BAB III PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG WASIAT
A. Biogarafi Ibnu Hazm Nama lengkap Ibnu Hazm adalah Abu Muhamad Ali bin Ahmad Ibn Sa`id Ibn Hazm Ibn Ghalib Ibn Shalih Sofyan ibn Yazid.1 Ibnu Hazm dilahirkan di Andalusia (sekarang Spanyol dan Portugal) pada tahun 384 H. Ia berasal dari keluarga bangsawan Arab yang berkedudukan sebagai menteri kerajaan Arab Islam. Pada masa kelahiranya, negeri Andalus bukan lagi Andalus yang kuat dan bersatu seperti selama kurun waktu 3 abad sebelumnya.2 Sebagai seorang anak pembesar Ibnu Hazm mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya ia diasuh dan dibimbing oleh guru-guru yang mengajarkan al-Qur`an, syair dan tulisan indah Arab (khatt). Ketika meningkat dewasa ia mempelajari fiqh dan hadits dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad bin Muhammad bin Jasuri.3 Sampai ia berusia 14 tahun, ia menikmati keadaan aman tenteram dan penuh kebahagiaan. Tetapi setelah itu di Spanyol terjadi peristiwaperistiwa politik yang membuat kehidupan keluarganya berganti suasana. Menyaksikan keadaan tersebut semangatnya mendidih. Ia bertekad ingin mengubah dunianya yang sarat dengan kekacauan, kezaliman, dan 1
Depag RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: 1992 /1993, hlm. 392 H. M. H. AL-Hamid al-Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 561 3 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Lehtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1993, hlm. 148 2
33
34
kerusakan, akan tetapi untuk itu dibutuhkan ilmu pengetahuan yang memadai.4 Ia mempelajari fiqh mazhab Maliki karena kebanyakan masyarakat Andalusia dan Afrika Utara menganut mazhab ini selain itu mazhab Maliki adalah mazhab resmi yang berlaku di Andalusia. Al-Muwatta` sebagai kitab fiqh standar untuk mazhab Maliki yang dipelajari dari gurunya. selain itu ia juga mempelajari kitab ikhtilaf imam Maliki menurutnya meskipun ia menyukai mazhab Maliki akan tetapi ada yang lebih disenanginya, yaitu kebenaran. Hasil pemahaman Ibnu Hazm dari kitab lain mendorongnya untuk mendalami kitab fiqh yang dikarang oleh imam Syafi`i dan murid-muridnya. Sebenarnya ia tertarik dengan fiqh imam Syai’i, tetapi ia tidak mau terikat.
5
Dari madzab Syafi’i yang dikaguminya
ialah keteguhan mazhab itu dalam berpegang pada nash-nash al-Qur`an dan sunnah. Kemandirianya dari taqlid, penarikan kesimpulan-kesimpulan hukumnya dari nash, dan prinsip pemikiran yang memandang ilmu fiqh sebagai kandungan nash-nash itu sendiri. Prinsip Istihsan (menilai kebaikan sesuatu) tanpa dasar nash, yang ditolak oleh imam Syafi`i, oleh Ibnu Hazm dijadiakn alasan untuk menolak Qiyas. 6 Selanjutnya ia tertarik dan pindah ke mazhab Adz-Zahiri, setelah ia mempelajari kitab karangan Murzin bin Sa`id al-Bulluh seorang ulama mazhab dzahiri.
4 5 6
H. M. H. Al-Hamid al-Husaini, op. cit., hlm. 562 Ibid., hlm. 564 Ibid.
35
Menurut Ibnu Hazm menurutnya ada 3 macam hukum yang secara tegas ditetapkan oleh agama dan terdapat di dalam al-Qur`an, hadits dan ijma’ sahabat yaitu wajib, mubah dan haram. 7 Diawal kehidupan Ibnu Hazm mulai mashur dengan ilmunya bukan karena nasabnya, meskipun dia sendiri dilahirkan dari keluarga kaya yang pernah memegang jabatan sebagai menteri.8 Ia memusatkan pikirannya kepada ilmu fiqh pada tahun 408 H, walaupun tidak meninggalkan ilmunya yang lain dan akhirnya sejarah mencatatnya sebagai imam dalam fiqh, di samping itu ia juga ahli di bidang sejarah, politikus, dan penulis terkenal sebagai seorang penyair. Guru-guru beliau yang sering disebut antara lain Abdul Qasim Abdul Rahman al-Azdi (wafat tahun 410H). Dari beliau Ibnu Hazm banyak mendapatkan ilmu hadits, nahwu, dan bahasa. Pada masa kecilnya Ibnu Hazm telah mulai meriwayatkan hadits dari gurunya yang lain yaitu Ahmad bin Muhamad al-Jazur yang wafat pada tahun 401 H. Dan juga dari guru beliau al-Hamdani dan Abu Bakar, beliau mendapatkan ilmu fiqh dari gurunya yang pertama Abdullah bin Yahya bin Ahmad al-Fiqh, kemudian dari Abdullah Azid, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Fardli. Ibnu Hazm seorang ulama` yang memiliki visi keilmuan yang prospektif tidak hanya sampai disitu akan tetapi beliau melawat dari Andalusia ke Timur. Kemudian beliau mengerjakan haji dan banyak 7 8
Dewan Redaksi Ensklopedi Islam, op. cit., hlm. 143 Depag RI, op. cit., hlm. 393
36
mendapatkan ilmu-ilmu dari ulama besar Timur (Hijaz) Ibnu Hazm juga banyak memperoleh hadits dari ulama-ulama ahli hadits yang sempat beliau jumpai, baik pada masa awal pertumbuhannya ataupun setelah beliau melewati ke berbagai kota (berpindah-pindah)9 Muhammad Ibnu Zahrah melukiskan Ibnu Hazm sebagai seorang yang kuat hafalan. cerdas, tajam pikiranya, ikhlas dalam bekerja, baik budi pekertinya, pemaaf, dan penuh kasih sayang. Akan tetapi ia keras dalam mempertahankan pendapatnya ia mempunyai gaya bahasa yang trersendiri terhadap mereka yang berbeda pendapat dengannya. 10 Karya-karya Ibnu Hazm tidak dapat diketahui semuanya, sebab sebagian besar karyanya terbakar oleh penguasa dinasti Al-Mu`tadi Al-Qadli Ani Al-Qasim Muhamad Ibnu Ismail Ibnu Ibad (1068-1091 M).11 Ibnu Hazm adalah seorang pelopor madzhab Dzahiri para pengikut dan karya-karyanya adalah termasuk golongan yang tidak mendapatkan restu dikalangan pada masa itu.12 Kitab-kitab karangan Ibnu Hazm seperti yang telah dikatakan anaknya, Abu Rifa`i
Al-Fadl, berjumlah 400 buah, tetapi yang mashur
diantaranya: 1. Risalah fi fada`il Ahl al-Andalus (Risalah tentang keistimewaan orangorang Andalus)
9 10 11 12
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 149 Ibid. Depag RI, hlm. 393 Ibid., hlm. 392
37
2. Al-Fisal Ila Fahm al-Khisal al-Jami`ah li Jumal Syara’i al-Islam (Pengantar untuk memahami alternatif yang mencakup keseluruhan syari’at Islam) 3. Al-fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal (Garis pemisah antara agama, paham dan mazhab) 4. Al-ijma’ (Ijma`) 5. Maratib al-‘Ulum wa Kaifiyah Talabuna (Tingkatan-tingkatan ilmu dan cara menuntutnya) 6. Izhar Tabdit al-Yahud wa an-Nasara (Penjelasan tentang perbedaan Yahudi dan Nasrani) 7.
Al-Taqrib li Hada al-Mantiq (Ilmu logika)
8. Al-Muhalla’ (Ilmu fiqh: tiga belas jilid) 9. Al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam (Ilmu Ushul fiqh: 8 jilid) 10. Dan Tauq al-Hamamah13
B. Metode Istimbath Hukum Ibnu Hazm Ibnu Hazm sebagai ulama` yang kebetulan minhaj yang ditempuhnya sama dengan minhaj yang ditempuh oleh Daud adz-Dzahiri yang di dalam meletakan hukum banyak berbeda dengan ulama’ pada umumnya. Hal ini disebabkan karena Ibnu Hazm mempunyai metode tersendiri di dalam memahami nash al-Qur`an maupun al-Hadits, yaitu minhaj adz-Dzahiri yang jauh berbeda dengan minhaj yang ditempuh oleh kebanyakan ahli ushuliyin.
13
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 149
38
Ibnu Hazm adalah seorang tokoh fiqh yang menghidupkan fiqh dzahiri /menghidupkan ilmu al-Qur`an. Kecakapannya dapat menampung hukum dengan segala kejadiannya. Ia beralasan dengan mengungkapkan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat: 3
ﻼﻡُ ِﺩْﻳﻨًﺎ ﺿْﻴﺖُ ﹶﻟ ﹸﻜ ْﻢ ﹶﺍ ِﻹ ْﺳ ﹶ ِ ﺖ ﹶﻟ ﹸﻜ ْﻢ ِﺩْﻳﻨُﻜﹸ ْﻢ َﻭﹶﺍْﺗ َﻤ ْﻤﺖُ َﻋﹶﻠْﻴ ﹸﻜ ْﻢ ِﻧ ْﻌ َﻤِﺘ ْﻰ َﻭ َﺭ ُ ﹶﺍﹾﻟَﻴ ْﻮ َﻡ ﹶﺍ ﹾﻛ َﻤ ﹾﻠ “Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridoi Islam itu jadi agamamu”. 14 Dengan turunnya ayat ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa agama Islam telah sempurna dan sesuatu yang sempurana itu tidak ada sumbernya untuk ditambahi. Sebagaimana tersebut di atas bahwa minhaj Ibnu Hazm adalah Dzahiri hal ini bisa dilihat melalui pendapatnya tentang wasiat. Ia berpendapat bahwa wasiat itu wajib dilakukan oleh orang yang meninggal dunia dan ia meninggalkan harta yang banyak. Sedang wasiat itu diperuntukan bagi para kerabatnya yang terhalang menerima pusaka.15 Dalam hal ini Ibnu Hazm memilih mazhab Dzahiri tetapi bukanlah ia peniru Daud. Karena mushaf Daud adalah satu-satunya minhaj yang hanya mengungkapkan hukum dari al-Qur’an dan Hadits tanpa menggunakan qiyas maupun ta’wil. Ia meninggalkan segala pendapat yang selain dzahir nash,
157 416
14
Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Al Waah, 2000, hlm.
15
Ibnu Hazm, Al Muhalla IX, Mesir: Maktabah al Jumhuriyah al Arabiyah, 1970, hlm.
39
apabila al-Qur`an menetapkan hukum syara’ wajiblah dituruti hukum itu, tanpa berdaya upaya untuk mentakwilkanya. Baginya tidak ada tempat bagi ra’yu (akal) untuk terlibat secara langsung di dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu ia hanya mengakui empat macam dalil hukum, yaitu al-Qur`an, hadits, ijma` sahabat dan dzahir (nash) yang mempunyai satu arti saja.16 Bagi Ibnu Hazm segala perintah dan larangan harus didasarkan pada nash al kitab dan sunnah atau setidak-tidaknya berdasarkan asar. Penekanan pada dzahir nash, adalah sesuatu hal yang sangat menarik bagi Ibnu Hazm. Atas dasar ini Ibnu Hazm dalam istimbatnya selalu berpijak pada apa yang jelas dari nash. 17 Sedangkan pola pikir yang digunakan Ibnu Hazm dalam beristimbath adalah secara singkat dapat penulis kemukakan sebagai berikut, Ibnu Hazm menolak ijtihad bi ar-ra’yu (ijtihad berdasarkan rasio /akal), dengan demikian iapun menolak ta’lil an-nusus (memahami nash-nash berdasarkan illat) beberapa ijtihad yang dihasilkan melalui ijtihad bi ar-ra`yi seperti istihsan, al-Muslahah mursalah dan qiyas. Ibnu Hazm memajukan metode istishab untuk menyelesaikan suatu kasus yang tidak jelas hukumnya di dalam nash (al-Qur`an dan Hadits).
16 17
37
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 148 Romli SA, Muqoronah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm.
40
C. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wasiat Ibnu Hazm mengatakan bahwa wasiat itu hukumnya fardu `ain bagi setiap orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka. Beliau menganalisa firman Allah SWT:
ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻭﺻﻴﺔ ﻳﻮﺻﻰ ﻬﺑﺎ ﺍﻭﺩﻳﻦ “Setelah diambil untuk wasiat yang diwasiatkan atau sesudah dibayar hutangnya”. Jumhur fuqoha’ syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa hukum berwasiat kepada orang tua dan kerabat yang berhak mempusakai bagi orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta peninggalan adalah tidak fardhu’ ain, seperti orang tua dan kerabat yang tidak berhak mempusakai adalah tidak wajib seperti pendapat Abu Daud dan ulama-ulama salaf.18 Ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa wasiat itu tidak wajib mereka berhujjah bahwasanya hadits yang diriwayatkan oleh Yahya bin Said al Qathan dari Ubaidilah bin Umar bin Nafi dari Ibnu Umar, Nabi bersabda:
ﻟﻪ ﺷﻲﺀ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻥ ﻳﻮﺻﻰ ﻓﻴﻪ “Ada sesuatu yang hendak diwasiatkan”
18
Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al Ma’arif, 1975, hlm. 52-54
41
Sebagian lagi ulama’ berkata bahwa suatu urusan itu harus dikembalikan kepada maknanya secara proporsional, yaitu bahwasanya Rasulullah saw pun tidak melakukan wasiat. Ibnu Abas berkata bagi orang yang meninggalkan harta sebanyak 200 dirham oleh sedikit atau tidak ada wasiat dalam harta sebanyak itu juga an-Nasa’i berpendapat bahwasanya wasiat itu tidak wajib. Pendapat-pendapat ini juga dipegang oleh Abu Hanifah Malik dan as-Syafi’i.19 Berdasarkan sumber hukum wasiat sebagaimana tersebut di atas, dikalangan para ahli hukum Islam terdapat perbedaan pendapat dalam memberikan hukum terhadap wasiat. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan dalam memahami nash al-Qur`an maupun hadits. Diantara mereka yang hanya memahami secara tekstual saja tanpa memperhatikan qarinah yang menyertainya, dan ada pula yang memahaminya secara kontekstual dengan mempertimbangkan aspek illat yang menyertainya. Dengan berdasarkan pemahaman nash yang berbeda tersebut maka para ulama’ berbeda pula dalam menetapkan hukum wasiat. Ibnu Hazm berpendapat bahwa wasiat itu hukumnya adalah fardhu ’ain bagi setiap orang yang akan meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka. Oleh karenanya setiap muslim yang menghembuskan nafasnya yang terakhir dan belum berwasiat mengenai harta yang dimilikinya, maka ahli
19
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih III, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, hlm. 167
42
warisnya harus mengeluarkan shadaqah yang diambilkan dari harta si mayat sebagai ganti dari wasiat dan tidak melebihi sepertiga harta pusaka.20 Wajib wasiat menurut Ibnu Hazm berdasarkan pada tekstual alQur’an ayat 180 surat al-Baqarah dan hadits Nabi saw yang diriwayakan dari Ibn Umar oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim sebagaimana disebutkan di atas pada ayat 180 al-Baqarah kata diterjemahkan dengan arti-arti
آﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ
ﻓﺮض ﻋﻠﻴﻜﻢ
oleh Imam Nawawi yang
(difardukan atas kamu sekalian)
sedangkan dalam tafsir Ruhul Bayan kata diartikan dengan
اﻹ ﻱﺠﺎب
yakni
suatu kewajiban dilakukan ketika datangnya ajal tetapi dilakukan ketika tandatanda kematian akan datang.21 Maka tidak ada salahnya jika Ibnu Hazm memberikan hukum wajib terhadap wasiat dengan berdasarkan pada tekstual ayat. Mengingat beliau adalah termasuk salah satu dari pengikut Madzhab adz-Dzahiri. Sedang menurut Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Zaid menerangkan bahwa wasiat itu hukumnya sunnah sebagaimana cuplikan keterangan berikut:
ﺍﻻﻳﺔ ﻛﻠﻬﺎ ﻣﻨﺴﻮﺧﺔ ﻭﺑﻘﻴﺖ ﺍﻟﻮﺻﻴﺔ ﻧﺪﻳﺒﺎ “Semua ayat yang berkaitan dengan hukum wajib adalah telah dinasakh, sehingga tetaplah hukum wasiat menjadi sunnah”.
20 21
286
Ibnu Hazm, op. cit., hlm. 417 Isma’il Haqqy al Barusawi, Tafsir Ruh al Bayan, Jilid I, Beirut: Dar al Fikr, t.t., hlm.
43
Sependapat dengan Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Zaid adalah ulama jumhur yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu sunnah.22 Abu Daud dan Ulama’ salaf seperti Masruq, Thawus, Ilyas Qatadah dan Ibnu Jarir menyatakan bahwa wasiat itu hukumnya wajib diberikan
kepada kedua
orangtua dan kerabat-kerabatnya yang karena satu atau beberapa sebab tidak dapat mempusakai.23 Jika diperhatikan dengan seksama, hukum yang ditetapkan oleh para ulama terhadap wasiat sebagaimana tersebut di atas adalah semata-mata hukum asal wasiat itu sendiri. Dan apabila wasiat itu dihubungkan dengan qorinah yang menyertainya, maka hukum wasiat bagi musi adalah berbedaberbeda tergantung pada perbedaan kondisi. Sehingga hukum wasiat bisa wajib, sunnah, makruh, mubah bahkan bisa haram, sebagaimana keterangan berikut: a. Wajib Wasiat menjadi wajib hukumnya, manakala wasiat itu sebagai pemenuhan hak Allah yang dilalaikan. Seperti menunaikan zakat, membayar kafarah, fidyah dll, atau sebagai pemenuhan hak-hak sesama manusia yang tidak diketahui apabila tidak diwasiatkan seperti titipan, membayar hutang dan sejenisnya. Dalam hal tersebut apabila seseorang tidak berwasiat hingga tidak terpenuhi oleh ahli warisnya dari harta peninggalannya maka ia akan bertanggung jawab dihadapan Allah. b. Sunnah 22 23
Al Qurtubi, Tafsir al Jami’ li Ahkamil Qur’an, Juz I, Beirut: Dar al Fikr, t.t., hlm. 263 Faturrahman, op. cit., hlm. 53
44
Wasiat menjadi sunah hukumnya manakala ditujukan kepada orang yang tidak dapat menerima warisan atau untuk motif sosial dengan tujuannya, menambah amal seperti berderma kepada kerabat-kerabat yang lemah berderma untuk lembaga sosial. Menurut ulama’ Hanafiyah, wasiat dalam pemenuhan hak-hak Allah dan hak sesama manusia hukumnya sunnah dan diambilkan dari sepertiga hartannya, bila tidak memenuhi maka pemenuhan hak sesama manusia didahulukan (seperti membayar zakat dan kafaroh pembunuhan) dari pada pemenuhan hak Tuhan (seperti fidyah, puasa dan shalat) c. Makruh Wasiat menjadi makruh manakala wasiat itu ditujukan kepada orang fasiq dan orang yang ahli wasiat, yang dengan wasiat itu akan bertambah kefasikanya atau kemaksiatannya, akan tetapi bila diduga keras bahwa dengan wasiat tersebut akan menjadikannya lebih baik,
maka
hukum wasiat itu berubah menjadi sunnah. Menurut ulama’ Syafi’iyah wasiat menjadi makruh hukumnya manakala berwasiat lebih dari sepertiga harta warisan
atau berwasiat
kepada ahli waris, lain halnya dengan ulama Malikiyah yang berpendapat bahwa wasiat hukumnya makruh bilamana yang berwasiat hanya memiliki sedikit harta, sedangkan pewasiat memiliki ahli waris. d. Haram Wasiat menjadi haram hukumnya apabila ditujukan untuk kemaksiatan misalnya untuk mendirikan tempat-tempat perjudian,
45
lokalisasi pelacuran dan sebagainya. Mahzab Hambali menghukumi haram wasiat yang lebih dari sepertiga harta peninggalan. e. Mubah Wasiat menjadi mubah hukumnya manakala wasiat itu ditujukan kepada karib kerabat yang hidupnya tidak kekurangan atau orang lain yang kaya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum wasiat itu fleksibel dan kondisional sesuai dengan keadaan atau illat yang menyertainya. Atau dengan kata lain ketentuan hukum wasiat itu bersifat kontekstul dan kasuisitas sesuai dengan kaidah ushuliyyah.