STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TEHADAP TANAH WAKAF
SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Tugas dan melengkapi syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I (SI) Dalam Ilmu Al Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syari’ah
Oleh:
AHMAD SHOFWAN NIM. 032111028
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2007
NOTA PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) eksemplar Hal : Naskah skipsi A.n. Ahmad Shofwan Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamu’alaikum War. Wab. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya. Maka dengan ini saya kirimkan skripsi saudara : Nama NIM Jurusan Judul Skripsi
: Ahmad Shofwan : 032111028 / 2103028 : Al Ahwal Al Syakhshiyah : STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara dapat segera untuk munaqosyahkan. Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu’alaikum War. Wab. Semarang, 25 Juli 2007 Pembimbing I,
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 274615
BERITA ACARA MUNAQOSYAH Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada: Hari
: Senin
Tanggal
: 14 Januari 2008
Jam
: 08.00-selesai
Telah mengadakan Ujian Munaqosyah dengan judul: “STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADP TANAH WAKAF” Atas Nama
: Ahmad Shofwan
NIM.
: 032111028 / 2103028
Jurusan
: Al Ahwal Al Syakhsiyah
Keterangan
: UTAMA / ULANG dari tanggal: LULUS / TIDAK LULUS Semarang, 14 Januari 2008
Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Drs. H. Musahadi, M.Ag. NIP. 150 267 754 Penguji I,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. NIP. 150 231 628
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 274 615 Penguji II,
H. Abdul Ghofur, M.Ag. NIP. 150 279 723 Pembimbing,
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 274615
PENGESAHAN Skripsi Saudara
: Ahmad Shofwan
NIM.
: 032111028 / 2103028
Jurusan
: Al Ahwal Al Syakhshiyah
Judul Skripsi
: STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADP TANAH WAKAF”
Telah dimunaqosyah oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus dengan predikat cumluade / baik / cukup, pada tanggal 14 Januari 2007. Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Islam Strata 1 (S1) dalam ilmu Syari’ah. Semarang, 2008 Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Drs. H. Musahadi, M.Ag. NIP. 150 267 754 Penguji I,
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 274 615 Penguji II,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. NIP. 150 231 628
H. Abdul Ghofur, M.Ag. NIP. 150 279 723 Pembimbing,
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 274615
MOTTO
1
ﻓﻤﺎ راى اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎا ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪى اﷲ ﺣﺴﻦ
Artinya :”Apa yang menurut orang-orang muslim baik, maka baik juga menurut Allah.”
1
Ahmad Ibn Hanbal, al Musnad Juz I, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t. th. hal. 379
PERSEMBAHAN •
Allah SWT beserta Rasul Nya dan seluruh Ahlul Bait yang ada di dunia dan akhirat;
•
Yang terhormat Ayahanda Ahmad Husnan beserta Ibunda Mufidah yang selalu mengasihi, menyayangi mendoakan serta segalanya yang diberikan kepada ananda
•
Semua Masyayikhi dan Asatidzi al murobbi ruuhi;
•
Yang tersayang adikku satu-satunya, M. Iklil Ma’ruf yang selalu memberikan inspirasi;
•
Semua pihak yang membantu terselesaikannya skripsi ini.
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau yang diterbitkannya. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan atau dikutip secara langsung dari sumbernya.
Semarang,
25
2007 Penulis
Ahmad Shofwan NIM. 032111028
Juli
ABSTRAKSI Penulisan skripsi yang berjudul “ STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF “, ini memiliki dua tujuan yakni mengetahui metoda istinbat yang dipakai Ibnu ‘Abidin dan alasannya serta mengetahui analisisnya dari pendapat beliau tentang tukar guling terhadap tanah yang diwakafkan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dengan mengambil sumber data yang berasal dari kitab-kitab, buku-buku atau sumber lain yang berkenaan dengan pembahasan pada skripsi ini. Sedangkan dalam tehnik analisis data menggunakan metode content analysis, deskriptif analitis, dan metode ushuliyah. Dalam pandangan Ibnu ‘Abidin tukar guling terhadap tanah wakaf adalah boleh. Namun beliau mengisyaratkan bahwa hal tersebut dimungkinkan dalam tiga hal. Beliau beristinbat hukum dengan menggunakan akal pikiran (al Ra’yu) dalam memecahkan kasus-kasus yang tidak ada dalilnya, baik dari al Qur’an maupun dari al Hadits. Metode istinbat yang beliau pakai adalah membandingakan kasus yang tidak tedapat nashnya dengan kasus yang ada nashnya. Namun metode yang dipakai bukan qiyas jali melainkan qiyas khafi (istihsan). Inilah yang membedakan Ibnu ‘Abidin dengan Imam Madzhab yang lain seperti Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ibnu Hanbal. Namun ketika dipertemukan dengan Imam Madzhab yang lain yakni Imam Abu Hanifah maka motode istinbatnya sama karena Ibnu ‘Abidin merupakan salah satu penerus dari Madzhab Hanafi, jadi tidak mengherankan jika corak pemikiran keduanya hampir mirip dan bahkan sama. Dalam metode istinbat tersebut Ibnu ‘Abidin mendasarkan ada dalil yang menyebabkan dia berpaling dari qiyas menuju istihsan karena adanya maslahah. Karena jika tanah wakaf tersebut tidak ditukar guling maka akan mendatangkan mafsadah. Dari pendapat tersebut setidaknya dapat gunakan sebagai smart solution dari apa yang menjadi peraturan di negara kita melalui PP No 28 Tahun 1977 pasal 11 jo. pasal 218 dan 225 KHI jo. UU No. 40 Tahun 2004 pasal 41 ayat 1-4 yang menjelaskan tentang adanya kemungkinan diperbolehkannya ada tukar guling terhadap tanah wakaf namun dengan prosedur yang berbelit-belit dan melelahkan. Oleh karenanya skripsi ini hadir sebagai solusi alternatif dari apa yang ditawarkan pemerintah kita yang penulis anggap terlalu prosedural. Dalam skripsi ini menawarkan bagaimana proses menukar guling tanah dengan baik dan cepat. Dengan begitu tanah wakaf bisa dengan cepat dapat dimanfaatkan kembali. Sehingga tujuan dari wakaf dapat terealisasikan dan terjaga, yang pada akhirnya tanah wakaf dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehinggga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “STUDI ANALISIS PENDAPAT
IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF“ yang merupakan tugas dan syarat yang wajib dipenuhi guna memperoleh gelar kesarjanaan dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Tidak lupa, penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. beserta Ahli al Bait di serluruh dunia dan akhirat. Semoga kita semua mendapat syafaat dari Beliau. Amin. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis telah berusaha dengan segala daya dan upaya guna menyelesaikan skripsi ini. Namun tanpa bantuan dari berbagai pihak, penyusunan ini tidak akan mungkin terwujud serta terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah banyak memberikan segalanya kepada penulis baik bimbingan, saran dan arahan dalam rangka penyusunan skripsi ini, mereka adalah: 1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang beserta para Pembantu Dekan; 2. Bapak Achmad Arief Budiman, M. Ag., selaku pembimbing yang telah dengan sabar dan tulus bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini; 3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang tidak mengenal lelah dalam membimbing jiwa dan raga penulis, semoga menjadi amal yang bermanfaat di dunia dan akhirat; 4. Segenap karyawan dan staf di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan terhadap mahasiswa dengan baik;
5. Mubibbi yang selalu ada di hati, terima kasih atas spirit, inspirasi dan segalanya yang telah tercurahkan sehingga penulis mengerti apa arti hidup ini; 6. Keluarga Besar Mbah Moh. Zuhdi Bahri Alm. dan Mbah Hanan Alm. Pak Dhe Zahwan, Pak Dhe Azhar dan Pak Lik Parno, Pak Lik Slamet serta Bu Lik Kun serta si kecil Difa (Adina Fathi al Ahyath) dan Ilham yang lagi luculucunya; 7. Komunitas Adem-ayem el Khos, Anas, Kecip, Ridho, Burhan, Om Kikin, Babe, Chessyie beserta Bapak Joxer Notonegoro, Djenggot, Cepot, Fatih serta Boss Mu, canda-tawa kalian selalu terngiang, buatlah alam selalu tersenyum; 8. Kawan-kawan yang sedang berproses di Badan Eksekutif Mahasiswa Institut (BEM I), Pak Pres. Ali, Dullah, Asyhar, Topiq, Zamroni, Nur Hadi MD. Maghfuron, Ismail, Boss Nia, Unatin, Elly, Lina, dkk. Jangan pernah lelah membawa amanat mahasiswa; 9. Kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEM J) al Ahwal al Syakhshiyah 2005-2006, Ning Rida, Ko2k, Amin Fauzi, Anam, Jaza’, Irdie, Ninik, Syafiq dkk. Terima kasih telah menemani penulis menjalani proses yang tak pernah terlupakan; 10. Kawan-kawan Aliansi BEM Kota Semarang Peduli Rakyat (SIBESPERA), teruslah
kalian
beraksi,
jangan
pernah
surut
dan
pantang
menyerah,”Mahasiswa bersatu tak dapat dikalahkan”; 11. Keluarga Mahasiswa dan Pelajar Pati (KMPP), Bang Nadzir, Bang Shoib, Ali Masthuri, Sunardi, Call Is, Marqoni, Akrom W., M. Na’im, Nana Istafa dkk. rekatkan tali silaturrahim jangan pernah putus; 12. Mbah Rono wa ahli baitihi, Mbak Asih, Mas As’ad serta Misbah,thanx for all 13. Alumni PP. Al Anwar, Me2k, Salempong, Darmen Fakhroni, Pak Dhe dan seluruh penghuni Dar As Salam 05, tataplah masa depan dengan penuh harapan; 14. Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Attan, Sutono, Suji’, Ghozalie, Arif M. Najib al Rahman, Ikrom, Ing Q, Tiwik, Sofi, Etik Bita, Ika, Impong dan
Sahabat-Sahabati yang ada di YPMI, tetaplah mengepalkan tangan dan maju ke muka; 15. Teman-teman cangkruk, Mbhendhol, Gandhoz, Nghanyong
dan Syakik,
jangan pernah lewatkan malam tanpa arti; 16. Temen-temen main Lilik, Luluk, Ella dan Hilya, waktu yang telah terlewati takkan kembali jadi pergunakanlah waktu yang ada sebaik-baiknya; 17. Para Asatidz dan Asatidzah TPQ al Iman Kembangarum Semarang Barat, Husain, Ikka dan Pak Yanto beserta talamidzihim, jangan pernah lelah untuk mengamalkan ilmu; 18. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis dalam wujud apapun demi kelancaran sehingga terwujudnya skripsi ini semoga menjadi amal baik di dunia dan akhirat, jazakumullah ahsanal jaza’. Pada akhirnya penulis menyadari “ Tak ada gading yang tak retak” begitu pula dalam penulisan skripsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, karenanya saran dan kritik yang konstruktif dengan senang hati penulis harapkan dan terima dengan baik, demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Semarang,
25
2007 Penulis,
Ahmad Shofwan NIM. 032111028
Juli
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam adalah agama yang tidak hanya mengajarkan ibadah yang sifatnya hanya mengandung unsur ritual saja, tetapi juga mengajarkan ibadah yang memiliki nilai kepedulian sosial yang luar biasa, sebagai buktinya adalah ibadah puasa dan zakat serta ibadah lain yang berfungsi sosial. Hal tersebut sebagai pengejawantahan tujuan islam diturunkan ke dunia ini adalah menjadi Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi seluruh umat manusia). Dalam Islam terdapat juga ajaran yang menganjurkan kepada umatnya untuk meraih kehidupan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia dituntut untuk mematuhi segala aturan yang telah ditentukan oleh Allah baik yang berbentuk perintah maupun larangan. Kehidupan manusia di alam dunia yang fana (sementara) ini, pada hakekatnya merupakan jembatan untuk menuju ke alam akhirat yang kekal. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surat al Qashash ayat 77:
ﻦ ْﺴ ِﺣ ْ ﻦ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َوَا َ ﻚ ِﻣ َ ﺼ ْﻴ َﺒ ِ ﺲ َﻧ َ ﺧ َﺮ َة َوﻟَﺎ َﺗ ْﻨ ِ ﻚ اﷲ ُاﻟﺪﱠارَا ْﻟَﺎ َ وَا ْﺑ َﺘ ِﻎ ِﻓ ْﻴﻤَﺎ اﺗ ﺤﺐﱡ ُِّ ن اﷲ َﻟَﺎﻳ ِا ﱠ. ض ِ ﻚ َوﻟَﺎ َﺗ ْﺒ ِﻎ ا ْﻟ َﻔﺴَﺎ َدﻓِﻰ ا ْﻟَﺎ ْر َ ﻦ اﷲ ُِاَﻟ ْﻴ َﺴ َﺣ ْ َآﻤَﺎَا (77:ﻦ)اﻟﻘﺼﺺ َ ﺴ ِﺪ ْﻳ ِ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔ Artinya: ”Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
1
2 Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.1 Di antara ibadah yang tidak hanya berfungsi sebagai ibadah saja adalah wakaf. Kendatipun di dalam Al-Qur’an tidak jelas dan tegas menyebut wakaf, namun oleh para ahli terdapat beberapa ayat yang dijadikan sebagai landasan praktek perwakafan.2 Di antaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 92:
ﷲ ِﺑ ِﻪ َ نا ﻲ ٍء َﻓِﺈ ﱠ ْ ﺷ َ ﻦ ْ ن َوﻣَﺎ ُﺗ ْﻨ ِﻔﻘُﻮا ِﻣ َ ﺤﺒﱡﻮ ِ ﺣﺘﱠﻰ ُﺗ ْﻨ ِﻔﻘُﻮا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ َ ﻦ َﺗﻨَﺎﻟُﻮا ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ ْ َﻟ (92:ﻢ )ال ﻋﻤﺮان ٌ ﻋﻠِﻴ َ Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.3 Salah satu cara membelanjakan benda yang disenangi untuk kebaikan adalah dengan cara berwakaf. Karena pahala wakaf akan terus mengalir selama barang yang diwakafkan itu masih dimanfaatkan oleh manusia yang masih hidup. Hal tersebut telah diterangkan oleh Nabi Muhammad bahwa shodaqoh yang berkesinambungan (tidak habis dengan sekali pakai), maka pahalanya akan berlanjut terus menerus meskipun shadiqnya (orang yang bershadaqah) telah meninggal dunia. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad saw:
اذا ﻣﺎت:ﻋﻦ اﺑﻲ هﺮﻳﺮة ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل او ﻋﻠﻢ ﻳﻨﺘﻔﻊ, ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎرﻳﺔ:اﻻﻧﺴﺎن اﻧﻘﻄﻊ ﻋﻨﻪ ﻋﻤﻠﻪ اﻻ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﺔ 4 .( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ. او وﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪﻋﻮﻟﻪ,ﺑﻪ 1
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha Putra, Semarang, 1989, hal. 623.
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, UI-Press, Jakarta, 1988, hal. 80. 3 4
Departemen Agama RI, op. cit., hal. 91. Imam Muslim, Shahih Muslim jilid II, Dar al-Fikr, Beirut Libanon, 1993, hal. 70.
3 Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. Katanya, Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga (perkara): Shadaqah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang berdoa untuk orang tuanya. (HR. Muslim). Istilah shadaqah jariyah dapat diartikan sebagai wakaf, ketika mauquf (barang wakaf) masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan, maka selama itu pula waqif mendapat pahala secara terus-menerus, meskipun telah meninggal dunia. Menurut riwayat, wakaf pertama kali dilakukan oleh Umar bin Khattab r.a., sebagaimana yang diterangkan dalam Hadits Rasulullah saw.:
.م. ﻓﺎﺗىﺎﻟﻨﺒﻲ ص, اﺻﺎب ﻋﻤﺮ ارﺿﺎ ﺑﺨﻴﺒﺮ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎل اﻧﻲ اﺻﺒﺖ ارﺿﺎ ﺑﺨﻴﺒﺮ ﻟﻢ اﺻﺐ. ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ: ﻓﻘﺎل,ﻳﺴﺘﺎﻣﺮﻩ ﻓﻴﻬﺎ ) ان ﺷﺌﺖ ﺣﺒﺴﺖ اﺻﻠﻬﺎ: ﻗﺎل.ﻣﺎﻻ ﻗﻂ هﻮ اﻧﻔﺲ ﻋﻨﺪي ﻣﻨﻪ , وﻻ ﻳﻮرث, اﻧﻪ ﻻﻳﺒﺎع اﺻﻠﻬﺎ: ﻓﺘﺼﺪق ﺑﻬﺎ ﻋﻤﺮ:وﺗﺼﺪﻗﺖ ﺑﻬﺎ( ﻗﺎل وﻓﻰ, وﻓﻰ اﻟﺮﻗﺎب, وﻓﻰ اﻟﻘﺮب, ﻓﺘﺼﺪق ﺑﻬﺎ ﻓﻲ اﻟﻔﻘﺮاء,وﻻ ﻳﻮهﺐ ﻻ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﻰ ﻣﻦ وﻟﻴﻬﺎ ان ﻳﺎآﻞ. واﻟﻀﻴﻒ, واﺑﻦ ﺳﺒﻴﻞ,ﺳﺒﻴﻞ اﷲ وﻟﻠﻔﻆ. ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ. وﻳﻄﻌﻢ ﺻﺪﻳﻘﺎ ﻏﻴﺮ ﻣﺘﻤﻮل ﻣﺎﻻ,ﻣﻨﻬﺎ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف 5.ﻟﻤﺴﻠﻢ Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Umar dapat satu tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi saw. guna meminta instruksi sehubungan dengan tanah tersebut, Ia berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya aku telah memperoleh tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?. Beliau bersabda: “jika kamu menginginkan tahanlah aslinya dan shadaqahkan hasilnya. Maka bersadaqahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada fakir, budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan hasil dari tanah tersebut dengan cara ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri”. (Muttafaq ‘alaihi, tetapi lafal itu bagi Muslim)
5
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3, Dar Fikr, Libanon, Beirut. t.th., hal. 196.
4 Di Indonesia, persoalan perwakafan tanah diberi perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang pokok peraturan Agraria, Bab II, bagian XI, Pasal 49. Dalam pasal itu disebutkan bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia, pemerintah memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP tersebut baru dikeluarkan setelah 17 Tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu, yakni PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Permasalahan wakaf Juga dijelaskan dalam KHI pada buku III, serta UU wakaf yang terbaru adalah UU No 41 Tahun 2004, yang kesemuanya itu mengatur tatacara perwakafan dari awal hingga akhir, mulai permohonan, pendaftaran, ikrar wakaf, perubahan status wakaf, penyelesaian sengketa dan pengawasan wakaf. Wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 215 jo. Pasal 1 (1) PP. No. 28/1977: Wakaf adalah perbuatan Hukum seseorang atau kelompok orang atau badan Hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.6 Harta wakaf adalah amanah Allah, yang kebaikannya terletak di tangan nadzir, oleh sebab itu nadzir adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap harta wakaf yang dipegangnya karena harta wakaf bukanlah milik si nadzir. Nadzir hanya berhak sekedar jerih payahnya dalam mengurus harta wakaf, penyimpangan dari itu berarti sudah mengkhianati amanah dari 6
Departemen Agama RI, Tanya Jawab Komplikasi Hukum Islam, Depag, Jakarta, 1997/1998, hal. 145.
5 Allah, oleh karena itu begitu pentingnya kedudukan nadzir dalam perwakafan maka pada diri nadzir perlu terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam perkembangannya ditemukan barang wakaf yang pada awalnya berfungsi maksimal tetapi lambat laun karena berbagai faktor akan berkurang manfaatnya bahkan tidak ada manfaatnya lagi. Seperti halnya tanah wakaf yang dijadikan masjid, yang semula dapat dimanfaatkan dengan maksimal namun kemudian menjadi tidak bermanfaat karena letaknya tidak strategis disebabkan terkena proyek tata kota ataupun karena tanah wakaf yang dijadikan masjid tadi menjadi labil sehingga dimungkinkan rawan terjadi longsor. Dari fenomena di atas diperlukan adanya pemindahan ataupun penukaran (ruilslag) tanah wakaf yang sudah tidak bisa berfungsi maksimal lagi guna memaksimalkan manfaat tanah wakaf sehingga esensi wakaf dapat tercapai. Dalam hal ini para Ulama’ Madzhab mempunyai pandangan sebagaimana berikut: Menurut Ibnu ‘Abidin sebagai salah satu penerus madzhab Hanafi memperbolehkan
adanya
tukar
guling
terhadap
tanah
wakaf
serta
memberikan banyak kelonggaran. Namun tukar guling juga harus memenuhi beberapa syarat diantaranya: harus ada tanah pengganti yang baru atau tanah yang lama dijual kemudian diganti dengan yang lain. Menurut Ibnu ‘Abidin pergantian benda wakaf dimungkinkan terjadi dalam tiga hal, yakni: 1)
6 Karena waqif mensyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau orang lain untuk menukar benda wakaf tersebut. 2) Karena waqif tidak menyatakan hak untuk menjual dan mengganti benda wakaf, namun dikemudian hari ternyata benda wakaf itu tidak bermanfaat lagi. Maka dalam hal ini benda wakaf boleh dijual atau diganti dengan benda lain yang sama. 3) Karena waqif juga tidak menyatakan dan benda wakaf masih berfungsi dengan maksimal. Namun ada benda lain yang mendatangkan manfaat lebih baik dan lebih banyak dari benda wakaf awal.7 Kemudian Imam Malik memperbolehkan adanya tukar guling dalam keadaan darurat, namun juga didasarkan atas asas dari benda wakaf baik bergerak ataupun tidak, yakni adanya manfaat pada masa yang akan datang. Seperti halnya masjid yang telah rusak dan roboh sehingga sukar memakmurkannya boleh dijual dan dibelikan perkara baru yang sama.8 Maka demi keberlangsungannya dari manfaat benda wakaf, maka benda wakaf harus dijual dan digantikan dengan barang yang baru, sehingga manfaat dari benda wakaf masih bisa dirasakan di masa mendatang. Iman Syafi’i pada dasarnya hampir sama dengan Imam Malik yakni melarang adanya tukar guling tanah wakaf kecuali dalam keadaan darurat, seperti telah rusaknya sebuah masjid dan diperlukan adanya pergantian seperti juga adanya kepentingan umum yang menyebabkan tanah wakaf harus diganti di tempat yang lain.9
7
Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar, Juz 6, Dar al Kutub al ‘Amaliyah, Beirut Lebanon, t.th., hal. 583-584. 8 Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971, hal. 161. 9 Imam Syafi’i, al ‘Umm, Juz 5, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t.th., hal. 65.
7 Kemudian Imam Hambali memberikan sedikit kelonggaran tentang diperbolehkannya menjual benda wakaf dan menggantinya dengan benda baru yang sama karena benda wakaf tersebut tidak bisa berfungsi dengan maksimal. Dicontohkan seperti terlalu kecilnya sebuah masjid dibanding dengan jamaah yang ada. Karena itu perlu dicarikan tanah yang luas sehingga seluruh jamaah dapat tertampung.10 Dari pendapat para Imam Madzhab mengenai tukar guling terhadap tanah wakaf jelas membolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf meskipun dengan berbagai persyaratan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi karena tidak adanya dalil yang sharih (jelas) baik dari al-Hadits maupun dari al-Qur’an tentang pelarangan serta diperbolehkannya tukar guling terhadap tanah wakaf. Perbedaan dalam islam memang menjadi sebuah keniscayaan, itu disebabkan karena dalil-dalil syari’at menurut dalalahnya (penunjukannya) pada dasarnya terbagi dua, yakni qath’iyyah dan dhanniyyah. Qath’iyyah adalah hukum-hukum yang sudah pasti, tegas dan jelas dan tidak membuka kemungkinan bagi umat Islam untuk berbeda pendapat di dalamnya. Sedangkan dhanniyyah adalah hukum-hukum yang belum pasti, belum tegas dan masih mengandung kesamaran, sehingga membuka kemungkinan untuk berbeda pendapat.11 Berdasarkan pendapat Ibnu ‘Abidin yang membolehkan adanya tukar guling (ruilslag) tanah wakaf yang memberikan persyaratan paling longgar, 10 11
Imam Hambali, al Muqna’, Dar al Kutub al ‘Alamiyah, Beirut Lebanon, t.th., hal. 164. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Dar al-Fikr, Beirut Libanon, t.th., hal. 43-46.
8 maka penulis bermaksud mengangkat dan membahas pendapat Imam Abu Hanifah tentang diperbolehkannya menukar-guling tanah yang sudah diwakafkan dalam skripsi yang berjudul “STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TANAH WAKAF”. Dengan skripsi ini penulis berharap akan memperoleh informasi hukum Islam yang sesuai untuk dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam melaksanakan wakaf, khususnya menukar-guling tanah wakaf mengingat seringnya terjadi konflik dan polemik ketika tukar guling tanah wakaf dilaksanakan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, setidaknya ada dua pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana pendapat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling (ruilslag) tanah wakaf ? 2. Bagaimana metode istinbat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling (ruilslag) tanah wakaf ? C. Tujuan Penulisan Skripsi Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah: 1. Tujuan Fungsional : a. Untuk mengetahui pendapat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling (ruilslag) tanah wakaf;
9 b. Untuk mengetahui metode istinbat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling (ruilslag) tanah wakaf 2. Tujuan Formal Untuk memenuhi syarat guna meraih gelar sarjana pada jenjang strata satu (S1) di Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang.
D. Telaah Pustaka Kajian dan penelitian tentang tanah wakaf pada dasarnya telah banyak dilakukan, namun demikian kajian dan penelitian sebelumnya lebih umum dan berbeda dengan penelitian ini. Oleh karena itu, agar tidak terjadi pengulangan penelitian dan duplikasi penelitian, maka penulis memfokuskan penelitian ini tentang pemikiran Ibnu ‘Abidin tentang tanah wakaf tukar guling (ruilslag). Namun demikian kajian dan penelitian sebelumnya masih penulis gunakan sebagai bahan acuan dan pembanding dalam penelitian yang penulis lakukan. Penelitian atau pembahasan yang memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah: Pertama, Penelitian Noer Chasanah dengan judul Studi Analisis terhadap Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf. Hasil penelitian Chasanah menunjukkan bahwa wakaf adalah menahan benda sebagai milik wakaf dan ditasharrufkan manfaatnya dan kedudukan benda tersebut tidak lepas dari waqif. Waqif berhak untuk menariknya kembali dan boleh menjualnya, karena menurut Imam Abu Hanifah tidak ada wakaf yang bersifat abadi dan milk al-ain dari benda yang diwakafkan tetap berada
10 pada milik waqif. Kecuali wakaf yang diperuntukkan bagi masjid, wakaf yang telah diputuskan oleh hakim, wakaf yang dihubungkan dengan kematian waqif dan wakaf yang telah dinyatakan oleh waqif untuk selama-lamanya. Dengan berdasar istihsan penarikan kembali itu dapat dilakukan karena tujuan wakaf adalah untuk memberikan manfaat kepada orang lain sedang milik tetap ada pada waqif seperti halnya yang terjadi pada al ‘ariyah atau pinjaman. Kedua, penelitian Juniyanto yang berjudul Studi Analisis Pendapat Ibnu Abiding tentang Wakaf Barang yang digadaikan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendapat Ibnu Abidin tentang wakaf barang yang digadaikan masih relefan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini. Dimana banyak sekali barang yang digadaikan dibiarkan tidak bermanfaat dan bahkan menjadi beban tanggungan penggadai karena berkurangnya nilai suatu barang atau sebab rusaknya barang itu sendiri. Begitu juga dalam hak pemanfaatan barang yang digadaikan maka yang lebih berhak adalah penggadai yang dalam hal ini barang gadaian dimanfaatkan oleh masyarakat umum sehingga penggadai dan pemegang barang gadai samasama mendapatkan kebaikan. Kebaikan penggadai karena telah mewakafkan barang miliknya dan kebaikan pemegang gadai adalah membantu penggadai untuk melakukan kebaikan karena pada dasarnya orang yang membantu orang lain dalam berbuat kebaikan juga mendapatkan pahala kebaikan. Ketiga, Penelitian yang dilakukan oleh Saeful ‘Ulum dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Pemerintah Kota Semarang No 90/2946 Tentang Tukar guling Tanah Wakaf Mushalla al-Makmur Kelurahan
11 Tugurejo Kecamatan Tugu Semarang Kota. Hasil penelitian itu berisi permohonan tukar guling tanah wakaf Mushalla Al-Makmur Tugurejo Tugu yang ditolak oleh Depag. Kota Semarang dengan pertimbangan nilai jual tanah penggantinya lebih rendah namun Pemkot. Semarang menyetujui permohonan tersebut dengan pertimbangan nilai tanah penggantinya lebih produktif sehingga tidak perlu berlarut-larut, karena alasan yang mendasari keduanya sudah sesuai dengan ketentuan PMA No 1 Tahun 1978 pasal 18 ayat (3) jo. UU No 41 Tahun 2004 pasal 41 ayat (3) yaitu Tanah atau benda wakaf penggantinya mempunyai nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Di dalam penelitian ini juga memasukkan pendapat para Fuqaha’ termasuk Imam Abu Hanifah, tentang tukar guling tanah wakaf namun lebih spesifik pada hukum tanah yang dijadikan masjid kemudian ditukar guling. Dari penelitian-penelitian tersebut jelas, bahwa penelitian Chasanah lebih memfokuskan penarikan kembali harta yang sudah diwakafkan, sedangkan penelitian Juniyanto lebih memfokuskan penggadaian barang yang diwakafkan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Saiful ‘Ulum lebih terfokus pada dikabulkannya permohonan tukar guling tanah wakaf Mushalla al-Makmur Tugurejo Tugu oleh Pemkot. Semarang meskipun Depag. Kota Semarang menolaknya serta membahas secara spesifik hokum tanah yang dijadikan masjid kemudian ditukar guling. Dengan demikian, ada perbedaan dengan penelitian ini yang lebih memfokuskan tentang tukar guling (ruilslag) tanah wakaf secara umum dalam perspektif Ibnu ‘Abidin baik yang dijadikan
12 masjid ataupun yang lain karena akan menimbulkan implikasi hukum yang berbeda. Yang bertujuan mengkaji pengertian tukar guling (ruilslag) serta implikasi dan manfaat yang ditimbulkan dari adanya tukar guling (ruilslag) tanah wakaf, melalui pemikiran Ibnu ‘Abidin dengan merujuk kitab-kitab yang secara langsung membahas pemikiran Ibnu ‘Abidin yakni Radd al Muhtar yang merupakan karya Ibnu ‘Abidin sendiri. E. Metode Penelitian Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: Dalam
menganalisa
data-data
dalam
skripsi
ini,
penulis
menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu menjelaskan secara cermat dan tepat terhadap kajian tersebut. Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah dalil dan istinbat yang digunakan oleh Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling terhadap tanah wakaf.
1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis akan menitik-beratkan pada penelitian kepustakaan (library research), maka penulis mengambil sumber data berasal dari kitab-kitab, buku-buku, atau sumber bacaan lain yang berkenaan dengan skripsi ini. Dalam menganalisa data-data dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu
13 menjelaskan secara cermat dan tepat terhadap kajian tersebut. Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah dalil dan istinbat yang digunakan oleh Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling terhadap tanah wakaf. 2. Sumber Data Adapun datanya adalah sebagai berikut: a. Data primer yang diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang berupa Kitab Radd al Muhtar juz 6, karya Ibnu ‘Abidin tentang wakaf b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli yang memuat data tersebut yang terdiri dari kitab: 1) Al Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu juz 8 bab wakaf karya Wahbah al Zuhaili. 2) Al Waqfu karya Muhammad Abu Zahrah 3) Al Muqna’ karya Imam Hambali 4) Al Umm juz 5 karangan Imam Syafi’I tentang wakaf. 5) Raudhah al Thalibin jilid 4 tentang wakaf karya Abi Zakaria Yahya bin Shirafi al Nawawi al Dimashaqi. 6) Hasyiyah al Syarqawi, Juz 2 karya Imam Syarqawi. 7) Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Dan kitab atau buku atau karya-karya yang lainnya, yang masih berkenaan dengan judul skripsi penulis.
14 3. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data, melalui metode-metode sebagai berikut: a. Metode Deskriptif Analitis Metode deskriptrif ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penulisan dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.12
Untuk
selanjutnya
secara
dianalisis
dengan
melakukan
pemeriksaan
konseptional atas suatu pernyataan, sehingga dapat diperoleh kejelasan arti yang terkandung dalam pernyataan tersebut.13 Metode ini digunakan untuk mendiskripsikan pemikiran Ibnu Abidin, kemudian dianalisis serta relevansi pemikirannya dengan konteks sekarang.
b. Metode Ushuliyah Metode ushuliyah yang dimaksudkan di sini adalah ushul fiqh, yaitu pengetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara' mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.14 Dengan kata lain, himpunan
12
Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, UI Press, Jakarta: 1993, hlm.
71
13
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1997, hlm. 60 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh , Alih Bahasa Oleh M. Zuhri dan Ahmad Qorib, Dina Utama, Semarang: 1994, hlm. 2 14
15 kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil dalil hukum-hukum syara' mengenai perbuatan Metode ini digunakan untuk menganalisa dasar Istinbat yang digunakan oleh Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling (ruilslag) terhadap tanah wakaf. F. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis akan membagi ke dalam lima bab yaitu: BAB I
:
PENDAHULUAN
Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, Sistematika Penulisan Skripsi BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF DAN TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF Pada bab ini dibagi menjadi dua sub bab. Sub bab pertama menjelaskan tentang Wakaf, meliputi: Pengertian Wakaf, Syaratsyarat Wakaf. Sub bab kedua menjelaskan tentang Ruilslag Terhadap Tanah Wakaf dengan memfokuskan pembahasannya tentang Pengertian Ruilslag, Dasar Hukum Ruilslag dan Pandangan Ulama’ tentang Ruilslag Terhadap Tanah Wakaf.
BAB III :
PEMIKIRAN IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
16 Sub bab tiga dibagi menjadi tiga sub bahasan. Sub bab pertama menjelaskan tentang Biografi Ibnu ‘Abidin dengan memfokuskan pembahasannya tentang Latar Belakang Ibnu ‘Abidin, Setting Sosial Kehidupan Ibnu ‘Abidin dan Karya-karya Ibnu ‘Abidin. Sub bab kedua menjelaskan tentang Pendapat Ibnu ‘Abidin tentang Ruilslag Terhadap Tanah Wakaf. Sub bab ketiga menjelaskan tentang Dasar Hukum Ibnu ‘Abidin tentang Ruilslag Terhadap Tanah Wakaf.
BAB IV :
ANALISIS PEMIKIRAN IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
Pada
Bab
keempat
ini
merupakan
bab
analisis
dengan
memfokuskan pembahasannya pada Analisis Pemikiran Ibnu ‘Abidin Tentang Ruilslag Terhadap Tanah Wakaf, Analisis Dasar Istinbat Hukum Ibnu ‘Abidin Tentang Ruilslag Tanah Wakaf dan Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu ‘Abidin Tentang Ruilslag Tanah Wakaf ke-Indonesian BAB V :
PENUTUP Bab lima merupakan bagian akhir dari rangkaian penelitian. Bab ini meliputi: Kesimpulan, Saran-saran dan Penutup.
17
BAB II TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
Sebelum berbicara tentang tukar guling terhadap tanah wakaf terlebih dahulu penulis akan menjabarkan tentang apa yang disebut dengan wakaf serta segala sesuatu akan yang berhubungan dengan wakaf meliputi pengertian dan macam-macamnya serta rukun dan syarat wakaf yang memasukkan wakif (orang yang wakaf), mauquf (benda wakaf), mauquf ‘alaih (tujuan wakaf) dan nadzir (orang yang menerima wakaf) berikut persyaratannya serta pencatatan wakaf, baik dalam perspektif fiqh maupun dalam Undang-Undang Wakaf serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta. Penulis menganggap bahwa segala sesuatu di atas termasuk hal-hal yang berhubungan dengan wakaf jadi perlu adanya penjabaran lebih lanjut dimaksudkan agar penelitian ini lebih mendetail. A. Tinjauan tentang Wakaf 1. Pengertian Wakaf Secara etimologis, kata wakaf berasal dari bahasa Arab, al Waqfu bentuk mashdar dari susunan fi’il (kata kerja) وﻗﻔﺎ- وﻗﻒ – ﻳﻘﻒkata al Waqfu semakna dengan kata al Habs yang berasal dari bentuk mashdar dari susunan fi’il ﺣﺒﺴﺎ- ﻳﺤﺒﺲ- ﺣﺒﺲyang keduanya mempunyai arti yang sama yakni menahan.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wakaf
1
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Al-‘Ishri, Multi Karya Grafika Yogyakarta, 2000, hal. 2034 dan 733.
18
19 diartikan “sesuatu yang diperuntukkan bagi kepentingan umum sebagai derma atau untuk kepentingan umum yang berhubungan dengan agama”.2 Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, wakaf didefinisikan: “Perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola baik perorangan, keluarga maupun lembaga untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah”.3 Secara
terminologi,
banyak
ahli
atau
pakar
fiqh
yang
mendefinisikan wakaf sebagai berikut: a. Sayyid Sabiq
ﺣﺒﺲ اﻻﺻﻞ وﺗﺴﺒﻴﻞ اﻟﺜﻤﺮة اى ﺣﺒﺲ اﻟﻤﺎل وﺻﺮف ﻣﻨﺎﻓﻌﻪ ﻓﻰ 4
.ﺑﺴﻴﻞ اﷲ
Artinya: “Wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya dijalan Allah” b. Imam Taqiyuddin Abi Bakr
ﻳﻤﻜﻦ اﻻﻧﺘﻔﺎع ﺑﻪ ﻣﻊ ﺑﻘﺎء ﻋﻴﻨﻪ ﻣﻤﻨﻮع ﻣﻦ اﻟﺘﺼﺮف ﻓﻰ ﻋﻴﻨﻪ 5 ﺣﺒﺲ ﻣﺎل ﺗﺼﺮف ﻣﻨﺎﻓﻌﻪ ﻓﻰ اﻟﺒﺮ ﺗﻘﺮﺑﺎ اﻟﻲ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ Artinya: “Dengan wakaf dimungkinkan adanya pengambilan manfaat beserta menahan dan menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah”. c. Ibnu ‘Abidin 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 1006. 3 Dewan Redaksi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta و1989, hal 168. 4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 3, Maktabah Dar al Turas, Kairo, t.th., hal. 378. 5 Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al Akhyar, Juz I Mesir: Dar al-Kitab al-Araby, t.th., hal. 319.
20 Menahan benda atas hukum kepemilikan dari orang yang mewakafkan (wakif) dengan menshadaqahkan manfaatnya.6 Sedangkan pengertian wakaf dalam Undang-Undang sebagai berikut: a. Kompilasi Hukum Islam pasal 215 jo. Pasal 1 (1) pp. No. 28/1977 Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.7 b. UU wakaf yang terbaru yaitu UU No. 41 Tahun 2004 Disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.8 Dari beberapa pengertian wakaf di atas, kiranya dapat ditarik cakupan bahwa wakaf meliputi: a. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang b. Harta benda tersebut bersifat kekal dzatnya atau tidak habis apabila dipakai c. Harta tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh pemiliknya, kemudian harta
tersebut
tidak
bisa
dihibahkan,
diwariskan,
ataupun
diperjualbelikan.
6
Ibnu ‘Abidin, Rad al-Muhtar, Juz 6, Dar al-Fikr Beirut, Lebanon, t. th., hal. 519. KHI pasal 215, jo Pasal 1 (1) pp. No. 28/1977. 8 UU No. 41 Tahun 2004. 7
21 d. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.9 2. Dasar Hukum Wakaf Wakaf yang dimaksud dalam kajian ini, tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an namun demikian ditemukan petunjuk umum tentang wakaf walaupun secara implisit. Misalnya firman Allah: a. QS. al- Baqarah ayat 267
ﻦ َ ﺟﻨَﺎ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْ ﺧ َﺮ ْ ﺴ ْﺒ ُﺘ ْﻢ َو ِﻣﻤﱠﺎ َأ َ ت ﻣَﺎ َآ ِ ﻃ ﱢﻴﺒَﺎ َ ﻦ ْ ﻦ أ َﻣﻨُﻮا َأ ْﻧ ِﻔﻘُﻮا ِﻣ َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ (267 : )اﻟﺒﻘﺮة.... ض ِ ا ْﻟَﺄ ْر Artinya: “Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu..” (QS. alBaqarah: 267)10 b. Kemudian dalam QS. Ali Imran ayat 92
ﷲ َ نا ﻲ ٍء َﻓ ِﺈ ﱠ ْ ﺷ َ ﻦ ْ ن َوﻣَﺎ ُﺗ ْﻨ ِﻔﻘُﻮا ِﻣ َ ﺤﺒﱡﻮ ِ ﺣﺘﱠﻰ ُﺗ ْﻨ ِﻔﻘُﻮا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ َ ﻦ َﺗﻨَﺎﻟُﻮا ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ ْ َﻟ (92 :ﻋﻠِﻴ ٌﻢ )ال ﻋﻤﺮان َ ِﺑ ِﻪ Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran: 92)11 c. Selain itu juga dalam QS. Al-Hajj ayat 77 sebagai berikut :
ﺨ ْﻴ َﺮ َ ﻋ ُﺒﺪُوا َر ﱠﺑ ُﻜ ْﻢ وَا ْﻓ َﻌﻠُﻮا ا ْﻟ ْ ﺠﺪُوا وَا ُﺳ ْ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا ا ْر َآﻌُﻮا وَا َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ (77 :ن )اﻟﺤﺞ َ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺗ ْﻔِﻠﺤُﻮ
9
491.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.
10
Depag, op. cit, hal 46. Ibid., hal. 91.
11
22 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan”. (QS. al-Hajj: 77)12 Kata-kata menafkahkan harta yang disebut dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 73 tempat, selain berkonotasi pada nafkah wajib, seperti zakat atau memberi nafkah keluarga, juga menunjuk shodaqoh yang mempunyai hukum sunnah, seperti sedekah, hibah, wakaf, serta shodaqoh yang lain.13 Menurut riwayat, wakaf pertama kali dilakukan oleh Umar Bin Khattab r.a, yaitu mewakafkan tanah di Khaibar14. Pada dasarnya wakaf merupakan tindakan sukarela (tabarru’) untuk mendermakan sebagian kekayaan. Karena sifat harta benda yang diwakafkan tersebut bernilai kekal, maka wakaf ini bernilai jariyah (kontinyu), artinya pahala akan senantiasa diterima secara berkesinambungan selama harta wakaf tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan umum.15 Selain dalam Al-Qur’an di dalam beberapa Hadits juga dijelaskan tentang shodaqoh secara umum yang dapat dipahami sebagai wakaf.
12
Ibid., hal. 272. Lihat penjelasan kata Yunfiquun, dalam al-Razi, Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar-Mushaf, tt,hal 300.juga Ibnu ‘Araby, Ahkam Alqur’an, Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-Araby, t.th., hal.10. 14 Dewan Redaksi Islam, loc. cit. 15 Ahmad Rofiq, op. cit., hal. 483. 13
23 Diantaranya Sabda Nabi SAW:
اذا ﻣﺎت:ﻋﻦ اﺑﻲ هﺮﻳﺮة ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل اوﻋﻠﻢ ﻳﻨﺘﻔﻊ, ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎرﻳﺔ:اﻻﻧﺴﺎن اﻧﻘﻄﻊ ﻋﻨﻪ ﻋﻤﻠﻪ اﻻ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﺔ 16 .( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ. او وﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪﻋﻮﻟﻪ,ﺑﻪ Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga (perkara): Shadaqah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang berdoa untuk orang tuanya. (HR. Muslim). Selain itu, juga Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang lebih sharih (jelas) menjelaskan tenang wakaf namun menggunakan kata habsu:
ﻓﺎﺗىﺎﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ, اﺻﺎب ﻋﻤﺮ ارﺿﺎ ﺑﺨﻴﺒﺮ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎل اﻧﻲ اﺻﺒﺖ ارﺿﺎ. ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ: ﻓﻘﺎل,ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﺴﺘﺎﻣﺮﻩ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﺎل )ان ﺷﺌﺖ ﺣﺒﺴﺖ.ﺑﺨﻴﺒﺮ ﻟﻢ اﺻﺐ ﻣﺎﻻ ﻗﻂ هﻮ اﻧﻔﺲ ﻋﻨﺪي ﻣﻨﻪ وﻻ, اﻧﻪ ﻻﻳﺒﺎع اﺻﻠﻬﺎ: ﻓﺘﺼﺪق ﺑﻬﺎ ﻋﻤﺮ:اﺻﻠﻬﺎ وﺗﺼﺪﻗﺖ ﺑﻬﺎ( ﻗﺎل وﻓﻰ, وﻓﻰ اﻟﻘﺮب, ﻓﺘﺼﺪق ﺑﻬﺎ ﻓﻲ اﻟﻔﻘﺮاء, وﻻ ﻳﻮهﺐ,ﻳﻮرث ﻻ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﻰ ﻣﻦ. واﻟﻀﻴﻒ, واﺑﻦ ﺳﺒﻴﻞ, وﻓﻰ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ,اﻟﺮﻗﺎب . وﻳﻄﻌﻢ ﺻﺪﻳﻘﺎ ﻏﻴﺮ ﻣﺘﻤﻮل ﻣﺎﻻ,وﻟﻴﻬﺎ ان ﻳﺎآﻞ ﻣﻨﻬﺎ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف 17 ()ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ وﻟﻠﻔﻆ ﻟﻤﺴﻠﻢ Artinya: “Dari Ibnu Umar, Ia berkata: Umar dapat satu tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW guna meminta instruksi sehubungan dengan tanah tersebut, Ia berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya aku telah memperoleh tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?. Beliau bersabda: “jika kamu menginginkan tahanlah aslinya dan shadaqahkan hasilnya. Maka bersadaqahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada fakir, budak-budak, pejuang dijalan Allah, Ibnu Sabil dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan hasil dari tanah tersebut dengan cara 16 17
Imam Muslim, Shahih Muslim Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, hal. 70. Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Juz 3, Dar Fikr Lebanon, Bairut, t.th, hal. 196.
24 ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri. (Muttafaq ‘alaihi, tetapi lafal itu bagi Muslim). Itulah beberapa Hadits yang mengisyaratkan wakaf sebagai tindakan hukum, dengan cara melepaskan hak kepemilikan atas asal barang dan menyedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum, dengan maksud memperoleh pahala dari Allah. Kepentingan tersebut bisa berupa kepentingan sosial maupun keagamaan. 3. Macam-Macam Wakaf Sejalan dengan tujuannya, wakaf terbagi menjadi dua, yaitu wakaf ahli dan wakaf khairi.18 Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga, yaitu wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik ada ikatan keluarga ataupun tidak. Karena wakaf ini diperuntukkan bagi orang-orang khusus atau orang-orang tertentu, maka wakaf ini disebut pula dengan wakaf khusus. Yang berhak mengambil manfaat wakaf ahli ialah orang-orang tersebut dalam sighat wakaf. Persoalan yang biasa timbul kemudian hari pada wakaf ahli ini, ialah bila orang yang tersebut dalam sighat wakaf itu telah meninggal dunia, atau ia tidak berketurunan dan jika dinyatakan bahwa keturunannya berhak mengambil manfaat wakaf itu, atau orang tersebut tidak mengelola atau mengambil manfaat harta wakaf itu.
18
Asyumi A. Rahman dkk. Ilmu Ushul Fiqh, Depag, Jakarta, 1986, hal. 220-222.
25 Bila terjadi seperti yang demikian, maka biasanya harta wakaf itu dikembalikan kepada tujuan wakaf pada umumnya, yaitu dimanfaatkan untuk menegakkan agama Allah atau untuk keperluan sosial. Hal ini dapat dipahami dari Hadits Ibnu Umar bahwa bila harta telah diwakafkan berarti telah diserahkan kepada Allah SWT. Sedang manfaat harta wakaf itu boleh digunakan untuk karib kerabat, untuk jalan Allah untuk fakir miskin dan sebagainya. Bila karib kerabat atau orang tertentu tidak ada lagi tentulah harta wakaf itu dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lain sesuai dengan yang telah ditentukan Allah.19 Wakaf ahli banyak dipraktekkan di beberapa Negara Timur Tengah, seperti Mesir, Syiria dan beberapa negara lain juga pernah mempraktekkannya namun mengalami kesulitan-kesulitan di kemudian hari dalam menyelesaikan perkara ataupun disebabkan munculnya persoalan yang timbul karenanya.20 Banyak di antara mereka yang menyalahgunakannya. Misalnya, 1) Menjadikan wakaf ahli itu sebagai cara untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia. 2) Wakaf ahli dijadikan alat untuk mengelak tuntutan kreditor atas hutang-hutangnya yang dibuat si wakif sebelum mewakafkan tanah kekayaannya.21 Oleh karena itu, di beberapa negara tersebut. Wakaf ahli ini dibatasi dan bahkan dihapuskan seperti halnya di Mesir telah menghapuskan Wakaf ahli ini dengan Undang-Undang No.180 Tahun 1952.
19
Proyek Pengembangan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam di Jakarta, Ilmu Fiqh, Jilid 3, Depag, Jakarta, 1986, hal. 221. 20 Asyumi A. Rahman dkk. loc. cit. 21 Ahmad Rofiq, op. cit., hal. 492.
26 Sedangkan di Syiria telah menghapus praktek wakaf ahli ini pada tahun sebelumnya.22 Kedua wakaf khairi atau wakaf umum. Wakaf umum ini ditujukan untuk kepentingan umum, seperti: masjid, mushalla, madrasah, pondok pesantren maupun yang lainnya. Wakaf umum ini, sejalan dengan perintah agama yang secara tegas menganjurkan untuk menafkahkan sebagian kekayaan umat Islam, untuk kepentingan umum yang lebih besar dan mempunyai nilai pahala jariyah yang tinggi, artinya meskipun si wakif telah meninggal dunia, ia akan tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda wakaf tersebut tetap dipergunakan untuk kepentingan umum. Di Indonesia wakaf khairi inilah yang terkenal dan banyak dilakukan kaum Muslimin. Hanya saja umat Islam di Indonesia belum mampu mengelolanya secara baik sehingga harta wakaf itu belum dapat diambil manfaatnya secara maksimal.23 4. Fungsi Wakaf Fungsi wakaf menurut KHI pasal 215 adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf yaitu melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam24. Sedangkan fungsi wakaf menurut redaksi Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 bahwa “wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
22
Ibid. Ibid., hal. 222. 24 Kompilasi Pasal 216 dan PP. No. 28/1997 Pasal 2. 23
27 harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum”.25 Jadi fungsi wakaf menurut KHI pasal 215 dan Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 dimaksudkan dengan adanya wakaf terciptanya sarana dan prasarana bagi kepentingan umum sehingga terwujudnya kesejahteraan bersama baik dalam hal ibadah ataupun dalam hal mu’amalah. Dengan demikian orang yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan, dapat tertolong kesejahteraannya dengan adanya wakaf. Kemudian pada umumnya baik umat Islam pada khususnya ataupun umat lain yang hidup berdampingan dengan umat Islam pada umumnya, dapat menggunakan benda wakaf sebagai fasilitas umum sekaligus dapat mengambil manfaatnya. Hal ini sebagai salah satu bukti bahwa keberadaan islam dan umatnya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. AlAnbiya’ ayat 107 sebagaimana berikut:
(107 :ﻦ )اﻻﻧﺒﻴﺎء َ ﺣ َﻤ ًﺔ ِﻟ ْﻠﻌَﺎَﻟﻤِﻴ ْ ك ِإﻟﱠﺎ َر َ ﺳ ْﻠﻨَﺎ َ َوﻣَﺎ َأ ْر Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’: 107)26 Sekaligus menepis anggapan bahwa Islam dan umatnya tidak menghargai dan mengakui serta tidak mau hidup berdampingan dengan umat non muslim lainnya.
25 26
Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004. Departemen Agama RI, op. cit., hal. 508.
28 5. Rukun dan Syarat Wakaf Kendatipun para Mujtahid berbeda pendapat mengenai konsep wakaf dan perbedaan pendapat itu tercermin dalam perumusan, namun semuanya sependapat bahwa untuk pembentukan lembaga wakaf diperlukan beberapa rukun. Unsur-unsur pembentuk yang juga merupakan rukun wakaf yaitu: 1) orang yang berwakaf atau wakif, 2) harta yang diwakafkan atau mauquf, 3) tujuan wakaf atau mauquf alaih dan, 4) sighat. a. Wakif (orang yang berwakaf) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.27 Jadi wakif tidak hanya perorangan tetapi juga bisa dalam bentuk organisasi dan badan hukum.28 Wakif atau orang yang mewakafkan amalan wakaf pada hakikatnya adalah tindakan tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap imbalan), karena itu syarat seorang wakif adalah cakap melakukan tindakan tabarru’.29 Mengenai kecakapan bertindak, dalam hukum fiqh ada dua istilah yang perlu dipahami untuk membedakannya, yakni baligh dan rasyid. Pengertian baligh menitikberatkan pada usia, dalam hal ini umumnya ulama berpendapat umur 15 tahun. Adapun yang dimaksud dengan rasyid adalah cerdas atau kematangan dalam bertindak. Oleh
27
Pasal 215 (2) KHI dan pasal 1 (2) PP No. 28 Tahun 1977. Pasal 7 UU No. 41 Tahun 2004. 29 Muhammad Rawas Qal’ah Jay, Mausu’ah Fiqh Umar Ibn Al-Khatab, Dar Al Nafais, Beirut, Libanon, 1409 H./1989 M, hal. 887. 28
29 karena itu, menurut Jumhur Ulama’ tidak ada wakaf yang bisa dilakukan oleh orang bodoh atau pailit (bangkrut).30 Adapun syarat-syaratnya dikemukakan pada pasal 8 UU No. 41 Tahun 2004 dikemukakan dalam pasal wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: 1) Dewasa; 2) Berakal sehat; 3) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;31 dan 4) Pemilik sah harta benda wakaf. Sedangkan bagi wakif yang berasal dari organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. Kemudian bagi wakif yang berasal dari badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. (lihat juga Pasal 3 PP. No 28/1977).
30
Said Agil Husin Al Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Penamadani, Jakarta 2004, hal. 136. 31 Maksud dari tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum adalah sudah memenuhi kriteria selain baligh dan berakal sehat juga harus rasyid sebagaimana yang dijelaskan fuqaha’ serta Said Agil al-Munawar dalam bukunya Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial hal. 136. Dengan demikian segala perbuatan dari wakif dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum.
30 Dalam kaitannya ini tidak ada ketentuan yang mengharuskan seorang wakif haruslah seorang Muslim, oleh sebab itu, orang non muslim pun dapat melakukan wakaf. Sepanjang ia melakukannya sesuai dengan ketentuan ajaran Islam, dan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, wakaf yang tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap imbalan), dalam pelaksanaannya tidak diperlukan adanya qabul (ucapan menerima) dari orang yang menerima wakaf. Namun demikian ketentuan ini perlu dipahami, bahwa dalam pelaksanaannya hendaknya diikuti dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf tersebut mempunyai kekuatan hukum sekaligus menciptakan tertib administrasi. 32 Seorang wakif tidak boleh mencabut kembali benda yang sudah diwakafkannya dan dilarang menuntut agar harta yang sudah diwakafkan dikembalikan ke dalam bagian hak miliknya dalam keadaan apapun.33 b. Mauquf (benda yang diwakafkan) Semua harta benda wakaf yang akan diwakafkan menjadi sah, apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat dari benda yang akan diwakafkan adalah sebagai berikut: 1) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai. Hal ini karena watak wakaf yang lebih mementingkan manfaat benda tersebut.
32 33
Ahmad Rofiq, op.cit., hal. 493. Imam Syafi’i, al ‘Umm juz 4, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t.th., hal. 62.
31 2) Benda wakaf dapat berupa milik pribadi, kelompok atau badan hukum (al masya’). 3) Hak milik wakif harus jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda wakaf merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa. 4) Harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batasanbatasannya (misalnya tanah).34 5) Benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahah yang lebih besar. 6) Harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda yang bergerak dan yang tidak bergerak. 7) Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. 8) Bukan barang haram atau najis.35 Pada awal permulaan wakaf disyari’atkan yakni pada zaman Rasul. Sedangkan sifat dari harta wakaf ialah harta yang tahan lama dan bermanfaat, seperti tanah dan kebun. Tetapi kemudian para ulama berpendapat bahwa harta selain tanah dan kebun pun dapat diwakafkan asal bermanfaat dan tahan lama. Tetapi dalam perkembangannya banyak pula yang mewakafkan harta yang bergerak seperti yang dikemukakan dalam pasal 215 ayat (4) dari UU No. 41 Tahun 2006, dikemukakan “Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak
34 35
Said Agil Husin Al Munawar, op. cit., hal. 136-139. Muhammad Rawas Qal’ah, op. cit., hal. 877.
32 bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam”. Adapun benda yang tidak bergerak seperti yang tertera pada UU No. 41 Tahun 2004 pada pasal 16 ayat (2) adalah: 1) Adalah tanah yang di dalamnya dilekati oleh hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) Bangunan atau bagian dari bangunan; 3) Tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah; 4) Hak milik atas satuan rumah susun di atas tanah hak milik; Adapun benda yang bergerak meliputi: 1) Uang; 2) Logam mulia; 3) Surat berharga; 4) Kendaraan; 5) Hak atas kekayaan intelektual; 6) Hak sewa; dan 7) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedang syarat benda-benda wakaf menurut versi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa (Pasal 217 ayat (3)).
33 c. Mauquf ‘alaih (tujuan wakaf) Dalam pelaksanaan wakaf seharusnya Wakif menentukan tujuan dalam mewakafkan harta benda miliknya, seperti harta wakaf tersebut digunakan untuk Masjid, pondok pesantren atau yang lainnya. Dalam wakaf yang utama adalah wakaf itu diperuntukkan untuk kebaikan mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada Nya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan memberikan wakaf untuk kepentingan maksiat, atau membantu, mendukung dan atau yang memungkinkan digunakan untuk tujuan maksiat. Untuk lebih konkritnya tujuan wakaf adalah sebagai berikut: 1) Untuk mencari keridhaan Allah, termasuk di dalamnya segala macam usaha untuk menegakkan agama Islam, seperti: mendirikan tempattempat ibadah kaum muslimin, kegiatan dakwah, pendidikan agama Islam, penelitian ilmu-ilmu agama Islam dan sebagainya. Karena itu seseorang tidak dapat mewakafkan hartanya, untuk kepentingan maksiat, atau keperluan yang bertentangan dengan agama Islam, seperti untuk mendirikan rumah ibadah agama lain, membantu pendidikan selain Islam dan lain-lain. Demikian juga wakaf tidak boleh dikelola dalam usaha yang bertentangan dengan agama Islam, seperti untuk industri minuman keras, ternak babi dan sebagainya.
34 2) Untuk kepentingan masyarakat, seperti: membantu fakir miskin, orang-orang terlantar, kerabat, mendirikan sekolah, asrama anak yatim piatu dan sebagainya.36 3) Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya tujuannya harus merupakan hal yang mubah menurut kaidah hukum Islam.37 d. Shigat wakaf ( ikrar wakaf) Sighat wakaf adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah benda miliknya.38 Dalam sighat atau pernyataan wakaf harus dinyatakan dengan tegas baik secara lisan maupun tulisan, dan disebutkan dengan jelas benda yang diwakafkan, kepada siapa diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan.39 Sighat tersebut biasanya menggunakan kata “aku mewakafkan” atau “aku menahan” atau kalimat semakna lainnya. Dengan pernyataan wakif tersebut, maka gugurlah hak wakif. Selanjutnya benda itu menjadi milik mutlak Allah yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf. Oleh karena itu, benda yang
telah
diikrarkan
untuk
wakafnya,
tidak
bisa
dihibahkan,
diperjualbelikan, maupun diwariskan.40 Mengenai masalah saksi dalam ikrar wakaf, tidak dibicarakan dalam kitab-kitab hukum (fiqh) Islam, karena mungkin para ahli fiqh
36
Depag RI, Ilmu Fiqh, Ditjen Bimbingan Islam, Jakarta, 1986, hal. 216. Muhammad Daud Ali, op. cit., hal 87. 38 KHI Pasal 215 (3) jo. Pasal 1 ayat (3) PP. No. 28 Tahun 1977. 39 . Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hal. 31 40 Drs. Ahmad Rofiq, op. cit., hal. 216. 37
35 menggolongkan wakaf ke dalam aqad tabarru’ yakni janji untuk melepaskan hak tanpa suatu imbalan kebendaan. Pelepasan hak itu ditujukan kepada Allah dalam rangka beribadah untuk memperoleh keridhaan-Nya. Namun, karena masalah ini termasuk ke dalam kategori maslahah mursalah yakni untuk kemaslahatan umum, maka soal kesaksian itu perlu juga diperhatikan. Juga pernyataan wakif harus jelas yakni 1) melepaskan haknya atas pemilikan benda yang diwakafkan, dan 2) menentukan peruntukan benda itu apakah khusus untuk kepentingan orang-orang tertentu ataukah umum untuk kepentingan masyarakat.41 Dalam pasal 5 PP Nomor 28 Tahun 1977 jo. Pasal 218 KHI jo. Pasal 17 UU No 41 Tahun 2004. 1) Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk akta ikrar wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. 2) Dalam keadaan tertentu penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (10) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama. e. Nadzir (orang yang memelihara benda wakaf) Pada umumnya di dalam kitab-kitab fiqh tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti, karena
41
Muhammad Ali Daud, op. cit., hal. 88.
36 wakaf adalah ibadah tabarru’. Namun demikian, dengan perkembangan zaman serta memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari benda wakaf, maka kehadiran nadzir sangat penting. Nadzir adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya.42 1) Ketentuan nadzir Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi nadzir asal saja ia berhak melakukan tindakan hukum. Adapun mengenai ketentuan nadzir sebagaimana tercantum pada pasal 9-14 UU No. 41 Tahun 2004 meliputi: Pasal 9 nadzir meliputi: a) Perorangan; b) Organisasi; atau c) Badan hukum Pasal 10 a) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan: (1) Warga negara indonesia; (2) Beragama islam; (3) Dewasa;
42
Ibid.. hal 91
37 (4) Sehat jasmani dan rohani; dan (5) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.43 Sedangkan pada KHI pasal 215 ayat (4) syarat nadzir perorangan ditambah dengan adanya ketentuan nadzir bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan. b) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan : (1) Pengurus
organisasi
yang
bersangkutan
memenuhi
persyaratan nadzir perorangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); dan (2) Organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam. c) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan : (1) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (2) Badan hukum yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. d) Pelaksanaan wakaf direalisasikan segera setelah ikrar. Hal ini karena pemilikan benda telah lepas dari wakif. Karena itu wakaf
43 Terhalangnya melakukan perbuatan hukum bagi seorang nadzir sama halnya dengan wakif. Jadi dalam hal ini seorang nadzir harus memenuhi syarat selain dan berakal sehat juga harus memiliki kecakapan yakni rasyid.
38 tidak boleh digantungkan kepada suatu keadaan atau syarat tertentu, misalnya pada kematian seseorang, atau kondisi tertentu. d) Apabila seorang wakif menentukan syarat dalam pelaksanaan pengelolaan benda wakaf, yang mana syarat tersebut tidak bertentangan
dengan
tujuan
wakaf,
maka
nadzir
perlu
memperhatikannya. Tetapi apabila syarat tersebut bertentangan dengan tujuan wakaf semula, seperti masjid yang jama’ahnya terbatas golongan tertentu saja. Nadzir tidak perlu memperhatikan. 44
2) Kewajiban dan hak-hak nadzir atas benda wakaf Nadzir sebagai pihak yang bertugas memelihara dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan penting dalam perwakafan. Meskipun demikian, tidak berarti nadzir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanatkan kepadanya. Pada umumnya ulama sepakat bahwa kekuasaan nadzir hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki wakif.45 Kewajiban dan hak-hak nadzir diatur dalam pasal 220 KHI jo pasal 7 PP No. 28 Tahun 977 sebagai berikut: a) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggungjawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai
44 45
Ahmad Rofiq, op. cit., hal. 501. Said Agil, op. cit., hal. 157.
39 dengan tujuannya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama. b) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) kepada kepala Kantor Urusan Agama kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama’ Kecamatan dan Camat setempat. c) Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksudkan dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Agama, Pada pasal 222 KHI dan pasal 8 PP No. 28/1977 dinyatakan: “nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama’ Kecamatan dan Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan setempat”. Kemudian yang berhak menentukan nadzir wakaf adalah wakif. Mungkin ia sendiri yang menjadi nadzir, mungkin pula diserahkannya kepada orang lain, baik perorangan maupun organisasi. Namun agar perwakafan
dapat
terselenggara
dengan
sebaik-baiknya,
maka
pemerintah berhak campur tangan mengeluarkan berbagai peraturan mengenai perwakafan, termasuk menentukan Nadzirnya yakni melalui persetujuan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf).46
46
Daud Ali, op. cit., hal. 93.
40 Pasal 13 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, nadzir memperoleh pembinaan dari Pemerintah dan Badan Wakaf Indonesia. 6. Pendaftaran Tanah Wakaf Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Hambali wakaf dianggap telah terlaksana dengan adanya lafal atau sighat, walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Kepemilikan yang semula dari Wakif telah hilang atau berpindah dengan terjadinya lafal, walaupun barang itu masih berada di tangan wakif. Menurut beberapa pendapat Imam Madzhab di atas bahwa dalam perwakafan tidak diperlukan banyak persyaratan menyangkut prosedur atau tata cara pelaksanaan wakaf. Hanya saja Abu Hanifah yang berpendapat bahwa benda wakaf belum terlepas dari milik wakif, sampai hakim memberikan yaitu mengumumkan barang wakaf tersebut.47 Pendaftaran tanah wakaf diatur dalam pasal 10 ayat (1) s/d (5) PP No. 28 Tahun 1977 jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 jo. KHI pasal 223, maka pelaksanaan wakaf itu dilakukan sebagai berikut: Yakni wakif menghadap kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yakni Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan di mana tanah yang akan diwakafkan itu berada, dengan dihadiri sekurang-kurangnya dua saksi. Setelah selesai ikrar wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir diharuskan mengajukan permohonan, kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah cq. Kepala Sub 47
Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal 179.
41 Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik tersebut menurut ketentuan PP No. 10 Tahun 1961. selanjutnya Kepala Sub Direktorat Agraria mencatatnya pada buku tanah dan sertifikatnya. Tapi kalau tanah wakaf tersebut belum mempunyai sertifikat, maka pencatatannya dilakukan setelah dibuatkan sertifikatnya. Setelah nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri agama dalam hal ini pejabat tersebut seperti dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 adalah Kepala KUA.48 Dalam melaksanakan ikrar harus disertai dengan surat-surat sebagai berikut : a. Tanda bukti pemilikan harta benda. b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan kepemilikan benda tidak bergerak dimaksud. c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.49 Sedangkan akta ikrar wakaf sendiri dibuat rangkap masing-masing untuk: a. PPAIW b. Bupati/ Walikota Madya Kepala Daerah dalam hal ini Kepala Subdit Agraria setempat 48
Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat Dan Wakaf, Jakarta 1984/1985,hal. 124 49
Pasal 9 PP No 28 Tahun 1977.
42 c. Pengadilan Agama yang mewilayahinya Salinan dibuat rangkap empat untuk disampaikan kepada : a. Wakif b. Nadzir c. Kandepag. Kabupaten/Kotamadya d. Kepala Desa yang bersangkutan50 Khusus untuk perwakafan yang terjadi sebelum berlakunya PP No. 28 Tahun 1977, tatacara pendaftarannya diatur dalam pasal 15 dan 16 Peraturan Menteri Agama No. 1/1978, dalam hal ini nadzirlah yang mendaftar kepada KUA setempat. Apabila nadzir tidak ada lagi, pendaftarannya dilakukan oleh: a. Wakif atau b. Ahli warisnya, atau c. Anak keturunan nadzir d. Anggota masyarakat yang mengetahuinya. Kalau tidak ada juga pihak seperti tersebut diatas, Kepala Desalah yang berkewajiban mendaftarkannya kepada KUA setempat. Pendaftaran ini disertai dengan: a. Surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan Kepala Desa tentang perwakafan tanah tersebut. b. Dua orang saksi ikrar wakaf atau dua orang saksi istifadah. Dan untuk membuktikan pendaftaran tanah wakaf tersebut di atas, ditetapkan akta pengganti akta ikrar wakaf.51
50
Pasal 3 Peraturan Menteri Agama No. 1/1978.
43 Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang tatacara perwakafan tanah mengenai perwakafan tanah milik menyebutkan bahwa, “Untuk keperluan pendaftaran dan pencatatan perwakafan tanah, tidak dikenakan biaya pendaftaran, kecuali biaya pengukuran dan materai”.52
B. Tukar Guling (Ruilslag) Terhadap Tanah Wakaf 1. Pengertian Tukar Guling Kata tukar guling dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut juga tukar lalu yang berarti bertukar barang dengan tidak menambah uang.53 Kemudian dikarenakan hukum positif bangsa Indonesia masih merupakan warisan dari kolonial Belanda maka tukar guling dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH.Per) disebut dengan kata ruilslag yang berarti tukar guling yang didasarkan atas persetujuan pemerintah.54 Dalam KUH.Per. sebagaimana pasal 1541 kata tukar guling disebut dengan tukar menukar yang mempunyai arti suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberi suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya atas suatu barang.55 Selanjutnya dikarenakan penulis mengadakan penelitian yang berhubungan dengan bahasa lain yakni bahasa Arab, maka dalam Arab kata tukar guling disebut dengan kata istibdal ( )اﺳﺘﺒﺪلyang berasal dari fi’il mujarrod (kata kerja murni) badala
51
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan … op. cit., hal. 129. Ibid., hal. 121. 53 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 1217. 54 Ibid., hal. 966. 55 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992; hal. 509. 52
44 ( ) ﺑﺪل, kemudian mendapat tambahan alif, sin dan ta’ sebagai tanda dari fi’il tsulasi mazid (kata kerja dengan tambahan tiga huruf).56 Kata tukar guling menurut istilah fuqaha’ meskipun secara langsung tidak terdefinisikan secara eksplisit, namun secara implisit tetap tersebutkan, di antaranya adalah: a. Menurut Imam Syarqawi kata istibdal (tukar guling) dalam masalah wakaf adalah mengganti mauquf (barang wakaf) yang dinisbatkan dengan kerusakan, yang kemudian diganti dengan benda lain yang lebih baik ini didasarkan atas ungkapan beliau dalam kalimat:
وﺻﻮرﺗﻪ ﻋﻨﺪهﻢ ان ﻳﻜﻮن اﻟﻤﺤﻞ ﻗﺪ ال اﻟﻰ اﻟﺴﻘﻮط ﻓﻴﺒﺪﻟﻪ... 57 .... ﺑﻤﺤﻞ اﺧﺮ اﺣﺴﻦ ﻣﻨﻪ b. Sedangkan menurut salah satu penerus madzhab Hanafi yakni Ibnu ‘Abidin kata istibdal berarti mengganti suatu benda wakaf satu dengan yang lain, hal ini didasarkan atas ungkapan berikut ini: 58
)و(ﺟﺎز )ﺷﺮط اﻻﺳﺘﺒﺪال ﺑﻪ ارﺿﺎ اﺧﺮى( ﺣﻴﻨﺌﺬ
2. Dasar Hukum Tentang Tukar Guling (Ruilslag) Terhadap Tanah Wakaf Pada dasarnya tidak ada nash yang sharih yang melarang dan memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf sehingga menimbulkan berbagi perspektif hukum dari para mujtahid fiqh yang berbeda.
56 57
178.
58
Atabik Ali, Zuhdi Muhdlor, op. cit., hal. 92. Imam Syarqawi, Hasyiyah al-Syarqawi, Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.th., hal. Ibnu Abidin, op. cit., hal. 583-584.
45 Walaupun pada dasarnya membolehkan namun harus dengan berbagai ketentuan.59 Sedangkan tukar guling atas tanah wakaf dalam UU, dijelaskan bahwa pada dasarnya .tanah wakaf dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, seperti yang tercantum dalam Pasal 40 UU No 41 Tahun 2004. Namun realitanya menunjukkan bahwa selalu ada kemungkinan tentang berkurang atau habis manfaatnya atau tidak ada hasilnya benda wakaf di kemudian hari. Hal tersebut dimungkinkan karena telah usangnya benda wakaf ataupun karena letaknya tidak strategis lagi, meskipun pada awal benda wakaf yang berupa tanah tersebut letaknya cukup strategis. Namun karena bergesernya waktu maka letaknya tidak strategis lagi. Oleh sebab itu walaupun pada dasarnya tanah wakaf tidak boleh ditukar guling namun Pemerintah melalui PP No 28 Tahun 1977 pasal 11 dijelaskan tentang adanya kemungkinan diperbolehkannya hal tersebut, sebagaimana berikut: a. Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. b. Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama yakni;
59
Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971, hal. 161-170.
46 1) Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif 2) Karena kepentingan umum. c. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah, cq. Kepala sub Direktorat Agraria untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.60 (lihat juga KHI pasal 225). 3. Pandangan Ulama’ Tentang Tukar Guling (Ruilslag) terhadap Tanah Wakaf Dengan tidak adanya nash yang sharih (jelas) baik dari al-Hadits ataupun dari al-Qur’an yang berisi larangan ataupun diperbolehkannya dari adanya tukar guling terhadap tanah wakaf, maka dalam hal ini menjadi wilayah ijtihad bagi para ulama’ fiqh untuk memberikan hukum sehingga memunculkan hukum yang berbeda. Dalam hal ini para Ulama’ Madzhab mempunyai pandangan sebagaimana berikut: Ibnu ‘Abidin sebagai salah satu penerus madzhab Hanafi memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf. Bahkan memberikan banyak kelonggaran dalam tukar guling tanah wakaf, dengan mensyaratkan harus ada tanah pengganti yang baru atau tanah yang lama dijual kemudian diganti dengan yang lain. Menurut Ibnu ‘Abidin pergantian
60
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta, 19984/1985, hal. 95.
47 benda wakaf dimungkinkan terjadi dalam tiga hal, yakni: 1) Karena wakif mensyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau orang lain untuk menukar benda wakaf tersebut. 2) Karena wakif tidak mensyaratkan hak untuk menjual dan mengganti benda wakaf bagi dirinya sendiri ataupun orang lain, namun dikemudian hari ternyata benda wakaf itu tidak bermanfaat lagi. Maka dalam hal ini benda wakaf boleh dijual atau diganti dengan benda lain yang sama. Namun terlebih dahulu disurvei oleh hakim dengan melihat adanya mashlahah yang menyebabkan tanah tersebut harus ditukar guling 3) Karena wakif juga tidak mensyaratkan bagi dirinya ataupun bagi orang lain untuk menukar guling dan benda wakaf masih berfungsi dengan maksimal. Namun ada benda lain yang mendatangkan manfaat lebih baik dan lebih banyak dari benda wakaf awal.61 Kemudian Imam Malik memperbolehkan adanya tukar guling dalam keadaan darurat, namun juga didasarkan atas asas dari benda wakaf baik bergerak ataupun tidak, yakni adanya manfaat pada masa yang akan datang. Seperti halnya masjid yang telah rusak dan roboh sehingga sukar memakmurkannya boleh dijual dan dibelikan perkara baru yang sama.62 Demi keberlangsungannya dari manfaat benda wakaf, maka harus dijual dan digantikan dengan barang yang baru, sehingga manfaat dari benda wakaf masih bisa dirasakan di masa mendatang. Iman Syafi’i pada dasarnya hampir sama dengan Imam Malik yakni melarang adanya tukar guling tanah wakaf kecuali dalam keadaan darurat, 61 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar, Juz 6, Dar al Kutub al ‘Amaliyah, Beirut Lebanon, t.th., hal. 583-584. 62 Muhammad Abu Zahroh, op. cit., hal. 161.
48 seperti telah rusaknya sebuah masjid dan diperlukan adanya pergantian seperti juga adanya kepentingan umum yang menyebabkan tanah wakaf harus diganti di tempat yang lain.63 Kemudian Imam Hambali memberikan sedikit kelonggaran tentang diperbolehkannya menjual benda wakaf dan menggantinya dengan benda baru yang sama karena benda wakaf tersebut tidak bisa berfungsi dengan maksimal. Dicontohkan seperti terlalu kecilnya sebuah masjid dibanding dengan jamaah yang ada. Karena itu perlu dicarikan tanah yang luas sehingga seluruh jamaah dapat tertampung.64 Dari pendapat para Imam Madzhab mengenai tukar guling terhadap tanah wakaf jelas membolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf meskipun dengan berbagai persyaratan yang berbeda-beda. Persyaratan dan perbedaan tersebut dikarenakan mempertimbangkan banyak hal yang kesemuanya akan bermuara pada mashlahah. Untuk selanjutnya, setidaknya dapat diambil pemahaman bahwa tukar guling terhadap tanah wakaf tidak dapat dilaksanakan dengan sembarangan. Artinya, harus mempertimbangkan syarat, keadaan dan uji kelayakan adanya tukar guling tersebut.
63 64
Imam Syafi’i,op.cit. juz 5, hal. 65. Imam Hambali, al Muqna’, Dar al Kutub al ‘Alamiyah, Beirut Lebanon, t.th., hal. 164.
BAB III PEMIKIRAN IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
A. Biografi Ibnu ‘ Abidin Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz bin Ahmad bin ‘Abdul Rakhim bin Najmuddin bin Muhammad Salahuddin, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Abidin, dilahirkan di Damaskus Syam pada tahun 1198 H. Beliau merupakan ahli fiqh di Syam, sekaligus pemuka golongan Hanafiyah di masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh fiqh masa keenam (658 H. akhir abad ke-13 H), yaitu pada masa pemerintahan Abdul Hamid I (Dinasti Utsmaniyah) 1. Muhammad Amin yang dikenal dengan nama Ibnu ‘Abidin, sebagai menulis kitab Radd al Muhtar syarah Tanwir al-Absar yang ditulis ketika terjadi pergolakan politik yang luar biasa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Rakyat memandang bahwasanya raja dan seluruh punggawanya tidak bisa mencerminkan dan mewujudkan rasa keadilan. Sehingga muncullah isu tentang ketidak percayaan masyarakat terhadap raja dan pemerintahannya. Hal tersebut memunculkan statemen ulama’ dari madzhab Hanafi dengan mengatakan “ Barang siapa mengatakan bahwa raja pada saat ini adalah seorang yang adil maka dia adalah kafir.” Di sisi lain pada waktu itu terjadi
1
Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar Juz I, Beirut Libanon. Daar al-Kitab al-Ilmiah, 1994,
hal. 53
49
50 peperangan antara Dinasti Utsmaniyah dengan Bangsa Tartar2. Maka muncullah kitab yang saat ini masih bisa kita baca yakni Radd al Muhtar yang berarti penolakan terhadap orang yang dalam kebingungan. Kitab ini lahir sebagai wujud perlawanan Ahli Fiqh terhadap pemerintah3. Sejak kecil beliau sudah mengenal pendidikan agama secara langsung dari ayahnya yang sekaligus gurunya, yaitu Umar ibnu Abdul Aziz. Beliau menghafal Al-Qur'an pada usia yang masih relatif muda. Ayahnya adalah seorang pedagang, sehingga Ibnu ‘Abidin sering diajak ayahnya untuk berdagang sekaligus dilatih berdagang oleh ayahnya. Pada suatu hari, ketika beliau sedang membaca Al-Qur'an di tempat ayahnya berdagang, tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki dari kalangan orang saleh dan ia (orang saleh) mengomentari bacaan Al-Qur'an Ibnu ‘Abidin dengan dua komentar, yang akhirnya menghantarkan Ibnu ‘Abidin menjadi ulama’ terkenal. Dua komentar tersebut adalah: 1. Dia (Ibnu ‘Abidin) tidak tartil dalam membaca Al-Qur'an dan tidak menggunakan tajwid sesuai dengan hukum-hukumnya. 2. Kebanyakan manusia tidak sempat untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an karena kesibukannya dalam berdagang. Jika tidak mendengar bacaan AlQur'an tersebut maka mereka berdosa. Begitu juga dengan Ibnu ‘Abidin berdosa karena membuat mereka berdosa karena tidak mendengarkan bacaan Al-Qur'an yang dia baca.4
695
2
B. Lewis, The Ensiklopedia of Islam III, Jakarta: Ihtiar Baru Van House, 1996, hal.
3
Ibnu ‘Abidin Op.cit hal. 43 Ibid, hal. 53-54
4
51 Maka bangkitlah Ibnu ‘Abidin seketika dan langsung bertanya kepada orang saleh tadi tentang ahli qira'ah yang paling tersohor di zamannya. Maka orang tadi menunjukkan seorang ahli qira'ah saat itu, yaitu Syaikh alHamawi, maka pergilah Ibnu ‘Abidin kepadanya dan meminta agar diajari ilmu tajwid dan hukum-hukum qira'ati. Sejak saat itu Ibnu ‘Abidin tidak pernah meluangkan waktunya kecuali untuk belajar. Maka imam al-Hamawi memerintahkan untuk menghafal al Jazariyah dan al Syatibiyah, kemudian ia belajar ilmu nahwu dan shorof dan tidak ketinggalan ilmu fiqh. Saat itu ia pertama kali belajar fiqh adalah fiqh yang bermadzhab Syafi'i.5 Bermula dari seorang guru yang bernama al Hamawi, beliau menjadi ulama yang sangat terkenal. Setelah ia menguasai dengan matang ilmu tajwid dan hukum qira'ati serta ilmu fiqh terutama fiqh dari mazhab Syafi'I pada imam al Hamawi, seorang ahli qira'ati. Pada saat itu Ibnu ‘Abidin tidak berhenti sampai di situ saja, akan tetapi ia melanjutkan menuntut ilmu dengan belajar Hadits, tafsir dan mantiq (logika) kepada seorang guru yaitu Syaikh Muhammad al Salimi al Amiri al Aqad. Al Amiri yang merupakan seorang hafidz. Dia menyarankan kepada Ibnu ‘Abidin untuk belajar ilmu fiqh Abu Hanifah. Ibnu ‘Abidin mengikuti nasihat itu dan mempelajari kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh Mazhab Hanafi, ia terus menggali berbagai ilmu sampai menjadi tokoh aliran saat itu. Tidak hanya sampai di situ kemudian ia pergi ke Mesir dan belajar pada Syaikh al-Amir al Masiri sebagaimana beliau belajar kepada Syaikh ahli Hadits dari Syam, yaitu Syaikh Muhammad al Kazbari,
5
Ibid hal. 53
52 beliau tak henti-hentinya meraih keluasan dalam mengembangkan ilmu dengan mengkaji dan mengarang sampai pada suatu ketika ia ditunjukkan kepada suatu daerah yaitu Bannan. Di daerah Bannan ini beliau mendapatkan pelajaran dari para tokoh ulama seperti Syaikh Abdul Ghani al-Madani, Syaikh Hasan al-Baitari, Ahmad Affandi al-Istanbuli dan lain-lain.6 Dasar yang melatarbelakangi kemasyhuran Ibnu Abidin adalah pendidikan yang keras dan disiplin dari orang tuanya apalagi didukung oleh sikap dan kemauannya yang sangat tinggi dalam menuntut ilmu. Ulama pada masa itu dilewatinya untuk belajar ilmu agama pada mereka dan diskusidiskusi dia lakukan dengan para ulama terkenal pada saat itu. Hal itulah yang menjadikannya dia seorang tokoh ulama yang sangat terkenal pada masanya. Beliau juga terkenal sebagai seorang yang kokoh agamanya, iffah (wira'i), alim dan taqwa dalam beribadah karena kedalaman ilmunya terutama dalam bidang ilmu fiqh. Dan di dalam ilmu fiqh ini ternyata ia lebih cocok dengan fiqh Madzhab Hanafi sehingga ia menjadi ulama Hanafiyah yang sangat disegani.7 Karena ketinggian ilmunya beliau banyak membuahkan karyakarya ilmiah. Karangan-karangannya yang banyak dikoleksi oleh pustakapustaka islam di dunia. Karangannya dapat diterima di berbagai peradaban, karena
karangan-karangannya
pembahasannya
secara
mendalam
menampakkan kefasihan bahasanya. 6 7
Ibid, hal. 54 Ibid, .
mempunyai Keilmuan
keistimewaan yang
mendalam
dalam dan
53 Diantara karya-karya yang sampai kepada kita antara lain: 1. Kitab Fiqh 1. Radd al Muhtar syarah al Dur al Mukhtar, kitab tersebut adalah kitab yang terkenal, kitab ini membahas masalah-masalah fiqh, yang selanjutnya terkenal dengan nama Hasiyah Ibnu ,Abidin.8 Kitab ini merupakan kitab fiqh populer yang disusun sesuai dengan mazhab Hanafi oleh ulama Hanafi generasi mutaakhirrin. Buku ini banyak sekali menguraikan permasalahan yang muncul di zamannya dengan menggunakan metode yang berlaku pada mazhab Hanafi. Kitab ini merupakan syarah dari kitab al Dur al Muhtar oleh al-Haskafi yang merupakan syarah dari Tanwir al Absar. Tanwir al Absar adalah kitab karya Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al Katib al Tamartasyi, kitab ini sangat ringkas disusun dengan sistematika fiqh.9 2. Raf al Andhor, dari karangan yang ditulis dari al Halbi atas syarah al Dar al Mukhtar 3. Al Uqud al Dariyah syarah dari kitab Tanfih al Fatawa al Hamidiyah 4. Nasmad al Ashar syarah al Manar 5. Ar Rahiq al Mahtum kitab yang membahas faraidh. 2. Kitab Tafsir Kitab Hawasyi 'ala al Badawi, yang dalam hal ini terdapat hal-hal yang tidak dijelaskan oleh para penafsir.
8 9
hal.347
Ibid. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta. Ichtiar Baru Van House, 1996,
54 3. Kitab Hadits Dalam karya ilmiahnya tentang Hadits beliau menulis kitab ‘Uqud al-Ali yang berisi sanad-sanad Hadits yang bernilai tinggi.10 Setelah kehidupannya yang membawa berbagai aktifitas yang luhur, pengabdian yang mulia dan perjuangan yang sangat berarti bagi umat islam pada umumnya dan khususnya bagi Madzhab Hanafi, beliau wafat di Damaskus pada tahun 1252 H dengan meninggalkan warisan yang sangat berharga. Beliau di makamkan di pekuburan "Bab al Shaghir" Damaskus.11
B. Pemikiran Ibnu ‘ Abidin Tentang Tukar Guling (Ruilslag) Tanah Wakaf Sebagaimana yang penulis paparkan dalam bab
I
dan bab II
bahwasanya Ibnu ‘ Abidin memperbolehkan untuk menukar guling tanah wakaf dengan memberikan banyak kelonggaran, jika dibandingkan
para
Imam Madzhab yang lain. Dalam hal tukar guling Ibnu ‘ Abidin mensyaratkan harus dengan adanya tanah pengganti yang baru atau tanah yang lama dijual kemudian diganti dengan yang lain. Hal tersebut dapat dipahami dari perkataan beliau sebagai berikut :
)و(ﺟﺎز )ﺷﺮط اﻻﺳﺘﺒﺪال ﺑﻪ ارﺿﺎ اﺧﺮى( ﺣﻴﻨﺌﺬ)أو( ﺷﺮ ط )ﺑﻴﻌﻪ و ﻳﺸﺘﺮ ي ﺑﺜﻤﻨﻪ... ﻓﺎذا ﻓﻌﻞ ﺻﺎ رت اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ آﺎﻻوﻟﻲ ﻓﻲ ﺷﺮاﺋﻄﻬﺎ وان ﻟﻢ ﻳﺬ آﺮ هﺎ ﺛﻢ,ارﺿﺎ اﺧﺮي اذا ﺷﺎء 12
...(ﻻ ﻳﺴﺘﺒﺪﻟﻬﺎ
Artinya : “ …Dan diperbolehkan menukar guling tanah wakaf dengan syarat adanya tanah yang lain, atau dengan menjualnya dan membelikan tanah yang baru sebagaimana harga tanah yang 10
Ibnu ‘Abidin, Loc.Cit., hal. 54 Ibid, hal. 55 12 Ibid. hal. 583-586 11
55 pertama jika diinginkan, jika hal tersebut dilaksanakan maka jadilah tanah yang kedua sebagaimana tanah yang pertama dalam persyaratannya meskipun tidak disebutkan kemudian ditukar guling lagi dengan tanah ketiga.. “ Menurut Ibnu ‘Abidin pergantian benda wakaf dimungkinkan terjadi dalam tiga hal, yakni: 1) Karena wakif mengisyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau orang lain untuk menukar benda wakaf tersebut. Pergantian pada kemungkinan qaul(perkataan)
pertama yang
inilah shahih,
yang bahkan
diperbolehkan dikatakan
telah
menurut menjadi
kesepakatan (ittifaq)dalam Madzhab Hanafi; 2) Karena wakif tidak menyatakan hak untuk menjual dan mengganti benda wakaf, namun dikemudian hari ternyata benda wakaf itu tidak bermanfaat lagi. Maka dalam hal ini benda wakaf boleh dijual atau diganti dengan benda lain yang sama. Dalam kasus yang kedua ini diperbolehkan jika terlebih dahulu mendapatkan ijin dari hakim yang telah mengadakan observasi tentang kelayakan terhadap benda wakaf untuk ditukar guling, dikarenakan adanya kemaslahatan; 3) Karena wakif juga tidak menyatakan dan benda wakaf masih berfungsi dengan maksimal. Namun ada benda lain yang mendatangkan manfaat lebih baik dan lebih banyak dari benda wakaf awal. Untuk kemungkinan yang ketiga ini tidak diperkenankan menurut qaul yang mukhtar (dipilih). 13
13
Ibid. hal. 583-585.
56 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwasanya Ibnu ‘ Abidin memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf jika terdapat berbagai kemungkinan sebagaimana di atas.
C. Dasar Istinbat Hukum Ibnu ‘ Abidin Sebelum penulis memaparkan lebih lanjut mengenai dalil-dalil yang digunakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam menentukan hukum mengenai tukar guling terhadap tanah wakaf, terlebih dahulu penulis akan memaparkan tentang secara singkat mengenai metodologi yang dipakai oleh Ibnu ‘ Abidin dalam menentukan hukum dari suatu masalah. Seorang Faqih (ahli fiqh) baru melaksanakan ijtihad apabila dalam suatu peristiwa atau masalah yang terjadi tidak ditemukan dasar hukum yang jelas menerangkan hal tersebut, baik petunjuk melalui nash yang terdapat dalam al Qur’an maupun dalam al Hadits. Hal ini dilakukan sebagai bukti bahwa manusia secara kodrati dibekali kemampuan jasmani dan rohani. Kemampuan rohani berfungsi untuk memahami terhadap apa yang dilihat oleh panca indra manusia, dan dialami oleh pikiran, sekaligus juga berfungsi untuk merespon terhadap hal yang terjadi tersebut, meskipun tidak ada petunjuk yang jelas dari nash. Diharapkan dari respon yang diberikan oleh akal melalui kemampuan rohani dan diwujudkan melalui tindakan, maka diharapkan seorang manusia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.14
14
Moh. Idris Ramulya, Asa-Asas Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 139.
57 Secara terperinci Ibnu ‘Abidin tidak menjelaskan dasar-dasar istinbat yang dipakai beliau, tetapi karena beliau merupakan murid Imam Abu Hanifah maka metodologi istinbatnya juga tidak lepas dari Imam Abu Hanifah. Kemudian kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar pemikiran fiqhiyyah Imam Abu Hanifah tercermin dari perkataan beliau, seperti yang ditulis oleh Thaha Jabir Fayadl al-‘Ulwani dan membagi metodologi ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua: yakni metodologi ijtihad yang pokok dan metodologi ijtihad yang tambahan. Metodologi yang pokok tercermin dari perkataan Imam Abu Hanifah sebagai berikut:
أﺧﺬ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ إذا وﺟﺪﺗﻪ ﻓﻤﺎ ﻟﻢ اﺟﺪ ﻓﺒﺴﻨﺔ: وﻟﻘﺪ روي ﻋﻨﻪ اﻧﻪ ﻗﺎل وﻻ ﺳﻨﺔ رﺳﻮل اﷲ,ﻓﺎ ن ﻟﻢ اﺟﺪ ﻓﻲ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ.م.رﺳﻮل اﷲ ص اﺧﺬ ﻣﻦ ﺷﺌﺖ ﻣﻨﻬﻢ وادع ﻣﻦ ﺷﺌﺖ.. ا ﺧﺬت ﺑﻘﻮل اﺻﺤﺎﺑﻪ.م.ص ﻓﺎﻣﺎذااﻧﺘﻬﻰ اﻻﻣﺮ اﻟﻰ.ﻣﻨﻬﻢ ﺛﻢ وﻻاﺧﺮج ﻋﻦ ﻗﻮﻟﻬﻢ اﻟﻰ ﻗﻮل ﻏﻴﺮهﻢ اﺑﺮاهﻴﻢ اي اﻟﻨﺨﻌﻲ و اﻟﺸﻌﺒﻲ واﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ واﻟﺤﺴﻦ وﻋﻄﺎء وﺳﻌﻴﺪ 15 .ﻓﻘﻮم اﺟﺘﻬﺪوا ﻓﺎﺟﺘﻬﺪآﻤﺎ اﺟﺘﻬﺪوا.. ﺑﻦ ﻣﺴﻴﺐ Artinya: Dan diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah. Dia berkata “Sesungguhnya saya berpegang pada Kitabullah jika saya menemukannya. Namun jika aku tidak menemukan maka aku akan berpegang pada Sunnah Rasulullah saw. Jika tidak aku temukan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, maka aku akan berpegang pada pendapat Sahabat. Saya ambil pendapat-pendapat dari Sahabat yang saya kehendaki dan saya tinggalkan siapa yang saya kehendaki. Saya tidak menyimpang dari pendapat Sahabat kepada yang bukan Sahabat. Kalau urusan itu telah sampai kepada Ibrahim yakni al Nakhfi, al Sya’bi, Ibnu Sirin al Hasan, Atho’ dan Ibnu al Musayyab, dan kaum yang berijtihad maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
15
Ibnu ‘Abidin,Op.cit. hal. 33-34
58 Sedangkan metodologi ijtihad dari Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah: a. Bahwa dilalah (penunjukan) lafal umum adalah qath’i , sebagaimana lafal khas b. Bahwa pendapat Sahabat “yang tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah bersifat khusus c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih) d. Adanya penolakan terhadap mafhum ( makna tersirat), syarat dan sifat e. Bahwa apabila perbuatan rowi menyalahi periwayatnya, maka yang dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan periwayatannya f. Mendahulukan qiyas jali dari khabar ahad yang dipertentangkan g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan16 Dalam penjelasan yang lain, diterangkan bahwa pegangan Imam Abu Hanifah juga sebagaimana berikut:
آﻼم اﺑﻰ ﺣﻨﻴﻔﺔ اﺧﺬ ﺑﺎﻟﺜﻘﺔ وﻓﺮار ﻣﻦ اﻟﻘﺒﺢ واﻟﻨﻈﺮ ﻓﻰ ﻣﻌﺎﻣﻼت اﻟﻨﺎس وﻣﺎ اﺳﺘﻘﺎﻣﻮا ﻋﻠﻴﻪ وﺻﻠﺢ ﻋﻠﻴﻪ اﻣﻮرهﻢ ﺑﻤﻀىﺎﻷﻣﻮر ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻴﺎس ﻓﺎذاﻗﺒﺢ اﻟﻘﻴﺎس ﺑﻤﻀﻴﻪ ﻋﻠﻰ اﻻﺳﺘﺤﺴﺎن ﻣﺎدام ﺑﻤﻀىﻠﻪ ﻓﺎذاﻟﻢ ﻳﻤﺾ ﻟﻪ رﺟﻊ اﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﺘﻌﺎﻣﻞ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﺑﻪ وآﺎن ﻳﻮﺻﻞ اﻟﺤﺪﻳﺚ اﻟﻤﻌﺮوف اﻟﺬى اﺟﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺛﻢ ﻳﻘﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎدام اﻟﻘﻴﺎس ﺳﺎﺛﻐﺎ ﺛﻢ 17 .ﻳﺮﺟﻊ اﻟﻰ اﻟﻘﻴﺎس اﻳﻬﻤﺎ آﺎن اوﺛﻖ رﺟﻊ ﻋﻠﻴﻪ Artinya: “Perkataan Imam Abu Hanifah adalah mengambil dari kepercayaan dan lari dari kerusakan, memperhatikan masalah mu’amalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahah bagi urusan-urusan mereka, ia menjalankan urusan-urusan atas qiyas,18 16
Ibid. hal. 75 Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971, hal. 232. 18 Qiyas menurut ulama’ ushul adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash 17
59 apabila qiyas tidak baik dilakukan, maka ia melakukan dengan istihsan19, selama dapat dilakukan. Apabila tidak dapat dilakukan iapun akan kembali pada ‘urf20 masyarakat muslim dan mengamalkan Hadits yang telah terkenal dan disepakati oleh ulama’. Kemudian ia mengqiyaskan sesuatu pada Hadits itu selama qiyas itu dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Mana di antara keduanya yang lebih tepat, kembalilah ia kepadanya. Dalam redaksi yang hampir sama, diterangkan juga oleh Sahal Ibnu Muzahim mengenai metodologi Imam Abu Hanifah dalam menegakkan fiqh, sebagaimana berikut: Imam Abu Hanifah memegangi riwayat orang yang dipercayai dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan mu’amalah manusia dan adat serta ‘urf mereka itu. Beliau lebih memegangi qiyas. Namun kalau dalam suatu masalah tidak baik didasarkan atas qiyas, maka beliau memegangi istihsan, selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak beliau berpegang pada adat dan ‘urf. 21 Ringkasnya, dasar Imam Abu Hanifah ialah: 1) kitabullah; 2) sunnah rasul dan atsar-atsar yang sahih yang telah masyhur di antara para ulama’;
karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illatnya Setiap qiyas juga harus terdiri dari empat sendi yaitu: 1. Al Ashlu yakni adanya hukum yang ada dalam nash. Disebut juga maqis ‘alaih (yang dijadikan ukuran); 2. Al Far’u yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash. Disebut juga al maqis (yang diukur); 3. Hukum asal yakni hukum syara’ yang ada nashnya menurut asal dan dimaksud dengan ini sebagai pangkal hukum bagi cabang; 4. Al ‘Illat yakni keadaan yang dijadikan dasar oleh hukum asal berdasarkan wujudnya cabang itu pada asal, maka disamakanlah cabang itu kepada asal, mengenai hukumnya., baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal. 19. 19 Istihsan menurut istilah ahli ushul adalah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas khafi(qiyas samar)atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal.67. 20 ‘Urf dalam perspektif ahli ushul adalah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan ataupun perbuatannya. Dalam pandangan ahli ushul antara ‘urf dan adat adalah dua perkara yang sama serta mempunyai kesamaan dalam makna, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuwait, t.th. hal.145. 21 TM. Hasbi al-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1953, hal. 100.
60 3) fatwa-fatwa para shahabat; 4) qiyas; 5) istihsan; 6) adat dan ‘urf masyarakat.22. Namun dalam penjelasan lain yakni dalam Radd al Muhtar (Juz I hal. 35) Imam Abu Hanifah juga memakai ijma’23 dalam metodologi istinbatnya. Kemudian ada perbedaan dasar pemikiran Imam Abu Hanafi mengenai al Sunnah dengan ulama lain, yakni: Imam Abu Hanifah menerima Hadits yang masyhur di antara orang-orang kepercayaan dan kadang-kadang beliau meninggalkan qiyas, karena suatu sebab atau suatu atsar. Kemudian mengambil kaidah umum yang kemudian ini beliau namakan istihsan.24 Selanjutnya karena Ibnu ‘Abidin adalah salah satu penerus dari Madzhab Hanafi25 maka dasar ijtihad pendapat Ibnu ‘Abidin mengenai bolehnya tukar guling terhadap tanah wakaf juga sama sebagaimana Imam Abu Hanifah yakni dengan menggunakan istihsan26. Hal tersebut dikarenakan beberapa kemungkinan: 1. Tidak adanya nash yang sharih dari al Qur’an maupun al Hadits yang melarang ataupun membolehkan tentang adanya tukar guling terhadap tanah wakaf;
22
Ibid. Ijma’ dalam perspektif Ahli Ushul adalah kesepakatan semua Mujtahidin diri umat Islam pada suatu masa setelah meninggalnya Rasulullah Saw atas hukum Syar’i mengenai suatu kejadian ataupun suatu kasus. Baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuwait, t.th. hal.45. 23
24
TM. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta: t.th., 129-130. 25 Ibnu ‘Abidin,Op.cit. hal. 53 26 ‘Abdul Wahab Khalaf, Mashodir al Tasyri’ al Islami, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal.67.
61 2. Tidak adanya qaul shahabi (fatwa-fatwa sahabat) yang menerangkan hal tersebut; 3. Adanya dalil yang menyebabkan dialihkannya tukar guling terhadap tanah wakaf dari qiyas jali menuju qiyas khafi (istihsan); 4. Dalil yang dimaksud adalah mashlahah yang mengharuskan hal tersebut dilakukan demi tercapainya esensi dari wakaf.
27
Karena kalau tanah
wakaf tadi tidak ditukar guling maka tidak akan dapat dimanfaatkan dengan maksimal sehingga akhirnya akan terbengkalai.
27
Ibid. hal. 25.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
A. Analisis Metode Istinbat Ibnu ‘Abidin Tentang Tukar Guling (Ruilslag) Terhadap Tanah Wakaf Ibnu ‘Abidin adalah sebagai penerus Madzhab Hanafi. Jadi dalam beristinbat Ibnu ‘Abidin
tidak lepas dari Imam
Abu Hanifah dan pengikutnya.1 Secara
terperinci Ibnu ‘Abidin tidak menjelaskan dasar-dasar istinbat yang dipakai beliau, tetapi karena beliau merupakan penerus Imam Abu Hanifah maka metodologi istinbatnya juga tidak lepas dari Imam Abu Hanifah. Kemudian kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar pemikiran fiqhiyyah Imam Abu Hanifah tercermin dari perkataan beliau, seperti yang ditulis oleh Thaha Jabir Fayadl al-‘Ulwani dan membagi metodologi ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua: yakni metodologi ijtihad yang pokok dan metodologi ijtihad yang tambahan. Metodologi yang pokok tercermin dari perkataan Imam Abu Hanifah sebagai berikut:
أﺧﺬ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ إذا وﺟﺪﺗﻪ ﻓﻤﺎ ﻟﻢ اﺟﺪ ﻓﺒﺴﻨﺔ رﺳﻮل: وﻟﻘﺪ روي ﻋﻨﻪ اﻧﻪ ﻗﺎل ا ﺧﺬت ﺑﻘﻮل.م. وﻻ ﺳﻨﺔ رﺳﻮل اﷲ ص,ﻓﺎ ن ﻟﻢ اﺟﺪ ﻓﻲ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ.م.اﷲ ص اﺧﺬ ﻣﻦ ﺷﺌﺖ ﻣﻨﻬﻢ وادع ﻣﻦ ﺷﺌﺖ ﻣﻨﻬﻢ ﺛﻢ وﻻاﺧﺮج ﻋﻦ ﻗﻮﻟﻬﻢ.. اﺻﺤﺎﺑﻪ ﻓﺎﻣﺎذااﻧﺘﻬﻰ اﻻﻣﺮ اﻟﻰ اﺑﺮاهﻴﻢ اي اﻟﻨﺨﻌﻲ و اﻟﺸﻌﺒﻲ واﺑﻦ.اﻟﻰ ﻗﻮل ﻏﻴﺮهﻢ ﻓﻘﻮم اﺟﺘﻬﺪوا ﻓﺎﺟﺘﻬﺪآﻤﺎ.. ﺳﻴﺮﻳﻦ واﻟﺤﺴﻦ وﻋﻄﺎء وﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﺴﻴﺐ 2 .اﺟﺘﻬﺪوا 1 2
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar Juz VI, Dar al-Kitab al-Ilmiah, Beirut Libanon, 1994, hal. 54-55. Ibid. hal. 33-34
62
63 Artinya: Dan diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah. Dia berkata “Sesungguhnya saya berpegang pada Kitabullah jika saya menemukannya. Namun jika aku tidak menemukan maka aku akan berpegang pada Sunnah Rasulullah saw. Jika tidak aku temukan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, maka aku akan berpegang pada pendapat Sahabat. Saya ambil pendapat-pendapat dari Sahabat yang saya kehendaki dan saya tinggalkan siapa yang saya kehendaki. Saya tidak menyimpang dari pendapat Sahabat kepada yang bukan Sahabat. Kalau urusan itu telah sampai kepada Ibrahim yakni al Nakhfi, al Sya’bi, Ibnu Sirin al Hasan, Atho’ dan Ibnu al Musayyab, dan kaum yang berijtihad maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad. Sedangkan metodologi ijtihad dari Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah: a. Bahwa dilalah (penunjukan) lafal umum adalah qath’i , sebagaimana lafal khas b. Bahwa pendapat Sahabat “yang tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah bersifat khusus c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih) d. Adanya penolakan terhadap mafhum ( makna tersirat), syarat dan sifat e. Bahwa apabila perbuatan rowi menyalahi periwayatnya, maka yang dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan periwayatannya f. Mendahulukan qiyas jali dari khabar ahad yang dipertentangkan g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan3
3
Ibid. hal. 75
64 Dalam penjelasan yang lain, diterangkan bahwa pegangan Imam Abu Hanifah juga sebagaimana berikut:
آﻼم اﺑﻰ ﺣﻨﻴﻔﺔ اﺧﺬ ﺑﺎﻟﺜﻘﺔ وﻓﺮار ﻣﻦ اﻟﻘﺒﺢ واﻟﻨﻈﺮ ﻓﻰ ﻣﻌﺎﻣﻼت اﻟﻨﺎس وﻣﺎ اﺳﺘﻘﺎﻣﻮا ﻋﻠﻴﻪ وﺻﻠﺢ ﻋﻠﻴﻪ اﻣﻮرهﻢ ﺑﻤﻀىﺎﻷﻣﻮر ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻴﺎس ﻓﺎذاﻗﺒﺢ اﻟﻘﻴﺎس ﺑﻤﻀﻴﻪ ﻋﻠﻰ اﻻﺳﺘﺤﺴﺎن ﻣﺎدام ﺑﻤﻀىﻠﻪ ﻓﺎذاﻟﻢ ﻳﻤﺾ ﻟﻪ رﺟﻊ اﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﺘﻌﺎﻣﻞ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﺑﻪ وآﺎن ﻳﻮﺻﻞ اﻟﺤﺪﻳﺚ اﻟﻤﻌﺮوف اﻟﺬى اﺟﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺛﻢ ﻳﻘﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎدام اﻟﻘﻴﺎس ﺳﺎﺛﻐﺎ ﺛﻢ ﻳﺮﺟﻊ اﻟﻰ اﻟﻘﻴﺎس اﻳﻬﻤﺎ آﺎن اوﺛﻖ رﺟﻊ 4.ﻋﻠﻴﻪ Artinya: “Perkataan Imam Abu Hanifah adalah mengambil dari kepercayaan dan lari dari kerusakan, memperhatikan masalah mu’amalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahah bagi urusan-urusan mereka, ia menjalankan urusan-urusan atas qiyas,5 apabila qiyas tidak baik dilakukan, maka ia melakukan dengan istihsan6, selama dapat dilakukan. Apabila tidak dapat dilakukan iapun akan kembali pada ‘urf7 masyarakat muslim dan mengamalkan Hadits yang telah terkenal dan disepakati oleh ulama’. Kemudian ia mengqiyaskan sesuatu pada Hadits itu selama qiyas itu dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Mana di antara keduanya yang lebih tepat, kembalilah ia kepadanya. Dalam redaksi yang hampir sama, diterangkan juga oleh Sahal Ibnu Muzahim mengenai metodologi Imam Abu Hanifah dalam menegakkan fiqh, sebagaimana berikut: Imam Abu
Hanifah memegangi riwayat orang yang dipercayai dan
menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan mu’amalah manusia dan adat serta ‘urf mereka itu. Beliau lebih memegangi qiyas. Namun kalau dalam suatu 4
Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971, hal. 232. Qiyas menurut ulama’ ushul adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illatnya, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal. 19. 6 Istihsan menurut istilah ahli ushul adalah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas khafi(qiyas samar)atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal.67. 7 ‘Urf dalam perspektif ahli ushul adalah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan ataupun perbuatannya. Dalam pandangan ahli ushul antara ‘urf dan adat adalah dua perkara yang sama serta mempunyai kesamaan dalam makna, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuwait, t.th. hal.145. 5
65 masalah tidak baik didasarkan atas qiyas, maka beliau memegangi istihsan, selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak beliau berpegang pada adat dan ‘urf.8 Ringkasnya, dasar Imam Abu Hanifah ialah: 1) kitabullah; 2) sunnah rasul dan atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur di antara para ulama’; 3) fatwa-fatwa para shahabat; 4) qiyas; 5) istihsan; 6) adat dan ‘urf masyarakat.9. Namun dalam penjelasan lain yakni dalam Radd al Muhtar (Juz I hal. 35) Imam Abu Hanifah juga memakai ijma’10 dalam metodologi istinbatnya. Kemudian ada perbedaan dasar pemikiran Imam Abu Hanafi mengenai al Sunnah dengan ulama lain, yakni: Imam Abu Hanifah menerima Hadits yang masyhur di antara orang-orang kepercayaan dan kadang-kadang beliau meninggalkan qiyas, karena suatu sebab atau suatu atsar. Kemudian mengambil kaidah umum yang kemudian ini beliau namakan istihsan.11 Menurut penulis, dasar ijtihad pendapat Ibnu ‘ Abidin mengenai bolehnya tukar guling terhadap tanah wakaf menggunakan istihsan dikarenakan beberapa kemungkinan: 1. Tidak adanya nash yang sharih dari al Qur’an maupun al Hadits yang melarang ataupun membolehkan tentang adanya tukar guling terhadap tanah wakaf. 2. Tidak adanya qaul shahabi (fatwa-fatwa sahabat) yang menerangkan hal tersebut
8
TM. Hasbi al-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1953, hal. 100. Ibid. 10 Ijma’ dalam perspektif Ahli Ushul adalah kesepakatan semua Mujtahidin diri umat Islam pada suatu masa setelah meninggalnya Rasulullah Saw atas hukum Syar’i mengenai suatu kejadian ataupun suatu kasus. Baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuwait, t.th. hal.45. 9
11
TM. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.th., 129-130.
66 3. Adanya dalil yang menyebabkan dialihkannya tukar guling terhadap tanah wakaf dari qiyas jali menuju qiyas khafi (istihsan); 4. Adanya mashlahah yang mengharuskan hal tersebut dilakukan demi tercapainya esensi dari wakaf.12 Fuqaha’ Madzhab yakni Maliki, Hambali dan Syafi’i berpendapat bahwa wakaf diqiyaskan (qiyas jali) dengan jual beli (buyu’) karena didasarkan dengan sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya.13 Dengan menjual barang maka ba’i’ (penjual) melepaskan kepemilikan barang yang dia jual kepada orang lain. Hal tersebut sebagaimana wakaf yakni dengan adanya wakif mewakafkan barang yang dia punya maka kepemilikan benda wakaf tersebut telah berpindah dari tangan wakif menuju hak mutlak Allah. Namun menurut Madzhab Hanafi (termasuk juga Ibnu ‘Abidin) wakaf diistihsankan (qiyas khafi) dengan sewa-menyewa (‘ariyah), karena didasarkan atas, dari masing-masing itu yang dimaksudkan adalah sama-sama mengambil manfaat.14 Dengan menyewa barang maka si penyewa dapat mengambil manfaat dari barang yang ia sewa tersebut. Begitu juga dengan adanya wakaf maka setelah si wakif menyerahkan benda yang ia wakafkan maka orang lain untuk dapat mengambil manfaat dari benda wakaf tersebut. Dalam hal ini kenapa Ibnu ‘Abidin lebih memilih menggunakan metode istihsan karena adanya dalil yang menyebabkan berpalingnya Ibnu ‘Abidin dari qiyas menuju istihsan yakni karena adanya maslahah15. Menurut penulis maslahah yang
12
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal. 80. Ibid. 14 Ibid. 15 Ibid. hal. 79-80. 13
67 ada di sini adalah dapat dimanfaatkanya tanah wakaf yakni dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Ketika tanah wakaf tidak ditukar guling maka tanah tadi akan terbengkalai sekaligus mubadzir karena tidak berfungsi maksimal bahkan tidak berfungsi sama sekali. Dalam pandangan penulis kenapa tukar guling dianggap boleh karena segala sesuatu pada awalnya adalah mubah (boleh) sehingga ada dalil yang melarangnya. Hal ini sebagaimana kaidah fiqhiyyah : 16
اﻻﺻﻞ ﻓﻲ اﻻﺷﻴﺎء اﻻﺑﺎﺣﺔﺣﺘﻲ ﻳﺪل ﻋﺎي ﺗﺤﺮﻳﻤﻬﺎ
Artinya : “ Asal dari segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya“. Sedangkan Allah dalam Al Qur’an telah melarang kita untuk memubadzirkan sesuatu karena itu adalah perbuatan syaitan. Karena memubadzirkan segala sesuatu adalah pemborosan. Sedangkan pemboros adalah teman Syaitan. Hal tersebut sebagaimana firman Allah:
ن ِﻟ َﺮ ﱢﺑ ِﻪ َآﻔُﻮرًا ُ ﺸ ْﻴﻄَﺎ ن اﻟ ﱠ َ ﻦ َوآَﺎ ِ ﺸﻴَﺎﻃِﻴ ن اﻟ ﱠ َ ﺧﻮَا ْ ﻦ آَﺎﻧُﻮا ِإ َ ن ا ْﻟ ُﻤ َﺒ ﱢﺬرِﻳ ِإ ﱠ (27:)اﻻﺳﺮاء Artinya : “ Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara Syaitan, sedang Syaitan itu adalah makhluk yang sangat kufur kepada Tuhannya” Selain itu tukar guling terhadap tanah wakaf sebagai juga solusi untuk mencegah dari kerusakan sebagaimana kaidah fiqhiyyah : 17
درء اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ
Artinya: "Menolak kerusakan (didahulukan) dari pada menarik kemaslahatan ".
16 17
Muhammad Yasin, Al-fawaid al-Jiniyyah, Beirut Libanon, 1997, hal. : 1991 Ibid. hal. : 260
68 Dari dalil di atas baik al Qur’an maupun kaidah fiqhiyyah jelas menuntut kepada kita untuk tidak memubadzirkan segala sesuatu karena akan menarik ke arah mafsadah (kerusakan). Karena menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada melaksanakan kemaslahatan. Oleh karenanya tanah wakaf yang tidak dapat berfungsi maksimal dan bahkan tidak berfungsi sama sekali maka harus ditukar guling demi terpenuhinya esensi dari wakaf.
B. Analisis Pendapat Ibnu ‘Abidin Tentang Tukar Guling (Ruilslag) Terhadap Tanah Wakaf Sebagaimana yang penulis jelaskan dalam bab III bahwasanya Ibnu ‘Abidin memperbolehkan adanya tukar guling (ruilslag) terhadap tanah wakaf. Baik dengan cara ditukar dengan langsung dengan tanah yang lain maupun dijual dahulu kemudian hasil dari penjualannya (uangnya) dibelikan tanah yang baru sebagai pengganti dari yang awal. Hal tersebut tercermin dari komentar beliau sebagai berikut :
)و(ﺟﺎز )ﺷﺮط اﻻﺳﺘﺒﺪال ﺑﻪ ارﺿﺎ اﺧﺮى( ﺣﻴﻨﺌﺬ)أو( ﺷﺮ ط )ﺑﻴﻌﻪ و... ﻓﺎذا ﻓﻌﻞ ﺻﺎ رت اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ آﺎﻻوﻟﻲ ﻓﻲ,ﻳﺸﺘﺮ ي ﺑﺜﻤﻨﻪ ارﺿﺎ اﺧﺮي اذا ﺷﺎء ...18(ﺷﺮاﺋﻄﻬﺎ وان ﻟﻢ ﻳﺬ آﺮ هﺎ ﺛﻢ ﻻ ﻳﺴﺘﺒﺪﻟﻬﺎ ﺛﺎﻟﺜﺎ Artinya : “ …dan diperbolehkan menukar guling tanah wakaf dengan syarat adanya tanah yang lain, atau dengan menjualnya dan membelikan tanah yang baru sebagaimana harga tanah yang pertama jika diinginkan, jika hal tersebut dilaksanakan maka jadilah tanah yang kedua sebagaimana tanah yang pertama dalam persyaratannya meskipun tidak disebutkan kemudian ditukar guling lagi dengan tanah ketiga… “
18
Ibid. hal. 583
69 Dari paparan di atas terlihat sharih (jelas) bahwasanya Ibnu ‘Abidin memperbolehkan adanya tukar guling (ruilslag) terhadap tanah wakaf. Ibnu ‘Abidin memperbolehkan adanya tukar guling dengan berbagai pertimbangan sebagaimana dalam penjelasan berikutnya yakni: 1) Karena wakif mengisyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau orang lain untuk menukar benda wakaf tersebut. Pergantian pada kemungkinan pertama inilah yang diperbolehkan menurut qaul (perkataan) yang shahih, bahkan dikatakan telah menjadi kesepakatan (ittifaq) dalam Madzhab Hanafi; 2) Karena wakif tidak menyatakan hak untuk menjual dan mengganti benda wakaf, namun dikemudian hari ternyata benda wakaf itu tidak bermanfaat lagi. Maka dalam hal ini benda wakaf boleh dijual atau diganti dengan benda lain yang sama. Dalam kasus yang kedua ini diperbolehkan jika terlebih dahulu mendapatkan ijin dari hakim yang telah mengadakan observasi tentang kelayakan terhadap benda wakaf untuk ditukar guling, dikarenakan adanya kemaslahatan; 3) Karena wakif juga tidak menyatakan dan benda wakaf masih berfungsi dengan maksimal. Namun ada benda lain yang mendatangkan manfaat lebih baik dan lebih banyak dari benda wakaf awal. Untuk kemungkinan yang ketiga ini tidak diperkenankan menurut qaul yang mukhtar (dipilih). 19 Dari penjelasan di atas setidaknya memberi kemudahan bagi seorang wakif ataupun bagi nadzir untuk mengadakan tukar guling terhadap benda wakaf karena adanya maslahah. Hal tersebut dilakukan guna mengekalkan dari tanah wakaf sekaligus mengekalkan manfaat dari wakaf yakni benda dapat digunakan dalam
19
Ibid. hal. 583-585.
70 jangka panjang.20 Karena apabila tanah wakaf tersebut tidak ditukar guling maka tanah wakaf tersebut akan sia-sia serta terbengkalai. Misalnya sebuah bangunan sekolah yang berada di tengah pasar maka tidak akan kondusif untuk difungsikan dengan maksimal. Karena siswa-siswa yang belajar pasti akan terusik dengan hiruk-pikuk keramaian pasar serta bau sampah yang ditimbulkan dari sekitarnya. Akan lebih baik lagi apabila bangunan sekolah tersebut dipindahkan ke samping pasar ataupun tempat lain yang lebih kondusif dari tempat yang pertama. Dari analisa penulis terhadap pendapat Ibnu ‘Abidin dalam proses tukar guling, maka tidak boleh dilakukan dengan sembarangan setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yakni: 1. Adanya tanah baru sebagai pengganti. Jika tanah yang pertama dijual maka hasil dari penjualan tanah pertama tadi, dibelikan tanah baru sebagai penggantinya; 2. Adanya isyarat atau izin dari wakif bagi dirinya ataupun untuk orang lain untuk melakukan tukar guling; 3. Adanya maslahah yang memperbolehkan tukar guling dilaksanakan; 4. Untuk syarat yang kedua dari tiga kemungkinan yang dipaparkan Ibnu ‘Abidin, maka harus didahului dengan adanya izin dari hakim setelah mengadakan survei terhadap tanah yang akan ditukar guling. Namun kiranya perlu dicermati bahwasanya syarat kedua yang diajukan oleh Ibnu ‘Abidin ini bisa menjadi bumerang. Karena bisa dengan seenaknya saja seorang
20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 493.
71 wakif ataupun bagi orang yang diberi izin untuk mengadakan tukar guling tanpa harus melihat maslahah. Misalnya seorang wakif yang mewakafkan sebidang tanahnya untuk dijadikan sekolah. Untuk selanjutnya tanah tersebut dibangun oleh masyarakat dengan dana swadaya menjadi bangunan sekolah yang bagus. Kemudian tanpa sebab wakif ingin memindahkan bangunan tersebut ke tanah wakif yang lain. Meskipun dengan ditukar dengan tanah yang lain tentunya ini bisa menjadi persoalan yang rumit. Tentunya masyarakat sekitar akan menolak hal tersebut karena belum tentu wakif bersedia mengganti bangunan yang akan dipindahkan dan tentunya juga akan memakan banyak biaya. Kemudian letak tanah yang baru juga belum tentu strategis untuk dijadikan bangunan sekolah. Hal yang harus dipertimbangkan juga tentunya adalah jarak sekolah dengan pemukiman penduduk. Tentunya sangat kasihan bagi para siswa yang akan sekolah ataupun orang tua yang akan mengantar anaknya untuk sekolah apabila letak sekolahan jauh dari pemukiman mereka. Dalam hemat penulis tentunya tukar guling yang dilakukan oleh wakif atau bagi orang yang mendapat izin dari dia, harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari hakim. Kalau kemudian itu tidak mendapatkan izin dari hakim terlebih dahulu maka akan terjadi kesemrawutan yang luar biasa. Alasan yang penulis kemukakan kenapa wakif atau orang yang mendapat izin dari wakif untuk melaksanakan tukar guling harus mendapatkan izin dari hakim terlebih dahulu dikarenakan : 1. Agar tidak terjadi kesemrawutan dalam hal tukar guling tanah wakaf;
72 2. Karena tanah yang sudah diwakafkan berarti kepemilikannya sudah berpindah untuk selanjutnya adalah milik mutlak Allah dan gugurlah hak dari wakif21, jadi tidak sembarangan untuk ditukar guling; 3. Karena tanah wakaf adalah milik umum yang selanjutnya digunakan untuk kepentingan umum yang berfungsi ibadah. Maka apabila akan ditukar guling juga harus mendapatkan izin secara umum minimal harus seizin hakim. Dalam hal tukar guling tanah wakaf Ibnu ‘Abidin memang berbeda dengan dua Imam Madzhab yakni Imam Malik Imam Syafi’i yang memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf hanya karena dalam keadaan darurat. Sedangkan Imam Malik hampir sama dengan Ibnu ‘Abidin namun lebih longgar Ibnu ‘Abidin (baca lebih lanjut dalam bab II hal. 46). Menurut penulis ada beberapa hal yang menyebabkan pemikiran Ibnu ‘Abidin beda dengan Imam Madzhab yang lain : 1. Ibnu ‘Abidin bukan keturunan Arab, namun merupakan keturunan Damaskus Syam dan pernah menimba ilmu di Mesir yang merupakan pusat peradaban Islam pada waktu itu; 2. Ibnu ‘Abidin tidak hanya memperdalam ilmu syari’ah saja namun juga ilmu-ilmu yang lain seperti tajwid, nahwu dan shorof; 3. Radd al Muhtar yang memuat fatwa-fatwa Ibnu ‘Abidin muncul pada saat situasi negara dalam keadaan guncang karena krisis kepercayaan rakyat dan fuqaha’ terhadap pemerintahan Murad IV dari Dinasti Utsmaniyah karena dinilai kurang arif dan bijaksana; 21
Ibid. hal. 216.
73 4. Radd al Muhtar muncul sebagai simbol perlawanan fuqaha’ terutama yang bermadzhab Hanafi terhadap pemerintah yang terlalu banyak mengintervensi masalah-masalah keagamaan; 5. Radd al Muhtar muncul sebagai pemberi solusi terhadap perkara-perkara yang saat itu baru muncul.22 Kemudian ketika pemikiran Ibnu ‘Abidin ditarik ke ranah Indonesia maka ini sebagai tawaran solusi dari apa yang telah diatur Pemerintah melalui PP No 28 Tahun 1977 pasal 11 jo. pasal 218 dan 225
KHI dijelaskan tentang adanya
kemungkinan diperbolehkannya ada tukar guling terhadap tanah wakaf, sebagaimana berikut: a. Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. b. Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama yakni; 1) Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif 2) Karena kepentingan umum. c. Perubahan
status
tanah
milik
yang
telah
diwakafkan
dan
perubahan
penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah, cq. Kepala sub Direktorat
22
Ibid Juz I. hal. 43-44.
74 Agraria untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.23 (lihat juga KHI pasal 225). Apabila peraturan ini harus kita laksanakan yakni dengan melaporkannya kepada Menteri Agama kemudian menunggu izin dari Menteri Agama dilanjutkan harus dilaporkan kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah, cq. Kepala sub Direktorat Agraria untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. Tentunya hal tersebut akan menyulitkan kita karena harus melalui prosedur yang berbelit-belit dan tentunya akan memakan waktu yang tidak sebentar. Padahal realita di lapangan menuntut agar tanah wakaf segera ditukar guling agar tidak terlalu lama terbengkalai dan secepatnya dapat dimanfaatkan agar pahala dari tanah wakaf tersebut dapat mengalir kepada wakifnya sebagai shadaqah jariyah. Jika tanah wakaf tadi tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya dan tidak secepatnya dilakukan tukar guling maka tentunya pahalanyapun akan berhenti sampai di situ. Maka setidaknya apa yang ditawarkan oleh Ibnu ‘Abidin melalui pemikirannya setidaknya menjadi wacana awal bagi kita sekaligus pencerahan bagi nalar kita bagaimana mencari smart solution guna memecahkan polemik tukar guling terhadap tanah wakaf yang sering menjadi persoalan yang berlarut-larut dan bahkan tidak selesai serta menyisakan banyak persoalan.
23
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta, 19984/1985, hal. 95.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah penyusun mengkaji dan mengadakan penelitian tentang tukar guling (ruilslag) terhadap tanah wakaf sebagaimana yang telah disampaikan Ibnu ‘Abidin melalui Radd al Muhtar, maka setelah menganalisa pendapat tersebut akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwasanya Ibnu ‘Abidin memperbolehkan adanya tukar guling (ruilslag) terhadap tanah wakaf. Baik dengan cara ditukar dengan langsung dengan tanah yang lain maupun dijual dahulu kemudian hasil dari penjualannya (uangnya) dibelikan tanah yang baru sebagai pengganti dari yang awal. Selanjutnya dimungkinkan terjadinya tukar guling dengan: a. Karena wakif mengisyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau orang lain untuk menukar benda wakaf tersebut. Pergantian pada kemungkinan
pertama
inilah
yang
diperbolehkan
menurut
qaul
(perkataan) yang shahih, bahkan dikatakan telah menjadi kesepakatan (ittifaq) dalam Madzhab Hanafi; b. Karena wakif tidak menyatakan hak untuk menjual dan mengganti benda wakaf, namun dikemudian hari ternyata benda wakaf itu tidak bermanfaat lagi. Maka dalam hal ini benda wakaf boleh dijual atau diganti dengan benda lain yang sama. Dalam kasus yang kedua ini diperbolehkan jika
75
76
terlebih dahulu mendapatkan ijin dari hakim yang telah mengadakan observasi tentang kelayakan terhadap benda wakaf untuk ditukar guling, dikarenakan adanya kemaslahatan; c. Karena wakif juga tidak menyatakan dan benda wakaf masih berfungsi dengan maksimal. Namun ada benda lain yang mendatangkan manfaat lebih baik dan lebih banyak dari benda wakaf awal. Untuk kemungkinan yang ketiga ini tidak diperkenankan menurut qaul yang mukhtar (dipilih). Namun kiranya perlu dicermati kemungkinan pertama yang diajukan oleh Ibnu ‘Abidin ini bisa menjadi bumerang. Karena bisa dengan seenaknya saja seorang wakif ataupun bagi orang yang diberi izin untuk mengadakan tukar guling tanpa harus melihat maslahah. Jadi setidaknya ketika wakif ataupun bagi orang yang mendapat izin dari dia, yang akan mengadakan tukar guling tanah yang diwakafkan harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari hakim yang tentunya dengan terlebih dahulu melihat adanya maslahah. 2. Istinbat hukum Ibnu ‘Abidin yang mendasar ialah dalam menarik kesimpulan hukum, beliau selalu menyerukan penggunaan akal pikiran dalam memecahkan kasus- kasus yang tidak ada nashnya, baik dalam al Qur’an maupun al Hadist. Yaitu dengan membandingkan kasus-kasus yang telah dinashkan ketentuan hukumnya. Dari hasil perbandingan itu beliau menetapkan kesimpulan hukum sebatas hal tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan bagi umat, selaras dengan adat dan tradisi yang berlaku, selagi
77
hal tersebut tidak menyalahi jiwa syariat dan ketetapan hukum yang telah dinashkan oleh al Qur’an dan al Hadist. Maka kemudian dalam hal tukar guling tanah wakaf Ibnu ‘Abidin lebih memilih istihsan (Qiyas Khafi) dari pada qiyas (Qiyas Jali) inti dari hal tersebut didasarkan pada adanya maslahah dalam memberikan kemudahan dalam ibadah dan mu’amalah mengutamakan kemaslahatan umum serta memberikan kebebasan bertindak atas suatu hal. 3. Menurut penulis bahwa pendapat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling terhadap tanah wakaf setidaknya menjadi wacana awal bagi kita sekaligus pencerahan bagi nalar kita bagaimana mencari smart solution guna memecahkan polemik tukar guling terhadap tanah wakaf di negeri ini yang sering menjadi persoalan yang berlarut-larut bahkan tidak selesai sehingga menyisakan banyak persoalan. B. SARAN-SARAN 1. Agar tujuan pensyariatan wakaf ini tercapai diantaranya dengan masih dapat dimanfaatkannya tanah yang diwakafkan, maka tanah yang masih belum berfungsi dengan maksimal dan bahkan tidak berfungsi sama sekali harus segera ditukar guling. 2. Kepada pihak pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh menteri agama serta semua pihak yang terkait, untuk lebih memberi kemudahan dalam hal tukar guling terhadap tanah wakaf tanpa harus melalui prosedur yang berbelit
78
belit dan membutuhkan waktu yang lama tentunya juga dengan biaya yang tidak sedikit pula. 3. Cita-cita ideal sebagaimana di atas tidak akan mungkin terwujud tanpa dukungan dari adanya kesadaran dari diri sendiri dan dari semua pihak . C. PENUTUP Puji syukur kembali penulis haturkan dan panjatkan kehadirat sang pemilik ruh kita Allah SWT. Tuhan yang telah menciptakan langit, bumi serta alam seisinya yang diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia, dan juga telah menganugerahkan kepada penulis dengan memberi kemudahan dalam penulisan skripsi ini hingga telah selesai tanpa aral serta rintangan yang berarti. Sebagai penutup penulis sadar bahwa pembahasan dalam bentuk skripsi hanya sebuah kajian hukum Islam yang terkecil dan sederhana dari bahasan Islam yang sangat komprehensif. karena itu kritik konstruktif dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan di masa mendatang. Karena tidak ada sesuatu yang sempurna selain Allah. Dan pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya maupun bagi pembaca pada umumnya. Amin………. Wallahu a’lam bisshowab.
PUSTAKA ‘Abidin, Ibnu Radd al-Muhtar Juz VI, Dar al-Kitab al-Ilmiah, Beirut Libanon, 1994. ____________, Radd al-Muhtar Juz I, Daar al-Kitab al-Ilmiah, Beirut Libanon:1994. Al Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Penamadani, Jakarta 2004. Al-Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002. Al-Bukhari, Imam, Sahih Al-Bukhari, Juz 3, Dar Fikr Lebanon, Bairut, t.th. Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, UI-Press, Jakarta, 1988. Al-Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1953. _______________, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.th. _______________, Hukum-hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978. Asyumi, A. Rahman dkk., Ilmu Ushul Fiqh, Depag, Jakarta, 1986. B. Lewis, The Ensiklopedia of Islam III, Ihtiar Baru Van House, Jakarta: 1996. Bakr, Taqiyuddin Abi Kifayah al Akhyar, Juz I Mesir: Dar al-Kitab al-Araby, t.th. Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta. Ichtiar Baru Van House, 1996. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989.
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta: 1984/1985. Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Dirjen Bimbingan Islam, Jakarta, 1986. Departemen Agama RI, Tanya Jawab Komplikasi Hukum Islam, Depag, Jakarta, 1997/1998. Dewan Redaksi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1989. Imam Hambali, al Muqna’, Dar al Kutub al ‘Alamiyah, Beirut Lebanon, t.th. Jay, Muhammad Rawas Qal’ah, Mausu’ah Fiqh Umar Ibn Al-Khatab, Dar Al Nafais, Beirut, Libanon, 1409 H./1989 M. Khalaf, Abdul Wahab Ilmu Ushulul Fiqh, Dar al-Fikr, Beirut Libanon, t.th. _____________, Mashodir al Tasyri’ al Islami, Dar al Qolam, Kuait, t.th. Muhdlor, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Kamus Al-‘Ishri, Multi Karya Grafika Yogyakarta, 2000. Muslim, Imam, Shahih Muslim jilid II, Dar al-Fikr, Beirut Libanon, 1993. Ramulya, Moh. Idris, Asa-Asas Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah, Juz 3, Maktabah Dar al Turas, Kairo, t.th. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992. Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Bina Aksara, Jakarta, 1996.
Surachmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode Tehnik, Tarsito, Bandung, 1998. Sutrisno, Hadi Metodologi Research, Jilid 1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 1999. Syafi’i, Imam, al ‘Umm juz 4, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t.th. ____________, al ‘Umm, Juz 5, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t.th. Syarqawi, Imam, Hasyiyah al-Syarqawi, Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.th. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005. UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Yasin, Muhammad, Al-fawaid al-Jiniyyah, Dar al Fikr, Beirut Libanon, 1997. Zahrah, Muhammad Abu, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama Lengkap
: Ahmad Shofwan
2. Tempat Tanggal Lahir
: Pati, 2 Nopember 1982
3. NIM.
: 032111028 / 2103028
4. Alamat Asal
: Jl. Kauman I No. 04 Ngagel Rt. 05 Rw. 01 Dukuhseti
Pati
Jateng 59158
5. Alamat Sekarang
: Jl. Stasiun I No. 06 Jerakah Semarang Barat
6. No. Telp.
: 0295 454 242 Hp. 081 326 431 600
7. Nama Ayah
: Ahmad Husnan
8. Nama Ibu
: Mufidah
9. Pendidikan Formal : a. MI YAPIM Ngagel, Lulus tahun 1994 b. MTs. YAPIM Ngagel, Lulus tahun 1997 c. MAK YAPIM Ngagel, Lulus tahun 2000 d. SI IAIN Walisongo Semarang, Lulus 2008 10. Pendidikan Non Formal : •
Pon. Pes. Al Anwar Karangmangu Sarang Rembang 2000-2003
Demikian riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya dan harap menjadikan maklum adanya.
Semarang, 25 Juli 2007 Penulis,
Ahmad Shofawan NIM. 032111028