SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN CERDAS PERENCANAAN INDUSTRI PENGOLAHAN BATANG KELAPA SAWIT MENJADI SERBUK SAWIT UNTUK PROSES PENGEBORAN MINYAK
SKRIPSI
Oleh: MUTHIA DWIASTRI F34070133
2011 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INTELLIGENT DECISION SUPPORT SYSTEM FOR INDUSTRIAL PLANNING OF PALMTRUNK PROCESSING INTO PALM POWDER IN OIL DRILLING PROCESS Muthia Dwiastri, Yandra Arkeman, and Khaswar Syamsu Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone: +62856 920 47 661, email:
[email protected] ABSTRACT Utilization of oil palm has been limited to the fruit to produce oil and all its derivatives, as well as a certain level of utilization of fiber fruits, stems and bark to produce fiber. Trunk of a rejuvenation of old plants that have the largest mass is still untapped commercially. The establishment of an industry decision-making can use the decision support system (DSS), which will help determine the best decision. DSS is a specific concept of a computerized system that links between decision makers and user, which in detail describes the elements of the system. The system was made must be described clearly one factor that may become obstacles and alternative solutions. Genetic algorithms are techniques of global optimization search that work according to the principle of evolution and the genetics of the biological mechanisms, such as crossings, mutations, and others. Genetic algorithms are widely used for solving complex optimization problems that can not be solved with conventional optimization techniques. Critical factors in palmpowder industries were the availability of raw materials or the mass of palm trunk, the balance of energy produced versus the energy required, the determination of industrial location, and scheduling the cutting plant and investment feasibility. The developed industrial planning decision support system, more efficient in program code usage and easy to develop. Keywords: Industrial Planning, Intelligent Decision Support System, Palmpowder.
Muthia Dwiastri F34070133. Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit untuk Pengeboran Minyak. Di bawah bimbingan Yandra Arkeman dan Khaswar Syamsu. 2011.
RINGKASAN Pemanfaatan kelapa sawit selama ini hanya terbatas pada buah untuk memproduksi minyak beserta segala turunannya, serta sampai pada tingkat tertentu pemanfaatan serat buah, tandan dan pelepah untuk memproduksi serat. Bagian batang hasil peremajaan tanaman tua yang mempunyai massa terbesar masih belum dimanfaatkan secara komersil. Dari sekitar 2 juta hektar tanaman kelapa sawit di indonesia pada tahun 1997, diperkirakan potensi produksi batang kelapa sawit terbesar adalah Sumatera Utara dan Riau dengan volume sekitar 5 juta m3/tahun. Melihat besarnya potensi batang kelapa sawit yang dihasilkan serta minimnya industri pemanfaatan batang kelapa sawit menjadi produk yang bernilai tambah, pendirian industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi loss circulation material (LCM) serbuk sawit sebagai bahan additive di dalam lumpur pengeboran sangatlah berpotensi untuk didirikan. Pengambilan keputusan pendirian suatu industri dapat menggunakan suatu sistem penunjang keputusan (SPK), yang akan membantu menentukan keputusan terbaik. SPK merupakan suatu konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemakainya, yang secara rinci memaparkan elemen-elemen sistem. Pemaparan yang semakin detail dapat semakin baik menunjang proses pengambilan keputusan. Sistem yang dibuat harus dapat menggambarkan dengan jelas faktor yang mungkin menjadi penghambat dan alternatif penyelesaiannya. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis tekno ekonomi dan menghasilkan sistem yang dapat memberikan keputusan terbaik bagi investor di industri pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan sistem yang terdiri dari model pemilihan lokasi alternatif, model forecasting, model optimasi untuk menyelesaikan masalah penjadwalan penebangan pohon kelapa sawit, model teknis dan teknologis serta model finansial dalam menentukan kelayakan suatu industri. Algoritma genetika merupakan teknik pencarian dan optimasi global yang bekerja berdasarkan prinsip evolusi dan mekanisme biologi genetika, seperti penyilangan, mutasi dan lainnya. Algoritma genetika banyak digunakan untuk memecahkan masalah optimasi yang rumit dan tidak dapat dipecahkan dengan teknik optimasi konvensional. Clustering adalah klasifikasi objek serupa ke dalam beberapa kelompok. Lebih tepatnya, partisi dari kumpulan data ke subset (cluster). Metode clustering yang digunakan dalam penelitian ini adalah clustering dengan metode K-Means. Metode K-Means dapat mengklasifikasikan data sesuai dengan kesamaan antar data dengan perhitungan jarak perbedaan menggunakan rumus Euclidean. Metode algoritma genetika dan clustering digunakan dalam model penjadwalan penebangan batang kelapa sawit. Algoritma genetika digunakan dalam menyelasaikan total salesperson problem (TSP) untuk mencari jarak tempuh terpendek yang akan dilalui penebang dalam melakukan proses re-planting. Jarak tempuh terpendek yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar 633 km. Setelah jarak tempuh terpendek didapat, dilakukan analisis pengelompokkan data blok kebun dengan metode clustering guna mendapatkan blok-blok kebun yang nantinya akan di tebang pertama kali. Digunakan 150 contoh random data perkebunan dengan tiga atribut yang berupa usia pohon, produktivitas pohon dan infeksi terhadap penyakit. Dari proses tersebut didapat bahwa klaster 1 merupakan klaster blok kebun yang akan ditebang pertama kalinya.
Target pemasaran produk loss ciruculation material (LCM) serbuk sawit ini lebih ditujukan pada perusahaan- perusahaan pengeboran minyak dan perusahaan penyedia lumpur pengeboran baik dalam negeri maupun luar negeri dengan kemasan berupa kemasan berbahan dasar plastik dengan bobot tertentu . Penjualan produk secara langsung ke konsumen dan produk disalurkan melalui distributor pada wilayah tertentu. Kapasitas industri LCM serbuk sawit ini adalah 512 kg per hari. Penentuan kapasitas ini berdasarkan jumlah bahan baku yang dihasilkan oleh kebun. Industri LCM serbuk sawit ini direncanakan didirikan di Rokan Hulu, Riau dengan seleksi kriteria-kriteria yang berhubungan dengan menggunakan metode perbandingan eksponensial. Industri ini dijalankan oleh 25 orang tenaga kerja dengan deskripsi kerja masingmasing dengan luas pabrik sekitar 658 m2. Industri LCM serbuk sawit ini menghasilkan limbah padat yang dapat diolah menjadi produk samping. Besarnya investasi yang diperlukan untuk pendirian industri LCM serbuk sawit ini adalah sebesar Rp 559,298,250 dengan umur proyek 10 tahun, yang terdiri dari nilai NPV Rp. 723,717,481, IRR sebesar 30%, nett B/C sebesar 2.19 dan PBP selama 3.8 tahun sehingga industri LCM serbuk sawit ini dinyatakan layak untuk didirikan ditinjau dari analisis kriteria kelayakan yang berupa nilai NPV lebih dari nol, IRR lebih dari sama dengan discount factor dan PBP kurang dari umur proyek.
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN CERDAS PERENCANAAN INDUSTRI PENGOLAHAN BATANG KELAPA SAWIT MENJADI SERBUK SAWIT UNTUK PROSES PENGEBORAN MINYAK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : MUTHIA DWIASTRI F34070133
2011 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit Untuk Proses Pengeboran Minyak Nama : Muthia Dwiastri NRP : F34070133
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Yandra Arkeman, M. Eng NIP. 19650914 199002 1 001
Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.St. NIP. 19630817 198803 1 003
Mengetahui : Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 09 Agustus 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit Untuk Proses Pengeboran Minyak adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Muthia Dwiastri F34070133
©Hak cipta milik Muthia Dwiastri, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS Muthia Dwiastri dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 November 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Harry Muhammad Nadir dan Lena Puspita. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Islam Asyafi’iyah 02 pada tahun 2001, dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP PUTRA 1 pada tahun 2004. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 8 Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Perusahaan. Selama masa kuliah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengawasan Mutu (2010) dan asisten responsi mata kuliah Analisis Sistem Penunjang Keputusan (2011). Penulis melaksanakan praktek lapangan pada tahun 2010 di PT. Bakrie Sumatera Plantation, Kisaran, Sumatera Utara dengan mempelajari aspek Supply Chain Management Agroindustri Karet. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Sistem Penunjang Keputusan Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit Untuk Proses Pengeboran Minyak” untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di bawah bimbingan Dr. Ir. Yandra Arkeman, M. Eng dan Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.St.
KATA PENGANTAR Segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga skripsi ini bisa diselesaikan. Penelitian dengan judul “Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit Untuk Proses Pengeboran Minyak” dilaksanakan di laboratorium komputer Teknologi Industri Pertanian sejak bulan Februari sampai Juli 2011. Pada kesempatan ini, penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih atas dukungan, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini sampai terselesaikan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng sebagai Dosen Pembimbing Pertama atas segenap bimbingan yang telah diberikan, 2. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.St sebagai Dosen Pembimbing Kedua atas segenap bimbingannya yang telah diberikan, 3. Dr. Eng. Taufik Djatna,S.TP, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Ketiga atas segenap ilmu, bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis, 4. Kedua orang tua penulis Bapak Harry Muhammad Nadir dan Ibu Lena Puspita, Kakek penulis Bapak Sama’an Syamsudin serta kedua saudara kandung penulis, kakak Rahma Nadia Zahra dan adik Rifqi Muhammad Fauzi atas dukungan dan doanya yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, 5. Sahabat sebimbingan Agita, Icha, Zafira, 6. Sahabat-sahabat penulis Vidya, Fadillah Rizky, Nurzakiyah, Ayuningtyas, Novina, Agung, Triyoda, Iqbal bibir, Desti, Eva, Muthi, Anita, Amanda, Niken, Amalia, Nova, Andri Fauzan, Arya, Fahri, Faiz , Arifyandi, Nanda Rahardiansyah, Hergha, Iqbal a.w, Iza, Pandudamai, Dimas gusti randa, Astrid yeyen, Fajrin, Fitri, Rezia, Detylia, Resti, Astrid widya, Nina, Amel, Utami, Kak Kiki, Ginan, 7. Pak Nandra, Pak Fredy, Kak sai, Kak Ago, Mas hendro, Kak iwan, Mas teguh atas segala arahan dan bimbingannya, 8. Teman-teman TIN 44 yang telah memberi semangat kepada penulis, 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, tetapi penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat serta menambah pengetahuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.
Bogor, Agustus 2011 Penulis
Muthia Dwiastri
DAFTAR ISI
HALAMAN KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ...... i DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ..... ii DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... ..... v DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ .... vi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ .. viii I.
II.
III.
PENDAHULUAN .................................................................................................... ..... 1 A. Latar Belakang ................................................................................................. ..... 1 B. Tujuan ............................................................................................................... ..... 2 C. Ruang Lingkup ................................................................................................. ..... 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... ..... 4 A. Sistem Penunjang Keputusan ......................................................................... ..... 4 B. Sistem Penunjang Keputusan Cerdas ............................................................ ..... 6 C. Algoritma Genetika .......................................................................................... ..... 7 1. Aplikasi Algoritma Genetika ..................................................................... ..... 7 2. Prinsip Kerja Algoritma Genetika ............................................................. ..... 8 3. Prosedur Algoritma Genetika .................................................................... ... 11 4. Schemata Theory dan The Building Block Hypothesis .................................. 11 5. Perbandingan Algoritma Genetika dengan Teknik Pencarian dan Optimasi Konvensional. ................................................................................................ 13 6. Profil Algoritma Genetika Sebagai Metode Optimasi ................................... 13 D. Batang Kelapa Sawit ........................................................................................ ... 15 E. Serbuk Sawit sebagai Bahan Aditif didalam Lumpur Pengeboran ................. 17 1. Fungsi Utama Lumpur Pengeboran ............................................................... 17 2. Jenis Lumpur Pengeboran .............................................................................. 19 3. Komposisi Lumpur Pengeboran .................................................................... 21 F. Perencanaan Industri ........................................................................................... 23 1. Aspek Pasar dan Pemasaran .......................................................................... 24 2. Aspek Teknis dan Teknologis ........................................................................ 24 3. Aspek Manajemen dan Organisasi ................................................................ 27 4. Aspek Finansial ............................................................................................. 27 5. Aspek Legalitas ............................................................................................. 28 6. Aspek Lingkungan ......................................................................................... 29 METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................. 30 A. Kerangka Pemikiran ............................................................................................ 30 B. Pendekatan Masalah ............................................................................................ 31 C. Metode Pengolahan Data ..................................................................................... 32 1. Metode Perbandingan Eksponensial dalam Pemilihan Lokasi ...................... 32 2. Metode Prakiraan Bahan Baku ...................................................................... 33 3. Metode Perhitungan Analisis Finansial ......................................................... 34 4. Metode Analisis Pasar dan Pemasaran .......................................................... 37 5. Metode Analisis Teknis dan Teknologis ........................................................ 37 6. Metode Analisis Manajemen ......................................................................... 39
IV.
V.
7. Metode Analisis Lingkungan dan Legalitas ................................................... 40 8. Metode Penjadwalan Penebangan .................................................................. 40 D. Pengembangan Sistem Berorientasi Objek ........................................................ 43 E. Tahapan Pendekatan Sistem ............................................................................... 44 1. Analisis Kebutuhan ..................................................................................... 45 2. Formulasi Masalah ...................................................................................... 46 3. Identifikasi Sistem ...................................................................................... 46 4. Implementasi Sistem ................................................................................... 47 5. Verifikasi Sistem ......................................................................................... 48 ANALISIS SISTEM .................................................................................................... 49 A. Deskripsi Sistem ................................................................................................... 49 B. Konfigurasi Sistem ............................................................................................... 49 1. Sistem Pengolahan Terpusat .......................................................................... 49 2. Sistem Manajemen Dialog ............................................................................. 49 3. Sistem Manajemen Basis Data ...................................................................... 49 C. Analisis Kebutuhan Informasi Pengguna .......................................................... 49 D. Hubungan Antar Pelaku ...................................................................................... 50 E. Kebutuhan Fungsional Sistem ............................................................................ 51 1. Kebutuhan Perangkat Lunak dan Perangkat Keras ..................................... 51 2. Kebutuhan Tenaga ...................................................................................... 51 3. Pemeliharaan Sistem ................................................................................... 52 PERENCANAAN INDUSTRI .................................................................................... 53 A. Analisis Pasar dan Pemasaran ............................................................................ 53 1. Potensi Pasar .................................................................................................. 53 2. Strategi Pemasaran ......................................................................................... 54 B. Analisis Teknis dan Teknologis ........................................................................... 58 1. Spesifikasi Bahan Baku ................................................................................. 58 2. Ketersediaan dan Prakiraan Bahan Baku ....................................................... 59 3. Kapasitas Produksi ......................................................................................... 61 4. Proses Produksi .............................................................................................. 62 5. Penentuan Lokasi Pabrik ............................................................................... 67 6. Desain Tata Letak dan Kebutuhan Ruang Pabrik .......................................... 68 C. Aspek Manajemen dan Organisasi ..................................................................... 74 1. Kebutuhan Tenaga Kerja ............................................................................... 74 2. Struktur Organisasi ........................................................................................ 76 3. Deskripsi Pekerjaan ....................................................................................... 77 D. Aspek Lingkungan dan Legalitas ....................................................................... 78 1. Lingkungan .................................................................................................... 78 2. Legalitas ......................................................................................................... 79 E. Analisis Finansial ................................................................................................. 81 1. Asumsi Perhitungan Finansial ....................................................................... 81 2. Sumber Dana dan Struktur Pembiayaan ........................................................ 82 3. Biaya Investasi ............................................................................................... 83 4. Harga dan Prakiraan Penerimaan ................................................................... 83 5. Proyeksi Laba Rugi ........................................................................................ 84 6. Proyeksi Arus Kas ......................................................................................... 84
7. 8. 9. VI.
VII.
Titik Impas (Break Event Point) .................................................................... 85 Kriteria Kelayakan Investasi .......................................................................... 85 Analisis Kepekaan/Sensitivitas ...................................................................... 86
IMPELEMENTASI SISTEM .................................................................................... 88 A. Tampilan Paket Program .................................................................................... 88 1. Halaman Menu Utama ........................................................................................... 88 2. Halaman Informasi Produk dan Jasa ..................................................................... 89 3. Halaman Informasi Lingkungan ............................................................................. 90 4. Halaman Informasi Instruksi Penggunaan Sistem .................................................. 90 B. Verifikasi Sistem .................................................................................................. 90 1. Model Pemilihan Lokasi ........................................................................................ 90 2. Model Prakiraan Bahan Baku ................................................................................ 93 3. Model Teknis dan Teknologis ................................................................................ 93 4. Model Penjadwalan Penebangan ............................................................................ 94 5. Model Kelayakan Industri ..................................................................................... 102 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 106 A. Kesimpulan ......................................................................................................... 106 B. Saran ................................................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 108 LAMPIRAN ................................................................................................................................ 112
DAFTAR TABEL Tabel 1. Nilai fitness masing-masing kromosom ............................................................................. 9 Tabel 2. Ukuran slot masing-masing kromosom .............................................................................. 9 Tabel 3. Hasil penyilangan kromosom ........................................................................................... 10 Tabel 4. Contoh dan spesifikasi lost circulation material .............................................................. 23 Tabel 5. Komponen-komponen batang kelapa sawit ...................................................................... 58 Tabel 6. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Riau ................................................................. 60 Tabel 7. Hasil prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit (2010-2019) .................................... 60 Tabel 8. Spesifikasi Hammer Mills secara umum .......................................................................... 63 Tabel 9. Spesifikasi pompa yang digunakan pada proses produksi LCM serbuk sawit ................. 64 Tabel 10. Kebutuhan energi listrik pada mesin dan peralatan yang digunakan oleh industri LCM serbuk sawit .................................................................................................................................... 66 Tabel 11. Jumlah perkebunan kelapa sawit 4 provinsi terbesar di Indonesia ................................. 68 Tabel 12. Hasil perhitungan lokasi potensial pendirian industri LCM serbuk sawit ...................... 68 Tabel 13. Nilai Total Closeness Rating (TCR) .............................................................................. 72 Tabel 14. Kebutuhan ruang produksi ............................................................................................. 73 Tabel 15. Kebutuhan luasan ruang pabrik industri LCM serbuk sawit .......................................... 73 Tabel 16. Penentuan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada setiap pekerjaan ....................... 75 Tabel 17. Kebutuhan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan pada industri LCM serbuk sawit ............................................................................................................................................... 76 Tabel 18. Struktur pembiayaan industri LCM serbuk sawit ........................................................... 82 Tabel 19. Komposisi modal kerja ................................................................................................... 83 Tabel 20. Biaya investasi industri LCM serbuk sawit .................................................................... 83 Tabel 21. Penilaian kriteria investasi ............................................................................................. 86 Tabel 22. Analisis sensitivitas terhadap penurunan kapasitas dan harga jual ................................ 87 Tabel 23. Jarak antar lokasi pabrik dan lokasi tebang .................................................................... 96
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Taksonomi sistem informasi manajemen ....................................................................... 4 Gambar 2. Struktur Sistem penunjang keputusan ............................................................................ 5 Gambar 3. Tahapan untuk meningkatkan Intelligence Density ........................................................ 6 Gambar 4. Roda rolet dengan ukuran slot yang masing-masing mewakili peluang terpilihnya kromosom ....................................................................................................................................... 10 Gambar 5. Batang kelapa sawit ...................................................................................................... 16 Gambar 6. Contoh lumpur pengeboran dalam kemasan ................................................................. 17 Gambar 7. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ................................................................ 31 Gambar 8. Diagram alir proses analisis pasar dan pemasaran ........................................................ 37 Gambar 9. Diagram alir proses analisis teknis dan teknologis ....................................................... 38 Gambar 10. Diagram alir proses analisis manajemen .................................................................... 40 Gambar 11. Diagram alir proses analisis K-means cluster ............................................................. 41 Gambar 12. Diagram algoritma sederhana dalam mencari fungsi optimum .................................. 43 Gambar 13. Rencana struktur sistem penunjang keputusan ........................................................... 44 Gambar 14. Metodologi pemecahan masalah dengan pendekatan sistem ...................................... 45 Gambar 15. Diagram input output serbuk sawit ............................................................................. 47 Gambar 16. Diagram hubungan antar pelaku ................................................................................. 50 Gambar 17. Produk dan kemasan LCM serbuk sawit .................................................................... 56 Gambar 18. Diagram alir proses pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit .............. 59 Gambar 19. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit provinsi Riau ........................... 61 Gambar 20. Hammer Mills dengan modifikasi pipa ....................................................................... 63 Gambar 21. Oven pengering .......................................................................................................... 63 Gambar 22. Pompa yang digunakan pada proses produksi LCM serbuk sawit .............................. 64 Gambar 23. Generator Set ............................................................................................................. 64 Gambar 24. Neraca massa proses pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit ............ 66 Gambar 25. Pola aliran bahan dalam ruang produksi LCM serbuk sawit ...................................... 70 Gambar 26. Diagram keterkaitan antar aktivitas ............................................................................ 71 Gambar 27. Keterkaitan ruang ....................................................................................................... 72 Gambar 28. Layout pabrik LCM serbuk sawit ............................................................................... 74 Gambar 29. Struktur organisasi industri LCM serbuk sawit .......................................................... 77 Gambar 30. Tampilan utama SPKPalmpowder 1.0 ........................................................................ 89 Gambar 31. Tampilan halaman informasi produk dan jasa ............................................................. 89 Gambar 32. Tampilan halaman informasi lingkungan ................................................................... 90 Gambar 33. Tampilan halaman informasi petunjuk penggunaan sistem ........................................ 90 Gambar 34. Tampilan halaman model pemilihan lokasi ................................................................ 92 Gambar 35. Tampilan halaman model prakiraan bahan baku ........................................................ 93 Gambar 36. Tampilan halaman model teknis dan teknologis ......................................................... 94 Gambar 37. Graf rute penebangan ................................................................................................. 96 Gambar 38. Grafik tute terpendek hasil perhitungan dengan MATLAB ..................................... 100 Gambar 39. Hasil penyelesaian TSP dengan algoritma genetika ................................................. 101 Gambar 40. Hasil penyelesaian clustering k-means dalam penjadwalan penebangan ................. 102 Gambar 41. Tampilan halaman model penjadwalan penebangan ................................................ 102 Gambar 42. Tampilan halaman asumsi pada model kelayakan finansial ..................................... 103 Gambar 43. Tampilan halaman biaya investasi ............................................................................ 103
Gambar 44. Tampilan halaman biaya tetap .................................................................................. 104 Gambar 45. Tampilan halaman biaya variabel ............................................................................. 104 Gambar 46. Tampilan halaman kelayakan industri dalam program SPKPalmpowder 1.0 ........... 105
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Data flow diagram SPKPalmpowder 1.0 ................................................................. 113 Lampiran 2. Conceptual dan physical data model SPKPalmpowder 1.0 ..................................... 115 Lampiran 3. Luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 2009 ..................................................... 117 Lampiran 4. Luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 1995-2009 ............................................. 118 Lampiran 5. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit ............................................... 119 Lampiran 6. Contoh kuisioner pemilihan lokasi potensial pendirian industri LCM serbuk sawit 121 Lampiran 7. Tabel asumsi untuk analisis finansial industri LCM serbuk sawit ........................... 126 Lampiran 8. Struktur pembiayaan bunga terhadap bank .............................................................. 127 Lampiran 9. Perincian biaya investasi .......................................................................................... 128 Lampiran 10. Tabel depresiasi dan modal kerja ........................................................................... 129 Lampiran 11. Tabel total penjualan LCM serbuk sawit ............................................................... 130 Lampiran 12. Rincian biaya operasional ...................................................................................... 131 Lampiran 13. Perhitungan total biaya operasi pabrik ................................................................... 132 Lampiran 14. Proyeksi laba rugi .................................................................................................. 133 Lampiran 15. Proyeksi Arus kas .................................................................................................. 134 Lampiran 16. Proyeksi kelayakan investasi ................................................................................. 135 Lampiran 17. Analisis sensitivitas I pengurangan kapasitas produksi ......................................... 136 Lampiran 18. Analisis sensitivitas II penurunan harga jual 20.7 persen ...................................... 140 Lampiran 19. Analisis sensitivitas III penurunan harga jual 20.8 persen ..................................... 141 Lampiran 20. Analisis sensitivitas IV penurunan harga jual 10 persen ........................................ 142 Lampiran 21. Halaman informasi petunjuk penggunaan sistem .................................................. 143 Lampiran 22. Tampilan halaman isi model teknis teknologis ...................................................... 144 Lampiran 23. Contoh 150 data random kondisi kebun kelapa sawit ............................................ 148 Lampiran 24. Hasil clustering 150 data kondisi perkebunan kelapa sawit .................................. 152
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Melihat perkembangan harga minyak sawit dipasaran internasional cenderung membaik, industri minyak sawit akan menjadi andalan devisa di masa depan. Untuk dapat bersaing dipasar global, perkembangan dan persyaratan perdagangan internasional perlu di antisipasi. Industri kelapa sawit nasional mengalami perkembangan menggembirakan. Terbukti selama tahun 19852005, pertambahan kebun kelapa sawit mencapai lima juta hektar per tahun atau meningkat 837 persen, dan hal itupun dibuktikan juga oleh kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional yang mencapai enam persen, komoditas ini juga nomor satu dari produksi Indonesia. Selama tahun 2005, minyak sawit telah menjadi minyak makan terbesar didunia. Pasokan crude palm oil (CPO) untuk produksi dalam negri juga meningkat menjadi 12,8 juta ton pada tahun 2005, bila dibandingkan dengan 12,5 juta ton pada tahun 2004. Pada tahun 2010, perkebunan kelapa sawit dapat menyerap hingga 500 ribu tenaga kerja dan menghasilkan 2,7 juta TBS (tandan buah segar) per tahun dan diperkirakan akan menjadi produsen minyak sawit terbesar didunia (Ditjenbun, 2006). Namun seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dampak positif dari perkembangan seperti sektor agroindustri umumnya dan perkebunan kelapa sawit khususnya, juga diikuti oleh dampak negatif terhadap lingkungan akibat dihasilkannya limbah cair, padat dan gas dari kegiatan kebun dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Untuk itu tindakan pencegahan dan penanggulangan dampak negatif dari kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit dan PKS harus dilakukan dan sekaligus meningkatkan dampak positifnya. Tindakan tersebut tidak cukup dengan mengandalkan peraturan perundang-undangan saja tetapi perlu juga didukung oleh pengaturan sendiri secara sukarela dan pendekatan instrumen-instrumen ekonomi. Pengaturan ini dikenal sebagai mixed policy tools. Kenyataan menunjukkan bahwa sejak masalah lingkungan hidup mulai diangkat kepermukaan, Indonesia memiliki berbagai macam program yang berkaitan dengan lingkungan yang tidak mencapai sasaran secara optimal. Hal ini disebabkan antara lain oleh pendekatannya yang bersifat “pemaksaan” melalui berbagai peraturan perundang-undangan dengan berbagai ancaman sanksi. Belajar dari hal tersebut, dewasa ini telah terjadi perkembangan pemikiran dimana limbah yang sebelumnya dikategorikan sebagai produk samping yang menimbulkan masalah dan selayaknya harus ditanggulangi (end-of-pipe), saat ini dianggap sebagai indikator tidak efisiennya proses produksi. Pemikiran inilah yang mendorong perubahan strategi penanganan limbah Ketergantungan proses produksi terhadap bahan baku impor dapat menghambat kontinuitas produksi suatu kegiatan usaha. Oleh sebab itu perlu ditemukan terobosan-terobosan untuk meningkatkan nilai tambah material yang tidak termanfaatkan, sehingga dapat menjadi bahan baku bagi industri lain dan mendorong industri untuk menggunakan bahan baku yang berasal dari kandungan lokal. Pemanfaatan kelapa sawit selama ini hanya terbatas pada buah untuk memproduksi minyak beserta segala turunannya, serta sampai pada tingkat tertentu pemanfaatan serat buah, tandan dan pelepah untuk memproduksi serat. Bagian batang hasil peremajaan tanaman tua yang mempunyai massa terbesar masih belum dimanfaatkan secara komersil. Dari sekitar dua juta hektar tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1997, diperkirakan potensi produksi batang kelapa sawit terbesar adalah Sumatera Utara dan Riau dengan volume sekitar lima juta m 3/tahun. Secara umum potensi batang kelapa sawit di indonesia terkonsentrasi di pulau Sumatera dengan
volume lebih dari 17 juta m3/tahun atau sekitar 74% dari potensi batang kelapa sawit nasional (Balfas, 2003). Melihat besarnya potensi batang kelapa sawit yang dihasilkan serta minimnya industri pemanfaatan batang kelapa sawit menjadi produk yang bernilai tambah, pendirian industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit sebagai bahan aditif di dalam lumpur pengeboran sangatlah potensial untuk didirikan. Pengambilan keputusan pendirian suatu industri dapat menggunakan suatu sistem penunjang keputusan (SPK), yang akan membantu menentukan keputusan terbaik. SPK merupakan suatu konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemaikainya, yang secara rinci memaparkan elemen-elemen sistem. Pemaparan yang semakin detil dapat semakin baik menunjang proses pengambilan keputusan (Eriyatno, 1999). Sistem yang dibuat harus dapat menggambarkan dengan jelas faktor yang mungkin menjadi penghambat dan alternatif penyelesaiannya. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan keputusan terbaik bagi investor di industri pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan sistem yang terdiri dari model pemilihan lokasi alternatif, model forecasting, model optimasi untuk menyelesaikan masalah penjadwalan penebangan pohon kelapa sawit, model teknis dan teknologis serta model finansial dalam menentukan kelayakan suatu industri. Algoritma genetika merupakan teknik pencarian dan optimasi global yang bekerja berdasarkan prinsip evolusi dan mekanisme biologi genetika, seperti penyilangan, mutasi dan lainnya. Algoritma genetika banyak digunakan untuk memecahkan masalah optimasi yang rumit dan tidak dapat dipecahkan dengan teknik optimasi konvensional B. Tujuan Penelitian ini secara khusus pada pengembangan sistem penunjang keputusan cerdas untuk perencanaan industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit untuk menunjang proses pengambilan keputusan yang terkait dengan perusahaan pengeboran minyak itu sendiri. Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Menganalisa teknoekonomi pendirian industri serbuk sawit dari aspek pasar dan pemasaran, aspek teknik dan teknologis, aspek manajemen, aspek legalitas, aspek lingkungan, serta analisis finansial dan analisis sensitivitas. Kemungkinan hasil studi yang diperoleh dapat menyatakan bahwa industri serbuk sawit tersebut layak atau tidak layak. Jika layak maka pendirian industri serbuk sawit ini dapat direalisasikan, sedangkan jika tidak layak maka industri tersebut tidak dapat direalisasika 2. Merancang, mengembangkan dan menghasilkan model sistem penunjang keputusan untuk perencanaan industri serbuk sawit sehingga para pelaku bisnis atau investor dapat mengetahui gambaran mengenai peluang dan prospek industri tersebut serta dapat mengambil keputusan secara sistematis. 3. Mengaplikasikan algoritma genetik dan k-means clustering sebagai bagian dari sistem penunjang keputusan cerdas untuk perencanaan industri pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit C. Ruang lingkup Ruang lingkup perancangan sistem penunjang keputusan untuk perencanaan industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit yaitu: 1. Analisis tekno ekonomi pendirian industri serbuk sawit 2. Analisis penentuan lokasi potensial bagi pendirian industri serbuk sawit
3. 4. 5. 6.
Analisis prakiraan jumlah bahan baku yang dapat digunakan Analisis aspek teknis dan teknologis industri serbuk sawit Analisis penjadwalan penebangan Analisis kelayakan investasi industri serbuk sawit dengan memperhatikan aspek finansial
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Penunjang Keputusan Sistem penunjang keputusan adalah konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi dengan para pengambil keputusan sebagai penggunanya (Eriyatno, 1996). Menurut Keen dan Morton (1978), sistem penunjang keputusan adalah suatu sistem berbasis komputerinteraktif yang memudahkan pemecahan masalah dari problem-problem keputusan yang semiterstruktur dan tidak terstruktur. Sedangkan menurut Dhar dan Stein (1997), sistem penunjang keputusan merupakan bagian dari sistem informasi manajemen dan digunakan sebagai bagian dari sebuah proses dimana di dalamnya manusia melakukan kegiatan pengambilan keputusan yang dilakukan secara berulang. Dhar dan Stein (1997) membuat taksonomi dari sistem informasi manajemen sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1. Taksonomi tersebut membagi sistem informasi manajemen secara umum menjadi pemroses transaksi dan sistem penunjang keputusan. Sistem Informasi Manajemen
Pemroses Transaksi
Sistem Penunjang Keputusan (SPK)
Model - Driven Decision
Data - Driven Decision
Support System
Support System
Gambar 1. Taksonomi sistem informasi manajemen Sebuah sistem penunjang keputusan pada umumnya digunakan untuk mendukung keputusan-keputusan yang memiliki pengaruh jangka panjang dan membutuhkan pembenaran dari manusia. Pembenaran dari manusia diperlukan ketika suatu masalah menjadi sangat tidak terstruktur bagi model sistem penunjang keputusan untuk menangkap perbedaan kecil dalam situasi pengambilan keputusan (Dhar dan Stein, 1997). Menurut Keen dan Morton (1978), aplikasi sistem penunjang keputusan akan berguna apabila: 1. Dibutuhkan efisiensi waktu dalam pengolahan data. 2. Terbatasnya waktu dalam pengambilan keputusan 3. Diperlukan manipulasi dan komputasi dalam proses pencapaian tujuan 4. Perlunya penentuan masalah, pengembangan alternatif dan pemilihan solusi berdasarkan akal sehat. Menurut Dhar dan Stein (1997), sistem penunjang keputusan dapat dibagi menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah model-driven DSS, yaitu sistem penunjang keputusan yang nilainya
bergantung kepada kualitas model yang digunakan. Pada tipe ini, kemampuan analisisnya tergantung kepada model atau kekuatan teori yang digunakan, yang dikombinasikan dengan tampilan antar-muka yang baik sehingga mudah untuk digunakan. Tipe yang kedua adalah data driven DSS, dimana nilainya bergantung kepada data yang dimilikinya. Tipe ini biasanya cukup sederhana, misalnya digunakan untuk menghitung rata-rata, total, dan distribusi data. Tujuannya adalah untuk memudahkan pengguna menghimpun sejumlah besar data yang kemudian diubah menjadi suatu bentuk yang berguna untuk mengelola bisnis. Secara konsep, sistem penunjang keputusan terdiri dari tiga komponen utama yang menunjang proses pengambilan keputusan, yaitu: pengambilan keputusan, data, dan model yang masing-masing dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Sistem manajemen dialog yang terdapat didalamnya berfungsi untuk mengelola masukan dan keluaran dari dan untuk pengguna. Pengelolaan atau manipulasi data dilakukan oleh sistem manajemen basis data, sedangkan model dikelola oleh sistem manajemen basis model. Hubungan antara komponen utama yang terdapat dalam sistem penunjang keputusan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Model
Data
Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)
Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Pengolahan Dialog
Pengguna Gambar 2. Struktur sistem penunjang keputusan (Turban, 1991) Sistem manajemen basis data harus bersifat interaktif dan fleksibel. Hal ini berarti sistem harus dapat mengakomodir apabila ternyata terdapat perubahan terhadap struktur, isi, dan ukuran elemen-elemen data (Minch dan Burns, 1983). Sifat tersebut merupakan yang penting karena menurut Turban (1991), komponen data harus dapat disunting, ditambah, atau dihapus agar tetap relevan bila dibutuhkan. Sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasi pengambilan keputusan atau aktifitas lainnya seperti pembuatan model, implementasi, pengujian, validasi, eksekusi dan pemeliharaan model (Eriyatno, 1996). Lebih lanjut Turban (1991), menjabarkan bahwa model yang dimaksud dapat berupa model finansial, statistika, atau model-model kuantitas yang disiapkan untuk sistem analitik. Menurut Keen dan Morton (1978), tujuan dari sistem penunjang keputusan adalah membantu para pengambil keputusan dalam menyeleksi kriteria untuk proses pengambilan yang pada umunya bersifat struktural. Sifat ini berarti adanya kemampuan untuk menyelaraskan
keputusan struktural dengan penilaian yang bersifat subyektif dari masing-masing struktural. Sistem ini hanya membantu dalam proses pengambilan keputusan, keputusan terakhir tetap berada ditangan pengambil keputusan. Teknik pengambilan keputusan ini dikembangkan hanya untuk meningkatkan efektifitas dalam proes pengambilan keputusan. Efektifitas dimaksud mencakup pada identifikasi dari apa yang harus dilakukan dan menjamin bahwa kriteria yang kemudian dipilih adalah relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan. B. Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Menurut Dhar dan stein (1997). Sistem penunjang keputusan cerdas merupakan sebuah sistem penunjang keputusan yang menggunakan teknik-teknik yang muncul dibidang intelejensi buatan (Artificial Intelligent) seperti: fuzzy systems, neural networks, machine learning dan genetic algorithms (algoritma genetik). Tujuannya adalah untuk membantu pengguna dalam mengakses, menampilkan, memahami, serta memanipulasi data secara lebih cepat dan mudah untuk membantunya dalam mengambil keputusan. Suatu sistem penunjang keputusan cerdas diukur berdasarkan tingkat kecerdasannya yang disebut sebagai tingkat kerapatan kecerdasan merupakan perbandingan antara tingkat kepuasan yang dihasilkan dalam proses pengambilan keputusan dengan jumlah waktu analisis yang dihabiskan seorang pembuat keputusan. Misalnya, seorang pembuat keputusan secara konsisten membuat keputusan dengan kualitas yang sama setelah memeriksa sumber A selama 3 menit dan sumber B selama 30 menit. Maka sumber A dikatakan memiliki 10 kali tingkat kerapatan kecerdasan dibandingkan dengan sumber B (Dhar dan Stein, 1997). Sehingga sistem penunjang keputusan cerdas yang baik adalah sistem yang mampu menghasilkan keluaran yang dapat membantu pengambil keputusan menentukan keputusan dengan cepat tanpa mengurangi kualitas keputusan, atau dapat meningkatkan kualitas keputusan dalam rentang waktu yang sama. Suatu organisasi yang mampu mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam membuat keputusan spesifik sekaligus melakukan analis spesifik tanpa menurunkan kualitas, atau meningkatkan kualitas analisis yang dilakukan dalam jangka waktu yang sama, akan memiliki sumber daya yang dapat digunakan secara lebih efektif, sehingga akan meningkatkan kompetensi organisasi tersebut (Dhar dan Stein, 1997). Gambar 3. Memperlihatkan tahap-tahap dalam meningkatkan tingkat kerapatan kecerdasan menurut Dhar dan Stein (1997). Increasing Intelligence Density
Learn Discover Transform Integrate Scrub Access Data Gambar 3. Tahapan untuk meningkatkan Intelligence Density Berdasarkan tahapan diatas, langkah pertama adalah bagaimana memperoleh dan menghimpun data. Ada banyak cara untuk memperoleh data. Data elektronik, yakni data yang
disimpan di dalam database, dapat diperoleh dengan cara menemukan lokasi data, bagaimana memanggil data dengan perintah-perintah query, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk data yang berasal dari keahlian manusia, dapat diperoleh dengan cara menghubungi pakar yang ahli dan berkonsultasi dengan mereka. Setelah memperoleh data, tahap selanjutnay adalah memoles data tersebut, yakni dengan menyisihkan data-data yang rusak, tidak konsisten, tidak rapih, dan lain sebagainya. Setelah data bersih, tahap selanjutnya adalah mengintegrasikan data tersebut dengan data dari sumber-sumber lainnya untuk membangun gambaran yang lengkap dari model bisnis. Sebuah solusi yang efektif dapat diperoleh dengan cara mengkombinasikan dua faktor, yakni kebutuhan akan intelligence density dari problem yang dihadapi, dengan kendala logistik terkait untuk digunakan dalam pengembangan solusi. Sedangkan faktor terakhir adalah kecocokan metode pencarian solusi yang digunakan dengan kedua faktor tersebut (Dhar dan Stein 1997). C. Algoritma Genetika Algoritma genetik merupakan suatu teknik pencarian optimasi stokastik (melibatkan probabilitas) yang cara kerjanya meniru proses evolusi dan perubahan genetik pada struktur kromosom makhluk hidup (Goldberg, 1989). Konsep dasar algoritma genetik pertama kali dicetuskan pada tahun 1975 oleh John Holland, seorang profesor di Universitas Michigan dalam sebuah bukunya yang berjudul Adaptation in Neural and Artificial System untuk melihat apakah sebuah program komputer dapat berevolusi seperti dalam logika Darwin (Dhar dan Stein, 1997). Holland memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk memecahkan masalah yang rumit, masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan teknik-teknik konvensional. Pendekatan baru yang diperkenalkannya itu terdiri dari beberapa tahapan pemecahan masalah (Algoritma) yang kemudian diimplementasikan dalam program komputer. Pendekatan ini telah memberi petunjuk untuk penemuan penting diantara sistem pengetahuan alami dan buatan. Algoritma genetika termasuk kedalam sistem penunjang keputusan cerdas dikarenakan teknik pencarian optimasi ini berdasarkan seleksi alam, prinsip genetika dan evolusi. Algoritma genetika dapat memanipulasi digit biner (0,1) yang disebut kromosom yang mewakili sejumlah titik. Algoritma genetika dapat mencari kromosom yang baik tanpa harus tahu bentuk fungsi permasalahan yang dihadapi (Yu dan Gen, 2010) 1.
Aplikasi Algoritma Genetika Pada dasarnya algoritma genetika dapat digunakan untuk menyelesaikan masalahmasalah optimasi baik yang sederhana maupun kompleks. Namun, algoritma genetika dapat menjadi sebuah tool yang powerfull apabila digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah optimasi yang tidak dapat dipecahkan atau sulit dipecahkan dengan teknik pencarian dan optimasi yang sudah banyak dikenal saat ini seperti kalkulus, enumeratif, dan pencarian acak. Algoritma genetika sangat cocok digunakan untuk mencari solusi optimal dari masalah yang bersifat NP-complete (Non-deterministic Poynomial), yang berarti bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut akan semakin meningkat dengan sangat-sangat cepat (secara eksponensial) sering dengan bertambahnya jumlah elemen dalam masalah tersebut (Dhar dan Stein, 1997). Dalam hal ini, algoritma genetik tampil sebagai sebuah metode optimasi yang powerfull, cepat, dan efisien, karena algoritma genetik dapat mencari solusi dari ruang pencarian (search space) yang luas tanpa harus memeriksa ruang pencarian secara keseluruhan. Hal ini dimungkinkan karena dalam pelaksanaannya algoritma genetik mencoba banyak calon solusi
secara bersamaan, mengevaluasi tiap calon solusi secara bersamaan, mengevaluasi tiap calon solusi, kemudian memurnikan calon-calon solusi yang lebih baik dengan cara mempertukarkan informasi diantara calon solusi yang berbeda (crossover), dan bereksperimen dengan menciptakan calon solusi baru yang belum pernah ada sebelumnya (mutation). Dengan bereksperimen terhadap sejumlah calon solusi, algoritma genetika dengan cepat dapat menentukan ruang pencarian yang menjanjikan solusi yang optimal dari keseluruhan ruang pencarian dan mengeksplorasinya secara lebih mendetail (Dhar dan Stein, 1997). Karena kemampuan inilah, algoritma genetik juga dapat diterapkan untuk menyelesaikan persamaan-persamaan linear maupun non linear yang bersifat kontinyu maupun diskontinyu. Saat ini algoritma genetika telah berhasil diimplementasikan ke dalam berbagai bidang keteknikan (engineering), investasi, robotik, manajemen industri (seperti desain sistem produksi, tata letak fasilitas, penjadwalan produksi, dan otomatisasi industri), serta improvisasi musik jazz. Di bidang agroindustri, algoritma genetika juga diaplikasikan untuk desain sistem penyimpanan dan pengawetan hasil laut, desain sistem bioreaktor, prediksi permintaan produk agroindustri, prediksi tingkat suku bunga, penjadwalan pemupukan serta penentuan kadar nutrisi pupuk tanaman. 2.
Prinsip Kerja Algoritma Genetika Mekanisme kerja algoritma genetika cukup sederhana, dimana melibatkan proses yang tidak lebih rumit dari menyalin kromosom dan mempertukarkan bagian tertentu dalam kromosom tersebut. Kesederhanaan operasi dan kehebatan dalam menyelesaikan masalah optimasi merupakan dua hal yang sangat menarik dari algoritma genetika (Goldberg, 1999). Untuk menyelesaikan suatu masalah dengan algoritma genetika, tahap pertama adalah mengkodekan variabel keputusan kedalam suatu struktur yang mirip dengan kromosom makhluk hidup. Dalam optimasi numerik menggunakan algoritma genetika, angka biner {0,1} adalah notasi yang paling banyak digunakan untuk mempresentasikan suatu variabel ke dalam suatu kromosm (Bagchi, 1999). Algoritma genetika mulai bekerja dengan membangkitkan beberapa calon solusi awal sebanyak n kromosom yang masing-masing memiliki panjang l. Kromosom-kromosom tersebut merupakan populasi awal (initial population) yang akan dieksekusikan oleh algoritma genetika. Calon-calon solusi tersebut dibangkitkan secara acak oleh algoritma genetika menggunakan analogi koin yang dilempar berturut-turut sebanyak n x l, dimana bagian muka koin mewakili angka 1 dan bagian belakang koin mewakili angka 0. Contohnya: suatu populasi awal terdiri dari 4 kromosom yang masing-masing memiliki panjang 5, maka dibutuhkan 20 (4 x 5) kali lemparan koin untuk menentukan populasi awal. Misalnya, lemparan tersebut menghasilkan populasi awal sebagai berikut: 01101 11000 01000 10011 Goldberg (1989) menyatakan bahwa sebuah algoritma genetika yang dapat menghasilkan solusi yang baik pada banyak masalah praktis terdiri dari tiga operator utama, yakni: 1. Reproduction 2. Crossover 3. Mutation
Reproduction adalah sebuah proses dimana sebuah deret kromosom disalin berdasarkan bila fungsi tujuan f (para ahli biologi menyebut fungsi ini sebagai fungsi fitness). Fungsi fitness merupakan suatu fungsi yang mengukur keuntungan, kegunaan, atau kebaikan yang akan dimaksimalkan. Menyalin kromosom berdasarkan nilai fitness berarti bahwa kromosom yang memiliki nilai fitness lebih tinggi akan memiliki peluang yang lebih tinggi dalam memberikan satu atau lebih keturunan pada generasi berikutnya. Misalnya, algoritma genetika digunakan untuk menyelesaikan sebuah masalah, yakni memaksimalkan fungsi f (x) = x2. Maka nilai fitness empat buah kromosom yang dihasilkan pada populasi awal akan ditentukan oleh fungsi tujuannya, yakni f(x) = x2. Tabel 1 berikut menunjukkan nilai fitness masing-masing kromosom dalam populasi awal. Tabel 1. Nilai fitness masing-masing kromosom No.
1 2 3 4
Kromosom Pada Populasi Awal (Dibangkitkan secara acak)
Nilai x
f(x) x2
01101 = 24x0 + 23x1 + 22x1 + 21x0 + 20x1 11000 = 24x1 + 23x1 + 22x0 + 21x0 + 20x0 4 01000 = 2 x0 + 23x1 + 22x0 + 21x0 + 20x0 10011 = 24x1 + 23x0 + 22x0 + 21x1 + 20x1
13
169
24
576
8
64
19
361
Operator reproduksi dapat diimplementasikan kedalam bentuk algoritmik dalam berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menciptakan roda rolet dimana tiap kromosom dalam populasi memiliki slot pada rolet yang ukurannya sesuai dengan proporsi nilai fitness-nya, yakni rasio antara nilai fitness suatu kromosom dengan total nilai fitness semua kromosom. Tabel 2 berikut menunjukkan besarnya ukuran slot masing-masing kromosom pada populasi awal. Tabel 2. Ukuran slot masing-masing kromosom No.
1 2 3 4
Kromosom Pada Populasi Awal
f(x) x2
Ukuran Slot (fi / ∑f) x 100%
01101 11000 01000 10011
169 576 64 361
14,40% 49,20% 5,50% 30,90%
Reproduksi dilakukan dengan cara memutar roda rolet yang telah ditentukan ukuran slotnya sebanyak jumlah kromosom yang terdapat dalam populasi tersebut. Kromosom yang terpilih selanjutnya akan disalin dan hasil salinannya akan ditempatkan ke dalam mating pool, yaitu tempat berkumpulnya kromosom-kromosom induk yang akan mengalami penyilangan dan mutasi. Gambar 4 berikut merupakan contoh roda rolet yang setiap slotnya mewakili peluang terpilihnya kromosom untuk dimasukkan ke dalam mating pool.
1. 14,4% 2. 49,20% 3. 5,50% 4. 30,90%
Gambar 4. Roda Rolet dengan ukuran slot yang masing-masing mewakili peluang terpilihnya kromosom. Setelah roda rolet diputar sebanyak empat kali, hasilnya menunjukkan bahwa kromosom 1 dan 4 masing-masing memiliki satu salinan di dalam mating pool, kromosom 2 memiliki dua salinan, sedangkan kromosom 4 tidak memiliki salinan. Hal ini menunjukkan bahwa kromosom yang memiliki nilai fitness yang paling tinggi akan memiliki lebih banyak salinan, kromosom yang nilai fitness-nya rata-rata memiliki salinan yang lebih sedikit, sedangkan kromosom yang nilai fitness-nya paling rendah tidak akan disalin. Di dalam mating pool yang telah terisi oleh salinan kromosom-kromosom dengan nilai fitness yang baik, proses penyilangan akan terjadi dalam dua tahap: Pertama, kromosom akan dipasangkan secara acak dengan kromosom lainnya melalui lemparan koin. Kedua, kromosom yang telah berpasangan akan disilangkan, dimana titik penyilangannya akan ditentukan oleh lemparan koin. Kedua, kromosom yang telah berpasangan akan disilangkan, dimana titik penyilangannya akan ditentukan oleh lemparan koin. Berdasarkan contoh sebelumnya, hasil lemparan koin ternyata memasangkan kromosom 3 dengan kromosom 1 dan titik penyilangannya adalah 4, sehingga dua kromosom tersebut, yakni 11000 dan 01101 bersilangan dan menghasilkan dua kromosm baru: 11001 dan 01100. Dua kromosom lainnya melakukan penyilangan pada titik 2. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Hasil penyilangan kromosom Kromosom dalam Mating Pool 0110 | 1 1100 | 0 11 | 000 10 | 011
Pasangan (Dipilih Acak) 2 1 4 3
Titik Penyilangan (Dipilih Acak) 4 4 2 2
Populasi Baru 01100 11001 11011 10000
Nilai x 12 25 27 16
f(x) x2 144 625 729 256
Operator terakhir adalah mutasi, yang dilakukan dengan basis perbit. Menurut Goldberg (1989), operator mutasi diperlukan karena meskipun operator reproduksi dan penyilangan dapat mencari solusi secara efektif dan mengkombinasikan peluang-peluang yang ada, namun terkadang opertaor0operator tersebut bekerja terlalu berlebihan sehingga menghilangkan beberapa material genetik yang potensial, misalnya 1 atau 0 pada lokasi tertentu dalam krmomosom, dimana material tersebut berperan dalam meningkatkan nilai fitness suatu kromosom dan keturunannya. Dhar dan Stein (1997) berpendapat bahwa operator mutasi menyediakan peluang bagi anggota populasi dalam algoritma genetika untuk melompat dari suatu daerah dalam ruang solusi ke tempat lainnya, sehingga algoritma genetika dapat memeriksa daerah pencarian baru dalam rangka untuk mencari solusi yang lebih baik.
Peluang terjadinya mutasi (Pm) adalah rasio antara jumlah gen yang diharapkan mengalami mutasi pada setiap generasi dengan jumlah gen total dalam populasi. Nilai Pm yang digunakan biasanya sangat rendah, yakni berkisar antara 0,001-0,2 (Gen dan Cheng, 1997). Pada contoh diatas, diasumsikan bahwa peluang terjadinya mutasi adalah sebesar 0,001. Dengan jumlah gen sebanyak 20 bit dalam populasi, perkiraan banyaknya bit yang akan mengalami mutasi dalam satu generasi adalah sejumlah 20 x 0,001 = 0,02 bit. Namun contoh di atas menunjukkan bahwa mutasi tidak terjadi selama proses pembiakan. Berdasarkan contoh diatas, dapat dilihat bahwa algoritma genetika menghasilkan populasi baru dengan rata-rata nilai fitness yang lebih tinggi, yakni sebesar 439 dibandingkan rata-rata nilai fitness populasi awal yang hanya sebesar 293. Nilai fitness maksimum pada populasi baru juga meningkat, yakni sebesar 729, sedangkan populasi awal hanya sebesar 576. Hal ini menujukkan bahwa lagoritma genetika memiliki kemampuan untuk belajar dan beradaptasi, dengan menciptakan calon-calon solusi yang lebih baik pada setiap generasi, sampai ditemukannya solusi yang paling optimal. 3.
Prosedur Algoritma Genetika. Secara umum, prosedur algoritma genetika adalah sebagai berikut: Langkah 1 : Pengkodean calon solusi dan set up beberapa parameter awal (jumlah individu, probabilitas, penyilangan dan mutasi, dan jumlah generasi maksimum) Langkah 2 : t ← 0 (inisialisasi awal) Pembangkitan acak sejumlah n kromosom pada generasi ke-0 Langkah 3 : evaluasi masing-masing kromosom dengan menghitung nilai fitness-nya. Langkah 4 : seleksi beberapa kromosom dari sejumlah n individu yang memiliki nilai fitness terbaik. Langkah 5 : rekombinasikan kromosom terpilih dengan secara melakukan penyilangan (crossover) dan mutasi (mutation) Langkah 6 :t←t+1 4.
Schemata Theory dan The Building Block Hypothesis Schemata atau schema adalah sebuah kesamaan pola yang diperlihatkan oleh sebuah himpunan yang terdiri dari kromosom yang memiliki kesamaan pola pada posisi tertentu dalam kromosomnya (Goldberg, 1989). Sedangkan menurut Bagchi (1999), sebuah schema merupakan sebuah pola yang terbentuk dari susunan bit-bit pada kromosom, yakni bit (0 dan 1) dan simbol bintang (*). Sebuah schema dapat dibuat dengan menambahkan simbol * atau don’t care symbol ke dalam notasi yang digunakan dalam kromosom (Goldberg, 1989). Pada kromosom yang terdiri dari notasi bilangan biner {0, 1}, menambahkan simbol * berarti menambah varian notasi yang dapat dimasukkan kedalam kromosom menjadi {0, 1, *}. Schema dapat diartikan sebagai sebuah perangkat pencocok pola (pattern matching device) yang berfungsi untuk mencocokkan pola-pola tertentu dalam kromosom (Goldberg, 1989). Sebuah schema dikatakan cocok pada bagian tertentu dari kromosom apabila mengikuti aturan sebagai berikut: nilai 1 pada schema hanya cocok dengan nilai 1 pada kromosom, nilai 0 pada schema hanya cocok dengan nilai 0 pada kromosom, sedangkan simbol * pada schema cocok dengan nilai 1 maupun nilai 0 pada kromosom. Hal ini berarti bahwa schema *0000 cocok kepada dua kromosom, yakni {10000, 00000}, schema *111* menjabarkan sebuah himpunan yang terdiri dari empat anggota {01110, 01111, 11110, 11111}, sedangkan schema 0*1** cocok terhadap
delapan kromosom dengan panjang 5 yang dimulai dengan sebuah nilai 0 dan mempunyai nilai 1 di posisi ketiga. Konsep schemata menjelaskan bahwa meskipun populasi yang dieksekusi oleh algoritma genetika memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, namun sebenarnya ada banyak sekali informasi penting yang dapat diperoleh algoritma genetika dari populasi tersebut, dengan cara memperhatikan nilai fitness dan kesamaan-kesamaan yang terdapat diantara kromosom yang ada dalam populasi tersebut. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: sebuah kromosom tunggal yang memiliki panjang 5, contohnya 11111, memiliki schemata sebanyah 25 karena pada kromosom tersebut, setiap posisi dapat berupa nilai kromosom itu sendiri yakni 1, atau simbol *. Hal ini berarti bahwa, secara umum sebuah kromosom dengan panjang l akan memiliki 2l schemata, 2l sampai n.2l schemata tergantung pada keberagaman populasi tersebut (Goldberg, 1989). Namun, dari jumlah tersebut, tidak seluruh schemata dapat diproses dengan probabilitas tinggi oleh algoritma genetika. Hal ini disebabkan schemata yang memiliki jarak yang pendek antara dua bit terluar yang telah didefinisikan pada kromosomnya (long defining length schemata) relatif lebih mudah rusak dalam proses crossover dibandingkan schemata yang memiliki jarak yang pendek antara dua bit terluar yang telah didifinisikan pada kromosmnya (short defining length schemata). Contohnya: schemata 1***0 yang merupakan long defining length schemata akan lebih mudah rusak oleh proses crossover dibandingkan dengan schemata **11* yang merupakan short defining length schemata. Hal ini dibuktikan oleh Goldberg (1989) melalui persamaan: ns = (l – ls + 1) n3 4 Dimana ns adalah jumlah schemata yang akan diproses, l adalah panjang kromosom, ls adalah jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata (the defining length on schemata), dan n adalah ukuran populasi. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa semakin panjang jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata (nilai ls semakin tinggi) maka semakin sedikit jumlah schemata yang diproses oleh algoritma genetika. Sedangkan semakin pendek jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata (nilai ls semakin kecil) maka semakin banyak pula jumlah schemata yang dapat diproses oleh algoritma genetika. Jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata juga berpengaruh terhadap peluang kelangsungan hidup schemata pada saat menjalani proses crossover. Bagchi (1999) membuktikan hal ini melalui persamaan: Peluang kelangsungan hidup schema ≥ 1- pc . d(H) / (l – 1) dalam proses crossover Dimana d(H) adalah defining length atau jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata H, dan (l – 1) adalah banyaknya kemungkinan lokasi crossover satu titik dalam kromosom dengan panjang l. Dengan nilai pc yang telah ditentukan, dapat dilihat bahwa peluang kelangsungan hidup schemata akan menjadi lebih tinggi seiring dengan semakin pendeknya jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schema. Banyaknya jumlah schemata dalam sebuah populasi menunjukkan banyaknya jumlah informasi yang dapat diperoleh oleh algoritma genetika dari sebuah populasi. Hal ini menunjukkan bahwa algoritma genetika melakukan pencarian nilai optimum dengan cara menyusun schemataschemata yang memiliki jarak yang pendek antara dua bit terluar yang telah didefinisikan (low
order schema), serta memiliki nilai fitness tinggi untuk membentuk kromosom-kromosom dengan potensi nilai fitness yang lebih tinggi. Proses ini dilakukan berulang-ulang samapai kriteria penghentian tercapai dan nilai optimal ditentukan. Proses tersebut menggambarkan The Building Block Hypothesis, yaitu hipotesis yang menyatakan bahwa algoritma genetika mencari solusi optimal dengan cara membangun kromosom yang lebih baik dan lebih baik lagi berdasarkan sebagian solusi yang berasal dari proses sebelumnya (Goldberg, 1989). Sedangkan Holland (1975) dalam Bagchi (1999) berasumsi bahwa algoritma genetika bekerja berdasarkan penemuan, penegasan, dan pengkombinasian balok-balok bangunan yang baik. Menurut Bagchi (1999), balok bangunan (building block) yang dimaksud merupakan kombinasi dari nilai bit yang memberikan nilai fitness yang tinggi kepada kromosom yang mengandungnya. Dengan mengekspoitasi kesamaan kode pada schemata yang berhubungan dengan meningkatnya nilai fitness menggunakan operator seleksi, crossover, dan mutasi, maka algoritma genetika dapat melakukan pencarian nilai optimal secara lebih efektif. 5.
Perbandingan Algoritma Genetika dengan Teknik Pencarian dan Optimasi Konvensional. Goldberg (1989) menyebutkan empat perbedaan algoritma genetika dengan teknik pncarian dan optimasi konvensional, yaitu:
Algoritma genetika bekerja pada sekumpulan calon solusi yang telah dikodekan, bukan pada solusi itu sendiri.
Algoritma genetika melakukan pencarian nilai optimal pada sekumpulan calon solusi secara pararel (bersifat parallel search atau population-based search)
Algoritma genetika secara langsung memanfaatkan fungsi tujuan atau fungsi fitness, bukan fungsi turunan.
Algoritma genetika bekerja dengan menggunakan aturan probabilistik, bukan aturan deterministik.
6.
Profil Algoritma Genetika Sebagai Metode Optimasi Berikut ini adalah penjelasan mengenai profil algoritma genetika sebagai metode optimasi menurut Dhar dan Stein (1997): a.
Tingkat akurasi Tingkat akurasi algoritma genetika bervariasi mulai dari rendah sampai tinggi. Hal ini dikarenakan algoritma genetika menggunakan teknik heuristik dalam mencari solusi optimal, sehingga algoritma genetika tidak dapat menjamin ditemukannya solusi yang benar-benar optimal. Pada umumnya, solusi optimal yang dihasilkan algoritma genetika seringkali merupakan solusi yang terdekat dengan solusi optimal, bukan solusi yang benar-benar optmal meskipun tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya solusi yang benar-benar optimal sehingga meski tidak sempurna, solusi tersebut dinilai cukup baik untuk mengatasi masalah-masalah dengan ruang lingkup yang luas. b.
Waktu Tidak seperti kebanyakan teknik matematika lainnya, waktu pencarian solusi yang dilakukan dengan algoritma genetika umunya dapat diprediksi secara akurat. Hal ini dikarenakan algoritma genetik selalu mengikuti tahap-tahap yang sama secara berulang dalam mencari solusi,
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencari solusi hanya bergantung dari jumlah kromosom dalam populasi dan jumlah generasi yang dijalankan. Pada algoritma genetika, evaluasi nilai fungsi fitness menghabiskan waktu lebih lama deibandingkan dengan operasi-operasi lainnya dalam algoritma genetika seperti: crossover, mutation, dan selection. Semakin besar jumlah populasi atau semakin panjang kromosom yang harus dikodekan dan dievaluasi, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengeksekusi algoritma genetika akan didominasi oleh banyaknya jumlah pengkodean dan evaluasi nilai fitness, bukan oleh operasi-operasi algoritma genetika lainnya. Oleh sebab itu, ketika waktu yang dibutuhkan untuk mengevaluasi nilai fitness dari sebuah kromosm diketahui, maka waktu pencarian solusi dapat diprediksi berdasarkan waktu untuk mengevaluasi nilai fitness dikalikan dengan jumlah kromosom dalam sebuah generasi dikalikan dengan jumlah generasi. c.
Fleksibilitas Algoritma genetika memiliki fleksibilitas yang tinggi. Satu-satunya hal yang mengikat algoritma genetika terhadap proses penyelesaian suatu masalah adalah bagaimana cara algoritma genetika mengkodekan dan mengevaluasi nilai fitness suatu masalah. Sehingga ketika pengguna ingin mengubah masalah yang dioptimasi menggunakan algoritma genetika, programer cukup mengubah algoritma genetika dalam mengkodekan (decoder) dan mengevaluasi kromosom (fitness function). Hal ini menyebabkan algoritma genetika dapat denga mudah dimodifikasi untuk menyelesaikan masalah yang berbeda dan mudah beradaptasi terhadap suatu masalah yang kondisinya berubah. d.
Penyesuaian terhadap perubahan skala. Algoritma genetik dapat dengan mudah beradaptasi terhadap perubahan skala. Contohnya, dengan mengatur panjang kromosom menjadi 30 dibandingkan 20, maka algoritma genetika dapat mengembangkan masalah pemilihan variabel dimana algoritma genetika dapat memeriksa 30 variabel dalam satu waktu. Dengan cara ini, perubahan skala dapat dilakukan dengan baik. Namun demikian, perubahan skala dalam algoritma genetika memiliki kendala. Semakin panjang kromosom, maka akan semakin sulit bagi algoritma genetika dalam mengeksplorasi ruang pencarian. Bertambahnya panjang kromosom menuntut ukuran populasi yang lebih besar seiring dengan banyaknya kombinasi gen yang potensial. Semakin besar ukuran populasi dan semakin panjang kromosom menyebabkan semakin bertambahnya waktu yang diperlukan untuk mengkodekan dan mengevaluasi nilai fitness, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengeksekusi algoritma genetika menjadi lebih lama. Akibatnya, algoritma genetika akan membutuhkan koputer yang berkecepatan tinggi dengan memori yang cukup besar untuk mengeksekusi masalah tersebut. Bahkan dalam kasus tertentu dibutuhkan sejumlah komputer yang dipararelkan untuk mempercepat algoritma genetika dalam mengeksekusi sejumlah besar perhitungan atau melakukan perhitungan yang berbasis database secara intensif. e.
Kecepatan merespon Kecepatan merespon algoritma genetik cukup tinggi tergantung kepada kompleksitas masalah. Semakin kompleks masalah, maka semakin panjang kromosom yang dikodekan dan semakin besar pula ukuran populasi. Hal ini menentuka lamanya waktu yang dibutuhkan oleh algoritma genetika dalam mengeksekusi suatu masalah.
f.
Kesesuaian Dari sudut pandang algoritma, algoritma genetika bukanlah suatu hal yang sangat kompleks. Justru yang membuatnya hebat adalah karena kesedehanaannya. Faktanya, program algoritma genetika umumnya memiliki ukuran yang tidak terlalu besar karena ukurannya tergantung pada banyaknya kode yang ditulis dalam program tersebut. Hal ini menjadikan algoritma genetika sebuah program optimasi yang sangat kompak dibandingkan dengan, misalnya, sistem pakar. g.
Kemampuan untuk digabungkan dengan sistem lain. Karena algoritma genetika relatif sederhana, maka umumnya algoritma genetika dapat disisipkan sebagai sebuah modul dalam sistem lainnya. Hal ini tergantung kepada apa yang dilakukan fungsi fitness dalam mengakses database atau program lain. Pada umumnya, algoritma genetika cukup nyaman ketika eksekusinya tidak membutuhkan pencarian yang luas di dalam database. Namun untuk beberapa aplikasi algoritma genetika, fungsi fitness perlu untuk mengakses dan memproses data-data organisasi. Untuk tipe aplikasi ini, kualitas dan kuantitas data meruoakan hal yang penting. h.
Kecepatan pengembangan Algoritma genetika memiliki algoritma yang terbuka sehingga mudah dipelajari dan dimodifikasi. Seorang programer handal dapat mengembangkan rancangan percobaan algoritma genetika dalam beberapa hari, karena pada dasarnya usaha yang dilakukan adalah memahami masalah, membuat formulasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, dan menentukan fungsi fitness yang baik. i.
Akses terhadap pakar Algoritma genetika memungkinkan pengguna memakai program tersebut untuk mneyelesaikan suatu masalah meskipun pengguna tersebut tidak mngetahui bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini dapat terjadi karena yang harus dilakukan pengguna hanyalah mendeskripsikan solusi yang baik dan menyediakan sebuah fungsi fitness yang dapat menilai kromosom yang diberikan. Kebutuhan akses terhadap pakar untuk meminta pendapat mereka menjadi lebih rendah, karena pengguna algoritma genetika tidak perlu memiliki banyak pengetahuan mengenai “bagaimana” cara menemukan jawaban dari sebuah masalah. Yang perlu diketahui oleh algoritma genetika hanyalah bagaimana cara untuk mengukur “kebaikan” suatu solusi melalui fungsi fitnessnya. D. Batang Kelapa Sawit Salah satu sumber biomassa yang pemanfaatannya masih terbatas dan tersedia dalam jumlah yang melimpah, yaitu biomasa kelapa sawit (elaeis guineensis Jacq). Indonesia merupakan negara yang memliliki potensi kelapa sawit terbesar di dunia setelah Malaysia, baik milik pemerintah, swasta maupun rakyat. Perkebunan kelapa sawit pertama kali dikembangkan secara massal di Sumatera Utara dan Lampung sejak tahun 1970. Sekarang ini kelapa sawit telah menyebar di hampir seluruh nusantara (balfas, 2003).
Gambar 5. Batang kelapa sawit Batang kelapa sawit yang dapat dilihat dalam Gambar 5 diatas mempunyai umur ekonomis 25 tahun. Setelah itu, batang akan ditebang karena produksinya mulai menurun dan batang terlalu tinggi dan sulit untuk dipanen. Selama ini pohon kelapa sawit tua yang ditebang, diabakar atua dibiarkan melapuk dilapangan. Pembakaran, selain tidak menghasilkan apa-apa, juga akan menimbulkan pencemaran udara yang dapat mengganggu lingkungan (Prayitno dan Darnoko, 1994). Pemanfaatan kelapa sawit selama ini hanya terbatas pada buah untuk memproduksi minyak beserta segala turunannya, serta sampai pada tingkat tertentu pemanfaatab serat buah, tandan dan pelepah untuk memproduksi serat. Bagian batang hasil peremajaan tanaman tua yang mempunyai massa terbesar masih belum dimanfaatkan secara komersil. Dari sekitar 2 juta hektar tanaman kelapa sawit di indonesia pada tahun 1997, diperkirakan potensi produksi batang kelapa sawit terbesar adalah sumatera utara dan riau dengan volume sekitar 5 juta m3/tahun. (Balfas, 2003). Kayu dituntut memiliki sifat-sifat mekanik yang memenuhi persyaratan struktural dan keamanan sebagai bahan konstruksi. Salah satu limbah padat dari kelapa sawit yang mengandung lignoselulosa adalah batang kelapa sawit. Batang kelapa sawit memiliki sifat yang sangat beragam dari bagian luar ke pusat batang dan sedikit bervariasi dari bagian pangkal ke ujung batang. Untuk digunakan sebagai kayu solid, batang kelapa sawit setidaknya memiliki 4 kelemahan yaitu: stabilitas dimensi rendah, kekuatan rendah, keawetan rendah, dan sifat pemesinan yang rendah sehingga batang kelapa sawit tidak dapat digunakan dalam bentuk alami (Bakar, 2003). Batang kelapa sawit terdiri atas dua komponen utama, yaitu jaringan ikatan pembuluh (vascular bundles) dan jaringan parenkim. Struktur jaringan penyusun kelapa sawit tidak jauh berbeda dengan struktur penyusun pada tanaman monokotil dan dikotil yaitu berupa kumpulan serat, jaringan pengangkut dan jaringan parenkim dalam komposisi tertentu. Parenkim berdinding tipis dan mengandung karbohidrat yang tinggi. Kandungan parenkim ini meningkat pada bagian batang yang semakin tinggi. Parenkim batang kelapa sawit atas mengandung pati sampai 40%. Dan diketahui pula bahwa batang kelapa sawit yang tersusun atas vascular bundle (ikatan pembuluh) dan parenchyma (parenkim) memiliki sifat mekanis dan sifat keawetan yang tergolong rendah serta mengandung kadar air yang tinggi. Dengan mengetahui sifat fisis dan kimia vascular bundle yang merupakan bagian terluar dari batang kelapa sawit maka tidak menutup kemungkinan akan adanya penelitian-penelitian lanjutan untuk memberikan nilai ekonomis yang tinggi untuk batang kelapa sawit yang umumnya masih dianggap sebagai limbah saat ini (Afandy, 2007). Vascular bundle (jaringan pembuluh) merupakan ikatan pembuluh yang terdiri atas serat, pembuluh penyalur makanan atau metaxylem (mata dan proto). Pemisahan vascular bundle secara
manual mengalami beberapa kesulitan yaitu pada saat penarikan bagian vascular bundle dari batang, karena memiliki ikatan yang kuat terhadap parenkimnya pada beberapa bagian. Sifat mekanis batang kelapa sawit dipengaruhi oleh berat jenis vascular bundle. Namun karena jumlah zat kayu penyusun vascular bundle lebih rendah maka kekuatan mekanis batang kelapa sawit juga akan rendah. Hasil pengujian sifat fisis tidak dipengaruhi konsentrasi larutan dan lama perebusan, nilai-nilai pengujian sifat kimia kelarutan dalam air dingin dan NaOH 1% dipengaruhi oleh lama perebusan dan konsentrasi (Bakar, 2003). E. Serbuk Sawit sebagai Bahan Aditif didalam Lumpur Pengeboran Lumpur pengeboran merupakan faktor yang penting dalam operasi pengeboran. Kecepatan pengeboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pengeboran sangat tergantung dari lumpur pengeboran yang dipakai. Lumpur pengeboran diperkenalkan pertama kali dalam pengeboran putar pada sekitar awal tahun 1900. Pada mulanya orang hanya menggunakan air untuk mengangkat serbuk bor (cutting) secara kontinyu. Kemudian dengan berkembangnya teknologi pengeboran, lumpur mulai digunakan, dan fungsi lumpur menjadi semakin komplek dan untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur tersebut ditambahkan bahan-bahan kimia (additive). Salah satu contoh lumpur pengeboran dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini.
Gambar 6. Contoh Lumpur Pengeboran dalam Kemasan Sumber: http://migasnet04badruz777.blogspot.com/2009_05_10_archive.html 1.
Fungsi utama lumpur pengeboran adalah : a. Mengangkat serbuk bor ke permukaan Serbuk bor yang dihasilkan pada waktu operasi pengeboran harus segera diangkat ke permukaan agar tidak terjadi penumpukan serbuk bor di dasar lubang. Kapasitas pengangkatan serbuk bor tergantung dari beberapa faktor, antara lain : kecepatan aliran di anulus, viskositas plastik, yield point lumpur pengeboran dan slip velocity dari serbuk bor yang dihasilkan. Secara umum, resultan kecepatan (atau kecepatan pengangkatan) serbuk bor adalah merupakan perbedaan antara kecepatan di anulus, Vr, dan slip velocity, Vs. b.
Mengontrol tekanan formasi Untuk keselamatan pengeboran, tekanan formasi yang tinggi juga harus diimbangi dengan tekanan hidrostatik lumpur yang tinggi, sehingga tekanan hidrostatik lumpur lebih besar dari tekanan formasi. Secara efektif perbedaan antara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan
formasi (overbalance pressure) harus sama dengan nol, tetapi dalam praktek harganya sekitar 100 - 200 psi. Untuk mengontrol tekanan formasi tersebut dilakukan dengan mengatur berat (densitas) lumpur. c.
Mendinginkan serta melumasi pahat dan drillstring Perputaran pahat dan drillstring terhadap formasi akan menghasilkan panas, sehingga dapat mempercepat keausan pahat dan drillstring. Selain panas yang ditimbulkan akibat gesekan juga panas yang berasal dari formasi itu sendiri, dimana semakin dalam formasi yang dibor, temperatur juga semakin tinggi. Dengan adanya lumpur pengeboran, maka panas tersebut dapat ditransfer keluar dari lubang bor. Lumpur pengeboran dapat membantu mendinginkan drillstring dengan menyerap panas dan melepaskannya, melalui proses konveksi dan radiasi, pada udara di sekitar mud pit. Lumpur pengeboran juga dapat melumasi pahat dan drillstring dengan menurunkan friksi drillstring dan pahat dengan formasi yang ditembus. Untuk mendapatkan pelumasan yang lebih baik pada umumnya dapat ditambahkan sedikit minyak kedalam lumpur. d.
Membersihkan dasar lubang bor Secara umum, pembersihan dasar lubang bor dilakukan dengan menggunakan fluida yang encer pada shear rate tinggi saat melewati nozzle pada pahat. Ini berarti bahwa fluida yang kental kemungkinan besar dapat digunakan untuk membersihkan lubang bor, jika fluida tersebut mempunyai sifat shear thinning yang baik. Dan pada umumnya, fluida dengan kandungan padatan (solid content) yang rendah merupakan fluida yang paling baik untuk membersihkan dasar lubang bor. e.
Membantu dalam evaluasi formasi Sifat fisik dan kimia lumpur pengeboran berpengaruh terhadap program well logging. Pada saat tertentu diperlukan informasi tentang kandungan hidrokarbon, batas air-minyak, dan lainnya untuk korelasi, maka dilakukan well logging, yaitu memasukkan sonde/alat kedalam sumur, misalnya log listrik, maka diperlukan media penghantar, dalam hal ini lumpur merupakan penghantar listrik. Sebagai contoh, lumpur dengan kadar garam yang tinggi akan menghambat pengukuran spontaneous potential (SP) karena konsentrasi garam dari lumpur dan formasi hampir sama. Disamping itu, oil mud akan menghambat resistivitas karena minyak akan bertindak sebagai insulator dan dapat mencegah terjadinya aliran listrik. Oleh karena itu, pemilihan lumpur pengeboran harus sesuai dengan program evaluasi formasi. f.
Melindungi formasi produktif Perlindungan formasi produktif sangat penting. Oleh karena itu, pengendapan mud cake pada dinding lubang bor dapat mengijinkan operasi pengeboran terus berjalan dan tidak menyebabkan kerusakan formasi produktif. Kerusakan formasi produktif biasanya akan menurunkan permeabilitas disekitar lubang bor. g.
Membantu stabilitas formasi Pada lubang bor sering dijumpai adanya problem stabilitas yang disebabkan oleh fenomena geologi, seperti zona rekahan, formasi lepas, hidrasi clay, dan tekanan tinggi. Lumpur pengeboran harus mampu mengontrol problem-problem tersebut, sehingga lubang bor tetap terbuka dan proses pengeboran dapat terus dilanjutkan. Perencanaan sistem lumpur untuk menjaga stabilitas lubang bor sering digunakan sebagai basis untuk pemilihan jenis dan sifat lumpur.
2.
Jenis Lumpur Pengeboran: a. Fresh Water Muds Adalah lumpur yang fasa cairnya adalah air tawar dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1 % berat garam). Jenis-jenis lumpur fresh water muds adalah : Spud Mud, Natural Mud, Bentonite – treated mud, Phosphate treated mud, Organic colloid treated mud, “Red” mud, Calcium mud, Lime treated mud, Gypsum treated mud dan Calcium salt.
Spud Mud, adalah lumpur yang digunakan pada pemboran awal atau bagian atas bagi conductor casing. Fungsi utamanya adalah untuk mengangkat cutting dan membuka lubang di permukaan.
Natural Mud, yaitu dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dalam fasa cair, sifat-sifatnya bervariasi tergantung formasi yang di bor. Lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface casing.
Bentonite – treated Mud, yaitu mencakup sebagian besar dari tipe-tipe air tawar. Bentonite adalah material paling umum yang digunakan untuk koloid inorganic yang berfungsi mengurangi filtrate loss dan mengurangi tebal mud cake. Bentonite juga menaikkan viskositas.
Phospate treated Mud, yaitu mengandung polyphospate untuk mengontrol viscositas gel strength dan juga dapat mengurangi filtrate loss serta mud cake dapat tipis.
Organic colloid treated Mud, terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau carboxymethyl cellulose pada lumpur yang digunakan untuk mengurangi filtration loss pada fresh water mud.
Red Mud, yaitu mendapatkan dari warna yang dihasilkan oleh treatment dengan cautic soda dan gueobracho (merah tua). Jenis lumpur ini adalah alkaline tannate treatment dengan penambahan polyphospate untuk lumpur dengan pH dibawah 10.
Calcium Mud, yaitu lumpur yang mengandung larutan calcium (di sengaja). Calcium bisa ditambah dengan bentuk slake lime (kapur mati), semen, plaster (CaSO4) atau CaCl2.
b.
Salt Water Mud Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam massive (salt dome) atau salt stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang bila ada aliran air garam yang terbor. Filtrate loss-nya besar dan mud-cake-nya tebal bila tidak ditambah organic colloid, pH lumpur dibawah 8, karena itu perlu presentative untuk menahan fermentasi starch. Jika salt mudnya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite. Adapun jenis-jenis lumpur salt water mud adalah : Unsaturated salt water mud, Saturated salt-water mud dan Sodium-Silicate muds. c.
Oil Base Mud Adalah lumpur yang dibuat dengan minyak sebagai fase continue dan attapulgite sebagai pengganti bentonite memiliki kadar air dibawah 3-5% volume untuk mengontrol viscositas, menaikan gel strength, efek kontaminasi, untuk menaikan gel strength perlu ditambahkan zat kimia. Manfaat oil base mud adalah pada completion dan workover sumur. Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit dan mempermudah pemasangan casing dan liner.
Oil-in-water Emultion Muds (Emulsion Mud) Pada lumpur ini, minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air sebagai sebagai fasa kontinu. Jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air. Sebagai dapat digunakan baik fresh maupun salt water mud. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake dan pelumasan. Segera setelah emulsifikasi, filtrate loss berkurang. Keuntungannya adalah bit yang lebih tahan lama, penetration rate naik, pengurangan korosi pada drillstring, perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas dan tekanan pompa boleh/dapat dikurangi, water loss turun, mud cake tipis) dan mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drillstring. Viskositas dan gel lebih mudah dikontrol bila emulsifiernya juga bertindak sebagai thinner. Fresh water oil-in-water emulsion muds adalah lumpur yang mengandung NaCl sampai 60,000 ppm. Lumpur emulsi ini dibuat dengan menambahkan emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud diikuti dengan sejumlah minyak yang biasanya 5 – 25% volume. Jenis emulsifier bukan sabun lebih disukai karena ia dapat digunakan dalam lumpur yang mengandung larutan Ca tanpa memperkecil emulsifiernya dalam hal efisiensi. Emulsifikasi minyak dapat bertambah dengan agitasi (diaduk). Oil Base and Oil Base Emulsion Mud Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyunya. Komposisinya diatur agar kadar airnya rendah (3 – 5% volume). Relatif lumpur ini tidak sensitif terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikkan gel strength, mengurangi efek kontaminasi air dan mengurangi filtrate loss, perlu ditambahkan zat-zat kimia. Manfaat oil base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik terhadap formasi maupun formasi produktif (untuk completion mud). Kegunaan terbesar adalah pada completion dan work-over sumur. Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drillpipe yang terjepit, mempermudah pemasangan casing dan liner. Oil base emulsion dan lumpur oil base mempunyai minyak sebagai fasa kontinu dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya oil base emulsion mud mempunyai manfaat yang sama seperti oil base-mud, yaitu filtratnya minyak dan karena itu tidak menghidratkan shale/clay yang sensitif. Perbedaan utamanya adalah bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan kontaminan). Air yang teremulsi dapat antara 15 – 50% volume, tergantung densitas dan temperatur yang diinginkan (dihadapi dalam pemboran). Karena air merupakan bagian dari lumpur, maka lumpur ini dapat mengurangi bahaya api, dan pengontrolan flow propertinya dapat seperti water base mud. d.
Gaseous Drilling Fluids Adalah lumpur yang dibuat dengan udara atau gas sebagai fase continue dan air sebagai fase dispersant dibawah 5% volume total, lumpur ini digunakan pada pemboran daerah yang memiliki kondisi air sangat minim serta pada pemboran daerah dengan jenis batuan yang sangat keras dan bertemperatur tinggi. Digunakan untuk daerah-daerah dengan formasi keras dan kering. Dengan gas atau udara dipompakan pada annulus, salurannya tidak boleh bocor. Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi adanya formasi air dapat menyebabkan bit balling (bit dilapisi cutting/padatan) yang merugikan. Juga tekanan formasi yang besar tidak membenarkan digunakannya cara ini. Penggunaan natural gas membutuhkan pengawasan yang ketat pada bahaya api. Lumpur ini juga baik untuk completion pada zone-zone dengan tekanan
rendah. Suatu cara pertengahan antara lumpur cair dengan gas adalah aerated mud drilling dimana sejumlah besar udara (lebih dari 95%) ditekan pada sirkulasi lumpur untuk memperendah tekanan hidrostatik (untuk loss circulation zone), mempercepat pemboran dan mengurangi biaya pemboran 3.
Komposisi Lumpur Pengeboran Secara umum lumpur pengeboran terdiri dari tiga komponen atau fasa pembentuk sebagai berikut : a. Fasa cair (air atau minyak) Fasa cair lumpur pengeboran pada umumnya dapat berupa air, minyak, atau campuran air dan minyak. Air dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air tawar dan air asin. Air asin juga dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air asin tidak jenuh dan air asin jenuh. Sekitar 75% lumpur pengeboran menggunakan air, karena mudah didapat, murah, mudah dikontrol jika terdapat padatan-padatan (solid content) dan merupakan fluida yang paling baik sebagai media penilaian formasi. Istilah oil-base muds digunakan jika kandungan minyaknya lebih besar dari 95%. Sedangkan emulsion muds mempunyai komposisi minyak 50 -70% (sebagai fasa kontinyu) dan air 30 - 50% (sebagai fasa diskontinyu). b. Fasa padat ( reactive solids dan inert solids) Merupakan padatan yang bereaksi dengan sekelilingnya membentuk koloid (clay). Clay air tawar merupakan bentonite mengahisap (absorp) air tawar membentuk bentonite. Yield merupakan jumlah bbl lumpur yang dihasilkan dari 1 ton clay agar viskositas lumpur 15 cp. Yield bentonite = 100 bbl/ton, bentonite bentonite mengadsorp air tawar, sehingga volumenya menjadi 10 kali atau lebih, disebut dengan hidrasi / swelling. Dapat berupa barite (BaSO4), untuk menaikkan densitas lumpur. Dapat juga berasal dari formasi yang dibor dan ikut terbawa Fasa padat dibagi dalam dua kelompok, yaitu padatan dengan berat jenis rendah dan padatan dengan berat jenis tinggi. Padatan berat jenis rendah dibagi menjadi dua, yaitu Nonreactive solid (inert solid) dan Reactive solid. Reactive solid adalah clay, merupakan padatan yang dapat bereaksi dengan air, membentuk koloid. Clay dapat didefinisikan sebagai berikut : - Padatan dengan diameter kurang dari 2 - Partikel yang bermuatan listrik dan mampu menyerap air - Material yang dapat mengembang (swelling) jika menyerap air Clay (atau low-gravity reactive solid) ditambahkan ke dalam air agar diperoleh sifat-sifat fisik seperti viskositas dan yield point yang diperlukan untuk mengangkat serbuk bor atau untuk menjaga agar serbuk bor tidak mengendap pada saat tidak ada sirkulasi. Mekanisme pembentukan viskositas dan yield point yang tinggi pengembangannya sangat komplek dan belum seluruhnya dapat difahami. Hal ini dihubungkan dengan struktur internal partikel-partikel clay dan gaya-gaya elektrostatik yang mempertahankannya jika clay terdispersi dalam air. Pada dasarnya ada dua jenis clay yang digunakan dalam pembuatan water-base mud, yaitu : a) Bentonitic clay (gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay montmorillonite (smectite), dan hanya dapat digunakan dengan air tawar, karena baik viskositas maupun yield point tidak dapat terbentuk pada air asin. Bentonit yang ada di pasaran bukan merupakan sodium montmorillonite murni, tetapi mempunyai kandungan sodium montmorillonite sekitar 60 -70%. Sodium montmorillonte adalah merupakan material yang berbentuk plat-plat seperti lembaran-lembaran buku. Plat-plat tersebut . Bentonit
menyerap sangat tipis dengan ukuran partikel kurang dari 0.1 air tawar pada permukaan partikel-partikelnya, sehingga dapat menaikkan volumenya sampai 10 kali atau lebih, yang disebut “swelling” atau “hidrasi”. Besarnya swelling yang terjadi dapat dilihat dengan meningkatnya kekentalan atau viskositas lumpur, yang tergantung dari luas permukaan dan total jumlah air yang diserap oleh clay. b) Attapulgite (salt gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay palygorskite, dan hanya dapat mengasilkan viskositas dan yield point yang tinggi baik pada air tawar maupun air asin. Salt water clay (attapulgite), akan terjadi swelling jika dimasukkan dalam air asin. Kelima sistem tersebut diatas mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, bahwa kerja sistem-sistem tersebut berlangsung pada waktu yang bersamaan. Operasi pengeboran adalah merupakan suatu kegiatan yang terpadu dengan kegiatankegiatan lainnya dalam industri perminyakan. Pada masa sekarang, operasi pengeboran dapat dilaksanakan baik di darat (on-shore) maupun di lepas pantai (off-shore). Peralatan yang digunakan untuk operasi pada kedua tempat tersebut pada prinsipnya sama, perbedaannya adalah tempat untuk menempatkan menara (rig) serta perlengkapannya. c. Additive Aditif merupakan bahan yang ditambahkan sehingga mud memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang terjadi pada saat pemboran berlangsung. Additive berfungsi Sebagai thinner / penurun viskositas quabracho, fosfat, sodium tannate, lignosulfonates, lignit, surfactant (surface active agents). Sebagai viscosifier / peningkat viskositas CMC, starch, senyawa polimer. Additive lumpur pemboran adalah material-material yang ditambahkan untuk merawat lumpur agar sesuai sifat-sifatnya dengan yang dibutuhkan.
Material Pemberat Lumpur, Material yang ditambahkan untuk menaikkan berat jenis lumpur atau disebut juga dengan weight material. Seperti : Barite atau Barium Sulfate, Calcium Carbonate untuk oil base mud dan Galena.
Material Pengental Lumpur, Zat kimia pengental lumpur merupakan bahan untuk menaikkan viskositas dari lumpur bor. Material ini termasuk viscosifier. Seperti : Wyoming bentonite, High Yielding Clay, Attapulgite clay untuk salt water mud dan Extra high yield bentonite.
Material Pengencer Lumpur, Zat kimia pengencer lumpur ini makdusnya adalah zat kimia yang digunakan untuk menurunkan viskositas lumpur bor atau disebut juga Thinner. Seperti : Chrome lignosulfonate, Alkaline lignite, Sodium Acid Pyrophospate, dll.
Filtration Loss Control Agent, Filtration Loss Control Agent maksudnya adalah bahanbahan untuk mengurangi filtration loss dan menipiskan mud cake. Seperti : Pregelatinized Starch, Sodium Carboxymethylcellulose, dll.
Loss Circulation Material (LCM), Bahan ini untuk menyumbat bagian yang menimbulkan lost circulation. Jadi bahan untuk menghentikan lost circulation. Seperti : Blended Fiber, Graded Mica, Ground walnut hulls.
Tabel 4. Contoh dan Spesifikasi Loss Circulation Material Bahan Kulit kacang Plastik Batu kapur Belerang Kulit kacang Percite Cellophane Serbuk gergaji Rumput ilalang Jerami Kulit biji kapas Ilalang rawa Kertas kaca Hancuran kayu
Tipe Butiran Butiran Butiran Butiran Butiran Butiran Lembaran Serat Serat Serat Butiran Serat Lembaran Serat
Deskripsi 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes ¾” Serpihan ¼” Partikel ½” Partikel 3/8” Partikel Halus 3/8” Partikel ½” Serpihan ¼” serat
Dalam penelitian ini, serbuk sawit dihasilkan sebagai salah satu bahan alternatif dalam menyumbat bagian yang menimbulkan loss circulation. Serbuk sawit nantinya akan digunakan sebagai loss circulation material di zona-zona yang menghasilkan loss dengan cara menginjeksikan secara bersamaan dengan lumpur. Dalam proses pengeboran, bila terdapat zona porous dan lumpur pengeboran masuk ke dalam zona tersebut maka tidak ada lagi sirkulasi keatas, akibat yang ditimbulkan yaitu kolam lumpur berkurang sehingga timbul blow out. Bila kondisi tersebut terjadi dan lumpur secara terus menerus dimasukkan akan percuma, oleh karna itu zona porous harus disumbat dengan serbuk sawit yang nantinya akan dibuat. F. Perencanaan Industri Menurut Gittinger (1986), proyek adalah kegiatan usaha yang menggunakan sumberdaya untuk memperoleh manfaat atau keuntungan. Perencanaan proyek yang baik tergantung pada tersedianya berbagai informasi mengenai adanya investasi yang potensial dan informasi mengenai pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan tujuan-tujuan lainnya. Analisis proyek menyediakan informasi proyek-proyek yang dipilih untuk dilaksanakan lalu menjadi alat agar penggunaan sumberdaya tersebut dapat menciptakan pendapatan. Perencanaan proyek terdiri dari beberapa tahap, yaitu perencanaan, penjadwalan dan kendali operasi. Menentukan tujuan dan kebutuhan terhadap fungsi waktu merupakan kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan. Kegiatan pada tahap penjadwalan adalah (i) mengumpulkan sumberdaya dan meletakkannya pada aktivitas yang sesuai, (ii) menghubungkan tiap aktivitas dan selalu merevisi setiap kegiatan yang telah dilakukan. Tahap kendali operasi merupakan tahapan untuk mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya, serta melakukan revisi bahkan jika diperlukan merubah rencana (Heizer dan Barry, 1993). Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang benar-benar tepat dan jelas alasan, tujuan, kegunaan dan sasaran, metode, dasar perhitungan dan perhitungannya. Perencanaan juga memiliki data dan informasi yang lengkap dan benar, serta efektif agar proyek dapat dijalankan dengan lancar (Wijandi, 1996).
Menurut Djamin (1993), tahap persiapan suatu industri dapat dilihat sebagai suatu rangkaian kegiatan yang pada akhirnya harus ditunjang dengan sejumlah studi dan dokumendokumen untuk memungkinkan mengambil keputusan suatu rencana investasi. Pendirian suatu industri memiliki prioritas aspek-aspek yang perlu deiperhatikan yakni (i) pasar dan pemasaran, (ii) teknis dan teknologis, (iii) manajemen organisasi dan sumber daya manusia, (iv) finansial, (v) sosial-ekonomi, (vi) hukum dan (vii) lingkungan. Tiap aspek tersebut dianalisis dan dirangkum, kemudian dibuat rekomendasi kelayakannya (Umar, 2003). 1.
Aspek Pasar dan Pemasaran Menurut Kotler (2002), pemasaran adalah proses sosial dan manjerial yang dengan proses itu, perseorangan atau kelompok, memperoleh apa saja yang diinginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai. Pasar dan pemasaran terjadi karena adanya kebutuhan manusia yang menimbulkan permintaan, yakni keinginan akan produk spesifik yang didukung dengan kemampuan dan ketersediaan untuk membeli. Sutojo (2000) menyatakan bahwa fokus aspek pasar dan pemasaran produk yang dihasilkan mencakup tiga hal, yaitu: a. Memperoleh gambaran, apakah pada masa yang akan datang terdapat permintaan pasar yang dapat menyerap produk yang dihasilkan. b. Memperoleh gambaran bagaimana suasana persaingan pasar pada masa yang akan datang, siapa saja perusahaan pesaing, dan apakah produk yang dihasilkan mampu memperoleh pangsa pasar (market share) yang memadai. c. Memperoleh gambaran tentang prospek perkembangan faktor ekstern perusahaan yang dapat mempengaruhi permintaan produk dan suasana persaingan pasar. Riset pemasaran diperlukan untuk mengidentifikasi peluang pasar dan pesaing. Riset pemasaran adalah penelitian di bidang pemasaran yang dilakukan secara sistematis untuk membantu penentu kebijakan merumuskan strategi pemasaran. Tujuan utama riset adalah mendapatkan informasi pasang yang akurat, sehingga produk dapat disebar sesuai dengan keadaan pasar. Pengumpulan data dapat dilakukan secara langsung (wawancara, telepon) dan tidak langsung (penggunaan internet, perpustakaan) (Rangkuti, 1997). Menurut Roberts dan Berger (2003), identifikasi pesaing bertujuan untuk mengetahui keadaan persaingan perusahaan saat ini dan masa datang. Identifikasi pesaing menganalisis secara detail bagaimana persaingan merebut perhatian konsumen dan penjualan terhadap target pasar, termasuk strategi pesaing dalam hal produk, harga, promosi, dan distribusi. Distribusi produk menggunakan saluran pemasaram tertentu untuk memudahkan pencapaian produk oleh konsumen. saluran pemasaran adalah suatu rangkaian orang dan atau organisasi yang menyampaikan produk ke tangan konsumen. industri dapat memasarkan produk langsung ke konsumen (tanpa perantara), atau menggunakan satu atau lebih rangkaian distributor, agen sampai pengecer untuk memasarkan produk. Pilihan saluran pemasaran akan mempengaruhi penetapan harga, penentuan target volume penjualan dan produksi, sehingga mempengaruhi keuntungan perusahaan (Kotler, 2002). 2.
Aspek Teknis dan Teknologis Menurut Umar (2003), aspek teknis dan teknologis merupakan aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan industri secara teknis dan operasi hingga industri tersebut selesai dibangun. Aspek teknis dan teknologis dalam perencanaan proyek meliputi:
a.
Pemilihan dan perencanaan produk agar dapat ditentukan gambaran peralatan dan teknologi yang hendak digunakan. b. Pemilihan teknologi produksi berdasarkan sumberdaya yang ada dan kualitas yang ingin dicapai. c. Rencana kapasitas produksi ekonomi (volume produksi) atau jumlah satuan produk yang dihasilkan selama jangka waktu tertentu. d. Penentuan lokasi pabrik e. Penentuan proses produksi dan tata letak pabrik, termasuk tata letak bangunan dan fasilitas lain. f. Perencanaan jumlah produksi yang dipengaruhi (i) permintaan, (ii) kapasitas pabrik, (iii) suplai bahan baku, (iv) kemampuan modal dan (v) peraturan pemerintah. g. Perencanaan mengenai persediaan dan pengawasan kualitas produk Sutojo (2000) menyatakan bahwa syarat-syarat sebagai jaminan kelayakan teknologi mutu yang digunakan adalah a. Mutu, spesifikasi, dan jenis produk yang dihasilkan dapat diterima oleh konsumen. b. Tidak akan menimbulkan kesulitan dalam pengadaan tenaga teknis, bahan baku, dan bahan pembantu. c. Dapat menjamin tercapainya kapasitas produksi ekonomis. d. Tidak akan meningkatkan anggaran peralatan prosuksi secara berlebihan. e. Sebaiknya menghasilkan sebanyak mungkin jenis produk dengan mempergunakan bahan baku yang sama. f. Tidak akan menimbulkan dampak lingkungan yang merugikan masyarakat sekitar lokasi proyek. g. Pernah diterapkan dan berhasil di tempat atau negara lain. Sutojo (1996) menyebutkan bahwa evaluasi aspek teknis dan teknologis mencakup beberapa hal di bawah ini: 1. Penentuan lokasi proyek yaitu lokasi dimana suatu proyek akan didirikan, baik untuk pertimbangan lokasi maupun lahan proyek. Peubah-peubah yang perlu diperhatikan antara lain iklim dan keadaan tanah, fasilitas transportasi, ketersediaan tenaga kerja, tenaga listrik dan air, keadaan dan sikap masyarakat dan rencana masa depan perusahaan untuk perluasan. Penentuan lokasi proyek harus memperhatikan faktor-faktor antara lain iklim dan keadaan tanah, fasilitas transportasi, ketersediaan tenaga kerja, tenaga listrik, air, sikap masyarakat, serta rencana pengembangan industri ke depan. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu letak konsumen potensial atau pasar sasaran, letak bahan baku, dan peraturan pemerintah. 2. Penentuan kapasitas produksi ekonomis yang merupakan volume atau jumlah satuan produk yang dihasilkan selama waktu tertentu. Kapasitas produksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi operasi proyek yang akan didirikan. Kapasitas produksi ditentukan berdasarkan perpaduan hasil penelitian berbagai macam komponen evaluasi, yaitu perkiraan jumlah penjualan produk di masa yang akan datang atau kemungkinan pasar yang akan diraih, kemungkinan pengaduan bahan baku, bahan pembantu dan tenaga kerja, serta tersedianya mesin dan peralatan di pasar sesuai dengan teknologi yang diterapkan. 3. Pemilihan teknologi yang tepat yang dipengaruhi oleh kemungkinan pengadaan tenaga ahli, bahan baku dan bahan pembantu, kondisi alam dan lainnya tergantung proyek yang didirikan.
4.
Penentuan proses produksi yang akan dilakukan dan tata letak pabrik yang dipilih, termasuk tata letak bangunan dan fasilitas lain. Tata letak pabrik merupakan alat efektif untuk menekan biaya produksi dengan cara menghilangkan atau mengurangi sebesar mungkin semua aktivitas yang tidak produktif (Machfud dan Agung, 1990). Penjelasan mengenai evaluasi aspek teknis dan teknologis dapat dijelaskan secara rinci berikut ini. Lokasi merupakan hal yang penting bagi pendirian suatu perusahaan karena akan mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan menentukan kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Perusahaan yang didirikan tanpa pertimbangan lokasi yang ekonomis, mengalami kesulitan dalam menjamin kelangsungan hidupnya. Penentuan lokasi yang kurang tepat merupakan salah satu penyebab perusahaan beroperasi secara tidak efisien dan efektif, sehingga biaya produksi menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu dalam penentuan lokasi suatu industri diperlukan suatu pengkajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dari industri tersebut. Lokasi suatu industri sangant dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, letak sumber bahan baku, daerah pemasaran, serta faktor lingkungan. Menurut Assauri (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi analisis lokasi suatu industri dapat digolongkan menjadi faktor-faktor utama dan faktor-faktor sekunder. Faktor-faktor utama akan berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan-kegiatan produksi dan distribusi dari industri yang akan didirikan. Faktor-faktor utama tersebut meliputi letak dari pasar, letak dari sumber bahan baku, tingkat biaya dan ketersediaan fasilitas pengangkutan, biaya ketersediaan tenaga kerja, dan adanya pembangkit listrik. Menurut Apple (1990), ciri-ciri tata letak yang baik diantaranya adalah keterkaitan kegiatan yang terencana, pola aliran yang terencana, aliran bahan yang lurus, pemindahan bahan antar operasi minimum, tata letak yang dapat disesuaikan dengan perubahan, penempatan yang tepat untuk fasilitas pelayanan produksi dan pemindahan ulang bahan yang minimum. Pola aliran bahan merupakan salah satu langkah yang penting dalam perencanaan fasilitas. Pola aliran dapat dikelompokkan menjadi pola aliran didalam tempat kerja, pola aliran dalam fasilitas dan aliran antar fasilitas. Menurut Birchfield (1988), terdapat tiga bentuk umum tata letak ruang kerja, yaitu garis lurus, bentuk U, dan bentu L, dimana setiap bentuk memiliki peruntukkannya sendiri. Bentuk garis lurus sering digunakan untuk mengefisiensikan waktu dan pergerakan. Bentuk U akan memberikan area yang cukup, namun jumlah waktu terbuang lebih banyak karena pergerakan pekerja untuk masuk dan keluar ruangan. Analisa aliran bahan sangat diperlukan dalam merancang suatu tata letak industri atau pabrik. Penentuan aliran bagi menajemen, material, aliran bahan, distribusi fisik dan logistik merupakan salah satu langkah dalam perencanaan fasilitas yang sangat penting terutama penentuan pola aliran bahan. Menurut Heizer dan Render (1993), peta keterkaitan kegiatan atau disebut juga relationship chart, merupakan suatu cara untuk menunjukkan aliran departemen. Peta keterkaitan kegiatan serupadengan peta dari-ke, tapi tidak seperti peta dari-ke yang berisi data perpindahan material, peta ini berisikan tanda kualitatif yang menggambarkan hubungan antar departemen. Analisis terhadap peta ini memperlihatkan departemen-departemen yang harus berdekatan dan departemen-departemen yang tidak boleh berdekatan. Untuk membantu menentukan kegiatan yang harus diletakkan pada suatu tempat, telah ditetapkan suatu pengelompokkan derajat kedekatan, yang diikuti dengan tanda bagi tiap derajat kedekatan tadi (Heizer dan Render, 1993). Keterkaitan antar aktivitas dan hasil dari proses perancangan kegiatan tersebut adalah dalam bentuk bagan dan diagram keterkaitan antar kegiatan, yang secara sistematis telah
menunjukkan bagaimana kedudukan (letak atau lokasi) suatu kegiatan (ruang) tertentu dikaitkan dengan kegiatan (ruang) yang lain (Apple,1990). 3.
Aspek Manajemen dan Organisasi Manajemen adalah suatu cara penggunaan sumber daya yang ada dengan pengaturan yang baik sehingga tujuan yang dimaksud dapat tercapai (Ariyoto,1990). Menurut Husnan dan Muhammad (2000), hal yang perlu dipelajari dalam aspek manajemen adalah manajemen selama masa pembangunan proyek yang meliputi pelaksanaan proyek tersebut, jadwal penyelesaian proyek, aktor yang melakukan studi setiap aspek dan manajemen dalam operasi. Manajemen dalam operasi meliputi bentuk organisasi atau badan usaha yang dipilih, struktur organisasi, deskripsi jabatan, jumlah tenaga kerja yang akan dipergunakan dan anggota direksi serta tenagatenaga terinci. Aspek manajemen dan organisasi dapat digolongkan menjadi dua, seperti dijelaskan di bawah ini: a. Manajemen proyek, yaitu pengelolaan kegiatan yang terkait dengan mewujudkan gagasan sampai menjadi hasil proyek berbentuk fisik. b. Manajemen operasi, yaitu menangani kegiatan operasi dan produksi fasilitas hasil proyek (Soeharto, 2000) Aspek manajemen dan organisasi dapat dikelompokkan menjadi manajemen proyek, yaitu pengelolaan kegiatan yang berkaitan dengan mewujudkan gagasan sampai menjadi hasil proyek berbentuk fisik, manajemen operasi atau produksi fasilitas hasil proyek. Lingkup manajemen organisasi meliputi pengelolaan kegiatan yang langsung berhubungan dengan kegiatan memproduksi barang atau memberikan pelayanan. Mulai dari usaha mendapatkan sumber daya, mengkonversi masukan menjadi produk atau pelayanan yang diinginkan. Masukan tersebut dapat terdiri dari bahan mentah, tenaga kerja, material, energi, waktu. Secara garis besar lingkup kegiatan operasi adalah sebagai berikut: (1) identifikasi jenis dan lingkup kegiatan operasi fasilitas proyek, (2) menyusun organisasi pengelola, (3) membuat deskripsi pekerjaan (job description) posisi kunci, (4) merekrut dan melatih personil, (5) menjalankan operasi (Soeharto, 2000). Aspek manajemen operasional adalah suatu fungsi atau kegiatan manajemen yang meliputi perencanaan organisasi, staffing, koordinasi, pengarahan dan pengawasan terhadap operasi perusahaan (Umar, 2005). Manajemen operasi meliputi bentuk organisasi atau badan usaha yang dipilih, struktur organisasi, deskripsi dan spesifikasi jabatan, jumlah tenaga kerja yang digunakan, anggota direksi, dan tenag-tenaga lainnya (Husnan dan Muhammad, 2000) 4.
Aspek Finansial Industri membutuhkan dana untuk dapat berproduksi. Alokasi penggunaan dana merupakan faktor penting dalam investasi (De Garmo, 1990). Keseluruhan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan, menggunakan dan mengalokasi dana disebut dengan pembelanjaan perusahaan (Riyanto, 1990). Modal adalah segala kekayaan dalam bentuk uang dan harta kepemilikan yang dapat digunakan untuk menghasilkan kekayaan yang lebih banyak (DeGarmo et al., 1990). Modal dapat dibedakan menjadi: a. Modal aktif, yang terdiri dari aktiva lancar dan tetap b. Modal Pasif, yang terdiri dari modal sendiri dan modal asing. Elemen dari modal aktif akan selalu berubah, sedangkan nilai dari modal pasif dalam jangka waktu tertentu relatif permanen (Riyanto, 1990)
Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan kegiatan produksi sesuai kapasitas yang tersedia, seperti pajak fasilitas dan bunga pinjaman. Biaya variabel adalah biaya yang berubah selama produksi mengikuti tingkat produksi, seperti biaya bahan baku (DeGarmo et al., 1990). Penyusutan atau depresiasi merupakan biaya yang harus dikeluarkan seiring penurunan nilai ekonomi suatu benda. Metode yang dapat digunakan untuk mengitung depresiasi adalah: a. Straight line depreciation (SLD) b. Sum-of-year Digits c. Declining balance d. Declining balance dengan konversi ke SLD e. Unit of Production f. Accelerated cost recovery system (Newman, 1988) Pada evaluasi financial dihitung kriteria invetasi, kriteria investasi yang dapat digunakan adalah Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio), Payback Period dan analisis sensitivitas (Newman, 1988; De Garmo et al., 1990). Suatu invetsasi dinyatakan layak apabila memiliki nilai: a. NPV lebih kecil dari pada nol b. IRR lebih tinggi dari tingkat suku bunga pinjaman bank, c. B/C Ratio lebih dari satu (Newman, 1988) Nilai BEP menunjukkan titik impas produksi dalam jumlah produk dan Payback Period merupakan waktu yang diperlukan untuk mencapai titik impas tersebut (Riyanto, 1990). Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat dampak dari berbagai perubahan dalam masing-masing perubah yang mempengaruhi proyek tersebut (Newman, 1988; Riyanto, 1990). Empat perubah yang dapat mempengaruhi kriteria investasi adalah perubahan (i) Pemanfaatan kapasitas, (ii) harga jual produk, (iii) umur pakai pabrik dan (iv) biaya bahan baku (De Garmo et al., 1990). Menurut Umar (2003), evaluasi aspek finansial dilakukan setelah evaluasi aspek-aspek lain telah selesai. Evaluasi aspek financial meliputi (i) struktur dan sumber pembiayaan proyek yang akan dibangun, (ii) penyusunan anggaran investasi, yaitu jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun dan mengoperasikan proyek, (iii) parkiran jumlah standar biaya produksi, (iv) kemampuan proyek menghasilkan keuntungan dan (v) analisa break even point (BEP) 5.
Aspek Legalitas Aspek legalitas merupakan salah satu sapek penting dalam pendirian sebuah industri karena menyangkut hukum yang mengatur tingkah laku kegiatan usaha yang bersangkutan. Untuk menampung aspirasi dalam mencapai tujuan usaha diperlukan suatu wadah untuk melegalkan kegiatan. Dalam evaluasi yuridis, salah satu pokok pengamatan yang merupakan kekuatan yang menunjang gagasan usaha adalah izin-izin yang harus dimiliki karena izin usaha merupakan syarat legalisasi usaha (Ariyoto,1990). Aspek legalitas atau yuridis berguna untuk kelangsungan hidup proyek dalam rangka meyakinkan kreditur dan investor bahwa proyek yang akan dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku (Umar, 2005). Menurut Husnan dan Muhammad (2000), dalam pengkajian aspek yuridis dan hukum, hal yang perlu diperhatikan meliputi bentuk badan usaha yang akan digunakan dan berbagai akte, sertifikat, serta izin yang diperlukan.
6.
Aspek Lingkungan Pendirian industri harus berwawasan lingkungan yakni memperhatikan lingkungan sejak mulai perencanaan sampai industry berproduksi. Pembangunan yang mengusahakan terpenuhinya kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuannya pada generasi yang akan datang, merupakan pengertian pembangunan berkelanjutan (Soemarwoto, 2001). Industri perlu mengintegrasikan arah kebijakan lingkungan yang mencakup semua aktivitas untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan (Roberts et al., 1998). Komisi Dunia untuk lingkungan hidup (WCED) melakukan pendekatan hubungan pembangunan dan lingkungan dari enam sudut pandang, yakni (i) keterkaitan (interdependency), (ii) Berkelanjutan (Sustainability), (iii) Pemerataan (Equity), (iv) Keamanan dan resiko lingkungan, (v) Pendidikan dan komunikasi dan (Vi) kerjasama international. Pengembangan industri perlu memperhatikan Hukum Lingkungan yang meliputi (i) Hukum Tata Lingkungan, (ii) Hukum Perlindungan Lingkungan, (iii) Hukum Kesehatan Lingkungan dan (iv) Hukum Pencemaran Lingkungan (Hardjasoemantri, 2000). Peningkatan kesadaran terhadap masalah lingkungan mengharuskan setiap proyek untuk melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) masalah yang timbul dari suatu Proyek industri ke lingkungan, diantaranya adalah polusi. Proyek yang diperkirakan dapat merusak lingkungan, dan atau menyebar polusi adalah tidak layak karena berdampak negative bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya (Wijandi, 1996). Perangkat peraturan yang ada untuk mengembangkan pembangunan berkelanjutan anatara lain: a. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KepMenLH) No. Kep-42/MENLH/II/94 tentang pedoman umum audit lingkungan b. Peraturan pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) c. KepMenLH No. 30 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan. d. KepMEnLH No. 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL.
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Pemikiran Perkebunan kelapa sawit yang membentang luas dengan produktivitasnya yang tinggi secara otomatis menghasilkan limbah kayu yang tinggi ketika masa panen telah usai. Hal ini dapat menimbulkan masalah terhadap pencemaran lingkungan seperti pembakaran limbah secara besarbesaran sehingga dapat menimbulkan polusi udara. Sampai saat ini, industri yang dapat mengolah limbah menjadi produk bernilai tambah yang tinggi masih terbatas. Penggunaan teknologi yang tepat untuk mengolah limbah kayu tersebut sangat mendukung proses pelaksanaan pencegahaan pencemaran lingkungan. Pengolahan limbah tersebut berupaya untuk memberikan suatu bantuan teknis terhadap pengusaha perkebunan kelapa sawit dengan penguasaan teknologi pengolahan limbah. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan perencanaan industri pengolahan limbah batang kelapa sawit. Dengan perencanaan yang tepat, didukung oleh penggunaan teknologi ditambah dengan sumber informasi tambahan dari pakar, diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas perkebunan kelapa sawit Indonesia. Perencanaan industri harus dilaksanakan sebaik mungkin agar kendala-kendala dan ketidakpastian di masa yang akan datang dapat diminimalisasi. Kajian masalah khusus ini bertujuan untuk merancang suatu model sistem perencanaan Sistem penunjang keputusan cerdas ini digunakan untuk mengelola perencanaan industri dalam pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit dengan mengintegrasikan elemen-elemen yang terdapat didalamnya. Dengan adanya sistem tersebut, diharapkan dapat membantu para pengambil keputusan dalam bidang perencanaan industri pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit untuk menghasilkan keputusan yang baik dalam tempo yang relatif cepat, sehingga perencanaan industri dapat diselesaikan dengan lebih efektif dan efisien. Diagram alir kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian B. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan berencana. Pendekatan berencana merupakan salah satu pendekatan dalam pemecahan suatu permasalahan yang mempunyai tujuan yang jelas. Langkah awal dalam pendekatan berencana adalah mengamati permasalahan dengan dukungan fakta-fakta, ide-ide, atau pendapat untuk mendefinisikan permasalahan selanjutnya. Tahapan-tahapan pendekatan berencana yang dilakukan pada masalah khusus ini adalah sebagai berikut: 1. Observasi Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui permasalahan secara nyata. Pada tahap ini dilakukan pendataan umum terhadap faktor-faktor yang membantu pengembangan permasalahan.
2.
Perumusan Masalah Pada tahap ini ditentukan faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan, penetapan tujuan, penetapan sasaran yang hendak dicapai, batasan-batasan terhadap penyelesaian masalah, dan asumsi yang diperlukan dalam pengembangan dan penyelesaian masalah. 3. Pengembangan Alternatif Penyelesaian Pengembangan alternatif penyelesaian berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi masalah, peubah, batasan, dan asumsi. 4. Pemilihan solusi Pemilihan solusi optimum melalui analisis alternatif-alternatif. 5. Hasil Akhir Membuktian penyelesaian optimum melalui tahapan implementasi, kemudian dilakukan pembuatan kendali yang tepat untuk mendeteksi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dan mempengaruhi penyelesaian keputusan. C. Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data dilakukan setelah data terkumpul pada tahap pengumpulan data. Metode pengolahan data dilakukan dengan menggunakan: 1.
Metode Perbandingan Eksponensial dalam Penentuan Lokasi Manning (1984) menjelaskan Metode perbandingan eksponensial (MPE), sebagai salah satu metode yang digunakan untuk pengambilan keputusan, dari beberapa alternatif keputusan dengan kriteria majemuk. Pengembangan metode lebih lanjut adalah dengan cara merubah penilaian kualitatif menjadi kuantitatif. Tahapan dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial adalah:
Menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih
Menentukan kriteria atau pertimbangan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi
Menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria
Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria
Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif dan
Menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif. Eriyatno (1998) menyatakan bahwa Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) digunakan sebagai pembantu bagi individu mengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun yang telah terdefinisi dengan baik tiap tahap proses. MPE digunakan untuk membandingkan beberapa alternatif dengan menggunakan sejumlah kriteria yang ditentukan berdasarkan hasil survei dengan pakar terkait. MPE adalah salah satu metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. Metode ini mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Nilai skor menggambarkan urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata. Menurut Marimin (2004) dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, menghitung skor atau nilai total pada setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau
nilai total masing-masing alternatif. Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metoda perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut :
Keterangan : Tni = Total nilai alternatif ke-i RKij = Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i TKK =Derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0;bulat n = Jumlah pilihan keputusan m = Jumlah kriteria keputusan Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat sedangkan penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif, semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya fungsi eksponensial (Marimin, 2004). 2.
Metode Prakiraan Bahan Baku Menurut Makridakis et , al (1991), metode peramalan atau prakiraan (forecasting) merupakan suatu teknik untuk menduga atau memperkirakan perihal yang terjadi pada masa yang akan dating. Teknik prakiraan dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif dapat dibagi menjadi metode time series (deret berkala) dan metode kausal (sebab akibat). Metode kualitatif dapat dibagi menjadi metod eksploratif dan metode normative. Makridakis et, al. (1991) juga menyatakan bahwa metode prakiraan kuantitatif dapat diaplikasikan apabila terdapat kondisi a. Tersedianya informasi tentang masa lalu b. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numeric dan c. Beberapa aspek pola/keadaan masa lalu diasumsikan akan berlanjut terus dimasa datang. Kelompok analisa deret berkala (time series) adalah metode prakiraan yang disusun dengan menggunakan suatu analisa statistic terhadap datan masa lalu. Asumsi dasar yang dipakai adalah nilai masa lalu dan masa kini mempunyai pola yang sama dan terus berlanjut di masa yang akan datang, sehingga prediksi nilai dimasa yang akan datang bias dilakukan dengan dasar nilai masa lalu dan masa kini. Makridakis et, al. (1991), menyatakan metode prakiraan deret berkala yang sering digunakan adalah metode permulusan dan analisa trend dengan regresi, metode permulusan merupakan metode prakiraan deterministik dengan pemberian pembobotan (penghalus) terhadap data masa lalu. Metode analisa trend merupakan pencocokan suatu persamaan garis matematis terhadap data dan memproyeksinya ke masa yang akan datang. Teknik yang dapat digunakan adalah (i) regresi liner, (ii) perataan bergerak yang meliputi bergerak tunggal (Single Moving Average) dan ganda (Double Moving Average), dan (iii) Pemulusan Esponensial tunggal (Exponential Smoothing) dan ganda (Double Exponential Smoothing). a.
Metode Time Series Metode time series adalah teknik statistik yang menggunakan data-data historis yang dikumpulkan sepanjang periode tertentu. Metode time series berasumsi bahwa apa yang telah
terjadi diwaktu yang lalu akan terjadi pula di masa depan. Sesuai penamaannya yakni deret waktu, metode ini membuat peramalan dengan hanya memperhitungkan satu faktor yaitu waktu. Metode ini berasumsi bahwa pola historis yang dapat diidentifikasikan atau tren permintaan sepanjang waktu akan terjadi berulang-ulang sepanjang waktu. Model-model peramalan dalam metode time series meliputi moving averages, exponential smoothing, dan linear trend lin. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Institute of Business Forecasting pada tahun 2002, 60% perusahaan di manca negara menggunakan metode time series. Hal ini menjadikan metode time series sebagai metode peramalan yang paling populer sejauh ini. Alasan mengapa metode time series sangat populer adalah karena metode ini relatif lebih mudah dipahami dan digunakan. Survey tersebut juga menunjukkan bahwa metode time series yang paling banyak digunakan adalah moving averages dan exponential smoothing. b.
Metode Regresi Metode regresi merupakan metode terpopuler kedua yang paling banyak digunakan oleh perusahaan setelah metode time series. Regresi digunakan untuk peramalan dengan membangun hubungan matematis diantara dua atau lebih variabel. Jika terdapat suatu faktor yang mempengaruhi perilaku permintaan dimasa lalu, maka hal tersebut dapat dicari keterkaitannya, sehingga ketika hal yang sama terjadi lagi di masa depan, maka perilaku permintaannya dapat diprediksi. Bentuk yang paling sederhana dari metode regresi adalah linear regression, yang juga digunakan untuk mengembangkan model linear trend line untuk peramalan. 3.
Metode Perhitungan Analisis Finansial Aspek finansial dilakukan setelah selesai evaluasi aspek lain dalam rencana investasi proyek selesai dilaksanakan. Analisis finansial adalah perbandingan antara pengeluaran dengan pemasukan suatu proyek dengan melihat dari sudut badan atau orang yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut memberikan sumbangan atau rencana yang positif dalam pembangunan ekonomi nasional (Kadariah et al., 1978). Dari aspek finansial dapat diperoleh gambaran tentang struktur permodalan bagi perusahaan yang mencakup seluruh kebutuhan modal untuk dapat melaksanakan aktivitas mulai dari perencanaan sampai pabrik beroperasi. Secara umum, biaya dikelompokkan menjadi biaya investasi atau biaya modal kerja. Biaya investasi meliputi pembiayaan kegiatan prainvestasi, pengadaan tanah, bangunan, mesin dan peralatan, berbagai aset tetap, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pembangunan proyek. Biaya kerja meliputi biaya produksi (bahan baku, tenaga kerja, overhead pabrik, dan lain-lain), biaya administrasi, biaya pemasaran, dan penyusutan. Kemudian dilakukan penilaian aliran dana yang diperlukan dan kapan dana tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jumlah waktu yang ditetapkan, serta apakah proyek tersebut menguntungkan atau tidak (Edris, 1993). Modal investasi dalam analisis finansial dibagi menjadi dua, yaitu modal tetap dan modal kerja. Modal tetap dipergunakan antara lain untuk pembiayaan kegiatan pra investasi, pengadaan tanah, bangunan, mesin dan peralatan, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pembangunan proyek serta pengadaan dana modal tetap itu sendiri (Sutojo, 1996). Untuk menghindari salah perhitungan karena timbulnya hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya, maka ditambahkan biaya lain-lain atau biaya yang biasa disebut dengan biaya kontingensi. Nilai yang lazim digunakan dalam menghitung biaya kontingensi adalah sebesar 10 persen (Sutojo, 1996).
Penyusutan merupakan pengalokasian biaya investasi suatu proyek pada setiap tahun sepanjang umur proyek tersebut. De Garmo et al. (1984) menyatakan bahwa metode yang sering digunakan yaitu metode garis lurus dimana perhitungan penyusutan didasarkan pada asumsi bahwa penurunan nilai peralatan atau bangunan berlangsung secara konstan selama umur pemakaian. Rumus untuk menghitung penyusutan berdasarkan metode garis lurus adalah sebagai berikut: D = (P-S) L Dimana: D = Biaya penyusutan tiap tahun P = Harga awal (Rp) S = Harga Akhir (Rp) L = Perkiraan umur ekonomis (tahun) Menurut Gray et al. (1993) untuk mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerimaan atau penolakan suatu proyek telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Beberapa kriteria investasi yang sering digunakan adalah Net Present Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio, Pay Back Period, dan Analisis Sensitivitas. Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dan nilai sekarang penerimaan kas bersih (operasional maupun terminal cash flow) di masa yang akan datang pada tingkat bunga tertentu (Husnan dan Muhammad, 2000 dan Hernanto, 1991). Menurut Gray et al. (1993), formula yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut.
Dimana: NPV = Net Present Value (RP) Bt = keuntungan pada tahun ke-t Ct = biaya pada tahun ke-t i = tingkat suku bunga yang berlaku (%) t = periode investasi n= umur ekonomis proyek Proyek dianggap layak dan dapat dilaksanakan apabila NPV > 0. Jika NPV < 0, maka proyek tidak layak dan tidak perlu dijalankan. Jika NPV sama dengan nol, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar opportunity cost faktor produksi modal. Internal Rate of Return (IRR) adalah discount factor pada saat NPV sama dengan nol dan dinyatakan dalam persen (Gray et al., 1993). Menurut Sutojo (1996), IRR merupakan tingkat bunga yang bilamana dipergunakan untuk mendiskonto seluruh kas masuk pada tahun-tahun operasi proyek akan menghasilkan jumlah kas yang sama dengan investasi proyek. Tujuan perhitungan IRR adalah mengetahui presentase keuntungan dari suatu proyek tiap tahunnya. Menurut Kadriah et al (1999), rumus IRR adalah sebagai berikut. [ Dimana: NPV (+) = NPV bernilai positif NPV (-) = NPV bernilai negatif
-
]
i(+) = discount factor yang membuat NPV positif i (-) = discount factor yang membuat NPV negatif Proyek layak dijalankan bila nilai IRR besar atau sama dengan dari nilai discount factor. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dilakukan untuk melihat berapa kali lipat manfaat yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan (Gray et al., 1993). Formulasi perhitungan net B/C adalah sebagai berikut.
Dimana: Bt = Total penerimaan pada tahun ke-t (Rp) Ct = Total Biaya pada tahun ke-t (Rp) i = Tingkat suku bunga yang digunakan (%) t = Tahun berjalan n = umur proyek (tahun) Payback Period (periode pengembalian modal) adalah waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi awal. Nilai PBP dihitung dengan rumus sebagai berikut:
PBP n
m ( Bn1 Cn1 )
Dimana: n = periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt-Ct negatif yang terakhir (tahun) m = nilai kumulatif Bt-Ct negatif yang terakhir (Rp) Bn = manfaat bruto pada tahun ke –n (Rp) Cn = Biaya bruto pada tahun ke – n (Rp) Break Even Point atau titik impas merupakan titik dimana total biaya produksi sama dengan pendapatan. Titik impas menunjukkan bahwa tingkat produksi sama besarnya dengan biaya produksi yang dikeluarkan. hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel dapat disajikan pada rumus berikut:
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan parameter aspek financial berpengaruh terhadap keputusan yang dipilih. Apabila nilai unsur tertentu berubah dengan variasi yang relatif besar tetapi tidak berakibat terhadap investasi, maka dapat dikatakan bahwa keputusan untuk berinvestasi pada suatu proyek tidak sensitiv terhadap unsur yang dimaksud. Sebaliknya bila terjadi perubahan yang kecil saja mengakibatkan perubahan keputusan investasi, maka dinamakan keputusan untuk berinvestasi tersebut sensitiv terhadap unsur yang dimaksud. Analisis sensitivitas terhadap unsur-unsur yang terdapat di dalam aliran kas meliputi perubahan harga bahan baku, biaya produksi, berkurangnya pangsa pasar, turunnya harga jual produk per unit, ataupun tingkat bunga pinjaman (Soeharto, 2000).
Analisis proyek biasanya didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak ketidakpastian dan perubahan yang akan terjadi di masa mendatang. Suatu proyek dapat berubahubah sebagai akibat empat permasalahan utama yaitu perubahan harga jual produk, keterlambatan pelaksanaan proyek, kenaikan biaya, dan perubahan volume produksi (Gittinger, 1986). 4.
Metode Analisis Pasar dan Pemasaran Aspek-aspek yang dikaji pada analisis pasar dan pemasaran meliputi analisis potensi pasar dan strategi pemasaran untuk mencapai pangsa pasar serbuk sawit. Semua aspek tersebut diukur dengan teknik yang sesuai dengan kebutuhan penelitian dan sumber data yang diperoleh. Setelah diketahui potensi pasar yang dapat diraih, maka diperlukan strategi pemasaran (targetting), dan penentuan posisi di pasar (positioning), serta bauran pemasaran (marketing mix). Diagram alir proses analisis pasar dan pemasaran dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
Mulai
Pencarian data
Tidak Data cukup? Ya
Analisis potensi pasar LCM serbuk sawit
Penentuan strategi pembentukan dan pengembangan pasar
Penentuan strategi bauran pemasaran
Selesai
Gambar 8. Diagram alir proses analisis pasar dan pemasaran 5.
Metode Analisis Teknis dan Teknologis Analisis teknis dan teknologis meliputi ketersediaan bahan baku, penentuan kapsitas produksi dan lokasi, pemilihan teknologi proses, mesin dan peralatan, neraca massa dan energi, dan perencanaan tata letak, dan kebutuhan luas ruangan produksi dari produksi tersebut. Diagram alir proses analisis teknis dan teknologis dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah ini.
Mulai
Pencarian Pakar
Penyebaran kuisioner MPE
Pengolahan data hasil kuisioner
lokasi pabrik
Penentuan kapasitas produksi
Pemilihan teknologi proses, mesin, dan peralatan
Penyusunan neraca massa dan energi
Penyusunan diagram keterkaitan antaraktivitas, kebutuhan luas ruang produksi
Penyusunan tata letak pabrik
Selesai
Gambar 9. Diagram alir proses analisis teknis dan teknologis Ketersediaan bahan baku limbah batang kelapa sawit dianalisis dengan mengkaji data luar areal perkebunan kelapa sawit yang berada pada provinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Jika kebutuhan limbah batang kelapa sawit tidak terpenuhi maka dilakukan pencarian alternatif tempat bahan baku diperoleh. Penentuan kapasitas produksi dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku limbah batang kelapa sawit dan kemampuan menyerap pasar serbuk sawit. Kedua komponen tersebut dianalaisi sehingga didapatkan kapasitas produksi industri pengolaha batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit. Pemilihan jenis teknologi proses produksi didasarkan pada kemudahan proses produksi dan perkiraan biaya produksi. Pemilihan mesin dan peralatan ditentukan berdasarkan teknologi dan proses produksi yang dipilih. Neraca massa disusun untuk melihat laju alir, jumlah input, dan jumlah output masing-masing komponen bahan pada setiap proses.
Penentuan tata letak pabrik dilakukan dengan menganalisis keterkaitan antar aktivitas, kemudian menentukan kebutuhan luas ruang dan alokasi area. Untuk menganalisis keterkaitan antar aktivitas, perlu ditentukan derajat hubungan aktivitas. Derajat hubungan aktivitas diberi tanda sandi sebagai berikut: 1. A (absolutely necessary) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan harus saling berdekatan dan bersebelahan. 2. E (especially important) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan harus bersebelahan 3. I (important) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan cukup berdekatan 4. O (Ordinary important) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan tidak harus saling berdekatan. 5. U (unimportant) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan tidak harus saling berdekatan 6. X (undesirable) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan harus saling berjauhan atau tidak boleh saling berdekatan. Sandi derajat hubungan aktivitas diletakkan pada bagian dalam kotak bagan keterkaitan antar aktivitas. Alasan-alasan yang mendukung kedekatan hubungan meliputi keterkaitan produksi, keterkaitan pekerja, dan aliran informasi. Alasan keterkaitan produksi meliputi urutan aliran kerja, penggunaan peralatan, catatan dan ruang yang sama, kebisingan, kotor, debu, getaran, serta kemudahan pemindahan barang. Alasan keterkaitan pekerja meliputi penggunaan karyawan yang sam, pentingnya berhubungan, jalur perjalanan, kemudahan pengawasan, pelaksanaan pekerjaan serupa, perpindahan pekerja, dang gangguan pekerja. Alasan informasi meliputi penggunaan catatan yang sama, hubungan kertas kerja, dan penggunaan alat komunikasi yang sama (Apple, 1990). Kebutuhan luas ruang produksi tergantungan pada jumlah mesin dan peralatan, tenaga kerja atau operator yang menangani fasilitas produksi, serta jumlah dan jenis sarana yang mendukung kegiatan produksi. Metode yang digunakan dalam menentukan kebutuhan luas ruang produksi adalah metode pusat produksi. Pusat produksi terdiri dari mesin dan semua perlengkapan untuk mendukung proses produksi serta luasan untuk melaksanakan operasi (Machfud dan Agung, 1990). 6.
Metode Analisis Manajemen Kajian terhadap manajemen dan organisasi meliputi pemilihan bentuk perusahaan dan struktur organisasi yang sesuai, kebutuhan tenaga kerja, dan deskripsi dan spesifikasi kerja. Aliran analisis manajemen dan organisasi dapat dilihat pada Gambar 10 berikut:
Mulai
Menentukan tujuan perusahaan
Mempertimbangkan: • • •
Data perkiraan investasi yang diperlukan dari penggunaan mesin dan bahan baku Data kapasitas produksi Teknologi proses yang digunakan
Menentukan bentuk usaha yang dipilih
Menentukan struktur organisasi, deskripsi dan spesifikasi kerja, dan kebutuhan tenaga kerja
Selesai
Gambar 10. Diagram alir proses analisis manajemen 7.
Metode Analisis Lingkungan dan Legalitas Analisis lingkungan meliputi sejauh mana keadaan tingkat lingkungan dapat menunjang perwujudan pendirian industri pengolahan limbah batang kelapa sawit, terutama sumber daya yang diperlukan, seperti air, energi, manusia, dan ancaman alam sekitar, serta analisis mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pendirian industri ini. Analisis legalitas meliputi mekanisme perizinan dan peraturan-peraturan yang berlaku. 8.
Metode penjadwalan Penebangan a. Algoritma K-means Cluster Pengelompokan data (Clustering) adalah teknik umum untuk analisis data statistik, yang digunakan dalam banyak bidang, termasuk pembelajaran mesin, data mining, pengenalan pola, analisis gambar dan bioinformatika. Clustering adalah klasifikasi objek serupa ke dalam beberapa kelompok. Lebih tepatnya, partisi dari kumpulan data ke subset (cluster). Secara ideal, data dalam setiap subset memiliki beberapa ciri umum yang berdekatan melalui metode pengukuran jarak (János, 2007). Clustering membagi data ke dalam grup (cluster) yang bermakna, berguna, atau keduanya. Tujuan dari clustering adalah agar obyek-obyek di dalam grup adalah mirip (atau berhubungan) satu dengan lainnya, dan berbeda (atau tidak berhubungan) dengan obyek dalam grup lainnya. Semakin besar tingkat kemiripan atau similarity (atau homogenitas) di dalam satu
grup dan semakin besar tingkat perbedaan diantara grup, maka semakin baik (atau lebih berbeda) clustering tersebut. Algoritma clustering K-Means dikembangkan oleh J. MacQueen (1967) dan kemudian oleh J. A. Hartigan dan M. A. Wong sekitar tahun 1975 . Algoritma clustering K-Means adalah algoritma untuk mengklasifikasikan atau mengkelompokkan objek berbasis atribut atau ciri tertentu ke dalam K jumlah klaster . K adalah sebuah angka integer positif . Pengelompokkan dilakukan dengan cara meminimalisir jarak data dan centroid klaster yang ditentukan. Algoritma K-means cluster merupakan sebuah algoritma clustering tanpa pengawasan, "K" diartikan sebagai jumlah klaster yang biasanya digunakan sebagai input pengguna untuk algoritma. Beberapa kriteria dapat digunakan untuk secara otomatis memperkirakan K. Algoritma K-means adalah sebuah pendekatan untuk masalah optimasi kombinatorial NP-hard. K-means algoritma sangat iteratif di alam, konvergen, namun hanya menghasilkan minimum lokal. Bekerja hanya untuk data numerik, mudah untuk diterapkan.. Kesamaan ukuran atau jarak (ukuran perbedaan) digunakan untuk menghitung kesamaan atau ketidaksamaan dua titik data atau dua kelompok. Kesamaan dan jarak merupakan elemen dasar dari algoritma clustering, dengan kemungkinan analisis kelompok. Secara umum, jarak dan kesamaan adalah konsep timbal balik. Seringkali, kesamaan langkah dan koefisien kesamaan yang digunakan untuk menggambarkan secara kuantitatif seberapa mirip dua titik data yang atau bagaimana serupa dua cluster adalah: semakin besar kesamaan koefisien, yang lebih mirip adalah dua titik data. Ketidaksamaan ukuran dan jarak adalah sebaliknya: semakin besar ketidaksamaan ukuran atau jarak, semakin berbeda adalah titik data dua atau dua cluster. Pertimbangkan dua titik data
x ( x1 , x2 ,..., xd )T dan y ( y1 , y2 ,..., yd )T .
Jarak Euclidean mungkin jarak yang paling umum kita yang pernah digunakan untuk numerik data. Selama dua titik data x dan y dalam ruang d-dimensi, jarak Euclidean antara 1
mereka didefinisikan sebagai :
dimana
d 2 2 d ( x, y ) ( x j y j ) j 1
x j dan y j adalah nilai-nilai atribut ke- j dari x dan y , masing-masing. Diagram alir
proses analisis k-means cluster dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah ini.
Gambar 11. Diagram alir proses analisis K-means Cluster
b.
Genethic Algorithm Persoalan pedagang keliling (Travelling Salesperson Problem-TSP) merupakan persoalan optimasi untuk mencari perjalanan terpendek bagi pedagang keliling yang ingin berkunjung ke beberapa kota, dan kembali ke kota asal keberangkatan. TSP merupakan persoalan yang sulit bila dipandang dari sudut komputasinya. Beberapa metode telah digunakan untuk memecahkan persoalan tersebut namun hingga saat ini belum ditemukan algoritma yang mangkus untuk menyelesaikannya. Cara termudah untuk menyelesaikan TSP yaitu dengan mencoba semua kemungkinan rute dan mencari rute yang terpendek sehingga diperoleh solusi yang mendekati solusi optimal. Oleh karena itu digunakan algoritma genetika untuk menentukan perjalanan terpendek yang melalui kota lainnya hanya sekali dan kembali ke kota asal keberangkatan. Algoritma genetika yaitu algoritma pencarian dan optimasi yang terinspirasi oleh prinsip dari genetika dan seleksi alam (teori evolusi Darwin). Algoritma ini sangat tepat digunakan untuk penyelesaian masalah optimasi yang kompleks dan sukar diselesaikan dengan metode konvensional. Dalam penelitian ini persoalan TSP dengan menggunakan metode Algoritma genetika diaplikasikan kedalam penjadwalan penebangan kebun kelapa sawit guna mendapatkan jarak tempuh terpendek sehingga dapat meminimumkan biaya transportasi yang dikeluarkan perusahaan. Jarak tempuh terpendek dihitung dengan melihat parameter jumlah jarak (km) yang ditempuh kendaraan pengangkut batang kelapa sawit serta melihat parameter biaya pengangkutan itu sendiri. Rute diambil berdasarkan data perusahaan perkebunan yang berada di masing-masing kecamatan di kabupaten yang terpilih. Masing-masing kemungkinan yang didapat dihitung nilai kebugaran (fitness) dengan menggunakan metode algoritma genetika guna mendapatkan solusi rute optimum sehingga penjadwalan penebangan pun juga menjadi baik. Dalam menghitung nilai kebugaran (fitness) masing-masing kemungkinan dari rute yang di dapat, digunakan fungsi berikut beserta kendala-nya.
I
MIN Dicx i1 Kendala: Di < Dj Capx < 30 Keterangan : Di = Jarak dari sumber ke-i (km) Dj = Jarak keseluruhan (km) cx = biaya bahan bakar /km Capx = kapasitas truk angkut (ton) Asumsi: Kapasitas truk angkut maksimum Biaya bahan bakar
= 30 ton = Rp 4500
Dari fungsi minimasi diatas, setiap kemungkinan rute yang didapat kemudian dihitung nilai kebugarannya dengan metode algoritma genetika. Proses penghitungan rute minimum dapat dilihat melalui Gambar 12 berikut.
Gambar 12. Diagram algoritma sederhana dalam mencari fungsi optimum D.
Pengembangan Sistem Berorientasi Objek Menurut O’brien (2008) proses pengembangan sistem informasi umumnya meliputi tiga tahapan proses, (1) Analisis sistem, yaitu studi mendalam mengenai informasi yang dibutuhkan oleh pemakai akhir yang menghasilkan persyaratan fungsional dan digunakan sebagai dasar desain sistem informasi yang dibuat. (2) Desain Sistem merupakan serangkaian aktivitas-aktivitas desain yang menghasilkan spesifikasi sistem yang memenuhi persyaratan fungsional pada tahap analisis sistem. (3) Pengembangan pemakai akhir merupakan tahap merubah dari konsep desain pada tahap sebelumnya menjadi sebuah perangkat aplikatif yang sesuai kebutuhan pengguna akhir. Tahap desain bertujuan untuk merancang dan mendesain sistem sesuai dengan hasil analisa sistem. Tahap desain sistem didasarkan atas sistem yang dikaji meliputi tahap perancangan sistem basis model, sistem pengolahan data, sistem pengolah terpusat dan sistem dialognya. Perancangan basis model dilakukan dengan pembuatan diagram alir data yang terdapat pada Lampiran 1 (data flow diagram) dan bagian terstruktur (structured chart). Perancangan sistem pengolahan data menggunakan teknik entity relationship yang meliputi pembuatan kamus data dan perancangan data konseptual yang dituangkan kedalam model data fisik yang menggambarkan relasi antar entitas (entity relationship) yang kemudian di generate sehingga terbentuklah database yang diinginkan. Penampakan dari realsi antar entitas yang telah berbentuk conceptual data model dan physical data model dapat dilihat pada Lampiran 2, sedangkan rancangan struktur sistem penunjang keputusan dapat dilihat pada Gambar 13 berikut.
Pengguna(User)
Sistem Manajemen Dialog
Sistem Pengolahan Terpusat
Sistem Manajemen Basis Data Statis
Sistem Manajemen Basis Data Dinamis
Sistem Manajemen Basis Model
Data Umum Limbah Batang Kelapa sawit
Data Lokasi Potensial
Model Pemilihan Lokasi Potensial
Deskripsi Sistem
Data Bahan Baku Data Teknis dan Teknologis
Model Prakiraan Bahan Baku Model Teknis dan Teknologis
Data Permintaan Pasar Data Penjadwalan Penebangan
Model Penjadwalan Penebangan Model Analisis Kelayakan Finansial
Gambar 13. Rencana struktur sistem penunjang keputusan E. Tahapan Pendekatan Sistem Sistem merupakan suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Marimin (2004) mendefinisikan sistem sebagai gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan. Karena pemikiran sistem selalu berorientasi untuk mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahan yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka berfikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (Eriyatno, 1998). Menurut Marimin (2004), pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau suatu sistem. Pemecahan masalah dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem yang terdiri dari beberapa tahap. Tahapan analisis sistem dapat dilihat pada Gambar 14 sebagai berikut.
Mulai
Analisa Kebutuhan
Formulasi Permasalahan
Identifikasi sistem
Pembuatan program komputer Tidak Memuaskan
Implementasi
Evaluasi Periodik Tidak Memuaskan Ya Selesai
Gambar 14. Metodologi pemecahan masalah dengan pendekatan sistem (Manetsch dan Park, 1977) 1.
Analisis Kebutuhan Tahap awal pengkajian suatu sistem adalah tahap analisa kebutuhan. Menurut Marimin (2004), analisa kebutuhan merupkan permulaan pengkajian dari suatu sistem. Analisis ini akan dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahapan pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi anatara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat meliputi hasil survey, pendapat ahli, diskusi, obesrvasi lapangan dan sebagainya. Dalam sistem penunjang keputusan cerdas untuk membuat perencanaan industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit, terdapat beberapa komponen yang saling berkaitan yang berfungsi untuk mendukung jalannya sistem. Identifikasi kebutuhan dari sistem penunjang keputusan perencanaan industri batang kelapa sawit ini meliputi aktor-aktor dan kebutuhannya sebagai berikut: a.
Petani kelapa sawit
Pendapatan petani meningkat
Nilai harga jual yang stabil
b.
c.
Kualitas kayu yang dihasilkan Pihak industri
Ketersediaan bahan baku yang stabil
Sentra produksi dan jumlah produksi bahan baku (batang kelapa sawit)
Kemudahan distribusi pemasaran Investor
d.
Kemudahan menjual hasil limbah
Lokasi potensial penanaman modal pabrik pengolahan
Prospek pengembangan diversifikasi produk Pemerintah
Proyek dapat menambah devisa negara
Kelestarian lingkungan terjaga
Tata niaga sektor pertanian terkontrol
Taraf kehidupan petani meningkat
Kontinuitas pengadaan bahan baku
Menciptakan persaingan yang sehat
2.
Formulasi Masalah Keberhasilan dalam mengembangkan suatu proyek memerlukan perencanaan yang baik, pengetahuan serta intuisi yang tepat dalam pengambilan keputusan. Perencanaan dilakukan berdasarkan analisa dari faktor internal dan eksternal, serta asumsi-asumsi untuk masa yang akan datang. Penerapan sistem dari perencanaan industri sebaiknya mengintegrasikan beberapa subsektor yang terlibat didalamnya seperti pengolahan limbah dan perdagangan. Permasalahan yang paling mendasar dalam kajian ini adalah pemanfaatan limbah yang tepat dengan membangun suatu sistem yang dapat mengolah dan merencanakan suatu industri yang belum ada guna mendapat nilai tambah. Adanya model sistem untuk perencanaan industri yang dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan secara sistematis, cepat, efisien, dan efektif diharapkan dapat menjadi penunjang tercapainya pemenuhan kebutuhan dari tiap komponen dalam sistem. 3.
Identifikasi Sistem Identifikasi sistem bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap sistem yang dikaji, berupa rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan antar komponen-komponen. Tujuan akhir dari identifikasi sistem yaitu menghasilkan spesifikasi yang terperinci tentang peubah yang menyangkut rancangan dan proses konrrol, yang ditentukan dan ditandai dengan adanya determinasi kriteria jalannya sistem yang akan mebantu dalam evaluasi alternatif sistem (Eriyatno, 1999). Indentifikasi sistem dapat dijabarkan dalam bentuk diagram inpu-output. Diagram input-output yang menggambarkan sistem yang dikaji dapat dilihat pada Gambar 15 berikut.
Input Lingkungan 1. 2.
Kebijakan Pemerintah Kelangsungan wilayah penghasil limbah batang kelapa sawit
1. 2.
Input Tak Terkendali 1. 2.
Output Dikehendaki
3. 4.
Permintaan Pasar Biaya Pendirian industri dan biaya pengolahan
5.
Lokasi yang sesuai Ketersediaan bahan baku yang cukup Teknologi pengolahan Optimasi penjadwalan penebangan Analisis Kelayakan Finansial
Sistem Penunjang Keputusan Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit
Output Tak Dikehendaki
Input Terkendali 1.
2. 3. 4.
1.
Kebutuhan Limbah batang kelapa sawit yang akan diolah Pasar yang akan diambil Teknologi pengolahan dan jumlah produksi Struktur biaya
2. 3. 4.
Tingkat permintaan rendah Biaya produksi tinggi Teknologi produksi yang tidak efisien Kualitas menurun
Manajemen Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit
Gambar 15 . Diagram input output sistem perencanaan industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit. 4.
Implementasi Sistem Tahap implementasi sitem merupakan proses transformasi desain sistem menjadi sebuah sistem aplikatif atau perangkat lunak. Implementasi SPKPalmpowder 1.0 pada tahap desain sistem menggunakan Microsoft Visio 2003 (Microsoft 2002) dan Sybase Power Designer 15.3 sedangkan
pada tahap pembuatan paket program menggunakan perangkat lunak Borland Delphi 7 (Borland 2002). Sedangkan Microsoft Acces 2007 dan MySQL (Oracle 2009) digunakan sebagai sistem manajamen basis data dinamis. 5.
Verifikasi Sistem Verifikasi merupakan tahapan untuk mengetahui apakah program yang dibuat menghasilkan keluaran secara keseluruhan sesuai yang diinginkan. Proses verifikasi dilakukan selama pembuatan dan setelah selesai. Tahap verifikasi dilakukan dengan cara pengujian keluaran paket program dan pelacakan kesalahan sistem (testing and debuging).
IV.
ANALISIS SISTEM
A. Deskripsi Sistem Sistem penunjang keputusan cerdas perencanaan industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit yang dibuat ini dinamakan SPKPalmpowder 1.0. Sistem ini adalah sistem penunjang keputusan cerdas yang berbasis komputer dirancang untuk menyajikan informasi serta menunjang dalam merencanakan dan menjalankan perencanaan industri serbuk sawit. Informasi yang dibutuhkan dalam aktifitas produksi meliputi ketersedian bahan baku, pemilihan lokasi industri potensial serta penjadwalan penebangan kebun kelapa sawit. Sedangkan pada aktifitas keuangan menginformasikan kebutuhan modal serta tingkat kelayakan dalam mendirikan industri tersebut. Sumber data sekunder yang digunakan pada SPKPalmpowder 1.0 berasal antara lain dari badan pusat statistik, wawancara dengan pakar, kementrian pertanian, sumber internet, dan sumber literatur lainnya yang relevan. Data-data yang dibutuhkan terutama meliputi kondisi umum wilayah, data perkebunan kelapa sawit, serta data kelayakan finansial. Selanjutnya data tersebut diolah oleh perangkat lunak aplikatif SPKPalmpowder 1.0 untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berguna dalam melaksanakan aktivitas perencanaan industri serbuk sawit. B. Konfigurasi Sistem Konfigurasi sistem dari paket program SPKPalmpowder 1.0 terdiri dari: 1. Sistem Pengolahan Terpusat Sistem pengolahan terpusat berfungsi sebagai pengelola dan pengatur seluruh bagian atau komponen sistem yang menyusun paket program SPKPalmpowder 1.0. Sistem pengolahan terpusat memungkinkan interaksi antara sistem satu dengan sistem yang lainnya. Sistem pengolahan terpusat pada SPKPalmpowder 1.0, ditampilkan dalam bentuk menu utama yang dihubungkan dengan masing-masing fungsi. 2. Sistem Manajemen Dialog Sistem manajemen dialog adalah fasilitas yang digunakan untuk berkomunikasi antara pengguna sistem dengan sistem tersebut. Sistem manajemen dialog mengatur tamplian, fleksibilitas serta kemudahan dalam mengoperasikan paket program. Pembuatan sistem manajemen dialog yang user friendly akan memudahkan pengguna dalam menggunakan paket program. Perancangan sistem manajemen dialog pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak utama adalah Borland Delphi 7(Borland, 2002). 3. Sistem Manajemen Basis Data. Sistem manajemen basis data (database manajemen sistem /DBMS) merupakan komponen penyusun sistem yang sangat penting karena berfungsi sebagai pemasukan, penghapusan, penyimpanan, pengolahan dan pengorganisasian data yang dibutuhkan bagi sistem tersebut. DBMS yang digunakan dalam pengembangan SPKPalmpowder 1.0 sebagai manajemen basis data MySQL (Oracle, 2009). C. Analisis Kebutuhan Informasi Pengguna Analisis kebutuhan dimaksudkan untuk mendapatkan jenis informasi yang dibutuhkan oleh pengguna yang sekaligus juga merupakan faktor kritis perencanaan industri serbuk sawit.
Berdasarkan analisis kebutuhan yang dilakukan, dapat diidentifikasikan beberapa keputusan yang dibutuhkan oleh pelaku bisnis:
Pengambilan keputusan dalam pemilihan lokasi potenisial sebagai lokasi pembangunan industri
bahan baku yang meliputi ketersediaan serta peramalannya.
Penentuan biaya investasi pendirian industri yang mencakup kebutuhan modal, serta kelayakan finansial
Informasi umum tentang pembuatan serbuk sawit yang meliputi proses serta standar mutunya.
Penjadwalan penebangan batang kelapa sawit yang nantinya diolah menjadi serbuk sawit.
D. Hubungan Antar Pelaku Pelaku yang berperan dalam sistem informasi ini digolongkan menjadi tiga yaitu pelaku sumber data, pengembang sistem, serta pengguna akhir. Sumber data pada SPKPalmpowder 1.0 meliputi badan pusat statistik, wawancara dengan pakar, kementrian pertanian sumber internet, serta sumber pustaka yang mendukung lainnya. Pelaku SPKPalmpowder 1.0 terdiri dari dua kelompok, yaitu pelaku internal dan pelaku eksternal sistem. Pelaku internal pada sistem ini yaitu administrator , serta pelaku eksternal dalam sistem ini yaitu para investor yang akan membangun industri serbuk sawit. diagram hubungan antar pelaku dari sistem ini dapat dilihat pada Gambar 16 dibawah ini.
PT.BSP PT. Chevron BPS
Sumber Data
Kementrian Pertanian Literatur
Internal/ Langsung Analis Sistem SPKPalmpowder 1.0
Pelaku
Pengumpul Data Pemrogram Administrator
Pengguna Akhir
Investor Palmpowder
Gambar 16. Diagram hubungan antar pelaku
Eksternal/Tidak Langsung
PT.BSP PT.Chevron Mud Engineering Company
E. Kebutuhan Fungsioanal Sistem Kebutuhan fungsional untuk menjalankan SPKPalmpowder 1.0 meliputi kebutuhan perangkat keras, perangkat lunak, kebutuhan tenaga, serta pemeliharaan sitem. 1. Kebutuhan perangkat lunak dan perangkat keras. Kebutuhan perangkat keras minimal adalah seperangkat komputer dengan spesifikasi sebagai berikut:
Prosesor pentium IV 1,66 GHz atau yang setara.
RAM minimal adalah 512 MB.
Ruang kosong pada hardisk sebesar 100 MB.
Printer dan monitor sebagai media keluaran data.
Serta perangkat masukan data seperti keyboard dan mouse.
Koneksi internet untuk akses database online Sedangkan kebutuhan perangkat lunak untuk menjalankan sistem ini adalah sistem operasi Windows XP SP2 (Microsoft 2002), Microsoft Acces 2003 (Microsoft 2003) sebagai manajemen basis data. Serta jaringan internet sebagai perantara akses database online (MySQL). Komponen ODBC (open connection database) yang berguna sebagai perantara untuk koneksi database MySQL (Oracle 2009). 2. Kebutuhan tenaga Kebutuhan tenaga pada SPKPalmpowder 1.0 meliputi system analyst, administrator, pemrogram, pengumpul data serta pengguna atau operator yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan spesifikasi keahlian minimum. a. Analis sistem Analis sistem (system analyst) adalah orang yang bertindak sebagai desainer dan konseptor sebuah sistem. Keahlian khusus yang harus dimiliki oleh analis sistem adalah mempunyai kepakaran dalam analisis sitem serta mempunyai pengetahuan tentang sistem penunjang keputusan perencanaan industri serbuk sawit b. Administrator Administrator adalah orang yang bertanggung jawab terhadap keamanan data dan kebenaran informasi sistem. Keahlian yang harus dimiliki oleh administrator adalah memahami struktur data dari sistem. c. Pemrogram Pemrogram adalah orang yang bertindak mengimplementasikan sistem kedalam sebuah perangkat lunak. Keahlian khusus yang dimiliki administrator adalah mmpunyai kemampuan dalam bahasa pengkodean dan transformasi desain ke dalam perangkat lunak. d. Pengumpul data Pengumpul data adalah orang yang bertanggung jawab dalam pengumpulan dan pengujian kebenaran dari sumber data.
e. Pengguna akhir Pengguna akhir dari SPKPalmpowder 1.0 ini adalah para investor yang akan Mendirikan industri serbuk sawit yang berasal dari limbah batang kelapa sawit.. Kemampuan dasar yang harus dimiliki adalah mampu mengoperasikan sistem secara baik serta mengetahui pengoperasian komputer secara umum. 3. Pemeliharaan Sistem. Pemeliharaan sistem meliputi perbaruan dan pemeliharaan data serta merancang bangun ulang sistem yang ada guna memenuhi perubahan kebutuhan pengguna akhir. Rancang bangun ulang pada pemeliharaan sistem dilakukan karena beberapa alasan antara lain program mengalami kerusakan baik oleh pihak luar maupun karena kerusakan sistem karena crash atau terdapat bug.
V. PERENCANAAN INDUSTRI A. Analisis Pasar dan Pemasaran Dalam menganalisis aspek pasar dan pemasaran, beberapa hal yang diperhatikan adalah kedudukan produk dalam pasar saat ini, komposisi dan perkembangan permintaan produk, dan kemungkinan persaingan. Kotler (2000) mengemukakan bahwa untuk memasuki pasar harus memperkirakan pasar potensial agar sumber daya yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara efektif. Pasar potensial adalah sejumlah konsumen yang mempunyai kadar minat tertentu pada tawaran tertentu. Serbuk sawit merupakan hasil pengolahan dari limbah batang kelapa sawit yang nantinya akan digunakan sebagai aditif (Loss Circulation Material) pada lumpur pengeboran didalam proses pengeboran minyak. Konsumen dari produk LCM serbuk sawit ini dikhususkan kepada perusahaan-perusahaan pengeboran minyak serta perusahaan penyedia lumpur pengeboran baik dalam negeri maupun luar negeri. 1.
Potensi Pasar Pemenuhan kebutuhan bahan aditif (LCM) didalam lumpur pengeboran merupakan faktor yang cukup penting didalam proses pengeboran minyak bumi. Bahan aditif (LCM) mengambil peran sebesar 10% didalam komposisi lumpur pengeboran bersamaan dengan fasa cair sebesar 70% dan fasa padat (Clay-Bentonite) sebesar 20%. Suatu perusahaan pengeboran yang menggunakan lumpur pengeboran akan terlihat jelas volume minyak yang diperoleh. Berdasarkan wawancara dengan pakar di bidang pengeboran minyak, jumlah volume minyak yang didapat akan lebih besar dibandingan dengan yang tidak menggunakan lumpur pengeboran. Selain itu harga jual minyak bumi yang diperoleh juga akan lebih mahal dengan persentasi margin 10-50% dari harga jual yang tidak menggunakan lumpur pengeboran. Dilihat dari margin harga jual minyak bumi yang mencapai 50%, akan sangat prospektif sekali untuk membangun suatu industri LCM serbuk sawit dimana peran LCM sebagai aditif didalam lumpur pengeboran juga cukup penting. Captivated market dari serbuk sawit selain digunakan sebagai LCM dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan (persentase sebesar 25%) yang digunakan dalam pembuatan hydrolite polyakrilamit dengan campuran surfaktan yang nantinya akan digunakan dalam membantu proses pengeboran. Akan tetapi, produk tersebut sampai saat ini belum dilakukan penelitian sehingga produk tersebut belum dapat digunakan untuk membantu proses pengeboran. LCM serbuk sawit merupakan bahan aditif alternatif yang berasal dari pemanfaatan limbah batang kelapa sawit yang sudah tidak terpakai lagi. Selain batang kelapa sawit, masih banyak bahan lain yang potensial atau pemanfaatan limbah yang dapat digunakan sebagai bahan aditif didalam lumpur pengeboran dikarenakan sifat bahan aditif yang digunakan tidak terlalu rumit dan tidak memerlukan standard tertentu. Indonesia memiliki lahan perkebunan kelapa sawit yang sangat luas dan jumlahnya yang sangat banyak. Perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga sangatlah banyak jumlahnya sehingga limbah yang dihasilkan dari kegiatan di kebun memiliki massa terbesar. Saat ini, isu mengenai pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit sedang marak dibicarakan khususnya mengenai pencemaran udara yang dilakukan perusahaan-perusahaan perkebunan kelap sawit terhadap limbah batang kelapa sawit. Batang kelapa sawit yang sudah habis umur ekonomisnya yaitu sekitar 25 tahun sampai saat ini penanganannya hanya melalui pembakaran besar-besaran yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Selain pembakaran juga saat ini dilakukan penyuntikan batang kelapa sawit yang
sudah habis umur ekonomisnya sehingga batang tersebut mati dan tumbang dengan sendirinya. Pengolahan batang kelapa sawit menjadi produk yang bernilai ekonomis masih sangat minim, oleh karna itu pengolahan batang kelapa sawit menjadi LCM serbuk sawit sangatlah potensial. Pengembangan LCM serbuk sawit dapat memacu perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk berinovasi dalam memanfaatkan limbah yang dihasilkan menjadi suatu produk yang bernilai ekonomis, menambah kesempatan bekerja masyarakat serta berdampak juga kepada pembangunan negara. Perlu disadari bahwa untuk menjamin pemasaran yang lancar dan harga jual yang tinggi diperlukan serbuk sawit dengan kualitas yang baik. 2.
Strategi Pemasaran Faktor yang menentukan dalam pencapaian keberhasilan suatu industri adalah kemampuan industri tersebut memenuhi kebutuhan konsumen melalui pemasaran produk yang dilakukan oleh industri yang bersangkutan. Untuk mencapai keberhasilan tersebut diperlukan sebuah strategi yang tepat dalam memasarkan produk LCM serbuk sawit yang dibuat. Industri LCM serbuk sawit memerlukan strategi pemasaran dan bauran pemasaran yang tepat. Pemasaran produk difokuskan pada konsumen industri dengan penjualan melalui strategi bisnis ke bisnis. Secara lebih spesifik, strategi pemasaran yang akan dilakukan pada tahap awal meliputi: a.
Segmenting Segmentasi pasar adalah usaha pemisahan pasar pada kelompok-kelompok pembeli menurut jenis-jenis produk tertentu dan yang memerlukan bauran pemasaran tersendiri. Perusahaan menetapkan berbagai cara yangberbeda dalam memisahkan pasar tersebut, kemudian mengembangkan profil-profil yang ada pada setiap segmen pasar, dan penentuan daya tarik masing-masing segmen. LCM serbuk sawit merupakan produk yang dihasilkan dengan memanfaatkan limbah batang kelapa sawit yang sudah berumur tua dan tidak produktif lagi. LCM serbuk sawit digunakan sebagai aditif didalam lumpur pengeboran. LCM serbuk sawit mempunyai kelebihan yaitu sebagai bahan yang digunakan untuk menyumbat bagian yang menimbulkan loss circulation ketika proses pengeboran berlangsung. Segmentasi pasar produk LCM serbuk sawit adalah dibedakan berdasarkan jenis industri pengguna yakni perusahaan penyedia lumpur pengeboran dan perusahaan-perusahaan pengeboran minyak seperti PT. Chevron Indonesia, PT. Exxon Mobile Oil Indonesia baik dalam negeri maupun luar negeri. b.
Targeting Setelah proses segmentasi pasar selesai dilakukan, maka dapat diketahui beberapa segmen yang dianggap potensial untuk dimasuki. Secara umum, penetapan pasar sasaran dilakukan dengan mengevaluasi kelebihan setiap segmen, kemudian dilakukan penentuan target pasar yang akan dilayani. Targeting adalah suatu tindakan memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki. Target pasar dari produk LCM serbuk sawit ini adalah perusahaan penyedia lumpur pengeboran serta perusahaan-perusahaan pengeboran minyak yang ada di seluruh Indonesia. Dalam proses targeting produk LCM serbuk sawit ini, tidak menutup kemungkinan untuk mengekspor produk keluar negeri khususnya pada perusahaan-perusahaan pengeboran minyak serta perusahaan penyedia lumpur pengeboran.
c.
Positioning Salah satu elemen penting dari strategi pemasaran adalah positioning, yaitu bagaimana menempatkan keunggulan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan menempatkan keunggulan di benak konsumen hal ini akan menumbuhkan kepuasan konsumen sekaligus akan membedakan produk dari para pesaing di benak target pasar. Jika diamati pada keadaan pasar, produk LCM serbuk sawit masih belum ditemukan terutama dikalangan produsen LCM lainnya dalam negri sehingga produk ini sangat potensial untuk dikembangkan. Sampai saat ini, belum ada pesaing dari produk LCM serbuk sawit di indonesia, akan tetapi perlu diperhatikan pula produsen LCM lainnya yang berasal dari Canada, Amerika Serikat dan sebagainya. Melalui kegiatan positioning, perusahaan harus mampu membentuk citra produk unggulan dimana persepsi konsumen terhadap LCM serbuk sawit yang diproduksi sebagai produk yang lebih unggul dibanding dengan produk pesaing dengan kualitas yang dapat dipercaya. Elemen positioning yang dimiliki oleh produk LCM serbuk sawit adalah elemen benefit positioning. Benefit positoning dari produk LCM serbuk sawit yaitu produk yang dibuat sesuai dengan kebutuhan konsumen industri yang menggunakan produk, lebih menekankan pada spesifikasi dan fungsi produk yang dibutuhkan oleh perusahaan pengguna. Positioning dari produk LCM serbuk sawit lebih mengutamakan kualitas dan spesifikasi terstandar dari industri pengguna produk tersebut, karena pengguna merupakan konsumen akhir maka positioning dari LCM serbuk sawit adalah barang berkualitas dengan tingkat standarisasi yang sesuai. d.
Bauran Pemasaran Bauran pemasaran (marketing mix) merupakan seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran (Kotler, 2000). Alat-alat itu diklasifikasikan menjadi empat kelompok yang luas yang disebut empat P dalam pemasaran yaitu produk (product), harga (price), tempat (place), dan promosi (promotion). Strategi Produk Strategi produk sangat perlu disiapkan dengan baik oleh suatu perusahaan yang berkaitan dengan produk yang dipasarkannya. Strategi produk yang tepat akan menempatkan perusahaan dalam suatu posisi persaingan yang lebih unggul daripada pesaingnya. Produk yang dihasilkan oleh industri pengolahan batang kelapa sawit adalah LCM serbuk sawit. Menurut tujuan pemakaian, produk LCM serbuk sawit yang diproduksi tergolong barang industri karena LCM serbuk sawit digunakan kembali sebagai aditif didalam pembuatan lumpur pengeboran (proses produksi berikutnya). Produk adalah sesuatu yang ditawarkan dan dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen. LCM serbuk sawit dibuat untuk memenuhi permintaan industri lumpur pengeboran dan perusahaan pengeboran yang ada baik dari dalam negeri maupun luar negeri. LCM serbuk sawit yang dihasilkan dari pengolahan limbah batang kelapa sawit belum memiliki pesaing yang amat kuat, akan tetapi pesaing yang ada biasanya berupa perusahaanperusahaan LCM lainnya yang menyediakan produk LCM serupa dengan bahan baku lain seperti serbuk gergaji, kulit walnut dan sebagainya. LCM serbuk sawit tergolong barang industri yang tergolong baru akan tetapi tidak diperlukan pengujian yang spesifik dan ekstensif dikarenakan produk sejenis LCM ini tidak membutuhkan standarisasi yang cukup signifikan. Orientasi perusahaan ke arah pasar menggunakan pendekatan konsep produk dimana dalam implementasi pemasarannya sangat mengutamakan keunggulan produk baik dari tingkat
mutu, bahan baku yang digunakan aman dan tidak berbahaya. Pendekatan konsep itu dibentuk dengan harapan LCM serbuk sawit dapat bersaing di pasaran. Produk yang dihasilkan dalam bentuk serbuk kemudian dikemas kedalam satu jenis kemasan. Produk LCM serbuk sawit dikemas dalam kemasan primer berupa karung plastik yang berukuran 25 kg per karung dan kemasan sekunder berupa pallete kayu. Penampakan produk dan kemasan LCM serbuk sawit yang berupa karung plastik dapat dilihat pada Gambar 17 berikut.
Gambar 17. Produk dan kemasan LCM serbuk sawit Strategi Harga Menentukan harga suatu produk merupakan keputusan penting dari perusahaan, karena harga adalah satu-satunya variabel strategi pemasaran yang secara langsung menghasilkan pendapatan. Umumnya harga yang ditetapkan perusahaan akan berada pada suatu titik antara harga yang terlalu rendah dan harga yang terlalu tinggi. Biaya produk menentukan harga terendah dan persepsi konsumen terhadap nilai produk menentukan harga tertinggi. Perusahaan harus dapat menentukan harga diantara kedua titik tersebut untuk menentukan harga yang paling baik. Penentuan harga harus berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan, pengaruh persaingan, dan pembentukan persepsi pelanggan tentang nilai produk yang dihasilkan. Biaya adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan (baik biaya tetap maupun biaya variabel) untuk membuat suatu produk, sedangkan harga adalah harga jual per unit yang akan ditawarkan kepada pelanggan. Tujuan penetapan harga adalah untuk : 1) Mencapai target pengembalian investasi atau tingkat penjualan netto suatu perusahaan 2) Memaksimalkan keuntungan 3) Alat persaingan utama untuk perusahaan sejenis 4) Menyeimbangkan harga itu sendiri 5) Sebagai penentu pangsa pasar, karena dengan harga dapat diperkirakan kenaikan atau penurunan penjualannya (Gitosudarmo dalam Yuliana, 2003) Menurut Kotler (2002) salah satu metode dalam penetapan harga yaitu harga margin. Dalam menentukan harga LCM serbuk sawit digunakan metode harga margin. Dipilihnya metode tersebut karena dari sisi penjual memiliki kepastian yang lebih besar mengenai biaya daripada megenai permintaan. Penjual tidak harus terlalu sering melakukan penyesuaian terhadap perubahan permintaan, dan jika semua perusahaan dalam industri menggunakan metode ini, maka harga akan cenderung sama dan persaingan harga akan minimal. Namun kelemahan dari metode ini adalah harga margin hanya berjalan jika benar-benar membawa ke tingkat penjualan yang dikehendaki dan penjual tidak memanfaatkan pembeli ketika permintaan pembeli tinggi.
Strategi yang dapat diterapkan untuk mempengaruhi harga adalah berkaitan dengan pengaruh kapasitas produksi LCM serbuk sawit yang bersangkutan. Kapasitas produksi dari LCM serbuk sawit dapat berpengaruh terhadap biaya produksi LCM serbuk sawit tersebut. Oleh karena itu, strategi yang dapat diterapkan adalah harus tepat guna dalam memproduksi LCM serbuk sawit, baik untuk penggunaan mesin dan peralatan maupun penggunaan bahan baku dan bahan tambahan, diusahakan untuk seefisien mungkin guna menghasilkan output yang tinggi sehingga biaya produksi yang dikeluarkan rendah serta harga jual ke konsumen dapat ditekan. Harga akhir produk LCM serbuk sawit dalam satuan per kg adalah sebesar : Harga pokok = biaya tetap tahun pertama + biaya variabel tahun pertama kapasitas penjualan tahun pertama (80%) = 493,335,145 /128000 = Rp 3854 Harga jual = Harga pokok + Margin (20%) = Rp 3854 + Rp 771 = Rp 4625/kg Strategi Distribusi Menurut Kotler (2000) saluran pemasaran dapat dilihat sebagai sekumpulan organisasi yang saling tergantung satu dengan yang lainnya serta terlibat dalam proses penyediaan sebuah produk atau pelayanan untuk digunakan. Saluran pemasaran dicirikan dengan jumlah tingkat saluran. LCM serbuk sawit sebagai barang industri memiliki tipe saluran pemasaran untuk memasarkan produk tersebut ke industri penyedia lumpur pengeboran sebagai pengguna produk. Terdapat alternatif saluran pemasaran yang dapat digunakan. Perusahaan dapat membentuk organisasi penjualan produk LCM serbuk sawit untuk menjual secara langsung produk ini ke pelanggan industri melalui metode bisnis ke bisnis. Pemilihan strategi ini mengharuskan perusahaan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pemasaran produk LCM serbuk sawit yang dihasilkan, diantaranya pembentukan, tim pemasaran, tempat persediaan produk, dan startegi pemasaran. Strategi Promosi Dalam pelaksanaan pemasaran produk LCM serbuk sawit diperlukan strategi promosi yang tepat karena produk LCM serbuk sawit masih tergolong produk baru yang berada pada tahap pengenalan. Promosi merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam pemasaran karena promosi dapat dijadikan alat pengenalan produk sekaligus neraih pangsa pasar. Bauran komunikasi pemasaran (bauran pemasaran) terdiri dari empat perangkat utama, yaitu iklan, promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat (public relation), dan penjualan personal (personal selling) (Kotler, 2000). Bauran promosi yang digunakan yaitu melalui promosi penjualan melalui internet (e-commerce) dan melakukan penjualan personal bisnis ke bisnis dengan cara penawaranpenawaran ke industri pengguna LCM serbuk sawit dan selanjutnya menjalin hubungan kemitraan dengan perusahaan pengguna produk LCM serbuk sawit tersebut. Strategi pemasaran yang digunakan yaitu strategi bisnis ke bisnis karena target pasar dari produk LCM serbuk sawit adalah konsumen penyedia lumpur pengeboran dan perusahaan pengeboran minyak baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal utama yang dipertimbangkan dalam strategi bisnis ke bisnis adalah spesifikasi dan mutu dari produk LCM serbuk sawit yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan perusahaan penyedia lumpur pengeboran serta perusahaan pengeboran minyak yang ada di indonesia yang akan menggunakan produk tersebut. Strategi bisnis ke bisnis dilakukan melalui promosi dengan menitik beratkan pada metode penjualan
personal melalui presentasi penjualan, pertemuan penjualan, komunikasi melalui media elektronika (telepon, fax, email) serta melalui pameran dagang nasional maupun internasional. Dalam melakukan promosi produk LCM serbuk sawit dilakukan penjualan dengan menjual sendiri menggunakan tenaga pemasar yang dimiliki perusahaan. Konsumen dari industri LCM serbuk sawit yaitu beberapa industri penyedia lumpur pengeboran serta perusahaan-perusahaan pengeboran minyak yang masih sedikit mengetahui kehadiran produk LCM serbuk sawit. Oleh karena itu tahapan untuk memperkenalkan kepada konsume dimulai dari menarik perhatian (awareness), setelah itu tumbuh minat (interest), kemudian berkehendak (desire) untuk melakukan (action) pembelian produk tersebut. Di Indonesia, produk LCM serbuk sawit sama sekali belum digunakan oleh industri penyedia lumpur pengeboran dan perusahaan-perusahaan pengeboran minyak akan tetapi sudah ada beberapa industri yang menghasilkan produk sejenis dengan LCM serbuk sawit dengan menggunakan bahan baku seperti serbuk gergaji. Oleh karena itu, perusahaan ini perlu menciptakan pasar, sehingga untuk memperoleh pasar perlu diciptakan pula pasar pengguna LCM serbuk sawit serta memperkenalkan produk yang dibuat pada pasar dengan menciptakan citra produk pada benak konsumen industri sebagai produk tersandar yang memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh masing-masing industri penyedia lumpur pengeboran maupun perusahaan-perusahaan pengeboran yang ada di Indonesia. B. Analisis Teknis dan Teknologis 1. Spesifikasi Bahan Baku Limbah batang sawit yang selama ini menjadi persoalan serius bagi pengelola kebun ternyata bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku produk aditif didalam proses pengeboran minyak. Potensi ini belum banyak diketahui orang padahal dapat dijadikan sebagai bahan baku industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit, stok limbah kayu kelapa sawit sangat melimpah. Limbah yang tidak pernah diperhitungan sebelumnya bisa dijadikan bahan baku alternatif. Batang kelapa sawit terdiri dari dua komponen utama yaitu jaringan ikatan pembuluh (vascular bundles) dan jaringan parenkim. Hasil analisa kimia menunjukkan bahwa kadar pati kelapa sawit termasuk tinggi (Bakar, 2003). Kelapa sawit merupakan bahan yang memiliki sejumlah kekurangan. Kelemahan tersebut menurut Bakar (2003) antara lain terletak pada stabilitas dimensi, kekuatan, keawetan dan sifat permesinan. Dalam bentuk alami, kayu gergajian kelapa sawit dimensinya tidak stabil dengan variasi susut 9.2%-14%. Dari segi kekuatan, kayu kelapa sawit tergolong sangat lemah dimana papan tepinya termasuk kedalam kelas kuat IV-V. Dari segi keawetan, tergolong sangat tidak awet (kelas V). Dengan demikian perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas dengan penambahan bahan plastik. Tabel 5 menunjukkan sifat-sifat dasar dari batang kelapa sawit. Tabel 5 . Komponen-komponen batang kelapa sawit Komponen Kandungan % Air 12.05 Abu 2.25 SiO2 0.48 Lignin 17.22 Hemiselulosa 16.81 α-selulosa 30.77 Pentosa 20.05 Sumber : Nasution DY, 2001
Pohon kelapa sawit produktif hingga berumur 25 tahun, tingginya mencapai 9 – 12 meter dan diameter 45 – 65 cm. Komponen-komponen yang terkandung dalam kayu kelapa sawit adalah selulosa, lignin, parenkim, air, dan abu (Tomimura, 1992). Menurut Lasino (2005) Pemanfaatan batang kelapa sawit hingga saat ini penggunaannya baru sampai pada pengolahan menjadi papan komposit, kayu plastik, papan partikel dan panel kayu. Dengan banyaknya jumlah limbah kelapa sawit, maka salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan pemanfaatan limbah tersebut untuk berbagai kebutuhan sehingga mempunyai nilai ekonomis seperti pada produk serbuk sawit. Diagram alir pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit dapat dilihat pada Gambar 18 sebagai berikut.
Batang Kelapa Sawit
Pengeringan
Pemotongan (ukuran balok)
Pengecilan Ukuran (1/4’’)
Serbuk Sawit
Gambar 18. Diagram alir proses pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit 2.
Ketersediaan dan Prakiraan Bahan Baku Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan merupakan propinsi sentra perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Data luas areal perkebunan kelapa sawit keempat propinsi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari keempat propinsi tersebut, Riau merupakan daerah yang memiliki luas areal perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Menurut data yang didapat dari Badan Pusat Statistik, luas areal perkebunan kelapa sawit propinsi Riau tahun 2009 sebesar 1,522,308 hektare dan diperkirakan akan terus bertambah pada tahun 2010, 2011 dan seterusnya. Di Riau sendiri terdapat beberapa kabupaten yang memiliki luas areal perkebunan sawit terbesar yaitu pada kabupaten Rokan Hulu, Pelalawan, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu yang dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Riau Kabupaten
Luas Areal (Ha)
Rokan Hulu
294,539
Kampar
212,771
Pelalawan
162,500
Kuantan Singingi
123,901
Indragiri Hulu 97,253 Sumber: Badan Pusat Statistik 2009 Dari keempat propinsi yang menjadi sentra perkebunan kelapa sawit, dilakukan pencarian beberapa kabupaten yang mempunyai luas areal perkebunan kelapa sawit untuk dilihat seberapa besar bahan baku limbah batang kelapa sawit yang tersedia. Pada propinsi Sumatera Barat terdapat tiga kabupaten yang potensial sebagai penyedia bahan baku seperti kabupaten Pasaman Barat, Dharmas Raya dan Solok Selatan. Pada Propinsi Sumatera Utara terdapat kabupaten Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, Simalungun, Langkat, dan Asahan sedangkan pada Propinsi Sumatera Selatan terdapat kabupaten Musi Banyuasin, Ogan Kemening Ilir, dan Musi Rawas yang sangat potensial dalam penyediaan bahan baku yang berupa limbah batang kelapa sawit. Dilihat dari luas areal perkebunan kelapa sawit yang dimiliki tiap kabupaten tersebut, dapat diperkirakan besarnya bahan baku yang dimiliki yang dapat diolah dan dijadikan produk yang bernilai ekonomis atau dengan kata lain industri akan sangat kecil sekali untuk dapat kekurangan bahan baku yang nantinya akan diolah menjadi serbuk sawit. Analisis prakiraan luas perkebunan kelapa sawit di empat propinsi penghasil terbesar dihitung berdasarkan data historis yang terhitung selama 15 tahun sejak tahun 1995-2009. Analisis prakiraan bahan baku ini dihitung dengan menggunakan metode time series, linier trend analysis. Data yang didapat dari hasil prakiraan ini dapat digunakan dalam menghitung jumlah batang kelapa sawit yang dihasilkan per kilogram per hektarnya dengan menggunakan asumsi-asumsi yang digunakan didalam perhitungan neraca massa dari bahan baku tersebut. Hasil prakiraan dapat dilihat pada Tabel 7 dan salah satu grafik dari hasil prakiraan dapat dilihat pada Gambar 19. Untuk tabel luas areal perkebunan kelapa sawit sebelum di prakirakan dapat dilihat pada Lampiran 4 sedangkan untuk grafik hasil perhitungan prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit lainnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 7. Hasil prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit (2010-2019)
Provinsi Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat
Jumlah Prakiraan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit (Ha) 2012 2013 2014 2015 2016 2017
2010
2011
2018
2019
1,259,974 1,774,648
1,308,673 1,864,222
1,357,372 1,953,797
1,406,070 2,043,371
1,454,769 2,132,945
1,503,468 2,222,520
1,552,167 2,312,094
1,600,866 2,401,668
1,649,565 2,491,242
1,698,264 2,580,817
812,606
851,900
891,195
930,489
969,783
1,009,078
1,048,372
1,087,667
1,126,961
1,166,255
465,752
488,216
510,679
533,143
555,607
578,071
600,535
622,999
645,463
667,927
Gambar 19. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit provinsi Riau Berdasarkan grafik , hampir di semua provinsi mengalami kenaikan walaupun kenaikan tersebut tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan karena setiap tahunnya perkebunan kelapa sawit pasti akan mengalami kondisi re-planting atau penebangan dikarenakan umur ekonomis kelapa sawit sudah usai dan tidak produktif lagi. Oleh karena itu perlu adanya perhatian yang cukup agar kebutuhan bahan baku yang berupa batang kelapa sawit tetap terpenuhi. 3.
Kapasitas Produksi Kapasitas produksi adalah volume atau jumlah satuan produk yang dihasilkan selama satuan waktu tertentu dan dinyatakan dalam bentuk keluaran (output) per satuan waktu. Penentuan kapasitas produksi dapat ditentukan dari berbagai faktor. Dalam industri LCM serbuk sawit beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu ketersediaan bahan baku, daya serap pasar, jumlah investasi, dan kemampuan teknis. Potensi pasar LCM serbuk sawit diperkirakan cukup besar karna produk tersebut dibutuhkan oleh industri penyedia lumpur pengeboran serta perusahaan-perusahaan pengeboran minyak. Berdasarkan kajian kebutuhan potensial produk LCM secara umum di Indonesia yaitu sebesar 40-80 ton pertahun. Hingga saat ini, beberapa perusahaan pengeboran minyak di Indonesia masih ada yang mengandalkan pasokan impor dan belum ada industri LCM dengan bahan baku yang berasal dari limbah sehingga daya serap pasar masih sangat terbuka bagi industri LCM serbuk sawit. Selain berdasar pada pertimbangan ketersediaan bahan baku, kemampuan investasi menjadi faktor yang mempengaruhi penentuan kapasitas produksi. Sejauh mana investasi mampu memenuhi target kapasitas produksi yang akan ditetapkan. Faktor berikutnya yang harus dipertimbangkan adalah kemmapuan teknis peralatan dan tenaga kerja manusia yang akan menangani proses produksi. Kapasitas produksi harus berdasar pada kemampuan peralatan yang tersedia yang diimbangi dengan kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki. Berdasarkan pertimbangan daya serap pasar, ketersediaan bahan baku, kemampuan investasi, dan kemampuan teknis tersebut, maka kapasitas produksi yang dipilih adalah mengambil dua kali lipat dari pasar potensial yang diperkirakan yaitu 160 ton pertahun. Penentuan pasar yang diambil sebesar dua kali lipat dikarenakan LCM serbuk sawit merupakan produk baru yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sehingga proses pencarian pasar akan lebih mudah dan persaingan pun tidak terlalu besar. Nilai 160 ton pertahun dianggap cukup optimis untuk membuka
pasar dikarenakan kebutuhan LCM di Indonesia akan meningkat setiap tahunnya serta melimpahnya ketersediaan bahan baku yang ada serta kemudahan yang didapat. Dengan kapasitas produksi diatas, diperkirakan kebutuhan bahan baku yang cukup besar akan dapat terpenuhi dengan mudah yang diimbangi dengan investasi yang memadai (Ibrahim, PT. Tiara Bumi Petroleum). 4. a.
Proses Produksi Proses Pembuatan LCM serbuk sawit diproduksi dengan menggunakan bahan baku limbah batang kelapa sawit. Batang kelapa sawit yang digunakan harus memiliki kadar air yang rendah sekitar 5-10%. Berikut proses pembuatan LCM serbuk sawit dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit.
Pengeringan. Batang kelapa sawit yang telah ditebang dan dibersihkan kulitnya masih memiliki kadar air yaitu sekitar12.05%. Dalam pembuatan LCM serbuk sawit, kadar air yang baik untuk dimiliki oleh suatu produk yang berupa serbuk yaitu sekitar 5-10%. Hal ini dikarenakan agar ketika serbuk dicampurkan kedalam lumpur pengeboran, fase cair dari lumpur pengeboran tidak melebihi standar yang ditentukan yaitu sebesar 70-80%. Proses pengeringan dilakukan dengan menjemur batang kelapa sawit yang telah dibersihkan kulitnya dibawah sinar matahari langsung sekitar dua sampai tiga hari.
Pemotongan (Ukuran balok) Batang kelapa sawit yang telah dikeringkan sampai kadar air 10% dilakukan pemotongan ukuran balok agar mempermudah untuk pengolahan pada proses berikutnya.
Pengecilan Ukuran Proses pengecilan ukuran dilakukan dengan menggunakan Hammer mills. Batang kelapa sawit yang berbentuk balok digiling untuk mendapatkan ukuran serbuk. b.
Mesin dan Alat Pada proses produksi LCM serbuk sawit diatas diperlukan beberapa mesin dan peralatan yang mendukung proses produksi. Alat-alat yang digunakan pada proses produksi pembuatan LCM serbuk sawit adalah Hammer mills dan oven pengering untuk menguji kadar air produk.
Hammer Mills Bahan baku berupa batang kelapa sawit kering diproses dengan diberi perlakuan pengecilan ukuran yaitu dengan cara digiling dan dihancurkan. Alat yang digunakan untuk menggiling batang kelapa sawit tersebut adalah Hammer Mills. Mesin penggiling tipe ini memiliki rotor kecepatan tinggi yang berputar didalam rumahan berbentuk silinder dengan sumbu putar yang biasanya mendatar (Horizontal). Pada alat ini dimodifikasi dengan serbuk nantinya ditiup melalui sistem perpipaan yang solid masuk kedalam kemasan. Hammer mills secara umum memiliki prinsip mengalirkan umpan menuju penggilingan, kemudian produk dipukul-pukul dengan menggunakan martil khusus yang bergabung dengan beater rotor dimana akan memperkecil ukuran partikel sampai dengan ukuran yang diinginkan.
Ukurannya dapat mencapai ¼ inch. Spesifikasi Hammer Mills yang digunakan pada industri ini dapat dilihat pada Tabel 8 dan penampakan Hammer mills dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 8. Spesifikasi Hammer Mills secara umum Hammer Mills untuk pengecilan ukuran
Fungsi Bahan Konstruksi
Baja
Ukuran Produk
0.25 inch
Kapasitas
600 kg/jam
Konsumsi Daya
11000 watt
Dimensi
1.7 x 1.2 x 1.2 m
Efisiensi
80% Sumber: www.perkakasku.com
Gambar 20. Hammer Mills dengan modifikasi pipa Sumber: www.perkakasku.com
Oven Pengering Oven pengering berfungsi untuk mengeringkan sampel batang kelapa sawit didalam mini lab untuk standar kualitas kadar air dari produk serbuk sawit yang dihasilkan. Oven pengering mempunyai spesifikasi temperature 40-120 derajat celcius dengan konsumsi daya 2500 watt. Berikut merupakan gambar penampakan dari oven pengering yang dapat dilihat pada Gambar 21 dibawah ini.
Gambar 21. Oven pengering
Pompa Air Pompa air digunakan untuk mengalirkan kebutuhan air pada keseluruhan proses. Spesifikasi pompa yang digunakan ditampilkan pada Tabel 9 dan penampakan Pompa dapat dilihat pada Gambar 22.
Tabel 9. Spesifikasi pompa yang digunakan pada proses produksi LCM serbuk sawit Pompa Model
JetS60
Daya
0.5 HP
H.max
38 M
S.Head
9M
Kapasitas
42 Liter/Min 220V/50Hz/1 phase
Maksimum tekanan operasi 8 Bar Sumber: www.perkakasku.com Gambar 22. Pompa yang digunakan pada proses produksi LCM serbuk sawit
Generator Set Energi listrik merupakan sumber daya yang penting yang digunakan dalam kegiatan industri LCM serbuk sawit. Karena sebagian besar pengoperasian alat menggunakan listrik. Untuk mencegah terjadinya kegagalan produksi akibat listrik mati, maka disediakan genset untuk persediaan energi apabila listrik mati. Penampakan dari generator set dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Generator set
c.
Neraca Massa dan Kebutuhan Energi Listrik dari Mesin dan Peralatan yang Digunakan
Neraca Massa Proses produksi LCM serbuk sawit yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan kajian yang dilakukan oleh penulis. Neraca massa proses pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit dapat dilihat pada Gambar 24 di bawah ini. Asumsi: Perhitungan Neraca Massa Diameter = 60 cm = 0.6 m, r = 0.3 m Tinggi = 15 m Berat Jenis = 0.3 Ton/m3 Volume = ∏ r2 t = 3.14 x 0.09 m2 x 15 m = 4.24 m3 Massa = 4.24 m3 x 0.3 ton/m3 = 1.28 ton/batang = 1280 kg/batang Dalam 1 hektare = 143 batang x 1.28 ton/batang = 183 ton Loss pengecilan ukuran = 13% Kadar Air Batang Kelapa Sawit = 12.05% Kadar Air Produk (Serbuk Sawit) = 5% Sumber: http://membangunkebunkelapasawit.webs.com/ Sistem jarak tanaman Segitiga sama sisi jarak = 9 m X 9 m X 9 m. Jarak Utara-Selatan tanaman = 7.82 m Jarak antara setiap tanaman =9m Populasi (kerapatan) tanaman = 143 pohon / hektare Sumber: http://rizals.student.umm.ac.id/2010/01/23/budidaya-tanaman-kelapa-sawit/ Perhitungan Kadar Air (Basis Kering) Awal: KA 12.05% (wet base) Massa air bahan = (12.05/100) x 1280 = 154 kg air Massa bahan kering = 1280 – 154 = 1126 kg bahan kering Akhir: KA 5% (wet base) Massa air produk = (5/95) x 1126 kg bahan kering = 59 kg air Total produk setelah dikeringkan = 1126 + 59 = 1185 kg Total air yang diuapkan = 154 – 59 = 95 kg
Batang Kelapa Sawit 1280 Kg
Uap Air 95 Kg
Pengeringan KA 5%
Batang Kering 1185 Kg
Pemotongan (ukuran Balok) 100%
Balok Sawit 1185 Kg
Pengecilan Ukuran (1/4”) 87%
Loss 13%= 154 Kg
Serbuk Sawit 1030 Kg
Gambar 24. Neraca massa proses pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit
Kebutuhan Energi Listrik Mesin dan Alat Mesin dan alat yang digunakan sebagian besar memanfaatkan energi listrik. Pada Tabel 10 diperlihatkan jumlah energi listrik yang dibutuhkan oleh mesin dan alat pada proses produksi LCM serbuk sawit. Tabel 10. Kebutuhan energi listrik pada mesin dan peralatan yang digunakan oleh industri LCM serbuk sawit. Jumlah Mesin
Daya Listrik (kWh)
Waktu Operasi Per Hari
kWh/Hari (kWh)
kWh/Bulan (kWh)
kWh/Tahun (kWh)
Hammer Mills
2
11
7
154
4312
51744
Oven Pengering
1
2.5
4
10
280
1440
Pompa
1
2
4
8
224
1152
MesinPengemas
1
2
7
Nama Mesin
Total
14
392
1680
186
5208
56016
5.
Penentuan Lokasi Pabrik Penentuan lokasi pabrik merupakan suatu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pendirian suatu industri. Pemilihan lokasi yang tepat akan berpengaruh terhadap kelangsungan dan efisiensi perusahaan. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi pabrik adalah ketersediaan bahan mentah, letak pasar yang dituju, tenaga listrik dan air, pasokan tenaga kerja, dan fasilitas transportasi (Husnan dan Muhammad, 2005). Suatu industri yang lokasinya tidak tepat, akan menghadapi persoalan yang terus menerus dan tidak terselesaikan, terutama dalam menghadapi saingan sehingga kelangsungan hidup dan stabilitas industri tersebut akan selalu mengalami kesulitan. Oleh sebab itu, untuk memperoleh keputusan yang teapat dalam penentuan lokasi, maka perlu dilakukan pengkajian berbagai faktor yang mempengaruhinya. Lokasi industri yang tepat dapat melayani proses-proses baru, perkembangan teknologi, dan dapat menampung kemungkinan-kemungkinan perluasan industri. Calon lokasi pabrik LCM serbuk sawit ditetapkan oleh calon pendiri pabrik yaitu di Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Langkat, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Dharmas Raya. Pemilihan lokasi perlu dilakukan oleh pakar yang berasal dari pelaku bisnis kelapa sawit, manager operasional pengeboran minyak dan pelaku bisnis pengeboran minyak dengan cara mengisi kuisioner dan membandingkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan tersebut. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), lokasi yang terpilih adalah Kabupaten Rokan Hulu dengan total nilai pilihan terbesar yaitu 471,353,225 diikuti oleh alternatif berikutnya yaitu Kabupaten Kampar 460,340,810 dan Kabupaten Pelalawan 449,328,395 yang selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 12. Kuisioner dari pemilihan lokasi potensial tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6. Penetapan lokasi pabrik didasarkan pada berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan. Dikaji dari karakteristiknya industri LCM serbuk sawit membutuhkan lokasi yang tidak terlalu luas karena hanya melakukan proses pengecilan ukuran sehingga luas area yang dibutuhkan hanya meliputi area pabrik dan kelengkapannya. Industri LCM serbuk sawit tidak menghasilkan limbah padat, cair, dan gas yang membahayakan bagi lingkungan sehingga lokasi pendirian industri pun tidak harus jauh dari pemukiman penduduk. Untuk mendukung proses pendistribusian bahan baku dan produk dibutuhkan infrastruktur yang mendukung. Diperlukan kedkatan dengan akses pasar akan mempermudah kegiatan pemasaran produk dan mampu meringankan biaya distribusi produk. Industri LCM serbuk sawit membutuhkan infrastruktur yang mendukung yaitu kebutuhan tenaga listrik harus memadai, pasokan air tanah memadai dengan kualitas air masih cukup baik. Keseluruhan kriteria kebutuhan pendirian industri tersebut terpenuhi pada alternatif lokasi Kabupaten Rokan Hulu, sehingga pemilihan lokasi di Kabupateb Rokan Hulu sudah tepat. Ketersediaan sumberdaya manusia pun menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan. Pasokan sumber daya yang kompeten dan tenaga kerja tersedia dalam jumlah memadai. Dengan adanya industri di atas, tenaga kerja daerah ini dapat terserap dan mengurangi tingkat pengangguran. Selain itu faktor berbagai biaya seperti transportasi pemasaran, biaya pembelian lahan dan pembangunan lahan yang lebih rendah. Dalam pemilihan lokasi ini, tidak menutup kemungkinan pendiri industri mendirikan industri ini di sentra-sentra kabupaten yang banyak terdapat perkebunan kelapa sawit serta daerahdaerah yang menjadi sentra pengeboran minyak sehingga tidak menutup kemungkinan untuk membangun lebih dari satu pabrik. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat rencana pendirian industri ini yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu rumit. Pendirian industri di berbagai
kabupaten tersebut dilakukan agar meminimumkan biaya transportasi serta distribusi dari produk LCM serbuk sawit itu sendiri. Tabel 11. Jumlah perkebunan kelapa sawit 4 provinsi terbesar di Indonesia
Provinsi Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat
Tahun 2008 367 122 100 67
Tahun 2009 330 133 111 66
Tabel 12. Hasil perhitungan lokasi potensial pendirian industri LCM serbuk sawit KRITERIA ALTERNATIF A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 BOBOT
K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
Nilai MPE
PERINGKAT
9 9 9 8 8 7 7 7 7 7
8 7 7 7 7 6 7 6 6 6
8 8 7 8 8 7 7 6 7 7
6 6 6 6 6 6 6 5 6 6
8 8 8 8 8 7 8 7 7 7
8 8 8 8 8 8 7 6 7 7
8 8 8 7 7 7 7 7 7 6
471,353,225 460,340,810 449,328,395 196,125,634 196,125,634 76,151,498 80,236,683 56,937,682 65,139,083 61,053,898
1 2 3 4 4 6 5 9 7 8
9
8
8
6
8
8
8
Keterangan: A1: Kabupaten Rokan Hulu A2 : Kabupaten Kampar A3 : Kabupaten Pelalawan A4 : Kabupaten Labuhan Batu A5 : Kabupaten Tapanuli Selatan A6 : Kabupaten Simalungun A7 : Kabupaten Langkat A8 : Kabupaten Musi Banyuasin A9 : Kabupaten Pasaman Barat A10 : Kabupaten Dharmas Raya 6.
K1: Ketersediaan Bahan Baku K2: Ketersediaan Tenaga Kerja K3: Ketersediaan Infrastruktur yang Baik K4: Masyarakat Sekitar yang Mendukung K5: Sudah Terbangunnya Jaringan Distribusi K6: Peraturan Pemerintah Lokal yang Mendukung K7: Biaya
Desain Tata Letak dan Kebutuhan Ruang Pabrik Desain tata letak sangat dibutuhkan dalam rangka pendirian suatu pabrik, karena hal ini berhubungan dengan penyusunan letak mesin, peralatan-peralatan produksi, dan ruangan-ruangan dalam pabrik. Pada tahapan proses pendirian industri LCM serbuk sawit, penentuan desain tata letak menjadi salah satu faktor yang sangat diperhatikan karena akan membuat proses produksi
dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Hal ini mengacu pada Heinzer dan Render (2004) yang menyatakan bahwa tata letak merupakan salah satu strategi wilayah yang akan menentukan efisiensi operasi dalam jangka panjang. Tata letak pabrik merupakan perwujudan suatu sistem pembuatan produk meliputi pengaturan fasilitas-fasilitas fisik produksi antara pelaksana, aliran barang, aliran informasi dan tata cara yang diperlukan untuk memperlancar proses produksi. Fasilitas fisik yang dimaksud dapat berupa mesin, peralatan, meja, bangunan dan sebagainya. Secara garis besar tujuan utama perancangan tata letak fasilitas pabrik adalah untuk mengatur area kerja dan seluruh fasilitas yang digunakan dalam proses produksi sehingga dapat berjalan dengan lancar, dalam waktu lebih singkat, lebih ekonomis dan aman. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan tata letak fasilitas pabrik adalah sebagai berikut : Prinsip integrasi total, seluruh elemen produksi yang ada merupakan satu unit operasi yang besar. Prinsip minimal jarak perpindahan bahan guna meningkatkan waktu produksi. Prinsip aliran proses kerja, diusahakan menghindari gerakan balik (back tracking) gerakan memotong (cross movement) dan kemacetan dalam aliran kerja. Prinsip pemanfaatan ruang, mempertimbangkan luasnya.
mempertimbangkan
dimensi
dan
tidak
sekedar
Prinsip kepuasan dan keselamatan kerja, tata letak yang baik adalah tata letak yang mampu menjamin kepuasan dan keselamatan kerja. Prinsip fleksibilitas, suatu tata letak harus fleksibel untuk diadakan penyesuaian atau pengaturan kembali dalam usaha mengimbangi perkembangan perusahaan. Perencanaan rancangan tata letak fasilitas pabrik yang baik selain dapat memperlancar proses produksi juga dapat memberikan keuntungan lain yaitu :
Meningkatkan output produksi dalam waktu singkat dengan biaya produksi lebih murah.
Mengurangi proses pemindahan bahan (material handling).
Mengurangi adanya inventori in-proses karena proses berjalan dengan lancar.
Mengurangi waktu tunggu (delay) dan waktu menganggur.
Memperbaiki moral dan kepuasan kerja. Pada penentuan tata letak pabrik, terdapat tiga tipe tata letak pada pabrik yaitu antara lain
adalah :
Tata Letak Berdasarkan Produk (Layout by Product) Tata letak jenis ini membentuk suatu garis mengikuti jenjang proses pengerjaan produksi suatu produk dari awal hingga akhir.
Tata Letak Berdasarkan Proses (Layout by Process) Layout pada jenis tata letak berdasarkan proses memiliki bagian yang saling terpisah satu sama lain dimana aliran bahan baku terputus-putus dengan mesin disusun sesuai fungsi dalam suatu group departemen.
Tata Letak Berdasarkan Stationary (Layout by Stationary)
Tata letak jenis ini mendekatkan sumber daya manusia (SDM) serta perlengkapan yang ada pada bahan baku untuk kegiatan produksi. Industri LCM serbuk sawit memproduksi satu jenis produk yaitu serbuk sawit. Oleh karena itu, tipe tata letak yang digunakan adalah tipe produk. Layout by Product adalah cara pengaturan dan penempatan semua fasilitas produksi yang diperlukan ke dalam suatu departemen tertentu atau khusus. Suatu produk dapat diproduksi sampai selesai di dalam departemen tersebut, dan tidak perlu dipindah-pindahkan ke departemen yang lain. Dalam Layout by Product, mesinmesin atau alat bantu disusun menurut urutan proses dari suatu produk. Produk bergerak secara terus menerus dalam suatu garis perakitan. Layout by Product akan digunakan apabila volume produksi cukup tinggi dan variasi produk tidak banyak dan sangat sesuai untuk produk yang kontinyu. Tujuan dari Layout by Product pada dasarnya adalah untuk mengurangi proses pemindahan bahan dan memudahkan pengawasan di dalam aktivitas produksi, sehingga pada akhirnya terjadi penghematan biaya (Purnomo, 2004). Ruangan yang terdapat di industri biodiesel ini adalah ruang penerimaan bahan baku, ruang produksi, ruang pengemasan, ruang penyimpanan produk, ruang penampungan limbah, mini lab, sumber air, kantor, mushola dan toilet. Luas ruang produksi adalah sekitar 375 m 2. Tata letak ruang produksi adalah sebagai berikut : 1. Mesin pengecil ukuran 1 2. Mesin pengecil ukuran 2 3. Mesin pengemas Terdapat beberapa pola aliran bahan dalam ruang produksi, yaitu : pola aliran garis lurus jika proses produksinya pendek dan sederhana, pola aliran bentuk “L” jika terdapat keterbatasan pada besar gedung, pola aliran bentuk “U” jika aliran masuk dan keluar pada lokasi yang sama, pola aliran bentuk “O” jika bahan baku dan produk ditempatkan pada satu ruang, dan pola aliran bentuk “S” (zig zag) jika aliran produksi panjang. Aliran bahan yang lancar secara otomastis akan mengurangi biaya dan akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Pola aliran bahan dalam ruang produksi untuk memproduksi serbuk sawit adalah pola aliran bahan berbentuk “L” yang dapat dilihat pada Gambar 25 berikut.
1
2
3
Gambar 25. Pola aliran bahan dalam ruang produksi LCM serbuk sawit Keterangan : 1. Mesin pengupas 2. Mesin pengecil ukuran 1 3. Mesin pengecil ukuran 2 Keterkaitan aktivitas digambarkan dengan menggunakan bagan yang disebut dengan bagan keterkaitan aktivitas. Bagan keterkaitan aktivitas merupakan bagan yang menggambarkan tingkat keterkaitan antara dua aktivitas yang ada dan dapat dilihat pada Gambar 26. Derajat keterkaitan di gambarkan dengan simbol :
A E I
= mutlak perlu = sangat penting = penting
O U X
= cukup/biasa = tidak penting = tidak dikehendaki
1 2
1. R. penerimaan BB
3
A
4
O
2. R. Produksi A
E
E I
4. R. Penyimpanan Produk O
6
I
O
3. R. Pengemasan
5. R. Penampungan Limbah
5
O
A
O
U
O
7. Sumber Air O
I
1 2
3 4
5 6
I 7
I
9. Mushola
U U
U
O
U U
U
10 U
U U
U
8. Kantor
U U
I O
9
I O
I I
I
U U
6. Mini Lab
8
I
O
O
7
O
8
I 9
10. Toilet 10
Gambar 26. Diagram keterkaitan antar aktivitas
Bagan keterkaitan aktivitas di atas dijadikan patokan sebagai perhitungan keterkaitan antar ruang. Diagram keterkaitan antar aktivitas menggunakan template-template yang menggambarkan kegiatan yang ada (Apple, 1990). Untuk membuat diagram ini dihitung dengan menggunakan metode Total Closeness Rating (TCR). Perhitungan TCR ini adalah penjumlahan dari bobot setiap simbol dalam satu kegiatan. Bobot dari simbol-simbol tersebut adalah : A = 3 pangkat 4 O = 3 pangkat 1 E = 3 pangkat 3 U = 3 pangkat 0 I = 3 pangkat 2 X =0
Tabel 13. Nilai Total Closeness Rating (TCR) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kegiatan Penerimaan bahan baku Proses Produksi Ruang Pengemasan Gudang Produk Penampungan Limbah Mini Lab Sumber Air Kantor Mushola Toilet
Nilai TCR 113 293 129 49 65 105 53 51 27 33
Parkir
Peringkat 3 1 2 8 5 4 6 7 10 9
Penerimaan Bahan Baku Proses Produksi
Kantor
Pengemasan Sumber air MusholaKantor Toilet
Mini Lab
Penampungan Limbah
Gudang produk jadi
Ruang produksi
Stasiun pengeluaran produk
Gambar 27. Keterkaitan ruang Setelah dianalisis hubungan keterkaitan antar aktivitas dan dibuat bagan dan diagram keterkaitan antar aktivitas, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis kebutuhan ruang yang diperlukan. Kebutuhan luasan ruang produksi tergantung pada jumlah mesin/peralatan, tenaga kerja atau operator yang menangani fasilitas produksi, serta jumlah dan jenis sarana lain yang mendukung kegiatan produksi yang bersangkutan. Jumlah mesin atau tenaga kerja tergantung pada tingkat produksi secara keseluruhan dan tingkat produksi pada setiap tahapan kegiatan produksi. Mesin-mesin dan peralatan yang digunakan mempunyai sistem kerja yang otomatis dan berteknologi tinggi, sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan tidak banyak dan harus terampil, ahli dan mengerti dengan baik proses yang berjalan. Pada Tabel 14 disajikan kebutuhan ruang produksi. Kebutuhan luasan ruang pabrik industri pengolahan LCM serbuk sawit dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 14. Kebutuhan ruang produksi
No
Jumlah
Nama Ruang
1
Penerimaan bahan baku
2
Proses Produksi
Mesin
Operator
Sub total (m2)
Total x 150 %
70
105
60
90
Pengupasan Pemotongan
2
2
60
90
Pengecilan Ukuran
2
2
40
60
Pengemasan
1
1
20
30
5
5
250
375
Total
Area kelonggaran ditentukan sebesar 150 %. Kelonggaran 150 % ini disediakan untuk kegiatan penanganan bahan, pergerakan pekerja dan perawatan, lorong, kolom, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan. Jika jumlah mesin yang akan ditangani operator sudah ditetapkan, maka kebutuhan luas ruang untuk mesin/peralatan dapat ditentukan. Salah satu metode dalam menentukan luasan ruang produksi adalah metode pusat produksi. Pusat produksi terdiri dari mesin dan semua perlengkapan untuk mendukung proses produksi, serta luasan untuk melaksanakan proses operasi. Tabel 15. Kebutuhan luasan ruang pabrik industri LCM serbuk sawit No
Lokasi
1
Ruang Produksi
2
Ruang non Produksi
3
Total
Luas (m2) 375
a. Kantor
30
b. Mini Lab
15
c. Penampungan Limbah
10
d. Mushola dan toilet
20
e. Sumber air
8
Lain-lain a. Parkir
30
b. Jalan
70
c. Lahan terbuka
100 658
72.0 in. x 36.0 in.
Penerimaan dan Pensortiran Bahan Baku Kantor Ruang Produksi
Ruang Pengemasan Mini Lab 72.0 in. x 36.0 in.
Musholla
Gudang Penyimpanan
Sumber Air
Penampungan Limbah
Tree
Tree
Tree
Gambar 28. Layout pabrik LCM serbuk sawit C. Aspek Manajemen dan Organisasi 1. Kebutuhan Tenaga Kerja Analisis kebutuhan tenaga kerja merupakan salah satu aspek dalam manajemen operasi yang perlu direncanakan pada awal proyek. Proses produksi LCM serbuk sawit sebagian besar dilakukan dengan menggunakan mesin, namun dalam pelaksanaan proses produksi tetap dibutuhkan tenaga kerja manusia sebagai operator, pengawas proses produksi, dan beberapa kegiatan produksi yang membutuhkan campur tangan manusia secara langsung. Selain dalam lingkup proses produksi, tenaga kerja dibutuhkan dalam pelaksanaan aktivitas di luar produksi seperti kegiatan administrasi, kegiatan pemasaran, kegiatan distribusi, dan transportasi, serta kegiatan lainnya. Tenaga kerja yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan dan kriteria tenaga kerja yang dibutuhkan. Industri LCM serbuk sawit merupakan perusahaan yang benar-benar baru didirikan sehingga kebutuhan sumber daya merupakan hal yang sangat penting untuk ditetapkan dengan baik. Untuk saat ini perlu dibuat penggolongan pekerja ke dalam golongan tetap, yaitu beberapa orang pekerja mulai dari direktur, manajer, operator, laboran, dan staf masing-masing bidang yng telah ditetapkan dan sistem penggajian ditetapkan dengan cara pembayaran berkala setiap bulan. Sedangkan buruh tebang digolongkan ke dalam tenaga kerja tidak tetap. Penentuan jumlah tenaga kerja diperhitungkan dengan mengidentifikasi kegiatan, sifat, dan beban kerja sehingga dapat ditentukan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Rincian penetapan kebutuhan tenaga kerja disajikan pada Tabel 16 berikut.
Tabel 16. Penentuan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada setiap pekerjaan
Temporer
Jumlah Tenaga Kerja (orang) 5
Rutin Harian Rutin Harian
2 1
Rutin Harian
1
Rutin Bulanan
1
Administrasi a. melakukan pembukuan perusahaan b. melakukan maintenance perlengkapan kantor perusahaan
Rutin Harian Temporer
1
Keuangan a. Melakukan pembukuan keuangan b. Mengatur pemasukan dan pengeluaran perusahaan c. Mengatur kerjasama dengan bank serta investor
Rutin Harian Rutin Harian Temporer
2
No. 1 2
3
4
5
6
7
Kegiatan Penebangan Produksi a. Pengecilan ukuran b. Pengemasan Perencanaan Produksi a. Membuat perencanaan produksi minimal 5 tahun ke depan b. Berkoordinasi dengan bagian pemasaran dan logistik untuk mengontrol kontinuitas produksi
Pemasaran a. Membuat perencanaan pasar untuk 10 tahun ke depan (disesuaikan dengan umur proyek) b. Menetapkan sistem pemasaran bagi perusahaan c. Membuat dan maintenance web perusahaan d. Menjalin kerja sama dengan perusahaan pengguna LCM serbuk sawit e. Menjalin kerja sama dengan perusahaan pengeboran asing yang potensial yang menggunakan LCM
Sifat
Temporer
1
Rutin Harian Temporer Rutin Harian
2
Rutin Harian
Logistik a. mengatur jumlah persediaan bahan baku dan produk
Rutin Harian
1
8
Keamanan a. menjaga keamanan pabrik selama 24 jam (dibagi menjadi 2 shift)
Rutin Harian
2
9
Distribusi bahan baku dan produk a. Pendistribusian bahan baku dan produk dilakukan oleh supir dan bagian pemasaran
Rutin
3
Pengawasan mutu a. Melakukan pengawasan pada mutu produk yang dihasilkan
Rutin Harian
2
Kebersihan a. Membersihkan lingkungan pabrik b. Membantu para pekerja memaintenance aset perusahaan
Rutin Harian Rutin Harian
1
10 11
Total
25
Berdasarkan perhitungan kebutuhan tenaga kerja tersebut, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah membuat tabel kebutuhan tenaga kerja beserta kualifikasinya yang disajikan pada Tabel 17 berikut. Tabel 17. Kebutuhan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan pada industri LCM serbuk sawit No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Total
Jabatan Dierektur Manajer produksi Manajer logistik, administrasi, dan keuangan Manajer pemasaran Staff pemasaran Staff logistik Staff administrasi Staff keuangan Operator laboran Buruh Supir Security
Kualifikasi Pendidikan S2 S1
Jumlah (orang) 1 1
S1 S1 S1 S1/D3 SMK Sekretari SMK Akuntansi SMK Mesin SMA/SMK SMP SMA SMP
1 1 2 1 1 1 3 2 7 2 2 25
Pada kajian ini diperkirakan jumlah sumberdaya yang dibutuhkan adalah 25 orang, dengan rincian pekerja tetap sebanyak 20 orang dan pekerja tidak tetap sebanyak lima orang. pada awal pendirian industri, komposisi tenaga kerja terbanyak difokuskan pada bagian pemasaran. Hal ini berkaitan dengan sifat produk yang terglong produk baru dan masih berada pada tahap pengenalan sehingga pemasaran merupakan satu hal yang penting dalam rangka pengenalan dan pencarian pasar LCM serbuk sawit yang diproduksi. Untuk perkembangan perusahaan kedepannya tidak menutup kemungkinan dilakukan perubahan komposisi tenaga kerja maupun dilakukan rotasi kerja. 2.
Struktur Organisasi Setelah identifikasi jabatan menghasilkan gambaran yang jelas yang kemudian disusun neraca organisasi pengelola operasi. Karena penekanan kepada spesialisasi dan efisiensi, maka struktur organisasi operasi umumnya disusun/dikelompokkan berdasarkan fungsi (dengan beberapa variasi seperti organisasi berdasarkan produk atau area). Organisasi ini memberikan kerangka dasar kepada organisasi selanjutnya bilamana perusahaan tumbuh dan berkembang. Manajemen operasional industri yang baik akan mampu memenuhi segala kebijakan dan tujuan perusahaan. Tenaga manajemen yang ahli merupakan faktor utama dalam keberhasilan manajemen industri. Menurut Sutojo (2000), beberapa hal penting yaitu uraian jenis pekerjaan atau tugas pokok yang diperlukan untuk menjalankan operasional industri, struktur organisasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas perusahaan secara efisien, persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk mengisi jabatan yang ada untuk mengisi kekurangan ahli.
Semua pekerjaan yang akan dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan harus dirinci dan didistribusikan semuanya kepada orang-orang yang mampu bekerja di bidang tersebut. Untuk itu harus disiapkan mekanisme koordinasi. Pada perusahaan LCM serbuk sawit yang akan didirikan, setiap pekerjaan didistribusikan kepada pekerja berdasarkan kualifikasi yang dimiliki. Keseluruhan rangkaian kegiatan operasi akan dijalankan oleh beberapa bagian sesuai dengan bidang masing-masing. Secara umum struktur organisasi pada perusahaan LCM serbuk sawit terbagi menjadi beberapa tahapan hirarki yaitu direktur, beberapa manajer, dan staf. Rencana struktur organisasi perusahaan yang menunjukan setiap bagian memiliki peranan dalam bidang yang menjadi tangung jawabnya dapat dilihat pada Gambar 29 berikut. Gambar 29. Struktur organisasi industri LCM serbuk sawit
Direktur
Manajer Produksi dan QC
Manajer pemasaran
Staf Pemasaran
Operator
Laboran
Manajer Logistik, administrasi, dan Keuangan
Buruh
Staf Logistik
Staf Administrasi
Staf Keuangan
Sopir
3.
Deskripsi Pekerjaan Agar pembagian tugas dan tanggung jawab menjadi jelas, maka perlu disusun uraian kerja masing-masing posisi sehingga setiap tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan baik. Setiap pekerjaan dideskripsikan secara jelas dan diberikan kepada pekerja yang memiliki kemampuan dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut. Deskripsi pekerjaan pada industri ini adalah sebagai berikut.
Direktur Direktur bertugas mengelola keseluruhan fungsi perusahaan LCM serbuk sawit yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, dan mengawasi kegiatan manajer dan staf yang berada di bawahnya.
Manajer produksi dan Quality Control (QC) Manajer produksi dan quality control (QC) bertugas melakukan pengawasan dan pelaksanaan kegiatan produksi LCM serbuk sawit, pengawasan kualitas bahan baku batang kelapa sawit, pemeliharaan sarana produksi, dan penelitian dan pengembangan produk (research and development) agar mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen sasaran.
Manajer Logistik, Administrasi, dan Keuangan Manajer logistik, administrasi dan keuangan bertugas mengelola pengadaan bahan baku batang kelapa sawit, pendistribusian produk, dan mengelola berbagai hal yang terkait dengan pengadaan logistik LCM serbuk sawit serta administrasi di dalam perusahaan.
Security
Manajer Pemasaran Manajer pemasaran bertugas mengelola keseluruhan kegiatan pemasaran baik promosi, penjualan, kerja sama dengan mitra maupun proyeksi permintaan untuk setiap periode.
Staf Pemasaran Staf pemasaran bertugas memasarkan produk, melaksanakan strategi pemasaran yang ditetapkan, menjalankan kegiatan promosi dan menjalin kerja sama dengan mitra.
Staf Keuangan Staf keuangan bertugas melaksanakan dan mengelola kegiatan pencatatan keuangan dan pengelolaan keuangan perusahaan.
Staf Administrasi Staf administrasi bertugas melaksanakan dan mengawasi kegiatan pencatatan administrasi kantor dan operasional perusahaan.
Staf Logistik Staf logistik pemasaran bertugas mengelola pendistribusian produk dan mengatur pengadaan dan pengelolaan bahan baku.
Operator Operator bertugas menjalankan mesin sesuai dengan kriteria yang seharusnya. Operator harus secara terus menerus melakukan pengawasan terhadap proses produksi dan kinerja mesin agar tidak terjadi penyimpangan produk yang tidak diinginkan. Operator juga bertugas untuk melakukan perawatan mesin dan alat-alat produksi.
Laboran Laboran bertugas melakukan pengawasan terhadap mutu produk dengan melakukan pengecekan mutu bahan baku, hasil dari tiap tahap produksi, dan produk akhir sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan arahan dari manajer produksi dan QC.
Supir Supir bertugas mengendarai kendaraan beroda empat milik perusahaan dalam rangka pendistribusian bahan baku maupun produk LCM serbuk sawit yang dihasilkan. Selain itu supir bertugas melaksanakan kegiatan transportasi yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan.
Security Security bertugas menjaga keamanan perusahaan dengan jumlah jam kerja 24 jam siang dan malam dengan pembagian waktu kerja menjadi dua shift.
Buruh Buruh tergolong kedalam tenaga kerja langsung produksi karena bertugas mengangkut bahan baku, produk yang diproduksi, melakukan penebangan batang kelapa sawit serta melakukan proses pengupasan kulit batang kelapa sawit. D. Aspek Lingkungan dan Legalitas 1. Lingkungan Limbah merupakan hasil dari proses yang terjadi di dalam industri yang dapat bersifat merugikan ataupun menguntungkan. Pencemaran pada setiap proses produksi tidak dapat dihilangkan atau dihindari tetapi pencamaran dapat dikendalikan sehingga menimbulkan dampak yang seminimal mungkin. Industri LCM serbuk sawit menghasilkan limbah berupa limbah padat. Limbah padat dihasilkan dari proses pembersihan batang kelapa sawit yaitu berupa kulit batang kelapa sawit dan proses pengecilan ukuran atau penggilingan yaitu berupa loss serbuk yang dihasilkan dari mesin pengecil ukuran. Limbah padat ini dapat tidak tergolong limbah berbahaya bagi lingkungan dan
umumnya dapat terurai secara alami sehingga dapat dibuang langsung ke lingkungan. Selain limbah padat yang dihasilakn dari proses pengolahan, kemasan pun dapat menjadi sumber limbah industri. Misalnya kemasan bocor atau rusak maka akan menjadi potensi dihasilkannya limbah padat. Limbah berupa kemasan akan ditampung dan dibuang secara berkala ke tempat pembuangan sampah. 2.
Legalitas Suatu industri yang didirikan perlu mendapatkan legalitas dari pihak terkait, dalam hal ini pemerintah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan industri tersebut dan memberikan kemudahan dalam perjalanan melakukan kegiatan usaha, mendapatkan dukungan serta terikat pada kebijakan yang berlaku pada daerah tertentu. Untuk melegalisasi pendirian dan pengoperasian industri LCM serbuk sawit perlu dibentuk menjadi badan usaha. a.
Badan Usaha Perusahaan yang ada di Indonesia terdapat dalam beberapa bentuk, yaitu Perseroan Terbatas (PT), Persekutuan Komanditer (CV), Koperasi, Firma, Kongsi, Yayasan dan bentuk usaha tetap. Dalam hal pemilikan, bentuk perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran perusahaan, jenis perusahaan, pembagian laba, resiko yang akan ditanggung, pembagian pengawasan dan aturan penguasaan perusahaan. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka bentuk perusahaan yang sesuai untuk industri LCM serbuk sawit ini adalah Perseroan Terbatas (PT). Pemilihan ini dilakukan dengan alasan modal investasi yang dibutuhkan relatif cukup besar. b.
Perizinan Untuk mendirikan suatu industri, menurut Keputusan Menteri Negara Investasi (Menives) No. 38/SK/1999 pada Bab I tentang Ketentuan Umum, diperlukan izin-izin dan persyaratan legalitas sebagai berikut : 1. Persetujuan fasilitas dan izin pelaksanaan penanaman modal yang dikeluarkan Menives/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) atau Ketua BPKMD terdiri dari : Persetujuan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk dan fasilitas perpajakan atas pengimporan barang modal. Persetujuan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk atas pengimporan bahan baku dan/atau bahan penolong untuk keperluan produksi 2 (dua) tahun berdasarkan kapasitas terpasang. Persetujuan pemberian fasilitas pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemerintah untuk usaha industri tertentu. Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT). Keputusan tentang Rencana Penggunaan Tenaga Kerja warga Negara asing pendatang (RPTK). Keputusan tentang Izin Kerja Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang (IKTA). 2.
Izin Usaha Tetap (IUT), Izin Usaha Perluasan dan Pembaharuan IUT. Izin pelaksanaan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri dari : Izin lokasi Izin Undang-undang Gangguan (UUG)/HO Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Daerah
Menurut Ariyoto (1990), minimal diperlukan izin-izin dan persyaratan legalitas sebagai berikut : Persetujuan prinsip mendirikan industri Surat Izin Umum Perusahaan (SIUP) Tanda Daftar Perusahaan (TERDAPAT) Akta Pendirian Perusahaan Persyaratan izin Undang-undang gangguan (HO) dan izin tempat usaha adalah sebagai berikut: Mengisi formulir permohonan dan materai Rp.3000 sebanyak 2 Surat persyarataan tidak keberatan dari tetangga Rekomendasi pertimbangan dari Camat Berita acara pemeriksaan lapangan dari kecamatan setempat Gambar lokasi ruangan yang akan dipergunakan Keterangan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pas photo hitam putih ukuran 3 x 4 sebanyak 6 lembar Akta Pendirian Perusahaan, bagi yang berbadan hukum Surat keterangan tanda bukti pemilikan/penyewaan bangunan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Surat Keterangan (SEKRI) bagi keturunan asing Rekomendasi dari instansi yang sesuai dengan jenis yang dimohon Perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Perseroan memperoleh status sebagai badan hukum setelah akta pendirian persero disyahkan oleh menteri kehakiman Republik Indonesia. Berdasarkan UU Republik Nomor 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas (PT), pasal delapan menyatakan bahwa akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan lain, seperti : Nama lengkap, tempat tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan pendiri Susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan anggota direksi dan komisaris yang pertama kali diangkat Nama pemegang saham yang mengambil bagian saham pada saat pendirian Anggaran Dasar perseroan memuat sekurang-kurangnya : Nama dan tempat kedudukan perseroan Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan Jangka waktu berdirinya perseroan Besarnya jumlah modal Susunan, jumlah dan nama anggota direksi dan komisaris Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, direksi perseoan wajib mendaftarkan perusahaan. Hal-hal yang harus didaftarkan : Akta pendirian beserta surat pengesahan menteri kehakiman RI Akta perubahan Anggaran Dasar beserta laporan kepada menteri kehakiman RI
Untuk mendirikan suatu industri juga diperlukan izin lokasi usaha, untuk memperoleh izin lokasi, pemohon menyampaikan permohonan secara tertulis kepada gubernur kepala daerah melalui Kanwil BPN dengan dilengkapi : Rekomendasi Bupati/Walikota Kepala Daerah Akte pendirian perusahaan bagi perusahaan yang berbadan hukum atau Surat Izin Usaha bagi perusahaan perseorangan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Lay out pabrik Garis besar uraian proyek Pernyataan kesanggupan memberikan ganti rugi dan atau menyediakan tempat penampungan bagi pemilik tanah Pertimbangan aspek penatagunaan tanah Peta rencana tata ruang lokasi yang bersangkutan Dewasa ini, pemerintah masih membuka kesempatan lebar bagi perusahaan yang bermaksud mendirikan industri yang dapat meningkatkan nilai tambah pada bahan baku, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan pendapatan daerah. Oleh karena itu, selama persyaratan yang dibutuhkan dapat dipenuhi, maka tidak akan ada kesulitan untuk memperoleh perizinan tersebut. c.
Pajak Industri LCM serbuk sawit tidak terlepas dari kewajiban pajak yang dibebankan, sesuai dengan Undang-Undang No. 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan yang menyatakan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah, Perseroan atau perkumpulan lainnya, Firma, Kongsi, Koperasi, Yayasan atau lembaga untuk usaha tetap. Penentuan besar pajak penghasilan yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Perpajakan No.17 tahun 2000, yaitu keuntungan dibawah Rp 50 juta maka dikenakan pajak sebesar 10 persen dari pendapatan, apabila pendapatan antara Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta, maka dikenakan pajak 10 persen dari Rp 50 juta ditambah dengan 15 persen dari pendapatan yang telah dikurangi dengan Rp 50 juta, kemudian apabila pendapatan berada diatas Rp 100 juta, maka dikenakan pajak sebesar 10 persen dari Rp 50 juta ditambah 15 persen dari Rp 50 juta dan ditambah dengan 30 persen dari pendapatan yang telah dikurangi Rp 100 juta. E. Analisis Finansial Analisis aspek finansial bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan. Untuk melakukan perhitungan analisis finansial ini diperlukan beberapa parameterparameter yang berasal dari analisis sebelumnya yaitu kapasitas produksi, pangsa pasar, teknologi yang dipakai, pilihan peralatan, jumlah tenaga kerja, fasilitas pendukung, dan proyeksi hargaharga. 1. Asumsi Perhitungan Finansial Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis finansial industri LCM serbuk sawit ini adalah sebagai berikut. a. Umur investasi diasumsikan selama 10 tahun b. Nilai sisa bangunan sebesar 50 persen dari nilai awal, nilai sisa tanah tetap dari nilai awal sedangkan nilai sisa mesin 10 persen dari nilai awal
c. d. e. f. g. h. i.
j. k.
Umur ekonomis mesin, peralatan dan kendaraan sebesar lima tahun Biaya pemeliharaan mesin dan peralatan sebesar 0.5 persen dari harga. Asuransi asset sebesar 0.5 persen Kapasitas produksi sebesar 160,000 ton pertahun Kebutuhan bahan baku untuk LCM serbuk sawit: 125 batang kelapa sawit pertahun Target kapasitas produksi untuk tahun pertama yaitu sebesar 80%, tahun kedua sebesar 90%, tahun ketiga dan seterusnya sebesar 100%. Jumla hari kerja pertahun adalah 312 hari dengan asumsi satu bulan terdapat 26 hari kerja. Harga-harga yang digunakan dalam analisa finansial ini berdasarkan harga pada saat analisis teknoekonomi tahun 2011 dan selama tahun perencanaan yang dipengaruhi discount factor pada MARR sebesar 12 persen di bank. Debt Equity Ratio (DER) yang ditetapkan adalah sebesar 300 juta modal sendiri dan 400 juta modal yang dipinjam dari bank, besar angsuran tiap tahun seragam. Besar pajak keuntungan didasarkan pada undang-undang no. 17 tahun 2000 dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) berdasarkan pasal 1 undangundang PPN, yaitu sebagai berikut: Jika pendapatan < 50.000.000 maka 10 persen x pendapatan Jika 50.000.000 < pendapatan < 100.000.000 maka (10 persen x 50.000.000) + (15 persen x pendapatan - 50.000.000)
Jika pendapatan > 100.000.000 maka (10 persen x 50.000.000) + (15 persen x 50.000.000) + (30 persen x pendapatan - 100.000.000). l. Modal kerja dihitung berdasarkan modal dasar dan pinjaman yang diperoleh dari bank. m. Proyek dimulai pada tahun ke-0 sedangkan produksi pertama dimulai pada tahun ke-1. Asumsi-asumsi lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 7. 2.
Sumber Dana dan Struktur Pembiayaan Pembiayaan investasi terdiri atas dua sumber dana yaitu dari dana pinjaman Bank dan modal sendiri. Untuk dana pinjaman berasal dari Bank Konvensional, yaitu kredit investasi yang diberikan untuk mendirikan usaha baru. Nilai suku bunga yang berlaku untuk pinjaman tersebut adalah 12 persen, sedangkan untuk Debt Equity Ratio (DER) atau porsi pendanaan yang berlaku adalah 400 juta dari pihak bank dan 300 juta merupakan modal dasar. Struktur pendanaan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Struktur pembiayaan industri LCM serbuk sawit Jenis kredit Modal investasi tetap Modal kerja Jumlah
Kebutuhan investasi
Modal sendiri
Pinjaman
(559,298,250)
300,000,000
(559,298,250)
300,000,000
259,298,250 140,701,750 400,000,000
Pembayaran pinjaman sumber dana untuk investasi dilakukan selama enam tahun, Pembayaran angsuran pinjaman pokok dan bunga dimulai pada tahun pertama. Struktur pembiayaan pembayaran kepada bank dapat dilihat pada lampiran 8.
3.
Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya yang dibutuhkan pada saat akan mendirikan industri biodiesel dari biji nyamplung. Biaya investasi terdiri dari atas biaya investasi tetap dan modal kerja. Biaya investasi tetap merupakan biaya yang diperlukan untuk keperluan pabrik, mulai dari biaya pra investasi, pembangunan pabrik, fasilitas penunjang, pembelian mesin-mesin, peralatan kantor dan transportasi. Perincian investasi pabrik lampiran 9 sedangkan untuk perincian nilai sisa dan penyusutan dari modal investasi tetap terdapat pada lampiran 10. Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), biaya modal kerja adalah biaya operasi yang diperlukan untuk memproduksi biodiesel pada kali pertama. Perhitungan modal kerja tergantung pada kebijakan perusahaan yang pembeliaan atau penjualannya secara kredit tentu akan membutuhkan modal kerja yang berbeda dengan perusahaan yang melakukan tunai. Modal kerja diperlukan untuk menjamin kegiatan pada awal produksi, Modal kerja dihitung dalam satu bulanan untuk mengetahui besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memulai produksi dalam satu bulan. Komposisi dari modal kerja tersebut dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Komposisi modal kerja NO. 1
MODALKERJA Sisa Uang
NILAI 140,701,750
Rp
TOTAL MODAL
Rp 140,701,750
Investasi pabrik LCM serbuk sawit bernilai Rp. 559,298,250 seperti yang terinci pada Tabel 20. Tabel 20. Biaya investasi Industri LCM serbuk sawit Komponen
Nilai (dalam rupiah)
1. Modal tetap Pra investasi
35,000,000
Bangunan
350,800,000
Mesin dan peralatan
123,265,000
Alat kantor
14,300,000
Peralatan Penunjang
9,300,000
Kontingensi
26,633,250
Total
559,298,250
Modal tetap memiliki presentase sebesar 90 persen dari total investasi atau senilai Rp 607,298,250 . 4.
Harga dan Prakiraan Penerimaan Harga pokok dari LCM serbuk sawit adalah Rp. 3854 , harga akhir LCM serbuk sawit yang telah ditambah margin sebesar 20 persen adalah Rp.4625 per kg. Harga akhir diperoleh dari biaya variabel, biaya tetap dan kapasitas produksi pada tahun pertama. Untuk tahun pertama kapasitas produksi adalah sebesar 80%, sedangkan tahun kedua adalah 90% dan tahun ketiga
sampai seterusnya adalah 100%, Asumsi yang dipakai adalah produk terjual 100 % dari yang diproduksi. Jumlah produksi untuk tahun pertama sebesar 128,000 kg untuk tahun kedua sebesar 144,000 kg dan untuk tahun ketiga sampai tahun kesepuluh kapasitas produksi LCM serbuk sawit sebesar 160,000 kg. Total penjualan dapat dilihat pada lampiran 11. Berdasarkan perhitungan seluruh biaya yang berkaitan dengan harga LCM serbuk sawit sehingga dapat diperoleh harga akhir untuk konsumsi perusahaan penyedia lumpur pengeboran dan perusahaan pengeboran minyak tidak terlalu tinggi, hal tersebut dikarenakan biaya produksi yang dikeluarkan tidak terlalu mahal untuk pembuatan LCM serbuk sawit tersebut. Penerimaan tahunan didapatkan dari hasil penjualan pada tahun tersebut. Asumsi yang digunakan adalah setiap tahun seluruh produk yang diproduksi habis terjual. Hal ini disebabkan LCM serbuk sawit yang diproduksi telah memiliki standar kualitas dan harga kompetitif, sehingga dengan spesifikasi yang dihasilkan diharapkan dapat bersaing dipasaran. Ditargetkan 100 persen LCM serbuk sawit dapat terjual dari total produk yang diproduksi pada tahun tersebut. Pada tahuntahun berikutnya penjualan tetap dipertahankan sebesar 100 persen dari total LCM serbuk sawit yang diproduksi. Asumsi biaya operasional dapt dilihat pada lampiran 12 dan perhitunga total biaya operasi pabrik dapat dilihat pada lampiran 13. 5.
Proyeksi Laba Rugi Laporan laba rugi adalah suatu laporan yang sistematis tentang penghasilan, biaya, rugilaba yang diperoleh oleh suatu perusahaan selama periode tertentu. Dalam laporan laba rugi ini menggambarkan mengenai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan rugi-laba dalam suatu periode tertentu. Laporan laba rugi mempunyai 2 unsur yaitu pendapatan dan beban/biaya :
Penghasilan (income) Adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akutansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Pendapatan timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan seperti penjualan barang (produk) dan produk samping.
Beban (expanse) Adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akutansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya nilai aktiva atau kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal. Contoh yang termasuk dalam kategori beban/biaya adalah biaya pemasaran, biaya gaji karyawan, biaya penyusutan dan sejenisnya. Proyeksi laba rugi diperlukan untuk mengetahui tingkat profitabilitas suatu usaha. Laba bersih yang didapatkan memiliki karakteristik laba operasi earning before interest and tax (EBIT) yang dikurangi dengan pembayaran angsuran dan pajak. Laporan laba rugi tersebut dapat dilihat pada lampiran 14. Pajak dihitung berdasarkan Undang-undang no.17 tahun 2000, untuk mendapatkan laba bersih dilakukan pengurangan pada laba atas pajak. Laba bersih ini kemudian menjadi dasar perhitungan dalam analisis arus kas. 6.
Proyeksi Arus Kas Aliran arus kas proyek dikelompokkan menjadi tiga yaitu, aliran kas awal (initial cash flow), aliran kas periode operasi (operational cash flow), dan aliran kas terminal (terminal cash flow). Aliran kas awal adalah pengeluaran untuk merealisasikan gagasan sampai menjadi
kenyataan fisik, misalnya aliran kas langsung pengeluaran biaya pembangunan unit instalasi. Aliran kas periode operasi merupakan aliran kas yang masuk dari penjualan produk dan aliran kas yang keluar yang terdiri dari biaya produksi, pemeliharaan, depresiasi dan pajak. Aliran kas terminal adalah aliran kas yang didapat pada saat proyek berakhir, aliran kas ini terdiri dari dari nilai sisa (salvage value) aktiva tetap dan pengembalian (recovery) modal kerja. (Soeharto, 2000). Proyeksi arus kas dapat dilihat pada lampiran 15. 7.
Titik Impas (Break Event Point) Titik impas adalah titik dimana total biaya produksi sama dengan pendapatan. Titik impas menunjukkan bahwa tingkat produksi telah menghasilkan pendapatan yang sama besarnya dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Selain dapat menghubungkan antara volume penjualan, harga satuan dan laba, analisa titik impas juga memberikan informasi mengenai hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel. Perhitungan titik impas untuk pabrik LCM serbuk sawit adalah : BEP = Biaya Tetap 1- (Biaya Variabel / Penerimaan) BEP = 390,051,315 1- (185,715,200 / 740,259,000 ) = Rp. 520,068,420 atau = 112,447 kg 8.
Kriteria Kelayakan Investasi Kriteria investasi yang digunakan antara lain adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Pay Back Period (PBP). Untuk menentukan layak atau tidaknya proyek tersebut didanai, maka diperlukan metode yang memperhitungkan pula berubahnya nilai uang terhadap waktu atau faktor diskonto. Hal ini dikarenakan faktor diskonto merupakan suatu teknik, dan dengan teknik tersebut dapat menurunkan manfaat yang diperoleh pada masa mendatang dan arus biaya menjadi nilai biaya pada masa sekarang (Gittinger, 1986). Perhitungan berbagai kriteria investasi harus didasarkan pada proyeksi arus uang, dalam hal ini proyeksi arus uang bersih (net cash flow). Net cash flow merupakan hasil penjumlahan laba bersih dengan penyusutan. Nilai ini merupakan penerimaan nilai riil yang dapat diperhitungkan untuk pengembalian bunga pinjaman dan angsuran serta untuk memperkirakan jangka waktu pengembalian kredit. Berdasarkan proyeksi arus uang tersebut dapat dihitung berbagai kriteria investasi. a. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) merupakan selisih dari nilai investasi sekarang dengan nilai penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang tersebut perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang dianggap relevan. Apabila nilai penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi, maka proyek tersebut menguntungkan sehingga dinyatakan layak dan begitu pula sebaliknya. Nilai NPV yang diperoleh untuk proyek pendirian pabrik LCM serbuk sawit adalah sebesar 723,717,481. Nilai tersebut lebih besar dari nol, ini berarti bahwa proyek memperoleh peningkatan nilai uang, sehingga pendirian pabrik ini dianggap layak sesuai perhitungan NPV.
b. Internal Rate of Return Internal Rate of Return (IRR) atau arus pengembalian internal merupakan tingkat kemampuan proyek untuk menghasilkan keuntungan dan dapat dinyatakan sebagai tingkat suku bunga pinjaman (bank) yang menghasilkan nilai NPV aliran kas masuk sama dengan dengan aliran kas keluar. Untuk menentukan layak atau tidaknya proyek dilaksanakan maka sebagai patokan dasar pembanding adalah tingkat bunga yang berlaku di lembaga keuangan yang ada yaitu ditetapkan sebesar 12 persen. Jika nilai IRR lebih besar dibandingkan tingkat suku bunga bank, maka usaha dinyatakan layak. IRR pada usaha ini sebesar 30 persen yang berarti bahwa pendirian pabrik LCM serbuk sawit layak untuk dilaksanakan. c. Net B/C Ratio Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) menunjukkan manfaat yang diberikan dari proyek ini untuk kepentingan umum dan bukan keuntungan finansial perusahaan. Nilai Net B/C dihitung berdasarkan nilai arus kas yang telah diperhitungkan nilai perubahannya terhadap waktu. Nilai net B/C proyek ini diperoleh sebesar 2.19 yang menunjukkan bahwa pendirian pabrik LCM serbuk sawit ini layak untuk dilaksanakan, karena nilai net B/C lebih besar dari satu. d. Pay Back Period (PBP) PBP merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan seluruh modal suatu investasi, yang dihitung dari aliran kas bersih. Menurut Rangkuti (2000), Pay back period adalah suatu periode yang menunjukkan berapa lama modal yang ditanam dalam proyek dapat kembali dan menggambarkan lamanya waktu agar dana yang telah diinvestasikan dapat dikembalikan. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai PBP untuk proyek ini adalah 3.8 tahun yang berarti untuk mengembalikan investasi awal pabrik dibutuhkan waktu 3 tahun 8 bulan setelah pabrik berproduksi. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa industri LCM serbuk sawit layak untuk didirikan karena waktu pengembalian modal lebih cepat dibandingkan dengan umur proyek. Berdasarkan semua kriteria investasi yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi LCM serbuk sawit layak untuk direalisasikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 21 dan lampiran 16. Tabel 21. Penilaian kriteria investasi
9.
Kriteria
Nilai
NPV
723,717,481
IRR
30%
Net B/C
2.19
PBP (Tahun)
3.8
Analisis Kepekaan/Sensitivitas Analisis kepekaan ini dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana perubahan parameter dalam aspek finansial berpengaruh terhadap keputusan yang dipilih. Bila nilai unsur tertentu berubah dengan variasi yang relatif besar tetapi tidak berakibat terhadap keputusan investasi, maka dikatakan bahwa keputusan untuk berinvestasi pada suatu proyek tidak sensitif terhadap unsur yang dimaksud.
Gray et al. (1992) menambahkan, analisis sensitivitas diperlukan apabila terjadi suatu kesalahan dalam menilai biaya atau manfaat serta untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi perubahan suatu unsur harga pada saat proyek tersebut dilaksanakan. Perhitungan kembali perlu dilaksanakan, mengingat proyeksi-proyeksi yang ada banyak mengandung unsur ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Selanjutnya, Gray et al. (1992) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: a. Kenaikan dalam biaya konstruksi (cost over run), karena perhitungan yang terlalu rendah yang kemudian ternyata pada saat pelaksanaan biaya meningkat karena harga peralatan, mesin, dan bahan bangunan meningkat. b. Perubahan dalam harga hasil produksi, misalnya karena turun harga di pasaran umum. c. Terjadinya penurunan pelaksanaan pekerja. Analisa sensitivitas dilakukan terhadap perbedaan proses yang dapat berpengaruh dengan harga jual dan kapasitas yang dihasilkan, kenaikan harga bahan baku, dan penurunan harga jual produk. Analisis dilakukan pada empat kriteria investasi, yaitu NPV, IRR, B/C Ratio. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Analisis sensitivitas terhadap penurunan kapasitas dan harga jual
Perubahan Penurunan Kapasitas menjadi 80,000 kg/tahun Penurunan harga jual sebesar 10 persen
Kriteria investasi NPV
IRR
Net B/C
PBP (tahun)
342,206,175
22%
1.68
4.7
25,368,897
13%
1.04
7.0
Penurunan harga jual sebesar 20,7 persen
(224,127,612)
6%
0.63
10.5
Penurunan harga jual sebesar 20,8 persen
(226,544,043)
6%
0.63
10.5
Pengurangan kapasitas guna mengetahui apakah jumlah kebutuhan yang saat ini digunakan berdasarkan kebutuhan pasar dapat berpengaruh terhadap harga produk dan kriteria investasi yang cenderung lebih besar apabila dibandingkan dengan keadaan normal. Harga produk yang pada awalnya adalah Rp. 3,854 per kilogram menjadi lebih tinggi yaitu Rp. 6,417 per kilogram dengan kriteria kelayakan investasi yang menunjukkan industri ini masih layak didirikan. Sama halnya dengan sensitivitas terhadap penurunan harga mempunyai titik kritis berkisar antara 10 % dan 20,7 sampai 20,8 persen dari harga awal Industri masih dikatakan layak jika terjadi penurunan harga sebesar 10 persen. Namun, jika sudah mencapai penurunan sebesar 20,7 sampai dengan 20,8 persen maka industri sudah dianggap tidak layak, karena semua kriteria investasi atau salah satu menunjukkan ketidaklayakan. Penurunan masih diperbolehkan sampai 10 persen. Jadi jika akan melakukan potongan harga, batas maksimalnya adalah sampai Rp. 3469 per kilogram. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 17 sampai dengan Lampiran 20.
VI. IMPLEMENTASI SISTEM Tahap akhir dalam proses pengembangan perangkat lunak adalah implementasi sistem. Implementasi sistem merupakan tahap merubah desain arsitektur sistem menjadi sebuah perangkat lunak. Tahap implementasi dimulai dengan mengidentifikasi atribut tiap objek yang terdapat pada model data konseptual. Atribut-atribut tersebut akan digunakan sebagai acuan pembuatan rancangan database yang dikumpulkan dalam sebuah tabel besar. Tahap-tahap dalam implementasi paket program SPKPalmpowder 1.0 meliputi pembuatan struktur data, pembuatan kerangka pengkodean dan tahap pembuatan perangkat lunak. Paket program SPKPalmpowder 1.0 mempunyai tampilan yang menarik dengan bahasa antar muka yang digunakan adalah bahasa Inggris sehingga dapat dimengerti tidak hanya di Indonesia akan tetapi dapat dimengerti oleh pengguna yang berasal dari negara lain. Paket program SPKPalmpowder 1.0 akan dapat membantu calon investor atau pelaku industri pengeboran minyak dan kelapa sawit dalam perencanaan industri LCM serbuk sawit dengan memberikan informasi kelayakan investasi dan penjadwalan penebangan sehingga dapat menarik minat investor untuk berinvestasi dalam agroindustri LCM serbuk sawit dengan mengurangi resiko kegagalan dalam investasinya. Dalam pengembangannya, SPKPalmpowder 1.0 menggunakan bahasa pemograman Pascal yang terintegrasi dalam perangkat lunak Borland Delphi 7 (Borland 2002) sebagai desain Graphic User Interface. Manajemen basis data pada SPKPalmpowder 1.0 ada dua jenis, yaitu basis data lokal (local database) dan basis data online (online database) sehingga SPKPalmpowder 1.0 memungkinkan diintegrasikan dengan perangkat lunak berbasis web (web based application). Manajemen basis data lokal yang digunakan adalah Microsoft Acces 2007 (Microsoft 2007) dengan koneksi yang digunakan adalah activeX data object (ADO). Sedangkan manajemen basis data online yang digunakan adalah MySQL (Oracle 2009) dengan koneksi yang digunakan adalah open database connection (ODBC). Semua perangkat lunak yang digunakan tersebut dijalankan pada sebuah perangkat komputer notebook dengan spesifikasi, prosesor Intel Core memori RAM 1GB. Kapasitas hardisk 160 GB. Selama pembuatan, sistem dilakukan pengujian (testing) maupun pelacakan kesalahan (debugging) baik pada saat pembuatan masing komponen halaman maupun ada saat penyatuan. Tujuan pengujian dan pelacakan adalah agar dapat memimalkan kesalahan yang terdapat pada paket program baik kesalahan pengkodean (syntax error) maupun kesalahan logika (semantic logical error). Setelah semua pengujian sudah dilakukan, langkah selanjutnya adalah verifikasi sistem menggunakan data real di lapangan untuk melihat apakah keluaran SPKPalmpowder 1.0 telah sesuai dengan pada saat tahap analisis dan desain sistem. Proses verifikasi dilakukan dengan metode black box yang menganggap SPKPalmpowder 1.0 sebagai sebuah kotak hitam dan hanya melihat masukan dan keluarannya. A. Tampilan Paket Program 1. Halaman Menu Utama Setelah proses instalasi selesai, paket program SPKPalmpowder 1.0 dapat dijalankan melalui start menu. Jika proses intalasi berjalan dengan baik, akan masuk pada halaman utama dari program tersebut seperti Gambar 30. Menu pada halaman utama terdapat pada bagian atas (top menu) untuk melihat informasi-informasi yang berkaitan dengan industri LCM serbuk sawit serta untuk memilih model-model yang tersedia.
Menu-menu pada paket program hanya dapat digunakan setelah pengguna telah mengkoneksikan dengan database yang tersedia pada menu instruksi penggunaan sistem. Koneksi terdiri dari empat jenis koneksi database, yaitu (1) koneksi online merupakan koneksi dengan database utama MySql, diperlukan jaringan internet untuk menggunakannya. (2) koneksi offline localhost, adalah koneksi ke database MySql yang terletak pada komputer yang sama. (3) koneksi offline (MS Acces) merupakan koneksi ke database Microsoft Acces. Database ini digunakan jika tidak tersedia jaringan internet. (4) Koneksi offline (peer to peer) adalah koneksi menggunakan database MySql ataupun Ms Acces dalam satu jaringan intranet.
Gambar 30. Tampilan utama SPKPalmpowder 1.0 2.
Halaman Informasi Produk dan Jasa Halaman ini berisi tentang informasi produk LCM serbuk sawit serta jasa penebangan kebun kelapa sawit yang ditawarkan oleh industri. Halaman informasi produk dan jasa ini meliputi definisi umum LCM serbuk sawit, aplikasinya didalam proses pengeboran, standar mutu dari LCM serbuk sawit serta jenis kemasan yang digunakan. Pada halaman ini pengguna dapat mengetahui informasi mengenai LCM serbuk sawit secara rinci. Tampilan dari halaman informasi produk dan jasa industri LCM serbuk sawit adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 31.
Gambar 31. Tampilan halaman informasi produk dan jasa
3.
Halaman Informasi Lingkungan Halaman ini berisi tentang informasi penangan limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan batang kelapa sawit ini menjadi LCM serbuk sawit. Pada halaman ini pengguna dapat mengetahui jenis limbah yang dihasilkan dan bagaimana pengaruhnya terhadap lingkungan secara rinci. Tampilan dari halaman informasi lingkungan industri LCM serbuk sawit adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 32.
Gambar 32. Tampilan halaman informasi lingkungan 4.
Halaman Informasi Instruksi Penggunaan Sistem Halaman ini berisi tentang informasi tata cara penggunaan sistem secara keseluruhan. Pada halaman ini pengguna akan diberikan petunjuk dalam melakukan input data yang diperlukan guna menunjang keputusan dalam perencanaan industri LCM serbuk sawit ini. Tampilan dari halaman informasi petunjuk penggunaan sistem adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 33 dan Lampiran 21.
Gambar 33. Tampilan halaman informasi petunjuk penggunaan sistem B. Verifikasi Sistem 1. Model Pemilihan Lokasi Model pemilihan lokasi potensial ini bertujuan untuk mendapatkan lokasi yang strategis dan potensial sebagai lokasi pendirian industri LCM serbuk sawit. Teknik yang digunakan dalam model ini adalah Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dimana pembobotan dilakukan dengan menggunakan penilaian alternatif dan kriterai yang diperoleh dari wawancara dan
pengisian kuisioner oleh para pakar. Terdapat tiga orang pakar yang diwawancarai dalam penentuan bobot alternatif dan kriteria. Ketiga pakar tersebut yaitu :
Harry Muhammad Nadir, Ak. : Pelaku bisnis kelapa sawit di PT. Bakrie Sumatera Plantation,Tbk.
Ir. Nandra Djajantia : Pelaku bisnis kelapa sawit dan staff Information and Technology di PT. Chevron Indonesia.
Ir. Freddy Ibrahim : Operation Manager drilling processing di PT. Tiara Bumi Petroleum.
Kriteria dan alternatif tersebut diberikan rentang penilaian dengan skala satu sampai sembilan. Penilaian yang dilakukan oleh pakar adalah dengan memberikan bobot nilai dari kriteria kemudian memberikan bobot alternatif berdasarkan kriterianya pada kuisioner. Terdapat tujuh kriteria yang dijadikan pertimbangan dalam penentuan alternatif lokasi pendirian industri LCM serbuk sawit, yaitu :
Ketersediaan Bahan Baku Penilaian dari variabel ini adalah ada tidaknya sumber bahan baku pada suatu alternatif lokasi atau jauh tidaknya sumber bahan baku dengan alternatif lokasi. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang terdapat sumber bahan baku atau dekat dengan sumber bahan baku.
Ketersediaan Tenaga Kerja Penilaian dari variabel ini adalah banyak tidaknya tenaga kerja yang tersedia pada suatu alternatif lokasi dan mahal tidaknya gaji tenaga kerja pada daerah tersebut. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang terdapat banyak tenaga kerja dan berbiaya minimum untuk gaji pekerjanya.
Ketersediaan Infrastruktur yang Baik Penilaian dari variabel ini adalah baik tidaknya kondisi infrastruktur pada suatu alternatif lokasi. Infrastuktur meliputi jalan, fasilitas air, fasilitas listrik, dan jaringan komunikasi. Alternatif lokasi yang baik adalah yang memiliki lokasi infrasturktur memadai Masyarakat Sekitar yang Mendukung Penilaian dari variabel ini adalah kondusif tidaknya budayadan kebiasaan masyarakat yang tinggal pada suatu alternatif lokasi. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang masayarakatnya mendukung berdirinya suatu industri baru.
Sudah Terbangunnya Jaringan Distribusi Penilaian dari variabel ini adalah sudah terbangun tidaknya jaringan distibusi produk pertanian pada suatu alternatif lokasi. Jarignan distribusi ini mencakup ada tidaknya jaringan distributor pada daerah tersebut dan mudah tidaknya akses keluar masuk produk dan barang dari dan ke alternatif lokasi tersebut. Alternatif lokasi yang baik adalah yang sudah terbangun jaringan distribusi dengan baik dan akses keluar masuk produk dan barang mudah.
Peraturan Pemerintah Lokal yang Mendukung Penilaian dari variabel ini adalah kondusif tidaknya sikap Pemerintah Lokal terhadapa pembangunan industri. Sikap Pemerintah Lokal ini mencakup kemudahan prosedur perizinan usaha, perpajakan, dan peraturan lainnya. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang Pemerintah lokalnya mendukung untuk pembangunan industri.
Biaya Penilaian dari variabel ini adalah besar tidaknya efisiensi biaya yang dikeluarkan untuk membangun industri pada suatu alternatif lokasi. Biaya ini mencakup biaya pembanguna fisik industri, biaya perizinan usaha, biaya tenaga kerja dan semua aspek yang membuthkan pembiayaan. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang mendukung efisiensi biaya yang besar. Pada model pemilihan lokasi industri LCM serbuk sawit ini, terdapat sepuluh alternatif lokasi, yaitu kabupaten Rokan Hulu, Kampar, Pelalawan, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, Simalungun, Langkat, Musi Banyuasin, Pasaman Barat, dan Dharmas Raya. Kesepuluh alternatif tersebut diperoleh berdasarkan luas areal perkebunan kelapa sawit yang dimiliki dari tiap-tiap kabupaten tersebut dan hasil studi literatur yang mendukung dan sesuai dengan kondisi saat ini berdasarkan ketersediaan bahan baku tersebut. Dalam penggunaan model pemilihan lokasi, pengguna dari sistem ini dapat menggunakan data yang telah didapat berdasarkan wawancara dengan pakar atau dapat juga dengan memasukkan penilaian pada kolom-kolom variabel yang telah disediakan bagi para pengguna. Hasil keluaran atau output pemilihan lokasi industri LCM serbuk sawit (berdasarkan pakar) dengan menggunakan teknik MPE menghasilkan urutan alternatif lokasi yang akan dipilih yang dapat dilihat pada Gambar 34. Nilai MPE terbesar dari alternatif yang diberikan yang akan dijadikan lokasi industri potensial dalam pendirian industri LCM serbuk sawit. berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh ketiga pakar dan perhitungan bobot dengan teknik MPE maka didapatkan kabupaten Rokan hulu sebagai lokasi potensial dalam pendirian industri LCM serbuk sawit dikarenakan memiliki nilai MPE terbesar dibandingkan dengan alternatif lokasi lainnya.
Gambar 34. Tampilan halaman model pemilihan lokasi
2.
Model Prakiraan Bahan Baku Model analisis prakiran bahan baku bertujuan untuk menganalisis jumlah bahan baku yang masih tersedia beberapa tahun mendatang. Model analisis ini menggunakan satu buah database yang ada dalam sistem yaitu database luas areal perkebunan yang telah di prakirakan dan dihitung dengan menggunakan metode time series single exponential smoothing. Keluaran yang dihasilkan dalam model ini berupa luas areal yang perkebunan kelapa sawit yang diprakirakan pada tahun tertentu, luas areal yang dapat ditebang atau dilakukannya proses re-planting serta bobot dari bahan baku yang dapat dihasilkan dari proses re-planting yang nantinya bahan baku tersebut akan diolah menjadi serbuk sawit. Analisis prakiraan bahan baku dihitung berdasarkan data historis yang terhitung selama 15 tahun sejak tahun 1995-2009. Data historis yang digunakan hanya sampai dengan data tahun 2009 dikarenakan Badan Statistik Pusat belum mengeluarkan pada tahun 2010 dan tahun 2011, oleh karena itu tahun yang diprakirakan akan dimulai pada tahun 2010-2019. Pada Gambar 35 dapat dilihat salah satu contoh analisis dalam prakiraan bahan baku batang kelapa sawit. Pengguna melakukan input dapat berupa pemilihan tahun yaitu tahun 2012 dan provinsi Riau yang akan dilakukan prakiraan. Setelah diproses, luas areal perkebunan kelapa sawit yang diprakirakan oleh sistem sebesar 1,953,797 hektar dengan total areal yang dapat dilakukan proses re-planting sebesar empat persen dari total luas areal prakiraan yaitu 78,152 hektar. Setelah luas areal yang dapat dilakukan proses re-planting didapat maka, dapat dihitung pula jumlah bahan baku yang diperoleh dari proses re-planting tersebut yaitu sebesar 15,005,184 ton batang kelapa sawit.
Gambar 35. Tampilan halaman model prakiraan bahan baku. 3.
Model Teknis dan Teknologis Model teknis dan teknologis bertujuan untuk memberikan informasi mengenai teknologi yang digunakan dalam proses produksi industri LCM serbuk sawit, perhitungan neraca massa, mesin dan peralatan yang digunakan, perencanaan tata letak, dan kebutuhan luas ruangan produksi dari proses produksi tersebut. Pemilihan jenis teknologi proses produksi didasarkan pada kemudahan proses produksi dan perkiraan biaya produksi. Pemilihan mesin dan peralatan ditentukan berdasarkan teknologi dan proses produksi yang dipilih. Neraca massa disusun untuk melihat laju alir, jumlah input, dan jumlah output masing-masing komponen bahan pada setiap proses. Penentuan tata letak pabrik dilakukan dengan menganalisis keterkaitan antar aktivitas,
kemudian menentukan kebutuhan luas ruang dan alokasi area Kebutuhan luas ruang produksi tergantungan pada jumlah mesin dan peralatan, tenaga kerja atau operator yang menangani fasilitas produksi, serta jumlah dan jenis sarana yang mendukung kegiatan produksi. Metode yang digunakan dalam menentukan kebutuhan luas ruang produksi adalah metode pusat produksi. Pusat produksi terdiri dari mesin dan semua perlengkapan untuk mendukung proses produksi serta luasan untuk melaksanakan operasi. Berikut Gambar 36 merupakan tampilan halaman utama model teknis dan teknologis dan tampilan halaman isi dari model teknis teknologi pada Lampiran 22.
Gambar 36. Tampilan halaman model teknis dan teknologis. 4.
Model Penjadwalan Penebangan Persoalan pedagang keliling (Travelling Salesperson Problem-TSP) merupakan salah satu persoalan optimasi kombinatorial jika diberikan sejumlah kota (atau tempat) dan biaya perjalanan dari satu kota ke kota lain. Deskripsi persoalannya adalah bagaimana menemukan rute perjalanan paling murah dari suatu kota dan mengunjungi semua kota lainnya, masingmasing kota hanya dikunjungi satu kali, dan harus kembali ke kota asal keberangkatan. Kombinasi dari semua rute perjalanan yang ada adalah faktorial dari jumlah kota. Biaya perjalanan bisa berupa jarak, waktu, bahan bakar, kenyamanan, dan sebagainya. Tipe persoalan TSP banyak muncul di beberapa persoalan aplikasi teknik yang mencakupi optimasi tampilan dari pipa saluran udara, perancangan antena feed system, pengurutan objek untuk memperoleh susunan yang tepat. Sudah banyak metode pemecahan masalah yang dikerahkan untuk menyelesaikan persoalan TSP. Persoalan TSP adalah persoalan yang sulit (hard problem) dipandang dari sudut komputasinya. Hingga saat ini belum ditemukan algoritma yang mangkus (dalam orde polinomial) untuk menyelesaikannya. Jika algoritma dengan kompleksitas dalam orde polinomial ditemukan untuk TSP, maka banyak persoalan sulit juga dapat diselesaikan dengan algoritma tersebut. Algoritma genetika merupakan teknik pencarian dan optimasi yang terinspirasi oleh prinsip dari genetika dan seleksi alam (teori evolusi Darwin). Algoritma ini digunakan untuk mendapatkan solusi yang tepat untuk masalah optimasi dari satu variabel atau multi variabel. Berbeda dengan teknik pencarian konvensional, algoritma genetika bermula dari himpunan solusi yang dihasilkan secara acak. Himpunan ini disebut populasi. Sedangkan setiap individu dalam populasi disebut kromosom yang merupakan representasi dari solusi. Kromosom-kromosom
berevolusi dalam suatu proses iterasi yang berkelanjutan yang disebut generasi. Pada setiap generasi, kromosom dievaluasi berdasarkan suatu fungsi evaluasi (Gen dan Cheng, 1997). Setelah beberapa generasi maka algoritma genetika akan konvergen pada kromosom terbaik, yang diharapkan merupakan solusi optimal (Goldberg,1989). Sebelum Pertama kali, sebelum algoritma genetika dijalankan, maka perlu didefinisikan fungsi fitness sebagai masalah yang ingin dioptimalkan. Jika nilai fitness semakin besar, maka sistem yang dihasilkan semakin baik. fungsi fitness ditentukan dengan metode heuristik. Algoritma genetika sangat tepat digunakan untuk penyelesaian masalah optimasi yang kompleks dan sukar diselesaikan dengan menggunakan metode konvensional. Sebagaimana halnya proses evolusi di alam, suatu algoritma genetika yang sederhana umumnya terdiri dari tiga operasi yaitu: operasi reproduksi, operasi crossover (persilangan), dan operasi mutasi. Struktur umum dari suatu algoritma genetika dapat didefinisikan dengan langkahlangkah sebagai berikut:
Membangkitkan populasi awal secara random.
Membentuk generasi baru dengan menggunakan tiga operasi diatas secara berulang-ulang sehingga diperoleh kromosom yang cukup untuk membentuk generasi baru sebagai representasi dari solusi baru.
Evolusi solusi yang akan mengevaluasi setiap populasi dengan menghitung nilai fitness setiap kromosom hingga kriteria berhenti terpenuhi. Bila kriteria berhenti belum terpenuhi maka akan dibentuk lagi generasi baru dengan mengulangi langkah 2. beberapa kriteria berhenti yang sering digunakan antara lain:
berhenti pada generasi tertentu
berhenti setelah dalam beberapa generasi berturut-turut didapatkan nilai fitness tertinggi/terendah (tergantung persoalan) tidak berubah.
berhenti bila dalam n generasi berikutnya tidak diperoleh nilai fitness yang lebih tinggi/rendah. Algoritma cepat untuk mencari suatu solusi yang mendekati solusi optimal, tetapi tidak memerlukan waktu yang lama. Algoritma genetika adalah salah satu algoritma alternatif yang dapat digunakan sebab prosesnya cepat dan memberikan hasil yang diinginkan. Selain itu, algoritma genetika juga mampu memberikan suatu solusi pada waktu kapanpun. Bagaimana algoritma genetika dapat menyelesaikan TSP yaitu solusi direpresentasikan ke dalam suatu kromosom yang berisi dari nomor urut kota-kota selain kota asal. Masing-masing nomor urut tidak boleh muncul lebih dari satu kali di dalam kromosom sehingga satu kromosom merepresentasikan satu rute perjalanan (satu solusi) yang valid. Dalam model ini persoalan TSP digunakan dalam penerapan penjadwalan penebangan batang kelapa sawit. Persoalan TSP digunakan untuk mendapatkan rute minimum yang akan ditempuh penebang dalam pengambilan bahan baku yang berupa batang kelapa sawit di setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di kabupaten Rokan Hulu. Rute minimum yang dihasilkan melalui persoalan TSP dapat menghasilkan solusi optimum sehingga biaya yang dikeluarkan industri dalam penjadwalan penebangan ini merupakan biaya paling minimum yang dapat dikeluarkan. Berikut merupakan contoh penyelesaian persoalan TSP yang diselesaikan dengan menggunakan algoritma genetika dengan perhitungan secara manual. Terdapat 4 buah contoh lokasi yang akan dilalui oleh seorang penebang keliling, yaitu lokasi A,B,C,D. Perjalanan dimulai dari kota A dan berakhir di kota A. Jarak antar kota diperlihatkan pada Gambar 37 dan Tabel 23 di bawah ini:
D
A
C
B
Gambar 37. Graf rute penebangan Tabel 23. Jarak antar lokasi pabrik dan lokasi tebang
A
A (Pabrik) 0
B (PT. Toganda) 180.88
C (PT. Eluan Mahkota) 118.22
D (PT.Ekadura) 135.22
B
180.88
0
81.03
298.56
180.88
C
118.22
81.03
0
249.96
118.22
D
135.22
298.56
249.96
0
135.22
A
0
Rute
A (Pabrik) 0
180.88 118.22 135.22 Sumber : http://www.google.com/earth/index.html [23 Juni 2011]
0
Persoalan TSP tersebut akan diselesaikan dengan menggunakan algoritma genetika. Kriteria berhenti ditentukan terlebih dahulu yaitu apabila setelah dalam beberapa generasi berturutturut diperoleh nilai fitness yang terendah tidak berubah. Pemilihan nilai fitness yang terendah sebagai syarat karena nilai tersebut yang merepresentasikan jarak terdekat yang dicari pada persoalan TSP ini. Ada 3 kota yang akan menjadi gen dalam kromosom yaitu kota-kota selain kota asal. a. Inisialisasi Misalkan kita menggunakan 6 buah populasi dalam satu generasi, yaitu: Kromosom[1] = [B C D] Kromosom[2] = [B D C] Kromosom[3] = [C B D] Kromosom[4] = [D C B] Kromosom[5] = [C D B] Kromosom[6] = [D B C] b. Evaluasi kromosom Kita akan menghitung nilai fitness dari tiap kromosom yang telah dibangkitkan: Fitness[1] = AB + BC + CD +DA = 180.88 + 81.03 + 249.96 + 135.22 = 647.05 Fitness[2] = AB + BD + DC +CA = 180.88 + 298.56 + 249.96 + 118.22 = 847.62 Fitness[3] = AC + CB + BD +DA = 118.22 + 81.03 + 298.56 + 135.22 = 633.05 Fitness[4] = AD + DC + CB +BA = 135.22 + 249.96 + 81.03 + 180.88 = 647.05 Fitness[5] = AC + CD + DB +BA = 118.22 + 249.96 + 298.56 + 180.88 = 847.62 Fitness[6] = AD + DB + BC +CA = 135.22 + 298.56 +81.03 + 118.22 = 633.05
c. Seleksi kromosom Oleh karena pada persoalan TSP yang diinginkan yaitu kromosom dengan fitness yang lebih kecil akan mempunyai probabilitas untuk terpilih kembali lebih besar maka digunakan inverse. Q[i] = 1 / Fitness[i] Q[1] = 1 / 647.05 = 0.0015 Q[2] = 1 / 847.62 = 0.0012 Q[3] = 1 / 633.05 = 0.0016 Q[4] = 1 / 647.05 = 0.0015 Q[5] = 1 / 847.62 = 0.0012 Q[6] = 1 / 633.05 = 0.0016 Total = 0.0015 + 0.0012 + 0.0016 + 0.0015 +0.0012 +0.0016 = 0.0086 Untuk mencari probabilitas kita menggunakan rumus berikut : P[i] = Q[i] / Total P[1] = 0.0015 / 0.0086 = 0.17 P[2] = 0.0012 / 0.0086 = 0.14 P[3] = 0.0016 / 0.0086 = 0.19 P[4] = 0.0015 / 0.0086 = 0.17 P[5] = 0.0012 / 0.0086 = 0.14 P[6] = 0.0016 / 0.0086 = 0.19 Dari probabilitas di atas dapat terlihat bahwa kromosom ke-1 mempunyai fitness paling kecil mempunyai probabilitas untuk terpilih pada generasi selanjutnya lebih besar dari kromosom lainnya. Untuk proses seleksi kita menggunakan rouletewheel, untuk itu kita terlebih dahulu mencari nilai kumulatif dari probabilitasnya. C[1] = 0.17 C[2] = 0.17 + 0.14 = 0.31 C[3] = 0.31 + 0.19 = 0.50 C[4] = 0.50 + 0.17 = 0.67 C[5] = 0.67 + 0.14 = 0.81 C[6] = 0.81 + 0.19 = 1 Proses roulete-wheel adalah membangkitkan nilai acak R antara 0-1. Jika R[k]
Setelah itu, populasi baru akan terbentuk yaitu : Kromosom[1] = [B C D] Kromosom[2] = [B D C] Kromosom[3] = [C B D] Kromosom[4] = [D C B] Kromosom[5] = [C D B] Kromosom[6] = [D B C] Kromosom[1] = [2] = [B D C] Kromosom[2] = [1] = [B C D] Kromosom[3] = [3] = [C B D] Kromosom[4] = [5] = [C D B] Kromosom[5] = [4] = [D C B] Kromosom[6] = [6] = [D B C] d. Crossover (pindah silang) Pindah silang pada TSP dapat diimplementasikan dengan skema order crossover. Pada skema ini, satu bagian kromosom dipertukarkan dengan tetap menjaga urutan kota yang bukan bagian dari kromosom tersebut. Kromosom yang dijadikan induk dipilih secara acak dan jumlah kromosom yang dicrossover dipengaruhi oleh parameter crossover probability (ρc). Misal kita tentukan ρc = 25%, maka diharapkan dalam 1 generasi ada 50% (3 kromosom) dari populasi mengalami crossover. Pertama kita bangkitkan bilangan acak R sebanyak jumlah populasi yaitu 6 kali. R[1] = 0,45 R[2] = 0,21 R[3] = 0,30 R[4] = 0,88 R[5] = 0,77 R[6] = 0,13 Kromosom ke-k yang dipilih sebagai induk jika R[k] < ρc. Maka yang akan dijadikan induk adalah kromosom[2], kromosom[3], dan kromosom[6]. Setelah melakukan pemilihan induk, proses selanjutnya adalah menentukan posisi crossover. Hal tersebut dilakukan dengan membangkitkan bilangan acak antara 1 sampai dengan panjang kromosom-1. Dalam kasus TSP ini bilangan acaknya adalah antara1-3. Misal diperoleh bilangan acaknya 1, maka gen yang ke-1 pada kromosom induk pertama diambil kemudian ditukar dengan gen pada kromosom induk kedua yang belum ada pada induk pertama dengan tetap memperhatikan urutannya. Bilangan acak untuk 3 kromosom induk yang akan di-crossover : C[2] = 2 C[3] = 1 C[6] = 2 Proses crossover : Kromosom[2] = Kromosom[2] >< Kromosom[3] = [B C D] >< [C B D] = [B C D]
Kromosom[3] = Kromosom[3] >< Kromosom[6] = [C B D]>< [D B C] = [C D B] Kromosom[6] = Kromosom[6] >< Kromosom[2] = [D B C] >< [B C D] = [D B C] Populasi setelah di-crossover : Kromosom[1] = [B D C] Kromosom[2] = [B C D] Kromosom[3] = [C B D] Kromosom[4] = [C D B] Kromosom[5] = [D C B] Kromosom[6] = [D B C] e. Mutasi Pada kasus TSP ini skema mutasi yang digunakan adalah swapping mutation. Jumlah kromosom yang mengalami mutasi dalam satu populasi ditentukan oleh parameter mutation rate(ρm). Proses mutasi dilakukan dengan cara menukar gen yang dipilih secara acak dengan gen sesudahnya. Jika gen tersebut berada di akhir kromosom, maka ditukar dengan gen yang pertama. Pertama kita hitung dulu panjang total gen yang ada pada satu populasi: Panjang total gen = jumlah gen dalam 1 kromosom * jumlah Kromosom (3) =3*6 = 18 Untuk memilih posisi gen yang mengalami mutasi dilakukan dengan membangkitkan bilangan acak antara 1 – Panjang total gen yaitu 1- 18. Misal kita tentukan ρm = 20 %. Maka jumlah gen yang akan dimutasi adalah = 0,2*18 = 3.6 = 4 4 buah posisi gen yang akan dimutasi, setelah diacaka dalah posisi 1, 6, 9, 11, 17. Proses mutasi : Kromosom[1] = [D B C] Kromosom[2] = [B D C] Kromosom[3] = [C D B] Kromosom[4] = [C B D] Kromosom[5] = [D C B] Kromosom[6] = [D C B] Proses algoritma genetik untuk 1 generasi telah selesai. Maka nilai fitness setelah 1 generasi adalah: Fitness[1] = AD + DB + BC + CA = 633.03 Fitness[2] = AB + BD + DC + CA = 847.62 Fitness[3] = AC + CD + DB + BA = 847.62 Fitness[4] = AC + CB + BD + DA = 633.03 Fitness[5] = AD + DC + CB + BA = 647.09 Fitness[6] = AD + DC + CB + BA = 647.09
Sebelumnya telah ditentukan kriteria berhenti yaitu bila setelah dalam beberapa generasi berturut-turut diperoleh nilai fitness yang terendah tidak berubah. Pada 1 generasi telah terlihat bahwa terdapat nilai fitness terkecil yang tidak berubah. Apabila perhitungan dilanjutkan hingga ke generasi ke-N maka diyakinkan bahwa nilai fitness yang terendah tetap tidak akan berubah. Walaupun perhitungan cukup dijabarkan hingga generasi ke-1 saja namun solusi yang mendekati optimal telah didapatkan. Oleh karena itu, terbukti bahwa algoritma genetika dapat menyelesaikan persoalan TSP. Berikut merupakan contoh penyelesaian persoalan TSP dengan menggunakan MATLAB. Penyelesaian persoalan TSP dengan menggunakan software matlab akan lebih mudah dan lebih cepat dikarenakan pengkodean yang dilakukan dalam matlab merepresentasikan perhitungan algoritma genetika persoalan TSP secara manual. Berikut hasil runing dari pengkodean penyelesaian persoalan TSP dengan metode algoritma genetika dalam matlab. wil = ABCDA jarak = 0 180.8800 118.2200 135.2200 0 180.8800 0 81.0300 298.5600 180.8800 118.2200 81.0300 0 249.9600 118.2200 135.2200 298.5600 249.9600 0 135.2200 0 180.8800 118.2200 135.2200 0 urutan rute: ADBCA Jarak Minimum : 633.0300
Gambar 38. Grafik rute terpendek hasil perhitungan dengan MATLAB
Gambar 39. Hasil penyelesaian TSP dengan algoritma genetika Setelah didapatkan rute terpendek dengan menyelesaikan persoalan TSP, selanjutnya dilakukan metode clustering guna mengelompokkan data tanam dari pohon kelapa sawit yang nantinya akan dilakukan penebangan. Pengelompokkan data tersebut dapat menghasilkan keluaran data yang berupa kebun mana yang akan pertama kali ditebang. Pada metode ini akan diprediksi kebun mana yang akan ditebang pertama kali dari data tahun tanam yang diberikan oleh user. Menurut Jianxin (2006), jarak antara dua kebutuhan fungsional menggambarkan ketidaksamaan diantaranya. Pada Lampiran 23 digambarkan contoh clustering dari 150 data random mengenai kondisi batang kelapa sawit tersebut. Data tersebut berupa data tahun tanam pohon kelapa sawit, produktivitas pohon dan kondisi kelapa sawit apakah terinfeksi dengan penyakit jamur ganoderma atau tidak.Data mengenai kondisi pohon kelapa sawit akan dikelompokkan ke dalam tiga kelompok (klaster) yang berbeda. C1 adalah perhitungan terhadap centroid pertama yang didapat dari kalkulasi menggunakan rumus Euclidean. Begitu pula C2 dan C3 yang merupakan perhitungan terhadap centroid kedua dan centroid ketiga yang didapat dari kalkulasi rumus Euclidean pula. Kemudian diperoleh nilai minimum pada tiap centroid yang dipaparkan dalam bentuk matriks. Nilai matriks 1 akan diberikan pada nilai paling minimum dan matriks 0 untuk nilai lainnya. Proses kalkulasi akan terus berlangsung dan berhenti sampai nilai matriks pada iterasi terakhir sama dengan nilai matriks pada iterasi sebelumnya. Lampiran 24 merupakan hasil clustering setelah matriks hasil iterasi sama dengan matriks sebelumnya. Diperoleh tiga kelompok cluster yaitu kebun yang akan ditebang pertama kali yaitu klaster 3 dengan kebun nomor 1, 3, 6, 7, 10, 11, 14, 20, 21, 24, 25, 26, 27, 31, 35, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 53, 54, 56, 57, 58, 63, 64, 65, 68, 70, 75, 76, 78, 85, 86, 88, 89, 93, 94, 95, 97, 107, 114, 121, 122, 123, 125, 131, 132, 138, 141, 144, 146. Proses clustering yang berdasarkan pada data akan terus berubah sesuai dengan data yang dimasukkan oleh pengguna (user). Dalam proses pengelompokkan data tersebut digunakan bantuan software MATLAB sehingga mempermudah mendapatkan kelompok data kebun yang akan dilakukan penenbangan. Hasil pengelompokkan data kebun kelapa sawit yang akan ditebang dapat dilihat pada Gambar 40 berikut. Sedangkan untuk tampilan dari halaman model penjadwalan penebangan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 41 dibawah ini.
3 iterations, total sum of distances = 582 3 iterations, total sum of distances = 582 3 iterations, total sum of distances = 582 2 iterations, total sum of distances = 582 2 iterations, total sum of distances = 582 Gambar 40. Hasil penyelesaian clustering k-means dalam penjadwalan penebangan Keterangan : Klaster 1 = kebun yang akan ditebang urutan kedua Klaster 2 = kebun yang akan ditebang terakhir kalinya Klaster 3 = kebun yang akan ditebang pertama kalinya
Gambar 41. Tampilan halaman model penjadwalan penebangan 5.
Model Kelayakan Industri Didalam model analisis finansial kelayakan industri ini, sistem menggunakan beberapa asumsi yang ditetapkan sesuai dengan hasil dari model analisis sebelumnya serta sesuai dengan keadaan saat ini. Asumsi-asumsi tersebut antara lain :
Umur proyek selama 10 tahun
Kapasitas produksi sebesar 160 ton per tahun dengan presentase produk terjual sebesar 100%
Presentase modal pinjaman sebesar 80% sedangkan presentase modal sendiri sebesar 20%
Bunga bank yang digunakan sebesar 12% dengan lama kembali pinjaman selama enam tahun
Harga jual produk setelah ditambah oleh margin sebesar Rp 4700 perkilogram. Kelayakan finansial tersebut dianalisis melalui paket program SPKPalmpowder 1.0. Pengguna dapat memasukkan nilai asumsi di atas pada program SPKPalmpowder 1.0 seperti pada Gambar 42.
Gambar 42. Tampilan halaman asumsi pada model kelayakan finansial Kemudian pengguna juga diminta memasukkan struktur biaya investasi, biaya tetap, dan biaya variabel yang dibutuhkan di awal proyek. Tampilan programnya dapat dilihat pada Gambar 43 sampai Gambar 45.
Gambar 43. Tampilan halaman biaya investasi
Gambar 44. Tampilan halaman biaya tetap
Gambar 45. Tampilan halaman biaya variabel Selanjutnya, setelah semua nilai biaya dan asumsi dimasukkan, pengguna dapat memperoleh hasil kelayakannya berdasarkan kriteria investasi. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, dapat dilihat hasil tiap kriteria kelayakan investasinya. NPV-nya bernilai positif dengan nilai sebesar Rp 567,088,575. Nilai Internal Rate Ratio (IRR) sebesar 36,21 % dan nilai IRR tersebut lebih besar dari tingkat suku bunga bank 12%. Kemudian Pay Back Period (PBP) adalah 3.4 tahun atau lebih cepat dari umur proyek. Nilai Net B/C Ratio sebesar 2.01 atau lebih besar dari 1. Dari kriteria-kriteria kelayakan investasi tersebut, maka investasi industri LCM serbuk sawit dinyatakan layak untuk dijalankan. Tampilannya dapat dilihat pada Gambar 46.
Gambar 46. Tampilan halaman kelayakan industri dalam program SPKPalmpowder 1.0.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sistem penunjang keputusan cerdas perencanaan industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit untuk proses pengeboran minyak menghasilkan output berupa pemodelan sistem yang bertujuan untuk membantu para investor atau pelaku industri pengeboran dan kelapa sawit mendapatkan gambaran dan informasi yang akurat tentang prospek pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi produk yang bernilai ekonomis. Pemodelan sistem penunjang keputusan ini dirancang dalam suatu paket program SPKPalmpowder 1.0. Paket program SPKPalmpowder 1.0 terdiri dari lima model analisis, yaitu Model Pemilihan Lokasi, Model Prakiraan Bahan Baku, Model Teknis dan Teknologis, Model Penjadwalan Penebangan dan Model Kelayakan Investasi. Industri LCM serbuk sawit yang terbuat dari pengolahan batang kelapa sawit merupakan industri yang potensial untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan massa limbah batang kelapa sawit yang dihasilkan sangat banyak dan belum dapat dimanfaatkan secara komersil, sehingga perlu adanya penanganan khusus terhadap limbah batang kelapa sawit dengan menjadikannya sebuah produk LCM alternatif guna membantu proses pengeboran minyak. Berdasarkan hasil analisis aspek pasar, potensi pasar industri LCM serbuk sawit ini masih terbuka karena sampai saat ini industri yang dapat mengolah limbah batang kelapa sawit menjadi produk yang bernilai ekonomis masih sangat minim sehingga peluang yang didapat apabila mendirikan industri LCM serbuk sawit ini merupakan prospek yang sangat baik. LCM serbuk sawit dipasarkan dalam bentuk kemasan sehingga lebih praktis. Berdasarkan hasil perhitungan penentuan lokasi dengan menggunakan metode MPE, maka lokasi yang dipilih untuk industri ini adalah Rokan Hulu, Riau. Berdasarkan perhitungan biaya dan kapasitas produksi, maka harga jual LCM serbuk sawit adalah Rp. 4625/kg dengan nilai margin sebesar 20%. Pabrik LCM serbuk sawit mempunyai kapasitas produksi total 160,000 kg/tahun, dengan produksi tahun pertama sebanyak 80 persen, tahun kedua sebanyak 90 persen dan tahun ketiga dan seterusnya sebanyak 100 persen dari total kapasitas. Berdasarkan analisis aspek manajemen, kebutuhan akan tenaga kerja sebanyak 25 orang dan hampir semuanya merupakan tenaa ahli terdidik, karena penggunaan teknologi yang tinggi. Industri LCM serbuk sawit ini tidak menghasilkan limbah yang menimbulkan bahaya dan limbah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali dengan diolah oleh pihak pabrik sehingga pendirian industri ini aman bagi lingkungan bila didirikan. Berdasarkan analisis finansial diperoleh beberapa parameter kelayakan yang meliputu NPV proyek ini sebesar Rp. 723,717,481; IRR mencapai 30 persen; B/C rasio 2.19 dan PBP selama 3 tahun 8 bulan. Keseluruhan penilaian kriteria kelayakan tersebut menunjukkan bahwa pendirian industri LCM serbuk sawit dengan memanfaatkan limbah batang kelapa sawit sebagai bahan baku layak untuk didirikan. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap penurunan kapasitas dan penurunan harga jual. Industri akan menjadi tidak layak didirikan apabila mencapai penurunan harga sebesar 20.7 dan 20.8 persen. Pendirian Industri pengolahan limbah batang kelapa sawit ini harus ditunjang dengan adanya pemanfaatan dari hasil samping selama proses produksi. Penjadwalan penebangan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan persoalan pedagang keliling (TSP) dalam menentukan rute terpendek pelaksanaan penebangan kebun kelapa sawit dan metode clustering dalam mengelompokkan nomor kebun yang akan pertama kali ditebang. Persoalan pedagang keliling (TSP) dapat diselesaikan dengan menggunakan algoritma genetika. Walaupun solusi TSP yang dihasilkan oleh algoritma ini belum tentu merupakan solusi paling optimal (misalnya apabila yang dilalui sangat banyak), namun algoritma genetika akan
menghasilkan solusi yang lebih optimal pada setiap generasinya. Hal tersebut terlihat dari nilai fitness tiap generasi. Dalam penelitian ini didapat rute terpendek yaitu dengan jarak 633 km, sehingga biaya yang dikeluarkan dapat seminimum mungkin. Kelebihan algoritma genetika dibandingkan metode pencarian konvensiona pada TSP yaitu pertama, solusi dapat diperoleh kapanpun karena solusi dihasilkan pada generasi ke berapapun, kedua, algoritma genetika tidak harus membutuhkan waktu yang lama karena tidak semua kemungkinan dicoba, tergantung pada kriteria berakhirnya. Clustering membantu pengguna untuk membuat keputusan dalam pengelompokkan data yang jumlahnya banyak. Terdapat tiga cluster pada program ini, yaitu: Klaster 1 yaitu klaster dengan kebun urutan kedua ditebang, klaster 2 dengan kelompok kebun yang ditebang terakhir kalinya, dan klaster 3 dengan kelompok kebun yang ditebang pertama kalinya. B. Saran Saran yang diperlukan untuk melengkapi penelitian ini adalah : 1. Analisa yang berkelanjutan untuk aspek teknis teknologis terutama untuk rancangan mesin dan peralatan agar dapat meminimumkan biaya yang dikeluarkan. 2. Analisa aspek lingkungan lanjutan tentang dampak proyek terhadap lingkungan, baik lingkungan hidup maupun lingkungan masyarakat. 3. Pengkajian sumber pendanaan lain seperti investor-investor untuk membiayai industri biodiesel ini, dengan segala resiko dan keuntungan dari sistem pendanaan tersebut. 4. Kerjasama dengan pihak perusahaan perkebunan, perusahaan pengeboran minyak dan investor untuk menggunakan sistem ini dalam proses perencanaan industri
DAFTAR PUSTAKA Afandy H. 2007. Peningkatan Mutu Papan Komposit dari Limbah Serbuk Kayu Sengon dan Plastik Polyprophylene Daur Ulang dengan Perlakuan Fisik dan Kimia. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor [Tidak Dipublikasikan]. [Anonim]. http://membangunkebunkelapasawit.webs.com/ . [20 Mei 2011]. Ariyoto K. 1990. Feasibility Study: Teknik Evaluasi Gagasan Usaha. Jakarta.: Mutiara Sumber Widya. Assauri, 1999. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Apple JM. 1990. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan Edisi Ketiga. Terjemahan. Bandung: Penerbit ITB. Bagchi TP. 1999. Multiobjective Scheduling By Genetic Algorithms. United States of America: Kluwer Academic Publishers. Badan Pusat Statistika. 2009. Statistika Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta: CV. Aditia Indah Nusantara Bakar ES. 2003. Kayu Sawit Sebagai Substitusi Kayu dari Hutan Alam. Forum Komunikasi dan Teknologi dan Industri Kayu 2 : 5-6. Bogor. Balfas. 2003. Pemanfaatan Limbah Batang Pohon Sawit Sebagai Bahan Baku Alternatif Kayu Pertukangan dan Konstruksi (Online : 22 oktober 2010 pukul 19.00 wib). Chofid A. http://abdulchofid.blogspot.com/ . [20 Mei 2011]. De Garmo EP, Williams GS, dan John RC. 1984. Engineering Economic Analysis. Jakarta: Binarupa Aksara. De Garmo EP, Wiliams GS. dan James AB. 1990. Engineering Economy : Eight Edition. New York: Macmillan Publisher Company. Dhar, V dan Stein, R, 1997. Intelligence Decision Support Methods: The Science of Knowledge Work. United States of America: Pearson Prentice Hall, Inc. Direktorat Jenderal Perkebunan 2006. Statistika perkebunan indonesia 2004-2006; Kelapa Sawit. Ditjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Djamin Z. 1993. Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Edris M. 1993. Penuntun Menyusun Studi Kelayakan Proyek. Bandung: Sinar Baru.
Eriyatno. 1996. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. _______. 1998. IImu Sistem : Meningkatkan Muta da, Efehivittis Manajemen. Bogor: IPB Press. _______. 1999. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Gen M dan Cheng R. 1997. Genetic Algorithm and Engineering Design. John Wile & Sons, Inc. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Jakarta: UI Pres-John Hopkins. Gitosudarmo I. 2003. Pengantar Bisnis . Yogyakarta: BPFE. Goldberg DE. 1989. Genetic Algorithm in Search, Optimization, and Machine Learning. AddisonWeasley, Reading, MA. ___________. 1999. Genetic Algorithm in Search, Optimization, and Machine Learning. AddisonWeasley, Reading, MA. Gray CP, Simanjuntak LK, Sabut PFL, Maspaitella dan Vartey RGC. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: PT. Gramedia. Hardjasoemantri, K. 2000. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Heizer J dan Berry R. 1993. Production and Operation Management : Strategies and Tactics. New Jersey: Prentice Hall. Holland JH. 1975. Adaptation in Natural and Artificial Systems. Ann Arbor, Michigan: University of Michigan Press. Husnan S dan Suwarsono. 2000. Studi Kelayakan Proyek : Konsep, Teknik, dan Penyusunan Laporan. Yogyakarta: AMP. Jianxin J, Yiyang Z, Martin H. 2006. Analytical Customer Requirement Analysis Based on Data Mining. Idea Group Inc. Kadariah LK, Clive G. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI. ________________. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek Edisi Revisi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI. Keen PGW. dan Morton M. 1978. Decision Support System an Organizational Perspective. USA: Addison Wesley Company. Kotler P. 2000. Manajemen Pemasaran Jilid 1. Terjemahan Hendra Teguh dan Ronny A. Rusli. Jakarta: Prenhallindo.
_______. 2002. Manajemen Pemasaran Jilid 2. Terjemahan Hendra Teguh dan Ronny A. Rusli. Jakarta.: Prenhallindo. Lasino. 2005. Pengembangan Bahan Bangunan Ekologis dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan Bidang ke Puanhttp://209.85.175.104/search?q=cache:anF3oo_DsIJ:www.pu.go.id/Publik/Pengumum an/Pengukuhan/Press-release LSN.doc+papan+partikel &hl=id&ct= clnk &cd. Badan Pusat Statistik =2&gl=id [21 Februari 2011] Machfud dan Agung Y. 1990. Perencanaan Tata Letak pada Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Makridakis S, Wheelright SC, dan Mgee VE. 1991. Metode dan Aplikasi Peramalan. Terjemahan. Jakarta: Erlangga. Manning RB. 1984. Gonodactyloideus Cracens n.gen. n.sp., A New Stomatopod Crustacean from Western Australia. - Beagle, 1 (9): 83-86. page(s) Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Minch RP dan Burns JR. 1983. Coceptual Design of Decision Support System Utilizing Management Science Model. IIEE Trans of SMC. 13(21) 549-555. Di dalam Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Nasution, D. Y., dan Thamrin, 2001. Pembuatan Kayu Termoplastik dari Batang Kelapa Sawit Menggunakan Teknik Impregnasi Reaktif dengan Poliolefin daur Ulang. Laporan Akhir Penelitian Domestic Colaboratif Research Grant, Proyek Penelitian untuk Pengembangan Pasca Sarjana/URGE, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Newman D. 1988. Engineering Economy Analysis. California: Engineering Press, Inc. O’Brien JA. 2002. Management Information Systems. New York: McGraw-Hill. Prayitno TA dan Darnoko. 1994. Karakteristik Papan Partikel dan Pohon Kelapa Sawit. Berita PPKPS, Vol : 2 - 3, 211 - 218. Prayitno TA. 1995. Bentuk Batang dan Sifat Fisis Kayu Kelapa Sawit. Yogyakarta: Buletin Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, No. 28. Purnomo H dan Kusumadewi S. 2004. Aplikasi Logika Fuzzy untuk Mendukung Keputusan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rangkuti F. 1997. Riset Pemasaran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Riyanto B. 1990. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan : Edisi 4. Yogyakarta: BPFE. Rizal.
2010. Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. http://rizals.student.umm.ac.id/2010/01/23/budidaya-tanaman-kelapa-sawit/ . [20 Mei 2011]
Roberts P, Philip K dan Gordon PW. 1998. Environmental, Planning and Land Use. England: Ashgate Publishing Company. Santoso T. 2005. Sifat Fisik dan Mekanis Papan Com-Ply dari Limbah Batang Sawit, Kertas Koran Bekas, dan Vinir Meranti. Medan: Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU. [Tidak dipublikasikan] Soeharto I. 2000. Manajemen Proyek, dari Konseptual sampai Operasional. Jakarta: Penerbit Erlangga. Soemarwoto O. 2001. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Sutojo. 1996. Studi Kelayakan Proyek: Teori dan Praktek. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. _____. 2000. Studi Keayakan Proyek Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Bina Pustaka Binaman Pressindo. Tomimura Y. 1992. Chemical Characteristics and Utilization of Oil Palm Trunks. Journal of Agriculture Research Quarterly 25: 283-288. Turban E dan Jack RM. 1991. Fundamentals of Management Science-5th ed. Boston: IRWIN Homewood IL. Umar, H. 2003. Studi Kelayakan Proyek : Teknik Menganalisa Kelayakan Rencana Bisnis secara Komperhensif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.. _______. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wijandi S. 1996. Pengantar Kewiraswastaan. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FATETA-IPB. Yu X dan Gen M. 2010. Introduction to Evolutionary Algorithms. New York: Springer London Dordrecht Heidelberg. http://www.perkakasku.com. [20 Mei 2011] http://www.google.com/earth/index.html. [23 Juni 2011] http://migasnet04badruz777.blogspot.com/2009_05_10_archive.html. [23 Juni 2011]
Lampiran 3. Luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 2009. Tabel 1. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Sumatera Utara Kabupaten Labuhan Batu Tapanuli Selatan Simalungun Langkat Asahan
Luas Areal (Ha) 85527 57144 24902 24438 21894
Tabel 2. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Riau Kabupaten Rokan Hulu Kampar Pelalawan Kuantan Singingi Indragiri Hulu
Luas Areal (Ha) 294539 212771 162500 123901 97253
Tabel 3. Luas areal terbesar 3 kabupaten provinsi Sumatera Selatan Kabupaten Musi Banyuasin Ogan Kemening Ilir Musi Rawas
Luas Areal (Ha) 93602 62441 38393
Tabel 4. Luas areal terbesar 3kabupaten provinsi Sumatera Barat Kabupaten Pasaman Barat Dharmas Raya Solok Selatan
Luas Areal (Ha) 93602 62441 38393
Lampiran 4. Luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 1995-2009. Tabel 1. Luas areal perkebuanan kelapa sawit 4 provinsi terbesar (Ha) Perkebunan Rakyat (Ha)
Provinsi 1995 95,058 140,959 79,900 30,712
Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat
1996 109,316 162,103 99,700 35,319
1997 109,817 172,703 111,700 35,819
1998 101,530 175,361 132,012 41,599
1999 103,530 217,575 156,601 55,747
2000 122,493 263,663 153,134 69,486
2001 171,679 480,328 174,932 105,043
2002 182,974 659,316 187,395 108,422
2003 195,853 683,738 149,566 136,308
2004 196,250 727,696 150,358 136,913
2005 304,129 693,729 269,868 148,412
2006 363,097 748,369 288,211 139,472
2007 367,742 805,952 316,894 154,484
2008 379,864 845,232 295,837 153,754
2009 408,699 865,231 312,404 164,925
299,312 89,720 46,892 3,554
300,550 89,720 46,892 3,554
300,053 89,803 45,690 5,897
299,963 100,640 47,499 12,920
315,654 74,721 45,193 10,463
318,206 72,956 45,551 10,298
434,291 551,997 311,120 166,699
435,624 572,585 317,566 167,060
436,491 584,600 322,678 167,799
440,315 621,514 375,115 169,011
449,687 562,402 353,073 331,726
464,072 584,121 367,727 323,180
Perkebunan Negara (Ha) Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat
229,683 61,006 20,463 3,259
250,354 66,497 22,305 3,552
250,352 71,745 22,305 3,552
253,434 60,088 27,209 3,256
281,503 76,796 34,760 3,256
282,853 77,164 37,902 3,256
284,202 77,473 40,780 3,256
288,796 78,785 43,658 3,256
297,710 85,566 46,750 3,256
Perkebunan Swasta (Ha) Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat
237,431 258,606 73,698 71,200
215,320 262,358 84,677 82,283
215,820 277,358 94,677 85,923
248,283 338,172 119,540 338,172
379,203 437,452 361,437 154,333
380,386 464,819 366,813 156,833
413,193 489,843 281,238 158,088
414,842 500,005 285,875 158,369
426,117 550,335 306,165 166,932
Tabel 2. Jumlah total luas areal perkebunan kelapa sawit 4 provinsi terbesar (Ha) Jumlah Total Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit (Ha)
Provinsi Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat
1995 562,172 460,571 174,061 105,171
1996 574,990 490,958 206,682 121,154
1997 575,989 521,806 228,682 125,294
1998 603,247 573,621 278,761 383,027
1999 764,236 731,823 552,798 213,336
2000 785,732 805,646 557,849 229,575
2001 869,074 1,047,644 496,950 266,387
2002 886,612 1,238,106 516,928 270,047
2003 919,680 1,319,639 502,481 306,496
2004 929,853 1,369,413 508,370 307,166
2005 1,040,303 1,356,034 634,326 319,026
2006 1,099,641 1,422,772 656,579 313,168
2007 1,108,020 1,528,106 739,508 336,415
2008 1,145,205 1,482,355 694,103 495,943
2009 1,190,977 1,522,308 725,682 498,403
Lampiran 5. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit.
Gambar 1. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit provinsi Sumatera Utara
Gambar 2. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit provinsi Riau
Gambar 3. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit provinsi Sumatera Selatan
Gambar 4. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit provinsi Sumatera Barat
Lampiran 6. Contoh kuisioner pemilihan lokasi potensial pendirian industri LCM serbuk sawit. KUISIONER PENENTUAN BOBOT KRITERIA & ALTERNATIF DALAM PENENTUAN LOKASI POTENSIAL MENGGUNAKAN METODE PERBANDINGAN EKSPONENSIAL Identitas Pakar Nama Pakar : Pekerjaan : Instansi : No. Telp : Petunjuk Pengisian: 1. Mohon Bapak/Ibu memberikan hanya satu skor penilaian numerik untuk masing-masing kriteria dan alternatif. 2. Jawaban dinyatakan dengan mengisi kolom bobot yang kosong dalam kuisioner dengan bobot berupa angka (1-9) yang merepresentasikan tingkat kepentingan antar kriteria yang satu terhadap kriteria yang lain dalam penentuan lokasi potensial dalam perencanaan industri serbuk sawit. PENENTUAN BOBOT KRITERIA Pada penentuan bobot kriteria ini, nilai 9 menunjukkan kriteria tersebut memiliki bobot atau tingkat kepentingan paling tinggi s/d nilai 1 menunjukkan tingkat kepentingan paling rendah. NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
KRITERIA Ketersediaan Bahan Baku Ketersediaan Tenaga Kerja Ketersediaan Infrastruktur yang Baik Masyarakat Sekitar yang Mendukung Sudah Terbangunnya Jaringan Distribusi Peraturan Pemerintah Lokal yang Mendukung Biaya
BOBOT (1-9)
PENENTUAN BOBOT ALTERNATIF UNTUK MASING-MASING KRITERIA DENGAN METODE MPE 1.
Ketersediaan Bahan Baku Penilaian dari variabel ini adalah ada tidaknya sumber bahan baku pada suatu alternatif lokasi atau jauh tidaknya sumber bahan baku dengan alternatif lokasi. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang terdapat sumber bahan baku atau dekat dengan sumber bahan baku. NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
ALTERNATIF Kabupaten Rokan Hulu Kabupaten Kampar Kabupaten Pelalawan Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Simalungun Kabupaten Langkat Kabupaten Musi Banyuasin Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Dharmas Raya
BOBOT
2.
Ketersediaan Tenaga Kerja Penilaian dari variabel ini adalah banyak tidaknya tenaga kerja yang tersedia pada suatu alternatif lokasi dan mahal tidaknya gaji tenaga kerja pada daerah tersebut. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang terdapat banyak tenaga kerja dan berbiaya minimum untuk gaji pekerjanya. NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
ALTERNATIF Kabupaten Rokan Hulu Kabupaten Kampar Kabupaten Pelalawan Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Simalungun Kabupaten Musi Banyuasin Kabupaten Ogan Kemening Ilir Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Dharmas Raya
BOBOT
3.
Ketersediaan Infrastruktur yang Baik Penilaian dari variabel ini adalah baik tidaknya kondisi infrastruktur pada suatu alternatif lokasi. Infrastuktur meliputi jalan, fasilitas air, fasilitas listrik, dan jaringan komunikasi. Alternatif lokasi yang baik adalah yang memiliki lokasi infrasturktur memadai NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
ALTERNATIF Kabupaten Rokan Hulu Kabupaten Kampar Kabupaten Pelalawan Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Simalungun Kabupaten Musi Banyuasin Kabupaten Ogan Kemening Ilir Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Dharmas Raya
BOBOT
4.
Masyarakat Sekitar yang Mendukung Penilaian dari variabel ini adalah kondusif tidaknya budayadan kebiasaan masyarakat yang tinggal pada suatu alternatif lokasi. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang masayarakatnya mendukung berdirinya suatu industri baru. NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
ALTERNATIF Kabupaten Rokan Hulu Kabupaten Kampar Kabupaten Pelalawan Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Simalungun Kabupaten Musi Banyuasin Kabupaten Ogan Kemening Ilir Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Dharmas Raya
BOBOT
5.
Sudah Terbangunnya Jaringan Distribusi Penilaian dari variabel ini adalah sudah terbangun tidaknya jaringan distibusi produk pertanian pada suatu alternatif lokasi. Jarignan distribusi ini mencakup ada tidaknya jaringan distributor pada daerah tersebut dan mudah tidaknya akses keluar masuk produk dan barang dari dan ke alternatif lokasi tersebut. Alternatif lokasi yang baik adalah yang sudah terbangun jaringan distribusi dengan baik dan akses keluar masuk produk dan barang mudah. NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
ALTERNATIF Kabupaten Rokan Hulu Kabupaten Kampar Kabupaten Pelalawan Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Simalungun Kabupaten Musi Banyuasin Kabupaten Ogan Kemening Ilir Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Dharmas Raya
BOBOT
6.
Peraturan Pemerintah Lokal yang Mendukung Penilaian dari variabel ini adalah kondusif tidaknya sikap Pemerintah Lokal terhadapa pembangunan industri. Sikap Pemerintah Lokal ini mencakup kemudahan prosedur perizinan usaha, perpajakan, dan peraturan lainnya. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang Pemerintah lokalnya mendukung untuk pembangunan industri. NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
ALTERNATIF Kabupaten Rokan Hulu Kabupaten Kampar Kabupaten Pelalawan Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Simalungun Kabupaten Musi Banyuasin Kabupaten Ogan Kemening Ilir Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Dharmas Raya
BOBOT
7.
Biaya Penilaian dari variabel ini adalah besar tidaknya efisiensi biaya yang dikeluarkan untuk membangun industri pada suatu alternatif lokasi. Biaya ini mencakup biaya pembanguna fisik industri, biaya perizinan usaha, biaya tenaga kerja dan semua aspek yang membuthkan pembiayaan. Alternatif lokasi yang baik adalah lokasi yang mendukung efisiensi biaya yang besar. NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
ALTERNATIF Kabupaten Rokan Hulu Kabupaten Kampar Kabupaten Pelalawan Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Simalungun Kabupaten Musi Banyuasin Kabupaten Ogan Kemening Ilir Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Dharmas Raya
BOBOT
Lampiran 7. Tabel asumsi untuk analisis finansial industri LCM serbuk sawit. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
15 16 17
18 19 20 21
22
VARIABEL ASUMSI Umur proyek Hari kerja per bulan Bulan kerja per tahun Jumlah hari kerja per tahun Nilai sisa bangunan dari nilai awal Nila sisa tanah dari nilai awal Nilai sisa mesin dan peralatan dari nilai awal Nilai sisa kendaraan Umur ekonomis peralatan kantor, serta kendaraan Umur ekonomis mesin dan peralatan Biaya pemeliharaan mesin dan peralatan dari harga Asuransi Asset Kapasitas produksi setahun Target kapasitas produksi: a. Tahun 1 b. Tahun 2 c. Tahun 3 dan seterusnya Kapasitas produksi sebulan Kapasitas produksi sehari Bahan baku : Berat kotor/pohon Bagian pohon yang tidak bisa di gunakan Berat Serbuk yang dihasilkan perbatang Jumlah karung yang bisa dihasilkan/pohon Harga jual Discount factor (bank BRI) Kebutuhan bahan bakar : Solar BBM Kontingensi Jumlah kemasan yang dibutuhkan per bulan Harga kemasan Kemasan karung plastik 25 kg Pajak a. Pajak penghasilan badan (PPh 30) b. Pajak bumi dan bangunan c. Pajak kendaraan Margin untuk harga jual LCM serbuk sawit 1 batang menghasilkan produk LCM 1 x tebang = 1ha =150 batang produk yg dihasilkan dari 1 hektar selama 1 bulan produk yang dihasilkan dalam 1 hari produk dalam kemasan 25 kg/hari 1 hektar = 1bulan margin = 20%
NILAI 10 26 12 312 50 100 10 20 5 5 0.5 0.5 160,000
SATUAN Tahun Hari Bulan Hari % % % % Tahun Tahun % % Kg/tahun
80 90 100 13333.33 513
% % % Kg/bulan Kg/hari
1,280 5 325 13 4,625 12
Kg/batang % Kg/batang Karung Kg %
420 15 5 533
Liter/hari Liter/hari % Unit
800
Rupiah/unit
30 2.5 1.4
% % %
325
1,875
Kg/batang kg/150 batang kg/150 batang kg/150 batang
75
kemasan
192000 48,750
Lampiran 8. Struktur pembiayaan bunga terhadap bank. Jenis kredit Modal investasi tetap Modal kerja Jumlah Angsuran modal investasi tetap Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kebutuhan investasi (559,298,250)
Modal sendiri 300,000,000
(559,298,250)
300,000,000
Pinjaman 259,298,250 140,701,750 400,000,000
Jumlah kredit 259,298,250 259,298,250 216,081,875 172,865,500 129,649,125 86,432,750 43,216,375
Angsuran pokok
bunga
Jumlah angsuran
43,216,375 43,216,375 43,216,375 43,216,375 43,216,375 43,216,375
31,115,790 25,929,825 20,743,860 15,557,895 10,371,930 5,185,965
74,332,165 69,146,200 63,960,235 58,774,270 53,588,305 48,402,340
259,298,250
108,905,265
368,203,515
Angsuran pokok
bunga
jumlah angsuran
35,175,438 35,175,438 35,175,438 35,175,438
16,884,210 12,663,158 8,442,105 4,221,053
52,059,648 47,838,595 43,617,543 39,396,490
140,701,750
42,210,525
182,912,275
Jumlah Angsuran modal kerja Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah
Jumlah kredit 140,701,750 140,701,750 105,526,313 70,350,875 35,175,438
Lampiran 9. Perincian biaya investasi.
NO. 1
KOMPONEN BIAYA PRA INVESTASI a. Perizinan b. Studi kelayakan
JUMLAH
SATUAN
HARGA SATUAN (Rp)
Nilai total (Rp)
NILAI SISA
1 1
Paket Paket
20,000,000 15,000,000
20,000,000 15,000,000
-
35,000,000
-
TOTAL 1 2
TANAH DAN BANGUNAN Tanah
658
m2
Bangunan
458
m2
100,000
TOTAL 2 3
4
FASILITAS PENUNJANG a. Instalasi telepon b. instalasi listrik c. Instalasi mesin d. Instalasi air
MESIN, PERALATAN KENDARAAN 4.1. Mesin produksi a. Hammer mills b. Mesin penjahit karung c. Chain saw d. Oven mini lab
1 1 1 1
Paket Paket Paket Paket
500,000 4,000,000 4,000,000 800,000
TOTAL 3 DAN
65,800,000 142,500,000
350,800,000
208,300,000
500,000 4,000,000 4,000,000 800,000
-
9,300,000
-
2 1 3 1
Unit Unit Unit Unit
27,520,000 475,000 3,800,000 500,000
55,040,000 475,000 11,400,000 500,000
5,504,000 47,500 1,140,000 50,000
1 1
Unit Unit
150,000 400,000
150,000 400,000
15,000 40,000
1 1
Unit Paket
55,000,000 300,000
55,000,000 300,000
11,000,000 30,000
123,265,000
17,826,500
12,000,000 1,500,000 300,000 500,000
1,200,000 150,000 30,000 50,000
14,300,000
1,430,000
TOTAL 1,2,3,4,5 (Modal tetap)
532,665,000
227,556,500
Kontingensi 5 % Bunga selama pembangunan
26,633,250 48,000,000
4.2. Perlengkapan utilitas a. Tangki bahan bakar b. Tabung pemadam kebakaran 4.3. Kendaraan b. Mobil kantor 4.4. Peralatan mini lab TOTAL 4 5
65,800,000 285,000,000
Alat kantor a. Komputer b. Meja kursi kantor c. Pesawat telepon e. Peralatan kantor
3 3 1 1 TOTAL 5
TOTAL INVESTASI
Unit Unit Unit Paket
4,000,000 500,000 300,000 500,000
607,298,250
Lampiran 10. Tabel depresiasi dan modal kerja. NO. 1
MODALKERJA Sisa Uang TOTAL MODAL
NO.
JENIS
NILAI Rp 140,701,750 Rp 140,701,750
NILAI AWAL
UMUR
NILAI SISA
PENYUSUTAN
1
Tanah
65,800,000
10
65,800,000
2
Bangunan
285,000,000
10
142,500,000
14,250,000
3
Mesin dan Peralatan
68,265,000
5
6,826,500
12,287,700
4
Alat Kantor
14,300,000
5
1,430,000
2,574,000
5
Kendaraan
55,000,000
5
11,000,000
8,800,000
TOTAL
488,365,000
35
227,556,500
37,911,700
Lampiran 11. Tabel total penjualan LCM serbuk sawit. Total Penjualan
Deskripsi Produk
Kapasitas per hari
Satuan
Harga jual per satuan
Serbuk Kayu
513
kg/hari
Rp 4,625
Total
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Tahun 6
Tahun 7
Tahun 8
Tahun 9
Tahun 10
80%
90%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
592,207,200
666,233,100
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
592,207,200
666,233,100
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
Lampiran 12. Rincian biaya operasional.
No. A. 1
2
3
4 5 6
Deskripsi Biaya Tetap Biaya produksi tetap a. Listrik (non mesin) Solar LPG d. Gaji manajer produksi dan QC Subtotal Biaya pemasaran tetap a. Promosi b. Gaji manajer c. Gaji bagian pemasaran Staff pemasaran Subtotal biaya administrasi umum tetap a. Gaji pegawai tetap non produksi direktur manajer logistik,admin,keuangan staff administrasi dan logistik staff keuangan security sopir b. Internet c. telepon dan fax d. alat tulis kantor e. Pbb (2.5%) Subtotal Penyusutan Subtotal Pemeliharaan Subtotal Asuransi Subtotal
Jumlah
Satuan
Biaya Satuan (Rp)
Biaya Satuan per tahun (Rp)
Total (Rp)
1 420 30 1
per bulan liter/bulan kg/bulan orang/bulan
600,000 3,780,000 195,000 2,000,000
7,200,000 45,360,000 2,340,000 24,000,000
7,200,000 45,360,000 2,340,000 24,000,000 78,900,000
1 1
perbulan orang/bulan
2,000,000 2,000,000
24,000,000 24,000,000
24,000,000 24,000,000
2
orang/bulan
1,500,000
18,000,000
36,000,000 84,000,000
1 1 2 1 2 2 1 1 1 1
orang/bulan orang/bulan orang/bulan orang/bulan orang/bulan orang/bulan per bulan per bulan paket paket
3,500,000 2,000,000 1,100,000 1,500,000 500,000 400,000 500,000 500,000 200,000
42,000,000 24,000,000 13,200,000 18,000,000 6,000,000 4,800,000 6,000,000 6,000,000 2,400,000 8,770,000
42,000,000 24,000,000 26,400,000 18,000,000 12,000,000 9,600,000 6,000,000 6,000,000 2,400,000 8,770,000
1
per tahun
37,911,700
37,911,700
155,170,000 37,911,700
1
per tahun
2,441,825
2,441,825
37,911,700 2,441,825
1
per tahun
2,441,825
2,441,825
2,441,825 2,441,825 2,441,825
TOTAL BIAYA TETAP B 1
Biaya variabel Biaya produksi b. Biaya kemasan karung plastik 25 kg c. Gaji tenaga kerja langsung Laboran Operator Buruh d. Biaya penyewaan truk angkut e. Listrik (mesin) f. Bahan bakar Bensin Subtotal
360,865,350
533
unit/bulan
426,667
5,120,000
5,120,000
2 3 7 3 5,208
orang/bulan orang/bulan orang/bulan unit/bulan kwh/bulan
750,000 800,000 400,000 400,000 6,249,600
9,000,000 9,600,000 4,800,000 4,800,000 74,995,200
18,000,000 28,800,000 33,600,000 14,400,000 74,995,200
100
liter/bulan
900,000
10,800,000
10,800,000 185,715,200
TOTAL BIAYA VARIABEL
185,715,200
TOTAL BIAYA TETAP DAN VARIABEL
546,580,550
Lampiran 13. Perhitungan total biaya operasi pabrik. NO. 1
Komponen
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Tahun 6
Tahun 7
Tahun 8
Tahun 9
Tahun 10
80%
90%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
Biaya Produksi Tetap
63,120,000
71,010,000
78,900,000
78,900,000
78,900,000
78,900,000
78,900,000
78,900,000
78,900,000
78,900,000
Biaya Pemasaran Tetap
67,200,000
75,600,000
84,000,000
84,000,000
84,000,000
84,000,000
84,000,000
84,000,000
84,000,000
84,000,000
Biaya Administrasi Umum
BIAYA TETAP
124,136,000
139,653,000
155,170,000
155,170,000
155,170,000
155,170,000
155,170,000
155,170,000
155,170,000
155,170,000
Biaya Pemeliharaan
1,953,460
2,197,643
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
Biaya Asuransi
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
2,441,825
Biaya Penyusutan
37,911,700
37,911,700
37,911,700
37,911,700
37,911,700
37,911,700
37,911,700
37,911,700
37,911,700
37,911,700
a. Modal investasi tetap
31,115,790
25,929,825
20,743,860
15,557,895
10,371,930
5,185,965
-
-
-
-
b. Modal kerja
16,884,210
12,663,158
8,442,105
4,221,053
-
-
-
-
-
-
TOTAL BIAYA TETAP
344,762,985
367,407,150
390,051,315
380,644,298
371,237,280
366,051,315
360,865,350
360,865,350
360,865,350
360,865,350
BUNGA
2
BIAYA VARIABEL Biaya Pengemasan Biaya Gaji Tenaga Kerja Langsung
4,096,000
4,608,000
5,120,000
5,120,000
5,120,000
5,120,000
5,120,000
5,120,000
5,120,000
5,120,000
64,320,000
72,360,000
80,400,000
80,400,000
80,400,000
80,400,000
80,400,000
80,400,000
80,400,000
80,400,000
Biaya sewa
11,520,000
12,960,000
14,400,000
14,400,000
14,400,000
14,400,000
14,400,000
14,400,000
14,400,000
14,400,000
Biaya Utilitas
68,636,160
77,215,680
85,795,200
85,795,200
85,795,200
85,795,200
85,795,200
85,795,200
85,795,200
85,795,200
TOTAL BIAYA VARIABLE
148,572,160
167,143,680
185,715,200
185,715,200
185,715,200
185,715,200
185,715,200
185,715,200
185,715,200
185,715,200
TOTAL BIAYA
493,335,145
534,550,830
575,766,515
566,359,498
556,952,480
551,766,515
546,580,550
546,580,550
546,580,550
546,580,550
Lampiran 14. Proyeksi laba rugi. Komponen
Tahun 1 80%
Tahun 2 90%
Tahun 3 100%
Tahun 4 100%
Tahun 5 100%
Tahun 6 100%
Tahun 7 100%
Tahun 8 100%
Tahun 9 100%
Tahun 10 100%
592,207,200
666,233,100
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
740,259,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
B. BIAYA VARIABEL
344,762,985 148,572,160
367,407,150 167,143,680
390,051,315 185,715,200
380,644,298 185,715,200
371,237,280 185,715,200
366,051,315 185,715,200
360,865,350 185,715,200
360,865,350 185,715,200
360,865,350 185,715,200
360,865,350 185,715,200
TOTAL PENGELUARAN
493,335,145
534,550,830
575,766,515
566,359,498
556,952,480
551,766,515
546,580,550
546,580,550
546,580,550
546,580,550
LABA KOTOR (LABA SEBELUM PAJAK)
278,872,055
311,682,270
344,492,485
353,899,503
363,306,520
368,492,485
373,678,450
373,678,450
373,678,450
373,678,450
PENJUALAN BERSIH PENDAPATAN LAIN PENEBANGAN)
(BIAYA
PENGELUARAN A. BIAYA TETAP
PAJAK (30%)
66,161,617
76,004,681
85,847,746
88,669,851
91,491,956
93,047,746
94,603,535
94,603,535
94,603,535
94,603,535
LABA BERSIH
212,710,439
235,677,589
258,644,740
265,229,652
271,814,564
275,444,740
279,074,915
279,074,915
279,074,915
279,074,915
10% 15% 30%
10% 15% 30%
10% 15% 30%
10% 15% 30%
pajak penghasilan tahun 1 (80%) 50,000,000 5,000,000 50,000,000 7,500,000 178,872,055 53,661,617 Total 66,161,617 pajak penghasilan tahun 2 (90%) 50,000,000 5,000,000 50,000,000 7,500,000 211,682,270 63,504,681 Total 76,004,681 pajak penghasilan tahun 3 (100%) 50,000,000 5,000,000 50,000,000 7,500,000 244,492,485 73,347,746 Total 85,847,746 pajak penghasilan tahun 4 (100%) 50,000,000 5,000,000 50,000,000 7,500,000 253,899,503 76,169,851 Total 88,669,851
pajak penghasilan tahun 5 (100%) 50,000,000 5,000,000 50,000,000 7,500,000 263,306,520 78,991,956 Total 91,491,956 pajak penghasilan tahun 6 (100%) 10% 50,000,000 5,000,000 15% 50,000,000 7,500,000 30% 268,492,485 80,547,746 Total 93,047,746 pajak penghasilan tahun 7 dst (100%) 10% 50,000,000 5,000,000 15% 50,000,000 7,500,000 30% 273,678,450 82,103,535 Total 94,603,535 10% 15% 30%
Lampiran 15. Proyeksi arus kas. Tahun 0
Tahun 1 80%
Tahun 2 90%
Tahun 3 100%
Tahun 4 100%
Tahun 5 100%
Tahun 6 100%
Tahun 7 100%
Tahun 8 100%
Tahun 9 100%
Penerimaan Bersih Laba bersih Penyusutan Nilai sisa Modal sendiri Modal pinjaman
300,000,000 259,298,250
212,710,439 37,911,700 -
235,677,589 37,911,700 -
258,644,740 37,911,700 -
265,229,652 37,911,700 -
271,814,564 37,911,700 -
275,444,740 37,911,700 -
279,074,915 37,911,700 -
279,074,915 37,911,700 -
279,074,915 37,911,700 -
279,074,915 37,911,700 227,556,500
Subtotal
559,298,250
250,622,139
273,589,289
296,556,440
303,141,352
309,726,264
313,356,440
316,986,615
316,986,615
316,986,615
544,543,115
607,298,250 -
140,701,750
-
-
-
-
-
-
-
-
-
43,216,375 35,175,438
43,216,375 35,175,438
43,216,375 35,175,438
43,216,375 35,175,438
43,216,375
43,216,375
-
-
-
-
Komponen
Pengeluaran Bersih Investasi + bunga sebelum pembangunan Modal kerja Angsuran modal investasi tetap Angsuran modal kerja
Tahun 10 100%
Subtotal
607,298,250
219,093,563
78,391,813
78,391,813
78,391,813
43,216,375
43,216,375
-
-
-
-
Arus Kas Bersih Kas Awal Tahun
(48,000,000) -
31,528,576 (48,000,000)
195,197,477 (16,471,424)
218,164,627 178,726,053
224,749,539 396,890,680
266,509,889 621,640,219
270,140,065 888,150,108
316,986,615 1,158,290,172
316,986,615 1,475,276,787
316,986,615 1,792,263,402
544,543,115 2,109,250,017
Lampiran 16. Proyeksi kelayakan investasi. Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bt-Ct
(607,298,250) 31,528,576 195,197,477 218,164,627 224,749,539 266,509,889 270,140,065 316,986,615 316,986,615 316,986,615 544,543,115
Kriteria NPV IRR Net B/C PBP (Tahun)
Akumulasi
(607,298,250) (575,769,674) (380,572,198) (162,407,571) 62,341,969 328,851,858 598,991,922 915,978,537 1,232,965,152 1,549,951,767 2,094,494,882 NPV Nilai 723,717,481 30% 2.19 3.8
DF (12%)
1 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57 0.51 0.45 0.40 0.36 0.32
PV
(607,298,250) 28,150,514 155,610,233 155,285,272 142,832,395 151,224,868 136,861,364 143,388,647 128,025,577 114,308,551 175,328,309 723,717,481
Lampiran 17. Analisis sensitivitas I pengurangan kapasitas produksi. Biaya Investasi
NO. 1
2
3
4
KOMPONEN BIAYA PRA INVESTASI a. Perizinan b. Studi kelayakan
SATUAN
HARGA SATUAN (Rp)
Nilai total (Rp)
NILAI SISA
1 1
Paket Paket
20,000,000 15,000,000
20,000,000 15,000,000
-
35,000,000
-
TOTAL 1 TANAH DAN BANGUNAN Tanah
558
m2
Bangunan
358
m2
TOTAL 2 FASILITAS PENUNJANG a. Instalasi telepon b. instalasi listrik c. Instalasi mesin d. Instalasi air TOTAL 3 MESIN, PERALATAN KENDARAAN 4.1. Mesin produksi a. Hammer mills b. Mesin penjahit karung c. Chain saw d. Oven mini lab
1 1 1 1
Paket Paket Paket Paket
100,000
500,000 4,000,000 4,000,000 800,000
55,800,000
55,800,000
235,000,000
117,500,000
290,800,000
173,300,000
500,000 4,000,000 4,000,000 800,000
-
9,300,000
-
DAN
1 1 3 1
Unit Unit Unit Unit
27,520,000 475,000 3,800,000 500,000
27,520,000 475,000 11,400,000 500,000
2,752,000 47,500 1,140,000 50,000
1 1
Unit Unit
150,000 400,000
150,000 400,000
15,000 40,000
1 1
Unit Paket
55,000,000 300,000
55,000,000 300,000
11,000,000 30,000
95,745,000
15,074,500
12,000,000 1,500,000 300,000 500,000
1,200,000 150,000 30,000 50,000
TOTAL 5
14,300,000
1,430,000
TOTAL 1,2,3,4,5 (Modal tetap)
445,145,000
189,804,500
Kontingensi 5 % Bunga selama pembangunan
22,257,250 36,000,000
4.2. Perlengkapan utilitas a. Tangki bahan bakar b. Tabung pemadam kebakaran 4.3. Kendaraan b. Mobil kantor 4.4. Peralatan mini lab
5
JUMLAH
TOTAL 4 Alat kantor a. Komputer b. Meja kursi kantor c. Pesawat telepon e. Peralatan kantor
TOTAL INVESTASI
3 3 1 1
Unit Unit Unit Paket
4,000,000 500,000 300,000 500,000
503,402,250
Biaya Operasional NO.
Komponen
1
2
Tahun 1 80%
Tahun 2 90%
Tahun 3 100%
Tahun 4 100%
Tahun 5 100%
Tahun 6 100%
Tahun 7 100%
Tahun 8 100%
Tahun 9 100%
Tahun 10 100%
BIAYA TETAP Biaya Produksi Tetap Biaya Pemasaran Tetap Biaya Administrasi Umum Biaya Pemeliharaan Biaya Asuransi Biaya Penyusutan
51,168,000 67,200,000 122,936,000 1,603,380 2,004,225 30,458,100
57,564,000 75,600,000 138,303,000 1,803,803 2,004,225 30,458,100
63,960,000 84,000,000 153,670,000 2,004,225 2,004,225 30,458,100
63,960,000 84,000,000 153,670,000 2,004,225 2,004,225 30,458,100
63,960,000 84,000,000 153,670,000 2,004,225 2,004,225 30,458,100
63,960,000 84,000,000 153,670,000 2,004,225 2,004,225 30,458,100
63,960,000 84,000,000 153,670,000 2,004,225 2,004,225 30,458,100
63,960,000 84,000,000 153,670,000 2,004,225 2,004,225 30,458,100
63,960,000 84,000,000 153,670,000 2,004,225 2,004,225 30,458,100
63,960,000 84,000,000 153,670,000 2,004,225 2,004,225 30,458,100
BUNGA a. Modal investasi tetap b. Modal kerja
20,088,270 15,911,730
16,740,225 11,933,798
13,392,180 7,955,865
10,044,135 3,977,933
6,696,090 -
3,348,045 -
-
-
-
-
TOTAL BIAYA TETAP
311,369,705
334,407,150
357,444,595
350,118,618
342,792,640
339,444,595
336,096,550
336,096,550
336,096,550
336,096,550
BIAYA VARIABEL Biaya Pengemasan Biaya Gaji Tenaga Kerja Langsung Biaya sewa Biaya Utilitas
2,048,000
2,304,000
2,560,000
2,560,000
2,560,000
2,560,000
2,560,000
2,560,000
2,560,000
2,560,000
56,640,000 11,520,000 29,111,040
63,720,000 12,960,000 32,749,920
70,800,000 14,400,000 36,388,800
70,800,000 14,400,000 36,388,800
70,800,000 14,400,000 36,388,800
70,800,000 14,400,000 36,388,800
70,800,000 14,400,000 36,388,800
70,800,000 14,400,000 36,388,800
70,800,000 14,400,000 36,388,800
70,800,000 14,400,000 36,388,800
TOTAL VARIABLE
99,319,040
111,733,920
124,148,800
124,148,800
124,148,800
124,148,800
124,148,800
124,148,800
124,148,800
124,148,800
410,688,745
446,141,070
481,593,395
474,267,418
466,941,440
463,593,395
460,245,350
460,245,350
460,245,350
460,245,350
TOTAL BIAYA
BIAYA
Proyeksi Laba Rugi Komponen
Tahun 1 80%
Tahun 2 90%
Tahun 3 100%
Tahun 4 100%
Tahun 5 100%
Tahun 6 100%
Tahun 7 100%
Tahun 8 100%
Tahun 9 100%
Tahun 10 100%
410,688,000
462,024,000
513,360,000
513,360,000
513,360,000
513,360,000
513,360,000
513,360,000
513,360,000
513,360,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
180,000,000
B. BIAYA VARIABEL
311,369,705 99,319,040
334,407,150 111,733,920
357,444,595 124,148,800
350,118,618 124,148,800
342,792,640 124,148,800
339,444,595 124,148,800
336,096,550 124,148,800
336,096,550 124,148,800
336,096,550 124,148,800
336,096,550 124,148,800
TOTAL PENGELUARAN
410,688,745
446,141,070
481,593,395
474,267,418
466,941,440
463,593,395
460,245,350
460,245,350
460,245,350
460,245,350
LABA KOTOR (LABA SEBELUM PAJAK)
179,999,255
195,882,930
211,766,605
219,092,583
226,418,560
229,766,605
233,114,650
233,114,650
233,114,650
233,114,650
PENJUALAN BERSIH PENDAPATAN LAIN PENEBANGAN)
(BIAYA
PENGELUARAN A. BIAYA TETAP
PAJAK (30%)
36,499,777
41,264,879
46,029,982
48,227,775
50,425,568
51,429,982
52,434,395
52,434,395
52,434,395
52,434,395
LABA BERSIH
143,499,479
154,618,051
165,736,624
170,864,808
175,992,992
178,336,624
180,680,255
180,680,255
180,680,255
180,680,255
Kriteria Kelayakan Tahun
Bt-Ct
Akumulasi
DF (12%)
PV
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(503,402,250) (19,689,984) 124,026,339 135,144,911 140,273,095 178,550,717 180,894,349 211,138,355 211,138,355 211,138,355 400,942,855
(503,402,250) (523,092,234) (399,065,896) (263,920,985) (123,647,889) 54,902,828 235,797,176 446,935,531 658,073,886 869,212,241 1,270,155,096 NPV
1 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57 0.51 0.45 0.40 0.36 0.32
(503,402,250) (17,580,343) 98,873,038 96,193,478 89,146,088 101,314,472 91,646,707 95,508,269 85,275,240 76,138,607 129,092,869 342,206,175
Kriteria NPV IRR Net B/C PBP (Tahun)
Nilai 342,206,175 22% 1.68 4.7
Lampiran 18. Analisis sensitivitas II penurunan harga jual 20.7 persen. Tahun
Bt-Ct
0
(607,298,250)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(109,103,028) 36,986,922 42,375,122 48,960,034 90,720,384 94,350,560 141,197,110 141,197,110 141,197,110 368,753,610
Kriteria NPV IRR Net B/C PBP (Tahun)
Akumulasi
(607,298,250) (716,401,278) (679,414,356) (637,039,233) (588,079,199) (497,358,815) (403,008,255) (261,811,145) (120,614,035) 20,583,075 389,336,686 NPV Nilai (224,127,612) 6% 0.63 10.5
DF (12%)
1 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57 0.51 0.45 0.40 0.36 0.32
PV
(607,298,250) (97,413,418) 29,485,748 30,161,775 31,114,987 51,477,182 47,800,930 63,870,402 57,027,145 50,917,093 118,728,793 (224,127,612)
Lampiran 19. Analisis sensitivitas III penurunan harga jual 20.8 persen. Tahun
Bt-Ct
0
(607,298,250)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(109,461,553) 36,583,581 41,926,965 48,511,878 90,272,227 93,902,403 140,748,953 140,748,953 140,748,953 368,305,453
Kriteria NPV IRR Net B/C PBP (Tahun)
Akumulasi
(607,298,250) (716,759,803) (680,176,222) (638,249,257) (589,737,379) (499,465,152) (405,562,749) (264,813,795) (124,064,842) 16,684,111 384,989,565 NPV Nilai (226,544,043) 6% 0.63 10.5
DF (12%)
1 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57 0.51 0.45 0.40 0.36 0.32
PV
(607,298,250) (97,733,530) 29,164,207 29,842,786 30,830,175 51,222,886 47,573,880 63,667,679 56,846,142 50,755,484 118,584,499 (226,544,043)
Lampiran 20. Analisis sensitivitas IV penurunan harga jual 10 persen. Tahun
Bt-Ct
0
(607,298,250)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(72,085,276) 78,631,893 88,647,312 95,232,224 136,992,574 140,622,749 187,469,300 187,469,300 187,469,300 415,025,800
Kriteria NPV IRR Net B/C PBP (Tahun)
Akumulasi (607,298,250) (679,383,526) (600,751,633) (512,104,322) (416,872,097) (279,879,524) (139,256,774) 48,212,525 235,681,825 423,151,125 838,176,925 NPV Nilai 25,368,897 13% 1.04 7.0
DF (12%) 1 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57 0.51 0.45 0.40 0.36 0.32
PV (607,298,250) (64,361,854) 62,684,864 63,097,406 60,521,800 77,733,265 71,243,861 84,801,591 75,715,706 67,603,309 133,627,200 25,368,897
Lampiran 21. Halaman informasi petunjuk penggunaan sistem.
Gambar 1. Tampilan halaman informasi petunjuk penggunaan model pemilihan lokasi
Gambar 2. Tampilan halaman informasi petunjuk penggunaan model prakiraan bahan baku
Gambar 3. Tampilan halaman informasi petunjuk penggunaan model penjadwalan penebangan
Gambar 4. Tampilan halaman informasi petunjuk penggunaan model analisis kelayakan fianansial
Lampiran 22. Tampilan halaman isi model teknis teknologis.
Gambar 1. Tampilah halaman informasi diagram alir proses pembuatan serbuk sawit
Gambar 2. Tampilah halaman informasi mesin dan alat
Gambar 3. Tampilan halaman perhitungan neraca massa
Gambar 4. Tampilan halaman informasi keterkaitan ruang
Gambar 5. Tampilan halaman informasi diagram keterkaitan antar ruang dan nilai TCR
Gambar 6. Tampilan halaman informasi kebutuhan ruang produksi dan luasan pabrik
Gambar 7. Tampilan halaman informasi layout pabrik
Lampiran 23. Contoh 150 data random kondisi kebun kelapa sawit No. Kebun
Umur Ekonomis (tahun)
Produktivitas (ton/tahun)
Infeksi Ganoderma
1
28
4
0
2
14
17
0
3
24
6
1
4
11
20
1
5
2
3
0
6
29
4
0
7
29
3
1
8
15
20
1
9
9
6
0
10
30
6
1
11
23
3
1
12
15
20
0
13
10
4
0
14
27
5
1
15
18
20
0
16
3
4
0
17
9
3
0
18
2
5
0
19
12
15
0
20
30
4
0
21
28
5
1
22
9
4
0
23
13
15
0
24
29
6
1
25
25
5
1
26
22
5
1
27
26
6
1
28
18
18
1
29
3
5
0
30
14
20
0
31
30
3
1
32
1
4
0
33
8
3
1
34
8
5
1
35
26
4
0
36
15
15
0
37
18
19
0
38
8
4
0
39
29
5
0
40
15
18
0
No. Kebun
Umur Ekonomis (tahun)
Produktivitas (ton/tahun)
Infeksi Ganoderma
41
29
4
0
42
23
3
0
43
26
5
0
44
28
4
0
45
26
3
0
46
29
4
0
47
7
4
0
48
8
6
0
49
3
5
0
50
3
4
0
51
1
5
0
52
11
18
0
53
23
6
1
54
22
4
0
55
12
19
0
56
27
3
0
57
28
4
1
58
24
4
1
59
6
6
0
60
7
5
0
61
19
20
1
62
8
6
0
63
27
3
0
64
21
6
1
65
30
5
1
66
7
4
0
67
19
19
1
68
23
4
1
69
6
4
0
70
22
5
1
71
2
4
0
72
16
19
0
73
15
20
0
74
5
4
0
75
23
4
0
76
21
5
0
77
6
5
0
78
25
3
1
79
20
18
1
80
12
17
0
81
11
18
0
82
15
15
0
No. Kebun
Umur Ekonomis (tahun)
Produktivitas (ton/tahun)
Infeksi Ganoderma
83
8
4
0
84
3
5
0
85
27
6
1
86
30
3
1
87
9
3
0
88
26
4
1
89
30
5
1
90
11
19
0
91
4
5
0
92
17
19
0
93
26
6
0
94
30
6
0
95
29
4
0
96
15
17
0
97
24
3
0
98
6
3
0
99
16
16
0
100
12
19
0
101
17
16
0
102
1
3
0
103
8
3
0
104
13
19
0
105
19
18
0
106
10
3
0
107
21
5
0
108
2
6
0
109
5
3
0
110
11
17
0
111
11
15
0
112
17
20
1
113
18
18
1
114
27
3
1
115
12
16
0
116
7
5
0
117
4
4
0
118
16
17
0
119
8
4
0
120
9
4
0
121
30
6
1
122
21
6
0
123
21
6
0
124
12
16
0
No. Kebun
Umur Ekonomis (tahun)
Produktivitas (ton/tahun)
Infeksi Ganoderma
125
29
5
0
126
10
5
0
127
2
3
0
128
13
17
0
129
18
15
0
130
1
5
0
131
30
4
1
132
24
6
1
133
13
16
0
134
3
6
0
135
11
19
0
136
12
18
0
137
5
3
0
138
22
3
1
139
8
5
0
140
5
6
0
141
21
3
0
142
11
20
0
143
1
3
0
144
21
6
0
145
9
3
0
146
25
4
1
147
13
16
0
148
18
19
1
149
8
5
0
150
9
4
0
Keterangan: Produksi di lapangan Produktivitas Usia produktif Produktivitas baik Infeksi Ganoderma
: rata-rata produksi TBS kg/ha/bln : rata –rata produksi TBS/bln jumlah pokok produktif : 10-20 tahun : > 15 ton TBS/hektar/tahun : 1 = infeksi , 0 = tidak terinfeksi
Lampiran 24. Hasil clustering 150 data kondisi perkebunan kelapa sawit. No. Kebun Klaster 1
Klaster 2
Klaster 3
2
5
1
4
9
3
8
13
6
12
16
7
15
17
10
19
18
11
23
22
14
28
29
20
30
32
21
36
33
24
37
34
25
40
38
26
52 55
47
27
48
31
61
49
35
67
50
39
72
51
41
73
59
42
79
60
43
80
62
44
81
66
45
82
69
46
90
71
53
92
74
54
96
77
56
99
83
57
100
84
58
101
87
63
104
91
64
105
98
65
110
102
68
111
103
70
112
106
75
113
108
76
115
109
78
118
116
85
124
117
86
128
119
88
129
120
89
Klaster 1
Klaster 2
Klaster 3
133
126
93
135
127
94
136
130
95
142
134
97
147
137
107
148
139
114
140
121
143
122
145
123
149
125
150
131 132 138 141 144 146