STRATEGI DALAM BERBISNIS
Oleh: MARSA BAGUS PRATAMA 10.02.7679
STMIK “AMIKOM” YOGYAKARTA YOGYAKARTA 02 APRIL 2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “STATEGI DALAM BISBIS” ini dengan lancar. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah lingkungan bisnis oleh Prof.M.M.Suyanto sebagai syarat kelulusan. Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Bisnis, serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan Bisnis, tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar matakuliah Lingkungan bisnis atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada teman – teman kost dan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini. Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Strategi Bisnis, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Yogyakarta, 20 maret 2011
Penulis
Abstrak
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia sekarang ini sangatlah banyak sekali,Perkembangan Perusahaan kecil,menengah dan atas dalam menghadapi pasar regional dan global harus didasari pada upaya yang keras dan terus menerus dalam menjadikan Perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang tangguh.Oleh karena itu produk yang dibuat suatu perusahaan sekurang kurangnya memiliki keunggulan yang kooperatif,bahkan sangat diharapkan dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu produk yang menarik bagi masyarakat. Pendekatan klaster bisnis merupakan upaya pengembangan usaha BISNIS secara sistemik, sehingga usaha yang ada di dalamnya mempunyai peluang untuk menjadi usaha yang handal dan kompetitif. Strategi pengembangan usaha harus atas dasar kekuatan dan tantangannya, olehkarena itu harus ditopang secara kuat terutama oleh adanya akses ke sumber dana, pasar, sumber bahan baku, teknologi dan Informasi serta manajemen. Kata Kunci: Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Pasar Regional dan Global, Ketahanan Ekonomi, Sistem Kebersamaan Ekonomi, Sistem Kluster Bisnis, Sentra Bisnis, Busines Development Sevices
Permasalahan Etika dalam Bisnis Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua, obat antinyamuk HIT yang
diketahui
memakai
bahan
pestisida
berbahaya yang
dilarang
penggunaannya
sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan
lebih mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada
mengatasi soal lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran. Atas
kasus-kasus
itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan yang sudah berbelatung.Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang saham.Harus diakui,kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala
cara
berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi
semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis. Namun, belakanganbeberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Salah satu kasus
yang
sering
dijadikan
acuan
adalah
bagaimana Johnson
&
Johnson
menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982.Padakasus itu, tujuh orang mati secara
misterius
ternyata Tylenol guna
mengetahui
botol
Tylenol
setelah mengonsumsi Tylenol
dinyatakan
Setelah
diselidiki,
itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih
dilakukan
pihak
yang bertanggung
jawab,
di Chicago.
(J&J)
J&J segera
menarik
31 juta
di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi
produk
itu hingga pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA
(BPOM- nya keracunan
Amerika
Serikat)
menyelidiki
kasus
itu.
Hasilnya
membuktikan,
itu disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol.
Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena kesigapan
dan
tanggung
jawab
yang
mereka
tunjukkan,
perusahaan
itu
berhasil
membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk segera kembali
menjadi pemimpin
pasar
(market leader) di Amerika Serikat. Secara
jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen di perusahaan dan
Fred
berbuah Kiel,
keuntungan
2005
(dalam
lebih besar Itpin,
berargumen bahwa perusahaan-perusahaan
2006)
penulis
yang
juga dikemukakan
kepentingan
buku Moral
Intelligence,
memiliki pemimpin yang menerapkan dalam
jangka
panjang.
Hal
miliuner Jon M Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam
buku Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci sebagai
atas
kepada perusahaan. Doug Lennick
standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses sama
itu
utama
kesuksesan
adalah
reputasinya
pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada
beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis
harus belajar untuk berpikir jangka panjang.
Peran masyarakat,
terutama
melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat
dibutuhkan
untuk
membantu
meningkatkan
etika
bisnis
berbagai
perusahaan di Indonesia. Sebuah
studi
selama
dua
tahun
yang
dilakukan
The
Performance
Group,
sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries,Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang
ramah
EPS
(earning
lingkungan
dan peningkatan
per share)
perusahaan,
environmental compliance bisa
menaikkan
mendongkrak profitability, dan menjamin
kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan
besar
yang
terbukti
melakukan
komitmen
dengan
publik
yang berlandaskan pada kode etik akan
meningkatkan market value added sampai dua- tiga tidak melakukan hal serupa. Bukti University
di tahun 1997
komitmen
korporat
lain, seperti
lain
yang
riset yang dilakukan oleh DePaul
menemukan bahwa
mereka
kinerja finansial (berdasar
kali daripada perusahaan
perusahaan
dalam menjalankan
yang
prinsip-prinsip
merumuskan etika memiliki
penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain
yang tidak melakukan hal serupa (lihat Iman, 2006). Praktik Bisnis Masih Abaikan Etika Rukmana
(2004)
menilai
praktik bisnis yang
dijalankan
selama
ini masih
cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas sampai ke daerahdaerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi di bawah
meja,
sekarang
sampai
yang sebelumnya
ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk moral
hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan untuk mencapai kelompok
segala
mecam
cara
tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan
untuk
eksistensi
keberlanjutan kelompok.
Terapi
ini
semua
adalah
pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik. Dalam
kaitan
pemahaman
dengan
para pelaku
etika bisnis, terutama
usaha
terhadap
ekonomi
bisnis
berbasis
syariah
selama
syariah, ini masih
cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk perbankan
maupun
asuransi syariah. Dicontohkan,
meski tidak "mengenal" implementasi
etika
sistem syariah, namun
bisnis
tersebut,
Rukmana
segmen
pasar konvensional,
potensinya
cukup tinggi. Mengenai
mengakui
beberapa pelaku
memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut. Namun, pemahaman
dari masing-masing
pelaku usaha
mengenai
kemasyarakatan
atau
sekelompok yang
orang sangat
melingkupinya.Walaupun
tergantung
usaha karena
etika bisnis berbeda-beda
selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula, Keberadaan etika dan diri seseorang
usaha
pada
seseorang
moral pada kualitas sistem
atau
sekelompok
orang
dapat
mencoba
mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai
sebuah variabel yang sangat rentan terhadap kualitas etika dan
moral seseorang
pengaruh
atau
kualitas sistem
sekelompok
orang
kemasyarakatan,
sewaktu-waktu
dapat
berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum justru sangat
pun masih
belum
banyak
mendapat
lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan
perhatian. Sebaliknya, bahwa
berbisnis sama
artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan
moral
adalah
sebuah
wilayah
pertanggungjawaban
pribadi.
Sedangkan wilayah
hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan yang
masuk
kategori
moral, dengan perbuatan
perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat
dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah
korupsi
sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara
hukum. Demikian halnya
dengan
masalah
lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
penggelapan
pajak,
pencemaran