38 tersebut maka produksi NH3 semua perlakuan masih dalam kisaran normal. Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH3 diluar kisaran normal, oleh karena itu konsentrasi NH3 tertinggi yang dihasilkan adalah indikator terbaik nilai degradabilitas pakan yang diberikan. Pengaruh perlakuan terhadap produksi NH3 cairan rumen sapi perah, dianalisis dengan sidik ragam (Lampiran 3). Hasil analisis menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi NH3 cairan rumen sapi perah. Hasil penelitian menunjukan terjadi peningkatan produksi NH3 ketika adanya peningkatan penambahan umbi singkong (US) dengan persentasi hay daun kaliandra (HDK) tetap. Namun pada R4 dan R5 terjadi penurunan produksi NH3 dengan adanya peningkatan persentase hay daun kaliandra. Adanya perbedaan antar perlakuan ini kemudian diuji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan. Hasilnya dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Uji Duncan Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi NH3 Cairan Rumen Perlakuan Rataan NH3 (mM) Signifikansi 0,05 R3 5,35 a R2 4,84 b R1 3,81 c R4 2,77 d R5 2,69 d Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom signifikasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P˂0,05).
39 Hasil pengujian jarak berganda Duncan menunjukkan produksi NH3 dari setiap perlakuan satu sama lain berbeda nyata (P˂0,05). Kandungan protein dari setiap perlakuan relatif sama namun adanya produksi NH3 yang berbeda menunjukan tingkat degradasi pakan oleh mikroba berbeda pula. Perlakuan R3 menghasilkan produksi NH3 tertinggi sesuai dengan hipotesis yang digunakan. Sesuai dengan pendapat Widyobroto, dkk (2007) bahwa efisiensi pertumbuhan dan produksi protein mikrobia dapat ditingkatkan dengan adanya keseimbangan antara energi dan N yang tersedia dalam pakan, perbaikan sinkronisasi
energi
dan
protein
yang dibebaskan dalam rumen dapat
meningkatkan sintesis protein mikrobia. Ternak yang mendapat ransum aras energi tinggi dengan aras UDP rendah (RDP tinggi) mempunyai aktivitas mikroba rumen yang relatif lebih baik disebabkan ketersediaan energi dimbangi dengan ketersediaan
prekursor
N
dalam bentuk NH3 dari degradasi protein, sehingga terdapat aspek sinkronisasi ketersediaan energi dan prekursor N untuk mikroba rumen (Widyobroto, dkk., 2007). Adanya peningkatan sumber enegri lebih tersedia dari umbi singkong dibandingkan dengan konsentrat akan memicu mikroba untuk lebih intensif dalam mendegradasi sumber protein yang berasal dari konsentrat (K), sehingga menghasilkan metabolit NH3 yang lebih tinggi. Diduga sumber Nitrogen lebih banyak diperoleh dari konsentrat. Sumber Nitrogen dari Hay Daun Kaliandra lebih sulit tersedia karena terikat dengan tanin. Peningkatan penggunaan Hay Daun Kaliandra menyebabkan kadar tanin di dalam rumen meningkat sehingga
40 berdampak terhadap peningkatan pengikatan protein yang terdapat dalam konsentrat. Oleh karena itu, peningkatan penggunaan Hay
Daun Kaliandra
sampai 8% menyebabkan NH3 menurun tajam dibandingkan penggunaan 4%. Peningkatan Hay Daun Kaliandra diduga tidak hanya berdampak pada protein dari konsentrat, tetapi juga mengikat kabohidrat mudah dicerna yang terdapat dalam Umbi Singkong sehingga karbohidrat mudah dicerna ini tidak menyediakan energi yang cukup untuk aktivitas mikroba. Perlakuan R4 dan R5 menunjukan penurunan produksi NH3 yaitu 2,69 mM dan 2,77 mM. Hal ini terjadi karena rendahnya degradasi protein pakan dimana persentase hay daun kaliandra meningkat dalam ransum sehingga tanin yang mengikat protein juga semakin tinggi dan menghasilkan protein bypass. Kandungan protein dan energi dalam ransum sapi yang mencukupi kebutuhan sintesis mikroba rumen perlu dipertimbangkan dan yang lebih penting akurasi pemenuhan kebutuhan energi dan protein pada inangnya. (Widyobroto, dkk., 2007). Diperkuat oleh pendapat Alwi, dkk (2013) yang menyatakan bahwa menurunnya konsentrasi NH3 di dalam rumen diiringi dengan meningkatnya sintesis protein mikroba.
41 4.2
Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi Asam Lemak Terbang Cairan Rumen Asam lemak terbang (VFA) adalah hasil hidrolisis karbohidrat
polisakarida oleh mikroba rumen. Rataan produksi VFA pada setiap perlakuan disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Rataan Produksi VFA pada tiap Perlakuan Perlakuan Ulangan R1 R2 R3 R4 R5 ------------------------------------mM---------------------1 92,5 161 174 197 138 2 98 163 183 201 139 3 98,5 158 185 183 145 4 101 146 176 209 148 Rata- rata 97,5 157 179 197 142 Keterangan : R1 = 15% RG + 45% SBJ + 36% K + 4% HDK R2 = 15% RG + 45% SBJ + 34% K + 4% HDK + 2% US R3 = 15% RG + 45% SBJ + 32% K + 4% HDK + 4% US R4 = 15% RG + 45% SBJ + 30% K + 8% HDK + 2% US R5 = 15% RG + 45% SBJ + 28% K + 8% HDK + 4% US
Hasil perhitungan VFA pada Tabel 9. Menunjukan bahwa produksi VFA untuk perlakuan R1, R4 dan R5 berada dalam kisaran normal. Menurut Sutardi (1981) konsentrasi VFA total cairan rumen yang baik
untuk pertumbuhan
optimum mikroba rumen adalah 80-160 mM, sedangkan untuk perlakuan R2 dan R3 di atas kisaran normal yaitu 179,87 mM dan 197,75 mM. Hal ini karena penambahan umbi singkong dalam ransum dapat didegradasi dengan cepat sehingga VFA yang dihasilkan lebih tinggi, sedangkan pada perlakuan R4 dan R5
42 persentase hay daun kaliandra lebih besar dibandingkan umbi singkong sehingga VFA yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R3. Kandungan
nutrisi
untuk
setiap
perlakuan
relatif
sama
namun
menghasilkan produksi VFA yang berbeda sehingga hasil ini dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil uji jarak berganda Duncan disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Uji Duncan Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi VFA Cairan Rumen Perlakuan Rataan NH3 (mM) Signifikansi 0,05 R3 197 a R2 179 b R1 157 c R4 142 d R5 97,5 e Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom signifikasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).
Peningkatan persentase umbi singkong pada R2 dan R3 menghasilkan produksi VFA yang tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya BETN yaitu pati dan gula yang mudah dicerna didalam rumen. Namun pada perlakuan R4 dan R5 terjadi penurunan produksi VFA di dalam rumen yang diakibatkan oleh meningkatnya persentase Hay Daun Kaliandra menjadi 8% sehingga terjadi peningkatan jumlah tanin di dalam rumen yang diduga bahwa tanin tersebut tidak hanya mengikat protein saja tetapi juga mengikat karbohidrat yang terdapat di dalam umbi singkong. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tandi (2010) bahwa
43 tanin mempengaruhi metabolisme karbohidrat dengan mengikat pati sehingga sukar dicerna oleh enzim amilase.
Tanin yang masuk ke dalam saluran
pencernaan dimana terjadi pencernaan diikat oleh protein sehingga sulit dicerna oleh enzim mikroba mengakibatkan amonia sedikit terbentuk dan akan mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Begitu pula pati yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan terikat dengan tanin sehingga sulit dicerna oleh enzim amilase menjadi glukose yang pada akhirnya menurunkan produksi VFA. Kurniawati (2009) menyatakan bahwa peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen. Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak. Produksi VFA selain dipengaruhi SK dan BETN juga dipengaruhi oleh kandungan PK pada pakan perlakuan yang relatif sama. Protein kasar juga berpengaruh terhadap VFA, karena VFA yang dihasilkan selain berasal dari fermentasi karbohidrat, juga berasal dari fermentasi protein dalam rumen.
Hal
ini dikarenakan protein yang terkandung dalam pakan perlakuan mudah terdegradasi menjadi asam amino, selanjutnya asam amino tersebut akan mengalami deaminasi menjadi NH3 dan asam α keto. Asam α keto diubah menjadi VFA,
yang berupa iso butirat, iso valerat dan 2 metil butirat yang
digunakan sebagai kerangka karbon bagi sintesis protein mikrobia rumen (Widodo, dkk., 2012).
Mikroba
rumen
menghidrolisis
selulosa menjadi
44 monosakarida yang kemudian membentuk VFA. VFA mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber energi bagi ternak dan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba (Amri dan Yurleni, 2014).