2
Perusahaan
yang
berhasil dapat diukur dengan
melihat pada
sejauhmana perusahaan tersebut dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Keefektifan organisasi menjadi hal penting agar perusahaan mampu mencapai tujuan tersebut. Lima kriteria mengetahui keefektifan organisasi yakni produktifitas,
kemampuan
adaptasi
atau
fleksibilitas,
kepuasan
kerja,
kemampuan berlaba, dan pencarian sumber daya (Steers, 1985). Selain itu Flippo (2005) mendefinisikan Quality Of Work Life sebagai setiap kegiatan (perbaikan) yang terjadi pada setiap tingkatan dalam suatu organisasi untuk meningkatkan efektivitas organisasi yang lebih besar melalui peningkatan martabat dan pertumbuhan manusia. Melakukan perbaikan secara berkelanjutan merupakan suatu tindakan yang mampu menunjang keefektifan organisasi (Robberts & Amit, 2003). Perubahan secara berkelanjutan meliputi, berorientasi terhadap pelanggan, pengendalian mutu, berinovasi, menjalankan sistem saran yang bagus, serta perbaikan hubungan kerja antara pimpinan dan karyawan (Cole, 2001). Proses perubahan berkelanjutan dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh kondisi dan karakteristik organisasi. Ada organisasi yang mudah menerima perubahan, ada pula yang menolak terhadap perubahan. Perbedaan penerimaan perubahan di sebuah organisasi salah satunya dipengaruhi oleh budaya organisasi (Furnham, 2005). Budaya mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan berperilaku yang menghasilkan perbedaan aspek-aspek dalam kehidupan seseorang yaitu keyakinan, nilai, sikap, dan perilaku (Hofstede & Hofstede, 2005). Berdasarkan kajian national culture, Indonesia dikategorikan sebagai Negara dengan budaya
2
3
kolektivis dibandingkan dengan individualis, dengan skor Individualsm Index (IDV) sebesar 14 dari skala 1-100 (Hofstede & Hofstede, 2005). Budaya individualis-kolektivis menurut Hofstede & Hofstede (2005) adalah sebuah prioritas dalam kegiatan bersosial dimana isu utama dalam dimensi ini adalah derajat saling ketergantungan diantara anggotanya. Budaya individualis lebih menekankan pada diri sendiri dan keluarga dekat, sehingga setiap pihak diharapkan mengurus dirinya sendiri dan keluarganya secara mandiri. Sebaliknya pada budaya kolektivis, individu dapat mengharapkan kerabat, suku, atau kelompok lainnya untuk melindungi mereka sebagai bagian dalam kelompok tersebut (Hofstede & Hofstede, 2005). Secara lebih mendalam menurut teori budaya yang dikembangkan Rokeach, kolektivism masih dibagi menjadi dua berdasarkan cara pandang diri terhadap orang lain, yakni hubungan secara vertikal (different self) dan horizontal (same self) (Earley & Erez,1997). Individu dengan kolektivisme vertikal merupakan individu yang menekankan integritas kelompok, individu bersedia mengorbankan tujuan pribadi demi tujuan kelompok, dan memiliki preferensi dalam kompetisi antar kelompok yang tinggi. Individu ini juga melihat dirinya sebagai bagian penting kelompok, tetapi menyadari perbedaan antara satu anggota dengan yang lainnya (misal: status sosial pemimpin lebih tinggi daripada anggota). Selanjutnya, individu yang tinggi dalam dimensi kolektivisme horisontal adalah individu yang memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok tetapi mereka memahami bahwa semua anggota kelompok setara. Individu kolektivisme horisontal melihat diri mereka mirip dengan dengan individu lain dan menekankan tujuan umum dengan orang lain, saling bergantung, dan
4
bersosialisasi, namun mereka tidak mudah untuk tunduk pada otoritas (Lee & Choi, 2005). Manifestasi dari karakter budaya kolektivis salah satunya dapat dilihat pada sikap karyawan saat menghadapi perubahan (Kolodziej-smith, Friesen, & Yaprak, 2013). Dalam situasi perubahan, masyarakat kolektivis cenderung mensikapi situasi tersebut dengan tetap berpegang pada cara lama, kurang responsif, enggan bersaing dan tetap bekerja sesuai dengan aturan yang telah baku (Smith, Wasti, Grigoryan, Achoui, Bedford, Budhwar, Lebedeva, 2014). Akibatnya dalam situasi perubahan, karyawan pada masyarakat kolektivis akan mudah menunjukkan perilaku kerja seperti absenteeism, kepuasaan menurun, rendahnya produktivitas kerja, serta penurunan kualitas produk. Kondisi penurunan kepuasan kerja salah satunya adalah saat supervisorstaf menjalin relasi sosial yang kurang baik (Cheung, Wu, Chan, & Wong, 2009; Cheung, Wu, & Wong, 2013). Efek terburuk bila kepuasan kerja tidak terpenuhi sampai ke turnover karyawan (Gallup, 2008). Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Gallup (2008) terhadap 44 organisasi dan 10.069 unit bisnis yang menunjukkan bahwa alasan staf keluar dari pekerjaan karena bermasalah dengan atasan. Selain itu kondisi like and dislike dalam kolektivism mendorong bawahan mencari personal benefit dengan menggunakan segala cara untuk menjalin relasi sosial yang baik dengan atasannya (Zhang, Deng, & Wang, 2014). Kasus lain yang terjadi di salah satu perusahaan, ketika ada individu yang ingin melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, kurang difasilitasi oleh atasan (Rup, W1, 60-63; Rup, W1, 675-679; Ojp, W1, 123-126). Hal ini berdampak pada performa perusahaan yang dihasilkan kurang maksimal, karena karyawan akan bekerja asal-asal an (Yir, W1, 207-209).
5
Relasi sosial antara atasan dan bawahan menurut level jabatan dalam sebuah perusahaan terbagi menjadi dua, yakni relasi timbal balik manajersupervisor dan relasi timbal balik supervisor-staf (Higgins, 1982). Perbedaan relasi sosial tersebut terletak pada posisi jabatan dalam struktur organisasi (Higgins, 1982) serta outcome dari relasi sosial yang terjalin diantara keduanya (Uhl-Bien & Maslyn, 2003). Posisi jabatan dalam hirarki organisasi perusahaan dapat dibedakan dalam kategori yang umum dipakai yaitu: staff, supervisor, manager, general manager, direktur (Robbins, 2003). Staff adalah sekelompok orang yang bekerja sama membantu seorang pimpinan dalam mengelola sesuatu yang berada dalam level terbawah di sebuah organisasi. Staf mempunyai fungsi kerja terbatas dengan wewenang dan tanggung jawab terbatas. Supervisor adalah seorang yang mensupervisi beberapa staff dalam sebuah bidang pekerjaan. Fungsi kerja dan tanggung jawab seorang supervisor tentunya jauh lebih besar daripada seorang staff. Manajer adalah jabatan lanjutan setelah supervisor. Seorang manajer dapat membawahi beberapa supervisor dan mempunyai beberapa fungsi kerja yang berbeda (KBBI, 2016; KBJI 2014). Selain posisi jabatan, outcome yang dihasilkan dari relasi tersebut juga berbeda. Outcome relasi sosial supervisor-staf lebih banyak berupa aktivitas pekerjaan rutin yang lebih spesifik sesuai dengan departemen di perusahaan (Berneth, Armenakis, Feild, Giles, & Walker, 2008). Disisi lain outcome relasi sosial manajer-supervisor lebih banyak berupa kebijakan, aturan, dan prosedur dengan lingkup bahasan yang lebih luas (Uhl-Bien & Maslyn, 2003). Penelitian ini fokus pada relasi sosial supervisor-staf dengan beberapa alasan. Pertama, supervisor dan staf berinteraksi lebih intens dibanding manajer
6
dan supervisor. Kedua, apabila relasi sosial supervisor-staf terjalin baik maka staf akan memberikan service excellence kepada pelanggan (Johlke & Duhan, 2000). Selanjutnya, relasi sosial supervisor-staf ini dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif untuk bisnis dan individu (Han & Altman 2009). Selain itu relasi sosial supervisor-staf memiliki dampak positif pada organizational citizenship behavior (Lin & Ho, 2010) dan kecepatan dalam proses penyelesaian konflik (Chen, Friedman, Yu, Fang, & Lu, 2009) antara supervisor dan staf. Meskipun demikian, relasi sosial yang terjadi antara supervisor-staf sangat dipengaruhi oleh usia (Green, Whitten, & Medlin, 2005; Suazo, dkk., 2008). Perbedaan usia menjadi faktor penentu apakah komunikasi supervisorstaf berjalan dengan lancar. Meskipun demikian kondisi yang sekarang terjadi ialah kebanyakan atasan lebih muda daripada bawahan (Shah & Anand, 2012). Oleh karena itu pada penelitian ini, peneliti lebih berfokus pada relasi sosial supervisor-staf dimana supervisor memiliki usia lebih muda daripada staf. Menurut Johnson & Johnson (2005), relasi sosial merupakan social interdependence yang terbentuk demi mencapai sebuah tujuan. Dwyer (2000) dan Nicotera (1993) mendefinisi relasi sosial sebagai interaksi yang berkelanjutan antara dua individu atau lebih yang saling mengenal satu sama lain. Interaksi ini dapat terjalin karena ada kesamaan kepribadian (Oren, Tziner, Sharoni, Amor, & Alon, 2012) dan ketertarikan akan suatu hal (Cheung, dkk., 2009; Han & Altman, 2009). Perilaku orang yang berelasi adalah saling mempengaruhi (Han & Altman, 2009) yang akan menghasilkan suatu perubahan terhadap perilaku lainnya, serta memiliki harapan timbulnya keuntungan pada interaksi di masa depan (Cheung, dkk., 2009; Sollito, Martin, Dusic, Gibbons, &
7
Wagenhouser, 2016; Zhang, Deng, & Wang, 2014). Salah satu bentuk relasi sosial dalam organisasi yakni relasi atasan dan bawahan (Higgins, 1982). Selanjutnya, Johnson & Johnson (2005) menyebutkan tiga macam relasi sosial, yakni promotive interaction, oppositional interaction, dan no interaction. Promotive interaction merupakan hubungan antar individual yang saling mendukung untuk mencapai suatu tujuan. Oppositional interaction merupakan hubungan antar individu untuk saling berkompetisi dan memiliki kecenderungan mencegah orang lain mencapai tujuan. Fokus pada hubungan ini adalah pencapaian goal sendiri. No interaction didefinisikan sebagai seseorang yang fokus pada tujuannya sendiri, tidak membutuhkan orang lain untuk mencapai tujuannya (Johnson & Johnson, 2005). Dalam konteks organisasional, relasi atasan dan bawahan diyakini sebagai suatu hubungan diad (timbal balik) antara atasan dan bawahan yang terbentuk karena akan menyelesaikan tugas dari organisasi, dimana durasi relasinya terbilang lama (Green, Whitten, & Medlin, 2005). Terkait dengan proses terbentuknya relasi atasan dan bawahan, Zhang, dkk. (2014) menjelaskan proses tersebut dimulai dari formal kemudian berlanjut sampai bentuk informal. Relasi antara atasan dan bawahan yang berbentuk formal, biasa disebut leader member exchange (Sollitto, dkk., 2016), fokus pada hubungan dalam pekerjaan dan penyelesaian tugas (Bhal & Ansari, 2007; Wilmot, 2001). Disisi lain, relasi sosial informal lebih kearah hubungan di luar jam kerja (Cheung, dkk., 2009). Contoh relasi atasan dan bawahan yang bersifat formal adalah coordination (Stok, 2009), collaboration (Wilmot, 2001) dan cooperation (Schalk & Cursue, 2010). Sedangkan contoh relasi atasan dan bawahan yang bersifat informal yakni komunikasi dalam hal berbagi perasaan,
8
emosi, dan pemahaman satu sama lain (Chen, dkk., 2009; Cheung, dkk., 2013; Johlke & Duhan, 2000) serta mengekspresikan emosi dan memotivasi (Higgins, 1982). Karyawan yang memiliki kedekatan yang baik (in-group) dengan pimpinan akan memiliki kualitas pembagian peran yang lebih baik dalam pekerjaannya. Hal ini berimplikasi pada perlakuan pimpinan yang juga akan berbeda baik berupa pembagian informasi yang lebih banyak hingga keterlibatan dalam pengambilan keputusan (Gomez & Rosen, 2001). Komunikasi antara atasan dan bawahan merupakan sebuah interaksi dimana atasan atau bawahan saling memberikan informasi (Higgins, 1982; Steele & Plenty, 2015). Proses komunikasi adalah adanya interaksi antara seorang pembawa pesan (berupa ide, perasaan, konsep) yang dibagikan kepada lawan bicara (Higgins, 1982). Dalam konteks organisasi, relevansi suatu pesan ditentukan oleh perbedaan bahasa dan kompetensi atasan atau bawahan dalam menyampaikan pesan (Johlke & Duhan, 2000; Steele & Plenty, 2015), kedekatan relasi antara atasan dan bawahan, kesamaan gender, dan waktu pemberian informasi yang tepat (Higgins, 1982). Lebih jauh, Gray (1989) menjelaskan pengertian relasi formal atasan dan bawahan
diatas
secara
terperinci.
Pertama,
coordination
(koordinasi),
didefinisikan sebagai modus menghubungkan beberapa bagian dalam sebuah organisasi untuk mencapai suatu tujuan. Peneliti lain menyatakan koordinasi merupakan suatu interaksi dimana ada seseorang yang berbagi tugas kepada pihak lainnya (Stok, 2009). Disisi lain, Hoegl, Weinkauf, & Gemuenden (2004) menyoroti tentang dampak koordinasi yang tidak efektif antara atasan dan bawahan, seperti timbulnya kesalahan dalam bekerja, perilaku pengulangan pengerjaan, serta terciptanya hubungan yang buruk antara atasan dan bawahan.
9
Kedua, collaboration adalah sebuah proses kesepakatan pada saat beberapa pihak bekerja bersama-sama mengeksplorasi perbedaan hingga mampu melampaui visi mereka sendiri (Gray, 1989). Suatu kolaborasi didapatkan setelah adanya kesesuaian antara pekerjaan dan koordinasi diantara atasan dan bawahan. Selain itu dalam kolaborasi ini tidak ada pihak yang diuntungkan atau dirugikan, kerjasama bersifat win-win solutions (Stok, 2009). Ketiga, cooperation (kooperasi) merupakan suatu proses individu bersama individu lain untuk meraih tujuan bersama, dimana goal yang dituju adalah sebuah goal yang saling ketergantungan dan akan mendapatkan keuntungan bersama (Schalk & Cursue, 2010). Lebih jauh, dalam kooperasi ada kecenderungan pembagian resources satu sama lain yang berpeluang memunculkan kompetisi di dalamnya (Cheung, dkk., 2013). Selain penjelasan mengenai relasi atasan dan bawahan yang bersifat formal dan informal, ada pendapat lain mengenai bentuk relasi atasan dan bawahan yang diteliti oleh Fiske (1992), yakni: 1) communal sharing (CS) memiliki ciri khas dimana anggota dalam kelompok akan diperlakukan sama oleh kelompoknya, 2) authority ranking (AR) merupakan bentuk relasi sosial dimana sistem hubungan dalam kelompok adalah hubungan secara hirarki, 3) equality matching (EM) merupakan suatu bentuk relasi sosial dimana masing-masing anggota memiliki suatu kesadaran untuk membuat segalanya menjadi seimbang, dan 4) market pricing (MP) merupakan suatu bentuk relasi sosial dimana uang atau imbalan sebagai tolak ukur bagaimana mereka berelasi satu sama lain. Keempat model relasi sosial tersebut terjadi secara bertahap sesuai dengan fase interaksi yang sedang dijalin ataupun aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada suatu organisasi (Fiske, 1992) (lihat Gambar 1).
10
Communal Sharing
Authority Ranking
Equality Matching
Market Pricing
Gambar 1. Tahapan Penerapan Model Relasi sosial. Berawal dari communal sharing, authority rangking, equality matching, dan terakhir merupakan market pricing (Fiske, 1992). Penelitian dari Chen, dkk. (2009) menyebutkan ada tiga karakteristik relasi sosial supervisor-staf pada saat sebuah perusahaan berubah dari bentuk relasi communal sharing ke market pricing. Pertama, affective attachment, yang mempengaruhi perasaan, emosi, pemahaman satu sama lain, dan kepedulian satu sama lain. Oleh karena itu, intensitas relasi supervisor-staf akan berpengaruh terhadap keterikatan satu sama lain. Kedua, personal-life inclusion, sebagai derajat hubungan antara supervisor-staf yang dipengaruhi oleh seberapa dekat dengan keluarga atau kehidupan pribadi mereka. Ketiga, deference to supervisor yakni berupa derajat ketaatan staf terhadap supervisor (Chen, dkk., 2009). Lebih lanjut, relasi sosial supervisor-staf dapat meningkatkan kepuasan dan komitmen kerja (Biggs & Swailes, 2006; Chiaburu & Harrison, 2008; Cheung, dkk., 2009;), serta keterlibatan kerja di organisasi (Song & Olshfski, 2008). Selain itu, efek positif berkepanjangan yang ditimbulkan dari relasi timbal balik supervisor-staf bisa mendekatkan pada tujuan perusahaan (Han & Altman, 2009; Zhang, dkk., 2014) dan dapat mencegah turn-over pada karyawan (Chiaburu & Harrison, 2008). Motif supervisor dan staf menjalin relasi sosial yakni untuk memenuhi kebutuhan berkomunikasi (Steele & Plenty, 2015; Zimmerman, 2015), kebutuhan penyelesaian tugas dari organisasi (Zhang, dkk., 2014) serta berkomitmen dan loyal pada perusahaan (Smith, dkk., 2014). Letak perbedaan motif staf ingin
11
menjalin relasi sosial dengan atasan dikarenakan adanya kepentingan pribadi yang hendak dicapai oleh staf (Chen, dkk., 2011; Zhang, dkk., 2014). Selain motif terbentuknya relasi sosial supervisor-staf, beberapa penelitian terdahulu menjelaskan mengenai faktor-faktor pembentuk relasi sosial supervisor-staf. Faktor pembentukan relasi sosial supervisor-staf terbagi menjadi tiga yakni intrapersonal, interpersonal, dan organisasional (Nienaber, Romeike, Searle, & Schewe, 2015). Faktor intrapersonal yakni faktor yang dipengaruhi oleh diri, berupa kepribadian (Knoll & Gill, 2011) dan relational self (Brewer & Gardner, 1996). Ketika seseorang akan berinteraksi dengan individu lain terutama individu yang spesifik, maka akan muncul relational self. Relational self merupakan salah satu aspek dari social identity dimana diri diidefinisikan berdasarkan hubungan interpersonal yang dimiliki dengan orang lain. Orang akan berusaha beradaptasi dengan orang lain (Hogg, Abrams, Otten & Hinkle, 2004). Faktor relasi interpersonal yakni faktor yang berasal orang lain. Faktor ini menunjukkan kompetensi atasan (Johlke & Duhan, 2000; Steele & Plenty, 2015) baik itu kompetensi berkomunikasi maupun model kepemimpinannya (Mikkelson, dkk., 2015). Selain itu, faktor lain dari interpersonal yakni trust. Tingkat kepercayaan supervisor dan staf akan mempengaruhi relasi sosial (Nienaber, dkk., 2015). Sedangkan faktor terakhir yakni organisasional yakni faktor yang bersumber dari kelompok yang lebih besar yakni organisasi. Faktor ini dipengaruhi oleh ukuran organisasi (Tansel & Gozioglu, 2010) dan budaya organisasi (Hofstede & Hofstede, 2005). Perusahaan yang memiliki skala besar memiliki kecenderungan memiliki relasi sosial yang lebih jarang daripada perusahaan kecil. Relasi sosial yang dimiliki oleh karyawan di perusahaan kecil lebih dalam dan lebih intim (Tansel & Gozioglu, 2010). Selain tiga faktor diatas, relasi sosial ditentukan pula
12
oleh frekuensi, variasi, lamanya berinteraksi (Han & Altman, 2009), dan interaksi sebelumnya antara supervisor dan staf (Zhang, dkk., 2014). Semakin sering seseorang berinteraksi dalam berbagai setting, dan memiliki pengalaman afeksi yang bagus di interaksi tersebut maka semakin kuat relasi yang terjalin antara supervisor dan staf. Selanjutnya, beberapa penelitian sebelumnya telah menguji dampak dari relasi sosial supervisor-staf. Secara umum relasi sosial supervisor-staf berdampak terhadap performa kerja (Johlke dan Duhan, 2000; Mikkelson, dkk., 2015; Zimmerman, 2015) dan kepuasan kerja karyawan (Green, dkk., 2005; Johlke & Duhan, 2000; Mikkelson, dkk., 2015; Steele & Plenty, 2015; Sollito, dkk., 2016). Selain itu, relasi sosial supervisor-staf dapat mempengaruhi kemampuan melayani pelanggan dengan baik (Johlke & Duhan, 2000). Dampak lebih jauh dari relasi sosial supervisor-staf adalah komitmen organisasi, promosi jabatan, dan intensi turn over (Cheung dkk., 2013). Oleh karena itu, relasi sosial supervisor-staf sangat penting bagi perusahaan. Meskipun demikian, berdasarkan hasil penelusuran peneliti di beberapa jurnal seperti Jurnal Psikologi, Jurnal Psikologi Industri dan Organiasi, Jurnal kepribadian dan sosial, Journal of Employee Relations, Journal of Personality and Social Psychology, Journal of Cross Cultural Management, dan Journal of Applied Psychology, belum ditemukan penelitian mengenai relasi sosial supervisor-staf untuk konteks Indonesia. Padahal penelitian relasi sosial supervisor-staf sudah banyak dilakukan di beberapa negara antara lain China (Chen, dkk., 2009; Cheung, dkk., 2009; Zhang, dkk., 2014;), Jepang (Cheung, dkk., 2013), USA (Andiappan & Trevino, 2010; Knoll & Gill, 2011; Sollito, dkk., 2016), Brazil, Australia, Saudi, Rusia, Turki, dan India (Smith, dkk. 2014).
13
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Smith, dkk. (2014) untuk menguji konsep guanxi sebagai bentuk relasi sosial supervisor-staf di delapan Negara, yakni Taiwan, Singapura, Saudi, Rusia, Turki, India, Brazil, dan UK. Konsep guanxi berasal dari Negara Cina, sebagai Negara dengan budaya kolektivis. Konsep guanxi adalah relasi sosial yang kuat antara individu satu dengan individu lain. Guanxi supervisor dan staf diartikan sebagai hubungan informal antara supervisor dan staf demi mencapai norma sosial yang sudah disepakati. Proses terbentuknya guanxi supervisor-staf diawali dengan proses formal yakni penempatan orang dalam sebuah perusahaan (Cheung, dkk., 2013; Cheung, dkk., 2009; Han & Altman, 2009; Higgins, 1982; Zhang, dkk., 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep guanxi tidak bisa digeneralisasikan untuk kedelapan negara tersebut, karena di setiap budaya konsep relasi sosial supervisor-staf dapat berbeda beda. Penelitian yang sama dilakukan di Jepang oleh Cheung, dkk. (2013) yang mengusung konsep kankei sebagai gambaran kualitas informal serta pertalian emosi antara supervisor dan staf. Kankei dan guanxi memiliki kesamaan yakni supervisor memiliki tugas untuk memeriksa tugas dan pekerjaan bawahannya sekaligus melihat ketertarikan bawahan, mengambil tanggungjawab dari bawahan serta melindungi bawahan dari hukuman kedisiplinan. Tabel 1 menggambarkan perbedaan kankei dan guanxi. Tabel 1. Perbedaan Kankei dan Guanxi Akses informasi
Kankei
Guanxi
Orang luar sulit mendapatkan sebuah informasi, namun ketika staf dekat dengan supervisor maka informasi mudah sekali diberikan.
Akses informasi diberikan sama rata dan ada norma saling timbal balik.
14
Sifat relasi
Lebih emosional, ketergantungan satu dengan yang lain kuat.
Loyalitas
Staf sangat loyal terhadap supervisor
Orientasi Waktu
Ketika seseorang sudah dianggap sebagai keykankei-member maka supervisor akan menjamin kesejahteraan staf selamanya. Hubungan ini merupakan hubungan yang spesial atau istimewa, tidak semua bisa masuk dalam kankei. Supervisor hanya memfasilitasi pembuatan sebuah keputusan daripada memberikan secara langsung keputusan akhir.
Pembuatan Keputusan
Rasional, Supervisor dan staf saling memberi sesuatu dengan waktu yang tidak tentu dan akan saling memberikan (hubungan timbal balik). Staf akan loyal kepada supervisor bila atasan akan memberikan keuntungan yang sama dengan loyalitas yang ia berikan. Ketika bawahan merasa sudah tidak nyaman dengan atasan, maka dengan mudah bisa pindah ke perusahaan lain.
Supervisor menggunakan pendekatan autokratik leadership untuk membuat suatu keputusan.
Sumber: Cheung, dkk., 2013
Selanjutnya penelitian relasi sosial supervisor-staf ini juga dilakukan di Brazil terutama dikaitkan dengan proses hubungan informal dalam hubungan sosial yakni jeitinho. Jeitinho dan guanxi ini sama-sama mendefinisikan relasi dalam bentuk informal dan memiliki kesamaan dalam motif terjalinnya relasi sosial yakni adanya kepentingan pengambilan keputusan. Meskipun demikian, guanxi dan jeitinho memiliki perbedaan. Pengambilan keputusan dalam guanxi akan tetap dengan sistem autokratik dan kemurahan hati dari atasan yang akan berpengaruh pada pengambilan keputusan. Selain itu dalam guanxi hasil keputusan akan dipengaruhi dari relasi sosial yang terjalin sebelumnya. Berbeda dengan jeitinho, atasan akan memperlakukan sama dan tidak ada pengaruh dari relasi sosial sebelumnya (Torres, Alfinito, Galvao, & Tse, 2015).
15
Penelitian selanjutnya dari Han & Altman (2009), menyimpulkan adanya tiga karakteristik relasi sosial supervisor-staf. Pertama, adanya meaningfull and ethical guanxi yakni hubungan timbal balik diantara keduanya. Pada supervisor bentuknya berupa kepedulian dan dukungan, sedangkan pada staf berupa komitmen, kepercayaan, dan kecakapan. Kedua, adanya perceived unethical organisational injustice (ketidakadilan dalam sebuah pekerjaan) yakni berupa ketidakadilan prosedural, ketidakadilan yang dilakukan interpersonal, dan ketidakadilan dalam pendistribusian pekerjaan. Ketiga, impression management dimana ada beberapa orang yang melakukan pemberian contoh agar terlihat baik, kepura-puraan dalam bersikap, dan mencari muka pada atasan (Han & Altman, 2009). Karakteristik relasi sosial supervisor-staf dari penelitian Chen,dkk. (2009) telah diuji cobakan ke delapan negara yakni Taiwan, Singapura, Saudi, Rusia, Turki, India, Brazil, dan UK. Hasil penelitian yang dilakukan Smith, dkk. (2014) tersebut menyatakan bahwa beberapa konsep guanxi supervisor dan staf tidak bisa digeneralisasikan ke beberapa negara. Karakteristik affective attachment dan deference to supervisor bisa digeneralisasikan ke delapan negara tersebut. Sayangnya untuk personal-life inclusion di setiap negara memiliki sudut pandang yang berbeda. Penelitian Han & Altman (2009) mengenai karakteristik relasi sosial supervisor-staf juga menyebutkan bahwa affective attachment sama dengan konsep meaningfull and ethical. Meskipun demikian dua konsep lainnya, masih belum sama (Smith, dkk., 2014). Bisa ditarik kesimpulan dari delapan negara, karakteristik relasi sosial supervisor-staf memiliki karakteristik yang sama dalam hal hubungan timbal balik (pemahaman satu sama lain, kepedulian,
16
dan dukungan). Meskipun demikian karakteristik lain masih memiliki sudut pandang yang berbeda. Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menguji relasi sosial supervisor-staf baik itu dari motif, faktor, dan efek yang ditimbulkan ke organisasi. Namun demikian, masih terdapat perbedaan dalam pendefinisian relasi sosial supervisor-staf di berbagai budaya serta belum ada kesepakatan antar teori. Selain definisi, konsep dimensi dari relasi sosial supervisor-staf masih belum banyak ditemukan di beberapa jurnal nasional maupun internasional. Dari hasil pencarian peneliti terkait dimensi relasi sosial supervisor-staf hanya ditemukan dua penelitian yang membahas mengenai karakteristik relasi sosial supervisor-staf. Selain itu, secara kontekstual, terkait definisi dan dimensi relasi sosial supervisor dan staf khususnya untuk konteks Indonesia, belum nampak ada kejelasan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengisi celah kosong dengan mengetahui relasi sosial supervisor-staf di Indonesia. Secara lebih spesifik penelitian ini lebih ke perusahaan yang memiliki budaya vertikal kolektivism dimana responden melihat dirinya sebagai bagian penting kelompok, tetapi menyadari perbedaan antara satu anggota dengan yang lainnya (misal: status sosial pemimpin lebih tinggi daripada anggota). Selain hal tersebut di atas, melihat kecenderungan atasan lebih muda dari pada bawahan. Penelitian ini lebih fokus pada supervisor yang memiliki usia lebih muda dari pada staf. Dengan demikian, pertanyaan penelitian antara lain: 1. Apa yang dimaksud
relasi sosial
meningkatkan keefektifan organisasi?
supervisor-staf yang mampu
17
2. Apa saja dimensi relasi sosial supervisor–staf untuk meningkatkan keefektifan organisasi? 3. Bagaimana dinamika psikologis relasi sosial supervisor dan staf untuk meningkatkan keefektifan organisasi? Selanjutnya, secara khusus penelitian ini diharapkan dapat membantu perusahaan dalam melihat bagaimana relasi sosial yang terjalin antara supervisor dan staf dalam rangka memberikan masukan kepada pihak manajemen untuk menciptakan relasi sosial yang baik antara supervisor dan staf demi mencapai tujuan perusahaan. Implikasi teoritis dari pelaksanaan penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangan ilmu bagi peneliti, praktisi di bidang Psikologi Industri dan Organisasi, dan masyarakat umum mengenai relasi sosial supervisor – staf yang terjalin. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah memberikan masukan dalam pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia di berbagai perusahaan dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi.