BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH TENTANG PUTUSAN BERDASARKAN KETERANGAN SATU ORANG SAKSI
A. Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah Tentang Jatuhnya Putusan Berdasarkan Keterangan Satu Orang Saksi Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa Ibnu Qayyim al-Jauziyah memiliki pendapat yang berbeda dengan ulama lain dalam masalah keputusan berdasarkan atas keterangan satu orang saksi. Dalam hal ini Ibnu Qayyim berpendapat bahwa seorang hakim boleh memberikan putusan berdasarkan keterangan satu orang saksi, diantaranya dalam perkara dalam perkara melihat hilal awal bulan Ramadhan, keterangan saksi ahli, perkara yang tidak boleh dilihat oleh kaum laki-laki dan yang terakhir adalah dalam perkara keterangan saksi dalam penterjemahan dan sejenisnya. Dan hal ini tidak berlaku dalam perkara pidana. Hal ini nampak jelas dari apa yang Ibnu Qayyim katakan dalam kitabnya at-Turuqu al-Hukmiyyah fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, yaitu: “ Dalam ketentuan hukum acara Islam, hakim diperbolehkan memutus perkara perdata berdasarkan keterangan satu orang saksi yang terkenal kejujurannya, di dalam selain masalah hudud. Karena, Allah SWT tidak mengharuskan para hakim supaya tidak memutus kecuali berdasar kesaksian dua orang saksi. Akan tetapi Allah SWT memeraintahkan kepada setiap orang yang memiliki hak, untuk memelihara haknya itu supaya mempersaksikan haknya itudi depan dua orang saksi, atau satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Perintah tersebut bukan berarti menunjukan, bahwa
55
56
seorang hakim tidak dibolehkan memutus berdasarkan kesaksian saksi kurang dari itu ”.1 lebih lanjut ia mengatakan, bahwa Nabi saw pernah memutus berdasarkan keterangan satu orang saksi dan sumpah, juga pernah memutus berdasarkan keterangan satu orang saksi belaka.2 Ibnu Qayyim al-Jauziyah mendasarkan pendapatnya tersebut pada hadits dari Ibnu Abbas sebagai berikut:
ﺣﺪﺛﲎ ﺳﻴﻒ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺃﺧﱪﱏ ﻗﻴﺲ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﻭ ﺑﻦ ﺩﻳﻨﺎﺭ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ 3
ﻗﻀﻰ ﺑﻴﻤﲔ ﻭﺍﻟﺸﺎﻫﺪ: ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Saif bin Sulaiman memberi khabar kepadaku Qais bin Sa’ad dari Umar bin Dinar dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Rasulullah saw memutuskan berdasarkan sumpah dan satu orang saksi”. Berdasarkan hadits tersebut, menurut Ibnu Qayyim putusan berdasarkan kesaksian seorang saksi itu akan diterima dan tidak ada sedikitpun dari keterangannya yang dikesampingkan apabila diketahui kejujuran saksi tersebut. Akan tetapi jika hakim berpendapat perlu meneguhkan pembuktian tersebut dengan sumpah di sini kedudukannya bukan sumpah decissoir yang imperaktif hakim menjatuhkan putuannya. Rasulullah saw ketika memutus berdasrkan
kesaksian
seorang
laki-laki
dan
sumpah,
beliau
tidak
menempatkan sumpah tersebut sebagai sumpah decissoir (sumpah pemutus),
1
Ibnu Qayyim Al Jauziyah, at-Turuqu Al-Hukmiyyah fi Siyasah wa Syar’iyyah, Bairut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 79 2 Ibid 3 Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 60
57
melainkan sebagai sumpah suppletoir (sumpah pelengkap) yang meneguhkan kesaksian satu orang laki-laki tersebut.4 Memutuskan suatu perkara berdasarkan keterangan satu orang saksi menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah boleh. Di antaranya dalam perkaraperkara selain hudud, seperti: 1. Dalam perkara melihat hilal awal bulan Ramadhan Mengenai kesaksian dalam hal rukyat ini, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kesaksian satu orang saksi yang adil dapat diterima apabila di langit terdapat sebab-sebab yang menjadi penghalang dalam rukyat. Sedangkan apabila di langit tidak ada suatu penghalang maka hanya kesaksian sekumpulan orang yang dapat di terima. Sedangkan Ibnu Qayyim berpendapat bahwa kesaksian satu orang sudah di anggap mutlak cukup adanya.5 Berdasarkan riwayat lain dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa keterangan yang mengaku melihat hilal tidak wajib di terima kecuali dengan kesaksian saksi dua orang laki-laki. Hal ini berdasarkan atas sabda Nabi SAW, sebagai berikut:
4
Ibnu Qayyim, op. cit., Adapun pengertian dari sumpah decisoir dan sumpah supletoir adAlah sebagai berikut: Sumpah decisoir adAlah sumpah yang dibebankan atas permintaan sAlah satu pihak kepada lawannya (PasAl 156 HIR, PasAl 183 R Bg, PasAl 1930 BW). Sumpah supletoir adAlah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada sAlah satu pihak yang berperkara untuk melengkapi pembuktian peristiwa atau hak yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya (Pasal 155 HIR, Pasal 182 R. Bg, Pasal 1940 BW. 5 Ibnu Qayyim, op. cit., hlm. 149
58
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﻋﻦ ﺍﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺍﻓﻄﺮﻭﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺍﻣﺴﻜﻮﺍ ﻓﺎﻥ ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺎﲤﻮﺍ ﺛﻼﺛﲔ ﻳﻮﻣﺎ: ﺍﻧﻪ ﻗﺎﻝ 6
(ﻓﺎﻥ ﺷﻬﺪ ﺷﺎﻫﺪﺍﻥ ﺫﻭﺍ ﻋﺪﻝ ﻓﺼﻮﻣﻮﺍ ﻭﺍﻓﻄﺮﻭﺍ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺉ
Artinya: “dari Abdurrahman bin Zaid bin al-Khithab, dari beberapa orang sahabat Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda: berpuasalah kamu karena melihatnya dan berbukalah kamu karena melihatnya, dan menahan dirilah kamu sekalian. Kemudian, jika awan telah menutup penglihatanmu, sempurnakanlah tiga puluh hari. Dan jika dua orang saksi yang adil telah memberi kesaksiannya, maka berpuasalah dan berbukalah”. (HR. Ahmad dan Nasa’i). Maka berdasarkan hadits tersebut, yang juga sering di pakai sebagai pegangan bagi para ulama di Indonesia maka sudah jelas baik dari segi kwalitas hadits serta dari dimensi redaksional hadits maka kesaksian dalam hal melihat hilal bulan ramadlan batas minimal kesaksian adalah dua orang saksi. 2. Keterangan saksi dalam perkara yang tidak dilihat oleh kaum laki-laki Di antara hal-hal yang pada umumnya tidak boleh di lihat orang-orang lelaki seperti masalah kelahiran bayi, susuan, aib-aib yang berada dibalik baju wanita, menstruasi, dan Iddah. Maka, dalam perkara-perkara tersebut keterangan saksi satu orang perempuan yang adil dapat diterima.7 Mengenai hal tersebut, Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, dan Imam Malik dalam al-Muatta’ berpendapat bahwa kesaksian kurang dari empat orang perempuan tidak dapat diterima, karena empat orang perempuan
6 7
Ibid., hlm. 149 Ibid., hlm. 169
59
sama seperti dua orang laki-laki, dan jika tidak ada, maka satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.8 Imam Abu Hanifah, tidak dapat menerima kesaksian satu orang saksi walaupun ditambah dengan sumpah penggugat, karena ia mendasarkan pendapatnya tersebut pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
ﻦﺎ ِﻥ ِﻣﻤﺮﹶﺃﺗ ﻣ ﺍ ﹲﻞ ﻭﺮﺟ ﻴ ِﻦ ﹶﻓﹶﻠﺭﺟ ﺎﻳﻜﹸﻮﻧ ﻢ ﻢ ﹶﻓﺈِﻥ ﱠﻟ ﺎِﻟ ﹸﻜﺭﺟ ﻳ ِﻦ ﻣﻦﺪ ﺷﻬِﻴ ﻭﹾﺍﺸ ِﻬﺪ ﺘﺳ ﺍ ﻭ..... ﺍﺀﻬﺪ ﺸ ﺏ ﺍﻟ ﻳ ﹾﺄ ﻭ ﹶﻻ ﻯﺧﺮ ﺎ ﺍ ُﻷﻫﻤ ﺍﺣﺪ ﺮ ِﺇ ﹶﺬ ﱢﻛﺎ ﹶﻓﺘﻫﻤ ﺍﺣﺪ ﻀﻞﱠ ﹾﺇ ِ ﺗ ﺍﺀ ﺃﹶﻥﻬﺪ ﺸ ﻦ ﺍﻟ ﻮ ﹶﻥ ِﻣ ﺿ ﺮ ﺗ (282 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺍﺓ.....ْ ﻮﺍﺩﻋ ﺎِﺇﺫﹶﺍ ﻣ Artinya: “ ……Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orangorang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…….”. (QS. Al-Baqarah: 282).9 Karena menurutnya bahwa seorang saksi ditambah sumpah penggugat adalah mnerupakan menambah nash, sedangkan menambah nash adalah nasakh. Dan nasakh terhadapa Al-Qur’an itu tidak dapat diterima kecuali dengan hadits mutawatir atau hadits masyhur, akan tetapi dalam masalah ini kedua hadits tersebut sudah tidak ada.10
8
Ibid., hlm. 152 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 70 10 Wahbah Al-Zuhairi, Al-Fiqh Al- Islamy wa Adillatuh, Juz VI, Bairut: Daar Al-Fikr, t.t., hlm. 527 9
60
Sayyid Sabiq menambahkan bahwa kesaksian satu orang laki-laki yang adil itu dapat diterima akan tetapi hanya dalam masalah ibadah seperti adzan, shalat, dan puasa.11 Sebagaimana menurut Imam Abi Bakr Ahmad Ar-Razi al- Jashash, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an berkata: “Kita tahu bahwa satu saksi itu tidak diterima kesaksiannya karena tidak sesuai dengan ayat ( ﻣﻤﻦ ﺗﺮﺿﻮن ﻣﻦ اﻟﺸﻬﺪاءyang terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 282) dan sumpah penggugat itu tidak boleh menempati tempatnya saksi. Dan juga tidak boleh berdasarkan atas kerelaan terhadap apa yang dituduhkan kepada dirinya; menghukumi hanya dengan satu saksi dan sumpah, itu termasuk menyalahi ayat (Al-Qur’an) dan menghilangkan tujuan dari perintah persaksian yang meliputi kehatihatian dan kepercayaan atau berpegang teguh kepada apa yang di terangkan Allah SWT dalam ayat tersebut”.12 Imam al- Jashash, mendasarkan pendapatnya di samping dari firman Allah surat al-Baqarah (2): 282, juga dari sabda Nabi SAW sebagai berikut: 13
ﺍﻟﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺪﻋﻲ ﻭﺍﻟﻴﻤﲔ ﻋﻠﻲ ﺍﳌﺪﻋﻲ ﻋﻠﻴﻪ
“Pembuktian itu atas si Penggugat dan sumpah itu atas si Tergugat”. Al-Jashash membedakan antara sumpah dan bayyinah. Menurutnya sumpah itu tidak boleh dengan bayyinah, karena kata al-Bayyinah merupakan isim jenis (bersifat umum), maka dia juga mencakup kata apa saja yang ada di bawahnya. Bayyinah itu hanya diwajibkan bagi penggugat, dan dengan demikian maka dia tidak di kenakan sumpah dan juga karena bayyinah itu merupakan kata yang bersifat global yang kadang punya makna berbeda-beda. Oleh sebab 11
Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, Jilid III, Beirut: Daar Al-Fikr, t.t., hlm. 341 Imam Abi Bakr Ahmad Ar-Razi Al- Jashash, Ahkam Al-Qur’an, Juz I., Beirut: Daar AlFikr, t.t., hlm. 802 13 Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Daarul Al-Fikr, t.t., hlm. 116 12
61
itu, para ulama sepakat bahwa dua orang saksi laki-laki atau satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan itulah yang dikehendaki, dan tidak diperbolehkan kurang kurang dari itu.14 Dalam hukum pembuktian, status saksi ada kalanya ia menempati sebagai syarat hukum dan ada kalanya sebagai alat bukti bahkan ada kalanya ia menempati sebagai syarat hukum sekaligus
syarat pembuktian. Pada
keadaan yang disebutkan terakhir ini kita harus menggunakan saksi di situ sebagai syarat hukum, sebab syarat pembukltian sudah sekaligus tercakup (implicit) di dalam syarat hukum, dengan kata lain, segala saksi yang memenuhi syarat hukum, otomatis memenuhi syarat pembuktian, tetapi tidak sebaliknya.15 Oleh karena itu, sebagai syarat hukum batas minimal saksi dalam persaksian menurut hukum positif yang ada di Indonesia, adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 169 HIR, tentang syarat formil saksi: “Saksi berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain ; kecuali mengenai perzinaan”.16 Di samping itu, berdasarkan istilah yang dijumpai dalam doktrin Hukum Acara di lingkungan Peradilan, yaitu Unnus Testis Nullus Testis “satu saksi bukan saksi” (Pasal 169 HIR, Pasal 306 R. Bg dan Pasal 1905 KUH Perdata), dijelaskan bahwa keterangan seorang saksi keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup dan 14
Ibid., hlm. 803 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. ke-10, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 153 16 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 161 15
62
hakim tidak diperbolehkan memutuskan suatu perkara berdasarkan hal tersebut.17 Di samping itu, mengutip secara tidak langsung dari pendapat Imam Subkiy, bahwa keputusan-keputusan hakim yang terang-terang batal dan harus di ubah itu meliputi: 1. Keputusan yang menyimpang dari nash yang sarikh 2. Keputusan yang menyimpang dari pada ijma’. Keputusan hakim yang menyalahi pendapat yang telah di mufakati oleh Imam empat, yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali juga berarti menyimpang dari pada Ijma’. 3. Keputusan yang menyimpang dari pada nash jaliy 4. Keputusan yang menyimpang dari pada kaidah-kaidah kulliyah 5. Keputusan yang tanpa dalil.18 Menurut hemat penulis, berdasarkan dari keterangan-keterangan di atas kalau penulis cermati kaitannya dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah tentang putusan berdasarkan atas keterangan satu orang saksi, pendapatnya penulis anggap tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat, diantaranya mengenai pendapatnya tentang melihat bulan pada awal bulan Ramadhan, keterangan saksi ahli, perkara yang tidak lazimnya dilihat kaum laki-laki, keterangan dalam penterjemahan.
17
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. ke-3, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 251 18 Abu Bakar Ahdal, al-Faraidu al-Bahiyyah, Terj. M. Adib Bisri, Kudus: Menara Kudus, 1977, hlm. 12
63
Hukum Islam adalah hukum agama yang bersumber pada wahyu, dan wahyu yang datang dari Tuhan Yang Maha benar itu bersifat absolut dan mutlak kebenarannya. Oleh sebab itu, maka sesuatu yang bersifat absolut dan mutlak tersebut tidak berubah dan tidak boleh untuk diubah. Sebagaimana dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi : 19
“Hukum yang tanggungan”.
asal
adalah
bebasnya
ﺍﻻﺻﻞ ﺑﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣﺔ
seseorang
dari
segala
Misalnya, jika terjadi pertengkaran antara tergugat dan penggugat, selama penggugat tidak ada bukti yang dimenangkan adalah pengakuan tergugat, maka karena pada dasarnya tergugat bebas dari segala beban atau tanggung jawab. Apabila seorang berijtihad untuk kepentingan memberikan fatwa atau keputusan suatu persengketaan dan kemudian ternyata apa yang telah difatwakan atau diputuskan itu bertentangan dengan suatu nash atau ijma’, maka ia wajib memberitahukan kepada orang yang telah diberi fatwa atau membatalkan keputusan yang telah diambilnya.20 Adapun bila mujtahid tersebut beralih dari ijtihadnya yang pertama kepada ijtihad
yang kedua yang dianggapnya lebih rajih, bukan karena
perlawanan dengan nash atau ijma’. Akan tetapi bila ia mengetahui sebelum mengamalkannya ia wajib membekukannya sampai ia meminta fatwa
19
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyyah fi Ushul al-Fiqh wa al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.t., hlm. 27 20 Muhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung : PT. Al-Ma’arif, Cet. III, 1993, hlm. 388
64
mujtahid yang lain. Kemudian fatwa yang kedua ini dipilihnya guna menghilangkan keraguan pada fatwa yang kedua. 21 Setelah mengadakan perbandingan antara pendapat para ulama yang telah penulis uraikan di atas tentang putusan berdasarkan atas keterangan satu orang saksi, dapat diketahui bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh kedua golongan ulama adalah sama-sama kuat. Keduanya nampak berbeda dan bertentangan bila dilihat dari makna hakikinya, hal ini karena berbeda pula metode yang mereka gunakan. Oleh karena itu, dalam masalah putusan berdasarkan atas keterangan satu orang saksi, penulis lebih condong kepada ketidaksetujuannya pada pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang membolehkan seorang hakim untuk memutus suatu perkara berdasarkan keterangan satu orang saksi. Adapun yang menjadi alasan penulis adalah bahwasanya Pendapat Ibnu Qayyim dalam masalah tersebut bertentangan dengan nash yaitu Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282, dan QS. yang secara jelas menerangkan bahwa batas minimal saksi adalah satu orang saksi beserta dua orang perempuan. Oleh karena itu, penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Imam Subky dan Imam Abi Bakr Ahmad Ar-Razi al- Jashash yang telah penulis uraikan di atas, serta ketentuan-ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia, maka keputusan hakim yang bertentangan dengan nash yang sarikh dan juga Ijma’ ulama maka keputusannya dianggap batal. Sebagaimana dengan kaidah ushuliyyah yang berbunyi :
21
Ibid., hlm. 389
65
22
ﺍﳊﺪﻭﺩ ﺗﺴﻘﻂ ﺑﺎﺍﻟﺸﺒﻬﺎﺕ
“Hukuman had gugur karena samar-samar” Sesuatu perkara yang belum didapatkan bukti yang menunjukan bahwa perkara itu adalah melanggar suatu peraturan, menyebab orang yang berperkara atau dituduh berperkara tidak dapat dijatuhi hukuman. Dan seorang hakim tidak boleh menjatuhkan putusan berdasarkan suatu perkara yang belum diperkuat alat bukti yang jelas.23 B. Analisis Terhadap Alasan Hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyah Tentang Jatuhnya Putusan Berdasarkan Keterangan Satu Orang Saksi Di dalam hukum acara perdata, apabila penggugat ingin mengajukan gugatannya, maka penggugat harus bisa menyertakan alat bukti sebagai dasar gugatannya. Karena tujuan dari sebuah pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Adapun alat bukti di sini ada lima macam, yaitu alat bukti tulisan, saksisaksi, pengakuan, persangkaan, dan sumpah. Apabila penggugat hanya bisa mengajukan alat bukti saja terutama alat bukti hanya satu orang saksi, maka menurut ketentuan dalam hukum positif di Indonesia, alat bukti satu orang saksi tersebut belum dapat dijadikan sebagai dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. oleh sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti yang lain, seperti sumpah atau lainnya. hakim dilarang menetapkan suatu peristiwa sebagai terbukti hanya berdasarkan keterangan 22 23
Abdul Hamid Hakim, op. cit Muhtar Yahya dan Fathurrahman, op. cit., hlm. 524
66
seorang saksi yang berdiri sendiri tanpa didukung dengan alat bukti yang lain.24 Kembali kepada pokok permasalahan yaitu kaitannya dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah tentang putusan berdasarkan atas keterangan satu orang saksi. Setelah penulis menganalisis dari pendapatnya, sekarang penulis akan mencoba mengaanalisis dari sisi alasan-alasan hukum yang dipakai oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang hal tersebut. Pada bab terdahulu penulis telah menjabarkan tentang istinbat hukum yang di pakai oleh Ibnu Qayyim. Walaupun sebagai penganut madzhab Hambali, akan tetapi ia sering mengeluarkan pendapat yang berbeda dari paham Ahmad bin Hambal. Antara lain
mengenai penempatan atau
kedudukan sunnah sebagai sumber hukum, dari segi urutannya sebagai sumber hukum, Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an dan AsSunnah keduanya menempati posisi sama, yaitu sama-sama sebagai sumber utama dan pertama hukum Islam. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, yang menjadi sumber utama dan pertama hukum Islam hanya Al-Qur’an, sedangkan sunnah keududukannya menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Mengenai alasan atau istinbat hukum yang dipakainya, yaitu mengenai hadits yang menjadi dasar Ibnu Qayyim tersebut, dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, tidak ada permasalahan, Nabi saw memang pernah memutus dengan satu orang saksi akan tetapi Nabi saw di dalam hadits tersebut beliau menambahkan dengan sumpah sebagai alat bukti
24
Mukti Arto, loc. cit., hlm. 164
67
tambahan, dan perlu diketahui bahwa alat bukti sumpah yang bisa dijadikan sebagai dasar keputusan seorang hakim adalah jenisnya sumpah Decisoir (sumpah pemutus) yaitu sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (Pasal 156 HIR, Pasal 183 R. Bg, Pasal 1930).25 Jadi, dalam hadits tersebut sumpah yang terkandung didalamnya adalah bukan merupakan sumpah Supletoir (sumpah pelengkap) akan tetapi kedudukannya adalah sebagai sumpah Decissoir (sumpah pemutus) yang bisa sebagai dasar keputusan bagi seorang hakim. Di samping itu, tentang fatwa shahabat yang merupakan salah satu dari metode istinbat hukum Ibnu Qayyim, Walaupun tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa perkataan sahabat yang bukan berdasarkan fikiran semata-mata adalah menjadi hujjah bagi ummat Islam. Demikian itu karena apa yang dikatakan oleh para sahabat itu tentu saja berdasarkan apa yang telah didengarnya dari Rasulullah SAW.26 Adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama ialah perkataan sahabat yang semaa-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak dalam satu pendirian. Imam Abu Hanifah beserta rekanrekannya berpendapat bahwa perkatan sahabat adalah hujjah. Menurut pendapatnya bahwa kita diperbolehkan mengambil pendapat salah seorang sahabat selama kita tidak mendapatkan ketentuan dari Kitab Allah SWT dan
25 26
Mukti Arto, op. cit., hlm. 184 Muhtar Yahya dan Fathurrahman, op. cit., hlm. 116
68
Sunnah Rasulullah SAW, serta tidak boleh melawan pendapat keseluruhan sahabat.27 Sedangkan Imam Syafi’i tidak sependapat jika pendapat salah seorang sahabat itu menjadi hujjah. Karena pendapat para sahabat itu tidak lain adalah merupakan kumpulan ijtihad perseorangan yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, menurut Imam Syafi’i menetapkan hukum atau memberikan fatwa tidak boleh selain berdasarkan dengan dasar yang kuat, yaitu al-Kitab, al-Hadits, pendapat para ahli yang tidak diperselisihkan lagi, atau al-Qiyas kepada salah satu tersebut di atas.28 Dari apa yang telah di sampaikan oleh Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, penulis lebih condong kepada pendapat Imam Syafi’i, hal ini tidak lain adalah untuk berusaha berhati-hati dalam mengikuti pendapat dari para mujtahid. Di samping itu, menurut hemat penulis kaitannya dengan pendapat Ibnu Qayyim, selama dalam Al-Qur’an, As-Sunnah sudah ada ketentuan yang jelas serta pendapat ulama yang rajih, maka mengapa kita harus mengikuti sesuatu yang belum jelas kerajihannya. Di dalam lapangan hukum perdata terdapat asas-asas hukum Islam yang menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi seseorang. Adapun asas-asas tersebut di antaranya adalah asas kebolehan atau mubah. Asas ini menunjukan kebolehan melakukan semua hubungan perdata (sebagaian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan tersebut tidak dilarang oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, bahwa pada 27 28
op. cit., hlm. 118 Ibid
69
dasarnya segala bentuk hubungan perdata adalah boleh dilakukan, kecuali kalau telah di tentukan lain dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.29 Setelah penulis cermati, dari pendapat Ibnu Qayyim tersebut dengan beberapa metode yang dipakainya justru ia lebih banyak menyinggung mengenai al-Maslahah al-Mursalah, bahkan dalam kitabnya ‘Ilamu alMuqi’in pada bagian pertama juz tiga kitab tersebut, ia mengemukakan bahwa prinsip dan dasar-dasar syari’ah adalah kemaslahatan bagi manusia di dunia dan di akhirat.30 Akan tetapi, bila dikaitkan dengan makna hakiki dari konsep Sadz al Dzar’iyyah, dan al-Maslahah al-Mursalah, maka alasan yang dipakainya bisa di bilang bertentangan dengan dasar istinbath tersebut, yaitu nantinya dilihat dari faktor psikologi dan sosial di masyarakat atau dalam berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena pada hukum acara perdata keputusan hakim itu mempunyai kekuatan hukum yaitu kekuatan mengikat. Jadi, apabila seorang hakim memutuskan perkara berdasarkan seorang saksi tambah sumpah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, maka keputusan itu mempunyai kekuatan hukum yaitu mengikat, yang mana hasil keputusan tersebut harus dilaksanakan oleh para pihak yang berperkara. Berbeda dengan pendapat Ibnu Qayyim, yaitu tentang keputusan berdasarkan keterangan satu orang saksi. Karena, pendapatnya belum bisa dijadikan alat bukti yang sempurna melainkan kedudukannya hanya sebagai 29
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 133 30 Depag RI, Ibid
70
alat bukti permulaan saja, salah satunya adalah dengan alat bukti seorang saksi tanpa ada alat bukti yang lain, maka pelaksanaan pembuktian yang hanya dengan alat bukti seorang saksi di anggap tidak sempurna serta tidak bisa dijadikan pegangan bagi para hakim dalam memutuskan perkara. Apabila hakim tetap memutuskan perkara dengan hanya alasan tersebut, maka putusannya di anggap batal menurut hukum, baik hukum Islam atau hukum positif yang ada di Indonesia.