STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
JAILANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.
Bogor, 22 Februari 2008 Jailani NRP. I354060055
ABSTRACT
JAILANI. Strategy and Programs for the Strengthening Economy of Dry Land Farmers through Participative Approach, a Case Study in Gampong Lampisang Dayah, Seulimeum subdistrict, Aceh Besar Regency, Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under the Guidance of Yusman Syaukat as the chairman and Sarwititi S. Agung as the member. Out of 120 heads of family in Gampong Lampisang Dayah, 60 of them are dry land farmers with farming and herding activities. Farming system conducted in unirrigated agricultural fields depends very much on the rainy season and still uses the subsistent pattern. The main problem the dry land farmers facing is their inability to improve their welfare due to the limited knowledge on managing dry land. The aim of this study is to estimate the level of farmers’ welfare based on per capita income and to evaluate the success of the activities in utilizing the dry land. Dry land farmers in Gampong Lampisang Dayah have the potential to develop farming because the dry land covers an area of 524 hectares, the availability of technical assistance, and the high demand for agricultural products. The productive aged people in this village are about 70.12 percent, while the productive heads of family are around 94.12 percent. The weakness is that social relationship pattern among dry land farmers is still limited to horizontal cooperation, and the network with other institutions has not been established. The activities of dry land farmers are planting the second crop on unirrigated land and raising old plants in the garden, and there are 4 family heads herding buffaloes and cows on 135 hectares of grassy land. The ownership of dry land is averagely 0.6 hectares with an average monthly income of Rp1,083,581, and monthly outcome of Rp Rp691,318. The analysis result of the welfare level of dry land farmers by referring to the figures of per capita income of poverty line in Aceh Besar Regency showed that 47.06 percent of family heads were categorized as poor with the indicator being unable to meet their basic needs. Efforts to improve the welfare of dry land farmers can be carried out with a number of problem solving strategies through SWOT analysis. By utilizing the strength of farmer community and the opportunity in their environment, it is expected they can minimize their weaknesses and prevent the possible threats. Strategy analysis was successful in designing 20 programs for the empowerment of dry land farmers. The recommendation is that it is necessary for the government of Aceh Besar regency, local businessmen and dry land farmers to involve themselves in the activities of empowerment. Keywords: Strengthening the Economy of Farmers, Dry Land, Participative Approach
RINGKASAN
JAILANI, Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Komisi Pembimbing adalah Yusman Syaukat sebagai ketua dan Sarwititi S. Agung sebagai anggota. Dengan bergulirnya Otonomi Daerah (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999) dan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provonsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka semakin luas kewenangan dalam pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, kembali menata sistem pemerintahan daerah dalam Provinsi NAD sampai pada tingkat paling bawah yakni pedesaan. Untuk menjalankan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up), pemerintah daerah merujuk pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional, di antaranya penjaringan aspirasi masyarakat melalui jalur musrenbangdes dan musrenbang. Dari 120 kepala keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah, 60 kepala keluarga di antaranya adalah petani lahan kering dengan kegiatan pengolahan lahan pertanian dan penggembalaan ternak. Usahatani yang dilakukan di ladang sangat tergantung pada musim hujan (rainfed) dan sistem pertanian masih menganut pola subsisten. Karakteristik pertanian subsisten yakni rendahnya pengetahuan tentang pengolahan tanah, belum menerapkan teknologi pertanian, permodalan yang kecil dan tidak memiliki akses pasar yang lebih luas. Akibat dari permasalahan subsisten inilah, sehingga petani lahan kering tdak berkemampuan meningkatkan pendapatan akhirnya rendahnya kesejahteraan hidup keluarga. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah, potensi lahan kering dan profil petani lahan kering dengan menganalisis tingkat kesejahteraan petani berdasarkan tingkat pendapatan perkapita. Selanjutnya mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pertanian dan peternakan terhadap pemanfaatan lahan kering. Pada bagian akhir kajian ini untuk upaya pemberdayaan, merumuskan rancangan strategi dan program pengembangan petani lahan kering. Kegunaan dari kajian diharapkan antara lain menjadi suatu masukan bagi pihak berwewenang dalam pengambilan keputusan terhadap penanggulangan kemiskinan petani lahan kering berdasarkan program yang telah dirancang. Petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah dilihat dari faktor internal mempunyai beberapa kekuatan untuk mengembangkan usahatani, di antarannya memiliki potensi lahan kering relatif luas mencapai 524 hektar. Adanya dukungan pendamping teknis dan tingginya permintaan pasar terhadap hasil pertanian. Hubungan kerja sesama petani lahan kering sudah menunjukkan suatu jejaring sosial tapi belum berkembangan terhadap institusi luar komunitas. Penduduk usia produktif desa ini mencapai 70,12 persen, sedangkan kepala keluarga petani lahan kering usia produktif mencapai 94,12 persen. Kelemahannya yakni pola hubungan sosial petani lahan kering masih terbatas kerjasama horizontal, belum tercipta jaringan kerja terhadap institusi luar sehingga belum memiliki akses kepada sumber modal dan belum mengaplikasikan teknologi tepat guna untuk kegiatan pertanian dan pengolahan hasi pertanian.
iv
Adapun peluang yang tersedia di luar lingkungan petani; lahan kering berupa dukungan pendamping teknis meliputi peran PPL Pertanian dan mantri hewan. Tahun 2007 munculnya program Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias membentuk kelompok petani lahan kering dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Akan tetapi menjadi suatu ancaman bagi justru pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah tidak melibatkan petani lahan kering, termasuk dalam penyelenggaraan musrenbangdes maupun musrenbang. Hal ini diperlukan supaya bisa menampung aspirasi masyarakat petani sebagai implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang nenekankan pola bottom-up planing. Kegiatan petani lahan kering secara rutin hanya pada tiga sektor yakni usahatani palawija seperti jagung, cabe, tomat, kacabg dan ubi kayu di ladang dan tanaman tua kopi, kelapa, pisang dan pinang di kebun. Komunitas petani lahan kering desa ini hanya 4 kepala keluarga di antaranya melakukan kegiatan penggembalaan ternak kerbau dan lembu di atas 135 hektar lahan dataran rumput. Kepemilikan lahan kering rata-rata 0,6 hektar dengan pendapatan ratarata Rp1,083,581 perbulan, dan pengeluaran Rp691,318 perbulan. Hasil analisis tingkat kesejahteraan petani lahan kering, merujuk pada angka pendapatan per kapita poverty line Kabupaten Aceh Besar diketahui 47,06 persen kepala keluarga tergolong miskin dengan indikator tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga. Upaya peningkatan kesejahteraan hidup petani lahan kering dapat dilakukan beberapa strategi pemecahan masalah melalui analisis SWOT dan FGD bersama petani lahan kering, unsur Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan BPM Kabupaten Aceh Besar. Dengan memamfaatkan kekuatan komunitas petani dan peluang sekitar lingkunganya diharapkan mampu meminimalisir kelemahan diri dan mencegah ancaman yang muncul. Berdasarkan analisis SWOT ditemukan 10 strategi yang dianggap efektif untuk dasar penyusunan program. Analisis strategi tersebut berhasil memunculkan 20 program pemberdayaan petani lahan kering. Keduapuluh program dimaksud dapat dijalankan secara bertahap menurut prioritas jangka waktu; yakni jangka pendek untuk tahun 2008, jangka menengah yakni tahun 2008 sampai dengan 2009, sedangkan jangkla panjang bisa dilaksanakan pada rencana strategic 2010 -2015. Program-program yang dimunculkan dalam karya akhir ini secara garis besar meliputi pembentukan kelembagaan petani lahan kering, pendampingan teknis, sosialisasi teknologi, kemitraan dan pemodalan dan advokasi terhadap pengambil kebijakan. Semua program arahnya untuk keikutsertaan petani lahan kering dalam pembagunan dan sebaliknya keterlibatan pemerintah dalam aktivitas petani, di samping berperannya sektor swasta dan pengusaha lokal dalam memotivasi komunitas ini. Dengan demikian, peran partisipatif bisa tercipta dalam upaya penguatan ekonomi peani lahan kering di Gampong Lampisang Dayah. Rokomendasi yang penulis sampaikan adalah perlunya peran Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam mengambil kebijakan secara partisipatif. Perlunya keterlibatan sektor swasta/pengusaha lokal secara kemitraan maupun keperdulian sosial. Pihak petani lahan kering sendiri harus berusaha memperbaiki kelemahan dan senantiasa berpartisipasi penuh dalam program pemerintah. Ketiga unsur dimaksud perlu keterlibatan secara kolektif dalam melakukan kegiatan pemberdayaan petani lahan kering mulai tahun 2008 sampai Restra tahun 2010.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB 2. Dialarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
JAILANI
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tugas Akhir
:
Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nama
:
Jailani
NRP
:
I354060055
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS Anggota
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Tanggal Ujian : 25 Februari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan berkat dan rahmat-Nya penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat (KPM) sebagai persyaratan menyelesaikan studi pada Progam Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dapat penulis selesaikan tepat waktunya. Judul KPM ini adalah Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kajian ini membahas kondisi petani lahan kering yang belum mencapai tingkat kesejahteraan keluarga kehidupannya, sedangkan potensi SDA masih tersedia. Sehubungan dengan permasalahan dimaksud, maka kajian ini menyajikan program pengembangan masyarakat tani. Tulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pembaca untuk menjadikan program pengembangan masyarakat di tempat lain, disesuaikan dengan rekomendasi yang telah ditetapkan. Penyusunan tugas akhir ini tidak akan terlaksana jika penulis lakukan sendiri, tetapi justru berkat bantuan semua pihak sehingga telah memudahkan pengumpulan data sampai penulisan. Sehubungan dengan dukungan dan jasa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimaksih dan ponghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Departemen Sosial Republik Indonesia sebagai sponsor beasiswa, Pemda Kabupaten Aceh Utara memberi Tugas Belajar dan bantuan biaya, Ketua Program MPM-IPB dan seluruh staf pengajar MPM, Pihak STKS Bandung dengan segala fasilitas proses belajar-mengajar, Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan penulitas KPM, Pihak keluarga (istri dan anak) yang telah memberi dorongan moril, Warga Gampong Lampisang Dayah dengan partisipasinya, Kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam riset.
Penulis sangat menyadari bahwa penyajian kajian ini masih banyak kekurangan. Guna menyempurnakannya, tentu memerlukan munculnya koreksi dan saran konstruktif dari pihak penelaah. Kritikan tersebut penulis harapkan secara lisan maupun tulisan, sehingga KPM akan lebih sempurna dan bermanfaat bagi masyarakat petani lahan kering.
Bogor, 22 Februari 2008 Jailani
RIWAYAT HIDUP
Penulis, dilahirkan di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tanggal 31 Desember 1966. Kedua orang tua merupakan suku Aceh dengan mata pencaharian bertani, orang tua laki-laki bernama Ishak bin Husen, (almarhum 1971) dan ibu bernama Fatimah binti Saat. Penulis sendiri merupakan putra ke enam di antara delapan bersaudara. Jenjang pendidikan formal, Sekolah Dasar Negeri Tanoh Abee tamat 1979, SMP Negeri Seulimeum tamat 1982 dan SMA Negeri Seulimeum tamat 1985. Melanjutkan Perguruan Tinggi pada Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh 988, mengambil jurusan Penyiaran dan Penerangan selesai 1994. Agustus 2006 diterima pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor, dengan sponsor Depsos RI dan Pemda Aceh Utara. Studi ini dapat penulis selesaikan hanya dalam waktu 18 bulan, tepatnya lulus pada Februari 2008. Riwayat pekerjaan di Pemerintahan, menjadi CPNSD tahun 1999 ditempatkan pada unit kerja Dinas Sosial Kabupaten Aceh Utara, menjabat Kasubbag Kepegawaian tahun 2001. Agustus 2003 dimutasi menjadi Kasubbag Umum pada Dinas Kesejahteraan Sosial, kemudian Mei 2005 mendapat kepercayaan menjadi Kasubbag Keuangan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial. Sehubungan dengan panggilan IPB, penulis menyatakan mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada awal Agustus 2006 dan memperoleh Tugas Belajar pada tanggal 31 Agustus 2006. Keluarga, tanggal 21 Mei 2001 menikah dengan Juliana binti Ibrahim (lahir di Lhokseumawe 30 September 1982), sekarang sedang menempuh pendidikan pada jurusan Hukum Pidana Unima Lhokseumawe. Hasil pernikahan tersebut telah diberkahi dua putri, pertama bernama Shifwa Sunnia lahir di Cunda tanggal 18 Mei 2002, sedangkan putri kedua Rieha Karima lahir di Lhokseumawe tanggal 14 September 2005.
Bogor, 22 Februari 2008
Jailani
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xv
I.
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang .................................................................................. Rumusan Masalah ............................................................................ Tujuan ............................................................................................... Kegunaan ........................................................................................ Batasan Kajian ..................................................................................
1 3 5 5 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
7
2.1 2.2 2.3 2.4
Penguatan Ekonomi .......................................................................... Pendekatan Partisipatif ..................................................................... Pemberdayaan Masyarakat .............................................................. Kelembagaan ....................................................................................
7 8 10 11
III. METODE KAJIAN .................................................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ................................................................... 3.3 Sumber Data ..................................................................................... 3.4 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 3.4.1 Wawancara ........................................................................... 3.4.2 Survei .................................................................................... 3.4.3 Focused Group Discussion (FGD) ........................................ 3.4.4 Studi Dokumentasi ................................................................ 3.5 Metode Analisis Data ......................................................................... 3.6 Rancangan Penyusunan Program .....................................................
13 13 15 16 18 18 18 18 19 19 20
IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT DAN PERTANIAN LAHAN KERING ........................................................
22
4.1 Peta Sosial Gampong Lampisang Dayah .......................................... 4.1.1 Lokasi .................................................................................... 4.1.2 Kependudukan ....................................................................... 4.1.3 Kondisi Prekonomian ............................................................. 4.1.4 Struktur Komunitas ................................................................ 4.1.5 Kelembagaan dan Organisasi ............................................... 4.1.6 Sumber Daya Lokal ............................................................... 4.1.7 Masalah Sosial dan Konflik ...................................................
22 22 23 25 27 29 31 31
4.2 Pengembangan Lahan Kering .......................................................... 4.2.1 Deskripsi Kegiatan Petani Lahan Kering ............................... 4.2.2 Evaluasi Kegiatan Petani Lahan Kering ................................ 4.2.3 Pengembangan Ekonomi ...................................................... 4.2.4 Pengembangan Kelembagaan ..............................................
33 33 36 38 39
4.2 Ihktisar ...............................................................................................
42
11
V. KARAKTERISTIK PETANI, USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN ....... 5.1 Karakteristik Responden ................................................................... 5.1.1 Golongan Umur Responden ................................................. 5.1.2 Jumlah Anggota Keluarga ..................................................... 5.2 Kondisi dan Permasalahan Usahatani ............................................. 5.2.1 Kepemilikan Lahan Kering dan Pemanfaatan ...................... 5.2.2 Permasalahan Usahatani ...................................................... 5.3 Tingkat Kesejahteraan Petani Lahan Kering ................................... 5.3.1 Peneriman Petani Lahan Kering ........................................... 5.3.2 Total Biaya ............................................................................ 5.3.3 Pendapatan Petani Lahan Kering ......................................... 5.3.4 Pengeluaran Keluarga .......................................................... 5.3 Rangkuman Tingkat Kesejahteraan ................................................. VI. STRATEGIS DAN PROGRAM PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING ................................................................ 6.1 Kondisi Lingkungan Pertanian Lahan Kering ................................. 6.1.1 Faktor Internal ....................................................................... 6.1.2 Faktor Eksternal .................................................................... 6.2 Strategi Pengembangan Pertanian Lahan Kering ......................... 6.2.1 Membentuk kelembagaan (kelompok tani) Berbasis Lahan Kering, Bersama Program BRR Aceh-Nias, ............... 6.2.2 Memamfaatkan Potensi Lahan Kering dalam Menggalang Kerjasama Usahatani Bersama Program BRR ................... 6.2.3 Memanfaatkan Jasa Pendamping Teknis dalan rangka Intensifikasi Lahan Kering ..................................................... 6.2.4 Memamfaatkan Perkembangan Pasar dengan Membentuk Koperasi Simpan-pinjam sebagai Sarana Perekonomian Petani Lahan Kering ............................................................. 6.2.5 Memanfaatkan Jasa Pendamping Teknis sebagai Pemandu Kegiatan Usahatani ........................................... 6.2.6 Memamfaatkan Program BRR untuk Memperkenalkan dan Menerapkan Peralatan Teknologi Sederhana ............... 6.2.7 Memamfaatkan Lahan Terlantar untuk Kegiatan Kelompok Tani dalam rangka Kemitraan dngan Pengusaha Lokal ....... 6.2.8 Meningkatkan Kerjasama Petani Lahan Kereing dalam Memantau Penyelenggaraan Musrenbangdes .................... 6.2.9 Meningkatkan SDM Bidang Pertanian untuk Mendapat Kepercayaan Sektor swasta/Pengusaha Lokal ...................... 6.2.10 Memanfaatkan Musrenbangdes sebagai Media Partisipatif dalam Penyampaian Aspirasi Petani Lahan Kering .............. 6.3
43 43 43 44 45 45 59 56 56 58 58 61 64 64 64 65 70 75 76 76 77
77 78 79 79 80 81 81
Rancangan Program .......................................................................
85
6.3.1 6.3.2 6.3.3 6.3.4 6.3.5
88 88 89 89
6.3.6 6.3.7 6.3.8 6.3.9
Pembentukan Kelompok Pertanian Lahan Kering ................ Pembentukan Lembaga Adat Seuneubok .............................. Kerjasama BBR dengan Kelompok Pertanian Lahan Kering.. Kerjasama BRR dengan Lembaga Adat Seuneubok ............ Pendampingan PPL Pertanian Terhadap Lahan Intensifikasi ................................................................. Penyuluhan PPL terhadap Peremajaan Kebun .................... Mendirikan Koperasi Simpan-pinjam Berbadan Hukum ........ Melibatkan Donatur dalam Koperasi ..................................... Pelibatan Pendamping Teknis dalam kegiatan Kelompok Pertanian Lahan Kering ........................................
90 91 91 92 93
12
6.3.10 Pelibatan Pendamping Teknis dalam Lembaga Adat Seuneubok .................................................................. 6.3.11 Pengenalan Cara dan Penerapan Alat Pengolah Minyak Kelapa ..................................................................... 6.3.12 Pengenalan Cara dan Penerapan Alat Pengolah Sabut Kelapa ..................................................................... 6.3.13 Kemitraan Usahatani dengan Sektor Swasta ...................... 6.3.14 Kerjasama Usahatani dengan Pengusaha Lokal ................. 6.3.15 Melakukan Advokasi ke BPM Aceh Besar, sebelum Penyelenggaraan Musrenbangdes ..................................... 6.3.16 Melakukan Advokasi ke BAPPEDA Aceh Besar Sebelum penyelenggaraan Musrenbangdes ....................... 6.3.17 Pemberian Bimbingan Teknis Bidang Pertanian ................. 6.3.18 Pemberian Bimbingan Teknis Bidang Peternakan .............. 6.3.19 Partisipatif Petani Lahan Kering dalam Pelaksanaan Musrenbangdes ............................................ 6.3. 20 Partisipatif Petani Lahan Kering dalam Pelaksanaan Musrenbang ..................................................
93 93 94 94 94 95 95 96 96 97 97
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...................................................... 104 7.1 7.2
Kesimpulan Rekomendasi
................................................................................ 104 ................................................................................ 105
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 108 L A M P I R A N ............................................................................................. 110
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat ..........................................
16
2
Matrik Kelengkapan Metode Pengumpulan Data ................................
17
3
Jenis Lahan Desa dan Luas .................................................................
22
4
Jenis Mata Pencaharian Kepala Keluarga ...........................................
25
5
Ketersediaan Jenis Lahan Kering............................................................. 27
6
Jenis Organisasi dan Kepegurusan ......................................................
32
7
Jumlah Responden Menurut Golongan Umur ......................................
43
8
Klasifikasi Jumlah Anggota Keluarga Responden.................................... 44
9
Klasifikasi Luas Lahan Kering responden................................................ 46
10
Penggunaan Lahan Kering Sesuai Jenis Tanaman................................. 48
11
Ketersediaan Modal Untuk usahatani Ladang dan Kebun....................... 50
12
Mamfaat Jalan Terhadap Kegiatan Usahatani Ladang dan Kebun .......
51
13
Penerapan Teknologi dalam Kegiatan Pertanian Ladanng / Kebun.......
52
14
Interaksi Pasar Tingkat Desa Bagi Petani Lahan Kering .......................
53
15
Pengetahuan Petani Terhadap Pengolahan Lahan .............................
54
16
Jaringan Kerja Petani dengan Institusi Luar Desa ...............................
55
17
Penerimaan Rata- Rata Responden Pertahun .....................................
57
18
Analisis Pendapatan Rata-Rata Responden Pertahun .........................
58
19
Pendapatan Responden Pertahun dan Perbulan .................................
60
20
Perbandingan Pendapatan Rata-rata dan Pengeluaran Keluarga Perbulan ..........................................................
62
Perbandingan Pendapatan Kepala Keluarga dengan Batas Pendapatan Miskin Sesuai Poverty Line Aceh Besar ...........................
63
22
Matriks Analisis SWOT Pemberdayaan Petani Lahan Kering ...............
75
23
Tahapan Pelaksanaan Program ...........................................................
86
24
Kerangka Kerja Logis Pemberdayaan Petani Lahan Kering …………… 100
21
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Skema Kerangka Berpikir............................................................................. 14
2
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin................................................... 24
3
Skema Pola Hubungan Kerja Petani Lahan Kering....................................... 41
4
Kerangka Alur Program Pemberdayaan Petani Lahan kering....................
84
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta Provinsi NAD dan Kabupaten Aceh Besar Kecamatan Seulimeum dan Gampong Lampisang Dayah .................... 110
2
Kuisioner Terhadap Petani Lahan Kering ............................................. 111
3
Pedoman Wawancara terhadap Aparat Desa ....................................... 113
4
Pedoman Wawancara Terhadap Pengusaha ........................................ 114
5
Pedoman Wawancara Terhadap Mantri Hewan ................................... 115
6
Pedoman Wawancara Terhadap PPL Pertanian ................................... 116
7
Kuisioner Analisis SWOT ………………………………………………….. 117
8
Jawaban Kuisioner Faktor Internal ........................................................ 118
9
Jawaban Kuisioner Faktor Eksternal ..................................................... 119
10
Pedoman Focus Group Discussion ...................................................... 120
11
Pepemilikan Lahan Kering Responden ................................................. 121
12
Pengeluaran Keluarga Responden Sesuai Analisis Kebutuhan Perbulan ............................................................................... 122
13
Perbandingan Harga Pemasaran Komoditi Pertanian/Ternak .............. 123
1
I. P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang Dengan bergulirnya Otonomi Daerah (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999), dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka semakin luas kewenangan Pemerintah Daerah (kabupaten) dalam pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial, ekonomi dan sektor lainnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan
Aceh
telah
menyusun
kembali
pengaturan
struktur
Pemerintahan sampai di tingkat paling bawah dalam rangka mempercepat proses pembangunan pedesaan. Merujuk pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menitikberatkan pola perencanaan bottom-up (dari bawah ke atas) yakni dengan melibatkan aspirasi masyarakat setempat melalui wadah musyawarah rencana pembangunan desa (musrenbangdes). Artinya, posisi masyarakat
bukan
hanya
sebagai
objek
pembangunan
melainkan
harus
berperanserta sebagai pelaku atau subjek pembangunan. Partisipasi masyarakat desa bersama pemerintah dibutuhkan dalam upaya menentukan arah pembangunan ekonomi, khususnya dalam pembangunan pertanian di pedesaan. Cohen dan Uphoff dalam Prijono (1996), berpendapat bahwa lingkup partisipasi masyarakat desa, yaitu pelibatan unsur masyarakat desa dalam penentuan arah kebijakan pembangunan meliputi tahap penyusunan perencanaan, penentuan kegiatan, pembuatan keputusan, penerapan keputusan, kerjasama serta monitoring dan evaluasi. Pertanian lahan kering menurut Notohadiprawiro (1989) ialah sektor pertanian yang dikerjakan tanpa suatu sistem penggenangan air di atas lahan garapannya. Yang termasuk lahan usahatani lahan kering adalah padi gogo, palawija, rumput pakan ternak dan perkebunan. Petani yang memanfaatkan air irigasi secara “sadapan” sejauh tidak menggenangi air, disebut lahan kering. Penanaman padi di sawah dan perikanan tambak tidak tergolong kategori pertanian lahan kering. Prospek ekonomi petani lahan kering agak sulit terwujud jika tidak didukung kepastian hukum agraria terhadap status tanah, penerapan teknologi tepatguna dan
2 ketersediaan sumberdaya manusia lokal yang memadai. Lahan kering perlu dpelihara sepadan dengan pemeliharaan sumber air, sebagaimana anjuran Departemen Pertanian RI dalam La An (2006) “ upaya penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara efesien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air berjalan beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah dilakukan juga tindakan konservasi air”. Penggarapan lahan kering sebenarnya tidak terbatas pada sektor tanaman palawija saja, melainkan bisa saja dialihkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif, seperti peternakan dan perkebunan dengan memadukan kekuatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan lokal, Sistem pertanian lahan kering cenderung bersifat subsisten (untuk kebutuhan sendiri), identik dengan pertanian pangan seperti padi dan jagung. Pertanian subsisten ini menggunakan lahan (tanah) dan tenaga kerja keluarga sebagai faktor produksi, yang dicirikan oleh beberapa karakteristik, antara lain; produktivitas rendah, penerapan peralatan teknologi pertanian sangat sederhana, terbatasnya akses kepada sumber modal, sangat tergantung pada musim hujan dan ketidaktepatan cara pengolahan tanah, Todaro (1985). Memperhatikan karakteristik di atas, untuk memobilisasi pertanian subsisten menuju perubahan ke arah pengembangan yang lebih maju dan sejahtera (pertanian komersil), perlu diperhatikan unsur tenaga kerja termasuk tenaga kerja keluarga petani lahan kering. Argumentasi bahwa perlunya diprioritaskan pembenahan tenaga kerja, mengingat keberadaan SDM itulah yang bisa mengendalikan teknologi dan memanfaatkan sumber daya alam secara tepat. Penekanan pada fungsi tenaga kerja (petani lahan kering dan keluarga) dianggap bisa mematahkan (breakdown) kebiasaan-kebiasaan yang tidak tepat, keliru dari pola kerja pertanian subsisten. Sehubungan dengan permasalahan pertanian subsisten tersebut, maka usahatani masyarakat relatif tertinggal dan berdampak pada rendahnya penghasilan. Akibatnya keluarga petani lahan kering mengalami ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pendidikan dan kesehatan. Keadaan mereka diperparah lagi ketidakcukupan pangan karena tidak melakukan penanaman padi sebagai kebutuhan dasar, sehingga terdapat keluarga mengalami kekurangan pangan. Keluarga tersebut jika dikaitkan dengan pendapatan rendah maka dapat dikatagorikan sebagai keluarga miskin, dengan indikatornya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Menurut Green dalam Widodo (1993) dan Streeten dalam Supriatna (1997), di antara komponen basic needs yang harus terpenuhi adalah kebutuhan minimum keluarga
3 untuk konsumsi (personal consumption items) meliputi pangan, sandang, papan dan peningkatan akses pada pelayanan publik (access to public services) meliputi aspek kesehatan dan pendidikan. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah berusaha dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Pemerintah Pusat melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah menetapkan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Desa (Gampong) Lampisang Dayah tahun 1994. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar bersama
aparat
desa
dan
pendamping
khusus
tidak
dapat
melanjutkan
pengembangan program tersebut disebabkan beberapa tahun kemudian Aceh dilanda konflik bersenjata. Sehubungan dengan diberlakukan Darurat Militer (Darmil) di Aceh tahun 2004, petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah mulai melakukan kegiatan kembali dengan aktivitasnya di sektor pertanian (ladang/kebun) dan empat kepala keluarga di antaranya bergerak di sektor penggembalaan (geumeubew) ternak kerbau dan lembu. Dengan kegiatan tersebut telah memacu aktivitas petani lainnya guna menekuni aktivitas pertanian, terutama dalam pemanfaatan kembali lahan kering yang pernah ditinggalkan. Mengingat kegiatan penggembalaan ada kaitan ke depan (forward linkages) dan kaitan ke belakang (backward linkages) seperti penggemukan ternak, sehingga dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi petanian lahan kering. Penggunaan potensi sumber daya lokal terhadap kedua kegiatan di atas meliputi peremajaan kebun kelapa dan kebun kopi, penanaman tanaman palawija di atas lahan ladang dan penggembalaan ternak di atas dataran rumput. Seharusnya dengan adanya kegiatan-kegiatan pertanian dan penggembalaan bisa mengatasi permasalahan petani dalam rangka peningkatan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja bagi keluarga dan petani lahan kering lainnya. Setelah aktvitas petani lahan kering di desa ini berlangsung tiga tahun, sekarang layak ditinjau kembali tingkat keberhasilannya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup.
1.2
Rumusan Masalah Pemberdayaan dan pengembangan masyarakat terus-menerus dilaksanakan
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Pemerintah senantiasa mengintervensi (ikut campur tangan), dalam pengelolaan SDA, operasional pasar supaya masyarakat terlindungi kehidupannya. Persoalannya adalah keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan masih terbatas
4 sebagai objek pembangunan, seharusnya dilibatkan sebagai pelaku pembangunan. Hal ini penting karena mayoritas masyarakat hidup di sektor pertanian dengan mengolah lahan kering. Sebagai negara agraris, mayoritas penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan bermatapencaharian di sektor pertanian, baik menggarap lahan sawah maupun lahan kering. Menurut laporan Puslitbangtanak dan BPS Nasional (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng dan iklim), dari 107 juta hektar lahan pertanian di Indonesia, 76,2 juta hektar (71,21 %) diantaranya merupakan lahan kering potensial, dan 24,5 hektar (28,79 %) berupa lahan sawah. Pengembangan masyarakat petani lahan kering sangat tepat dilakukan karena keberadaan lahan kering mendukung kegiatan pertanian dan peternakan. Menurut data BPS NAD (2005), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki 1.586.126 hektar lahan kering. Di antara 22 kabupaten/kota dalam Provinsi NAD, Kabupaten Aceh Besar memiliki lahan kering yang cukup luas yakni 164.294 hektar (10,36 %). Seulimeum merupakan kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang memilki lahan kering terluas, yakni 31.438 hektar (19,14 %). Gampong Lampisang Dayah merupakan desa dalam Kecamatan Seulimeum mempunyai luas 675 hektar termasuk tanah negara 225 hektar. Desa ini memiliki potensi lahan kering relatif besar yaitu 524 hektar (77,62 %). Berdasarkan ketersediaan lahan kering tersebut dan keterlibatan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, sektor swasta (pengusaha), masyarakat Gampong Lampisang Dayah dan komunitas petani lahan kering setempat, dengan mengandalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, maka kreativitas yang efektif dilaksanakan hanya sektor pertanian dan penggembalaan ternak. Pertanyaannya adalah, apakah aktivitas pertanian dan penggembalaan ternak tersebut bisa meningkatkan kesejahteraan hidup petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah ? Petani lahan kering desa ini selama tiga tahun terakhir bergerak kembali di sektor pertanian dengan swadaya dan di sektor penggembalaan ternak (geumeubew) memperoleh modal dari pengusaha dan beberapa sumber lain. Untuk itu perlu dilakuakan evaluasi terhadap kegiatan dimaksud guna mengetahui faktor dan indikator keberhasilannya. Pertanyaannya ialah, sejauhmana pengelolaan lahan kering untuk aktivitas pertanian dan penggembalaan ternak dapat dilaksanakan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah ? Upaya Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam meningkatkan kesejahteraan petani lahan kering mengalami banyak hambatan, di antaranya keterbatasan dana
5 Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) dan gangguan keamanan selama terjadi konflik bersenjata. Upaya petani lahan kering mengembangkan usahatani tentunya mengalami berbagai kendala internal dan eksternal. Sehubungan dengan persoalan tersebut, bagaimanakah rancangan strategi dan program pengembangan petani lahan kering yang lebih efektif ?
1.3
Tujuan
1.
Mengidentifikasi
masalah,
potensi
dan
profil
petani
lahan
kering
dan
menganalisis tingkat kesejahteraannya berdasarkan tingkat pendapatan dan pengeluaran dari kegiatan pertanian maupun peternakan . 2.
Mengidentifikasi dan mengevaluasi keberhasilan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan petani dalam pemanfaatan potensi lahan kering di Gampong Lampisang Dayah.
3.
Merumuskan rancangan strategi dan program pengembangan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah.
1.4
Kegunaan Kajian
Pengembangan
Masyarakat
(KPM)
berguna
sebagai
konsep
pengembangan masyarakat petani lahan kering atau bagi pertanian subsisten. Secara khusus kajian ini dapat dijadikan sebagai panduan pembangunan sosial-ekonomi di Kabupaten Aceh Besar. 1. Untuk mengembangkan strategi pemberdayaan masyarakat melalui program penguatan ekonomi berbasis potensi pertanian lahan kering. 2. Kajian pengembangan masyarakat ini dapat dijadikan sebagai asumsi terhadap kajian-kajian pemberdayaan petani lahan kering dengan pendekatan yang berbeda. 3. Menjadi masukan bagi pihak yanng berwewenang dalam pengambilan kebijakan terhadap strategi penanggulangan kemiskinan terhadap petani lahan kering di Kabupaten Aceh Besar.
1.5
Batasan Kajian Kajian pengembangan masyarakat (KPM) ini fokusnya terhadap kegiatan 60
kepala keluarga petani lahan kering yang tidak punya akses tetap terhadap lahan
6 sawah irigasi teknis. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis aktivitas komunitas tersebut dalam kegiatan-kegiatan pertanian yang berhubungan dengan usahatani ladang, kebun dan penggembalaan ternak dan kegiatan lain yang terkait dengan pengelolaan hasil tani, karena masyarakat tersebut menganut pola nafkah ganda. Untuk maksud tersebut perlu diketahui dan dikaji peta sosial masyarakat meliputi ketersediaan lahan dan penguasaannya, kependudukan dan kepadatan, kondisi perekonomian masyarakat, struktur komunitas dan kelembagaan yang pernah terbentuk di desa ini selama tiga tahun terakhir. Di samping itu akan ditinjau juga pelapisan sosial dan konflik yang terjadi dikalangan petani lahan kering. Pada tinjauan pengembangan masyarakat akan diuraikan potret petani lahan kering dalam aktifitasnya pengolahan lahan untuk pertanian dan pemanfaatan lahan untuk pengembalaan. Di sini menguraikan pengembangan ekonomi dari dua sektor tersebut dan menjelaskan sejauhman pertumbuhan dan pengembangan ekonomi yang merupakan dampak dari penggunaan SDA lahan kering.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penguatan Ekonomi Penguatan ekonomi sektor pertanian terutama terhadap tanaman pangan,
dapat dibangun dengan konsep agribisnis. Secara kuantitatif diperhatikan juga sejauhmana pemanfaatan sumber daya lokal atau sumber daya alam melalui kegiatan sektor pertanian dan sejauhmana dapat dikembangkan kegiatan tersebut dengan tujuan peningkatan produksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Peran kelembagaan dan sumber daya manusia turut mempengaruhi kinerja bidang pertanian dalam usaha keberhasilan pemanfaatan sumber daya alam. Menurut Escafe dan Collin Clark dalam Winardi (1995), untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi (economic growth) perlu dilihat aspek pemunculan sumbersumber produksi baru, apakah dapat dipertahankan usaha atau bisa ditingkatkan lagi produksi dan membuka lapangan kerja sekitarnya. Perekonomian yang belum berkembang maka pertanian merupakan pekerjaan dan sumber pendapatan pokok. Ketika pertanian tersebut tumbuh, maka industri manufaktur dan jasa akan tumbuh. Untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi dimaksud perlu keterkaitan produksi pertanian (forward linkages dan backward linkages) yaitu mata rantai dari produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, yang disebut agribisnis. Parhepi dan Goal dalam Soekartawi (1993), mengidentifikasi dalam 5 faktor yang menghambat pola dan hubungan mata rantai agribisnis di pedesaan. Pertama pola produksi komoditi pertanian tersebar sehingga sulit pembinaan yang efektif, kedua infrasruktur belum memadai sehingga sulit mencapai efesiensi usahatani, ketiga biaya produksi lebih tinggi karena terisolir daerah, keempat pemusatan agroindustri di kota besar sehingga nilai bahan baku pertanian menjadi mahal akibat biaya-biaya yang dikeluarga, kelima sistem kelembagaan di pedesaan yang lemah, sehingga tidak mendukung kegiatan agribisnis. Kegiatan agribisnis perlu dimaksimalkan, dengan mempengaruhi pelaku pembangunan pertanian pedesaan. Mosher dalam Soekartawi (1993) menawarkan 4 aspek alternatif. Pertama pemanfaatan sumberdaya dengan tanpa merusak lingkungan (resourse endowment), kedua pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah
(technological
endowment),
ketiga
pemanfaatan
budaya
(cultural
endowment) untuk keberhasilan pembangunan pertanian, keempat pemanfaatan kelembagaan yang saling menguntungkan (institutional).
8 Todaro (1985) mengemukakan, sangat diperlukan secara menyeluruh melakukan perubahan-perubahan kepada seluruh sendi kehidupan sosial, ekonomi dan struktur kelembagaan pada masyarakat desa. Jika tidak dilakukan pembenahan hal dimaksud, maka pembangunan pertanian sulit berkembang bahkan akan terjadi kesenjangan antar kelompok petani kecil dengan pemilik tanah. Artinya, penguatan ekonomi masyarakat petani terpengaruh pada kondisi sosial dan budaya setempat.
2.2
Pendekatan Partisipatif Menurut Dagun (1987) dari sekian banyak pengertian pendekatan antara lain
disebutkan tentang suatu cara menangani atau memecahkan masalah. Sedangkan partisipatif diartikan keikutsertaan atau berperan-serta dalam suatu kegiatan. Jika kedua kata tersebut didefinisikan berarti; suatu metode fasilitasi penyelesaian masalah secara bersama-sama terhadap apa yang sedang diperhatikan. Pendekatan partisipatif di sini dimaksudkan pada cara tempuh dalam penyelesaian kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial-ekonomi. Diperlukan gerakan kolektif bersama unsur pemerintah, swasta dan masyarakat serta komunitas petani
lahan
kering
sendiri.
Pelibatan
masyarakat
petani
dalam
kegiatan
pembangunan ekonomi bukan tujuan penguasaan material (modal usaha, dan aset tanah) saja, namun perlu kerjasama secara berperanserta dalam membangun jejaring sosial, penguatan kelembagaan lokal dan lainnya guna berkelanjutan (sustainable) operasional kegiatan petani lahan kering. Maschab dalam Suparlan (1994) menggarisbawahi, pembangunan desa khususnya terhadap kegiatan pertanian sebagai suatu kegiatan yang terus-menerus mementingkan peran unsur penggerak (mobilisasi) dari dalam masyarakat itu sendiri. Pemerintah tidak bisa melaksanakan pembangunan tanpa dukungan partisipatif pihak masyarakat, bukan disebabkan keterbatasan dana dan tenaga, tetapi karena pembangunan manusia seutuhnya tidak terbatas pada peningkatan pendapatan dan kemakmuran semata, tetapi harkat dan martabatnya sebagai bangsa merdeka yang sederajad dengan bangsa lain di dunia. Dari pemikiran di atas, program pengembangan masyarakat desa memerlukan aspek partisipasi berbagai stakeholders khususnya unsur Pemerintah. Dalam arti lain, penguatan ekonomi lebih mengutamakan peranan partisipasi semua unsur, namun demikian partisipasi masyarakat desa sebaiknya tidak terbatas pada pelaksanaan kegiatan, tetapi diperluas pada partisipasi aspiratif dalam perencanaan dengan pola bottom-up planing, sehingga kegiatan pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat.
9 Mewujudkan partisipasi penuh, diutamakan kreativitas dan keseriusan masyarakat tani. Pelibatan masyarakat seharusnya secara sempurna dari awal sampai akhir proses suatu kegiatan bahkan perlu dilibatkan masyarakat dalam evaluasi kegiatan. Pada era desentralisasi sekarang menerapkan pola bottom-up dalam upaya memperkuat masyarakat di lapisan terendah (masyarakat tani) sebagai objek pembangunan. Cohen dan Uphoff dalam Prijono (1976) membatasi lingkup partisipasi masyarakat desa, yaitu pelibatan unsur masyarakat desa dalam penentuan arah kebijakan pembangunan harus dimulai dari tahap penyusunan perencanaan, penentuan kebijakan kegiatan, pembuatan keputusan, penerapan keputusan, pelaksanaan, kerjasama, penikmatan hasil proyek sampai pada monitoring dan evaluasi program pembangunan. Konsep partisipasi masyarakat adalah konsep bottom-up, tetapi tidak terbatas pembangunan ekonomi melainkan termasuk persoalan transpormasi masyarakat luas (global society). Yaitu menyangkut justice (keadilan), inclucivennes (kesetiakawanan) dan sustainability (berkesinambungan). Artinya harus berpeluang sama dalam kebutuhan hidup, berbagi kemampuan sesama dalam pengelolaan SDA serta memperhatikan kepentingan generasinya. Azas demikian hanya mengandalkan masyarakat atau partisipasi aktif dimaksud diistilahkan dengan a people centered development, Maschab dalam Suparlan (1994). Dengan demikian, endekatan partisipatif dianggap paling efektif dalam operasional otonomi daerah, khususnya terhadap penguatan ekonomi petani lahan kering. Ditinjau dari aspek pembiayaan pembangunanpun termasuk paling efesien, sebab pendekatan ini memprioritaskan rancangan pengembangan pembangunan yang prioritas atau disesuaikan kehendak masyarakat desa seperti petani. Uphoff dan Todaro dalam Riwu (1997), menegaskan partisipasi dalam pembangunann dapat dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat dalam memberikan kontribusi penuh guna menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud pada barang-barang, tenaga, material, informasi yang konstruktif terhadap pembangunan. Jika tujuan pembangunan perdesaan diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diawali dari peningkatan kesejahteraan setiap keluarga, maka yang menajdi indikatornya adalah pendapatan, pengeluaran dan produksi petani kecil yang dihubungkan dengan pendapatan layak menurut standar setempat (poverty line). Instrumen dan indikator pencapaiannya adalah teknologi, inovasi, kebijakan pemerintah dan partisipasi swasta. Indikator lain ialah pengolahan, pasar, partisipatif aktif dan peradaban penanganan lingkungan.
10 2.3
Pemberdayaan Masyarakat Dikatakan pemberdayaan minimal adanya pihak pemberi dan penerima
kekuasaan atau kedua pihak saling berbagi kekuatan (empowerment share). Proses demikian terjadi pelimpahan kekuatan, seperti dikatakan Ife dalam Suharto (2005), “pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung”. Prijono (1996) menjelaskan, pemberdayaan merupakan proses pematahan (breakdown)
kekakuan
menjadi
transparan
dalam
relasi
antara
subjek
(penguasa/pemerintah) dengan objek (masyarakat/petani). Proses ini mementingkan adanya keseriusan subjek dalam membangun kemampuan objek menurut potensi yang dimilikinya. Proses ini melihat pentingnya mengalir daya (flow of power) dari subjek ke objek. Pemberian kuasa, kebebasan dan “pengakuan” dari subjek kepada objek,
manifestasinya
dengan
memberi
kesempatan
seluas-luasnya
usaha
meningkatkan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya lokal setempat. Esensi akhir yang di lihat adalah kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan harapan berdasarkan “pengakuan” yang telah diberikan oleh subjek (Pemerintah). Kemampuan individu dalam kegiatan merupakan bukti bahwa individu tersebut telah memiliki daya. Pemberdayaan masyarakat seharusnya tidak tersekat-sekat, inipun bisa terealisasi jika semua pihak berpartisipasi penuh. Mengingat pihak objek (masyarakat) identik dengan berbagai kelemahan/keterbatasan, maka aliran pemberdayaan subjek (pemerintah) sering terganggu dan kurang efektif. Sehubungan dengan karakter tersebut diperlukan keberpihakan empowerment kepada golongan powerless (ketidakberdayaan). Empowerment merupakan modal dasar yang tidak boleh dikonsentrasikan pada kasus tertentu saja, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Membangun
masyarakat
melalui
pemberdayaan,
prosesnya
terintegrasi
dan
menyeluruh (ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan lainnya) mengingat pola pengembangan masyarakat sekarang dalam kondisi modernisasi dan globalisasi. Menempatkan partisipasi masyarakat sebagai subjek pembangunan, Oakley dan Marsden dalam Adimihardja (2004) menggambarkan pemberdayaan cenderung pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Proses ini biasanya ditandai dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian masyarakat melalui keorganisasian lokal.
11 Aspek pemberdayaan yang menekankan peranserta masyarakat (partisipatif) berarti proses pembangunan berpusat pada rakyat (people development centre) operasionalnya tidak mudah tersekat-sekat. Escap dalam Adimiharja (1999) menyatakan “kajian strategis pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya atau politik menjadi penting sebagai input untuk reformasi pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif. Argumentasi diatas terkait dengan gagasan Depsos RI dan Chambers dalam Kartasasmita (1996) “pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi termasuk harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tata nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang bertumpu pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga termasuk nilai tambah sosial-budaya”.
2.4
Kelembagaan Mengenai kelembagaan, tinjauannya menyangkut pola norma dan hubungan.
Pembahasan pola norma terkait prilaku penataan organisasi (behavior), sedangkan pola hubungan kaitannya dengan jejaring kerja (network) dengan institusi luar komunitas (vertikal) maupun dalam komunitas (horizontal). Tuntutan dimaksud berlaku terhadap kelembagaan di tingkat nasional maupun kelembagaan lokal. Thoha (1998) menegaskan, “setiap membicarakan dinamika kelompok dalam hubungannya dengan prilaku organisasi maka tidaklah lengkap jika belum dibicarakan pola prilaku panitia dalam suatu organisasi. Panitia (kepengurusan) merupakan tipe formal yang amat penting yang dijumpai sekarang ini dalam kehidupan organisasi .....” Yang terpenting dan diharapkan dalam sebuah organisasi adalah ruh atau keberlanjutan disebut dengan institutional sustainable. Kelembagaan berkelanjutan mampu bergerak secara kontinyu pra realisasi bantuan maupun pasca terhentinya bantuan donatur. Kelembagaan di negara sedang berkembang agak sulit bertahan jika diperhatikan pada operasional proyek-proyek international seperti di Indonesia. Sehubungan dengan pandangan tersebut, di sini menekankan makna pembangunan lembaga yakni harus digerakkan dari lavel bawah atau digerakkan oleh masyarakat sendiri, bukan suatu organisasi yang direkayasa dai atas sebagaimana organisasi (kelompok) yang dibentuk dengan karena adanya bantuan.
12 Menurut Esman dan Uphoff (1982), “organisasi lokal adalah asosiasi penduduk desa yang bertanggungjawab kepada anggota-anggotanya (assositions of rural people which are accountable tothei members) dan terlibat dalam berbagai kegiatan pembangunan sejauhmana organisasi yang tumbuh dari bawah (grassroots organization), bergantung pada cara mendirikan dan mengembangkannya. Organisasi harus mampu mencerminkan pengalaman, kemampuan dan keinginan anggota .....” Israel kelembagaan
(1990)
mendefinisikan
(institutional
kelembagaan
development)
atau
(institution), pengembangan pembangunan
kelembagaan
(institutional bulding) merupakan proses perbaikan kapasitas organisasi supaya lebih efektif dalam penggunaan SDM berdasarkan ketersediaan dana. Proses ini harus mampu dijalankan secara internal maupun eksternal berupa bantuan pemerintah dan promosi donatur lainnya. Secara luas pengembangannya diawali dari perencanaan sampai pada evaluasi, termasuk kegiatan pembangunan pertanian. Penguatan
sebuah
organisasi
dalam
bidang
pertanian,
sebaiknya
mengandalkan keberadaan institusi yang pernah bergerak dalam kegiatan serupa, sehingga memiliki pengalaman sesama anggota. Artinya, dalam pengembangan masyarakat lebih baik memperkuat/membenah manajemen institusi yang telah terbentuk daripada membentuk institusi baru. Menyangkut pembentukan organisasi (kelompok) tersebut, yang harus diperhatikan beberapa petunjuk pelaksanaan, karena kelembagaan pembangunan yang berkelanjutan harus dibangun dari kehendak anggota, bukan dipaksa dari atas yakni pihak yang punya kepentingan. Mengenai kelembagaan
pembentukan
dimaksud,
kelompok/organisasi
Widyastuti
dan
Santiasih
supaya
mampu
dalam
Mubyarto
menjadi (1994)
menganjurkan pada setiap pembentukan kelompok supaya selalu dipertimbangakan empat hal pokok; 1. Kelembagaan akan berhasil jika menggunakan kelompok yang pernah ada di kalangan
masyarakat.
Retrukturisasi
kelembagaannya
harus
diserahkan
sepenuhnya kepada anggota-anggota lama. 2. Jumlah anggota tidak terlalu banyak namun tidaklah mesti ditentukan jumlahnya melainkan menurut kebutuhan kepengurusan dan keterwakilan di tingkat dusun. 3. Perlu penerangan/pendampingan teknis dari pihak pemerintah maupun organisasi tertentu ke arah kerjasama dengan pihak lain guna mencapai tujuan strategis. 4. Perlu partisipasi unsur masyarakat desa dalam upaya mendorong kegiatan kelompok dimaksud.
13
III. METODE KAJIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Profil petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah tidak terlepas dengan permasalahan besar seperti masih melekatnya dengan pola pertanian subsisten. Petani tersebut selalu terkait dengan keterbatasan sarana penunjang aktivitas pertanian (infrastruktur) di samping sangat sederhana dalam aplikasi teknologi tepatguna. Akibatnya kegiatan tidak berkembang dengan baik, rendahnya produktifitas sehingga sulit berkembang pasar yang lebih luas. Rendahnya pendapatan, terbatasnya akses kepada sumber modal dan rendahnya SDM, mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan. Permasalahan sosial adalah kalangan petani lahan kering belum terjalin kerjasama petani secara maksimal maupun hubungan dengan pihak lain luar desa yang dapat menggalang kreativitas petani. Tujuan penggalangan petani ialah guna memotivasi
terbentuknya
kelembagaan
yang
tangguh
berkompetisi
sehingga
mendapat kepercayaan institusi luar. Modal sosial tersebut dapat diusahakan melalui jejaring sosial namun belum terjadi dengan sempurna sehingga akses kerjasama masih terbatas, malah belum mendapat kepercayaan (trust) dari sumber modal sekitarnya. Permasalahan di atas sangat mempengaruhi kelancaran seluruh kegiatan petani lahan kering yang bergerak dalam penanaman kopi dan dan kelapa serta yang bergerak dalam penggembalaan kerbau dan lembu. Dalam kegiatannya usahatani di lahan kering memang tidak terlepas dari unsur kelemahan dan ancaman, di samping memiliki unsur kekuatan dan peluang. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki akan diinventarisir dalam faktor internal, sedangkan peluang dan ancaman akan digolongkan dalam faktor eksternal. Tujuan akhir kajian adalah merumuskan program pengembangan masyarakat setelah mengetahui indikator-indikator yang dapat mendukung pelaksanaan kegiatan. Guna lebih terfokus alur pemikiran dan analisis data dimaksud, perlu disusun dalam suatu
gambaran
kerangka
berpikir
yang
sistematis,
sehingga
memudahkan
pengambilan data dari responden, mempercepat proses kajian analisis SWOT (Strengths, Weaknessess, Oprtunities dan Threats), serta dalam tahapan pelaksanaan kajian FGD. Berikut digambarkan kerangka berpikir penyusunan program :
14
Gambar 1 Kerangka Berpikir
Permasalahan Petani Lahan Kering 1. Pola pertanian subsisten; Ketergantungan pada musim hujan (rainfed). Ketidaktepatan cara pengolahan tanah. Belum diaplikasi teknologi pertanian tepatguna. Terbatasnya permodalan. Tidak tersedia infrastruktur penunjang kegiatan pertanian yang baik. Belum terjadi interaksi pasar yang lebih luas. 2. Pola agribisnis terkendala; Pola produksi pertanian terpencar/belum mengelompok. Sarara/prasarana ekonomi belum memadai. Biaya trasportasi tinggi akibat kondisi geografis daerah. Pola agroindustri terpusat di kota sehingga mahal bahan baku hasil pertanian. Sistem kelembagaan pedesaan (pasar & keuangan) lemah.
Faktor Internal Petani Lahan Kering Ketersediaan lahan kering. jejaring sosial/ Kerjasama petani lahan kering. Ketersediaan modal usaha. Ketersediaan SDM. Aplikasi terknologi dalam kegiatan pertanian. Ketersediaan infrastruktur.
USAHATANI LAHAN KERING
Faktor Eksternal Petani Lahan Kering
Peran kelembagaan lokal. Peranan musrenbang. Peranan pasar dan pemasaran hasil tani. Peran dinas teknis melalui pendamping teknis. Peran swasta/pengusaha. Peran ORNOP dalam pemberdayaan petani.
Strategi Rancangan Program
Hasil Yang Diharapkan Petani lahan kering
Pembangunan sektor pertanian secara partisipatif dalam rangka penguatan ekonomi petani lahan kering.
Pemanfaatan lahan kering secara efektif dan efesien. Berjalannya pola kegiatan agribisnis Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani lahan kering.
Keterangan : Mempengaruhi,
memerlukan
15 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM) ini dilaksanakan di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi ini merupakan kelanjutan dari Pemetaan Sosial dan evaluasi kegiatan. Menjadi sasaran kajian yakni terhadap masyarakat petani lahan kering yang tidak mempunyai akses tetap terhadap 105 hektar lahan sawah irigasi. Alasan pemilihan komunitas petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah yakni mempertimbangkan bahwa desa ini memiliki lahan kering relatif terluas dalam Kecamatan Seulimeum. Kemudian, di desa ini pernah dilaksanakan suatu program pengembangan ekonomi masyarakat yang bersumber dari dana Program Inpres Desa Tertinggal tahun 1994. Sasaran program dimaksud diarahkan kepada petani lahan kering, tetapi terkendala disebabkan terjadinya konflik bersenjata di Provinsi NAD, sehingga ketersediaan potensi sumber daya alam tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Lahan kering desa ini meliputi lahan ladang, kebun, dataran dan hutan yang seluruhnya memiliki luas 524 hektar, sebenarnya pernah dimanfaatkan untuk pertanian dan pengembalaan sebelum terjadi konflik yaitu antara tahun 1970 sampai 1998. 1. Kegiatan pertanian Usahatani berupa tanaman palawija di ladang tetapi ukuran penguasaan dan pengelolaan lahan rata-rata relaif sangat kecil, sehingga tingkat produksi sangat rendah. Kegiatan perkebunan dengan tanaman kopi pernah diusahakan petani di atas tanah negara sebelum tahun 1994 namun gagal karena lahan tersebut berpindah hak kepada pengelola hutan tanaman industri (HTI) PT. Indrapuri (PTI). Kegiatan petani pada saat itu berlangsung secara subsisten dan belum mendapat bantuan modal kerja serta penyuluhan (bimbingan teknis) dari Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. 2. Kegiatan Penggembalaan Pengembalaan pernah berlangsung sebelum
tahun
1998,
namun tidak
berkelanjutan disebabkan Aceh ketika itu terjadi konflik. Pengembalaan ternak kerbau dan lembu memamf lahaaatkan dataran milik negara sekitar 135 hektar. Pemeliharaan ternak lembu yang dilakukan petani di dalam peladangan dan perkebunan, hanyalah sebatas pemerliharaan ternak yang dimanfaatkan tenaganya untuk menggarap tanah.
16 Mengenai jadwal kajian lapangan terdiri atas tiga tahapan terpisah, yakni secara keseluruhan telah dilakukan Pemetaan Sosial, Evaluasi Kegiatan dan riset akhir berupa kajian pengembangan masyarakat untuk penyusunan program. Adapun jadwalnya, sebagaimana ditujukkan pada Tabel 1. \
Tabel 1 Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat
06 NO
JENIS KEGIATAN
BULAN 12
1
Pemetaan Sosial
2
Evaluasi Program
3
Persiapan/kolokium
4
Penyusunan proposal
5
Kajian Lapangan
6
Penyusunan Tugas Akhir
7
Seminar dan Ujian
08
TAHUN 2007
1
4
7
8
9
10
11
12
1
2
3.3 Sumber Data Metode
pengumpulan
data
lapangan
dalam
kajian
pengembangan
masyarakat ini dilakukan berdasarkan tujuan yang telah dirancang. Konsentrasinya meliputi; penentuan sumber data yakni melalui pemilihan responden dari populasi 60 kepala keluarga, berdasarkan kebutuhan setiap jenis data yang ingin dikumpulkan. Kebutuhan data meliputi data kualitatif dan data kuantitatif. Data primer dari responden dikumpulkan melalui instrumen survei, sedangkan data informasi dari informan ditempuh dengan wawancara. Semua data dimaksud akan dibahas bersama petani lahan kering dan stakeholders dalam FGD dengan menggunakan analisis SWOT. Tabel 2 berikut ini menunjukkan proses pengklasifikasian pengumpulan data.
17
Tabel 2 Matrik Kelengkapan Metode Pengumpulan Data
TUJUAN
JENIS DATA
SUMBER DATA
Mengidentifikasi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan petani dengan memanfaatkan potensi lahan kering Gampong Lampisang Dayah.
Penggunaan lahan kering untuk kegiatan pertanian dan pengembalaan ternak dan tingkat produktifitas dalam pemanfaatan lahan tersebut.
Responden : petani lahan kering.
Membandingkan tingkat kesejahteraan petani lahan kering dengan mengukur tingkat pendapatan keluarga dari sektor pertanian maupun pengembalaan.
Penghasilan petani lahan kering dari sektor pengembalaan dan dari sektor pertanian
Responden : petani lahan kering
Merumuskan rancangan strategi dan rancangan program pengembangan masyarakat petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah
ANALISIS DATA Analisis tabulasi kuantitatif
Informan : PPL Pertanian dan Mantri hewan dari dinas terkait.
Analisis tabulasi data kuantitatif
Informan : aparat desa atau tokoh masyarakat.
Potensi lokal SDM, SDA dan akses fasilitas lainnya.
Responden : petani lahan kering.
Partisipasi aktif Pemda Aceh Besar dan Petani
Stakeholders : Unsur dinas terkait (Bappeda, BPMD Pertanian dan Peternakan).
FGD Analisis SWOT Analisis kuantita tif dan kulitatif
18 3.4 Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data secara objektif perlu dilakukan pengumpulan data dari informan dan responden serta data pendukung lainnya dengan menggunakan 4 metodelogi. Keempat metode tersebut meliputi survei, wawancara, FGD dan studi dokumentasi, sebagaimana dijelaskan berikut ini : 3.4.1
Wawancara Teknik pengumpulan data informasi dilaksanakan melalui wawancara tatap
muka terhadap informan, dengan instrumennya adalah daftar wawancara terstruktur. Informannya meliputi seorang mantri hewan, seorang PPL Pertanian dan seorang aparat desa atau tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh kepala desa serta seorang pengusaha yang punya investasi dalam kegiatan penggembalaan ternak 3.4.2
Survei Teknik pengumpulan data kuantitatif berupa data primer dalam kajian ini
dilaksanakan dengan menggunakan instrumen kuisioner terhadap responden (sampel). Kuisioner dimaksud disusun dalam sebuah daftar kuisioner secara terbuka atau tidak diberikan pilihan jawaban yang mengikat, dengan demikian responden dapat menyampaikan data dan informasi secara lebih luas tentang kegiatannya. Guna memperoleh data survei secara sempurna dan objektif, maka sebelum operasional di lapangan terlebih dahulu dipilih sumber data (responden) secara acak. Dari 60 kepala keluarga petani lahan kering (populasi) Gampong Lampisang Dayah akan diambil sampel 17 kepala keluarga atau di atas 25 persen. Responden yang dipilih secara acak ditetapkan 13 kepala keluarga, sedangkan 4 kepala keluarga di pilih langsung terhadap seluruh penggembala ternak. 3.4.3
Focused Group Discussion (FGD) Setelah hasil wawancara terkumpul dan analisis SWOT telah dilakukan, maka
FGD dapat dilaksanakan karena FGD merupakan tindak lanjut hasil wawancara dan hasil analisis SWOT yang akan dibahas bersama petani dalam suatu pertemuan (diskusi). Pertemuan dan keikutsertaan petani dapat mengidentifikasi permasalahan dan kesulitan yang dialami komunitas petani lahan kering. Dalam kesempatan yang sama, pertemuan dapat merancang suatu rumusan program pengembangan masyarakat. Peneliti berperan ganda yaitu sebagai fasilitator diskusi dan pengamat jalannya diskusi. Peserta FGD adalah 17 KK petani lahan kering, stakeholders yaitu unsur Bappeda Aceh Besar, BPM, mantri hewan dan PPL Pertanian.
19 3.4.4
Studi Dokumentasi Mempelajari arsip-arsip, dokumen-dokumen dan catatan monografi desa
yang berkaitan dengan keberadaan lahan kering, kependudukan dan keorganisasian di tingkat desa. Data yang terkumpul melalui studi dokumen tidak mutlak digunakan seluruhnya karena sifatnya skunder atau sebagai data pendukung dalam menganalisis data primer yang terkumpul melalui survei, wawancara, analisis SWOT dan FGD.
3.5 Metode Analisis Data Data untuk analisis SWOT dikumpulkan melalui penyebaran kuisioner SWOT terhadap 17 kepala keluarga responden petani lahan kering. Dalam operasional pengisian kuisioner dipandu langsung (bekerjasama) dengan staf Bappeda dan PPL Pertanian khusus membantu pemberian nilai (poin) pada setiap urutan jawaban kuisioner. Data yang dikumpulkan akan dianalisis secara kuantitatif sehingga ditemukan tingkatan/jumlah nilai secara pasti setiap poin jawaban responden. Langkah-langkah analisis SWOT harus ditempuh ; 1. Bobot setiap jawaban mempunyai alternatif pemberian nilai antara 1 – 4, semakin penting pengaruh faktor, maka semakin tinggi bobot yang akan diberikan. 2. Setiap nomor pertanyaan yang dijawab responden dijumlahkan rata-rata baris. 3. Semua nomor jawaban akan diakumulasikan secara total dalam nilai baris, lalu dijumlahkan menjadi jumlah kolom dan dibagi dengan jumlah baris maka disebut jumlah kolom. 4. Nilai rata-rata baris yang lebih besar dari rata-rata kolom adalah kekuatan dan peluang. Sedangkan nilai rata-rata baris yang lebih kecil dari rata-rata kolom adalah kelemahan dan ancaman. Berdasarkan data terukur tersebut dilakukan kajian bersama komunitas petani dalam FGD dalam dua sesi; pertama, identifikasi masalah petani lahan kering dan kedua, rancangan program dan penyusunan program pengembangan masyarakat, untuk menguatkan pemberdayaan petani lahan kering itu sendiri. Dalam proses pertemuan di forum FGD akan muncul tanggapan secara positif dan negatif, namun dapat disepakati sampai setuju untuk dirumuskan dalam matriks analisis SWOT. Untuk mentransper pemikiran peserta diskusi ke dalam matriks analisis SWOT, menurut beberapa pakar harus diklasifikasikan hasilnya pada empat versi besar.
20 Rangkuti (2006), Siagian (1995) dan Adisasmita (2006), menjelaskan penyusunan strategi tersebut, yaitu : 1. Strategi SO, mengandalkan seluruh kekuatan guna memanfaatkan peluang yang ada. 2. Strategi WO, mengandalkan peluang yang ada guna menekankan kelemahan. 3. Strategi ST, mengandalkan kekuatan yang ada guna mengantisipasi ancaman. 4. Strategi WT, berusaha menekankan kelamahan guna mencegah munculnya ancaman.
3.6 Rancangan Penyusunan Program Penyusunan program atau sepadan dengan pengajuan sebuah formulasi kebijakan yang wujudnya dapat diaplikasikan bagi komunitas petani lahan kering setempat. Setelah semua hasil riset diketahui dan dianisis, maka rancangan yang dirumuskan adalah mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, meninjau kinerja petani dari aspek ekonomi, sosial budaya dalam aktivitas kehidupan pertanian subsisten, di samping melihat hubungan yang berpengaruh antara eksistensi internal dan tingkat keterlibatan eksternal dalam komunitas petani. Kedua, melihat potensi yang ada di okasi apakah telah dikembangakan atau diberdayakan. Ketiga, menetapkan lokasi pengembangan masyarakat berdasarkan evaluasi kegiatan yang ada, dengan memperhatikan keberlanjutannya dan tersedia sumber pendukung yang berpotensi. Semua unsur di atas akan dirancang dengan memanfaatkan partisipasi bersama stakeholders dari intansi teknis Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan pelibatan unsur pihak ketiga meliputi pengusaha sebagai penyedia modal bagi petani lahan
kering.
Penyusunan
rancangan
program
pengembangan
masyarakat
dilaksanakan secara terpadu antara fungsi peneliti sebagai fasilitator berlangsungnya pelaksanaan FGD yang menghadirkan responden dan memanfaatkan kembali stakeholders di atas. Sebagai fokus awal rancangan program akan melihat secara mendalam terhadap kegiatan-kegiatan petani lahan kering yang sedang berlangsung. Setelah dianalisis terhadap dua kegiatan yang memanfaatkan lahan kering, akan dilihat sektor mana yang lebih menonjol aktivitas seluruh petani guna melihat permasalahan usahatani dimaksud. Di samping menemukan jumlah pendapatan responden, akan dikaji juga usahatani yang mana lebih dominan dikerjakan, apakah penggembalaan,
21 perkebunan atau ladang akan terpilih untuk dievaluasi pendapatan rata-rata dalam satuan pertahuan terhadap luas penggunaan lahan kering. Satu di antara tiga kegiatan
akan
diketahui
bahwa
sektor
mana
yang
lebih
menguntungkan
pemanfaatan lahan kering dalam upaya meningkatakan kesejahteraan keluarga. Artinya sektor tersebut cocok dikembangkan sebagai suatu program pengembangan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah. Rancangan program yang dihasilkan berdasarkan kesepakatan dari FGD dengan melibatkan stakeholders (unsur Bappeda, Badan PMD dan PPL Pertanian), petani lahan kering yang dilakukan secara partisipatif. Bentuk rancangan program pengembangan masyarakat tersebut merupakan wujud dari jawaban pertanyaanpertanyaan dalam rumusan 5 W + 1 H. Rumusan dimaksud merupakan jawaban terhadap isi judul rancangan program (what), terhadap kelompok siapa dilakukan program (whom), siapa yang berperan melakukannya (who), dimana rencana lokasi program dilaksanakan (where) dan saat kapan mulai diselenggarakan (when) serta bagaimana teknis pelasanaannya (how).
22 IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT
DAN PERTANIAN LAHAN KERING
Peta Sosial Gampong Lampisang Lokasi Gampong Lampisang Dayah letaknya di sebelah Barat Daya Gunung Seulawah, dengan ketinggian rata-rata 11 meter di atas permukaan air laut. Suhu rata-rata antara 25°C sampai dengan 28°C. Di lihat dari arah mata angin, posisi wilayah hukum desa adalah; Sebelah Utara berbatasan dengan Pemukiman Tanoh Abee, sebelah selatan berbatasan dengan hutan (tanah negara). Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lampisang Teungoh, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Capeung Dayah. Luas desa ini 675 hektar, terdiri dari tanah pemukiman penduduk 13 hektar, lahan sawah irigasi (teknis) dan tadah hujan (rainfed) 135 hektar, lahan ladang 115 hektar, lahan kebun 48 hektar, lahan terlantar 95 hektar, hutan 36 hektar dan lainnya 8 hektar dan sudah termasuk tanah negara 225 hektar yang pernah dikelola Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Iindrapuri (PTI). Ketersediaan lahan kering desa ini mencapai 524 hektar (77,63 %) dari total luas desa. Lahan kering ini terdiri dari empat jenis, meliputi lahan hutan, ladang, kebun dan dataran. Tanah dataran rumput 100 hektar saat ini terlantar sebagaimana 135 hektar dataran rumput pada tanah negara. Secara keseluruhan kondisi lahan terlihat dalam Tabel 3. Tabel 3 Jenis Lahan Menurut Luas NO
JENIS LAHAN
LUAS (HA)
PERSEN
1.
Pemukiman
13
1,93
2.
Sawah
135
20
3.
Ladang
115
17,04
4.
Kebun
48
7,11
5.
Dataran
95
14,07
6.
Hutan
36
5,33
7.
Lain-Lain
8
1,19
8.
Tanah Negara
225
33,33
JUMLAH Diadaptasi dari Data BPS NAD 2005
675
100
23 Desa ini dapat di tempuh melalui jalan lintas Sumatera dengan kendaraan umum dari Banda Aceh (ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) ke arah Timur hanya 38 kilometer dalam waktu 40 menit. Jalan raya lintas Sumatera tersebut letaknya tepat melintasi pertengahan pemukiman penduduk. Dilanjutkan perjalanan ke arah Timur, tepatnya lima kilometer terdapat ibukota Kecamatan Seulimeum. Sedangkan letak ibukota Kabupaten Aceh Besar bisa ditempuh 10 menit dari ibukota Kecamatan Seulimeum ke arah Selatan sejarak 13 kilometer. Secara administrasi pemerintahan, Gampong Lampisang Dayah dipimpin seorang Keuchik (Kepala Desa), secara terstruktur terbagi atas tiga wilayah dengan sebutan dusun yang dikoordinir oleh kepala dusun. Secara struktur adat, Gampong Lampisang Dayah berada di bawah koordinasi Mukim (Penguasa terhadap beberada desa) Tanoh Abee, tetapi sampai saat ini Peraturan Daerah (Qanun) tersebut belum terealisasi dikarenakan konflik Provinsi NAD sehingga terhambat penerapannya selama puluhan tahun terakhir serta tersendatnya roda pemerintahan. Dalam administrasi pemerintahan, desa ini tetap di bawah susunan struktural Kecamatan Seulimeum.
Kependudukan Penduduk Gampong Lampisang Dayah 120 kepala keluarga, berjumlah 502 jiwa, terdiri dari 259 laki-laki (51,59 %) dan 243 perempuan (48,41 %). Artinya terdapat 52 laki-laki diantara 48 perempuan dalam setiap 100 penduduk. Penduduk desa ini 100 persen suku Aceh dan 100 persen beragama Islam. Tingkat kepadatan penduduk terhadap luas areal desa 675 hektar, maka rata-rata sekitar 75 jiwa setiap km². Komposisi kependudukan dari jumlah 502 jiwa, bedasarkan kriteria usia jenis kelamin laki-laki dan perempuan terlihat sebagaimana disajikan dalam Gambar 3 berikut ini;
24 Gambar 3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin USIA 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
LK
-+ - 74 - 69 - 64 - 59 - 54 - 49 - 44 - 39 - 34 - 29 - 24 - 19 - 14 - 9 - 4 25
20
15
10
5
0
5
10
15
20
25
PR
2
3
4
5
8
9
10
12
12
16
15
15
18
17
14
14
20
17
21
15
25
23
24
22
23
19
24
21
14
15
25
20
259
243
Diadaptasi dari Data BPS NAD, Monografi desa 2006
Berdasarkan grafik di atas menunjukkan besarnya penduduk usia 0 - 4 tahun, argumentasinya disebabkan tingginnya angka fertilitas tahun 2005 – 2006, sedangkan kecilnya usia 5 – 9 tahun disebabkan rendahnya angka fertilitas tahun 2000 – 2004 terkait migrasi ke kota selama konflik . Besarnya usia 20 – 29 tahun alasannya disebabkan tingginya migrasi dari luar desa pasca permamaian Aceh. Namun demikian jika dilihat secara keseluruhan tampaknya sangat kecil usia ketergantungan yakni 150 jiwa (29,88 %) dibandingkan dengan usia kerja/usia produktif mencapai 352 jiwa (70,12 %). Angka ketergantungan 150 jiwa ini terlihat pada usia 0 - 14 tahun 119 jiwa (23,7 %) dan usia 65 tahun ke atas hanya 31 jiwa (6,18 %). Angka devendency ratio tahun 2007 sekitar 42,61 % atau pengertiannya setiap 100 orang penduduk produktif menanggung 43 orang penduduk usia ketergantungan. Data akurat yang selama ini dan dipergunakan nasional menunjukkan angka kemiskinan pada 81 kepala keluarga (76 %) mendapat Raskin dan kartu sehat, merupakan hasil seleksi dua tahun lalu. Hal ini perlu kajian mendalam mengenai katagori garis kemiskinan yang disesuaikan dengan Indikator Kemiskinan Daerah, karena diantara kepala kepala dimaksud ada yang berpendapatan perkapita perbulan di atas kelipatan angka poverty line (Rp212,500/bulan). Asumsi ini akan terindikasi dengan argumen bahwa masih banyak kepala keluarga yang bekerja sampingan di sektor lain di samping pekerjaan utama (pola nafkah ganda), artinya punya penghasilannya ganda bisa diperoleh dari dua sampai empat aktivitas.
25 Kondisi Perekonomian 1) Mata Pencaharian Dari 120 Kepala Keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah, jika dilihat aspek kegiatan sehari-hari hampir seluruhnya bergantung pada potensi pertanian, namun dapat diklasifikasikan dalam enam jenis pekerjaan tetap atau mata pecaharian.
Perkerjaan
dimaksud
meliputi;
sektor
petanian,
peternakan,
pedagangan, buruh/security, PNS dan supir. Dapat di tambah di sini bahwa diantara Kepala Keluarga yang pekerjaan tetap bukan sisi pertanian, yaitu; petani, peternak, pedagang dan pegawai negeri dan pedagang, mereka juga senantiasa menggarap lahan kering sebagai pekerjaan sampingan atau disebut dengan pola nafkah ganda. Tabel 4 berikut ini menunjukkan secara jelas besarnya persentase jumlah kepala keluarga yang berkerja di sektor pengolahan tanah pertanian. Tabel 4 Jenis Mata Pencaharian Penduduk dan Luasnya
NO
JENIS MATA PENCAHARIAN
JUM LAH (KK)
PERSEN
1.
Petani
98
81,67
2.
Peternak
4
3,33
3.
Pedagang
1
0,83
4.
Buruh
8
6,67
5.
PNS
5
4,17
6.
Supir
4
3,33
120
100
JUMLAH Diadaptasi dari Data BPS NAD 2006
Guna menemukan data akurat mengenai sistem perekonomian masyarakat desa ini, perlu ditinjau dari aspek mata pencaharian dan pendapatan, jenis produksi/komoditi setempat dan pemasarannya. Untuk itulah empat hal tersebut saling berkaitan, diperhatikan dan penting dianalisis dalam sistem ekonomi Gampong Lampisang Dayah. Penduduk yang bermatapencaharian sektor pertanian 98 kepala keluarga atau (81,67 %), yang konsentrasinnya pada penggarapan lahan sawah irigasi 38 kepala keluarga, diantaranya memiliki sawah sendiri 17 kepala keluarga, sedangkan 21 kepala keluarga merupakan penggarap sawah pola bagi hasil dengan pemilik lahan.
26 Penduduk yang menggarap sawah milik sendiri maupun pola bagi hasil di atas lahan sawah irigasi tehnis mempunyai kesempatan tanam dua kali setiap tahun. Terhadap 60 kepala keluarga petani lainnya merupakan petani lahan kering yang tidak memiliki lahan sawah teknis dan tidak memilki akses tetap untuk menggarap sawah dimaksud. Dalam rumahtangga petani lahan kering desa ini, pekerjaan pertanian di ladang dan peternakan senantiasa dibantu atau memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Pertumbuhan ekonomi sektor petanian lahan kering mengalami perbedaan pendapatan antara petani yang beraktivitas dalam penggembalaan dengan petani yang aktifitasnya hanya di pertanian saja. Pendapatan petani penggembala relatif lebih besar dari usaha ternak lembu/kerbau, sedangkan petani lahan kering yang hanya mengupayakan komoditi palawija dan tanaman tua dengan lahan sempit, pendapatannya relatif kecil. Usahatani yang dilaksanakan petani lahan kering berdasarkan ketersediaan lahan di desa, umumnya masih dalam skala kecil yakni berdasarkan kepemilikan aset tanah dan modal yang tersedia. Berbeda dengan usaha kegiatan menggembala, mereka memilki ketersediaan modal yang cukup. Jadi antara usahatani di lahan ladang/kebun dengan usaha petenakan saling berbeda dalam ketersediaan aset lahan dan modal, namun banyak kesamaannya adalah keterbatasan dalam akses teknologi dan SDM serta akses kepada pelayanan pemerintahan.
2) Jenis Komoditi/Produksi Petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah selama tiga tahun terakhir lebih berkonsentrasi pada sektor perkebunan kopi, kelapa, pisang dan pinang, di antaranya bekerjasama dengan pemilik tanah. Komoditi dihasilkan adalah pisang, kopi, kelapa dan pinang, sebagian kebun kelapa dan kopi masih tahapan peremajaan yang memerlukan waktu sampai lima tahun. Artinya produksi komoditi pisang, pinang dan kelapa yang dihasilkan selama ini merupakan kelanjutan perkebunan yang tidak dilakukan peremajaan. Kegiatan penanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, tomat dan cabe di peladangan dapat dikerjakan sekali sampai dua kali tanam dalam setiap tahunan. Adapun peremajaan kebun selama tiga tahun terakhir seluas 14.285 m² meliputi kebun kelapa 9.205 m² terhadap dan kebun kopi 5.080 m². Poduksi usahatani di sektor lain yaitu dari ternak lembu dan kerbau yang dilaksanakan dengan sistem penggembalaan dan pemeliharaan/ penggemukan alamiah. Adapun ternak yang dihasilkan untuk dipasarkan hanyalah kerbau dan lembu jantan saja, sedangkan ternak betina tetap dijadikan sebagai induk produksi.
27 3) Ketersediaan Lahan Kering Lahan kering di desa ini meliputi lahan dataran rumput terlantar (padang rumput), ladang, kebun dan hutan seluas 524 hektar (77,63 %) dari luas desa 675 hektar. Berdasarkan keberadaan potensi lahan dimaksud, maka bidang usahatani mempunyai peluang besar bagi pengembangan sektor perkebunan dan sebagian dijadikan lokasi penggembalaan ternak kerbau dan lembu. Yang strategis untuk penggembalaan ternak adalah terhadap ketersediaan lahan tanah dataran rumput seluas 135 hektar yang letaknya di antara 225 hektar tanah milik negara. Di sekitar lokasi padang rumput tersebut adalah HTI seluas 90 hektar yang telah ditinggalkan PTI. Lahan inilah memungkinkan untuk dijadikan sebagai perkebunan kopi karena tinggi tingkat kesuburannya. Lahan kering berupa tanah milik negara hanya 225 m², selain itu merupakan lahan kering milik warga setempat maupun milik warga desa lain dalam wilayah hukum Gampong Lampisang Dayah meliputi lahan perkebunan dan peladangan 162 hektar, dataran terlantar 100 hektar, dan
terdapat juga lahan hutan 36 hektar.
Secara keseluruhan jenis lahan tersebut seperti ditunjukkan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Ketersediaan Jenis Lahan Kering
NO
JENIS LAHAN KERING
LUAS (Ha)
PERSEN
1.
Lahan ladang dan kebun
163
31,11
2.
Lahan hutan milik warga
36
6,87
3.
Lahan hutan milik negara
90
17,18
4.
Lahan dataran milik negara
135
25,76
5.
Lahan dataran milik warga
100
19,08
524
100
JUMLAH
Struktur Komunitas Pembahasan struktur komunitas kaitannya dengan pelapisan sosial atau strata kehidupan sosial masyarakat. Hasil yang dihimpun melalui pengamatan lapangan menyangkut struktur komunitas ini dapat diuraikan dalam dua bagian, yakni mengenai
pelapisan
sosial
sehingga
dikenal
tokoh
berpengaruh
dalam
pembangunan dan jejaring sosial yang dilakukan kalangan masyarakat petani lahan kering.
28 1) Pelapisan sosial Pelapisan sosial di desa ini sangat dipengaruhi faktor ekonomi seperti kepemilikan tanah, ternak dan alat transportasi. Faktor lain yang amat dipengaruhi sehingga terjadi perbedaan pelapisan sosial adalah berdasarkan kehormatan seperti kemampuan dalam ketrampilan, kemampuan menguasai pengetahuan lokal dan keterlibatan dalam berbagai kegiatan. Berdasarkan faktor ekonomi dan kehormatan yang
menjadi
sorotan
penilaian
penduduk,
maka
pelapisan
sosial
dapat
diidentifikasikan dalam beberapa hal berikut : a.
Memiliki tanah yang lebih luas terutama memiliki lahan sawah dan lahan kering lainnya di desa tersebut.
b.
Mempunyai pengikut/pengaruh besar dalam segala kegiatan ekonomi, pertanian dan sosial kemasyarakatan setempat.
c.
Memiliki suatu kemampuan ketrampilan atau pengetahuan lokal (local knowledge) yang dibutuhkan masyarakat sehingga sering dipergunakan jasa keahliannya. Dengan demikian pelapisan sosial petani lahan kering desa ini bisa terjadi
hanya pada orang-orang tertentu saja. Diantaranya; pertama sosok yang memiliki aset tanah terluas di desa, kedua tokoh yang mampu menjalin banyak persahabatan dan berani mengajukan dan mengambil keputusan untuk kepentingan
desa dan
ketiga orang yang memiliki pengalaman dalam pekerjaan pertanian maupun peternakan secara tradisional atau memiliki keahlian pertukangan. Ketiga tipe orang di atas disegani, dihormati warga dan menjadi panutan masyarakat desa, namun demikian kemampuan di bidang penggembalaan ternak merupakan suatu modal sosial yang paling berpengaruh di kalangan petani lahan kering, karena tidak semua petani memiliki pengetahuan lokal. Setiap dilaksanakan rapat dan pelaksanaan kegiatan di tingkat desa yang berkenaan dengan pertanian selalu mengutamakan dan melibatkan peran tokoh tersebut. Penduduk
Gampong
Lampisang
Dayah
dalam
hal
pelapisan
sosial
terpengaruh juga oleh strata ekonomi. Dilihat dari aspek fisik bangunan dan fasilitas lainnya, kalangan keluarga petani lahan kering hanya ditemui 6 rumah permanen, 43 rumah semi permanen dan 11 kepala keluarga belum memiliki rumah sendiri, berarti 81,67 persen yang sudah memiliki rumah. Di antara 49 rumah, telah tersambung fasilitas listrik negara cuma 42 rumah (85,71 %), sampai bulan September 2007 artinya 14,29 rumah persen belum menikmati instalasi listrik dari PLN.
29 2) Jejaring Sosial Secara horizontal, hubungan sesama komunitas petani lahan kering dalam desa ini berjalan normal, terutama diantara warga tani saling ketergantungan menjalankan aktivitas seperti pelaksanaan gotongroyong, silaturrahmi dan saling meminjamkan peralatan pertanian dan sebagainya. Keterkaitan antara petani dengan pemuka masyarakat dari pelapisan sosial di atas perlu diperhatikan dengan teliti disini. Berdasarkan pandangan tersebut dapat di analisis jaringan sosial yang terbangun dikalangan penggembala tidak hanya dalam komunitasnya dan dengan masyarakat desa saja melainkan secara vertikal telah terjalin relasi sampai ke luar kabupaten, bahkan ke ibukota Propinsi NAD. Hal ini mencerminkan keberadaan struktur
sosial
mengalami
kemajuan,
dengan
argumen
yakni
mampu
mengembangkan kehidupan ekonominya melalui jaringan sosial, tetapi tidak terjadi pada kebanyakan keluarga petani lahan kering. Jejaring ini lebih kuat pada kalangan pemuda, tokoh masyarakat dan personal yang mempunyai relasi kuat di luar Kabupaten Aceh Besar dan ibukota propinsi bahkan.
4.1.5
Kelembagaan dan Organisasi Adapun berbagai organisasi sosial yang berperan di Gampong Lampisang
Dayah saat ini antara lain karang taruna, olahraga, pemuda, dana sosial kematian, dalail qairat dan Kejrun Blang (Urusan Sawah). Kejrun Blang mengurus persoalan pertanian di sawah, tetapi tidak menangani urusan, peladangan dan perkebunan karena dua hal ini secara adat ditangani oleh Peutua Seunebok (pimpinan kegiatan perkebunan dan peladangan), akan tetapi di Gampong Lampisang Dayah tidak terbentuk/belum mengenal kelembagaan dimaksud. Lembaga formal perangkat desa telah terisi penuh dan berjalan lancar kembali sejak tahun 2006, setelah lima tahun tidak terisi struktur tersebut. Dalam hal pembangunan sektor pendidikan ditemui sebuah yayasan yang mengurus pendidikan anak, yakni Taman Kanak-Kanak. Sehubungan dengan belum terbentuknya kelembagaan adat Seuneubok maka pekerjaan pertanian, perkebunan dan penggembalaan ternak di atas lahan kering maka saat ini belum terorganisir kerukunan kegiatan. Sektor penggembalaan dilihat dari kerjasama, norma yang berjalan telah menunjukkan gejala atau indikasi akan terbentuknya suatu kelembagaan. Dengan demikian kelembagaan petani lahan kering belum bisa terbentuk, namun potensi untuk menggerakkan mereka sangat
30 memungkinkan jika dilihat dari kekuatan peta kelembagaan desa selama ini. Berikut organisasi yang aktif formal dan informal dengan jumlah personal yang terlibat, yaitu : Tabel 6 Jenis Organisasi dan Kepengurusan
NAMA ORGANISASI
NO.
BIDANG/ JENIS KEGIATAN
KENGURUSAN/ ANGGOTA
1.
Bungong Ban Keumang
Sosial/karang taruna
72 orang
2.
Tunas Muda
Olahraga/bola kaki
45 orang
3.
-
Sosial/dana kematian
76 orang
4.
Kejrun Blang
Pertanian urusan sawah
31 orang
5.
Nurul Fajri (yayasan)
Pendidikan/TK
11 orang
6.
Kesatuan Pemuda
Pemuda/-
73 orang
7.
Dala’il Qairat
Agama/-
67 orang
Diadaptasi dari Monografi Desa Tahun 2007
Setiap dikatakan suatu kelembagaan jika di dalam operasionalnya memiliki pola hubungan dan pola norma, maka organisasi kemasyarakatan dengan berbagai bidang atau jenis di atas pasti tersirat unsur pola dimaksud. Hal semacam ini terjadi pada anggota organisasi sosial seperti; karang taruna, kesatuan pemuda, dalail qairat dan olahraga, padahal orang yang di luar secara automatis diakui juga sebagai anggota saat kegiatan berlangsung. Kemudian kontrol sosial terhadap pengurus ; karang taruna, olahraga, yayasan dan dala’il qairat sangat peka setiap ada asumsi penyelewengan wewenang dan keuangan yang dikelolanya. Dengan eksistensinya berbagai kelembagaan di desa ini, telah terjadi juga berbagai perubahan ke arah kemajuan maupun ketidakpercayaan masyarakat. Kemajuannya terbukti dengan kuatnya persatuan unsur pemuda, lancarnya penyaluran air tersier irigasi, hubungan antar desa dalam bidang keagamaan seperti dala’il qairat. Sedangkan rasa pesimis dan ketidakpercayaan masyarakat yakni dalam pengumpulan dana sosial kematian, terbukti dari pernah mundurnya anggota dari 91 kepala keluarga menjadi 76 kepala keluarga. Sejauh analisis penulis, permasalahannya adalah pada kekurangpahaman anggota dengan pola mekanisme penggunaan dana, artinya perlu suatu pertanggungjawaban keuangan yang lebih transparan .
31 Sumberdaya Lokal Pembahasan sumberdaya lokal ini akan dijelaskan dalam dua dimensi terpisah, yaitu hubungan penduduk dengan keberadaan lahan agraris dan hubungan penduduk dengan sumber daya lokal lainnya termasuk sumber daya manusia dalam pengetahuan dan kearifan lokal. Pemisahan ini dilakukan karena ditemui dua dimensi sumber daya lokal yang amat berpotensi di Gampong Lampisang Dayah. Pertama ketersediaan
SDA
kesinambungan
dengan
usahatani,
luasnya kedua
lahan
kering
pengalaman
yang
peternak
dapat
menjamin
secara
tradisional
(penggembalaan) yang mampu menyesuaikan diri dengan eksistensi SDA dimaksud. Sumber daya lokal yang berbentuk fisik jelas terlihat dari keberadaan lahan kering yang potensi bagi pengembangan petani, lain halnya dengan sumber daya manusia yang memilki pengetahuan dari pengalaman secara turun temurun yang disebut dengan pawang. Potensi pawang ini menjadi modal sosial dalam pengembangan perkebunan dan penggembalaan, karena mampu menafsirkan fenomena alam terhadap pekerjaan pertanian dan ternak. Hubungan penduduk dengan ketersediaan lahan, dilihat dari jumlah penduduk menunjukkan 60 kepala keluarga bermatapencaharian sektor pertanian lahan kering memiliki lahan kering seluas 524 hektar. Interpretasinya bahwa sebenarnya perkeluarga bisa menggarap sampai 8 hektar lahan kering, merupakan suatu sumberdaya alam yang paling luas. Hubungan peduduk dengan SDA khususnya menyangkut pengetahuan lokal petani merupakan modal dalam pembangunan sektor pertanian. Pengetahuan lokal yang dimaksud di sini adalah kemampuan melakukan pekerjaan penggembalaan secara tradisional dengan penguasaan lahan yang luas tetapi mampu menghadapi masalah hutan, binatang buas, teknis penanganan kesehatan ternak, semuanya berlangsung secara alamiah yang dijalankan sesuai petunjuk keahlian pawang. Potensi agraris dengan tupografi lembah, hutan, dataran serta kemampuan pawang menguasai kondisi alam merupakan sumberdaya lokal yang dimiliki desa ini sampai sekarang. Diprediksikan bahwa peran pawang selama ini secara pribadi, suatu saat akan meningkat/dipercaya petani menjadi Peutua Seuneubok, jika lembaga itu terbentuk kembali sesuai dengan adat.
Masalah Sosial dan Konflik Permasalahan sosial yang menonjol dalam masyarakat petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah yang pernah terjadi adalah ekses pembangunan irigasi teknis yang ternyata hanya dapat mengaliri 30 hektar sawah. Dampak yang
32 ditimbulkan adalah tidak dapat memberi kontribusi bagi kesejahteraan petani desa ini. Akibatnya, 60 KK petani tidak konsentarsi lagi pada lahan sawah yang tidak terjangkau irigasi dan beralih pekerjaannya pada penggarapan lahan kering dengan kegiatan pertanian dan peternakan. Pada tahun 1994 mereka ini justru melakukan perluasan lahan kering dengan membuka kebun di atas tanah negara. Pola peladangan liar (nomaden) yang menggunakan lahan untuk beberapa kali musim tanam oleh petani lahan kering ini tidak berlangsung lama karena masuknya proyek HTI. Aksi petani dengan membuka lahan hutan (menebang kayu) dimaksud dianggap bertentangan dengan norma adat desa, artinya menunjukkan bukti bahwa tindakan ini dilakukan secara kekerasan sebagai aksi protes terhadap pemerintahan pasca pembangunan irigasi teknis. Kesenjangan sosial tersebut telah berlangsung selama 13 tahun namun tidak menimbulkan konflik terbuka, karena petani menyadari bahwa pembangunan irigasi bukan kehendak masyarakat setempat, tetapi kebijakan Pemerintah Provinsi NAD. Konflik dan frustasi ini tidak mencuat karena menurut survei, tindakan petani membiarkan sawah terlantar seluas 105 hektar merupakan bagian dari simbol protes kekecewaannya terhadap kebijakan. Komplik sosial ini tidak muncul kepermukaan sehingga tidak terjadi tindakan anarkis terhadap sarana irigasi yang telah selesai dibangun akhir tahun 1994. Pengelolaan bahan galian–C di sungai Krung Inong pada tahun 1994 pernah mengalami konflik antara warga dengan perusahaan penggali dan penglah galian-C yang tidak memperhatikan kebutuhan warga. Ekses penggalian tersebut yakni berakibatkan kekeringan air sumur warga sehingga pernah terjadi konflik antara warga dengan perusahaan yakni meminta dengan paksa perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan warga khususnya terhadap petani kebun dan ladang. Penyelesaian konflik yang dimediasi Wakil Gubernur Provinsi NAD tahun 1998, perusahaan tersebut telah menyetujui permintaan warga, di antaranya terlaksana perbaikan jalan desa sepanjang 125 meter tahun 1999, menampung tenaga kerja dari desa ini tahun 2001, membantu pembuatan jalan lingkar pada tahun 2006. Program yang dijanjikan ke depan adalah perbaikan infrastruktur sumber air dari mata air. Ketika penulis melakukan pengamatan di desa ini, bahwa kedua jalan tersebut telah terbangun, tetapi perusahaan belum memenuhi janji mengenai pembangunan infrastruktur penampungan air dari sumber mata air. Dengan demikian,
permasalahan
konflik
telah
dianggap
selesai,
pengembangan masyarakat belum sepenuhnya terealisasi.
namun
mengenai
33 Pengembangan Lahan Kering 4.2.1
Deskripsi Kegiatan Petani Lahan Kering Dari 120 kepala keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah, 98 kepala
keluarga menekuni pekerjaan sebagai petani, di antara petani dimaksud terdapat 60 kepala keluarga (61,22 %) bersumber penghidupan pertanian pengelolaan lahan kering peladangan, perkebunan dan dataran (padang rumput). Petani lahan kering ini muncul karena ekses pembangunan irigasi teknis sekaligus tidak memiliki akses terhadap lahan sawah irigasi seluas 30 hektar. Petani lahan kering tersebut sebenarnya ada yang memiliki lahan sawah, tetapi merupakan lahan sawah tadah hujan (rainfed), yaitu di anatar lahan sawah seluas 105 hektar. Lahan sawah rainfed tersebut tidak mereka manfaatkan setelah beberapa musim tanam mengalami kegagalan panen disebabkan rendahnya curah hujan. Ekses kekecewaan inilah sejak tiga tahun terakhir lahan sawah rainfed ditelantarkannya dan komunitas petani ini beralih pekerjaannya pada penggarapan lahan kering yang dimilikinya. Lahan kering seluas 524 hektar terdiri dari ladang, kebun, hutan dan dataran. Lahan ladang dan kebun dengan luas 163 hektar terletak di sebelah Utara dan Selatan, sedangkan hutan (tanah negara) seluas 90 hektar terletak di bagian Selatan. Di lahan hutan tersebut terdapat dataran 135 hektar menjadi lahan pengembalaan
ternak.
Dataran
seluas
225
hektar
tersebut
tidak
pernah
dimanfaatkan sebagai sumber lahan pertanian, akan tetapi di waktu sebelum tahun 1998 dan setelah tahun 2004, dataran 135 hektar dipergunakan petani untuk lahan penggembalaan ternak kerbau dan lembu. Petani
lahan
kering
yang
memiliki
kemampuan
dalam
pekerjaan
penggembalaan sangat terbatas karena aktivitas ini memerlukan pengetahuan lokal (local knowledge) tersendiri dalam beternak. Pengetahuan yang dibutuhkan adalah termasuk teknis penggembalaan dan penguasaan hutan dan pergunungan. Oleh sebab itulah maka kebanyakan petani lahan kering tidak bergerak di sektor penggembalaan namun hanya menempuh pekerjaan penggarapan lahan pertanian. Pertanian yang mereka tekuni sesuai dengan kondisi tanah yakni meliputi penanaman pohon kopi, kelapa, pinang dan pisang di kebun, untuk lahan peladangan ditanami tanaman jagung, ubi, cabe, tomat dan kacang. Prestasi dan kerjasama petani lahan kering yang telah terealisasi adalah prakarsanya dalam pembuatan jalan lingkar dengan lebar tiga meter sepanjang 500 meter dari rencana seluruhnya 1.300 meter. Posisi bangunan sarana jalan yang dibangun secara swadaya petani lahan kering dan partisipasi aktif seluruh lapisan
34 masyarakat desa bisa menjangkau lokasi peternakan, perkebunan/ ladang sebelah selatan. Target pembanguan infrastruktur jalan ini sampai dapat menghubungkan antara desa sebelah Timur dengan jalan irigasi, sehingga mempermudah aktivitas pertanian masyarakat desa secara keseluruhan.
1) Kegiatan Sektor Pertanian Sejak akhir tahun 2004 masing-masing petani aktif kembali pekerjaannya terhadap penggarapan lahan lahan kering. Aktivitas mereka di antaranya juga melakukan peremajaan kebun yang tidak terpelihara selama konflik. Lahan perkebunan tersebut sebelumnya telah terisi dengan berbagai jenis tumbuhan diantaranya pohon kelapa, pinang, kopi dan pisang. Umumnya peremajaan yang dilakukan adalah terhadap kebun kopi dan kelapa, digantikan kembali dengan pohon kopi dan kelapa hibrida. Sekarang pohon kopi dan kelapa rata-rata telah berusia tiga tahun, belum ada penghasilan dari usahatani ini. Adapun produksi kelapa selama ini merupakan hasil perkebunan lama milik sebagian petani yang tidak melakukan peremajaan kebun, tetapi menjadi suatu kelemahan yakni tingkat produksi kelapa, kopi dan pisang sudah menurun. Petani yang merawat dan mempertahankan tumbuhan lama sehingga tidak mengganti dengan tumbuhan hibrida karena proses penggantian tersebut membutuhkan biaya besar untuk pembuatan kembali pagar dan pengadaan benih unggul dan pemeliharaannya. Sumber modal untuk segala keperluan pembuatan kebun selama ini merupakan biaya sendiri masing-masing kepala keluarga akan tetapi dalam pelaksanaan pekerjaan sering dikerjakan secara gotongroyong sesama petani lahan kering termasuk dalam pengadaan peralatan pertanian yang sederhana. Dalam hal ini belum ditemui adanya petani yang memperoleh bantuan modal dari pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Besar maupun dari swasta, selain dari jasa PPL Pertanian dalam bentuk penyuluhan dan konsultasi teknis. Aktifitas petani lahan kering yang memanfaatkan ladang untuk penanaman palawija, mereka masih mengolah tanah dengan alat bajak tenaga ternak. Pola penanamannya belum memilih bibit unggul, akan tetapi senantiasa memakai pupuk kompos. Pendamping teknis belum berperan maksimal terhadap kegiatan mereka, sehingga berdampak pada rendahnya produksi seperti cabe dan jagung. Selama tiga tahun terakhir tidak ditemui adanya petani yang menggunakan lahan kering untuk penanaman padi gogo, didapati juga bekas lahan penanaman
35 padi gogo yang telah dialihkan fungsi usahanya pada penanaman tumbuhan kopi dan pinang sekitar 2,3 hektar di dua tempat yang terpisah. Hasil pengamatan terhadap lahan tersebut tidak tertuang dalam hasil survei karena lahan bekas penanaman padi gogo dimaksud tidak terungkap dalam data lahan responden. Bersamaan dengan aktivitas pertaniaan, petani juga memelihara ternak dalam jumlah kecil masing-masing antara 2 sampai 3 ekor. Sistem pemeliharaan ternak kerbau dan lembu dilakukan dua model. Pertama, untuk penggemukan ternak jantan diusahakan dalam kandang secara tradisional, sedangkan cara kedua terhadap
ternak
yang
digunakan
tenaga
penggarap
lahan
pertanian,
pemeliharaannya diusahakan di luar kandang. Sumber pakan ternak ini didapati dari rumput yang tersedia di dalam lahan perkebunan dan peladangan masing-masing petani dan dari lahan petani lain yang tidak memelihara ternak atau tersedia lebih.
2) Kegiatan Sektor Penggembalaan Ternak Pengembangan ekonomi masyarakat Gampong Lampisang Dayah sangat strategis pada sektor pemeliharaan ternak sistem penggembalaan, karena didukung sumber daya alam yang memadai, khususnya lahan kering berupa dataran yang ditumbuhi rumput. Hasil pengamatan Syamsuddin dalam Mubyarto (1994), mengemukakan bahwa penggembalaan lembu secara tradisional dalam jumlah besar di sekitar pergunungan Seulawah telah berlangsung puluhan tahun dan sampai sekarang masih merupakan prioritas pengembangan perekonomian paling strategis oleh petani. Petani lahan kering di Gampong Lampisang Dayah yang menempuh pekerjaan sektor penggembalaan ternak kerbau dan lembu hanya empat kepala keluarga. Dua kepala keluarga menangani ternak kerbau saja dan dua kepala keluarga lagi menangani ternak lembu saja. Kedua penggembala kerbau ini menerapkan pola saling kerjasama dalam melaksanakan pekerjaan tersebut, demikian pula dengan penggembala lembu. Pembagian tugas dalam pekerjaannya meliputi pelepasan ternak kerbau dari kandang ke lahan dataran seluas 135 hektar pada pagi hari, pengawasan di siang hari dan penjemputan kembali ke kandang pada waktu sore. Pekerjaan rutin ini dilakukan secara bergiliran pada pagi hari tetapi bersama-sama pada waktu sore oleh ke empat pengembala tersebut.
Pola ini harus diterapkan karena proses
pengembalian ternak dari hutan ke kandang selalu mengalami kesulitan bahkan ancaman dari binatang buas (harimau).
36 Sehubungan dengan kondisi ancaman tersebut, mereka menempatkan kandang ternak seluas 1350 m² di atas lahan kering yang dimilikinya seluas 1,5 hektar. Sisa lahan tersebut dimanfaatkan untuk lahan pesediaan rumput cadangan pakan induk ternak yang baru melahirkan anak. Mengenai keuntungan menerapkan pola bagi hasil antara pihak pemilik modal dengan penggembala dengan bagiannya masing-masing sepedua (½) dari anak yang dihasilkan setelah berusia 18 sampai dengan 2 tahun. Induk ternak tetap dilanjutkan dalam penggembalaan tetapi induk ternak merupakan hak pemilik modal sepenuhnya. Berhubung
Gampong
Lampisang
Dayah
belum
terbentuk
pengurus
Seunebouk (lembaga adat yang mengurus perkebunan), para penggembala bersama pemilik modal serta warga telah menemui sepakat tentang larangan dan kewajiban dalam kegiatan penggembalaan, yaitu berupa : a.
Kewajiban; memelihara lingkungan hutan, saling tolong-menolong dalam pekerjaan penggembalaan dan bertanggungjawab menjaga keselamatan ternak secara bersama-sama.
b.
Hak;
mengusul
perubahan
sistem
penggembalaan,
menyusun
pola
penggembalaan, mengambil pinjaman dari pemilik modal, membuka usahatani lainnya di samping penggembalaan, mengganti/mengupahkan pekerjaan. c.
Larangan; Melepaskan kerbau ke sawah, mempekerjakan anak dalam usaha peternakan,
memperjualbelikan
hasil
hutan/menebang
kayu,
membunuh
binatang buas (harimau) dan menggunakan tenaga ternak untuk alat transportasi, kecuali sebagai tenaga untuk garap lahan. d.
Sanksi hukum; Untuk pelanggaran ringan dalam aktivitas penggembalaan diselesaikan bersama Tuha Peut (tokoh adat desa) dan Keuchik (kepala desa). Jenis pelanggaran berat menyangkut kerugian petani lainnya atau warga desa lain, diselesaikan melalui Mukim (pimpinan adat antar desa). Menyangkut tindak pidana (kriminalitas) tidak ditolelir lembaga adat setempat tetapi menjadi kewenangan pihak berwajib.
4.2.2
Evaluasi Kegiatan Petani Lahan Kering Kegiatan petani lahan kering seperti telah diuraikan di atas meliputi usahatani
pertanian di peladangan, perkebunan, penggembalaan, dan pemeliharaan ternak di lahan pertanian. Penanganan sektor pertanian dan penggembalaan ditinjau dari aspek pengembangan masyarakat petani dapat ditemukan beberapa indikasi kemajuan, di antaranya ialah;
37 1) Petani yang beraktivitas di sektor penggembalaan ternak, telah menunjukkan kemajuan ditinjau dari pelaksanaan pekerjaannya sebagai berikut : a. Penggembangan ekonomi pertanian, terlihat dari terealisasinya investasi sebagai bukti telah dapat kepercayaan (trust) dari pihak pengusaha dan masyarakat
desa
dan
sekitarnya.
Dengan
modal
tersebut,
ternyata
memerlukan beberapa kepala keluarga untuk melaksanakan kegiatan rutin. Artinya telah membuka lapangan kerja keluarga dan berfunsinya lahan kering untuk kegiatan yang produktif. b. Penggembangan
kelembagaan,
diketahui
dari
lahirnya
aturan/norma
mengikat petani, yang dikeluarkan secara bersama-sama oleh penggembala walaupun semua ini belum terbentuk suatu organisasi yang terstruktur. Di sini adanya suatu pengaturan dan kerjasama dan hubungan penggembalaan secara bertanggungjawab. c. Kesejahteraan, diketahui pengusaha
selama
adanya peluang peminjaman penggembala dari
belum
berpenghasilan
di
sektor
pengembalaan.
Kemudian, penggembala ini senantiasa membuka ladang/kebun yang dapat berpenghasilan dari tanaman palawija setiap musim atau minimal selama 3 sampai 6 bulan sekali. d. Patisipatif, ditinjau dari perpaduan antara pola top-down/bottom-up planing, besarnya peran pendamping khusus terhadap penanganan ternak dan penyuluhan pertanian. Petani juga telah berpartisipatif termasuk kesediaan mereka dalam swadaya pembangunan infrastruktur jalan lingkar. e. Kerjasama telah terjalin dengan pengusaha dan beberapa warga desa maupun dengan warga desa lain bahkan dengan orang di luar kabupaten sekalipun. Hubungan vertikal terakhir juga sedang negosiasi terhadap lembaga donor, yakni BRR Aceh-Nias dengan program pembentukan keompok tani yang bergerak di sektor peternakan. f.
Keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam tercermin dari beberapa aturan (larangan) yang dikeluarkan/dijalankan bersama, masih senantiasa ditaati pengembala. Termasuk larangan eksploitasi hutan, membunuh satwa liar maupun binatang buas.
2) Petani yang berkiprah di sektor pertanian dan pemeliharaan ternak, juga telah menunjukkan kemajuan dalam beberapa aspek dari pelaksanaan pekerjaan berikut :
pembangunan, dapat ditinjau
38 a. Pengembangan ekonomi petani, kurang mendapat perhatian pihak lain sehingga belum ada investasi ke sektor pertanian. Hal ini menunjukkan ketidakpercayaan (trust) dari pihak pengusaha dan masyarakat desa terhadap petani kebun/ladang dalam pengembangan upayatani tersebut. Dampak dari terbatasnya modal usaha, akhirnya masih banyak lahan mereka yang belum dikelola dengan baik. Kepala keluarga yang bergerak di sektor pertanian belum mampu memaksimalkan fungsi lahan secara intensifikasi, artinya ketersediaan lapangan kerja masih sangat terbatas. b. Pengembangan kelembagaan belum terlihat karena belum ditemui adanya suatu aturan dan norma yang berkaitan dengan usahatani ini. c. Kesejahteraan, diperoleh dari penghasilan kebun dan usaha peladangan berupa tanaman palawija setiap musim atau minimal selama 3 sampai 6 bulan sekali. Di samping usaha pertanian, ada petani yang mengusahakan penggemukan lembu jantan yang harganya relatif tinggi. d. Patisipatif, ditinjau dari perpaduan antara pola top-down/bottom-up planing, besarnya peran pendamping khusus terhadap penanganan ternak dan penyuluhan pertanian. Petani juga telah berpartisipatif termasuk keterlibatan dalam pembangunan infrastruktur jalan lingkar. e. Kerjasama yang baru terjalin masih sebatas rencana atau masih tahap negosiasi terhadap lembaga donor BRR Aceh-Nias. f.
Keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam belum kelihatan dari kegiatan mereka. Di desa ini terdapat tiga sumber mata air tetapi mereka belum melaksanakan usaha pelestariannya padahal dapat dijadikan sebagai kebutuhan ternak dan penanaman palawija.
4.2.3
Pengembangan Ekonomi Mengingat 50 persen kepala keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah
bermata pencaharian pertanian lahan kering dengan pola kerja subsisten, maka ketersediaan 524 hektar lahan kering sangat mendukung pengembangan ekonomi lokal untuk kegiatan pertanian maupun penggembalaan ternak. Kemudian, memperhatikan jenis tanaman yang diusahakan petani selama ini merupakan komoditi yang dibutuhkan di pasaran lokal mapun luar daerah. Demikian juga dengan jenis ternak lokal, selama ini menjadi komoditi yang diminati oleh konsumen lokal dan kebutuhan untuk Kota Medan (Sumatera Utara).
39 Sehubungan dengan tepatnya pemilihan usahatani dimaksud, dukunngan pengembangan ekonomi datang dari pengasaha yang menanam modal pada sektor pengembangan ternak. Selain itu kiprah pendamping khusus dari Dinas Peternakan dan Pertanian sangat mendukung kegiatan petani lahan kering untuk lebih produktif dan kreatif. Perkembangan masih sebatas kemajuan dalam hal akses kepada sumber modal, pemanfaatan sumber daya alam lahan kering dan ketersediaan lapangan kerja keluarga dan produktifitas ternak setelah selama tiga tahun pertama diusahakan, yaitu akhir tahun 2007. Pengembangan ekonomi sektor penggembalaan termasuk berhasil, sesuai pengakuan pengusaha sekaligus akan mengucurkan lagi modal pada tahun 2008. Keberhasilan
dapat
diukur
dari
aspek
keselamatan
ternak,
terhindar
dari
pencurian/penyakit/binatang buas, selanjutnya produktifitas ternak tinggi dan biaya operasional penanganan ternak sangat minim selama tiga tahun. Alasan lain adalah berdasarkan hasil survei Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias telah mengatakan berencana akan membentuk dua kelompok tani dengan kegiatan usaha ternak lembu asal Lampung. Rencana BRR menunjukkan keyakinan mereka bahwa dukungan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk pemeliharaan ternak sangat mendukung keberlanjutan, tetapi harus melalui suatu kelembagaan yang terbina dan terstruktur (kelompok). Dengan demikian pengembangan ekonomi lokal terhadap petani lahan kering memungkinkan dilakukan ke depan, tentunya harus diawali dengan tahapan penguatan kelembagaan (kelompok). Pengembangan kelembagaan (institutional development) akan diuraikan lebih jauh dalam subbab pengembangan kelembagaan.
4.2.4
Pengembangan Kelembagaan Proses pengembangan kelembagaan harus didukung berbagai dimensi
termasuk keberadaan SDM, SDA, tenaga kerja lokal, biaya/modal, teknologi, kepercayaan
(trust)
dan
pengelolaan
menajemen.
Oleh
karena
itu,
untuk
membangun sebuah lembaga yang bisa berkelanjutan kegiatannya perlu diawali dari pembinaan/pelatihan personil (anggota kelompok), sehingga kelembagaan yang dibentuk mampu berjalan secara efektif dari segi tenaga dan efesien dalam pemanfaatan biaya. Israel (1990) berpendapat pengembangan kelembagaan tidak terlepas dari kemampuan pengelolaan manajemen secara menyeluruh terutama menyangkut evaluasi interen ke dalam organisasi mengenai keberadaan struktur dan perubahan
40 organisasi termasuk kebijakan penempatan staf/anggota, pelatihan, prestasi adminitrasi keuangan. Dipihak lain harus trampil dalam perencanaan, penyusunan anggaran, pengadaan dan perawatan/pemeliharaan aset sebagai khas kelembagaan yang efesiensi. Persoalan lain yang selalu berjalan adalah senantiasa koordinasi antar institusi formal maupun informal. Para petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah belum terorganisir kesatuannya disebabkan tidak adanya tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dalam kegiatan ini. Namun demikian kalangan penggembala yang memiliki tokoh berpengalaman turun-temuran tentang perkebunan dan kehutanan selama puluhan tahun dalam kegiatannya, secara perlahan mulai menyusun strategi atau langkahlangkah kearah terbentuknya pengorganisasian kelompok. Realitanya terlihat dari hubungan kerjasama dan norma/aturan dan pembagian kerja mereka. Secara utuh akan dilihat pola hubungan dan koordinasi petani lahan kering berdasarkan hubungan, kerjasama dan pengaruh dengan institusi lain yang ada, termasuk organisasi non pemerintah maupun dengan Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar. Pola hubungan petani lahan kering dengan organisasi di tingkat desa tidak saling mempengaruhi kecuali hubungan secara peribadi antara warga desa dengan petani itu sendiri. Jaringan kerja (network) secara horizontal di kalangan petani lahan kering terjadi tingkat Gampong Lampisang Dayah, demikian juga halnya hubungan vertikal dengan institusi lain termasuk hubungan di tingkat kecamatan maupun dengan institusi tingkat Kabupaten Aceh Besar. Yang paling mempengaruhi gerakan petani lahan kering adalah mobilisasi langsung dari pengusaha lokal, pendamping teknis, petani lahan sawah/masyarakat, tetapi mengalami kelemahan dalam jaringan kerja adalah belum terjalinnya hubungan dengan dua dinas teknis Kabupaten Aceh Besar yang memiliki peran penting dalam pengembangan masyarakat petani. Pada tahun 2007 BRR Aceh-Nias yang difasilitasi BPM Aceh Besar melakukan survei terhadap petani desa ini dengan program pengembangan pertanian dan peternakan. Hubungan dengan lembaga-lembaga tingkat desa saling mempengaruhi tetapi belum munculnya suatu kerjasama dalam pengembangan pertanian lahan kering. Dengan munculnya rencana lembaga donatur tersebut, petani lahan kering akan lebih mudah melakukan hubungan eksternal. Jaringan kerja ini menunjukkan potensi pada pembentukan beberapa strategi penguatan
kelembagaan
petani
lahan
kering
dalam
bidang
peningkatan
perekonomian sesama komunitas. Penguatan kelembagaan tersebut harus dibangun
41 berdasarkan hubungan vertikal terhadap institusi yang sudah berinteraksi dan peningkatan partisipasi horizontal dalam komunitas, sebagaimana telah terjalin dalam usahatani. Gambar 5 berikut memberi makna pada pengaruh antar institusi dalam pengembangan petani lahan kering. Gambar 5 Skema Pola Hubungan Kerja Petani Lahan Kering
Lembaga lain di tingkat Desa
Pengusaha Lokal
BPM Aceh Besar
Pendamping Teknis/ Mantri Hewan
Dinas Peternakan Aceh Besar
Petani Lahan Kering BRR Aceh - Nias
Masyarakat Desa
Petani Lahan Sawah
mempengaruhi
Pendamping Teknis/PPL Pertanian
saling mempengaruhi
Dinas Pertanian Aceh Besar
koordinasi
Memperhatikan berbagai potensi di atas termasuk ketersediaan lahan perkebunan, munculnya tokoh yang memiliki pengetahuan kearifan lokal dan jumlah petani sampai 60 kepala keluarga pada prinsipnya strategis terhadap pembentukan kelembagaan lokal. Organisasi yang mendukung kegiatan tersebut bisa dibentuk berdasarkan kekuatan adat, yaitu semacam lembaga adat Seuneubok. Syarif (2001) dan (El Hakimi, 1991)
menjelaskan mengenai pembentukan Seuneubok adalah
terhadap areal tanah pertanian yang dibuka lebih 10 hektar digarap lebih dari 10 orang, dapat di bentuk satu Seuneubok dipimpin oleh seorang Peutua yang memahami peran adat; termasuk perekonomian, kesejahteraan, penegakan adat dan persoalan pertanahan.
42 Dengan adanya dasar hukum tentang yang mengatur Pemerintahan Aceh dan kelembagaan adat (Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006), maka peluang pembentukan kelembagaan tersebut sudah memungkinkan karena didukung perangkat lainnya yang ada di desa. Tujuan organisasi ini adalah pengembangan masyarakat melalui pengembangan kelembagaan, yang di perkuat dengan hubungan kerja bersama kelembagaan lain.
4.3 Ihktisar Potensi sumber daya alam berupa ketersediaan lahan kering di Gampong Lampisang Dayah sangat mendukung kegiatan pertanian dan peternakan. Petani yang bergerak di sektor perkebunan dan peladangan agak lamban dibandingkan dengan petani yang menekuni sektor penggembalaan. Indikator yang dapat membuktikannya kemajuan pengembala terlihat dari berbagai aspek sosial ekonomi. Pengembangan ke arah pelembagaan seperti network, profesional penggembalaan dan pola pengaturan kegiatan sangat menonjol di kalangan penggembala, semua ini merupakan
modal
sosial.
Dengan
kekuatan
yang
dimiliki
dan
peluang
pengembangan ekonomi termasuk perolehan bantuan modal yang cukup besar dari pihak swasta, dari masyarakat dalam desa dan luar desa pada tahun 2005 ternyata mampu menjalankan kegiatan pengembangan ekonomi lokal. Kependudukan mendukung aktivitas petanian karena 52 persen merupakan tenaga produktif dan 98 persen kepala keluarga bekerja sebagai petani dengan luas lahan kering 524 hektar. Aktivitas pertanian mulai aktif kembali pasca penyelesaian konflik sosial di desa ini, namun demikian solusi yang disepakati antara perusahaan dan warga belum direalisasikan. Aktivitas penggembalaan ternak d atas lahan 135 hektar mengalami kemajuan dan sedang mengarah pada terbentuknya kelembagaan jika dilihat dari munculnya aturan-aturan internal.
43
V. KARAKTERISTIK PETANI, USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN
5.1 Karakteristik Responden Pembahasan mengenai karakteristik responden ini dilakukan terhadap 17 kepala keluarga petani lahan kering dengan umur responden dan jumlah anggota keluarga (jumlah tanggungan) bervariasi. Variabel umur responden perlu dikaji karena dianggap berkaitan terhadap keberlanjutan dalam pekerjaan penggarapan lahan pertanian sehingga akan mempengaruhi pendapatan usahatani. Jumlah tanggungan pada masing-masing kepala keluarga perlu dianalisis karena akan berpengaruh pada aspek pengeluaran rumahtangga. Dengan demikian akan diperhatikan kedua faktor dimaksud, yakni umur responden dan jumlah tanggungan masing-masing responden.
5.1.1
Golongan Umur Responden Diketahui bahwa tingkatan umur responden bervariasi atau tersebar dari umur
terendah 29 tahun sampai umur tertinggi 57 tahun. Berarti terdapat umur termuda dan menengah sebagai usia produktif, sedangkan katagori tertua merupakan usia ketergantungan ataupun memasuki masa usia ketergantungan. Untuk mengetahui lebih jelas makna dimaksud dapat digolongkan 3 kelas umur, dengan interval, masing-masing kelas ditetapkan rentang umur 15 tahun. Pembagian kategori kelas dan rentang interval umur responden serta pesentase pada masing-masing kelas tersebut sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7. Tabel 7 Jumlah Responden Menurut Golongan Umur JUMLAH NO
GOLONGAN UMUR (TAHUN)
1.
25 - 40
8
47,06
2.
41 - 55
8
47,06
3.
56 - 70
1
5,88
17
100
JUMLAH
FREKUENSI (KK)
PERSENTASE
44 Berdasarkan
klasifikasi
umur
menunjukkan
47,06
persen
responden
menempati golongan umur termuda yang merupakan katagori usia paling produktif terhadap pekerjaan pertanian. Secara keseluruhan petani lahan kering ini termasuk usia produktif karena hanya ditemukan 5,88 persen usia non produktif yakni terhadap usia di atas 55 tahun. Maknanya bahwa keadaan kepala keluarga petani tergolong mendominasi pada usia angkatan kerja. Dapat diintepretasikan dalam beberapa tahun ke depan akan menambah usia non produktif karena terdapat petani yang usianya hampir 55 tahun, artinya akan ada beberapa kepala keluarga terjadi penurunan kemampuan kerja di sektor pertanian.
5.1.2
Jumlah Anggota Keluarga Beban tanggungan responden dapat dilihat dalam dua katagori, yakni
tanggungan biasa yang tergolong ringan dengan jumlah anggota keluarga di bawah 4 orang, sedangkan tanggungan banyak tergolong berat antara 5 sampai 8 orang, seperti ditunjukkan dalam Tabel 8. Dengan memperhatikan variasi jumlah anggota keluarga masing-masing responden, maka untuk memudahkan penilaian akan dibedakan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan masing-masing kepala keluarga dalam dua kelas interval, dengan masing-masing interval mempunya rentang banyak 3 orang. Tabel 8 Klasifikasi Jumlah Anggota Keluarga Responden JUMLAH
NO
KATAGORI JUMLAH ANGGOTA KELUARGA
FREKUENSI (KK)
1.
1 - 4
11
64,71
36
2.
5 - 8
6
35,27
38
17
100
74
JUMLAH
PERSEN
ANGGOTA KELUARGA
Keadaan keluarga petani lahan kering menunjukkan beban tanggungan relatif ringan dengan alasan bahwa kebanyakan kepala keluarga hanya menanggung di bawah 4 anggota keluarga. Jika tanggungan lebih dari 5 orang pada masing-masing keluarga akan menambah jumlah pengeluaran rumahtangga, artinya memerlukan pendapatan yang lebih besar seperti tejada pada 35,27 persen. Asumsinya adalah usia tanggungan umumnya di bawah 15 tahun merupakan usia konsumtif (belum berpenghasilan), sehingga besar pengaruh pada kebutuhan rumahtangga.
45 5.2 Kondisi dan Permasalahan Usahatani 5.2.1
Kepemilikan dan Pemanfaatan Lahan kering Lahan kering yang strategis untuk penggembalaan ternak adalah tanah
dataran/padang rumput seluas 135 hektar dari luas seluruhnya 225 hektar merupakan bekas lahan HTI milik PTI. Lahan ini menjadi lahan penggembalaan ternak kerbau dan lembu sejak 3 tahun terakhir, setelah mendapat persetujuan lisan pihak kecamatan. Di samping tersedianya lahan padang rumput, penggembala dapat memanfaatkan juga 100 hektar lahan dataran rumput dekat persawahan milik warga yang tidak dimanfaatkan (terlantar). Lahan dataran rumput yang terlantar ini dipergunakan penggembala hanya selama musim hujan, karena musim tersebut lembu biasanya rawan terhadap serangan harimau. Sejalan pengelolaan tanah milik negara untuk kegiatan penggembalaan ternak, masyarakat umum tidak membuka lahan untuk perkebunan dan perladangan di atas areal tersebut, sebagaimana pernah dilakukan sepuluh tahun silam. Petani tidak melakukan pembukaan lahan perladangan di atas tanah negara sebab masih tersedia lahan kebun sendiri yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Oleh sebab itu, konsentrasi pertanian diarahkan pada lokasi perkebunan dan perladangan yang letaknya dekat dengan infrastruktur jalan lingkar. Sejumlah 13 responsden tidak bergerak dalam aktivitas penggembalaan, mereka mengelola 9,1 hektar lahan kering yang ditanami palawija dan kebun pisang, kelapa dan pinang. Lahan yang dikelola petani di antaranya ada yang merupakan hak milik sendiri dan sebagain kecil merupakan hak pinjam pakai dengan sistem bagi hasil. Secara keseluruhan data kondisi usahatani tergolong subur dan sangat cocok untuk pengembangan tanaman palawija dan perkebunan. Demikian juga dengan aktivitas pertanian terhadap 4 orang penggembala juga mengelola 2,2 hektar lahan kering untuk usaha tani kebun yang kebun pisang, kelapa dan pinang serta lahan ladang ditanami palawija. Lahan tersebut statusnya beragam di antaranya merupakan hak milik sendiri, hak pakai dari tetangga dengan menerapan pola bagi hasil dengan pemilik, lahan status sewa, dan status gadai dari tetangga.
1) Kepemilikan Lahan Kering Petanian Sesuai dengan data jumlah lahan kering yang dikelola 17 responden adalah 11,3 hektar merupakan kumulatif antara lahan kebun dan lahan ladang,
46 tidak termasuk lahan (dataran rumput) untuk penggembalaan ternak. Untuk mengetahui luas kepemilikan lahan kering perlu dibedakan pada 3 kategori lahan sempit, lahan luas dan lahan yang paling luas. Katagori lahan sempit umumnya mempunyai luas kurang dari 0,5 hektar, maka dapat diintepretasikan tidak bisa mengembangkan usahatani, dibandingkan dengan lahan luas melebihi 0,5 hektar. Tabel 9 menunjukkan luas kepemilikan lahan kering pada masing-masing responden. Tabel 9 Klasifikasi Luas Lahan Pertanian Responden JUMLAH
KATAGORI LUAS
NO
LAHAN KERING (HEKTAR)
FREKUENSI (KK)
< 0,5
8
47,06
-
1
6
35,29
>
1
3
17,65
17
100
1. 2.
0,5
3.
JUMLAH
PERSEN
Dengan mengetahui banyak petani lahan kering hanya memiliki lahan lebih kecil dari 1 hektar bahkan < 0,5 hektar, maka prediksi utama adalah belum bisa mengembangkan usahatani dengan lahan yang sempit. Namun demikian, kepemilikan lahan sempit ini sangat tergantung pada cara pengelolaan lahan, termasuk kemampuan bercocoktanam, penerapan teknologi dan ketesediaan modal yang cukup. Dalam hal ini ada dua intepretasi, yakni akan berpendapatan rendah
seandainya
dikerjakan
secara
tradisional
dan
akan
meningkat
pendapatan jika dilakukan sistem intensifikasi lahan. Demikian juga halnya dengan
kepemilikan
lahan
luas,
hasilnya
tergantung
pada
efektifitas
penggarapannya. Berdasarkan Tabel 9, menunjukkan bahwa lebih banyak petani yang mengerjakan usahatani di atas lahan sempit, bahkan ada petani yang hanya memiliki lahan ladang saja tetapi tidak memiliki kebun. Kebanyakan petani yang tidak memiliki lahan kebun adalah pendatang dan keluarga yang baru berumahtangga, sehingga mereka hanya memilki lahan di bawah 5000 m², bahkan di bawah 2000 m².,
47 2) Penggunaan Lahan Kering Untuk Pertanian Berdasarkan data 17 responden telah diketahui bahwa mereka hanya memiliki 113.000 m² lahan kering meliputi lahan kebun dan ladang. Kebun yang dimiliki petani telah terisi dengan pohon pinang dan pohon pisang yang mempunyai penghasilan setiap bulan. Untuk pohon kopi non hibrida yang tidak terurus selama konflik dan pohon kelapa yang berusia tua tidak maksimal lagi penghasilannya. Dengan demikian kedua jenis tumbuhan dimaksud saat ini mengalami penurunan produksi, oleh sebab itu dua responden telah berinisiatif melakukan peremajaan kebun tersebut dengan penanaman kembali bibit pohon kopi Rubusta dan pohon kelapa hibrida sejak tiga tahun terakhir. Petani yanbg melakukan peremajaan kebun motifnya adalah memiliki modal, sedangkan alasan sebagian petani tidak melakukan peremajaan kebun karena lebih konsentrasi tanaman palawija di ladang dan tidak cukup modal. Petani lahan kering lainnya masih mempertahankan keberadaan pohon pisang dan pohon pinang, dengan alasannya bahwa kedua tanaman ini tidak membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya pemeliharaan serta mudah penanganannya . Kebun seluas 41.255 m², didominasi pohon pisang dan pohon kelapa mencapai 65,60 persen, selebihnya adalah pohon pinang, kopi dan tumbuhan lainnya. Penggunaan lahan oleh responden dapat dikatakan suatu keberhasilan pelaksanaan kegiatannya dengan tolok ukur bahwa hanya 2.600 m² (4,15 %) dari luas 113.000 m² lahan kering yang belum dikelola secara intensif selama setiap musim tanam. Pola tanam di atas lahan ladang yang dimiliki responden 50.365 m² secara bergantian jenis tanaman setiap tahun, namun keadaan terakhir bulan September 2007, jenis tanaman yang diusahakan lebih dominan pada tanaman cabe dan jagung yakni mencapai 63,06 persen. Lahan ladang yang ditanami cabe dan ubi kayu hanya bisa dilakukan sekali tanam dalam setahun, beda dengan pola penanaman jagung, tomat dan kacang yang dapat dilakukan 2 kali tanam dalam setahun secara bergantian atau terhadap tanaman yang sama. Mengenai harga beli komoditi disajikan dalam Lampiran 13. Pola penanaman dan penggunaan lahan tersebut hanya terhadap 5 jenis palawija tersebut, tidak ditemukan penanaman padi gogo di atas lahan kering. Tabel 10 berikut merupakan suatu perbandingan dalam penggunaan lahan kering oleh responden sesuai jenis tanaman dan luas lahan, menurut keadaan terakhir di lapangan :
48 Tabel 10 Penggunaan Lahan Kering Sesuai jenis Tanaman LAHAN LADANG NO
TANAMAN
LUAS (M²)
LAHAN KEBUN PERSEN
TANAMAN
1.
Cabe
11.735
28,30
Kelapa *)
2.
Jagung
17.505
34,76
3.
Kacang
6.840
4.
Tomat
5.
Ubi pohon JUMLAH
LUAS (M²)
PERSEN
23.150
36,96
Pinang
6.200
9,90
13,58
Pisang
18.105
28,91
7.680
15,25
Kopi *)
12.580
20,08
6.605
13,11
Lain-lain
2.600
4,15
50.365
100
62.635
100
-
Keterangan *) di antaranya 14.285 m² kebun peremajaan tahun 2005 -2007.
3) Penggunaan Lahan kering Untuk Ternak Lahan kering berupa padang rumput yang dimanfaatkan secara bersamasama oleh 4 penggembala seluas 135 hektar, posisinya di sebelah Selatan desa. Kesinambungan usaha ternak sangat tergantung pada pemanfaatan dan keberadaan padang rumput sebagai areal penyediaan rumput pakan ternak. Teknis penaganan ternak yakni pada pagi hari melepaskan ternak ke areal tersebut dan menjemputnya pada sore hari untuk dimasukkan ke kandang yang letaknya
di
atas
tanah
negara
juga.
Penggembala
tidak
melakukan
pengkaplingan lahan padang rumput, namun ketersediaan rumput sebagai pakan ternak tetap mencukupi sepanjang tahun di atas lahan dimaksud. Pola penggembalaan secara tradisional ini, semua ternak dikurung dalam kandang pada malam hari, oleh sebab itu responden ini menggunakan lahan hutan (tanah negara) seluas 1,5 hektar untuk kandang. Penggunaan lahan untuk kandang ternak juga dimanfaatkan secara bersama-sama keempat responden, bahkan di atas lahan ini tersedia juga rumput sebagai cadangan pakan ternak pada saat induk yang baru melahirkan dan ternak jantan menjelang penjaulan. Satu hal yang dapat diperhatikan bahwa ketersediaan lahan subur tersebut tidak diusahakan jenis tanaman apapun maupun bididaya tanaman rumput untuk persediaan pakan ternak pada waktu tertentu. Dengan demikian belum timbul pengembangan usahatani dalam penyediaan rumput pakan ternak, karena belum tumbuh perencanaan kepada usaha lain seperti penggemukan lembu.
Dapat
pengembangan
diartikan ekonomi
bahwa petani
memerlukan SDM dan teknologi.
penggembala dari
sektor
ini
belum
peternakan
tumbuh yang
usaha
tentunya
49 5.2.2
Permasalahan Usahatani Petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah identik dengan pertanian
subsisten yang selalu bermasalah sekitar terbatasnya sarana pendukung sektor pertanian, belum mengenal teknologi pertanian yang tepatguna, belum terbuka pasar yang lebih luas melainkan di tingkat desa. Petani desa ini kehidupannya masih sederhana, belum mampu menghidupkan keluarga secara layak dan sejahtera, karena rendahnya pendapatan dari hasil pekerjaan pertanian. Petani belum terbuka akses kepada penyedia modal dan pengetahuan petani relatif rendah sehingga rendahnya pengetahuan tentang cara pengolahan tanah yang benar. Penggunaan lahan kering pada kegiatan pertanian termasuk strategis, namun bisa terkendala bahkan bermasalah jika petani belum mampu membangun jejaring kerja komunitasnya untuk bisa mengakses partisipasi
pihak luar dalam rangka
menyakini institusi formal dan informal. Hubungan vertikal tersebut belum menunjukkan kemajuan di kalangan petani lahan kering, kecuali apa yang dilakukan oleh empat kepala keluarga penggembala. Oleh sebab itu kajian evaluasi permasalahan di sini khusus terhadap usahatani kebun dan ladang, tidak termasuk sektor penggembalaan. Permasalahan-permasalahan yang menonjol pada petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah, di antaranya yakni persoalam modal usaha, sarana pendukung aktivitas petani, sumber daya manusia dan network petani terhadap institusi luar desa. 1) Permodalan Persoalan permodalan di sini adalah menyangkut ketersediaan modal yang dimiliki petani maupun investasi pihak lain, seperti swasta maupun Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar. Ketidakmampuan akses kepada sumber modal mengakibatkan lambannya pertumbuhan sektor perkebunan yang dilakukan secara intensifikasi, termasuk rencana peremajaan kebun yaitu penggantian kepada tumbuhan baru seperti pohon kopi Robusta dan kelapa hibrida. Oleh sebab itu maka ketersediaan modal usaha bagi petani lahan kering sektor kebun masih sulit mereka peroleh, sehingga konsentrasi petani lebih memprioritaskan pekerjaan terhadap lahan ladang yang tidak memerlukan modal besar. Jadi fungsi kebun hanyalah mengambil panen dari tanaman tua seperti kelapa, kopi yang telah berusia tua. Berdasarkan hasil survei diketahui lebih banyak kepala keluarga petani yang mengemukakan bahwa pendapatan sektor pertanian pada setiap musim tanam habis dipergunakan untuk kebutuhan keluarga sehingga tidak memliki
50 kelebihan atau tidak mampu menyimpan keuntungan untuk permodalan kembali di sektor pertanian pada musim tanam berikutnya. Dari sektor kebun diketahui tidak semua petani memiliki lahan tersebut, artinya hanya sebagian kecil petani yang memiliki surplus pendapatan bulanan karena adanya tambahan pendapatan hasil kebun. Dapat diambil suatu kesimpulan Keterdiaan modal untuk keberlanjutan usahatani mengalami kendala dalam pekerjaan pengelolaan lahan kering. Sehubungan dengan keadaan persediaan modal sendiri dan akses ke pihak penyedia modal maka dapat diambil dua opsi menyangkut ketersediaan modal bagi petani lahan kering. Pertama adalah tidak memiliki modal sendiri yang cukup untuk meningkatkan usahatani, kedua memiliki modal sendiri untuk kegiatan perkebunan dan ladang. Dengan ketersediaan modal dapat dibedakan kepada kekurangan modal dengan kecukupan modal untuk usaha tani kebun dan ladang, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 11. Tabel 11 Ketersediaan Modal Untuk usahatani Ladang dan Kebun
KECUKUPAN MODAL
KEKURANGAN MODAL
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
7 KK
41,18 %
10 KK
58,82 %
2) Infrastruktur Kebun dan ladang yang menjadi sasaran usahatani di Gampong Lampisang Dayah terletak di sebelah Selatan persawahan dan sebelah Utara pemukiman warga.
Untuk menjangkau dan kelancaran aktivitas petani lahan
kering dimaksud tentunya dibutuhkan infrastruktur pendukung kegiatan khusunya jalan sebagai sarana transpotasi terhadap pengankutan hasil panen. Dukungan infrastruktur ini turut berpengaruh terhadap kegiatan pertanian. Sejak Februari 2007 telah dibangun jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat merupakan jalan hasil gagasan petani lahan kering bersama swadaya warga desa. Pembangunan jalan bersama warga desa secara partisipatif sejarak 500 meter, tetapi jalan ini belum bisa mengakses ke seluruh lahan kering karena tertunda kelanjutan pembangunan jalan sepanjang 800 meter.
51 Menyangkut rencana lanjutan jalan tersebut, telah dilakukan survei bersama tokoh masyarakat dan pemilik lahan kering, tetapi masih terhalang dengan lahan warga yang belum bersedia dibebaskan secara sukarela, sehingga tertunda pelaksanaannya. Menyinggung masalah kelanjutan jalan, Keuchik Gampong Lampisang Dayah bersama warga sedang mencari alternatif penyelesaian dan pembebasan lahan warga yang belum bersedia melepaskan kepemilikannya. Dengan tersedianya infrastuktur jalan dimaksud berarti telah menambah suatu fasilitas pendukung terhadap kegiatan petani lahan kering, di samping membutuhkan ketersediaan fasilitas lain seperti penampungan air tanah dalam bentuk kolam dan penggalian sumur pada lokasi tertentu. Secara umum fasilitas transportasi terhadap petani lahan kering sudah mendukung tetapi belum maksimal karena jalan dimaksud belum selesai 100 persen. Masalah keberadaan jalan dan
infrastruktur lainnya bagi petani bisa dikatakan sudah mendukung,
namun perlu perbaikan infrastruktur sumber mata air. Berdasarkan pertanyaan terhadap petani kebun dan ladang tentang manfaat
apa
yang
dapat
dirasakan
dari
infastruktur
tersebut,
mereka
menyebutkan paling mendukung kegiatannya terutama pada saat pengangkutan panen
telah
meringankan
biaya/tenaga
dan
mempercepat
pekerjaan.
Penyelesaian jalan sepanjang 500 meter (38,63 %) mempunyai peranan penting sebagai fasilitas dalam kegiatan penggarapan hampir 100 persen lahan petani, apalagi jika terselesaikan 100 persen jalan dimaksud, maka manfaatnya akan lebih besar lagi. Kepala keluarga yang belum menikmati keuntungan jalan tersebut,
disebabkan
letak
lahannya
pada
posisi
rencana
kelanjutan
pembangunan jalan selanjutnya. Katagori mamfaat infrastruktur jalan para petani dapat disebut mendukung kegiatan usahatani sedangkan katagori yang satu lagi adalah tidak mendukung usahatani sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12 Mamfaat jalan Terhadap Kegiatan Usahatani Kebun dan Ladang MENDUKUNG KEGIATAN USAHATANI
TIDAK MENDUKUNG KEGIATAN USAHATANI
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
16 KK
94,12 %
1 KK
5,88 %
52 3) Teknologi Bagi petani yang membuka kebun secara perorangan selama 3 tahun terakhir telah menggunakan bibit hibrida, seperti kopi Robusta dan kelapa hibrida. Berdasarkan pertanyaan sejauhmana petani mengenal dan sejauhmana telah menggunakan peralatan teknologi sederhana dalam aktivitas pertanian, para petani lahan kering masih merasakan asing dalam kegiatan usahataninya. Bahwa mendominasi petani menjelaskan belum mengenal sama sekali dengan peralatan dan teknis penggarapan lahan secara moderen. Oleh sebah itu lebih banyak dan umumnya lahan kering dikerjakan dari awal sampai pengolahan hasil dilaksanakan secara tradisional, tanpa pemakaian peralatan teknologi. Katagori tingkat penerapan peralatan teknologi sederhana dikalangan petani, bisa diketahui dengan menanyakan apakah menggunakan perlatan baru dalam pekerjaan pertanian kebun dan ladang dari pengolahan tanah sampai penanganan panen. Dari berbagai jawaban dapat dikelompokkan; menggunakan teknologi pertanian dan tidak menggunakan teknologi pertanian, seperti disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Penerapan Teknologi dalam Kegiatan Pertanian Kebun/ Ladanng
MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PERTANIAN
TIDAK MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PERTANIAN
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
4 KK
23,53 %)
13 KK
-76,47%
4) Interaksi Pasar Pertumbuhan pasar sehubungan dengan kegiatan petani lahan kering belum terjadi dengan baik, karena pemasaran produksi usahatani sangat tergantung pada toke (pengumpul) di desa yakni mampu membeli semua hasil pertanian. Proses interaksi pasar terjadi di tingkat desa meliputi proses jual-beli palawija, sedangkan untuk penjualan ternak berlaku pola pemesanan dengan sistem penawaran, bahkan penawarannya bersaing sesama toke. Sistem pembayarannya dibuat kesepakanan, biasanya pelunasan bertahap sampai dua minggu batasannya.
53 Dengan berlakunya interaksi pasar di tingkat desa, dalam pemasaran hasil usahatani merupakan suatu kemajuan, namun akses ke pasar yang lebih luas belum mampu dijangkau petani. berhubung sulit mengakses ke pasar yang lebih luas, sehingga ada petani kebun dan ladang merasakan kurang efektif pasar tersebut, sedangkan pemasaran ternak menganggap sangat efektif karena harganya tinggi. Alasan efektifnya pelaksanaan pemasaran di tingkat desa berdasarkan pengakuan responden karena faktor tingginya harga pembelian komoditi peranian, di samping tertampungnya semua jenis komoditi dimaksud. Dengan demikian interaksi pasar dimaksud normal dan strategis untuk dilanjutkan terhadap hasil pertanian dalam ukuran kecil. Dengan proses penjualan hasil tani di tingkat desa, para petani belum mengangap praktis sehingga belum memikirkan akses terhadap pasar yang lebih luas seperti ke Banda Aceh (ibukota Provinsi NAD). Hal ini terbukti tidak ada petani yang mengeluh tentang proses pasar, artinya tidak ada permasalahan pasar terhadap usahatani diatas lahannya. Pandangan mengenai tingkat efektif pasar di desa, disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14 Interaksi Pasar Tingkat Desa Bagi Petani Lahan Kering
PASAR TINGKAT DESA EFEKTIF
PASAR TINGKAT DESA TIDAK EFEKTIF
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
17 KK
100 %
0 KK
0%
5) Sumber Daya Manusia Latar belakang pendidikan formal petani lahan kering maksimal hanya menamatkan sekolah menengah tingkat petama (SLTP) tetapi kebanyakan hanya pendidikan sekolah dasar dan tidak ada petani lahan kering yang pendidikan akhir tingkat sarjana. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara tidak pernah mengikutsertakan petani lahan kering dalam pelatihan-pelatihan teknis mengenai pertanian selama tiga tahun terakhir. Rendahnya tingkat pendidikan formal tidak berarti akan menyebabkan rendahnya pengetahuan tentang pengembangan pertanian, tetapi rendahnya pengetahuan mereka dalam penanganan usahatani tentunya ada unsur lain yang mempengaruhinya.
54 Mengenai terbatasnya tingkat pendidikan dikalangan petani lahan kering, bukanlah suatu indikatornya terbatas SDM belum bisa dijadikan suatu tolok ukur tingkat kemampuan dalam bercocoktanam, karena ada aspek lain yang justru paling mendukung kegiatan pertanian termasuk aspek ketrampilan pengolahan lahan pertanian yang tersedia (sempit) dengan cara intensifikasi. Intensifikasi tidak mesti menerapkan revolusi hijau, tetapi perpaduan pengetahuan lokal dengan pengalaman bercocoktanam dapat dijadikan modal sosial sektor pertanian serta pengembangan usahatani. Tinggi maupun rendahnya kemampuan ketrampilan mengelola dan mengolah lahan pertanian akan menjadi suatu faktor yang menentukan pengaruhnya kepada kualitas SDM di perdesaan. Adapaun teknis pekerjaan pertanian yang dilakukan selama ini yakni berdasarkan pengalaman turun temurun. Jika dihadapkan pada penggunaan peralatan teknologi pertanian mereka agak tertinggal, justru perlu adanya pengenalan teknologi beserta pelatihan. Pernyataan yang ditujukan kepada petani lahan kering adalah tingkat kemampuan
dalam
mengolah
lahan
ladang.
Apakah
sudah
mampu
menggunakan pola pemilihan bibit, pengolahan tanah, pemeliharaan dan penanganan panen secara moderen atau masih secara tradisional. Tingkat penguasaan pengelolaan lahan ini akan menjadi suatu standar kemampuan (pengetahuan)
petani,
artinya
menguasai
ilmu
pertanian
atau
belum
menguasanyai cara bercocoktanam yang efektif dan efesien. Dapat dimaknai bahwa kekuatan pengetahuan lokal; ramalan tentang musim dan jenis tanaman apa yang cocok ditanam serta teknis pengusiran hama tanaman, hanya efektif terhadap pertanian subsisten. Katagori tingkat kemampuan dalam mengusai teknis penanganan lahan pertanian tersebut ditunjukkan dalam Tabel 15. Tabel 15 Pengetahuan Petani Terhadap Pengolahan Lahan .
TELAH MENGUASAI ILMU PERTANIAN
BELUM MENGUASAI ILMU PERTANIAN
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
5 KK
29,41 %
12 KK
70,69 %
55 5) Jaringan Kerja Kerjasama sesama petani lahan kering yang bergerak di sektor kebun dan ladang secara horizontal atau hubungan dalam komunitasnya bejalan dengan baik, seperti gotongroyong, peminjaman alat pertanian dan pembasmian hama babi. Dalam perolehan modal usaha sesama petani ini belum terjadi, apalagi perolehan modal dari pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan swasta sampai saat ini belum ada jalur akses kepada sumber modal. Namun demikian komunitas ini memiliki jaringan kerja dengan pendamping teknis, dengan masyarakat desa dan terakhir membuka hubungan dengan lembaga donor seperti BRR Aceh Nias untuk pembentukan kelompok tani. Petani lahan kering dalam usahatani perkebunan dan ladang kelihatannya agak lambat proses pengembangan jejaring sosial, jika akses ke institusi luar (vertikal) belum terjalin kuat. Sehubungan dengan kurangnya relasi kerja, maka tidak bisa mendatangkan/meyakinkan pihak lembaga donatur lokal untuk penanaman investasi ke sektor pertanian. Rencana kerjasama dengan BRR memerlukan beberapa pertimbangan, di antaranya ketersediaan sumber daya manusia dan modal sosial yang dimiliki petani lahan kering untuk pengembangan kelompok. Berdasarkan survei menyangkut jaringan kerja dan jejaring sosial ke luar komunitas petani lahan kering dapat dikatakan tergolong belum berkembang baik, sebagaimana hubungan kerjasama para penggembala dengan pihak pengusaha. Petani lahan kering lebih banyak berinteraksi secara internal, tetapi sangat kurang melakukan negosiasi dengan kelembagaan lain. Akhirnya sebagian besar petani tidak punya akses eksternal, maka dapat dibedakan antara katagori petani yang sudah bekerjasama dengan petani yang belum bekerjasama dengan institusi lain di luar desa. Tabel 16 di bawah ini menunjukkan sejauhmana pengakuan responden dalam melakukan hubungan secara vertikal ; Tabel 16 Jaringan Kerja Petani dengan Institusi Luar Desa MEMPUNYAI AKSES KERJASAMA DENGAN INSTITUSI LUAR
BELUM MEMILIKI AKSES KERJASAMA DENGAN INSTITUSI LUAR
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
JUMLAH KELUARGA
PERSENTASE
1 KK
5,88 %
16 KK
94,12 %
56 5.3
Tingkat Kesejahteraan Petani Lahan Kering
5.3.1 Penerimaan Petani Lahan Kering 1)
Sektor Pertanian Lahan lahan pertanian responden 11,3 hektar terdiri 6 hektar lahan kebun dan
5 hektar lahan ladang, masing-masing responden memiliki ukuran luas yang berbeda. Responden yang memilki lahan paling sempit adalah 1.860 m² (1,65 %) sedangkan lahan terluas 20.530 m² (18,17 %) sebagaimana Lampiran 10. Penerimaan
tertinggi
mencapai
Rp34,053,000
pertahun
menunjukkan
ada
hubungannya dengan luas lahan yang dimilikinya mencapai 2 hektar, demikian juga pada urutan berikutnya dengan penerimaan Rp27,452,880 pertahun juga erat kaitannya dengan luas lahan mencapai 1,3 hektar serta meningkatnya harga beli komoditi pertanian, seperti daftar Lampiran 12. Usahatani terhadap 11,3 hektar lahan kebun dan ladang memperoleh penerimaan Rp 256,174,500 pertahun, artinya setiap lahan rata-rata 6.647 m² memperoleh penerimaan rata-rata Rp15,069,088 pertahun. Penerimaan rata-rata lebih besar dari sektor ladang sedangkan rata-rata lahan lebih kecil dari lahan kebun. Penerimaan terhadap usahatani kebun secara rata-rata lebih rendah disebabkan dua faktor. Pertama, terdapat 1,4 hektar lahan kebun yang belum berpenghasilan setelah dilakukan peremajaan tiga tahun lalu. Kedua, bahwa sebagian petani lahan kering tidak memilki lahan kebun sama sekali, sebagaimana ditunjukkan dalan Tabel 15. 2) Sektor Petenakan Penerimaan 4 responden yang melakukan kegiatan penggembalaan terdiri dari 2 kepala keluarga mengusahakan ternak kerbau dan 2 kepala keluarga mengusahakan ternak lembu dalam jumlah yang berbeda, sehingga penerimaannya bervariasi di antara 4 kepala keluarga tersebut. Dalam kegiatan penggembalaan ternak di atas 135 hektar lahan, keberlanjutan pekerjaan beternak tidak dipengaruhi dan tidak mutlak tergantung pada luasnya lahan, tetapi yang berpengaruh adalah kemampuan/ pengetahuan penggembala, jumlah ternak yang diusahakan dan kerjasama. Pengetahuan lokal inilah yang tidak dimiliki semua petani lahan kering, oleh sebab itu hanya 4 kepala keluarga saja yang menekuni kegiatan tersebut. Penerimaan sektor penggembalaan dihitung berdasarkan harga jual ternak tahun 2007 yang mempunyai suatu standar lokal (kabupaten). Untuk harga seekor kerbau jantan/ lembu jantan rata-rata berkisar antara Rp3,500,000 sampai dengan Rp4,500,000 pada usia 18 bulan sampai dengan 2 tahun. Perkembangan ternak
57 4 penggembala berdasarkan investasi tahun 2004 sebanyak 115 ekor induk (73 kerbau dan 42 lembu). Tahun 2007 berhasil dipasarkan 50 ekor (27 kerbau dan 23 lembu) dengan nilai Rp164,235,600. Penerimaan petani dari bagi-hasil pertahun dari sektor penggembalaan adalah Rp54,745,200. Penerimaan rata-rata pertahun (2007) masing-masing penggembala Rp13,686,300 seperti ditunjukkan pada Tabel 15. 3) Total Penerimaan Total Penerimaan petani lahan kering terjadi hanya terhadap 4 responden yang melakukan kegiatan penggembalaan ternak. Pertambahan angka penerimaan tersebut turut mempengaruhi penerimaan rata-rata terhadap luas lahan yang dimamfaatkannya. Penerimaan total petani lahan kering yang mengelola 11 hektar lahan pertanian dan kegiatan 4 penggembala yang memamfaatkan 135 hektar padang rumput adalah Rp256,174,500 pertahun. Penerimaan rata-rata komunitas petani lahan kering adalah Rp 15,069,088 pertahun, seperti ditunjukkan Tabel 17. Tabel 17 Penerimaan Rata- Rata Responden Pertahun URUTAN RESPONDEN 1
10,569,000
-
16,883,880
27,452,880
2
8,943,000
-
16,883,880
25,826,880
3
7,317,000
4,050,000
10,488,720
21,855,720
4
6,504,000
-
10,488,720
16,992,720
5
12,357,600
4,212,000
-
16,569,600
6
2,845,500
4,050,000
-
6,895,500
7
3,089,400
6,480,000
-
9,569,400
8
11,707,200
2,430,000
-
14,137,200
9
5,203,200
-
-
5,203,200
10
9,756,000
-
-
9,756,000
11
6,829,200
-
-
6,829,200
12
1,788,600
21,060,000
-
22,848,600
13
7,317,000
-
-
7,317,000
14
7,317,000
-
-
7,317,000
15
8,943,000
25,110,000
-
34,053,000
16
9,756,000
-
-
9,756,000
17
6,666,600
7,128,000
-
13,794,600
JUMLAH
126,909,300
74,520,000
54,745,200
256,174,500
7,465,253
4,383,529
3,220,306
15,069,088
RATA-RATA
LADANG
KEBUN
TERNAK
TOTAL
58 5.3.2
Total Biaya Untuk mengetahui pendapatan dari usahatani dan usaha ternak, penerimaan
akan dikuraningi dengan biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai sendiri adalah yang dikeluarkan selama berlangsung kegiatan usahatani dan ternak, meliputi pengadaan material, ongkos/upah tenaga kerja luar keluarga dan jasa/sewa. Biaya diperhitungkan adalah biaya yang tidak dibayarkan selama operasional kegiatan meliputi upah tenaga kerja dalam keluarga, nilai penyusutan material (alat pertanian/peternakan) dan nilai penyusuta terhadap pemakaian lahan kering. Total biaya untuk ke sektor berbeda besarnya dan memunculkan jumlah ratarata pada masing-masing sektor. Total biaya rata-rata untuk sektor ladang Rp1,188,649/tahun,
sektor
kebun
Rp955,880/tahun
dan
sektor
ternak
Rp1,817,500/tahun dan total biaya adalah Rp3,962,029/tahun, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 18.
5.3.3
Pendapatan Petani Lahan Kering Penerimaan rata-rata pertahun terhadap tiga sektor kegiatan petani lahan
kering adalah Rp15,069,088. Penerimaan tersebut setelah dikurangi dengan biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan sebesar Rp3,962,029 maka diketahui total pendapatan secara rata-rata responden sebesar Rp11,107,059 pertahun (Tabel 18), sedangkan pendapatan rata-rata responden Rp1,083,581/bulan sebagaimana ditunjukkan dalan Tabel 19. Untuk mengetahui pendapatan masing-masing responden, maka setiap penerimaan harus dikurangi dengan total biaya terhadap kegiatan yang dikerjakan. Diketahui bahwa kegiatan petani lahan kering desa ini melakukan tiga sektor usaha tetapi kebanyakan responden tidak melakukan ketiga sektor kegiatan dimaksud. Oleh karena itu, total biaya yang dikenakan harus disesuaikan dengan sektor penerimaan dari kegiatan tertentu saja, sebagaimana telah dianalisis dalam Tabel 16. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapatan pertahun masing-masing petani terjadi perbedaan yang jauh, disebabkan besar-kecilnya total biaya atas penerimaan. Berdasarkan hasil analisis pendapatan rata-rata pertahun (Tabel 18), maka sudah dapat dikalkulasikan terhadap pendapatan masing-masing responden dalam bentuk pendapatan total maupun pendapatan rata-rata pertahun dan perbulan. Adapun
mamfaat
ditentukan
pendapatan
perbulan
yakni
dalam
upaya
mengidentifikasi kategori kemiskinan petani lahan kering. Analisis pendapatan pertahun menjadi pendapatan perbulan dimaksud ditunjukkan alam Tabel 18.
59
Tabel 18 Analisis Pendapatan Rata-Rata Responden Pertahun
KOMPONEN 1
A.
Penerimaan Rata-rata
B.
Biaya Tunai :
2
3
SEKTOR KEBUN NILAI (RP) PERSEN 4
7,465,253
5
SEKTOR TERNAK NILAI (RP) PERSEN 6
4,383,529
7
JUMLAH (RP) 8
3,220,306
15,069,088 -
- Bibit tanaman
22,645
11.17
-
0
-
0
22,645
- Pupuk kompos
20,000
0
-
0
-
0
-
- Obat-obatan ternak
-
0
-
0
112,500
45.45
112,500
- Jasa Mantri hewan
-
0
-
0
135,000
54.55
135,000
160,000
88.83
120,000
100
-
0
300,000
- Tenaga kerja luar RT - Sewa lahan/ternak
-
0
-
0
-
0
-
202,645
100
120,000
100
247,500
100
570,145
- Tenaga kerja dalam RT
540,004
54.77
120,000
14.36
1,460,000
92.99
2,120,004
- Penyusutan alat
122,500
12.42
35,000
4.19
110,000
7.01
267,500
- Penyusutan lahan pertanian
323,500
32.81
680,880
81.46
-
0
1,004,380
Total …
986,004
100
835,880
100
1,570,000
100
3,391,884
Total … C.
SEKTOR LADANG NILAI (RP) PERSEN
Biaya diperhitungkan :
D.
Total Biaya Rata-rata
1,188,649
955,880
1,817,500
3,962,029
F.
Pendapatan Rata-rata
6,276,604
3,427,649
1,402,806
11,107,059
60 Poverty line Kabupaten Aceh Besar telah menetapkan angka pendapatan perkapita Rp212,500/orang/bulan. Pengertiannya bahwa jumlah pendapatan yang layak setiap keluarga adalah perkalian jumlah anggota keluarga dengan indeks tersebut. Mengingat rata-rata jumlah anggota keluarga petani adalah 4 orang, berarti memerlukan pendapatan rata-rata serendah-rendahnya Rp850,000 perbulan atau setara dengan UMR yang ditetapkan Provinsi NAD. Dilihat dari pendapatan rata-rata responden yang mencapai Rp13,002,966 pertahun atau Rp1,083,581 perbulan, memberi makna pada keseimbangan dengan pendapatan yang layak, tetapi bukan angka pendapatan tersebut yang menentukan tingkat kesejahteraan keluarga petani lahan kering.
Pendapatan yang akan dijadikan sebagai pengukuran kemiskinan
petani adalah total pendapatan masing-masing perkapita perbulan yang diambil berdasarkan total pendapatan pertahun, sebagaimana analisis yang ditunjukkan dalam tabel 19. Tabel 19 Pendapatan Responden Pertahun dan Perbulan
TOTAL PENDAPATAN (RP)
TOTAL PENERIMAAN
TOTAL BIAYA (RP)
PERTAHUN
1
27,452,880
3,006,149
4,446,731
2,037,228
2
25,826,880
3,006,149
22,820,731
1,901,728
3
21,855,720
3,962,029
17,893,691
1,491,141
4
16,992,720
3,006,149
13,986,571
1,165,548
5
16,569,600
2,144,529
14,425,071
1,202,089
6
6,895,500
2,144,529
4,750,971
395,914
7
9,569,400
2,144,529
7,424,871
618,739
8
14,137,200
2,144,529
11,992,671
999,389
9
5,203,200
1,188,649
4,014,551
334,546
10
9,756,000
1,188,649
8,567,351
713,946
11
6,829,200
1,188,649
5,640,551
470,046
12
22,848,600
2,144,529
20,704,071
1,725,339
13
7,317,000
1,188,649
6,128,351
510,696
14
7,317,000
1,188,649
6,128,351
510,696
15
34,053,000
2,144,529
31,908,471
2,659,039
16
9,756,000
1,188,649
8,567,351
713,946
17
13,794,600
2,144,529
11,650,071
970,839
JUMLAH
256,174,500
35,124,073
221,050,427
18,420,869
15,069,088
2,066,122
13,002,966
1,083,581
URUTAN RESPONDEN
RATA-RATA
PERBULAN
61 5.3.4
Pengeluaran Keluarga Pengeluaran keluarga yang bersumber dari pendapatan usahatani dan
ternak, dibelanjakan untuk kebutuhan konsumtif (pangan/sandang) keluarga, biaya rutinitas rumahtangga termasuk rekening listrik, biaya pendidikan anak, jasa transportasi dan kebutuhan lainnya. Terhadap keluarga responden yang memiliki sisa pengeluaran (surplus) beberapa bulan, mereka menyimpan dalam bentuk emas dengan tujuan akhir kepada pembelian ternak, aset seperti tanah dan pembangunan rumah. Pembiayaan kebutuhan keluarga perbulan di kalangan petani bervariasi sebab dipengaruhi oleh variabel lain, di antaranya jumlah tanggungan anggota keluarga masing-masing responden. Pendapatan sektor usahatani lahan kering, setelah dipergunakan untuk kebutuhan rumahtangga selama kurun waktu perbulan, maka teridentifikasi ada keluarga yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar untuk rumahtangga. Asumsinya adalah ditemui pada satu contoh responden yang berpendapatan paling rendah Rp320,000/bulan, sedangkan kebutuhan dasar atau pengeluaran riel untuk kebutuhan rumahtangga tersebut memerlukan Rp468,000/bulan. Kenyataan yang terjadi pada keluarga ini merupakan gejala yang menunjukkan suatu indikator kuat bahwa keluarga dimaksud belum mampu meningkatkan kesejahteraan hidup, dengan alasan bahwa angka pengeluaran lebih tinggi dari angka pendapatan (devisit). Katagori ini dapat diasumsikan sebagai keluarga miskin, sebagaimana akan dibahas dalam tingkat kesejahteraan petani lahan kering. Menurut BPS Naisonal (2005 dan 2006), pengeluaran rumahtangga dibedakan antara makanan dan bukan makanan. Diasumsikan semakin besar pengeluaran untuk non makanan maka indikasinya semakin tinggi kesejahteraan masyarakat, lebih-lebih lagi jika yang dibelanjakan adalah barang bersifat investasi (tabungan). Pengeluaran rata-rata terhadap makanan (pangan) dan non makanan perkapita
sebulan
meliputi
kebutuhan;
perumahan
(tempat
tinggal,
BBM,
perlengkapan rumahtangga), sandang (pakaian keluarga), baran/jasa (kesehatan, pendidikan, transport) dan pengeluaran lainnya (rokok, minuman/makanan instant, makanan ringan lainnya). Bepedoman pada kriteria aspek pengeluaran BPS, maka rincian pengeluaran komunitas petani desa lebih dominan pada 4 aspek belanja rumahtangga, tidak tergolong aspek lainnya. Pengeluaran petani diketahui bahwa angka terendah Rp412,000 dan angka tertinggi Rp1,248,000/bulan. Total pengeluaran dalam perbulan adalah Rp11,752,400, artinya pengeluaran rata-rata petani lahan kering yakni Rp691,318/bulan. Jika dilihat angka pengeluaran
62 rata-rata tersebut posisinya mendekati pada angka pengeluaran kepala keluarga yang jumlah tanggungannya 4 orang pada kelompok responden. Responden yang pengeluarannya terendah Rp412,000 umumnya menangung 2 anggota keluarga, sedangkan responden dengan angka pengeluaran tertinggi Rp1,248,000 memang beban tanggungannya terbanyak yakni sampai 8 orang. Dengan demikian bahwa erat sekali kaitannya atau tingkat kebutuhan pengeluaran rumahtangga dipengaruhi oleh variabel jumlah tanggungan anggota keluarga. Untuk membadingkan pendapatan dengan pengeluaran keluarga petani lahan kering serta pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap besarnya pengeluaran bulanan, perlu disusun suatu rumusan sehingga diketahui selisihnya. Tabel 20 menunjukkan rata-rata pengeluaran lebih kecil sehingga terjadi selisih/surplus ratarata Rp392,263/bulan, tetapi terjadi selisih/defisit terhadap 5 keluarga atau 29,41 %. Tabel 20 Perbandingan Pendapatan Rata-rata dan Pengeluaran Keluarga Perbulan URUTAN RESPONDEN
PENDAPATAN KK (RP)
ANGGOTA KELUARGA
PENGELUARAN KK (RP)
SURPLUS/ DEFISIT (RP)
1
2,037,228
6
936,000
1,101,228
2
1,901,728
4
624,000
1,277,728
3
1,491,141
2
412,000
1,079,141
4
1,165,548
3
468,000
697,548
5
1,202,089
7
1,092,000
110,089
6
395,914
8
1,248,000
- 852,086
7
618,739
5
780,000
- 161,261
8
999,389
3
468,000
531,389
9
334,546
3
468,000
- 133,454
10
713,946
6
936,000
- 222,054
11
470,046
4
624,000
- 153,954
12
1,725,339
4
624,000
1,101,339
13
510,696
3
468,000
42,696
14
510,696
2
437,000
73,696
15
2,659,039
6
936,000
1,723,039
16
713,946
4
624,000
89,946
17
970,839
4
607,400
363,439
JUMLAH
18,420,869
74
11,752,400
6,668,469
1,083,581
4
691,318
392,263
RATA RATA
63 5.4 Rangkuman Tingkat Kesejahteraan Petani Lahan Kering Mengukur kemiskinan, kajian ini merujuk pada poverty line Kabupaten Aceh Besar yakni berdasarkan indeks pendapatan pekapita Rp212,500/orang/bulan. Jika pendapatan pekapita perbulan tidak mencapai setingkat angka tersebut, artinya belum mencapai kesejahteraan (miskin) dengan indikasi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Tabel 21 menunjukkan rata-rata pendapatan memang lebih besar dari batas pendapatan miskin terhadap 4 anggota keluarga, tetapi mengalami defisit anggaran rumahtangga terhadap 8 kepala keluarga (47,06 %), sebagai keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan daerah. Tabel 21 Perbandingan Pendapatan KK Perbulan dengan Batas Pendapatan Miskin Sesuai Poverty Line Kabupaten Aceh Besar
URUTAN RESPONDEN
PENDAPATAN KK (RP)
ANGGOTA KELUARGA
BATAS PENDAPATAN MISKIN (RP)
SURPLUS/ DEFISIT (RP)
1
2,037,228
6
1,275,000
762,228
2
1,901,728
4
850,000
1,051,728
3
1,491,141
2
425,000
1,066,141
4
1,165,548
3
637,500
528,048
5
1,202,089
7
1,487,500
- 467,500
6
395,914
8
1,700,000
- 1,304,08
7
618,739
5
1,062,500
- 443,761
8
999,389
3
637,500
361,889
9
334,546
3
637,500
- 302,954
10
713,946
6
1,275,000
- 561,054
11
470,046
4
850,000
- 379,954
12
1,725,339
4
850,000
875,339
13
510,696
3
637,500
- 126,804
14
510,696
2
425,000
85,696
15
2,659,039
6
1,275,000
1,384,039
16
713,946
4
850,000
- 136,054
17
970,839
4
850,000
120,839
JUMLAH
18,420,869
74
15,725,000
2,513,780
1,083,581
4
925,000
147,869
RATA RATA
64
VI. STRATEGI DAN PROGRAM PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING
Petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah pasca konflik kembali menekuni kegiatan pertanian, dengan kegiatan usahatani bidang penggarapan lahan peladangan, peremajaan kebun dan penggembalaan ternak. Saat ini telah menunjukkan perkembangan usahanya dari segi peternakan namun dianggap tidak efektif terhadap penggunaan lahan yang sangat luas hanya oleh 4 kepala keluarga saja. Semua petani lahan kering mempunyai usaha tanaman di ladang sebagaimana telah dianalisis di depan mengenai pendapatan sektor palawija. Mengingat komunitas ini bertujuan mensejahterakan keluarganya masing-masing, maka sampai saat ini belum merasa terbebani untuk menggalang kerjasama terhadap komunitas petani lahan kering dalam bentuk organisasi. Artinya komunitas ini belum terwujud penyusunan kekuatan yang terorganisir guna melakukan penggembangan ekonomi secara kolektif. Usahatani perkebunan dan ladang sejak tiga tahun terakhir giat dilakukan terhadap ketersediaan atau kepemilikan lahan, hanya 4,16 persen yang belum dikerjakan, akan tetapi di sisi lain masih banyak permasalahan yang belum bisa mereka tanggulangi misalnya kerjasama dengan institusi lain dalam upaya menghimpun modal usaha. Padahal jika permasalahan pola hubungan vertikal dikembangkan justru mampu membuka berbagai peluang seperti perolehan modal usaha. Untuk menjawab semua itu perlu disusun rumusan rancangan strategi dan rancangan program pengembangan masyarakat yang bisa mengatasi permasalahanpermasalahan petani lahan kering. Guna menemui suatu program yang efektif, kajian ini akan menggunakan analisis SWOT, dengan meninjau berbagai faktor dengan menempuh tahapan-tahapan sebagai berikut :
6.1 Kondisi Lingkungan Pertanian Lahan Kering Pembahasan mengenai kondisi lingkungan pertanian ini hanya menganalisis dalam lingkup aktivitas komunitas petani lahan kering di sektor usahatani kebun dan ladang tidak mengevaluasi lagi penggembalaan karena tidak efektif penggunaan lahan terluas untuk 4 orang penggembala. Kemudia melihat juga kegiatan di luar pekerjaan petani tetapi paling mempengaruhi terhadap keberlanjutan usahatani kebun dan ladang. Unsur-unsur yang dilaksanakan dan menyertai kegiatan usahatani akan dikaji sebagai faktor internal usahatani petani lahan kering, sedangkan unsur-
65 unsur yang mempengaruhi usahatani akan dijadikan sebagai faktor eksternal petani lahan kering. Faktor internal dan ekternal bisa diketahui posisi unsur masing-masing setelah melalui sebuah analisis pembobotan (Lampiran 8 dan 9). Penjelasan faktor internal sendiri akan diuraikan dalam dua variabel yakni aspek kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal dimaksud akan dijelaskan dalam aspek peluang dan ancaman terhadap pertanian lahan kering. Semua kajian data tersebut akan dianalis secara SWOT berikut ini.
6.1.1
Faktor Internal
1) Kekuatan a. Tersedia lahan kering yang luas untuk usaha pertanian dan ternak. Sumber daya alam meliputi luas lahan kering 524 hektar, terdiri lahan ladang 21,95 persen, lahan kebun 9,16 persen, dataran 19,08 persen, hutan warga 6,87 persen dan padang rumput 25,76 persen serta hutan negara 17,18 persen. Berbagai jenis lahan di wilayah ini didukung sumber air (mata air) serta mudah memperoleh air sumur untuk kepentingan pertanian maupun peternakan. Sumber daya alam di yang mendukung kegiatan penggembalaan adalah ketersediaan padang rumput yang luasnya mencapai 135 hektar atau ¼ dari total luas lahan kering desa ini. Secara tupografi, padang rumput dimaksud sangat mendukung ternak karena terdapat sungai Krueng Glee sebagai sumber air dan terdapat mata air di beberapa tempat. Ketersedian potensi SDA merupakan suatu unsur kekuatan petani dalam peningkatan produktivitas usaha, di samping kuatnya dukunga unsur lain, yakni kecocokan suhu untuk pertanian. Aspek kecocokan lahan dengan area padang rumput yang menyediakan kecukupan pakan ternak dengan menunjukkan potensial kekuatan, ditambah lagi dukungan hutan yang memiliki sumber mata air dan sungai di tengah hutan. Dengan tersedianya lahan padang rumput yang luas, sampai saat ini petani tersebut tidak merasakan perlunya budidaya rumput untuk kebutuhan ternak gembalaannya dalam jumlah sekitar 200 ekor sekalipun. Dengan demikian, SDA paling strategis dan erat kaitannya pada tingkat peningkatan produktivitas ternak, sekaligus merupakan suatu unsur pendukung petani
atau
prospek
lahan
kering
untuk
dilakukan
peternakan
secara
berkelompok maupun penggemukan lembu jantan. Di sektor pertanian tersedia lahan ladang 115 hektar sekitar 16 persen dari total lahan kering, berpotensi bagi usaha tanaman palawija. Kemudian
66 tersedia lahan kebun, dataran dan hutan lebih dari 154 hektar yang berpotensi juga untuk digarap sebagai perkebunanan. Penggunaan lahan ini tidak tergolong proses ekstensifikasi, karena memang lahan perkebunan yang pernah digunakan sebelum konflik. Seluruh lahan kering ini memiliki tingkat kesuburan yang tinggi artinya
cocok
dilakukan
intensifikasi.
Dalam
sektor
pertanian,
mereka
memperoleh penghasilan dari kebun kelapa, pinang kopi dan kopi tetapi produksinya agak rendah karena faktor usia tumbuhan. Petani yang telah melakukan peremajaan kebun khususnya kelapa dan kopi dengan bibit hibrida, tetapi belum dapat menikmati hasil dalam tiga tahun pertama. Dilihat dari aspek geografis, pada ketinggian 11 meter di atas permukaan air laut dengan suhu wilayah antara 25°C sampai 28°C dapat dimakani bahwa lahan kering desa ini merupakan potensi ekonomi terhadap pengembangan pertanian kopi, kelapa dan pisang. Keterbatasan lahan kering mencapai 524 hektar dan mejadi suatu kekuatan yang dapat menyediakan lapangan pekerjaan terhadap 60 kepala keluarga. Secara umum, lahan kering 524 ini strategis karena di samping tingginya kesuburan untuk penanaman palawija, daerah ini terjangkau trasportasi dengan jalan lingkar. b. Kuatnya hubungan dan kerjasama di kalangan petani lahan kering Kerjasama petani lahan kering sudah terjalin baik terutama terbukti dalam pembangunan jalan lingkar dari arah Timur desa ke Selatan melintasi lokasi perkebunan petani hingga tembus ke arah Barat desa. Kebersamaan dan kerjasama petani lahan kering ini modal sosial unsur pendukung terhadap pertumbuhan kegiatan lainnya yang merupakan keterpaduan usaha sektor petani penggarap lahan pertanian dengan petani penggembala. Modal di sini adalah suatu kekuatan untuk membuat kelompok tani yang bergerak di dua sektor sekaligus, seperti ditawarkan BRR Aceh-Nias, pada saat dilakukan survei rencana pengembangan peani lahan kering desa ini. Yang menguatkan keberadan petani inni adanya kerjasama yang yang dirintis bersama pengusaha dalam penyediaan modal ternak dan kesepakatan mengenai pola bagi hasil. Proses kerjasama akan terjalin lebih kuat jika investasi yang disalurkan pemilik modal dapat dikembangkan. Artinya memungkinkan akan timbul kepercayaan (trust) pihak pengusaha untuk melakukan kerjasama dengan petani yang belum memperoleh modal usaha. Akhir tahun 2007 komunitas petani lahan kering desa ini sedang melakukan negosiasi dengan organisasi donatur pengembangan daerah yaitu
67 BRR Aceh-Nias dalam batas survei proyek sektor pertanian. Rencana kerjasama berupa pembentukan kelompok tani untuk beternak lembu. Selanjutnya mereka juga dalam penjajakan hubungan dengan beberapa ORNOP yang sedang beroperasi di Aceh Besar. Dasar kerjasama inilah dapat dikatakan mengalami perkembangan interaksi sosial. c. Tersedia jalan lingkar sebagai infrstruktur pendukung kegiatan pertanian. Setiap dilakukan pengembangan wilayah dan pembangunan daerah tertentu, jalan merupakan infrastruktur terpenting untuk kelancaran trasportasi. Kemudian, dengan tersedianya infrasruktur akan mudah meyakinkan investor untuk meberi modal di sektor pertanian khususnya bag desa ini. Sehubungan dengan prioritas tersebut, pada awal tahun 2007 komunitas petani lahan kering dengan partisipasi penuh seluruh warga masyarakat Gampong Lampisang Dayah telah berhasil melaksanakan pembangunan jalan lingkur melintasi wilayah perkebunan dan peladangan sepanjang 500 meter, dari rencana seluruhnya 1.300 meter. Jalan ini sangat mendukung dalam kegiatan petani khususnya pada pengangkutan hasil panen, karena dapat dijangkau kendaraan roda empat. Manfaat jalan lingkar ini dapat diprediksikan akan lebih meningkat lagi pada akhir tahun 2008, jika Pemerintah Kabupaten Aceh Besar berhasil merealisasikan peyelesaian 800 meter lagi sehingga tembus ke jalan irigasi pertengahan sawah desa ini. 2) Kelemahan a. Keterbatasan modal untuk pengembangan usahatani perkebunan. Ketersediaan modal merupakan landasan utama dalam pengembangan ekonomi, baik modal sendiri masing-masing kepala keluarga mapun investasi swasta. Untuk memperoleh investasi dari pihak lain tentunya membutuhkan suatu kerjasama dan jika pengusaha berkeyakinan terhadap prospek pertanian setempat serta memperhatikan kinerja petani. Berhubung di kalangan petani lahan kering desa ini belum mampu akses kepada pemilik modal di luas desa, maka pekerjaan pertanian selama ini hanya menggunakan modal sendiri yang tergolong kecil, sehingga belum mampu mengembangkan sektor pertanian dalam skala besar seperti peremajaan kebun kopi dan kelapa sebagaimana telah dilakukan 2 petani terhadap 1,4 hektar lahan kebun.
68 Persoalan modal bagi usahatani perkebunan sebenarnya memerlukan investasi pihak lain terutama untuk mengelola lahan secara intensifikasi tentunya butuh biaya guna penerapan teknologi. Untuk memakai air tanah sebagai sumber air memerlukan biaya penggalian dan sistem pengairan sederhana terhadap mata air yang telah ada. Demikian juga dengan kebutuhan modal untuk pengadaan alat pengolah tanah serta peralatan lainnya yang efektif dan sederhana. Dengan demikian para petani ini belum bisa meningkatkan penghasilan karena kapasitas usaha tidak ditingkatkan dari aspek intensifikasi lahan sebelumnya maupun rencana perluasan penggarapan lahan tetangga, lahan pinjam pakai dan sebagainya yang masih tersedia di wilayah ini. b. Keterbatasan pengetahuan petani tentang usahatani dan ternak. SDM petani lahan kering sangat terbatas namun kaitannya bukan disebabkan rendahnya tingkat pendidikan formal mereka, yang rata-rata berlatar belakang pendidikan maksimal SLTP. Pengaruh terbesar terhadap rendahnya kemampuan atau pengetahuan mereka dalam bidang pertanian dan kegiatan sosial lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial budaya. Misalnya faktor tidak
berminat
mempelajari
dari
pengalaman
petani
sebelumnya,
atau
pengetahuan lokal yang dimiliki tokoh setempat dan melalui diskusi sesama petani ataupun melalui jasa pendamping teknis yang datang secara berkala ke desa ini. Kemudian,
pemerintah
Kabupaten
Aceh
Besar
memang
belum
memprioritaskan mereka dalam upaya meningkatkan SDM melalui pelatihan bidang pertanian. Secara keseluruhan perlu penigkatan SDM terhadap petani lahan kering, apalagi mengingat pada tahun 2008 direncanakan akan dikucurkan dana BRR dalam bentuk kelompok tani. Oleh sebab itu rendahnya sumberdaya manusia atau suatu kelemahan yang merupakan kelalaian yang bisa diperbaiki jika bisa digunakan peluang yang ada di sekitarnya, tidak mesti harus pendidikan formal amaupun pelatihan teknis dari pemerintahan. Menjadi modal sosial yang paling berharga adalah SDM yang jenisnya pengetahuan
lokal
dalam
menghadapi
segala
problema
kondisi
hutan,
penanggulangan hama penyakit, pengusiran binatang buas dan kemampuan meramal (prediksi) terhadap fenomena alam, semua ini dikuasai pawang. Potensi SDM ini tidak efektif dalam pengembangan ekonomi, karena tidak mampu meningkatkan pendapatan usahatani. Namun demikian, secara keseluruhan
69 pengetahuan mengenai usahatani masih rendah, sesuai dengan data survei menyimpulkan belum menguasai pekerjaan pertanian secara tepat. c. Belum menggunakan peralatan teknologi pertanian dalam kegiatan usahatani. Dalam keseluruhan kegiatan pertanian tidak ditemukan aplikasi teknologi tepat guna kecuali peran mantri hewan dalam melakukan inseminasi buatan (IB), itupun lebih diprioritaskan terhadap pengembangan penggembalaan. Kurangnya penerapan teknologi pertanian atau penggunaan peralatan teknologi ada kaitannya dengan tingkat pendidikan atau karena rendahnya pemahaman akan besarnya manfaat penggunaan peralatan teknologi pertanian. Untuk menerapkan teknologi dalam pelaksanan kegiatan petani, perlu meningkatkan SDM terlebih dahulu, atau pelatihan tenaga kerja sebagai mobilisator terhadap aktivitas usahatani. Teknologi di tingkat petani adalah teknologi rendah seperti alat pengolah hasil pertanian kelapa dalam mengolah minyak, pengurai sabut kelapa dan sebagainya dengan mengandalkan kemampuan SDM dan tenaga kerja setempat. Pemerintahan teknologi
tepatguna
Kabupaten Aceh Besar belum pernah memperkenalkan dalam
usahatani
desa
ini.
Berdasarkan
informasi,
Pemerintahan Provinsi NAD melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa sebenarnya memiliki program Pengenalan Teknologi Tepat Guna (TTG) dengan berbagai peralatan teknologi sederhana untuk pertanian, namun belum pernah dilakukan terhadap petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah. Bahwa perlunya petani mengenali TTG berkaitan dengan ketersediaan bahan baku yang dihasilkan tetapi tidak tepat penggunaannya. Pengolahan minyak kelapa secara tradisional menyebabkan rendahnya kualitas, sehingga tidak diminati konsumen lokal sekalipun. Demikian juga di sektor ternak, padahal tersedia pupuk kompos dari kandang ternak, tetapi tidak bisa diolah akhirnya terbuang. Ketertinggalan dalam hal teknologi ini terindikasi dari data survei bahwa usahatani palawija justru tertinggal dalam pemilihan bibit dan pemeliharaan sehingga rendahnya kualitas hasil panen. Dengan demikian perlu diterapkan teknologi pertanian, pertama sekali terhadap usahatani jenis palawija di lahan ladang.
70 6.1.2
Faktor Eksternal
1) Peluang a. Meningkatnya harga/permintaan pasar terhadap komoditi pertanian. Transaksi pemasaran komoditi pertanian dengan pengumpul terjadi di tingkat desa bukan di pasar ibukota Kabupaten Aceh Besar maupun di pasar ibukota Provinsi NAD (Banda Aceh). Berlangsungnya interaksi pasar terhadap hasil pertanian cabe, tomat dan lainnya di tingkat desa karena harga beli relatif sama dengan harga beli di tingkat kabupaten dan Banda Aceh. Dengan demikian petani tidak merlu mengeluarkan biaya transportasi pengangkutan hasil pertanian ke pasar Seulimeum maupun ke Banda Aceh, dalam jumlah kecil maupun jumlah besar. Alasan yang memperkuat bukti bahwa efektifnya interaksi pasar diambil dari data survei berkesimpulan 100 persen petani memanfaatkan kesempatan pemasaran komoditi pertanian di tingkat pengumpul desa. Barang-barang hasil tani yang dijual untuk pengumpul di desa meliputi palawija; jagung, cabe, tomat, kacang-kacangan dan ubi kayu, sedangkan hasil tanaman tua; pisang, kelapa dan pinang. Untuk kopi dipasarkan langsung ke pasar Seulimeum dan kelapa dalam jumlah melebihi 300 biji diolah secara tradisional menjadi minyak makan, yang dipasarkan untuk konsumen tingkat desa. Adapun perbandingan harga berbagai komoditi di tingkat desa dengan harga di Banda Aceh perbedaannya sangat sedikit jika petani memasarkan langsung, sebagaimana telah disajikan dalam Lampiran 13. Para pengumpul dapat melakukan kegiatan karena membawa dalam jumlah banyak di samping punya akses ke penjual enceran dan warung yang mampu membeli di atas harga pasar Banda Aceh. Hasil pertanian holtikultura di wilayah Kabupaten Aceh Besar tergolong rendah atau belum mencukupi sesuai permintaan konsumen, dengan bukti bahwa untuk kebutuhan pasar Seulimeum dan Banda Aceh harus dipasok dari Takengon dan Brastagi (Sumatera Utara). Dapat dipahami bahwa petani lahan kering desa ini tidak perlu bersaing dengan petani dari tempat lain sebab seluruh hasil pertanian mereka selama ini tertampung di tingkat pengumpul. Pengumpul sanggup memebili komoditas pertanian dengan harga tinggi disebabkan meningkatnya permintaan pasar. Harga beli semua jenis hasil pertaian hampir sama pada dua pasar (di desa dan propinsi).
71 b. Berfungsinya peran Pendamping Teknis (PPL Pertanian). Petani lahan kering yang menekuni kegiatannya di sektor pertanian tanaman pangan sebenarnya sudah ditempatkan seorang pendamping khusus yakni PPL Pertanian, namun selama konflik tidak bisa menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Kemudian, sejak tahun 2005, PPL pertanian mulai aktif menjalankan fungsi tugasnya dalam Kecamatan Seulimeum termasuk Gampong Lampisang Dayah. Petani lahan kering selama ini kurang memanfaatkan jasanya, karena kebanyakan petani terbiasa mengerjakan lahan secara subsisten, dari pengolahan tanah, pemilihan bibit, pembasmian hama dan penanganan panen. Namun demikian terhadap petani yang melakukan peremajan kebun dengan tumbuhan kelapa dan kopi justru mulai beralih kepada bibit unggul dengan proses penanaman dan pemeliharaan sesuai petunjuk PPL Pertanian. Dengan demikian secara keseluruhan fungsi pendamping khusus sudah berjalan efektif selama tiga tahun terakhir, namun sangat tergantung pada petani dalam memanfaatkan peluang penyuluhan teknis tersebut. Kesulitan pendamping teknis dalam operasionalnya adalah belum bisa mengumpulkan petani secara berkelompok, karena belum ada suatu kelembagaan petani di Gampong Lampisang Dayah. c. Adanya program BRR Aceh-Nias untuk pengembangan kelompok tani. Program
BRR
Ace-Nias
pada
awal
survei
direncanakan
untuk
pengembangan usaha peternakan lembu Lampung dalam bentuk 2 kelompok secara terpadu dengan petani Gampong Rabo. Kelompok yang akan dibentuk pada tahun 2008, merupakan kelompok tani yaitu kegiatan terpadu antara ternak dengan pertanian, artinya menjadi suatu kesempatan berarti bagi petani lahan kering karena mempunyai manfaat ganda. Sebagaimana dijelaskan dalam survei, bahwa untuk realisasi bantuan BRR harus melalui prosedur, di antaranya dilakukan pelatihan (training) terhadap anggota kelompok. Semua kegiatan ini tidak memberatkan petani, melainkan suatu peluang memperoleh modal bersama. Dengan adanya program BRR tersebut akan lebih optimis lagi bermunculan investor lokal terhadap kegiatan serupa. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar tentunya akan memberi pendampingan dan menylesaikan jalan lingkar yang tersisa lanjutan pembangunannya sepanjang 800 meter.
72 2) Ancaman a. Belum terealisasi bantuan permodalan usahatani dari Pengusaha lokal. Selama tiga tahun terakhir aktifnya petani lahan kering khususnya para usahatani perkebunan dan ladang belum ada pengusaha atau sektor swasta yang merencanakan melakukan hubungan kerjasama dalam pemodalan komunitas ini. Pengusaha belum tumbuh kepercayaan (trust) terhadap tanaman kopi, kelapa dan pisang, melainkan keyakinannya menguasai dataran rumput dan hutan seluas 225 hektar (tanah negara) untuk pengembangan sawit. Dengan alasan demikian, maka pengusaha tidak melepaskan modalnya kepada petani lahan kering, artinya pemilki modal ini sulit dilakukan kerjasama sehingga belum bisa dikembangkan perkebunan rakyat. Oleh sebab itu, petani mulai mengkhawatirkan terhadap modal yang pernah dijanjikan pengusaha, masyarakat desa/luar desa, karena mungkin saja bisa berubah atau mereka mengalihkan kepada kelompok sasaran di desa lain, seperti di Gampong Rabo yang sedang dibina ORNOP. Argumen ini sangat mendasar, karena terdapat beberapa organisasi lokal tingkat Kecamatan Seulimeum yang sedang dilakukan pembinaan/ pelatihan oleh pihak donatur asing yaitu USAID (United States of Agency international Development). Program yang diperkenalkan USAID sangat efektif yakni Training OPERACY (pengembangan masyarakat) dengan sasaran proyek adalah pengembangan kawasan terpadu sektor pertanian dan peternakan, sebagaimana telah sukses dilakukan di Kawasan Terpadu Sawang, kabupaten Aceh Utara. Yang mengancam petani desa ini bukan persoalan pembinaan, tetapi dikhawatirka bahwa investasi swasta akan terselisasi ke petani lain. b. Pemda Kabupaten Aceh Besar tidak melakukan pengawasan terhadap Pennyelenggaraan Musrenbangdes. Pasca bencana Tsunami, yakni sejak tahun 2005 sampai 2006 konsentrasi pembangunan Aceh Besar lebih diprioritaskan pada penanganan korban tsunami. Kemudian dan pasca perdamaian RI-GAM, yakni sejak tahun 2006-2007 penanganan reintegrasi GAM. Dengan demikian pada tahun 20062007 petani lahan kering desa ini belum pernah mendapat bantuan modal maupun bantuan lain disebabkan keterbatasan anggaran (APBK), pembangunan dimaksimalkan untuk penyelesaian dua persoalan di atas, artinya ketika itu pola bottom-up belum bisa berlangsung secara efektif.
73 Menurut mekanisme Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, sebenarnya Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mulai melakukan penjaringan aspirasi masyarakat
termasuk
gampong
Lampisang
dayah
melalui
wadah
musrenbangdes. Prosedurnya pada bulan September 2007 seluruh hasil musrenbangdes dimaksud telah dibawa Camat seulimeum dan tertampung dalam penyelenggaraan musrenbang kabupaten untuk disusun dalam APBK Tahun 2008. Kewajiban ini tidak diketahui oleh seorangpun di kalangan petani lahan kering, artinya perencanaan pembangnan tersebut belum dilakukan secara pola bottom-up. Jika
ditinjau
dari
aspek
pemberdayaan,
ketidakterlibatan
objek
pembangunan dalam proses perencanaan secara utuh dari penyusunan perencanaan
sampai
tahan
evaluasi
akan
menghambat
pengembangan
masyarakat sebab plafon pembangunan kurang menyentuh kelompok sasaran. Pola bottom-up planing masih asing bagi petani Gampong Lampisang Dayah, sehingga realitanya mereka belum mampu mengembangkan usaha pertanian secara maksimal , padahal sumber daya alam mendukung. Ketika penulis melakukan pengamatan, mereka belum menemui suatu solusi bagaimana agar setiap penyelenggaraan musrenbangdes dan musrenbang bisa melibatkan petani, sehingga pembangunan sektor pertanian tidak lagi menerapkan top-down planing. Peran pemerintah daerah dalam koridor desentralisasi diharapkan tercipta sistem penguatan ekonomi petani melalui pendekatan partisipatif, yaitu keberfungisan subjek pembangunan (Pemerintah) dan objek pembangunan (masyarakat) secara bersama-sama menyusun rancangan pembangunan, dengan tujuan agar realisasi kegiatan tepat sasaran. Berdasarkan berbagai aspek yang dimunculkan dari faktor internal dan eksternal yang telah dianalisis di atas berarti sudah didapati kekuatan serta peluang di lingkungan operasioanl petani dan sudah terungkap juga kelemahan serta ancaman terhadap petani lahan kering. Guna mengetahui eksistensi faktor internal dan eksternal beserta unsur masing-masing faktor dimaksud. Tabel 22 berikut ini akan disusun dalam sebuah rancangan strategi yang diaplikasikan pada matriks analisis SWOT :
74
Tabel 22 Matriks Analisis SWOT Pemberdayaan Petani Lahan Kering
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
KEKUATAN (STRENGTHS)
KELEMAHAN (WEAKNESSES)
1. Tersedia lahan kering yang luas untuk usaha pertanian. 2. Kuatnya hubungan dan kerjasama di kalangan petani lahan kering 3. Tersedia jalan lingkar sebagai infrstruktur pendukung kegiatan pertanian.
1. Belum mencukupi modal untuk pengembangan usahatani. 2. Keterbatasan pengetahuan petani tentang usahatani dan ternak. 3. Belum menggunakan peralatan teknologi pertanian dalam kegiatan usahatani.
1. Membentuk kelembagaan (kelompok tani) berbasis potensi lahan kering, bersama program BRR Aceh-Nias. 2. Memanfaatkan potensi lahan kering dalam menggalang kerjasama usahatani bersama program BRR. 3. Memanfaatkan jasa pendamping teknis dalam rangka intensifikasi lahan kering.
1. Memanfaatkan perkembangan pasar dengan membentuk koperasi simpanpinjam sebagai sarana perekonomian petani lahan kering. 2. Memanfaatkan jasa pendamping teknis guna memandu kegiatan usahatani. 3. Memamfaatkan program BRR untuk memperkenalkan teknologi pertanian.
1. Memamfaatkan lahan terlantar untuk kegiatan kelompok tani dalam rangka kemitraan dengan pengusaha lokal. 2. Meningkatkan kerjasama petani lahan kering
1. Meningkatkan SDM bidang pertanian untuk mendapat kepercayaan sektor swasta/pengusaha lokal. 2. Memanfaatkan musrenbangdes sebagai media partisipatif dalam penyampaian aspirasi petani lahan kering.
PELUANG (OPORTUNITIES) 1. Meningkatnya harga dan permintaan pasar terhadap komoditi pertanian. 2. Berfungsinya peran Pendamping Teknis (PPL Pertanian). 3. Adanya program BRR Aceh-Nias untuk pengembangan kelompok tani.
ANCAMAN (THREATHS) 1. Pemda Kabupaten Aceh Besar belum melakukan pengawasan terhadap Pennyelenggaraan Musrenbangdes. 2. Belum terealisasi bantuan permodalan usahatani dari Pengusaha lokal.
dalam memantau penyelenggaraan musrenbangdes.
75 6.2 Strategi Pengembangan Pertanian Lahan Kering Perumusan rancangan strategi pemberdayaan petani lahan kering dibahas melalui forum FGD bersama petani lahan kering itu sendiri dengan melibatkan stakeholders dari instansi teknis terkait (unsur Bappeda, BPMD, Dinas Pertanian) Kabupaten Aceh Besar. Semua hasil kuisioner yang telah dikumpulkan, telah teridentifikasi permasalahan sesuai prioritas kepentingan untuk dibicarakan dalam forum. Peserta FGD memberi taggapan persetujuan atau mengajukan sanggahan terhadap
masing-masing
permasalahan
yang
permasalahan
dirasakan
yang
telah
penting/mendesak
terungkap. untuk
dicari
Beberapa strategi
pemecahannya, yang dirumuskan dalam matriks SWOT. Pada saat pelaksanaan diskusi berlangsung, mempertimbangkan unsur-unsur masalah yang paling mendesak (objektif) yang akan dimasukkan ke dalam matriks analisis SWOT. Adapun dalam kesepakatan FGD ditemukan 5 unsur masalah yang dianggap perlu penanganan secara strategis untuk ditingkatkan atau dimaksimalkan fungsinya. Adapun dari faktor internal munculnya masalah berasal dari unsur kelemahan di lingkungan petani lahan kering, sehingga perlu penekanan terhadap unsur tersebut dengan memanfaatkan peluang yang ada di luar lingkungan petani. Permasalahan atau kelemahan yang harus ditekankan meliputi :
Belum mencukupi modal untuk pengembangan usahatani ladang dan kebun.
Keterbatasan pengetahuan petani tentang usaha pertanian dan ternak.
Belum menggunakan peralatan teknologi pertanian dalam kegiatan usahatani. Sedangkan mengenai faktor eksternal, munculnya masalah ialah dari unsur
ancaman di luar komunitas pertanian, justru ancaman tersebut harus dihidari dengan cara memaksimalkan unsur kekuatan yang ada dari dalam lingkungan pertanian. Permasalahan atau ancaman yang harus dihindarkan adalah :
Pemda Kabupaten Aceh Besar belum melakukan pengawasan terhadap Penenyelenggaraan Musrenbangdes.
Belum terealisasi bantuan permodalan usahatani dari Pengusaha lokal. Dari 10 strategi yang telah dianalisis dalam matrik anlisis SWOT, semuanya
berpotensi untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan petani yang tentunya harus disusun dalam rancangan program. Seluruh strategi dimaksud berhasil dianalisis kembali sehingga dapat dirumuskan 20 rancangan program terhadap pengembangan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah.
76 6.2.1
Membentuk kelembagaan (kelompok tani) berbasis potensi lahan kering, bersama program BRR Aceh-Nias. Pemanfaatan kekuatan yang ada di lingkungan petani lahan kering, dengan
mengandalkan peluang di luar komunitas ini, bisa dirancang tiga strategi. Di antara tiga strategi dalam matriks analisis SWOT dimaksud, diseleksi untuk diambil satu alternatif
yang
tergolong
sangat
strategis
dalam
upaya
memperbaiki
dan
mempersatukan kegiatan para petani lahan kering yang selama ini masih mengerjakan usahatani yang belum terorganisasi. Adapun harapan dari strategi ini adalah dapat menguatkan hubungan dan norma-norma horizontal, dan network vertikal petani lahan kering dalam kegiatan pembangunan sektor pertanian. Strategi yang terpilih yaitu, membentuk kelembagaan (kelompok tani) bersama program BRR Aceh-Nias, berbasis potensi lahan kering. Guna terujud pembentukan organisasi pemberdayaan ekonomi tersebut tentunya diperlukan suatu rancangan program pelaksanaan kegiatan. Program yang paling muah diterima dan dijalankan adalah ; 1) Pembentukan kelompok pertanian lahan kering. 2) Pembentukan Lembaga Adat Seuneubok. Rancangan program tersebut dianggap efektif sebab permasalahan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah adalah keterbatasan SDM dalam penggarapan lahan sempit dan perlunya pengawasan terhadap petani yang akan melakukan peremajaan kebun.
6.2.2
Memanfaatkan potensi lahan kering dalam menggalang kerjasama usahatani bersama program BRR. Dengan adanya kekuatan di lingkungan petani lahan kering dan dengan
memanfaatkan peluang di sekitar lingkungannya, berhasil memunculkan strategi kedua. pemilihan strategi ini dari matriks analisis SWOT, diharapkan menjadi suatu alternatif pemecahan masalah dalam menyakinkan donatur terhadap pengembangan petani. Dengan argumentasi bahwa sangat strategis terhadap program BRR karena tersedia lahan kering yang luas dan terjangkau transportasi. Harapan dari strategi ini adalah dapat merubah pola pertanian subsisten yang serba tradisional dan perbaikan kualitas jalan pada tahap berikutnya. Strategi yang terpilih yaitu, memanfaatkan keberadaan jalan lingkar dalam menggalang kerjasama usahatani bersama program BRR. Strategi ini diambil untuk memperkuat dua program dari strategi sebelumnya seperti telah dijelaskan di atas.
77 1) Kerjasama BRR dengan kelompok pertanian lahan kering. 2) Kerjasama BRR dengan Lembaga Adat Seuneubok. Rancangan program tersebut dianggap efektif sebab termasuk permasalahan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah selama ini adalah kuatnya kerjasama tetapi belum muncul dorongan untuk perngorganisasian komunitasnya, agar mampu akses terhadap institusi luas komunitas. 6.2.3
Memanfaatkan jasa pendamping teknis dalam rangka intensifikasi lahan kering. Berdasarkan kekuatan yang ada di lingkungan petani lahan kering dan
dengan memanfaatkan peluang di luar komunitas ini, berhasil memunculkan strategi. Di antara tiga strategi dalam matriks analisis SWOT dimaksud, dapat dipilih satu alternatif dengan argumentasi bahwa sangat strategis dalam upaya memperbaiki kemampuan dan pengetahuan para petani lahan kering yang selama ini masih mengerjakan usahatani secara subsisten. adapun harapan dari strategi ini adalah dapat merubah pola pertanian subsisten yang serba tradisional dalam penggarapan lahan, pembibitan, pemeliharaan dan sebagainya ke arah penggunaan peralatan teknologi pertanian dan peningkatan produksi usahatani. Strategi yang terpilih yaitu, memanfaatkan jasa pendamping teknis dalam rangka intensifikasi lahan kering. Yang dicirikan di atas akan bisa terujud dengan cara mengaplikasikan dalam sebuah rancangan program pelaksanaan kegiatan. Program yang paling tepat adalah ; 1) Pendampingan PPL Pertanian dalam penggunaan lahan intensifikasi. 2) Peyuluhan PPL Pertanian terhadap peremajaan kebun. Rancangan program tersebut dianggap efektif sebab permasalahan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah adalah keterbatasan SDM dalam penggarapan lahan sempit dan perlunya pengawasan terhadap petani yag akan melakukan peremajaan kebun.
6.2.4
Memanfaatkan perkembangan pasar dengan membentuk koperasi simpan-pinjam sebagai sarana perekonomian petani lahan kering. Dengan memperhaikan peluang yang ada di luar komunitas petani lahan
kering lalu berusaha menekan kelemahan di lingkungannya, maka berhasil dirancang tiga strategi. Di antara tiga strategi dalam matriks analisis SWOT dimaksud, dapat dipilih satu alternatif dengan argumentasi bahwa sangat strategis dalam upaya
78 menanggulangi permasalahn kesulitan modal para petani lahan kering. Dengan dibentuknya koperasi simpan-pinjam maka bisa menghimpun dana dari petani yang terjadi surplus pendapatan setiap bulan, dianggap bisa disalurkan kepada petani yang mengalami kesulitan memperoleh modal. Adapun harapan dari strategi ini adalah mau merubah pola penyimpanan uang, yakni menyimpan pada koperasi sehingga dapat membantu sesama komunitasnya. Strategi yang terpilih yaitu, mengakomudir keuntungan petani ke dalam sebuah koperasi simpan-pinjam sebagai persediaan modal bagi petani lahan kering, yang dicirikan di atas akan bisa terujud dengan cara mengaplikasikannya ke dalam sebuah rancangan program pelaksanaan kegiatan. Program yang paling tepat tersebut adalah ; 1) Mendirikan sebuah Koperasi simpan-pinjam yang berbadan hukum. 2) Melibatkan donatur dalam koperasi. Rancangan program tersebut dianggap efektif sebab permasalahan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah adalah tidak tersedia modal yang cukup dalam kegiatan usahatani di lahan luas maupun di lahan sempit. Sehubungan dengan perjanjian dengan pengusaha lokal tentang bantuan pada tahun 2006, sampai saat ini belum adanya realisasi terhadap pembangunan infrastruktur petani lahan kering desa ini. 6.2.5
Memanfaatkan jasa pendamping teknis sebagai pemandu kegiatan usahatani. Strategi yang dimunculkan dari penekanan kelemahan komunitas dengan
memanfaatkan peluang yang ada di sekitar lingkungan petani lahan kering, merupakan sebuah strategi yang dapat mendukung kegiatan strategi lain yakni terhadap pendampingan dan penyuluhan yang dilaksanakan PPL Pertanian. Dengan demikian strategi ini dapat memunculkan rancangan program meneruskan dan mengembangkan kegiatan pendampingan teknis. Program yang dapat ditawarkan dari strategi ini meliputi ; 1) Pelibatan pendamping teknis dalam kegiatan kelompok pertanian lahan kering . 2) Pelibatan pendamping teknis dalam lembaga adat Seuneubok. Rancangan program tersebut penting dimunculkan dengan tujuan adanya kelanjutan peran PPL terhadap kegiatan usahatani dalam bentuk kelompok peertanian yang akan dibentuk.
79 6.2.6
Memamfaatkan program BRR untuk memperkenalkan dan menerapkan peralatan teknologi sederhana. Mengingat bahwa petani lahan kering ini masih melekat dengan pola
subsisten, maka satu-satunya cara merubah karakteristiknya adalah dengan penerapan teknologi. Aplikasi teknologi perlu diterapkan dalam upaya pengolahan tanah pertanian maupun dalan pengolahan hasil pertanian. Petani tidak akan mampu mengenal dan mengaplikasikan teknologi pertanian jika tidak ada pihak lain yang berpartisipasi dalam kegiatan pertanian dimaksud. Oleh sebab itu, bersamaan dengan program BRR perlu dirancang program bagi petani untuk memperkenalkan teknologi sederhana (ramah lngkungan) sehingga akan memudahkan pekerjaan dan bermanfaat dalam pengolahan bahan baku hasil pertanian. Maksud penerapan teknologi sederhana ini yakni dalam upaya mengangkat pusat-pusat pertumbuhan produksi di tingkat komunitas keluarga petani lahan kering. Berkaitan dengan rancangan program ini maka perl partisipasi instansi terkait seperti BPM Provinsi NAD yang memiliki proyek Teknologi Tepat Guna (TTG). Rancangan program yang ditawarkan meliputi : 1) Pengenalan dan penerapan alat pengolah minyak kelapa. 2) Pengenalan dan penerapan alat pengolah sabut kelapa. Kedua program ini punya potensi ekonomi, karena selama ini petani mengolah minyak kelapa secara tradisional dengan kualitas rendah sehingga tidak diminati konsumen. Kemudian, di Kecamatan Seulimeum sampai saat ini belum ada kegiatan pemanfaatan/pengolahan sabut kelapa.
6.2.7
Memamfaatkan lahan terlantar untuk kegiatan kelompok tani dalam rangka kemitraan dengan pengusaha lokal. Dengan mempertibangkan kekuatan yang ada pada komunitas petani lahan
kering, kemudian berusaha mengantisipasi unsur ancaman di luar lingkungannya, maka berhasil dirancang dua strategi. Di antara dua strategi yang tersusun dalam matriks analisis SWOT, dapat dipilih satu alternatif dengan argumentasi bahwa sangat strategis dalam upaya menanggulangi permasalahn kesulitan modal yang besar dari pihak institusi luar, guna peremajaan kebun petani lahan kering. Tujuan bekerjasama dengan sektor swasta adalah dapat menggunakan kembali seluruh potensi lahan kering petani yang terlantar, tentunya melalui sebuah perjanjian bagi hasil atau kesepakatan lain. Adapun harapan dari strategi ini adalah terealisasinya investasi kemitraan untuk menggarap lahan kering secara maksimal.
80 Strategi yang terpilih yaitu, memamfaatkan lahan dalam bentuk kelompok tani guna membangun suatu trust dalam rangka kemitraan dengan pengusaha. Dengan demikian, jika kerjasama bagi hasil tidak ditemui, maka perlu membuka akses (negosiasi) ke berbagai sumber penyedia modal pinjaman, merupakan suatu strategi yang sering dilakukan tetapi harus mengakses kepada sumber modal sebaiknya pada pinjaman lunak (bunga rendah). Jadi, jaringan kerja petani lahan kering (Gambar 5) harus diperketat lagi dengan membangun jejaring sosial ke berbagai institusi terkait secara vertikal. Yang dicirikan di atas akan bisa terujud dengan cara mengaplikasikannya ke dalam rancangan program pelaksanaan kegiatan. Program yang relevan adalah, 1) Kemitraan usaha perkebunan antara petani lahan kering dengan pengusaha. 2) Kerjasama petani lahan kering dengan pengusaha lokal. Rancangan program tersebut dianggap efektif sebab permasalahan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah belakangan ini adalah tidak cukup tersedia modal sendiri dalam kegiatan usahatani di lahan luas maupun di lahan sempit dan perlunya merangkul investor lokal ke sektor pertanian pengembangan tersebut. 6.2.8
Meningkatkan kerjasama petani penyelenggaraan musrenbangdes.
lahan
kering
dalam
memantau
Untuk memperjuangkan hak-hak dan martabat sebagai masyarakat yang terlindungi undang-undang adalah dengan cara pendekatan terhadap pemerintahan atau tindakan advokasi. Sehubungan dengan informasi bahwa petani lahan kering belum pernah dilibatkan bahkan belum mengenal dengan musrenbangdes, maka ke depan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar seharusnya melakukan lebih transparan. Dengan demikian untuk terlaksananya musrenbang secara transparansi pihak lembaga pertanian dapat mengajukan keberatan melalui instansi terkait yakni BPM Aceh Besar yang memfasilitasi musrenbangdes tersebut. Strategi ini dipilih karena merupakan suatu model partisipatif dalam perencanaan daerah, sehingga sistem perencanaan pembangunan yang diharapkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 dilaksanakan secara transparan yakni pola bottom-up planing. Oleh karena itu perlu sebuah rancangan program pelaksanaan kegiatan. Program yang paling dibutuhkan adalah ; 1) Melakukan advokasi ke BPM Aceh Besar, pra penyelenggaraan musrenbangdes. 2) Melakukan advokasi ke Bappeda Aceh Besar, pra penyelenggaraan musrenbang.
81 Dengan adanya upaya pembelaan diri petani melalui perwakilan atau kelembagaannya
diharapkan
tercapai
dua
hal
utama.
Pertama
supaya
musrenbangdes dlakukan secara tranparan, kedua supaya dapat dilibatkan unsur petani lahan kering dalam penyelenggaraannya, sebagaimana dimaksudkan pada dua rancangan program dalam strategi ke 10.
6.2.9
Meningkatkan SDM bidang pertanian untuk mendapat kepercayaan sektor swasta/pengusaha lokal. Peningkatkan SDM petani lahan kering yang dapat dilakukan adalah
pembinaan ketrampilan dalam pertanian, pengolahan hasil tani dan prilaku dalam interaksi sosial. Dengan demikian perlu keterlibatan berbagai elemen dalam rangka perbaikan kualitas SDM tersebut termasuk pendamping teknis, peran lembaga adat, dan donatur. Sehubungan dengan tujuan perbaikan SDM dan keterlibatan institusi yang terkait, maka rancangan programnya adalah : 1) Pemberian bimbingan teknis bidang pertanian. 2) Pemberian bimbingan teknis bidang peternakan. Program ini diharapkan bisa berjalan sehingga dapat meyakinkan sektor swasta atau pengusaha dalam pengucuran bantuan maupun permodalan untuk kegiatan usahatani lahan kering. 6.2.10 Memanfaatkan musrenbangdes sebagai penyampaian aspirasi petani lahan kering.
media
partisipatif
dalam
Dalam matriks analisis SWOT terdapat unsur-unsur kelemahan yang sulit dihilangkan dan unsur-unsur ancaman yang sulit dihindarkan, masing-masing ada di lingkungan usaha pertanian lahan kering. Upaya yang bisa ditempuh adalah mempengaruhi pengambil kebijakan (Pemerintah Kabupaten Aceh Bsar) terhadap pembangunan di masa yang akan datang, dengan cara berpartisipatif langsung dalam berbagai kegiatan pembangunan. Tujuan mempengaruhi ini supaya unsur petani lahan kering dapat menyampaikan kebutuhan, tentunya melalui usulan penyusunan anggaran atau program pembangunan. Artinya, minimal komunitas ini harus bisa melakukan advokasi kepada instansi penyelenggaraan musrenbangdes, maksimal sampai pada jalur musrenbang. Pilihan strategi di atas dengan dasar pemikiran bahwa selama ini aspirasi masyarakat petani lahan kering kurang terakomudasi dalam agenda pembangunan
82 daerah dibandingkan dengan perkembangan sektor pertanian di kecamatan lain. Akibat tidak terserap aspirasi petani akhirnya usaha sektor pertanian tidak terfasilitasi secara maksimal di antaranya tidak tersedia fasilitas khusunya untuk sarana kegiatan pertanian
lahan
kering.
Artinya
peran
petani
dalam
perencanaan
daerah
mempengaruhi keberhasilan usahatani di masa yang akan datang. Pada intinya strategi ini diambil merupakan tidak lanjut dari advokasi kelembagaan petani lahan kering terhadap Pemda Aceh Besar. Artinya strategi ini suatu model partisipatif dalam perencanaan daerah, sehingga tertampung aspirasi dan tujuan yang diharapkan bahwa pembangunan daerah memihak pada sektor pertanian, khususnya pertanian lahan kering yang masih mengalami kekurangan berbagai aspek seperti modal, teknologi dan SDM. Oleh karena itu perlu sebuah rancangan program pelaksanaan kegiatan. Program yang paling mendesak dan dibutuhkan adalah ; 1) Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbangdes. 2) Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbang. Rancangan program tersebut selalu menjadi harapan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah supaya pembangunan bidang pertanian dapat dilaksanakan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat di lapisan terbawah.
83
Gambar 6 Kerangka Alur Program Pemberdayaan Petani Lahan kering
STRATEGI Membentuk kelembagaan (kelompok tani) bersama program BRR AcehNias, berbasis potensi lahan kering.
HASIL YANG DIHARAPKAN
PROGRAM Pembentukan kelompok pertanian dan peternakan.
Terorganisir kerjasama petani lahan kering dalam kelembagaan.
Pembentukan Lembaga Adat Seuneubok.
Memanfaatkan keberadaan jalan lingkar dalam menggalang kerjasama usahatani bersama program BRR.
Kerjasama BRR Aceh-Nias dengan kelompok pertanian lahan kering.
Memanfaatkan jasa pendamping teknis dalam rangka intensifikasi lahan kering.
Pendampingan PPL Pertanian dalam penggunaan lahan intensifikasi.
Memanfaatkan perkembangan pasar dengan membentuk koperasi simpanpinjam sebagai sarana perekonomian petani lahan kering.
Mendirikan Koperasi simpan-pinjam yang berbadan hukum.
Memanfaatkan jasa pendamping teknis guna memandu kegiatan usahatani.
Pelibatan pendamping teknis dalam kelompok pertanian lahan kering .
Kerjasama BRR dengani Lembaga Adat Seuneubok.
Peyuluhan PPL Pertanian terhadap peremajaan kebun.
Melibatkan donatur ke dalam koperasi.
kegiatan
Pelibatan pendamping teknis dalam Lembaga Adat Seuneubok.
Tercipta kelembagaan yang berkelanjutan, bagi petani lahan kering. Meningkatnya efektivitas kegiatan usahatani di lahan kering. Terjalinnya network dengan insitusi penyedia modal bagi petani lahan kering. Meningkatnya ketrampilan petani lahan kering.
84
STRATEGI Memamfaatkan program BRR untuk memperkenalkan dan penerapan peralatan teknologi sederhana. .
PROGRAM Pengenalan cara dan penerapan alat pengolah minyak kelapa. Pengenalan cara dan penerapan alat pengolah sabut kelapa.
Memamfaatkan lahan terlantar untuk kegiatan kelompok tani dalam rangka kemitraan dengan pengusaha lokal.
Kemitraan usahatani dengan sektor swasta.
Meningkatkan kerjasama dalam memantau penyelenggaraan musrenbangdes agar berlangsung secara transparan.
Melakukan advokasi ke BPM Aceh Besar, sebelum penyelenggaraan musrenbangdes.
Meningkatkan SDM bidang pertanian untuk mendapat kepercayaan sektor swasta/pengusaha lokal.
Pemberian bimbingan teknis bidang pertanian.
Melakukan advokasi kepada Pemda Aceh Besar melalui peran partisipatif supaya terakses modal, pengetahuan dan teknologi dalan kegiatan usahatani.
Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbangdes.
Kerjasama petani lahan kering dengan pengusaha lokal.
Melakukan advokasi ke Bappeda Aceh Besar, sebelum penyelenggaraan musrenbang.
Pemberian bimbingan teknis bidang peternakan.
Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbang.
HASIL YANG DIHARAPKAN Tumbuhnya produksi hilir sektor pertanian dan meningkatnya kegiatan ekonomi.
Terjalinnya network dengan insitusi penyedia modal bagi petani Terlaksananya proses perencanaan pembangunan yang trasparan/bootom-up.
Meningkatnya kemampuan kegiatan usahatani dan ternak.
Tersera aspirasi petani lahan kering dalam penyusunan rencana pembangunan daerah.
85 6.3 Rancangan Program Berdasarkan 10 strategi yang telah ditetapkan melalui analisis SWOT, maka dapat dirumuskan 20 program yang dianggap efektif dilakukan secara bertahap mulai tahun 2008. Program-program tersebut dalam Gambar 6, tidak mungkin dikerjakan serentak tetapi perlu penetapan prioritas pelaksanaan, di antaranya ada yang sangat mendesak sehingga perlu diprioritaskan tahun 2008 dan ada juga program yang bisa dilaksanakan pada tahun 2009 dan 2010. Sehubungan dengan tahapan-tahapan pelaksanaan dimaksud, maka harus disusun prioritas untuk jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dengan menetapkan prioritas pelaksanaan, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dapat memasukkan masing-masing program sesuai dengan prosedur perencanaan daerah. Untuk program jangka pendek diharapkan adanya kebijakankebijakan supaya bisa dilaksanakan pada tahun 2008, sedangkan program jangka menengah dapat dimasukkan dalam AKU (arah kebijakan umum) tahun 2009. Akan tetapi untuk program jangka panjang harus disesuaikan kembali ke dalam penyusunan Renstra (Stratejic Planning) tahun 2010 - 2015. Program-program kerjasama dengan lembaga donor tergolong mendesak dilaksanakan karena terkait dengan batas akhir jadwal kegiatan pada tahun 2009, seperti BRR. Kerjasama atau kemitraan dengan sektor swasta/pengusaha dengan petani lahan kering adalah jangka panjang, artinya bisa ditempatkan pada tahun 2009 dan tahun 2010. Namun demikian menyangkut pembangunan infrastruktur (perbaikan sumber mata air) seperti yang dijanjikan pengusaha lokal harus ditempatkan pada prioritas utama tahun 2008, hal ini tidak memerlukan kebijakan Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar karena merupakan realisasi tindak-lanjut kesepakatan antara warga dan pengusaha. Tabel 21 menunjukkan susunan realisasi program secara bertahap dan sistematis terhadap pengembangan petani lahan kering, sehingga lebih efektif pelaksanaan di lapangan. Berdasarkan penentuan prioritas program dalam Tabel 21, kemudian masing-masing program dijelaskan secara rinci mengenai latar belakang, tujuan, penanggungjawab dan sasaran program. Akan tetapi tidak semua program harus disusun aksi karena di antaranya merupakan kebijakan Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar dan pembentukan organisasi. Ke 20 program tersebut disusun
dalam
suatu
kerangka
logis
sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 22.
pemberdayaan
petani
lahan
kering,
86
Tabel 23 Tahapan Pelaksanaan program
PROGRAM STRATEGI JANGKA PENDEK
JANGKA MENENGAH
Membentuk kelompok tani bersama program BRR, berbasis potensi lahan kering.
Pembentukan kelompok pertanian dan peternakan.
Pembentukan Lembaga Adat Seuneubok.
Memanfaatkan keberadaan infrastrukur dalam menggalang kerjasama usahatani bersama program BRR.
Kerjasama BRR Aceh-Nias dengan kelompok pertanian lahan kering.
Kerjasama BRR dengan Lembaga Adat Seuneubok.
Pendampingan PPL dalam penggunaan lahan intensifikasi. Peyuluhan PPL Pertanian terhadap peremajaan kebun.
Memanfaatkan jasa pendamping teknis dalam rangka intensifikasi lahan kering.
Mendirikan Koperasi simpan-pinjam yang berbadan hukum. Melibatkan donatur ke dalam koperasi.
Memanfaatkan perkembangan pasar dengan membentuk koperasi simpan-pinjam sebagai sarana perekonomian petani lahan kering. Memanfaatkan jasa pendamping teknis guna memandu kegiatan usahatani.
JANGKA PANJANG
Pelibatan pendamping teknis dalam kegiatan kelompok pertanian lahan kering.
Pelibatan pendamping teknis dalam Lembaga Adat Seuneubok.
87
PROGRAM STRATEGI JANGKA PENDEK Memamfaatkan program BRR untuk memperkenalkan dan penerapan peralatan teknologi sederhana.
JANGKA MENENGAH
JANGKA PANJANG
Pengenalan cara dan penerapan alat pengolah minyak kelapa. Pengenalan cara dan penerapan alat pengolah sabut kelapa. Kemitraan usahatani dengan sektor swasta. Kerjasama petani lahan kering dengan pengusaha.
Memamfaatkan lahan terlantar untuk kegiatan kelompok tani dalam rangka kemitraan dengan pengusaha lokal. Melakukan advokasi ke Bappeda Aceh Besar, sebelum penyelenggaraan musrenbang.
Meningkatkan kerjasama dalam memantau penyelenggaraan musrenbangdes agar berlangsung secara transparan. Meningkatkan SDM bidang pertanian untuk mendapat kepercayaan sektor swasta/pengusaha lokal.
Pemberian bimbingan teknis bidang pertanian.
Melakukan advokasi kepada Pemda Aceh Besar melalui peran partisipatif supaya terakses modal, pengetahuan dan teknologi dalan kegiatan usahatani.
Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbangdes. Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbang.
Pemberian bimbingan teknis bidang peternakan.
Melakukan advokasi ke BPM Aceh Besar, sebelum penyelenggaraan musrenbangdes.
88 6.3.1
Pembentukan kelompok pertanian dan peternakan
1) Latar Belakang Pertimbangan untuk membentuk kelompok tani tersebut adalah terkait dengan akan diterapkan program pengembangan pertanian dan peternakan terhadap petani lahan kering yang disponsori BRR Aceh-Nias tahun 2008. pertimbangan lain yakni kuatnya jaringan sosial sebagai modal sosial antara petani lahan kering desa ini, artinya menjadi suatu kekuatan internal yang bermanfaat bagi pengembangan kelembagaan. Di samping itu, mereka telah mempunyai norma-norma lisan (kesepakatan bersama) dalam pengelolaan lahan serta
adanya
tokoh
petani
yang
memiliki
kemampuan
menggerakkan
komunitasnya sebab tokoh dimaksud mempunyai pengetahuan lokal yang potensial bagi petani lain. Dasar pemiikiran tersebut akan lebih mudah menghimpun kekompakan anggota yang sudah terjalin selama ini. Pembentukan kelompok ini harus diserahkan sepenuhnya kepada petani dalam menentukan jumlah anggota dan siapa yang akan menjadi penurusnya. Dengan demikian penyusunan struktur kelembagaan tertata secara bottom-up, tanpa intervensi pihak luar. Jika kelompok ini terbentuk, ketika BRR masuk dapat mempergunakannya secara lebih efektif lagi. 2) Tujuan Untuk merubah prilaku petani yang masih mengerjakan lahan secara subsisten menjadi pertanian komersial. 3) Sasaran Sasaran pembentukan kelompok adalah terhadap seluruh petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah.
6.3.2
Pembentukan lembaga adat Seunebok.
1) Latar Belakang Pembentukan Lembaga Adat Seuneubok perlu dilakukan sebagai suatu kelembagaan yang dapat mengurus dan memfasilitasi dan menata pekerjaan pertanian sektor perkebunan, peladangan dan peternakan. Pembentukan lembaga adat ini memiliki dasar hukum yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pertimbangan untuk membentuk kelompok
89 tani tersebut adalah terkait dengan akan diterapkan program pengembangan pertanian dan peternakan terhadap petani lahan kering yang disponsori BRR Aceh Nias 2008. Dengan terbentuknya lembaga adat akan mampu melindungi kelompok tani secara hukum adat, justru perlu pembentukan segera struktur adat Seuneubok tersebut jika petani perkebunan telah berorganisasi dalam bentuk kelompok pertanian. 2) Tujuan Untuk menguatkan kegiatan petani lahan kering sehingga bisa mengembangkan usahatani. 3) Sasaran Sasaran pembentukan lembaga adat Seuneubok terhadap seluruh petani lahan kering dengan memanfaatkan tokoh-tokoh yang memiliki pengetahuan lokal tentang pertanian serta diselenggarakan oleh tokoh masyarakat Gampong Lampisang Dayah.
6.3.3
Kerjasama BRR dengan kelompok pertanian lahan kering. Kerjasama ini dapat dilaksanakan setelah terbentuk kelembagaan petani
lahan kering, atau merupakan tindak lanjut dari program kelompok tani. Kerjasama adalah berupa pengembangan kelembagaan dan pengembangan ekonomi dalam kegiatan pertanian dan peternakan lembu, sebagaimana telah dijanjikan dalam survei tahun 2007. Yang terpenting dilakukan terlebih dahulu oleh petani adalah pembentukan kepada dua kelompok pertanian karena populasi petani lahan kering mencapai 60 kepala keluarga. Sumber pembiayaan program ini adalah dari institusi BRR
sedangkan
teknis
pelaksanaaanya
melibatkan
instansi
terkait
dari
Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar. 6.3.4
Kerjasama BRR dengan lembaga adat Seuneubok. Program ini serupa dengan program di atas, namun lebih diprioritaskan pada
pengembangan kelembagaan yang bekelanjutan, sedangkan pembiayaan untuk lembaga adat ini bukan prioritas, karena lembaga adat dimaksud akan mendapat perhatian khusus dari APBK Aceh Besar. Tujuan kerjasama karena mengingat kekuatan lembaga adat Seuneubok sangat berpengaruh dalam mempersatukan petani lahan kering dan kegiatan pertanian.
90
6.3.5
Pendampingan PPL Pertanian terhadap lahan intensifikasi
1) Latar Belakang Menurut data yang telah dinalisis, bahwa latar belakang pendidikan formal petani lahan kering rata-rata tergolong rendah dan tidak ditemui adanya pendidikan terakhir sarjana maupun spesialis pertanian, sehingga petani mengerjakan pengolahan tanah dan atau pemeliharaan ternak secara tradisional. Sejak tiga tahun terakhir Pemerintah Kabupaten Aceh Besar belum pernah melakukan pelatihan terhadap petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah. Namun demikian, sekitar tahun sembilan puluhan tiga petani desa ini pernah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Besar mengenai tata cara pengolahan tanah untuk tanaman palawija dan holtikultura. Hasil pertemuan dengan informan dengan PPL Pertanian memberi isyarat bahwa Pemerintah Kabupaten Aceh Besar tidak mengalokasikan dana APBK untuk kegiatan pelatihan apapun sejak tahun 2005 sehubungan dengan penyelesaian penanganan eks GAM dan korban Tsunami, kecuali dana pendamping proyek kerjasama dengan lembaga asing. Dengan demikian pelatihan teknis dalam upaya meningkatkan SDM khususnya bagi petani lahan kering hanya dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. Sehubungan dengan uraian di atas ditemukan suatu kesepakatan (format) bersama, bahwa perlunya pendampingan teknis dalam pengolahan lahan ladang secara maksimal tanpa memperluas areal tetapi cukup dengan pola intensifikasi. Untuk pekerjaan lahan intensifikasi ini perlu adanya pengetahuan dan ketrampilan tentang pertanian. 2) Tujuan Meningkatkan ketrampilan petani lahan kering dan dalam pemnafaatan lingkungan hidup, sehingga ketersediaan SDA bisa berkelanjutan. 3) Sasaran Diperuntukkan bagi petani lahan kering termasuk perempuan. 4) Sumber Dana Dinas Pertanian kabupaten Aceh Besar, Lembaga adat Seuneubok yang akan terbentuk dan swadaya kelompok tani.
91 6.3.6
Peyuluhan PPL Pertanian terhadap peremajaan kebun.
1) Latar Belakang Sesuai dengan data bahwa diketahui ada dua keluarga telah melakukan peremajan kebun seluas 1,4 hektar yang dilakukan secara swadaya. Menurut pengamatan, aksi ini merupakan prospek pertanian ke depan karena tanaman yang diusahakan merupakan komoditas yang diminati pasar seperti kopi rubusta. Dengan demikian perlu dilanjutkan peremajaan oleh keluarga lain yang tentunya perlu penyuluhan sebeum dikerjakan petani agar ekstensifikasi tidak menyalahi prosedur terhadap keberadaan lingkungan (ekosistem). 2) Tujuan Untuk memberi arahan tatacara peremajaan kebun yang harus melakukan perluasan areal, dengan menerapkan prilaku berbasis ekosistem lokal. 3) Sasaran Diperuntukkan bagi petani lahan kering termasuk perempuan. 4) Sumber Dana Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Besar, Lembaga adat Seuneubok yang akan terbentuk.
6.3.7
Mendirikan Koperasi simpan-pinjam berbadan hukum
1) Latar Belakang Dasar pemikiran pembentukan koperasi simpan-pinjam di kalangan petani lahan kering adalah membina kesatuan sesama petani dalam pengadaan modal secara gotongroyong. Maksudnya, mengingat ada sebagaian petani yang memiliki
pendapatan
sedangkan
sebagain
petani
justru
devisit
setelah
dikeluarkan untuk kebutuhan keluarga. Perhimpunan dana ini bisa jadi untuk memotivasi anggota, sebelum koperasi mendapat modal dari pihak donatur dan nasabah lain maupun pemerintah Kabupaten Aceh Besar, karena jika memenuhi syarat sebuah koperasi maka punya mekanisme memperoleh subsidi APBK Aceh Besar melalui Dinas Koperasi. Dasar pemiikiran tersebut akan lebih mudah menghimpun dana dari berbagai unsur termasuk pengusaha yang optimis dengan kelembagaan ekonomi daripada diinvestasikan kepada perseorangan keluarga dalam usahatani. Perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up) ini akan memperoleh pembinaan
92 manajemen dari dinas terkait Provinsi NAD maupun Kabupaten Aceh Besar, di samping akan disediakan fasilitas tertentu sebagaimana pernah diberlakukan terhadap koperasi di desa lain dalam Kecamatan Seulimeum maupun dalam Kabupaten Aceh Besar. 2) Tujuan Penyediaan modal untuk usahatani ladang dengan tanaman palawija. Kemudian masyarakat dan pihak lain bisa berpartisipasi dalam penyimpanan uang sekaligus berpartisipasi dalam pemodalan petani lahan kering. 3) Sasaran Sasaran kegiatan simpanan adalah anggota, masyarakat, nasabah lain yang memenuhi syarat serta donatur tetentu. Sasaran pinjaman adalah anggota, dalam hal ini petani lahan kering dan masyarakat sebagai anggota.
6.3.8
Melibatkan donatur dalam koperasi.
1) Latar Belakang Partisipasi donatur dalam kegiatan koperasi berupa investasi, yang tujuan akhirnya adalah untuk permodalan petani lahan kering. Artinya penyaluran modal leh donatur melalui kelembagaan keuangan seperti koperasi yang berbadan hukum dan dalam pengawasan pemerintah. Sistem tersebut akan lebih mudah menghimpun dana dari berbagai unsur termasuk pengusaha yang optimis dengan kelembagaan ekonomi daripada diinvestasikan kepada perseorangan (kepala keluarga) dalam usahatani. 2) Tujuan Penyediaan modal untuk usahatani ladang dengan tanaman palawija. Kemudian masyarakat dan pihak lain bisa berpartisipasi dalam penyimpanan uang sekaligus berpartisipasi
dalam
pemodalan
petani
lahan
kering
serta
pengelolaan
pemasaran komoditas pertanian. 3) Sasaran Sasaran kegiatan simpanan adalah anggota, masyarakat, nasabah lain yang memenuhi syarat serta donatur tetentu. Sasaran penyaluran pinjaman adalah anggota, termasuk masyarakat umum.
93 6.3.9
Pelibatan pendamping teknis dalam kegiatan kelompok pertanian lahan kering Program ini dirancang supaya peranan pendamping teknis lebih efesien
dilakukan terhadap sasaran kelompok dari segi waktu dan biaya. Pembinaan, penyuluhan dan bimbingan yang diberikan pendamping teknis akan efektif terhadap kelompok karena secara institusi jelas siapa bertanggungjawab. Tujuan pelibatan perannya adalah berupa pengembangan pengetahuan, ketrampilan, SDM petani supaya bisa berkelanjutan kegiatannya. Semua kegiatan pendamping teknis menjadi tanggungjawab dinas terkait setiap tahun. 6.3.10 Pelibatan pendamping teknis dalam lembaga adat Seuneubok. Program
ini
bertujuan
memperkuat
program
di
atas,
namun
lebih
diprioritaskan pada pengembangan kelembagaan agar bekelanjutan, dengan demikian lembaga adat Seuneubok mendapat dukungan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dari aspek teknis pengelolaan lahan terhadap beberapa jenis pertanian. Program ini tidak memerlukan biaya khusus, dalam operasionalnya menjadi tanggungjawab warga setempat 6.3.11 Pengenalan cara dan penerapan alat pengolah minyak kelapa. 1) Latar belakang Pengolahan (perempuan)
kelapa secara
menjadi
minyak
tradisional
makan
dilakukan
keluarga
(pembusukan/permentasi),
petani
disebabkan
kualitasnya sangat rendah sehingga sulit dipasarkan. Sistem pengolahan tradisional dimaksud seharusnya dicari solusi untuk meningkatkan kualitas minyak supaya mudah dipasarka. Oleh sebab itulah maka sangat penting sekali memperkenalkan cara serta alat pengolah minyak kelapa tersebut terhadap petani lahan kering. 2) Tujuan Supaya petani lahan kering tidak menjual kelapa butir tetapi diharapkan bisa mengolah kelapa sebagai bahan baku menjadi minyak, artinya memperoleh keuntungan dari segi jasa tenaga kerja perempuan (pekerjaan pengolahan). 3) Sasaran Diperuntukkan khusus bagi wanita yang selama ini masih menggunakan alat pengolah minyak kelapadengan peuneurah (press).
94 6.3.12 Pengenalan cara dan penerapan alat pengolah sabut kelapa. 1) Latar belakang Sabut kelapa di desa ini tidak dimanfaatkan sedangkan di Kecamatan Baiturrahman Aceh Besar justru menjadi pusat pengolahan bahan baku tersebut menjadi tali, alas kaki dan bahan baku goni untuk memenuhi permintaan pasar tingkat propinsi dan kota Medan. Petani lahan kering desa ini belum memiliki ketrampilan tersebut dan mengenl alat pengurai sabut kelapa. Sehubungan dengan prospek ekonomi tersebut maka perlu pengenalan dan penerapan peralatan TTG dimaksud agar tersedia lapangan kerja bagi petani lahan kering dan keluarganya. 2) Tujuan Tersedianya lapangan kerja baru bagi keluarga petani lahan kering 3) Sasaran Diperuntukkan khusus bagi keluarga petani lahan kering. 6.3.13 Kemitraan usahatani dengan sektor swasta. Kemitraan petani lahan kering dengan sektor swasta dan atau dengan pengusaha lokal dapat dijajaki dengan menunjuk perwakilan petani. Tujuan dilakukan kemitraan
diharapkan
mampu
menghimpun
investasi
swasta
ke
sektor
pengembangan usahatani lahan kering di desa ini. Sasaran negosiasi yakni terhadap institusi yang dianggap bisa berpeluang dalam penyediaan modal dalam bentuk kerjasama atau bagi hasil dengan suatu kesepakatan kerja. Oleh sebab itu, tidak perlu dilakukan aksi program, tetapi bisa dilakukan suatu pilot project terhadap beberapa hektar lahan kering. Dengan demikian, untuk terlaksana dan memperoleh kepercayaan pihak investor maka perlu peran Pemerintah Kabupaten Aceh Besar memfasilitasi, termasuk penyelesaian pembangunan infrastruktur jalan lingkar yang telah direncanakan tahun 2008, dan memberi kemudahan lain berupa pelayanan administrasi dan keringanan dalam memperoleh perizinan bagi pengusaha yang bergerak sektor agribisnis. 6.3.14 Kerjasama usahatani dengan pengusaha lokal. Kemitraan petani lahan kering dengan perusahan adalah khusus dalam upaya meminta perhatian dari perusahan penggali dan pengolah bahan galian-C
95 yang sedang beroperasi di desa ini. Tindakan ini tidak melanggari hukum, karena setiap perusahaan perlu adanya tanggungjawab sosial terhadap pemberdayaan masyarakat sekitar operasionalanya. Untuk memanfaatkan potensi inilah maka perlu suatu kerjasama antara petani lahan kering dengan pihak perusahaan secara terorganisir seperti kelompok pertanian yang akan dibentuk. Realisasi dana bisa saja dalam bentuk modal atau pengembangan koperasi maupun pembangunan infrastruktur bagi petani lahan kering. Dengan terjalinnya hubungan kerjasama ini maka akhir tahun 2008 harus sudah dilaksanakan kegiatan penting yang menjadi prioritas adalah pembangunan fasilitas pertanian seperti penampungan air bersih dari sumber mata air gunung yang selama ini diinginkan masyarakat.
6.3.15 Melakukan advokasi ke BPM Aceh Besar, sebelum penyelenggaraan musrenbangdes. Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa tindakan perjuangan pembelaan hak sesuai perundang-undangan melalui suatu pendekatan dapat dibenarkan. Dalam hal ini advokasi kepada yang berwewenang sebagai pelaksana sistem perencanaan pembangunan dapat dilakukan terhadap BPM Aceh Besar. Perwakilan petani atau kelembagaan termasuk kelompok tani maupun kelembagaan adat seperti Lembaga Adat Seuneubok dianggap layak melakukannnya. Tujuannya ialah mempengaruhi Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dengan tuntutanya suapaya pelaksanaan musrenbangdes berlangsung secara transparan sehingga dalam rangka terujudnya pola perencanaan dari kalangan bawah atau terserap aspirasi masyarakat tani.
6.3.16 Melakukan advokasi ke Bappeda Aceh Besar, sebelum penyelenggaraan musrenbang. Program ini sama halnya dengan program sebelumnya yakni tindakan perjuangan pembelaan hak sesuai perundang-undangan melalui suatu pendekatan dapat dibenarkan. Dalam hal ini advokasi kepada yang berwewenang sebagai pelaksana sistem perencanaan pembangunan dapat dilakukan terhadap Bappeda Aceh Besar. Perwakilan petani atau kelembagaan termasuk kelompok tani maupun kelembagaan
adat
seperti
Lembaga
Adat
Seuneubok
dianggap
layak
melakukannnya. Tujuannya ialah mempengaruhi Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dengan
tuntutanya
suapaya
pelaksanaan
musrenbang
berlangsung
secara
transparan sehingga dalam rangka terujudnya pola perencanaan dari kalangan bawah atau terserap aspirasi masyarakat tani.
96 6.3.17 Pemberian bimbingan teknis bidang pertanian bagi betani lahan kering. 1) Latar belakang Petani lahan kering melakukan pengolahan tanah pertanian masih secara tradisional. Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar tidak melakukan pelatihan apapun terhadap petani selama tiga tahun terakhir, sesuai informasi PPL bahwa prioritas pembangunan lebih ditujukan pada penanganan korban tsunami dan penanganan eks GAM pasca perdamaian. Sehubungan dengan munculnya Lembaga BRR Aceh Nias, maka saatnya memanfaatkan program bimbingan teknis untuk pengingkatan kualitas petani terhadap usahatani. 2) Tujuan Meningkatkan ketrampilan petani lahan kering dalam kegiatan pertanian supaya lebih efektif dalam pemamfaatan SDA, sehingga mampu mengembangkan usaha dan meningkatkan produksi komoditi pertanian guna meningkatkan pendapatan. 3) Sasaran Diperuntukkan bagi petani lahan kering, termasuk perempuan yang selama ini berperan dalam kegiatan peranian. 6.3.18 Pemberian bimbingan teknis bidang peternakan petani lahan kering. 1) Latar belakang Pekerjaan
peternakan
selama
ini
dilakukan
secara
tradisional
yakni
penggembalaan di atas lahan padang rumput. Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar tidak melakukan pembinaan apapun terhadap penggembala ini selama tiga tahun terakhir. Menurut mantri hewan bahwa yang perlu dilakukan adalah bimbingan untuk penggemukan lembu jantan di dalam kandang yang lebih besar keuntungannya bisa mencapai dua kali lipat, seperti dilaksanakan di Kecamatan Sibreh secara tradisional, secara moderen di Saree Kecamatan seulimeum. 2) Tujuan Meningkatkan ketrampilan petani lahan kering dalam kegiatan peternakan supaya lebih efektif dalam pemamfaatan SDA, sehingga mampu mengembangkan usaha dari penggembalaan kepada penggemukan lembu jantan. Diharapkan akan tumbuh lapangan kerja baru guna meningkatkan pendapatan keluarga. 3) Sasaran Diperuntukkan bagi petani lahan kering yang selama ini bergerak dalam kegiatan.
97 6.3.19 Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbangdes 1) Latar Belakang Petani lahan kering gampong Lampisang Dayah tidak seorang pun mengenal dengan proses perencanaan pembangunan daerah di kecamatan yang diselenggarakan melalui musrenbangdes. Dengan demikian petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah masih belum memahami dan belum memperoleh informasi yang jelas mennyangkut pola perencanaan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Peraturan tersebut di dalamnya turut mengatur mekanisme
perencanaan
pembangunan
daerah
(pengelolaan
APBD
Kabupaten/Kota) dalam kerangka penyelenggaraan otonomi daerah. Dasar pemikiran tersebut secara sadar responden sependapat mengatakan pentingnya pelibatan petani dalam penentuan arah pembangunan daerahnya, yang dikenal dengan perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up). Tuntutan inilah yang menjadi pegangan peneliti mengedepankan program partisipatif petani lahan kering. 2) Tujuan Pemerintah dapat menyerap aspirasi masyarakat petani lahan kering sebagai bagian dari penerapan pembangunan pola perencanaan botton-up. Petani lahan kering akan merasa diberdaya dan tertampung dalam penyampaian aspirasi dan berfunsinya pasrtisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. 3) Sasaran Perwakilan petani lahan kering termasuk perempuan yang aktivitasnya di sektor pertanian.
6.3.20 Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbang. 1) Latar Belakang Pelaksanaan musrenbang adalah lanjutan dari aspirasi yang dikumpulkan Camata pada musrenbangdes. Dasar hukumnya adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Jika musrenbang dilakukan secara aspiratif, maka hasil yang dibahas di tingkat musrenbang adalah tindak lanjutnya. Tuntutan inilah yang menjadi pegangan peneliti menyodorkan program partisipatif petani lahan kering dalam forum musrenbang.
98 2) Tujuan Pemerintah dapat menyerap aspirasi masyarakat petani lahan kering sebagai bagian dari penerapan pembangunan pola perencanaan botton-up. Petani lahan kering akan merasa diberdaya dan tertampung dalam penyampaian aspirasi dan berfunsinya pasrtisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, khususnya kelompok sasaran pembangunan pertanian. 3) Sasaran Perwakilan petani lahan kering termasuk perempuan yang aktivitasnya di sektor pertanian.
99
Tabel 24 Kerangka Kerja Logis Pemberdayaan Petani Lahan Kering
NO
PROGRAM
TUJUAN
KEGIATAN
INDIKATOR
PELAKU
WAKTU
1.
Pembentukan kelompok pertanian dan peternakan.
Untuk merubah prilaku petani subsisten menjadi pertanian komersial.
Kerjasama PLK secara gotongroyong.
Terbentuk 2 kelompok PLK, setiap kelompok 30 KK
PLK, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan
Pelaksanaan pada triwulan ke 2, 2008.
2.
Pembentukan lembaga adat Seunebok.
Untuk menguatkan kegiatan PLK, sehingga bisa mengembangkan usahatani.
Perlindungan SDA bersama lembaga adat Seuneubok.
Terbentuk lembaga adat berbasis lahan kering.
PLK, aparat desa, tokoh masyarakat.
Pelaksanaan pada triwulan ke 3 tahun 2008.
Perlindungan komunitas petani melalui Peutua Seuneubok.
Tercipta kerjasama masyarakat dalam pengembangan PLK.
PLK, aparat desa dan masyarakat.
Pelaksanaan pada tahun 2009.
Untuk menguatkan kelembagaan petani melalui penyediaan dana dan pembinaan.
Pembinaan prilaku PLK dalam bekerjasama dengan institusi luar komunitas.
Terjadi interaksi PLK dengan pengusaha/ swasta.
BRR dan PLK
Sesuai jadwal BRR (2008 -2009)
Pmbinaan kegiatan PLK Sesuai dana tersedia.
Tercipta swadaya setelah pembinaan.
BRR dan PLK
Sesuai jadwal BRR
Pembinaan prilaku PLK terhadap institusi luar desa.
Terjadi interaksi kepada sumber modal.
BRR dan PLK
Pembinaan prilaku PLK dalam komunitasnya.
Kuatnya toleransi sesama PLK.
BRR dan PLK
3.
4
Kerjasama BRR dengan kelompok pertanian lahan kering.
Kerjasama BRR dengan Lembaga Adat Seuneubok.
Untuk keberlanjutan pengembangan institusi PLK melalui Lembaga Adat Seuneubok.
.
Ketetrangan : PLK = Petani Lahan Kering
(2008 -2009)
Sesuai jadwal BRR(2008 -2009) Sesuai jadwal BRR (2008 -2009)
100
NO
PROGRAM
TUJUAN
5.
Pendampingan PPL Pertanian dalam penggunaan lahan intensifikasi.
Untuk meningkatkan ketrampilan PLK dalam pemanfaatan SDA.
Pengenalan cara pengolahan tanah dan pengenalan cara perawatan tanaman palawija.
Mampu bertindak tepat terhadap pengelolaan lahan sempit .
PLK dan PPL Pertanian.
Pelaksanaan, awal tahun 2009.
6.
Peyuluhan PPL Pertanian terhadap Lahan peremajaan kebun.
Untuk memberi arahan tatacara peremajaan kebun, berbasis ekosistem lokal.
Pengenalan cara pengelolahan kebun.
Terlaksana peremajaan kebun.
PPL Pertanian dan PLK
Persiapan, pada awal Tahun 2009.
Ekstensifikasi lahan berbasis lingkungan hidup.
Meningkat kualitas tanaman kebun.
PPL Pertanian dan PLK
Pelaksanaan pada 2009
Mendirikan Koperasi simpan-pinjam berbadan hukum.
Untuk memfasilitasi permodalan dan pemasaran komoditi pertanian.
Menyusun AD/RT melalui rapat anggota.
Terbangun lembaga
PLK dan
Pembentukan
Pengurusan izin kepada Dinas Koperasi.
Tersedia lembaga
Melibatkan donatur ke dalam koperasi.
Untuk mendukung penyediaan modal dalam jumlah besar.
Melakukan negosiasi dengan berbagai sumber modal.
Tercipta network/ akses kepada sumber modal.
7.
8.
Ketetrangan : PLK = Petani Lahan Kering
KEGIATAN
INDIKATOR
secara demokrasi
PELAKU
WAKTU
Dinas Koperasi.
pada awal tahun 2009.
Pengurus, Pembina dan Koordinator
Penjajakan kerjasama pada pertengahan tahun 2009.
pengembangan ekonomi yang formal.
101
.
NO
PROGRAM
TUJUAN
9.
Pelibatan pendamping teknis dalam kegiatan kelompok pertanian lahan kering .
Mendukung keberlanjutan kegiatan kelompok dalam pengembangan SDM bidang pertanian.
Pengarahan ketrampilan kelompok dalam menangani lahan pertanian.
Tumbuhnya tanggungjawab bersama terhadap kegiatan.
PPL Pertanian dan anggota kelompok.
Setelah terbentuk kelompok, akhir tahun 2008.
10.
Pelibatan pendamping teknis dalam lembaga adat Seuneubok.
Mendukung keberlanjutan lembaga adat dalam melindungi lahan perkebunan/ladang.
Pengarahan tentang aturanaturan hokum dalam pengelolaan lahan.
Mendapat kepercayaan terhadap lembaga adat.
PPL Pertanian dan PPL dan tokoh masyarakat.
Setelah terbentuk lembaga adapt, awal tahun 2009.
11.
Pengenalan dan penerapan alat pengolah minyak kelapa.
Untuk meningkatkan ketrampilan perempuan dalam pengolahan bahan baku hasil kebun.
Demontrasi alat pengolah minyak kelapa.
Terbuka wawasan PLK terhadap ketrampilan.
Praktek pengolahan minyak kelapa.
Menambah kegiatan dan penerimaan sector jasa.
BPM Provinsi NAD dan BPM Kabupaten Aceh Besar
Disesuaikan dengan kegiatan BPM Propinsi NAD dan Kabupaten Aceh Besar.
Pengenalan cara dan penerapan alat pengolah sabut kelapa.
Untuk meningkatkan ketrampilan keluarga dalam pengolahan bahan limbah hasil kebun.
Demontrasi alat pengolah sabut kelapa,
Terbuka wawasan PLK terhadap ketrampilan.
Praktek pengolahan sabut kelapa.
Tersedia lapangan kerja keluarga.
BPM Provinsi NAD dan BPM Kabupaten Aceh Besar
Disesuaikan dengan kegiatan BPM Propinsi NAD dan Kabupaten Aceh Besar.
12.
Ketetrangan : PLK = Petani Lahan Kering
KEGIATAN
INDIKATOR
PELAKU
WAKTU
102
. NO
PROGRAM
13.
Kemitraan usahatani dengan sektor swasta.
TUJUAN Untuk menarik investasi swasta terhadap usahatani lahan kering
KEGIATAN Kerjasama pola bagi hasil, anatar penyedia modal dan penyedia lahan.
Membuka lapangan
Kerjasama sistem pinjaman lunak.
Tersedia pinjaman
Terpelihara SDA yang berkelanjutan.
Kerjasama petani lahan kering dengan pengusaha lokal.
Untuk perbaikan infrastruktur yang mendukung kegiatan usahatani.
Pembangunan infrastruktur sumber air (mata air)
15.
Melakukan advokasi ke BPM Aceh Besar, sebelum penyelenggaraan musrenbangdes.
Untuk terlaksana musrenbangdes yang transparan.
Melakukan hubungan/persuasive ke BPM menyangkut rencana pelaksanaan musrenbangdes.
16.
Melakukan advokasi ke Bappeda Aceh Besar, sebelum penyelenggaraan musrenbang.
Supaya terlaksana musrenbangdes yang transparan.
Melakukan hubungan/persuasif ke BPM menyangkut rencana pelaksanaan musrenbangdes.
14.
Keterangan : PLK = Petani Lahan Kering.
INDIKATOR
kerja keluarga.
lunak yang mudah pengembalian
PELAKU PLK dan
pengusaha PLK, Dinkop,
pengusaha.
WAKTU Pelaksanaan
pada tahun 2009 - 2010. Pelaksanaan
pada tahun, 2009 - 2010.
Pengusaha dan PLK.
Pelaksanaan pertengahan tahun 2008.
Tertampung aspirasi masyarakat, khususnya PLK secara institusional.
Perwakilan kelompok tani dan lembaga adat Seuneubok.
Sebelum dilakukan musrenbangdes (April 2008)
Tertampung aspirasi masyarakat, khususnya PLK secara institusional.
Perwakilan kelompok tani dan lembaga adat Seuneubok.
Sebelum dilakukan musrenbang (Juni 2008)
103
NO
PROGRAM
TUJUAN
KEGIATAN
INDIKATOR
PELAKU
WAKTU
Pemberian bimbingan teknis bidang pertanian bagi PLK
Untuk meningkatkan ketrampilan PLK dalam pemanfaatan SDA.
Pelatihan pembibitan dan perawatan tumbuhan palawija.
Memiliki ketrampilan tentang pertanian
Dinas Pertanian, BPM dan PLK
Pada triwulan ketiga tahun 2008.
Pelatihan pembibitan/ perawatan tanaman tua.
Ketrampilan tentang pertanian
Dinas Pertanian, BPM dan PLK
Pada triwulan ketiga tahun 2009.
Pemberian bimbingan teknis bidang perternakan bagi PLK
Untuk meningkatkan ketrampilan PLK dalam usaha penggemukan lembu jantan.
Pelatihan pemeliharaan/ penanganan ternak dalam kandang.
Memiliki ketrampilan tentang peternakan
Dinas Peternakan, BPM dan PLK
Pada awaltahun 2009.
19.
Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbangdes.
Untuk menyerap aspirasi masyarakat PLK sebagai ujud pola perencanaan bottonup.
Mengikutsertakan perwakilan petani lahan kering dalam musrenbangdes.
Terakses pada penyusunan program pembangunan pertanian
BPM Kab. Aceh Besar Camat Seulimeum dan PLK
Pada musrenbangdes bulan April, setiap tahun.
20.
Partisipatif petani lahan kering dalam pelaksanaan musrenbang.
Untuk berjalannya pasrtisipatif masyarakat dalam pembangunan daerah.
Mengikutsertakan unsur kelembagaan petani/lembaga adat petani lahan kering dalam musrenbang.
Tertampung kebutuhan petani lahan kering Dalama program Pemda Aceh Besar.
Bappeda dan PLK
Pada musrenbangdes bulan Juni, setiap tahun.
17.
18.
Keterangan : PLK = Petani Lahan Kering.
104
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis total pendapatan sektor pertanian dan ternak, terdapat 47,06 persen petani lahan kering yang berpendapatan di bawah standar property line Kabupaten Aceh Besar, artinya kepala keluarga ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan hidup. Dengan demikian berarti 52,94 persen petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah berpenghasilan di atas angka indikator kesejahteraan Kabupaten Aceh Besar yakni berada di atas garis kemiskinan. Berkaitan dengan rendahnya pendapatan tersebut, dikaitkan dengan aspek pengeluaran rumahtangga yang dipengaruhi jumlah tanggungan, maka pengeluaran perbulan menjadi lebih besar sehingga mengalami ketidakcukupan kebutuhan dasar. Pendapatan lebih rendah dari standar kesejahteraan daerah dan pengeluaran lebih besar dari pendapatan menunjukkan suatu indikator kemiskinan, yakni terhadap 47,06 persen kepala keluarga petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah. Tingkat keberhasilan terhadap kegiatan pengelolaan lahan pertanian (kebun dan ladang) dapat dijadikan tolok ukur adalah tingkat efektivitas penggunaan lahan dengan penghasilan rata-rata. Pendapatan rata-rata terhadap rata-rata 0,6 hektar lahan setiap kepala keluarga adalah Rp1,083,581 perbulan. Angka pendapatan ratarata dimaksud merupakan angka yang layak menurut ketentuan daerah, tetapi ketika dihubungkan dengan jumlah tanggungan, berarti perlu melakukan usahatani yang lebih maksimal lagi. Demikian juga halnya pemamfaatan lahan seluas 135 hektar untuk kegiatan penggembalaan oleh 4 kepala keluarga merupakan penggunaan lahan yang kurang efektif, namun belum ada motivasi petani lainnya untuk kegiatan tersebut. Petani
lahan
kering
Gampong
Lampisang
Dayah
dalam
kegiatan
usahataninya mengalami beberapa permasalahan yang berasal dari dalam komunitas sendiri maupun datangnya dari faktor luar komunitas, sehingga mengalami hambatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan munculnya berbagai permasalahan di sekitar pertanian lahan kering maka berpengaruh besar dalam kegiatan usahatani. Pengaruh internal maupun eksternal pengelolaan lahan adalah keterbatasan modal, SDM, penerapan teknologi dan akses pada partisipatif dalam pembangunan daerah. Di pihak lain, pengaruh yang bisa mendukung kegiatan pertanian yakni ketersediaan lahan kering yang relatif luas, peran pendamping teknis, infrastruktur jalan dan pertumbuhan pasar.
105 Berkaitan dengan identifikasi permasalahan di atas (faktor internal dan eksternal) melalui analisis matrik SWOT, berhasil disusun 10 rancangan strategi dan telah menetapkan 20 rancangan program pendekatan partisipatif yang dianggap mampu mencapai tujuan dalam upaya penguatan ekonomi petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah. Adapun prioritas yang terpenting untuk mendorong perbaikan terhadap kegiatan petani lahan kering adalah penyediaan modal usahatani,
pembentukan
kelembagaan
sosial
dan
perekonomian
terhadap
komunitasnya, pendampingan teknis pertanian, jejaring sosial dan hubungan dengan institusi Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar.
7.2 Rekomendasi Dalam upaya pemberdayaan masyarakat petani lahan kering, dengan tujuan peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan sektor pertanian, perlu dilakukan langkah-langkah berikut : 1) Pemerintah Kabupaten Aceh Besar Pemerintah Kabupaten Aceh Besar perlu meningkatkan peran dalam pengembangan masyarakat pertanian melalui instansi teknis terkait. Bappeda yang berwewenang masalah pembangunan desa, perlu memperhatikan atau melibatkan perwakilan petani lahan kering pada setiap pelaksanaan musrenbang dengan tujuan bisa menerima, menampung dan mempertimbangkan aspirasi petani lahan kering dalam setiap penyusunan perencanaan pembangunan daerah. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Aceh Besar sebagai instansi yang bertanggungjawab terhadap pemberdayaan masyarakat desa harus memfasilitasi
masyarakat
sebelum
dan
ketika
penyelenggarakan
musrenbangdes, yakni dengan melibatkan perwakilan petani lahan kering mulai tahun 2008, yakni untuk perencanaan APBK Aceh Besar tahun 2009. BPM diharapkan berfungsi seutuhnya sebagai instansi teknis yang bisa memobilisasi pemberdayaan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah Dinas Pertanian mempunyai peranan penting dalam peningkatan pengetahuan petani lahan kering melalui peran pendamping teknis khususnya dalam upaya penggarapan lahan pertanian, penanaman dan produksi pertanian. Dinas Peternakan
diharapkan
berperan
memperbaiki sistem
peternakan
tradisional kepada sistem pengemukan ternak jantan sehingga bisa membuka lapangan kerja keluarga petani lahan kering. Dinas Koperasi perlu peranannya
106 dalam upaya memfasilitasi dan mengembangkan perekonomian petani lahan kering sesuai program instansinya, dalam rangka pengembangan usahatani melalui pembentukan koperasi simpan-pinjam. 2) Peran Sektor Swasta/Pengusaha Lokal Perusahan yang beroperasi di wilayah Kecamatan Seulimeum perlu memperhatikan aspek kesejahteraan sosial masyarakat, khususnya dalam rangka pemberdayaan petani lahan kering di daerah operasionalnya termasuk petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah. Perhatian tersebut berupa pengembangan komunitas petani dengan cara merealisasikan bantuan modal dalam bentuk kerjasama maupun pemberian pinjaman lunak, secara langsung kepada perkeluarga ataupun melalui kelembagaan petani lahan kering seperti lembaga adat Seuneubok yang akan terbentuk. Demikian
juga
dengan
pengusaha
yang
mempunyai
aset
dan
kekayaannya, perlu mempertimbangkan kerjasama dengan petani lahan kering dengan investasinya terhadap pengembangan usahatani seperti kerjasama dalam proses peremajaan kebun. Potensi lahan ini akan memberi keuntungan kedua belah pihak jika dilakukan kerjasama dalam format ; petani menyediakan lahan seangkan pengusaha menyediakan modal, dan kuatnya dukungan pendamping teknis. Alasan perlunya keterlibatan sektor swasta dalam pengembangan masyarakat adalah sebagai bagian kewajiban tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap penduduk miskin di sekitar perusahaan, khususnya
terhadap
komunitas
petani
lahan
kering.
Perusahaan
yang
dimaksudkan disini di antaranya termasuk penggali dan pengolah bahan galian – C yang sudah 14 tahun beropersi di Gampong Lampisang Dayah. 3) Petani Lahan Kering Petani lahan kering perlu memperbaiki kelemahan-kelemahan dan mengantisipasi ancaman-ancaman yang bisa muncul di sekitar lingkungannya, perlu meningkatkan kerjasama dengan institusi luar desa dan memperkuat jaringan
kerja
dengan
sumber
modal.
Petani
lahan
kering
perlu
menguatkan/membentuk kembali institusi adat sebagai suatu lembaga yang berperan dalam pengembangan perkebunan dan peladangan, oleh sebab itu perlunya peran aparatur desa menunjang terbentuknya struktur lembaga adat Seuneubok.
107 Petani lahan kering perlu meningkatkan keikutsertaan dalam kegiatankegiatan
sektor
pertanian
yang
akan
diselenggarakan
instansi
teknis
Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar maupun PPL Pertanian. Keterlibatan petani harus menyeluruh, bersama pemerintah, swasta dan kelembagan lain yang berperan di komunitas ini. Disamping usahatani, bahwa prospek ekonomi sektor penggembalaan perlu diikuti oleh petani lahan kering dalam upaya pemanfaatan potensi lahan dataran rumput seluas 135 hektar, yang disesuaikan dengan program BRR. Partisipatif unsur petani lahan kering dalam penyusunan program pembangunan daerah sampai dengan evaluasi dan monitoring harus dioperasionalkan mulai tahun 2008 dalam upaya pengembangan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah.
108
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja K, Hikmat H, Participatory Research Appraisal; Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat, Bandung, Humaniora, 2004. Adisasmita Raharjo, Pembangunan Perdesaan dan Perkotaan, Yogyakarta, GI, 2006. BPS NAD, Kecamatan yang Potensil Terkena Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, [CD] , Jakarta, IHS, 2005. BPS Nasional, Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Indicators), Jakarta, BPS, 2005. -------------, Indikator Harga Konsumen di 17 Kota Indonesia, Jakarta, BPS, 1997. Dagun SM, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta, LPKN, 1997. Forum Aceh Recovery, Peningkatan Peran Masyarakat dalam Pembangunan Aceh Pasca Tsunami; Pokok-Pokok Rekomendasi Awal untuk Blue Print Pembangunan Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Tsunami, Yogyakarta, Kanisius, 2005. Gunawan AW, et. al, Pedoman Penyajian Karya Ilmiah, Bogor, IPB Press, 2007. Iskandar Yusman et. al, Ensiklopedia Pekerjaan Sosial Indonesia, Jakarta, Depsos RI, 2004 Israel Arturo, Pengembangan Kelembagaan; Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia, Jakarta, LP3ES, 1987. Kartasasmita Ginandjar, Pembangunan untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta, Cides, 1996. Kuncoro Mudrajad, Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah dan Kebijakan, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2001. La An, Konservasi Tanah dan Air di Lahan Kering, [http/www.geoole.co.id], akses tanggal 26 Juli 2007. Mubyarto et. al, Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, Yogyakarta, Aditya Media, 1994. Notohadiprawiro T, Petanian Lahan Kering di Indonesia; Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya, [http/www.geogle.co.id], akses tanggal 26 Juli 2007. Prijono OS, Pranaka, Pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan Inplementasi, Jakarta, CSIS, 1996. Rangkuti Freddy, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta, Gramedia, 2006. Riwu KJ, Prospek Otonomi Daerah di Negara Indonesia, Jakarta, Grafindo , 1997. Suharto Edi, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, Bandung, Aditama, 2005. Suparlan Parsudi, Pembangunan Yang Terpadu dan Berkesinambungan, Jakarta, Balatbangsos Depsos RI, 1994
109 Soekartawi, Agribisnis Teori dan Aplikasinya, cet. 2, Jakarta, Grafindo Persada, 1993 Supriatna Tjahya, Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan, Bandung, HUB, 1997. Syarif SM, Menuju Kedaulatan Mukim dan Gampong, Riwang U Seuneubok, Banda Aceh, YAPPIKA, 2001 Siagian SP, Manajemen Stratejik, Bumi Aksara, Jakarta, 1995. Thoha Miftah, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Yogyakarta, Raja Grafindo Persada, 1998. Todaro MP, Ilmu Ekonomi Bagi Negara Sedang Berkembang, Jakarta, Akademika, 1976. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta, Depdagri, 2001 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, Depdagri, 2004 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Jakarta, Depdagri, 2006. Uphoff Norman, Local Institutional Development An Analitytical Source Book with Cases, USA, Kumarian Press, 1993. Widodo ST, Indikator Ekonomi; Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 1993. Winardi, Pengantar Ilmu Ekonomi, Bandung, Tarsip,1995.
123 Lampiran 1
Provinsi NAD
Kabupaten Aceh Besar
Kecamatan Seulimeum
72 71
130 063
08
061
064 066
09
065
74
10
11 16
120 060
17 05 73 06
07
062
091
020
12
059 057
040
056 054
080
055
100 042
102 021
058
061
090 111
13
060
070
110 14
15
U
067
050
053
101
027 030 026 025 023 032 024 022
010 01
041
021
018
011
047
036
034
037
031 035 033
020
02
048
049 029
031
03
051 050
052
028
030
04
038 017
039
019
012
013
Keterangan : Kab. Aceh Besar
Kab. imbas Tsunami
Batas Kabupaten
Kec. Seulimeum
Kab. Tidak berimbas Tsunami
Batas Kecamatan
Lampisang Dayah
Batas desa
GAMPONG LAMPISANG DAYAH Dataran rumput (penggembalaan ternak)
(kebun/ladan)
Jalan Lingkar
Sawah (rainfed)
Irigasi dan jalan irigasi
Pemukiman penduduk
Sawah irigasi teknis
Sumber mata air
Rel PJKA
Kebun
Jalan raya Sumatra Sungai Krung Inong
Ladang/Kebun
123 Lampiran 2
No. Kuisioner : ..........
KUISIONER SURVEI PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF DI GAMPONG LAMPISAN DAYAH TAHUN 2007
A. Data Responden Petani Lahan Kering : 17 Kepala Keluarga 1. N a m a
:
..............................................................
2. U m u r
:
..............................................................
3. Jenis kelamin
:
1. Laki-laki
4. Pendidikan
:
1. Tidak tamat SD
2. Tamat SD
3. Tamat SLTP
4. Tamat SLTA
5. Pelatihan pernah diikuti
:
Perempuan
.............................................................
B. Kepemilikan lahan kering dan pemanfaatannya : 1. Berapa luas lahan kering yang Bapak miliki ? 2. Dapatkah Bapak rincikan luas lahan kebun dan lahan ladang ? 3. Berapa luas tanah jenis lain selain lahan ladang dan kebun? 4. Jenis usahatani (tumbuhan) apa saja di lahan perkebunan ? 5. Jenis usahatani (tanaman) apa saja di lahan peladangan ? 6. Jenis usahatani apa saja dikerjakan di lahan lainnya ? 7. Bagaimana mengenai tanaman padi di peladangan selama ini ? 8. Adakah Bapak melakukan ektensifikasi lahan untuk kebun ? 9. Berapa luas sudah Bapak lakukan intensifikasi kebun/ladang ? C. Pendapatan Usahatani di Lahan Kering dan Pengeluaran Keluarga dan Tingkat Kesejahteraan : 1. Berapa pendapatan Bapak pebulan dari hasil kebun ? 2. Berapa pendapatan Bapak pebulan dari pekerjaan ladang ? 3. Berapa pendapatan pebulan dari sektor lain yang merupakan pekerjaan dengan memanfaatkan lahan kering ? 4. Bagaimana pendapatan dari usahatani kebun dan ladang ? 5. Bagaimana pendapatan dari usaha penggembalaan ? 6. Berapa orang anggota keluarga Bapak ? 7. Berapa pengeluaran Bapak perbulan untuk kebutuhan keluarga ?
123
D. Permasalahan Petani Lahan Kering : Permodalan, Infrasruktur, Aplikasi Teknologi, Akses pasar, dan Kerjasama. 1. Apakah memiliki cukup akses untuk ketersediaan modal usahatani ? 2. Apakah memiliki cukup akses untuk ketersediaan modal sektor ternak ? 3. Berapa jumlah modal usaha yang telah dimilki ? 4. Darimana saja sumber modal yang telah dimiliki ? 5. Infrastruktur apa yang paling diperlukan ? 6. Apakah mendukung kegiatan Bapak dengan adanya jalan lingkar ? 7. Siapa saja yang terlibat dalam pembangunan jalan ingkar tersebut ? 8. Peralatan teknologi apa saja yang Bapak gunakan untuk usahatani ? 9. Bagaimana alat teknologi lain berkaitan dengan pekerjaan/hasil tani ? 10. Kemana Bapak memasarkan hasil pertanian dan ternak ? 11. Efektifkah menurut Bapak dengan adanya peran toke di desa ini ? 12. Bagaimana cara Bapak mengolah, memilih bibit dan pemeliharaan tanaman serta penanganan panen pertanian ? 13. Bagaimana menangani peternakan di atas lahan dataran luas ? 14. Benarkah bapak mengeluh dengan cara mengelola pertanian yang baik dan mengeluh dengan rendahnya produksi hasil usahatani ? 15. Dengan siapa/institusi mana yang berhasil Bapak kerjasama ? 16. Dalam hal apa saja bentuk kerjasama yan telah dilakukan ?
Catatan : pertanyaan ini disusun secara umum terhadap responden, ketika wawancara berlangsung dapat disesuaikan/dikembangkan menurut kebutuhan di lapangan.
123
Lampiran 3
PEDOMAN WAWANCARA (Tokoh masyarakat/Aparat Desa)
A. Data Informan : 1.
Nama
:
.............................................................
2. U m u r
:
.............................................................
3. Jenis kelamin
:
.............................................................
4. Status perkawinan
:
.............................................................
5. Jumlah tanggungan
:
.............................................................
6. Pekerjaan utama
:
.............................................................
7. Pendidikan
:
.............................................................
B. Petanyaan
:
1. Apa saja perhatian lembaga desa terhadap petani lahan kering ? 2. Jika ada perhatian, kerjasama dan hubungan apa yang telah dilakukan ? 3. Manfaat apa saja yang diperoleh bagi desa dari kegiatan mereka ? 4. Menurut pengamatan bapak, apakah kegiatan petani lahan kering bisa meningkatkan kesejahteraan keluarganya ? 5. Dengan adanya penggembalaan, bisakah tersdia lapangan kerja bagi petani lainnya ? 6. Seingat bapak, bagaimana asal-usul muncul sektor penggembalaan ? 7. Sejauh pengetahuan bapak, bagaimana kerjasama dengan pihak lain dalam memperoleh modal usaha penggembala ? 8. Bisakah dijelaskan mengenai status lahan yang dipergunakan untuk pertanian dan gembalaan ? 9. Menurut bapak, mungkinkah dibentuk kelompok tani di desa ini untuk petani lahan kering ?
Catatan : pertanyaan ini disusun secara umum terhadap informan, ketika wawancara berlangsung dapat disesuaikan/dikembangkan menurut kebutuhan di lapangan.
123 Lampiran 4
PEDOMAN WAWANCARA (Stakeholders ; Pengusaha)
A. Data Informan : 1. N a m a
:
.............................................................
2. U m u r
:
.............................................................
3. Jenis kelamin
:
.............................................................
4. Status perkawinan
:
.............................................................
5. Jumlah tanggungan
:
.............................................................
6. Pekerjaan utama
:
.............................................................
7. Pendidikan
:
.............................................................
B. Petanyaan
:
1. Benarkah bapak bekerjasama dalam pemodalan ternak ? 2. Jika ya, sejak kapan memodali peternakan tersebut ? 3. Bagaimana gambaran proses pemodalan// hasil dengan penggembala ? 4. Bagaimana prospek pasar terhadap produksi kegiatan ternak ? 5. Menurut evaluasi bapak yang perlu dilanjutkan peternakan atau perkebunan ? 6. Apa perhatian bapak selain modal, apa membenah kelembagaan atau jaringan kerjasama ? 7. Bagaiman komentar bapak terhadap petani lahan kering desa ini jika dibentuk kelompok dan diberi modal ?
Catatan : pertanyaan ini disusun secara umum terhadap informan, ketika wawancara berlangsung dapat disesuaikan/dikembangkan menurut kebutuhan di lapangan.
123 Lampiran 5
PEDOMAN WAWANCARA (Informan ; Mantri Hewan)
A. Data Informan : 1. N a m a
:
.............................................................
2. U m u r
:
.............................................................
3. Jenis kelamin
:
.............................................................
4. Status perkawinan
:
.............................................................
5. Jumlah tanggungan
:
.............................................................
6. Pekerjaan utama
:
.............................................................
7. Pendidikan
:
.............................................................
B. Petanyaan
:
1. Sebagai mantri hewan, apa saja peran bapak terhadap ternak dan petani lahan kering peternak di Gampong Lampisang ? 2. Kapan saaj bapak mengunjungi lapangan ? 3. Dimana tempatnya jika dilakukan pembinaan dan punyuluhan / 4. Bentuk apa saja jasa yang bapak berikan bagi usaha mereka ? 5. Dalam penyusunan program (musrenbang), pernakah dilibatkan unsur petrnak dan petani lahan kering lainnya ? 6. Adakah pelibatan petani lahan kering, selain musrenbang ? 7. Adakah perhatian khusus Pemda Aceh Besar
kepada petani lahan
kering melalui Mantri hewan ? 8. Sepengetahuan bapak, pernahkah pemda Aceh Besar memberikan bantuan modal/pinjaman petani lahan kering /peternak tersebut ? 9. Bagaimana komentar bapak terhadap petani lahan kering desa ini jika dikembangakan dengan cara apa ?
Catatan : pertanyaan ini disusun secara umum terhadap informan, ketika wawancara berlangsung dapat disesuaikan/dikembangkan menurut kebutuhan di lapangan.
123 Lampiran 6
PEDOMAN WAWANCARA (Informan : PPL Pertanian)
A. Data Informan : 1. N a m a
:
.............................................................
2. U m u r
:
.............................................................
3. Jenis kelamin
:
.............................................................
4. Status perkawinan
:
.............................................................
5. Jumlah tanggungan
:
.............................................................
6. Pekerjaan utama
:
.............................................................
7. Pendidikan
:
.............................................................
B. Petanyaan
:
1. Sebagai PPL Pertanian, apa saja peran bapak terhadap petani lahan kering Gampong Lampisang ? 2. Kapan saaj bapak mengunjungi lapangan ? 3. Dimana tempatnya jika dilakukan pembinaan dan punyuluhan / 4. Bentuk apa saja jasa yang bapak berikan bagi usaha mereka ? 5. Dalam penyusunan program (musrenbang), pernakah dilibatkan unsur petani lahan kering tersebut ? 6. Adakah pelibatan petani lahan kering, selain musrenbang ? 7. Adakah perhatian khusus Pemda Aceh Besar kepada petani lahan kering melalui bapak sebagai PPL ? 8. Sepengetahuan bapak, pernahkah pemda Aceh Besar memberikan bantuan
modal/pinjaman
kepada
petani
lahan
kering
untuk
pengembangan kebun/ladang ? 9. Bagaimana komentar bapak terhadap petani lahan kering desa ini jika dikembangkan dengan cara apa ?
Catatan : pertanyaan ini disusun secara umum terhadap informan, ketika wawancara berlangsung dapat disesuaikan/dikembangkan menurut kebutuhan di lapangan.
123
Lampiran 7
KUISIONER SWOT PENGUATAN PETANI LAHAN KERING MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF DI GAMPONG LAMPISANG DAYAH TAHUN 2007
DATA RESPONDEN
1.
Nama
:
........................................................................
2.
Umur
:
........................................................................
3.
Jenis kelamin
:
........................................................................
4.
Pendidikan terakhir
:
........................................................................
FAKTOR INTERNAL PETANI LAHAN KERING
BOBOT
1.
Mengenai ketersediaan lahan kering (SDA)
1
2
3
4
2.
Kemampuan kerjasama dan jejaring sosial komunitas
1
2
3
4
3.
Mengenai ketersediaan modal usahatani
1
2
3
4
4.
Mengenai Ketersediaan tenaga kerja berkualitas (SDM)
1
2
3
4
5.
Menyangkut Penerapan teknologi pertanian
1
2
3
4
6.
Pemamfaatan Infrasruktur kegiatan usahatani lahan kering
1
2
3
4
FAKTOR EKSTERNAL PETANI LAHAN KERING
BOBOT
1.
Menyangkut peranan kelembagaan tingkat desa
1
2
3
4
2.
Mengenai kesempatan dalam musrenbangdes
1
2
3
4
3.
Proses interaksi pasar terhadap produksi ternak
1
2
3
4
4.
Hubungan dengan tenaga pendamping teknis
1
2
3
4
5.
Menyangkut perhatian pengusaha tentang modal
1
2
3
4
6.
Peran ORNOP dalam pengembangan petani
1
2
3
4
123
123
123 Lampiran 10
PEDOMAN FOCUSED GROUP DISCUSSION
A. Identifikasi Permasalahan, Rendahnya penghasilan petani lahan kering sehingga belum meningkatkan kesejahteraan. Bagaimanakah permasalahan dengan ;
bisa
1. Terbatasnya akses kepada sumber modal usaha. 2. Belum tersedia infrastruktur penunjang kegiatan tani. 3. Rendahnya penerapan peralatan teknologi. 4. Belum terjadi interaksi pasar. 5. Belum berkembang kelembagaan desa 6. Kerjasama belum terjalin 7. Rendahnya SDA dan SDM. 8. Tidak dilibatkan dalam program (perencanaan) pemerintah B. Identifikasi Penyusunan Program, Berdasarkan permasalahan di atas dan hasil analisis SWOT, bagaimana strategi dan rancangan program yang tepat dilakukan ; 1. Dengan permasalahan yang ada, mana yang paling prioritas ditanganai ? 2. Dengan kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman apa strategi penanganannya ? 3. Jika program dilakukan, apa tujuannya ? 4. Siapa yang bertanggungjawab dan darimana sumber dana kegiatan ? 5. Terhadap siapa saja diperuntukkan kegiatan dan dimana dilaksanakan ? 6. Mengapa program/kegiatan itu dilaksanakan ? 7. Mungkinkah dilakukan tahun 2008, dan bagaimana mekanismenya ?
Catatan : Pedoman FGD ini disusun secara umum terhadap peserta (responden) ketika FGD berlangsung, pertanyaan dapat dikembangan.
123
Lampiran 11 Kepemilikan Lahan Kering Responden LAHAN KEBUN
LAHAN LADANG
TOTAL LAHAN KERING
URUTAN RESPONDEN
LUAS (M²)
PERSEN
LUAS (M²)
PERSEN
LUAS (M²)
1
2
3
4
5
6
9.205
14,70
11.310
PERSEN
7
1.
2.105
4,18
10,01
2.
2.650
5,26
-
0
2.650
2,35
3.
2.835
5,63
3.345
5,34
6.180
5,47
4.
2.400
4,77
-
0
1.860
1,65
5.
5.725
11,37
3.475
5,55
9.200
8,14
6.
2.050
4,07
3.300
5,27
5.350
4,73
7.
1.505
2,99
6.200
9,90
7.705
6,82
8.
2.215
4,40
1.800
2,87
4015
3,55
9.
2.510
4,98
5.080
8,11
7.590
6,72
10.
4.390
8,72
-
0
4.930
4,36
11.
4.300
8,54
-
0
4.300
3,81
12.
2.500
4,96
10.600
16,92
13.100
11,59
13.
2.100
4,17
-
0
2.100
1,86
14.
2.380
4,73
-
0
2.380
2,11
15.
5.100
10,13
15.430
24,63
20.530
18,17
16.
2.480
4,92
-
-
2.480
2,19
17.
3.120
6,19
4.200
6,71
7.320
6,48
JUMLAH
50.365
100
62.635
100
13.500
100
RATA-RATA
3.684
5,88
2.963
5,88
6.647
5,88
123 Lampiran 12
PENGELUARAN KELUARGA RESPONDEN SESUAI ANALISIS KEBUTUHAN PERBULAN
URUTAN RESPON DEN
ANGGOTA KELUARGA
JENIS PENGELUARAN RUMAHTANGGA (RP) MAKANAN (PANGAN)
PERUMAHAN
SANDANG
BARANG DAN JASA
JUMLAH PENGELUARAN JUMLAH (RP)
PERSEN
1.
6
62,4000
93,600
62,400
156,000
936,000
7,96
2.
4
41,6000
62,400
41,600
104,000
624,000
5,31
3.
2
20,8000
31,200
20,800
152,000
412,000
3,51
4.
3
31,2000
46,800
31,200
78,000
468,000
3,98
5.
7
72,8000
109,200
72,800
182,000
1,092,000
9,29
6.
8
83,2000
124,800
83,200
208,000
1,248,000
10,62
7.
5
52,0000
78,000
52,000
130,000
780,000
6,64
8.
3
31,2000
46,800
31,200
78,000
468,000
3,98
9.
3
31,2000
46,800
31,200
78,000
468,000
3,98
10.
6
62,4000
93,600
62,400
156,000
936,000
7,96
11.
4
41,6000
62,400
41,600
104,000
624,000
5,31
12.
4
41,6000
62,400
41,600
104,000
624,000
5,31
13.
3
31,2000
46,800
31,200
78,000
468,000
3,98
14.
2
20,8000
31,200
20,800
177,000
437,000
3,72
15.
6
62,4000
93,600
62,400
156,000
936,000
7,96
16.
4
41,6000
62,400
41,600
104,000
624,000
5,31
17.
4
41,6000
62,400
25,600
04,000
607,400
5,17
JUMLAH
74
7.696,000
1,154,400
753,800
1,971,000
11,474,400
100
123
Lampiran 13
PERBANDINGAN HARGA RATA-RATA PEMASARAN KOMODITI PETANIAN KEADAAN OKTOBER 2007
NO
JENIS KOMODITI PERTANIAN
HARGA PASAR SATUAN LAMPISANG DAYAH
BANDA ACEH
700
-
850
6,500
-
6,800
Pisang
22,000
-
30,000
4.
Biji Kopi kering **)
22,500
-
23,000
5.
Cabe merah
7,500
-
8,000
7,800
6.
Jagung buah
625
-
650
7.
Kacang tanah kupas
5,500
-
8.
Tomat lokal
6,000
-
9
Ubi pohon
1.
Kelapa
2.
Biji Pinang
3.
10.
Minyak kelapa lokal
8,000
-
800
-
1,000
-
*)
-
butir kg
35,000
tandan
22,000
kg
-
8,200
kg
700
-
750
5,800
5,500
-
6,000
kg
6,500
6,300
-
6,700
kg
60,000
65,000
-
70,000
karung
8,300
25,000
-
*)
buah
kg
Keterangan : *) Tidak terjadi pemasaran di Banda Aceh, dan lebih mahal di Seulimeum. **) Lebih mahal di tingkat desa, karena diolah di Seulimeum untuk konsumsi Aceh Besar
123
Gambar/Foto Penembangan Petani Lahan Kering.
Jalan lingkar melintasi wilayah lahan kering kerjasama KSM dan Swadaya desa
Lahan Kering berupa dataran rumput merupakan lokasi perlepasan ternak lembu
123
Lahan kering yang di kuasai penggembala, rencana pengembangan usahatani
Ternak penggembala ketika sore dimasukkan ke kandang , paginya dilepaskan ke lahan dataran rumput (tanah negara) seluas 135 hektar
123
Sawah Terlantar menjadi lahan rumput ternak lembu selama musim hujan