IMPLEMENTASI SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA (SKPPP/SKP3) ( Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan )
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
JINOKO SIMBOLON NIM. 030200113 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007. USU Repository © 2009
IMPLEMENTASI SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA (SKPPP/SKP3) ( Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan )
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH: JINOKO SIMBOLON
NIM. 030200113 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh: Ketua Bagian Hukum Pidana
Abul Khair, S.H., M. Hum
NIP. 131842854 Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.Dr. Syafruddin Kalo, S.H.,M.Hum NIP. 1310809557
Abul Khair, S.H., M. Hum NIP. 131842854
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................... iv ABSTRAKSI ............................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Perumusan Masalah ................................................................... 11 C. Tujuan Penelitian....................................................................... 12 D. Manfaat Penelitian..................................................................... 12 E. Keaslian penelitian .................................................................... 14 F. Tinjauan Kepustakaan 1. KUHAP Sebagai Hukum Nasional a. Asas-asas atau Prinsip-prinsip Hukum dalam KUHAP ... 14 b. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP .......... 26 2. Pengertian Penuntut Umum dan Penuntutan ........................ 31 3. Pengertian Praperadilan ........................................................ 33 G. Metode Penelitian ...................................................................... 38 H. Sistematika Penulisan ................................................................ 41 BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, ALASAN DAN PROSEDUR HUKUM PENGELUARAN SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP/SKP3) A. Wewenang Penuntut Umum dan Hubungan Penyidik dengan Penuntut Umum ....................................................................... 44 Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007. USU Repository © 2009
B. Pengaturan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3) Menurut KUHAP a. Penghentian Penuntutan ......................................................... 51 b. Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum (Deponering/Deponeer) .......................................................... 67 C. Pengaturan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3) Menurut KUHP a. Dasar Peniadaan Penuntutan .................................................. 71 b. Hapusnya Hak Menuntut ....................................................... 72 BAB III AKIBAT ATAU KEKUATAN HUKUM SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP/SKP3) 1. Akibat Ditinjau dari Sudut Juridis ........................................... 76 2. Akibat Ditinjau dari Sudut Sosiologis ...................................... 80 3. Akibat Terhadap Status Hukum Terdakwa, Benda Sitaan/ Barang Bukti dan Terhadap Kerugian Negara serta Pihak Ketiga ..................................................................................... 82 BAB IV IMPLEMENTASI UPAYA HUKUM PRAPERADILAN DAN BANDING TERHADAP SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP/SKP3) A. Wewenang Hakim dan Pihak Ketiga Dalam Upaya Praperadilan atas Penerbitan SKP3 Berdasarkan KUHAP ...... 88 B. Latar Belakang dan Alasan Hukum Penghentian Penuntutan Perkara Soeharto Oleh Kejaksaan Agung Cq. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ................................................................................... 92 Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007. USU Repository © 2009
C. Prosedur dan Pelakasanaan Praperadilan atas Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) ............................. 109 D. Alasan Tidak Sahnya Menurut Hukum dan Akibat Juridisnya SKPPP/SKP3 Soeharto Setelah Adanya Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ........................................... 127 E. Dasar Hukum dan Alasan-alasan Diterimanya Permintaan Banding dari Termohon yang Membatalkan Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPPP/SKP3 Soeharto............................................................ 131 F. Konsekuensi Yuridis dari Putusan pengadilan Tingkat Banding (PT DKI Jakarta) terhadap SKPPP/SKP3 H.M Soeharto .......................................................................... 139 BAB V KASUS DAN ANALISA KASUS A. Kasus ...................................................................................... 141 B. Analisa Kasus.......................................................................... 150
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................. 156 B. Saran ....................................................................................... 162
DAFTAR PUSTAKA
Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007. USU Repository © 2009
ABSTRAK *Prof.Dr. Syafruddin Kalo S.H., M.Hum *Abul Khair S.H., M.Hum *Jinoko Simbolon
Di dalam skripsi yang berjudul “ Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana ( SKPPP/ SKP3 ) ( Studi Kasus Perkara Soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ini mengetengahkan suatu permasalahan yang terjadi yakni bagaimana peraturan perundang-Undangan dan alasan serta prosedur hukum pengeluaran surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) pidana ditinjau dari KUHAP dan KUHP dan bagaimana akibat-akibat hukum atau kekuatan mengikat surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP) pidana dan bagaimana implementasi upaya hukum Praperadilan dan banding terhadap penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) kasus penghentian penuntutan perkara Soeharto. Setiap perkara yang sudah dilimpahkan ke pengadilan atau berada dalam tahap penuntutan perlu mendapat proses penyelesaian demi adanya kepastian hukum dan terhadap perkara yang proses penyelesaiannya masih menggantung karena tidak ditemukannya fakta/bukti baru atau tidak terpenuhinya bukti-bukti serta dengan alasan perkara ditutup demi hukum maka perkara tersebut dihentikan penuntutannya sampai ditemukannya bukti/fakta baru, maka penuntut umum menuangkannya dalam surat ketetapan yang disebut SKPPP/SKP3 yang pengaturannya terdapat dalam Hukum Acara Pidana Pasal 140 ayat 2a. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-Undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan SKPPP/SKP3. Pendekatan sosiologis artinya melakukan penelitian langsung ke Pengadilan Negeri jakarta Selatan. Metode pendekatan yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis atau social-legal approach. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa dokumen-dokumen rsmi, peraturan Perundang-Undangan, buku-buku karya ilmiah, majalah, pendapat para sarjana, surat kabar, artikel dan data-data dari internet dan sebagainya, kemudian data diolah secara kualitatip. Dengan keluarnya SKPPP/SKP3 maka akan membawa konekuensi atau akibat hukum baik ditinjau dari sudut juridis yaitu dapat kembali dilakukan penuntutan apabila dikemudian hari ditemukan bukti-bukti baru dan dinyatakan tidak sah secara hukum sehingga menimbulkan keberatan yaitu akan membawa pro dan kontra di masyarakat sehingga masyarakat tidak mendapat kepastian hukum. Dan akibat terhadap status terdakwa yaitu statusnya otomatis gugur sebagai terdakwa dan segala benda sitaan dikembalikan sementara terhadap kerugian negara menjadi sulit untuk dikembalikan. Adapun tujuan dasar dari upaya hukum praperadilan dan banding terhadap surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP) adalah merupakan satu Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007. USU Repository © 2009
cermin pelaksanaan dari asas Presumption of Innocence (asas praduga tak bersalah) sehingga setiap orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang baik dan benar dan mendapatkan perlindungan harkat dan martabat manusianya. Dengan adanya lembaga praperadilan ini maka setiap tindakan kesewenang-wenangan trhadap hak asasi manusia tersebut dapat diuji apakah prose peradilan terhadap adanya penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) yang dilaksanakan oleh kejaksaan telah sah menurut UndangUndang. Disamping pihak keluarga, kuasa hukum maupun tersangka sendiri yang mengajukan permohonan praperadilan pihak ketiga yang merasa berkepentingan juga memiliki hak dan kewajiban untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan umum/masyarakat. Peran pihak ketiga yang berkepentingan tersebut dapat dilihat perannya pada penghentian penuntutan perkara Soeharto sebagai terdakwa dugaan tindak pidana korupsi menyalahgunakan kekuasaan menghimpun dana bagi yayasan yang dipimpinnya. Dalam skripsi ini penulis mencoba menganalisa suatu kasus perkara korupsi H.M. Soeharto yang dihentikan penuntutannya oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) dan penyelesaiannya melalui upaya hukum praperadilan dan banding terhadap SKP3 Soeharto
* Guru Besar Fakultas Hukum Universitar Sumatera Utara * Dosen Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007. USU Repository © 2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lebih populer dengan KUHAP telah diberlakukan dalam rentang waktu yang relatif panjang/lama, yakni sejak tanggal 31 Desember 1981. Namun demikian Martin Basiang menyatakan bahwa dalam pelaksanaannya khususnya yang berkenaan dengan penuntutan masih cukup banyak hal yang belum sinkrone dengan maksud dan tujuan pembentuk Undang-Undang tersebut. 39 Salah satu ciri hukum adalah ketidakpastiannya, sehingga manakala kita menghadapi suatu kejadian, kita harus secara tegar dan pasti menjawabnya. Itu tuntutan hukum, ini adalah hukum, itu adalah melawan hukum, kita menarik garis pemisah yang tajam dan kita kemudian ragu. Ketika kontroversi terjadi pada kasus mantan Presiden Soeharto, hukum positif yang bertugas menjawab ketidakpastian menyatakan Soeharto harus di adili, kenyataan menunjukkan lain ketika tim dokter menyatakan Soeharto menderita brain damage permanen sehingga tidak fit untuk diadili dan dibawa kepengadilan. Hukum positif c.q. KUHAP hanya mengatur 3 hal di mana seorang terdakwa tidak dapat dituntut ke pengadilan, yaitu meninggal dunia (mati), menjadi gila (sakit ingatan), dan dinyatakan di bawah pangampuan (onder curatele). Timbul keraguan di kalangan penegak hukum bagaimana menegakkan hukum sesuai dengan due process of law. Di tengah keraguan ini tiba-tiba saja 39
Martin Basiang, Rapat Kerja Kejaksaan se Sumatera Utara tanggal 22 Juni 1994.
1
2
Kejaksaan
Agung
mengeluarkan
SKPPP
(Surat
Ketetapan
Penghentian
Penuntutan Perkara) yang menghebohkan dunia hukum. Apa latar belakang dikeluarkannya SKPPP? Politis atau hukum? Memang Soeharto sakit tidak bisa dipaksa dibawa dan diadili ke pengadilan. Tetapi apakah pengeluaran SKPPP ini dapat dibenarkan secara hukum? Itu menjadi masalah yang pelik. Uniknya, alasan dikeluarkannya SKPPP untuk kepastian hukum agar perkara Soeharto tidak digantung terus-menerus. Sebaliknya, Jaksa Agung juga menyatakan kalau ternyata nanti Soeharto sembuh, tidak tertutup kemungkinan dituntut lagi. Kembali lagi terjadi ketidakpastian hukum. Dalam pemikiran hukum (rechtsdenken), masyarakat minta jawaban tentang keadilan. Apakah adil kalau proses pengadilan Soeharto dihentikan begitu saja dengan SKPPP? Tetapi apakah juga adil kalau Soeharto yang sakit dipaksa untuk diadili? Di sinilah otoritas hukum (rechtsgezag) dipertanyakan. Sampai di manakah hukum mempunyai otoritas? 40 Kekurangserasian praktek pelaksanaan KUHAP dimaksud antara lain disebabkan memang antara KUHP dan KUHAP latar belakang pembentukannya berbeda secara mencolok. KUHP sebagai hukum materiil yang pelaksanaan dan penegakannya dilakukan melalui ketentuan-ketentuan KUHP sebagai hukum formal adalah produk hukum warisan kolonial sedang KUHAP itu sendiri adalah produk hukum nasional. Sebagai produk hukum kolonial, sudah tentu ia mengandung ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan
40
2006.
Frans H Winarta, Sorotan Hukum, Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia, Jakarta,
3
kolonial, sedang KUHAP sebagai produk hukum nasional adalah perangkat yang bertujuan mengabdi pada kepentingan nasionaL. 41 Disamping itu, peralihan dari Hukum Acara Pidana yang lama (Het Herziene Inlandsch reglement- staatsblad Tahun 1941 Nomor 44), sedikit banyaknya masih “membekas” dalam praktek, sehingga dalam praktek peradilan kini” Nafas” HIR tersebut masih nampak. Ruslan Saleh mengatakan dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah penuntutan yang ditetapkan dalam KUHAP masih terdapat adanya ketentuan yang menimbulkan keragu-raguan yang pada akhirnya memancing timbulnya penafsir yang beraneka ragam. Timbulnya penafsiran demikian disebabkan pembentuk Undang-Undang sendiri tidak memberikan penjelasan resminya, bahkan ketentuan yang kurang jelas tersebut dalam penjelasan resminya dinyatakan sebagai “ cukup jelas”. 42 Guna
mengatasi
hal
tersebut
telah
ditempuh
berbagai
langkah
kebijaksanaan antara lain : diterbitkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01 – PW 07.03 tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP, Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.14PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, penataran gabungan antar aparat penegak hukum, Makehjapol I dan II, Rapat-Rapat Koordinasi dan Rapat teknis dan sebagainya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa dalam praktek masih cukup banyak perbedaan persepsi antar aparat penegak hukum dilapangan. Perbedaan-perbedaan persepsi tersebut perlu diatasi, guna memberikan kepastian dan ketertiban dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan. Untuk itu dalam upaya penegakan hukum tersebut maka Kejaksaan Republik
41
H. HAMurat HAMid, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan dan Penuntutan Dalam Bentuk Tanya Jawab,1991, Tanpa Penerbit. 42 Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Penerbit Aksara Baru, 1981.
4
Indonesia telah mempersiapkan hal-hal yang menyangkut proses penanganan perkara pidana umum dimulai dari penerimaan Surat Pemberitahuan Dimualinya Penyidikan (SPDP) dari penyidik Polri hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut Sukarton Marmo Sudjono menyatakan bahwa: “Penanganan suatu proses pidana tahap demi tahap berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakkan dasar-dasar bagi tahap yang lain dan setiap tahap berhubungan erat dan saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu proses penanganan perkara pidana dikatakan suatu integrated ceiminal justice system adalah sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara secara keseluruhan dan kesatuan (administration of criminal justice system)”. 43 Sebagai landasan dalam meningkatkan kinerja Kejaksaan dalam penegakan hukum khususnya penyelesaian perkara pidana sesuai asas sederhana dan cepat, selain mengacu pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga berkewajiban mempedomani Keppres No. 86/1999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep.-115/J.A/10/1999 tentang Susunan Organisasi Tata Kerja Kejaksaan RI (khususnya mengatur susunan organisasi Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri), petunjuk-petunjuk teknis, surat edaran, serta instruksi-instruksi Jaksa Agung lainnya. Untuk meningkatkan kinerja lembaga penuntutan di Kejaksaan Tinggi maka pada Pasal 546 Kep-115/J.A/ 10/1999 tanggal 20 oktober 1999, telah mengatur bahwa Asisten Tindak Pidana umm terdiri dari: a. Seksi pra penuntutan b. Seksi penuntutan c. Seksi upaya hukum, eksekusi dan eksaminasi. 43
Sukarton Marmo Sudjono, 1989, Pengakuan Hukum di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, Jakarta, hal.30.
5
Sesuai Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP. 115/ J.A/10/1999, tanggal 20 Oktober 1999 Pasal 551, seksi penuntutan mempunyai tugas melakukan penuntutan, terhadap perkara Tindak Pidana umum hasil penyidikan penyidik serta pengadministarsian dan pendokumentasian. Sedangkan Pasal 552 seksi penuntutan melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 551, Seksi penuntutan menyelenggarakan fungsi: a. Penerimaan hasil penyidikan, tanggung jawab tersangka dan barang bukti/ sitaan dari seksi Pra penuntutan untuk selanjutnya diteliti dan ditentukan apakah telah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan melalui Kejaksaan Negeri setempat. b. Pengendalian penuntutan, penghentian penuntutan dan upaya hukum c. Pelaksanaan eksaminasi dan persiapan usul, saran serta pendapat yang berhubungan dengan penuntutan, penghentian penuntutan dan upaya hukum sebagai bahan kebijaksanaan tindakan penuntutan. d. Penyelenggaraan administrasi penerimaan hasil penyidikan tersangka tahanan dan barang bukti/ sitaan dan pelaksanaan upaya hukum serta eksaminasi. Pasal 553 keputusan Jaksa Agung RI Nomor: kep. 115/J.A/10/1999, tanggal 20 Oktober 1999 menyebutkan seksi penuntutan terdiri dari: a. Subseksi orang dan harta benda b. Subseksi keamanan negara, ketertiban umum dan Tindak Pidana umum lainnya. Sesuai
Pasal
554
Keputusan
Jaksa
KEP.115/J.A/10/1999, tanggal 20 Oktober 1999 bahwa:
Agung
Ri
nomor
:
6
(1). Subseksi orang dan harta benda mempunyai tugas melakukan administrasi penuntutan, pengendalian penuntutan dan pengolahan data, penuntutan terhadap orang dan harta benda. (2). Subseksi keamanan Negara, ketertiban umum dan Tindak Pidana umum lainnya mempunyai tugas melakukan administrasi penuntutan, pengendalian penuntutan dan pengolahan data, penuntutan terhadap Tindak Pidana yang menyangkut keamanan Negara, ketertiban umum dan Tindak Pidana umum lainnya. Sehingga lembaga penuntutan dalam hal ini adalah sebagai proses acara pidana penuntut umum dalam melaksanakan penuntutan sesuai dengan Pasal 137 KUHAP berbunyi: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim sidang pengadilan” Dalam menjalankan fungsi penuntutan Jaksa Penuntut Umum terlebih dahulu mempersiapkan tindakan pra penuntutan yaitu menentukan berkas hasil penyidikan tersebut sudah memenuhi persyaratan yuridis untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan, artinya penuntut umum melimpahkan wewenang dan tanggung jawab suatu perkara yang telah diterima dari penyidik kepada pengadilan untuk menetapkan hari persidangan untuk mengadili perkara dan menetapkan panggilan terdakwa dan para saksi. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
7
Untuk mempercepat penanganan berkas perkara tersebut maka menurut Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa: Koordinasi kerja antara kepolisian dan kejaksaan menurut KUHAP (yang merupakan hukum positip acara pidana di Indonesia dapat diselenggarakan melalui lembaga “ pra penuntutan”. Lembaga ini merupakan “daerah perbatasan” antara wewenang penuntutan, sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk menyusun suatu kebijakan criminal dalam bidang penyidikan dan penuntutan yang terpadu. Dalam KUHAP Lemabaga pra penuntutan (mungkin dianggap sebagai “tahap” dalam proses peradilan pidana yang merupakan rangkaian kesatuan) ini kurang dijelaskan dan dalam praktekpun rupanya hanya melihanya sebagai “kotak pos” pemindahan dokumen-dokumen antara penyidik dan penuntut. Apabila lembaga pra penuntutan ini ingin dikembangkan, maka harus diusahakan tahap penyidikan dan tahap penuntutan sejauh mungkin harus diselaraskan (tune up). 44 Yang menjadi kendala dalam pelaksanaan KUHAP yaitu menempatkan posisi penyidikan terpisah dari penuntutan. Menurut ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP menyebutkan Polri berwenang dalam penanganan proses penyidikan sehingga jaksa tidak dapat ikut bersana-sama dalam proses penyidikan yang akhirnya menimbulkan kerancuan karena posisi suatu perkara terkadang dapat menjadi tidak jelas. Seringkali berkas perkara yang telah dikembalikan dengan petunjuk untuk dilengkapi penyidik tidak kembali atau sangat lama baru dapat dipenuhi oleh penyidik. Demi terlaksananya kepentingan pemeriksaan Tindak Pidana UndangUndang memberi kewenangan kepada pihak penyidik dan penuntut umum untuk melaksanakan berbagai tindakan upaya paksa berupa penangkapan , penahanan, penyitaan, termasuk penghentian penyidikan dan penuntutan oleh pihak penyidik dan penuntut umum atau Polisi dan Jaksa Penuntut Umum. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakekatnya merupakan perlakuan yang bersipat : 44
Mardjono reksodiputro, Hak Aasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan ( d/h lembaga Kriminologi ) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal.96.
8
a. Tindakan paksa yang dibenarkan oleh Undang-Undang demi kepentingan pemeriksaan tindal pidana yang disangkakan kepada tersangka. b. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan oleh hukum dan Undang-Undang. Setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka. Sesuai dengan kebijakan penuntutan, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal ini diatur dalam Pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke pengadilan ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik maka penuntut umum membuat suatu ketetapan mengenai hal itu diatur dalam Pasal 140 ayat 2 butir a KUHAP. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib dibebaskan (Pasal !40 ayat 2 butir b). Mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 ayat 2 butir a, pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “perkara ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab VIII buku I tentang hapusnya hak menuntut tersebut diatur dalam Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 82 KUHP Menurut Van Bemmelen bahwa keadaan-keadaan yang membuat penuntut umum tidak boleh melakukan penuntutan terhadap terdakwa disebut peniadaan penuntutan (Vernolggingsuitsluitingsrounden), sedangkan keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang sehingga tidak dapat menjatuhkan pidana
9
terhadap terdakwa disebut dasar-dasar yang meniadakan pidana. Sehingga sering kali sukar dibedakan antara keduanya, karena pembuat Undang-Undang di dalam rumusannya tidak terlalu jelas. Suatu rumusan Undang-Undang kadang-kadang dapat diartikan sebagai ketentuan pidana yang tidak dapat diberlakukan dalam keadaan-keadaan yang telah disebutkan dalam rumusan tersebut , dalam arti bahwa penuntut umum tidak dapat melakukan penuntutan terhadap orang terdakwa berdasarkan bahwa terdakwa telah melanggar ketentuan pidana tertulis, padahal yang dimaksud ialah pembuat Undang-Undang sebenarnya adalah untuk memberitahukan kepada hakim, Bahwa ia tidak boleh menjatuhkan pidana. Sementarra dalam kasus perkara Soeharto meski Kejaksaan Agung telah menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara atau SKPPP 11 Mei 2006, polemik status dan peradilan kasus Soeharto tetap meninggalkan perdebatan pro-kontra yang tidak lagi membawa karakteristik dari pemaknaan due process of law. Sehingga politisasi hukum kasus Soeharto menjadi rutinitas dalam kehidupan hukum, maka sah tidaknya validitas penerbitan SKPPP dipertanyakan.
Kehendak pengusutan mantan Presiden Soeharto melalui Pasal 4 TAP MPR No XI/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 yang menyatakan, upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus tegas dilakukan terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroni, swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak asasi manusia. Politisasi hukum Soeharto akan selalu menentukan kredibilitas kekuasaan sehingga pelaksanaan Pasal 4 TAP MPR No XI inilah yang dijadikan barometer politik berhasil-tidaknya kekuasaan dalam menjalankan roda perputaran pemerintahan. Ada dua persoalan yang
10
menjadi atensi penerbitan SKPPP, yaitu apakah penerbitan SKPPP menjadi kompetensi Kejagung dan SKPPP tidak menghendaki implementasi TAP MPR No XI.
Dalam pemahaman hukum, Pasal 4 TAP MPR No XI terhadap Soeharto telah dilaksanakan, artinya peradilan atas Soeharto telah berakhir. Pada proses pra-ajudikasi, implementasi prosedural yuridis kasus Soeharto dilaksanakan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bahkan telah ada finalisasi melalui proses ajudikasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Mahkamah Agung melalui putusan final Nomor 1846 K/Pid/2000, 2 Februari 2001. Bahkan, Ketua MA, melalui surat No KMA/865/12/2001, 11 Desember 2001, memberi pendapat hukum karena Tim Dokter menyatakan, terdakwa tidak dapat disembuhkan, maka terdakwa (Soeharto) tidak dapat diajukan ke persidangan. Hal ini dapat diartikan, amanat Pasal 4 TAP MPR No XI memiliki daya jangkau aplikatif yang telah dilaksanakan oleh kekuasaan Negara. 45
Dengan keluarnya SKPPP Soeharto yang dianggap bertentangan dengan hukum tersebut dan banyaknya yang pro kontra atas keteatapan tersebut maka pemohon atau pihak ketiga mengajukan permohonan Praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya SKPPP tersebut yang dilimpahkan kewenangannya kepada Praperadilan yang merupakan suatu lembaga yang di bentuk khusus untuk menguji satu proses sebelum sampai pada tahap beracara di Peradilan. Praperadilan bukanlah merupakan hal yang baru dalam dunia Para Peradilan
45
Kompas, 24 Mei 2006, hal.1.
11
Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Adapun tujuan dasar dari Praperadilan ini adalah merupakan satu cerminan dari asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) sehingga tiap orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang wajarmdan mendapatkan perlindungan harakat dan martabat manusianya. Eksistensi dan kehadiran Praperadilan, bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri tetapi hanya merupakan wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang fungsi dan tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Sebab wewenang fungsi Pengadilan Negeri bukan hanya saja mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata saja sebagai tugas pokok tetapi disamping tugas pokok tersebut Pengadilan Negeri diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, pengahentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum,
yang wewenang
pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan. 46
B. Perumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian dan latar belakang diatas dapatlah dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok bahasan berkenaan dengan SKPPP sebagai berikut:
46
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan,Bbanding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Edisi Kedua, Cetakan Kelima, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.1
12
1. Bagaimana Peraturan Perundang-Undangan dan alasan serta prosedur hukum pengeluaran Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) Pidana ditinjau dari KUHAP dan KUHP ? 2. Bagaimana akibat-akibat hukum atau kekuatan mengikat Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) Pidana.? 3. Bagaimana Implementasi upaya hukum Praperadilan dan Banding terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP / SKP3 ) Kasus Penghentian Penuntutan Perkara Soeharto?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui mekanisme Peraturan Perundang-Undangan dan alasan serta prosedur hukum pengeluaran Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) ditinjau dari KUHAP dan KUHP. 2. Untuk mengetahui akibat-akibat hukum atau kekuatan mengikat Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) 3. Untuk mengetahui implementasi upaya hukum Praperadilan dan Banding terhadap Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) Kasus Penghentian Penuntutan Perkara Soeharto serta untuk mengetahui analisa kasusnya.
D. Manfaat Penelitian Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk: 1. Manfaat secara Teoritis
13
a. Yaitu untuk memberikan suatu pengembangan wawasan dan pemikiran sekaligus urgensi pengetahuan baik untuk kalangan mahasiswa sendiri atau para akademis sebagai bibit unggul yang pada saatnya akan menjadi kalangan yang berguna dan menjadi generasi penerus bangsa di masa yang akan datang maupun masyarakat umum yang masih belajar untuk memahami, menyerap dan serta ingin tahu apakah sebenarnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan perkara (SKPPP) tersebut. b. Untuk dapat memberikan suatu khasanah pengetahuan mengenai prosedur hukum SKPPP yang terdapat dalam ketentuan Acara Pidana Indonesia yaitu KUHAP maupun KUHP c.
Serta memberikan pengetahuan mengenai upaya hukum Praperadilan atas SKPPP serta perkembangan Perkara kasus Soeharto yang menjadi bahan Informasi.
2. Manfaat secara Praktis Untuk dapat mengetahui secara jelas mekanisme Perundang-Undangan dan alasan hukum terbitnya SKPP dan pihak-pihak mana yang mengajukan permohonan Praperadilan dan apa saja yang menjadi landasan atau alasan-alasan diajukannya permohonan Praperadilan atas SKPPP tersebut. Disamping itu dapat juga bermanfaat bagi para penegak hukum untuk dapat mengkaji ulang
bagaimana dalam prosedur penerbitan
SKPPP. Dan Kasus Soeharto yang semula dinyatakan ditutup demi hukum yang kemudian di Praperadilankan sehingga kembali dibuka yang sampai sekarang belum selesai karena alasan tidak laik atau sakit dan lain-lain.
14
Oleh karena itu maka penulisan skripsi ini kiranya dapat bermanfaat dalam hal penyelesaian kasus yang serupa baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. E. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Sepanjang penelusuran di perpustakaan yang dilakukan belum terdapat judul dan permasalahan yang sama dengan tulisan ini. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada Penulis yakin substansi pembahasannya berbeda. Sehingga skripsi ini benar-benar merupakan tulisan yang beda dengan tulisan yang
lain.
Dengan
demikian
keaslian
Penulisan
skripsi
ini
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Tinjauan Kepustakaan 1. KUHAP Sebagai Hukum Nasional A. Asas-asas atau Prinsip-prinsip Hukum dalam KUHAP Landasan asas atau prinsip, kita artikan sebagai dasar patokan hukum yang melandasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penerapan penegakan hukum. Asas-asas atau prinsip hukum inilah tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan PasalPasal KUHAP. Bukan saja hanya kepada aparat penegak hukum saja asas atau prinsip hukum dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP. Menyimpang dari prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada KUHAP, berarti orang yang bersangkutan telah sengaja
15
mengabaikan hakekat kemurnian yang dicita-citakan KUHAP. Dan cara penyimpangan yang seperti itu nyata-nyata mengingkari dan meyelewengkan KUHAP kearah tindakan yang berlawanan dan melanggar hukum. Bagi mereka yang terpanggil jiwanya untuk melaksanakan KUHAP secara utuh dan konsekwen, mereka harus terlebih dahulu sungguh-sungguh dan seksama menyimak dan memahami makna yang terkandung dalam asas-asas atau prnsipprinsip hukum yang terdapat dalam KUHAP. Tanpa memiliki pengertian yang senapas dengan jiwa yang terkandung dalam prinsip-prinsip hukum yang digariskan KUHAP, Pasal-Pasal KUHAP hanya akan menjadi rumusan-rumusan mati dan kering, dan takkan mampu mengemban penegakan hukum yang sejajar dengan jiwa dan semangat landasan filosofisnya serta landasan konstitusinya. Perangkat-Undang-Undang yang tidak memiliki asas atau prinsip-prinsip hukum, tidak dapat dikatakan hukum yang efektif serta tidak dapat dikatakan sebagai hukum
yang
mampu
berdiri
menantang
kehendak
itikad
buruk
dari
pelaksanaannya. 47 Asas-asas atau Prinsip-prinsip yang terdapat dalam KUHAP meliputi: a. Asas/ Prinsip Legalitas Asas atau prinsip legalitas ini dengan tegas disebutkan dalam konsiderans KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi: “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjungjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
47
M. Yahya Harahap, Pembahasan
16
dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dari bunyi kalimat di atas dapat kita simak: 1. Negara Republik Indonesia adalah “Negara hukum” berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2. Negara menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. 3. Setiap warga Negara” tanpa kecuali” wajib menjungjung hukum dan pemerintahan. Jelaslah KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah Undang-Undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak “ the Rule of Law semua tindakan penegakan hukum harus: 1. berdasarkan ketentuan hukum dan Undang-Undang 2. menempatkan kepentingan hukum dan Perundang-Undangan di atas segala-segalanya. 48 Legalitas berasal dari kata Legal (latin), aslinya legalis, artinya sah menurut Undang-Undang. Asas legalitas ini dikenal sebagai berikut: 49 1. Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali bedasarkan ketentuan Perundang-Undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
48
Ibid. Hal 34. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana (Dalam Teori dan Praktek), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, Hal 2. 49
17
2. Asas dalam hukum acara pidana, bahwa setiap perkara pidana harus diajukan ke depan hakim. Dalam KUHAP, konsideran huruf a mengatakan, “Bahwa Negara Republik Insonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang menjungjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. b. Perlakuan Yang Sama Atas Diri Setiap Orang Di Muka Hukum (Equality Before the Law) Asas ini terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok kekuasaan kehakiman berbunyi; pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan-bedakan orang. Dan penjelasan umum butir 3 a KUHAP berbunyi; perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. 50 c. Prinsip Keseimbangan Asas ini dijumpai dalam konsiderans huruf c yang menegaskan bahwa dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara: 1. perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan 2. perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Maka aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum, tidak boleh berorientasi kepada kekuasaan semata-mata dan
50
Ibid, Hal 3.
18
harus menempatkan diri dalam suatu acuan pelaksanaan penegakan hukum yang berlandaskan keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan dan perlindungan
ketertiban
masyarakat
dengan
orientasi
kepentingan
dan
perlindungan hak-hak asasi kemanusiaan. 51 d. Asas Praduga Tak bersalah ( Presumption Of Innocent) Asas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Asas ini juga telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970 yang berbunyi: “Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap” Menurut M. Yahya Harahap, asas Praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “ Prinsip Akusator” Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka /tersangka dalam setiap tingkat pemeriksaan: a) Adalah subyek; bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. b) Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip Akusator adalah kesalahan (Tindak Pidana ) yang dilakukan oleh tersangka / terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. 52 e.
Penangkapan,
Penahanan,
Penggeledahan,
dan
Penyitaan
Berdasarkan Perintah Tertulis Pejabat Yang Berwenang.
51 52
M. Yahya Harahap, op.cit., Hal 36. Ibid., Hal 39.
Dilakukan
19
Asas ini terdapat dalam penjelasan KUHAP butir 3 b. secara rinci dalam hal penangkapan diatur dalam Pasal 15 sampai dengan 19 KUHAP. Sedangkan dalam Peradilan militer diatur dalam Pasal 75 sampai dengan 77 UU No. 31 Tahun 1997. Penahanan diatur dalam Pasal 20 sampai dengan 31 KUHAP. Dalam peradilan militer diatur dalam Pasal 78 sampai dengan 80, dan Pasal 137 dan 138 UU No. 31 tahun 1997. Selain perintah penahanan dilakukan secara tertulis , yang lebih prinsip lagi dalam KUHAP dan peradilan militer diatur pembatasan penahanan. Penggeledahan diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP. Dalam peradilan militer diatur dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 86 UU No. 31 Tahun 1997. Sedangkan penyitaan diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP. Dalam peradilan militer diatur dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 95 UU No. 31 Tahun 1997. 53 f. Prinsip Pembatasan Penahanan Mengenai batas waktu penahanan dapat dirinci sebagai berikut: 54 1) Penyidik paling lama hanya dapat menahan seseorang selama 20 hari dan perpanjangan 40 hari 2) Penuntut umum melakukan penahanan selama 20 hari atas perintah penuntut umum sendiri dan perpanjangan 30 hari 3) Hakim Pengadilan Negeri atas perintah hakim sendiri selam 30 hari dan perpanjangan selama 60 hari. 4) Hakim pengadilan tinggi atau majelis yang bersangkutan selama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 60 hari. 53 54
Mohammad Taufik Makarao & Suhasril, op.cit, Hal 6. M. Yahya harahap, op.cit, Hal 42-43.
20
5) Mahkamah Agung atas perintah hakim Agung atau Majelis selama 50 hari dan perpanjangan selama 60 hari. Jadi mulai dari penyidik sampai ke Mahkamah Agung paling lama 400 hari. g. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Asas ini terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3d. Pasal 9 UU Pokok kekuasaan kehakiman No. 14/ 1970 yang juga mengatur ketentuan ganti rugi. Secara rinci Pasal yang mengatur tentang ganti kerugian dan rehabilitasi adalah Pasal 95 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Kepada siapa ditujukan ganti rugi ? untuk hal ini tidak diatur secara tegas dalam Pasal-Pasal KUHAP. Akan tetapi pada tanggal 1 agustus 1983 telah dikeluarkan peraturan pelaksanaannya pada bab IV PP No. 27/ 1983 dengan peraturan ini maka ganti kerugian dibebankan kepada Negara c.q. Departemen keuangan. 55 h. Asas Penggabungan Pidana Dengan Ganti Rugi KUHAP memberikan prosedur hukum bagi seorang “korban” Tindak Pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung. i. Asas Unifikasi. Asas unifikasi hukum acara pidana KUHAP ditegaskan dalam konsideran huruf b: bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara ( Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV (MPR/1978), perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan mengadakan: 1. pembaharuan kodifikasi
55
Mohammad Taufik Makarao & Suhasril, op.cit, Hal 7-8.
21
2. serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata wawasan nusantara. Dari bunyi konsideran huruf b diatas, kodifikasi KUHAP di samping bertujuan: 1. mengungkapkan usaha penyempurnaan hukum nasional 2. pembaharuan hukum nasional 3. juga dimaksudkan sebagai langkah pemantapan” unifikasi hukum” dalam rangka mengutuhkan kesatuan dan persatuan nasional dibidang hukum dan penegakan hukum, guna tercapainya cita-cita wawasan nusantara di bidang hukum, serta hukum yang mengabdi kepada kepentingan wawasan nusantara. 56 j. Frinsip Differensial Fungsional Prinsip
ini merupakan penjelasan penegasan pembahagian tugas
wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. Dengan demikian KUHAP meletakkan suatu asas “ Penjernihan” (Clarification) dan “modifikasi” (modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Akan tetapi penjernihan dan pengelompokan tersebut, diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang salaing berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi yang lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi mulai dari tahap permulaan penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan oleh kejaksaan , selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan, yang akan menciptakan suatu mekanisme saling cekking di antara sesama aparat penegak hukum. 57 56 57
M.Yahya Harahap, op. cit, Hal 45. Ibid., Hal 47.
22
k. Prinsip Saling Koordinasi Prinsip ini dapat kita lihat dengan adanya saling hubungan koordinasi fungsional antara aparat penegak hukum: 1. Hubungan penyidik dengan penuntut umum a. kewajiban penyidik untuk memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat 1). b. Pemberitahuan penghentian penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat ) dalam hal ini penuntut umum dapat berpendapat lain bila mengangap penghentian penyidikan tadi tidak sah penuntut umum berhak mengajukan permohonan praperadilan. 2. Hubungan Penyidik dengan Hakim/Pengadilan. Ketua Pengadilan Negeri memberi perpanjangan penahanan yang diminta oleh penyidik dengan surat penetapan atas dasar ketentuan yang disebut oleh Pasal 29 3.Hubungan
atau
pengawasan
antara
aparat
penegak
hukum
dengan
tersangka/terdakwa, penasehat hukum, keluarga dan pihak ketiga yang berkepentingan antara lain: a. Keberatan atas penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat diajukan oleh pihal ketioga yang berkepentingan dan memintakan kepada praperadilan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan (Pasal 30) b. Tersangka , penasehat hukumnya dan keluarganya berhak meminta kepada persidangan praperadilan tentang sah tidaknya penangkapan, penahanan,
23
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (Pasal 77 dan Pasal 80). c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat adanya penghentian penyidikan atau penuntutan yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya (Pasal 81). 58 l. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat 2 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman N0. 14/1970. Yang menghendaki agar setiap pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas : cepat, tepat , sederhana dan biaya ringan. Dalam KUHAP ketentuan dari asas peradilan cepat diatur dalam Pasal 50: tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik, segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik, segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, segera diadili oleh pengadilan. Pasal-Pasal lain yang berkaitan adalah Pasal 102 ayat 1, Pasal 106, Pasal 107 ayat 3, dan Pasal 140 ayat1. Sementara asas sederhana dan biaya ringan dijabarkan dalam KUHAP Pasal 98. 59 m. Tersangka/ Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Dalam KUHAP Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 diatur Bantuan Hukum dimana tersangka atau terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Asas bantuan hukum bagi tersangka atau terdakawa ini menjadi ketentuan universal di Negaranegara demokrasi dan beradab. Dalam” International Covenant on Civil and 58 59
Ibid., Hal 51-52. Mohammad Taufik Makarao & Suhasril, op. cit, Hal 7-8.
24
Political Rights article 14 sub 3d kepada tersangka/terdakwa diberikan jaminan. Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia, jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu dan jika tidak mampu membayar penasihat hukum, ia dibebaskan dari pembayaran. 60 n. Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Hadirnya terdakwa. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 154, 155, dan seterusnya dalam KUHAP yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan Verstek atau in absentia.
Tetapi ini
merupakan hanya pengecualian yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. o. Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum Pasal yang mengatur tentang asas ini adalah Pasal 153 ayat (3 )dan (4)KUHAP yang berbunyi: “ Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perlara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. 61 p. Asas Oportunitas Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut
60
Ibid., Hal 8-9. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi Revisi). Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal 17. 61
25
penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa (Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP). Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum. A.Z. Abidin Farid memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut: 62 “ Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum” q. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap. Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Ini disebut dalam UndangUndang Pokok kekuasaan Kehakiman Pasal 31. 63 r. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisatoir) kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu, ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Dan asas inkisitor itu berarti terasangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR. s. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan Lisan 62 63
A.Z. Abidin, Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia, Hal 12. Andi Hamzah, op.cit, Hal 19.
26
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Pasal-Pasal 154, 155 KUHAP dan seterusnya.
B. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP Kitab
Undang-Undang
hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
sudah
mengandung tentang perlindungan Hak asasi tersangka atau terdakwa dan dalam hal ini merupakan batas-batas bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Walaupun batas-batas wewenang telah digariskan di dalam KUHAP, namun penerapannya dalam praktek sering menyimpang, baik tahap penyidikan hingga putusan pengadilan. Hal ini menimbulkan reaksi dan kritikan keras dari tersangka, terdakwa maupun dari masyarakat terhadap perilaku negative aparatur penegak hukum. Perserikatan bangsa-bangsa mengakui 25 dokumen tentang hak Asasi manusia, namun dari jumlah tersebut terdapat dokumen tentang Hak Asasi Manusia dipergunakan dibidang administrasi peradilan Pidana. Dari 19 dokumen itu terdapat tiga hal yang relevan dengan administrasi peradilan pidana yang bertujuan mengatur tindakan atau perlakuan aparat penegak hukum terutama pejabat POLRI sehingga tidak terjadi pelanggaran atas HAM tersangka atau terdakwa. Yang dimaksud dengan hak asasi adalah hak dasar didalam kehidupan manusia yang pada hakekatnya harus dipunyai oleh setiap orang tanpa terkecuali
27
siapapun dia orangngnya. Mahadi membagi hak asasi manusia itu atas dua bagian yaitu: 1) Hak aktif, suatu hak baru berati bagi pendukungnya apabila ada kebebasan untuk menjalankan hak itu , artinya si pendukung itu adalah sipemilik hak bertindak secara aktif, dia beraktifitas, dengan aktivitasnya itulah dia menjalankan haknya. Misalnya hak mengeluarkan pendapat, hak melakukan ibadah. 2) Hak pasif, si pemilik hak itu tidak perlu beraktivitas, dia bersifat pasif belaka. Hak pasif baru berarti apabila orang lain tidak mempunyai kebebasan untuk menanggungnya. Misalnya hak untuk tidak ditangkap dengan cara sewenang-wenang, hak unutk tidak dianinya dalam pemeriksaan tingkat pendahuluan, hak dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang tetap. 64 Didalam penjelasan dari UUD 1945, dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka ( machtstaat). Hal ini berarti Negara Indonesia adalah Negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945, yang menjamin dan menjungjung tinggi hak-hak asasi manusia dan menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan demikian jelaslah bahwa pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak dan kewajiban warga Negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggikan oleh setiap warga Negara, setiap penyelenggara pemerintahan, setiap 64
Purnadi Purbacaraka & Ridwan Halim. Filsafat Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, Rajawali, 1982, Hal 22.
28
lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah, yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana yang bersifat nasional. Di dalam Hukum Acara Pidana nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yang pada penjelasan umum angka 2 disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan pancasila dan UUD 1945, yang menjungjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya, agar terciptanya situasi yang aman dan terciptanya ketertiban ditengah-tengah masyarakat itu. Dalam hal ini sesuai dengan tujuan dari Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana adalah memberikan perlindungan hukum kepada hak-hak asasi manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum yaitu yang mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa. Tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 dan Pasal-Pasal lainnya. Hak-hak tersangka atau terdakwa meliputi: 65 a. Hak untuk segera diperiksa, diajukan kepengadilan dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2), (3) KUHAP). b. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b KUHAP).
65
Mohammad Taufik Makarao & Suhasril, op. cit, hal 13-14.
29
c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim (Pasal 52). Dalam hal ini sebagai perwujudan dari pada asas praduga tidak bersalah
bahwa tersangka atau terdakwa tidak dapat
dibebani kewajiban dalam hal pembuktian ( Pasal 66 KUHAP). d. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat 1). e. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP). Bahkan bantuan hukum dapat diberikan sejak saat ditangkap ataupun ditahan, hal ini diatur dalam Pasal 69 KUHAP. Ini berarti bahwa oleh karenanya hanya merupakan hak, mendapatkan bantuan hukum masih tergantung kepada kemauan tersangka atau terdakwa dalam arti dapat mempergunakan hak tersebut dan dapat juga tidak mempergunakan hak tersebut. Hubungan antara tersangka atau terdakwa dengan penasehat hukumnya adalah bebas dalam hal mengutarakan segala sesuatunya dalam rangka persiapan pembelaannya tanpa didengarkan oleh petugas. f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya. g. Hak untuk wajib mendapatkan bantuan hukum yang ditunjuk oleh pejabat bagi yang diancam hukuman mati, atau lima belas tahun, atau bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri dan dengan biaya Cuma-Cuma (Pasal 56).
30
h. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat 2). i.
Hak menghubungi dokter bagi yang ditahan (Pasal 58)
j.
Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau oran lain yang serumah (Pasal 59 dan 60).
k. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga, untuk kepentingan pekerjaan atau keluarga (Pasal 61). l.
Hak untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat hukumnya (Pasal 62).
m. Hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63). n. Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang menguntungkan (a de charge) Pasal 65. o. Hak untuk menempuh upaya hukum (Pasal 67). Yang dimaksud dengan upaya hukum adalah hak tersangka atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Upaya hukum tersebut dapat berupa banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam hal serta menurut cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. p. Hak untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68). Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian atas penangkapan atau penahanan yang secara melawan hukum telah dilakukan atas dirinya, apabila penangkapan, penahanan itu dilakukan untuk kepentingan atau tujuan yang tidak dapat
31
dipertanggungjawabkan
menurut
hukum,
demikian
penggeledahan, penyitaan yang tidak sah menurut
juga terhadap hukum dan
menimbulkan kerugian. Tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi dapat diajukan baik terhadap perkara yang telah diajukan ke pengadilan maupun yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Rehabilitasi diberikan dalam hal seseorang diputus dengan putusan bebas atau putusan yang berupa pelepasan dari segala tuntutan, dan putusan yang demikian itu telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. q. Hak untuk ingkar terhadap hakim yang mengadili (Pasal 27 (1) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman). r. Hak keberatan atas penahanan atau jenis penahanan. (Pasal 18 & 19 KUHAP). Apabila seseorang dikenakan penangkapan atau penahanan yang dilakukan secara tidak sah, yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang maka tersangka atau tersakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan misalnya penasehat hukumnya dapat mengajukan Praperadilan. s. Hak keberatan atas perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat 7).
2. Pengertian Penuntut Umum Dan Penuntutan Sebelum berlakunya KUHAP, tidak dibedakan dengan tegas antara pengertian jaksa dan penuntut umum, seolah-lah kedua pengertian itu adalah sinonim. Tetapi sebenarnya meskipun jabatan jaksa dan penuntut umum diemban oleh personil yang sama namun dari segi fungsi dan kewenangannya berbeda satu
32
sama lain. Di Indonesia (jawa) dahulu dikenal Pejabat Negara yang disebut Adhyaksa tetapi fungsinya sama dengan hakim. 66 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 KUHAP yang dimaksud dengan jaksa dan Penuntut umum adalah: 67 1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sesuai dengan pengertian diatas maka yang menjadi wewenang seorang jaka ialah untuk bertindak sebagai penuntut umum dan bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan (eksekutor). 2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini umtuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dari perumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum adalah Jaksa, tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum atau dengan kata lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua penuntut umum adalah jaksa. Melihat perumusan Undang-Undang tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “Jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan “Penuntut umum” menyangkut fungsi. Pengertian Penuntutan Pengertian penuntutan dapat dibedakan atas 2 bagian yaitu: 68
66
R. Tresna, Peradilan Di Indonesia Dari Abad ke Abad, W. Versluys NV, 1957, Hal
143. 67
Pasal I Angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hal 54. 68
33
a. Pengertian secara gramatikal Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, terbitan balai Pustaka cetakan kedua
dikemukakan bahwa penuntutan berasal dari kata tuntut yang
berarti meminta dengan keras ( setengah mengharuskan supaya dipenuhi), menagih, menggugat (untuk dijadikan perkara), membawa atau mengadu ke pengadilan, berusaha keras untuk mendapat (tujuan atas sesuatu), berusaha atau berdaya upaya mencapai (mendapat dan sebagainya) sesuatu (tujuan dan sebagainya). b. Pengertian secara Yurudis Dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan Dengan menghubung-hubungkan Pasal 1 angka 7, Pasal 14 huruf e dan huruf g, dan Pasal 137 KUHAP, maka dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud penuntutan dalam arti luas adalah tindakan penuntut umum sejak ia melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang sampai diperiksa dan diputusnya perkara tersebut oleh hakim di sidang pengadilan. Jadi tindakan melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dengan permintaan agar hakim memeriksa dan memutuskan perkara tersebut, adalah bagian daripada proses penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum dalam suatu perkara.
3. Pengertian Praperadilan
34
Banyak masalah-masalah Praperadilan yang mendapat perhatian dari berbagai kalangan dalam masyarakat, terutama bagi para pencari keadilan dan para penegak hukum merupakan sendi yang utama untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi setiap orang atau juga sering disebut hak dan kewajiban warga Negara sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:69 “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Kita mengetahui bahwa salah satu asas yang terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak bersalah ( Presumption of innocence). Dan jelas-jelas telah diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang pokok Kehakiman No. 4 tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut bahwa:
70
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, ditumtut dan atau dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada pututsan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Berdasarkan asas praduga tak bersalah (Pressumption of innocence) maka jelas-jelas bahwa sewajarnyalah bila tersangka atau terdakwa dalam proses peardilan pidana wajib mendapatkan seluruh haknya. Ini berarti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan didepan
69
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Amandemennya, Penerbit Fokus Media, Cetakan Pertama, Bandung, 2004, Hal 18. 70 Undang-Undang Pokok Kehakiman No. 4 Tahun 2004, Perubahan Undang-Undang No.14 Tahun 1970, Penerbit Pustaka Pergaulan, Jakarta, 2004, op.cit, Hal 6.
35
pengadilan wajib dianggap tidak beralah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap . Untuk menghindari kesewenang-wenangan para aparat penegak hukum terutama dalam menjungjung tinggi hak asasi dari setiap rakyat dan hukum Negara, maka kitab Undang-Undang hukum acara pidana kita telah menganut suatu lembaga baru yang dinamakan dengan Lembaga Praperadilan. Pada lembaga inilah tiap-tiap warga Negara pada umumnya dan para tersangka atau terdakwa pada khususnya serta pihak ketiga dapat mengadukan setiap pelanggaran atas hak-hak asasi kemanusiaannya apabila para penegak hukum keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. Andi Hamzah, mengemukakan sebagai berikut: 71 “Praperadilan dapat dipandang sebagai suatu tiruan lembaga hakim komisaris (Rechter Commissaris) dinegeri Belanda dan juga d’instruction di Prancis, namun walaupun HAMper bersamaan tugas Praperadilan di Indonesia berbeda dengan hakim komisaris di Eropa itu. Tugas hakim komisaris dinegeri belanda lebih luas daripada Praperadilan di Indonesia”. M. Yahya harahap, mengemukakan pendapatnya:
72
“Bila ditinjau dar segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan merupakan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana..Praperadilan meupakan lembaga baru yang mempunyai ciri dan eksistensi: a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebgai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri.
71
Andi Hamzah, op. cit Hal 188. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Cemerlang, Jakarta, Cetakan Pertama, 2004, op.cit, Hal 1. 72
36
b. Dengan demikian, Praperadilan bukan berada diluar ata disampingmaupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri. c. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri dan berada dibawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua Pengadilan Negeri. d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri. Praperadilan berdasarkan ketentuan KUHAP Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan secara khusus dalam Bab X bagian kesatu sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Dari berbagai penjelasan diatas pengertian Praperadilan itu dapat kita lihat dalam KUHAP Bab I yaitu dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 10 menyatakan bahwa: “ Praperadilan dalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus memurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini , tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
37
Dengan demikian Praperadilan merupakan bagian dari Pengadilan Negeri. Untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam peradilan pidana diperlukan adanya suatu pengawasan, yang dilaksanakan oleh hakim hal ini sejalan dengan tuntutan zaman yang menghendaki hakim mempunyai peran aktif dalam peradilan pidana. Demi tegaknya hukum dan keadilan diharapkan hakim dapat menjalankan tugas seadil-adilnya dan tidak memihak serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, terutama bagi mereka yang tersangkut dalam peradilan pidana. Apabila penyidik dan penuntut umum dalam menjalankan tugasnya dibidang peradilan pidana telah melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penuntutan dan sebagainya dengan tidak menjungjung tinggi hukum dan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan serta kesusilaan berdasarkan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang , maka oleh Pengadilan mengambil tindakan seperti yang diatur didalam KUHAP: Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa: “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang; a. Sah atau tidaknya penagkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Sebab-sebab dilaksanakannnya Praperadilan didasarkan atas: Pasal 79 KUHAP : “ Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebitkan alasannya”. Pasal 80 KUHAP: “permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut
38
umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”. Pasal 81 KUHAP: “ permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan aatau akibat sahnya pehentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebur alasannya”. Praperadilan lahir sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 14 tahun 1970, sekarang telah direvisi menjadi Undang-Undang No. 4 tahun 2004, dimana Undang-Undang ini menganut asas “ Praduga tidak bersalah” , yang pada intinya menganjurkan bahwa seseprang dianggap tidak bersalah sebelum ada suatu putusan hakim yang berkekuatan tetap yang menyatakan kesalahannya. 73 Dari azas yang dianut maka lahirlah Praperadilan sebagai pengawasan horizontal oleh hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan tugas penyidik dan penuntut umum, terutama menyangkut upaya paksa. Tegasnya Praperadilan dilahirkan dengan misi dan tujuan untuk menegakkan hukum dan memberikan perlindungan terhadap tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Dengan kata lain, tujuan Praperadilan adalah untuk menempatkan pelaksanaan hukum pada proporsi yang sebenarnya demi terlindunginya hak azasi manusia. 74 Fungsi kontrol yang menjadi bagian wewenang Pengadilan Negeri atas Praperadilan akan mengkaji ulang , apakah tindakan atau peristiwa yang telah dilakukan pejabat penegak hukum itu telah sesuai dan proporsional, dalam kaitan tindakan atau peristiwa hukum yang telah ditempuh oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang telah sesuai dengan prosedur menurut ketentuan Perundang-Undangan ataukah tidak.
73
S. Tanusubroto. Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana. Penerbit Alumni, Bandung, 1983. 74 Ratna Sari, Penyidikan dan Penuntutan dalam Hukum Acara Pidana, Penerbit Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1995, Hal 73.
39
G. Metode Penelitian Metode diartikan sebagi suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu. Sebagaimana tentang tatacara penelitian harus dilakukan, maka metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis mencakup antara lain: 1. Jenis penelitian/ Spesifikasi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian Hukum Normatif dan metode penelitian Hukum Sosiologis.dalam hal penelitian Hukum Normatif,penulis melakukan penelitian terhadap peraturan Perundang-Undangan, asas-asas hukum, sejarah hukum dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul dari skripsi ini yaitu “Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Studi Kasus Perkara Soeharto Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) sedangkan pendekatan secara sosiologis yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengenai Kasus Perkara Soeharto dengan melihat akibat-akibat yang ditimbulkannya di kalangan masyarakat. 2. Metode Pendekatan Untuk penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis atau social-legal approach dalam hal ini karena permasalahan yang diteliti adalah mengenai hubungan faktor sosiologis dengan faktor yuridis serta bagaimna implementasinya dalam dunia peradilan. Yang menjadi faktor sosiologis dalam skripsi ini adalah mengenai akibat-akibat yang ditimbulkan dimasyarakat atau reaksi dari
40
masyarkat dari penerbitan SKP3 dengan melakukan penelitian terhadap data-dat yang didapat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan faktor yuridisnya adalah mengenai mekanisme hukum atau Peraturan Perundang-Undangan dan prosedur hukum yang mengatur penerbitan SKP3 bagaimana akibat hukumnya serta implementasinya dalam Proses Peradila. 3. Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kota Jakarta Selatan tepatnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam hal ini terdapat Kasus Perkara Soeharto dengan Praperadilan dan banding atas penghentian penuntutan dugaan kasus korupsi di 7 yayasan. 4. Alat Pengumpulan Data. Dalam penulisan skripsi ini pengumpulan data-data yang diperlukan ditempuh melalui cara sebagai berikut: 1) Library research (Penelitian Kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literature-literatur untuk memperoleh bahanteoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Adapaun tujuanpenelitian kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan Perundang-Undangan, buku-buku, majalah, pendapat para sarjana, surat kabar, artikel dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. 2) Field research (Penelitian Lapangan ) , yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan. Dalam hal ini penulis langsung
41
mengadakan penelitian ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan Kasus Perkara Soeharto.
H. Sistematika Penulisan Dengan maksud memudahkan dalam menelaah penulisan skripsi yang berjudul: “Implementasi Surat ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Studi Kasus Perkara Soeharto Di Pengadilan negeri Jakarta Selatan), maka penulis terlebih dahulu menguraikan sistematika yang merupakan gambaran isi dari skripsi ini yaitu sebagai berikut: I.
Pendahuluan Dalam bab ini penulis pertama-tama menguraikan tentang Latar Belakang; kemudian Perumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Keaslian Penulisan; Tinjauan Kepustakaan; yang meliputi KUHAP Sebagai Hukum nasional yang membahas tentang Asas-Asas Hukum dalam KUHAP dan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP, kemudian pengertian penuntut umum dan penuntutan, pengertian Praperadilan selanjutnya Metode Penelitian dan Sistematika penulisan .
II. Peraturan Perundang-Undangan, Alasan Dan Prosedur Hukum Pengeluaran Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3) Pada bab ini penulis menguraikan tentang wewenag Penuntut Umum dan hubungan penyidik dengan Penuntut Umum kemudian Pengaturan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) menurut KUHAP yaitu yang membahas mengenai penghentian penuntutan, dan penyampingan
42
perkara demi kepentingan hukum, selanjutnya Pengaturan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) menurut KUHP yaitu yang membahas dasar peniadaan penuntutan dan hapusnya hak menuntut. III. Akibat atau Kekuatan Hukum dari Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3). Pada bab ini penulis menguraikan tentang Akibat ditinjau dari dari sudut juridis, akibat ditinjau dari sudut sosiologis, kemudian akibat terhadap status hukum terdakwa, benda sitaan, barang bukti dan terhadap kerugian Negara serta Pihak Ketiga. IV. Implementasi Upaya Hukum Praperadilan dan Banding terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3) Dalam bab ini Penulis menguraikan tentang Wewenang hakim dan Pihakketiga dalam upaya Praperadilan atas penerbitan SKP3 berdasarkan KUHAP, latar belakang dan alasan hukum penghentian penuntutan perkara Soeharto oleh Kejaksaan Agung Cq. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, kemudian prosedur dan pelaksanaan Praperadilan atas penghentian penuntutan perkara pidana (SKPPP/SKP3), alasan tidak sahnya menurut hukum dan akibat juridisnya SKPPP/SKP3 Soeharto setelah adanya putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemudian dasar hukum dan alasan-alasan diterimanya permintaan banding dari termohon yang membatalkan putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPPP/SKP3 Soeharto dan konsekuensi yuridis dari putusan pengadilan tingkat banding (PT DKI Jakarta) terhadap SKPPP/SKP3 Soeharto V. Kasus dan Analia Kasus
43
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang masalah yang timbul dalam kasus mulai dari latar belakang dibuatnya dakwaan sampai pada Praperadilan di tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan sampai pada status perkaranya terakhir, kemudian membahas dan menganalisa permasalahan pada kasus penghentian Penuntutan perkara Soeharto. VI. Kesimpulan dan Saran-saran Penulisan skripsi ini penulis akhiri dengan menyimpulkan butir-butir yang dianggap penting, kemudian penulis memberikan beberapa saran sehubungan dengan pembahasan yang telah dilakukan, semoga kiranya dapat berguna bagi yang berkepentingan. Demikianlah sitematika penulisan skripsi ini yang memberikan suatu batasan dalam ruang lingkup pembahasannya.
BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, MOTIF DAN PROSEDUR HUKUM PENGELUARAN SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP) A. Wewenang Penuntut Umum dan Hubungan Penyidik dengan Penuntut Umum Dengan sistem peradilan perkara pidana terpadu meskipun fungsi dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum terdapat pembedaan fungsi dan wewenang secara tegas, tapi hal itu bukanlah merupakan pemisahan fungsi dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum itu. Meskipun fungsi dan wewenang mereka masing-masing dipisahkan secara tegas, tetapi mereka tetap terikat pada hubungan instansional dan fungsional yang saling koordinasi dan saling mengawasi. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan perkara pidana terpadu tersebut, untuk menangani hasil-hasil penyidikan yang telah dilaksanakan oleh penyidik maka pada tahap penuntutan kepada penuntut umum diberikan wewenang penanganan lebih lanjut atas hasil penyidikan tersebut Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 KUHAP, Penuntut umum mempunyai wewenang: 37 1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik Menurut sistem penyerahan berkas perkara yang diatur dalam KUHAP sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3), Pasal 110 dan Pasal 138, mengenal sistem penyerahan berkas perkara dalam dua tahap.
37
Mohammad Taufikl Makarao & Suhasril, Op. cit, Hal 64.
44
45
Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan: a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan Menurut Pasal 110 KUHAP dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan , penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi, dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum, sementara penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik seperti diatur dalam Pasal 138, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan ( Pasal 139 KUHAP) 3. Memberikan penahanan, perpanjangan penahanan, dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
46
Dalam Pasal 25 disebutkan perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari dan perpanjangan penahanan paling lama tiga puluh hari dan dalam penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari. Maka berdasarkan Pasal 25 dan 29 KUHAP tersebut diatas, maka penuntut umum mempunyai batas waktu penahanan paling lama 110 (seratus sepuluh) hari. 4. Membuat surat dakwaan Surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan 38 Pasal 140 ayat (1) KUHAP berbunyi: dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Pasal 143 ayat (1) menetukan: Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 5. Melimpahkan perkara ke pengadilan Pasal 143 ayat 1 KUHAP menentukan penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 6. Panggilan kepada pihak-pihak yang berperkara
38
M. Yahya harahap, Op cit, Hal 414.
47
Hal ini diatur dalam Pasal 145 dan Pasal 146 KUHAP yaitu menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan 7. Melakukan penuntutan Dalam hal ini penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili ( Pasal 137 KUHAP) 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum Pasal 140 ayat (2) KUHAP menentukan sebagai berikut: a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan wajib segera dibebaskan. c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan Negara, penyidik, dan hakim d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. 75
75
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Karya Anda , Surabaya
48
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum Penjelasan Pasal 14 butir 1, yang dimaksud dengan “tindakan lain” ialah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum, dan pengadilan. Dengan demikian menyangkut kewenangan atau kompetensi yang dimiliki oleh penyidik, penuntut umum dan pengadilan, apakah kompetensi relatif atau kompetensi absolut. Penuntut umum harus memperhatikan apakah tersangka yang diserahkan oleh penyidik merupakan seorang tersangka biasa atau tersangka karena jabatan militer. Jika tersangkanya seorang militer, maka kewenangan mengadili diberikan kepada pengadilan militer. Juga apakah terdakwanya bertempattinggal di wilayah penyidik yang menyerahkan berkas perkara. Jika tersangka bertempat tinggal diluar wilayah hukum penyidik, maka kewenangan relatif diberikan kepada wilayah hukum penyidik yang lain 10. Melaksanakan penetapan hakim Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya ( Pasal 270 KUHAP). Tata cara pelaksanaan putusan hakim: a. Pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum (Pasal 271 dan 272 KUHAP) b. Jangka waktu membayar denda satu bulan dan dapat diperpanjang satu bulan (Pasal 273 ayat (1) )
49
c. Pelelangan dikuasakan kepada kantor lelang Negara ( Pasal 273 ayat (3) dan (4) KUHAP) d. Pelaksanaan ganti kerugian dilaksanakan menurut tata cara putusan perdata (Pasal 274 KUHAP) e. Biaya perdata dibebankan kepada terpidana secara berimbang. (Pasal 275 dan 276 KUHAP) Dari perincian wewenang tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa jaksa atau penuntut umum di Indonesia tidak mempunyai wewenang menyidik perkara dalam tindak pidana umum, misalnya pembunuhan, pencurian, dean lain sebagainya dari permulaan ataupun lanjutan. Ini berarti jaksa atau penuntut umum di Indonesia tidak dapat melakukan pemeriksaan atau penyelidikan/penyidikan terhadap tersangka ataupun terdakwa. Ketentuan Pasal 14 ini disebut sistem tertutup Artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat khusunya dari segi pembuktian dan masalah teknik yuridisnya. Kekecualiannya adalah jaksa atau penuntut umum dapat menyidik perkara dalam tindak pidana khusus, misalnya tindak pidana subversi, korupsi dan lain sebagainya. Hubungan Penyidik dengan Penuntut Umum dalam hal Penghentian Penuntutan Adapaun hubungan penyidik dengan penuntut umum dalam hal penghentian penuntutan yaitu: 76 a) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ( Pasal 8, 14 huruf a, Pasal 110 ayat (1).
76
Moch. Faisal salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori &Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, Hal 127.
50
b) Penuntut umum memberikan perpanjangan penahanan atas permintaan penyidik ( Pasal 14 huruf c, Pasal 24 ayat (2). Penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka untuk jangka waktu 20 hari (Pasal 24 ayat 1 ). Akan tetapi apabila penyidik masih memerlukan penahanan terhadap tersangka, penyidik dapat mengajukan permintaan perpanjangan penahanan terhadap penuntut umum untuk jangka waktu paling lama 40 hari (Pasal 24 ayat 2). c) Dalam hal penuntut umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, ia segera mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuk dan penyidik wajib melengkapinya dengan melakukan penyidikan tambahan ( Pasal 14 huruf b Pasal 110 ayat (2) dan ayat (3). d) Pemberitahuan dimulainya tindakan penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat 1) e) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, memberitahukan hal itu kepada penuntut umum ( Pasal 109 ayat 2), sebaliknya dalam hal penuntut umum menghentikan penuntutan ia memberikan turunan surat ketetapan kepada penyidik ( Pasal 140 ayat (2) huruf c). sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh penyidik dalam pemberhentian penyidikan, penyidik harus memberitahukan penghentian penyidikan tersebut kepada pihak penuntut umum. Dalam tindakan menyampaikan pemberitahuan penghentian inilah terjalin hubungan hukum antara penyidik dengan penuntut umum, pemberitahuan penghentian ini adalah wajib hal ini didasarkan kepada kenyataan ketentuan Pasal 80 yang memberi wewenang kepada penuntut umum mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan.
51
B.
Pengaturan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara
(SKPPP/SKP3) Menurut KUHAP a. Penghentian Penuntutan Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2) yang menegaskan, Penuntut umum “dapat menghentikan penuntutan” suatu perkara. Dalam arti hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Akan tetapi hal ini bukan dimaksudkan menyampaingkan atau mendeponir perkara pidana tersebut. Oleh karena itu, harus dengan jelas dibedakan antara tindakan hukum penghentian penuntutan dengan penyampingan (Deponering) perkara yang dimaksud Pasal 8 Undang-Undang No. 15/1961 (sekarang Pasal 32 huruf e Undang-Undang No. 5 Tahun 1991) dan penjelasan Pasal 77 KUHAP. Dan pada penjelasan Pasal 77 telah ditegaskan: “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Sebagaimana dikemukakan bahwa penuntut Umum berwenang untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Kemudian dipertanyakan apakah masih ada alasan lain bagi penuntutan umum untuk menghentikan penuntutan. 77 Meskipun dalam Pasal 14 huruf h KUHAP, hanya disebutkan tentang adanya kewenangan penuntut umum untuk menutup perkara demi hukum, hal ini bukanlah berarti penuntut tidak mempunyai kewenangan untuk menghentikan penuntutan dengan alasan lain. Dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP
77
M. yahya harahap, Op cit, Hal 470
52
dinyatakan: dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Dengan demikian kewenangan penuntut umum dalam hal ini tidak hanya terbatas pada tindakan menutup perkara demi hukum. Jadi untuk memahami hal ini, ketentuan Pasal 14 huruf h tersebut hendaknya dihubungkan dengan ketentuan Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP. 78 Sehubungan dengan hal itu dimana dalam penjelasan atas Pasal 140 KUHAP, tidak di temukan penjelasan tentang apakah yang dimaksud dengan tidak terdapat cukup bukti, peristiwa yang bagaimanakah yang bukan merupakan tindak pidana dan apa yang dimaksud dengan menutup perkara demi hukum? Dalam hal ini harus ditenukan melalui penafsiran terhadap suatu perkataan yang terdapat dalam perumusan Pasal-Pasal KUHAP yaitu menafsirkan sesuai dengan maksud pembentuk Undang-Undang sendiri. Dihubungkan dengan penghentian penuntutan sebagaimana dikemukakan terdahulu, maka apabila dari hasil penyidikan tidak tersedia minimal dua alat bukti yang sah, maka penuntutan tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi syarat
pembuktian,
karena
itu
terhadap
perkara
demikian
dihentikan
penuntutannya. Jadi untuk memperoleh pengertian yang jelas tentang arti tidak terdapat cukup bukti tersebut, maka ketentuan Pasal 140 ayat 2 huruf a tersebut harus kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP.
78
Harun M. Husein, Op cit, hal 236.
53
Alasan Penghentian Penuntutan Dalam hal ini alasan penghentian penuntutan didasarkan kepada dua alasan yaitu:79 1
Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum yang meliputi: 1) Perkara yang bersangkutan “tidak” mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan, diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, atas alasan kesalahan yang
didakwakan
pembebasan
yang
tidak
terbukti.
demikian
Untuk
lebih
menghindari keputusan
bijaksana
penuntut
umum
menghentikan penuntutan. 2) Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil pemeriksaan penyidikan, dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran, penuntut umum lebih baik menghentikan penuntutan. Sebab bagaimanapun, penuntut umum lebih baik menghentikan penuntutan. Karena dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang diajukan kepada sidang pengadilan, pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontstag van rechtvervolging).
79
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (bagian Penyidikan dan Penuntutan) Edisi Kedua, sinar Grafika, Jakarta, 2000, Hal, 426.
54
Rumusan pengertian alasan penghentian penuntutan demi kepentingan hukum ditemui juga dalam pedoman Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana halaman 87 & 88 cetakan IV. Kalimat “dihentikan Penuntutannya” adalah kalimat pasip. Dengan demikian ada faktor penyebabnya dia dihentikan, maka ada kemungkinan perkara akan dihidupkan kembali bilamana ada fakta baru atau bukti-bukti baru (novum), dimana pada saat perkara dihentikan, fakta baru (Novum) ini tidak ditemui atau dengan kata lain bukti-bukti yang tidak terpenuhi sehingga perkara tidak memenuhi syarat (unsur) untuk dilimpahkan ke Pengadilan. Dengan demikian penghentian penuntutan ini sifatnya temporer bukan suatu ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Setiap perkara yang dihentikan penuntutannya, bukanlah suatu ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum tetap tetapi sewaktu-waktu dapat dihidupkan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP dan Pasal 80 KUHAP. 80 Pasal 77 KUHAP dalam penjelasan Pasalnya berbunyi: Yang dimaksud dengan : “Penghentian penuntutan” tidak termask penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung; Pasal 80 KUHAP berbunyi: Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut
80
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1995, Hal 86.
55
umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya; Perkara dihentikan penuntutannya “demi kepentingan hukum” ini mengandung arti agar kepastian hukum (Recht zekerheid) dan wibawa hukum terjamin. Bilamana perkara yang dari semula sudah diketahui oleh Jaksa penuntut umum, berdasarkan berkas perkara tidak cukup bukti, atau perkara bukan merupakan tindak pidana, dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sudah dapat diperkirakan putusan yang akan dijatuhkan hakim adalah putusan bebas murni. Putusan bebas murni sudah tentu menyangkut kepentingan hukum, untuk apa hukum dimajukan kepersidangan, kalau toh dari sejak semula sudah dapat diperkirakan bahwa putusan bebas. Dan untuk menjaga kemurnian hukum itu agar Jaksa penuntut, dan penyidik tidak sewenangnya melakukan penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, maka kepada pihak ketiga yang berkepentingan diberi hak untuk mengajukan pra-peradilan
terhadap
penghentian
penyidikan
dan
penghentian
penuntutan, tujuannya adalah bahwa tindakan penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan adalah benar-benar demi kepentingan hukum belaka. 81 2
Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum atau Set aside. Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum ialah tindak pidana yang terdakwanya oleh hukum harus ditutup atau dihentikan
81
Ibid, Hal 87.
56
pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum didasarkan pada: a) Atas alasan Nebis in idem Alasan ini menegaskan tidak boleh menuntut dan menghukum seseorang dua kali atas pelaggaran tindak pidana yang sama. Seseorang hanya boleh dihukum satu kali atas pelanggaran tindak pidana yang sama. Seseorang hanya boleh dihukum satu kali saja atas suatu kejahatan atau pelanggaran tindak pidana yang sama. Oleh karena itu, apabila Penuntut umum menerima pidana yang sama dimana setelah Penuntut umum menerima berkas pemeriksaan dari penyidik, kemudian dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka adalah peristiwa pidana yang telah dituntut dan diputus oleh hakim dalam suatu sidang pengadilan dan putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika demikian halnya, penuntut umum harus menutup pemeriksaan perkara demi hukum (Pasal 76 KUHP) b) Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia. Apabila terdakwa meninggal dunia, dengan sendirinya menurut hukum menutup tindakan penuntutan. Hal ini sesuai dengan asas hukum yang dianut
bahwa
suatu
perbuatan
tindak
pidana
hanya
dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang yang melakukan sendiri tindak pidana tersebut. Dengan demikian, apabila pelaku telah meninggal dunia, lenyap dengan sendirinya pertanggungjawaban atas tindak pidana yang bersangkutan. Dan pertaggungjawaban itu tidak dapat dipindahkan kepada
57
keluarga atau ahli waris terdakwa (Pasal 77 KUHP: kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia.). c) Terhadap perkara yang hendak dituntut oleh penuntut umum, ternyata telah kedaluarsa atau hak menuntut hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi) karena lewat waktunya sebagaimna yang diatur dalam Pasal 78. 82 d) Delik aduan atau pencabutan pengaduan kembali Barang siapa yang memasukkan pengaduan tetap berhak untuk mencabut kembali pengaduannya itu dalam 3 bulan sejak hari memasukkannya (Pasal 367, 376, 284 KUHP, dsb). 83 Dalam hal ini adanya penghentian penuntutan disebabkan karena tidak adanya pengaduan, atau pengaduan yang pernah diajukan telah dicabut kembali oleh orang yang berhak mengadu. Dalam delik aduan (Tindak pidana aduan), pengaduan tersebut merupakan syarat bagi dilakukannya penuntutan. Bila tidak ada pengaduan atau pengaduan yang pernah diajukan dicabut kembali, berarti dalam hal ini tidak terpenuhi syarat untuk melakukan penuntutan. Dalam menutup perkara demi hukum karena adanya pencabutan pengaduan, harus diperhatikan pula apakah batas waktu untuk mencabut pengaduan itu belum dilampaui. Pengaduan hanya dapat dicabut kembali dalam batas waktu untuk mencabut pengaduan itu belum dilampaui. Pengaduan hanya dapat dicabut kembali dalam batas waktu tiga bulan setelah pengaduannya (Pasal 75 KUHP).
82 83
M. Yahya Harahap, Edisi Kedua, Op cit, Hal 426. Osman Simanjuntak, Op cit, Hal 88.
58
Dalam kalimat “perkara ditutup demi hukum” ada dua kata yang perlu dibahas/dipahami maknanya yaitu kata “Ditutup” dan kata “Demi hukum” 84 Perkataan “ Ditutup” Dalam hal perkara ditutup demi hukum, tidak ada kemungkinan perkara dapat dibuka kembali, sebagaimna halnya dalam perkara yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum. Kemungkinan perkara dibuka (hidup kembali) setelah ditutup demi hukum, sangat tipis sekali atau boleh dikatakan tidak ada kemungkinannya, kecuali alasan untuk menutup perkara demi hukum, ada perbuatan pidana misalnya, adanya tindakan pemalsuan dalam akte kematian, karena berdasar akte kematian, maka perkara ditutup demi hukum, dimana yang sebenarnya terdakwa masih hidup atau adanya tindakan pemalsuan atau perbuatan lainnya dalam menentukan tenggang waktu kadaluarsa. Perkataan “Demi Hukum” Perkara yang dihentikan penuntutannya, demi kepentingan hukum biasanya Jaksa penuntut umum melimpahkan perkara ke persidangan, tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan berkas perkara, bilamana dimajukan ke persidangan sudah dapat diduga bahwa putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim adalah putusan bebas. Maka untuk menjaga wibawa hukum dan kepastian hukum, maka undang- undang memberi kewenangan kepada Jaksa Penuntut umum untuk menghentikan perkara yang tidak memenuhi unsur, dan perkara yang tidak termasuk perbuatan pidana. Sedangkan “demi hukum “ berbeda permasalahannya, dimana Undang-Undang tidak mengharuskan jaksa penuntut umum, untuk melaksanakan penghentian penuntutan, dan tidak ada kemungkinan untuk 84
Ibid, Hal 89.
59
mengajukan bebas kepersidangan karena bukan unsurnya yang kurang lengkap, atau perkara tersebut bukan perbuatan pidana, tetapi objek permasalahan tidak ada lagi. Prosedur Penghentian Penuntutan Prosedur atau tatacara penghentian penuntutan dijelaskan dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Untuk pelaksanaan penghentian penuntutan KUHAP menetukan tata caranya sebagai berikut: “ Tindakan penghentian penuntutan dituangkan dalam surat ketetapan, isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan, turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan Negara, penyidik dan hakim.” 85 Pasal 140 ayat 2 menjelaskan : 86 a. Penghentian penuntutan dituangkan oleh penuntut umum dalam satu “ surat ketetapan” yang disebut SKP3 . Isi surat ketetapan penghentian penuntutan menjelaskan dengan terang apa yang menjadi alasan penilaian penuntut umum melakukan penghentian penuntutan. Hal ini perlu jelas dan terang karena hal itu diperlukan oleh pihak penyidik maupun oleh pihak penyidik maupun oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam rangka mempergunakan hak mereka mengajukan keberatan atas penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum kepada Praperadilan. Jadi sedapat mungkin penetapan penghentian penuntutan harus memuat alasan-alasan yang jadi dasar penghentian. b. Isi surat penetapan penghentian penuntutan diberitahukan kepada tersangka.
85 86
Harun M. Husein, Op cit, Hal 242. M Yahya Harahap, Edisi kedua, Op cit, Hal 427-428
60
Mengenai cara pemberitahuan isi surat penetapan penghentian penuntutan dapat dilakukan secara lisan maupun dengan tulisan. Hal ini disimpulkan, karena Undang-Undang sendiri tidak memberi penegasan tentang cara pemberitahuan isi ketetapan dimaksud. Akan tetapi demi untuk membina administrasi yustisial yang lebih sempurna, pemberitahuan harus dilakukan dengan pemberitaan tertulis. c. Dalam hal penuntut umum melakukan penghentian penuntutan, sedang tersangka berada dalam penahanan, penuntut umum “wajib” segera membebaskan dari penahanan. d. Turunan surat penetapan penghentian penuntutan “ Wajib” disampaikan kepada: a) Tersangka atau keluarganya atau penasihat hukumnya, b) Disampaikan kepada pejabat rumah tahanan Negara, jika kebetulan tersangka berada dalam tahanan. Jika terdakwa tidak berada dalam tahanan, tentu tidak ada kewajiban hukum bagi penuntut umum untuk menyampaikan turunan penetapan penghentian penuntutan kepada pejabat rumah tahanan Negara. c) Kepada penyidik, d) Kepada hakim. Perlunya turunan penghentian penuntutan disampaikan kepada penyidik dan hakim, rasionya tiada lain dalam rangka saling pengawasan terhadap penggunaan wewenang penghentian penuntutan. Dan bagi penyidik pemberitahuan ini membuka kemungkinan baginya untuk mengajukan
61
keberatan kepada Praperadilan tentang sah tidaknya penghentian penuntutan. Tata cara yang mengatur secara rinci bagaimana pelaksanaan penghentian penuntutan dapat kita temukan dalam instruksi Jaksa Agung RI. Nomor: INSOII/J.A/II/1982 tanggal 12 November 1982 yang menetapkan sebagai berikut: 87 1) Apabila Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa ia harus menghentikan penuntutan karena: a. dari hasil penyidikan yang diterima penuntut umum tidak terdapat cukup bukti untuk dituntut ke pengadilan negeri; b. perbuatan yang disangka ternyata bukan merupakan tindak pidana; c. ditutup demi hukum, yaitu perkara telah kedaluarsa ( Pasal 78 KUHP), ada pencabutan pengaduan ( Pasal 75 KUHP), karena meninggalnya tersangka (Pasal 77 KUHP), perkara termasuk nebis in idem (Pasal 76 KUHP), maka Jaksa penuntut umum membuat berita acara pendapat untuk diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri guna mendapatkan persetujuannya. 2) Setelah mendapat persetujuan dari Kepala kejaksaan Negeri/ Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dibuatkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan menurut model PK-6 Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-023/J.A/3/1982 (sekarang keputusan Jaksa Agung RI. Nomor : KEP-088/J.A/8/1988), dalam enam rangkap dan disampaikan kepada pihak-pihak yang telah sitentukan sesuaidengan ketentuan Pasal 140 ayat 2 huruf b dan c KUHAP. Walaupun sudah dikeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan, namun apabila
87
Harun M. Husein, Op cit, Hal 242.
62
dikemudian hari terdapat alasan baru atau bukti-bukti baru (novum) tidak tertutup kemungkinannya untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka. 3) Isi surat ketetapan juga harus jelas mencantumkan: a. pengeluaran tersangka apabila dia berada dalam tahanan; b. penetapan penyerahan/pengembalian Benda sitaan/barang bukti kepada orang yang disebutkan secara jelas nama dan identitasnya. 4) Penghentian penuntutan terhadap perkara yang: a. menarik perhatian masyarakat b. bersipat politis dan mempunyai aspek nasional; c. Benda sitaan/barang bukti yang mempunyai nilai tinggi dan dapat menimbulkan perselisihan antara pihak-pihak yang berhak. Agar dimintakan pendapat dari Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana umum dengan saran dan pendapat Kepala Kejaksaan Tinggi 5) Pengiriman turunan surat ketetapan penghentian penuntutan yang ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum dilampiri dengan berita Acara Pendapat Jaksa Penuntut Umum. 6) Wewenang untuk melakukan penghentian penuntutan diserahkan kepda Kepala Kejaksaan Negeri setelah mendengar pendapat jaksa penuntut umum. 7) Instruksi ini hanya berlaku untuk tindak pidana umum dan dikecualikan untuk tindak pidana korupsi, subversi dan ekonomi. 8) Dengan berlakunya instruksi tentang penghentian penuntutan maka instruksi menteri/Jaksa agung Nomor : 7/INSTR/Secr/1962, tentang penyampingan perkara dinyatakan tidak berlaku lagi.
63
9) Penyampingan perkara berdasarkan kepentingan umum adalah wewenang Jaksa agung RI. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor Tahun 1961. Meskipun KUHAP tidak membedakan antara penghentian penuntutan demi kepentingan hukum dan penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum, tetapi sesungguhnya terdapat perbedan yang prinsipil antara penghentian penuntutan demi kepentingan hukum dan atas dasar perkara ditutup demi hukum. Penghentian penuntutan demi kepentingan hukum bersifat sementara, karena menurut ketentuan Pasal 140 ayat 2 huruf d KUHAp, apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap terdakwa. Menurut penjelasan Pasal tersebut, alasan baru tersebut diperoleh penuntut umum dari penyidik yang berasal dari keterangan tersangka, saksi, Benda atau petunjuk yang baru kemudian diketahui atau didapat. Sedangkan penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum ada yang bersipat bersipat tetap (permanent) dan ada yang bersipat sementara. Bersipat tetap/permanent artinya terhadap suatu perkara telah ditutup demi hukum, maka terhadap perkara tersebut selamanya tidak akan dilakukan penuntutan yaitu terhadap perkara yang Nebis in idem, meninggal dunia, kadaluarsa.bersipat. Sementara dalam hal ini ada pengecualian yaitu dalam hal penuntutan dihentikan karena tidak adanya pengaduan, maka syarat penuntutan terpenuhi dan penuntutan yang telah dihentikan tersebut dilaksanakan kembali. Dan ini bergantung pada hak untuk mengajukan pengaduan tersebut belum lampau waktu, karena hak untuk mengajukan pengaduan dibatasi oleh jangka waktu tertentu. Orang yang berhak mengadu hanya dapat mengajukan
64
pengaduannya dalam batas waktu enam bulan sejak diketahuinya perbuatan itu, apabila orang yang berhak mengadu itu bertempat tinggal di luar Indonesia, maka batas waktu untuk mengajukan pengaduan tersebut adalah sembilan bulan (Pasal 74 ayat 1 KUHP).88 Sementara juga dalam hal menutup perkara demi hukum karena adanya pencabutan pengaduan, harus diperhatikan pula apakah batas waktu untuk mencabut pengaduan itu belum dilampaui. Pengaduan hanya dapat dicabut kembali dalam batas waktu tiga bulan setelah pengajuannya (Pasal 75 KUHP). Sedangkan bila dihubungkan dengan penghentian penyidikan KUHAP tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan , ia hanya memberikan perumusan tentang pengertian penyidikan. Penghentian penyidikan diatur dalam Pasal 109 ayat
KUHAP, dimana dinyatakan bahwa dalam hal
penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan pengentian penyidikan ialah tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk membuat terang peristiwa dan menentukan pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti, atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum 89
88 89
Ibid, Hal 240-241. Ibid Hal 311.
65
Dasar penghentian penyidikan demi hukum, sama dengan dasar penghentian penuntutan demi hukum. Jadi apabila penuntutan atas suatu perkara tidak dapat dilaksanakan, misalnya karena hak untuk menuntut telah gugur karena kadaluarsa (Pasal 78 KUHP), maka seyogyanyalah penyidikan perkara tersebut dihentikan. Apabila penyidikan tidak dihentikan pada tahap penyidikan, maka pada tahap penuntutan penuntut umum akan menghentikannya juga. Dengan demikian, akan sia-sialah apabila penyidikan perkara tersebut diteruskan. Pertimbangan pembentuk Undang-Undang dengan memberikan wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP. Sehubungan dengan hal ini M. Yahya Harahap mengatakan” Barang kali kalau kita mencari-cari rasio atau alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan dapat dikemukakan antara lain: 90 a. Untuk menegakkan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat dan biaya ringan, dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. b. Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian. Sebab kalau perkaranya nanti diteruskan, tetapi belakangan ternyata tidak cukup bukti atau alas an untuk menuntut atau menghukum, dengan sendirinya memberikan hak kepada tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP Pemberitahuan penghentian penyidikan merupakan kewajiban hal ini ditinjau dari segi saling adanya pengawasan horizontal baik antara sesame instansi aparat penegak hukum (dalam hal ini pihak penuntut umum ) maupun pengawasan
90
Ibid, Hal 312.
66
horizontal dari pihak luar (dalam hal ini tersangka tau keluarganya ), jadi jelas merupakan kewajiban. Cara pemberitahuan penghentian penyidikan sebaiknya berbentuk tertulis. Dan apabila penghentian penyidikan itu dilakukan penyidik pegawai negeri sipil, tata cara pemberitahuannya berpedoman kepada penjelasan Pasal 109 KUHAP, yakni pemebritahuan penghentian disampaikan melalui penyidik Polri. Tata Cara Penghentian Penyidikan Mengenai tata cara penghentian penyidikan dalam Pasal 109 ayat 2 dan 3 KUHAP hanya ditentukan: penyidik Memberitahukan tentang hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Dalam hal penyidikan dihentikan oleh penyidik PNS sebagaimana di maksud Pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum. Tata cara penghentian penyidikan di dalam Tambahan pedoman Pelaksanaan KUHP pada butir 4 diberikan petunjuk sebagai berikut: dalam hal penyiddik menghentikan penyidikan maka penyidik harus melaksanakan ketentuan Pasal 109 ayat 2 KUHAP yaitu memberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan, harus melaksanakan ketentuan Pasal 140 ayat 2 huruf c KUHAP, yaitu turunan surat penetapannya wajib disanpaikan kepada tersangka atau keluarganyaatau penasihat hukum. Berdasarkan uraian diatas dapat ditentukan bahwa tata cara penghentian penyidikan tersebut adalah sebagai berikut: 91
91
Ibid, Hal 317.
67
a. penghentian penyidikan dilakukan secra tertulis, dalam bentuk Surat Ketetapan Penghentian Pennyidikan yang dilampiri dengan resume/ lapju; b. pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya Bila dibandingkan dengan tata cara penghentian penyidikan dan tata cara penghentian penuntutan maka pengaturan tata cara penghentian penuntutan lebih rinci pengaturan tata caranya. Sedang pengaturan penghentian penyidikan dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP, tidak jelas dan lengkap pengaturannya sehinga diperlukan pengaturan yang jelas dalam Undang-Undang.
b. Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum (Deponering/Deponeer) Penyampingan perkara atau Deponering disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang No.15/1961 (sekarang Pasal 32 huruf e Undang-Undang No. 5 tahun 1991) dan penjelasan Pasal 77 KUHAP. Malah pada penjelasan 77 telah ditegaskan: “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.” Menurut ketentuan Pasal 8 UUPK Nomor I Tahun 1961 Jaksa Agung dapat
menyampingkan
suatu
perkara
berdasarkan
kepentingan
umum.
Kewenangan Jaksa Agung unutk menyampingkan perkara ( deponeer) didasarkan pada asas opportunitas. Dalam hal ini terdapat pertentangan antara asas legalitas dengan asas opportunitas. Dan memperlihatkan bahwa sekalipun pada dasarnya KUHAP menganut asas legalitas, namun KUHAP sendiri masih memberi
68
kemungkinan mempergunakan prinsip opportunitas dalam penegakan hukum sebagaimana hal itu masih diakui oleh penjelasan Pasal 77 KUHAP. 92 Dalam penjelasan atas Pasal 8 UUPK tersebut dikemukakan: “Ditekankan dalam Pasal ini bahwa di lingkungan Kejaksaan , jaksa Agung yang mempunyai hak menyampingkan sesuatu perkara berdasarkan kepentingan umum. Selanjutnya sekalipun tidak ditegaskan dalam Pasal itu, namun sudah dimengerti bahwa sudah menjadi kebiasaan dalam praktek selama ini bahwa dalam menyampingkan perkara yang menyangkut kepentingan umum Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tinggi misalnya antara lain: Kapolri, Menteri pertahanan dan keamanan bahkan juga sering kali langsung kepada Presiden. 93 Penyampingan
perkara
ini
bukanlah
termasuk
dalam
golongan
penghentian penuntutan, karena begitu perkara sudah disampingkan, tidak ada kemungkinan lagi untuk di Praperadilan, karena dengan penyampingan perkara, dianggap suatu penyelesaian perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penyampingan perkara ini adalah wewenang yang diberikan UndangUndang kepada Jaksa Agung RI untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Adapun dasar penyampingan perkara ini, karena hukum acara juga menganut azas opportunitas. Dimana suatu perkara (perbuatan pidana) bilamana dilimpahkan ke persidangan diperkirakan akan menimbulkan suatu goncangan dikalangan masyarakat atau dengan penyidangan perkara tersebut akan menimbulkan akibat negatif di kalangan masyarakat luas. Maka demi untuk kepentingan umum, berdasarkan azas opportunitas diberikan lah wewenang kepada Jaksa Agung RI untuk mengesampingkannya. Dalam
praktek, 92 93
bilamana
suatu
perkara
dari
M. Yahya harahap, Edisi Kedua, Op cit, Hal 425. Harun M. Husein, Op cit, Hal 242.
sesuatu
Kejari
hendak
69
dikesampingkan, maka permohonan kepada Jaksa Agung RI selalu disertai dengan saran dari Muspida tingkat II dan Gubernur kepala daerah, dengan penjelasan-penjelasan kemungkinan adanya akibat negative dalam masyarakat bilamana perkara dimajukan disidang. 94 Berdasarkan saran-saran tersebut, Kejari mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung RI agar Jaksa Agung RI, menyampingkan perkara tersebut. Dari uraian tersebut bahwa tindakan penyampingan perkara harus benar-benar demi kepentingan umum. Pada penyampingan perkara atau Deponering perkara, perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini, “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan “demi untuk kepentingan umum”. Menurut penjelasan Pasal 32 huruf c UU No. 5/1991, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah “kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas” selanjutnya dikatakan “mengenyampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas opotunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Seeorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana, perkaranya didefonir atau dikesampingkan dan tidak
94
Osman Simanjuntak, Op cit, Hal 90.
70
diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itu sebabnya, asas opportunitas”bersipat diskriminatif “ dan menggagahi makna persamaan kedudukan di hadapan hukum (euality before the law). Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan. 95 Dari uraian diatas tampak perbedaan alasan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara yaitu: a) Penghentian penuntutan didasarkan pada alasan hukum dan demi tegaknya hukum, sedang pada penyampingan perkara hukum dikorbankan dengan kepentingan umum b) Pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutan jika ternyata ditemukan alasan baru yang memugkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan, misalnya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa, sedangkan pada penyampingan perkara atau deponering perkara satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan.
95
M. yahya harahap, Op cit, Hal 425.
71
C. Pengaturan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3) Menurut KUHP a. Dasar Peniadaan Penuntutan Di dalam title ketujuh dan kedelapan, Buku I KUHP disebut keadaankeadaan yang berpengaruh terhadap hak penuntut umum untuk menuntut. Ketentuan-ketentuan tersebut terletak di perbatasan antara hukum pidana materil dan hukum acara pidana. Menurut Van Bemmelen bahwa keadaan-keadaan yang membuat penuntut umum tidak boleh melakukan penuntutan terhadap terdakwa disebut peniadaan penuntutan (Vernolgingsuitsluitingsgrounden), sedangkan keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang sehingga tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa disebut dasar-dasar yang meniadakan pidana. 96 Adapun dasar-dasar yang meniadakan penuntutan dapat dijumpai dalam KUHP antara lain: 1
Buku I Bab V, yaitu dalam Pasal 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwa penerbit dan pencetak itu tidak dapat dituntut apabila pada BendaBenda yang dicetak dan diterbitkan itu telah mereka cantumkan nama-nama serta alamat orang yang telah menyuruh mencetak Benda-Benda tersebut, atau pada kesempatan pertama aetelah ditegur kemudian telah memberi julukan nama dan alamat orang tersebut.
2
Buku I bab VII yaitu dalam Pasal 72 KUHP dan selanjutnya, yang menambah bahwa tidak dapat dilakukan sesuatu penuntutan apabila tidak ada pengaduan. 96
A. Fuad Usfa & Tongat, Pengantar hukum Pidana, Penerbit UMM Press, Malang, 2004, Hal 90.
72
3
Buku I bab VIII yaitu dalam Pasal 76, 77, 78, dan Pasal 82 KUHP yang mengatur tentang hapusnya hak unutk melakukan penuntutan. Disamping dasar-dasar yang meniadakan penuntutan seperti dimaksudkan diatas, masih dapat dijumpai beberapa ketentuan pidana yang secara logis harus dipandang sebagai dasar-dasar yang meniadakan penuntutan dan buku II sebagai dasar-dasar yang meniadakan pidana antara lain : Pasal 166; 221 ayat 2; 284 ayat 2 KUHP.
b. Hapusnya Hak Menuntut Dalam hukum pidana ada diatur tentang dasar-dasar atau alasan untuk hapusnya hak menuntut yang diatur dalam Buku I bab VIII yaitu: 97 1
Telah ada putusan hakim yang tetap mengenai tindakan yang sama. Perumusan ketentuan mengenai nebis in idem tercantum dalam Pasal 76 KUHP Yaitu: Ayat 1: kecuali dalam hal putusan huku masih dapat dimintakan peninjauan kembali (Herziening), seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena tindakan (feit) yang oleh hukum Indonesia telah diadili dengan putusan yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap (kracht van jewijsde) terhadap dirinya. Ayat 2: jika putusan yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap itu berasal dari hukum lain, maka terhadap orang itu dank arena tindakan itu tidak boleh diadakan penuntutan bagi dalam hal: Ke-1 putusan berupa pembebasan dari dakwaan (Vrijspraak) atau pelepasan dari tuntutan hukum ( Ontslag van Rechtvervolging). 97
Moejatno, KUHP, Bumi Aksara Jakarta, 2001, hal 32.
73
Ke-2 putusan berupa pemanduan yang seluruhnya telah dilaksanakan, grasi atau yang telah daluwarsa pelaksanaan pidana tersebut. Neb is in idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwa pada suatu saat (nantinya) harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketentuan pidana terhadap suatu delik tertentu. Azas
ini
merupakan
pegangan
agar
tidak
lagi
mengadakan
pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap. Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama juga untuk mengindari usaha penyidikan/ penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap. Agar supaya suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila: 1) Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan terdahulu. 3) Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) adalah sama. 3) Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Belakangan dasar Nebis in idem itu digantungkan kepada hal, bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim dengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan itu berisi: 98 98
Bambang waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Edisi I cetakan Pertama 1992.
74
a
Penjatuhan hukuman (veroordeling). Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah melakukan peristiwa pidana yang dujatuhkan kepadanya; atau
b
Pembebasan dari penuntutan hukum (outslag van rechtsvervolging). Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peristiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanyakedapatan tidak dapat dihukum, karena tidaka dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, atau
c
Putusan bebas (vrijspraak). Putusan ini berarti, bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.
2
Terdakwa Meninggal Dunia Pasal 77 KUHP: kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia . apabila seseorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam tahap penuntutan atau pengusutan maka penuntutan itu dihentikan. Jika penuntutan telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima (niet outvanhelijk verklaard). Umumnya demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya. Dalam Pasal 77 KUHP terletak suatu prinsip, bahwa penuntutan hukum itu harus ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dimaksud telah melakukan peristiwa pidana itu meninggal dunia, maka tuntutan atas
75
peristiwa habis sampai demikian saja artinya tidak dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya. 3
Karena kedaluwarsa atau lewat waktunya Dari Pasal 78 dapat disimpulkan bahwa hak menuntut hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi) karena lewat waktunya atau kedaluwarsa.
4
Hapus kalau dengan sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum dalam waktu yang ditetapkan oleh nya.
BAB III AKIBAT ATAU KEKUATAN HUKUM SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP/SKP3)
1. Akibat Ditinjau dari Sudut Juridis Dari isi surat ketetapan penghentian penuntutan perkara sebagaimana yang disebutkan didalam KUHAP maka akibat dari SKP3 tersebut dapat dilihat pada: 1) Dapat Lagi Kembali Dilakukan Penuntutan Dalam hal ini penghentian penuntutan tidak dengan sendirinya menurut hukum melenyapkan hak dan wewenang penuntut umum untuk melakukan penuntutan kembali perkara tersebut. Akan tetapi dapat dilakukan penuntutan kembali perkara yang dihentikan, hal ini bisa terjadi disebabkan dua hal: a
Jika Ternyata Di Kemudian Hari Di Temukan “ Alasan Baru” Yang dimaksud dengan alasan baru yang disebut Pasal 140 ayat(2) hurufd, penjelasan Pasal itu menegaskan: “Alasan baru tersebut diperoleh penuntut umumdari penyidik yang berasal dari keterangan tersangka, saksi, Benda, atau petunjuk yang baru kemudian diketahui didapat”. Dari penjelasan Pasal ini, dapat dilihat, jika kemudian penyidik menemukan hal-hal baru baik yang berupa keterangan yang berasal dari tersangka, saksi, maupun saksi ahli ataupun yang bersumber dari Benda bukti, jika hal-hal baru itu dianggap penuntut umum cukup untuk menuntut terdakwa, perkara semula yang telah dihentikan penuntutannya dapat dituntut kembali. Dalam penuntutan kembali ini dilakukan “dengan surat penetapan” yang “mencabut” surat penetapan penghentian penuntutan terdahulu. Adalah logis sekali suatu surat penetapan harus pula dibatalkan dan dicabut
76
77
dengan surat penetapan baru. Sebab dengan tindakan penuntutan kembali suatu perkara yang pernah dihentikan penuntutan, berarti penuntutan kembali itu sendiri mengandung makna pencabutan atas penghentian penuntutan terdahulu. Oleh karena itu agar semua tindakan penegakan hukum tertuang dalam suatu dokumentasi administrasi yang baik, sangat beralasan untuk mengeluarkan surat penetapan baru atas penuntutan kembali suatu perkara yang telah pernah dihentikan penuntutannya. 140 b
Penuntutan Kembali Harus Dilakukan Apabila Keputusan Praperadilan Menetapkan Penghentian Penuntutan Yang Dilakukan Penuntut Umum Tidak Sah Menurut Hukum Dengan adanya penetapan Praperadilan yang menentukan penghentian penuntutan tidak sah, dengan sendirinya mewajibkan penuntut umum untuk segera melimpahkan perkara tersebut ke sidang pengadilan. Dalam kejadian seperti ini dengan sendirinya penetapan hakim Praperadilan merupakan penetapan yang membatalkan dan mencabut penetapan penghentian penuntutan yang dikeluarkan penuntut umum. Oleh karena itu, dalam hal penghentian penuntutan dibatlkan berdasar putusan Praperadilan, penuntut umum tidak perlu lagi mengeluarkan penetapan baru yang berisi pembatalan dan penuntutan kemnali perkara yang bersangkutan, sebab dengan putusan Praperadilan sekaligus tercakup pembatalan penghentian penuntutan serta penetapan untuk melakukan penuntutan kembali. Memperhatikan ketentuan yang memungkinkan penuntutan kembali suatu perkara yang telah dihentikan penuntutan,
140
M. Yahya harahap, Edisi Kedua, Op cit, Hal 428.
78
penghentian penuntutan sementara,
sampai:ada
Praperadilan
yang
itu
merupakan Penangguhan” penuntutan
ditemukan
menentukan
hal-hal sah
atau
baru,
dan
tidaknya
keputusan penghentian
penuntutan. 141 Dengan demikian penagguhan penuntutan “tidak bersifat permanent” . sewaktu –waktu penuntutan dapat dilakukan kembali oleh penuntut umum. Atau sewaktu-waktu ketetapan penghentian penuntutan dapat dicabut, menunggu penuntut umum memperoleh hal-hal baru dari penyidik. Dalam KUHAP tidak ditemukan batas waktu penuntutan kembali atau apakah tanpa limit atau tanpa batas waktu. Demi untuk tegaknya kepastian hukum seharusnya pembuat Undang-Undang menegaskan batas waktu penuntutan kembali atas suatu perkara yang telah pernah dihentikn penuntutannya. Tetapi dalam
KUHP batas waktu penuntutan kembali
harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 78 KUHP, yang mengatur tentang hapusnya hak menuntut suatu perkara disebabkan “kedaluwarsa”. Terhadap putusan atau penetapan Praperadilan yang mengesahkan penghentian penuntutan sama sekali tidak permanent sipatnya. Putusan itu tidak dengan sendirinya menghapuskan wewenang penuntut umum untuk menuntutkembali perkara tersebut, apabila kelak ditemukan lagi hal-hal baru yang dapat dijadikan alasan untuk menuntut kembali perkara dimaksud. Sebab putusan Praperadilan belum merupakan putusan akhir perkara yang bersangkutan. Dengan demikian putusan Praperadilan, bukan bersifat nebis in idem.
141
Ibid, Hal 429.
79
2) Keberatan atau permintaan pemeriksaan penghentian penuntutan Dengan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara yang mengakibatkab adanya keberatan atas ketetapan tersbut maka Pasal 80 KUHAP memberi hak untuk mengajukan keberatan atas penghentian penuntutan atas suatu perkara. Secara teknis Yuridis terhadap penghentian penuntutan perkara yang dilakukan oleh penuntut umum, dapat diajukan permintaan pemeriksaan oleh pihak yang berkepentingan. Hal ini merupakan upaya pengawasan terhadap penuntut umum agar dalam mempergunakan wewenang penghentian itu tidak sesuka hati, dan tidak dengan cara manipulasi yang bertentangan dengan hukum dan pengawasan dari kemungkinan penyalahgunaan wewenang, pemeriksaan penghentian penuntutan dimaksudkan sebagai upaya “ koreksi”. Penuntut umum sebagai manusia tidak luput dari kesalahan dan keteledoran. Maka dengan dimungkinkan penghentian itu diajukan ke Praperadilan, kelalaian dan keteledoran penuntut umum diharapkan dapat dikoreksi Praperadilan, ke dalam proporsi yang tepat. Keberatan terhadap penghentian penuntutan, dapat dilakukan oleh dan diajukan kepada: a Yang berhak mengajukan keberatan terhadap penghentian penuntutan dapat dilakukan oleh Penyidik, Terdakwa/Keluarga dan pihak ketiga yang berkepentingan Tentang
permintaan
pemeriksaan
yang
dilakukan
penyidik
atas
penghentian tersebut adalah wajar hal ini sesuai dengan Undang-Undang yang memberi hak kepada penyidik untuk mengajukan permintaan
80
pemeriksaan atas penghnetian penuntutan. Sementara pihak ketiga yang berkepentingan yaitu mereka yang telah menderita sebagai korban keganasan tindak pidana. Dengan berlakunya KUHAP, pihak korban sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, dapat mengajukan permintaan pemeriksaan atas penghentian penuntutan. b
Pihak yang dibei hak untuk mengajukan permintaan pemeriksaan terhadap penghentian penuntuitan, dapat mengajukan kepada Pengadilan negeri setempat agar sah atau tidaknya penghentian diperiksa dan diputus oleh sidang Praperadilan. Akan tetapi pengajuan adalah hak yang diberi Undang-Undang kepada penyidik dan pihak ketiga yang berkepentingan. Tergantung kepada mereka apakah akan mempergunakan haknya atau tidak selama tidak ada diajukan keberatan, Praperadilan tidak berwenang untuk menilai sah atau tidaknya penghentian penuntutan142
2. Akibat Ditinjau dari Sudut Sosiologis Dengan keluarnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3) yang kontoversial maka akan membawa akibat sosiologis yaitu terjadinya Pro dan kontra di dalam masyarakat terhadap ketetapan penghentian penuntutan tersebut. Pihak yang Pro adalah pihak-pihak yang memiliki hubungan kepentingan politik yang diuntungkan dan memiliki rasa prihatin atau setuju ketimbang perkaranya dilanjutkan dengan faktor kemanusiaan. Sedangkan golongan yang kontra adalah pihak-pihak atau golongan masyarakat yang dirugikan atau yang menjadi korban atas perbuatan terdakwa, sementara juga
142
Ibid, Hl 430.
81
kelompok pencari keadilan dan pembela hak Asasi manusia juga kecewa dan menentang atas dihentikannya penuntutan atas perkara terdakwa, dengan alasan pertimbangan hakim tidak memberi putusan yang lebih adil dan bernuansa hukum tetapi politis. Masyarakat mengharapkan hakim dapat memberikan putusan yang menyentuh rasa keadilan tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi terdakwa sendiri, dan dengan keluarnya ketetapan tersebut masyarakat juga menilai bahwa dibalik putusan yang kontoversial itu ada intervensi kalangan-kalangan tertentu, sehingga masyarakat menganggap kepastian hukum tidak ada serta tidak mengakomodasi kepentingan sebagaian besar masyarakat. Dengan keluarnya ketetapan penghentian penuntutan banyak pihak menuntut agar terdakwa tetap harus diadili dan menuntut agar semua orang kedudukannya harus sama dihapan hukum. Pada kasus-kasus besar dan menyangkut kepentingan Negara/ publik serta sangat mendapat perhatian masyarakat seperti kasus Penghentian penuntutan perkara Soeharto, dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Perkara (SKPPP/SKP3) menimbulkan reaksi besar dan silang pendapat yang tajam di masyarakat dan juga dikalangan pejabat-pejabat Negara (Eskekutip, Yudikatif, legislatif dan lembaga Negara lainnya). Penetapan hakim menghentikan sidang Soeharto tentu saja menimbulkan Pro dan kontra , yang pro menilai wajar saja hakim menghentikan sidang perkara Soeharto, Anggota DPR Komisi II Hartono Mardjono menilai sejak awal ada kejanggalan dalam menangani kasus Presiden RI kedua ini, dia mnunjuk langkah Jaksa penuntut umum Muchtar Arifin yang menyerahkan berkas perkara tanpa terdakwa, seharusnya menurut pengacara senior ini pengadilan sejak dini menolak
82
berkas itu karena Jaksa tak mampu menghadirkan terdakwa sesuai hukum acara pidana, katanya “penyerahan berkas perkara harus disertai terdakwa kalau tak ada terdakwa mau mengadili angin”. 143 Dampak
sosiologis dimasyarakat
juga
terjadi yaitu
suara
dimasyarakat terpecah menjadi dua yaitu kelompok pertama menginginkan kasus Pak harto ditutup saja. Alasannya beragam , mulai aspek kemanusiaan hingga karena kesehatannya yang sudah rapuh. Sementara kelompok kedua tetap ingin mendudukkan H.M. Soeharto di kursi Pesakitan. Pada intinya SKPPP yang dikeluarkan oleh Kejari Jakarta Selatan tersebut menimbulkan gelombang protes di kalangan masyarakat, seperti tokoh partai, LSM, Mahasiswa, aktifis perempuan dan juga dikalangan mantan pejabat Negara serta lembaga-lembaga Negara.
3. Akibat Terhadap Status Hukum Terdakwa, Benda Sitaan/Barang Bukti dan Terhadap Kerugian Negara serta Pihak Ketiga
Sebagai konsekuensi dari dikeluarkannya SKPPP tersebut, maka status hukum terdakwa otomatis gugur atau tidak berlaku lagi, dan dalam hal ini berkas perkara dikembalikan kepada Kejaksaan negeri setempat dan mencoret nomor perkara pidana biasa dalam tahun yang sedang berjalan. Dan sesuai dengan bunyi pasa 140 ayat 2 butir d maka penuntut umum dapat kembali nelakukan penuntutan apabila kemudian ternyata ada alasan baru atau bukti-bukti baru. Demikian juga dengan kasus penghentian perkara Soeharto dan sebagai konsekuensi dari dikeluarkannya SKPPP tersebut,maka status hukum Soeharto sebagai terdakwa otomatis gugur atau tidak berlaku lagi. Sedangkan pada SKPPP Soeharto juga
143
2006.
Internet, WWW.Google. Com, Menunggu Nasib Pengadilan Soeharto, 10 Agustus
83
disebutkan pada bagian menetapkan angka 3 : Surat ketetapan ini dapat dicabut kembali apabila dikemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh Penuntut Umum. Dengan diterbitkannya SKPPP maka terhadap terdakwa dapat diberikan Rehabilitasi sebagai aktualisasi kebijakan Negara dengan keputusan Presiden dapat memberi rehabilitasi kepada terdakwa elain alasan kemanusiaan usia lanjut disertai alasan medis yang dapat dipertanggungjawabkan demikian juga terhadap Soeharto dapat diberikan Rehabilitasi tetapi perbuatan yang mana yang mau direhabilitasi karena pada dasarnya Soeharto belum mengakui kesalahannya. Sementara Abolisi sesuai dengan Pasal 1 UU No 11/Drt/ 1954 akan bersipat debatable karena abolisi hanya diberikan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana yang fit to stand trial dengan alat bukti yang memadai. Sedangkan kasus Soeharto belum memasuki substansi koruptinya, juga persyaratan unfit to stand trial. Dari bunyi Pasal 1 butir 23 KUHAP bahwa pengertian Rehabilitasi adalah: hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan , penuntutan atau peradilan karena ditangkap atau pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. 144 Benda sitaan/barang bukti Berdasarkan pengertian/penafsiran otentik sebagaimna dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa Benda yang 144
H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2004, Hal 317.
84
disita/Benda sitaan yang juga dinamakan” barang bukti” adalah berfungsi/berguna untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Dan dalam Pasal 46 ayat (2) juga diatur bahwa perkara yang sudah diputus maka Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan itu kecuali jika menurut hakim Benda itu dirampas untuk Negara.145 Barang bukti sebagaimana dalam berkas perkara dengan diteritkannya SKPPP Soeharto maka Benda sitaan/barang bukti berupa sebagaimana terlampir dalam berkasa perkara tetap terlampir dalam berkas perkara. Tetapi konsekuensi dikeluarkannya ketetapan tersebut maka semua Benda yang telah disita dari Soeharto seperti harta atau barang bukti lainnya wajib dikembalikan. Dalam hal ini maka untuk Benda sitaan atau barang bukti dapat tetap diajukan dengan gugatan perdat untuk mengembalikan kerugian Negara. Kerugian Negara Dan Pihak Ketiga Setiap tindak pidana korupsi dapat membawa kerugian baik bagi korban maupun ataupun bagi keuangan Negara dan pihak ketiga yang berkepentingan. Didalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang sah KUHAP Pasal 81 menyatakan bahwa tersangka dan atau pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi sebagai akibat sahnya penghnetian penyidikan dan sahnya penghentian penuntutan. Jadi kalau hakim Praperadilan menjatuhkan putusan (penetapan) yang menyatakan bahwa penghentian penyidkan atau penghentian penuntutaan adalah sah, maka putusan pengesahan atas penghentian penyidikan/penuntutan tersebut dapat digunakan
145
Ibid, Hal 32.
85
sebagai dasar alasan untuk mengajukan permintaan/permohonan/penuntutan ganti kerugian. 146 H.M. Soeharto berurusan dengan hukum menyusul keluarnya tap MPR Nomor XI tahun 1998 tentang penuntasan dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya, saat itu Jaksa Penuntut umum Muchtar arifin, kini jaksa Agung muda Bidang Intelijen mendakwa penguasa Orde baru itu telah melakukan korupsi dana yayasan dan merugikan Negara trilyunan rupiah dan perkaranya kemudian deregister dengan nomor 842/Pid.P/200/PN JAKSEL. 147 Diluar penyelesaian proses pidana , tuntutan pengembalian uang Negara yang diduga dikorupsi Pak harto belum berhneti. Jaksa Agung sendiri kini sedang berupaya mengembalikan asset senilai US$ 419 juta dan Rp 1,3 trilyun lewat jalur hukum perdata yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara). Hal ini diakomodasi oleh UU yaitu Pasal 34 UU Pemberantasan tindak Pidana Korupsi Nomor 31/1999 yaitu jaksa Pengacara Negara dapat melakukan gugatan perdata apabila terdakwa meninggal dunia dan secara nyata telah ada kerugan Negara. Gugatan ini diajukan kepada ahli waris karena yang digugat adalah harta kekayaan, ahli waris hanya bertanggung jawab secara keperdataan dan sudah ada bukti maka harta kekayaan yang diduga dapat disita dan ini dap[at dilelang untuk kepentingan ganti kerugian. Dalam hukum pidana bias saja ada pengalihan tanggung jawab namun terbatas soal perdatanya dan pada prinsipnya hukum pidana tidak mengenal subsitusi pertanggungjawaban dimana seseoang tidak boleh serta merta menerima hak oran lain sementara orang lain itu mempunyai kewjiban misalnya jika ada ahli waris akan menerima harta dari 146 147
Ibid, Hal 308. Hidayat Gunadi, Op cit, Hal 27.
86
seseorang
yang
diduga
melakukan
kejahatan
maka
hartanya
harus
dipertanggungjawabkan dulu sebelum diwariskan meskipun demikian aturan pengembalian keuangan Negara itu tak lebih dari Pasal lipstik sebab dalam prakteknya ketentuan ini sulit diterapkan karena itu seharusnya Pasal-Pasal itu disempurnakan. 148 Dengan keluarnya SKPPP Soeharto Maka poin penting terhadap kerugian Negara adalah: 149 a
Bahawa tindakan termohon menerbitkan SKPPP jelas sangat merugikan kepentingan kepastian hukum di indoensia, sehingga dapat menyebabkan timbulnya perasaan dimasyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak serius dan atau tidak berlaku untuk “kalangan atas” atau hanya berlaku bagi “masyarakat bawah” yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum, serta menyebabkan terlegalisasinya praktek KKN yang selama ini terjadi baik oleh yang dilakukan oleh terdakwa maupun keluarga atau kroni-kroninya yang menyebabkan hilangnya kerugian Negara tersebut. Dengan demikian termohon telah melanggar Tap MPR no. IV/MPR/2000 khususnyabab II Pasal 6 ayat (1) dimana Termohon sebagai alat Negara penegak hukum harus dapat menegakkan hukum dan memberikan pengayoman kepada masyarakat.
b
Bahwa bagi keuangan Negara, maka tindakan Termohon telah menyebabkan upaya untuk mengembalikan keuangan Negara yang telah dikorupsi menjadi tidak dapat dilakukan, yang jelas membebani keuangan Negara.
148
Ibid, Hal 27. Salinan Putusan Permohonan Praperadilan oleh Assosiasi penasihat Hukum Indonesia (APHI), Jakarta, 19 Mei 2006, Hal 16. 149
87
c
Bahwa tindakan termohon di atas dan telah menimbulkan kerugian sebagaimana diungkapkan di atas juga menimbulkan kerugian bagi PEMOHON atau pihak ketiga selaku organisasi non pemerintah (LSM), yang secara terus menerus telah melakukan ikhtiar dan upaya untuk melakukan advokasi dan penyadaran hukum dan HAM kepada masyarakat, termasuk didalamnya penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia, yang antara ikhtiar dan upaya itu dilakukan oleh PEMOHON melalui kegiatan-kegiatan sebagai telah disbut di atas mengenai kedudukan hukum dan kepentingan Penggugat dalam permohonan.
BAB IV IMPLEMENTASI UPAYA HUKUM PRAPERADILAN DAN BANDING TERHADAP SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP/SKP3)
A. Wewenang Hakim dan Pihak Ketiga dalam Upaya Praperadilan atas Penerbitan SKP3 Berdasarkan KUHAP Dalam hal penghentian Penuntutan hakim berwenang melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penghentian penuntutan sedangkan pihak ketiga sebagai lembaga swadaya masyarakat melakukan tugasnya sebagai lembaga yang membela dan memberikan perlindungan serta penegakan atas kepentingan dan hak-hak azasi manusia di Indonesia, termasuk di dalamnya penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Peran seorang hakim dalam tahap pemeriksaan dilakukan apabila dilaksanakannya praperadilan oleh seorang hakim dari Pengadilan Negeri setempat yang telah ditunjuk utuk itu bilamana ada suatu tuntutan dari seorang terdakwa yang telah ditahan atau oleh keluarga maupun pembela ataupun pihak ketiga yang berkepentingan dalam hal ini adalah pihak dari Lembaga Swadaya masyarakat sebagai suatu media pembela kepentingan rakyat. Setiap tindakan hakim dalam hal ini adalah mengadakan suatu pemeriksaan terhadap perkara yang diserahkan kepadanya untuk memeriksanya, mengadili dan memutus perkara permohonan Praperadilan tersebut sesuai dengan wewenang maupun kekuasaan yang ada padanya berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Dalam hal ini hakim melaksanakan berupa tindakan pemeriksaan terhadap segala surat-surat dalam berkas-berkas perkara dan mendengarkan keterangan-keterangan saksi dari kedua bela pihak serta memeriksa bukti-bukti yang dilampirkan oleh kedua bela
88
89
pihak sehingga dengan lengkapnya bukti-bukti dan saksi-saksi tersebut maka hakim dapat mengambil suatu kebijakan yang terbaik di dalam memberikan putusannya sehingga keputusannya itu dapat mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat bangsa dan Negara. 150 Wewenang Hakim untuk mengadili telah di atur dan ditentukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 dan ayatnya yang ke-8 menyatakan: 151 “Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili “. Dalam hal pengajuan permintaan Praperadilan atas keabsahan penghentian penuntutan dapat diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan yang menggunakan prosedur hak gugat LSM (Legal Standing) yang disebut sebagai Pemohon. Dalam sistem Praperadilan di terapkan bahwa apabila ada pihak ke 3 yang merasa dirugikan terhadap adanya suatu penghentian penuntutan oleh Kejaksaan maka dapat melakukan pengaduan dengan mengajukan permohonan Praperadilan kepada Pengadilan Negeri. Pemeriksaan Praperadilan terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan adalah sebagai suatu pengawasan secara horizontal terlebih lagi bagi kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan dengan adanya penghentian penuntutan, dimana mereka tidak mempunyai upaya hukum lainnya, maka lembaga Praperadilan adalah suatu sarana yang tepat untuk menjaga kepastian hukum tersebut, karena di dalam perkara pidana kepentingan pihak ketiga , yakni pihak yang menjadi korban dalam perkara pidana, adalah terletak ditangan 150 151
Ratna sari, Op cit, Hal 62. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penerbit karya Anda
90
penuntut umum untuk mendapatkan keadilan melalui sidang pengadilan. Berarti apabila terjadi suatu penghentian penuntutan maka tidak ada upaya hukum lainnya bagi sikorban atau pihak ketiga untuk meminta keadilan. Oleh karena itu maka dengan adanya Praperadilan dimana hakim Praperadilan diberikan wewenang untuk memeriksa keabsahan dari suatu penghentian penuntutan adalah juga menjadi suatu upaya hukum bagi korban atau pihak ketiga. Dalam kasus penghentian penuntutan terhadap dugaan kasus korupsi oleh mantan Presiden Soeharto yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan maka oleh hakim dalam hal ini berperan aktif artinya bahwa hakim melaksanakan pengujian yang menyangkut pokok perkara terhadap kebenaran prosedural penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKP3). Pelaksanaan Praperadilan di dalam penghentian penuntutan
berupa Surat
Ketetapan Penghentian penuntutan Perkara (SKPPP) yang tidak sah dalam kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Soeharto, mantan Presiden Republik Indonesia ke 2 (dua) di 7 (tujuh) yayasan yang didirikan dan dikuasainya yaitu: Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong dan Trikora, ini diajukan dan dimohonkan oleh pihak pemohon Praperadilan tersebut adalah terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berpungsi sebagai suatu lembaga yang membela hak-hak azasi manusia dan kapasitasnya dalam kasus ini adalah sebagai pihak ke-3 yang berkepentingan yang terdiri dari: 152 1. Asosiasi Penasehat Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI)/ Indonesian Lawyers And Human Rights Defender’s Asossiation, yang
152
Salinan Putusan Permohonan Praperadilan atas SKPPP Soeharto.
91
diwakili oleh Dorma H. Sinaga, S.H dan Lambok Gultom, S.H masing-masing selaku ketua umum dan sekretaris umumdalam hal ini diwakili ol;eh kuasanya Hotma Timbul.H, S.H, Niko Adrian, S.H, dkk Para Advokat dan Pembela Umum dari Kantor APHI yang beralamat di jalan Raya Pasar Minggu km. 17,7 No. 1 B, Lt. 3 Pasar Minggu, Jakarta Selatan dan untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon I 2. Koalisi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto ( GEMAS) yang terdiri dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Imparsial, ELSAM, Demos, SHMI, Kontras dan ICW, LPHAM dan YLBHI, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya Johnson Panjaitan, S.H, Ecoline Situmorang, S.H, dkk dalam hal ini memilih secretariat di kantor Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asassi Manusia Indonesia (PBHI), beralamat di Gedung Perkantoran Mitra Matraman, Jl. Matraman Raya No. 148 Blok A2/18, Matraman, Jakarta Timur Sebagai Pemohon II 3. Raymond Rajaurat. S, Ir. Iwan Sumule, Syarifudin, Masinton Pasaribu, Olisias Gultom. ST, Clemens yh Fernandez, Eduard B. Hutagalung, F. Arie Purnama, Joni Sutarman, Aji Kusuma, D. Hermawan, Sulzer Sibarani, S.E, Oka Wijaya, dan Gomos Simanjuntak, S.H yang dalam hal ini diwakili oleh dan karenanya memilih domisili di kantor kuasanya Hotma Timbul. H, S.H dkk Para Advokat dan Pembela Umum dari Kantor APHI yang berdomisili hukum di Jalan Raya Pasar Minggu IB km 17.7. Pasar Minggu, Jakarta selatan sebagai Pemohon III Sebagaimana dikemukakan pada awal bahwa hakim dalam kasus Praperadilan bersipat aktif, dimana hakim mengambil dan melaksanakan berbagai
92
pertimbangan-pertimbangan yaitu bahwa hakim selaku pelaksana dan berfungsi sebagai suatu wahana yang mewujudkan suatu rasa keadilan di dalam masyarakat melakukan suatu pengujian dan penilaian terhadap seberapa jauh secara yuridis penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) telah dilakukan secara cermat dengan berlandaskan kepada prosedur hukum yang mengacu kepada kebenaran fakta yang terungkap dalam pemeriksaan.
B. Latar Belakang dan Alasan Hukum Penghentian Penuntutan Perkara Soeharto oleh Kejaksaan Agung Cq Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Cq Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Adapun latar belakang penghentian penuntutan kasus perkara Soeharto dapat dijelaskan melalui Kronologis penanganan perkara atas nama terdakwa H.M. Soeharto yaitu sebagai berikut: 153 1. Berkas perkara hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung tanggal 26 juli 2000 Nomor: Reg-45/RP-6/3/2000 telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 8 Agustus 2000 sesuai surat pelimpahan perkara dengan Acara pemeriksaan Biasa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor: B78/APB/Fpk.2/Sel/08/2000 atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto, dengan dakwaan: -
Primair: Pasal 1 ayat (1) sub a jo. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP
153
Salinan Putusan Banding Permohonan Peraperadilan atas SKPPP Soeharto.
93
-
Subsidiair: Pasal 1 ayat (1) sub b jo. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP
2. Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
dengan
Penetapan
Nomor:
842/Pen.Pid/2000/PN.Jak.Sel. tanggal 22 Agustus 2000 telah menetapkan hari sidang pada hari kamis tanggal 31 Agustus 2000 3. Sejak sidang pertama hari kamis tanggal 31 Agustus 2000, Jaksa Penuntut Umum tidak dapat menghadapkan terdakwa di persidangan karena sakit, sehingga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Penetapannya Nomor: 842/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. tanggal 14 September 2000 menetapkan untuk membentuk Tim Dokter terdiri dari unsur Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Departemen Kesehatan RI (Depkes RI), Fakultas Kedokteran UI, UGM, UNAIR guna memeriksa secara teliti dan menyuruh terhadap kesehatan terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto untuk kepentingan terdakwa di dalam persidangan 4. Dari hasil pemeriksaan kesehatan terhadap H.M. Soeharto alias Soeharto, dijelaskan Tim Dokter dalam persidangan dengan menyatakan: “H.M. SOEHARTO secara medis baik ditinjau dari segi fisik maupun mentalnya dinyatakan dalam keadaan tidak laik atau unfit untuk disidangkan” Atas dasar hasil pemeriksaan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Mengeluarkan penetapan Nomor: 842/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. tanggal 28 September 2000 yang menetapkan: 1. Menyatakan penuntutan perkara pidana atas nama terdakwa H.M. SOEHARTO alias SOEHARTO “tidak dapat diterima”
94
2. Membebaskan terdakwa H.M. SOEHARTO alias SOEHARTO dari tahanan kota 3. Mengembalikan Berkas Perkara Nomor: 842/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. kepada Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 4. Mencoret nomor Perkara Pidana Biasa dalam tahun yang sedang dikerjakan 5. Terhadap Penetapan sebagaimana tersebut di atas, Jaksa Penuntut Umum mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi Jakarta yang pada intinya meminta agar perkara atas nama Terdakwa H.M. SOEHARTO alias SOEHARTO dapat disidangkan secara in absentia. Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor: 140/BDG/ PID/2000/PT.DKI tanggal 8 Nopember 2000 memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut: “Menimbang, bahwa karena terdakwa H.M. SOEHARTO didakwa melanggar Tindak Pidana Korupsi seperti yang didakwakan dalam surat dakwaan perkara ini. Maka apabila setelah dipanggil dengan semestinya atau patut, terdakwa tidak bersedia hadir dengan alasan sakit, sedang alasan sakitnya telah terbukti tidak sah, maka dianggap terdakwa telah melepaskan haknya untuk hadir dan persidangan dilanjutkan dengan membacakan surat dakwaan dimaksud tanpa hadirnya terdakwa dan diputus” Atas dasar pertimbangan tersebut Pengadilan Tinggi Jakarta memberikan Putusan dengan Amar sebagai berikut: 1. Menerima banding dari Jaksa Penuntut Umum 2. Membatalkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 842/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 september 2000 3. memerintahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membuka, memeriksa, mengadili dan memutus kembali perkara pidana
95
pada Register Nomor: 842/Pid.B/2000/PN.jak.Sel. sesuai hukum Acara Pidana yang berlaku bagi perkara tersebut Dengan demikian Pengadilan Tinggi Jakarta telah mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum untuk menyidangkan perkara H.M. SOEHARTO alias SOEHARTO secara in absentia 6. Tim Penasihat Hukum terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut. Atas permohonan kasasi tersebut Mahkamah Agung RI dalam Putusan Nomor: 1846K/Pid/ 2000 tanggal 2 Pebruari 2001 antara lain memberikan pertimbangan sebagai berikut: “Bahwa kehadiran terdakwa di persidangan Pengadilan menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman dan Pasal 154 UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bersifat imperative (mutlak), sehingga terdakwa H.M. SOEHARTO alias SOEHARTO harus ditunggu sampai yang bersangkutan sehat dan memenuhi persyaratan untuk diperiksa di Pengadilan” Berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah Agung RI memberikan Putusan dengan Amar sebagai berikut: 1. Menyatakan Penuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa H.M. SOEHARTO alias SOEHARTO tidak dapat diterima 2. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara, untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan 3. Melepaskan terdakwa dari Tahanan Kota 7. Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan Surat Nomor: R-088/0.1.14/F.1/02/2001 tanggal 21 Pebruari
96
2001 meminta Tim Dokter RSCM melakukan pengobatan terhadap terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto. Setelah melakukan pengobatan , Tim Dokter yang diketahui oleh dr. ICHRANSYAH A. RACHMAN, Sp.OG. KFEK dengan Surat No. 2497/ TU.K/Rhs/ VIII/ 2001, tanggal 27 Agustus 2001 menyampaikan pendapat sebagai berikut: “Dengan memperhatikan usia pasien yang telah lanjut, kelainan Infark Multiple di otak yang bertambah luas dan kelainan jantung yang tidak dapat diperbaiki”, maka berdasarkan disiplin ilmu Kedikteran saat ini disimpulkan bahwa Prognosis penyembuhan kondisi fisik dan mentalnya adalah buruk, atau dengan kata lain tidak dapat diharapkan sembuh dengan metode pengobatan yang ada saat ini”. 8. Hasil pengobatan Tim Dokter RSCM terhadap H.M. Soeharto alias Soeharto telah dilaporkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan kepada Mahkamah Agung RI dengan Surat Nomor: R-411/O.1.14/Fu.1/10/2001 tanggal 29 oktober 2001. atas laporan tersebut Mahkamah Agung RI dengan Surat Nomor: KMA/865/12/2001 tanggal 11 Desember 2001, memberi pendapat hukum sebagai berikut: 8.1. Bahwa Surat Tim Dokter RSCM untuk pengobatan H.M. Soeharto, Nomor:
2497/TUK/ Rhs/ VIII/2001 tanggal 27 Agustus 2001 pada
bagian kesimpulan menerangkan: “Sebagai kesimpulan kami, dengan memperhatikan usia pasien yang telah lanjut, kelainan infrak multiple di otak yang bertambah luas dan kelainan jantung yang tidak dapat diperbaiki, maka berdasarkan disiplin ilmu kedokteran saat ini dapat dikatakan bahwa prognosis penyembuhan kondisi fisik dan mentalnya adalah buruk atau dalam arti kata lain tidak dapat diharapkan sembuh dengan metode pengobatan yang ada saat ini” 8.2. Bahwa Amar Putusan Kasasi Register Nomor: 1846K/Pid/2000 tanggal 2 Pebruari 2001 antara lain menyatakan:
97
“Memerintahklan Jaksa penuntut Umum melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan” 8.3. Bahwa karena Tim Dokter menyatakan terdakwa “tidak dapat disembuhkan”, maka terdakwa tidak dapat diajukan ke persidangan 8.4. Bahwa berhubung dengan hal itu, untuk menentukan mengajukan atau tidak mengajukan perkara atas nama terdakwa H.M. SOEHARTO tersebut ke persidangan adalah menjadi wewenang Jaksa Penuntut Umum sesuai bunyi Pasal 137 KUHAP. 9. Berdasarkan Pendapat hukum Mahkamah Agung RI, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan Surat Nomor: B-246/O.1.14/Ft.1/02/2002 tanggal 26 Pebruari 2002 kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, meminta Majelis Hakim membuka kemnali persidangan perkara korupsi atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto dengan pertimbangan: 1. Berkas Perkara terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto sejak dilimpahkan masih berada di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2
Guna menghindari berlarut-larutnya penyelesaian perkara dan memperoleh kepastian hukum, mengingat kondisi kesehatan terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto berdasarkan Pemeriksaan Tim Medis, terdakwa tidak dapat disembuhkan
3.
Bahwa menjawab surat Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Suratnya Nomor: W7D7.Hn.01.10.01.932 tanggal 8 Maret 2002 menyatakan :
98
a. Pemeriksaan Berkas Perkara atas nama terdakwa H.M. SOEHARTO, ansich telah final b. Dapat dihadapkan ke persidangan apabila terdakwa sembuh c. Pernyataan
Tim
Dokter
menyatakan
terdakwa
tidak
dapat
disembuhkan, maka terdakwa tidak dapat diajukan ke persidangan d. Berkas Perkara diserahkan kembali ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 10. Bahwa walaupun Tim Dokter RSCM yang melakukan pengobatan terhadap H.M.
Soeharto alias Soeharto dan menyatakan kondisi kesehatan terdakwa
H.M. Soeharto tidak dapat disembuhkan berdasarkan disiplin Ilmu Kedokteran saat ini, namun guna lebih memastikan kondisi kesehatan terkini, Kepala Kejaksaan
Negeri
Jakarta
Selatan
dengan
Surat
Nomor:
R-
253/O.1.14/Fu.1/06/2002 tanggal 4 Juni 2002 kepada Direktur RSCM meminta dilakukan kembali pemeriksaan kesehatan terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto. Hasil pemeriksaan kesehatan Tim Dokter RSCM yang diketuai Dr.dr. Akmal Taher, Spu. Menyatakan dengan menggunakan keilmuan kedokteran yang sebaik-sebaiknya dan memperhatikan etika kedokteran serta untuk kepentingan peradilan menyimpulkan bahwa pada saat ini terdakwa H.M. Soeharto: 1. Secara fisik tidak tampak sakit berat (dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang) 2. Memiliki fungsi luhur yang terganggu, terutama dibidang fungsi bahasa 3. Menderita afasia nonfluent campuran yang merupakan perbaikan dari afasia global yang diderita sebelumnya
99
4. Terdakwa memiliki kompetensi bahasa yang terganggu, sehingga: a. Tidak mampu menjawab atau menuturkan isi pikiran dengan kalimat panjang lebih dari 4 kata dengan urutan kata yang sesuai atauran tata bahasa yang benar, sehingga sering terjadi pengucapan kata yang salah aturan b. Tidak mampu mengerti kalimat panjang yang ditanyakan pemeriksa, maupun mencernakan informasi yang diperlihatkan pemeriksa dalam bentuk nonverbal (cerita dalam bentuk gambar berurutan) yang memerlukan proses berpikir yang kompleks Dengan demikian kesehatan mental terdakwa terpusat dalam hambatan kemampuan berkomunikasi verbal dan tulisan. Oleh karena itu maka kesimpulan yang ditetapkan Tim Penilai Kesehatan terdakwa H.M. SOEHARTO belum menyentuh pengertian “sembuh” seperti yang dinyatakan dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1486 K/ Pid/ 2000 tanggal 2 Pebruari 2001 11. Pada tanggal 15 Juli 2002 dilakukan pemeriksaan kembali oleh Tim Penilai Kesehatan terdakwa H.M. Soeharto yang diketahui oleh Dr. DJ. Akmal Taher, SpU, menyimpulkan: 1 Pada saat ini terdakwa memilki keadaan fisik yang tidak tampak sakit berat(dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang), memiliki fungsi luhur yang terganggu, terutama di bidang fungsi bahasa 2 Terdakwa pada saat ini menderita afasia nonfluent campuran yang merupakan perbaikan dari afasia global yang diderita sebelumnya 3 Terdakwa memiliki kompetensi bahasa yang terganggu, sehingga: a. Tidak mampu menjawab atau menuturkan isi pikiran dengan kalimat panjang lebih dari 4 kata dengan urutan kata yang sesuai aturan tata bahasa yang benar, sehingga sering terjadi pengucapan kata yang salah aturan b. Tidak mampu mengerti kalimat yang panjang yang ditanyakan pemeriksa, maupun mencernakan informasi yang diperhatikan
100
pemeriksa dalam bentuk nonverbal (cerita dalam bentuk gambar berurutan) yang memerlukan proses berpikir yang kompleks Dengan demikian kesehatan mental terdakwa terpusat dalam hambatan kemampuan berkomunikasi verbal dan tulisan 12. Hasil rapat Jaksa Agung RI, Wakil Jaksa Agung RI dan Para Jaksa Agung Muda dengan Tim Dokter pemeriksa kesehatan terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto (Mantan Presiden RI) pada hari Kamis tanggal 11 Mei 2006 jam 10.00 WIB di ruang rapat jaksa Agung RI, sebagai berikut: 1) Kesimpulan Tim Dokter Pemeriksa Kesehatan berpendapat bahwa afasia nonfluent campuran yang menghambat berkomunikasi verbal dan tulisan yang diderita oleh terdakwa kemungkinan kecil dapat disembuhkan 2) Karena kondisi kesehatan terdakwa yang pada saat ini sedang menjalani pengobatan di RSUP Pertamina dapat ditarik kesimpulan kemungkinan kecil dapat
disembuhkan, sehingga tidak
dapat
dihadapkan ke
persidangan Untuk merealisasikan hasil rapat tersebut, maka Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus membuat Nota Dinas kepada Jaksa Agung Muda Intelijen Nomor: ND-69/R/F.3/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006, mengusulkan agar cekal terhadap terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto berdasarkan keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-334/D/Dsp.3/10/2005 tanggal 10 Oktober 2005, seyogyanya dicabut 13. Pada tanggal 11 Mei 2006 Jaksa Agung Muda Intelijen atas nama Jaksa Agung RI telah mencabut cekal terhadap terdakwa H.M. Soeharto berdasarkan Keputusan Jaksa agung RI Nomor: Kep- 193/D/Dsp.3/05/2006 tanggal 11 mei 2006 tentang Pencabutan Pencegahan dalam Perkara Pidana
101
14. Pada tanggal 11 Mei 2006, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sesuai Petunjuk Jaksa Agung RI dengan Surat Nomor: R-316/F.3/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 yang ditujukan kepada kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, pada intinya “agar kepala kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto demi hukum berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP” 15. Menimbang, bahwa sebagaimana Para Pemohon mendalilkan, perkara pidana atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto, sebenrnya sudah pernah dilimpahkan oleh termohon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan No. Perkara 842/Pid.B/2000/PN.Jaksel, bahkan perkaranya telah sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung RI. Nmun proses hukum perkara terdakwa tersebut mengalami hambatan karena Terdakwa H.M. Soeharto tidak dapat hadir di persidangan dengan alasan sakit. Disaat menghadapi kebuntuan dalam upaya menghadirkan terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto dipersidangan guna menindak lanjuti proses hukum perkara Terdakwa, ternyata Termohon secara tiba-tiba melakukan penghentian penuntutan perkara ditutup demi hukum atas perkara a quo sesuai dengan SKPPP No. Tap-01/O.1.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 ( bukti P.14/P-2=P.II.5=T.30) dengan alasan-alasan: 1. berdasarkan pendapat Tim Dokter penilaian kesehatan yang menyatakan Afasia Nonfluent campuran menghambat komunikasi terdakwa secara verbal dan tulisan, mengingat faktor usia terdakwa, dapat ditarik
102
kesimpulan kemungkinan kecil dapat disembuhkan, sehingga tidak dapat dihadapkan ke persidangan 2. Dari segi kemanusiaan dan moral mengingat kondisi kesehatan terdakwa yang pada saat ini sedang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Umum Pusat Pertamina Jakarta. Dengan demikia pada tanggal 11 Mei 2006 Kepala kejaksaan Negeri Jakarta Selatan
mengeluarkan Surat Ketetapan penghentian Penuntutan
(SKPP) atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto sesuai Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor: TAP-01/O.1.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006,yang menetapkan: 1. Menghentikan penuntutan perkara pidana atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto karena perkara ditutup demi hukum 2. Benda sitaan/ barang bukti berupa sebagaimana terlampir dalam berkas perkara tetap terlampir dalam berkas perkara 3. Surat Ketetapan ini dapat dicabut kembali apabila dikemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh Penuntut Umum 4. Turunan dari Surat ketetapan ini diberikan kepada yang bersangkutan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Dalam kaitannya dengan diterbitkannya Surat ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), kelima sumber hukum yaitu Undang-Undang, Yurisprudensi, doktrin, Kebiasaan dan asas-asas moralitas, dipakai sebagai landasan pijak untuk menetapkan status hukum terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto dari yang semula in abstracto menjadi in concreto.
103
Adapun yang menjadi pertimbangan Demi Hukum menerbitkan SKPP adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Pertama adalah Pasal 140 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan karena tidak dapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum”. Kedua adalah Pasal 44 ayat (1) KUHP “seseorang yang melakukan perbuatan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat pertumbuhan atau terganggu karena penyakit”. Dengan extensieve interpretatitie yaitu memperluas arti atau maksud yang sebenarnya dari suatu ketentuan Undang-Undang dan hal ini lazim dilakukan terhadap Pasal 86 s/d 100 KUHP, Pasal 362 KUHP ( benda yang dialirkan suatu aliran listrik), dan yang terakhir Pasal 1 ayat (1) KUHP yang dikenal dengan asas legalitas dengan memperluas pengertian sifat melawan hukum; melawan hukum tidak saja dalam pengertian formil, tetapi juga materil sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Menurut Simon di dalam bukunya Leerboek van het Nederlansche Strafrecht halaman 96 dinyatakan: “pada dasarnya Undang-Undang itu haruslah ditafsirkan menurut UndangUndang itu sendiri, tetatpi dengan memperhatikan kedaan-keadaan yang
104
berubah, maka dapat diberlakukan secara menyimpang dari maksud yang sebenarnya dari pembentuk Undang-Undang”.
Begitu juga pendapat HOGE RAAD tanggal 21 Juli 1943 Nomor 559 menyatakan “dengan memperhatikan perkembangan jaman yang berubah, maka arti dan maksud dari suatu ketentuan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law)”.Memperhatikan alasan Para pemohon yang memposisikan diri masuk sebagai pihak ketiga mengambil over pengertian pihak ketiga dalam lingkup keperdataan pada peradilan ini dan sesuai Penetapan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang penggabungan perkara yang menggabungkan (Samen poging) Praperadilan ini dalam satu persidangan adalah suatu pernyataan yang sependapat dengan pendapat yang mempergunakan pengertian extensive sebagaimana alasan yang dikemukakan termohon terhadap Pasal 44 ayat (1) KUHP, lebih-lebih berkas perkara tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah dikembalikan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan secara mutatis mutandis menjadi tunggakan kejaksaan,
bukan pengadilan, selain itu dalam KUHAP
menyatakan: Pasal 51 huruf b: Untuk mermpersiapkan pembelaan, terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya. Pasal 52 : Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
105
Pasal 65 : tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memeberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Pasal 153 ayat (2) huruf a : Hakim Ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi Pasal 153 ayat (4) : Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. 2. Yurisprudensi Putusan mahkamah Agung RI Nomor : 1846k/Pid/2000 tanggal 2 Pebruari 2001 yang menyatakan : 2.1. Penuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap H.M. SOEHARTO alias SOEHATO tidak dapat diterima 2.2. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara, untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan 2.3. Melepaskan terdakwa dari Tahanan Kota Belum diikut i oleh judex factie dab judex yuris, maka dapat dipandang setara dengan keputusan yang berkekuatan hukum tetap dan merupakan produk hukum dari the last corner stone (muara suatu proses peradilan) dan menurut Hans Kelsen dan JC Grey, selain undang-undang keputusan pengadilan adalah hukum. 3. Doktrin
106
Dalam ilmu hukum ada 3 (tiga) doktrin atau pandangan tentang hukum, Pertama legalistic, kedua fungsional, dan ketiga kritis. Ketiga pandangan hukum ini merupakan cita hukum bangsa Indonesia yang tercermin di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pandangan yang legalistic menitikberatkan kepada kepastian hukum, fungsional menitikberatkan kepada keadilan dan kritis menitikberatkan kepada kemanfaatannya. Mengacu kepada ketiga pandangan hukum tersebut, maka tindakan yang menggantungkan perkara terdakwa, sedangkan landasan pijak jelas maka tindakan tersebut dipandang sebagai ketidakadilan. 4. Kebiasaan Kebiasaan yang berlaku secara universal, seseorang yang sakit biasanya tidak dapat dipaksakan untuk hadir dipersidangan. Tindakan memaksakan hadir dipersidangan dapat dipandang sebagai suatu pelanggaran Hak Azasi Manusia, hal ini sesuai pula dengan filosofi dan asas KUHAP, sebagaimana dalam Penjelasan umum KUHAP pada poin 3 butir a menyatakan “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan” 5. Moralitas Bahwa dalam persidangan yang hendak dicari adalah upaya menentukan kenebaran materil dan tujuan tersebut sesuai dengan tujuan dari Hukum Acara Pidana maka jika terdakwa dihadapkan ke persidangan dalam kondisi jiwanya terganggu, mustahil suatu kebenaran materil dapat diperoleh. Tibdakan penegak hukum yang demikian tersebut dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak bermoral yang melanggar asas moralitas, mengingat di dalam
107
Hukum Acara Pidan a dikenal semboyan in dubio prorio artinya apabila terdapat keragua-keraguan tentang hal seseorang terdakwa dapat tidaknya diadili (dihadapkan di depan persidangan) maka yang diambil adalah keputusan yang menguntungkan terdakwa. Disamping itu SKPP tersebut bukanlah harga mati karena sewaktu-waktu dapat ditinjau kembali jika kesehatan terdakwa pulih, yang berbeda dengan deponering atau abolisi yang tidak dapat diganggu gugat kembali Berkaitan
dengan
kesehatan
terdakwa,
Mahkamah
Agung
RI
mempertimbangkan bahwa dalam proses persidangan perkara pidana kesehatan seorang terdakwa merupakan hak dasar terdakwa yang harus dilindungi, dihormati, tidak boleh diabaikan dan bersifat universal sebab menurut asas-asas atau prinsip-prinsip yang ada dalam hukum pidana dan acara pidana menyatakan bahwa kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran materil. Oleh karena itu sesuatu hal yang mustahil akan tercapai kebenaran materil tersebut apabila seorang terdakwa diperiksa dalam keadaan sakit apalagi tabpa hadirnya terdakwa. Berkaitan dengan yang dikemukakan Termohon di atas maka penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara pidana atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto dilakukakan Termohon dalam rangka melaksanakan amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1846 K/Pid/2000 tanggal 2 Pebruari 2001, yaitu “menyatakan penuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto tidak dapat diterima”. Tidak dapat diterimanya penuntutan jaksa Penuntut Umum disebabkan karena sakitnya terdakwa yang menurut pengobatan Tim Dokter
108
tidak dapat lagi disembuhkan dengan pengobatan yang ada pada saat ini. Keadaan tersebut diperkuat dengan pendapat hukum Mahkamah Agung RI dalam suratnya Nomor KMA/865/XII/2001 tanggal 11 Desember 2001 yang menyatakan: “Karena Tim Dokter yang memeriksa terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto menyatakan terdakwa tidak dapat disembuhkan maka terdakwa tidak dapat diajukan ke persidangan.” Selanjutnya
menurut
Mahkamah
Agung
RI
untuk
menentukan
mengajukan perkara atas nama terdakwa H.N. Soeharto alias Soeharto ke persidangan menjadi kewenangan Kejaksaan (Termohon Praperadilan). Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai lembaga peradilan yang berkompeten untuk menyidangkan perkara pidana atas nama terdakwa menegaskan pula penbolakannya untuk menyidangkan kembali perkara tersebut sebagai jawaban surat Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor: B246/O.1.14/Ft.1/02/2002 tanggal 26 Pebruari 2002 yang memohon untuk membuka kembali persidangan perkara tersenut (Surat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: w7-Dd.Hn.01.10.01.932 tanggal 8 Maret 2002). Oleh sebab itu berhubung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maupun Mahkamah
Agung
RI
telah
menutup
pintu
untuk
menerima
dan
menyidangkan kembali perkara pidana atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto sehingga penyelesaian hukum terhadap perkara tersebut berada ditangan
Penuntut Umum/Kejaksaan. Dengan demikian penerbitan SKPP
Nomor: TAP-01/O.1.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 adalah sah dan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) KUHAP dan terlebih
109
pula penerbitan SKPP tersebut Tidak bersifat Final karena Sewaktu-waktu dapat dicabut apabila sakitnya terdakwa dapat disembuhkan. Dan Termohon menerbitkan SKPP disamping berdasarkan kewenangan yang diatur dalam KUHAP juga mengacu pada kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu Pasal 18 ayat(1), Pasal 35 huruf a, Pasal 37 ayat (1), Pasal 5, Pasal 2 ayat (3), PASAL 1 butir 6a KUHAP. Bahwa berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dikaitkan dengan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sesuai petunjuk Jaksa Agung RI dengan Surat Nomor: R-316/F.3/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 ditujukan kepada kepala kejaksaan Tinggi DKI Jakrta, yang pada intinya: Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memrintahkan kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas nama terdakwa H.M. Soeharto demi hukum berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan hal tersebut, maka Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan penghentian Penuntutan (SKPP) atas nama terdakwa H.M. Soeharto sesuai
Surat
Ketetapan
Penghentian
Penuntutan
Nomor:
TAP-
01/O.1.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 adalah sah menurut hukum.
C. Prosedur Pelaksanaan Praperadilan atas Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3 Soeharto) a. Pengajuan Permohonan Praperadilan oleh Pihak Penuntut /Pihak Ketiga terhadap Pihak Termohon ( Negara Republik Indonesia Cq. Pemerintah
110
RI Cq. Kejaksaan Agung Cq. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ) Setiap pelaksanaan pemeriksaan suatu kasus tindak pidana terlebih dahulu harus melalui proses, bahwa setiap tindakan pelaksanaan upaya hukum dan pelaksanaan tersebut dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri untuk melaksanakan suatu putusan terlebih-lebih dalam upaya hukum Praperadilan. Adapun syarat yang harus dtempuh pada awalnya adalah harus ada pengajuan permohonan Praperadilan oleh pihak penuntut (pihak lain) yang berkepentingan. Pengajuan permohonan terutama di dalam kasus Praperadilan, dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri dan kemudian oleh ketua Pengadilan Negeri menunjuk dan mengangkat hakim dalam hal penyelesaian kasus tersebut. Diketahui bahwa pengajuan permohonan Praperadilan oleh pihak penuntut ataupun disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dengan menggunakan prosedur hak gugat LSM (sebagai Pemohon) yang ditujukan kepada Negara Republik Indonesia Cq. Pemerintah Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Agung RI Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ( Sebagai Pihak Termohon ). Dalam hal ini pihak Pemohon atau pihak ketiga tersebut mengajukan pengaduan kepada termohon Praperadilan atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi dan atau penyalahgunaan dana di 7 Yayasan yang didirikan dan dikuasainya yang diduga dilakukan oleh Terdakwa Soeharto. Dan kemudian oleh pihak termohon mengirimkan surat tembusan kepada pemohon atau pihak ketiga yang berkepentingan perihal tentang penerbitan SKPPP atas nama M.H. Soeharto dengan alasan dilaksanakannya Penghentian Penuntutan adalah:
111
1. Berdasarkan pendapat Tim Dokter penilaian kesehatan
yang menyatakan
Afasia Nonfluent campuran menghambat komunikasi terdakwa secara verbal dan tulisan, mengingat faktor usia terdakwa, dapat ditarik kesimpulan kemungkinan kecil dapat disembuhkan sehingga tidak dapat dihadapkan ke persidangan 2. Dari segi kemanusiaan dan moral mengingat kondisi kesehatan terdakwa yang pada saat ini sedang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Umum Pusat Pertamina Jakarta. 3. Perkara ditutup demi hukum Pihak Pemohon kurang puas atas hasil yang dicapai oleh pihak termohon dengan menyatakan bahwa termohon Praperadilan belum melaksanakan keputusan Mahkamah Agung atau bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Agung sehingga SKPPP bersipat Prematur dan cacat hukum. Oleh karena kekurang puasan tersebut berdasarkan hal tersebut diatas maka pemohon Praperadilan tersebut mengajukan permohonan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk segera memeriksa dan mengadili pihak termohon Praperadilan tersebut yang tertera dalam bentuk gugatan Praperadilan. Pengajuan dan permohonan inilah salah satu awal dan dasar di dalam pelaksanaan upaya Praperadilan, sebelum Pengadilan Negeri melaksanakan pemeriksaan dan melanjutkan untuk mengadili pihak-pihak di dalam kasus Praperadilan.
Menurut Undang-Undang pelaksanaan upaya hukum terlebih dahulu harus ada pengajuan laporan dan pengaduan sehingga dengan pengajuan laporan dan pengaduan ini nantinya menjadi dasar dan sumber bahwa seseorang ini dapat diperiksa dan diadili. b. Alasan-Alasan atau Latar Belakang yang Menjadi Dasar Hukum Diajukannya Permohonan Upaya Praperadilan oleh Pemohon atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan terhadap Pihak Termohon Keikutsertaan pihak ke 3 dalam hal Praperadilan tersebut diatas diperbolehkan , hal ini diatur dan telah ditetapkan di dalam: 1. Putusan Mahkamah Agung yang ditetapkan dengan nomor putusan No. 4 PK/ Pid./2000, tanggal 28 November 2001 yang menyangkut isi putusan dengan
112
melanturkan dan mengembangkan pengertian pihak ke 3 yang berkepentingan tersebut yaitu: 154 “Setiap orang (kecuali penyidik dan penuntut umum dalam arti tidak mesti dibatasi hanya saksi korban saja dalam peristiwa pidana, baik manusia pribadi (Naturlijke Persoon, Natural Persoon) dan termasuk di dalamnya Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan masyarakat”. 2. Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan bahwa: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”. 3. Pasal 41 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Bab V mengenai Peran Serta Masyarakat yang anatara lain menyatakan masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi 4. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dinyatakan “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya” 5. Pasal 8 ayat (1) uu No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme Adapun yang menjadi alasan atau dasar hukum diajukannya permohonan Praperadilan oleh Pihak Ketiga Kepada Termohon adalah sebagai berikut: 155 PEMOHON I & III
154 155
Majalah varia Peradilan No. 201 Tahun 17 Juni 2002. Salinan Putusan Permohonan Praperadiln atas SKPPP Soeharto..
113
I. Kedudukan dan Kepentingan Hukum Pemohon Dalam Mengajukan Permohonan Dengan Menggunakan Prosedur Hak Gugat Masyarakat 1. Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan bahwa: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. 2. Bahwa PEMOHON merupakan pihak ketiga yang berkepentingan dalam pengajuan
praperadilan
terhadap
TERMOHON
berkaitan
dengan
penghentian penuntutan, berupa Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) Soeharto berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: PEMOHON adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang didrikan atas dasar kepedulian untuk dapat memeberikan perlindungan dan penegakan atas kepentingan dan hak-hak asasi manusia di Indonesia, termasuk di dalamnya penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahawa tugas dan peranan PEMOHON dalam melaksanakan kegiatankegiatan penegakan, perlindungan dan pembelaan hak-hak asasi manusia tercermin dalam AD/ART PEMOHON Pasal 6 disebutkan bahwa tujuan dari lembaga ini adalah: Memperjuangkan
tatanan
masyarakat
bangsa
Indonesia
yang
menjungjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan persamaan manusia serta martabat manusia dan selanjutnya sebagaimana terlampir dalam salinan Putusan Banding.
114
Landasan hukum PEMOHON mengajukan permohonan praperadilan dengan menggunakan mekanisme dan atau prosedur gugatan organisasi/lembaga swadaya masyarakat ( Legal Standing ) adalah sebagaimana ditentukan dalam: a. PerUndang-Undangan 1. Pasal 41 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindaki Pidana Korupsi pada Bab V mengenai PERAN SERTA MASYARAKAT, yang antara lain menyatakan: Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan seterusnya sebagaimna terlampir dalam salinan putusan Banding 2. Pasal 100 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia ditentukan bahwa: “Setiap
orang
kelompok,
organisasi
politik,
organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga kemasyarakatan
lainnya
berhak
berpartisipasi
dalam
perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia” 3. bahwa keadaan mekanisme dan atau prosedur gugatan organisasi/lembaga swadaya masyarakat (legal Standing) Ternyata juga sudah diakui keberadaannya dalam peraturan perUndang-Undangan di Indonesia sebagaimana terdapat dalam: a. UU No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
115
b. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen c. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1999 tentang Hak Uji materiil b. Praktek Peradilan Pengakuan Hak Gugat Masyarakat dalam Kasus-kasus lingkungan Hidup, Pelanggaran HAM, dan Konsumen Putusan pada tanggal 7 Agustus 1989 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terdiri dari GDE SUDHARTA, S.H., NY. SURTI HARRY PRAMONO, S.H., dan PROF.DR PAULUS EFFENDI
LOTULUNG,
S.H.,
dalam
perkara
No.
820/PDT.G/1998/PN.JKT.PST, mengakui keberadaan WALHI sebagai pihak yang berhak untuk mengajukan gugatan lingkungan hidup, walapun tidak mempunyai kepentingan langsung ataupun mendapatkan kuasa, sebagai Penggugat, walapun hukum acara yang berlaku pada saat itu HIR mapun ketentuan dalam UU No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan Pokok Lingkungan Hidup tidak mengatur mengenai hak gugat LSM (“legal standing’) c. Peradilan Pengakuan Hak Gugat Masyarakat dalam Kasuskasus Pemberantasan Korupsi Pada Tahun 2002 Pemohon bersama-sama dengan Yayasan 324, pernah mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Kejaksaan Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkaitan dengan penghentian penyidikan dalam kasus dugaan korupsi di PLTU Paiton I, yang dugaan pelakunya diantaranya adalah juga Soeharto,
116
dengan Nomor
perkara No.21/PId
/Prap/2002/PN.Jak.
Sel.
Pemohon (APHI) dan juga Yayasan 324 diakui dan diputuskan oleh Hakim PN Jaksel mempunyai keweangan untuk mengajukan permohonan praperadilan mewakili pemberantasan korupsi dan masyarakat banyak 2.4 Bahwa berdasarkan uraian di atas maka PEMOHON merupakan pihak ketiga yang berkepentingan dalam mengajukan permohonan praperadilan terhadap TERMOHON berkaitan dengan penghentian Penyidikan dalam kasus dugaan korupsi di 7 yayasan yang didirikan dan dikuasainya, yaitu: Dharmais, dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana mandiri, Gotong Royong dan Trikora
II. Fakta- Fakta Hukum 1
Bahwa masa-masa pemerintahan orde baru, dibawah pemerintahan soeharto merupakan masa kegelapan bagi bangsa indonesia dimana secara otoriter dan tiran ia memberangus lawan-lawan politiknya atau orang-orang yang dianggap sebagai lawan politiknya.
2. Komnas HAM mengidentifikasi 13 kasus pelanggaran HAM berat yang diduga dilakukan dilakukan oleh Soeharto seperti dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Talangsari, penculikan Aktifis, Tanjung priok, kerusuhan Mei 1998, dll. 3. Telah memperkaya diri, keluarga dan kroninya terungkap fakta-fakta sebagai berikut:
117
a. Sejak tahun 1975-76 menurut mantan menko Ekuin diperintahkan 5% laba bersih bank milik pemerintah dalam setahun setelah dipotong pajak untuk diserahkan kepada yayasan-yayasan yang dipimpin Soeharto, seperti Yayasan Supersemar atau yayasan Dharmais b. Lihat bagian perjalanan proses Perkara Soeharto 4. Sebagai konsekuensi dari dikeluarkannya SKPPP tersebut, maka status hukum Soeharto sebagai terdakwa otomatis gugur atau tidak berlaku lagi, disamping semua benda yang telah disita dari Soeharto, seperti harta atau barang bukti lainnya wajib dikembalikan 5. SKPPP yang dikeluarkan oleh Kejari Jakarta selatan tersebut menimbulkan gelombang protes di kalangan masyarakat, seperti tokoh partai, LSM, mahasiswa, aktifis perempuan dll.
III. Analisa Hukum 1 Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dalam butir II., PEMOHON berpendapat bahwa alasan dan dasar hukum Kejari Jakarta selatan menerbitkan SKPPP dengan terdakwa Soeharto dalam kasus korupsi dan atau penyalahgunaan dana 7 yayasan yang pernah dikuasainya, adalah Prematur dan cacat hukum 2. Adapun yang menjadi dasar dan alasan hukum pendapat PEMOHON adalah
sebagai berikut:
SKPPP BERSIPAT PREMATUR Bahwa berdasarkan putusan kasasi kasus dugaan korupsi dengan terdakwa Soeharto aquo adalah perintah MA kepada Kejaksaan untuk mengobati Soeharto
118
sampai sembuh agar sewaktu-waktu dapat diajukan ke persidangan.. Ternyata hingga kini pihak Kejaksaan Agung Cq Kejari Jaksel belum pernah melakukan upaya optimal dan maksimal untuk melakukan perintah dari MA tersebut. Sehingga selama pihak Kjaksaan Agung Cq kejari Jaksel tidak melakukan upaya optimal dan maksimal utnuk mengobati Soeharto, maka ia belum atau tidak dapat mengeluarkan SKPPP. Dengan demikian tindakan Kejari Jaksel yang mengeluarkan SKPPP, dengan terdakwa Soeharto dalam kasus korupsi dan atau penyalahgunaan dana 7 yayasan yang pernah dikuasainya, tanpa terlebih dahulu atau sebelumnya melakukan upaya optimal dan maksimal untuk mengobati Soeharto, adalah merupakan tindakan yang melawan hukum cq. Putusan kasasi aquo. Tindakan Kejaksaan Agung cq Kejari Jaksel yang tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang lebih baik atau merujuk ke dokter yang lebih baik ke luar negeri (second opinion) sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 29 tahun 2004 sekaligus juga sebagai kewajiban hukumnya sebagai penuntut umum secara objektif dan professional, akan tetapi malah secara premature mengeluarkan SKPPP merupakan perbuatan melawan hukum SKPPP CACAT HUKUM Berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, maka SKPPP hanya dapat diberikan pada 3 kondisi yaitu: a. tidak terdapat cukupbukti atau b. peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau c. perkara ditutup demi hukum
119
Sedangkan pengeluaran SKPPP oleh Kejari Jakarta Selatan tidak berdasarkan pada 3 kondisi yang disyaratkan oleh 140 ayat (2) huruf a KUHAP aquo, akan tetapi didasarkan pada kondisi kesehatan terdakwa tidak layak disidangkan karena menderita kerusakan otak secara permanent, yang tidak disyaratkan atau disebutkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Oleh karena tidak sesuai atau berbeda dengan kondisi yang disyaratkan atau ditentulan oleh UU, maka pengeluaran SKPPP tersebut adalah tidak sah secara hukum Untuk kasus-kasus tindak pidana korupsi, jika terdakwa yang telah dipanggil secara sah tidak hadir dipersidangan tanpa alasan yang sah, maka menurut Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) perkara diperiksa, diadili dan diputus tanpa kehadiran terdakwa (diadili in absentia)
IV. Kerugian Negara Tindakan Termohon menerbitkan SKPPP jelas sangat merugikan kepentingan kepastian hukum di Indonesia, sehingga dapat menyebabkan timbulnya perasaan di masyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak serius dan atau tidak berlaku untuk “ kalangan atas” atau hanya berlaku bagi “masyarakatbawah”
yang
pada
akhirnya
menyebabkan
ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hukum serta menyebabkan terlegalisasinya praktek KKN yang selama ini terjadi yang menyebabkan hilangnya kerugian Negara. Serta pengembalian keuangan Negara yang telah dikorupsi tidak dapat dilakukan.
120
Selain kerugian tersebut juga menimbulkan kerugian bagi PEMOHON selaku organisasi non pemerintah (LSM). 156 Pemohon III Dibawah Register No. 11/Pid.Prap/2006/PN.Jak.Sel pada pokoknya mengemukakan alasan-alasan mengajukan permohonan Praperadilan berdasarkan: 1. Berdasarkan
Kedudukan
dan
Kepentingan
hukum
pemohon
dalam
mengajukan Permohonan dengan menggunakan prosedur Hak Gugat Warga Negara ( Citizen Lawsuit /Action Popularis ). PEMOHON adalah warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai kepedulian dalam perlindungan dan penegakan hak-hak asasi manusia di Indonesia termasuk di dalamnya penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia sehingga dalam gugatan ini Para Pemohon menggunakan mekanisme dan atau prosedur gugatan/permohonan Hak Gugat/Permohonan Warga Negara (Citizen Lawsuits/action Popularis) yang sudah diakui dalam doktrin hukum dan praktek peradilan di Indonesia yang merupakan Permohonan yang diajukan oleh warga Negara terhadap tindakan atau perbuatan penguasa atau pemerintah yang bersifat melanggar ketentuan hukum yang merugikan kepentingan umum dan atau Negara. 2. Berdasarkan Fakta-Fakta Hukum Pemohon mengemukakan alasan sama dengan Pendapat Pemohon I 3. Berdasarkan Analisa Hukum Pemohon mengemukakan alasan sama dngan pendapat pemohon I, oleh karena SKPPP yang dikeluarkan oleh termohon bersifat Premature, cacat hukum sebagaimana ditentukan dalam KUHAP jo 156
27.
Budiarti, Rita triana, Pasal Lipstik Lipstik Menggugat Aset, Gatra, 20 Mei 2006, Hal
121
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 18 tahun 2004 Jo UU No. 29 tahun 2004 Jo TAP MPR No. XI/MPR/1998 jo TAP MPR No. VI. MPR/2000, maka SKPPP tersebut harus dinyatakan tidak sah secara hukum. 4. Berdasarkan Kerugian Negara pemohon mengemukakan Pendapat yang sama dengan Pendapat Pemohon I. PEMOHON II I. Hak Konstitusional Para Pemohon a.
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dinyatakan: “Setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
b.
Pasal 28H Undang-Undang dasar 1945, maka Negara memiliki kewajiban dan
bertanggung
jawab
untuk
menjamin
kesejahteraan
dan/atau
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Kewajiban untuk menjamin kesejahteraan dan/atau kemakmuran tersebut hanya dapat terwujud jika Negara cq. Pemerintah menjalankan amanat rakyat yang salah satunya telah tertuang dalam ketentuan Tap MPR No. XI Tahun 1998 pemberantasan korupsi secara tegas.yang mengandung makna bahwa pemberantasan korupsi merupakan kewajiban yang harus dijalankan Negara sebagai bentuk pemenuhan hak warga Negara untuk menjadi maju serta sejahtera II. Kedudukan Hukum Dan Kepentingan Para Pemohon a.
Doktrin Organization Standing (Legal Standing) ternyata tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang No.8 tahun 1985
122
tentang kebebasan Berorganisasi Kmasyarakatan, Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Knsumen, UU No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan
dimana persyaratan-persyaratan pengajuan Organization
Standing (Legal Standing) telah terpenuhi yaitu Pemohon merupakan LSM yang
didirikan atas dasar
kepedulian untuk
dapat
memberikan
perlindungan dan penegakan KEADILAN, HUKUM dan HAK ASASI MANUSIA. Dan setiap Pemohon merupakan Lembaga yang telah terdaftar dengan Akte Notaris sebagaimna disebutkan dalam anggaran dasar setiap Pmohon. b
Yang dimaksud dengan pihak ketiga dalam Pasal 80 KUHAP harus ditafsirkan secara luas meliputi saksi korban tindak pidana, pelapor akan tetapi meliputi juga masyarakat luas yang diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Menurut Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan dan Permasalahan KUHAP Edisi II halaman 11 menyebutkan sebagai berikut: “Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan harus ditafsirkan secara luas. Tidak terbatas hanya saksi korban atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada dasarnya penyelesaian tindak pidana, menyangkut kepentingan umum”
III. Fakta-Fakta Hukum Adapun alasan-alasan Pra PEMOHON dalam mengajukan permintaan pemeriksaan Praperadilan ini adalah sebagai berikut: 1. Tanggal 8 Agustus 2000, Termohon telah melimpahkan berkas perkara H.M. Soeharto ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor Perkara No.B-
123
781/APB/Sel/Fpk.2/08/2000 dan Ketua Pengadilan Negeri Jaksel telah menunjuk majelis hakim untuk memeriksa perkara H.M Soeharto dengan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 842/Pen.Pid.B/2000 dan Penetapan ketua Majelis Pengadilan Negeri Jaksel No.842/Pid.B/2000/PN.Jaksel. 2. Pada hari persidangan Terdakwa H.M.Soeharto tidak pernah hadir dipersidangan dengan alasan terdakwa dalam keadaan sakit 3. Karena Jaksa tidak mampu mengadirkan terdakwa ke persidangan karena lasan sakit maka majelis hakim mengambil kesimpulan bahwa terhadap perkara pidana No.842/Pid.B/2000/PN.Jaksel dinyatakan tidak dapat diterima dan mengembalikan berkas perkara kepada Termohon 4. Terhadap penetapan tersebut Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan perlawanan melalui PN Jaksel sesuai dengan Pasal 67 KUHAP 5. Terhadap keberatan Jaksa penuntut umum telah keluar Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.140/Bdg/PID/2000 PT.DKI tertanggal 8 November 2000 yang pada intinya memutuskan: -
menerima banding dari jaksa Penuntut Umum
-
Membatalkan Penetapan Pengadilan Negeri Jaksel tanggal 28 september 2000, No.842/pid.B/2000/PN.Jaksel
-
Memerintahkan kepada PN Jaksel untuk membuka, memeriksa, mengadili dan
memutus
kembalim
No.842/Pid.B/2000/PN.Jaksel
perkara
pidana
register
124
6. Terhadap Putusan PT tersebut Terdakwa telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sehingga keluarlah Putusan Mahkamah Agung No.1846 K/Pid/2000 yang amar putusannya berbunyi sebagai berikut: -
menerima permohonan Kasasi dari pemohon kasasi terdakwa
-
membatalkan
putusan
No.140/BDG/PID/2000
PT
Jakarta
tanggal
8
November
2000
PT.DKI dan penetapan PN Jaksel tanggal 28
september 2000 No.842/PID.B/2000/PN.Jak. Sel. Mengadili Sendiri -
menyatakan Penuntutan Jaksa Penuntut Umum terdakwa H.M. Soeharto tidak dapat diterima
-
memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara, untuk selanjutnya setelah sembuh di hadapkan ke persidangan
-
melepaskan terdakwa dari tahanan kota
-
membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada Negara
IV. Analisa Yuridis 1
Perbutan Termohon yang mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Atas Nama H.M. Soeharto adalah Cacat Hukum Karena bertentangan dengan Pasal 140 ayat 2 huruf a UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Dimana alasan hukum Termohon yang menghentikan penuntutan terhadap H.M. Soeharto dengan alasan bahwa H.M. Soeharto mengalami sakit permanen sehingga tidak dapat diajukan ke muka persidangan adalah alasan absurd dan bertentangan dengan Pasal 140
125
ayat 2 huruf a KUHAP sehingga Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Atas Nama H.M. Soeharto yang dikeluarkan oleh Termohon adalah cacat hukum 2
Perbuatan Termohon yang mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Atas Nama H.M. Soeharto bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 1846/K/Pid/2000 yang salah satu amar putusannya berbunyi: memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melakukan pengobatan Terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara, untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan
3
Perbuatan Termohon yang mengeluarkan Surat Ketetapan penghentian Penuntutan Perkara Pidana atas nama H.M. Soeharto adalah cacat hukum karena bertentangan dengan TAP MPR RI NO. XI/MPR RI/1998 Pasal 4 disebutkan: “upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukansecara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat Negara, mantan pejabat Negara, keluarga, dan kroninya mapun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia”
4. Perbuatan termohon yang mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan perkara Pidana Atas Nama H.M. Soeharto adalah Cacat Hukum karena bertentangan Dengan TAP MPR RI NO. VIII/MPR RI/2001 Pasal 1 yaitu: Rekomendasi arah kebijakan ini dimaksudkan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana diamanatkan dalam ketetapan MPR RI NO.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Npotisme, serta berbagai peraturan PerUndang-Undangan yang terkait.
126
5. Perbuatan Termohon yang mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Atas Nama H.M. Soeharto adalah Cacat Hukum Karena Bertentangan Dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Undang-Undang Pokok kekuasaan Kehakiman V. Kerugian Akibat dari perbuatan Termohon yang mengeluarkan Surat ketetapan penghentian Penuntutan perkara Pidana atas nama H.M. Soeharto, Para Pemohon telah , Menderita kerugian materiil berupa biaya yang dikeluarkan Para pemohon untuk pembelian 1 buah materai @ Rp. 6000.
D. Alasan Tidak Sahnya Menurut Hukum dan Akibat Juridisnya SKPPP/SKP3
Soeharto
Setelah
Adanya
putusan
Praperadilan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Setelah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Atas Nama terdakwa H.M. Soeharto Perkara ditutup Demi Hukum bahwa berdasarkan Fakta-Fakta dan Analisa Hukum bahwa Penerbitan SKPPP terhadap Terdakwa H.M. Soeharto oleh Termohon, selain bersifat premature, cacat hukum, juga bertentangan dengan TAP MPR RI No.XI/MPR.RI/1998 dan TAP MPR RI No. VIII/MPR RI/2001
serta
127
Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Prematur, karena Kejaksaan Agung Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang lebih baik atau merujuk ke dokter yang lebih baik, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, sekaligus juga sebagai kewajiban hukumnya selaku penuntut Umum secara objektif dan professional, akan tetapi malah pihak kejaksaan mengeluarkan SKPPP. Cacat Hukum, karena penerbitan SKPPP oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tidak berdasarkan pada tiga kondisi yang disyaratkan oleh ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf (a) KUHAP, yaitu : (a) tidak terdapat cukup bukti, (b) peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau (c) perkara ditutup demi hukum. Bertentangan dengan TAP MPR RI No. VIII/MPR RI/2000, yaitu karena dengan diterbitkannya SKPPP atas nama terdakwa oleh Termohon justru telah menghambat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di negeri ini. Bertentangan dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, karena pihak kejaksaan tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI yang salah satu amarnya berbunyi: Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara, untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No. 1846 K/Pid/2000 tanggal 2 Pebruar1, maka sesuai dengan Pasal 1 butir (6) huruf a dan Pasal 14 huruf ( j ) KUHAP jo. Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 16 Tahun
128
2004 tentang Kejaksaan RI menjadi tugas dan wewenang Termohon untuk melaksanakan isi putusan Mahkamah Agung tersebut yang memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara, untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan. Sementara atas laporan termohon tentang hasil pengobatan terdakwa H.M. Soeharto Mahkamah Agung memberikan pendapat hukum yang pada pokoknya menyatakan karena tim dokter menyatakan terdakwa tidak dapat disembuhkan maka terdakwa tidak dapat diajukan ke persidangan. Berhubung dengan hal itu untuk menentukan mengajukan atau tidak mengajukan perkara, atas nama Terdakwa H.M. soeharto tersebut di persidangan adalah menjadi wewenang Jaksa Penuntut umum sesuai bunyi Pasal 137 KUHAP. Dan menurut hemat pengadilan, tindakan dan langkah-langkah yang telah dilakukan termohon dalam upaya melaksanakan putusan Mahkamah Agung a quo, sebenarnya tidak cukup apabila dilakukan hanya melalui surat menyurat diluar persidangan, tetapi mestinya dilakukan dalam forum persidangan di pengadilan. Pengadilan juga dapat menyetujui pendapat pemohon II yang menyatakan, apabila hingga sekarang H.M. Soeharto belum sembuh ( unfit ) sehingga tidak dapat dihadapkan ke persidangan, maka Termohon mesti terus melakukan pengobatan terhadap H.M. Soeharto sampai sembuh kemudian dapat dihadapkan ke persidangan, dan bukan melakukan tindakan penghentian penuntutan sebagaimana yang termuat dalam SKPP No. TAP-01/O.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006. bahwa berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, pengadilan berpendapat bahwa penghentian penuntutan perkara atas terdakwa H.M. Soeharto adalah bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung RI No. 1846 K/Pid/2000
129
tanggal 2 Pebruari 2001, sehingga penerbitan SKPP tidak tepat dan bersifat premature. Berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf (a) KUHAP tersebut, maka penghentian penuntutan dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada tiga kondisi yitu: tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, perkara ditutup demi hukum, khusus mengenai wewenang penuntut Umum untuk menutup perkara demi hukum, menurut pedoman pelaksanaan KUHAP, bahwa “perkara ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku I KUHP Bab VII tentang hapusnya hak menuntut sebagaimana dalam Pasal 76, 77 dan 78 KUHP. Dihubungkan dengan keterangan ahli Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, SH.,MH, ternyata bahwa alasan-alasan untuk menghentikan perkara demi hukum hanya terbatas pada apa yang ditentukan yaitu: karena terdakwa meninggal dunia, nebis in idem, kadaluarsa. Sedangkan alasan sakit jiwa/cacat mental ( Pasal 44 KUHP ), overmacht ( Pasal 48 KUHP ), pembelaan diri ( Pasal 49 KUHP ) tidak termasuk alasan penutupan perkara demi hukum, tetapi termasuk alasan- alasan yang menghilangkan pidana.. Termohon ternyata melakukan penghentian penuntutan tidak berdasarkan pada tiga kondisi yang disyaratkan oleh ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf (a) KUHAP, akan tetapi didasarkan pada tiga kondisi kesehatan terdakwa yang tidak layak disidangkan dan Kejaksaan sebagai lembaga penuntut selayaknya hati-hati untuk tidak leluasa melakukan interpretasi atau penafsiran Undang-Undang, apalagi di luar Undang-Undang dalam menggunakan wewenang penuntutan perkara demi hukum. Karena hal tersebut dapat merugikan posisi kepentingan umum yang melekat pada wewenang kejaksaan sebagai lembaga penuntutan.
130
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, pengadilan berpendapat bahwa berhubung penghentian penuntutan yang dilakukan oleh Termohon, tidak memenuhi alasan penghentian yang disyaratkan dalam Pasal 140 ayat ( 2) huruf (a) KUHAP, maka penghentian penuntutan perkara atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto sesuai dengan SKPP No. TAP-01/O.1.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006, adalah tidak sah menurut hukum. Dengan dinyatakannya penghentian penuntutan perkara atas nama H.M. Soeharto tidak sah, maka konsekuensinya penuntutan perkara tersebut harus dibuka dan dilanjutkan.
E. Dasar Hukum dan Alasan-alasan diterimanya Permintaan Banding dari Termohon yang Membatalkan Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPPP/SKP3 Soeharto Dalam hal ini setelah keluarnya Putusan Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menetapkan bahwa SKPPP Soeharto yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan adalah tidak sah dan Perkara Korupsi Soeharto dibuka dan dilanjutkan kembali penuntutannya maka Negara RI Cq. Pemerintah Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Agung RI Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan semula sebagai Termohon telah mengajukan banding atas putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melawan Terbanding I, II, III yang semula sebagai Pemohon I, II, dan III dalam tuntutan Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
131
Adapun dasar hukum dan alasan-alasan diterimanya permintaan Banding dari pembanding yaitu setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah membaca berkas perkara dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Putusan tanggal 12 Juni 2006 No. 09/Pid. Prap/2006/PN.Jak. Sel, No.10/Pid.Prap/2006/PN/.Jak.Sel dan No.11/Pid.Prap/2006/PN.Jak.Sel, dan semua surat-surat
yang berhubungan
dengan perkara ini antara lain: 1
Surat Permohonan Praperadilan tertanggal 19 Mei 2006 yang terdiri dari Pemohon I dibawah Register N0. 09/Pid. Prap/2006/PN. Jaksel, Pemohon II dibawah Register No. 10/Pid. Prap/2006/PN. Jaksel, Pemohon III dibawah Register No. 11/Pid. Prap/2006/PN. Jaksel. Mengemukakan alasan-alasan sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
2
Berita Acara dan turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal
12
Juni
2006,
No.09/Pid.Prap/PN.Jak.Sel,
No.10/Pid.Prap/2006/PN.Jak.Sel dan No.11/Pid.Prap/2006/PN.Jak.Sel yang amar putusannya sebagai berikut: -
Mngabulkan Permohonan Praperadilan Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III untuk sebagaian
-
Menyatakan bahwa penghentian penurutan perkara atas nama Terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto sesuai SKPPP No. TAP01/O.1.14/Ft.1/05/2006 11 Mei 2006, adalah tidak sah
-
Menyatakan bahwa penuntutan perkara atas nama Terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan
-
Membebankan biaya perkara yang timbul kepada Termohon sebesar Rp.5.00,- (lima ribu rupiah)
132
3
Akta permohonan banding Pembanding semula Termohon Praperadilan tertanggal 13 Juni 2006, yaitu dalam hal ini telah mengajukan permintaan banding terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 12 juni 2006 dan permintaan banding tersebut telah diberitahukan kepada Para terbanding semula Pemohon Praperadilan I, II dan III pada tanggal 22 Juni 2006 oleh Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
4
Memori banding yang diajukan Pembanding semula Termohon Praperadilan , tertanggal 21 Juni 2006 yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 22 Juni 2006
5
Kontra memori banding yang diajukan oleh para terbanding semula Pemohon Praperadilan I, II dan III, tertanggal 29 Juni 2006 dan tertanggal 10 Juli 2006 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 29 juni 2009 dan tanggal 10 Juli 2006.
6
Surat pemberitahuan mempelajari berkas perkara dari Terbanding kepada Pembanding semula Pemohon Praperadilan I, II dan III, pada tanggal 11 Juli 2006 yang menerangkan bahwa mereka dapat mempelajari berkas perkara selama 7 (tujuh) hari kerja terhitung mulai tanggal 11 Juli 2006 sampai dengan tanggal 18 Juli 2006. Karena permintaan banding pembanding semula termohon praperadilan
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara serta syarat yang telah ditentukan Undang-Undang dan telah pula diberitahukan kepada Para terbanding semula Pemohon Praperadilan I, II dan III maka permintaan banding tersebut dapat diterima. Tentang penggabungan pemeriksaan permohonan praperadilan No.
09/Pid.Prap/2006/PN.Jak.Sel,
No.10/Pid.Prap/2006/PN.Jak.Sel
dan
133
No.11/Pid. Prap/2006/PN.Jak.Sel, Majelis Hakim Tingkat banding sependapat dengan pertimbangan hukum penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.09/Pid.Prap/2006/PN.Jak.Sel, No.10/Pid.Prap/2006 /PN. Jak.Sel, tertanggal 29 Mei 2006 dan diambil alih sebagai pertimbangan hukum majelis Hakim Tingkat Banding sendiri, dan selanjutnya memepertahankan penetapan tersebut tentang kedudukan dan kepentingan hukum Para terbanding
semula Pemohon
Praperadilan I, II dan III dengan demikian Para Terbanding sebagai pihak yang berkepentingan menurut Pasal 80 KUHAP, telah dengan tepat dan benar dipertimbangkan dalam perkara yang dimohonkan banding aquo, dan Majelis Hakim Tingkat banding mengambil alih sebagai pertimbangan hukumnya sendiri. Dari hasil pemeriksaan persidangan didapat Fakta Kronologis penanganan perkara atas nama terdakwa H. M. Soeharto sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya dan dari Fakta-Fakta tersebut ada dua hal penting yang dipertimbangakan: PERTAMA : Apakah Pembanding semula termohon praperadilan mempunyai kewenangan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPPP) tersebut sehubungan telah ada putusan Mahkamah Agung RI nomor 1846 K/Pid/2000 tanggal 2 Pebruari 2001, atau dengan kata lain apakah Surat ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPPP) tersebut tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung RI nomor 1846 K/ Pid/ 2000, tanggal 2 Pebruari 2001? KEDUA: apakah alasan-alasan penghentian penuntutan aquo sudah sesuai dengan ketentuan hukum Acara Pidana yang berlaku (KUHAP, beserta Undang-Undang yang terkait? ) Tentang Permasalahan Pertama
134
Menurut hemat Majelis Hakim Tingkat banding penghentian penuntutan terhadap tersangka H.M. Soeharto tidak bertentangan dengan amar putusan kasasi Mahkamah Agung nomor 1846 K /Pid /2000 tanggal 2 Pebruari 2001, dengan alasan sebagai berikut: 1. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 140 (2) huruf d KUHAP penghentian penuntutan tidak bersifat permanent, akan tetapi bila ada alasan baru (in casu tersangka H.M. Soeharto sembuh dari sakitnya) Jaksa penuntut Umum dapat melakukan penuntutan kembali terhadap tersangka H.M. Soeharto. 2. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 6a KUHAP: melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in casu putusan kasasi Mahkamah Agung nomor 1846. K/Pid/2000 tanggal 2 pebruari 2001, yang salah satu amarnya, memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara, untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan) adalah kewajiban Jaksa Penuntut Umum, dan kewajiban tersebut tidak menjadi berakhir dengan dihentikannya penuntutan atas diri tersangka H.M.Soeharto aquo. 3. Tidak terungkap dipersidangan bahwa Jaksa Penuntut Umum, tidak akan lagi mengobatkan tersangka H.M. Soeharto sebagaimana diperintahkan Mahkamah Agung dalam putusan kasasi aquo. 4.
Dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 1846 K/ Pid/ 2000 tanggal 2 pebruari 2001 aquo tidak ada larangan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk menghentikan penuntutan terhadap terdakwa H.M. Soeharto bila tersangka H.M. Soeharto tidak sembuh dari sakitnya.
135
5.
bahwa tindakan penghentian penuntutan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum aquo ternyata berkesesuaian dengan butir 4 dari pendapat hukum Mahkamah Agung RI Nomor KMA/ 865/ 12/2001 tanggal 11 Desember 2001
Tentang Permasalahan Kedua Dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) nomor: TAP-01/01.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 dimana dalam konsideransnya disebutkan: 1. Berdasarkan Pendapat Tim Dokter penilaian kesehatan yang menyatakan Afasia nonfluent campuran menghambat komunikasi terdakwa secara verbal dan tulisan, mengingat factor usia terdakwa, dapat ditarik kesimpulan kemungkinan kecil dapat disembuhkan, sehingga tidak dapat dihadapkan ke persidangan 2. Dari segi kemanusiaan dan moral mengingat kondisi kesehatan terdakwa yang pada saat ini sedang menjalani pengobatan di rumah sakit Umum Pusat Pertamina Jakarta. Sesuai dengan Pasal 140 ayat 2 KUHAP tidak merinci, hal-hal apa yang merupakan alasan untuk menghentikan perkara demi hukum dengan demikian merujuk kepada buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman RI, cetakan ke II hal 88 perkara ditutup demi hukum diartikan sesuai Bab VIII Buku kesatu KUHP yaitu: a
Pasal 76 KUHP yaitu telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap atas perbuatan pidana yang sama ( Nebis in idem)
b
Pasal 77 KUHP, tersangka telah meninggal dunia
c. Pasal 78 KUHP, Perkara tersebut telah daluwarsa
136
Menurut
Montesque dan Emanuel Kant Hakim hanyalah sebagai
penyambung lidah atau corong Undang-Undang, sehingga ia tidak dapat mengubah kekauatan hukum Undang-Undang, tidak dapat menambah dan mengurangi apa yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang. Undang-Undang adalah salah satunya sumber hukum positip. Pertimbangan lain dari Majelis Hakim Tingkat Banding bahwa sah atau tidaknya SKPPP hanya bertumpu pada ketentuan PerUndang-Undangan yang tertulis yaitu pada ketentuan Pasal 140 ayat 2a KUHAP Juncto Bab VIII Buku Kesatu KUHP ( Pasal 76, 77 ,78 KUHP ). Dan dalam memberikan putusan perlu memperhatikan faktor-faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatannya terlebih dalam perkara pidana Hakim wajib berusaha menemukan kebenaran materiil dimana dalam mengadili sering ditemui keadaan bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada namun masih perlu digali dan diketemukan. ( Pasal 28 ayat 1 UndangUndang No.4 Tahun 2004, tentang kekuasaan kehakiman yang menyebutkan : Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.) Pendapat ini juga dikuatkan oleh Prof. Dr. H Muchsin SH. Mengatakan bahwa “Penemuan hukum merupakan salah satu wadah yang dapat digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan hukum atau menafsirkan suatu kaidah peraturan perUndang-Undangan yang tidak atau kurang jelas.” Berdasarkan surat bukti dan fakta-fakta yang sudah disebutkan bahwa: -
tersangka H.M. Soeharto saat ini sudah uzur, dengan usia 85 tahun
137
-
Tersangka H.M. Soeharto sampai saat ini menderita afasia nonfluent campuran, dengan demikian kesehatan mental tersangka terpusat dalam hambatan kemampuan, berkomunikasi verbal dan tulisan sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya. Mahkamah Agung dalam amar putusan kasasi Nomor: 1846 K/Pid/2000
tanggal 2 Pebruari 2001, menyatakan penuntutan Jaksa penuntut Umum terhadap terdakwa H.M. Soeharto tidak dapat diterima, dan memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan dipersidangan. Dari Fakta-fakta yang terbukti tersebut diatas dapat diambil kesimpulan: -
H.M. Soeharto yang telah berusia 85 tahun dan menderita sakit afasia nonfluent campuran yang menghambat berkomunikasi verbal dan tulisan, berstatus tersangka tindak pidana korupsi di 7 yayasan yang dikuasainya.
-
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Pembanding semula termohon praperadilan telah berulang kali berusaha melakukan pengobatan terdakwa tetapi hasilnya tersangka H.M. Soeharto tetap menderita sakit.
-
Sementara itu dengan adanya putusan mahkamh Agung RI Nomor. 1846L/Pid/2000 tanggal 2 pebruari 2001, sebelum tersangka H.M. Soeharto sembuh, Jaksa penuntut Umum tidak dapat mengajukan penuntutan kembali karena sudah memperkirakan penuntutannya tidak diterima oleh pengadilan, dengan keadaan seperti itu status perkara tersangka H.M. Soeharto menjadi menggantung. Menimbang
ketentuan
hapus
kewenangan
menuntut
sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 76, 77 dan 78 KUHP dibuat hampir satu abad lalu, yaitu
138
sejak diberlakukannya Straf Recht Voor Nederlansche indie sehingga seiring perjalanan waktu terjadi perobahan kondisi dan kebutuhan masyarakat, perkembangan ilmu Pengetahuan dan rasa keadilan masyarakat, dan karenanya sudah selayaknya timbul alasan baru tentang hapusnya kewenangan untuk menuntut. Dengan demikian Hakim peradilan Negara dalam menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan haruslah berdasarkan Pancasila sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 3 ayat (2) dari Undang-Undang dasar No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman., dimana Pancasila sebagai dasar Negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yang salah satu silanya adalah kemanusiaan yang adil dan beradab yang merupakan sumber dari segala sumber hukum, dipergunakan pula dalam menilai peristiwa konkrit yang terungkap dipersidangan dihubungkan dengan ketentuan PerUndang-Undangan yang telah berusia hampir seabad. Bahwa demi mengakhiri keadaan perkara yang menggantung serta mendapatkan kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan , Keadaan Afasia Nonfluent Campuran Yang Mengahambat Berkomunikasi Verbal dan Tulisan, Dan menurut Majelis hakim Tingkat Banding merupakan alasan hapusnya kewenangan menuntut, disamping alasan lainnya sebagaimana tercantum dalam bab VIII Buku Kesatu KUHP, hanya saja alasan ini tidak bersifat permanent, karena bila terdakwa sembuh dari sakitnya dimaksud, Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan penuntutan kembali. Dengan terjadinya perkembangan alasan hapusnya kewenangan menuntut di Negara-negara Anglo Saxon dengan mempergunakan interpretasi komperatif, memperkuat pendapat Majelis Hakim
139
Tingkat
Banding
bahwa
KedaaanAfasia
Nonfluent
Campuran
yang
Menghambat Berkomunikasi verbal dan tulisan, merupakan alasan baru untuk menutup perkara demi hukum. Bahwa
berdasrkan seluruh pertimbangan diatas Surat
Ketetapan
Penghentian Penuntutan Nomor TAP-01/01.14/Ft-1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 yang dikeluarkan Kepala kejaksaan negeri Jakarta Selatan ,Pembanding semula termohon praperadilan adalah sah menurut hukum
F. Konsekuensi Yuridis dari Putusan Pengadilan Tingkat Banding (PT DKI Jakarta ) terhadap SKPPP/SKP3 H.M Soeharto Dengan keluarnya keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menetapkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan nomor TAP-01/01.14/Ft1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 yang dikeluarkan Kepala Kejaksaan negeri Jakarta Selatan Pembanding semula Termohon praperadilan adalah sah menurut hukum maka konsekuensi juridis yang ditimbulkan adalah sebagai berikut: a
Dengan demikian permohonan praperadilan yang diajukan oleh Para terbanding semula Pemohon praperadilan I, II dan III, tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dan sudah selayaknya ditolak seluruhnya
b
Putusan
Praperadilan
No.
09/Pid.Prap/2006/PN,
Jak.
Sel,
No.
10/Pid.Prap/2006/PN, Jak. Sel, No. 11/Pid.Prap/2006/PN, Jak.Sel tertanggal 12 Juni 2006 tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan, selanjutnya Majelis Hakim Tingkat Banding mengadili sendiri. c
Diterima
Permintaan
praperadilan
banding
dari
Pembanding
semula
Termohon
140
d
Surat
Ketetapan
Penghentian
Penuntutan
perkara
Nomor
TAP-
01/O.1.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 yang dikeluarkan Kepala kejaksaan negeri Jakarta Selatan Pembanding semula Termohon praperadilan adalah dinyatakan Sah menurut hukum e
Permohonan
praperadilan
dari
Para
Terbanding
semula
Pemohon
praperadilan I, II dan III untuk seluruhnya Ditolak f
Biaya perkara dibebankan kepada Para Terbanding semula Pemohon praperadilan I, II dan III pada kedua tingkat peradilan, dan pada tingkat banding masing-masing sebesar Rp. 7. 500,- ( tujuh ribu lima ratus rupiah ).
BAB V KASUS DAN ANALISA KASUS
A. Kasus Pada masa orde baru, di bawah pemerintahan Soeharto, sekitar tahun 1966-1998, merupakan salah satu masa kegelapan bagi bangsa Indonesia yang mana selama masa pemerintahannya, secara otoriter dan tiran ia memberangus lawan-lawan politiknya atau orang-orang yang dianggap sebagai lawannya, baik dengan pembunuhan, penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang maupun bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia ( HAM ) lainnya serta melakukan tindakan-tindakan yang memperkaya diri, keluarga dan kronikroninya. Setelah berkuasa selama sekitar 32 Tahun, akibat desakan dari ratusan ribu mahasiswa dan rakyat, yang ditandai dengan penembakan terhadap 4 orang mahasiswa Trisakti, yang gugur sebagai pahlawan reformasi, serta tewasnya ratusan atau bahkan ribuan orang akibat tragedi Mei 1998, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI, yang selanjutnya kedudukannya digantikan oleh Wakil Presiden saat itu, BJ Habibie. Sebelum Perkara Soeharto dihentikan terdapat Perjalanan Hukum Kasus Pak Harto yaitu: 78 1. 1 September 1998 o Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunanaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, dari anggaran dasar lembaga tersebut 2. 6 September 1998 o Soeharto mengumumkan kekayaannya melalui Televesi Pendidkan Indonesia (TPI), “Saya Tidak punya uang satu sen pun” kata Soeharto.
78
Ibid, Hal 26.
1
2
Dalam wawancara dengan TPI, Soeharto menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir media Massa. 3. 9 September 1998 o Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden Habibie serta Menteri Pertahanan dan Keamanan agar memberikan perhatian ekstraketat dan melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan, dan hujatan. 4. 11 September 1998 o Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening Soeharto di luar negeri 5. 15 September 1998 o Jaksa Agung Andi M. Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto. 6. 21 September 1998 o Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto. 7. 25 September 1998 o Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam mapun di luar negeri. 8. 29 September 1998 o Kejagung membentuk Tim penyelidik, peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto dipimpin Jampidsus Antonius Sujata 9. 13 Oktober 1998 o Badan pertanahan nasional mengumumkan tanah keluarga Cendana tersebar di 10 provinsi di Indonesia. 10. 22 Oktober 1998 o Andi M Ghalib menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya. 11. 28 Oktober 1998 o Tim Pusat Intelijen Kejaksaan Agung memeriksa data tanah peternakan Tapos milik Soeharto 12. 21 November 1998 o Presiden habibie mengusulkan pembentukan komisi independent mengusut harta Soeharto. Tapi usulan ini kandas 13. 22 November 1998 o Soeharto menulis suart kepada Presiden Habibie, isinya tentang Penyerahan tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah. 14. 2 Desember 1998 o Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto. 15. 5 Desember 1998 o Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto. 16. 7 Desember 1998 o Di depan komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan: Dharmais, dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4, 014 triliun.
3
o Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektar atas nama keluarga Cendana. 17. 9 Desember 1998 o Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan diluar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos. o Soeharto diperiksa oleh Tim 13 kejaksaan Agung diketuai JAM. Pidsus Antonius Sujata selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan keamanan Soeharto, tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung. 18. 28 Desember 1998 o Menteri Negara Agraria/ Kepala badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin mengungkapkan, keluarga Cendana atas Nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan menguasai 204. 983 hektar tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB) dan hak milik (HM). 19. 30 Desember 1998 o Mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, seusai dimintai keterangan di kejaksaan Agung, menyatakan pembuatan keppres dan Inpres tentang proyek mobil nasional Timor adalah perintah langsung dari mantan presiden Soeharto. 20. 12 Januari 1999 o Tim 13 Kejaksaan Agung mengungkapkan mereka menemukan indikasi unsure perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto 21. 4 Februari 1999 o Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putrid sulung Soeharto, sebagai bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto. 22. 9 Februari 1999 o Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang Negara sebesar Rp 5,7 Triliun o Jaksa Agung Andi M. Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI yang menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan probosutedjo, adik tiri Soeharto. Kastorius Sinaga, anggota gerakan Masyarakat peduli harta Negara (Gempita), meragukan laporan jaksa Agung itu. 23. 11 Maret 1999 o Soeharto melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugan KKN. 24. 13 Maret 1999 o Soeharto menjalani pemeriksaan Tim dokter yang dibentuk kejaksaan agung di RSCM. 25. 16 Maret 1999 o Koran The Independent, London, memberitakan keluarga cendana menjual property di London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar)
4
26. 26 Mei 1999 o JAM Pidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto dimutasikan. 27. 27 Mei 1999 o Soeharto menyerahkan Surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria). 28. 28 Mei 1999 o Soeharto mengulagi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun. 29. 30 Mei 1999 o Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya 30. 11 Juni 1999 o Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa pihaknya tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria. 31. 9 Juli 1999 o Tiga kroni Soeharto yaitu Bob Hasan, kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis diperiksa Kejagung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto 32. 19 Juli 1999 o Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta Selatan 33. 27 September 1999 o Diperiksa atas dugaan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Agung. Penyelidikan diubah menjadi Penyidikan. 34. 11 Oktober 1999 o Keluar SP3 yang memerintahkan penghentian penyidikan karena tidak cukup bukti. 35. 14 Oktober 1999 o Sidang umum MPR menolak pertanggungjawaban Presden Habibie yang melaporkan proses hukum dugaan korupsi Pak Harto 36. 6 Desember 1999 o Jaksa Agung Marzuki darusman menyatakan, penyidikan kasus Pak harto dibuka kembali. 37. 6 Desember 1999 o Jaksa Agung baru, Marjuki Darusman mencabut SP3 Soeharto. 38. 29 Desember 1999 o Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan SP3. 39. 9 Februari 2000 o Dipanggil kejaksaan Agung sebagai tersangka. Pak harto tidak hadir 40. 14 Februari 2000 o Kejagung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tapi tidak hadir dengan alasan sakit 41. 16 Februari 2000 o Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan Soeharto
5
42. 31 Maret 2000 o Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang Dana yayasan social yang dipimpinnya. 43. 3 April 2000 o Tim Pemeriksa Kejagung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana, baru diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik. 44. 13 April 2000 o Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota 45. 29 Mei 2000 o Soeharto dikenakan tahanan rumah 46. 7 Juli 2000 o Kejagung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto 47. 14 Juli 2000 o Pemeriksaan Soeharto dintakan cukup dengan meminta keterangan 140 saksi dan siap diberkas Tim Kejagung. 48. 15 Juli 2000 o Kejagung menyita aset dan rekening yayasan –yayasan Soeharto 49. 3 Agustus 2000 o Soeharto resmi sebagai tersangka penyalahgunaan Dana yayasan social yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. 50. 8 Agustus 2000 o Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke PN Jakarta Selatan 51. 22 Agustus 2000 o Menkumdang Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto dilakukan di Departemen Pertanian Jakarta Selatan 52. 23 Agustus 2000 o PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan HM Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir 53. 31 Agustus 2000 o Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya, Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan hakim Ketua Lalu mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto. 54. 8 September 2000 o Jaksa penuntut umum melimpahkan perkara Pak Harto ke pengadilan. 55. 14 September 2000 o Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit 56. 20 September 2000 o Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan penetapan bahwa penuntutan perkara pidana tidak dapat diterima. Berkas perkara dikembalikan pada Jaksa penuntut umum dan dicoret dari register perkara. 57. 23 September 2000 o Soeharto menjalani pemeriksaan dis RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai
6
gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan. 58. 27 September 2000 o Tim penilai kesehatan (RSCM ) Pak Harto menyatakan bahwa Pak Harto tidak cakap disidangkan ( incompetence to stand trial) 59. 2 Februari 2001 o Mahkamah Agung memerintahkan Jaksa penuntut umum melakukan pengobatan pada terdakwa sampai sembuh, dan dihadapkan lagi ke persidangan setelah sembuh. 60. 27 Agustus 2001 o Tim RSCM menyatakan prognosis penyembuhan kondisi fisik dan mental Pak harto tidak dapat sembuh. 61. 11 Desember 2001 o Ketua Mahkamah Agung menyampikan pendapat hukum bahwa berdasarkan keterangan tim dokter, terdakwa tidak dapat diajukan ke persidangan. Kejaksaan memiliki wewenang menentukan mengajukan ataupun tidak mengajukan perkara Soeharto ke persidangan. 62. 12 Agustus 2002 o Tim RSCM menyatakan, pak harto tidak mampu menjawab atau menuturkan isi pikiran dengan kalimat panjang; tidak mampu mengerti kalimat panjang yang ditanyakan pemeriksa maupun mencerna informasi. 63. 5 Mei 2006 o Pak harto dirawat di Rumah Sakit Pertamina. 64. 6 Mei 2006 o Jaksa Agung Abdul Rahman saleh tetap berencana memeriksa kembali kesehatan Pak harto. 65. 10 Mei 2006 o Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat konsultasi untuk membahas kemungkinan pemberian abolisi. 66. 12 Mei 2006 Pagi o Presiden Agung mengumumkan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) tertanggal 11 Mei 2006 Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Jaksa Agung Marzuki darusman, membuka kembali kasus Soeharto tersebut dan mencabut SP3 yang telah dikeluarkan pada tanggal 6 Desember 1999, yang mana selanjutnya menetapkan Soeharto sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana 7 yayasan pada 31 Maret 2000. Selanjutnya Kejaksaan melakukan penyidikan terhdap Soeharto.
7
Kemudian Berkas Perkara hasil Penyidikan dari Kejaksaan Agung RI tanggal 26 Juli 2000 Nomor Reg 45/RP-6/3/2000 yang dibuat oleh UMBU LAGE LOZARA Jaksa Utama Pratama Nip. 230014107 telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 8 Agustus 2000 sesuai surat pelimpahan perkara dengan Acara Pemeriksaan Biasa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor: B-781/APB/Fpk.2/Sel/08/2000 atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto, dengan dakwaan: Nama Lengkap Tempat Lahir Umur/tanggal lahir Jenis Kelamin Kebangsaan Tempat tinggal Agama Pekerjaan Pendidikan Yang disangka Melanggar Pasal
: H. MUHAMMAD SOEHARTO alias SOEHARTO : Yogyakarta : 84 tahun/ 8 Juni 1921 : Laki-laki : Inonesia : Jl Cendana No. 8 Jakarta Pusat : Islam : Purnawiran Jenderal Besar TNI : SESKOAD : Primair Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP Subsidair Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP
Kasus Posisi: Bahwa Terdakwa H.M Soeharto selaku ketua Yayasan SUPERSEMAR, Ketua Yayasan Darmais, Ketua Yayasan Damandiri, ketua Yayasan YAMP dan Ketua Yayasan Trikora diduga
telah
melakukan
tindak
Pidana
korupsi
menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan antara lain mengeluarkan peraturan berupa Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden sebagai sarana untuk menghimpun dana bagi yayasan-yayasan yang dipimpinnya dan digunakan untuk
8
kepentingan lain dari pada peruntukannya semula yaitu untuk kepentingan/keuntungan keluarga dan kroni-kroninya. Kemudian pada tanggal 8 Agustus 2000 sesuai dengan surat pelimpahan perkara maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa perkara H.M Soeharto dengan surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 842/Pen.Pid.B/2000, karena Jaksa atau penuntut Umum tidak mampu menghadirkan terdakwa ke persidangan karena alasan sakit maka Majelis Hakim mengambil kesimpulan bahwa terhadap perkara pidana No.842/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel atas nama terdakwa H.M Soeharto alias Soeharto, yang dilimpahkan Termohon pada tanggal 8 Agustus 2000 maka penuntutannya dinyatakan tidak dapat diterima dan mengembalikan berkas perkara No.842/Pid.B.2000 PN Selatan atas nama terdakwa H.M. Soeharto kepada Termohon. Terhadap hal tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan keberatannya dan terhadap keberatan tersebut telah keluar putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.140/Bdg/PID/2000/PT.DKI tanggal 8 November 2000 yang pada intinya menerima banding dari Jaksa Penuntut Umum, sehingga perkara pidana register No.842/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel dibuka dan dilanjutkan kembali, tetapi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi tersebut terdakwa telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sehingga keluarlah putusan Mahkamah Agung No.1846 K/Pid/2000 yang amar putusannya menerima permohonan kasasi dari pemohon kasasi terdakwa H.M Soeharto dan memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya Negara, untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan. 79 79
Kaligis, O.C, Perlindungan Hukum atas hak Asasi Tersangka, terdakwa dan Terpidana, P.T. alumni, Bandung, 2006, Hal 328.
9
Berdasarkan hasil rapat Jaksa Agung RI, Wakil Jaksa Agung RI dan para Jaksa Agung Muda dengan Tim Dokter Pemeriksa Kesehatan terdakwa H.M Soeharto alias Soeharto (mantan Presiden RI) pada hari kamis tanggal 11 Mei 2006 jam 10.00 WIB di ruang rapat Jaksa Agung RI, sebagai berikut: 1. Berdasarkan kesimpulan pendapat Tim Dokter penilaian kesehatan yang menyatakan Afasia nonfluent campuran yang menghambat komunikasi terdakwa secara verbal dan tulisan , mengingat faktor usia terdakwa, dapat ditarik kesimpulan kemungkinan kecil dapat disembuhkan sehingga tidak dapat dihadapkan ke persidangan 2. Dari segi kemanusiaan dan moral mengingat kondisi kesehatan terdakwa yang pada saat ini sedang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Umum Pusat Pertamina Jakarta. Untuk merealisasikan hasil rapat tersebut maka Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus membuata Nota Dinas kepada Jaksa Agung Muda Intelijen Nomor: ND-60/R/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006, mengusulkan agar cekal terhadap terdakwa H.M Soeharto alias Soeharto berdasarkan keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-334/D/Dsp.3/10/2005 tanggal 10 Oktober 2005, seyogyanya dicabut. Dan pada saat itu juga Jaksa Agung Muda Intelijen atas Nama Jaksa Agung RI telah mencabut cekal terhadap terdakwa H.M Soeharto berdasarkan keputusan Jaksa Agung RI Nomor: Kep-193/Dsp.3/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 tentang Pencabutan Pencegahan Dalam Perkara Pidana. Kemudian Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sesuai petunjuk Jaksa Agung RI dengan Surat Nomor : R-316/F.3/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian
10
Penuntutan Perkara (SKPPP) atas nama terdakwa H.M Soeharto alias Soeharto demi hukum berdasarkan: 1. Ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 14 n jo Pasal 140 ayat (2) KUHAP 2. Pasal 46 ayat (1) b KUHAP 3. Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77 dan Pasal 78 KUHAP. Setelah itu pada tanggal 11 Mei 2006 Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) atas nama terdakwa H.M Soeharto alias Soeharto sesuai Surat Ketepan Penghentian Penuntutan Nomor : TAP-01/O.1.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006, yang menetapkan: 1). Menetapakan penuntutan perkara pidana atas nama terdakwa H.M. Soeharto alias Soeharto karena perkara ditutup demi hukum 2. Benda sitaan/barang bukti berupa sebagaimana terlampir dalam berkas perkara tetap terlampir dalam berkas perkara 3. Surat Ketetapan ini dapat dicabut kembali apabila dikemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh Penuntut Umum 4. Turunan dari Surat Ketetapan ini diberikan kepada yang bersangkutan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
B. Analisa Kasus Sebagai konsekuensi dari dikeluarkannya SKPPP tersebut maka status hukum Soeharto sebagai terdakwa otomatis gugur atau tidak berlaku lagi, disamping semua benda yang telah disita dari soeharto, seperti harta atau barang
11
bukti lainnya wajib dikembalikan disamping itu juga menimbulkan gelombang protes di kalangan masyarakat serta kerugian Negara sulit untuk dikembalikan. Sebagai reaksi dan ketidakpuasan masyarakat atas adanya Penghentian Penuntutan perkara Soeharto maka permohonan praperadilan diajukan oleh Pihak Ketiga yang berkepentingan atau istilah di dalam sistem peradilan adalah PEMOHON yang terdiri dari Pemohon I, II dan III dimana pemohon I dan II adalah pihak ketiga yang berkepentingan dalam hal ini Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri yang didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan atas kepentingan dan hak-hak asasi manusia di Indonesia termasuk penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia dan permohonan ini juga didasarkan pada peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Pemohon III adalah warga Negara Indonesia sebagai bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai kepedulian dalam perlindungan dan penegakan hak-hak azasi manusia termasuk di dalamnya penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia. 80 Bahwa untuk mendukung dalil dari permohonannya Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang sudah dibubuhi materai cukup yaitu untuk Pemohon I terdidiri dari Bukti P-1 samapai Bukti P-18, Pemohon II terdiri dari Bukti PII-1.1 sampai dengan Bukti PII-10, untuk Pemohon III terdiri dari bukti P1 sampai dengan bukti P-13 dan Pemohon juga telah mengajukan 2 orang ahli
80
Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta: 2005, hal 227- 241.
12
yaitu Ahli Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, S.H, MH, dan Ahli Anna Erliana, S.H, MH. Setelah Pengadilan mempertimbangkan dalil-dalil dan surat-surat bukti dari Para Pemohon tersebut diatas maka pengadilan berpendapat bahwa Termohon dalam mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) adalah tidak sah menurut hukum denga alasan menurut hemat pengadilan, tindakan dan langkah-langkah yang telah dilakuklan Termohon dalam upaya melaksanakan putusan Mahkamah Agung a quo, tidak cukup hanya dilakukan melaui surat menyurat diluar persdidangan tetapi mestinya dilakukan dalam Forum persidangan di pengadilan, dan Termohon mesti terus melakukan pengobatan terhadap H.M Soeharto sampai sembuh kemudian dapat dihadapkan kepersidangan jadi bukan melakukan penghentian penuntutan. Dan Termohon melakukan penghentian penuntutan tidak berdasarkan pada tiga kondisi yang disyaratkan oleh ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf (a) KUHAP akan tetapi didasarkan pada kondisi kesehatan terdakwa yang tidak layak disidangkan. Sebagai konsekuensi dari penerbitan SKPPP yang dikeluarkan oleh Termohon tidak sah menurut hukum maka penuntutan perkara tersebut harus dibuka dan dilanjutkan. Dengan keluarnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 12 Juni 2006 yang mengabulkan tuntutan Para Pemohon I, II dan III dalam Permohonan Praperadilan atas SKPPP Soeharto sehingga penuntutan perkara Soeharto dibuka dan dilanjutkan kembali maka Pembanding semula Termohon Praperadilan ( Negara Republik Indonsia Cq. Pemerintah Republik Indonsia Cq. Kejaksaan Agung RI Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan) pada tanggal 13 Juni
13
2006 telah mengajukan permintaan banding kepada Para Terbanding semula Pemohon Praperadilan I, II dan III. Dan Memori banding yang diajukan Pembanding tertanggal 21 Juni 2006 yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 22 Juni 2006. Setelah memeriksa dan mempelajari berkas perkara secara keseluruhan yang terdiri dari berita acara persidangan Peradilan tingkat pertama, surat-surat bukti dan saksi-saksi serta surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara ini, serta salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 12 Juni 2006 maka Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat setelah melihat kronologis penanganan perkara atas nama terdakwa H.M. Soeharto maka Suarat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) atas nama Soeharto tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung RI No. 1846 K / Pid / 2000 tanggal 2 Pebruari 2001 karena Jaksa Penuntut Umum sudah berulang kali melakukan pengobatan tetapi Terdakwa tetap belum sembuh sehingga melanjutkan atau menghentikan penuntutan menjadi wewenang Jaksa. Sementara alasan-alasan Penghentian penuntutan Perkara atas nama H.M. Soeharto sudah sesuai dengan ketentuan hukum Acara Pidana yang berlaku (KUHAP), beserta Undang-Undang yang terkait dengan alasan bahwa Pasal 140 ayat 2 KUHAP tidak merinci hal-hal apa yang merupakan alasan untuk menghentikan perkara demi hukum dan perkara ditutup demi hukum diartikan sesuai Bab VIII Buku kesatu KUHP Yaitu Pasal 76, 77, 78. dan menurut Majelis Hakim Tingkat Banding dalam memberikan putusan perlu memperhatikan faktor-faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu: Keadilan, Kepastian hukum, dan
14
Kemanfaatannya terlebih dalam perkara pidana Hakim wajib berusaha menemukan kebenaran materiil dan sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 tentang kekuasan kehakiman yang menyebutkan : Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga Majelis Hakim Tingkat Banding menyatakan demi mengakhiri keadaan perkara yang menggantung serta mendapatkan kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan, Keadaan Afasia Nonfluent Campuran Yang Menghambat Berkomunikasi Verbal Dan Tulisan, menjadi salah satu alasan didalam penghentian penuntutan. Setelah melalui proses permusyaratan Majelis Hakim Tingkat Banding maka majelis Hakim mengingat Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan No. TAP-01/01.14/Ft-1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 yang dikeluarkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Pembanding semula Termohon praperadilan adalah sah menurut hukum dan putusan praperadilan No.09/Pid.Prap/2006/PN, Jak. Sel, No.10/Pid. Prap/2006/PN, Jak. Sel, No. 11/Pid. Prap/2006/PN, Jak. Sel tertanggal 12 Juni 2006 tidak dapat diperhatikan lagi dan harus dibatalkan maka Majelis Hakim Tingkat banding mengadili dengan amar Putusannya: M e n g a d i l i: -
Menerima permintaan banding dari Pembanding semula Termohon Praperadilan;
-
Membatalkan putusan perkara Nomor 09 / Pid.Prap / 2006 / PN. Jak. Sel, Nomor. 10 /Pid.Prap / 2006 / PN, Jak. Sel, Nomor 11/Pid. Prap/2006/PN, Jak.Sel tertanggal 12 Juni 2006
15
MENGADILI SENDIRI -
Menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP01/O.1.14/Ft.1/05/2006 tanggal 11 Mei 2006 yang dikeluarkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Pembanding semula Termohon praperadilan adalah sah menurut hukum
-
Menolak permohonan praperadilan dari Para terbanding semula Pemohon praperadilan I, II dan III untuk seluruhnya
-
Membebankan biaya perkara kepada Para terbanding semula Pemohon praperadilan I, II dan III pada kedua tingkat peradilan, dan pada tingkat banding masing-masing sebesar Rp. 7. 5000
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan tentang Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana ( SKPPP / SKP3 ) ( Studi Kasus Penghentian Penuntutan Perkara Soeharto Pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut: 4. Adapun Peraturan Perundang-Undangan dan alasan serta prosedur hukum pengeluaran Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) Pidana ditinjau dari KUHAP dan KUHP adalah: 1.1 Mekanisme hukum atau peraturan Perundang-Undangan yang menjadi landasan hukum atau pengaturan tentang penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan ditinjau dari KUHAP diatur dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a dan d, Pasal 46 ayat (1) huruf b UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Penjelasan Pasal 77 KUHAP yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan “Penghentian Penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung” serta Pasal 80 KUHAP yang berbunyi: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. 1.2 Landasan hukum penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara ( SKPPP ) di dalam KUHP diatur dalam ketentuan hapusnya hak
1
2
menuntut hukuman yang merupakan alasan hukum yang menyebabkan suatu Perkara Ditutup Demi Hukum berdasarkan: 1.1.1.
Pasal 76 KUHP: atas alasan Nebis in idem
1.1.2.
Pasal 77 KUHP: karena tersangka / terdakwa meninggal dunia.
1.1.3.
Pasal 78 KUHP: karena kadaluarsa.
1.3 Adapun alasan Penghentian Penuntutan Perkara atau penerbitan SKPPP didasarkan pada dua hal yaitu: 1.3.1 Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum yang meliputi: 1.3.1.1 Perkara
yang
bersangkutan
“tidak”
mempunyai
pembuktian yang cukup. 1.3.1.2 Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. 1.3.2 Penghentian Penuntutan
Atas Dasar Perkara Ditutup Demi
Hukum atau Set aside. 1.3.2.1 Atas alasan Nebis in idem. (Pasal 76 KUHP) 1.3.2.2 Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia. (Pasal 77 KUHP) 1.3.2.3 Terhadap perkara yang telah kedaluarsa atau hak menuntut hukuman gugur karena lewat waktunya (Pasal 78 KUHP) 1.3.3 Keadaan Afasia Nonfluent Campuran yang menghambat berkomunikasi verbal dan tulisan,
1.4 Sedangkan prosedur hukum atau tata cara Penghentian Penuntutan dijelaskan dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP yaitu: Tindakan penghentian penuntutan dituangkan dalam surat ketetapan, isi surat
3
ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan, turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan Negara, penyidik dan hakim. Dan diatur secara rinci dalam instruksi Jaksa Agung RI. Nomor: INS-OII/J.A/II/1982 tanggal 12 November 1982 yang menetapkan sebagai berikut: 1.4.1 Apabila Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa ia harus menghentikan penuntutan maka Penuntut Umum membuat berita acara pendapat untuk diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri guna mendapatkan persetujuannya 1.4.2 Setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kejaksaan Negeri/ Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dibuatkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan ( SKP3) menurut model PK-6 keputusan Jaksa Agung RI. Nomor : KEP-088/J.A/8/1988), dalam enam rangkap dan disampaikan kepada pihak-pihak yang telah ditentukan sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat 2 huruf b dan c KUHAP. 1.4.3 Isi surat ketetapan juga harus jelas mencantumkan apa yang menjadi alasan penilaian penuntut umum melakukan penghentian penuntutan, pengeluaran tersangka apabila dia berada dalam tahanan
dan
penetapan
penyerahan/pengembalian
benda
sitaan/barang bukti kepada orang yang disebutkan secara jelas nama dan identitasnya.
4
1.4.4 Penghentian penuntutan terhadap perkara yang menarik perhatian masyarakat, bersipat politis dan mempunyai aspek nasional dan benda sitaan/barang bukti yang mempunyai nilai tinggi dan dapat menimbulkan perselisihan antara pihak-pihak yang berhak. Agar dimintakan pendapat dari Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana umum dengan saran dan pendapat Kepala Kejaksaan Tinggi 1.4.5 Pengiriman turunan surat ketetapan penghentian penuntutan yang ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum dilampiri dengan berita Acara Pendapat Jaksa Penuntut Umum. 2. Adapun akibat-akibat hukum atau kekuatan mengikat Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) Pidana adalah : 2.1 Akibat ditinjau dari sudut Juridis 2.1.1 Pihak ketiga yang berkepentingan dan terdakwa/keluarga dapat mengajukan keberatan atau mengajukan permohonan Praperadilan terhadap penghentian penuntutan dengan menyebutkan alasanalasannya 2.1.2 Penuntutan Kembali
Harus
Dilakukan
Apabila
Keputusan
Praperadilan Menetapkan Penghentian Penuntutan Yang Dilakukan Penuntut Umum Tidak Sah Menurut Hukum dan jika ternyata di kemudian hari ditemukan alasan baru 2.1.3 Bahawa tindakan termohon menerbitkan SKPPP jelas sangat merugikan kepentingan kepastian hukum di indoensia, sehingga
5
dapat menyebabkan timbulnya perasaan dimasyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak serius dan atau tidak berlaku untuk “kalangan atas” atau hanya berlaku bagi “masyarakat bawah” yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum, serta menyebabkan terlegalisasinya praktek KKN yang selama ini terjadi baik oleh yang dilakukan oleh terdakwa maupun keluarga atau kroni-kroninya yang menyebabkan hilangnya kerugian Negara tersebut. 2.2 Akibat ditinjau dari sudut Sosiologis Mengenai Penghentian
akibat
sosiologis
dari
pengeluaran
Surat
Ketetapan
(SKPPP) yaitu terjadinya Pro dan kontra di dalam
masyarakat terhadap
ketetapan penghentian penuntutan tersebut
sehingga suara di masyarakat terpecah. 2.3 Akibat terhadap status hukum Terdakwa, benda sitaan/barang bukti dan terhadap kerugian Negara serta pihak ketiga. Sebagai konsekuensi dari dikeluarkannya SKPPP tersebut, maka status hukum terdakwa otomatis gugur atau tidak berlaku lagi, dan dalam hal ini berkas perkara dikembalikan kepada Kejaksaan Negeri setempat dan mencoret nomor perkara pidana biasa dalam tahun yang sedang berjalan dan terhadap terdakwa dapat juga diberikan abolisi dan rehabilitasi. Sementara terhadap perkara yang sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan itu kecuali jika menurut hakim benda itu dirampas
6
untuk Negara atau menurut majelis hakim dapat tetap terlampir dalam Berkas perkara sampai ada alasan baru. Sedangkan terhadap kerugian Negara dan pihak ketiga dengan adanya penghentian penuntutan yaitu pengembalian kerugian keuangan Negara menjadi terhambat dan membebani keuangan Negara juga menimbulkan kerugian bagi PEMOHON atau pihak ketiga selaku organisasi non pemerintah (LSM), yang secara terus menerus telah melakukan ikhtiar dan upaya untuk melakukan advokasi dan penyadaran hukum dan HAM kepada masyarakat, termasuk didalamnya penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia, yang antara ikhtiar dan upaya itu dilakukan oleh PEMOHON melalui kegiatan-kegiatan 3. Adapun Implementasi upaya hukum Praperadilan, dan Banding terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP / SKP3 ) Kasus Penghentian Penuntutan Perkara Soeharto adalah: Dikeluarkannya Surat ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama H.M. Soeharto dengan dugaan melakukan tindak Pidana Korupsi pada tanggal 11 Mei 2006 dengan alasan berdasarkan pendapat Tim Dokter penilaian
kesehatan
yang
menyatakan
Afasia
Nonfluent
campuran
menghambat komunikasi terdakwa secara verbal dan tulisan, mengingat faktor usia terdakwa, kemungkinan kecil dapat disembuhkan dan tidak dapat dihadapkan ke persidangan sehingga perkara ditutup demi hukum. Didalam penerapan KUHAP terhadap SKP3 Pemohon I, II dan III merupakan pihak ketiga sesuai dengan Pasal 80 KUHAP dan Putusan MA No. 4/PR/Pid/200 mengajukan keberatannya melalui Praperadilan dengan alasan bahwa SKP3
7
Soeharto bersipat prematur dan cacat hukum atau bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan sehinga melalui keputusan majelis hakim PN Jakarta selatan SKP3 Soeharto dibatalkan sehingga perkara Soeharto dibuka dan dilanjutkan kembali. Untuk menyelesaikan upaya banding terhadap keputusan Praperadilan PN Jakarta Selatan didalam KUHAP dapat ditempuh dengan jalur upaya banding sehinga terhadap keputusan majelis hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maka Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sebagai Termohon mengajukan Banding kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan menyebutkan alasan dan dalil-dalil yang sama bahwa keadaan Afasia nonfluent campuran yang menghambat berkomunikasi verbal dan tulisan melalui keputusan majelis hakim PT DKI Jakarta merupakan alasan penghentian penuntutan disamping alasan lainnya, sehingga keputusan akhir/ pinal bahwa SKPPP/SKP3 Soeharto sah secara hukum. B. Saran 1.
Melihat realita dan mekanisme hukum atau peraturan PerundangUndangan yang mengatur tentang penghentian penuntutan yang kurang jelas pengaturannya sehingga sering terjadi ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan perkara yang menggantung maka perluhlah Pemerintah segera mengambil langkah-langkah konkret dan tegas dalam menerbitkan sebuah Peraturan atau Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang mekanisme hukum Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) dalam rangka mewujudkan terciptanya kepastian hukum di Indonesia sehingga upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dapat diselesaikan.
8
1.1
Diangkatnya kasus penghentian Perkara Korupsi Soeharto merupakan suatu jalan didalam membuka wacana dan membenahi tentang mekanisme hukum yang mengatur penghentian penuntutan dan didalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana Korupsi lainnya sehingga nantinya dapat terwujud suatu keadaan pemerintahan Negara yang bersih dan bebas dari KKN sesuai dengan amanat yang dituangkan di dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sehingga dalam hal Perkara Tindak Pidana yang penyelesaiannya menggantung maka Keadaan Afasia Nonfluent Campuran yang mengahambat komunikasi secara verbal dan tulisan merupakan alasan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana sehingga untuk mengembalikan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana sebaiknya dilakukan melalui gugatan perdata.
2.
Dengan dihentikannya penuntutan terhadap suatu perkara maka akan menimbulkan akibat hukum baik dari juridis, sosiologis mapun terhadap terdakwa serta terhadap kerugian Negara dan pihak ketiga maka kepastian hukumnya harus segera diberikan sehingga perkara tidak menggantug oleh karena itu pengadilan yang memeriksa dan pihak Kejaksaan yang memeriksa dan menangani perkara perlulah memberikan batas waktu atau limitated untuk dapat dituntut kembali apabila ditemukan alasan atau bukti-bukti baru.
9
3.
Adanya upaya hukum Praperadilan sampai ketingkat banding maka Majelis Hakim yang memeriksa ditingkat Pengadilan Negeri haruslah benar-benar memeriksa dan memutus permohonan praperadilan tersebut sehingga ada keputusan yang menunjukkan adanya kebenaran materil dan formil. Dan terhadap suatu perkara yang dilanjutkan penuntutannya maka kepada Termohon haruslah betul-betul dengan segala daya upaya mengumpulkan fakta-fakta, bukti-bukti serta mendatangkan saksi-saksi yang netral dan saksi ahli sehingga penyelesaian perkara dapat diselesaikan dan Majelis hakim tingkat banding didalam memutus keberatan praperadilan haruslah benar-benar demi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan tetap bersarkan pancasila sebagai sumber dari segala hukum.
3.1 Dalam rangkaian Kasus Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi Soeharto ini sehingga sahnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Yang diterbitkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan setelah diputus oleh Majelis Hakim Tingkat Banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan menggunakan alasan Perkara ditutup demi hukum maka menurut Penulis penggunaan istilah Perkara ditutup demi hukum kurang tepat karena penghentian penuntutan dengan alasan Perkara ditutup demi hukum sebenarnya tidak mempunyai kemungkinan untuk dapat dibuka dan dilanjutkan kembali karena alasan demi hukum tetapi seharusnya dengan
menggunakan
istilah
Penghentian
Penuntutan
Karena
Kepentingan Hukum atau Dihentikan Penuntutannya Demi Kepentingan Hukum. Pihak aparat penegak hukum hendaknya lebih memahami akan
10
asas “ Lex specialis de rogat lex generalis” dalam rangka penerapan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara Pidana Korupsi bukan malah sebaliknya menutup jalan terhadap upaya penerapan UU No.21/2001 dengan menggunakan Pasal-Pasal yang terdapat dalam KUHP, sehingga sebaiknya tetap menerapkan Pasal-Pasal dalam KUHP dan UU No. 21 Tahun 2001. dalam rangkaian kasus ini menurut saya hakim bersifat netral di dalam memberikan keputusan baik pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan tetap berpegang teguh pada keadilan,
kepastian
hukum dan kemanfaatan dan alasan
kemanusiaan dan untuk kasus-kasus lainnya hakim harus tetap berpegang teguh pada sifat kenetralannya sehingga rasa keadilan itu dapat mencerminkan rasa keailan bagi bangsa dan Negara sehingga Perkara Korupsi Soeharto walapun dalam bidang pidana belum dapat di selesaikan maka kepada Kejaksaan Agung dan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta selatan segera menyelesaikan Kasus Korupsi Yang dilakukan oleh Soeharto melalui Jalur Perdata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 C Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sehingga pengembalian keuangan Negara atau harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana Korupsi dapat dikembalikan kembali.
11
DAFTAR PUSTAKA Abidin, A. Z, Sejarah Dan Perkembangan Asas Oportunitas Di Indonesia, Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Hamid, H. Hamurat, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan Dan Penuntutan (dalam bentuk Tanya jawab), 1991. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993. ------------------------, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (bagian penyidikan dan penuntutan) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. -------------------------, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (pemeriksaan sidang pengadilan, banding kasasi, dan peninjauan kembali) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002. -------------------------, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali, Penerbit Cemerlang, Jakarta, 2004. Husein, Harun M, Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Kaligis, O.C., Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, P.T. Alumni, Bandung, 2006. Kuffal, H.M.A., Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2004. Makarao, Mohammad Taufik & Suhasril, Hukum Acara Pidana (dalam teori dan praktek), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. Purbacaraka, Purnadi & Halim, Ridwan, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Rajawali, 1982. Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
12
Salam, Moch Faisal, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001. Sari, Ratna, Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Hukum Acara Pidana, Penerbit Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1995. Saleh, Ruslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Piadana, Penerbit Aksara Baru, 1981. Simanjuntak. Osman, Teknik Penuntutan Dan Upaya Hukum, P.T. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, 1995. Sudjono, Sukarton Marno, Pengakuan Hukum Di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, Jakarta, 1989. Salinan Putusan Permohonan Praperadilan Dari Para Pemohon. Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Atas Permohonan Praperadilan Terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi Soeharto. (SKPPP Soeharto). Salinan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Atas Permohonan Banding Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi Soeharto (SKPPP Soeharto Tanusubroto, S, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1983. Tresna, R, Peradilan Di Indonesia Dari Abad Ke Abad, W. Versluys NV, 1957. Usfa, A. Fuad & Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Penerbit UMM Press, Malang, 2004. Wiyono, R, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Lase, Yunus, Peranan Hakim Dalam melaksanakan Praperadilan Terhadap Penghentian Penyidikan Kasus Korupsi, Kolusi, Nepotisme Bupati Nias, Fakultas Hukum USU, Medan, 2005. Peraturan Perundang-Undangan UUD 1945 Dan Amandemennya, Penerbit Fokusmedia, Bandung, 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta, 2001.
13
Undang-Undang N0. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Karya Anda, Surabaya. Undang- undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Sebagai Perubahan dari Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang N0. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-Undang No. 14 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Agung. Media Massa Hidayat, Gunadi, Rehabilitasi Buat Pemimpin Bangsa, Majalah Gatra, Jakarta 2006. Harian Kompas, Presiden Mestinya Tegas Soal Soeharto dan Jaksa Agung Pelajari Jalur Perdata, Senin, 15 Mei 2006. -------------------, KPK Minta Soeharto Tetap Diproses Hukum, Rabu, 17 Mei 2006. -------------------, Soeharto Lemah Pro Kontra Berlanjut, Kamis, 18 Mei 2006. -------------------, Soeharto Akan Digugat Kejaksaan Mulai Mengumpulkan Aset, Sabtu, 20 Mei 2006. --------------------, Hakim Tunggal Pimpin Sidang Praperadilan Soehart, Selasa, 30 Mei 2006. Internet http://www.wikipedia.org/wiki/kasus dugaan korupsi Soeharto. http://www.jawapos.co.id/index.php http://www.kompas.com/kompas-11 november 2006. http://www.ppi-india.org/**