Artikel Penelitian
Sifilis Kongenital, Kembali Mengintai Setelah Lama Tertidur
Fiva Aprilia Kadi, Sjarief Hidajat Effendi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung
Abstrak Pendahuluan: Sifilis kongenital adalah penyakit yang ditemukan kembali setelah lama menghilang. Penyakit menular ini disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang menginfeksi manusia secara kronik dan sistemik. Sifilis kongenital ditularkan oleh ibu ke janin secara intrauterin. Dilaporkan seorang bayi perempuan berusia 3 jam dirujuk ke RS Hasan Sadikin, Bandung dengan sesak napas yang semakin memberat dan bercak kemerahan mengelupas pada telapak tangan, lengan, dan tungkai bawah. Pasien lahir spontan dari ibu G3P2A0, sesuai untuk usia kehamilan, dengan skor Apgar 4 dan 6. Dasar diagnosis sifilis kongenital pada pasien ini adalah didapatinya hasil reaktif pada pemeriksaan VDRL dan TPHA. Kesimpulan: Pasien mengalami pneumonia dengan sepsis awitan dini, sifilis kongenital, herpes simpleks neonatal, toksoplasmosis kongenital, dan hambatan pertumbuhan intrauterin sehingga lahir kecil masa kehamilan. Kesulitan yang ditemui dokter adalah kondisi klinis kurang stabil, banyaknya pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan, obat yang sulit diperoleh, dan status sosioekonomi keluarga pasien. J Indon Med Assoc. 2012;62:379-85. Kata kunci: sifilis kongenital, TPHA, VDRL
Korespondensi: Fiva Aprilia Kadi, Divisi Neurologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung Jl. Pasteur No. 38
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012
379
Sifilis Kongenital, Kembali Mengintai Setelah Lama Tertidur
Case Report Coming Back After a Long Sleep: Congenital Syphillis as Re-emerging Disease Fiva Aprilia Kadi, Sjarief Hidajat Effendi Department of Pediatric Health, Faculty of Medicine Universitas Padjajaran/ Hasan Sadikin Hospital, Bandung
Abstract Introduction: Congenital syphilis is one of re-emerging diseases (diseases that were long gone and then came back). Syphilis is an infectious disease caused by Treponema pallidum that infects humans chronically and systemically. Congenital syphilis can be transmitted intrauterine from mother to fetus. A 3-hour-old baby girl was referred to Hasan Sadikin Hospital, Bandung with progressive dyspneu and patches of redness and blisters on the palms of the hands, arms and lower limbs. She was born spontaneously to a G3P2A0 mother, appropriate for gestational age, with APGAR score of 4 and 6. Diagnosis was confirmed by obtaining reactive VDRL and TPHA results from the patient and her parents. Conclusion: The 3 hours old baby girl was diagnosed with pneumonia and early-onset sepsis, congenital syphilis, neonatal herpes simplex, congenital toxoplasmosis, and intrauterine growth retardation. Doctors met a number of challenges including unstable clinical condition, numerous examinations to perform, rare medication, and family’s socioeconomic status. J Indon Med Assoc. 2012;62:379-85. Keywords: Congenital syphilis, TPHA, VDRL
Pendahuluan Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Treponema pallidum yang menyerang manusia. Penyakit ini bersifat kronik, sistemik, dapat mengenai semua bagian tubuh, dapat bersifat laten selama bertahun-tahun, dan menular. Kabar baiknya, penyakit ini dapat diobati. Sifilis kongenital ditularkan oleh ibu kepada janinnya secara intrauterin. Sifilis kongenital dini merupakan gejala sifilis yang muncul pada dua tahun pertama kehidupan anak. Jika muncul setelah dua tahun pertama kehidupan anak, penyakit disebut sifilis kongenital lanjut. Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangat bervariasi, mengenai berbagai organ, dan menyerupai sifilis stadium II. Infeksi pada janin terjadi melalui aliran darah sehingga tidak dijumpai kelainan sifilis primer.1 Bayi dapat tampak lahir sehat dan baru menunjukkan kelainan setelah beberapa minggu, tetapi dapat pula menunjukkan kelainan sejak lahir seperti pada penderita ini.1 Sifilis merupakan reemerging disease (penyakit yang sudah lama hilang kemudian muncul kembali). Angka kejadian di seluruh dunia diperkirakan sekitar setengah juta bayi baru lahir setiap tahunnya.2 Respiratory distress pada bayi baru lahir menyebabkan angka kematian dan kesakitan yang tinggi. Pneumonia merupakan penyebab terbanyak respiratory distress pada neonatus. Pneumonia awitan dini dan pneumonia intrauterin ditemukan pada sekitar 10-38% autopsi bayi lahir mati dan 20-63% bayi lahir hidup yang kemudian meninggal dunia saat periode neonatus.3 Keterlambatan pengobatan akan memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan 380
kematian. Sebaliknya, penanganan yang berlebihan akan meningkatkan penggunaan antibiotik dan lama rawat inap.4 Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang diperberat dengan sepsis dan infeksi kongenital memiliki prognosis kurang baik karena tingginya angka kematian serta gejala sisa yang mengganggu tumbuh kembang bayi.4 Laporan Kasus Seorang bayi perempuan berusia 3 jam dibawa ke emergensi anak RS Hasan Sadikin (RSHS), Bandung dengan keluhan utama sesak nafas. Sejak lahir, penderita mengalami sesak napas yang semakin bertambah tanpa kebiruan di sekitar mulut. Ditemukan pula bercak kemerahan dan kulit melepuh pada kedua telapak tangan, lengan, serta tungkai bawah. Kejang maupun penurunan kesadaran disangkal. Penderita diberi oksigen oleh bidan penolong kemudian dirujuk
Gambar 1. Keadaan Umum Penderita di Ruang Emergensi
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012
Sifilis Kongenital, Kembali Mengintai Setelah Lama Tertidur Penderita lahir dari ibu P3A0 hamil cukup bulan, spontan, ditolong bidan, skor Apgar 4/6. Ketuban pecah dua menit sebelum bayi lahir dan berwarna kehijauan. Satu bulan sebelum melahirkan, ibu penderita mengalami demam disertai batuk dan pilek selama satu minggu. Ia diberi obat penurun panas dan vitamin dari puskesmas. Sejak usia kehamilan dua bulan, kemaluannya mengeluarkan cairan berwarna kekuningan dan berbau. Kulit di sekitar kemaluan terasa gatal. Ibu penderita tidak berobat untuk keluhan ini. Ibu menjalani antenatal care di bidan sebanyak delapan kali selama kehamilan, tidak pernah merokok, dan tidak minum alkohol. Penambahan berat badan ibu sembilan kilogram. Hari pertama haid terakhir adalah 1 Mei 2011 dan taksiran kelahiran jatuh pada 8 Februari 2012. Sebelum melahirkan pasien, orang tua telah memiliki anak yang saat ini berusia 11 tahun dan 8 tahun dengan riwayat persalinan normal dan keadaan sehat. Selama mengandung pasien, ibu penderita bekerja sebagai pembantu rumah tangga selama 16 jam sehari sampai usia kehamilan delapan bulan. Ayah pasien adalah seorang buruh bangunan dengan riwayat sering berganti pasangan seksual dan terkadang minum minuman keras sebelum menikah. Riwayat konsumsi obatobatan terlarang maupun pemasangan tato disangkal. Saat datang di emergensi RSHS, penderita didiagnosis dengan pneumonia dengan sepsis awitan dini, suspek sifilis kongenital, bayi cukup bulan (38 minggu), kecil masa kehamilan, intrauterine growth retardation, bayi berat lahir rendah, hipoglikemia, dan trombositopenia. Antropometri menunjukkan berat badan lahir 2000 gram, panjang badan lahir 44 cm, lingkar kepala 30 cm, dan lingkar perut 27 cm. New Ballard Score (NBS) sebesar 35, setara dengan usia kehamilan 38 minggu. Penderita tampak letargis, sesak (skor Dawne 3), saturasi oksigen perifer 94%, dan ikterik. Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan kepala, kelamin, dan anus. Didapati petekie pada daerah toraks dan abdomen serta bercak kemerahan berupa lesi multipel diskret berbentuk bulat dan tidak teratur berukuran 0,5 cm-1 cm x 0,1 cm-0,8 cm, berbatas tegas, sebagian menimbul, sebagian kering, berupa bula berdinding kendur, pustul, makula, dan eritema pada telapak tangan, lengan, dan tungkai bawah.
Gambar 2. Lesi Pada Telapak Tangan Dan Telapak Kaki
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012
Didapati pula hepatosplenomegali dengan refleks Moro, hisap, genggam, dan rooting yang lemah. Pemeriksaan laboratorium darah: Hb 14,8 g/dL, hematokritt 43%, leukosit 10.900/mm3, trombosit 56.000/mm3, natrium 137 mEq/L, kalium 4,7 mEq/L, kalsium 5,17 mg/L, gula darah sewaktu (GDS) 20 mg/dL, dan hitung jenis basofil 0, eosinofil 3, batang 2, segmen 36, limfosit 57, dan monosit 2. Morfologi darah tepi seri eritrosit menunjukkan adanya polikromasi anisopoikilositosis. Seri leukosit tidak menunjukkan adanya kelainan morfologi. Pada seri trombosit didapati jumlah kurang dan ditemukan giant thrombocyte. Kultur resistansi darah dan pus sudah dilakukan, tetapi hasil baru akan didapatkan setelah beberapa hari. Pada pemeriksaan rõntgen toraks, tidak tampak kardiomegali (CTR 52%) dan terdapat bronkopneumonia pada paru kanan. Penderita dikonsultasikan ke Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin dengan diagnosis kerja Transient Neonatal Pustular Melanosis dan diagnosa banding sifilis kongenital. Tata laksana untuk penderita pada saat itu adalah suhu dipertahankan 36,5-37,5oC penempatan di inkubator, oksigen lembap 0,5 liter/menit via nasal, vitamin K intramuskular 1 mg IM, salep mata antibiotik pada kedua mata, sementara NPO (nothing peroral), pemasangan oral gastric tube (OGT), bolus dengan dekstrosa 10% (2 cc/kg BB), serta infus kebutuhan cairan dengan menggunakan cairan yang mengandung dekstrosa dan kalsium. Penderita diberi antibiotik sefotaksim 2x100 mg IV dengan gentamisin 10 mg IV tiap 24 jam. Direncanakan pemberian penisilin prokain 50.000 IU/kg menunggu hasil pemeriksaan VDRL bayi dan ibu. Tata laksana dari bagian kulit adalah pemberian emolien yang dioleskan dua kali sehari pada seluruh tubuh. Pungsi lumbal sempat dicoba tetapi tidak dilanjutkan karena terdapat kesan perdarahan yang sulit berhenti. Pasien diberi vitamin K 5 mg subkutan, transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) 20 cc, dan trombosit 20 cc. Hasil GDS setelah bolus 65 mg/dL. Pemeriksaan GDS ulang berikutnya menunjukkan hasil 68-97 mg/dL. Selama perawatan di ruangan neonatologi, didapati Hb 13,7 g/dL, Ht: 36%, leukosit 13.900/mm3, trombosit 41.000/ mm3, dan hitung jenis 0/1/0/51/41/7. Hasil TPHA reaktif, GDS 79 g/dL, Dan albumin 2,4 g/dL. Hasil CT scan kepala dan rontgen tulang dalam batas normal. USG mendapati adanya sludge di kandung empedu, sedangkan hepar dan lien berada dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium khusus menunjukkan anti-HIV non reaktif, anti-HSV 1 IgG positif, anti-Rubela IgG positif (titer 52), anti-Rubela IgM negatif, anti-CMV IgG positif (titer 43), anti-CMV IgM negatif, antiHSV 2 IgG positif, anti-HSV IgM positif, antitoksoplasma IgG positf (titer 598), dan antitoxoplasma IgM negatif. Sementara itu, hasil pemeriksaan darah ibu mendapati VDRL reaktif (1:32), TPHA reaktif (1:640), anti-HSV 1 IgG positif, anti-Rubela IgG positif (titer 89), anti-Rubela IgM negatif, anti- CMV IgG positif (titer 26), anti-CMV IgM negatif, anti-HSV 2 IgG positif, anti-HSV IgM negatif, antitoksoplasma IgG positif (titer 102), antitoksoplasma IgM 381
Sifilis Kongenital, Kembali Mengintai Setelah Lama Tertidur negatif, dan HBsAg negatif. Hasil pemeriksaan darah ayah menampilkan VDRL reaktif, TPHA reaktif, anti-HIV non reaktif. Hasil kultur resistansi dari cairan bula mendapatkan kuman Staphylococcus haemolyticus sensitif. Kadar bilirubin total 12,21 mg/dL, bilirubin direk 6 mg/dL, SGOT 184 U/L, SGPT 278 U/L, GDS 68 mg/dL, ureum/kreatinin 43/0,36 U/L, CRP kuantitatif 87,5, dan Na/K/Ca 146/4,7/5,29. Didapatlah kesan pneumonia dengan sepsis awitan dini, sifilis kongenital, herpes simpleks neonatal, toksoplasmosis kongenital pada bayi cukup bulan (38 minggu) dengan kecil masa kehamilan, intrauterine growth retardation, berat lahir rendah, hipoglikemia, hipoalbuminemia, anemia et causa infeksi, dan trombositopenia. Dilakukan pemberian penisilin prokain 1x90.000 IU IM, meropenem 3x80 mg IV, dan asiklovir 20 mg/kg/dosis setiap 8 jam. Pada perawatan hari keenam orang tua penderita meminta pulang setelah melihat anaknya mengalami perbaikan. Pada usia dua bulan dilakukan kunjungan rumah dengan hasil kondisi bayi tampak aktif, minum baik, dan lesi kulit hilang. Pengukuran antropometri mendapatkan berat sesuai usia <3 SD, berat menurut panjang badan antara -2 sampai dengan -3 SD, dan panjang menurut usia 0 sampai dengan -2 SD. Ukuran lingkar kepala <3 SD. Diskusi Permasalahan yang perlu dibahas pada penderita ini terutama adalah penegakan diagnosis dari sekumpulan gejala, yaitu respiratory distress dengan keadaan umum tampak sakit berat dan letargis, hepatosplenomegali, ikterus, serta kelainan kulit yang tampak sejak lahir. Bahasan lainnya adalah tata laksana, prognosis, dan masalah sosial. Pneumonia intrauterin dipertimbangkan pada beberapa manifestasi yang timbul sejak dini, seperti bayi lahir mati, skor APGAR yang rendah, atau respiratory distress berat saat lahir yang sering berkaitan dengan korioamnionitis. Pneumonia intrauterin dapat terjadi juga pada infeksi sistemik ibu, seperti rubela, sitomegalovirus, T. pallidum, Listeria monocytogenes, tuberkulosis, dan HIV. Infeksi ini dapat asimtomatik pada ibu, tetapi menimbulkan gejala seperti
Gambar 3. Setelah Pengobatan
382
hepatosplenomegali, trombositopenia, dan ikterus pada bayi. Semua kelainan tersebut terdapat pada penderita ini, sehingga sejak awal sudah terpikirkan bahwa respiratory distress disebabkan oleh pneumonia awitan dini atau intrauterin yang berhubungan dengan infeksi sistemik pada ibu. Makula hiperpigmentasi di ekstremitas disertai kulit melepuh saat lahir yang tampak pada penderita merupakan gambaran khas sifilis kongenital. Saat masuk RSHS, diagnosis ini tidak dijadikan diagnosis kerja karena kasus sifilis kongenital sangat jarang ditemukan. Sejak 2005, hanya tercatat dua kasus. Penyakit infeksi yang sudah terkendali tetapi meningkat kembali sudah dibicarakan sejak awal 1990-an dan diprediksi menjadi masalah global di masa mendatang. Saat ini, re-emerging infectious diseases harus tetap dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab penyakit. 4 Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat setengah juta kejadian sifilis kongenital setiap tahunnya. Di Detroit Health Department Amerika Serikat, sejak 2002-2004 didapati 88 kasus sifilis kongenital.3 Fenomena yang terjadi di Indonesia mungkin merupakan fenomena gunung es karena banyak kasus yang tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan. Pada bayi dapat dijumpai pertumbuhan intrauterin terlambat, kelainan membran mukosa, mucous patch di bibir, mulut, faring, laring, dan mukosa genital, rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran yang khas berupa cairan hidung yang mula-mula encer kemudian menjadi pekat, purulen dan hemoragik, adanya kelainan kulit, rambut dan kuku. Bula dapat ditemukan sejak lahir, tersebar secara simetris terutama pada telapak tangan dan telapak kaki. Makula, papula, atau papulomatosa tersebar secara generalisata dan simetris. Di daerah lembap, papula menjadi erosif dan membasah atau menjadi hipertrofik (kondilomalata). Pada kasus berat, tampak kulit menjadi keriput terutama pada daerah muka sehingga bayi tampak seperti orang tua. Rambut jarang dan kaku serta terdapat alopesia areata terutama pada sisi dan belakang kepala. Alopesia dapat juga mengenai alis dan bulu mata. Onikosifilitika disebabkan oleh papula yang timbul pada dasar kuku dan menyebabkan kuku menjadi terlepas. Kuku baru yang tumbuh berwarna suram, tidak teratur, dan menyempit pada bagian dasarnya. Kelainan tulang dapat terjadi pada enam bulan pertama, meliputi osteokondritis, periostitis, dan osteitis pada tulang-tulang panjang. Pseudoparalisis pada anggota gerak disebabkan oleh pembengkakan periartikular dan nyeri pada ujung-ujung tulang sehingga gerakan menjadi terbatas. Hampir semua organ dapat menjadi sasaran sifilis. Pada penderita ini terdapat kelainan pada kulit dan organ dalam (hepatosplenomegali, pneumonia). Diagnosis sifilis dipastikan dengan menemukan T. pallidum sebagai penyebab infeksi pada bahan sediaan klinis. Sebagai pembantu penegakan diagnosis, Tes Serologi Sifilis (TSS) yang terdiri dari nontreponemal (Wasserman, Veneral Disease Research Laboratories/VDRL) dan treponemal (Treponema pallidum J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012
Sifilis Kongenital, Kembali Mengintai Setelah Lama Tertidur Haemaglutination Assay/TPHA) dapat menjadi pilihan. Pada penderita dan orang tuanya didapatkan hasil VDRL dan TPHA yang reaktif. Hal itu menunjukkan bahwa mereka telah menderita penyakit sifilis.1 Terdapat beberapa panduan untuk pengobatan sifilis kongenital, di antaranya adalah rekomendasi dari Centre for Control disease and Prevention (CDC) yang terdiri dari 4 skenario. Pasien ini digolongkan ke dalam skenario 1, yaitu:5 a. Salah satu di bawah ini menunjukkan terbukti atau highly probable: - Pemeriksaan fisis abnormal yang menunjukkan sifilis kongenital; - Titer nontreponemal 4 kali lipat lebih tinggi diban-dingkan titer ibu (tidak adanya peningkatan titer lebih dari 4 kali tidak mengeksklusi sifilis kongenital); - Dark field positif atau tes fluoresens antibodi positif; b. Evaluasi selanjutnya pada bayi yang terbukti atau highly probable: - Analisa CSS untuk VDRL, hitung sel, dan konsen-trasi protein; - Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis dan hitung trombosit; - Tes lain sesuai indikasi klinis meliputi foto rontgen tulang panjang, foto toraks, tes fungsi hati, ultra-sonografi kepala, pemeriksaan mata, dan pemerik-saan telinga; c. Terapi untuk bayi yang terbukti atau highly probable harus meliputi: - Penisilin prokain aqueous G 100.000-150.000 unit/kg/hari IV, diberikan 50.000 unit/kg/dosis IV setiap 12 jam selama 7 hari pertama dan setiap 8 jam pada hari selanjutnya hingga total 10 hari; - Penisilin prokain G 50.000 unit/kg/dosis IM setiap hari selama 10 hari. Ternyata, obat tersebut sulit diperoleh karena sudah jarang diproduksi. Namun, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat masih memilikinya walau hanya 10 vial. Dengan adanya re-emerging diseases, seharusnya klinisi dapat mengadvokasi pemerintah untuk kembali menyediakan obat tersebut. Sifilis diduga merupakan penyakit menular seksual yang paling erat kaitannya dengan infeksi HIV. Pada penderita telah dipikirkan kemungkinan ini, ayah penderita mengalami penurunan berat badan dan diare kronis. Oleh karena itu, dilakukan VCT pada ibu dan Provider Initiated Counselling and Testing (PICT) pada ayah penderita, tetapi hasil pemeriksaan anti-HIV nonreaktif. Hasil ini belum merupakan diagnosis pasti karena masih mungkin dalam window period sehingga harus dilakukan pemantauan dan pemeriksaan ulang enam bulan yang akan datang. Penderita ini juga didiagnosis sebagai bayi lahir kecil masa kehamilan (KMK), yaitu bayi yang lahir dengan berat dan/atau panjang lahir dan/atau lingkar kepala kurang dari persentil ke-10 menurut kurva usia kehamilan (kurva J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012
Lubchenko). Bayi KMK juga dapat dikategorikan sebagai asimetris (berat lahir secara proporsional kurang dari panjang lahir dan lingkar kepala) atau simetris (semua indikator pertumbuhan di bawah nilai rata-rata). Berbagai masalah dapat dialami bayi KMK, misalnya kematian intrauterin, asfiksia, hipotermia, hipoglikemia, hiperglikemia, polisitemia, perforasi intestinal, dan imunodefisiensi.6 Pada kasus ini, penderita termasuk bayi KMK karena berat lahir kurang dari persentil ke-10 menurut kurva usia kehamilan Lubchenko. Penderita ini termasuk bayi KMK simetris karena panjang lahir dan lingkar kepala penderita juga berada di bawah persentil 10. Penyebab lahir KMK adalah infeksi sistemik pada ibu dan faktor nutrisi karena tingkat aktivitas ibu yang tinggi serta tingkat sosioekonomi rendah. Permasalahan yang dihadapi penderita ini adalah sistem metabolisme (hipoglikemia) dan sistem imunologi (imunodefisiensi). Sistem imunologis yang rendah memudahkan terjadinya sepsis neonatorum. Diagnosis sepsis neonatorum awalnya sering tidak jelas dan tidak spesifik serta dapat memberat dalam waktu singkat. Diagnosis pasti biasanya ditegakkan berdasarkan hasil kultur positif. Dikenal istilah fetal inflammatory response syndrome (FIRS) yang kemudian diikuti terjadinya sepsis sampai akhirnya kematian. Diagnosis FIRS dapat ditegakkan apabila ditemukan dua atau lebih keadaan, yaitu laju napas >60x/menit dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi O2, suhu tubuh tidak stabil (< 36oC atau >37,5oC), capillary refill time> 3 detik, hitung leukosit <4.000/mm3 atau >34.000/ mm3, atau C-reactive Protein (CRP) >10 mg/dL. Pada 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus apabila terdapat FIRS disertai dengan satu atau lebih gejala klinis infeksi. Gejala klinis infeksi yang dimaksud: (1) variabel klinis yang berupa denyut jantung >180x/menit, <100x/menit, letargis atau penurunan kesadaran, intoleransi glukosa (glukosa plasma >180 mg/dL), intoleransi minum, (2) variabel hemodinamik yang terdiri dari tekanan darah 2 SD di bawah nilai normal untuk usia, tekanan darah sistolik <50 mmHg (neonatus usia 1 hari), tekanan darah sistolik <65 mmHg (neonatus usia <1 bulan), (3) variabel perfusi jaringan yaitu waktu pengisian kembali kapiler >3 detik, laktat plasma >3 mmol/L, dan (4) variabel inflamasi yang mencakup neutrofil imatur >10%, rasio imatur:total neutrofil (IT) >0,2, trombositopenia <100.000/mm3.13 Penderita didiagnosis sepsis neonatorum berdasarkan adanya penurunan kesadaran, takipneu, trombositopenia, dan CRP >10 mg/dL.6 Sepsis neonatus dibagi menjadi sepsis awitan dini (usia <7 hari setelah persalinan) dengan sumber infeksi berasal dari jalan lahir ibu dan sepsis awitan lanjut (usia >7 hari setelah persalinan) dengan sumber infeksi berasal dari lingkungan (nosokomial) atau perawatan lama di rumah sakit sebelumnya karena berat lahir sangat rendah.7 Faktor risiko terjadinya sepsis neonatorum meliputi faktor ibu, faktor bayi, dan faktor lain. Faktor ibu mencakup ketuban pecah dini (>18 jam), 383
Sifilis Kongenital, Kembali Mengintai Setelah Lama Tertidur infeksi dan demam, air ketuban hijau keruh dan berbau, dan kehamilan multipel. Faktor bayi meliputi prematuritas dan berat lahir rendah, resusitasi saat kelahiran akibat gawat janin dan trauma, prosedur invasif, bayi dengan galaktosemia, defek imun, asplenia, asfiksia, cacat bawaan, pemberian nutrisi parenteral, atau perawatan yang terlalu lama di RS. Faktor risiko lain mencakup pula bayi laki-laki, bayi kulit hitam, dan status ekonomi rendah.8 Antibiotik spektrum luas diberikan sebagai terapi inisial pada sepsis neonatorum karena kuman penyebab infeksi pada masa neonatus adalah streptokokus grup B, diikuti oleh organisme enterik gram negatif terutama Escherichia coli, di samping Staphylococcus aureus, Streptococcus lainnya, mikroba anaerob, Haemophilus influenzae, Enterobacter sp, Pseudomonas sp, dan lain-lain. Pada kasus ini, penderita mendapatkan sefotaksim dan gentamisin. Karena penderita belum menunjukkan perbaikan klinis, obat kemudian diganti dengan amikasin dan meropenem sesuai hasil kultur dan tes resistansi.5 Pada penderita ini juga terdapat kolestasis jaundice. Angka kejadian penyakit ini adalah 1:2500 kelahiran. Penyebab kolestasis sangat bervariasi, tetapi umumnya memberikan manifestasi klinis yang hampir sama. Secara garis besar, penyebab kolestasis dibedakan menjadi kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Kolestasis intahepatik terjadi akibat gangguan sekresi bilirubin di antara mikrosom hati dengan saluran empedu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan enzim SGOT dan SGPT >10 kali dan alkali fosfatase <5 kali. Kolestasis ekstrahepatik terjadi akibat adanya hambatan atau obstruksi di saluran empedu. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan enzim SGOT dan SGPT <10 kali, sedangkan alkali fosfatase meningkat >5 kali. Pada penderita ini, kolestasis yang terjadi merupakan kolestasis intrahepatik yang mungkin disebabkan infeksi TORCH (hasil serologis TORCH positif) dan ekstrahepatik karena hasil USG menunjukkan adanya sludge di kandung empedu.9 Penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang lebih besar karena hati bayi yang masih imatur. Beberapa peneliti melaporkan, infeksi TORCH hanya menyumbang 5% dari penyebab kolestasis. Manifestasi klinis pada toksoplasmosis atau CMV kongenital dapat menyerupai atau disertai infeksi organisme lain. Oleh karenanya, keadaan ini harus dibandingkan dengan infeksi perinatal lain yang disebabkan virus Herpes simplex, virus Rubella, HIV, dan bakteri lain. Infeksi kongenital oleh TORCH sering kali disertai dengan kelainan bawaan seperti korioretinitis, mikroftalmia, katarak, hepatosplenomegali, hiperbilirubinemia, retardasi pertumbuhan intrauterin, mikrosefal, retardasi psikomotor, atau tuli sensorineural. Pada pemantauan penderita, saat ini didapati mikrosefal, hepatosplenomegali, dan hiperbilirubinemia.10 Pada penderita dilakukan pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi TORCH dengan pemeriksaan antibodi IgM 384
dan IgG menggunakan metode enhanced chemiluminescence immunoassay (ECLIA). Hasil pemeriksaan mendapati IgM antitoksoplasma nonreaktif, tetapi IgG antitoksoplasma reaktif 598 IU/mL, IgM CMV nonreaktif dan IgG CMV reaktif 43 IU/mL, IgM anti-Rubella negatif dan IgG anti-Rubella positif, anti-HSV 1 Ig G positif dan anti-HSV 2 IgG positif, serta anti-HSV IgM positif. Hal ini menunjukkan adanya infeksi HSV pada bayi yang dapat terjadi pada saat persalinan maupun intrauterin. IgM anti-HSV dapat positif sejak empat minggu pertama kehidupan dan dapat menetap hingga berbulan-bulan sampai satu tahun. Meskipun demikian, diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan kultur dan isolasi virus. Apabila pemeriksaan tidak tersedia, diagnosis didasarkan pada gejala klinis. Selain itu, diagnosa toksoplasmosis kongenital juga dapat ditegakkan pada penderita ini dengan adanya titer antitoksoplasma bayi 4 kali lipat titer antitoksoplasma ibu (598:102). Pasien juga masih mungkin menderita infeksi sitomegalovirus maupun rubela sehingga memerlukan pemantauan dan pemeriksaan ulang satu bulan berikutnya untuk membandingkan adanya kenaikan titer antibodi. Bagi penderita imunokompeten, serokonversi atau peningkatan empat kali IgG spesifik dan didapatnya IgM menunjukkan infeksi akut. Konsentrasi IgG pada neonatus berkurang atau dapat menetap hingga 6-12 bulan bergantung pada titer awal dan akan naik lagi bila bayi dapat membuat IgG sendiri pada umur lebih kurang 3 bulan. Pada bayi yang terinfeksi, titer IgG akan tetap tinggi sedangkan pada bayi yang tidak terinfeksi, titernya lambat laun akan menurun. Titer IgG yang tinggi disertai tidak adanya IgM menunjukkan infeksi kronis laten masa lampau yang didapat dari ibunya melalui plasenta. Anak dianggap bebas dari infeksi kongenital jika tidak menampakkan gejala klinis dan serologi menjadi negatif setelah antibodi maternal yang ditransmisikan secara pasif menghilang.11 Deteksi kelainan kongenital yang menyertai infeksi CMV atau toksoplasma dapat dilakukan lebih lanjut untuk mencari adanya perdarahan atau kalsifikasi periventrikuler, di antaranya dengan pemeriksaan CT scan. Sementara, Brainsteam Evoked Response Audio (BERA) dipakai untuk mendeteksi tuli saraf pascanatal.11 Pada penderita ini tidak didapatkan kelainan pada gambaran CT scan kepala dan belum dilakukan pemeriksaan otoacoustic emission (OAE) atau BERA karena kondisi umum penderita belum memungkinkan. Terapi pirimetamin dan sulfadiazin merupakan obat toksoplasmosis kongenital pilihan untuk mencegah progresivitas kelainan hati dan komplikasi susunan saraf pusat. Obat ini dapat menyebabkan depresi sumsum tulang yang menyebabkan trombositopenia, leukopenia, dan anemia. Terapi diberikan selama setidaknya satu tahun. Pirimetamin loading dose 2 mg/kg BB/hari (maksimum 50 mg/hari) diberikan selama dua hari pertama, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1 mg/kg BB/hari (maksimum 50 mg/hari) selama dua hingga enam bulan, kemudian 1 mg/kg J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012
Sifilis Kongenital, Kembali Mengintai Setelah Lama Tertidur BB/hari tiga hari dalam satu minggu per oral. Sulfadiazin diberikan 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam dua dosis dan asam folat 5-10 mg diberikan tiga kali dalam satu minggu.11 Terapi terpilih untuk herpes simpleks neonatal adalah asiklovir dengan dosis 60 mg/kg/hari, diberikan dalam tiga dosis selama 14-21 hari. Fungsi ginjal harus diperiksa sebelum pemberian obat dan darah lengkap harus diperiksa dua kali seminggu selama pemberian obat untuk melihat adanya efek samping depresi sumsum tulang.12 Hal lain yang penting diperhatikan pada pengelolaan pasien ini adalah masalah sosial, yaitu kondisi ekonomi orangtua penderita yang rendah sehingga sejak awal dirawat di ruang emergensi anak RSHS, penderita sudah akan dibawa pulang paksa. Adanya Jaminan Persalinan (Jampersal) telah sangat membantu dalam perawatan penderita, tetapi hingga hari perawatan keenam, orang tua tetap berkeinginan membawa pulang anak dengan alasan ekonomi. Hingga saat ini, masih diupayakan agar penderita dapat meneruskan perawatan hingga sembuh. Oleh karena itu, perlu diberikan penjelasan yang menyeluruh kepada orang tua tentang penyakit dan penyulit yang dapat timbul pada anaknya. Penderita akan dipulangkan jika kondisi klinis stabil, tanda vital stabil, sudah mempunyai refleks hisap, dan orang tua mengetahui cara perawatan bayi. Perlu ditekankan agar orang tua bersedia menjalani pengobatan sifilis dan gonore yang mereka derita agar tidak menjadi sumber penularan. Kesimpulan Bayi perempuan berusia 3 jam dengan respiratory distress dan lesi kulit di atas mengalami pneumonia dengan sepsis awitan dini, sifilis kongenital, herpes simpleks neonatal, toksoplasmosis kongenital, dan intrauterine growth retardation sehingga lahir kecil masa kehamilan. Jika tidak ditangani secara menyeluruh, dapat terjadi fetal inflammatory response syndrome (FIRS) yang berpotensi menyebabkan kematian. Kesulitan yang ditemui dokter saat menangani pasien adalah kondisi klinis kurang stabil, banyaknya pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan,
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012
obat yang sulit diperoleh untuk re-emerging disease, dan status sosioekonomi keluarga pasien. Setelah perawatan dan observasi, dua bulan kemudian bayi telah aktif, minum baik, dan lesi kulit tampak menghilang. Daftar Pustaka 1.
Kollmann TR, Dobson S. Syphillis. In: Remington JS, Klein JO, Wilson CB, Nizet V, Maldonado YA, editors. Infectious disease of the fetus and newborn infant. 7th ed. Philadelphia: Saunder; 2011. p. 524-57. 2. Weber MW, Charlin JB, Catchalian S. Predictors of neonatal sepsis in developing countries. Pediatr Infect Dis J. 2003;22:7116. 3. Duke T. Neonatal pneumonia in developing countries. Arch.dis.child.Fetal neonatal. 2005;90;211-9. 4. Morens DM, Folkers GK, Fauc AS. The challenge of emerging and re-emerging infectious diseases. Nature. 2004;430. 5. Vernacchio L. Syphillis. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neonatal care. 6 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p. 309-14. 6. Bone RC, Balk RA, Cerra FB. Definition for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. AACP/SCCM Consensus Conference. Chest 1992;101:164455. 7. Golstein B, Giroir B, Randolph A. International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatric Critical Care Medicine. 2005;6(1):28. 8. Puopolo KM. Bacterial and fungal infection. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neonatal care. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p. 9. Mohan N. Neonatal cholestasis. Indian J Pediatr. 2006;12(3):2546. 10. Dehghani SM, Haghighat M, Imanieh MH, Geramizadeh B. Comparison of different diagnostic methods in infants with cholestasis. World J Gastroenterol. 2006;12(36):5893-6. 11. Bisanto J. Kolestasis intrahepatik pada bayi dan anak. In: Juffrie M, Soenarto S, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani N, editors. Buku ajar gastroenterohepatologi IDAI. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010. p. 365-83. 12. Guitterrez KM, Whitley RJ, Arvin AM. Herpes simplex virus infection. In: Remington JS, Klein JO, Wilson CB, Nizet V, Maldonado YA, editors. Infectious disease of the fetus and newborn infant. 7th ed. Philadelphia: Saunder; 2011. p. 813-31
385