perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Kebijakan Publik
Disusun Oleh: LIES SETYAWATI NIM : S311010104
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 i
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH DISUSUN OLEH : LIES SETYAWATI NIM : S311010104 Telah disetujui oleh Tim Pembimbing : Dewan Pembimbing Jabatan
Nama
Tanda Tangan
1. Pembimbing I
Prof. Dr. Hartiwingsih S.H., M.Hum
.....................
Tanggal ..................
NIP. 19570203 198503 2 00 2. Pembimbing II
Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum
.....................
NIP. 19641201 200501 1 001 Mengetahui : Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H. NIP. 19630209 198803 1 003 ii
commit to user
..................
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
iii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: LIES SETYAWATI
NIM
: S. 311010104 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : “Sinkronisasi
dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Selanjutnya untuk membuktikan keaslian tesis, saya memperbolehkan tesis ini diupload dalam website Program Paska Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. Surakarta, Juni 2012 Yang membuat pernyataan,
LIES SETYAWATI
323
iv
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga tesis yang berjudul “Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Kegiatan Pertambangan di Kawasan Hutan pada Era Otonomi Daerah” ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat magister program studi ilmu hukum program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis ini membahas sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah serta upayaupaya yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan tersebut. Kemudian penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, baik bersifat materil maupun spiritual. Ucapan terima kasih yang tulus dan dengan kerendahan hati penulis haturkan kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk kuliah pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana dan juga sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini.
4. Bapak Prof.Dr.Adi Sulistiyono,S.H.,M.H.selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penelitian tesis dan juga sebagai tim penguji yang telah banyak memberikan masukan saran untuk penyempurnaan tesis ini.
v
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Bapak Burhanuddin Harahap, S.H., M.H., M.Si., Ph.D. sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam memberi izin penelitian
6. Bapak Dr. Hari Purwadi SH.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I sekaligus sebagai Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan pencerahan dan masukan demi selesainya penulisan tesis ini.
7. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS., selaku tim penguji yang telah memberikan banyak masukan terhadap penulisan tesis ini.
8. Bapak, ibu dan rekan-rekan di Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan, Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, khususnya Bapak Eko Novi, S.Sos., M.Si, Kepala Seksi Perambahan dan Kebakaran Hutan Wilayah II, yang telah membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi terkait kegiatan pertambangan illegal di kawasan hutan.
9. Bapak Dr. Budi Riyanto, SH, Ahli Perancang Peraturan Perundang-Undangan Utama pada Kementerian Kehutanan, yang telah banyak memberikan inspirasi, pencerahan, bimbingan dan petunjuk dalam penyelesaian tesis ini.
10. Bapak Krisna Rya., S.H.,M.H, Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kehutanan.
11. Bapak Supardi, S.H., Kepala Bagian Bantuan Hukum dan Penanganan Perkara, Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kehutanan.
12. Bapak Drs. Afrodian Lutoifi, SH., M.Hum, Kasubag Bantuan Hukum II, dan Mas Yudi Ariyanto, SH., MT, Kasubag Bantuan Hukum I, yang telah memberikan motivasi, ide dan masukan dalam penulisan tesis ini.
13. Rekan-rekan Biro Hukum dan Organisasi, khususnya rekan-rekan staf di Bagian Bantuan Hukum dan Penanganan Perkara.
14. Seluruh Staf Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak membantu selama perkuliahan.
15. Kawan-kawan mahasiswa-i Program Studi Ilmu Hukum yang tak dapat penulis sebut satu per satu. vi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16. Mama dan Almarhum Bapak tercinta buat limpahan kasih sayang, perhatian dan kerja keras kalian yang membuat penulis dapat menempuh pendidikan sampai program pascasarjana.
17. Oo terima kasih atas support dan kebersamaannya dalam mendengarkan keluh kesah selama penulisan tesis ini.
18. Sahabatku Nana terima kasih atas canda tawa dan kebersamaan yang menghibur disela-sela penulisan tesis ini.
19. Adik-adikku Dudi dan Desi, serta ponakanku tercinta Muhamad Raihan, terima kasih support dan kebersamaannya.
20. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga amal baik semua pihak mendapat balasan kebaikan yang berlipat dari Alloh SWT, dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.
Surakarta, Juli 2012 Penulis
vii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING.....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..............................................................................
iii
PERNYATAAN ....................................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................
v
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... viii DAFTAR TABEL..................................................................................................................
xi
ABSTRAK.............................................................................................................................
xii
ABSTRACT........................................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...................................................................................................
19
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................................
19
D. Manfaat Penelitian .....................................................................................................
19
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Kebijakan Publik......................................................................................
21
B. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik ..................................................................
24
C. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan ...................................
29
1. Pengertian Perundang-Undangan.........................................................................
29
2. Norma Hukum Negara Republik Indonesi ..........................................................
32
3. Ruang Lingkup Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan....
40
D. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam ..............................................
44
E. Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah .....................................................
49
1. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah .......................................................
49
2. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah ........................................................
58
F. Tinjauan Umum Tentang Perizinan ...........................................................................
66
1. Pengertian perizinan.............................................................................................
66
2. Tujuan Perizinan ..................................................................................................
68
viii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Unsur Perizinan....................................................................................................
69
4. Bentuk dan Isi Izin ...............................................................................................
71
5. Syarat Sah Perizinan ............................................................................................
73
G. Kerangka Berpikir......................................................................................................
74
1. Bagan ...................................................................................................................
74
2. Penjelasan Bagan .................................................................................................
74
H. Penelitian Yang Relevan………………………………………………………… ....
77
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian...........................................................................................................
78
B. Sifat Penelitian ...........................................................................................................
79
C. Pendekatan Penelitian ................................................................................................
79
D. Jenis dan Sumber Data ...............................................................................................
81
E. Teknik Pengumpulan Data.........................................................................................
83
F. Teknik Analisis Data..................................................................................................
83
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ..........................................................................................................
85
1. Peraturan Perundang – Undangan Sektor Pertambangan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan .......................................................................
85
2. Peraturan Perundang-Undangan Sektor Kehutanan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan ....................................................................................................
87
3. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Sektor Pertambangan dan Kehutanan .................................................................
89
B. Pembahasan 1. Sinkronisasi dan Sinergi Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur Kegiatan Pertambangan Dalam Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah ...... 100 2. Upaya-Upaya Untuk Menyinergiskan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan ...................................................................... 128
ix
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP A. Simpulan .................................................................................................................... 134 B. Implikasi..................................................................................................................... 136 C. Saran........................................................................................................................... 136 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. 137
x
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Tabel: 1. Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, serta Kabupaten dan/atau Kota Dalam Menerbitkan IUP.
2. Sinkronisasi Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dengan Substansi Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan 3. Sinkronisasi Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 66 UU Kehutanan 4. Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU Otonomi Daerah terkait Substansi Pertambangan di Kawasan Hutan
xi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Lies Setyawati, S. 311010104. 2012. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengsinkronkan dan mengsinergiskan peraturan perundang-undangan tersebut. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (doctrinal) dengan menggunakan konsep hukum yang kedua yaitu hukum sebagai norma-norma positif_di dalam sistem perundang-undangan nasional. Penelitian ini bersifat preskriptif dan terapan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditarik simpulan Peraturan perundangundangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron namun belum sinergis, karena peraturan-peraturan tersebut masih bersifat sektoral sehingga implementasinya belum terpadu satu dengan yang lainnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengsinergiskan peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut yaitu dengan cara memadukan visi dan misi sektor kehutanan dan pertambangan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan dan pertambangan agar lintas sektoral dan terpadu satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas penulis menyarankan peraturan perundangundangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah haruslah lintas sektoral, PP Minerba perlu mensyaratkan perlunya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP yang berada dalam kawasan hutan dan perlu adanya aturan yang mengatur IUP di dalam kawasan hutan wajib mencantumkan klausul, untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan baru bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan. Kata Kunci: Sinkronisasi, Pertambangan, Kehutanan dan Otonomi Daerah
xii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Lies Setyawati, S.311010104. 2012. Synchronization and Synergy of Regulations Concerned with The Mining Activity in Forest Area on The Era of Regional Autonomy. Thesis: Graduate Program of Sebelas Maret University of Surakarta. This research aims to determine the synchronization and synergy of the regulations that regulate mining activities in forest areas in the era of regional autonomy and to identify the efforts can be done to synchronize and synergy that regulations. The type of the research is normative legal research (doctrinal) by using second law concept namely law as positive norm in the national legislation system. This research includes the type of research that is prescriptive normative law and applied by using statue and concept approachment. Types of data used are secondary data, consisting of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Data collection techniques used through library research and data collection through electronic media relating to the matter under research. Data analysis technique applied in this research is deductive logic, that conclude from a general case to the individual case involving by formulating the facts, seeking its causal relationships, and develop reasoning based on the cases. Based on research results and discussion, it can be concluded that the laws and regulations of mining activities in forest areas in the era of regional autonomy has been synchronized, but not synergistic, because the regulations are still a sectoral so that its implementation has not been integrated among other. There for it’s necessary to do efforts to synergy such regulations by integrating vision and mission of mining and forestry sector as well as the improvement of regulations of mining and forestry sector in order to be cross sectoral and integrated among others. Based on the abovementioned data, the author suggest legislation that regulates mining activities in forest areas in the era of regional autonomy should be cross-sectoral. Furthermore PP Minerba needs to require the need for coordination with the ministry of forestry in the issuance of the IUP that located in forest areas. Additionally the need of the rule to regulate IUP set in the forest area must include a clause, for mining activities in forest areas can only be started after the license to use the forest area from forestry minister. Keyword: synchronization, mining, forestry and regional autonomy
xiii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya yang wajib disyukuri. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Bahkan dunia internasional pun mengakui keberadaan sumber daya hutan Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting terwujudnya keseimbangan ekosistem planet bumi secara lintas generasi melalui fungsinya untuk menyerap emisi berbagai gas dan polutan beracun yang menjadi penyebab meningkatnya efek rumah kaca serta semakin menipisnya lapisan ozon.1 Hutan mempunyai fungsi ekologi yang penting, yaitu fungsi hidrologi hutan yang bersifat lokal dan regional, fungsi pengaturan iklim, khususnya pemanasan global serta sebagai sumber daya hayati bersifat global. Kerusakan hutan tidak saja merugikan secara fisik dan ekonomis, tetapi yang paling penting adalah terhadap keseimbangan ekonomi dan ekologi. Lingkungan hutan merupakan suatu ekosistem tertentu dengan fungsi tertentu, dimana di dalam ekosistem tersebut memiliki peran masing-masing. Apabila terjadi kerusakan, maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem di dalam hutan tersebut. Terganggunya keseimbangan ekosistem tersebut akan menyebabkan dampak ikutan terhadap seluruh sistem yang ada dalam hutan tersebut. Kerusakan hutan dalam hubungannya dengan ekologi dapat dijelaskan misalnya terjadi pemanasan global, efek rumah kaca serta pergeseran musim, 1
Winarno Budyatmojo, Tindak Pidana Illegal Logging, UNS Press, hal. 2
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
khususnya di daerah tropik. Pemanasan global terjadi akibat dari menurunnya jumlah hutan. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan semakin renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan perkataan lain kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat hubungan harmonis antara manusia dengan hutan dan segala problematikanya. Hubungan harmonis ini mulai retak, pada saat terjadi eksploitasi sumber daya hutan. Eksploitasi hutan di Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda sampai era reformasi saat ini. Eksploitasi hutan Indonesia secara berlebih yang telah dilakukan sejak zaman kolonial menyebabkan rusaknya kawasan hutan di Indonesia. Semasa penjajahan Belanda dan Inggris, penebangan hutan (deforestasi) terjadi atas kebijakan perdagangan Vereeigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang mengizinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan pembuatan kapal. Kegiatan ini didukung kebijakan izin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian agar memperoleh pendapatan dari pajak bumi melalui sistem tanam paksa cultuurstesel). Sistem ini memaksa perubahan fungsi hutan menjadi kebun kopi, tebu, vanila dan karet.2 Pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945, kegiatan penebangan hutan terus berlanjut. Sebagian besar deforestasi pada zaman itu disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan tahunan. Tindakan ini bertujuan untuk membiayai perang. Setelah melakukan penebangan, lahan disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman pangan. Khusus di Pulau Jawa-semasa Jepang berkuasa-kurang lebih 4.428 hektar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian.3 Setelah Indonesia merdeka, eksploitasi hutan di Indonesia terus berlanjut. Sejak awal dekade 1970-an, sektor kehutanan di Indonesia telah memainkan peranan penting dalam 2
Praminto Moehaya, Mengintip Sejarah Deforestasi www.burung.org/download.php?id=569 , diakses pada tanggal 18 Mei 2011 3
Ibid.
commit to user 2
di
Indonesia,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembangunan nasional sebagai sumber terbesar perolehan devisa non migas, pelopor perkembangan industri, penyedia lapangan kerja, dan penggerak pembangunan daerah.4 Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian, sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat. Dengan terjadinya tekanan terhadap hutan tersebut, perusakan hutan yang terjadi di Indonesia memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebab sumber daya hutan merupakan pemasok devisa Negara terbesar setelah migas (minyak dan gas bumi).5 Dalam perkembangannya pemanfaatan hutan hanya menjadi monopoli segelintir orang yang mendapat hak pengusahaan hutan. Masyarakat sekitar hutan yang hidup bertahun-tahun hidup dalam hubungan harmonis dengan hutan di sekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber daya hutan, baik langsung maupun tidak langsung. Anne M. Larson dan Jesse C. Ribot mengemukakan, The world bank estimates that 1.6 billion people depend on forests for livehood. Unfortunately, communities living in and near forest suffer from outsiders commercial exploitation of forest resources, and it is clear from commodity chain and forest-village studies that vast profits are extracted through many commercial forest activities, yet little of these profit remain in local hand. (Bank dunia memperkirakan 1,6 milyar orang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Sayangnya masyarakat yang hidup di sekitar hutan justru dirugikan dengan adanya kegiatan eksploitasi hutan untuk kepentingan komersial yang dilakukan oleh pihak luar, dari hasil studi rantai komoditas dan hutan desa, banyak keuntungan diambil dari hasil perdagangan komoditas hutan namun hanya sedikit keuntungan yang dapat dinikmati 4
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 1, 2010): hal. 1 5 Ibid, hal. 2
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat sekitar hutan)6. Tersingkirkannya masyarakat sekitar hutan, memicu masyarakat sekitar hutan melakukan berbagai usaha illegal terhadap hutan, seperti perambahan dan pencurian kayu yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan hutan yang lebih parah lagi Deforestation (perusakan hutan) di Indonesia saat ini telah menjadi ancaman yang sangat serius, setiap tahunnya kerusakan hutan yang terjadi di wilayah Indonesia terutama di luar pulau jawa, sepanjang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua telah berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
mendefinisikan
Deforestation sebagai kejadian ketika lahan hutan ditebangi atau dibersihkan untuk dikonversi penggunaan lahan untuk sektor di luar kehutanan.7 Kehancuran hutan menunjukan pada penggantian dalam kualitas hutan, dan terjadi ketika beragam spesies dan biomas berkurang secara penting, misalnya penggunaan hutan secara tidak lestari. Keadaan kerusakan ini terjadi secara nyata di Indonesia.8 Dampak terhadap kerusakan hutan di Indonesia menurut data dari Departemen kehutanan tahun 2003-2006 menyebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar dengan laju degradasi 2,1 juta hektar pertahun. Sejumlah laporan menyebutkan antara 1,6 sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau sama dengan luas enam kali lapangan sepak bola setiap menitnya 9. Sebuah badan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat 6
Anne M. Larson and Jesse C. Ribot, “The Poverty of Forestry policy: Double Standar On An Uneven Playing Field” , Journal of Suistainability Science, Vol. 2, No. 2, P-2 7 Fitryani Yuliawati, Eksploitasi Ekonomi dalam Politik Lingkungan di Indonesia,, http://www.subhanagung.net/2011/03/eksploitasi-ekonomi-politik.html. , diakses pada tanggal 4Mei 2011 8 Ibid. 9 ICEL 2003 . Penegakan Hukum Illegal Logging permasalahannya dan solusinya http://www.icel.or.id/penegakan-hukum-illegal-logging-permasalahan-dan-solusinya/ , diakses pada tanggal 8 Mei 2011
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Lembaga lain United Nation Environment Program (UNEP/GRID-Arendal) pada Mei 2007 mempublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950, Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan 50% hijaunya. Pada 2020, diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar 25% saja) yang akan tertinggal di pulau ini.10 Kerusakan hutan di Indonesia telah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kelestarian lingkungan maupun perekonomian masyarakat. Kerusakan hutan yang terjadi selama ini berkaitan erat dengan kebijakan pengelolaan hutan yang diterapkan pemerintah. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan hutan tidak berada di ruang hampa sehingga kita dapat merekayasa secara tunggal namun ia mengakar dan ditopang oleh sistem politik sebagai dinamisator masyarakat11. Pengelolaan hutan Indonesia banyak dipengaruhi oleh perubahan dinamis dalam kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian negara. Selain itu kebijakan pengelolaan hutan dan lahan selama zaman kolonial sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di kemudian hari dalam menetapkan kerangka peraturan dan kebijakan hutan nasional. Sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, 10
Fitryani Yuliawati, op. cit. San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat (Yogyakarta: Center for Critical Social Studies (CCSS), Cet. Pertama, 2003): hal. vii 11
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertangung-gugat. Berikut tiga aspek penting dalam rangka pemanfaatan hutan, yaitu:12 a.
Asas Kesejahteraan Sosial, ialah asas keutamaan yang menitikberatkan perhatian kepada realitas kesejahteraan di sektor kehidupan masyarakat bawah. Dalam pengelolaan hutan, penduduk asli dan anggota masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan, memiliki peranan penting untuk melestarikan hutan.
b.
Asas Keuntungan Ekonomi, atau disebut juga asas profitibilitas yakni, suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi pada perolehan laba dalam rangka peningkatan pendapatan dan kemajuan usaha.
c.
Asas Kelestarian Lingkungan, atau disebut prinsip ekologi yaitu, suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi kepada usaha pemanfaatan hutan secara lestari dengan sistim silvikultur. Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, tetapi
negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Atas dasar hak menguasai tersebut, selanjutnya negara (pemerintah) berwenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan. Untuk itu setiap kegiatan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan diberikan secara selektif dan terencana dalam satu perizinan oleh Menteri. Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang bersifat penting dan strategis, maka perlu adanya ketentuan yang dapat 12
Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan: Kaidah-Kaidah Pengelolaan Hutan (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, Cet.1, 1995): hal. 5
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut. Atas dasar hal tersebut maka dalam ketentuan Pasal 38 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (untuk selanjutnya disebut UU Kehutanan) diatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan, karena dengan mekanisme tersebut Pemerintah masih mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan mengendalikan penggunaan kawasan hutan tersebut. Sebagai tindak lanjut atas ketentuan tersebut, maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Adapun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang dapat diberikan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan secara tegas telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, yaitu: a.
Religi;
b.
Pertambangan;
c.
Instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan;
d.
Pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi;
e.
Jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;
f.
Sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;
g.
Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
h.
Fasilitas umum;
i.
Industri terkait kehutanan;
j.
Pertahanan dan keamanan;
k.
Prasarana penunjang keselamatan umum; atau
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
l.
digilib.uns.ac.id
Penampungan sementara korban bencana alam. Reformasi tahun 1998 membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi
yang lebih luas di Indonesia. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia kearah yang nyata. Reformasi memberi hikmah yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi daerah yang sesungguhnya.13 Pasal 18 dan 18A, B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), mengamanatkan pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Hal tersebut diejawantahkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah). Sebagaimana
telah
disebutkan,
landasan
yuridis
konstitusional
pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan B, UUD 1945. Perkembangan paradigma dan arah politik dalam sektor pemerintahan daerah yang terakomodir dalam UUD 1945 tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan sebagai berikut: 1.
Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2).
2.
Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 2).
3.
Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat 1).
4.
Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat 2).
5.
Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat 1).
13
Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 1, 2007): hal. 13
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id
Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat 3).
7.
Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil (Pasal 18 A ayat 2).14
Dari prinsi-prinsip tersebut, tampak bahwa sendi-sendi otonomi telah terpenuhi. Sendi-sendi otonomi yang dimaksud adalah : 1.
Pembagian kekuasaan (sharing of power)
2.
Pembagian pendapatan (distribution of income)
3.
Kemandirian administrasi daerah (empowering).15 Mengingat semakin besarnya tanggung jawab pemerintah daerah
(daerah otonom) tersebut, maka demi kelancaran dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah serta suksesnya pembangunan di daerah, perlu didukung oleh beberapa faktor, antara lain: 1.
Tata hukum yang jelas, khususnya sektor hukum administrasi Negara.
2.
Standar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tinggi.
3.
Manajerial organisasi pemerintahan yang baik, termasuk juga menyangkut birokrasi pemerintahan.
4.
Strategi pembangunan yang tepat dan efektif.16 Dengan adanya pemberian keleluasaan kepada daerah, maka daerah
harus dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik, mau mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah maupun antara sesama daerah, sehingga akan terjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
14 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (filosofi, sejarah perkembangan, dan problematikanya), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005): hal. 20. 15 Ibid, hal. 83 16 Subadi, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010): hal. 24
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pembagian urusan menjadi isu yang sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah karena pembagian urusan merupakan jantungnya desentralisasi dan nafasnya otonomi daerah.17 Dalam UU Pemerintahan Daerah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan daerah diatur dalam pasal 10 : (1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
politik luar negeri;
b.
pertahanan;
c.
keamanan;
d.
yustisi;
e.
moneter dan fiskal nasional; dan
f.
agama. Berdasarkan ketentuan pasal 10 di atas, jelaslah bahwa pengelolaan
sumber daya hutan dan bahan galian tambang, tidak termasuk dalam urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam ayat (3) atau dengan kata lain telah didesentralisasikan Di beberapa Negara Asia termasuk Indonesia, kebijakan nasional mereka memberi peluang pengurusan hutan oleh pemerintah lokal (daerah). 17
Agus Dwiyanto,” Revisi UU 32/2004:Latar Belakang Dan Arah Perubahannya”, dalam Agus Pramusinto dan Erwana Agus Purwanto (eds.), Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik : Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi daerah Di Indonesia (Yogyakarta: Gava Media, Cet.1, 2009): hal. 67
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rowena Soriaga and Sango Mahanty mengemukakan, given these limitations with highly centralized modes of forest governance, several countries in the region are transferring some planning and implementations decisions to state or local governments, especially to smaller-scala forest areas. The Philippines’ Local Government Code 1991, Thailand’ Tambon Administrative Act 1994, Indonesia’ Regional Autonomy Law 1999, and Cambodia’ Commune Law 2001 are some of the national policies that provides opening for nurturing local forest governance. (untuk membatasi mode pengelolaan hutan yang sentralisitk (terpusat), beberapa Negara di Asia mengalihkan perencanaan dan pengambilan keputusan kepada pemerintah lokal (daerah), terutama yang berkenaan dengan pengelolaan hutan daerah skala kecil. UU Pemerintah Daerah Filipina Tahun 1991, UU Tambon Administratif Thailand Tahun 1994, UU Otonomi Daerah Indonesia Tahun 1999 dan UU
Komune Kamboja Tahun 2001 membuka
peluang untuk pengelolaan hutan oleh pemerintah lokal (daerah))18. Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintah daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.19 UU Kehutanan mengakomodasi desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan hutan. Hal ini tertuang dalam
Pasal 66 UU Kehutanan yang
menyatakan bahwa: (1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
18 Rowena Soriaga and Sango Mahanty, “Strengthening Local Forest Governance: Lessons on The Policy-Practice Linkage From Two Programs To Support Community Forestry in Asia”. International Journal of Social Forestry (IJSF), 2008, 1(2):96-122, ISSN 1979-2611, www.ijsf.org , diakses tanggal 17 Oktober 2011 19 Ibid
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Desentralisasi sektor kehutanan merupakan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada kepala daerah provinsi dan kabupaten. Menurut Fisher20, pengamatannya di berbagai daerah secara jelas menunjukan bahwa sangat sulit mengimplementasikan suatu kebijakan kehutanan yang di desain oleh pusat di daerah. Oleh karena itu, perlu ada penyerahan sebagian kewenangan
kepada
daerah
dalam
pengambilan
keputusan
maupun
merumuskan sasaran. Dengan mendekatnya proses pengambilan kebijakan dengan sumberdaya dan masyarakat serta stakeholder lainnya yang secara langsung mendapatkan dampaknya, diharapkan bisa lebih mewujudkan pengelolaan hutan lestari, adil dan demokratis serta membantu mengeluarkan masyarakat setempat dari jerat kemiskinan. Kebijakan otonomi diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan dan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat setempat dalam memperoleh akses dan manfaat sumber daya hutan. Terkait peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan ini, FAO menyatakan:21 The modern concept of multi-stakeholder forest management has 20 Dodik Ridhon Nurruchmat, Strategi Pengelolaan Hutan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.1, 2005): hal. 39 21 Mangala de Zoysa dan Makoto Inoue, “Forest Governance and Community Based Forest Management In Sri Lanka : Past, Present and Future Perpectives”, Internationa Journal of Social Forestry (IJSF), 2008, 1(1):27-49. ISSN 1979-2611 , www.ijsf.org, diakses tanggal 17 Oktober 2011
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
become a trend to incorporate all the various stakeholders making decisions about forest management and use. Community forestry is in example on a continuum of participation and involvement in resources management where local communities are involved in forestry activities from the growing of trees to the processing of forest product, and generating income trough small forest based industries.(Konsep pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak telah menjadi model pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak dari berbagai kalangan dalam mengambil kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Contoh keterlibatan masyarat kehutanan dalam rangkaian partisipasi dan keterlibatan mereka dalam mengelola sumber daya alam, adalah dilibatkannya masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mulai dari penanaman pohon sampai dengan mengelola hasil hutan, dan mendapatkan pendapatan dari hasil industri hutan skala kecil).22 Dalam perjalanan, kebijakan kehutanan di era otonomi daerah belum menunjukan hasil yang memuaskan. Pemerintah Daerah dalam pengelolaan hutan lebih mengedepankan eksploitasi hutan untuk meningkatkan pendapatan daerah mereka bukan untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan, sehingga tingkat kerusakan hutan di era otonomi dearah meningkat secara signifikan. Luke Lazarus Arnold menyatakan: As happened in Bolivia following decentralisation there, regional government throughout Indonesia have seen logging as a key to establishing independent revenue stream. Before the Otda laws even came into effect, many district/municipal governments proceeded to issue great number of small-scale commercial timber licences. Most of these carried no obligation to engage in reforestation activities, or to refrain from clear felling or logging in catchmen areas. As some district had no even established a regulatory agency, they clearly had no intention of ensuring that the holder of these licences logged strictly according to the terms of the licences anyway. (Sama seperti pelaksanaan desentralisasi di Bolivia, pemerintah daerah di Indonesia juga menempatkan hasil penebangan kayu untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Bahkan sebelum otonomi daerah berlangsung, banyak pemerintah daerah yang telah memproses untuk menerbitkan izin-izin pengusahaan hutan/pemungutan kayu skala kecil. Kebanyakan dari izin-izin tersebut diterbitkan tanpa kewajiban untuk melakukan penanaman kembali atau memperbaiki kondisi lahan di areal 22
Ibid
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penebangangan yang diberikan izin tersebut. Bahkan para pemerintah daerah tidak membentuk dewan pengawas untuk mengawasi apakah para pemegang izin hak pengusahaan hutan/pemungutan kayu tersebut benar-benar melakukan kegiatan penebangan hanya pada areal yang telah diberikan izin)23. Selain kaya akan sumber daya hutan, Indonesia juga kaya akan sumber daya mineral. Letak Indonesia yang berada pada posisi tumbukan dua buah lempeng besar, yaitu lempeng Pasifik di Utara dan Lempeng Australia di Selatan mendukung kondisi pembentukan mineralisasi berbagai mineral atau bahan galian berharga, seperti mineral logam dan lain-lain. Seperti hal nya dengan hutan, bahan galian tambang, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, juga dikuasasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengaturan pengelolaan bahan galian atau sektor pertambangan di Indonesia, sama halnya dengan landasan hukum sektor lain pada umumnya, yaitu dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga, sampai dengan pemerintahan Orde Lama, secara konkret pengaturan pengelolaan bahan galian atau sektor pertambangan masih mempergunakan hukum produk Hindia Belanda yang langsung diadopsi menjadi hukum pertambangan Indonesia. Terjadinya peralihan kekuasaan dari pemerintahan orde lama ke pemerintahan orde baru, telah mendorong semangat baru untuk melahirkan peraturan perundang-undangan sektor pertambangan sejalan dengan munculnya semangat
pembaruan
dan
pembangunan
nasional
yang
direncanakan
pemerintahan orde baru. Maka, untuk mendukung program pembangunan nasional tersebut, diperlukan pembiayaan yang besar, salah satunya dengan cara menggali potensi sumber pendapatan Negara dari kekayaan alam Indonesia. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka lahirlah Undang-undang No. 23
Luke Lazarus Arnold, “Deforestation in Decentralised Indonesia: What’s Law Got to Do with It?“, Law, Environment and Development Journal (2008), p. 75, http//www.leadjournal.org/content/08075.pdf , diakses tanggal 16 Oktober 2011
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11 Tahun 1967 tentang Ketenntuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui undang-undang tersebut, memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan pengelolaan bahan galian dengan membuka peluang bagi investor asing untuk melakukan investasi pengelolaan bahan galian yang diminatinya. Undang-undang No. 11 Tahun 1967, telah berhasil menarik investasi dalam pertambangan,
namun
bentuk-bentuk
izin
pengusahaan
bahan
galian
berdasarkan undang-undang ini masih terpusat (berada di tangan menteri). Terpusatnya kewenangan dan pengurusan legalitas pengusahaan bahan galian pada tangan menteri, menimbulkan disharmonisasi pengelolaan bahan galian antara pemerintah dan masyarakat di daerah yang kaya akan bahan galian. Sejalan dengan bergulirnya reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah, peraturan
perundang-undangan
sektor
pertambangan
juga
mengalami
perubahan. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diganti dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). UU Minerba telah mengakomodir kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian, karena sesuai dengan ketentuan UU Pemerintahan daerah, sektor pertambangan termasuk urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah. Kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian tercermin dari ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam pengaturan pengelolaan bahan tambang, peraturan sektor pertambangan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sektorsektor lainnya, hal ini berhubungan dengan lokasi dimana bahan galian tambang itu berada, karena hak atas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tidak meliputi hak atas tanah dipermukaan bumi (Pasal 134 ayat (1) UU Minerba). Oleh karena itu peraturan sektor pertambangan tidak dapat terlepas dari peraturan sektor pertanahan. Dan
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari instansi terkait (Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba). Termasuk dalam ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada dalam kawasan hutan. Oleh karena itu untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan perlu adanya harmonisasi antara peraturan sektor pertambangan dengan sektor kehutanan. Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan potensial menimbulkan konflik kewenangan antar instansi terkait. Sektor kehutanan dan pertambangan potensial
mendatangkan
dan
menjadi
sumber
pendapatan,
sehingga
mengundang berbagai sektor yang terkait, baik pusat maupun daerah untuk masuk dan berebut dengan mendasarkan diri pada klaim kewenangan masingmasing. Konstantasi seperti ini, potensial pula meletupkan perselisihan (wewenang) antara pusat dan daerah dan juga antar sektor yang terkait dengan sektor kehutanan.24 Disamping itu, ketidakjelasan definisi kewenangan administrasi dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah pusat dan daerah juga masih menghambat efektivitas pelaksanaan pembangunan hutan di daerah. Ketidaksepahaman pemerintah pusat dan daerah di antaranya dalam hal kewenangan pemberian izin-izin pemanfaatan dan pengusahaan hutan. Termasuk dalam hal kebijakan pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Pada era otonomi daerah ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan, jika dikaitkan dengan Pasal 18, dan 18A UUD 1945 yang menjadi dasar otonomi seluasluasnya bagi daerah dalam implementasinya di lapangan menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. 24
I Gede Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: PT. Alumni, Cet. 1, 2009): hal. 88
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (untuk selanjutnya disebut sebagai UU Minerba) pemerintah daerah berwenang memgeluarkan izin usaha pertambangan, namun apabila lokasi pertambangan berada dalam kawasan hutan, berdasarkan ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal 38 ayat (3) UU kehutanan pemegang izin usaha pertambangan tetap harus mempunyai izin pinjam pakai dari menteri kehutanan. Hal ini menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan berpegang pada ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan. Adapun pemerintah daerah dalam hal pemberian izin pertambangan pada kawasan hutan berpegang pada Undang-unndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah) yang merupakan pengejawantahan Pasal 18 dan 18A UUD 1945, yang mensyarakatkan desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk desentralisasi dalam sektor kehutanan yang lebih lanjut ditafsirkan pemerintah daerah termasuk dalam desentralisasi kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Konflik kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mengakibatkan tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (selanjutnya disebut Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang lokasinya berada dalam kawasan hutan diterbitkan pemerintah daerah tanpa adanya
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaan-perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan yang areal kerjanya berada dalam kawasan hutan. Hal ini menyebabkan makin maraknya perusahaan tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Berdasarkan data Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan sampai dengan tahun 2010 di wilayah Kalimantan saja terdapat sedikitnya 1.236 (seribu dua ratus tiga puluh enam) perusahaan tambang yang beroperasi dalam kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan, dengan luas total kawasan hutan yang dijadikan areal kerja adalah seluas 6.946.301,95 (enam juta Sembilan ratus empat puluh enam ribu tiga ratus satu koma sembilan puluh lima) hektar. Dengan tidak mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan para perusahaan tambang tersebut mangkir dari kewajiban membayar PSDH DR dan PNBP dan dapat mangkir dari kewajiban melakukan reklamasi di areal kerja mereka. Dapat dibayangkan kerugian Negara dan kerusakan hutan akibat kegiatan pertambangan illegal tersebut. Guna mencegah kerugian Negara dan kerusakan hutan yang lebih parah lagi maka konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan perlu dibenahi. Untuk itu perlu dikaji sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah, khususnya eksistensi peraturan perundangundangan yang mengatur kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan pada era otonomi daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut penulis tertarik untuk menulis tesis yang berjudul: “SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH”.
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
B.
digilib.uns.ac.id
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas selanjutnya dirumuskan masalah yaitu: 1.
Apakah
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
kegiatan
pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron dan sinergis satu dengan yang lainnya? 2.
Upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian hukum ini adalah: 1.
Untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundangundangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah
2.
Untuk
mengetahui
upaya-upaya
yang
dapat
dilakukan
untuk
menyinergiskan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah D.
Manfaat penelitian Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat khususnya Kementerian Kehutanan yaitu sebagai berikut : 1.
Manfaat Teoritis : Sebagai bahan masukan atau referensi dalam rangka sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum dalam kajian hukum dan kebijakan publik mengenai penyelesaian sengketa hukum.
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Manfaat Praktis : Sebagai masukan bagi
instansi pemerintah pada umumnya dan secara
khusus bagi Kementerian Kehutanan
dalam menyelesaikan konflik
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
terkait kebijakan
pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan.
commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN TEORI A.
Pengertian Kebijakan Publik Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy). Masing-masing definisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara di sisi yang lain, pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut di definisikan.25 Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan
sebagai
lingkungannya.26
“
hubungan
suatu
Konsep yang ditawarkan
unit
pemerintah
dengan
Eyestone ini mengandung
pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.27 Sedangkan Carl J Frederick, mendefinisikan kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.28
25
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, ( Yogyakarta: Media Pressindo, Cet. III, 2005): hal.15 26 Ibid 27 Ibid. 28 Solichin Abdul Wahab, Analisa Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, Edisi Kedua, 2001): hal.. 3
commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Amara Raksa Raya mengemukakan:29 “Kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen, yaitu: 1. Indentifikasi dari tujuan yang ingin dicapai 2. Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.” Menurut Thomas R Dye dalam Budi Winarno, “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.30 Senada dengan pendapat Dye, Edwards III dan Sharkasky mengemukakan kebijakan negara adalah “...is what goverment say and do, or not to do. It is the goals purpose of goverment programs” (...adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau tujuan program pemerintah).31 Pengertian Kebijakan menurut Kartasasmita, merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau yang tidak dilakukan) oleh pemerintah mengenai suatu masalah (2) apa yang menyebabkan atau yang mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dari kebijakan negara tersebut.32 Menurut Amir Santoso:33 “kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah kategori: Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakantindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi dalam dua 29
Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000):hal. 17-18. 30 Budi Winarno, op. cit., hal. 15. 31 Irfan Islamy, op. cit., hal. 18 32 Joko Widodo, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Insan Cendekia, 2001): hal.189 33 Amir Santoso, “Analisis Kebijaksanaan Publik: Suatu Pengantar”, Jurnal Ilmu Politik 3, (Jakarta: Gramedia, 1993): hal..4-5.
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksudmaksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam kubu yang pertama melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah ”serangkaian intruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut”. Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari rangkaian Keputusan dan tindakan”. Berkaitan dengan definisi kebijakan publik, Anderson mengatakan bahwa:
34
“public policies are those policies developed by goverment bodies
and officials”
(kebijakan negara adalah kebijakan kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Menurut Anderson implikasi dari pengertian kebijakan negara tersebut adalah:35 1. bahwa kebijakan negara itu mempunyai tujuan. 2. bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah. 3. bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. Jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu. 4. bahwa kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, dan 5. bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan atau selalu didasarkan pada peraturan perundangundangan dan bersifat memaksa. Berdasarkan
pengertian-pengertian
kebijakan
publik
yang telah
diuraikan di atas, maka kebijakan publik yang dimaksud dalam tulisan ini
34 35
Irfan Islamy, op. cit., hal. 19. Ibid.
commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah kebijakan kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabatpejabat pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. B.
Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik Seperti telah diuraikan di atas “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan program pemerintah. Untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dipilih dan ditentukan tersebut sehingga dapat terwujud di dalam masyarakat maka diperlukan beberapa sarana. Salah satu bentuk sarana yang cukup memadai adalah hukum dengan berbagai macam bentuk peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, “law effectively legitimates policy”, atau dengan perkataan lain, “proper attention to the use of law in public policy formulation and implementation requires an awarness of the condition under which law is effective”.36 Dengan kata lain hukum merupakan sarana untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Hukum merupakan serangkaian alat untuk merealisasi kebijaksanaan pemerintah. Sejalan dengan apa yang telah diuraikan di atas maka pembuatan kebijakan publik harus didasarkan pada hukum karena dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditentukan bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Menurut Immanuel Kant, Negara hukum merupakan salah satu tujuan Negara, maksudnya: Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan yang menjadi rakyatnya. Ketertiban hukum perseorangan adalah syarat utama dari tujuan suatu negara. Tujuan Negara ialah pembentukan dan pemeliharaan hukum di samping dijamin daripada kebebasan dan hakhak warganya. Rakyat harus mentaati undang-undang yang dibuat 36
Jay A. Sigler dan Benjamin R Beede, The Legal Sources of Public Policy, (California: D.C. Health and Company, Belmont, 1977): hal.5
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan persetujuannya sendiri. Lain daripada itu perseorangan dilihat oleh Kant sebagai pihak yang sama derajatnya dengan Negara itu sendiri. Baik Negara maupun perorangan adalah subyek-subyek hukum, yang harus memandang satu dengan yang lain sebagai sesamanya sebagai pihak-pihak yang memegang hak-hak dan kewajiban. Sehingga Negara tidak dapat memandang perseorangan sebagai obyek yang tidak bernyawa dan tak mempunyai hak apa-apa.37 Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka tindakan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga masyarakatnya harus didasarkan pada hukum. Dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan tindakannya ini dapat dilihat dari dua sisi yakni pada satu sisi, memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang sekaligus memberikan perlindungan hukum jika terjadi gugatan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Oleh karena itu, maka salah satu inti hakikat hukum administrasi adalah “melindungi administrasi Negara itu sendiri”.38 Maksudnya, kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah akan mendapat perlindungan hukum jika kebijakan itu dibuat berdasarkan pada peraturan perundangundangan. Pada sisi lain, melalui dasar hukum dilakukan pembatasan terhadap kekuasaan yang dimiliki pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pembatasan itu perlu dilakukan karena sekecil apapun kekuasaan yang digenggam suatu lembaga atau seseorang, seperti yang sudah dibuktikan dalam keseharian kita, ia tetap problematik ketika tidak diatur”.39 Hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan keberadaannya bukan sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri namun sebagai lembaga yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dalam
kebijakan
publik.
Untuk
menghindari
terjadinya
penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan maka hukum dapat 37
Didid NazmiYunas, Konsepsi Negara Hukum, (Padang: Angkasa Raya, 1992): hal.26. Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1992): hal..6 39 Cornelis Lay, “Lembaga Kepresidenan Di Indonesia”, dalam Tidak Tak Terbatas Kajian Atas Lembaga Kepresidenan RI, (Yogyakarta: Pandega Media dengan BEM UGM, 1997) : hal. 12. 38
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dipergunakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut karena secara teknis hukum dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 1.
Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat.
2.
Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi.
3.
Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik.
4.
Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumbersumber daya.40 Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa hukum dapat
digunakan sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalah hukum. Oleh karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy. Law also sets the framework for public policy”.41
Dengan demikian dasar bagi suatu pembuatan kebijakan
publik oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah harus didasarkan pada hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum tertulis sebagai hukum positif merupakan hukum yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Sehubungan dengan hukum positif ini, dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ditentukan jenis dan hieraki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
76-77.
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
40
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994): hal.
41
Jay. A. Sigler, Beede and Rutgers, op. cit., hal. 4.
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
d.
Peraturan Presiden;
e.
Peraturan Daerah.
digilib.uns.ac.id
Selain hukum tertulis, yang juga menjadi dasar pembuatan kebijakan publik adalah hukum tidak tertulis yakni asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principle of goal of administration), Asas-asas ini meliputi: 1.
Asas kepastian hukum (principle of legal security);
2.
Asas keseimbangan (principle of proportionality);
3.
Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of equality);
4.
Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
5.
Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
6.
Asas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence);
7.
Asas permainan yang layak (principles of fair play);
8.
Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness);
9.
Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation);
10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision); 11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life); 12. Asas kebijaksanaan (sapientia); 13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).42 Penggunaan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis (asas-asas umum pemerintahan yang baik) sebagai landasan bagi pembuatan kebijakan publik 42
Ateng Syafrudin, “Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian Kepala Daerah”, dalam Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), penyusun: Paulus Efendi Lotulung, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994): hal. 38-39.
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah penting dengan maksud agar penerapan hukum itu dapat menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan. Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, kebijakan publik umumnya harus “dilegalisasikan” dalam bentuk hukum, karena sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Dari pemahaman dasar ini kita dapat melihat keterkaitan di antara keduanya dengan sangat jelas. Bahwa sesungguhnya antara hukum dan kebijakan publik itu pada tataran praktek tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan seiring, sejalan dengan prinsip saling mengisi. Jika dikaji berdasarkan logika, dapat dikatakan bahwa “sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Demikian pula sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik tersebut”.43 Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat kita lihat dalam prakteknya, dimana keduanya dalam penerapannya dapat saling melengkapi sehingga baik hukum maupun kebijakan publik dalam penerapannya dapat berjalan dengan lebih baik. Hubungan simbiosis mutualisme tersebut dapat dilihat dari tiga sektor kajian, yakni formulasi, implementasi dan evaluasi. Dalam perbincangan hubungan hukum dan kebijakan publik dalam konteks formulasi, sesungguhnya kita akan membahas bagaimana antara pembentukan hukum dan formulasi kebijakan publik itu dapat saling memperkuat satu dengan yang lainnya. Pada tingkatan implementasi kita akan berbicara tentang bagaimana penerapan hukum dan implementasi kebijakan publik dapat saling membantu memperlancar berjalannya hasil-hasil hukum dan kebijakan publik di lapangan. Sedangkan pada konteks evaluasi kita akan banyak membahas tentang bagaimana perbaikan kebijakan publik yang selama 43
Ibid
commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini berjalan dapat dievaluasi dengan baik dengan bantuan hukum sebagai instrument penguat diterapkannya rekomendasi-rekomendasi evaluasi kebijakan publik yang ada.44 C.
Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan 1.
Pengertian Perundang-Undangan Belum ada kesepakatan para ahli mengenai pengertian perundangundangan. Ketidaksepakatan para ahli tersebut pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan. Menurut Fockema Andrea dalam Maria Farida, istilah “perundangundangan” (Legislation, wetgeving, atau Gezetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu: a. Perundang-undangan
merupakan
proses
pembentukan/proses
membentuk peraturan Negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah. b. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.45 Lebih lanjut Maria Farida menyatakan, apabila kita membicarakan Ilmu
Perundang-Undangan,
maka
kita
membahas
pula
proses
pembentukan/perbuatan membentuk peraturan-peraturan Negara, dan sekaligus
seluruh
peraturan
Negara
yang
merupakan
hasil
dari
pembentukan peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah.46
Sedangkan
peraturan
perundang-undangan
sebagaimana
44 Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik (Surabaya: Averroes Press, Cet.1, 2002): hal. 39 45 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, Cet. Kelima, 1998): hal.3 46 Ibid
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 2 adalah:”Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.” Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan istilah
perundang-undangan
berbeda
dengan
peraturan
perundang-
undangan. Perundang-undangan menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan
merupakan
istilah
yang
dipergunakan
untuk
menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.47 Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan Perundang undangan harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1.
bersifat tertulis
2.
mengikat umum
3.
dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.48 Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang
dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945, 47
http://massofa.wordpress.com/2008/04/29/perundang-undangan-di-indonesia/ , diakses pada tanggal 5 November 2011 48 Ibid
commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”.49 Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum merupakan unsur mutlak yang harus diperhatikan dalam penyusunannya. Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah yang memberikan makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.50 Suatu sistem hukum memiliki asas yang menjadi ukuran keberadaan sistem hukum itu sendiri. Menurut Fuller, sistem hukum haruslah
mengandung
suatu
moralitas
tertentu.
Kegagalan
untuk
menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut sistem hukum sama sekali. Pendapat Fuller mengenai ukuran terhadap sistem hukum diletakannya pada delapan asas yang dinamakannya “principles of legality”, yaitu: 1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud disini adalah ia tidak boleh hanya sekedar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut harus diumumkan 3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi 49 50
Ibid Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bhakti): hal. 47
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
waktu yang akan dating. 4. Peraturan-peraturan harus
disusun
dalam rumusan
yang
dapat
dimengerti. 5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi. 8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.51 2.
Norma Hukum Negara Republik Indonesia Istilah norma, yang berasal dari bahasa Latin, atau kaidah dalam bahasa Arab dan sering disebut dengan pedoman, patokan atau aturan dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi, inti norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.52 Di dalam kehidupan masyarakat, selalu terdapat berbagai macam norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara kita berperilaku atau bertindak. Di Negara kita, norma-norma yang masih sangat dirasakan adalah norma-norma adat, norma-norma agama, normanorma moral dan norma-norma hukum Negara. Norma-norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama dan lainya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
51 52
Ibid, hal. 51 Maria Farida, op. cit, hal. 6
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State, Hans Kelsen mengemukakan adanya dua sistem norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatic) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamic).53 Statika sistem norma (nomostatic) adalah suatu sistem yang melihat pada “isi” suatu norma, dimana suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma khusus, atau norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Penarikan norma-norma khusus dari suatu norma umum, dalam arti norma umum itu dirinci menjadi norma-norma yang khusus dari segi “isi’nya.54 Sistem norma yang dinamik (nomodynamics) adalah suatu sistem norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara pembentukan atau penghapusannya.
Menurut Hans Kelsen, norma itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkis, dimana norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang labih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya samapai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti yang tidak dapat ditelusuri lagi pada suatu norma tertinggi yang yang disebut norma dasar (Grundnorm). Norma dasar atau sering disebut Grundnorm, basis norm, atau fundamental norm ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi tetapi berlakunya secara presupposed, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.55 Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem norma yang dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang 53
Ibid, hal. 7 Ibid, hal. 8 55 Ibid, hal. 8 54
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau pembentukannya.56 Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie), dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya samapai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).57
Norma dasar yang menjadi
gantungan norma-norma dibawahnya tersebut tidak dibentuk melainkan ditetapkan telebih dahulu oleh masyarakat, sehingga dikatakan suatu norma dasar pre-supposed. Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yng bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka normanorma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.58 Berdasarkan teori Adolf Merkl tersebut, dalam teori jenjang 56
Ibid, hal. 9 Ibid, hal. 25 58 Ibid, hal. 26 57
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
normanya Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih tinggi. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya sehingga apabila Norma Dasar itu berubah, maka akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada di bawahnya. Hans Nawiasky, salah seorang murid dari Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan Teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari Negara mana pun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar, dan bersumber norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma tertinggi yang disebut norma dasar. Tetapi Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokan norma-norma hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas: Kelompok I
: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Kelompok II
: Staatgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
Kelompok III
: Formell Gesetz (Undang-undang formal)
Kelompok IV
: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)59 .
Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada 59
Ibid, hal. 27
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam tata susunan norma hukum setiap Negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma norma hukum yang berbeda dalam tiap kelompoknya. Norma fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu Negara adalah norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu Negara dan merupakan suatu norma yang 60
menjadi
tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.
Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu Negara (Staatvervassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dahulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.61 Aturan
Dasar
Negara
atau
Aturan
Pokok
Negara
(Staatgrundgesetz) merupakan kelompok norma hukum di bawah di bawah norma fundamental Negara. Norma-norma dari Aturan Dasar/Pokok Negara ini merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma sekunder.62 Menurut Hans Nawiasky, suatu aturan dasar/pokok Negara dapat dituangkan dalam suatu dokumen Negara yang disebut Staatvervassung atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen Negara yang tersebar yang disebut dengan istilah Staatgrundgesetz. Di dalam setiap aturan dasar pokok Negara biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan Negara di puncak pemerintahan, dan selain itu diatur juga hubungan antara
61 62
Ibid, hal. 28 Ibid, hal. 30
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lembaga-lembaga tinggi/tertinggi Negara serta diatur hubungan antara Negara.63 Kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah aturan dasar pokok Negara (Staatsgrundgesetz) adalah Formell Gesetz atau diterjemahkan
dengan
undang-undang
(‘formal’).
Berbeda
dengan
kelompok-kelompok norma di atasnya, yaitu norma dasar Negara dan aturan dasar/pokok Negara, maka norma-norma dalam suatu undangundang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam undang-undang ini tidak saja hanya norma yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum tersebut sudah dapat dilekati norma sekunder disamping norma-norma primernya, sehingga suatu undangundang sudah dapat mencantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.64 Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome Satzung). Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini merupakan peraturanperaturan yang terletak di bawah undang-undang, di mana peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan norma otonom bersumber dari kewenangan atribusi.65 Sistem norma hukum Indonesia pernah mengalami perubahan hierarki susunan
peraturan perundang-undangan. Hierarki
susunan
peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 . 636363
Ibid Ibid, hal. 32 65 Ibid, hal. 35 64
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, pedoman hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia tercantum dalam dua produk hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/ Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPR/MPRS). Pertama, TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan RI. Kedua, TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Tata Urutan Peraturan Peundang-Undangan Indonesia menurut TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, adalah sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah
5.
Keputusan Presiden; dan
6.
Peraturan-Peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti: -
Peraturan Menteri
-
Instruksi Menteri
-
Dan lain-lainnya Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPR
No. III/MPR/2000 , adalah sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3.
Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5.
Peraturan Pemerintah;
6.
Keputusan Presiden; dan
7.
Peraturan Daerah.
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menurut UndangUndang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah dirubah dengan UndangUndang No. 12 Tahun 2011, adalah sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3.
Peraturan Pemerintah;
4.
Peraturan Presiden;
5.
Peraturan Daerah: a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Sistem norma hukum/hierarki perundang-undangan di Indonesia
merupakan pencerminan dari teori jenjang norma dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky. Hal ini terlihat dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia yang pernah diberlakukan (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR RI No. III/MPR/2000) dan yang saat ini sedang berlaku (Undang-Undang No. 10 Tahun 2004), berada dalam suatu sistem hierarki/susunan yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, dan sekaligus berkelompok-kelompok. Norma hukum yang satu selalu berlaku, bersumber, dan berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi diatasnya, dan norma hukum yang lebih tinggi juga selalu merujuk pada norma hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Asasnya adalah peraturan perundang-undangan yang lebih
commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sistem norma hukum Indonesia menggaris bawahi bahwa Pancasila merupakan norma hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum negara. Jenjang di bawah Pancasila sekaligus menempati puncak hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah UUD 1945
sebagai
aturan
dasar
Negara/aturan
pokok
Negara
(Staatsgrundgesetz). Namun sebelum Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dibentuk, disamping UUD 1945, TAP MPRS/MPR juga menjadi aturan dasar Negara/aturan pokok Negara. Saat ini TAP MPRS/MPR tidak lagi termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Norma hukum selanjutnya di bawah UUD 1945 adalah UndangUndang/Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
(Formell
Gesszt), dan terakhir Peraturan Daerah masuk dalam kategori sebagai peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung dan Autonome Satzung). 3.
Ruang Lingkup Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundangundangan Sering kita mendengar kata sinergi tanpa mengetahui arti kata tersebut. Menurut kamus besar bahasa Indonesia sinergi mempunyai arti kegiatan atau operasi gabungan.66 Kata yang sering disepadankan dengan sinergi adalah integrated (terpadu). Khasanah bahasa kita kurang lebih mempersamakan kedua istilah kata tersebut. Istilah “sinergi” kita adopsi dari suatu pengertian dalam bisnis. Synergism diartikan sebagai “a 66
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Edisi IV): hal. 1312
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
combination of known elements or fungctions that create a result greater than the sum of the individual elements or functions”.67 Selain itu sinergi mengandung arti kombinasi unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar.68 Apabila pengertian tersebut kita alihkan ke dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, maka sinergi merupakan keterpaduan antara peraturan perundang-undangan yang mengatur satu sektor tertentu, dimana peraturan perundang-undangan tersebut harus saling terkait (terintegrasi) satu dengan yang lain agar pengaturan atas suatu sektor tertentu menjadi lebih baik dan efektif. Langkah awal untuk mencapai sinergi/keterpaduan tersebut adalah melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga tidak terjadi konflik atau tumpang tindih norma antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Sinkronisasi adalah penyelarasan atau penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan peraturan perundanganundangan yang telah ada dan sedang disusun yang mengatur suatu sektor tertentu.69 Tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu sektor tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan sektor tertentu secara efisien dan efektif. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi, atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hieraki, maka proses tersebut mencakup harmonisasi
67
http://pkbh.uad.ac.id/sinergi-fungsi-dan-peran-advokat-dikaitkan-dengan-uu-nomor-18tahun-2003-tentang-advokat-dalam-penegakan-hukum-sistem-peradilan-dalam-tataran-praktis, diakses pada tanggal 31 Mei 2012 68 http://sibosnetwork.wordpress.com/2007/02/12/kata-sinergy/, diakses pada tanggal 31 Mei 2012 69 http///www.penataanruang.net.ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4 , diakses pada tanggal 12 Januari 2012
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
semua peraturan Perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horizontal.70 Sinkronisasi juga berkaitan dengan penentuan materi suatu undang-undang, Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa:71 Materi muatan suatu peraturan perundang-undangan suatu Negara, dapat ditentukan atau tidak tergantung pada sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Negara tersebut beserta latar belakang sejarah dan sistem pembagian kekuasaan Negara yang menentukannya dan di Belanda soal-soal politiklah yang menentukan materi wet , karena itu tidak dapat ditentukan batasbatasnya. Pensikronisasian suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini undang-undang, ditentukan oleh penentuan batas materi muatan undang-undang dimaksud. Pembentukan suatu undang-undang apabila ditinjau dari aspek subtansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturanaturan hukum.72 Lebih jauh aspek materil ini berkenaan dengan pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek formal berkaitan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundangundangan yang berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metode, proses dan teknik perundang-undangan.73 Aspek materil dan aspek formal ini saling berhubungan secara timbal balik dan dinamis. Aspek materil yang memuat jenis-jenis kaidah memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak 70
Ibid A. Hamid S. Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1993): hal. 119 72 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2009): hal. 222 73 Ibid 71
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
direalisasikan
dalam
bentuk
peraturan
perundang-undangan
dapat
diwujudkan atau dikonkretkan memiliki legitimasi dan daya laku efektif dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.74 Demikian sebaliknya dimana sebuah prodak perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek formal/prosedural, yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundangundangan sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta respek untuk mendapat pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak pengaturan aturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materil/subtansial.75 Melalui proses sinkronisasi materi muatan undang-undang akan tercapai harmonisasi peraturan perundang-undangan sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan ganda dan pertentangan norma antar peraturan perundang-undangan tersebut. Sinkronisasi peraturan perundangan-undangan dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan asas-asas peraturan perundang-undangan. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, asas-asas umum perundang-undangan terdiri dari:76 1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif) 2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula 3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis) 4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku lebih dahulu (lex posteriori derogate lex periori) 5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat diganggu gugat 6. Peraturan perundang-undangan merupakan sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual 74
Ibid Ibid, hal. 223 76 Purnadi Purbacarak dan Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-Undangan dan Yurispudensi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989, Cet.3): hal. 7-11 75
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat) Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan secara vertikal dan atau horizontal. Sinkronisasi Vertikal dapat diselesaikan dengan asas hukum Lex Superiori derogate Lex Inferior (peraturan/undang-undang
yang
lebih
tinggi
mengenyampingkan
peraturan/undang-undang yang lebih rendah), sehingga sinkronisasi vertikal bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangundangan yang berlaku untuk suatu sektor tertentu tidak bertentangan antara satu dengan yang lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hieraki
perundang-undangan
yang
ada.77
Sedangkan
sinkronisasi
horizontal dapat diselesaikan/ dibantu dengan menggunakan dua asas hukum yaitu: Lex Posteriori derogate Lex Priori (Peraturan / undangundang baru mengenyampingkan peraturan / undang-undang lama) dan Lex Speciali derogate Lex Generale (Peraturan / undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan Peraturan /undang-undang yang bersifat umum).78 Dengan demikian sinkronisasi horizontal dilakukan dengan melihat berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur sektor yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga harus dilakukan secara kronologis yaitu sesuai dengan urutan waktu diterapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.79 D.
Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah sumber hukum tertinggi dalam melakukan pengelolaan dan pengusahaan terhadap sumber daya alam di Indonesia. Di dalam Pasal tersebut dirumuskan bahwa “Bumi dan air dan 77
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009): hal. 28 Ibid 79 Ibid 78
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut, mengandung roh yang menegaskan, bahwa kekayaan alam yang terdapat di wilayah hukum Indonesia harus dipergunakan “hanya dan hanya” untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.80 Terhadap rumusan Pasal 33 ayat (3) tersebut di atas tidak pernah ada penjelasan atau kejelasan resmi tentang makna “dikuasai oleh Negara”. Namun satu hal yang telah disepakati bahwa dikuasai oleh Negara tidak sama dengan dimiliki oleh Negara. Kesepakatan ini bertalian dengan dan atau suatu bentuk reaksi dari sistem atau konsep domein yang dipergunakan pada masa kolonial Hindia Belanda.81 Konsep atau lebih dikenal asas domein, mengandung pengertian kepemilikan (ownership). Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu memiliki
segala
wewenang
melakukan
tindakan
yang
bersifat
kepemilikan (eigensdaad).82 Pengertian hak menguasai Negara ditemukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), memberikan makan “hak menguasai negara”, yaitu wewenang untuk:83 a. Mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal 80
Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, Cet.1, 2010): hal.15 81 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 1, 2011): hal.123 82 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2004): hal. 230 83 Ibid., hal. 231
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.84 Berkaitan dengan itu, AP Parlindungan lebih lanjut menegaskan bahwa: “Kesimpulan Pasal 1, 2, 3, 4, dan 9 UUPA, kesemuanya dalam konteks dengan ketahanan nasional sebagaimana disebutkan oleh Pasal 2 ayat 4 UUPA: “Wewenang yang bersumber pada Hak Menguasai Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat,
dalam
arti
kebahagiaan,
kesejateraan,
dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.”85 Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tujuan dari dikuasai Negara baik menurut UUD 1945 maupun UUPA adalah untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Keterkaitan hak penguasaan Negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban Negara sebagai berikut:86 -
Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang di dapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
-
Melindungi dan menjamin segala segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
-
Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan
84
AP Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA (Mandar Maju: Bandung, 1989): hal. 3 85 Ibid 86 Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, http://panmohamadfaiz.com/2006/10/08/penafsiran-konseppenguasaan-negara/, diakses tanggal 25 Februari 2012
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan hak nya dalam menikmati kekayaan alam. Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan Negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, Negara hanya melakukan pengurusan (bestuurdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021022/PUUI/2003 penguasaan Negara berarti bahwa Negara berwenang untuk mengurus, mengatur, mengelola serta mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Pengurusan, pengaturan serta pengelolaan kekayaan alam tersebut harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konstitusi, yaitu: 1. Prinsip untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat; 2. Dasar demokrasi dengan ekonomi dengan prinsip: a.
Kebersamaan;
b.
Efisiensi berkeadilan;
c.
Berkelanjutan;
d.
Berwawasan lingkungan;
e.
Kemandirian;
f.
Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya
dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maksud penguasaan hutan oleh Negara adalah
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberi wewenang kepada pemerintah untuk:87 1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; 2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan; 3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Penguasaan itu tetap memperhatikan hak masyarakat Hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui kebenarannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Selain itu, Pemerintah juga mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di sektor kehutanan ataupun di luar sektor kehutanan di dalam kawasan hutan. Sama halnya dengan hutan, bahan galian tambang juga dikuasai oleh Negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan Negara atas bahan galian tambang merupakan kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada Negara untuk mengurus, mengatur dan mengawasi pengelolaan bahan galian sehingga di dalam pengusahaan dan pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejateraan masyarakat. Kedudukan Negara adalah sebagai pemilik bahan galian mengatur peruntukan dan penggunaan bahan galian untuk kemakmuran masyarakat sehingga Negara menguasai bahan galian. Tujuan penguasaan oleh Negara
(pemerintah)
adalah
agar
kekayaan
nasional
tersebut
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha, sekalipun memiliki hak atas sesektor tanah di permukaan, tidak 87
Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 3, 2006): hal. 12
commit to user 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempunyai hak
menguasai ataupun memiliki bahan galian yang
terkandung di dalamnya.88 Penguasaan oleh Negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, baik terhadap bahan galian strategis, vital maupun golongan C.89 E.
Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah a.
Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de” = lepas dan “centerum” = pusat. Berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos = sendiri; nomos = undang-undang) dan berarti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving).90 David M. Brock, menyatakan “autonomy may be defined as the degree which one may make significant decisions without the consent of others.” (otonomi dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang dapat membuat keputusan tanpa perlu persetujuan dari pihak lain)91 Sedangkan desentralisasi secara umum dapat dimaknai sebagai wujud komitmen para penyelenggara pembangunan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam
88
Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, Cet.5, 2010): hal. 10 89 Ibid. 90 RDH. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung, hal. 14 91 David M. Brock, “Autonomy of Individuals and Organizations: Toward a Strategy Research Agenda” , International Journal of Business and Economics, 2003, Vol, 21, No.1, 53-57
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan di daerahnya masing-masing. Menurut Smith92, “Decentralizations is usually defined as any act by which central government formally cedes powers to actors and institusions at lower level in political administrative and territoria hierarchy”.(Desentralisasi seringkali diartikan sebagai tindakan pemerintah pusat yang menyerahkan wewenangnya kepada institusi atau pemerintah di bawahnya secara politik administrasi dan territorial hiraki) Dua istilah yang penting dalam konteks hubungan pemerintah pusat dan daerah pasca reformasi adalah desentralisasi dan otonomi daerah. Dua sektor tersebut (desentralisasi dan otonomi daerah) merupakan konsep yang berbeda, namun saling berhubungan satu dengan yang lainnya, bahkan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan.93 Desentralisasi dapat diartikan sebagai sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara
pemerintahan
nasional
dan
pemerintahan
lokal.94
Desentralisasi dapat juga diartikan sebagai mekanisme pengaturan relasi kekuasaan dan kewenangan dalam struktur pemerintahan.95 Sementara Otonomi Daerah dalam konsepnya lebih merupakan
92 Jesse C. Ribot, “Waiting for Democracy The Politics of Choice in Natural Resource Decentralizations”, World Research Institutes Report, Washington, DC, 2004 93 R. Siti Zuhro, dkk, Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusinya (Yogyakarta: Ombak, 2010): hal. 10 94 Syaukani, dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002): hal. xvii 95 Syarif Hidayat, Desentralisasi: Tinjauan Literatur tentang Konsep Dasar, Pengalaman Negara Lain dan Dinamika Kebijakan di Indonesia, dalam Susanto, Hari (Ed.), Otonomi Daerah Toeri dan Kenyataan Empiris (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2004): hal.1
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
persoalan hak dan kewajiban daerah (Pemda dan masyarakat) dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.96 Pelaksanaan desentralisasi dan pemberian otonomi pada daerah dalam konteks Indonesia pasca reformasi, harus tetap dilihat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara struktural bukan berarti daerah sama sekali terlepas dari pemerintah pusat, namun ada pembagian urusan dan kewenangankewenangan yang asalnya merupakan kewenangan pemerintah pusat yang kemudian dilimpahkan kepada daerah.97 Sebagai
salah
satu
sendi
Negara
yang
demokratis
(democratischerechtsstaat), desentralisasi merupakan pilihan yang tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi Negara dan bangsa sekarang dan di masa yang akan datang.98 Pentingnya desentralisasi pada esensinya agar persoalan yang kompleks yang dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor heterogenitas dan kekhasan daerah yang melingkunginya, seperti, budaya, agama, adat-istiadat, dan luas wilayah yang jika ditangani semuanya oleh pemerintah pusat merupakan hal yang tidak mungkin karena adanya keterbatasan dan kekurangan di semua aspek dapat diselenggarakan dengan baik oleh pemerintah daerah yang memang memahami kekhasan daerah mereka masing-masing. Desentralisasi mengandung makna adanya pengakuan dari penentu kebijaksanaan pemerintahan Negara terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerahdaerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, dengan melatih diri menggunakan hak yang seimbang dengan 96
Ibid R. Siti Zuhro, op. cit., hal.10 98 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah (Bandung: PT. Alumni, Edisi Kedua, Cet.1, 2008): hal. 111 97
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kewajiban masyarakat yang demokratis. melaksanakan sistem
Dalam ungkapan lain,
desentralisasi adalah untuk menumbuhkan
kebiasaan yang baik dalam menyerap, merumuskan dan mengambil keputusan memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam lingkup daerah
sendiri
dengan
memperhatikan
dan
mengindahkan
kepentingan yang sifatnya nasional baik berupa perencanaan maupun pelaksanaan kebijaksanaan nasional.99 Salah
satu
bentuk
desentralisasi
adalah
pelimpahan
kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sebagai pihak yang paling mengerti dan mengenali aspirasi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Maka dari itu di Indonesia desentralisasi menjadi lebih dikenal dengan otonomi daerah.100 Rondinelli,
sebagaimana
dikutip
oleh
Gustam
Idris,
mengemukakan tiga bentuk desentralisasi:101 1. Dekonsentrasi (deconsentration), bersifat field (lapangan), dan local administration (integrated local administration and unintegrated administration). Dekonsentrasi adalah pembagian kewenangan dan tanggung jawab administrasi antara departemen pusat di lapangan.Pada tipe field administration, pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan, namun pegawainya tetap departemen pusat. Pada integrated local administration, tenaga staf departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah dan pengawasan kepala eksekutif di daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, secara teknis bertanggung jawab kepada pemda. Sedangkan pada unintegrated local administration, pejabat pusat dan pemda berdiri sendiri mereka bertanggung jawab
99 Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi Dan Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah (Yogyakarta: Citra Media, Cet. 1, 2006): hal. 54 100 Subadi, op. cit, hal. 18 101 http://www.scribd.com/doc/53196793/27/Dikuasai-oleh-Negara-atau-Hak-MenguasaiNegara, diakses tanggal 8 November 2011
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepada departemen masing-masing. Koordinasi dilakukan secara informal. 2. Delegasi wewenang kepada badan semi otonom merupakan pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung di bawah pemerintah pusat (BUMN di Indonesia) 3. Devolusi kepada pemerintahan daerah Pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri. Ciri-ciri khususnya yaitu: bersifat otonom dan mandiri, tidak diawasi secara langsung pemerintah pusat, wilayah jelas dan legal, wewenang untuk melakukan tugas umum pemerintahan; unit pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum yang berwenang mengelola sumber daya. 4. Alih fungsi pemerintahan kepada badan non pemerintah (privatisasi) Penyerahan kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan serta administrasi kepada badan non pemerintah atau pemindahan fungsi-fungsi pemerintahan kepada lembaga-lembaga non pemerintah. Menurut
teori
center
peripheral
pendekatan formulasi wewenang
relationships,
dalam
pusat dan daerah, pusat adalah
bagian dari masyarakat yang wewenangnya di kontrol. Sedangkan pinggiran
atau
daerah
adalah
lokasi
dimana
wewenang
digunakan/dioperasionalkan. Pusat adalah fenomena dari dunia nilainilai dan kepercayaan belaka (phenomenon of the realm of values and beliefs). Pusat adalah sistem nilai karena di dukung oleh kewenangan-kewenangan untuk berkuasa dari masyarakat. Sistem nilai tersebut adalah konsensus bersama tetapi juga berarti melemahkan daerah yang bisa dianggap agak beragam dan bercabang dalam sistem nilai-nilai tersebut.102
102
Ibid
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
R. ambtelijke
Tresna103
menggolongkan
decentralisatie
desentralisasi
(dekonsentrasi)
dan
decentralisatie
(desentralisasi
ketatanegaraan).
ketatanegaraan
dapat
“desentralisasi
berupa
menjadi
staatskundige Desentralisasi teritorial”
dan
“desentralisasi fungsional”. Desentralisasi jabatan (dekonsentrasi) adalah pemberian kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata-mata. Desentralisasi ketatanegaraan memberikan kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi pemerintahan. Lebih lanjut R. Tresna, mengemukakan desentralisasi dapat juga berbentuk “otonomi” dan “medibewind”. Otonomi mengandung makna regeling dan bestuur, sedangkan medibewind merupakan tugas pembantuan.104 Di Belanda, medibewind dipahamkan sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah yang tingkatnya lebih atas oleh alat perlengkapan pemerintahan daerah yang tingkatannya lebih rendah. Urusan itu tidak beralih, tetapi tetap urusan pusat atau daerah atasan. Pertanggungan jawab tetap kepada kepala daerah setempat, namun cara kebijakan dan pengaturannya berada pada sepenuhnya daerah yang memberi bantuan. Secara konstitusional norma-norma dasar penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah diatur dalam beberapa Pasal yaitu, Pasal 18 ayat (2), (4), (5), (6), dan 18 A ayat, (1), (2) amandemen kedua UUD 1945. Sebagai tindak lanjut dari amandemen tersebut guna mewujudkan komitmen otonomi daerah maka diterbitkannya
103 104
Ibid Ibid
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lah UU No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Di dalam konstitusi tersebut, ada dua nilai dasar dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi di daerah, yaitu nilai unitaris dan desentralisasi teritorial. Nilai unitaris artinya tidak akan ada kesatuan pemerintah lain di dalam Negara RI yang bersifat Negara. Sedangkan nilai dasar desentralisasi territorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan dengan pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
Hal
ini
karena
dalam
penyelengaraan
desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan.105 Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administrasi. Tujuan politik akan memposisikan Pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan
105
Made Suwandi, 2002, Makalah Konsep Dasar Otonomi Daerah Indonesia Dalam Upaya Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Demokratis dan Efisien, Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otda, Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, hal. 1.
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berkonstribusi pada pendidikan publik secara nasional untuk mempercepat
terwujudnya
civil
society.
Sedangkan
tujuan
administratif akan memposisikan Pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis.106 Berdasarkan tujuan politis dan administratif tersebut, maka tujuan dari keberadaan pemerintah daerah adalah mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis dan melalui cara-cara yang demokratis. Peran pusat dalam kerangka otonomi daerah akan bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan sehingga daerah dapat melaksanakan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah lebih banyak bersifat pelaksanaan
otonomi
daerah
tersebut.
Dalam
melaksanakan
otonominya daerah berwenang membuat kebijakan daerah. Kebijakan yang diambil daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.107 Sebagaimana telah disebutkan, landasan yuridis konstitusional pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan B, UUD 1945. Perkembangan paradigma dan arah politik dalam sektor pemerintahan daerah yang terakomodir dalam UUD 1945 tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan sebagai berikut: 1. prinsip
daerah
mengatur
dan
mengurus
sendiri
urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2). 2. prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 2). 106 107
Ibid, hal. 5. Ibid, hal., 7.
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat 1). 4. prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat 2). 5. prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat 1). 6. prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat 3). 7. prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil (Pasal 18 A ayat 2).108 Dari prinsi-prinsip tersebut, tampak bahwa sendi-sendi otonomi telah terpenuhi. Sendi-sendi otonomi yang dimaksud adalah : 1. Pembagian kekuasaan (sharing of power) 2. Pembagian pendapatan (distribution of income) 3. Kemandirian administrasi daerah (empowering).109 Mengingat semakin besarnya tanggung jawab pemerintah daerah (daerah otonom) tersebut, maka demi kelancaran dalam penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
serta
suksesnya
pembangunan di daerah, perlu didukung oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Tata hukum yang jelas, khususnya sektor hukum administrasi Negara. 2. Standar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tinggi. 3. Manajerial organisasi pemerintahan yang baik, termasuk juga menyangkut birokrasi pemerintahan. 4. Strategi pembangunan yang tepat dan efektif.110 108
Ni’matul Huda, op. cit. hal. 20. Ibid,.hal. 83 110 Subadi, op. cit., hal. 24 109
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan adanya pemberian keleluasaan kepala daerah, maka daerah harus dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik, mau mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah maupun antara sesama daerah, sehingga akan terjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b.
Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otnomi seluas-luasnya dan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi yang seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi kekhasan daerah. Otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yakni memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan. Lebih lanjut dalam penjelasan umum UU Pemerintahan Daerah
dijelaskan
bahwa
commit to user 58
penyelenggaraan
desentralisasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan-urusan pemerintahan
yang
sepenuhnya/tetap
menjadi
kewenangan
pemerintah. Dalam pembagian ini, yang disebut urusan pemerintahan, ada yang menjadi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah dan ada urusan pemerintahan yang bersifat concurrent, yang dalam penanganannya dalam bagian atau sektor tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan daerah. Dalam UU Pemerintahan Daerah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan daerah diatur dalam pasal 10 : (1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan
mengurus
sendiri
urusan
pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan. (3) Urusan pemerintahan
yang menjadi urusan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
politik luar negeri;
b.
pertahanan;
c.
keamanan;
d.
yustisi;
e.
moneter dan fiskal nasional; dan
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f.
agama. Berdasarkan Pasal 10 UU Pemerintahan Daerah tersebut
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah yang sepenuhnya tetap meliputi kewenangan yang menyangkut poliik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap ini, pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa (Pasal 10 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah). Selanjutnya Pasal 10 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah diatur mengenai urusan pemerintahan yang bersifat concurrent. Urusan pemerintahan yang bersifat concurrent adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut, pemerintah dalam melaksanakannya dapat berbentuk (1) menyelenggarakan sendiri; (2) melimpahkan sebagian kepada Gubernur (dekonsentrasi); dan (3) menugaskan sebagian urusan kepada
pemerintahan
daerah
dan
atau
pemerintahan
desa
berdasarkan asas tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang bersifat concurrent dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan mempertimbangkan kesesuaian hubungan pengelolaan urusan pemerintah antar tingkat pemerintah. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi dan apabila nasional menjadi kewenangan pemerintah. Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan
dengan
pertimbangan
bahwa
tingkat
pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan-pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya untuk mendapatkan ketetapan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Berdasarkan kriteria ini, maka urusan yang menjadi kewenangan daerah terbagi atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, sedang urusan pilihan adalah urusan pemerintahan terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.111 Terkait urusan pemerintahan yang bersifat concurrent, dalam Pasal 2 ayat (4) PP 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Dan
selanjutnya
Pemerintah
disebut
PP
Daerah
Pembagian
Kabupaten/Kota Urusan
(untuk
Pemerintahan)
disebutkan urusan pemerintahan yang dapat dibagi bersama antar 111
Lili Romli, op.cit., hal. 24
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, terdiri dari sektor urusan pemerintahan yang meliputi: a.
Pendidikan;
b.
Kesehatan;
c.
Pekerjaan umum;
d.
Perumahan;
e.
Penataan ruang;
f.
Perencanaan pembangunan;
g.
Perhubungan;
h.
Lingkungan hidup;
i.
Pertanahan;
j.
Kependudukan dan catatan sipil;
k.
Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l.
Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. Sosial; n.
Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o.
Koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p.
Penanaman modal;
q.
Kebudayaan dan pariwisata;
r.
Kepemudaan dan olah raga;
s.
Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t.
Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u.
Pemberdayaan masyarakat dan desa;
v.
Statistik;
w. Kearsipan; x.
Pepustakaan;
y.
Komunikasi dan informatika;
z.
Pertanian dan ketahanan pangan;
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aa. Kehutanan bb. Energi dan sumber daya mineral cc. Kelautan dan perikanan; dd.
Perdagangan; dan
ee.
Perindustrian. Ketiga puluh satu sektor urusan pemerintahan tersebut di
atas dirinci lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan tersebut. Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah urusan wajib pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah daerah sebanyak 16 urusan pemerintahan. Ke-16 urusan pemerintahan itu berlaku baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, sedangkan yang membedakannya adalah skala berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi seperti disebutkan di atas.112 Oleh karena itu, baik urusan pemerintahan provinsi maupun urusan pemerintahan kabupaten/kota terdiri atas urusan: 1.
Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2.
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3.
Penyelenggaraan
ketertiban
umum
dan
ketentraman
masyarakat; 4.
Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5.
Penanganan sektor kesehatan;
6.
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
112
7.
Penanggulangan masalah sosial;
8.
Pelayanan sektor ketenagakerjaan;
9.
Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
Ibid
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Pengendalian lingkungan hidup; 11. Pelayanan pertanahan; 12. Pelayanan kependudukan dn catatan sipil; 13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal; 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar; 16. Dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan wajib daerah sebagaimana tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (2) PP Pembagian Urusan Pemerintahan, urusan wajib tersebut meliputi: a.
Pendidikan;
b.
Kesehatan;
c.
Lingkungan hidup;
d.
Pekerjaan umum;
e.
Penataan ruang;
f.
Perencanaan pembangunan
g.
Perumahan;
h.
Kepemudaan dan olahraga;
i.
Penanaman modal;
j.
Koperasi dan usaha kecil dan menengah
k.
Kependudukan dan catatan sipil;
l.
Ketenagakerjaan;
m. Ketahanan pangan; n.
Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o.
Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p.
Perhubungan;
q.
Komunikasi dan informatika;
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
r.
Pertanahan;
s.
Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t.
Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u.
Pemberdayaan masyarakat dan desa;
v.
Sosial;
w. Kebudayaan; x.
Statistik;
y.
Kearsipan; dan
z.
perpustakaan Selain urusan wajib tersebut, pemerintah daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) selain menyelenggarakan urusan wajib juga dapat melaksanakan urusan pilihan. UU pemerintahan daerah tidak menyebutkan secara eksplisit apa saja yang menjadi urusan pilihan tersebut. Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah hanya menyebutkan kriteria yang menjadi urusan pilihan tersebut adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Jenis urusan pilihan itu baru disebutkan secara eksplisit ada pada penjelasan Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU Pemerintaha Daerah jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian Urusan Pemerintahan, urusan pilihan tersebut meliputi: a.
kelautan dan perikanan;
b.
pertanian;
c.
kehutanan;
d.
energi dan sumber daya mineral;
e.
pariwisata;
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f.
industri;
g.
perdagangan; dan
h.
ketransmigrasian. Berdasarkan pembagian urusan tersebut, pemerintah pusat
dan daerah pada hakikatnya mempunyai fungsi yang sama dan hanya dibedakan oleh cakupan kekuasaan dan kewenangan masingmasing, maka sudah semestinya pola hubungan pemerintah pusat dan daerah bersifat saling melengkapi dan saling ketergantungan. Artinya, pemerintah pusat tidak berfungsi tanpa adanya pemerintah daerah, begitu pula sebaliknya, karena kedua tingkat pemerintahan mengemban fungsi secara saling melengkapi. Dengan demikian maka legitimasi pemerintah pusat ditentukan oleh keberadaan dan kepercayaan pemerintah daerah, sebaliknya pemerintah daerah membutuhkan justifikasi pusat bagi penyelenggaraan pemerintahan secara mandiri dan otonom.113 F.
Tinjauan Umum tentang Perizinan 1.
Pengertian Perizinan Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai perkenaan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki. Pengertian izin
menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
yaitu
pernyataan
mengabulkan atau persetujuan membolehkan. Sedangkan perizinan berarti hal pemberian izin.
113
Ibid., hal. 159
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah Menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengatur tingkah laku masyarakatnya. Apabila ada sesuatu yang dilarang dilakukan, maka dengan dikeluarkannya izin, penguasa memperkenankan orang yang memohon izin untuk melakukan tindaka yang sebelumnya dilarang tersebut. Utrecht mengatakan bahwa bilamana pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).114 Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan.115 Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari
penguasa
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
untuk
memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.116 Izin tidak sama dengan pembiaran. Kalau ada suatu aktifitas dari anggota masyarakat yang sebenarnya dilarang oleh peraturan perundangundangan yang berlaku, tetapi ternyata tidak dilakukan penindakan oleh aparatur yang berwenang, pembiaran seperti itu bukan berarti dizinkan.
114
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara (Suarabaya: Pustaka Tinta Mas, 1998):
hal. 187.
115 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 1, 2010): hal. 168 116 Bagir Manan, 1995, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Peraturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Dasar 1945, Makalah, tidak dipublikasikan, Jakarta, hal. 8.
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk dapat dikatakan izin harus ada keputusan yang konstitutif dari aparatur yang berwenang menerbitkan izin.117 Berdasarkan pemaparan mengenai definisi izin oleh para ahli di atas, maka terdapat kemiripan pendapat diantara mereka. Izin berkaitan dengan suatu larangan bertindak dari penguasa, namun larangan tersebut dapat disimpangi dengan adanya perkenan dari alat perlengkapan administrasi negara yang berwenang melalui suatu persetujuan yang memerlukan pemenuhan syarat-syarat tertentu dari pihak pemohon izin. Obyek dari pada perbuatan tersebut dilakukan di bawah pengawasan alat kelengkapan negara. Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuotan dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan.118 Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan
kepentingan
umum
yang
mengharuskan
adanya
pengawasan.119 2.
Tujuan Perizinan Izin
bertujuan
untuk
mengendalikan
kegiatan
masyarakat.
Sistemnya adalah bahwa undang-undang melarang suatu tindakan atau tindakan tertentu yang saling berhubungan, larangan ini dimaksudkan 117
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan Problem Dan Upaya Pembenahan ( Jakarta: Grasindo, 2009): hal. 8 118 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan…, op. cit, hal.168 119 Ibid
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara mutlak namun untuk dapat bertindak dan mengeluarkan izin, khususnya dengan menghubungkan peraturan-peraturan pada izin itu.120 Tujuan Perizinan antara lain adalah:121 a.
Keinginan mengarahkan/mengendalikan aktifitas-aktifitas tertentu (misalnya izin bangunan).
b.
Mencegah bahaya bagi lingkungan (misalnya izin lingkungan).
c.
Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (misalnya izin tebang, izin membongkar pada monumen-monumen).
d.
Hendak membagi benda-benda yang sedikit jumlahnya (izin penghuni di daerah padat penduduk).
e.
Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas-aktifitsnya (izin berdasarkan “drank en horecawet”, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).
3.
Unsur-unsur Perizinan Beberapa unsur yang termuat di dalam perizinan, antara lain: a.
Instrumen Yuridis Tugas kewenangan pemerintah dalam negara hukum modern adalah menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde), tidak kalah pentingnya
juga
adalah
mengupayakan
kesejahteraan
umum
(bestuurzorg).122 Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas penting dalam sebuah negara hukum. Dalam rangka melaksanakan tugas ini, pemerintah diberikan wewenang dalam sektor pengaturan. Melalui fungsi pengaturan ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi 120 M. Hadjon, et.all., Pengantar Hukum Administrasi Negara, ( Yogyakarta: Gajah Mada University Pers) : hal. 125 121 N.M Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M. Hadjon, (Srabaya: Yuridika, 1993): hal. 4-5 122 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2006): hal 211
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peristiwa individual dan konkret yang dituangkan dalam bentuk ketetapan (beschikking). Sesuai dengan sifatnya, ketetapan ini merupakan
ujung
tombak
dari
instrument
hukum
dalam
menyelenggarakan pemerintahan. b.
Peraturan Perundang-undangan Pemerintah dalam memperoleh wewenang untuk mengeluarkan izin adalah ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam perizinan tersebut. Akan tetapi dalam penerapannya, menurut Marcus Lukman, kewenangan pemerintah dalam sektor izin itu bersifat deskresionare power atau berupa kewenangan bebas, dalam arti pemerintah diberi kewenangan untuk mempertimbangkan atas dasar inisiatif sendiri hal-hal yang berkaitan dengan izin tersebut, misalnya tentang:123 1) Kondisi-kondisi yang memungkinkan suatu izin dapat diberikan kepada pemohon. 2) Hal mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut. 3) Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemerian atau penolakan permohonan izin dikaitkan dengan pembatasan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Prosedur yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan sesudah serta pada saat ketetapan izin diberikan baik penerimaan ataupun penolakannya.
c.
Organ Pemerintah Organ pemerintah adalah instansi yang berwenang menjalankan urusan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Menurut Sjahran Basah, dari penelusuran pelbagai ketentuan penyelenggaraan pemerintahan dapat diketahui mulai dari adminitrasi negara tertinggi
123
Ibid, hal. 213
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hingga yang terendah berwenang memberikan izin.124 Sedangkan menurut N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge, “keputusan yang memberikan izin harus diambil dari organ yang berwenang”.125 d.
Peristiwa konkret Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk ketetapan, yang digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan individual. Peristiwa konkret adalah peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu.126
e.
Prosedur dan Persyaratan Permohonan izin harus menempuh prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebagai pihak pemberi izin. Selain untuk menempuh prosedur yang telah ditetapkan pemerintah, pemohon izin harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah tersebut sebagai pemberi izin. Meskipun penentuan prosedur dan persyaratan secara sepihak oleh pemerintah, tidak dibenarkan
pemerintah
membuat
dan
menentukan
dengan
kehendaknya sendiri secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar izin tersebut. 4.
Bentuk dan Isi Izin Izin termasuk dalam kategori ketetapan (beschikking). Ketetapan dirumuskan sebagai perbuatan hukum administrasi negara sepihak yang dilakukan oleh pejabat atau instansi negara yang berwenang khusus untuk itu, dituangkan dalam bentuk tertulis berupa surat keputusan atau surat edara yang ditujukan kepada subyek yang bersangkutan (pemohon izin).
124
Ibid Ibid, hal, 214. 126 Ibid, hal. 215-216. 125
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara umum, izin memuat hal-hal sebagai berikut:127 a. Organ yang berwenang Dalam izin dinyatakan siapa yang berwenang memberikannya. Biasanya, terdapat pada kepala surat dan penanda tangannya. Pada umumnya, dalam sistem perizinan pembuat peraturan akan menunjuk organ yang berwenang. b. Subyek yang dialamatkan Izin ditujukan kepada pihak yang berkepentingan, yaitu subyek hukum yang terdiri dari perorangan maupun badan hukum. Ketetapan yang memuat izin akan dialamatkan kepada pihak pemohon izin tersebut. Izin diterbitkan setelah pemohon mengajukan permohonan dan tellah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang telah disebutkan. c. Diktum Diktum berupa uraian alasan izin tersebut diberikan dan akibat-akibat hukum yang lahir sesudahnya demi mewujudkan kepastian hukum. d. Ketentuan-ketentuan, pembatasan-pembatasan dan syarat-syarat Dalam keputusan izin terdapat ketentuan-ketentuan, pembatasanpembatasan dan syarat-syarat sebagaimana dengan keputusan lainnya. Ketentuan adalah kewajiban-kewajiban yang dapat dikaitkan pada keputusan yang menguntungkan apabila kewajiban tersebut dilanggar menimbulkan suatu pelanggaran. Pembatsan-pembatasan digunakan untuk membatasi waktu, tempat atau dengan cara lain seperti pada izin lingkungan yang dapat berlaku sampai pada jangka wamtu tertentu. Syarta-syarat dalam izin berupa syarat penghapusan dan syarat penangguhan dimana untuk mengantisipasi peristiwa yang terjadi di kemudian hari yang tidak pasti. e. Pemberian alasan (konsiderans) 127
N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge, op. cit, hal 11-15.
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemberian alasan dapat memuat hal-hal seperti penyebutan ketentuan undang-undang yang diterapkan, pertimbang-pertimbangan hukum, serta penetapan fakta-fakta sebagai acuan oleh organ yang berwenang terhadap aturan yang relevan. Dalam keadaan tertentu, organ yang berwenang dapat menggunakan data yang diperoleh dari pihak pemohon izin, selain menggunakan data yang diperoleh dari para ahli atau biro konsultan. f. Pemberitahuan tambahan Pemberitahuan tambahan adalah sejenis pertimbangan yang berlebihan, yang pada dasarnya terlepas dari dictum selaku inti ketetapan dan memuat tentang pengenaan sanksi akibat dari pelanggaran ketentuan yang termuat dalam izin atau peraturan perundangan tentang perizinan apabila dilanggar. 5.
Syarat Sah Perizinan Perizinan adalah merupakan suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah.Agar suatu ketetapan menjadi sah, maka harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: a.
Ketetapan harus dibuat oleh organ yang mempunyai kekuasaan untuk itu.
b.
Ketetapan tidak boleh mempunyai kekurangan yuridis.
c.
Ketetapan harus diberi bentuk yang ditetapkan di dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan cara membuat ketetapan itu, bilamana caranya ditetapkan dalam peraturan tersebut.
d.
Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi tujuan dasarnya.
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
G.
digilib.uns.ac.id
Kerangka Berpikir 1.
Bagan Untuk memudahkan alur pemikiran tesis ini disusun dengan bentuk bagan sebagai berikut: PASAL 18 ayat (2), 18A ayat (2) DAN PASAL 33 UUD 1945
UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
UU NO 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
OTONOMI SELUASLUASNYA
PASAL 38 AYAT (3) jo PASAL 50 AYAT (3) HURUF G UU NO 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
KEWENANGAN MENHUT MEMBERIKAN IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN UNTUK KEPERLUAN PERTAMBANGAN
KEWENANGAN PENGELOLAAN
KEWENANGAN PENGELOLAAN HUTAN KESESUAIAN
2.
Penjelasan Bagan Dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 diletakan dasar konstitusional tentang hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hubungan pemerintah pusat dan daerah, diantaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah. Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas: a.
Urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat
b.
Urusan yang dibagi antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan, yang selanjutnya dikenal adanya urusan pemerintah daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Adapun pembagian kewenangan untuk menyelesaikan urusan-
urusan pemerintahan di atas. Dalam hal inilah akan menentukan sejauh mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Pembagian wewenang tersebut di atas, secara umum diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut juga diatur dalam UU sektoral, namun pengaturan tersebut sering kali menimbulkan berbagai macam persoalan karena kurang tepat dalam pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Terjadi tumpang tindih dan tarik-menarik kewenangan, termasuk dalam masalah pengelolaan hutan dan pertambangan. Pemberlakuan otonomi daerah melalui UU Pemerintahan Daerah merupakan pengejawantahan dari Pasal 18 ayat 2 dan 18 A ayat 2 UUD 1945. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pasal 10 ayat (1) UU Pemerintahan
Daerah
menyebutkan,
“Pemerintahan
daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”. Lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah disebutkan, “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
Politik luar negeri;
commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b.
Pertahanan;
c.
Keamanan;
d.
Yustisi;
e.
Moneter dan fiskal nasional; dan
f.
Agama.” Dengan kata lain urusan pemerintahan selain sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, menjadi kewenangan daerah, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam, khususnya pengelolaan sumber daya hutan. Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan, dengan kata lain terdapat kewenangan Menteri Kehutanan untuk mengatur pengelolaan kawasan hutan jo Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) UU Kehutanan yang mengatur desentralisasi bidang kehutanan. Demikian hal nya dengan Pasal 18 dan 18A amandenen kedua UUD 1945, yang diejawantahkan dalam UU Pemerintahan Daerah
beserta
perubahannya,
juga
mensyarakatkan
desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk desentralisasi dalam pengelolaan kawasan hutan. Berdasarkan hal tersebut di atas terdapat permasalahan pokok bagaimana mensinkronkan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal pengelolaan kawasan hutan termasuk dalam kewenangan pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk keperluan pertambangan pada era otonomi daerah. Untuk itu menarik untuk dikaji kesesuaian Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g jo Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) UU Kehutanan dengan Pasal 18 ayat (2) dan 18A ayat (2) amandenem
kedua
UUD1945
sebagaimana
diejawantahkan
UU
Pemerintahan Daerah beserta perubahannya, serta kesesuaian dengan UU Minerba.
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
H.
digilib.uns.ac.id
Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penulisan tesis ini antara lain: 1. Penelitian yang berjudul Peranan Dinas Pertambangan dalam Pengelolaan Batu Bara terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur oleh Yusuf (Tesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada). Penelitian ini membahas implementasi kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur terkait peranan Dinas Pertambangan dalam pengelolaan tambang batu bara dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah. 2. Penelitian yang berjudul Pemberdayaan Hukum Pertambangan dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Daerah Studi Kasus Kabupaten Sanggau oleh Karmindanu (Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro). Penelitian ini membahas arah kebijakan pengelolaan pertambangan dalam rangka otonomi daerah di Kabupaten Sanggau dan sinkronisasi arah kebijakan pemerintahan dalam meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pertambangan. Kedua penelitian tesis di atas mempunyai kesamaan dengan penelitian yang dilakukan penulis dalam hal obyek penelitian, yaitu kebijakan pengelolaan pertambangan dalam rangka otonomi daerah. Namun, terdapat perbedaan fokus penelitian antara kedua penelitian tesis tersebut dengan penelitian penulis. Kedua penelitian
tersebut
di
atas
membahas
kebijakan
pengelolaan
pertambangan pada era otonomi daerah secara general, sedangkan penulis memfokuskan pada kebijkakan pengelolaan pertambangan pada era otonomi daerah khusus untuk kegiatan pertambangan yang berada di kawasan hutan. Selain itu kedua penelitian di atas merupakan penelitian empiris yang membahas implementasi kebijakan pertambangan pada era otonomi daerah dan pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan daerah, dengan mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat dan Kabupaten Pasir Kalimantan Timur. Sedangkan penelitian penulis merupakan penelitian hukum
commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
normatif (doktrinal) yang membahas sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah.
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN A.
Jenis Penelitian Menurut Setiono, metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu yang akan dicari.128 Di dalam penelitian hukum, metode yang digunakan tergantung pada konsep apa yang akan digunakan. Berdasarkan pandangan Soetandyo Wignjosoebroto dalam Setiono, mengemukakan ada 5 (lima) konsep hukum yaitu : 1.
Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal.
2.
Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional.
3.
Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law.
4.
Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial empirik.
5.
Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.129 Berdasarkan pengertian di atas, penulis menggunakan konsep hukum
yang kedua, yaitu hukum sebagai norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Menurut Soerjono Soekanto dan Srimamudji penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilaksanakan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka, penelitian ini disebut juga 128
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS, Surakarta, 2005, hal.19 129 Ibid
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian hukum kepustakaan. Untuk memahami adanya hubungan antara ilmu hukum dengan hukum positif perlu ditelaah terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.130 Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif yang dalam hal ini tentang sinkronisasi vertikal yaitu analisis Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan ditinjau dari Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) UU Kehutanan ditinjau dari Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dan sinkronisasi horizontal antara UU Kehutanan, UU Pemerintahan Daerah serta UU Minerba, terkait pasal-pasal yang berhubungan dengan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. B.
Sifat Penelitian Penelitian tesis ini merupakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif dan terapan, dimana penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum ini dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.131 Dalam penelitian ini penulis akan mengemukakan argumentasi dan konsep baru sebagai preskripsi dari masalah kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah.
C.
Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif khususnya: a.
Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
130
Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet. Kelima, 2010): hal. 13 131 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana, Cet. 2, 2010): hal.35
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undangundang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.132 Dalam penelitian hukum ini, terkait masalah kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah, penulis akan melakukan sinkronisasi horizontal antara UU Pemerintahan Daerah, UU Kehutanan dan UU Minerba. Dan terkait masalah konflik kewenangan dalam penerbitan izin kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah penulis akan melakukan sinkronisasi vertikal antara Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan dengan Pasal 18 ayat (2) dan 18 A ayat (2) UUD 1945. Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:133 -
Comprehencive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan yang lain secara logis. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum.
-
Sistematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierakis.
b.
Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
132
Peter Mahmud Marzuki, op. cit, hal.93 Johny Ibrahim , Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Banyumedia, 2010), hal. 303 133
commit to user 81
(Malang:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.134 Dalam penelitian hukum ini penulis akan meneliti konsep kewenangan, perizinan dan desentralisasi. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti akan merujuk prinsipprinsip hukum terkait konsep kewenangan, perizinan dan desentralisasi yang dikemukakan oleh para ahli hukum dan yang tertuang dalam doktrindoktrin hukum. D.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi berupa himpunan peraturan perundangundangan yang berlaku, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan topik penelitian. Mengacu pendapat Soerjono Soekanto dalam Setiono135
dalam
menggunakan data sekunder di sektor hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), terdiri dari (1) bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penelitian, (2) bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan (3) bahan hukum tertier, atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Sedangkan menurut Peter Mahmud136, sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat auturitatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 134
Ibid, hal. 95 Setiono, op. cit, hal. 19 136 Peter Mahmud Marzuki, op. cit, hal.141 135
commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan. Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan sumber-sumber penelitian yang terdiri dari: a.
Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkkait dengan penelitian ini, antara lain: -
Undang-undang Dasar 1945
-
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
-
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
-
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
-
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
-
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
-
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
-
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
-
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
b.
Bahan Hukum Sekunder, terdiri dari buku-buku literatur tentang kebijakan, otonomi daerah, teori perundang-undangan ataupun literatur lain yang terkait dengan penulisan tesis.
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
c.
digilib.uns.ac.id
Bahan Hukum Tertier, terdiri dari kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia.
E.
Teknik Pengumpulan Data Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian hukum normatif
maka
untuk
memperoleh
data
yang
mendukung,
kegiatan
pengumpulan data dalam penelitian hukum ini adalah dengan cara pengumpulan data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan halhal lain yang diteliti berhubungan dengan masalah yang diteliti. F.
Teknik Analisis Data Dalam penelitian hukum ini analisis menggunakan logika deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus. Analisis dilakukan dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan, kemudian dilakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan tersebut dengan melakukan penafsiran perundang-undangan, untuk kemudian ditarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut. Dalam penelitian hukum ini peraturan perundang-undangan yang penulis inventarisasi terdiri dari: a. Undang-undang Dasar 1945 b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah d. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 e. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan g. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. h. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. i. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Penafsiran
terhadap
undang-undang
yang
dipergunakan
dalam
penelitian ini adalah penafsiran sistematis. Penafsiran sistematis adalah beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa kesamaan anasir-anasir, atau bertujuan untuk mencapai objek yang sama, bahwa diantara peraturan hukum ternyata terdapat hubungan antara satu dengan yang lain. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri. Setiap peraturan hukum mempunyai tempat dalam suatu lapangan hukum tertentu, hal ini sebagai konsekuensi adanya interdependesi antara masing-masing gejala sosial dan bahwa hukum merupakan suatu gejala sosial.137
137
Purwoatmodjo Sihombing, Pengantar Ilmu Hukum (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1997): hal.171
commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
Hasil Penelitian 1.
Peraturan
Perundang-undangan
Sektor
Pertambangan
Terkait
Pertambangan di Kawasan Hutan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai Negara dan diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi selain minyak dan gas bumi juga terdapat mineral dan batubara yang merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan artinya apabila sumber daya alam tersebut telah diusahakan/tambang sumber daya alam tersebut tidak ada lagi/habis. Oleh karena itu pengelolaan/pengusahaan dimaksud harus
diteliti
dieksplorasi
baik
kualitas
maupun
kuantitas
serta
pemasarannya dan harus diperhatikan lingkungan dari pertambangan apakah akan menimbulkan bahaya atau tidak, hal ini dilakukan agar dapat memperoleh
manfaat
sebesar-besarnya
bagi
kemakmuran
rakyat
sebagaimana dikehendaki Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut di atas. Pada saat ini pengelolaan/pengusahaan pertambangan baru dapat dilakukan apabila kegiatan tersebut dinilai layak teknis, layak ekonomi dan layak lingkungan. Mengenai layak teknis dan layak ekonomi dilakukan instansi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan layak lingkungan dilakukan oleh instansi Lingkungan Hidup. Di sisi lain kegiatan pertambangan harus pula mendapat izin Menteri Kehutanan apabila wilayah kerja pertambangan tersebut berada di dalam kawasan hutan, kalau belum mendapat izin pinjam pakai baik untuk penelitian atau pertambangan berdasarkan UU Kehutanan, maka kegiatan tersebut merupakan tindak pidana (Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal
commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan). Kesimpulannya walaupun sudah mendapat kegiatan pertambangan tapi belum mendapat izin pinjam pakai kawasan dari kehutanan, maka usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan sepanjang wilayah kerja kegiatan pertambangan tersebut berada di kawasan hutan. Dengan berlakunya UU Minerba sebagai pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, ada beberapa perubahan mendasar, yaitu antara lain bahwa sebelum Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dalam penerbitan wilayah kerja Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus berada di dalam Wilayah Pertambangan (WP) yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. WP tersebut ditetapkan dalam rangka tata ruang nasional. Istilah penggunaan izin “Kuasa Pertambangan (KP)” menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), bentuk perizinannya berubah yaitu yang lama setiap tahapan mempunyai KP tersendiri, sedangkan yang baru terbagi dua, yaitu IUP eksplorasi yang terdiri dari kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi dan Studi Kelayakan, selanjutnya IUP produksi sendiri yang terdiri dari kegiatan konsttruksi, Pertambangan, Pengolahan dan Pemurnian, serta Pengangkutan Penjualan. Pertambangan adalah sebagian atau keseluruhan tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, pertambangan pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang. Kegiatan fisik untuk melakukan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan harus terlebih dahulu mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan, ketentuan di sektor kehutanan membatasi kegiatan pertambangan tersebut. Kawasan suaka alam tidak dibenarkan sama sekali untuk kegiatan pertambangan, yang dperbolehkan
commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah pada kawasan hutan produksi terbatas, sedangkan pada kawasan hutan lindung hanya boleh dilakukan dengan persyaratan tertentu, yaitu pertambangan tidak boleh tambang terbuka. 2.
Peraturan
Perundang-undangan
Sektor
Kehutanan
Terkait
Pertambangan di Kawasan Hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Atas dasar hak menguasai tersebut, selanjutnya negara (pemerintah) berwenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan. Untuk itu setiap kegiatan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan diberikan secara selektif dan terencana dalam satu perizinan oleh Menteri, termasuk dalam penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Atas dasar hal tersebut maka dalam ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan diatur penggunaan
kawasan hutan
untuk
kepentingan
pertambangan melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan, karena dengan mekanisme tersebut Pemerintah masih mempunyai
kewenangan
untuk
mengawasi
commit to user 88
dan
mengendalikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penggunaan kawasan hutan tersebut. Kawasan hutan yang dapat digunakan untuk kegiatan pertambangan adalah kawasan hutan produksi dan hutan lindung (Pasal 38 ayat (1), dimana pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka.(Pasal 38 ayat (4)). Sebagai tindak lanjut atas ketentuan tersebut, maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan kegiatan pertambangan termasuk dalam kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan. Mengenai izin pinjam pakai kawasan hutan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, yang mengatur:138 1.
Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Permohonan (diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 15).
2.
Kewajiban Pemegang Persetujuan Prinsip.
3.
Kewajiban Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 28).
4.
Larangan Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (diatur dalam Pasal 29).
5.
Hapusnya Persetujuan Prinsip/Izin Pinjam Pakai
6.
Jangka Waktu Persetujuan Prinsip Dan IPPKH.
138
Budi Ryanto, Reformasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Menuju Senergitas Kegiatan Sektor Pertambangan dan Kehutanan, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan , 2011): hal. 17-23
commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
7.
digilib.uns.ac.id
Dispensasi (diatur dalam Pasal 20). Dalam Permenhut P.18/Menhut-II/2011, diatur bahwa untuk
kegiatan pertambangan izin pinjam pakai terdiri dari izin pinjam pakai tahap eksplorasi dan eksploitasi produksi, atau dengan kata lain sejak tahap eksplorasi pengusaha tambang dalam melakukan kegiatannya di dalam kawasan hutan harus sudah memiliki izin pinjam pakai. Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan di dalam kawasan hutan lindung dilarang melakukan kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka. Incontrario dalam kawasan hutan lindung diperkenankan
melakukan
kegiatan
pertambangan
dengan
pola
pertambangan tertutup (bawah tanah). Ketentuan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan tertutup diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawsan Hutan Lindung Untuk Pertambangan Bawah Tanah. 3.
Peraturan
Perundang-undangan
Terkait
Pelaksanaan
Otonomi
Daerah di Sektor Pertambangan dan Kehutanan Otonomi daerah secara efektif dijalankan serentak di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 1 Januari 2001. Namun demikian, sejak kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 euforia reformasi sudah merebak di berbagai wilayah. Tuntutan reformasi yang begitu kuat didengungkan oleh berbagai kalangan masyarakat menuntut dihapuskannya sistem pemerintahan yang terpusat. Selama tahun 1998, berbagai tuntutan muncul dari pemerintah daerah diberbagai wilayah agar diberi kewenangan yang lebih besar dalam menangani berbagai urusan. Mereka juga menuntut bagian yang lebih besar dari hasil eksploitasi sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan yang ada di wilayah mereka. Pada saat yang sama, masyarakat setempat mulai melakukan klaim kepemilikan lahan dan
commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menuntut kompensasi dari perusahaan kayu atas kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh kegiatan logging. Walaupun dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah secara resmi sudah ditetapkan pada tahun 1999, namun pelaksanaannya baru dimulai secara efektif pada awal tahun 2001. Dibutuhkan waktu untuk menyiapkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, dan tatanan kelembagaan baik di pusat maupun daerah, termasuk diantaranya peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan otonomi daerah dan proses penyerahan kewenangan administrative dan pengaturan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemberlakuan otonomi daerah melalui UU Pemerintahan Daerah merupakan pengejawantahan dari Pasal 18 dan 18 A UUD 1945. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam UU Pemerintahan Daerah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan daerah diatur dalam pasal 10: (1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri;
commit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Berdasarkan ketentuan pasal 10 di atas, jelaslah bahwa sektor kehutanan tidak termasuk dalam urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam ayat (3) atau dengan kata lain telah didesentralisasikan. Berdasarkan penjelasan pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian Urusan Pemerintahan, sektor kehutanan termasuk di dalam urusan daerah yang bersifat pilihan. Pembagian urusan pemerintahan sektor kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah dirinci lebih lanjut sebagaimana
tercantum
dalam
lampiran
PP
Pembagian
Urusan
Pemerintahan huruf AA. Dalam
Undang-Undang
No.
41
Tahun
1999
pelaksanaan
desentralisai pengelolaan kawasan hutan dalam era otonomi daerah tertuang dalam pasal 66 yang menyatakan bahwa: (1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. (2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan dilaksanakannya meningkatkan
penyerahan efektivitas
kewenangan
pengurusan
tersebut
hutan
dan
adalah dalam
untuk rangka
pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang
commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi/ kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Dalam konteks undang-undang, desentralisasi atau pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan, tetap dibatasi oleh ketentuan pasal 2 ayat (4) dan (5) UU No. 32 Tahun 2004 yaitu yang menyangkut hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut lebih lanjut diatur dalam pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004 ayat: (1) Hubungan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a.
kewenangan
tanggung
jawab,
pemanfaatan,
pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian; b.
bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c.
penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan. Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa pengelolaan kawasan
hutan pada era otonomi daerah telah didesentralisasikan, akan tetapi dalam pengelolaan
dan
pemanfaatannya
tetap
memperhatikan
hubungan
koordinasi dan bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sama hal nya dengan sektor kehutanan, pertambangan juga termasuk dalam urusan pemerintahan pilihan yang di desentralisasikan. Pembagian urusan pemerintahan sektor pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah dirinci lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan huruf BB.
commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketentuan tentang pertambangan mineral dan batu bara diatur dalam UU Minerba. UU Minerba yang berlaku saat ini telah menganut prinsip desentralisasi dengan memberikan ruang bagi peran daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) dalam UU Minerba diatur dalam: Pasal 6: (1) Kewenangan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan dan mineral, antara lain adalah: a.
Penetapan kebijakan nasional;
b.
Pembuatan peraturan perundang-undangan;
c.
Penetapan standar nasioanal, pedoman, dan kriteria;
d.
Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batu bara nasional;
e.
Penetapan
WP
berkonsultasi
yang
dengan
dilakukan Dewan
setelah
Perwakilan
berkoordinasi Rakyat
dan
Republik
Indonesia; f.
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
g.
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi pertambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
h.
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
i.
Pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;
j.
Pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik;
k.
Penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan dan konservasi;
l.
Penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
m. Perumusan dan penetapan penerimaan Negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan dan mineral batu bara; n.
Pembinaan
dan
pengawasan
penyelenggaraan
pengelolaan
pertambangan mineral dan batu bara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah; o.
Pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di sektor pertambangan;
p.
Penginventarisasian, pendidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batu bara sebagai bahan penyusunan WUP dan WPN;
q.
Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batu bara serta informasi pertambangan pada tingkat nasional;
r.
Pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
reklamasi
lahan
pascatambang; s.
Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batu bara tingkat nasional;
t.
Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan
commit to user 95
perpustakaan.uns.ac.id
u.
digilib.uns.ac.id
Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Pasal 7 (1) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara, antara lain, adalah: a.
Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b.
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut lebih dari 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
c.
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha
pertambangan
operasi
produksi
yang
kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; d.
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha
pertambangan
operasi
produksi
yang
berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau dalam wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; e.
Penginvetarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batu bara sesuai dengan kewenangannya;
f.
Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batu bara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah propinsi;
g.
Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batu bara pada daerah/ wilayah provinsi;
commit to user 96
perpustakaan.uns.ac.id
h.
digilib.uns.ac.id
Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi;
i.
Pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha
pertambangan
dengan
memperhatikan
kelestarian
lingkungan; j.
Pengkoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya;
k.
Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan atau bupati/walikota;
l.
Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota;
m. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi dalam pasca tambang; dan n.
Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan pertambangan.
Pasal 8: (1) Kewenangan
pemerintah
kabupaten/kota
dalam
pengelolaan
pertambangan mineral dan batu bara, antara lain, adalah: a.
Pembuatan peraturan perundang-undang daerah;
b.
Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat , dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
c.
Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi
commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; d.
Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batu bara;
e.
Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batu bara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;
f.
Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batu bara pada wilayah kabupaten/kota;
g.
Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha
pertambangan
dengan
memperhatikan
kelestarian
lingkungan; h.
Pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
i.
Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan Gubernur;
j.
Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan Gubernur;
k.
Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang;
l.
Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6, 7, dan 8 tersebut di atas dapat dicermati bahwa kewenangan ekslusif pemerintah pusat hanya meliputi: a.
Penetapan kebijakan nasional.
b.
Pembuatan peraturan perundang-undangan.
commit to user 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c.
Penetapan standar, pedoman dan kriteria.
d.
Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batu bara nasional.
e.
Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan pemerintah daerah dan DPR. Selain kewenangan tersebut di atas, kewenangan pemerintah pusat
jika dibandingkan dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota mempunyai subtansi yang sama hanya berbeda dalam skala cakupan wilayah. Sebagai rincian dalam hal pembagian kewenangan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat pada table di bawah ini:139 Tabel 1 Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi serta Kabupaten/Kota Dalam Menerbitkan IUP No
Kewenangan Pusat
Kewenangan Provinsi
Kewenangan Kabupaten/Kota
1.
Pemberian IUP,
Pemberian IUP,
Pemberian IUP dan Izin
pembinaan,
pembinaan, penyelesaian
Pertambangan Rakyat
penyelesaian konflik
konflik masyarakat, dan
(IPR), pembinaan,
masyarakat, dan
pengawasan usaha
pengawasan usaha
pertambangan yang
pertambangan yang
berada pada lintas wilayah
berada pada lintas
kabupaten/kota dan atau
wilayah provinsi
wilayah laut 4 (empat) mil
dan/atau wilayah laut
sampai dengan 12 mil
penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota
lebih dari 12 (dua
dan atau wilayah laut
belas) mil dari garis
sampai dengan 4 mil
pantai 2.
139
Pemberian IUP,
Pemberian IUP,
Pemberian IUP dan IPR,
pembinaan,
pembinaan, penyelesaian
pembinaan, penyelesain
penyelesaian
konflik masyarakat dan
Adrian Sutedi, op. cit., hal. 138
commit to user 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konflik masyarakat,
pengawasan usaha
konflik masyarakat dan
dan pengawasan
pertambangan operasi
pengawasan usaha
usaha
produksi yang
pertambangan operasi
pertambangan yang
kegiatannya berada pada
lokasi
lintas wilayah
pertambangannya
kabupaten/kota dan atau
berada pada lintas
wilayah laut 4 (empat) mil
wilayah provinsi
sampai dengan 12 mil
kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 mil
dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai 3.
produksi yang
Pemberian IUP,
Pemberian IUP,
pembinaan,
pembinaan, penyelesaian
penyelesaian
konflik masyarakat dan
konflik masyarakat,
pengawasan usaha
dan pengawasan
pertambangan yang
usaha
berdampak lingkungan
pertambangan
langsung lintas wilayah
operasi produksi
kabupaten/kota atau
yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai
commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
B.
digilib.uns.ac.id
Pembahasan 1.
Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Kegiatan Pertambangan dalam Kawasan Hutan pada Era Otonomi Daerah Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah, selain tunduk dengan kebijakan pertambangan juga berkaitan erat dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk sektor di luar sektor kehutanan dan pembagian urusan pemerintahan di sektor kehutanan dan pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu untuk menghindari kekisruhan kegiatan pertambangan pada kawasan hutan yang disebabkan karena adanya pertentangan norma yang mengatur kegiatan tersebut, maka antar kebijakan tersebut harus sinkron dan bersinergi. Tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu sektor tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan sektor tertentu secara efisien dan efektif. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi, atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hieraki, maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua peraturan Perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horizontal. Norma hukum yang mengatur perizinan kegiatan pertambangan di kawasan hutan merupakan substansi yang harus disinkronkan guna mencegah
kekisruhan
kegiatan
pertambangan
di
kawasan
hutan.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pemerintah daerah berwenang menerbitkan IUP, namun untuk IUP yang wilayah kerjanya di kawasan hutan harus tetap memperoleh izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan. Ketentuan Pasal 38 ayat (3) yang mengatur kewenangan menteri kehutanan untuk memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
commit to user 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kegiatan pertambangan sering dipertentangkan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberi wewenang daerah mengurus rumah tangganya sendiri, diantaranya mengurus potensi sumber daya alam di daerahnya, termasuk sumber daya alam hutan dan bahan galian tambang. Untuk itu dalam tesis ini penulis akan mengsinkronkan secara vertikal dan horizontal peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur perizinan kegiatan penambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah. a. Sinkronisasi Vertikal Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan inti dari pelaksanaan desentralisasi pada era otonomi daerah. Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut dilakukan dengan tujuan terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di daerah. Seperti telah dijabarkan pada kajian teori di atas landasan konstitusional
pelaksanaan
otonomi
seluas-luasnya dimana
daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
adalah Pasal 18 ayat 2 UUD 1945,
sedangkan landasan konstitusional hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil adalah Pasal 18 A ayat 2 UUD 1945. Ketentuan tersebut lebih lanjut diejawantahkan dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sedangkan dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan adalah Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan. Kesesuaian kewenangan Menteri Kehutanan dalam
commit to user 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah, dapat dianalisa dengan mengsinkronkan dasar hukum kewenangan Menteri kehutanan tersebut dengan dasar hukum pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalam pembahasan ini penulis akan mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dimana daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan sebagai landasan kewenangan menteri kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Dan selanjutnya penulis akan mengsinkronkan ketentuan pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 sebagai konstitusional hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan jo Pasal 66 UU Kehutanan sebagai dasar pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat disampaikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
commit to user 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 2 Sinkronisasi Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dengan Substansi Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan UUD 1945
UU Kehutanan
Pasal
Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah
Pasal
18
kabupaten, dan kota mengatur dan
38
ayat
mengurus sendiri urusan pemerintahan
ayat
pertambangan
melalui
(2)
menurut asas otonomi dan tugas
(3)
pemberian
pinjam
pembantuan
Penggunaan
kawasan
hutan untuk kepentingan
pakai
izin
oleh
Menteri
dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu UU Pemerintahan Daerah
tertentu
serta
kelestarian hutan
Pasal
Urusan pemerintahan yang
10
menjadi urusan pemerintahan
ayat
sebagaimana dimaksud pada
(3)
ayat (1) meliputi:
Setiap Pasal
orang
melakukan
dilarang kegiatan
50
penyelidikan umum, atau
a. Politik luar negeri;
ayat
eksplorasi atau eksploitasi
b. Pertahanan;
(3)
bahan
c. Keamanan;
g dan
fiscal
nasional; dan f. Agama
Pasal
Dalam
(5)
pemerintahan yang menjadi
urusan
kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana
di
huruf kawasan hutan tanpa izin
d. Yustisi; e. Moneter
tambang
dimaksud
commit to user 104
menteri
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada ayat (3), Pemerintah dapat: a. Menyelenggarakan sendiri
sebagian
urusan pemerintahan; b. Melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan
kepada
Gubernur
sebagai
wakil
Pemerintah; atau c. Menugaskan sebagian urusan
pemerintahan
kepada
pemerintahan
daerah
dan
/
pemerintahan
atau desa
berdasarkan asas tugas pembantuan. Penjelasan UU Pemerintahan Daerah
Pasal 13 ayat (2)
. Yang dimaksud dengan urusan
pemerintahan
secara
nyata
ada
yang dalam
ketentuan ini sesuai kondisi, kekhasan dan potensi yang dimiliki
antara
pertambangan, pertanian,
lain
perikanan, perkebunan,
kehutanan, pariwisata Pasal 14 ayat (2)
Yang
dimaksud
urusan
pemerintahan
secara
nyata
ada
dengan yang dalam
ketentuan ini sesuai kondisi,
commit to user 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kekhasan dan potensi yang dimiliki
antara
pertambangan,
lain
perikanan,
pertanian,
perkebunan,
kehutanan, pariwisata. PP Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal 7 ayat (4)
Urusan pilihan sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(3)
meliputi: a. Kelautan dan perikanan; b. Pertanian; c. Kehutanan; d. Energi dan sumber daya mineral; e. Pariwisata; f. Industri; g. Perdagangan;dan h. Ketransmigrasian.
Lampiran
PP
Pembagian
Urusan
Pemerintahan Huruf
Kewenangan
pemerintah
AA
pusat dalam penatagunaan
angka
kawasan
7
penetapan norma, standar,
hutan
prosedur,
dan
penatagunaan hutan,
meliputi criteria kawasan
pelaksanaan
penetapan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik
menjadi
kawasan
hutan, pemberian perizinan penggunaan
dan
tukar-
commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menukar kawasan hutan.
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, oleh karena itu sistem hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh teori yang dikembangkan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dengan stufenbau theorie-nya atau jenis dan tata urutan (hieraki) peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Sebagaimana
telah
disebutkan
dalam
kajian
teori
bahwa
berdasarkan hieraki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut di atas, UUD 1945 jika dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky merupakan norma dasar atau norma fundamental Negara, sehingga peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya harus berpedoman dan mengacu pada UUD 1945. Dalam tingkatan hieraki peraturan perundang-undangan di Indonesia UUD 1945 menempati kedudukan paling atas, maka sudah semestinya norma hukum dalam UUD 1945 menjadi rujukan peraturan perundang-undangan di bawahnya, sehingga kondisi sebagaimana dimaksud Fuller bahwa, “suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan perundang-undangan yang bertentangan satu sama lain” dapat terwujud. Berdasarkan tabel sinkronisasi di atas terlihat Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan sebagai dasar hukum kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di sinkronkan dengan ketentuan Pasal 18
commit to user 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ayat 2 UUD 1945 sebagai dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah guna mengetahui apakah kewenangan menteri kehutanan tersebut telah sinkron atau selaras dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah karena berdasarkan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai norma hukum dasar yang mengatur otonomi daerah di Indonesia. Kewenangan menteri kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan merupakan perwujudan hak menguasai Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Sejalan dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat,
mengandung
jiwa
maka dan
penyelenggaraan
semangat
kehutanan
kerakyatan,
senantiasa
berkeadilan
dan
berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertangung-gugat Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maksud penguasaan hutan oleh Negara adalah memberi wewenang kepada pemerintah untuk:140 140
Salim HS, op. cit., hal. 12
commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; 2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan; 3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu,
Pemerintah
juga
mempunyai
wewenang untuk
memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di sektor kehutanan ataupun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan di dalam kawasan hutan. Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang bersifat penting dan strategis, maka perlu adanya ketentuan yang dapat mengakomidir kepentingan-kepentingan tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam ketentuan Pasal 38 UU Kehutanan diatur mengenai penggunaan kawasan hutan melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Filosofis pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar sector adalah agar pemerintah masih mempunyai kewenangan untuk mengawsai dan mengendalikan penggunaan kawasan hutan tersebut. Dalam Pasal 38 UU Kehutanan disebutkan: 1. Pengaturan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. 2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. 3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
commit to user 109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan pertambangan pola pertambangan terbuka. 5. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan. Pengaturan penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan lebih lanjut diatur dalam PP. 18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, PP 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Dalam PP 24 Tahun 2010, diatur mengenai kegiatan pembangunan di luar sector kehutanan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, termasuk di dalamnya adalah kegiatan pertambangan. Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan tersebut di atas memberi kepastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan di dalam kawasan hutan. Lebih lanjut dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan diatur bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum, atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa izin menteri. Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Pasal 18 ayat (2) merupakan landasan konstitusional pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjut ketentuan tersebut maka diterbitkan UU Pemerintahan Daerah, yang ditindaklanjuti dengan PP Pembagian Urusan Pemerintahan. Dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat hanya meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Dengan kata lain urusan pemerintahan di luar ke enam urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang dapat
commit to user 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di desentralisasikan. Dalam kajian teori di atas telah dijelaskan bahwa sektor kehutanan merupakan salah satu urusan pemerintahan yang dapat di desentralisasikan. Sektor kehutanan berdasarkan penjelasan pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian Urusan Pemerintahan, sektor kehutanan termasuk di dalam urusan daerah yang bersifat pilihan. Selanjutnya Pasal 10 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah diatur mengenai urusan pemerintahan
yang bersifat
concurrent. Urusan
pemerintahan yang bersifat concurrent adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut, pemerintah dalam melaksanakannya dapat berbentuk (1) menyelenggarakan sendiri; (2) melimpahkan sebagian kepada Gubernur (dekonsentrasi); dan (3) menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Atau dengan kata lain pemerintah diperbolehkan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain pemerintah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor kehutanan. Dalam huruf AA angka 7 Lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan telah diatur pembagian urusan pemerintahan sektor kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam lampiran tersebut diatur bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam penatagunaan kawasan hutan meliputi penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan. Seperti telah diuraikan pada kajian teori urusan pemerintahan yang bersifat concurrent dibagi berdasarkan criteria eksternalitas, akuntabilitas
commit to user 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan efisiensi dengan mempertimbangkan kesesuaian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Berdasarkan kriteria tersebut urusan pemerintahan sektor kehutanan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi dan apabila nasional menjadi kewenangan pemerintah. Pengelolaan
hutan
tidak
hanya
berbasiskan
pada
wilayah
administratif namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Dampak kerusakan hutan di suatu kabupaten atau provinsi tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di kabupaten atau provinsi tersebut tetapi juga dirasakan oleh keseluruhan masyarakat Indonesia bahkan turut dirasakan masyarakat internasional. Oleh karena itu, seyogyanya pengaturan izin penggunaan kawasan hutan berada di pemerintah pusat karena izin penggunaan kawasan hutan ini merupakan instrument pengendali pengelolaan hutan guna mencegah kerusakan hutan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 sebagai norma dasar yang mengatur pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Selanjutnya penulis akan membahas sinkronisasi kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan pada era otonomi daerah dengan pengaturan hubungan pemerintah pusat
commit to user 112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu penulis akan mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 A ayat 2 sebagai landasan konstitusional yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan sebagai dasar kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan serta ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan yang mengatur pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat digambarkan dalam table berikut ini: Tabel 3 Sinkronisasi Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 66 UU Kehutanan UUD 1945
UU Kehutanan
Pasal
Hubungan keuangan, pelayanan
18 A
umum,
ayat
daya
(2)
pemerintah pusat dan daerah
pemanfaatan alam
lainnya
Pasal
sumber
38
antara
ayat 3
Menteri
dengan batasan
luas dan jangka waktu tertentu
UU Pemerintahan Daerah Pemerintah
serta kelestarian hutan
daerah
dalam
(1) Dalam
menyelenggarakan urusan
melalui
mempertimbangkan
undang-undang
4
kepentingan
pertambangan oleh
adil dan selaras berdasarkan
2 ayat
untuk
pemberian izin pinjam pakai
diatur dan dilaksanakan secara
Pasal
Penggunaan kawasan hutan
Pasal
pemerintahan
memiliki
hubungan
dengan Pemerintah dan pemerintahan
daerah
lainnya
66
rangka
penyelenggaraan kehutanan,
Pemerintah
ayat
menyerahkan
(1),
kewenangan
(2), (3)
sebagian kepada
Pemerintah Daerah; (2) Pelaksanaan penyerahan sebagian
Hubungan sebagaimana
commit to user 113
kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal
dimaksud
2 ayat
meliputi
hubungan
ayat (1) bertujuan untuk
wewenang,
pelayanan
meningkatkan efektivitas
5
umum,
ayat
(4)
pemanfaatan
sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
sebagaimana
dimaksud
pengurusan hutan dalam rangka
pengembangan
otonomi daerah; (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
Hubungan sektor
dalam pemanfaatan
ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih
sumber daya alam dan
dengan
sumber daya lainnya
Pemerintah.
Pasal
antara pemerintah pusat
17
dan pemerintah daerah
ayat 1
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan (5) meliputi: a. Kewenangan tanggung
jawab,
pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian; b. Bagi
hasil
atas
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. Penyerasian lingkungan
dan
tata ruang serta
commit to user 114
dimaksud lanjut Peraturan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rehabilitasi lahan
Kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan dalam kawasan hutan oleh menteri kehutanan, tidak dapat diartikan sebagai upaya mengambil kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya alamnya, tapi lebih sebagai instrumen pengendalian dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan
hutan
tidak
hanya
berbasiskan
pada
wilayah
administratif, namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Keberadaan hutan tidak semata-mata untuk kepentingan penghasilan daerah dan kepentingan investasi dalam konteks pemanfaatan hutan, melainkan hutan harus mampu memberikan manfaat jasa lingkungan, dapat mencegah bencana, erosi dan tanah longsor serta dapat mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu diperlukan instrumen pengendalian dalam pengelolaan hutan berupa izin dan sanksi guna mencegah kerusakan hutan. Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatankegiatatan yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan izin adalah mengendalikan kegiatan masyarakat. Terkait izin pinjam pakai kawasan hutan yang diberikan oleh menteri kehutanan, maka izin pinjam pakai kawasan hutan ditempatkan pada posisi pengendalian dalam penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan. Dengan demikian, izin pinjam pakai tersebut bukan hanya sebagai sumber pendapatan hasil daerah maupun sumber pendapatan hasil Negara, tetapi betul-betul sebagai
commit to user 115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
instrument pengendalian agar hutan dapat berfungsi sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan. Dalam
Undang-Undang
No.
41
Tahun
1999
pelaksanaan
desentralisasi pengelolaan kawasan hutan dalam era otonomi daerah tertuang dalam pasal 66 yang menyatakan bahwa: (1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. (2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan dilaksanakannya meningkatkan
penyerahan efektivitas
kewenangan
pengurusan
tersebut
hutan
dan
adalah dalam
untuk rangka
pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi/ kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Dalam konteks undang-undang, desentralisasi atau pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan, tetap dibatasi oleh ketentuan pasal 2 ayat (4) dan (5) UU No. 32 Tahun 2004 yaitu yang menyangkut hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut lebih lanjut diatur dalam pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004 ayat:
commit to user 116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(1) Hubungan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. kewenangan
tanggung
jawab,
pemanfaatan,
pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian; b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan, dikaitkan dengan Pasal 66 UU Kehutanan yang mengatur penyerahan urusan atau wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah, maka apabila menteri kehutanan akan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, menteri tidak dapat berjalan sendiri, karena berkaitan dengan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan (5) jo Pasal 17 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah dan PP Pembagian Urusan Pemerintahan, oleh karena itu dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, menteri kehutanan juga harus memperhatikan rekomendasi kepala daerah yang menunjukan adanya hubungan yang adil dan selaras antara pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diejawantahkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) dan 5 jo Pasal 17 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) UU Kehutanan sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan
hutan
untuk
kegiatan
pertambangan
dan
pelaksanaan
desentralisasi sektor kehutanan tidak bertentangan dengan Pasal 18 A ayat 2 UUD 1945, sebagai dasar hukum yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah secara adil dan selaras.
commit to user 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sesuai stufenbau theory dimana aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Maka sesuai dengan hieraki peraturan perundangundangan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) sebagai landasan konstitusional pelaksanaan otonomi daerah dan ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) UU Kehutanan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 A UUD 1945, sebagai dasar hukum yang hubungan pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan telah sinkron dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah. b. Sinkronisasi Horizontal UU Kehutanan, UU Minerba dan UU Pemerintahan Daerah beserta peraturan pelaksananya, merupakan peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah. Oleh karena itu selain sinkronisasi vertical terkait eksistensi kewenangan menteri kehutanan dalam memberika izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan pada era otonomi daerah, maka terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah perlu juga dilakukan sinkronisasi horizontal. Sinkronisasi horizontal dapat dilakukan dengan menggunakan asas lex speciali derogate lex generale.
commit to user 118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam sinkronisasi horizontal, yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan substansi / sektor yang akan disinkronkan, dalam penelitian ini adalah kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah. Selanjutnya adalah memaparkan peraturan perundangundangan yang mengatur kegiatan tersebut, dalam hal ini adalah UU Minerba, UU Kehutanan dan UU Pemerintahan Daerah beserta peraturan pelaksananya. Sinkronisasi tersebut dapat disampaikan melalui tabel sebagai berikut:
commit to user 119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4 Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU Otonomi Daerah terkait Substansi Pertambangan di Kawasan Hutan UU Pertambangan
UU Kehutanan Pasal
Pasal
Kegiatan
134
usaha
ayat (2)
pertambangan
38
tidak
dapat
ayat 3
UU Pemerintahan Daerah
Penggunaan
Pasal
Urusan pemerintahan yang
kawasan
10
menjadi
untuk
ayat
pemerintahan
kepentingan
(3)
dimaksud
hutan
urusan sebagaimana
pada
ayat
dilaksanakan
pertambangan
meliputi:
pada
melalui
a. Politik luar negeri;
tempat
izin
b. Pertahanan;
pakai
c. Keamanan;
yang dilarang
pemberian
untuk
pinjam
melakukan
oleh
kegiatan usaha
dengan
pertambangan
mempertimbang
sesuai dengan
kan batasan luas
ketentuan
dan
peraturan
waktu
perundang-
serta kelestarian
Pasal
undangan
hutan
(5)
(1)
d. Yustisi;
Menteri
e. Moneter
dan
fiscal
nasional; dan f. Agama
jangka tertentu
Dalam pemerintahan menjadi
urusan yang kewenangan
Pemerintah di luar urusan Pasal 134 ayat (3)
Kegiatan
pemerintahan
usaha
sebagaimana
pertambangan
pada ayat (3), Pemerintah
sebagaimana
dapat:
dimaksud
commit to user 120
dimaksud
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Menyelenggarakan
pada ayat (2) dapat
sendiri
dilaksanakan
urusan pemerintahan;
setelah
sebagian
b. Melimpahkan sebagian
mendapat izin
urusan
pemerintahan
dari
kepada
Gubernur
pemerintah
sebagai
wakil
sesuai dengan
Pemerintah; atau
instansi
ketentuan
c. Menugaskan sebagian
peraturan
urusan
pemerintahan
perundang-
kepada
pemerintahan
undangan
daerah
dan
yang berlaku
pemerintahan
/
atau desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.
Penjelasan
UU
Pemerintahan Daerah Pasal
Yang
13
dengan
ayat 2
pemerintahan yang secara
dimaksud urusan nyata
ada
dalam ketentuan ini sesuai
kondisi,
kekhasan potensi
dan yang
dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian,
commit to user 121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perkebunan, kehutanan, pariwisata Yang
dimaksud
Pasal
dengan
urusan
14
pemerintahan yang
ayat
secara
(2)
dalam ketentuan ini
nyata
sesuai
ada
kondisi,
kekhasan
dan
potensi
yang
dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata PP Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal
Urusan
pilihan
7
sebagaimana
ayat
dimaksud pada ayat
(4)
(3) meliputi: a. Kelautan dan perikanan; b. Pertanian; c. Kehutanan; d. Energi sumber
dan daya
mineral; e. Pariwisata;
commit to user 122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Industri; g. Perdagangan; dan h. Ketransmigras ian. Lampiran Pembagian
PP Urusan
Pemerintahan Huruf
Kewenangan
AA
pemerintah
angka
pusat
7
penatagunaan
dalam
kawasan hutan meliputi penetapan norma, standar, prosedur, dan criteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi
hutan
serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan
commit to user 123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penggunaan dan
tukar-
menukar kawasan hutan.
1.
UU Pemerintahan Daerah Seperti sudah dipaparkan pada hasil penelitian, dalam UU
Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3) jo Pasal penjelasan pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian Urusan Pemerintahan di sebutkan bahwa urusan sektor kehutanan dan sektor pertambangan termasuk dalam urusan pemerintahan yang di desentralisasikan kepada daerah. Dimana rincian urusan sektor kehutanan yang didesentralisasikan tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan huruf AA, sedangkan rincian urusan sektor pertambangan yang didesentralisasikan tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan huruf BB. 2.
UU Minerba Dalam UU Minerba desentralisasi sektor pertambangan tercermin
dari Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam mengelolan pertambangan. Dalam Pasal tersebut diatur bahwa pemerintah daerah juga mempunyai kewenangan untuk menerbitkan IUP. Terkait dengan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan UU Minerba mengatur apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari instansi terkait (Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba). Termasuk dalam ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada dalam kawasan
commit to user 124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hutan. Selain itu dalam PP 23 Tahun 2010 sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 2, penjelasan tentang status lahan calon lokasi pertambangan (berada di kawasan hutan atau bukan) wajib disampaikan kepada pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Petambangan (WIUP). 3.
UU Kehutanan Dalam UU Kehutanan sendiri desentralisasi sektor kehutanan diatur
dalam Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3), yang menyebutkan tujuan dilaksanakannya meningkatkan
penyerahan efektivitas
kewenangan
pengurusan
tersebut
hutan
dan
adalah dalam
untuk rangka
pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi/ kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, mensyaratkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan harus melalui izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan. Dalam UU Minerba diatur di lokasi yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan harus memperoleh izin dari instansi terkait. Terkait dengan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan secara khusus diatur dalam Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, dimana kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan harus memperoleh izin penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Jadi dapat dikatakan bahwa UU Kehutanan merupakan aturan lex specialis yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan. Oleh karenanya norma hukum yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan.
commit to user 125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut di atas, terkait kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah, diketahui bahwa: 1.
Pemerintah Daerah berwenang menerbitkan IUP.
2.
Kegiatan pertambangan di lokasi yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari instansi terkait.
3.
Kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan meskipun telah memperoleh IUP dari kepala daerah tetap memerlukan izin penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa,
ketentuan UU Minerba Pasal 134 ayat (2) dan (3) telah sinkron dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan. Sedangkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU Minerba yang mengatur kewenangan daerah untuk menerbitkan IUP dalam pelaksanaannya harus tunduk pada ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, artinya untuk IUP yang lokasinya berada dalam kawasan hutan tetap harus memerlukan izin penggunaan kawasan dari menteri kehutanan. d. Sinergitas Dalam prakteknya kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan masih menuai banyak persoalan. Hal ini disebabkan kebijakan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan hanya bersifat sektoral. Sebagai contoh Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, mensyaratkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan harus melalui izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba yang mensyaratkan izin instansi pemerintah untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan di tempat yang dilarang untuk
commit to user 126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melakukan kegiatan pertambangan, termasuk di dalamnya izin menteri kehutanan untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan hutan. Namun UU Minerba lebih lanjut tidak menyebutkan tentang keharusan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon areal tambang bersinggungan dengan kawasan hutan. Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, juga tidak menyebutkan perlunya rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam penerbitan izin pertambangan yang areal kerjanya di dalam kawasan hutan. Tidak adanya aturan yang mensyaratkan penerbitan Izin Usaha Pertambangan yang arealnya berada dalam kawasan hutan, harus berkoordinasi dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan, membuat Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di daerah sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin pertambangan yang berada di dalam kawasan hutan. Tidak adanya koordinasi dan rekomendasi tersebut menyebabkan meskipun penjelasan tentang status lahan calon lokasi pertambangan (berada di kawasan hutan atau bukan) wajib disampaikan kepada pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Petambangan (WIUP) sebagaimana diatur dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 ayat 2, namun jika proses penerbitan IUP oleh gubernur/bupati tidak melibatkan UPT Kehutanan ada kemungkinan informasi status lahan tersebut tidak sesuai dengan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang menjadi acuan status kawasan hutan dan bukan hutan. Hal ini dapat menyebabkan kerancuan apakah calon lokasi pertambangan tersebut berada dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan. Selain itu tidak adanya aturan yang mensyaratkan penerbitan Izin Usaha Pertambangan yang arealnya berada dalam kawasan hutan, harus berkoordinasi dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan, menyebabkan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang
commit to user 127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lokasinya berada dalam kawasan hutan diterbitkan pemerintah daerah tanpa adanya tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaanperusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan yang areal kerjanya berada dalam kawasan hutan. Disamping itu belum adanya aturan yang mengharuskan penerbitan IUP yang lokasinya berada dalam kawasan hutan harus mencantumkan klausul bahwa kegiatan pertambangan baru bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan menyebabkan banyak Kepala Daerah dalam menerbitkan IUP tidak mencantumkan klausul tersebut. Hal-hal tersebut di atas menyebabkan makin maraknya perusahaan tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Banyak pengusaha tambang yang langsung beroperasi di dalam kawasan hutan setelah mendapatkan izin eksplorasi tanpa adanya izin pinjam pakai kawasan hutan. Kegiatan penyelidikan umum merupakan tahap awal untuk menentukan titik eksploitasi (pit). Penyelidikan umum sebagai bagian dari tahap eksplorasi dapat dimulai setelah terbit IUP Eksplorasi, sementara tahap eksploitasi dapat dimulai setelah terbit IUP Operasi Produksi. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, pertambangan pengolahan dan pemurnian, serta pengangkatan dan penjualan (Pasal 36 UU Minerba). Biasanya pengusaha tambang tidak ingin membuang-buang waktu, begitu izin ekplorasi dari bupati diterbitkan, perusahaan langsung melakukan pengeboran di titik-titik eksplorasi yang dapat dimulai setelah izin pinjam pakai kawasan diterbitkan oleh Menteri Kehutanan. Kisruh kawasan sering mencuat karena para pengusaha mengartikan operasi pertambangan bisa dimulai sejak IUP terbit. Seharusnya, operasi pertambangan di dalam kawasan hutan (Hutan Lindung atau Hutan
commit to user 128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Produksi) baru bisa dimulai setelah terbit izin pinjam pakai kawasan, meski benar, aktivitas di luar kawasan dapat dimulai sejak terbitnya IUP.141 2.
Upaya-Upaya
Untuk
Menyinergiskan
Peraturan
Perundang-
Undangan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan a.
Keterpaduan Visi dan Misi Permasalahan yang sering timbul dalam pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan adalah adanya tumpang tindih kegiatan pertambangan dengan kegiatan pengelolaan kawasan hutan. Kebijakan
sektor
kehutanan
sering
dituding
menjadi
faktor
penghambat investor pertambangan di kawasan hutan. Sebaliknya, kegiatan pertambangan di kawasan hutan dituding sebagai penyebab kerusakan hutan karena kegiatan pertambangan di kawasan hutan akan merusak ekosistem hutan. Untuk itu perlu keterpaduan visi dan misi dalam pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan agar kegiatan pertambangan di kawasan hutan dapat terus berlangsung, namun kelestarian hutan juga dapat tetap terjaga. Landasan konstitusional pengelolaan kawasan hutan dan bahan galian tambang adalah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Di dalam Pasal tersebut dirumuskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut, mengandung roh yang menegaskan, bahwa kekayaan alam yang terdapat di wilayah hukum Indonesia harus dipergunakan “hanya dan hanya” untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.142 141
Sri Sultarini Rahayu (Auditor pada Inpektorat IV Kementerian Kehutanan), Ketika Izin Usaha Perkebunan (IUP) Bersinggungan Dengan Kawasan Hutan, hal.4 142 Nandang Sudrajat, op. cit., hal.15
commit to user 129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lebih lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021022/PUUI/2003 menyatakan penguasaan Negara berarti bahwa Negara berwenang untuk mengurus, mengatur, mengelola serta mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Pengurusan, pengaturan serta pengelolaan kekayaan alam tersebut harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konstitusi, yaitu: 1. Prinsip untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat; 2. Dasar demokrasi dengan ekonomi dengan prinsip: a.
Kebersamaan;
b.
Efisiensi berkeadilan;
c.
Berkelanjutan;
d.
Berwawasan lingkungan;
e.
Kemandirian;
f.
Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Kedua ketentuan tersebut diatas mengamanatkan agar Negara
mengelola sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan dan bahan galian tambang, secara bijaksana untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu visi misi pengelolaan kawasan hutan dan bahan galian tambang harus berorientasi untuk mencapai kemakmuran rakyat. Dengan demikian tumpang tindih kepentingan antara sektor kehutanan dan pertambangan harus dihindari, sebaliknya harus saling bersinergi agar dapat memanfaatkan sumber daya hutan dan bahan galian tambang secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut di atas perlu adanya kerjasama antara Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk merumuskan pola-pola teknis pengelolaan terpadu kegiatan pertambangan dengan kegiatan pengelolaan kawasan hutan.
commit to user 130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kegiatan pertambangan di kawasan hutan seyogyanya dilakukan dengan teknis ramah lingkungan yang tetap menjaga kelestarian hutan. Adanya pengelolaan kawasan hutan dan pertambangan yang terpadu dan bersinergi dalam satu sistem diharapkan dapat memperoleh hasil yang optimal guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu keterpaduan visi dan misi sector kehutanan dan pertambangan sangat diperlukan sebagai pedoman penyusunan peraturan perundangundangan yang komprehensif di sektor kehutanan dan pertambangan yang mampu mengoptimalkan pengembangan sektor kehutanan dan pertambangan, tetapi juga ramah terhadap lingkungan. b. Penyempurnaan
Peraturan
Perundang-Undangan
Terkait
Kegiatan Pertambangan Di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah Seperti telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, maka untuk mewujudkan visi misi pengelolaan kawasan hutan dan bahan galian tambang yang berorientasi untuk mencapai kemakmuran rakyat diperlukan
peraturan
perundang-undangan
terkait
kegiatan
pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah yang sinkron dan bersinergis satu sama lain. Peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah yang ada saat ini meskipun telah sinkron, namun belum bersinergis satu sama lain. Sehingga belum ada keterpaduan dan koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah, terutama dalam hal penerbitan IUP yang berada di kawasan hutan. Untuk itu perlu penyempurnaan peraturan perundang-undangan tersebut, agar visi misi pengelolaan kawasan hutan dan pertambangan dapat mencapai hasil yang optimal.
commit to user 131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan meliputi meliputi peraturan perundang-undangan di bidan kehutanan, yaitu UU Kehutanan dan peraturan pelaksananya, peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan, yaitu UU Minerba dan peraturan pelaksananya dan peraturan perundangundangan terkait otonomi daerah, yaitu UU Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksananya. Ketiga sektor peraturan perundang-undangan tersebut masih bersifat ego sektoral, sehingga tidak terjadi koordinasi dalam pengaturan kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah. UU Minerba (Pasal 134 ayat (2) dan (3) dan PP Minerba (Pasal 14 ayat 2) meskipun telah mensyaratkan untuk IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan harus ada izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan dari menteri kehutanan, namun tidak menyaratkan perlunya berkoordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP tersebut. Perundangundangan sector kehutanan yang ada saat ini dinilai masih terasa bernuansa command and control. Sehingga dianggap tidak memacu dunia investasi dan tidak pro poor.143 Demikian pula Perda-Perda yang dikeluarkan daerah lebih mengarah pada eksploitasi sumber daya alam untuk peningkatan pendapatan asli daerah daripada pelestarian sumber daya alam itu sendiri. Untuk itu maka perlu penyempurnaan ketiga sektor peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam PP Minerba seyogyanya dimasukan ketentuan yang mengatur perlunya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam proses penerbitan IUP yang areal kerjanya berada di kawasan hutan. Dengan dilibatkannya kementerian kehutanan dalam proses penerbitan 143
Budi Riyanto, Reformasi Kebijakan…..,op. cit., hal. 49
commit to user 132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan diharapkan tumpang tindih lahan pertambangan dan kawasan hutan dapat dihindari. Dengan adanya koordinasi kementerian kehutanan dapat segera mengetahui bahwa di areal hutan tertentu telah diterbitkan IUP, hal ini akan memudahkan
aparat
kehutanan
dalam
mengawasi
kegiatan
pertambangan di kawasan hutan, sehingga kegiatan pertambangan illegal dapat diminimalisir. Penyempurnaan
peraturan
perundang-undangan
sektor
kehutanan dapat dilakukan dengan penyempurnaan-penyempurnaan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan yang mengarah kepada good forestry government yang berjiwa pro investasi, pro poor dan pro job.144 Untuk itu perlu diatur ketentuan insentif dan disinsentif dalam peraturan perundang-undangan kehutanan guna memacu dunia usaha.145 Terkait dengan kegiatan pertambangan di kawasan hutan maka perlu adanya peraturan yang mengatur insentif bagi para pengusaha tambang yang melakukan kegiatan pertambangang di kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Insentif tersebut dapat berupa kemudahan dalam proses pengurusan dan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, seyogyanya perda-perda
yang diterbitkan
pemerintah daerah tidak hanya
berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam untuk peningkatan pendapatan asli daerah, tetapi juga harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam tersebut. Perda-perda yang dikeluarkan hendaknya tidak hanya mengatur masalah pemberian izin pengelolaan sumber daya alam dan tarif atas pemanfaatan sumber daya alam tersebut, tetapi 144 145
Ibid Ibid, hal. 50
commit to user 133
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga harus mengatur upaya-upaya rehabilitasi sumber daya alam tersebut. Terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan, perlu adanya perda yang mengatur bahwa dalam penerbitan IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan oleh Kepala Daerah, maka IUP tersebut harus mencantumkan klausul “kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan baru dapat dilakukan setelah ada izin pinjam pakai menteri kehutanan” serta dalam IUP tersebut mencantumkan tembusan kepada menteri kehutanan.
commit to user 134
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP A.
Simpulan 1.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron baik secara vertikal dan horizontal. Namun peraturan-peraturan tersebut belum sinergis satu dengan yang lainnya, karena peraturan-peraturan tersebut masih bersifat sektoral sehingga belum terpadu satu dengan yang lainnya. a. Secara vertikal Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) sebagai landasan konstitusional pelaksanaan otonomi daerah dan ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) UU Kehutanan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 A UUD 1945, sebagai dasar hukum yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah. b. Secara horizontal norma hukum yang mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam Pasal 38 ayat (3), Pasal 50 ayat (3), dan Pasal 66 UU Kehutanan, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba, dan Pasal 10 ayat (1) (2) dan (3) UU Pemerintahan Daerah juga telah sinkron satu dengan yang lain. Namun peraturan perundangan-perundangan tersebut belum bersinergis satu dengan yang lain. Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba meskipun telah mensyaratkan adanya izin menteri kehutanan untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan, namun tidak mengatur perlunya koordinasi dan rekomendasi menteri kehutanan dalam penerbitan IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan. Sehingga pemerintah
daerah
dalam
penerbitan
commit to user 135
IUP
ada
yang
tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mencantumkan klausul “kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan baru dapat dilakukan setelah ada izin pinjam pakai menteri kehutanan” serta dalam IUP tersebut tidak mencantumkan tembusan kepada menteri kehutanan. 2.
Upaya-upaya untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan dapat dilakukan dengan cara: a.
Keterpaduan visi dan misi sektor kehutanan dan pertambangan yaitu pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan dilakukan dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dan pertambangan yang mengatur pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan haruslah berorientasi pada upaya optimal untuk mencapai kemakmuran rakyat. keterpaduan visi dan misi sector kehutanan dan pertambangan sangat diperlukan sebagai pedoman penyusunan peraturan perundangundangan yang komprehensif di sektor kehutanan dan pertambangan yang mampu mengoptimalkan pengembangan sektor kehutanan dan pertambangan, tetapi juga ramah terhadap lingkungan.
b.
Penyempurnaan peraturan
perundang-undangan terkait kegiatan
pertambangan di kawasan hutan yang meliputi peraturan perundangundangan di sektor kehutanan, pertambangan dan otonomi daerah, dengan cara merubah peraturan yang sudah ada dan membuat peraturan hukum yang baru yang bersifat lintas sektoral dan bersinergis satu sama lain, sehingga terjadi koordinasi dalam pengaturan kegiatan pertamabangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah.
commit to user 136
perpustakaan.uns.ac.id
B.
digilib.uns.ac.id
Implikasi 1.
Maraknya kegiatan pertambangan illegal di kawasan hutan karena banyak pengusaha sektor pertambangan setelah memperoleh IUP dari kepala daerah langsung melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan tanpa mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan.
2.
Adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerbitan IUP yang areal kerjanya berada di kawasan hutan.
C.
Saran 1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah haruslah lintas sektoral, sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi antar instansi terkait dalam menerbitkan perizinan terkait kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan. 2. Penyempurnaan
peraturan
perundang-undangan
terkait
kegiatan
pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah: a. PP Minerba perlu menambahkan ketentuan yang mensyaratkan adanya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP yang berada dalam kawasan hutan. b. Perlu adanya perda pedoman penerbitan IUP yang mengatur bahwa dalam penerbitan IUP yang lokasinya berada dalam kawasan hutan diwajibkan untuk mencantumkan klausul bahwa untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan baru bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan. c. Perlu adanya peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan yang mengatur insentif bagi pengusaha tambang yang melakukan kegiatan pertambangan
di
kawasan
hutan
perundang-undangan yang berlaku.
commit to user 137
sesuai
ketentuan
peraturan