masing negara di kancah internasional. Perkembangan pangsa perdagangan terhadap GDP di kawasan ASEAN+6 selama periode penelitian (2000-2010) mengalami kenaikan sebesar 17.62 persen.
64
Perkembangan ini menunjukkan semakin lancarnya arus barang dan jasa antarnegara seiring
dengan
semakin
berkuranynya
hambatan-hamabtan
dalam
kegiatan
perdagangan, baik berupa tarif maupun non-tarif. Tabel 4.2. Keterbukaan Perdagangan, GDP dan Total Perdagangan Negaranegara ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstant. Keterbukaan Total GDP Perdagangan (Milliar US$) Negara (% GDP) 2000 2010 2000 2010 Indonesia 71.44 82.33 165.02 274.37 Malaysia 220.41 210.41 93.79 147.25 Singapura 372.01 456.517 95.92 165.18 Philipina 104.73 101.21 81.03 129.02 Thailand 124.92 132.57 122.73 187.5 China 44.24 78.6 1198.47 3246.01 Korea Selatan 74.27 110.51 533.38 800.21 Jepang 20.52 26.12 4667.45 5010.03 India 27.38 46.83 460.18 963.4 Australia 40.64 53.74 416.92 565.04 New Zealand 68.38 76.08 51.6 65.31 ASEAN+6 1168.94 1374.92 7886.49 11553.32 Sumber : World Development Indicators, 2011 (diolah)
Total Perdagangan (Miliar US$) 2000 2010 117.89 225.89 206.72 309.83 356.84 754.09 84.86 130.58 153.31 248.57 530.25 2551.36 396.15 884.28 957.6 1308.38 126.01 451.13 169.45 303.63 35.29 49.69 3134.37 7217.43
Singapura memiliki tingkat keterbukaan perdagangan paling tinggi di kawasan ini dengan pangsa perdagangan terhadap GDP sebesar 372.01 persen pada tahun 2000 diikuti oleh Malaysia, Thailand dan Philipina. Nilai pangsa perdagangan terhadap GDP dari keempat negara tersebut memperlihatkan bahwa nilai total perdagangannya melebihi nilai GDP masing-masing negara tersebut.
Singapura
masih memegang kepemimpinannya pada tahun 2010 yakni tercermin dari pangsa perdagangannya yang mencapai 394.07 persen terhadap GDP-nya, diikuti oleh
65
Malaysia (176.78%) ,Thailand (135.13%), Korea Selatan (110.51%) dan Philipina (101.21%).
4.5.
Hasil Estimasi Penelitian Estimasi dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan
ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6 , dua dari tiga variabel diolah dalam bentuk logaritma natural (ln), sementara satu variabel lainnya sudah dalam bentuk persentase. Tujuan dilakukannya hal tersebut adalah untuk memperoleh data yang stasioner. Konsekuensi dari pemberlakuan bentuk tersebut adalah nilai interpretasi dari hasil pengolahan menjadi nilai elastisitas. Adapun nilai elastisitas dari setiap koefisien variabel eksogen akan dinyatakan dalam bentuk persentase. Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hasil regresi, berikut adalah analisis deskriptif yang akan memberikan gambaran umum dari kondisi ekonomi di negara maju dan negara berkembang. Pembahasan hasil estimasi pada penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan menganalisis Granger Causality Test pada variabel-variabel penelitian. Bagian kedua akan membahas dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negaranegara ASEAN+6. Bagian ketiga membahas perbandingan dampak masing-masing variabel penelitian di berbagai kelompok negara di ASEAN+6. Penelitian ini dibagi ke dalam tiga kelompok negara yaitu seluruh negara di kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negaranegara maju di kawasan ASEAN+6. Pemisahan kelompok negara ini dimaksudkan
66
untuk penelususran lebih lanjut dampak dari setiap variabel pada masing-masing kelompok negara terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6. Dari sebelas negara yang dianalisis dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan tingkat pendapatan per kapita masing-masing negara pada tahun 2008. Kelompok negaranegara berkembang yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 20000 yakni meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, China dan India. Kelompok negara-negara maju dengan GDP per kapita ≥ US$ 20000 yakni Singapura, Jepang, Korea Selatan, Australia dan New Zealand. GDP per kapita yang digunakan merupakan nilai riil pada tahun 2008 dan sudah disesuaikan dengan pariitas daya beli internasional (Purchasing Power Parity, PPP) dengan tahun dasar 2005 sehingga bisa dikomparasikan antarnegara (World Bank, 2010).
4.5.1
Hasil Estimasi Granger Causality Test pada Data Panel Konsep dasar uji kausalitas Granger yaitu menguji hubungan diantara dua
variabel tanpa melakukan pendugaan terhadap model. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara dua variabel yang diuji. Pengujian ini dilakukan terhadap beberapa variabel yang terkait dengan model umum pada penelitian ini. Selain itu, pengujian juga akan memberikan informasi bagaimana hubungan kausalitas diantara variabel penelitian memiliki hubungan kausalitas satu arah atau dua arah. Dengan panjang lag optimal p, maka prinsip kerja dari Granger Causality Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana diuraikan pada persamaan (3.19) dan persamaan (3.20). Pengujian Granger Causality penelitian
67
ini dibagi menjadi tiga kawasan yang terdiri dari negara-negara ASEAN+6( Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan New Zealand), negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, China, dan India), dan negaranegara maju di kawasan ASEAN+6 (Singapura, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan New Zealand). Pembagian kawasan tersebut bertujuan untuk mengetahui hubungan output riil (Y) dengan variabel-variabel penelitian di masing-masing kawasan. Variabel-variabel yang diuji yaitu, pengeluaran pemerintah (GEXP), jumlah uang beredar (M2), dan keterbukaan perdagangan (OPNESS). Hasil Granger Causality Test yang diterapkan terhadap data panel dilihat pada Tabel 4.1.di bawah ini: Tabel 4.3. Hasil Granger Causality Test Negara ASEAN+6
Berkembang ASEAN+6
Hipotesis Nol
ASEAN+6
4
6
2
4
6
2
4
6
lag
lag
lag
lag
lag
lag
lag
lag
lag
lnY
√
-
-
√
-
-
-
√
√
lnGEXP
√
√
√
-
-
-
√
√
-
lnY
√
-
-
√
-
-
√
√
-
lnM2
√
√
√
√
√
-
-
-
-
lnY
-
√
√
-
-
-
-
√
√
OPNESS
-
√
√
-
-
-
√
√
√
lnY lnM2
OPNESS lnY
Negara Maju di
2
lnGEXP
lnY
di
keterangan : Periode sample 2000-2010; lnY = Gross Domestik Product (GDP) Riil, lnGEXP = General Government Final Consumption Expenditure; lnM2 = jumlah uang beredar; OPNESS = keterbukaan perdagangan (% of GDP), = tidak memengaruhi.
68
Tanda “√” menandakan bahwa hipotesis nol ditolak, dengan menggunakan kriteria probabilitas < tingkat kritis α = 10 persen (hasil Granger Causality Test untuk data kawasan ASEAN+6 dan masing-masing kelompok negara dapat dilihat pada lampiran 1). Hipotesis nol untuk baris pertama dan kedua adalah lnGEXP tidak memengaruhi lnY dan lnY tidak memengaruhi lnGEXP. Hasil estimasi diatas terlihat bahwa secara umum untuk kasus kawasan ASEAN+6, negara-negara berkembang, dan negara-negara maju di kawasan ASEAN+6 hanya terdapat hubungan kausalitas satu arah di dalam hubungan variabel lnGEXP dan lnY. Hubungan kausalitas dua arah ditunjukkan pada lag 2 untuk kawasan ASEAN+6 dan negara-negra berkembang serta untuk negara-negara maju pada lag 4. Dimana lnY secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan lnGEXP dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah begitupun sebaliknya. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen pengeluaran nasional yang terhitung dalam tingkat pendapatan. Perubahan pada tingkat pendapatan akan memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Pada baris ketiga dan keempat, Tabel 4.1. Menunjukkan pada kasus seluruh negara ASEAN+6, dan negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 secara umum tidak memiliki hubungan kausalitas dua arah didalam hubungan variabel lnM2 dan lnY. Hubungan dua arah hanya terjadi pada lag 2 dimana jumlah uang beredar (M2) secara signifikan memengaruhi pertumbuhan GDP riil, dan sebaliknya. Sedangkan untuk kasus negara-negara maju di kawasan ASEAN+6 hanya memiliki pengaruh satu arah antara variabel lnM2 dengan lnY. Hal ini menunjukkan
69
pertumbuhan jumlah uang beredar secara signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hipotesis nol untuk dua baris terakhir adalah OPNESS tidak memengaruhi lnY dan lnY tidak memengaruhi OPNESS. Secara umum untuk kasus seluruh negara dan negara-negara maju di kawasan ASEAN+6, memiliki hubungan kausalitas dua arah di dalam hubungan variabel OPNESS dan lnY, dimana keterbukaan perdagangan secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan GDP riil, lnY dan hal ini berlaku sebaliknya. Sedangkan untuk kasus negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 tidak memiliki hubungan kausalitas satu arah maupun dua arah, dimana pergerakan OPNESS tidak memengaruhi pergerakan lnY, hal ini sebaliknya. Keterbukaan perdagangan merupakan cerminan dari struktur kebijakan perdagangan yaitu perdagangan internasional pada suatu negara. Volume dari perdagangan internasional diakui mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui neraca perdagangan. 4.5.2
Hasil Estimasi dengan Pendekatan Panel Dinamis Model yang dibangun dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Adapun model dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga model yang berbeda dengan menggunakan tiga kelompok negara yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk mengkomparasi dampak kebijakan manakah yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh kawasan ASEAN+6, kelompok negara berkembang dan negara maju di kawasan ASEAN+6.
70
Tabel 4.4., 4.5., dan 4.6. menyajikan hasil estimasi dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan ekonomi untuk tiga kelompok negara yang berbeda di kawasan ASEAN+6. Setiap model diestimasi dengan menggunakan FirstDifferences Generalized Method of Moments (FD- GMM) dalam estimasi noconstant.
Tabel 4.4. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Seluruh Negara Kawasan ASEAN+6 (Model 1) dengan FirstDifferences GMM
lnY
Estimated Coefficients
Standard Error
P>|z|
Lag lnY
0.600436
0.0755256
0.000
lnGEXP
0.2087668
0.0492418
0.000
lnM2
0.1564963
0.0461949
0.001
OPNESS
0.0008925
0.0002529
0.000
1.034321
0.021442
0.000
0.7331012
0.0782741
0.000
Pooled Least Square Lag lnY
Fixed Effect Lag lnY AB Test Arrelano-Bond m1 Arrelano-Bond m2
Sargan Test
z - 4.0346 -1.3358
chi2 (77) 95.28581
Prob > z 0.0001 0.1816
Prob > chi2 0.0773
71
Tabel 4.5. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Berkembang di Kawasan ASEAN+6 (Model 2) dengan First-Differences GMM
lnY
Estimated Coefficients
Standard Error
P>|z|
Lag lnY
0.5099078
0.0931136
0.000
lnGEXP
0.344129
0.0617738
0.000
lnM2
0.1446506
0.0497761
0.004
OPNESS
0.001415
0.0003698
0.000
0.8611424
0.0285643
0.000
0.6198262
0.100569
0.000
Pooled Least Square Lag lnY
Fixed Effect Lag lnY
AB Test Arrelano-Bond m1 Arrelano-Bond m2
Sargan Test
z - 2.954 -2.2472
chi2 (47) 57.08895
Prob > z 0.0031 0.0246
Prob > chi2 0.1487
72
Tabel 4.6. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Maju di Kawasan ASEAN+6 (Model 3) dengan First-Differences GMM
lnY
Estimated Coefficients
Standard Error
P>|z|
Lag lnY
0.5726663
0.1426933
0.000
lnGEXP
-0.0596399
0.1068164
0.577
lnM2
0.2851412
0.1142142
0.013
OPNESS
0.0007038
0.00003643
0.053
1.056541
0.0707485
0.000
0.5639035
0.1380736
0.000
Pooled Least Square Lag lnY Fixed Effect Lag lnY
AB Test
z
Prob > z
Arrelano-Bond m1
- 2.5285
Arrelano-Bond m2
-.89832
0.3690
chi2 (34)
Prob > chi2
Sargan Test
42.90296
0.0115
0.1408
Secara umum metode estimasi dalam model data panel dinamis menunjukkan hasil estimasi yang cukup baik, hal ini terlihat dari tingkat signifikansi dan tanda koefisien estimasi pada setiap model yang dibangun hampir seluruhnya sesuai dengan harapan teoritis. Selain dari tanda koefisien estimasi sesuai dengan harapan, metode
73
panel dinamis dengan pendekatan GMM yang digunakan secara umum telah memenuhi kiteria model terbaik secara statistik. Kriteria model panel dinamis dengan pendekatan GMM terbaik adalah konsistensi, validitas instrumen, dan tidak bias. Namun pada model 1 dan model 2, tidak terpenuhinya kriteria tidak bias. Sehingga dapat dikatakan model 1 dan model 2 masih mengandung bias. Penduga FD/ABGMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal tesebut dapat terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrument yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998). Verbeek (2005) menyatakan bahwa penduga yang bias dapat terjadi jika instrumen hanya memperlihatkan hubungan atau korelasi yang lemah dengan regresi endogen. Dari keseluruhan model 1, 2, dan 3, terlihat bahwa kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh negara, kelompok negara-negara berkembang, dan kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Kebijakan fiskal bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi hanya untuk seluruh negara dan kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6. Pada model 1 yaitu untuk seluruh negara di kawasan ASEAN+6, dengan menggunakan Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB/FD-GMM) dalam estimasi noconstant dengan variabel predetermined keterbukaan ekonomi (OPNESS). Jika dilihat dari konsistensi estimasi yang ditunjukkan oleh hasil Arellano-Bond (AB) dengan nilai statistik m1 (-4.0346) dengan nilai probabilitas 0.0001 menunjukkan signifikansi pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen.
74
Sedangkan nilai statistik m2 (-1.3358) dengan nilai probabilitas 0.1816 menunjukkan nilai yang tidak signifikan pada tarf nyata 1 persen, 5 persen maupun 10 persen, maka berdasarkan uji ini penduga dikatakan konsisten. Kriteria kesempurnaan model dinamis ini juga dilihat dari estimasi sargan dengan nilai statistik sebesar 95.28581 dan probabilitas 0.0773 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identifying resrictions sehingga bisa dikatakan tidak ada masalah dengan validitas instrumen. Model dinamis yang dibangun ini terakhir disempurnakan oleh hasil estimasi yang tidak bias. Namun pada model 1 ini asumsi tidak bias tidak terpenuhi karena nilai estimasi koefisien variabel lag lnY (0.600436) berada dibawah nilai estimasi Pooled Least Square (PLS) (1.034321) maupun fixed effect (0.7331012). Sehingga model 1 ini masih mengandung bias, tetapi model ini merupakan model terbaik yang dipilih setelah melalui beberapa rekayasa statistika. Pada model 2 untuk negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 dengan menggunakan estimasi Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB/FD-GMM) dalam estimasi noconstant dengan variabel predetermined pengeluaran pemerintah (lnGEXP). Jika dilihat dari konsistensi estimasi yang ditunjukkan oleh hasil Arellano-Bond (AB) dengan nilai statistik m1 (- 2.954) yang signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen dan nilai statistik m2 (- 2.2472) yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, maka penduga dikatakan konsisten. Selain itu validitas instrument model dinamis dari dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari estimasi Sargan Test dengan nilai statistik sebesar
75
57.08895 dan nilai probabilitas sebesar 0.1487 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen maupun 10 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identifying restrictions mendeteksi tidak ada masalah dengan validitas instrument. Kesempurnaan hasil estimasi dari panel dinamis juga harus bersifat tidak bias (unbiased), dimana hal tersebut dapat terlihat dari koefisien lag dependen hasil estimasi GMM berada di atas hasil estimasi Fixed effect dan di bawah hasil estimasi Pooled Least Square. Namun pada penelitian ini asumsi tersebut tidak terpenuhi, dimana nilai estimasi dari koefisien lag lnY (0.5099078) berada di bawah koefisien estimasi fixed effect (0.6198262) maupun PLS (0.8611424), sehingga dapat dikatakan estimasi model dinamis ini adalah bias (biased). Pada model ketiga untuk kasus kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Uji spesifikasi dalam pemodelan ini menggunakan Arrellano-Bond (ABGMM/FD-GMM) noconstant. Konsistensi estimasi ditunjukkan oleh hasil uji Arellano-Bond nilai statistik m1 (-2.5285) dengan nilai probabilitas 0.0115 yang siginifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen dan nilai statistik m2 (-0.89832) dengan nilai probabilitas 0.3690 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen maupun 10 persen, maka berdasarkan uji Arrellano-Bond, model ini dikatakan sudah konsisten. Kriteria lainnya yakni uji Sargan menunjukkan nilai statistik sebesar 42.90296 dan probabilitas sebesar 0.1408 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, dan 10 persen yang menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identyfing restrictions sehingga instrumen valid. Hasil estimasi yang tidak bias ditunjukkan oleh model ini dimana nilai estimasi koefisien
76
lag lnY (0.5726663) yang berada diatas estimasi fixed effect (0.5639035) dan dibawah estimasi PLS (1.056541). Estimasi yang diperlihatkan dalam Tabel 4.4., Tabel 4.5. dan Tabel 4.6. telah memberikan informasi tentang dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan baik untuk seluruh negara, kelompok negara-negara berkembang maupun kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Pembahasan selanjutnya akan secara fokus membahas variabel-variabel yang signifikan
memengaruhi
pertumbuhan
ekonomi,
serta
bagaiman
regresor
memengaruhi variabel dependen sesuai hasil estimasi pada Tabel 4.4., Tabel 4.5. dan Tabel 4.6.. Variabel-variabel tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
4.5.2.1. Variabel Lag Dependent (Pertumbuhan Ekonomi) Berdasarkan hasil dari estimasi yang diperlihatkan Tabel 4.4., Tabel 4.5. dan Tabel 4.6.. Koefisien dari lag dependent (pertumbuhan ekonomi) bertanda positif dan signifikan pada taraf nyata 1 persen, yaitu sebesar 0.600436 pada model satu, 0.5099078 pada model dua, dan 0.5726663 pada model tiga. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi (GDP riil) pada periode/tahun sebelumnya sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh peningkatan GDP riil sebesar 0.6000436 persen untuk model satu, 0.5099 persen untuk model dua dan 0.5726663 untuk model tiga, begitu juga sebaliknya. Hubungan yang positif ini menandakan pertumbuhan ekonomi (GDP riil) untuk periode selanjutnya berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi (GDP riil) pada
77
periode sebelumnya. Dengan mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode sebelumnya, setiap negara dapat mengambil kebijakan makroekonomi yang tepat agar bisa mengarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan terutama bagi negara-negara yang masih berkembang dimana tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan indikator utama yang dijadikan tolak ukur dari keberhasilan kebijakan-kebijakan makroekonomi. Semua negara yang berada dalam seluruh kawasan ASEAN+6 ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan , sehingga kebijakan mengenai tujuan pertumbuhan ekonomi di setiap negara akan disesuaikan dengan kondisi perekonomian masing-masing negara.
4.5.2.2. Variabel Pengeluaran Pemerintah Pendekatan model IS-LM menjelaskan baahwa pengeluaran pemerintah bersama-sama dengan pengeluaran konsumsi dan investasi membentuk pengeluaran yang direncanakan (Mankiw, 2002). Peningkatan pengeluaran pemerintah merupakan salah satu kebijakan fiskal ekspansif atau demand shocks. Peningkatan AD akan menggeser keseimbangan di pasar barang sehingga pengeluaran agregat akan naik sebagai konsekuensinya output akan meningkat atau terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi (GDP riil). Hasil estimasi pada kasus seluruh negara di kawasan ASEAN+6 (Model 1) dan kasus kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 (Model 2) menunjukkan bahwa variabel pengeluaran pemerintah signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi . Koefisien variabel pengeluaran pemerintah (lnGEXP)
78
bertanda positif dan signifikan pada taraf nyata 1 persen, yaitu sebesar 0.2087668 pada model satu, 0.344129 pada model dua. Nilai koefisien tersebut dapat diintepretasikan bahwa apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen, cateris paribus, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (GDP Riil) sebesar 0.2087668 persen pada model satu dan 0.344129 pada model dua, begitu juga sebaliknya. Secara umum di negara-negara berkembang, peranan pemerintah dalam perekonomian
relatif
besar dimana pengeluaran pemerintah praktis
dapat
mempengaruhi aktivitas ekonomi. Pada umumnya, bukan saja karena pengeluaran ini dapat menciptakan berbagai prasarana yang dibutuhkan dalam proses pembangunan, tetapi juga merupakan salah satu komponen dari permintaan agregar yang kenaikannya akan mendorong produksi domestik.
4.5.2.3.Variabel Jumlah Uang Beredar Teori preferensi likuiditas menunjukkan bahwa untuk setiap tingkat pendapatan, kenaikan keseimbangan uang riil menyebabkan turunnya tingkat bunga. Karena itu, keseimbangan di pasar uang akan turun. Sehingga dengan adanya kenaikan jumlah uang beredar akan menurunkan tingkat bunga dan dan menaikkan tingkat pendapatan (GDP). Tingkat bunga yang lebih rendah, akan memiliki dampak ke pasar barang. Dimana hal ini akan mendorong investasi yang direncanakan, produksi akan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan (Y). Tetapi dalam hal ini bagaiman ekspansi moneter mendorong pengeluaran yang lebih
79
besar atas barang dan jasa, diperlukan sebuah proses yang disebut dengan mekanisme transmisi moneter. Hasil estimasi pada setiap model, menunjukkan variabel jumlah uang beredar (M2) mempunyai pengaruh siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan level signifikansi 1 persen pada model satu dan model dua serta 5 persen pada model tiga. Koefisien estimasi variabel lnM2 sebesar 0.1564963 untuk model satu, 0.1446506 untuk model dua dan 0.2851412 untuk model tiga. Nilai koefisien ini dapat diartikan, jika jumlah uang beredar (M2) meningkat sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1564963 persen untuk seluruh negara di kawasan ASEAN+6 (Model 1), 0.1446506 persen untuk kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 dan sebesar 0.2851412 persen untuk kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Adanya peningkatan jumlah uang beredar hal ini menandakan adanya kebijakan moneter yang ekspansif. Peningkatan jumlah uang beredar, berarti akan menurunkan tingkat suku bunga. Kenaikan pada M2 mrnyebabkan keseimbangan uang riil naik , karena tingkat harga P adalah tetap dalam jangka pendek. Analisis dengan menggunakan pendekatan daur hidup usaha maka negara berkembang masuk dalam kategori bertumbuh (growth) dibanding negara maju yang masuk dalam kategori matang (mature). Artinya bahwa terdapat daya tarik dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang tentu saja disertai oleh return yang tinggi pula, karena pertumbuhan ekonomi merupakan indikator agregat dari industri di suatu negara. Berdasarkan pendekatan Likuiditas (liquidity approach), jumlah uang beredar
80
didefinisikan sebagai jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi. Hal ini dilandasi pertimbangan bahwa sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial yang kurang likuid dibandingkan uang kertas, uang logam, dan uang rekening giro, tetapi sangat mudah diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk keperluan transaksi.
Meningkatnya
M2
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
mengindikasikan bahwa perekonomian masyarakat menjadi meningkat. Sebab peningkatan deposito barjangka mengandung pengertian bahwa tingkat penghasilan masyarakat sudah lebih besar dari tingkat konsumsi. Keputusan seseorang menyimpan dananya di Bank dalam bentuk deposito merupakan keputusan investasi yang didorong oleh tingkat bunga yang diberikan.
4.5.2.4.Variabel Keterbukaan Perdagangan Keterbukaan perdagangan dapat diartikan sebagai volume perdagangan internasional. Estimasi yang dihasilkan pada penelitian sejalan dengan konsep teori. Volume perdagangan yang meningkat berarti terdapat penambahan dalam jumlah ekspor dan impor. Hasil
estimasi
pada
setiap model
menyatakan bahwa keterbukaan
perdagangan (trade openness) berpengaruh signifikan pada level 1 persen untuk model satu dan model dua sedangkan level signifikansi model tiga sebesar 10 persen. Hubungan positif ini menandakan bahwa semakin meningkatnya keterbukaan perdagangan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik di seluruh negara, kelompok negara-negara berkembang maupun kelompok negara-negara maju di
81
kawasan ASEAN+6. Pernyataan tersebut berdasarkan nilai estimasi koefisien keterbukaan perdagangan sebesar 0.0008925 untuk model satu, 0.001415 untuk model dua dan 0.0003643 untuk model tiga. Hal tersebut dapat diinterpretasikan jika terjadi kenaikan keterbukaan perdagangan sebesar 1 persen, cateris paribus, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh negara kawasan ASEAN+6 (Model 1) sebesar 0.0008925 persen, 0.001415 persen di negara-negara berkembang kawasan ASEAN+6 (Model 2) dan 0.0003643 persen di negara-negara maju kawasan ASEAN+6 (Model 3). Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti Wacziarg dan Welch (2003), Sohn dan Lee (2006), Chen dan Gupta (2006), serta Chang et al. (2009) yang menyimpulkan bahwa perdagangan luar negeri memiliki peran penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara di dunia. Peningkatan dalam jumlah ekspor mengindikasikan adanya permintaan luar negeri terhadap barang domestik yang meningkat. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan jumlah output perekonomian yang diproduksi, peningkatan investasi dan peningkatan penggunaan input faktor produksi. Penambahan dalam output perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain itu, ekspor juga menghasilkan devisa yang dihitung sebagai pendapatan negara. Demikian pula dari sisi impor, menurut teori keunggulan komparatif, negara yang memiliki keunggulan dalam memproduksi suatu barang akan meningkatkan produksinya sebagai barang ekspor. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang yang tidak efisien dihasilkan negaranya. Dengan melakukan impor, suatu negara akan mendapatkan barang yang lebih murah daripada memproduksi sendiri.
82
Barang impor yang datang ke pasar domestik dengan harga yang murah akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat relatif meningkat (pendapatan nominal yang tetap dengan tingkat harga yang turun akan meningatkan daya beli masyarakat). Peningkatan pendapatan relatif perseorangan akan meningkatkan pendapatan nasional, dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan nasional, dan selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain negara berkembang memiliki ketergantungan terhadap perdagangan internasional. Proporsi pendapatan nasional negara berkembang sebagian besar diperoleh dari perdagangan internasional. Jika dilihat dari besaran koefisiennya tingkat keterbukaan ekonomi untuk negara maju lebih kecil dibandingkan koefisien keterbukaan ekonomi di negara berkembang. Hal ini karena negara maju tidak terlalu memiliki ketergantungan dengan perdagangan internasional, tetapi negara maju lebih memperdagangkan produk olahan dan jasa sehingga volume perdagangan internasionalnya lebih besar daripada negara berkembang. Negara maju dengan pendapatan yang tinggi, membuat volume perdagangan internasional yang besar hanya memberikan sumbangan kecil terhadap pendapatan nasional.
4.5.2.5.Dampak Efektivitas Relatif antara Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan di Kawasan ASEAN+6 Efektivitas relatif dari ketiga variabel yang diteliti dimana masing-masing merupakan proksi dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan dapat dilihat dengan cara membandingkan nilai koefisien dari masing-
83
masing variabel. Tabel 4.7. di bawah ini merangkum hasil estimasi dari berbagai model yang diteliti.
Tabel 4.7. Perbandingan Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kelompok Negara di ASEAN+6
Independent Variable Lag lnY
Model 1 (Seluruh Negara di ASEAN+6)
Model 2 (Negara Berkembang di ASEAN+6)
[0.600436] [0.5099078] (0.0000) (0.000) lnGEXP [0.2087668] [0.344129] (0.000) (0.000) lnM2 [0.1564963] [0.1446506] (0.001) (0.004) OPNESS [0.0008925] [0.001415] (0.000) (0.000) Keterangan : [...] nilai koefisien dan (…) nilai probabilitas.
Model 3 (Negara Maju di ASEAN+6) [0.5726663] (0.000) [-0.0596399] (0.577) [0.2851412] (0.013) [0.0007038] (0.053)
Model dua untuk kelompok negara-negara berkembang variabel kebijakan fiskal dengan nilai koefisien lnGEXP sebesar 0.344 lebih besar daripada nilai koefisien lnM2 (kebijakan moneter) sebesar 0.145 dan keterbukaan perdagangan sebesar 0.014. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk kasus negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 ketiga variabel penelitian yaitu kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dampak kebijakan fiskal terhadap GDP relatif lebih cepat daripada kebijakan moneter maupun keterbukaan perdagangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya dibandingkan kebijakan moneter ataupun keterbukaan perdagangan. Hal ini
84
menunjukkan bahwa peranan pemerintah sangat dominan di negara-negara berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Temuan ini juga didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya seperti Silalahi dan Cahwa (2011) menemukan dampak kebijakan fiskal terhadap GDP di Indonesia relatif lebih cepat daripada kebijakan moneter untuk periode 1990-2010. Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Alasannya adalah kebijakan fiskal mampu meningkatkan permintaan agregat secara langsung Model 3 untuk kelompok negara-negara maji di kawasan ASEAN+6. Variabel kebijakan fiskal yaitu lnGEXP tidak memenuhi harapan teori dan tidak signifikan. Dari perbandingan semua nilai koefisien variabel yang signifikan bahwa kebijakan moneter dengan nilai koefisien lnM2 sebesar 0.285 lebih besar daripada nilai koefisien kebijakan perdagangan (OPNESS) sebesar 0.0007. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk kasus negara-negara maju di kawasan ASEAN+6 kebijakan
moneter
dan
kebijakan
perdagangan
bersifat
ekspansif
dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan moneter lebih cepat daripada kebijakan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Jumlah uang beredar memainkan peranan penting di negara maju dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya, hal ini karena di negara maju peranan sektor swasta melalui pasar finansial lebih dominan daripada intervensi pemerintah langsung.
V.
5.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan berdampak
positif dan bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik bagi seluruh negara di kawasan ASEAN+6 maupun kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6. Tetapi untuk kelompok negara maju di kawasan ASEAN+6 hanya kebijakan moneter dan keterbukaan ekonomi yang berdampak positif dan bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sedangkan kebijakan fiskal tidak berpengaruh. Kebijakan fiskal melalui peningkatan pengeluaran pemerintah relatif lebih cepat dibandingkan kebijakan moneter maupun keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6. Sedangkan kebijakan moneter melalui peningkatan jumlah uang beredar (M2) relatif lebih cepat daripada kebijakan fiskal maupun keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju kawasan ASEAN+6.
5.2.
Saran Implementasi integrasi ekonomi ASEAN+6 memerlukan berbagai kajian
ulang agar tidak menghasilkan integrasi yang cenderung memperbesar gap antara negara berkembang dan negara maju. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan. Sehingga tidak
86
dapat diterapkan kebijakan fiskal, kebijakan moneter maupun kebijakan perdagangan (ekspor-impor) yang sama terutama dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Negara berkembang di ASEAN+6 harus menunjukkan kinerja yang optimal apabila menginginkan integrasi ekonomi yang efektif dan efisien untuk pertumbuhan ekonomi. Negara berkembang harus bisa menyelaraskan perekonomiannya dengan perekonomian negara maju di ASEAN+6. Peranan pemerintah di negara berkembang masih memiliki pengaruh yang dominan. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dapat menstimulus perekonomian melalui peningkatan konsumsi dan investasi. Tentunya pengeluaran komponen tersebut harus dialokasikan kepada pengeluaran-pengeluaran yang bersifat produktif dan investasi. Dari sektor moneter pun dimana strategi yang lebih efektif untuk pertumbuhan ekonomi harus didahului oleh liberalisasi di pasar uang. Pertumbuhan jumlah uang beredar riil (M/P) yang cepat akan menyumbang pada pertumbuhan output agregat dan juga investasi. Liberalisasi di sektor keuangan memungkinkan terjadinya pembangunan dan pertumbuhan karena tingkat bunga yang tinggi akan mengakibatkan peningkatan tabungan dan alokasi modal yang lebih efisien. Negara maju dengan pendapatan tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah juga harus menjaga pertumbuhan ekonominya supaya berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi negara maju dapat meningkatkan dengan lebih meningkatkan sektor finansialnya dimana sektor swasta memiliki peranan yang dominan dalam menggerakkan perekonomian. Pemerintah tidak melakukan intervensi dalam perekonomian dan tetap menyerahkan perekonomian pada sistem pasar bebas, dan
87
pemerintah dapat meningkatkan fasilitas untuk pasar finansial yang lebih baik supaya dapat menarik investor-investor asing untuk menanamkan modalnya di negara-negara maju. Liberalisasi perdagangan terutama perdagangan bebas di kawasan ASEAN+6 mengingat semakin dekatnya pencapaian Masyarakat Ekonomi ASEAN menuntut negara-negara anggota lebih membuka arus perdagangannya baik secara bilateral maupun multilateral. Meski perdagangan bebas dapat menguntungkan bagi tiap negara yang terlibat, tapi terdapat asumsi yang mesti dipenuhi sebelum tujuan ini tercapai. Asumsi tersebut adalah adanya daya saing yang mumpuni antara pihakpihak yang berdagang. Bila salah satu pihak berdaya saing tinggi, sedangkan pihak lainnya kurang berdaya saing, maka akan terjadi ketimpangan. Peningkatan arus barang dan jasa hanya terjadi pada negara yang memiliki daya saing tinggi, sementara negara yang berdaya saing rendah, hanya menjadi konsumen atau pasar. Oleh karena itu, suatu negara yang memutuskan akan mengadakan perdagangan bebas harus terlebih dahulu memiliki daya saing yang tidak kalah dengan negara lain. Beberapa implikasi kebijakan dapat diterapkan oleh negara-negara ASEAN+6 sehingga mampu berkompetisi dengan baik di tingkat global dan memeproleh manfaat yang lebih besar dari keterbukaan perdagangan yang semakin nyata. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah : mengembangkan industri-industri yang menyerap banyak tenaga kerja terutama di negara-negara berkembang yang memiliki jumlah tenaga kerja relatif melimpah seperti Indonesia, Philipina dan China. Namun tampaknya pemerintah tetap harus menaruh perhatian dalam melindungi industri domestik yang memang belum bisa bersaing. Langkah ini dilakukan dengan diadakannya penyesuaian tarif
88
pada produk-produk yang belum bisa bersaing, perbaikan infrastruktur, pengadaan regulasi yang mendukung aktivitas produksi, dan lain-lain. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah hendaknya menggunakan variabel lain dalam memproksi dari ketiga kebijakan yang diteliti misalnya untuk kebijakan fiskal dengan menggunakan variabel keseimbangan fiskal, rasio utang terhadap GDP, variabel tingkat suku bunga untuk dijadikan proksi kebijakan moneter. Dan diharapakan untuk penelitiannya selanjutnya jika ingin melakukan penelitian yang sama, karakteristik negara yang dijadikan penelitian harus benar-benar diperhatikan. Karena berdasarkan kajian dari berbagai literatur yang telah dilakukan menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda mengenai dampak ketiga kebijakan ini. Perbedaan hasil akhir akan timbul meskipun
negara-negara tersebut sama-sama tergolong
negara berkembang maupun negara maju. Sehingga diperlukannya kajian untuk lebih melihat pengaruhnya di masing-masing negara.
89
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, N. A. 2008. Integrasi Ekonomi ASEAN+3: Antara Peluang dan Ancaman. Brighten Institute, Bogor. Adefeso, H. A., dan Mobolaji, H. I.2010. “The Fiscal-Monetary Policy and Economic Growth in Nigeria : Further Empirical Evidence“. Pakistan Journal of Social Sciences 7 (2): 137-142. Ajisafe, R. A. dan Folorunso, B.A. 2002. “The Relative Effectiveness of Fiscal and Monetary Policy in Macroeconomic Management in Nigeria“. The African Economic and Business Review. 3. Ali, S., Irum, S., dan Ali, A. 2008. “Whether Fiscal Stance or Monetary Policy is Effective for Economic Growth in Case of South Asian Countries?“. The Pakistan Development Review 47(4): 791-799. Asian Development Bank. 2008. Kebangkitan Regionalisme Asia : Kemitraan Bagi Kemakmuran Bersama- Intsari. ADB, Mandaluyong City, Philippines. Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Thrid Edition. British Library Catalouging in Publication Data. Blundell R., Bond S. 1998. GMM estimation with persistent panel data : an application to production functions. The Institute for Fiscal Study Working Papers Series W99/4. Canzoneri, M., Cumby, R., dan Diba, B. 2011. “The Interaction Between Monetary and Fiscal Policy”. Handbook of Monetary Economics Volume 3B. Chang, R., L. Kaltani, dan N.V. Loayza. 2009. “Openness Can be Good for Growth: The Role of Policy Complementarities”. Journal of Development Economics 90: 33-49. Damanhuri, D. S. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. IPB Press, Bogor. Fauzi, Arie J. F. A. 2007. Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi Dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan ASIA (ASEAN+3) dan Non ASIA (Uni Eropa, Amerika Utara) [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika Untuk Data Panel Dan Time Series. IPB Press, Bogor.
90
Gujarati, D.N. 2004. Basic Econometric 4th Edition. McGraw Hill, New York. Hastuti, Rini Tri. 2007. Dampak Kebijakan Moneter, Kebijakan Fiskal, dan Kebijakan Nilai Tukar Terhadap Pendapatan Nasional Periode Sebelum dan Sesudah Krisis Di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo. Hossain, A., Chowdhury, A., dan Elgar, E. 2001. Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edwar Elgar Publishing, Inc., Massachusetts. Hsiao, Cheng. 2005. “Why Panel Data?”. IEPR Working Paper 05.33. Hsing, Yu. 2005. “Impact of Monetary Policy, Fiscal Policy, and Currency Depreciation on Output : The Case of Venezuela”. Briefing Notes in Economics. Indra, 2009. Analisis Hubungan Intensitas Energi Dan Pendapatan Perkapita : Studi Komparatif Di Sepuluh Negara Asia Pasifik [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Indrawati, Yulia. 2007. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia: Pendekatan Vector Autoregression. Di Dalam: Parellel Session IC : Monetary and Macroeconomy Policy : Wisma Makara, 12 Desember 2007. Universitas Indonesia, Depok. Jawaid, S. T., Arif, I., dan Naeemullah, S. M. 2010. “Comparative Analysis of Monetary and Fiscal Policy: A Case Study of Pakistan”. Nice Research Journal. 3: 58-67. Jawaid, S. T., Qadri, F.S. dan Ali, Nasir. 2011. “Monetary-Fiscal-Trade Policy and Economic Growth in Pakistan : Time Series Empirical Investigation”. International Journal of Economics and Financial Issues. 1: 133-138. Junaidi, E. 2010. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Perekonomian Di Negara-Negara ASEAN+3 [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kawai, Masahiro. 2007. ASEAN+3 or ASEAN+6: Which Way Forward?. Asian Development Bank Institute. Geneva, Switzerland. Lipsey, R.G, Courant, P. N, Purvis D. D, dan Steiner P.O, 1995. Pengentar Makroeonomi. Wasana dan Budijanto [Penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta.
91
Mahendra, A. 2008. Analisis Kebijakan Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan. Mangkoesoebroto, Guritno. 2000. Ekonomi Publik. Edisi Ketiga. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Liza dan Nurmawan [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Mishkin, F.S. 2004. The Economics of Money, Banking, and Financial Market 6th. Eds. Addison Wesley, New York. Mohammad, S. D.et al. 2009. “An Empirical Investigation Between Money supply, Government Expenditure, Output, & Prices : The Pakistan Evidence”. Euro Journal, Inc. Moreira, et al. 2011.”The Interaction of Monetary and Fiscal Policy: The Brazilian Case”. Modern Economy. 2: 114-123. Ogunmuwiya, M. S., dan Ekone, A. F. 2010. “Money Supply-Economic Growth Nexus in Nigeria“. Journal of Social Sciences 22(3): 199-204. Permata, Riska Dewi. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Di Kawasan ASEAN+6 : Pendekatan Data Panel [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahman, Md. Habibur. 2005. “Relative Effectiveness of Monetary and Fiscal Policy on Output Growth in Bangladesh : A VAR Approach”. Policy Analysis Unit (PAU) Working Paper Series No. 0601. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional (International Economic). Edisi kelima. Jilid 1. Erlangga, Jakarta. Simorangkir, I., dan Adamanti, J. 2010. “Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter Pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global: Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium”. Buletin Ekonomi dan Perbankan 2010. Toh, Mun-Heng. 2009. ASEAN+6 as a Step toward an Asian Economic Community. National University of Singapore. Verbeek, Morno. 2004. A Guide to Modern Econometrics 2nd Eds. Chichester, John Wiley and Sons.
LAMPIRAN
93
Lampiran 1. Hasil Granger Causality Test Kasus Seluruh Negara ASEAN+6 Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/25/12 Time: 15:43 Sample: 2000 2010 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNGEXP
99
2.85401 7.85396
0.0626 0.0007
LNM2 does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNM2
99
5.98090 5.34809
0.0036 0.0063
OPNESS does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause OPNESS
99
0.34636 2.31609
0.7082 0.1043
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNGEXP
77
0.92603 6.77670
0.4541 0.0001
LNM2 does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNM2
77
1.55401 4.91769
0.1966 0.0015
OPNESS does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause OPNESS
77
2.74787 5.08095
0.0351 0.0012
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNGEXP
55
1.65321 5.71709
0.1566 0.0002
LNM2 does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNM2
55
0.95503 3.34808
0.4670 0.0087
OPNESS does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause OPNESS
55
4.65840 2.36248
0.0010 0.0468
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/25/12 Time: 15:46 Sample: 2000 2010 Lags: 4 Null Hypothesis:
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/25/12 Time: 15:47 Sample: 2000 2010 Lags: 6 Null Hypothesis:
94
Kasus Negara-Negara Berkembang di Kawasan ASEAN+6 Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/25/12 Time: 15:50 Sample: 2000 2010 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNGEXP
54
7.70865 1.19190
0.0012 0.3123
LNM2 does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNM2
54
4.14590 2.61089
0.0217 0.0837
OPNESS does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause OPNESS
54
0.94519 1.08864
0.3956 0.3447
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNGEXP
42
1.89772 1.80001
0.1342 0.1524
LNM2 does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNM2
42
1.93008 2.39315
0.1286 0.0704
OPNESS does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause OPNESS
42
0.83832 0.39617
0.5108 0.8099
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNGEXP
30
1.42929 1.95192
0.2606 0.1300
LNM2 does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNM2
30
1.01341 2.09587
0.4491 0.1076
OPNESS does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause OPNESS
30
1.32956 0.75479
0.2976 0.6145
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/25/12 Time: 15:51 Sample: 2000 2010 Lags: 4 Null Hypothesis:
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/25/12 Time: 15:52 Sample: 2000 2010 Lags: 6 Null Hypothesis:
95
Kasus Negara-Negara Maju di Kawasan ASEAN+6 Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/25/12 Time: 15:54 Sample: 2000 2010 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNGEXP
45
2.00324 3.12972
0.1482 0.0546
LNM2 does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNM2
45
3.08726 1.60692
0.0566 0.2132
OPNESS does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause OPNESS
45
1.34694 6.40375
0.2716 0.0039
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNGEXP
35
2.30360 4.21571
0.0853 0.0092
LNM2 does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNM2
35
2.22071 1.98153
0.0945 0.1270
OPNESS does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause OPNESS
35
3.31375 21.2933
0.0254 7.E-08
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNGEXP
25
3.55056 1.01430
0.0294 0.4605
LNM2 does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause LNM2
25
0.84488 0.83966
0.5594 0.5627
OPNESS does not Granger Cause LNY LNY does not Granger Cause OPNESS
25
4.34030 5.17137
0.0147 0.0076
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/25/12 Time: 15:55 Sample: 2000 2010 Lags: 4 Null Hypothesis:
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/25/12 Time: 15:56 Sample: 2000 2010 Lags: 6 Null Hypothesis:
96
Lampiran 2. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kawasan ASEAN+6 (Model 1)
Hasil Estmasi GMM . xtabond lny lngexp lnm2, noconstant pre(opness) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: country Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
81
= =
99 11
min = avg = max =
9 9 9
= =
3765.42 0.0000
Wald chi2(4) Prob > chi2
One-step results lny
Coef.
Std. Err.
lny L1.
.600436
.0755256
opness lngexp lnm2
.0008925 .2087668 .1564963
.0002529 .0492418 .0461949
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
7.95
0.000
.4524086
.7484634
3.53 4.24 3.39
0.000 0.000 0.001
.0003969 .1122547 .0659559
.0013882 .305279 .2470367
Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).lny L(1/.).opness Standard: D.lngexp D.lnm2 . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z -4.0346 -1.3358
Prob > z 0.0001 0.1816
H0: no autocorrelation
. estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(77) Prob > chi2
= =
95.28581 0.0773
97
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS) . reg lny l.lny
lngexp lnm2 opness
Source
SS
df
MS
Model Residual
1166.24078 .219827353
4 105
291.560195 .002093594
Total
1166.46061
109
10.7014735
Std. Err.
Number of obs F( 4, 105) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE
t
P>|t|
= = = = = =
110 . 0.0000 0.9998 0.9998 .04576
lny
Coef.
[95% Conf. Interval]
lny L1.
1.034321
.021442
48.24
0.000
.991805
1.076836
lngexp lnm2 opness _cons
-.0380744 .0028548 -.0000389 -.0304447
.0270254 .0087701 .0000707 .0731864
-1.41 0.33 -0.55 -0.42
0.162 0.745 0.584 0.678
-.0916607 -.0145346 -.0001792 -.1755599
.0155119 .0202442 .0001014 .1146705
Hasil Estimasi Fixed Effect . xtreg lny l.lny
lngexp lnm2 opness, fe
Fixed-effects (within) regression Group variable: country
Number of obs Number of groups
= =
110 11
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
10 10.0 10
within = 0.9695 between = 0.9988 overall = 0.9987
corr(u_i, Xb)
lny
Coef.
lny L1.
.7331012
.0782741
lngexp lnm2 opness _cons
.1483877 .1039512 .0005139 -.105261
.0516136 .0469993 .0002615 .2200474
sigma_u sigma_e rho
.14386996 .03439485 .94593597
F test that all u_i=0: .
F(4,95) Prob > F
= 0.5694
Std. Err.
t
= =
754.32 0.0000
P>|t|
[95% Conf. Interval]
9.37
0.000
.5777073
.888495
2.87 2.21 1.97 -0.48
0.005 0.029 0.052 0.633
.0459218 .0106458 -5.23e-06 -.5421104
.2508535 .1972567 .0010331 .3315883
(fraction of variance due to u_i) F(10, 95) =
9.08
Prob > F = 0.0000
98
Lampiran 3. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara Berkembang ASEAN+6 (Model 2)
Hasil Estimasi GMM . xtabond lny lnm2 opness, noconstant pre(lngexp) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: country Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
51
= =
54 6
min = avg = max =
9 9 9
= =
3961.02 0.0000
Wald chi2(4) Prob > chi2
One-step results lny
Coef.
Std. Err.
lny L1.
.5099078
.0931136
lngexp lnm2 opness
.344129 .1446506 .001415
.0617738 .0497761 .0003698
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
5.48
0.000
.3274085
.6924071
5.57 2.91 3.83
0.000 0.004 0.000
.2230546 .0470912 .0006903
.4652034 .2422101 .0021397
Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).lny L(1/.).lngexp Standard: D.lnm2 D.opness . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z -2.954 -2.2472
Prob > z 0.0031 0.0246
H0: no autocorrelation
. estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(47) = 57.08895 Prob > chi2 = 0.1487
99
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS) . reg lny l.lny lngexp lnm2 opness Source
SS
df
MS
Model Residual
416.055731 .069378041
4 55
104.013933 .001261419
Total
416.125109
59
7.05296796
lny
Coef.
Std. Err.
lny L1.
.8611424
.0285643
lngexp lnm2 opness _cons
.1441692 .0038355 -.0000216 .3120792
.0346515 .0091192 .0001483 .0869459
t
Number of obs F( 4, 55) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE
= 60 =82457.88 = 0.0000 = 0.9998 = 0.9998 = .03552
P>|t|
[95% Conf. Interval]
30.15
0.000
.8038982
.9183867
4.16 0.42 -0.15 3.59
0.000 0.676 0.885 0.001
.0747261 -.0144398 -.0003189 .1378358
.2136124 .0221108 .0002757 .4863226
Hasil Estimasi Fixed Effect . xtreg lny l.lny lngexp lnm2 opness, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: country
Number of obs Number of groups
= =
60 6
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
10 10.0 10
within = 0.9830 between = 0.9978 overall = 0.9977
corr(u_i, Xb)
F(4,50) Prob > F
= 0.6665
lny
Coef.
lny L1.
.6198262
.100569
lngexp lnm2 opness _cons
.2331993 .1496131 .000975 -.1882848
.0616402 .0568488 .0004016 .2467454
sigma_u sigma_e rho
.18073845 .0321926 .96924989
(fraction of variance due to u_i)
F test that all u_i=0:
Std. Err.
F(5, 50) =
t
= =
724.54 0.0000
P>|t|
[95% Conf. Interval]
6.16
0.000
.4178274
.8218249
3.78 2.63 2.43 -0.76
0.000 0.011 0.019 0.449
.1093914 .035429 .0001683 -.6838875
.3570073 .2637972 .0017818 .307318
3.39
Prob > F = 0.0103
100
Lampiran 4. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara Maju ASEAN+6 (Model 3)
Hasil Estimasi GMM . xtabond lny lngexp lnm2 opness, noconstant Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: country Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
38
= =
45 5
min = avg = max =
9 9 9
= =
532.38 0.0000
Wald chi2(4) Prob > chi2
One-step results lny
Coef.
Std. Err.
lny L1.
.5726663
.1426933
lngexp lnm2 opness
-.0596399 .2851412 .0007038
.1068164 .1142142 .0003643
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
4.01
0.000
.2929925
.8523401
-0.56 2.50 1.93
0.577 0.013 0.053
-.2689961 .0612854 -.0000102
.1497164 .5089969 .0014178
Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).lny Standard: D.lngexp D.lnm2 D.opness . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z -2.5285 -.89832
Prob > z 0.0115 0.3690
H0: no autocorrelation
. estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(34) = 42.90296 Prob > chi2 = 0.1408
101
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS) . reg lny l.lny lngexp lnm2 opness Source
SS
df
MS
Model Residual
720.502162 .065289671
4 45
180.125541 .001450882
Total
720.567452
49
14.7054582
lny
Coef.
Std. Err.
lny L1.
1.056541
.0707485
lngexp lnm2 opness _cons
-.0571422 -.0016528 -.0000227 -.0559084
.0757693 .0189889 .0001315 .1596507
t
Number of obs F( 4, 45) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE
= = = = = =
50 . 0.0000 0.9999 0.9999 .03809
P>|t|
[95% Conf. Interval]
14.93
0.000
.9140459
1.199036
-0.75 -0.09 -0.17 -0.35
0.455 0.931 0.864 0.728
-.2097495 -.0398985 -.0002875 -.3774614
.095465 .0365929 .0002422 .2656447
Hasil Estimasi Fixed Effect . xtreg lny l.lny lngexp lnm2 opness, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: country
Number of obs Number of groups
= =
50 5
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
10 10.0 10
within = 0.9304 between = 0.9957 overall = 0.9956
corr(u_i, Xb)
Std. Err.
Coef.
lny L1.
.5639035
.1380736
lngexp lnm2 opness _cons
-.0874048 .3148603 .0007213 -.8137771
.0987348 .1032688 .0003453 .4531233
sigma_u sigma_e rho
.8255224 .03262147 .99844091
(fraction of variance due to u_i) F(4, 41) =
t
= =
lny
F test that all u_i=0: .
F(4,41) Prob > F
= 0.9409
136.93 0.0000
P>|t|
[95% Conf. Interval]
4.08
0.000
.2850582
.8427488
-0.89 3.05 2.09 -1.80
0.381 0.004 0.043 0.080
-.2868039 .1063047 .0000239 -1.728878
.1119942 .5234158 .0014186 .101324
5.09
Prob > F = 0.0020
102