Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 26 Juni 2013, ISSN 2301-XXXX
STUDI AWAL PEMANFAATAN METODE GPS GEODETIK UNTUK MEMANTAU GROUND DEFORMATION SEBAGAI DAMPAK PENGEMBANGAN LAPANGAN PANAS BUMI Septa Erik Prabawa1), Muhammad Taufik2), Khomsin3) Laboratorium Geodinamik dan Lingkungan, Teknik Geomatika, FTSP ITS Email: 1)
[email protected], 2)
[email protected], 3)
[email protected] ABSTRAK Jawa Timur memiliki banyak potensi panas bumi, salah satunya adalah di daerah Blawan Ijen kabupaten Bondowoso. Sehingga area tersebut telah ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas bumi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber energi baru terbarukan. Salah satu efek yang muncul dari pengembangan potensi panas bumi yang harus diperhatikan adalah adanya ground deformation. Ground deformation adalah perubahan permukaan tanah baik secara vertikal maupun horisontal karena adanya pergerakan di bawah permukaan bumi dalam hal ini diakibatkan oleh mekanisme drilling dan reinjection. Sehingga hal ini perlu dipantau secara periodik agar diketahui vektor pergeseran baik vertikal maupun horisontal. Pemantauan dilakukan dengan pengukuran GPS geodetik secara periodik. Dengan demikian perubahan posisi titik pantau dapat diketahui dengan demikian besar ground deformation dapat diketahui dan dipantau perkembangannya. Makalah ini merupakan studi awal pengamatan ground deformation sebagai dampak pengembangan lapangan panas bumi yang akan dilakukan oleh pemilik WKP panas bumi Blawan Ijen. Sehingga dapat menjadi kerangka referensi dalam pemantauan ground deformation selanjutnya yang akan dilakukan. Kata kunci: GPS, Ground deformation, Panas bumi, Blawan Ijen, Bondowoso
1. Pendahuluan Gunung api Ijen merupakan barmrisan gunung api aktif yang ada di komplek Blawan Ijen Bondowoso. Komplek gunung api tersebut berbentuk struktur melingkar yang merupakan parasit dari gunung api Ijen purba. Diantara gunung api yang ada di kawasan Blawan Ijen yang dikenal paling aktif adalah gunungapi Ijen dan gunung api Raung. Secara geologi kawasan komplek Blawan Ijen tersusun
Teknologi Pemetaan dan GIS
atas batuan vulkanik muda yang terbentuk pada kala Pleistosen atas. Pasqua (2012) menunjukkan adanya patahan mayor berarah Timur-Barat sepanjang 2 Km. terdapat banyak patahan berarah Utara-Selatan dan 2 (dua) diantaranya membentuk sistem graben (Gambar 1.1). Struktur-struktur tersebut konsisten dengan arah tumbukan lempeng Australia terhadap lempeng Asia yang berarah UtaraSelatan. Dalam sistem panas bumi,
H-45
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 26 Juni 2013, ISSN 2301-XXXX
adanya struktur sesar tersebut merupakan zona permeabel sebagai jalan keluarnya fluida panas menuju permukaan tanah sebagai manifestasi panas bumi.
Gambar 1. Peta struktur kawasan studi (Sumber: Pasqua, 2012)
Dengan ditetapkannya Kawah gunungapi Ijen sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas bumi oleh pemerintah, maka prosedur operasional pengembangan lapangan akan segera dilakukan. Diantara prosedur tersebut adalah adanya mekanisme drilling dan reinjection. Adanya mekanisme drilling dan reinjection tersebut akan terdapat pengaruh signifikan terhadap sistem sesar yang ada di kawasan tersebut. Pengaruh tersebut dapat dideteksi dengan adanya gerakan tanah permukaan baik secara vertikal maupun horisontal. Pergerakan ini seringkali dikenal sebagai ground deformation. Ground deformation dapat dipantau menggunakan teknologi GPS geodetik, dimana GPS geodetik dapat mengukur posisi suatu titik objek dengan teliti hingga fraksi millimeter. dengan pengukuran secara periodik di titik yang sama maka pergerakan tanah sebagai akibat dari ground deformation
Teknologi Pemetaan dan GIS
dapat diketahui baik besar, arah, kecepatan maupun percepatannya. Makalah ini merupakan studi awal pengamatan ground deformation sebagai dampak pengembangan lapangan panas bumi yang akan dilakukan oleh pemilik WKP panas bumi Blawan Ijen. Sehingga dapat menjadi kerangka referensi dalam pemantauan ground deformation selanjutnya yang akan dilakukan secara periodik. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Sistem Panas bumi Sistem panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistem hidrothermal yang mempunyai o temperatur tinggi (>225 C), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur sedang (150‐225oC). Pada dasarnya sistem panas bumi jenis hidrothermal terbentuk sebagai hasil perpindahan panas dari suatu sumber panas ke sekelilingnya yang terjadi secara konduksi dan secara konveksi. Perpindahan panas secara konduksi terjadi melalui batuan, sedangkan perpindahan panas secara konveksi terjadi karena adanya kontak antara air dengan suatu sumber panas. Perpindahan panas secara konveksi pada dasarnya terjadi karena gaya apung (bouyancy). Air karena gaya gravitasi selalu mempunyai kecenderungan untuk bergerak kebawah, akan tetapi apabila air tersebut kontak dengan suatu sumber panas maka akan terjadi perpindahan panas sehingga temperatur air menjadi lebih tinggi dan air menjadi lebih ringan. Keadaan ini menyebabkan air
H-46
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 26 Juni 2013, ISSN 2301-XXXX
yang lebih panas bergerak ke atas dan air yang lebih dingin bergerak turun ke bawah, sehingga terjadi sirkulasi air atau arus konveksi. (Saptadji, 2010).
Gambar 2.Sistem hidrotermal pada panas bumi. (Sumber: Sudarman, 2010).
Adanya suatu sistem hidrothermal di bawah permukaan sering kali ditunjukkan oleh adanya manifestasi panasbumi di permukaan (geothermal surface manifestation), seperti mata air panas, kubangan lumpur panas (mud pools), geyser dan manifestasi panas bumi lainnya, dimana beberapa diantaranya, yaitu mata air panas. Manifestasi panas bumi di permukaan diperkirakan terjadi karena adanya perambatan panas dari bawah permukaan atau karena adanya rekahan-rekahan yang memungkinkan fluida panas bumi (uap dan air panas) mengalir ke permukaan. 2.2. Metode GPS Global Positioning Sistem (GPS) adalah sistem navigasi berbasis satelit, yang diciptakan untuk memberikan informasi mengenai posisi, jarak dan waktu secara akurat diseluruh dunia. Teknologi Pemetaan dan GIS
Tujuan utama dari GPS adalah memenuhi kebutuhan Departemen Pertahanan Amerika Serikat, dalam rangka penentuan posisi, waktu dan kecepatan. GPS terdiri dari 3 segmen, yaitu konstelasi satelit, master kontrol, dan segmen pengguna. Sistem konstelasi satelit GPS terdiri dari 24 satelit yang terletak pada 6 bidang orbit yang berpusat ke bumi, dengan Jumlah satelit 4 buah pada setiap bidang orbitnya (Gambar 3). Satelit GPS Memiliki periode orbit 11 jam 58 menit, dengan inklinasi 55 derajat terhadap bidang ekuator.(Kurniawan, 2011). Satelit GPS mentransmisikan gelombang L1 pada 1575.42 Mhz dan L2 Pada 1227.60 Mhz yang dimodulasikan dalam 2 buah kode dan Navigational Message. Kode yang dimodulasikan adalah P-Code dan C/A Code. P-Code Terdapat pada kedua buah frekuensi baik L1 maupun L2. C/A Code dimodulasikan hanya pada L1 pada 10.23 Mhz. Navigational Message dimodulasikan pada L1 dan L2 pada 50 Hz. (Abidin, 2000).
Gambar 3. Konstelasi satelit-satelit GPS dan sistem segmennya
2.3. Pemantauan Gerakan Tanah dengan GPS Pemanfaatan metode GPS untuk memantau pergerakan tanah baik untuk kasus studi penurunan tanah (land
H-47
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 26 Juni 2013, ISSN 2301-XXXX
subsidence), pemantauan zona rawan longsor, pemantauan deformasi gunung api ataupun studi geodinamika telah banyak dilakukan. Prinsip pemantauan fenomena pergerakan tanah tersebut adalah perbedaan posisi suatu titik pada saat diukur dalam waktu yang berbeda. Kurniawan et al (2011) menggunakan metode GPS untuk menentukan besar penurunan tanah Kota Surabaya, sehingga diketahui penurunan tanah Kota Surabaya sebesar 1.21 cm/tahun. Abidin et al (2007) melakukan pengamatan deformasi gunung api Ijen sehingga diketahui pergeseran tanah di daerah gunung api Ijen sebesar 1-2 dm baik arah vertikal maupun horisontal. Sadarviana (2006) menggunakan metode GPS untuk memantau zona rawan longsor di daerah Ciloto Jawa Barat sehingga diketahui kecepatan perpindahan material tanah sebesar 5.10-6-0.5.10-6 mm/detik.
posisi titik pantau relatif terhadap titik referensi. Selanjutnya dengan mempelajari perubahan koordinat titiktitik pantau tersebut, baik terhadap stasiun referensi maupun di antara sesama titik pantau secara periodik, maka karakteristik ground deformation dapat diketahui. Diagram alir penelitian ini sebagaimana tampak pada Gambar 4 dan ilustrasi pengambilan data GPS tampak pada Gambar 5 strategi pengamatan di lapangan sebagaimana tampak pada Tabel 1. Koordinat Survey GPS kala 1
Koordinat Survey GPS kala n
Perbedaan Koordinat Paramater Deformasi Karakteristik Deformasi
Gambar 4. Diagram alir pengamatan GPS Perbedaan koordinat
3. Metodologi Prinsip dari pemantauan ground deformation dengan metode GPS adalah pemantauan terhadap perubahan koordinat dari beberapa titik yang mewakili permukaan tanah tersebut secara periodik. Metode ini menggunakan beberapa penerima sinyal (reciever) GPS yang ditempatkan di titik pantau dan di titik stasiun referensi yang dianggap stabil. Selanjutnya data hasil pengukuran di lapangan diolah dengan perangkat lunak Topcon Tools v.8.2.3 untuk mendapatkan koordinat posisi dan besar simpangannya. Pengolahan data fase menggunakan metode diferensial, yakni penentuan
Teknologi Pemetaan dan GIS
: Koordinat survey GPS kala 1 : Koordinat survey GPS kala
Gambar 5. Pemantauan deformation dengan GPS
ground
4. Hasil dan Pembahasan Pengukuran GPS dilakukan untuk memantau adanya fenomena ground deformation pada wilayah pengembangan lapangan panas bumi di kawasan Blawan Ijen, Kabupaten
H-48
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 26 Juni 2013, ISSN 2301-XXXX
Bondowoso. Pemantauan difokuskan pada area struktur graben sebagaimana ditunjukkan oleh Pasqua (2011). Area pada struktur berbentuk grabben merupakan zona dengan permeabilitas tinggi dan sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai PLTP. Area tersebut ditunjukkan oleh Gambar 1. Dimana pada struktur tersebut merupakan area potensial untuk dikembangkan. Dalam operasional pengembangan lapangan panas bumi mekanisme yang dilakukan antara lain adalah drilling dan reinjection. Drilling dilakukan untuk mengalirkan fluida panas ke permukaan tanah untuk memutar turbin. Sedangkan reinjection berfungsi untuk mengembalikan sisa fluida yang telah digunakan untuk memutar turbin, fluida untuk reinjection dapat berupa fluida yang telah dingin maupun yang masih panas. Reinjection juga berfungsi untuk menjaga reservoir agar tetap kontinyu sebagai sumber panas. Dengan demikian keseimbangan pengaliran fluida panas ke permukaan dan reinjection sangat penting agar reservoir tidak overheated ataupun underheated. Mekanisme ini dapat menyebabkan adanya pengosongan ataupun penambahan volume fluida dibawah permukaan tanah (reservoir). Perubahan volume fluida ini dapat berpengaruh pada kestabilan tanah dipermukaan yang dapat berupa penurunan ataupun kenaikan permukaan tanah. Untuk itu fenomena terjadinya ground deformation sebaiknya dilakukan sedini mungkin sebelum aktifitas pengembangan PLTP
Teknologi Pemetaan dan GIS
dilakukan, hal ini perlu agar keadaan sebelum dan sesudah operasional pengembangan PLTP dapat diketahui. Tabel 1. Strategi pengamatan GPS di lapangan Metode Pengamatan Jenis alat
Data yang digunakan
Lama pengamatan Interval epoh Sudut elevasi (mask angle) Moda jaring
Statik Differensial Receiver tipe Geodetik dua frekuensi P-Code dan C/A Code Carrier wave L1 and L2 6 jam 15 detik 15 0 Radial
Makalah ini menyajikan hasil survey awal pengamatan GPS geodetik di daerah grabben dikawasan Blawan Ijen. sebaran titik pengamatan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.
GPS 3
GPS 2
GPS 1
Gambar 6. Posisi pengamatan GPS Pengamatan dilakukan di 3 (tiga) di lokasi penelitian di kawasan Blawan Ijen. Pertimbangan penempatan ketiga titik tersebut adalah karena posisinya berada pada zona grabben, dimana zona grabben merupakan zona yang paling potensial untuk dikembangkan. Sehingga pada zona tersebut akan
H-49
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 26 Juni 2013, ISSN 2301-XXXX
mengalami dinamika yang signifikan ketika dikembangkan. Pengamatan GPS mengacu pada 1 titik referensi yang telah diketahui koordinatnya secara tepat. Titik referensi tersebut mengacu pada titik BM (Benchmark) orde 3 milik BPN di Desa Lojajar Kecamatan Tenggarang. Koordinat geodetik (L, B, h elipsoid) titik pengamatan dilapangan dan deviasi standard titik koordinat yang diperoleh dari perhitungan data ditampilkan pada Tabel 2. Koordinat ditampilkan dengan datum WGS84. Baseline terpanjang adalah 38 km yakni pada titik gps 3 yang berada di kaki Gunung Blau. Dengan baseline yang panjang daan nilai deviasi standard setiap komponen berada pada level beberapa millimeter seperti ditunjukkan oleh Tabel 2 dan Gambar 7 maka dapat disimpulkan bahwa pengolahan data GPS telah dilakukan dengan baik. Tabel 2. Koordinat titik pengamatan GPS
Gambar 7. Deviasi standard pengamatan GPS
Teknologi Pemetaan dan GIS
Berdasarkan Tabel 2, tampak bahwa nilai standard deviasi masing-masing sumbu berada pada fraksi millimeter dengan nilai standard deviasi terbesar pada sumbu vertikal yakni 0.014 untuk titik pengamatan GPS 2 dan GPS 3, sedangkan titik amat GPS 1 standard deviasi sumbu vertikal 0.013 m. Untuk sumbu horisontal, nilai standard deviasi lebih kecil yakni 0.007-0.012 m. Standard deviasi terbesar ada di titik pengamatan GPS 2 dan GPS 3. Hal ini dipengaruhi oleh medan pengamatan yang berupa perkebunan kopi dan hutan sehingga efek multipath dan obstruksi berpengaruh terhadap sinyal GPS yang direkam oleh reciever. Untuk titik GPS1, standard deviasi lebih kecil, hal ini dipengaruhi oleh medan pengamatan yang berupa padang rumput sehingga efek multipath dan obstruksi tidak berpengaruh terhadap kualitas sinyal GPS yang direkam oleh reciever. Dengan standard deviasi yang relatif kecil, ketelitian data pengamatan relatif tinggi, dengan demikian jika pengamatan GPS dilakukan untuk kala kedua dan seterusnya, maka perubahan posisi suatu titik dapat diamati dengan baik. Kualitas data pengamatan mempengaruhi akurasi dan presisi koordinat yang diperoleh, hal ini antara lain dipengaruhi oleh orde titik referensi, panjang baseline, besarnya obstruksi dan multipath yang ada di sekitar lokasi pengamatan. Jarak titik pantau dengan titik referensi mencapai 38 km, hal ini merupakan baseline yang panjang dan berpengaruh pada ketelitian pengukuran. Disisi lain
H-50
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 26 Juni 2013, ISSN 2301-XXXX
medan pengamatan yang merupakan hutan dan perkebunan mengakibatkan efek obstruksi dan multipath yang cukup besar sehingga berperan juga dalam penurunan ketelitian koordinat yang diperoleh. Namun demikian pengamatan ini dapat mencapai deviasi standard hingga fraksi millimeter. Ini merupakan ketelitian yang cukup baik untuk memantau pergerakan tanah. Dengan memperpendek panjang baseline maka ketelitian dapat ditingkatkan dan dengan pengamatan secara periodik di kawasan Blawan Ijen yang merupakan kawasan pengembangan lapangan panas bumi maka fenomena ground deformation akibat pengembangan lapangan panas bumi dapat dipantau secara teliti dan diketahui karakteristiknya. 5. Kesimpulan Dari hasil pengolahan data GPS geodetik di kawasan Blawan Ijen yang merupakan kawasan pengembangan PLTP dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Ketelitian koordinat pengukuran yang diperoleh 0.007 m hingga 0.014 m. b. Metode GPS dapat digunakan untuk memantau fenomena ground deformation akibat pengembangan PLTP dengan cara melakukan pengamatan secara periodik. Daftar Pustaka Abidin, H, Z. (2000). Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya. Jakarta: Pradnya Paramita.
Teknologi Pemetaan dan GIS
Abidin, Hasanudin, Z et al. (2007). Karakteristik Deformasi Gunungapi Ijen dalam Periode 2002-2005 Hasil Estimasi Metode Survei GPS. Bandung: Proceeding ITB Sains & Teknik, Vol. 39 A, No. 1&2, Hal. 122. Bemmelen, R. W. Van. (1949). The Geology of Indonesia, Vol IA general Geology of Indonesia and Adjacent Aschipelagoes. The Hague: Government Printing Office. Blewitt, Geoffrey. (1998). GPS Data Processing Methodology: From Theory To Application, GPS or Geodey, Hal. 231-270. Berlin: Springer-Verlag. Kurniawan, Akbar., Taufik, M., Handoko, E. Y. (2011). Studi Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System. Surabaya: Seminar nasional Pascasarjana XI-ITS. Pasqua, Claudio. (2011). Application of Remote Sensing Techniques for Geothermal Exploration in The Blawan Ijen Prospect (East Java). Bandung: Proceedings The 12th Annual Indonesian Geothermal Association Meeting & Conference. Sadarviana, Vera., Abidin, Hasanudin, Z. Kahar, Joenil., Santoso, Djoko. (2006). Pemanfaatan Metode Geodtik Untuk Identifikasi Karakteristik dan Tipe Longsor (Studi Kasus: Zona Longsor di Ciloto-Puncak, Jawa Barat). Surabaya: Pertemuan Ilmiah III Teknik Geomatika. Sudarman, Sayogi. (2010). Introduksi Teknologi Eksplorasi Panas Bumi. Jakarta: Pre-Congress Short Course
H-51
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 26 Juni 2013, ISSN 2301-XXXX
World Geothermal Congress Indonesia. Saptadji, Nenny. (2010). Introduction To Geothermal Energy. Jakarta : Pre-Congress Short Course World Geothermal Congress Indonesia.
Teknologi Pemetaan dan GIS
H-52