STUDI KARAKTERISTIK PERMUKIMAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HILIR
NINDY ASLINDA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Nindy Aslinda A44090031
ABSTRAK NINDY ASLINDA. Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir. Dibimbing oleh SYARTINILIA. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan salah satu DAS yang melintasi wilayah Ibukota DKI Jakarta. DAS Ciliwung dikategorikan sebagai DAS Super Prioritas di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Jakarta yang termasuk ke dalam DAS Ciliwung Hilir. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun dan menganalisis karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Data dianalisis secara spasial dan deskriptif menggunakan teknologi Sistem Infomasi Geografis (SIG). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di DAS Ciliwung Hilir sebesar 70.07%. Permukiman didominasi oleh permukiman tidak terencana (87.23%) dengan karakteristik sebagai berikut: pola permukiman linier, ukuran permukiman sangat besar, kepadatan permukiman rendah-sedang, dan kondisi infrastruktur yang baik. Lima rekomendasi pengelolaan dihasilkan untuk mengelola permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Kata kunci: DAS Ciliwung, karakteristik permukiman, perubahan penutupan lahan, pengelolaan lanskap, SIG
ABSTRACT NINDY ASLINDA. Study on Characteristics of Settlement in Down Stream of Ciliwung Watershed. Supervised by SYARTINILIA. Ciliwung Watershed is one of watershed that across the Jakarta capital region. Ciliwung Watershed is categorized as super-priority watershed in Indonesia. The study was conducted in down stream of Ciliwung Watershed in Jakarta. The main objectives of this study were to analyze land cover changes, and to analyze characteristics of settlement in down stream of Ciliwung Watershed. Data were analyzed using Geographical Information System (GIS). Based in the result, it can be shown that land cover changes from green open space to built up area occured in down stream of Ciliwung watershed (70.07%). The settlement is dominated by the unplanned settlement (87.23%). The charactristics of the unplanned settlement are linier settlement patterns, very lage size of settlement, low to medium building density, and good condition of insfrastructure. Five recommendation have provided for landscape managing of settlement in down stream of Ciliwung Watershed. Keywords: Ciliwung Watershed, characteristics of settlement, land cover changes, GIS
STUDI KARAKTERISRIK PERMUKIMAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HILIR
NINDY ASLINDA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir Nama : Nindy Aslinda NIM : A44090031
Disetujui oleh
Dr. Syartinilia, SP, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 hingga November 2014 ini ialah Pengelolaan Lanskap, dengan judul “Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir” di bawah bimbingan Dr. Syartinilia, SP, M.Si. Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu, antara lain: 1. Dr. Syartinilia, SP , M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, masukan,dukungan, nasehat, dan waktu serta ilmu yang sangat bermanfaat. 2. Kedua orangtua, Aris Daeng Pene dan Ida Supriati, dan adik (Ninda Irlinda dan Mar’ie Muhammad) serta keluarga besar atas doa dan dukungan baik moril maupun materil yang tidak tergantikan. 3. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, khususnya Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu dan pengalaman yang bermanfaat. 4. Bapak Yudi selaku staf PPLH, Riri (Bundo) dan Bunga (MNH 46)yang telah mengajarkan software yang dibutuhkan dalam penelitian ini. 5. Sahabat-sahabat (Yaomi Ifadha, Renny Yahna Oktevia, Eka Yuniawatiningtyas, Wika Diannisa Purnomo, dan Khoirunnisa Cahyamurti) atas bantuan, semangat, dukungan, doa, dan kebersamaannya selama ini. 6. Teman-teman seperjuangan, Sry Wahyuni, Ramandhini Puspitasari, dan Paraditio Bryan Prakoso atas bantuan, semangat, dan dukungannya. 7. Keluarga dan teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 46 atas bantuan, semangat, dukungan, dan kebersamaannya. 8. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian dan penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari tentunya karya ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2015 Nindy Aslinda
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
Kerangka Pikir Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai
4
Klasifikasi Penutupan Lahan
5
Perubahan Penutupan Lahan
5
Permukiman
6
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian
9
Alat dan Data Penelitian
10
Metode Penelitian
10
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Situasional
15
Penutupan Lahan
19
Perubahan Penutupan Lahan
26
Karakteristik Permukiman
28
Rekomendasi Pengelolaan
38
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
39
Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
43
RIWAYAT HIDUP
53
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Hubungan tujuan, jenis, bentuk dan sumber data kegiatan penelitian Deskripsi kelas penutupan lahan Kriteria penilaian infrastruktur permukiman Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir Tahun 1993 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan Tahun 1993 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan di DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013 8 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman tidak terencana 9 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman terencana
10 12 14 19 20 23 24 31 36
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Kerangka pikir penelitian Pola permukiman terencana konvensional Pola permukiman terencana cluster Pola permukiman terencana Planned Unit Development (PUD) Lokasi penelitian Bagan alur penelitian Matriks Post Classification Comparison Peta administrasi DAS Ciliwung Hilir Suhu udara menurut bulan Kelembaban menurut bulan Curah hujan menurut bulan Peta rencana pola ruang DKI Jakarta Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun 1993 Ruang terbangun di lokasi penelitian Tahun 2013 RTH di lokasi penelitian Tahun 2013 Badan air di lokasi penelitian Tahun 2013 Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013 Persentase luas RTH menjadi ruang terbangun berdasarkan kecamatan periode 1993-2013 Pola permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Kondisi eksisiting jalan pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Saluran drainase pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Sarana pembuangan sampah pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Pola permukiman terencana di lokasi terpilih Kondisi eksisiting jalan pada permukiman terencana di lokasi terpilih Saluran drainase pada permukiman terencana di lokasi terpilih
3 7 7 7 9 11 13 15 16 16 17 18 21 22 22 22 25 30 29 31 33 34 34 36 38
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta penutupan lahan yang tetap dan mengalami perubahan di DAS Ciliwung Hilir periode 1993-2013 2 Data Kependudukan DAS Ciliwung Hilir 3 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Rebo 4 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Jagakarsa 5 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Minggu 6 Peta lokasi sampel permukiman terencana dan tidak terencana 7 Data Administrasi DAS Ciliwung Hilir 8 Modeler fungsi perkalian post classification comparison
43 44 46 47 48 49 50 52
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang, memiliki masalah perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri negara berkembang adalah sangat pesatnya perkembangan penduduk perkotaan terutama kota-kota besar dari negara tersebut, sebagai akibat dari tingginya angka pertumbuhan penduduk dan urbanisasi (Ahyat 2012). Bertambahnya jumlah penduduk baik akibat urbanisasi ataupun perkembangan alamiah di daerah perkotaan berkorelasi dengan semakin besarnya kebutuhan akan lahan. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan penutupan lahan menjadi ruang terbangun, khususnya kawasan permukiman. Menurut UU No. 4 Tahun 1992, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat bagi yang kegiatan yang mendukung penghidupan. Secara umum permukiman di Indonesia terdiri dari permukiman terencana dan permukiman tidak terencana. Sebanyak 84.00% permukiman di Indonesia merupakan permukiman tidak terencana yang dibangun sendiri oleh masyarakat, sedangkan 16.00% sisanya merupakan permukiman yang terencana yang dibangun oleh pengembang (developer) (Kuswartojo 1999 dalam Masykur 2006). Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai beserta anak-anak sungainya. DAS berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami (Asdak 1995). DAS merupakan satu ekosistem yang terdiri dari wilayah hulu yang berfungsi sebagai wilayah konservasi air, wilayah tengah yang berfungsi sebagai wilayah pemanfaatan air, dan wilayah hilir yang berfungsi sebagai wilayah pengaturan air (drainase). DAS Ciliwung memiliki panjang 117 km2 dan meliputi areal seluas 370.80 km2. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 328 tahun 2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014, DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS yang berstatus sebagai DAS Super Prioritas, hal ini dikarenakan wilayah hilir DAS Ciliwung meliputi wilayah Ibukota Jakarta yang berstatus sebagai kawasan strategis nasional di Indonesia. DAS Ciliwung memiliki permasalahan berupa tingginya laju perubahan penutupan lahan dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi ruang terbangun di wilayah tersebut. Pada Tahun 1990 penutupan lahan terbesar di wilayah tersebut berupa ruang terbangun (52.76%), Ruang Terbuka Hijau (RTH) (33.75%), dan badan air (13.49%). Pada Tahun 2000 luas RTH menurun menjadi 27.07%, sedangkan luas ruang terbangun meningkat menjadi 61.05%. Adapun perubahan menjadi ruang terbangun yang paling banyak terjadi di wilayah hilir yaitu mencapai 80.00% (Melati et al 2002). Dengan demikian perlu adanya studi terkait perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di DAS Ciliwung, khususnya DAS Ciliwung hilir, dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi
2 Geografis (SIG) guna mengetahui seberapa besar perubahan penutupan lahan yang terjadi di wilayah tersebut. DAS Ciliwung sebagai bagian dari Ibukota Jakarta mengalami perkembangan permukiman yang sangat pesat. Pada tahun 1990 luas permukiman sebesar 36.12% dan mengalami peningkatan menjadi sebesar 37.22% pada tahun 2000. Adapun luas kawasan permukiman terbesar terdapat di wilayah hilir yaitu mencapai 62.00% (Melati et al 2002). Perkembangan permukiman, khususnya di DAS Ciliwung hilir berdampak terhadap keanekaragaman karakteristik permukiman di wilayah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya analisis mengenai karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir guna menghasilkan output berupa rekomendasi pengelolaan permukiman yang sesuai di wilayah tersebut. Kerangka pikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. menganalisis perubahan penutupan lahan dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi ruang terbangun dan distribusinya di DAS Ciliwung Hilir; 2. menganalisis karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir; dan 3. menyusun rekomendasi pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Manfaat Penelitian Hasil tugas akhir ini diharapkan akan memberikan manfaat berupa memberikan informasi mengenai karakteristik permukiman di DAS Ciliwung hilir dan sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola kawasan permukiman di DAS Ciliwung hilir. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi skala makro yaitu wilayah DAS Ciliwung, kemudian pada skala meso meliputi wilayah DAS Ciliwung Hilir, dan pada skala mikro meliputi 3 kecamatan di wilayah DAS Ciliwung Hilir. Penelitian ini dibatasi pada pembuatan peta penutupan lahan, peta perubahan penutupan lahan dan peta distribusi permukiman guna mendapatkan lokasi sampel permukiman untuk selanjutnya dilakukan analisis terhadap karakteristik permukiman berdasarkan pola, ukuran, kepadatan, dan infrastruktur permukiman. Kerangka Pikir Penelitian DAS Ciliwung Hilir sebagai bagian dari wilayah Ibukota Jakarta memiliki permasalahan berupa perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan lahan, terutama kawasan permukiman akibat proses urbanisasi. Hal ini mengakibatkan munculnya berbagai bentuk permukiman, baik permukiman terencana maupun tidak terencana. Perkembangan permukiman di DAS Ciliwung Hilir berdampak pada keanekaragaman bentuk dan karakteristik permukiman di wilayah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya analisis karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir
3 guna menghasilkan output berupa rekomendasi pengelolaan permukiman yang sesuai di wilayah tersebut.
DAS Ciliwung Hilir
Perubahan Penutupan Lahan
Urbanisasi
Meningkatnya Kebutuhan Lahan
Kawasan Permukiman
Permukiman Terencana
Permukiman Tidak Terencana
Studi Karakteristik Permukiman
Rekomendasi Pengelolaan Permukiman Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak 1995). DAS menggambarkan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan fisik biologi serta kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam. Komponen utama ekosisitem DAS terdiri dari manusia, vegetasi, hewan, iklim, tanah dan air. Masing-masing yang terkait satu sama lain sehingga membentuk suatu ekosistem. Menurut Wahyuni (2013) DAS Ciliwung merupakan salah satu dari 108 DAS Prioritas di Indonesia dan tergolong ke dalam DAS Prioritas I (Super Prioritas). Menurut Suripin (2002) dalam Wahyuni (2013), penetapan DAS prioritas ini berdasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Kondisi hidrologisnya kritis yang ditandai dengan rendahnya persentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya nisbah debit sungai maksimum dan debit minimum serta kandungan lumpur yang berlebihan; 2. Urgensi perlindungan investasi yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar di daerah hilirnya; 3. Daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan; 4. Daerah perladangan berpidah dan/atau daerah dengan penggarapan tanah yang merusak tanah dan lingkungan; 5. Daerah dengan tingkat pendapatan penduduk rendah, tingkat kesadaran masyarakat akan pelestarian sumber daya alam masih rendah; dan 6. Daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi. Pengelolaan DAS merupakan upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Adapun tujuan pengelolaan DAS adalah sebagai berikut: 1. terjaminnya penggunaan sumber daya alam yang lestari, seperti hutan, hidupan liar dan lahan pertanian; 2. tercapainya keseimbangan ekologis lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan; 3. terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun; 4. mengendalikan aliran permaukaaan air dan banjir; dan 5. mengendalikan erosi tanah dan proses degradasi lahan. Prinsip pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut (Asdak 1995) : 1. mengenali hal-hal yang menjadi tuntutan mendasar untuk mencapai usahausaha penyelamatan lingkungan dan sumberdaya alam; 2. mempertimbangkan nilai-nilai jasa lingkungan yang saat ini belum atau tidak diperhitungkan secara komersial dalam pembuatan kebijaksanaan; 3. menyelaraskan konflik-konflik kepentingan yang bersumber dari penentuan batas-batas alamiah dan batas-batas politis/administratif; dan
5 4. menciptakan investasi (sektor swasta), peraturan-peraturan, insentif, dan perpajakan yang berkaitan dengan interaksi antara aktivitas tata guna lahan di bagian hulu dan kemungkinan yang ditimbulkannya di daerah hilir. Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Kelas-kelas ini sering juga disebut dengan segmentasi (segmentation). Kelas dapat berupa sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang telah dikenali di lapangan atau berdasarkan kemiripan yang dikelompokkan oleh komputer Jaya (2010) dalam Aryanti (2011). Berdasarkan teknik pendekatannya, klasifikasi kuantitatif dibedakan atas Klasifikasi Tidak Terbimbing (unsupervised classification) dan Klasifikasi Terbimbing (supervised classification). Klasifikasi Tidak Terbimbing adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer. Kelas-kelas atau klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung pada data itu sendiri. Dalam prosesnya, klasifikasi ini mengelompokkan piksel-piksel berdasarkan kesamaan atau kemiripan spektralnya. Kelas-kelas ini tidak berhubungan secara langsung dengan watak-watak tertentu dari fitur atau obyek yang ada pada citra. Pada klasifikasi ini hanya sebagian kecil saja yang ditetapkan atau didesain oleh analis, misalnya jumlah kelas atau klaster yang akan dibuat, teknik yang akan digunakan, jumlah iterasi, dan band-band atau kanal yang akan digunakan. Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised). Kriteria pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh analisis melalui pembuatan training area. Klasifikasi penutupan lahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) dengan menggunakan metode Peluang Maksimum (Maksimum Likelihood Classifier). Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan dan merupakan metode standar. Metode ini mempertimbangkan peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Dapat dihitung dengan menghitung persentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. Jika peluang ini tidak diketahui maka besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua kelas (satu per jumlah kelas yang dibuat). Setelah menentukan training area, maka akan dilakukan proses lain seperti penggabungan kelas (Merging) berdasarkan nilai keterpisahannya, labelling, pendugaan akurasi, dan proses deteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan Jaya (2010) dalam Aryanti (2011). Perubahan Penutupan Lahan Dalam penyelenggaraan hidupnya manusia banyak melakukan aktifitas yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Perubahan penutupan lahan yaitu aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya. Perubahan penutupan lahan merupakan suatu kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial ekonomi, politik dan budaya. Pembangunan kota yang semakin pesat menyebabakan perubahan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Lahan pertanian tersebut berubah menjadi permukiman, perdagangan, industri,
6 dan infrastruktur kota. Kegiatan konversi lahan ini dimaksudkan untuk mendukung tersedianya sarana dan prasarana kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Namun kegiatan konversi lahan tersebut berdampak negatif pada kehidupan manusia. Salah satu dampak negatif dari perubahan penutupan lahan yaitu banjir. Banjir pada hakikatnya hanyalah salah satu output dari pengelolaan DAS yang tidak tepat. Beberapa penyebab banjir secara biofisik yaitu; curah hujan yang sangat tinggi, karakterisitk DAS itu sendiri, penyempitan saluran drainase dan perubahan penutupan lahan. Dalam studi terkait deteksi perubahan penutupan lahan, dapat dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG). Land Cover Change Detection (LCCD) merupakan aplikasi penting dari teknik penginderaan jauh karena kemampuannya untuk merekam penginderaan yang dilakukan berulang kali dengan kualitas gambar yang konsisten pada interval yang pendek, skala global, dan selama satu siklus penuh. Tujuan dari LCCD adalah untuk membandingkan perubahan penutupan lahan yang berbeda baik secara kualitatif ataupun kuantitatif Civco et al (2002) dalam Aryanti (2011). Metode yang biasa digunakan dalam metode ini adalah Post Classification Comparison. Menurut Bruzzone dan Seprico (1997) dalam Aryanti (2011), cara kerja metode ini yaitu melakukan deteksi perubahan dengan membandingkan peta klasifikasi yang diperoleh dengan mengklasifiksikannya secara independen antara dua citra dari area yang sama dalam waktu yang berbeda. penggunaan metode Post Classification Comparison ini sangat mungkin untuk mendeteksi perubahan dan memahami jenis-jenis perubahan yang terjadi. Klasifikasi citra multitemporal ini menghindari kebutuhan untuk menormalkan kondisi atmosfer, perbedaan sensor antara dua akuisisi. Namun, teknik Post Classification Comparison tergantung pada akurasi dari peta klasifikasi. Hal ini disebabkan karena adanya fakta bahwa metode ini tidak mengambil dan memperhitungkan ketergantungan yang ada antara dua citra di daerah yang sama dalam waktu yang berbeda. Permukiman Pengertian dasar tentang pemukiman dalam UU No. 4 Tahun 1992 menyebutkan bahwa pemukiman merupakan kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat bagi yang kegiatan yang mendukung penghidupan. Menurut Kuswartojo (1999) dalam Masykur (2006), secara umum permukiman di Indonesia terdiri dari permukiman terencana dan permukiman tidak terencana. Sebesar 16.00% diantaranya merupakan permukiman terencana, yaitu permukiman yang dibangun oleh pengembang (developer), dan berjumlah sebesar 16.00%. Sebesar 84.00% diantaranya merupakan permukiman tidak terencana, yaitu permukiman yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Karakteristik permukiman dapat dilihat berdasarkan pola permukimannya. Pada permukiman tidak terencana memiliki pola permukiman yang umumnya mengikuti bentang alam di sekitarnya seperti mengikuti pola sungai, pantai, pegunungan dan lain sebagainya. Menurut Van der Zee (1986) dalam Syartinilia
7 (2001), pola permukiman terdiri dari pola permukiman linier (memanjang), dispersed (tersebar), nucleated (terpusat). Permukiman terencana memiliki pola permukiman yang berbeda dengan pola permukiman tidak terencana. Hal ini dikarenakan permukiman terencana merupakan produk yang memilki nilai ekonomis tinggi, sehingga perlu adanya konsep perencanaan yang baik, sehingga dapat meningkatkan nilai jual permukiman terencana tersebut. Menurut Kwanda (2000) dalam Syartinilia (2001) terdapat tiga konsep perencanaan yang berkaitan dengan pembagian lahan, yaitu konsep konvensional, cluster, dan Planned Unit Development (PUD). Pada konsep konvensional memiliki batas kapling yang jelas dan tingkat kepadatan rumah yang tersebar merata di seluruh kawasan. Pada konsep cluster rumah dibangun secara berkelompok untuk mendapatkan kepadatan yang tinggi. Pada konsep PUD menerapkan pengembangan multi fungsi yang mengkombinasikan tiap zona kegiatan, misalnya dalam suatu area terdapat kawasan permukiman yang di dalamnya juga terdapat area perkantoran, pertokoan, rekreasi, ruang terbuka dan sebagainya.
Gambar 2 pola permukiman terencana konvensional (Sumber : Syartinilia 2001)
Gambar 3 pola permukiman terencana cluster (Sumber : Syartinilia 2001)
Gambar 4 pola permukiman terencana PUD (Sumber : Syartinilia 2001)
8 Karakteristik permukiman dapat dilihat berdasarkan ukurannya. Adapun ukuran yang dimaksud yaitu jumlah penduduk yang tinggal dalam suatu permukiman atau perumahan. Ukuran permukiman menurut Mulyana et al. (2007) adalah permukiman/perumahan tunggal (terdiri dari satu rumah), permukiman/perumahan kecil (terdiri sampai dengan 500 penduduk), permukiman/perumahan sedang (terdiri sampai dengan 2 000 penduduk), permukiman/perumahan besar (terdiri dari 2 000-5 000 penduduk), dan permukiman/perumahan sangat besar (terdiri lebih dari 5 000 penduduk). Kepadatan bangunan juga dapat membentuk karakteristik suatu kawasan permukiman. Adapun kepadatan bangunan menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam Martono et al. (2013) adalah Kepadatan rumah tinggi (tingkat kepadatan ≥60.00%), kepadatan rumah sedang (tingkat kepadatan 40.00 -60.00%), dan kepadatan rumah rendah ( tingkat kepadatan ≤ 40.00%). Infrastruktur merupakan salah satu aspek yang penting dalam mendukung keberlangsungan suatu kawasan permukiman. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, infrastruktur permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Adapun kelengkapan dasar fisik tersebut berupa jaringan jalan, jaringan air bersih, saluran drainase, dan pembuangan sampah. Berdasarkan paparan di atas, adapun kriteria kondisi infrastruktur permukiman menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum tentang identifikasi kawasan kumuh perkotaan antara lain sebagai berikut: 1. Jalan a. Baik : Kerusakan < 50.00% b. Buruk : Kerusakan 50.00-70.00% c. Sangat Buruk : Kerusakan > 70.00% 2. Saluran Drainase a. Baik : Genangan < 25.00% b. Buruk : Genanagan 25.00-50.00 % c. Sangat Buruk : Genangan > 50.00% 3. Air Bersih a. Baik : Pelayanan > 60.00% b. Buruk : Pelayanan 30.00-60.00% c. Sangat Buruk : Pelayanan < 30.00% 4. Pembuangan Sampah a. Baik : Pelayanan > 70.00% b. Buruk : Pelayanan 50.00-70.00% c. Sangat Buruk : Pelayanan < 50.00%
9
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Maret 2013 sampai November 2014. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap inventarisasi (pengumpulan data), analisis spasial dan analisis karakteristik permukiman serta sintesis berupa penyusunan rekomendasi pengelolaan lanskap permukiman. Lokasi penelitian terletak di DAS Ciliwung Hilir, Jakarta (Gambar 5).
Gambar 5 Lokasi penelitian (DAS Ciliwung Hilir) (Sumber: Landsat 8 Tanggal 6 April 2013)
10 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System (GPS), kamera digital, alat tulis dan komputer dalam pengolahan data menggunakan Geographic Information System (GIS) seperti ERDAS Imagine 9.1, Arc GIS 9.3 Version dan Global Mapper. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data spasial (raster dan vektor) dan non-spasial (deskriptif) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber data dan kegunaan Jenis Data
Bentuk Data
Sumber Data
Kegunaan
Citra Landsat 7 TM (04/12/1993)
Raster, resolusi 30x30 m
LAPAN
Analisis penutupan lahan tahun 1993
Citra Landsat 8 TM (06/04/2013)
Raster, resolusi 30x30 m
LAPAN
Analisis penutupan lahan tahun 2013
Data RTRW
Deskriptif
BAPPEDA Jakarta
Analisis perubahan penutupan lahan
Data RDTR
Deskriptif
Dinas Tata Ruang Jakarta
Analisis perubahan penutupan lahan
Peta Batas DAS
Vektor
BPDAS Ciliwung
Penentuan wilayah penelitian (DAS Ciliwung Hilir
Peta Administrasi Kecamatan dan Desa
Vektor
PPLH IPB
Penentuan sampel penelitian (3 Kecamatan)
Data Kependudukan
Deskriptif
Kecamatan dalam Angka, Laporan Tahunan Kelurahan, Survey lapang
Analisis ukuran, kepadatan Permukiman
Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5.
LAPAN : Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional PPLH : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup BPDAS : Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai RTRW :Rencana Tata Ruang dan Wilyah RDTR : Rencana Detail Tata Ruang
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu inventarisasi, analisis penutupan lahan, perubahan penutupan lahan, dan karakteristik permukiman, serta pembuatan rekomendasi pengelolaan lanskap permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Bagan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
11 Pengumpulan Data Spasial dan Non-spasial
Inventarisasi
Ground Check
Analisis
Klasifikasi Citra (Klasifikasi Terbimbing) Training Area
Peta Penutupan Lahan Tahun 1993
Peta Penutupan Lahan Tahun 2013
Pendugaan Akurasi
Perubahan Penutupan Lahan (Metode Post Classification Comparison) Peta Perubahan Penutupan Lahan ( RTH menjadi Ruang Terbangun) Distribusi Permukiman (Deliniasi Google Earth) Peta Distribusi Permukiman
Permukiman Terencana
Permukiman Tidak Terencana
Pengambilan Sampel
Pola Permukiman
Ukuran Permukiman
(Van der Zee 1986 dalam Syartinilia 2001) Linier (memanjang) Dispersed (menyebar) Nucleated (memusat) (Kwanda 2000 dalam Syartinilia 2001) Konvensional Cluster (mengelompok Planned Unit Development (PUD) (multifungsi)
(Mulyana et al 2007) Tunggal ( 1rumah) Kecil (500penduduk) Sedang (2 000penduduk) Besar (2 000-5 000 penduduk) Sangat Besar ( ≥ 5 000 penduduk)
(Dirjen Cipta PU) Rendah ( ≤ 40%) Sedang (40-60%) Tinggi ( ≥ 60%)
Karya
0)
0)
Infrastruktur Permukiman
Kepadatan Permukiman
(Dirjen Cipta Karya PU) Jalan - Baik (kerusakan < 50%) - Buruk (kerusakan 50-70%) - Sangat Buruk (kerusakan >70%) Drainase - Baik (Genangan < 25%) - Buruk (Genangan 25-50%) - Sangat Buruk (Genangan >50%) Air Bersih - Baik (Pelayanan >60%) - Buruk (Pelayanan 30-60%) - Sangat Buruk (Pelayanan < 30%) Sampah - Baik (Pelayanan >70%) - Buruk (Pelayanan 50-70%) - Sangat Buruk (Pelayanan < 50%)
Output
Karakteristik Permukiman
Rekomendasi Pengelolaan
0) 0)
Gambar 6 Bagan Alur Penelitian
12 Inventarisasi Pada tahap inventarisasi dilakukan kegiatan pengumpulan data dan survai lapang. Data yang diperlukan berupa data spasial (raster dan vektor) dan data non spasial (deskriptif). Pada tahap survey lapang dilakukan pengumpulan data non spasial berupa pengamatan langsung di lokasi penelitian, wawancara dengan pihak terkait dan dokumentasi lapang, serta studi pustaka yang terkait dengan tujuan penelitian. Klasifikasi Penutupan Lahan Peta penutupan lahan dibuat dari citra satelit Landsat 7 tanggal 4 Desember 1993 dan citra satelit Landsat 8 tanggal 6 April 2013 dengan komposit band sesuai standar Departemen Kehutanan Indonesia yaitu band combination 6-5-4. Hal ini dikarenakan tampilan dari komposit ini mendekati warna alami, yang disebabkan oleh band combination tersebut mencakup band inframerah sedang, inframerah dekat dan sinar tampak. Sinar inframerah sedang merekam variasi kelembaban (water content) dari vegetasi, inframerah dekat terkait dengan biomassa, sedangkan sinar tampak terkait informasi kehijauan daun (chlorophyll) (Jaya 2010). Peta penutupan lahan dihasilkan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing pada software ERDAS Imagine 9.1. Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised). Kriteria pengelompokan kelas diterapkan berdasarkan penciri kelas (class signature) yang diperoleh melalui pembuatan training area (area contoh) berdasarkan hasil survey lapang. (Aryanti 2011). Training area yang digunakan dalam penelitian yaitu Ruang Terbuka Hijau (RTH), ruang terbangun, dan badan air (Tabel 2). Uji akurasi dilakukan terhadap hasil penutupan lahan yang diperoleh dengan menggunakan occuracy assasement dari sofware ERDAS Imagine 9.1 dengan tingkat akurasi minimal 75.00% (Syartinilia 2004). Tabel 2 Deskripsi kelas penutupan lahan Kelas Penutupan Lahan Ruang Terbangun
RTH
Badan Air
Band Combination
6,5,4
6,5,4
6,5,4
Deskripsi
Seluruh kawasan yang berupa area terbangun
Seluruh hamparan lahan yang terdiri dari tegakan pohon, semak belukar, rumput dan lahan pertanian
Seluruh kawasan dengan kenampakan perairan meliputi sungai, danau, dan waduk
Gambar
Sumber : Standar Nasional Indonesia Klasifikasi Penutupan Lahan
13 Analisis Perubahan Penutupan Lahan Metode yang digunakan pada proses ini adalah Post Classification Comparison yang bertujuan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian. Metode ini menggunakan fungsi perkalian antara nilai kelas penutupan lahan tahun 1993 dengan tahun 2013 yang telah di-recode terlebih dahulu (Lampiran 3). Proses tersebut menghasilkan image baru yang mengandung informasi berupa penutupan lahan yang berubah ataupun yang tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut (Gambar 7).
Gambar 7 Matriks Post Classification Comparison Proses recode masing-masing nilai kelas pada masing-masing peta penutupan lahan dilakukan menggunakan ERDAS Imagine 9.1. Hasil perkalian matriks tersebut menghasilkan kelas penutupan lahan dengan nilai baru. Nilai tersebut menggambarkan perubahan masing-masing kelas dalam periode 19932013. Hasil akhir yang didapatkan dari analisis tersebut berupa peta perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di DAS Ciliwung hilir. Analisis Distribusi Permukiman Pada tahap ini dilakukan deteksi distribusi permukiman pada 3 kecamatan terpilih. Analisis spasial dilakukan dengan cara deliniasi kawasan permukiman dengan menggunakan software Google Earth berdasarkan teratur atau tidaknya pola permukiman. Tahap selanjutnya yaitu menginput data hasil deliniasi kawasan permukiman pada software ArcGIS 9.3 sehingga diperoleh peta distribusi permukiman. Pada tahap ini dilakukan proses georeferencing yaitu proses memberikan kordinat peta pada citra yang sesungguhnya sudah planimetris (Jaya, 2010). Analisis Karakteristik Permukiman Metode yang digunakan dalam analisis karakteristik permukiman terdiri dari 4 tahapan, yaitu: 1. Penentuan sampel, yaitu menentukan jumlah sampel permukiman masingmasing 1 permukiman terencana dan 1 permukiman tidak terencana di 3 RW pada 3 kecamatan terpilih; 2. Analisis pola permukiman, yaitu interpretasi pola permukiman berdasarkan hasil studi pustaka dengan cara deliniasi kawasan permukiman dengan menggunakan software Google Earth untuk selanjutnya dilakukan georeferencing;
14 3. Analisis kepadatan permukiman, yaitu membandingkan kepadatan bangunan dalam suatu blok permukiman. Menurut Martono et al. (2013), kepadatan permukiman dirumuskan sebagai berikut : Kepadatan Permukiman =∑
∑
4. Analisis infrastruktur permukiman dengan menggunakan metode skoring, yaitu pemberian skor pada masing-masing aspek untuk selanjutnya dilakukan penjumlahan guna mengetahui kualitas infrastruktur permukiman di lokasi terpilih. Aspek infrastruktur permukiman meliputi jalan, saluran drainase, air bersih dan pembuangan sampah. Pada tahap ini dilakukan penilaian kondisi infrastruktur oleh ketua RT/RW pada lokasi permukiman terpilih. Penilaian terhadap aspek tersebut dihitung menggunakan metode skoring yang dikemukakan oleh Selamet (1983) dalam Alvino (2014). Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) Rendah = SMi sampai SMi + IK
Tabel 3 Kriteria penilaian infrastruktur permukiman Aspek Jalan Saluran drainase Air Bersih Pembuangan Sampah
1 (Sangat Buruk) Kerusakan > 70.00% Ketinggian >50.00% Pelayanan <30.00% Pelayanan <50.00%
Skor 2 (Buruk) Kerusakan 50.00-70.00% Ketinggian 25.00-50.00% Pelayanan 30.00-60.00% Pelayanan 50.00-70.00%
3 (Baik) Kerusakan < 50.00% Ketinggian <25.00% Pelayanan >60.00% Pelayanan >70.00%
Penyusunan Rekomendasi Tahap akhir berupa penyusunan rekomendasi berdasarkan hasil analisis guna menghasilkan rekomendasi pengelolaan permukiman yang sesuai pada lokasi penelitian.
15
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Situasional Letak Geografis Lokasi penelitian terletak di DAS Ciliwung Hilir, Propinsi DKI Jakarta. Lokasi ini terletak pada koordinat 6o21’0” - 6o90’0” LS dan 106o48’0”- 106o54’0” BT dengan luas wilayah 9 612.99 ha. Adapun DAS Ciliwung Hilir dibatasi oleh: a. Sebelah barat berbatasan dengan DAS Angke; b. Sebelah timur berbatasan dengan DAS Bekasi; c. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan d. Sebelah selatan berbatasan DAS Ciliwung Tengah.
Gambar 8 Peta administrasi DAS Ciliwung Hilir
16 Topografi, Geologi dan Tanah Berdasarkan keadaan topografinya, lokasi penelitian dikategorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian lahan berkisar antara 0.00-10.00 mdpl dari pantai sampai ke banjir kanal. Jenis tanah yang mendominasi pada lokasi penelitian ini yaitu tanah latosol dan regosol. Tanah latosol merupakan tanah yang berwarna merah, berasal dari batuan vulkanik yang bersifat intermediet, memiliki profil tanah yang dalam, msudah menyerap air, mudah mneyerap air, memiliki kandungan bahan organik yang sedang, dan pH netral hingga asam. Tanah Regosol bertekstur kasar, peka terhadap erosi, berwarna keabuan, pH 6.0-7.0, kaya akan unsur hara, dan mudah menyerap air. Iklim Berdasarkan data dari stasiun pengukur iklim Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta, suhu tertinggi terjadi pada Bulan September dan suhu udara terendah terjadi pada Bulan April, Agustus, Novmber (Gambar 9). Kelembaban maximum terjadi pada Bulan Desember, sedangkan kelembaban minimum terjadi pada Bulan Juli (Gambar 10). Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Januari dan curah hujan terendah terjadi pada Bulan Agustus (Gambar 11).
Suhu Udara (ºC)
29,5 29 28,5 28 27,5 27
Kelembaban Udara (%)
Gambar 9 Suhu udara menurut bulan 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Gambar 10 Kelembaban udara menurut bulan
17
Curah Hujan (mm/hari)
300 250 200 150 100 50 0
Gambar 11 Curah hujan menurut bulan Kondisi Sosial dan Kependudukan Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 diketahui bahwa jumlah penduduk di lokasi penelitian sebesar 3 388 610 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 1 376 718 jiwa. Kawasan dengan jumlah penduduk tertinggi hingga terendah yaitu Jakarta Selatan dengan total jumlah penduduk sebesar 1 137 688 jiwa, Jakarta Timur sebesar 907 568 jiwa, Jakarta Pusat sebesar 686 629 jiwa, Jakarta Utara sebesar 546 527 jiwa dan Jakarta Barat sebesar 110 198 jiwa. Kawasan dengan kepadatan penduduk tertinggi hingga terendah yaitu Jakarta pusat sebesar 646 483 jiwa/km2, Jakarta Selatan sebesar 317 834 jiwa/km2, Jakarta Timur sebesar 308 360 jiwa/km2, Jakarta Utara sebesar 54 403 jiwa/km2, dan Jakarta Barat sebesar 49 638 jiwa/km2. Struktur perekonomian penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat berdasarkan status mata pencaharian dimana masyarakat cenderung berprofesi pada sektor non pertanian. Menurut BPS (2013) struktur perekonomian di Jakarta didominasi oleh sektor keuangan, rela estate dan jasa perusahaan (27.75%), sektor perdagangan, hotel, restoran (21.11%), sektor industri pengolahan (15.23%), sektor konstruksi (11.16%), sektor jasa (12.85%), sektor pengangkutan dan komunikasi (10.49%), sektor listrik, gas dan air bersih (0.88%), sektor pertambangan dan penggalian (0.44%) dan sektor pertanian (0.08%). Kondisi tersebut menandakan Kota Jakarta sebagai kota jasa. Hal ini dikarenakan sekitar 72.56% PDRB Jakarta berasal dari sektor (perdagangan,keuangan,jasa dan angkutan), sebesar 26.95% berasal dari sektor industri pengolahan, konstruksi, listrik, gas dan air bersih. Sedangkan sebesar 0.49% berasal dari sektor pertanian. Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Dalam Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2030, mengatur tentang perencanaan struktur dan pola ruang di DKI Jakarta. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budidaya, diantaranya kawasan lindung, budidaya, RTH, fungsi ibukota, permukiman, permukiman taman, perkantoran, perdagangan dan jasa, serta kawasan industri.
18
Gambar 12 Peta rencana pola ruang DKI Jakarta
19 Penutupan Lahan Penutupan Lahan Tahun 1993 Penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir terdiri dari tiga kelas yaitu ruang terbangun, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan badan air. Selain itu terdapat dua kelas yang tidak terklasifkasi sebagai penutupan lahan yaitu awan dan bayangan awan, namun kedua kelas tersebut tetap dilibatkan karena berpengaruh terhadap proses dan hasil klasifikasi (Gambar 8). Kelas penutupan lahan yang mendominasi yaitu ruang terbangun sebesar 5 535.90 ha (57.59%) dari total luas wilayah meliputi bangunan (permukiman, kawasan industri, pusat bisnis dan pemerintahan). Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan luas 2 864.88 ha (29.80%) dari total luas wilayah terdiri dari areal hutan kota, taman kota, sawah, lahan kosong, semak belukar, dan jalur hijau jalan. Badan air dengan luas 297.90 ha (3.10%) dari total luas wilayah terdiri dari sungai, danau, dan waduk. Awan dengan luas 288.36 ha (3.00%) dan bayangan awan sebesar 624.78 ha (6.50%). Berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini tidak sesuai dengan standar IPL dalam suatu DAS, dimana suatu DAS atau SubDAS tergolong dalam keadaan baik jika memiliki IPL >75.00% (Sodikin 2012). Akurasi pembuat (Producer’s Accuracy) diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Berdasarkan matriks kesalahan di atas diketahui bahwa nilai akurasi pembuat tertinggi (Producer Accuracy) terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun,. sedangkan nilai akurasi pembuat terendah terdapat pada kelas penutupan lahan badan air (Tabel 4). Akurasi pengguna (User Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel kelas tersebut. Nilai akurasi pengguna tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun, sedangkan nilai akurasi pengguna terendah terdapat pada kelas penutupan lahan RTH (Tabel 4). Akurasi umum (Overall Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas dengan total keseluruhan piksel yang digunakan. Nilai akurasi umum dan akurasi kappa pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 1993 Data Acuan 1 2 3 4 1 237 227 226 0 2 118 130 117 0 3 33 30 29 0 4 0 0 0 0 5 10 1 0 0 Total Kolom 388 388 372 0 PA (%) 95.36 99.15 87.88 Overall Accuracy(%) 95.88 Kappa Accuracy(%) 92.28 Ket: 1= ruang terbangun; 2= ruang terbuka hijau(RTH); 3= badan awan; UA= User’s Accuracy; PA= Producer’s Accuracy Kelas
5 0 0 0 0 0 0 -
Total Baris 690 365 29 0 11 1 158
UA(%) 99.56 90.00 96.67 -
air; 4= awan; 5= bayangan
20 1.
Penutupan Lahan Berdasarkan Kecamatan Tahun 1993 Berdasarkan peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir pada tahun 1993 diketahui bahwa kecamatan dengan luas ruang terbangun terbesar yaitu Kecamatan Tebet. Sedangkan kecamatan dengan luas ruang terbangun terkecil yaitu Kecamatan Cempaka Putih. Kecamatan dengan luas RTH terbesar yaitu Kecamatan Pasar Rebo. Sedangkan luas RTH terkecil terdapat pada Kecamatan Cempaka Putih. Kecamatan dengan luas badan air terbesar yaitu Kecamatan Tanjung Priok. Sedangkan pada Kecamatan Cempaka Putih dan Tamansari tidak terdapat badan air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan tahun 1993 Kecamatan Cempaka Putih Gambir Johar Baru Kemayoran Menteng Sawah Besar Senen Pademangan Tanjung Priok Tamansari Jatinegara Kramat Jati Matraman Pasar Rebo Jagakarsa Pancoran Pasar Minggu Setiabudi Tebet Total
Jenis Penutupan Lahan (ha) Ruang Terbangun RTH Badan Air 18.59 1.44 0.00 103.48 14.78 5.95 162.76 10.44 0.06 411.41 15.76 5.95 345.60 41.57 21.82 537.19 129.05 20.83 396.84 27.19 1.88 542.42 324.09 52.67 642.99 182.24 70.42 198.92 6.90 0.00 179.33 13.59 3.47 264.23 238.88 4.96 102.48 12.12 2.28 339.58 794.96 15.67 167.18 565.44 43.15 159.74 100.48 17.85 163.16 292.18 16.37 97.75 15.07 0.18 702.26 78.71 14.38 5 535.90 2 864.88 297.90
Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1993 diketahui bahwa Kecamatan Tebet merupakan kawasan dengan ruang terbangun terbesar yaitu sebesar 702.26 ha (14.38%). Hal ini disebabkan jumlah penduduk di kecamatan tersebut merupakan yang tergolong tinggi yaitu sebesar 278 523 jiwa, menurut BPS (1994). Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah peruntukkan Kecamatan Tebet sebagai kawasan permukiman di wilayah Jakarta Selatan, menurut RTRW DKI Jakarta tahun 1990-2010. Peruntukkan kawasan sebagai kawasan permukiman berdampak pada semakin meningkatnya ruang terbangun, khususnya permukiman di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1993, diketahui bahwa Kecamatan Pasar Rebo merupakan kawasan dengan luas RTH terbesar yaitu sebesar 794.96 ha (27.75%). Hal ini disebabkan peruntukkan Kecamatan Pasar Rebo sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan resapan air di wilayah Jakarta Timur, menurut RTRW DKI Jakarta tahun 19902010. Hal ini mengakibatkan masih tingginya luas RTH di kawasan tersebut guna mendukung kegiatan budidaya pertanian.
21
Gambar 13 Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun 1993
22 Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013 Penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2013 terdiri dari tiga kelas penutupan lahan yaitu ruang terbangun, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan badan air. Selain itu terdapat dua kelas yang tidak terklasifkasi sebagai penutupan lahan yaitu awan dan bayangan awan (Gambar 17). Ruang terbangun adalah seluruh kawasan yang berupa lahan terbangun yang meliputi kawasan pemukiman, pusat perdagangan, industri, infrastruktur, dan lainnya. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah seluruh hamparan lahan yang terdiri dari tegakan pohon, semak belukar, rumput dan lahan pertanian. Badan air adalah seluruh kawasan dengan kenampakan perairan meliputi sungai, danau, dan waduk.
Gambar 14 Ruang terbangun di lokasi penelitian (Sumber : Survey lapang)
Gambar 15 RTH di lokasi penelitian (Sumber : Survey lapang)
Gambar 16 Badan air di lokasi penelitian (Sumber : Survey lapang) Kelas penutupan lahan yang mendominasi yaitu ruang terbangun sebesar 7 168.86 ha (75.57%) dari total luas wilayah meliputi bangunan (permukiman,
23 kawasan industri, pusat bisnis dan pemerintahan). Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan luas 1 159.56 ha (12.06%) dari total luas wilayah terdiri dari areal sawah, tegalan, lahan kosong, semak belukar, taman kota, dan jalur hijau jalan. Badan air dengan luas 469.08 ha (4.88%) dari total luas wilayah terdiri dari sungai, danau, dan waduk yang tersebar di DAS Ciliwung Hilir. Awan dengan luas 458.37 ha (4.77%) dan bayangan awan sebesar 357.12 ha (3.71%). Berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini tidak sesuai dengan standar IPL dalam suatu DAS, dimana suatu DAS atau Sub-DAS tergolong dalam keadaan baik jika memiliki IPL >75.00% (Sodikin 2012). Akurasi pembuat (Producer’s Accuracy) diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Berdasarkan matriks kesalahan di atas diketahui bahwa nilai akurasi pembuat (Producer Accuracy) tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun, sedangkan nilai akurasi pembuat terendah terdapat pada kelas penutupan lahan badan air (Tabel 6). Akurasi pengguna (User Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel kelas tersebut. Nilai akurasi pengguna tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan RTH dan badan air, sedangkan nilai akurasi pengguna terendah terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun (Tabel 6). Akurasi umum (Overall Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas dengan total keseluruhan piksel yang digunakan. Nilai akurasi umum dan akurasi kappa pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 6 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2013 Data Acuan 1 2 3 4 1 78 70 70 0 2 45 46 45 0 3 22 27 22 0 4 0 0 0 0 5 0 2 0 0 Total Kolom 145 145 137 0 PA (%) 85.37 100.00 100.00 Overall Accuracy(%) 94.48 Kappa Accuracy(%) 91.01 Ket: 1= ruang terbangun; 2= ruang terbuka hijau(RTH); 3= badan awan; UA= User’s Accuracy; PA= Producer’s Accuracy Kelas
1.
5 0 0 0 0 0 0 -
Total Baris 218 136 71 0 2 427
UA(%) 100.00 97.83 81.48 -
air; 4= awan; 5= bayangan
Penutupan Lahan Berdasarkan Kecamatan Tahun 2013
Berdasarkan peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir pada tahun 2013 diketahui bahwa kecamatan dengan luas ruang terbangun terbesar yaitu Kecamatan Pasar Rebo. Sedangkan kecamatan dengan luas ruang terbangun terkecil yaitu Kecamatan Cempaka Putih. Kecamatan dengan luas RTH terbesar yaitu Kecamatan Jagakarsa. Sedangkan luas RTH terkecil terdapat pada Kecamatan Matraman. Kecamatan dengan luas badan air terbesar yaitu Kecamatan Tanjung Priok. Sedangkan pada Kecamatan Cempaka Putih dan Tamansari tidak terdapat badan air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
24 Tabel 7 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan di DAS Ciliwung Hilir tahun 2013 Kecamatan Cempaka Putih Gambir Johar Baru Kemayoran Menteng Sawah Besar Senen Pademangan Tanjung Priok Tamansari Jatinegara Kramat Jati Matraman Pasar Rebo Jagakarsa Pancoran Pasar Minggu Setiabudi Tebet Total
Jenis Penutupan Lahan (ha) Ruang Terbangun RTH 17.04 3.35 125.17 7.40 182.60 11.83 476.39 47.72 371.32 14.99 563.61 129.27 382.23 45.36 581.97 123.45 352.85 55.81 167.40 21.79 189.33 1.87 669.80 69.42 135.57 1.08 950.53 205.59 529.64 239.60 243.80 26.43 390.09 86.67 108.64 2.86 730.90 65.08 7 168.86 1 159.56
Badan Air 0.00 7.22 3.69 8.06 24.18 35.52 6.05 35.86 97.41 0.00 14.95 25.86 1.51 26.79 55.34 34.43 61.97 2.52 27.71 469.08
Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2013, diketahui bahwa Kecamatan Pasar Rebo merupakan kawasan dengan ruang terbangun terbesar yaitu sebesar 950.53 ha (13.26%). Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang tergolong besar yaitu sebesar 200 352 jiwa menurut BPS dalam Pasar Rebo dalam Angka (2014). Hal ini disebabkan peruntukkan Kecamatan Pasar Rebo sebagai wilayah pengembangan kawasan permukiman kepadatan rendah. Namun jika dilihat berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, Kecamatan Pasar Rebo tergolong wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi (Lampiran 2). Hal ini perlu diperhatikan karena beresiko terhadap daya dukung kawasan sebagai kawasan permukiman kepadatan rendah. Selain itu Kecamatan Pasar Rebo juga diperuntukkan sebagai wilayah pengembangan kawasan perindustrian di wilayah Jakarta Timur menurut RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Tingginya aktivitas industri mendorong pertumbuhan penduduk, sehingga berdampak pada semakin meningkatnya ruang terbangun di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2013, diketahui bahwa luas RTH terbesar terdapat di Kecamatan Jagakarsa dengan luas sebesar 239.60 ha (20.66%). Hal ini disebabkan peruntukkan Kecamatan Jagakarsa sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan resapan air di wilayah Jakarta Selatan menurut RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Namun berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan di Kecamatan Jagakarsa tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini perlu diperhatikan karena akan berdampak pada kurangnya kemampuan lahan dalam menyerap air akibat berkurangnya kawasan resapan air di wilayah tersebut. Dengan demikian perlu adanya peningkatan luas RTH tidak hanya di wilayah Jagakarsa melainkan juga wilayah-wilayah lainnya di DAS Ciliwung Hilir, guna menanggulangi masalah kurangnya wilayah resapan air di DAS Ciliwung Hilir.
25
Gambar 17 Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013
26 Perubahan Penutupan Lahan Perubahan Penutupan lahan Periode 1993-2013 Dalam kurun waktu 1993-2013 terdapat lahan yang mengalami perubahan dan ada juga yang tetap atau tidak mengalami perubahan (Lampiran 1). Luas penutupan lahan yang tidak mengalami perubahan yaitu sebesar 5 419.98 ha (56.38%). Sedangkan luas penutupan lahan yang mengalami perubahan yaitu 2 540.61 ha (26.42%). Luas lahan yang tidak mengalami perubahan dari yang terbesar hingga terkecil adalah tetap ruang terbangun sebesar 4 604.22 ha (84.95%), tetap RTH sebesar 689.85 ha (12.73%), dan tetap badan air sebesar 125.91 ha (2.32%). Jenis penutupan lahan yang tidak mengalami perubahan terbesar berupa ruang terbangun. Hal ini disebabkan peruntukkan wilayah yang tergolong sebagai wilayah perkotaan. Hal ini terkait dengan fungsi utama kawasan perkotaan sebagai wilayah non pertanian, sehingga menyebabkan tingginya intensitas ruang terbangun di wilayah tersebut. Sementara itu luas lahan yang mengalami perubahan dari yang terbesar hingga terkecil adalah ruang terbangun menjadi RTH sebesar 325.44 ha (12.81%), ruang terbangun menjadi badan air sebesar 121.05 ha (4.76%), RTH menjadi ruang terbangun sebesar 1 780.11 ha (70.07%), RTH menjadi badan air sebesar 189.72 ha (7.47%), dan badan air menjadi ruang terbangun sebesar 70.83 ha (2.79%) dan badan air menjadi RTH sebesar 53.46 ha (2.10%). Jenis penutupan lahan yang mengalami perubahan terbesar berupa RTH menjadi ruang terbangun. Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah penduduk yang berdampak pada tingginya laju perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di wilayah tersebut. Perubahan Penutupan lahan dari RTH menjadi Ruang Terbangun Berdasarkan peta perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun periode 1993-2013, diketahui bahwa dalam kurun waktu tersebut hampir seluruh wilayah di lokasi penelitian mengalami perubahan. Perubahan lahan terutama terjadi pada RTH yang beralih fungsi menjadi ruang terbangun sebesar 1 780.11 ha (70.07%). Gambar di bawah ini menunjukkan persentase luas kawasan yang mengalami perubahan penutupan lahan RTH menjadi ruang terbangun dari yang terkecil hingga terbesar berdasarkan kecamatan. 35 30 25 20 15 10 5 0
33,08 18,7 10,8810,95 6,34 4,92 4 2,3 3,01 0,04 0,09 0,38 0,44 0,54 0,57 0,63 0,75 0,84 1,52
luas (%)
RTH menjadi Ruang Terbangun
Gambar 18 Persentase luas RTH menjadi ruang terbangun per kecamatan periode 1993-2013
27 Berdasarkan hasil peta perubahan penutupan lahan diketahui bahwa Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu merupakan 3 kecamatan dengan perubahan RTH ke ruang terbangun yang paling tinggi. Pada Kecamatan Pasar Rebo telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 589.20 ha (33.08%). Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Pasar Rebo yaitu Kelurahan Pekayon sebesar 196.27 ha (33.31%). Pada Kecamatan Jagakarsa telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 333.08 ha (18,70%). Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Jagakarsa yaitu Kelurahan Tanjung Barat sebesar 179.84 ha (53.99%). Pada Kecamatan Pasar Minggu telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 195.07 ha (10.95%). Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Pasar Minggu yaitu Kelurahan Pejaten Timur sebesar 166.83 ha (85.53%). Perubahan lahan terutama terjadi di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu, terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk dapat dilihat berdasarkan data kependudukan di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu pada tahun 1993, 2000, 2010, 2011, 2012 dan 2013 dari BPS DKI Jakarta. Pada tahun 1993 Kecamatan Pasar Rebo tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 109 252 jiwa, pada tahun 2000 berjumlah 150 120 jiwa, pada tahun 2010 berjumlah 190 851 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 191 947 jiwa, pada tahun 2012 berjumlah 197 935 jiwa dan pada tahun 2013 berjumlah 200 352 jiwa. Pada tahun 1993 Kecamatan Jagakarsa tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 92 957 jiwa, pada tahun 2000 berjumlah 120 178 jiwa, pada tahun 2010 berjumlah 190 851 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 191 947 jiwa, pada tahun 2012 berjumlah 197 935 jiwa, dan pada tahun 2013 berjumlah 165 371 jiwa. Pada tahun 1993 Kecamatan Pasar Minggu tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 78 296 jiwa, pada tahun 2000 berjumlah 76 314 jiwa, pada tahun 2010 berjumlah 89 829 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 95 910 jiwa, pada tahun 2012 berjumlah 96 296 jiwa dan pada tahun 2013 berjumlah 96 949 jiwa. Besarnya jumlah penduduk berdampak pada tingginya kepadatan penduduk di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu (Lampiran 2). Menurut Paimin et al. (2012) dalam Wahyuni (2013), salah satu parameter yang mencerminkan tekanan penduduk terhadap suatu lahan atau wilayah adalah kepadatan penduduk. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, maka semakin tinggi pula tekanan terhadap lahan. Oleh karena itu tingkat kepadatan penduduk di ketiga wilayah tersebut perlu diperhatikan karena akan beresiko pada meningkatnya perubahan lahan, sehingga menyebabkan terganggunya fungsi ekologis ketiga wilayah tersebut sebagai daerah aliran sungai. Perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu juga disebabkan oleh pembagian zona perencanaan kawasan dalam RTRW dan RDTR. Pada periode 1993-2013 telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 48.03% di Kecamatan Pasar Rebo. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan peruntukkan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Pasar Rebo sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta tahun 1990-2010 dan RTRW DKI Jakarta tahun 2010-
28 2030. Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta tahun 2014, Kecamatan Pasar Rebo termasuk zona permukiman kepadatan sedang-tinggi (Lampiran 3). Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Pekayon. Pada periode 1993-2013 telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 38.69% di Kecamatan Jagakarsa. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Jagakarsa sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta Tahun 1990-2010 dan RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta tahun 2014, Kecamatan Jagakarsa termasuk zona kawasan permukiman kepadatan sedangtinggi (Lampiran 4). Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang-tinggi yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Tanjung Barat. Pada periode 1993-2013 telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 35.82% di Kecamatan Pasar Minggu. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Pasar Minggu sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta Tahun 1990-2010 dan RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta tahun 2014, Kecamatan Pasar Minggu termasuk zona permukiman kepadatan sedang-tinggi (Lampiran 5). Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang-tinggi yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Pejaten Timur. Perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun pada periode 1993-2013 yang tidak sesuai dengan arahan RTRW sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air, dan kawasan RTH perlu diperhatikan karena berpotensi menimbulkan perubahan lahan menjadi ruang terbangun yang semakin luas. Hal ini akan berdampak pada terganggunya fungsi ekologis kawasan tersebut sebagai daerah aliran sungai. Selain itu RDTR yang ada saat ini belum mengimplementasikan RTRW sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air, dan kawasan RTH, oleh karena itu perlu adanya evaluasi lebih lanjut terhadap RDTR yang ada khususnya tentang rencana detail RTH. Hal ini perlu diperhatikan agar tercipta keselarasan antara RDTR dan RTRW dalam hal rencana RTH di ketiga kecamatan terpilih. Karakteristik Permukiman Permukiman di lokasi terpilih terdiri dari permukiman terencana dan permukiman tidak terencana. Menurut pedoman teknis tata cara pemilihan lokasi prioritas untuk pengembangan perumahan dan permukiman di kawasan perkotaan Dinas PU, permukiman terencana adalah permukiman yang dibangun dengan suatu aturan yang jelas sehingga membentuk tata bangunan yang memiliki pola yang teratur, umumnya dibangun oleh pihak pengembang (developer). Sedangkan permukiman tidak terencana adalah permukiman yang dibangun secara informal yaitu permukiman yang dibangun oleh individu tanpa mengikuti aturan yang berlaku sehingga membentuk tata bangunan yang cenderung tidak memiliki pola yang teratur. Karakteristik permukiman dapat dilihat berdasarkan pola permukiman, ukuran permukiman, kepadatan permukiman dan infrastruktur permukiman di dalamnya.
29 Berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun, diperoleh 3 wilayah yang paling banyak mengalami perubahan terutama menjadi kawasan permukiman (Kelurahan Pekayon, Tanjung Barat, dan Pejaten Timur). Saat ini ketiga wilayah tersebut didominasi oleh permukiman tidak terencana sebesar 236.52 ha (87.23%). Sedangkan permukiman terencana sebesar 30.96 ha (12.77%). Berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan, diperoleh sampel permukiman yaitu permukiman tidak terencana yang berlokasi di RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat), dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur). Sedangkan pada permukiman terencana diperoleh sampel yaitu Komplek Tanjung Mas Estate (Kelurahan Tanjung Barat) dan Komplek Batu Permata (Kelurahan Pejaten Timur) (Lampiran 6). Karakteristik Permukiman Tidak Terencana 1. Pola permukiman Berdasarkan hasil analisis pola permukiman dengan menggunakan software Google Earth diketahui bahwa di ketiga lokasi yaitu pada RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) memiliki pola permukiman yang linier (memanjang). Bangunan rumah pada umumnya berorientasi pada jalan dan sebagian besar bangunan rumah merupakan bangunan permanen.
Gambar 19 Pola permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Pola permukiman pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih memiliki pola permukiman linier (memanjang) dan berorientasi pada jalan. Pada pola permukiman ini unit-unit rumah dibangun secara memanjang mengikuti arah jalan. Pola permukiman memanjang pada jalan terutama dipengaruhi oleh jaringan jalan yang telah ada. Hal ini terkait dengan kemudahan akses yang diperoleh jika membangun permukiman di sepanjang jalan. Selain itu topografi juga mempengaruhi pola permukiman memanjang. Hal ini dikarenakan topografi kawasan di lokasi terpilih relatif datar, sehingga memungkinkan untuk membangun permukiman di kawasan tersebut. 2. Ukuran permukiman Ukuran permukiman dibedakan menjadi permukiman tunggal (satu rumah), permukiman kecil (0-500 jiwa), permukiman sedang ( 2 000 jiwa), permukiman besar (2 000-5 000 jiwa) dan permukiman sangat besar (>5 000 jiwa) (Mulyana et al. 2007). Berdasarkan hasil analisis data kependudukan diketahui bahwa pada RW 02 (Kelurahan Pekayon) tergolong ke dalam permukiman berukuran sangat besar yaitu sebesar 6 456 jiwa. Pada RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) tergolong ke dalam permukiman berukuran sangat besar yaitu sebesar 8 689 jiwa. Pada RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) tergolong ke dalam permukiman berukuran sangat yaitu sebesar 5 480 jiwa. Pada permukiman tidak terencana di 3 lokasi terpilih
30 tergolong ke dalam permukiman sangat besar. Hal ini dikarenakan pada permukiman tidak terencana yang terdapat di 3 lokasi terpilih memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut akibat lokasi permukiman yang berada di wilayah semi perkotaan. Hal ini menyebabkan harga tanah di wilayah tersebut lebih murah dan berdampak pada banyaknya masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut. Selain itu kemudahan dalam mengakses pusat kegiatan dan pelayanan juga mempengaruhi ukuran permukiman. Hal ini dikarenakan kemudahan mengakses pusat kegiatan dan pelayanan merupakan faktor penting dalam menunjang keberlangsungan permukiman. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun. Dalam PERMEN tersebut menyatakan bahwa salah satu dasar pemilihan lokasi permukiman yaitu kemudahan dalam mengakses pusat kegiatan dan pelayanan (Emawati 2011). Pada permukiman tidak terencana di Kelurahan Pekayon misalnya, permukiman banyak tumbuh terutama di RW 02. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut dekat dengan pusat pemerintahan yaitu Kantor Kelurahan Pekayon dan Kalisari. Pada permukiman tidak terencana di RW 05 Kelurahan Pejaten Timur dan RW 01 Kelurahan Tanjung Barat, kawasan permukiman banyak tumbuh dikarenakan kawasan tersebut dekat dengan pusat perkantoran (TB. Simatupang, Pejaten) dan sarana transportasi (Terminal Pasar Minggu, Stasiun Pasar Minggu, dan Stasiun Tanjung Barat). Hal ini menandakan bahwa kemudahan dalam mengakses pusat kegiatan menjadi salah satu faktor pemicu pertumbuhan penduduk dan bedampak pada kenekaragaman ukuran permukiman di suatu wilayah. 3. Kepadatan permukiman Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, kepadatan permukiman dibedakan menjadi kepadatan rendah (<40.00%), kepadatan sedang (40.00-60.00%), dan kepadatan tinggi (>60.00%). Berdasarkan hasil analisis kepadatan permukiman diketahui bahwa pada RW 02 (Kelurahan Pekayon) memiliki kepadatan sebesar 51.65% dan tergolong ke dalam kepadatan sedang. Pada RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) memiliki kepadatan sebesar 39.53% dan tergolong ke dalam kepadatan rendah. Pada RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) memiliki kepadatan sebesar 49.98% dan tergolong ke dalam kepadatan sedang. Pada permukiman tidak terencana di 3 lokasi terpilih tergolong ke dalam kawasan permukiman kepadatan rendah-sedang. Pada RW 02 (Kelurahan Pekayon) tergolong ke dalam permukiman kepadatan sedang. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke dalam kawasan permukiman dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sedang-tinggi menurut RDTR Kecamatan Pasar Rebo, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini tergolong sedang. Pada RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) tergolong ke dalam permukiman kepadatan rendah. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke dalam kawasan permukiman dengan KDB sedang-tinggi menurut RDTR Kecamatan Jagakarsa, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini tergolong rendah. Pada RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) tergolong ke dalam permukiman kepadatan sedang. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke dalam kawasan permukiman dengan
31 KDB sedang-tinggi menurut RDTR Kecamatan Pasar Minggu, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini relatif sedang. 4.
Infrastruktur permukiman Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat beberapa aspek penilaian yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan kualitas infrastruktur permukiman. Aspek yang digunakan dalam penilaian kualitas infrastruktur permukiman yaitu jalan, saluran drainase, air bersih dan pembuangan sampah. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kondisi infrastruktur di ketiga lokasi terpilih tergolong baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai total seluruh aspek (Tabel 8). Tabel 8 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman tidak terencana Skor Aspek
Sampel Permukiman RW 02 Pekayon RW 01 Tanjung Barat RW 05 Pejaten Timur
Skor Jalan 3 3 3
Skor Drainase
Skor Air Bersih
2 2 2
3 3 3
Skor Pembuangan Sampah 3 3 3
Skor Total 11 11 11
Keterangan Tinggi Tinggi Tinggi
Keterangan: Nilai total 4-7 = Rendah, 8-10= Sedang, 11-12= Tinggi
Jalan Kondisi jalan pada ketiga lokasi terpilih yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur), tergolong ke dalam kondisi yang baik (Gambar 18). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian kondisi jalan. Hal ini dikarenakan tingkat kerusakan jalan di lokasi terpilih <50.00%. Pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih diketahui bahwa pada umunya jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I, jalan lokal sekunder II dan jalan lokal sekunder III dengan lebar jalan berkisar antara 1.00-5.00 m. Selain itu diketahui bahwa pada ketiga lokasi terpilih tidak terdapat bahu jalan. 4.1
Gambar 20 Kondisi eksisiting jalan pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Lebar jalan lokal sekunder I di ketiga lokasi terpilih berkisar antara 4.005.00 m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder II minimum yaitu 5.50-6.00 m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Lebar jalan lokal sekunder II di ketiga lokasi terpilih berkisar antara 3.00-4.00 m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder II minimum yaitu 5.50-5.50 m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun
32 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Lebar jalan lokal sekunder III di ketiga lokasi terpilih berkisar antara 1.00-2.50 m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder III minimum yaitu 4.00-5.50 m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Namun baik pada jalan lokal sekunder maupun jalan lingkungan tidak terdapat bahu jalan. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria jalan lokal sekunder dan jalan lingkungan yang diharuskan memiliki bahu jalan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Lebar jalan yang tidak memenuhi standar dan tidak terdapatnya bahu jalan disebabkan padatnya bangunan permukiman di lokasi terpilih sehingga tidak memungkinkan dilakukan pelebaran jalan. Dengan demikian diketahui bahwa sistem jaringan jalan pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih terdiri dari jalan lokal sekunder I, jalan lokal sekunder II dan jalan lokal sekunder III. Lebar jalan lokal sekunder I, II dan III pada permukiman tidak terencana tidak sesuai dengan kriteria yang ada. Bahu jalan merupakan bagian dari ruang manfaat jalan yang berfungsi sebagai fasilitas bagi pejalan kaki. Keberadaan bahu jalan dalam suatu permukiman sangat penting karena merupakan fasilitas bagi pejalan kaki. Oleh karena itu keberadaan bahu jalan diperlukan dalam menujang keberlangsungan permukiman. Dengan demikian perlu adanya pengawasan terhadap implementasi peraturan dalam pembangunan infrastruktur jalan khususnya keberadaan bahu jalan pada permukiman. 4.2
Saluran Drainase Saluran drainase merupakan salah satu kelengkapan fisik dasar yang harus dimiliki dalam suatu permukiman. Secara umum drainase diartikan suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan, sehingga fungsi kawasan tersebut tidak terganggu (Suripin 2004 dalam Mursitaningsih 2009). Sistem saluran drainase di lokasi terpilih yaitu saluran mikro berupa saluran di sepanjang sisi jalan dan saluran di sekitar bangunan. Adapun saluran drainase berbentuk saluran drainase terbuka. Saluran drainase terbuka adalah saluran yang permukaan air nya terpengaruh dengan udara luar (atmosfer). Saluran ini biasanya digunakan untuk mengalirkan air hujan atau air limbah yang tidak mengganggu kesehatan lingkungan dan keindahan. Pada ketiga lokasi yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur), kondisi saluran drainase tergolong buruk (Gambar 19). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 2 pada penilaian kondisi saluran drainase. Hal ini dikarenakan menurut narasumber, ketinggian air di saluran drainase pada lokasi terpilih relatif tinggi yaitu ≤50.00%. Selain itu diketahui bahwa saluran drainase berbentuk saluran terbuka dengan kedalaman berkisar antara 10.00-25.00 cm dan lebar berkisar antara 10.00-30.00 cm. Kondisi saluran drainase yang buruk disebabkan kedalaman saluran air yang relatif dangkal sehingga tidak mampu menampung air limbah rumah tangga masyarakat sekitar. Selain itu juga disebabkan tumpukan sampah yang tergenang dan
33 mengendap pada saluran drainase menyebabkan rendahnya tingginya genangan air. Hal ini perlu diperhatikan karena beresiko menyebabkan banjir di kawasan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya revitalisasi saluran drainase, guna mencegah terjadinya banjir di kawasan tersebut. Hal yang dapat dilakukan yaitu perbaikan sistem drainase dengan pendekatan Sustainable Urban Drainage System (SUDS). Menurut Dinas PU, Sustainable Urban Drainage System (SUDS) atau sistem drainase berkelanjutan adalah teknik pengelolaan air yang berfokus pada pengendalian aliran air permukaan dengan prinsip menampung dan meresapkan air. Adapun cara kerjanya yaitu, air hujan yang jatuh ditahan melalui bangunan resapan, baik buatan maupun alamiah seperti kolam tandon, sumursumur resapan, biopori, dan lainnya, untuk selanjutnya diresapkan ke dalam tanah. Oleh karena itu perlu adanya peran serta masyarakat dalam penerapan Sustainable Urban Drainage System (SUDS).
Gambar 21 Saluran drainase pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih 4.3
Air Bersih Air bersih merupakan salah satu kelengkapan dasar fisik dalam suatu permukiman dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Pada ketiga lokasi terpilih yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) pelayanan air bersih tergolong baik. Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian pelayanan air bersih. Menurut narasumber pelayanan air bersih pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih tergolong dalam kondisi yang baik. Hal ini dikarenakan menurut narasumber hampir seluruh unit rumah sudah mendapatkan pelayanan air bersih (90.00%) yang berasal dari air tanah. 4.4 Pembuangan Sampah Sarana pembuangan sampah juga merupakan salah satu kelengkapan dasar fisik permukiman. Pada ketiga lokasi terpilih yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) pelayanan pembuangan sampah tergolong baik. Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian pelayanan pembuangan sampah. Hal ini dikarenakan menurut narasumber sebagian besar masyarakat (>80.00%) sudah mendapatkan pelayanan pembuangan sampah. Selain itu juga dikarenakan frekuensi pengangkutan sampah dilakukan setiap hari. Pelayanan pembuangan sampah di lokasi terpilih ditangani oleh Suku Dinas Kebersihan setempat. Selain itu berdasarkan hasil turun lapang diketahui bahwa terdapat sarana pengelolaan sampah berupa Tempat Penampuangan Sampah Sementara (TPS), di RW 01 Kelurahan Tanjung Barat dan RW 05 Kelurahan Pejaten Timur. Sarana pengangkutan sampah berupa
34 gerobak sampah berkapasitas volume sampah ± 1 m3. Mekanisme pengangkutan sampah di kawasan permukiman tidak terencana di lokasi terpilih dilakukan dengan cara diangkut oleh petugas kebersihan, kemudian dikumpulkan di TPS untuk selanjutnya di buang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang.
Gambar 22 Sarana pembuangan sampah pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Karakteristik Permukiman Terencana 1. Pola permukiman Berdasarkan hasil analisis pola permukiman dengan menggunakan software Google Earth diketahui bahwa pada permukiman terencana di lokasi terpilih memiliki pola permukiman yang berbeda. Pada Komplek Tanjung Mas Estate memiliki pola konvensional. Pada Komplek Batu Permata memilki pola cluster. Bangunan rumah pada umumnya berorientasi pada jalan dan sebagian besar bangunan rumah merupakan bangunan permanen.
Gambar 23 Pola permukiman terencana di lokasi terpilih Pola permukiman pada permukiman terencana di lokasi terpilih memiliki pola permukiman konvensional dan cluster. Pada Komplek Tanjung Mas Estate memiliki pola permukiman berbentuk konvensional. Pada pola permukiman konvensional memiliki batas kapling yang jelas dan tingkat kepadatan rumah yang tersebar merata di seluruh kawasan. Hal ini dikarenakan komplek Tanjung Mas Estate berdiri Tahun 1983, dan pada saat itu konsep konvensional tersebut merupakan konsep perencanaan permukiman terencana yang pertama dikenal dan berkembang pada Tahun 1970-1990. Dengan demikian diketahui bahwa faktor keterbatasan konsep perencanaan perumahan mempengaruhi pola permukiman di Komplek Tanjung Mas Estate. Sedangkan pada Komplek Batu Permata memilki pola permukiman cluster. Pada konsep cluster rumah dibangun secara berkelompok untuk mendapatkan kepadatan yang tinggi. Hal ini dikarenakan keterbatasan lahan yang dimiliki komplek Batu Permata yaitu sebesar 5 950 m2, sehingga rumah-rumah dibangun secara berkelompok guna mendapatkan tingkat
35 kepadatan bangunan yang tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah unit bangunan di komplek Batu Permata yang hanya berjumlah 22 unit. Dengan demikian diketahui bahwa faktor luas lahan mempengaruhi pola permukiman di Komplek Batu Permata. 2. Ukuran permukiman Ukuran permukiman dibedakan menjadi permukiman tunggal (satu rumah), permukiman kecil (0-500 jiwa), permukiman sedang ( 2 000 jiwa), permukiman besar (2 000-5 000 jiwa) dan permukiman sangat besar (>5 000 jiwa) (Mulyana et al. 2007). Berdasarkan hasil hasil wawancara dengan Ketua RT setempat diketahui bahwa pada Komplek Tanjung Mas Estate tergolong ke dalam permukiman berukuran sedang. Hal ini dikarenakan komplek tersebut memiliki jumlah penduduk sebesar 1 719 jiwa. Sedangkan pada Komplek Batu Permata tergolong ke dalam permukiman berukuran kecil. Hal ini dikarenakan komplek tersebut memiliki jumlah penduduk sebesar 96 jiwa. Permukiman terencana di lokasi terpilih dapat dikategorikan sebagai permukiman kecil dan sedang. Pada Komplek Tanjung Mas Estate tergolong ke dalam permukiman ukuran sedang. Kawasan perumahan ini dihuni sekitar 1 719 jiwa yang terdiri dari 480 KK. Hal ini disebabkan kawasan Komplek Tanjung Mas Estate tergolong sebagai wisma besar. Hal ini dapat dilihat berdasarkan luas kavling rata-rata >400 m2. Kawasan Komplek Tanjung Mas Estate yang tergolong sebagai wisma besar, menyebabkan tingginya harga lahan dan unit rumah di kawasan tersebut dan berdampak pada jumlah penduduk di dalamnya. Sedangkan Pada Komplek Batu Permata tergolong ke dalam permukiman ukuran kecil. Kawasan perumahan ini dihuni sekitar 96 jiwa yang terdiri dari 22 KK. Hal ini disebabkan kawasan Komplek Batu Permata tergolong sebagai wisma sedang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan luas kavling rata-rata >200 m2. Kawasan Komplek Batu Permata sebagai wisma sedang menyebabkan tingginya harga lahan dan unit rumah di kawasan tersebut dan berdampak pada jumlah penduduk di dalamnya. Selain itu juga disebabkan unit rumah yang terbatas akibat keterbatasan luas Komplek Batu Permata. 3. Kepadatan permukiman Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, kepadatan permukiman dibedakan menjadi kepadatan rendah (<40.00%), kepadatan sedang (40.00-60.00%), dan kepadatan tinggi (>60.00%). Berdasarkan hasil analisis kepadatan permukiman diketahui bahwa pada Komplek Tanjung Mas Estate memiliki kepadatan sebesar 30.95% dan tergolong ke dalam kepadatan rendah. Pada Komplek Batu Permata memiliki kepadatan sebesar 45.75% dan tergolong ke dalam kepadatan sedang. Pada permukiman terencana di lokasi terpilih memiliki kepadatan permukiman rendah dan sedang. Pada Komplek Tanjung Mas Estate tergolong ke dalam permukiman kepadatan rendah. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke dalam kawasan permukiman dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sedang-tinggi menurut RDTR Kecamatan Jagakarsa, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini masih tergolong rendah. Pada Komplek Batu Permata tergolong ke dalam permukiman kepadatan sedang. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke kawasan permukiman dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sedang-tinggi menurut
36 RDTR Kecamatan Pasar Minggu, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini masih tergolong sedang. 5.
Infrastruktur permukiman Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat beberapa aspek penilaian yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan kualitas infrastruktur permukiman. Aspek yang digunakan dalam penilaian kualitas infrastruktur permukiman yaitu jalan, saluran drainase, air bersih dan pembuangan sampah. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kondisi infrastruktur di ketiga lokasi terpilih tergolong baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai total seluruh aspek (Tabel 9). Penilaian infrastruktur permukiman dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 9 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman terencana Sampel Permukiman
Komplek TME Komplek BP
Skor Jalan 3 3
Skor Drainase 3 3
Skor Aspek Skor Air Skor Pembuangan Bersih Sampah 3 3 3 3
Skor Total 12 12
Keterangan Tinggi Tinggi
Keterangan: Nilai total 4-7 = Rendah, 8-10= Sedang, 11-12= Tinggi
4.1
Jalan Kondisi jalan pada lokasi terpilih (Komplek Tanjung Mas Estate dan Komplek Batu Permata) tergolong ke dalam kondisi yang baik (Gambar 22). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 2 narasumber (Ketua RT lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian kondisi jalan. Hal ini dikarenakan tingkat kerusakan di lokasi terpilih <50.00%. Selain itu diketahui bahwa jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I dan jalan lokal sekunder II, dengan lebar jalan sebesar 3.50-7.00 m dan permukaan jalan umumnya sudah beraspal. Sedangkan pada Komplek Batu Permata diketahui bahwa jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I dengan lebar yaitu berkisar antara 3.50-4.00 m, dan pada umumnya juga sudah beraspal. Selain itu diketahui bahwa pada kedua lokasi terpilih tidak terdapat bahu jalan.
Gambar 24 Kondisi eksisiting jalan pada permukiman terencana di lokasi terpilih Pada Komplek Tanjung Mas Estate, jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I dan jalan lokal sekunder II. Pada jalan lokal sekunder I di kawasan Komplek Tanjung Mas Estate memiliki lebar 6.00-7.00 m. Hal ini sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder I minimum yaitu 5.50-6.00 m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Selain itu juga terdapat median jalan dengan lebar 3.00-4.00 m.
37 Sedangkan pada lokal sekunder II memiliki lebar 4.00-5.00 m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lingkungan II minimum yaitu 4.50-5.50 m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Namun baik pada jalan lokal sekunder maupun jalan lingkungan tidak terdapat bahu jalan. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria jalan lokal sekunder dan jalan lingkungan yang diharuskan memiliki bahu jalan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Pada Komplek Batu Permata hanya memiliki satu akses jalan berupa jalan lokal sekunder I dengan lebar 3.50-4.00 m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder I minimum yaitu 5.50-6.00 m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Selain itu pada kawasan ini tidak terdapat median jalan. Namun pada jalan lokal sekunder dan jalan lingkungan tidak terdapat bahu jalan. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria jalan lingkungan yang diharuskan memiliki bahu jalan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Dengan demikian diketahui bahwa sistem jaringan jalan pada permukiman terencana di lokasi terpilih terdiri dari jalan lokal sekunder I, jalan lokal sekunder II. Lebar jalan lokal sekunder I pada permukiman terencana (Komplek Tanjung Mas Estate) sudah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sedangkan pada jalan lokal sekunder II belum sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Lebar jalan lokal sekunder I pada permukiman terencana (Komplek Batu Permata) belum memenuhi kriteria yang ada. Pada jalan lokal sekunder I dan II pada permukiman terencana tidak terdapat bahu jalan. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria jalan yang telah ditetapkan. Bahu jalan merupakan bagian dari ruang manfaat jalan yang berfungsi sebagai fasilitas bagi pejalan kaki. Keberadaan bahu jalan dalam suatu permukiman sangat penting karena merupakan fasilitas bagi pejalan kaki. Oleh karena itu keberadaan bahu jalan diperlukan dalam menujang keberlangsungan permukiman. Dengan demikian perlu adanya pengawasan terhadap implementasi peraturan dalam pembangunan infrastruktur jalan khususnya keberadaan bahu jalan pada permukiman. Saluran Drainase Kondisi saluran drainase pada lokasi terpilih (Komplek TME dan Komplek Batu Permata) tergolong ke dalam kondisi yang baik (Gambar 23). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 2 narasumber (Ketua RT lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 2 pada penilaian kondisi saluran drainase. Hal ini dikarenakan menurut narasumber ketinggian air di saluran drainase pada lokasi terpilih relatif rendah ≤25.00%. Selain itu diketahui bahwa saluran drainase berbentuk saluran terbuka dengan kedalaman berkisar antara 40.00-60.00 cm. Sedangkan pada Komplek Batu Permata pada umumnya saluran drainase berbentuk saluran terbuka dengan kedalaman berkisar antara 30.00-60.00 cm dan lebar antara 30.00-50.00 cm. 4.2
38
Gambar 25 Saluran drainase pada permukiman terencana di lokasi terpilih Kondisi saluran drainase yang relatif lancar disebabkan kedalaman saluran drainase yang cukup ideal, yaitu minimum 30.00 cm menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Selain itu juga disebabkan tingginya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan. 4.3
Air Bersih
Kondisi pelayanan air bersih pada lokasi terpilih (Komplek TME dan Komplek Batu Permata) tergolong baik. Hal ini berdasarkan hasil penilaian 2 narasumber (Ketua RT lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian pelayanan air bersih. Hal ini dikarenakan menurut narasumber seluruh unit rumah sudah mendapatkan pelayanan air bersih (100.00%), yang berasal dari air tanah. 4.4
Pembuangan Sampah Kondisi pelayanan sampah di lokasi terpilih (Komplek TME dan Komplek Batu Permata) tergolong baik. Hal ini berdasarkan hasil penilaian 2 narasumber (Ketua RT lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian pelayanan pembuangan sampah. Hal ini dikarenakan menurut narasumber seluruh penghuni perumahan sudah mendapatkan pelayanan pembuangan sampah (100.00%). Selain itu juga dikarenakan frekuensi pengangkutan sampah dilakukan setiap hari (Komplek Batu Permata) dan setiap 2 hari sekali (Komplek Tanjung Mas Estate). Sarana pengangkutan sampah berupa gerobak sampah berkapasitas volume sampah ± 1 m3. Mekanisme pengangkutan sampah pada lokasi terpilih dengan cara diangkut oleh petugas kebersihan, kemudian dikumpulkan di TPS terdekat untuk selanjutnya di buang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang. Rekomendasi Pengelolaan Berdasarkan hasil analisis terhadap perubahan penutupan lahan dan karakteristik permukiman, diketahui bahwa : 1. Luas RTH pada tahun 1993 (29.80%) dan pada tahun 2013 (12.06%). Berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan (RTH) di DAS Ciliwung Hilir pada tahun 1993 dan 2013, tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini tidak sesuai dengan standar IPL dalam suatu DAS, dimana suatu DAS atau Sub-DAS tergolong dalam keadaan baik jika memiliki IPL (RTH) >75.00%. Dengan demikian perlu meningkatkan luas RTH di seluruh wilayah DAS Ciliwung Hilir melalui penyusunan pedoman pengelolaan RTH berbasis DAS. Selain itu pemerintah
39
2.
3.
4.
5.
juga perlu melakukan sosialisasi tentang RTH, peran serta manfaat RTH bagi DAS kepada masyarakat. Perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun pada periode 1993-2013 sebesar 70.07%. Dengan demikian perlu adanya pengendalian perubahan penutupan lahan melalui pemberian insentif dan disinsentif oleh pemerintah. Permukiman di lokasi terpilih di dominasi oleh permukiman tidak terencana (87.23%). Hal ini disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk sehingga mendorong peningkatan kebutuhan lahan untuk dijadikan permukiman. Oleh karena itu perlu adanya pengendalian penambahan permukiman tidak terencana oleh pemerintah melalui konsolidasi lahan. Pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih, memiliki karakteristik permukiman berupa kepadatan permukiman rendah-sedang. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan di lokasi terpilih sebagai kawasan permukiman dengan KDB sedang-tinggi berdasarkan RDTR Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu. Dengan demikian RDTR yang ada khususnya rencana detail kawasan permukiman perlu dipertahankan. Pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih, memiliki karakteristik berupa buruknya infarstruktur permukiman yaitu drainase permukiman. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kapasitas saluran drainase sehingga berpotensi menyebabkan banjir di wilayah tersebut. Dengan demikian perlu adanya revitalisasi saluran drainase melalui pendekatan Sustainable Urban Drainage System (SUDS) atau sistem drainase berkelanjutan, yaitu teknik pengelolaan air yang berfokus pada pengendalian aliran air permukaan dengan prinsip menampung air pada bangunan serapan (kolam tandon, sumur resapan, lubang biopori) untuk selanjutnya di resapkan ke dalam tanah.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis peta perubahan lahan di DAS Ciliwung Hilir periode 1993-2013, diketahui bahwa perubahan penutupan lahan terbesar terjadi pada RTH menjadi ruang terbangun sebesar 70.07%. Perubahan lahan disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya jumlah penduduk dan peruntukkan wilayah berdasarkan RTRW. Permukiman di DAS Ciliwung Hilir terdiri dari permukiman tidak terencana (87.23%) dan permukiman terencana (12.77%). Karakteristik permukiman tidak terencana di DAS Ciliwung Hilir adalah memiliki pola permukiman linier (memanjang), ukuran permukiman sangat besar, kepadatan permukiman rendah-sedang, serta kondisi infrastruktur permukiman baik. Karakteristik permukiman terencana di DAS Ciliwung Hilir adalah memiliki pola permukiman konvensional dan cluster, ukuran permukiman kecil-sedang, kepadatan permukiman rendah-sedang, dan kondisi infrastruktur permukiman baik. Penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi yaitu meningkatkan luas RTH melalui penyusunan pedoman pengelolaan RTH, sosialisasi fungsi dan peran RTH, pengendalian perubahan penutupan lahan melalui pemberian insentif dan disinsentif oleh pemerintah, pengendalian penambahan permukiman tidak terencana oleh pemerintah melalui konsolidasi lahan, mempertahankan RDTR
40 yang ada, khususnya rencana detail kawasan permukiman, dan revitalisasi saluran drainase melalui pendekatan sistem drainase berkelanjutan. Saran Dalam menganalisis perubahan penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir, diperlukan penambahan sampel wilayah lainnya, guna mengetahui faktor-faktor lain penyebab perubahan lahan di wilayah tersebut. Dalam mengelola kawasan permukiman di wilayah DAS perlu adanya studi lanjutan terkait karakteristik sosial masyarakat dan sarana prasarana yang lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA Ahyat B. 2012. Kajian Permukiman Dearah Aliran Sungai (Studi Kasus: Krueng Langsa). [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Alvino. 2014. Rencana Revitalisasi Kota Tuo Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Aryanti M. 2011. Monitoring Perubahan Penutupan Lahan dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Penginderaan Jauh. (Studi Kasus: Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah ALiran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1994. Jakarta Dalam Angka. Jakarta (ID):BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jakarta Dalam Angka. Jakarta (ID):BPS. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2003. Persyaratan Umum Sistem Jaringan dan Geometri Jalan Perumahan. Jakarta (ID):BSN. Ermawati IP. 2011. Perencanaan Site Plan Komplek Perumahan Galmas Residence Tahap II Kecamatan Jogonalan Kabupaten Klaten. [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hudayya R. 2010. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Permukiman (Studi Kasus Kabupaen Bogor, Jawa Barat). Fakultas Pertanian. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jaya, INS. 2010. Analisis Citra Digital, Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. Fakultas Kehutanan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Kemendagri] Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. 1999. Keputusan Menteri Negara Perumahan dan Permukiman Nomor 9 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D). Jakarta (ID). Kemendagri. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 328 tahun 2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Kemenhut.
41 [Kemenpera] Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. 2006. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 32 tentang Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri. Jakarta (ID). Kemenpera. [Kemen PU] Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 2005. Pedoman teknis tata cara pemilihan lokasi prioritas untuk pengembangan perumahan dan permukiman di kawasan perkotaan. Jakarta (ID). Kemen PU. [Kemen PU] Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Sistem Informasi Kawasan Kumuh Perkotaan. .[Internet] Diakses pada April 2014. Tersedia dalam http://ciptakarya.pu.go.id. Martono DA, Nugrahaeni T, Saputra A. 2013. Analisis Kualitas Lingkungan Permukiman Menggunakan Citra Quickbird di Kecamatan Kota Gede Kota Yogyakarta. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendayagunaan Informasi Geospasial untuk Optimalisasi Otonomi Daerah. Yogyakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta. Masykur. 2006. Karakteristik Permukiman Dualistik dan Tingkat Keberhasilan Penghunian di Bogor (Studi Kasus di Kota Bogor, Jawa Barat). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Melati FF, Hendrawan D, and Sitawati A. (2002). Land use and water quality relationships in the Ciliwung river basin, Indonesia. Jakarta (ID): Trisakti University. Mulyana R, Alikodra HS, Arifin HS, Prasetyo LB. 2007. Karakteristik Bangunan Rumah dan Bentuk Permukiman di Wilayah DAS Cianjur, Jawa Barat. J STNI Volume 17(3):217. Mursitaningsih. 2009. Analisis Kinerja Saluran Drainase di Darah Tangkapan Air Hujan Sepanjang Kali Pepe Kota Surakarta [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 1999. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta (ID). Sekretariat Daerah Khusus Ibukota Jakarta . Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2012. Peraturan Derah No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta (ID). Sekretariat Daerah Khusus Ibukota Jakarta . Pemerintah Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Jakarta (ID). Sekretariat Negara . Riastika M. 2011. Pengelolaan Air tanah Berbasis Konservasi di Recharge Area Boyolali (Studi Kasus Recharge Area Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah. JIL Volume 9(2):86-97. Sodikin. 2012. Kinerja Daerah Aliran Sungai berdasarkan Indikator Penggunaan Lahan pada DAS Padang Guci, Bengkulu. J SDAL Volume 1(2):107. Syartinilia. 2001. Studi Karakteristik Permukiman di DAS Ciliwung Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syartinilia. 2004. Penerapan Multi Criteria Decision Making (MCDM) dan Geographical Information System (GIS) pada Evaluasi Peruntukan Lahan (Studi Kasus: DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
42 Wahyuni S. 2014. Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
43
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta penutupan lahan yang tetap dan mengalami perubahan di DAS Ciliwung Hilir periode 1993-2013
44 Lampiran 2 Data Kependudukan DAS Ciliwung Hilir Kecamatan Taman Sari
Jagakarsa
Pasar Minggu Pancoran
Setia Budi Tebet
Pasar Rebo
Kramat Jati
Jatinegara Matraman Menteng
Senen
Johar Baru
Cempaka Putih
Kelurahan Mangga Besar Maphar Pinangsia Taman Sari Tangki Lenteng Agung Srengseng Sawah Tanjung Barat Pejaten Timur Pasar Minggu Cikoko Pengadengan Rawajati Menteng Atas Pasar Manggis Bukit Duri Kebon Baru Manggarai Manggarai Selatan Menteng Dalam Tebet Barat Tebet Timur Baru Cijantung Gedong Kalisari Pekayon Bale Kambang Batu Ampar Cawang Cililitan Kampung Tengah Bidara Cina Kampung Melayu Kebon Manggis Pal Meriem Cikini Gondangdia Kebon Sirih Menteng Pegangsaan Bungur Kenari Kramat Kwitang Paseban Senen Galur Johar Baru Kampung Rawa Tanah Tinggi Rawa Sari
Penduduk (jiwa) 7 341 16 488 10 808 15 161 12 990 59 735 60 936 42 045 66 568 27 674 10 576 22 980 17 460 35 986 27 878 37 189 35 909 29 535 23 319 41 788 22 332 18 969 23 400 42 736 38 493 41 497 43 106 34 201 53 514 32 318 41 911 50 530 33 729 23 260 15 297 18 536 7 261 4 508 11 641 24 342 20 557 16 580 7 868 25 664 14 306 21 157 5 507 16 977 38 003 21 203 40 078 23 794
Kepadatan (jiwa/km2) 14 365 27 950 11 236 22 387 3 466 26 229 9 032 11 531 16 683 22 655 14 752 24 369 15 316 39 808 35 741 34 753 27 774 30 992 45 359 19 899 13 014 13 657 12 063 16 913 15 618 15 252 28 817 20 424 20 983 18 050 23 765 24 950 26 747 48 630 19 558 28 346 8 845 3 091 13 958 9 979 20 923 26 468 8 598 36 212 32 004 29 627 6 807 64 797 31 908 70 418 64 340 19 073
45 Lampiran 2 Data Kependudukan DAS Ciliwung Hilir (lanjutan) Kecamatan Gambir
Kelurahan
Gambir Kebon Kelapa Kemayoran Cempaka Baru Gunung Sahari Selatan Harapan Mulya Kebon Kosong Kemayoran Serdang Sumur Batu Utan Panjang Sawah Besar Gunung Sahari Utara Karang Anyar Kartini Mangga Dua Selatan Pasar Baru Pademangan Ancol Pademangan Barat Pademangan Timur Tanjung Priok Papango Sunter Agung Sunter Jaya Tanjung Priok Warakas Sumber : Jakarta Dalam Angka (2013)
Penduduk (jiwa) 2 750 9 690 31 558 20 336 23 130 40 804 18 119 29 483 23 573 28 328 16 792 26 923 21 052 23 689 12 345 31 720 77 331 40 758 47 220 83 746 75 463 40 032 48 127
Kepadatan (jiwa/km2) 1 064 12 407 31 770 13 282 43 274 35 245 34 479 35 854 20 516 52 434 8 853 52 686 37 063 18 350 6 533 8 407 21 885 15 601 16 853 11 925 16 470 7 225 44 218
46
Lampiran 3 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Rebo
47
Lampiran 4 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Jagakarsa
48
Lampiran 5 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Minggu
49
Lampiran 6 Lokasi sampel permukiman terencana dan tidak terencana Lampiran 7 Data administrasi DA
50 Lampiran 7 Data administrasi DAS Ciliwung Hilir No.
Kecamatan
Kelurahan
Luas (ha)
1
Cempaka Putih
Rawa Sari
19.63
2
Gambir
Kebon Kelapa
49.18
3 4
Gambir Jagakarsa
Gambir Lenteng Agung
91.82 335.40
5 6
Jagakarsa Jagakarsa
Srengseng Sawah Tanjung Barat
165.98 323.43
7 8
Jatinegara Jatinegara
Kampung Melayu Bidara Cina
111.55 87.51
9
Johar Baru
Galur
21.64
10 11
Johar Baru Johar Baru
Tanah Tinggi Kampung Rawa
63.70 10.10
12 13
Johar Baru Kemayoran
Johar Baru Gunung Sahari Selatan
14
Kemayoran
Kebon Kosong
78.25
15 16
Kemayoran Kemayoran
Sumur Batu Serdang
9.77 84.20
17 18
Kemayoran Kemayoran
Kemayoran Utan Panjang
31.07 39.89
19 20
Kemayoran Kemayoran
Cempaka Baru Harapan Mulya
58.78 32.79
21
Kramat Jati
Cawang
22 23
Kramat Jati Kramat Jati
Cililitan Bale Kambang
118.45 218.15
24 25
Kramat Jati Kramat Jati
Batu Ampar Kampung Tengah
209.57 94.30
26
Menteng
Kebon Sirih
136.82
27 28
Menteng Menteng
Pegangsaan Menteng
144.70 20.61
29 30
Pademangan Pademangan
Pademangan Timur Ancol
334.66 535.34
31 32
Pademangan Pancoran
Pademangan Barat Cikoko
180.96 120.13
33
Pancoran
Pengadegan
34 35
Pancoran Pasar Minggu
Rawajati Pejaten Timur
113.18 399.60
36 37
Pasar Minggu Pasar Rebo
Pasar Minggu Kalisari
122.15 301.91
38
Pasar Rebo
Pekayon
152.37
39 40
Pasar Rebo Pasar Rebo
Gedong Cijantung
244.74 252.70
41
Pasar Rebo
Baru
223.94
86.40 180.07
98.41
65.83
51 Lampiran 7 Data administrasi DAS Ciliwung Hilir (lanjutan) No.
Kecamatan
Kelurahan
Luas (ha)
42
Sawah Besar
Mangga Dua Selatan
186.88
43
Sawah Besar
Gunung Sahari Utara
220.25
44 45
Sawah Besar Sawah Besar
Kartini Karang Anyar
46 47
Sawah Besar Senen
Pasar Baru Senen
48 49
Senen Senen
Bungur Kwitang
45.72 33.33
50
Senen
Kramat
64.38
51 52
Setia Budi Setia Budi
Pasar Manggis Menteng Atas
51.93 60.06
53 54
Taman Sari Taman Sari
Pinangsia Tangki
39.54 34.86
55
Taman Sari
Taman Sari
60.27
56 57
Taman Sari Taman Sari
Maphar Mangga Besar
33.37 54.20
58 59
Tanjung Priok Tanjung Priok
Tanjung Priuk Papango
71.27 226.29
60 61
Tanjung Priok Tanjung Priok
Sunter Jaya Warakas
62
Tanjung Priok
Sunter Agung
612.14
63 64
Tebet Tebet
Manggarai Manggarai Selatan
154.62 87.05
65 66
Tebet Tebet
Bukit Duri Menteng Dalam
212.64 35.07
67
Tebet
Tebet Barat
114.18
68 69
Tebet Tebet
Tebet Timur Kebon Baru
78.53 129.11
Sumber : BPDAS Ciliwung
48.85 75.53 195.34 106.47
36.38 41.59
52
Lampiran 8 Modeler fungsi perkalian post classification comparison
COMMENT "Generated from graphical model: d:/peta penutupan lahan baru/model_1.gmd"; ## set cell size for the model#SET CELLSIZE MIN; ## set window for the model#SET WINDOW UNION; ## set area of interest for the model#SET AOI NONE; ## declarations# Integer RASTER n1_recode_2 FILE OLD NEAREST NEIGHBOR AOI NONE "d:/peta penutupan lahan baru/recode_2.img"; Integer RASTER n2_recode_1 FILE OLD NEAREST NEIGHBOR AOI NONE "d:/peta penutupan lahan baru/recode_1.img"; Integer RASTER n4_model_1 FILE NEW USEALL THEMATIC BIN DIRECT DEFAULT 8 BIT UNSIGNED INTEGER "d:/peta penutupan lahan baru/model_1.img"; ## function definitions# n4_model_1 = $n1_recode_2 * $n2_recode_1; QUIT
53
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1991 dari ayah Aris Daeng Pene dan ibu Ida Supriati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis mengawali jenjang pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Aisyah pada tahun 1996-1997. Penulis melanjutkan pendidikan dasar SD Negeri Wijaya Kusuma 02 Pagi (1997-2003). Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 89 Jakarta (2003-2006) dan SMA Negeri 112 Jakarta (2006-2009). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama menempuh studi di IPB, penulis juga aktif mengikuti kegiatan di luar akademik seta berbagai kepanitian. Penulis tercatat sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian periode 2010-2011 Departemen Olahraga dan Seni. Selain itu penulis juga tercatat sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap dan anggota Komunitas Pecinta Alam Departemen Arsitektur Lanskap IPB.