1
2
3
IMPLEMENTASI MANAJEMEN USAHATANI MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN
Oleh, RATNA KOMALA DEWI
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkahNya kami dapat menyelesaikan tulisan ini tepat pada waktunya. Tulisan ini berjudul : Implementasi Manajemen Usahatani Menuju Pertanian Berkelanjutan. Tulisan ini merupakan studi pustaka dari buku-buku, jurnal, internet, dan sebagainya. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyempurnaan tulisan ini. Tulisan ini disajikan dalam bentuk dan isi yang sederhana. Tentu saja mungkin di dalam tulisan ini terdapat kesalahan atau kekurangan, untuk itu penulis mengucapkan mohon maaf. Saran yang konstruktif sangat dinantikan.
Denpasar, 15 Desember 2015
Penulis
5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………….
ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………
iii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………
iv
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………..
v
I
PENDAHULUAN ………………………………………………
1
1.1 Latar belakang ………………………………………………
1
1.2 Tujuan Penulisan ……………………………………………
2
II METODOLOGI ………………………………………………….
2
III KAJIAN PUSTAKA …………………………………………….
3
3.1 Konsep Pertanian, Usahatani, dan Manajemen Usahatani
3
3.2 Konsep Pertanian Berkelanjutan ………………………..
5
IV PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (INTEGRATED CROPPING MANAGEMENT/ ICM) …………………………….
10
4.1 Pengelolaan Tanaman Terpadu ……………………………
10
4.2 Manfaat Pengelolaan Tanaman Terpadu …………………...
11
PENGELOLAAN HARA TERPADU (INTEGRATED NUTRITION MANAGEMENT/ INM) …………………………...
12
VI PENGELOLAAN HAMA TERPADU (Integrated Pest Management /IPM) ……………………………………………..
14
VII PENGELOLAAN AIR TERPADU (Integtrated Soil Moisture Management/ IMM) …………………………………………….
19
VIII PENGELOLAAN RISIKO TERPADU (Integrated Risk Management /IRM)…………………………………………………... 8.1 Manajemen Risiko pada Usahatani ......................................
22
V
22
8.2 Risiko dan Ketidakpastian ..................................................
22
8.3 Sumber Resiko ....................................................................
24
8.4 Pengendalian Risiko ………………………………………
25
8.5 Metode Penanganan Risiko dan Ketidakpastian ………….
26
IX PENUTUP ……………………………………………………….
30
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….
30
6
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Matrik Target Laba ..............................................................
27
Tabel 2. Matrik Laba dan Kemungkinan Terburuk ..........................
27
Tabel 3. Matrik Laba dan Ketidakberuntungan Maksimum .............
29
7
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Triple P Pembangunan Berkelanjutan ………………….
6
Gambar 2. Model Pembangunan Pertanian Rakyat Berdasarkan Pemapanan Usahatani ………………………………….
9
Gambar 3. Kerangka Konsep PHT ………………………………….
16
Gambar 4. Pengembangan sumber daya manusia di PHT ………….
16
Gambar 5. Sebuah Pendekatan IPM Pertanian Berkelanjutan ……..
17
8
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunan, sektor pertanian masih dianggap sebagai leading sektor. Terkait dengan hal tersebut, beberapa upaya telah dilakukan antara lain adopsi teknologi bimas, inmas, suprainsus, subsidi harga input, komersialisasi usahatani kecil, menggerakkan revolusi hijau tahun 1967. Keberhasilan pembangunan pertanian antara lain telah memberi dukungan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, bahkan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Selain keberhasilan yang dicapai dalam pembangunan pertanian maka dampak
negatifnya
juga
sangat
dirasakan
oleh
penduduk
Indonesia.
Pembangunan pertanian konvensional dengan teknologi sangat intensif dianggap menimbulkan masalah pada lingkungan. Di lain pihak, kebutuhan pangan yang semakin meningkat
untuk memenuhi
akibat peningkatan penduduk,
diharuskan tidak terjadi eksploitasi sumberdaya alam agar terjadi pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Hingga saat ini sektor pertanian mempunyai banyak permasalahan, antara lain: 1. Degradasi sumberdaya lahan dan air semakin meningkat. Degradasi tanah, yaitu menurunnya tingkat kesuburan tanah atau kerusakan fungsi hayati asli. Hal ini disebabkan oleh intensifnya penggunaan pupuk kimia (anorganik). Kadar bahan organik (BO) tanah telah berada pada kondisi sangat rendah. Di Jawa bahan organik tanah telah mencapai kurang dari 1,0 % dan di Bali kadar bahan organiknya kurang lebih 1,0 %, sedangkan syarat minimal bahan organik tanah untuk pertanian minimal 2,0 %. 2. Munculnya hama penyakit karena keseimbangan biologis rusak. Hal ini akibat dari penggunaan pestisida kimia.
Kelestarian lingkungan hidup dan
pencemaran residu kimia semakin memprihatinkan (Suparta dan Sudita, 2011). 3. Struktur biaya usahatani sangat tinggi, apalagi setelah dicabutnya berbagai macam subsidi. Dikembangkannya padi varietas unggul sejak revolusi hijau tahun 1967, memerlukan pemupukan dan pestisida yang intensif serta terus
9
meningkat, sehingga biaya usahatani semakin tinggi. Jika tidak diberi pupuk dan pestisida yang intensif maka produksi tidak akan berhasil. Akibat dari terpuruknya ekonomi beberapa subsidi dicabut, sehingga petani menjerit tidak bisa membeli pupuk dan pestisida yang harganya mahal. 4. Harga produk hasil pertanian sangat berfluktuasi dan harga yang diterima petani “given” (tidak bisa ditingkatkan oleh petani).
Pada musim panen
terutama harga gabah anjlog dan petani selalu tidak mampu menaikkan harga. Walaupun ada kebijakan peningkatan harga dasar oleh pemerintah, para petani hampir tidak pernah memperoleh peningkatan harga tersebut, karena peningkatan harga dasar selalu segera diikuti oleh peningkatan harga pupuk dan pestisida, sehingga pada musim tanam berikutnya petani mengalami kerugian. 5. Petani belum dapat memaksimalkan hasil sesuai dengan potensi yang ada. Atau, terdapat kesenjangan hasil antara usahatani aktual dengan usahatani yang normatif, yaitu menggunakan hara sesuai dengan yang dibutuhkan. (Dewi, 1998). 6. Sebagian besar usahatani di Indonesia merupakan usahatani kecil, antara lain dicirikan oleh rata-rata penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha. Luas penguasaan yang sempit tersebut menyebabkan produksi pertanian kurang efisien dan agak sulit diatur untuk memenuhi kebutuhan pasar.
1.2
Tujuan Penulisan Penulisan ini ditujukan untuk mendeskripsikan keterkaitan tiga pilar
pertanian berkelanjutan (aspek ekonomi, social, dan lingkungan) dengan manajemen usahatani yang meliputi (1) Pengelolaan tanaman terpadu (ICM), (2) Pengelolaan hara terpadu (INM); (3) Pengelolaan hama terpadu (IPM), dan (4) Pengelolaan air terpadu (IMM).
II METODOLOGI Tulisan ini menggunakan data sekunder berdasarkan hasil studi pustaka dari buku referensi, hasil-hasil penelitian dalam jurnal ilmiah dan internet.
10
Selanjutnya, data sekunder dianalisis menggunakan metode deskriptif. Penulis mendeskripsikan dan memberikan penafsiran-penafsiran dengan interpretasi rasional yang memadai terhadap data atau informasi yang diperoleh dari berbagai sumber pustaka yang digunakan.
III KAJIAN PUSTAKA 3.1 Konsep Pertanian, Usahatani, dan Manajemen Usahatani Pertanian adalah suatu usaha produksi yang didasarkan atas proses biologis dari pertumbuhan tanaman atau hewan. Beberapa sifat khas pertanian adalah (1) pertanian bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya karena perbedaan iklim, kesuburan tanah, dan faktor fisik lainnya; (2) pertanian bergantung kepada keadaan cuaca dan serangan hama penyakit; (3) pertanian harus tersebar luas, karena pertumbuhan tanaman atau hewan memerlukan energi sinar matahari; (4) petani harus memiliki ketrampilan yang lebih daripada seorang buruh pabrik. Proses produksi pertanian merupakan sistem kompleks-dinamis sebagai hasil perkawinan antara subsistem fisik dan sosial dalam kerangka waktu tertentu. Petani harus selalu memutuskan
apa yang akan dihasilkan dan bagaimana
menghasilkannya. Dalam proses pengambilan keputusan petani dibatasi oleh faktor-faktor yang dapat dikendalikan (internal) maupun yang tidak dapat dikendalikan (eksternal). Petani di Indonesia umumnya merupakan petani kecil. Dilihat dari segi ekonomi, ciri yang sangat penting pada petani kecil antara lain terbatasnya sumberdaya dasar tempat petani berusahatani. Pada umumnya petani kecil hanya menguasai sebidang lahan kecil, kadang-kadang disertai dengan ketidakpastian dalam pengelolaannya. Lahannya sering tidak subur dan terpencar-pencar dalam beberapa petak. Petani mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan kesehatan yang sangat rendah (Soekartawi dkk, 1986). Usahatani (farm management) adalah cara bagaimana mengelola kegiatankegiatan pertanian. Definisi farm management menurut John L. Dillon yaitu ”proses dengan mana sumberdaya dan situasi dimanipulasi oleh keluarga tani
11
dalam mencoba, dengan informasi yang terbatas, untuk mencapai tujuantujuannya. Sedangkan menurut Bachtiar Rifai, usahatani adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja, dan modal, yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Istilah usahatani lebih tepat digunakan pada pertanian rakyat. Pada pertanian rakyat dengan sifat rumah tangga tertutup, bukan keuntungan yang menjadi tujuan utama, tetapi pemenuhan keluarga yang menjadi tujuan produksi (Soharjo dan Patong, 1973). Manajemen adalah sebuah proses yang khas, terdiri atas kegiatan perencanaan,
pengorganisasian,
menggerakkan,
dan
pengawasan
yang
dilaksanakan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditetapkan dengan bantuan manusia dan sumber-sumber daya yang lain. Manajemen dikonsepsikan sebagai daya upaya untuk mencapai hasil yang diinginkan melalui pemanfaatan yang efektif atas sumberdaya yang tersedia serta dikenal dengan konsep 6 M, yaitu Money (uang), markets (pasar), material (bahan), machinery (mesin), methods (metode), dan man (manusia). Konsep manajemen lainnya adalah manajemen sebagai sederetan fungsi. Fungsi manajemen dilukiskan sebagai 5P, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan. Dua fungsi lain yang dapat ditambahkan adalah pengkomunikasian dan pemotivasian. Fungsi-fungsi manajemen tersebut dilukiskan sebagai sebuah roda, di mana 5P merupakan jari-jari yang menghubungkan manajer dengan tujuan dan hasil yang dicari. Roda menggambarkan perlunya memandang manajemen sebagai satu kesatuan, yang masing-masing fungsinya terikat pada keterkaitan antar fungsi yang selaras dan tumpang tindih satu sama lain, masing-masing fungsi diperlukan sebagaimana jari-jari diperlukan pada sebuah roda. Motivasi sebagai pemutar atau pengatur kecepatan untuk menjalankan fungsi manajemen. Motivasi menimbulkan gerakan sehingga roda dapat bergerak maju atau mundur. Komunikasi sangat penting dalam roda manajemen, sebab tanpa komunikasi yang baik maka roda manjemen segera mulai goyang dan mendesit. Jika perhatian tidak diberikan cukup cepat maka seluruh roda tampaknya akan pecah (Downey dan Steven, 1992).
12
Manajemen usahatani pada prinsipnya adalah penerapan manajemen dalam usahatani. Berhasil tidaknya usahatani tergantung pada efektif tidaknya pemanfaatan sumberdaya usahatani oleh manajer. Agar tujuan usahatani dapat dicapai secara efektif dan efisien maka kegiatan usahatani harus diatur dengan baik. Manajemen dalam usahatani berbeda dengan manajemen dalam industri pada umumnya. Dalam usahatani, tidak dapat dibedakan secara jelas
antara
pekerjaan manajer dengan pekerja lainnya. Mengingat usahatani di Indonesia umumnya usahatani kecil maka manajer melakukan pekerjaan dalam usahatani beserta keluarganya tanpa ada spesialisasi pekerjaan. Hal ini menggambarkan terdapat peran ganda seorang manajer dalam usahatani, yaitu sebagai pemilik, sebagai manajer, sebagai pekerja dalam usahataninya. Dalam sebagian besar usahatani, fungsi manajer yang utama adalah pengambilan keputusan dalam situasi lingkungan yang tidak pasti dan penuh risiko, karena usahatani dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Hal ini mengharuskan manajer usahatani meninjau ulang keputusan-keputusannya. Kini paradigma pertanian telah diubah dari peningkatan produksi dan produktivitas menjadi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteran petani serta mewujudkan usahatani berkelanjutan perlu dilakukan: (1) Pengelolaan tanaman terpadu (ICM), (2) Pengelolaan hara terpadu (INM); (3) Pengelolaan hama terpadu (IPM), dan (4) Pengelolaan air terpadu (IMM). Implementasi kegiatan-kegiatan tersebut tetap berpegang pada tiga pilar dalam pembangunan pertanian, yaitu dimensi ekonomi, dimensi, sosial, dan dimensi lingkungan.
3.2 Konsep Pertanian Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dirumuskan pada akhir tahun 1980-an. Konsep ini sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya yang terfokus pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup. Konsep pertama dirumuskan dalam Bruntland Report yang merupakan hasil
13
kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka”. Pembangunan berkelanjutan termasuk pertanian berkelanjutan yang diterima secara luas ialah yang bertumpu pada tiga pilar yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Artinya keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet), atau pilar Triple-P seperti pada Gambar 1 (Munasinghe,1993).
Gambar 1. Triple P Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1993)
Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi ekonomi ini ialah tingkat efisiensi dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah (termasuk laba), serta stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang. Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal sosio-kebudayaan, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas. Untuk itu,
14
pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya merupakan indikatorindikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan. Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Hal ini meliputi terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis (sumberdaya genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat, kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Penekanan dilakukan pada preservasi daya lentur (resilience) dan dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan, bukan pada konservasi suatu kondisi ideal statis yang mustahil dapat diwujudkan. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk terpeliharanya stabilitas sosial-budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistem sosial yang tidak stabil atau sakit (misalnya terjadinya konflik sosial dan prevalensi kemiskinan) akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan,
sementara
ancaman kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (misalnya kelangkaan tanah dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial. Visi pembangunan (pertanian) berkelanjutan ialah terwujudnya kondisi ideal skenario kondisi zaman keemasan, yang dalam bahasa konstitusi Indonesia disebut adil dan makmur, dan mencegah terjadinya lingkaran malapetaka kemelaratan. Visi ideal tersebut diterima secara universal sehingga pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi prinsip dasar pembangunan pertanian secara global, termasuk di Indonesia. Oleh karena itulah pengembangan sistem pertanian menuju usahatani berkelanjutan merupakan salah satu misi utama pembangunan pertanian di Indonesia. Keberhasilan
pembanguan
pertanian
terletak
pada
keberlanjutan
pembangunan pertanian itu sendiri, yaitu terwujudnya sistem pertanian berdaya
15
saing, berkeadilan dan berkelanjutan guna menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pertanian. Dalam pembangunan pertanian, pertanian rakyat hendaknya dijadikan sasaran inti karena sektor ini akan dapat menjadu piranti perangkai globalisasi dengan demokratisasi ekonomi. Petanian rakyat yang kuat juga mampu menangkis krisis ekonomi (Notohadikusumo, 2006). Untuk menyusun strategi baru yang handal menuju ke intensifikasi berkelanjutan diperlukan pengenalan lengkap faktor-faktor yang menentukan atau mempengaruhi kinerja pertanian rakyat dengan menggunakan usahatani selaku satuan pantau.
Faktor-faktor
tersebut mencakup komponen-komponen lingkungan biofisik, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Usahatani
yang
mapan
diharapkan
dapat
berkelanjutan.
Dalam
pembangunan pertanian rakyat, prioritas perhatian khususnya ditujukan pada enam bidang besar, yaitu (1) menghilangkan kendala kelembagaan dalam konversi sumberdaya, (2) memajukan proses hayati tanah, (3) mengelola sifatsifat tanah, (4) memperbaiki pengelolaan sumberdaya air, (5) menyelaraskan pertanaman pada lingkungan, dan (6) memasukkan secara efektif matra sosial dan budaya penelitian. Model pembangunan pertanian rakyat berdasarkan pemapanan usahatani dan langkah-langkah pengumpulan data kunci bagi pengenalan faktor-faktor, dicantumkan dalam Gambar 2.
16
1
1
Inventarisasi tanah
1
Penyifatan agroklimat
Penetapan prilaku air 2
Tata air yang dapat dipilih 3
1
Penggabungan perilaku tanah dengan tata air yang dapat dibuat untuk mengelola lahan (reklamasi dan ameliorasi)
Inventarisasi tanaman, ternak dan ikan 1
4
Inventarisasi hama dan penyakit.
Sistem pertanaman (cropping sistem yang dapat dipilih 1
5 Fasilitas Produksi dan pemasaran yang tersedia
Sistem usahatani yang dapat dikembangkan
2 1 Inventarisasi lingkungan sosial-budaya
Agribisnis yang dapat dikembangkan
6 Pelatihan dan penyuluhan
1 Inventarisasi lingkungan ekonomi dan hukum
Keterangan: Urutan langkah: 1-2-3-4-5-6 Gambar 2. Model Pembangunan Pertanian Rakyat Berdasarkan Pemapanan Usahatani (Notohadikusumo, 2006)
17
IV PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (INTEGRATED CROPPING MANAGEMENT/ ICM) 4.1 Pengelolaan Tanaman Terpadu Pengelolaan tanaman terpadu dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti: (1) pola agro-forestri yang memadukan berbagai jenis tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan. Agro-forestri merupakan suatu sistem tata guna lahan yang permanen, di mana tanaman semusim maupun tanaman tahunan ditanam bersama atau dalam rotasi membentuk suatu tajuk yang berlapis, sehingga sangat efektif untuk melindungi tanah dari hempasan air hujan ; (2) sistem rotasi dan budidaya rumput. Sistem rotasi dimaksudkan untuk memberikan waktu bagi pematangan pupuk organik. Sistem pengelolaan budidaya rumput yang intensif dapat memberikan tempat bagi binatang ternak di luar areal pertanian pokok yang ditanami rumput. Istilah “rotasi” meliputi kegiatan dan urutan budidaya (Sudirja, 2008); (3) diversifikasi tanaman. Diversifikasi merupakan salah satu program pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian sejak Repelita VI. Diversifikasi pada sektor pertanian dapat dibedakan dalam tiga hal (Sumodiningrat (1990), yaitu (1) diversifikasi horizontal, (2) diversifikasi vertikal, dan (3) diversifikasi regional. Diversifikasi horizontal adalah diversifikasi di tingkat petani
produsen yang
diartikan sebagai penganeka-ragaman produksi dalam satu sistem usahatani dengan
tujuan
mendayagunakan
sumberdaya
petani
pendapatan tertentu dan mengurangi kegagalan panen.
untuk
memperoleh
Diversifikasi vertikal
adalah diversifikasi di tingkat perusahaan atau pengolahan produk pertanian, dengan cara mendayagunakan hasil sehingga meningkatkan mutu dan nilai tambah produk pertanian. Sedangkan diversifikasi regional adalah diversifikasi yang penganeka-ragamannya berkaitan dengan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan produk pertanian yang disesuaikan dengan iklim, agronomis, serta daya dukung masyarakat dan daerah setempat. Arah diversifikasi ini pada umumnya menggunakan prinsip keunggulan komparatif (comparative advantage), yaitu suatu daerah yang memberikan hasil paling menguntungkan.
18
Ketiga macam diversifikasi ini saling terkait satu sama lain yang terjalin dalam satu kaitan sektor baik dari sisi penawaran maupun sisi permintaan. Melalui adanya arah diversifikasi yang sesuai akan mendapatkan posisi sektor pertanian pada proporsi yang sebenarnya menuju proses pembangunan pertanian dan sekaligus pembangunan nasional yang “sustainable”, sesuai dengan kemampuan dan daya dukung daerah serta kemampuan pelaku ekonomi setempat. Oleh karena itu, diversifikasi merupakan salah satu upaya petani mengurangi risiko kegagalan panen suatu tanaman dan untuk transfer pendapatan
dari tanaman yang
memberikan keuntungan tinggi kepada tanaman yang tidak memberikan keuntungan serta untuk memperoleh keuntungan maksimum yang lestari. Menurut Dewi (1998), petani sayuran di Desa Pancasari Kabupaten Buleleng, Bali telah melakukan diversifikasi dengan bentuk pergiliran tanaman, tetapi pola yang dilaksanakan belum optimal sehingga pendapatan usahataninya belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh perilaku petani dalam menentukan pola tanam tidak rasional, sehingga belum mendukung diperolehnya pendapatan usahatani yang maksimal. Tetapi diversifikasi tetap perlu dilaksanakan untuk mengurangi risiko ketidakpastian alam dan harga produk walaupun deviasi pendapatan usahatani tidak dapat diperkecil akibat keterbatasan sumberdaya yang dikuasai petani.
Deviasi pendapatan usahatani adalah perbedaan antara
pendapatan aktual dengan pendapatan maksimal. Di samping itu, penyerapan tenaga kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan derajat diversifikasi yang direpresentasi dengan indeks keragaman komoditas (Dewi dan Artini, 2001).
4.2 Manfaat Pengelolaan Tanaman Terpadu Pengelolaan tanaman terpadu memiliki beberapa manfaat, antara lain: (1) penggunaan hara secara efisien, memungkinkan adanya keseimbangan antara hara yang ditambahkan melalui pupuk kimia ke dalam tanah dan yang lepas tersedia selama degradasi bahan organik di tanah oleh mikroorganisme; (2) aktivitas biologi tanah berkontribusi dalam menekan hama-penyakit dan
peningkatan
efisiensi pemanfaatan hara oleh tanaman untuk sistem produksi pertanian yang menguntungkan dan ramah lingkungan (Abbott and Murphy, 2003); (3) stabilitas
19
struktural ruang habitat dan suplai limbah organik dan bahan organik tanah yang cukup sebagai dasar utama untuk meningkatkan kesuburan biologi tanah; (4) areal peternakan yang diintegrasikan dengan pertanaman dan rumput akan memiliki keuntungan ganda, antara lain limbah tanaman dapat menjadi pakan ternak dan ternak dapat menghasilkan pupuk kandang yang bermanfaat bagi pertanaman; (5) pola agro-forestri memberikan keuntungan ekologi maupun ekonomi; (6) diversifikasi tanaman dapat memberikan kontribusi terhadap konservasi lahan, habitat binatang, peningkatan populasi serangga yang bermanfaat, meningkatkan pendapatan sepanjang tahun. Dengan kata lain, dalam pengelolaan tanaman terpadu, secara sosial dapat dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan, dan secara lingkungan membantu memelihara lingkungan. V PENGELOLAAN HARA TERPADU (INTEGRATED NUTRITION MANAGEMENT/ INM) Pengelolaan hara terpadu dilakukan dengan cara memadukan dan memberdayakan siklus hara, pupuk hayati (pupuk hijau), pupuk kompos (pupuk kandang), dan pupuk kimia. Pengelolaan hara tanaman dengan baik dapat meningkatkan kondisi tanah dan melindungi lingkungan tanah. Dalam bidang pertanian, tanah diartikan sebagai media tumbuhnya tanaman darat. Tanah adalah tubuh alami (natural body) yang terbentuk dan berkembang sebagai akibat bekerjanya gaya-gaya alam (natural forces) terhadap bahan-bahan alam (natural matereals) di permukaan bumi. Tanah merupakan tubuh alam yang dinamis yang terdiri atas udara (25%), air (25%), mineral (45%), dan bahan organik + jasad hidup (5%). Di samping itu, struktur tanah adalah gumpalan kecil dari butir-butir tanah (pasir, debu, dan liat). Gumpalan itu bisa berbentuk lempeng, prisma, tiang, gumpalan, granuler, dan remah. Komponen penyusun tanah adalah pasir, debu, lempung dan bahan organik maupun bahan penyemen lain akan membentuk struktur tanah. Struktur tanah merupakan habitat organisme tanah. Struktur tanah akan menentukan keberadaan oksigen dan lengas dalam tanah. Dalam hal ini akan terbentuk lingkungan mikro dalam suatu struktur tanah. Mikroba akan membentuk
20
mikrokoloni dalam struktur tanah tersebut, dengan tempat pertumbuhan yang sesuai dengan sifat mikroba dan lingkungan yang diperlukan. Dalam suatu struktur tanah dapat dijumpai berbagai mikrokoloni seperti mikroba heterotrof pengguna bahan organik maupun bakteri autotrof, dan bakteri aerob maupun anaerob. Mikroba adalah bioreaktor (mesin biologis) yang berperanan penting dalam siklus dan tranformasi berbagai senyawa/unsur dan menghasilkan berbagai produk. Pupuk adalah bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara yang diberikan ke pertanaman untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Ada dua jenis pupuk, yaitu pupuk organik dan anorganik (buatan). Dibandingkan dengan pupuk anorganik maka pupuk organik memiliki karakteristik: (1) kandungan hara relatif rendah; (2) kelarutannya lambat; (3) kandungan haranya lengkap (makro dan mikro); (4) warnanya tidak menentu, dan (5) bersumber dari sisa tanaman/tumbuhan, hewan, sampah organik rumah tangga, limbah organik pabrik, limbah peternakan, dan tanaman khusus penghasil bahan organik. Strategi pengelolaan lahan dalam sistem pertanian ekologis, antara lain: (1) menjaga keseimbangan input dan output; (2) meningkatkan dan mempertahankan kesuburan fisik tanah secara berkesinambungan melalui pemanfaatan pupuk organik/pupuk biologis secara konstan; (3) meningkatkan dan mempertahankan kesuburan
biologis
serta
mempertahankan
dominasi
mikroba
yang
menguntungkan dalam tanah/rhizosfer, (4) mengoptimalkan manajemen produksi terutama yang berkaitan dengan pergiliran tanaman sehingga daur dan pemanfaatan hara berjalan optimal; (5) mengoptimalkan pemanfaatan berbagai organisme/mikroba yang berperan dalam penyediaan hara bagi tanaman; (6) mengendalikan
organisme
pengganggu
dan
meminimalkan
beban
pada
agroekosistem; (7) mengoptimalkan peranan sumberdaya manusia sebagai dinamisator,
aktivator,
organisator,
dan
operator
dalam
pengelolaan
produksi/lahan. Budidaya tanaman dapat menggunakan input organik yang berasal limbah ternak dan tanaman yang telah mendapat sentuhan teknologi yaitu berupa pupuk dan pestisida organik.
Limbah tanaman (jerami) dengan sentuhan teknologi
21
dijadikan pakan ternak yang berkualitas. Bahan baku yang diproses menjadi input organik berasal dari lingkungan sekitar petani peternak dan dikerjakan oleh petani peternak anggota kelompok tani ternak, maka input organik yang dihasilkan harganya lebih rendah daripada harga di pasaran. Di samping itu masyarakat yang mengkonsumsi produk organik akan lebih sehat dan tenaga kerja di sektor pertanian lebih produktif. Dengan memperhatikan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari sistim pertanian konvensional yang umumnya menggunakan pestisida sintetik, adalah 'urgent' untuk meninjau kembali praktek-praktek budidaya tanaman yang telah dilakukan selama ini. Kaidah-kaidah biologi yang mendukung rantai daur ulang yang terjadi di alam antara produsen, konsumen, dan pengurai harus dijaga keberlangsungannya. Praktek-praktek dalam penyediaan unsur hara dan pengendalian hama, gulma, dan penyakit tanaman yang sinergis dengan kaidah biologi harus digalakkan dan dilibatkan secara proporsional, sehingga lingkungan tetap produktif dan menguntungkan. VI PENGELOLAAN HAMA TERPADU (Integrated Pest Management /IPM) Pengelolaan hama terpadu (PHT) adalah salah satu komponen kritis dari pertanian berkelanjutan, dan dikenal sebagai pendekatan perlindungan tanaman berdasarkan manajemen agro-ekosistem. Hal tersebut memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan dan konservasi sumber daya alam. Hal ini memiliki peran sebagai pendekatan teknis manajemen tanaman, dan sebagai pendekatan kebijakan untuk membangun ketahanan pangan dengan manajemen yang ramah. Namun, perlindungan tanaman di negara berkembang masih didominasi oleh peningkatan ketergantungan pada pestisida. PHT dikembangkan dalam menanggapi implikasi negatif dari penggunaan pestisida kimia yang intensif. Hasil tetap dijaga dalam margin ekonomi yang dapat diterima dengan menciptakan kondisi ekologi yang menekan pengembangan hama. Pengendalian
hama
terpadu
merupakan
suatu
pendekatan
untuk
mengendalikan hama yang dikombinasikan dengan metode-metode biologi, budaya, fisik, dan kimia, dalam upaya untuk meminimalkan biaya, kesehatan, dan
22
risiko-risiko lingkungan. Konsep pengendalian hama terpadu merupakan koordinasi penggunaan senyawa campuran, yaitu paket budidaya yang merupakan konsep lama tetapi mengandung upaya-upaya pencegahan (preventive controls) terhadap perkembangan organisme pengganggu, atau penggunaan pestisida (pesticide controls) secara bijaksana. Pengertian bijaksana mencakup pemilihan jenis-jenis pestisida yang mudah terurai (degradable) sesuai rekomendasi dan pengaplikasiannya harus tepat waktu dan dosis. Tepat waktu artinya penyemprotan boleh dilaksanakan apabila terlebih dahulu petani sudah melakukan pengamatan dan diketahui bahwa intensitas gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) sudah berada di atas ambang ekonomis (economic threshold). Reissig et al. (1986) menginformasikan bahwa ambang ekonomi adalah tingkat populasi hama di mana tindakan pengendalian dianjurkan untuk mencegah jumlah hama mencapai tingkat kerugian ekonomi. Upaya introduksi PHT sudah memberikan pengaruh cukup baik terhadap perilaku petani, petani mulai mengerti dan mampu bagaimana cara menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama tanaman berdasarkan konsep PHT. Cara-cara yang dapat digunakan dalam pengelolaan hama terpadu antara lain (1) penggunaan insek, reptil atau binatang-binatang yang diseleksi untuk mengendalikan hama atau musuh alami hama, seperti Tricogama sp. Sebagai musuh alami dari parasit telur dan parasit larva hama tanaman; (2) menggunakan tanaman-tanaman “penangkap” hama, yang berfungsi sebagai pemikat (atraktan), yang menjauhkan hama dari tanaman utama; (3) menggunakan drainase dan mulsa sebagai metode alami untuk menurunkan infeksi jamur, dalam upaya menurunkan kebutuhan terhadap fungisida sintetis; (4) melakukan rotasi tanaman untuk memutus populasi pertumbuhan hama setiap tahun. Konsep PHT telah menjadi salah satu slogan-slogan yang paling banyak digunakan dalam pembangunan pertanian dan konservasi lingkungan. Berbagai macam
pelaksanaannya
membuat
PHT
diperlukan untuk
meningkatkan
pemahaman tentang dampak yang benar yang dapat diharapkan. Hal ini diperluas untuk mewujudkan alasan penggunaan pestisida dan menekankan perubahan radikal dalam pest control, bertujuan untuk meminimalkan dan mencegah
23
kerugian yang disebabkan oleh hama. Gambar 3 di bawah ini menunjukkan kerangka konsep yang menunjukkan hubungan dengan manajemen tanaman, lingkungan, dan kesehatan manusia. Kerangka ini menggambarkan tentang bagaimana untuk menghasilkan tanaman dengan lingkungan yang bersih, dan dengan tidak berpengaruh negatif bagi kesehatan manusia (Novianto, 2000). Manajemen Tanaman Environment
IPM
Kesehatan manusia
Gambar 3. Kerangka Konsep PHT (Novianto, 2000) PHT juga merupakan program pengembangan sumberdaya manusia melalui mendidik petani untuk belajar bagaimana untuk mengatur diri mereka sendiri dan komunitas mereka, untuk mengumpulkan dan menganalisis data, untuk membuat keputusan mereka sendiri, dan untuk menciptakan jaringan kerja yang kuat dengan petani lain dan dengan pekerja ekstensi serta peneliti. Gambar 4 berikut menunjukkan hubungan dengan petani, penelitian, dan pekerja ekstensi, menjelaskan tentang bagaimana konsep IPM bekerja untuk petani yang didukung oleh hubungan research dan extension.
Farmers Extension
IPM
Research
Gambar 4. Pengembangan sumber daya manusia di PHT (Novianto, 2000) Dalam Gambar 4 dapat dilihat bahwa IPM perlu mendapat dukungan berupa hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian atau universitas. Keberhasilan memperluas penelitian untuk petani meningkatkan kepercayaan diri petani dan kemampuan mengambil keputusan. Di samping itu,
24
tetap
memfasilitasi penelitian untuk pengembangan teknologi yang lebih
maju. Petani aktif menjadi ahli dalam analisis agro-ekosistem dan dapat mengambil keputusan-keputusan manajemen tanaman dengan baik yang dibentuk berdasarkan pengamatan dan penilaian mereka sendiri. Petani dapat mengontrol penyakit, serangga, gulma dan hama lainnya secara efektif dengan biaya ekonomis dan dapat diterima lingkungan. Dalam kasus ini, petani memperoleh keterampilan dan menciptakan pengetahuan yang menempatkan petani dapat mengendalikan teknologi pertanian. Kontribusi PHT untuk pertanian berkelanjutan, seperti yang digambarkan oleh Gambar 5, berasal dari sudut pandang agro-ekologi, ekonom, dan sosial. Item agro-ekologi yang muncul dari proses dinamis sumber daya alam, tidak mencemari, self-renewing (terjadi pembaharuan sendiri) dan menguntungkan lingkungan. Hal itu tidak akan menurunkan sumberdaya alam dan meracuni lingkungan yang dapat mengurangi produktivitas pertanian dan akhirnya menghancurkan kehidupan manusia. Oleh karena itu, melalui pembangunan pertanian berkelanjutan, hal tersebut harus mendukung keseimbangan ekologi. Agro-ecological Principles Economic (Food Security & Economic Condition)
Sosial (Institutionalization)
IPM
Gambar 5. Sebuah Pendekatan IPM Pertanian Berkelanjutan (Novianto, 2000) Item sosial berkaitan dengan kelembagaan masyarakat pertanian, sehingga petani mendapat solusi melalui mencoba dan merespon jika ada masalah hama. Hal ini menunjukkan kemampuan untuk belajar, menemukan pilihan baru, dan memilih tanggapan yang baru dan berbeda. Sementara, item ekonomi berasal dari mengurangi ketergantungan pada input pertanian, misalnya pestisida, serta meningkatkan keuntungan dari tanaman. Selain itu, tanaman yang sehat cenderung produktif dan menguntungkan, yang akan berkontribusi pada kelangsungan hidup ekonomi petani.
25
Praktek meningkatkan
PHT
dalam
pengembangan
pertanian
berkelanjutan
sumberdaya
manusia
diperlukan
melalui
untuk
peningkatan
pendidikan pada prinsip agro-ekologi. Pengembangan PHT yang efektif membutuhan
dukungan
kebijakan
dari
pemerintah
untuk
memperkuat
pelaksanaannya, baik melalui dukungan anggaran atau peraturan. Peran PHT di sini adalah untuk memberi manfaat besar untuk pengembangan pertanian yang lebih berharga dengan pertimbangan lingkungan. Sistem usahatani konvensional/pertanian rakyat yang masih banyak terdapat di Indonesia telah terbukti pula menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pertanian itu sendiri dan juga lingkungan lainnya. Keberhasilan yang dicapai dalam sistem konvensional ini hanya bersifat sementara, karena lambat laun ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertanian itu sendiri. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk memperbaiki sistim konvensional ini dengan mengedepankan kaidah-kaidah ekosistem yang berkelanjutan. Berbagai potensi alam dari aspek penyuburan tanah sampai pengendalian hama dan penyakit belum termanfaatkan secara optimal karena tidak giatnya penelitian dan pengembangan dari sisi ini. Udara yang sebagian besar komponennya adalah gas nitrogen dan dapat difiksasi oleh sekelompok mikroba sebagai biofertilizer masih belum termanfaatkan secara optimal. Fenomena interaksi langsung tanaman-mikroba dalam bentuk nodul dan mikoriza juga potensial untuk dikembangkan sebagai aspek penyuburan. Demikian juga bahan organik dari bagian tanaman itu sendiri masih belum termanfaatkan dengan baik dalam sistim budidaya berkelanjutan. Predator, antagonist dan pesaing alami hama, penyakit dan gulma tanamanpun belum terkelola dengan optimal sehingga pencemaran senyawa pestisida masih tinggi yang di satu sisi mengancam kehidupan komponen ekosistem lain yang semestinya berperan dalam daur nutrien bagi tanaman. Tanaman sendiri menghasilkan berbagai senyawa anti hama, penyakit dan gulma namun belum termanfaatkan secara optimal. Dengan optimalisasi dan memadukan potensi alam yang ada kita dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia namun tetap dapat menghasilkan panenan yang tinggi tanpa merusak lingkungan.
26
Tentunya upaya terpadu ini harus dibarengi dengan perubahan sikap dari budaya instan ke budaya kesadaran jangka panjang. Seperti disampaikan oleh Notohadikusumo (2006), keberlanjutan dalam konteks globalisasi menuntut kekukuhan namun sekaligus kelenturan struktur dan perilaku sistem pertanian dalam menghadapi tekanan faktor-faktor eksternal. Dalam konteks demokratisasi, keberlanjutan memerlukan peran serta seluruh pelaku ekonomi dengan kedudukan sederajat dalam membuat keputusan, termasuk petani subsisten. Demokratisasi menyangkut faktor-faktor internal. Demokratisasi mengarah kepada pemandirian para pelaku ekonomi yang berkaitan dengan liberalisme politik. Dalam hal pembangunan pertanian, pertanian rakyat hendaknya dijadikan sasaran inti karena sektor ini akan dapat menjadi piranti perangkai globalisasi dengan demokratisasi ekonomi. Pertanian rakyat yang kuat juga mampu menangkis krisis ekonomi. Agar pertanian rakyat atau usahatani berkelanjutan maka pengeloaan hama harus terpadu, sehingga secara teknis harus dapat diterapkan oleh petani dengan keterampilan terbatas, secara ekonomi menguntungkan, dan tidak merusak lingkungan. VII
PENGELOLAAN AIR TERPADU (Integtrated Soil Moisture Management/ IMM) Dua indikator penting kerusakan sistem pertanian ialah penurunan mutu
tanah dan air, yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas usahatani. Penurunan mutu adalah akibat dari pengelolaan sumberdaya tanah dan air yang buruk. Air merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk menopang kelangsungan hidupnya. Selain itu air dibutuhkan untuk kelangsungan proses industri, kegiatan perikanan, pertanian dan peternakan. Apabila air tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan maupun kehancuran bagi makhluk hidup. Secara alami sumber air merupakan kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan yang mempunyai daya regenerasi mengikuti suatu daur ulang yang disebut daur hydrologi (Suryani, 1987). Air yang sangat terbatas ini pada umumnya oleh
27
manusia dipergunakan untuk kebutuhan domestik, industri, pembangkit tenaga listrik, pertanian, perikanan, rekreasi. Dalam kegiatan pertanian, misalnya penggunaan pupuk buatan dan pestisida sebenarnya merupakan ancaman yang cukup serius terhadap kualitas badan air. Bahan-bahan yang terkandung dalam pestisida buatan sulit terurai secara alami sehingga akan tetap bertahan di lingkungan dalam jangka waktu yang lama (persisten). Seperti diungkapkan oleh Sudirja (2008), konservasi dan perlindungan sumberdaya air menjadi bagian penting dalam pertanian. Banyak di antara kegiatan pertanian yang dilaksanakan tanpa memperhatikan kualitas air. Biasanya lahan basah berperan penting dalam melakukan penyaringan nutrisi (pupuk anorganik) dan pestisida. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menjaga kualitas air, antara lain: (1) mengurangi tambahan senyawa kimia sisntetis ke dalam lapisan tanah bagian atas (top soil) yang dapat mencuci hingga muka air tanah (water table); (2) menggunakan irigasi tetes (drip irrigation); (3) menggunakan jalur-jalur konservasi sepanjang tepi saluran air; (4) melakukan penanaman rumput bagi binatang ternak
untuk mencegah peningkatan racun
akibat aliran air limbah pertanian yang terdapat pada peternakan intensif. Irigasi menjadi pendukung keberhasilan pembangunan pertanian dan merupakan kebijakan Pemerintah yang sangat strategis dalam pertumbuhan perekonomian nasional guna mempertahankan produksi swasembada beras. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2006 tentang irigasi pada ketentuan umum bab I pasal 1 berbunyi irigasi adalah usaha penyediaan, pengatura, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya adalah irigasi permukaan, rawa, air bawah tanah, pompa, dan tambak. Untuk mengalirkan air sampai pada areal persawahan diperlukan jaringan irigasi, dan air irigasi diperlukan untuk mengairi persawahan, oleh sebab itu kegiatan pertanian tidak dapat terlepas dari air. Menurut Mawardi dan Memed (2004) irigasi sebagai suatu cara mengambil air dari sumbernya guna keperluan pertanian, dengan mengalirkan dan membagikan air secara teratur dalam usaha pemanfaatan air untuk mengairi tanaman.
28
Dalam meningkatkan produktivitas usahatani diperlukan intensifikasi dengan pemanfaatan sumberdaya air guna melestarikan ketahanan pangan, dan meningkatkan pendapatan petani. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya air yang dapat dilakukan adalah melalui alokasi air irigasi secara efektif dan efisien (Saptana dkk,. 2001). Menurut Dewi dan Rachmat (2003), tingkat efisiensi pengelolaan irigasi diukur dari nilai Pasokan per Area (PIA) adalah pemberian air irigasi dibagi luas lahan terairi. Pasokan Irigasi Relatif (PIR) adalah pemberian air irigasi total yang masuk dipersawahan dibagi dengan kebutuhan air irigasi untuk tanaman. Pasokan Air Relatif (PAR) adalah total pemberian air irigasi ditambah faktor kehilangan air dibagi kebutuhan air tanaman. Tingkat efisiensi diukur dari nilai Indek Luas Area (IA) yakni luas area terairi dibagi luas rancangan kali seratus persen. Semakin kecil nilai PIA, PIR, dan PAR, menunjukan pengelolaan irigasi semakin efisien, sedangkan semakin besar nilai IA, memperlihatkan pengelolaan irigasi semakin efektif. Efisiensi dan efektivitas pengunaan air irigasi sangat dipengaruhi oleh perilaku para pemangku pengelola irigasi (institusi P3A) melalui pelayanan 3 (tiga) tepat: tepat waktu, tepat jumlah, tepat kualitasnya yang dibutuhkan tanaman. Secara teknis pemberian air irigasi dan jumlah air yang harus diberikan sangat tergantung pada air yang dibutuhkan tanaman, ketersediaan air irigasi, namun kenyataan di lapangan waktu pemberian air irigasi masih dipengaruhi oleh kondisi fisik saluran irigasi dan faktor perilaku para petugas di lapangan. Sosrodarsono dan Takeda (1999) menyatakan cara pemberian air irigasi bagi tanaman-tanaman dipengaruhi oleh adanya evapotranspirasi yang berasal dari air menjadi uap, dan transpirasi yang berasal dari penguapan pada tanaman. Besarnya evapotranspirasi dipengaruhi oleh meteorologi (radiasi matahari dan suhu, kelembaban atmosfir dan angin), serta fisiologi tanaman dan unsur tanah (Asdak, 2001). Menurut Hansen dan Stringham (1992), penggunaan air pada tanah diperlukan untuk penyediaan cairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanamtanaman dengan cara menambah air ke dalam tanah yang diperlukan untuk
29
pertumbuhan tanaman, mengurangi bahaya pembekuan, mencuci dan mengurangi garam dalam tanah, dan melunakkan gumpalan tanah. Sistim pembagian air irigasi di persawahan yang baik perlu dilengkapi dengan papan operasi jaringan irigasi, pengoperasian pintu, perawatan dan pemeliharaan jaringan irigasi, yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut. (1) Pemberian air di sawah tiap tanaman perlu disesuaikan dengan kebutuhannya pada setiap tahapan pertumbuhannya, (2)
Ketersedian air dari sumbernya perlu dimonitor secara periodik setiap
setengah bulanan, (3) Pemantauan dan inventarisasi luas sawah tiap-tiap petak tersier, (4) Pengamatan kehilangan air di sepanjang saluran irigasi, (5) Realisasi jadwal tanam secara konsisten pada Musim Tanam I (MT I), Musim Tanam II (MT II) dan Musim Tanam III (MT III), (6) Jenis tanaman, umur dan luas tanaman secara pasti, (7) Kapasitas debit saluran maksimum dan minimum, (8) Ketepatan pengukuran debit pada lokasi alat ukur di saluran dengan menggunakan lengkung debit yang menggambarkan hubungan antara muka air dan debit. VIII
PENGELOLAAN RISIKO TERPADU (Integrated Risk Management /IRM)
8.1 Manajemen Risiko pada Usahatani Sifat spesifik produk pertanian mengakibatkan petani sering menghadapi risiko dan ketidakpastian, artinya probabilitas hasil-hasil potensial tidak diketahui. Oleh karena itu, risiko bisnis pada usahatani perlu dikelola dengan baik agar petani dapat meminimalkan risiko dan mengantisipasinya untuk meningkatkan efektivitas, produktivitas, dan efisiensi usahatan, atau perlu melakukan manajemen risiko. Manajemen risiko merupakan suatu usaha untuk mengetahui, menganalisa, serta mengendalikan risiko dalam setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh (Darmawi, 2000).
efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi
30
8.2 Risiko dan Ketidakpastian Ketidakpastian dari semua sumber membuat sulit seseorang mengambil keputusan yang penuh risiko. Semakin tidak pasti informasi yang tersedia untuk suatu keputusan maka keputusan menjadi semakin penuh risiko, dan semakin sulit untuk membuat pilihan yang benar. Risiko adalah kemungkinan timbulnya kerugian (chance of loss). Risiko suatu investasi dapat diartikan sebagai probabilitas tidak dicapainya keuntungan yang diharapkan, atau kemungkinan
return
tingkat
yang diterima
menyimpang dari yang diharapkan. Risiko investasi mengandung arti bahwa return di waktu yang akan datang tidak dapat diketahui, tetapi hanya dapat diharapkan.
Berikut pengertian risiko dari Darmawi (2000): (1) Risiko
merupakan penyebaran/penyimpangan hasil aktual dari hasil yang diharapkan dan (2) Risiko adalah probabilitas suatu hasil yang berbeda dengan yang diharapkan. Beberapa definisi risiko lainnya, yaitu 1. Risk is the chance of loss (Risiko kans kerugian) Chance of loss biasanya dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan di mana terdapat suatu keterbukaan (exposure) terhadap suatu kerugian atau suatu kemungkinan kerugian. 2. Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian) Istilah “possibility” berarti bahwa probabilitas suatu peristiwa berada di antara nol dan satu. 3. Risk is uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian) Definisi risiko sebagai penyimpangan hasil aktual dari hasil yang diharapkan merupakan versi lain dari definisi risk uncertainty di mana penyimpangan relative merupakan suatu pernyataan uncertainty secara statistik (Vaughan dalam Darmawi, 2000). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa risiko adalah sesuatu yang selalu dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya sesuatu yang merugikan yang tidak diduga atau tidak diinginkan. Karakteristik risiko adalah (1) risiko adalah suatu ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa dan (2) risiko adalah ketidakpastian yang bila terjadi akan menimbulkan kerugian.
31
“Kondisi yang tidak pasti” timbul karena berbagai sebab, antara lain: (1) jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu berakhir. Makin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastiannya; (2) keterbatasan tersedianya
informasi
yang
diperlukan;
(3)
keterbatasan
pengetahuan/
keterampilan/ teknik mengambil keputusan; (4) dan sebagainya (Darmawi, 2000).
8.3 Sumber Risiko Telah diketahui bahwa pertanian adalah penuh risiko. Ketika seorang petani memanen tanaman, petani tidak bisa mengetahui dengan pasti penerimaan yang akan diperoleh. Sejumlah hal bisa terjadi, antara lain: penyakit, hama atau rumput liar dapat merusak panen, baik pada musim kering/kemarau atau banjir/musim hujan, atau, pada sisi lain, musim mungkin dalam keadaan baik/kondusif. Biaya input perlu lebih diantisipasi dan harga output bisa di atas atau di bawah harapan. Risiko yang dihadapi petani dapat dibagi menjadi tiga kategori: risiko bisnis (risiko produksi dan risiko harga), risiko keuangan dan risiko kelembagaan. Pembedaan tersebut didasarkan pada perbedaan sumber ketidakpastian yang menciptakan risiko tersebut. Risiko produksi, risiko harga, risiko kelembagaan, dan risiko keuangan yang dihadapi oleh semua petani akan diuraikan lebih detail sebagai berikut. 1. Risiko Produksi Risiko produksi berasal dari ketidakpastian tentang tingkat produksi tersebut. Ketidakpastian ini mungkin dihasilkan oleh faktor di luar kendali petani tersebut. Faktor-faktor ini meliputi
cuaca, hama, ketiadaan pengalaman,
pengetahuan tentang proses produksi untuk digunakan, dan sebagainya. Suatu teknologi baru yang belum dicoba lebih berisiko untuk seorang petani dibandingkan teknologi yang sudah biasa dilakukan. Kadang-kadang teknologi yang baru lebih peka terhadap faktor tak terkendalikan. Risiko produksi mencerminkan ketidakpastian tentang hasil per hektar, tingkat pendapatan, keuntungan dan semua variabel lain yang mempengaruhi jumlah atau mutu phisik produksi. Kategori risiko ini paling sering memerlukan
32
pemikiran ketika mempertimbangkan hal-hal yang berbahaya dalam melakukan usahatani. 2. Risiko Harga Risiko harga berawal dari semua faktor yang mendorong ke arah pergeseran yang tak dapat diramalkan dalam permintaan dan persediaan input dan output. Walaupun pergeseran permintaan dirancang melalui promosi produk untuk kepentingan produsen, pada umumnya sangat sulit untuk meramalkan dengan ketepatan berapa besar suatu pergeseran akan terjadi. Contoh yang lain, yaitu sumber risiko harga adalah ketika suatu teknologi digunakan untuk meningkatkan produk kemudian tercapai peningkatan produksi dan menyebabkan persediaan produk melimpah. Hal ini biasanya mengakibatkan harga produk turun. 3. Risiko kelembagaan Tindakan pemerintah dapat
juga mempengaruhi risiko harga. Sebagai
contoh, perjanjian dagang, fiskal dan tindakan keuangan, tarif, jatah impor, dan lain-lain dapat mempunyai efek tidak langsung pada harga jual yang diterima petani dan harga beli yang harus dibayar petani. Di samping itu ada format risiko kelembagaan yang lain, yaitu undangundang tentang kewajiban pada petani bisa berubah dan tak dapat diramalkan. Sebagai contoh, peraturan pengendalian polusi mempunyai efek substansil pada kelangsungan hidup unit intensifikasi ternak secara ekonomis. 4. Risiko keuangan Risiko keuangan bersumber sebagian besar dari ketidakpastian penerimaan petani. Hal ini berhubungan erat dengan kewajiban keuangan bagi petani yang meminjam uang. Risiko ini adalah berkaitan dengan tingkat bunga tidak-pasti dan ketersediaan pinjaman tidak-pasti. Karena itu, petani harus meningkatkan ketrampilannya dalam mengelola keuangan sehingga dapat menekan risiko keuangan berdasarkan pengalaman deregulasi yang pernah dialami Indonesia. 8.4 Pengendalian Risiko Pengendalian risiko dapat dilakukan dengan dua pendekatan dasar, yaitu (1) Pengendalian risiko (risk control) dan (2) Pembiayaan/pembelanjaan risiko
33
(risk financing). Pembiayaan risiko terhadap proses produksi pertanian belum dapat dilakukan karena hingga saat ini perusahaan asuransi masih sulit dalam menghitung kemungkinan kerugian yang akan dialami usahatani di Indonesia. Pengendalian risiko yang dapat dilakukan oleh petani antara lain (1) diversifikasi (horizontal, vertikal, maupun regional), (2) Pengadaan kontrak di muka (forward contracting). Pengadaan kontrak di muka adalah proses pembuatan persetujuan antara penjual dengan pembeli dengan tujuan untuk meniadakan risiko fluktuasi harga, baik bagi produsen maupun pembeli.
8.5 Metode Penanganan Risiko dan Ketidakpastian Semakin besar variasi penerimaan yang mungkin diperoleh, semakin tinggi risiko yang mungkin terjadi. Sebaliknya, semakin rendah variasi penerimaan yang mungkin diperoleh, maka semakin rendah pula risiko yang mungkin terjadi.
Risiko dalam usul investasi dapat diukur dengan pendekatan
kuantitatif sebagai berikut. 1. Analisis statistik, dengan menghitung standar deviasi dari distribusi probabilitas cash flow. 2. Analisis sensitivitas, yaitu teknik untuk menilai dampak berbagai perubahan dalam masing-masing variabel terhadap hasil yang mungkin terjadi, misalnya akibat perubahan market size, market share, dan sebagainya. Metode lain untuk mengambil keputusan bisnis dalam keadaan tidak pasti, petani dapat menggunakan alternatif strategi seperti yang dikembangkan oleh Downey dan Steven (1992), yaitu 1. Wald – strategi maksimal-minimal (maksimin), 2. Hurwicz – strategi alfa, 3. Savage – strategi ketidakberuntungan minimal-maksimal (minimaks), atau 4. LaPlace atau Bayesian – strategi probabilitas berimbang. Misalnya, petani telah menggariskan tiga kemungkinan perluasan usahatani, yang disebut tindakan A1, A2, dan A3.
Dalam proses perencanaan, pihak
manajemen usahatani (petani) telah menetapkan target laba untuk setiap tindakan pada keadaan perekonomian yang berbeda. Keadaan perekonomian diperkirakan
34
terdiri atas masa cerah (E1), pertumbuhan yang stabil (E2), dan kemerosotan (E3). Rangkaian antara variabel keadaan perekonomian, tindakan, dan laba setiap tindakan pada masing-masing keadaan perekonomian dapat dilihat pada matrik sebagai berikut. Tabel 1. Matrik Target Laba KEADAAN PEREKONOMIAN E1 E2 A1 12 6 A2 8 10 A3 4 3 Sumber: Downey dan Steven (1992) Tindakan
E3 1 -1 7
Strategi yang dipilih tergantung pada kadar optimisme atau pesimisme dalam wawasan manajemen dan kadar konservatisme atau liberalisme dalam falsafah manajemen pada perusahaan tersebut. Langkah-langkah keempat strategi tersebut dijelaskan dengan menggunakan data pada matrik di atas. Adapun
bahasan
tentang
Strategi
Wald,
Hurwicz,
Savage,
dan
Bayesian/LaPlace, adalah sebagai berikut. 1. Wald – Strategi Maksimin. Strategi Wald sering disebut sebagai strategi keti-dakpastian yang paling pesimistik, sangat konservatif atau “risk avoider” tentang masa depan
dan
cenderung mendorong perusahaan untuk mengutamakan keterja-minan. Menurut kriteria ini, hasil terkecil untuk setiap alternatif dibandingkan, dan alternatif yang menghasilkan nilai maksimum dari hasil-hasil yang minimum yang dipilih. Langkah-langkah pengambilan keputusan adalah (a) menentukan hasil terburuk dari setiap tindakan dan (b) memilih yang terbaik dari hasil yang terburuk, seperti pada matrik di bawah ini (Tabel 2). Tabel 2. Matrik Laba dan Kemungkinan Terburuk KEADAAN PEREKONOMIAN E1 E2 A1 12 6 A2 8 10 A3 4 3 Sumber: Downey dan Steven (1992) Tindakan
E3 1 -1 7
KEMUNGKINAN TERBURUK 1 -1 3
35
Tindakan A3 akan dipilih karena memberikan hasil taruhan tertinggi, yaitu 3. 2. Hurwicz – Strategi Alfa. Kriteria yang diajukan oleh Leonard Hurwicz menunjukkan suatu kompromi antara kriteria maksimum-minimum (maksimin) dan minimummaksimum
(minimaks).
Pengambil
keputusan
biasanya
memperlihatkan
campuran antara pesimisme dan optimisme, karena pada umumnya pengambil keputusan jarang pesimistik atau optimistik secara sempurna. Langkah-langkah Strategi Alfa, adalah a. Pengambil keputusan diminta memilih koefisien optimisme berkenaan dengan laba maksimum untuk setiap tindakan dan koefisien pesimisme terkait dengan laba minimum untuk setiap tindakan. Strategi ini sangat subyektif, karena manajer yang optimistik akan mengambil tindakan sangat berbeda dengan manajer/petani yang konservatif. Misal, seorang petani menentukan koefisien optimisme adalah 0,6 dan koefisien pesimisme adalah 0,4. b. Menghitung rata-rata tertimbang dari laba tertinggi dan terendah setiap tindakan, seperti berikut. A1
= 0,6 (12) + 0,4 (1)
= 7,6
A2
= 0,6 (10) + 0,4 ( -1) = 5,4
A3
= 0,6 (7) + 0,4 ( (3) = 5,4
Tindakan A1 akan dipilih karena memberikan laba terbesar jika diukur menurut rata-rata tertimbang, yaitu 7,6.
3. Savage – Strategi Ketidakberuntungan Minimaks. Strategi Savage menetapkan kriteria “ketidakberuntungan” merupakan biaya kesempatan (opportunity cost), yaitu perbedaan absolut antara laba dari tindakan tertentu dengan laba tertinggi yang terdapat pada keadaan perekonomian tertentu. Strategi ini sangat tepat untuk pengambilan keputusan jangka panjang, dengan keadaan perekonomian yang dihadapi perusahaan dalam jangka panjang bisa berubah secara dramatis. Langkah-langkah strategi Savage adalah sebagai berikut.
36
a. Menghitung ketidakberuntungan maksimum untuk setiap tindakan pada setiap keadaan perekonomian b. Memilih tindakan yang menghasilkan ketidakberuntungan terkecil di antara yang maksimum c. Jika keadaan perekonomian E1 yang terjadi, maka tindakan A1 akan memberikan laba terbesar. Selanjutnya, pada keadaan perekonomian E2 dan E3, masing-masing akan dipilih tindakan A2 dan A3. d. Berdasarkan matrik laba dan ketidakberuntungan dari biaya kesempatan pada Tabel 3, kriteria Savage akan memilih A1 dalam upaya memini-malkan risiko bagi perusahaan. Tabel 3. Matrik Laba dan Ketidakberuntungan Maksimum
TINDAKAN
KEADAAN PEREKONOMIAN
E1 E2 E3 A1 12 6 1 A2 8 10 -1 A3 4 3 7 Sumber: Downey dan Steven (1992)
MATRIK KETIDAKBERUNTUNGAN
E1 0 4 8
E2 4 0 7
KETIDAKBERUNTUNGAN MAKSIMUM
E3 6 8 0
6 8 8
4. Bayesian atau LaPlace – Strategi Probabilitas Berimbang Strategi Bayesian mengasumsikan bahwa probabilitas dari setiap keadaan perekonomian adalah berimbang karena probabilitas peristiwa tidak diketahui. Jadi, kriteria Bayesian cenderung lebih bermanfaat untuk menghasilkan keputusan jangka panjang, karena tidak logis untuk mengandaikan probabilitas yang berimbang untuk semua keadaan perekonomian dalam jangka pendek. Langkah-langkah strategi Bayesian adalah sebagai berikut. a. Menghitung besarnya laba berdasarkan target laba pada Tabel 6.1. dengan probabilitas 0,33, yaitu E(A1)
= 0,33 (12) + 0,33(6) + 0,33 (1)
= 6,33
E(A2)
= 0,33 (8) + 0,33 (10) + 0,33 (-1)
= 5,67
E(A3)
= 0,33 (4) + 0,33 (3) + 0,33 (7)
= 4,67
37
b. Pemilihan tindakan yang optimal.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas,
tindakan A1 akan dipilih karena menghasilkan laba terbesar (6,33). Walaupun usahatani penuh risiko dan menghadapi ketidakpastian yang tinggi, petani sebagai manajer harus meningkatkan pengetahuan agar dapat mengelola risiko menjadi minimal, sehingga usahatani tetap menguntungkan, dapat dilakukan, dan tidak mencemari lingkungan. IX PENUTUP Pertanian berkelanjutan dimungkinkan dapat dicapai melalui manajemen usahatani yang baik yang meliputi (1) Pengelolaan tanaman terpadu (ICM), (2) Pengelolaan hara terpadu (INM); (3) Pengelolaan hama terpadu (IPM), dan (4) Pengelolaan air terpadu (IMM). Keempat jenis pengelolaan tersebut dilaksanakan dengan memerhatikan tiga pilar dalam pertanian berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Darmawi, H. 2000. Manajemen Risiko, PT Bumi Aksara, Jakarta. Dewi, R.K., 1998. Hubungan Antara Beberapa Faktor Sosial-Ekonomi Petani Dengan Perilaku Petani Dalam Optimasi Pola Tanam Sayuran Di Desa Pancasari, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali, Tesis. Univ. Padjadjaran, Bandung. Dewi, R.K. dan I W. Widyantara, 2010. Kemampuan Petani Plasma Dalam Mengalokasikan Biaya Pada Usahatani Nilam. Soca, ISSN 1411-7177, Vol. 10, No. 2 Juli 2010, PS Agribisnis, Fak.Pertanian Unud, Denpasar. Dewi, R.K. dan N.W.P. Artini, 2001. Hubungan antara Derajat Diversifikasi dengan Deviasi Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja (Kasus di Desa Pancasari Kabupaten Buleleng Propinsi Bali). Soca, ISSN 1411-7177 Vol. 1 No.2 Januari 2001, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fak. Pertanian Unud, Denpasar. Doberman, A. dan T.H. Fairhust, 2000. Rice: Nutrient Disorders & Nutrient Management. Handbook Series, Oxford Graphic Printers Pte Ltd.
38
FAO, 1989. Sustainable Development and Natural Resources Management. Twenty-Fifth Conference, Paper C 89/2 simp 2, food and Agriculture Organization, Rome. Firdaus, M. 2008. Manajemen Agribisnis. Bumi Aksara, Jakarta. Kasumbogo Untung.1997. Peranan Pertanian Organik Dalam Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan. Makalah yang Dibawakan Dalam Seminar Nasional Pertanian Oraganik. Munasinahe, M. 1993. Eviromental Economics and Sustainable Development. Environtment Paper No.3. The World Bank. Washington, D.C. Notohadikusumo, T. 2006. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Dalam Konteks Globalisasi dan Demokratisasi Ekonomi. Jurusan Ilmu Tanah Univ.Gadjah Mada, Yogyakarta. Novianto, A. (2000). Integrated Pest Management: A Practice of Sustainable Agriculture. Tohoku University Soeharjo, A. dan D. Patong, 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fak. Pertanian, IPB, Bogor. Soekartawi, A. Soeharjo, J.L.Dillon, dan J.B. Hardaker, 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press, Jakarta. Sudirja, 2008. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Organik. Makalah Disampaikan Pada Penyuluhan Pertanian, KKNM UNPAD Desa Sawit Kecamatan Darangdan Kecamatan Purwakarta. Sumodiningrat, G. 1990. Aspek Sosial Ekonomi Diversifikasi Sektor Pertanian Pangan”, dalam Diversifikasi Pertanian. Dalam Proses Mempercepat Laju Pembangunan Nasional. Achmad Suryana, dkk. (Ed), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Suparta, N. dan I D.N. Sudita, 2011. Wujudkan Pertanian Berkelanjutan. Suara Hati HKTI Provinsi Bali, Pustaka Nayottama, Denpasar. WCED,1987. Our Common Future: The Bruntland Report. Oxford University Press For The world Commission on Environment and Development, New York.