SOSIOLOGI SEBAGAI PENUNJANG STUDI FIQH
SOSIOLOGI SEBAGAI PENUNJANG STUDI FIQH Saifuddin Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Jember Abstrak
Fiqh adalah hasil dari respons faqih/mujahid atas geografis/ lingkungannya. Oleh karena itu fiqh bisa terjadi keragaman antara satu geografis/lingkungan yang satu dengan geografis/lingkungan yang lainnya. Ini bukan berbeda, memang kelihatannya berbeda, sebetulnya, tidak. Tetapi kontekstual, karena masing-masing fiqh merespons dari lingkungan dimana faqih itu berada, Oleh karena itu seorang faqih harus memahami lingkungannya, dimana mereka berada, ini berarti seorang faqih/mujtahid harus mengetahui latarbelakang dari persoalan yang muncul ditengah masyarakatnya. Ini mendorong seorang faqih/mujtahid harus mempelajari ilmu sosiologi, karena ilmu ini bisa dijadikan penunjang untuk memahami gerak dan dinamika masyarakat, sehingga hasil fatwa fiqhnya bisa menjawab dengan tepat persoalan yang muncul. Orang terkadang tidak bisa membedakan antara syari’at dan fikih. Syari’at tidak bisa berubah dan sifatnya universal, sedang fikih itu bisa berubah sesuai keadaan dan situasi. Kata Kunci: Sosiologi, syari’at, dan fiqh. Arti Sosiologi dan Objeknya Sudjono D,SH. Mendefinisikan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat, kehidupan kelompok, seta gejala-gejala sosial yang terdapat dalam pergaulam hidup, sebagaimana adanya. Obyek dari sosiologi adalah masyarakat, tentunya dengan segala apa yang terdapat dalam tiap masyarakat bergerak atau dinamika. Dinamika adalah bagian dari studi sosiologi yang mempelajari masyarakat dalam keadaan dinamik yaitu dasar-dasar perubahan masyarakat dan perkembangan masyarakat, beserta berbagai faktor yang berhubungan dan yang mempengaruhi perubahan atau pergeseran sosial yang terjadi.1 Para sosiolog menyatakan bahwa dalam masyarakat terdapat dinamika sosial, yang artinya terdapat kecenderungan bahwa setiap masyarakat mengalami perubahan atau pergeseran sosial. Pergeseran atau 1
Sudjono D, SH, Pokok-Pokok Sosiologi Sebagai Penunjang Studi Hukum (Bandung,: Alumni, 1977), 25.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
1
Saifuddin perubahan sosial adalah masyarakat yang mengalami perubahan atau pergeseran struktur dan sistem sosialnya, baik berubah karena tergeser oleh gejala sosial yang berproses, maupun dirubah atau digeser oleh pimpinan masyarakat yang menghendaki masyarakat berubah kearah bentuk masyarakat tertentu misalnya agraris ke masyarakat yang industrialis.2 Arti Fiqh dan Obyeknya. Fiqh menurut bahasa adalah ‘faham‘ atau pemahaman yang benar terhadap apa yang dimaksudkan. Sebagai contoh penggunaannya dapat ditemukan dalam pernyataan Nabi saw sebagai berikut:
ْ)للاُْبهْْ َخي ًراْيُفَقِّه ْهُْفىْالدينْْ(رواهْالبخارىْومسلم ْ َْْمنْْيُرْد Barang siapa yang dikehendaki Allah dalam kebaikan, maka Allah akan memberikan pemahaman yang sebenarnya tentang agama (HR.. Bukhari dan Muslim) Kata “yufaqqihu” pada matan di atas memiliki arti memahamkan atau memberi pemahaman. Merujuk pada fakta inilah, maka paham atau memberi pemahaman menjadi arti fiqh dari aspek kebahasaan. Fiqh menurut terminologi didefinisikan sebagai ilmu untuk mengetahui kumpulan-kumpulan dari berbagai aturan hukum Syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalilnya secara rinci. Definisi yang populer adalah :
ْالعل ُْمْباْلَحكَامْْالشَّرعيَّةْْالَّتىْ َطريقُ َهاْاِلجت َها ُد “Fiqh menurut istilah ialah mengetahui hukum-hukum agama Islam dengan cara atau jalan ijtihad.3 Definisi di atas menegaskan adanya tiga unsur yang melekat pada fiqh. Pertama, fiqh merupakan suatu disiplin ilmu. Fiqh merupakan disiplin ilmu tersendiri yang dibangun atas dasar prosedur dan metode ilmiah tersendiri. Metode dan prosedur untuk membentuk dan membangun fiqh dikenal dengan ushul fiqh. Kedua, kajian fiqh hanya mencakup hukum syara’, artinya ketentuan hukum yang dibahas dalam disiplin ini terbatas 2 3
Ibid., 29. Saifuddin Mujtaba, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar (Jember: STAIN Jember Press, 2010 ), 4
2 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
SOSIOLOGI SEBAGAI PENUNJANG STUDI FIQH pada perspektif syari’ah, sehingga materi hukum yang dibuat dan dijadikan sebagai hukum Negara, baik berupa hukum positif maupun hukum adat, tidak termasuk kajian fiqh. Ketiga, salah satu metode dalam membentuk hukum dalam fiqh adalah ijtihad, yaitu upaya pengerahan daya pikir dalam rangka memperoleh suatu keputusan hukum berdasar sumber-sumber hukum yang diakui dalam syari’at Islam. Ketiga unsur di atas, secara jelas dapat dilihat dalam ketentuan wajibnya niat untuk wudlu’. Seperti diketahui, bahwa salah satu rukun wudlu’ adalah niat. Ketentuan ini sejatinya, merupakan produk hukum fiqh setelah melalui proses ijtihad terhadap ketentuan niat yang telah ditetapkan oleh hadits Nabi, beliau bersabda :
إْنَ َماْلَع َما ُْلْبالْنَيات Sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niat “( Muttafaq alaih )4
Hadits di atas memberikan ruang gerak bagi ulama’ untuk melakukan ijtihad. Atas ijtihad yang dilakukannya, maka hukum kewajiban berniat merupakan salah satu pekerjaan yang melekat dan harus dilakukan seperti dalam perbuatan wudlu. Obyek kajian fiqh luas sekali ruang lingkupnya, yaitu seluruh perbuatan manusia lahir, yaitu masalah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dari aspek hukum. Dengan demikian obyek fiqh luas sekali yaitu apa saja yang diperbuat oleh mukallaf pasti akan ditanyakan hukumnya oleh fiqh. Penting sekali ditegaskan disini adalah, munculnya kesadaran umat, terutama dalam dunia fiqh adalah tidak terjadi dalam sekali waktu, tetapi berproses panjang mengikuti alur perjalanan waktu dan luasnya wilayah di mana umat Islam itu berada. Hal ini menandakan bahwa fiqh punya karakter merespon gerak perubahan waktu dan tempat. Antara Syari’at dan Fiqh. Pengertian syari’at dapat didekati dengan dua pendekatan kajian. Pertama. secara harfiyah atau kebahasaan, syari’at berarti sumber air yang menjadi tempat binatang-binatang berkumpul setiap hari untuk minum. Dengan pengertian ini, keberadaan syari’at menjadi tempat dan alamat yang dapat memenuhi kebutuhan kehidupan manusia. Bukan saja 4
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Terjamah Lu’lu’u wal Marjan pent. Salim Bahresy (Surabaya: Bina Ilmu, l995 ), 2
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
3
Saifuddin kebutuhan rohani saja, namun juga kebutuhan jasmaniyah, juga dapat ditemukan dalam syari’at. Selain bermakna sumber air, syariat berarti juga jalan yang lurus. Artinya syari’at adalah menjadi jalan yang dilempangkan setiap individu manusia untuk menggapai kesuksesan dalam menempuh jalan hidupnya. Sebab jalan lurus memiliki arti jalan yang akan membimbing manusia kepada kebaikan, yakni suatu keadaan yang menjadi fitrah kehidupa jiwa mereka.5 Dilihat dari lafadz yang digunakan, kata syari’at banyak disebut dan ditemukan dalam al-Qur’an dengan berbagai bentuk tashrifnya seperti dalam surat al-Jastsiyah 18:
َ َ ٓ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َٰ َ َ َ َ ۡ َ َ ُ َ َِّينََّل َّ ََّشيعةَّٖمِنَّٱۡلم َِّرَّ َّفٱتبِعهاَّوَلَّتتبِعَّأهواءَّٱَّل ِ ثمََّّجعلنَٰكَّلَع َ َ ََّّ١٨ََّي ۡعل ُمون
“ Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’ayt (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.6 Ayat tersebut memberikan informasi menyangkut karakteristik yang melekat pada syari’at. Setidaknya, kandungan ayat tersesbut memberikan penjelasan bahwa, pertama, syari’at itu bersumber dan berasal dari Allah. Kedua, syari’at itu harus diikuti. Ketiga, syari’at tidak memperturutkan keinginan hawa nafsu. Artinya keberadaannya bukan hadir sebagai tuntutan keinginan perorangan.7 Kedua dilihat dalam perspektif terminologis, syari’at difahami sebagai ketentuan dan kektetapan Allah Swt. Yang dijelaskan oleh RasulNya, tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusuia dalam mencapai kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan begitu ketentuan syari’at terbatas hanya dalam firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Dengan kata lain, syari’at itu merupakan ketentuan hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan oleh 5
Manna’ al- Qathan, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam Tarikhan wa Manhajan (Abidin: Maktabah Wahbah, tt), 9. 6 QS. Al-Jatsiyah (45): 18 7 A. Jazuli, Ilmu Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2006), 1.
4 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
SOSIOLOGI SEBAGAI PENUNJANG STUDI FIQH manusia dalam kehidupan. Syari’at dalam pengertian di atas, berisi segala ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan semua aspek kehidupan sebagai implementasi dalam apa yang tercakup di dalam agama. Pengertian syari’at yang demikian ini adalah pengertian syari’at dalam arti luas, yakni meliputi dan mencakup kajian dan aturan bidang kepercayaan atau akidah, bidang fiqh artinya aturan –aturan hukum keseharian, dan bidang pembahasan moral (akhlak). Menunjuk karakteristik di atas, dapatlah diketahui bahwa syari’at merupakan seperangkat aturan yang mengikat manusia dalam segala aspeknya. Sehingga, meski acapkali syari’at difahami secara sempit sebagai aturan hukum karakteristik syari’at terletak pada cakupan pengaturan yang sangat luas, mulai dari soal kepercayaan, ketetapan hukum maupun panduan etika dan moral.8 Di atas telah diuraikan tentang “fiqh” yang awalnya mempunyai makna general, tetapi kemudian mengalami penyempitan makna menjadi pemahaman hukum yang didasarkan pada ijtihad. Sengaja dicantumkan makna syari’at pada pembahasan ini, karena kedua istilah ini sering dikacaukan penggunaannya. Sampai sekarang masih ada kaum muslimin yang mengidentikkan fiqh dengan syari’ah Islam itu sendiri. Hemat penulis, persepsi demikian dikarenakan dominannya fiqh dalam wacana keislaman, sehingga seolah-olah orang yang sudah melaksanakan fiqh, dengan sendirinya telah menjalankan seluruh ajaran Islam. Oleh karena itu perlu adanya klariifikasi, atau lebih tepatnya penegasan kembali tentang “hakekat fiqh” sebagai upaya ijtihadi manusia (yang nisbi dan subjektif) atas teks-teks keagamaan (al-Qur;an dan sunnah yang ambigu). Karena sifatnya yang interpretatif, maka keberadaan fiqh sarat dengan perbedaan. Di sinilah urgensi pembahasan fiqh dan syari’ah. Ketika umat Islam memahami fiqh sebagai syari’at itu sendiri, maka akan “berbahaya” akan kelangsungan hidup manusia, terlebih antar umat Islam. Sebab iklim yang akan muncul adalah klaim-klaim kebenaran masingmasing kelompok, bila klaim kebenaran yang dikedepankan, maka sendi keharmonisan antar umat beragama akan runtuh.9 Asaf. A.A. Fyzee menguraikan definisi fiqh dan syari’at cukup baik yaitu Syari’at mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, ia meliputi segala aspek kehidupan manusia, sedangkan ruang lingkup fiqh lebih sempit, dan menyangkut hal-hal yang yang pada umumnya difahami 8 9
Hasbi Ash-Shiddiqy, Penggantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 19.
Sumanto al-Qurtubi, Era Baru Fiqh Indonesia (Semarang: Cermin, tt), 48.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
5
Saifuddin sebagai aturan-aturan hukum/fiqh. Syari’at mengingatkan kita pada wahyu, ilmu tentang wahyu itu tidak akan diperoleh kecuali dari atau dengan perantaraan al-Qur’an dan hadits: dalam fiqh kemampuan penalaran ditekankan. Arah dan tujuan syari’at ditentukan oleh Tuhan dan Nabi-Nya. Sedang materi yang tercantum dalam fiqh disusun dan diangkat atas usaha manusia. Didalam fiqh, suatu pekerjaan bisa sah atau haram, boleh atau tidak, sementara dalam syari’at terdapat tingkatan yang diperbolehkan dan tidak. Dengan demikian, fiqh merupakan terminologi tentang hukum sebagai salah satu ilmu, sementara syari’at lebih merupakan perintah ilahi yang harus diikuti.10 Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa syari’at mencakup hak-hak dan prinsip-prinsip ajaran Islam, sementara fiqh hanya berkaitan dengan aturan-aturan hukum/fiqh saja. Berbeda dengan syari’at yang mencakup persoalan-persoalan teologi dan etika, aksentuasi kajian fiqh lebih kepada hukum-hukum ijtihadiah dan pencarian hukum melalui istidlal. Dari pengfertian fiqh dan syari’at sebagaimana tersebut terlihat ada kaitan erat antara fiqh dan syari’at. Syari’at diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Untuk keseluruhan apa yang dijehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalan tentang syari’at, sehingga segala masalah amaliah syari’at itu dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Hasil pemahaman terperinci tentang tingkah kaku mukallaf yang diramu/diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’at. Itulah yang disebut fiqh. Jadi, fiqh adalah tidak sekedar ilmu tentang hukum syari’at yang diperoleh dari peroses istidlal, tetapi hukum-hukum itu seringkali disebut fiqh. Sa’at ini teknologi fiqh tidak lagi dimaksudkan sebagai seperangkat ilmu tentang hukum, melainkan hukum-hukum fiqh itu sendiri disebut fiqh.11 Memang fiqh itu, dari segi pengamalannya, bukan dari segi ilmiah, fiqh dari hasil ijtihad mujtahidnya, bagi mujtahidnya itu berstatus qath’i, ia terikat dari hasil ijtihadnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fiqh itu qath’i bagi mujtahidnya dengan arti tidak qath’i bagi selain mujtahid. 10
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudensi. Terj, Aga Garnadi (Bandung: Pustaka, 1984), 8-9. 11 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 ), 48
6 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
SOSIOLOGI SEBAGAI PENUNJANG STUDI FIQH Selain mujtahid hanya diwajibkan bertanya tetapi ia tidak harus terikat dengan sesuatu pendapat dan bebas memilih. Kaidah megatakan al-‘Am la madzhaba lahu (orang awam [selain mujtahid] itu tidak mempunyai madzhab). Jadi, fiqh tidak mengikat bagi selain mujtahidnya. Inilah pendapat yang saya pilih sungguhpun sebagian ulama berpendapat bahwa fiqh mengikat pula bagi muqallid (pengikut, orang awam).12 Apa yang dikemukaka di atas menunjukkan bahwa antara syari;at dan fiqh sangat tipis perbedaannya, sehingga apabila dilihat secara sepintas sering terjadi tumpang tindih dalam mempergunakannya, seringkali para ahli di kalangan kaum Muslimin sendiri menggunakan istilah-istilah ini dalam pengertian yang sama, sebab tolok ukur dari segala perbuatan manusia, baik dalam bidang syari’at maupun dalam bidang fiqh tidak berbeda, yaitu mencari keridlaan Allah dengan cara melaksanakan segala aturan secara sempurna. Agama Islam mengajarkan keyakinan terhadap adanya Allah dan Rasul-rasul-Nya, tetapi ia tidak dapat dan tidak memberikan bagaimana melakukan kepercayaan itu. Dengan kata lain, syari’at dan fiqh sama-sama mencakup hukum-hukum ibadah dan mu’amalah sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dialektika Sosiologi dengan Fiqh Betapapun, pola pikir hukum/fiqh di lingkungan pemikir hukum/fiqh Islam agaknya bervariasi, tetapi semuanya tampak mengacu pada inti pemikiran yang sama. Artinya, keragaman tersebut hanyalah sebagai refleksi dinamika pemikiran dalam rangka mengemban amanat bersama membumikan syar’i. Dengan demikian, keragaman tersebut bukanlah bersifat bawaan, tetapi hanyalah efek samping yang selalu berangkat dari titik terminal yang sama menuju pada fokus tujuan yang sama dan dimonitor oleh kendali yang sama pula. Hanya saja tidak tertutup untuk menempuh pendekatan dan teknis yang berbeda bahkan dimungkinkan menggunakan perangkat yang tidak sama. Jadi keragaman pemikiran hukum/fiqh Islam merupakan eksplisitasi dinamika pergulatan tanggung-jawab moral pemangku dan pengemban adi cipta yang adi luhung.13 Perkembangan fiqh telah berkembang sejak kurun waktu yang cukup lama. Dalam perkembangannya terlihat keragaman yang amat 12
Ibrahim Husen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 6. 13 Mujiono Abdillah, Dialektika Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Surakarta: UMS, 2003), 11.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
7
Saifuddin tajam, baik yang berkenaan dengan teori-teori yang bersifat mendasar maupun beberapa aspek khusus yang bersifat parsial. Keragaman di atas layak menjadi bukti bahwa hukum Islam/fiqh Islam dari generasi ke generasi ternyata telah mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup santer.14 Subhi Mahmashani mengatakan, bahwa tuntutan masyarakat dan perkembangan umum tentang hukum/fiqh acapkali lebih cepat perjalanannya, jika dibanding dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi pada hukum/fiqh itu sendiri.15 Namun mengingat kebutuhan masyarakat yang selalu menuntut adanya perubahan-perubahan dalam arti tututan kepentingannya yang baru (karena perubahan kondisi dan waktu) disamping tuntutan untuk memperoleh jawaban hukum /fiqh yang lebih sesuai dan lebih mendekati antara teori-teori hukum/fiqh dan kenyataan riil (praktis), maka kondisi ini sepertinya telah mendorong eksistensi hukum/ fiqh mengalami perkembangan dan perubahan senada dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat.16 Fiqh Islam sebagai kristalisasi reflektif dari penalaran mujtahid atas teks hukum syar’i selalu sarat dengan muatan ruang dan waktu yag melingkupinya. Hukum Islam bukan lahir dari yang hampa, di ruang hampa melainkan terlahir di tengah dinamika pergaulan kehidupan masyarakat sebagai jawaban solusi atas problematika aktual yang muncul. Problematika masyarakat selalu berubah dan berkembang seiring dengan perubahan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, fiqh Islam otomatis akan selalu berkembang dan berubah selaras dengan perkembangan dan perubahan dan ruang yang melingkupinya.17 Inilah relevansinya hukum Islam/fiqh Islam dikatakan dinamis, elastis, dan fleksibel karena selalu cocok untuk semua masyarakat walaupun selalu berubah dan berbeda. Disamping sarat akan muatan–muatan sosiologis, tak dapat dipungkiri fiqh juga memiliki dimensi teologis. Dan disinilah yang membedakan fiqh dengan hukum dalam pengertian ilmu hukum modern. Akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis ini bisa menimbulkan anggapan bahwa fiqh merupakan aturan yang sakral, bahkan dalam keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk 14
Roibin, Sosiologi Hukum IsIam (Malang: UIN Malang Press, 2008), 31. Shubhi Mahmashani, Filsafat Hukum Islam, terj. Sujono (Bandung: AlMa’arif, 1981), 1786. 16 Roibin, Sosiologi Hukum IsIam, 32. 17 Mujiono Abdillah, Dialektika hukum Islam, 1. 15
8 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
SOSIOLOGI SEBAGAI PENUNJANG STUDI FIQH melakukan evaluasi terhadap aturan-aturan fiqh yang ada, karena secara psikologis telah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang mampu mengantarkan pada cara pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam fiqh ini. Kuatnya pengaruh sakralisme fiqh ini sebenarnya sudah sering terlihat pada sebagian kalangan masyarakat. Pada keadaan tertentu, kenyataan tersebut terkadang membawa kepada suatu anggapan, bahwa dimensi sosiologis tidak begitu penting untuk diperhatikan disaat orang melakukan kajian fiqh. Unsur-unsur sosiologis dan geografis yang sebenarnya sangat banyak memberikan pengaruh terhadap warna fiqh akibatnya banyak ditinggalkan orang ketika melakukan kajian fiqh. Untuk itu perlu diadakan kajian baru yang dapat memperjelas letak serta eksistensi dari aspek-aspek teologis dan sosiologis dalam fiqh tersebut. Dari situ diharapkan, fiqh bukan hanya menyoroti tetang jejak pendapat masing-masing madzhab, tetapi lebih ditekankan pada faktor-faktor pendudukung kemunculannya. Hal ini akan menjadi sebuah pijakan bagi para peminat studi fiqh, terutama dalam langkah aplikatif tanpa mengesampingkan aspek-aspek sosiologis dan teologis yang historis kontektual. Dari sini fiqh akan lebih intens dalam menggapai persoalan ibadah dan muamalah –dalam artian yang seluas luasnya- khususnya yang mengarah kepada visi humanismesosiologis.18 Perubahan masyarakat dalam berbagai aspeknya, dihadapi oleh hukum Islam/fiqh Islam secara deleberetet, artinya perubahan tersebut dihadapi dengan semestinya, disongsong dan diarahkan secara sadar bukan dihadapi secara acuh tak acuh, dibiarkan begitu saja. Ini adalah pengejawantahan dari fungsi hukum Islam/fiqh Islam sebagai perengkuh pengendali masyarakat (social control), perekayasa sosial (social engineering) dan penyejahtera sosial. Dalam hal ini hukum Islam/fiqh Islam telah memberikan prinsip-prinsip penting mengenai pengembangan rasional dalam adaptasi dengan lingkungan barunya.19 Dari kenyataan inilah, Roibi’in mengutip pendapat Akh. Minhaji yang menyatakan bahwa mayoritas umat Islam dan juga agama lain, selalu di hadapkan tarik menarik antara dua kutub ekstrem, yaitu berupa wahyu yang tidak mengalami perubahan dan realitas sosial yang cenderung berubah. Terkesan sekali adanya batas yang sangat kuat diantara 18
M. Amin Suma, Fiqh dalam Rentang Sejarah, dalam Anang Haris Himawan, Epistemologi Syara’’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), x-xi 19 Ibid, 2.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
9
Saifuddin keduanya. Padahal kubu di atas jika ditilik dari kacamata sejarah tidak akan berjalan sendiri- sendiri. Umat Islam akan selalu berusaha untuk memahami inti pesan wahyu Allah dalam rangka untuk merespon persoalan-persoalan umat yang cenderung berubah. Hanya saja pemahaman tersebut telah melahirkan sejumlah tawaran konsep sekaligus aplikasi yang tidak selalu sejalan. Tidak terkecuali dalam lapangan hukum/fiqh Islam, baik dalam tataran metodologis (ushul al-fiqh) maupun aplikasinya (al-fiqh). Padahal sudah seniscayanya pemisahan antar kedua kutub ekstrem itu dalam perspektif Islam tidak seharusnya terjadi. Sebab secara natural akan terjadi proses akulturasi, kolaborasi, bahkan singkritisasi dalam batas-batas yang normal.20 Dan konteks hukum Islam, setelah sekian lama umat Islam terpola dengan abad tengah yang cenderung konservatif, yang selalu menolak adanya perubahan–perubahan dialektik, maka sejak abad modern para ahli hukum Islam (fuqaha’, jurist) semakin menyadari bahwa perubahan baik yang melalui reformasi (ishlah) maupun pembaruan (tajdid ) merupakan sesuatu hal yang tidak bisa ditunda lagi.21 Dari hal di atas, setidaknya muncul suatu argumentasi bahwa hukum/fiqh Islam sejauh ini telah mengalami perkembangan, pembaruan dan perubahan–perubahan dialiktika antara orang dan wahyu yang cukup santer. Fenomena ini bukanlah hal yang baru, melainkan fenomena yang wajar dan tidak bertentangan dengann teori-teori kesearahan bahkan ilmu pengetahuan yang lain. Dinamika masyarakat senantiasa berubah, apalagi dalam kurun waktu terakhir ini, sementarara teks al-Qur’an tidak akan berubah. Maka dibutuhkan proses dialogis antara teks dan konteks. Dengan demikian, pemikiran kearah pengenalan dan aktualisasi al-Qur’an di dalam masyarakat harus dianggap sesuatu yang berkelanjutan. Nilai-nilai universal al-Qur’an dan nilai-nilai lokal masyarakat memerlukan proses akulturasi. Kedua nilai-nilai tersebut tidak harus mesti berhadap-hadapan satu sama lain, namun potensi konflik antar keduanya boleh jadi memang ada. Makin besar rasa pengorbanan dari si penerima, makin seret pula proses itu berjalan. Tetapi sebaliknya, makin terasa persambungan dengan tradisi si penerima, makin lancar pula proses akulturasi tersebut berjalan. Nilai-nilai al-Qur’an, dalam lintasan sejarah, tidak saja harus menjinakkan sasaran-sasarannya, tetapi dirinya terpaksa “diperjinak“, setidaknya untuk senentara waktu. Meskipunn al-Qur’annya 20 21
Roibin, Sosiologi Hukum IsIam , 33.
Ibid.,
10 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
SOSIOLOGI SEBAGAI PENUNJANG STUDI FIQH satu, tetapi keragaman dalam Islam dan dunia Islam tidak bisa dihindari, sebagai konsekuensi ajarannya yang bersifat universal. Dari latar di atas, muncul satu pertanyaan apakah al-Qur’an bisa didekati dengan ilmu sosial, terutama sosiologi? Ini sebuah pertanyaan konseptual yang tidak mudah dijawab karena jarak di antara mereka (alQur’an dan ilmu sosial/sosiologi) masih terentang panjang. Al-Qur’an berisi nilai-nilai yang berasal dari nilai-nilai yang transendental, melampaui dunia nyata, dan berajak pada hakekat kemanusiaan. Sedangkan ilmu-ilmu soaial termasuk di dalamnya sosiologi beranggapan bahwa segala sesuatru haruslah dapat diterangkan secara rasional, dan seperti yang disinyalir oleh filosof ilmu pengetahuan, cenderung untuk menafikan unsur unsur “ manusia “, ilmu-ilmu sosial lebih terpaku pada masyarakat bentuk yang abstrak. Jadi mungkinkah ilmu-ilmu sosial digunakan untuk mendekatkan nilai-nilai al-Qur’an?22 Ada pemikiran sosial yang tida begitu signifikan secara intelektual tetapi sangat signifikan secara sosial. Mengapa pemikiran yang sangat unggul secara intelektual ternya sepi secara sosial. Mengapa beberapa hal yang harus ditolak secara intelektual ternyata masih diterima secara budaya.23 Sosiologi Sebagai Penunjang Studi Fiqh Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum Islam/fiqh dapat dipelajari sebagai hukum azas, sebagai hukum normatif, dan sebagai hukum sosiologis. Karena itu pendekatan sosiologi dapat digunakan sebagai penunjang studi hukum Islam/ fiqh seperti studi Islam pada umumnya. Sosiologi sebagai penunjang studi hukum Islam/fiqh mempunyi sasaran utama prilaku masyarakat, baik sesama muslim, maupun antara muslim dan non muslim, di sekitar masalah-masalah hukum Islam. Sosiologi sebagai penunjang studi hukum Islam/fiqh Islam berguna untuk memahami secara lebih mendalam gejala-gejala sosial di seputar hukum Islam/fiqh, sehingga dapat membantu memperdalam pemahaman hukum/fiqh Islam doktrinal, baik pada tataran hukum azas maupun normatif, dan pada gilirannya membantu memahami dinamika hukum dalam merespon lingkungannya fiqh Islam. Hal ini memberi kesan bahwa hukum/fiqh Islam itu hanyalah produk pemikiran manusia muslim dalam merespon lingkungan sekitarnya. Untuk ini adalah benar, tetapi dalam waktu yang sama juga merupakan ekpresi upaya memahami dan 22
Nasruddin Umar, Kata pengantar Waryono Abdul Gafur, Tafsir Sosial (Yogyakarta; El-Saq Press, 2005), xxii. 23 Ibid., xxiii.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
11
Saifuddin menjabarkan titah kewahyuan dan kehidupan nyata. Itulah terletak dinamika hukum/fiqh Islam dan disinilah pula letak sumbangan penting studi hukum/fiqh Islam dengan pendekatan sosiologi.24 Disinilah letak hubungan antara mempelajari fiqh dan sosiologi yang sama-sama mempelajari tingkah laku manusia. Mengacu pada prebedaan gejala studi Islam pada umumnya, maka hukum/fiqh Islam juga dipandang sebagai gejala budaya, dan sebagai gejala sosial. Filsafat dan aturan hukum/fiqh Islam adalah gejala budaya, sedangkan interaksi orang-orang Islam dengan sesamanya atau hubungan dengan masyarakat non muslim di sekitar persoalan hukum/fiqh Islam adalah gejala sosial. Secara lebih rinci studi hukum/fiqh Islam dapat dibeedakan : a. Penelitian studi hukum/fiqh Islam sebagai doktrin azas. Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah dasar-dasar konseptual/fiqh Islam seperrti seperti filsafat hukum, sumber-sumber hukum, konsep maqashidu al-Syari’ah, al-qawa’id al-fiqhiyah, manhaj al-ijtihad, Thuruq al-Istinbath, konsep qiyas, konsep ‘am dan khash dan lain sebagainya. b. Penelitian Hukum Islam normatif. Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau aturan, baik yang masih dalam bentuk nash maupun yang telah menjadi produk pokok pikiran manusia. Aturan yang masih dalam bentuk nash meliputi ayat-ayat ahkam dan hadits ahkam, sedang yang sudah berbentuk pikiran manusia meliputi kitabkitab fiqih, kitab-kitab fiqh perbandingan, keputusan pengadilan, undang-undang, fatwa ulama’ dan bentuk aturan yang lainnya yang mengikuti seperti Kompilasi Hukum Islam, konstitusi, kodifikasi hukum, perjanjian internasional, deklarasi hak–hak asasi manusia, surat-surat kontrak, surat wasiat, dan surat kesaksian dan sebagainya. c. Penelitian Hukum Islam sebagai gejala sosial. Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah perilaku hukum masyarakat muslim dan msalah-masalah interaksi antar sama manusia, baik antar sesama muslim maupun antara muslim dengan non muslim, di sekitar masalah–masalah hukum Islam. Ini mencakup masalahmasalah seperti seperti politik perumusan dan pencapaian hukum, perilaku penegak hukum, seperti pemikir hukum seperti mujtahid, fuqaha, mufti dean anggota badan legislatif, masalah-masalah 24
HM. Atho’ Mudzhar, Hukun Islam dengan Pendekatan Sosiologi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,1999), 56-57.
12 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
SOSIOLOGI SEBAGAI PENUNJANG STUDI FIQH administrasi dan organisasi hukum seperti pengadilan dengan segala tingkatannya, dan perhimpunan penegak dan pemikir hukum seperti perhimpunan hakim agama, perhimpunan atau kelompok studi peminat hukum Islam, lajanah-lajnah fatwa dan organisasi-organisasi keagamaan, dan juga lembaga-lembaga penerbitan atau pendidikan yang mengkhususkan diri atau mendorong studi-studi hukum Islam. Dalam jenis penelitian ini juga tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan dan evektifitas hukum, masalah pengaruh hukum terhadap pengembangan masyarakat dan sebaliknya pengaruh perkembangan masyarakat terhadap pelaksanaan atau pemikiran hukum, sejarah perkembangan hukum, sejarah perkembangan administrasi hukum, dan masalah-masalah sikap dan kesadaran hukum. Demikian tiga bentuk besar studi hukum Islam yang dapat dilakukan. Ketiga bentuk studi itu dapat dilakukan secara terpisah dan dapat dilakukan secara bersama-sama untuk kaitannya satu sama lain mengenai sesuatu hukum Islam. Dua bentuk studi hukum Islam yang disebut pertama, yaitu staudi hukum Islam sebagai doktrin azaz dan studi hukum Islam normatif, dapat pula digabungkan dan disebut sebagai studi hukum Islam normatif, dapat pula digabungkan dan disebut sebagai hukum doktrinal, sedangkan bentuk studi hukum Islam yang ketiga dapat disebut sebagai studi hukum Islam sosiologis. Dan bentu studi yang pertama melihat Islam sebagai gejala budaya dan bentuk studi yang ketiga melihat Islam sebagai gejala sosial.25 . Dengan demikian bahwa memelajari fiqh tidak bisa lepas dari mempelajari latarbelakang masalahnya yang menyangkut diri mukallaf. Hal ini perlu sekali ditunjang oleh pengetahuhan sosiologi, untuk mengetahui keberadaan daripada si mukallaf itu sendiri, bagaimana prilaku beliau ditengah masyarakatnya.
25
.Ibid., 13-15
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
13
Saifuddin Daftar Pustaka Mujiono, Dialektika Hukum Islam dan Perubahan Sosial(Surakarta: UMS. Press, 2003). Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Terjamah Lu’lu’u wal Marjan pent. Salim Abdullah,
Bahresy (Surabaya: Bina Ilmu, l995). Ghafur, Waryono Abdul, Tafsir Sosial (Yogyakata; EL-SAQ Press, 2005). Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudensi. Terj, Aga Garnadi (Bandung: Pustaka, 1984). Husen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Madzhab Perkawinan(Jakarta: Pustaka firdaus, 2003). Himawan, Anang Haris, Epistimologis Syari;ah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Mudzhar, HM. Atho’, Studi Hukum Islam Dengan Pendekatan Sosiologi (Yogyakarta: IAIN SUKA, 1999). Mujtaba, Saifuddin, Ilmu Fiqh:Suatu Pengantar (Jember: STAIN Jember Press, 2010). Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Roibin, Sosiologi Hukum Islam (Malang; UIN Malang Press, 2008). Sudjono D, Pokok-Pokok Sosiologi Sebagai Penunjang Studi Hukum (Bandung: Alumni, 1997). Ash-Shiddiqy, Hasbi, Penggantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2003). Al-Qurthubi, Sumanto, Era Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Cermin, 1999). Al-Qathan, Manna’, Al- Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam Tarikhan wa Manhajan (Abidin: Maktabah Wahbah, tt).
14 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013