STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU
SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Tugas dan melengkapi syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I (SI) Dalam Ilmu Al Ahwal Al Syakhsiyah Fakultas Syari’ah
Oleh:
ANISATUL ‘INAYAH NIM. 032111008
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008
2 NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) eksemplar Hal : Naskah skripsi A.n. Anisatul ‘Inayah Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah membaca, meneliti dan mengadakan perbaikan sebagaimana mestinya, maka dengan ini saya kirimkan skripsi saudara/i : Nama NIM Jurusan Judul Skripsi
: Anisatul ‘Inayah : 032111008 / 2103008 : Al Ahwal Al Syakhshiyah : STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara/i dapat segera di munaqosyahkan. Demikian atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, 11 Januari 2008 Pembimbing I,
Pembimbing II
DR. H. Abu Hapsin, MA.
H. Ahmad Izzuddin, M.Ag.
NIP. 150 238 492
NIP. 150 290 930
3
BERITA ACARA MUNAQOSYAH Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada: Hari
: Rabu
Tanggal
: 23 Pebruari 2008
Jam
: 08.00-09.00
Telah mengadakan Ujian Munaqosyah dengan judul: “STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU” Atas Nama
: Anisatul ‘Inayah
NIM.
: 032111008
Jurusan
: Al Ahwal Al Syakhshiyah
Keterangan
: UTAMA / ULANG dari tanggal: LULUS / TIDAK LULUS Semarang, 23 Pebruari 2008
Ketua Sidang,
Anthin Lathifah, M. Ag. NIP. 150 318 016 Penguji I,
Drs. H. Ahmad Ghozali NIP. 150 261 992 Pembimbing I,
DR. H. Abu Hapsin, MA. NIP. 150 238 492
Sekretaris Sidang,
H. Ahmad Izzuddin, M.Ag. NIP. 150 290 930 Penguji II,
DR. Imam Yahya, M. Ag. NIP. 150 275 331 Pembimbing II,
H. Ahmad Izzuddin, M.Ag. NIP. 150 290 930
4 BERITA ACARA MUNAQOSYAH Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada: Hari
: Rabu
Tanggal
: 23 Pebruari 2008
Jam
: 09.00-10.00
Telah mengadakan Ujian Munaqosyah dengan judul: “ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS” Atas Nama
: Rida Diana
NIM.
: 032111076
Jurusan
: Al Ahwal Al Syakhshiyah
Keterangan
: UTAMA / ULANG dari tanggal: LULUS / TIDAK LULUS Semarang, 23 Pebruari 2008
Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Achmad Arief Budiman, M. Ag. NIP. 150 274 615
Ali Imron, M.Ag. NIP. 150 327 107
Penguji I,
Penguji II,
Drs. Taufik, MH. NIP. 150 263 036
Drs. H. Ahmad Ghozali NIP. 150 216 992
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag. NIP. 150 231 628
Ali Imron, M.Ag. NIP. 150 327 107
5
BERITA ACARA MUNAQOSYAH Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada: Hari
: Rabu
Tanggal
: 23 Pebruari 2008
Jam
: 10.00-11.00
Telah mengadakan Ujian Munaqosyah dengan judul: “STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG KEWAJIBAN IDDAH AKIBAT PERCAMPURAN SYUBHAT” Atas Nama
: Imroatus Sholikhah
NIM.
: 032111073
Jurusan
: Al Ahwal Al Syakhshiyah
Keterangan
: UTAMA / ULANG dari tanggal: LULUS / TIDAK LULUS Semarang, 23 Pebruari 2008
Ketua Sidang,
Drs. Hasyim Syarbani, MM. NIP. 150 207 762 Penguji I,
H. Abdul Ghofur, M.Ag. NIP. 150 279 723 Pembimbing I,
Drs. Miftah AF. M.Ag. NIP. 150 218 256
Sekretaris Sidang,
Drs. Miftah AF. M.Ag. NIP. 150 218 256 Penguji II,
Drs. H. Fatah Idris, M. Ag. NIP. 150 216 494 Pembimbing II,
Anthin Lathifah, M. Ag. NIP. 150 318 016
6
MOTTO
ﻦ ِﻋ َ ﻦ ُه ْﻢ َ (وَاﱠﻟﺬِﻳ2)ن َ ﺷﻌُﻮ ِ ﺻﻠَﺎ ِﺗ ِﻬ ْﻢ ﺧَﺎ َ ﻦ ُه ْﻢ ﻓِﻲ َ (اﱠﻟﺬِﻳ1)ن َ ﺢ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ َ َﻗ ْﺪ َأ ْﻓَﻠ َ اﻟﱠﻠ ْﻐ ِﻮ ُﻣ ْﻌ ِﺮﺿُﻮ ﺟ ِﻬ ْﻢ ِ ﻦ ُه ْﻢ ِﻟ ُﻔﺮُو َ (وَاﱠﻟﺬِﻳ4)ن َ ﻋﻠُﻮ ِ ﻦ ُه ْﻢ ﻟِﻠ ﱠﺰآَﺎ ِة ﻓَﺎ َ (وَاﱠﻟﺬِﻳ3)ن (5)ن َ ﺣَﺎ ِﻓﻈُﻮ 1 (5-1 :)اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman(1), (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya(2), dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna(3), dan orang-orang yang menunaikan zakat(4), dan orang-orang yang menjaga kemaluannya(5) (QS. AlMu’minun: 1-5)
1 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1989, hlm. 526
7
PERSEMBAHAN •
Allah SWT., beserta Rasul-Nya dan seluruh Ahlul Bait yang ada di dunia dan akhirat;
•
Yang terhormat kedua orang tuaku, Bapak Djami’in S. Ag dan Ibu Rusmini yang tak henti-hentinya mengasihi, menyayangi, mendoakan serta segalanya yang telah diberikan kepada penulis;
•
Adikku tersayang Nurul Shofyan Musthofa, yang selalu memberikan kasih sayang dan menghibur penulis;
•
Semua pihak yang membantu terselesaikannya skripsi ini.
8
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau yang diterbitkannya. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan atau dikutip secara langsung dari sumbernya.
Semarang,
10
2008 Deklarator,
Anisatul ‘Inayah NIM. 032111008
Januari
9
ABSTRAKSI Islam telah mensyari’atkan li’an, mengatur tata cara li’an dan menjelaskan akibat hukum li’an. Namun dalam persoalan li’an bagi orang bisu masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ibnu ‘Abidin berpendapat bahwasanya tidak ada li’an bagi orang bisu. Adapun judul Skripsi yang penulis angkat adalah “STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU”. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimana Pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an yang dilakukan oleh orang bisu? (2) Bagaimana analisis fiqhiyah dan ushuliyah terhadap pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an yang dilakukan oleh orang bisu? Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dengan mengambil sumber data yang berasal dari kitab kitab, buku-buku atau sumber lain yang berkenaan dengan pembahasan pada skripsi ini. Sedangkan dalam tehnik analisis data menggunakan metode deskriptif analitis, dan metode ushuliyah. Hasil penelitian menunjukkan, bahwasanya menurut Ibnu ‘Abidin tidak ada li’an bagi orang bisu. Ini sesuai dengan yang beliau tulis dalam kitabnya yaitu Radd al-Muhtar juz V. Ibnu ‘Abidin mengatakan syarat-syarat li’an salah satunya adalah harus bisa berbicara. Karena ketika seseorang yang berli’an itu bisu atau tidak dapat berbicara maka tidak ada li’an dan tidak ada had. Karena Ibnu ‘Abidin menggolongkan li’an ke dalam bentuk syahadah (kesaksian), bukan termasuk dalam bentuk yamim (sumpah). Sehingga orang yang bisu tidak boleh berli’an karena orang bisu adalah orang yang kesaksiannya tidak dapat diterima atau bukan orang yang ahli bersaksi Namun penulis tidak setuju dengan pendapat Ibnu ‘Abidin, karena secara langsung pendapat ini mendiskreditkan orang bisu dan menganggapnya sebagai manusia yang tidak cakap hukum. Padahal ketika merujuk pada konsep mukallaf orang bisu termasuk seorang mukallaf. Sehingga dalam dirinya dapat dikenai taklif hukum dam perbuatan yang dilakukannya dapat menimbulkan akibat hukum. Syarat menjadi seorang mukallaf adalah mampu memahami dalil pentaklifan dan layak untuk dikenakan taklif. Kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklif hanyalah dengan kesempurnaan akal, dan kesempurnaan akal diukur dari kedewasaannya. Sehingga ketika orang bisu tersebut berakal maka tidak ada alasan untuk mendiskreditkan hak-haknya dengan tidak bolehnya ia berli’an.
10
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehinggga penulis berhasil menyelesaikan skripsi
dengan judul “STUDI ANALISIS TERHADAP
PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU“ dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Tidak ada kata yang pantas penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu guna terselesaikannya skripsi ini, kecuali terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang beserta para Pembantu Dekan; 2. Bapak DR. H. Abu Hapsin, MA. dan Bapak H. Ahmad Izzuddin, M. Ag., selaku pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas dan sabar bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini; 3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang tidak mengenal lelah dalam membimbing jiwa dan raga penulis, semoga menjadi amal yang bermanfaat di dunia dan akhirat; 4. Segenap karyawan dan staf di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang khususnya Bapak Kholiq yang telah memberikan pelayanan terhadap mahasiswa dengan baik; 5. My Dear yang selalu ada di hati, engkaulah segala-galanya bagiku, terima kasih atas kasih sayang, do’a, motivasi, inspirasi dan segalanya yang telah tercurahkan merupakan kekuatan bagi penulis untuk terus maju dan pantang mundur; 6. Sepupu-sepupu kecilku (Dika, Hendri, Faiz, Dek Nana) kelucuan kalian yang dapat membuat penulis betah di rumah;
11 7. Eks Pondok Inna, mbak Izzati, mbak Ais, mbak Lia, mbak zize, mak mie, Genthonx, mbak R-na beserta si kecil Nafla, Chi-nunx, Lia, Mey”, mbak Chita, mbak Oyik, mbak Achiah serta mbak-mbak seperjuanganku di Pondok Inna, canda-tawa kalian selalu terngiang, buatlah alam selalu tersenyum; 8. Teman-teman di kost BPI i 5, Bita yang cool, mbak Arik yang asyik dan Fitri yang pendiam, terima kasih atas bantuannya semoga mendapatkan pahala yang setimpal, serta mas Adhi dan mbak Mirna terima kasih untuk kenyamanan selama penulis tinggal disana; 9. Para Asatidz dan Asatidzah TPQ al-Iman Kembangarum Semarang Barat, Husin, Ikka, Rif’an, pak Yanto beserta keluarga, khususnya buat ikka terima kasih karena sudah rela berhujan-hujanan demi mengantar penulis dan jangan pernah lelah untuk mengamalkan ilmu; 10. Teman-teman arisanku Imponx yang tidak bisa diam, Tiwik yang baik, Farida yang selalu cerewet, Ridul yang manis terima kasih untuk gosip-gosip yang selalu kalian berikan; 11. Teman-teman paket As A , terima kasih untuk keceriaan dan keakraban yang pernah ada diantara kita, terutama si om yang bersedia meluangkan waktunya untuk mendengar keluh kesah penulis, thank you so much; 12. Sahabat-sahabatku yang jauh dimata tapi dekat di hati terima kasih untuk segala sesuatu yang telah kalian berikan dan jangan pernah putus asa life must go on; 13. Dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Harapan penulis, semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini dalam bentuk apapun dapat menjadi amal jariyah sekaligus mendapat balasan dari Allah SWT. Pada akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis mohon maaf atas segala kekhilafan yang ditemukan dalam skripsi ini, karena kesempurnaan dan kebenaran hakiki hanyalah milik Allah SWT., Yang Maha Sempurna dan Maha Benar.
12
Semarang, 10 Januari 2008 Penulis,
Anisatul ‘Inayah NIM. 032111008
13
DAFTAR ISI
JUDUL ………………………………………………………………………..
i
NOTA PEMBIMBING ………………………………………………… ......
ii
DEKLARASI …………………………………………………………………. iii MOTTO ……………………………………………………………………… iv ABSTRAKSI …………………………………………………………………. v PERSEMBAHAN ……………………………………………………………. vi KATA PENGANTAR ………………………………………………………. vii DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ix
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………………………………………………...... 1 B. Rumusan Masalah ……………………………………………….
8
C. Tujuan Penulisan Skripsi ………………………………………… 8 D. Telaah Pustaka ………………………………………………......
9
E. Metode Penelitian ………………………………………………. 12 F. Sistematika Penulisan Skripsi …………………………………… 16 BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG LI’AN DAN MEKANISME ISTINBATH YANG DIGUNAKAN A. Li’an dan Permasalahan Yang Terkait Dengannya 1. Pengertian Li’an …………………………………………...... 18 2. Dasar Hukum Li’an ………………………………………... 20 3. Syarat dan Rukun Li’an …………………………….. .…….. 26 4. Sebab dan Akibat Hukum Li’an ……………………………. 30 B. Pandangan Ulama Tentang Li’an Bagi Orang Bisu …………….. 33 C. Mekanisme Istinbath Hukum Yang Tepat Mengenai Sah dan Tidaknya Li’an Bagi Orang Bisu ……………………………….. 35
14
BAB III : PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU A. Biografi Ibnu ‘Abidin 1. Latar Belakang Ibnu ‘Abidin ……………………………….. 42 2. Karya-Karya Ibnu ‘Abidin ………………………………...... 46 B. Pendapat Ibnu ‘Abidin Tentang Li’an Bagi Orang Bisu dan Dasar Hukumnya ………………………………………………………. 47 BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU A. Analisis Fiqhiyah Terhadap Pendapat Ibnu ‘Abidin Tentang Li’an Bagi Orang Bisu ………………………………………………… 53 B. Analisis Ushuliyah Terhadap Pendapat Ibnu ‘Abidin Tentang Li’an Bagi Orang Bisu ………………………………………………… 58 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………… 70 B. Saran-Saran ………………………………………………………. 71 C. Penutup ……………………………………………………………73
LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP BIODATA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi sunnatullah bahwasanya manusia diciptakan Allah dengan jenis kelamin yang berbeda, yakni laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku yang bertujuan untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya. Sebagaimana Firman-Nya yang berbunyi:
ﺷﻌُﻮﺑًﺎ َو َﻗﺒَﺎ ِﺋ َﻞ ُ ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُآ ْﻢ َ ﻦ َذ َآ ٍﺮ َوُأ ْﻧﺜَﻰ َو ْ ﺧ َﻠ ْﻘﻨَﺎ ُآ ْﻢ ِﻣ َ س ِإﻧﱠﺎ ُ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﻟﻨﱠﺎ :ﺧﺒِﻴ ٌﺮ )اﻟﺤﺠﺮات َ ﻋﻠِﻴ ٌﻢ َ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ َأ ْﺗﻘَﺎ ُآ ْﻢ ِإ ﱠ ِ ن َأ ْآ َﺮ َﻣ ُﻜ ْﻢ ِﻟ َﺘﻌَﺎ َرﻓُﻮا ِإ ﱠ (13 Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat: 13).1 Kemudian setelah manusia diciptakan oleh Allah dengan jenis kelamin yang berbeda maka Allah memberikan pasangan antara dua jenis yang berbeda tersebut. Dalam rangka membentuk pasangan yang sah maka Allah menjalin antara dua pasangan yang berbeda jenis kelamin
tersebut dengan
jalan pernikahan. Hal tersebut sebagaimana Firman-Nya:
ﺧ ْﻔ ُﺘ ْﻢ َأﻟﱠﺎ ِ ن ْ ع َﻓ ِﺈ َ ث َو ُرﺑَﺎ َ ﻦ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء َﻣ ْﺜﻨَﻰ َو ُﺛﻠَﺎ َ ب َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﻓَﺎ ْﻧ ِﻜﺤُﻮا ﻣَﺎ ﻃَﺎ... َ ﺖ َأ ْﻳﻤَﺎ ُﻧ ُﻜ ْﻢ َذ ِﻟ ْ ﺣ َﺪ ًة َأ ْو ﻣَﺎ َﻣ َﻠ َﻜ ِ َﺗ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا َﻓﻮَا (3 :ﻚ َأ ْدﻧَﻰ َأﻟﱠﺎ َﺗﻌُﻮﻟُﻮا )اﻟﻨﺴﺎء
1
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1989, hlm. 847.
1
2 Artinya: “… kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. Al-Nisa’: 3).2 Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam. Aqad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik. Karena itu maka dikatakan ikatan antara suami-istri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain daripada Allah sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami-istri dengan “mitsaqan-ghalizhan ” perjanjian yang kokoh.3 Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT. sebagai berikut:
(21 :ﻏﻠِﻴﻈًﺎ )اﻟﻨﺴﺎء َ ن ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻣِﻴﺜَﺎﻗًﺎ َ ﺧ ْﺬ َ َوَأ... Artinya: “… dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu sekalian perjanjian yang kuat” (QS. Al-Nisa’: 21)4 Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut Undang-undang no.1 tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
2 3
Ibid., hlm. 115. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz VIII, terj. Moh. Thalib, Bandung: Alma’arif, 1980, hlm.
9. 4
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Op. Cit., hlm. 120.
3 tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”5 Oleh karena itu, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material. Untuk itu Undang-undang ini juga menganut asas atau prinsip mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan terjadinya perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan.6 Pada prinsipnya Islam melarang perceraian, ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah SAW. Bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling di benci Allah. Karena itu, isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian, merupakan alternatif terakhir sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir Islam menunjukkan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak.7 Apabila dalam kehidupan rumah tangga yang didalamnya ada sebuah polemik yang berujung pada perceraian, anak-anak adalah sosok yang paling dirugikan. Karena kebahagiaan dan keutuhan keluarganya akan terampas. Hasil alamiah dari perkawinan adalah lahirnya keturunan. Anak-anak akan memperkuat hubungan diantara kedua pasangan tersebut. Melalui anak-anak
5
Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-Undang perkawinan, Bandung: Fokusmedia, 2005,
hlm. 1-2. 6 7
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2003, hlm. 268-269. Ibid., hlm. 269.
4 yang sah inilah sebabnya mengapa Islam telah melarang Zina8 dan mengutamakan pernikahan. Islam sangat membenci zina dan karenanya memerintahkan kaum muslimin agar menjauhkan diri dari semua godaan syaitan yang akan mendorong seseorang untuk berbuat zina.9 Karena banyak sekali dampakdampak negatif dari perbuatan ini. Tidak hanya akan menimbulkan perceraian tetapi juga nasab terhadap anaknya. Anak-anak yang lahir dari sebuah perkawinan menyandang nama ayahnya. Berdasarkan pada hadits Nabi diatas bahwasanya seorang suami tidak dapat menolak kodratnya menjadi seorang ayah. Apabila ada kejadian ayah menolak atau mengingkari anak kandungnya sendiri tanpa alasan itu adalah sebuah tindakan yang kejam dan sangat berbahaya bagi masa depan ibu dan anaknya. Tetapi apabila terjadi keragu-raguan bahwa istrinya tersebut berbuat tidak jujur dan anak yang dilahirkannya itu bukan dari benihnya melainkan karena hubungannya dengan lelaki lain, maka tidak ada sebuah tanggung jawab moral maupun materiil yang dibebankan kepada suami dari wanita tersebut. Sehingga dalam hal ini perlu dilakukan li’an. Kata li’an adalah mashdar dari akta kerja la’ana-Yulaa’inu-Li’anan, terambil dari kata al-La’nu, bermakna jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian karena suami istri yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-
8
Zina adalah hubungan kelamin diantara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat perkawinan. 9 Abdur Rahman I. Doi, Inilah Syariah Islam, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991, hlm. 342.
5 lamanya, atau karena orang yang bersumpah li’an dalam kesaksiannya yang kelima
menyatakan
bersedia
menerima
la’nat
(kutuk)
Allah
jika
pernyataannya tidak benar.10 Sayyid Sabiq menyatakan bahwa pada hakekatnya li’an itu adalah sumpahnya suami sebanyak empat (4) kali atas tuduhan zina terhadap istrinya kemudian dilanjutkan dengan kata-kata “Murka Allah atas dirinya jika tuduhan itu benar.11” Sumpah adalah bentuk persyaratan dari seorang untuk dirinya sendiri atau orang lain karena akan dan atau telah melakukan atau tidak akan melakukan sesuatu. Sumpah berbeda dengan ikrar, sebab ikrar hanya mengikat bagi pihak yang mengikrarkan dan karena memang yang dinyatakan karena dirinya sendiri. Sedangkan sumpah bukan hanya mengikat diri sendiri, akan tetapi juga mengikat orang lain. Jadi di dalam sumpah terdapat dua pihak yang terikat, yaitu dirinya sendiri dan orang lain. Di dalam munakahat dikenal tiga macam sumpah, yaitu: li’an, illa’ dan dzihar.12 Dalam hukum acara perdata, menurut HIR atau Rbg, dikenal tiga macam sumpah, yaitu: 1. Sumpah Suppletoir Sumpah Suppletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk melengkapi pembuktian peristiwa atau hak yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. 10
Departeman Agama, Ilmu Fiqh, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1984/1985, hlm. 264. 11 Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 126. 12 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 251-252.
6 2. Sumpah Decisoir Sumpah decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. 3. Sumpah Penaksiran Sumpah penaksiran adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan uang ganti kerugian.13 Bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, masih ada satu jenis sumpah lagi, yaitu sumpah li’an. Sumpah li’an ini berlaku khusus dalam perkara perceraian karena alasan zina, dan inipun terbatas hanya dalam cerai talak, tidak berlaku dalam perkara cerai gugat. Sumpah li’an ini dapat digolongkan ke dalam sumpah tambahan (pelengkap) disebabkan sumpah li’an dilaksanakan atas perintah Hakim setelah Hakim menilai pihak suami mempunyai bukti permulaan atau sekurang-kurangnya Hakim berpendapat bahwa pemohon yang lebih tepat meneguhkan keterangannya dengan sumpah li’an.14 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 127 diatur tata cara li’an, yaitu sebagai berikut: a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”. 13 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 188-195. 14 Ibid., hlm.196
7 b. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “Murka Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”. c. Tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li’an.15 Adalah suatu hal yang sangat sulit bagi seseorang yang tidak bisa berbicara (bisu) untuk melakukan semua ketentuan-ketentuan diatas, yaitu mengucapkan sumpah li’an. Dalam hal ini masih ada perdebatan dikalangan para ulama mengenai permasalahan ini. Menurut Ibnu ‘Abidin orang yang tidak dapat berbicara atau bisu boleh berli’an karena Ibnu ‘Abidin menggolongkan li’an ke dalam bentuk syahadah (kesaksian). Sehingga orang yang dianggap sah atau boleh li’annya adalah orang-orang yang dapat diterima kesaksiannya. Sedangkan orang bisu bukanlah orang ahli bersaksi. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal selama isyarat ataupun tulisan orang bisu dapat dipahami maka orang bisu tersebut boleh berli’an. Namun pendapat Ibnu ‘Abidin ini masih perlu untuk dilakukan pengkajian ulang. Karena di dalam hukum islam atau kita melihat konsep mukallaf, maka orang bisu termasuk dalam kategori seorang mukallaf yang 15 Departemen Agama R.I., Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001, hlm. 59-60.
8 dapat dikenai taklif hukum. Dalam konsep mukallaf salah satu syaratnya adalah berakal dan tingkat keberakalan seseorang itu diukur dari kedewasaannya. Sehingga walaupun orang yang berli’an tersebut adalah orang bisu tetapi selama ia (orang bisu) berakal dan sudah dewasa maka ia (orang bisu) termasuk orang yang cakap hukum. Jadi, apabila mengacu pada pendapatnya Ibnu ‘Abidin yang melarang adanya li’an yang dilakukan oleh orang bisu lalu bagaimana dengan orang bisu yang mengetahui bahwa istrinya telah berzina? Berawal dari hal itulah yang membuat penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut sebagai kajian skripsi dengan judul “STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU”. B. Rumusan Masalah Berpijak dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi ini, permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an yang dilakukan oleh orang bisu? 2. Bagaimanakah analisis fiqhiyah dan ushuliyah terhadap pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an yang dilakukan oleh orang bisu?
C. Tujuan Penulisan Skripsi Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah:
9 1. Untuk mengetahui secara mendalam pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an yang dilakukan oleh orang bisu. 2. Untuk mengetahui analisis fiqhiyah dan ushuliyah terhadap pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an yang dilakukan oleh orang bisu.
D. Telaah Pustaka Pembahasan yang berkaitan dengan li’an ini memang sudah ada yang membahas, seperti dari penelitian yang pernah dibahas dulu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Darsono (2194213) dengan judul “STUDI ANALISIS TENTANG PROBLEMA HUKUM ACARA DALAM PENYELESAIAAN PERKARA LI’AN MENURUT UU NOMOR 07 TAHUN 1989”. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Darsono ini membahas tentang li’an dan likaliku acaranya di Pengadilan Agama serta bagaimana Hakim itu bersikap dan bertindak dalam menyelesaikan perkara li’an. Hasil keputusan Hakim yang berkenaan dengan perkara li’an tersebut masih terbuka untuk upaya hukum, baik pada tingkat banding maupun kasasi. Padahal sumpah li’an merupakan sumpah yang sakral dan absolut, sehingga suami istri yang bermula’anah berakibat pada perceraian yang abadi. Namun dengan terbukanya upaya hukum banding dan kasasi terhadap putusan perkara li’an itu, maka putusan perkara li’an akan menjadi tidak absolut lagi. Selain itu juga penelitian yang dilakukan oleh Sasturi (2101059) dengan judul “ANALIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB BADAI’ ASH-SHANAI’ KARYA AL-KASANI TENTANG
10 DIPERBOLEHKANNYA NIKAH KEMBALI BAGI SUAMI ISTRI YANG BERMULA’ANAH KARENA SUAMI DUSTA”. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sasturi menunjukkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah apabila telah mengaku dusta dalam tuduhannya maka suami dijatuhi hukuman dera dan boleh berkumpul lagi menjadi suami istri dengan akad nikah baru. Karena apabila talah mengaku dusta atas tuduhannya, maka hilanglah larangan tidak boleh berkumpul kembali, sebab dasar haramnya berkumpul untuk selama-lamanya bagi mereka (suami istri) adalah semata-mata karena tidak dapat menentukan mana yang benar diantara pernyataan suami istri yang bermula’anah, padahal jelas salah satu diantara mereka (suami istri) pasti ada yang berdusta. Dan jika telah terungkap rahasia tersebut maka keharaman berkumpul untuk selama-lamanya menjadi hilang. Dengan demikian, kedua penelitian diatas yaitu yang dilakukan oleh Darsono dan Sasturi memiliki perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu penulis lebih memfokuskan pada permasalahan tentang li’an bagi orang bisu dalam perspektif Ibnu ‘Abidin dengan merujuk pada kitab yang secara langsung membahas pemikiran Ibnu ‘Abidin yaitu Radd alMuhtar yang merupakan karya Ibnu ‘Abidin sendiri. Kemudian dalam Kitab Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq yang menguraikan masalah li’an secara mendetail dari pengertian li’an, praktek li’an, dasar hukum li’an, dan persoalan-persoalan tentang li’an yang menjadi kesepakatan para fuqaha maupun yang menjadi perbedaan diantara mereka. Sebagaimana dijelaskan dalam fiqh sunnah tersebut bahwa diantara fuqaha
11 tidak terjadi perbedaan pendapat berkenaan dengan akibat li’an yaitu terjadinya perpisahan antara suami istri yang bermula’anah untuk selamalamanya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang status perceraiannya. Sebagian berpendapat bahwa itu fasakh dan yang lain mengatakan bahwa itu adalah talak ba’in. Mereka juga berbeda berpendapat mengenai kapan terjadinya li’an, sebagian mengatakan terjadi sejak suami mengucapkan sumpahnya, namun yang lain berpendapat itu terjadi sejak Hakim menjatuhkan putusannya. Bidayatul Mujtahid juz 2 karya Ibnu Rusyd yang membicarakan mengenai wajibnya li’an, macam-macam tuduhan yang mewajibkan li’an dan syarat-syaratnya, sifat-sifat (keadaan-keadaan) suami istri yang saling berli’an, cara mengucapkan li’an, hukum penolakan (pembangkangan) salah seorang atau kedua suami istri dan tentang rujuknya suami, kemudian yang terakhir adalah akibat-akibat li’an. Disamping kitab–kitab fiqh klasik, permasalahan li’an banyak juga dibahas dalam buku–buku kontemporer, seperti buku yang berjudul Praktek perkara perdata pada pengadilan Agama karya A. Mukti Arto yang menjelaskan tentang bagaimana terjadinya li’an, akibat li’an, tatacara li’an, serta macam-macam alat bukti termasuk alat bukti sumpah yang disini dijelaskan ada tiga jenis sumpah dan ada lagi sumpah tersendiri yaitu sumpah li’an yang khusus berlaku di pengadilan Agama. Undang-undang no.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang menjelaskan tentang prosedur beracara di pengadilan agama kaitannya dengan
12 masalah suami menuduh istrinya berbuat zina dan istrinya menyanggah tuduhan itu, maka jalan yang ditempuh menurut ketentuan pasal tersebut hakim dengan bukti permulaannya menyuruh pemohon (suami) melakukan sumpah li’an untuk meneguhkan dakwaanya, sedangkan istri diberi kesempatan bersumpah li’an juga untuk meneguhkan sanggahannya dengan sumpah yang sama tetapi dengan redaksi yang berbeda. Sedangkan dalam KHI pasal 125 menjelaskan tidak adanya rujuk dalam li’an. Pasal 127 dan 128 mengatur tentang tempat dan tatacara li’an. Dari sejumlah buku-buku dan penelitian diatas, dapat diketahui bahwa pembahasan tentang li’an masih bersifat global terutama mengenai li’an bagi orang bisu, sehingga pembahasan ini murni dari hasil analisa pemikiran penulis dengan merujuk dari berbagai karya-karya diatas dan karya-karya lainnya.
E. Metode Penelitian Winarno Surahmat mengatakan bahwa metode merupakan cara utama yang digunakan dalam mencapai tujuan.16 Ketepatan menggunakan metode dalam penelitian adalah syarat utama dalam pengumpulan data. Apabila seseorang mengadakan penelitian kurang tepat metode penelitiannya tentu akan mengalami kesulitan bahkan tidak akan mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan yang diharapkan.
16
Winarno Surahmat, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar; Metode dan Tehnik, Bandung: Tarsito Rimbun, 1995, hlm. 65.
13 Dalam usaha memperoleh data ataupun informasi yang diperlukan, maka penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian Studi ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian dalam bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, memanfaatkan data sekunder serta menghindarkan duplikasi penelitian.17 Data-data yang terkait dengan penelitian ini dikumpulkan melalui studi pustaka (telaah). Mengingat studi ini, berkaitan dengan studi tokoh, maka
secara
metodologis
kajian
ini
dalam
kategori
penelitian
eksploratif.18 Artinya menggali pemikiran Ibnu Abidin tentang li’an bagi orang bisu, kemudian pemikiran tersebut dikontekskan dengan keadaan di Indonesia sekarang. 2. Sumber Data Adapun data-data yang digunakan adalah sebagai berikut:
17
Masri Singarimbun, dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 70. 18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm. 8.
14 a.
Sumber data primer, merupakan data yang diperoleh dari sumber asli yang memuat suatu informasi.19 Dalam hal ini yang menjadi sumber data primer yang dijadikan rujukan adalah kitab Radd alMuhtar juz 5, karya Ibnu ‘Abidin.
b.
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli yang ada kaitannya dengan permasalahan.20
3. Metode Pengumpulan Data Bentuk penelitian yang dilakukan disini adalah penelitian kualitatif. Penelitian
tersebut
berlaku
pada
pengetahuan
humanistic
atau
interpretative yang secara teknis penekanannya pada teks, dan penelitian ini merupakan serangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan masalah.21 Dalam hal ini penulis menggunakan buku-buku, kemudian menganalisanya guna memperoleh data-data yang diperlukan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Metode Analisis Data Dalam menganalisa data yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisa sebagai berikut: a. Metode Deskriptif analitis. Metode deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penulisan dilakukan
19
Tatang M. Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995,
20
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 126 Saifudin Anwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 1
hlm. 135 21
15 dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.22 Untuk selanjutnya
dianalisis
dengan
melakukan
pemeriksaan
secara
konseptional atas suatu pernyataan, sehingga dapat diperoleh kejelasan arti yang terkandung dalam pernyataan tersebut.23 Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan pemikiran Ibnu Abidin, kemudian dianalisis serta pemikirannya di kontekskan dengan kondisi sekarang. b. Metode Ushuliyah. Metode ushuliyah yang dimaksud disini adalah ushul fiqh, yaitu pengetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.24 Dengan kata lain, himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terinci. Metode ini digunakan untuk menganalisa dasar istinbath yang digunakan oleh Ibnu Abidin tentang li’an bagi orang bisu.
22
Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993, hlm.
71. 23
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 60. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa oleh M. Zuhri dan Ahmad Qorib, Semarang: Dina utama, 1994, hlm. 2. 24
16 F. Sistematika Penulisan Skripsi Penulisan skripsi ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, terdiri dari halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi. Bagian kedua terdiri dari lima bab, yaitu: BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LI’AN DAN MEKANISME ISTINBATH YANG DIGUNAKAN Pembahasan dalam bab ini diawali dengan pengertian li’an dan permasalahan yang terkait dengannya meliputi pengertian li’an, dasar hukum li’an, syarat dan rukun li’an, sebab-sebab li’an, akibat hukum li’an, kemudian pandangan ulama tentang li’an bagi orang bisu dan diakhiri dengan mekanisme istinbath hukum yang tepat mengenai sah dan tidaknya li’an bagi orang bisu. BAB III.
PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU Dalam bab ini menguraikan tentang biografi Ibnu ‘Abidin yang meliputi latar belakang dan karya-karya Ibnu ‘Abidin, diakhiri dengan pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an bagi orang bisu dan dasar hukumnya.
17 BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU Dalam bab ini menguraikan analisis fiqhiyah terhadap pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an bagi orang bisu, dan analisis ushuliyah terhadap pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an bagi orang bisu.
BAB V
PENUTUP Bab ini merupakan rangkaian terakhir dari penelitian ini yang meliputi kesimpulan, saran-saran, dan kata penutup.
Bagian ketiga skripsi ini meliputi daftar pustaka dan lampiran- lampiran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LI’AN DAN MEKANISME ISTINBATH YANG DIGUNAKAN
A. Li’an dan Permasalahan Yang Terkait Dengannya 1. Pengertian Li’an Secara etimologis, kata Li’an berasal dari bahasa Arab, La’ana bentuk mashdar dari susunan fi’il (kata kerja) ﻟﻌﺎن- ﻳﻼﻋﻦ- ﻟﻌﻦyang berarti jauh dan laknat atau kutukan.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Li’an diartikan “sumpah seorang suami dengan tuduhan bahwa istrinya berzina, sebaliknya istrinya juga bersumpah dengan tuduhan bahwa suaminya bohong (masing-masing mengucapkannya empat kali, sedangkan yang kelima mereka berikrar bersedia mendapat laknat Allah jika berdusta) sehingga suami istri bercerai dan haram menikah kembali seumur hidup”.2 Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Li’an didefinisikan: “ jauh dari nikmat Allah”.3 Secara terminology, banyak ahli fiqh yang mendefinisikan li’an sebagai berikut: 1. Abi Yahya Zakaria al-Anshari
1
Ahmad Wirson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1274 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 668 3 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 1009
18
19
وﺷﺮﻋﺎ آﻠﻤﺔ ﻣﻌﻠﻮﻣﺔ ﺟﻌﻠﺖ ﺣﺠﺔ ﻟﻠﻤﻀﻄﺮاﻟﻰ ﻗﺬف ﻣﻦ 4 .ﻟﻄﺦ ﻓﺮاﺷﻪ واﻟﺤﻖ اﻟﻌﺎرﺑﻪ او اﻟﻰ ﻧﻔﻰ وﻟﺪ Artinya: “Li’an adalah beberapa kalimat yang maklum digunakan sebagai hujjah bagi orang yang membutuhkannya untuk menuduh zina kepada istrinya, dan menetapkan kejelekan dengannya atau untuk menolak anaknya” 2. Imam Taqiyuddin Abi Bakr
ﻓﻰ اﻟﺸﺮع ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ آﻠﻤﺎت ﻣﻌﻠﻮﻣﺔ ﺟﻌﻠﺖ ﺣﺠﺔ 5 .ﻟﻠﻤﻀﻄﺮ اﻟﻰ ﻗﺬف ﻣﻦ ﻟﻄﺢ ﻓﺮاﺷﻪ و اﻟﺤﻖ ﺑﻪ اﻟﻌﺎر Artinya: “Li’an adalah ibarat dari kalimat yang biasa digunakan untuk menuduh zina suami kepada istrinya dan ia (suami) bersumpah bersedia menerima laknat apabila ia (suami) berbohong”. 3. Ibnu ‘Abidin
ﺷﻬﺎدات ﻣﺆآﺪات ﺑﺎ ﻻﻳﻤﺎن ﻣﻘﺮوﻧﺔ ﺑﺎ ﻟﻠﻌﺎن ﻗﺎ ﺋﻤﺔ ﻣﻘﺎم 6 .ﺣﺪ اﻟﻘﺬف ﻓﻲ ﺣﻘﻪ و ﻣﻘﺎم ﺣﺪ اﻟﺰﻧﺎ ﻓﻲ ﺣﻘﻬﺎ Artinya: “ Li’an adalah beberapa kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah, yang mana kesaksian suami disertai dengan laknat dan kesaksian istri disertai dengan qodhaf, yang menduduki kedudukan hak qodhaf pada suami dan menduduki kedudukan had zina pada hak istri”.
Dalam pembahasan li’an tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan tentang qodzaf. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan tentangnya. Qodzaf secara bahasa adalah bentuk mashdar dari fi’il Qodzafa () ﻗﺬف, yang artinya menuduh.7 Sedangkan menurut istilah, para ahli fiqh mendefinisikannya sebagai berikut:
4
Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahab, Jeddah: Al-Haramain, t. th., hlm. 98 Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al-Ahyar, Juz II, Mesir: Dar al-Kutub al-Araby, hlm. 121 6 Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Juz V, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, t. th., hlm. 149 7 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Al-‘Ishri, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2000, hlm. 1439 5
20
1. Ibnu ‘Abidin
وهﻮ ﻣﻦ اﻟﻜﺒﺎﺋﺮ ﺑﺎﻻﺟﻤﺎع, و ﺷﺮ ﻋﺎ اﻟﺮ ﻣﻰ ﺑﺎﻟﺰ ﻧﺎ:هﻮ ﻟﻐﺔ اﻟﺮ ﻣﻰ 8
.ﻓﺘﺢ
Artinya: “Qodzaf adalah tuduhan terhadap zina dan dianggap dosa besar menurut ijma’ ulama.” 2. Imam Taqiyuddin Abi Bakr 9
.واﻟﻤﺮاد هﻨﺎ اﻟﺮ ﻣﻰ ﺑﺎ اﻟﺰ ﻧﻰ ﻋﻠﻰ وﺟﻪ اﻟﺘﻌﺰ ﻳﺰ وهﻮ ﻣﻦ اﻟﻜﺒﺎ ﺋﺮ Artinya: “ yang dikehendaki dengan qodzaf adalah tuduhan zina dengan tujuan penghinaan dan merupakan dosa besar.”
Dengan demikian, antara li’an dengan qodzaf disamping mempunyai persamaan dalam hal tuduhan zina, namun keduanya juga mempunyai perbedaan. Perbedaannya adalah, apabila tuduhan zina itu ditunjukkan kepada istri si penuduh maka perkaranya dinamakan perkara li’an. Akan tetapi apabila tuduhan tersebut ditujukan kepada orang lain, maka perkaranya dinamakan perkara qodzaf. 2. Dasar Hukum Li’an Setiap peristiwa hukum yang diatur oleh syara’ baik itu merupakan perkara yang diperbolehkan maupun perkara yang dilarang sekalipun, pada dasarnya memiliki rujukan atau landasan sebagai dasar landasan berpijak. Demikian halnya dengan perkara li’an juga tidak terlepas dari dasar hukumnya, firman Allah:
8 9
Ibnu ‘Abidin, Khasiyah Radd al-Muhtar, Juz IV, Dar al-Fikr, hlm. 43 Taqiyuddin Abi Bakr, Op. Cit., hlm. 184
21
ﺸﻬَﺎ َد ُة َ ﺴ ُﻬ ْﻢ َﻓ ُ ﺷ َﻬﺪَا ُء ِإﻟﱠﺎ َأ ْﻧ ُﻔ ُ ﻦ َﻟ ُﻬ ْﻢ ْ ﺟ ُﻬ ْﻢ َو َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ َ ن َأ ْزوَا َ ﻦ َﻳ ْﺮﻣُﻮ َ وَاﱠﻟﺬِﻳ َ ﻦ اﻟﺼﱠﺎ ِدﻗِﻴ َ ت ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ ِإﻧﱠ ُﻪ َﻟ ِﻤ ٍ ﺷﻬَﺎدَا َ ﺣ ِﺪ ِه ْﻢ َأ ْر َﺑ ُﻊ َ َأ ن ﺴ ُﺔ َأ ﱠ َ (وَا ْﻟﺨَﺎ ِﻣ6)ﻦ (7)ﻦ َ ﻦ ا ْﻟﻜَﺎ ِذﺑِﻴ َ ن ِﻣ َ ن آَﺎ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِإ َ َﻟ ْﻌ َﻨ َﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. An-Nur: 6-7)10
Secara historis, ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa seorang sahabat yang bernama Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya melakukan perbuatan zina dengan Syarik bin Samha’. Saat dia berada dihadapan Rasulullah, maka Rasulullah bersabda kepadanya, “ Datangkan bukti, jika tidak akan diberlakukan hukuman had atas punggungmu ”. Dia berkata, wahai Nabi Allah, apakah jika salah seorang diantara kami melihat ada seorang lelaki diatas istrinya, apakah yang demikian dia harus mencari bukti juga? “ Rasulullah mengulangi ucapannya tadi. Maka Hilal pun berkata, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran sebagai seorang Nabi, sesungguhnya saya adalah benar, dan Allah pasti akan menurunkan ayatnya untuk menyelamatkan punggungku dari hukuman had.11 Terhadap tuduhan suami ini, istri dapat mengajukan keberatan dan menyangkal tuduhan tersebut. Dengan cara melakukan sumpah kesaksian sebanyak empat kali, bahwa tuduhan suami itu tidak benar. Kemudian di 10
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1989, hlm. 544 11 Syaikh Imam Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003, hlm. 519-520
22
akhir sumpahnya itu istri menyatakan bahwa istri bersedia menerima murka Allah, jika tuduhan suami itu benar. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.,:
.ﻦ َ ﻦ ا ْﻟ َﻜﺎ ِذﺑِﻴ َ ت ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ ِإﻧﱠ ُﻪ َﻟ ِﻤ ٍ ﺷﻬَﺎدَا َ ﺸ َﻬ َﺪ َأ ْر َﺑ َﻊ ْ ن َﺗ ْ ب َأ َ ﻋ ْﻨﻬَﺎ ا ْﻟ َﻌﺬَا َ َو َﻳ ْﺪ َرُأ (8 - 9:ﻦ )اﻟﻨﻮر َ ﻦ اﻟﺼﱠﺎ ِدﻗِﻴ َ ن ِﻣ َ ن آَﺎ ْ ﻋ َﻠ ْﻴﻬَﺎ ِإ َ ﺐ اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻀ َ ﻏ َ ن ﺴ َﺔ َأ ﱠ َ وَا ْﻟﺨَﺎ ِﻣ Artinya: “Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. (8) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (9) (QS. An-Nur: 8-9)12
Di samping yang dijelaskan dalam Al Qur’an di dalam hadits juga di jelaskan tentang li’an, diantaranya sabda Nabi SAW:
ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﺸﺎر ﺣﺪ ﺛﻨﺎ اﺑﻦ اﺑﻰ ﻋﺪ ي ﻋﻦ ﻋﺸﺎم ﺑﻦ ﺣﺴﺎن ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻋﻜﺮﻣﺔ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ان هﻼ ل اﺑﻦ اﻣﻴﺔ ﻗﺬف اﻣﺮاﺗﻪ ﻓﺠﺎء ﻓﺸﻬﺪ واﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻗﺎ, ﻓﻬﻞ ﻣﻨﻜﻤﺎ ﺗﺎ ﺋﺐ, ان اﷲ ﻳﻌﻠﻢ ان اﺣﺪ آﻤﺎ آﺎ ذب:ﻳﻘﻮل 13 .ﻣﺖ ﻓﺸﻬﺪت Artinya: “ Dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Hilal bin Ummayyah telah menuduh istrinya (berzina), lalu ia datang lantas bersumpah (bersaksi), sedangkan Nabi SAW. berkata: “ Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang diantara kamu berdua berdusta maka apakah ada diantara kalian bertaubat. Kemudian istrinya berdiri lantas bersumpah ”.
Selain itu juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan imam-imam lain yang meriwayatkan hadits shahih, dari hadits ‘Uwaimir al ‘Ajlani: 12 13
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Op. Cit hlm. 544 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz V, Dar al-Fikr, t. th., hlm. 178
23
ﻋﻦ ﺳﻬﻞ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ اﻟﺴﺎ ﻋﺪى ان ﻋﻮ ﻳﻤﺮا اﻟﻌﺠﻼ ﻧﻲ ﺟﺎء اﻟﻰ ﻋﺎﺻﻢ ﺑﻦ ﻋﺪي اﻻﻧﺼﺎري ﻓﻘﺎ ﻟﻪ ار اﻳﺖ ﻳﺎ ﻋﺎ ﺻﻢ ﻟﻮ ان رﺟﻼ وﺟﺪ ﻣﻊ اﻣﺮاﺗﻪ رﺟﻼ اﻳﻘﺘﻠﻪ ﻓﺘﻘﺘﻠﻮ ﻧﻪ ام آﻴﻒ ﻳﻔﻌﻞ ﻓﺴﻞ ﻟﻰ ﻋﻦ ذ .م. ﻓﺴﺎل ﻋﺎ ﺻﻢ رﺳﻮل اﷲ ص.م.ﻟﻚ ﻳﺎ ﻋﺎ ﺻﻢ رﺳﻮل اﷲ ص اﻟﻤﺴﺎ ﺋﻞ وﻋﺎ ﺑﻬﺎ ﺣﺘﻰ آﺒﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﺎ ﺻﻢ ﻣﺎ.م.ﻓﻜﺮﻩ رﺳﻮل اﷲ ص ﻓﻠﻤﺎ رﺟﻊ ﻋﺎ ﺻﻢ اﻟﻰ اهﻠﻪ ﺟﺎ ءﻩ.م.ﺳﻤﻊ ﻣﻦ رﺳﻮل اﷲ ص ﻗﺎل ﻋﺎ ﺻﻢ.م.ﻋﻮﻳﻤﺮ ﻓﻘﺎل ﻳﺎ ﻋﺎ ﺻﻢ ﻣﺎذا ﻗﺎل ﻟﻚ رﺳﻮل اﷲ ص اﻟﻤﺴﺎﻟﺔ اﻟﺘﻲ ﺳﺎﻟﺘﻪ.م.ﻟﻌﻮﻳﻢ ﻟﻢ ﺗﺎ ﺗﻨﻲ ﺑﺨﻴﺮ ﻗﺪ آﺮﻩ رﺳﻮل اﷲ ص و ﺳﻂ اﻟﻨﺎس ﻓﻘﺎل.م.ﻋﻨﻬﺎ ﻓﺎﻗﺒﻞ ﻋﻮﻳﻤﺮ ﺣﺘﻰ اﺗﻰ رﺳﻮل اﷲ ص ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ار اﻳﺖ رﺟﻼ وﺟﺪ ﻣﻊ اﻣﺮاﺗﻪ رﺟﻼ اﻳﻘﺘﻠﻪ ﻓﺘﻘﺘﻠﻮﻧﻪ ام ﻗﺪ ﻧﺰل ﻓﻴﻚ و ﻓﻲ ﺻﺎﺣﺒﺘﻚ ﻓﺎذ.م.آﻴﻒ ﻳﻔﻌﻞ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ص هﺐ ﻓﺎت ﺑﻬﺎ ﻗﺎل ﺳﻬﻞ ﻓﺘﻼ ﻋﻨﺎ و اﻧﺎ ﻣﻊ اﻟﻨﺎس ﻋﻨﺪ رﺳﻮل اﷲ ﻓﻠﻤﺎ ﻓﺮﻏﺎ ﻗﺎل ﻋﻮﻳﻤﺮ آﺬﺑﺖ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ان.م.ص ﻗﺎل اﺑﻦ.م.اﻣﺴﻜﺘﻬﺎ ﻓﻄﻠﻘﻬﺎ ﺛﻼﺛﺎ ﻗﺒﻞ ان ﻳﺎﻣﺮﻩ رﺳﻮل اﷲ ص 14 .ﺷﻬﺎب ﻓﻜﺎ ﻧﺖ ﺳﻨﺔ اﻟﻤﺘﻼ ﻋﻨﻴﻦ Artinya: “Dari Sahal bin Sa’ad As-Sa’idiy ra. Berkata: “Bahwa ‘Uwaimir Al-Ajlani datang kepada Ashim bin ‘Adiy AlAnshari lalu berkata: “Bagaimana sikap yang harus diambil oleh sang suami yang menjumpai istrinya sedang berzina? Apakah lantas sang suami boleh membunuh laki-laki itu? Tetapi jika demikian, mungkin yang berwajib akan membunuh sang suami itu pula, jadi sikap apa yang harus dilakukannya? Cobalah tolong tanyakan kepada Rasulullah saw.! ‘Ashim pun segera menanyakan kepada Rasulullah saw. Tetapi rupanya beliau (Rasulullah saw) benci mendengar pertanyaan itu, bahkan Rasulullah saw. agak meremehkannya, sehingga ‘Ashim merasa susah dan tidak senang mendengar perkataan Rasulullah saw. terhadap pertanyaan itu. Setelah ‘Ashim sampai ke rumah, ‘Uwaimir pun tiba pula, lalu bertanya tentang jawaban Rasulullah saw. Berkata ‘Ashim kepadanya: “Anda telah mendatangkan bencana kepadaku, Rasulullah saw. telah menunjukkan kebenciannya kepada persoalan yang aku tanyakan. “Berkata pula ‘Uwaimir: “Demi 14 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993, hlm. 1129-1130
24
Allah tidaklah saya akan diam sebelum hal itu saya tanyakan sendiri kepada beliau (Rasulullah saw.). Setelah ‘Uwaimir tiba, kedapatan Rasulullah saw. berada di tengah-tengah orang banyak. Maka dengan serta-merta ‘Uwaimir pun bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Jawab Rasulullah saw.: “Sesungguhnya ayat yang khusus tentang hal itu telah diturunkan Allah bertalian dengan peristiwa sekitar dirimu dan istrimu, oleh sebab itu panggillah istrimu kemari. “Kata Sahal: “Maka terjadilah li’an antara kedua suami istri itu dihadapan Rasulullah saw. di tengah-tengah khalayak ramai, sedangkan saya sendiri hadir bersama-sama orang banyak itu. “Setelah selesai peristiwa li’an itu, berkatalah ‘Uwaimir kepada Rasulullah saw.: “Jika saya tetap mempertahankan istri saya ini, berarti saya hanya memfitnah dan berdusta atas dirinya. “Seketika itu juga perempuan (istri) itu di talak tiga oleh ‘Uwaimir, sebelum Rasulullah saw. sendiri memerintahkannya. Ibnu Shihab berkata: “Maka peristiwa itulah yang menjadi tauladan atau pedoman manakala terjadi li’an antara suami istri ”.
Sebenarnya seorang suami jangan begitu mudah menuduh istrinya berbuat zina, hanya dengan melihat laki-laki lain keluar dari tempat istrinya atau duduk bersama, sebab tuduhan itu harus disertai dengan bukti-bukti yang nyata. Seorang suami yang melihat istrinya mengandung jangan cepat-cepat menuduhnya berzina. Sebab anak yang di kandung bisa saja hasil hubungan dengan dirinya (yang belum dirasakan), kecuali sudah yakin betul bahwa istrinya berbuat zina. Dalam
menuduh
istri
berbuat
zina,
apabila
tanpa
mengemukakan bukti yang nyata suami harus bersumpah bahwa: istrinya berzina dan anak yang di kandung bukan hasil hubungan dengannya. Sumpah tersebut tidak boleh diputus “istrinya berzina” tetapi harus dilanjutkan sampai “anak yang di kandung bukan hasil hubungan
25
dengannya (bukan anaknya)”, dan tidak boleh dipotong dengan “anak itu bukan anaknya”, tetapi harus diawali dengan “istrinya berzina”. Sumpah diucapkan empat kali, dan ucapan yang kelima berbunyi: “kalau saya berdusta sungguh laknat Allah akan menimpaku”. Harus disebutkan kata laknat supaya orang tidak mudah bersumpah”.15 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Ali Imran: 77
ق َﻟ ُﻬ ْﻢ َ ﺧﻠَﺎ َ ﻚ ﻟَﺎ َ ن ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ َوَأ ْﻳﻤَﺎ ِﻧ ِﻬ ْﻢ َﺛ َﻤﻨًﺎ َﻗﻠِﻴﻠًﺎ أُوَﻟ ِﺌ َ ﺸ َﺘﺮُو ْ ﻦ َﻳ َ ن اﱠﻟﺬِﻳ ِإ ﱠ ﻈ ُﺮ ِإ َﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َوﻟَﺎ ُﻳ َﺰآﱢﻴ ِﻬ ْﻢ ُ ﺧ َﺮ ِة َوﻟَﺎ ُﻳ َﻜﻠﱢ ُﻤ ُﻬ ُﻢ اﻟﱠﻠ ُﻪ َوﻟَﺎ َﻳ ْﻨ ِ ﻓِﻲ اﻟْﺂ 16 (77 :ﻋﻤﺮان-ب َأﻟِﻴ ٌﻢ )ال ٌ ﻋﺬَا َ َو َﻟ ُﻬ ْﻢ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.”
3. Syarat dan Rukun Li’an Di syariatkannya li’an adalah untuk menjaga hubungan suci antara anak dengan bapaknya (nasab) sehingga keturunannya menjadi jelas dan tidak kacau serta tidak ada keragu-raguan. Dalam melakukan li’an suami tidak boleh hanya berdasarkan desas-desus, fitnahan, atau tuduhan dari orang lain.
15 16
Taqiyuddin Abi Bakr, Loc. Cit., hlm. 121-122 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Op. Cit hlm. 88
26
Dalam hukum islam, terdapat beberapa rukun dan syarat li’an, antara lain: 1. Rukun Li’an Rukun li’an adalah sebagai berikut: a. Suami, tidak akan jatuh li’an apabila yang menuduh zina atau yang mengingkari anak itu laki-laki lain yang tidak mempunyai ikatan pernikahan (bukan suaminya). b. Istri, tidak akan jatuh li’an apabila yang dituduh tersebut bukan istrinya. c. Shighat atau lafadz li’an, yaitu lafadz yang menunjukkan tuduhan zina atau pengingkaran kandungan kepada istrinya.17 d. Kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah.18
2. Syarat Li’an Adapun syarat wajib li’an dibagi dalam empat kelompok, yaitu:19 a. Syarat yang kembali kepada suami istri Syarat yang kembali pada kedua belah pihak yaitu suami istri adalah sebagai berikut: 1. Tegaknya Perkawinan
17
Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahhab al-Siwasi, Fath al-Qodir, Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th., hlm. 248-250 18 Abdul Aziz Dahlan, Op. Cit., hlm. 1010 19 Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Juz V, Op. Cit., hlm. 149-150
27
Berdasar pada QS. An-Nur: 6-7 dapat diambil kesimpulan bahwa yang berhak bermula’anah adalah antara suami dan istri. Oleh sebab itu li’an tidak dapat dilakukan terhadap orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Demikian halnya, li’an tidak dapat dilakukan terhadap seorang penuduh yang nikahnya fasid (rusak), maupun terhadap seorang istri yang tertalak ba’in karena dengan demikian pernikahan mereka sudah dianggap tidak ada lagi. Sedangkan apabila tuduhan itu ditujukan kepada seorang istri yang sedang beriddah talak raj’i, maka li’an tetap berlaku kepada kedua belah pihak.20 2. Merdeka, baligh, berakal, islam, dapat berbicara, dan tidak adanya hukuman had zina. Dapat berbicara merupakan salah satu syarat yang harus ada bagi orang yang bermula’anah. Berbicara yang dimaksud di sini adalah komunikasi secara langsung yaitu menggunakan lisannya. Dan dalam hai ini ada perselisihan pendapat diantara para fuqaha yang akan penulis jelaskan pada sub bab setelah ini yaitu Pandangan Ulama tentang Li’an Bagi Orang Bisu. Karena dalam hal ini ada ulama yang membolehkan li’an bagi orang bisu, tetapi juga ada yang melarangnya. b. Syarat yang kembali kepada penuduh 20
Ibid., hlm. 151
28
Adapun syarat yang kembali kepada penuduh yaitu seperti yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abidin adalah sebagai berikut: 21
.ﻋﺪم اﻗﺎ ﻣﺔ اﻟﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﺻﺪ ﻗﻪ
Artinya: “tidak adanya bukti yang membenarkan terjadinya perzinahan tersebut”. Sesuai dengan Firman Allah dalam QS. An-Nur: 622
ﺴ ُﻬ ْﻢ ُ ﺷ َﻬﺪَا ُء ِإﻟﱠﺎ َأ ْﻧ ُﻔ ُ ﻦ َﻟ ُﻬ ْﻢ ْ ﺟ ُﻬ ْﻢ َو َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ َ ن َأ ْزوَا َ ﻦ َﻳ ْﺮﻣُﻮ َ وَاﱠﻟﺬِﻳ ﻦ َ ﻦ اﻟﺼﱠﺎ ِدﻗِﻴ َ ت ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ ِإﻧﱠ ُﻪ َﻟ ِﻤ ٍ ﺷﻬَﺎدَا َ ﺣ ِﺪ ِه ْﻢ َأ ْر َﺑ ُﻊ َ ﺸﻬَﺎ َد ُة َأ َ َﻓ (6 :)اﻟﻨﻮر Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (QS. AnNur: 6)
Berbeda halnya apabila penuduh dapat mengeluarkan empat orang saksi yang dapat menguatkan tuduhannya, maka gugurlah hukum li’an bagi keduanya. Dan istrinya wajib dikenai hukuman had zina. Karena dengan adanya empat orang saksi yang kuat maka istri tidak dapat lagi menghindari atau mengelak dari tuduhan tersebut. c. Syarat yang kembali kepada tertuduh Adapun syarat yang kembali kepada tertuduh, yaitu: 21 22
Ibid, hlm. 150 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Loc. Cit.
29
1. Adanya pengingkaran istri terhadap perbuatan zina yang dituduhkan kepadanya, sehingga apabila istri mengaku telah berbuat zina, maka li’an tidak wajib dilakukan. Akan tetapi yang wajib dilakukan adalah hukuman had zina kepada istri. 2. Kehormatan dirinya terjaga dari perbuatan zina.23 d. Syarat yang kembali kepada tuduhan. Syarat yang kembali kepada tuduhan adalah sebagai berikut: 1. Tuduhan zina harus diucapkan dengan jelas, seperti ucapan suami kepada istrinya “Hai wanita yang berzina”, tetapi apabila tuduhan diucapkan dengan kata-kata sindiran, maka li’an tidak dapat dilaksanakan seperti penuduh dalam tuduhannya mengganti kata zina dengan kata liwath. 2. Li’an hanya ada di negara islam. Li’an tidak dapat dilaksanakan apabila tuduhan tersebut dilaksanakan diluar negara islam, karena wilayah kekuasaan pengadilan tersebut hanya meliputi dimana pengadilan itu berada yang mana hukum itu dapat berlaku. 3. Li’an harus diucapkan di depan sidang pengadilan. 4. Sebab dan Akibat Hukum Li’an
23
Alaudin bin Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani, al-Hanafi, Badai’ ash-Shanai’, Juz III, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, t. th., hlm. 37
30
Terjadinya li’an disebabkan karena seorang suami menuduh istrinya berbuat zina dengan laki-laki lain, tanpa mampu mendatangkan empat orang saksi yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Bentuk ini menyebabkan adanya li’an setelah suami melihat sendiri (secara langsung) bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain, ataupun istri mengaku telah berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuan istrinya tersebut.24 Sebab yang lain adalah seorang suami mengingkari (menolak) bayi yang telah di kandung istrinya. Hal ini bisa terjadi apabila suami mengaku bahwa suami tidak pernah berhubungan badan dengan istrinya semenjak akad nikah berlangsung. Kemudian sebab yang lainnya adalah bahwa istrinya telah melahirkan sebelum batas minimal kelahiran (kurang dari kelahiran) setelah bersenggama.25 Oleh karena sebab-sebab yang terjadi di atas, maka untuk menguatkan kebenaran tuduhannya seorang suami mengucapkan sumpah li’an. Sedangkan istri menyangkal tuduhan tersebut dengan sumpah li’an pula, sehingga terjadi mula’anah diantara kedua suami istri tersebut. Apabila terjadi hal yang demikian berarti salah satu dari suami istri tersebut ada yang berdusta. Adapun akibat hukum dari peristiwa li’an yang dilakukan oleh suami istri adalah sebagai berikut:
24 25
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz II, Dar al-Fikr, t. th., hlm. 271-272 Ibid.
31
1. Gugurnya hukuman dera bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi. 2. Istri dijatuhi hukuman dera, kecuali jika istri membantah dengan bersedia mengucapkan sumpah li’an juga. 3. Haram (tidak boleh) melakukan hubungan suami istri. 4. Tidak sahnya anak. Artinya nasab anak tidak dihubungkan kepada ayahnya, melainkan kepada ibunya saja. Akibat lebih lanjut adalah anak yang dilahirkan itu tidak mendapat nafkah dan tidak saling warismewarisi dengan ayahnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., sebagai berikut:
ﻋﻦ ا ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻻﻋﻦ ﺑﻴﻦ رﺟﻞ 26 واﻣﺮاﺗﻪ ﻗﺎﻧﺘﻔﻲ ﻣﻦ وﻟﺪهﺎ ﻓﻔﺮﻗﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ واﻟﺤﻖ اﻟﻮﻟﺪ ﺑﺎﻟﻤﺮاة Artinya: “Dari Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Nabi saw. Menangani perkara seorang suami yang meli’an istrinya, lalu suami tidak mengakui anaknya, sehingga Nabi memisahkan antara keduanya dan mengikutkan anaknya kepada ibunya (wanita yang dili’an).”
5. Secara otomatis terjadi perceraian (furqoh) antara suami istri yang melakukan li’an itu. Mereka tidak dapat menjadi suami istri kembali dengan cara apapun, baik dengan cara rujuk maupun dengan akad baru.27 Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., sebagai berikut:
26
Imam al-Bukhari, Op. Cit., hlm. 181 Departemen Agama RI., Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN Jakarta, 1992 / 1993, hlm. 648 27
32
ﻋﻦ ﻧﺎﻗﻊ ان اﺑﻦ ﻋﻤﺮرﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ اﺧﺒﺮﻩ ان رﺳﻮل اﷲ 28 ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﺮق ﺑﻴﻦ رﺟﻞ واﻣﺮاة ﻗﺬﻓﻬﺎ واﺣﻠﻔﻬﻤﺎ Artinya: “Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu ‘Umar ra. memberi kabar kepadanya bahwa Rasulullah saw. telah memisahkan seorang laki-laki (suami) dan seorang perempuan (istri) dimana suami menuduh istrinya berbuat zina dan nabi menyumpah keduanya.”
Sedangkan akibat hukum li’an yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut: 1. Putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya (pasal 125 KHI). 2. Timbulnya larangan perkawinan antara bekas suami istri tersebut (pasal 43 (1) huruf b KHI). 3. Tidak sahnya perkawinan (batal demi hukum) perkawinan antara bekas suami istri tersebut (pasal 70 huruf b KHI). 4. Timbulnya larangan rujuk antara bekas suami istri (pasal 163 (2) huruf b KHI). 5. Anak yang di kandung atau dilahirkan oleh istri hanya ada hubungan perdata dan nasab dengan ibunya (pasal 162 KHI). 6. Bekas suami terbebas dari kewajiban memberikan nafkah iddah bekas istri (pasal 162 KHI).
B. Pandangan Ulama tentang Li’an Bagi Orang Bisu
28
Imam al-Bukhari, Loc. Cit.
33
Karena tidak adanya nash yang sharih (jelas) baik dari Al-Qur’an ataupun dari al-Hadits yang berisi larangan atau diperbolehkannya li’an bagi orang bisu, maka dalam hal ini menjadi wilayah ijtihad bagi para ulama’ fiqh untuk memberikan hukum sehingga memunculkan hukum yang berbeda. Dalam hal ini para ulama’ madzhab mempunyai pandangan sebagaimana berikut: Ibnu ‘Abidin sebagai salah satu penerus madzhab Hanafi mengatakan bahwasanya disyaratkan bagi orang yang meli’an atau suami yang meli’an istrinya harus baligh, berakal, dan bisa berbicara. Adapun apabila ada seorang suami (yang ingin meli’an istrinya) dalam keadaan masih kecil atau gila atau tidak bisa berbicara yang dalam hal ini adalah bisu maka tidak ada had atau hukuman dan tidak ada li’an. Karena tuduhan dari orangorang tersebut dianggap tidak sah. Disamping itu Ibnu ‘Abidin juga mengatakan bahwa orang bisu tidak boleh berli’an karena ia (orang bisu) tidak termasuk orang yang boleh memberikan kesaksian atau kesaksiannya tidak diterima. Karena menurut beliau (Ibnu ‘Abidin) li’an termasuk ke dalam syahadah (kesaksian).29 Kemudian Imam Malik mengatakan “Apa pendapatmu tentang orang bisu yang menuduh istrinya berzina dengan menggunakan isyarat atau dengan tulisan? “Ya dapat diterima li’annya apabila dia (orang bisu) dapat memahami apa yang di ucapkan orang lain dan dia (orang bisu) juga paham dengan apa yang dia (orang bisu) ucapkan sendiri.30 Dengan kata lain selama
29
Ibnu ‘Abidin, Op. Cit., hlm. 154 Imam Malik, Al-Mudawwanatul Qubra, Juz II, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al‘Alamiyah, t. th., hlm. 362 30
34
isyarat dari orang bisu yang berli’an masih dapat dipahami baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri maka li’annya sah. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang dalam hal ini mengenai li’an bagi orang bisu sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik. Imam Syafi’i berkata: “Apabila suami yang berli’an tersebut adalah seorang tuna wicara atau bisu dan suami tersebut mengetahui bahasa isyarat dan jawaban atau dia bisa menulis dan memahami dengan apa yang dia (suami) tulis maka suami tersebut tadi harus berli’an dengan isyarat, dan apabila suami tersebut tidak mau berli’an, maka dia (suami) harus dijatuhi hukuman had. Tetapi apabila suami yang berli’an tadi tidak dapat memahami bahasa isyarat maka tidak ada had dan tidak ada li’an. Imam Syafi’i juga menjelaskan bagaimana apabila yang bisu itu adalah yang wanita atau dalam hal ini adalah istrinya? Maka tidak dibebankan kepada wanita tersebut li’an dari laki-laki, kecuali apabila wanita tersebut dapat memahami bahasa isyarat.31 Imam Hambali juga sama pendapatnya dengan Imam Malik dan Imam Syafi’i, yaitu beliau (Imam Hambali) mengatakan apabila isyarat li’an dari orang bisu atau tulisannya dapat dipahami maka sah li’annya. Tetapi apabila isyarat ataupun orang yang bisu tersebut sama sekali tidak bisa menulis atau tulisannya tidak bisa dibaca dan dipahami oleh orang lain, maka li’annya tidak sah.32
31 Imam Syafi’i, al-‘Umm, Juz IX, Jakarta: Faizan, Alih Bahasa Oleh: Ismail Yaqub, Dahlan Idhamy, Muh. Zuhri, 1985, hlm. 77-78 32 Imam Hambali, Al-Muqna’, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th., hlm. 254
35
Jadi, mengenai permasalahan li’an bagi orang bisu ini masih menyisakan perselisihan dikalangan para ulama. Ada yang mengatakan selama tulisannya atau isyaratnya masih dapat dipahami li’an orang bisu dianggap sah, tetapi apabila tulisan maupun isyaratnya tidak dapat dipahami maka li’annya pun tidak sah. Di sisi lain juga ada pendapat yang mengatakan bahwasanya li’annya orang bisu itu sama sekali tidak sah, walaupun tulisan atau isyaratnya masih bisa untuk dipahami. Karena pendapat ini menyamakan li’an dengan persaksian, dan orang bisu tidak termasuk orang yang boleh diterima kesaksiannya.
C. Mekanisme Istinbath Hukum Yang Tepat mengenai Sah dan Tidaknya Li’an Bagi Orang Bisu Istinbath merupakan sistem atau metode para mujtahid guna menemukan atau menetapkan suatu hukum. Karena dalam kehidupan manusia selalu akan terjadi perubahan tata sosial masyarakat, sehingga akan memunculkan persoalan-persoalan baru di dalam masyarakat. Persoalanpersoalan yang tumbuh di dalam masyarakat, ada kalanya sudah di nash dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada nash yang jelas, perlu diadakan Istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukumhukum baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah. Istinbath erat kaitannya dengan ushul fiqh,
36
karena ushul fiqh dengan segala kaitannya tidak lain merupakan hasil ijtihad para mujtahidin dalam menemukan sebuah hukum dari sumbernya (Al-Qur’an dan as-Sunnah). Dalam hal ini orang yang dibebani hukum (Mahkum ‘Alaih)33 baik yang menjalankan perintah-Nya maupun yang menjauhi segala larangan-Nya haruslah orang yang mukallaf. Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf yang menerima beban hukum itu ada dua macam,34 yaitu: 1. Bahwa ia (orang mukallaf) harus mampu memahami dalil pentaklifan (pembebanan), yaitu sanggup memahami sendiri atau dengan perantara orang lain nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena sesungguhnya orang yang tidak sanggup memahami dalil pentaklifan, maka ia tidak mungkin untuk melaksanakan sesuatu yang ditaklifkan kepadanya, dan tidak bisa pula mengarahkan maksudnya kepadanya. Kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklif hanya dapat dibuktikan atau terletak pada akal dan keberadaan nash-nash yang dibebankan kepada para ahli pikir adalah untuk dipahaminya. Sebab akal itu adalah akal untuk memahami dan menangkap, dan dengan akal itu pula keinginan untuk mengikuti perintah dapat diarahkan. Karena akal adalah suatu hal yang abstrak yang tidak dapat ditangkap dengan penginderaan yang konkrit, maka syari’ mengkaitkan pentaklifan dengan hal yang konkrit yang dapat ditangkap 33
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986, hlm. 164 34 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih bahasa oleh M. Zuhri dan Ahmad Qorib, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 199-201
37
dengan penginderaan yang menjadi tempat dugaan keberakalan, yaitu keadaan baligh. Jadi barang siapa yang telah mencapai baligh, tanpa kelihatan adanya hal-hal baru yang merusak kemampuan akalnya, maka pada dirinya telah terpenuhi kemampuan untuk dikenakan taklif. Berdasarkan persyaratan ini, maka orang gila tidak terkena taklif, demikian pula anak kecil karena ketiadaan akal yang menjadi sarana untuk memahami dalil taklif. Orang yang ghafil (lalai), orang yang tidur, dan orang yang mabuk juga tidak terkena taklif, karena sesungguhnya mereka dalam keadaan lalai, tidur atau mabuk, yang tidak mampu untuk memahami. 2. Orang mukallaf harus mempunyai kemampuan untuk dikenakan atau menerima taklif. Ahliyyah, dalam bahasa Arab artinya kelayakan, kemampuan. Para ulama ushul fiqh membagi ahliyyah kepada dua bagian, yaitu: a. Ahliyyatul Wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban), yaitu kelayakan seorang manusia untuk diberi hak dan diberi kewajiban. Kelayakan ini ada pada setiap manusia, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik ia masih janin, anak kecil, atau mumayyiz (keadaan menjelang baligh), atau telah baligh, atau dewasa, atau bodoh, berakal ataupun gila dan baik ia gila ataupun sakit. Semua orang mempunyai kelayakan untuk diberi hak dan kewajiban. Sebab dasar dari kelayakan ini adalah kemanusiaan. Artinya selama kemanusiaan itu masih ada, yaitu dia masih hidup, kelayakan tersebut tetap dimilikinya.
38
b. Ahliyyatul Ada’ (kemampuan berbuat), yaitu kelayakan seorang manusia untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya apabila ia mengadakan suatu perjanjian atau perikatan tindakan-tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum.
Dengan
demikian
ahliyyatul
ada’
itu
adalah
soal
pertanggungjawaban dan asasnya adalah cakap dalam bertindak (berakal). Adapun hubungan manusia dengan ahliyyatul wujub dan hubungan manusia dengan ahliyyatul ada’,35 yaitu: a. Hubungan Manusia dengan Ahliyyatul Wujub. Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul wujub mempunyai dua keadaan, yaitu: 1. Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang kurang sempurna, yaitu apabila seseorang hanya pantas menerima hak saja, sedang untuk memikul kewajiban belum pantas. Yang termasuk ahliyyatul wujub kurang sempurna adalah janin yang masih dalam kandungan ibunya. 2. Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna, yaitu apabila ia pantas untuk memperoleh suatu hak dan dibebani suatu kewajiban. Kemampuan ini melekat sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia. Dalam keadaan bagaimanapun juga selama manusia itu masih hidup, maka ia memiliki ahliyyatul wujub yang sempurna. b. Hubungan Manusia dengan Ahliyyatul Ada’. 35
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Op. Cit., hlm. 165-167
39
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu: 1. Terkadang seseorang itu tidak mempunyai ahliyyatul ada’ sama sekali. Misalnya anak kecil dan orang gila. Oleh karena keduanya dianggap belum atau tidak mempunyai akal, maka mereka tidak mempunyai kemampuan berbuat. Sehingga segala tutur kata dan tingkah laku mereka tidak dapat menimbulkan akibat hukum. 2. Terkadang seseorang itu mempunyai ahliyyatul ada’ yang kurang sempurna, yaitu orang yang telah pintar tetapi belum baligh, seperti anak yang mumayyis yaitu anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk sebelum baligh. 3. Terkadang seseorang itu mempunyai ahliyyatul ada’ yang sempurna, yaitu orang yang telah dewasa lagi berakal. Karena pada prinsipnya kemampuan berbuat (ahliyyatul ada’) seseorang itu diukur dengan kesempurnaan akal dan kesempurnaan akal seseorang itu diukur dengan kedewasaannya. Sebab kedewasaannya itu menunjukkan bahwa akalnya telah sempurna. Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, bahwasanya ahliyyatul wujub itu tetap ada pada manusia dalam sifatnya sebagai manusia. Sepanjang manusia masih hidup tidak ada yang menghalangi ahliyyatul wujub ini, baik sesuatu yang menghalanginya ataupun yang menguranginya. Begitu juga dengan ahliyyatul ada’ yang mempunyai asas kemampuan membedakan dalam keberakalannya. Tanda keberakalan adalah baligh. Jadi, barang siapa
40
yang telah baligh dan dalam keadaan berakal, maka ahliyyatul ada’nya sempurna. Tetapi apabila ada hal baru muncul yang dapat menghilangkan akalnya seperti gila, atau melemahkannya seperti agak sinting, ataupun menghalangi pemahamannya seperti tidur dan pingsan, maka sesuatu yang timbul itu adalah hal baru yang mempunyai pengaruh pada ahliyyatul ada’nya, baik menghilangkannya atau menguranginya. Maka, mengenai permasalahan li’an bagi orang bisu jika melihat pada keterangan di atas adalah sah liannya, sepanjang orang bisu tersebut bisa menulis dan isyaratnya masih bisa dipahami. Karena pada dasarnya setiap manusia selama ia masih hidup pasti mempunyai ahliyyatul wujub. Sedangkan untuk ahliyyatul ada’ selama orang yang bisu telah baligh dan berakal maka ia mempunyai ahliyyatul ada’ yang sempurna, sehingga tidak ada alasan untuk mendiskreditkan orang bisu. Hanya saja terkadang dalam ahliyyatul ada’ ini ada beberapa penghalang,36 yaitu: 1. Penghalang Samawiyah, ialah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar manusia. Yang termasuk penghalang ini, yaitu: dalam keadaan belum dewasa, gila, kurang akal, tidur, pingsan, lupa, sakit, menstruasi, nifas, dan meninggal dunia. 2. Penghalang Kasabiyah, ialah perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak. Yang termasuk penghalang ini, yaitu: boros, mabuk, bepergian, lalai, bergurau (main-main), bodoh (tidak mengetahui), dan terpaksa (ikrah). 36
Ibid, hlm. 170-171
41
Sesuatu yang timbul pada manusia, seperti orang bisu yang tidak bisa menulis ataupun isyaratnya tidak bisa dipahami, maka dalam hal ini tidak mempengaruhi ahliyyatul ada’nya, tidak dapat menghilangkannya dan juga tidak menguranginya. Akan tetapi ia merubah sebagian hukum-hukumnya, karena adanya berbagai pertimbangan dan kemaslahatan yang menuntut perubahan ini, bukan karena tidak adanya ahliyyatul ada’, seperti bodoh dan pelupa (lalai).
BAB III PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU
A. Biografi Ibnu ‘Abidin 1. Latar Belakang Ibnu ‘Abidin Ibnu ‘Abidin, lahir di Damaskus Syam pada tahun 1198 H. Beliau mempunyai nama lengkap Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz bin Ahmad bin Abdul Rakhim bin Najmuddin bin Muhammad Salahuddin, tetapi beliau lebih dikenal dengan nama Ibnu ‘Abidin. Beliau merupakan ahli fiqh di Syam, sekaligus pemuka golongan Hanafiyah pada masa itu. Ibnu ‘Abidin merupakan tokoh fiqh masa keenam (658 H, akhir abad ke-13 H), yaitu pada masa pemerintahan Abdul Hamid 1 (Dinasti Utsmaniyah).1 Beliau wafat pada tahun 1252 H di Damaskus, pada usia 64 tahun dan dimakamkan di pekuburan “Bab al-Shaghir”, Damaskus.2 Ibnu ‘Abidin sebagai penulis kitab Radd al-Muhtar syarah Tanwir al-Absor, ketika menulis kitab tersebut sedang dalam keadaan pergolakan politik yang tidak menentu, baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang pada waktu itu sedang terjadi peperangan antara Dinasti Utsmaniyah dengan Bangsa Tartar. Pada waktu itu rakyat merasa bahwa raja dan semua pengikutnya tidak bisa mewujudkan rasa keadilan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. 1
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Juz I, Beirur-Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994, hlm.
2
Ibid, hlm. 55
53
42
43 Oleh sebab itu muncullah kitab Radd al-Muhtar yang sampai saat ini masih dapat ditemui, yang artinya penolakan terhadap orang yang dalam kebingungan. Kitab ini muncul sebagai wujud perlawanan Ahli Fiqh terhadap pemerintah.3 Ibnu ‘Abidin, sejak kecil sudah dikenalkan pendidikan agama oleh Umar ibnu Abdul Aziz yang juga adalah ayahnya sekaligus sebagai gurunya. Pada usia yang masih sangat muda beliau sudah menghafal Al-Qur’an. Ayahnya adalah seorang pedagang, sehingga beliau sering diajak ayahnya untuk berdagang sekaligus dilatih berdagang pula. Pada suatu hari, ketika beliau sedang membaca Al-Qur’an di tempat ayahnya berdagang, tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki dari kalangan orang saleh dan orang saleh tersebut mengomentari bacaan Al-Qur’an yang dibaca oleh Ibnu ‘Abidin dengan dua komentar, yang akhirnya bisa membawa beliau menjadi seorang ulama terkenal. Dua komentar tersebut adalah: 1. Dia (Ibnu ‘Abidin) tidak tartil dalam membaca Al-Qur’an dan tidak menggunakan tajwid sesuai dengan hukum-hukumnya. 2. Kebanyakan manusia tidak sempat untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an karena kesibukannya dalam berdagang. Jika tidak mendengarkan bacaan AlQur’an tersebut maka mereka berdosa. Begitu juga dengan Ibnu ‘Abidin berdosa karena membuat mereka berdosa karena membuat mereka tidak mendengarkan bacaan Al-Qur’an.4
3 4
Ibid., hlm. 43 Ibid., hlm. 53-54
44 Maka seketika itu bangkitlah Ibnu ‘Abidin dan langsung bertanya kepada orang saleh tersebut tentang ahli qira’ah yang paling terkenal pada waktu itu. Maka orang saleh tersebut langsung menunjukkan seorang ahli qira’ah yang bernama Imam al-Hamawi, dan pergilah Ibnu ‘Abidin kepadanya untuk belajar ilmu tajwid dan hokum hukum qira’ati. Mulai dari itu Ibnu ‘Abidin tidak pernah meluangkan waktunya kecuali untuk serius belajar. Kemudian Imam al-Hamawi memerintahkan Ibnu ‘Abidin untuk menghafalkan al-Jazariyah dan al-Syatibiyah. Selain itu Ibnu ‘Abidin juga belajar ilmu nahwu dan shorof serta ilmu fiqh. Fiqh madzhab Syafi’i adalah pelajaran fiqh pertama kali yang dipelajari oleh Ibnu ‘Abidin pada saat itu.5 Berawal dari seorang guru yang bernama Imam al-Hamawi, beliau akhirnya menjadi seorang ulama sangat terkenal. Setelah Ibnu ‘Abidin menguasai ilmu tajwid dan hukum qira’ati serta ilmu fiqh yang bermadzhab Syafi’i dengan matang pada seorang ahli qira’ati yaitu Imam al-Hamawi, Ibnu ‘Abidin tidak berhenti sampai disitu saja. Akan tetapi ia melanjutkan menuntut ilmu dengan belajar Hadits, Tafsir dan Mantiq (logika) kepada seorang guru yang bernama Imam Muhammad alSalimi al-Amiri al-Aqad. Al-Amiri merupakan seorang hafidz, dia menyarankan kepada Ibnu ‘Abidin untuk mempelajari ilmu fiqh Abu Hanifah. Ibnu ‘Abidin mengikuti nasehat gurunya dan mempelajari kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh madzhab Hanafi, ia terus menggali berbagai ilmu sampai akhirnya menjadi 5
Ibid., hlm. 53
45 tokoh aliran pada waktu itu. Tidak hanya sampai disitu saja kemudian Ibnu ‘Abidin juga pergi ke Mesir dan belajar pada Syaikh al-Amir al-Masiri sebagaimana beliau belajar kepada ahli hadits dari Syam yaitu Syaikh Muhammad al-Kazbari. Ibnu ‘Abidin tiada henti-hentinya dalam meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuannya dengan mengkaji dan mengarang, sampai pada suatu ketika ia ditunjukkan pada suatu daerah yang bernama Bannan. Di daerah ini beliau mendapatkan pelajaran dari para tokoh ulama seperti Syaikh Abdul Ghani al-Madani, Syaikh Hasan al-Baitari, Ahmad Affandi al-Istanbuli dan lain-lain.6 Kemasyhuran Ibnu ‘Abidin dilatarbelakangi oleh pendidikan yang keras dan kedisiplinan yang diterapkan oleh orang tuanya, apalagi didukung oleh sikap dan kemauan yang sangat tinggi dalam menuntut ilmu. Melalui para ulama Ibnu ‘Abidin belajar ilmu agama dan diskusi-diskusi juga beliau lakukan dengan para ulama pada waktu itu. Hal itulah yang menyebabkan beliau menjadi seorang tokoh ulama yang sangat terkenal masa itu. Disamping itu beliau juga terkenal sebagai seorang yang kokoh agamanya, iffah (wira’i), alim dan taqwa dalam beribadah. Dalam ilmu fiqh beliau lebih cocok dengan fiqh madzhab Hanafi sehingga beliau menjadi ulama Hanafiyah yang sangat disegani.7
6 7
Ibid., hlm. 54 Ibid
46 2. Karya-Karya Ibnu ‘Abidin Karena banyaknya ilmu yang beliau dapatkan, maka Ibnu ‘Abidin banyak membuahkan karya-karya ilmiah. Karangan-karangannya banyak di koleksi oleh pustaka-pustaka islam di dunia. Karangannya dapat diterima di berbagai peradaban, karena karya-karyanya itu mempunyai keistimewaan dalam kefasihan bahasanya dan pembahasannya yang secara mendalam. Diantara karya-karya Ibnu ‘Abidin adalah: 1. Kitab fiqh a. Radd al-Muhtar syarah al-Dur al-Muhtar, kitab ini membahas masalahmasalah fiqh yang selanjutnya terkenal dengan nama Hasiyah Ibnu ‘Abidin.8 Kitab ini merupakan kitab fiqh populer yang disusun sesuai dengan madzhab Hanafi oleh ulama Hanafi generasi mutaakhirrin. Buku ini banyak sekali menguraikan permasalahan yang muncul pada zaman itu dengan menggunakan metode yang berlaku pada madzhab Hanafi. Kitab merupakan syarah dari kitab al-Dur al-Muhtar oleh al-Haskafi yang merupakan syarah dari Tanwir al-Absar. Tanwir al-Absar adalah kitab karya Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Katib al-Tamartasyi, kitab ini disusun sangat ringkas dengan sistematika fiqh.9 b. Raf al-Andhor, yang ditulis dari al-Halbi atas syarah al-Dar al-Muhtar. c. Al-Uqud al-Dariyah syarah dari kitab Tanfih al-Fatawa al-Hamidiyah. 8 9
hlm. 347
Ibid. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1996,
47 d. Nasmad al-Ashar syarah al-Manar. e. Ar-Rahiq al-Mahtum, yaitu kitab yang membahas tentang faraidh. 2. Kitab Hadits Dalam karya ilmiahnya tentang hadits beliau menulis kitab ‘Uqud al-Ali yang berisi sanad-sanad hadits yang bernilai tinggi.10 3. Kitab Tafsir Kitab Hawasyi ‘ala al-Badawi, yang dalam hal ini terdapat hal-hal yang tidak dijelaskan oleh para penafsir.
B. Pendapat Ibnu ‘Abidin Tentang Li’an Bagi Orang Bisu dan Dasar Hukumnya Dalam kitab Radd al-Muhtar juz V yang membahas mengenai li’an, dituliskan pendapat Ibnu ‘Abidin tentang syarat-syarat li’an, yang di dalamnya terdapat perkataan sebagai berikut:
اﻟﺤﺮ ﻳﺔ و اﻟﻌﻘﻞ و اﻟﺒﻠﻮغ و اﻻﺳﻼم و اﻟﻨﻄﻖ و:و ﻳﺸﺘﺮط اﻳﻀﺎ 11 . وهﺬﻩ ﺷﺮوط راﺟﻌﺔ اﻟﻴﻬﺎ,ﻋﺪم اﻟﺤﺪ ﻓﻲ ﻗﺬف Artinya: “Dan syarat li’an adalah merdeka, berakal, baligh, islam, bisa berbicara, dan tidak adanya hukuman had, dan itu adalah syarat yang kembali pada kedua suami istri.”
10 11
Ibnu ‘Abidin, Op. Cit., hlm. 54 Ibid., hlm. 150
48 Dengan demikian, tidak dapat diterima li’an atau tidak ada li’an bagi orang bisu atau orang yang tuna wicara, karena orang bisu atau orang yang tuna wicara bukan termasuk orang yang ahli kesaksian (dapat memberi kesaksian). Dalam penjelasan yang lain Ibnu ‘Abidin mengatakan:
12
اهﻞ
هﻮ
ﻣﻦ
واهﻠﻪ
adalah
orang
yang
diterima
.ﻟﻠﺸﻬﺎدة Artinya:
“Orang yang berli’an persaksiannya”.
Berdasarkan kutipan diatas, maka yang dapat berli’an atau yang diterima li’annya adalah orang-orang yang dapat diterima persaksiannya atau orang yang ahli bersaksi. Karena Ibnu ‘Abidin berpendapat bahwasanya li’an termasuk ke dalam syahadah (kesaksian). Dan sesungguhnya kesaksian itu harus diucapkan dengan kata-kata yang sharih (jelas), tidak dengan kata-kata kinayah (sindiran).13 Dengan demikian, ringkasnya tidak ada li’an kecuali bagi mereka adalah orang-orang yang ahli dalam memberikan kesaksian. Karena menurut beliau (Ibnu ‘Abidin) li’an termasuk ke dalam syahadah (kesaksian), bukan tergolong bentuk ke dalam bentuk yamim (sumpah). Ibnu ‘Abidin tidak menyebutkan secara jelas mengenai metode atau dasardasar istinbath hukum yang beliau gunakan. Tetapi karena Ibnu ‘Abidin merupakan salah satu penerus madzhab Hanafi maka dalam menggali hukum atau beristinbath hukum terhadap suatu permasalahan hukum pun tidak jauh berbeda
12 13
Ibid. Ibnu Rusyd, Terjem. Bidayah al-Mujtahid, Juz II, Semarang: Asy-Syifa’, 1990, hlm. 632
49 dengan pendahulunya yaitu Imam Abu Hanifah. Terhadap sesuatu yang tidak dijumpai nash hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah, Ibnu ‘Abidin lebih mengedepankan penyelesaian berdasarkan pemikiran logika atau ra’yu. Mengenai permasalahan ini Ibnu ‘Abidin menggunakan istihsan. Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh istihsan adalah berpaling atau berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy (pengecualian) karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan atau perpindahan ini.14 Ibnu ‘Abidin, memang tidak menyebutkan metode istinbath yang digunakannya secara eksplisit. Tetapi dalam permasalahan li’an yang beliau gunakan adalah istihsan. Ibnu ‘Abidin berpindah dari hukum yang kulli atau umum kepada hukum istitsnaiy atau pengecualian. Yang mana hukum kulli tersebut adalah setiap manusia itu sama dihadapan Allah SWT., yang membedakan adalah ketaqwaannya. Sesuai dengan firman Allah SWT: QS. AlHujurat: 13
اﷲ
ﻋﻨﺪ
اآﺮﻣﻜﻢ
.....اﺗﻘﻜﻢ.....
14
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih bahasa oleh M. Zuhri dan Ahmad Qorib, semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 110
ان
50 Artinya: “…..sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu…..” (QS. Al-Hujurat: 13)15
Dalil diatas menyatakan khitab Allah SWT., itu terkena kepada siapa saja atau setiap manusia dapat dikenai khitabullah. Jadi, Allah SWT., tidak membedabedakan manusia baik itu kaya atau miskin, atasan atau bawahan, cantik atau tidak, termasuk juga yang bisa berbicara atau yang bisu, semuanya sama dihadapan Allah SWT. Tetapi mengenai permasalahan li’an ini Ibnu ‘Abidin mempunyai interpretasi lain. Beliau menggunakan qiyas khafy atau berpaling dari hukum kulli karena ada hukum juz’i yang menurut beliau lebih tepat, yaitu Ibnu ‘Abidin menyamakan li’an dengan syahadah (kesaksian). Beliau beralasan dengan Firman Allah SWT: QS. An-Nur: 6
ت ٍ ﺷﻬَﺎدَا َ
َأ ْر َﺑ ُﻊ
ﺣ ِﺪ ِه ْﻢ َ َأ
ﺸﻬَﺎ َد ُة َ َﻓ
.....ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ..... Artinya: “…..maka persaksian orang itu ialah empat kali sumpah atas nama Allah…..” (QS. An-Nur : 6)16 Selain dalil diatas Ibnu ‘Abidin juga menggunakan hadits Ibnu Abbas, yaitu:
ان اﷲ ﻳﻌﻠﻢ ان اﺣﺪ: ﻳﻘﻮل.م.ﻓﺠﺎء هﻼل ﻓﺸﻬﺪ و اﻟﻨﺒﻰ ص.... ﻓﻬﻞ ﻣﻨﻜﻤﺎ ﺗﺎ ﺋﺐ؟ ﺛﻢ ﻗﺎ ﻣﺖ,آﻤﺎ آﺎذب 17 ....ﻓﺸﻬﺪت 15
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1989, hlm. 847 16 Ibid, hlm. 544
51 Artinya: “…lalu Hilal datang dan mengucap sumpah (kesaksian), sedangkan Nabi saw., bersabda: sesungguhnya Allah Maha Tahu, kalau satu diantara kamu ini ada yang berdusta. Apakah ada salah satu diantara kamu ini ada yang bertaubat? Kemudian istrinya berdiri lantas bersumpah….” Setiap manusia ketika ia bisa memahami maka sudah bisa untuk dikenai taklif. Tetapi khusus untuk li’an Ibnu ‘Abidin mempunyai interpretasi lain, yaitu selain manusia itu bisa memahami juga harus bisa memberikan pemahaman kepada orang lain adalah dengan menggunakan lisannya. Berkomunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi Ibnu ‘Abidin khusus untuk permasalahan ini. Karena permasalahan li’an sangat erat kaitannya atau berhubungan dengan kehormatan manusia. Sehingga perlu sekali adanya kehatihatian. Jadi, menurut asumsi penulis berpalingnya Ibnu ‘Abidin dari hukum yang kulli kepada hukum yang juz’i khusus untuk permasalahan li’an karena li’an itu disamakan dengan kesaksian sehingga kesaksian itu sah apabila dapat dikomunikasikan. Selain itu juga karena dianggap adanya sebuah maslahah yang ditimbulkan, yaitu dikhawatirkan adanya miss komunikasi antara saksi yang dalam hal ini adalah suami dengan hakim. Seorang saksi harus menerangkan tentang suatu peristiwa yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Jadi, karena seorang saksi itu harus menerangkan sejelas-jelasnya mengenai suatu peristiwa, sehingga tidak ada kesalahpahaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan hakim salah dalam 17
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz V, Dar al-Fikr, Lebanon, Beirut, t. th., hlm. 178
52 mengambil keputusan yang hanya dapat menguntungkan salah satu pihak saja sedang pihak yang lain merasa dirugikan oleh putusan tersebut. Menurut Ibnu ‘Abidin walaupun orang yang bisu dapat berisyarat, baik isyarat yang digunakan itu melalui tulisan ataupun melalui bahasa isyarat yang menggunakan gerakan tubuh, tetapi masih saja hal seperti itu memerlukan adanya interpretasi lagi. Menggunakan bahasa lisan saja yang mana lisan merupakan media komunikasi yang paling mudah itu saja tidak menutup kemungkinan adanya interpretasi lain, apalagi dengan isyarat yang banyak sekali kelemahankelemahannya.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG LI’AN BAGI ORANG BISU
A. Analisis Fiqhiyah Terhadap Pendapat Ibnu ‘Abidin Tentang Li’an Bagi Orang Bisu Pada bab sebelumnya penulis telah menguraikan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan li’an bagi orang bisu dan pendapat ulama tentang li’an bagi orang bisu. Dalam hal ini, Ibnu ‘Abidin mengatakan tidak sah li’annya orang bisu. Hal ini tercermin dari perkataan beliau, yaitu sebagaimana berikut:
اﻟﺤﺮ ﻳﺔ واﻟﻌﻘﻞ واﻟﺒﻠﻮغ واﻻﺳﻼم واﻟﻨﻄﻖ و ﻋﺪم اﻟﺤﺪ:و ﻳﺸﺘﺮط اﻳﻀﺎ 1 . وهﺬﻩ ﺷﺮوط را ﺟﻌﺔ اﻟﻴﻬﻤﺎ,ﻓﻲ ﻗﺬف Artinya: “Dan syarat li’an adalah merdeka, berakal, baligh, islam, bisa berbicara, dan tidak adanya hukuman had, dan itu adalah syarat yang kembali kepada suami istri.” Dari paparan di atas jelaslah bahwasanya Ibnu ‘Abidin melarang adanya li’an bagi orang yang tuna wicara atau orang bisu. Ibnu ‘Abidin melarang adanya li’an bagi orang bisu dikarenakan beliau mempunyai pendapat bahwasanya li’an itu disamakan dengan syahadah (kesaksian).2 Dan sesungguhnya kesaksian itu harus diucapkan dengan kata-kata yang sharih (jelas), tidak dengan kata-kata kinayah (sindiran).
1
150
2
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Juz V, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t., th, hlm. Ibid.
53
54 Pada dasarnya tuduhan adanya perzinahan tidak bisa terlepas dari ketentuan musyahadah (penyaksian), yaitu seseorang (suami) mengaku bahwa ia (suami) menyaksikan istrinya telah berbuat zina, sebagaimana layaknya saksi yang menyaksikan perbuatan zina. Dan apabila suami tersebut mengingkari kandungan atau janin yang ada di dalam rahim istrinya atau tidak mengakui anak yang telah dilahirkan oleh istrinya, maka hendaknya ia (suami) mengingkarinya dengan pengingkaran mutlak, maksudnya adalah suami tersebut belum pernah menggauli istrinya sejak sesudah terjadinya akad nikah, tetapi ada kalanya juga ia (suami) mengatakan bahwa ia (suami) tidak mencampuri istrinya sesudah istrinya itu beristira’ (membebaskan rahimnya dari kandungan). Menurut penulis, alangkah kurang arif dan bijaksananya seorang Ibnu ‘Abidin yang notabene seorang ulama besar berpendapat bahwasanya li’an orang bisu itu tidak sah. Karena secara langsung pendapat Ibnu ‘Abidin ini mendiskreditkan orang bisu. Padahal apabila setiap orang itu dapat memilih dan menentukan kehidupannya sendiri mereka tidak akan meminta untuk terlahir bisu. Seperti yang tertuang dalam Firman Allah SWT., bahwasanya manusia itu sama dihadapan Allah SWT., yang membedakan adalah amal perbuatannya. Allah SWT., tidak membeda-bedakan setiap makhluk ciptaan-Nya, baik itu cantik atau jelek, kaya atau miskin, seorang pejabat atau bawahan bahkan termasuk juga yang bisa berbicara atau yang tidak bisa berbicara, mereka semua ini sama dihadapan Allah SWT. Kemudian apabila orang yang tidak bisa berbicara atau orang bisu tidak diterima li’annya terus bagaimana dengan orang bisu yang melihat sendiri
55 istrinya telah berzina? Padahal walaupun orang yang menuduh istrinya telah berbuat zina tadi tidak bisa berbicara atau bisu bukan berarti isyaratnya juga tidak bisa dipahami. Karena mungkin saja orang bisu tersebut bisa menulis, sehingga ia (suami) yang bisu tadi dapat menggunakan tulisannya sebagai ganti dari lisannya. Dalam Undang-Undang perkawinan dijelaskan, bahwa perceraian hanya terjadi di depan sidang pengadilan. Demikian halnya dengan perkara li’an menurut pasal 128 Kompilasi Hukum Islam bahwasanya li’an itu hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama.3 Jadi seorang suami yang menuduh istrinya berzina harus menerangkan dan memberikan keterangan sejelas-jelasnya mengenai peristiwa tersebut di depan Hakim dalam persidangan nanti. Karena keterangan saksi itu harus didengar sendiri oleh hakim, apalagi ini menyangkut masalah tuduhan perzinahan. Permasalahan zina bukanlah sebuah permasalahan yang ringan atau sederhana. Tetapi zina merupakan gabungan dari hak Allah SWT., dan hak pribadi seseorang. Hak ini tidak boleh dengan kesaksian orang perempuan harus dengan orang laki-laki semua. Zina merupakan perbuatan yang sangat keji, oleh sebab itu memerlukan saksi yang sangat kuat, agar tidak mencemarkan dan menodai kehormatan, untuk itu paling tidak ada empat orang saksi laki-laki dalam permasalahan zina. Sebagaimana Firman Allah SWT: QS. An-Nur:13
ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﻚ َ ﺸ َﻬﺪَا ِء َﻓﺄُو َﻟ ِﺌ ﺷ َﻬﺪَا َء َﻓ ِﺈ ْذ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﺄﺗُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱡ ُ ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ ِﺑ َﺄ ْر َﺑ َﻌ ِﺔ َ َﻟ ْﻮﻟَﺎ ﺟَﺎءُوا َ ُه ُﻢ ا ْﻟﻜَﺎ ِذﺑُﻮ (13 :ن )اﻟﻨﻮر 3
KHI Pasal 128, hlm. 158
56 Artinya: “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.” (QS. An-Nur: 13)4 Dalam hal ini seorang suami yang menuduh istrinya telah berbuat zina itu dianggap sebagaimana seorang saksi, yang
menyampaikan sendiri
keterangannya di depan sidang pengadilan mengenai suatu kejadian atau peristiwa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri secara lisan. Mengapa harus secara lisan, karena untuk menghindari adanya salah penafsiran dan keragu-raguan antara hakim dengan saksi yang dalam hal ini adalah suami, yang nantinya dapat menyebabkan suatu kesalahan dalam menetapkan sebuah keputusan. Karena di dalam Al-Qur’an maupun Hadits tidak ada nash yang sharih (clear statement) yang memerintahkan atau melarang li’an bagi orang bisu, oleh sebab itu maka hukum li’an bagi orang bisu sebaiknya kita kembalikan kepada kaidah fiqhiyyah: .اﻻﺻﻞ ﻓﻰ اﻻﺷﻴﺎء و اﻻﻓﻌﺎل اﻻﺑﺎ ﺣﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﺪل اﻟﺪ ﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺗﺤﺮﻳﻤﻬﺎ Artinya: “Pada asalnya segala sesuatu atau perbuatan itu boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”. 5
Sehubungan dengan tidak adanya nash yang sharih yang menjelaskan tentang li’an bagi orang bisu, maka ini termasuk dalam wilayah ijtihad yang hukumnya masih diperselisihkan. Sehingga wajar apabila permasalahan ini masih
4
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1989, hlm. 545 5 Muhammad Yasin, Al-Fawaid al-Jiniyyah, Beirut-Lebanon, 1997, hlm. 1991
57 banyak diperbincangkan oleh para ulama yang notabene masih ada perbedaan diantara mereka. Misalnya pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an bagi orang bisu, disini Ibnu ‘Abidin berpendapat bahwasanya li’an itu disamakan dengan persaksian. Tetapi Imam madzhab yang lain diantaranya adalah Imam Syafi’i dan Imam Malik, pendapat mereka satu sama lain hampir sama yaitu orang bisu boleh berli’an selama isyaratnya masih bisa untuk dipahami. Mereka menggolongkan li’an ke dalam yamim (sumpah) tidak kepada syahadah (persaksian).6 Menurut penulis li’an termasuk ke dalam yamim (sumpah) sekaligus syahadah (kesaksian), maksudnya adalah orang-orang yang bermula’anah harus sama-sama mempunyai hak sumpah dan kesaksian. Jadi kesaksian tersebut dikuatkan dengan sumpah, yang diucapkan berkali-kali dan sumpah yang paling berat adalah sumpah yang dilakukan dengan kata kesaksian yang disebutkan berulang kali guna menghilangkan keragu-raguan dan sekaligus menguatkan kebenaran. Sumpah dan kesaksian kedua-duanya harus digunakan oleh suami, sebagai petunjuk secara lahir tentang kebenaran tuduhannya itu. Karena dalam bermula’anah itu kesaksian diiringi dengan sumpah dan sumpah diiringi dengan kesaksian.
B. Analisis Ushuliyah Terhadap Pendapat Ibnu ‘Abidin Tentang Li’an Bagi Orang Bisu 6
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, t. th., hlm. 575
58 Sebagaimana di atas yaitu penulis telah menganalisis pendapat Ibnu ‘Abidin tentang li’an bagi orang bisu, sekarang penulis akan menganalisis pendapat tersebut dengan menggunakan metode ushuliyah (ushul fiqh). Ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalildalil syar’i.7 Sedangkan obyek pembahasan ushul fiqh meliputi klasifikasi dalil, orang-orang yang dibebani hukum syara’ sesuai dengan aplikasi dalil-dalil tersebut, orang-orang yang ahli (berhak) untuk hukum syara’, serta orang-orang yang tidak berhak.8 Jadi obyek pembahasan ushul fiqh ini bermuara pada hukum syara’ yang ditinjau dari segi hakekatnya, kriterianya dan macam-macamnya, Hakim (Allah SWT) dari segi dalil-dalil yang menetapkan hukumnya, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yaitu dengan ijtihad. Hukum adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan orang-orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, memilih atau ketetapan. Sekarang akan penulis uraikan permasalahan tentang mukallaf dan itulah yang biasa disebut dengan al-mahkum ‘alaih (orang yang menjadi obyek hukum, dalam istilah hukum disebut subyek hukum). Jadi, mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf, yaitu
7
Muh. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma’shum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 3 8 Ibid, hlm. 6
59 manusia sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.9 Inilah yang akan penulis jadikan dasar untuk menganalisis permasalahan tentang li’an bagi orang bisu. Dalam hal ini bagaimanakah posisi orang bisu, apakah ia termasuk orang yang dapat dikenai taklif hukum atau tidak? Dalam hal ini orang yang dibebani hukum (Mahkum ‘Alaih)10 baik yang menjalankan perintah-Nya maupun yang menjauhi segala larangan-Nya haruslah orang yang mukallaf. Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf yang menerima beban hukum itu ada dua macam,11 yaitu: 1. Bahwa ia (orang mukallaf) harus mampu memahami dalil pentaklifan (pembebanan), yaitu sanggup memahami sendiri atau dengan perantara orang lain nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena sesungguhnya orang yang tidak sanggup memahami dalil pentaklifan, maka ia tidak mungkin untuk melaksanakan sesuatu yang ditaklifkan kepadanya, dan tidak bisa pula mengarahkan maksudnya kepadanya. Kemampuan untuk memahami dalildalil taklif hanya dapat dibuktikan atau terletak pada akal dan keberadaan nash-nash yang dibebankan kepada para ahli pikir adalah untuk dipahaminya. Sebab akal itu adalah akal untuk memahami dan menangkap, dan dengan akal itu pula keinginan untuk mengikuti perintah dapat diarahkan. Karena akal 9
A. Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 67 10 Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986, hlm. 164 11 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih bahasa oleh M. Zuhri dan Ahmad Qorib, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 199-201
60 adalah suatu hal yang abstrak yang tidak dapat ditangkap dengan penginderaan yang konkrit, maka syari’ mengkaitkan pentaklifan dengan hal yang konkrit yang dapat ditangkap dengan penginderaan yang menjadi tempat dugaan keberakalan, yaitu keadaan baligh. Jadi barang siapa yang telah mencapai baligh, tanpa kelihatan adanya hal-hal baru yang merusak kemampuan akalnya, maka pada dirinya telah terpenuhi kemampuan untuk dikenakan taklif. Berdasarkan persyaratan ini, maka orang gila tidak terkena taklif, demikian pula anak kecil karena ketiadaan akal yang menjadi sarana untuk memahami dalil taklif. Orang yang ghafil (lalai), orang yang tidur, dan orang yang mabuk juga tidak terkena taklif, karena sesungguhnya mereka dalam keadaan lalai, tidur atau mabuk, yang tidak mampu untuk memahami. 2. Orang mukallaf harus mempunyai kemampuan untuk dikenakan atau menerima taklif. Berdasarkan
syarat-syarat
diatas,
maka
menjadi
jelaslah
bahwasanya orang bisu merupakan seorang yang cakap hukum, sebab orang bisu termasuk seorang mukallaf yang mampu memahami dalil pentaklifan dan orang bisu layak untuk dikenai taklif (pembebanan hukum). Sehingga perbuatannya dapat dianggap sah, karena memang tidak ada alasan untuk mendiskreditkan orang bisu kepada seorang yang cacat hukum. Kemampuan (ahliyyah) adalah kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya orang itu pantas untuk
61 menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas untuk melaksanakannya.12 Dengan demikian, ada beberapa pembagian ahliyyah menurut para ulama ushul, yaitu: 1. Muh. Abu Zahrah Menurut
Muh.
Abu
Zahrah
ahliyyah
(kemampuan)
itu
mengandung dua segi13, yaitu: a. Ahliyyatul Wujub, adalah kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang menjadi dasar keberadaannya adalah karena ia seorang manusia. Keberadaan ahliyyatul wujub itu bertahap sesuai dengan proses tahapan manusia. Mula-mula seseorang ada sebagai janin, kemudian bayi yang belum cakap, anak-anak yang cakap, orang dewasa yang cakap atau tidak cakap. Sewaktu masih janin, ahliyyatul wujub belumlah sempurna, dan barulah sempurna setelah seseorang lahir sebagai manusia. b. Ahliyyatul Ada’, adalah kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Keberadaan kemampuan ini tidak hanya karena ia sebagai manusia, akan tetapi karena ia cakap (tamyis). Masa datangnya ahliyyatul ada’ itu menurut syara’ berlaku bersamaan
12 13
Muh. Abu Zahrah, Op. Cit, hlm. 504-508 Ibid.
62 dengan tibanya usia taklif yang dibatasi dengan aqil (berakal) dan dewasa (baligh). Jadi tolok ukur ahliyyatul ada’ adalah akal. Jadi, orang bisu termasuk dalam ahliyyatul wujub dan ahliyyatul ada’. Orang bisu merupakan ahliyyatul wujub karena setiap orang pasti mempunyai ahliyyatul wujub, sedangkan untuk ahliyyatul ada’ selama orang bisu tersebut berakal dan sudah baligh maka orang bisu mempunyai ahliyyatul ada’, bahkan ahliyyatul ada’nya sempurna. 2. Abdul Wahhab Khallaf Abdul Wahhab Khallaf juga membagi ahliyyah (kemampuan) dalam dua bagian14, yaitu: a. Ahliyyatul Wujub, adalah kelayakan seseorang untuk ada padanya hakhak dan kewajiban. Atas keahlian (kelayakan) ini ialah kekhususan yang diciptakan oleh Allah SWT., kepada manusia. Dengan keahlian itu dia layak menerima hak dan kewajiban. Ahliyyatul wujub inilah yang tetap bagi setiap manusia yang dalam keadaannya sebagai seorang manusia., baik lelaki atau perempuan, janin atau anak-anak, anak yang sudah mumayyis atau sudah baligh (dewasa), safih (bodoh), berakal atau gila, dan sehat atau sakit. Jadi, setiap manusia apapun keadaannya dia mempunyai ahliyyatul wujub. Tidak ada manusia yang
14
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 217-218
63 lepas dari itu, karena ahliyyatul wujub itulah sebagai sifat kemanusiannya. b. Ahliyyatul Ada’, adalah kelayakan mukallaf untuk dianggap ucapan dan perbuatannya menurut syara’. Sedangkan asasnya adalah membedakan akal. Dari keterangan di atas, maka tidak ada alasan apapun yang dapat membuang atau menghilangkan hak-hak dari orang bisu. Karena asas daripada ahliyyatul wujub adalah kekhususannya sebagai seorang manusia selama ia masih hidup, dan untuk ahliyyatul ada’ asasnya adalah akal. Ketika orang bisu itu berakal maka orang bisu itu termasuk seorang mukallaf. 3. Muhtar Yahya dan Fatchur Rahman Sedangkan menurut perspektif Muhtar Yahya dan Fatchur Rahman ahliyyah (kemampuan) ini dibagi menjadi dua macam15, yaitu: a. Ahliyyatul Wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban), yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan
diberi kewajiban.
Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, masih kanak-kanak maupun sudah dewasa, sempurna akalnya maupun kurang, dan baik sehat maupun sakit. Semua orang mempunyai kepantasan untuk diberi hak dan kewajiban. Sebab dasar dari kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya selama kemanusiaan 15
Muhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Op. Cit., hlm. 165
64 itu masih ada, yaitu dia masih hidup, kepantasan tersebut tetap dimilikinya. b. Ahliyyatul Ada’ (kemampuan berbuat), yaitu kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya apabila ia mengadakan suatu perjanjian atau perikatan tindakantindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian ahliyyatul ada’ itu adalah soal pertanggungjawaban dan asasnya adalah cakap dalam bertindak (berakal). Setiap manusia pasti termasuk dalam ahliyyatul wujub selama hidupnya, baik ia anak kecil atau sudah dewasa, laki-laki atau perempuan, sempurna akalnya atau kurang, termasuk juga orang yang bisa bicara atau orang bisu. Orang bisu juga mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan akibat hukum, termasuk dalam hal ini adalah untuk berli’an. Jadi, sesuai dengan ketentuan yang ada di atas maka setiap manusia pasti mempunyai ahliyyatul wujub. Adapun untuk ahliyyatul ada’ tidak setiap manusia mempunyai nya. Misalnya anak kecil dan orang gila, mereka ini tidak mempunyai ahliyyatul ada’ sama sekali karena yang menjadi tolok ukur ahliyyatul ada’ adalah kesempurnaan akalnya, dan kesempurnaan akal itu diukur dari kedewasaannya. Sedangkan untuk orang bisu kenapa ia harus dibeda-bedakan, yaitu dengan tidak boleh berli’an? padahal orang yang bisu itu berakal dan sudah baligh. Merujuk
65 pada konsep yang ada di atas yaitu konsep tentang mukallaf maka orang bisu termasuk atau dianggap sebagai mukallaf. Buktinya orang bisu dikenai pembebanan taklif seperti mengerjakan sholat, puasa, haji bahkan orang bisu boleh melakukan transaksi. Sehingga berdasarkan konsep ini orang bisu menempati posisi yang seimbang dengan orang yang tidak bisu atau manusia pada umumnya. Tetapi ketika permasalahan orang bisu ini dikaitkan dengan li’an hak-hak orang bisu ini langsung dikesampingkan sehingga hak-haknya menjadi hilang dan ia (orang bisu) menjadi orang yang tidak cakap hukum. Misalnya anak kecil dan orang gila wajar apabila dianggap cacat hukum dan tidak terkena taklif, karena ketiadaan akal yang menjadi sarana untuk memahami dalil taklif. Lain halnya dengan orang bisu, mereka mampu untuk memahami dalil taklif dengan kesempurnaan akalnya. Seperti yang telah penulis jelaskan adapun yang menjadi dasar taklif (pembebanan) adalah akal dan pemahaman. Akal yang mampu memahami itulah yang menjadi landasan taklif, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Amidy: “Para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan faham. Karena taklif (pembebanan) adalah tuntutan, maka mustahil membebani sesuatu kepada yang tidak berakal dan tidak faham. Sedangkan orang gila dan anak-anak mereka itu dimaafkan dalam hal tidak mampu memahami taklif. Adapun anak-anak yang mumayyis, meskipun pemahamannya setingkat lebih tinggi dari anak kecil tetapi pemahaman itu tidaklah selengkap pemahaman orang dewasa yang telah memiliki
66 akal yang sempurna, sehingga Allah SWT., itu menetapkan suatu batas dalam keberakalan yaitu pada usia baligh. Sebagaimana sabda Nabi saw: “digugurkan beban taklif itu atas tiga hal, yaitu anak sampai baligh, orang tidur sampai bangun dan orang gila sampai sembuh”.16 Maka berdasarkan kutipan diatas dapat ditarik tiga kesimpulan: 1. Dasar taklif adalah akal, karena taklif itu merupakan tuntutan Allah SWT. Orang tidak bisa menangkap tuntutan itu kecuali ia berakal dan dapat memahami. 2. Akal itu berkembang secara bertahap. 3. Pertumbuhan akal merupakan sesuatu yang abstrak, dan berproses sejalan dengan perkembangan waktu sampai batas kesempurnaannya. Sebagai tanda atau batas yang kongkrit adalah umur baligh yang memisahkan antara kesempurnaan dan kekurangan akal. Pada saat sampai batas umur itulah taklif mulai berlaku. Pada bab II telah penulis paparkan tentang hubungan manusia dengan ahliyyatul wujub dan ahliyyatul ada’ yaitu bahwasanya setiap manusia pasti mempunyai ahliyyatul wujub, dan ini akan terus dimiliki manusia selama hidupnya (selama manusia masih hidup). Tetapi ahliyyatul wujub yang dimilikinya tidak selalu ahliyyatul wujub yang sempurna., kadang-kadang juga ahliyyatul wujub yang dimilikinya kurang sempurna, seperti janin. Karena janin
16
Muh. Abu Zahrah, Loc. Cit., hlm. 502-503
67 masih memiliki dua kemungkinan yaitu terus hidup atau meninggal pada waktu dilahirkan. Sedangkan tolok ukur ahliyyatul ada’ adalah pada kesempurnaan akalnya, dan kesempurnaan akal itu diukur dari kedewasaannya. Sebab kedewasaan itu menunjukkan bahwa akalnya telah sempurna. Jadi, dalam kaitannya dengan orang bisu ini, ia (orang bisu) termasuk dalam golongan yang mempunyai ahliyyatul ada’ yang sempurna. Selama orang bisu ini mempunyai akal yang sehat, sudah baligh dan yang pasti adalah orang islam maka tidak ada alasan untuk menganggap bahwasanya orang bisu adalah separuh manusia. Maksudnya adalah orang bisu dianggap sebagai orang yang tidak cakap hukum. Begitu juga mengenai permasalahan li’an bagi orang bisu. Menurut penulis boleh-boleh saja atau sah-sah saja li’an orang bisu. Walaupun lisannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya tetapi ketika akalnya masih berfungsi dan dapat dipertanggungjawabkan mengapa orang bisu harus dilarang untuk berli’an. Untuk hal ini yang tidak berfungsi adalah lisannya bukan akalnya, sedangkan tangannya masih bisa menulis, isyaratnya masih bisa untuk dipahami, masih bisa berfikir (berakal) dan ia (orang bisu) juga telah baligh mengapa harus didiskreditkan atau dikesampingkan hak-haknya dengan dilarangnya ia untuk berli’an. Kalau memang orang bisu dianggap tidak cakap hukum berarti orang bisu tidak dikenai taklif hukum, misalnya saja ia (orang bisu) tidak wajib sholat, puasa, haji dan taklif-takif hukum yang lain. Dengan melihat pengertian ahliyyatul wujub dan ahliyyatul ada’ serta hubungannya dengan manusia, maka pendapat
68 Ibnu ‘Abidin tentang tidak sahnya li’an bagi orang bisu ini kurang arif dan bijaksana. Sehingga menurut penulis dalam penerapannya pun menjadi kurang pas. Walaupun terkadang ahliyyatul ada’ ini bisa berkurang dengan adanya halangan-halangan tertentu. Hal ini dapat memberi pengaruh terhadap tuntutan yang dihadapkan kepadanya. Pengaruh dari adanya halangan-halangan ini berbeda-beda, diantaranya yaitu: 1. Halangan yang menghapuskan ahliyyatul ada’, seperti meninggal dan gila. Kematian sudah tentu menghapuskan ahliyyatul ada’ untuk selamanya. 2. Halangan yang tidak menghapuskan sama sekali, tetapi hanya mengurangi ahliyyatul ada’nya saja, seperti anak yang mumayyis. 3. Halangan yang tidak mempunyai pengaruh untuk menghapuskan atau mengurangi ahliyyatul ada’nya, akan tetapi hanya merubah ketentuan hukumnya saja. Seperti safih (bodoh). Maka, menjadi jelaslah bahwasanya ketika tidak ada hal-hal yang dapat menghapuskan ataupun mengurangi ahliyyatul ada’ seseorang maka tidak ada alasan untuk mendiskreditkan seseorang atau menganggapnya tidak cakap hukum. Jadi untuk permasalahan li’an bagi orang bisu ini selama orang itu berakal, sudah baligh, tulisan maupun isyaratnya masih bisa untuk dipahami maka sah-sah saja li’annya. Apabila orang bisu tersebut tidak bisa menulis atau isyaratnya tidak bisa untuk dipahami, tetapi selama orang bisu itu berakal dan sudah baligh hal yang demikian pun tidak dapat menghapuskan atau mengurangi ahliyyatul ada’nya.
69 Hanya akan merubah ketentuan sebagian ketentuan hukum-hukumnya saja, karena adanya berbagai pertimbangan dan kemaslahatan yang menuntut perubahan ini, seperti orang yang safih (bodoh). Karena pada dasarnya orang bodoh itu baligh dan berakal, sehingga ia (orang bodoh) mempunyai ahliyyatul ada’ yang sempurna. Apalagi orang yang hanya karena tidak bisa berbicara saja terus dihilangkan hak-haknya yang salah satunya adalah tidak boleh berli’an ini sungguh tidak adil sekali. Karena orang bisu juga mempunyai ahliyyatul ada’ yang sempurna sehingga tidak ada alasan untuk menganggapnya sebagai manusia yang tidak cakap hukum.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis memaparkan pada bab-bab terdahulu mengenai li’an bagi orang bisu dan hal-hal yang berkaitan dengannya, juga pendapat dari Ibnu ‘Abidin dan metode istinbath hukumnya, serta menganalisis permasalahan yang ada, maka pada bab ini penulis akan menyampaikan beberapa pokok pikiran sebagai kesimpulan dari pembahasan-pembahasan tersebut, antara lain: 1. Menurut Ibnu ‘Abidin li’an bagi orang bisu itu tidak sah, karena orang bisu tidak termasuk orang yang tidak sah dalam persaksiannya. Dalam hal ini Ibnu ‘Abidin menyamakan li’an dengan syahadah (kesaksian). Dan seorang saksi itu harus menerangkan atau memberikan keterangan sendiri tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Karena sesungguhnya kesaksian itu harus dinyatakan atau diucapkan dengan katakata yang jelas, bukan dengan kata-kata kinayah (sindiran). Menurut penulis pendapat Ibnu ‘Abidin mengenai li’an bagi orang bisu ini kurang bijaksana. Karena secara langsung pendapat ini telah mendiskreditkan kekurangan yang dimiliki oleh orang lain yang dalam hal ini adalah orang bisu. Padahal kita semua tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Tetapi di sisi lain kelebihan pendapat Ibnu ‘Abidin adalah untuk menghindari adanya salah penafsiran dan keragu-raguan antara hakim dengan saksi yang dalam hal ini 70
71 adalah suami, sehingga kekhawatiran adanya salah penafsiran dan keraguraguan tidak ada. 2. Berdasarkan analisis ushuliyah dan konsep tentang mukallaf, bahwasanya orang bisu termasuk seorang mukallaf, sehingga ia (orang bisu) dapat dikenai taklif hukum dan perbuatannya dapat menimbulkan akibat hukum. Berdasarkan konsep ini setiap orang pasti mempunyai ahliyyatul wujub selama ia masih hidup, termasuk juga orang bisu. Karena ahliyyatul wujub ini adalah kekhususan yang memang diciptakan oleh Allah SWT., kepada manusia. Sedangkan kemampuan untuk berbuat orang bisu mempunyai ahliyyatul ada’ selama sempurna akalnya. Karena yang menjadi tolok ukur kesempurnaan akal manusia dinilai dari kedewasaannya. Sehingga ketika orang bisu itu berakal dan sudah baligh maka sah-sah saja li’annya, sebab tidak ada alasan yang dapat menghilangkan ahliyyatul ada’nya. B. Saran-saran Dengan berlandaskan se percik harapan untuk dapat diambil manfaatnya, penulis menyarankan beberapa hal: 1. Bagi pasangan suami istri, hendaknya segala sesuatu yang menjadikan bahan persengketaan dalam rumah tangga dapat dihindari semaksimal mungkin. Tentu yang perlu dikembangkan dalam hal ini adalah sikap kedewasaan dan kebijaksanaan dalam menghadapi semua problematika yang bermunculan. Oleh karenanya apabila muncul permasalahan tentang salah satu pihak yang melakukan perzinahan dengan pihak lain, suami atau istri hendaknya mencoba
72 untuk introspeksi diri sejak awal terhadap sebab-sebab kenapa hal itu bisa terjadi. Atas hal itu, maka suami istri untuk masa-masa yang akan datang lebih dapat bersikap arif dan bijaksana. 2. Kepada pihak hakim di pengadilan agama, hendaknya dalam menyikapi permasalahan tersebut dapat bersikap arif, bijaksana dan adil dengan mempertimbangkan situasi yang ada dan budaya lokal yang berkembang. Dalam hal ini, tentu saja hakim haruslah bersikap tegas dan tanggap terhadap keadaan yang terjadi. Sehingga untuk mendukung hal tersebut maka pengetahuan dan wawasan hakim sangat perlu untuk dikembangkan. Dan juga harus sesuai dengan kebenaran dan keadilan yang tinggi agar tercipta keputusan yang tidak akan memihak salah satu pihak. 3. Kepada pemerintah, hendaknya senantiasa melaksanakan program-program pemberdayaan rumah tangga dan keharmonisan suami istri. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya seminar, lokakarya, penyuluhan dan peluncuran buku-buku yang berkaitan dengan problem-problem keluarga seperti halnya permasalahan yang sedang penulis bahas ini tidak ada penjelasan yang detail mengenai li’an bagi orang bisu. Padahal permasalahan seperti ini tidak setiap orang mengetahuinya sehingga memerlukan kajian yang lebih dalam lagi untuk peningkatan mutu rumah tangga masyarakat Indonesia.
73 C. Penutup Segala puji bagi Allah SWT., yang mempunyai sifat Rahman dan Rakhim, sehingga dengan kasih dan sayang-Nyalah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar sepenuhnya bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini, itu disebabkan karena keterbatasan ilmu dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan, demi membangun sebuah pemahaman untuk penulisan karya tulis ini menjadi lebih baik. Penulis berharap walaupun masih banyak kesalahan dan kekurangan, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Akhirnya apabila ada kebenaran dalam penulisan skripsi ini hanya karena kasih sayang Allah SWT., semata . Dan apabila di dalam penulisan skripsi ini ada kesalahan dan kekurangan, semoga Allah SWT., mengampuni segala kekhilafan dari penulis. Amin…
DAFTAR PUSTAKA
Arto,A. Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 ‘Abidin, Ibnu, Khasiyah Radd al-Muhtar, Juz IV, Dar al-Fikr, t.th. ___________ Radd al-Muhtar, Juz I, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiayah, t. th. ___________ Radd al-Muhtar, Juz V, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th. Abi Bakr, Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, Juz II, Mesir: Dar al-Kitab al-Arab, t. th. Aen, Djazuli dan Nurol, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 Al-Anshari, Abi Yahya Zakaria, Fath al-Wahab, Juz II, Jeddah: al-Haramain, t. th. Al-Barudi, Syaikh Imam Zaki, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003 Al-Bukhari, Imam, Shahih al-Bukhari, Juz V, Dar al-Fikr, Lebanon, t. th. Al-Kasani, Alaudin bin Abi Bakar bin Mas’ud, al-Hanafi, Badai’ ash-Shanai’, Juz III, Lebanon: Dar al Kutub al-Ilmiyah. t. th. Al-Siwasi, Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahhab, Fath al-Qodir, Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th. Amin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 Anwar, Saifudin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka Cipta, 1998 Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996 Departeman Agama RI, Ilmu Fiqh, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1984/1985 _________________ Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001 _________________ Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN Jakarta, 1992 / 1993 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005 Doi, Abdur Rahman I., Inilah Syariah Islam, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991 Efendi, Masri Singarimbun, dan Sofian, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1982 Hambali, Imam, Al-Muqna’, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th. IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, t. th. Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa oleh M. Zuhri dan Ahmad Qorib, Semarang: Dina utama, 1994
___________________ Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993 Malik, Imam, Al-Mudawwanatul Qubra, Juz II, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al‘Alamiyah, t. th. Muhdlor, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Kamus Al-‘Ishri, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2000 Munawwir, Ahmad Wirson, Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 Muslim, Imam, Shahih Muslim, Juz II, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993 Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003 Rahman, Mukhtar Yahya dan Fatchur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2003 Rusyd, Ibnu, Terjem. Bidayah al-Mujtahid, Juz II, Semarang: Asy-Syifa’, 1990 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Juz VIII, terj. Moh. Thalib, Bandung: Al-ma’arif, 1980 ____________ Fiqih Sunnah, Juz II, Dar al-Fikr, t. th. Sevilla, Consuelo G, dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997 Surahmat, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar; Metode dan Tehnik, Bandung: Tarsito Rimbun, 1995
Syafi’i, Imam, al-‘Umm, Juz IX, Jakarta: Faizan, Alih Bahasa Oleh: Ismail Yaqub, Dahlan Idhamy, Muh. Zuhri, 1985 Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-Undang perkawinan, Bandung: Fokusmedia, 2005 Yasin, Muhammad, Al-Fawaid al-Jiniyyah, Beirut-Lebanon, 1997 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1989 Zahrah, Muh. Abu, Ushul Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma’shum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
BIODATA
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Lengkap
: Anisatul ‘Inayah
Tempat Tanggal Lahir
: Pati, 29 Maret 1985
Alamat
: Jl. Manyar RT. 06 RW. II Dukutalit Juwana Pati 59185
Nama orang tua Nama Ayah
: Djami’in S. Ag
Nama Ibu
: Rusmini
Alamat
: Jl. Manyar RT. 06 RW. II Dukutalit Juwana Pati 59185
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 10 Januari 2008 Penulis,
Anisatul ‘Inayah NIM. 032111008