PELAKSANAAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN UNDANG-UNDANG KEIMIGRASIAN
Thesis
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Magister Hukum Pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Oleh: LUCKY AGUNG BINARTO NIM B4A 098 049 / SPP
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006
i
PERSETUJUAN
Thesis ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Thesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Dosen Pembimbing Thesis
Prof. Dr. Lobby Loqman, S.H.
ii
PENGESAHAN
Thesis ini telah Dipertahankan Di Depan Dewan Penguji Thesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Pada
:
Hari
:
Tanggal
:
Thesis Ini telah Diterima Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Mengetahui
Pembimbing
Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Prof . Dr. Lobby Loqman, S.H.
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. NIP. 130 307 058
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas perkenankan-Nya penulis dapat menyelesaikan Thesis ini dengan judul: “.PELAKSANAAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
DIREKTORAT
JENDERAL
IMIGRASI
DALAM
RANGKA
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN UNDANG-UNDANG KEIMIGRASIAN”, dengan sebaik-baiknya. Thesis ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan untuk meraih gelar Magister Hukum pada Program Magister Hukum Universitas Universitas Diponegoro Semarang. Adapun yang dibahas oleh thesis ini adalah menyangkut pelaksanaan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Imigrasi Dalam rangka Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran UndangUndang Keimigrasian. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak penyusunan thesis ini tidak akan berjalan dengan sebaik-baiknya. Maka dalam kesempatan ini,
penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada yang
terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. Lobby Loqman, S.H., selaku Pembimbing Thesis, yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan thesis, sehingga thesis dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
iv
2. Bapak Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, yang berkenan memberikan ijin dan kesempatan kepada Penulis untuk melakukan penelitian thesis. 3. Bapak Drs. M. Imam Santoso, S.H.. M.H. M.M., selaku Direktur Jenderal Imigrasi, yang berkenan memberikan ijin serta kemudahan bagi penulis untuk mengumpulkan berbagai data dan informasi yang berkaitan dengan thesis. 4. Bapak M. Indra, S.H. M.H., selaku Direktur Penindakan Keimigrasian dan Rumah Detensi Imigrasi, yang telah memberikan dorongan motivasi kepada penulis,
sekaligus berbagai bahan yang diperlukan
dalam pelaksanaan
penulisan thesis ini 5. Rekan-rekan sejawat di di Seksi Penyidikan Kejahatan Keimigrasian, yang dengan penuh keterbukaan dan ketulusan menerima kehadiran penulis sekaligus memberikan berbagai bahan yang diperlukan dalam penulisan thesis. 6. Dan semua pihak yang telah membantu dan mendorong penulis dalam penyusunan Thesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu hingga terselesaikannya penyusunan Thesis ini. Penulis menyadari bahwa tiada gading yang retak, untuk itu berbagai kritik, saran dan masukan sangat Penulis harapkan dari berbagai pihak demi penyempurnaaan Thesis ini. Demikian mudah-mudahan Thesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya dalam pelaksanaan penegakan hukum undang-undang keimigrasian. Surakarta,
Januari 2006
PENULIS
v
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………iii KATA PENGANTAR ............................................................................... iv DAFTAR ISI............................................................................................. vii ABSTRAK ............................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1 B. Perumusan Masalah ..................................................................... 24 C. Tujuan penelitian .......................................................................... 25 D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 25 E. Metode Penelitian ........................................................................ 25 F. Sistematika Thesis ........................................................................ 28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Keimigrasian……………………………30 B. Tinjauan Umum tentang Hukum Acara Pidana…………………...37 C. Tinjauan Umum tentang Penegakan Hukum………………………58 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Imigrasi dalam Rangka Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran UU Keimigrasian…………………………67 B. Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian oleh PPNS Imigrasi……………………….105 C. Hal-Hal Yang Perlu Dipertimbangkan dalam Kebijakan Formulatif tentang Kewenangan Penyidikan oleh PPNS Agar Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran UU Keimigrasian Lebih Optimal……………………………………………………109
vi
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................... 117 B. Saran-saran .................................................................................... 119 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 120 LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
ABSTRAK Keberadaan penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan imigrasi walaupun diakui oleh UU No 9 tahun l992, akan tetapi dalam implementasi ternyata kurang nampak keberadaannya. Hal demikian disebabkan oleh terlalu dominannya peran pejabat penyidik Polri dalam penanganan suatu perkara tindak pidana keimigrasian. Walaupun secara tehnis keimigrasian, penyidik pegawai negeri sipil dianggap lebih menguasai permasalahan, akan tetapi kewenangan memutuskan suatu permasalahan keimigrasian tetap di tangan penyidik Polri. Kewenangan yang bersifat setengah-setengan ini menyebabkan rasa kikuk bagi penyidik pegawai negeri sipil dalam melakukan tugasnya di bidang penyidikan tindak pidana keimigrasian. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan (1) Bagaimanakah Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian Ditjen Imigrasi Dalam Rangka Penegakan Hukum Pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian, (2)Kendala-kendala apakah yang dialami oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian dalam melaksanakan tugas penegakan hukum terhadap pelanggaran di bidang keimigrasian, (3)_.Hal-hal apakah yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan formulatif tentang kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil agar penegakan hukum terhadap pelanggaran keimigrasian lebih optimal Penelitian ini bersifat deskriptif dan dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian di Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI.. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan penelitian kepustakaan baik buku-buku, peraturan perundang-undangan, makalah-makalah, hasil penelitian terdahulu, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data menggunakan analisis kuali Berdasarkan penelitian ini, diperoleh hasil bahwa Pelaksanaan penyidikan pelanggaran undang-undang keimigrasian yang dilakukan oleh PPNS Keimigrasian dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur KUHAP sebagian besar pelaku pelanggaran undang-undang keimigrasian dikenakan sanksi yang bersifat tindakan administratif. Pelaku pelanggaran undang-undang keimigrasian yang diperiksa dan dijatuhi pidana oleh pengadilan, jumlahnya sangat sedikit. Kendala-kendalanya adalah berkaitan dengan pengalokasian anggaran yang masih belum memadai, sumber daya manusia yang masih belum memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, koordinasi yang belum baik antara kepolisian dengan kejaksaan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan formulatif tentang kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil agar penegakan hukum terhadap pelanggaran keimigrasian lebih optimal adalah :cakupan wewenang PPNS keimigrasian perlu diperluas, mekanisme penyelesaian permasalahan berkas yang berlarut-larut dalam pemeriksaannya oleh kejaksaan. Perlu dirumuskan secara tegas dan jelas pejabat mana yang bertanggung jawab sebagai pengendali atau sebagai the top law enforcement officer, khususnya dalam penegakan hukum undang-undang keimigrasian. Kata Kunci : Penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Penegakan Hukum.
viii
ABSTRACT The aim of the study are to reveal (1) the implementation of investigation by public officer investigator for law enforcement of immigration offence, (2) the obstacles faced by immigration investigator during they perform their duties, (3) Formulative policy that should be considered to make the law enforcement of immigration offence running optimally. This is a descriptive research, as legal research is categorized an empirical study. The study take place at Directorate Generale of Immigration. The resources of data is primer and seconder material. The data collected is analized by qualitative method. The research result showing that immigration offence investigation implementation is based to criminal procedure existed. Most of sanction for the immigration offence perpetrator are categorized as an administration sanction called immigration measures. Only a few perpetrator imposed a penal sanction determined by court. An Immigration officer have strong authorities to consider whether aliens break immigration law should be imposed administration sanctiorn or bring them to court for penal sanction. Mostly immigration officer consider the factor of social, cultural, economic and safety or social order in deciding the type of sanction for the aliens violating immigration law. The obstacles in law enforcement are such as lack of budget, the human resources quality is pretty poor, bad coordination between police and attorney office. Many things should be considered within formulative policy concerning immigration investigator authorities are : enlarging the authorities of immigration investigator at least even with the policy authorities stipulated by criminal procedure code. The immigration investigator allowed to hand over investigation document directly to attorney office with out police aid . The formulation of the top law enforcement officer, should be clearly stipulated within immigration law, especially for the law enforcement of immigration law violation. Key words : Investigation, Public Officer Investigator, Law Enforcement.
ix
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Secara geografis letak negara Republik Indonesia sangat strategis, yaitu terletak di daerah katulistiwa dan tersebar di antara dua samudera, samudera Pasifik dan samudera Indonesia serta diapit oleh Benua Asia dan Australia. Keadaan demikian ini menjadikan negara Indonesia menjadi tumpuan kunjungan orang asing. Letak geografisnya yang merupakan jalan silang bagi lalu lintas perdagangan internasional. Ditambah pula dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah menjadikan Indonesia menjadi tumpuan perhatian negara-negara lain di bidang politik, sosial ekonomi dan keamanan dengan memanfaatkan kemajuan tehnologi di bidang transportasi. Memasuki millennium III yang ditandai dengan bergulirnya globalisasi di seluruh kehidupan masyarakat dunia dan berkembangnya teknologi di bidang informasi, yang seolah-olah menembus batas wilayah kenegaraan, aspek hubungan kemanusiaan yang selama ini bersifat nasional berkembang menjadi bersifat internasional. Di lain pihak, tumbuh dan berkembangnya tuntutan terwujudnya tingkat kesetaraan dalam aspek kehidupan kemanusiaan, mendorong adanya kewajiban untuk mengormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal. Arus globalisasi dunia sejak dahulu telah membawa dampak pada peningkatan lalu lintas orang dan barang antar Negara, sehingga batas-batas negara semakin mudah ditembus demi berbagai kepentingan manusia, seperti perdagangan, industri, pariwisata dan sebagainya. Fenomena ini sudah menjadi hal atau perhatian Negara-negara di dunia sejak dahulu sebab setiap negara mempunyai kedaulatan untuk mengatur lalu lintas orang yang akan masuk dan keluar wilayah negaranya dan bahkan untuk berkunjung maupun untuk berdiam sementara. Era globalisasi yang terjadi dalam dekade terakhir mengakibatkan adanya perubahan hubungan antar negara dan “dalam” negara. Arus informasi, modal dan
2 manusia bergerak sangat cepat melintasi semua batasan wilayah Negara. Tidak ada satu negara pun yang dapat melingkupi semua aspek ketatanegaraan dalam satu mekanisme dan sistem kontrol yang berdiri sendiri tanpa adanya kerjasama dengan negara lain1. Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam satu ruang, yaitu globus atau dunia.. Proses globalisasi bertujuan untuk menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa di dunia. Globalisasi dapat diartikan sebagai tidak lebih dari kelanjutan proses ekspasionisme negara-negara kapitalis Barat yang dimulai sejak abad ke-17, yang mengutamakan hubungan kebergantungan tanah jajahan pada negara penjajah di segala bidang. Pada masa sekarang pihak-pihak yang terlibat adalah di satu pihak negara anggota Government 7 (G-7) yang dipimpin oleh Amerika Serikat sebagai subjek dan pihak lain negara berkembang berlebihan
kalau
kemudian
dan negara miskin sebagai objek. Tidak
muncul
anggapan
bahwa
globalisasi
adalah
“Amerikanisasi“. Globalisasi adalah suatu proses masyarakat dunia yang akan saling berhubungan di dalam semua fase kehidupannya. Dengan demikian terjadi saling kebergantungan dalam banyak hal: dalam bidang politik, ekonomi, masyarakat, kebudayaan, teknologi, informasi, bahkan pertahanan dan keamanan. Hal inilah yang mendorong banyak negara untuk mencari kesepakatan dalam melakukan penyesuaian di setiap bidang kehidupan dengan maksud mempermudah tata pergaulan dunia. Globalisasi sebagai suatu proses memang mengalami akselerasi sejak beberapa dekade terakhir, dimana dalam proses tersebut dunia telah ditempatkan sebagai kesatuan yang utuh. Keadaan demikian telah mengisyaratkan bahwa relasi antar kekuatan bangsa-bangsa di dunia akan sangat mewarnai permasalahan sosial, ekonomi, dan hukum dari suatu negara. Globalisasi yang digerakkan oleh perdagangan dan kemajuan teknologi teknologi telah melancarkan arus pergerakan orang, barang, jasa, uang dan informasi serta telah memberikan pengaruh yang 1
Syahrial Loetan, 2003, Millenium Development Goals (MDG) dan Program Pembangunan di Indonesia, Artikel dalam Jurnal Hukum Internasional Lembaga Kajian Hukum Internasional FH UI, Volume 1 Nomor 1 Oktober, hal 61.
3 besar terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Di sisi lain, globalisasi jika tidak diwaspadai, globalisasi dapat menjadi potensi yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Meskipun permasalahan demikian pada mulanya tampak domestik, akan tetapi lambat laun menyingkapkan adanya kekuatan antar bangsa. Dari titik ini permasalahannya menjadi kian rumit dan kalangan intelektual berusaha untuk mendeskripsikan fenomena tersebut, yang awalnya memiliki arah domestik, bersifat lokal, dan serta merta telah masuk kedalam tataran global. Di samping itu, hal tersebut juga muncul bersamaan dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara luas. Implikasi dari kehidupan dunia yang bersatu inilah yang disebut sebagai globalisasi, dimana hal tersebut selalu diidentikkan dengan adanya gejala transformasi, atau melampaui batas-batas transnasional. Perkembangan tersebut yang ditandai pula dengan adanya kemajuan pesat di bidang teknologi transportasi, komunikasi, dan informatika modern merupakan hal penting yang harus mendapatkan perhatian dalam pembangunan nasional. Hukum, terutama dalam hal ini yang harus selalu mengikuti perkembangan perubahan peradaban sosial masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi serta globalisasi keuangan terutama telah mengakibatkan semakin mendunianya perdagangan barang dan jasa. Kemajuan tersebut tidak selamanya menimbulkan dampak positif bagi negara dan masyarakat. Kemajuan dalam berbgai bidang justru terkadang menjadi sarana yang subur bagi berkembangnya kejahatan. Menurut Muladi2, globalisasi harus dipandang tidak hanya sebagai kendala atau ancaman atau bahaya tetapi juga sebagai kesempatan emas bagi Negara-negara untuk meningkatkan pembangunan nasionalnya masing-masing. Globalisasi yang saat ini sedang terus berjalan akan terus meningkat di masa dating dan akan menjadi variable yang berpengaruh bagi perkembangan hukum di masa datang. Pada masa lalu perubahan sosial yang cepat akibat modernisasi sudah dirasakan sebagai sesuatu yang potensial dapat menimbulkan keresahan dan ketegangan sosial (social unrest and social tension). Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntut 2
Muladi, 1996, Perkembangan Bentuk-Bentuk Kejahatan Era Globalisasi, hal.1.
4 adanya norma-norma kehidupan sosial baru, yang menyibukkan badan legislatif, lembaga-lembaga penyelesaian sengketa (in and-out court) dan usaha-usaha untuk sosialisasi ketentuan hukum baru. Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat ditemukannya alatalat komunikasi modern, alat transportasi dan informasi canggih, issue modernisasi menjadi mendunia dan memunculkan fenomena baru berupa globalisasi yang menuntut perubahan sistem hukum (legal system) yang sering sama sekali baru. Tanpa perubahan ini, secara nasional akan memunculkan tuduhan-tuduhan baru, seperti penguasa tidak menjamin kepastian hukum, kurang adanya perlindungan terhadap bahaya bagi ketenteraman hidup (peaceful life) dalam berbagai kehidupan sosial, penegakan hukum aktual akan jauh berbeda dari penegakan hukum ideal, hukum dianggap hanya melindungi yang kuat, pelanggaran HAM dan sebagainya. Muladi3 juga menegaskan bahwa perubahan sosial akibat modernisasi dan globalisasi tidak merupakan sesuatu yang bersifat fakultatif (change is not option) dan tak dapat dihindari. Keduanya merupakan sesuatu yang alamiah yang timbul serta merta akibat kompleksitas dan heterogenitas hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial, akibat penemuan alat-alat teknologi modern. Globalisasi menimbulkan perubahan drastis dalam hal potensi ancaman yang akan membawa ekses pada menguatnya berbagai kejahatan lintas negara secara terorganisir, seperti pembajakan, penyelundupan, pencurian kekayaan alam, penjualan pasir, pencurian hak paten, pencemaran laut, pencucian uang (money laundering), pencurian ikan, kejahatan maya (cyber crime), pemalsuan dokumen dan perdagangan narkoba. Penanganan berbagai ancaman di atas membutuhkan kemampuan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk mengatasi kejahatan seperti kejahatan korporasi, kejahatan terorganisir, kejahatan perbankan, kejhatan pasar modal, kejahatan internet, kejahatan transportasi, kejahatan konsumen dan persaingan curang, kejahatan kartu kredit dan pemalsuan cek, kejahatan bidang asuransi, kejahatan di bidang kepailitan, kejahatan pencucian uang, kejahatan penggelapan pajak, kejahatan ekspor fiktif, kejahatan penimbunan barang kebutuhan rakyat dan kejahatan malpraktek profesi. 3
Muladi, ibid., hal. 2.
5 Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang menimbulkan berbagai dampak baik yang menguntungkan maupun yang merugikan kepentingan dan kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia sehingga diperlukan pengaturan peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak asasi manusia Dampak dari globalisasi telah mempengaruhi sistem perekonomian negara Republik Indonesia dan untuk mengantisipasinya diperlukan perubahan peraturan perundangan baik di bidang ekonomi, industri, perdagangan, transportasi, ketenagakerjaan maupun peraturan di bidang lalu lintas orang dan barang. Perubahan tersebut diperlukan guna lebih dapat meningkatkan imtensitas hubungan negara Republik Indonesia dengan dunia internasional yang mempunyai dampak sangat besar terhadap pelaksanaan fungsi dan tugas keimigrasian. Sungguh penting untuk memahami pengaruh gejala perkembangan dunia, yaitu globalisasi, liberalisasi dan interpendensi, yang mulai menandai tiap-tiap hubungan antarnegara. Pengaruh gejala tersebut akan semakin jelas terlihat ketika arus barang, jasa, modal teknologi dan informasi, bahkan perpindahan penduduk menunjukkan peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Globalisasi dan liberalisasi telah menghasilkan sebuah dunia tanpa batas serta mengisyaratkan timbulnya tatanan perdagangan dunia bercirikan persaingan bebas. Liberalisasi ekonomi menjadi suatu tantangan
yang harus dihadapi,
khususnya oleh negara berkembang, untuk meningkatkan pendapatan nasional. Sesungguhnya, baik ekonomi liberal maupun globalisasi ekonomi mengandung aspek positif maupun aspek negatif. Dari segi positif dapat saja dikatakan bahwa arus investasi global membuka kesempatan yang dapat dimanfaatkan untuk menyejajarkan diri, melalui alih tehnologi dan alih pengetahuan. Semua itu demi pencapaian efisiensi dan efektivitas yang sangat diperlukan dalam meningkatkan kemampuan industrialisasi dan meningkatkan
daya saing. Persaingan di era
globalisasi akan semakin ketat terlebih karena dunia, melalui GATT/WTO telah
6 bersepakat untuk menghapuskan berbagai hambatan dalam perdagangan dunia (tarif and non-tarif barrier). Globalisasi itu bagaikan pedang bermata dua bagi sebagai besar negara di dunia yang pada umumnya sedang berkembang. Globalisasi di satu sisi dapat dikatakan momentum bagi negara berkembang untuk beralih menjadi negara maju karena investasi yang sangat besar mengalir dari lembaga-lembaga keuangan dunia dan perusahaan multinasional (Multi National Corporation/MNC). Namun di sisi lain penerapan liberalisasi ekonomi bagi negara berkembang ternyata mengandung banyak masalah, terutama kesiapan di bidang hukum dan kesiapan pelaku ekonomi dalam berkompetisi di ajang persingan bebas. Hukum harus tidak hanya melindungi kepentingan industri dalam negeri tetapi justru meningkatkan kemampuan industri dalam negeri. Secara faktual harus diakui bahwa peningkatan arus lalu lintas orang, barang dan jasa dari dan ke wilayah Indonesia dapat mendorong dan memacu pertumbuhan ekonomi serta proses modernisasi masyarakat. Peningkatan arus orang asing ke wilayah RI tentunya akan meningkatkan penerimaan uang yang dibelanjakan di Indonesia, meningkatnya investasi yang dilakukan serta meningkatnya aktivitas perdagangan yang akan meningkatkan penerimaan devisa. Begitu pula dengan peningkatan arus orang Indonesia yang melakukan perjalanan ke luar wilayah, untuk keperluan bekerja akan menghasilkan dana berupa remittance. Kesemuanya itu akan memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, proses modernisasi masyarakat terpacu karena pertumbuhan ekonomi serta regulasi tata perekonomian dunia yang dipicu oleh pembentukan aliansi perekonomian subregional, regional dan internasional serta bentuk-bentuk kerjasama lainnya. Aliansi juga akan mendorong pengalihan pengetahuan dan teknologi (transfer of knowledge and transfer of technology) melalui kehadiran para pakar (expert) dan standarisasi tata perdagangan dunia4. Peningkatan arus lalu lintas barang, jasa, modal, informasi dan orang juga dapat mengandung pengaruh negatif, seperti:
4
M. Imam Santoso, 2004, Perspektif Imigrasi Dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, Jakarta, UI-press, hal. 2-4.
7 a. dominasi perekonomian nasional oleh perusahaan transnasional yang bergabung dengan perusahaan Indonesia (melalui Penanaman Modal Asing dan/atau Penanaman Modal Dalam Negeri, pembelian saham atau kontrak lisensi). b. Munculnya (Transnational Organized Crimes) (TOC), mulai dari perdagangan wanita dan anak-anak, pencucian uang, narkotika dan obat terlarang, imigran illegal, sampai ke perbuatan terorisme internasional. Dampak negatif ini akan semakin meluas ke pola kehidupan serta tatanan sosial budaya nasional yang dapat berpengaruh pada aspek pemeliharaan keamanan dan ketahanan nasional secara makro. Untuk meminimalisasikan dampak negatif yang timbul akibat dinamika mobilitas manusia, baik warga negara Indonesia maupun orang asing, yang keluar, masuk dan tinggal di wilayah Indonesia, keimigrasian harus mempunyai peranan yang semakin besar. Penetapan politik hukum keimigrasian yang bersifat selektif (selective policy). Membuat institusi imigrasi Indonesia memiliki landasan operasional dalam menolak atau mengijinkan orang asing, baik dari segi masuknya, keberadaannya, maupun kegiatannya di Indonesia. Berdasarkan politik hukum keimigrasian yang bersifat selektif, ditetapkan bahwa hanya orang asing yang: a. memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia; b. tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum, serta c. tidak bermusuhan dengan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia, diijinkan masuk dan dibolehkan berada di wilayah Indonesia serta diberi ijin tinggal sesuai dengan maksud dan tujuan kedatanganannya di Indonesia. Dengan demikian, peran penting aspek keimigrasian dalam tatanan kehidupan kenegaraan akan dapat terlihat dalam pengaturan keluar-masuk orang dari dan ke dalam wilayah Indonesia dan pemberian ijin tinggal serta pengawasan terhadap orang asing selama berada di wilayah Indonesia. Berbagai upaya yang dilakukan agar melaksanakan pengawasan dan pengendalian orang asing dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi
8 nasional sekaligus memelihara ketahanan nasional yang seimbang. Secara konkrit kegiatannya adalah sebagai berikut5: a. Merealisasikan pembentukan network dalam suatu sistem
informasi dan
manejemen di bidang keimigrasian yang dapat secara on line
menerima,
mengirim, mengolah, menyimpan dan menampilkan data mengenai lalu lintas keluar-masuk setiap orang serta kegiatan dan keberadaan orang asing selama berada di Indonesia secara integrated. b. Merealisasikan terbentuknya kerjasama di bidang keimigrasian baik secara regional dan internasional (bilateral dan multilateral) dalam rangka menciptakan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan dan implementasinya di lapangan. c. Merealisasikan pembukaan pintu masuk secara selektif bagi penerbangan langsung dari dan ke luar negeri, dengan menambah pintu masuk di samping yang telah tersedia. Penambahan itu penting untuk mengantisipasi pertumbuhan perekonomian regional, khususnya AFTA serta mengingat kondisi geografis Indonesia. d. Merealisasikan pembukaan kantor imigrasi yang baru dengan pengkajian terdahulu yang teliti dan realistis agar peran keimigrasian di daerah dapat berkembang. Sesungguhnya fungsi imigrasi tidak hanya terkonsentrasi pada fungsi pelayanan saja, namun juga pada fungsi penegakan hukum dan fungsi pengamanan serta fasilitator pembangunan ekonomi yang disesuaikan dengan perkembangan wilayah. Penyederhanaan prosedur keimigrasian bagi para investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia perlu dilakukan antara lain berupa kemudahan pemberian ijin tinggal tetap bagi para penanam modal yang telah memenuhi syaratsyarat tertentu. Dengan demikian maka diharapkan akan tercipta iklim investasi yang menyenangkan dan hal ini akan lebih merangsang para investor asing lainnya untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Fungsi pengawasan terhadap orang asing perlu lebih ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya kejahatan interenasional, seprti perdagangan anak-anak dan wanita, penyelundupan orang dan kejahatan narkotika yang banyak dilakukan oleh 5
M.Imam Santoso, Op.cit., hal. 122.
9 sindikat kejahatan intenasional yang terorganisasi. Pengawasan terhadap orang asing tidak hanya dilakukan pada saat mereka , melainkan selama mereka berada di wilayah Indonesia, termasuk kegiatan-kegiatannya. Pengawasan keimigrasian mencakup pidana keimigrasian baik yang bersifat administratif maupun tindak pidana keimigrasian, karena itu pula perlu diatur mengenai penyidik imigrasi yang menjalankan tugas dan wewenang secara khusus berdasarkan undang-undang yang ada. Saat ini dunia internasional menyadari menyadari bahwa peningkatan arus lalu lintas orang keluar-masuk suatu negara selain akan menimbulkan dampak positif
yaitu
peningkatan
pertumbuhan
ekonomi
dan
modernisasi,
juga
menimbulkan dampak negatif terhadap pola kehidupan dan tatanan sosial budaya yang diyakini akan mempengaruhi ketahanan nasional suatu negara secara makro. Adanya keinginan untuk meminimalisir dampak negatif tersebut mengakibatkan muncul kesadaran tentang peran penting keimigrasian dan pentingnya membentuk kerjasama internasional di bidang keimigrasian. Dalam pembentukan kerjasama internasional yang dimotori oleh negaranegara maju tersebut adalah kecenderungan yang hanya melihat arus migrasi yang terjadi dari negara berkembang ke negara maju serta aspek negatif yang menyertainya. Padahal kenyataannya arus migrasi juga terjadi dari negara maju ke negara berkembang serta aspek negatif yang menyertainya. Dengan demikian perlu ada keseimbangan dalam melihat arus migrasi internasional secara komprehensif dengan berlandaskan prinsip kesetaraan sebagai negara merdeka dan berdaulat. Pada masyarakat global, eskalasi pergerakan manusia mencapai jumlah besar dan cepat dalam melakukan perjalanan antarnegara, menuntut kerjasama internasional yang lebih erat. Dalam berbagai hal, soal keimigrasian tidak lagi semata-mata
bersifat domestik, tetapi bersifat regional bahkan internasional.
Kerjasama ini bukan saja dalam hal yang bersifat operasional dan administratif, melainkan termasuk pula hal yang bersifat harmonisasi hukum dalam lingkup internasional. Dengan perkataan lain, institusi keimigrasian tidak lagi semata-mata dipandang sebagai urusan domestik yang selalu mencerminkan kepentingan
10 nasional atau karakteristik nasional, tetapi berubah menjadi instrumen yang memiliki karakteristik internasional dengan segala implikasinya. Dewasa ini Pemerintah Indonesia juga
sedang menggalakkan kemajuan
sektor pariwisata, dalam rangka meningkatkan devisa negara. Berbagai langkah telah dilakukan untuk menarik wisatawan manca negara untuk berkunjung ke Indonesia.
Salah
satu
kebijaksanaan
yang
diambil
mempermudah
dan
menyederhanakan prosedur untuk mendapatkan visa bagi turis yang ingin berkunjung ke Indonesia. Untuk negara-negara tertentu malah dibebaskan adanya visa, misalnya negara-negara Asean. Kemudahan berkunjung bagi orang asing tersebut harus diikuti dengan tindakan pengawasan yang memadai untuk mencegah terjadinya pelanggaran keimigrasian. Dalam menghadapi lalu lintas orang asing, setiap negara dimanapun letaknya, demi menjaga keutuhan dan keamanannya, melaksanakan pengawasan terhadap orang asing. Pengawasan ini dilaksanakan dengan cara mengeluarkan ketentuanketentuan yang mengatur keluar masuknya orang asing ke negara tersebut atau yang mengatur orang-orang asing yang berkehendak bertempat tinggal atau yang sudah bertempat tinggal di negara tersebut dan lain-lain. Demikian juga dengan negara Republik Indonesia melaksanakan berbagai tindakan untuk mengawasi ke luar masuknya orang asing. Pemahaman tentang pengaturan keluar-masuknya setiap orang termasuk warga negara Indonesia, dari dan ke wilayah Indonesia memberikan arti bahwa politik hukum keimigrasian tidak semata-mata mengatur warga negara asing (WNA), tetapi juga mengatur keluar-masuk warga negara Indonesia (WNI) dari dan ke luar wilayah Indonesia. Bagi WNI, politik hukum keimigrasian dilaksanakan berdasarkan kebijakan pintu terbuka (open door policy). Penerapan kebijakan ini dilaksanakan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI No M01.12.03.02 tahun 1992 tentang Pemghapusan Ketentuan Ijin Berangkat (Exit Permit). Dalam Pasal 1 Keputusan tersebut ditegaskan bahwa tidak diberlakukan lagi ijin keluar atau ijin berangkat (exit permit) bagi warga negara sendiri yang hendak ke luar wilayah Indonesia. Dengan demikian tidak ada lagi keharusan untuk mengurus ijin berangkat (exit permit) bagi warga negara Indonesia (pemegang
11 Surat Perjalanan Indonesia/passport) yang akan melakukan perjalanan ke luar wilayah Indonesia. Makna penghapusan ketentuan exit permit ini, lebih jauh bermaksud untuk membuka peluang di berbagai aspek kehidupan terutama peluang ekonomi, yang seluas-luasnya bagi WNI untuk membentuk kontak-kontak internasional6. Dengan adanya pengaturan keluar-masuk wilayah Indonesia, yang ditujukan baik terhadap WNA maupun WNI, diharapkan mampu mengantisipasi dampak negatif dari peningkatan mobilitas manusia,
khususnya orang asing, misalnya
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) terhadap keamanan dan ketahanan nasional. Agar aspek keimigrasian mencapai satu titik ketahanan dan kemampuan untuk merespon serta mengantisipasi setiap peluang dan ancaman itu, Imigrasi Indonesia baik secara kelembagaan maupun individual dituntut untuk memiliki wawasan ke luar (outward looking) serta wawasan ke dalam (inward looking) yang luas dan jauh ke depan. Untuk menghadapi ekses dari arus pergerakan manusia lintas negara, imigrasi sebagai aparatur dalam mengatur lalu-lintas orang ke luar-masuk wilayah Indonesia serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing selama berada di Indonesia, mulai melakukan kegiatan penegakan hukum secara berkelanjutan dan intensif. Tindakan penegakan hukum tersebut lebih ke arah represif dan bukan hanya preventif. Tindakan yang bersifat preventif semata-mata diupayakan pada saat imigrasi melaksanakan fungsi pelayanan. Namun ketika sedang melaksanakan fungsi keamanan dan penegakan hukum, tidak bisa tidak, tindakan represif harus lebih diperkuat meskipun pelaksanaannya tidak dilakukan melebihi wewenang (detournement du pouvoir). Tindakan yang bersifat represif dapat dilaksanakan dalam tindakan administratif (tindakan keimigrasian) serta tindakan polisional (tindakan yustisial).
Dengan perkataan lain, sifat represif tindakan penegakan
hukum keimigrasian tidak lagi disisipkan dalam fungsi pelayanan, namun inheren pada fungsi sekuriti7.
6 7
M. Imam Santoso, ibid, hal. 5. M. Iman Santoso, ibid. hal. 121.
12 Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 9 tahun l992 tentang Keimigrasian ditegaskan bahwa terhadap orang asing, pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian dilaksanakan berdasarkan prinsip yang bersifat selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini, hanya orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia serta tidak membahayakan
keamanan dan ketertiban, juga tidak
bermusuhan baik terhadap rakyat, maupun negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar l945 yang diijinkan masuk wilayah Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan orang asing menurut ketentuan umum Pasal l angka 6 Undang-Undang No. 9 tahun l992 tentang Keimigrasian adalah orang bukan warga negara Republik Indonesia. Dengan demikian orang asing yang ingin masuk atau menetap di wilayah Indonesia harus dipertimbangkan dari berbagai segi, baik segi politik, ekonomi maupun sosial budaya bagi bangsa dan negara Indonesia. Sikap dan cara pandang yang demikian itu merupakan hal yang wajar, terutama apabila dikaitkan dengan pembangunan nasional, dampak negatif kemajuan ilmu dan tehnologi serta berkembangnya kerjasama regional maupun internasional yang mendorong meningkatnya arus orang asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia akibat globalisasi di segala aspek kehidupan. Berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun l992 tentang Keimigrasian diatur adanya beberapa macam tindak pidana di bidang keimigrasian yang tercantum dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 62 mengenai Ketentuan Pidana dengan kategori sebagai kejahatan dan pelanggaran. Di dalam Undang-Undang Keimigrasian selain diatur ketentuan pidana, diatur pula adanya tindakan keimigrasian yang sifatnya non yustisial atau lebih menekankan pada segi administratifnya. Begitu pula mengenai pengawasan orang asing dapat dilakukan pengawasan administratif, yaitu pengawasan yang dilakukan melalui penelitian surat-surat atau dokumen, berupa pencatatan, pengumpulan data dan penyajian maupun penyebaran informasi secara manual dan elektronik tentang lalu lintas keberadaan dan kegiatan orang asing . Kegiatan lain adalah pengawasan lapangan, yaitu pengawasan yang dilakukan berupa pemantauan, patroli,
razia dengan
13 mengumpulkan bahan keterangan, pencarian orang dan alat bukti yang berhubungan dengan tindak pidana keimigrasian. Materi UU No. 9 tahun 1992, khususnya di bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Wasdakim), secara substansi ada tiga kegiatan pokok keimgrasian, yaitu: 1. Pengawasan kemigrasian; 2. Penyidikan keimgrasian; 3. Tindakan keimigrasian. Pengawasan keimigrasian adalah suatu kegiatan yang berkaitan erat dengan bidang intelijen dan untuk di lingkungan Direktorat jenderal Imigrasi sudah waktunya
dipersiapkan
suatu
konsep
pemikiran
untuk
membentuk
dan
mengembangkan pengetahuan, kegiatan dan organisasi intelijen keimigrasian tersendiri yang merupakan bagian dari intelijen nasional. Pengawasan keimgrasian terdiri dari pengawasan administrasi, berupa memeriksa, meneliti, mengevaluasi, menganalisa, menyimpulkan, mengklasifikasi dan mendokumentasikan setiap dokumen atau surat yang merupakan sasaran atau objek pengawasan. Data dan informasi tersebut, sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan pengawasan operasional, penyidikan keimigrasian dan atau tindakan keimgrasian. Pengawasan lain adalah pengawasan operasional yang merupakan kegiatan di lapangan berupa penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Penyidikan
keimgrasian
adalah
suatu
kegiatan
keimigrasian
yang
merupakan tindakan hukum pidana atau justisial di bidang keimigrasian, dengan melakukan serangkaian penyidikan tuindak pidana keimigrasian terhadap mereka yang melanggar peraturan sebagaimana tersebut dalam UU No. 9 tahun 1992. Tindak Pidana Keimigrasian terdiri dari kejahatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58 dan Pasal 59 dan pelanggaran diatur dalam Pasal 51, 60 dan pasal 61. Menurut penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU No. 9 tahun 1992, bahwa tindak pidana keimigrasian dalam undang-undang ini merupakan tindak pidana umum. Oleh karena tindak pidana keimigrasian bukan tindak pidana khusus, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Imigrasi dalam melakukan proses penyidikan sepenuhnya menggunakan hukum acara pidana atau
14 hukum formil, sebagaimana tersebut dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan berada dalam koordinasi Penyidik Polri, sebagai Koordinator dan Pengawas (Korwas) PPNS. Seiring dengan perkembangan yang pesat di bidang teknologi informasi, maka akan terjadi peruba ahan sosial yang cepat pula. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Wahyudin Ukun8 sudah waktunya bagi jajaran imigrasi untuk mengkaji dan merumuskan paradigma baru keimigrasian Indonesia, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengubah cara pelayanan keimigrasian dengan lebih menitikberatkan pada kepuasan masyarakat. 2. Melakukan kegiatan pengawasan dan penegakan hukum keimigrasian dengan lebih memperhatikan terjaminnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. 3. Melaksanakan keimigrasian dengan lebih mendorong terwujudnya kondisi daya saing global sektor kehidupan lain. 4. Memberdayakan potensi sumber daya manusia imigrasi kea rah lebih professional dengan dijiwai akhlak yang baik. 5. Mengubah cara pendekatan hierarki menjadi pendekatan kolaborasi dalam setiap pengambilan dan pelaksanaan kebijakan keimigrasian. Keberadaan
orang
asing
di
Indonesia,
tidak
sedikit
yang
menyalahgunakan ijin keimigrasian, bahkan bias saja niat untuk melakukan pelanggaran tersebut sudah ada sewaktu masih berada di negaranya dan atau di negara lain. Untuk kepentingan supremasi dan penegakan hukum serta menjaga kewibawaan Negara, termasuk wibawa aparat pintu gerbang Negara, maka terhadap orang asing yang menyalahgunakan ijin keimigrasian dikenakan tindakan hukum berupa: 1. Tindakan hukum pidana, melalui serangkaian tindakan penyidikan dalam proses sistem peradilan pidana, kemudian setelah selesai menjalani pidana, diikuti tindakan deportasi ke Negara asal dan penangkalan tidak diijinkan masuk ke wilayah Indonesia dalam batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
8
Wahyudin Ukun, 2003, Telaah Masalah-Masalah Keimigrasian, Jakarta, PT Adi Kencana Aji, hal. 98.
15 2. Tindakan hukum administrasi, terhadap pelanggaran hukum tersebut tidak dilakukan tindakan penyidikan, melainkan langsung dikenakan tindakan administrasi di bidang keimigrasian, yang disebut tindakan keimigrasian berupa pengkarantinaan, deportasi dan penangkalan.9 Apabila diduga telah terjadi tindak pidana keimigrasian, maka salah satu langkah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah melakukan tindakan penyidikan. Pelaksanaan penyidikan terhadap suatu kejahatan menurut ketentuan KUHAP dilakukan oleh seorang pejabat penyidik. Dalam Pasal 6 ayat ( l) huruf b KUHAP disebutkan adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pegawai negeri sipil tersebut mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasalnya. Jadi disamping pejabat penyidik Polri, undang-undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan. Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus tadi. Hal demikian sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP, yang antara lain ditegaskan bahwa penyidik pegawai negeri sipil mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan di dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri10. Keberadaan Penyidik PPNS sebetulnya telah dikenal jauh sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pada jaman Kolonial belanda sudah ada peraturan
perundang-undangan yang memuat Undang-undang Pegawai pada instansi tertentu yang diberi wewenang penyidik. Sebagai contoh adalah sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Bandar Tahun 1925, Loodwit Ordonantie Tahun 1931 Nomor 509,
9
Wahyudin Ukun, Ibid., hal. 145. M Yahya Harahap, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, halaman 110.
10
16 BRO Tahun 1934 Nomor 34, Ordonansi Pemeriksaaan Bahan-Bahan Farmasi Staatsblaad Tahun 1936 Nomor 660. Pada jaman RIS terdapat dalam UndangUndang tentang Bahan Berbahaya, Staatsblaad Tahun 1949 Nomor 377 dan Undang-Undang Obat Keras, Stasblaad Tahun 1949 Nomor 419. Pada jaman berlakunya UUDS tahun 1950, dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1954 tentang Undian diatur mengenai penyidik dari pegawai yang ditunjuk dengan Peraturan Menteri Sosial. Selanjutnya pada jaman Orde Baru dalam UndangUndang Nomor 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal, ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (1) bahwa “Pegawai Instansi Pemerintah yang ditugasi dalam pembinaan metrologi legal yang melakukan pengawasan dan pengamatan diwajibkan menyidik tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini”. Selanjutnya di dalam ayat (3) Pasal tersebut ditegaskan bahwa pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak melakukan penyegelan dan atau penyitaan barang yang dianggap sebagai barang bukti. Undang-Undang No. 9 tahun l992 tentang Keimigrasian, juga mencantumkan keberadaan penyidik pegawai negeri sipil, yaitu diatur dalam Pasal 47, yang menegaskan bahwa pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya diberi kewenangan penyidikan sebatas yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. Dalam penjelasan Pasal 47 tersebut dinyatakan bahwa dengan pemberian wewenang penyidikan kepada pegawai negeri sipil tersebut, tidak mengurangi kewenangan pejabat penyidik Polri untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian. Penyidik Polri
baik diminta atau tidak wajib memberikan bantuan bagi penyidik
pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana keimigrasian. Berdasarkan UU No. 9 tahun 1992, penyidikan keimigrasian meliputi tiga ketentuan, yaitu: 1. Kewenangan penyidik Ketentuan Pasal 47 dan penjelasannya, merupakan dasar bagi penyidik imigrasi dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana keimigrasian yang merupakan tindak pidana umum. 2. Proses penyidikan meliputi:
17 a. Penyelidikan keimigrasian Melakukan serangkaian kegiatan mencari tersangka, saksi, petunjuk dan surat yang merupakan alat bukti sebagai kelanjutan dari adanya laporan keimgrasian atau kejadian yang merupakan laporan masyarakat atau diketahui langsung oleh penyidik imigrasi bahwa telah terjadi tindak pidana keimigrasian. b. Penindakan Meliputi serangkaian kegiatan pemanggilan, perintah membawa tersangka, penangkapan,
penahanan,
penggeledahan,
penyitaan,
pemotretan
dan
pengambilan sidik jari dengan dilengkapi surat perintah penyidikan, surat perintah tugas dan dibuatkan berita acara. c. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara 3. Ketentuan pidana, meliputi 2 (dua) bagian, yaitu: a. Kejahatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58 dan pasal 59. b. Pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 51, 60 dan pasal 61. Meliputi kegiatan penyelesaian dan penyerahan berkas pekara tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum melalui Penyidik polri sebagai korwas PPNS dengan dibuatkan surat tanda penerimaan dan berita acara Tindakan keimgrasian, meliputi empat aspek kegiatan, yaitu: 1. Pengolahan hasil pengawasan dan atau penyidikan Temuan adanya perbuatan melanggar hukum hasil pengawasan dan bukti penyidikan, dilakukan pengolahan dan pemilahan sesuai
sifat dan jenis
pelanggaran, untuk menentukan tindakan keimigrasian yang tepat dikenakan terhadap si pelanggar hukum. 2. Pemeriksaan Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, saksi dan barang bukti hasil pengawasan dengan dibuatkan berita acara. Sedangkan hasil penyidikan dan perkara yang sudah mendapatkan putusan serta berkuatan hukum tetap, tidak perlu lagi pemeriksaan, hanya diperlukan identifikasi terhadap bekas terpidana
18 dengan merujuk surat perjalanan. Surat atau dokumen lain serta putusan hakim, sehingga tidak keliru dalam pelaksanaan tindakan keimgrasian. 3. Penindakan Melakukan suatu tindakan hukum administrasi terhadap orang yang tidak mentaati peraturan dan atau melakukan kegiatan yang berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, terdiri dari: a. Warga Negara Indonesia, berupa: cekal, penolakan keluar wilayah Indonesia, pencabutan dan hal lain yang berkenaan dengan surat perjalanan Republik Indonesia; b. Orang asing, berupa: cekal, penolakan keluar dan masuk wilayah Indonesia,
biaya
beban,
deportasi,
pengkarantinaan,
pembatasan/pembatalan/perubahan ijin keberadaan, larangan berada di suatu atau beberapa tempat, keharusan bertempat tinggal di tempat tertentu; c. Penanggung jawab alat angkut, berupa: biaya beban, membawa kembali orang asing yang tidak diberi ijin masuk, orang asing yang tidak diberi ijin masuk untuk tetap tinggal atau diisolasi di alat angkut. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dari keterangan tersebut dapat diartikan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Negara Indonesia juga menjamin hak asasi manusia di bidang hukum, yaitu dengan cara menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya dengan tidak ada kekecualiannya. Hukum merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Memelihara keselarasan hidup di dalam masyarakat memerlukan berbagai macam aturan sebagai pedoman hubungan
19 kepentingan perorangan maupun kepentingan dalam masyarakat. Akan tetapi tidak sedikit hubungan kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang berhubungan atau dalam lingkup hukum pidana. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum acara pidana yang menjadi saluran untuk menyelesaikan kepentingan apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana11 . Negara Indonesia, dalam menjalankan kehidupan bernegara, memerlukan adanya hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, sehingga segala bentuk kejahatan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan adanya hukum dapat menghindarkan pelanggaran
yang dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun
penegak hukum itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang dapat dipergunakan oleh negara Indonesia dalam mengatur tatanan kehidupan dalam masyarakat. Kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Negara Indonesia salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ruang lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981), terdapat dalam Pasal 2 KUHAP, yang berbunyi :“Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan”. Hukum Acara Pidana merupakan hukum yang memuat peraturanperaturan untuk melaksanakan hukum pidana, karena hukum acara pidana mempunyai fungsi sebagai alat untuk menyelesaikan segala kepentingan yang berhubungan dengan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Kegiatan pertama yang dilakukan dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah penyidikan. Tindakan penyidikan dimaksudkan untuk mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang dan jelas, serta agar dapat menemukan dan menentukan siapa pelakunya.
11
Bambang Poernomo, 1988, Orientasi Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi. Yogyakarta: Amarta Buku, hal.1-3.
20 Menurut Andi Hamzah12 bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah : 1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik, 2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik, 3. Pemeriksaan di tempat kejadian, 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa, 5. Penahanan sementara, 6. Penggeledahan, 7. Pemeriksaan atau interogasi, 8. Berita Acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat), 9. Penyitaan, 10. Penyampingan perkara, 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan (Andi Hamzah, 2002:118-119). Dari keterangan yang telah diuraikan Andi Hamzah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas penyidik adalah dalam rangka persiapan ke arah pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Para penyidik mempersiapkan alat-alat bukti yang sah, sehingga dapat dipergunakan untuk membuat suatu perkara menjadi jelas/terang dan juga mengungkap siapa pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana. Dalam setiap penyidikan perkara pidana dilakukan oleh penyidik, dalam hal ini adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu ada juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang pada dasarnya mempunyai wewenang untuk menyidik yang bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang ditetapkan dalam salah satu pasalnya. Kegiatan penyidikan merupakan kegiatan dalam rangka membuat suatu perkara menjadi terang/jelas dan dalam usaha untuk menemukan pelaku tindak kejahatan. Kegiatan penyidikan yang pertama kali dilakukan oleh penyidik dalam mengungkap suatu kejahatan adalah menemukan barang bukti maupun bekas-bekas kejahatan yang tertinggal pada tempat kejadian pekara (TKP) atau bagian-bagian terjadinya kejahatan. Barang bukti pertama yang dicari oleh 12
Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Hal. 118-119. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika., Hal. 118-119.
21 penyidik adalah menemukan sidik jari pelaku kejahatan, hal ini termasuk dalam lingkup hukum acara pidana. Di dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Kemudian Van Bamellen yang dikutip oleh Ansorie Sabuan13
mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana sebagai berikut : 1. mencari dan menemukan kebenaran 2. pemberian keputusan oleh hakim 3. pelaksanaan keputusan. Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting kerena menjadi tumpuan dari fungsi berikutnya adalah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah hakim akan sampai pada putusan. Dalam rangka mencari dan mendapatkan kebenaran yang demikian itu, hukum acara pidana memberikan petunjuk apa yang
harus dilakukan aparat
penegak hukum dan pihak-pihak atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya. Di dalam KUHAP ditegaskan hubungan koordinasi antar aparat penegak hukum, khususnya hubungan penyidik Polri dengan penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu, yaitu: 1. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2)) 2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan
petunjuk kepada
penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)).
13
Ansorie Sabuan, 1990, Hukum Acara pidana, Bandung, Angkasa.
22 3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu melaporkan adanya tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik Polri (Pasal 107 ayat (2)). 4. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3)). 5. Dalam hal penyidik pegawai negeri sipil tertentu menghentikan penyidikan, segera memberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3)). Dalam hal penyidik pegawai negeri sipil tertentu tersebut yang menangani laporan atau pengaduan, maka sejak laporan atau pengaduan diterimanya wajib memberitahukannya kepada penyidik Polri, yang kemudian oleh penyidik Polri diteruskan pula kepada penuntut umum. Dalam rangka koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri terhadap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil tertentu, maka diwajibkan kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu untuk melaporkan kepada penyidik Polri proses penyidikannya dan bukti-bukti yang ditemukannya. Apabila penyidik pegawai negeri sipil tertentu telah mengakhiri penyidikannya, maka segera menyampaikan laporan beserta berita acara pemeriksaan kepada penyidik Polri, baik dimaksudkan untuk diserahkan kepada penuntut umum, maupun untuk tidak diteruskan ke penuntut umum. Mengingat akan pentingnya kelancaran dan ketepatan jalannya proses perkara pidana, maka sangat diperlukan kerja sama yang sebaik-baiknya antara penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil tertentu. Menurut M. Yahya Harahap14 titik berat kerjasama antar penegak hukum bukan hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbinanya suatu team aparat penegak hukum yang dibebani tugas tanggung jawab saling mengawasi dalam sistem cekking antar sesama mereka. Dengan adanya penggarisan pengawasan
yang berbentuk sistem cekking ini,
KUHAP telah menciptakan dua bentuk sistem pengawasan dan pengendalian pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia, yaitu:
14
M. Yahya Harahap, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hal. 49.
23 1. Built in control, yaitu pengawasan yang dilaksnakan berdasarkan structural oleh masing-masing instansi menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan kepada bawahan. 2.
Pengawasan di antara instansi penegak hukum, yaitu hubungan yang bersifat koordinasi fungsional dan instansional. Menurut M. Yahya Harahap15 diantara instansi penegak hukum dikenal
adanya prinsip differensiasi fungsional, yaitu penjelasan dan penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. Dengan demikian KUHAP meletakkan suatu asas penjernihan (clarification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Penjernihan dan pengelompokkan tersebut diatur sedemikian rupa, sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum. Mulai dari tahap permulaan penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan oleh kejaksaan, selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan, yang akan menciptakan suatu mekanisme saling cekking di antara sesame aparat penegak hukum. Tujuan utama asas differensiasi menurut M. Yahya Harahap16 adalah : 1. Untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih (over lapping) dalam
pelaksanaan penyidikan, khususnya antara kepolisian dan kejaksaan. 2. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam proses penyidikan. 3. Untuk menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian perkara. 4. Untuk memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural. 5. Untuk dapat terciptanya keseragaman dan satunya hasil berita acara pemeriksaan. Dalam praktek penyidikan tindak pidana keimigrasian, ternyata belum ada koordinasi yang baik antara penyidik pegawai negeri sipil dengan pejabat penyidik Polri. Masing-masing aparat cenderung berjalan sendiri-sendiri, sehingga mengesankan tidak adanya persamaan persepsi dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana keimigrasian. KUHAP sendiri sebetulnya sudah menggariskan
15 16
M. Yahya Harahap, Ibid., hal. 46. M. Yahya Harahap, Ibid., hal. 49.
24 adanya jalur koordinasi, baik secara vertikal maupun horizontal diantara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Polri. Keadaan yang kurang kondusif tersebut harus dicarikan jalan keluarnya agar penanganan tindak pidana keimigrasian dapat berjalan dengan baik. Keberadaan penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan imigrasi walaupun diakui oleh UU No 9 tahun l992, akan tetapi dalam implementasi ternyata kurang nampak keberadaannya. Hal demikian disebabkan oleh terlalu dominannya peran pejabat penyidik Polri dalam penanganan suatu perkara tindak pidana keimigrasian. Walaupun secara tehnis keimigrasian, penyidik pegawai negeri sipil dianggap lebih menguasai permasalahan, akan tetapi kewenangan memutuskan suatu permasalahan keimigrasian tetap di tangan penyidik Polri. Kewenangan yang bersifat setengahsetengan ini menyebabkan rasa kikuk bagi penyidik pegawai negeri sipil dalam melakukan tugasnya di bidang penyidikan tindak pidana keimigrasian. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka penulis berpendapat bahwa sangat menarik untuk melakukan penelitian terhadap pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana keimigrasian oleh penyidik pegawai negeri sipil. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan penyidik pegawai sipil di lingkungan imigrasi. Penelitian tesis ini ditekankan kepada pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana keimigrasian oleh penyidik pegawai negeri sipil dengan pertimbangan bahwa dari praktek di lapangan dapat diperoleh data yang memadai berkaitan dengan implementasi suatu peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 9 tahun l992 tentang Keimigrasian. B. Perumusan Masalah Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang maslah di atas, maka Penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian Ditjen Imigrasi Dalam Rangka Penegakan Hukum Pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian
25 2. Kendala-kendala apakah yang dialami oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian dalam melaksanakan tugas penegakan hukum terhadap pelanggaran di bidang keimigrasian. 3. Hal-hal apakah yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan formulatif tentang kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil agar penegakan hukum terhadap pelanggaran keimigrasian lebih optimal C. Tujuan Penelitian 1. Untuk memperoleh data tentang pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana keimigrasian oleh penyidik pegawai negeri sipil keimigrasian. 2. Untuk memperoleh data tentang kendala-kendala yang dihadapai oleh penyidik pegawai negeri sipil keimigrasian dalam melakukan tugas penyidikan tindak pidana keimigrasian. 3. untuk memperoleh data tentang hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan formulatif tentang kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil agar penegakan hukum terhadap pelanggaran keimigrasian lebih optimal D. Kontribusi Penelitian Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis, dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan baru di bidang hukum acara pidana, khususnya yang menyangkut masalah penyidikan pegawai negeri sipil. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi pihak
yang
berkompeten
dalam
upaya
pembaharuan
Undang-Undang
Keimigrasian E.
Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu ingin memperoleh gambaran secara utuh dan lengkap tentang pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditjen Kemigrasian dalam rangka penegakan hukum pelanggaran undang-undang keimigrarian. Sedangkan metode
26 pendekatan yang dipakai adalah normatif-empiris. Menurut Soerjono Soekanto17 penelitian deskriptif adalah dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya . Dengan penelitian deskriptif ini dapat dengan mudah mengetahui masalah yang (kasus) yang dihubungkan dengan fenomena atau gejala lain yang berhubungan. Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan normatif-empiris adalah
usaha
mendekati
masalah yang diteliti dengan sifat hukum normatif, yaitu dengan mempelajari asas hukum, perundangan, pendapat para ahli dan usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan
bertipe kualitatif
dan mengarah pada kedalaman (indepth). 2. Lokasi Penelitian Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis memilih lokasi penelitian di Jakarta, yaitu di Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia. 3. Jenis Data a. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan yang memberikan informasi secara langsung mengenai segala hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Data primer ini berupa penjelasan maupun keterangan dari wawancara dengan pejabat atau key person di Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman dan HAM b. Data sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa literatur, peraturan perundangan yang berlaku dan putusan perkara pidana yang berkaitan dengan masalah keimigrasian. 4. Teknik Pengumpulan data Penulis dalam melaksanakan penelitian ini mempergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 17
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,hal. 12.
27 a. Wawancara Wawancara merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab secara lisan dan langsung, sehingga memberikan kemungkinan kepada penulis untuk mengadakan komunikasi secara langsung dengan pihak-pihak yang secara professional memadai dan benar-benar menguasai permasalahan yang akan diteliti. b.
Observasi Observasi atau pengamatan merupakan cara pengumpulan data dengan mengamati secara langsung objek penelitian dan pencatatan secara sistematis, sehingga mendapatkan data yang objektif untuk keperluan penelitian.
c. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data dengan cara mempelajari buku-buku literaratur yang berhubungan dengan bidang keimigrasian 5. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan langkah selanjutnya mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data18. Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif., dengan beberapa pertimbangan, yaitu: a. Metode ini mampu menyesuaikan secara lebih mudah
untuk berhadapan
dengan kenyataan. b. Metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dan Responden. c. Metode ini lebih peka dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi Pengertian dianalisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis sistematis, dengan menggunakan suatu 18
Lexy J. Moleong, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, P.T. Remaja Roskarya, hal. 3.
28 pendekatan sosiologis yuridis. Logis sistematis menunjuk pada cara berpikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib penulisan laporan penelitian ilmiah. Pendekatan sosiologis-yuridis dimaksudkan untuk menjelaskan masalah yang diteliti dengan dengan hasil penelitian yang diperoleh dalam kaitannya dengan peraturan hukumnya dan melihat kehidupan atau kenyataan yang berkembang dalam masyarakat atau kenyataan dalam praktek. F.
Sistimatika Penulisan Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi thesis ini, maka penulis perlu menyiapkan sistematika tesis, yang terdiri dari 4 (empat bab), ditambah daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Dalam bab I (pendahuluan) akan diuraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan thesis. Selanjutnya dalam bab II (tinjauan pustaka) akan diuraikan tentang tinjauan umum tentang keimigrasian yang terdiri dari pengertian dan sejarah keimigrasian di Indonesia, politik imigrasi, fungsi dan peranan keimigrasian, pengertian tindak pidana keimigrasian, tinjauan umum tentang hukum acara pidana yang mencakup hukum acara pidana di Indonesia, tinjauan umum tentang penyelidikan dan penyidikan, tinjauan umum tentang penegakan hukum. Hasil penelitian dan pembahasan disajikan dalam Bab III, yang terdiri dari 3 sub bab, yaitu sub bab A yang akan menguraikan pelaksanaan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil
Direktorat Jenderal Imigrasi dalam rangka
penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian, sub bab B. yang akan menguraikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana
keimigrasian oleh penyidik pegawai negeri sipil imigrasi,
selanjutnya dalam sub bab C akan diuraikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan formulatif tentang kewenangan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil agar penegakan hukum terhadap pelanggaran keimigrasian lebih optimal Akhirnya pada bab IV (Penutup) Penulis akan memberikan menguraikan kesimpulan dari jawaban permasalahan dalam penelitian dan juga saran-saran, serta menyertakan lampiran yang dianggap perlu.
29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Keimigrasian a. Pengertian dan Sejarah Keimigrasian Di Indonesia Istilah imigrasi adalah terjemahan dari bahasa Belanda
immigratie
yang berasal dari bahasa latin immigratio. Kata kerjanya ialah immigreren dalam bahasa latin immigrare. Kata imigrasi terdiri atas dua suku kata, yaitu in yang artinya dalam dan migrasi artinya pindah, datang, masuk atau boyong. Jadi secara lengkap arti imigrasi adalah pemboyongan orang-orang masuk ke suatu negeri19.
Dalam Encyclopedia of the Social Science,20
disebutkan bahwa : immigration is the entrance into an alien country of persons intending to take part in the life of that country and to make it thei more or less permanent residenc. Sedangkan dalam Black’S Law Dictionary, disebutkan bahwa: immigration is the coming into a country of foreigners for purposes of permanent residence. Selain dari istilah imigrasi, terdapat juga istilah yang kedengarannya hampir sama dengan istilah imigrasi, akan tetapi berbeda artinya, yaitu emigrasi yang artinya pemboyongan ke luar negeri dan transmigrasi yang artinya
pemindahan dari daerah satu ke daerah lain dalam negeri. Dalam
hal ini, Indonesia tidak mengenal emigrasi karena tidak ada orang-orang Indonesia yang diboyong ke luar negeri, sebab wilayahnya pada saat ini masih cukup mampu menampung para warga negaranya. Maka dari itu tidak ada Direktorat atau Direktorat Jenderal atau
Departemen Emigrasi dalam
susunan organisasi pemerintahan kita. Indonesia hanya mengenal
Imigrasi
yang diurus oleh Direktorat Jenderal imigrasi dan berada di bawah
19 20
T.S.G. Mulia dan K.A.H. Hidding , Ensiklopedia Indonesia, Jilid II, hal. 649. Edwin R.A. Seligman and Alvin Johnson, l957 Encyclopedia of the Social Science, hal 587.
30 Departemen Kehakiman dan HAM, sedangkan transmigrasi diurus oleh Departemen Transmigrasi. Direktorat Jenderal Imigrasi melaksanakan tugas pokok di bidang keimigrasian yang memiliki fungsi pelayanan, penegakan hukum dan sekuriti, maka istilah imigrasi yang digunakan oleh Direktorat Jenderal menurut kaca mata Indonesia, artinya juga ikut meluas.
Jadi
Imigrasi, Janganlah
beranggapan bahwa karena istilah imigrasi secara harafiah sedemikian rupa, maka tugas pokok Direktorat Jenderal Imigrasi.
Diartikan pula hanya
mengurus pemasukan orang-orang asing ke Indonesia yang berniat menumpang hidup atau mencari nafkah dan sedikit atau banyak menjadikan negara itu untuk tempat berdiam atau menetap21 Keimigrasian di Indonesia sudah ada sejak jaman kolonial Belanda, akan tetapi secara historis pada tanggal 26 Januari 1950 untuk pertama kalinya diatur langsung oleh Pemerintah Indonesia dan diangkat Mr. Yusuf Adiwinata sebagai Kepala Jawatan Imigrasi berdasarkan Surat Penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat No. JZ/30/16 tanggal 28 Januari 1950 yang berlaku surut sejak tanggal 26 Januari 1950. Momentum tersebut hingga saat ini diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Imigrasi oleh setiap jajaran Imigrasi Indonesia. Organisasi imigrasi sebagai lembaga dalam struktur
kenegaraan
merupakan organisasi vital sesuai dengan sasanti Bhumi Pura Yaksa Purna Wibawa, yang artinya penjaga pintu gerbang negara yang berwibawa. Sejak ditetapkannya Penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia, maka sejak saat itu tugas dan fungsi keimigrasian di Indonesia dijalankan oleh Jawatan Imigrasi atau sekarang Direktorat Jenderal Imigrasi dan berada langsung di bawah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Imigrasi semula hanya memiliki 4 (empat) buah
Direktorat, yaitu Direktorat Lalu Lintas Keimigrasian, Direktorat Ijin Tinggal Orang Asing, Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian dan Direktorat Informasi Keimigrasian. 21
Abdullah Sjahriful, l993, Memperkenalkan hukum Keimigrasian, hal. 7-8
31 Seiring dengan perkembangan jaman dan pengaruh globalisasi saat ini dengan berbagai kepentingan kerjasama internasional berbagai
kepentingan
pelaksanaan
tugas-tugas
antar negara, serta keimigrasian,
maka
dibentuklah Direktorat yang bernama Direktorat Kerjasama Luar Negeri. Saat ini Direktorat Jenderal Imigrasi terdiri dari : Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Lalu Lintas Keimigrasian, Direktorat Ijin tinggal Orang Asing dan Status
Kewarganegaraan,
Direktorat
Pengawasan
dan
Penindakan
Keimgrasian, Direktorat.Informasi Keimigrasian dan Direktorat Kerjasama Luar Negeri. Hal tersebut tidak berhenti sampai disitu saja, bahkan dengan semakin meningkatnya kejahatan internasional atau yang dikenal dengan istilah Transnational Organized Crime (TOC) akhir-akhir ini seperti terorisme, penyelundupan manusia (people smuggling), perdagangan manusia (human trading) dan sebagainya.
Direktorat Jenderal Imigrasi memandang perlu
untuk membentuk Direktorat yang ruang lingkup tugas dan fungsinya untuk mengantisipasi terjadinya kegiatan-kegiatan kejahatan tersebut. Sedianya telah direncanakan Direktorat baru tersebut dengan nama Direktorat Intelijen Keimigrasian, dimana Direktorat ini dirasakan cukup penting dalam menunjang tugas-tugas keimigrasian dan sekaligus mengantisipasi segala bentuk kejahatan internasional tersebut. Akan tetapi hal tersebut masih dalam proses perencanaan pada Direktorat Jenderal Imigrasi. Dengan pengembangan organisasi yang demikian itu, maka Direktorat Jenderal Imigrasi saat ini secara jelas telah menentukan kerangka tugasnya yang tercermin dalam tri fungsi imigrasi, yaitu sebagai aparatur pelayanan
masyarakat,
pengamanan
Negara
dan
penegakan
hukum
keimigrasian , serta sebagai fasilitator ekonomi nasional. Direktorat Jenderal Imigrasi menyadari sepenuhnya bahwa untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut sangat membutuhkan dukungan dari setiap personil yang ada di dalamnya. Oleh karena itu Direktorat jenderal Imigrasi senantiasa berupaya
32 untuk menjaga dan meningkatkan profesionalisme, kualitas dan kehandalan sumber daya manusia secara berkelanjutan22. Istilah Hukum Keimigrasian secara resmi digunakan oleh pemerintah tanggal 3l Maret l992, tanggal diundangkan dan tanggal mulai berlakunya undang-Undang Nomor 9 tahun l992 tentang Keimigrasian, dimuat dalam Lembaran Negara tahun l992 Nomor 33. Penggunaan istilah Hukum Keimigrasian dapat ditemukan pada bagian umum dari penjelasan atas Undang-undang Keimigrasian dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 3474.
Baik
dalam
Undang-Undang
Keimigrasian
maupun
dalam
penjelasannya tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan Hukum Keimigrasian. Dalam Pasal l angka l UU No. 9 tahun l992 hanya diberikan batasan perkataan keimigrasian, yaitu hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau ke luar wilayah negara republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah negara Republik Indonesia. Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa : l. Lapangan (objek) hukum dari Hukum Keimigrasian adalah lalu lintas dan pengawasankeimigrasian 2. Subjek hukum dari Hukum Keimigrasian adalah orang yang masuk atau keluar wilayah negara Republik Indonesia dan orang asing yang berada di wilayah negara Indonesia. Menurut
Abdullah
Sjahriful,23
Hukum
Keimigrasian
adalah
himpunan petunjuk yang mengatur tata tertib orang-orang yang berlalu litas di dalam wilayah Indonesia dan pengawasan terhadap orang-orang asing yang berada di wilayah . Hukum Keimigrasian masuk dalam hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan negara (pemerintah). Dengan adanya pencanangan Hukum Keimigrasian, bertambahlah khazanah ilmu hukum di Indonesia dan Hukum Keimigrasianpun mendapat tempat dalam Tata Hukum Indonesia, sehingga kedudukan Hukum Keimigrasian sudah dapat disejajarkan dengan hukum-hukum yang telah lahir terlebih 22
Direktorat Jenderal Imigrasi dan Kantor Imigrasi Seluruh Indonesia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Imigrasi, 2004, Profil Imigrasi. 23 Abdullah Sjahriful, Ibid., hal. 58.
33 dahulu, seperti hukum perpajakan dan hukum perburuhan. Selanjutnya Abdullah Sjahriful juga menyatakan bahwa kalau hukum perpajakan dan hukum perburuhan sudah dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi, maka sudah saatnya Hukum Keimigrasian untuk dipertimbangkan menjadi mata kuliah pada jenjang pendidikan tinggi terutama di Fakultas Hukum. B. Politik Imigrasi Berlangsungnya emigrasi/imigrasi dalam sejarah manusia, pada mulanya terjadi atau dilakukan begitu saja. Itu sesuai dengan sifat manusia yang suka mencari kehidupan yang baik. Jika seseorang mau pindah ke negara lain, itu urusannya sendiri, artinya negara tidak turut campur. Sampai sekarang berlangsungnya peristiwa emigrasi dan imigrasi adalah perkara biasa. Migrasi di muka bumi adalah salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Konvensi Jenewa. Meskipun demikian, dewasa ini seseorang tidaklah dapat secara sesuka hatinya saja ke luar masuk suatu negara. Sebab tidak ada lagi wilkayah tidak bertuan di muka bumi, kecuali di lautan bebas, serta di kutub utara dan kutub selatan. Masing-masing negara membuat peraturan-peraturan (undang-undang) yang mengatur syarat-syarat dan siapa-siapa yang boleh masuk ke negaranya, demikian juga bagi orang-orang yang akan pergi ke luar negeri. Sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku, seseorang yang akan berkunjung ke Negara lain harus memiliki Dokumen Perjalanan Internasional (antar negara) yang sah dan berlaku. Penggunaan Surat Perjalanan pertama kali dalam sejarah, diperkirakan pada zaman Holly Land tahun 450 SM. Ketika itu Raja Persia mengangkat seorang Babylonia, bernama Nehemiah sebagai Gubernur baru untuk Palestina. Nehemiah mengajukan permohonan surat keamanan dalam perjalanan sebagai pelindung dirinya dan permohohonan tersebut dikabulkan oleh Raja Persia. Surat tersebut merupakan catatan permohonan pertama kali dari surat perjalanan, yang kemudian dikenal dengan nama (sebutan) paspor24.
24
Tanpa pengarang, 2000, Kenang-Kenangan 50 Tahun Imigrasi, Ditjen Imigrasi, hal. 37).
34 Sumber lain mengatakan bahwa penggunaan surat keterangan diri (semacam paspor) sudah ada di masa Raja Fir’aun di Mesir berkuasa. Pengaturan bidang keimigrasian (lalu lintas keluar masuk) suatu Negara, berdasarkan hukum internasional merupakan hak dan wewenang suatu negara. Dengan perkataan lain, merupakan salah satu indikator kedaulatan suatu negara. Negara yang memiliki kedaulatan adalah negara yang secara hukum internasional diakui keberadaannya, baik secara de jure maupun de facto. Karena itulah kebijakan di bidang keimigrasian suatu negara jajahan berada di tangan negara penjajah dan sesuai dengan kepentingan negara penjajah, yang menempatkan negara jajahan sebagai proyek ekonominya. Indonesia pernah berstatus negara jajahan, baik di jaman Belanda maupun jaman pendudukan militer Jepang. Itulah sebabnya mengana Imigrasi di Indonesia yang diakui secara internasional hingga tahun 1949 hanyalah imigrasi pemerintah Hindia Belanda25. Bidang keimigrasian diatur langsung oleh negara karena bidang keimigrasian adalah bidang yang amat vital sekaligus rawan. Posisi, konteks (kaitan) dan kontribusi bidang keimigrasian terhadap berbagai sector kehidupan masyarakat telah menempatkan keberadaannya pada kedudukan yang yang penting, yang dapat memberikan citra yang baik serta manfaat bagi negara dan bangsa. Sebaliknya sekaligus bersifat rawan, bisa menimbulkan masalah yang tidak diharapkan. Terutama kalau dinilai bisa menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum di negara yang ditujunya. Bermigrasinya pelarian kriminal, kelompok atau pelaku teroris ke suatu negara, misalnya tentulah tidak diharapkan. Jika seorang asing memasuki suatu negara, maka pertama-tama ia akan berurusan dengan pejabat imigrasi, yang berhak membolehkan atau menolak ia memasuki negara yang bersangkutan26 Menurut
M. Iman Santoso27, keberadaan aparatur keimigrasian
sebagai salah satu titik strategis di tengah berlangsungnya dinamika politik, 25
Tanpa pengarang, 2005, Lintas Sejarah Imigrasi Indonesia, Dirjen Imigrasi, hal. 13. Ibid, 2005, hal. 13. 27 M. Iman Santoso, 2002, Peran Keimigrasian dalam Rangka Peningkatan Ekonomi dan Pemeliharaan Ketahanan Nasional Secara Seimbang, Tesis Universitas Krisnadwipayana Jakarta, hal. 39. 26
35 ekonomi, sosial, kebudayaan dan keamanan. Karena itu kebijakan imigrasi bisa menimbulkan efek, baik yang positif maupun yang negatif. Permasalahan yang timbul dan berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya, pada masyarakat statu negara akan sangat berpengaruh pada stabilitas keamanan statu negara. Fungsi
keimigrasian yang mengatur serta mengawasi keberadaan
orang asing di negara tersebut, akan memiliki peran yang signifikan. Secara universal imigrasi dijadikan sebagai penjuru (focal point). Kebijakan yang salah atau tidak tepat di dalam menangani masalah ini akan mempunyai dampak yang Sangay besar pada bidang lain. Sebagai contoh kebijakan keimigrasian untuk mengatasi kejahatan terorganisir lintas negara, harus dapat menjangkau juga bidang lain seperti politik, ekonomi, sosial masyarakat dan kebudayaan, baik yang berskala nasional, regional maupun internasional. Oleh karena itu kebijakan keimigrasian mempunyai keterkaitan substansial yang berdampak beruntun. C. Fungsi dan Peranan Keimigrasian Pada dasarnya fungsi dan peranan keimigrasian bersifat universal, yaitu melaksanakan pengaturan lalu lintas orang masuk atau ke luar wilayah suatu negara. Lazimnya dilaksanakan berdasarkan suatu politik imigrasi, yaitu kebijakan negara yang telah ditetapkan atau digariskan oleh pemerintahnya sesuai dengan ketentuan hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara operasional, peran keimigarsian di Indonesia selalu mengandung tiga fungsi, yaitu : a. Fungsi Pelayanan Masyarakat D. Pengertian Tindak Pidana Keimgrasian Untuk dapat memahami pengertian tindak pidana keimigrasian, maka perlu dijelaskan pengertian tindak pidana. Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda strafbaar feit atau delict. Istilah strafbaar feit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia secara beragam, misalnya menurut Utrecht diterjemahkan sebagai peristiwa pidana28. 28
Utrecht, 1958, Hukum Pidana I, hal. 250.
Karni dan H.J. van
36 Schravendijk
29
, memakai istilah perbuatan yang boleh dihukum. M.H
Tirtaamidjaya30 menerjemahkan dengan pelanggaran pidana.
Sedangkan
Moeljatno31 menggunakan istilah perbuatan pidana., sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara republik Indonesia. Dengan telah diketahuinya arti tindak pidana dan arti keimigrasian, maka arti lengkap dari tindak pidana keimigrasian adalah tindakan yang dilarang oleh hukum keimigrasian dan barang siapa yang melanggarnya diancam dengan sanksi pidana yang diatur dalam peraturan sendiri.32 Di dalam Undang-Undang No. 9 tahun l992 tentang Keimigrasian, tindak pidana Keimigrasian diatur dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, yaitu dari
Pasal 48 sampai dengan Pasal 61. Dari pasal-pasal tersebut yang
berjumlah 14 pasal terdapat sebelas pasal tergolong kejahatan (misdrijf) ,yaitu Pasal 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, dan 59 serta tiga pasal tergolong pelanggaran (overtreding), yaitu pasal 51, 60, dan 61. Menurut Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU No. 9 tahun l992, Tindak Pidana Keimigrasian merupakan tindak pidana umum, karena tindak pidana keimigrasian tidak mempunyai kedudukan tersendiri dalam hukum pidana, sehingga tindak pidana keimigrasian bukan merupakan tindak pidana khusus. B. Tinjauan Umum tentang Hukum Acara Pidana. a. Hukum Acara Pidana Di Indonesia Hukum acara pidana merupakan peraturan yang melaksanakan hukum pidana. Hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia berdasar pada peraturan yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8
29
Karni dan H.J. van Schravendijk, 1956, Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, hal. 87. M.H. Tirtaamidjaja, 1955, Pokok-Pokok Hukum Pidana, hal. 18. 31 Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana, hal. 8 32 Abdullah Sjahriful, Op.Cit., hal 112. 30
37 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Menurut Andi Hamzah33, dengan terciptanya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, maka pertama kali di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam artian meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan kembali (herziening). Menurut M. Yahya Harahap34 KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berisi ketentuan tata tertib proses penyelesaian penanganan kasus tindak pidana, sekaligus telah memberi “legalisasi hak asasi” kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di depan pemeriksaan aparat penegak hukum. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka dari tindakan sewenang-wenang. KUHAP telah mencoba menggariskan tata tertib hukum yang antara lain akan melepaskan tersangka atau terdakwa maupun keluarganya dari kesengsaraan putus asa di belantara penegakan hukum yang tak bertepi, karena sesuai dengan jiwa dan semangat yang diamanatkannya, tersangka atau terdakwa harus diberlakukan berdasar nilai-nilai yang manusiawi Asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, diatur dalam Penjelasan KUHAP butir ke-3 adalah sebagai berikut : a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan (asas persamaan di muka hukum); b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang (asas perintah tertulis); c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (asas praduga tak bersalah); 33 34
Andi Hamzah, 2002, 7. M. Yahya Harahap, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Pustaka Kartini.
38 d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi (asas pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan dan salah tuntut); e. Pengadilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan (asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, bebas, jujur dan tidak memihak); f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh
bantuan
hukum yang
semata-mata
diberikan
untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya (asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya); g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan atas dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum (asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan); h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa (asas hadirnya terdakwa); i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang (asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum); j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan (asas pelaksanaan pengawasan putusan); k. Tersangka diberi kebebasan memberi dan mendapatkan penasehat hukum, menunjukkan bahwa KUHAP telah dianut asas akusator, yaitu tersangka
39 dalam pemeriksaan dipandang sebagai subjek berhadap-hadapan dengan lain pihak yang memeriksa atau mendakwa yaitu kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa sehingga kedua pihak mempunyai hak-hak yang sama nilainya (asas accusatoir). Sedangkan menurut Andi Hamzah35, asas-asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut: a. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, b. Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence). Sebelum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka setiap orang tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah, c. Asas oportunitas Penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum, d. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum Terdapat pengecualian, yaitu mengenai delik yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban umum (openbare orde), e. Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, f. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan tersebut diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara, g. Asas tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum, h. Asas akusator dan inkisitor (accusatoir dan inquisitoir) Kebebasan memberi dan mendapatkan nasehat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHP telah dianut asas akusator. i. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. 35
Andi Hamzah, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 20.
40
Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksana hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum sebelum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini adalah “ Reglemen Indonesia yang diperbaharui (selanjutnya disebut RIB) atau yang dikenal dengan nama Het Herziening Inladch Reglement “ (disebut HIR) Staatsblad tahun 1941 No. 44. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Drt tahun 1951, maka sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil oleh semua Pengadilan dan Kejaksaan Negeri dalam Wilayah Republik Indonesia, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahannya Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan dengan tegas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat) bukan kekuasaan (machstaat). Hal ini berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah Negara hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Oleh karena itu terhadap pembangunan serta pembaharuan hukum perlu diadakan penyempurnaan perundang-undangan yang kemudian kemungkinan ditingkatkan menjadi kodifikasi dan unifikasi hukum dalam bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang sedang berkembang kearah modernisasi. Pembangunan yang dilakukan terhadap hukum acara pidana bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum. Undang-Undang tentang hukum acara pidana nasional wajib didasarkan pada falsafah, pandangan hidup dan dasar negara yaitu Pancasila. Pembaharuan Hukum Acara Pidana dimaksudkan pula sebagai upaya untuk menghimpun ketentuan acara pidana yang saat itu masih terbagi dalam undang-undang ke dalam satu undang-undang hukum acara pidana nasional sesuai
41 dengan tujuan kodifikasi dan unifikasi itu. Oleh karena itu, dengan berbagai pertimbangan lahirlah Kitab Undang-Undang Acara Pidana yang disingkat dengan KUHAP. Kitab undang-undang ini memuat ketentuan tentang tata cara dari suatau proses pidana. Ruang lingkup berlakunya undang-undang ini untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan (Pasal 2) KUHAP. Hukum acara pidana ini memuat peraturan pelaksana tata cara peradilan ini dilaksanakan menurut peraturan dan cara-cara yang ditentukan dalam hukum undang-undang hukum acara pidana ini berisi ketentuan-ketentuan yang mengadili mereka yang telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana Indonesia. b Tinjauan Umum Penyelidikan dan Penyidikan a). Pengertian dan Proses Penyelidikan Menurut Andi Hamzah36, KUHAP membedakan penyidikan dan penyelidikan. Penyidikan sejajar dengan pengertian opsporing atau investigation. Pembedaan kedua istilah tersebut rupanya tidak didasarkan kepada pengertian biasa. Pengertian biasa menunjukkan bahwa penyidikan berasal dari kata sidik. Juga penyelidikan berasal dari kata sidik yang mendapat sisipan el, menjadi selidik.
Artinya sama dengan sidik, hanya diperkeras pengertiannya, banyak
menyidik37. Dalam KUHAP kedua istilah tersebut diartikan lain. Penyidikan diartikan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya38.
Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de
Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan
36
Andi Hamzah, 1987, Ibid., hal. 121. Andi Hamzah, l987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 12l. 38 Darwan Prints, 1989, Hukum Acara Pidana, Suatu Pengantar, hal 38. 37
42 apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum39. Menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana40, penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau methode atau sub dari pada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Latar belakang, motivasi dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi. Di sampimg itu tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana. Selanjutnya sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Dengan demikian sebenarnya sejak dini KUHAP berusaha mencegah digunakannya dengan mudah upaya paksa. Upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa digunakan demi kepentingan umum yang lebih luas.
39 40
R. Tresna , 1957, Komentar HIR. Hal. 72. Tanpa Pengarang, 1982, Buku Pedoman Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Departemen Kehakiman RI.
43 Dari penjelasan di atas, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan
penyidikan.
Penyelidikan juga bukan merupakan kegiatan
intelegence. Jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. b). Aparat Penyelidik Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 butir 4) KUHAP. Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan : menyederhanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang melakukan penyelidikan menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih sperti yang dialami pada masa HIR. merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum. Dengan demikian dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efisien. Menurut Pasal 4 KUHAP, penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Namun demikian dalam penjelasan Pasal 9 KUHAP dinyatakan bahwa dalam keadaan yang mendesak dan perlu, untuk tugas tertentu demi kepentingan penyelidikan, atas perintah tertulis Menteri Kehakiman, pejabat imigrasi dapat melakukan tugasnya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. b) Fungsi dan Wewenang Penyelidik 1.Fungsi dan Wewenang penyelidik (Pasal 5 KUHAP) a) Menerima laporan atau pengaduan Apabila penyelidik menerima suatu pemberitahuan dan atau laporan yang disampaikan oleh seseorang, penyelidik mempunyai hak
44 dan kewajiban untuk menindak lanjuti (Pasal 1 butir 24 KUHAP). Mengenai laporan atau pengaduan yang dapat diterima penyelidik : •
Jika laporan pengaduan diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu
•
Jika laporan atau pengaduan diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik
•
Jika pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus dicatat dalamlaporan pengaduan (Pasal 103 KUHAP)
b) Mencari keterangan dan barang bukti Fungsi penyelidikan dimaksudkan sebagai langkah pertama atau sebagai bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan guna mempersiapkan semaksimal mungkin fakta, keterangan, dan bahan bukti sebagai landasan hukum untuk memulai penyidikan.Apabila penyidikan dilakukan tanpa persiapan yang memadai tersebut akan terjadi tindakan penyidikan yang bertentangan dengan hukum atau tejadi kekeliruan terhadap orang yang yang disidik. c) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai Kewajiban dan wewenang ketiga yang diberikan (Pasal 5 KUHAP) kepada penyelidik, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Untuk melakukan tindakan menyuruh orang yang dicurigai dan sekalian menanyakan identitas orang yang ditanyai tidak perlu surat perintah khusus atau dengan apapun. d) Tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab Yang dimaksud dengan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidik (Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 KUHAP) dengan syarat : - Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum - Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatannya
45 - Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya - Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa - Menghormati hak asasi manusia e. Kewenangan berdasar perintah penyidik Tindakan dan kewenangan undang-undang melalui penyelidik dalam hal ini, lebih tepat merupakan tindakan melaksanakan perintah penyidik berupa : penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggledahan, dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. Menurut ketentuan Pasal 102 ayat (2) KUHAP dalam hal tertangkap tangan, penyelidik dapat bertindak melakukan segera apa yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b tanpa mendapat perintah dari pejabat penyidik. Penyelidik wajib menyampaikan hasil pelaksanaan
tindakan
sepanjang yang menyangkut tindakan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b. Pengertian laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan, harus merupakan laporan secara tertulis. Jadi disamping adanya laporan lesan harus diikuti laporan tertulis demi untuk pertanggungjawaban dan pembinaan pengawasan terhadap penyelidik, sehingga apa saja pun yang dilakukan penyelidik tertera dalam laporan tersebut. c. Tinjauan Umum Penyidikan 1. Pengertian dan Proses Penyidikan Dalam Pasal 1 butir (2) Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dengan demikian penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila telah terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam KUHAP. Penyidik
46 adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undng-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 109 butir (1) KUHAP). Untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang terjadi adalah termasuk suatu tindak pidana, menurut kemampuan penyidik untuk mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan berdasarkan pada pengetahuan hukum pidana. Menurut R. Soesilo41 dalam bidang reserse kriminil, penyidikan itu biasa dibedakan sebagai berikut:
Penyidikan dalam arti kata luas, yaitu meliputi penyidikan, pengusutan dan pemeriksaan, yang sekaligus rangkaian dari tindakan-tindakan dari terus-menerus, tidak ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya,
Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu semua tindakan-tindakan yang merupakan suatu bentuk represif dari reserse kriminil Polri yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana. Kewenangan kepolisian dalam melaksanakan proses pemeriksaan
perkara pidana dijabarkan dalam Pasal 16 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu: a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; b. Melarang setiap orang untuk meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dalam pemeriksaan perkara pidana; 41
R. Soesilo. 1980. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bogor: Politea.hal.17
47 h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan bekas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan langsung kepada
pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberi bantuan dan petunjuk penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Di dalam Juklak dan Juknis Tahun 2001 menyangkut penyidik pegawai negeri sipil, dijelaskan tentang kewenangan pejabat penyidik pegawai negari sipil, yaitu; a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang yang menjadi dasarnya; b. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang (tersangka); e. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dalam pemeriksaan; f. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik Polri karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik Polri memberitahukan kepada penuntut umum dan tersangka; g. Mengadakan
tindakan
lain
menurut
hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah: a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
48 c. Pemeriksaan di tempat kejadian. d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. e. Penggeledahan. f. Pemeriksaan atau interogasi. g .Berita Acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat) h. Penyitaan. i. Penyampingan perkara. j. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. Penyidikan in concreto dimulai sesudah terjadinya suatu tindak pidana, sehingga tindakan tersebut merupakan penyelenggaraan hukum (pidana) yang bersifat represif42. Tindakan tersebut dilakukan adalah untuk mencari keterangan dari siapa saja yang diharapkan dapat memberi tahu tentang apa yang telah terjadi dan dapat mengungkapkan siapa yang meakukan atau yang disangka melakukan tindak pidana tersebut. Tindakan-tindakan pertama tersebut diikuti oleh tindakantindakan lain yang dianggap perlu, yang pada pokoknya untuk menjamin agar orang yang benar-benar terbukti telah melakukan suatu tindak pidana bisa diajukan ke pengadilan untuk dijatuhi pidana dan selanjutnya benar-benar menjalani pidana yang dijatuhkan itu. Menurut Hamrat Hamid dan Harun Husein43, secara formal prosedural, suatu proses penyidikan dikatakan telah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik, Setelah pihak Kepolisian menerima laporan atau informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Hal ini selain untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dari pihak Kepolisian, dengan adanya Surat Perintah Penyidikan tersebut adalah sebagai jaminan terhadap perlindungan hakhak yang dimiliki oleh pihak tersangka.
42 43
Djoko Prakoso, 1987, Penyidik, Penutut Umum,Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana, hal.9. Hamrat Hamid dan Harun Husein, 1991, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Jakarta, Rineka Cipta.
49 Berdasarkan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP, maka seorang penyidik yang telah memulai melaksanakan penyidikan terhadap peristiwa tindak pidana, penyidik harus sesegera mungkin untuk memberitahukan telah mulai penyidikan kepada Penuntut Umum. Untuk mencegah penyidikan yang berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian, seorang penyidik kepada Penuntut Umum, sementara di pihak Penuntut Umum berwenang minta penjelasan kepada penyidik mengenai perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Dalam hal penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik wajib mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) yang mana tembusan surat tersebut dismpaikan kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya (Pasal 109 ayat (2) KUHAP). Sedangkan telah selesai melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, yang mana jika Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap maka berkas perkara akan dikembalikan disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi oleh penyidik, dan setelah berkas perkara diterima kembali oleh penyidik, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum (Pasal 110 KUHAP). 2. Aparat Penyidik Dalam proses penyidikan, yang berhak melakukan penyidikan adalah Pejabat Penyidik. Seorang penyidik melakukan penyidikan adalah dalam usaha menemukan alat bukti dan barang bukti, guna kepentingan penyidikan dalam rangka membuat suatu perkara menjadi jelas/terang dan untuk mengungkap atau menemukan tersangka kejahatan. Dalam Pasal 1 Butir ke-1 KUHAP dijelaskan pengertian penyidik. ”Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
50 Dari pengertian tersebut di atas, dapat ditarik dua unsur penyidik, seperti tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, yaitu : (1) Penyidik adalah : a) Pejabat Polisi Negara Indonesia; b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Dalam Pasal 6 KUHAP tersebut di atas telah ditentukan mengenai instansi atau kepangkatan seorang pejabat penyidik adalah : a) Pejabat Peyidik Polisi Untuk melakukan penyidikan, pejabat penyidik polisi harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Mengenai kedudukan dan kepangkatan pejabat penyidik kepolisian diatur dalam peraturan pemerintah yaitu PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Memperhatikan kepangkatan yang diatur dalam Bab II PP No. 27 Tahun 1983 tersebut, syarat kepangkatan dari penyidik adalah sebagai berikut: a. Pejabat Penyidik Penuh Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik penuh harus memenuhi kepangkatan dan pengangkatan sebagai berikut: 1) Sekurang-kurangnya berpangkat Ipda; 2) Berpangkat Bintara di bawah Bripda apabila dalam sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua; 3) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI. b. Pejabat Penyidik Pembantu 1) Sekurang-kurangnya berpangkat Bripda;
51 2) Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan kepolisian negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan Tk I/B); 3) Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI, atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Khusus mengenai pengangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian untuk menjadi pejabat penyidik pembantu harus mempunyai keahlian dan kekhususan di bidang tertentu. Syarat kepangkatan pejabat penyidik pembantu harus lebih rendah dari pangkat pejabat penyidik penuh. Dalam hal ini perlulah kiranya diutarakan di sini, bahwa Surat keputusan Menteri Hankam/Pangab tanggal 13 Juli 1979 telah menentukan antara lain, bahwa penyidik pembantu yang dijabat oleh pejabat kepolisian Negara harus berpangkat Sersan Dua s/d Sersan Mayor dan kepolisian khusus yang atas usul komandan atau kepala Jawatan / Instansi Sipil Pemerintah diangkat oleh Kapolri. Penyidik pembantu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau sekurang-kurangnya berpendidikan Sekolah Bintara Polisi;
Mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan penyidikan;
Mempunyai kecakapan dan kemampuan baik psikis maupun fisik untuk melakukan tugas penyidikan;
Berkelakuan baik atau tidak tercela44
b) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasalnya. Jadi hanya terbatas hanya sepanjang menyangkut tindak pidana yang diatur dalam undang-undang khusus tersebut.
44
R. Soesilo, 1980. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bogor: Politea.hal.17.
52 Menurut M. Yahya Harahap45 bahwa kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan adalah : 1. Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri, 2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan, 3. Penyidik pegawai negeri sipil harus melaporkan kepada penyidik Polri jika ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya ke penuntut umum, 4. Setelah penyidikan selesai, penyidik pegawai negeri sipil menyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Penyidik Polri memeriksa hasil penyidikan untuk menghindari pengembalian kembali hasil penyidikan oleh penuntut umum kepada penyidik karena kurang lengkap, 5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, maka penghentian penyidikan tersebut harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum. Untuk menunjang tugas utama penyidik agar berjalan dengan lancar, maka penyidik diberi kewenangan untuk melaksanakan kewajibannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1), yang berbunyi: “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : 1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana 2. melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian 3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka 45
M. Yahya Harahap, 2002, 113
53 4. melakukan penangkapan, penahanan, penggledahan, dan penyitaaan 5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat 6. menganbil sidik jari dan memotret seseorang 7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka ataupun saksi 8. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara 9. mengadakan penghentian penyidikan 10. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab Kewenangan penyidik juga dapat diatur secara khusus sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 9 tahun 1992
tentang Keimigrasian yaitu : a. Menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian b. Memanggil,
memeriksa,
menggeledah,
menangkap,
menahan
seseorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian. c. Memeriksa dan / atau menyita surat-surat, dokumen-dokumen, surat perjalanan, atau benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian ). d. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi. e. Melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga terdapat surat-surat, dokumen-dokumen, surat perjalanan, atau bendabenda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian. f. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka. Bagi penyidik dan Pegawai Negeri Sipil kewenangannya sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar hukum masing-masing dan dalam tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik dari Pejabat Kepolisian Negara R.I.
Menurut penjelasan Pasal 47 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, pemberian wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil, sama sekali tidak mengurangi wewenang Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk menyidik tindak pidana keimigrasian.
54 Penyidik Polri diminta atau tidak diminta memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. Pemberian petunjuk dan bantuan tersebut, antara lain meliputi hal-hal yang berkaitan dengan teknik dan taktik penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaaan laboratorium.
Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sejak awal harus memberitahukan tentang penyidikan yang sedang dilakukan kepada Penyidik Polri. Setelah itu hasil penyidikan berupa berkas perkara tersangka dan barang bukti disampaikan kepada Penuntut Umum
melalui
Penyidik
Polri.
Untuk
kepentingan
pelaksanaan
penuntutan. Pelaksanaan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil tersebut harus dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terutama ketentuanketentuan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil, yaitu antara lain Pasal 32, 33, 34, 35, 36, 37 dan Pasal 107. 3. Macam Upaya Paksa dalam Penyidikan a
Penangkapan Berdasarkan Pasal 1 butir (20) KUHAP yang dimaksud dengan penangkapan adalah : “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Di dalam Pasal 16 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Dalam hal tertangkap tangan atau tertangkapnya seseorang pada waktu melakukan tindak pidana, atau dengan segera setelah beberapa saat tindak pidana, atau sesaat kemudian.diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan, atau apabila sesaat kemudian
padanya
ditemukan
benda
yang
diduga
keras
telah
55 dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut serta melakukan atau membantu melakukan tindak pidana tersebut (Pasal 1 butir 19 KUHAP), penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat. b
Penahanan Pasal 1 butir (21) KUHAP menentukan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sedangkan dalam Pasal 20 ayat 1 dijelaskan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik ataupun penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Adapun yang menjadi alasan untuk dapat melakukan penahanan adalah seperti yang tersebut dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu harus ada kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana yang dilakukan.
c
Penggledahan Berdasarkan Pasal 1 butir (17) KUHAP yang dimaksud dengan penggledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan Pasal 1 butir (18) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penggledahan badan adalah tindakan tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggledahan rumah dan atau badan dan atau penggledahan pakaian
56 menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu dengan surat ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak dimana patut dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat ijin Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara layak dan dalam waktu yang singkat (Pasal 32-34 KUHAP). d
Penyitaan Pasal 1 butir (16) KUHAP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan. Seperti halnya penggledahan rumah maka penyitaan rumah harus mendapatkan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun apabila tertangkap tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang sebagai barang bukti tanpa perlu surat ijin dari Ketua Pengadilan.
4. Hubungan Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil KUHAP mengatur hubungan koordinasi fungsional dan instansional di dalam pelaksanaan penyidikan, yaitu hubungan antara penyidik Polri dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu, antara lain tentang : 1) Koordinasi dan pengawasan (Pasal 7 ayat (2) KUHAP) 2) Pemberian petunjuk dan bantuan, laporan dimulainya penyidikan dan penghentian penyidikan serta penyerahan hasil penyidikan (Pasal 107 dan Pasal 109 ayat (3) KUHAP )46. Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan ialah pejabat polisi negara. Memang dari segi differensiasi
fungsionalpun, KUHAP telah meletakkan
tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Namun demikian agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus 46
PEDOMAN PELAKSANAAN KUHAP, Hal. 25.
57 memenuhi syarat kepangkatan, seperti diatur dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP47 Kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan adalah penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah koordinasi penyidik Polri dan di bawah pengawasan penyidik Polri. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada
penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan
penyidikan
yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP). Penyidik pegawai
negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknya, jika dari penyidik pegawai negeri sipil itu diketemukan bukti
penyidikan itu oleh yang kuat untuk
mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP).
Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan
penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP).48 Penyidik Polri dapat mengembalikan hasil penyidikan pegawai negeri sipil yang dianggap belum sempurna, untuk diperbaiki seperlunya. B.
Tinjauan Umum tentang Penegakan Hukum Apapun namanya maupun fungsi apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai suatu sistem, yaitu sebagai sistem norma. Pemahaman yang demikian itu menjadi penting, karena dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar, yaitu masyarakat atau lingkungannya. Pengertian sistem sebagaimana didefinisikan oleh beberapa ahli, antara lain Bertalanffy dan Kennecth Building, yang dikutip oleh Esmi Warassih49 , ternyata mengandung implikasi yang sangat berarti terhadap hukum, terutama berkaitan dengan
47
aspek:
(1)
keintegrasian,
(2)
keteraturan,
(3)
keutuhan,
(4)
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 111. M. Yahya Harahap., Ibid., hal 115. 49 Esmi Warassih Puji Rahayu, 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang : Suryandaru Utama 2005, Hal. 29 48
58 keterorganisasian, (5) keterhubungan komponen satu sama lain, dan (6) ketergantungan komponen satu sama lain. Berbagai pengertian hukum sebagai sistem hukum, dikemukakan antara lain oleh Lawrence Friedman yang dikutip oleh Esmi Warassih50, bahwa hukum itu merupakan gabungan komponen struktur, substansi dan kultur : a) Komponen struktur,
yaitu
kelembagaan
yang
diciptakan oleh
sistem
hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur. b) Komponen substantif, yaitu output dari sistem hukum, berupa peraturanperaturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. c) Komponen kultur, yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum atau oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum ini hendaknya dibedakan antara internal legal culture yaitu kultur hukum para lawyers and judges, dan external legal culture yaitu kultur hukum masyarakat luas”. Selain itu menurut pendapat Lon L. Fuller dalam Esmi Warassih51 dikatakan bahwa untuk mengenal hukum sebagai suatu sistem maka harus dicermati apakah sudah memenuhi 8 (delapan) azas atau principles of legality berikut ini: “ 1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. 2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut.
50 51
Esmi Warassih, 2005, ibid hal 30 Esmi Warassih, 2005,Ibid., hal 31
59 4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7) Peraturan tidak boleh sering di ubah-ubah. 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari ”. Bertolak dari rangkaian pembahasan tersebut dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam perumusannya sebagai hukum positif harus dipahami suatu sistem norma. Pemahaman ini penting artinya untuk menghindari terjadinya kontradiksi atau pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman ini semakin penting artinya, apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan (eksistensi) hukum sebagai suatu sistem norma mempunyai daya guna dalam menjalankan tugasnya di masyarakat. c. Efektivitas Hukum Dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, maka sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasikannya tujuan yang ingin dicapai. Sistem hukum dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan efektivitas hukum ini, persyaratan yang diajukan oleh Fuller di dalam penjelasan hukum sebagai suatu sistem norma kiranya perlu diperhatikan.
60 Selain itu,
Paul dan Dias yang dikutip oleh Esmi Warassih52
mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu : 1) mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami; 2) luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturanaturan hukum yang bersangkutan. 3) efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum; 4) adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. 1) adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif. d. Kompleksitas bekerjanya hukum. Menurut Satjipto Rahardjo53, tentang berlakunya hukum dibedakan atas tiga hal, yaitu berlakunya secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Bagi studi hukum dalam masyarakat maka yang penting adalah hal berlakunya hukum secara sosiologis , yang intinya adalah efektivitas hukum. Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan antara realistas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan (law in action) dengan hukum dalam teori (law in theory), atau dengan perkataan lain, kegiatan ini akan memperlihatkan kaitan antara law in book dan law in action.. Realitas hukum menyangkut perilaku dan apabila hukum itu dinyatakan berlaku, berarti menemukan perilaku hukum yaitu perilaku yang sesuai dengan ideal hukum. Dengan demikian apabila diketemukan perilaku yang tidak sesuai dengan (ideal) hukum, yaitu tidak sesuai dengan rumusan
52 53
Esmi Warassih, 2001, ibid hal 105-106 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hal 19.
61 yang ada pada undang-undang atau keputusan hakim (case law), dapat berarti bahwa diketemukan keadaan dimana ideal hukum tidak berlaku. Hal tersebut juga mengingat bahwa perilaku hukum itu terbentuk karena faktor motif dan gagasan, maka tentu saja bila ditemukan perilaku yag tidak sesuai dengan hukum berarti ada faktor penghalang atau ada kendala bagi terwujudnya perilaku sesuai dengan hukum. Masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban, bagaimanapun kualitasnya. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersamasama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptakan ketertiban itu. Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan. Karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib54. Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat sesungguhnya terdiri dari suatu kompleks tatanan, yaitu terdiri dari sub-sub tatanan yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan, dengan demikian ketertiban yang terdapat dalam masyarakat itu senantiasa terdiri dari ketiga tatanan tersebut. Keadaan yang demikian ini memberikan pengaruhnya tersendiri terhadap masalah efektivitas tatanan dalam masyarakat. Efektivitas ini bisa dilihat dari segi peraturan hukum, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara orang-orang didasarkan pada hukum atau tatanan hukum. Menurut Robert B. Seidman yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo55, bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh kekuatan atau faktor-faktor sosial dan personal. Faktor sosial dan personal tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum, melainkan juga terhadap
54 55
Satjipto Rahardjo, Ibid., hal 13 Satjipto Rahardjo, 1980, 27.
62 lembaga-lembaga hukum. Akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Tingkah laku masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial dan personal lainnya. Menurut Soerjono Soekanto56,
untuk terselenggaranya penegakan
hukum (law enforcement) menghendaki empat syarat, yaitu : adanya aturan, adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu, adanya fasilitas untuk mendukung pelaksanaan peraturan itu, adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan itu.
Sedangkan menurut Satjipto
57
Rahardjo pengamatan berlakunya hukum secara lengkap ternyata melibatkan berbagai unsur sebagai berikut: (1) Peraturan sendiri., (2) Warga negara sebagai sasaran pengaturan, (3) Aktivitas birokrasi pelaksana.,(4) Kerangka sosial-politik-ekonomi-budaya yang ada yang turut menentukan bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas menjalankan apa yang menjadi bagiannya. Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan.58 Di dalam suatu negara yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk melakukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat, sebagaimana disebutkan oleh Roscoe Pound (1870-1874) salah seorang tokoh Sosiological Jurisprudence, hukum adalah as a tool of social engineering disamping as a tool of social Control.
56
Soerjono Soekanto, 1987, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Jakarta, Bina Aksara.. hal. 9.
57
Satjipto Rahardjo, 1987, Permasalahan Hukum Di Indonesia, Bandung, Alumni. 58 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hlm. 24.
63 Politik hukum pidana (kebijakan hukum pidana) sebagai salah satu usaha dalam menanggulangi kajahatan, mengejewantah dalam penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan hukum pidana yang rasional tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi yaitu :59 Tahap Formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undangundang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislatif. 1. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana ( tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-undang.
Dalam
melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap kedua ini dapat juga disebut tahap kebijakan yudikatif. 2. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan.
Aparat pelaksana dalam menjalankian
tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undangan (legislatur) dan nilainilai keadilan serta daya guna. 59
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,. hlm. 173
64 Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha atau proses yang rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.
Joseph Golstein, membedakan penegakan
hukum pidana atas tiga macam yaitu
60
Pertama, Total Enforcement, yakni
ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif. Penegakan hukum yang pertama ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana. Disamping itu, hukum pidana substantif itu sendiri memiliki kemungkinan memberikan batasan-batasan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut dengan area of no enforcement. Kedua, Full Enforcement, yaitu Total Enforcement setelah dikurangi area of no enforcement, dimana penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, tetapi menurut Goldstein hal inipun sulit untuk dicapai (not a realistic expectation), sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personal, alat-alat dana dan sebagainya yang dapat menyebabkan dilakukannya diskresi, Ketiga, Actual Enforcement, Actual Enforcement ini baru dapat berjalan apabila, sudah terdapat bukti-bukti yang cukup. Dengan kata lain, harus sudah ada perbuatan, orang yang berbuat, saksi atau alat bukti yang lain, serta adanya pasal yang dilanggar. Lawrence M. Friedman61 membedakan unsur sistem hukum ke dalam tiga macam, yaitu: Struktur (legal structure), Substansi (Legal substance), Kultur (Legal culture). Menurut Friedman kebanyakan negara-negara berkembang dalam upaya penegakan hukum hanya menyangkut struktur dan substansinya saja, sedangkan masalah kultur hukum kurang mendapatkan perhatian yang seksama.
Menurut Soerjono Soekanto62 penegakan rule of
law merupakan masalah yang rumit bagi Negara yang sedang berkembang. Di 60
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Hal. 16. 61 Lawrence M. Friedman, 1967, 23. 62
Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Serjono Soekanto, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, Jakarta, UI- Press. Hal .91.
65 Indonesia dalam upaya penegakan hukum harus dijaga keseimbangan antara rule of law dalam arti formil dan rule of law dalam arti materiil. Hal itu disebabkan karena di satu pihak hukum harus dapat membatasi kekuasaan (agar tidak sewenang-wenang) dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu jaminan bagi berlakunya hukum. Menurut Achmad Ali, sosialisasi undangundang merupakan proses penting dalam law enforcement, karena bertujuan : (1) bagaimana agar warga masyarakat dapat mengetahui kehadiran suatu undang atau peraturan; (2) bagaimana agar warga masyarakat dapat mengetahui isi suatu undangundang atau peraturan; (3) bagaimana agar warga masyarakat dapat menyesuaikan diri (pola piker dan tingkah laku) dengan tujuan yang dikehendaki oleh undang-undang atau peraturan hukum tersebut63. Baharuddin Lopa64 berpendapat bahwa semua kegiatan di bidang hukum perlu dijaga keterkaitan dan keterpaduannya. Misalnya untuk menegakkan keadilan bukan hanya dituntut agar hakim menjatuhkan putusan yang yang adil, tetapi dalam menghadapi kasus pidana disyaratkan penyidikan yang sempurna dan sesudah hukuman dijatuhkan yang kemudian berkekuatan tetap, diperlukan lagi pelaksanaan hukuman yang tertib sesuai dengan bunyi vonis. Berbicara mengenai keterpaduan dalam ruang lingkup yang lebih luas (bukan hanya dalam ruang lingkup proses peradilan) tidak bisa dilepaskan dari jenjang fungsi, suprasistem, sistem dan subsistem.
63
64
Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, PT Yarsif Watampone.
Baharuddin Lopa, 2001, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum, Jakarta, Bulan Bintang. H.133
66
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Imigrasi Dalam Rangka Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran UndangUndang Keimigrasian a. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Imigrasi Direktorat Jenderal Imigrasi mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang Imigrasi. Dalam menyelenggarakan tugas Direktorat Jenderal Imigrasi mempunyai fungsi: 1) Penyiapan rumusan kebijakan Departemen di bidang keimigrasian; 2) Pelaksanaan kebijakan di bidang keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang keimigrasian; 4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi; 5) Pelaksanaan urusan administrasi Direktorat Jenderal; 6) Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengamanan teknis operasional di bidang keimigrasian; 7) Pengawasan teknis atas pelaksanaan tugas di bidang keimigrasian; 8) Pembinaan dan pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, perlengkapan, sistem dan metode di bidang keimigrasian dan pelayanan teknis di bidang keimigrasian Dari fungsi di atas, secara garis besar dapat dirumuskan dalam tri fungsi imigrasi, yaitu sebagai aparatur pelayanan masyarakat dan pengamanan negara, penegakan hukum keimigrasian dan sebagai fasilitator ekonomi nasional. Untuk dapat melaksanakan berbagai fungsi tersebut, maka dibentuklah 6 Direktorat di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi, yang struktur organisasi dapat disajikan di bawah ini.
67
DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI
SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL
DIREKTORAT DOKUMEN PERJALANAN, VISA DAN FASILITAS KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT IZIN TINGGAL DAN STATUS KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT INTELIJEN KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT LINTAS BATAS DAN KERJA SAMA LUAR NEGERI KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT SISTEM INFORMASI KEIMIGRASIAN
Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI memiliki Kantor Unit Pelaksana Tehnis (UPT), dalam hal ini Kantor Imigrasi sebanyak 103 (seratus tiga) buah. Adapun status Kantor Imigrasi adalah : (1) Kantor Imigrasi Kelas I sebanyak 41 buah (2) Kantor Imigrasi Kelas II sebanyak 55 buah (3) Kantor Imigrasi Kelas III sebanyak 7 buah Dampak kemajuan di bidang teknologi dan perkembangan masyarakat dunia perlu diantisipasi dengan sarana organisasi yang memadai untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Bagi Direktorat Jenderal Imigrasi, suatu organisasi atau kelembagaan memiliki arti strategis di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Sebagai pelaksanaan fungsi ke dua imigrasi, yaitu melaksanakan penegakan hukum keimigrasian, maka dibentuk Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian. Dalam operasionalisasinya Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian tersebut didukung oleh satuan organisasi sebagai berikut :
68 DIREKTORAT PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN KEIMIGRASIAN
Subbagian Tata Usaha
SUBDIREKTORAT PENYIDIKAN KEIMIGRASIAN
Seksi Penyidikan Wilayah I
SUBDIREKTORAT PENINDAKAN KEIMIGRASIAN
SUBDIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN
Seksi Pencegahan
Seksi Penyidikan Wilayah I
Seksi Penyidikan Wilayah II
Seksi Penyidikan Wilayah II
Seksi Pembinaan PPNS Imigrasi
Seksi Evaluasi dan Laporan
SUBDIREKTORAT DETENSI IMIGRASI DAN DEPORTASI
Seksi Detensi Imigrasi
Seksi Deportasi
Seksi Penangkalan
Seksi Imigran Ilegal dan Perlindindungan Korban Kejahatan Lintas Negara
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
2. Keadaan Subdirektorat Penyidikan Keimigrasian 1) Kedudukan, Tanggung Jawab dan Wewenang, Subdit Penyidikan; Dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.04.PR.07.10 Tanggal 7 Desember Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, tergambar bahwa Subdit Penyidikan berada di bawah Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian yang berada dalam lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi. Subdit penyidikan sendiri membawahi tiga seksi, yaitu: 1. Seksi Penyelidikan Wilayah I, 2. Seksi
69 Penyidikan Wilayah II, dan 3. Seksi Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. Subdit Penyidikan dipimpin oleh seorang Kepala, yang setingkat dengan eselon III (III/a), dan untuk seksi-seksinya dipimpin oleh Kepala yang setingkat dengan Eselon IV (IV/a). Dalam pelaksanaan tugas kepala-kepala seksi bertanggung jawab kepada kepala Subdit Penyidikan Keimigrasian. Sedangkan Kepala Subdit Penyidikan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian yang memimpin Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian dimana kedudukannya setingkat dengan eselon II (II/a). Sedangkan kewenangan Subdit Penyidikan Keimigrasian adalah berkaitan dengan penyiapan bahan penyusunan rancangan kebijakan, melakukan pembinaan dan bimbingan teknis di bidang penyidikan tindak pidana keimigrasian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil keimigrasian, serta melakukan penyidikan. Mengenai syarat kepangkatan dan pengangkatan PPNS, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Pasal 2 ayat 1 huruf b Peraturan Pemerintah tersebut menentukan penyidik adalah : “PPNS tertentu yang sekurang – kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu”. Pada ayat (5) ditentukan ditentukan bahwa PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM atas usul dari departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut.
Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan
terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Keplisian Republik Indonesia. Wewenang pengangkatan tersebut dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.2528-KP.04.11 Tahun 1989 tentang Pemberian Kuasa untuk Atas Nama Menteri Kehakiman menandatangani Keputusan pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PPNS, ditentukan bahwa terhitung sejak tanggal 27 November 1989 Direktur Jenderal Hukum dan Perundang – Undangan sekarang Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, diberi kuasa untuk atas nama Menteri Kehakiman sekarang Menteri Hukum dan HAM menandatangani Keputusan Pengangkatan, Pemindahan
70 dan Pemberhentian PPNS. Petunjuk pelaksanaan pengusulan pengangkatan mutasi, dan pemberhentian PPNS diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.18-PW.07.03 Tahun 1993. Peraturan Menteri Kehakiman tersebut merupakan pengganti dari Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.05-PW.07.03 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pengusulan Pengangkatan dan Pemberhentian PPNS yang dianggap sudah tidak memadai lagi untuk meningkatkan kualitas dan menunjang pelaksanaan tugas PPNS. Syarat PNS untuk dapat diusulkan menjadi PPNS menurut Pasal 2 Peraturan Menteri adalah sebagai berikut : (a) berpangkat serendah – renahnya Pengatur Muda Tk. I (Golongan II/b); (b) berpendidikan serendah – rendahnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas; (c) ditugaskan di bidang teknis operasional; (d) telah mengikuti pendidikan khusus di bidang penyidikan; (e) mempunyai nilai baik atas Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) Pegawai Negeri Sipil untuk 2 tahun terakhir berturut – turut; (f) berbadan sehat dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
2) Tugas Pokok dan Fungsi Subdit Penyidikan Keimigrasian Berdasarkan Pasal 610 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, No. M.03.PR.07.10 Tanggal 7 Desember Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, tertulis dengan jelas tugas pokok Sub Direktorat Penyidikan Keimigrasian. Tugas pokok Sub Direktorat Penyidikan Keimigrasian itu sendiri adalah: (1) Melaksanakan penyiapan penyusunan rancangan kebijakan, (2) Pembinaan dan bimbingan teknis di bidang Penyidikan tindak pidana keimigrasian (3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian, (4) Pelaksanaan penyidikan tindak pidana keimigrasian. Dalam pelaksanaan tugas pokok tersebut di atas, Sub Direktorat Penyidikan Keimigrasian menyelenggarakan fungsi:
71 a) Pembinaan dan bimbingan teknis di bidang penyidikan tindak pidana keimigrasian dan PPNS keimigrasian; b) Penyidikan; c) Penyiapan bahan pembuatan penyusunan rancangan kebijakan. Dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di atas, Sub Direktorat Penyidikan Keimigrasian dibagi menjadi 3 seksi, antara lain yaitu: a) Seksi Penyidikan Wilayah I; b) Seksi Penyidikan Wilayah II; c) Seksi Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. Adapun tugas pokok Seksi Penyidikan Wilayah I adalah melakukan penyiapan bahan penyusunan rancangan kebijakan, pembinaan dan bimbingan Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung Bengkulu, Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta dan Jatim. Tugas pokok Seksi Penyidikan Wilayah II adalah melakukan penyiapan bahan penyusunan rancangan kebijakan, pembinaan dan bimbingan teknis di bidang penyidikan tindak pidana keimigrasian di lingkungan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di Bali, Kaltim, Kalteng, Kalsel, Sulut, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulsel, Sulbar, Maluku Utara, Irian Jaya Barat dan Papua. Tugas pokok Seksi pembinan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi adalah melakukan penyiapan bahan penyusunan rancangan kebijakan dan bimbingan teknis di bidang pembinaan, pemantauan pelaksanaan penyidik keimigrasian dan pembaharuan data Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. 3) Pelaksanaan Tugas Sub Direktorat Penyidikan (1) Tugas Penyiapan Bahan Penyusunan Rancangan Kebijakan, dan Bimbingan Teknis di Bidang Penyidikan Tindak dan Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Pembinaan
Pidana Keimigrasian
Keimigrasian;
Tugas penyiapan bahan penyusunan rancangan kebijakan, pembinaan dan bimbingan teknis di bidang penyidikan tindak pidana keimigrasian sekarang ini, secara teknis, dijalankan oleh 2 seksi yaitu Seksi Penyidikan Wilayah I dan Seksi Penyidikan Wilayah II. Secara garis besar kedua seksi ini mempunyai tugas yang sama, perbedaannya hanya pada pembagian
72 wilayah hukum yang menjadi wilayah kerja setiap seksi. Wilayah kerja Seksi Penyidikan Wilayah I meliputi daerah barat akan dijadikan acuan atau pedoman dalam pelaksanaan tugas di lingkungan kantor-kantor imigrasi. Sedangkan tugas Seksi Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian, meliputi penyiapan bahan penyusunan rancangan kebijakan dan bimbingan teknis di bidang pembinaan dan pemantauan pelaksanaan penyidik keimigrasian serta pembaharuan data Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. Secara garis besar Seksi ini mempunyai 2 (dua) tugas. Yang pertama adalah penyiapan bahan penyusunan rancangan kebijakan dan bimbingan dan pemantauan pelaksanaan penyidik keimigrasian. Tugas yang dijalankan ini berkaitan dengan penyiapan bahan pembuatan rancangan kebijakan yang akan dijadikan acuan atau pedoman bagi para Penyidik di lingkungan kantor-kantor imigrasi dalam melaksanakan tugas atau kegiatannya. Sedangkan tugas yang kedua adalah untuk mensuport tugas para Penyidik di lingkungan kantor Imigrasi dengan cara menghimpun dan mengumpulkan data-data para Penyidik yang selanjutnya data-data tersebut diproses untuk diperbaharui demi kepentingan para penyidik tersebut. (2) Tugas Penyidikan; Yang dimaksud dengan tugas penyidikan di sini adalah tugas-tugas yang berkaitan dengan penyidikan tindak pidana pelanggaran dan kejahatan di bidang keimigrasian. Tugas yang dijalankan oleh Subdit Penyidikan ini adalah untuk melaksanakan amanat yang tertuang dalam Pasal 610 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M. 03.PR.07.10 Tanggal 7 Desember Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam melaksanakan amanat tugas ini, KUHAP, serta perangkat peraturan lainnya (misalnya Juklak Dirjenim tentang Penyidikan). bagi Subdit Penyidikan dalam melaksanakan
Yang menjadi dasar
tugas penyidikan, baik
penyidikan tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan keimigrasian, adalah Undang-Undang Keimigrasian. Dasar tersebut tertuang dalam Pasal 47 Undang Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, yang menegaskan
73 bahwa selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan keimigrasian diberi wewenang khusus sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan Penyidikan tindak pidana keimigrasian. Pengaturan tentang wewenang PPNS Imigrasi diatur di dalam Pasal 47 ayat 2 dan 3 UU No. 9 tahun 1992. Di dalam ayat 2 disebutkan bahwa PPNS mempunyai wewenang : a. menerima laporan adanya tindak pidana keimigrasian; b. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan seorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian; c. memeriksa dan/ atau menyita surat-surat, dokumen-dokumen, Surat Perjalanan, atau benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; d. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi; e. melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga terdapat surat-surat, dokumen-dokumen, Surat Perjalanan atau benda-benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian. f. mengambil sidik jari dan memotret tersangka. Sedangkan di dalam ayat 3 disebutkan bahwa kewenangan Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) menegsakan bahwa pemberian wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil tersebut, sama sekali tidak mengurangi wewenang Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk menyidik tindak pidana keimigrasian. Penyidik Polri diminta atau tidak diminta memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada PPNS Keimigrasian.
Pemberian petunjuk dan bantuan
tersebut, antara lain meliputi hal-hal yang berkaitan dengan tehnik dan taktik penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan laboratorium. PPNS sejak awal harus memberitahukan tentang penyidikan yang sedang dilakukan kepada penyidik Polri. Setelah itu hasil penyidikan berupa berkas perkara
74 tersangka dan barang bukti disampaikan
kepada Penuntut Umum melalui
Penyidik Polri. Di dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negarta RI, disebutkan bahwa Kepolisan Negara RI berwenang memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum. Wewenang Penyidik Keimigrasian yang diatur di dalam UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian sangat terbatas dan tidak terperinci. Hal demikian menyebabkan pelaksanaan tugas penyidikan oleh PPNS Imigrasi tidak dapat dilakukan secara maksimal. Untuk itu oleh pembuat RUU Keimigrasian, tahun 2001 dan tahun 2004, wewenang Penyidik Keimigrasian dirumuskan secara lebih terperinci dan luas. Menurut ketentuan Pasal 97 RUU Keimigrasian tahun 2001 dan Pasal 121 RUU keimigrasian tahun 2004,
Penyidik
Keimigrasian mempunyai wewenang : a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian; b. mencari keterangan dan alat bukti; c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; d. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; e. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, atau menahan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian; f. menahan, memeriksa, dan menyita dokumen perjalanan; g. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau tersangka dan memeriksa identitas dirinya; h. memeriksa atau menyita surat-surat, dokumen-dokumen, atau benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; i. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa keterangannya sebagai tersangka atau saksi; j. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
75 k. melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga terdapat surat-surat,
dokumen-dokumen,
atau
benda-benda
lain
yang
ada
hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; l. mengambil sidik jari dan memotret tersangka; m. meminta
keterangan
dari
masyarakat
atau
sumber-sumber
yang
berkompeten; n. melakukan penghentian penyidikan; atau o. mengadakan tindakan lain menurut hukum. Dengan memperhatikan wewenang Penyidik Keimigrasian yang diatur di dalam RUU Keimigrasian di atas, dapat disimpulkan bahwa wewenang tersebut hampir sama dengan wewenang Penyidik Polri yang diatur di dalam Pasal 7 KUHAP. Hanya saja di dalam penjelasan Pasal 121 RUU Keimigrasian tahun 2004 tidak dijelaskan pengertian mengadakan ”tindakan lain” menurut hukum. Sedangkan di dalam Penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat : a)
tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya; d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; e) menghormati hak asasi manusia. Perbuatan-perbuatan atau tindakan yang masuk dalam kategori tindak pidana keimigrasian yang menjadi kewenangan Penyidik Imigrasi pada Subdit Penyidikan Keimigrasian dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana keimigrasian diatur dalam beberapa pasal (ketentuan material). Dimulai dari Pasal 48 s/d Pasal 61 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Yang termasuk dalam kategori tindak pidana pelanggaran adalah pasal 51, 60 dan 61. Sedangkan Pasal 48, 49, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58 dan 59 masuk dalam kategori tindak pidana kejahatan.
76 Selain
itu
dalam
melaksanakan
penyidikan
tindak
pidana
keimigrasian yaitu yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan penyidikan. Penyidik Imigrasi pada Subdit Penyidikan Keimirgasian tunduk pada ketentuan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Undang-Undang ini merupakan ketentuan yang bersifat formil yang berisi bagaimana pelaksanaan
pemeriksaan
tersangka,
penangkapan,
penahanan,
dan
sebagainya, yang pada hakekatnya bersifat bagaimana cara melaksanakan ketentuan hukum pidana material. Untuk pendanaan kegiatan penyidikan di Subdit Penyidikan, sekarang ini didanai dari angaran rutin. Anggaran rutin tersebut masuk dalam pos (item) anggaran dana penyidikan yang dipisahkan (dibedakan) dengan dana pemantauan. Sebelumnya (tahun 2000 s/d 2003) kegiatan penyidikan didanai dari anggaran proyek. Anggaran proyek tersebut masuk dalam pos proyek penegakan hukum. b. Pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian yang Ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi Direktorat Jenderal Imigrasi Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa tugas pokok Direktorat Jenderal Imigrasi adalah menyelenggarakan sebagian tugas pokok Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di bidang Keimigrasian. Tugas pokok itu dijalankan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi menjadi 3 (tiga) fungsi, salah satunya adalah fungsi penegakan hukum.
Fungsi penegakan hukum
dilakukan oleh Direktorat Penyidikan dan penindakan Keimigrasian yang pelaksanaannya dijalankan oleh atau dibebankan pada Sub Direktorat Penyidikan. Penyidikan kasus keimigrasian dalam rangka projustisia merupakan kebutuhan organisasi Direktorat Jenderal Imigrasi yang mutlak diperlukan, dipertahankan dan ditumbuh kembangkan dalam rangka menyeimbangkan adanya pelayanan keimigrasian yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan pelaporan tindakan keimigrasian dalam rangka pro justisia dari kantor Imigrasi seluruh Indonesia, sampai saat ini rata-rata nihil. Namun demikian Subdit Penyidikan direktorat Jenderal imigrasi dalam periode 2004-2005 telah berhasil meningkatkan kegiatan penyidikan dalam rangka pro justisia dari
77 periode 2004 sebanyak 5 kasus telah berhasil diajukan ke pengadilan. Pada periode 2005 telah berhasil diajukan sebanyak 10 kasus dan kesemuanya telah mendapatkan putusan pengadilan yang bersifat tetap. Dewasa ini arus globalisasi mendorong terjadinya peningkatan (intensitas) lalu lintas orang antar negara. Peningkatan lalu lintas orang dalam beberapa tahun terakhir ini telah menimbulkan berbagai permasalahan (issue) di berbagai negara, termasuk Indonesia. Indonesia menjadi kawasan lalu lintas orang, karena Indonesia memiliki faktor geografis yang strategis. Disamping itu banyaknya (kaya) sumber daya yang dimiliki sehingga mengundang perhatian dan kedatangan orang (Orang Asing).
Dalam operasional di lapangan, sebagai
dampak dari peningkatan lalu lintas orang, ditemukan banyak permasalahan (persoalan) yang menyangkut orang Asing. Persoalan-persoalan itu memerlukan perhatian serta penanganan yang segera karena bila tidak, akan mengganggu, baik secara langsung atau tidak langsung, agenda pembangunan nasional. Persoalanpersoalan itu antara lain adalah: 1. Masuk dan tinggal secara tidak sah di wilayah Republik Indonesia (illegal entry/ stay). 2. Berada dan tinggal secara tidak sah di wilayah Republik Indonesia (illegal migrant). 3. Penggunaan dokumen perjalanan palsu (fraud travel document). 4. Perdagangan/ penyeludupan manusia (people smuggling). 5. Terorisme Internasional. Salah satu upaya yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi untuk menangani persoalan-persoalan di atas adalah menjalankan proses Pro Justitia. Perlu ditekankan di sini bahwa titik berat proses Pro Justitia yang dijalankan oleh Imigrasi adalah bukan untuk menghilangkan terjadinya tindak pidana (pelanggaran atau kejahatan keimigrasian), namun lebih menekankan pada upaya meminimalisir terjadinya persoalan-persoalan (peristiwa) tersebut karena persoalan-persoalan terjadi itu disebabkan oleh beragam faktor (bukan hanya permasalahan internal imigrasi tetapi juga faktor luar).
78 Tentunya untuk menjalankan proses kegiatan Pro Justitia terhadap pelakupelaku pelanggaran atau kejahatan keimigrasian itu tidaklah mudah. Dibutuhkan atau diperlukan kemampuan individual (Sumber Daya Manusia) berupa kemampuan kognitif (pengetahuan) dan keterampilan (kecekatan dan ketepatan sangatlah sulit untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan di atas. Subdit Penyidikan direktorat Jenderal imigrasi dalam periode 2004-2005 telah berhasil meningkatkan kegiatan penyidikan dalam rangka pro justisia dari periode 2004 sebanyak 5 kasus telah berhasil diajukan ke pengadilan. Pada periode 2005 telah berhasil diajukan sebanyak 10 kasus dan kesemuanya telah mendapatkan putusan pengadilan yang bersifat tetap. STATISTIK PELANGGARAN KEIMIGRASIAN PERIODE TAHUN 2002 s/d 2004 800 700 600 500 400 300 200 100 0 2002
2003
NO
TAHUN
OVERSTAY
1
2002
427
2
2003
3
2004
2004
PENYALAHGUNAAN
PENGUNGSI
DLL
92
0
141
467
108
0
257
517
248
793
229
IZIN TINGGAL
STATISTIK TINDAKAN KEIMIGRASIAN PERIODE TAHUN 2002 s/d 2004 2000 1500 1000 500 0 2002
2003 Pro yustisia
Non Yustisia
2004
79
No
TAHUN
PRO YUSTISIA
NON YUSTISIA
1
2002
0
649
2
2003
0
841
3
2004
10
1.777
Sumber : Direktorat Jenderal Imigrasi Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pelaku pelanggaran terhadap Undang-Undang Keimigrasian tidak dikenai sanksi pidana, akan tetapi cukup mendapatkan tindakan yang bersifat administratif. Penjatuhan sanksi tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian. Tindakan Keimigrasian adalah tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses peradilan. Dalam pelaksanaan tindakan keimigrasian, untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi orang asing yang terkena tindakan keimigrasian keputusannya ditetapkan secara tertulis, yang memuat sekurang-kurangnya identitas orang yang terkena tindakan keimigrasian, alasan penindakan dan jenis tindakan serta dapat mengajukan keberatan atas tindakan keimigrasian tersebut. Maksud tindakan keimigrasian ini adalah untuk melaksanakan kebijaksanaan pengawasan pengawasan di bidang keimigrasian dan membantu terlaksananya penegakan hukumdi wilayah Negara Republik Indonesia baik preventif maupun represif. Tindakan keimigrasian terhadap orang asing yang didasarkan pada Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992, harus berupa keputusan tertulis yang memuat alasan-alasan dan disampaikan kepada orang asing yang bersangkutan. Sedangkan penolakan masuk ke wilayah Indonesia oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi didasarkan pada Pasal 8 Undang-Undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, tidak berupa keputusan tertulis tetapi cukup berupa tanda penolakan yang diterakan pada paspornya.
80 Dengan penolakan tersebut, orang asing yang bersangkutan harus dikembalikan ke negaranya atau ke tempat terakhir sebelum ke wilayah Indonesia oleh penanggung jawab alat angkut yang membawanya ke wilayah Indonesia.65 Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (2)
UU No. 9 tahun 1992 tentang
Keimigrasian, tindakan keimigrasian dapat berupa : a. pembatasan, perubahan atau pembatalan ijin keberadaan; b. Larangan untuk berada di suatu atau beberapa tempat tertentu di wilayah Indonesia; c. Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah Indonesia; d. Pengusiran atau deportasi dari wilayah Indonesia atau penolakan masuk ke wilayah Indonesia. Ketentuan mengenai tindakan keimigrasian juga tetap dipertahankan oleh RUU Keimigrasian, yaitu diatur dalam Pasal 83 yang menegaskan : (1) Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum, atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Tindakan Administratif Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal; b. larangan untuk berada di suatu atau beberapa tempat tertentu di wilayah Indonesia; c. keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah Indonesia; d. deportasi dari wilayah Indonesia. (3) Tindakan Administratif Keimigrasian berupa deportasi dapat juga dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia karena
65
Moh. Arif, 1997, Komentar Undang-Undang Keimigrasian Beserta Peraturan Pemerintah, Jakarta, Pusdiklat Departemen Kehakiman, Hal. 163.
81 berusaha menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara asalnya. Menurut Moh. Arif66, Tindakan terhadap orang asing dilakukan, jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan terhadap salah satu aspek sebagai berikut: a. Masuk dan keluarnya orang asing ke dan dari wilayah Indonesia; b. Keberadaannya atau ijin tinggalnya selama di wilayah Indonesia c. Kegiatannya selama berada di wilayah Indonesia Di dalam Pasal 83 ayat (1) RUU Keimigrasian disebutkan bahwa Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum, atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya di dalam ayat (3) disebutkan bahwa Tindakan Administratif Keimigrasian berupa deportasi dapat juga dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia karena berusaha menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara asalnya. Dengan demikian tidak ada perubahan berarti dalam pengaturan tentang Tindakan Keimigrasian menurut RUU Keimigrasian. Aspek masuk dan atau keluar wilayah Indonesia terjadi penyimpangan atau pelanggaran antara lain tidak memenuhi persyaratan, menggunakan dokumen palsu atau memberi keterangan yang tidak benar mengenai diri, dokumen atau tujuan kedatangannya atau lain-lain yang berkaitan dengan masuk dan ke luar wilayah Indonesia. Sedangkan penyimpangan atau pelanggaran terhadap aspek ke 2 berupa telah habis berlaku ijin tinggalnya, pemalsuan dokumen ijin tinggal, tidak mempunyai dokumen ijin tinggal yang sah, penyalahgunaan ijin tinggal dan lain-lain yang berthubungan dengan ijin tinggal orang asing di wilayah Indonesia. Penyimpangan atau pelanggaran terhadap aspek ke 3 yang menyangkut kegiatannya selama berada di wilayah Indonesia, antara lain : 66
Ibid., Moh Arif, Hal. 74-75.
82 a. Menyalahgunakan perijinan, yaitu melakukan kegiatan yang menyimpang dari tujuan kedatangannya di Indonesia, seperti memiliki ijin tinggal wisata akan tetapi bekerja di Indonesia. b. Disamping melakukan kegiatan sesuai dengan perijinannya, melakukan kegiatan-kegiatan lain yang tidak termasuk dalam pemberian ijin tinggalnya atau melakukan pekerjaan rangkap. c. Selama di wilayah Indonesia melakukan kegiatan yang merugikan negara, pemerintah dan masyarakat atau kegiatan yang membahayakan negara di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Dasar pertimbangan dan alasan untuk menetapkan tindakan keimigrasian dijabarkan lebih lanjut di dalam Pasal 19 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PW.09.02 tanggal 14 Maret tahun 1995 tentang Tata Cara Pengawasan,
Pengajuan Keberatan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian,
yang menyebutkan bahwa tindakan keimigrasian dikenakan kepada setiap orang yang asing di wilayah Indonesia yang : 1. Diduga melakukan kegiatan yang berbahaya atau patut diduga akan berbahaya bagi keamanan meliputi : a. Melakukan propaganda atau bersimpati terhadap idiologi dan nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945; b. Menghalangi-halangi orang untuk melakukan ibadah menurut agama yang diakui di Indonesia; c. Merusak dan membahayakan dan tidak sesuai dengan norma kesopanan umum; d. Ejekan-ejekan yang menimbulkan tanggapan keliru terhadap adapt istiadat masyarakat; e. Memberikan gambaran keliru tentang pembangunan sosial dan budaya Indonesia; f. Menyuburkan perbuatan cabul melalui tulisan, gambar dan lainnya dan mabuk-mabukan di tempat-tempat umum; g. Tidak mempunyai biaya hidup, melakukan pengemisan baik sendiri atau bersama-sama;
83 h. Merusak atau mengganggu tertib sosial dan masyarakat termasuk di lingkungan pekerjaan; i. Menimbulkan ketegangan kerukunan rumah tanggaatau masyarakat dan merangsang timbulnya kejahatan; j. Mengobarkan semangat atau hasutan yang dapat mendorong sentimen kesukuan, keagamaan, keturunan dan golongan; k. Memberikan kesempatan melakukan perjudian, pengadudombaan dinatara sesama rekan atau suku atau golongan. Disamping itu tindakan keimigrasian, juga dapat dikenakan kepada orang asing di wilayah Indonesia yang : a. Terdapat cukup bukti bahwa yang bersangkutan bermaksud untuk berada di Indonesia dan apabila diajukan ke pengadilan akan menggunakan upaya hukum mulai dari banding, kasasi dan jika perlu grasi dan atau akan digunakan kesempatan oleh orang asing yang menjadi buronan dari negara sendiri (terlibat kasus-kasus berat atau pelarian dari negara-negara yang sedang bergolak); b. Menurut pertimbangan politis, ekonomis, sosial dan budaya serta keamanan dipandang lebih efektif dilakukan tindakan keimigrasian; c. Atas pertimbangan dari pejabat yang berwenang memutuskan tindakan keimigrasian, bahwa akan lebih efisien dan efektif dilakukan tindakan keimigrasian dari pada tindakan yustisial67 Dari apa yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menjatuhkan tindakan keimigrasian oleh pejabat imigrasi harus didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat objektif. Peran pejabat imigrasi sangat menentukan, dalam memberikan pertimbangan apakah seorang asing yang berada di wilayah Indonesia, akan dikenakan tindakan keimigrasian atau sanksi pidana. Penggunaan hukum pidana untuk penanggulangan kejahatan (dalam hal ini mengenai tindak pidana keimigrasian ), perlu memperhatikan fungsi hukum pidana yang subsidair, yaitu hukum pidana baru digunakan apabila upaya-upaya lain
67
SW Yulianti, dkk., 1998, Pelaksanaan Pengawasan Orang Asing Dalam Rangka Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Keimigrasian, Laporan Penelitian Fakultas Hukum UNS Surakarta, hal 52-53.
84 diperkirakan kurang memberikan hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Hukum pidana kalau akan tetap dilibatkan dalam penanggulangan kejahatan, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau istilah yang lazim digunakan dalam Konggres PBB IV tahun l970 adalah planning for social defence yang harus merupakan bagian yang integral dari rencana pembangunan nasional.68 Menurut Barda Nawawi Arief69, penggunaan upaya penal (sanksi/hukum pidana) dalam mengatur masyarakat (lewat perundang-undangan) pada hakikatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Mengingat berbagai keterbatasan dan kelemahan hukum pidana , maka dilihat dari sudut kebijakan penggunaan atau intervensi penal seyogianya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Dengan kata lain, sarana penal tidak selalu harus dipanggil/digunakan dalam setiap produk legislatif. Menurut Barda Nawawi Arief70 sebab-sebab keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan ialah : a. Sebab-sebab kejahatan yang kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana. b. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio psikologi, sosio politik, sosio ekonomi, sosio cultural dan sebagainya). c. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am
symptom” oleh karena hukum pidana hanya merupakan
pengobatan symtomatik dan bukan pengobatan kausatif. d. Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksa dan mengandung unsur-unsur serta sampingan negatif. e. Sistem pemidanaan bersifat fragmentaris dan individual personal, tidak bersifat struktural/fungsional.
68
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, halaman 104. Barda Nawawi Arief, 1998, 47 70 Barda Nawawi Arief, 1988, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 46-47. 69
85 f. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif. g. Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi. Dalam menggunakan sarana penal, Nigel Walker dalam Barda Nawawi Arief71 pernah mengingatkan adanya prinsip-prinsip pembatas (the limiting principles), yang sepatutnya mendapat perhatian antara lain: a) jangan hukum pidana (HP) digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan. b) Jangan menggunakan HP untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan. c) Jangan menggunakan HP untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih
efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih
ringan. d) Jangan menggunakan HP apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada
kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak
pidana itu sendiri. e) Larangan-larangan HP jangan mengandung sifat lebiuh berbahaya daripada perbuatan yang dicegah. f) HP jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan dari publik Menurut Barda Nawawi Arief72 upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Sifat/hakiki dan fungsi hukum pidana pada dasarnya bukanlah sebagai obat (remidium) untuk mengatasi sumber atau sebab penyakit, akan tetapi hanya sebagai sarana mengatasi gejala/akibat dari penyakit. Dengan kata lain sanksi hukum pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif tetapi hanya sekedar pengobatan simptomatik.
71 72
Barda Nawawi Arief, 1998, Hal. 48. Barda Nawawi Arief, 1998, 39.
86 Menurut Barda Nawawi Arief73 untuk dapat memperoleh kualitas penanggulangan yang baik, dibutuhkan kebijakan yang bersifat integral dalam penanggulangan kejahatan, yaitu: a) ada keterpaduan (integritas) antara politik kriminal dan politik sosial b) ada keterpaduan antara upaya penaggulangan kejahatan dengan penal dan non penal Roeslan Saleh74) tentang penerapan hukum pidana untuk mengatasi kejahatan ini berpendapat, bahwa hukum pidana merupakan satu-satunya bagian dari hukum yang karenanya ada orang-orang yang dengan sengaja dengan cara-cara terorganisir pula, kepadanya ditimpahkan suatu derita. Dan untuk pelaksanaannya ini diadakan pula perlengkapan yang cukup mahal. Diadakan pula suatu organisasi yang bukannya akan menimbulkan kebahagiaan kepada mereka, melainkan sebaliknya; kesengsaraan. Jadi dalam keadaan-keadaan di mana orang berusaha agar tiap-tiap anggota masyarakat dapat menikmati kebahagiaan dan kesejahteraan yang sebesarbesarnya ternyata dengan “berkenalan” dengan hukum pidana ini justru orang tertimpa derita. Penegakan hukum pidana berpusat pada masalah-masalah perundangundangan, aparat penegak hukum dan ide-ide atau pendapat yang melingkupinya. Itu semua dikaitkan dengan kehidupan dan kegiatan di bidang keimigrasian. Perundang-undangan dalam hal ini termuat dalam Undang-Undang nomor 9 tahun l992 tentang Keimigrasian dan Peraturan Pemerintah No. 3l tahun l994 tentang pengawasan orang asing dan tindakan keimigrasian, yang dapat dikatakan sebagai penegakan hukum in abstrakto. Keadaan tersebut akan diterapkan oleh aparat penegak hukum pada kasus tertentu sebagai penegakan hukum pidana inkonkrito. Dalam penegakan hukum ini perlu mengingat sifat hukum pidana yang subsidair dan fungsinya sebagai ultimum remedium, sebagaimana tersebut di atas dikaitkan dengan penanganan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan orang asing di bidang keimigrasian.
73
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hal. 4. 74) Roeslan Saleh, 1988, dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, hal. 23.
87 c.Asas-Asas, Penggolongan dan Dasar Hukum Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian Di dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana keimigrasian perlu memperhatikan azas-azas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), antara lain : 1. Praduga tak bersalah 2. Persamaan di muka hukum 3. Hak untuk mendapat bantuan hukum/penasehat hukum. 4. Hak untuk didampingi juru bahasa 5. Hak untuk menghubungi pihak perwakilan negara yang bersangkutan. 6. Setiap tindakan penyidikan dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang dan dengan cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. 7. Di dalam melaksanakan tindakan penyidikan, jika
dengan sengaja atau
karena kelalaiannya, terjadi suatu pelanggaran hukum dapat, maka dikenakan praperadilan. Kegiatan-kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak pidana keimigrasian
dapat
digolongkan
atas:
Penindakan,
pemeriksaan
dan
penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. Sebagai dasar hukum pelaksanaan penyidikan tindak pidana keimigrasian adalah Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 102 (2) (3), Pasal 106 , Pasal 108 , Pasal 109 ayat (1) , Pasal 111) dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian (Pasal 40, Pasal 47 ayat (2) huruf a, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal, 59, Pasal 60 dan Pasal 61). d. Sumber Diketahuinya Tindak Pidana Keimigrasian Suatu tindak pidana keimigrasian dapat diketahui melalui berbagai cara, yaitu : 1. Laporan Laporan yang disampaikan baik secara tertulis maupun lisan dicatat terlebih dahulu oleh petugas imigrasi, kemudian dituangkan dalam laporan
88 keimigrasian yang ditandatangani oleh pelapor dan PPNS Imigrasi. Kepada pelapor diberikan surat tanda penerimaan laporan. 2. Tertangkap tangan; Dalam hal tertangkap tangan.setiap petugas imigrasi tanpa surat perintah dapat melakukan tindakan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan dilakukan dengan tindakan bertanggung jawab dan setelah itu memberitahukan dan atau menyerahkan tersangka beserta atau tanpa barang bukti kepada PPNS Imigrasi lain atau petugas penyidik instansi lain.
PPNS Imigrasi yang
berwenang apabila menerima penyerahan tersangka beserta atau tanpa barang bukti dan PPNS Imigrasi lain atau petugas penyidik instansi lain, mempunyai kewajiban untuk : 1) Membuat laporan keimigrasian 2) Melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. 3) Membuat Berita Acara atas setiap tindakan yang dilakukan tersebut. 3. Diketahui langsung oleh petugas imigrasi dan hasil pemantauan keimigrasian. Dalam hal suatu tindak pidana keimigrasian yang baik diperoleh dari hasil pemantauan keimigrasian maupun diketahui langsung oleh PPNS Imigrasi wajib segera dilakukan tindakan penyidikan sesuai kewenanganya dan peraturan yang berlaku, yaitu berupa : a) Tindakan penyidikan Setelah diketahui dari hasil pemantauan bahwa suatu perbuatan yang terjadi diduga adalah Tindak Pidana Keimigrasian, segera dilakukan penyidikan melalui penyelidikan, penindakan, pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara.
PPNS Imigrasi segera memberitahu
penuntut umum melalui POLRI bahwa penyidikan telah dimulai. b) Penindakan Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun benda yang ada hubungannya dengan Tindak Pidana Keimigrasian yang terjadi. Tindakan hukum tersebut antara lain berupa: (1) Pemanggilan tersangka / saksi,
89 Sebagai dasar hukum pemanggilan tersangka dan saksi.adalah: Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Pasal 112 KUHAP, Pasal 113 KUHAP, Pasal 47 ayat (2) huruf b UU No. 9 Tahun 1992. Dasar pertimbangan pengeluaran surat panggilan adalah
laporan keimigrasian dan
pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan. Pejabat yang berwenang menandatangani surat panggilan adalah PPNS Imigrasi, dalam hal pimpinan instansi Imigrasi bukan Penyidik, maka surat panggilan ditandatangani oleh penyidik dengan diketahui oelh pimpinannya. Petugas yang menyampaikan surat panggilan adlah petugas Imigrasi disetiap tingkatan Instansi. Dalam hal seorang yang dipanggil tidak berada ditempat, surat panggilan tersebut diterimakan kepada Keluarganya atau Ketua RW atau Ketua Lingkungan atau Kepala Desa atau orang lain yang dapat dijamin bahwa surat panggilan tersebut akan disampaikan kepada yang bersangkutan. Dalam hal seorang menolak untuk menanda tangani surat panggilan, maka petugas yang menyampaikan surat panggilan berusaha memberikan pengertian tentang arti pentingnya surat panggilan tersebut. Terhadap tersangka atau saksi yang tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menandatangani surat panggilan untuk kedua kalinya, maka untuk panggilan ketiga disertai surat perintah membawa yang bersangkutan dengan bantuan Polisi. Hal-hal yang harus diperhatikan
bahwa sebagai peringatan
terhadap orang yang menolak memenuhi panggilan dan adanya sanksi pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 216 KUHAP. Dalam hal tersangka atau saksi yang dipanggil untuk kedua kalinya, tetapi tidak memenuhi tanpa alasan yang patut dan wajar atau tetap menolak untuk menerima dan menandatangani surat panggilan kedua, berlaku surat perintah membawa yang bersangkutan dengan bantuan polisi.
90 Dalam hal pelaksanaan pasal 216 KUHAP, maka surat panggilan ditandatangani Polisi (2) Penangkapan dan Penahanan Sebagai
dasar
hukum
tindakan
penangkapan
adalah
Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Pasal 11 KUHAP, Pasal 17 KUHAP, Pasal 75 KUHAP, Pasal 111 KUHAP, Pasal 47 ayat (2) huruf b UU No. pembuatan
tahun 1992. surat
Dasar Pertimbangan penangkapan dan
perintah
penangkapan
adalah
laporan
keimigrasian dan Pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan. Pejabat yang berwenang menandatangani surat perintah penangkapan adalah PPNS Imigrasi, dalam hal pimpinan instansi imigrasi bukan penyidik, maka surat penangkapan ditandatangani oleh penyidik dengan diketahui oleh pimpinannya. Penangkapan dilakukan oleh PPNS Imigrasi terhadap seseorang yang diduga telah melakuan Tindak Pidana Keimigrasian berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penangkapan dilengkapi dengan surat perintah tugas dan surat penangkapan yang sah. Setelah dilakukan penangkapan harus dibuat Berita Acara Penagkapan yang ditandatangani oleh PPNS Imigrasi dan orang yang ditangkap. Hal-hal yang harus diperhatikan
bahwa setelah
penangkapan dilakukan, segera diadakan pemeriksaan untuk dapat menentukan apakah perlu diadakan penahanan atau tidak mengingat jangka waktu penangkapan yang diberikan oleh KUHAP hanya 1x24 jam. Terhadap tersangka pelanggaran sebagaimana tersebut dalam pasal 51, 60 dan 61 UU No. 9/1992 tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali apabila telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah. Segera setelah dilakukan penangkapan, maka kepada tersangka dan keluarganya dan atau perwakilannya diberikan masing-masing 1 (satu) lembar tembusan surat perintah penangkapan tersebut.
91 Sebagai dasar hukum tindakan penahanan adalah Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Pasal 20 ayat (1) KUHAP, Pasal 21 KUHAP, Pasal 22 KUHAP, Pasal 23 KUHAP, Pasal 24 KUHAP, Pasal 30 KUHAP, Pasal 31 KUHAP, Pasal 75 KUHAP, Pasal 123 KUHAP, Pasal 47 ayat (2) huruf
b UU No. 9 Tahun 1992.
Yang berwenang
mengeluarkan surat perintah panahanan adalah Kepala Instansi selaku PPNS. Dalam hal kepala instansi bukan PPNS, maka Surat Perintah ditanda tangani oleh PPNS dengan diketahui oleh kepala instansi. Penahanan dilakukan terhadap tersangka yang diduga keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup melakukan atau percobaan melakukan atau memberian bantuan/penyertaan dalam Tindak Pidana Keimigrasian. Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, akan merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau akan mengulangi
Tindak
Pidana
Keimigrasian.
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan kepada perbuatan sebagai Tindak Pidana Keimigrasian sebagaimana tersebut dalam :Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54 huruf a dan b, Pasal 55 huruf a dan b, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 59c. Untuk tindakan penahanan, pengalihan jenis penahanan, penangguhan penahanan dan pengeluaran tahanan harus dengan surat perintah yang sah.
Jenis Penahanan dapat berupa: Penahanan Rumah
Tahanan Negara, Penahanan Rumah dan Penahanan Kota. Jangka waktu penahanan adalah 20 hari. Apabila masih diperlukan untuk kepentingan penyidikan, penahanan dapat diperpanjang untuk paling lama 40 hari oleh Penuntut Umum atas permintaan penyidik yang bersangkutan.
Dalam waktu satu hari setelah tersangka
ditahan, harus mulai diperiksa. Setelah dilakukan penahanan harus dibuat Berita Acara Penahanan.
92 Hal-hal yang harus diperhatikan adalah bahwa penahanan terhadap tersangka dilakukan dengan memberikan Surat Perintah Penahanan kepada tersangka dan tembusan surat perintah tersebut kepada keluarganya dan atau perwakilannya.
Dalam hal adanya
alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka menderita gangguan fisik atau mental berat yang dibuktikan dengan surat keterangan Dokter pemerintah, maka penahanannya dapat diperpanjang lagi paling lama 2 x 30 hari oleh Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan dari PPNS Imigrasi yang bersangkutan. Apabila
tenggang
waktu
penahanan
maupun
perpanjangan
penahanan yang dilakukan ternyata tidak sah, tersangka berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian sesuai pasal 95 dan 96 KUHAP. PPNS Imigrasi atau atasan PPNS Imigrasi dapat mengabulkan terhadap permintaan keberatan yang diajukan oelh tersangka, keluarga, atau penasehat hukumnya atas penahanan atau jenis penahanan yang dilakukan terhadap tersangka. Penahanan dilakukan di Rumah Tahanan Negara. Penahanan di Rumah Tahanan Negara agar diusahakan tidak mengganggu kelancaran pemeriksaan. 3) Penggeledahan dan Penyitaan. Sebagai dasar hukum tindakan penggeledahan adalah Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Pasal 32 KUHAP, Pasal 33 KUHAP, Pasal 34 KUHAP, Pasal 35 KUHAP, Pasal 36 KUHAP, Pasal 37 KUHAP, Pasal 75 KUHAP, Pasal 125 KUHAP, Pasal 126 KUHAP, Pasal 47 ayat (2) huruf b UU No. 9 Tahun 1992. Sebagai bahan pertimbangan penggeledahan adalah laporan keimigrasian dan hasil pemeriksaan tersangka dan atau saksi. Yang berwenang mengeluarkan surat perintah penggeledahan adalah PPNS Imigrasi.
Penggeledahan rumah dan atau bangunan lainnya
dilakukan dengan surat perintah penggeledahan setelah mendapat surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Dalam hal tertangkap
93 tangan penggeledahan dilakukan tanpa surat perintah penggeledahan maupun surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Sasaran
Penggeledahan adalah rumah dan tempat-tempat tertentu lainnya, pakaian dan badan. Hal-hal
yang
harus
diperhatikan
dalam
melaksanakan
penggeledahan rumah disamping harus dilengkapi surat izin Ketua Pengadilan Negeri dan Surat perintah penggeledahan, harus disaksikan oleh Ketua Lingkungan/Kepala Desa bersama 2 orang saksi dari lingkungan yang bersangkutan apabila penghuni tidak menyetujui. Dalam melaksanakan penggeledahan badan wanita dilakukan oleh petugas imigrasi wanita dan dalam hal perlu dilakukan penggeledahan rongga badan diminta bantuan pejabat kesehatan. Dalam melaksanakan penggeledahan di luar daerah hukum PPNS Imigrasi, harus diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat dan didampingi oleh PPNS Imigrasi dari daerah hukum dimana penggeledahan dilakukan. Dalam waktu 2 hari setelah dilakukan
penggeledahan
Penggeledahan
dan
harus
sudah
tembusannya
dibuat
Berita
disampaikan
Acara kepada
pemilik/penghuni rumah/tempat yang bersangkutan. Sebagai dasar hukum tindakan penyitaan adalah Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Pasal 38 KUHAP,
Pasal 39 KUHAP, Pasal 40
KUHAP, Pasal 41 KUHAP, Pasal 42 KUHAP, Pasal 43 KUHAP, Pasal 47 KUHAP, Pasal 48 KUHAP, Pasal 49 KUHAP, Pasal 75 KUHAP, Pasal 128 KUHAP, Pasal 131 KUHAP, Pasal 47 ayat (2) huruf b UU No. 9 Tahun 1992. tindakan
penyitaan
adalah
Sebagai bahan pertimbangan
laporan
keimigrasian
dan
hasil
pemeriksaan dan hasil penggeledahan. Yang berwenang mengeluarkan surat perintah penyitaan adalah PPNS Imigrasi. Penyitaan dilakukan dengan surat perintah penyitaan setelah mendapat izin / izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri.
94 Dalam
keadaan
yang
sangat
perlu
dan
mendesak,
karena
memerlukan tindakan segera, penyitaan dapat dilakukan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri, akan tetapi terbatas pada benda-benda bergerak
dan
sesudahnya
segera
melaporkan
kepada Ketua
Pengadilan Negeri setampat guna mendapatkan persetujuan. Surat atau dokumen yang dapat disita untuk kepentingan penyidikan terdiri dari :Hal-hal yang harus diperhatikan :Pengertian penyitaan dalam Juklak ini termasuk membuka, memeriksa dan menyita surat lain yaitu surat dri atau kepada tersangka yang dicurigai mempunyai kaitan dengan Tindak Pidana keimigrasian yang sedang diperiksa dan pelaksanaannya harus dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri. Setelah dilakukan penyitaan kepada pemilik atau kepada orang dari mana surat atau dokumen itu disita harus diberikan tanda penerimaan.Setelah dilakukan penyitaan, harus dibuat berita Acara Penyitaan yang ditandatangani oleh PPNS Imigrasi, dan orang dari mana surat atau dokumen itu disita harus diberikan tanda penerimaan. Tembusan dari Berita Acara Penyitaan disampaikan kepada atasan PPNS Imigrasi dan kepada orang dari mana surat atau dokumen itu disita atau keluarganya. 4) Pemeriksaan Pemeriksaan
merupakan
kegiatan
untuk
mendapatkan
keterangan, kejelasan dan keindentikan tersangka dan atau sanksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur Tindak Pidana Keimigrasian yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang
maupun
barang
bukti
di
dalam
Tindak
Pidana
Keimigrasian tersebut menjadi jelas. Sebagai dasar dasar hukum adalah Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Pasal 51 KUHAP, Pasal 53 KUHAP, Pasal 75 KUHAP, Pasal 112 KUHAP, Pasal 113 KUHAP, Pasal 114 KUHAP, Pasal 115 KUHAP, Pasal 116 KUHAP, Pasal 117 KUHAP, Pasal 118 KUHAP, Pasal 119 KUHAP, Pasal 120 KUHAP, Pasal 47 ayat (2) huruf b UU No. 9 Tahun 1992. Sebagai
95 dasar pertimbangan dilakukan pemeriksaan adalah
laporan
keimigrasian, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, petunjuk dari penuntut umum melakukan pemeriksaan tambahan. Pejabat yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah PPNS Imigrasi. Pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi, dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan yang diperlukan sebelum dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan, yang dilakukan dengan cara wawancara, interogasi dan
konfrontasi. Sebelum dimulainya
pemeriksaan, PPNS Imigrasi wajib memberitahukan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum atau dalam perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 KUHAP,
khususnya yang
diancam 5 (lima) tahun atau lebih dan apabila tersangka tidak mampu, PPNS Imigrasi menunjuk penasehat Hukum. Kepada tersangka diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti tentang apa yang dipersangkakan. Pada waktu PPNS Imigrasi sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat dan mendengar pemeriksaan. Dalam pemeriksaan ditanyakan apakah tersangka menghendaki saksi yang menguntungkan dan apabila ada, maka PPNS Imigrasi wajib memanggil dan memeriksanya. Dalam proses pemeriksaan PPNS Imigrasi tidak diperkenankan menggunakan penekanan dalam bentuk apapun. Pemeriksaan saksi/saksi ahli dilakukan tanpa disumpah, kecuali terdapat cukup alasan
diduga
bahwa
ia
tidak
akan
dapat
hadir
di
Pengadilan.Pemeriksaan dilaksanakan sesuai dengan tempat dan waktu yang telah ditetapkan dalam surat panggilan. Pemeriksaan harus membangkitkan rasa simpati untuk menumbuhkan minat memberikan keterangan yang lebih jelas dengan menghindarkan sifat konfrontasi. Apabila dianggap perlu untuk kepentingan penyidikan,
96 PPNS Imigrasi dapat minta pendapat ahli atau orang ahli yang memiliki keahlian khusus yang terlebih dahulu diambil sumpahnya. .Dalam melakukan pemeriksaan tersangka dan atau saksi/saksi ahli atau tindakan-tindakan lain dalam rangka pemeriksaan tersebut harus dituangkan dalam Berita Acara yang memenuhi persyaratan formil dan materiil, sebagaimana diatur dalam pasal 75 KUHAP. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tindakan pemerisaaan adalah harus disediakan ruangan yang konstruksinya memenuhi persyaratan untuk pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dan dapat menampung kebutuhan bantuan hukum bagi tersangka tanpa mengganggu kelancaran jalannya pemeriksaan. Tersangka dan atau saksi harus dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Dalam hal tersangka tidak bersedia menandatangani Berita Acra Pemeriksaan, hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan. 5). Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan akhir dari pada proses penyidikan tindak pidana keimigrasian. Dasar hukumnya adalah Pasal 8 KUHAP, Pasal 107 ayat (3) KUHAP, Pasal 109 ayat (2) KUHAP, Pasal 110 KUHAP dan Pasal 138 KUHAP. Sebagai dasar pertimbangan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara adalah hasil pemeriksaan tersangka dan saksi/saksi ahli serta kelengkapannya sudah memenuhi unsurunsur tindak pidana keimigrasian. Kegiatan penyelesaian berkas perkara terdiri dari : a) Pembuatan Resume. Pembuatan resume merupakan kegiatan PPNS Imigrasi untuk menyusun ikhtisar dan kesimpulan berdasarikan hasil penyidikan suatu Tindak Pidana Keimigrasian yang terjadi. Penyusunan isi berkas perkara daftar isi berkas perkara antara lain : (1) Sampul Berkas Perkara (2) Daftar Isi Berkas Perkara
97 (3) Resume (4) Laporan Keimigrasian (5) Berita acara Pemeriksaan di TKP (6) Surat Perintah Penyidikan (7) Surat Perintah Tugas Penyidikan (8) Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan (9) Surat Panggilan Saksi/Tersangka (10) Surat Perintah Pembawa (11) Berita acara Pemeriksaan Saksi (12) Berita acara Pemeriksaan Tersangka (13) Berita acara Penyumpahan Saksi (14) Berita acara Konfrontasi (15) Surat Perintah Penangkapan (16) Surat Perintah Tugas Penangkapan (17) Berita acara penangkapan (18) Surat Perintah Penangkapan (19) Berita acara Penahanan (20) Surat perintah penangguhan penahanan (21) Berita acara penangguhan penahanan (22) Surat perintah pengalihan jenis penahanan (23) Berita Acara pengalihan jenis penahanan (24) Surat Perintah perpanjangan penahanan (25) Surat permohonan perpanjangan penahanan (26) Berita Acara perpanjangan penahanan (27) Surat perintah pengeluaran tahanan (28) Berita Acara pengeluaran dari tahanan (29) Surat izin/penggeledahan / penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (30) Berita Acara penggeledahan (31) Surat Perintah penyitaan (32) Berita Acara penyitaan barang bukti
98 (33) Surat tanda penerimaan (34) Berita Acara penyisihan barang bukti (35) Berita Acara pengembalian barang bukti (36) Berita Acara pembungkusan dan penyegelan barang bukti (37) Berita Acara pemeriksaan surat (38) Berita Acara penyitaan surat (39) Berita Acara tindak-tindak lain (40) Dokumen-dokumen bukti (41) Daftar tersangka (42) Daftar barang bukti (43) Petikan surat putusan pemidanaan dari Pengadilan Negeri setempat. (44) Surat kuasa tersangka kepada Penasehat Hukum (45) Lain-lain yang perlu dilampirkan. b) Pemberkasan Pemberkasan merupakan kegiatan untuk isi berkas perkara dengan susunan dan syarat-syarat, penyampulan, pengikatan dan penyegelan yang ditentukan serta penomorannya. 6) Penyerahan Berkas Perkara. Penyerahan berkas perkara dalam perkara pelanggaran UndangUndang Keimigrasian, dilakukan oleh PPNS Imigrasi kepada Penuntut Umum melalui penyidik Polri. Menurut KUHAP memang PPNS tertentu tidak diperkenankan menyerahkan berkas hasil penyidikannya langsung kepada Penuntut Umum, melainkan harus melalui Penyidik Polri. Hal tersebut merupakan bentuk koordinasi antara PPNS dengan penyidik Polri.
Seperti diketahui bahwa PPNS mempunyai dua
koordinasi yaitu kepada POLRI dan Penuntut Umum. Garis koordinasi tersebut adalah oleh karena PPNS dalam menjalankan tugasnya tidak dapat berdiri sendiri. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : “bilamana Penyidik Pegawai Negeri Sipil hendak memulai menyidik terhadap peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, maka wajib
99 melapor kepada penyidik POLRI, yang kemudian POLRI meneruskan kepada penuntut umum, jadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak dengan sendirinya dapat mengajukan hasil penyidikannya pada penuntut umum, akan tetapi harus melalui penyidik POLRI”. Hal ini ditegaskan dalam Fatwa MA April 1990 No. KMA/114/IV/1990, yang menyatakan bahwa “setiap Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang telah melakukan penyidikannya, maka hasilnya harus diserahkan kepada penyidik POLRI, kemudian penyidik POLRI menyerahkannya kepada penuntut umum dan kemudian penuntut umum melimpahkannya ke pengadilan untuk disidangkan”. Ketentuan seperti itu 2002, diabaikan,
dalam draft RUU Keimigrasian tahun
yaitu dengan memperkenankan PPNS Imigrasi
menyerahkan berkas perkara langsung kepada Penuntut Umum tanpa melalui Penyidik Polri. Dalam perkembangannya, yaitu menurut RUU Keimigrasian yang terakhir, ketentuan yang memperkenankan PPNS Imigrasi menyerahkan berkas langsung kepada Penuntut Umum, ternyata dihapus. Hal tersebut bisa dilihat di dalam Pasal Pasal 98 ayat (1)
RUU
Keimigrasian
Keimigrasian yang telah
yang
menegaskan
bahwa
Penyidik
melakukan penyidikan tindak pidana
keimigrasian, berkas perkaranya diserahkan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyerahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada penuntut umum paling lama 1 (satu) hari kerja tanpa mengubah isi berkas perkara. Penyerahan berkas tersebut meliputi dua tahap kegiatan, yaitu : (1) Tahap pertama
penyidik hanya menyerahkan berkas perkara,
artinya: : a) Secara nyata dan fisik penyidik menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum b)
UU belum menganggap penyidikan sudah selesai
100 c) Ada kemungkinan berkas dikembalikan oleh Penuntut Umum untuk diperbaiki penyidik d) Untuk memperbaiki berkas penyidik dapat melakukan pemeriksaan tambahan e) Jika penyidik merasa sudah maksimal dalam penyidikan tambahan,
maka
Penuntut
Umum
dapat
melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan. Tujuan
dari
tindakan
Penuntut
Umum
melakukan
pemeriksaan tambahan adalah agar dapat melengkapi berkas. Dalam melaksanakan pemeriksaan tambahan ini, maka Penuntut
Umum harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut : (a)Tidak dilakukan terhadap tersangka (b)Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau membahayakan keselamatan negara (c)Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari sesuai Pasal 110 dan 138 ayat (2) KUHAP (d)Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik (Pasal 30 huruf e UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia). (2) Tahap kedua, yaitu penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum 7) Penghentian Penyidikan PPNS Imigrasi dapat melakukan tindakan penghentian penyidikan dalam hal : (1) Tidak terdapat cukup bukti (2) Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana (3) Penyidikan dihentikan demi hukum (perkara nebis in idem, daluarsa, tersangka meninggal dunia)
101 Dalam hal PPNS Imigrasi melakukan tindakan penghentian penyidikan, maka harus segera memberitahukan kepada Penyidik Polri. 8) Bantuan Teknis Penyidikan Untuk kepentingan pembuktian dalam rangka pelaksanaan penyidikan tindak pidana keimigrasian, diperlukan bantuan lembagalembaga ilmiah yang telah menggunakan kelengkapan tekhnologi yaitu dengan menyertakan peranan antara lain : (1) Identifikasi a)Untuk mengidentifikasikan seseorang melalui sidik jari (Dactiloscopy) b)Mengidentifikasikan orang atau benda potret dan atau pemotretan. Menurut
Andi Hamzah75 Identifikasi sangat penting
karena dapat menemukan pelaku tindak kejahatan. Identifikasi terhadap pelaku dapat dilakukan melalui seluruh atau salah satu cara: (a) Tanda-tanda badaniah (signalement) seperti tinggi badan, warna kulit, rambut, hidung, bentuk muka, sikap dan seterusnya (b) Foto atau potret si pelaku, (c) Jejak (sidik) jari (daktiloskopi), (c) Modus operandi atau cara kerja si pelaku (2) Lembaga Psikologi a) Mengadakan pemeriksaan secara psikologis, dalam rangka pendekatan kejiwaan oleh penyidik agar tersangka memberikan keterangan yang diperlukan secara benar. b) Hasil pemeriksaan Psikologis diperlukan untuk melengkapi berkas perkara guna dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan penuntutan dan peradilan.
75
Andi Hamzah, 1986, Pengusutan Perkara Kriminil Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 13.
102 e. Administrasi Penyidikan Administrasi penyidikan merupakan penatausahaan kegiatan penyidikan pencatatan, pelaporan dan evaluasi pelaksanaan pendataan, baik untuk kepentingan peradilan, maupun tugas penyidikan. Sebagai dasar hukum administrasi penyidikan termuat dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kegiatan penyidikan tindak pidana keimigrasian. Dasar pertimbangan pelaksanaan administrasi penyidikan keimigrasian, adalah: (a) Keseragaman (b) Standarisasi model formulir dan surat-surat (c) Pertanggung jawaban petugas dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan (d) Pengawasan. Pelaksanaan administrasi penyidikan keimigrasian dapat digolongkan sebagai berikut : (a) Penatausahaan
tentang
kelengkapan
administrasi
penyidikan
yang
merupakan isi berkas perkara. (b) Penatausahaan tentang kelengkapan administrasi penyidikan yang tidak merupakan isi berkas perkara. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam pelaksanaan administrasi
penyidikan kemimigrasian adalah: (a) Penyediaan blanko/formulir yang tersedia ; (b) Cara pengisian formulir dan pendistribusiannya ; (c) Melakukan Penatausahaan secara terus menerus dalam buku-buku register ; (d) Pengarsipan dilakukan secara tertib. f. Tanggung jawab, Hierarkhis dan Pengawasan Pelaksanaan Penyidikan PPNS Imigrasi bertanggung jawab yuridis atas tindakan penyidikan yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan
yang
berlaku.
Tanggung
jawab
kedinasan
PPNS
Imigrasi
dilaksanakan secara hierarkhis. Direktorat yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang penyidikan dapat memberikan petunjuk, pengarahan dan mendukung kegiatan penyidikan, baik ditingkat wilayah maupun kantor keimigrasian.
103 PPNS Imigrasi dalam pelaksanaan penyidikan berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI. g. Skema Proses Penyelesaian perkara Pelanggaran UU Keimigrasian
Pengiriman Berkas LAPORAN KEIMIGRASIAN TERTANGKAP TANGAN
Berkas diterima
PENYIDIK IMIGRASI DI LINGKUNGAN DITJEN IMIGRASI
(POLDA METRO DKI JAYA) (Kabid Korwas/ Direktur Reskrimus)
KAJATI Apidum Æ Jaksa Peneliti/ Penuntut
PENGADILAN NEGERI
Berkas; 1. Laporan Kejadian 2. Surat Perintah Penyidikan 3. Surat Perintah Tugas 4. Bap Tersangka, Saksi, 5. Surat Perintah Penangkapan, Penahanan, dan sebagainya.
Berkas dikembalikan untuk dilengkapi
P 18/19; Berkas dikembalikan karena tidak memenuhi syarat formil dan materiil
B. Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi Dalam pelaksanaan operasional penyidikan keimigrasian, selama ini pelaksanaan Penyidikan yang dilakukan Penyidik Imigrasi pada Sub Direktorat Penyidikan keimigrasian tidak selalu berjalan lancar. Sebagian kendala yang dihadapi muncul saat proses penyidikan dijalankan, dan sejauh ini hal itu dapat diatasi dengan baik. Sebagian besar kendala lainnya adalah yang bersifat non
104 teknis (bukan masalah formil atau materiil). Biasanya kendala ini muncul ketika berkas perkara telah diserahkan ke kejaksaan. Sering kali, dengan alasan kekurangan persyaratan formil atau materiil, berkas perkara dikembalikan oleh Jaksa kepada Penyidik untuk dilengkapi. Setelah dilakukan pendekatan, ternyata kekurangan tersebut bukan dalam hal kekurangan persyaratan yang bersifat formil atau materiil saja, tetapi adanya kepentingan lain yang bersifat non teknis dibalik syarat formil atau materiil. Untuk itu di tingkat kepolisian, selama ini, belum ada permasalahan-permasalahan teknis/ non teknis yang dapat menghambat proses pengiriman berkas (proses penyidikan) karena koordinasi dengan kepolisian selalu berjalan dengan baik. Masalah pengembalian berkas oleh kejaksaan kepada kepolisian, merupakan masalah yang biasa terjadi dalam proses perkara pidana. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena KUHAP sendiri tidak membatasi sampai berapa kali kejaksaan boleh mengembalikan berkas yang disampaikan oleh pihak penyidik. Pasal 8 ayat (3), Pasal 110 ayat (2) dan (3), Pasal 138 ayat (2) KUHAP tidak menentukan batas berapa kali pengembalian berkas penyidik oleh Penunut Umum. Akibatnya berkas perkara bisa berlarut-larut atau mondar-mandir dari penyidik kepada Penuntut Umum atau sebaliknya. Keadaan tersebut tidak menguntungkan tersangka. Menurut Pasal 50 ayat (2) KUHAP tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh Penuntut Umum, yang selanjutnya berhak segera diadili oleh pengadilan. Dalam rangka memberikan perlindungan dan jaminan hukum terhadap HAM dan kepastian hukum pencari keadilan/tersangka, maka pengembalian hasil penyidikan /hasil penyidikan tambahan
oleh Penuntut Umum harus ada kriteria pembatasan, misalnya
mengenai syarat unsur pembuktian tindak pidana. Sebagian besar kasus-kasus yang disidik oleh PPNS Imigrasi adalah kasuskasus limpahan dari SPRI palsu atau dipalsukan atau memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh SPRI, Pasal 52 (overstaynya lebih dari 10 tahun), Pasal 53 (keberadaannya tidak sah), dan Pasal 48 (masuk atau keluar wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di TPI).
105 Permasalahan atau kesulitan yang muncul dalam penanganan kasus-kasus limpahan adalah kesulitan yang berkaitan dengan persoalan locus delicti perkara. Penyidik Imigrasi pada Subdit Penyidikan pernah menangani perkara-perkara yang locus delictinya ada di wilayah Kalimantan, Sulawesi Selatan, Cirebon, dan sebagainya. Dalam penanganan perkara-perkara tersebut, Penyidik Imigrasi pada Subdit Penyidikan mengalami kesulitan dan pengumpulan bukti-bukti dan saksisaksi serta koordinasi. Apalagi jika tidak didukung dengan dana operasional langsung. Hasilnya bisa dilihat dari proses penyelesaian penyidikan yang dapat berjalan selama berbulan-bulan. PPNS Keimigrasian selama ini belum dapat berfungsi secara optimal meskipun potensi PPNS sebetulnya sangat besar dan memiliki dasar hukum yang kuat dalam melaksnakan tugas dan kewenangannya, sebagaimana diatur dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Koordinasi dan kerjasama antar penegak hukum dan pembina PPNS, Penyidik Polri, Kejaksaan dengan
Departemen/Lembaga
Pemerintah
Non
Departemen
yang
membawahi/memiliki PPNS masih perlu ditingkatkan. Hal lain yang berkaitan dengan kondisi PPNS adalah bahwa kualitas sumber daya PPNS masih belum memadai. Sampai saat ini belum ada standar tentang pendidikan PPNS, baik menyangkut kurikulum, jangka waktu pendidikan maupun penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu perlu ada standar pendidikan PPNS yang komprehensif dalam rangka meningkatkan kualitas, kemampuan dan integritas PPNS. Pada umumnya struktur organisasi Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen belum menetapkan PPNS sebagai salah satu unsur utama pelaksana tugas pokok dan fungsinya. Selama ini PPNS masih merupakan suatu pekerjaan yang dilekatkan pada bidang atau kegiatan yang ada, sehingga tugas penyidikan yang menjadi tanggung jawab PPNS belum sepenuhnya dapat ditangani. Pada umumnya PPNS tidak saja mempunyai tugas penyidikan yang memerlukan konsentrasi tinggi dan sangat spesifik, namun juga dibebani tugas-tugas
106 administratif, bahkan tugas-tugas lain yang sama sekali tidak terkait dengan penegakan hukum, sehingga tugas-tugas penyidikan belum tersentuh dengan baik. Agar pelaksanaan penegakan hukum dapat dilakukan secara optimal dan efektif serta dapat memotivasi PPNS untuk meningkatkan keahlian dan wawasannya, perlu dilakukan pembinaan kepegawaian melalui penyusunan jabatan fungsional. Dengan adanya jabatan fungsional, maka kepangkatan dan pengembangan profesionalisme dapat dibina dengan sebaik-baiknya. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang perampingan organisasi, dengan mengakomodasikan profesionalisme melalui pengembangan jabatan fungsional. Selain itu untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang ada, berbagai peraturan pelaksana yang berkaitan dengan PPNS perlu disempurnakan. Pelaksanaan tugas dan kewenangan mengangkat dan memberhentikan penyidik PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanan KUHAP dilakukan oleh Subdirektorat PPNS pada Direktur Pidana, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM. Berdasarkan ketentuan Pasal 332 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor : M.03.PR.07.10 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM, tugas Subdirektorat PPNS ialah melaksanakan penyiapan rancangan kebijakan teknis, pengangkatan, penataan, pembinaan, pemantauan, pemutasian, pemberhentian dan pengelolaan dokumen penyidik PPNS. Dalam praktek Subdirektorat PPNS Direktorat Pidana hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan administratif sehubungan dengan pengusulan, pengangkatan, mutasi dan pemberhentian penyidik PPNS. Hal tersebut karena UU No. 8 thaun 1981 tentang KUHAP dan PP No. 27 tahun 1983 tentang Pedoman KUHAP memberikan kewenangan kepada Departemen Hukum dan HAM hanya untuk mengangkat penyidik PPNS. Peranan penyidik PPNS dalam criminal justice system sangat penting, namun demikian status mereka tidak jelas, apakah sebagai pejabat fungsional atau tidak. Hal tersebut mempengaruhi pola pembinaan dan tunjangannya. Menurut Pasal 3 ayat (1) b UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, memang
107 ditentukan bahwa penyidik PPNS merupakan salah satu pengemban fungsi kepolisian. Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman
melaksanakan
fungsi
dan
kepolisian
pelayanan tersebut
kepada
masyarakat.
disesuaikan
dengan
Dalam
peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing penyidik PPNS. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak diatur secara jelas instansi mana yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan umum terhadap penyidik PPNS. Sudah tentu pembinaan secara khusus dari instansi yang membawahi penyidik PPNS yang bersangkutan juga tidak kalah pentingnya dalam rangka meningkatkan kemampuan profesional mereka. Pembinaan secara terpadu dan bersifat sinergis dari instansi yang terkait diperlukan untuk membangun kapasitas penyidik PPNS dalam menangani tindak pidana tertentu yang menjadi ruang lingkup tugasnya. Pola pembinaan yang jelas mulai dari rekruitmen, pendidikan dan pelatihan, status penyidik PPNS, pengembangan karier, tunjangan penyidik PPNS, sampai pengakhiran tugas, selain akan meningkatkan kualitas
mereka, juga akan lebih memberikan prospek yang
memberi harapan bagi penyidik PPNS. Peningkatan kualitas dan kuantitas PPNS memang harus terus menerus dilakukan, agar dapat diperoleh hasil penegakan hukum yang optimal. Khususnya untuk PPNS Keimigrasian, perlu lebih ditingkatkan kesadaran tentang pentingnya keberadaan PPNS Keimigrasian dalam menunjang salah satu fungsi Direktorat Jenderal Imigrasi, yaitu dalam bidang penegakan hukum (law enforcement). C. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan formulatif tentang kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil agar penegakan hukum terhadap pelanggaran keimigrasian lebih optimal Menurut Barda Nawawi Arief76, kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan, yaitu (1) tahap
76
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, Hal. 30.
108 kebijakan legislatif/formulatif, (2) tahap kebijakan yudikatif/aplikatif, dan (3) tahap kebijakan eksekutif/administratif. Dalam ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana itu terkandung di dalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan, kekuasaan yudikatif/aplikatif dalam menerapkan
hukum
pidana
dan
kekuasaan
eksekutif/administratif
dalam
melaksanakan hukum pidana. Kalau pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan, maka menurut Barda Nawawi Arief
sistem pemidanaan itu merupakan sistem
kewenangan/kekuasaan menjatuhkan pidana. Selanjutnya oleh Barda Nawawi Arief juga dinyatakan bahwa pengertian pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/material. Dalam arti sempit/formal, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan/mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Dilihat dalam arti luas/material, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Berkaitan dengan pengertian pidana dalam arti luas tersebut, oleh Barda Nawawi Arief dinyatakan bahwa kewenangan penyidikan pada hakikatnya merupakan bagian juga dari kewenangan pemidanaan. Tindakan-tindakan hukum dalam proses penyidikan (antara lain : penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan/interogasi), secara material sudah mengandung di dalamnya hakikat pidana (punishment) dan pemidanaan (sentencing). Dengan demikian, dilihat dari pengertian pidana dalam arti luas (sebagai satu mata rantai proses), maka penerapan kebijakan/kewenangan penjatuhan pidana (yang pada hakikatnya juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana) melalui beberapa tahap/proses, yaitu : a. penerapan kebijakan/kewenangan penyidikan; b. penerapan kebijakan/kewenangan penuntutan; c. penerapan kebijakan/kewenangan pemidanaan;
109 d. penerapan kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, juga merumuskan kebijakan legislatif tentang kewenangan penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yaitu tercantum dalam Pasal 47 ayat (2). Walaupun UU Keimigrasian sudah memberikan berbagai kewenangan bagi PPNS Imigrasi, tetapi dalam praktek penegakan hukum terhadap pelanggaran keimigrasian masih dijumpai berbagai persoalan. Persoalan tersebut muncul disebabkan masih terbatasnya wewenang yang dimiliki oleh PPNS Imigrasi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 9 tahun 1992. Dewasa ini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dianggap sudah tidak memadai lagi sebagai akibat berbagai perkembangan kebutuhan pengaturan, terutama pengaturan dan pelayanan di bidang keimigrasian sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-undang baru yang lebih komprehensif serta mampu menjawab tantangan yang ada. Untuk itu sudah dibentuk RUU Keimigrasian yang saat ini menunggu pembahasannya di DPR. RUU Keimigrasian tersebut memberikan pengaturan kewenangan PPNS Keimigrasian yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan apa yang diatur di dalam UU No. 9 tahun 1992. Menurut Pasal 121 RUU Keimigrasian
tahun 2004, Penyidik
Keimigrasian berwenang : a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian; b. mencari keterangan dan alat bukti; c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; d. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; e. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, atau menahan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian; f. menahan, memeriksa, dan menyita dokumen perjalanan; g. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau tersangka dan memeriksa identitas dirinya; h. memeriksa atau menyita surat-surat, dokumen-dokumen, atau benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian;
110 i. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa keterangannya sebagai tersangka atau saksi; j. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; k. melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga terdapat suratsurat, dokumen-dokumen, atau benda-benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; l. mengambil sidik jari dan memotret tersangka; m. meminta keterangan dari masyarakat atau sumber-sumber yang berkompeten; n. melakukan penghentian penyidikan; atau o. mengadakan tindakan lain menurut hukum. Kewenangan yang dimiliki oleh penyidik keimigrasian menurut RUU Keimigrasian di atas hampir sama dengan dengan kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik Polri sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 KUHAP dan Pasal 16 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
Kewenangan tersebut juga jauh lebih luas
dibandingkan dengan kewenangan PPNS yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, yaitu : a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian; b.memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian; c. memeriksa dan/atau menyita surat-surat, dokumen-dokumen, surat perjalanan atau benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; d. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi. e. melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga terdapat suratsurat, dokumen-dokumen, surat perjalanan atau benda-benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; f. mengambil sidik jari dan memotret tersangka. Untuk bisa mengetahui apakah wewenang yang dipunyai oleh pejabat penyidik imigrasi di Indonesia sudah cukup memadai atau belum, maka perlu dilakukan perbandingan dengan undang-undang keimigrasian di negara lain. Di dalam UU Keimigrasian Singapura yang dikenal dengan Immigration Act 12 of 1970,
111 wewenang yang berkaitan dengan penegakan hukum diberikan kepada Pejabat Imigrasi (immigration officer).
Wewenang yang dimiliki oleh Pejabat Imigrasi
Singapura antara lain : a. Pejabat Imigrasi ini oleh UU diberikan wewenang seperti yang dipunyai oleh kepolisian, sebagaimana diatur dalam criminal procedure code. b.
Selain kewenangan di bidang kepolisian, pejabat imigrasi juga mempunyai wewenang melakukan penuntutan di pengadilan (the authority to appear in court and conduct any prosecution in respect of any offence).
c. Selain itu pejabat imigrasi juga dipersenjatai (to be armed). Upaya mempersenjatai
pejabat
imigrasi
dimaksudkan
untuk
mengefektifkan
pelaksanaan tugas mereka. Jenis senjata yang bisa diberikan kepada pejabat imigrasi dapat berupa tongkat pemukul, senjata api, amunisi atau jenis perlengkapan prajurit lainnya. d. Pejabat imigrasi tersebut mempunyai kedudukan yang mandiri, otonom dan tidak di bawah organisasi kepolisian. Bahkan pejabat imigrasi mempunyai wewenang untuk memerintahkan kepada pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan atau penahanan (duty of police to execute order). Apabila dibandingkan dengan UU Keimigrasian Singapura tersebut, nampak bahwa wewenang yang dimiliki oleh aparat imigrasi Indonesia masih terbatas. Menurut UU Keimigrasian Indonesia, keberadaan PPNS Keimigrasian masih di bawah pembinaan Penyidik POLRI. Dengan demikian PPNS keimigrasian masih belum mandiri dan otonom sebagaimana pejabat imigrasi Singapura. Demikian juga dengan tugas penuntutan masih menjadi domain dari kejaksaaan. Sedangkan berkaitan dengan pemberian fasilitas senjata kepada pejabat imigrasi Singapura, tentunya dengan mendasarkan kepada berbagai pertimbangan yang matang. Situasi dan kondisi di Singapura dan Indonesia tentunya berbeda. Masih sering terjadinya kasus penyalahgunaan senjata oleh oknum anggota TNI dan Polri tentunya bisa menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan fasilitas senjata kepada pejabat imigrasi di Indonesia. Pertanyaan apakah seorang aparat imigrasi yang bertugas dalam bidang penegakan hukum perlu dipersenjatai atau tidak, jawabannya masih bersifat
112 debatable. Namun mengingat bahwa PPNS Keimigrasian juga seorang penegak hukum, dimana dalam upaya menegakan hukum pidana kadang-kadang dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahkan terkadang dihadapkan pada situasi darurat yang sangat membhayakan kepentingan umum dan dirinya sendiri. Menurut Barda Nawawi Arief77, Resolusi MU-PBB 34/169 tanggal 17 Desember tentang Code of Conduct for Law Enforcement Officials, membolehkan aparat penegak hukum menggunakan tindakan/kekuatan paksa (force) sebagai tindakan eksepsional dalam menjalankan tugasnya. Dengan mengacu kepada Basic Principles on the use of force and firearms by law enforcement officials, dapatlah diketahui bahwa aparat penegak hukum diperkenakan menggunakan kekuatan paksa dan senjata api sebagai tindakan yang bersifat eksepsional dan emergency. Berdasarkan hal tersebut upaya mempersenjatai aparat imigrasi dengan senjata menjadi hal yang perlu dipertimbangkan urgensinya. Upaya untuk mewujudkan aparat penyidik keimigrasian yang mandiri dan otonom, sebetulnya sudah mulai terlihat dalam draft II RUU Keimigrasian Januari 2004.
Di dalam Pasal 123
draft II tersebut ditegaskan bahwa Penyidik
Keimigrasian membuat berkas perkara hasil penyidikan dan menyerahkan langsung kepada penuntut umum.
Ketentuan tersebut memang bertentangan dengan apa
yang ditegaskan dalam Pasal 107 ayat (3) KUHAP, yang menyatakan bahwa penyidik pegawai negeri sipil tertentu menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Para perancang draft RUU Keimigrasian tentu mempunyai dasar pemikiran tersendiri dalam merumuskan ketentuan yang menyimpang dari KUHAP. Salah satunya adalah untuk menghindari birokrasi yang bertele-tele dalam penanganan berkas PPNS Keimigrasian oleh Penyidik Polri. Menurut Barda Nawawi Arief78, pada setiap tahap/proses penegakan hukum pidana itu, undang-undang dapat saja menetapkan pejabat tertinggi yang bertanggung jawab atas terselenggaranya kekuasaaan negara/kewenangan negara dalam proses penegakan hukum pidana itu. Namun disamping itu perlu pula adanya 77
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijkan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bhakti, Hal. 22.23. 78 Barda Nawawi Arief, 1998, Ibid., Hal., 32.
113 kebijakan legislatif yang menegaskan pejabat mana yang bertanggung jawab sebagai pengendali atau sebagai the top law enforcement officer dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana itu. Berkaitan dengan pentingnya keberadaan pejabat tertinggi sebagai pengendali dalam proses penegakan hukum pidana, maka semestinya di dalam kebijakan legislatif yang mengatur bidang penyidikan dalam undang-undang keimigrasian juga dicantumkan pejabat tertinggi tersebut. Pengamatan secara seksama terhadap UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian atau materi RUU Keimigrasian, tidak
dijumpai pengaturan
tentang pejabat tertinggi yang
bertanggung jawab dalam proses penyidikan pelanggaran keimigrasian. Ketiadaaan pengaturan pejabat yang bertanggung jawab dalam proses penyidikan ini dapat menimbulkan masalah jika terjadi suatu gugatan hukum, misalnya terkait tuntutan pra peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa menurut UU No. 9 tahun 1992 ataupun menurut RUU Keimigrasian, Penyidik Keimigrasian mempunyai wewenang yang bersifat upaya paksa, misalnya penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Menurut KUHAP pihak-pihak yang merasa mendapatkan tindakan yang illegal dalam pelaksanaan upaya paksa, bisa mengajukan tuntutan pra peradilan ke pengadilan. Karena dalam UU maupun RUU Keimigrasian tidak diatur pejabat tertinggi yang bertanggung jawab dalam proses penyidikan, maka akan menimbulkan persoalan kepada siapa tuntutan pra peradilan tersebut dapat diajukan. Ketiadaan pengaturan pejabat yang bertanggung jawab dalam proses penyidikan, akan memberikan peluang saling lempar kesalahan antara pihak imigrasi dan Polri. Kalau hal ini sampai terjadi, jelas akan berdampak buruk pada image institusi penegak hukum, disamping juga akan merugikan para pihak yang merasa dirugikan dalam proses penggunaan upaya paksa. Hal demikian tentunya harus juga dipertimbangkan dalam pembahasan RUU tersebut di DPR, agar tidak menimbulkan persoalan dalam tahap implementasinya atau aplikasinya nantinya. Sehubungan dengan hal di atas, menjadi sangat relevan untuk menengok kembali pendapat Barda Nawawi Arief berkaitan dengan persoalan badan penyidikan.
Menurut
Barda
Nawawi
Arief,
perundang-undangan
tentang
114 badan/lembaga penyidikan seyogianya disusun sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan integral dengan keseluruhan kebijakan/ sistem/proses penegakan hukum pidana. Kesatuan integral yang dimaksud disini tidak hanya pada mekanisme/prosesnya, tetapi juga pada jiwa/spirit/idenya. Ideanya ialah bahwa kekuasaan/kewenangan penyidikan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan/kekuasaan/kewenangan penegakan hukum pidana. Jadi merupakan bagian juga dari kekuasaan kehakiman, yang seyogianya merupakan kekuasaan mandiri dan merdeka79.
79
Barda Nawawi Arief, 1998, Hal. 37.
115
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan penyidikan pelanggaran undang-undang keimigrasian yang dilakukan oleh PPNS Keimigrasian dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur KUHAP, dengan berbagai pengecualian sebagaimana yang diatur secara khusus oleh undang-undang keimigrasian. Berdasarkan hasil penegakan hukum terhadap pelanggaran undang-undang keimigrasian oleh PPNS Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi, diketahui bahwa sebagian besar pelaku pelanggaran undangundang keimigrasian dikenakan sanksi yang bersifat tindakan administratif oleh Pejabat Keimigrasian. Pelaku pelanggaran undang-undang keimigrasian yang diperiksa dan dijatuhi pidana oleh pengadilan, jumlahnya sangat sedikit. Pejabat keimigrasian mempunyai kewenangan sepenuhnya untuk menentukan apakah seorang warga negara sing yang melakukan pelanggaran keimigrasian akan dijatuhi sanksi berupa tindakan administratif atau tidak. Untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif tersebut, pejabat keimigrasian akan mempertimbangkan faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi dan keamanan. Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka pejabat keimigrasian memandang akan lebih efektif dan efisien, jika kepada WNA yang melakukan pelanggaran keimigrasian dikenakan sanksi administratif, dari pada membawanya ke pengadilan untuk menjalani proses persidangan. Untuk menghindari adanya kesan diskriminatif dalam proses penegakan hukum, seyogianya penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan yang objektif
dari
pejabat
keimigrasian.
Pejabat
keimigrasian
juga
harus
memperhatikan fungsi dari penjatuhan pidana, yaitu menimbulkan efek jera baik bagi pelakunya ataupun orang lain yang belum melakukan pelanggaran keimigrasian.
116 2. Kendala-kendala yang muncul atau dihadapi oleh aparat penyidik pegawai negeri sipil imigrasi dalam melaksanakan tugasnya adalah : 1) Pengalokasian anggaran yang masih belum memadai dalam menunjang kelancaran operasional tugas penyidikan pelanggaran keimigrasian. Modus operandi kejahatan yang makin canggih, menimbulkan kesulitan dalam upaya melacak pelaku dan barang bukti. Keadaan tersebut harus didukung oleh cost operasional yang mencukupi. 2) Sumber daya manusia yang masih belum memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sangat mempengaruhi kinerja dalam penegakan hukum pelanggaran keimigrasian. Sampai saat ini belum ada standar tentang pendidikan PPNS, baik menyangkut kurikulum, jangka waktu pendidikan maupun penyelenggaraan pendidikan. 3) Selama ini PPNS masih merupakan suatu pekerjaan yang dilekatkan pada bidang atau kegiatan yang ada, sehingga tugas penyidikan yang menjadi tanggung jawab PPNS belum sepenuhnya dapat ditangani. Pada umumnya PPNS tidak saja mempunyai tugas penyidikan yang memerlukan konsentrasi tinggi dan sangat spesifik, namun juga dibebani tugas-tugas administratif, bahkan tugas-tugas lain yang sama sekali tidak terkait dengan penegakan hukum, sehingga tugas-tugas penyidikan belum tersentuh dengan baik. Agar pelaksanaan penegakan hukum dapat dilakukan secara optimal dan efektif serta dapat memotivasi PPNS untuk meningkatkan keahlian dan wawasannya, perlu dilakukan pembinaan kepegawaian melalui penyusunan jabatan fungsional. 4) Koordinasi yang belum baik antara kepolisian dengan kejaksaan, sehingga berakibat
terjadinya
pengembalian
berkas
perkara
pelanggaran
keimigrasian oleh kejaksaan sampai beberapa kali. 3. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan formulatif tentang kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil agar penegakan hukum terhadap pelanggaran keimigrasian lebih optimal adalah : 1) Cakupan wewenang PPNS keimigrasian perlu diperluas, setidak-tidaknya sama dengan kewenangan penyidik Polri.
117 2)
Pemberian penjelasan yang lebih rinci terhadap kewenangan PPNS berupa “melakukan tindakan lainnya menurut hukum”.
3)
Mekanisme penyelesaian permasalahan berkas yang berlarut-larut dalam pemeriksaannya oleh kejaksaan.
4)
Perumusan secara tegas dan jelas pejabat mana yang bertanggung jawab sebagai pengendali atau sebagai the top law enforcement officer, khususnya dalam penegakan hukum undang-undang keimigrasian.
B. Saran-Saran 1. Perlu diberikan skala prioritas dalam penyediaan anggaran guna mendukung kelancaran tugas penegakan hukum oleh PPNS Keimigrsian. 2. Dalam rangka meningkatkan kualitas, kemampuan dan integritas PPNS, perlu ada standar pendidikan PPNS yang komprehensif. 3. Untuk meningkatkan motivasi kerja PPNS Keimigrasian, maka perlu diberikan jabatan fungsional kepada mereka. 4. Koordinasi yang bersifat horizontal dengan instansi kejaksaan harus ditingkatkan, agar tidak terjadi pengembalian berkas perkara sampai beberapa kali. 5. PPNS Keimigrasian tidak boleh diberikan tugas-tugas yang bersifat administratif karena dapat mempengaruhi kinerja mereka dalam tugas penegakan hukum.
118 DAFTAR PUSTAKA
Adiwinata, H.J., 1951, Pengertian Imigrasi, Diktat Kursus Pejabat Imigrasi, Jakarta, Jawatan Imigrasi. Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. --------------------------, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bakti --------------------------,
2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya
Bakti. Arif, Moh, 1997, Komentar Undang-Undang Keimigrasian
Beserta Peraturan
Pemerintah, Jakarta, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman. -------------, 1997, Keimigrasian Di Indonesia Suatu Pengantar, Jakarta, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman. Arikunto, Suharsini, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta. Ashshofa, Burhan, 2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta. Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung, Bina Cipta. Biro Hukum DEPDAGRI, 2006, Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Rangka Penegakan Peraturan Daerah, Makalah Diskusi Panel tentang Prospek PPNS Sebagai Pejabat Fungsional Dalam Rangka Peningkatan Profesionalisme PPNS, Jakarta, 10 Agustus 2006. Hamdan, M, 1997, Politik Hukum Pidana, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada. Hamrat Hamid dan Harun Husein, 1991, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Jakarta, Rineka Cipta. -------------------------------------------, 1997, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan Dan Eksekusi, Jakarta, Sinar Grafika.
119 Hamzah, Andi, 1980, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP dengan Komentar, Jakarta : Pradnya Paramita. --------------------, 1986, Pengusutan Perkara Kriminil Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1980, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP dengan Komentar, Jakarta : Pradnya Paramita. ----------------, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta:
Ghalia
Ghalia Indonesia --------------, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta, Rineka Cipta Harahap, M Yahya, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP,
Jakarta, Pustaka Kartini. Iman Santoso, M, 2002, Peran Keimigrasian dalam Rangka Peningkatan Ekonomi dan Pemeliharaan Ketahanan Nasional Secara Seimbang, Tesis Hukum Universitas Krisnadwipayana Jakarta --------------------, 2004, Perspektif
Imigrasi dalam Pembangunan Ekonomi dan
Ketahanan Nasional, Jakarta, UI-Press. Karni, 1950, Ringkasan tentang Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Balai Buku. Kuffal, H.M.A., 2001, Penerapan KUHAP Dalam Praktek, Malang, UMM Press. Lopa, Baharuddin, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam
Hukum
Pidana, Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni. -------------------------------------------, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Jakarta, Alumni. Mulia, TSG dan Hidding, K.A.H., Ensiklopedia Indonesia, Bandung: Penerbit W. van Hoeve. Mulyanto, R Felix Hadi dan Sugiarto, Endar, 1997, Pabean, Imigrasi, dan Karantina, Jakarta, PT Gramedia Utama.
120 Oka Mahendra, AA, 2006, Eksistensi Dan Permasalahan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Makalah Diskusi Panel tentang Prospek PPNS Sebagai Pejabat Fungsional Dalam Rangka Peningkatan Profesionalisme PPNS, Jakarta, 10 Agustus 2006. Poernomo, Bambang, 1988, Orientasi Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi. Yogyakarta: Amarta Buku. Poerwodarminto, 1976, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka. Prakoso, Djoko, 1987, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dalam Proses Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. Prints, Darwan, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar , Jakarta: Djambatan. Prodjohamidjojo, Martiman, 1982, Komentar Atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, UD Harico. Puji Rahayu,
Esmi Warassih, 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis.
Semarang : Suryandaru Utama Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Bandung : Alumni. -----------------, 1983. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni ---------------------, 2000. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti R. Soesilo. 1980. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bogor: Politea Sabuan, Ansorie, dkk., 1990, Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa. Salam, Moch Fisal, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta, Mandar Maju. Sasongko, Hari, dan Rosita, Lily, 2002, Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Jakarta, Mandar Maju. Seligman, Edwin R.A., dan Johnson, Alvin, 1957, Encyclopedia of the Social Science. Sjahriful Abdullah, 1993, Memperkenalkan Hukum Keimigrasian, Jakarta:
Ghalia
Indonesia. Soekanto, Soerjono, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press. -----------------------, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali. -----------------------, 1988, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum, Jakarta, Bina Aksara -----------------------, 1998, Aktifitas Hukum dan Peranan Sanksi, Jakarta : Remaja Karya C.V.
121 -----------------------, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Soemitro, 1988, Hukum Acara Pidana Indonesia, Surakarta, UNS Press. Soerodibroto, Soenarto, 2000, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Maria S. W. Sumarjdono. 1997. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Subekti, 1984, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP, Jakarta, Pradnya Paramita. ---------------, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, ---------------, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, PT Alumni. Sutrisno, Bambang, 2006, Pembinaan Tehnis PPNS, Makalah Diskusi Panel tentang Prospek PPNS Sebagai Pejabat Fungsional Dalam Rangka Peningkatan Profesionalisme PPNS, Jakarta, 10 Agustus 2006 Sunggono,Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, RajaGrafindo. Sutopo, H.B., 1988, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press. Tirta Amidjaja, MH., 1955, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Eresco. Ukun, Wahyudin, 2003, Telaah Masalah-Masalah Keimigrasian, Jakarta, PT Adi Kencana Aji Utrecht, U, 1958, Hukum Pidana II, Jakarta: PT Universitas. Wignjosoebroto, Soetandjo, 1974, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi, Majalah Masyarakat Indonesia, tahun ke – I No. 2. Yulianti, Sri Wahyuningsih, 1998, Pelaksanaan Pengawasan Orang Asing Dalam Rangka Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Keimigrasian, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tanpa Pengarang, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Departemen Kehakiman Republik Indonesia Tanpa Pengarang, 1987, Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana, Mabes Polri.
122 Tanpa Pengarang, 1988, Petunjuk Lapangan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Mabes Polri. Tanpa Pengarang, 1991, Himpunan Juklak dan Juknis tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Mabes Polri. Tanpa Pengarang, 2004, Profil Imigrasi Indonesia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Tanpa Pengarang, 2005, Lintasan Sejarah Imigrasi Indonesia, Jakarta, Departemen Hukum dan HAM RI