SISTEM USAHATANI TERPADU SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI TINGKAT PETANI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Oleh: Prof. Dr. Ir. Djoko Prajitno, M.Sc.
2
SISTEM USAHATANI TERPADU SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI TINGKAT PETANI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 30 Juli 2009 di Yogyakarta
Oleh: Prof. Dr. Ir. Djoko Prajitno, M.Sc.
3 SISTEM USAHATANI TERPADU SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI TINGKAT PETANI Pendahuluan Perkenankanlah saya mengawali pidato ini dengan mengutip pupuh 122 (Sinom) pada 1, 3, 9 dan 10 dari suluk Tambangraras atau lebih dikenal dengan nama serat Centhini, karya Raden Ngabei Ranggasutrasna dkk, yang ditulis atas perintah Sunan Pakubuwana V di Surakarta (Kamajaya, 1982), bunyinya sbb: (1)
Kyai Juru Pujangkara, bakdane wektu Ngasari, angideri tetaneman, Sesekaran warni-warni, neng kiwa tengen panti, ginula-gula binatur, Selane bebaturan, ingurug karikil langking, pager luntas pinarak rampak-naracak (3) Ki Juru angalap sekar, sinungken marang kang rayi, tinata neng panadhahan, nulya mring kebonan wingking, ngundhuhi kacang cipir, boncis kapri myang katimun, tanapi gegudhangan, wangsul mring plataran malih, angundhuhi wowohan mawarnawarna. (9) Kori tengah trus pengkeran, patamanan kilen panti, tengah sinungan balumbang, ingingonan wader abrit, lalaren angubengi, sinung sidhatan mangidul, mring balumbanging langgar, binatur ing sela putih, toya wening ganggeng mirut ngering nganan. (10) Sri kawuryan piniyarsa, sauran ungeling peksi, kang samya aneng pengkeran, kadi sung pambage maring, ingkang anembe prapti, berkutut anduduk layu, derkuku puter pethak, blaster dara gondhok parsi, nori atat miwah peksi oceh-ocehan. Terjemahannya kira-kira sebagai berikut: (1)
Kyai Juru Pujangkara, sesudah saat asar, mengitari tanaman, bermacam-macam bunga, di kiri-kanan rumah, ditata dalam
4 guludan-guludan, di antara guludan tadi, ditaburi kerikil hitam, berpagar beluntas diatur rata. (3) Ki Juru memetik bunga, diberikan kepada isterinya, lalu ditata pada talam, kemudian pergi ke kebun belakang, memetik kacang kecipir, buncis kapri serta mentimun, dan sayuran daun-daunan, lalu kembali ke halaman depan, memetik bermacam-macam buah. (9) Pintu tengah terus ke bagian belakang, taman di sebelah barat rumah, di bagian tengah ada kolamnya, dipelihara ikan badar merah, berenang-renang mengitari kolam, diberi saluran ke selatan ke kolam surau, ditata dengan batu putih, airnya jernih tumbuhan ganggang menyibak kekiri dan kekanan. (10) Terdengar bunyi burung-burung yang ada dalam sangkar, bagai ucapan selamat datang kepada, para tamu yang baru datang, burung perkutut berbunyi terus-menerus, tekukur puter putih, bastar merpati gondhok Persia, nuri betet dan burung-burung berkicau. Tembang diatas menggambarkan tataletak rumah beserta pekarangan Kyai Juru Pujangkara di Kademangan Pengasih. Beliau seorang ahli perhitungan jawa (Primbon) dalam hal mendirikan rumah. Lepas dari isi ceritanya, dari tembang tersebut dapat kita kaji praktek usahatani terpadu yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada jaman dahulu. Sebagaimana kita ketahui, dalam budaya Jawa, praktek usahatani bukan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia (sandang, pangan dan papan), melainkan juga kebutuhan rohani (keharmonisan hidup/ketenangan jiwa), yang ditunjukkan oleh adanya berbagai tanaman bunga serta burung oceh-ocehan yang dipelihara di sekitar rumah. Kecuali padi yang ditanam di sawah atau tegalan, kehidupan sehari-hari keluarga tani di masa lalu sudah dapat dipenuhi (subsistence) dari tanaman, ternak dan perikanan yang diusahakan di pekarangan sekitar rumahnya (Terra, 1948). Dari tembang diatas kita juga dapat mempelajari praktek agroekoteknologi yang dilakukan Kyai Juru Pujangkara dalam menjaga keberlanjutan dari usahataninya. Bila Kademangan Pengasih yang dimaksud dalam suluk ini adalah Kecamatan Pengasih di Kabupaten
5 Kulon Progo yang memiliki jenis tanah vertisol (lempung berat), maka penggunaan kerikil yang ditaburkan di antara guludan tanaman, merupakan teknik yang cerdik untuk menahan aliran air hujan agar lebih banyak meresap kedalam tanah serta tidak banyak yang terbuang sebagai air limpasan. Berbagai faktor pembatas akan kita jumpai dalam usaha peningkatan produksi pertanian di tingkat petani. Sebagai contoh, makin menyempitnya luas pemilikan lahan (Prajitno, 1986). Bila sumberdaya pertanian yang tersedia semakin terbatas, maka kunci usaha peningkatan produksi akan terletak pada adanya interaksi antara berbagai bentuk usahatani yang saling mendukung sifatnya (Prajitno, 1986). Sistem Usahatani Terpadu Sistem usahatani terpadu (integrated farming system), ialah suatu sistem usahatani yang didasarkan pada konsep daur-ulang biologis (biological recycling) antara usaha pertanaman, perikanan dan peternakan. Usahatani berbasis tanaman memberikan hasil samping berupa pakan bagi usahatani perikanan dan peternakan. Demikian pula sebaliknya, usaha perikanan dan peternakan memberikan hasil samping berupa pupuk bagi usahatani tanaman. Usaha perikanan menghasilkan pakan bagi peternakan, sedangkan usaha peternakan menghasilkan pupuk dan pakan untuk perikanan. Dalam cakupan lebih luas, sistem usahatani terpadu ini dapat dipandang sebagai bagian dari sistem agro-ekoteknologi, dimana didalamnya terdapat berbagai komponen lingkungan petani yang saling berkaitan satu sama lain, seperti komponen usaha non-pertanian (off farm), komponen bio-fisik alam, serta komponen sosekpolbud. Kesemua komponen lingkungan dalam sistem agro-ekoteknologi tersebut di muka, secara bersama-sama berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan serta pilihan teknologi yang dilakukan petani, untuk menentukan bentuk kombinasi usahatani terpadu seperti apa yang paling menguntungkan untuk diusahakan. Cukup banyak contohcontoh praktek sistem usaha tani terpadu dengan berbagai ragam usaha, baik dalam bentuk variasi on farm maupun off farm, di luar negeri maupun dalam negeri sebagai berikut ini.
6 Eusebio et al (1976) di Filipina melaporkan hasil model sistem usahatani terpadu yang diusahakannya pada luasan sekitar 2500 m2. Ada lima komponen utama yang berperan dalam sistem daur ulang usahatani tersebut, yaitu (1) produksi algae (Chorella), (2) ternak babi, (3) bio-gas, (4) pertanaman padi dan sayuran serta (5) kolam ikan. Kelima komponen tersebut bersifat saling mendukung satu sama lain, sehingga mengurangi biaya operasi dari proses produksi pangan dalam skema usahatani terpadu ini. Model sistem usahatani terpadu gaya UPLB (University of the Philippines at Los Banos) ini memberikan contoh tentang berbagai proses serta alur yang berbeda, mulai dari pengumpulan limbah ternak, produk antara, sampai dengan digester bio-gas yang menghasilkan gas metana untuk kepentingan memasak, listrik untuk lampu dan lemari pendingin, serta pengeringan hasil pertanian (pasca panen). Di Thailand (ORDPB, 1997), keluarga raja sejak tahun 1983 menyeponsori pembangunan pusat pengembangan sistem usahatani terpadu di setiap propinsi. Di samping sebagai wilayah percontohan, pusat pengembangan ini juga berperan sebagai pusat studi, yang melaksanakan penelitian bersifat kaji tindak (action research) bagi kepentingan petani setempat. Sebagai contoh, di Khao Hin Sorn Royal Development Study Center (Chulalongkorn University, ?), setiap keluarga tani mendapatkan lahan seluas 10 rai (1,6 Ha), yang penggunaannya terbagi menjadi 2 rai untuk embung (kolam ikan merangkap sumber air), 2 rai untuk sawah, 5 rai untuk usahatani terpadu berbasis hortikultura dan 1 rai untuk rumah dan halaman. Model Usaha tani terpadu yang dikembangkan, adalah usaha tani terpadu dengan penekanan pada produksi berbagai macam tanaman untuk konsumsi, yang digarap secara organik. Masih banyak model usahatani terpadu yang dikembangkan di negara-negara tetangga seperti VAC (Voun Ao Chuong) di Vietnam (Sajise, 1998), SALT (Sloping Agricultural Land Technology) di Mindanao (Watson, 1995). Di Indonesia, sebagaimana terungkap dalam tembang Jawa di muka, sistem usahatani terpadu sebenarnya sudah lama dipraktekkan oleh masyarakat tani, sebagai ekspresi dari usaha mereka menghadapi tantangan lingkungan yang ada untuk bertahan hidup (Prajitno, 1992). Hanya sayang pengembangannya sepotong-sepotong, tidak
7 terintegrasi. Ini juga yang menyebabkan mengapa hingga saat ini program pengembangan sistem pertanian berkelanjutan mengalami kemandegan, hanya sampai di tingkat konsep. Masyarakat tani sudah cukup lama mendengar istilah pertanian berkelanjutan, tetapi praktek pelaksanaannya seperti apa, tidak banyak yang tahu. Program usahatani terpadu yang terencana baik melalui pendekatan usahatani daur biologi (bio-cyclo farming) adalah program Agro-techno park (ATP) yang diselenggarakan oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Anonim, 2009a) di berbagai lokasi. Hanya pelaksanaannya mengalami banyak hambatan. Sebagai contoh, di Sumatera Selatan, dari rencana pengembangan 1000 hektar ATP pada tahun 2003, hingga akhir tahun 2008 baru mencapai luasan 70 hektar (kurang dari 10%). Beberapa program Badan Litbang Deptan, di tingkat propinsi juga cukup berhasil. Misalnya di desa Sangiang, kecamatan Banjaran, kabupaten Majalengka, Jawa Barat, dari sistem usahatani terpadu jagung – sapi potong di lahan sawah, ternyata mampu meningkatkan pendapatan petani hingga 40% serta efisiensi penggunaan hijauan makanan ternak sampai 4–5 kali lipat. Dalam program tersebut, setiap 5 sapi potong, dalam waktu 4 bulan menghasilkan 6,6 ton kotoran sapi, yang setelah diproses menghasilkan 2,6 ton kompos kandang matang, yang mampu memenuhi kebutuhan pupuk organik bagi 1 hektar tanaman jagung. (Anonim, 2009b). Hanya dalam program ini gas metana yang dihasilkan rupa-rupanya belum dimanfaatkan secara optimal. Contoh keberhasilan sistem usahatani terpadu lain, dilakukan oleh kelompok tani subak Guama di kecamatan Marga, kabupaten Tabanan, Bali, yang melibatkan 544 petani pada luasan sawah 179 hektar (Kompas, 24 Okt. 2008). Mereka melakukan perbaikan rotasi tanaman dari padi-padi-padi menjadi padi-palawija (tumpangsari)padi. Kelompok ini juga memelihara 700 ekor sapi dan ratusan ekor babi, yang kotorannya, secara kelompok diolah menjadi pupuk organik. Dari usaha ini, penggunaan pupuk urea dapat dikurangi dari 225 kg/ha menjadi 150 kg/ha, sedangkan rata-rata produksi padi mampu ditingkatkan dari 5 ton/ ha gkp (gabah kering panen) menjadi 8 ton/ha gkp.
8 Di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, pemikiran tentang sistem usahatani terpadu dengan konsep daur ulang biologisnya, telah dimulai pada tahun 1955 oleh almarhum Prof. Ir. Soedarsono Hadisaputro yang bersama-sama dengan almarhum Ir. Anwarman Lubis menulis buku ”Bertjotjok Tanam Setjara Biologis (Biologische Cultuurmethode), diterbitkan oleh Pusat Djawatan Pertanian Rakjat di Djakarta. Dalam buku tersebut dibahas tentang cepatnya kemerosotan tingkat kesuburan lahan pertanian di Indonesia, serta cara mengatasinya dengan memanfaatkan berbagai tanaman pupuk hijau. Demikian pula, bagaimana mengatasi semakin meluasnya padang alang-alang akibat sistem perladangan, yang saat itu banyak dipraktekkan oleh petani di luar Jawa, dengan pengembangan sistem padang rumput dan peternakan sekala besar. Kotoran ternak dimanfaatkan untuk mengembalikan kesuburan tanah, di samping pengaturan rotasi tanaman pakan ternak dalam padang penggembalaan tersebut (Lubis dan Hadisaputro, 1955). Sayang pemikiran beliau-beliau ini tidak ada yang melanjutkan. Baru pada tahun 2002, almarhun Prof. Dr. Ir. Soemantri Sastrosoedarjo mengemukakan konsepnya tentang usahatani terpadu berorientasi agribisnis. Dalam konsep tersebut beliau mengemukakan azas-azas sistem pertanian nir-limbah (zero waste agriculture) serta sistem usahatani hayati (bio-farming) (Sastrosoedarjo, 2002). Untuk mendukung konsep tersebut, beliau membangun demplot seluas dua hektar di kawasan lereng Merapi, desa Glagahharjo, kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman, DIY. Hasil pengamatan dari demplot, dengan komoditi utama tanaman kopi arabika, serta ternak sapi dan kolam ikan ini menunjukkan bahwa rumput yang ditanam diantara barisan tanaman kopi arabika serta mendapatkan pengairan dari air limbah ternak, mampu berproduksi 5 sampai 6 kali lipat dibanding rumput yang tidak mendapat pengairan air limbah kandang ternak; dengan hasil 150 – 200 ton/ha/th rumput segar, yang mampu untuk mencukupi kebutuhan 20 ekor sapi, setara dengan peningkatan kemampuan pemeliharaan ternak sampai 2 kali lipat (Sastrosoedarjo, 2002). Sayang pada tanggal 22 Nopember 2002, beliau meninggalkan kita untuk selamanya.
9 Model Matematika Usahatani Terpadu Cukup sulit untuk mengevaluasi keuntungan yang diperoleh dari sistem usaha tani terpadu secara menyeluruh. Hal ini diakibatkan oleh belum adanya metode yang mampu mengukur secara efektif nilai-nilai sosial ekonomi dan budaya yang timbul akibat adanya interaksi antara tanaman dan hewan. Ini juga berhubungan dengan peran tradisional dari tanaman dan hewan tersebut dalam kehidupan keluarga tani setempat. Model matematika yang saya kemukakan berikut ini, secara sederhana mungkin dapat membantu untuk mengkuantifikasikan masalah di atas: Misalkan X adalah usaha tani tanaman (padi) yang menghasilkan x (gabah), dan Y adalah usaha ternak (sapi perah) yang menghasilkan y (susu), maka: X = x : artinya usaha tani padi saja, hanya menghasilkan gabah, dan Y = y : usaha ternak sapi perah saja, hanya menghasilkan susu. Tetapi bila X dan Y dikombinasikan dan terintegrasi dalam bentuk usahatani terpadu, maka yang terjadi adalah: (X + Y) = x + y + xy Dimana xy merupakan hasil tambahan yang muncul akibat adanya interaksi antara usahatani padi dengan usaha ternak sapi perah. Interaksi xy dapat diukur melalui berbagai bentuk parameter, seperti misalnya kesuburan tanah yang lebih baik sebagai hasil pemanfaatan pupuk kandang yang berasal dari ternak yang selanjutnya akan meningkatkan hasil gabah (x). Interaksi xy dapat juga diukur dalam bentuk peningkatan hasil susu (y) akibat peningkatan pakan yang lebih baik yang dihasilkan dari limbah tanaman padi seperti sekam, jerami dsb. xy dapat juga diukur dalam bentuk parameter sosial ekonomi, karena ternak sapi juga merupakan tabungan bagi petani, yang sewaktu-waktu dapat diuangkan bila panen padi mereka gagal, atau adanya kebutuhan biaya yang mendadak bagi kepentingan sekolah anak mereka, dsb. Dari sudut pandang budaya xy dapat diukur dalam bentuk nilai status sosial petani dalam masyarakat pedesaan.
10 X + Y = x + y atau xy = 0 terjadi bila tanaman padi dan ternak sapi diusahakan dalam usahatani yang sama tetapi tidak terintegrasi satu sama lain. Bila disamping tanaman dan ternak, petani juga mengusahakan kolam ikan Z (perikanan), model matematika di muka dapat diperluas menjadi: X + Y + Z = x + y + z + xy + xz + yz + xyz Demikian seterusnya, semakin banyak komponen usaha yang menyusun sistem usaha tani terpadu akan semakin kompleks analisisnya. Secara ringkas kelebihan/keuntungan dari suatu sistem usahatani terpadu dapat diukur melalui kriteria sebagai berikut: (1). Peningkatan total produksi usahatani akibat pemanfaatan sumberdaya yang lebih efisien. (2). Peningkatan pendapatan petani sebagai akibat diversifikasi usahatani. (3). Peningkatan nilai-nilai sosial dan budaya yang dialami petani akibat mempraktekkan sistem tersebut (4). Perbaikan kondisi lingkungan serta konservasi sumberdaya lahan, air serta input lainnya. Sistem Pertanian Berkelanjutan Pergeseran teknologi di sektor pertanian, terjadi di pedesaan Indonesia sejak awal dekade enampuluhan yaitu sejak kemunculan Revolusi Hijau (The Green Revolution), yang di Indonesia lebih dikenal dengan gerakan Panca Usahatani (1. Penggunaan bibit unggul, 2. Pengolahan tanah yang baik, 3. Irigasi, 4. Pemupukan dan 5. Pemberantasan Hama dan Penyakit Tanaman). Program panca usahatani ini diawali dengan program penyuluhan di tiga desa di Kabupaten Karawang Jawa Barat. Program tersebut kemudian dikembangkan menjadi program Denmas (Demonstrasi Masal) pada tahun 1964, dan seterusnya dilanjutkan dengan program Bimas (Bimbingan Masal), Bimas Gotong Royong, Insus (Intensifikasi Khusus) dan Supra Insus. Akibat positif dari program-program di atas
11 adalah peningkatan produksi beras dari 9,8 juta ton di tahun 1963 menjadi 31,0 juta ton pada tahun 1990, serta tercapainya swasembada beras pada tahun 1985 (Kartasubrata, 1993). Di samping keberhasilan di atas, cukup banyak dampak samping negatif dari praktek pertanian modern dari revolusi hijau pertama ini, terhadap lingkungan hidup seperti dikemukakan oleh Schaller (1993), antara lain sebagai berikut: (1) Kontaminasi air permukaan maupun air tanah oleh bahan kimia pertanian serta sedimentasi. (2) Bahaya bagi kesehatan manusia dan ternak oleh pestisida dan zat aditif pakan. (3) Efek negatif bahan-bahan kimia pertanian terhadap keamanan dan kualitas pangan, (4) Penurunan tingkat keragaman genetik tanaman maupun hewan, yang merupakan salah satu kunci keberlanjutan suatu sistem pertanian, (5) Kepunahan satwa liar, predator dan berbagai serangga yang bermanfaat dalam proses pengendalian hama, (6) Peningkatan tingkat resistensi hama terhadap pestisida, (7) Penurunan tingkat produktivitas lahan akibat peningkatan proses erosi (baik fisik maupun kimiawi), penurunan kadar bahan organik, pemampatan tanah dsb. (8) Tingkat ketergantungan yang tinggi pada sumberdaya energi tak terbarukan, dan (9) Tingkat risiko kesehatan yang tinggi bagi pekerja yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Cukup banyak definisi yang menyangkut tentang pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Setiap orang berpendapat bahwa setiap usaha pertanian harus memiliki sifat berkelanjutan, tetapi antar pakar satu dengan yang lain berbeda dalam mengartikan kondisi dan asumsi yang bagaimana pertanian berkelanjutan dapat terjadi (Francis dan Hildebrand, 1989). Demikian pula sampai sekarang ini belum ada yang menerangkan bagaimana bentuk pelaksanaan pertanian berkelanjutan ini di tingkat petani kecil. Reintjes et al. (1992) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang secara ekologis dapat dipertanggungjawabkan, secara ekonomi dapat dijalankan, secara sosial berkeadilan, berperikemanusiaan serta dapat menyesuaikan diri. Pertanian berkelanjutan harus didasarkan pada ilmu yang bersifat holistik (Adulavidhaya, 1993). Pada dasarnya berbagai definisi tentang pertanian berkelanjutan yang ada sekarang ini lebih banyak menekankan pada pola berpikir atau cara pendekatan dan bukan sebagai petunjuk teknis (Untung, 1997).
12 Oleh karena itu dalam pidato ini, ingin saya nyatakan bahwa secara teknis, sistem usahatani terpadu adalah bentuk praktek/ pelaksanaan dari sistem pertanian berkelanjutan di tingkat petani. Masalah berikutnya adalah, apa yang harus kita lakukan bagi pengembangan sistem pertanian berkelanjutan di tingkat nasional? Kendala dan Cara Mengatasinya Sistem usahatani terpadu multi komoditas, menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan sistem pertanaman tunggal (mono-cropping) (Madamba, 1980). Namun demikian kombinasi komoditas yang diusahakan harus sesuai dengan kapabilitas, sumberdaya, dan kebutuhan dari petani yang mengusahakannya. Demikian pula harus sesuai dengan berbagai faktor lingkungan ekonomi dan sosial yang berada di sekitar petani. Walaupun sistem usaha tani terpadu: tanaman-ternak-ikan kelihatannya dapat menjadi inovasi teknologi yang atraktif, tetapi aspek manajemen yang dihadapi tidaklah mudah; tidak hanya sekedar menambah satu dua komoditas untuk diusahakan, melainkan memperkenalkan suatu pendekatan sistem usahatani yang baru, yang membutuhkan satu set teknologi berikut kemampuan manajemennya atau yang biasa kita kenal sebagai paket teknologi. Demikian pula bagi para penyuluh pertanian, begitu kita menambah jumlah komoditas yang diusahakan, kita akan berhadapan dengan meningkatnya tingkat keragaman rekomendasi yang diberikan, yang berarti meningkatnya tingkat kesulitan dan ragam pengetahuan yang harus dikuasai oleh para penyuluh. Yang biasanya kurang disadari oleh para penyuluh ialah, tidak ada satupun petani kecil kita yang hanya bertumpu pada usaha satu macam komoditas saja. Para petani kecil kita dengan lahan sempitnya (terutama di Jawa) mampu bertahan hidup, karena mereka mengusahakan lebih dari satu macam komoditas, atau mengusahakan lebih dari satu macam usahatani, atau di samping bertani juga melakukan usaha non pertanian (off farm). Dari berbagai rekomendasi dan pengalaman para pakar, secara umum dapat disimpulkan bahwa paket teknologi yang dapat teradopsi dengan baik, biasanya muncul dari hasil pemikiran ataupun penyesuaian para petani sendiri. Paket
13 teknologi semacam ini biasanya memenuhi spesifisitas lokasi dan situasi yang dihadapi oleh petani, maupun keadaan sosial ekonomi serta karakter petani tersebut. Paket teknologi semacam ini biasanya bentuknya cukup sederhana serta terancang sesuai dengan kemampuan manajemen dan sumberdaya petani. Bagi pemerintah masalahnya adalah bagaimana mengorganisasikan berbagai bentuk paket teknologi usahatani terpadu ini, yang sangat beragam bentuknya serta bersifat spesifik lokasi, kedalam satu program yang bersifat nasional. Untuk itu kita dapat meminjam model pengembangan industri bagi pengembangan sistem usahatani terpadu ini dalam skala nasional. Dalam model pengembangan industri, kita mengenal tiga komponen pokok yang harus dipenuhi agar suatu sistem industri dapat berkembang di suatu wilayah, yaitu (1) komponen penunjang produksi (production support component), (2) komponen produksi dan (3) komponen pemasaran (marketing component). Komponen penunjang produksi dan komponen pemasaran lebih bersifat makro, terdiri atas berbagai elemen seperti industri-industri benih, bibit ikan dan ternak, pakan ternak, pupuk, ketersediaan kredit, ketersediaan informasi, teknologi pasca panen, pengepakan, angkutan, pergudangan dsb. Komponen produksi lebih bersifat mikro, yang berupa berbagai model usahatani terpadu yang dijalankan petani, yang merupakan proses, bagaimana produksi dapat ditingkatkan secara efektif dan lebih menguntungkan. Skema di atas dapat diterapkan baik pada tingkat desa maupun untuk wilayah yang lebih luas. Hanya bagi wilayah yang lebih luas, tentunya dibutuhkan keterpaduan antar berbagai lembaga yang melayani berbagai kepentingan baik swasta maupun pemerintah, terutama di kedua komponen makro (sistem pendukung produksi dan sistem pemasaran) dari model tersebut. Sedangkan pada komponen mikro (sistem produksi), dibutuhkan pendampingan agar petani mampu mengembangkan sendiri teknologi produksi yang dibutuhkannya. Walaupun dalam tingkat konsep kelihatannya mudah, tetapi praktek pelaksanaannya tidaklah gampang, akibat adanya persaingan kepentingan usaha tani tanaman, hewan dan ikan dalam sistem usahatani terpadu. Perlu dilakukan evaluasi terhadap keunggulan komparatif dari setiap komponen usaha, yang biasanya
14 bersifat spesifik lokasi. Dengan kata lain, paket teknologi yang dihasilkan harus bersifat spesifik lokasi, bahkan spesifik situasi dan kondisi. Di tingkat nasional, dengan memanfaatkan teknologi sistem informasi geografi (GIS), berbagai bentuk sistem usahatani terpadu yang bersifat spesifik lokasi dan spesifik waktu, serta tersebar di seluruh nusantara ini, akan termonitor dan terangkum menjadi satu, membentuk konsep precision agriculture, yang sekarang ini menjadi model pembangunan pertanian abad 21 di banyak negara maju (Srinivasan, 2006). Sejalan dengan misi kerakyatan Universitas Gadjah Mada, alangkah baiknya bila F. Pertanian dan F. Peternakan UGM, segera memulai usaha pengkajian ilmiah sistem usahatani terpadu, dengan mendirikan Pusat Studi Pertanian Terpadu (PSPT), yang dapat dimulai dari pembuatan demplot di bagian kebun Pagilaran (untuk model usahatani terpadu dataran tinggi) dan bagian kebun Segayung (untuk model dataran rendah), bekerja sama dengan PT Pagilaran. Disamping menambah ragam usaha PT Pagilaran, demplot ini juga akan meningkatkan daya tarik agro wisata, serta dapat dimanfaatkan bagi penelitian dosen dan mahasiswa (S1, S2 dan S3) serta KKN tematik. Bekerja sama dengan Dinas Pertanian, program ini dapat digunakan sebagai sekolah vocational pertanian terpadu bagi petani dan petugas penyuluh pertanian.
15 DAFTAR PUSTAKA
Adulavidhaya, K. 1993. Prospect and needs of sustainable agriculture in Thailand. Proc.Int. Sem. on Prospects and Needs of Sustainable agriculture in Southeast Asia. Manila 1-2 Dec, 1992. Univ. of the Philippines. Los Banos 261p. Anonim. 2009a. Pelatihan Pertanian Terpadu Kader Tani Agrotechnopark di Sumatera Selatan. www.reistek.go.id. Diakses 9 Jan. 2009. _______. 2009b. Prima Tani – Membangun Desa Berbasis Inovasi. http://primatani.litbangdeptan.go.id/index.. Diakses 15 Maret 2009. Chulalongkorn University. (?). Implementation of the “New Theory” by the Khao Hin Sorn Royal Development Satudy Center. Chulalongkorn University. Thailand. 7p. Eusebio, J.A., B. Robino and E.C. Eusebio. 1976. Recycling System in Integrated Plant and Animal Farming. UPLB Tech. Bull. Vol I (1). College, Laguna, Philippines. 30p. Francic, C.A. and P.F. Hildebrand. 1989. Farming System Research and The Concept of Sustainability. FSRE, Univ. of Florida. Gainsville. Newsletter 3 : 6 – 11. Kamajaya, 1982. Serat Centhini, Ensiklopedi Kabudayan Jawi, Kalatinaken Miturut Aslinipun. Jilid VI. UP. Indonesia. Yogyakarta. 104h. Kartasubrata, J. 1993. Indonesia i in Sustainable Agriculture and Environment in the Tropics. Nat. Acad. Press. Washington. Kompas. 2008. Subak Guama: Padukan Budidaya Bersawah dan Beternak. Kompas 24 Oktober 2008. Lubis, A., dan S. Hadisapoetro. 1955. Bertjotjok Tanam Setjara Biologis (Biologische Cultuurmethode). Pusat Djawatan Pertanian Rakjat. Djakarta. 128h. Madamba, J.C. 1980. Imperatives for en integrated crop-livestock-fish farming systems In. M.H. Tetangco (Ed.). Integrated Crop – Livestock – Farming. FFTC – ASPAC. Taipei. pp. 1 -7. ORDPB. 1997. Huai Sai Royal Development Study Center. Office of the Royal Development Projects Board. Thailand. 16p.
16 Prajitno, D. 1986. Kajian dinamika sistem pertanian sebagai dasar usaha menuju penganekaragaman pangan. Analisa CSIS. 7 : 601 – 612. _________. 1992.. Pengoptimalan Sistem Pertanaman di Daerah Aliran Sungai Progo. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 431p. Reintjes, C., B. Haverkort and A.W. Bayer. 1992. Farming for the Future. An Introduction to Low External Input and Sustainable Agriculture. Macmillan, ILEIA, Leusden. Netherlands. Sajise, P.E., 1998. Ecological concerns in crop-livestock integration in sloping land. FFTC Ext. Bull. No. 461. 10p. Sastrosudarjo, S., 2002. Penelitian usahatani terpadu berorientasi agribisnis. Makalah dalam: Seminar Nasional Sapta Windu Fakultas Pertanian UGM. 28 Sept, 2002. 9h. Schaller, N. 1993. The concept of agricultural sustainablity. Agriculture and Environment. 46: 89 – 97. Srinivasan, A. 2006. Handbook of Precision Agriculture: Principles and Application. Haworth Press. Inc. Binghamton. 683p. Terra, G.J.A., 1948. Tuinbouw, in C.J.J. van Hall en C. van de Koppel. De Landbouw in de Indische Archipel. Deel IIA. N.V. Uitgeverij W. van Hoeve’s. Gravenhage, blz. 622 – 746. Untung, K. 1997. Perspektif Ilmu Hama Tumbuhan Dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. 6 Sept. 1997. Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta. 32h.