PROSIDING SEMINAR NASIONAL ANAK USIA DINI
(SEMADI I)
STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI BERKUALITAS
i
Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar 2016 SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
JUDUL : PROSIDING SEMINAR NASIONAL ANAK USIA DINI (SEMADI I) “Strategi Pembelajaran Anak Usia Dini Untuk Mewujudkan Generasi Berkualitas” PENULIS : Pemakalah Seminar Nasional Anak Usia Dini (SEMADI I) 2016 PENANGGUNG JAWAB : Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si (Dekan Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar) EDITOR : Dra. Ni Wayan Sariani Binawati, M.Ag PENYUNTING : Si Luh Nyoman Seriadi, S.Pd., S.Ag., M.Pd Ida Ayu Adi Armini, S.Ag., M.Pd.H Drs. I Made Luwih, M.Ag I Made Wirahadi Kusuma, SH., M.Pd.H DESAIN SAMPUL: I Dewa Gede Rat Dwiyana Putra, M.Pd FOTO PADA SAMPUL: I Dewa Gede Rat Dwiyana Putra, M.Pd PENERBIT : Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar Bekerjasama dengan Jaya Pangus Press REDAKSI : Jl. Ratna No.51 Denpasar - BALI Telp. (0361) 226656 Fax. (0361) 226656 Email:
[email protected] Website: www.jayapanguspress.org Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan (KDT) Cetakan I : Agustus 2016 ISBN : 978-602-71567-4-6
ii
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
KATA SAMBUTAN Om Swastyastu, Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, Fakultas Dharma Acarya khususnya Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Hindu Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar sangat bersyukur karena hasil Seminar Nasional Anak Usia Dini (SEMADI 1) dengan tema “Strategi Pembelajaran Anak Usia Dini untuk Mewujudkan Generasi Berkualitas” yang diselenggarakan pada tanggal 19 Agustus 2016 di Auditorium Kampus Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Jalan Ratna No. 51 telah diterbitkan dalam Buku Prosiding. Buku Prosiding ini memuat seluruh artikel yang dibahas pada Seminar Nasional yang dihadiri tidak hanya oleh mahasiswa dan dosen-dosen di lingkungan Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, tetapi juga dihadiri oleh praktisi PAUD, para intelektual dari berbagai institusi, para alumni IHDN serta pakar pendidikan, agama dan budaya. Masalah-masalah yang dibahas semua berkaitan dengan strategi dan metode pembelajaran dalam proses membangun generasi berkualitas dan berkarakter. Semoga Buku Prosiding ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu solusi untuk memecahkan masalah pendidikan sehingga semua harapan dapat terwujud. Pada kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya acara Seminar Nasional di Jurusan PGPAUDH IHDN Denpasar sampai diterbitkannya semua hasil seminar dalam bentuk Buku Prosiding. Om Santih, Santih, Santih Om Denpasar, 19 Agustus 2016 Dekan Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si NIP. 19561231 197903 1 037 iii
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
KATA PENGANTAR Om Swastyastu, Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa Prosiding Seminar Nasional Anak Usia Dini (SEMADI I) ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Prosiding ini memuat artikel-artikel dengan tema : “Strategi Pembelajaran Anak Usia Dini untuk Mewujudkan Generasi Berkualitas”. Seminar Nasional yang diadakan pada tanggal 19 Agustus 2016 di Auditorium Kampus Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Jalan Ratna No. 51 ini membahas tentang berbagai strategi pembelajaran dalam membangun perilaku positif bagi anak usia dini dalam menyongsong masa depannya. Pembentukan dan Perkembangan perilaku AUD sangat ditentukan oleh pola asuh lingkungan di sekitarnya, oleh karena itu para pendidik AUD perlu memahami strategi dan metode pembelajaran Anak Usia Dini. Seminar nasional ini dihadiri oleh para dosen, mahasiswa, guru-guru, para intelektual dari berbagai institusi, para alumni IHDN serta pakar pendidikan, agama dan budaya. Beragam strategi pembelajaran dan metode dibahas untuk mewujudkan generasi berkualitas sehingga semua peserta dapat mengetahui, memahami dan memberikan solusi serta nantinya dapat menerapkan strategi dan metode pembelajaran dalam proses membangun generasi berkualitas ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyajian prosiding hasil Seminar Nasional ini. Karena itu saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan. Akhirnya kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan SEMADI I sampai prosiding ini dapat terselesaikan. Semoga prosiding ini dapat dibaca, dipahami dan dimanfaatkan isinya sehingga tujuan untuk mewujudkan generasi berkualitas dapat tercapai. Om Santih, Santih, Santih Om Denpasar, 19 Agustus 2016 Ketua Jurusan PGPAUDH Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
iv
Si Luh Nyoman Seriadi, S.Pd.,S.Ag.,M.Pd NIP. 19641231 200312 2 020
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
DAFTAR ISI PENGEMBANGAN STRATEGI INOVATIF INTEGRATIF DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI CERDAS DAN BERKARAKTER Oleh: Wahyu Sukartiningsih...............................................
1
MENDONGENG SAMBIL BERMAIN KIAT PELESTARIAN BUDAYA Oleh: Made Taro………………………………………………………
15
EFEKTIVITAS PENANAMAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN YANG DIKANDUNG DALAM AJARAN AGAMA SEJAK USIA DINI DALAM PROSES PEMBENTUKKAN KARAKTER ANAK Oleh: I Ketut Donder………………………………………………..
20
DUKUNGAN EKOLOGI SEBAGAI KONSTRUKSI PERLINDUNGAN ANAK Oleh: Putu Aditya Antara…………………………………………..
41
PERANAN METODE BERCAKAP-CAKAP DALAM PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA TERPADU PADA ANAK TAMAN KANAK-KANAK Oleh: Ni Putu Parmini……………………………………………….
54
STRATEGI PEMBELAJARAN DALAM PENGEMBANGAN ANAK USIA DINI HOLISTIK-INTEGRATIF UNTUK MENCAPAI MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA Oleh: Ni Nengah Selasih……………………………………………
62
PENGGALIAN KARAKTER ANAK USIA DINI MELALUI CERITA-CERITA PURANA Oleh: Si Luh Nyoman Seriadi……………………………………..
76
MENUMBUHKAN JIWA WIRAUSAHA PADA ANAK SEJAK DINI MELALUI PENDIDIKAN DALAM KELUARGA UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI BERKUALITAS Oleh: I Made Rai Indrayasa………………………………………..
80
PENGUATAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK USIA DINI SEBAGAI PROPHETIC THINKING Oleh: I Putu Suweka Oka Sugiharta…………………………….
90
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
v
vi
PEMBELAJARAN ETIKA YOGA DALAM MEMBENTUK KARAKTER JUJUR ANAK USIA DINI Oleh: Ida Bagus Kade Yoga Pramana……………………………
100
PENGENALAN NILAI ETIKA DAN KETUHANAN BAGI ANAK USIA DINI DALAM GEGURITAN PATI JLAMIT Oleh: Ni Putu Witarsih……………………………………………...
110
STRATEGI PENGEMBANGAN SIKAP KEAGAMAAN PADA ANAK USIA DINI Oleh: Heny Perbowosari…………………………………………….
124
STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI DALAM HINDU Oleh: Ni Wayan Budiasih…………………………………………..
134
MEMBANGUN GENERASI CERDAS DAN KREATIF MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BEYOND CENTERS AND CIRCLE TIME (BCCT) Oleh: I Putu Andre Suhardiana…………………………………..
142
MEMBANGUN KARAKTER ANAK DENGAN KASIH SAYANG Oleh: Ketut Bali Sastrawan………………………………………..
152
STRATEGI PENANAMAN NILAI-NILAI AGAMA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK USIA DINI Oleh: I Made Sujana…………………………………………………
155
MODEL PEMBELAJARAN OUTBOUND UNTUK ANAK USIA DINI Oleh: Putu Santi Oktarina…………………………………………
162
METODE SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN ASPEK PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DENGAN MEDIA PERMAINAN TRADISIONAL Oleh: Gek Diah Desi Sentana……………………………………..
174
METODE PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI MELALUI PERMAINAN Oleh: I Made Wirahadi Kusuma…………………………………..
181
PERAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK USIA DINI Oleh : I Ketut Sudarsana…………………………………………..
190
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
MERANGSANG PERKEMBANGAN ANAK KE ARAH POSITIF MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS EDUTAINMENT Oleh: Ni Wayan Sariani Binawati………………………………..
199
MENINGKATKAN RASA CINTA BUDAYA PADA ANAK USIA DINI LEWAT BERMAIN GAMELAN BALEGANJUR Oleh: I Nyoman Mariyana………………………………………….
203
IMPLENTASI PSIKOLOGI ANAK DALAM PROSES MENGAJAR – BELAJAR PADA ANAK USIA DINI DEMI TERWUJUDNYA GENERASI BERKUALITAS Oleh: I Ketut Madja………………………………………………….
209
vii
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
PENGEMBANGAN STRATEGI INOVATIF INTEGRATIF DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI CERDAS DAN BERKARAKTER Oleh:
Wahyu Sukartiningsih Kaprodi Prodi S2 Pendidikan Dasar, Universitas Negeri Surabaya E-mail:
[email protected]
Abstract The purpose of writing this article is to explain the meaning, formulate the principles, and describe the application of integrative innovative strategies in Early Childhood Education to create intelligent and skillfulgeneration. Education and learning strategy is the tactic of teachers in achieving effectiveness educational and learning. An integrative innovative strategy in early childhood education is not in the strategy name of education and learning, but it is an identifier strategy. At least it is called innovative strategy which is characterized by update constantly in accordance with development in educationtechnology and early childhood development contexts. „Integrative' strategy is a strategy used in the form of linkages between programs to stimulate the early childhoodcomprehensive and balanced competence. This strategy is expected to optimize the development of children so that there is a balance between spiritual, social,cognitive, skillsdevelopment. Children who have the basics of integrity and balance development are predicted to be the intelligent and strong characterin the future. Keywords: integrative innovative strategies, child development, intelligence and character of early childhood Abstrak Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan makna, merumuskan prinsip-prinsip, dan memaparkan penerapan strategi inovatif integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini untuk menciptakan generasi yang cerdas dan berkarakter. Strategi pendidikan dan pembelajaran merupakan taktik yang dilakukan guru dalam mencapai efektivitas pendidikan dan pembelajaran. Strategi inovatif integratif dalam pendidikan anak usia dini bukanlah nama strategi dalam pendidikan dan pembelajaran, namun merupakan penciri strategi. Disebut inovatif jika strategi ini minimal berciri selalu update sesuai dengan perkembangan teknologi pendidikan dan konteks perkembangan anak usia dini. Strategi „integratif‟ adalah strategi yang digunakan dalam bentuk keterkaitan antarprogram pengembangan untuk menstimulasi kompetensi komprehensif dan berimbang anak usia dini. Strategi ini diharapkan dapat mengoptimalkan perkembangan anak sehingga terjadi keseimbangan antara perkembangan spiritual, SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
1
sosial, kognitif, dan keterampilannya. Anak-anak yang memiliki dasar-dasar keutuhan dan keseimbangan perkembangan diprediksi akan menjadi generasi cerdas dan berkarakter kuat di masa mendatang. Kata Kunci: Strategi inovatif integratif, perkembangan anak, kecerdasan dan karakter anak usia dini I.
2
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman yang mulai mengglobal dengan persaingan yang semakin ketat, maka tuntutan kualitas manusia menjadi sangat krusial untuk dapat survive pada kehidupan di masa mendatang. Untuk itu, upaya mempersiapkan generasi yang berkualitas harus benar-benar by design dan berkesinambungan. Penyiapan generasi yang berkualitas perlu dilakukan sejak dini karena usia dini merupakan usia emas (golden ages) bagi perkembangan manusia. Berbagai kajian dan penelitian menunjukkan bahwa genereasi penerus yang berkualitas adalah generasi penerus yang mampu menjawab tantangan zaman dan memiliki daya kreativitas yang tinggi. Generasi yang mampu menjawab tantangan zaman haruslah generasi yang cerdas dan memiliki karakter yang kuat. Untuk menciptakan generasi yang cerdas dan berkarakter ini tidak hanya tanggung jawab lembaga pendidikan, namun juga merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan. Bahkan, orang tua merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama pada anak, khususnya bagi anak usia dini. Dalam lingkungan keluarga inilah anak mulai tumbuh dan berkembang, baik pertumbuhan fisik, kognitif, agama dan moral, motorik, sosial emosional, dan seni. Masyarakat juga memberikan pengaruh pada perkembangan anak, terutama dalam perkembangan karakter sosial emosional (Periksa: Rukmini, 2015:30-39). Di masyarakat anak belajar bergaul dengan teman sebayanya, mengendalikan emosinya jika terjadi masalah, belajar berbagi, berempati pada penderitaan orang lain, dan sebagainya. Masyarakat dapat mendukung proses perkembangan anak, namun sebaliknya dapat juga menjadi penghambat perkembangan anak, bahkan dapat merusak masa depan anak. Berbagai pemberitaan yang ada di media massa terkait dengan perlakuan yang tidak manusiawi kepada anakanak merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Hal ini perlu mendapat perhatian semua pihak. Dalam pendidikan anak usia dini, pemerintah memberikan perhatian yang cukup besar. Terbitmya Kurikulum 2013 PAUD merupakan kebijakan pemerintah yang memberikan pengaruh sangat besar dalam sistem PAUD. Dalam kurikulum ini, kompetensi inti (KI) menjadi target kompetensi yang harus dimiliki SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
oleh anak usia dini, yang terdiri atas kompetensi spiritual (KI 1), kompetensi sosial (KI 2), kompetensi pengetahuan (KI 3), dan kompetensi keterampilan (KI 4). Makna dimunculkannya secara ekspisit keempat KI tersebut merupakan penekanan pengintegrasian keempat kompetensi tersebut dalam mewujudkan perkembangan komprehensif dan berimbang pada anak usia dini. Dengan kata lain, anak usia dini yang memiliki perkembangan komprehensif dan berimbang ini nantinya diharapkan akan berkembang menjadi generasi yang memiliki kecerdasan, kreativitas, dan berkarakter kuat. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1. Apakah makna strategi inovatif integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini? 2. Bagaimanakah prinsip-prinsip pengembangan strategi inovatif integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini? 3. Bagaimanakah penerapan strategi inovatif integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini untuk menciptakan generasi yang cerdas dan berkarakter? 1.3 Tujuan Tujuan penulisan ini adalah: 1. Menjelaskan makna strategi inovatif integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini 2. Merumuskan prinsip-prinsip pengembangan strategi inovatif integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini 3. Memaparkan penerapan strategi inovatif integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini untuk menciptakan generasi yang cerdas dan berkarakter II.
Pembahasan
2.1 Makna Strategi Inovatif Integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini Tidak ada strategi pendidikan dan pembelajaran yang paling tepat untuk semua kondisi. Konsep Montessori (Roopnarine and Johnson, 2011:385) “ikutilah anak” dimaknai bahwa guru dalam menentukan strategi pembelajaran menyesuaikan dengan perkembangan anak. Strategi inovatif integratif dalam pendidikan anak usia dini bukanlah nama strategi dalam pendidikan dan pembelajaran, namun merupakan penciri strategi. Penciri „inovatif‟ dapat dimaknai bahwa (1) strategi yang digunakan dalam proses pendidikan dan pembelajaran harus selalu update sesuai dengan perkembangan teknologi pendidikan, (2) strategi pendidikan dan pembelajaran yang dirancang sesuai dengan konteks muatan perkembangan anak dalam kurikulum, dan (3) strategi yang SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
3
dirancang sesuai dengan karakteristik anak dan pengelolaan kelas (Rukmi dan Sukartiningsih, 2002; Suryanti, Isnawati, Sukartiningsih, dan Yulianto, 2008). Jika strategi pendidikan dan pembelajaran merupakan taktik yang dilakukan guru dalam mencapai efektivitas pendidikan dan pembelajaran, maka guru harus memiliki pengetahuan yang memadai dan wawasan yang luas tentang strategi pembelajaran dan perkembangan anak. Pengetahuan dan wawasan guru tentang strategi ini sangat dibutuhkan untuk dapat menentukan strategi yang tepat sesuai dengan konteks, muatan materi, dan karakteristik siswa. Kondisi ini yang menyebabkan strategi pembelajaran tertentu tidak lagi disebut strategi inovatif jika setiap hari dan sepanjang tahun digunakan secara monoton dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain inovasi tersebut telah kehilangan makna karena akan berubah menjadi konvensional di kelas tersebut. Strategi „integratif‟ adalah strategi yang digunakan dalam bentuk keterkaitan antarprogram pengembangan untuk menstimulasi kompetensi komprehensif dan berimbang anak PAUD (Permendikbud, 2014). Strategi ini diharapkan dapat mengoptimalkan perkembangan anak sehingga terjadi keseimbangan antara perkembangan spiritual, sosial, kognitif, dan keterampilannya. Anak-anak yang memiliki dasar-dasar keseimbangan perkembangan yang utuh yang diprediksi akan menjadi generasi cerdas dan berkarakter kuat pada masa mendatang
4
2.2 Prinsip-Prinsip Pengembangan Strategi Inovatif Integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini Dalam mengembangkan strategi inovatif integratif dalam proses pendidikan di PAUD, perlu diperhatikan prinsip-prinsip pengembangannya. Prinsip pengembangan strategi inovatif integratif dalam proses pembelajaran didasarkan pada perkembangan teori, prinsip pengembangan kurikulum PAUD (Lampiran III Permendikbud No. 146 Tahun 2014), dan prinsip pengembangan proses pembelajaran (Lampiran IV Permendikbud No. 146 Tahun 2014) A. Berbasis pendekatan kontekstual Pendekatan kontektual ini didasari adanya pandangan bahwa proses pendidikan dan pembelajaran akan lebih mudah dipahami dan dikuasai anak dengan memperhatikan konteks kondisi anak, lingkungan, dan ketersediaan fasilitas. Termasuk ke dalam pendekatan ini adalah basis pendidikan pada keunggulan lokal. B. Bersifat integratif komprehensif Bersifat integratif karena memiliki keterkaitan antarprogram pengembangan untuk menstimulasi kompetensi komprehensif dan berimbang anak PAUD (Permendikbud, 2014). SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
C.
D. E.
F.
G.
Belajar melalui bermain Anak di bawah usia 6 tahun berada pada masa bermain. Pemberian rangsangan pendidikan dengan cara yang tepat melalui bermain, dapat memberikan pembelajaran yang bermakna pada anak. Berorientasi pada perkembangan anak Pendidik harus mampu mengembangkan semua aspek perkembangan sesuai dengan tahapan usia anak. Berpusat pada anak Pendidik harus menciptakan suasana yang bisa mendorong semangat belajar, motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, inovasi, dan kemandirian sesuai dengan karakteristik, minat, potensi, tingkat perkembangan, dan kebutuhan anak. Berorientasi pada pengembangan nilai-nilai karakter Fasilitasi pendidikan diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter yang positif pada anak. Pengembangan nilai-nilai karakter tidak dengan pembelajaran langsung, akan tetapi melalui pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan serta melalui pembiasaan dan keteladanan. Hubungan antara karakter, budaya, dan pendidikan ini dijelaskan oleh Warsono (2011:154-155) bahwa secara tidak langsung pendidikan karakter merupakan bagian dari kebudayaan dan pendidikan. Tidak ada pendidikan tanpa pembangunan karakter karena salah satu tujuan pendidikan adalah terwujudnya perubahan perilaku (karakter) ke arah yang lebih baik. Dalam tujuan pendidikan nasional, 5 dari 8 potensi peserta didik yang ingin dikembangkan lebih dekat dengan karakter. Pendidikan karakter merupakan bagian integral dari pendidikan nasional. Begitu juga budaya, tidak ada budaya yang tidak berkarakter. Budaya sebagai kumpulan nilai dan norma dibentuk dan disepakati bersama oleh masyarakat untuk mengatur perilaku masyarakat agar menjadi baik. Dari sudut pandang bahasa sebagai bagian penting budaya, Stienberg, Nagata, dan Alien (2001:245-246) mengemukakan 4 prinsip sebagai berikut (1) Prinsp 1: speech is essensial for thougt; (2) language is essensial for thougt; (3) language determines or shape our perception of nature; and (4) language determines or shape our word view. Berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup Pendidikan diarahkan untuk mengembangkan kemandirian anak. Pengembangan kecakapan hidup dilakukan secara terpadu baik melalui pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan maupun melalui pembiasaan dan keteladanan.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
5
6
2.3 Penerapan Strategi Inovatif Integratif dalam Pendidikan Anak Usia Dini untuk menciptakan generasi yang cerdas dan berkarakter Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa menjadi guru PAUD bukan hal yang mudah. Sepintas orang awam mengira bahwa menjadi guru PAUD mudah dilakukan karena hanya mengajarkan menyanyi, menggambar, senam, jalan-jalan, dan sebagainya yang bermuatan materi ringan. Hal itu yang menyebabkan sebagian masyarakat menganggap bahwa guru PAUD dapat dilakukan oleh siapa saja, asal memiliki waktu untuk mengajar PAUD. Namun jika dikaji dari perkembangan dan pengembangan kompetensi holistik dan berimbang pada anak, maka guru PAUD haruslah memiliki kemampuan mendidik yang baik berdasarkan ilmu paedagogie, memahami hakikat dan perkembangan anak usia dini, berpengetahuan luas dalam muatan dan program pengembangan, berwawasan luas dan berpengalaman dalam strategi mendidik dan mengembangkan kompetensi anak usia dini. Usia dini (0-6 tahun) disebut golden ages karena pada usia ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat, terutama pada perkembangan fisik, psikis, dan karakternya. Pertumbuhan fisik pada anak usia dini secara umum tumbuh pesat, khususnya pada pertumbuhan otaknya. Oleh karena itu, stimulasi dan optimalisasi pertumbuhan anak, terutama pertumbuhan otaknya perlu mendapat perhatian khusus karena sedikit kesalahan dalam memperlakukan anak maka akan berdampak besar bagi pertumbuhan otaknya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keterhubungan simpul-simpul saraf otak anak akan mengalami kerusakan hanya dengan bentakan atau kekerasan yang dialaminya saat berada pada usia ini. Kekerasan pada otak anak ini bukan hanya dengan kekerasan fisik atau oral, namun juga kekerasan perlakuan pada otaknya, seperti pemaksaan pada anak untuk menggunakan kognisinya secara berlebihan yang sebenarnya belum menjadi kapasitas masukan bagi otaknya. Pemaksaan kognitif ini merupakan bentuk kekerasan pada otak yang menyebabkan otaknya mengalami hambatan pertumbuhan. Oleh karena itu, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat pernah mengeluarkan edaran Nomor 2519/C.C2.1/DU/2015 tentang Penyelenggaraan PAUD bahwa tidak diperkenankan mengajarkan membaca menulis keaksaraan dan angka di luar kemampuan anak karena akan memangkas perkembangan kognisi dan kreativitas anak. Kreativitas pada perkembangan kognisi ini sangat penting karena akan memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupannya di masa mendatang. Posisi kreativitas dalam kemampuan kognisi dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Di samping perkembangan fisik, perkembangan psikis juga perlu mendapat perhatian khusus dalam upaya mengoptimalkan perkembangan anak usia dini. Perkembangan psikis anak ini akan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan fisik maupun perkembangan karakternya. Anak yang mendapat stimulasi psikis yang optimal, misalnya dalam bentuk pujian dan kasih sayang, akan berpengaruh bagi optimalnya pertumbuhan fisik dan akan menjalani masa usia dininya dengan penuh keceriaan, kebahagiaan, dan optimisme. Namun jika secara psikis anak mengalami tekanan, maka akan bepengaruh pada pertumbuhan fisiknya, terutama otaknya, dan pada perkembangan pskisnya, seperti anak senantiasa murung, menganggap dirinya selalu bersalah, mengidentikkan dirinya dengan sifat nakal, dan memiliki pesimisme dalam hidupnya. Selanjutnya perkembangan karakter. Dengan menyadur beberapa bagian dari laporan penelitian yang dilakukan oleh Thomas Lickona & Matthew Davidson (2005) berjudul A Report to the Nation, Smart and Good High School, Integrating excellence and Ethics for Success in School, Work, and Beyond, Nur (2011:15) mengemukakan pemikirannya bahwa karakter memiliki dua bagian besar, yakni karakter kinerja (performance character) dan karakter moral (moral character). Karakter kinerja terdiri atas seluruh kualitas yang memungkinkan individu mencapai potensi tertinggi dalam setiap lingkungan kerjanya (seperti di kelas atau di tempat kerja). Karakter moral terdiri atas seluruh kualitas yang memungkinkan individu menjadi insan beretika terbaik dalam pergaulan sosial dan dalam menjalankan berbagai peran warga negara. Selanjutnya, secara filosofis Nur (2011:17) menyampaikan proposisi bahwa mengalami dan menghayati keunggulankeunggulan merupakan bagian sentral dari pemenuhan manusiawi; dan bahwa karakter–kerja keras, gigih, terus berusaha–perlu untuk mewujudkan keunggulan. Kriteria karakter yang terdiri atas karakter kinerja dan karakter moral yang dikemukakan Nur (2011:17) tersebut lebih implikatif dalam upaya pengembangan pendidikan karakter. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perkembangan karakter pada anak usia dini memberikan pengaruh besar pada perkembangan karakter selanjutnya (Periksa: McLachlan and Arrow, 2010; Wrotniak, Epstein, Dorn, Jones, and Kondilis, 2013; Bolduc, Jonathan, 2009:27-31). Berbagai penelitian juga melaporkan bahwa keberhasilan dan kesuksesannya seseorang sesuai dengan bidangnya masing-masing lebih banyak dipengaruhi karakternya, dan bukan sekadar dari tingginya tingkat kecerdasan atau IQ-nya. Oleh karena itu, pengembangan karakter ini perlu mendapat perhatian utama dalam penerapan sistem pendidikan di PAUD. Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan cara mendidik yang dikenal dengan pendekatan Among yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika dan perilaku dengan menggunakan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
7
8
"tuntunan" bukan "tontonan". Samani dan Hariyadi (2011:34) menyatakan bahwa ajaran (wewarah) Ki Hajar Dewantara tersebut, menonjolkan kesan positioning karakter dalam pendidikan nasional. Istilah-istilah lawan sastra ngesti dan suci tata ngesti tunggal yang artinya dengan ilmu seseorang dapat mencapai keberhasilan. Di samping itu ada beberapa rangkaian kata yang menjadi dasar pembudayaan karakter bangsa, melalui bahasa, misalnya tetep, mantep, antep; ngandel kendel, bandel, kandel; Neng ning nung nang. Prinsip penanaman karakter telah dituangkan di dalam Permendibud Nomor 146 Tahun 2014 bahwa proses mendidik pada anak usia dini berorientasi pendidikan karakter. Selanjutnya, prinsip ini dimaknai bahwa pemberian rangsangan pendidikan diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter yang positif pada anak. Pengembangan nilainilai karakter tidak dengan pembelajaran langsung, akan tetapi melalui pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan serta melalui pembiasaan dan keteladanan. Uraian tersebut menunjukkan bahwa untuk menjadi guru PAUD bukanlah hal yang mudah. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, untuk menjadi guru PAUD diperlukan kompetensi yang memadai dalam berbagai aspek. Namun, di antara sekian kompetensi yang harus dimiliki guru PAUD, pada kesempatan ini hanya akan dibahas tentang strategi mendidik dan mengembangkan potensi anak usia dini. Alasannya adalah karena strategi merupakan aspek utama dalam memperlakukan dan menstimulasi optimalisasi perkembangan anak usia dini. Berikut ini akan dipaparkan beberapa strategi inovatif integratif yang disarikan dari berbagai sumber. A. Strategi berbasis Permainan lokal Pembelajaran berbasis permainan yang diciptakan dengan mengadopsi keunggulan lokal berbagai daerah banyak dikembangkan dalam penelitian PAUD di Indonesia. Permainan Engkle inovatif misalnya, merupakan strategi untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar (dalam bentuk jalan, lompat, loncat, keseimbangan diri), pengenalan bentuk geometri sederhana, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan merancang strategi memenangkan permainan, mengenal permainan tradisional yang merupakan keunggulan, mengembangkan kemampuan memperkirakan jarak dan kekuatan energi dalam melempar „gaco‟. Permainan engkle ini merupakan salah satu permainan tradisional sederhana yang dapat diadopsi untuk permainan di PAUD sebagai strategi mengembangkan dan mengoptimalkan tidak hanya pertumbuhan fisik dan kemampuan kognitif dan psikis anak, namun juga merupakan strategi membangun karakter positif, di antaranya karakter jujur, sportif, tanggung jawab, sabar menunggu giliran, dan disiplin. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
B.
Model Bermain Peran Model sentra merupakan salah satu model dalam pendidikan PAUD dituangkan di dalam Kurikulum 2014 PAUD. Di samping model sentra yang sudah dikenal selama ini, sentra pasar merupakan pengembangan model sentra yang dikembangkan oleh Setyowati (2015) melalui penelitian yang dilakukannya selama beberapa tahun. Model sentra pasar ini dapat memberikan pengaruh positif bagi perkembangan kecerdasan majemuk (multiple intellegence) anak usia dini. Dalam model sentra pasar ini, anak dapat melakukan bermain peran sebagai penjual dan pembeli seperti kegiatan di pasar. Melalui kegiatan ini anak dapat mengembangkan kecerdasan spiritual, lingustik, personal dan interpersonal, logis, spasial, etis, dan estetis secara komprehensif dan berimbang. Di samping melalui sentra pasar, bermain peran dapat dilakukan dengan fasilitasi dibacakan dulu cerita atau dongeng dan anak yang memerankannya, atau dapat digunakan strategi lain yang bernuansa bermain peran (Periksa: Mucharromah, Sukartiningsih, dan Bachri, 2015:40-48; Septa, Mustaji, dan Setyowati, 2015:49-61). C. Strategi Beorientasi Pengalaman dan Petualang (Field Trip) Strategi berorientasi pengalaman dan petualang ini menstimulasi anak untuk menghargai apa yang sudah dilakukannya dan untuk menghadapi tantangan yang harus dihadapinya. Melalui kegiatan menceritakan pengalamannya, diharapkan anak dapat mengingat peristiwa-peristiwa yang sudah dilaluinya dengan baik dan menjadikan pengalamannya untuk senantiasa memperbaiki dan meningkatkan diri. Adapun melalui berpetualang diharapkan anak dapat memikirkan strategi untuk menghadapi tantangan. Dengan demikian strategi ini melatih anak untuk optimis dalam menyelesaikan masalah dan tidak mudah putus asa. Karakter ini akan sangat dibutuhkan kelas pada saat anak sudah dewasa dan harus menghadapi tantangan kehidupan yang sangat berat. Karakter penting lain yang dapat dibangun melalui pengalaman dan petuang adalah kemandirian anak. Melalui pengalaman dan petualang, siswa dituntut untuk dapat mandiri dan terlepas dari ketergantungan orang-orang sekitar. Dalam konsep literasinya, Cooper (2000: 139) mengemukakan bahwa cara terbaik untuk mengaktifkan dan mengembangkan pengetahuan awal anak adalah menggunakan materi dan pengalaman nyata (Periksa: Dewi, Mustaji, dan Setyowati, 2015:1-11; Hanita, Masitoh, dan Hasibuan, 2015:1219; Miswanti, Sukartiningsih, dan Setyowati, 2015:20-29; Ernawati, Sukartiningsih, dan Hasibuan, 2015:62-76). D. Strategi Berbantuan Media Berbasis Information and Communication Technology (ICT) Pembelajaran berbantuan media ICT ini dapat dilakukan oleh guru yang di sekolahnya telah memiliki perangkat teknologinya. Melalui penggunaan ini guru dapat merancang secara kreatif dan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
9
10
menyajikan muatan pembelajaran sehingga menarik bagi anak. Media berbasis ICT ini akan dapat memberikan suasana baru bagi anak (Sukariningsih dan Yermiandhoko, 2008). Oleh karena itu, guru PAUD juga harus memiliki kemampuan dan wawasan yang luas dalam merancang dan menyajikannya bagi anak usia dini. Apalagi dengan berkembangnya teknologi saat ini, guru dapat merancang sendiri media berbasis ICT yang dibutuhkan tanpa mengeluarkan banyak biaya. Yang termasuk dalam media berbasis ICT ini yang sudah dikembangkan, diantaranya media pembelajaran interaktif, puzzle, video, ulang tangga interaktif (Periksa: Chandra, Sukartiningsih, Setyowati, 2015:87-98). Tentunya, pengembangan media ICT edukatif ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh guru sesuai dengan fasilitas yang tersedia, kondisi sekolah, dan perkembangan anak. E. Strategi berbantuan media Lingkungan Sekitar Strategi inovatif dalam mengoptimalkan perkembangan anak usia dini tidak harus menggunakan strategi yang bermedia mahal. Salah satu strategi yang mudah dan murah yang dapat digunakan guru PAUD dalam mengoptimalkan perkembangan anak adalah media lingkungan sekitar. Pada lingkungan sekitar telah tersedia berbagai fasilitas dan stimulan yang dapat dimanfaatkan oleh guru dalam mengoptimalkan perkembangan anak (Periksa: Wahyuningsih, Masitoh, Bachri, 2015:99-111). Misalnya, untuk mengembangkan pertumbuhan fisik dan motorik, spiritual, moral, kognitif, sosial emosional, dan seni, guru dapat menggunakan taman di halaman sekolah dengan langkah utama sebagai berikut: 1. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok 2. Guru menjelaskan permainan menemukan benda yang diminta guru di taman bersama kelompoknya masingmasing. Permainan ini untuk menciptakan nuansa bermain yang menjadi orientasi kegiatan di PAUD. 3. Kelompok yang sudah menemukan benda tersebut (bola berwarna) harus menyerahkan kepada guru. Kelompok yang paling cepat menemukan benda tersebut adalah kelompok yang menang yang akan mendapat hadiah bintang dari guru. 4. Selanjutnya, siswa mencari beberapa benda yang ada di kelas maupun di luar kelas yang memiliki warna seperti warna bola yang ditemukannya. Kelompok yang dapat menemukan benda yang cocok paling banyak sesuai dengan waktu yang diberikan guru (ditandai peluit tanda mulai dan selesainya kegiatan) akan mendapat hadiah bintang 5. Siswa secara individual diminta menemukan benda yang paling disukai yang ada di dalam kelas atau di luar kelas 6. Siswa diminta menyampaikan alasan mengapa dia menyukai benda tersebut dan membuat ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena telah menciptakan benda yang paling disukai yang ada di dalam kelas atau di luar kelas yang dipilihnya.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
7.
Siswa menggambar benda yang disukainya tersebut dan mewarnainya. F. Strategi Bermedia Syair dan Lagu (seni) Syair dan lagu merupakan media yang sangat disukai anakanak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa media syair dan lagu dapat mengaktifkan otak anak dan menyeimbangkan otak kiri dan kanannya. Aktivasi dan penyeimbangan otak kiri dan kanan ini diyakini akan membawa pengaruh cukup besar dalam kecerdasan dan karakternya. Oleh karena keterbatasan tulisan ini, maka strategi yang dipaparkan hanya beberapa saja di antaranya. Strategi pengembangan dan optimalisasi kompetensi anak usia dini ini pada dasarnya sangat beragam dan dapat senantiasa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan anak dan kreativitas guru serta ketersediaan fasilitas. Hanya saja dapat pemilihan dan penentuan strategi pengembangan kompetensi anak perlu dipikirkan keefektifan dan dampaknya bagi kecerdasan dan karakter anak. III. Penutup 3.1 Simpulan Suasana menyenangkan yang dikemas dalam nuansa bermain wajib hadir dalam proses pengembangan dan optimalisasi kompetensi sesuai dengan perkembangan anak usia dini. Berdasarkan konsep bermain sambil belajar, maka proses belajar anak usia dini harus dikemas dalam suasana bermain. Namun untuk menciptakan proses belajar di PAUD yang bernuansa bermain dengan tetap berada pada koridor pencapaian dan optimalisasi perkembangan anak bukanlah kegiatan yang mudah dirancang. Untuk itu diperlukan guru yang memiliki pengetahuan, kemampuan, dan wawasan yang luas tentang strategi inovatif integratif. Referensi strategi inovatif integratif ini cukup banyak baik dari buku-buku yang sudah ditulis oleh para penulis maupun dari kajian dan penelitian di bidang ke-PAUD-an. Namun, guru dapat juga menciptakan sendiri strategi yang paling tepat untuk konteks dan perkembangan anak didiknya. Hal ini sesuai dengan prinsip kontekstual bahwa tidak ada satupun strategi yang paling tepat, namun strategi yang tepat adalah strategi yang sesuai dengan konteks dan kondisi yang ada. Selanjutnya, pemilihan, penentuan, maupun penciptaan strategi yang tepat inilah yang harus dilakukan guru PAUD dengan menganalisis konteks pendidikan di kelasnya, sehingga akan diperoleh hasil yang optimal dalam perkembangan kecerdasan dan karakter anak secara holistik dan seimbang, dengan harapan nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang berkualitas.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
11
3.2 Saran Dari uraian sebelumnya disampaikan saran sebagai berikut: 1. Guru PAUD memiliki posisi strategis dalam menghasilkan generasi yang berkualitas. Oleh sebab itu, guru PAUD perlu senantiasa haus ilmu, terutama tentang strategi pendidikan ke-PAUD-an karena strategi ini sangat krusial dalam proses pengembangan dan optimalisasi kompetensi dan perkembangan anak secara holistik dan berimbang. 2. Guru PAUD perlu mempertimbangkan perkembangan, karakteristik, dan minat anak sebelum merencanakan dan melaksanakan proses pendidikan di PAUD agar dapat diplih dan ditentukan strategi yang tepat dan menarik. 3. Di samping perlu memiliki kemampuan dalam pengetahuan global dan teknologi berbasis internet, guru PAUD perlu tetap menggali dan mempertahankan keunggulan lokal dan mengadopsinya dalam proses pengembangan kompetensi anak usia dini agar anak-anak memiliki pengetahuan dan wawasan global, namun tetap tidak tercerabut dari akar budayanya. Daftar Pustaka
12
Bolduc, Jonathan. 2009. Effect of a Music Programme on Kindergartners‟ Phonological Awareness Skill 1 dalam International Journal of Music Education. http://ijm.sagepub.com/content/27/1/37 Candra, Ratnasari Dwi Ade, Sukartiningsih, Wahyu, dan Setyowati, Wati. 2015. Pengembangan Media Video Pembelajaran untuk Mengenalkan Huruf dan Bilangan pada Anak Usia Dini 4-5 tahun dalam Jurnal S2 PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa. Cooper, J.David. 2000. Literacy: Helping Children Construct Meaning. Fourth Edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Dewi, Wahyuning Tirto, Mustaji, dan Setyowati, Sri. 2015. Pengembangan Media Kartu Kata Bergambar untuk Meningkatkan Perkembangan Bahasa Anak dalam Mengenal Kata di Taman Kanak-Kanak dalam Jurnal S2 PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa. Ernawati, Sukartiningsih, Wahyu, dan Hasibuan,Rachma. 2015. Penerapan Permainan Outbond untuk Mengembangkan Motorik Kasar dan Kerjasama di Kelompok B TK Yasmin Jember dalam Jurnal S2 PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa. Hanita, Masitoh, dan Hasubian Rachma. 2015. Pengaruh Metode Demonstrasi terhadap Kemampuan Menggunting Sesuai dengan Pola dan Mengenal Perbedaan Berdasarkan Ukuran pada Anak TK Kelompok B di Kota Surabaya dalam Jurnal S2
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa. McLachlan, Claire and Arrow, Alison. 2010. Alphabet and Phonological Awareness: Can it be Anhanced in The Early Childhood Setting dalam International Research in Early Childhood Education. Vol 1. No. 1, page 84 Miswanti, Ida, Sukartiningsih, Wahyu, dan Setyowati, Sri. 2015. Pengaruh Scaffolding terhadap Kemampuan Mengenal Lambang huruf dan Meniru Huruf pada Anak TK Kelompok A Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam Jurnal S2 PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa. Mucharromah, Siti, Sukartiningsih, Wahyu, dan Bachri, S. Bachtiar. 2015. Pengaruh Metode Bercerita dengan Media Buku Cerita Terhadap Kemampuan Menyimak dan Berbicara Usia Dini dalam Jurnal S2 PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa. Nur, Mohamad. 2011. Karakter Kinerja dan Karakter Moral dalam Bunga Rampai Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Generasi Masa Depan. Surabaya: Unesa University Press. Permendkbud. 2014. Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini. Pratiwi, Hardiyanti, Mustaji, dan Bachri, S. Bachtiar. 2015. Pengembangan Lembar Kerja Anak dengan Menggunakan Pendekatan Konstruktivistik untuk Meningkatkan Kemampuan Sains bagi Anak TK Kelomopk B dalam Jurnal S2 PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa. Roopnarine, Jaipaul L. and Johnson, James E. 2011. Pendidikan Anak Usia Dini: dalam Berbagai Pendekatan. Diterjemahkan oleh Sari Narulita. Jakarta: Kencana. Rukmi, Asri Susetyo dan Wahyu Sukartiningsih. 2002. Pengembangan Media Kartu Kata Bergambar untuk Pembelajaran Membaca dan Menulis Permulaan di Kelas 1 SD. Laporan Penelitian Tidak Diterbitkan. Surabaya: Lembaga Penelitian UNESA. Rukmini. 2015. Pengaruh Pendapatan Keluarga dan Tingkat Pendidikan Formal Ibu terhadap Perkembangan Anak Usia 24-36 Bulan dalam Jurnal S2 PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa. Samani, Muchlas dan Hariyadi. 2011a. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Septa, Indri Widyan, Mustaji, dan Setyowati, Sri. 2015. Pengaruh Penggunaan Metode Bermain Peran terhadap Perkembangan Moral dan Sosial pada Anak Kelompok B TK Dewi Sartika Kota Kediri dalam Jurnal S2 PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
13
Setyowati, Sri. 2015. Pengembangan Model Sentra Pasar untuk Menunbuhkan Kecerdasan Majemuk Anak Usia Dini. Laporan Penelitian Tidak Diterbitkan. Steinberg, Danny D., Nagata, Hiroshi, dan Aline, David P. 2001. Psicholinguistics: Language, Mind, and World. Edinburgh Gate: Pearson Education Limited. Sukartiningsih, Wahyu dan Yermiandhoko, Yoyok. 2008. Pengembangan Media CD Interaktif untuk Pembelajaran Membaca Permulaan di kelas 1 Sekolah Dasar. Laporan Penelitian. Tidak Diterbitkan. Surabaya: Lemlit UNESA. Suryanti, Isnawati, Wahyu Sukartiningsih, dan Bambang Yulianto. 2008. Pembelajaran Inovatif. Surabaya: University Press Universitas Negeri Surabaya. Wahyuningsih, Salami Eka, Masitoh, Siti, dan Bachri, S. Bachtiar. 2015. Penggunaan Media Buah-buahan untuk Meningkatkan Kemampuan Bercerita dan Mengungkapkan Pendapat pada Anak Kelompok A TK Dharma Wanita Sidorejo Kecamatan Rowokangkung Kabupaten Lumajang dalam Jurnal S2 PAUD: Jurnal Ilmiah S2 Pendidikan Anak Usia Dini. Surabaya: Unesa. Warsono. 2011. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di Sekolah Dasar dalam Bunga Rampai Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Generasi Masa Depan. Surabaya: Unesa University Press. Wrotniak, Brian H, Epstein Leonard H.,Dorn, Joan M., Jones, Katherine E., and Kondilis, Valeria A. 2006. The Relationship Between Motor Proficiiency and Physical Activity in Chledren dalam Official Journnal of The American of Pedriatics. http//pediatrics.appublicatons.ora/conten/118/6/e1758.full .html.
14
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
MENDONGENG SAMBIL BERMAIN KIAT PELESTARIAN BUDAYA Oleh: Made Taro
I.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia amat kaya dengan dongeng, permainan dan nyanyian anak-anak. Apakah warisan budaya nenek-moyang itu harus dilupakan atau disia-siakan? Tidakkah bermanfaat bagi anak-anak masa kini? Dongeng, permainan dan nyanyian adalah dunia anak. Sejak zaman purba sampai sekarang, ketiga jenis budaya itu tetap disenangi anak-anak. Budaya tersebut bukan saja menjadi media pergaulan yang menyenangkan, tetapi juga menjadi kebutuhan. Mendengarkan dongeng, aktivitas bermain dan bernyanyi itu sangat menarik kalau dijalin menjadi hubungan yang saling terkait. Usaha mengaitkan ketiga genre itu didasarkan atas pertimbangan bahwa dongeng, nyanyian, dan permainan, memiliki sifat dan fungsi yang sama yakni : pengisi waktu luang, rekreatif, komunikatif dan bermanfaat untuk pengembangan pribadi anakanak. Di sisi lain muncul suatu gejala masyarakat yang beranjak meninggalkan tradisi bercerita dan aktivitas bermain (termasuk nyanyian) akibat dari penemuan teknologi modern yang sanggup menggantikan kedudukan orangtua sebagai tokoh sentral di rumah tangga. Anak-anak menganggap tradisi mendongeng dan aktivitas bermain adalah kegiatan kuno yang tidak menarik dan menjemukan. Terbersit pemikiran, tidakkah dongeng dan permainan dapat dikemas menjadi bentuk yang lebih menarik? Dapatkah dongeng itu diramu menjadi sebuah permainan sehingga suasananya ceria dan dinamis? Dengan kata lain mungkinkah dilakukan kegiatan mendongeng sambil bermain atau bermain sambil mendongeng? Di Indonesia, juga di Asia Tenggara dan Eropa sedikit sekali ditemukan permainan yang berlatar-belakang dongeng. Memang ada beberapa permainan yang dapat dijelaskan, akan tetapi penjelasan itu bukan dongeng. Katakan misalnya permainan anak-anak Inggris yang disebut “Orange and Lemons”. Dalam permainan itu anak-anak beriringan sambil bernyanyi-nyanyi dengan lirik yang melukiskan bunyi lonceng di beberapa gereja di Inggris. Bersamaan dengan akhir nyanyian, anak-anak ditangkap dengan sebuah perangkap, lalu anak yang tertangkap itu memilih menjadi orange (jeruk manis) atau lemon (jeruk sitrun). Di Perancis, permainan itu melukiskan tentang pemenggalan leher seorang pemberontak atau pembangkang dengan pisau guillotine (ingat sejarah pemerintahan raja-raja absolut) dan di Australia permainan yang sama itu melukiskan biri-biri yang dicukur bulunya. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
15
16
Adakah permainan seperti itu di Indonesia? Ada! Namanya ‟Ular Naga‟. Di Bali permainan seperti itu disebut „Pohpohan‟ („Mangga-manggaan‟). Salah satu versinya disebut „Tiuk Poh‟ („Pisau Mangga‟). Permainan itu melukiskan sebuah perangkap yang bertugas menangkap dua orang pemain. Kedua pemain yang tertangkap itu dihukum, seorang menjadi tiuk (pisau) dan seorang lagi menjadi poh (mangga). Pemain pisau berusaha mengupas (menangkap) mangga, tetapi selalu dihalang-halangi oleh pemain pelindung mangga. Contoh lain, permainan „Gebug Ende‟ yang dilakukan oleh orang dewasa di Seraya, Karangasem, dilatar-belakangi oleh sebuah legende tentang penyerbuan pasukan Kerajaan Karangasem ke Kerajaan Lombok, atau permainan „Mukur‟ di Klungkung yang berlatar-belakang siat (peperangan) menggunakan keris. Jadi dapat dikatakan permainan itu adalah tiruan dari alam (lingkungan), peristiwa alam, dan kehidupan manusia/hewan. Banyak sekali jenis permainan yang merupakan tiruan itu, sehingga permainan itu dapat dijelaskan latarbelakangnya. Contoh permainan yang berlatar-belakang cerita rakyat sangat sulit didapatkan. Permainan „Goak-goakan‟ di Kabupaten Buleleng dapat digunakan sebagai contoh. Konon prajurit Kerajaan Buleleng tidak mau menyerbu kerajaan Blambangan di Jawa Timur, karena payah dan jemu bertempur. Sang Raja Panji Sakti tidak dapat berbuat apa-apa. Setelah bertimbang-timbang dengan patihnya dan merenung beberapa saat, sang Raja menemukan akal. Beliau mengajak rakyat bermain „Goak-goakan‟ di alun-alun depan istana. Rakyat tidak menyadari bahwa ajakan raja itu adalah jebakan agar semangat tempur prajurit-prajurit itu bangkit kembali. Ternyata akal-akalan yang cerdas itu berhasil. Permainan „Kelik-kelikan‟ dari Kabupaten Bangli berlatarbelakang cerita mengenai pertanian. Pada suatu musim kemarau panjang, Subak Desa Sulahan, kecamatan Susut kehabisan air. Untuk mengairi sawahnya, mereka sangat tergantung persediaan air dari sebuah telaga. Sial, air yang sangat terbatas itu dicuri oleh ribuan burung kekelik sehingga hampir habis. Untung, seekor burung gagak selalu berjaga dan mengusir setiap kekelik yang mencuri, sehingga petani-petani subak itu tidak kehabisan air. Permainan „Goak-goakan‟ masih dikenal sampai sekarang, tetapi permainan „Kelik-kelikan‟ sudah terlupakan. Latar-belakang cerita rakyat kedua permainan itu tidak pernah diperkenalkan dari generasi ke generasi berikutnya, oleh karena itu terlupakan sama sekali. Alangkah menariknya kalau aktivitas permainan itu dirangkaikan dengan cerita, dan tradisi bercerita dikaitkan dengan aktivitas bermain. Menarik benar kedua cerita yang melatar-belakangi permainan anak-anak itu. Keduanya melibatkan peran burung gagak. Gagak dalam permainan „Goak-goakan‟ adalah gagak yang SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
jahat, karena selalu memangsa anak ayam, sedangkan gagak dalam permainan „Kelik-kelikan‟ adalah gagak yang baik hati. Anak-anak sering dicekoki oleh cerita-cerita gagak yang menakutkan. Katanya, gagak itu jahat, suka mencuri, banyak punya musuh dan pertanda adanya maut. Tetapi setelah mengenal cerita „Burung Gagak dan Kekelik‟ itu, ternyata ada burung gagak yang baik hati. Bagaimana menghayati gagak yang jahat dan gagak yang baik hati itu, sebaiknya kepada anak-anak diberikan kesempatan mengenal cerita dan sekaligus memainkannya. Anakanak dengan sendirinya memiliki pemahaman bahwa nilai buruk dan baik tidak ditentukan oleh ciri fisik, akan tetapi oleh sifat-sifat yang memancar dari dalam. Melalui dongeng yang dikaitkan dengan permainan atau mendongeng sambil bermain itu, anakanak akan lebih intens melakukan kegiatan jasmani, rohani, panca indra, dan bahasa. Dengan kata lain melibatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Seluruh kegiatan itu selalu diarahkan kepada kesenangan (kenikmatan), kemanfaatan dan keselamatan. II.
Pembahasan
2.1 Menanamkan Nilai Kearifan Lokal Untuk Anak Paud Bali amat kaya dengan nilai kearifan lokal. Nilai itu akan siasia kalau tidak diwariskan dengan cara yang tepat guna dan berdaya guna. Berikut sebuah lagu anak-anak berjudul „I Nini Mapitutur‟ yang melukiskan hal itu. I Nini mapitutur Kocap di desa anu Risedek dina anu Jadma burone mapalu Sira uning ne menang? Tutur Nini kalanturang Dharma jati ajegang Karmaphala kamargiang Becikang pirengang Becikang resepang Lagu di atas melukiskan tradisi lisan mendongeng antara penutur (I Nini) dan penyimak (anak-anak). Ciri dongeng adalah peristiwa fantastik yang tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dalam kehidupan sehari-hari selalu terjadi konflik (dilukiskan dengan pergumulan antara manusia dengan hewan). Penyimak bertanya-tanya, siapakah yang akan tampil sebagai pemenang. Penutur menegaskan bahwa yang tampil sebagai pemenang adalah karakter yang mengajegkan kebenaran sejati serta menjalankan keyakinan terjadinya hukum karma. Benang merah kearifan lokal di Bali adalah mengajegkan dharma jati dan keyakinan akan adanya karmaphala. Untuk anakSEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
17
18
anak (khususnya Paud) nilai-nilai itu diperoleh terutama melalui tradisi lisan. Salah satu keunggulan tradisi lisan adalah komunikasi dua arah yang diwarnai suasana hubungan akrab. Dalam berkomunikasi itu anak-anak memperoleh manfaat kesenangan/kebahagiaan, olah pikir, olah emosi, pengetahuan, kemampuan bahasa (frase, narasi, ucapan), serta peluang untuk melakukan respons. Sangat baik kegiatan mendongeng (story-telling) dilakukan di rumah tangga atau di dalam kelas. Penutur adalah ayah-bunda atau kakek-nenek terhadap anak-cucunya, atau Bapak-Ibu Guru terhadap anak didik. Proses pembelajaran melalui story-telling apalagi melalui „mendongeng sambil bermain‟ sangat cocok diterapkan untuk anak-anak Paud. Namun tidak semua dongeng dapat dikaitkan dengan permainan. Berikut beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan apabila seorang guru memilih dongeng untuk anak-anak Paud. 1. Sederhana : Alur tidak berbelit-belit, tetapi merupakan peristiwa sebab-akibat kronologis progresif yang mudah dipahami. Teknik bercerita merupakan pengulanganpengulangan, namun tetap mengandung konflik dan problem solving. 2. Imaginatif : cerita merupakan peristiwa yang dapat mengembangkan daya fantastik dan imaginatif, sesuai dengan dunia anak. 3. Egosentris : cerita yang menarik adalah cerita mengenai peristiwa, suasana, situasi dan karakter yang dikenal atau berada di lingkungannya. 4. Identifikasi : cerita itu mengandung tokoh yang mudah diindetifikasikan dengan dirinya, misalnya tokoh yang diteladani karena jujur, heroik, kasih-mengasihi, anti kekerasan dllnya. Berpedoman kepada persyaratan di atas, maka penanaman nilai moral termasuk kearifan lokal dapat dilakukan dalam suasana rekreatif, namun berkesan dan berpesan. Berikut beberapa contoh dongeng yang cocok untuk anak-anak Paud. 1. Ayam Hitam dan Kucing Abu-abu (Bali) menanamkan nilai tanggung-jawab seorang ibu dan kasih-mengasihi antara ibu dan anak. 2. Kulkul Bulus Burung Pelatuk (Bali), mengandung pesan jangan menyalahkan orang lain, atau lempar-melempar tanggung-jawab. 3. Balapan Kijang Dan Siput (Bali), mengandung nilai berusaha mencapai hasil dengan akal budi dan kerjasama. 4. Kera Dan Kura-kura (Bali), mengandung nilai persahabatan yang tulus, tanpa pengkhianatan, dan hukum karma. 5. Serigala Mencari Dokter (Bali), mengandung pelajaran akibat dari hubungan yang kurang baik karena perbuatan yang tidak terpuji.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
6.
Pangeran Cicing Gudig (Bali), mengandung nilai kesadaran akan identitas, setelah menjalani kehidupan yang manja dan serakah. Untuk memperluas wawasan, kepada anak-anak juga perlu diperkenalkan donging-dongeng yang berasal dari luar Bali. Dongeng itu misalnya : Piring Emas Untuk Anak Kucing (Deli Serdang), Kancil Yang Cerdik (Melayu), Tiga Babi Kecil (Eropa), Monyet Dan Rumahnya (Brazilia), Negeri Jeruk (kreasi), Anak Itik Yang Nakal (kreasi), dan lain-lainnya. Berikut beberapa contoh permainan yang dapat dirangkaikan dengan dongeng, serta diperkuat dengan nyanyian, misalnya : Godog-godogan, Goak Maling Pitik, Goak Maling Taluh, Kelikkelikan, Sepit-sepitan, Lutung-lutungan, dllnya. Nilai dan pendidikan karakter yang diperoleh dari permainan itu adalah : disiplin, jujur, sportif, percaya diri, tanggung-jawab, kerjasama, semangat untuk mencapai hasil, menghargai harkat manusia, dllnya. 2.2 Pelestarian Budaya Luhur Proses pembelajaran melalui kiat mendongeng sambil bermain itu tidak saja berarti penanaman budaya luhur atau kearifan lokal, tetapi lebih jauh berarti pula melibatkan anak-anak untuk ikut serta melestarikan budaya, mewarisi serta mewariskan budaya unggul itu di kemudian hari. Dengan demikian bangsa Indonesia tidak akan kehilangan identitas sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya luhur. Semogalah. Bahan Bacaan Cole, Joanna, 1982, Enjoying The World‟s Folktales, dlm. Best Love Folktales Of The World, Anchor Book, New York. Desi Sentana, Gek Diah, 2012, Pewaris Permainan Tradisional Di Desa Sulahan, Kec, Susut, Kab. Bangli, tesis, UNUD. Mac Donald, Margaret Read, 1993, The Story-teller‟s Start-up Book, August House Publishers Inc, Atlanta. Mac Donald, Margaret Read, 2013, Teaching With Story, August House, Inc. Pudentia, MPSS, dlm. Pudentia, melayuonline.com Rose, Doudou N‟Diave, tt, The Role of Storytelling, dlm. The Madinka Epic. Taro, Made, 2010, Mendongeng Sambil Bermain, PT. MAPAN, Jakarta. Taro, Made, 2014, Dongeng-dongeng Karmaphala, (cet. ke-3), Amada Press, Denpasar. Taro, Made, 2003, Kera Yang Tamak, dlm. Randu dan Sahabatnya, Kanisius: Yogyakarta. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
19
EFEKTIVITAS PENANAMAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN YANG DIKANDUNG DALAM AJARAN AGAMA SEJAK USIA DINI DALAM PROSES PEMBENTUKKAN KARAKTER ANAK Oleh:
I Ketut Donder Program Doktor Ilmu Agama E-mail:
[email protected]
Abstract
20
Planting the values of religious teachings is the earliest knowledge and experience which was known and the most memorable thing for a child in his life. His knowledge and experience will be very strong impression and it will be permanent in his heart. The effectiveness of cultivation of religious values are so strong and permanent if it is implanted at an early age in children, then the parents and religious leaders, particularly Semitic Religion, placing the activity of planting the moral values seriously and fanatically. Parents and religious leaders always instill Semitic fanaticism for their children that only their religion are straight and true and also the religion approved by God. While non-Semitic religions are religions that are not approved by God, they are like a flock of sheep that is lost in the forest, because the non-Semitic religions should be rounded up or driven so that they enter the Semitic religions. Activities planting the intolerant faith make the followers of Semitic Religion are very difficult to accept and appreciate the truth of other religions. Even the pattern of planting such a belief is not only caused the growth of anti-starch against followers of other religions, but the way this kind of intolerance is the source of the birth of the terrorists. It is different ways instilled by parents and Semitic religious leaders, otherwise the parents and leaders of Hindu religion since childhood instilled that all religions are means or different instruments to achieve the same goal. Therefore, Hindu children from an early age have instilled the values of universal so deep inside themselves is growing very high characteristics of tolerance. The Hindu children since they were young always respect their friends of other faiths; they do not keep their distance from friendship to show the attitude of religious differences. In Axiological sociological this kind of Hindu children attitude are supposed to be role-models in the achievement of learning at an early age. However, in the reality of religious life in the pluralistic society, the sympathy and tolerance that are owned by the Hindu children harm themselves, because the attitude of sympathy and tolerance makes Hindus as conversion goals in various parts of the world. Therefore, the teaching of religious values in Hindu children at the early age is not enough to teach the values of compassion and tolerance for other religions. But it must also involve practical rational logics that lead them to believe that religion is very strong so they are not easily converted either through the ways of evangelical, SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
ecumenical, elenktis or through marriage. Planting concept of the unity of mankind must be formed through the purification of hearts so that divinity will appear in a child from an early age. In this way, the concept of world peace has been built in a child from an early age. Keywords: effectiveness, planting, values, religion, early age, formation, character Abstrak Penanaman nilai-nilai ajaran agama adalah pengetahuan dan pengalaman paling pertama dikenal dan paling berkesan dalam diri seorang anak di dalam hidupnya. Pengetahuan dan pengalaman tersebut akan membekas sangat kuat dan bersifat permanen di dalam hati seorang anak. Mengingat efektivitas penanaman nilai-nilai agama yang demikian kuat dan permanen jika ditanamkan pada sejak usia dini pada diri anak, maka para orangtua dan para tokoh agama, utamanya Agama Semitis, menempatkan aktivitas penanaman nilai-nilai ajaran mereka dengan sangat sungguh-sungguh dan sangat fanatik. Para orangtua dan para tokoh Agama Semitis senantiasa menanamkan fanatisme bagi anak-anak mereka bahwa hanya agama merekalah yang lurus dan benar dan juga agama yang disetujui oleh Tuhan. Sedangkan agama-agama non-Semitis adalah agama yang tidak direstui oleh Tuhan, mereka seperti kawanan domba yang tersesat di hutan, karena itu para penganut agama non-Semitis harus ditangkapi atau digiring agar mereka masuk agama Semitis. Aktivitas penanaman iman yang intoleran semacam inilah yang membuat para penganut Agama Semitis sangat sulit menerima dan menghargai kebenaran agama lainnya. Bahkan pola penanaman keyakinan semacam ini bukan saja menyebabkan tumbuhnya anti-pati terhadap penganut agama lainnya, tetapi cara intoleran semacam ini merupakan sumber lahirnya para teroris. Berbeda dengan cara-cara yang ditanamkan oleh para orangtua dan para tokoh Agama Semitis, sebaliknya para orangtua dan para tokoh Agama Hindu sejak kecil ditanamkan bahwa semua agama adalah cara atau alat yang berbeda-beda untuk mencapai tujuan yang sama. Oleh sebab itu, dalam diri pribadi anak-anak Hindu sejak usia dini telah ditanamkan nilai-nilai universal sehingga dalam diri mereka tumbuh sifat toleransi yang sangat tinggi. Anakanak Hindu sejak kecil mereka akan sangat respek pada temantemannya yang beragama lain, mereka tidak menjaga jarak dalam persahabatan untuk menunjukkan sikap perbedaan agama. Secara aksiologis sosilogis sikap anak-anak Hindu itulah yang seharusnya menjadi role-model dalam pencapaian pembelajaran pada usia dini. Tetapi, dalam realitas kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat yang pluralis sikap simpati dan toleransi tinggi yang dimiliki oleh anak-anak Hindu merugikan diri SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
21
mereka sendiri, karena sikap simpati dan toleransi itu menjadikan orang-orang Hindu sebagai sasaran konversi di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, pengajaran nilai-nilai agama pada anak-anak Hindu usia dini tidak cukup dengan mengajarkan nilai-nilai simpati dan toleransi pada agama-agama lainnya. Tetapi harus juga melibatkan logika-logika rasional praktis yang menyebabkan mereka sangat kuat meyakini agamanya sehingga mereka tidak mudah dikonversi baik melalui cara-cara evangelis, ekumenis, elenktis ataupun melalui perkawinan. Penanaman konsep kesatuan umat manusia (unity) harus dibentuk melalui pemurnian hati (purity) sehingga sifat-sifat ketuhanan (divinity) akan muncul pada diri seorang anak sejak usia dini. Melalui cara ini, maka konsep perdamaian dunia sudah terbangun dalam diri seorang anak sejak usia dini. Kata Kunci: efektivitas, penanaman, nilai, agama, usia dini, pembentukan, karakter. I.
22
Pendahuluan
Jika negara dan dunia berharap terwujudnya kedamaian dan perdamaian dunia, maka nilai-nilai agama yang terpenting yang harus ditanamkan dalam diri anak sejak usia dini adalah nilainilai kemanusiaannya (manusya yajña). Sangat percuma menanamkan nilai-nilai teologi secara fanatic jika pengajaran tersebut justru menghasilkan para teroris. Aspek teologi ketuhanan dan teologi kemanusiaan seharusnya seperti mata uang yang satu dengan yang lainya tidak bisa dipisahkan. Alangkah malang dan paradoksnya jika ketuhanan yang diajarkan justeru membunuh kemanusiaan. Kesalahan pengajaran semacam ini sesungguhnya telah dilihat oleh para pemikir filsafat sejak lama, karena itu filosof besar Jerman, F. Nietzsche menelorkan satu pandangan yang menggegerkan dunia, yaitu suatu karyanya berjudul “Tuhan Telah Mati”. Sesungguhnya karya Nietzsche ini bukan bermaksud menghina Tuhan, tetapi bertujuan mengejek hipokritas orang-orang beragama yang omongannya setinggi langit tetapi perilakunya berkubang di lumpur. Artinya, yang diprotes oleh Nietzsche melalui karyanya berjudul “Tuhan Telah Mati” adalah perilaku orang-orang beragama yang segala bicaranya penuh dengan kesucian, tetapi perilakunya penuh dengan kejahatan. Cinta kasih yang diucapkan tetapi pembunuhan yang dilakukan, kedamaian dan perdamaian yang diucapkan, tetapi kekejian yang dilakukan. Semua tragedi-tragedi kemanusian itu dilakukan oleh orang-orang beragama yang hafal semua ayat-ayat kitab sucinya. Sedemikian biadab perilaku orang-orang beragama, tetapi, yang mengherankan Nietzsche adalah bahwa Tuhan yang dipuja oleh orang-orang beragama itu tidak menegur atau menghukum kebiadaban orang-orang beragama. Seakan-akan Tuhan cuek (tidak mau peduli) dengan perilaku orang beragama, SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
atau Tuhan sudah mati, sehingga tidak mengetahui kebiadaban umat beragama yang membenarkan segala kebiadabannya atas nama Tuhan. Semua, pertanyaan dan argumentasi Nietzsche tersebut sesungguhnya untuk menyindir bagaimana ketuhanan dalam diri manusia itu telah mati dan telah digantikan dengan kekuatan kegelapan. Tanda-tanda kejahatan dan kebiadaban orang-orang beragama saat ini semakin meningkat, sebagaimana dapat disaksikan pada berbagai berita yang dimuat oleh mass media surat kabar, majalah, media internet dan media elektronik lainnya. Kejahatan korupsi, kejahatan seksual, kejahatan terhadap kaum perempuan, kejahatan terhadap anak-anak, pembunuhan atas nama agama telah menjadi suatu ritual atau tradisi orang-orang beragama. Artinya, bahwa para pelaku kejahatan dengan sangat tegas dan lugas menyatakan dirinya sebagai orang beragama, memiliki agama dalam KTP-nya, fasih mengucapkan ajaran-ajaran agamanya, dan membenarkan tindakan kejahatannya berdasarkan agama yang dianutnya. Inilah yang dimaksud dengan Tuhan Telah Mati oleh filosof besar Jerman, Nietzsche. Membenarkan penilaian Nietzsche terhadap perilaku hipokrit dan perilaku abnormal umat manusia beragama, Donder dalam Majalah MEDIA HINDU pernah menulis satu artikel berjudul “Tuhan Telah Mati Dua Kali”. Kematian Tuhan (ketuhanan) yang pertama di saksikan oleh Nietzsche pada zamannya, dan kematian Tuhan (ketuhanan) yang kedua disaksikan oleh Donder pada zaman ini. Apa yang diuraikan oleh Nietzsche dan Donder adalah realitas perilaku orang-orang beragama saat ini. Hampir tidak ada satupun manusia yang betulbetul berbuat kebajikan seperti apa yang dikatakan. Manusiamanusia beragama saat ini berpikir tentang (A) lalu dikatakan (B) dan kemudian yang dilaksanakan bukan saja (C), tetapi bisa K, L, M, N dan bisa Z. Karena itu berbagai kejahatan seperti perdagangan seks, perdagangan perempuan, perdagangan perkara, perdagangan narkoba, vaksin palsu dan segala perbuatan kejahatan tersebut sesungguhnya merupakan sesuatu yang abnormal, namun bagi segala pihak seakan-akan menerima semua fenomena tersebut sebagai suatu yang normal-normal saja. Inilah model manusia era Kaliyuga yang memadati dunia saat ini. Sudah semakin banyak manusia-hewani, manusia berkarakter kayu, dan manusia berkarakter batu. Semakin banyak manusia yang kehilangan rasa kemanusiaannya. Menyaksikan perilaku abnormal manusia-manusia beragama dewasa ini, maka Donder juga menggugat perilaku tersebut melalui suatu artikel berjudul Manusia: Separuh Dewa Separuh Raksasa” yang dimuat dalam Majalah MEDIA HINDU Jakarta pada Edisi Juni 2014 hal.70-71. Jika sifat-sifat raksasa yang dominan menguasai hati manusiamanusa beragama, maka niscaya kedamaian dan perdamaian akan sulit diwujudkan oleh masyarakat manusia. Oleh sebab itu juga Donder dalam Majalah MEDIA HINDU Jakarta Edisi Januari SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
23
2015 hal. 15-16 ingin mengajak seluruh komponen bangsa untuk membangun nilai-nilai karakter melalui nilai kearifan local, dalam hal ini Donder mencontohkan Membangun Karakter dalam Sastra Gaguritan Bali. Selain itu, Donder juga menganggap penting membangun karakter mulia di antara sesama umat beragama dengan menanamkan konsep pada diri anak didik bahwa agama itu hakikatnya seperti taman bunga. Karena itu Donder menuangkan artikelnya berjudul Agama dan Taman Bunga yang Indah dimuat pada Majalah MEDIA HINDU Jakarta Edisi Februari 2015 hal.46-47. Hanya dengan cara-cara seperti itu maka di dunia ini akan ada kedamaian dan perdamaian yang dicita-citakan oleh seluruh umat manusia. Masih teringat oleh seluruh masyarakat dunia tentang kelompok teroris yang berusaha mengebom Bali bersamaan dengan upaya menghancurkan Candi Borobudur pada tahun 1980-an dan kemudian pengeboman Bali diwujudkan kembali pada tahun 2000-an hingga dua kali. Para pelakunya bukanlah kelompok orang yang buta agama, bahkan sebaliknya mereka adalah anak-anak bangsa jebolan pesantren yang sekaliber uttadz. Jika tidak diakui sebagai jebolan pesantren atau berkaliber utadz paling tidak mereka sangat fasih dengan ayat-ayat agama yang mereka anut dan mampu memukau para simpatisannya yang tidak terhingga jumlahnya. Melalui kenyataan pengeboman Borobudur, Bali I, II, yang kemudian merentet pada pengeboman, Hotel Mariot, beberapa Kantor Kedutaan Negara Asing di Jakarta tersebut, muncul pertanyaan besar. Nilai-nilai apakah yang telah diajarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama baik lembaga yang dikelola oleh masyarakat maupun yang dikelola oleh pemerintah. Berbagai pertanyaan terus muncul dalam hati orangorang yang ingin memahami kebenaran agama. Apakah nilai-nilai agama itu akan dibiarkan dimanipulasi untuk membenarkan kejahatan? Atau apakah agama itu sendiri yang memang mengajarkan dan membiarkan manusia berbuat jahat? Inilah saatnya yang baik bagi semua pemeluk agama untuk membuktikan ajaran agamanya yang dianutnya itu baik melalui perbuatan nyata dalam kehidupannya sebagaimana artikel karya Donder dalam Majalah Media Hindu Edisi Mei 2016 hal.41-42 dengan judul “Mejaga Kesucian dan Kemuliaan Agama Melalui Perilaku Mulia Para Penganutnya”. Jika agama tidak fungsional menyebabkan orang menjadi baik, maka sebaiknya tinggalkan agama tersebut, demikian kata bijak dari para swami. II. 24
Pembahasan
2.1 Perlunya Mengadopsi Sistem Pendidikan Nilai Sathya Sai Ada hal yang sangat penting harus diadopsi oleh berbagai pihak tentang pendidikan nilai dalam sistem pengajaran dan pembelajaran yang ditekankan oleh Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, salah seorang manusia suci yang hidup pada abad ke-20 SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
dan abad ke-21 ini. Beliau sejak puluhan tahun silam sangat menekankan tentang bagaimana pentingnya pendidikan anakanak sejak usia dini. Dalam berbagai darsan dan dharmavacananya, beliau senantiasa menyatakan bahwa anak-anak itu sama seperti benih, jika benih cacat atau tidak sempurna maka pohonpohon yang tumbuh juga akan menjadi pohon yang tidak normal. Seorang anak sebagai benih harus dirawat melalui cara menyiraminya dengan air satya (kebenaran), kemudian memberikannya pupuk atau kompos dharma (kesadaran terhadap tugas suci umat manusia), kemudian menyeprotnya dengan cairan prema (kasih sayang), selanjutnya menyiangi dengan tongkat shanti (kedamaian), dan kemudian memagarinya dengan pagarpagar ahimsa (tanpa kekerasan). Demikianlah lima nilai pendidikan Sathya Sai, yaitu satya, dharma, prema, shanti, dan ahimsa menjadi menjadi lima pilar pendidikan Sathya Sai yang patut diadopsi oleh semua orang dan lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan. 2.2 Membentuk Anak Melalui Perkawinan yang Benar Proses awal untuk mendapatkan calon pasangan hidup, prose pelaksanaan perkawinan hingga hidup dalam suatu rumah tangga akan menjadi warna dasar pendidikan anak. Semakin suci niat untuk mendapatkan pasangan hidup, semakin suci proses pelaksanaan perkawinan yang diusahakan oleh kedua belah pihak, maka semakin suci generasi atau anak yang akan tumbuh. Inilah cita-cita ideal suatu perkawinan. Sebaliknya, semakin kotor motif dalam mencari pasangan hidup dan semakin kotor proses pelaksanaan perkawinan itu, maka semakin buruk generasi yang akan lahir. Sebab, atma (roh) yang masuk ke dalam diri ayah dan lahir pada diri seorang ibu akan mencari tempat (tubuh) yang sesuai dengan sifatnya dan kualitas karma atma tersebut pada kehidupan sebelumnya. Oleh karena itu, atma seorang begundal akan mencari tubuh ayah dan ibu dengan karakter begundal, sebaliknya, atma seorang pandita suci akan mencari tubuh ayah dan ibu yang memiliki karakter kesucian. Antara atma dan kandungan bagaikan besi dan magnet yang memiliki rasa saling tarik-menarik atau saling merindukan. Karena itu, jika berharap untuk mendapatkan putra yang suputra, maka perkawinan harus didasari oleh dharma. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba sebagaimana dikutip oleh Bruce (2007:18) menyatakan: “Jika kamu adalah anak-anak yang dewasa, dan merenungkan perkawinan itu, maka yang terpenting yang kamu harus pertimbangkan secara mendalam adalah bahwa kamu harus secara sungguh-sungguh membuat janji hidup selamanya kepada pasangan perkawinan. Jika kamu sudah memutuskan untuk memiliki anak-anak, maka kamu harus berkomitmen untuk menerima tanggungjawab pemeliharaan terhadap anak-anak yang akan lahir itu sebagai kewajiban suci. Ini merupkan wujud janji suci sebagai perwujudan nilai-nilai SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
25
ketuhanan. Sebab, menurut Sai Baba sebagaimana dikutip Bruce (2007:19) bahwa perkawinan adalah lembaga pertama yang Tuhan berikan kepada umat manusia. Kenyataannya dewasa ini, perkawinan sebagai lembaga suci semakin hari semakin merosot menjadi lembaga seksual. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku orang dewasa ini, jika mereka tidap puas terhadap pasangannya akan meloncat kepada pasangan yang lainnya. Sehingga manusiamanusia dewasa ini semakin menunjukkan kemerosotan kualitas hewaninya dan jauh dari kualitas kedewataannya sebagai kualitas aslinya. Sai Baba menyatakan lebih lanjut, bahwa sifat hewani itulah yang menyebabkan kejatuhan Rahwana, seorang penebus dosa yang hebat dan penguasa 64 jenis pengetahuan. Ia tidak hanya menjatuhkan dirinya sendiri saja, tetapi seluruh kerajaannya. Tanpa kemurnian pikiran, maka semua praktik spiritual tidak ada gunanya. Perkawinan yang didasari hanya karena tujuan pemuasan fisik, mental, dan emosi badaniah antara kedua orang dalam pasangan perkawinan akan menimbulkan resiko yang tinggi. Bentuk perkawinan yang badaniah dan bendaniah tidak akan bersifat kekal, karena tidak disertai oleh tanggungjawab yang suci antara satu sama lainnya. Sai Baba seperti dikutip Bruce (2007:20) menyatakan: Sebelum perkawinan, laki-laki adalah separo badan, demikian juga wanita sebelum perkawinan adalah separoh badan. Pria selalu senantiasa sebagai separoh dari tubuh bagian kanan, dan istri senantiasa sebagai separoh tubuh sebelah kiri. Setelah perkawinan kedua tubuh yang masing-masing separoh itu telah menjadi satu tubuh yang utuh secara material dan spiritual. Karena itu perkawinan itu berarti hidup bersama dengan cinta kasih yang murni selamanya tanpa mengenal perpisahan. Sai Baba seperti dikutip oleh Bruce (2007:30) menyatakan bahwa ketika prinsip-prinsip kasih pada setiap manusia disatukan, maka hal itu akan menjadi kasih kosmis. Oleh karena itu, jika menginginkan kebahagiaan, maka kembangkan kasih, jika lebih banyak engkau mengembangkan kasih akan lebih banyak kamu mengalami kebahagiaan. Kebahagiaan tidak dapat dicapai tanpa kasih. Sebab, kasih itulah mengambil wujud menjadi kebahagiaan. Kasih yang murni antara kedua belah pihak (antara suami dan istri) akan menjadi energi dalam membangun karakter yang mulia pada diri anakanaknya.
26
2.3 Anak-anak Harus Dipandang sebagai Anak-anak Tuhan atau Anak-anak Kita Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap orangtua mengajari anak-anaknya agar anak-anak mereka memiliki kemampuan yang melebihi kemampaun anak orang lain, agar mampu mengalahkan anak orang lain. Tidak saja para orangtua, secara tidak langsung sistem pendidikan modern yang mengutamakan kompetensi (kemampuan) sesungguhnya adalah SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
bentuk pengajaran egoistis yang mengajarkan kepada anak didik mengumpulkan segala kemampuannya agar dapat meraih atau merampas segala peluang. Di dalam sistem pendidikan berbasis kompetensi tidak ada peluang untuk menyampaikan atau mendapatkan informasi tentang kerelaan memberi peluang kepada orang lain untuk memenangkan kompetisi (persaingan). Oleh sebab, walaupun sistem pendidikan berbasis kompetensi dinyatakan sebagai proses pendidikan yang memberikan bekal kualitas yang komprehensif tentang berbagai kemampuan, namun bersamaan dengan itu nilai-nilai kecurangan (korup) juga berkembang secara subur. Itulah sebabnya, kualitas kejahatan korupsi pada lingkungan orang-orang berpendidikan tinggi juga semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba dalam berbagai darsan dan dharmavacana-nya kerap kali mengatakan bahwa mencintai anak sendiri dengan penuh kasih sayang adalah hal yang umum dan alami (natural). Tetapi, mencintai anak-anak orang lain seperti anak sendiri itu adalah hal luar biasa. Jika setiap orangtua mampu mencintai anak-anak orang lain seperti mencintai dan menyayangi anaknya sendiri, maka walaupun mereka mendidik dan mengembangkan anak-anaknya dengan penuh semangat kompetitif, namun mereka tidak akan mengajarkan kepada anakanaknya untuk berbuat curang (korup) dalam memenangkan kompetisi (pertarungannya). Hanya dengan memandang semua anak-anak, baik anak sendiri maupun anak orang lain sebagai anak Tuhan, maka akan tumbuh kesadaran tat twam asi dalam segala kompetisinya. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba seperti dikutip oleh Bruce (2007:12) menyatakan: Orangtua harus merasa bahwa mereka pelayan yang ditetapkan oleh Tuhan untuk menjaga jiwa kecil yang dilahirkan di dalam rumah tangga, bagaikan tukang kebun yang menjaga pohon di dalam kebun milik tuannya. Karena itu, saat seorang anak dilahirkan, kesejahteraan fisiknya bersandar pada kedua orangtuanya, seperti tukang kebun yang harus memberikan air, pupuk dan menyiangi setiap tanaman di dalam kebun itu. Oleh sebab itu, makanan, kehangatan, keselamatan, kebersihan, dsb., seorang anak sangat tergantung pada kedua orangtuanya. Karena itu betapa rapuh keberadaan seorang anak tanpa seorangpun yang menjaganya. Setiap orangtua harus menyadari bahwa Tuhan dan para dewa adalah penjaga anakanaknya, dan peranan dari para orangtua adalah penjaga fisik yang telah dipilih oleh Tuhan untuk merawat dan menjaga anakanak-Nya. Pemahaman dan kesadaran ini sangat penting karena sesungguh-sungguhnya seorang anak yang dilahirkan itu adalah anak Tuhan yang dititip di tengah-tengah kebahagiaan seorang istri dan seorang suami. Bagi seorang anak yang penting ditanamkan adalah sikap senantiasa berterimakasih kepada kedua orangtuanya sebagai perwujudan Tuhan juga. Seorang ibu sebagai perwujudan Tuhan (matru deva bhawa), juga seorang ayah SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
27
merupakan perwujudan Tuhan (pitru deva bhava). Seorang anak mesti ditanamkan kesadarannya bahwa ia mutlak harus menghormati kedua orangtuanya seperti menghormati pada dewa atau Tuhan. Hal ini relevan juga dengan ungkapan masyarakat Bali yang menyatakan bahwa meme lan bape sujatine dewa skala. Seorang anak juga harus diberikan pemahaman bahwa darah, makanan, kepala, uang, dsb., semuanya adalah pemberian dari orangtuanya. Semua pemberian itu tidak diterima langsung dari Tuhan, semua yang berhubungan dengan Tuhan hanyalah pengalaman tidak langsung. Hanya orangtua saja yang dapat dilihat secara fisik sebagai pemberi pengalaman langsung. Karena itu, bukan saja para orangtua yang harus melihat anak-anaknya sebagai anak Tuhan, tetapi para anak juga harus melihat dan menperlakukan kedua orangtuanya sebagai Tuhan.
28
2.4 Sikap Kasih kepada Tuhan, Takut Dosa akan Mengawal Nilai-nilai Kemanusiaan Sikap egois dan tidak takut berbuat dosa dari para orangtua merupakan bibit-bibit yang akan menyuburkan kejahatan keluarga dan berimbas pada karakter anak dalam rumah tangga. Pepatah Indonesia yang telah lama dikenal, menyatakan: buah jatuh tak jauh dari pohonnya; air hujan jatuh tidak jauh dari tempat cucuran. Oleh sebab itu, para orangtua harus menunjukkan contoh-contoh sikap yang kasih kepada Tuhan dan takut berbuat dosa, sehingga diharapkan sikapnya itu akan dicontoh oleh anak-anaknya. Dewasa ini, karena pengaruh globalisasi anak-anak tidak cukup dinasihati, bahkan tidak tertarik dengan contoh-contoh yang baik dari para orangtuanya. Seorang ayah yang telah berupaya sedemikian rupa agar layak dicontoh oleh anak-anaknya dengan cara menggunakan setiap detik waktunya untuk membaca atau belajar. Tetapi, anakanaknya dengan asyiknya hanya bermain games di Hp-nya, dan mereka sama sekali tidak merasa bersalah. Inilah kenyataan anakanak zaman Kaliyuga ini. Para orangtua jaman Kaliyuga memiliki tugas dan tanggungjawab yang sangat kompleks. Pada tahun 1960-an para orangtua cukup bersikap serem dan marah-marah pada anak-anaknya, maka anak-anaknya akan menurut, tetapi pada abad ke-21 ini, para orangtua tidak cukup dengan muka serem dan marah-marah saja, bahkan dengan contoh yang suci sekalipun masih memungkinkan para orangtua akan mengalami kegagalan dalam membina anak-anaknya. Inilah tantangan terbesar pada abad teknologi modern atau teknologi informasi dengan komputerisasi yang canggih dewasa ini. Walaupun demikian, para orangtua harus tetap mengembangkan kasih kepada Tuhan dan takut berbuat dosa. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba seperti dikutip oleh Bruce (2007:33) menyatakan bahwa selama manusia bangga dengan keangkuhannya, maka tidak ada seorang pun walau anak dan istrinya akan mengasihinya. Seseorang harus membuang SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
keangkuhan dan arogansinya, jika ia menginginkan untuk dikasihi oleh orang lain. Sepanjang seseorang memperbanyak keinginan-keinginannya, maka ia akan terus menginginkan yang diinginkan itu. Nafsu menyebabkan manusia tidak bergembira dan selalu bersedih. Hanya ketika nafsu dan kesedihan ditinggalkan, maka saat itu orang akan memiliki kehidupan yang menyenangkan dan mencapai kedamaian. Sebab seluruh dunia dengan segala objek-objeknya yang ada saling mengkait diikat oleh kasih. Itu juga yang mengikat ras (bangsa) manusia, dunia ini tidak aka nada tanpa kasih. Tuhan adalah kasih dan tinggal di dalam hati setiap orang sebagai perwujudan kasih. Seharusnya berdasarkan kebenaran inilah manusia berdoa untuk kebaikan semua insan, sebagaimana bunyi mantram lokā samasthā sukhino bhavantu „semoga semua makhluk berbahagia‟. Uraian Bhagawan Sri Sathya Sai Baba bahwa kita harus mencintai semua ciptaan, hanya dengan upaya seperti itu akan tumbuh kesadaran untuk dapat berdoa seperti doa di atas. Sebab selama ini banyak orang berdoa kepada Tuhan yang dianggap miliknya dan hanya untuk keselamatan diri dan keluarganya saja. Sehingga nilai-nilai kasih saying terhadap orang lain apalagi berbeda agama atau keyakinan tidak turut didoakan karena mereka menganggap Tuhannya berbeda. Sikap intoleran seperti ini telah terbukti dalam catatan sejarah menjadi pemicu konflik dan perang di mana-mana. 2.5 Empat Kewajiban untuk Mengembangkan Anak Ada banyak sekali kewajiban para orangtua yang harus dilakukan jika para orangtua berharap terwujud anak-anak yang suputra. Dari sekian banyaknya kewajiban tersebut ada empat kewajiban yang sangat disarankan oleh Bhagawan Sri Sathya Sai Baba untuk diselenggarakan oleh para orangtua, yaitu (a) pengembangan fisik anak, (b) pengembangan kecerdasan anak, (c) pengembangan emosi, dan (d) pengembangan spiritual. Bruce (2007:43) menguraikan bahwa dalam masyarakat modern yang serba kompleks, pekerjaan membina anak-anak juga menambah kompleksitas pekerjaan para orangtua. Pertama, dalam kaitannya dengan (a) pengembangan fisik baik untuk anak maupun untuk para orangtua itu sendiri, maka demi kebaikan masa depan anakanak, Bhagawan Sri Sathya Sai Baba sebagaimana dikutip oleh Bruce (2007:45) menyatakan bahwa: Kerjakanlah semua pekerjaan rumah tangga sebagai persembahan kepada Tuhan; hal itu akan lebih berpahala daripada waktu yang digunakan untuk bermeditasi; mengerjakan semua pekerjaan rumah melalui tangan sendiri, itu jauh lebih berphala daripada memberikan pekerjaan itu kepada para pembantu rumah tangga yang digaji. Sai Baba juga menekankan uang harus dialokasikan untuk tujuan yang penting, uang harus digunakan untuk tujuan yang penting dengan cara yang sebaik mungkin. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba sebagaimana dikutip oleh Bruce (2007:46) menyatakan bahwa makanan memainkan peran SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
29
30
utama dalam menjaga kesehatan fisik. Oleh sebab itu, setiap orangtua harus memperhatikan sebaik mungkin dalam memilih jenis dan kualitas makanan yang akan dikonsumsi oleh anakanaknya. Sebab makanan itu tidak saja berakibat pada kesehatan fisik, tetapi juga terhadap kesehatan pikiran yang selanjutnya akan menyebabkan hilangnya nilai-nilai kemanusia dalam diri manusia. Oleh karena itu memilih makanan satvika, yaitu makanan yang sehat secara fisik dan sehat secara spiritual sangat penting diupayakan oleh setiap orangtua. Kedua, dalam kaitannya dengan upaya (b) pengembangan kecerdasan anak, Bruce (2007:47) menyatakan bahwa sejak permulaan pengembangan anak-anak, para orangtua perlu mengajarkan hal-hal yang berguna bagi masyarakat. Swami mengatakan bahwa para orangtua adalah guru pertama bagi anak-anak. Para orangtua mengajarkan anak-anak mereka pengetahuan dasar yang diperlukan sebagai pedoman dan pegangan hidup di dalam masyarakat, baik dalam bentuk Bahasa, menulis, membaca, matematika, dan tatakrama. Berulang-ulang kali Swami menyatakan bahwa pendidikan untuk hidup, bukan untuk uang. Ketiga, dalam kaitannya dengan upaya (c) pengembangan emosi anak secara benar, maka Bruce (2007:48) menyatakan bahwa emosi adalah gelombang energi yang memancar bagaikan gelombang radio, hal itu akan segera ditangkap oleh anak-anak. Jika para orangtua memiliki rasa takut, risau, gugup, negative, marah, dan sebagainya, semua itu akan segera diketahui oleh anak-anak. Jika para orangtua merasa suka cita, senang, damai, bahagia, lucu, positif, percaya diri dan sebagainya, anak-anak juga akan segera mengetahuinya. Mereka atau anak-anak akan merasakan apa yang ditampilkan oleh para orangtuanya. Karena itu, stabilitas emosional dari para orangtua sangat diperlukan dalam rangka membangun emosional yang positif pada anak. Hubungan baik antara suami istri sangat berpengaruh dalam menstabilkan emosi anak-anak. Bertengkar, memukul, berkelahi, tidak jujur, mengancam orang lain, merugikan kesejahteraan orang lain yang dilakukan oleh para orangtua dari anak-anak, maka hal itu akan merugikan pertumbuhan emosi anak-anak. Sebagai gantinya, anak-anak membutuhkan kasih dari para orangtuanya secara jujur. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba sebagaimana dikutip oleh Bruce (2007:49) menyatakan bahwa kasih adalah arus bawah dari kehidupan umat manusia. Manusia senantiasa akan mampu mewujudkan ketuhanan sebagai pembawaannya jika manusia mengembangkan kasih dari dalam dir nya. Sebab perasaan kasih itulah wujud ketuhanan dalam diri setiap manusia. Bruce juga menambahkan bahwa kompleksitas proses pembinaan anak-anak dari para orangtua adalah sangat mengagumkan, sebab para orangtua memiliki akibat atau efek yang luar biasa sebagai pengaruh dari pembinaan para orangtua.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Bhagawan Sri Sathya Sai Baba seperti dikutip oleh Bruce (2007:50) menguraikan bahwa disebabkan akibat Jaman Kali, orang-orang memandang bahwa ibu-ibu mereka sebagai orang yang melulu memasak di dalam dapur. Tidak hanya itu, mereka telah diturunkan derajatnya ke tingkat pelayan. Hal ini adalah ketidakberuntungan yang telah menimpa pada manusia dewasa ini. Perempuan dapat belajar, melakukan pekerjaan, tetapi mereka tidak seharusnya melalaikan tugas-tugas rumah tangga. Jika kedua suami dan istri pergi ke kantor, siapa akan memperhatikan tanggungjawab rumah tangga. Jika, perempuan pergi ke sekolah mengajar anak-anak orang lain, siapa yang akan mengajar anakanaknya sendiri. Ibu-ibu bertanggungjawab atas kesejahteraan anak-anaknya. Keempat, berkaitan dengan upaya (d) pengembangan spiritual, Bruce (2007:52) menulis bahwa spiritualitas bukan terpisah tetapi adalah tenunan benang emas ke dalam pabrik fisik, mental dan emosional yang dibutuhkan oleh anak. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (dalam Bruce, 2007:52) menyatakan bahwa tanggungjawab utama dari para orangtua adalah membentuk karakter anak-anak mereka. Karakter harus diajarkan terus menerus dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan, serta dari tahun ke tahun. Karakter akan menjadi petunjuk untuk mengetahui jenis manusia seperti apa kita ini. Karakter tidak dapat diajarkan melalui buku-buku atau kata-kata, tetapi karakter hanya dapat diajarkan oleh para orangtua melalui cara memberikan contoh atau menjadikan diri orangtua itu sebagai contoh itu sendiri. Karena itu, jika para orangtua memiliki sifat dan sikap yang kurang baik, maka memperbaiki sifat dan sikap sendiri sebelum memperbaiki sikap anak-anaknya merupakan hal yang paling penting. Sai Baba seperti dikutip oleh Bruce (2007:52) menyatakan bahwa disiplin harus dimulai ditanamkan sejak tahun-tahun awal pendidikan anak. Pendidikan spiritual akan mengambil banyak waktu, semenjak para orangtua memerangi banyak kekuatan-kekuatan luar yang mengakibatkan mati lemas dari suara-suara kesusilaan, yang mungkin akan didengar oleh anak-anak sebagai bisikan yang tenang. Para orangtua disulitkan oleh kurang berpengaruh terhadap perilaku anak-anaknya. Para orangtua sering tidak tahu apa yang terjadi di dalam kehidupan anak-anak umur belasan tahun atau anak-anak umur sekolahan. Bruce (2007:54) menguraikan bahwa setelah menilai keempat tanggungjawab orangtua, maka jawaban logis yang didapat adalah bahwa mengurangi kebutuhan fisik dapat dilaksanakan secara mudah, tetapi kebutuhan keamanan emosional, pendidikan dan pembangunan spiritual adalah kebutuhan yang amat penting dan membutuhkan perhatian yang lebih besar. Karena itu bagaimana para orangtua menata makanan, uang, waktu, dan energi secara lebih efektif. Jika para orangtua menggunakan lebih sedikit uang dengan membatasi belanjanya, juga dalam memenuhi kesenangan dan kegiatan individu, akan memberikan peluang untuk SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
31
berkurangnya tekanan hidup. Oleh sebab itu, para orangtua atau ibu dan ayah memerlukan waktu yang cukup lama untuk memberi contoh dalam kehidupan yang sederhana. Melalui contoh kehidupan yang sederhana akhirnya menjadi alat yang sederhana namun sangat efektif untuk menanamkan karakter yang baik bagi anak-anak. Itulah sebabnya para orangtua perlu hidup mempraktikan hidup yang sederhana walaupun hidup dalam zaman yang super modern. 2.6 Efek Negatif Televisi Kemajuan teknologi di bidang per-Televisian ikut memberikan tekanan dalam upaya pembinaan anak. Sebab tayangan-tayangan yang bersifat promosi dan provokatif dalam bentuk tayangan cartun sangat menarik bagi anak-anak. Sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa kelompok peneliti, bahwa tayangan film kartun Shin Chan dengan cara bicaranya seperti orang dewasa cukup signifikan dalam merubah pola perilaku ana-anak. Gaya Bahasa yang digunakan oleh film kartun anak-anak dari Malaysia, Upin dan Ipin dengan logat Malaysianya yang kental sangat menarik hati anak-anak. Jelasnya, dewasa ini tayangan-tayangan kejahatan yang sangat menjijikkan telah memadati seluruh cannel-cannel TV di Indonesia. Hal ini benar-benar menambah daftar kesulitan para orangtua dalam membina anak-anaknya, karena anak-anak cenderung meniru tayangan-tayangan di TV yang mereka tonton. Walaupun ada anjuran agar para orangtua senantiasa selalu menemani anak-anaknya dalam menonton TV, namun hal itu tidak mungkin para orangtua tugas dan tanggungjawabnya hanya menemani menonton TV. Para orang memiliki tugas mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya, ketika para orangtua tidak berada di rumah, maka TV adalah teman bagi anak-anak, karena itu TV memiliki dua sisi atau dua efek yang saling berseberangan. Satu sisi TV memiliki efek positrif karena dapat menjadi sarana untuk menahan keinginan anak untuk berkeliaran, namun pada sisi lainnya, TV memiliki efek negative karena banyaknya tayangan yang tidak cocok untuk anak-anak.
32
2.7 Pembinaan Integritas Kebangsaan pada Anak-anak Sejak Usia Dini Pendidikan modern selain memberikan keuntungan, juga memberikan efek negative yang cukup signifikan. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba sebagaimana dikutip Donder (2004) menyatakan bahwa efek pendidikan modern dewasa ini sudah sangat jauh dari harapan pendidikan pada awalnya, sebagaimana beliau katakan: Present day education develops the intellect and skills but does little to develop good qualities. Of what avail is all the knowledge in the world, if one has not got good character. It is like water going down the drain. There is no use if knowledge grows while desires multiply. It makes one a hero in words and a zero in action. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
‘Pendidikan saat ini hanya berorientasi untuk mengembangkan kepandaian dan keterampilan dengan sedikit menitik beratkan pada kualitas yang baik. Apalah artinya semua pendidikan yang ada di dunia jika seseorang tidak memiliki karakter yang baik, ibarat mata air yang makin lama makin kering. Tidak ada gunanya jika pendidikan berkembang disertai dengan nafsu yang berlebihan. Inilah yang membuat manusia menjadi pahlawan dalam kata-kata tetapi tidak pernah berbuat apa-apa’ (Donder, 2004:1). Man‟s achievements in the field of science and technology have helped to improve the material conditions of living. What we need today, however is a transformation of the spirit. Education should serve not only to develop one‟s intelligence and skills, but also help to broaden one outlook and make him useful to society and the world at large. This possible only when cultivation of the spirit is promoted along with education in the physical science. Moral and spiritual education waill train a man to lead a disciplined life. „Kemampuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak mengangkat derajat kehidupan material manusia itu sendiri. Apa yang kita butuhkan saat ini adalah perubahan semangat. Pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan kepandaian dan keterampilan seseorang, tetapi juga harus dapat memperluas cakrawala dan cara pandang seseorang sehingga dapat membuatnya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat luas. Hal ini hanya mungkin terjadi jika pengembangan semangat tersebut dilaksanakan bersama-sama dengan pendidikan ilmu-ilmu fisik. Pendidikan moral dan spiritual akan melatih manusia ke dalam kehidupan yang lebih disiplin‟ (Donder, 2004:1). Sebagaimana uraian Bhagawan Sri Sathya Sai Baba di atas, bahwa dunia pendidikan di seluruh belahan bumi memang telah mengalami degradasi sedemikian jauh. Hal itu diperburuk oleh adanya berbagai kepentingan dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Salah satu contoh, ketika Pemerintah Republik Indonesia membuat program untuk mempersiapkan Generasi Emas tahun 2045 melalui tugas para guru dan lembaga pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai karakter, nilai-nilai solidaritas dan konvergensi kebangsaan sejak usia dini tanpa melihat suku, ras, dan agama, sehingga lahir generasi bangsa yang sehat lahir batin dan memiliki semangat toleransi terhadap sesama anak bangsa. Namun bersamaan dengan usaha Pemerintah RI itu, bangsa Indonesia juga digegerkan oleh adanya temuan berupa buku pelajaran agama untuk para siswa Islam yang isinya membenarkan membunuh orang-orang non-Islam. Ngakan Putu Putra (2016) dalam bukunya berjudul Membangun Karakter dengan Keutamaan Bhagavad Gita, menulis bahwa pada bulan Maret 2015 terjadi kehebohan dalam dunia pendidikan di SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
33
34
Indonesia, terkait dengan ujaran kebencian ini. Karena kebencian justru diajarkan pada murid-murid SMP/SMA. Dalam buku pendidikan Agama Islam, untuk kelas XI SMA, yang merupakan bahan ajar Kurikulum 2013, disebutkan bahwa orang yang tidak beragama Islam dapat dibunuh. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan kaget dan Menteri Agama dalam wawancara dengan sebuah stasiun TV, Jakarta berkata dengan tegas akan mengusut dan mengambil langkah hukum terhadap penulis buku tersebut. Tetapi sampai sekarang, tidak kedengaran lagi tindak lanjut dari ancaman kedua menteri tersebut. Mungkin mereka mengalami dilema karena buku itu bukan karangan penulisnya. Ia mengambil sumbernya dari ajaran Wahabi yang dicetuskan tokoh pembaharu Islam asal Arab Saudi, Muhammad bin Abdul Wahab (1703 – 1787). Ajaran Wahabi ini menjadi faham resmi dari Kerajaan Arab Saudi yang menjadikan Al-Quran sebagai UUD Negara Arab Saudi. Putra lebih lanjut menulis bahwa salah satu pendapat Muhammad bin Abdul Wahab yang dikutip dalam halaman buku tersebut adalah: "Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah SWT, dan orang yang menyembah selain Allah SWT telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh". (Tempo.co, 20-21 Maret 2015). Jelaslah kekerasan agama itu berawal dari pemisahan manusia ke dalam apartheid, orang beriman vs orang kafir; orang yang diselamatkan versus yang dikutuk. Sekalipun buku itu ditarik dari peredaran tetapi bila ceramah, khotbah, buku-buku umum masih mengajarkan apartheid agama ini, kekerasan dan terorisme atas nama agama sulit dihindari. Buah dari doktrin apartheid agama ini sekarang kita lihat di Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika Utara, di mana orang-orang yang beragama lain, umumnya kaum minoritas dibunuhi, diculik, diperkosa dan dijual sebagai budak. Mereka mengklaim itu sudah sesuai dengan syariah. Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga saling mengkafirkan sesama mereka yang menyembah Tuhan yang sama, meyakini kitab suci yang sama, nabi yang sama lalu diikuti dengan saling membunuh satu sama lain. Mereka bahkan melakukan bom bunuh diri di tengah-tengah saudara seiman yang sedang beribadah di masjid. Karena itu banyak ulama dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia melarang umatnya untuk melakukan taqfiri. Taqfiri artinya saling mengkafirkan sesama umat Islam. Lalu bagaimana dengan mengkafir-kafirkan orang non muslim? Inilah salah satu contoh buruk bagaimana keterlibatan orangorang tak bertanggungjawab kemudian masuk dan menyelinap dengan tujuan menghancurkan peradaban manusia yang beradab dengan cara meracuni anak-anak didik melalui ajaran agama yang dijunjung tinggi. Untung saja Tuhan Yang Maha Esa, Tuhannya Bangsa Indonesia menyelamatkan bangsa ini dari tujuan buruk orang-orang fanatik yang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang paling benar, sedangkan agama lainnya adalah agama yang salah dan dibenci Tuhan. Bagaimana faham yang konyol SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
seperti ini bisa diterima oleh manusia yang mempunyai akal sehat. Oleh sebab itu lembaga pendidikan dan para pendidik harus menjauhkan pendidikan semacam ini dari anak-anak usia dini. Jika pendidikan agama yang keji seperti itu sempat tertanam dalam hati anak-anak usia dini, maka niscaya akan lahir para algojo, teroris berdarah dingin yang haus darah. 2.8 Seorang Guru Harus Mencintai Semua Agama Seorang guru di Indonesia apalagi berkebangsaan Indonesia, tidak boleh bersifat apatis terhadap agama lain atau penganut agama lainnya. Seorang guru harus menunjukkan sikap simpati dan menunjukkan sikap mencintai semua agama. Jangan sampai ada seorang guru yang menunjukkan sikap benci terhadap agama lain yang tidak dianutnya. Donder (2009) dalam bukunya berjudul Acharya Sista – Guru dan Dosen Bijaksana menyatakan bahwa seorang guru harus mengajarkan kebaikan semua agama. Predikat guru hanya layak diberikan kepada seseorang yang telah memiliki rasa cinta kasih dan rasa simpati kepada semua agama seperti Tuhan tidak pernah membeda-bedakan semua agama. Bagi Tuhan semua agama sama, sebagaimana pernyataan Bhagavadgita bahwa semua jalan atau cara adalah sama. Bagi Tuhan tidak mengenal istilah ada agama yang paling dikasihi dan ada agama yang paling dibenci apalagi dikutuk. Jika saja Tuhan menciptakan berbagai macam agama itu tujuan-Nya hanya untuk menghina antara satu agama dengan agama lainya, maka Tuhan pun tidak layak mendapat predikat Mahabijaksana. Uraian ini merupakan puncak logika, di mana agama tidak layak diajarkan dengan cara fanatik. Fanatisme hanya membuat manusia menjadi benda mati seperti batu yang tidak berperasaan. Dapat dilakukan penelitian dengan cara yang paling canggih berapa prosen kira-kira orang yang dicekoki dengan fanatisme akhirnya ia memiliki perasaan cinta yang universal. Jawabannya dapat dipastikan 0,00 % (tidak ada), karena fanatisme selalu mengagungkan perbedaan, tidak mau dianggap sama, selalu paling benar, selalu paling unggul, dan hanya dia yang disayangi Tuhan, sementara agama lain dibenci Tuhan. Ini merupakan logika yang paling bodoh, oleh sebab itu para guru tidak boleh menjadi bodoh seperti itu. Itu pulalah yang mengharuskan para guru agar mencintai semua agama yang ada di atas bumi melalui cara mempelajari secara objektif, adil, dan bijaksana atau tidak berat sebelah. Cara ini sangat penting karena para guru akan mendidik semua anak manusia yang berasal dari berbagai macam agama atau kepercayaan. Seorang guru yang terkesan mencintai semua agama di depan kelas ketika sedang mengajar, maka hal itu akan segera memperoleh tanggapan dari para siswanya yang memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda-beda. Para siswa secara spontan dan otomatis mengekspresikan wajah kecintaannya kepada gurunya yang dianggapnya bersikap sangat bijaksana, dapat menerima keberadaan siswa apapun kepercayaannya. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
35
Lain sekali halnya, ketika seorang ”guru” yang tampil di depan kelas dengan semangat fanatisme serta raut wajah yang antipati terhadap agama lainnya, maka para siswa yang berbeda agama secara spontan juga memancarkan vibrasi gelombang kebencian. Sehingga hubungan ”guru” dan siswa di dalam kelas tidak dilandasi oleh rasa cinta kasih. Situasi seperti ini sesungguhnya tidak baik sama sekali karena lambat laun para siswa seolah-olah diajarkan agar mereka terbiasa membenci orang yang berbeda agama. Kondisi semacam ini secara pelan dapat menghancurkan bibit-bibit kebajikan yang ada dalam diri para siswa. Para siswa sesungguhnya tidak bedanya dengan pesawat elektronik seperti; TV, HT, HP, dan sebagainya yang mampu menerima pancaran gelombang pikiran. Dalam ilmu Fisika Kuantum, manusia itu sendiri sesungguhnya adalah gelombang, sebagai gelombang manusia mampu menangkap berbagai macam gelombang yang dipancarkan oleh manusia lainnya. Vibrasi gelombang kebencian yang dipancarkan oleh seorang guru, maka gelom-bang itu pula yang diterima oleh para siswa dan para siswapun memantulkan gelombang kebencian itu ke segala arah di dalam kelas. Vibrasi gelombang kebencian yang selalu ada dalam kelas, akan membuat ruang kelas itu menjadi membosankan atau memuak-kan. Inilah penyebabnya dalam kelas-kelas tertentu seorang guru atau seorang siswa tidak konsen untuk belajar atau mengajar. Karena pada udara dan dinding ruangan itu terekam vibrasi gelombang kebencian yang terserap ketika para siswa dan guru memasuki ruangan itu. Ruangan-ruangan seperti ini juga yang membuat ada siswa mudah kemasukan roh. Itulah sebabnya seorang ”guru” sangat perlu menciptakan suasana cinta kasih sayang universal yang tidak membedakan suku, ras, dan agama. Rasa cinta kasih itu harus tulus dan meluncur dengan spontan tidak dibuat-buat. Amat tidak baik mendidik para siswa untuk mencintai hanya kepada teman-temannya yang seagama. Para siswa harus dididik untuk membangun di dalam dirinya sebuah bangunan cinta kasih universal dimana manusia dapat saling memandang sebagai sesama jiwa atau roh yang memiliki asas kekal-abadi yang sama.
36
2.9 Seorang Guru Harus Menjauhi Sikap Fanatik di Depan Para Siswanya Sesungguhnya merupakan bahaya sangat besar, jika orang berusaha menanamkan kefanatikan agama kepada siapa saja apalagi terhadap anak didik usia dini. Kefanatikan merupakan wujud ketakutan yang berlebihan. Penanam iman melalui strategi penanaman kefanatikan akan menghapus segala potensi spiritual dan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri seseorang. Kefanatikan merupakan sesuatu hal yang bertentangan dengan kemerdekaan spiritual. Jiwa sesungguh-nya merupakan subsantsi super realitas yang membutuhkan kemer-dekaan. Kefanatikan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
yang membabi buta dengan cara menolak kebenaran yang datang dari luar agama yang dianut, hal itu sama artinya dengan menutup cahaya dan kasih sayang Tuhan. Sesungguhnya manusia tidak perlu repot menghina, memusuhi serta memerangi agama-agama yang tidak dianut. Jika memang percaya bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Segalanya, maka tentu hanya Tuhan lah yang berhak untuk menghapuskan semua agama yang tidak dikehendaki. Jika Tuhan saja tidak berkeinginan untuk menghapus agama-agama yang ada, lalu mengapa manusia gila urusan dan terlalu bernafsu untuk menghancurkan agama yang tidak dipeluk. Sejarah telah mencatat ada banyak agama di masa lalu namun punah dengan sendirinya ditelan oleh kuasa sang waktu. Manusia harus belajar atas kuasa sang waktu itu, bila tidak setuju terhadap agama tertentu berdoalah biar sang waktu yang menye-lesaikan. Ada atau tidaknya agama di muka bumi sesungguhnya bukan urusan manusia melainkan urusan Tuhan, manusia hanya mempunyai kewajiban memilih dari sekian banyak pilihan yang disediakan oleh Tuhan. Amat baik sekali jika hal ini direnungkan secara mendalam. Pengajaran agama saat ini melalui tempat-tempat ibadah, mas media cetak dan elektronik terlalu bersifat eksvansif dan bernafsu sekali untuk menggempur iman atau kepercayaan orang lain. Akhirnya pengajaran agama tersebut sedikit sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku dari para penganutnya. Harapan untuk menjadikan umatnya lebih beriman kepada Tuhan, malah kebencian terhadap agama lain yang tertanam. Kebiasaan apologis dengan cara meninggi-ninggikan agama sendiri dan merendahkan agama orang lain merupakan pemandangan rutin di berbagai layar TV. Seberapa besar perubahan tingkahlaku yang terjadi sehingga para penganutnya memiliki sifat dan sikap yang mulia; arif, bijak dengan cara pengajaran seperti itu? Para tokoh umat sesungguhnya sangat perlu melakukan penelitian terhadap efektifitas metode pengajaran agama dalam rangka membangun sikap toleransi. Dapat dibuktikan melalui suatu penelitian yang paling canggih sekalipun, bahwa pengajaran agama dengan cara penanaman kefanatikan tidak efektif untuk menanamkan budi pekerti yang baik dan luhur pada anak didik. Kefanatikan hanya akan menanamkan kecemburuan, egoisme, irihati, kedengkian yang amat sangat, pikiran negatif, kaku, dan tidak pernah mau menerima kebenaran pihak lain, sekaligus fanatisme sama artinya dengan menolak kenyataan. Fanatisme sesungguhnya merupakan tradisi, paradigma, atau peradaban yang sudah usang. Dengan cara menanamkan kefanatikan kepada para siswa, yang terjadi hanyalah kebencian dan permusuhan semata. Juga dapat dibuktikan dengan penelitian yang paling canggih sekalipun, bahwa lebih berhasil menanamkan rasa kasih sayang, cinta kasih dan keperdulian sosial yang universal bila para siswa dengan cara belajar SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
37
38
agamanya sendiri dengan baik dan juga belajar agama-agama lainnya secara objektif, adil, dan bijaksana. Metode pengajaran agama dengan cara perbandingan satu arah, yang hanya dapat dianggap benar jika sesuai dengan agama yang dianut, hanya akan merusak potensi kedewataan seseorang. Merusak potensi kedewata-an seseorang sama dengan menyesatkan tujuan kelahiran manusia ke dunia. Di sinilah perlunya setiap siswa diperkenalkan tentang semua kitab suci dan ajaran semua agama yang ada di dunia. Pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan yang menanamkan karakter, dan tidak ada artinya pendidikan yang tidak menanamkan karakter. Bhgawan Sri Sathya Sai Baba (2004:146) menyatakan bahwa Character is the most precious gift of education ‟Karakter adalah hadiah yang paling berharga dari pendidikan‟. Beliau juga mengatakan bahwa: Education without self-control is no education at all. True education should make a person compassionate and humane. It shoul not make him self centered and narrow minded. Spontaneous sympathy and regard for all beings should be keen to serve society rather than be preoccupied with his own acquisitive aspirations. This should be the real purpose of education in its true sense. Pendidikan tanpa pengendalian diri bukanlah pendidikan. Pendidikan sejati harus dapat menjadikan manusia menjadi lebih tabah dan manusiawi. Pendidikan jangan sampai membuat manusia menjadi egois dan berpikiran sempit. Rasa simpati yang spontan dan penghargaan terhadap seluruh mahluk harus menjadi landasan dalam melayani masyarakat daripada hanya bergelut dengan keinginan dan kesenangan pribadi. Pada intinya hal inilah yang harus menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidikan itu sendiri (Donder, 2004:82). Beliau juga menyatakan bahwa The end of education is character. And character consist of eagerness to renounce one‟s selfish greed „Akhir dari pendidikan adalah karakter. Dan karakter mengandung keinginan untuk merenungkan ketamakan diri sendiri (Donder, 2004:285). Sebagimana uraian di atas, demikianlah pula seharusnya penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan sejak usia dini. Hal yang paling esensial dan fundamental dalam pendidikan adalah penanaman karakter kepada para anak didik sejak usia dinia. Sebab, pendidikan-pendidikan selanjutnya hanya merupakan kelanjutan dari pendidikan usia dini. Karena itu pendidikan yang benar yang diberikan oleh para guru yang benar harus ditanamkan sejak awal pendidikan anak. Donder menulis bahwa “pendidikan yang dilakukan oleh guru yang bijaksana dan diberikan kepada para siswa yang mulia merupakan pendidikan yang ideal”. Pendidikan yang ideal itu bukanlah ide yang bersifat hayal, tetapi dapat diwujudkan melalui komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap pendidikan.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
III. Penutup Bersarkan uraian-uraian pada bagian pendahuluan dan bagian pembahasan, maka dapat ditarik beberapa simpulan: (1) Situasi dan kondisi dunia saat ini yang semakin penuh dengan konflik dan tragedi kemanusiaan tidak mungkin akan membaik selama pendidikan tersebut hanya direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan pada pendidikan berbasis kompetensikompetensi belaka sebagai bekal untuk bersaing dalam merebut segala peluang. Pendidikan semacam itu hanya akan meningkatkan tensi egoisme manusia. (2) Pendidikan yang harus ditanamkan sejak usia dini adalah pendidikan karakter, sebab hasil pendidikan tanpa karakter bukanlah pendidikan namanya. (3) Pendidikan karakter dapat ditanamkan melalui nilai-nilai luhur semua agama, karena itu setiap guru harus respek kepada semua agama dan berupaya untuk memahami berbagai agama yang dianut oleh para siswanya. Sikap guru seperti itu akan menjadi contoh yang baik bagi anak didik dalam pertumbuhan karakternya. (4) Para guru harus menjauhi sikap fanatik terhadap agamanya sendiri yang menyebabkan para siswanya tidak simpati. (5) Para guru adalah orang yang selalu didengar kata-katanya dan nasihatnya, bahkan senantiasa dijadikan figur oleh para muridnya. Oleh sebab setiap guru harus senantiasa menjaga sikap dan perilakunya agar tidak cacat di depan mata para siswanya sehingga akan mengecewakan kepercayaan siswanya. Selain beberapa kesimpulan di atas, dalam artikel ini juga dipandang perlu memberikan beberapa saran, antara lain: (1) Menyaksikan berbagai tragedy kemanusia yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan dan orang-orang beragama, maka Pemerintah dalam hal ini yang terkait dengan lembaga-lembaga pendidikan sudah selayaknya mengoptimalkan pembangunan di bidang pendidikan. (2) Masyarakat perlu mengupayakan peningkatan partisifasinya dalam mendorong pembangunan di bidang pendidikan demi masa depan bangsa. Daftar Pustaka Bruce, Rita, 2007. Sathya Sai Parenting „Membina Anak-anak Sathya Sai‟ (penj. I Ketut Madra), Surabaya: Paramita Donder, I Ketut, 2004. Sisya Sista: Pedoman Menjadi Siswa Mulia, Surabaya: Paramita Donder, I Ketut, 2008. Acharya Sista: Guru dan Dosen yang Bijakasana, Surabaya: Paramita Donder, I Ketut, 2014. Manusia: Separuh Dewa Separuh Raksasa, Majalah Media Hindu Edisi 2014, hal.70-71 Donder, I Ketut, 2014. Membangun Karakter dalam Sastra Geguritan Bali, Majalah Media Hindu Edisi 2014, hal.14-15 Donder, I Ketut, 2014. Agama dan Taman Bunga yang Indah, Majalah Media Hindu Edisi 2014, hal.70-71 SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
39
Donder, I Ketut, 2014. Menjaga Kesucian dan Kemuliaan Agama Melalui Perilaku Mulia Para Penganutnya, Majalah Media Hindu Edisi 2014, hal.70-71 Putra, Ngakan Putu, 2016. Membangun Karakter dengan Keutamaan Bhagavad Gita, Jakarta: Media Hindu Singh, Ranvir, 2010. Fundamentals of Sri Sathya Sai Educare (Veda of 21st Century), Andhra Pradesh: Sri Sathya Sai Sadhana Trust Publication Division. Team, 2015. Aglimps of Hindu Dharma Based Education, Denpasar: World Hindu Parisad
40
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
DUKUNGAN EKOLOGI SEBAGAI KONSTRUKSI PERLINDUNGAN ANAK Oleh:
Putu Aditya Antara Dosen Jurusan PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja-Bali E-Mail:
[email protected]
Abstract This study aims to find the child's condition-related support to the ecological protection of children's rights. This research is a case study in East Jakarta. The future of a generation is on the quality of life of early childhood at the moment. Protection and early childhood care is a strategic effort to realize the future of a better world. The best conditions in the child's life should be made by all parties that there is an environment that can guarantee the rights of children. To achieve the best conditions protection concept refers to all activities aimed at ensuring respect for the personal rights of the child in accordance rights law and international humanitarian law. Child protection can be done in the fields of education, social, health and religion. Child protection can be done by preparing a good social support as well as comprehensive. Social support-oriented child protection can be understood as a form of interpersonal relationship that is helping with the emotional aspects involved, information, assistance and assessment instruments in an effort to keep the child's needs are always met. Keywords: child protection, ecological support Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kondisi anak terkait dukungan ekologi yang memberi perlindungan pada hak anak. Penelitian ini sebuah studi kasus di Jakarta Timur. Masa depan sebuah generasi berada pada kualitas kehidupan anak usia dini saat ini. Perlindungan dan perawatan anak usia dini merupakan usaha strategis untuk mewujudkan masa depan dunia yang lebih baik. Kondisi terbaik dalam kehidupan anak harus dilakukan oleh semua pihak sehingga lingkungan yang ada bisa menjamin hakhak anak. Untuk mewujudkan kondisi terbaik konsep perlindungan mengacu pada semua kegiatan yang ditujukan untuk menjamin dihormatinya hak-hak pribadi anak sesuai perangkat hukum hak asasi dan hukum kemanusiaan internasional. Perlindungan anak bisa dilakukan dalam bidang pendidikan, sosial, kesehatan dan agama. Perlindungan anak bisa dilakukan dengan mempersiapkan dukungan sosial yang baik sekaligus komprehensif. Dukungan sosial yang berorientasi pada perlindungan anak dapat dipahami sebagai bentuk hubungan interpersonal yang bersifat menolong dengan melibatkan aspek SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
41
emosi, informasi, bantuan instrumen dan penilaian sebagai usaha menjaga agar anak selalu terpenuhi semua kebutuhannya. Kata Kunci: Perlindungan Anak, Dukungan Ekologi I.
Pendahuluan
Salah satu paradoks pembangunan manusia modern adalah diakuinya hak anak-anak sebagai masa depan kemanusiaan, akan tetapi sekaligus sebagai kelompok yang paling rentan. Kelompok yang rentan dan rawan untuk dieksploitasi secara fisik, mental, sosial, dan ekonomi. Anak usia dini berada dalam kategori kelompok ini. Isu tentang anak usia dini telah menjadi wacana internasional. Pertemuan Forum Pendidikan Dunia di Dakar Senegal tahun 2000 (Napitulu, 2000), menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka Aksi Pendidikan untuk Semua. Salah satu kesepakatan memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, utamanya bagi anak-anak rawan yang memerlukan perlindungan khusus. Memperhatikan dokumen PBB, situasi yang dianggap rawan bagi anak sehingga memerlukan perlindungan khusus, yaitu jika anak berada dalam lingkungan di mana hubungan antara anak dengan orang-orang dewasa di sekitarnya, penuh dengan kekerasan, tidak peduli atau menelantarkan (The United Nations Children‟s Fund, 2001:7). Berada dalam lingkungan yang sedang mengalami konflik senjata, kerusuhan, pengungsian, dan bencana alam. Situasi di mana tidak ada dukungan perlindungan, pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga anak mengalami kesulitan dalam mengapresiasikan partisipasinya. Melihat fenomena tersebut merupakan sebuah strategi yang tepat guna jika perlindungan pada anak dilakukan dengan penataan pada dukungan ekologi anak. Ada beberapa keuntungan strategis yang didapat jika memberikan perlindungan pada anak dengan memanfaatkan dukungan ekologi seperti perlindungan pada anak bisa berakar pada permasalahan yang ada, konsistensi kualitas perlindungan anak bisa berlangsung lama, dan mudah melakukan perbaikan jika terjadi kasus-kasus pada perlindungan anak. II.
42
Pembahasan
2.1 Perlindungan anak Semua anak berhak memperoleh perlindungan dan perawatan menurut berbagai perangkat hukum nasional, regional dan international. Berbagai hak anak seperti hak memperoleh perlindungan fisik dan hukum, makanan untuk kelangsungan hidup, perawatan dan bantuan sesuai dengan umur dan kematangan jiwa. Hak tidak dipisahkan dari orang tua, memiliki nama, identitas akte kelahiran, dan pendidikan atas masa depan. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
A.
Pengertian Perlindungan Anak Perlindungan anak adalah kegiatan menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Konsep perlindungan mengacu pada semua kegiatan ditujukan untuk menjamin dihormatinya hak-hak pribadi anak sesuai perangkat hukum hak asasi dan hukum kemanusiaan international (ICRC, 1999). B. Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah 1. Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah; Negara dan pemerintah berkewajiban menghormati dan menjamin hak-hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, etnik, budaya, bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran dan mental. Memberikan dukungan sarana dan prasarana perlindungan anak seperti sekolah, taman bermain, lapangan olahraga, rumah ibadah, balai kesehatan, gedung kesenian, tempat rekreasi, ruang menyusui, taman penitipan anak, dan rumah tahanan anak. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. Menjamin anak mempergunakan hak menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan kecerdasan anak. 2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat; Masyarakat berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan anak yang dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. 3. Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Keluarga; Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. Menumbuhkembangkan anak sesuai minat, bakat dan kemampuan serta mencegah pernikahan usia anak. C. Penyelenggaraan Perlindungan Anak Penyelenggaraan perlindungan anak mengacu pada asas Pancasila dan UUD 45, prinsip dasar Konvensi Hak Anak dan Undang Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Sedangkan prinsip Konvensi Hak Anak adalah nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Konvensi mengutamakan penghargaan terhadap anak. Nondiskriminasi dimaksudkan tidak membedakan anak berdasarkan asal-usul, budaya, suku, agama, ras, sosial dan ekonomi. Kepentingan terbaik untuk anak adalah dalam semua tindakan terkait anak yang dilakukan pemerintah, masyarakat, legislatif, yudikatif menggunakan kepentingan anak sebagai arus utama. Sedangkan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup, dan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
43
44
perkembangan adalah hak asasi paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Penghargaan pendapat anak adalah penghormatan atas hakhak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam mengambil keputusan terutama menyangkut hal yang bertaut erat dengan kehidupannya. 1. Perlindungan Anak di Bidang Pendidikan; Perlindungan anak dilaksanakan dengan mewajibkan belajar sampai dengan 9 tahun. Akses pendidikan yang setara untuk anak cacat fisik dan mental. Pendidikan khusus untuk anak yang memiliki keunggulan. Anak yang berada dalam institusi pendidikan harus dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau temannya. Tanggung jawab perlindungan pendidikan yang utama adalah orang tua dan pemerintah. Orang tua wajib memberikan hak pendidikan untuk anaknya. Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dasar 9 tahun. Memberikan biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa, layanan khusus bagi anak kurang mampu dan anak yang tinggal di daerah terpencil. Pemerintah juga mendorong masyarakat berperan aktif dalam upaya penyelenggaraan perlindungan anak di bidang pendidikan. 2. Perlindungan Anak di Bidang Sosial; Perlindungan sosial meliputi pemeliharaan dan perawatan anak terlantar yang dilakukan pemerintah. Upaya dimaksudkan agar anak dapat berpartisipasi, bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai hati nurani dan agamanya, bebas menerima informasi lisan dan tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan, bebas berserikat dan berkumpul, bermain, istirahat, rekreasi, kreasi, berkarya seni budaya termasuk di dalamnya memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. Pelaku perlindungan sosial didukung oleh masyarakat, dan lembaga kemasyarakatan. 3. Perlindungan Anak di Bidang Kesehatan; Perlindungan kesehatan dilakukan secara komprehensif, mulai dari peningkatan kesehatan bagi anak yang sehat, pencegahan penyakit bagi anak yang beresiko, pengobatan bagi anak sakit serta rehabilitasi. Perlindungan juga mencakup penghindaran pengambilan organ atau jaringan tubuh anak. 4. Perlindungan Anak di Bidang Agama; Mencakup perlindungan beribadah menurut agamanya. Jika anak belum mampu menentukan agamanya maka mengikuti agama orang tuanya. Mencakup pembinaan, bimbingan, dan pengamalan ajaran agama.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
D.
Peran Masyarakat dalam Perlindungan Anak Masyarakat berhak memperoleh kesempatan luas berperan dalam perlindungan anak dan melaksanakan sesuai dengan ketentuan perundangan berlaku. Masyarakat dimaksud adalah orang-perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media masa. 2.2 Dukungan Ekologi Perkembangan Sosial Anak A. Pengertian Ekologi Perkembangan Sosial Anak Dukungan ekologi perkembangan sosial anak dimaksudkan sebagai pandangan sosiokultural dari Bronfenbrenner tentang perkembangan, yang terdiri dari lima sistem lingkungan, mulai dari masukan interaksi langsung dengan agen-agen sosial yang berkembang baik hingga masukan kebudayaan yang berbasis luas (Santrock, 1995:50-53). Berdasarkan analisis Bronfenbrener yang telah dikembangkan dalam Santrock, ke lima sistem tersebut adalah mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem. Bronfenbrenner mengutarakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh sistem interaksi yang kompleks dengan berbagai tingkatan lingkungan sekitarnya. Lingkungan anak digambarkan sebagai rangkaian struktur yang meliputi interaksi yang saling berhubungan antara di dalam dan di luar rumah, sekolah dan tetangga dari kehidupan anak setiap hari. Oleh karenanya anak tidak pernah terpisah dari lingkungan tersebut dan secara terusmenerus anak berinteraksi dalam kurun waktu yang sangat lama. Interaksi ini menjadi motor penggerak dari perkembangan anak. Teori ekologi perkembangan anak menekankan bahwa anak merupakan pusat dari lingkaran, dikelilingi oleh berbagai sistem interaksi yang terdiri dari sistem mikro, sistem meso, sistem exo dan sistem makro. Masing-masing lingkaran atau sistem akan mempengaruhi perkembangan anak. Ketika anak masih bayi, lingkungan mikronya hanya meliputi orang tua dan saudara-saudara kandungnya, atau para pengasuhnya. Dengan bertambahnya usia anak menjadi usia sekolah, sistem mikronya berkembang yaitu di samping keluarganya, juga meliputi tempat penitipan anak dan sekolah. Hal yang paling penting dari sistem mikro adalah kontak dan interaksi langsung orang dewasa dengan anak dalam jangka waktu yang cukup panjang dan intensif. Perkembangan anak ditentukan oleh apa yang dialami dan situasi anak menghabiskan waktunya. Ada orang yang berbicara, mendengarkan, bermain dan membacakan buku untuk anak. Pengalaman-pengalaman ini merupakan wahana utama dari perkembangan anak. Jumlah dan kualitas interaksi yang dimiliki anak juga berdampak besar terhadap perkembangan anak. Lebih lanjut Bronfenbrenner menekankan bahwa anak dapat mengalami perkembangan yang positif jika anak berkembang SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
45
46
secara intelektual, emosional, sosial dan moral, memiliki hubungan interpersonal yang sangat kuat. Upaya dukungan pemantapan dan pemeliharaan pola-pola interaksi dan kedekatan emosi antara pengasuh dan anak. Agar anak dapat berkembang secara intelektual, emosional, sosial dan moral. anak membutuhkan interaksi timbal balik yang semakin kompleks. Interaksi tersebut dilakukan selama hidup anak dengan seseorang atau beberapa orang dewasa, di mana anak dapat mengembangkan kedekatan emosi yang kuat dan pada saat yang sama dengan orang tersebut. Hubungan interpersonal yang sangat kuat tersebut, hendaknya dapat meningkatkan respons anak terhadap lingkungan fisik dan sosial terdekatnya sehingga mempercepat pertumbuhan psikologis anak. Upaya pemantapan dan pemeliharaan pola-pola interaksi dan kedekatan emosi antara pengasuh dan anak perlu didukung, dibantu dan dihargai, agar anak mampu mewujudkan sikap dan perilakunya dalam partisipasi. Menurut Fakih (2000:XXV), orang dewasa di sekitar anak acapkali sering meremehkan dan mengabaikan suara anak. Keberadaan partisipasi anak ditiadakan dalam politik, sosial, dan budaya. Anak dianggap belum perlu diminta atau didengar pandangannya tentang bagaimana proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan anak. Melibatkan dan mendengarkan suara anak dalam proses pengambilan keputusan merupakan pemberian penghargaan masyarakat kepada anak. Anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh kembang, terhindar dari kekerasan dan partisipasi atas masa depan. Telah tiba saatnya anak menjadi subyek perubahan sosial yang sesuai untuk kepentingan terbaik anak. Sementara itu belum banyak literatur mengenai pembangunan dan perubahan sosial yang dalam pembahasannya meletakkan anak sebagai subyek, atau paling tidak memperhitungkan partisipasi anak. Namun demikian, bukan berarti anak memiliki hak otonomi, sehingga mengabaikan hak orang tuanya, dan berhak mengatur semua keputusan tanpa memandang dampaknya terhadap diri atau orang lain. Lansdown cenderung melihat bahwa pengakuan pemegang hak bukan berarti kemudian orang dewasa lepas tangan terhadap kewajiban terhadap anak. Juga tidak membiarkan anakanak berjuang menggapai hak mereka. Berusaha bekerja sama dengan anak-anak lebih erat untuk membantu anak mengekspresikan pandangannya tentang hidup, membangun strategi bagi perubahan dan perwujudan hak anak. Keberadaan anak-anak tidak hanya sekadar untuk melihat dan mendengarkan, bukan hanya objek tapi subjek. Hadir untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan pandangan dan opini melalui kaca mata anak sendiri melalui kejelasan informasi, kesediaan anak, nondiskriminasi, keselamatan dan perlindungan, cukup sumber daya, etika, saling hormat, lingkungan anak, dan yang terbaik untuk anak. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Kejelasan informasi menjadi penting jika anak diharapkan berpartisipasi aktif. Memberikan gambaran pada anak atas apa yang akan dihadapi dan mendorong untuk lebih percaya diri. Kesediaan anak dimaksudkan bahwa selain hak untuk berpartisipasi, anak juga memiliki hak untuk menentukan apakah mereka akan berpartisipasi atau tidak. Nondiskriminasi merupakan upaya yang dilakukan harus menjamin keterlibatan semua kelompok anak tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi. Upaya keberpihakan pada kelompok minoritas menjadi suatu unsur yang harus dilaksanakan. Keselamatan dan perlindungan merupakan upaya pemenuhan hak partisipasi tidak mengurangi hak perlindungan. Memperkecil peluang terjadinya kekerasan pada anak selama berpartisipasi. Cukup sumber daya, partisipasi anak memerlukan sumber daya yang cukup agar mencapai hasil yang berkualitas. Memberikan dukungan, memahami hak anak, dan keunikan anak, serta pengalaman bekerja bersama anak. Etika, yang harus dipahami ketika bersama orang dewasa dan anak sebagai nilai yang harus dijunjung saat melakukan kegiatan partisipasi. Etika yang dimaksud adalah saling hormat dan lingkungan yang terbaik untuk anak. Berfungsinya dukungan sosial dipengaruhi oleh persepsi terhadap dukungan yang diberikan. Cobb dalam Gottlieb (1983:89) menyatakan bahwa setiap informasi apapun dari lingkungan sosial yang menimbulkan persepsi anak bahwa ia menerima efek positif, penegasan ataupun bantuan menandakan suatu ungkapan dari adanya dukungan sosial. Brehm dan Kassin (1990:68) menyatakan arti dukungan sosial melalui kontak sosial, tersedianya bantuan. Dengan demikian anak mengetahui bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintai. Belle (1989:35) mengemukakan dukungan sosial sebagai sumber daya yang didukung oleh orang-orang lain dan yang muncul dalam konteks dari hubungan interpersonal, mencakup individu-individu melalui hubungan jaringan sosial. Sumber daya dukungan meliputi informasi bantuan material, perhatian, fisik, mendengarkan, bantuan pemecahan masalah dan jaminan yang memadai. Ada tiga pengaruh dasar dari dukungan sosial yang menonjol dikemukakan oleh Brownell dan Schumaker dalam Yuti (2002:5358) di antaranya, pengaruh langsung, tidak langsung dan interaktif. Pengaruh langsung, yaitu terciptanya hubungan interpersonal dan hubungan yang bersifat menolong dan hubungan tersebut dapat memfasilitasi terbentuknya perilaku yang lebih sehat. Pengaruh tidak langsung yaitu membantu individu menghadapi dan mengatasi stresor yang datang dengan cara membantu individu mempelajari cara pemecahan masalah dan mengontrol masalah kecil sebelumnya menjadi masalah besar. Pengaruh interaktif adalah berupa dampak yang diinterpretasikan untuk meredam atau memperbaiki dampak yang merugikan dengan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
47
mempengaruhi rekognisi, kualitas dan kuantitas terhadap sumber coping. Untuk menjelaskan konsep dukungan sosial, kebanyakan penelitian sependapat untuk membedakan jenis-jenis yang berlainan (Soorner, 1988:58). House dalam Sarafino (1994:78) membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial, yaitu: 1. Dukungan emosional; mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan (umpan balik, penegasan). 2. Dukungan penghargaan: terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang-orang lain. Misalnya orang-orang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah penghargaan diri). 3. Dukungan instrumental: mencakup bantuan langsung seperti kalau orang memberikan pinjaman kepada orang atau menolong dengan pekerjaan. 4. Dukungan informatif mencakup memberi nasihat, petunjukpetunjuk, saran-saran atau umpan balik. Senada dengan pendapat ini Schefer dan Lazarus dalam Ronald dan Paul, (1984:156-163) menetapkan ada tiga dimensi dalam dukungan sosial, yaitu: pertama, dukungan emosional yang melibatkan adanya keakraban dan penerimaan yang memberi keyakinan; kedua, dukungan sosial yang berwujud atau memberi pelayanan atau bantuan secara langsung; ketiga, dukungan informasi yang meliputi pemberian nasihat, pemecahan masalah yang dihadapi individu dan penilaian terhadap perilaku individu. Aspek dukungan sosial yang disadur dari House dan Kahn (1985:101), seperti dalam tabel II.2. Tabel 1. Aspek-aspek Dukungan Sosial Aspek a. Informatif
b. Emotional
c. Instrumental
48
d. Penilaian dan Penghargaan
Bentuk Dukungan Pemberian nasehat Mendapat informasi yang dibutuhkan Menyampaikan informasi kepada yang lain. Empati Cinta dan kasih sayang Kepercayaan Perhatian Mendengarkan Bantuan materi Peluang waktu Bantuan pekerjaan Pekerjaan Perbandingan sosial Peranan sosial Afirmasi Umpan balik Sumber: Hasil Penelitian Lapangan, 2009
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Mengacu pada uraian di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa anak menerima dukungan sosial merupakan suatu pengalaman pribadi yang melibatkan penghayatan dirinya dan hubungan sosialnya dengan orang lain. Berfungsinya dukungan sosial dipengaruhi oleh adanya persepsi yang diberikan pada anak, memiliki hubungan interpersonal timbal balik yang sangat kuat. Menekankan bahwa anak dapat mengalami perkembangan yang positif jika anak berkembang secara intelektual, emosional, sosial dan moral dalam lingkungan mikro, mezo, eko, makro dan kronosistem. B.
Perspektif Dukungan Sosial Wills (1985:95) mengemukakan model teori untuk menerangkan dukungan sosial ini. Teori-teori pertukaran (social exchange theory) dan teori perbandingan sosial (social comparison theory). Teori pertukaran sosial menekankan hubungan timbal balik perilaku sosial. Dengan menggabungkan konsep-konsep dari teori perilaku dan teori ekonomi dapat dijelaskan bahwa hubungan interpersonal merupakan sistem pertukaran reward antar individu. Pertukaran reward dalam sistim ini dapat diasumsikan dalam beberapa hal yaitu sebagai alat ekonomi atau servis, sebagai interpersonal reward seperti ekspresi suka dan sebagai sosial reward seperti peningkatan status. Pertukaran reward dapat berupa cinta, status, informasi uang, alat-alat dan servis. Myers (1983:56) memberikan pandangan yang sama mengenai bentuk pertukaran sosial ini. Hasil penelitian Myers menunjukkan bahwa reward yang diperoleh individu akan sesuai antara reward yang diberikan dengan reward yang diterima. Senada dengan konsep di atas Rakhmat (1986:67) mengatakan bahwa teori pertukaran sosial memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Selanjutnya Thibault dan Killey dalam Rakhmat, menyimpulkan bahwa model pertukaran sosial adalah setiap individu yang secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi biaya dan hadiah. Keseimbangan dalam pertukaran sosial akan menghasilkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara timbal balik ini membuat individu lebih percaya bahwa orang lain menyediakan bantuan. Model teori yang kedua adalah teori perbandingan sosial. Wills (1985) mengutip pandangan Festinger yang mengemukakan bahwa seseorang dimotivasi untuk mensahkan dugaan atau idenya dari kenyataan sosial dengan membandingkan keadaan dirinya dan pendapat orang lain. Mekanisme teori ini mengarah pada hubungan interpersonal yang menekankan bahwa di dalam hubungan sosial seseorang membuat perbandingan atas informasi yang diterima.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
49
Berdasarkan teori perbandingan sosial konsep dukungan sosial dapat diterangkan melalui interaksi, individu mendapat pengalaman yang melibatkan penilaian kognitifnya. Penilaian kognitif tersebut adalah bahwa seseorang membutuhkan dukungan, informasi, masukan dari lingkungannya. Seperti misalnya jika anak menghadapi masalah dan masalah tersebut sulit dipecahkan, maka anak akan mencari orang lain untuk mendapatkan informasi dalam menyelesaikan masalah tersebut. Anak akan menggunakan kognitifnya dalam membandingkan informasi yang diperoleh untuk menyelesaikan masalah.
50
2.3 Pembahasan Empirik Pandangan sosiokultural dari Bronfenbrenner tentang perkembangan sosial anak dimana tinggal dan bermukim mengacu pada lima sistem dukungan lingkungan yaitu mikro, mezo, eko, makro dan kronosistem yang tersarang dalam kesatuan sinergis. Perkembangan anak juga dipengaruhi oleh dukungan sistem interaksi yang kompleks dengan berbagai tingkatan lingkungan sekitarnya. Bukan hanya semata-mata pandangan tradisional yang mengasumsikan anak sebagai aspek biologis dan mental saja, yang menekankan pada sisi psikologis dengan perkembangan individual yang bersifat linier. Sementara dukungan lingkungan anak lebih menggambarkan wujud dari rangkaian struktur interaksi yang saling berhubungan di seputar anak tinggal dan bermukim. Dimana anak tidak pernah terpisah dari lingkungan tersebut dan secara terus menerus berinteraksi dalam kurun waktu yang sangat lama. Selanjutnya interaksi akan menjadi lokomotif penggerak perkembangan anak. Ekologi perkembangan sosial anak di wilayah Jakarta Timur juga menekankan bahwa anak merupakan pusat dari lingkaran, dikelilingi oleh berbagai sistem interaksi yang terdiri dari lima dukungan sistem lingkungan. Merentang dari interaksi interpersonal sampai ke pengaruh kultur yang lebih luas. Masingmasing lingkaran atau sistem akan mempengaruhi perkembangan anak. Ketika anak masih bayi, lingkungan mikronya adalah seting dimana anak banyak menghabiskan waktunya dengan orangtua, wali, saudara kandung, dan pengasuhnya. Memasuki usia sekolah, sistem mikronya berkembang pada latar meso berupa dukungan teman sebaya, tempat penitipan anak, tetangga, children centre, meunasah dan sekolah. Tataran meso meliputi lingkungan sekolah, meunasah, dan berbagi cerita dan pengalaman dengan teman sebaya yang senasib-sepenanggungan. Memasuki tahapan berikutnya ekosistem, dimana anak-anak secara langsung atau tidak terlibat dalam konflik masyarakat dimana tinggal dan bermukim. Anakanak memperoleh pengalaman yang berasal dari berbagai peristiwa yang dialaminya, dari tuturan teman sebaya dan ujaran orang-orang dewasa disekitarnya. Anak-anak dengan mudah mencerna berbagai ujaran dan tuturan atas sosok antagonis. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Ekosistem terjadi ketika pengalaman diseting lain (dimana anak tidak berperan aktif) mempengaruhi pengalaman anak dalam konteks mereka sendiri. Konteks ketika anak berada dalam situasi darurat, situasi yang bukan merupakan pilihan namun tidak dapat dihindarinya lagi yang biasa disebut dengan situasi batas. Memasuki tataran makro sebagai kultur yang lebih luas. Dimana kultur menekankan peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas di mana anak tinggal dan bermukim, termasuk didalamnya nilai dan adat istiadat masyarakat. Perhatian pada tataran kronosistem sebagai sistem lingkungan yang penting dalam situasi darurat mempertimbangkan masalah banyaknya anak-anak yang berada dalam situasi darurat yang hidup dalam kemiskinan, terutama dalam keluarga yang tidak utuh (single-parent) dan penurunan nilai-nilai. Anak-anak terlibat dalam mengkonstruksi budaya lokal dan dari luar. Anak-anak mempelajari tarian Saman, dan Seudati sebagai suatu keharusan untuk dipertontonkan pada acara tertentu. Jenis-jenis budaya lain seperti syair, didong kurang begitu diminati. Anak-anak menaruh minat pada berbagai permainan modern yang telah menjadi sebuah industri kapital. Industri ini dengan sangat mudah mendekat pada anak-anak tanpa halangan, bahkan memperoleh dukungan penuh dari orangtua dan orang dewasa disekitarnya sebagai atribut kebanggaan. Berbagai macam jenis alat permainan berupa senapan laras panjang lengkap dengan peluru dijual di berbagai tempat, dari kios-kios rokok sampai lapak-lapak disekitar lokasi pengungsian. Demikian pula penyewaan Game Wacth, telepon selular, Play Station, DVD, Game Online sangat marak dalam wilayah yang padat penduduk, sehingga dengan sangat mudah dan murah dapat diakses oleh anak-anak. Beberapa anak-anak berkembang menjadi Generasi Pertama yang sangat melek teknologi melampaui orang tuanya yang masih konservatif. Secara sadar sepenuhnya anak-anak tergiring memasuki generasi Digital Natif, generasi yang tidak dapat lagi dipisahkan dari tekhnologi komunikasi dan hiburan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara orang tua walinya masih belum beranjak dari tataran Digital Immigrant, suatu kondisi dimana mereka belum atau cenderung tidak terlibat dalam dunia teknologi. Karena sebagian orangtua anak masih terseok-seok dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. III. Kesimpulan Perlindungan anak adalah kegiatan menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Konsep perlindungan mengacu pada semua kegiatan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
51
ditujukan untuk menjamin dihormatinya hak-hak pribadi anak sesuai perangkat hukum hak asasi dan hukum kemanusiaan international. Perlindungan anak bisa dilakukan dalam bidang pendidikan, sosial, kesehatan dan agama. Penerimaan anak atas dukungan sosial yang ada merupakan suatu pengalaman pribadi yang melibatkan penghayatan dirinya dan hubungan sosialnya dengan orang lain. Berfungsinya dukungan sosial dipengaruhi oleh adanya persepsi yang diberikan pada anak, memiliki hubungan interpersonal timbal balik yang sangat kuat. Menekankan bahwa anak dapat mengalami perkembangan yang positif jika anak berkembang secara intelektual, emosional, sosial dan moral dalam lingkungan mikro, mezo, eko, makro dan kronosistem. Perlindungan anak bisa dilakukan dengan mempersiapkan dukungan sosial yang baik sekaligus komprehensif. Dukungan sosial yang berorientasi pada perlindungan anak dapat dipahami sebagai bentuk hubungan interpersonal yang bersifat menolong dengan melibatkan aspek emosi, informasi, bantuan instrumen dan penilaian sebagai usaha menjaga agar anak selalu terpenuhi semua kebutuhannya. Diharapkan dengan adanya dukungan sosial yang diberikan kepada anak akan memberikan dampak atau pengaruh positif bagi perkembangan dan perbaikan kehidupannya. Sebagai sebuah tujuan masa depan yang lebih baik, anak yang berada dalam situasi tidak mendapat perlindungan yang baik atau dalam kondisi darurat akan dapat hidup normal seperti anak-anak lainnya sehingga kebutuhan mereka baik fisik, psikis maupun sosial dapat terpenuhi. Daftar Pustaka
52
Allison James and Alan Prout (Ed), Constructing and Reconstructing Childhood: Contemporary issues in the Sociology Study of Chilhood, Second Edition. London-washington DC: Falmer Press, 1977 Belle, Deborah, Children‟s Social Network and Social Supports. New York: John Wiley & Sons, 1989. Brehm, S.S. dan S.M. Kassin, Social Psychology. Boston: Houghton Mifflin Company, 1990. Cohen, S. and S.L. Syme, Social Support and Health. London: Academic Perss, 1985. Corsaro, William A. The Sociology of Chilhood, Second Edition. Thousand Oaks, 2005. Defares, P.B. and De Soomer, Social Support. Amsterdam/Lisse Wetz & Zeitlinger, B.V.(ed), New Delhi: Prentice Hall of India, 1988. Fakih, Mansour. Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis. Read Book : Yogyakarta, 2000 Goldberger, L. and S. Breznitz, Hand Book of Stress: Theoritical and Clinical Aspects. New York: The Free Perss, 1982. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Goslin, David A (Ed). The Handbook of Socialization Theory and Boys from Early Through Middle Chilhood . In Belle(1989) , New York: John Wiley & Sons, 1989. Gottlieb, B. H. Social Support Strategies: Guidelines for Mental Health Practice. Beverly Hills, California: Sage Publications, Inc, 1983 House, Kahn Measures and Concept of Social Support. 1985. Ismudiati, Yuti Sri Perilaku dan Depresi Anak Jalanan, Thesis (Program Studi Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2002. Jenks, Chris. Childhood. USA: 1996. Johnson, Victoria C.S., Anak-anak membangun Keasadaran Kritis. Johnson, 2000. Johnson, D.W. dan F.P. Johnson, Joining Together : Group Theory and Group Skill(4th ed) (Englewood Cliffs, New Jersey: PrenticeHall.Inc, 1991. Landsdown, G. Promoting Children‟s Partipation in Democratic Decision making (UNICEF). Myers, Social Psychology (2th ed), Singgapore: McGrwa Hill Co., 1983. Napitupulu, W. P. “The Dakar framework for Action Education for All”, 2000. Obrioux, Degree of Participation: A Spherical Model The Possiilities for Girl in Kabul Afganistan, in Johnson, V., et al. 1998. Prasadja, Heru. Activities, Relationship and Role of Children, as well as Social Support for Urban Children: Exploration of Development Ecology Theory, 2008. Rakhmat, Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986. Santrock, John W. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup . Jakarta: Erlangga, 1995. Sarafino, E.P. Health Psychology Biopsychososial Interactions. Singapore: John Wiley and Sons, Inc., 1994. Setiadi, Agus. Partisipasi Anak Indonesia. Jakarta: diterbitkan bersama Departemen Sosial, KPP, CCF, Plan Internasional, Save the Children US dan UK, Terre des Hommes Netherlands, UNICEF, WVI, YKAI, YPHK). Strauss, G. and L.R. Sayless, Personal Human Problem of Management .1980. The State of The World‟s Children 2000: Early Chilhood, New York: The United Nations Children‟s Fund, 2001 Thoit, P.A. Social Support and Coping Assistance Journal of Consulting and Clinical Psychology, 1986. Watson, R.L. and G. deBertoli-Tregerthon, Social Psycology Science and Application . New York: Scoot & Forestman.Co., 1984. Wills, T.A. Supportives Function of Interpersonal Relationship (New York: Academic Press Inc., 1985.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
53
PERANAN METODE BERCAKAP-CAKAP DALAM PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA TERPADU PADA ANAK TAMAN KANAK-KANAK Oleh:
Ni Putu Parmini Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Saraswati Tabanan
Abstrak Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui peranan metode bercakap-cakap dalam perkembangan kemampuan berbahasa anak Taman Kanak-Kanak. Dewasa ini pemerintah sedang menggalakkan Pendidikan Anak Usia Dini. Taman KanakKanak tergolong bagian dari pendidikan Anak Usia Dini. Pendidikan Anak Usia Dini sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak di masa depan. Oleh karena itu Pendidikan Anak Usia Dini termasuk TK perlu mendapat perhatian yang serius. Tenaga pengajar, sarana, prasarana dan pembelajaran Anak Usia Dini termasuk TK masih perlu ditingkatkan. Salah satu strategi atau metode yang berperan penting dalam pengembangan kemampuan berbahasa anak adalah metode bercakap-cakap. Melalui metode bercakap-cakap dapat dikembangkan kemampuan berbahasa secara terpadu, yakni pengembangan dimensi sosial, emosional, kognitif, dan bahasa. Bercakap-cakap juga efektif digunakan dalam penilaian kemampuan berbahasa anak TK terbukti hasil penelitian di TK Prema ñ Ananda School menunjukkan hasil yang memuaskan dengan menerapkan metode bercakap-cakap dalam penilaian kemampuan berbahasa. I.
54
Pendahuluan
Pemerintah telah menunjukkan pembangunan sumber daya manusia sejak dini. Pada Konferensi Pusat I masa Bakti VII Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia telah disepakati pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dalam konsep pembinaan dan pengembangan anak dihubungkan pembentukan karakter manusia seutuhnya. PAUD merupakan basis penentu atau pembentukan karakter manusia Indonesia di dalam kehidupan berbangsa (Isjoni, 2011: 12). Dengan demikian PAUD sebagai fondamen pembentukan karakter bangsa. PAUD sebaiknya mendapat perhatian yang serius dan profesional dalam dunia pendidikan. Anak yang sudah mendapat pelayanan PAUD umumnya lebih mudah dan lebih siap dalam mengikuti pelajaran pada jenjang usia sekolah. Lebih jauh (Isjoni, 2011: 15) menyatakan semakin banyak anak yang dilayani PAUD, semakin banyak anak yang memiliki kesiapan belajar. Hal itu berdampak positif pada kesiapan anak SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
pada usia sekolah. Dengan demikian anak menjadi siap untuk mencapai kompetensi yang lebih besar baik akademik maupun non akademik. Tim Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (2008: 1) menyatakan anak usia dini yakni usia Taman Kanak-kanak merupakan usia yang mengandung masa keemasan bagi perkembangan fisik dan mental anak tersebut. Pada masa ini anak sangat sensitif menerima segala pengaruh yang diberikan oleh lingkungannya. Anak pada usia ini dapat dianalogikan dengan sepotong karet busa yang menyerap air sepenuhnya dengan tidak mempedulikan apakah air tersebut kotor atau bersih. Oleh sebab itu masa kanak-kanak adalah masa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan anak di masa depan. Kesuksesan anak tersebut dalam melampaui masa usia dini menjadi fondasi bagi kesuksesan anak di masa depan. Sejalan dengan uraian tersebut di atas maka dipandang perlu diadakan sosialisasi tentang upaya membangkitkan PAUD, meningkatkan kualitas tenaga pendidik, sarana, prasarana dan program pembelajarannya. Semuanya itu merupakan suatu sistem yang tidak bisa dipisahkan antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Tim PLPG (2011: 2) menyatakan proses pembelajaran akan dapat menarik dan menyenangkan bila guru selalu mengembangkan kreativitas dan inovasi yang tinggi. Dengan cara itu maka tujuan pembelajaran akan tercapai secara optimal. Salah satu upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran tercapai secara optimal adalah dengan jalan meningkatkan strategi dan kreativitas guru dengan mengimplementasikan metode bercakap-cakap. Bercakap-cakap menurut Isjoni (2011: 90) merupakan hal yang vital dalam perkembangan anak TK, karena bercakap-cakap dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan orang lain dan meningkatkan keterampilan dalam melakukan kegiatan bersama. Berdasarkan pendapat-pendapat yang dipaparkan di atas dan fakta empirik di lapangan maka dipandang perlu membahas tentang peranan metode bercakapcakap dalam perkembangan kemampuan Berbahasa Anak Taman Kanak-kanak. Masalah yang muncul dari latar belakang di atas adalah bagaimanakah peranan metode bercakap-cakap dalam perkembangan kemampuan Berbahasa Anak Taman Kanakkanak? Tujuan pembahasan makalah ini adalah untuk mengetahui peranan metode bercakap-cakap dalam perkembangan kemampuan berbahasa anak Taman Kanak-kanak. 55
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
II.
56
Pembahasan
2.1 Memupuk Kecerdasan Sejak Usia Dini Sujiono (2007: 6.11-6.27) menyatakan ada delapan kecerdasan manusia yang seharusnya dipupuk sejak usia dini. Delapan kecerdasan tersebut mencakup kecerdasan sebagai berikut. 1. Kecerdasan linguistik adalah kecerdasan dalam mengolah kata atau kemampuan menggunakan kata baik secara lisan maupun tertulis. Menurut Depdikbud (1995: 596) linguistik berarti ilmu tentang bahasa. 2. Kecerdasan logika-matematika adalah kecerdasan dalam hal angka dan logika. 3. Kecerdasan fisik adalah kecerdasan menggunakan atau melakukan gerakan-gerakan yang bagus, berlari, menari, membangun sesuatu seni dan hasil karya. 4. Kecerdasan visual spasial adalah kecerdasan yang berhubungan erat dengan gambar di dalam pikiran seseorang. 5. Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan untuk berpikir secara reflektif. 6. Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan berpikir lewat berkomunikasi dengan orang lain. 7. Kecerdasan musikal adalah kecerdasan menangani bentukbentuk musikal. 8. Kecerdasan natural adalah keahlian mengenali dan mengategorikan spesies (flora, fauna) di lingkungan sekitar, mengenali eksistensi suatu spesies, dan memetakan hubungan antara beberapa spesies. Secara rasional kedelapan kecerdasan yang dipaparkan di atas tidak luput dari kemampuan bercakap-cakap. Bagaimana bisa mencapai suatu tujuan tanpa adanya komunikasi. Komunikasi dapat terjadi jika ada kemampuan bercakap-cakap. Husen, dkk (1998) menyatakan kemampuan bercakap-cakap atau berkomunikasi itu amat penting karena pada dasarnya semua ilmu dapat ditangkap melalui komunikasi. Tanpa kemampuan bahasa sulit berkomunikasi. Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Hal itu sejalan dengan hakikat kecerdasan linguistik yang diungkap oleh Sujiono, dkk (2007: 6.12-6.15) bahwa orang yang cerdas dalam bidang linguistik akan dapat berargumentasi, meyakinkan orang, menghibur atau mengajar sesuatu dengan efektif lewat kata-kata yang diucapkannya. Pada hakikatnya pengembangan kecerdasan linguistik bertujuan agar anak mampu berkomunikasi baik lisan maupun tertulis, kemampuan berbahasa untuk meyakinkan orang lain, mengingat dan menghafal informasi, memberi penjelasan dan membahas bahasa.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
2.2 Metode Bercakap-cakap dalam Kecerdasan Linguistik Kecerdasan linguistik diperlukan dalam upaya mencapai tujuan pengembangan pembiasaan yang dikemukakan oleh Depdiknas(2007: 2) yang menyatakan bahwa tujuan pengembangan pembiasaan adalah memfasilitasi anak untuk menampilan totalitas pemahaman ke dalam kehidupan sehari-hari baik TK maupun di lingkungan yang lebih luas (keluarga, kawan, masyarakat). Bidang pengembangan pembiasaan meliputi aspek perkembangan moral dan nilai-nilai agama serta perkembangan sosial, emosional, dan kemandirian. Tanpa kemampuan bercakapcakap yang merupakan salah satu unsur dari kecerdasan linguistik maka tujuan-tujuan yang diungkap pada uraian di atas sulit tercapai. Kecerdasan linguistik yakni sub kemampuan bercakap-cakap memegang peranan penting dalam upaya mencapai tujuan pengembangan pembiasaan yang dinyatakan oleh Depdiknas tersebut. Depdiknas (2009: 2) menyatakan perkembangan anak berlangsung secara berkesinambungan yang berarti bahwa tingkat perkembangan yang dicapai pada suatu tahap diharapkan meningkat pada tahap selanjutnya. Walaupun perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, namun diharapkan perkembangan anak tetap mengikuti pola umum. Agar anak mencapai tingkat perkembangan yang optimal dibutuhkan keterlibatan orang tua untuk memberikan rangsangan yang bersifat menyeluruh dan terpadu secara bersistem melalui pembiasaan. Untuk mencapai perkembangan anak yang optimal tersebut guru dituntut untuk mencari kiat-kiat baru dan strategi inovatif dalam pembelajaran. Dalam pengembangan pembiasaan sosial dan emosional anak, diperlukan kemampuan anak bergaul/berkomunikasi. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik anak dilatih untuk bercakap-cakap. Sujiono, dkk (2008: 9.5) mengemukakan dalam pengembangan kreativitas anak diperlukan langkah-langkah yakni (1) menghadapkan anak dengan sesuatu yang dipikirkan; (2) mendorong pemikiran anak dengan penjelasan-penjelasan; (3) memberikan alternatif, dan (4) memberikan kesempatan pada anak untuk mengemukakan ide atau pendapat-pendapatnya. Pengembangan kreativitas anak dalam mengungkapkan ideide tersebut diperlukan latihan bercakap-cakap sehingga apa yang diungkapkan oleh anak dapat diterima oleh lawan bicaranya sesuai dengan ide yang dimaksud oleh anak/pembicara. Latihan bercakap-cakap hendaknya dilakukan dengan cara-cara tertentu sesuai dengan situasi sehingga anak-anak mampu berkomunikasi dengan baik. Melalui komunikasi yang baik dan efektif akan memudahkan upaya untuk meningkatkan kecerdasan.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
57
2.3 Metode Bercakap-cakap dalam Perkembangan Bahasa Anak Secara Terpadu Bercakap-cakap dapat diartikan sebagai dialog atau sebagai perwujudan bahasa reseptif dan bahasa ekspresif dalam suatu situasi (Gordon dan Bbrowne, idem dalam Isjoni, 2011: 89). Selanjutnya Isjoni (2011) menyatakan bercakap-cakap mempunyai makna penting bagi perkembangan anak TK, karena bercakapcakap dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan keterampilan dalam melakukan kegiatan bersama. Juga meningkatkan perasaan, serta menyatakan gagasan atau pendapat secara verbal. Penggunaan metode bercakap-cakap yang efektif bagi anak TK akan membantu secara terpadu perkembangan dimensi sosial, emosional, kognitif, dan terutama bahasa. Perkembangan dimensi sosial dapat dibantu melalui metode bercakap-cakap dengan jalan memberikan kesempatan bercakapcakap kepada anak dengan teman sebaya, dan guru, selanjutnya siswa dibimbing dan secara terpadu diarahkan dalam bercakapcakap oleh guru. Perkembangan emosional dibantu melalui metode bercakap-cakap dengan jalan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan perasaannya ataupun pengalaman pribadinya. Perkembangan kognitif dapat dibantu melalui metode bercakap-cakap dengan jalan mengajak anak tanya jawab tentang ilmu pengetahuan yang harus dikuasai anak sesuai dengan tuntutan kurikulum. Perkembangan bahasa dapat dibantu melalui metode bercakap-cakap dengan jalan memberikan kesempatan kepada anak untuk berkomunikasi karena pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Anak diberikan kesempatan untuk berdialog dengan teman sebanyanya atau mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang menarik bagi anak. Dengan demikian dalam satu kali pembelajaran dengan metode bercakap-cakap dapat dikembangkan beberapa dimensi secara terpadu.
58
2.4 Metode Bercakap-Cakap dalam Menilai Kemampuan Anak Berbahasa Yus (2011: 118) menyatakan melalui percakapan akan dapat diketahui bagaimana kemampuan anak berbahasa. Percakapan meliputi penggunaan kata tanya apa, mengapa, di mana, berapa dan bagaimana. Guru terlebih dahulu menyusun pertanyaan yang menggunakan kata tanya sesuai dengan tema. Setelah itu guru menetapkan kriteria penilaian untuk menetapkan apakah anak dinyatakan berhasil atau belum berhasil. Suatu ketika guru dapat mengajak anak ke luar kelas untuk menirukan gerakan tumbuhan dan hewan. Setelah kegiatan ini selesai, anak diajak ke kelas selanjutnya kegiatan belajar dilakukan dengan bercakap-cakap. Guru memulainya dengan mengatakan; “kita baru saja ke luar kelas”, “senang berada di luar tadi?” selanjutnya bertanya “apa yang kalian rasakan?” pertanyaan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
juga dapat dirancang seperti “Apa yang kalian rasakan ketika angin bertiup?” “mengapa pohon-pohon bergoyang-goyang?” “pohon apa saja ada di halaman tadi?” “berapa banyak ada pohon di halaman tadi?” “siapa pernah menanam pohon?” Untuk memberikan penilaian keberhasilan pembelajaran maka guru dapat menetapkan misalnya tiga dari lima pertanyaan terjawab maka anak-anak dinyatakan berhasil, jika semua pertanyaan terjawab dinyatakan baik sekali sedangkan kemampuan menjawab di bawah 3 pertanyaan dinyatakan belum berhasil. Senada dengan cara Yus tersebut, metode bercakapcakap dapat juga dilakukan dengan cara menunjukkan gambar kepada anak, misalnya gambar tentang bermain atau gambargambar yang sesuai dengan selera anak. Selanjutnya siswa disuruh menatap tentang gambar. Setelah itu guru menceritakan gambar. Lanjut anak diajak tanya jawab sehubungan dengan gambar. Misalnya gambar tentang bermain bola. Hal-hal yang ditanyakan: “Siapa senang main bola di rumahnya?” “Siapa punya bola di rumahnya?” “Bagaimana kalau bola ke luar lapangan?” “Bagaimana kalau bola masuk gawang?” “Bagaimana perasaan kalian bila menonton sepak bola?” Metode bercakap-cakap dapat juga dilakukan senada dengan yang dikemukakan Yus (2011: 119) yakni dengan membawa gambar binatang seperti gambar anjing ke dalam kelas. Selanjutnya anak diajak bercerita tentang anjing. Setelah masuk ke cerita tentang anjing mulailah siswa disuruh bercakap-cakap dengan temannya tentang anjing. Selanjutnya guru mengajukan pertanyaan tentang gambar anjing. “Siapa punya anjing di rumahnya?” “Senang dengan anjing?” “Apa makanannya anjing?” “Bagaimana perasaan kalian melihat anjing?” “Bagaimana bunyinya anjing?” “Berapa jumlah anjing dalam gambar?” “Coba dihitung!” “Bagaimana warna anjing dalam gambar?” Penilaian keberhasilan ditentukan jika seratus persen anak mampu menjawab enam pertanyaan atau lebih maka pembelajaran dikategorikan berhasil. Jika seratus persen anak mampu menjawab di bawah enam pertanyaan maka pembelajaran yang dilakukan dengan metode bercakap-cakap dapat dikategorikan belum berhasil. Berdasarkan data empirik di TK Prema ñ Ananda School di Ubud metode bercakap-cakap ini menunjukkan hasil yang sangat memuaskan. Hal itu terbukti dari 25 anak pada Juni 2016 yang diajak ke lapangan sepak bola Ubud yang lokasinya di sebelah SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
59
utara TK. Anak-anak disuruh mengamati mobil, motor, dan orang yang lewat di pinggir lapangan. Selanjutnya anak diajak masuk ke aula (lantai dua) Balai Banjar Ubud Kelod. Selanjutnya anak disuruh bercakap-cakap dan tanya jawab di bawah bimbingan guru tentang mobil, motor, dan orang yang lewat sesuai dengan pengamatan anak. Setelah bercakap-cakap dan tanya jawab secara acak yang dibimbing oleh guru dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh siswa. Butir pertanyaannya sebagai berikut. “Bagaimana perasaan kalian melihat mobil lewat di pinggir jalan tadi?” “Bagaimana bunyinya sepeda motor yang sedang berjalan tadi?” “Berapa jumlah orang lewat jalan kaki di pinggir lapangan tadi?” “Bagaimana perasaan kalian di lapangan tadi ketika angin bertiup?” Dari empat pertanyaan ternyata tiga pertanyaan dijawab benar oleh siswa secara berkelompok dengan jumlah siswa 10 orang. Semua pertanyaan dijawab benar oleh 15 orang siswa. Dengan demikian implementasi metode bercakap-cakap tergolong berhasil. Metode bercakap-cakap juga melatih daya nalar siswa disamping meningkatkan kemampuan berbahasa. Metode bercakap-cakap juga efektif untuk meningkatkan pengembangan kreatifitas siswa yang sesuai dengan prinsip pembelajaran terpadu yakni tuntutan pembelajaran TK tahun 2007. Direktorat PAUD (2007) menyatakan pembelajaran terpadu membantu anak mengembangkan kemampuannya secara lebih kompleks secara bersamaan. III. Penutup
60
3.1 Simpulan Metode bercakap-cakap memegang peranan penting dalam perkembangan kemampuan anak Taman Kanak-kanak. Melalui metode bercakap-cakap dapat membantu meningkatkan kecerdasan linguistik karena bercakap-cakap sebagai unsur kegiatan linguistik atau berbahasa. Metode bercakap-cakap dapat membantu perkembangan dimensi sosial dengan memberikan kesempatan kepada anak bercakap-cakap dengan teman sebaya dan gurunya. Membantu perkembangan emosional dengan jalan memberikan kesempatan kepada anak mengungkapkan pengalaman pribadinya. Membantu perkembangan aspek kognitif dengan cara mengadakan tanya jawab tentang ilmu pengetahuan kepada anak. Metode bercakap-cakap juga berperan dalam menentukan keberhasilan anak belajar bahasa yang terintegrasi secara internal dan eksternal. Hal itu terbukti dari data penilaian terintegrasi yang dilakukan di TK Prema ñ Ananda School Ubud pada Juni 2016 yang dilakukan melalui bercakap-cakap ternyata SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
diperoleh hasil yang sangat memuaskan dengan kemampuan siswa menjawab dengan kategori keberhasilan 100%. 3.2
Saran Disarankan kepada guru untuk mengimplementasikan metode bercakap-cakap dalam upaya memberikan kesempatan dan membuka jalan pikiran anak serta melatih mental anak. Daftar Pustaka Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Pembiasaan di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. 2007. Pedoman Teknik Penyelenggaraan Taman Penitipan Anak. Jakarta: Direktorat PAUD. Husen, Akhlan dkk. 1998. Telaah Kurikulum dan Buku Teks Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Isjoni, H. 2011. Model Pembelajaran Anak Usia Dini. Bandung: Alfabeta. Sujiono, Yuliani Nurani, dkk. 2007. Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta: Universitas Terbuka. Sujiono, Bambang, dkk. 2008. Pendidikan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka. Tim Pendidikan dan Latihan Profesi Guru. 2008. Pembelajaran Inovatif. Panitia Sertifikasi Guru Rayon XI Universitas Negeri Semarang. Yus, Anita. 2011. Penilaian Perkembangan Belajar Anak Taman Kanak-kanak. Jakarta: Prenanda Media.
61
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
STRATEGI PEMBELAJARAN DALAM PENGEMBANGAN ANAK USIA DINI HOLISTIK-INTEGRATIF UNTUK MENCAPAI MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA Oleh:
Ni Nengah Selasih Staf Pengajar Pascasarjana Program Studi Magister Sastra Agama Konsentrasi Bahasa Bali E-mail:
[email protected]
Abstract
62
The units of early childhood education is an institutions that provide educational services for children under 6 years old, those are TK, KB, TPA. Its implementation is based on Juridical, Philosophical basis, and also isomorphic scientific platform of early childhood education (ECE), which means that it is constructed from an interdisciplinary science that combines several disciplines. The principle of ECE is children needs oriented where learning is done through playing; using friendly environment; using integrated learning; develop a variety of life skills; using a variety of educational media and learning resources. The role of ECE teachers are being A professional educators with the primary task of educating, teaching, guiding or leading, training, assessing and evaluating the students on early childhood education in both formal, primary and secondary education. The process of education and learning in early childhood should be done by providing the basic concepts that have significance for the child through a real experience. At an early age ranges, children experience a golden age which is a period in which the children begins to be sensitive / insensitive in receiving various stimuli. Sensitive period is a period in which the physical and psychological maturity functions are ready to respond the stimulation provided by the environment. This period is also the period when the first foundation is given to develop cognitive, affective, psychomotor, language, socio-emotional and spiritual abilities. The instructional process of Early Childhood Education needs to take the advantage of ICT, as a large umbrella term that covers all the technical equipment to process and deliver information that has three main functions: 1) technology serves as tools; 2) technology serves as science; 3) Technology as materials and tools for learning/literacy. Utilization of ICT in early childhood should consider the principles in the provision of facilities and infrastructure for ECE instructional process, although in practice it can be controlled by or under the supervision of educators. Therefore, the use of ICT in learning needs to be designed, planned, implemented, and always be evaluated from time to time. Keywords: Instructional Strategy, Holistic-Integrative, Early Childhood SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Abstrak Satuan pendidikan anak usia dini merupakan institusi pendidikan anak usia dini yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia lahir sampai dengan 6 tahun, TK, KB, TPA. Pelaksanaannya berdasarkan pada Landasan Yuridis, Landasan Filosofis, Landasan Keilmuan PAUD bersifat isomorfis, artinya dibangun dari interdisiplin ilmu yang merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu. Prinsip Pendidikan anak usia dini, yakni berorientasi pada kebutuhan anak; belajar melalui bermain; menggunakan lingkungan yang kondusif; menggunakan pembelajaran terpadu; mengembangkan berbagai kecakapan hidup; menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar; menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar. Peranan guru PAUD adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing atau mengarah, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, dasar dan menengah. Proses pendidikan dan pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dilakukan dengan memberikan konsep-konsep dasar yang memiliki kebermaknaan bagi anak melalui pengalaman nyata. Pada rentang usia dini, anak mengalami masa keemasan (the golden age) yang merupakan masa di mana anak mulai peka/sensitif untuk menerima berbagai rangsangan. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar pertama untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, bahasa, sosio emosional dan spiritual. Pembelajaran PAUD perlu memanfaatkan TIK, sebagai payung besar terminologi yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi yang memiliki tiga fungsi utama, yaitu 1) teknologi berfungsi sebagai alat (tools); 2) teknologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan (science); 3) Teknologi sebagai bahan dan alat bantu untuk proses pembelajaran (literacy). Pemanfaatan TIK dalam PAUD harus mempertimbangkan prinsip dalam penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran bagi anak usia dini, sekalipun dalam praktiknya dapat dikendalikan oleh atau di bawah pengawasan pendidik. Oleh sebab itu, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran perlu dirancang, direncanakan, dilaksanakan, dan selalu dievaluasi dari waktu ke waktu. Kata Kunci: Strategi Pembelajaran, Holistik-Integratif, Anak Usia Dini 63
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
I.
Pendahuluan
Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini; Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif. Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 14). Yuliani Nurani Sujiono, (2009:7) Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age). II.
64
Pembahasan
2.1 Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Satuan pendidikan anak usia dini merupakan institusi pendidikan anak usia dini yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia lahir sampai dengan 6 tahun. Di Indonesia ada beberapa lembaga pendidikan anak usia dini yang selama ini sudah dikenal oleh masyarakat luas, yaitu: A. Taman Kanak-kanak (TK) atau Raudhatul Atfal (RA). TK merupakan bentuk satuan pendidikan bagi anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak usia 4 sampai 6 tahun, yang terbagi menjadi 2 kelompok : Kelompok A untuk anak usia 4 – 5 tahun dan Kelompok B untuk anak usia 5 – 6 tahun. B. Kelompok Bermain (Play Group) Yuliani Nurani Sujiono, (2009:23) kelompok bermain merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan sekaligus program kesejahteraan bagi anak usia 2 sampai dengan 4 tahun SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
C. Taman Penitipan Anak (TPA) Yuliani Nurani Sujiono, (2009:24) taman penitipan anak merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal yang menyelenggarakan program pendidikan sekaligus pengasuhan dan kesejahteraan anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun. TPA adalah wahana pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak yang berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama orang tuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam mengasuh anaknya karena bekerja atau sebab lain. 2.2 Landasan Pendidikan Anak Usia Dini A. Landasan Yuridis Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Amandemen UUD 1945 pasal 28 B ayat 2 dinyatakan bahwa ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dalam UU NO. 23 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 1 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa ”Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasarnya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Dalam UU NO. 20 TAHUN 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa ”Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Sedangkan pada pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan bahwa ”(1) Pendidikan Anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidkan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidkan formal, non formal, dan/atau informal, (3) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat, (5) Pendidikan usia dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.” B. Landasan Filosofis Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memanusiakan manusia. Artinya melalui proses pendidikan diharapkan terlahir manusia-manusia yang baik. Standar manusia yang “baik” berbeda antar masyarakat, bangsa atau negara, karena perbedaan pandangan filsafah yang menjadi keyakinannya. Perbedaan filsafat yang dianut dari suatu bangsa akan membawa perbedaan dalam SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
65
66
orientasi atau tujuan pendidikan. Bangsa Indonesia yang menganut falsafah Pancasila berkeyakinan bahwa pembentukan manusia Pancasilais menjadi orientasi tujuan pendidikan yaitu menjadikan manusia indonesia seutuhnya. Bangsa Indonesia juga sangat menghargai perbedaan dan mencintai demokrasi yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang maknanya “berbeda tetapi satu.” Dari semboyan tersebut bangsa Indonesia juga sangat menjunjung tinggi hak-hak individu sebagai mahluk Tuhan yang tak bisa diabaikan oleh siapapun. Anak sebagai mahluk individu yang sangat berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dengan pendidikan yang diberikan, diharapkan anak dapat tumbuh sesuai dengan potensi yang dimilkinya, sehingga kelak dapat menjadi anak bangsa yang diharapkan. Bangsa Indonesia yang menganut falsafah Pancasila berkeyakinan bahwa pembentukan manusia Pancasilais menjadi orientasi tujuan pendidikan yaitu menjadikan manusia indonesia seutuhnya. Sehubungan dengan pandangan filosofis tersebut, maka kurikulum sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan, pengembangannya harus memperhatikan pandangan filosofis bangsa dalam proses pendidikan yang berlangsung. C. Landasan Keilmuan Pendidikan Anak Usia Dini Yuliani Nurani Sujiono, (2009:10) konsep keilmuan PAUD bersifat isomorfis, artinya kerangka keilmuan PAUD dibangun dari interdisiplin ilmu yang merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu, diantaranya: psikologi, fisiologi, sosiologi, ilmu pendidikan anak, antropologi, humaniora, kesehatan, dan gizi serta neuro sains atau ilmu tentang perkembangan otak manusia. Berdasarkan tinjauan secara psikologi dan ilmu pendidikan, masa usia dini merupakan masa peletak dasar atau fondasi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Apa yang diterima anak pada masa usia dini, apakah itu makanan, minuman, serta stimulasi dari lingkungannya memberikan kontribusi yang sangat besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak pada masa itu dan berpengaruh besar pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perkembangan struktur otak. Dari segi empiris, banyak sekali penelitian yang menyimpulkan bahwa pendidikan anak usia dini sangat penting, karena pada waktu manusia dilahirkan. Menurut Clark (dalam Yuliani Nurani Sujono, 2009) kelengkapan organisasi otaknya mencapai 100 – 200 milyard sel otak yang siap dikembangkan dan diaktualisasikan untuk mencapai tingkat perkembangan optimal, tetapi hasil penelitian menyatakan bahwa hanya 5% potensi otak yang terpakai karena kurangnya stimulasi yang berfungsi untuk mengoptimalkan fungsi otak.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
2.3 Tujuan Pendidikan Anak Usia Dini Yuliani Nurani Sujiono, (2009:42-43) secara umum tujuan pendidikan anak usia dini adalah mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara khusus tujuan pendidikan anak usia dini adalah: 1. Agar anak percaya akan adanya Tuhan dan mampu beribadah serta mencintai sesamanya. 2. Agar anak mampu mengelola keterampilan tubuhnya termasuk gerakan motorik kasar dan motorik halus, serta mampu menerima rangsangan sensorik. 3. Anak mampu menggunakan bahasa untuk pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi secara efektif, sehingga dapat bermanfaat untuk berpikir dan belajar. 4. Anak mampu berpikir logis, kritis, memberikan alasan, memecahkan masalah dan menemukan hubungan sebab akibat. 5. Anak mampu mengenal lingkungan alam, lingkungan sosial, peranan masyarakat dan menghargai keragaman sosial dan budaya serta mampu mngembangkan konsep diri yang positif dan kontrol diri. 6. Anak memiliki kepekaan terhadap irama, nada, berbagai bunyi, serta menghargai karya kreatif. 2.4 Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini, pelaksanaannya menggunakan prinsip-prinsip (Forum PAUD, 2007), sebagai berikut. 1. Berorientasi pada kebutuhan anak 2. Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan, baik perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio emosional. 3. Belajar melalui bermain 4. Bermain merupakan saran belajar anak usia dini. Melalui bermain, anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di sekitarnya. 5. Menggunakan lingkungan yang kondusif 6. Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa, sehingga menarik dan menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain. 7. Menggunakan pembelajaran terpadu 8. Pembelajaran pada anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran terpadu yang dilakukan melalui tema. Tema yang dibangun harus menarik dan dapat membangkitkan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
67
minat anak dan bersifat kontekstual. Hal ini dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas, sehingga pembelajaran menjadi mudah dan bermakna bagi anak. 9. Mengembangkan berbagai kecakapan hidup 10. Mengembangkan keterampilan hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan. Hal ini dimaksudkan agar anak belajar untuk menolong diri sendiri, mandiri dan bertanggungjawab serta memiliki disiplin diri. 11. Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar 12. Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahan-bahan yang sengaja disiapkan oleh pendidik /guru. 13. Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar 14. Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap, di mulai dari konsep yang sederhana dan dekat dengan anak. Agar konsep dapat dikuasai dengan baik hendaknya guru menyajikan kegiatan–kegiatan yang berluang.
68
2.5 Peranan Guru Dalam Pendidikan Anak Usia Dini Guru adalah kata yang sangat akrab di kalangan anak didik, demikian juga kata murid akrab di kalangan guru. Dengan demikian, ada keterpaduan yang harmonis antara guru dan murid. Di zaman dulu, guru adalah sosok yang disegani bukan saja oleh murid, namun juga oleh masyarakat. Kondisi saat itu membentuk opini masyarakat bahwa guru adalah sosok yang serba tahu, sehingga menjadi tempat bertanya bagi masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu serta berkembanganya zaman memasuki era globalisasi, maka tuntutan masyarakat juga mengalami perubahan. Sekarang guru diharapkan memiliki kompetensi, keterampilan, berwawasan serta kreatif, di samping secara normatif tetap sebagai sosok yang “digugu dan ditiru” mampu membangun citra guru yang baik, seperti yang tertera di dalam undang-undang guru dan dosen pasal 1 ayat 1 tahun 2005, yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing atau mengarah, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, dasar dan menengah. Dengan demikian, guru diharapkan melaksanakan tugas kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk menjadi guru yang dapat menjadi guru profesional. Guru adalah profesi yang mulia, pada hakikatnya setara dengan jabatan profesi lainnya, seperti kata pepatah, guru dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan profesi lainnya, seperti dokter, pengacara, apoteker dan lain-lain, yang bersifat profesi, bernomor registrasi dan memiliki kode etik profesi. Dengan demikian, menciptakan guru profesional adalah suatu hal yang mendesak diberlakukan negara kita, karena memposisikan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
guru seperti itu akan memperbaiki nasib guru yang selama ini termarjinalkan (terpinggirkan), guru juga akan menjadi lebih bertanggung jawab pada pekerjaannya. Sementara itu dalam Perpu 19 tahun 2005 dikatakan bahwa seorang guru haruslah memiliki 4 kompetensi, yakni kompetensi paedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional. Adapun untuk kompetensi guru PAUD di Indonesia sudah dibuatkan standart tersendiri, diantaranya seorang guru PAUD hendaknya memiliki rasa seni (sense of art) dan berbagai bentuk disiplin agar dapat mengenali pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak, selain itu seorang guru PAUD diharapkan memiliki pemahaman teori perkembangan dan implikasinya secara praktis terlebih lagi guru PAUD harus memahami bahwa anak belajar dalam bermain. Dari uraian di atas, tampak bahwa menjadi guru PAUD ternyata tidak hanya berdasarkan naluri keibuan atau kebapakan semata, namun diharapkan dapat memahami tentang peraturan perundangundangan, organisasi profesi, teman sejawat, anak didik, tempat kerja, dan lain-lain. Semua itu hendaknya dilakukan dengan ikhlas, karena guru PAUD diharapkan ikut serta membentuk manusia Indonesia seutuhnya dengan beragam pendekatan seperti Montessori, Regio Emilio, High Schoop ataupun pendekatan dari Indonesia, seperti metode dari Taman Siswa, INS Kayu Tanam, dan KH Ahmad Dahlan ketiganya menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti sejak awal anak mengenal pendidikan formal. Guru juga diminta agar dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan aman serta gembira demi untuk menunjang keberhasilan proses belajar mengajar (PBM), serta dapat bekerja sama dengan orang tua serta masyarakat (komite sekolah) dalam mengambil prakarsa sekolah. 2.6 Pembelajaran Inovatif Pendidikan Anak Usia Dini Proses pendidikan dan pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dilakukan dengan memberikan konsep-konsep dasar yang memiliki kebermaknaan bagi anak melalui pengalaman nyata. Hanya pengalaman nyatalah yang memungkinkan anak untuk menunjukkan aktivitas dan rasa ingin tahu (curiousity) secara optimal dengan menempatkan posisi pendidik sebagai pendamping, pembimbing serta fasilitator bagi anak. Melalui proses pendidikan seperti ini diharapkan dapat menghindari bentuk pembelajaran yang hanya berorientasi pada kehendak guru yang menempatkan anak secara pasif dan guru menjadi dominan. Proses pendidikan mempunyai peranan penting dalam upaya pengembangan individu secara khusus dan pengembangan bangsa secara umum. Proses pendidikan memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk mengembangkan seluruh kemampuan dan keterampilan secara optimal. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diberikan sedini mungkin agar upaya pengembangan kemampuan dan keterampilan individu dapat berlangsung optimal. Pada rentang usia dini, anak mengalami SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
69
masa keemasan (the golden age) yang merupakan masa di mana anak mulai peka/sensitif untuk menerima berbagai rangsangan. Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar pertama untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, bahasa, sosio emosional dan spiritual. Upaya pengembangan individu melalui proses pendidikan berlangsung di berbagai lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan anak usia dini. Pada saat ini telah bermunculan berbagai lembaga pendidikan anak usia dini yang menggunakan standar internasional di kota-kota besar di Indonesia, terutama lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) yang mengadopsi kurikulum penyelenggaraan dari berbagai Negara maju. Kurikulum yang dikembangkan tersebut mengacu kepada model pembelajaran yang sudah ada di negara tertentu yang telah dikembangkan selama bertahun-tahun. Beberapa model pendidikan yang dimaksud, antara lain model pembelajaran aktif, model pembelajaran proyek, model pembelajaran berbasis masyarakat dan model pembelajaran keterampilan hidup.
70
2.7 Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran PAUD Teknologi informasi merupakan studi atau penggunaan peralatan elektronika, terutama komputer untuk menyimpan, menganalisis dan mendistribusikan informasi apa saja, termasuk kata-kata, bilangan dan gambar. Lucas (dalam munir, 2008) menyatakan bahwa teknologi informasi adalah segala bentuk teknologi yang diterapkan untuk memproses dan mengirim informasi dalam bentuk elektronik, micro komputer, komputer mainframe, pembaca barcode, perangkat lunak memproses transaksi, perangkat lembar kerja dan peralatan komunikasi dan jaringan merupakan contoh teknologi informasi. Informasi yang disampaikan berupa pesan-pesan elektronik. Keterkaitan Teknologi Informasi dan Teknologi Komunikasi. Teknologi Informasi menekankan pada pelaksanaan dan pemrosesan data seperti menangkap, mentransmisikan, menyimpan, mengmbil, memanipulasi atau menampilkan data dengan menggunakan perangkat-perangkat teknologi elektronik terutama komputer. Sedangkan teknologi komunikasi menekankan pada penggunaan perangkat teknologi elektronika dan lebih menekankan pada aspek ketercapaian tujuan dalam proses komunikasi, sehingga data dan informasi yang diolah dengan teknologi informasi harus memenuhi kriteria komunikasi yang efektif. Meskipun secara terpisah masing-masing kata pembentuknya memiliki makna sendiri-sendiri, namun secara konsep pengertian Teknologi Informasi dan Komunikasi tidak terpisahkan, sebagaimana ditulis dalam Wikipedia berikut: SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
“...TIK adalah payung besar terminologi yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. TIK mencakup dua aspek, yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Oleh karena itu, teknologi informasi dan teknologi komunikasi adalah dua buah konsep yang tidak terpisahkan” (id.wikipedia.org, diakses tanggal 19 peb 2012). Jadi, TIK mengandung pengertian segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, perekayasaan, pengelolaan, dan pemindahan informasi antar media Fungsi TIK dalam Pembelajaran PAUD. TIK memiliki tiga fungsi utama dalam pembelajaran, yaitu: 1. Teknologi berfungsi sebagai alat (tools), mengandung pengertian dalam hal ini perangkat teknologi digunakan sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran, misalnya sebagai alat untuk mengolah kata, mengolah angka, membuat grafik, dan lain-lain. 2. Teknologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan (science), mengandung pengertian bahwa teknologi adalah bagian dari disiplin ilmu yang harus dikuasai peserta didik, misalnya teknologi komputer menjadi jurusan di sekolah atau adanya mata pelajaran TIK di sekolah, sehingga menuntut peserta didik untuk menguasai komptensi tertentu dalam TIK. 3. Teknologi sebagai bahan dan alat bantu untuk proses pembelajaran (literacy), mengandung makna bahwa teknologi berfungsi sebagai bahan pembelajaran sekaligus sebagai alat bantu untuk menguasai kompetensi tertentu melalui bantuan komputer. Keberadaan TIK tentu tidak pernah terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan TIK bisa diartikan sebagai manfaat, antara lain. 1. Sebagai peralatan untuk mendukung konstruksi pengetahuan: untuk mewakili gagasan pelajar pemahaman dan kepercayaan, dan untuk organisir produksi, multi media sebagai dasar pengetahuan peserta didik. 2. Sebagai sarana informasi untuk menyelidiki pengetahuan yang mendukung peserta didik: untuk mengakses informasi yang diperlukan dan untuk perbandingan perspektif, kepercayaan dan pandangan dunia. 3. Sebagai media sosial untuk mendukung pembelajaran: untuk berkolaborasi dengan orang lain dan untuk mendiskusikan, berpendapat serta membangun consensus antara anggota sosial.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
71
72
4. Sebagai mitra intelektual untuk mendukung pelajar: untuk membantu peserta didik mengartikulasikan dan mempresentasikan apa yang mereka ketahui. 5. Sebagai sarana meningkatkan mutu pendidikan. 6. Sebagai sarana meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran. 7. Sebagai sarana mempermudah mencapai tujuan pendidikan. Jika mengacu pada tiga fungsi TIK dalam pembelajaran, maka khusus untuk pembelajaran anak usia dini, pendidik dapat menentukan salah satu atau setidaknya dua fungsi, yaitu teknologi sebagai alat (tools) dan/atau sekaligus sebagai bahan untuk stimulasi dalam pencapaian perkembangan tertentu. Namun, untuk pemanfaatan TIK dalam PAUD yang layak bagi anak tentu harus mempertimbangkan prinsip dalam penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran bagi anak usia dini, sekalipun dalam praktiknya dapat dikendalikan oleh atau di bawah pengawasan pendidik. Selain itu, perangkat TIK yang digunakanpun disesuaikan dengan memperhatikan perkembangan anak. Efektif tidaknya pemanfaatan TIK bagi proses tumbuhkembang anak usia dini mutlak menjadi pertimbangan para guru sebelum menentukan untuk memilih jenis perangkat yang tepat. Oleh sebab itu, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran perlu dirancang, direncanakan, dilaksanakan, dan selalu dievaluasi dari waktu ke waktu.Agar pamanfaatan TIK dalam pembelajaran PAUD dapat benar-benar optimal dari segi dukungannya pada pelaksanaan fungsi dan tercapainya tujuan dalam rangka menyiapkan generasi bangsa yang cerdas dan ceria, perlu mengoptimalkan kemanfaatannya dan meminimalkan dampak negatifnya. Oleh sebab itu, pemanfaatan TIK perlu dilandasi oleh prinsip. Suwarsih (2011) mengusulkan kerangka pikir dan lima prinsip dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran sebagai berikut. 1. Pemanfaatan TIK dalam pendidikan hendaknya mempertimbangkan karaktersitik peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam keseluruhan pembuatan keputusan TIK. 2. Pemanfaatan TIK hendaknya dirancang untuk memperkuat minat dan motivasi pengguna untuk menggunakannya semata guna meningkatkan dirinya, baik dari segi intelektual, spiritual (rohani), sosial, maupun ragawi. 3. Pemanfaatan TIK hendaknya menumbuhkan kesadaran dan keyakinan akan pentingnya kegiatan berinteraksi langsung dengan manusia (tatap muka), dengan lingkungan sosialbudaya (pertemuan, museum, tempat-tempat bersejarah), dan lingkungan alam (penjelajahan) agar tetap mampu memelihara nilai-nilai sosial dan humaniora (seni dan budaya), dan kecintaan terhadap alam sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
4. Pemanfaatan TIK hendaknya menjaga bahwa kelompok sasaran tetap dapat mengapresiasi teknologi komunikasi yang sederhana dan kegiatan-kegiatan pembelajaran tanpa TIK karena tuntutan penguasaan kompetensi terkait dalam rangka mengembangkan seluruh potensi siswa secara seimbang. 5. Pemanfaatan TIK hendaknya mendorong pengguna untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif, sehingga tidak hanya puas menjadi konsumen informasi berbasis TIK. III. Penutup 3.1 Kesimpulan Satuan pendidikan anak usia dini merupakan institusi pendidikan anak usia dini yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia lahir sampai dengan 6 tahun, TK, KB, TPA. Landasan Yuridis yang mendasari adalah Amandemen UUD 1945; UU NO. 23 Tahun 2002; UU NO. 20 TAHUN 2003. Landasan Filosofis Pendidikan Anak Usia Dini, yaitu sesuai dengan falsafah Bangsa Indonesia yang menganut falsafah Pancasila berkeyakinan bahwa pembentukan manusia Pancasilais menjadi orientasi tujuan pendidikan, yaitu menjadikan manusia Indonesia seutuhnya. Landasan Keilmuan PAUD mengacu pada konsep keilmuan PAUD bersifat isomorfis, artinya dibangun dari interdisiplin ilmu yang merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu. Secara khusus tujuan pendidikan anak usia dini adalah 1. Agar anak percaya akan adanya Tuhan dan mampu beribadah serta mencintai sesamanya; 2. Agar anak mampu mengelola keterampilan tubuhnya termasuk gerakan motorik kasar dan motorik halus, serta mampu menerima rangsangan sensorik; 3. Anak mampu menggunakan bahasa untuk pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi secara efektif, sehingga dapat bermanfaat untuk berpikir dan belajar; 4. Anak mampu berpikir logis, kritis, memberikan alasan, memecahkan masalah dan menemukan hubungan sebab akibat; 5. Anak mampu mengenal lingkungan alam, lingkungan sosial, peranan masyarakat dan menghargai keragaman sosial dan budaya serta mampu mngembangkan konsep diri yang positif dan kontrol diri; 6. Anak memiliki kepekaan terhadap irama, nada, berbagai bunyi, serta menghargai karya kreatif. Prinsip Pendidikan anak usia dini, yakni berorientasi pada kebutuhan anak; belajar melalui bermain; menggunakan lingkungan yang kondusif; menggunakan pembelajaran terpadu; mengembangkan berbagai kecakapan hidup; menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar; menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar. Peranan guru PAUD adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing atau mengarah, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
73
pendidikan formal, dasar dan menengah. Adapun untuk kompetensi guru PAUD di Indonesia sudah dibuatkan standart tersendiri, diantaranya seorang guru PAUD hendaknya memiliki rasa seni (sense of art) dan berbagai bentuk disiplin agar dapat mengenali pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak, selain itu seorang guru PAUD diharapkan memiliki pemahaman teori perkembangan dan implikasinya secara praktis terlebih lagi guru PAUD harus memahami bahwa anak belajar dalam bermain. Proses pendidikan dan pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dilakukan dengan memberikan konsep-konsep dasar yang memiliki kebermaknaan bagi anak melalui pengalaman nyata. Pada rentang usia dini, anak mengalami masa keemasan (the golden age) yang merupakan masa di mana anak mulai peka/sensitif untuk menerima berbagai rangsangan. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar pertama untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, bahasa, sosio emosional dan spiritual. 3.2 Saran Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran PAUD, yakni TIK adalah payung besar terminologi yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. Fungsi TIK dalam Pembelajaran PAUD memiliki tiga fungsi utama, yaitu 1) teknologi berfungsi sebagai alat (tools); 2) teknologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan (science); 3) Teknologi sebagai bahan dan alat bantu untuk proses pembelajaran (literacy). Namun, untuk pemanfaatan TIK dalam PAUD yang layak bagi anak tentu harus mempertimbangkan prinsip dalam penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran bagi anak usia dini, sekalipun dalam praktiknya dapat dikendalikan oleh atau di bawah pengawasan pendidik. Oleh sebab itu, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran perlu dirancang, direncanakan, dilaksanakan, dan selalu dievaluasi dari waktu ke waktu. Daftar Pustaka
74
Forum PAUD, 2007 (dalam Mujahidah Rapi, SH) (2011). Konsep Pendidikan Anak Usia Dini. Diakses dari https://ebekunt.wordpress.com /2010 /06/30 /konsepkonsep-dasar-pendidikan-anak-usia-dini-3. Lucas (dalam munir, 2008) (id.wikipedia.org, diakses tanggal 19 peb 2012) Pedoman Umum Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif Deputi Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Bidang SDM Dan Kebudayaan Disampaikan Dalam Tematic Education Dialogue On ECD Jakarta, 10 Januari 2012
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini; Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif. Republik Indonesia. (2003). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Setneg Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2005). Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Setneg Suwarsih (dalam Mujahidah Rapi, SH) (2011). Konsep Pendidikan Anak Usia Dini Yuliani Nurani Sujiono, (2009:7) (dalam Mujahidah Rapi, SH) (2011). Konsep Pendidikan Anak Usia Dini.
75
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
PENGGALIAN KARAKTER ANAK USIA DINI MELALUI CERITA-CERITA PURANA Oleh:
Si Luh Nyoman Seriadi I.
Pendahuluan
Pembelajaran dengan metode bercerita merupakan cara yang sangat efektif dalam memperkuat karakter anak usia dini. Pendidikan anak usia dini merupakan upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh dan memberikan kegiatan pembelajaran yang mampu menghasilkan kemampuan dan keterampilan anak. Pendidikan anak usia dini merupakan suatu pendidikan yang dilakukan pada anak sejak lahir hingga usia delapan tahun. II.
76
Pembahasan
PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. PAUD bertujuan mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ada sejumlah metode yang direkomendasikan bagi pembelajaran anak yakni; (1) Metode Bercerita (2) Metode Bercakap-cakap (3) Metode Tanya Jawab (4) Metode Karyawisata (5) Metode Demonstrasi( 6) Metode Sosiodrama/Bermain (7) Metode Eksperimen (8) Metode Proyek (9) Metode Pemberian Tugas. Pencapaian tujuan pendidikan Taman Kanak-kanak dapat ditempuh dengan strategi pembelajaran melalui bercerita. Masitoh dkk. (2005: 10.6) mengidentifikasi manfaat cerita bagi anak TK, yaitu sebagai berikut. 1. Bagi anak TK mendengarkan cerita yang menarik dan dekat dengan lingkungannya merupakan kegiatan yang mengasyikkan. Guru dapat memanfaatkan kegiatan bercerita untuk menanamkan nilai-nilai positif pada anak. 2. Kegiatan bercerita juga memberikan sejumlah pengetahuan social, nilai-nilai moral dan keagamaan. 3. Pembelajaran dengan bercerita memberikan memberikan pengalaman belajar untuk mendengarkan. Dengan dengan mendengarkan cerita anak dimungkinkan untk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. 4. Membantu anak untuk membangun bermacam-macam peran yang mungkin dipilih anak, dan bermacam layanan jasa yang ingin disumbangkan anak kepada masyarakat.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Susastra Hindu telah menyiapkan metode belajar mulai dari anak usia dini hingga mereka para Jnani, orang yang berpengetahuan rohani. Metode bercerita memang merupakan cara sejak jaman lampau dalam pendidikan anak usia dini. Olehnya, dalam berbagai Kitab Purana ditemukan banyak cerita yang menggambarkan berbagai hal seperti keyakinan, bhakti, kekuatan, tabah hati, keberanian dan berbagai nilai hidup lainnya. Cerita Maharaja Dhruva dan Prahlada adalah cerita yang sangat populer yang diambil dari kitab Bhagavata. Kedua cerita ini dengan tokoh utama anak-anak sehingga dianggap sangat cocok sebagai media pembelajaran unggul. Dhruva adalah anak dari Raja Uttanpada. Raja memiliki dua istri: Suruchi dan Suniti. Suruchi memiliki seorang putra bernama Uttama dan Suniti memiliki dua putra. Dhruvaa adalah putra sulung Suniti itu. Suruchi adalah Ratu kesayangan sang raja. Sementara raja mencintainya dan anaknya Uttama, ia mengabaikan Suniti dan anaknya. Ketika Uttama duduk di pangkuan ayahnya. Dhruva datang dan mencoba untuk duduk di samping kakak tirinya. Namun Suruchi berteriak kepadanya, "Kamu tidak boleh duduk di sana. Jika Kamu ingin duduk di pangkuan raja Kamu harus membuktikan kelayakan dan menjalani penebusan dosa yang serius." Dhruva tidak tahan penghinaan dan dia memutuskan untuk pergi ke hutan dan menyerahkan diri kepada Dewa Wisnu dengan berdoa kepada-Nya. Di tengah jalan ia bertemu Maharsi Narada, yang berusaha menghentikannya. "Anda hanya seorang anak kecil. Hutan ini penuh dengan binatang berbahaya. Bagaimana Kamu akan tahan dengan musim dingin dan musim panas,pulanglah" katanya. Dhruva menjawab, "O Sang Sadhu yang bijak! Bahkan dengan mengorbankan hidup dan kerasnya hutan, saya akan membuktikan diri layak untuk duduk di pangkuan raja, ayahku, dengan menjalani tapa dan menyenangkan Tuhan." Tapa berarti berpuasa, bermeditasi dan hidup sangat sederhana. Narada senang dengan dedikasi dan keberanian Dhruva, dan ia menunjukkan kepadanya tempat dan metode untuk berlatih penebusan dosa. Kemudian Dhruva mencapai tempat di hutan yang disebut Madhuvan. Dia berdiri di atas satu kaki dan mulai berdoa kepada Tuhan. Dhruva begitu serius dalam Tapa, kesulitan hidup hutan tidak mempengaruhi sama sekali. Dia hanya punya satu tujuan - untuk menyenangkan dan untuk bertemu dengan Tuhan. Ia berdoa selama lebih dari lima bulan, berdiri dengan satu kaki. Suatu hari Bhagwan Wisnu senang dengan pengabdiannya. "Saya senang dengan pengabdianmu, anakku. Katakan padaku, apa yang kau inginkan?" Bhagwan Wisnu meminta Dhruva. "Ya Tuhan, aku berharap berkah dan cinta dari orang tuaku," jawab Dhruva. "Semua keinginanmu akan terpenuhi anakku." Setelah itu beliau menghilang. Dhruva telah mencapai tujuannya. Dia telah menyenangkan Tuhan dan telah bertemu dengannya. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
77
Sekarang ia kembali ke kerajaan. Raja menyambut Dhruva dengan penuh hormat. Suruchi, juga memeluk Dhruva dan ia menjadi pujaan semua orang. Kemudian, Dhruva dinobatkan sebagai raja dan ia menjabat dengan cinta dan dedikasi. Dhruvaa dikenang oleh semua untuk penentuan kuat. Tuhan menghiasi dirinya dengan status yang kekal di surga. Bahkan hari ini kita mengenalnya sebagai bintang Dhruvaa, Bintang Kutub. Dalam kitab kitab Purana, Prahlada (Sanskerta: ; Prahlāda) adalah nama seorang tokoh, putera Hiranyakasipu dan Kayadu. Ia dididik oleh Resi Narada sehingga menjadi pemuja Wisnu yang setia. Ayah Prahlada, yaitu Hiranyakasipu, amat membenci Dewa Wisnu karena saudaranya dibunuh oleh seorang awatara Wisnu, yaitu Waraha. Karena kebenciannya yang dalam, ia juga melarang semua orang memuja Wisnu maupun menyebut nama Wisnu. Berbeda dengan ayahnya, Prahlada adalah seorang pemuja Wisnu yang taat. Sikap yang kontras tersebut membuat Hiranyakasipu sangat marah. Kemudian ia merencanakan berbagai upaya untuk melenyapkan Prahlada. Namun berbagai upaya yang dijalankannya selalu gagal karena. Prahlada berada dalam perlindungan Wisnu. Akhirnya Narasinga datang saat Hiranyakasipu menghancurkan pilar rumahnya. Narasinga merobek perut Hiranyaksipu sampai tewas. Setelah ayahnya tewas, Prahlada diangkat menjadi raja. III. Kesimpulan
78
Kedua cerita di atas mengajarkan nilai-nilai yang luar biasa yang ditunjukkan oleh seorang anak kecil. Kebulatan tekat, ketabahan hati, kemantapan pikiran, dedikasi dan bhakti yang kokoh mengantarkan pencapaian yang luar biasa. Bahkan Dewa Wisnu berkenan hadir memberikan karunia. Untuk cerita Dhruva, nilai ksatria sangat kental, dimana ia menunjukkan sifat ksatria yang luar biasa, tidak tahan dengan penghinaan yang dilakukan atas dirinya. Harga diri memang merupakan nilai tertinggi dari seorang ksatria. Kedua cerita populer tersebut mengajarkan pencapaian sesuatu dilakukan secara langsung, tanpa bantuan orang lain melainkan melalui keteguhan dan kekuatan diri. Kedua cerita tersebut mestinya menjadi cerita utama yang harus diajarkan kepada anak-anak Hindu demi membangun karakter yang baik. Cerita-cerita yang berkembang selama ini, dongeng yang penuh dengan kelicikan guna mencapai tujuan atau menyelamatkan diri dari bahaya, penuh tipu-tipu bahkan terhadap saudara atau teman, alih-alih ingin mengajarkan sifat kebalikannya yang benar dan santun, yang ditiru dan melekat justru sifat buruk yang ditampilkan oleh sejumlah tokoh dongeng. Olehnya, cerita-cerita pilihan purana mestinya menjadi bahan pembelajaran utama jika ingin membangun karakter unggul anakanak Hindu.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Daftar Pustaka Essa, Eva L. 2003. Introduction to Early Childhood Education. Canada: Thomson Learning, Inc Essa, Eva L. 2007. Kerangka Dasar Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : Puskur. Essa, Eva L. 2006. Pedoman Penerapan Pendekatan “Beyond Centers and Circle Time” (BCCT) Dalam Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : Direktorat PAUD, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah, Depdiknas Sujiono, Yuliani Nurani. 2009. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indek
79
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
MENUMBUHKAN JIWA WIRAUSAHA PADA ANAK SEJAK DINI MELALUI PENDIDIKAN DALAM KELUARGA UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI BERKUALITAS Oleh:
I Made Rai Indrayasa Guru Bimbingan dan Konseling SMP & SMA Doremi Excellent School Dosen Program Studi D3 Teknik Informatika, Politeknik Widya Dharma Bali E-mail:
[email protected]
Abstract This paper aims to determine the implementation model of entrepreneurial spirit approachment development of education in the family. This article descriptively compiled by reviewing opinions, ideas, and comments of the experts on how to grow the entrepreneurial spirit in children from an early age through education in the family. Ideas, opinions, comments, and the expectations of the experts were arranged systematically to finally give an overview of how efforts can be made to foster the entrepreneurial spirit in the family by parents. The characteristics of an entrepreneur, among others, (a) skilled technique, (b) skilled social, (c) skilled conceptual, (d) skilled managerial, (e) the motives achievement of a strong purpose, (f) a vision far ahead, ( g) innovators, (h) creator, (i) adapter, (j) hard worker, (k) the systematic, (l) responsible, (m) disciplined, (n) confidence is strong, (o) services satisfying all parties, (p) dare with the full calculation, (q) to learn from mistakes, (r) the ability to negotiate with the principle of mutual benefit, (s) have a sensitivity that is sharp against the odds, (t) the family background, and (u ) personal background. These characteristics will be realized if the entrepreneurial spirit can be nurtured from an early age by their parents in the family. Keywords: Entrepreneurship, Education in Family, Generation Qualified Abstrak
80
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui model implementasi pengembangan jiwa wirausaha berpendekatan pendidikan dalam keluarga. Tulisan ini disusun secara deskriptif dengan mengkaji pendapat, gagasan, dan komentar para ahli tentang bagaimana menumbuhkan jiwa wirausaha pada anak sejak dini melalui pendidikan dalam keluarga. Gagasan, pendapat, komentar, dan harapan-harapan para ahli itu disusun secara sistematis sampai akhirnya memberikan gambaran tentang bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan jiwa wirausaha dalam keluarga oleh orang tua. Ciri-ciri seorang wirausahawan antara lain, (a) terampil teknik, (b) terampil sosial, (c) terampil konseptual, (d) terampil manajerial, (e) motif pencapaian tujuan yang kuat, (f) visi jauh ke depan, (g) inovator, (h) kreator, (i) SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
adaptor, (j) pekerja keras, (k) sistematis, (l) bertanggung jawab, (m) berdisiplin tinggi, (n) percaya diri yang kuat, (o) pelayanan yang memuaskan segala pihak, (p) berani dengan penuh perhitungan, (q) belajar dari kesalahan, (r) kemampuan untuk berunding dengan prinsip saling menguntungkan, (s) memiliki kepekaan yang tajam terhadap peluang, (t) latar belakang keluarga, dan (u) latar belakang pribadi. Ciri-ciri tersebut akan dapat terwujud kalau jiwa wirausaha dapat ditumbuhkan sejak dini dalam keluarga oleh orang tua. Kata Kunci: Jiwa Wirausaha, Pendidikan dalam Keluarga, Generasi Berkualitas I.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah Menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah dimulai pada 1 Januari 2016 mengharuskan kita bangsa Indonesia untuk dapat menumbuhkan dan memiliki kemampuan untuk bersaing dalam perdagangan, jasa maupun barang. Karena jika tidak mampu bersaing maka kita akan tersingkir dari kehidupan yang layak sebagai manusia yang selalu berkeinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Bahkan kemungkinan kita akan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), dan dampak selanjutnya akan mengakibatkan semakin banyaknya pengangguran didalam negeri. Peningkatan pengangguran ini selanjutnya mengakibatkan semakin maraknya tindak kejahatan, kriminalitas pelanggaran norma, dan kesusilaan sehingga akan mengganggu stabilitas ekonomi, politik, keamanan maupun ketentraman masyarakat pada umunya. Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu segera dilakukan upaya sejak dini khususnya yang berkaitan dengan perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, Untuk itu salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah perlu ditumbuhkannya jiwa wirausaha di seluruh lapisan masyarakat, mulai dari dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat secara umum. Pengenalan tentang kewirausahaan hendaknya diperoleh oleh manusia sejak ia masih kanak-kanak di dalam keluarganya karena dengan penanaman jiwa wirausaha sejak dini akan berdampak lebih laten dan terkonsep matang pada semangat berkarir sebagai seorang wirausahawan ketika si anak tumbuh menjadi manusia dewasa. Namun sayangnya, kebanyakan orang tua kurang memberi arahan agar anaknya mempunyai jiwa wirausaha atau berwirausaha. Sejak kecil banyak orang tua lebih mengarahkan anaknya untuk memiliki cita-cita semacam dokter, guru, insinyur, pegawai negeri sipil (PNS), dan pekerjaan formal lainnya. Walaupun untuk profesi-profesi ini juga jiwa entrepreneur sangat diperlukan dan sangat membantu untuk keberhasilannya. Sebenarnya kita ditakdirkan berbekal jiwa kewirausahaan. Semua manusia dibekali sifat-sifat kewirausahaan sejak lahir. Sejak lahir SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
81
sudah dibekali keberanian, kreativitas, dan inisiatif. Anak belajar berjalan tanpa harus masuk di kelas/sekolah. Setiap kali tersandung ia akan bangkit lagi. Ia belajar bicara dengan penuh ketekunan, ia belajar dari sekelilingnya. Namun setelah tumbuh semakin dewasa tidak semua anak dibekali dengan prinsip-prinsip hidup positif, dinamis, dan kreatif, padahal posisi dan peran keluarga khususnya orang tua sebagai pendidik awal yang meletakkan pondasi penting bagi pertumbuhan personalitas serta kematangan berpikir anak. Hal ini seharusnya menjadi isu yang penting untuk dikaji lebih mendalam. Oleh karena pendidikan dalam keluarga kurang berperan secara optimal, akibatnya pertumbuhan kepribadian, kepercayaan diri ataupun keyakinan hidup anak tidak tumbuh optimal dan stabil. Tanpa bekal iman dan kepribadian dari rumah yang mantap, anak-anak akan mudah digoncang oleh pengaruh lingkungan. Mereka mudah terombang-ambing karena memang belum memiliki prinsip hidup yang mantap, sehingga pendidikan dalam keluarga sangat perperan dalam menumbuhkan pribadipribadi unggul yang sangat diperlukan untuk kemajuan suatu masyarakat, bangsa, dan negara. Jiwa unggul inilah yang diperlukan dalam entrepreneurship/berwirausaha. Jiwa wirausaha atau entrepreneurship ini tidak hanya diperlukan untuk berbisnis saja, hampir dalam segala bidang sangat dibutuhkan jiwa entrepreneur untuk keberhasilan kerja dan keberhasilan organisasi apapun. Karena semangat kerja, kreativitas, disiplin, inovatif, gigih, kerja tidak mudah putus asa merupakan karakteristik jiwa unggul yang diperlukan di bidang apa saja. Upaya untuk menumbuhkan karakteristik jiwa unggul secara khusus jiwa wirausaha sangat ditentukan oleh pendidikan sejak dini dalam keluarga sebagai landasannya. Maka sebagai landasan dia harus kokoh dan kuat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas ingin diketahui peran pendidikan dalam keluarga untuk menumbuhkan jiwa wirausaha pada anak sejak dini. Permasalahan yang akan dikaji adalah (a) bagaimana tinjauan tentang kewirausahaan?, (b) bagaimana tinjauan tentang konsep pendidikan dalam keluarga dan upaya implementasinya?, dan (c) bagaimana model implementasi pengembangan jiwa wirausaha berpendekatan pendidikan dalam keluarga untuk mewujudkan generasi berkualitas? 82
1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan artikel ini adalah sebagai berikut (a) untuk mengetahui tinjauan tentang kewirausahaan, (b) untuk mengetahui tinjauan tentang konsep pendidikan dalam keluarga SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
dan upaya implementasinya, dan (c) untuk mengetahui model implementasi pengembangan jiwa wirausaha berpendekatan pendidikan dalam keluarga untuk mewujudkan generasi berkualitas. II.
Pembahasan
2.1 Tinjauan Tentang Kewirausahaan Kewirausahaan adalah mengidentifikasi, mengembangkan, dan membawa visi berupa ide inovatif, peluang, dan cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasil akhir dari proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi resiko atau ketidakpastian. Scarborough dan Zimmerer (2008) mendefinisikan wirausaha (entrepreneur) yaitu wirausaha adalah orang yang menciptakan suatu bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengenali peluang dan mengombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut (entrepreneur is who creates a new business in the face and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifiying opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on those opportunitie). Druker (1996) menjelaskan bahwa wirausaha (entrepreneur) yaitu sifat, watak, dan ciri-ciri yang melekat pada seseorang yang mempunyai kemauan keras untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia usaha yang nyata dan dapat mengembangkannya. Wirausaha adalah seseorang yang bebas dan memiliki kemampuan untuk hidup mandiri dalam menjalankan kegiatan usahanya, bisnisnya, dan hidupnya. Ia bebas merancang, menentukan, mengelola, dan mengendalikan semua usahanya. Kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarsa, dan bersahaja dalam berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya (Amin, 2008). Ciri-ciri wirausahawan menurut Geofrey dalam Husaini Usman (1998:62-63) yaitu (a) terampil teknik, (b) terampil sosial, (c) terampil konseptual, (d) terampil manajerial, (e) motif pencapaian tujuan yang kuat, (f) visi jauh ke depan, (g) inovator, (h) kreator, (i) adaptor, (j) pekerja keras, (k) sistematis, (l) bertanggung jawab, (m) berdisiplin tinggi, (n) percaya diri yang kuat, (o) pelayanan yang memuaskan segala pihak, (p) berani dengan penuh perhitungan, (q) belajar dari kesalahan, (r) kemampuan untuk berunding dengan prinsip saling menguntungkan, (s) memiliki kepekaan yang tajam terhadap peluang, (t) latar belakang keluarga, dan (u) latar belakang pribadi. Seorang wirausahawan selalu diharuskan dan mengharuskan menghadapi resiko ataupun peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan inovatif. Wirausaha SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
83
adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi, dan cara-cara baru. Selain itu, seorang wirausahawan menjalankan peran manajerial dalam kegiatannya, tetapi manajemen rutin pada operasi yang sedang berjalan tidak digolongkan sebagai kewirausahaan ketika membentuk sebuah organisasi, tetapi selanjutnya menjalankan fungsi manajerial tanpa menjalankan fungsi kewirausahaan, jadi kewirausahaan bisa bersifat sementara atau kondisional. Orang yang melakukan kegiatan kewirausahaan disebut wirausahawan. Muncul pertanyaan mengapa seseorang wirausahawan (entrepreneur) mempunyai cara berpikir yang berbeda dari manusia pada umumnya. Mereka mempunyai motivasi panggilan jiwa, persepsi, dan emosi yang sangat terkait dengan nilai-nilai, sikap, dan perilaku sebagai manusia unggul/berkualitas. Secara etimologis, kewirausahaan berasal dari kata “wira” dan “usaha”. Wira berarti pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan berbudi luhur, gagah berani, dan berwatak agung. Sedangkan usaha adalah perbuatan mahal, bekerja, dan berbuat sesuatu. Jadi wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang berbuat sesuatu. Serta secara epistimologis, kewirausahaan adalah nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha atau proses dalam mengerjakan suatu yang baru dan sesuatu yang berbeda.
84
2.2 Tinjauan Tentang Konsep Pendidikan dalam Keluarga dan Upaya Implementasinya Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam masyarakat, karena dalam keluargalah anak dilahirkan dan berkembang menjadi dewasa. Bentuk dan isi serta cara-cara pendidikan dalam keluarga akan selalu mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya watak, budi pekerti, dan kepribadian tiap-tiap manusia. Jadi keluarga merupakan kelompok sosial pertama dan utama dalam kehidupan anak, dimana anak akan belajar tumbuh dan berkembang. Pendidikan dalam keluarga ini merupakan fondasi yang kokoh untuk kehidupan anak di masa depannya. Disinilah tata nilai pembiasaan dan pelatihan disemaikan serta dikembangkan. Oleh karenanya anak-anak akan sangat dipengaruhi oleh perasaan orang tua mereka. Pada saat mereka tumbuh, mereka akan mempunyai kehidupan emosional yang sangat banyak, dengan memperoleh informasi melalui proses belajar di dalam keluarga. Keluarga dipandang sebagai faktor penentu utama terhadap pengembangan kecerdasan kepribadian anak. Alasannya adalah (1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak, (2) anak banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, dan (3) para anggota keluarga merupakan “significant others” bagi pembentukan kepribadian anak (dalam Suarni, 2009:26).
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Keluarga dipandang sebagai suatu lembaga atau unit yang dapat memenuhi kebutuhan individu, terutama kebutuhan pengembangan kecerdasan kepribadian. Melalui perlakuan dan pengasuhan yang baik oleh orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhannya, baik fisik-biologis, maupun sosio-psikologisnya. Jika anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka dia cenderung berkembang menjadi seorang pribadi yang sehat, mampu bersaing secara spotif, dan berkualitas. Perlakuan orang tua dengan penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial-budaya merupakan faktor kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan warga masyarakat yang memiliki kecerdasan pribadi yang sehat dan produktif. Iklim keluarga sangat penting untuk membangun perkembangan kecerdasan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis, yaitu yang dapat memberikan curahan kasih sayang, perhatian, dan bimbingan dalam beragama, maka perkembangan kepribadian anak cenderung positif, sehat (welladjusted), dan memiliki kualitas diri yang dapat diperhitungkan. Sebaliknya, anak yang berada dibawah pengasuhan lingkungan keluarga yang broken home, kurang harmonis, orang tua bersikap keras/otoriter, kurang memperhatikan nilai-nilai agama, maka perkembangan kepribadiannya cenderung mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam menyesuaikan diri (maladjusted). Dengan demikian melalui penyiapan kondisi yang positif dan kondusif diharapkan anak menjadi lebih cerdas pribadinya, dalam hal ini dapat tumbuh jiwa wirausahanya untuk menjadi pribadi yang unggul, berdaya saing tinggi, dan menjadi generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas. Dorothy Law Nolte (dalam Suarni, 2009:27), menggambarkan pengaruh keluarga terhadap perkembangan kecerdasan pribadi anak sebagai berikut: “Jika anak “Jika anak “Jika anak “Jika anak “Jika anak “Jika anak “Jika anak “Jika anak “Jika anak “Jika anak
dibesarkan dibesarkan dibesarkan dibesarkan dibesarkan dibesarkan dibesarkan dibesarkan dibesarkan dibesarkan
dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan
celaan, ia belajar memaki” permusuhan, ia belajar berkelahi” cemoohan, ia belajar rendah diri” penghinaan, ia belajar menyesali diri” toleransi, ia belajar menahan diri” dorongan, ia belajar percaya diri” pujian, ia belajar menghargai” sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan” dukungan, ia belajar menyenangi dirinya” kasih sayang, ia belajar menemukan cinta”.
Baldwin, dkk (dalam Suarni, 2009:28) mengemukakan temuan penelitiannya bahwa anak yang dikembangkan dalam iklim pengasuhan demokratis, maka ia cenderung memiliki kepribadian lebih aktif, lebih bersikap sosial, lebih memiliki harga diri (percaya diri), lebih memiliki keinginan dalam bidang intelektual, lebih orisinil, dan lebih konstruktif dibandingkan dengan anak yang dibesarkan dalam iklim otoriter. Kondisi ini sejalan dengan jiwa wirausaha yang hendak ditumbuhkan pada anak sejak dini guna SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
85
dapat tumbuh jiwa yang unggul, mandiri, dan berkualitas dalam diri anak sejak dini dalam keluarga. Schaefer (dalam Suarni, 2009:28) mengombinasikan pola tingkah laku orang tua terhadap anak antara love (cinta kasih sayang) atau hostility (permusuhan), dan control atau autonomy. Kombinasi pola perlakuan orang tua digambarkan sebagai berikut: Love Accepting
Cooperative
Overindulgent (sangat memanjanjakan) Protectice indulgent
Democratic Freedom
Possesive Control
Autonomy
Autiritarian Dictatoral
Detached (dilepas) Indefferent (tidak peduli) Neglecting (diabaikan)
Demanding Antagonistic
Rejecting Hostility
Gambar 2.1 Pola Tingkah Laku 2.3
86
Model Implementasi Pengembangan Jiwa Wirausaha Berpendekatan Pendidikan dalam Keluarga untuk Mewujudkan Generasi Berkualitas Pendidikan entrepreneurship dalam lingkungan keluarga diawali dengan pemberian contoh-contoh yang positif dari orang tua serta pembentukan-pembentukan pembiasaan entrepreneurship. Suasana rumah juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan perilaku anak. Semakin banyak pengalaman yang diperoleh anak melalui keluarga akan semakin banyak pula karakteristik dan sifat-sifat positif anak baik dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Hal ini akan memperkuat dalam bersikap terhadap pekerjaannya di kemudian hari. Jiwa wirausaha adalah jiwa kemandirian untuk mencari sebuah sumber penghasilan dengan membuka usaha ataupun menyalurkan kreatifitas yang dimiliki seseorang untuk kemudian dijadikan sebuah lahan untuk mencari penghasilan, jiwa kewirausahaan ditanamkan sejak seseorang mulai sadar bahwa uang itu penting dan seseorang tersebut memiliki keterampilan atau sesuatu hal seperti barang atau jasa yang bisa dijual, seseorang akan belajar untuk lebih mandiri, berpikir kritis, dan maju apabila ditanamkan jiwa kewirausahaan sejak dini, karena SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
dia akan terbiasa berpikir tentang bagaimana mengolah hasil dari keterampilan ataupun hasil pembelajaran yang selama ini dia lakukan untuk dijadikan sebuah karya yang selanjutnya dapat dijual/menghasilkan uang, hal tersebut dapat berupa makanan, pakaian, jasa, atau barang-barang lainnya. Jiwa wirausaha dapat berkembang seiring dengan inginnya seseorang mencari penghasilan dari faktor keadaan ekonomi yang tidak mendukung, sehingga banyak jiwa kewirausahaan yang tertanam dibenak seseorang akibat desakan ekonomi tersebut. Umur bukanlah ukuran untuk menanamkan jiwa kewirausahaan tapi kesadaran akan betapa bernilainya uang untuk dihasilkan, karena banyak dari para wirausahawan memiliki keinginan berwiraswasta karena timbul keinginan terbesar yaitu mencari uang. Pada kondisi ini penting untuk orang tua agar membiasakan anaknya berkompetisi dengan saudaranya sehingga anak terbiasa terpacu untuk memiliki daya saing. Masa anak-anak (usia 2 sampai dengan 5 tahun) dianggap sebagai masa bermain, karena pada masa ini sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain ketimbang hal-hal lainnya atau dapat juga dikatakan bekerjanya anak-anak adalah bermain. Dengan dunianya ini, anak-anak tersebut dapat merubah tingkah lakunya melalui peniruan model keluarga maupun teman sebayanya. Pada usia ini anak sedang suka-sukanya untuk menjelajah dan bereksplorasi. Salah satu cara umum yang digunakan adalah dengan bertanya, sehingga masa ini juga disebut masa bertanya. Hal lain yang menonjol pada masa ini adalah meniru pembicaraan dan tindakan orang lain, oleh karena itu dikenal sebagai usia meniru. Sehingga apa yang ditirukan oleh anak-anak seyogyanya adalah hal-hal yang baik dan hal-hal yang hendak ingin ditanamkan pada diri anak, dalam hal ini adalah jiwa wirausaha. Disinilah diperlukan peran aktif dari kedua orang tua anak tersebut guna mencapai generasi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Pada usia ini anak juga belajar tentang norma-norma, seperti kata-kata baik, buruk, tidak, boleh, jangan, dan sebagaiannya merupakan tanda-tanda untuk mengatur tingkah lakunya yang akhirnya harus merupakan norma-norma batin bagi tingkah laku selanjutnya. Pada masa ini perkembangan kognisi anak juga sedang berkembang dengan optimalnya. Salah satu perkembangan kognisi ini adalah berpikir. Berpikir merupakan pemrosesan informasi dan pengetahuan. Menurut Jean Piaget (dalam Suarni, 2009:42) berpikir adalah sesuatu tentang pengaturan skema tertentu yang terdapat dalam otak dan perasaan yang merupakan energi dari proses tersebut. Dia melihat perkembangan berpikir sebagai sebuah proses berkesinambungan atas pengetahuan yang diperolehnya. Kemudian pengetahuan akan digunakan dalam pengalaman-pengalaman yang bersangkutan. Hubungan yang melekat antara perasaan dan persepsi. Perasaan yang dimaksudkan disini adalah pengumpulan pengetahuan. AnakSEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
87
anak akan sangat dipengaruhi oleh perasaan orang tua mereka. Pada saat mereka tumbuh, mereka akan mempunyai kehidupan emosional yang sangat banyak, dengan memperoleh informasi melalui proses belajar. Proses belajar yang dimaksud dalam artikel ini adalah proses belajar dalam rangka tumbuhnya jiwa wirausaha pada diri anak melalui pendekatan-pendekatan personal yang dilakukan oleh orang tua mereka di dalam keluarga secara terus menerus dan berkesinambungan sampai tertanamnya konsepkonsep entrepreneurship pada diri anak guna mencapai generasi yang berkualitas. Terwujudnya generasi berkualitas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah generasi yang dapat mengimplementasikan ciri-ciri seorang wirausahawan seperti yang telah dipaparkan di atas. III. Penutup 3.1 Kesimpulan Kesimpulan dalam artikel ini adalah sebagai berikut, pertama tinjauan tentang kewirausahaan: seseorang yang telah tumbuh jiwa wirausaha dalam dirinya selalu diharuskan dan mengharuskan menghadapi resiko ataupun peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan inovatif dalam menghadapi peluang tersebut guna mendapatkan sesuatu yang baru dan bermanfaat, kedua tinjauan tentang konsep pendidikan dalam keluarga dan upaya implementasinya: keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam masyarakat disini anak seyogyanya mendapat perlakuan dari orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilainilai kehidupan baik agama maupun sosial-budaya yang merupakan faktor kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan warga masyarakat yang memiliki kecerdasan pribadi yang sehat dan produktif, dan ketiga model implementasi pengembangan jiwa wirausaha berpendekatan pendidikan dalam keluarga untuk mewujudkan generasi berkualitas: pendidikan entrepreneurship dalam lingkungan keluarga diawali dengan pemberian contoh-contoh yang positif dari orang tua serta pembentukan-pembentukan pembiasaan entrepreneurship dan selanjutnya diharapkan dapat tumbuh jiwa wirausaha pada diri anak melalui pendekatan-pendekatan personal yang dilakukan oleh orang tua mereka di dalam keluarga secara terus menerus dan berkesinambungan sampai tertanamnya konsep-konsep entrepreneurship pada diri anak guna mencapai generasi yang berkualitas. 88
3.2 Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam artikel ini, beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut, pertama orang tua hendaknya menanamkan jiwa wirausaha kepada anakanaknya sehingga sejak dini anak sudah berpikir lebih kreatif dan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
inovatif tentang karir masa depannya, kedua orang tua hendaknya memberi gambaran kepada anak-anaknya supaya lebih cenderung untuk menjadi wirausaha ketimbang menjadi pegawai formal, karena dengan menjadi wirausaha dapat membuat lapangan kerja sendiri dan lapangan kerja untuk orang lain, dan ketiga untuk pemerintah hendaknya pendidikan kewirausahaan dapat diupayakan dan dikembangkan pada pendidikan usia dini (PGPAUD) dengan upaya dan pengembangan yang sesuai agar didapat generasi penerus bangsa yang berjiwa entrepreneur dan berkualitas. Daftar Pustaka Drucker, Peter. 1996. Inovasi dan Kewiraswastaan. Jakarta : Erlangga. Geofrey, Meredith G. 1996. Kewirausahaan Teori dan Praktik. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo. indgun4.blogspot.in/2010/01/jiwa-kewirausahaan.html?m=1. diakses pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2016. Suarni, Ni Ketut. 2009. Mendidik Anak Berkecerdasan Majemuk Melalui Pendekatan Neu-Fisio-Sosial Dan Implementasinya Dalam Praktik Pendidikan. Singaraja: Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Pendidikan Ganesha. _ _ _ _ _ _ _ . 2009. Perkembangan Individu. Singaraja: Jurusan Bimbingan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan UNDIKSHA. Thomas W. Zimmerer dan Norman M. Scarborough. 2008. Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil. Salemba Empat. Tunggal, Amin Widjaja. 2008. Audit Manajemen. Jakarta : Rineka Cipta.
89
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
PENGUATAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK USIA DINI SEBAGAI PROPHETIC THINKING Oleh:
I Putu Suweka Oka Sugiharta E-mail:
[email protected]
Abstract Early childhood learning strategy can not be separated from efforts to the establishment and strengthening of religious spirit. Indonesian society, especially the Balinese society known as a religious social unity . The predicate is very difficult to be accounted. When there is the behavior of members of a religious community that violates the rules of morals, insult with outbursts of mistrust about effectiveness of religiousness for inrease the human quality will come. Seriously Fostering of religious spirit will improve the image of religiousness. Early age children are ready cadres to show the wide society that religiousness is very important. This paper discussed the model of religious spirit planting include the challenges, which derived from the Balinese culture. Keywords : Strengthening , Religious Spirit, Early Childhood , Prophetic Thinking Abstrak Strategi pembelajaran anak usia dini tidak bisa dilepaskan dari upaya penanaman dan penguatan jiwa keagamaan. Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bali dikenal sebagai kesatuan sosial yang religius. Predikat tersebut kiranya sangat berat untuk dipertanggungjawabkan. Apabila ada perilaku anggota dari suatu masyarakat religius yang menyalahi aturan moral maka hujatan disertai luapan ketidakpercayaan akan keefektifan kereligiusan itu dalam membentuk manusia yang berkualitas akan berdatangan. Pembinaan jiwa keagamaan secara serius merupakan upaya untuk memperbaiki citra kereligiusan yang tercemar. Anak-anak usia dini adalah kader-kader yang siap dididik untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kereligiusan sangat penting. Dalam tulisan ini dibahas model penanaman jiwa keagamaan berserta tantangan-tantangannya yang disarikan dari kebudayaan Bali. Kata Kunci : Penguatan, Jiwa Keagamaan, Anak Usia Dini, Prophetic Thinking
90
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
I.
Pendahuluan
Ketika membicarakan masa kanak-kanak dalam keseharian manusia Bali maka akan terlihat dua wajah dominan yakni ketidaktahuan dan pengampunan. Dalam budaya Bali pembatasan masa kanak-kanak dilakukan dengan sangat hatihati karena selain mempertimbangkan usia dan perkembangan fisik (maturation) juga melihat celah-celah kebodohan dari diri seorang individu. Pada beberapa desa yang masih terbelakang orang-orang tua seringkali mengungkapkan, “I Anu ipidan idepan suba truna nu melalung cara nak cerik” (Si anu dahulu fisiknya sudah remaja tetapi masih bertelanjang layaknya anak kecil). Sebaliknya sering pula terdengar perkataan, “Panak I Anu pentesné cara nak kelih” (anak si anu kecakapan bicaranya seperti orang dewasa). Kerap juga terdengar omelan orangtua ketika memarahi anaknya yang berbuat kesalahan, “Cai suba kelih nu dogén belog-belogan, kualne tan kodag” (Kamu sudah gedé masih saja bodoh, nakalmu tak ketulungan). Secara tradisional orang Bali tidak berani memberikan batasan usia absolut bagi seorang anak yang dikategorikan kanak-kanak dan telah lewat masa kanak-kanaknya. Semuanya dilakukan dengan mengukur kematangan yang sejati, umumnya ketika seorang gadis yang baru saja menginjak keremajaan dengan bahasa candaan ingin dipinang oleh seorang pemuda maka orangtuanya akan melakukan penolakan secara halus, “I Luh nak nu cenik konden cacep pakidih di pisaga” (si Luh masih kecil, belumlah cakap berumahtangga). Berbeda dengan kecenderungan yang terjadi pada era-era sebelumnya manakala anak wanita dinilai sudah cakap mengerjakan kewajiban-kewajiban domestik maka akan cepat-cepat dinikahkan agar tidak lama membebani orangtuanya yang ujung-ujungnya nanti akan menjadi milik keluarga suami, kini anak wanitapun dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh kedewasaannya oleh orangtuanya agar tidak memalukan atau ditindas di rumah suaminya tatkala telah membangun bahtera rumah tangga. Bagi anak lelakipun serupa, jika dahulu seorang anak lelaki mamiut (bandel, tidak bisa diatur, liar) maka ada saran, “Luungan antenang suba ya apang tusing terus mamiut, cara mikatin sampi muani ne rengas sampi luh anggo (lebih baik cepat-cepat dinikahkan saja dia agar tidak liar berkepanjangan, seperti menjinakkan sapi jantan yang liar tiada lain sapi betina yang dipakai). Saran-saran semacam itu kini tidak dipercaya lagi karena disadari kebodohan manusia pada masa kanak-kanak tidak bisa diganjar dengan pengampunan yang terlalu longgar. II.
Pembahasan
Kendatipun dalam ujaran verbal orangtua merasa takut untuk terus menerus mengidentifikasikan perkembangan anakanaknya sebagai kekanak-kanakan dan seolah-olah ingin SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
91
92
memposisikannya sebagai sahabat dengan menyebut-nyebut unsur kedewasaan dalam setiap percakapan, namun tidak bisa dipungkiri dalam hatinya yang terdalam masih berkecamuk berbagai macam perasaan akan ketidakmatangan anaknya. Salah satu contoh ketika sang anak diketahui membina hubungan yang spesial dengan lawan jenisnya, pada tataran ujaran orangtua berupaya menyusun kata-kata yang tidak terkesan memasung atau menyalahkan seperti, “Kamu boleh berpacaran karena memang sudah waktunya, tetapi berpacaranlah secara sehat”. Tampak ambivalensi dalam nasihat-nasihat orang tua yang pada satu sisi seolah memahami perkembangan anaknya meninggalkan dunia anak-anaknya, namun pada sisi lain juga masih memendam kegelisahan mengenai sisi kekanak-kanakan dalam diri anaknya. Ormrod (2008:32) menyebutkan bahwa suatu pertumbuhan yang relatif cepat (spurt) dapat diselingi dengan pertumbuhan yang lambat (plateau). Pertumubuhan lambat yang terkamuflase dalam pertumbuhan yang tampak cepat itulah yang dikhawatirkan oleh orangtua dan para pendidik. Alternatif untuk menghilangkan keraguan orangtua dan pendidik sekaligus mengarahkan seorang anak untuk mempersiapkan masa depannya adalah melalui pembinaan jiwa keagamaan pada usia dini. Pembinaan jiwa keagamaan dalam usia dini bukanlah pekerjaan yang mudah, bila terlalu ekstrim bisa saja bermuara pada terbentuknya pribadipribadi yang intoleran dan konservatif, jika terlalu lemah maka perkembangan anak tidak akan disusupi oleh nilai-nilai keagamaan. Individu yang fanatik eksternal terhadap ajaran agamanya dan individu yang berjiwa keagamaan lemah mengandung potensi bahayanya masing-masing. Konvensi PBB mengenai Hak-hak Anak disetujui oleh Majelis Umum pada tahun 1989 dan mulai berlaku pada tahun 1990. Disamping perlindungan terhadap sejumlah hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial yang tradisional, konvensi juga mencantumkan hak-hak tertentu yang hanya berlaku untuk anak, yang dalam rangka ini didefinisikan oleh pasal 2 sebagai “semua manusia berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undangundang yang berlaku bagi anak adalah hak atas sebuah nama, hak untuk mengetahui orang tuanya dan diasuh oleh mereka, dipertahankannya identitas si anak, kebebasan dari perlakuan seksual dan eksploitasi seksual, dari obat-obat dan perdagangan narkotik. Sejumlah ketetapan mewajibkan negara-negara peserta untuk menjamin dan mengambil langkah-langkah yang tepat agar anak-anak dimungkinkan untuk berkembang semaksima mungkin sesuai dengan kemampuan mereka (Davidson, 2008:135). Dalam beberapa kebudayaan orthodok terdapat beberapa aspek yang memarginalkan eksistensi anak usia dini, bahkan belum dianggap sebagai manusia yang utuh karena belum memiliki kemampuan seperti yang dimiliki orang dewasa. Sebuah dongeng yang berasal dari zaman Yunani Klasik menceritakan bahwa raja Minos mempunyai binatang peliharaan berupa Dewa Lembu SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
(minosaurus) yang setiap bulan harus diberi persembahan seorang anak manusia (Adisusilo, 2013:3). Pendiri kota Roma Romulus dan Remus putra Rhea Silvia yang menikah dengan Dewa Mars ketika masih bayi dibuang ke sungai Tiber oleh pamannya sendiri, tetapi berhasil ditolong dan dibesarkan oleh seekor serigala betina. Di Bali terdapat Satua Ni Tuwung Kuning, konflik dalam cerita memuncak manakala I Pudak sebelum berangkat berjudi berpesan kepada istrinya yang sedang hamil tua agar membunuh anaknya bila terlahir perempuan, dipotong-potong sebagai makanan ayam. Cerita rakyat Bali I Ketimun Mas juga menceritakan perjuangan seorang anak untuk menghadapi marabahaya berupa gangguan raksasa ketika ditinggal oleh sang ibu pergi ke Pasar. Versi Jawa cerita Timun Mas yang memiliki variasi agak berbeda juga menggambarkan upaya seorang anak menghadapi marabahaya, Timun Mas hanya anak yang dititipkan kepada sepasang suami istri mandul dalam wujud biji mentimun untuk disantap kelak pada waktu yang disepakati. Seorang Missionaris asal Inggris bernama Walter.H. Medhurst dan asistennya Revd Tomlin yang sesungguhnya tidak terlalu tertarik untuk menyebarkan pengkabaran injil di Pulau Bali menuliskan kisah menjijikan yang diperkirakan terjadi di wilayah Buleleng. Raja Karangasem yang bernama Gusti Moorah (Ngurah) Lanang bernazar apabila berhasil membunuh keponakannya yang bernama Dewa Pahang akan mendirikan sebuah pura dari tulang manusia. Setelah Dewa Pahang tewas di tangannya, Ngurah Lanang kemudian membayar kaulnya di Buleleng membangun sebuah pura dari tulang manusia. Dalam upacara pengorbanan itu anak-anak kecil ditangkap dengan jerat atau diculik, kemudian dipanggang. Konon peristiwa tersebut menyebabkan Ngurah Lanang kehilangan pamornya. Mantra Rgveda I.159.3 menyebutkan te sūnavaḥ svapasaḥ sudaṁsasaḥ (Putra/ anak-anak ini sangat rajin dan memiliki kekuatan yang mengangumkan). Walaupun demikian predator-predator anak tidak hanya dalam arti fisik berupa kekerasan seksual atau agresi secara fisik, namun juga predator psikis yang menyesatkan perkembangan anak sehingga tidak sukses menjalani proses pendidikan terus bermunculan. Butir-butir penanaman jiwa keagamaan tertuang dalam Geguritan Basur Karya Ki Dalang Tangsub dialihaksarakan oleh W. Simpen AB dalam Kidung Prembon, Cempaka 2 Denpasar, Agustus 1988: 1. Kocapan I Nyoman Karang, maumah ring banjar Sari, kocap ngelah pianak dadua, nanging pada eluh-eluh, né kelihan adanina Ni Sokasti, ně cerikan Ni Rijasa Terjemahan: Akisah I Nyoman Karang, tinggal di banjar Sari, punya anak dua orang, keduanya cantik ayu, yang tertua bernama, Ni Sokasti, yang kedua Ni Rijasa (Keniten, 2014:81)
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
93
94
4. Manyama kalintang tresna, tuara bisa drenggi cicing, marerama langkung bisa, pan sinangguh adiguru, I Nyoman karang ya japjap, sahi-sahi, pianake anggon déwa Terjemahan: Bersaudara amat cinta, tiada rasa iri hati, hormat pada orangtua, dipandang sebagai guru, I Nyoman Karang waswas, tiap hari, anaknya dipuja-puja (Keniten, 2014:82) 6. Inget bapa néné suba, kari biang déwa urip, pecak ya biang idéwa, laksana tuah manganggur, jumah ia I Gedé Rampag, mamipisin, teked jumah mamulisah Terjemahan: Waktu dulu ayah ingat, sewaktu ibumu hidup, saat itulah ibunda, bepergian berkunjung, ke rumah I Gedé Rampag, bergadai, tiba di rumah gelisah (Keniten, 2014:82) 7. ngorahang nyakitang basing, sagét gadang prajani, bapa ngelur gerak-gerak, teka pisagané nulung, balian liu tani balian, gipih prapti, kadapetang suba pejah Terjemahan: Bilang sakit perutnya, tak sangka mendadak mati, ayah pun teriak-teriak, datang tetangga membantu, dukun juga purapura, cepat hadir, ditemukan t‟lah meninggal (Keniten, 2014:82) 8. Gedé Rampag raris ical, mangarorod prajani, bapa enyag buka borbor, kapo idéwa enu, makadadua nunggu bapa, kari urip, tangarin déwa pang melah Terjemahan: Gedé Rampag lantas hilang, entah kemana ia pergi, ayah remuk bak terbakar, syukur Nanda masih hidup, berdua bersama ayah, hidup masih, waspada tetap selamat (Keniten, 2014:82) 9. Awak cerik tuara nawang, I Kaki Balian tresnain, I Dadong Koloke kelod, olasin darsana tuyuh, idihin sikep di raga, ané sakti, mahadan Siwa Sumedang Terjemahan: Nanda kecil tiada paham, I kaki Balian sayangi, I Dadong Kolok selatan, sayangi bantu tulus, mohon pelindung di raga, paling sakti, namanya Siwa Sumedang (Keniten, 2014:82) 11. Darma patuté telebang, bakti ring Déwa da lali, ngeliwon mangaturang canang, mabakti raris makidung, sahi nyampat di sanggah, apang titik, inih bisa masekaya Terjemahan: Kebenaran itu resapkan, jangan lupa sembah bakti, Kajeng Kliwon haturkan sajen, sembahyang lalu berkidung, rajin menyapu di sanggah, agar suci, pintarlah bermasyarakat (Keniten, 2014:83) 24. Kéto cening to ingetang, bapa mituturin malih, tingkahé mangdadi jadma, apang dadi ayu nerus, ada kojaran ring sastra, tutur luih, ento resep apang melah Terjemahan: SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Itulah Nanda diingat, ayah nasihati lagi, p‟rilaku jadi manusia, agar jadi baik selalu, ada termuat di sastra, tutur baik, itu ingat agar benar (Keniten, 2014:85) 26. Singgih Bapa sasuhunan, sanikan titiang mangiring, punika né jujur tiang, I Nyoman Karang macebur, ngurut-ngurut ngaras késa, cening kalih, ené buin padingehang Terjemahan: Ya ayahku yang kusembah, saya bersedia ikuti, itu yang ananda harap, I Nyoman Karang macebur, mengurut cium rambutnya, ini resapi didengar (Keniten, 2014:86) 27.Sang Hyang Durgané awaking, mulih ring raga sandi, ento mawak dadi merta, metu ring jaba rahayu, ento di cangkem linggihang, sabda manis, sahulane ngawé rena Terjemahan: Sang Hyang Durga dirasakan, rasuk satukan dalam diri, „tu berwujud jadi amerta, yang keluar baik muncul, di mulutmu letakkan, sabda manis, p‟rilaku tumbuhkan cinta (Keniten, 2014:86) 28. yan metu maring karna, mapangrenga dadi yukti, metu munggu maring soca, sahulaté merdu nyunyur, ento déwa ngawé rena, ayu luih, Sang Hyang Durga mamurtia Terjemahan: Keluar dari telinga, terdengar menjadi yakin, tampak sorot di mata, sorot mata jadi merdu, itu Nanda buat sayang, ayu cantik, Sang Hyang Durga punya kuasa (Keniten, 2014:86) Nyoman Karang menanamkan jiwa keagamaan/ sifat kedewataan dalam diri kedua anaknya dengan memberikan contoh sifat-sifat kedewataan, jadi bukan hanya kata-kata tetapi perilaku. Diakui oleh Nyoman Karang bahwa ketika istrinya meninggal setelah datang bertamu dari rumah Gedé Rampag, hatinya sedih serasa remuk tetapi ia tidak mengajarkan anak-anaknya untuk menyimpan dendam atau membalas dendam atas kematian sang ibu. Nyoman Karang tetap bersyukur karena kedua anaknya masih selamat. Tampak Nyoman Karang juga bukan orang sembarangan, ia menguasai ilmu kebathinan yang bernama Siwa Sumedang dan cara ngerangsuk Durga, namun semuanya diarahkan menuju kebaikan. Nyoman Karang menasehati anakanaknya agar rajin bersembahyang, membersihkan tempat suci, menyanyikan lagu-lagu keagamaan (kirtanam), tetapi semuanya akan menjadi lebih sempurna dengan berbuat kebaikan serta membina hubungan baik dengan masyarakat. Ni Sokasthi dan Ni Rijasa juga dinasehati bila nanti bersuami istri agar tidak selalu bertengkar karena tergoda oleh sifat-sifat buruk: 30. Sangkan tuyuh makurenan, mahironan sai-sai, nemah mamisuh mangembor, peta ala tan paunduk, payu sai saling jengka, eluh muani, munyi liyu tan pakrana Terjemahan:
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
95
96
Lelah berumah tangga, bertengkar tiap hari, caci maki saling sikap, perkataan tak teratur, tiap hari beda pendapat, suami istri, berbicara tak tertata (Keniten, 2014:87) 32. Yan mungguh maring karna, saparengga tan sayukti, di matané jati nongos, ulaté mrengat-mrengut, yan ring cangkem ya magenah, pesu munyi, inguh Makita miyegan Terjemahan: Yang berdiam di telinga, yang didengar tidak yakin, di mata juga tempatnya, tatapannya „tu cemberut, kalau di mulut berada, kata hadir, gelisah ingin bertengkar (Keniten, 2014:87) Dalam Versi lain Geguritan I Gede Basur Karya Ki Dalang Tangsub dialihaksarakan oleh I Made Sanggra (2006) diceritakan I Tigaron yang tidak pernah mendapat penanaman jiwa keagamaan yang benar dari ayahnya yang memang berperangai buruk merasa tidak lagi memiliki masa depan karena keinginannya memperistri Ni Sokasthi tidak terwujud. Dengan rasa patah hati yang mendalam ia merajuk: 45. Yén tan sida manah titiang, masomah ring Sokoashi, banggiang titiang sampun pejah, Nirdon hidup nemu sungsut, Tresnané tan kadagingin, Becik mati, wekasan malih manyadma Terjemahan: Tiada hasil hati saya, beristrikan Ni Sokoasthi, biarkan saya meninggal, s‟lalu sedih rugi hidup, cinta tiada terbalaskan, baik mati, nantilah lahir berulang (Keniten, 2014:106) Gede Basur yang meskipun sakti namun tidak memiliki dasar keagamaan yang kuat malah terlarut terlalu parah pada situasi kegelapan pikiran, bukannya mengarahkan anaknya agar menjadi lebih baik: 48. Ni Sokoasthi tuara tresna, Ngawé wiring buka jani, Bapa nyadia manguwalesang, Mangda ia uwug empung, meneng déwa eda nguwérayang, Yan tan mati, Nora purna manah bapa Terjemahan: Ni Sokoasthi tiada cinta, buat malu seperti ini, ayah bersedia melawan, agar ia hancur lebur, anakku jangan melawan, tiada mati, tak sempurna hati ayah (Keniten, 2014:106) Ki Dalang Tangsub rupanya merupakan sastrawan yang sangat jenius memperbandingkan tabiat Gede Basur yang sakti dan terpelajar dengan wanita keterbelakangan mental yang gila asmara bernama Ni Garu. 135.Ni Garu mangutang awak, manginyah di margi-margi, sambilang mangejuk tuma, nyakongkong druwéne mentul, mangkug alib mabo sera, keprat keprit, entut nyané mauyagan Terjemahan: Garu pergi tanpa arah, di jalan-jalan jemur diri, sambil menangkap tuma, maningkang miliknya muncul, baunya tidak sedap, bunyi nyaring, menusuk hidung kentutnya (Keniten, 2014:124)
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
136.Tuara inget basing layah, kocap sandi kala mangkin, ngalalu raris ka sétra, ditu ia medem malingkuh, suba ada asirepan, ia mangeling, ngajap-ngajap déwan setra Terjemahan: Tak ingat perutnya lapar, kisah senjakala kini, selanjutnya ia ke setra, di sana tidur meringkuk, sudah sempat tidur pulas, ia menangis, manggil-manggil penguasa kuburan (Keniten, 2014:124) 137.Gelis kuda tadah titiang, apang énggal titiang mati, jengah titiang hidup érang, Sagét ada anak rawuh, Gedé tegeh putih nyentak, susu lambih, Romo mangambahan panjang Terjemahan: Tolong cepat mangsa saya, agar cepat saya mati, saya malu hidup jengah, tak nyana ada yang muncul, putih bening tinggi besar, susu m‟jangi, rambut mengurai memanjang (Keniten, 2014:124) 138.Enyén ené padidian, medem malingkuh tur ngeling, Ni garu raris anembah, titiang mawasta Ni garu, Titiang kaérangan manah, suwéca mangkin, Ratu ngicén panugrahan Terjemahan: Siapa ini sendirian? Tidur meringkuk menangis, “Ni garu lalu menyembah, “Hamba Ni Garu ini, hati hamba malu amat, anugerahi, Ratu beri anugerah (Keniten, 2014:124) 139.Apang titiang bisa ngiwa, musuh titiang apang mati, I Gedé Basur ia bregah, titiang mrika saking patut, manelokin I Tigaron, Ipun pedih, manundung tur mangandupang Terjemahan: Agar bisa ilmu hitam, musuh hamba agar mati, I Gede basur yang kasar, hamba bermaksud bagus, mengunjungi I Tigaron, marah sinis, mengusir bersorak (Keniten, 2014:124) 140.Yan I Ratu suwéca, pademang titiang né mangkin, jengah titiang malipetan, sengsara titiang enu idup, Betari Durgha ngandika, medep cening, meme ngicén pangléyakan Terjemahan: Jika Hyang Dewi tak sedia, bunuhlah hamba kini, malu hamba balik pulang, sengsara hamba masih hidup, “Betari Durgha berkata, “t‟rima ini, Betari beri pengleakan (Keniten, 2014:125) 148.Buka patpat ngelah roang, pada mapitulikur siki, yéning kumpulang punika, dadi ia satus kutus, Kéto Garu eda sengsaya, Nah né jani, Alih I Basur pejahang Terjemahan: Keempatnya punya pasukan, dua puluh tujuh ini, jika dikumpulkan semua, seratus delapan itu, Garu jangan ragu hilangkan, ayo kini cari I basur bunuhlah (Keniten, 2014:126) Ni Garu ingin menumpahkan birahinya bersama I Tigaron namun diusir oleh Gede Basur. Gede Basur tidak mampu bercermin diri, marah ketika lamarannya ditolak oleh Nyoman Karang, namun memperlakukan Ni Garu seenaknya. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
97
Sesungguhnya pengarang ingin menampilkan jika sifat keduanya memiliki kemiripan. Kenekatan keduanya juga mirip, Gede Basur mencederai Ni Sokasthi dengan ilmu pangleakan yang dipelajarinya demikian pula dengan Ni Garu yang ingin membunuh Gede Basur melalui aktivitas nyeraya (bertapa di Kuburan) untuk menguasai ilmu hitam. Manusia seterpelajar Gede Basur berpotensi mati di tangan manusia keterbelakangan mental, artinya seseorang berpendidikan tinggi bisa saja menemui kehancuran karena bersikap seperti orang yang tidak terpelajar. Keluarga yang meskipun terhormat dan terpelajar berpeluang menghancurkan masa depan generasi penerusnya bila tidak menanamkan jiwa keagamaan dengan benar dan menggantinya dengan sikap dengki, pemarah, pendendam, serta sejenisnya. Pada kehancuran semacam itu akarnya adalah sindrom self-incurred tutelage (ketidakdewasaan yang disebabkan oleh dirinya sendiri). Kehancuran yang serupa juga ditemui keluarga Ki Balian Batur manakala Ki Balian Batur sebagai kepala keluarga cepat terpancing emosi dan membalas dendam kepada musuhmusuhnya dengan aji ugig. Diceritakan ketika tengah malam tiba Ki Balian Batur memanggil istri dan semua anak-anaknya untuk duduk berkumpul di bale daja (balai yang ada di sebelah utara). I Ketut Lengka tidak ikut ketika itu karena sudah tidur lelap dan masih kanak-kanak. Ki Balian Batur kemudian memberikan wejangan kepada semuanya, “wahai istri dan anak-anakku, karena telah tersebar luas bahwa aku Ki Balian Batur diberitakan bisa ngeleak, maka kita semua sepatutnya waspada dan hati-hati. Karena tanpa diduga-duga musuh pasti akan menghampiri dan menyerang kita. Untuk melindungi diri, maka aku Ki Balian Batur akan menurunkan semua yang aku miliki untuk kalian semua. Ilmu pengiwa yang dulu dianugrahkan oleh Ida Bethari Danu, akan aku turunkan kepadamu (Supatra, 2012:27). Untuk persiapan, Ki Balian Batur menyuruh istri dan anak-anaknya membersihkan diri dan berkonsentrasi. Ketika semuanya sudah bersih dan ngulengin kayun (konsentrasi), pada saat itu Ki Balian Batur memulai prosesinya. Istri dan anak-anaknya diberikan rerajahan (gambar mistis) yang berisikan aksara sakti sambil berkomat-kamit mengucapkan mantra sakti. Rerajahan tersebut diberikan pada bagian buku-buku(persendian), layah (lidah), mata, gigi, gidat (dahi), dan pabaan (ubun-ubun). Dilengkapi dengan sesaji yang diperlukan (Supatra, 2012:28). III. Penutup
98
Pada tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap atau perilaku egosentrisme seorang anak berkurang, lazimnya pertimbangan moral (moral reasoning) anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-anak yang masih diliputi sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri hanya akan mampu memahami kaidah sosial yang hanya menguntungkan diri sendiri. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Oleh karenanya, agar anak-anak yang egois menyadari kesalahan sosialnya dan sekaligus berperilaku moral secara memadai, pengenalan mereka terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu ditanamkan (Syah, 2012:38). Jikalau penanaman aturan dan penyadaran gagal dilakukan oleh lingkungan pendidikan untuk mengokohkan jiwa keagamaan maka seorang individu akan mempertahankan sikap egosentrisnya yang selalu ingin menang sendiri hingga dewasa bahkan tua. Pendidik yang mengenalkan aturan juga haruslah berjiwa keagamaan yang matang agar dapat diimitasi oleh anak didik. Model penanaman jiwa keagamaan yang benar pada anak selain dapat ditiru dari I Nyoman Karang dalam Geguritan Basur juga ditemui dalam Geguritan Japatvan. Suatu saat setelah berumur tujuh tahun memohon kepada kedua orangtuanya agar ia diperkenankan berguru dari seorang rsi atau pertapa. Orangtuanya sangat senang menyambut keinginan anaknya itu, kemudian orang tua japatvan hanya mengingatkan agar baik-baik berperilaku kepada Guru. Selanjutnya, Japatvan datang berguru pada seorang mahārsi. Setelah selesai menimba ilmu dari mahārsi kemudian I Japatvan kembali rumahnya untuk mengamalkan segala pengetahuan yang diterima dari sang mahārsi. (Titib, dalam Suastika dan Sukartha (ed), 2012:93). Penanaman jiwa keagamaan adalah perwujudan prophetic thinking (pemikiran mengantisipasi tantangan masa depan). Orangtua yang mengabaikan atau merusak jiwa keagamaan anaknya sesungguhnya telah membunuh masa depan anaknya. Daftar Pustaka Adisusilo, Sutarjo.2013.Sejarah Pemikiran Barat.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada Davidson, Scott.2008.Hak Asasi Manusia.Jakarta:Graviti Keniten, IBW Widiasa. 2014.Eksistensi Basur.Tabanan:Pustaka Ekspresi Ormrod, Jeanne Ellis.2008.Psikologi Pendidikan.Jakarta:Erlangga Supatra, Kanduk.2012.Ki Balian Batur.Denpasar:Pustaka Bali Post Syah, Muhibbin.2012.Psikologi Belajar.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Titib, I Made.2012.Transformasi Sungai Gaṅgā Kahyangan dalam Svargarohaṇaparva Jawa Kuna ke dalam Susastra Bali tentang Eschatology. Dalam Sukartha dan Suastika (ed).Sastra Jawa Kuna.Denpasar:Cakra Press 99
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
PEMBELAJARAN ETIKA YOGA DALAM MEMBENTUK KARAKTER JUJUR ANAK USIA DINI Oleh:
Ida Bagus Kade Yoga Pramana Mahasiswa Dharma Acarya Pasca Sarjana IHDN Denpasar
Abstract Yoga is a method of self-discipline ancient has been applied and is still exist today as the trend of a healthy lifestyle and yoga recognized around the world , it demonstrates of the universality teachings of yoga, that can be applied by anyone, including early childhood . For the beginners including early childhood is important to instilled ethics teachings of yoga that has been collated and structured by Maharesi Patanjali in Astangga Yoga concept. Because an early age is a vulnerable period of the formation of character especially for the establishment honest character that is in the Hinduism called satya. Keywords : Yoga , Yoga Ethics , Honest Character, Early Childhood , Satya. Abstrak Yoga merupakan suatu metode disiplin diri kuno yang sudah di terapkan dan masih dikenal hingga saat ini sebagai tren pola hidup sehat yang diakui di belahan penjuru dunia, hal ini menunjukkan ke universalan ajaran Yoga itu sendiri yang dapat di terapkan oleh siapa saja termasuk anak usia dini. Bagi pemula termasuk anak usia dini penting di tanamkan ajaran etika yoga yang sudah di susun dengan terstruktur oleh maharsi patanjali dalam konsep Astangga Yoga. Karena usia dini merupakan masa rentan pembentukan karakter anak terutamapembentukan karakter jujur yang dalam ajaran agama hindu di sebut dengan satya. Kata Kunci : Yoga, Etika Yoga, Karakter Jujur, Anak Usia Dini, Satya. I.
100
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Sejarah menunjukkan bahwa saat ini filsafat tidak lagi membawa pemikiran mengenai adanya subjek besar sebagaimana masalalu, kemajuan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan alam, telah menggoyahkan dasar-dasar pemikiran filsafat. Banyak hal yang semula menjadi bagian dari filsafat yang membahas tentang ilmu asal, kini menjadi topik pokok perhatian dari ilmu-ilmu pisiologi dan psikologi bahkan dalam ranah pendidikan. Menurut Jhon Dewey, seorang filusuf amerika dalam Jalaludin (2013) menyebutkan bahwa filsafat merupakan teori SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
umum dan landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan sehingga tugas filsafat dalam ranah pendidikan adalah mengajukan dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki factor-faktor penyeab, realitas dan pengalaman yang banyak terdapat dalam dunia pendidikan. Secara filosofis filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai yang diupayakan untuk pengalaman kemanusiaan dalam proses pendidikan. Berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Sukardjo, 2013 : 14). Mendukung tujuan pendidikan nasional agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa di perlukan pendidikan agama. Kemudian Secara teoritis berdasarkan Peraturan Presiden no 55 tahun 2007 di jelaskan bahwa Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Secara empiris salah satu materi pembelajaran yang berkaitan dengan pembentukan mental, moral, fisik maupun spiritual dalam pendidikan agama hindu adalah pembelajaran yoga. Swami Satya Nanda Saraswati (2002:7) menyebutkan Sejarah yoga sebagai pembangunan fisik, mental, dan spiritual sudah di kenal sejak lebih dari sepuluh ribu tahun lalu. Sebutannya ditemukan dalam kesusastraan umat manusia terkenal yang paling tua yaitu Veda yang penuh dengan kebijaksanaan spiritual, yang disusun oleh para rsi dan guru terkenal dimasa itu. Dipercaya oleh beberapa orang bahwa pengetahuan yoga bahkan jauh lebih tua daripada Veda tersebut. Bahkan dewasa ini pembelajaran yoga sudah masuk ke dalam materi pokok pembelajaran agama hindu pada jenjang sekolah dasar hingga sekolah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya pembelajaran ini di sampaikan kepada peserta didik, khuusunya umat hindu. Secara pragmatis pembelajaran yoga, khususnya pembelajaran mengenai etika yoga perlu di tingkatkan bahkan dikuatkan kembali terutama bagi anak usia dini yang masih dalam proses pembentukan kepribadiannya, mengingat pemerintah saat ini dengan gencar menggalakkan penanaman pendidikan karakter. Sehingga bersamaan dengan tulisan ini diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat sebagai referensi SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
101
dan bahan bacaan untuk menambah pengetahuan khususnya pengetahuan bahwa pendidikan agama hindu kaya akan ajaran etika yang dapat dijadikan pegangan dalam mendidik anak yang suputra demi mempertahankan peradaban bangsa. II.
102
Pembahasan
2.1 Ajaran Etika dalam Yoga Yoga berasal dari suku kata “yuj” yang memiliki menyatukan atau menghubungkan diri dengan Tuhan. Kemudian Patanjali memberikan definisi tentang yoga yaitu mengendalikan gerakgerak pikiran (Somwir, 2009:23). Sedangkan menurut Swami Satya Nanda Saraswati (2002:1) menyebutkan yoga adalah pengalaman dari keutuhan atau kesatuan dengan keberadaan batin. Kesatuan itu muncul setelah menghancurkan dualitas pikiran dan masalah ke dalam kesadaran diri. Selain itu Darmawan (2004:3) menyatakan yoga adalah disiplin pengetahuan yang berhubungan dengan diri manusia secara utuh, baik fisik, emosi, mental maupun spiritual. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan yoga bersifat universal sehingga setiap praktisi memiliki berbagai pandangan dalam memahami yoga sebagai realisasi sang diri. kemudian untuk keseimbangan dalam menjalani hidup serta untuk kesehatan jasmani dan rohani semuanya akan bertemu pada satu tujuan yang sama yaitu mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Swami Satya Nanda Saraswati (2002:7) menyebutkan Sejarah yoga sebagai pembangunan fisik, mental, dan spiritual sudah di kenal sejak lebih dari sepuluh ribu tahun lalu. Sebutannya ditemukan dalam kesusastraan umat manusia terkenal yang paling tua yaitu Veda yang penuh dengan kebijaksanaan spiritual, yang disusun oleh para rsi dan guru terkenal dimasa itu. Dipercaya oleh beberapa orang bahwa pengetahuan yoga bahkan jauh lebih tua daripada Veda tersebut. Sukayasa dalam jurnalnya (2015;5) latihan spiritual yang intensif dimaksud dilakukan menurut tahap-tahap yoga yang disebut astanggayoga „delapan badan yoga‟(YS,II: 9) yang di populerkan oleh Maharsi Patanjali. Delapan badan (tahap) yoga ini dapat dipandang sebagai delapan anak tangga dengan urutan dari anak tangga dasar berturut-turut sampai tangga puncak: 1. Yama, yaitu mahawrata „janji agung‟ yoga. Jumlahnya 5: ahimsa „pantang kekerasan, tidak bengis‟; satya „jujur‟; astya „pantang mencuri‟; brahmacari „pantang berselingkuh atau mengendalikan nafsu seks‟; dan aparigraha „pantang memanjakan tubuh, pantang menerima pemberian yang tidak diperlukan‟ (YS,11:35-39). 2. Niyama, yaitu brata pengukuh yama. Jumlahnya juga 5: sauca „berperilaku bersih dan suci‟; samtosa „mengendalikan diri agar tetap tenang, penuh rasa syukur, dapat menerima kenyataan apa adanya‟; tapa „tahan uji, berusaha keras‟; swadyaya SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
„berusaha atau belajar mandiri‟; dan Iswaraparnidhana „berbakti kepada Tuhan‟ (YS,11:40-45). 3. Asana, yaitu olah fisik dengan fokus spiritual sehingga penekun yoga dapat duduk sempurna atau dapat memiliki tubuh yang bugar (YS,11:47). 4. Pranayama, yaitu olah nafas sehingga penekun yoga dapat bernapas halus, panjang, dan teratur (YS,11:50). 5. Pratydhdra, yaitu menarik indera dari berbagai objek kesukaannya dan menempatkannya di bawah pengawasan pikiran (YS,11:51,54). 6. Dhdrana, yaitu konsentrasi atau memusatkan pikiran pada objek meditasi (YS,11:53; III: 1). 7. Dhyana, yaitu kontemplasi atau menjadikan pikiran mantap menetap pada objek pikiran (YS,III:2). 8. Samadhi, yaitu keadaan manakala yang berkontemplasi telah menunggal dengan Iswara (Spirit yang menjadi objek renungan) atau manakala penekun yoga telah kehilangan kesadaran individunya dalam Kesadaran Semesta (YS,III:3). Astangga yoga merupakan tahapan latihan yang diawali dengan latihan etika dan moral melalui latihan Yama dan Niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan Asana dan Pranayama, yang di lanjutkan dengan latihan mental melalui latihan Prathyhara dan Dharana, kemudian latihan spiritual berupa Dhyana demi mencapai tujuan akhir yaitu Samadhi. Pada pembahasan ini, etika yoga yang di tekankan bagi anak usia dini, bahkan bagi orang yang awal memulai latihan yoga adalah pada tahap pertama dari astangga yoga, yaitu tahapan panca yama bratha. Yama, yaitu mahawrata „janji agung‟ yoga. Jumlahnya 5 (lima) : ahimsa (pantang kekerasan, tidak bengis) ; satya (jujur); astya (pantang mencuri); brahmacari (pantang berselingkuh atau mengendalikan nafsu seks); dan aparigraha (pantang memanjakan tubuh, pantang menerima pemberian yang tidak diperlukan), yang dimana salah satu bagian dari panca yama brata adalah satya yang berarti jujur. Dalam ajaran agama hindu satya terbagi menjadi lima yaitu: 1. Satya Wacana ,Satya wacana adalah setia, jujur dan benar dalam berkata-kata. Tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan yang disebut “wak purusya”. 2. Satya Hredaya, Satya hredaya adalah setia terhadap kebenaran dan kejujuran kata hati, berpendirian teguh, dan tidak terombang-ambing . 3. Satya Laksana, Satya Laksana adalah sikap setia dan jujur mengakui serta mempertanggungjawabkan kebenaran dari segala perbuatan yang telah dilakukan. 4. Satya Mitra, Satya Mitra adalah setia dan jujur kepada teman dalam segala hal, serta berusaha untuk mengarahkan segala tindakan atau perbuatan agar selalu berdasarkan kebenaran sesuai dengan ajaran agama.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
103
5. Satya Samaya, Satya Samaya adalah setia dan jujur terhadap janji yang telah diucapkan serta memenuhi segala sesuatuyang ditimbulkan akibat ucapan janji itu. (Sumber: Hindu Alukta blogspot.co.id)
104
2.2 Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini Pendidikan dewasa ini dituntut untuk dapat merubah peserta didik ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional telah merumuskan 18 Nilai Karakter yang akan ditamamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa. Berdasarkan rujukan dari Kementrian Pendidikan Nasional dalam Suyadi (2013;8-9), 18 nilai karakter terdiri dari: 1. Religius, yakni ketaatan dan kepatuahan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan berdampingan. 2. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya. 3. Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut. 4. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku. 5. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya. 6. Keratif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya. 7. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain. 8. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain. 9. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam. 10. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan. 11. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekomoni, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri. 12. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi. 13. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik. 14. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu. 15. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya. 16. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar. 17. Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya. 18. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara, maupun agama. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Sukardjo, 2013 : 14). Penanaman pendidikan karakter sangat penting bagi peserta didik, khususnya bagi anak usia dini. Anak usia dini adalah anak yang berusia lebih dari 2 (dua) tahun dan berusia kurang dari 13 (tiga belas) tahun. Batasan ini sesuai dengan batasan yang dikemukakan oleh Brumfit, Moon dan Thonger. Zaenab (2015;33) dalam bukunya berjudul profesionalisme guru PAUD menuju NTB bersaing menyatakan bahwa pendidikan bagi anak usia dini sangat penting yang di latar belakangi oleh 3 (tiga) hal, yaitu: SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
105
1. Anak adalah penentu kehidupan dimasa mendatang. Pembentukan karakter bangsa dan sumber daya manusia ditentukan oleh bagaimana memperlakukan yang tepat kepada mereka sedini mungkin. 2. Usia sejak kelahiran, sampai 8 tahun merupakan usia yang sangat kritis bagi perkembangan anak. Stimulasi yang di berikan pada anak usia dini akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan anak serta sikap dan prilaku sepanjang rentang hidupnya. 3. Penelitian menunjukkan bahwa anak sejak lahir memiliki kurang lebih 100 milyar sel otak. Sel-sel saraf ini harus rutin diberikan stimulasi dan di dayagunakan agar terus berkembang jumlahnya sehingga mengurangi dampak pengurangan potensi kecerdasan anak.
106
2.3 Pembelajaran Etika Yoga Dalam Membentuk Karakter Jujur Anak Usia Dini Pengertian belajar telah mengalami perkembangan secara evolusi, sejalan dengan perkembangan cara pandang dan pengelaman para ilmuan. Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan nilai filosofis yang dianut dan pengalaman para ilmuan atau pakar itu sendiri dalam mengajarkan peserta didiknya. Pengertian belajar maupun yang dirumuskan para ahli antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang pandangan maupun teori yang dipegang. Belajar adalah suatu aktifitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki prilaku, sikap dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi tahu atau proses memperoleh pengetahuan menurut pemahaman sains secara konvensional, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan, (knowledge), atau a body of kwnoledge (Suyono,2011;9). Menurut Gagne dalam Sanjaya (2008;26), belajar adalah sebuah proses yang didalamnya suatu organisme berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang telatif tetap dan terjadisebagai hasil latihan atau pengalaman. Definisi ini mencakup tiga unsur, yaitu; 1. Belajar adalah perubahan tingkah laku, 2. Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman, 3. Perubahan tingkah laku tersebut relative permanen atau tetap ada untuk waktu yang cukup lama. Istilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran. Pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk membelajarkan siswa yang belajar (Hasanah,2012;85).
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Pembelajaran etika yoga yang pertama yang dapat dilakukan orang tua atau pendidik kepada anak usia dini dalam melakukan pembelajaran etika yoga yaitu dengan menanamkan konsep etika dan moral berupa pengendalian diri tingkat dasar dari astangga yoga yang terdiri dari Yama dan Niyama Brata. Dewasa ini banyak fenomena terjadi di indonesia, yang menunjukkan menurunnya pengaplikasian sikap ketimuran bangsa yang dikenal dengan sopan santun serta adat istiadatnya. Terutama sikap jujur, karena bukan hal yang asing lagi, kebiasaan untuk berbohong sudah awam dilakukan oleh anak bahkan yang masih berada di usia dini. Sikap berbohong ini merupakan penyimpangan sikap yang terjadi terhadap 18 nilai pendidikan karakter yang ada di indonesia yaitu nilai jujur, hal ini tidak jarang juga dilakukan oleh anak-anak untuk menyelamatkan dirinya dari amarah atau hukuman orang dewasa. Jika dilihat dari sisi yang lain, orang dewasa menginginkan anaknya melakukan prilaku jujur tetapi terkadang orang dewasa tidak sadar dan tidak mendidik bahkan mencerminkan tindakan tidak jujur tersebut kepada anaknya sehingga secara sadar maupun tidak, seorang anak akan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Dalam ajaran agama hindu sesungguhnya penanaman nilai kejujuran sudah seharusnya ditanamkan sejak kecil. Bahkan nilai kejujuran yang terdapat di pendidikan karakter saat ini sudah di anut oleh hindu sejak dahulu, hal ini ditunjukkan dari ajaran etika yang terdapat dalam yoga. Salah satu bagian dari panca yama brata yang merupakan bagian awal dari astangga yoga, yaitu satya (jujur), ini menunjukkan bahwa dalam ajaran etika yoga yang terdiri dari astangga yoga dapat di terapkan bagi anak usia dini demi membangun karakternya menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan menceritakan epos maupun cerita yang bersumber dari itihasa dan purana bahkan tantrik, dari cerita tersebut anak dapat berimajinasi dan bercemin sehingga dapat menstimulasi perkembangan jiwa keagamaan dan juga perkembangan karakter anak. Karena menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religios on Children ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anakanak itu melalui tiga tingkatan, salah satunya yaitu: The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng), Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini akan menghayati konsep ke Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Mengacu pada pernyataan tersebut hal menjadi suatu dilema yang terjadi karena kurangnya kesadaran orang tua untuk mau mendongeng (Jalaludin;1996;66). SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
107
Sebagai contoh pada epos mahabaratha saat kunti diberikan kesempatan oleh bhatara surya mengucapkan permintaan dan akhirnya ia menyesal akan permintaan yang disampaikannya tanpa berfikir panjang terlebih dahulu dan pada saat yudistira menginjakkan langkah pertamanya di neraka loka karena berbohong atas kematian anak gurunya drona. Dari beberapa contoh cerita tersebut seorang anak usia dini mengetahui betapa pentingnya menjaga perkataan karena perkataan adalah doa dan tidak dapat ditarik lagi, sehingga anak akan mengerti dan menyadari pentingnya menjaga perkataannya. Pembelajaran etika kedua dilakukan dengan mengajak anak melakukan aktivitas fisik berupa latihan dasar asana dan pranayama yang merupakan tingkatan ketiga dan keempat dari astangga yoga. Latihan asana dan pranayama dapat dilakukan dengan mengajak anak berolahraga maupun melakukan gerakangerakan yoga bagi anak-anak sambil bermain, seperti padmasana (sikap lotus), bhujanggasana (sikap kobra), sikap kelinci, sikap bayi, sikap pohon bahkan suryanamaskara, karena pada latihan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi serta terjadi trasformasi dari latihan fisik menuju kesehatan jasmani dan pra spiritual karena anak mengetahui kemampuan tubuhnya sendiri dalam melakukan gerakan yoga tersebut, yang di pengaruhi oleh kelenturan tubuh dan kondisi fisik yang dimiliki anak. Pembelajaran etika terakhir bagi anak usia dini terdiri dari pratyhara, dharana, dhyana dan samadhi dapat dilakukan dengan mengingatkan dan mengenalkan anak untuk berkonsentrasi pada saat melakukan doa atau bahkan melakukan trisandya. Pada saat melakukan trisandya anak diingatkan untuk berkonsentrasi pada nafas, kemudian mulai melantunkan mantra dengan santai dan perlahan hingga membayangkan cahaya atau wujud deva di dalam pikiran mereka, dengan melakukan ini anak secara perlahan melatih pratyhara, dharana, dhyana dan samadhi pada tingkat dasar. Jadi para pendidik seperti guru maupun orang tua diharapkan melakukan pembelajaran etika yoga kepada anaknya, terutama yang merupakan anak usia dini dengan memberikan latihan astangga yoga melalui tahapan pembelajaran yang diawali dengan latihan etika dan moral melalui latihan yama dan niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan asana dan pranayama, yang dilanjutkan dengan latihan mental melalui latihan prathyhara, dharana, dhyana dan samadhi sehingga karakter jujur yang di miliki oleh seorang anak usia dini tidak goyah dan tetap mantap, serta mencerminkan sikap anak yang suputra. 108
III. Penutup Pendidikan agama di perlukan dalam mendukung tujuan pendidikan nasional agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini di SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
tunjukkan pemerintah dengan melakukan program berupa penanaman 18 nilai pendidikan karakter yang sangat penting ditanamkan sejak dini pada anak, salah satunya yaitu karakter jujur. Karena stimulasi yang di berikan pada anak usia dini akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan anak serta sikap dan prilaku sepanjang rentang hidupnya. Salah satu pembelajaran agama Hindu yang dapat di terapkan bagi anak usia dini adalah pembelajaran etika yoga, yaitu dengan memberikan latihan astangga yoga melalui tahapan pembelajaran yang diawali dengan latihan etika dan moral melalui latihan yama dan niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan asana dan pranayama, yang di lanjutkan dengan latihan mental melalui latihan prathyhara, dharana, dhyana dan samadhi sehingga karakter jujur yang di miliki oleh seorang anak usia dini tidak goyah dan tetap mantap, serta mencerminkan sikap anak yang suputra. Daftar Pustaka Darmawan, Rahmat. 2004. Kundalini Dharmayoga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Hasanah, M.Ed, 2012. Pengembangan Profesi Keguruan, Pustaka Setia: Bandung, Jalaluddin, 1996. Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jalaludin ,H, Abdullah. 2013. Filsafat pendidikan manusia, filsafat dan pendidikan. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada Peraturan Presiden no 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama. PDF Sanjaya, 2008. Strategi Pembelajaran; Berorentasi setandar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Saraswati, Swami Satyanada. 2002. Asana, Pranayama, Mudra, Bandha. Surabaya: Paramitha Somwir. 2009. Yoga dan Ayur Weda. Denpasar: Bali-India Foundation Sukayasa, I Wayan. 2015. Jurnal berjudul “Yoga; Teori dan Metode Psikologi Hindu” Program Pasca Sarjana IHDN Denpasar; Sukardjo ,M . 2013. Landasan Pendidikan konsep dan aplikasinya. Jakarta;Rajawali Pers Suyadi. Strategi Pemebelajaran Pendidikan Karakter. 2013. Bandung. Remaja Rosdakarya Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. PDF Zaenab,Siti. profesionalisme guru PAUD menuju NTB bersaing. 2015. Malang. Selaras Sumber Internet http://hindualukta.blogspot.co.id/2016/05/pengertian-pancasatya-dan-bagian.html (Download 07 Juli 2016) SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
109
PENGENALAN NILAI ETIKA DAN KETUHANAN BAGI ANAK USIA DINI DALAM GEGURITAN PATI JLAMIT Oleh:
Ni Putu Witarsih Abstrak
Geguritan merupakan jenis karya sastra yang cukup mendapat perhatian dan sambutan dari masyarakat Bali. Cara penyampaian geguritan termasuk unik, karena disampaikan dengan cara dinyanyikan, biasanya dilakukan oleh dua orang, satu menyanyi sedangkan satunya lagi sebagai pengarti (pengapresiasi). Seni geguritan ini biasanya dipentaskan pada saat mengiringi upacara agama terutama panca yadnya dalam kegiatan pesantian atau mabebasan. Biasanya pada saat upacara, geguritan yang sudah berupa kaset sering diperdengarkan kisah-kisah dari geguritan yang mengandung berbagai macam nilai. Geguritan Pati Jlamit merupakan karya besar (master piece) dari Ida Bagus Ketut Sudiasa yang setelah didiksa bergelar Ida Pedanda Ketut Sidemen.. Naskah geguritan ini sangat penting untuk diteliti mengingat geguritan ini sarat dengan nilai keagamaan, sehingga sangat perlu diteliti, dihayati dan diamalkan serta disebar luaskan di kalangan masyarakat agar dapat meningkatkan rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Kata Kunci: Nilai Etika, Anak Usia Dini, Geguritan Pati Jlamit I.
110
Pendahuluan
Geguritan Pati Jlamit tersimpan di Geriya Taman di tempat dimana geguritan ini diciptakan oleh Ida Bagus Sudiana. Keberadaan hasil ciptaan beliau tidak dipublikasikan, sehingga naskahnya hanya ada satu. Bentuk naskah dari geguritan Pati Jlamit ini sangat unik karena masih memakai bentuk klasik ditulis pada kertas dengan memakai dua huruf yakni huruf Bali dan huruf Latin. Di atasnya huruf Bali dan kemudian di bawahnya kembali ditulis memakai huruf Latin. Menurut pengarangnya bentuk naskah dari Geguritan Pati Jlamit dibuat seperti itu supaya dapat dibaca oleh pembaca yang bisa membaca salah satu yakni huruf Bali atau huruf Latin. Keistimewaan dari Geguritan Pati Jlamit, yang menarik untuk diteliti adalah pada isi/intisarinya berupa teks tutur yakni nasehat atau petuah yang disampaikan dengan wanti-wanti oleh guru rupaka (orang tua) dalam hal ini diperankan oleh I Bregah kepada anaknya I Jujut perihal Ketuhanan, adat istiadat dan sosial religius. Pati Jlamit secara etimologi dalam Kamus Bahasa Bali mempunyai arti sama dengan pati kacuh, ngawag-awag. Contoh: omongne pati jlamit, artinya bicaranya tidak karuan (Simpen, 1985:98).
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
II.
Pembahasan
Filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian integral dari agama di India. Filsafat merupakan pencarian rasional ke dalam sifat kebenaran atau realitas, yang memberikan pemecahan yang jelas guna memajukan permasalahan-permasalahan yang halus dari kehidupan. Ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan dari penderitaan dan kematian serta memperoleh kekekalan dan kebahagiaan hidup (Svami Sivananda,1997:165). Filsafat bisa membantu umat manusia untuk mengetahui atau menjawab permasalahan yang muncul dalam benak manusia. Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi adalah tunggal adanya. Hal ini terdapat dalam Upanisad yang menyebutkan: ekam eva adwitiyam Brahman Terjemahan: Hanya satulah Brahman (Ida Sang Hyang Widhi) itu tidak ada duanya. Dalam geguritan Pati Jlamit kita akan dapat temukan nama-nama Tuhan sesuai dengan Keesaan dan manifestasi Beliau, seperti yang terdapat dalam bait berikut ini. Hal ini efektif dikenalkan pada anak usia dini: ratu Sang Hyang Tri Purusha/miwah Sang Hyang saraswati/ Kalih Sang Hyang Kawiswara/ngurupang jagate sami/Sang HyangTiga Mraga luih/ngardi ngurip laut muput/utpti stiti praline/ngebek ring jagate sami/yan ring tutur/ I ratu Hyang Tri Purusa (GPJ.1:1). Terjemahan: Ratu Sang Hyang tri Purusa / juga Sang Hyang Saraswati / beserta Hyang Kawiswara / menghidupkan dunia semua / Sang Hyang Tiga berbentuk kepintaran / menciptakan menghidupkan dan menghancurkan / Utpti, stiti Pralina / Engkau berwujud Hyang Tri Purusa. Di dalam Vrhaspati tattwa, Ida Sang Hyang Widhi itu dilukiskan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu Sang Hyang Parama Siwa dalam wujud Beliau yang non aktif, tidak bisa dilihat dan diraba dengan panca indra, beliau sebagai sada Siwa dalam wujud beliau yang setengah aktif, beliau sebagai raja dan gurunya dewa-dewa, beliau sebagai penguasa alam bawah (bhur loka). Beliau aktif langsung mengatur dunia ini. Sang Hyang Saraswati menurut perspektif Geguritan Pati Jlamit merupakan dewa ilmu pengetahuan, sedangkan Hyang Kawiswara adalah Tuhannya para pengarang, kemudian disinggung disana tentang Sang Hyang Tiga (Brahma, Wisnu dan Siwa) dimana beliau merupakan pencipta alam semesta ini kemudian memelihara dan meleburnya guna tetap terjaganya keseimbangan alam semesta ini. Adapun bagian dari Geguritan Pati Jlamit yang menguraikan tentang adanya kehidupan di dunia ini, disebabkan oleh kemahakuasaan Tuhan, dilukiskan dalam bait berikut ini. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
111
112
cening ingetang setata / subakti tekening Widhi /setata patut laksanang/mahaturan sebit sari / wireh Ida ngaweacanin / krana bapa cening idup /digumine ajak makejang / Sang Hyang Widhi ngemretanin /sangkan patut / Ida baktinin setata”(GPJ.I:28). Terjemahan: Anakku ingatlah selalu / bakti pada Tuhan / selalu laksanakan / menghaturkan sesajen/karena beliau juga menyebabkan / karena kamu dan bapak hidup / di dunia semua / Tuhan yang menghidupkan / patutlah kamu / bakti selalu. Dari kutipan di atas jelaslah digambarkan bahwa I Bregah selaku orang tua mengingatkan anaknya I Jujut agar senantiasa ingat dan bakti kepada Tuhan. Salah satunya dengan mempersembahkan sesajen, karena adanya dunia ini dan segala isinya disebabkan oleh kemahakuasaan Tuhan. Dalam geguritan Pati Jlamit ini juga dibahas tentang keesaan Tuhan beserta sifatNya yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra namun bisa dirasakan oleh jiwa, seperti yang dilukiskan dalam bait ini. bhatara maraga tunggal/kawabas ngebekin gumi/mraga ada tuara ada/di keneh hening malinggih/dija cening mangabakti/Ida suba ada ditu/di keneh ceninge percaya/ditu Bhatara malinggih/tusing tepuk/buka angine umpama” (GPJ. I:43). yan rawosang tusing ada/ada jatinnyane cening/warnan Ida tusing tawang/tuara bakat ban ngusudin/keto pragan Sang HyangWidhi/ento makrana ada liu/tongosne ngastiti Ida/pada mandel niri-niri/onya patut/pada nyembah Sang Hyang Tungga”(GPJ.I:44) yadin dija cening nyembah /sinah ngincep Sang Hyang Widhi/tusing ada buin lenan /Sang Hyang Tunggal Sang Hyang Widhi / krana yan cening mabakti / besikang kenehe malu / incep Ida Sang kasembah /ento nyandang paurukin/pangda ngapung / kewala nyakupang lima”(GPJ.I:45) Terjemahan: Tuhan dikatakan satu/memenuhi dunia/bersifat ada tidak ada/dihati yang hening bertempat/dimana kamu sembahyang/beliau sudah ada disana/dipikiran kamu percaya/disana Tuhan bertempat/tidak terlihat/bagaikan angin perumpamaannya. Kalau bilang tidak ada /ada sebenarnya anakku/wujud beliau kita tidak tahu/tak mampu disentuh/begitulah wujud Tuhan/itu menyebabkan ada banyak/tempat memuja beliau/sesuai kepercayaan masing-masing/semua benar/sama-sama menyembah Tuhan yang tunggal. Walaupun dimana anakku memuja/pasti memuja Tuhan/tidak ada lagi yang lain/kepada Sang Hyang Tunggal/ karenanya kalau anakku sembahyang/satukan pikiran SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
dulu/pusatkan pikiran pada yang disembah/itu patut dipelajari/supaya tidak ngambang/sekedar mencakupkan tangan. Tuhan adalah esa dan memenuhi dunia ini. Dalam ajaran agama Hindu, empat kemahakuasaan Tuhan disebut Cadu Sakti yakni Wibhu Sakti (maha ada), Prabhu Sakti (maha kuasa), Kriya sakti (maha karya) dan Jnana Sakti (maha tahu). Beliau juga berada dalam hati yang hening. Sedangkan delapan keistimewaan, keagungan dan kewibawaan Tuhan sebagai sadha Siwa disebut Asta Iswarya. Kepribadian Beliau juga dilukiskan dalam bait berikut ini. buin bapa ngalanturan/DewaBrahma Hyang Widhi/yaneng suba mabesikan/bayu sabdha idep cening/ditu ida kaparabin/teken anake manyungsung/kaparabin Sang Hyang Tunggal/manggeh panyungsung gumu/buin liu/parab Bhatara yan satuang(GPJ. I:71). ida maraga Sang Hyang Titah/Sang Hyang Widhi Ida masih/Ida Sang Hyang Tri Samaya/Sang Hyang licin ida masih/Ida Sang Hyang Taya Jati/paragon idane liu/Brahma Wisnu Maheswara/paragon idane buin/cening jujut/gumine paragon Ida”(GPJ. I:72). Terjemahan: Lagi bapak melanjutkan/Dewa Bhatara Hyang Widhi/ kalau sudah menyatu/bayu,sabda dan idep, anakku/di sana beliau dinamai/oleh orang yang menyembah/disebut Sang Hyang Tunggal/sebagai pemujaan dunia/lagi banyak/nama Tuhan kalau diceritakan. Beliau berwujud Sang Hyang Titah /Sang Hyang Widhi beliau juga/beliau Sang Hyang tri Semaya /Sang Hyang Licin juga Beliau/Beliau Sang Hyang Taya Jati / wujud beliau banyak/ Brahma Wisnu Maheswara / wujud beliau lagi/anakku Jujut/dunia ini wujud beliau. Terjemahan di atas menggambarkan bahwa Tuhan memiliki banyak nama dan diwujudkan oleh manusia dengan berbagai bentuk kebesaran. Konsep dasar kepercayaan agama Hindu adalah monotheisme. Sebagaimana diketahui dewa-dewa yang jumlahnya banyak sebenarnya berasal dari kata dev yang artinya sinar(nuri). Karena Ida Sang Hyang Widhi itu dibandingkan seperti matahari dengan sinar-sinarnya. Beberapa banyaknya sinar matahari? Begitu pulalah banyaknya dewa-dewa. Kalau matahari tidak ada, secara otomatis sinar-sinar itupun tidak ada. Kita bisa menyebutkan bahwa matahari itu panas, tetapi sebenarnya matahari belum pernah menyentuh tubuh kita. Yang langsung menyentuh dan menyebabkan panas adalah sinarnya. Ida Sang Hyang Widhi, beliau tidak langsung menganugrahi sesuatu kepada kita (manusia) tetapi beliau memakai perantara-perantara yang disebut dewa (putra,2005:2). Umat Hindu yakin akan adanya atman atau roh yang memberikan hidup kepada semua makhluk ciptaan Tuhan, termasuk pada diri SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
113
114
manusia. Mereka yakin bahwa ketika manusia meninggal, roh itu keluar meninggalkan raganya. Badan jasmaninya yang terdiri dari unsur panca maha bhuta akan kembali ke asalnya, sementara itu roh tetap hidup. Ketika roh ada dalam tubuh manusia dan mengadakan kontak hubungan dengan dunia, dia disebut jiwa(Pidarta,2005:5). Dalam geguritan Pati Jlamit keberadaan atman yang menghidupkan makhluk hidup dapat dilihat pada bait berikut: jalan saratang itungang/apang tepuk/tongose bakal makelid/saratang cening mauruk/tusing ada buin lenan/idup jani/Sang Hyang Atma tuah ngepu/makanti tekening awak/keto sujatine cening”(GPJ. II:18). yaning jele ban matingkah/tusing buwung/ Sang Hyang Atma nandang sakit/yan solah cening luung/Sang Hyang Atma ledang pesan/patut jani/mungpung awake nu hidup/huripe anggon jalaran/ngalih bekel hidup mati”(GPJ. II:18). Terjemahan: Mari usahakan memperhitungkan / supaya terlihat/tempat untuk menghindari / usahakan belajar anakku / tidak ada lagi yang lain / hidup sekarang / Sang Hyang Atma yang memelihara/bersahabat dengan tubuh/seperti itu sebenarnya anakku. Kalau buruk tingkah laku kita/pastilah/Sang Hyang Atma menderita sakit/ kalau perbuatanmu baik/Sang Hyang Atma sangat berbahagia/sekarang pastikan/selagi diri masih hidup/hidup pakai sarana/mencari bekal hidup dan mati. Percikan terkecil dari Tuhan yang ada dalam diri kita yang memberi kehidupan adalah atma, seperti yang Dijelaskan dalam pupuh pangkur bait 17 di atas yakni keberadaan atma sebagai sahabat dan pemelihara tubuh (badan kasar). Dalam pupuh pengkur bait 18 di atas, kemudian dijelaskan mengenai ajakan untuk mengusahakan perbuatan yang baik, mumpung masih hidup. Keberadaan atman dalam geguritan Pati Jlamit juga tampak pada kutipan berikut. tusing ban ngaben myast/cening Jujut/atmane neraka mirib/yan mabiya mirib luwung/atman e bakal nyuarga/yan kenehin/tusing keto cening Jujut/yan solahe saja melah/swarga bakat yaning mati”.(GPJ.II:22). Terjemahan: Tidak dikarenakan ngaben tingkat rendah/ anakku Jujut/ atma akan dapat neraka/kalau ngaben besar pasti baik/atma mendapat sorga/kalau besar dipikir/tidak seperti itu anakku Jujut/kalau kita selalu berbuat baik/sorga yang didapat apabila meninggal. Dari uraian di atas dapat ditangkap maksud pengerang yang menjabarkan tentang keberadaan atman yang dipengaruhi oleh baik buruk perbuatan manusia. Jika manusia menanam kebaikan maka atman yang memberikan kehidupan akan mendapat kebahagiaan yang kekal. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Dalam geguritan Pati Jlamit uraian tentang karmaphala dapat dilihat pada kutipan berikut ini. tusing ada buin lenan/bakal tepuk/yaning idup yadin mati/jele melahe manugtug/nto mawaksuarga neraka/tusing palas/bareng ajak mati idup/karma pala ngaliang mamban/yan kalaning ceningmati”(GPJ.II:20). laksanane bakal nandan/nto tuut/ngaliang tongos yaning mati/tusing dadi baan ngalingkung/pang da kena karmaphala/tuara dadi/ulian bebantene liu/atmane apang nyawarga/aluh yaning keto cening”(GPJ.II:22) tusing ban ngaben myast/cening Jujut/atmane neraka mirib/yan mabiya mirib luwung/atman e bakal nyuarga/yan kenehin/tusing keto cening Jujut/yan solahe saja melah/swarga bakat yaning mati”.(GPJ.II:22). diapin swasta ya ngabenang/tusing buung/atmane nyuwarga cening/yaning laksanane ngacuh/diapin biane ngabenang/jele pasti/tusing buung neraka katepuk/keto cening kebawosang/solahe melahang cening”GPJ. II : 23). I Jujut masaut nimbal/inggih bapa/uning titiang sampun mangkin/sakadi bawose wau/yan sampun solahe melah/yaning mati/swargane pacang kapangguh/yadin tan wenten abenan/atmane mamanggih becik”(GPJ.II:24) kenehe mesuang laksana/keto bagus/saratang malajah jani/perban awake nu idup/ yan mati bakal kadidian/ tusing ada/nyama braya dadi nutug/saja winin I laksana/satata bareng nututin”(GPJ. II:33). karma palane mamandan/ngateh ditu/ngaliang tongos keto cening/nyama braya dadi nutug/ngatehang teked di sema/omya buin/malipetan sedis bekus/mmangenang awake ilang/tuah amonto ya nresnin”(GPJ. II:34) sang Hyang Widhi suba ngaksi/solah bapane makejang/tusing dadi baan ngengkebang/lemah peteng Ida ngaksi/ jele melahe masurat/ di kadituan bakal mamuktiang”(GPJ. IV:15). Terjemahan: Tidak ada lagi yang lain/akan ditemukan/kalau hidup ataupun mati/baik dan buruk selalu mengikuti/itu berwujud surga dan neraka/tidak bisa dipisahkan/mengikuti baik mati maupun hidup/karma phala mencairkan jalan/kalau engkau mati. Perbuatan yang akan menuntun / itu yang diikuti / mencarikan tempat kalau meninggal / tidak bisa untuk menghindari / supaya tidak kena karma phala / tidak bisa / akibat sesajen yang banyak / atman akan mendapat sorga / gampang kalau begitu anakku Tidak dikarenakan ngaben tingkat rendah / anakku Jujut/ atma akan dapat neraka / kalau ngaben besar pasti baik / atma mendapat sorga / kalau besar dipikir / tidak seperti itu
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
115
116
anakku Jujut / kalau kita selalu berbuat baik / sorga yang didapat apabila meninggal. Walaupun ngaben nyuwasta / tidak bakal / atma mendapat mendapat surga anakku/kalau perbuatannya buruk/ walaupun biaya ngaben besar / pasti tidak baik / tidak urung akan menemukan neraka / begitulah disebutkan anakku / berbuat baiklah anakku I Jujut balik menjawab / ya bapak / sekarang saya sudah mengetahui / seperti pembicaraan tadi / kalau perbuatannya sudah baik / kalau meninggal dunia / surga akan di dapat / walaupun tanpa di-aben / atma akan menemukan kebaikan pikiranlah yang tanpa di aben / atma akan menemukan kebaikan pikiranlah yang menyebabkan perbuatan / begitu anakku / giatlah belajar sekarang / selagi kamu masih hidup / kalau meninggal akan sendirian / tidak ada / sanak saudara yang mengikuti / kecuali perbuatan / senantiasa mengikuti / karmaphala menuntun / mengantar di sana / mencarikan tempat begitu anakku / sanak saudara boleh mengikuti / mengantarkan sampai kuburan / semua lagi/ kembali bersedih/ menyesali kita hilang/ hanya begitu dia menyayangi sang Hyang Widhi sudah menyaksikan/ perbuatan bapak semua/ tidak bisa untuk ditutupi/ siang,malam beliau melihat/ baik buruk tertulis/ di alam sana akan terlihat/ sendirian akan membuktikan Dari beberapa kutipan pupuh di atas yang menguraikan tentang karmaphala dapat tepatnya yakni dalam pangkur bait 20 dan 21 di atas yang menyatakan bahwa yang mengikuti kita setelah meninggal adalah baik buruknya perbuatan kita selama masih hidup. Di dalam Lontar Arjuna Wiwaha disebutkan: ikang wibhawa tan wawekan mati Hananya sekarang umeher hurip Pejah pwa kita dusta mantunika Gunanta ginogenta ya nutaken Terjemahan: Segala harta benda dan kebesaran di dunia ini tidak akan dibawa mati. Adanya dia hanya sebentar menunggu selama kita masih hidup. Jika kita meninggal dia akan kembali berbohong (tidak setia), tri guna atau sifat-sifat watak kitalah yang akan selalu mengikuti. Jadi maksud dari kutipan di atas adalah watak yang melahirkan karma baik (Subha Karma) dan karma jelek (Asubha Karma), kemudian segala sesuatu benda duniawi yang kita miliki di dunia ini tidak akan dibawa ketika kita meninggal dunia, kekayaan seperti rumah, dan istri cantik akan menunggu kita selama masih hidup yang akan mengikuti adalah baik-buruk perbuatan selama kita masih hidup. Dalam pangkur bait 21 dan bait 22 juga menjelaskan bahwa tidak bisa dengan upacara besar, sesajen yang banyak atman akan mendapatkan sorga dan tidak pula dengan
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
upacara kecil (dalam ngaben nyuwasta)atman akan mendapatkan neraka. Dalam kutipan pupuh semarandana bait 15 di atas Dijelaskan bahwa Tuhan itu maha tahu dan menyaksikan segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia. I Bregah memberi nasehat kepada anaknya I Jujut bahwa Tuhan adalah saksi abadi yang menyaksikan baik buruk perbuatan di dunia ini. Dari keseluruhan bait pupuh yang menguraikan tentang karmaphala, dapat ditangkap bahwa I Bregah memberi ajakan kepada I Jujut untuk senantiasa berbuat baik karena I Bregah telah menyadari akan Karmaphala yang merupakan hukum Tuhan. Aspek etika yang tercantum dalam geguritan Pati Jlamit menyangkut tentang etika baik yang hendaknya dilaksanakan dan etika buruk yang harus dihindari yang digambarkan oleh pengarang dalam nasihat yang diberikan oleh I Bregah kepada anaknya I Jujut yang tidak bisa dilepaskan dari keyakinan akan kekuasaan Tuhan. I Bregah menasehati anaknya bagaimana seharusnya bertingkah laku di masyarakat agar sesuai menurut pandangan masyarakat. Adapun kutipan yang mengandung nilai etika yakni nasihat yang mengandung nilai tata susila yang diberikan oleh I Bregah didahului oleh pertanyaan I Jujut mengenai cara bertingkah laku di masyarakat yang terdapat dalam kutipan berikut ini: I Jujut malih nakenang/inggih bapa/ sapunapi antuk mangkin/ring jagate mangda patut/rikala nyolahang sikian/mangda keni/sana kabawosan patut/punika bapa nikayang/mangda sida titiang unung”(GPJ. II:1). Terjemahan: I Jujut kembali bertanya/bapak/ bagaimana mestinya sekarang/di dunia ini supaya benar/manakala bertingkah laku/ supaya kena/yang disebut benar/begitu bapa beri tahu/supaya bisa saya tahu Pertanyaan I Jujut dalam kutipan di atas, dijawab oleh I Bregah dalam beberapa kutipan pupuh berikut: bapenne mesaut nimbal/cening Jujut/mula sengkepan ngitungin/ngetekin iwang lan patut/tegar kene ban ngitungang/apang tawang/beneh pelihe nto bagis/yaning cening melaksana/tuara nolih kasamping(GPJ. II :2). Melaksana patut tragin/da suud/ngalih ane kaucap becik/melahe ban ulian patut/pramhe di pajuman/masih cening/saihang di samping laku/di pisaga buin tempayang/alihang di tutur masih(GPJ. II:5). Intipang di karma dresta/kretagama/adhi gamane nto buin/yan ditu suba kapatut/mara nyandang laksanayang/ keto cening/da majalan ulah tulus/ plihe apang bedikan/keto abete ngitungin”(GPJ. II:26). Terjemahan: Bapaknya menjawab/anakku Jujut/memang sulit untuk menentukan/salah dan benar/sekarang seperti ini SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
117
118
hendaknya/supaya tahu/benar dan salah itu anakku/kalau kamu berbuat/jangan tidak melihat kesamping. Berbuat hendaknya mawas/jangan berhenti/mencari yang disebut benar/benar menurut semua/kesamaan di perumahan/juga anakku/bandingkan juga di samping/di tetangga lagi cocokkan/cari di sastra juga. Lihat di karma dresta/kretha gama/adhi gama itu juga/kalau disana sudah patut/baru bias dilaksanakan/begitu anakku/jangan berjalan tergesa-gesa/salahnya supaya lebih sedikit/begitu supaya diperhitungkan. Jadi beberapa kutipan di atas menjelaskan bahwasanya dalam bertingkah laku, hendaknya manusia bercermin dari berbagai segi yakni kebiasaan yang berlaku di masyarakat, cocokkan dengan desa, kala, dan patra serta sastra yang ada. Hal ini sangat relevan dengan isi Manawa Dharma Sastra Bab II.6 yang menyebutkan sebagai berikut: idanim dharma pramanamyaha Vedo‟ khilo dharma mulam Smrtisile ca tadvidam Acanascaiva sadhunam Atmanastustir eva ca. Terjemahan: Seluruh pustaka suci veda merupakan sumber pertama dari dharma. Kemudian adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci veda juga tata cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan pribadi. Adapun dasar yang dipakai acuan oleh I Bregah, mengapa dalam hidup ini. Bertingkah laku sesuai etika yang sesuai dengan pandangan masyarakat dan sastra adalah karena dalam hidup ini dikenal rwa bhineda yakni dua hal yang berseberangan yang keberadaannya selalu konstan, seperti dapat dilihat dalam kutipan berikut. Tuah sengka ban ngitungang/iwang patut/jele melahe nto cening/yan pasajannyane Jujut/liu ajak tusing nawang/beneh pelih/wireh kahanane itu/beten langit duur tanah/demen liu keh ngedegin”(GPJ. II:23) buka tuake upamiang/tusing lung/yan anake tusing bani/ane demen ngorang lung/nto sangkan keweh pesan/bana pangsing/ngorang iwang lan patut/jani kene ban nayanang/pang dadi bedikan pelih”(GPJ. II:4). tusing cening bakal maan/yaning ngalih/digumine tedas bersih/tusing ada melah nerus/onya pada misi cacad/ane ada/ digumine cening Jujut/salingke amun manusia/Sang Hyang Surya cacad masih”(GPJ. II:7). panes idane mangarab/ lintang kebus/ rikala ngalangin gumi/ nake nyemuh ngorahang luwung/ nake opek sanget nyacad/keto cening/yan pinehin ncen patut/kenehe momo ngawanang/to ngranang dadi paling”(GPJ. II:8). SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
patuh teken suka duka/saling tutug/digumine sai cening/manut waneng bakal tepuk/tusing dadi ban ngalobang/apang tusing/kene sebet sakit sungut/sarwa idupe makejang/nandang suka duka sai”(GPJ. II:12) Terjemahan: Memang sulit untuk memastikan/benar salah/baik-buruk itu anakku/sebab sebenarnya anakku/semua tidak tahu/benar salah/karena keberadaannya banya/di bawah langit di atas tanah/senang banyak, banyak yang benci Kalau diumpamakan seperti tuak/tidak bagus/kalau orang yang tidak berani/yang senang mengatakan enak/itu karenanya sulit sekali/supaya tidak/mengatakan salah dan benar/sekarang begini caranya/supaya lebih sedikit salah Tidak anakku akan dapat/kalau mencari/didunia ini bersih semua/tidak ada bagus seluruhnya/semua berisi cacad/yang ada/di dunia ini anakku jujut/ apalagi manusia/matahari cacad juga Panas beliau menyentak/ sangat panas/ tatkala menyinari bumi/yang menjemur mengatakan bagus/yang panas sangat menjelekkan/begitu anakku/kalau dipikir mana yang benar/pikiran terlalu membandingkan yang menyebabkan/ itu menyebabkan jadi bingung Sama seperti suka dan duka/saling mengikuti/di dunia ini setiap hari anakku/ akan ditemukan/tidak bias dengan sifat loba/supaya tidak/kena kesedihan/semua makhluk yang hidup/menahan suka duka setiap hari III. Penutup Dalam kutipan di atas dijelaskan mengenai segala sesuatu bersifat relative. Ada 2 hal yang selalu berseberangan dan selalu konstan di dunia ini yakni benar dan salah, baik dan buruk, siang dan malam. Semua ciptaan Tuhan mempunyai sifat seperti itu karena tiada manusia yang sempurna di dunia ini, matahari pun ada cacatnya. Pada geguritan Pati Jlamit juga dibahas tentang etika memberi yakni menjabarkan tentang pemberian yang pantas diberikan kepada orang lain, seperti yang dilukiskan dalam bait berikut: yan cening saget makidiang/apang manut/teken ane bang ngidih/demeneapang ya patuh/dasarin keneh lascarya/tusing buin/inget teken barang ento/to maadan dana punia/tusing nyandang sambat buin”(GPJ. II:38). patut sikutang diawak/cening jujut/tusing demen mangiwasin/ da makidiang ane keto/digumine jak makejang/pada ngalih/ane madan melah luwung/digumine jak makejang/pada ngalih ane madan melah luwung/yan awake tusing ngangguang/yan pakidiang tan paaji”(GPJ. II:39). SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
119
120
Terjemahan: Kalau seandainya kamu memberi/supaya cocok/dengan yang akan diberi/kesenangannya supaya sama/ didasari dengan hati ikhlas/tidak lagi/ingat dengan barang itu/itu dinamakan dana punia/tidak perlu dikatakan lagi. Patut disesuaikan dengan diri sendiri/anakku Jujut/tidak suka melihatnya/ jangan memberikan yang seperti itu/di dunia ini semua/sama-sama mencari/yang dinamakan bagus/kalau kita tidak suka/kalau diberikan jadinya tanpa nilai. Kutipan di atas berupa nasehat I Bregah kepada I Jujut mengenai ajaran Tattwam asi. Apa yang dilakukan kepada orang lain, patut diukur terlebih dahulu dalam diri. Apa yang baik untuk diri itulah hendaknya dilakukan untuk orang lain, apa yang jelek bagi diri sendiri janganlah hal itu dilakukan kepada orang lain. Selanjutnya tata cara/etika dalam memohon air suci yang berkaitan dengan proses upacara yadnya juga dibahas dalam geguritan Pati Jlamit tepatnya pada bait berikut: yaning cening nunas asuan/tirtha panglukatan buin/wadahnyane to melahang/lumur botol payuk dadi/bungbung anggon luwung masih/da cening ulah aluh/ulah enggal apang maan/cening ngalih kantong plastic/anggan ngaput/di ngabene buin matadtad”(GPJ. I:14) Terjemahan: Kalau kamu mohon air suci/air suci panglukatan/tempatnya itu supaya benar/gelas, botol, wajan boleh/bungbung pakai bagus juga/jangan kamu gampang-gampangan/supaya cepat dapat/kamu mencari kantong plastik/pakai membungkus/waktu membawa lagi dijinjing Etika atau tata cara dalam makan juga dibahas dalam geguritan Pati Jlamit khususnya pada beberapa bagian pupuh dandang yang diawali oleh pertanyaan I Juju kepada I Bregah dalam kutipan berikut: bapa wenten malih mangkin/nikin titiang/ dening katah pisan/bawose titiang tan uning/wenten kasar wenten alus/sapunapi maka jati/rikala majeng ajengan/sane cen iwang lan patut/ yan nyongkok negak masila/yan majalan/sane cen punika bapa nikayang”(GPJ. V:14). Terjemahannya: Bapak ada lagi sekarang/beritahu saya/karena banyak sekali/bahasa yang tidak saya ketahui/ada yang kasar ada yang halus/bagaimana sebenarnya/saat makan/yang mana salah dan benar/kalau jongkok duduk bersila/kalau berjalan/yang mana itu/itulah bapak beritahu Sedangkan jawaban I bregah terhadap pertanyaan I Jujut mengenai etika/tata cara makan dapat dilihat dalam beberapa kutipan pupuh berikut.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Kene cening ada indik/manyinahang/yan cening madaar/amretane pang mesari/negak mesila apang lung/marep kaja kangin dadi/ ditu masasapan/ingetang nto cening jujut/ ong Maha Mretha sapala/Nama Swaha/keto ucapane cening/incep Bathara di awak”( GPJ. V:15) apa luir daar cening/ada ngsap/ngastiti bathara/uningang awake cening/nunas druwen Ida Jujut/apang da kabawos maling/makejang druwen Bathara/ane daar inum Jujut/ane jekjek ane alap/ to makejang/druwen Ida Sang Hyang Widhi/keto cening apang tawang”(GPJ. V:16) suud kaketo mara dadi/cening madaar/patute to laksanang/rikala madaar sai/yaning buka keto/awake bawos maling/wireh tusing buka keto/awake bawos maling/wireh tusing nguningayang/teken Sang Hyang Widhi malu/Ida maduwe makejang/ane ada/tumbuh digumine cening/jalan nunas jak makejang”(GPJ. V:17) yaning cening naar nasi/diapin lenan/da sambil majalan/jele pesan kaadanin/to madan nyeret, Jujut/de cening ngelakonin/yaning nyongkok madaar/ngaloglog adane ento/yan majujuk madaran/jele pesan/ nglaler adane to cening/yan marep kauh mamantet”(GPJ. II:18). Yaning marep kelod cening/madaaran/jele kabawos/nidik adane to cening/yan madaar nyemak baanbungut/mlokpok adane to cening/yan medem sambil madaar/ngamah adannyane nto/jele pesan to makejang/Sang Hyang Mretha/tusing nyrira daar cening/amrethane dadiwesia” (GPJ. V:19). keto kaucap di indik/cening ingetang/da ulah enggal/basange kwala misi/tusing ngitung apa, Jujut/tusing ngugu kakecap indik/patut sastrane tuutang/anggon ngupakara hidup/jelene apang bedik/bakat gisiang/yan sadia buin numadi/dini pikolihe bakat”(GPJ. V:20). suba suud madaar jani/buin ingetang/da masehin lima/dipiringe lad anggon cening/yan suba suud madaar/limane sasadang malu/di tlapakan batise dadua/nto melah/lawutang mabaseh jani/to pangancingan mertha”GPJ. V:21). Terjemahan: Begini anakku, ada ketentuan/menyatakan/kalau kamu makan/amerthanya supaya berguna/duduk bersila supaya baik/menghadap timur laut boleh/di sana lalu berdoa/ingat itu anakku Jujut/Ong maha mretha sapala/nama swaha/begitu mantranya/ingat Bhatara dalam diri Apapun yang kamu makan/jangan lupa/berdoa pada Tuhan/ingatkan dirimu anakku/minta milik beliau, Jujut/supaya tidak disebut pencuri/semua milik Tuhan/yang kamu makan dan minum/yang diinjak, yang dipetik/itu semua/milik Tuhan/begitu anakku supaya tahu
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
121
Setelah begitu baru bisa/kamu makan/wajib itu dilaksanakan/saat makan setiap hari/kalau tidak seperti itu/kamu disebut pencuri/sebab tidak memohon ijin/kepada Tuhan terlebih dahulu/beliau punya semua/yang ada/tumbuh di bumi ini anakku/mari memohon untuk kita semua Kalau kamu makan nasi/dan yang lain/jangan sambil berjalan/sangat jelek itu dinamakan/itu dinamakan nyeret, Jujut/jangan dilakukan/kalau makan sambil jongkok/ngaloglog namanya itu/kalau berdiri makan/kalau menghadap ke barat memantet Kalau menghadap ke Selatan anakku/makan jelek dinamakan/nidik dinamakan itu anakku/kalau makan mengambil dengan mulut/mlokpok namanya itu anakku/kalau tidur sambil makan/ngamah namanya itu/jelek sekali itu semua/Sang Hyang Mretha/tidak menyatu dengan tubuh/amerta menjadi racun Begitu disebut/anakku ingat/jangan tergesa-gesa/perut sekedar berisi/tidak memperhatikan apa/tidak percaya dengan isi sastra/patut sastranya ditiru pakai memelihara hidup/jeleknya supaya lebih sedikit ditemukan/kalau lagi reinkarnasi/disana hasilnya ditemukan Selesai makan sekarang/lagi ingat/jangan membasuh tangan/mengusir amerta namanya anakku/kalau sudah selesai makan/tangannya usapkan dulu/pada kedua telapak kaki/itu bagus/lanjut cuci tangan sekarang/itu penuntun merta Kutipan di atas menjelaskan bahwa tata cara yang benar pada saat makan adalah duduk bersila mengarah ke Utara atau ke Timur. Sebelum makan hendaknya mengucapkan mantra atau doa sebagai ucapan terima kasih karena telah menikmati ciptaan Tuhan sebagai pusat alam semesta. Daftar Pustaka
122
Arnawa, I Putu. 2001, Skripsi: “Peranan Wayang Gedog Dalam Pelaksanaan Macaru Balik Sumpah di Desa Batu Bulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar”, Denpasar: STAH Arwati, Ni Made Sri. 2005. Manusa Yadnya (Upacara Bayi Lahir Sampai Ngotonin). Denpasar. Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama Propinsi Bali. Bagus, Lorenz. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bali Post. Minggu 2 April 2006 hal. 11. UNESCO Beri Penghargaan Kepada Wayang. Bandem, I Made & I Wayan Dibya. 1984. Kesenian Bali. Denpasar: STSI Denpasar Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Dharmodihardjo, dardji, 1980/1981, Sanitasi Pancasila, Malang: Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1996, Kamus bahasa Indonesia-Bali, Denpasar: tanpa penerbit. Geriya, I Wayan, 2000, Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Denpasar: Dinas Kebudayaan Bali. Gunadha, Ida Bagus. 2006. Agama Hindu dan Kebudayaan Bali. Makalah. Denpasar: HIS Tours & Travels. Haryanto, S. 1988. Pratiwingmba Adilihung: Sejarah Dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan. Hastono, Sri. Tt. Wayang Kulit Jawa Perspektif Filosopis Pendidikan dan Nilai Kemanusiaan. Surakarta: STSI. Kadjeng, I Nyoma, dkk. 1999. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita. Legiawan, I Nyoman. 2006. Pementasan Tari Rejang Dari Sasih Kaenem Sampai Sasih Kasanga di Pura Puseh Desa Adat Batuan. Skripsi. Denpasar: UNHI Denpasar. Manuaba, Ida Bagus Rai, 2002, Skripsi: “Fungsi serta Nilai Tokoh Wayang Tualen dan Werdah dalam Upacara Ngulapin Orang Baya di Desa Batu Bulan, kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar”, Denpasar: STAH. Marajaya, 2002. Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Lakon Brahmana Siddhi di TVRI Denpasar: kajian Fungsi dan Makna. Thesis. Denpasar: Program Magister Kajian Budaya UNUD. Nala, I Gusti Ngurah. 2004. Tradisi Bayuh Oton Tepis Watak Jelek. Denpasar: Sarad, Edisi Febuari 2004 halaman 39.. Pitana, I Gde, editor. 1994. Dinamika Ma.syarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar:BP. ______________ Gayatri, G. Putu. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi.
123
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
STRATEGI PENGEMBANGAN SIKAP KEAGAMAAN PADA ANAK USIA DINI Oleh:
Heny Perbowosari Fakultas Dharma Acarya, IHDN Denpasar E-mail:
[email protected]
Abstrak Pengembangan sikap keagamaan pada anak menjadi tugas baik dari orang tua maupun guru. Sebagai orang tua maupun guru harus memahami tingkatan perkembangan keagamaan pada anak sehingga dapat menanamkan sikap keagamaan mulai dari sejak usia dini. Dalam menanamkan sikap keagamaan pada anak perlu dilakukan beberapa hal antara lain : (1) menanamkan sraddha (keimanan), (2) Menanamkan self-esteem (harga diri) yang positif pada anak, (3) Membiasakan anak untuk membaca kitab suci dan memahami maknanya, (4) Melibatkan anak dalam kegiatan ritual keagamaan, (5) Membawa untuk menikmati keindahan alam, (6) Mengikutsertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial. Kata Kunci: Sikap Keagamaan, Anak Usia Dini I.
124
Pendahuluan
Pendidikan dewasa ini berperan penting dalam mewujudkan peserta didik yang memiliki kecerdasan ganda, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual. Dalam membentuk kecerdasan tersebut diperlukan adanya kerjasama antara orang tua, sekolah dan masyarakat. Apabila kita mengamati kondisi pendidikan saat ini, proses pembelajaran yang diberikan di bangku sekolah lebih menonjolkan aspek pengetahuan (kognitif), sedangkan aspek sikap (afektif) dan aspek perilaku (psikomotor) dinomorduakan. Akibatnya peserta didik saat ini tidak memiliki moral dan etika yang baik. Hal ini terlihat dari beberapa permasalahan dalam dunia pendidikan seperti adanya kenakalan pada peserta didik seperti tawuran antar pelajar, menurunnya tata krama kehidupan sosial, etika, moral, dan perilaku keagamaan dalam praktik kehidupan di sekolah. Upaya yang dapat dilakukan oleh para pendidik (guru dan orang tua) dalam menangani hal tersebut diatas diperlukan adanya pembiasaan berperilaku yang baik yang dimulai dari sejak usia dini. Dengan memberikan pendidikan moral dan keagamaan dari kecil, maka akan menjadi pondasi yang kuat dalam kehidupan. Untuk mendapatkan generasi yang berkualitas maka diperlukan adanya strategi pengembangan nilai-nilai agama pada anak usia dini.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
II.
Pembahasan
2.1 Tingkatan Perkembangan Sikap Keberagamaan Pada Anak. Menurut Ernest Harms (dalam Jalaludin, 2002) tingkatan perkembangan agama pada anak terbagi dalam 3 tingkatan, yaitu: 1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng) Pada masa ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun, anak pada masa ini mulai mengenal konsep tentang Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini penghayatan anak-anak tentang konsep ketuhanan itu masih kurang masuk akal, hal ini sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi sehingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsepbfantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. 2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan) Pada tingkat kenyataan dimulai sejak anak-anak masuk sekolah Dasar sampai ke usia adolescence. Pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini mulai tumbuh pada anak melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas emosional, maka pada masa ini mereka telah melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu anak-anak tertarik dan senang pada lembagalembaga keagamaan yang mereka dikerjakan oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindakan amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajarinya. 3. The Individual Stage (Tingkat Individu) Pada masa ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejak perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan pada tingkat individual ini terbagi atas 3 bagian yaitu : a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar. b. Konsep ketuhanan yang lebih murni dengan dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan). c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Menurut Budi Dharmawan ( dalam Bambang Sujiono, 2005) terdapat lima tingkatan spiritual pada anak, yaitu : 1. Spiritual yang hidup Untuk mencapai tingkat spiritual yang hidup, anak harus diajak mengenal penciptanya. Hal-hal yang dapat mengundang kekaguman anak seperti pemandangan atau mahluk ciptaan-Nya melalui cerita atau dongeng. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
125
2.
Spiritual yang sehat Untuk mencapai tingkat spiritual yang sehat, orang tua harus mengajarkan anak untuk memiliki tingkat komunikasi yang baik kepada Tuhan. Misalnya melalui doa, sekaligus mengajarkan mereka cara memberikan komentar positif terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya. 3. Bahagia secara spiritual Untuk bahagia secara spiritual, yang dibutuhkan tidak hanya komunikasi, tetapi anak juga dibimbing untuk memiliki kerinduan terhadap Tuhan. Misalnya apabila ingin masuk surga, harus berbuat baik. 4. Damai secara spiritual Pada tingkatan ini orang tua harus menghidupkan kecintaan kepada Tuhan. 5. Arif secara spiritual Pada tingkat ini anak memiliki kecenderungan untuk memperluas lapangan ibadah.
126
Menurut J.Omar Brubaker M.A dan Robert E. Clark Ed.D (1972) penggolongan usia setiap masa, aspek-aspek kerohaniannya ditandai dengan beberapa periode antara lain : 1. Masa tahun-tahun dasar: bayi dan kanak-kanak (0-2 tahun) Pada masa ini anak selalu bergantung pada orang tuanya. Pola tingkah laku anak-anak usia ini meniru apapun yang dilakukan oleh orang tuanya. Meskipun anak-anak belum mengerti tentang apa yang orang tua lakukan, ia akan menirukan yang dilakukan oleh orang tuanya. Anak-anak dalam mengenal konsep Tuhan dengan menirukan sikap orang tuanya. 2. Masa peniruan dan penemuan; pra sekolah (2-3 tahun) Anak yang berumur 2-3 tahun dapat mengerti tentang Tuhan karena dari cerita atau dongeng dari orang tua. Oleh karena itu orang tua dalam bercerita harus berpegangan pada kitab suci. Selain dari cerita dan dongeng, anak akan meniru orang tuanya dari apa yang dilihatnya dan akhirnya hidupnya mengikuti teladan orang-orang yang ditirunya. 3. Masa pengalaman-pengalaman baru; awal masa kanakkanak (4-5 tahun) Seorang anak dapat belajar mencintai Tuhan sebagaimana ia belajar mencintai orang-orang dalam rumahnya. Mungkin ia tidak mengerti tentang Tuhan sebagai Pencipta atau Yang Maha Tinggi tetapi ia dapat merasakan rasa terima kasih, cinta dan penghormatan serta mengungkapkan perasan-perasaan itu. Pujian dan doa pada anak usia ini harus diutarakan dalam kata-kata yang dapat dimengerti dan hendaknya mengungkapkan perasaannya sendiri.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
4.
Masa dunia yang bertambah luas; pertengahan masa anak (6-8 tahun) Kemampuan anak untuk mengenal Tuhan bertambah ketika dunia lingkungannya bertambah luas dan pengalamannya bertambah banyak. Anak akan dapat lebih mengenal Tuhan setelah ia memasuki lingkungan sekolah, pengalaman akan bertambah setelah mendapatkan pendidikan agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya. Setiap mahluk ciptaan Tuhan sebenarnya sudah memiliki potensi agama yang sudah dibawa sejak lahir. Dengan adanya potensi bawaan ini, manusia pada hakikatnya mahluk beragama. 2.2 Bentuk dan Sifat Agama Pada anak Bentuk dan sifat agama pada anak terbagi atas lima bagian yaitu : 1. Unreflective (kurang mendalam/tanpa kritik) Pemahaman anak terhadap ajaran agama hanya sebatas diterima saja tanpa adanya kritik. Kebenaran tentang ajaran agama yang mereka terima tidak begitu mendalam, hanya sekedar cukup saja dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Konsep ketuhanan pada sebesar 73 % menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Contohnya : Tuhan itu Maha Mengengar, berarti Tuhan itu sama seperti manusia yang mendengar melalui telinga. 2. Egosentris Anak memiliki kesadaran atas diri sendiri sejak pada tahun pertama dalam pertumbuhannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai tumbuh subur pada diri anak, akan tumbuh keraguan pada rasa egonya, semakin bertambah kesadaran tersebut maka semakin meningkat pula egoismenya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Contohnya: apabila kita membangunkan anak untuk sembahyang, ia akan berkata bahwa dirinya masih mengantuk. 3. Anthromorfis Konsep mengenai ketuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya saat ia berhubungan dengan orang lain, dimana pada kenyataannya konsep ketuhanan pada anak tampak jelas menggambarkan aspek-aspek ketuhanan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran anak, mereka menganggap bahwa Tuhan itu sama dengan manusia. 4. Verbalis dan Ritualis Dari kenyataan yang kita alami ternya kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh, mula-mula secara verbal dimana anak menghapal secara verbal kalima-kalimat keagamaan. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
127
Selain itu dari analisis yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diberikan kepada mereka. Latihan-latihan yang ersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat praktis merupakan hal yang berarti bagi perkembangan sikap beragama. 5. Imitatif Anak merupakan peniru yang ulung. Sifat meniru ini merupakan modal yang positif dalam menanamkan pendidikan agama pada anak. Menurut penelitian Gollaaphy dan Young, anak yang tidak mendapatkan pendidikan agama dalam keluarga maka tidak akan ada harapan untuk memiliki kematangan dalam beragama.
128
2.3 Aspek-aspek Pendidikan Agama Pada Anak Pada hakikatnya usaha pendidikan adalah mementingkan aspek-aspek pendidikan dan mewujudkannya secara utuh dan terpadu. Adapun aspek-aspek pendidikan agama tersebut terbagi kedalam 5 aspek yaitu : 1. Aspek Pendidikan Keimanan Pada aspek ini yang harus diberikan kepada anak-anak sejak dini melalui 3 unsur yaitu : a. Ajaran agama mulai dibaca dan diucapkan dengan lisan atau bahkan dihapalkan melalui pikirannya, kemudian diakui kebenarannya dalam hati, agar dapat meresap sedalamdalamnya. b. Memahami pengertian tentang ajaran agama dan mengecamkan dalam pikirannya kemudian diakui kebenarannya dalam hati agar dapat meresap sedalamdalamnya. c. Mengasumsikan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Contoh : guru memberikan hapalan doa sebelum makan, sebelumnya mereka diberikan penjelasan tentang makna dari doa tersebut bahwa apabila sebelum makan kita berdoa berarti kita mengucapkan rasa terima kepada Tuhan atas karunia yang diberikan. 2. Aspek Pendidikan Budi Pekerti Sebelum anak dapat berpikir logis dan memahami hal-hal yang abstrak, serta belum sanggup menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah (wiweka), maka contoh-contoh, latihan-latihan, dan pembiasaanpembiasaan (habbit forming) mempunyai peran yang sangat penting dalam pembinaan pribadi anak. Contoh : pembiasaan melalui makan bersama, sebelum makan cuci tangan, tidak boleh makan sebelum membaca doa. Setelah itu anak-anak dibiasakan untuk membagi makanan kepada temannya dan tidak membawa makanan. Selama makan tidak ada yang jalan-jalan maupun berlari-larian. Seusai makan diakhiri dengan doa. Dengan kebiasaan demikian anak-anak akan terbiasa pada kebiasaan makan tersebut. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
3. Aspek Pendidikan Ilmu Pengetahuan Aspek Pendidikan Ilmu Pengetahuan dapat dilaksanakan dengan 3 cara yaitu : a. Mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan sedalamdalamnya dan menguasainya secara intens dan akurat. b. Mengadakan pengamatan, penelitian terhadap alam semesta dengan berbagai macam kegiatan baik oleh anak maupun orang dewasa. c. Mengamalkan segala ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan untuk pengabdian kepada Tuhan. Contoh : mengajak anak-anak rekreasi di alam bebas kemudian anak-anak diarahkan untuk mengamati alam sekitar, lalu guru memancing dengan beberapa pertanyaan, “ siapa yang menciptakan alam ini ?” , Bagaimana jika tidak ada tumbuhtumbuhan? Dengan demikian anak-anak akan memikirkan bahwa alam ini adalah ciptaan Tuhan. Dengan penanaman spiritual sejak dini akan membuat anak mudah untuk diarahkan dalam memahami keagungan Tuhan. 4. Aspek Pendidikan Sosial Aspek ini dapat dicapai dengan beberapa hal diantaranya : a. Menghormati dan patuh kepada orang tua dan orang dewasa lainnnya. Sangat penting sekali jikalau anak itu diajarkan bagaimana ia harus bersikap kepada orang tua, guru/pengajar dan pendidik, maupun setiap orang yang lebih tinggi usianya dari pada anak itu sendiri, tanpa memandang apakah orang itu masih sekeluarga dengannya atau tidak. Biasakanlah anak mendengarkan ucapan-ucapan yang baik diwaktu orang lain berbicara, terutama dari orang lain yang lebih tua usianya dari dia, dan hendaknya ia dibiasakan suka menghormati orang lain. Dengan demikian anak telah bertambah pengetahuan dan pengalaman setelah bergaul dengan orang dewasa sekaligus belajar untuk berperilaku sopan santón, ramah tamah, saling menghormati, taat dan patuh serta dapat menghargai pendapat dan pembicaraan orang lain, atau sifat-sifat mulia lainnya. b. Merendahkan hati dan lemah lembut Hendaklah dia dibiarkan merendahkan hati dan memuliakan setiap kawan serta senantiasa lemah lembut dalam katakatanya. Anak-anak yang demikian itu akan disenangi teman-temannya dalam pergaulan, sehingga mereka saling merasakan kegembiraan dan kebahagiaan bersama. c. Membentuk sikap dermawan Hendaknya ia diinsyafkan bahwa keluhuran budi itu ialah apabila ia dapat memberi dan bukan menerima. Sikap ini dapat ditanamkan dengan berbagai cara, yaitu latihan, teladan, dan cerita-cerita. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
129
Misalnya, dengan cara latihan ialah pada waktu ada pengemis datang, biarlah anak itu sendiri yang memberikan sesuatu pada pengemis. Cara teladan misalnya pada saat orang tua memberikan sedekah pada tetangganya hendaknya anak diajak serta. Sedangkan dengan cara cerita misalnya kepada anak diceritakan betapa banyak orang yang menderita dan sangat membutuhkan pertolongan, sehingga anak tahu dan sadar bahwa ada orang lain yang masih banyak membutuhkan pertolongannya. d. Mengawasi pergaulan anak Orang tua hendaknya dapat mengetahui siapa saja yang menjadi teman anaknya, sehingga segala tingkah laku anak dapat terawasi dengan baik. 5. Aspek Pendidikan Jasmani Adapun pendidkan jasmani bagi anak dapat terbagi sebagai berikut : a. Kesehatan dan Kebersihan Kebersihan sebagai salah satu faktor dalam kesehatan, bahkan ilmu kesehatan modern pun masih tetap berpendirian bahwa kebersihan merupakan pangkal kesehatan. Oleh karena itu anak harus dibiasakan untuk bersih badan, pakaian maupun lingkungan sekitarnya. b. Membiasakan makan makanan yang baik dan sehat. Pendidikan jasmaniah bagi anak-anak harus memperhatkan masalah kesederhanaan makan dan minum, yakni tidak terlalu berlebihan dan tidak terlalu kekurangan karena keduanya tidak baik bagi kesehatan. c. Bermain dan berolah raga Setiap anak memiliki kebutuhan untuk bergerak dan menggunakan tubuhnya secara bebas. Ia suka berlari-lari, melompat-lompat, memanjat dan melakukan aktivitas lainnya. Oleh karena itu kebutuhan tersebut harus dipenuhi dengan memberikan pendidikan jasmani. Bermain merupakan kebutuhan dasar manusia yang berasal dari dorongan batin dan kebutuhan hidupnya. Setiap anak sejak awal kelahirannya telah tertanam dalam dirinya suatu hasrat untuk bermain, bergerak, dan melatih jasmaniah. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pendidikan jasmaniah tersebut sangatlah relevan dengan pendidikan jasmani yang berkembang dewasa ini, dan dikembangkannya sifat-sifat yang baik dan mulia seperti disiplin, jujur, sportif, tanggung jawab, dan semangat kerjasama .
130
2.4 Penanaman Sikap Keagamaan Pada Anak Sikap keagamaan pada anak seharusnya sudah ditanamkan sejak usia dini. Dimana setiap orang tua dan guru sangat menginginkan agar anak yang dididiknya menjadi anak yang memiliki budi pekerti yang baik. Dalam hal ini orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama harus memberikan contoh yang SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
baik terhadap anak-anaknya. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, orang tua harus bersikap yang baik. Hubungan orangtua dengan anak sangat mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Agar perkembangan kejiwaan anak menjadi baik maka hubungan antara orang tua dengan anak harus harmonis dan penuh kasih sayang. Selain orang yang bertugas menanamkan keagamaan pada anak, guru agamapun memiliki tugas yang cukup berat dalam mengarahkan kepribadian anak disamping memberikan pengetahuan tentang agama kepada anak. Dalam menanamkan sikap keagamaan pada anak yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Menanamkan Sradha (keimanan) Menanamkan Sradha dengan cara memuja keagungan Tuhan yang Maha Esa. Selanjutnya dalam menanamkan religiousitas adalah bahwa ajaran agama tersebut dapat diresapi dalam hati sanubari seorang anak, sehingga setiap perbuatannya mencerminkan pengamalan ajaran agama, termasuk diantaranya mensyukuri penjelmaannya sebagai manusia dengan tekad untuk memperbaiki karma (perbuatan), mengembangkan perbuatan yang baik dan mengentaskan perbuatan yang buruk. Senang mempelajari ajaran agama dan mengembangkan sikap toleransi dan kerukunan hidup beragama yang dilandasi dengan cinta kasih yang mendalam. 2. Menanamkan self-esteem (harga diri) yang positif pada anak Dalam menanamkan harga diri pada anak diperlukan adanya pengembangan komunikasi dengan anak yang bersifat suportif, menghindari adanya kritik yang dapat membuat malu anak, melatih anak untuk mengekspresikan dirinya. 3. Membiasakan anak untuk membaca kitab suci dan memahami maknanya Anak harus dibiasakan untuk membaca kitab suci, agar mereka mengerti, memahami, menghayati dari isi kitab suci. Akan tetapi tidak semua orang menyediakan waktunya untuk memperbincangkan kitab suci dengan anak-anaknya. Disini orang tua seharusnya memberikan cerita-cerita atau dongeng tentang kisah-kisah keagamaan contohnya kisah Mahabharata atau Ramayana kepada anaknya pada waktu malam hari sebelum anak tidur. 4. Melibatkan anak dalam kegiatan ritual keagamaan Kegiatan agama adalah cara praktis untuk tune in dengan sumber dari segala kekuatan. Ambillah bola lampu listrik di rumah anda. Balsa bentuknya, strukturnya, komponenkomponenya, kekuatan cahayanya dan sebagainya. Anda pasti menggunakan sains. Kegiatan agama adalah kabel yang menghubungkan bola lampu, itu merupakan sumber cahaya. Sembahyang, dalam bentuk apapun, mengangkat manusia dari pengalaman fisikal dan material ke pengalaman spiritual untuk, SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
131
kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan terlalu banyak menekankan hal-hal yang formal, berikan kepada anak-anak tentang makna batiniah dari setiap ritus yang kita lakukan. Sembahyang bukan sekadar kewajiban, sembahyang adalah kehormatan untuk menghadap Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. 5. Membawa untuk menikmati keindahan alam Teknologi modern dan kehidupan urban membuat kita tersingkir dari alam. Kita tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari kita berhubungan dengan alam yang sudah dicemari, dimanipulasi, dirusak. Alam tampak di depan kita sebagai musuh setelah kita memusuhinya. Oleh karena itu kita seharusnya membawa anak-anak ke alam yang relatif belum tercemar, ajaklah ke puncak gunung. Rasakan udara yang segar dan sejuk. Mendengarkan kicauan burung yang merdu. Menghirup udara yang segar. Ajaklah mereka ke pantai, dan disuruh merasakan angin yang menerpa tubuhnya, kemudian celupkan kaki kita dan biakan ombak mengelus jemari kita dan seterusnya. Kita seharusnya meluangkan waktu khusus bersama mereka untuk menikmati ciptaan Tuhan, setelah setiap hari kita dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri. 6. Mengikutsertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial Anak diajak untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial, dengan tujuan agar mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh yang sedang mengalami penderitaan dan sangat membutuhkan pertolongan kita, sehingga anak tahu dan sadar bahwa masih banyak orang masih membutuhkan pertolongan dan bantuan kita, serta hal ini akan membuat anak menjadi seorang yang penyayang dan penuh cinta kasih sesama manusia. III. Penutup Dalam mengembangkan sikap keagamaan pada anak usia hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain tentang : (1) tingkatan perkembangan sikap keagamaan pada anak, (2) bentuk dan sifat keagamaan pada anak, (3) aspek-aspek pendidikan agama pada anak serta (4) cara menanamkan sikap keagamaan pada anak. Dengan berbekal hal tersebut maka orang tua maupun guru dapat memberikan nilai-nilai keagamaan kepada anak, selain teladan dari orang tua maupun guru itu sendiri, serta hal tersebut akan berdampak terhadap generasi muda yag berkualitas dan berguna bagi keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa. Daftar Pustaka 132
Bambang Sujiono, 2005, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini, Jakarta, PT Gramedia Bimo Walgito, 1986, Pengantar Psikologi Umum, Jogjakarta, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Brubaker, M.A, J. Omar dan Robert E. Clerk ED., 1972,Memahami Sesama Kita, Jakarta, Evangelical Training Association Calvin S.Hall& Gardner Lindzey, 1994, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), Terj. Supratiknya, Jogjakarta, PT. Kanisius Crijns dan Reksosiswojo,tt. Pengantar di Dalam Praktek Pengajaran dan Pendidikan : Ilmu Jiwa Umum dan Ilmu Jiwa Anak-Anak,Jakarta Noordhoff Kolff Daradjat, Zakiah, 1970, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Bulan Bintang _____________, 1977, Membina nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang Dhammananda, Sri, 2004, Be Happy, Jakarta, Yayasan Penerbit Karaniya Djelantik, Gde Ketut,1969, Hindu Casana, Denpasar, Institut Hindu Dharma. Jalaluddin, 2002, Psikologi Agama, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada ________,2003, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung, PT Mizan ________, 2007, SQ For Kids : Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini, Bandung, PT Mizan Netra AA Gde, 1994, Tuntunan Dasar Agama Hindu, Jakarta, Hanuman Sakti. Ngalim Purwanto, 1995, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya
133
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI DALAM HINDU Oleh:
Ni Wayan Budiasih Dosen Fak. Dharma Acharya, IHDN Denpasar
Abstract Early childhood education is one of the components in the education system for children in Indonesia. This is in line with the concept of Hindu Education since the days of the Upanishads. "Educational activities in the Hindu religion called" aguron-guron "or asewakadharma" with the conception of the teachings of "Catur Asrama". Hinduism has introduced an educational concept that makes human beings capable of eliminating the bad traits, which can be achieved by devotion to four teachers, following the dormitory of Catur Ashrama and other Hindu ethical teachings through strong self-discipline as well as on the basic understanding of child psychology. In an effort to guide the child's mental and spiritual, traditional ways of learning, such as the Balinese tradition, can we turn it on again. For example, melajah sambil megending (learn while singing), melajah sambil mesatwa (learn while you tell it), melajah sambil mecanda (learning while play), melajah sambil megae (learning by doing), and now appear again melajah sambil melali (learning while visiting ). Keywords: early childhood, learning, strategy, Hindu Abstrak
134
Pendidikan anak usia dini adalah salah satu komponen dalam sistem pendidikan pada anak di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan Konsep Pendidikan Hindu sejak jaman upanisad. “Kegiatan pendidikan dalam agama Hindu disebut “aguron-guron” atau asewakadharma” dengan konsepsi ajaran “Catur Asrama”. Agama Hindu telah memperkenalkan sebuah konsep pendidikan yang menjadikan manusia mampu menghilangkan sifat-sifat buruk, yang bisa dicapai dengan bhakti terhadap catur guru, mengikuti jenjang pendidikan catur asrama serta ajaran etika Hindu lainnya melalui disiplin diri yang kuat serta atas dasar memahami psikologi anak. Dalam upaya untuk membimbing mental spiritual anak, cara-cara belajar tradisional, misalnya tradisi orang Bali, dapat kita hidupkan kembali. Sebagai contoh, melajah sambil megending (belajar sambil bernyanyi), melajah sambil mesatwa (belajar sambil berceritera), melajah sambil mecanda (belajar sambil bermain), melajah sambil megae (belajar sambil bekerja), dan sekarang muncul lagi melajah sambil melali (belajar sambil berkunjung). Kata Kunci: anak usia dini, pembelajaran, strategi, Hindu
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
I.
Pendahuluan
Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 14). Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age). Makanan yang bergizi yang seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tersebut (Kuntjojo, https://ebekunt.wordpress .com). Kegiatan pembelajaran pada anak usia dini pada dasarnya adalah pengembangan kurikulum secara konkret berupa seperangkat rencana yang berisi sejumlah pengalaman belajar melalui bermain yang diberikan pada anak usia dini berdasarkan potensi dan tugas perkembangan yang harus dikuasainya dalam rangka pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh anak. Atas dasar pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa pembelajaran untuk anak usia dini memiliki karakteristik (Kuntjojo, https://ebekunt.wordpress.com), sebagai berikut: 1. Belajar, bermain, dan bernyanyi Pembelajaran untuk anak usia dini menggunakan prinsip belajar, bermain, dan bernyanyi (Slamet Suyanto, 2005: 133). Pembelajaran untuk anak usia dini diwujudkan sedemikian rupa sehingga dapat membuat anak aktif, senang, bebas memilih. Anak-anak belajar melalui interaksi dengan alat-alat permainan dan perlengkapan serta manusia. Anak belajar dengan bermain dalam suasana yang menyenangkan. Hasil belajar anak menjadi lebih baik jika kegiatan belajar dilakukan dengan teman sebayanya. Dalam belajar, anak menggunakan seluruh alat inderanya. 2. Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan mengacu pada tiga hal penting, yaitu : (1) berorientasi pada usia yang tepat, (2) berorientasi pada individu yang tepat, dan (3) berorientasi pada konteks social budaya. Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan harus sesuai dengan tingkat usia anak, artinya pembelajaran harus diminati, kemampuan yang diharapkan dapat dicapai, serta kegiatan belajar tersebut menantang untuk dilakukan anak di usia tersebut.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
135
Manusia merupakan makhluk individu. Perbedaan individual juga harus manjadi pertimbangan guru dalam merancang, menerapkan, mengevaluasi kegiatan, berinteraksi, dan memenuhi harapan anak. Selain berorientasi pada usia dan individu yang tepat, pembelajaran berorientasi perkembangan harus mempertimbangkan konteks sosial budaya anak. Untuk dapat mengembangkan program pembelajaran yang bermakna, guru hendaknya melihat anak dalam konteks keluarga, masyarakat, faktor budaya yang melingkupinya. II.
Pembahasan
2.1 Pendekatan Pembelajaran AUD Pembelajaran anak usia dini menurut Rini Andriani (2015, http://www.membumikan pendidikan.com) dapat dikelompokkan menjadi tiga pendekatan, yaitu: pembelajaran bebas, pembelajaran terpimpin, dan pembelajaran kondusif.
Gambar 2.1 Pendekatan Pembelajaran AUD A.
136
Pembelajaran Bebas Pembelajaran bebas merupakan suatu strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna kepada anak. Strategi ini sangat menguntungkan anak yang memiliki kekuatan untuk mandiri. Anak yang mandiri menunjukkan kepemimpinannya, tidak terlalu tergantung guru. Bila perlu anak datang kepada guru. Kreativitasnya dapat berkembang. Iapun tidak canggung, kebutuhan bermain anak dicukupi, kegiatan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
bermain dihargai dan dianggap sebagai cerminan kehidupan yang sebenarnya. Sebaliknya bagi anak yang kurang mandiri, model pembelajaran ini dapat menimbulkan frustasi, tidak tahu apa yang harus dilakukan, putus asa, cemas, bosan, bingung, dan tidak terkendalikan. Pembelajaran bebas memiliki ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Kegiatan pembelajaran berpusat pada anak Memberikan pengalaman langsung pada anak Strategi pembelajaran kurang terstruktur, bersifat fleksibel Kebebasan bermain tidak dibatasi Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak
B.
Pembelajaran Terpimpin Berbeda dengan pembelajaran bebas, pembelajaran terpimpin merupakan strategi yang sepenuhnya dikendalikan guru. Guru lebih banyak berbicara dan anak mendengarkan, mengikuti contoh dan perintah guru, melakukan drill dan latihan sesuai rencana guru. Anak yang tidak dapat menangkap contoh, dipisahkan dan dibetulkan guru. Anak merasa berhasil kalau ia dapat menjalankan apa kehendak guru. Suasana pembelajaran diwarnai oleh banyaknya perilaku yang tidak dibenarkan guru sehingga banyak anak membutuhkan peringatan guru terusmenerus untuk menyelesaikan tugasnya. Beberapa karakteristik pembelajaran terpimpin yaitu: 1. Berpusat pada perilaku mengajar guru 2. Kreativitas anak kurang berkembang 3. Menyajikan konsep dan berbagai materi dalam suatu proses pembelajaran untuk dikuasai anak 4. Menekankan disiplin, keteraturan prosedur, dan menghargai senioritas 5. Hasil belajar ditentukan oleh kegiatan-kegiatan guru dalam mengajar C.
Pembelajaran Kondusif (Supportive climate) Pembelajaran kondusif ini merupakan kombinasi antara suasana pembelajaran bebas dengan suasana pembelajaran terpimpin. Guru dan anak berbagi proses pembelajaran dan pengalaman. Guru berusaha menyeimbangkan secara efektif antara kebebasan aktif bereksplorasi dan membatasi agar merasa aman ketika belajar. Guru mencipta lingkungan pembelajaran dengan penuh pilihan minat. Keteraturan dalam rutinitas. Anak diberi penguatan untuk mengekspresikan diri dan menjalankan keinginannya. Meskipun tugas telah direncanakan oleh guru, anak tetap berkesempatan untuk mengambil keputusan pilihan materi dan bahan. Sepanjang hari guru bertindak sebagai partner yang menaruh minat pada apa yang dilakukan anak. Guru mengamati, mendengarkan, berinteraksi, membesarkan hati anak, membantu SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
137
memecahkan masalah. Guru memberi model perilaku yang benar dan mengkaitkannya dengan pengalaman anak. Keterlibatan anak untuk bertanggung jawab atas solusi atau hasil pemecahan masalahnya sendiri. Mencipta suasana yang supportive mendukung kebutuhan anak. Anak belajar aktif, mereka fokus pada minat, dan inisatifnya, mencoba ide, bicara tentang apa yang dilakukan, memecahkan masalah sendiri. Karakteristik utama pembelajaran kondusif antara lain: 1. Pengalaman dan kegiatan belajar re1evan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak. 2. Menyenangkan karena bertolak dan minat dan kebutuhan anak. 3. Hasil belajar akan bertahan lebih lama karena lebih berkesan dan bermakna. 4. Mengembangkan keterampilan berpikir anak dengan permasalahan yang dihadapi. 5. Menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerja sama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain.
138
2.2 Pengasuhan Anak Usia Dini dalam Hindu Kedudukan Weda sebagai sumber pendidikan dalam agama Hindu dikarenakan Weda dan susastra Hindu lainnya merupakan pedoman yang menuntun hidup manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Proses pendidikan di dalam agama Hindu, berdasarkan atas konsepsi ajaran “Catur Asrama”. Catur Asrama adalah empat lapangan hidup berdasarkan petunjuk kerohanian yaitu (Suarta, 2015: https://plus.google.com): 1. Proses pendidikan atau lapangan hidup yang pertama adalah Brahmacari Asrama, ialah masa menuntut ilmu atau masa menuntut dharma sebagai tujuan hidup, realisaasinya kini ialah pendidikan di dalam keluarga dan di sekolah-sekolah formal maupun informal. 2. Proses pedidikan atau tahapan hidup yang kedua adalah Grhasta Asrama, yaitu masa hidup berumah tangga. 3. Proses pendidikan atau tahapan kehidupan yang ketiga adalah Vanaprastha Asrama, yaitu suatu masa, sewaktu orang mulai meninggalkan kegiatan keduniawian dengan mengasingkan diri. Realitasnya kini adalah masa purnabhakti atau purna tugas (pensiun) dari tugas sehari-hari untuk memasuki kehidupan rohani (spiritual). 4. Proses/ tahap atau lapangan kehidupan yang terakhir adalah Sanyasin atau Bhiksuka, yaitu suatu lapangan hidup saat seseorang benar-benar telah dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi, dan sepenuhnya hidup untuk mengamalkan dan menyebarkan ajaran dharma utamanya membulatkan diri untuk terjun sepenuhnya ke dalam kehidupan rohani (Titib, 2003: 15-16).
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Dalam proses pendidikan, para tokoh pendidikan Hindu kuno juga telah memperhatikan psikologi pendidikan, misalnya pemberian pendidikan hendaknya memperhatikan perkembangan usia anak didik. “Psikologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan prosesproses mental yang berpengaruh pada perilaku” (Muda, 2006:431). Pendidikan berdasarkan perkembangan usia menurut Hindu yang dirumuskan oleh Maharsi Canakya dalam bukunya Nitisastra II.18 sebagai berikut: “Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikan hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman”(Titib, 2003: 32).
Anak Usia Dini dimulai pada waktu bayi baru lahir. Setelah dimandikan, orang tuanya membisikkan "sesuatu" pada lubang telinga si jabang bayi yang baru lahir. Itulah pelajaran pertama yang diterima anak. Pustaka Susruta Samhita memberikan petunjuk agar orang tuanya menuliskan aksara Omkara (OM) dengan madu pada lidah si bayi, dan mengucapkan Om Veda asi pada telinga kiri dan kanannya, dengan maksud memberikan nama Veda kepada bayi itu. Dewasa ini, umat Hindu umumnya membisikkan Gayatri Mantram pada lubang telinga kiri dan kanan bayi yang baru lahir dengan harapan agar si bayi mendapatkan perlindungan dari pengaruh-pengaruh negatif, termasuk sifat-sifat keduniawian (Suja, 2004: http://phdi.or.id). Penyambutan bayi yang baru lahir dengan aktivitas spiritual seperti itu sangat sejalan dengan keadaan di bayi. Pada awalnya, kekuatan spirit atma memegang peran utama terhadap perkembangan fisik dan mentalnya. Lingkungan spiritual sangat berpengaruh terhadap kehidupannya karena ia ada dalam keadaan trance (kesurupan) oleh atma. Sebagai bukti, kita sering memperhatikan bayi tersenyum, tertawa, atau bermain sendiri pada waktu malam atau siang. Terkadang, ekspresi wajahnya datar dengan pandangan jauh tanpa batas. Dia menikmati dunianya dengan bimbingan spirit yang bersemayam di dalam dirinya. Kondisi kesurupan oleh atma semestinya dimanfaatkan untuk memupuk potensi mental dan spiritual anak. Mengingat pada awalnya, anak cendrung meniru apa yang dia amati, maka orang tua dan keluarga, bahkan lingkungan, harus mampu menjadi panutan yang baik bagi si anak yang sedang tumbuh. Anak harus dibimbing berkata-kata manis, bersifat sopan, dan berbagi upaya untuk menumbuhkembangkan cinta kasih dalam hati dan prilakunya. Sebaliknya, anak harus dicegah jika bermain-main dengan menyakiti makhluk lain, misalnya memotong ekor capung, kemudian menggantikannya dengan bulu ayam. Anak jangan dibiarkan merasakan kesenangan di atas penderitaan makhluk lain. Jika kebiasaan itu tidak dicegah, maka bisa jadi kelak dia akan tumbuh menjadi bobotoh tajen, yang sangat menikmati semburan darah dari badan ayam yang tertusuk taji lawannya. Yang lebih bengis lagi, bisa jadi dia memperlakukan orang lain seperti memperlakukan hewanhewan kurban. Pendidikan mental spiritual harus dimulai sejak dini, dimulai dari rumah, dan itu tanggung jawab kedua orang tuanya. Dalam bahasa Rsi Canakya, orang tua harus mengajarkan kebenaran dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Jika melalaikan hal itu, sesungguhnya dia adalah musuh bagi anak bersangkutan. Orang tua tidak boleh mempercayakan pendidikan mental dan spiritual anak-anaknya, selain SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
139
pada dirinya sendiri. Sekolah formal tidak akan mampu membimbing anak-anak dalam urusan mental spiritual, karena dalam kedua urusan ini anak lebih memerlukan panutan dari pada ceramah. Jika orang tua tidak melakukan bimbingan, maka dia akan dibentuk oleh lingkungan pergaulannya. Beruntung, jika dia tidak tumbuh menjadi anak-anak salah pergaulan (Suja, 2004: http://phdi.or.id). Namun apa yang terjadi sekarang, sungguh sangat jauh dari harapan. Anak kecil dilatih untuk mengucapkan kebohongan. Sebagai misal, orang tua yang tidak mau diganggu oleh kehadiran tamu menyuruh anaknya agar bilang bahwa Bapak dan Ibu tidak di rumah. Anak juga diperkenalkan dengan kekerasan, baik lewat tayangan di layar kaca, maupun adegan langsung dari orang-orang disekitarnya! Orang-orang dewasa tidak segan-segan mengeluarkan kata-kata pedas, cemohan, makian, dan sejenisnya dihadapan anak-anak kecil, yang selalu siap merekam dan meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa. Anak juga diajak menonton film-film mistik yang membuat dia mejadi takut, dsb. Sejalan dengan ini, puisi yang ditulis oleh Dorotty Nolte sangat baik untuk direnungkan. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar bertindak adil. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, ia belajar menemukan cinta kasih dalam kehidupan. Lalu, kita ingin anak kita belajar apa, semuanya sangat tergantung pada kondisi aksi yang kita berikan kepadanya (Suja, 2004: http://phdi.or.id). Pendidikan mental spiritual dalam keluarga sesungguhnya tidak perlu media khusus. Hanya satu yang diperlukan, yaitu panutan yang baik dari orang-orang yang ada di sekitar anak. Seekor anak singa yang disusui oleh induk sapi dan dibesarkan dalam lingkungan sapi, dia akan tumbuh sebagai hewan yang jinak. Apalagi manusia yang pada dasarnya lebih bermental positif dan spiritual dibandingkan hewan. Dalam upaya untuk membimbing mental spiritual anak, cara-cara belajar tradisional, misalnya tradisi orang Bali, dapat kita hidupkan kembali. Sebagai contoh, melajah sambil megending (belajar sambil bernyanyi), melajah sambil mesatwa (belajar sambil berceritera), melajah sambil mecanda (belajar sambil bermain), melajah sambil megae (belajar sambil bekerja), dan sekarang muncul lagi melajah sambil melali (belajar sambil berkunjung) (Suja, 2004: http://phdi.or.id).
III. Penutup
140
Dari uraian di atas telah diuraikan betapa pentingnya pendidikan anak usia dini. Hal tersebut sejalan dengan Konsep Pendidika Hindu yang diberikan kepada semua lapisan umat Hindu dimanapun ia berada. Sesungguhnya konsep tentang pendidikan dalam agama Hindu telah dikenal sejak dahulu kala, yang lebih diperjelas keberadaannya ketika jaman upanisad. “Kegiatan pendidikan dalam agama Hindu disebut “aguron-guron” atau asewakadharma” (Titib,2003: 15). Sumber pendidikan Hindu secara lengkap dan fleksibel dituangkan dalam kitab Manu Smerti SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Manawa Dharmasastra. Kefleksibelan dalam menjalankan ajaran itu secara tegas dituangkan dalam kitab Manawa Dharmasastra Buku II Sloka 6 yang menyatakan: “Seluruh pustaka suci Weda adalah sumber pertama dari pada dharma, kemudian adat istiadat dan tingkah laku orang yang terpuji dari orang yang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Weda, juga tata cara peri kehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan dari pribadi”. Daftar Pustaka Kuntjojo, 2010. Strategi Pembelajaran untuk Anak Usia Dini. Dalam: https://ebekunt. wordpress.com. Diunduh: 26-072016. Muda, Ahmad A.K. (2006). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Reality Publisher. Rini Andriani. 2015. Pendekatan Pembelajaran pada Anak Usia Dini. Dalam: http://www.membumikanpendidikan.com. Diunduh: 26-07-2016. Sija, I Wayan. Desember 2004. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga. Warta Hindu Dharma No. 455. Dalam: http://phdi.or.id. Diunduh: 26-07-2016. Suarta, I Komang. 2015. Memahami Psikologi Anak sebagai Kunci Pemahaman Pendidikan Hindu. Dalam: https://plus.google.com. Diunduh: 26-07-2016. Titib, I Made. (2003). Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak (Perspektif Agama Hindu). Jakarta: Ganeca Exact.
141
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
MEMBANGUN GENERASI CERDAS DAN KREATIF MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BEYOND CENTERS AND CIRCLE TIME (BCCT) Oleh: I Putu Andre Suhardiana Dosen Fakultas Brahma Widya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail:
[email protected]
Abstract Teacher‟s quality is absolutely an essential factor of the success of teaching and learning in the classroom. Teachers actually had many choices of teaching methods that can be applied according to the conditions in the process of learning. Teachers ability to choose the right method and in accordance to the vision of institution will make it easier to focus on learning activities in the classroom. Especially for early childhood education, learning model is expected to create a comfortable atmosphere for children to participate in learning activities as well as being able to stimulate all aspects of the children‟s intelligence. The concept of learning in Beyond Centers and Circle Time (BCCT) learning model is focused on teachers as educators to bring the real world into the classroom and encourage students to make connections between knowledge, experience, and application in their daily life so that the children‟s brain is stimulated to continue thinking actively in digging his/her own experience which is not just copying and memorization. The main characteristics of BCCT model are the provision of scaffold which includes scaffold for the playing environment, scaffold before, during, and after playing. These scaffolds should be followed by teachers in order to establish the regularity between playing and learning. Keywords: Intelligent and Creative Generation, Beyond Centers and Circle Time (BCCT) Learning Model Abstrak
142
Kualitas guru mutlak menjadi faktor penting dalam keberhasilan proses belajar mengajar di kelas. Guru sejatinya memliki banyak pilihan model pengajaran yang dapat diterapkan sesuai kondisi dalam sebuah pembelajaran. Kelihaian guru memilih metode yang tepat dan sesuai dengan visi institusi akan memudahkannya untuk lebih memfokuskan pembelajaran di dalam kelas. Terlebih untuk pendidikan anak usia dini, model pembelajaran diharapkan mampu menciptakan suasana nyaman pada anak untuk mengikuti kegiatan belajar serta mampu merangsang seluruh aspek kecerdasan anak. Konsep pembelajaran dalam model pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT) terfokus agar guru sebagai pendidik menghadirkan dunia nyata di dalam SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
kelas dan mendorong anak didik membuat hubungan antara pengetahuan, pengalaman, dan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga otak anak dirangsang untuk terus berfikir secara aktif dalam menggali pengalamannya sendiri bukan sekedar mencontoh dan menghafal. Ciri khusus yang dimiliki BCCT adalah empat pijakan, yaitu: pijakan lingkungan, pijakan sebelum bermain, pijakan saat bermain dan pijakan setelah bermain. Pijakan-pijakan ini harus diikuti oleh guru guna membentuk keteraturan antara bermain dan belajar. Kata Kunci: Generasi Cerdas dan Kreatif, Model Pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT) I.
Pendahuluan Guru sejatinya merupakan cahaya yang berkilau terang menerangi kegelapan, menjadikan semua yang gelap beralih terang pada akhirnya. Peran sentralnya dalam dunia pendidikan tidak dapat dipungkiri lagi. Keberadaan dan komitmennya pada negara sangat perlu diapresiasi tinggi, mengingat kualitas yang dimiliki tidaklah sembarangan. Berbicara kualitas guru, penting kiranya penyeimbangan ketersediaan sarana rasarana pendidikan dalam suatu institusi pendidikan diperhatikan secara seksama. Disamping itu, penentuan metode pembelajaran juga merupakan hal krusial yang mengambil peran penting terhadap keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Ketersesuaian metode pembelajaran dengan visi institusi tentunya dapat memudahkan para guru lebih memfokusan siswa untuk belajar di dalam kelas. Khususnya institusi pendidikan untuk anak usia dini (PAUD) memerlukan metode pembelajaran yang mampu menciptakan lingkungan belajar yang nyaman bagi anak dan mampu merangsang seluruh aspek kecerdasan anak. Berbicara mengenai Pendidikan Anak Usia Dini, perlu kiranya dilakukan pembahasan lebih mendalam mengenai metode pembelajaran, terutama oleh para guru yang menangani PAUD. Alasannya beragam, diantaranya peserta didik PAUD adalah anakanak yang baru saja memulai interaksinya dengan dunia pendidikan, sentuhan pertama dari para guru akan menjadi stimulasi anak untuk berkeinginan mengikuti tiap aktivitas pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Metode belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar telah diterapkan hampir di seluruh pusat PAUD karena memang bermain merupakan dunia anak dan media belajar yang baik untuk anak. Anak dapat belajar melalui permainan mereka sendiri. Pengalaman bermain yang menyenangkan dapat merangsang perkembangan anak baik secara fisik, emosi, kognisi maupun sosial. Pentingnya metode pembelajaran tentunya telah dipahami guru yang menangani Pendidikan Anak Usia Dini. Karena proses menjadi guru melewati banyak tahapan salah satunya terkait dengan variasi metode pembelajaran yang memang perlu SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
143
144
dikondisikan berbeda sesuai dengan kebutuhan kelas. Menurut Palupi (2006:7), metode pembelajaran yang sinergis dengan strategi belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar telah dikembangkan oleh Creative Center for Childhood Research and Training (CCCRT) di Florida, USA dikenal dengan nama metode Beyond Center and Circle Time (BCCT). Metode ini telah diterapkan di Creative Pre School Florida USA selama lebih dari 25 tahun, baik untuk anak normal maupun anak dengan kebutuhan khusus. Metode BCCT ini merupakan pengembangan metode Montessori, Highscope dan Reggio Emilio. Konsep belajar yang dipakai dalam metode BCCT difokuskan agar guru sebagai pendidik menghadirkan dunia nyata di dalam kelas dan mendorong anak didik membuat hubungan antara pengetahuan, pengalaman, dan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga otak anak dirangsang untuk terus berfikir secara aktif dalam menggali pengalamannya sendiri bukan sekedar mencontoh dan menghafal saja. Menurut Piaget (1972), „anak-anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian sendiri, guru tentu saja dapat menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat tetapi yang terpenting agar anak dapat memahami sesuatu, ia harus membangun pengertian itu sendiri, ia harus menemukan sendiri‟. Dalam pendekatan BCCT proses pembelajaran diharapkan mampu berjalan secara alamiah dalam bentuk kegiatan yang ditujukan agar anak belajar dengan mengalami bukan hanya sekedar mengetahui ilmu yang ditransfer oleh guru. Metode ini juga memandang bermain sebagai media yang tepat dan satu-satunya media pembelajaran anak karena disamping menyenangkan, bermain dalam setting pendidikan dapat menjadi media untuk berfikir aktif dan kreatif. Peran guru dalam mengelola pembelajaran sangatlah beragam, guru dapat memposisikan dirinya sebagai teacher centered learning atau malah membuat peserta didik menjadi students centered learning. Pembelajaran yang berpusat pada anak dan peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan evaluator merupakan ciri dari metode BCCT ini. Kegiatan anak juga berpusat pada sentra-sentra bermain yang berfungsi sebagai pusat minat yang memiliki standar operasional prosedur yang baku dan memiliki pijakan-pijakan dalam proses pembelajarannya. Bagi Pendidikan Anak Usia Dini, metode BCCT dapat dijadikan metode pilihan mengingat saat ini pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan adalah fakta yang harus dihafal dan guru pun masih menjadi pusat pembelajaran atau informasi. Dengan penerapan metode BCCT, kecerdasan anak dapat dikembangkan secara optimal dan anak distimulus untuk menjadi anak yang aktif, kreatif dan berani. Anak dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, mengeluarkan ide-ide yang dimilikinya serta SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang telah dialami. Sedangkan tugas guru hanya memfasilitasi agar informasi yang baru mereka terima lebih bermakna serta memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan dan menerapkan ide-idenya sendiri. Implementasi metode ini memerlukan persiapan agar hasil yang didapat adalah maksimal. Metode BCCT diterapkan pada kelas yang telah dirancang dalam bentuk sentra-sentra, contohnya: Sentra persiapan, sentra bermain peran baik mikro maupun makro, sentra rancang bangun, sentra musik dan olah tubuh, sentra IT, sentra seni dan kreatifitas dan sentra sains. Setiap guru bertanggung jawab pada 10-12 anak saja dengan moving class setiap hari dari satu sentra ke sentra lainnya. Menurut Depdiknas (2004), ciri khusus yang dimiliki BCCT adalah empat pijakan, yaitu: pijakan lingkungan, pijakan sebelum bermain, pijakan saat bermain, dan pijakan setelah bermain. Pijakan-pijakan ini harus diikuti oleh guru guna membentuk keteraturan antara bermain dan belajar. Dalam pijakan lingkungan, guru menata lingkungan yang sesuai dengan kapasitas dan keragaman jenis permainan anak. Pijakan sebelum bermain dilakukan guru dengan meminta anak untuk duduk membentuk sebuah lingkaran sambil bernyanyi, setelah berdoa bersama, guru menjelaskan kegiatan sentra dengan alat peraga yang telah dipersiapkan. Selanjutnya guru bersama anak membuat aturan bermain yang disepakati bersama. Pijakan saat bermain merupakan waktu bagi guru untuk mencatat perkembangan dan kemampuan anak serta membantu anak bila dibutuhkan. Perlu dipahami bahwa didalam metode BCCT berlaku tiga jenis kegiatan bermain. Pertama, bermain sensorimotor atau fungsional yang memfungsikan panca indra anak agar dapat berhubungan dengan lingkungan sekitar. Bermain sensorimotor penting untuk mempertebal sambungan antar neuron. Kedua, bermain peraan baik mikro maupun makro dimana anak diberi kesempatan menciptakan kejadian-kejadian dalam kehidupan nyata dengan cara memerankannya secara simbolik. Ketiga bermain pembangunan, Piaget (1972) menjelaskan bahwa kesempatan bermain pembangunan membantu anak untuk mengembangkan ketrampilannya yang akan mendukung keberhasilan sekolahnya dikemudian hari. Apabila ketiga jenis bermain tersebut dapat dilakukan oleh anak secara optimal, hal ini akan memungkinkan adanya ketuntasan belajar dan perkembangan anak baik secara fisik, kognisi, emosi maupun sosial. Sehingga mereka dapat dengan mudah memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Pijakan yang terakhir adalah pijakan setelah bermain dimana anak dapat menceritakan pengalaman bermain mereka serta guru dapat menggali dan menanamkan pengetahuan pada anak.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
145
II.
Pembahasan
2.1 Tinjauan Teoritis Tentang Perkembangan Anak Usia Dini Perkembangan adalah proses perubahan yang berhubungan dengan kehidupan kejiwaan individu dimana perubahan tersebut biasanya melukiskan tingkah laku yang dapat diamati. Anak Usia Dini adalah anak usia 0-6 tahun. Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman, seperti yang dikatakan oleh Yus (2005:31) "Perkembangan berarti perubahan secara kualitatif", ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan di dunia barat dikatakan bahwa perkembangan seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (Nativisme), sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme). Sebagai sistemnya dikembangkan teori yang ketiga yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya (konvergensi). Pada saat lahir, menurut Samples (2002) otak bayi belumlah sempurna, tetapi sudah mengandung jaringan syaraf sekitar 100 miliar sel syaraf aktif yang siap melakukan sambungan antar sel. Perkembangannya menjadi sempurna melalui pengalaman dari hari ke hari. Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan yang membentuk pengalaman belajar. Disamping itu Astuti (2007:9) mengemukakan bahwa usia anak TK merupakan masa anak yang harus mengalami peningkatan perkembangan kecerdasan dari 50% menjadi 80%. Ini berarti peran lingkungan termasuk lingkungan TK dalam memberi pengalaman sangat diperlukan anak. Masa anak juga merupakan waktu anak berada dalam masa peka. Anak sensitif untuk menerima berbagai rangsangan sebagai upaya pengembangan seluruh potensi anak. Kondisi tersebut sebagai acuan guru dalam merancang pembelajarannya. Masa anak merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, konsep diri, disiplin, seni, serta moral dan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal.
146
2.2 Tinjauan Teoritis Metode Pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) Metode adalah suatu cara kerja yang sistematik dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan.. Pembelajaran berasal dari kata belajar yang berarti menuntut ilmu (melatih diri, berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman). Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau hidup belajar. Beyond Centers and Circles Time (BCCT) adalah suatu metode dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini yang dikembangkan berdasarkan hasil kajian teoritik dan empirik. Nama asli metode ini adalah Beyond Centers and Circles Time (BCCT), metode ini di Indonesia dipopulerkan dengan istilah SELING (Sentra dan Lingkaran), metode SELING merupakan pengembangan dari metode Montessori, High dan Reggio Emilio. Metode SELING dikembangkan oleh Creative Center for Childhood Research and Training (CCCRT) Florida, USA (Palupi, 2006). Pendekatan Sentra dan Lingkaran berfokus pada anak, pembelajarannya berpusat di Sentra Main dan saat anak dalam lingkaran. Sentra Main adalah zona atau area main anak yang dilengkapi seperangkat alat main yang berfungsi sebagai pijakan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung perkembangan anak dalam tiga jenis permainan, yakni permainan sensorimotor (fungsional), permainan peran, dan permainan pembangunan, sedangkan saat lingkaran adalah saat guru duduk bersama anak dengan posisi melingkar untuk memberikan pijakan kepada anak mengenai apa yang dilakukan sebelum dan sesudah permainan. 2.3 Langkah-Langkah Pelaksanaan Metode Beyond Centers and Circles Time (BCCT) Metode Beyond Centers and Circles Time (BCCT) atau metode SELING dirancang dalam bentuk sentra-sentra misalnya: sentra bahan alam sentra bermain peran mikro, sentra bermain peran makro, sentra rancang bangun, sentra persiapan, sentra seni dan kreatifitas, sentra musik dan olah tubuh, sentra Ilmu dan Teknologi (IT), dan Iain-lain. Setiap guru bertanggung jawab pada 10-12 murid saja dengan Moving Class, sesuai dengan sentra gilirannya. Metode SELING ditujukan untuk merangsang seluruh aspek kecerdasan anak (multiple intelligences), metode SELING memandang bermain sebagai wahana yang paling tepat dan satusatunya wahana yang paling tepat diantara metode-metode yang ada, karena disamping menyenangkan, bermain dalam setting ini dapat menjadi wahana untuk berpikir aktif, kreatif dan bertanggung jawab. Menurut Depdiknas (2006:4), langkahlangkah pelaksanaan metode Beyond Centers and Circles Time (BCCT) diantaranya: A. Pijakan Pengalaman Sebelum Bermain: (15 menit) 1. Guru dan anak duduk melingkar. Guru memberi salam pada anak-anak, menanyakan kabar anak-anak. 2. Guru meminta anak-anak untuk memperhatikan siapa saja yang tidak hadir pada saat itu (mengecek kehadiran). 3. Berdoa bersama, mintalah anak secara bergilir siapa yang akan memimpin doa pada saat itu. 4. Guru menyampaikan tema pada saat itu dan dikaitkan dengan kehidupan anak. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
147
5.
Guru membacakan buku yang terkait dengan tema. Setelah membaca selesai, guru menanyakan kembali isi cerita. 6. Guru mengaitkan isi cerita dengan kegiatan bermain yang akan dilakukan anak. 7. Guru mengenalkan semua tempat dan alat bermain yang sudah disiapkan. 8. Dalam memberi pijakan, Guru harus mengaitkan kemampuan apa yang diharapkan muncul pada anak sesuai dengan rencana belajar yang sudah disusun. 9. Guru menyampaikan bagaimana aturan main (digali dari anak), memilih teman main, memilih mainan, cara menggunakan alat-alat permainan, kapan memulai dan mengakhiri permainan, serta merapikan kembali alat yang sudah dimainkan. 10. Guru mengatur teman bermain dengan memberi kesempatan kepada anak untuk memilih teman mainnya. Apabila ada anak yang hanya memilih anak tertentu sebagai teman mainnya, maka guru dianjurkan agar menawarkan si anak untuk menukar teman mainnya. 11. Setelah anak siap untuk bermain, Guru mempersilahkan anak untuk mulai bermain. Agar tidak berebut serta lebih tertib, Guru dapat menggilir kesempatan setiap anak untuk mulai bermain, misalnya berdasarkan warna baju, usia anak, huruf depan anak, atau cara lainnya agar lebih teratur. B. Pijakan Pengalaman Selama Anak Bermain: (60 menit) 1. Guru berkeliling diantara anak-anak yang sedang bermain. 2. Memberi contoh cara bermain pada anak yang belum bisa menggunakan bahan/alat permainan. 3. Memberi dukungan berupa peryataan positif tentang pekerjaan yang dilakukan anak. 4. Memancing dengan pertanyaan terbuka untuk memperluas cara bermain anak. Pertanyaan terbuka artinya pertanyaan yang tidak cukup dijawab ya atau tidak saja, tetapi banyak kemungkinan jawaban yang dapat diberikan anak. 5. Memberikan bantuan pada anak yang membutuhkan. 6. Mendorong anak untuk mencoba dengan cara lain, sehingga anak kaya akan pengalaman bermain. 7. Mencatat hal-hal yang dilakukan anak (jenis permainan, tahap perkembangan, tahap social, dll.). 8. Mengumpulkan hasil kerja anak. Jangan lupa mencatat nama dan tanggal di lembar kerja anak. 9. Bila waktu tersisa tinggal 5 menit, guru memberitahukan pada anak-anak untuk bersiap-siap menyelesaikan kegiatan. 148
C. 1.
Pijakan Pengalaman Setelah Bermain: (30 menit) Bila waktu bermain habis, guru memberitahukan saatnya membereskan segala sesuatunya. Membereskan alat dan bahan yang telah digunakan dengan melibatkan anak-anak.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
2.
Bila anak belum terbiasa untuk membereskan, guru bisa membuat permainan yang menarik agar anak ikut membereskan. 3. Saat membereskan, guru menyiapkan tempat yang berbeda untuk setiap jenis alat, sehingga anak dapat mengelompokkan alat bermain mereka sesuai dengan tempatnya. 4. Bila bahan permainan telah dirapikan kembali, satu orang guru membantu anak membereskan baju mereka (menggantinya bila basah), sedang guru lainnya dibantu orangtua membereskan semua mainan hingga semuanya rapi di tempatnya. 5. Bila anak sudah rapi, mereka diminta duduk melingkar bersama guru. 6. Setelah semua anak duduk dalam lingkaran, guru menanyakan pada setiap anak kegiatan bermain yang tadi dilakukannya. Kegiatan menanyakan kembali (recalling) melatih daya ingat anak dan melatih anak mengemukakan gagasan dan pengalaman mainnya (memperluas perbendaharaan kata anak). D. Makan Bekal Bersama Menurut Erik Erikson usia dini merupakan masa pembentukan dasar-dasar kepribadian seseorang. Kepribadian yang terbentuk saat usia dini akan menjadi karakter yang sulit diubah hingga masa dewasanya. Pembentukan kepribadian membutuhkan waktu yang lama melalui pembiasaan-pembiasaan serta proses imitasi dari lingkungannnya. Makan bekal bersama merupakan salah satu kegiatan yang berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan pembiasaan anak. Langkah-langkah yang bisa mengarahkan anak pada pembiasaan tersebut adalah: 1. Usahakan setiap pertemuan ada kegiatan makan bersama. Jenis makanan berupa kue atau makanan lainnya yang dibawa oleh masing-masing anak. Sekali dalam satu bulan diupayakan ada makanan yang disediakan untuk perbaikan gizi. 2. Sebelum makan bersama, guru mengecek apakah ada anak yang tidak membawa makanan. Jika ada tanyakan siapa yang mau memberi makan pada temannya (konsep berbagi). 3. Guru memberitahukan jenis makanan yang baik dan kurang baik. 4. Jadikan waktu makan bekal bersama sebagai pembiasaan tata cara makan yang baik. 5. Libatkan anak untuk membereskan bekas makanan dan membuang bungkus makanan ke tempat sampah. E. Kegiatan Penutup Setelah semua anak berkumpul membentuk lingkaran, guru dapat mengajak anak menyanyi atau membaca puisi. Guru menyampaikan rencana kegiatan minggu depan, dan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
149
menganjurkan anak untuk melakukan permainan yang sama di rumah masing-masing. Guru meminta anak yang sudah besar secara bergiliran untuk memimpin doa penutup. Untuk menghindari anak berebut giliran saat pulang, digunakan urutan berdasarkan warna baju, usia, atau cara lain untuk keluar dan bersalaman lebih dahulu. 2.4 Dampak Metode Pembelajaran BCCT terhadap Perkembangan Anak Usia Dini. Dari uraian di atas, metode pembelajaran BCCT memiliki dampak positif bagi perkembangan anak karena metode ini mampu merangsang seluruh aspek kecerdasan anak melalui aktivitas bermain yang terarah. Selain mampu merangsang anak menjadi aktif dan kreatif, metode ini juga mampu membuat anak terus berpikir serta menggali pengalamannya sendiri. Sementara ini, telah lama terdapat sistem pendidikan dari tingkat Playgroup hingga Perguruan Tinggi, ternyata sistem tersebut secara umum hanya menghasilkan lulusan yang mengerti masalah-masalah teoritis, sementara skill, kreatifitas, daya cipta, kemandirian, inisiatif, perilaku dan budi pekerti masih jauh dari harapan. Akibatnya, para sarjana yang baru saja diwisuda hanya sibuk mencari pekerjaan kesana-kemari tidak tahu harus berbuat apa, sedikit sekali dari mereka yang berinisiatif menciptakan pekerjaan. Sedikit banyak ini adalah salah satu dampak metode pembelajaran yang telah berkembang dalam sistem pendidikan selama ini, dimana metode pembelajaran anak usia dini juga berada di dalamnya. Metode BCCT diadopsi oleh para pendidik di bidang PAUD untuk memperbaiki atau mengurangi dampak negatif yang terjadi. III. Penutup
150
Untuk mengoptimalkan tercapainya tujuan pendidikan pada anak prasekolah diperlukan metode pembelajaran yang tepat, oleh karena itu guru yang menjadi pendidik di prasekolah perlu menyiapkan suatu metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan dunia anak. Ketepatan dan kesesuaian penggunaan metode pembelajaran ini sangat penting karena bisa berdampak signifikan terhadap cara dan proses pembelajaran anak selanjutnya. Hal ini berarti penggunaan metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan dunia anak akan dapat memfasilitasi perkembangan berbagai potensi dan kemampuan anak secara optimal serta tumbuhnya sikap dan kebiasaan perilaku positif yang mendukung pengembangan berbagai potensi dan kemampuan anak tersebut, namun sebaliknya kekeliruan dalam penggunaan metode pembelajaran dapat menghambat perkembangan potensi-potensi anak secara optimal disamping dapat menumbuhkan persepsi-persepsi yang keliru pada anak tentang aktivitas belajar itu sendiri. Metode pembelajaran Beyond SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Centers and Circles Time (BCCT) atau di Indonesia dikenal dengan istilah SELING (Sentra dan Lingkaran) kurikulumnya diarahkan untuk membangun pengetahuan anak yang digali oleh anak itu sendiri. Anak didorong untuk bermain di sentra-sentra kegiatan. Sedangkan guru berperan sebagai perancang, pendukung, dan penilai kegiatan anak. Pembelajarannya bersifat individual, sehingga rancangan, dukungan, dan penilaiannya pun disesuaikan dengan tingkatan perkembangan dan kebutuhan setiap anak. Semua tahapan perkembangan anak dirumuskan dengan rinci dan jelas, sehingga guru punya panduan dalam penilaian perkembangan anak. Kegiatan pembelajaran tertata dalam urutan yang jelas, dari penataan lingkungan bermain sampai pada pemberian pijakan-pijakan (Scaffolding). Sehingga setiap anak memperoleh dukungan untuk aktif, kreatif, dan berani mengambil keputusan sendiri tanpa mesti takut membuat kesalahan. Daftar Pustaka Astuti, Dwi, 2007. Kelembagaan dan Keberlangsungan Program PAUD. Jakarta: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. Depdiknas. 2004 Bermain dan Anak. Jakarta: Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Jilid 1. Depdiknas. 2006. Pedoman Penerapan Pendekatan ”Beyond Center and Circle Time (BCCT) (Pendekatan Sentra dan Lingkungan) dalam Pendidikan Usia Dini. Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. Palupi, Esti. 2006. Pengembangan Pemahaman Konsep Calistung melalui Metode Beyond Centres and Circles Time. Balikpapan: Jurnal Pendidikan Inovatif. Piaget, Jean. 1972. Psikologi Perkembangan Anak. (Online at http//online.ed.asv. edu/eppa/, diakses 12 Juli 2016). Sample, Bob. 2002. Revolasi Belajar untak Anak. Bandung: KAlFA. Yus, Anita. 2005. Penilaian Perkembangan Belajar Anak Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.
151
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
MEMBANGUN KARAKTER ANAK DENGAN KASIH SAYANG Oleh:
Ketut Bali Sastrawan E-mail:
[email protected]
Abstrak Setiap orangtua pasti mengarapkan anak yang dilahirkannya menjadi anak yang baik dan berguna dimasa yang akan datang. Tidak ada orangtua yang mengharapkan anaknya menjadi anak yang nakal. Hal ini mendorong orangtua melakukan segala upaya untuk mendidik anak-anak mereka agar menjadi anak yang baik sesuai dengan pemahaman mereka. Penciptaan lingkungan yang baik untuk si anak akan sangat membantunya dalam membangun karakternya. Seorang anak akan melihat lingkungan sekitarnya dan menyimpan setiap pesan yang ditangkapnya dari lingkungannya. Ajaran kasih sayang merupakan ajaran yang tidak mengenal batas usia. Ajaran ini dapat diajarkan kepada siapa saja tanpa mengenal batas usia, yang terpenting adalah bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya. Seorang anak dapat diajari tentang kasih sayang dengan cara yang sederhana. I.
152
Latar Belakang Masalah
Mahatma Gandhi mengungkapkan bahwa setiap nabi dan avatar pernah mengajarkan ahimsa. Tidak satupun diantara mereka pernah mengajarkan himsa. Dan hai ini memang wajar. Himsa tidak perlu diajarkan. Manusia sebagai jenis satwa sudah bernaluri himsa, namun jiwanya bersikap pantang kekerasan. Pada saat disadarinya bahwa ada jiwa dalam raganya, manusia tidak mungkin terus bersikap kekerasan. Ia hanya dapat memilih ahimsa atau kemusnahannya sendiri (Mochtar, 1991). Setiap orangtua pasti mengarapkan anak yang dilahirkannya menjadi anak yang baik dan berguna dimasa yang akan datang. Tidak ada orangtua yang mengharapkan anaknya menjadi anak yang nakal. Hal ini mendorong orangtua melakukan segala upaya untuk mendidik anak-anak mereka agar menjadi anak yang baik sesuai dengan pemahaman mereka. Adakalanya orangtua merasa bahwa anaknya berprilaku tidak sesuai dengan harapannya, tidak sesuai dengan apa yang diajarkannya, sehingga mulai berpikir siapa yang mengajarkan anaknya seperti itu. Anak tidak pernah diajari berprilaku kasar, egois namun hal itu yang sering dimunculkan dalam dirinya. Menyimak pesan yang disampaikan oleh Mahatima Gandhi bahwa “Manusia sebagai jenis satwa sudah bernaluri himsa”, orangtua akan berpikir bahwa prilaku kekerasan akan muncul pada anaknya tanpa perlu diajarkan oleh siapapun. Prilaku kekerasan adalah bagian dari kodrat manusia sebagai jenis satwa. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Pesan berikutnya yang disampaikan oleh Mahattma Gandhi adalah “Namun jiwanya bersikap pantang kekerasan”. Prilaku kekerasan (himsa) muncul karena dorongan fisik, namun jiwanya memiliki sifat sebaliknya yaitu pantang kekerasan (ahimsa). Permasalahannya pantang kekerasan (ahimsa) terletak pada kesadaran yang lebih dalam dan untuk memunculkannya memerlukan proses pembelajaran. Oleh karena itulah manusia sangat membutuhkan ajaran-ajaran pantang kekerasan (ahimsa). Kasih sayang adalah istilah lain dari pantang kekerasan (ahimsa). Cinta kasih menurut swami Vivekananda “selalu menempatkan dirinya sebagai pemberi dan bukan si penerima” (Pendit, 1993). Sikap orangtua terhadap anaknya merupakan perwujudan kasih sayang. Dengan berbekal kasih sayang tersebut, orangtua dapat menghilangkan prilaku kekerasan (himsa) dari anaknya, dan memuncuklan sikap pantang kekerasan (ahimsa) yang ada dalam diri si anak. Inilah bagian dari pembentukan karakter si anak. Karakter dibangun dengan rasa kasih sayang dari orangtua. II.
Pembahasan
2.1 Lingkungan Membangun Karakter Anak Hal yang harus disadari orangtua bahwa seorang anak tidaklah seperti orang dewasa yang bertubuh kecil. Pemikiran anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Ketika orang dewasa beranggapan bahwa sorga adalah sebuah tempat yang dipenuhi dengan wanita cantik bertelanjang dada, tidak demikian halnya dengan seorang anak. Anak akan lebih setuju kalau sorga itu merupakan tempat yang penuh mainan, dan makanan yang serba manis. Kasih sayang yang diharapkan seorang anak dari orangtuanya adalah perhatian lebih untuk bisa bermain dan bergembira dengannya. Banyak orangtua yang tidak menyadari arti penting keberadaannya bagi si Anak. Orangtua seingkali terlalu sibuk pada apa yang dikerjakannya, dan membiarkan anaknya berkembang tampa perhatian darinya. Kekeliruan orangtua yang beranggapan dirinya terlalu sibuk dalam bekerja sampai tidak bisa meluangkan waktu dalam mendidik si anak. Sesibuk apapun orangtua, pastilah memiliki waktu untuk anaknya. Penciptaan lingkungan yang baik untuk si anak akan sangat membantunya dalam membangun karakternya. Seorang anak akan melihat lingkungan sekitarnya dan menyimpan setiap pesan yang ditangkapnya dari lingkungannya. Orangtua yang berprilaku kasar, berkata-kata kasar akan sangat mudah diikuti oleh si anak. Oleh karenanya, ketika berhadapan dengan anak, orangtua harus menunjukkan sikap kasih sayang dan kata-kata yang santun. Tayangan di televisi juga harus betul-betul diperhatikan orangtua. Tayangan yang tidak sesuai dengan usianya harus dihindarkan. Ketika orangtua meninggalkan anaknya, diapun harus sangat memperhatikan kepada siapa SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
153
anaknya dipercayakan. Orangtua dapat memberikan catatan kepada orang yang dipercaya untuk mengasuh terhadap apa saja yang boleh atau tidak boleh dilihat si anak. Lingkungan yang bagaimana yang kita bangun untuk si anak akan sangat berpengaruh terhadap karakternya kelak. 2.2 Mengajarkan Kasih Sayang Kepada Anak Sejak Usia Dini Ajaran kasih sayang merupakan ajaran yang tidak mengenal batas usia. Ajaran ini dapat diajarkan kepada siapa saja tanpa mengenal batas usia, yang terpenting adalah bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya. Seorang anak dapat diajari tentang kasih sayang dengan cara yang sederhana. Mendongeng merupakan salah satu cara untuk membangun karakter pada si Anak. Anak diajak untuk menyimak kisah yang didalamnya terdapat ajaran kasih sayang, atau perbuatan baik dan buruk dimana yang berbuat baik akan senang dan yang berbuat buruk mendapatkan celaka. Bagi orangtua yang tidak bisa mendongeng, dapat juga mengajak anak untuk menonton film anak yang berisi kisah tentang kasih sayang ataupun perbuatan baik yang berdampak baik maupun perbuatan buruk yang berdampak buruk. Dengan mengikuti kisah-kisah tersebut anak akan berpikir tentang perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya. Sikap kasih sayang juga bisa diajarkan dengan cara mengajak si anak berbagi dengan orang lain. Ketika orangtua membelikan sesuatu kepada anaknya, hendaknya dia juga memperhatikan teman yang diajak anak bermain. Ketika ada teman bermainnya hendaknya kita membelikan sesuatu dengan lebih banyak dan menyuruh anak berbagi dengan temannya. Hal ini akan mengajari si anak untuk belajar berbagi dengan orang lain. Ketika anak berlaku buruk dengan binatang, hendaknya orangtua menasehati untuk tidak melakukan dengan menganggap binatang memiliki seolah memiliki rasa yang sama dengan manusia. Misalnya rasa sakit, sedih dan sebagainya, sehingga anak akan merasa bahwa prilakunya itu keliru. III. Penutup Pembangunan karakter seseorang harus dimulai sejak usia dini. Kasih sayang merupakan dasar dari pembangunan karakter. Dengan mengembangkan rasa kasih sayang sejak usia dini, maka karakter yang baik akan terbangun lebih awal. Daftar Pustaka
154
Mantik, Agus M. 2007. Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita. Mochtar Lubis. 1991. Mahattma Gandhi Semua Manusia Bersaudara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pendit.S. Nyoman. 1993. Percik Pemikiran Swami Wiwekananda. Jakarta: Yayasan Dharma Nusantara.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
STRATEGI PENANAMAN NILAI-NILAI AGAMA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK USIA DINI Oleh: I Made Sujana
Abstract Instill religious values in early childhood, is one way for the formation of good character. According to Benjamin S Bloom stated that brain cell tissue growth at an early age (0-4 years) to 50% and if the child does not receive the maximum stimulation, the brain child will not develop optimally. Character values contained in the relevant partner Vedic teachings throughout the ages to be implemented in everyday life for young children. Development and early childhood mental changes develop gradually starting from the intellectual development (intellectual development), development (physical development), social emotional development (social emotional development) and development of a child's ability to communicate to express wanted. Character building should continue to be done holistically from the entire educational environment, ie family, school, and community. The task of educators is to provide a good learning environment to establish, develop and strengthen the character of the students. Keywords: Religious Values, Character Formation Abstrak Menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini, merupakan salah satu upaya untuk pembentukkan karakter yang baik. Menurut Benyamin S Bloom menyatakan bahwa pertumbuhan jaringan sel otak pada usia dini (0-4 tahun) mencapai 50% dan apabila anak tidak mendapat rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang secara maksimal. Nilai-nilai karakter yang terkandung dalam ajaran Veda sangan relevan sepanjang jaman untuk dapat diimplementasi dalam kehidupan sehari-hari bagi anak usia dini. Perkembangan dan perubahan mental anak usia dini berkembang secara bertahap dimulai dari perkembangan intelektual (intelektual development), perkembangan fisik (physical development), perkembangan social emosional (social emotional development) dan perkembangan kemampuan anak dalam berkomunikasi untuk mengekspresikan keingginannya. Pembinaan karakter harus terus menerus dilakukan secara holistic dari semua lingkungan pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tugas pendidik adalah menyediakan lingkungan belajar yang baik untuk membentuk, mengembangkan dan memantapkan karakter peserta didik. Kata kunci: Nilai-nilai Agama, pembentukan karakter
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
155
I.
156
Pendahuluan
Pendidikan anak usia dini (PAUD) dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 dinyatakan sebagai suatu upaya untuk pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki lebih lanjut. Menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini merupakan salah satu upaya untuk pembentukkan karakter yang baik. Hal ini dinyatakan oleh suami Satya Narayana (2000:5) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk karakter yang baik (character building) selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Tujuan pengetahuan adalah kearifan “Tujuan paradaban adalah kesempurnaan “Tujuan kebijaksanaan adalah Kebebasan “Tujuan pendidikan adalah karakter yang baik Kalau kita cermati pendidikan saat ini, banyak berorientasi pada kepandaian dan keterampilan, sedikit yang menitikberatkan pada kualitas moral yang baik, apa artinya jika pendidikan menekankan pada kognitif saja, tidak menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan dengan sikap yang baik atau karakter yang baik. Penanaman nilai-nilai Agama sejak dini sangat penting karena menurut hasil penelitian dibidang neorologi yang dilakukan oleh Dr. Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan Amerika Serikat, bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia dini (0-4 tahun) mencapai 50% apabila anak tidak akan berkembang secara maksimal. Suatu kenyataan bahwa selama ini perhatian terhadap anak-anak usia dini masih sangat rendah dibandingkan Negara-negara lain. Di Singapura dan Korea misalnya hampir seluruh anak usia dini telah terlayani pendidikan usia dini. Di Malaysia pelayanan pendidikan usia dini mencapai 75% bahkan di Singapura masalah penuntutan dua bahasa (Cina dan Inggris) telah disesuaikan ditempat Taman kanak-kanak (TK). Pembinaan karakter harus terus menerus dilakukan secara holistik dari semua lingkungan pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Menurut Miftahudin (2010) pendidikan karakter pada usia dini dikeluarga bertujuan pembentukkan, disekolah untuk pengembangan dan diperguruan tinngi bertujuan untuk pemantapan. Tugas-tugas pendidik adalah menyediakan lingkungan belajar yang baik untuk membentuk, mengembangkan dan memantapkan karakter peserta didik. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sering menjadi panutan dalam berbagai hal termaksud panutan dalam mendidik karakter. Pendidikan karakter disekolah disesuaikan dengan tingkat usia perkembangan mental peserta didik. Suyanto (2010) maupun Miftahudin (2010) sependapat bahwa pembentukkan dan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
pengembangan karakter sudah terjadi sampai anak berusia remaja, setelah dewasa karakter yang dimiliki manusia relatif stabil dan permanen. Oleh sebab itu model pendidikan karakter pada usia anak-anak, remaja dan dewasa tidak dapat disamakan. Satu model pendidikan karakter yang efektif diterapkan di SD, belum tentu efektif untuk usia remaja dan dewasa. II.
Pembahasan
2.1 Nilai-Nilai Hindu Untuk Membangun Karakter Dalam Veda Dan Susastra Hindu 1. Rg Veda IX.64.21 menyatakan: “abhi veno anusateyoksanti pracetasah Majjanty-avicetasah” Artinya: “orang beriman kepada Tuhan yang Maha Esa yang terpelajar mempersembahkan doa-doa dan pada ahli keagamaan yang dicerahkan berniat menghaturkan yadnya. Orang yang tidak beriman kepada Tuhan tang Maha Esa, dan Orang yang bodoh akan tenggelam” 2. Yajur weda XXI.61 menyatakan: “Bhadravacyaya presita manusah” Artinya: “Tuhan yang Maha Esa telah menciptakan umat manusia untuk berbicara manis dan berhati lembut” 3. Rg. Veda X.29.7 menyatakan: “sa vavrdha varimana prthivyah, Abhi kratva nanyah paumsyaisca” Artinya: “Om Hyang Widhi, bagaimana Indra yang gagah berani anugrahkanlah kami anugrah dan dinamis dibumi dengan jalan kebijakan untuk masa depan dengan perbuatanperbuatan keepahlawanan” 4. Atharwa Veda VII.52.1 menyatakan: “ sanjinanam nah Svebhih, samjnanam aranebhih Srunjnanam asvina yuvam, ihasmasuni acehatam” “semoga kami memiliki kerukunan (tenggang rasa) yang sama dengan orang-orang yang sudah dikenal dengan akrab dan dengan orang-orang yang asing. Ya para Dewa Aswin, semoga engkau dua-duanya memberkahi kami dengan keserasian “ 5. Atharva Veda XII.1.1 menyatakan: “satyam brhad rtam ugradiksa Tapo brahma yajnah prthivim dharayanti Sa no bhutasya bhavyasya patni Urum lokam prthivi” Artinya: “kebenaran/kejujuran yang agung, hukum-hukum alam yang bisa dirubah, pengabdian diri tapah (pengekangan diri) pengetahuan dan persembahan (Yadnya) yang menopang
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
157
6.
bumi, Bumi senantiasa melindungi kita semoga bumi menyediakan ruangan yang luas untuk kita” Yajur Veda VIII.51 menyatakan: “Ita ratir ramadhvam, Iha dhtir-ita svadhrtih” Artinya: “semoga terdapat cinta kasih didalam keluarga, semoga semuanya hidup dengan penuh kasih sayang dibumi ini. Semoga terdapat kesabaran, kemantapan dan kepercayaan diri”
Nilai-nilai karakter yang terkandung dalam ajaran Veda sangat Relevan sepanjang jaman sebagaimana tersebut di bawah antara lain: a. Pengorbanan (keiklasan/yag atau Yadnya) b. Kebenaran (Satya) c. Kasih sayang (Ahimsa) d. Kemurahan hati ( Daksina) e. Sedekah dana f. Menghindari perjudian (Aksa/nita) g. Jalan kemuliaan (svasti pantham) h. Keharmonisan (samjnanam) i. Persatuan samanah j. Kewaspadaan (jagara) k. Kesucian hati (Daksa) l. Kemakmuran (Jagadhita) m. Kebajikan (badrah) n. Kemulian (kirti) o. Jasa baik (yasa) p. Keramahan (sriyah) q. Persaudaraan (maitra) r. Keamanan (akhayana) s. Tugas dan kewajiban (Swadharma) t. Keberanian (virma) u. Profesi (warna) v. Tahapan Hidup (Asram) w. Kecerdasan (Pradnya) x. Kesatuan dengan Tuhan (yasa) y. Kebaktian (Bakti) dsb
158
2.2 Penanaman Nilai-Nilai Ajaran Hindu Dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini Yang Baik Para pakar, filosuf dan orang-orang bijak mengatakan bahwa faktor moral (ahlak) adalah hal utama yang haus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang maju, tertib, aman dan sejahtera, hal ini penting karena: 1. Karakter merupakan hal yang sangat esensial: hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
2.
Karakter berperan sebagai “kemudi dan kekuatan sehingga kita tidak terombang ambing 3. Karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat dalam konsep Hindu dikenal dengan istilah “anak saputra” Pembentukan karakter tentu harus dimulai ditanamkan dalam lingkungan keluarga dalam menanamkan nilai kepada anak sangatlah besar. Pembangnan karakter bangsa secara fungsional, sesungguhnya memiliki tiga fungsi utama yaitu: 1. Fungsi pembentukan dan pengembangan potensi manusia yang dalam Agama Hindu disebut dengan Tri Kaya Parisuda agar berpikiran baik (manacika), berkata baik (wacika), dan berprilaku baik (kayika). 2. Fungsi perbaikan dan penguatan karakter dengan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah. Untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera. 3. Fungsi penyaringan pembangunan karakter guna memilih budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermatabat. Pendidikan karakter menurut Megawangi (2007) adalah pendidikan budi pekerti plus yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action), tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannyapun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Perkembangan dan perubahan mental anak usia dini berkembang secara bertahap, dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih sulit Aspek pertumbuhan dan perkembangan anak dapat di kelompokkan menjadi 4 yaitu: A. Perkembangan intelektual (intellectual development) Menurut berbagai penelitian bidang Neurologi terbukti bahwa 50% kapasitas kecerdasan anak terbentuk pada kurun waktu 4 tahun pertama sejak dilahirkan, dan pada usia 8 tahun perkembangan otak anak mencapai 80%, usia 18 tahun mencapai 100%. Pada saat anak dilahirkan, anak sudah dibekali oleh Tuhan dengan struktur otak yang lengkap, namun baru mencapai kematangannya pada saat bayi diluar kandungan. Otak kiri berkaitan dengan fungsi akademik yang terdiri atas kemampuan berbicara, kemampuan mengolah tata Bahasa, baca tulis, daya ingat, logika, angka, analisis dan lain-lain(IQ). Otak kanan tempat untuk perkembanga hal-hal yang bersifat artistic, kreatifitas, perasaan, emosi, irama music, imajinasi, hayalan, sosialisasi pengembangan kepribadian (EQ). SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
159
B.
160
Perkembangan Fisik (Physical Development) Masa 5 tahun pertama adalah masa emas bagi perkembangan motorik anak. Masa ini masa untuk bereksplorasi dengan hal-hal yang ada disekitarnya yang selalu merangsang minat ingin tahu. Oleh karena itu, segala gerakan yang diajarkan dan dilihatnya akan dianggapnya sebagai suatu permainan yang menyenangkan. C. Perkembangan Sosial Emosional (Social Emotional Development) Perkembangan sosialisasi sosial yang dini memainkan peran yang penting dalam menentukan hubungan sosial dimasa depan dan pola prilaku terhadap orang lain. Jenis perilaku yang diperlihatkan bayi dalam situasi sosial mempengaruhi penyesuaian social dan pribadinya. Sekali terbentuk dasar-dasar sosial maka cendrung menetap sampai bayi menjadi lebih besar. Terdapat 2 bahaya psikologis umur yang sering timbul dengan perkembangan emosi bayi yaitu: Kurangnya kasih saying dan Tekanan. Kurangnya kasih sayang, keingintahuan dan kegembiraan maka mempengaruhi perkembangan pisik dan mundurnya perkembangan motorik dan berbicara sedangkan Tekanan yaitu keadaan emosi yang kurang baik dan berlangsung lama, seperti rasa takut dan marah, hal tersebut menyebabkan perubahan endoktrin yang dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Perkembangan Kemampuan anak dalam berkomunikasi untuk mengespresikan keinginannya terdiri dari berbicara merupakan sarana berkomunikasi Bagaimana anak itu mampu menangkap maksud yang dikomunikasikan dalam setiap tahapan usia, anak-anak lebih dapat mengerti apa yang diakatakan orang lain dari pada mengutarakan pikirannya dan perasaannya dengan kata-kata. Dari 4 aspek pertumbuhan dan perkembangan anak, nilainilai agama yang dapat dikembangkan sebagai berikut: A. Perkembangan intelektual : 1. Kemampuan untuk berbicara : mengucapkann doa-doa sederhana (Om swastyastu, Om awignam astu, Om santi santi santi Om, Om Narayana dan sebagainya) 2. Kemampuan mengenal Aksara Suci: Ongkara Bali, Ongkara India, dll 3. Kemampuan Daya Ingat: menyebutkan nama-nama hari suci, nama-nama Dewa (Tri Murti) 4. Kemampuan Logika : membedakan gambar dewa yang satu dengan yang lain B. Perkembangan Fisik: 1. Mengenal sikap sembahyang (silasana, bajrasana, padmasana) 2. Selalu bersikap ramah sesuai ajaran Tri Kaya Parisuda 3. Menumbuhkan sikap disiplin melalui bentuk cerita keagamaan
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
4. 5. 6. C. 1. 2. 3. 4. 5. D. 1. 2. 3. 4.
Selalu mensyukuri anugrah Tuhan (melalui ucapan angayubagia). Menumbuhkan sikap welas asih antara sesame teman Selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan (wahyu diatmika) Perkembangan Sosial Emosional Disiplin sembahyang (Gayatri) Menghargai orang lain (Tatwamasi) Belajar sabar (bentuk cerita) Tidak lekas marah (akroda) Mengenal simbul-simbul Agama Hindu (Padma, Cakra, Trisula) Perkembangan Kemampuan anak dalam berkomunikasi untuk mengeskpresikan keinginannya : Menyanyikan lagu keagamaan sederhana (sekar alit) Mampu memimpin doa sederhana setiap memulai pelajaran (Om awignam astu tat astu swaha) Mampu menirukan urutan mantram Gayatri, dan doa-doa sederhana Dapat menceritakan gambar-gambar tempat suci, foto dewadewa dan lain sebagainya
III. Penutup Pendidikan karakter melalui penanaman Nilai-nilai Agama sangat efektif dalam menumbuhkan kepribadian anak usia dini. Pendidikan karakter bukan, semata-mata soal pengetahuan belaka, namun yang dipentingkan adalah kepribadian dan prilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman Nilai-nilai Agama dimulai dikenalkan lewat contoh-contoh konkrit yang baik dan yang buruk, dan menjelaskan dampak positif dan negatifnya dan dipantau terus menerus oleh guru, orang tua dan masyarakat. Daftar Pustaka Amri Sofan, dkk,2011, Implementasi pendidikan Karakter dalam pembelajaran, PT. prestasi pustakaraya, Jakarta Anonym, Pendidikan Budi Pekerti , Makalah Donder I Ketut 2006, Sisya Sista, Paramita: Surabaya Dewi Ni Nyoman Padma, Pendidikan Karakter Dalam Membangun Prilaku Peserta Didik, Makalah 2016 Depdiknas, Disain Induk Pendidikan Karakter, Jakarta Mulyatiningsih, Endang, Analisis Model-Model Pendidikan Karakter Untuk Usia Anak-Anak, Remaja, Dan Dewasa, Yogyakarta Peraturan Mentri pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2009, standar Pendidikan anak usia dini, Jakarta Titib I Made dan Sapariani ni ketut, 2004 Keutamaan Manusia Dan Pendidikan Budhi Pekerti, Paaramitra: Surabaya
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
161
MODEL PEMBELAJARAN OUTBOUND UNTUK ANAK USIA DINI Oleh:
Putu Santi Oktarina Dosen Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail:
[email protected]
Abstract The provision of education in early childhood is an important thing to be aware by those who run the educational process. Early childhood is a phase in which the child is at developmentally rapid self and it is very fundamental for the rest of their lives. In line with this, the implementation of early childhood education is expected to not only highlight the academic side, but also paying close attention to the needs of children associated with physical exercise, emotional, language, intellectual, and so forth. Based on this interest, outdoor education (Outbound education) is a wise option which can be used by educators as the party that responsible for the various aspects of child‟s development. Outbound is a learning program in outdoor that have a base as a principle of experimental learning (learning through direct experience) which are presented in the form of games, simulations, discussions and adventure as a medium of transformation information to the child optimally. Keywords: Outbound Learning Model, Early Childhood Abstrak
162
Penyelenggaraan pendidikan pada anak usia dini merupakan hal penting yang harus diperhatikan pihak-pihak yang menjalankan proses pendidikan. Usia dini adalah sebuah fase dimana anak berada pada tahapan perkembangan diri yang pesat dan hal ini sangat fundamental bagi kehidupan mereka selanjutnya. Memperhatikan hal tersebut, penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini diharapkan tidak saja menonjolkan sisi akademis, melainkan juga memperhatikan secara seksama kebutuhan anak yang terkait dengan latihan-latihan fisik, emosional, bahasa, intelektual, dan lain sebagainya. Sejalan dengan kepentingan ini, pendidikan luar ruang (Outbound education) merupakan opsi bijak yang dapat dimanfaatkan oleh pendidik selaku pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai aspek perkembangan anak. Outbound merupakan suatu program pembelajaran di alam terbuka yang memiliki dasar yaitu sebuah prinsip experimental learning (belajar melalui pengalaman langsung) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media transformasi informasi kepada anak secara optimal. Kata Kunci: Model Pembelajaran Outbound, Anak Usia Dini
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
I.
Pendahuluan
Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini merupakan sebuah wadah fundamental yang menjadi tempat tumbuuhnya potensi-potensi cemerlang generasi penerus bangsa, yang tidak hanya melahirkan manusia yang baik secara akademis, akan tetapi juga memiliki sikap dan keterampilan mumpuni. Kesuksesan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini merupakan dasar bagi keberlanjutan proses pendidikan berikutnya. Proses pendidikan anak usia dini (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Satuan PAUD sejenis lainnya) sangat tergantung pada sistem dan proses pembelajaran yang dijalankan. Pembelajaran bagi anak usia dini bukan berorientasi pada sisi akademis saja melainkan menitikberatkan kepada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik, bahasa, intelektual, sosial-emosi serta seluruh kecerdasan (Multiple Intelligence). Anak sebagai peserta didik tentunya memiliki potensi beragam, yang dapat dikembangkan dengan cara-cara tertentu. Keunikan bakat mereka haruslah diapresiasi dengan menghadirkan proses pembelajaran yang berkualitas baik. Dengan demikian, pendidikan anak usia dini yang diselenggarakan harus dapat mengakomodasi semua aspek pekembangan anak dalam suasana yang menyenangkan dan menimbulkan minat anak. Dewasa ini problematika pendidikan anak usia dini yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah proses belajar mengajar yang diberikan di kelas, umumnya hanya mengemukakan konsepkonsep dalam suatu materi. Proses belajar mengajar yang banyak dilakukan adalah model pembelajaran ceramah dengan cara komunikasi satu arah (teaching directed), di mana yang lebih banyak aktif adalah pendidik atau guru. Bagi seorang anak yang baru mengenal pendidikan untuk pertama kalinya, membuatnya tertarik dengan situasi pembelajaran adalah hal yang mutlak harus diperhitungkan oleh pendidik. Tidak bisa serta merta memposisikan anak yang baru mulai belajar dengan mereka yang sudah dewasa dan dapat mendengarkan ceramah berjam-jam. Menurut Baharudin dan Wahyuni (2008), pembelajaran bermakna adalah proses pembelajaran yang membangun makna (input), kemudian prosesnya melalui struktur kognitif sehingga akan berkesan lama dalam ingatan/memori (terjadirekonstruksi). Sementara itu, menurut Hamalik (2003), pembelajaran sejati adalah lebih berdasar pada penjelajahan yang terbimbing dengan pendampingan daripada sekedar transmisi pengetahuan. Pembelajaran merupakan individual discovery. Hal tersebut senada dengan pendapat Solehuddin (1997), bahwa “Learning is experience”. Pengalaman merupakan sumber dari pengetahuan, nilai dan keterampilan. Pendidikan memberikan kesempatan dan
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
163
pengalaman dalam proses pencarian informasi, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan bagi kehidupannya sendiri. Oleh karena itu, salah satu model pembelajaran alternatif yang saat ini sedang digemari dan diyakini lebih berhasil dari kegiatan ceramah adalah pendidikan luar ruang (Outbound education), yang sarat dengan permainan yang menantang, mengandung nilai-nilai pendidikan, dan mendekatkan siswa dengan alam. Outbound adalah suatu program pembelajaran di alam terbuka yang berdasarkan pada prinsip experiential learning (belajar melalui pengalaman langsung) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media penyampaian materi. Artinya dalam program Outbound tersebut anak secara aktif dilibatkan dalam seluruh kegiatan yang dilakukan. Dengan konsep interaksi antar anak dan alam melalui kegiatan simulasi di alam terbuka. Hal tersebut diyakini dapat memberikan suasana yang kondusif untuk membentuk sikap, cara berfikir serta persepsi yang kreatif dan positif dari setiap siswa guna membentuk jiwa kepemimpinan, kebersamaan (teamwork), keterbukaan, toleransi dan kepekaan yang mendalam, yang pada harapannya akan mampu memberikan semangat, inisiatif, dan pola pemberdayaan baru dalam suatu sekolah. Melalui simulasi outdoor activities ini, anak juga akan mampu mengembangkan potensi diri, baik secara individu (personal development) maupun dalam kelompok (team development) dengan melakukan interaksi dalam bentuk komunikasi yang efektif, manajemen konflik, kompetisi, kepemimpinan, manajemen resiko, dan pengambilan keputusan serta inisiat II.
164
Pembahasan
2.1 Pengertian Model, Belajar, dan Pembelajaran Istilah model diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda sesungguhnya, seperti globe adalah model dari bumi tempat kita hidup. Dalam konteks pembelajaran, Winataputra (2001), mendefinisikan model sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Model juga dapat diartikan sebagai suatu pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, merancang dan menyampaikan materi, mengorganisasikan pebelajar, dan memilih media dan metode dalam suatu kondisi pembelajaran. Model menggambarkan tingkat terluas dari praktek pembelajaran dan berisikan orientasi filosofi pembelajaran, yang digunakan untuk menyeleksi dan menyusun strategi pengajaran, metode, keterampilan, dan aktivitas pebelajar untuk memberikan tekanan pada salah satu bagian pembelajaran (topik konten). Jadi, model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Belajar dapat diartikan sebagai “perubahan prilaku yang relatif SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
tetap sebagai hasil adanya pengalaman”. Menurut James O. Wittaker (dalam Soemanto, 1998), belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Dengan demikian, perubahanperubahan tingkah laku akibat pertumbuhan fisik atau kematangan, kelelahan, penyakit, atau pengaruh obat-obatan adalah tidak termasuk sebagai belajar. Sedangkan Pembelajaran adalah proses membuat orang belajar atau proses emanipulasi lingkungan untuk memberi kemudahan orang belajar. 2.2 Pandangan Psikologi Pendidikan A. Hakikat Anak Usia Dini Siapakah anak usia dini itu? Pandangan orang, terutama para ahli tentang anak cenderung berubah dari waktu ke waktu serta berbeda satu sama lain. Hal ini terjadi karena mereka dalam merefleksikan anak cenderung menyesuaikan dengan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Hakikat anak bisa ditinjau berdasarkan dimensi usia kronologis, sudut pandang filosofis dan berdasar pada karakteristik perkembangan anak. 1. Tinjauan Anak Berdasar Dimensi Usia Kronologis Batasan tentang usia anak usia dini antara lain disampaikan oleh NAEYC (National Association for The Education of Young Children) dalam Tedjasaputra (2001), menyatakan bahwa anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia antara 0-8 tahun, yang tercakup dalam program pendidikan di taman penitipan anak, penitipan anak pada keluarga, pendidikan prasekolah baik swasta maupun negeri, TK, dan SD. Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Departemen Pendidikan Nasional, 2003), berkaitan dengan Pendidikan Anak Usia Dini tertulis pada pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar”. Hurlock (1999), mengkategorikan, bahwa masa kanak-kanak awal adalah usia prasekolah atau kelompok usia antara 2 hingga 6 tahun. Sedangkan Sholehuddin (1997), membatasi secara kronologis anak usia dini (early childhood) adalah anak yang bekisar antara usia 0 sampai dengan 8 tahun. Begitu juga yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dan Fawzia Aswin Hadis (dalam Nugraha, 2008), Ki Hajar Dewantara memandang bahwa masa kanak-kanak berada pada rentang usia 1 sampai dengan 7 tahun. Dan menurut Fawzia masa kanak-kanak dikenal juga sebagai masa usia prasekolah atau usia Taman Kanak-kanak dengan rentang usia antara 3-6 tahun. 2. Tinjauan Anak Berdasar Sudut Pandang Filosofis Bertolak belakang dengan paham gereja pada sekitar pertengahan abad 18 yang memberi pandangan tentang anak SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
165
166
bahwa anak berpembawaan jahat dan membawa dosa asal manusia, Pestalozzi menyatakan bahwa anak berpembawaan baik, pandangan ini dipengaruhi oleh pemikiran Plato yang memandang anak sebagai masa elastis dan ekspresi dari kebaikan-kebaikan bawaan. Selanjutnya Hainstock (1999), yang dipengaruhi oleh pendapat Pestalozzi, berpendapat bahwa anak pada dasarnya berpembawaan baik dan berpotensi kreatif. Menurut Montessori anak bukan sekedar fase kehidupan yang dilalui seseorang mencapai kedewasaan, lebih dari itu, anak merupakan kutub tersendiri dari dunia kehidupan manusia. Kehidupan anak dan orang dewasa merupakan dua kutub yang saling berpengaruh satu sama lain. Menurut Ki Hajar Dewantara, anak sebagai kodrat alam memiliki pembawaan masing-masing dan sebagai individu yang memiliki potensi untuk menemukan pengetahuan, secara tidak langsung akan memberikan peluang agar potensi yang dimiliki anak dapat berkembang secara optimal. 3. Tinjauan Anak Berdasar Karakteristik Perkembangannya Pada dasarnya aspek-aspek perkembangan anak merupakan hal-hal yang turut tumbuh dan berkembang dalam keseluruhan diri anak. Dua pendekatan utama yang digunakan untuk pendidikan anak usia dini, yaitu pendekatan perilaku dan pendekatan perkembangan. Hainstock (1999), mengatakan bahwa pendekatan perilaku beranggapan bahwa konsep-konsep pengetahuan, sikap ataupun keterampilan tidaklah berasal dari dalam diri anak dan tidak berkembang secara spontan. Di sisi lain terdapat pendekatan perkembangan yang berpandangan bahwa perkembanganlah yang memberikan kerangka untuk memahami dan menghargai pertumbuhan alami anak usia dini. Wolfgang dan Wolfgang (1992), menyatakan bahwa: (1) anak usia dini adalah peserta didik aktif yang secara terus menerus mendapat informasi mengenai dunia lewat permainannya, (2) setiap anak mengalami kemajuan melalui tahapan-tahapan perkembangan yang dapat diperkirakan, (3) anak bergantung pada orang lain dalam hal pertumbuhan emosi dan kognitif melalui interaksi sosial, serta (4) anak adalah individu yang unik yang tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang berbeda. Menyimak karakteristik anak usia diniyang telah disebutkan di atas, sangatlah jelas bahwa anak merupakan sosok individu yang unikdan memiliki karakteristik yang khusus baik dari segi kognitif, sosial, emosi, bahasa, fisik dan motorik yang sedang mengalami proses perkembangan yang sangat pesat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakikat Anak atau Anak Usia Dini pada hakikatnya adalah:
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
a.
b.
Sekelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, artinya memiliki karakteristik pertumbuhan dan perkembangan Fisik, motorik, kognitif atau intelektual, (daya pikir daya cipta) sosialemosional, dan bahasa. Anak usia Dini adalah anak yang aktif dan energik, memiliki rasa ingin tahu yang sangat kuat, eksploratif, dan mengekspresikan prilakunya secara spontan
B.
Tujuan Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak usia dini yang menitik beratkan pada peletakkan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (motorik kasar dan halus), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, sosial emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Secara umum tujuan pendidikan anak usia dini adalah mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.Sedangkan secara khusus tujuan pendidikan anak usia dini adalah: 1. Agar anak percaya akan adanya Tuhan dan mampu beribadah serta mencintai sesamanya. 2. Agar anak mampu mengelola keterampilan tubuhnya termasuk gerakan motorik kasar dan motorik halus, serta mampu menerima rangsangan sensorik. 3. Anak mampu menggunakan bahasa untuk pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi secara efektif sehingga dapat bermanfaat untuk berpikir dan belajar. 4. Anak mampu berpikir logis, kritis, memberikan alasan, memecahkan masalah dan menemukan hubungan sebab akibat. 5. Anak mampu mengenal lingkungan alam, lingkungan sosial, peranan masyarakat dan menghargai keragaman sosial dan budaya serta mampu mengembangkan konsep diri yang positif dan kontrol diri. 6. Anak memiliki kepekaan terhadap irama, nada, berbagai bunyi, serta menghargai karya kreatif. Tujuan Pendidikan Anak Usia Dini ini juga diungkapkan oleh Anwar dan Arsyad bahwa setidaknya Pendidikan Anak Usia Dini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan utama dan tujuan penyerta. Tujuan utama dilaksanakannya Pendidikan Anak Usia Dini adalah untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasanya. sedangkan tujuan penyerta (naturing goal) Pendidikan Anak Usia Dini membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
167
Oleh karena tujuan dari Pendidikan Anak Usia Dini adalah memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak sedini mungkin yang meliputi aspek fisik, psikis, dan sodial secara menyeluruh yang merupakan hak anak. Dengan pertumbuhan dan perkembangan itu, anak diharapkan lebih siap untuk belajar lebih lanjut, bukan hanya belajar (akademik di sekolah), melainkan belajar sosial, emosional, moral, dan lain-lain pada lingkungan sosial. Hal utama dalam pendidikan anak usia dini adalah penerapan empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO (learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together). Dengan menerapkan empat pilar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan anak memperoleh cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan berinteraksi secara aktif dengan sesama sehingga anak dapat menemukan dirinya. 2.3 Model Pembelajaran Outbound A. Konsep Model Pembelajaran Outbound Konsep pendidikan di alam terbuka kemudian berkembang sejak tahun 1970-an diseluruh dunia termasuk Indonesia. Banyak lembaga pendidikan yang menerapkan Outbound dalam proses pengajarannya. Penggunaannya mulai memberikan kontribusi positif terhadap kesuksesan belajar. Berdasarkan sejarah yang telah dikemukakan, Outbound adalah sebuah cara untuk menggali diri sendiri, dalam suasana menyenangkan dan tempat penuh tantangan yang dapat menggali dan mengembangkan potensi, meninggalkan masa lalu, berada di masa sekarang dan siap menghadapi masa depan, menyelesaikan tantangan, tugastugas yang tidak umum, menantang batas pengamatan seseorang, membuat pemahaman terhadap diri sendiri tentan kemampuan yang dimiliki melebihi dari yang dikira. Kegiatan Outbound memberikan tantangan dalam kegiatannya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan seorang anak untuk masa depannya. Outbound adalah sebuah petualangan yang berisi tantangan, bertemu dengan sesuatu yang tidak diketahui tetapi penting untuk dipelajari, belajar tentang diri sendiri, tentang lainnya dan semua tentang potensi diri sendiri. Anak dapat belajar mengenali kemampuannya serta kelemahannya sendiri melalui kegiatan Outbound. Dari uraian yang telah dikemukakan, maka Outbound adalah kegiatan diluar ruangan yang bersifat petualangan dan penuh tantangan sebagai proses pembelajaran untuk menemukenali potensi-potensi anak sehingga anak dapat mengenali dirinya sendiri. 168
B. 1.
Tujuan dan Karakteristik Model Outbound Tujuan Outbound Kegiatan Outbound sangat berguna bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia dari segi mental maupun fisik
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
2.
baik bagi karyawan perusahaan, professional, maupun pelajar. Tujuan Outbound adalah menggali dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki oleh anak melalui berbagai permainan yang ada yang dibuat menantang melalui media alam. Pada Outbound, anak dituntut untuk belajar mandiri dalam arti luas muali dari mengatasi rasa takut, ketergantungan pada orang lain, belajar memimpin, mau mendengarkan orang lain, mau dipimpin dan belajar percaya diri. Steven Habit dalam Winataputra (2001), mengatakan ada tujuh keterampilan untuk hidup, yakni leadership life skill, learn to how, self confident, self awareness, communication skill, management skill and team work. Dari kegiatan kreatifitas itu dilakukan melalui proses pengamatan, interprestasi, rekayasa dan eksperimen yang dilakukan berdasarkan learning by doing yang berarti anak akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk menggali kemampuan dirinya sendiri dengan mengalami sendiri/discovery learning sehingga anak mendapatkan pengalaman untuk pembelajaran dirinya sendiri. Outbound memberikan proses belajar sederhana dimana pengajaran atau pelatihan yang diberikan didesain untuk memberikan semangat, dorongan dan kemampuan yang didasarkan pada sebuah cara pendekatan pemecahan masalah. Ini akan memotivasi anak dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai perwujudan konsep diri positif. Outbound adalah suatu program pembelajaran di alam terbuka yang berdasarkan pada prinsip experimantal learning (belajar melalui pengalaman langsung) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media penyampaian materi. Artinya dalam program Outbound tersebut siswa secara aktif dilibatkan dalam seluruh kegiatan yang dilakukan. Dengan langsung terlibat pada aktivitas (learning by doing) siswa akan segera mendapat umpan balik tentang dampak dari kegiatan yang dilakukan, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengembangan diri setiap siswa di masa mendatang. Hal tersebut juga dapat diartikan bahwa proses belajar dari pengalaman (experiental learning) dengan menggunakan seluruh panca indera (global learning) yang nampaknya rumit, memiliki kekuatan karena situasinya “memaksa” siswa memberikan respon spontan yang melibatkan fisik, emosi, dan kecerdasan sehingga secara langsung mereka dapat lebih memahami diri sendiri dan orang lain. Karakteristik Outbound Kegiatan Outbound merupakan kegiatan belajar sambil bermain atau sebaliknya. Menurut Vygotsky dalam Tedjasaputra (2001), bermain mempunyai peran langsung terhadap perkembangan kongnisi seorang anak dan berperan penting dalam perkembangan sosial dan emosi anak. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
169
170
Menurut Heterington dan Parke, bermain juga berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif anak. Belajar sambil bermain akan memungkinkan anak meneliti lingkungan, mempelajari segala sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Bermain juga meningkatkan perkembangan sosial anak serta untuk memahami peran orang lain dan menghayati peran yang akan diambilnya setelah ia dewasa kelak. Dworetzky dalam Tedjasaputra (2001), mengemukakan bahwa fungsi bermain dan interaksi dalam permainan mempunyai peran penting bagi perkembangan kognitif dan sosial siswa. Jadi berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa manfaat bermain tidak saja dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial, tetapi juga perkembangan bahasa, disiplin, perkembangan moral, kreativitas, dan perkembangan fisik siswa. David Kolb dalam Ancok (2002), menggambarkan proses pembelajaran experimental learning dalam outbound dengan beberapa siklus sebagai berikut: a. Langkah 1: Experience Apa yang dimaksud dengan experience? Biarkan peserta didik kita mengalami dengan melakukan hal tertentu (perform and do it!). Dalam kasus ini adalah melakukan trik service yg mengecoh lawan tersebut. Sebagai langkah awal, peserta didik diberikan serve yg mengecoh tersebut oleh kita. Biar dia merasakan/mengalami kesulitan dalam menerima serve tersebut. Kemudian, ia diminta untuk melakukan hal yang sama, memberikan serve dan teman yg lain menjadi penerima serve. Proses ini, dilakukan selama jangka waktu tertentu yang menurut Anda dirasa cukup. b. Langkah 2: Share (berbagi rasa/pengalaman) Setelah semua peserta didik mencoba melakukan trik serve tersebut secara bergantian. Maka, langkah selanjutnya adalah melakukan proses sharing alias berbagi rasa. Semua peserta didik diminta untuk mengemukakan apa yang dia rasakan baik dari sisi “timing” serve, teknik melempar bola, memukul bola, posisi bola, posisi tangan, posisi berdiri dan lain-lain. Semua hal tersebut diungkapkan secara terbuka, rileks, dengan gaya masing-masing. c. Langkah 3: Process (analisis pengalaman) Tahap ini adalah tindak lanjut dari tahap kedua yaitu proses menganalisis berbagai hal terkait dengan apa, mengapa, bagaimana trik serve tersebut dilakukan termasuk bagaimana mengatasinya. Hal ini dilakukan dengan cara diskusi terbuka dan demonstrasi. Bila perlu rekan yang satu dengan yang lain saling mengoreksi dan memberikan masukan, termasuk mendemonstrasikan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
cara yang menurutnya lebih baik. Instruktur/guru bisa ikut serta meluruskan cara yang lebih tepat. d. Langkah 4: Generalize (menghubungkan pengalaman dengan situasi senyatanya) Langkah selanjutnya adalah menyimpulkan hasil analisis tersebut. Kesimpulan bersama, mungkin telah dihasilkan secara teoretis dari hasil analisis di atas. Namun, belum tentu hal tersebut dapat menyatu atau terintegrasi secara utuh dalam praktek senyatanya. Oleh karena itu, untuk pembuktian generalisasi dari hasil tersebut perlu dilakukan dengan pengulangan penerapan dalam situasi yang nyata. Maka, trik tersebut dicobakan kembali, sebelum beranjak ke trik yang sama tapi levelnya lebih tinggi lagi (lihat langkah 5) e. Langkah 5: Apply (penerapan terhadap situasi yang serupa atau level lebih tinggi) Langkah terakhir, adalah sama dengan langkah 4, namun dalam hal ini level penguasaan ditingkatkan ke hal baru yang lebih tinggi. Hal baru ini, akan menjadi bahan menuju langkah experimental learning ini mulai dari tahap experience-share-process-generalize-apply dan kembali lagi ke siklus awal. Begitu seterusnya. Sementara Hamalik (2003), mengungkapkan karakteristik tahapan model pembelajaran Outbound adalah sebagai berikut: a. Guru merumuskan dengan teliti pengalaman belajar yang direncanakan untuk memperoleh hasil yang potensial atau memiliki alternatif hasil b. Guru berusaha menyajikan pengalaman yang bersifat lebih menantang dan memotivasi c. Siswa dapat bekerja individual tetapi lebih sering bekerja dalam kelompok kecil d. Para siswa ditempatkan dalam situasi-situasi pemecahan masalah nyata e. Para siswa berperan aktif dalam pembentukan pengalaman membuat keputusan sendiri dan memikul konsekuensi atas keputusan tersebut. Outbound memiliki beberapa jenis kegiatan antara lain melalui tutorial, high impact (kegiatan yang membutuhkan sarana pada ketinggian, misalnya flying fox, elvis brigde, dll.), low impact (kegiatan yang dilakukan tanpa sarana di ketinggian), training dan berbagai jenis games/permainan yang didesain khusus untuk pencapaian tujuan yang diharapkan. Outbound untuk anak usia dini sebatas pada jenis kegiatan high impact sederhana (ketinggian disesuai usia dan tinggi anak), low impact, dan games dimana ketiganya dapat dimodifikasi menjadi sebuah permainan yang menarik bagi anak. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
171
C. 1.
2. 3.
Prosedur Kerja Tahap persiapan: a. Guru menentukan bentuk kegiatan/materi yang akan dilaksanakan b. Guru menentukan waktu pelaksanaan (di jam pelajaran/di luar jam pelajaran) dan tempat (tempattempat mana saja yang akan digunakan dalam pelaksanaan) c. Guru mempersiapkan peralatan yang akan digunakan Tahap pelaksanaan: a. Guru membagi anak dalam kelompok b. Guru menjelaskan tentang tugas dan aturan main Tahap pengakhiran: a. Laporan dari masing-masing kelompok b. Refleksi, melakukan review terhadap seluruh kegiatan dari tiap siswa
III. Penutup Pembelajaran Outbound adalah salah satu alternatif yang dapat dijadikan opsi bijak bagi pendidik untuk memberikan anak pengalaman berbeda tentang sebuah pembelajaran. Terdapat banyak kegiatan positif yang dapat dilakukan anak melalui Outbound. Outbound menggunakan alam sebagai medianya dimana experimental learning adalah sebagai metode yang digunakan. Adapun bentuk kegiatannya berupa permainan yang memberikan tantangan pada anak sehingga anak berupaya untuk terus berusaha menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Sejatinya Outbound adalah kegiatan yang terfokus pada pengembangan diri seseorang tetapi pada akhirnya outbound dapat juga dilakukan untuk menyampaikan materimateri yang terdapat pada kurikulum pembelajaran nasional. Sehingga model seperti ini tentunya sangat amat dapat dimanfaatkan setiap pendidik yang berkecimpung dalam pendidikan anak usia dini guna memaksimalkan upaya untuk meningkatkan potensi anak yang sedang berusaha dengan bakatnya masing-masing. Daftar Pustaka
172
Ancok, Djamaludin. 2002. Outbound Management Training. Yogyakarta: Pusat Outbound H-READ UII. Baharudin dan Wahyuni, Nur Esa. 2008. Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group. Hainstock, Elizabeth G. 1999. Metode Pengajaran Montessori untuk Anak Prasekolah. Jakarta: Pustaka Delpratasa. Hamalik, Oemar. 2003. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Hurlock, Elizabeth B.. 1999. Perkembangan Anak. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Solehuddin. 1997. Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah. Bandung: IKIP Bandung. Tedjasaputra, Mayke S. 2001. Bermain Mainan dan Permainan untuk Pendidikan Usia Dini. Jakarta: Grasindo. Winataputra, Udin S. 2001. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Dirjen Dikti, Depdiknas. Wolfgang, Charles dan Marry E. Wolfgang. 1992. School for Young Children: Developmentally Approriate Practice. USA: Allyn and Bacon.
173
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
METODE SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN ASPEK PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DENGAN MEDIA PERMAINAN TRADISIONAL Oleh: Gek Diah Desi Sentana E-mail:
[email protected] Abstrak Zaman sekarang banyak orang tua yang lebih mementingkan sukses akademis, sehingga anak-anak mengalami banyak tekanan untuk mengejar akademis dengan mengorbankan waktu bermain mereka. Bahkan anak-anak di usia dini-pun sudah memiliki jadwal dan hari-harinya penuh kegiatan pembelajaran penting. Padahal waktu untuk bermain bebas adalah penting bagi anak untuk mengembangkan imajinasi dan menjelajahi dunia di sekitar mereka.Kegiatan fisik yang sering dilakukan oleh anak prasekolah seperti: berguling, melompar, meluncur, berputar, berjalan dan berlari dipercaya dapat menjadi sarana dalam merangsang sistem kepekaan dan sensori bagi anak usia dini. Kegiatan tersebut melibatkan emosi dan fisik setiap individu. Setiap kegiatan yang dilakukan mengandung nilai yang penting bagi aspek perkembangan dasar anak. Nilai-nilaiyang terkandung dalam setiap permainan dapat menjadi sarana dalam pemecahan masalah yang dihadapi. Kata Kunci: Permainan Tradisional, Media Simulasi, dan Aspek Perkembangan I.
174
Pendahuluan Permainan tradisional merupakan kekayaan khasanah budaya lokal, yang seharusnya dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Jika dihitung mungkin terdapat lebih dari ribuan jenis permainan yang berkembang di negara kita, yang merupakan hasil pemikiran, kreativitas, prakarsa coba-coba, termasuk hasil olah budi para pendahulu kita, yang jika didokumentasikan akan sangat mencengangkan kita. Ketika anak anak kita tengah gencar-gencarnya diserbu oleh permainan modern melalui tayangan televisi, justru permainan tradisional dalam pelajaran pendidikan jasmani di sekolah dewasa ini sudah tidak dikenal lagi oleh anak-anak. Permainan tradisional tidak hanya dimainkan oleh anak-anak di luar kelas sebagai media hiburan. Permaianan tradisional pun dapat digunakan sebagai media pembelajaran di dalam kelas. Peran permaian tradisional adalah sebagai sarana hiburan para siswa di dalam kelas dan juga sebagai alat pengenalan budaya Indonesia kepada para siswa. Menciptakan sebuah kelas yang menarik dan memberikan banyak pengetahuan di dalamnya
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
(terintegrasi) adalah sebuah kegiatan yang seharusnya menjadi bagian pokok dalam sebuah kegiatan pembelajaran. II.
Pembahasan
Permainan tradisional adalah bentuk kegiatan permainan dan atau olahraga yang berkembang dari suatu kebiasaan masyarakat tertentu. Pada perkembangan selanjutnya permainan tradisional sering dijadikan sebagai jenis permainan yang memiliki ciri kedaerahan asli serta disesuaikan dengan tradisi budaya setempat. Kegiatannya dilakukan baik secara rutin maupun sekali-kali dengan maksud untuk mencari hiburan dan mengisi waktu luang setelah terlepas dari aktivitas rutin seperti bekerja mencari nafkah, sekolah, dsb. Dalam pelaksanaannya permainan tradisional dapat memasukkan unsur-unsur permainan rakyat dan permainan anak ke dalamnya. Bahkan mungkin juga dengan memasukkan kegiatan yang mengandung unsur seni dan kerajinan tangan. 2.1 Metode Simulasi Simulasi berasal dari kata “Simulate” artinya pura-pura atau berbuat seolah-olah. Simulation juga berarti tiruan atau perbuatan yang pura-pura saja. Simulasi sebagai metode penyajian adalah suatu usaha untuk memperoleh pemahaman akan hakikat suatu prinsip atau keterampilan tertentu melalui proses kegiatan atau latihan dalam situasi tiruan (tidak sesungguhnya). Dengan simulasi memungkinkan siswa mampu menghadapi kenyataan yang sesungguhnya atau mempunyai kecakapan bersikap dan bertindak sesuai dengan situasi sebenarnya. Alasan pemilihan metode stmulasi, untuk memudahkan siswa dan guru “mengalami” pola atau model kehidupan dan nilai praktis dari suatu pokok masalah tanpa langsung kedalam suasa alamiah (yang sebenarnya). Metode simulasi digunakan untuk: (a) Melatih keterampilan tertentu, baik yang bersifat keahlian (profesional) maupun keterampilan dalam hidup sehari-hari; (b) Memperoleh pemahaman tentang suatu pengertian (konsep) atau prinsip; dan (c) Latihan memecahkan masalah. Metode simulasi dapat untuk: Meningkatkan aktivitas belajar siswa dengan melibatkan diri dalam mempelajari situasi yang hampir serupa dengan kejadian yang sebenarnya; Memberikan motivasi untuk bekerja sama dalam kelompok; Melatih siswa untuk bekerja sama dalam kelompok; Menimbulkan dan memupuk daya imaginasi siswa; dan Melatih siswa untuk memahami dan menghargai pendapat, peran orang lain. 175
2.2 Bentuk-Bentuk Simulasi Secara rinci, bentuk-bentuk simulasi, diantaranya : 1. Peer teaching dapat dikategorikan sebagai simulasi mengingat peer teaching adalah latihan mengajar yang dilakukan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
2.
176
seorang siswa dimana dia bertindak seolah-olah sebagai guru dan teman sekelasnya seolah-olah sebagai murid suatu sekolah untuk meningkatkan keterampilan mengajarnya. Sosiodrama adalah salah satu bentuk simulasi, yakni suatu drama yang bertujuan untuk menemukan alternatif pemecahan masalah-masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar anggota sosial. Masalah-masalah sosial yang cocok untuk sosiodrama misalnya, masalah konflik antara anggota keluarga, konflik antara buru dengan majikan, konflik antara masyarakat dengan pimpinannya, dan sejenisnya. Bagi siswa, dengan metode simulasi utamanya melalui sosiodrama dapat belajar menemukan alternatif pemecahan masalah sosial yang berkembang dimasyarakat. Dengan disosiodramakan, siswa dapat mengimajinasikan masalah sehingga terdorong untuk menemukan alternatif pemecahannya, tentu saja drama yang disajikan disesuaikan dengan usia siswa.
2.3 Peranan Guru Dalam Simulasi Peranan guru dalam stimulasi sangat penting mengingat tugas guru adalah membangkitkan kesadaran anak tentang konsep dan prinsip yang disimulasikan. Di samping itu, guru dalam pelaksanaan simulasi mempunyai fungsi manajerial. Joyce dan Weil, mengidentifikasi empat peranan guru dalam model pembelajaran melalui simulasi, yakni : explaining, refereeing, coaching, dan discussing. Saat siswa mampu melakukan peran-peran dalam simulasi, apabila memiliki pemahaman yang cukup mengenai peran, maka mereka tengah melakukan explaining Jalan cerita harus dipahami betul oleh pelaku atau pemegang peran. Pemahaman pelaku terhadap peran yang dimainkan maupun jalannya cerita tidak terlepas dari pentingnya peranan guru. Sebelum simulasi dimulai, guru perlu memberikan gambaran tentang jalannya cerita. Selain itu, gambaran tokoh-tokoh cerita beserta karakterisasinya. Gambaran yang disampaikan guru tersebut dimaksudkan untuk memancing daya imajinasi anak, khususnya bagi pemegang peran agar mampu menghayati peran masing-masing. Simulasi digunakan untuk menyediakan pengalaman belajar yang baik. Refereeing menuntun guru agar mengontrol partisipasi siswa dalam bersimulasi agar simulasi mampu memberikan pengalaman belajar yang baik tersebut. Sebelum simulasi dilaksanakan, guru perlu menugaskan siswa memilih tim pemegang peran yang sesuai dengan kemampuan anak untuk memegang peran-peran tersebut. Guru perlu menghindari tugas yang sulit bagi anak dalam pemeranan. Coaching berarti menempatkan guru untuk bertindak sebagai pelatih saat diperlukan, memberikan nasehat agar anak mampu bersimulasi secara betul. Sebagai pelatih, guru akan mendukung dan menasehati tetapi tidak menggurui. Selama simulasi SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
berlangsung, guru bertindak sebagai pemberi penjelasan, wasit, dan pelatih. Sesudah simulasi berakhir, guru perlu membuka diskusi berkaitan dengan signifikansi simulasi dengan kenyataan yang sebenarnya dimasyarakat atau dilapangan. Guru perlu menanyakan kepada siswa utamanya pemain tentang kesulitan dan pemahaman anak dalam bersimulasi, hubungan simulasi dengan matapelajaran yang sedang diikuti. 2.4 Filosofi (Hakikat) Belajar Melalui Media Simulasi Filosofi belajar melalui media simulasi ini bertujuan untuk dan demi meningkatkan motivasi (keinginan) anak (peserta didik) untuk belajar. Dengan belajar melalui media simulasi, anak lebih memahami dan mengerti apa yang dipelajarinya, karena anak ikut langsung dalam proses pembelajarannya, dan itu akan membuat anak menyukai pembelajaran yang dilakukannnya tersebut, dengan kata lain pembelajaran anak (peserta didik) itu bermakna bagi dirinya. Hal tersebut dikarenakan bukan hanya ranah kognitif saja yang dikuasai oleh anak (peserta didik), namun ranah afektif dan psikomotorik juga dapat dikuasai oleh anak (peserta didik). Oleh sebab itu, belajar melalui media simulasi ini amat sesuai dengan kebutuhan belajar anak (peserta didik). Simulasi menjadi penting seiring dengan perubahan pandangan pendidikan, dari proses pengalihan isi pengetahuan kearah proses pengaplikasian teori ke dalam realita pengalaman kehidupan. Lebih lanjut, pengenalan teknik simulasi lebih merupakan kegiatan untuk membantu siswa (peserta didik) dalam mengembangkan keterampilan menemukan dan memecahan masalah. Sehingga pada giliranya melalui simulasi, dapat meningkatkan efektivitas keterampilan siswa dalam menemukan dan memecahkan masalah untuk saat yang akan datang. Teknik simulasi dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa, akan menjadi bagian dari suasana pendidikan. 2.5 Aspek Perkembangan Perkembangan Anak. inilah yang menarik darianak karena anak berkembang tidak secara serentak, dalam artian anak berkembang secara bertahap sesuai dengan usianya, anak memang unik, karena segala tindakan atau apa yang dilakukan selalu menjadi perhatian semua orang. adapun tahap-tahap perkembangan anak sesuai dengan usianya sebagai berikut: 1. Perkembangan Motorik Perkembangan motorik merupakan perkembangan unsur kematangan dan pengandalian gerak tubuh. Ada hubungan yang saling mempengaruhi antara kebugaran tubuh, keterampilan motorik,dan kontrol motorik. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik anak prasekolah adalah keturunan, makanan bergizi, masa pra lahir, pola asuh atau peran ibu, kesehatan, perbedaan jenis kelamin, rangsangan dari lingkungan, dan pendidikan jasmani. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
177
2.
3.
4.
5.
Perkembangan Emosi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:298) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat atau keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, dan kecintaan. Emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang bergejolak pada diriseseorang yang disadari dan diungkapkan melalui wajah atau tindakan, yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan. Perkembangan Sosial Perilaku social merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, orang tua maupun saudara-saudaranya. Sejak kecil anak telah belajar cara berperilaku sosial sesuai dengan harapan orang-orang yang paling dekat dengannya, yaitu dengan ibu, ayah, saudara, dan anggota keluarga yang lain. Perkembangan Bahasa Bahasa adalah bentuk aturan atau sIstem lambang yang digunakan anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara mengacu pada simbol verbal. Selain itu bahasa dapat juga diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural dan musik. Bahasa juga dapat mencakup aspek komunikasi nonverbal seperti gestikulasi, gestural atau pantomim. Gestikulasi adalah ekspresi gerakan tangan dan lengan untuk menekankan makna wicara. Pantomim adalah sebuah cara komunikasi yang mengubah komunikasi verbal dengan aksi yang mencakup beberapa gestural (ekspresi gerakan yang menggunakan setiap bagian tubuh) dengan makna yang berbeda beda. Perkembangan Kognitif Di dalam kehidupan, anak dihadapkan kepada persoalan yang menuntut adanya pemecahan. Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah yang lebih kompleks pada diri anak. Sebelum anak mampu menyelesaikan persoalan, anakperlu memiliki Kemampuan untuk mencari cara penyelesaiannya. .Faktor kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar, karena sebahagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan berfikir.
178
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
III. Penutup Permainan tradisional adalah bentuk kegiatan permainan dan atau olahraga yang berkembang dari suatu kebiasaan masyarakat tertentu. Dalam pelaksanaannya permainan tradisional dapat memasukkan unsur-unsur permainan rakyat dan permainan anak ke dalamnya. Jenis permainan tradisional sendiri banyak sekali corak ragamnya, masing-masing mempunyai bentuk, nama, tujuan dan latar belakang yang sesuai dengan asal dari permainan itu sendiri. Permainan tradisional di sini bisa identik dengan istilah lain yang juga lajim digunakan, yaitu olahraga tradisional. Agar suatu kegiatan dapat dikategorikan sebagai permainan tradisional tentunya harus teridentifikasikan unsur tradisinya yang memiliki kaitan erat dengan kebiasaan atau adat suatu kelompok masyarakat tertentu. Simulasi sebagai metode penyajian adalah suatu usaha untuk memperoleh pemahaman akan hakikat suatu prinsip atau keterampilan tertentu melalui proses kegiatan atau latihan dalam situasi tiruan (tidak sesungguhnya). stimulasi memungkinkan siswa mampu menghadapi kenyataan yang sesungguhnya atau mempunyai kecakapan bersikap dan bertindak sesuai dengan situasi sebenarnya. Stimulasi (dalam Wikipedia) adalah suatu proses peniruan dari sesuatu yang nyata beserta keadaan sekelilingnya (state of affairs). Aksi melakukan simulasi ini secara umum menggambarkan sifat-sifat karakteristik kunci dari kelakuan sistem fisik atau sistem yang abstrak tertentu. Perkembangan Anak. inilah yang menarik dari anak karena anak berkembang tidak secara serentak, dalam artian anak berkembang secara bertahap sesuai dengan usianya, anak memang unik, karena segala tindakan atau apa yang dilakukan selalu menjadi perhatian semua orang. adapun tahap-tahap perkembangan anak sesuai dengan usianya sebagai berikut: (1) Perkembangan motorik merupakan perkembangan unsur kematangan dan pengandalian gerak tubuh. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik anak prasekolah adalah keturunan, makanan bergizi, masa pra lahir,pola asuh atau peran ibu, kesehatan, perbedaan jenis kelamin, rangsangan dari lingkungan, dan pendidikan jasmani; (2) Perkembangan emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang bergejolak pada diriseseorang yang disadari dan diungkapkan melalui wajah atau tindakan, yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan; (3) Perkembangan social. merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, orang tua maupun saudara-saudaranya. Sejak kecil anak telah belajar cara berperilaku sosial sesuai dengan harapan orangorang yang paling dekat dengannya, yaitu dengan ibu, ayah, saudara, dan anggota keluarga yang lain; (4) Perkembangan Bahasa adalah bentuk aturan atau sIstem lambang yang SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
179
digunakan anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara mengacu pada simbol verbal; (5) Perkembangan kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar, karena sebagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan berfikir. Daftar Pustaka Anonym. 2007. Prinsip dan Praktek Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat PAUD http://www.sarjanaku.com/2010/ 11/aspek-aspek-perkembangan-anak.html Pontjopoetro, S. Dkk .2002. Permainan Anak, Tradisional dan Aktivitas Ritmik. (Modul). Jakarta: Pusat Penerbitan UT Papalia, Diane E, Etc. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan, terjemahan A. K. Anwar). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup Sukirman, dkk., 2004, Permainan Tradisional Jawa, Kepel Press, Yogyakarta Sujiono Bambang Dkk. 2010. Metode Pengembangan Fisik, Jakarta: Pusat Penerbitan UT Nurani, Sujiono Yuliani. 2009. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta :PT. Indeks Jakarta
180
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
METODE PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI MELALUI PERMAINAN Oleh: I Made Wirahadi Kusuma Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail:
[email protected]
Abstrak Permainan adalah suatu kegiatan yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran Anak. Karakter anak yang senang bermain menjadikan seorang guru dalam mengelola pembelajarannya harus memperhatikan beberapa hal yaitu tentang konsep, tujuan dan syarat permainan untuk anak, penggolongan kegiatan bermain anak, bahan dan alat permainan yang sesuai dengan perkembangan anak, serta implementasi penggunaan permainan dan alat bermain dalam kegiatan pembelajaran. Adapun tujuan penulisan ini adalah agar dapat memahami dan dapat meningkatkan strategi pembelajarannya melalui metode permainan di kelas dan diluar kelas. Setelah dikaji secara teori, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode permainan sangat sesuai dengan karakter anak. Metode Pembelajaran melalui permainan dapat dilakukan didalam kelas maupun diluar kelas. Dengan pengelolaan yang tepat permainan dalam pembelajaran dapat membantu anak sebagai upaya dalam membantu perkembangan anak semaksimal mungkin. Kata Kunci : Metode pembelajaran, anak usia dini, permainan I.
Pendahuluan Pada umumnya dalam proses pendidikan pada anak balita atau anak usia dini lebih diutamakan pada metode bermain sambil belajar. Hal ini disesuaikan dengan kondisi anak anak pada masa ini dimana pembelajaran dan cara mereka untuk mengerti sebuah pembelajaran harus bersamaan dengan proses bermain yang mereka lakukan. Para pendidik memanfaatkan hal tersebut untuk memudahkan mentransfer ilmu yang diberikan sehingga lebih gampang untuk dimengerti bagi anak anak. Di seluruh Dunia anak bermain, dan proses bermain anak anak selayaknya proses berkerja orang dewasa. Ada anak anak yang bermain dengan patut dan ada pula yang bermain dengan bahaya. Dunia bermain adalah dunia yang penuh warna dan menyenangkan. Para pelaku permainan akan merasa terhibur dan senang dengan melakukannya. Dari kata “bermain” saja sudah menunjukan bahwa kegiatan ini berdampak memberikan penyegaran pikiran dari berbagai aktifivitas yang menjenuhkan. Bagi anak-anak, bermain memiliki peranan yang sangat penting. Beberapa pakar psikologi berpendapat bahwa kegiatan bermain SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
181
dapat menjadi sarana untuk perkembangan anak. Dengan melakukan permainan, anak-anak akan terlatih secara fisik. Dengan demikian kemampuan kognitif dan sosialnya pun akan berkembang. Singkatnya, permainan dimasa kecil akan mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak kelak. Suhendi (2001:8) yang menjelaskan bahwa: Setiap diri manusia, baik anak-anak maupun orang dewasa terdapat hasrat untuk bermain. Seperti halnya kebutuhan bersosialisasi dan berkelompok, bermain merupakan hasrat yang mendasar pada diri manusia. Anak-anak ingin bermain karena saat itulah mereka mendapatkan berbagai pengalaman lewat bermain melalui eksplorasi alam disekitarnya. Dari kegiatan tersebut, mereka dapat mengenal alam dan teman sepermainan dalam suasana yang menyenangkan. Sementara orang dewasa membutuhkan permainan sebagai sarana relaksasi dan menghibur diri. Dari pernyataan tersebut, kita dapat simpulkan bahwa dengan kegiatan bermain berbagai kompetensi bidang pengembangan dapat diperoleh khusunya untuk anak. Kompetensi tersebut merupakan dasar pengembangan potensi anak kelak dikemudian hari. Pemilihan permainan yang berupa game-game menarik, menyenangkan dan kreatif sangat menentukan pencapaian kompetensi-kompetensi diatas. Guru sebagai moderator, pemimpin dan pembimbing permainan pada Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini harus jeli dan kreatif mengoptimalkan permainan di sekolah agar bidang pengembangan dan kecerdasan anak dapat dioptimalkan. Diperlukan wawasan yang luas bagi guru untuk terus menggali kemampuannya dalam memilih permainan yang kreatif, inovatif, tepat sasaran, sarat makna dan barus tetap menyenangkan. Inilah yang menjadi masalah besar bagi guruguru. Kurangnya informasi tambahan pengetahuan baik secara teori maupun praktek, terbatasnya kompetensi yang dimiliki guru sebagai akibat dari latar belakang pendidikan yang dimiliki guru merupakan penyebab kurangnya kreatifitas guru dalam mengajar dengan menggunakan metode permainan. Manfaat yang diperoleh guru setelah memahami tentang metode permainan ini adalah guru dapat menerapkan strategi belajar baik di dalam maupun kegiatan di luar kelas disesuaikan dengan tujuan bidang perkembangan anak. Diharapkan guru dapat lebih semangat untuk menambah ilmu baik secara teori maupun praktek. Kajian ini diberi judul metoda permainan dalam pembelajaran anak Usia Dini. II. 182
Pembahasan
2.1 Konsep Permainan Untuk Anak Usia Dini Pelaku permainan akan mengalami dan merasakan manfaat secara langsung. Hal ini berbeda dengan kegiatan belajar diruang kelas yang lebih menonjolkan aspek kognitif. Meskipun demikian, SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
kegiatan belajar yang efektif adalah dilakukan dengan belajar langsung atau praktek langsung, dimana siswa bisa merasakan dan mengalami langsung apa yang mereka pelajari. Kegiatan bermain dan belajar berbeda jika ditinjau secara akademis. Keterampilan interaktif, seperti berhitung, mewarnai, dan bernyanyi biasa dikuasai dengan proses belajar di kelas. Meskipun demikian bukan berarti aktivitas bermain tidak berperan penting, keterampilan lain yang berhubungan dengan Basic Life Skill, seperti keterampilan berkomunikasi, bersosialisasi, bernegosiasi, dan bekerjasama dalam kelompok, bisa dipelajari dari proses bermain. Dimata anak-anak, ada beberapa alasan kenapa permainan dibutuhkan sebagai media pembelajarnya. Alasan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Anak-anak membutuhkan pengalaman yang kaya, bermakna, dan menarik, (2) Otak anak senang pada sesuatu yang baru dan hal hal baru yang menantang dan menarik, (3) Rangsangan otak sensori multimedia penting dalam pembelajaran. Makin banyak yang terlibat (visual, audio, dan audio visual) dalam suatu aktivitas, makin besar pula kemungkinan anak anak untuk belajar, (4) Anak umumnya senang bergerak, jadi jangan lupa memasukan gerak dalam pembelajaran, (5) Pengulangan adalah kunci belajar. Berikan kegiatan yang membuat siswa dapat mengulang pembelajarann tanpa rasa bosan dan jenuh. (6) Permainan menyenangkan bagi anak. Keinginan untuk belajar dapat meningkat dengan adanya tantangan dan terhambat oleh ancaman yang disertai oleh rasa tidak mampu atau kelelahan. 2.2 Kompetensi yang dicapai melalui hasil permainan Permainan yang diselenggarakan dalam pembelajaran dapat meningkatkan kompetensi khususnya, kompetensi yang erat kaitannya dengan perkembangan anak. Ralibi (2008: 23) mengemukakan tentang kompetensi dari hasil permainan adalah sebagai berikut: 1. Self Awareness, yaitu kemampuan menyadari emosi dan pikiran di dalam diri sendiri serta menyadari tindakan apa yang harus dilakukan atas emosi yang sedang disadarinya. 2. Self Direction, yaitu kemampuan menggunakan pilihanpilihan dalam mengahadapi persoalan. 3. Self Management, Yaitu kemampuan mengelola atau mengorganisasi persoalan atau tugas secara mandiri. 4. Empathy, kemampuan menyadari emosi yang dirasakan oleh orang lain. 5. Assertive, yaitu kemampuan mengkondisikan diri diantara perilaku submisif (cenderung mengikuti) dan agresif. 6. Followership, yaitu kemampuan memosisikan diri untuk dipimpin orang lain. 7. Creative Thinking, yaitu kemampuan berpikir dengan cara memadukan pengalaman pikiran dan tindakannya dalam menghadapi persoalan. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
183
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Team Work, yaitu kemampuan bekerjasama dalam sebuah tim. Problem solving, yaitu kemampuan memecahkan persoalan. Oppeness, yaitu kemampuan membuka diri terhadap orang lain. Team Spirit. yaitu kemampuan menghidupkan semangat secara kolektif. Effective Comunication, yaitu kemampuan berinteraksi satu lama lain secara verbal maupun non verbal. Self Communication, yaitu kemampuan beinteraksi satu sama lain baik secara verbal maupun nonverbal. Self Motivation, yaitu kemampuan memacu motivasi di dalam diri.
2.3 Syarat pemilihan dan penggunaan alat dan bahan permainan Selain permainan yang dapat dilaksanakan tanpa bantuan alat, permainan juga dapat dilakukan dengan alat bantu alat permainan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan dan peralatan belajar dan bermain anak yaitu: 1. Pilih alat atau bahan yang mengundang perhatian anak dan mudah untuk didapat, menarik minat dan menyentuh perasaan mereka baik dari warna., janis, bentuk, ukuran atau berat. Jenis dan bentuk alat belajar juga akan berpengaruh terhadap perkembangan belajar anak. 2. Pilih bahan yang mencerminkan karakteristik tingkat usia anak. Dalam mencari alat permainan kita harus mengetahui karakter dan ciri-ciri belajar anak sesuai dengan karakteristik anak. 3. Alat permainan sebaiknya beraneka macam sehingga anak dapat bereksplorasi dengan berbagai macam alat permainan. 4. Pilih bahan yang dapat memperluas kesempatan anak untuk menggunakannya dengan bermacam cara. 5. Pilih bahan yang tidak membedakan jenis kelamin dan tidak meniru-niru. Sebaiknya alat atau bahan yang dipilih tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. 6. Pilih alat dan bahan yang sesuai dengan filsafat dan pendidikan. Alat dan bahan ini sering disebut dengan APE (Alat Permainan Edukatif) untuk mendapatkan dapat berkonsultasi dengan seorang ahli baik, ahli mainan, pendidik anak psikolog atau perawat anak yang profesional.
184
2.4 Kegiatan bermain anak berdasarkan kegemaran Kegiatan Bermain berdasarkan pada kegemaran anak, dibagi menjadi 4 macam, yaitu: 1. Bermain bebas dan spontan adalah mekanisme bermain yang dilakukan oleh anak anak dengan mengapresiasikan seluruh keinginannya untuk bermain tanpa ada tekanan dan batasan dalam ruang lingkup permainannya. Kegiatan ini secara SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
2.
3.
4.
langsung mengembangkan aspek kognitif anak menjadi lebih aktif dan diperlukan pengawasan yang extra untuk menyepadankan permainan yang mereka lakukan dan pendidikan yang mereka dapatkan secara langsung dari hasil permainan mereka. Bermain menerka dan mengulang kembali, adalah proses permainan yang dilakukan anak-anak untuk mengembangkan sensor motoriknya. Cara ini berdampak dalam pengembangan apektif anak dalam memahami berbagai sesuatu yang baru yang mereka ketemui tanpa takut untuk berbicara. Menerka dimaksudkan anak dapat mempolakan mekanisme otaknya untuk memfokuskan jawaban yang akan disampaikan anak-anak terhadap suatu pertanyaan yang diberikan. Mengulang kembali sebuah hasil yang diperoleh anak anak dapat membiasakan pola pikir anak untuk menyempurnakan hasil yang mereka peroleh dalam suatu permainan dalam belajar. Bermain dengan cara membangun dan menyusun. Bermain dalam bentuk seperti ini sangat baik untuk mengembangakan kreativitas anak setiap anak akan menggunakan imajinasinya membentuk suatu mainan. Anak akan merasa bangga dan akan menunjukan kreasinya kepada teman atau gurunya. Membangun dan menyusun ini bukan hanya din menggunakan alat Bantu (APE-Alat Permainan Edukatif)), akan tetapi bentuk gambar. lukisan (finger painting), lego, dll, merupakan bentuk lain dari kreatitivitas anak dalam hat membentuk dan membangun. Bertanding atau berolah Raga adalah bermain dengan jenis permainan yang mengandung unsur game atau pertandingan, baik juga dilakukan di sekolah. Permainan yang bermakna pertandingan hendaknya ditakukan dengan aturan sederhana dan jelas, dan usahakan tempo permainan tidak terlalu panjang. Berbagai kegiatan bermain yang megandung unsur pertandingan misalnya : a. Pesan berantai b. Permainan yang menuntut penguasaan anak dalam hat menjodohkan (kartu Kuartet, Domino, dll) c. Permainan yang menuntut penguasaan koordinasi motorik halus dan kasar
2.5 Implemantasi Kegiatan Pembelajaran Melalui Permainan A. Peran Guru dalam Kegiatan Bermain Bermain merupakan upaya bagi anak untuk mengungkapkan hasil pemikiran dan perasaan serta cara anak menjelajah lingkungannya. Bermain juga membantu anak untuk menjalin hubungan sosial antar anak. Ketika anak mulai masuk ke suatu lembaga pendidikan Sekolah Dasar, anak-anak harus mulai bisa menempatkan diri pada posisi yang tepat, karena dalam beberapa hal kegiatan bermain di sekolah berbeda dengan kegiatan bermain SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
185
di rumah. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Perbedaan Bermain di Sekolah dan di Rumah Kegiatan Bermain di Sekolah Memiliki kesempatan bermain dalam kelompok yang lebih besar Anak dapat bermain dan menambah ilmu Jenis/macam dan alat permainan lebih beragam Anak harus belajar kekompakan dengan teman-temannya Waktu untuk bermain terbatas karena waktu anak berada di sekolah hanya beberapa jam Setiap permainan memiliki kesempatan/aturan bersama yang harus dipatuhi anak-anak
Kegiatan Bermain di Rumah Kesempatan bermain dengan kelompok yang lebih kecil Belum tentu mendapatkan ilmu Jenis/macam dan alat permainan lebih sedikit Anak dapat menguasai permainannya sendiri tanpa harus kompak dengan teman Waktu untuk bermain lebih bebas dan fleksibel sesuai dengan keinginan anak Aturan permainan bebas ditentukan oleh anak sendiri
Sebelum menjelaskan bagaimana guru mengelola pembelajaran melalui permainan, dibawah ini akan ditampilkan tabel Tingkat Perkembangan Bermain Sosial yang dikemukakan oleh Parten dalam Montolalu (2008:2,19) yang menjelaskan tentang 6 tahapan perkembangan bermain pada anak: Tabel 2. Tabel Tingkat Perkembangan Bermain Sosial No 1
Nama Tahapan Unoccupied
2
Unclookers (berperilaku seperti penonton /pengamat)
3
Bermain Solitaire (bermain sendiri)
4
Bermain Pararel
5
Bermain Associative
6
Bermain Kooperatif (Group Play)
186
Kegiatan Bermain Mengamati kegiatan orang lain. Bermain dengan tubuhnya, naik turun tangga, berjalan kesana kemari tanpa tujuan bila tidak ada yang menarik perhatian dirinya. Mengamati, bertanya dan berbicara dengan anak lain, tetapi tidak ikut bermain. Berdiri dari kejauhan untuk melihat dan mendengarkan anak-anak lain bermain dan bercakap-cakap Bermain sendiri dan tidak terlibat dengan anak lain. Bermain dengan mainannya sendiri merupakan tujuannya. Bermain berdampingan atau berdekatan dengan anak lain menggunakan alat, tetapi bermain sendiri. Tidak menggunakan alat-alat bersama, hanya berdampingan dengan anak lain, tidak berdampingan dengannya Bermain dengan anak-anak lain dengan jenis permainan yang sama. Terjadi percakapan dan Tanya jawab serta saling meminjam alat permainan, tetapi tidak terlibat dalam kejasama, misalnya dalam kegiatan menggunting bentukbentuk gambar. Bermain bersama melakukan suatu proyek bersama, misalnya dalam permainan drama, permainan konstruktif membangun dengan balok sebuah kota atau melakukan permainan
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
bersama yang ada unsur kalah-menang, bermain di bak pasir atau bermain bola kaki yang sederhana, petak umpet, dll
Kegiatan bermain lembaga Pendidikan Anak Usia Dini biasanya dilakukan di dalam ruang ataupun di luar ruangan. Pemilihan tempat kegiatan bermain ini tentu saja ditentukan oleh kompetensi apa yang ingin dicapai oleh anak. Tujuan pembelajaran ini tertuang dalam perencanaan pembelajaran yang dibuat oleh guru. B. 1.
2.
Rancangan kegiatan bermain yang dilakukan guru Menentukan Tujuan dan Tema Kegiatan Bermain; Tujuan kegiatan bermain bagi anak PAUD adalah untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak, baik motorik, kognitif, bahasa, kreativitas, emosi dan sosial. Dalam kegiatan bermain itu terlebih dahulu dikomunikasikan kepada anak dan diutarakan apa yang akan diperoleh dari kegiatan bermain tersebut dalam bahasa yang dapat dipahami oleh anak. Setelah menentukan tujuan, sesuaikan dengan tema yang telah ditetapkan dan dalam perencanaan program pendidikan. Dibawah ini terdapat contoh bagaimana menentukan tujuan dan tema. Tujuan bermain diantaranya; Menghindari pertentangan, Untuk melatih motorik anak dan untuk melatih kekompakan, dll Tema Bermain: Sesuaikan dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam Perencanaan, misalnya Tema Cuaca. Dilakukan permainan “lempar benda” dengan cara guru melempar salah satu benda yang sebelumnya anak di bagi menjadi beberapa kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari dua orang. Dalam kelompok ada yang menjadi hujan dan kemarau Hujan dimisalkan spidol dan kemarau dimisalkan botol minum. Jika guru melempar spidol maka anak yang menjadi hujan harus berdiri bertepuk tangan dan mengucapkan “kemarau” dan yang lainnya tetap duduk. Menentukan Macam Kegiatan Bermain; Dalam menentukan jenis kegiatan bermain harus diperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi yang dapat menghambat dalam kegiatan. Kegiatan permainan sebaiknya merupakan permainan yang mendidik atau lebih dikenal dengan “Edu Fun Game”. Permainan yang serasa menyenangkan tetapi sarat dengan makna pendidikan dalam rangka membantu anak untuk mengembangkan berbagai jenis kecerdasannya. Jika permainan yang dilakukan tidak dapat mengoptimalkan seluruh bidang kecerdasan, guru dapat memfokuskan pada salah satu jenis kecerdasan apa yang ingin dicapai sebagai tujuan pembelajaran. Waktu permainan juga perlu diperhatikan, agar dalam waktu yang cukup, dapat digunakan semaksimal mungkin dan dapat SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
187
4.
5.
6.
memberi kesempatan kepada seluruh anak untuk mengikuti kegiatan. Selama kegiatan permainan berlangsung, perlu diperhatikan keselamatan anak-anak. Menentukan Tempat dan dan Ruang Bermain; Tempat bermain ditentukan di luar atau di dalam ruangan, tergantung fasilitas yang ada di sekolah atau tempat bermain, jenis permainan yang akan dilakukan sesuai dengan apa yang direncanakan serta tujuan kegiatan permainan tersebut. Dalam hal ini guru perlu menyiapkan kegiatan alternative apabila terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Menentukan Bahan dan Peralatan Bermain; Sebelum melakukan kegiatan bermain, berbagai bahan dan peralatan pendukung hendaknya dipersiapkan dengan seksama, karena akan menentukan kelancaran kegiatan pembelajaran melalui permainan ini. Syarat utama bahan dan alat yang diguanakan adalah aman untuk dipegang, atau dimainkan oleh anak-anak. Keselamatan anak-anak adalah hal yang paling utama untuk diperhatikan. Menentukan Urutan Langkah Bermain; Urutan langkah permainan benar-benar dipahami oleh guru. Dalam membimbing anak Bermain, komunikasikan terlebih dahulu peraturan yang harus ditaati oleh anak. Urutan langkah permainan ini terdapat dalam permainan yang sifatnya terpimpin, atau dibimbing langsung oleh guru. Urutan langkah ini sekaligus mengajarkan dan membiasakan anak-anak untuk mengerti sebuah prosedur awal sebuah permainan yang akan dilakukan dan akhir sebuah permainan dengan mendapatkan tujuan dari hasil permainan yang dilaksanakan anak-anak,
III. Penutup
188
Metode pembelajaran melalui permainan memberikan dampak positif terhadap kecerdasan anak. Proses pembelajaran melalui permainan dalam mengoptimalkan kecerdasan anak perlu dikelola dengan sebaik baiknya. Misalnya: 1. Perencanaan dilakukan jauh hari sebelum program tahun ajaran baru berjalan secara bersama-sama dengan pihak yang terkait. 2. Kondisi kelas/lapangan/tempat dilaksanakannya permainan yang kondusif 3. Kesiapan guru dalam memimpin dan memandu permainan harus benar-benar diperhatikan, 4. Tujuan permainan harus dipahami secara mendalam 5. Persiapan alat bantu untuk mendukung permainan. Pengelolaan metode pembelajaran melalui permainan yang baik dapat meminimalisir hambatan-hambatan yang mungkin dihadapi pada saat pelaksanaan pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran melalui permainan yang dimaksud adalah: SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
1. 2. 3.
Pengelolaan waktu permainan yang tepat Penggunaan alat Bantu permainan yang tepat, mudah, murah, dan aman Penginformasian petunjuk permainan yang jelas pada anakanak sesuai pemahaman bahasa yang mereka miliki dan sesuai dengan teme pembelajaran
Daftar Pustaka Anwar, A. (2010). Pendidikan Anak Usia Dini. Bandung: Alfabeta. Depdiknas, (2005) Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta Direktorat PAUD PLSP. Masitoh, dkk. (2007) Strategi Pembelajaran TK. Jakarta:Universitas Terbuka :Menciptakan Kelas Yang Berpusat Pada Anak. CRI: Children‟s Resources International, Inc. Moeslichatoen. (2004) Metode Pengajaran di taman Kanak-Kanak. Jakarta: Roneka Cipta. Montolalu. W (2008) Bermain Dalam Kelompok, Bermain Bola, Bermain dengan Angka. Jkt: Grasindo Rabbi, M.I. (2008) Fun Teaching. Bekasi: Duha khazanah. Soemiarti (2003) Pendidikan Anak Pra Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Solehuddin (2000:87) Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah, Bandung: FIP-UPI Indonesia Suhendi, A., dkk (2009)Altainan dan TWO= Nakita. Juni 2001. Jakarta: PT. Gramedia. Sudono, Anvani (2004) Sumber Belajar dan Alat permainan untuk Anak Usia Dini Jakarta: Grasindo http://bdkbandung.kemenag,go,id/jurnal/249-metodepembelajaran-anak-usia-dinimelalui-permainan
189
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
PERAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK USIA DINI Oleh : I Ketut Sudarsana Dosen Pascasarjana IHDN Denpasar E-mail :
[email protected]
Abstract As a potential successor to life, the child has a heavy duty and obligation as an adult, so as to realize the golden generation that is tough and ready to compete, then the role of the family is of particular importance in shaping the character of an child, especially early childhood. As a social system is the smallest, the family in this case the parents should be able to instill the indigo character in a child's personality. In infancy, a child has a lot of questions about things he felt new. Kids have critical questions, so this is where good communication skills are required to be possessed by every parent in answering the questions posed by a child. The family is now not only have the function of production and consumption, but more complex, covering the overall development of the child. Keywords: Family, Character and Early Childhood Abstrak Sebagai calon penerus kehidupan, anak memiliki tugas dan kewajiban yang berat ketika telah dewasa, sehingga untuk mewujudkan generasi emas yang tangguh dan siap bersaing, maka peranan keluarga sangat penting terutama dalam membentuk karakter seorang anak, khususnya anak usia dini. Sebagai suatu sistem sosial terkecil, keluarga dalam hal ini orang tua harus mampu menanamkan nilai-nila karakter dalam kepribadian seorang anak. Pada masa pertumbuhan, seorang anak memiliki banyak pertanyaan mengenai hal-hal yang dirasanya baru. Anak memiliki pertanyaan-pertanyaan kritis, sehingga disinilah dituntut kemampuan komunikasi yang baik yang harus dimiliki oleh setiap orang tua dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang anak. Keluarga sekarang tidak hanya memiliki fungsi produksi serta konsumsi saja, namun lebih kompleks yang mencakup keseluruhan tumbuhkembang anak. Kata Kunci : Keluarga, Karakter dan Anak Usia Dini I. 190
Pendahuluan Anak selain penerus generasi keluarga juga penerus bangsa dan Negara, sehingga dalam konteks tersebut anak perlu mendapat pola asuh yang baik sehingga potensi-potensi dirinya dapat berkembang dengan pesat. Pola asuh yang baik akan berdampak pada tumbuhnya anak menjadi manusia yang SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
memiliki kepribadiian yang tangguh dan memiliki berbagai macam kemampuan dan ketrampilan yang bermanfaat. Penting bagi keluarga untuk berperan dan bertanggung jawab dalam memberikan berbagai macam stimulasi dan bimbingan yang tepat sehingga akan tercipta generasi penerus yang tangguh. Anak adalah individu yang unik. Dengan keunikannya anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai kebutuhannya. Anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal jika lingkungan mendukung segala kebutuhannya dengan baik. Anak membutuhkan perawatan, pengasuhan, dan pendidikan yang layak di rumah, sekolah dan masyarakat. Anak memerlukan perhatian yang intensif dari orang dewasa untuk mengembangkan dirinya. Keberadaan anak didik tidak dapat diabaikan karena mereka adalah generasi penerus yang dapat menentukan kemajuan suatu bangsa. Keberlangsungan hidup anak menjadi tanggung jawab pendidik, baik guru maupun orang tua khususnya untuk mengatasi berbagai permasalahan, agar tumbuh kembang anak berlansung sesuai dengan tahapan perkembangannya. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 28 Anak usia dini adalah anak yang memiliki usia 0-6 tahun. Pendidikan Anak Usia Dini, berarti pendidikan yang ditujukan kepada anak-anak yang usianya 0-6 tahun (prasekolah). Menurut definisinya, Pendidikan Anak Usia Dini adalah pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar dan merupakan suatu upaya pembinaan bagi anak sejak lahir sampai usia 6 tahun dan dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan, untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, agar anak memiliki kesiapan untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut. Pendidikan usia dini ini penting karena pada usia ini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan aknak untuk memperoleh pendidikan. Menurut penelitian, 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berusia 4 tahun, 80 % terjadi ketika anak berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak mencapai usia 18 tahun. Hal menunjukkan bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama, sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada 14 tahun berikutnya. Periode ini merupakan periode kritis bagi anak. Perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh pada perkembangan berikutnya, hingga masa dewasa. Periode ini hanya datang sekali, tidak terulangi. Oleh karena itu, pendidikan anak usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulus) dari keluarga terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak. Pembentukan karakter anak hendaknya selain dengan pendidikan juga ditanamkan sejak dini secara ritual, dimana pendidikan karakter telah berlangsung sejak seseorang mulai SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
191
mengandung dilakukan berbagai upacara untuk keselamatan bayi dalam kandungan seperti upacara magedong-gedongan yang dilakukan ketika kandungan berumur enam bulan untuk memohon kelahiran anak yang suputra. Untuk mendapatkan kelahiran anak yang suputra, ketika ibu hamil umumnya dilakukan dengan mendengarkan lantunan mantra-mantra, ceritacerita tentang kisah Ramayana, Mahabarata dan cerita yang mengandung nilai-nilai pendidikan budhi pekerti. Dengan demikian karakter negatif yang mempengaruhi bayi dalam kandungan dapat disosialisasikan dengan perilaku yang positif dan baik yang dikembangkan. Berdasarkan hal tersebut memperlihatkan bahwa dalam ajaran-ajaran Agama Hindu memiliki keindahan dan nilai yang tiada taranya. Di dalam kitab Purana dan kakawin yang diwarisi di Bali dan Jawa, ajaran susastra Hindu ditransformasikan kepada pembacanya dari generasi ke generasi berikutnya mengenai nilainilai yang terkandung di dalamnya (Titib, 2003:4). Ajaran-ajaran dan nilai-nilai tersebut mengarah pada pendidikan budhi pekerti anak yang luhur. Pendidikan budhi pekerti kepada anak dapat dilakukan dalam beberapa fase tergantung dari tingkat umur, yaitu sebagai berikut. (1) Ketika anak-anak masih kecil (balita) dalam psikologi dinyatakan sebagai masa kemerata-rata. (2) Ketika usianya belum remaja hendaknya diperlakukan dengan disiplin yang ketat dan tegas. (3) Ketika anak itu sudah tumbuh remaja dan menuju kedewasaan hendaknya diperlakukan sebagai teman. Jadi pendidikan budhi pekerti diberikan kepada anak sejak usia dini, agar berjalan secara berkesinambungan mengikuti perkembangan anak. Disamping itu, sikap perilaku anak yang berpedoman pada etika dan norma-norma. Komunikasi dan interaksi berjalan lancar bila setiap kelompok memiliki cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan berkomunikasi yang disepakati bersama. Cara-cara atau kebiasaan yang disepakati bersama inilah kemudian dikenal dengan aturan atau norma. II.
192
Pembahasan
2.1 Perkembangan Anak Usia Dini Anak usia dini, 0-6 tahun, oleh orang tua disebut sebagai usia sulit atau usia yang mengundang masalah. Hal ini terjadi karena masa awal anak-anak adalah masa yang sering membawa masalah bagi orang tua, khususnya perawatan pisik. Apalagi di awal masa kanak-kanak, sering kali terjadi masalah perilaku yang lebih menyulitkan dari pada masa bayi. Pendidik menyebut usia prasekolah. Ahli psikologi menyebut usia ini dengan beberapa istilah: Pertama, usia kelompok. Pada masa ini anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi, yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk kelas satu. Kedua, usia menjelajah. Usia ini berkisar di seputar penguasaan dan pengendalian SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
lingkungan. Anak-anak ingin mengetahui bagaimana keadaan lingkungannya, bagaimana mekanismenya, bagaimana perasaannya dan bagaimana ia dapat menjadi bagian dari lingkungannya. Ketiga, usia bertanya. Pada usia ini untuk mengetahui hal-hal yang berada di sekitarnya, mereka bertanya. Keempat, usia meniru. Anak-anak di usia ini, yang paling menonjol adalah meniru pembicaraan dan tindakan orang lain. Kelima, usia kreatif. Karena, pada usia ini anak-anak lebih menunjukkan kreativitas dalam bermain dibandingkan dengan masa-masa lain dalam kehidupannya (Elizabeth B. Hurlock 1993:109). Menurut Hadhari Nawawi (1993:55), pada usia 3 sampai 5 tahun, perkembangan anak ditandai dengan munculnya sikap egosentris. Masa itu disebut juga Masa Raja Kecil atau Masa Trotz Alter dengan sikap egosentris karena merasa dirinya berada di pusat lingkungan, yang ditampilkan anak dengan sikap menantang atau menolak sesuatu yang datang dari orang sekitarnya. Perkembangan seperti ini antara lain disebabkan oleh kesadaran anak, bahwa dirinya mempunyai kemauan dan kehendak sendiri, yang dapat berbedadari orang lain. Kesadaran ini merupakan awal dari usaha untuk mewujudkan diri (self realization) sebagai satu diri (individu), dengan menunjukkan bahwa dirinya tidak sama dengan orang lain. Tampaknya, anaknaka bagi orang tua yang kurang bijaksana seolah-olah menjadi bandel, bahkan sering dikatakan menjadi nakal sekali. Menurut Snowman (Soemiarti 2003:32-35) ciri anak prasekolah (3-6 tahun) yang biasanya ada di TK meliputi aspek fisik, sosial, emosional dan kognitif anak. Ciri fisik: umumnya sangat aktif, telah memiliki control terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukannya sendiri. Setelah anak melakukan berbagai aktivitas, berikan waktu istirahat. Otot-otot besar pada anak prasekolah lebih berkembang dari control terhadap jari dan tangan. Anak masih sering mengalami kesulitan apabila harus memfokuskan pandangannya pada objek-objek yang kecil ukurannya. Walaupun tubuh anak sudah lentur, tetapi tengkorak kepala yang melindungi otak masih lunak. Anak lakilaki lebih terlambat dalam menguasai keterampilan motorik halus dibandung anak perempuan. Ciri sosial: umumnya memiliki satu atau dua sahabat tetapi seing berganti, kelompok bermainnya cenderung kecil dan tidak terorganisasi dengan baik, anak yang lebih kecil cenderung bermain bersebelahan dengan anak yang lebih besar, pola bermain sangat variatif sesuai dengan kelas sosial dan gender, perselisihan sering terjadi, tetapi sebentar kemudian mereka telah berbaik kembali, dan telah menyadari peran jenis kelamin dan sex typing. Ciri emosi: anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka dan iri hati pada anak prasekolah sering terjadi, mereka seringkali meperebutkan perhatian guru. Ciri kognitif : umumnya anak telah terampil berbahasa, sebagian besar mereka senang berbicara SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
193
khususnya dalam kelompoknya, kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi dan kasih sayang. Dari beberapa pendapat di atas, jika ditarik benang merahnya, anak prasekolah adalah anak yang secara jasmani memerlukan latihan-latihan yang sesuai denga kebutuhannya. Secara sosial, umum,nya mereka telah mengenal dirinya, dan bisa bermain dengan kelompoknya, meski terbatas. Secara emosional, anak-anak prasekolah relative bisa mengungkapkan emosinya secara terbuka dan menginginkan perhatian dari orang dewasa. Dari situ, pendidik harus memahami bagaimana menerapkan pendidikan anak di usia ini, agar mereka berkembang secara optimal dan dapat melalui tugas pertumbuhan dan perkembangannya dengan optimal.
194
2.2 Pola Asuh Anak Usia Dini Menurut Soemiarti (2003:36-38) untuk mengembangkan jasmani anak, yang harus dilakukan adalah: setiap hari berikan kesempatan kepada anak untuk bermain di halaman atau di luar rumah. Pastikan anak mempunyai kesemapatan bermain dengan bola dan alat-alat lain yang merangsang anak untuk bergerak. Untuk anak yang masih muda, berikan alat yang dapat diletakkan di luar ruang seperti jungkat jungkit, tangga perosotan dan terowongan. Sedangkan untuk anak yang lebih besar perlu diberikan papan keseimbangan dan berbagai alat untuk dipanjat. Pada saat anak berusia 5 tahun, perlu diberikan kesempatan bermain lompat tali, hula hoop untuk melatih gerakan-gerakan dan control tubuh. Banyak sekali kegiatan motorik halus untuk belajar mengontrol otot, misalnya: menggambar, menggunting, menempel, meronce, menjahit dan memasukkan pasak. Untuk melatih emosi dan kognitifnya bisa dengan cara: tunjukkan minat terhadap apa yang dilakukan dan dikatakan anak. Berikan kesempatan kepada anak untuk meneliti dan mendapatkan pengalaman dalam banyak hal. Berikan kesempatan dan doronglah anak untuk melakukan berbagai kegiatan secara mandiri. Doronglah anak agar mau mencoba mendapatkan keterampilan dalam berbagai tingkah laku. Tentukan batas-batas tingkah laku yang diperbolehkan oleh lingkungannya. Kagumilah apa yang dilakukan anak. Sebaiknya, apabila berkomunikasi dengan anak lakukan dengan hangat dan ketulusan hati. Mungkin tidak semua anak perkembangannya sama. Ada beberapa factor yang membuat ketidak teraturan perkembangan, diantaranya: perbedaan budaya, perbedaan bahasa, serta perbedaan kelas sosial ekonomi. Hadhari Nawawi (1993:155-157) berpendapat, karena masa ini merupakan masa krisis pertama, maka sangat diperlukan kesabaran dan kebijaksanaan bertindak dari orang tua sebagai pendidik. Orang tua memang sebaiknya tidak memaksakan kehendaknya pada anak-anak. Namun bagi anak-anak harus SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
ditumbuhkan kebiasaan melakukan sesuatu yang baik dan dikenalkan juga dengan disiplin. Anak yang semula menurut dan patuh, mulai menolak dan melanggar perintah. Disuruh mandi tidak mau, jika sudah mandi dan bermain air, disuruh berhenti pun tidak mau pula. Anak semula mudah disuruh sembahyang dan belajar, cenderung menjadi malas, menghindar dan enggan mengerjakannya. Untuk itu orang tua tidak boleh bosan menyuruh dan mengawasinya, agar terbentuk kebiasaan-kebiasaan baik dan disiplin. Seperti kebiasaan menggosok gigi, mencuci kaki sebelum tidur dan sebagainya. Demikian pula harus ditumbuhkan kebiasaan dan disiplin dalam melaksanakan ajaran agama, seperti sembahyang waktu tepat waktu, mengucapkan doa setiap memulai pekerjaan dan kalimat syukur ketika mengakhirinya, mengucapkan salam ketika masuk rumah atau bertamu dan lain-lain. Kesabaran dan ketekunan membentuk kebiasaan ituakan membuahkan hasil yang baik pada masa akhir masa ini, karena masa egosentris akan berakhir dan sikap sosial yang positif mulai berkembang. Anak semakin mampu memahami orang lain, yang memiliki kehendak dan kemauan yang berbeda dari dirinya. Anak semakin menyadari status dan peranannya dalam berhadapan dengan orang tuanya atau orang dewasa lainnya. Oleh karenanya, jika sejak dini telah diupayakan kebiasaan-kebiasaan yang baik, maka pada akhir masa ini anak akan mudah bergaul dengan orang lain. Dengan berkembangnya sikap sosial yang positif, anak sudah siap bersekolah di sekolah formal. Perkembangan sikap sosial pada akhir masa ini, didukung pula oleh perkembangan emosi dan proses berfikir yang semakinm meningkat. Perlembangan ini merupakan faktor yang penting bagi anak-anak untuk mencapai sukses dalam melaksanakan tugas perkembangan (deplopmental Task) di sekolah. Steven W Vannoy (2000), berpendapat, ada 5 sarana yang harus disiapkan ketika kita mendidik anak. Pertama, Fokus ke depan. Dengan fokus, berarti melatih dan membiasakan anak untuk optimis, mampu memecahkan masalah, membentuk harga diri, berkurangnya sifat defentif, berani mengambil resiko, kreatifitas dan gembira. Kedua, Pesan-Pesan. Anak-anak meyakini dirinya sesuai dengan cap yang diberikan. Gambaran yang kita ciptakan tentang mereka akan mewujud menjadi hidup mereka. Ketiga, Mengajarkan. Cara mengajarkan yang baik adalah mengajukan pertanyaan yang berfokus ke depan. Jika kita mengajukan pertanyaan kepada anak-anak kita sedari kecil, sesungguhnya kita tengah membangun dasar kukuh untuk harga diri dan kehormaytan dalam diri mereka. Anak-anak kita belajar untuk benar-benar untuk berfikir sendiri. Mereka belajar berfikir kreatif. Keempat, Mendengarkan. Manfaat mendengarkan adalah membenarkan perasaan mereka, meningkatkan harga diri mereka, mendorong kemampuan mereka untuk menyelesaika masalah, serta memacu kreativitas. Kelima, Teladan. Keteladanan adalah SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
195
salah satu sarana mengasuh anak terpenting. Sarana ini akan berlaku walaupun tanpa kehadiran kita. Anak-anak melihat bagaimana jalannya hidup kita dan hasil apa yang kita ciptakan dalam hidup kita.
196
2.3 Model Pembelajaran Anak Usia Dini Para ahli pendidikan telah menawarkan berbagai model pembelajaran yang dapat dipilih oleh orang tua dalam membentuk karakter anak usia dini. Salah satu yang mungkin diterapkan oleh para orang tua dan keluarga adalah model pembelajaran minat. Model pembelajaran berdasarkan minat adalah model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk memilih atau melakukan kegiatan sendiri sesuai dengan minatnya. Pembelajaran berdasarkan minat dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spesifik anak. Model pembelajaran berdasarkan minat adalah model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk memilih atau melakukan kegiatan sendiri sesuai dengan minatnya. Pembelajaran berdasarkan minat dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spesifik anak. Prinsipnya, dalam model pembelajaran berdasarkan minat mengutamakan: 1. Pengalaman belajar bagi setiap anak secara individual. 2. Membantu anak untuk membuat pilihan-pilihan melalui kegiatan dan pusat-pusat kegiatan. 3. Melibatkan peran serta keluarga. Pelaksanaan pembelajaran berdasarkan minat dapat menggunakan beberapa area antara lain: area agama, balok, bahasa, drama, berhitung/matematika, sains, seni/motorik, musik, membaca dan menulis. Dalam satu hari dapat dibuka satu area bermain dengan 4-5 kegiatan bermain. Dalam model pembelajaran ini peran keluarga atau rumah tangga sangat menentukan keberhasilan pembentukan karakter anak usia dini. Kecerdasan kinestetik, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan spiritual dapat ditumbuhkembangkan pada anak usia dini. Demikian pula lingkungan masyarakat di sekitarnya, demikian menemukan anak usia dini hendaknya merasa terpanggil untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak tersebut. Keluarga merupakan tempat pesemaian yang subur untuk menumbhkembangkan kecerdasan holistik. Dalam menumbuhkan kecerdasan tersebut diperlukan pula soft skills yang harus dipahami oleh keluarga dan masyakarat, seperti bagainama seharusnya berkomunikasi dengan seorang anak usia dini. Pendidikan apa yang patut disampaikan kepada mereka dan sebagainya. Anak usia dini akan cenderung meniru gerak-gerik orang dewasa di sekitarnya. Sebuah penelitian tentang faktor penyebab perilaku kriminal yang kerap kali dilakukan dan diulangi oleh para narapidana di Amerika Serikat, diungkapkan oleh Jalaludin (2005:66-67) SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
menunjukan, lebih dari 70 % (tujuh puluh persen) para narapidana itu mengalami masa yang tidak bahagian di usia dini. Mereka mendapatkan perlakuan, pola asuh, pendidikan, dan keteladanan yang kurang baik, sehingga hal tersebut ikut mempengaruhi dan memicu perilaku kriminal mereka saat dewasa. Bukti empiris lain dari sejumlah tokoh pemimpin otoriter di sekitar perang dunia ke dua seperti Hitler dan Stalin yang di masa kecilnya mengalami kekerasan, baik fisik maupun mental dari keluarganya. Berkenaan dengan hal tersebut usahakanlah hari-hari anak usia dini diliputi oleh rasa bahagia, kedamaian, kegembiraan, ketenangan, termasuk pula mendidik supaya yang bersangkutan ikut rajin sembahyang dan sebagainya. Singkatnya di samping memberikan makanan yang sehat, pendidikanyang baik, hal yang penting adalah menghindarkan stress pada diri seorang anak usia dini. III. Penutup Anak usia dini adalah masa yang sangat baik untuk menanamkan pendidikan agama khususnya pendidikan moralitas atau budi pekerti karena pada masa ini anak tersebut ibarat kertas putih, masa keemasan untuk menerima dan meniru segala hal yang baik maupun hal-hal yang buruk. Berkenaan dengan hal tersebut perlu dikembangkan kasih sayang dan kemurahan hati, kedamaian dan kesabaran, tanpa kekerasan dan bebas dari irihati, kebenaran dan kesucian, ketenangan, kegiatan yang benar atau perilaku yang baik, bebas dari dorongan nafsu dan bebas dari loba dan tamak atau dalam terminologi Bahasa Sanskerta ditumbuhkembangkan 5 pilar yang meliputi: Satya, Dharma, Santi, Prema, dan Ahimsa pada anak usia dini dengan materi atau bahan ajar yang sesuai dengan pertumbuhan jiwanya. Adapun metodologi yang dikembangkan adalah kasih sayang yang sejati, keteladanan, dan menciptakan suasana yang kondusif untuk itu, seperti mewujudkan kebahagian, kegembiraan, kedamaian dan sebagainya. Ketika sudah merespon pendidikan melalui cerita seperti dongeng mulailah digunakan metodologi tersebut. Daftar Pustaka Amstrong Thomas (2003). Sekolah Para Juara. Kaifa. Bandung. Aqib Zaenal (2011). Pedoman Teknis Penyelenggaraan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Nuansa Aulia. Bandung. Center Of Exelence Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (2005). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini. Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini PLSP Depdiknas. Jakarta Dewantara Ki Hajar (1962). Pendidikan. Taman Siswa. Jogjakarta. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
197
Departemen Pendidikan Nasional (2009). Laporan Pendidikan Untuk Semua, Indonesia. Forum Koordinasi Nasional Pendidikan Untuk Semua. Jakarta. Doe Mimi, dkk (2001). 10 Prinsip Spiritual Parenting. Kaifa. Bandung. Hopson Power Darlene, dkk (2002). Menuju Keluarga Kompak. Kaifa. Bandung. Hurlock B. Elizabeth (1993). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga. Jakarta. Laforge Ann E (2002) Kiat-Kiat Meredakan Badai Kerewelan Balita Anda. Kaifa. Bandung Nawawi Hadari (1993). Pendidikan dalam Islam. Al-Ihklas. Surabaya. Patmono Dewo Soemiarti (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Rineka Cipta. Jakarta. Panitia Pelaksana (2008). Kumpulan Bahan Ajar Orientasi Pembelajaran Pendidik PPAUD Program Pendidikan Anak Usia Dini dan Peningkatan kapasitas Tenaga Pengembang Masyarakat Desa (CDW). Sukabumi. Solehudin, (2000) Konsep Dasar Pendidkan Prasekolah. Titib, I Made. (1998). Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita. Vannoy Steven W (2000). 10 Anugerah Terindah Untuk Ananda, Cara Membesarkan Anak dengan Hati. Kaifa. Bandung. Zakiah Darajat. (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Zakiah Darajat. (2008). Buku Panduan Pelatihan Membangun Kecerdasan Holistik (PMKH). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
198
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
MERANGSANG PERKEMBANGAN ANAK KE ARAH POSITIF MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS EDUTAINMENT Oleh:
Ni Wayan Sariani Binawati E-mail:
[email protected]
Abstrak Perilaku anak-anak sangat unik dan menggemaskan. Beragam perilaku anak dapat dijumpai di lingkungan sekitar masyarakat. Tingkah laku mereka ada yang positif dan ada juga perilaku anakanak yang sangat menjengkelkan tidak sesuai dengan harapan para orang tua. Ada beberapa faktor penyebab perilaku anak seperti itu. Karena itu faktor penyebab tersebut perlu ditelusuri oleh para orang tua maupun pendidik sehingga dapat mengarahkan anak-anak untuk berperilaku yang baik sesuai dengan harapan. salah satu strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, inovatif, kreatif dan menarik untuk dipahami adalah menerapkan konsep edutainment dalam pembelajaran. Kata Kunci : Perkembangan anak, Pembelajaran, Edutainment. I.
Pendahuluan
Anak-anak memiliki perilaku yang sangat unik. Perilaku mereka sangat menggemaskan. Setiap saat di sekitar lingkungan masyarakat, keluarga maupun pada jenjang PAUD beragam perilaku anak dapat dijumpai. ada beberapa anak tampak ceria bermain dengan teman sebaya mereka, terlihat juga yang berdiam diri termenung asyik dengan kesendiriannya menikmati permainan-permainan, bahkan ada anak-anak yang cengeng berteriak histeris karena diganggu oleh teman-temannya yang suka jahil mengganggu. Di pusat-pusat perbelanjaan juga dapat dijumpai anak-anak yang menangis merengek-rengek dan ada histeris karena keinginannya tidak terpenuhi. Perilaku anak-anak ada yang positif sesuai dengan harapan orang tua, tetapi terkadang ada juga perilaku anak-anak yang sangat menjengkelkan tidak sesuai dengan harapan orang tua. Ada beberapa faktor penyebab tingkah laku anak menjadi rewel, penakut, penurut, pemarah, pemberani, kreatif dan menyenangkan. Karena itu hal ini perlu diketahui oleh para orang tua maupun pendidik di sekolah sehingga sebagai seorang pendidik di rumah maupun di sekolah dapat mengarahkan anakanak untuk berperilaku yang baik sesuai harapan.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
199
II.
200
Pembahasan
Semua orang tua sebagai pendidik pasti menginginkan anakanak atau buah hatinya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang menarik, kreatif, menyenangkan, sehat, cerdas, mandiri, beriman dan mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Dapat dipastikan tidak ada orang tua atau pendidik yang menginginkan buah hati atau anak didiknya berperilaku yang menjengkelkan; cengeng, pasif, keras kepala, egois, sombong dan selalu membuat onar. Harapan para orang tua adalah mewujudkan anak-anak yang cerdas, berbudi pekerti luhur sehingga memiliki tanggung jawab dan berguna bagi keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa. Untuk mewujudkan semua ini orang tua atau para pendidik harus mengetahui dan memahami dengan baik dunia anak-anak, sebab dunia anak-anak sangat berbeda dengan dunia remaja maupun kehidupan orang dewasa. jika dunia anak-anak dapat diketahui dan dipahami dengan baik maka akan dapat mengarahkan anakanak untuk berperilaku ke arah yang positif. Orang tua atau pendidik sangat berperan dalam membangun potensi anak ke arah yang positif sehingga menjadi anak-anak yang berkualitas. Pola asuh, perlakuan orang-orang di lingkungan sekitarnya sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak terutama dalam berperilaku. Sebagai orang tua atau pendidik harus mampu berperan aktif mencari strategi dan metode pembelajaran yang menarik, kreatif, inovatif dan menyenangkan sehingga anak-anak merasa nyaman, senang belajar dan berbagai pengalaman yang positif dapat terserap dengan baik. Salah satu strategi dan cara agar suasana belajar tidak menjemukan diperlukan upaya-upaya pembaharuan. untuk dipahami dalam membangun perkembangan anak ke arah yang positif adalah menerapkan konsep edutainment dalam pembelajaran. Pembelajaran berbasis edutainment dapat merangsang perkembangan anak ke arah yang positif. Apa sebenarnya edutainment? Edutainment merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang dalam pelaksanaannya lebih mengedepankan kesenangan dan kebahagiaan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, anak diajak belajar melakukan kegiatan yang humanis dan persuasif (Fadlillah M, 2014 :4). Jika proses pembelajaran dilaksanakan dengan nyaman dan menyenangkan serta penuh dengan kegembiraan maka anak akan lebih cepat menyerap materi pelajaran yang diberikan. Terkait dengan hal tersebut Rose dan Nicholas dalam Fadlillah (2014:6) menyebutkan, langkah-langkah suasana belajar yang menarik diantaranya : 1. lingkungan dibuat nyaman 2. subjek pelajaran relevan dengan kondisi yang ada 3. belajar secara humanis dengan emosi yang positif SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
4.
melibatkan semua panca indra yang ada dan mengatur keseimbangan pikiran otak kanan dan otak kiri. 5. Semua bahan yang sedang dipelajari dikembangkan disesuaikan dengan kemampuan berpikir sehingga mendorong anak agar dapat berpikir ke masa mendatang. 6. mengonsolidasikan bahan yang sudah dipelajari dengan meninjau ulang dalam rentang waktu waspada yang rileks, guna memenuhi kondisi yang ada di lingkungan AUD. Para pendidik AUD harus mampu menyesuaikan pembelajaran di kelas dengan karakteristik dan keunikan peserta didik (anak usia dini) yang sangat menyukai permainan dan bernyanyi. Fadlilah (2014) mengatakan seorang anak akan senang mengikuti pembelajaran, jika pembelajaran itu mengasyikkan dan tidak membosankan. dalam konsep edutainment, Hamruni dalam Fadlilah (2014) menyebutkan bahwa belajar tidak pernah akan berhasil dalam arti yang sesungguhnya, bila dilakukan dalam suasana yang menakutkan. Oleh karenanya supaya anak senang dalam pembelajaran harus dibuat yang menarik, diantaranya dengan cara bermain dan bernyanyi. Hal ini, dikarenakan bermain dan bernyanyi merupakan salah satu yang disukai oleh anakanak. Beberapa contoh permainan berbasis edutainment (diambil dari majalah seri Ayah Bunda - Anak Prasekolah) 1. Bermain patung Secara bergantian beberapa anak (4-5 anak) diminta untuk berdiri di suatu area atau halaman yang agak luas di hadapan teman-temannya. Siapkan kaset lagu-lagu dengan irama riang yang mendorong anak menggerakkan tubuhnya misalnya lagu-lagu yang berirama senam disco. Cara bermain : bila lagu diperdengarkan anak-anak boleh bergerak, “bergoyang mengikuti irama musik. Pada saat music tidak terdengar anak-anak diam menjadi patung" tidak boleh bergoyang lagi. Anak-anak bebas menampilkan gaya patung yang diinginkannya. Agar suasana lebih seru pemandu acara boleh menghentikan dan menghidupkan kaset dalam tenggang waktu yang tidak selalu sama, kadang cepat kadang lambat sehingga anak sulit mengantisipasi waktu ia harus menjadi patung lagi. 2. Lomba lari bergaya diiringi musik Mintalah beberapa anak yang berminat turut lomba lari meniru gaya binatang yang ia kenal dan disenanginya, seperti ayam, bebek, anjing dan lain-lain. Jajarkan 3-4 anak layaknya lomba lari, setelah diberi aba-aba anak boleh mulai berlari diiringi musik seperti gaya binatang yang dipilihnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat melatih anak untuk berkonsentrasi dan membentuk sikap positif penuh percayadiri kreatif dan disiplin.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
201
III. Penutup Pembelajaran berbasis edutainment dapat merangsang perkembangan anak ke arah positif seperti kedisiplinan belajar menghargai orang lain dan bersikap toleransi. Permainan pengenalan binatang mampu merangsang kecerdasan emosi dan meningkatkan kesadaran sosial anak sehingga dapat menjadi bekal dalam menyongsong level pendidikan yang lebih tinggi. Daftar Pustaka Fadlillah, M.dkk. 2014. Edutainment Pendidikan Anak Usia Dini. Penerbit Kencana Hasbullah. 2015. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Susanto, Ahmad. 2014. Perkembangan Anak Usia Dini. Penerbit Kencana Tim Redaksi Ayah Bunda. 2007. Anak Pra Sekolah. PT. Gaya Favorit Press: Jakarta Trianto, Ibnu Badar Al-Tabany. 2015. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual. Jakarta : Prenadamedia Group
202
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
MENINGKATKAN RASA CINTA BUDAYA PADA ANAK USIA DINI LEWAT BERMAIN GAMELAN BALEGANJUR Oleh: I Nyoman Mariyana E-mail:
[email protected]
Abstrak Para peneliti mengklaim bahwa bermain atau mendengarkan musik memiliki dampak positif pada otak. Pelajaran musik, terutama pada anak usia dini dapat meningkatkan kinerja otak untuk masa dewasa mereka kelak. Hasil scan otak orang dewasa yang dulunya mempunyai pendidikan musik sebelum mereka berusia tujuh tahun mengungkapkan bahwa area otak mereka lebih tebal yang berfungsi untuk menyerap ilmu dan kesadaran diri. Ketebalan otak ini juga meningkatkan keterampilan. Selain meningkatkan kinerja otak, dampak positif lain yang ditimbulkqan dengan belajar music adalah rasa cinta pada budaya leluhur, seperti halnya belaqjar gamelan baleganjur pada anak usia dini. Kata Kunci : musik, gamelan baleganjur, cinta budaya I.
Pendahuluan
Saat Bermain gamelan, kegiatan ini melibatkan berbagai hal tidak hanya suara saat bernyanyi, memukul kendang, menepuk ceng-ceng atau alat gamelan lainnya. Ketika seorang anak belajar tentang gamelan, mereka harus mengembangkan beberapa keahlian yang sering digunakan secara bersamaan. misalnya, mereka harus mengembangkan keterampilan mendengar mereka, keterampilan jari mereka sehinga bisa sinkron dengan otak mereka. Anak yang pernah belajar gamelan cenderung mempunyai kosakata lebih luas, kemampuan mengidentifikasi dimana kata kata harus diawali dan diakhiri sehingga berpengaruh saat mereka berbicara, membaca dan memahami bahasa. Ini membantu mereka belajar dan membaca lebih cepat dan memperkaya kosakata. Penelitian telah menunjukkan bahwa belajar gamelan baleganjur pada anak- anak dapat mengembangkan otak mereka, entah itu otak kanan maupun otak kiri. Gamelan Baleganjur merupakan salah satu bentuk ensambel musik Bali yang tergolong baru. Gamelan Baleganjur menggunakan laras pelog 4 nada yakni, dong, deng, dung, dang. Gamelan ini merupakan berkembangan dari gamelan Babonangan yaitu salah satu barungan gamelan Bali yang secara fisik mempunyai ciri khas dalam repertoarnya. Fungsi pada jaman dahulu adalah untuk mengiringi upacara kerajaan, serta nama gendingnya adalah Ketug Bhumi.. Laras yang dipakai dalam gamelan Babonangan ini adalah laras pelog lima nada Dalam lontar Prakempa. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
203
Mengenai alat-alat bebarungan Gong Babonangan ingatkan dengan baik seperti ini : Gong, dua lanang dan wadon suaranya dang angumbang angisep. Kempul satu suaranya ding angisep. Babende satu suaranya dang gora. Ponggang satunguh suaranya dang dung. Kemong satu suaranya dung angumbang alit. Rareyong besar (pengageng) dua tungguh suaranya dang dung satu tungguh, deng dung setungguh, rareyong babarangan dua tungguh suaranya dang dung setungguh, deng dong setungguh. Kendang dua lanang wadon beserta pepanggulan. Rebab satu. Serunai besar satu pasang (dua buah), Serunai barangan satu pasang sama ngumbang ngisep. Jegogan satu pasang, jublag sepasang, penyacah sepasang, gangsa kecil sepasang sama ngumbang ngisep. Gumanak tiga, genta orag dua pancer menengah. Cengceng kecil tiga cakep, ceng-ceng besar satu cakep. Lengkaplah semua. (Bandem, 1988: 88-89) Dari kutipan di atas, dengan jelas dapat dicermati mengenai karakter musikal Bebonangan dan fungsinya berhubungan erat dengan berkumpulnya Bhutakala. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa Bebonangan dapat difungsikan untuk mengiringi upacara Butha Yadnya yang diharapkan mampu mendukung suasana-suasana yang secara artfiguratifa muncul dalam konteks upacara Bhuta Yadnya. II.
204
Pembahasan
Dari perkembangan yang terjadi pada gamelan Bebonangan tersebut, nampaknya terjadi perkembangan secara instrumentasi yang menghasilkan sebuah bentuk instrumen baru yang disebut dengan gamelan Baleganjur. Perkembangan tersebut juga disebabkan oleh perkembangan secara fungsi, yang dulunya hanya digunakan sebagai pengiring upacara menjadi musik prosesi. Hal tersebut disebabkan karena keinginan atau untuk mempermudah dalam memainkan atau membawa saat mengiringi prosesi (ngiring Ida Bhetara). Prosesi-prosesi tersebut diantaranya, upacara Melasti, (melis), Ngelawang, atau upacara Ngaben yang selalu diiringi oleh gamelan Baleganjur. Secara etimologi kata Baleganjur terdiri dari dua gabungan kata yakni Bala dan Ganjur. Bala artinya pasukan atau tentara dan ganjur artinya berjalan atau bergerak. Baleganjur memang memiliki karakter yang keras, dinamis, dan mendebarkan sehingga sangat tepat digunakan untuk memperkuat suasana megah, agung, dan berwibawa. Dari karakter musikalnya yang demikian, gamelan ini sering dikiaskan sebagai “derap langkah pasukan dewata” yang sedang bergerak (I Gede arya Sugiartha, Gamelan Bleganjur dari ekspresi Lokal Ke Global, dalam Bheri; Jurnal Ilmiah Musik Nusantara; p, 2). A. Instrumentasi Secara instrumentasi gamelan Baleganjur diambil dari beberapa istrumen yang ada pada gamelan Babonangan. Hal ini dibuktikan dengan kemiripan dari nada-nada instrumennya dan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
jenis-jenis reportuar lagu yang digunakan untuk mengiringi prosesi upacara. Secara fisik, gamelan Baleganjur didominasi oleh instrumen pencon yang termasuk instrumen keluarga gong. Selain instrumen-instrumen keluarga gong, gamelan Baleganjur didukung oleh instrumen ceng-ceng kopyak. Instrumen ini menyerupai cyibal yang dijumpai pada alat musik drum set. Gamelan Baleganjur secara instrumentasi terdiri dari, 2 buah Kendang (Lanang, Wadon), 2 buah instrumen Ponggang (dung, dang), 4 buah instrumen Riong suaranya; dong, deng, dung, dang, 1 buah Kajar, 1 buah Kempli, 2 buah Gong (Lanang, Wadon), 1 buah Kempur, 1 buah Bende. B. Perkembangan Baleganjur Gamelan Baleganjur kedatipun mungkin berasal dari musik keprajuritan atau musik iringan perang, hingga akhir dekade 1970-an, memiliki fungsi dominan sebagai musik prosesi ritual. Pada masa selanjutnya, gambelan Baleganjur kendatipun masih eksis digunakan pada setiap prosesi ritual, juga tak luput dari hukum perubahan baik bentuk garap, nuansa musikal, yang tentunya disebabkan oleh orientasi fungsi dan penggunaan. Bentuk dan tata penyajiaan akhirnya juga berkembang, yaitu tidak hanya sebagai musik prosesi, melainkan juga untuk penyajian instrumentalia yang didukung dengan pola komposisi gerak dalam sebuah bingkai seni pertunjukan. Perkembangan tata garap ini bahkan lebih menekankan orientasi pada penciptaan musik yang lebih artistik, baik pengolahan musikal, maupun penampilan para pemainnya yang mengutamakan presentasi estetis. Dari perkembangan-perkembangan yang ada yakni dari segi fungsi, pola garap musikal dan penyajiannya, gamelan Baleganjur difungsikan untuk membangkitkan semangat dikalangan anakanak muda untuk bermain gamelan, sehingga mereka tertarik untuk belajar memainkan gamelan Baleganjur. Fungsi yang semula digunakan sebagai musik prosesi, berkembang sebagai musik penyambut tamu, mengarak ogoh-ogoh, pengiring lomba layang-layang, sampai pada festival/lomba Baleganjur. Satu hal yang menarik lainya, adalah lomba Baleganjur dewasa ini merupakan sebuah pertunjukan yang populer, sebab dengan tata garap musikal yang baru, penampilan pemain yang didukung oleh gerak pemain dengan aktingnya, dihiasi dengan atribut sebagai penunjang unsur estetika dalam penampilannya, sehingga penonton dapat menikmati secara audio visual. Perkembangan tersebut, didukung oleh lembaga atau pemerintah yang secara nyata mendukung dengan diselenggarakannya berbagai macam lomba/festival Baleganjur mulai dari tinggat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Hal ini juga dibuktikannya dengan dimasukannya Lomba Baleganjur sebagai agenda unggulan dalam PKB yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Masuknya Lomba Baleganjur dalam agenda PKB, memberikan geliat tersendiri bagi SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
205
206
anak-anak muda. Dari apa yang dilihat, para penonton sangat membludak memenuhi stage untuk menonton pertunjukan Baleganjur. Antusias penonton lebih didominasi oleh kalangan anak muda yang lebih bisa menikmati sajian musik Baleganjur dengan selera kekinian sebagai dampak modernisasi dalam kosep garap musikal. Pola-pola garap musikal tak jarang mendapat pengaruh pola-pola dalam musik barat, seperti penggunaan pola ketukan, motif, dan teknik. Tak jarang juga diantara mereka (composer) menuangakan idenya dengan teknik musik kontemporer dengan media gamelan Baleganjur sesuai dengan skil atau kemampuan dan pengalaman yang dimiliki. C. Meningkatkan Rasa Cinta Budaya Rasa merupakan ungkapan ekspresi jiwa manusia. Sesungguhnya dalam bermain gamelan kita bisa melatih rasa yang ada dalam diri. Karena sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dengan bermain gamelan bisa melatih rasa kita untuk menghargai sesama. Karena musik itu merupakan ekspresi dari jiwa seseorang. Dari karya musik kita bisa mengetahui apa yang sedang dirasakan seseorang. Dengan kata lain, musik merupakan pengejawantahan tentang rasa dan apa yang dirasakan. Dalam bermain gamelan Baleganjur kita sudah dihadapkan pada suatu ikatan rasa. Pertama, sebagai seorang pemain gamelan harus bisa menyatukan rasa, rasa yang ada pada diri sendiri dengan rasa yang dimiliki oleh pemain yang lainnya. Bisa saling memahami dan mengerti dengan kemapuan masing-masing. Hal yang kedua, dalam belajar gamelan Baleganjur adalah melatih kebersamaan. Kebersamaan dimulai dari sebuah kesepakatan ketika apa yang sudah disepakati mampu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga, belajar untuk melatih kedisiplinan. Istilah “disiplin adalah kunci kesuksesan” juga berlaku disaat kita bekerja dalam tim. Disiplin diri sangat dibutuhkan dalam belajar atau memainkan gamelan, yang dapat mempengaruhi setiap jiwa didalamnya. Memahami peranan semua instrumen dalam gamelan Baleganjur sangatlah penting. Setiap instrumen mempunyai fungsi masing-masing. Misalnya instrumen Kendang mempunyai fungsi sebagai pemimpin lagu. Sebagai seorang pemimpin harus bisa mengkoordinir anak buahnya. Istilah ini juga berlaku pada seorang pemain gamelan Baleganjur. Pemain kendang harus bisa memberikan aba-aba atau komando terhadap jalannya lagu yang dimainkan. Instrumen Ponggang sebagai pembawa melodi. Sebagai pembawa melodi harus bisa mendengarkan tempo. Instrumen riong selain pembawa melodi juga memberikan kotekan dalam melodi yang dimainkan oleh instrumen Ponggang. Dalam memainkan istrumen ini, si pemain harus bisa mendengarkan aba-aba atau komando kendang. Instrumen Kajar sebagai pembawa tempo. Instrumen Gong, mempunyai peranan yang sangat penting. Sebagaimana diketahui bahwa gong merupakan penentu sebuah lagu. Gong diibaratkan sebagai seorang yang SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
dituakan, sebagaimana kita menghargai orang yang lebih tua. Instrumen Kempur memiliki fungsi sebagai penentu jenis lagu yang dimainkan. Dalam bermain gamelan Baleganjur, seiring perkembangannya fungsi Kempur telah mengalami perkembangn dalam musikal dan teknik. Instrumen Bende memiliki ciri suara yang khas yakni suara teng. Selain fungsinya untuk penyeimbang pukulan gong dan kempur, Suara instrumen ini juga dikonotasikan sebagai penentu waktu atau kesepakatan anatara pemain dalam melaksanakan kegiatan latihan ataupun menabuh. Semua pemain dalam bermain gamelan Baleganjur harus mampu menyadari perannya sendiri. Setiap pemain harus mampu meninggalkan sifat egoisme yang dimilikinya, dengan begitu semua pemain gamelan akan mampu menyatukan rasa dan menghasilkan rasa baru sebagai ungkapan penyatuan rasa musikal dalam sebuah bentuk karya musik. Selain itu, penggunaan teori peran juga penting diketahui didalam belajar secara kelompok atau tim, mengingat dalam satu tim atau group gamelan, terdiri dari berbagai macam instrumen dengan fungsinya masing-masing. Semuanya berperan penting sebagai satu kesatuan. Teori peran, beranggapan bahwa, peranan seseorang itu merupakan hasil interaksi diri (self) dengan posisi (status dalam masyarakat) dan dengan peran (menyangkut norma dan nilai). Yang penting dari teori peran ini adalah aktor (pelaku) dan target (sasaran) yang mempunyai hubungan dengan aktor. Dari belajar gamelan Baleganjur, seseorang akan mampu merubah atau kebiasaan baik sikap maupun kemampuannya dalam memainkan instrumen. Sikap dalam hal ini adalah kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu kalau menghadapi suatu ransangan tertentu. Jadi apabila ada stimulus, komponen kognisi, afeksi konasi akan menentukan suasana sikap. III. Penutup Ditengah arus globalisasi sekarang ini, keberadaan gamelan Baleganjur saat ini telah mampu menarik perhatian anak-anak usia dini untuk kembali belajar melestarikan nilai budaya leluhur. Dari belajar bermain gamelan Bali mereka, setidaknya mengetahui budayanya, selain mengetahui secara teknik sebagai peningkatan skill yang dimiliki. Dari belajar gamelan sesungguhnya kita mulai melatih kebersamaan secara kelompok, bagaimana mengatur kelompok (orang lain), dan bekerja sama secara kelompok. Memadukan rasa diantara pemaian gamelan sanggatlah penting. Kesatuan rasa yang timbul, akan menghasilkan sebuah rasa baru sebagai napas dalam karya seni yang ditampilkan nantinya.Peran penting dari berbagai pihak sangat penting dalam pelestarian nilai-nilai budaya. Segala bentuk perhatian baik suport secara materi maupun moral sanggat dibutuhkan oleh anak-anak usia dini sebagai pewaris budaya.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
207
Daftar Pustaka Aryasa, I WM. 1984. Pengetahuan Karawitan Bali. Denpasar : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Pengembangan Kesenian Bali Bandem, I Made. 1988. Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali. Denpasar : Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar Anonim. 1987. Ubit-Ubitan Sebuah Teknik Permainan Gamelan Bali. Denpasar : Ditjen Pendidikan Tinggi DEPDIKBUD Djelantik, A. A. M. 1987. Pengantar Dasar Ilmu Estetika jilid I Estetika Instrumental Edisi ke-2. Denpasar : Proyek Pengembangan IKI Sub / Bagian Proyek Peningkatan/Pengembangan Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar Mardiwarsito, L. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Nusa Indah : Ende Flores Sugiartha, I Gede Arya. 2002. Gamelan Bleganjur dari ekspresi Lokal Ke Global, dalam Bheri; Jurnal Ilmiah. Jurursan Karawitan STSI Denpasar Warna, I Wayan. Dkk. 1990. Kamus Bali – Indonesia. Dinas Pendidikan Dasar. Propinsi Dati I Bali
208
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
IMPLENTASI PSIKOLOGI ANAK DALAM PROSES MENGAJAR – BELAJAR PADA ANAK USIA DINI DEMI TERWUJUDNYA GENERASI BERKUALITAS Oleh
I Ketut Madja Abstract The condition of human‟life in the modern society recently is changing quickly. It is indicated by the develoment of sciene, technology, and information which come into the all life aspect that tend toward attitude and moral collapse in the society. Knowing this suchs condition, first, Anak Usia Dini /Early Age Childhood education is expected to be a place of educating and teaching which give a chance to the children can as soon as and much possible to learn. Its mean that physical and spiritual readiness have been planted to be up against the more sophisticated possibility development of science, technology, and information), and the failure for the next development can be avoided. Second, The Early Age Childhood must be really regarded to be the beginning point of doing education and learning. When the teaching–learning process is going on, child physicologis implementation should be done by the believed and functioned teachers to do it. That is why they are also regarded to be the beginning point of the potential condition, (physical and spiritual), and it of course should be excavated and developed. Key words: Child Physicologis Implementation, Early Age Childhood, Teaching-Learning Process, Quality Generation Abstrak Keadaan kehidupan manusia dalam masyarakat modern dewasa ini berubah sangat pesat. Hal ini ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang masuk di segala aspek kehidupan, dan cenderung membawa perubahan pola laku perbuatan dalam masyarakat. Menyadari kondisi seperti ini, maka pertama pendidikan Anak Usia Dini diharapkan akan merupakan suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk dapat belajar selekas mungkin, dan belajar banyak. Artinya bahwa kesiapan jasmani dan rohani telah ditanam untuk menghadapi kemungkinan semakin canggihnya perkembamgan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, dan kegagalan dalam perkembangan selanjutnya dapat dihindarkan. Kedua, Anak Usia Dini harus betul-betul dipandang sebagai titik awal pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dilakukan. Ketika proses mengajar-belajar berlangsung, penerapan psikologi anak harus dilakukan oleh guru yang dipercaya dan ditugaskan untuk itu. Itulah sebabnya mengapa mereka juga SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
209
dipandang sebagai titik awal dari kondisi yang potensial (jasmani dan rohani) yang mereka miliki, dan sudah tentu hal itu mestinya digali dan dikembangkan. Kata Kunci: Implementasi Psikologi Anak, Anak Usia Dini, Proses Mengajar - Belajar, Generasi Berkualitas I.
210
Pendahuluan Untuk mengerti sesuatu hal, dalam diri anak terjadi suatu proses, yang disebut dengan proses belajar. Dalam proses belajar, seorang pengajar mempunyai tugas merangsang potensi yang ada pada anak didik. Menyampaikan bahan pelajaran berarti melaksanakan beberapa kegiatan. Seluruh aktivitas pendidikan dan pengajaran semestinya dilihat dari proses belajar anak-anak. Kegiatan itu bisa bermakna manakala pengajar mempunyai tujuan dalam kegiatan mengajarnya. Harus ada suatu rumusan yang menunjukkan dan menjelaskan hal yang ingin dicapai. Dilihat dari keberadaan Anak Usia Dini yang sedang dalam proses belajar, mereka- ibarat kuncup bunga yang akan mekar, menatap kehidupan di masa datang - tentu merupakan kesempatan awal yang sangat berharga untuk dipersiapkan mentalnya yang lebih mantap untuk melangkah ke dalam proses pendidikan dan pengajaran ke jenjang berikutnya. Mempersiapkan mental tidak terlepas dari kemampuan penerapan psikologi anak dilakukan pengajar (guru). Pada Anak Usia Dini, hal seperti ini juga harus diperhatikan, meskipun – misalnya - dalam proses belajar yang lebih menekankan pada aspek “bermain”, daripada aspek-aspek lainnya seperti yang diperoleh di jenjang pendidikan yang lebih tinggi darinya. Setiap usaha mengajar yang dilakukan, selain untuk ingin menumbuhkan dan membina kebiasaan, ia juga sesungguhnya ingin menyempurnakan pola laku tertentu dalam diri peserta didik. Artinya adalah bahwa dalam proses mengajar dan belajar, sudah tentu terjadi aktivitas- aktivitas pembelajaran. Dari sejumlah kegiatan yang dilakukan, seharusnya mampu mencerminkan kerangka dasar pembentuk pola laku yang rohaniah, misalnya berupa kegiatan mengamati sesuatu yang ada di sekitar lingkungan tertentu. Yang dimaksud dengan lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan sekolah. Menurut (Pakasi, 1981:24), mengatakan bahwa lingkungan sekolah adalah halaman sekolah, ruang kelas dan isinya, serta orang-orang yang ada di dalamnya, merupakan factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak. Dikatakan, lingkungan dan penggunaannya merupakan apa yang dialami dan dihayati anak setiap hari, dan itulah yang membetuk kepribadiannya. Apabila halaman sekolah yang hanya terdiri dari tanah dan rumput saja, hal itu menunjukan lingkungan itu “mati”. Apabila ruang kelas misalnya, tergantung tinggi dan miring satu atau dua gambar saja, bahkan tidak pernah diganti, maka anak-anak akan “mati”, dalam arti bahwa perhatian mereka, aktivitas mereka, inisiatif mereka, serta SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
daya kreatif mereka tidak akan tergerak. Lingkungan yang demikian tidak akan memberikan pengalaman yang sangat diperlukan untuk kelancaran proses pertumbhan psikis anak. Kerangka dasar untuk membentuk pola laku peserta didik bisa juga berupa kegiatan jasmani yang dilakukan dengan kemampuan tenaga pisik. Dua jenis kegiatan ini hendaknya dibuat terjalin. Kegiatan rohani hendaknya didukung oleh kegiatan jasmani, dan sebaliknya. Dua aspek kerangka dasar pembentukan pola laku ini, memegang peranan penting dalam penerapan psikolgi anak yang sedang dalam awal pertumbuhan dan perkembangan. II.
Pembahasan
2.1 Implementasi Psikolgi Anak Menurut Usman (dalam Sukayana, 2016:12) mengartikan implementasi sebagai pelaksanaan atau penerapan. Artinya adalah bahwa yang dilaksanakan dan diterapkan adalah sesuatu yang telah dirancang atau didisain untuk kemudian dijalankan sepenuhnya. Permasalahan besar yang bisa terjadi apabila yang dilaksanakan bertolak belakang atau menyimpang dari yang telah dirancang, maka terjadilah kesia-siaan antara rancangan dengan implementasi. Implenasi biasana dilakukan setelah perenanan sudah dianggap sempurna. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi diartikan sebuah penerapan dan pelaksanaan. Implementasi dirumuskan sebagai sebuah pelaksanaan atau penerapan psikologi atau ilmu Jiwa anak (Tim, 1991:898). Melihat implementasi diartikan sebagai penerapan, maka “penerapan” itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “pelaksanaan”, dan “implemenntasi” Poerwadarmita (dalam Ayu Trisna, 2016:19). Dengan demikian “penerapan” mengandung makna implementasi atau pelaksanaan suatu ketentuan-ketentuan. Dari beberapa rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa implementasi adalah suatu pelaksanaan atau penerapan rencana yang telah dirancang dengan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Sehubungan dengan makna ini, maka diperlukan adanya proses dari pelaksanaan atau penerapan tersebut. Secara etimologi, psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: Psycche berarti jiwa, Logia berarti ilmu. Jadi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Psikologi menurut Wikipedia/http: //id.m.wikipelda.org>mki>psikologi adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia secara alamiah. Psikologi diartikan sebagai: 1) Dokir (1993) mengatakan psikolgi membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. 2) Muhibbin merumuskan psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
211
212
dengan lingkungan. 3) Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990), disebutkan psikologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan binatang baik yang dapat dilihat secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara langsung (www belajar psikologi.com/Pengertian Psikologi/. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari setiap tingkah laku manusia, bahkan tingkah laku binatang sekali pun dipelajarinya ketika mereka berintekasi dengan lingkungan, baik hal itu dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, secara individu atau berkelompok. Dalam proses mengajar – belajar, hubungan dan interaksi peserta didik mau tidak mau harus diperhatikan, baik hal itu diwujudkan dalam pola berpikir, berkata maupun dalam pola laku perbuatan. Pemerhatian itu hendaknya dilakukan setiap proses pembelajaran berlangsung. Misalnya, bagaimanakah seorang anak atau kelompok anak didik dicermati ketika ia/mereka berinteraksi dalam hubungannya dengan lingkungan sekolah, seperti interaksinya dengan halaman sekolah, dan ruangan sekolah yang sudah ditata dengan sedemikian rupa mampu atau tidak menarik perhatiannya. Dalam hal inilah ada atau tidaknya perhatian mereka, aktivitas mereka, inisiatif mereka, serta daya kreatif mereka terhadap lingkungan sekolah, menunjukkan mulai adanya atau tidak adanya secara psikolgis perkembangan perserta didik. Masa kehidupan manusia terbagi atas beberapa masa, yaitu, masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja/masa muda, dan masa dewasa (Team Penyusun. 1976/1977:9). Secara bilogis masa kanak-kanak pada umumya digolongkan pada anak-anak yang berusia 3 sampai dengan 12 tahun. Secara psikogis, pada usia 3 sampai dengan 6 tahun, si anak atau anak didik pada umumnya belum sama sekali memahami tentang dirinya, kecuali dunianya dihiasi dengan bermain sebagai cetusan kegembiraan (dalam bentuk tawa atau ekspresi sikap dan pola laku perbuatan) yang ditampilkan ketika ada dampak yang diakibatnya oleh lingkungan tempat mereka berinteraksi. Bahkan cetusan rasa sedih sekalipun, sering diekspresikan dalam berbagai pola laku perbuatannya. Terhadap pola laku-pola laku seperti ini, orang tua atau guru harus secepatnya bersikap dan mengambil ikmah dari kondisi yang ditampilkan si anak atau anak didik. Pada pasal 5 Peraturan bersama Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, No 04/VI/PB/2011 dan No. MA/111/2011, menyebutkan persyaratan tentang calon peserta didik baru kelas 1 pada SD/MI: 1) Telah berusia 7 tahun sampai 12 tahun wajib diterima. 2) Paling rendah berusia enam tahun, dan 3) Yang berusia kurang dari 6 tahun dapat dipertimbangkan atas rekomendasi tertulis dari psikologis profesional. Sedangkan pada pasal 4 peraturan tersebut adalah menyangkut tentang Pendidikan TK/RA/BA, diatur bagi: (1) Anak berusia 4 tahun sampai 5 tahun, untuk anak kelompok A, dan (2) SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Anak yang berusia 5 tahun sampai dengan 6 tahun, untuk anak kelompok B (www./salamedukasi.com/2014/09/persyaratanbatas-usia-umur-minimal-dan.html/?m=1) Mengacu pada peraturan tersebut, pendidikan lewat proses mengajar - belajar pada Anak Usia Dini sebaiknya dilakukan pada anak yang telah berusia 4 tahun. Artinya bagi orang tua yang telah memahami arti dan pentingnya pendidikan, dan didukung oleh factor ekonomi misalnya, akan menyekolahkan anaknya secara formal kepada sekolah baik negeri maupun swasta. Tujuannya agar anaknya bisa belajar dan mendapatkan pendidikan lewat guru yang telah dipercaya dan bertanggung jawab untuk itu. Pemahaman tentang Anak Usia Dini seperti yang dirumuskan ini, sekaligus dapat dipergunakan untuk menjelaskan pengertian tentang Anak Usia Dini yang dipakai sebagai variable seperti termaktub dalam judul tulisan ini. Mengutip Fred U. Hechinger (dalam Pakasi, 1981:3) mengatakan “All children can learn and often want to learn – much more, much sooner”. Maksudnya “semua anak dapat belajar, dan lebih dari pada itu, mereka ingin belajar banyak dan selekas mungkin”. Hal ini dipertegas oleh Martin Deutsch ketika ia berbicara tentang perkembangan pada anak-anak. Ia mengatakan “One does not sit by wait fo children to “unfold”, either on the intellectual level or behavioral. Rather, it is asserted that grouth requires guidance”. Maksudnya “tidak benar jika kita berdiam diri dan hanya menunggu datangnya perkembangan baik perkembangan intelek maupun perkembangan tingkah laku anak; perkembangan itu perlu dibimbing dan dirangsang”. Meperhatikan pernyataan dua tokoh yang ahli dalam bidang pendidikan kanak-kanak (early childhood) tersebut, maka pedidikan yang dilakukan melalui proses belajar dan mengajar, sesungguhya memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk dapat belajar selekas mungkin, dan belajar banyak agar kegagalan dalam perkembangan jasmani dan rohani (mental) dapat dihindarkan di jenjang pendidikan berikutnya. 2.2 Proses Belajar - Mengajar Ada banyak definisi tentang proses. Definisi-definisi itu tidak ada yang sempurna, karena itu tidak dapat memuaskan semua orang. Lagi pula berbicara tentang proses yang penggunaannya dapat diterapkan dalam berbagai aspek kepetingan. Proses dalam bahasa Inggris “process”. Kalau difungsikan sebagai kata benda ia {proses) berarti “cara”. Misalnya: “By what process is the food made” Maksudnya “Bagaimana caranya membuat makanan ini?” Dilihat kedudukannya sebagai kata kerja Intrasitif, process/proses diartikan sebagai menyiapkan, meyelesaikan, dan mengolah ((Echols dan Shadily, 2003:448). Pakasi, (1981:32-33) mengatakan bahwa proses mengajar ialah apa yang diusahakan oleh guru agar proses belajar yang dijalankan oleh anak dapat berlangsung . SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
213
Sedangkan proses belajar diartikan sebagai suatu aktivitas yang dijalankan anak. Untuk merencanakan dan menciptakan suatu “situasi belajar”, diperlukan pengertian tentang proses belajar, disamping pengertian tentang didaktik dan mentodik. Mengacu pada pengertian tersebut, maka proses mengajar belajar ialah upaya guru melalui kegiatan mengajar untuk menyiapkan, menggali dan mengolah, dalam arti mengembangkan potensi peserta didik baik secara pisik maupun psikolgis ketika proses mengajar - belajar berlangsung. Apabila pembentukan pola laku peserta didik dalam proses mengajar – belajar senantiasa dilandasi dengan penerapan psikologi, maka hasil yang dicapai (output) akan dapat dipakai untuk memberikan informasi awal tentang perkembangan psikis anak ketika mereka melanjutkan pembelajarannya ke jenjang yang lebih tinggi. 2.3 Generasi Berkualitas Generasi, dalam Bahasa Inggris “generation” artinya “angkatan”, “keturunan” (Echols dan Shadily, 2003:265). All persons born about the same time, and therefore, of about the same age: misalnya the present (past, coming) generation. Dimaksudkan orang-orang yang lahir pada saat dan zaman yang sama, misalnya generasi sekarang, generasi lampau, generasi yang akan datang. Diartikan juga sebagai “evarage period (regarded as 30 years) in whih children go up marry and have children. Maksudnya “mereka yang (rata-rata berusia 30 tahun) yang pada usia tersebut mereka siap untuk berkeluarga dan punya anak” (Hornby, Gatenby, Wakefield, 1973:413). Beranjak dari pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan generasi terkait dengan tema tulisan ini adalah peserta didik yang digolongkan dalam kelompok anak usia dini sebagaimana telah dijelaskan di depan, dan sedang dalam proses pendidikan dan pembelajaran baik di lembaga pendidikan formal, maupun informal. Mereka ini dipandang sebagai kelompok anak yang hidup dewasa ini sebagai generasi penerus bangsa. Bahkan mereka yang dalam usia 30 tahun juga dipandang sebagai generasi, karena pada usia ini mereka sudah siap secara pisik dan mental untuk berkeluaga dan punya anak.
214
2.1 Faktor-faktor Pendukung Implementasi Psikologi Anak dalam Proses Mengajar – Belajar Tujuan tiap pengajaran ialah menumbuhkan atau menyempurnakan pola laku, dan membina kebiasaan, sehingga peserta didik trampil menjawab tantangan situasi hidup secara manusiawi (Rooijakkers, 1982:xii) Eric Holfer (dalam Tim, 1979:73) tradisi, adat, kebiasaan, dan rutin, adalah semua yang mengatur, yang membuat kehidupan sehari-hari berjalan sendiri dan mengatur sendiri. Dikatakan bahwa anak-anak akan berkembang dan tumbuh paling baik dalam ketertiban dan keteraturan. Mereka bahagia kalau mereka mengetahui apa yang diharapkan. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Untuk seorang anak yang masih kecil, suatu dunia yang teratur adalah dunia yang aman, bebas dari kekacauan, dan ketidaktentuan. Rutin juga menempatkan efesiensi belajar dengan menyediakan suatu naskah atau daftar dari tindakan-tindakan yang diharapkan. Di sekolah misalnya, keteraturan itu mencegah situasi dan kondisi sekolah yang kacau dan tidak teratur. Dari uraian tersebut, terasa relevan apabila hal itu diimplementasikan dalam lingkungan sekolah anak usia dini khususnya, tentunya dengan memperhatikan faktor-faktor yang bisa mengantarkan anak pada perkembangan kejiwaannya, menumbuhkan dan menyempurnakan pola laku dan kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Mengutip pendapat (Pakasi, 1981:24) agar proses mengajarbelajar pada Taman Kanak-kanak dapat dikatakan berlangsung baik apabila karena proses tersebut murid terdorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar yang sungguh-sungguh. Dapat dikatakan, bahwa usaha mengajar dari pihak guru, dan kegiatan-kegiatan belajar pada pihak murid bertemu dalam satu situasi mengajar-belajar yang baik. Untuk menciptakan situasi tersebut, guru hendaknya memperhatikan dan memperhitungkan factor-faktor: 1) Lingkungan, 2) Murid (keadaannya, sifat jiwanya, kebutuh-kebutuhannya), 3) proses mengajar-belajar, 4) Alat-alat pelajaran dan pendidikan berhubungan dengan kurikulum taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, 5) Studi bebas atau “independent study”, juga disebut “development period”. Factor satu sampai dengan factor tiga yang terakhir, bisa dirujuk untuk diterapkan dalam proses mengajar-belajar pada Anak Usia Dini, meskipun mengajar dari pihak guru misalnya lebih menekankan pada “belajar sambil bermain” (learn by playing) dan “belajar sambil berbuat” (learn by doing) pada murid. A. Faktor lingkungan Dimaksudkan adalah lingkungan dan penggunaannya yang merupakan apa yang dialami dan dihayati anak didik/murid setiap hari dan dapat membentuk kepribadiannya. Aspek-aspek dari lingkungan tersebut antara lain: 1) Lingkungan sekolah adalah halaman sekolah, dan orang-orang yang ada di dalamnya, 2) Lingkungan belajar, (ruang kelas dan isinya) adalah tempat anak-anak belajar, bertumbuh, berkembang menuju kedewasaan, serta suasana belajar yang menyertai pertumbuhan dan perkembagan itu. Lingkungan sekolah yang nyaman, asri dan menyejukan suasana anak didik/murid bisa membangkitkan aktivitas mereka, inisiatif dan kreatif mereka untuk bergerak (bermain dan berbuat/learn bay playing and doing) yang mampu memberikan pengalaman yang sangat diperlukan untuk kelancaran proses pertumbuhan mereka. Ruangan kelas hendaknya memberikan kepada murid cukup kesempatan untuk menjalankan aktivitas yang banyak dan berjenis-jenis untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya. Misalnya aktivitas yang memberikan kesempatan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
215
untuk belajar dengan cara mengindera, berbuat dan membuat, mengalami dan menghayati, dan aktivitas yang tidak hanya mencakup hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan intelek, melainkan juga mempengaruhi pekembangan emosi, kemauan, sikap sosial, pendek kata yang mempengaruhi perkembangan seluruh jiwanya (Pakasi, 1981:25). B. Faktor Murid Sebagai pihak yang diberikan dan menerima pengajaran dan pendidikan, anak didik/murid merupakan faktor yang penting dalam proses mengajar-belajar dan pendidikan. Hasil pengajaran dan pendidikan dapat diharapkan memuaskan apabila bahanbahan yang diajarkan: (1) sesuai dengan minat, perkembangan dan kesanggupan peserta didik/murid, (2) dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang dan waktu yang akan datang, (3) dapat dipahami dan diterima mereka, (4) Anak didik/murid menyadari apa yang ditugaskan berguna baginya dan dapat dilaksanakan (Pakasi, 1981:25-26). Agar situasi mengajar belajar dapat memenuhi syarat-syarat ini, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa peserta didik/murid bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. Artinya bahwa mereka adalah individu-individu dengan ciri-cirinya yang khusus, berbeda satu dengan yang lainya, sekalipun mereka adalah anak-anak kembar yang lahir dari satu buah sel telur. Mereka juga seorang makhluk social, namun pekembangan sosialnya memerlukan bimbingan menuju ke arah tertentu. Oleh karena itu masa sekolah – apalagi mereka masih Anak Usia Dini – merupakan masa paling awal untuk meletakan dasar pengembangan dan penumbuhan psikologis mereka untuk kelak menjadikannya sebagai generasi yang berkualitas. III. Penutup Dalam proses mengajar – belajar, implemenasi psikologi anak merupakan titik awal bagi guru pengajar Anak Usia Dini baik di lembaga pendidikan formal maupun informal, di sekolah negeri maupun swasta. Penerapan yang bisa ditempuh adalah dengan mempertimbangkan beberapa factor yang mampu membangkitkan dan menumbuhkembangkan potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah (mental) murid/anak didik. Oleh karena itu, lingkungan sekolah termasuk di dalamnya ruangan kelas, guru, dan eksistensitas tenaga kepedidikan merupakan elemen-elemen yang terpadu menyatu tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya dalam mengkondisikan psikologi anak didik/murid untuk menjadikan mereka generasi penerus yang berkualitas. 216
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Daftar Pustaka Ayu Trisna, Komang. 2016. Yoga Surya Namaskara pada Sisya Pasraman Giri Taman di Kelurahan Tegalcangkring Kec. Mendoyo Kab. Jembrana (Kajian Pendidikan Agama Hindu). Skripsi pada Fak. Dharma Acarya HDN Denpasar, tidak diterbitkan. Echols, M John dan Sadhily, Hassan 2003. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta. PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA. Hornby, A.S. Gatenby. E.V.Wakefield, H. Advanced. 1963. Learmer‟s Ditionary Of Current English. London. Oxford Unersity Press. Pakasi, Soepartinah. 1981. Anak dan Perkembagannya Pendekatan psiko-pedagogis terhadap Generasi Muda. Jakarta. PT GRAMEDIA. Rooijakkers, Ad. 1982. Mengajar dengan Sukses Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran. Jakarta. PT GRAMEDIA. Sukayan, I Made. 2016. Implementasi Ajara Tri Hita Karana dalam Upaara Masaba di Pura Suwi Desa Adat Balangan Mengwi Kab. Badung. Skripsi pada Fak. Dharma Acarya IHDN Denpasar, tidak diterbitkan. Team Penulis, 1976/1977. Risalah Remaja dan Agama (Petnjuk Pembinaan). Jakarta. Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da‟wah/Kutbah Agama Islam Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Tim Penerjemah. 1979. Bagaimana Mendidik Anak dan Mendisiplinkan Anak. Judul Asli Buku How To Influene Children. Oleh Shaefer Charles. Medan. CV MONORA Wikipedia/http://id.m.wikipelda.org>mki>psikologi (www./salamedukasi.com/2014/09/persyaratan-batas-usiaumur-minimal-dan.html/?m=1)(www belajar psikologi.com/ Pengertian Psikologi
217
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016