STRES KERJA DAN KETEGANGAN PSIKOLOGIS SEBAGAI PREDIKTOR TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN Sutarto Wijono
Program Magister Sains Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
[email protected]
Abstract The aim of research was found out job stress and psychological tension as the predictor to job satisfaction people in company of Central Java. Subjects consisted of 93 people of companies in Central Java, Indonesia. A job related tension index by Wolfe, Quinn, Snoek and Rosental (Mustapha, 1994) was used to assess job stress. A psychological tension questionnaire by Caplan, Cobb, and French (Brief et al, 1981) used to assess psychological tension.Validity coefficient of job stress was 0,333 – 0,589 and reliabilility coefficient was 0,828; validity coefficient of psychological tension was 0,357 – 0,630 and reliability coefficient was 0,765; validity coefficient of job satisfaction was 0,302 – 0,602 and reliability coefficient was 0,808. The statistical methods used multiple regression. The result obtained R = 0.407 with F = 8,931 and p = 0,000 < 0,01; indicate that there are significant effects together of job stress and psychological tension as the predictor to job satisfaction. Keywords: job stres, psychological tension, and job satisfaction people in company
Pada saat ini, arus globalisasi dan informasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berkembang begitu sangat pesat sehingga memberi dampak yang begitu nyata terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas sumber daya manusia yang tinggi dapat dijadikan sebagai tolak ukur berkembangnya suatu negara (Wijono, 2011). Posisi sumber daya manusia Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain berada pada taraf yang rendah. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Human Development Index Ranking tahun 2011, tercatat bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat 124 dari 187 negara.
178
Peringkat IPM Indonesia ini jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN berada di bawah Singapura yang secara berturut-turut menempati peringkat 26, di bawah Malaysia yang berada di peringkat 61, di bawah Brunai Darussalam yang menempati peringkat 33, di bawah Thailand yang berada di peringkat 103, serta di bawah Filipina yang berada pada peringkat 112. IPM Indonesia ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan Vietnam yang menempati peringkat 128, Laos pada peringkat 138, Kamboja pada peringkat 139, dan Myanmar pada peringkat 148 (Indonesia ranks 124th in 2011 human development index, 2012). Setiap organisasi memerlukan teknologi yang canggih, dukungan finansial yang memadai, dan berbagai sumber daya manusia yang berkualitas untuk dapat melakukan competitive
advantage
dengan
organisasi
lain.
Jika
organisasi
terlambat
mengantisipasi, maka akan tersisihkan dalam persaingan yang sangat ketat tersebut. Selain itu, perkembangan organisasi yang tidak mampu mencapai tujuan yang diharapkan bahkan dapat menghambat kemajuan organisasi tersebut. Sejalan dengan ini, Bailey (dalam Fauziah, 2004) menjelaskan bahwa pada abad 21, keberhasilan bisnis masih perlu didukung oleh kecanggihan teknologi, keberhasilan sumber daya manusia, dan finansial yang memadai. Persaingan yang semakin tajam sebagai dampak globalisasi dan perkembangan ilmu dan teknologi (IPTEK) memaksa perusahaan melakukan usaha peningkatan mutu dan menciptakan keunggulan kompetitif sumber daya manusia
yang bisa menjamin kelangsungan hidup
dan perkembangan perusahaan. Oleh sebab itu, agar
perusahaan dapat memenangkan persaingan bisnis kelemahan sumber daya manusia yang ada perlu diperbaiki. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia itu penting artinya bagi suatu perusahaan. Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa perusahaan memiliki ketergantungan akan adanya sumber daya manusia. Ketergantungan organisasi terhadap sumber daya manusia (karyawan) dapat dilihat dari bentuk keaktivan karyawan dalam menetapkan rencana, sistem, proses, dan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu organisasi (Hasibuan, 1994). Pernyataan ini didukung oleh Wesley & Yukl (dalam As’ad, 2001) yang menjelaskan bahwa organisasi dipandang sebagai pola hubungan antar manusia yang diikutkan dalam aktivitas di mana satu sama lain saling tergantung untuk suatu tujuan tertentu. Tanpa menemukan, 179
menciptakan, dan mengelaborasi keunggulan kompetitif, sulit rasanya bagi perusahaan untuk memenangkan persaingan bisnis (Suharnomo, 2001). Salah satu strategi menemukan terobosan untuk melakukan kompetisi dengan perusahaan-perusahaan lain dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi kelemahan sumber daya manusia. Kenyataannya bahwa ketika individu ingin menemukan, menciptakan, dan mengelaborasi keunggulan kompetitifnya, malah seringkali dibatasi oleh berbagai aturan yang ada dalam suatu organisasi. Adanya berbagai aturan yang membatasi tersebut membuat individu mengalami ketidakpuasan kerja, sehingga individu memiliki persepsi negatif terhadap pekerjaannya. Beberapa fenomena yang terkait dengan kepuasan atau ketidakpuasan kerja yang dirasakan oleh individu di antaranya adalah kurang memperoleh kesempatan untuk maju, kariernya mengalami stagnasi, merasa tertekan, perlakuan yang kurang adil, kesejahteraan dan gaji yang diterima tidak sebanding dengan tenaga atau pikirannya. Kepuasan kerja juga sering dikaitkan dengan pengaruh psikologis yang dirasakan ketika tekanan kerja berlangsung. Ini berarti bahwa jika tekanan kerja tinggi, maka kepuasan kerja menurun (Brief, Schuler, & Sell, 1981). Jadi, dengan
begitu sangat perlu adanya perhatian khusus dalam
kesejahteraan karyawan dalam suatu organisasi. Jika kesejahteraan karyawan rendah akan muncul berbagai aksi dan mogok kerja. Sebagian besar penyebab pemogokan adalah karena ketidakcocokan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan organisasi seperti terhambatnya pengembangan diri, potensi, dan kompetensi karyawan dalam organisasi (Davis & Newstroom, 1993). Atas dasar pemaparan fenomena-fenomena dan hasil penelitian yang ditemukan oleh para peneliti sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif tentang apakah kedua faktor yaitu stres kerja dan ketegangan psikologis memberi pengaruh terhadap kepuasan kerja para pegawai perusahaan? Rumusan masalah yang hendak diuji dan ditemukan jawabannya adalah apakah stres kerja dan ketegangan psikologis
berpengaruh secara simultan dan
menjadi prediktor terhadap kepuasan kerja para karyawan perusahaan? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan simultan antara stres kerja dan ketegangan psikologis dengan kepuasan kerja. 180
KEPUASAN
KERJA
DINTINJAU
DARI
STRES
KERJA
DAN
TEKANAN
PSIKOLOGIS Organisasi perlu melakukan usaha-usaha untuk mengembangkan potensi dan kompentensi karyawan. Dengan adanya motivator yang dapat mengembangkan potensi dan kompetensi ini dapat membuat sumber daya manusia yang bekerja mengalami kepuasan kerja (Herzberg, Mausner, & Snyderman, 1959). Ada ungkapan yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan menyenangkan yang merupakan hasil dari persepsi individu dalam rangka menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh nilai-nilai kerja yang penting bagi dirinya. Sehubungan dengan ini, Robbins (2001) mengemukakan bahwa rekan kerja
yang
mendukung, keserasian pribadi dengan pekerjaan dan peluang yang didapat dari pekerjaan menjadi faktor-faktor kepuasan kerja karyawan. Sementara itu, Nilvia (dalam Dhania, 2009) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam usaha peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Karena dengan kepuasan kerja yang dirasakan, maka karyawan mampu bekerja secara optimal. Demikian juga halnya dengan karyawan yang bekerja di bagian produksi, agar dapat bekerja lebih produktif sesuai dengan target yang diinginkan, maka pihak perusahaan sebaiknya mempertimbangkan kepuasan kerja para karyawannya. Jadi dengan kata lain bahwa ketika karyawan produksi dalam bekerja kepuasan kerja, maka karyawan dapat semakin mencapai
memperoleh
hasil produksi yang
ditargetkan oleh perusahaan secara maksimal. Pada umumnya, kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya stres kerja dan ketegangan psikologis. Atas dasar pernyataan ini, ditemukan beberapa kajian yang mendukung adanya pengaruh stres
kerja dan ketegangan psikologis
terhadap kepuasan kerja di antaranya melalui hasil penelitian Asyidatur (dalam Dhania, 2009) menemukan bahwa variasi perubahan yang terjadi pada variabel kepuasan kerja dipengaruhi oleh stres kerja, ketegangan psikologis, dan dukungan sosial. Mereka juga mengatakan bahwa tipe-tipe tingkah laku ini berkaitan dengan kepuasan kerja di kalangan karyawan yang bekerja di sektor formal. 181
Kepuasan kerja ini juga dapat
dikaitkan dengan pengaruh psikologis yang dirasakan jika stres kerja muncul. Ini artinya jika stres kerja meningkat dan diikuti dengan perasaan tegang, maka kepuasan kerja akan menurun (Brief et al., 1981). Temuan yang lain menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Sullivan (1992) yang mengatakan bahwa ada berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja dalam suatu organisasi. Sementara itu, Cooper dan Roden (1985) telah melakukan penelitian terhadap para karyawan bagian beacukai. Penelitian ini menemukan
bahwa para karyawan kurang puas terhadap
pekerjaan mereka dan menunjukkan tanda-tanda munculnya gelaja-gejala stres seperti mengalami kadar degup jantung yang kencang dan sakit kepala. Sementara itu, ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa terjadinya stres yang tinggi secara simultan dan rendahnya kepuasan kerja mengindikasikan adanya kelelahan dan keletihan dalam pekerjaan. Penemuan tersebut didukung oleh Ahmadi dan Alireza (2007) yang melakukan penelitian terhadap 89 pilot militer menunjukkan ada korelasi signifikan dan negatif (-0,23) antara stres kerja dengan kepuasan kerja yang dihadapi oleh pilot dengan jam terbang pada pilot militer. Selanjutnya didukung pula oleh temuan Ahsan, Abdullah dan Young (2009) yang mengatakan bahwa ada hubungan signifikan dan negatif antara stres kerja dan kepuasan kerja staf Universiti Malaysia. Selain stres kerja, ketegangan psikologis juga ikut memberi pengaruh terhadap kepuasan kerja individu. Seorang individu yang mengalami stres kerja dan ketegangan psikologis yang tinggi biasanya mengalami kepuasan kerja yang rendah. Eden (1990) menyatakan bahwa ketegangan psikologis sebagai keadaan yang dialami dan dirasakan oleh individu. Keadaan seperti ini muncul diakibatkan oleh adanya reaksi individu terhadap stres kerja. Ketegangan psikologis sebagai umpan balik individu untuk mengatasi berbagai tuntutan pekerjaan yang berlebihan dengan menunjukkan berbagai tipe tingkah laku dan ketegangan. Namun bagi Keenan dan Newton (1984) umpan balik ini dianggap sebagai penyimpangan dari tingkah laku yang normal dari individu. Sehubungan dengan ini, Caplan dan Jones (1975) mengatakan bahwa ketegangan
182
psikologis merupakan stimulus yang berbeda dari stimulus yang dihadapi individu secara normal, seperti kegelisahan, harga diri yang rendah, dan ketidakpuasan kerja. Untuk mencari jawaban dan pembuktian, diajukan hipotesis yang mengatakan bahwa stres kerja dan ketegangan psikologis menjadi prediktor terhadap kepuasan keja para karyawan bagian produksi di Perusahaan.
METODE Subjek penelitian diperoleh dari bagian produksi sebuah perusahaan swasta di Jawa Tengah. Ada sebanyak 120 orang responden yang terdiri atas laki-laki dan perempuan
dengan pendidikan SMA hingga Sarjana. Pemilihan subjek diperoleh
secara random dalam memilih subjek penelitian. Sebanyak 120 angket disebarkan kepada para karyawan bagian produksi tersebut, tetapi yang kembali hanya 93 angket. Jadi hanya 93 orang saja yang digunakan untuk kepentingan penelitian ini. Alat ukur Job Related Tension Index yang digunakan untuk mengukur stres kerja ini berbentuk angket dan terdiri atas 15 item yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan digunakan oleh Lem Boon (1983), Hasan (1992), dan Musthapa (1994) dengan cara dilakukan back translation. Item-item angket stres kerja ini
telah
dimodifikasi dalam bahasa Indonesia oleh penulis untuk kepentingan kajian ini. Pilihan yang diberikan kepada subyek ada lima kemungkinan jawaban yaitu tidak pernah, jarang, kadang-kadang, agak sering, dan seringkali. Alat ukur tentang ketegangan psikologis berbentuk angket dan terdiri atas 22 item, yang kemudian penulis memodifikasi item-itemnya ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan kepentingan penelitian ini. Alat ini disusun oleh Caplan, Cob, dan French (dalam Brief, et al., 1981). Angket ini juga pernah digunakan oleh Mustapha (1994). Angket ini sebelumnya diterjemahkan
dalam
bahasa
Melayu
dan
kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Inggris ke bahasa melayu dengan teknik back translation. Subjek mempunyai lima pilihan jawaban yaitu tidak pernah, jarang, kadang-kadang, agak sering, dan seringkali. Alat ukur ketiga juga berbentuk angket tentang kepuasan kerja. Untuk kepentingan kajian, maka angket kepuasan kerja yang terdiri atas 18 item ini, telah penulis adaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Angket ini pernah digunakan oleh Leem Boon (1983), dan 183
Musthapa (1994) serta beberapa peneliti lainnya. Dengan teknik back translation, angket kepuasan kerja ini sebelumnya telah diterjemahkan ke dalam dua bahasa yaitu bahasa Melayu ke bahasa Inggris dan bahasa Inggris ke bahasa Melayu. Validitas dan reliabilitas masing-masing alat ukur berdasarkan cronbach alpha pada taraf signifikansi 5% dengan jumlah subyek 93 orang. Koefisien validitas stres kerja ini bergerak antara 0,333 dan 0,589. Dari 15 item setelah dianalisis ada 2 item yang gugur yaitu nomor 6 dan 11. Setelah dua item yang gugur tersebut dibuang, kemudian dianalisis kembali dan skornya diperoleh di atas 0,30. Ini artinya item-item pada skala ini dinyatakan valid. Alat ukur stres kerja dari hasil uji analisa statistik dengan rumus cronbach alpha diperoleh angka reliabilitas sebesar 0,828. Koefisien validitas pada item-item skala ketegangan psikologis bergerak antara 0,357 dan 0,630. Dari 22 item setelah dianalisis ada 7 item yang gugur yaitu 4, 13, 14, 15, 16, 18, dan 19. Setelah diolah kembali hanya ada 15 item skala ketegangan psikologis dinyatakan valid dengan skor di atas 0,30. Kemudian hasil uji analisis statistik alat ukur ketegangan psikologis dengan menggunakan rumus cronbach alpha diperoleh angka reliabilitas sebesar 0,765. Koefisien validitas alat ukur kepuasan kerja menunjukkan nilai yang bergerak antara 0,302 – 0,602. Uji validitas dan reliabilitas ditemukan bahwa dari 18 item ada 6 item kepuasan kerja yang gugur yaitu pada nomor 3, 4, 8, 10, 13, dan 18. Setelah diolah kembali ditemukan ada 12 yang dinyatakan valid dengan skor di atas 0,30. Hasil uji statistik alat ukur kepuasan kerja dengan menggunakan cronbach alpha diperoleh angka reliabilitas sebesar 0,808.
HASIL Nilai R = 0.407 dan F = 8,931 dengan probabilitas = 0,000 < 0,01 pada tabel 1. Hal ini menunjukkan korelasi yang signifikan antara stres kerja dan ketegangan psikologis secara simultan menjadi prediktor terhadap kepuasan kerja. Artinya dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel stres kerja dan ketegangan psikologis menjadi prediktor secara simultan terhadap variabel kepuasan kerja. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,147. Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui persentase pengaruh variabel bebas terhadap perubahan variabel terikat adalah sebesar 14,7 %, sedangkan sisanya 85,3 % dipengaruhi oleh variabel lain. Standar kesalahan estimasi 184
adalah 5.01413. Hal ini disebabkan kedua variabel yang berpengaruh secara simultan dan menjadi prediktor terhadap kepuasan kerja. Diskripsi hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa stres kerja dan ketegangan psikologis menjadi prediktor terhadap kepuasan kerja karyawan bagian produksi. Jadi hipotesis dapat diterima. Hal ini seperti yang digambarkan dalam tabel 1, 2, dan 3 berikut ini:
Tabel 1 Korelasi antara stres keja dan ketegangan psikologis terhadap kepuasan kerja Model
1
R
.407
a
R
Adjusted
Std. Error of
Durbin-
Square
R Square
the Estimate
Watson
.166
.147
5.01413
1.858
a. Predictors: (Constant), Ketegangan_Psikologis, Stres_Kerja b. Dependent Variabel: Kepuasan_Kerja
Tabel 2 Regresi Berganda Signifikansi Nilai F Sum of Model 1Regression
Squares
Mean df
Square
449.071
2
224.536
Residual
2262.735
90
25.142
Total
2711.806
92
F 8.931
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Ketegangan_Psikologis, Stres_Kerja b. Dependent Variabel: Kepuasan_Kerja
Berdasarkan tabel Anova diperoleh nilai F hitung sebesar 8,931
dengan df1
(derajat kebebasan pembilang)= 10 dan df2 (derajat kebebasan penyebut) = 92. Pada kolom signifikansi diperoleh nilai 0,000. Dengan melihat besarnya df1 dan df2 tersebut besarnya F tabel pada taraf signifikansi 5% adalah 0.202. Dengan demikian F hitung lebih besar dari pada F tabel pada taraf 5 % (8.931>2.02) maupun 1% (8.931>3.09). Jadi dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan stres kerja dan ketegangan 185
psikologis, berpengaruh secara simultan sebagai prediktor terhadap kepuasan kerja karyawan bagian produksi diterima.
Tabel 3 Pengaruh Stres Kerja dan Ketegangan Psikologis terhadap Kepuasan Kerja Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Model
B
1 (Constant)
44.262
5.292
.114
.075 .070
Stres_Kerja
Ketegangan_Psi -.175
Std. Error
Beta
t
Sig.
8.364
.000
.173
1.512
.134
-.286
-2.503
.014
kologis
a. Dependent Variabel: Kepuasan_Kerja
Persamaan regresi linier yang diperoleh dari analisis tersebut adalah sebagai berikut : Y = 44.262 + 0,114 X1 - 0,175X2
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat diprediksi mengenai kepuasan kerja (Y) berdasar variabel stress kerja (X1) dan ketegangan psikologis (X2). Kepuasan kerja berbanding lurus dengan 0,114 stres kerja dikurangi 0,175 ketegangan psikologis dan ditambah bilangan konstan 44, 262. Hasil penelitian ini juga ditinjau secara parsial. Berdasar uji parsial ditemukan bahwa nilai t-test untuk stres kerja adalah 1,512 dengan probabilitas atau p = 0,134 > 0,05. Hal ini berarti tidak ada pengaruh yang signifikan stress kerja terhadap kepuasan kerja. Uji parsial ketegangan psikologis ditemukan nilai t = -2.503 dengan p = 0,014 < 0,05. Hal ini berarti ada pengaruh signifikan ketegangan psikologis terhadap kepuasan kerja. Jadi secara sendiri X1 tidak berpengaruh terhadap perubahan kepuasan kerja (Y), tetapi X2 atau ketegangan psikologis berpengaruh terhadap perubahan Y.
186
PEMBAHASAN Hasil penelitian telah membuktikan bahwa stres kerja dan ketegangan psikologis berpengaruh secara simultan atau menjadi prediktor terhadap kepuasan kerja. Ini berarti hipotesis tersebut telah diterima dalam penelitian ini. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkannya. Pertama, karyawan di bagian produksi sudah terbiasa dalam menghadapi situasi yang membuat mereka mengalami tekanan maupun ketegangan psikologis seperti ketika bekerja di bagian produksi sehingga dapat mempengaruhi kepuasan kerja mereka. Kedua, karena adanya variasi perubahan yang terjadi di bagian produksi seperti seringkali muncul tekanan, dan atau ancaman dari atasan atau koleganya, sehingga membuat karyawan mengalami ketegangan psikologis yaitu menyimpan perasaan kurang nyaman, murung, gelisah, ataupun bimbang, sehingga mempengaruhi kepuasan kerja mereka. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Asyidatur (dalam Dhania, 2009) menemukan bahwa variasi perubahan yang terjadi pada variabel kepuasan kerja dipengaruhi oleh stres kerja, ketegangan psikologis, dan dukungan sosial. Ketiga, karyawan produksi bekerja seringkali mengadapi tekanan kerja yang tinggi dan diikuti dengan ketegangan psikologis sehingga dapat mempengaruhi kepuasan kerja mereka. Atas dasar beberapa pernyataan di atas, Beehr dan Newman (1978) mengemukakan bahwa individu yang mengalami stres kerja akan mempunyai gejalagejala ketegangan psikologis seperti merasa bimbang, marah, murung, dan nampak tidak sehat yang berpengaruh pada kepuasan kerja mereka. Kepuasan kerja ini juga dapat dikaitkan dengan pengaruh psikologis yang dirasakan jika stres kerja muncul. Ini artinya jika stres kerja meningkat dan diikuti dengan perasaan tegang, maka kepuasan kerja akan menurun (Brief et al., 1981). Apabila tingkat stres tinggi, maka individu akan mengalami ketegangan psikologis seperti psikosomatis, gelisah, murung, dan marah. Situasi ini dapat membuat karyawan mengalami ketidakpuasan kerja (Cranwell-Ward, 1990). Temuan ini juga didukung oleh Iwata, Suzuki, Saito, & Abe (1992), juga oleh Di Matteo, Shugars, dan Hays (1983) yang menunjukkan bahwa ketiga variabel yaitu stres kerja, ketegangan psikologis, dan kepuasan kerja saling berinteraksi satu sama lain, di mana individu yang mengalami stres kerja yang tinggi akan mengalami gejala-gejala ketegangan psikologis. Keadaan ini seterusnya mengurangi kepuasan kerja individu. 187
Namun, hasil penelitian ini secara parsial ditemukan bahwa tidak ada pengaruh signifikan stres kerja terhadap kepuasan kerja (t test = 1,512). Ini artinya variabel stres kerja tidak mempunyai peran terhadap terjadinya perubahan variabel kepuasan kerja. Ada beberapa kemungkinan bahwa variabel stres kerja tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja antara lain. Alasan itu diantaranya adalah para karyawan di bagian produksi telah beradaptasi dengan lingkungannya secara baik, sehingga
tekanan,
gangguan, dan ancaman yang dihadapi kurang mendapat perhatian khusus oleh mereka. Dengan kata lain, situasi tersebut tidak mempengaruhi kepuasan kerja mereka. Alasan kedua yaitu setiap karyawan menyadari bahwa mereka perlu melakukan penyesuaian diri terhadap segala sesuatu yang dapat menimbulkan tekanan atau ancaman, agar mereka tidak mengalami stres kerja yang pada gilirannya dapat mencapai kepuasan kerja yang diinginkan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Lut (Dhania, 2009) yang menemukan bahwa stres kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan. Situasi yang menekan atau mengancam yang
dapat menimbulkan stres kerja tersebut membuat karyawan terpicu untuk pertama, mengerahkan segala kemampuan dan tenaga yang dimilikinya dan kedua, melakukan penyesuaian diri terhadap situasi tersebut sehingga mereka memperoleh kepuasan kerja, untuk dapat memenuhi persyaratan dalam memenuhi kebutuhan kerja. Sebaliknya, ada beberapa temuan lain yang bertentangan dengan hasil penelitian tersebut. Beberapa temuan lain terebut menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Sullivan (1992) yang mengatakan bahwa ada berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja dalam suatu organisasi. Hasil-hasil penelitian yang mendukung pernyataan tersebut seperti yang dilakukan oleh Alberto (1995), dan Praptini (2000) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja di antaranya adalah stres kerja. Penelitian Farber (1983) menemukan bahwa terjadinya stres karena adanya menyatunya kehidupan keluarga dan kehidupan professional pilot militer seperti hubungan dengan isteri, komunikasi dengan anak-anak, interaksi keluarga, mengelola keuangan, konflik-konflik keluarga, teman, dan
perkawinan di
antara pasangan dapat menimbulkan stres yang paling tinggi dalam kelompok keluarga pilot dan berpengaruh sangat tinggi terhadap kepuasan kerja mereka. 188
Kahn dan Quin (dalam Ivancevich, Matteson, & Preston, 1982) menjelaskan bahwa stres kerja sebagai salah satu faktor lingkungan (stres eksternal) yang memberi stimulus negatif seperti konflik peran, kekaburan peran, dan beban kerja yang berlebihan dalam pekerjaan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Oleh karena itu, Rubin dan McNell (1985) mengungkapkan bahwa stimulus negatif dari lingkungan dianggap sebagai pemicu stres eksternal dan umpan balik emosi dan fisiologis sebagai pemicu timbulnya stres internal.
Kemudian, Keenan dan Newton (1984) juga
berpendapat bahwa stres kerja disebabkan oleh pembentukan dari kekaburan peran, konflik peran, dan beban kerja yang berlebihan. Keadaan ini secara berkelanjutan akan mengganggu prestasi dan kemampuan individu untuk bekerja sehingga akan mempengaruhi kepuasan kerjanya. Selanjutnya, Ismail, Yao, dan Yunus (2009) dalam penelitian mereka terhadap 80 karyawan yang bekerja di Pendidikan Tinggi di kota Klang, Malaysia. Mereka menemukan bahwa stres kerja (fisiologis dan psikologis) mempunyai korelasi signifikan positif dengan kepuasan kerja karyawa. Hasil temuan yang sama juga ditemukan oleh Gole (2008) dan Lee (2008). Hasil penelitian ini juga didukung oleh temuan
dari
penelitian pustaka oleh Fairbrother dan Warn (1993), Stacciarini (2004), dan Guleryus, Guney, Aydin, dan Asan (2008) menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Selain stres kerja, ketegangan psikologis juga ikut memberi pengaruh secara parsial terhadap
kepuasan kerja individu. Hasil penelitian menunjukan bahwa
ketegangan psikologis memberi pengaruh negatif dan signifikan terhadap kepuasan kerja (t test = -2.503). Ini berarti variabel ketegangan psikologis memberi peran terhadap munculnya variabel kepuasan kerja. Hal ini terjadi mungkin disebabkan pertama, sebagian besar karyawan di bagian produksi mengalami berbagai tuntutan target yang berlebihan di luar kemampuan mereka untuk meningkatkan produksinya. Akibatnya mengalami ketegangan psikologis seperti perasaan gelisah atau kuatir tidak dapat mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan, sehingga kepuasan kerja menjadi rendah. Sehubungan dengan ini, Caplan dan Jones (1975) mengatakan bahwa ketegangan psikologis merupakan stimulus yang berbeda dari stimulus yang dihadapi
189
individu secara normal, seperti kegelisahan, harga diri yang rendah, dan ketidakpuasan kerja. Kedua, karyawan semakin mengalami ketegangan psikologis tinggi di antaranya kepala dan detak jantung bertambah ketika target yang ditentukan tidak tercapai. Pernyataan tersebut didukung oleh Cooper dan Roden (1985) terhadap para pegawai bea cukai. Hasil penelitian mereka menemukan bahwa karyawan kurang mempunyai perasaan puas dalam bekerjanya dengan ditandai oleh beberapa gejala ketegangan psikologis seperti sakit kepala dan bertambahnya kadar degupan jantung. kemungkinan yang
Ketiga,
lain adalah karyawan mengalami perasaan tegang secara
psikologis seperti harga dirinya menjadi turun ketika karyawan tidak dapat memenuhi target yang diharapkan, sehingga kepuasan kerja mereka karyawan mengalami penurunan. Pernyataan di atas didukung oleh hasil penelitian Eden (1990) yang menyatakan bahwa ketegangan psikologis sebagai keadaan yang dialami dan dirasakan oleh individu. Keadaan seperti ini muncul diakibatkan oleh adanya reaksi individu terhadap stres kerja. Ketegangan psikologis menjadi umpan balik bagi individu untuk mengatasi berbagai tuntutan pekerjaan yang berlebihan dengan menunjukkan berbagai tipe tingkah laku dan ketegangan. Namun bagi Keenan dan Newton (1984) umpan balik ini dianggap sebagai penyempangan dari tingkah laku yang normal dari individu. Sumbangan efektif variabel stress kerja dan ketegangan psikologis terhadap kepuasan kerja adalah 14,7 persen. Berarti masih ada 85,3 persen variabel lain yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Peneliti berikutnya dapat meneliti variabel lain tersebut, misalnya kepuasan kerja ditinjau dari penghasilan, suasana kerja, budaya organisasi,
kesejahteraan
psikologis,
konsep
diri
multidimensi
karyawan
dll.
Kemungkinan faktor-faktor lain seperti kepribadian, locus of control, peran, iklim kerja, budaya organisasi, K3 atau Kesehatan, keamanan dan keselamatan kerja, dan kepemimpinan masih dapat dipertimbangkan sebagai variabel bebas dan moderator terhadap kepuasan kerja karyawan. Penelitian yang disarankan mulai dengan mengidentifikasi kebutuhan sumber daya manusia yang menyangkut berbagai data yang urgen di antaranya faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja perlu
190
dicermati lebih lanjut. Faktor-faktor yang dimaksud di antaranya kepribadian, locus of control, peran, iklim kerja, budaya organisasi, K3, dan kepemimpinan. Penelitian tentang kepuasan kerja disarankan menggunakan sampel lebih banyak terutama dikalangan eksekutif dalam suatu organisasi perusahaan jasa maupun manufakturing. Namun, perlu juga mempertimbangkan berbagai faktor demografi seperti daerah kota atau propensi dengan mempertimbangkan adanya suku, etnik, jabatan, posisi atau peran. Penelitian ini belum menunjukkan hasil uji normalitas dan linieritas, oleh sebab itu peneliti berikutnya dapat meneliti ulang dengan melakukan penelitian yang lebih tertib ketat dengan melakukan uji normalitas, uji linieritas dan penggunaan teknik random sampling sebagai prasyarat penggunaan teknik analisis regresi. Akhirnya walaupun stres kerja tidak memberi pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja tetapi aspek ketegangan psikologis secara langsung mempengaruhi kepuasan kerja karyawan bagian produksi. Secara umum penelitian ini menemukan bahwa ketegangan psikologis merupakan salah satu variabel penting dalam mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Dalam penelitian ini stres kerja bukan variabel yang mempunyai peran terhadap munculnya kepuasan kerja karyawan. Oleh karena stres kerja bukan menjadi variabel yang berpengaruh secara parsial dalam penelitian ini. Namun demikian, kedua variabel ini yaitu stres kerja dan ketegangan psikologis secara simultan masih dapat dijadikan prediktor terhadap kepuasan kerja karyawan bagian produksi. Pihak manajemen sebaiknya perlu menyadari bahwa kedua variabel yaitu stres kerja dan ketegangan psikologis menjadi prediktor terhadap kepuasan kerja karyawan di perusahaan ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi sebagai berikut, Pertama, memberi tugas dengan tingkat stres kerja yang moderat dengan disertai oleh ketegangan psikologis yang dapat dimonitor melalui berbagai cara seperti simulai, atau membuat persaingan yang kompetitif di antara kelompok karyawan. Ketika mereka berhasil, maka mereka perlu diberi reward secara psikologis bagi karyawan yang menunjukkan pencapaian target produksi melalui pemilihan karyawan yang berhasil pada setiap minggu atau setiap bulan (sertifikat, the winner of the month, atau tiket pesiar ke luar kota). Selain itu memberi punishment bagi karyawan yang kurang 191
produktif, melalui misalnya, tidak memperoleh kesempatan mengambil bagian selama 1 minggu dalam memperoleh reward. Kedua, memberi latihan kepada para supervisor dan bawahannya untuk dapat menciptakan suasana yang kondusif dalam menghadapi persaingan dengan tingkat stres dan ketegangan psikologis yang termonitor oleh para trainer. Harapannya mereka semakin kuat dalam menghadapi tantangan, tekanan, dan ancaman di tempat kerja mereka.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, K. & Alireza, K. (2007). Stress and job satisfaction among air force military pilots. Journal of Social Sciences. 3, 3, 159-163. Ahsan, N., Abdullah, Z., Young, G. F. D., & Alam, S.S. (2009). A study of job stress on job satisfaction among university staff in Malaysia: empirical study. European Journal of Social Sciences. 8, (1). Alberto. (1995). A comparison of organizational structure, job stress, and satisfaction in audit and management. All Bussiness. As’ad. (2001). Psikologi industri. Edisi kelima. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Beehr, T.A., & Newman, J.E. (1978). Job stress, employee health and organization effectiveness, a facet analysis, model and literature review. Personnel Psychology, 31, 665-697. Brief, A.P., Schuler, R.S., & Sell, M.V. (1981). Managing job stress. Boston: Litle, Brown and Company. Caplan, R.D., & Jones, K.W. (1975). Effects of workload, role ambiguity and type A personality anxiety, depressions and hears rate. Journal of Applied Psychology, 60, 713-719. Cranwell-Ward, J. (1990). Thriving on Stress. London: Pan Books Ltd. Cooper, C.L. & Roden, J. (1985). Mental health and satisfaction among tax officers. Social Science and Medicine, 21, 3, 741-751. Davis, K., & Newstroom, J.M. (1993). (Ninth ed). Organizational behavior: Human behavior at work. McGraw-Hill Inc. Dhania, D.R. (2009). Pengaruh beban kerja dan stress kerja terhadap kepuasan kerja. (studi pada medical representative di kota Kudus). Tesis. Salatiga: Program Pascasarjana. Universitas Kristen satya Wacana. Di Matteo,M.R., Shugars, D.A. & Hays, R.D. (1983). Occupational stress, life stress and mental health among dentists. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 66, 153-162. Eden, D. (1990). Acute and cronic job stress, strain and vacation relief. Organizational Behavior and Human ecision Processes, 45, 175-193. Farber, B.A., (1983), Stress and Burnout in the Human Service Professions, Pergamon Press, Inc. USA. Fairbrother, K,, & Warn, J. (1993). Workplace dimention, stress & job satisfaction. Journal of Managerial Psychology, 18, 1, 8-21.
192
Fauziah, P. (2004). Hubungan antara pelaksanaan program K3 (Keselamatan dan kesehatan kerja) dan komitmen organisasi dengan prestasi kerja karyawan pada C.V. Nova Furniture Boyolali. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Program Magister manajemen UGM. Guleryus, K., Guney, S., Aydin, F.M., & Asan, O. (2008). The mediating effect of job satisfaction between emotional intelligence and organizational commitment of nurses, a queationnaire survey. Internasional Journal of Nursing studies, 45, 11,1625-1635. Hasan, S.A. (1992). Tekanan kerja dan hubungannya dengan kepuasan kerja dan kekerapan merokok di kalangan pekerja. Latihan Ilmiah. Universiti Kebangsaan Malaysia. Hasibuan, M.SP. (1994). Psikologi Sosial Untuk manajemen Perusahaan dan Industri. Ed. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Herzberg, F., Mausner, B, dan Snyderman, B. (1959). The Motivation to Work. New York: John Wiley & Sons.Inc. Iwata, N., Suzuki, K., Saito, K.M. & Abe, K. (1992). Type A personality, work stress and psychological distress in Japanese adult employees. Stress Medicine, 8, 11-21. Ismail, A., Yao, A. & Yunus, N.K.Y. (2009). Relationship between occupational stress and job satisfaction: an empirical study in Malaysia. The Romanian Economic Journal. 4 : Year XII, 34. Ivancevich, J.M., Matteson, M.T., dan Preston. (1982). Occupational stress, type A a behavior, and psychological well being. Academy of Management Journal. 25, 2, 373-391. Keenan, A., & Newton, T.J. (1984). Frustration in organizations: Relationship to role stress, climate, and psychological strain. Journal of Occupational Psychology, 57, 57-65. Lem Boon. (1983). Hubungan di antara tekanan kerja, kepuasan kerja dan prestasi kerja di kalangan pekerja-pekerja di sebuah syarikat tempatan. Latihan ilmiah. Universiti Kebangsaan Malaysia. Mustapha (1994). Hubungan di antara jenis tingkah laku dengan tekanan kerja, ketegangan psikologikal dan kepuasan kerja di kalangan pegawai-pegawai Bank. Latihan Ilmiah. Bangi: Jabatan Psikologi Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Universiti Kebangsaan Malaysia. Praptini. (2000). Pengarus stress kerja terhadap kepuasan kerja tenaga edukatif tetap fakultas ilmu social. Skripsi. Surabaya: Airlangga University library. Robbins, S.P. (2001). Organizational behavior (2nd ed.). New Jersey: Prentice-Hall International. Rubin, Z., & McNeil, E.B. (1985). Psychology being human. New York: Harper and Row Publishers. Hasan, S.T. (1992). Tekanan kerja dan hubungannya dengan kepuasan kerja dan kekerapan merokok di kalangan pekerja. . Latihan Ilmiah. Universiti Kebangsaan Malaysia. Stacciarini, J.M.R. (2004). Occupational stress and constructive thingking, health and job satisfaction. Journal of Advanced Nurcing, 46, 5, 480-487. Suharnomo. (2001). Peran baru departemen SDM dalam meningkatkan competitive advantage. Manajemen, 30. 193
Sullivan, R. B. (1992). Organizational stress, job satisfaction, and job performance. www.google.com. The Jakarta Post. (2012). Indonesia ranks 124th in 2011 human development index. Diakses 28 Februari 2012 dari http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/02/indonesia-ranks-124th-2011human-development-index.html. Wijono, S. (2011), Stres kerja di balik makna dan dampaknya dalam organisasi. Pidato pengukuhan guru besar psikologi UKSW. Di Salatiga, 7 Oktober 2011.
194