SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN
Eddy Setia Universitas Sumatera Utara Abstract This paper deals with the study of semantics and lexicography in dictionary making, especially monolingual English language dictionary. Semantics is major branch of linguistics devoted to the study of meaning in language, whilst lexicography is the art and science of dictionary making. Dictionaries are reputedly occupied with explaining the meanings of words, and the work is neither myth‐ bound nor capricious. Sometimes the dictionary explains a word by supplying another expression that can replace it at least in positions uncontaminated by quotation or idioms of propositional attitude. Sometimes, instead, a selection of information is set down regarding the object or objects to which the word refers. This paper also shows the importance of studying semantics and lexicography in relation with dictionary making. 1. PENGANTAR Semantik sebagai disiplin ilmu harus membuktikan dirinya dalam leksikografi. “Leksikografi memerlukan linguistik, dan linguistik memerlukan leksikografi. Seperti yang dinyatakan Zgusta (1971: 111), untuk perbaikan perlakuan makna dalam kamus, persiapan kerjanya harus dikerjakan oleh linguis” (Wierzbicka 1987a: 1‐2). Saya percaya bahwa dalam kurun waktu dua dekade setelah Zgusta membuat pernyataan tersebut, persiapan kerja telah benar‐benar dilakukan. Pada makalah ini, akan ditunjukkan, perlakuan makna dalam kamus dan peran leksikografer dalam menentukan makna kata dalam kamus. 2. BATASAN LAWAN KECUKUPAN DAN KEBENARAN Kamus adalah buku tentang kata‐kata. Bisa saja didefinisikan seperti itu. Tidak sama tentunya, dengan apa yang dinyatakan oleh Lewis (1960) yaitu berbagai kajian tentang kata‐ kata terpilih. Kamus dimaksudkan menjadi
lebih lengkap – paling tidak mengenai satu ranah tema atau satu aspek bahasa. Kamus dimaksudkan menjadi berguna secara praktis dan secara komersial terus dapat berlangsung, salah satu dilema utama bagi seorang pembuat kamus adalah bagaimana mengkombinasikan kesempurnaan dengan ukuran kamus yang tepat. Dari sudut pandang ini, diyakini bahwa seorang leksikografer praktis akan menjadi tidak sabar dengan leksikografi teoretis. Leksikografer teoretis cenderung mempertahankan bahwa untuk menguraikan satu kata yang memadai seseorang memerlukan banyak tempat (banyak halaman, mungkin beratus‐ratus halaman). Seorang ahli semantik dan leksikografer, Igor Mel’čuk (1981: 57) mengatakan: “ Tidak hanya setiap bahasa, tetapi setiap leksem dari suatu bahasa, adalah keseluruhan dunia di dalamnya.” Rasanya ini benar adanya—tetapi jika demikian, tentu seorang leksikografer praktis tidak mempunyai tempat yang pantas untuk satu kata sekalipun.
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia) 19
Salah satu kemungkinan respon untuk situasi ini sebagai bagian dari leksikografer teoretis adalah kembali pada leksikografi teoretis dan melanjutkan pekerjaan yang biasa mereka lakukan: bersandar pada pengalaman dan pengertian umum. Dalam pengerjaannya secara praktis sering dihasilkan pekerjaan yang berharga dan berguna, dan masih dapat terus dikerjakannya. Ada suatu keyakinan bahwa apabila mereka mencoba melihat leksikografi teoretis dengan kacamatanya dan membawanya pada apa yang ditawarkan, mereka akan dapat bekerja jauh lebih baik. Artinya leksikografer praktis harus bersandar pada leksikografi teoritis untuk menghasilkan karyanya. Landau (1984: 5) menulis: “Kamus adalah buku yang memuat daftar kata dengan susunan menurut alfabet dan menjelaskan maknanya.” Kemudian dia menambahkan: “ Kamus moderen sering mencakup informasi tentang cara mengeja, pemisahan suku kata, pengucapan, etimologi (derivasi kata), kegunaan, sinonim, dan gramatika, dan kadang‐ kadang disertai dengan ilustrasi‐ilustrasinya juga.” Pernyataan tersebut di atas logis, walaupun sebuah kamus yang bagus harus mencakup informasi morfologis, sintaksis, prosodik, pragmatik, dan fonologis sekaligus informasi tentang makna kata, hanya makna saja yang biasanya menjadi inti dalam sebuah kamus. Dalam makalah ini tidak akan dikomentari segala aspek yang menyangkut hubungan antara leksikografi teoretis dan praktis, tetapi akan lebih memfokuskan pada satu fitur yang esensial: deskripsi dari makna kata‐kata. Pembahasan yang berkaitan dengan masalah utama dalam makalah ini adalah: deskripsi dari satu makna kata dapat berbeda, secara sah, dalam makna yang lengkap dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, tetapi tidak berbeda dari isi dasar kata itu sendiri. Satu ‘definisi’ dimaksudkan untuk mewakili kebenaran dari satu makna kata, dan hanya ada satu kebenaran, apakah makna yang terwakili dalam suatu tulisan penelitian dimaksudkan untuk satu kata tertentu atau dalam satu kamus dimaksudkan bagi pembaca secara umum,
20
termasuk bermacam‐macam kamus yang ditujukan khusus untuk anak‐anak, pelajar, mahasiswa, dan sebagainya. Merupakan suatu gambaran umum bahwa dengan mengatakan sesuatu yang tidak benar, tanpa makna, kabur, atau secara teori tidak dapat dipertahankan, pembuat kamus dapat memperoleh makna atau ruang/kolom dalam kamus dan pengguna kamus mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Jika ruang merupakan pokok yang paling penting dalam “semangat komersial” kamus, maka semua ruang yang ada, walaupun terbatas, seharusnya digunakan untuk mengatakan sesuatu yang belum lengkap, kurang benar, kurang bermakna, kurang memberi gambaran dan kurang jelas. Mungkin terasa kasar untuk mengatakan bahwa reputasi komersial kamus perlu dipertanyakan, mengingat dari beberapa pengalaman makna yang terdapat dalam kamus kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pengguna kamus tersebut. Malahan lebih ekstrim lagi beberapa pendapat menyebutkan makna yang ditawarkan dalam kamus tertentu makin membingungkan. 3. MENGATAKAN SESUATU YANG TIDAK BENAR Kadang‐kadang definisi yang terdapat dalam kamus menyebutkan sesuatu yang salah. Sebagai contoh, dalam Oxford Australian Junior Dictionary (OAJD 1980) memberikan definisi sure sebagai berikut: Sure – knowing something is true or right. Tetapi tentu saja “mengetahui” (know) dan “yakin” (sure) adalah dua hal yang berbeda, dan walaupun dalam sebuah kamus yang ditujukan untuk anak‐anak, kata‐kata tersebut merupakan dua hal yang tidak seharusnya disamakan. Sebuah kamus untuk “orang dewasa” Oxford Paperback Dictionary (OPD 1979) menuliskan definisi yang lebih kompleks dan “rumit”, tetapi pada kenyataanya tetap salah:
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005 19‐37
Sure – having or seeming to have sufficient reasons for one’s beliefs, free from doubts. Setelah direnungkan “free from doubts” (bebas dari keragu‐raguan) pada dasarnya benar, tetapi doubt ‘ragu‐ragu’ itu sendiri didefinisikan dalam OPD dengan certainty (‘kepastian’), dan certainty dengan doubts (doubts – “feeling of uncertainty about something”; certain – “having no doubts”). Dengan mengesampingkan definisi yang berputar‐putar ini, dapat diperhatikan bahwa untuk kepastian subjektif (yakin terhadap sesuatu), ada cukup alasan untuk kepercayaan seseorang bukan merupakan kebutuhan atau kecukupan. Sama halnya dengan, announce yang didefinisikan oleh OAJD sebagai “to say something in front a lot of people”. Tetapi pada kenyataannya, seseorang dapat pula mengumumkan sesuatu (sebagai contoh, keputusan penting) kepada orang tua seseorang, dan kehadiran banyak orang ( a lot of people) tidak diperlukan sama sekali. Bold didefinisikan oleh OAJD sebagai “brave and not afraid” tetapi ini juga salah: seseorang dapat menjadi bold (‘hebat’) tanpa harus menjadi brave(‘berani’) dan menjadi berani tanpa harus menjadi hebat. Dalam hal tertentu, kehebatan ditunjukkan dalam hubungannya dengan manusia lain, namun seseorang dapat dikatakan berani walaupun dikurung sendirian (lihat Wierzbicka 1992a: 208‐9). Standard didefinisikan oleh kamus yang sama sebagai “how good something is”. Kenyataannya, definisi ini akan lebih tepat menjadi “ how good you think something has to be.” Threat ‘ancaman’ didefinisikan sebagai “ a promise that you will do something bad if what you want does not happen”. Namun, ancaman (threat) bukanlah suatu jenis janji (a promise), walaupun hal seperti ini dapat dikatakan secara ironi; dan seseorang dapat mengatakan, sebagai contoh, threats and promises (‘ ancaman dan janji’), namun orang tidak dapat mengatakan *spaniels and dogs (karena seekor spaniel jelas sejenis anjing). Ability didefinisikan oleh OAJD sebagai “the power to do something”. Tetapi walaupun nosi dari ability ‘kemampuan’ dan power ‘tenaga’ saling berhubungan, kata pertama tidak dapat
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)
direduksi pada kata yang kedua: “tenaga” berimplikasi bahwa seseorang dapat mengerjakan sesuatu yang orang lain tidak mau mengerjakannya, sehingga hal ini berimplikasi pada konflik kemauan aktual atau potensial; namun, “kemampuan” tidak berimplikasi pada hal tersebut. Untuk menunjukkan jenis kesalahan tersebut yang terjadi pada kamus‐kamus modern yang inovatif, ambisius, dan bergengsi, akan kita lihat kesimpulannya pada bagian ini dengan dua contoh dari Collins Cobuild English Language Dictionary (Cobuild 1987). Cobuild mendefinisikan empathy sebagai “the ability to share another person’s feelings and emotions as if they were one’s own”. Kenyataannya, seperti ditunjukkan oleh Travis (1992), empathy tidak berimplikasi bahwa seseorang share ‘berbagi’ dengan perasaan orang lain (tetapi, bahwa seseorang memahaminya, seolah‐olah perasaan dan emosi tersebut adalah kepunyaan sendiri); dan, sebagai contoh, seorang konselor bidang empatik tidak dapat diharapkan untuk berbagi perasaan pasiennya. Hanya seolah‐olah ikut merasakan. Hampir sama dengan itu, definisi Cobuild mengenai forgive (‘memaafkan’) sebagai forgive a bad deed that someone has done, you stop being angry with them and no longer want to punish them. Definisi ini mempunyai implikasi yang tidak benar, bahwa untuk memaafkan seseorang orang harus marah terlebih dahulu dengan mereka dan ingin menghukum mereka; “Kalau anda memaafkan seseorang yang telah melakukan sesuatu yang salah atau memaafkan suatu perbuatan salah yang dilakukan seseorang, anda berhenti memarahi mereka dan tidak ingin lagi menghukumnya”. 4. MENGATAKAN SESUATU YANG BERLEBIHAN Memberikan batasan‐batasan ruang pada kamus‐kamus praktis biasanya berakibat pada kenyataan bagaimana seringnya mereka menyia‐nyiakan ruang yang berharga dengan menuliskan sesuatu yang berlebihan. Sebagai contoh, Longman Dictionary of Contemporary
21
English (LDOTEL 1984) mendefinisikan kata weapon sebagai berikut: Weapon – an instrument of offensive or devensive combat; something to fight with. Frasa sederhana “something to fight with” mungkin bukanlah definisi yang sempurna dari kata weapon tetapi merupakan perkiraan yang agak bagus; definisi ini kurang bermakna, dengan penambahan yang tidak begitu perlu “an instrument of offensive or devensive combat”. Seseorang dapat merasa ketakutan dari seorang leksikografer yang, sedang merumuskan definisi pendek yang bagus, menyadari bahwa dia tidak mempunyai sesuatu untuk ditambahkan pada definisi tersebut—dan merasa panik terhadap yang muncul menjadi kurang familiar, tingkat kesederhanaan yang tidak konvensional, dan mencoba terus untuk menambahkan sesuatu sehingga definisi menjadi lebih panjang, lebih kompleks, lebih bisa dihargai. Leksikografi teoretis dapat berguna dalam hal ini kalau teori ini dapat meyakinkan para leksikografer: “Tidak perlu penambahan sesuatu; definisi yang sederhana dan singkat dapat diterima; sebaliknya definisi yang lebih panjang biasanya salah, sebab, sebagaimana yang dinyatakan oleh Aristotle 25 abad yang lalu, dalam sebuah definisi setiap kata yang berlebihan merupakan suatu pelanggaran yang serius.” 5. MAKNA YANG MEMBINGUNGKAN DENGAN PENGETAHUAN Cara lain untuk menghabiskan ruang dalam kamus ialah dengan memasukkan pengetahuan teknis atau ilmiah di dalamnya. Contohnya LDOTEL mendefinisikan kata dentist ‘dokter gigi’ sebagai berikut: dentist – a person who is skilled in and licensed to practice the prevention, diagnosis, and treatment of diseases, injures, and malformation of the teeth, jaws, and mouth and who makes and inserts false teeth.
22
Definisi ini bisa menjelaskan kepada pembaca untuk mempelajari bahwa seorang dokter gigi melakukan semua hal yang tercantum dalam definisi ini, tetapi informasi di sini sangat berguna, dan memakan ruang dalam sebuah kamus. Definisi pendek yang ditawarkan oleh OAJD (meski tidak sempurna) lebih memuaskan: Dentist – someone whose job is to look after teeth. Hubungan antara pengetahuan dan makna tidak selalu mudah digambarkan, tetapi pada prinsipnya definisi tersebut bisa digambarkan (lihat Wierzbicka 1985) dan dalam banyak hal kamus biasanya penuh dengan informasi yang sangat jelas yang dimiliki dalam ensiklopedia, bukan dalam sebuah kamus. Sebagai pertimbangan, perhatikan contoh definisi sugar ‘gula’ dalam LDOTEL: Sugar – a sweet substance that consists wholly of sucrose, is colourless or white when pure, tending to brown when less refined, is usually obtained commercially from sugarcane or sugar beet, and is nutritionally important as a source or carbohydrate as a sweetener and preservative of other foods. Dengan jelas hampir semua definisi yang ditawarkan oleh LDOTEL bukan sama sekali merupakan konsep sehari‐hari (tidak menyebutkan kenyataan bahwa sugar didefinisikan di sini yang berhubungan dengan sugar‐cane dan sugar‐beet. Seperti biasa definisi yang terdapat pada OAJD , meskipun tidak sempurna, namun lebih masuk akal: “makanan yang manis yang dimasukkan dalam minuman dan makanan lainnya membuat makanan dan minuman tersebut terasa manis”. (Barangkali akan lebih baik untuk mengatakann sesuatu seperti ini: “Sesuatu yang orang tambahkan ke dalam sesuatu yang mereka minum atau makan ketika mereka menginginkan makanan dan minuman tersebut terasa manis; ini berasal dari sesuatu yang muncul
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005 19‐37
ke permukaan (misalnya tanaman); dan biasanya berwarna putih.”) Mc Cawley (1992 – 3: 123) menyarankan bahwa dalam satu sisi, definisi yang diberikan oleh OAJD tentang sugar lebih akurat dibandingkan dengan definisi yang diberikan oleh Wierzbicka selama awal mula penggunaan OAJD yang membingungkan tentang makanan dalam definisi tersebut membedakan gula ‘sugar’ dari pengganti gula seperti saccharine dan nutrasweet”. Akan tetapi sugar tentu saja harus dibedakan dari saccharine, apakah kita harus menyebut sugar itu makanan (sesuatu yang ditemukan oleh Mc Cawley berupa intuisi yang berlawanan) untuk memperoleh tujuan ini? Apabila food ‘makanan’ secara kasar bermakna sesuatu yang dimakan orang, dan kata tersebut dipahami mengapa orang secara normal tidak menyebut “sugar” adalah “food”: secara normal orang tidak memakan gula (gula itu sendiri). Untuk membedakan antara sugar dan saccharine kita dapat mengatakan bahwa sugar dan saccharine merupakan sesuatu yang ditambahkan kepada sesuatu yang dimakan dan diminum orang, hanya sugar yang dapat dikatakan bahwa orang dapat memakannya sebagai bagian dari sesuatu yang mereka makan. Pertimbangkan juga definisi horse ’kuda’ di bawah ini yang diambil dari 3 kamus yang berbeda: a solid‐hoofed perissodactyl quadruped (Equus caballus) (SOED 1964) a large solid‐hoofed herbivorous mammal (Equus caballus) domesticated by man since a prehistoric period (Webster’s 1988) a large solid‐hoofed plant‐eating 4‐legged mammal (Equus caballus, family Equidae, the horse family), domesticated by human since prehistoric times and used as beast of burden, a draught animal, or for riding; esp. one over 14.2 hands in height (LDOTEL 1984): Sangat sulit untuk menentukan definisi seperti ini tanpa memunculkan apa yang selalu dimiliki oleh penutur Inggris dalam pikiran
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)
mereka ketika mereka membicarakan masalah horse ‘kuda) ini. Informasi yang terkandung dalam definisi ini merupakan bagian yang utama dari keseluruhan kamus bahasa Inggris. Akan lebih baik untuk mengatakan secara sederhana bahwa a horse is a kind of animal called horse. Akan lebih baik lagi untuk mencoba menjelaskan dalam bentuk yang singkat, konsep masyarakat yang dikodekan dalam kata bahasa Inggris horse; akan tetapi apabila sebuah kamus tidak dapat menyediakan ruang untuk melakukan ini, mengapa harus membuang ruang pada informasi yang diberikan di semua ensiklopedia dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan pengetahuan bahasa penutur biasa? 6. DEFINISI YANG TERLALU LUAS Definisi yang terlalu luas tidak berisi kebohongan apapun (karena apa yang mereka masukkan benar), tetapi aplikasinya salah (karena mereka mengabaikan komponen yang penting). Misalnya, talent didefinisikan oleh OAJD sebagai the ability to do something very well. Tetapi ini berimplikasi bahwa suatu kemampuan yang diperoleh dapat disebut talent adalah tidak benar. Difinisi ini kehilangan komponen yang paling penting yakni “bawaan lahir” (kalau seseorang dapat melakukan hal‐ hal yang berkaitan dengan suatu jenis tertentu dengan sangat baik bukan karena dia sudah melakukan sesuatu mampu melakukannya dengan baik). Ada suatu kemampuan yang dimiliki seseorang tetapi tidak dimiliki orang lain. To succeed didefinisikan sebagai to do or get what you wanted to do or get. Dengan definisi ini kalau seseorang mendapatkan hadiah yang ia ingin dapatkan, ini bisa jadi dijelaskan sebagai keberhasilan; sekali lagi ini tidak benar. (Untuk berhasil seseorang harus melakukan sesuatu; disjungsi “do or get” salah adanya). To defy didefinisikan sebagai to say or show that you will not obey. Tetapi kalau seorang anak mengatakan kepada saudara laki‐laki atau perempuannya, “Kamu bukan ibu atau ayah, saya tidak akan mematuhimu,” ini tidak akan
23
menjelaskan makna kata tersebut (Seseorang hanya akan menentang ‘defy’ perintah yang diberikan seseorang yang sebenarnya mempunyai kekuasaan atas seseorang lainnya dan diharapkan dapat dipatuhi.) Definisi kata steal ‘mencuri’ menyebutkan “to take something that does not belong to you and keep it”. Tetapi definisi ini dapat merujuk pada perampokan (robbery) dari pada pencurian (stealing). Untuk pencurian, perlu dipahami bahwa aktor yang melakukan pekerjaan tersebut tidak menginginkan orang mengetahui apa yang ia lakukan, dan mengharapkan bahwa mereka tidak akan mengetahuinya. Kata secret didefinisikan sebagai “something that must be kept hidden from other people”; akan tetapi definisi ini juga merujuk pada objek fisik, di mana secara nyata kata secret bermakna hanya untuk sesuatu yang orang ketahui (dan harus tidak mengatakannya kepada orang lain perihal itu). Kata thirst ‘haus’ dimaknakan sebagai “the need to drink”; akan tetapi kenyataannya kata ini merujuk pada suatu sensasi, terhadap apa yang orang tersebut rasakan (ketika anda merasa harus minum). Kata ribbon (‘pita’), menurut OAJD, “a strip of nylon, silk, or some other material”. Tetapi kalau ini benar, semua strip ‘pita’ dari materi apapun dapat disebut ribbon, yang sudah barang tentu tidaklah benar. Kenyataannya, kata ribbon (dalam pengertian yang relevan) merujuk hanya pada sejenis benda dibuat (oleh manusia) untuk membuat sesuatu kelihatan bagus. “To shed” didefinisikan sebagai “to let something fall” (dan kata ini diilustrasikan dengan kalimat “trees shed leaves, people shed tears, and caterpillars shed their skins”). Tetapi ini berimplikasi bahwa kalau dibiarkan sebuah buku jatuh artinya saya menjatuhkannya. Konsep yang paling penting yang dihilangkan oleh definisi ini begitu menentukan. A hanya dapat menjatuhkan B jika sebelum kejadian B dapat dipikirkan sebagai bagian dari A (dan setelah kejadian itu, tidak bisa). Berikut ini akan mendiskusikan mengenai konteks kesalahan lainnya yang
24
sangat sering dikombinasikan. Di sini, hanya satu contoh sudah bisa mencukupi: OAJD mendefinisikan kata appointment sebagai “a time when you have arranged to go and see someone”. Definisi ini terlalu terbatas, karena pengacara yang menerima klien atau profesor yang ketemu mahasiswa juga dapat mempunyai sebuah janji (appointment), tanpa harus memiliki “to go” (pergi) kemanapun keluar dari kantor. 7. MENANGKAP KETAKBERVARIANAN Meskipun ini kedengarannya sangat hebat untuk tugas sederhana seorang leksikografer, proses mengkonstruksi suatu definisi leksikografi yakni sebuah penelitian untuk menemukan kebenaran. Untuk menemukan kebenaran mengenai makna sebuah kata, yaitu menemukan konsep ketakbervarianan yang merupakan bagian dari pengetahuan penutur asli yang sama‐sama telah diketahui tentang bahasa dan yang mengarahkan mereka dalam penggunaan kata tersebut. Para leksikografer sering kurang percaya diri dan tidak mempunyai cukup keberanian untuk menangkap ketakbervarianan. Oleh sebab itu mereka menjadi tidak patuh terhadap tugas mereka dalam meneliti kebenaran leksikografi. Pertimbangkan, misalnya, definisi kata complain di bawah ini, yang ditawarkan oleh OPD: complain – 1. to say that one is dissastified, to protest that something is wrong. (mengatakan bahwa seseorang tidak puas, memprotes bahwa sesuatu itu salah. 2. to state that one is suffering from a pain, etc…. (‘menyatakan bahwa seseorang menderita karena sakit, dll.) Dua makna didalilkan di sini, tetapi tak satu pun dari keduanya merupakan suatu upaya yang dibuat untuk menangkap ketakbervarianan: makna kedua yang
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005 19‐37
dinyatakan berakhir dengan suatu ………, yang sepanjang pembaca ketahui, bisa bermakna apa saja, sementara makna pertama dinyatakan dalam dua cara yang berbeda dan tidak ekuivalen/padan. Agak sulit menentukan bahwa seseorang dapat tidak merasa puas ‘complain’ tanpa merasakan (atau bahkan menganggap bahwa seseorang merasakan) sakit; bahwa seseorang dapat memprotes sesuatu itu salah dalam suatu situasi yang kemungkinan tidak dapat diuraikan sebagai ketidakpuasan (misalnya amnesti internasional memprotes tetapi tidak mengeluh mengenai pelanggaran hak asasi manusia di negara‐ negara berbeda); atau bahwa seseorang akan mengatakan seseorang tidak puas dengan dirinya sendiri tanpa mengeluhkan seseorang atau sesuatu. Tetapi sebagai tambahan untuk menjadi salah di hampir semua yang dikatakan, semua entri memancarkan keputusasaan dan apati leksikografi. Tidak mungkin untuk menangkap ketakbervarianan, atau bahkan untuk memutuskan seberapa banyak makna yang berbeda yang dibutuhkan, kalau memang demikian, akan sulit untuk mengetahui bagaimana mengusahakannya. Kalau para leksikografer yang bertanggung jawab untuk entri ini memiliki teori tentang leksikografi dalam penyelesaiannya, mereka memerlukan tanggung jawab dalam menempatkan polisemi (yang tidak tepat) ini. Kenyataan ketakbervarianan kata complain ini secara khusus tidak sulit untuk ditangkap. Secara garis besar (untuk sebuah diskusi yang rinci dan tepat lihat Wierzbicka 1987a), orang yang mengeluh (complain) harus menyampaikan pesan berikut ini: “Sesuatu hal yang buruk terjadi pada Saya—Saya merasakan sesuatu yang buruk karena hal ini—Saya ingin seseorang melakukan sesuatu karena hal ini.” (Melakukan sesuatu tidak perlu merujuk pada perubahan situasi dan memindahkan dasar keluhan itu; ini juga berhubungan dengan ungkapan simpati, perasaan menyesal, dan sebagainya). Bisa dijelaskan, bahwa definisi kata complain yang disebutkan di atas
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)
mengilustrasikan hubungan antara mengusulkan definisi yang terlalu sempit dan kegagalan dalam menangkap ketakbervarianan semantik. Leksikografer menyadari bahwa frasa “to state that one is suffering from a pain” (menyatakan bahwa seseorang itu menderita suatu penyakit) terlalu sempit sebagai definisi dari kata complain tersebut, tetapi daripada mencari suatu formula yang sedikit terbatas dia dengan mudah menambahkan keterangan etc. ‘dan sebagainya’. Hubungan antara penempatan polisemi yang salah dan kegagalan untuk mencari ketakbervarianan semantik juga dinyatakan dalam definisi berikut ini (dari OPD): untuk kata bold: (1). percaya diri dan berani; (2). tanpa merasa malu, lancang”. Ada konsep yang mempunyai sifat positif (yakni, yang menggambarkan evaluasi positif), misalnya ‘brave’ atau ‘courageous’ ‘berani’; dan ada yang lainnya yang mempunyai sifat negatif (yakni, yang menggambarkan evaluasi yang negatif), misalnya ‘reckless’, ‘foolhardy’ atau ‘impudent’ (nekat/ugal‐ugalan). Kata bold bisa berhubungan dengan kedua kategori ini, menjadi cocok dengan evaluasi yang positif maupun negatif. Dengan memisahkannya ke dalam dua makna yang diharapkan berbeda, negatif dan positif, kamus tersebut salah menyajikan kebenaran mengenai konsep ini dan mengaburkan perbedaan antara konsep netral kata “bold”, konsep positif dari pengertian “courageous”, dan konsep negatif dari kata “impudent”. (Tidak guna mengatakan, ‘bold’, ‘courageous’, dan ‘impudent’ berbeda dalam beberapa hal lainnya, untuk diskusi secara rinci lihat Wierzbicka 1992a:203‐11.) Contoh lainnya definisi dari OPD ialah kata boast: “to speak with great pride and try to impress people, esp. about oneself” (berbicara dengan suatu kebanggaan dan mencoba untuk membuat orang terkesan, khususnya mengenai dirinya sendiri). Pada saat ini tidak ada polisemi didalilkan, tetapi keterangan “esp.” (especially) yang sedikit ini tidak lebih dari suatu keluhan pasrah (atau suatu keluhan keputusasaan?) dibanding dengan penggunaan etc. yang terdapat pada definisi‐definisi sebelumnya. Jelaslah, penulis entri ini tidak mampu
25
memutuskan kumpulan ide mereka mengenai ciri penting dari kata boast itu. Kalau saja mereka memiliki suatu teori leksikografi yang bisa diandalkan, mereka pasti tahu bahwa esp. merupakan suatu tanda kekalahan dan mereka membantu untuk memikirkan yang sedikit lebih panjang. Kalau mereka lakukan ini, pasti mereka menyadari bahwa konsep kata “boast” selalu melibatkan diri sendiri (baik langsung maupun tidak), dan tidak ada bedanya dengan ‘pride’. Untuk diskusi mendalam mengenai ini, disarankan untuk merujuk pada Wierzbicka 1987a. Kegagalan dalam menangkap ketakbervarianan dimanifestasikan dalam suatu cara yang benar‐benar khusus di dalam penggunaan kata sambung or, yang selalu disediakan dalam definisi‐definisi di kamus. Misalnya, OPD mendefinisikan kata tempt sebagai berikut: “to persuade or try to persuade (especially into doing something wrong or unwise) by the prospect of pleasure or advantadge”. Or yang pertama dapat diuraikan dengan segera: tentu saja ada kecenderungan untuk berhasil, tetapi bisa juga dicoba; sudah cukup, oleh karenanya, untuk mengatakan “try to persuade”, tidak perlu “to persuade or to try to persuade”. Ketidaksesuaian “something wrong or unwise” dapat direduksi menjadi “something bad” (tidak perlu tambahan “evil” atau “morally very bad”, tetapi sesuatu yang dipikirkan selalu hal yang buruk yang dilakukan), dan “prospect of pleasure or advantadge” dapat direduksi menjadi “ something good ”. Penanda especially dapat diuraikan menjadi: one simply cannot temp somedody to do something good; it has to be something that is seen as “something bad” Kesimpulannya adalah kata‐kata seperti or, especially, usually, dan penggunaan daftar kata pilihan (apakah kata‐kata atau frasa) untuk menggambarkan makna yang sama, atau dengan menempatkan beberapa polisemi yang tidak beraturan merupakan manifestasi yang berbeda dari kegagalan yang utama penggunaan leksikografi. Kegagalan ini mengakibatkan hampir semua entri di kamus yang ada, dan membuat kamus‐kamus tersebut sedikit berguna bagi pembaca jika dibanding yang semestinya (di bawah batasan‐batasan
26
ruang yang sama dan pemaksaan lainnya). Teori leksikografi yang konsisten dengan prinsip‐prinsip yang jelas dapat menentukan makna dan dapat pula dengan mudah mengatasi kelemahan ini. Khususnya teori leksikografi bunyi dapat mencegah fenomena yang umum dapat merubah pengembangan makna kata yang tidak ditemukan, sama halnya dengan (kata‐kata yang tidak biasa) makna‐makna yang berhubungan tetapi tidak sama. Teori ini juga dapat mencegah kebingungan tentang penggunaan metafora, ironi, dan lain‐lain dengan makna kata yang sebenarnya (sama seperti dalam kasus thread, yang dibahas terdahulu). Teori ini juga dapat menawarkan kriteria leksikografi yang berdasarkan makna juga dapat dipisahkan secara nyata antara yang satu dengan lainnya dengan jelas teridentifikasi dan nyata. 8. KETETAPAN PENDIRIAN PADA DASAR YANG BERAGAM Salah satu alasan yang utama bahwa hampir semua definisi yang ada di kamus kurang berguna dibanding dengan yang semestinya, yaitu penyebaran keragaman makna. Seperti yang direalisasikan Aristotle lebih baik jika dibanding dengan yang dilakukan para linguis kontemporer, banyak hal‐hal yang lebih sulit dibanding pembentukan definisi yang baik. Bagaimana bisa seorang leksikografer diharapkan untuk mengatasi upaya yang penting ini kalau dia tidak yakin bahwa tugasnya dapat dikerjakan? Para ahli teori yang merusak kebaikan para leksikografer dalam menyatakan makna kata secara gamblang dan akurat. Kenyataannya masalah yang paling pelik yang dihadapi leksikografi secara praktis adalah dikaitkan dengan masalah keragu‐raguan. Misalnya bagaimana bisa para leksikografer meneliti dengan kemampuannya, dan sungguh‐sungguh untuk sebuah ketakbervarianan apabila mereka tidak mengetahui apakah mereka dapat mengharapkan menemukan sejumlah makna yang pasti? Untuk melihat kembali definisi OPD
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005 19‐37
tentang kata complain, yang disebutkan terdahulu: “(1). to say that one is dissatisfied, to protest that something is wrong, (2). to state that one is suffering from a pain, etc.”. Untuk menghadapi hal semacam ini, dua makna disebutkan di sini, tetapi kenyataannya makna yang pertama memunculkan makna yang dinyatakan dua kali, dengan dua cara yang berbeda, dan hubungan antara kedua makna ini pada satu definisi meninggalkan ketidakjelasan. Penggunaan nomor 1 dan 2 mengimplikasikan bahwa leksikografer ini tidak yakin mengenai makna yang meragukan, akan tetapi melemparkan formulasi yang berbeda bersama‐sama mengenai hal yang memiliki satu makna. Ini mengindikasikan ketidakpercayaan. Apabila leksikografer merasa yakin untuk menyatakan hanya satu definisi untuk makna (secara hipotetis), hal ini akan mendorongnya untuk mencari ketakbervarianan yang sebenarnya; hasilnya, makna pilihan dipostulasikan pada kamus‐kamus yang muncul sekarang ini selalu dikurangi menjadi jumlah yang lebih kecil, ketakbervarianan akan ditangkap, frasa‐frasa yang berlebihan akan dihilangkan, ruang akan diperoleh, hubungan semantik antara makna‐ makna yang berbeda (dan satuan leksikal yang berbeda akan dibuat jauh lebih jelas dan, di atas semua ini bahasa digunakan jauh lebih mudah dan lebih jelas, dan bahkan lebih ekonomis. Misalnya, sebagaimana disebutkan di atas, kata complain dapat memberikan hanya satu rumusan, tidak perlu ada penempatan polisemi, tidak perlu ada etc, tidak perlu memaparkan frasa‐frasa yang tidak sama “to say that one is dissatisfied” dan “to protest that something is wrong” (tidak menjelaskan hubungan lebih lanjut lainnya dengan penggunaan metabahasa yang standar dan yang dikurangi). Pertimbangkan cara LDOTEL mendefinisikan verba bahasa Inggris to pray di bawah ini: 1.a. to entreat earnestly; esp. to call devoutly on (God or a god) b. to wish or hope fervently 2. archaic or formal to request courtesy – often use to introduce a question, request or plea 3. archaic to get or bring by praying: to address God or a god with adoration, confession,
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)
supplication, or thankgiving; engage in prayer Meskipun tiga gambaran digunakan (1, 2, dan 3) sejumlah makna yang sebenarnya dinyatakan jauh dari kejelasan: apakah (a) makna yang terpisah? Atau (b)? dan apa maksud pemunculan especially, or, titik koma itu? Hubungan antara makna yang berbeda jauh lebih tidak jelas dibanding dengan sejumlah makna yang disebutkan. Misalnya, mengapa harus makna “to address God or a god” diberikan di bawah topik 3, dan “to call devoutly on (God or a god)” di bawah poin 1? Apakah kedua makna dugaan yang dinyatakan itu berbeda jauh dari makna yang lainnya dibandingkan dengan semua yang dinyatakan dalam 1(a) dan 1 (b) (hanya satu yang menyatakan God)’ di bawah definisi 1? Mengapa makna dugaan “to engage in prayer” yang diberikan pada poin 3 dan “to call devoutly on (God or a god)” di bawah definisi 1? Diyakini bahwa kalau pesan seperti ini disampaikan, dan kalau pedoman tersedia, entri kata pray akan diakhiri dengan hanya dua makna, satu tak dapat dipakai dan satu lagi yang baru (tanpa ada submakna) dan tanpa kungkungan seperti bentuk‐bentuk or, etc., atau tanda‐tanda yang tampak lainnya yang meragukan dan kegagalan analitis. (Lihat Wierzbicka, 1993d). Akhirnya, pertimbangkan daftar yang ditawarkan dalam definisi yang diberikan di bawah ini dari Webster’s (1959): reply (nomina) ‐ an answer; response; counter‐ attack resign (verba) ‐ to yield to another; surrender formally; withdraw from; submit calmly report (verba) ‐ to give an account of; relate; tell from one to another; circulate publicly; take down (spoken words) request (nomina) ‐ desire expressed; petition; prayer; demand; entreaty order (nomina) ‐ method of regular arrangement; settled mode of procedure; rule; regulation; command; class; rank; degree; a religious fraternity; an association of persons processing a common honorary distinction . . .
27
Apa yang paling mencolok mengenai daftar seperti di atas ialah kenyataan bahwa leksikografer mencoba untuk tidak menentukan berapa banyak makna yang terlibat dalam setiap kasus ini. Entri pertama dari empat entri yang ada di atas membingungkan siapa saja. Pilihan makna yang banyak cenderung menyesatkan. Ada semacam keputusasaan leksikografer dalam memutuskan antara kelengkapan kamus dan pemanfaatan ruang. Keputusasaan ini bisa dimengerti, tetapi tidak dibenarkan. Seperti yang telah ditunjukkan dalam kamus Dictionary of English Speech Act Verbs (yang memasukkan, khususnya kata kerja reply, resign, report, dan request), makna‐ maknanya dapat dipisahkan satu dengan lainnya, dan batasan‐batasan antara makna dapat digambarkan. Doktrin kesamaan hubungan tidak harus digunakan sebagai suatu alasan bagi kemalasan leksikografis atau pembenaran bagi keputusasaan leksikografis. Sebagai titik akhir berkaitan dengan pertanyaan tentang keraguan, pertimbangkan klaim yang diberikan Hank (1982:102) bahwa tidak ada alasan mengapa definisi kamus dibaca seperti tidak ada sangkut pautnya, dan dalam praktiknya, definisi poin 1 yang berlebihan biasanya mewarnai interpretasi definisi 2. Definisi yang berlebihan bisa mewarnai interpretasi definisi sebuah kata yang berpolisemi lainnya. Masalah utamanya, yaitu apakah kata dalam pertanyaan benar‐benar berpolisemi, dan untuk meyakinkan bahwa makna atau makna‐maknanya diidentifikasi dengan benar. Kalau masalah ini tercapai, sebuah definisi yang bersifat fertilisasi silang tidak diperlukan. Misalnya, Hanks mengutip sebuah kalimat yang mendeskripsikan dua orang gadis sebagai “secara serempak berani ‘bold’ dan tak berdosa ‘innocent’”, menanyakan: “Apakah ‘bold’ di sini maksudnya lancang ‘forward’ atau kurang ajar ‘impudent’ atau nekat; dan dia menjawab: “Kurang lebih sama, sungguh!” Tetapi mengapa kita harus mengasumsikan bahwa kata bold benar‐benar memiliki dua makna sebagaimana dinyatakan pada (1) forwad or impudent dan (2) daring? Kalau tak satu pun dari definisi yang diharapkan ini cocok dengan
28
kalimat tersebut dengan baik, bukan karena ada dua makna yang mewarnai satu dengan lainnya, tetapi dikarenakan tak satu pun definisi kata bold yang ditawarkan tersebut benar. (Untuk definisi alternatif dan justifikasi, lihat Wierzbicka 1992a: 208‐9). Sebuah definisi harus selalu mampu berdiri sendiri. Kalau sebuah kata benar‐benar berpolisemi, kemudian tiap‐tiap maknanya harus dinyatakan terpisah, dan tiap definisi harus mampu mempertahankan maknanya sendiri. Ini yang bertentangan dengan pernyataan Hanks bahwa makna kedua mempunyai suatu kecenderungan berisikan sedikit makna pertama. Makna yang berbeda dari sebuah kata biasanya tak berhubungan, dan definisi yang cukup memadai itu seharusnya menyatakan hubungan‐hubungan tersebut. (Untuk ilustrasi yang banyak, lihat Wierzbicka 1987; juga konsep Mel’čuk mengenai jembatan semantik (semantic bridges), Mel’čuk dkk. 1984) Tetapi ini tidak merubah persyaratan dasar bahwa setiap definisi harus mampu berdiri sendiri. 9. MEMBEDAKAN POLISEMI DARI KETIDAKJELASAN Salah satu alasan mengapa para leksikografer selalu menemui kesulitan, tentu saja tidak mungkin untuk menangkap ketakbervarianan semantik bahwa mereka tidak mengetahui bagaimana membedakan polisemi dengan ketidakjelasan. Bukan karena para leksikografer tersebut tidak yakin dengan polisemi: sering polisemi ditempatkan dalam kamus pada skala yang benar‐benar secara besar‐besaran; tetapi polisemi ini ditempatkan pada dasar yang khusus, tanpa ada garis pedoman dan aturan yang jelas. Pertimbangkan contoh definisi kata ribbon ‘pita’ yang dijelaskan terdahulu; “a strip of nylon, silk, or some other materials” (OAJD). Seperti yang telah dijelaskan, definisi ini berimplikasi bahwa setiap potong/carik materi apa saja dapat disebut ribbon ‘pita’, sementara kenyataannya “potongan/carik materi (misalnya pita‐jahitan)” tidak disebut demikian (karena fungsinya jelas‐jelas berbeda dari “ribbon” yang
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005 19‐37
dimaksudkan dari definisi yang diberikan: pita jahitan (sewing‐tape) jelas‐jelas tidak dibuat untuk mengikat sesuatu, sama jelasnya, pita ini tidak dibuat untuk tujuan dekorasi). Tetapi tujuan secara umum di sini kelihatannya untuk aplikasi terhadap banyak hal. Misalnya, bagaimana dengan pita mesin tik (typewriter ribbon)? Apakah dimaksudkan untuk mengikat sesuatu? Atau untuk dekorasi? Dan benda ini masih disebut ribbon, juga, kan? Dihadapkan dengan suatu pengecualian nyata mengenai jenis ini, para leksikografer sering cenderung kehilangan kepercayaan dalam keberadaan suatu ketakbervarianan semantik, mengambil jalan pintas untuk pembatas, penanda, dan berbagai penanda khusus lainnya, dan menghilangkan generalisasi. Keyakinan yang biasa bahwa konstruksi dengan induk pewatas (modifier‐head) harus menunjukkan sebuah hubungan taksonomi ‘kind of’ (semacam) yang berdasar pada pendapat yang keliru, yang menjadi kenyataan bahwa bentuk majemuk dengan struktur seperti itu selalu disingkat, dalam suatu hubungan yang tepat, untuk induknya sendiri. Misalnya, sering diasumsikan bahwa kaki palsu adalah sejenis kaki, bunga plastik adalah sejenis bunga, kursi listrik adalah sejenis kursi, atau rumah kardus adalah sejenis rumah. Selama orang tidak dapat tinggal di rumah kardus, dan selama “rumah kardus adalah sejenis rumah”, generalisasi bahwa rumah dibuat untuk orang bertempat tinggal muncul menjadi dengan mudah untuk disangkal. Sama halnya, selama bunga plastik tidak bisa tumbuh di tanah, dan selama bunga plastik adalah sejenis bunga”, generalisasinya adalah bahwa bunga tumbuh berkembang di tanah kelihatannya juga dengan mudah untuk disangkal. Beralasan seperti ini keliru karena masalahnya membingungkan hubungan semantik yang berdasarkan pada nosi “like” (seperti) dengan hubungan yang berdasarkan nosi “kind” (sejenis) (hubungan antara misalnya, horizontal dan vertical, lihat Bright dan Bright 1969; Berlin 1992). Misalnya bunga mawar adalah sejenis bunga, tetapi bunga plastik seperti
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)
bunga, bukan sejenis bunga. Hal yang sama, deck‐chair (kursi geladak) adalah sejenis kursi, tetapi electric chair (kursi listrik) bukan sejenis kursi (“sesuatu tempat orang duduk …”); cukup, sesuatu yang menyerupai kursi, yang fungsinya jauh berbeda. Akhirnya, typewriter ribbon (pita mesin tik) bukan sejenis ribbon ‘pita’, cukup, sesuatu yang menyerupai ribbon ‘pita’, tetapi fungsinya jauh berbeda dari ribbon itu sendiri. Tentu saja ada perbedaan penting antara permasalahan yang menyangkut typewriter ribbon dan plastic flower: kenyataan bahwa sesuatu dapat disebut bunga palsu dari plastic flower merupakan bahasa yang bebas, sementara kenyataan bahwa “typewriter strip” disebut ribbon (typewriter ribbon) dalam bahasa Inggris sebagai bahasa khusus (misalnya dalam bahasa Polandia kata majemuk yang sama yaitu taśma do maszyny, makna harfiahnya typewriter tape). Maka dari itu, typewriter ribbon harus didaftarkan secara terpisah dalam sebuah kamus sebagai bagian yang terpisah, dengan definisinya sendiri, sementara plastic flower tidak. Untuk membuktikan bahwa typewriter ribbon bukan ‘sejenis ribbon’ dan bahwa definisi ribbon tidak harus meliputi typewriter ribbon, prosesnya sebagai berikut: asumsi pertama, untuk kepentingan argumentasi, bahwa typewriter ribbon tidak mesti dimasukkan di dalam definisi ribbon dan dipertanyakan apakah kedua kategori mempunyai kesamaan; ketika diterapkan denominator (sebutan bilangan) biasa (kira‐kira, “a strip of material”), benda apa sajakah yang sesuai dengan denominator biasa ini dapat disebut dengan kata dalam pertanyaan (ribbon); jawaban yang diperoleh menjadi negatif; dari sini dapat disimpulkan bahwa denominator biasa yang disangka benar tidak dapat menerangkan ruang lingkup penggunaan kata tersebut; dan kesimpulannya bahwa di sini didapat adanya polisemi. Kalau diproses dengan cara ini, dapat diperoleh definisi dengan penuh kekuatan prediktif, bukan dalam suatu pengertian yang diakronis, menjelaskan mengapa objek tertentu muncul untuk disebut dengan nama‐nama
29
tertentu (misalnya mengapa “typewriter strip” muncul untuk disebut dalam bahasa Inggris dengan sebuah kata majemuk dengan memasukkan kata ribbon, sementara, misalnya, dalam bahasa Polandia kata seperti itu muncul dan disebut sebagai sebuah kata majemuk dengan memasukkan sebuah kata benda yang mempunyai pengertian sendiri yakni “tape”), tetapi dalam pengertian sinkronis, yang bermakna bahwa definisi tersebut menyesuaikan jarak penggunaan kata yang sebenarnya. Prosedur ini akan memungkinkan kita bisa tepat dan membuang pembatas dan merubah ungkapan‐ungkapan seperti usually, often, typically, atau etc., yang dimaksudkan untuk mengejar ketidakakuratan definisi itu sendiri. Oleh karena itu, berkenaan dengan polisemi nomina sering diharuskan muncul pada dasar semantik secara murni, hal ini tidak bermakna bahwa tidak ada pedoman untuk menentukan apakah sebuah kata mempunyai satu makna atau dua (atau lebih). Berkenaan dengan verba, tugas untuk menentukan sejumlah makna sering difasilitasi oleh perbedaan kerangka sintaksis. Permasalahan ini dapat diilustrasikan dengan verba bahasa Inggris to order. Kamus The Concise Oxford Dictionary (COD 1964) menawarkan bentuk verba ini dengan glos berikut ini: “put in order, array, regulate …; …ordain…;command, bid, prescribe…;command or direct…;direct tradesman, sevant, etc., to supply (~ dinner, settle what it shall consist of)”. Glos‐glos yang ditawarkan tidak membuat makna kata tersebut jelas berapa makna yang diposisikan (dan barang kali asumsi dasarnya adalah bahwa makna verba yang berbeda tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya). Tetapi kenyataannya, kalau kerangka sintaksis dipisahkan dalam cara yang rapi, pembedaan semantik yang jelas juga muncul. Dengan mengesampingkan (untuk alasan ruang) makna diilustrasikan dengan kalimat “He ordered his affairs” atau “He ordered his troops”, di sini akan dikonsentrasikan pada perbedaan antara apa
30
yang disebut order1(‘memerintah’) dan order2(‘memesan’) yang dapat diilustrasikan dengan kalimat‐kalimat “She ordered him to leave” dan “She ordered a steak”. Seseorang yang memesan (order2) makanan di restoran atau di toko buku menginginkan orang yang dituju mempengaruhinya untuk memiliki benda tersebut dan mengharapkan dia melakukannya; untuk tahap ini order2 sama dengan order1. tetapi ada banyak asumsi yang muncul di order2 tetapi tidak ada di order1. Orang yang order2 (memesan) sesuatu menginginkan memiliki sesuatu; sebuah kegiatan oleh orang yang dituju perlu untuk keadaan yang diinginkan untuk dilaksanakan, tetapi ini hanya cara untuk tujuan yang diinginkan, bukan tujuan itu sendiri; tidak jadi masalah siapa yang melaksanakan order2 tersebut (pelayan yang mana, dsb.), sepanjang hal yang diinginkannya dilaksanakan. Perbedaan semantik direfleksikan dalam suatu perbedaan sintaksis: seseorang order1 (memerintah) seseorang (untuk melaksanakan sesuatu), tetapi seseorang yang order2 (memesan) sesuatu benda (dari seseorang). Seseorang tidak bisa order2 (memesan) seorang pelayan, dia hanya bisa order2 (memesan) steak, dan seseorang tidak bisa order1 (memerintah) steak (sebagaimana seseorang tidak bisa memberi perintah (give order) kepada steak, meskipun nomina konkritnya dapat dinyatakan seperti order1. (“’The door’, he odered;”) (Pintu itu, perintahnya). Objek langsung menyajikan fokus keinginan pembicara. Untuk order1, objek langsungnya kepada orang yang dituju atau kepada kegiatan (“He ordered1 her to leave”)(‘Dia memerintahnya untuk pergi’), “He ordered1 an inquiry ” (‘Dia memesan permintaan’). Order2 harus merujuk pada suatu objek (“He ordered2 a steak’), dengan yang diajak bicara secara konseptual dan secara sintaksis diturunkan pada sebuah frasa preposisi (‘X ordered2 Y from Z’). Pembicara yang order2 sesuatu berasumsi bahwa yang diajak bicara mempunyai sesuatu sehingga banyak orang ingin memilikinya, dan dia berkeinginan untuk membagikan yang ia punyai kepada orang, pada kondisi tertentu.
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005 19‐37
Tugas yang diajak bicara berhubungan tidak hanya pada produk yang diinginkan pembicara untuk memilikinya, tetapi juga pelayanan: orang yang diajak bicara tersebut harus melakukan sesuatu terhadap objek yang diinginkan (misalnya, mengambil, menyiapkan, membungkus, menyajikan, dan lain sebagainya. Untuk bagian ini si pembicara berusaha melakukan sesuatu juga, misalnya membayar. Dia juga harus menunggu, karena keinginannya tidak dapat dipenuhi dengan segera (seperti dalam kasus membeli), tetapi hanya setelah beberapa saat, mempersilahkan orang yang diajak bicara melaksanakan tindakan yang perlu. Akhirnya, orang yang order2 sesuatu tidak menganggap bahwa orang yang diajak bicara harus melakukan apa yang dia ingin lakukan, dia tentusaja berasumsi bahwa orang yang diajak bicara berkeinginan melakukannya. Orang yang order1 seseorang melakukan sesuatu sangat yakin tentang hasilnya (“Saya pikir bahwa saudara harus melakukannya”). Seseorang yang order2 sedikit kurang percaya diri, karena orang yang diajak bicara barang kali tidak mampu untuk melakukan order2. Tetapi, dalam hal ini juga, pembicara benar‐benar percaya diri (‘Saya pikir kalau saudara dapat melakukannya, saudara akan melakukannya”). Seseorang dapat menghipotesis bahwa order2 berkembang di luar order1 dengan suatu pergeseran penekanan dari orang yang diajak bicara pada benda atau objek yang disediakan olehnya, dan dengan hilangnya suatu kebersamaan mengenai asumsi tertentu yang berkaitan dengan hubungan antara pembicara dan yang diajak bicara: order1 secara tidak langsung menyatakan bahwa yang diajak bicara merupakan bawahan pembicara dan harus melakukan apa yang diinginkan pembicara. Dalam order2, asumsi ini tidak ada: meskipun ada asumsi baru yang menekankan pada objek (‘sesuatu harus dilakukan untuk benda itu’) dan yang mengindividualkan yang diajak bicara: dia kelihatannya tidak sebagai seorang individu bawahan si pembicara tetapi sebagai orang atau kelompok orang yang berkenan menyediakan jenis objek tertentu bagi konsumen yang tidak ditentukan.
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)
Oleh sebab itu glos terakhir yang ada pada entri COD untuk kata order (“pedagang langsung, pembantu, dan lain sebagainya untuk menyediakan”) membingungkan dua makna yang berbeda, berkaitan dengan perbedaan tipe hubungan sosial dan dengan seperangkat asumsi yang berbeda; sesuatu untuk order (menyuruh) seseorang (misalnya pembantu) untuk melakukan sesuatu; dan order (memesan) sesuatu yang lain dari seseorang (misalnya dari pedagang). Dalam sebuah deskripsi leksikografi yang memadai, perbedaan dua pengertian ini mestinya dapat dibedakan secara jelas, dan pembaca harus diberi informasi mengenai perbedaan kerangka gramatikal yang berkaitan dengan makna yang berbeda tersebut. 10. MENGATASI SIRKULARITAS (KEBERPUTARAN) Kamus‐kamus konvensional, sebenarnya dirusak oleh semua sirkularitas (keberputaran) yang menembus definisi‐ definisinya. Beberapa kamus lebih baik dalam satu hal dibanding kamus yang lainnya (misalnya, kamus OAJD jauh lebih baik dibanding semua kamus Oxford yang diperuntukkan orang dewasa), tetapi meskipun ada perbedaan tingkatan, ada juga pengecualian‐pengecualiannya—keberputaran (sirkularitas) merupakan penyakit (lebih‐lebih dalam bentuk tingkat lanjutan) di mana sebenarnya tidak ada kamus konvensional yang bebas dari permasalahan ini. Para leksikografer praktis selalu peduli mengenai keberputaran definisi mereka, tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana mengatasinya. Mereka mencoba membuat suatu pembenaran “keperluan”, dan berusaha untuk membenarkan keberputaran ini sebagai sesuatu yang mengganggu para ahli semantik teoretis. Tetapi ini sedikit bisa diterima dalam kamus praktis dan yang tidak akan mengganggu pengguna kamus biasa. Kenyataannya bahwa mereka mencurangi diri sendiri (dan tanpa disadari mempengaruhi kemampuan berpikir calon pembaca mereka). Contoh:
31
Kata kerja jump (‘melompat’) didefinisikan oleh OPD sebagai “to move off the ground etc. by bending and then extenxing the legs or (of fish) by a movement of the tail” (makna pertama) dan “to move suddenly with a jump or bound, to raise suddenly from a seat, etc.” (makna kedua). Sebagaimana definisi pertama, seseorang bisa ragu dengan sesuatu yang tidak diharapkan (seperti penggunaan etc.) Untuk pertanyaan apa itu “a jump?” Kamus OPD menawarkan beberapa definisi, tetapi yang ada relevansinya muncul menjadi yang pertama: “a jumping movement” (‘suatu gerakan melompat’). Oleh karenanya, to jump didefinisikan dengan a jump, a jump dengan jumping, dan jumping tidak didefinisikan sama sekali, diperlakukan cukup alami, sebagai suatu bentuk verba to jump. Menggantikan definisi di atas, barangkali perlu dipertimbangkan definisi: to jump – “to move suddenly with a jumping movement”; menjadi: “to move suddenly with a movement characteristic of moving suddenly with a movement”. Dan begitu seterusnya—seperti catatan yang tertangkap dalam suatu alur. Ambil contoh lainnya, kamus OPD mendefinisikan kata fate sebagai “a person’s destiny”, dan destiny sebagai “that which happens to a person or thing thought of as determined by fate”. Mengganti kata fate dengan definisinya didapatkan seperti berikut: destiny is “that which happens to a person or thing thought of as determined by that which happens to a person or thing thought of as that which happens to a person or thing”. Terlepas dari kenyataan bahwa jenis definisi seperti ini merupakan suatu kerugian bagi kemampuan berpikir pembaca, penggunaan yang mana yang memungkinkan bagi mereka? Kalau seseorang mengetahui apa yang dimaksud dengan fate, apa yang dimaksud dengan destiny, dan bagaimana mereka membedakan yang satu dengan lainnya, dan kemudian mereka tidak membutuhkan definisi sama sekali; tetapi kalau mereka tidak mengetahui, atau tidak begitu yakin, maka kamus tidak akan mengajarkan apa‐apa bagi mereka. Baik produsen maupun konsumen hanya akan menghamburkan uang untuk jenis definisi yang tak berguna ini.
32
Dapat ditambahkan bahwa kata fate juga diberi definisi lainnya pada kamus yang sama: “a power thought to control all events and impossible to resist”, dan destiny juga didefinisikan sebagai “fate considered as power”. Di sini menggantikan kata fate dengan definisi yang ada kita dapatkan: destiny adalah “a power….considered as power” ‐ sulit mendapatkan hasil definisi yang jelas. Definisi ini bisa ditolak dengan alasan contoh yang terakhir ini sebenarnya tidak wajar karena konsep kata fate dan destiny ini sulit untuk didefinisikan. Tetapi kenyataannya keberputaran itu begitu meresap di mana konsep yang termudah selalu didefinisikan dengan cara yang sama. Sebagai contoh, LDOTEL mendefinisikan kata best sebagai “excelling all others”. Excel didefinisikan sebagai, sebaliknya dengan superior dan surpass, superior dengan surpass, dan surpass dengan better, demikian juga dengan exceed yang didefinisikan dengan superior. Apa yang paling membingungkan pembaca ialah mengapa best tidak didefinisikan dengan better pada tempat yang pertama daripada memutari lingkaran dengan melibatkan superior, surpass, dan exceed. Hal yang sama, OPD mendefinisikan kata question sebagai “a sentence requesting information or answer”, dan kata answer didefinisikan sebagai “something said or written or needed or done to deal with a question, or problem”. Dengan menghilangkan sejumlah or, mengirit tempat, kita mendapatkan sesuatu seperti ini: answer adalah “something said to deal with a sentence requesting something said to deal with a sentence requesting …” —dan seterusnya. Dan esensi kata question dan answer, tidaklah sulit untuk dinyatakan: question berhubungan dengan situasi ketika, secara gamblang, seseorang mengatakan “I want to know something, I want someone to tell me” dan answer juga secara gamblang dapat dikatakan: “telling someone something that they said they wanted to know” (untuk definisi yang lebih rinci, lihat Wierzbicka 1987a). 11. MENGANDALKAN HAL‐HAL YANG TAK DAPAT DIDEFINISIKAN
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005 19‐37
Seseorang tidak dapat menentukan segala sesuatunya. Apapun yang dilaksanakan secara leksikografis sangat penting untuk menentukan kata‐kata yang mana yang akan didefinisikan dan yang mana pula yang tidak dapat didefinisikan. Permasalahannya sudah dibuat beberapa kali, begitu hati‐hati dan dengan kuat, sehingga seseorang dapat merasa malu untuk mengulanginya. Meskipun begitu, orang harus mengulanginya, hingga masalah dasar ini dipahami secara umum dan akhirnya diterima secara universal. Tetapi bagaimana seorang leksikografer harus memutuskan pada sekumpulan kata yang tidak dapat didefinisikan di mana kamus sebagai landasannya? Untuk alasan yang jelas, sekumpulan kata yang tidak dapat didefinisikan secara rasional semestinya sedikit jumlahnya. Misalnya, kalau separuh kata‐kata yang ada dalam kamus didefinisikan dan separuh lagi tidak, pembaca mempunyai hak untuk mengeluh, dan bahkan barangkali perlu pembayaran kembali 50 persen dari uang yang telah dikeluarkannya untuk kamus tersebut. Kemudian, kata‐kata yang tidak dapat didefinisikan tersebut harus dipilih dari kata‐ kata yang secara intuitif jelas; kalau tidak semuanya akan tidak berguna (atau lebih buruk dari tak berguna). Misalnya, kalau kata good dan bad didefinisikan, secara langsung maupun tidak langsung, dengan moral dan immoral ini tidak berguna bagi pembaca karena pasangan sebelumnya jauh lebih jelas dan lebih mudah dimengerti bagi siapa saja (termasuk anak‐ anak). Oleh karenanya, menjelaskan good dengan moral atau bad dengan immoral merupakan suatu parody (peniruan yang mengolok) dari suatu penjelasan. Untuk ilustrasi, kamus OPD menawarkan sebagai berikut: bad ‐ wicked, evil wicked ‐ morally bad, offending against what is right evil ‐ morally bad, wicked
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)
Dari tiga kata ini kita memperoleh definisi yang mirip dengan jaringan lingkaran yang tak berpangkal dan rumit: to offend ‐ to do wrong wrong ‐ morally bad, contrary to justice or to what is right moral ‐ of or concerned with goodness or badness of human character with the principles of what is right and wrong in conductor Ini berarti bad → wicked → bad; wicked → bad; wicked → offend → wrong → bad → wicked; bad → wicked → moral → bad; dan begitu seterusnya. Kamus OAJD menunjukkan lebih arif, kamus ini tidak mencoba untuk mendefinisikan kata bad sama sekali, dan tentu saja dengan leluasa mendefinisikan kedua kata evil dan wicked dengan bad dengan tidak sempurna, tanpa ragu‐ragu, tetapi paling tidak tanpa keberputaran: evil ‐ very wicked wicked ‐ very bad Sayangnya, kearifan yang sama tidak ditunjukkan dalam kasus kata good, yang didefinisikan, menyebabkan, dugaan, suatu lingkaran yang tak berujung pangkal (dan sambil lalu, memperlakukan kamus pada suatu doktrin yang meragukan dan berbahaya bahwa ‘good’ sama dengan ‘socially acceptable’ (‘berterima secara sosial’). good ‐ of the kind that people like and praise praise ‐ to say that someone or something is very good Solusi untuk semua ini sangatlah mudah: untuk menerima kedua kata good dan bad adalah di antara konsep manusia yang paling dasar dan bahwa kedua kata itu dapat atau perlu didefinisikan—dan kemudian untuk mendefinisikannya harus jelas dan akurat. Kritikan selalu skeptis dalam menentukan kekuatan istilah yang sederhana
33
dan umum seperti good dan bad. Misalnya, Landau (1992:115) menanyakan bagaimana bad dapat “membedakan antara, katakanlah kata‐ kata mistake, blunder, lapse, wrong, dan sin”; tapi kata‐kata yang sederhana seperti bad dapat mencapai tujuan ini jauh lebih baik dibanding sekelompok kata yang tertutup digunakan dalam definisi‐definisi kamus konvensional. Pertimbangkan sekelompok definisi yang berputar‐putar yang ditawarkan oleh AHDOTEL (1973) (penyingkatan di sini hanya untuk alasan penghematan ruang): mistake ‐ an error or fault error ‐ … 4. mistake fault ‐ … 2. a mistake; error sin ‐ 1. a transgression of religious or moral law, especially when deliberate; 2. any offense, violation, fault, or error violation ‐ 1. the act of iolating … 2. an instance of violation; transgression transgression ‐ 1. the violation of a law, command, or duty. Kamus Cobuild melakukan suatu pendekatan yang berbeda, akan tetapi, kamus ini juga masih jauh dari kesuksesan. Misalnya: Mistake ‐ 1.1 an action or opinion that is incorrect or foolish, or that is not what you intend to do, or whose result is undesirable; 1.2. something or part of something, which is incorrect or not right Komentar pada margin menyebutkan, sebagai tambahan, bahwa “mistake = error”. Kalau definisi yang ditawarkan oleh AHDOTEL mencolok pada keberputaran yang jelas, sementara yang ditawarkan Cobuild mencolok pada kegagalan mereka untuk menangkap ketakbervarianan. Kata mistake (nomina) mempunyai suatu kesatuan makna, yang dapat dinyatakan sebagai berikut: Mistake (X made a mistake) Something bad happened Because X did something X didn’t want it to happen X wanted something else to happen
34
X thought that something else would happen Dengan menganalisis konsep ‘mistake’ ini ke dalam komponennya, kita tidak hanya dapat menghindari keberputaran dan menangkap suatu kesatuan makna, tetapi juga menunjukkan perbedaan dan sekaligus persamaan antara konsep yang berhubungan seperti ‘mistake’, ‘blunder’ dan ‘sin’. Contoh, Cobuild mendefinisikan kata blunder sebagai “a big mistake, especially one which seems to be the result of carelessness or stupidity”. Akan tetapi tidak semua yang “big mistake”, atau bahkan “terrible mistake”, merupakan kesalahan besar. Sesuatu seperti “stupidity”, merupakan bagian yang penting dari konsep ini (seharusnya tidak diperkenalkan pada sebuah kerangka “especially”). Perhatikan konsep yang diberikan Landau (1992) di bawah ini: blunder (X made a blunder) something bad happened because X did something X didn’t want it to happen if X thought about it for a short time, X wouldn’t have done it people can think something bad about X because of this Landau tidak yakin bahwa sebuah kata yang umum dan sederhana seperti bad dapat digunakan baik dalam menentukan sebuah kata seperti mistake (tanpa implikasi moral dan agama) maupun konsep moral dan agama seperti sin. Berikut ini adalah contoh sin yang diajukan oleh Landau (dalam penggunaan kata yang serius dan lucu): sin (X commited a sin) X did something bad X knew that it was bad to do it X knew that God wants people not to do things like this X did it because X wanted to do it this is bad Kesederhanaan semua unsur yang digunakan dalam definisi ini untuk
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005 19‐37
menghindari keberputaran, menggambarkan hubungan struktural, dan menghindari kekakuan dan ketidakjelasan makna yang sebenarnya. Akhirnya, sedikit mengenai kata wrong (ajektiva) di mana AHDOTEC menemukan caranya sendiri dengan memaksakan memposisikan tidak kurang dari tujuh makna yang berbeda, dan Cobuild sebanyak sebelas, tanpa mampu menunjukkan apakah kesemuanya ini berupa makna yang diharapkan untuk dimiliki bersamaan. Secara mendasar makna dari dua ajektiva ini sangatlah sederhana. Pada pokoknya, semua itu dapat dinyatakan seperti berikut ini: It is wrong to do this (like this).= It is bad to do this (like this) If one thinks about it one can know it It is right to do this (like this).= It is good to do this (like this) If one thinks about it one can know it Tidak seperti konsep ‘good’ dan ‘bad’, yang universal, konsep ‘right’ dan ‘wrong’ khusus berkaitan dengan budaya, dan tentu saja ini sangat membuka pikiran dalam hubungan yang mereka postulasikan antara nilai (‘good’ dan ‘bad’) dalam satu sisi dan ‘thinking’ dan ‘knowing’ pada sisi lainnya (lihat Wierzbicka 1989a; 1992a, Bab 1). 13. MENCARI DEFINISI MODEL BARU Definisi secara leksikografis dapat diperbaiki saat mempertahankan suatu bentuk yang sedikit banyaknya masih tradisional. Hal ini dapat dilakukan dengan penyederhanaan dan pengaturan definisi‐definisi bahasa, dengan menggunakan suatu model definisi lain, dengan mencoba menangkap ketakbervarianan (dan membuang semua or dan etcetera), dan menghindari keberputaran. Hal ini mungkin dapat memperbaiki definisi lebih jauh, jika seseorang dipersiapkan untuk membuang bentuk‐bentuk definisi tradisional dan mencari format‐format baru dan model‐model baru (menggambarkan penemuan–penemuan semantik kontemporer)
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)
12. MENGGUNAKAN BAHASA SEDERHANA Hal‐hal yang tidak dapat didefinisikan dihubungkan sedekat mungkin dengan bahasa sederhana. Penggunaan bahasa kompleks yang berlebihan dan bahasa yang tidak jelas merupakan salah satu hambatan untuk suatu komunikasi yang efektif dalam segala usaha manusia; tetapi dalam sebuah kamus, yang mencari penjelasan makna kata‐kata, sering terjadi salah penempatan. Pertimbangkan juga, misalnya, definisi dari kata obligatory dan optional, yang diberikan AHDOTEL: Obligatory – 1. legally or morally constraining; binding; 2. imposing or recording an obligation. 3. of the nature of an obligation; compulsory. Optional – left to choice; not compulsory or automatic Bukankah akan lebih baik untuk menjelaskan makna kata dalam kata‐kata yang sederhana, seperti pada uraian berikut:
Pertimbangkan, misalnya, entri dalam LDOTEL untuk verba to punish: 1a. to impose a penalty on for a fault, offence or violation b. to inflict a penalty for (an offence) 2. to treat roughly, harshly, or damagingly Beberapa kelemahan dari entri tersebut cukup jelas: penempatan polisemi yang sama sekali tidak dibenarkan (1 berlawanan dengan 2) dan semi‐polisemi (1a berlawanan dengan 1b); kegagalan menangkap ketakbervarianan (apa yang melakukan “fault, offense or violation” adalah hal yang wajar?); keberputaran yang tersembunyi. Untuk memberikan konsep “punishment” dengan akurat kita memerlukan
35
suatu skenario, bukan suatu definisi jenis tradisional: X punished Y [for Z] = (a) [Y did X] (b) X thought something like this: (c) Y did something bad [Z] (d) I want Y to feel something bad because of this (e) it will be good Y feels something bad because of this (f) it will be good if I do something to Y because of this (g) X did something to Y because of this Komponen (a) mengacu pada tindakan orang yang melakukan kejahatan, (b) sampai (f) menggambarkan tindakan dari penghukum, dan (g) mengacu pada tindakan penghukum. Tindakan penghukum meliputi, berbicara kasar, suatu keinginan untuk memberikan rasa sakit (d), dan tiga asumsi: bahwa target orang melakukan sesuatu yang buruk (c), yang akan menjadi benar dan hanya jika dia “menderita” (merasakan sesuatu yang tidak enak) sebagai akibatnya (e), dan bahwa penghukum disebut sedang memberikan rasa sakit (diperkirakan, sebagai orang yang bertanggung jawab). Penggambaran konsep dari “revenge” dengan tepat diperlukan suatu skenario: Y took revenge on X [for Z] = (a) someone (X) did something bad [Z] to someone (Y) (b) because of this, Y felt something bad (c) after this, Y thought something like this (d) this person (X) did something bad [Z] to me (e) because of this, I want to do the same to this person (X) (f) Y thought about it for a long time (g) After this, Y did something bad to X because of this Komponen (a) mengacu pada tindakan orang yang bersalah, dan (g) kepada yang akan membalas; (b) menunjukkan yang dirasakan si pembalas, dan komponen (d) dan (e) menunjukkan pemikiran‐pemikirannya (dengan
36
fokus mereka pada “membalas dengan hal yang sama”). 14. SIMPULAN Untuk mendapatkan makna‐makna yang benar merupakan hal yang sangat penting – lebih penting daripada yang lainnya. Jika leksikografi teoretis tidak dapat membantu dalam hal ini – dengan menyediakan ide, prinsip, cerita, model, dan petunjuk‐petunjuk yang ada – seseorang dapat benar‐benar meragukan raison d’être. Leksikografi teoretis menawarkan semua hal tersebut. Yang paling penting hal ini menawarkan suatu alat yang dapat melakukan perbaikan dengan sendirinya penyakit‐penyakit leksikografi tradisional dalam porsi yang besar: metabahasa leksikografi alamiah, yang diturunkan dari Natural Semantic Metalanguage (Metabahasa Semantik Alamiah), dan berdasarkan primitif semantik universal. DAFTAR PUSTAKA Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago: The University of Chicago Press. Commrie, Bernard. 1997. Language Universal and Typologi: Syntax and Morpholoy. Oxford: Basil Blackwell. Cruze, D. A. 1986. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. Dixon, W. 1992. Linguistic Semantic. USA: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Frawley, William. 1992. Linguistic Semantic. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Goddard, Cliff. 1994. Semantic Theory and Semantic Universal. Goddard (Convenor). 1996. Cross Linguistic Syntax from Semantic Point of View (NMM Approach). 1‐5. Australia: Australian National University. Goddard, Cliff. 1996a. Building a Universal Semantic metalanguage: The Semantic Theory of Anna Wierzbick. Goddard (Convenor). 1996. Cross Linguistic Syntax from Semantic
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005 19‐37
Point of View (NMM approach). 24‐37. Australia: Australian National University. Goddard, Cliff. 1996b. Grammatical Categories and Semantic Prime. Goddard (Convenor). 1996. Cross Linguistic Syntax from Semantic Point of View NMM Approach. 38‐57. Australia: Australian National University. Goddard, Cliff. 1996c. “Culture Value and ‘Culture Scripts’ of Malay”. Cross Cultural Communication. Australia: Australian National University. Leech, Geoffey. 1981. Semantics: The Study of Meaning. London: Pinguisn Books. Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. USA: Longman Inc. Lyon, John. 1981. Semantics. Volume I / II. London: Cambridge University Press. Ogden, C. K. and I.A. Richards. 1936. The Meaning of Meaning. New York: A Harvest Book. Ullmann, Stephen. 1977. Semantics: An Introduction to The Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell. Wierzbicka, Anna. 1991. Cross‐Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction. Berlin: Mouton de Gruyter. Wierzbicka, Anna. 1992. Semantics, Culture, and Cognition: Universal Human Concept ini Culture Spesific Configurations. Oxford: Oxford Universitas Press. Wierzbicka, Anna. 1994. Semantic Primitive Across Languages: A Critical Review. In Goddard and Wierzbicka. Wierzbicka, Anna. 1996a. “Different Culture, Different Language, Different Speech Act”. Wierzbicka (Convenor). 1996. Cross‐ Cultural Communication, 30 ‐ ‐ 50. Canberra: Australia national University. Wierzbicka, Anna. 1996b. Cross‐Cultural Communication. Canberra: Australian National University. Wierzbicka, Anna. 1996c. “The Syntax of Universal Semantic Primitive”. Goddard (Convenor). 1996. Cross‐Linguistic Syntax from a Semantic Poin of View (NSM Approach) 6 ‐ ‐23. Canberra: Australian National University.
Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)
Wierzbicka, Anna. 1996d. Semantics: Primes and Universal. New York: Oxford Univerity Press. Wierzbicka, Anna. 1999. Emotions Across language and Culture: Diversity and Universals. Cambridge: Cambridge University Press.
37