SPESIES KUNCI BUDAYA (CULTURAL KEYSTONE SPECIES) MASYARAKAT SUMBA DI SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUPEU TANADARU NUSA TENGGARA TIMUR
YOHANA ELSI WELLO
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SPESIES KUNCI BUDAYA (CULTURAL KEYSTONE SPECIES) MASYARAKAT SUMBA DI SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUPEU TANADARU NUSA TENGGARA TIMUR
YOHANA ELSI WELLO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN YOHANA ELSI WELLO. E 34103005. Spesies Kunci Budaya (Cultural Keystone Species) Masyarakat Sumba di Sekitar Taman Nasional Manupeu Tanadaru Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan EVA RACHMAWATI. Spesies kunci budaya (SKB) adalah spesies yang membentuk identitas budaya suatu kelompok masyarakat dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat asli dimana mereka tinggal. Terkait dengan konservasi, pengkajian mengenai SKB masyarakat di sekitar kawasan konservasi ini penting untuk peningkatan efektifitas dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan serta bermanfaat bagi pelestarian budaya lokal melalui upaya konservasi spesies kunci dalam budaya. Implementasi konsep SKB ini dilakukan pada masyarakat Sumba di sekitar TN Manupeu Tanadaru (TNMT) yang dikenal masih memiliki dan mempertahankan budaya tradisional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui spesies yang penting bagi masyarakat Sumba di sekitar TNMT, mengidentifikasi spesies yang menjadi kunci budaya masyarakat Sumba di sekitar kawasan TNMT dan mengetahui peran SKB dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan TNMT. Penelitian dilakukan pada 4 desa di sekitar TNMT yang mewakili karakteristik budaya berbeda. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara mendalam kepada masyarakat menggunakan metode snow ball. Analisis data dilakukan secara kuantitatif deskriptif. Penilaian SKB dilakukan dengan memberikan skor pada hasil analisis berdasarkan 6 kriteria identifikasi yang telah ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat 30 spesies flora dan fauna yang penting bagi masyarakat yang terangkum dalam 3 kebutuhan utama yaitu adat, konsumsi dan bangunan (perumahan). Dari spesies penting tersebut, terdapat 7 spesies yang memiliki peran kunci dalam budaya yaitu Sirih (Piper betle) dan Pinang (Areca catechu), Mayela, Ayam (Gallus domestica), Babi (Sus domesticus), Kerbau (Bubalus buballis) dan Kuda (Equus caballus). Dari ke-7 spesies tersebut, terdapat satu spesies yang masih diambil dari alam yaitu mayela sedangkan sisanya merupakan hasil budidaya. Terkait dengan pengelolaan spesies yang penting untuk budaya, saat ini telah ada suatu bentuk Kesepakatan Pelestarian Alam Desa (KPAD) yang melibatkan masyarakat di 22 desa yang terletak di sekitar kawasan TNMT yang difasilitasi oleh LSM Burung Indonesia. Pada beberapa desa di sekitar kawasan, terdapat kesepakatan yang memperbolehkan pengambilan mayela dalam kawasan untuk kebutuhan rumah adat dengan syarat harus meminta izin kepada pihak TN dan semua bahan-bahan rumah adat yang digunakan harus berasal dari alam. Kata kunci : spesies kunci, budaya, konservasi kawasan, TN Manupeu Tanadaru
SUMMARY YOHANA ELSI WELLO. E 34103005. Cultural Keystone Species For Sumba Villagers Around Manupeu Tanadaru National Park East Nusa Tenggara. Under Supervision by ARZYANA SUNKAR and EVA RACHMAWATI. Cultural Keystone Species (CKS) is a species that defines the cultural identity of a group of people and relates closely to the local community. Study of the CKS of a community around a conservation area is to increase the effectiveness of conservation area management by involving locals in the management process, as well as for the conservation of local culture through the conservation of cultural keystone species. This research aims to study the CKS of villagers in Sumba around Manupeu Tanadaru National Park (MTNP) as well as study their roles in the area management and conservation. Data was collected from four villages around MTNP that represents the different cultural characteristics. Data was collected through literature study and interview with locals using the snowball method. Data analysis was done using descriptive and quantitative analysis. CKS was scored based on six criteria which have been previously determined. The study has identified seven key species in the local’s culture, including Sirih (Piper betle) and Pinang (Areca catechu), Mayela, Domestic Chicken (Gallus domestica), Domestic Pig (Sus domesticus), Water Buffalo (Bubalus buballis), and Horse (Equus caballus). The highest score for flora species were Sirih and Pinang, which are used together. However, the dominant CKS are the fauna species because all CKS are domesticated species, which makes their harvest easier for locals. From the seven species, locals still harvest one species, Mayela, from the wild. The remaining species are domesticated, which shows that locals are not dependant on the MTNP for those needs. This shows a positive effect for the conservation of MTNP. There are seven CKS for Sumba villagers around MTNP, including 4 fauna and 3 flora species. All are domesticated species except for Mayela, which the locals take from the wild. For their CKS needs, the locals are not dependent on MTNP. This shows a positive effect for the conservation of MTNP. Keywords: Keystone species, culture, conservation area, Manupeu Tanadaru NP.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Spesies Kunci Budaya (Cultural Keystone Species) Masyarakat Sumba di Sekitar Taman Nasional Manupeu Tanadaru Nusa Tenggara Timur adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Spesies kunci budaya (cultural keystone species) masyarakat Sumba di sekitar Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Nusa Tenggara Timur
Nama
: Yohana Elsi Wello
NIM
: E 34103005
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Ir. Arzyana Sunkar, MSc NIP. 132133962
Eva Rachmawati, S.Hut NIP. 132312032
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr. NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus:
i
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas izin dan kemudahan-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih yaitu Spesies Kunci Budaya (Cultural Keystone Species) Masyarakat Sumba di Sekitar Taman Nasional Manupeu Tanadaru. Manfaat dari penelitian ini untuk dapat dijadikan masukan dalam upaya pelestarian berbagai jenis tumbuhan dan satwa dalam kawasan taman nasional. Penelitian ini juga dapat memberikan peningkatan efektifitas dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan serta bermanfaat bagi pelestarian budaya lokal dengan upaya konservasi spesies kunci dalam budaya.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Waingapu, Sumba Timur, NTT pada tanggal 29 Agustus 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Gabriel L. Wello dan Ibu Sisilia K. Koba. Pada
tahun
1991-1997
penulis
menempuh
pendidikan dasar di SD Katolik Andaluri kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Waingapu hingga tahun 2000. Setelah itu, penulis memasuki jenjang pendidikan di SMU Negeri 1 Waingapu dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan menjadi mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) khususnya Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM), Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) cabang Bogor St. Joseph a Cupertino. Pada periode 2004-2005 menjadi Wakil Ketua Biro Kaderisasi PMKRI Cab Bogor dan Ketua Panitia penerimaan anggota baru kemudian pada tahun 2006, menjadi Ketua Paskah Bersama Fakultas Kehutanan. Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA Leuwing Sancang, CA Kamojang dan Perum Perhutani KPH Tasikmalaya pada tahun 2006. Pada tahun 2007, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi di TN Bukit Barisan Selatan, Lampung. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian skripsi dengan judul Spesies Kunci Budaya (Cultural Keystone Species) Masyarakat Sumba Sekitar Taman Nasional Manupeu Tanadaru di bawah bimbingan Ir. Arzyana Sunkar, MSc dan Eva Rachmawati, S.Hut.
iii
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Spesies Kunci Budaya (Cultural Keystone Species) Masyarakat Sumba di Sekitar Taman Nasional Manupeu Tanadaru ini dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini: 1. Keluarga tercinta; Papa, Mama, Novi, Yanus dan semua anggota keluarga yang telah memberikan dukungan doa, moril dan materiil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Ir. Arzyana Sunkar, MSc selaku pembimbing pertama dan Eva Rachamawati S.Hut selaku pembimbing kedua atas bimbingan, masukan, diskusi dan nasihatnasihat yang diberikan kepada penulis. 3. Kepala Balai TN Manupeu Tanadaru yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di TNMT dan segenap staf TN yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data baik di kantor maupun di lapangan. 4. Segenap staf Birdlife Kantor Lapangan Sumba: Om Anis, Esti, Om Efan, Om Umbu, Bu Lina, Bu Arli, Om Rius, Om Aten, dan Pakta Sumba: Om Amos (thx a lot), Mama Dian, Om Melki, Bapa Joice, Om Hina Mananga atas bantuan data, diskusi dan peralatan di lapangan. Om Efan, thanks kameranya. 5. Kepala Desa Beradolu, Katikuloku, Kambatawundut dan Manurara serta semua warga desa dan narasumber yang telah memberikan bantuan selama di lapangan. 6. Keluarga besar baik di Waingapu, Lewa dan Waikabubak atas doa dan dukungannya selama penyelesaian skripsi. 7. Edward Usboko, thank u so much for everything. 8. Oshin dan Arjo Reo Kuadrat serta semua teman-teman gamnusratim atas perhatian, peringatan, kecerewetan, cerita-cerita indah serta dukungannya selama kuliah dan penyelesaian skripsi. 9. Saudariku Esti Wungo, Ka Joice Agustaf, Ka Putri Pandarangga, Ka Eri Bangu, Ka Yane Moy, Dewi Gaina dan Ida Izky yang telah menemani penulis selama kuliah di IPB, menjadi pendukung dan pemberi semangat tiada henti.
iv
Kebersamaan yang indah Sist, semoga terus terjalin selamanya. Buat Esti, thanks buat diskusi dan data-datanya. Nice :p.. 7. Eboy B-T dan Riris K-T atas gangguan, pertengkaran, godaan, makian, kritikan, keceriaan, curhatan dan dukungan yang tulus selama kuliah dan penyelesaian skripsi. Terimakasih atas persahabatan yang penuh warna ini. Juga buat temanteman di Perwira 100 atas dukungannya selama ini. Rika, Ursula dan SKRIKANDI ers, makasih banyak untuk kepeduliannya. 8. Teman-teman KSH 40; Ade reo, Veron, Reren, Afni, Karlina, Lia, May, Ella, Tri, Resti, Ayu, Intan, Gunawan, Yohanes, Santi, Yuyun, Feri dan semua teman sekelas atas kebersamaannya selama ini. Teman-teman KEMAKI dan PF Fakultas Kehutanan 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
v
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. I.
i ii iii v vii viii ix
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
I.1. Latar Belakang..................................................................................... I.2. Tujuan ................................................................................................. I.3. Manfaat ...............................................................................................
1 2 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
3
2.1. Kebudayaan ....................................................................................... 2.2. Hubungan Kebudayaan dan Kawasan Konservasi ............................ 2.3. Budaya dan Spesies Kunci ................................................................ 2.3.1. Konsep spesies kunci budaya (cultural keystone species) ........ 2.3.2. Elemen penting spesies kunci budaya .................................... 2.3.3. Kontribusi spesies kunci budaya dalamkonservasi dan restorasi .................................................................................. 2.4. Budaya Masyarakat Sekitar TN Manupeu Tanadaru .........................
4 4 6 6 7 8 10
III. GAMBARAN UMUM TN MANUPEU TANADARU .........................
12
3.1. Letak .................................................................................................. 3.2. Topografi ........................................................................................... 3.3. Hidrologi............................................................................................. 3.4. Iklim ................................................................................................. 3.5. Flora dan Fauna .................................................................................. 3.6. Kepercayaan ...................................................................................... 3.7. Struktur sosial ..................................................................................... 3.8. Ekonomi ............................................................................................. 3.9. Pendidikan ..........................................................................................
12 14 14 14 14 15 16 17 17
IV. METODE PENELITIAN 4.1.Tempat dan Waktu ............................................................................ 4.2. Jenis data ............................................................................................ 4.3.Pengumpulan Data............................................................................... 4.3.1. Studi pustaka. .......................................................................... 4.3.2. Penentuan lokasi pengambilan data ........................................ 4.3.3. Penentuan informan kunci ...................................................... 4.3.4. Wawancara dan diskusi .......................................................... 4.3.5. Observasi ................................................................................
19 19 20 21 21 22 23 23
vi
4.4. Alat dan Bahan ................................................................................... 4.5. Analisis Data ......................................................................................
24 24
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
29
5.1. Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati oleh Masyarakat Sumba di Sekitar Kawasan TNMT .................................................... 5.2. Spesies Kunci Budaya (SKB) ............................................................ 5.2.1. Pemanfaatan spesies dalam upacara-upacara atau ritual adat ....................................................................................... 5.2.2. Tipe pemanfaatan tumbuhan secara ekonomi dan intensitas pengambilan spesies ............................................................... 5.2.3. Persistensi ............................................................................... 5.2.4. Pemanfaatan flora dalam istilah, tarian, lagu dan simbol ....... 5.2.5. Toleransi pemanenan .............................................................. 5.2.6. Substitusi spesies .................................................................... a. Sirih (Piper betle) dan pinang (Areca catechu).................. b. Ayam (Gallus domestica) .................................................. c. Babi (Sus domesticus) ........................................................ d. Kerbau (B. buballis) .......................................................... e. Kuda (E. caballus) ............................................................. f. Mayela ............................................................................... 5.3. Aspek konservasi spesies kunci budaya ............................................. 5.4. Posisi SKB dalam konservasi kawasan .............................................
29 31 31 32 33 37 38 40 46 47 49 53 55 57 59 62
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .......................................................................................... B. Saran ....................................................................................................
63 63
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
64
LAMPIRAN ....................................................................................................
66
vii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan TNMT ...............................
13
2. Klasifikasi 4 suku dari desa-desa sekitar kawasan TNMT .......................
22
3. Jenis fauna yang penting bagi masyarakat dan pemanfaatannya ................
29
4. Jenis flora yang penting bagi masyarakat dan pemanfaatannya ................
30
5. Pemanfaatan flora dalam upacara-upacara atau ritual adat ........................
31
6. Pemanfaatan fauna dalam upacara-upacara atau ritual adat ......................
31
7. Tipe pemanfaatan flora secara ekonomi dan intensitas pengambilan ........
33
8. Tipe pemanfaatan fauna secara ekonomi dan intensitas pengambilan.......
33
9. Pemanfaatan flora terkait dengan ketahanan hidup, sejarah dan atau ritual tertentu .............................................................................................
35
10. Pemanfaatan fauna terkait dengan ketahanan hidup, sejarah dan atau ritual tertentu ............................................................................................
36
11. Pemanfaatan flora dalam istilah, tarian, lagu dan simbol ..........................
37
12. Pemanfaatan fauna dalam istilah, tarian, lagu dan simbol .........................
37
13. Toleransi pemanenan flora penting dalam budaya Sumba ........................
39
14. Toleransi pemanenan fauna penting dalam budaya Sumba .......................
39
15. Subtitusi flora penting dalam budaya Sumba.............................................
41
16. Subtitusi fauna penting dalam budaya Sumba ...........................................
41
17. Akumulasi skor identifikasi pengaruh flora dalam budaya orang Sumba di sekitar TNMT ............................................................................
42
18. Akumulasi skor identifikasi pengaruh fauna dalam budaya orang Sumba di sekitar TNMT ............................................................................
43
19. Spesies kunci budaya masyarakat Sumba di sekitar TNMT ......................
44
20. Contoh pemanfaatan Ayam (G. domestica) dalam bahasa Sumba ............
48
21. Contoh pemanfaatan Babi (Sus domesticus) dalam bahasa Sumba ...........
52
22. Keterangan keterkaitan SKB dan kawasan ................................................
60
viii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Peta lokasi penelitian ..............................................................................
12
2. Peta batas administratif ..........................................................................
13
3. Lokasi desa penelitian .............................................................................
19
4. Uang diletakkan di atas wadah sirih pinang sebagai tanda mohon izin masuk rumah adat ...................................................................................
47
5. Motif Ayam dalam tenunan Sumba ........................................................
49
6. Lukisan ayam pada batu kubur di Desa Katikuloku Wanokaka ............
49
7. Penikaman babi sebagai konsumsi dalam upacara perkawinan ............
50
8. Pemanfaatan babi dalam ritual adat ruatu ...............................................
51
9. Taring babi melambangkan kekuatan ekonomi tuan rumah ...................
52
10. Pemanjangan tanduk kerbau di depan rumah .........................................
54
11. Lukisan kuda dan kerbau pada batu kubur..............................................
55
12. Kerbau, ternak penting orang Sumba .....................................................
55
13. Kuda Sumba ...........................................................................................
56
14. Motif kuda dalam tenunan ................................................................ .....
57
15. Empat tiang utama rumah adat di Kampung Padabar, Mayela (sebelah kanan) dibungkus bambu ................................................... .....
58
ix
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Jenis-jenis kayu yang biasa dipergunakan masyarakat untuk bahan ramuan rumah ............................................................................................
67
2. Jenis kayu yang biasa digunakan untuk tiang rumah adat di 4 desa penelitian ....................................................................................................
68
3. Hasil non kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan (rumah) ...........
68
4. Tali-talian yang biasa digunakan masyarakat pada keempat desa penelitian ....................................................................................................
69
5. Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat-obatan oleh keempat desa.............................................................................................................
70
6. Jenis yang dimanfaatkan sebagai bahan utama oleh masyarakat Keempat desa .............................................................................................
71
7. Jenis satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat .......................................
71
8. Spesies yang disubstitusikan ......................................................................
72
9. Deskripsi beberapa jenis flora dan fauna yang dimanfaatkan masyarakat Sumba di sekitar kawasan TNMT .............................................................
73
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia saat ini telah diakui sebagai benteng terakhir upaya perlindungan dan penyelamatan sumberdaya hayati. Sumberdaya yang dilindungi meliputi berbagai jenis satwa, tumbuhan maupun bentang alam itu sendiri yang akhir-akhir ini terus dirongrong keberadaannya. Kehadiran kawasan yang dilindungi pada suatu lokasi diharapkan memberi peran signifikan dalam upaya konservasi SDA di dalam kawasan yang ditetapkan. Tindakan konservasi di dalam kawasan tidak dapat berjalan sendiri. Fakta membuktikan bahwa masyarakat di sekitar kawasan konservasi justru memberi pengaruh sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan suatu kawasan (Gunawan et al. 2003; Wollenberg et al. 2001; Bayu 2000; Kusnanto 2000). Hal ini sejalan dengan paradigma konservasi baru yang mengutamakan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan berdasarkan pemahaman akan kondisi sosial ekonomi maupun budaya dalam masyarakat tersebut. Garibaldi dan Turner (2004) menyatakan bahwa terdapat beberapa spesies penting yang mempunyai peranan kunci dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Spesies ini dinamakan spesies kunci budaya (cultural keystone species). Lebih lanjut didefinisikan sebagai spesies yang membentuk identitas budaya suatu kelompok masyarakat. Spesies ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat asli dimana mereka tinggal dan tergantung kepadanya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup. Spesies ini juga dilestarikan melalui pengetahuan pemanfaatannya yang bisa ditemukan dalam narasi, upacara, tarian, lagu dan tulisan. Korelasi positif antara keragaman budaya dan keragaman spesies disimpulkan oleh Ramakrishan (2007) yang menyatakan bahwa semakin tinggi keanekaragaman budaya maka akan semakin tinggi pula keanekaragaman spesies yang akan dilestarikan. Oleh karena itu, upaya pelestarian kebudayaan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kelestarian spesies. Orang Sumba yang bermukim di sekitar kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru (TNMT) dikenal masih memiliki dan mempertahankan tradisi budaya megalitik yang dicirikan oleh kepercayaan marapu, tradisi sosial
2
keagamaan dan rumah tradisional (Purnama 2005). TNMT merupakan salah satu dari dua kawasan hutan prioritas utama di Pulau Sumba. Kawasan ini merupakan daerah berhutan terluas dan memiliki potensi sangat tinggi untuk pelestarian seluruh tipe ekosistem asli dan unik. Namun penciutan luas kawasan berhutan yang sangat cepat tentu saja mempengaruhi kelangsungan eksistensi spesiesspesies tersebut. Diantaranya mungkin saja merupakan spesies kunci budaya masyarakat setempat. Pengelolaan suatu kawasan konservasi seyogyanya memperhatikan keberadaan spesies kunci budaya masyarakat setempat. Studi tentang spesies ini dapat memberikan kesempatan bagi pengelola untuk meningkatkan pengetahuan mengenai hubungan antara komunitas lokal dan lingkungan. Studi ini juga dapat memberikan titik awal yang efektif untuk lebih jauh melakukan analisis mengenai kedinamisan komunitas dalam menghadapi perubahan. Konsep ini juga memberikan gambaran akan pentingnya peran masyarakat dalam menentukan kelestarian spesies karena mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keberadaan spesies kunci budaya dan habitat spesies tersebut. Upaya konservasi dan pengelolaan taman nasional dengan mempertimbangkan keberadaan spesies kunci budaya masyarakat lokal dapat memberikan gambaran mengenai dampak dari pemanfaatan beberapa spesies yang sama sepanjang tahun dalam satu lokasi yang tentunya memberikan dampak bagi kelangsungan eksistensi spesies tersebut baik dalam ekosistem maupun nilai keunikan budayanya. 1.2. Tujuan Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menentukan spesies kunci budaya masyarakat Sumba di sekitar TNMT dan mengetahui pengaruhnya dalam konservasi sumberdaya hutan di areal kawasan konservasi dan hubungannya dengan konservasi. Secara khusus, tujuan-tujuan yang ingin dicapai yaitu: 1. Mengetahui spesies-spesies yang penting bagi masyarakat Sumba di sekitar kawasan TNMT 2. Mengidentifikasi spesies-spesies kunci budaya (cultural keystone species) masyarakat Sumba di sekitar kawasan TNMT 3. Mengetahui peran SKB dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan TNMT
3
C. Manfaat Penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam upaya pelestarian berbagai jenis tumbuhan dan satwa dalam kawasan taman nasional. Penelitian ini juga dapat memberikan peningkatan efektifitas dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan serta bermanfaat bagi pelestarian budaya lokal dengan upaya konservasi spesies kunci dalam budaya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebudayaan Menurut ilmu antropologi (Koentjaraningrat 1979), kebudayaan
adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar. Hampir seluruh tindakan manusia didapatkan melalui pembelajaran dari lingkungan sekitarnya, oleh karena itu manusia akan melahirkan budaya sepanjang hidupnya. Hal ini senada dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Endraswara (2006) bahwa manusia akan menciptakan budaya dari lahir sampai matinya. Kebudayaan meliputi berbagai aspek kehidupan, yang mencakup sikap, kesadaran dan perilaku hidup serta menunjuk pada kepercayaan-kepercayaan dalam masyarakat (Endraswara 2006; Ember dan Ember 1973). Kebudayaan diturunkan dalam masyarakat dari generasi ke generasi dan merupakan sesuatu yang khas dan dimiliki bersama oleh suatu masyarakat. Jadi, jika hanya dilakukan atau dipikirkan oleh satu orang saja, maka tidak dapat dikatakan kebudayaan. Adapun wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979) bisa dibagi menjadi 3 hal yaitu (1) suatu kompleks ide, nilai, norma dan peraturan yang sifatnya abstrak dan terdapat dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan itu hidup; (2) suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat (sistem sosial), bersifat kongkret, terjadi di sekeliling manusia, bisa diobservasi dan didokumentasikan dan; (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia yaitu kebudayaan fisik yang dapat diraba, dilihat atau didokumentasikan, seperti bahan tenunan atau bangunan-bangunan untuk keperluan ritual. 2.2. Hubungan Kebudayaan dan Kawasan Konservasi Cara hidup manusia terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan harian. Dengan kemampuan adaptasinya, manusia akan berusaha memuaskan diri dan keinginannya sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang ada di sekitarnya. Interaksi yang kuat dan lama antara manusia dengan lingkungannya akan memunculkan suatu budaya hidup yang sesuai dengan lokasinya.
5
Masyarakat di sekitar taman nasional adalah sekumpulan individu, keluarga dan komunitas tradisional atau modern yang bertempat tinggal tetap atau terus menerus pada suatu areal tertentu. Areal ini berada di dalam atau berbatasan dengan suatu kawasan taman nasional yang telah berdiri atau telah diusulkan sebagai kawasan taman nasional (West dan Brechin 1995 diacu dalam Wibisono 1997). Sebagai masyarakat yang menetap dalam jarak yang dekat dengan kawasan, mereka memiliki interaksi yang kuat dengan kawasan sehingga kebudayaannya dipengaruhi dan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya dalam kawasan. Contoh hubungan antara kawasan dan kebudayaan masyarakat di sekitarnya antara lain dituliskan oleh Wollenberg et al. (2001) berdasarkan penelitian terhadap masyarakat Dayak di sekitar TN. Kayan Mentarang, Kalimantan Timur. Penelitian mereka menunjukkan bahwa Orang Dayak mewariskan ilmu pengetahuan tradisionalnya untuk memanfaatkan dan mengelola hutan sehingga tidak menimbulkan kerusakan hutan yang luas. Hutan merupakan tempat mengambil bahan-bahan upacara dan kebudayaan serta digunakan dalam penamaan manusia. Salah satu contoh pemanfaatan hutan sebagai bahan kebudayaan adalah dengan banyaknya tari-tarian yang meniru gerakan satwa dan lagu-lagu tradisional yang bercerita tentang kisah di alam atau jenis burung tertentu. Semakin tinggi keanekaragaman hayati suatu kawasan maka semakin tinggi keragaman budaya masyarakat di sekitarnya. Begitu besarnya kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya dalam hutan menyebabkan mereka dengan caranya sendiri berusaha menjaga dan melestarikan kawasan di sekitarnya yang sesungguhnya menjadi salah satu upaya melestarikan budayanya sendiri. Pentingnya aspek kebudayaan dalam pengelolaan telah termuat dalam paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi (Soekmadi 2005). Paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi selain mencakup tujuan pelestarian spesies juga memuat tujuan pelestarian sosial dan budaya (religi) masyarakat. Pengelolaan diarahkan agar masyarakat juga mendapatkan manfaat secara budaya dari spesies yang dilindungi karena disadari bahwa keberhasilan pengelolaan
6
kawasan juga tergantung pada kebutuhan kelompok masyarakat di sekitar kawasan dan cara mereka hidup. 2.3. Budaya dan Spesies Kunci 2.3.1. Konsep spesies kunci budaya (cultural keystone species) Konsep species kunci sesungguhnya telah ada sejak akhir tahun 1960-an atau tepatnya pada tahun 1969 seperti dikemukakan oleh Robert Paine. Ia menyatakan bahwa suatu spesies dinyatakan sebagai kunci jika spesies tersebut memegang atau mengatur ekosistem dengan mengkonsumsi spesies lain atau dengan caranya sendiri mendominasi ekosistem. Konsep species kunci terus berkembang hingga tahun 1996 pada sebuah pertemuan dimana para ahli ekologi mendefinisikan species kunci sebagai spesies yang mempunyai pengaruh besar terhadap komunitasnya dan besarnya relatif tidak sebanding dengan kelimpahannya (Power et al. 1996 diacu dalam Garibaldi dan Turner 2004). Peran species kunci juga diungkapkan oleh Kotliar (2000) dan Cristancho dan Vining (2004) yang menegaskan bahwa species kunci mempunyai peranan lebih penting dibandingkan spesies lain. Definisi-definisi di atas mengacu pada peran suatu spesies dalam ekosistem atau sistem ekologi, yang dikenal dengan istilah ecological keystone species (EKS) atau spesies kunci ekologi. Berdasarkan konsep inilah, maka berkembang konsep mengenai spesies yang mempunyai peran penting dalam kebudayaan dan bernilai secara budaya disebut dengan cultural keystone species (CKS) atau spesies kunci budaya (SKB) (Cristancho dan Vining 2004). Sama halnya dengan species kunci yang penting dalam menjaga kestabilan ekosistem, maka SKB juga penting untuk menjaga stabilitas suatu kelompok budaya pada suatu waktu (Cristancho dan Vining 2004). SKB membentuk suatu fungsi yang sangat penting dalam budaya dimana jika spesies tersebut hilang atau keluar dari suatu kehidupan budaya, maka akan mengakibatkan gangguan budaya. Elemen penting dalam konsep ini adalah pemanfaatan spesies oleh masyarakat, keberadaan atau kelimpahan spesies dalam komunitas masyarakat dan fungsi spesies dalam struktur budaya, fisik dan sosial. Kepentingan utama spesies kunci budaya adalah peran kritisnya dalam masyarakat yang diteliti.
7
SKB sesungguhnya memiliki posisi penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Mereka hadir dalam kebudayaan suatu masyarakat sebagai unsur yang tidak dapat dipisahkan. Spesies ini menonjol secara budaya dan secara utama membentuk identitas budaya masyarakat (Garibaldi dan Turner 2004). Spesies ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat asli dimana masyarakat tinggal dan tergantung kepadanya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Terkait dengan peran SKB secara nyata dalam kehidupan, Garibaldi dan Turner (2004) menjelaskan bahwa peran SKB sangat penting dalam berbagai hal baik sebagai makanan, obat dan atau praktek-praktek spiritual. Spesies ini juga dilestarikan melalui pengetahuan pemanfaatannya yang bisa ditemukan dalam tradisi budaya dan narasi seperti dalam upacara, tarian, lagu dan tulisan. 2.3.2. Elemen penting spesies kunci budaya Penentuan suatu spesies menjadi SKB tentunya harus mempertimbangkan elemen-elemen penting yang menjadi kunci identifikasi. Beberapa elemen penting yang harus dipertimbangkan dalam pengidentifikasian spesies kunci budaya menurut Garibaldi dan Turner (2004) meliputi hal-hal dibawah ini: a. Intensitas, tipe dan keragaman pemanfaatan b. Penamaan dan terminologi dalam bahasa termasuk pemanfaatannya sebagai indikator datangnya suatu musim, nama musim atau nama bulan c. Peran dalam narasi (cerita-cerita rakyat, lagu, puisi dll) upacara dan simbol-simbol d. Bersifat persisten dan diingat pemanfaatannya sehubungan dengan terjadinya perubahan budaya e. Level keunikan dalam budaya (sulit digantikan dengan spesies lain yang tersedia) f. Sampai pada tahap tertentu, peranannya dapat digantikan Elemen-elemen yang dikemukakan di atas juga didukung oleh Cristancho dan Vining (2004). Namun Cristancho dan Vining (2004) juga mengangkat nilai religius atau spritual dari spesies, hubungannya dengan leluhur dan keaslian budaya, serta perannya dalam ritual utama dalam masyarakat dimana stabilitas budaya
bergantung.
Dalam
hal
ini,
selain
mengemukakan
keragaman
8
pemanfaatan, Cristancho dan Vining (2004) juga menekankan fungsi spesies secara spritual atau berkaitan dengan adat setempat. Berikut adalah tujuh indikator kondisi relatif dimana suatu spesies dapat digolongkan sebagai spesies kunci budaya menurut Cristancho dan Vining (2004): a. Cerita mengenai spesies tersebut bertalian sangat dekat dengan mitos, nenek moyang atau leluhur dan keaslian budaya b. Merupakan pusat transmisi pengetahuan budaya c. Sangat diperlukan dalam ritual-ritual utama dimana stabilitas masyarakat bergantung d. Berhubungan atau digunakan dalam aktivitas untuk menyediakan kebutuhan dasar dalam masyarakat seperti makanan, perlindungan dan pengobatan penyakit e. Memiliki nilai spiritual penting atau nilai religius dalam budaya f. Tersedia secara fisik pada lokasi dimana kelompok masyarakat tersebut berdiam g. Merupakan spesies paling penting 2.3.3. Kontribusi spesies kunci budaya dalam konservasi dan restorasi Tindakan konservasi adalah suatu usaha perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan suatu sumberdaya alam secara lestari. Namun dalam realisasinya bukan hanya sumberdaya alam saja yang harus dipelajari dan diketahui tetapi juga masyarakat di sekitar objek yang akan dikonservasi atau direstorasi karena seringkali faktor manusia di sekitar kawasan memiliki peran penting dalam kegiatan konservasi.
Garibaldi dan Turner (2004) telah mengidentifikasi 4
kontribusi utama spesies kunci budaya dalam konservasi dan restorasi yaitu : a. Konsep SKB menyediakan kesempatan untuk mulai meningkatkan studi mengenai hubungan antara komunitas lokal dan lingkungan. Identifikasi dan apresiasi terhadap hubungan antara spesies kunci budaya dan habitatnya dapat
memberikan kontribusi bernilai karena
mampu
menunjukkan adanya suatu asosiasi dinamis antara budaya dan organisme yang dipercaya oleh masyarakat lokal yang mendiami lokasi tersebut. b. Identifikasi dan analisis spesies kunci budaya dapat menjadi langkah awal yang efektif untuk analisis lebih jauh mengenai perubahan lingkungan dan
9
kedinamisan komunitas dalam menghadapi perubahan. Pengetahuan mengenai habitat dan manajemen suatu spesies di masa lampau dapat menjadi dasar dalam kegiatan restorasi misalnya reintroduksi spesies. Hal ini senada dengan Johannes (1998) yang menyatakan bahwa perhatian yang khusus dan terarah pada beberapa spesies dengan jumlah terbatas, akan lebih berhasil. c. Konsep SKB dapat memberi pemahaman yang lebih baik mengenai interaksi antara spesies kunci dan spesies lain. Spesies kunci budaya memainkan lebih dari satu peranan dan peran ini seringkali didukung oleh spesies lain yang bukan spesies kunci. Hubungan ini penting untuk memahami peran spesies kunci budaya dalam restorasi. d. Terakhir, SKB memberikan gambaran akan pentingnya peran masyarakat dalam menentukan kelestarian spesies. Masyarakat memiliki pengaruh langsung terhadap SKB dan habitat spesies tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu kerjasama yang baik antara peneliti dan anggota masyarakat dalam meningkatkan usaha konservasi. Pentingnya
SKB
dalam
hubungannya
dengan
masyarakat
dan
lingkungannya dapat dilihat dalam contoh yang diberikan oleh Garibaldi dan Turner (2004) yaitu pohon cedar atau western cedar (Thuja plicata) yang diidentifikasi sebagai keystone bagi penduduk lokal (first people) di British Columbia. Pohon cedar dianggap sangat bernilai. Ia juga digunakan dan dihormati dalam berbagai ritual masyarakat sehingga masyarakat berusaha mengkonservasi jenis ini. Meskipun banyak terjadi perubahan dalam kehidupan masyarakat, saat ini penduduk lokal British Columbia tetap mempertahankan pohon cedar sebagai bagian dari kehidupan mereka. Contoh lain hubungan antara SKB dan masyarakat di sekitarnya adalah di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat (Himakova dan TBI 2005). Hasil penelitian menyatakan bahwa Burung enggang (Buceros rhinoceros) dan Burung ruai (Argusianus argus) adalah SKB bagi masyarakat Dayak di Sub-Das Mendalam, Sub-Das Embaloh, Sub-Das Sibau dan Sub-Das Kapuas karena kedua spesies tersebut memiliki arti penting yang cukup besar baik dalam kelangsungan ekologi maupun budaya. Penelitian ini menguraikan bahwa kedua burung tersebut
10
sangat berperan dalam berbagai upacara adat baik secara langsung misalnya sebagai perhiasan, maupun secara tidak langsung seperti digunakan dalam simbol. Selain itu, keduanya dianggap sangat unik sehingga menjadi syarat wajib dalam pengadaan berbagai upacara adat Suku Dayak. Kepunahan spesies-spesies ini akan memiliki dampak yang cukup besar terhadap nilai ekologi, tingkat keanekaragaman hayati juga stabilitas kehidupan sosial dan budaya masyarakat Dayak. 2.4. Budaya Masyarakat Sekitar TN Manupeu Tanadaru Keragaman kebudayaan menciptakan keragaman lingkungan sosial. Terbentuknya keragaman lingkungan sosial juga disebabkan oleh kondisi geografis dan ekosistem yang ada. Masyarakat yang hidup pada suatu lokasi akan berusaha beradaptasi dengan alam lingkungannya untuk alasan kenyamanan dan yang
utama
mempertahankan
adalah
untuk
hidup,
mempertahankan
sesungguhnya
hidup.
masyarakat
Dengan akan
alasan berusaha
mengembangkan pola-pola hidup yang memungkinkan kelestarian pemanfaatan sumberdaya sekitarnya. Masyarakat Sumba di sekitar TNMT memiliki pola budaya yang khas dan unik (Jati 1998). Dilihat dari segi budaya, sesungguhnya masyarakat Sumba tradisional memiliki keterkaitan erat dengan alam lingkungan. Kesadaran untuk memelihara lingkungan alam telah ada sejak dahulu sesuai dengan cara berpikir dan tradisi pada masyarakat itu. Nilai-nilai simbolik yang terdapat dalam berbagai pantangan adat, upacara-upacara dan ceritera-ceritera rakyat bernuansa konservasi yang mengungkapkan pesan budaya untuk memelihara dan melindungi alam. Salah satu konsep kepercayaan masyarakat Sumba tradisional yang tertuang dalam mitos sumba adalah tentang asal usul manusia sumba. Mereka meyakini bahwa manusia sumba pertama berasal dari bapak langit dan ibu tanah. Pertautan antara bapak langit dan ibu tanah inilah yang menurunkan manusia sumba (Kapita 1976 diacu dalam Jati 1998). Ibu sebagai pencipta, harus dijaga dan dihormati. Terdapat pula larangan adat seperti tidak boleh membuka padang, tidak boleh menebang pohon di sekitar mata air (Jati 1998; Hutabarat 1987), tidak boleh menebang pohon di muara sungai (Hutabarat 1987), tidak boleh membuka hutan tua (uta matua) dan tidak boleh berburu hewan langka. Larangan ini termuat
11
dalam pesan-pesan leluhur yang antara lain berbunyi (Jati 1998) “ambu kutu dunja mata da kaka lakandoaka, ambu hambulunja nggoru da buti lunggu ana “ yang artinya jangan menggendong kakatua dalam sarangnya dan jangan iri pada monyet yang menggendong anaknya. Kebudayaan
Sumba
asli
pada
dasarnya
merupakan
manifestasi
kepercayaan asli masyarakat Sumba yaitu Marapu. Marapu sendiri merupakan suatu konsep tentang adanya Yang Ilah, yang menciptakan langit dan bumi, suatu kekuatan gaib yang melebihi kekuatan manusia dan tidak disebutkan namanya secara sembarangan. Ajaran marapu mempercayai akan adanya hubungan yang erat dan tidak terputuskan antara manusia yang hidup di muka bumi ini dan mereka yang telah meninggal. Dipercaya bahwa kerabat yang telah dahulu berpulang dapat menjadi perantara segala doa dan permohonan mereka kepada Pencipta. Kepercayaan marapu juga mengutamakan keselarasan hubungan antara Tuhan dan manusia serta manusia dengan alam. Contoh bentuk keselarasan antara manusia dengan alam diwujudkan dalam aturan-aturan marapu mengenai tata cara melakukan berbagai upacara, dalam membangun rumah maupun aturan-aturan yang termuat dalam pantun-pantun atau syair-syair adat (teda).
III. GAMBARAN UMUM TN MANUPEU TANADARU 3. 1. Letak TN Manupeu Tanadaru terletak di Pulau Sumba dan secara astronomis berada pada 120º39’-120º49’ BT dan 09º37’-09º56’ LS (Gambar 1). TNMT meliputi 3 kabupaten yaitu Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat dan 7 kecamatan yaitu Kecamatan Loli, Wanokaka, Kecamatan Kota Waikabubak (Kabupaten Sumba Barat), Umbu Ratu Nggay, Umbu Ratu Nggai Barat, Katikutana (Kabupaten Sumba Tengah) dan Kecamatan Lewa (Kabupaten Sumba Timur). TN Manupeu Tanadaru secara langsung dikelilingi oleh 22 desa (Tabel 1 dan Gambar 2).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
13
Tabel 1 Desa-desa yang berbatasan langsung dengan TNMT No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Desa Baliloku Hupumada Katikuloku Beradolu Kalembu Kuni Manurara Waimanu Malinjak Tanamodu Konda Maloba Umbu Pabal Umbu Langgang Maradesa Weluk Praimemang Mbilur Pangadu Praikaroku Jangga Padiratana Kambatawundut Laihau Watumbelar Umamanu Mondulambi
Kecamatan Wanokaka
Kabupaten
Sumba Barat Loli Kota Waikabubak
Katikutana Sumba Tengah Umbu Ratu Nggai Barat
Umbu Ratu Nggai
Lewa
Sumber : Peta batas administratif kawasan TNMT
Gambar 2. Peta batas administratif
Sumba Timur
14
3.2. Topografi Pada umumnya, kondisi topografi TNMT cenderung berlereng-lereng dan sebagian besar termasuk dalam kelas lereng curam. Topografi terberat terdapat pada lokasi Tanadaru serta bagian lokasi tengah yang membentang dari utara sampai ke pantai selatan yang merupakan rangkaian gunung-gunung. Topografi datar antara lain terletak di Anakalang, Waikabubak, Waikoko dan Lewa yang merupakan dataran tinggi. Sedangkan dataran rendah terdapat di sepanjang pantai antara lain di lokasi Rambangoan, Tanah Linghu, Ngallu dan Binong. Kawasan Manupeu merupakan daerah perbukitan yang cukup curam dengan topografi berkisar 5-60% (Draft RPTN 2004 diacu dalam Wiranansyah 2005). 3. 3. Hidrologi Kawasan TNMT memiliki arti penting sebagai daerah resapan air utama dan pemasok air bagi lahan pertanian di sekitarnya. Beberapa sungai yang berasal dari kawasan TN antara lain Luku Wanokaka, Luku Waekelo, Luku Praikajelu, Luku Nanga, Luku Kangeli, Luku Palawandut dan Luku Palamedo. 3. 4. Iklim Pulau Sumba memiliki tipe iklim kering yang terutama dipengaruhi oleh angin musim yang masing-masing bertiup dari daratan Asia (selama lebih kurang 3 bulan) yang membawa uap air tinggi dan Australia (selama lebih kurang 9 bulan) yang membawa uap air rendah. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di kawasan TNMT termasuk tipe iklim E (agak kering) di bagian selatan, D (sedang) di bagian utara dan C (agak basah) di bagian timur laut. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 500-2000 mm. Rata-rata curah hujan pada bulan basah adalah 400 mm sedangkan pada bulan kering adalah 18 mm. 3. 5. Flora dan fauna Kawasan hutan TN Manupeu Tanadaru adalah satu dari 2 kawasan hutan prioritas utama di Pulau Sumba karena merupakan daerah berhutan terluas yang utuh dan tidak terfragmentasi serta memiliki potensi yang sangat tinggi untuk pelestarian seluruh tipe ekosistem asli dan unik, bentang alam yang indah serta tumbuhan dan satwaliar khas Sumba (Purnama 2005).
15
Flora yang terdapat dalam kawasan ini antara lain Mayela, Suren (Toona sureni), Taduk (Sterculia foetida), Kesambi (Schleicera oleosa), Pulai (Alstonia scholaris), Asam (Tamarindus indica), Kemiri (Aleurites moluccana), Jambu hutan (Zyzgium sp), Cemara gunung (Casuarina sp) dan Lantana (Lantana camara), Kaduru bhara (Palaquim obtusifolium), Kadudu rara (Palaquium obovatum). Satwaliar yang terdapat dalam kawasan ini sangat beragam termasuk 8 burung endemik yaitu Sesap madu sumba (Nectarinia buettikoferi), Pungguk wengi (Ninox rudolfi), Pungguk wengi sumba (Ninox sumbaensis), Sikatan sumba (Ficedula harterti), Punai sumba (Treron teysmanii), Walik rawamanu (Ptiliopus dohertyi), Gemak atau Puyuh sumba (Turnix everetti) dan Julang atau Rangkong sumba (Aceros everetti). Selain itu terdapat 21 spesies endemik pada tingkat sub spesies diantaranya adalah Nuri bayan (Eclectus roratus cornelia), Betet paruh besar (Tanygnathus megalorynchos sumbensis), Kipasan dada lurik (Rhipidura rufifrons sumbensis) dan Kakatua cempaka atau Jambul jingga (Cacatua sulphurea citriniocristata). Jenis satwaliar selain burung adalah Rusa timor (Cervus timorensis), Babi hutan (Sus vitatus) dan Biawak (Varanus salvator). Dijumpai pula 57 jenis kupukupu antara lain Papilio neumoegenii (papilionidae), Delias fasciata (pieridae), Elimnias amoena (satridae). 3.6. Kepercayaan Kebudayaan Sumba asli pada dasarnya merupakan manifestasi kepercayaan asli masyarakat Sumba yaitu marapu. Marapu sendiri merupakan suatu konsep tentang adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menciptakan langit dan bumi, yang merupakan suatu kekuatan gaib yang melebihi kekuatan manusia dan tidak disebutkan namanya secara sembarangan. Berdasarkan pengamatan dalam acara-acara adat di Sumba, seringkali kata “marapu” digunakan untuk menyebutkan nama leluhur yang disembah. Jadi, dalam menyembah marapu (leluhur), penganut marapu juga menyembah Alkhalik, karena marapu hanyalah perantara antara manusia dengan Alkhalik. Biasanya para tokoh adat menyebut marapu sebagai ‘nama pamali’. Namun secara resmi, kata marapu belum ditemukan padanannya dalam Bahasa Indonesia.
16
Kepercayaan marapu pada dasarnya mengutamakan keselarasan hubungan antara Tuhan dan manusia serta manusia dengan alam. Keselarasan hubungan tersebut diwujudkan dalam aturan-aturan marapu yang mewajibkan penganutnya melakukan berbagai upacara untuk memuja Sang Khalik sebagai bentuk ucapan syukur seperti ritual sebelum dan sesudah panen yang dilakukan dengan membawa persembahan. Saat ini agama yang paling banyak dianut adalah agama Kristen baik Katolik maupun Protestan. Jumlah penganut kepercayaan marapu tinggal sebagian kecil namun tradisi marapu masih sangat hidup dalam budaya Sumba. Mereka masih mengakui tempat keramat dan berbagai upacara adat seperti upacara perkawinan, kematian dan pembangunan rumah masih kental dengan nuansa marapu meskipun telah dilakukan secara Kristen. 3.7. Struktur sosial Secara adat, masyarakat Sumba terbagi ke dalam 3 strata sosial yaitu lapisan ningrat atau bangsawan yang terdiri dari rato dan maramba, kabihu (orang merdeka) dan ata (hamba). Adapun penjelasannya sebagai berikut : a. Rato dan maramba Strata rato berfungsi menangani urusan ritual kepercayaan marapu. Sedangkan strata maramba berperan dalam bidang politik dan ekonomi. Golongan maramba terbagi atas maramba bokulu dan maramba kudu. Maramba bokulu memiliki kemampuan ekonomi tinggi dan pengaruh sangat luas. Sedangkan maramba kudu juga memiliki kekayaan namun tidak sebanyak maramba bokulu, dan memiliki pengaruh terbatas. Seorang maramba wajib nikah dengan sesama maramba untuk mempertahankan derajatnya. Golongan maramba mempunyai orang-orang bawahan (ata) yang bersandar kepadanya dan melaksanakan kegiatan atas nama mereka. b. Kabihu atau orang merdeka Golongan ini biasa disebut orang merdeka karena tidak terikat pada maramba dan bukan hamba (ata). Golongan kabihu juga terbagi atas kabihu bokulu dan kabihu kudu. Kabihu bokulu memiliki kemampuan dan kekayaan yang membuat banyak orang bersandar padanya. Sedangkan kabihu kudu umumnya
17
memiliki tingkat ekonomi rendah dan tetap mempertahankan pergaulannya dengan orang yang sederajat. c. Ata atau hamba Golongan ini terikat pada tuannya. Mereka berfungsi melayani tuannya dan menjadi pelaku kegiatan tuannya. Menurut cerita, hamba dahulunya merupakan tawanan perang yang akhirnya dijadikan budak. Biasanya hamba mengikuti kemana pun tuannya pergi. Dapat terjadi jika ada perkawinan antara maramba pada saat itu pula terjadi perkawinan antar para hamba. Sehingga terjalin hubungan antara hamba dengan tuannya. Adanya segmentasi sosial ini lebih nyata di Sumba Timur sedangkan di Sumba Barat sudah lebih tercampur. Namun dalam waktu-waktu tertentu masih tetap dapat dilihat terutama pada upacara-upacara adat. Orang tua calon pengantin akan melihat silsilah calon menantunya untuk mengetahui asal kelas derajatnya. Bila terjadi ketidakseimbangan derajat, kemungkinan besar perkawinan tidak direstui. 3.8. Ekonomi Secara ekonomi, kehidupan masyarakat di sekitar kawasan tergolong miskin. Masyarakat masih membutuhkan lahan untuk kegiatan pertanian, penggembalaan ternak dan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Sebagai tambahan, mereka memelihara ternak kecil seperti babi, ayam, kambing atau ternak besar seperti kerbau, sapi dan kuda. Dalam usaha memenuhi kebutuhan pakan ternak mereka, biasanya masyarakat membakar padang rumput pada musim kemarau. Kebiasaan membakar padang ini sulit dihentikan karena sudah membudaya dalam masyarakat Sumba. 3.9. Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat secara umum rendah. Sebagian besar hanya sampai pada tahap Sekolah Dasar dan sedikit sekali yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi orang tua yang rendah dan keinginan bersekolah dari orang tua dan anak itu sendiri yang sangat kecil. Selain itu, letak sekolah yang jauh serta kebutuhan tenaga kerja di rumah semakin menyurutkan animo orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
18
Berkaitan dengan hutan, pada umumnya masyarakat masih merasa berat dengan penetapan kawasan taman nasional yang memutus akses pengambilan hasil hutan seperti kayu bakar dan bahan bangunan. Apalagi bahan bangunan merupakan kebutuhan penting saat ini seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Meskipun ada alternatif hutan keluarga dan hutan desa yang diusulkan sebagai pengganti hutan kawasan, masyarakat belum bisa menerima karena harus menunggu kayunya siap ditebang bertahun-tahun lagi sementara kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan tidak dapat ditunda.
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama 3,5 bulan yaitu Agustus-November 2007.
Lokasi penelitian adalah di Desa Beradolu, Manurara, Katikuloku dan Kambatawundut. Desa-desa tersebut merupakan desa-desa di sekitar TN Manupeu Tanadaru, Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Gambar 3. Lokasi desa penelitian 4.2.
Jenis data Jenis data yang dikumpulkan meliputi :
a. Data spesies yang dianggap penting bagi masyarakat setempat meliputi : i. Nama jenis tumbuhan atau satwa yang dianggap penting ii. Alasan spesies tersebut dianggap penting b. Data spesies yang dianggap dapat menjadi keystone species bagi kebudayaan masyarakat setempat. Adapun hal-hal yang perlu diketahui meliputi: i. Intensitas pemanfaatannya ii. Tipe pemanfaatan iii. Jumlah spesies dalam satu kali pemanfaatan
20
iv. Keragaman pemanfaatan v. Penamaan dan terminologi dalam bahasa vi. Peran dalam narasi atau cerita (cerita rakyat, lagu-lagu, puisi), upacara (misal dalam tarian) dan simbol-simbol vii. Peran dalam mitos, nenek moyang atau leluhur dan keaslian budaya viii.Diingat pemanfaatannya sehubungan adanya perubahan budaya ix. Posisinya dalam budaya (terkait level keunikan, dapat digantikan atau tidak, batasan dapat digantikan) x. Nilai religius atau nilai spiritual dalam budaya xi. Perannya dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti makanan, perlindungan (rumah) dan pengobatan penyakit xii. Pemanfaatan spesies dalam perdagangan c. Data spesies kunci budaya yang terkait dengan konservasi kawasan. Penentuan spesies kunci budaya yang berperan dalam konservasi kawasan dilakukan dengan mencari informasi mengenai hal-hal berikut: i. Upaya domestikasi atau budidaya spesies ii. Lokasi pengambilan spesies iii. Cara mengambil/mendapatkan spesies iv. Ketersediaan spesies terkait perubahan jumlah dan penyebabnya berdasarkan
pengalaman
masyarakat
pemanfaat
(misal
karena
perdagangan) v. Status dan upaya perlindungan spesies tersebut oleh masyarakat vi. Status dan upaya perlindungan spesies tersebut secara hukum legal d. Data yang terkait dengan pengelolaan kawasan i. Kondisi umum TN Manupeu Tanadaru ii. Pengambilan sumberdaya dari dalam kawasan oleh masyarakat (jenis yang diambil, pengaruhnya dalam kawasan dan upaya mengatasinya) iii. Pelibatan aspek kebudayaan masyarakat setempat dalam pengelolaan kawasan 4.3.
Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
21
4.3.1. Studi pustaka Studi pustaka dilakukan sebagai langkah awal dalam pengumpulan data untuk menunjang data primer dengan mempelajari dan menelaah laporan, penelitian dan sumber pustaka lain yang berhubungan dengan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai kawasan. 4.3.2. Penentuan lokasi pengambilan data Kawasan TN Manupeu Tanadaru dikelilingi oleh 7 kecamatan (lihat Tabel 1, Bab III) secara umum dapat dikelompokkan menjadi suku (Tabel 2) dalam 4 rumpun bahasa yaitu magi’ki, mapaina, madara dan magaina. Berdasarkan rumpun bahasa tersebut dan karakteristik adat setempat baik itu adat perkawinan, kematian maupun cara berpakaian keseharian maka dikelompokkan menjadi 4 suku yaitu Loli, Anakalang dan Wanokaka dan kelompok Umbu Ratu Nggai Barat, Umbu Ratu Nggai dan Lewa yang sulit disebutkan nama sukunya secara spesifik
karena
memang
jarang
disebutkan
dalam
masyarakat.
Untuk
memudahkan penjelasan dan memudahkan pengelompokkan maka dalam tulisan ini akan digunakan nama “suku Lewa” saja. Adapun masyarakat Sumba sendiri jarang menggunakan kata suku dalam menyebut identitas mereka. Sapaan yang sering digunakan adalah “orang”. Jadi untuk menggambarkan asal seseorang misalnya dari Wanokaka atau dari Loli akan disebut dengan istilah “Orang Wanokaka” atau “Orang Loli”. Pengambilan data dilakukan pada desa-desa yang mewakili 4 karakter suku tersebut dengan pertimbangan jarak dan biaya. Adapun desa yang dipilih yaitu Desa Katikuloku untuk Wanokaka, Beradolu untuk Loli, Manurara untuk Anakalang dan Kambatawundut untuk Lewa.
22
Tabel 2 Klasifikasi 4 suku dari desa-desa sekitar kawasan TNMT No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Desa Baliloku Hupumada Katikuloku Beradolu Kalembu Kuni Manurara Waimanu Malinjak Tanamodu Konda Maloba Umbu Pabal Umbu Langgang Maradesa Weluk Praimemang Mbilur Pangadu Praikaroku Jangga Padiratana Kambatawundut Laihau Watumbelar Umamanu Mondulambi
Kecamatan
Suku
Bahasa
Wanokaka
Wanokaka
Magi’ki
Loli Kota Waikabubak
Loli
Mapaina
Anakalang
Madara
Lewa
Magena
Katikutana Umbu Barat
Ratu
Nggai
Umbu Ratu Nggai
Lewa
4.3.3. Penentuan informan kunci Informan merupakan penduduk desa di lokasi penelitian yang memiliki pengetahuan mengenai kebudayaan setempat. Informan dalam penelitian ini ditentukan melalui metode snow ball. Metode snow ball menurut Endraswara (2006) merupakan suatu metode dimana jumlah dan sampel penelitian tidak ditentukan oleh peneliti semata-semata tetapi bekerja sama dengan informan di lapangan untuk menentukan sampel berikutnya yang dianggap penting. Ibarat bola salju yang menggelinding, dari informan pertama ditanyakan pihak-pihak lain yang dianggap berkompeten dalam memberikan informasi yang dibutuhkan. Dan seterusnya dilakukan hal yang sama pada informan berikut. Pertimbangan ini didasarkan pada “kejenuhan” data yang diperoleh artinya tidak ada informasi baru dari data yang telah ada. Metode snow ball dimulai dengan menentukan informan kunci. Informan kunci adalah orang atau sekelompok orang yang memiliki informasi pokok pada budaya tertentu (Endraswara, 2006) juga menjadi titik awal berputarnya bola salju (snow ball). Dalam menentukan informan kunci, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan informasi dari beberapa tokoh masyarakat seperti kepala desa,
23
kepala dusun. Adapun penentuan informan kunci dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: i. Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai permasalahan yang diteliti ii. Memiliki pengetahuan luas mengenai permasalahan yang diteliti iii. Bersifat
netral,
tidak
mempunyai
kepentingan
pribadi
untuk
menjelekkan pihak lain iv. Merupakan tokoh masyarakat v. Usianya telah dewasa yaitu > 30 tahun vi. Sehat jasmani rohani Selanjutnya, berdasarkan informan kunci tersebut, peneliti dan informan kunci bersama-sama menentukan informan-informan lain dengan kriteria utama adalah pengetahuan yang luas mengenai adat istiadat setempat teristimewa berkaitan dengan pemanfaatan jenis satwa dan tumbuhan. 4.3.4. Wawancara dan diskusi Teknik wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak terstruktur yaitu membiarkan pihak yang diwawancarai untuk terbuka menjawab pertanyaan peneliti dan dibiarkan untuk mengekspresikan dirinya sendiri dengan istilahistilah yang dimengerti oleh informan tersebut dan peneliti yang akan menyimpulkan hasilnya (Endraswara, 2006). Wawancara dan diskusi ini dilakukan untuk menggali informasi lebih banyak mengenai apapun aspek yang terkait dengan penelitian seperti kebudayaan masyarakat sekitar kawasan, bentuk pemanfaatan spesies, tingkat kesulitan memperoleh spesies dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Wawancara dan diskusi dilakukan dengan pihak taman nasional, LSM, masyarakat (tokoh adat, tokoh masyarakat) dan pihak mana saja yang terkait dengan penelitian berdasarkan metode snow ball. 4.3.5. Observasi Observasi meliputi pengumpulan data pokok dan pendokumentasian yang berhubungan dengan penelitian. Observasi dilakukan pada saat terjadinya aktivitas budaya dan saat wawancara. Beberapa hal yang akan diobservasi adalah:
24
a. Pemanfaatan spesies baik secara langsung contohnya, dikonsumsi, dipakai sebagai pakaian, digunakan sebagai bahan rumah dll, maupun tidak langsung contohnya, pemanfaatan dalam terminologi bahasa atau sebagai simbol b. Jenis-jenis benda kebudayaan misalnya kain, sarung, rumah adat, perkakas rumah tangga, bukti tulisan yang pernah ada dll yang memuat simbol spesies c. Upacara-upacara adat misalnya upacara kematian, perkawinan atau upacara pemindahan tulang orang yang telah meninggal. Upacara yang diamati hanya upacara yang dilaksanakan pada saat penelitian. Tujuannya adalah untuk melihat bagaimana pemanfaatan spesies (jika ada) dalam upacara-upacara tersebut. 4.4.
Alat dan Bahan Pengumpulan dan informasi di atas memerlukan beberapa perlatan dan
bahan. Alat yang diperlukan adalah kaset, perekam, kamera sedangkan bahannya adalah panduan wawancara. 4. 5. Analisis Data Data yang diperoleh diverifikasi dahulu artinya diteliti kelengkapannya. Kemudian
dianalisis
secara
kuantitatif
deskriptif.
Analisis
dilakukan
menggunakan tabel, menggambarkan jenis-jenis spesies yang dianggap penting beserta
keterangan
pemanfaatan,
penjelasan-penjelasan
dan
pandangan
masyarakat mengenai spesies itu sendiri. Kemudian, penilaian spesies kunci budaya dilakukan dengan scoring pada hasil analisis deskriptif berdasarkan pedoman pertanyaan yang diberikan dan seterusnya dijumlahkan untuk mendapatkan kuantifikasi tertinggi. Kriteria identifikasi mengacu pada Garibaldi dan Turner (2004), Christancho dan Vining (2004), The Snow Leopard Conservancy (2007) dan dimodifikasi sesuai kondisi lapangan dan data yang diperoleh. Adapun teknik scoring yang dilakukan adalah sebagai berikut: 3= ya, tinggi 2= ya, biasa saja 1= ya, rendah 0= tidak, tidak digunakan
25
Penilaian diberikan secara objektif dengan memperhatikan opini masyarakat lokal dan mempertimbangkan diskusi yang telah dilakukan dengan mereka. Dengan demikian nilai yang diberikan dapat mewakili seluruh aspek. Adapun scoring akan diuraikan demikian : 1.
Pemanfaatan spesies dalam upacara-upacara atau ritual adat Mengindikasikan jenis-jenis pemanfaatan spesies secara fisik dalam
berbagai kebutuhan adat. 3= ya, pemanfaatan spesies dalam upacara-upacara atau ritual tinggi 2= ya, pemanfaatan spesies dalam upacara-upacara atau ritual biasa saja 1=ya, pemanfaatan spesies dalam upacara-upacara atau ritual rendah 0= tidak, spesies tidak digunakan Kriteria yang digunakan untuk menentukan skor adalah sebagai berikut : 3= jika spesies digunakan pada satu upacara adat 2= jika spesies digunakan pada lebih dari satu tetapi tidak semua upacara adat 1= jika spesies digunakan pada setiap upacara adat 0 = jika spesies tidak digunakan 2. Tipe pemanfaatan spesies secara ekonomi dan intensitas pengambilan Mengindikasikan pemanfaatan spesies secara ekonomi (bahan konsumsi, obat atau pakan ternak atau perdagangan). Skoring
mengindikasikan intensitas pemanfaatan spesies pada suatu periode
pemanfaatan 3= ya, intensitas pemanfaatan spesies tinggi 2= ya, spesies digunakan dalam intensitas sedang atau biasa saja 1=ya, spesies digunakan dalam intensitas rendah 0= tidak, spesies tidak digunakan Kriteria yang digunakan untuk menentukan skor adalah sebagai berikut : 3= jika pemanfaatan spesies dilakukan sepanjang tahun dan dalam waktu tertentu atau terus menerus dalam jumlah banyak baik karena pemanfaatan oleh satu, beberapa orang atau banyak orang
26
2= jika pemanfaatan spesies dilakukan pada waktu-waktu tertentu namun dengan jumlah besar baik karena pemanfaatan oleh satu, beberapa orang atau banyak orang 1= jika pemanfaatan spesies dilakukan pada waktu-waktu tertentu dengan jumlah relatif sedikit 0= tidak, spesies tidak dimanfaatkan 3. Persistensi Mengindikasikan keberadaan spesies dalam kehidupan masyarakat yang muncul dalam diskusi-diskusi atau pembicaraan dari dulu maupun sekarang. Posisi spesies disadari keberadaannya dalam suatu perubahan budaya, politik atau ekonomi. 3= ya, spesies memiliki posisi kuat dalam nilai budaya, sering didiskusikan dalam masyarakat dan terdapat dimana-mana diantara komunitas daerah yang berbeda 2= ya, spesies memiliki posisi sedang dalam budaya, sering didiskusikan dalam masyarakat dan terdapat pada lokasi tertentu saja 1= ya, spesies memiliki posisi rendah dalam budaya, jarang didiskusikan dan hanya terdapat pada lokasi tertentu saja 0=tidak, spesies tidak memiliki posisi dalam nilai budaya. Kriteria yang digunakan untuk menentukan skor adalah sebagai berikut 3= pemanfaatan spesies sangat banyak atau sedikit pada suatu waktu tertentu atau sepanjang sejarah masyarakat tersebut. Pemanfaatannya terkait dengan ketahanan hidup, suatu sejarah dan atau ritual khusus dan mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam pemanfaatannya. Diingat keterkaitannya dengan situasi pada masa itu dan sering dibicarakan dalam kehidupan baik dulu maupun sekarang. 2= pemanfaatan spesies terkait dengan ketahanan hidup, suatu sejarah dan atau atau ritual khusus, diingat dan sering dibicarakan dalam kehidupan baik dulu maupun sekarang tetapi meliputi komunitas daerah yang sempit. 1= pemanfaatan spesies tidak berhubungan dengan ketahanan hidup, suatu sejarah dan atau ritual khusus
27
0= tidak, spesies tidak dimanfaatkan 4. Pemanfaatan dalam istilah, tarian, lagu dan simbol-simbol Mengindikasikan pemanfaatan spesies dalam istilah-istilah, narasi, tarian, lagu dan simbol-simbol dalam masyarakat. 3= ya, pemanfaatan spesies tinggi 2= ya, pemanfaatan spesies sedang atau biasa saja 1= ya, pemanfaatan spesies rendah 0=tidak, spesies tidak dimanfaatkan Kriteria yang digunakan untuk menentukan skor adalah sebagai berikut : 3= spesies digunakan dalam istilah adat, tarian, lagu, atau simbol-simbol (minimal dimanfaatkan dalam 3 kategori di atas), sering diucapkan atau dinyanyikan dan erat kaitannya dengan sejarah suatu tempat atau suatu ritual. 2= spesies muncul dalam minimal 2 dari keempat kategori di atas, sering diucapkan atau dinyanyikan namun terlepas dari suatu kisah sejarah suatu tempat atau ritual. 1= spesies muncul dalam minimal salah satu dari keempat kategori di atas 0= spesies tidak muncul 5. Toleransi pemanenan Sejauh mana spesies dapat dipanen tanpa mengancam keberadaannya di masa depan dan apakah dapat disubstitusikan oleh spesies lain. 3= ya, spesies sangat toleran untuk pemanenan dan mudah diperbaharui 2= ya, spesies memiliki tingkat toleransi sedang dalam pemanenan 1= ya, spesies memiliki toleransi rendah dalam pemanenan 0= tidak, spesies intoleran terhadap apapun. Kriteria yang digunakan untuk menentukan skor adalah sebagai berikut : 3= keberadaan spesies tidak berubah atau sangat sedikit mengalami perubahan dari dulu hingga sekarang (berdasarkan wawancara). Baik karena spesies yang sangat cepat regenerasinya atau frekuensi pengambilan spesies yang hanya sewaktu-waktu. 2= keberadaan spesies masih dapat dijumpai (berdasarkan wawancara) namun terus mengalami perubahan jumlah menjadi lebih sedikit
28
1= keberadaan spesies sulit ditemui lagi. 0= spesies sama sekali sudah tidak ada lagi pada masa sekarang sehingga jarang diingat lagi. 6. Subtitusi Mengindikasikan level keunikan spesies dalam budaya 3= level keunikan spesies sangat tinggi 2= level keunikan spesies sedang dalam budaya dan dapat digantikan 1= level keunikan spesies rendah Kriteria yang digunakan untuk menentukan skor adalah sebagai berikut : 3= spesies sangat sulit digantikan posisinya dalam budaya 2= spesies dapat digantikan oleh jenis tertentu 1= spesies dapat digantikan oleh jenis apa saja dan dapat pula tidak dimanfaatkan 0= tidak, spesies tidak dimanfaatkan Penentuan Spesies Kunci Budaya : Secara keseluruhan, spesies yang memiliki peran penting dalam budaya harus memenuhi semua kriteria yang telah ditentukan (skor ≥1). Dari spesies yang telah memenuhi semua kriteria tersebut, terdapat beberapa spesies yang memiliki peran sangat besar dan sangat menonjol dibandingkan yang lain. Keberadaannya pun sulit digantikan oleh spesies lain. Spesies-spesies ini dinamakan spesies kunci budaya. Spesies kunci budaya ditetapkan berdasarkan akumulasi skor dari semua kriteria adalah lebih dari sama dengan 12 ( ≥12) dari total skor 18. Dasar pertimbangan jumlah tersebut adalah telah mencapai lebih dari setengah total jumlah akumulasi skor yaitu 18 dan jika dirata-ratakan, minimal setiap kriteria spesies tersebut harus mencapai posisi sedang dengan nilai skor rata-rata 2.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati oleh Masyarakat Sumba di Sekitar Kawasan TNMT Masyarakat Sumba di sekitar TNMT memanfaatkan jenis-jenis tumbuhan
dan satwa yang diambil dari hutan dan hasil budidaya mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Spesies-spesies yang keberadaannya sangat penting dan sulit digantikan adalah spesies yang berkaitan dengan kebutuhan adat, pangan dan tempat tinggal. Secara umum, terdapat paling sedikit 30 jenis flora dan fauna yang dianggap penting bagi masyarakat Sumba berdasarkan ketiga kebutuhan krusial tersebut seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3 Jenis fauna yang penting bagi masyarakat dan pemanfaatannya No Nama lokal 1 Ayam
Nama ilmiah Gallus domestica
2
Babi
Sus domesticus
3
Kerbau
Bubalus buballis
4
Kuda
Equus caballus
5
Anjing
Canine sp
6
Babi hutan
Sus vitatus
7
Kakatua
C. sulphurea citrinocristata
Pemanfaatan Korban persembahan utama dalam setiap ritual adat, hati ayam sebagai media melihat masa depan, sebagai bahan konsumsi, sebagai bahan perdagangan baik untuk dijual dan sebagai sarana barter. Dalam berbagai ritual adat baik perkawinan, kematian dan dalam acara adat lain sebagai bahan konsumsi, sebagai korban pemulihan suatu dosa yang dilakukan oleh masyarakat, sebagai tanda perdamaian, hati babi untuk meramal masa depan, sebagai modal keluarga untuk dijual Hewan belis pada adat perkawinan, korban pada adat kematian, korban khusus dalam acara-acara adat, bahan dalam alat musik, bahan konsumsi, pembajak sawah, tanduknya lambang status sosial. Hewan belis dalam adat perkawinan, dikorbankan saat adat kematian, alat transportasi, sebagai bahan dalam alat musik Sebagai bahan konsumsi sehari-hari maupun dalam acara adat, hewan kesayangan, penjaga rumah, sebagai pelacak saat berburu, sebagai bahan mandara, sebagai barang perdagangan Barang bawaan dalam ritual adat po’du di Loli, barang buruan wajib kabisu tertentu di Manurara, bahan konsumsi. Dulu dikonsumsi dan dijual, hidup dalam cerita-cerita adat, menjadi simbol daerah
30
Tabel 4 Jenis flora yang penting bagi masyarakat dan pemanfaatannya No 1
Nama lokal Uwi
Pemanfaatan Bahan konsumsi pada saat paceklik
Lutang Kale
Nama ilmiah Dioscorea hispida Denrist Amorphophalus companulatus Dioscorea esculenta Tidak diketahui
2
Kabo’ta
3 4 5 6 7
Padi Jagung Mayela
Oriza sativa Zea mays Tidak diketahui
Bahan konsumsi sehari-hari Bahan konsumsi selingan Tiang keramat rumah adat
8 9 10
Linu Ulu kataka Manera
Greweia acuminata Aglaia odoratissima Aglaia eusideroxylon
11 12 13 14 15 16 17 18 19
Injuwatu Lagapa Kadubang Kawisu Kalai tunu Kirru Bangi Bambu Tali-talian
Spondias pinnata Ficus sp Dehaasia sp Tidak diketahui Tidak diketahui Dysoxylum sp Tidak diketahui B. maculata, D. asper Anamirta coculus, Freycinetia scandes Gaud. Champereia manilana (BI.)Merr, Smilax australis Imperata cylindrica Alstonia scholaris
Tiang rumah adat, Ramuan rumah, bahan obat Ramuan rumah Ramuan rumah dan tiang utama rumah adat ( Di Sumba Timur sebagai tiang keramat) Ramuan rumah dan tiang utama rumah adat Ramuan rumah dan tiang utama rumah adat Ramuan rumah dan tiang utama rumah adat Ramuan rumah dan tiang utama rumah adat Ramuan rumah dan tiang utama rumah adat Ramuan rumah dan tiang utama rumah adat Ramuan rumah dan tiang utama rumah adat Bahan lantai, dinding rumah, pagar Pengikat kandang dan pagar ternak atau rumah, Mengikat tiang dan sambungan kayu dalam rumah
20 21
Alang Ritta
Bahan konsumsi pada saat paceklik Bahan konsumsi pada saat paceklik Bahan konsumsi pada saat paceklik
Atap rumah Bernilai adat bagi kabisu weebole di Loli, sebagai obat malaria untuk semua desa 22 Sirih dan Piper betle dan Sebagai bahan konsumsi penyambut tamu dan pinang Areca catechu untuk memulai berbagai upacara, digunakan dalam ritual adat, konsumsi sehari-hari, sebagai obat sakit mata, menguatkan gigi dan mengobati luka gusi, menghilangkan bau badan, menguatkan gigi dan mengobati luka gusi. 23 Kelapa Cocos nucifera Sebagai bahan ramuan rumah pengganti bambu, dikonsumsi, santannya digunakan untuk menyuburkan rambut. Keterangan : Sirih dan pinang merupakan satu kesatuan dalam pemanfaatannya sehingga dituliskan tidak terpisah
Berdasarkan tabel 3 dan 4, jenis flora memiliki nilai yang lebih besar dalam budaya
dilihat
dari
jumlah
yang
dimanfaatkan.
Hal
ini
disebabkan
pemanfaatannya yang beragam meliputi 3 kebutuhan krusial masyarakat sedangkan jenis fauna hanya digunakan dalam adat dan konsumsi.
31
5.2. Spesies Kunci Budaya (SKB) Berdasarkan manfaatnya yang krusial bagi budaya masyarakat maka spesiesspesies dalam tabel 3 dan 4 dimasukkan dalam daftar spesies yang akan diidentifikasi menjadi spesies kunci budaya masyarakat Sumba. Setiap spesies di atas dinilai berdasarkan 6 kriteria berikut : 5. 2. 1. Pemanfaatan spesies dalam upacara-upacara atau ritual adat Upacara atau ritual adat merupakan faktor penting bagi kebudayaan Sumba sehingga kelestarian suatu ritual dan upacara adat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kelestarian budaya Sumba. Oleh karena itu, spesies yang digunakan dalam kegiatan ini memiliki nilai penting bagi kelestarian budaya orang Sumba. Tabel 5 Pemanfaatan flora dalam upacara-upacara atau ritual adat No Nama Lokal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Mayela Linu Ulu kataka Manera Injuwatu Lagapa Kadubang Kawisu Kalai tunu Kirru Bangi Sirih dan Pinang
Nama ilmiah
G. acuminata A. odoratissima A .eusideroxylon S. pinnata Ficus sp Dehaasia sp
Dysoxylum sp P. betle dan A.catechu
Pemanfaatan dalam upacara adat/ritual Satu Semua Lebih dari satu jenis upacara upacara tapi tidak upacara semua √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Skor
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3
Tabel 6 Pemanfaatan fauna dalam upacara-upacara atau ritual adat No
Nama Lokal
Nama ilmiah
1 2 3 4 5
Ayam Babi Kerbau Kuda Babi hutan
G. domestica S. domesticus B. buballis E. caballus S.vitatus
Pemanfaatan dalam upacara adat/ritual Satu jenis Semua Lebih dari satu upacara upacara upacara tapi tidak semua √ √ √ √ √
Skor
3 2 2 2 2
32
Tabel 5 dan 6 menunjukkan bahwa jenis flora lebih banyak (13 jenis) dibandingkan fauna (5 jenis) namun pemanfaatan fauna pada upacara adat disebabkan lebih beragam yang ditunjukkan oleh skor pemanfatan fauna yang lebih tinggi. Selain itu, jenis-jenis fauna tersebut adalah jenis-jenis yang biasa menjadi ternak peliharaan masyarakat Sumba sehingga lebih memudahkan dalam pemanfaatan. Sedangkan jenis flora yang digunakan dalam acara adat adalah jenis-jenis yang pada umumnya diambil dari hutan yang cukup jauh dari tempat tinggal masyarakat. 5.2.2. Tipe pemanfaatan tumbuhan secara ekonomi dan intensitas pengambilan spesies Tipe pemanfaatan mengindikasikan pemanfaatan spesies secara ekonomi baik sebagai bahan konsumsi, obat dan perdagangan. Berdasarkan tabel 7, terlihat bahwa spesies flora yang digunakan untuk adat memiliki skor yang beragam (1-3) dan pemanfaatan ekonomi untuk jenis-jenis kayu pada umumnya adalah rendah (skor 1). Hal ini disebabkan lokasi pengambilannya yang terletak di hutan dan membutuhkan ketrampilan penebangan saat akan mengambil. Selain itu, pengambilan kayu tidak dilakukan setiap hari, hanya dilakukan oleh orang yang sangat menjalankan adat. Untuk jenis-jenis fauna (tabel 15), pemanfaatan rata-rata dilakukan setiap hari terutama untuk konsumsi baik untuk adat maupun kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu memiliki skor tinggi (skor 3).
33
Tabel 7 Tipe pemanfaatan flora secara ekonomi dan intensitas pengambilan Nama lokal Uwi Kabo’ta Lutang Kale Padi Jagung Mayela Linu Ulu kataka Manera Injuwatu Lagapa Kadubang Kawisu Kalai tunu Kirru Bangi Bambu Alang Tali-talian
Nama ilmiah
Waktu pemanfaatan ST WT √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
D. hispida A. companulatus D. esculenta O. sativa Z. mays G. acuminata A. odoratissima
Jumlah pengambilan B S √ √ √ √ √ √ √ √ √
Skor 2 2 2 2 3 3 1 1 1
A. eusideroxylon S. pinnata Ficus sp Dehaasia sp
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
1 1 1 1 1 1
Dysoxylum sp
√ √
√ √
1 1 3 3 3
√
1 3
B.maculata, D.asper √ √ I. cilindrica √ √ A. coculus √ √ F. scandes Gaud. C.manilana S.australis Ritta A. scholaris √ Sirih dan P. betle dan √ √ Pinang A. catechu Kelapa C. nucifera √ √ Keterangan : ST (Sepanjang tahun), WT (Waktu tertentu), B (Banyak), S (Sedikit).
3
Tabel 8 Tipe pemanfaatan fauna secara ekonomi dan intensitas pengambilan Nama lokal
Nama ilmiah
Ayam Babi Kerbau Kuda Anjing Babi hutan Kakatua
Waktu pemanfaatan ST WT √ √ √ √ √ √ √
Jumlah pengambilan B S √ √ √ √ √ √ √
G. domestica S. domesticus B. buballis E. caballus Canine S.vitatus C.sulphurea citrinocristata Keterangan : ST (Sepanjang tahun), WT (Waktu tertentu), B (Banyak), S (Sedikit).
Skor 3 3 3 3 3 1 1
5.2.3. Persistensi Mengindikasikan keberadaan spesies dalam kehidupan masyarakat yang muncul dalam diskusi-diskusi atau pembicaraan dari dulu sampai sekarang. Persistensi spesies dalam adat ditetapkan berdasarkan posisinya dalam ketahanan hidup, sejarah dan ritual tertentu.
34
Tabel 9 menunjukkan skor persistensi spesies yang dimanfaatkan untuk skor ketahanan hidup adalah 3 sedangkan untuk ritual memiliki nilai 3 dan 2. Hal ini disebabkan pemanfaatan spesies yang meliputi daerah yang sempit. Setiap desa dan suku memiliki preferensi tersendiri terhadap jenis kayu yang digunakan untuk rumah adat, sehingga jenis kayu yang digunakan oleh suatu suku dapat tidak digunakan oleh suku lain dalam rumah adat mereka. Berdasarkan tabel juga dapat terlihat bahwa tidak ada flora yang dimanfaatkan dalam sejarah dan tidak ada fauna yang digunakan untuk ketahanan hidup (life survival). Untuk ketahanan hidup, jenis yang banyak digunakan adalah ubi-ubian seperti kabota dan uwi yang menjadi sumber karbohidrat. Sedangkan untuk sejarah, kuda memiliki nilai sejarah dalam budaya Sumba karena merupakan lambang kebesaran orang Sumba terutama pada masa perang dahulu. Adapun kakatua memiliki mempunyai nilai sejarah dalam penamaan wilayah Wanokaka.
Tabel 9 Pemanfaatan flora terkait dengan ketahanan hidup, sejarah dan atau ritual tertentu Nama lokal Uwi Kabo’ta Lutang Kale Padi Jagung Mayela Linu Ulu kataka Manera Injuwatu Lagapa Kadubang Kawisu Kalai tunu Kirru Bangi Bambu Tali-talian
Alang Ritta Sirih dan Pinang Kelapa
Nama ilmiah
D. hispida A.companulatus D. esculenta O. sativa Z. mays O. polycarpa G. acuminata A. odoratissima A. eusideroxylon K.et.V S. pinnata Ficus sp Dehaasia sp Dysoxylum sp B. maculata, D. asper A. coculus F. scandes Gaud. C.manilana S.australis I. cylindrica A. scholaris P. betle dan A. catechu C. nucifera
Pemanfaatan Ketahanan hidup √ √ √ √
Sejarah
Ritual
√ √ √ √
Jumlah yang dimanfaatkan B S √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
Diskusi SK √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
JRG
Lokasi MR √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
KL √ √ √ √ √ √ √ √ √
Skor BD √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
KW √ √ √ √ √ √ √ √
√
√ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
1
√
√
√
√
√
√ √ √
√
1 1 3
√
√
√
√
1
√ √
√
√ √ √
√
√
√
√
√
3 3 3 3 1 1 3 3 3 3
√
√ √ √
2 2 2 2 2 2 2 1
√ √ √ √ √ √ √
√
Keterangan : B (Banyak), S (Sedikit), SK (Sering kali), JRG (Jarang), MR (Manurara), KL (Katikuloku), BD (Beradolu), KW (Kambatawundut).
35
Tabel 10 Pemanfaatan fauna terkait dengan ketahanan hidup, sejarah dan atau ritual tertentu Nama lokal
Nama ilmiah
Pemanfaatan Ketahanan hidup
Ayam Babi Kerbau Kuda Anjing Babi hutan Kakatua
G. domesticus S. domesticus B. buballis E. caballus Canine S. vitatus C. sulphurea citrinocristata
Sejarah
√
Ritual √ √ √ √ √
√
Jumlah yang dimanfaatkan B S √ √ √ √ √ √ √
Diskusi SK
JRG √
√ √ √ √ √ √
Lokasi MR √ √ √ √ √ √
KL √ √ √ √ √ √
Skor BD √ √ √ √ √ √
KW √ √ √ √ √
3 3 3 3 1 2 2
Keterangan : B (Banyak), S (Sedikit), SK (Sering kali), JRG (Jarang), MR (Manurara), KL (Katikuloku), BD (Beradolu), KW (Kambatawundut).
36
37
5.2.4. Pemanfaatan flora dalam istilah, tarian, lagu dan simbol Hal ini mengindikasikan pemanfaatan spesies secara tidak langsung. Mereka hidup dalam simbol-simbol atau cerita yang terkait dengan adat. Dalam tabel 11 dan 12, beberapa spesies yang dimanfaatkan dalam istilah, tarian, lagu atau simbol. Tabel 12 menunjukkan bahwa Kakatua dan Nuri merupakan satu kesatuan yang menjadi simbol musyawarah untuk mufakat di Sumba Timur perilaku mereka yang suka berkelompok. Namun, Kakatua juga berdiri sendiri sebagai salah satu spesies yang dimanfaatkan dalam istilah. Hal ini berlaku pula dengan Sirih dan Pinang yang biasa digunakan sebagai satu kesatuan dalam istilah. Tabel 11 Pemanfaatan flora dalam istilah, tarian, lagu dan simbol Nama lokal Padi Jagung Mayela Linu Ulu kataka Manera Kadubang Kirru Ritta Sirih dan Pinang
Nama ilmiah O. sativa Z. mays G. acuminata A. odoratissima A. eusideroxylon K.et.V Dehaasia sp Dysoxylum sp A. scholaris P. betle dan A. catechu
Istilah √ √ √ √ √ √
Pemanfaatan dalam Tarian Lagu
Skor Simbol √
√ √ √ √
√ √
1 1 2 1 1 1 1 1 2 2
Tabel 12 Pemanfaatan fauna dalam istilah, tarian, lagu dan simbol Nama lokal Ayam Babi Kerbau Kuda Anjing Babi hutan Kakatua
Nama ilmiah Istilah √ √ √ √ √ √ √
Pemanfaatan dalam Tarian Lagu √
Skor Simbol
G. domestica 2 S. domesticus √ 2 B. buballis √ 2 E. caballus √ 2 Canine 1 S. vitatus 1 C. sulphurea √ 2 citrinocristata Nuri E. roratus cornelia √ √ 2 Keterangan : Kakatua dan nuri melambangkan musyawarah untuk mufakat di Sumba Timur
Tabel 11 dan 12 juga menunjukkan bahwa baik flora dan fauna, tidak ada yang dimanfaatkan dalam lagu sedangkan spesies yang digunakan dalam tarian hanya satu. Umumnya spesies digunakan dalam bahasa dan simbol. Hal ini dapat
38
terlihat dalam acara-acara adat Sumba dimana kemampuan berbahasa (dengan istilah) menjadi faktor penting dalam kelancaran dan khimatnya upacara. Tarian dengan menganalogikan fauna umumnya terdapat di Sumba Timur yang memiliki jenis tarian lebih beragam namun jumlahnya pun terbatas. Tarian dan lagu-lagu lebih banyak bercerita tentang suatu peristiwa dalam kehidupan. Adapun kebiasaan bernyanyi jarang dilakukan oleh masyarakat Sumba sehingga jenis lagu yang berkembang pun hanya sedikit. 5.2.5. Toleransi pemanenan Toleransi pemanenan menggambarkan sejauh mana spesies dapat dipanen tanpa mengancam keberadaannya di masa depan dan apakah dapat disubstitusikan oleh spesies lain. Spesies yang telah dibudidayakan umumnya memiliki toleransi pemanenan yang lebih besar dibandingkan spesies yang masih diambil dari hutan. Pada tabel 13, termuat terdapat beberapa spesies yang menurut masyarakat masih sering ditemukan di alam atau di sekitar tempat tinggal mereka namun jumlahnya semakin berkurang. Contohnya Kabota adalah spesies yang masih banyak ditemukan namun mulai berkurang karena dikonsumsi juga oleh Babi hutan. Sedangkan Alang mengalami penurunan jumlah karena adanya populasi rumput Tai kabala (Chromolaema odorata) yang sangat cepat dan membatasi pertumbuhan Alang. Terkait dengan jenis fauna, Kerbau dan Kuda adalah jenis yang dibudidayakan namun jumlahnya tidak sebanyak dulu disebabkan pemanfaatannya yang tinggi dalam adat dan kemampuan regenerasi yang lambat.
39
Tabel 13 Toleransi pemanenan flora penting dalam budaya Sumba Nama lokal
Nama ilmiah
Keberadaan spesies Tidak ada/Sedikit perubahan
Uwi Kabo’ta Lutang Kale Padi Jagung Mayela Linu Ulu kataka Manera Injuwatu Lagapa Kadubang Kawisu Kalai tunu Kirru Bangi Bambu Alang Tali-talian
Ritta Sirih dan Pinang Kelapa
Ada perubahan
Frekuensi Perubahan ditemukan jumlah Sering Jarang
√ √
D. hispida A. companulatus D. esculenta
√
√ √ √ √ √
O. sativa Z. mays O. polycarpa G. acuminata A. odoratissima
√
1 2 3 3 3 3 3 2 2
√ √
√ √
MN MN
√ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √
MN MN MN MN MN MN MN MN
2 2 2 2 2 2 2 2 3
√
√ √
MN
√
2 3
√ √
√ √
3 3
√
√
3
A. eusideroxylon S. pinnata Ficus sp Dehaasia sp Dysoxylum sp √
B. maculata, D. asper I. cylindrica A. coculus, F. scandes Gaud. C.manilana S.australis A. scholaris P. betle dan A. catechu C. nucifera
MN MN
√ √ √ √
Skor
Keterangan : MN (Menurun).
Tabel 14 Toleransi pemanenan fauna penting dalam budaya Sumba Nama lokal
Ayam Babi Kerbau Kuda Anjing Babi hutan Kakatua
Nama ilmiah
G. domestica S. domesticus B.s buballis E. caballus Canine S. vitatus C. sulphurea citrinocristata
Keterangan : MN (Menurun).
Keberadaan spesies Tidak ada/Sedikit perubahan √ √
Ada perubahan
Frekuensi ditemukan Sering Jarang
Perubahan Skor jumlah
√ √ √
√ √
√ √
MN MN
3 3 2 2 3 3
MN
2
√ √
√
40
5.2.6. Substitusi spesies Substitusi spesies menggambarkan level keunikan spesies dalam budaya dan sejauh mana spesies tersebut dapat digantikan posisinya. Substitusi pemanfaatan spesies dilakukan untuk jenis pemanfaatan seperti yang tercantum pada tabel 3 dan 4. Terdapat 5 jenis flora yang mendapatkan skor 3 untuk level keunikan ini sedangkan rata-rata sebagian besar fauna mendapatkan skor tertinggi (3) yang menunjukkan bahwa rata-rata jenis flora dapat disubstitusi dengan jenis tertentu sedangkan hampir semua fauna tidak dapat disubstitusi. Tingginya level keunikan flora dan fauna seperti yang termuat dalam 15 dan 16 ditujukkan oleh pemanfaatan spesies tersebut dalam adat. Tabel 16 mengindikasikan bahwa pemanfaatan fauna untuk kebutuhan adat atau ritual bagi masyarakat Sumba sulit digantikan pemanfaatannya dengan fauna lain sehingga spesies yang digunakan dalam adat masing-masing memiliki keunikan tersendiri sedangkan flora lebih mudah digantikan.
41
Tabel 15 Subtitusi flora penting dalam budaya Sumba Nama lokal
Uwi Kabo’ta Lutang Kale Padi Jagung Mayela Linu Ulu kataka Manera Injuwatu Lagapa Kadubang Kawisu Kalai tunu Kirru Bangi Bambu Tali-talian
Alang Ritta Sirih dan Pinang Kelapa
Nama ilmiah
D. hispida A. companulatus D. esculenta O. sativa Z. mays
Oleh jenis tertentu √ √ √ √ √ √
Subtitusi spesies Oleh jenis Tidak dapat apa saja digantikan
√ √ √
G. acuminata A. odoratissima A. eusideroxylon K.et.V S. pinnata Ficus sp Dehaasia sp
√
Dysoxylum sp B. maculata, D. asper A. coculus F. scandes Gaud. C.manilana S.australis I. cylindrica A. scholaris P. betle dan A. catechu C. nucifera
Skor
2 2 2 2 2 2 3 2 2 3
√ √ √ √ √ √ √ √
2 2 2 2 2 2 2 2
√
2
√ √ √ √
3 3 3 2
Tabel 16 Subtitusi fauna penting dalam budaya Sumba Nama lokal
Nama ilmiah Oleh jenis tertentu
Ayam Babi Kerbau Kuda Anjing Babi hutan Kakatua
G. domestica S. domesticus B. buballis E. caballus Canine S. vitatus C. sulphurea citrinocristata
Subtitusi spesies Oleh jenis Tidak dapat apa saja digantikan √ √ √ √
√ √ √
Skor 3 3 3 3 2 3 3
Berdasarkan tabel-tabel di atas, terdapat beberapa beberapa spesies yang memiliki fungsi penting dalam budaya dengan skor lebih dari atau sama dengan 12 (≥ 12). Adapun akumulasi skor dari semua spesies dapat dilihat dalam tabel 17 dan 18.
Tabel 17 Akumulasi skor identifikasi pengaruh flora dalam budaya orang Sumba di sekitar TNMT No
Nama lokal
1
Uwi
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kabo’ta Lutang Kale Padi Jagung Mayela Linu Ulu kataka Manera Injuwatu Lagapa Kadubang Kawisu Kalai tunu Kirru Bangi Bambu Tali-talian
20 21 22
Alang Ritta Sirih dan Pinang Kelapa
23
Nama ilmiah
Pemanfaatan dalam adat/ritual
D. hispida Denrist A .companulatus D. esculenta O. sativa Z. mays O. polycarpa G. acuminata A. odoratissima A. eusideroxylon S. pinnata Ficus sp Dehaasia sp
Dysoxylum sp Bambusa spp A. coculus F. scandes Gaud. C.manilana S.australis I. cylindrica A. scholaris P. betle dan A. catechu C. nucifera
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3
Pemanfaatan ekonomi dan intensitas
Persistensi dalam tradisi
2
Pemanfaatan dalam istilah, syair, lagu dan simbol
Toleransi pemanenan
Substitusi
Total Skor
3
1
2
8
2 2 2 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 3
3 3 3 1 1 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 1 1
2 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3
2 2 2 2 2 3 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2
9 10 10 10 10 13 10 10 11 8 8 9 8 8 9 8 9 9
3 1 3
1 1 3
2 3 3
3 3 3
9 10 17
3
1
3
2
9
1 1 2 1 1 1
1
1
2 2
42
Tabel 18 Akumulasi skor identifikasi pengaruh fauna dalam budaya orang Sumba di sekitar TNMT No
Nama lokal
1 2 3 4 5 6 7
Ayam Babi Kerbau Kuda Anjing Babi hutan Kakatua
8
Nuri
Nama ilmiah
G. domestica S. domesticus B. buballis E. caballus Canine S. vitatus C. sulphurea citrinocristata E. roratus cornelia
Pemanfaatan dalam adat/ritual
Pemanfaatan ekonomi dan intensitas
Persistensi dalam tradisi
3 2 2 2
3 3 3 3 3 1 1
3 3 3 3 1 1 2
2
Pemanfaatan dalam istilah, syair, lagu dan simbol 2 2 2 2 1 1 2 2
Toleransi pemanenan
Substitusi
Total Skor
3 3 2 2 3 3 2
3 3 3 3 2 3 3
17 16 15 15 10 11 10 2
43
44
Secara keseluruhan terdapat 3 flora dan 4 fauna yang memiliki skor lebih dari atau sama dengan 12. Jenis flora tersebut adalah Mayela, Sirih (Piper betle) dan Pinang (Areca catechu). Sedangkan jenis fauna adalah Ayam (G. domestica), Babi (S. domesticus), Kerbau (B. buballis) dan Kuda (E. caballus). Secara keseluruhan kedua tabel tersebut menunjukkan jenis-jenis yang memiliki nilai terpenting dalam budaya orang Sumba sehingga dapat dikatakan sebagai spesies kunci budaya masyarakat Sumba di sekitar TNMT. Adapun rangkuman spesies yang menjadi kunci budaya masyarakat Sumba di sekitar TNMT termuat dalam tabel 19. Tabel 19 Spesies kunci budaya masyarakat Sumba di sekitar TNMT
Elemen indikator spesies kunci budaya Pemanfaatan dalam adat/ritual
A
B
3
3
Pemanfaatan ekonomi dan intensitas
3
Persistensi dalam tradisi
Skor C
D
E
F
2
2
2
1
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3
3
Pemanfaatan dalam istilah, tarian, lagu dan simbol
2
2
2
2
2
2
Toleransi pemanenan
3
3
3
2
2
3
Substitusi
3
3
3
3
3
3
17
17
16
15
15
13
Total
Keterangan : A (Piper betle dan Areca catechu), B (Gallus domestica), C (Sus domesticus), D (Bubalus buballis), E (Equus caballus), F ( Mayela)
Tabel 19 menunjukkan bahwa SKB masyarakat Sumba di sekitar TNMT rata-rata adalah fauna meskipun skor tertingginya adalah flora. Hal ini dapat disebabkan pemanfaatan fauna yang tinggi dalam adat dan lokasi pemanfaatannya dekat dengan tempat tinggal masyarakat karena merupakan hewan ternak. Sedangkan jenis-jenis flora, ada yang masih diambil dari hutan yaitu Mayela.
45
SKB yang memperoleh total skor yang paling tinggi adalah Sirih dan Pinang serta Ayam dengan skor 17, diikuti oleh Babi dengan skor 16, Kerbau dan Kuda yang memiliki skor masing-masing 15 dan terakhir adalah Mayela dengan skor 13. Sirih dan pinang serta ayam secara umum digunakan pada semua acara adat, memiliki pemanfaatan ekonomi tinggi, sangat persisten dengan manfaat yang dimiliki dan sangat unik pada posisinya masing-masing dalam pemanfaatan itu. Skor SKB untuk pemanfaatan dalam adat atau ritual juga memiliki nilai beragam (1-3) dibandingkan kriteria lain. Meskipun demikian, keberadaan spesies-spesies tersebut dan fungsinya dalam adat memberikan pengaruh sangat kuat sehingga mempengaruhi persistensi mereka dalam tradisi menjadi sangat skor 3) dan ini sangat mempengaruhi nilai substitusinya yang ditunjukkan oleh skor 3 yang berarti semua SKB masyarakat Sumba tidak dapat digantikan perannya oleh jenis lain. Selain itu, dari segi bahasa dapat disimpulkan bahwa SKB orang Sumba cukup berperan dalam istilah dan simbol setempat (nilai skor rata-rata 2). Berdasarkan tabel juga terlihat bahwa dari segi toleransi pemanenan, semua SKB rata-rata memiliki nilai cukup (2) dan tinggi (3) karena hampir semua SKB adalah spesies budidaya, kecuali Mayela. Mayela masih diambil dari hutan dan bukan merupakan spesies yang dibudidayakan dan karena kekeramatannya, masyarakat percaya bahwa jenis ini hanya akan dapat ditemui dalam hutan jika dilakukan upacara adat sebelumnya. Kepercayaan terhadap kekeramatannya menjadikan Mayela hanya dicari jika akan didirikan rumah adat dari suatu kabisu (suatu kelompok turunan atau klan dalam adat Sumba yang memiliki satu rumah adat besar). Lama ketahanan satu rumah adat dengan kayu mayela pun mencapai puluhan tahun sehingga dipercaya pengambilan satu kayu mayela tidak terlalu berpengaruh pada populasinya. Adapun jenis Kerbau (B. buballis) dan Kuda (E. caballus) adalah jenis-jenis yang dibudidayakan namun regenerasinya lambat sehingga kedua jenis ini mulai sulit diperoleh. Adapun keterangan mengenai masing-masing spesies tersebut dapat djelaskan sebagai berikut :
46
a. Sirih (Piper betle) dan pinang (Areca catechu) Sirih dan pinang merupakan tanaman yang sangat penting bagi adat orang Sumba dan telah dibudidayakan. Bagian yang paling penting untuk dikonsumsi adalah buahnya. Pengambilannya buah Sirih dan Pinang dilakukan dengan pemetikan menggunakan alat seperti kayu atau bambu. Buah Sirih dan buah Pinang baik yang telah dikeringkan maupun yang masih muda, dikonsumsi sehari-hari dicampur dengan kapur. Kebiasaan mengkonsumsi Sirih dan Pinang sudah menjadi budaya di Pulau Sumba dan tidak dapat terlepas lagi dari kehidupan masyarakat Sumba. Sirih dan Pinang dikonsumsi oleh hampir semua usia baik tua muda maupun anak-anak. Sirih dan Pinang menjadi bahan penting dalam setiap ritual. Suatu kegiatan atau ritual adat akan dimulai jika sirih dan pinang telah diedarkan. Sirih Pinang merupakan konsumsi pembuka sebelum suatu acara dimulai juga digunakan sebagai penyambut tamu dalam kehidupan sehari-hari dan secara sosial menjadi simbol kesopanan. Seorang tuan rumah yang baik akan memberikan Sirih dan Pinang ketika menyambut tamu dan seorang tamu yang baik seyogyanya akan menerima dan memakan sirih pinang tersebut barulah memulai pembicaraan. Selain menyambut tamu, dalam suatu acara adat biasanya Sirih dan Pinang harus tersedia bahkan sepanjang ritual adat dilakukan. Pemanfaatan Sirih Pinang juga digunakan dalam ritual adat sebagai persembahan yang merupakan simbol penghargaan terhadap nenek moyang. Saat ritual perkawinan, ikatan yang telah terjalin antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah pada tahap kete diibaratkan sebagai seikat Sirih dan Pinang atau koba kawinu koba ka uta. Artinya si wanita tidak boleh didekati oleh laki-laki lain lagi demikian juga dengan pria. Dalam ritual kematian atau saat menyambangi kuburan kerabat, Sirih dan Pinang diletakkan pada kubur orang yang meninggal barulah doa dimulai baik secara marapu maupun menurut agama yang telah dianut masyarakat.
47
Gambar 4 Uang diletakkan di atas wadah sirih pinang sebagai tanda mohon izin masuk rumah adat Sirih dan Pinang diperoleh masyarakat dalam kebun-kebun sendiri atau dibeli dari pasar. Memakan Sirih Pinang lengkap dengan kapurnya dipercaya dapat menguatkan gigi dan mengobati luka gusi. Selain itu, daun Sirih juga dipercaya mengobati penyakit mata dan menghilangkan bau badan. b. Ayam (Gallus domestica) Ayam merupakan jenis yang sangat penting dalam semua kegiatan yang bersifat ritual. Setiap ritual selalu didahului dengan doa. Dalam setiap doa harus ada minimal seekor Ayam yang menjadi korban persembahan pendahuluan. Selain itu hati Ayam dipercaya berfungsi sebagai media untuk melihat suatu kondisi di masa depan. Jadi, sebelum melaksanakan suatu acara, terlebih dahulu harus melihat hati Ayam untuk memutuskan apakah suatu kegiatan akan diteruskan atau sebaliknya dihentikan. Tanpa Ayam suatu kegiatan adat tidak dapat dilangsungkan. Ayam yang digunakan sebagai korban persembahan biasanya Ayam yang masih muda karena dianggap belum tercemar. Ayam yang digunakan dalam ritual adat haruslah ayam ternak, Ayam yang dijaga dan dipelihara. Hal ini dilakukan untuk menghormati sang marapu. Fungsi lain Ayam adalah sebagai bahan konsumsi baik untuk keperluan sehari-hari maupun dalam berbagai acara. Ayam juga dimanfaatkan sebagai komoditas perdagangan baik dalam kondisi normal maupun paceklik. Pada saat paceklik, biasanya orang yang tidak memiliki bahan pangan lagi berusaha menjual barang miliknya untuk dibelikan beras, jagung atau ubi. Selain dijual, Ayam juga merupakan sarana barter. Orang
48
Sumba biasa membawa Ayam sebagai alat barter saat mandara ke sanak keluarganya di wilayah lain. Secara langsung, Ayam memiliki banyak fungsi dalam kehidupan orang Sumba.
Karena
dimanfaatkan
dalam
banyak
kesempatan,
intensitas
pemanfaatannya pun sangat tinggi. Pemanfaatan Ayam juga dilakukan secara tidak langsung yaitu dalam berbagai syair adat. Ayam diibaratkan sebagai manusia dengan perilakunya dan dijadikan petuah-petuah dalam kehidupan. Adapun contoh pemanfaatan Ayam secara tidak langsung dalam syair-syair adat adalah manu wolu jara djaga artinya seperti Ayam jantan yang memberikan pengaruh baik dengan suaranya yang setia berkokok setiap pagi maka doa orang tua yang setia dan terus menerus untuk anaknya dipercaya akan memberikan berkat bagi pertumbuhan anaknya. Adapun contoh-contoh lain pemanfaatan Ayam dalam syair adat disajikan dalam tabel berikut : Tabel 20 Contoh pemanfaatan Ayam (G. domestica) dalam bahasa Sumba No 1 2
Bahasa adat Inna manu ama wawi Ana wawi luluru ana manu nyanyaru
3
Dina kabu watu manu heku wawa
4 5
Njara monu manu wolu Ina manu ama rendi
Makna Pemimpin baik dan bijaksana Menggambarkan anak yang kehilangan orang tua atau rakyat yang kehilangan pemimpinnya Menggambarkan derajat belis (mas kawin) paling rendah yang diberikan Menggambarkan kebesaran orang Sumba Pemimpin yang melakukan apapun untuk melindungi rakyatnya
Keterangan: manu (ayam)
Apresiasi ayam dengan kehidupan manusia juga diwujudkan dalam motifmotif tenunan dan menjadi salah satu unsur gerakan tari Sumba Timur. Gambargambar ayam dalam tenunan Sumba (Gambar 4) tidak sejelas gambaran Ayam sesungguhnya sehingga diperlukan ketelitian untuk mengetahuinya. Motif Ayam dalam tenunan menggambarkan sifat seorang pemimpin yang suka mengayomi, kesatria, setia dan mau melakukan apapun untuk kepentingan rakyatnya, dalam syair adatnya dibahasakan ina manu ama rendi. Gambar Ayam jantan juga dijadikan gambar tato pada tubuh manusia yang melambangkan kehebatan atau kekuatan seseorang dan ditampilkan pada batu kubur orang yang telah meninggal dunia (Gambar 5). Gambar Ayam dipilih selain karena keindahan fisiknya juga
49
karena dianggap sebagai suatu kebanggaan. Lukisan Ayam ini terdapat baik wilayah Sumba Barat maupun Sumba Timur.
Gambar 5 Motif Ayam dalam tenunan Sumba
Gambar 6 Lukisan ayam pada batu kubur di Desa Katikuloku Wanokaka. c. Babi (Sus domesticus) Babi adalah jenis yang sangat penting untuk berbagai upacara adat antara lain adat perkawinan (Gambar 6), kematian, pembangunan rumah adat dan setiap kegiatan lain yang berhubungan dengan adat. Dalam acara perkawinan, Babi merupakan pemberian dari pihak perempuan baik sebagai balasan terhadap pihak laki-laki juga barang bawaan wanita ke rumah laki-laki. Babi digunakan sebagai lambang kesepakatan dalam sebuah diskusi. Jika telah dicapai sebuah kesepakatan maka dilakukan penikaman Babi. Untuk kebutuhan konsumsi, Babi menjadi hewan yang sangat penting. Selain ritual perkawinan, Babi juga sangat penting dalam ritual kematian. Dalam acara kematian, Babi digunakan sebagai bawaan tamu yang berperan
50
sebagai pemberi perempuan dalam suatu hubungan keluarga. Babi juga digunakan sebagai barang balasan saat ada kerabat membawa kerbau. Selain itu, untuk menguburkan orang yang meninggal dunia, minimal ada seekor Babi yang ditikam. Dipercaya, Babi yang ditikam merupakan bawaan si mati dan akan menemaninya menghadap marapu. Jika tidak ada hewan yang dibunuh sama sekali maka akan dianggap tidak baik.
Gambar 7 Penikaman babi sebagai konsumsi dalam upacara perkawinan Pemanfaatan Babi juga penting dalam pembangunan rumah adat. Misalnya sebagai korban persembahan dalam doa selain ayam. Penikaman Babi digunakan pula sebagai sanksi jika melanggar suatu aturan adat atau terdapat masalah mengenai adat baik dalam kehidupan berkeluarga maupun kehidupan sosial dengan masyarakat. Pada kondisi tersebut, pihak yang bersalah harus mengorbankan Babi untuk menebus kesalahannya. Contohnya
ruatu
(sanksi
adat) yang dikenakan pada seorang tokoh masyarakat di Desa Umbu Langang yang melakukan pembakaran padang dalam kawasan TN Manupeu Tanadaru pada Bulan Agustus 2007. Ia harus menikam Babi seukuran 8 orang pikul (Gambar 7) dan memberi makan orang satu desa sebagai sanksi adat yang harus diterima karena kesalahannya sesuai butir kesepakatan yang termuat dalam Kesepakatan Pelestarian Alam Desa (KPAD) Umbu Langang. Pelaksanaan ruatu ini dinilai lebih efektif karena menggunakan aturan adat dari masyarakat itu sendiri untuk melindungi sumberdaya hutan di sekitar mereka. Pemanfaatan Babi juga dilakukan untuk melihat hatinya. Seperti Ayam, hati Babi dapat digunakan untuk meramalkan kondisi di masa yang akan datang atau
51
melihat masalah yang sedang terjadi. Biasanya
Babi
yang
akan
dipotong
didoakan terlebih dahulu barulah diperiksa hatinya.
(a) (b) Gambar 8 Pemanfaatan babi dalam ritual adat ruatu. Ket: (a) Babi yang dipotong dipikul oleh 8 orang; (b) pemotongan babi yang telah dibakar oleh warga (B) (Sumber: Pengelola TN Manupeu Tandaru 2007). Untuk urusan adat inilah, Babi dapat memberi pengaruh secara sosial di mata masyarakat. Pada suatu acara adat, jika babi yang dibawa oleh seseorang adalah babi berukuran besar maka orang akan menaruh penghargaan tinggi karena dinilai mampu dari segi ekonomi. Hal ini akan “mengangkat” nama si pembawa babi di mata orang-orang yang datang. Penghargaan seperti inilah yang kerap ”dicari” oleh orang Sumba dalam acara-acara adat. Babi mempunyai segi ekonomi lain selain sebagai bahan konsumsi yaitu sebagai modal keluarga pada saat kesulitan keuangan, misalnya untuk membiayai sekolah anak dan keperluan adat yang biasanya mendadak. Pada saat seperti itu, Babi dapat dijual untuk mendapatkan uang tunai. Begitu banyaknya pemanfaatan Babi dalam kehidupan orang Sumba, baik dalam ritual, ekonomi maupun sosial menjadikan jenis ini banyak didiskusikan dalam kehidupan masyarakat terutama terkait dengan usaha untuk mendapatkan Babi demi pemenuhan kebutuhan mereka.
52
Pengaruh sosial kepemilikan Babi dapat juga ditujukkan dari banyaknya taring babi yang dipajang di depan rumah orang Sumba (Gambar 8). Jumlah taring yang dipajang menunjukkan kelas ekonomi si tuan rumah dimana semakin banyak taring maka semakin kuat kelasnya karena dianggap mampu menyelenggarakan banyak pesta dengan korban hewan yang banyak pula. Semakin tinggi posisi ekonominya di mata masyarakat maka semakin dihargai dan didengarkan. Secara otomatis hal ini dapat menaikkan status sosialnya.
Gambar 9 Taring babi melambangkan kekuatan ekonomi tuan rumah Pemanfaatan Babi juga dilakukan secara tidak langsung yaitu dalam syairsyair adat. Babi digunakan untuk menggambarkan harapan orang tua terhadap anaknya, juga untuk menggambarkan sifat dan kondisi manusia. Adapun contoh ungkapan adat yang menggunakan babi adalah : Tabel 21 Contoh pemanfaatan Babi (Sus domesticus) dalam bahasa Sumba No 1 2
Istilah adat Abi pa wawi rutu abi pamanu tata Ana wawi luluru ana manu nyanyaru
3
Kaba daka puga wawi dapa kara
4
Wawi malirang wagu jara pa barung tuga Kaba ngidi raihi wawi ngidi langa
5
6 Kedu lakalunga wawi lamare’da Keterangan: wawi (babi)
Makna Orang yang tidak disenangi Menggambarkan anak yang kehilangan orang tua atau rakyat yang kehilangan pemimpinnya Menggambarkan orang tua yang selalu mendoakan anaknya pindah ke rumah lakilaki agar anaknya hidup baik-baik saja Nasihat untuk menjadi seorang pemimpin bijaksana dan adil Babi yang dibawa saat pindah rumah menutup rangkaian upacara perkawinan Orang yang takut berbicara
Mengingat pentingnya Babi dan tingginya frekuensi pemanfaatan Babi dalam kehidupan orang Sumba maka banyak keluarga yang menjadikan hewan ini sebagai peliharaan di rumah. Biasanya tugas mengurus Babi adalah tugas para ibu.
53
d. Kerbau (B. buballis) Kerbau adalah fauna budidaya penting dalam masyarakat Sumba yang pemanfaatannya sangat besar ketika dilangsungkan upacara-upacara adat. Kerbau diambil dari hasil ternak masyarakat sendiri. Pada masa sekarang, kepala keluarga yang memiliki Kerbau tidak sebanyak dulu, umumnya hanya orang-orang tertentu yang cukup berada yang memiliki ternak Kerbau. Pemanfaatan Kerbau secara adat yang paling menyolok pada masyarakat Sumba adalah sebagai hewan belis (mas kawin) dari pihak laki-laki terhadap wanita dan sebagai barang bawaan tamu dalam upacara kematian. Sebagai bawaan dalam upacara kematian, pemanfaatan Kerbau sulit digantikan karena sudah menjadi tradisi orang Sumba bahkan bagi orang Sumba yang telah menetap di perkotaan. Kerbau memiliki peran besar dalam posisinya dalam ritual perkawinan karena akan mengangkat nama si pemberi kerbau di mata orang lain karena harganya yang mahal. Dalam suatu upacara kematian, jika tidak ada sama sekali kerbau yang dipotong maka keluarga si mati akan dianggap kurang mampu secara ekonomi dan secara sosial dipandang agak rendah. Sebaliknya, jika ada pemotongan Kerbau apalagi dengan disertai acara memukul gong maka akan sangat menaikkkan status sosial keluarga atau jika keluarga tersebut sudah terpandang maka posisinya tetap terjaga. Pengaruh kepemilikan Kerbau secara sosial dapat dilihat dari kebiasaan Orang Sumba menyimpan dan memajang tanduk kerbau di depan rumah mereka. Seperti taring babi, pemajangan tanduk Kerbau dilakukan untuk menunjukkan kebesaran dan kemampuan ekonomi keluarga. Semakin banyak tanduk Kerbau dipajang (Gambar 9) menunjukkan banyaknya jumlah pesta yang telah diselenggarakan oleh si tuan rumah. Sekaligus hal ini mengindikasikan bahwa tuan rumah memiliki banyak relasi. Kerbau juga menjadi modal keluarga yang dapat dijual jika terjadi kesulitan uang meskipun hal ini jarang terjadi karena masyarakat lebih suka mempertahankan Kerbau untuk berjaga-jaga jika suatu saat diperlukan untuk adat. Contohnya jika ada keluarga meninggal, ketersdiaan kerbau di kandang sendiri akan sangat membantu dalam persiapan mendatangi upacara kematian keluarga tersebut.
54
(a)
(b)
Gambar 10 Pemanjangan tanduk kerbau di depan rumah. Ket: (a) Tanduk kerbau yang telah disusun; (b) Tanduk kerbau yang masih disatukan dengan kepala kerbau. Kerbau juga dimanfaatkan sebagai tenaga pembajak sawah dan kulitnya digunakan sebagai bahan dalam alat musik Sumba contohnya bedu, alat musik pukul yang digunakan untuk tari-tarian dan berbagai acara adat. Kulit kerbau digunakan karena dianggap kuat dan tahan lama. Pemanfaatan kerbau secara tidak langsung juga terdapat pada ungkapanungkapan adat. Contohnya dalam kalimat karabo e kasada pamuli e katara (karabo=kerbau) yang menggambarkan belis yang diberikan pria kepada wanita. Pemakaian kata kerbau dalam ungkapan adat tidak selalu disebutkan secara langsung tetapi maknanya menggambarkan mengenai Kerbau contohnya dalam kalimat hiaba mati danga lota tanah na magega na tauna malaga kadunya artinya yang besar badannya dan panjang tanduknya. Kalimat ini untuk menggambarkan kerbau berbadan besar dan belum kawin yang digunakan untuk persembahan saat upacara kematian. Kerbau juga digambar pada bagian luar batu kubur (Gambar 10) yang menggambarkan harta berharga yang pernah dimiliki orang yang meninggal pada masa hidupnya.
55
Gambar 11 Lukisan kuda dan kerbau pada batu kubur Mengingat pentingnya Kerbau (Gambar 11) dalam budaya orang Sumba, maka orang berusaha memeliharanya terutama untuk kebutuhan adat namun sesekali bisa dijual. Biasanya, orang yang memiliki banyak Kerbau peliharaan dianggap orang kaya sekaligus mendapatkan status sosial tinggi dalam masyarakat.
Gambar 12 Kerbau, ternak penting orang Sumba e. Kuda (E. caballus) Kuda (Gambar 12) digunakan sebagai bahan belis dalam perkawinan. Biasanya dalam pemberian belis, jumlah kuda lebih banyak dibandingkan kerbau. Dalam perburuan, kuda digunakan sebagai alat transportasi dalam berburu. Dalam upacara kematian, jika si mati mempunyai kuda tunggang maka saat penguburan kuda tersebut dibunuh tetapi tidak dikonsumsi. Sebagai bahan makanan, kuda jarang dikonsumsi.
56
Kulit kuda digunakan sebagai bahan dalam alat musik pukul. Ekor Kuda dipakai salah satu pelengkap tarian di Sumba Timur yang dinamakan kikukanda. Kikudanda digunakan seperti rumbai-rumbai di tangan yang diputar-putar saat menari. Kuda merupakan simbol kebanggaan orang Sumba. Dalam sejarah perang, Kuda merupakan hewan penting karena menjadi tunggangan para pria yang berperang. Pada masa sekarang, sudah jarang orang Sumba yang memiliki kuda, Kuda biasanya hanya dimiliki oleh orang kaya saja. Sebagai alat transportasi pun, Kuda sudah banyak digantikan dengan kendaraan umum. Namun, pada wilayahwilayah yang sulit dilalui kendaraan, kuda masih menjadi alat transportasi penting bagi orang Sumba. Pemanfaatan Kuda secara tidak langsung hadir dalam istilah adat Sumba dan motif tenunan orang Sumba Timur (Gambar 13). Contoh istilah yang menggunakan Kuda dalam kosa katanya manu wolu jara djaga yang menyatakan doa orang tua untuk anaknya agar seperti ayam jantan yang kuat dan kuda yang kokoh tinggi. Contoh lain adalah dewa jara rara ura ahu kaka yang menyatakan arwah seseorang yang punya karisma. Motif Kuda dalam tenunan melambangkan keperkasaan dan kejayaan. Kebanggaan memiliki Kuda juga termuat dalam gambar-gambar pada bagian luar batu kubur orang “besar”. Gambar yang dilukis pada bagian luar batu kubur biasanya merupakan harta yang dimiliki saat masih hidup. Kuda merupakan salah satu harta kebanggaan orang Sumba maka seringkali dilukis pada batu kubur.
Gambar 13 Kuda Sumba (Sumber : Burung Indonesia 2008)
57
Gambar 14 Motif kuda dalam tenunan f. Mayela Mayela (atau masela dalam bahasa Loli) adalah jenis kayu yang dikeramatkan oleh masyarakat Sumba. Mayela disebut sebagai raja dari segala kayu dan ditempatkan pada tempat yang paling tinggi dari segala jenis kayu. Ia disebut mayela ana ratu yang artinya kayu bangsawan. Pengkeramatan kayu Mayela menjadikannya hanya digunakan pada rumah adat besar di kampung lama dari suatu kabisu. Pencariannya dilakukan dengan suatu upacara adat besar dengan tari-tarian dan pesta. Banyak orang Sumba yang mendengar dan mengetahui bahwa Mayela adalah kayu keramat tetapi tidak semua orang mengetahui tampilan kayu tersebut secara fisik di hutan. Hal ini dipengaruhi oleh sedikitnya frekuensi pengambilan Mayela di hutan dan kekeramatan kayu sehingga tidak semua orang boleh melihatnya. Mayu mayela sendiri menurut masyarakat, memiliki bentuk pohon yang lurus dan tumbuh saling berjauhan antara Mayela yang satu dengan Mayela yang lain. Nama ilmiah Mayela sendiri belum diketahui dengan pasti. Menurut hasil penelitian dari seorang peneliti bernama Jillis A. J. Verheijen dari Australian National University yang pernah meneliti di Sumba, nama ilmiah Mayela adalah Orophea polycarpa dari family anonaceae. Namun, menurut Sosef et al (1998), kayu dari jenis-jenis family Anonaceae tidak terlalu tahan lama. Data yang berlawanan dengan penuturan masyarakat yang menyatakan bahwa kayu mayela dapat bertahan hingga puluhan tahun bahkan mencapai 80 tahun meskipun ditanam langsung di dalam tanah. Posisi kayu Mayela dalam rumah adat memiliki filosofi tersendiri. Ia digambarkan sebagai raja yang memimpin, menjaga dan memastikan yang terbaik untuk rakyatnya. Posisi kayu Mayela dalam 4 tiang utama rumah adat adalah pada
58
bagian kiri rumah pada bagian depan atau bagian belakang tergantung kabisu masing-masing. Misalnya topopu di Waimanu menempatkan Mayela pada tiang belakang bagian kiri rumah. Sedangkan pada kabisu weebole di Loli, Mayela ditempatkan pada pintu masuk bagian depan sebelah kiri. Dimanapun posisi Mayela, ia dianggap sebagai kayu keramat dan tidak boleh disentuh oleh sembarang orang. Di Kampung Padabar, tiang mayela dibungkus dengan bambu sebagai tanda kekeramatannya (Gambar 14). Adanya penetapan kawasan hutan menjadi taman nasional menurut masyarakat menyulitkan mereka untuk mencari kayu Mayela tetapi jika dibutuhkan maka kayu tersebut harus didapatkan.
Bagi orang Sumba,
pemanfaatan kayu Mayela dalam adat tidak dapat disubstitusikan oleh jenis pohon lainnya.
Gambar 15 Empat tiang utama rumah adat di Kampung Padabar, Mayela (sebelah kanan) dibungkus bambu Pengkeramatan kayu Mayela memberikan dampak positif bagi kawasan taman nasional karena frekuensi pengambilannya yang sangat jarang yaitu satu kayu dalam sekali pengambilan dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja untuk kebutuhan rumah adat. Kayu ini dapat bertahan hingga puluhan bahkan ratusan tahun sehingga sekali pengambilan dapat digunakan untuk waktu yang lama. Selain itu, untuk mendapatkan kayu Mayela diperlukan suatu upacara adat khusus dengan kehadiran rato sebagai pemimpinnya sehingga jika tanpa persiapan yang
59
matang orang tidak berani mencari kayu Mayela di hutan. Orang Sumba percaya pencarian Mayela tanpa upacara adat tidak akan berhasil. Sebaliknya dengan upacara adat, letak kayu tersebut di hutan akan ditunjukkan dengan sendirinya oleh marapu. Pemanfaatan kayu Mayela dalam suatu rumah adat harus melalui persiapan yang matang terutama dari segi keuangan. Seperti umumnya upacara adat di Sumba, pencarian kayu Mayela di hutan memerlukan biaya yang tidak sedikit karena harus menyiapkan korban persembahan dan memberi makan bagi orang yang akan ikut mencari. Jadi, pihak yang dapat membangun rumah adat pastilah mampu secara ekonomi. Oleh karena itu, secara sosial mereka juga akan dihargai dalam masyarakat. Penghargaan terhadap kayu Mayela lebih terasa di Sumba Barat dan Sumba Tengah dibandingkan Sumba Timur. Di Desa Kambatawundut, kayu Mayela juga sangat dihargai oleh masyarakat tetapi dapat digantikan manera. Sedangkan di Sumba Barat dan Tengah, kayu Mayela tidak dapat digantikan posisinya. Pemanfaatan kayu Mayela selain dilakukan secara langsung dalam rumah adat, juga secara tidak langsung terdapat dalam bahasa adat bahkan nama kayu tersebut dibahasakan seperti nama orang. Contohnya ungkapan bora ai mayela di Wanokaka. Bora sesungguhnya digunakan untuk menyebut nama orang dengan hormat. Contoh lain adalah dalam ungkapan mayela tubu donang kapaka jadji meha yang menggambarkan anak yang hidup sebatang kara. 5.3. Aspek konservasi spesies kunci budaya Konsep SKB tidak hanya memuat segi budaya dan masyarakat saja tetapi juga memiliki hubungan dengan konservasi karena pola hidup suatu masyarakat termasuk pola pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa yang dilakukan oleh mereka akan berkaitan dengan kelestarian spesies dan habitatnya. Berikut digambarkan hubungan antara SKB orang Sumba dan kawasan konservasi TN Manupeu Tanadaru.
60
Tabel 22 Keterangan keterkaitan SKB dan kawasan Spesies Kunci Budaya
Lokasi pengambilan
Upaya budidaya
Piper betle, Areca catechu Gallus domestica Sus domesticus Bubalus buballis Equus caballus Mayela
Pemukiman
Ya
Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Hutan
Ya Ya Ya Ya Tidak
Upaya perlindungan Masyarakat Hukum Legal Adat
-
Berdasarkan tabel 22, dapat disimpulkan bahwa spesies kunci budaya orang Sumba di sekitar kawasan TN Manupeu Tanadaru sebagian besar adalah hasil budidaya. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Sumba tidak terlalu tergantung pada kawasan TN Manupeu Tanadaru untuk pemenuhan kebutuhan spesies kunci. Untuk SKB yang terdapat dalam hutan, masyarakat telah mempunyai aturan tersendiri untuk menjaga dan melindungi spesies tersebut. Hal ini berbeda dibandingkan hasil penelitian mengenai SKB masyarakat Dayak di sekitar TN Betung Kerihun (Himakova dan TBI-Indonesia 2005) dimana semua SKB-nya adalah jenis yang berasal dari hutan. Ketergantungan yang besar dari segi adat istiadat ini pastinya cukup berpengaruh bagi kawasan sekitarnya. Pengambilan SKB orang Sumba yang pada umumnya berasal dari hasil budidaya sangat berbeda bila dibandingkan dengan SKB orang Dayak (Himakova dan TBI Indonesia 2005) di Taman Nasional Betung Kerihun Kalimantan Barat. Hasil penelitian menyatakan bahwa burung enggang (Buceros rhinoceros) dan burung ruai (Argusianus argus) dinyatakan sebagai spesies kunci budaya bagi masyarakat Dayak Sub-Das Mendalam, Sub-Das Embaloh, Sub-Das Sibau dan Sub-Das Kapuas adalah yang diambil dari alam yaitu hutan TN Betung Kerihun. Perbedaan sumber pengambilan spesies kunci budaya orang Sumba dan masyarakat Dayak di sekitar TN Betung Kerihun ini mengindikasikan adanya perbedaan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya dari hutan. Masyarakat Dayak lebih tergantung terhadap jenis-jenis yang diambil dari alam dibandingkan dengan orang Sumba. Ketergantungan ini cukup berpengaruh dari segi perlindungan spesies karena jika pengambilan spesies sangat besar untuk
61
kehidupan masyarakat maka tidak menutup kemungkinan mempengaruhi kelestarian spesies yang berada di dalam kawasan. Apalagi jenis-jenis yang menjadi kunci dalam budaya adalah jenis yang populasinya di alam telah berkurang dan telah dilindungi. Ketidaktahuan akan kondisi ini ditambah lagi adanya tekanan tinggi akibat pemanfaatan yang tinggi juga oleh mayarakat lebih jauh lagi dapat memberikan dampak bagi kepunahan spesies. Terkait dengan pemanfaatan SKB, bagi budaya Sumba dapat disimpulkan bahwa pemanfaatannya beragam dan digunakan untuk kebutuhan krusial seperti adat dan konsumsi yang terkait dengan kebutuhan adat. Hal ini disebabkan adanya aturan
adat
dalam
masyarakat
berdasarkan
kepercayaan
lokal
marapu
(kepercayaan asli masyarakat setempat yang merupakan suatu konsep tentang adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menciptakan langit dan bumi, suatu kekuatan gaib yang melebihi kekuatan manusia dan tidak disebutkan namanya secara sembarangan), khususnya untuk memanfaatkan jenis-jenis “yang berasal dari rumah” artinya yang telah dipelihara sendiri oleh masyarakat sebagai bahan persembahan dalam berbagai acara atau ritual. Dalam konteks ini, pola pemanfaatan demikian merupakan suatu bentuk kearifan budaya masyarakat. Dari segi konservasi kawasan, sesungguhnya hal ini berdampak positif karena ketergantungan terhadap sumberdaya dari hutan untuk keperluan adat telah berkurang. Sedangkan spesies lain yang diambil dari hutan seperti Mayela, Manera dan Kakaktua sesungguhnya telah dilindungi dengan aturan adat setempat. Contohnya untuk mayela, terdapat aturan untuk terlebih dahulu mengadakan upacara adat sebelum memanfaatkan jenis ini. Jumlah yang diambil pun harus sesuai kebutuhan. Jika dilanggar, dipercaya akan membawa dampak negatif bagi pelaku pelanggaran. Selain itu, jenis-jenis yang diambil dari hutan seperti Manera dan Mayela sesungguhnya adalah jenis yang dapat digunakan dalam jangka waktu lama yaitu mencapai puluhan tahun. Menurut masyarakat, jenis kayu ini adalah kayu-kayu dengan kualitas baik yang sangat tahan lama. Pengetahuan mengenai hal ini pun diturunkan dari generasi ke generasi. Jadi, pengambilannya pun tidak dalam frekuensi yang sering sehingga berdampak positif bagi kawasan di sekitarnya. Secara keseluruhan adanya kelestarian pengetahuan yang arif dalam budaya orang
62
Sumba ini pada akhirnya akan membawa dampak bagi kelestarian spesies yang yang digunakan masyarakat itu sendiri. 5.4. Posisi SKB dalam konservasi kawasan Terkait adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan kawasan konservasi yang memasukkan unsur budaya dalam pengelolaan, posisi SKB dalam pengelolaan kawasan TN Manupeu Tanadaru sudah mulai terlihat. Hal ini termuat dalam kesepakatan antara masyarakat, pemda dan pihak TN dalam suatu bentuk kesepakatan yang disebut Kesepakatan Pelestarian Alam Desa (KPAD) yang melibatkan masyarakat di 22 desa sekitar kawasan dengan difasilitasi oleh LSM Burung Indonesia. Contoh Desa yang memuat kesepakatan itu adalah Desa Manurara. Dalam KPAD untuk desa ini terdapat kesepakatan yang memperbolehkan pengambilan kayu Mayela dalam kawasan untuk kebutuhan rumah adat. Syaratnya adalah harus meminta izin kepada pihak TN dan semua bahan-bahan rumah adat yang digunakan harus berasal dari alam. Contohnya atap rumah harus menggunakan alang dan dinding rumah menggunakan bambu atau kayu. Persyaratan pembuatan rumah adat dengan menggunakan bahan alami ini cukup sulit dipenuhi karena bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk membuat rumah harus dicari di hutan dimana saat ini semakin sulit didapatkan. Hal ini sesungguhnya juga merupakan faktor pembatas bagi masyarakat agar tidak secara sembarang memohon izin pengambilan kayu. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pengelolaan konservasi kawasan, unsur SKB sudah mulai tersentuh namun masih sangat lemah. Wacana mengenai kemungkinan menggunakan Mayela sebagai spesies kunci yang menghubungkan antara masyarakat dan pengelola sudah terlihat namun belum ada suatu aturan khusus yang mengatur mengenai pemanfaatan hal itu. Dibutuhkan suatu pengkajian yang lebih mendalam lagi mengenai aturan-aturan dalam usaha memungkinkan sosialisasi pemanfaatan SKB dalam pengelolaan kawasan TNMT demi tercapainya sistem pengelolaan dengan pelibatan masyarakat yang dapat menguntungkan masyarakat dan pengelola dan yang terutama adalah demi kelestarian kawasan TNMT.
63
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Spesies yang penting bagi orang Sumba adalah spesies yang dimanfaatkan untuk kebutuhan adat, konsumsi dan kebutuhan rumah. Adapun jenis yang penting antara lain uwi Dioscorea hispida Denrist untuk kebutuhan konsumsi pada masa paceklik, Ulu kataka Aglaia odoratissima untuk kebutuhan bahan bangunan dan mayela untuk kebutuhan adat. 2. Terdapat 7 spesies yang menjadi kunci budaya yaitu Sirih (Piper betle) Pinang (Areca catechu), Ayam (Gallus domestica), Babi (Sus domesticus), Kerbau (Bubalus buballis), Kuda (Equus caballus) dan Mayela 3. Pada umumnya jenis yang menjadi kunci budaya masyarakat adalah jenisjenis yang dipelihara masyarakat sendiri (hasil budidaya masyarakat). Hal ini berdampak positif dari segi pemanfaatan sumberdaya kawasan karena masyarakat tidak terlalu tergantung terhadap sumberdaya dalam kawasan TNMT. Meskipun demikian, terdapat satu jenis SKB yang berasal dari dalam kawasan yaitu kayu Mayela. Namun dari segi adat, frekuensi pemanfaatannya rendah karena kualitas kayu yang tahan lama. B. Saran 1. Perlu dilakukan upaya sosialisasi mengenai keberadaan SKB khususnya SKB yang berada dalam kawasan sehingga dapat dijadikan salah satu metode pendekatan untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Diharapkan ikatan yang kuat antara masyarakat dengan SKB khususnya yang berada dalam kawasan menjadi suatu motivasi yang baik untuk menjaga kelestarian spesies-spesies tersebut sekaligus untuk menjaga kelestarian kawasan pada umumnya. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai ekologi dan habitat dari SKB terutama yang berasal dari kawasan taman nasional sehingga dapat ditemukan strategi terbaik dalam pelestarian spesies. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang SKB untuk spesifikasi masing-masing suku-suku di sekitar kawasan TN Manupeu Tanadaru untuk melihat hubungannya dengan pengelolaan taman nasional secara lebih mendetail dan hubungannya dengan kondisi lingkungan sekitar.
64
DAFTAR PUSTAKA Bayu A. 2000. Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat pemukiman dalam kawasan (enclave) dengan penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun (Studi kasus di Kampung Cier, Desa cisarua, Resort Cigudeg) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Cristancho S, J. dan Vining, 2004. Culturally defined keystone species. Human Ecology Review (11)2: 153-163 Ember C dan Ember M, 1973. Teori dan Metode Antropologi Budaya dalam T.O Ihromi, editor. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999. Endraswara S. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Garibaldi A dan Turner N. 2004. Cultural keystone species: implications for ecological conservation and restoration. Ecology and Society 9,1. Gunawan H, Hurhayati Y, Yatlimin. 2003. Motivasi perambahan kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai di Sulawei Tenggara. Hutan Rakyat V 3 Tahun 2003. Himakova dan TBI Indonesia. 2005. Studi ilmiah hubungan keanekaragaman hayati dan masyarakat adat sebagai dasar pengembangan dan pengelolaan ekowisata Taman Nasional Betung Kerihun Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat 4-13 Juli 2005. Bogor : Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Tropenbos International Indonesia. Hutabarat M. 1987. Studi tentang penciutan luas hutan di Sumba Timur dan faktor-faktor yang menyebabkannya. [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jati A. 1998. Kelimpahan dan distribusi jenis-jenis burung berdasarkan fragmentasi dan stratifikasi habitat Hutan Cagar Alam Langgaliru, Sumba. [Tesis]. Bogor: Program Pascarsarjana, Institut Pertanian Bogor. Johannes RE. 1998. Government-supported, village based management of marine resources in Vanuatu. Ocean and Coastal Management 40:165-186. Koentjaraningrat 1979. Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kotliar NB. 2000. Application of the new keystone concept to prairie dogs: how well does it work? Conservation Biology 14 (6): 1715-1721. Kusnanto K. 2000. Bentuk-bentuk dan intensitas gangguan manusia pada daerah tepi kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat.
65
[Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Purnama SIS. 2005. Penyusunan zonasi Taman Nasional Manupeu Tanadaru Sumba berdasarkan kerentanan kawasan dan aktifitas masyarakat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. . Ramakrishan PS. 2007. Ecology and traditional wisdom. Diakses dari http://ignca.nic.in/ pada tanggal 25 Juli 2007. Soekmadi R. 2005. Pengelolaan kawasan konservasi sebagai benteng terakhir konservasi sumberdaya alam hayati: sebuah tuntutan pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi di era otonomi daerah. Di dalam: Nugroho B, Suharjito D, Soedomo S, Kartodihardjo H, editor. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Alam Indonesia di Masa Mendatang Konsep dan Pemikiran Prof. Dr. Ir. H. Herman Haeruman Js, MF. Bogor, 11 Juni 2005. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB dan Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan. Hal 111-137. Sosef MSM, Hong LT, Prawirohatmojo.,editor. Plant Resources of South-East Asia. Bogor: Prosea. The Snow Leopard Conservancy. 2007. Mountain cultures, keystone species: exploring the rule of cultural keystone species in Central Asia. Final report (Grant 2005-2019) submitted to the Christensen Fund by SLC Cat Action Treasury, Sonoma, California. Diakses dari www.snowleopard conservancy.org pada tanggal 20 Juli 2007 Wibisono I. 1997. Studi pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat sekitar taman nasional (studi kasus di TN Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Wiranansyah H, 2005. Studi interaksi masyarakat terhadap potensi sumberdaya alam di Taman Nasional Manupeu Tanadaru dan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti berdasarkan kearifan tradisionalnya. [Tugas Akhir]. Bogor: Program Studi Diploma III Konservasi Sumberdaya Hutan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Wollenberg E, Uluk A, Sudana M. 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).
67
Lampiran 1 Jenis-jenis kayu yang biasa dipergunakan masyarakat untuk bahan ramuan rumah Nama lokal Mayela Linu Ulu kataka Manera Tarra manu Injuwatu Lagapa Delu/kaduru Kadubang Goka Kawisu Mangga hutan Nangka hutan Surian Halai Nyaru Ulu manu Rani Mosa/maha Kirru Kalai tunu Kirru Bangi Kelapa
Nama ilmiah Orophea polycarpa Greweia acuminata Aglaia odoratissima Aglaia eusideroxylon K.et.V Maclura cochincinensis Spondias pinnata Ficus sp Palaquium sp Dehaasia sp Chinocheton sp. Mangifera sp Artocarpus sp Toona sureni Alstonia spectabilis Pseuduvaria reticulata Garcinia celebica Poemetia tomentosa Dysoxylum sp. Dysoxylum sp Cocos nucifera
Manurara √
Katikuloku √
Desa Beradolu √
Kambatawundut
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √ √
√ √ √ √
√
√
√ √
√
√
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√ √ √
√ √ √
√
√
√
√ √ √
√ √
√
√
68
Lampiran 2 Jenis kayu yang biasa digunakan untuk tiang rumah adat di 4 desa penelitian Nama lokal Mayela Linnu Ulu kataka Manera Injuwatu Lagapa Kadubang Kawisu Kalai tunu Kirru Bangi
Nama ilmiah Orophea polycarpa Greweia acuminata Aglaia odoratissima A.eusiderexylon K.et.V Spondias pinnata Ficus sp Dehaasia sp
Manurara √
Katikuloku √
Desa Beradolu √
√
√
√
√
√
√
Kambatawundut √
√ √
√ √ √ √ √
Dysoxylum sp
√
√
√
Lampiran 3 Hasil non kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan (rumah) No 1 2
Nama jenis Wo’o (bambu) Bambusa maculata, Dendrocalamus asper Alang Imperata cylindrica
3
Tali Kahikara
Bentuk pemanfaatan Lantai dan dinding rumah Atap Mengikat tiang rumah dan bambu
69
Lampiran 4 Tali-talian yang biasa digunakan masyarakat pada keempat desa penelitian Nama lokal Panetang
Nama ilmiah Anamirta coculus
Pemanfaatan Mr Kl Bd Kw √ √ √ √ Pengikat kandang dan pagar ternak atau rumah Maninu wai Freycinetia scandes Membuat sarung √ Gaud. parang √ √ Lolualak Champereia Pengikat pagar atau manilana (BI.)Merr. kandang dan digunakan untuk menarik batu kubur Lolubera Smilax australis Pengikat pagar atau √ √ kandang Palahang Pengikat pagar atau √ √ √ kandang Lolu tua Pengikat pagar atau √ √ kandang Nggai Pengikat pagar atau √ √ kandang Lolu ahu Pengikat pagar atau √ kandang Keterangan : Mr=Manurara, Kl=Katikuloku, Bd=Beradolu, Kw=Kambatawundut Sumber: Hasil wawancara dan Laporan pengkajian sosekbud masyarakat desa sekitar kawasan TNMT 2001-2002, Birdlife Indonesia, Direktorat jenderal PHKA, Danida.
70
Lampiran 5 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat-obatan oleh keempat desa Nama lokal Linnu Ritta Halai Hiduk Mangacu api Moru mangandi Lolu tua Beringin Mahoni Pandan Paria atau pare Kedondong hutan Walakari Waru Asam Rewa atau saga Kawihu Beluntas Jambu biji Pinang Walangira Madinu Kumis kucing Pisang Sirih Panetang Alpukat Kemiri Langgapa
Nama ilmiah Greweia acuminata Alstonia scholaris Alstonia spectabilis Wrigthia laevis Hook.f Albizia procera Maesa perlarius Ficus spp Switenia sp. Pandanus sp Momodica charantina L.) Spondias dulcis
Hibiscus tiliaceus Tamarindus indica Abrus precatorius L Pluchea indica Psidium guajava Areca catechu
Othosiphon spp Musa paradisiaca Piper Betle Anamirta coculus Persea americana Aleuriritas moluccana Picrasma javanica
Manfaat penyakit Malaria, maag, ginjal dan tambah darah Malaria Malaria Patah kaki
Bagian Kulit Kulit Kulit Daun
Bisul Demam, menggigil, Sakit gigi Bagian tubuh yang patah Malaria Memar Batuk, cacingan,bisul
Kulit Daun Daun Kulit Kulit Pucuk daun Daun, buah
Rematik Patah tangan, kaki, pemulihan keseharan bagi orang yang sakit dan batuk-batuk Demam, mengurangi sakit kepala Rematik Sariawan, mengencerkan dahak, amandel
Kulit Kulit
Obat tambah darah Bau badan, bau mulut, rematik Sakit perut Menguatkan gigi, liver dan spilis Luka Luka dan sakit kepala Sakit mata Luka bakar Obat mata Menghilangkan kutu dan ketombe pada rambut Darah rendah Membersihkan darah dari rahim
Kulit Daun, akar Pucuk daun Akar Akar Daun Getah Batang Daun Batang
Malaria
Keladi Hawegal
Colocasia esculenta
Maag Luka sehabis melahirkan
Kandinu miting Alia (jahe)
Mellochia umbelata Zingiber officinale
Usus Batuk, rematik
Daun Kulit Daun, akar
Daun Kulit Kulit batang Daging Akar dan daun Akar Rimpang
71
Lampiran 6 Jenis yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan utama oleh masyarakat keempat desa Nama lokal Uwi (iwi) Kabo’ta
Nama illmiah Dioscorea hispida Denrist Amorphophallus companulatus
Keterangan Dikonsumsi saat paceklik Dikonsumsi saat paceklik
Lutang Kale Padi Jagung
Dioscorea esculenta
Dikonsumsi saat paceklik Dikonsumsi saat paceklik Makanan harian Makanan harian dan paceklik
Oriza sativa Zea mays
Lampiran 7 Jenis satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat Nama lokal Babi hutan
Nama ilmiah Sus vitatus
Rusa timor Monyet Burung gosong (kalauki) Ayam hutan Kakatua
Cervus timorensis Macaca spp. Megapodius reinwarth Gallus varius C. sulphurea citrinocristata Macaca spp
Monyet
Pemanfaatan Konsumsi acara adat Konsumsi Untuk obat Konsumsi
Mr √ √ √ √ √
Kl √
Bd √ √ √ √ √
Kw √
Konsumsi Dijual
√ √
√ √
√ √
√ √
Konsumsi Obat
√
√
√ √
√ √
√ √
√ √ √
72
Lampiran 8 Spesies yang disubstitusikan Spesies utama Nama lokal Nama ilmiah Uwi D. hispida Kabo’ta A.companulatus Lutang D. esculenta Kale Padi O. sativa Jagung Z. mays Mayela O. polycarpa Linu G. acuminata Ulu kataka A. odoratissima Manera A. eusideroxylon K.et.V Injuwatu S. pinnata Lagapa Ficus sp Kadubang Dehaasia sp Kawisu Kalai tunu Kirru Dysoxylum sp Bangi Bambu B. maculata, D. asper Tali-talian A. coculus F. scandes Gaud. C.manilana S.australis Alang I. cylindrica Ritta A. scholaris Sirih dan Pinang P. betle dan A. catechu Kelapa C. nucifera
Spesies pengganti Kabo’ta, Lutang, Kale Uwi, Lutang, Kale Uwi, Kale, kabota Uwi, kabota, lutang Jagung Padi Jagung Kawisu Linu Linu, tarra manu Kadubang Lagapa Linu, kirru Inju watu Tarra manu Kawisu, kadubang Kelapa Berbagai spesies tali Bambu
73
Lampiran 9 Deskripsi beberapa jenis flora dan fauna yang dimanfaatkan masyarakat Sumba di sekitar kawasan TNMT •
Flora
a. Padi Bahan pangan yang dijadikan makanan pokok orang Sumba saat ini adalah padi. Tidak diketahui sejak kapan padi mulai menjadi bahan konsumsi utama masyarakat namun para tokoh masyarakat menyatakan bahwa sudah sejak lama padi diusahakan di Desa Beradolu. Dahulunya, padi yang ditanam adalah padi lokal dengan kualitas kurang baik tentunya. Sekarang, telah banyak digunakan benih padi yang lebih bagus bantuan pemerintah. b. Jagung Adapun jenis yang lazim dikonsumsi masyarakat sejak dahulu hingga sekarang adalah jagung. Jagung banyak ditanam karena banyak terdapat lahan kering. Orang juga memakan jagung dicampur dengan nasi dan acapkali dimakan kosong, hanya direbus. Jagung merupakan salah satu bahan makanan yang dicari orang saat mandara (pergi mencari bahan makanan ke tempat keluarga di desa lain pada saat paceklik) digantikan dengan ternak atau bahan tenunan. Untuk menghadapi masa-masa paceklik, masyarakat akan mengusahakan sungguhsungguh jagung yang ditanamnya karena merupakan makanan penolong di saat paceklik. c. Uwi Sebelum dapat dimakan, uwi perlu diolah dalam waktu yang cukup lama. Cara pengolahan uwi yaitu mula-mula dibersihkan kemudian dikupas kulitnya. Diiris tipis-tipis dan dijemur hingga kering kira-kira 4 hari. Direndam pada air mengalir hingga racunnya hilang. Dikeringkan lagi dengan cara dijemur dan akhirnya uwi siap dimasak. Uwi yang telah diolah dengan cara demikian akan tahan lama sampai 3 bulan. Pencarian uwi biasanya hanya dilakukan pada musim paceklik dimana makanan sungguh sulit diperoleh. Karena merupakan makanan darurat yang umum dicari saat paceklik saja maka intensitas pengambilan pun hanya besar saat musim tersebut. Saat tidak paceklik, uwi jarang dicari orang. Uwi merupakan pilihan terakhir untuk dikonsumsi karena membuat mabuk orang yang
74
memakannya jika tidak diolah dengan sangat baik. Proses yang cukup lama dalam pengolahan (kira-kira 1 minggu) juga menjadi salah satu faktor uwi menjadi pilihan terakhir. Namun, tetap dikonsumsi masyarakat di sekitar hutan pada musim paceklik karena tahan lama hingga kira-kira 3 bulan dan konon rasanya enak. Jenis ini dikonsumsi di seluruh Pulau Sumba baik Sumba Timur maupun Sumba Barat khususnya oleh masyarakat di sekitar hutan. Oleh karena itu, jenis ini selalu muncul dalam setiap wawancara dengan masyarakat di semua desa sampel penelitian. Di Sumba Barat dikenal dengan nama uwi sedangkan di Sumba Timur dikenal dengan nama iwi. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan gadung. d. Kabo’ta (Amorphophallus companulatus) Jenis lain yang dimanfaatkan saat paceklik adalah kabo’ta. Jenis ini juga merupakan ubi-ubian yang memiliki getah sangat gatal. Kabo’ta diolah dahulu sebelum dikonsumsi. Proses pengolahannya dengan dicuci, dibelah dan dijemur. Setelah itu, ditumbuk menjadi kecil dan direbus dan siap dikonsumsi. Kabo’ta juga dapat ditemukan di pinggiran hutan. e. Tade’i Jenis ini merupakan jenis ubi-ubian yang gampang diolah. Langsung dapat dimasak tanpa proses yang lama. Dikonsumsi masyarakat pada saat paceklik maupun tidak. Sedikit kesulitan saat menggali dari dalam tanah karena banyak duri batangnya. Penggalian harus dilakukan kira-kira setengah meter dari pangkal tanaman untuk mendapatkan umbinya dan menghindari duri-duri yang sangat tajam. Karena sering dikonsumsi maka ketersediaannya pun semakin berkurang apalagi jenis ini juga dikonsumsi oleh babi hutan. f. Tali-talian Tali-talian merupakan sumberdaya penting bagi orang Sumba khususnya di sekitar TNMT. Tali dipergunakan sebagai pengikat rumah, pagar, kandang ternak serta untuk menarik kayu. Jenis-jenis tali yang digunakan adalah kahikara, lolualle, panetang dan rotan. Tali yang paling sering digunakan untuk mengikat rumah adalah tali kahikara karena talinya kuat. Sedangkan tali panetang biasa digunakan untuk mengikat pagar atau kandang ternak.
75
Pengambilan tali untuk berbagai kebutuhan ini cukup sering dilakukan meskipun tidak sedang dilakukan pembangunan rumah karena biasa dilakukan untuk persediaan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Cara mengangkut tali–talian tersebut adalah dengan membentuknya menjadi lingkaran dengan diameter sekitar 30 cm. Satu tali yang telah dibentuk menjadi satu lingkaran adalah satu ikatan tali. Setiap ikatan disusun bertumpuk menjadi satu ikatan besar yang terdiri dari 30 ikatan kecil. Satu ikatan besar inilah yang disebut satu pikul. Dalam pengambilan, biasanya 1 orang mengangkut 2 pikul tali. Untuk membuat sebuah rumah adat, kira-kira dibutuhkan 200 pikul. g. Alang Pengambilan alang dilakukan di lahan bekas ladang atau di pinggiran hutan. Pada masa sekarang, alang-alang menjadi sulit ditemukan karena telah diinvasi oleh suatu jenis rumput yang disebut rumput belalang atau rumput tai kabala. Biasanya jika masyarakat telah menemukan lokasi yang banyak terdapat alang maka terus dijaga agar tidak diserang tai kabala. Alang digunakan untuk rumah adat maupun rumah biasa. Untuk rumah ukuran 6x6 meter dibutuhkan sekitar 200 pikul alang dengan ukuran 1 pikul adalah 30 ikat. h. Bambu Bambu dibutuhkan untuk dinding, lantai dan regel. Pengambilan bambu dilakukan dalam kebun sendiri atau di pinggiran hutan. i. Kelapa Kelapa dimanfaatkan sebagai pengganti bambu pada bagian lantai atau dinding rumah. Digolongkan sebagai jenis yang kuat. j. Ritta Tumbuhan ritta oleh kabisu tertentu dianggap sebagai tumbuhan keramat. Kabisu yang menghargai ritta sebagai tumbuhan keramat adalah kabisu wee bole, salah satu kabisu dominan di Desa Beradolu. Dipercaya ritta merupakan penjaga bagi orang-orang tertentu dalam kabisu wee bole. Ritta tidak digunakan secara sembarangan dan biasanya dibiarkan saja, tidak diganggu. Pada rumah beberapa tokoh-tokoh dari kabisu wee bole, ritta tumbuh di halamn depan rumah dan dipercaya sebagai sesuatu yang bernilai secara adat.
76
Mereka menganggap keberadaan ritta di depan rumah mereka bukan hanya kebetulan namun memberikan makna bahwa pemiliki rumah itu diikuti dan dijaga oleh leluhurnya. Ritta bahkan dianggap sebagai lambang kebesaran kabisu. Dibahasakan secara adat ritta bewalaka solo kamarege. Selain itu, ritta juga dimanfaatkan sebagai obat malaria. •
Fauna
a. Babi hutan Babi hutan merupakan fauna yang digunakan sebagai barang bawaan dalam upacara Po’du bagi orang Loli. Po’du merupakan upacara adat orang loli yang diselenggarakan setiap Bulan November. Poddu bertujuan untuk meminta berkat di tahun berikutnya. Selama satu bulan yang disebut wulla po’du sebelum acara puncak tidak boleh membuat pesta atau bunyi-bunyian. Bahkan jika ada meninggal sekalipun, tidak boleh diadakan pemotongan ternak atau tangisan bersuara. Pada wulla po’du semua orang loli harus hidup dalam kesunyian. Bagi mereka yang secara turun temurun sebagai pemburu babi hutan inilah saatnya hasil buruan dibawa kepada sang marapu dalam suatu upacara adat. Membawa babi hutan dalam suatu acara po’du bertujuan untuk mendapatkan berkat di tahuntahun berikutnya. Menurut penuturan salah satu orang berpengaruh di desa ini, konon kegiatan berburu babi hutan dilakukan karena sekarang sudah jarang terjadi peperangan antara suku. Dulu, kala sering terjadi peperangan antar suku dan pemuda-pemuda Loli turun untuk berperang, mereka menyalurkan semangatnya melalui peperangan. Apalagi jika berhasil memenggal kepala musuh maka hal itu dianggap sebagai suatu kebanggaan tersendiri. Sebagai ganti peperangan, saat ini orang berburu babi hutan karena menimbulkan gairah heroik tersendiri. Selain di Loli, babi hutan juga memiliki nilai adat bagi beberapa kabisu di Manurara
yang
menganut
marapu
anjing.
Penganut
marapu
tersebut
mengharuskan berburu babi hutan sebagai bagian dari ritual. b. Kakatua Kakatua adalah salah satu jenis burung endemik Sumba. Menurut cerita masyarakat, pada waktu dulu kakatua sering sekali mendatangi perkampungan dan memakan tanaman pertanian. Kondisi ini sangat meresahkan masyarakat
77
sehingga kakatua sering ditembaki. Sekarang, jumlah kakatua yang mendatangi perkampungan sudah jauh berkurang dan masyarakat merasa tenang. Pemanfaatan kakatua secara langsung dalam kegiatan-kegiatan adat di Pulau Sumba tidak ada. Namun, jenis ini mempunyai kaitan dengan cerita sejarah satu tempat yang namanya Wanokaka. Menurut cerita masyarakat, dahulunya ada kakatua piaraan seorang sakti bernama Ubu Raba yang terbakar dan terbang dari rumah ke rumah sehingga ia membakar rumah-rumah dalam satu kampung. Pada masa dulu, semua atap rumah terbuat dari alang sehingga mudah terbakar. Setelah membakar suatu kampung, kakatua terbang lagi ke kampung lain. Orang-orang berusaha mencari kakatua tersebut dan di kampung mana ia berada. Pencarian kampung tempat kakatua berada dalam bahasa setempat disebut ge na wano kaka yang artinya dimana kampung kakatua? Dalam perkembangannya, ucapan tersebut menjadi suatu nama tempat yang disebut Wanokaka. Kakatua tidak dikeramatkan oleh masyarakat meskipun mempunyai peran dalam sejarah penamaan suatu nama tempat. Sebelum penetapan kawasan taman nasional salah satunya bertujuan melindungi burung-burung endemik Sumba, kakatua masih ditangkap untuk dijual. Setelah penetapan kawasan dan penyadaran masyarakat yang terus dilakukan oleh LSM Birdlife dan Pakta Sumba, perlahanlahan masyarakat mulai menyadari mulai menghargai keberadaan burung kakatua dan burung lainnya sehingga penangkapan kakatua semakin berkurang. Pemanfaatan kakatua dalam kehidupan masyarakat Sumba lebih nyata dalam pemanfaatan secara tidak langsung yaitu dalam syair-syair adat, motifmotif kain dan dalam lagu-lagu yang menceritakan tentang kemenangan. Di wilayah Kabupaten Sumba Timur, kakatua menjadi spesies yang dihargai secara khusus bersama burung nuri (Trichoglossus haematodus fortis) karena dijadikan simbol kebersamaan dan musyawarah. Perilaku kakatua dan burung nuri yang selalu
berkelompok
mencerminkan
budaya
orang
Sumba
yang
selalu
mendahulukan kebersamaan dan persaudaaraan dan diharapkan hal itu terus dipertahankan dalam kehidupan orang Sumba. Simbol kebersamaan dan musyawarah untuk mufakat dibahasakan demikian kaka makabuaru pirihu pa oli (ket: kaka=kakatua; pirihu =nuri).