STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat Guna memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : SAIFUDDIN ASRO NIM : 2103130
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Miftah AF, Drs., M. Ag NIP. 19530515 198403 1 001 Moh. Khasan, M.Ag NIP. 197411212 200312 1 004 Lamp : 4 (empat) eks.
Kpd Yth.
Hal
Dekan Fakultas Syariah
: Naskah Skripsi An. Sdr. Saifuddin Asro
IAIN Walisongo Semarang Di Semarang
Assalamu'alaikum. Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah skripsi saudara : Nama
: Saifuddin Asro
NIM
: 2103130
Judul Skripsi
: Studi Analisis Pendapat Ibnu Hazm
Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb Semarang, 25 Juni 2010 Pembimbing I
Pembimbing II
Miftah AF, Drs., M. Ag NIP. 19530515 198403 1 001
Moh. Khasan, M.Ag NIP. 197411212 200312 1 004
ii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH Jalan Raya Boja – Ngaliyan Km. 2 Semarang 50185 Telp (024) 7601291
PENGESAHAN Skripsi Saudara : Saifuddin Asro NIM
: 032111130 / 2103130
Jurusan
: Al-Ahwal Al-Syahsiyah
Judul
: STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI.
Telah dimunaqasahkan oleh dewan penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal : 29 Mei 2010 Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi program Strata 1 (S.1) guna memperoleh gelar sarjana dalam ilmu Syari’ah. Semarang, 05 Agustus 2010 Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Rahman El-Junusi, S.E, M.M NIP. 1969111820003 1 001
Moh. Khasan, M.Ag NIP. 197411212 200312 1 004
Penguji I
Penguji II
DR. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag NIP. 19690709199703 1 001
DR. Ali Imron, M.Ag NIP. 19730730 200312 1003
Pembimbing I
Pembimbing II
Miftah AF, Drs., M. Ag NIP. 19530515 198403 1 001
Moh. Khasan, M.Ag NIP. 197411212 200312 1 004
iii
MOTTO
. Artinya: Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Apabila manusia meninggal dunia, putuslah pahala semua amalnya, kecuali tiga macam amal yaitu: sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh yang selalu mendo akan kepadanya . 1
1
Imam Muslim, Hadits Shahih Muslim Juz 2, Terj. Hadits Shahih Muslim, oleh Razak dan Abdul Latief, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980, hlm. 281.
iv
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini untuk orang-orang yang selalu hadir dan selalu mendukung. Khususnya buat: Ø Bapak dan Ibuku tercinta ( Bapak Saiful A’zaz dan Ibu Fatwati ). Yang telah mengenalkan aku pada sebuah kehidupan dengan kasih sayang yang tak terhingga nilainya. Ridlamu adalah semangat hidupku. Ø Istri aku Tercinta ( Nur Chalimah) yang selalu mendukung, mendo’akan dan menemaniku setiap saat. Ø Adik-adikku tersayang ( Zainuddin Afif, Zuniar Faiz, Naily ), Serta seluruh keluargaku tercinta, semoga semuanya selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Ø Keluarga besar Ibu Hj. suriyah ( Mbak ana, Mbak efi, Mas Kholilurrahman, Mas Agung, Dek Rizal ) yang selalu mendukungku. Ø Teman-temanku semua ( Taufik, Gus Farid, Nasukha, Andi, Fani, Anam, Bahrul, Zainal, Luluk, Mustofa, Iwan, Kepet, Dofar, Munif ). Dan yang tidak dapat kusebutkan satu persatu yang selalu bersama dalam meraih cita-cita.
v
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan. Bila terbukti melakukan tindakan plagiat, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Semarang, 05 Agustus 2010
Deklarator
Saifuddin Asro NIM. 2103130
vi
ABSTRAK Ketika tujuan dari disyariatkannya wakaf adalah untuk menjaga kesinambungan pahala bagi pihak pemberi wakaf, maka pendekatan diri kepada Allah beserta kelangsungannya menjadi pokok pembahasan para ahli fiqh dalam mengkaji syarat sasaran dari wakaf itu sendiri, syarat sasaran dalam hal ini adalah barang yang diwakafkan tidak kembali kepada si wakif ( wakaf kepada diri sendiri ). Disini terjadi perbedaan pendapat, menurut Ibnu Hazm seseorang dibolehkan untuk menahan harta wakaf kepada orang yang dicintainya, kepada dirinya sendiri, kemudian diserahkan kepada siapa pun yang dikehendakinya. Sedangkan menurut jumhur ulama tidak membolehkan wakaf kepada diri sendiri dengan alasan tidak sesuai dengan tujuan utama wakaf yang mana memutus kepemilikan pribadi dan ditujukan untuk kepentingan umum.
Dari situ dapat ditarik suatu pokok permasalahan yaitu apa latarbelakang pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri, dan bagaimana metode istinbath yang digunakan Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan metode pengumpulan data berupa data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian, yakni dari karya-karya Ibnu Hazm yang berhubungan dengan judul di atas diantarannya : kitab Al-Muhalla, yang disusun oleh Ibnu Hazm secara sistematis yang sesuai dengan bab-bab fikih, dan data sekunder yaitu yaitu literatur yang digunakan dalam menjelaskan tentang pokok permasalahan yaitu berupa hasil penelitian serta buku-buku, artikel yang di tulis orang lain yang berhubungan dengan wakaf. Data yang diperoleh tentang informasi dari permesalahan tersebut, dan kemudian bahan-bahan tersebut dianalisis menggunakan diskriptif analisis. Setelah penulis melakukan penelitian berdasarkan fakta yang ada, bahwa pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri itu dilatarbelakangi oleh pemikirannya yang tekstualis, dan Istinbath hukum yang sebaiknya dilakukan adalah mengarahkan pada substansi dari maksud wakaf bukan menisbatkan pada sedekah. Maksud disini yaitu meskipun dalam teks dibolehkannya wakaf kepada diri sendiri, tetapi maksud syari’at dalam masyarakat tidak menginginkan wakaf kepada diri sendiri, lebih menitikberatkan pada nilai-nilai kemaslahatan umum.
vii
Meskipun Beliau mengambil dasar hukum dari hadits nabi tetapi beliau hanya memahami dengan makna zahirnya saja tanpa memandang kemaslahatan. Penulis tidak sependapat dengan Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri, karena tidak sesuai dengan tujuan utama wakaf yang telah diterangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal I: yang berisi wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
viii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Robbu alAlamin atas segala limpahan rahmat, hidayah dan ‘inayahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI dengan baik meskipun banyak kendala yang harus di lewati. Shalawat dan salam senantiasa penulis sanjungkan ke pangkuan beliau Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, Sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan mengembangkannya hingga sekarang ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sampaikan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Pembantu-pembantu Dekan, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga kini. 2. Drs. Miftah AF., M. Ag, selaku pembimbing I dan Moh. Khasan, M.Ag, selaku pembimbing II atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas. 3. Bapak Kajur, Sekjur, Dosen-dosen dan Karyawan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, atas segala didikan, bantuan dan kerjasamanya. 4. Para Dosen Pengajar dan staff di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
ix
5. Orang Tua ( Bapak Saiful A’zaz dan Ibu Fatwati ) yang selalu mendidik, memberi fasilitas, membantu do’a, dan Istri yang selalu memberi support serta tidak henti-hentinya berdo’a. Ibu mertua (Hj. Suriyah) yang selalu berdo’a, Mas (Kholil dan Agung), Mba (Tika, Evi n Ana) dan Adik (Afif, Faiz, Neli n Rizal) yang selalu mendukung. 6. Teman-teman (Fani, Nasukha, Gus Farid Fad, Amoel, Taufiq mubarok, Nasai) yang selalu memberikan bantuan hingga terselesaikannya skripsi ini. 7. Semua temen-temen di Jepara: ( Mas Zen, Kak Anas, Kak Faidul, Usep ) Atas semua kebaikannya, penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah menerima sebagai amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi sempurnanya skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.
Semarang, 05 Agustus 2010 Penulis,
Saifuddin Asro NIM. 2103130
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv DEKLARASI ............................................................................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi ABSTRAKSI….............................................................................................. vii KATA PENGANTAR................................................................................ ix DAFTAR ISI ............................................................................................. xi BAB I :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................. 8 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8 D. Telaah Pustaka .................................................................... 8 E. Metode Penelitian ................................................................ 10 F. Sistematika Penulisan ......................................................... 12
BAB II :
TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf ...................................14 1. Pengertian Wakaf.............................................................14 2. Dasar Hukum Wakaf .......................................................17 B. Rukun dan Syarat Wakaf ....................................................22 1. Rukun Wakaf ...................................................................22 2. Syarat Wakaf .................................................................26 C. Macam-macam Wakaf………………………………………27 1. Wakaf Ahli………………………………………………..27 2. Wakaf Khairi……………………………………………...28
xi
BAB III : PEMIKIRAN IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI A. Biografi Ibnu Hazm ............................................................31 B. Karya-Karya Ibnu Hazm ......................................................38 C. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri…………………………............................................39 1. Pengertian Wakaf Menurut Ibnu Hazm………………...39 2. Syarat Wakaf Menurut Ibnu Hazm………………......…40 3. Dasar Hukum Wakaf Menurut Ibnu Hazm……….…….40 4. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri…………………………………….……….
40
D. Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri….…………………………..…
42
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IBN HAZM TENTANG WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI A. Analisis Terhadap Latar Belakang Pendapat Ibnu Hazm Tentang wakaf Kepada Diri Sendiri ………………………. .................44 B. Analisis Terhadap Istinbath Hukum Ibn Hazm tentang Wakaf Kepada Diri Sendiri……………………………………….....46 BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………52 B. Saran-saran ………………………………………………….53 C. Penutup……………………………………………………...53
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Membicarakan persoalan Islam dan ekonomi, sebenarnya tidak hanya membicarakan persoalan kamajuan dan kemunduran kehidupan yang dialami oleh salah satu pihak (golongan agama) tertentu, melainkan turut membicarakan persoalan kemanusiaan yang lebih luas. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk muslim terbesar, terlepas dari berbagai variasi pemikiran dan praktik keagamaan, juga memiliki sejarah yang begitu panjang yang menentukan arah maju mundurnya kehidupan kebangsaan.2 Secara umum ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W (Islam) mempunyai dasar-dasar sebagai pedoman hidup yang menyeluruh, meliputi bidang-bidang aqidah, yaitu cara-cara bagaimana manusia harus percaya kepada Allah SWT, ibadah yaitu cara bagaimana seharusnya manusia bersikap yang baik dan menjauhi sikap hidup yang buruk dan yang ketiga adalah mu’amalat atau kemasyarakatan, yaitu cara bagaimana manusia harus melaksanakan kehidupan bermasyarakat baik dalam lingkungan keluarga, bertetangga, berekonomi, bergaul antar bangsa dan sebagainya,3 sebagaimana dalam surat Al-Anbiya, ayat 7:
2
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006, hlm. 3. 3 Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 6.
1
Artinya: dan kami tidaklah mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS. Al-anbiyaa : 107) 4 Dalam catatan sejarah Islam, wakaf sudah dipraktekkan baik dalam bentuk yang masih tradisional atau konvensional, dalam arti bentuk wakaf berupa benda-benda tidak bergerak maupun wakaf produktif berupa wakaf uang atau wakaf tunai (cash waqf). Bahkan, wakaf tunai ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Dalam bukunya Achmad Djunaidi dan Thobieb, M Syafi’i antonio mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, menjelaskan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin alhadits) mengeluarkan fatwa yang berisi anjuran melakukan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungan sebagai wakaf. 5 Tabiat harta memang untuk dimiliki. Akan tetapi ada sebagian harta yang tidak boleh dimiliki secara total yaitu harta yang diperuntukkan kemashlahatan umum seperti untuk jalan umum, dan benteng pertahanan. Disamping itu juga ada harta yang tidak boleh dimiliki kecuali dalam keadaan darurat seperti harta bayt al-mal.6
4
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002, hlm.
5
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Op.Cit., hlm. 27. Ibid, hlm. 21.
461. 6
2
Kepemilikan Individu (Private property) bukan merupakan hal yang baru dalam ajaran Islam bahkan keberadaannya sejalan dengan keberadaan manusia. Bangsa dan umat terdahulu seperti kaum Bani Israel, Yunani dan bangsa Arab sebelum Islam mempunyai aturan tersendiri dalam menangani masalah kepemilikan pribadi ini. Ketika Islam datang kepemilikan tersebut diakui dalam satu bentuk aturan yang bernama mafhum al-khilafah yaitu satu bentuk perwakilan dan kepercayaan penuh antara muwakkil (Allah) dan wakil (manusia). Kepemilikan harta merupakan titik sentral dalam perkembangan ekonomi dalam setiap umat atau kelompok manusia, maka sudah barang tentu Islam memberikan tuntunan dalam mengatur hal tersebut. Adapun dasar-dasar aturan tersebut adalah sebagaimana berikut: a. Memberikan penjelasan kepada manusia bahwasannya harta adalah milik Allah b. Harta yang diberikan kepada manusia merupakan anugerah c. Khilafah yang dipegang manusia adalah pemberian Allah, maka selayaknyalah ia taat atas peraturan-Nya termasuk didalamnya peraturan masalah harta d. Harta bukan merupakan ukuran atau barometer kemuliaan manusia e. Memerangi mental keinginan untuk menjadikan harta sebagai tujuan utama dalam hidup, karena ia adalah hanya wasilah belaka.
3
Berdasarkan pernyataan tersebut kepemilikan manusia hanya bersifat nisbi (relatif) sedangkan hakikatnya sebenarnya adalah kepemilikan Yang Maha Pencipta.7 Islam sangat memperhatikan keadilan ekonomi dalam rangka menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera dan meminimalisir terjadinya kesenjangan sosial yang berlatar belakang ekonomi antara yang miskin dengan yang kaya. Sehingga tercipta masyarakat yang makmur dan masyarakat yang adil dalam kemakmuran. Islam memandang kekayaan sebagai amanat Allah SWT (amanatullah) yang seharusnya menjadi sarana perekat untuk membangun persaudaraan dan kebersamaan.8 Islam juga agama yang kaffah (sempurna). Islam tidak hanya agama yang sarat dengan nilai-nilai normatif, secara integral juga memiliki nilai-nilai moral yang diharapkan dapat menghancurkan ketimpangan struktur sosial yang terjadi saat ini. Islam juga berkehendak untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan turut berpartisipasi dalam berbagai problem sosial kemasyarakatan. Salah satu pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki keterkaitan langsung secara fungsional dalam upaya pemecahan masalahmasalah sosial dan kemanusiaan adalah wakaf. 9
Wakaf adalah sektor voluntary ekonomi Islam yang berfungsi sebagai aset
konstruksi pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan
Machmudi muhson, http://elshohwah.tripod.com/makalah/Diskusi%201.htm, diakses tanggal 19 April 2008. 7
8
Departemen Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: 2006, hlm. 8. 9 Abdul Ghofur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hlm. 14.
4
masyarakat. Prinsip ajaran wakaf menganjurkan masyarakat yang mampu untuk membantu yang kurang mampu dengan cara mendermakan dana abadi yang dikelola, dan hasilnya dimanfaatkan untuk membantu kebutuhan, bahkan membina dan mengangkat derajat mereka.10Amalan wakaf termasuk amalan yang amat besar pahalanya menurut ajaran Islam. Hampir seluruh amal seseorang akan terhenti atau terputus pahalanya bila orang itu meninggal dunia. 11 Sejalan dengan tujuannya, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : 1. Wakaf ahli adalah wakaf yang adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang fakir. 2. Wakaf khairi adalah wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum seperti, pembangunan masjid, madrasah, perpustakaan, kuburan dan lainlain yang mana wakaf tersebut dimanfaatkan oleh orang lain secara umum.12 Ketika tujuan dari disyariatkannya wakaf adalah untuk menjaga kesinambungan pahala bagi pihak pemberi wakaf, maka pendekatan diri pada Allah beserta kelangsungannya menjadi pokok pembahasan para ahli fikih dalam mengkaji syarat sasaran dari wakaf itu sendiri. Syarat tersebut, secara global meliputi hal-hal sebagai berikut:
10
Departemen Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Op.Cit., hlm. 8. 11 Departemen Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Bunga Rampai Perwakafan, Jakarta: 2006, hlm. 12. 12 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997, hlm. 148.
5
1. Sasaran wakaf berorientasi pada kebajikan. 2. Sasaran tersebut diarahkan pada aktivitas kebajikan yang kontinyu. 3. Barang yang telah diwakafkan tidak kembali kepada si waqif. 4. Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan menguasai harta wakaf.13 Untuk syarat yang ketiga yaitu sasaran barang yang telah diwakafkan tidak kembali kepada si waqif (wakaf tidak diberikan kepada diri sendiri) ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama yaitu apabila wakaf itu diberikan kepada diri sendiri bukan kepada orang lain atau orang fakir. Mazhab zahiriyah berpendapat bahwa diperbolehkan wakaf untuk diri sendiri. Ibnu Hazm yang merupakan salah satu tokoh mazhab ini dalam kitabnya Al-Muhalla,14 menyebutkan seseorang dibolehkan untuk menahan harta wakaf kepada orang yang dicintainya, kepada dirinya sendiri, kemudian diserahkan kepada siapa pun yang dikehendakinya. Sedangkan Mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, Maliki melarang wakaf untuk diri sendiri, mereka berpendapat bahwa seseorang pemilik harta tidak dapat memilikkan apa yang telah dimilikinya kepada dirinya sendiri, karena ia telah memilikinya. 15 Dari sinilah penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut pendapatnya Ibn Hazm yang mana beliau terkenal sebagai tokoh tekstualis dan sangat anti 13
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Jakarta: Dompet Dhuafa Republik dan IIman, 2004. hlm. 284 14 Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th, hlm. 175 15 Departemen Agama, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Cet. 6, 2006, hlm. 49.
6
dengan qiyas. Ibnu Hazm menganut mazhab hukum yang dibangun pada masa dulu oleh Abu Sulaiman Daud bin Ali Al Zhahiri, setiap pernyataan (nash) di dalam sumber hukum (Al Qur an dan Al hadits) mestilah diperpegangi pengertian-pengertiannya
secara
lahiriyah
(harfiyah),
kecuali
jikalau
sepanjang akal maupun sepanjang Indriani terpaksa harus diberikan pengertian yang menyimpang (takwil) dari pengertian yang lahiriyah itu Akan tetapi pemalingan pengertian sesuatu pernyataan itu mestilah beralaskan pembuktian, ataupun berdasarkan pernyataan lain didalam sumber hukum, ataupun berdasarkan persetujuan pendapat (ijmak) para ahli hukum, pada saat itulah baru boleh berpaling dari pengertian lahiriah kepada pengertian yang menyimpang (takwil).16 Oleh sebab itu penulis memilih meneliti pendapat beliau dengan judul: STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI.
B. Permasalahan Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah di atas dapat dikemukakan pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Apa latar belakang Pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri? 2. Bagaimana metode istinbath yang digunakan Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri? 16
Yoesoef Souyb, Pemikiran Islam Merobah Dunia, Jakarta: Maju, 1984, hlm. 211.
7
C. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan di atas, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui latar belakang pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri. 2. Untuk mengetahui metode istinbath yang digunakan Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri.
D. Telaah Pustaka Telah menjadi sebuah ketentuan di dunia akademis, bahwa tidak ada satupun bentuk karya seseorang yang terputus dari usaha intelektual yang dilakukan generasi sebelumnya, yang ada adalah kesinambungan pemikiran dan kemudian dilakukan perubahan yang signifikan. Penulisan ini juga merupakan mata rantai dari karya-karya ilmiah yang lahir sebelumnya. Pada tahapan ini penulis mencari landasan teoritis dari permasalahan yang penulis teliti, sehingga yang dilakukan penulis bukanlah aktivitas yang bersifat “trial and error .17 Telaah pustaka dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan pembahasan dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga dengan upaya ini tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu.
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 112.
8
Untuk membedakan kajian ini dengan kajian sebelumnya di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa studi pustaka tentang ketentuan wakaf yaitu sebagai berikut: Karsiyati (2101021) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Pendapat Imam Syafi i Tentang Jual Beli Harta Wakaf menerangkan tentang kebolehan jual beli harta wakaf dan alasan-alasan kebolehan jual beli harta wakaf. Dijelaskan demi terciptanya kemaslahatan bersama harta wakaf dapat diperjualbelikan apabila sudah tidak dapat dipergunakan lagi akibat rusak dan kurang bermanfaat. Mengingat hal itu menjadi alasan yang kongkrit adanya perbuatan untuk menyelamatkan harta wakaf dari kemubadziran.18 Juniyanto (2101079) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Pendapat Ibnu Abidin tentang Wakaf Barang yang Digadaikan menerangkan kebolehan wakaf barang yang digadaikan, dengan alasan sesungguhnya sesuatu yang seorang gadaikan itu tetap jadi haknya yang menggadaikan bahwa barang yang digadaikan tersebut tidak dikusai penerima gadai atau masih berada pada penggadai maka barang gadai itu menjadi sah untuk diwakafkan karena adnya kemungkinan untuk dapat diserahterimakan antara wakif dan nazir wakaf. Sehingga barang gadai tersebut dapat dimanfaatkan sesuai denga tujuan wakif.19
Dari berbagai kepustakaan di atas menunjukkan bahwa penelitianpenelitian terdahulu berbeda dengan permasalahan yang diangkat penulis.
18
Karsiyati, Analisis Pendapat Imam Syafi i Tentang Jual Beli Harta Wakaf, Fakultas Syari”ah IAIN Walisongo, Semarang: 2007. 19 Juniyanto, Analisis pendapat Ibnu Abidin Tentang Wakaf Yang Digadaikan, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Semarang: 2006.
9
Oleh karena itu penulis termotifasi untuk membahas dan menganalisis masalah pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri. E. Metode Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagi berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan Penelitian kepustakaan (library research). Yaitu penelitian yang dilakukan untuk menelaah bahan-bahan dari buku utama yang berkaitan dengan pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri. dan buku penunjang berupa sumber lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji. 20 2. Sumber Data Sumber data yang dimaksud dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.21 Data penelitian ini diperoleh dari buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan ini, Sementara sumber data tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian, yakni dari karya-karya Ibnu Hazm yang berhubungan dengan judul di atas diantarannya : kitab Al-Muhalla, yang disusun oleh Ibnu Hazm secara sistematis yang sesuai dengan bab-bab fikih.
20
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta,1991, Cet 1, hlm. 109. 21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006, hlm. 129.
10
b. Data sekunder yaitu literatur yang digunakan dalam menjelaskan tentang pokok permasalahan yaitu berupa hasil penelitian serta bukubuku yang di tulis orang lain yang berhubungan dengan wakaf. 22 Data ini berfungsi sebagai pelengkap data primer, yaitu tulisan-tulisan seputar persoalan wakaf kepada diri sendiri yang tertuang dalam buku, makalah, artikel dan lainnya, yang berkaitan dengan masalah yang penulis kaji.
3. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data atau permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut: a. Diskriptif Analitis Yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang.23 Skripsi ini merupakan kajian sebuah konsep pemikiran, maka dengan metode ini dapat digunakan untuk menggambarkan dan menguraikan secara menyeluruh pemikiran Ibnu Hazm baik dari pendapat maupun istinbath yang di gunakan, sehingga akan didapatkan informasi secara utuh. Sedangkan maksud dan tujuan analisis ini bertujuan memberikan analisa yang bersifat ilmiah dan sistematis terhadap makna yang terkandung dalam fatwa atau pendapat yang mana penulis akan menganalisa pemikiran Ibnu Hazm tentang wakaf kepada kepada diri sendiri.
22
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 100. 23 Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 17.
11
F. Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab, agar dapat memudahkan pembahasan sekaligus membantu dalam penulisan, dimana
satu bab dan bab yang lainnya saling mendasari dan terkait. Hal ini guna memudahkan pekerjaan dalam penulisan dan memudahkan pembaca dalam memahami dan menangkap hasil penelitian. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagi berikut: I. Pendahuluan, memuat tentang latar belakang masalah, selanjutnya dari latar belakang masalah tersebut dirumuskan masalah yang ada, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. II. Tinjauan Umum Tentang Wakaf. Bab ini merupakan landasan teori yang berisikan tiga sub bab. Bab pertama tentang pengertian dan dasar hukum wakaf. Bab kedua tentang rukun dan syarat wakaf. Bab ketiga tentang macam-macam wakaf. III. Pemikiran Ibnu Hazm tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri, Bab ini mencakup berbagai hal diantaranya tentang Biografi Ibnu Hazm, pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri dan metode istimbath hukum Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri. IV. Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri. Dalam bab ini dijelaskan analisis terhadap latar belakang pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri dan analisis terhadap metode istinbath hukum Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri. V. Penutup, bab ini memuat kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Wakaf 1. Pengertian Wakaf Kata wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata -
-
berarti “berdiri, berhenti”.24 Kata wakaf sering disebut juga dengan habs.25 Dengan demikian, kata wakaf itu dapat berarti berhenti, menghentikan dan dapat pula berarti menahan. Pengertian menahan dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud wakaf dalam bahasa ini. Menurut istilah syara’, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. 26 Dalam hal tersebut, benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak milik Allah (hak umum). Wakaf menurut mazhab Hanafi ialah menahan harta dari hukum kepemilikan wakif dan disadaqahkan manfaatnya untuk kebaikan. Pada dasarnya harta yang diwakafkan tidak hilang dari sifat kepemilikannya, dan diperbolehkan untuk memintanya kembali dan menjualnya karena
24
Irfan Zidny, et al., Kamus Arab-Indonesia Kosa Kata Populer, Jakarta: Dian Rakyat, 1998, hlm. 548. 25 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1997, hlm. 148. 26 Harun Nasution, et all., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 981.
13
sesungguhnya wakaf itu mubah, tidak diwajibkan seperti halnya barang pinjam-meminjam. Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah
wakif
melakukan
tindakan
yang
dapat
melepaskan
kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan dan wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan.27 Wakaf menurut jumhur ulama’ ialah suatu harta yang mungkin dimanfaatkan selagi barangnya utuh. Dengan putusnya hak penggunaan dari wakif, untuk kebajikan yang semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah.28 Harta wakaf atau hasilnya,
dibelanjakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Dengan diwakafkannya harta itu, maka harta keluar dari pemilikan wakif, dan jadilah harta wakaf tersebut secara hukum milik Allah. Bagi wakif, terhalang untuk memanfaatkan dan wajib mendermakan hasilnya sesuai tujuan.
27
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu Juz 8, Beirut: Dar al-fikr, t.th, hlm
153. 28
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 20
14
Rumusan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam, dimana disebutkan dalam pasal 215 ayat (1) bahwa wakaf adalah, perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya, guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. 29 Dalam pengertian lain, sebagaimana disebutkan dalam UU RI No 41 tahun 2004 tentang wakaf, mendefinisikan wakaf sebagai berikut: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya
atau
untuk
jangka
waktu
tertentu,
sesuai
dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.”30 Walau definisi wakaf berbeda antara satu dengan yang lain, akan tetapi definisi tersebut nampaknya berpegang pada prinsip bahwa benda wakaf, pada hakikatnya adalah pengekalan dari manfaat benda wakaf itu. Namun demikian, dari beberapa definisi dan keterangan di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa wakaf itu meliputi beberapa aspek sebagai berikut: a. Harta benda itu milik yang sempurna. b. Harta benda itu zatnya bersifat kekal dan tidak habis dalam sekali atau dua kali pakai. 29
Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. pasal 215 ayat 1. 30 Undang-Undang RI no 41 tahun 2004, pasal 1 ayat 1.
15
c. Harta benda tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh pemiliknya. d. Harta benda yang dilepaskan kepemilikannya tersebut, adalah milik Allah
dalam
arti
tidak
dapat
dihibahkan,
diwariskan
atau
diperjualbelikan. e. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum yang sesuai dengan ajaran Islam. 31 2. Dasar Hukum Wakaf Walaupun perwakafan yang dimaksud dalam kajian ini tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an, namun demikian ada beberapa ayat yang memerintahkan agar manusia berbuat kebajikan kepada masyarakat. Adapun yang dijadikan landasan hukum perwakafan adalah: a. Al-Qur’an Tidak ada dalam ayat Al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Bahkan tidak ada satupun ayat AlQur’an yang menyinggung kata “waqf , sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama disyari’atkannya ajaran ini lebih dipahami berdasarkan konteks ayat Al-Qur’an, sebagai sebuah amal kebaikan.32 Ayat-ayat yang berkaitan dengan wakaf sebagai berikut :
31
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Semarang: LSM Damar, Cet. ke-1, 2004, hlm. 320. 32 Achmad Junaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Mitra Abadi Press, Cet. ke-3, 2006, hlm
16
Firman Allah:
¨bÎ*sù &äóÓx« `ÏB (#qà)ÏÿZè? $tBur 4 šcq™6ÏtéB $£JÏB (#qà)ÏÿZè? 4Ó®Lym §ŽÉ9ø9$# (#qä9$oYs? `s9 ÇÒËÈ ÒOŠÎ=tæ ¾ÏmÎ/ ©!$# Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan sesungguhnya Allah mengetahuinya ..33 Ayat ini menyatakan bahwa yang dinafkahkan hendaknya harta yang disukai, karena kamu sekali-kali tidak akan meraih kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dengan cara yang baik dan tujuan serta motivasi yang benar, yakni harta benda yang kamu sukai maupun yang tidak kamu sukai, maka sesungguhnya tentang segala sesuatu yang menyangkut hal itu Allah Maha Mengetahui, dan Dia akan memberi ganjaran untuk kamu baik di dunia maupun di akhirat kelak.34
(#qè=yèøù$#ur öNä3-/u‘ (#r߉ç6ôã$#ur (#r߉àfó™$#ur (#qãèŸ2ö‘$# (#qãZtB#uä šúïÏ%©!$# $yg•ƒr'¯»tƒ ÇÐÐÈ ) šcqßsÎ=øÿè? öNà6¯=yès9 uŽö•y‚ø9$# Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Q. S. Al. Hajj: 77).35
33
Departemen Agama, Al-Qur an dan Terjemahnya, Semarang: CV Toha Putra, 1989,
hlm. 91. 34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, Ciputat: Lentera Hati, 2005, hlm. 151. 35 Departemen Agama, Al-Qur an dan Terjemahnya, Op. Cit., hlm..523
17
Nä3s9 $oYô_t•÷zr& !$£JÏBur óOçFö;|¡Ÿ2 $tB ÏM»t6ÍhŠsÛ `ÏB (#qà)ÏÿRr& (#þqãZtB#uä tûïÏ%©!$# $yg•ƒr'¯»tƒ br& HwÎ) ÏmƒÉ‹Ï{$t«Î/ NçGó¡s9ur tbqà)ÏÿYè? çm÷ZÏB y]ŠÎ7y‚ø9$# (#qßJ£Ju‹s? Ÿwur ( ÇÚö‘F{$# z`ÏiB ÇËÏÐÈ î‰ŠÏJym ;ÓÍ_xî ©!$# ¨br& (#þqßJn=ôã$#ur 4 Ïm‹Ïù (#qàÒÏJøóè? Artinya : Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji (Q. S. Al-Baqarah: 267).36 Ayat ini menjelaskan bahwa barang yang dinafkahkan seseorang haruslah miliknya yang baik, yang disenanginya, bukan barang yang buruk, yang ia sendiri tidak menyukainya, baik berwujud makanan, buah-buahan, atau barang-barang maupun binatang ternak, dan sebagainya.37 b. Al-Sunnah Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sunnah nabi bisa berupa sunnah qauliyah, yaitu hadits-hadits Rasulullah saw yang beliau katakan dalam berbagai tujuan dan konteks. Sunnah fi liyah yaitu perbuatan Rasulullah saw, dan sunnah taqririyah yaitu sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah saw yang telah diakui oleh Rasulullah saw baik berupa ucapan maupun perbuatan.38
36
Ibid, hlm. 67. Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Tafsirnya, Semarang: CV Wicaksana, Jilid 1, Juz 1-2-3, hlm. 453. 38 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Kutub, 1986. hlm. 45 37
18
Para ulama menilai bahwa wakaf itu termasuk kategori sedekah jariah, yang nilai pahalanya senantiasa mengalir selagi manfaatnya bisa dipetik. Dalam konteks inilah, maka para ahli fiqih mengemukakan hadits Nabi SAW, yang berbicara tentang keutamaan sedekah jariah sebagai salah satu sandaran wakaf. Pengertian amal jariah dalam hadits tidak secara khusus menyatakan wakaf, akan tetapi perbuatan mewakafkan termasuk shadaqah jariyah.Sabda Nabi SAW:
: . .
.(
).
Artinya: “Dari bin Umar ra katanya Umar (bapaknya) mendapat bagian tanah/kebun di Khaibar, ia datang kepada Rasulullah minta pendapat beliau. Kata Umar kepada beliau, hai Rasulullah saya telah mendapat sebidang tanah di Khibar, belum pernah saya mendapat suatu harta yang saya anggap lebih berharga dari padanya. Dengan apa tuan perintahkan kepada saya tentang tanah itu? jawab Rasulullah SAW: jika anda rela, tanah/kebun itu wakafkan saja, dan hasilnya dermakan, maka oleh Umar perintah Rasulullah diturutinya. Bahwa tanah itu tidak dijualbelikan, tidak diwariskan dan tidak pula dihibahkan. Kata bin Umar, maka hasil kebun itu didermakan Umar kepada fakir miskin, sanak famili, melunaskan penebusan diri sahaya yang akan memerdekakan dirinya, fisabilillah, ibnu sabil dan buat tamu-tamu. Bagi pengurus kebun itu dibolehkan mengambil nafkah sederhana
19
daripada hasilnya, dan memberi makan teman-teman tanpa memboroskannya. (H. R. Muslim) 39 Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang dikemukakan di atas, ada anjuran yang mengandung perintah yang tidak harus dilakukan. Perintah wakaf disini tidak menunjukkan wajib, sebab wakaf kalau dihukumi wajib, berarti memaksa kepada orang yang mempunyai harta untuk berwakaf. Perintah ini hanya sunnat, yang dapat memberikan dorongan kepada orang-orang yang mempunyai harta untuk beribadah melalui wakaf. Maka dapat dikemukakan bahwa status hukum wakaf adalah sunnat, yaitu merupakan perbuatan yang sangat mulia, dan akan diberi pahala atau imbalan bagi siapa yang melakukannya. Meskipun demikian, tidak dibebani dosa jika tidak melakukannya. Dengan demikian perbuatan wakaf adalah merupakan anjuran dalam syari’at Islam. 40
B. Rukun Dan Syarat Wakaf 1. Rukun Wakaf Rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur pokok dalam pembentukan sesuatu hal. Perkataan rukun berasal dari bahasa Arab “ruknun
yang berarti tiang, penopang atau sandaran.41
Dengan kata lain, sesuatu yang karenanya baru ada hukum dan dengan
39
Imam Abi Muslim Ibnu Al-Hajj Sahih Muslim, Juz 2, Beirut-Libanon: Dar al- Kitab al‘Alamiyah, tt. hlm. 14. 40 Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet-02, 1996, hlm. 106-107. 41 Anton M. Moelyono, (et.al), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 757.
20
ketiadaannya tidak akan ada hukum. 42 Atau dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perbuatan. Dengan demikian, sempurna tidaknya wakaf sangat dipengaruhi oleh rukun-rukun yang ada dalam perbuatan wakaf tersebut. Masingmasing rukun tersebut harus saling menopang satu dengan yang lainnya. Karena keberadaan yang satu sangat menentukan keberadaan yang lainnya. Wakaf dikatakan sah, maka harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Wakif
(
) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum
yang mewakafkan benda miliknya (KHI Pasal 215 ayat (1)).43 Adapun syarat-syarat wakif yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 1. Cakap berbuat tabarru. Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan muslim. 44 2. Kehendak sendiri tidak sah bila dipaksa. 3. Sehat akalnya dan dalam keadaan sadar. 4. Telah mencapai umur (balig) dan cakap. 5. Pemilik sah dari barang (benda) wakaf. 45
42
Muhammad Rifa’i, Ushul Fiqh, Semarang: Wicaksana, 1991, hlm. 15. Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 215 ayat (1), hlm. 95. 44 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Alqensindo, 2007, hlm. 341. 45 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2003, hlm. 493. 43
21
b. Maukuf
(
)
Maukuf adalah benda yang diwakafkan. Benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak atau benda tidak bergerak yang memiliki daya tahan dan tidak hanya dapat sekali pakai serta bernilai menurut ajaran Islam.46 Adapun syarat-syarat maukuf adalah sebagai berikut: 1. Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai 2. Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum 3. Hak milik wakif jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda wakaf merupakan benda yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa 4. Benda
wakaf
itu
tidak
dapat
dimiliki
dan
dilimpahkan
kepemilikannya 5. Benda wakaf dapat dialihkan jika hanya jelas-jelas untuk maslahat yang lebih besar 6. Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. 47 c. Maukuf Alaih atau Tujuan Wakaf Seharusnya wakif menentukan tujuan ia mewakafkan harta benda miliknya. Apakah diwakafkan hartanya itu untuk menolong keluarganya sendiri, untuk fakir miskin, sabilillah dan lain-lain, atau 46 47
Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit., hlm. 95. Ahmad Rofiq, Op.Cit., hlm. 493.
22
diwakafkan untuk kepentingan umum. Yang utama adalah bahwa wakaf itu diperuntukkan pada kepentingan umum. Yang jelas, syarat dari tujuan wakaf adalah untuk kebaikan, mencari ridlo Allah SWT dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kegunaan bisa untuk sarana ibadah murni, seperti pembangunan masjid, mushola dan pesantren atau juga dapat berbentuk sarana sosial keagamaan lainnya yang lebih besar manfaatnya. d. Sighat atau Ikrar/Pernyataan Wakaf Sighat adalah pernyataan wakif sebagai tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan maupun melalui tulisan.48 Dlam KHI Pasal 218 menjelaskan pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (6), yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekuran-kurangnya 2 orang saksi.49 Dengan pernyataan itu, tanggallah hak wakif atas benda yang diwakafkannya. Benda itu kembali menjadi hak milik mutlak Allah yang dimanfaatkan oleh orang atau orangorang yang disebut dalam ikrar wakaf tersebut.50
48
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm. 20. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Op. Cit., hlm.143. 50 Mohamad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI. Press, 1998, 49
hlm. 87.
23
Karena tindakan mewakafkan sesuatu itu di pandang sebagai perbuatan hukum sepihak, maka dengan pernyataan wakif yang merupakan ijab, perwakafan telah terjadi. 51 e. Nazhir Wakaf atau Pengelola Wakaf Sesuai dengan tujuan wakaf yaitu untuk melestarikan manfaat dari benda wakaf, maka kehadiran nazhir sangat diperlukan. Nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Nazhir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memeliharanya, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya.52 2. Syarat Wakaf Menurut hukum, untuk sahnya amalan wakaf diperlukan syaratsyarat sebagai berikut: a. Wakaf harus secara tunai Wakaf harus dilakukan secara tunai, sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan berwakaf.53 b. Tujuan wakaf harus jelas Oleh karena itu bila seseorang mewakafkan hartanya tanpa menyebutkan tujuannya sama sekali, maka di pandang tidak sah. Meskipun demikian, jika wakif mengesahkan wakafnya itu kepada
51
Ibid. Said Agil Husin Al-Munawir, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, hlm. 151. 53 Ibid., hlm. 30. 52
24
suatu badan hukum, maka ia di pandang sah. Sebab penggunaan harta wakaf menjadi tanggung jawab badan hukum.54 c. Wakaf yang sah harus dilaksanakan Wakaf yang sah itu wajib dilaksanakan, dengan syarat tidak boleh ada khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlangsung seketika dan untuk selamanya.55 Dalam hubungannya dengan syarat-syarat wakaf di atas, apabila wakif mengajukan syarat mengenai harta wakaf, maka syarat itu harus dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
C. Macam – macam Wakaf Bila ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi 2 macam : 1. Wakaf ahli (khusus) Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus, yang dimaksud dengan wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orangorang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Wakaf untuk keluarga ini secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Diujung hadits tersebut dinyatakan sebagai berikut : 54 55
Ibid. Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press,
1988, hlm.
25
,
,
Artinya : Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut, saya berpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya56 Dalam satu sisi, wakaf ahli ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya juga kebaikan silaturahmi dengan keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi di sisi lain, wakaf ahli ini banyak disalahgunakan. Penyalahgunaan itu misalnya :(1) Menjadikan wakaf keluarga itu sebagai alat untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia, dan (2) wakaf keluarga itu dijadikan alat untuk mengelakkan tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang, sebelum ia mewakafkan hartanya itu.57 Disamping itu masalah yang mungkin akan timbul dalam wakaf ahli ini adalah apabila orang-orang yang ditunjuk sudah tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda wakaf. Bila terjadi hal-hal tersebut maka benda wakaf itu dikembalikan kepada syarat umum wakaf bahwa wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu, dengan demikian meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda wakaf
56
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, op.cit.,
57
Moh.Daud Ali, op-cit, hlm.90
hlm. 15
26
telah punah, benda wakaf tersebut digunakan oleh keluarga yang lebih jauh atau bila tidak ada lagi digunakan oleh umum.58 Dalam perkembangannya, wakaf ahli mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya sesuai dengan tujuan wakaf yang sesungguhnya. Oleh karena itu sudah selayaknya jenis wakaf ini ditinjau kembali untuk diperbaiki. 2. Wakaf Khairi (umum) Wakaf Khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Seperti wakaf untuk pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, dan lain sebagainya. Wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dengan demikian, bendabenda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan umum, tidak hanya untuk keluarga atau kerabat saja. 59 Selanjutnya bila ditinjau dari harta benda wakaf terbagi menjadi 2 macam : 1. Harta benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak ini seperti tanah, bangunan , pohon untuk diambil buahnya, sumur untuk diambil airnya. Benda-benda macam inilah yang 58 59
Hendi Sihendi, Fiqh Muamalah; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. hlm.245 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Loc-cit.
hlm.16
27
sangat dianjurkan, karena mempunyai nilai jariyah lebih lama. Ini sejalan dengan praktek wakaf yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab atas tanah Khaibar atas perintah Rasulullah SAW. 2. Harta benda bergerak a. Hewan Wakaf hewan ini tergolong dalam wakaf benda untuk diambil manfaatnya, seperti kuda yang digunakan mujahidin untuk berjihad. Atau bisa juga wakaf hewan sapi yang diberikan kepada pelajar untuk diminum air susunya. b. Senjata Seperti wakaf perlengkapan perang yang dilakukan oleh Khalid bin Walid. c. Buku Wakaf buku yang memiliki manfaat secara terus menerus sebaiknya diserahkan kepada pengelola perpustakaan, sehingga manfaat buku itu bersifat abadi selama buku tersebut masih baik dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. d. Mushaf Wakaf mushaf ini memiliki kesamaan manfaat sebagaimana wakaf buku yang bersifat abadi selama mushaf itu tidak rusak. e. Uang, saham, dan surat berharga lainnya.60
60
Ibid.,hlm. 42-44
28
BAB III PEMIKIRAN IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI A. Biografi Ibnu Hazm 1. Latar Belakang Kehidupan Ibnu Hazm Ibnu Hazm adalah seorang tokoh besar intelektual muslim Spanyol yang produktif dan jenius. Beliau salah seorang ulama dari golongan Zahiri yang sangat terkenal pemikirannya yang tekstual terhadap dalil al- Qur’an maupun Hadits Nabi. Setiap orang yang mengetahui pandapat Ibnu Hazm dalam karya-karyanya, akan tertarik untuk membahasnya secara lebih mendalam baik itu berupa pribadi, perilaku dan peninggalannya yang membuat orang merasa ingin menghormati, memperhatikan dan mengagungkannya. Nama lengkap Ibnu Hazm adalah Ali Ibnu Ahmad Sa’id Ibnu Hazm Ghalib Ibnu Shalih Ibnu Sufyan Ibnu Yazid. Kunyah-nya adalah Abu Muhammad dan inilah yang sering digunakan dalam kitab-kitabnya akan tetapi beliau lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Hazm.61 Beliau lahir di Cordova pada hari Rabu waktu dini hari diakhir bulan Ramadhan tahun 384 H atau bertepatan dengan tanggal 7 November 994 M.62 Dalam sejarah-sejarah Islam yang telah menulisnya, beliau lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Hazm, ulama besar dari
61
Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 288. 62 Ibn Hazm, Al-Muhalla Bi al-Atsar, Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, th., hlm. 5.
29
Spanyol, ahli Fikih, dan Ushul Fikih. Beliau adalah pengembang madzhab adz- Dzahiri, bahkan dinilai sebagai pendiri kedua Daud adz-Dzahiri.63 Ayahnya bernama Ahmad Ibnu Sa’id seorang menteri pada masa pemerintahan khalifah al-Mansur dan putranya, al-Muzaffar, Kakeknya bernama Yazid adalah berkebangsaan Persi, Maula Yazid Ibn Abi Sufyan, saudara Mu’awiyah yang diangkat oleh Abu Bakar menjadi panglima tentara yang dikerahkan untuk mengalahkan Negeri Syam. Dengan demikian Ibn Hazm seorang berkebangsaan Persia yang dimasukkan ke dalam golongan Quraisy dengan jalan mengadakan sumpah setia dengan Yazid Ibn Abi Sufyan, karenanyalah Ibnu Hazm memihak kepada Bani Umayyah.64 2. Pertumbuhannya Ibnu Hazm dibesarkan dalam keluarga kaya. Namun demikian ia memusatkan perhatiannya mencari ilmu, bukan mencari harta dan kemegahan. Ia menghafal Al-Qur’an dari purinya, diajarkan oleh inang pengasuhnya yang merawatnya. Ayahnya memberi perhatian yang penuh kepada pendidikannya dan memperhatikan bakat dan arah kehidupannya. Oleh karena gerakgeriknya di dalam istana diawasi dengan ketat oleh inang pengasuhnya, maka terpeliharalah dia dari sifat-sifat anak muda, ia mempelajari ilmu-ilmu yang dipelajari oleh pemuda-pemuda bangsawan dan penguasa, yaitu menghafal Al-Qur’an, menghafal sejumlah syair dan
63
Abdul Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. I, hlm. 608. 64 Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 291.
30
menghadapi guru-guru utama untuk memperoleh ilmu dan meneladani akhlak mereka65 Sebagai seorang anak
pembesar,
Ibnu Hazm mendapat
pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya ia dibimbing dan diasuh oleh guru-guru yang mengajarkan Al-Qur’an, syair dan tulisan indah arab (khatt). Ketika meningkat remaja, ia mulai mempelajari fikih dan hadits dari gurunya yang bernama Husein Ibn Al-Farisi dan Ahmad Muhammad Bin Jasur. Ketika dewasa, ia mempelajari bidang ilmu lainya, seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantik dan ilmu jiwa disamping memperdalam fikih dan Hadits.66 Tokoh yang terkenal sangat kritis ini pada mulanya adalah penganut Mazhab Syafi’i yang ia dalami dari ulama’ Syafi’iyah di Cordova. Kemudian ia tertarik dengan Mazhab Dzahiri, setelah ia mendalaminya lewat buku-buku dan para ahlinya yang di daerah itu, dan akhirnya ia terkenal sebagai seorang paling gigih mempertahankannya. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai pendiri kedua dari madzhab yang hampir terbenam itu.67 Pada mulanya Ibnu Hazm mempelajari fikih Mazhab Maliki karena kebanyakan masyarakat Andalusia dan Afrika Utara menganut
65
Ibid., hlm. 289. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, Ensiklopedi Islam, 1993, hlm. 391. 67 IAIN Syrif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Jambatan, 1992 hlm. 358. 66
31
Mazhab ini. 68Al-Muwattha sebagai kitab fikih standar untuk Mazhab Maliki di pelajarinya dari gurunya, Ahmad bin Muhammad bin Jasur, tidak hanya Al-Muwattha Ibnu Hazm pun mempelajari Kitab Ikhtilaf Imam Malik. Menurutnya, meskipun ia menyukai Mazhab maliki akan tetapi ada yang lebih disenanginya, yaitu kebenaran. Hasil pemahaman Ibnu Hazm dari kitab lain mendorongnya untuk mendalami kitab fikih yang dikarang oleh Imam Syafi’i dan murid-muridnya. Akan tetapi di Mazhab ini pun ia tidak bertahan lama. Selanjutnya ia tertarik dan pindah ke Mazhab Adz-Dzahiri setelah ia mempelajari kitab fikih karangan Munzir Bin Said Al-Ballut (w. 355 H), seorang ulama’ dari Mazhab AdzDzahiri. 69 Berbagai
ilmu
pengetahuan
keislaman
lainnya
sempat
dikuasainya. Ia menekuni dan mendalami ilmu-ilmu keIslaman, terutama setelah ia meninggalkan suatu jabatan dalam pemerintahan waktu itu, karena dengan kedudukannya itu, ia di pandang kurang berwibawa, bahkan banyak mendapat kecaman dari sebagian kalangan ulama. Karena itu jabatan tersebut ditinggalkannya dan memutuskan untuk selanjutnya mendalami ilmu-ilmu keislaman, terutama mengenai aliran-aliran hukum dalam Islam. Sehingga pada akhirnya ia muncul sebagai seorang ulama
68
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazhahib Al-Islamiyah, Juz I, Beirut : Dar Kutubil Ilmiyah, 1989, hlm. 555. 69 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, Op. Cit., hlm. 391.
32
yang amat kritis baik terhadap ulama pada masanya, maupun terhadap yang sebelumnya.70 3. Keilmuannya Selaku anak seorang wazir, pada masa kecilnya ia diasuh dan di didik oleh para inang pengasuhnya. Setelah beranjak besar dan menghafal Al-Qur’an ia diasuh dan di didik oleh Abu Husain Al-Fasi, seorang yang terkenal saleh, zahid dan tidak beristri. Al-Fasi inilah yang petama sekali membentuk dan mengarahkan Ibnu Hazm, sehingga hasil didikan Al-Fasi sangat terkesan pada dirinya. Al-Fasi membawa Ibnu Hazm ke majlis pengajian Abu Al-Qosim ‘Abdur Rahman Al-Azdi (w. 410) untuk belajar bahasa arab dan Hadits. Ilmu Fikih dipelajarinya pada ‘Abdullah bin Yahya Ibn Ahmad Ibn Dahlan, Mufti Cordova dan Ibn Fardli wafat terbunuh oleh tentara barbar pada tahun 403 H, seorang ahli dalam bidang Hadits, Rijal (biogarfi perawi Hadits), Adab (peradaban) dan Sejarah.71 Dalam bidang tafsir dipelajarinya kitab tafsir Baqi Ibnu Makhlad, teman Ahmad bin Hambal, Kitab ini oleh Ibnu Hambal di nilai tak ada taranya. Ibn Hazm mempelajari juga kitab tafsir Al-Ahkam Al-Qur an, tulisan Umayyah Al-Huzaz berMazhab Syafi’i dan kitab Al-Qadli Abu AlHakam Ibn Said yang sangat keras membela Mazhab Daud Dzahiri. 72 Menurut Ibnu Hazm ada tiga macam hukum yang secara tegas di terapkan oleh agama dan terdapat di dalam Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Sahabat, yaitu wajib, haram, dan mubah. Bagi Ibnu Hazm tidak ada tempat 70
IAIN Syrif Hidayatullah, Op. Cit., hlm. 357. Ibid., hlm. 556. 72 Ibid., hlm. 558. 71
33
bagi ra’yu (akal) untuk terlibat secara langsung di dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, ia hanya mengakui empat macam dalil hukum yang dijadikan sumber dan sandaran untuk menetapkan hukum, yaitu: a.Al-Qur’an. b.Hadits. c.Ijma’ Sahabat. d.dan Dzahir (lahir) nash yang mempunyai satu arti saja.73 Pada mulanya Ibn Hazm mempelajari fikih Maliki, karena gurugurunya berMazhab dengan Mazhab itu. Selain itu Mazhab Maliki adalah Mazhab resmi di Andalusia. Ibnu Hazm pernah mengatakan bahwa dua Mazhab yang berkembang melalui tangan kekuasaan penguasa adalah Mazhab Hanafi di Timur dan Mazhab Maliki di Barat.74 Ibnu Hazm menemukan kritikan-kritikan yang dilakukan oleh Asy-Syafi’i terhadap Maliki. Karena itu ia pun mempelajari Mazhab Syafi’I dengan sungguh-sungguh, walaupun Mazhab ini tidak populer di Andalusia. Ketika guru-gurunya dan penganut Mazhab Maliki bertanya kepadanya, ia menjawab : ‘Uhibbu Malikan Walakin Mahabbati lil Haqqi Akbaru Min Mahabbati li Malik = Aku mencintai malik, akan tetapi cintaku kepada kebenaran lebih besar daripada cintaku kepada malik’. Ibnu Hazm pun beralih dari Mazhab Maliki ke Mazhab Syafi’i. Ibnu Hazm mengagumi Syafi’i karena ia teguh berpegang kepada nash dan qiyas yang di qiyaskan kepada nash. Namun pada akhirnya ia tertarik pada Mazhab 73
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, loc.cit,. 74 Hasbi Ash-Shiddieqy, loc,cit,.
34
Dzahiri yang dikembangkan oleh Daud al-Asbahani. Mazhab Dzahiri berprinsip hanya berpegang pada nash semata, kalau tidak ada nash baru di pakai Istihsan.75 Mazhab inilah yang dipeganginya sampai ke akhir masa hayatnya. Menurut Hasby Asy-Sydiqi, Ibnu Hazm memiliki jiwa dan pikiran bebas. Ia tidak mau terikat kepada sesuatu Mazhab. Selain mengikuti Mazhab Syafi'i ia juga mempelajari Mazhab ulama-ulama yang ada di Irak, seperti Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Kepada merekalah dia belajar. Dengan mempelajari Mazhab-Mazhab lain, Ibnu Hazm melakukan perbandingan Mazhab yang ada pada saat itu. Akhirnya ia tertarik kepada Mazhab Zahiri.76 Ibnu Hazm memutuskan memilih Mazhab Zahiri karena dalam Mazhab ini tidak ada taqlid. Mazhab ini adalah Mazhab al-Kitab, Sunnah dan ijma' sahabat. Masing-masing tokoh Mazhab ini langsung membina Mazhabnya, tanpa bertaqlid kepada seorang imam. 77 B. Karya-karya Ibnu Hazm Menurut pengakuan putranya, Abu Rafi’ al Fadli Ibn Ali, sepanjang hidupnya Ibnu Hazm sempat menulis lebih kurang 400 judul buku yang meliputi lebih kurang 80.000 halaman. Buku-buku tersebut menyangkut
75
Ibid., hlm. 557. Mazhab Zahiri adalah mazhab yang dikembangkan oleh, Daud al-A bbahani. Mazhab Zahiri berprinsip hanya berpegang kepada na semata, bahwa larangan dan suruhan harus berdasarkan na atau atsar, kalau tidak ada na baru berpindah dan memakai istishan, lihat, Hasbi Shiddiqi, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, cet I., (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), edisi ke-2, hlm. 557 77 Ibid., hlm. 312 76
35
berbagai didisiplin ilmu. Namun, tidak semua bukunya bisa ditemukan karena banyak yang dibakar dan dimusnahkan oleh orang-orang yang tidak sepaham oleh Ibnu Hazm. Di antara buku-buku tersebut adalah sebagai berikut : a. Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam (2 jilid), memuat ushul fiqh Mazhab AdzDzahiri, menampilkan juga pendapat-pendapat ulama di luar Mazhab AdzDzahiri sebagai perbandingan ; b. Al-Muhalla (13 jilid), buku fikih yang di susun dengan metode perbandingan; penjelasan luas; Argumen Al-Qur’an, Hadits dan ijma’ yang dikemukakan pun memadai; c. Ibtal Al-Qiyas, pemikiran dan berbagai argumentasi dalam menolak kehujahan qias; d. Tauq Al-Hamamah, karya autobiografi Ibnu hazm yang meliputi perkembangan pendidikan dan pemikirannya, ditulis pada tahun 418 H; e. Nuqat Al-Arus Fi Tawarikh Al-Khulafa , yang mengungkap para khalifah di Timur dan Spanyol; f. Al-Fasl Fi Al-Milal Wa Al-Ahwa Wa An-Nihal. Teologi yang disajikan dalam metode perbandingan agama dan sekte-sekte dalam Islam; g. Al-Abtal, pemaparan Ibnu Hazm mengenai argumen-argumen Mazhab Adz-Dzahiri; h. At-Talkhis Wa At-Takhlis, pembahasan rasional masalah-masalah yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an dan Sunnah ; i.
Al-Imamah Wa Al-Khilafah Al-Fihrasah, sejarah Bani Hazm dan asal usul leluhur mereka;
36
j.
Al-Akhlaq Wa As-Siyar Fi Mudawwanah An Nufus, sebuah buku sastra Arab ;
k. Risalah Fi Fada il Ahl Al-Andalus, catatan-catatan Ibnu Hazm tentang Spanyol, ditulis khusus untuk sahabatnya, Abu Bakar Muhammad Bin Ishaq.78 C. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri Sebelum penulis menjelaskan tentang pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan tentang: 1. pengertian wakaf menurut Ibnu Hazm Dalam pembahasan wakaf Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla hanya menjelaskan pengertian secara bahasa saja yaitu:
Artinya: Penahanan harta adalah wakaf. 79 2. Syarat wakaf menurut Ibnu Hazm.
. Artinya: wakaf dalam keasliannya boleh seperti rumah, tanah dan sesuatu yang ada di atas nya, seperti tanaman, bangunan, tanah yang luas, muskhaf-muskhaf dan buku-buku, boleh juga wakaf budak, senjata, kuda dan berjuang dijalan Allah.80
78
Abdul Aziz Dahlan, op.cit., hlm. 610. Ibn Hazm, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th, hlm. 175 80 Ibid, hlm. 175. 79
37
3. Dasar hukum wakaf menurut Ibnu Hazm. Dalam hal ini Ibnu Hazm menggunakan dasar hadits yaitu:
. Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya. 81 4. Adapun pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri yaitu dalam kitab Al-Muhalla adalah:
. Artinya: seseorang dibolehkan untuk menahan harta wakaf kepada orang yang dicintai atau kepada diri sendiri kemudian diserahkan kepada siapa pun yang dikehendakinya. 82 Dengan melihat pendapat Ibnu Hazm yang tersurat di atas maka dapat ditarik suatu pegertian yang tersirat wakaf kepada diri sendiri menurut Ibnu Hazm yaitu menahan hartanya sendiri, yang dikelola sendiri, dan hasilnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum.83 Hal ini juga sependapat dengan Abu yusuf yang mengatakan bahwa wakaf untuk diri sendiri sah secara mutlak dengan alasan karena wakaf untuk diri sendiri adalah salah satu bentuk taqarrub, maka diperbolehkan untuk memprioritaskan diri sendiri dibanding lainnya.84
81
Ibidt, hlm. 176. Ibid, hlm.175. 83 Ibid, hlm. 175. 84 Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, Jakarta: Dompet Dhuafa Republik dan IIman, 2004. hlm. 318. 82
38
Sedangkan Para fuqaha sepakat bahwa wakaf pada diri itu tidak sah, diantaranya yaitu Imam maliki, Muhammad bin Hasan, Hilal bin Yahya dan Imam Syafi’I yang mengatakan bahwa wakaf pada diri sendiri itu tidak sah. Dasar pendapatnya pada dalil sebagai berikut: wakaf adalah akad yang membuat hak atas kepemilikan harta terhapus. Seperti halnya jual beli dan hibah (pemberian). Maka, apabila jual beli dan hibah untuk diri sendiri itu tidak sah, begitu pula dengan wakaf. Sebab hal itu sama saja dengan tahsil al-hasil (menghasilkan yang sudah ada), dan hal itu merupakan sesuatu yang mustahil (sia-sia).85 D. Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri. Metode dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh Ibnu Hazm adalah al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan dalil-dalil yang tidak keluar dari ketentuan nash itu sendiri. Dalam masalah ini dasar yang keempat dipakai oleh Ibnu Hazm dari golongan Zahiriyah, yaitu mempergunakan dalil sebagai ganti qiyas, apa yang ada dalam istilah Ibnu Hazm dinamakan dalil, hal ini telah diungakapkan oleh al Khatib al Baghdadi, Zahiriyah mengatakan bahwa dasar yang mereka namakan dalil itu tidak keluar dari nash. 86 contohnya sabda Rasulullah :
.
85
As Syeikh Muhammad Khatib As Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, juz 2, hlm. 380. Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, hlm. 305. 86
39
Artinya: Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram . Sabda Nabi Muhammad SAW tersebut terjadi atas dua muqaddimah, yang pertama adalah khamr sedangkan yang kedua adalah setiap khamr adalah haram, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa setiap yang memabukkan adalah haram.88 Hal ini menurut Ibnu Hazm bukan qiyas, tetapi penerapan nash. Adapun istinbath hukum Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri adalah: a. Hadits Nabi
: "
":
. Artinya: seseorng boleh menyediakan sesuatu untuk dirinya sendiri dan kepada orang yang dikehendaki sebagaimana sabda Rasulullah saw: awali dengan dirimu kemudian sedekahkanlah kepada yang lain, dan Rasulullah berkata kepada Umar bersedekahlah dengan buahnya. Maka sah dan boleh sedekahnya kepada diri sendiri dan kepada orang yang di kehendaki, demikian yang dikatakan Abi yusuf. 89 Dari hadits diatas dapat di pahami bahwa Ibnu Hazm dalam masalah wakaf kepada diri sendiri menggunakan istinbath al-Dalil: yang mana menurut beliau al-dalil adalah menetapkan apa yang 87
Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Juz II, Dar al Fikr, t.th, hlm. 1124. Dr. Jaih Mubarak, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, PT. RemajaRosada Karya, 2000, hlm. 154. 89 Hazm, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th, hlm. 182 88
40
diambil dari Ijmâ atau dari nash atau sesuatu yang diambil dari nash atau Ijmâ itu sendiri, baru diambil dengan jalan mempertautkan kepada nash yang di ambil langsung dari nash. Demikian itu al-Dalîl yang dipergunakan dalam ber-Istinbâth, sehingga Ibnu Hazm lebih dikenal dengan Ibnu Hazm al-Zhahirî.
41
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI
A. Analisis Terhadap Latar Belakang Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wakaf Kepada Diri Sendiri Ibnu Hazm dalam hal ini dilatarbelakangi oleh pemikirannya yang yang tekstualis dan beliau tidak mau terikat dengan suatu mazhab yang menggunakan qiyas, beliau hanya berpedoman pada Alqur’an, hadist, ijmak para sahabat dan dalil, oleh sebab itu beliau memilih mazhab zahiri. Ketika meyakini teks dan menganggapnya lebih mulia dari pendapat dan ijtihad, serta keyakinan bahwa teks mengandung keadilan, kebenaran, dan maslahat sebagaimana firman Allah:
Dan tidaklah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam . (QS. Al-Anbiya:107), maka tidak berbuat lain kecuali menjadikan teks sebagai standar dalam menilai kemaslahatan, dalam membedakan maslahat dan mudarat, dalam membedakan kemaslahatan ukhrawi dengan kemaslahatan duniawi, serta dalam membedakan bahaya yang besar dari bahaya yang ringan. 90 Saya tidak mengatakan bahwa teks akan selalu memberi jawaban yang terperinci dan kongkrit atas kemaslahatan, kemudaratan dan segala tingkatannya. Akan tetapi saya katakan bahwa teks menjadi standar pasti terhadapnya, dan terbuka lebar ruang untuk berkreasi dan berijtihad dan selalu meluas dan terus berkesinambungan dalam menilai hal-hal yang baru, 90
Ahmad Al Raysuni, Ijtihad Antara Teks Realita dan Kemaslahatan Sosial, Jakarta: Erlangga, 2002, hlm. 31.
42
menyikapi perkembangan zaman, membandingkan antara berbagai prioritas, dan itu dengan menjadikan teks sebagai titik tolak dan standar penilaian.91 Dari pemikirannya Ibnu Hazm itulah muncul pendapat beliau tentang wakaf kepada diri sendiri yaitu: seseorang dibolehkan untuk menahan harta wakaf kepada orang yang dicintainya atau kepada dirinya sendiri kemudian diserahkan kepada siapa pun yang dikehendakinya. Ulama Zaidiyah juga membolehkan wakaf kepada diri sendiri apabila didasari dengan niat takarub, takarub disini yang di maksud adalah dengan wakaf tersebut dia tidak merepotkan orang lain. Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wakaf kepada diri sendiri itu tidak sah, karena wakaf adalah akad yang membuat hak atas kepemilikan harta terhapus, seperti halnya jual beli dan hibah (pemberian). Maka, apabila jual beli dan hibah untuk diri sendiri itu tidak sah, begitu pula dengan wakaf. Sebab, hal itu sama saja degan penghasilan yang sudah ada, dan hal itu merupakan sesuatu yang mustahil (sia-sia). Pendapat ulama Malikiyah yang paling menolak keras tentang wakaf kepada diri sendiri. Dalam pandangan beliau, wakaf batal dan tidak sah, baik mengedepankan
pernyataan
untuk
dirinya,
mengakhirkan,
ataupun
meletakkannya di tengah-tengah. Misalnya kalau seseorang berkata saya berwakaf untuk diri sendiri atau untuk orang setelahku. Wakaf seperti ini semuanya batal dan tidak sah. Sebab dengan begitu berarti dia telah
91
Ibid, hlm. 31
43
membatasi harta wakaf tersebut untuk dirinya dan untuk ahli warisnya sepeninggalnya.92 Ketika teks dijadikan sebagai standar penilaian kemaslahatan oleh Ibnu Hazm, maka secara otomatis beliau telah berperan besar dalam menghilangkan pertentangan antara teks dan kemaslahatan, karena saat itu beliau telah berinteraksi dengan kemaslahatan yang selaras dengan teks. Beliau sedikitpun tidak meragui tentang kebenaran pendapatnya. Ini merupakan suatu kekurangan dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa golongan dhahiriyah adalah golongan yang menegakkan kebenaran. Karena itu Ibnu Hazm sangat membesarkan pendapat dirinya sendiri.93 Dari keterangan diatas menurut penulis, pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri dilatarbelakangi oleh pemikirannya yang tekstualis dan beliau tidak meragukan pendapatnya tersebut. B. Analisis Terhadap Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Wakaf Untuk Diri Sendiri. Dengan melihat keterangan yang sudah penulis kemukakan pada babbab sebelumnya, bahwa Ibnu Hazm adalah salah seorang ulama dari golongan Zahiri yang sangat terkenal pemikirannya yang tekstual terhadap dalil alQur’an maupun Hadits Nabi. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa, apapun yang termasuk seorang mujtahid mutlak berpikiran bebas, hal ini ia
92
Muhammad Abid Abdullah Al-kabisi, Hukum Wakaf, Jakarta, Dompet Dhuafa Republika. 2003. hlm. 332. 93 Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 307.
44
buktikan
dengan
pendapat-pendapat
Ibnu
Hazm
yang
cenderung
berseberangan dengan ulama atau Mazhab yang lain. Ibnu Hazm dalam melakukan istinbath hukum ketika dihadapkan pada suatu permasalahan Ia langsung mengambil dari empat sumber tasyri’ yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Sahabat, dan Dzahir (lahir) nash yang mempunyai satu arti saja. Istinbath yang digunakan Ibnu Hazm dalam menentukan hukum tentang wakaf kepada diri sendiri beliau berpedoman kepada zahir dari nash Al-Quran dan hadist. Sebagaimana ditegaskan :
........(
)
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka . 94 Dan Hadits Nabi:
. Artinya: awali dengan dirimu kemudian sedekahkanlah kepada yang lain.95 Adapun dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 36, dapat dipahami bahwa sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya tidak boleh di langgar, ayat tersebut sebagai penegas istinbath Ibnu Hazm.
94
Departemen Agama RI, Al Qur an dan Terjemahannya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an. hlm. 673. 95 Hazm, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th, hlm.182
45
Dalam Tafsir Al-Maraghiy dijelaskan bahwa tidaklah patut bagi orang Mu’min laki-laki maupun perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu ketetapan untuk mempunyai pilihan lain tentang urusan mereka selain yang telah ditetapkan pada mereka dan tidak patut pula mereka menyalahi dan tidak mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta keputusan-Nya. Kesimpulan dalam Tafsir Al-Maraghiy, tidak patut bagi orang Mu’min laki-laki maupun perempuan untuk memilih suatu perkara bila telah ada keputusan Rasul.96 Yang kedua Sabda Rasulullah saw: awali dengan dirimu kemudian sedekahkanlah kepada yang lain, dan Rasulullah berkata kepada Umar bersedekahlah dengan buahnya. Maka sah dan boleh sedekahnya kepada diri sendiri dan kepada orang yang di kehendaki. Asbabul wurud hadits diatas yang dikutip H. M. Suwarta Wijaya, B.A adalah Jabir telah menjelaskan, Hadits ini timbul berkenaan dengan seorang laki-laki telah memerdekakan seorang hamba setelah hamba itu meninggal. Maka datanglah Rasulullah, bertanya kepadanya: ”Apakah engkau mempunyai harta yang lain?”. Jawab orang itu ”Tidak”. Rasulullah bersabda: siapa yang mau membeli daripadaku?” Maka Na’im Al ’Udzri membelinya seharga 800 dirham kemudian Rasulullah menyerahkan uang tersebut kepada orang laki-laki tersebut seraya berkata: Mulailah dari dirimu.97
96
Ahmad Mustofa Al-Maragyi, Tafsir Al-Maragyi Juz XXII, Semarang, CV Toha Putra,
hlm. 20. 97
Suwarta Wijaya, Asbabul Wurud 1 Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits Rasul, Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hlm. 14.
46
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Isnadnya shahih, oleh sebab itu hadits tersebut termasuk hadits yang shahih. Dari keterangan hadits diatas dapat dipahami bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk dari sedekah, dan wakaf kepada diri sendiri terhitung sebagai sedekah juga. Oleh karena itu wakaf untuk diri sendiri dibolehkan, bahkan itu lebih utama daripada untuk orang lain, sesuai dengan zahir hadits. Periwayat hadits tersebut dalam bab wakaf karena sesungguhnya ulama menafsirkan “shadaqah Jariyah” itu sama dengan wakaf itu. 98 Al-dalil dalam pandangan Ibnu Hazm adalah sesuatu yang diambil secara langsung dari nash atau ijmak dan dipahami secara langsung dari segi dilalah keduanya. Istinbath Ibnu Hazm apabila dimasukkan dalam tradisi pemikiran ulama klasik masuk pada wilayah istinbath yang berkutat pada bagaimana memahami hukum berdasar pada makna sebuah nash. Pendekatan ini memfokuskan pada persoalan kebahasaan nash seperti amr-nahy. Terkait dengan kebolehan wakaf untuk diri sendiri, para ulama terbagi menjadi dua yaitu antara yang berpendapat sah dan yang berpendapat tidak sah. Penulis sepakat dengan pendapat kedua yang menilai tidak sah wakaf untuk diri sendiri karena inti dari wakaf adalah memutus kepemilikan harta pribadi untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal I: yang berisi wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan 98
As Shan’ani, Terjemahan Subulussalam, Abubakar Muhammad, Semarang, Al-ikhlas, 1995, hlm. 312.
47
atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.99 Selain itu peruntukan harta wakaf seharusnya untuk orang yang membutuhkan bukan untuk dirinya sendiri. Sebagai mana dalam Pasal 22 yang isinya yaitu: dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, bantuan bagi fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat dan untuk kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.100 Sebagai bagian dari amal jariyah yang bersifat tabarru atau tindakan sukarela
yang
tidak
mengharapkan
kontraprestasi
(imbalan),
Islam
mengajarkan agar jika tangan kanan orang yang memberikannya, maka tangan kirinya tidak mengetahuinya. Ini membawa implikasi yang kurang menguntungkan dan berkepanjangan bahwa di kemudian hari sosialisasi keharusan adanya pengganti /Akta Ikrar Wakaf (P/AIW) sebagai pendahuluan sertifikasi tanah mengalami hambatan besar. Ada kekhawatiran pada sebagian masyarakat, dengan adanya pencatatan melalui akta/pengganti ikrar wakaf, akan mengurangi nilai jariah wakaf tersebut, utamanya dalam hal keikhlasan si wakif. Tidak dibayangkan sama sekali di benak mereka, bahwa wakaf mereka akan dengan mudah disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak 99
Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Peraturan Perundangan Perwakafan, Jakarta: 2006, hlm.2. 100 Ibid, hlm. 12
48
bertanggung jawab, dialihkan untuk kepentingan pribadi. Demikian juga ketentuan teknis lainnya, nadzir, saksi dalam ikrar wakaf yang kesemuanya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan administrasi wakaf dalam masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih luas dan proporsional sejalan dengan tuntunan hukum modern, di mana bukti-bukti autentik merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari, demi pencapaian tujuan wakaf itu sendiri. 101 Istinbath hukum yang sebaiknya dilakukan adalah mengarahkan pada substansi dari maksud wakaf bukan menisbatkan pada sedekah. Pada posisi ini menurut saya tepat jika mengutamakan kemaslahatan umun, yaitu dengan mengutamakan atau menitikberatkan pada nilai-nilai kemaslahatan manusia, maksudnya disini meskipun dalam teks di bolehkannya wakaf pada diri sendiri, tetapi maksud syari’at dalam masyarakat tidak menginginkan wakaf pada diri sendiri karena tidak sesuai dengan tujuan utama wakaf.
101
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 2001, Hlm.125.
49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Ada dua kesimpulan terkait dengan kebolehan wakaf untuk diri sendiri menurut Ibnu Hazm: 1. Dalam hal wakaf kepada diri sendiri Ibnu Hazm di latarbelakangi oleh pemikirannya yang tekstualis, dan beliau tidak mau terikat dengan suatu mazhab yang menggunakan qiyas. Dari pemikirannya Ibnu Hazm itulah muncul pendapat beliau tentang wakaf kepada diri sendiri yaitu: seseorang dibolehkan untuk menahan harta wakaf kepada orang yang dicintainya atau kepada dirinya sendiri kemudian diserahkan kepada siapa pun yang dikehendakinya. Tetapi dalam masalah wakaf kepada diri sendiri belum sesuai dengan kemaslahatan. 2. Istinbath hukum Ibnu Hazm mengenai kebolehan wakaf kepada diri sendiri yaitu beliau menggunakan metode yang ke empat yaitu al-Dalil yang mana Al-dalil dalam pandangan Ibnu Hazm adalah sesuatu yang diambil secara langsung dari nash, menurut saya tepat jika mengutamakan kemaslahatan umun, yaitu dengan mengutamakan atau menitikberatkan pada nilai-nilai kemaslahatan manusia, maksudnya disini meskipun dalam teks di bolehkannya wakaf pada diri sendiri, tetapi maksud syari’at dalam masyarakat tidak menginginkan wakaf pada diri sendiri karena tidak sesuai dengan tujuan utama wakaf.
50
B. Saran-Saran Kesimpulan di atas, janganlah dijadikan pedoman final, tetapi sebagai landasan awal untuk proses pengkajian lebih lanjut, sehingga upaya pembaharuan pemahaman Islam perlu dilakukan secara terus menerus supaya lebih dinamis dan akomodatif terhadap persoalan peradaban dan realitas masyarakat.
C. Penutup Alhamdulillah, berkat petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan, meskipun dengan segala keterbatasan dan kekurangan. Namun, penulisan skripsi ini sudah dilakukan secara optimal, dan penulis yakin bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini selalu dinantikan.
51
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Gani, , Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Abdul Aziz, Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994. Abu Zahrah, Muhammad, Usul Fiqh, ( Dar al-Fikr, ttp, tt) Al-Amidi, Saifuddin Abi Hasan 'Ali bin 'Ali bin Muhammad, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut :Dar al-Fikri,147 H/1996 M), .I:139. Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, Jakarta: Dompet Dhuafa Republik dan IIman, 2004. Al-Maragyi, Ahmad Mustofa, Tafsir Al-Maragyi Juz XXII, Semarang, CV Toha Putra, 1989. Al-Munawir, Said Agil Husin, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004. Al Raysuni, Ahmad, Ijtihad Antara Teks Realita dan Kemaslahatan Sosial, Jakarta: Erlangga, 2002 Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu Juz 8, Beirut: Dar al-fikr, t.th. Anshari Abdul Ghofur, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006. As-Shidieqy, Teng ku Muhammad Hasbi, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997 As Syarbini As Syeikh Muhammad Khatib Mughni Al-Muhtaj, juz 2, hlm. 380. ___________, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
52
Daud Ali, Mohamad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI. Press, 1998. Departemen Agama, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Cet. 6, 2006. ___________, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Bunga Rampai Perwakafan, Jakarta: 2006 ___________, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: 2006. ___________, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Peraturan Perundangan Perwakafan, Jakarta: 2006. ___________, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, Ensiklopedi Islam, 1993. ___________, Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 215 ayat (1). ___________, RI, Al Qur an dan Terjemahannya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an. Halim, Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005. Hazm, Ibnu, Al-Ihkam fi al-Ushul al-Ahkam, Jilid I, Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th. ___________, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th. IAIN Syrif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Jambatan, 1992. Imam Muslim, Shohih Muslim, Juz III, Dar al-Kutub al-Ilmiah, t. th, ___________, Muslim, Shohih Muslim juz II, Beirut: Dar Al kutub Al ilmiyah, t.th. Junaidi, Achmad dan Thobieb al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Mitra Abadi Press, Cet. ke-3, 2006. Juniyanto, Analisis pendapat Ibnu Abidin Tentang Wakaf Yang Digadaikan, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Semarang: 2006.
53
Kahmad, Dadang, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000. Karsiyati, Analisis Pendapat Imam Syafi i Tentang Jual Beli Harta Wakaf, Fakultas Syari”ah IAIN Walisongo, Semarang: 2007. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Kutub, 1986. Majjah, Ibnu, Sunan Ibnu Majjah, Juz II, Dar al Fikr, t.th. Moelyono, Anton M., (et.al), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Mubarak, Dr. Jaih, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, PT. RemajaRosada Karya, 2000. As Shan’ani, Terjemahan Subulussalam, Muhammad Abubakar, Semarang, Alikhlas, 1995 Muhson,
Machmudi, http://elshohwah.tripod.com/makalah/Diskusi%201.htm, diakses tanggal 19 April 2008.
Nasution, Harun, et all., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. Pasaribu, Chairuman, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet-02, 1996. Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Alqensindo, 2007. Rifa’I, Muhammad, Ushul Fiqh, Semarang: Wicaksana, 1991. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1995. ___________, Fiqh Kontekstual: dari Normative ke Pemahaman Sosial, Semarang: Pustaka Pelajar, 2004. ___________, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 2001. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, Ciputat: Lentera Hati, 2005. Sihendi, Hendi, Fiqh Muamalah; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Souyb, Yoesoef , Pemikiran Islam Merobah Dunia, Jakarta: Maju, 1984
54
Subagyo P. Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta,1991. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000. Undang-Undang RI no 41 tahun 2004, pasal 1 ayat 1. Wadjdy, Farid dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Wijaya Suwarta, Asbabul Wurud 1 Latar Belakang Historis Timbulnya Haditshadits Rasul, Jakarta: Kalam Mulia, 2006. Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh Al-Mazhahib Al-Islamiyah, Juz I, Beirut : Dar Kutubil Ilmiyah, 1989. Zidny, Irfan, et al., Kamus Arab-Indonesia Kosa Kata Populer, Jakarta: Dian Rakyat, 1998.
55
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: SAIFUDDIN ASRO
NIM
: 2103130
Tempat, Tanggal Lahir : Jepara, 27 Desember 1984 Fakultas / Jurusan
: Syari’ah / Ahwal al-Syakhshiyah
Alamat Asal
: Jl. Raden Tubagus RT: 01 / 01 Jepara 59419 Jawa Tengah.
JENJANG PENDIDIKAN: 1. MI ’Hidayatul Mubtadi, Lulus Tahun
: 1997
2. SLTP 3 Jepara, Lulus Tahun
: 2000
3. MA Walisongo Jepara, Lulus Tahun
: 2003
4. IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal alSyakhshiyah Angkatan
: 2003
56
BIODATA
Nama
: Saifuddin Asro
Tempat, Tanggal Lahir : Jepara 27 Desember 1984 Agama
: Islam
Alamat Asal
: Jl. Raden Tubagus Rt: 01/01 Jepara 59419 Jawa Tengah
Nama Ayah
: Saiful A’zaz
Nama Ibu
: Fatwati
Alamat
: Jl. Raden Tubagus Rt: 01/01 Jepara 59419 Jawa Tengah
57
58