BAB V KESIMPULAN
Melalui perjalanan panjang bertahun-tahun, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty/ATT), perjanjian internasional pertama yang menetapkan standar global untuk perdagangan senjata api, komponen/suku cadang, dan amunisinya. ATT bukan perjanjian yang ditujukan untuk perlucutan senjata (disarmament) ataupun melarang perdagangan senjata antar negara. ATT merupakan perjanjian yang berisi fokus pendekatan yang luas dalam mencegah jatuhnya korban jiwa, kekerasan dan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, serta ketidakstabilan keamanan yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api konvensional yang tidak bertanggung jawab, yang mewajibkan negara eksportir untuk tidak memberikan izin transfer senjata jika senjata tersebut dinilai memiliki potensi akan digunakan untuk melakukan tindakan atau berkontribusi merusak perdamaian dan keamanan, perdagangan gelap senjata konvensional, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang lainnya, pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional, hukum hak asasi manusia internasional, tindakan terorisme, dan organisasi kriminal internasional. Walau dirancang untuk kebaikan semua kalangan, pemahaman negaranegara akan ATT berbeda-beda. Kegagalan berkali-kali dalam mencapai konsensus pada negosiasi pembentukan ATT setidaknya menjadi bukti bahwa negara-negara tidak memiliki pandangan yang sama terhadap ATT. Adanya beberapa ketetapan yang memiliki makna yang ambigu dinilai akan menjadi kelemahan mendasar dan celah potensial bagi beberapa negara untuk melanggar ketentuan ATT, dimana hal ini dipandang memiliki potensi mendatangkan kerugian bagi negara-negara lainnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang menyatakan sikap abstain pada Final Negotiating Conference terhadap ATT pada tanggal 2 April 2013. Indonesia telah ikut berpartisipasi sejak negosiasi resmi pertama pembentukan ATT yang dimulai pada bulan Desember 2006 di sidang Majelis Umum PBB ke61. Menariknya, Indonesia merupakan negara yang awalnya mendukung penuh 73
pembentukan ATT. Indonesia secara aktif ikut serta dan melaksanakan seminar yang bertujuan untuk membangun kesadaran negara-negara akan dampak dari perdagangan senjata api konvensional yang tidak bertanggung jawab dan pentingnya pembentukan sebuah instrumen legal untuk mengaturnya. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara anggota Group of Governmental Experts (GGE), yang bertugas untuk memeriksa kelayakan dan membentuk parameter rancangan untuk membentuk ATT, yang akan dijadikan bahan masukan bagi negosiasi resmi ATT selanjutnya. Draft akhir ATT yang terbentuk ternyata tidak sesuai dengan harapan dari Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia mengambil keputusan abstain dan hingga saat ini belum bersedia untuk menandatangani ATT. Memahami keputusan abstain Indonesia
dalam konferensi akhir
pengadopsian ATT tidak dapat langsung diterjemahkan dengan memakai timbangan benar atau salah, ataupun dilihat dari kacamata hitam dan putih. Keputusan abstain ini menunjukkan adanya posisi kontradiksi yang cenderung dilematis dari Pemerintah Indonesia. Di satu sisi, Indonesia sadar akan pentingnya ATT yang diharapkan mampu menjadi instrumen legal pertama yang dapat mengendalikan dan mengontrol transfer senjata konvensional dan amunisinya, yang dapat mengukuhkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang mendukung upaya internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia akibat penggunaan senjata api dan diharapkan bisa menjadi instrumen yang akan membantu Indonesia untuk mengatasi masalah peredaran senjata gelap di wilayahnya. Tetapi, disisi lain Pemerintah Indonesia juga mengutamakan kepentingan nasional mereka. Draf akhir ATT yang terbentuk ternyata dinilai tidak sesuai dengan harapan mereka. Indonesia tidak menghendaki potensi kepentingan mereka dilanggar bahkan mendapatkan konsekuensi negatif jika memutuskan setuju untuk menandatangani dan mengadopsi ATT. Pada bab pertama, penulis mengemukakan satu hipotesis sebagai jawaban sementara mengapa Pemerintah Indonesia tidak bersedia menandatangani ATT yakni ‘Indonesia menolak untuk menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty) tahun 2013 karena adanya beberapa ketentuan dalam ATT yang memiliki makna yang ambigu dan seolah tidak memberikan keseimbangan 74
yang utuh antara kepentingan negara eksportir dan negara importir seperti Indonesia’. Dalam hal ini, hasil penelitian dan analisis yang dilakukan oleh penulis menemukan bahwa hipotesis awal tersebut tepat menjadi salah satu alasan yang mempengaruhi para pembuat kebijakan di Indonesia untuk mengubah sikap mereka
pada
tahapan
negosiasi
akhir
dan
memutuskan
untuk
tidak
menandatangani ATT. Akan tetapi, melalui analisis dengan menggunakan teori foreign policy decision making dari William D. Coplin, penulis tidak hanya menemukan satu penyebab yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Terdapat 3 faktor yang melatarbelakangi keputusan penolakan Indonesia dalam menandatangani ATT. Alasan pertama adalah ketetapan ATT bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Dalam pasal 43 ayat (5) huruf d undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Indonesia diperbolehkan untuk melakukan pembelian peralatan keamanan dan keamanan dari luar negeri jika negara partner bersedia untuk menjamin tidak akan ada potensi embargo dan kondisional politik tertentu yang dapat menghalanginya. Hal ini dinilai bertentangan dengan klausul embargo senjata dalam pasal 6 ayat (1) draft ATT sebab dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa negara eksportir dilarang untuk melakukan transfer senjata jika negara importir terkena embargo senjata dari Dewan Keamanan PBB. Untuk menghindari pembangkangan hukum nasional dan mencegah ketidakstabilan politik domestik, Pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk menandatangani ATT. Alasan yang kedua adalah Pemerintah Indonesia menilai ATT merupakan perjanjian yang berat sebelah, lebih banyak memuat kepentingan negara eksportir dibandingkan negara importir senjata seperti Indonesia. Pasal 6 dan 7 draft ATT lebih banyak memberikan wewenang kepada negara eksportir senjata untuk menilai pelaksanaan transfer senjata. Pasal tersebut terkesan memberikan kendali penuh kepada eksportir, seolah-olah pelaksanaan ekspor senjata hanya dapat terlaksana melalui persetujuan negara eksportir. Berdasarkan ketetapan ini, kepentingan negara importir seolah terpinggirkan dan berpotensi untuk terlanggar.
75
Alasan yang ketiga adalah ketetapan ATT yang masih ambigu atau multitafsir
berpotensi untuk
mengganggu
kepentingan Indonesia
dalam
penyediaan peralatan pertahanan dan keamanan, yang pada akhirnya dapat melemahkan kapabilitas militer Indonesia. Indonesia dibayang-banyangi oleh kekhawatiran terkena dampak embargo atau penghentian izin transfer senjata seperti yang pernah dialami Indonesia pada tahun 1995-2005 akibat tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI. Belum adanya ketentuan tertulis secara internasional dan penjelasan spesifik dalam draft ATT untuk mengukur sebuah tindakan tertentu disebut tindakan pelanggaran HAM bisa menyebabkan operasi militer Indonesia menghadapi gerakan separatisme di daerah-daerah potensi konflik sangat rawan kembali diterjemahkan sebagai tindakan pelanggaran HAM. Keputusan abstain Indonesia dalam negosiasi pengadopsian ATT setidaknya merefleksikan bahwa Pemerintah Indonesia tidak menolak atau menentang ATT. Indonesia tetap terbuka akan ide-ide yang diusung ATT dan tetap membuka peluang dilaksanakannya kajian dan diskusi tentang ATT. Pemerintah Indonesia juga membuka kemungkinan untuk suatu saat dapat menandatangani perjanjian tersebut jika dilakukan beberapa perubahan mendasar akan ketetapan-ketetapan ATT yang bersifat ambigu yang dirasa akan memberatkan Indonesia. Indonesia tetap mendukung pembentukan peraturan global perdagangan senjata api konvensional seperti ATT asalkan instrumen tersebut mengusung kepentingan yang seimbang antar setiap negara dan memastikan kepentingan nasional Indonesia dalam penyediaan peralatan peralatan pertahanan dan keamanan tetap terjamin. ATT mulai berlaku pada tanggal 2 Desember 2014, tepatnya semenjak 18 bulan semenjak perjanjian tersebut terbuka untuk ditandatangani. Walaupun begitu banyak kalangan dan para ahli mengungkapkan skeptisisme akan efektivitas perjanjian ini, kenyataannya ATT merupakan salah satu perjanjian senjata multilateral dengan proses persetujuan tercepat. Di sisi lain, besarnya dukungan politik negara akan perjanjian ini, bukanlah jaminan bahwa perjanjian ini akan berjalan efektif dalam penerapan kedepannya. Belum bergabungnya negara-negara eksportir senjata besar di dunia, seperti Cina, Rusia, dan Amerika 76
Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini. Bagaimanapun, perjanjian ini baru berjalan sekitar 2 tahun. Umur yang masih sangat prematur untuk memberikan kesimpulan apakah perjanjian ini merupakan sebuah kegagalan atau sebaliknya, sebuah kesuksesan. Perlu diakui bahwa hingga saat ini belum ada tulisan sama sekali yang menyajikan data valid mengenai berkurangnya jumlah perdagangan senjata yang tidak bertanggung jawab akibat penerapan ATT. Tetapi, kenyataan dan tren perkembangan yang terjadi seperti didirikannya sekretariat ATT di Genewa Swiss dan diadakannya beberapa kali pertemuan resmi antar negara anggota ATT dan NGO di tahun 2015 dan 2016, tidak bisa disisihkan begitu saja dan membuktikan bahwa pembuatan perjanjian bukan sebuah langkah normatif belaka. Langkah mendesak yang perlu dilakukan untuk menjamin agar ATT efektif dalam mengatur perdagangan senjata global adalah melakukan pembenahan, terutama ketentuan-ketentuan yang dinilai memiliki
bias
dan
ambiguitas
dalam
penerjemahannya,
meningkatkan
konsekuensi hukum bagi pihak yang melanggar, serta gencar melakukan promosi dan diskusi kepada negara-negara yang belum menandatangani dan meratifikasi ATT. Jika tidak mampu berbenah, perjanjian ini tidak akan berjalan efektif dalam mencapai tujuannya dan hanya akan menjadi sebuah kegagalan semata, atau perjanjian tanpa efek sama sekali.
77