SEJARAH GKJ PEKALONGAN Latar Belakang Orang-orang Kristen di Pekalongan Sejarah GKJ Pekalongan adalah sejarah lokal masa lampau dari seseorang atau sekelompok orang Kristen yang berada di wilayah Pekalongan dan sekitarnya. Untuk menelusuri sejarah perkembangan GKJ Pekalongan, perlu kita ketahui latar belakang munculnya persekutuan orang-orang Kristen GKJ Pekalongan. Kekristenan di Pekalongan lahir karena dua faktor utama, yaitu peran penginjilan Kyai Sadrach dan peran orang-orang Belanda. Berikut akan diuraikan masing-masing peran tersebut: a. Peran Kyai Sadrach Di awal sudah diungkap tentang perjalanan dan sepak terjang Kyai Sadrach. Ia adalah seorang penginjil pribumi yang amat berperan dalam penyebaran agama Kristen ke berbagai daerah di Jawa Tengah. Melalui penginjilannya bersama beberapa teman itulah, kekristenan juga akhirnya sampai ke daerah Pekalongan dan sekitarnya. Misi PI di daerah Pekalongan dan sekitarnya berawal dari perjalanan Sadrach ke Begelen, tepatnya di desa Serang. Di Serang ada orang Kristen bernama Yacub Tumpang. Bersama Kramawijaya (teman Sadrach) ia mengabarkan Injil sampai daerah pegunungan di wilayah Karesidenan Pekalongan.1 Akhirnya Injil sampai ke desa Dermo (sekarang bernama desa Kasimpar). Kemudian Injil juga sampai di desa Purbo, bahkan sampai ke daerah utara, tepatnya di desa Cluluk. Selain itu, di daerah Batang ada seorang murid Sadrach, yaitu Mintajaya yang mengabarkan Injil di daerah Telaga Abang, Bawang, Banaran, dan Jambangan. Dari Telaga Abang ada seorang Kristen yang menyebarkan Injil sampai wilayah Banyuwudal (akhrnya memunculkan jemaat Kandang Gotong, Batursari dan Pulosari). Bahkan Injil sampai ke daerah Pemalang bagian timur, atas jasa orang Dermo. Muncullah orang Kristen di desa Gintung, Gejlig, Kendal Doyong dan Sidokare.2 Demikian kita melihat misi PI a la Sadrach yang menjangkau berbagai pelosok daerah. Misi itulah yang juga dikembangkan oleh teman-teman dan para muridnya hingga kekristenan sampai ke daerah-daerah, khususnya di bagian selatan Pekalongan. b. Peran Orang-orang Belanda Selain peran PI Kyai Sadrach dan teman-temannya, munculnya kekristenan di Pekalongan (khususnya di daerah kota) juga dipengaruhi oleh peran orang Belanda. Baik peran langsung melalui badan zending maupun peran tidak langsung melalui jalur politik dan perdagangan. Ada dua badan zending Belanda yang yang mempunyai 1 2
Y. Sumargiyo & Samuel Baena, “Sejarah Singkat Gereja Kristen Jawa Pekalongan”, hlm 8. Y. Sumargiyo & Samuel Baena, “Sejarah Singkat Gereja Kristen Jawa Pekalongan”, hlm 9.
hubungan erat dengan perkembangan kekristenan di Pekalongan, yaitu NGZV (Nederland Gereformeerde Zending Vereneging) dan NZG (Nederland Zending Gereformeerde).3 Pada tahun 1890 NGZV mengirim tuan Horstman untuk memelihara PI di wilayah karesidenan Tegal dan Pekalongan. Horstman tinggal di Pekalongan untuk mempermudah akses ke desa-desa. Pada waktu Horstman di (kota) Pekalongan, belum ada orang Kristen di sana. Awalnya Horstman mendatangkan orang-orang Kristen dari desa Cluluk dan Gintung untuk mendengarkan ajaran tentang Yesus. Jumlah orang Kristen hasil PI oleh NGZV sudah cukup banyak. Namun karena terjadi perbedaan pendapat dan pertentangan antara Horstman dengan tuan Wilhelm, menyebabkan banyak jemaat meninggalkan Horstman dan memilih mengikuti jejak Sadrach.4 Karena keterpurukan ini sinode di negeri Belanda memutuskan untuk menyerahkan PI di Jawa Tengah kepada Gereja Gereformeerd di negeri Belanda. Di kemudian hari, untuk memelihara umat Kristen di Jawa Tengah, NZG mengirim beberapa pendetanya yang tergabung dalam Salatiga Zending. Salatiga Zending kemudian mengutus Pdt Jungst (1894). Ia mengabarkan Injil dengan susah-payah karena di Pekalongan telah banyak orang Arab yang juga menyebarkan agama Islam.5 Salah satu keluarga yang menjadi bibit kekristenan ada di daerah Kedungwuni, yaitu seorang pemilik pabrik es. Sedangkan di daerah pegunungan/ pedesaan sudah ada banyak orang Kristen pengikut Sadrach. Selain itu, beberapa orang Kristen di desa Temu Ireng dan Gejlig (orang-orang Kristen binaan Sadrach di daerah Pemalang) juga dilayani oleh Pdt L de Vries. Sekelumit cerita di atas menggambarkan kemunculan orang Kristen hasil zending Belanda. Namun, kemunculan orang-orang Kristen di Pekalongan juga tidak lepas dari pengaruh politik dan perdagangan. Hal tersebut akan dijelaskan di bawah ini. Pada masa penjajahan Belanda, kegiatan ekonomi dan politik di Indonesia (termasuk di Pekalongan) dikuasai oleh bangsa Belanda. Di daerah Pekalongan, salah satu faktor yang berperan terhadap perkembangan kekristenan adalah adanya PTP (Perusahaan Perkebunan milik Belanda) di beberapa daerah.6 Beberapa di antaranya adalah PTP karet di Blimbing (Karanganyar), PTP tebu di Sragi, PTP jahe di Bandar dan sekitarnya, serta PTP teh di Pagilaran. Di perusahaan itu dipekerjakan orang-orang Kristen dari luar Jawa (Maluku, Sumatera, dsb). Setiap akhir pekan (Sabtu dan Minggu) karyawan PTP itu berkumpul di kota Pekalongan, tepatnya di Gedung Societed (sekarang GOR Pekalongan). Selain untuk membawa hasil perkebunan, mereka berkumpul untuk berlibur, berolahraga dan beribadah. Jadi di Pekalongan terdapat kompleks bangunan Y. Sumargiyo & Samuel Baena, “Sejarah Singkat Gereja Kristen Jawa Pekalongan”, hlm 10. Horstman menyalahkan Wilhelm yang membiarkan sinkretisme Sadrach. Atas laporan Ds Lion Cochet, Wilhelm dipecat dari NGZV. 5 Ada banyak pendatang dari Arab untuk tujuan perdagangan. Lambat laun mereka menguasai perdagangan di Pekalongan, sehingga orang pribumi merasa segan dan akhirnya mengikuti agama Islam. Apalagi orangorang pribumi menganggap agama Kristen adalah agama penjajah yang layak dibenci karena kekejamannya. Inilah salah satu faktor penghambat perkembangan kekristenan di kota Pekalongan. 6 PTP adalah perusahaan perkebunan milik Belanda, yang sekarang sudah dinasionalisasi menjadi BUMN dan Perhutani. 3 4
Belanda: Gedung penyimpanan barang, gedung societed atau Gedung Pertemuan Umum (yang digunakan sebagai tempat hiburan atau bar a la Belanda), dan gedung gereja yang kemudian dikelola GPIB (di kompleks yang sekarang dibangun gedung GKI Pekalongan dan GKJ Pekalongan). Setiap perkebunan yang dikelola oleh orang Belanda juga memperkerjakan orangorang pribumi, termasuk di dalamnya orang Jawa. Peran perkebunan sebenarnya sangat penting khususnya dalam menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Karena di tempat perkebunan itulah terpupuk rasa kebangsaan dan sikap nasional yang tinggi karena adanya persamaan nasib. Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan bekerja di perkebunan itulah, bangsa kita dikenalkan teknologi dan pengetahuan. Bangsa kita dikenalkan berbagai jenis tanaman yang laku di pasaran dunia seperti: teh, tembakau, tebu, kopi, kina, dan sebagainya. Tidak cukup hanya itu bangsa kita diajari bagaimana cara pembudidayaan tanaman-tanaman yang laku di pasaran dunia. Bangsa kita juga diajari sistem dagang dan pengelolaan ekonomi. Yang tidak kalah penting adalah bahwa para tenaga kerja di perkebunan tersebut dikenalkan tentang religiositas Kristen. Setiap hari para pekerja pribumi mengenal tata cara kehidupan orang Belanda yang beragama Kristen, termasuk pola-pola peribadatannya. Faktor inilah yang diduga kuat sebagai pemicu bertambahnya pengikut Kristen di Pekalongan. Selain faktor di atas, dipekerjakanya orang-orang Jawa di bidang pemerintahan (terutama di bidang kesehatan) juga menjadi bibit kemunculan komunitas orang Kristen di Pekalongan. Namun ada beberapa faktor yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan jumlah orang Kristen di Pekalongan. Pertama, adanya keterbatasan tenaga misionaris. Kedua, PI bukanlah tujuan utama orang Belanda di Pekalongan. Tujuan utama mereka adalah mencari keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya, sedangkan usaha PI tidak meghasilkan keuntungan materiil tersebut. Ketiga, pandangan masyarakat pribumi tentang agama Kristen sebagai agama penjajah yang identik dengan kekejaman, bahkan kafir. Keempat, telah ada banyak orang Arab yang mendominasi kegiatan perdagangan, sehingga banyak orang Jawa justru jadi bawahan mereka. Karena utang budi ini, maka orang Jawa lebih tunduk kepada orang Arab, dibanding orang Belanda yang notabene Kristen. Bagaimanapun, peran orang-orang Belanda bagi muncul dan bertumbuhnya kekristenan di kota Pekalongan terbilang besar. Di Pekalongan terdapat beberapa peninggalan sejarah berupa bangunan-bangunan Belanda, yang langsung maupun tidak turut berperan dalam sejarah kekristenan tersebut. Beberapa di antaranya adalah: 1. Gedung Karesidenan Pekalongan ( Jl. Pemuda no. 91 Pekalongan) Gedung ini digunakan sebagai pusat pemerintahan karesidenan kota Pekalongan. Arsitek bangunannya adalah arsitek bangsa Barat, demikian pula pengaturan ruangannya ala Barat juga. Salah satu ciri yang menonjol ialah bentuk bangunan berukuran besar dan tinggi bagian depan bangunan tersebut berpilar besar. Berkaitan
dengan masalah karesidenan, orang yang berjasa adalah Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Raffles pada saat berkuasa di Indonesia (1811-1816).7 Pengaruh bangsa Belanda dominan dalam pemerintahan, ekonomi, budaya, bahkan pola pikir dan perilaku masyarakat. Kebijakan politik pemerintahan (karesidenan) itu membantu tersebarnya pengaruh Kristen, khususnya di Pulau Jawa. Dibangunnya pusat-pusat pemerintahan/ kantor karesidenan di seluruh pulau Jawa tentu sedikit banyak membawa warna kekristenan di dalamnya. Pada masa Raffles, beberapa organisasi misionaris dari berbagai negara diizinkan masuk. Misi-misi itulah yang kemudian masuk ke berbagai daerah di Indonesia, sehingga melahirkan banyak gereja suku. Perkembangan kekristenan disertai pembangunan klinik, rumah sakit, pendidikan, pertanian, dsb. 2. Gedung Penyimpanan Barang (Jl. WR Supratman) Gedung ini digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil perkebunan, yang dikumpulkan dari beberapa daerah di pedesaan/ pegunungan. Sampai sekarang, gedung ini dikenal sebagai ”gudang garam”. Pengangkutan barang dari gedung ini ke kota lain menggunakan jalur darat (mobil dan kereta api) dan laut (kapal). Bangunan ini terletak di dekat pusat pemerintahan agar mudah dikontrol. 3. Gedung Gereja (Jl. Jatayu no. 1 Pekalongan) Bangunan gereja itu dibangun bersamaan dengan gedung karesidenan, yaitu tahun 1813. Awalnya gereja itu dipakai oleh orang Belanda. Namun pada perkembangannya juga dipakai oleh semua orang Kristen baik dari orang Eropa, Tionghoa maupun pribumi. Sepeninggal orang-orang Belanda, gereja itu diserahkan kepada orang-orang GPIB. Namun karena perkembangan politik, orang-orang GPIB juga makin berkurang. Gereja pun diserahkan kepada orang Tionghoa dan orang Jawa, sehingga dipakai bersamaan.8 4. Makam Kerkhop Kerkhop adalah kompleks pemakaman peninggalan Belanda. Istilah kerkhop berasal dari bahasa Belanda: “kerk” (gereja) dan “khop” (halaman). Hal ini berkaitan dengan tradisi Belanda, di mana orang yang meninggal dunia dimakamkan di halaman Gereja. Namun karena jumlah orang Kristen yang meninggal makin banyak, maka ditunjuklah tempat 7 Raffles menerapkan sistem pemerintahan karesidenan. Pulau Jawa dibagi menjadi 20 karesidenan, termasuk Pekalongan. Wilayah karesidenan Pekalongan mencakup Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Slawi, Kabupaten Brebes dan Bumiayu. Maksud dan tujuan pembentukan karesidenan adalah untuk memudahkan dalam pengelolaan pemerintahan penjajah di Indonesia. Walaupun Indonesia telah merdeka, sistim karesidenan masih tetap diterapkan oleh pemerintah Indonesia.
Sekarang kompleks bangunan gereja itu dibagi dua. Sebagian dipakai untuk orang-orang Jawa (sekarang GKJ Pekalongan), dan sebagian lain dipakai untuk orang-orang Tionghoa (sekarang GKI Pekalongan). 8
sebagai makam. Sampai sekarang makam Kerkhop inilah yang digunakan sebagai tempat pemakaman orang Kristen yang meninggal dunia. Terbentuknya GKJ Pekalongan Dari uraian sejarah di atas kita ketahui bahwa bibit-bibit orang Kristen di Pekalongan telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, ada beberapa orang Kristen yang bekerja sebagai pegawai negeri maupun swasta di Pekalongan (misalnya para guru, pegawai kesehatan, pegawai pemerintah, yang sebagian besar adalah pendatang dari luar kota Pekalongan). Mereka mengadakan kebaktian di rumah seorang Kristen Kepala PLN, yang dilayani oleh Ds. Karta Suganda seorang gembala dari Semarang (Salatiga Zending) pada tahun 1946. Ia berperan dalam menyatukan orangorang Kristen di Pekalongan, yang terdiri dari orang Jawa, Manado, dsb. Namun persekutuan orang Kristen tersebut bubar karena Agresi Belanda I (1947). Mereka mencari tempat yang aman. Setelah ada Perjanjian Renville (1949) keadaan menjadi aman. Salah satu hasil positif bagi orang Kristen di Pekalongan adalah difungsikannya kembali sebuah gedung gereja GPIB di kota Pekalongan, yang digunakan oleh orang Kristen dari Jawa, Tionghoa dan Manado. Perkembangan orang Kristen terjadi karena masing-masing etnis mengumpulkan kawan-kawan seiman mereka. Berangkat dari persekutuan inilah kemudian orang-orang Jawa berniat mengadakan persekutuan sendiri. Dari catatan saksi mata, Gereja Kristen Jawa Pekalongan diawali oleh 7 (tujuh) keluarga, yaitu keluarga-keluarga Sarip Subagyo, Doro Dono (Pembantu Bupati Pekalongan), Sudara, Elipas, Sudarman, Trimasis Slamet, dan Priyo Sediono (Pegawai Depag). Mereka mengadakan kebaktian pertama tanggal 25 Desember 1950. Selanjutnya jumlah orang Kristen bertambah, maka mereka meminta izin kepada Majelis GPIB untuk dapat menggunakan gedung GPIB. Bersamaan dengan itu orang-orang Kristen Tionghoa pun minta izin untuk dapat menggunakan gedung GPIB. Oleh karena itu Majelis GPIB mengatur waktu kebaktian: warga GPIB kebaktian pagi hari, warga GKJ kebaktian siang hari, warga gereja Tionghoa kebaktian sore hari. Selanjutnya warga GPIB yang berasal dari Tuban, Manado, dan orang-orang selain orang Jawa dan Tionghoa pulang dan pindah ke kota lain, sehingga warga gereja GPIB habis. Gedung gereja GPIB tersebut akhirnya diserahkan kepada orang-orang Kristen Jawa dan Tionghoa. Orang-orang Kristen Jawa semakin bertambah jumlahnya. Untuk pembinaan dan pemeliharaan warga gereja, Majelis GKJ meminta bantuan Klasis Semarang. Untuk itu Klasis Semarang mengirim Guru Injil yang bernama Yakub Sunarto (Kakak AK Budiasto BA) untuk membina orang-orang Kristen etnis Jawa. Yakub Sunarto melayani di Pekalongan tahun 1953 (pada tahun 1956 beliau dipanggil Tuhan). Agar iman dan tata kehidupan gereja tetap terpelihara, maka Klasis Semarang mengirim Pdt. Hadipranowo sebagai pendeta konsulen dan Susilo Darmowigoto sebagai seorang guru Injil. Warga GKJ Pekalongan semakin bertambah banyak. Mereka itu para pegawai negeri dan swasta yang berasal dari Limpung, Bandar, dan Kaligawe. Dengan jumlah yang semakin
banyak mulailah pemanggilan seorang pendeta untuk melayani di GKJ Pekalongan. Pendeta pertama yang melayani di GKJ Pekalongan adalah Pdt. Sumardi Hadi Prayitno. Pada masa kepemimpinan Pdt. Sumardi Hadi Prayitno, orang-orang Kristen di daerah Limpung bergabung dengan orang-orang Kristen di Pekalongan, hingga lahirlah GKJ Pekalongan-Limpung (1960). Selanjutnya, GKJ Limpung memisahkan diri dari GKJ Pekalongan dan menjadi dewasa (1962). Walaupun demikian Pdt. Sumardi Hadi Prayitno masih melayaninya, sebelum akhirnya di tahun yang sama Pdt. Sumardi Hadi Prayitno alih tugas ke gereja lain. Oleh karena itu Klasis Semarang mengirim Bpk. Sudiarto sebagai Guru Injil di Pekalongan. Namun pada tahun 1963 beliau diminta melayani di GKJ Wirobrajan Yogyakarta. Masa Pelayanan Pdt. Winoto Hadi Kusumo Pada tahun 1963 Bpk. Winoto Hadi Kusumo (utusan Klasis Semarang) menjadi Guru Injil di GKJ Pekalongan atas usul Pdt. Suhardi Hadi Pranowo. Ketika itu Pdt. Suhardi Hadi Prayitno menjadi Konsulen GKJ Pekalongan yang tidak lama kemudian beliau pindah ke Gereja Sangir Talaud. 30 Mei 1966 Bapak Winoto Hadi Kusumo ditahbiskan menjadi pendeta di GKJ Pekalongan. Sebagai pendeta di GKJ Pekalongan beliau melayani gereja induk, pepanthan Bandar, dan pepanthan Kaligawe. Pepanthan Bandar berasal dari orang Kristen Kerasulan dari Sadrach. Di sana ada beberapa keluarga yang mendengar bahwa di desa Cluluk ada agama baru, yaitu Kristen. Kemudian keluarga-keluarga itu datang ke sana, melihat agama baru tersebut. Dari beberapa pertemuan dengan orang Kristen di Cluluk, kemudian beberapa keluarga itu memeluk agama Kristen. Setelah berkembang, mereka mengirim utusan ke Salatiga Zending untuk meminta bantuan pelayanan. Kemudian dikirim Pdt. Vaan Zemer untuk melayani jemaat Kristen baru hasil PI Kyai Sadrah. Pepanthan Kaligawe bermula dari Bapak Carum Natanail yang mencari “ngelmu” ke arah selatan sampai ke Purbo yang saat itu sudah banyak orang Kristen. Untuk selanjutnya ia pergi ke gereja Karangyoso tempat Kyai Sadrah. Sepulangnya dari sana ia bersama keluarganya menjadi Kristen. Kelompok orang Kristen di Kaligawe terdiri dari keluarga-keluarga Carum Natanail berserta anak-cucunya, yaitu keluarga Saporah, Eprayim, Sulaiman, dan Edy Sujono. Pdt. Winoto Hadi Kusumo alih tugas dari GKJ Pekalongan ke GKJ Margoyudan Sala tanggal 1 Oktober 1976. Supaya GKJ Pekalongan tetap terlayani, Klasis Semarang Barat mengirim pendeta konsulen, yaitu Pdt. Sulaksono Kusumo Warsito. Selain melayani sakramen juga melayani pastoral bagi warga gereja yang berkepentingan. Atas upaya Pdt. Sulaksono Kusumo Warsito, Pekalongan mendapat tenaga Pembantu Pendeta yaitu Bpk. Sutandya tahun 1977. Sebagai upaya yang positif, GKJ Pekalongan berniat mempunyai pendeta sendiri. Pada masa kepemimpinan Pdt. Winoto Hadi Kusumo terdapat peristiwa penting, yaitu berdirinya sekolah Kristen. Atas jasa beberapa tokoh seperti Bpk. Sarip Subagyo,
Bpk. Doro, Bpk. AK Budiasto dan Bpk. Trimasis Slamet, serta beberapa tokoh GKI, didirikanlah sekolah Masehi di bawah payung PSAK Semarang. Pada perkembangannya, PSAK Semarang menyerahkan kepengurusan sekolah Masehi tersebut kepada pengurus Yayasan Pendidikan Masehi (YPM). Pada awalnya kepengurusan YPM ditangani oleh orang-orang dari GKJ dan GKI. Karena beberapa faktor, akhirnya sampai sekarang YPM ditangani oleh orang-orang GKJ Pekalongan. Masa Pelayanan Pdt. Djoko Purnomo, S.Th. (1979-1989) Sementara itu tenaga Pembantu Pendeta yang ada telah pindah tugas ke GKJ Sukorejo-Kendal sebagai calon pendeta. Sebagai gantinya, sejak 1 April 1977, majelis menunjuk Sdr. Zacheus Suranta, B.Th. (Guru Agama Kristen SMP-SMA Masehi Pekalongan) menjadi Guru Katekisasi dan Pendamping Kegiatan Pemahaman Alkitab di kelompok-kelompok. Hal itu terjadi sebelum Pdt. Djoko Purnomo, S.Th., ditahbiskan menjadi pendeta di GKJ Pekalongan. Majelis mengutus salah seorang majelis, yaitu Sutatmo Hadi Broto Sedjati, SH (Hakim di Pengadilan Negri pekalongan) ke STT Duta Wacana untuk mencari informasi lulusannya. Tahun 1978 Majelis GKJ Pekalongan menghubungi Sdr. Djoko Purnomo, STh menjadi calon pendeta GKJ Pekalongan. Selama satu tahun Sdr. Djoko Purnomo, STh. Menjadi vikaris di GKJ Pekalongan. Pada bulan September 1979 ditahbiskan menjadi pendeta GKJ Pekalongan. Pada masa pelayanannya, Pdt. Djoko Purnomo, S.Th. beperan dalam pembangunan gedung gereja di Batang dan beberapa wilayah di Kab. Pekalongan. Selain itu, beliau juga berperan dalam kepengurusan YPM. Pada tahun 1988 pepanthan Batang dan Bandar mengajukan niat untuk mendewasakan diri. Usul ini diterima dalam Sidang Klasis Semarang Barat XI tahun 1991. Akhirnya pada tanggal 24 April 1992 disahkan GKJ Mesias Bandar-Batang sebagai gereja yang dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya untuk meringankan tenaga pendeta, majelis meningkatkan status dan mengefektifkan pelayanan Bpk. Zacheus Suranta menjadi Pembantu Pendeta GKJ Pekalongan. Berdasar Keputusan Majelis pada tanggal 23 Januari 1989 beliau diangkat menjadi Pembantu Pendeta GKJ Pekalongan dengan surat keputusan Majelis no. GKJ.P/I/89016 tanggal 28 Januari 1989. Jadi lengkaplah tenaga GKJ Pekalongan, di samping memiliki tenaga pendeta juga memiliki pembantu pendeta. Pengangkatan pembantu pendeta tersebut diinformasikan ke Sidang Klasis Semarang Barat X tahun 1989 di GKJ Kendal. Dalam persidangan klasis tersebut informasi itu diterima dan ditanggapi: “Mengingat Struktur GKJ sudah tidak ada lagi jabatan Pembantu Pendeta, maka istilah itu diganti dengan nama: Tenaga PI GKJ Pekalongan.” Hal itu berlangsung sampai sekarang. Berdasarkan akta Sidang Gereja-gereja Semarang Barat ke XI, Pdt. Djoko Purnomo, S.Th. tidak lagi melayani GKJ Pekalongan, tetapi tenaganya masih dimanfaatkan oleh GKJ se-Klasis Semarang Barat. Oleh karena itu Sidang Klasis Semarang Barat XI
mengutus Pdt. Imanuel Sukamta, S.Th sebagai pendeta konsulen GKJ Pekalongan. Kemudian pendeta konsulen berikutnya adalah Pdt. Pracaya dari GKJ Krapyak dan Pdt. Drs. Ediyanto dari GKJ Kendal. Selama pelayanan para pendeta konsulen telah didewasakan pepanthan Bandar dan Batang, dengan nama GKJ Mesias Bandar-Batang. Masa Pelayanan Pdt. Drs. Sukardi Citrodahono Mengingat kebutuhan akan seorang pendeta semakin dirasakan, maka dilakukan berbagai upaya untuk mencari calon pendeta. Hingga muncullah satu nama, yaitu Pdt. Drs Sukardi Citrodahono, yang saat itu menjadi pendeta di GKJ Kutoarjo. Atas rekomendasi Bpk. Zacheus S, proses pemanggilan Pdt. Drs. Sukardi Citrodahono sebagai pendeta di GKJ Pekalongan pun dilanjutkan. Hingga akhirnya pada awal Februari 1994 Pdt. Drs. Sukardi Citrodahono datang ke Pekalongan. Kemudian pada tanggal 12 Juli 1994. Pdt. Sukardi Citrodahono diteguhkan menjadi pendeta di GKJ Pekalongan (alih tugas dari GKJ Kutoarjo). Pada masa pelayanan Pdt. Drs. Sukardi Citrodahono, GKJ Pekalongan berhasil mendewasakan pepanthan Karanganyar menjadi GKJ Immanuel Karanganyar (1998), telah membangun Gedung Gereja di Jl. WR Supratman dan pepanthan Comal, serta pembelian tanah di Kajen Kabupaten Pekalongan, di Jl. Patriot, dan di Jl. Jawa Kota Pekalongan. Sampai saat ini sepak terjang dan jasa Pdt. Drs. Sukardi Citrodahono dirasakan sangat banyak. Beliau dinilai sebagai pembaharu dan pembawa perubahan besar dalam sejarah GKJ Pekalongan. Pada masa pelayanannya, administrasi gereja berhasil ditata dengan baik. Selain itu kinerja kemajelisan juga diperbaharui. Bahkan telah terbentuk Badan Kerja Sama antar gereja di kota Pekalongan (sekarang bernama BKSGKP). Pembinaan warga gereja juga ditingkatkan, sehingga GKJ Pekalongan saat ini booleh disebut sebagai gereja yang telah mapan, baik dari segi teologi, sumber daya maupun dana. Pada tahun 2002 terbentuklah Pepanthan Comal. Wilayah pelayanan pepanthan ini terletak di Kab. Pemalang. Pepanthan Comal lahir atas prakarsa beberapa keluarga Kristen yang awalnya adalah anggota warga jemaat GPIB Comal. Mereka adalah Bpk. Wahadi, Bpk. Soma, Bpk. Heru, Bpk. Karsono, dsb. Pepanthan Comal terus bertumbuh dan berhasil membangun gedung gereja, walau sampai saat ini masih belum bisa dipakai sebagai tempat kebaktian karena kendala perizinan. Dengan demikian, kebaktian di Pepanthan Comal dilakukan di rumah-rumah warga secara bergiliran. GKJ Pekalongan dan Pergumulannya Bagian ini adalah bagian yang pada akhirnya tidak hanya berisi rekaman dan catatan tentang sejarah. Terlebih daripada itu, bagian ini berisi penafsiran atas rekaman sejarah tersebut. Karena sejarah memang tak pernah lepas dari penafsiran dan pemberian makna. Secara khusus, sejarah GKJ Pekalongan akan menjadi ”teks” yang dilihat, ditafsir
dan direfleksikan. Kata ”pergumulan” penulis pilih sebagai judul karena kata itu paling tepat mewakili apa yang ingin penulis ungkapkan. Pergumulan tidak senantiasa berarti ’persoalan’ atau ’masalah’ yang selalu diartikan negatif. Pergumulan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dialami dan digumulkan, baik itu yang positif maupun yang negatif. Jadi kata ’pergumulan’ bersifat netral. GKJ Pekalongan yang telah sekian lama ada tentu memiliki segudang pergumulan, yang tak akan pernah bisa terekam dalam tulisan sesingkat ini. Namun, apa yang akan tersaji adalah hal-hal yang terekam oleh penulis, selama mengenal GKJ Pekalongan dari dekat dalam waktu yang relatif singkat. Maka harus selalu disadari keterbatasan tulisan ini. Setidaknya, dari rekaman sejarah tersebut, ada beberapa hal yang bisa kita tinjau: Pertama, GKJ Pekalongan adalah gereja yang kaya potensi. Potensi yang menjadi kekuatan tersendiri bagi GKJ Pekalongan. Dari sisi geografis, wilayah pelayanan GKJ Pekalongan ada di daerah perkotaan, dengan kemudahan akses transportasi dan komunikasi. Apalagi wilayah GKJ Pekalongan ada di daerah Pantura, jalur transportasi yang selalu sibuk. Walau memang kedua pepanthannya (Comal dan Kaligawe) relatif jauh. Faktor georafis tersebut merupakan keuntungan tersendiri bagi efektifitas dan efisiensi kegiatan pelayanan GKJ Pekalongan. Berkaitan dengan hal itu, kota Pekalongan menjadi pusat kegiatan ekonomi untuk daerah-daerah di sekitarnya. Di satu sisi faktor ini menguntungkan, di mana perkotaan akan menjadi daya tarik para pendatang. Terbukti, mayoritas warga GKJ Pekalongan adalah pendatang dari luar daerah. Selain itu, perkotaan adalah tempat di mana warga masyarakatnya cenderung memiliki tingkat pendidikan menengah ke atas. Kedua, GKJ Pekalongan adalah gereja yang kaya SDM. Mayoritas warga GKJ Pekalongan berprofesi sebagai PNS di bidang pendidikan (kepala sekolah, guru maupun karyawan). Selain itu banyak juga warga jemaat yang bergerak di bidang kesehatan. Tak sedikit pula warga GKJ Pekalongan yang menjadi tokoh masyarakat di pemerintahan. Semua itu adalah keuntungan yang mendukung keberlangsungan GKJ Pekalongan, baik ke dalam maupun ke luar. Banyaknya pengajar selama ini banyak membantu kegiatan pelayanan, baik itu kebaktian anak, remaja, kegiatan katekisasi maupun yang lain. Bahkan, di GKJ Pekalongan ada beberapa warga yang memiliki latar belakang pendidikan teologi. Keberadaan mereka terbukti telah banyak membantu memajukan pelayanan. Misalnya dalam hal pengajaran katekisasi, pembuatan bahan Pemahaman Alkitab, memimpin kebaktian Minggu maupun persekutuan doa, dsb. Tingkat pendidikan dan taraf hidup yang baik tentu menjadi potensi bagi GKJ Pekalongan. Faktor itu pula yang mempengaruhi cara pikir dan keterbukaan warga jemaat atas kehidupannya, termasuk kehidupan pelayanan dan bergereja. Pola pikir maju yang mendukung kesadaran bergereja. Di sisi lain, faktor yang sama juga menjadi tantangan tersendiri. Kehidupan perkotaan adalah kehidupan yang majemuk dan berkembang cepat. Ini adalah persoalan yang harus disikapi dengan baik. Kehidupan perkotaan juga amat terbuka dengan pengaruh dari luar, baik itu IPTEK maupun budaya.
Hal tersebut juga menjadi tantangan bagi gereja untuk berteologi di tengah situasi yang dihadapi. Selain itu, Pekalongan bukanlah kota metropolitan, sehingga ada banyak pula warga jemaat yang merantau (baik itu bersekolah maupun bekerja) ke luar kota, sehingga secara tidak langsung, potensi di jemaat berkurang. Ketiga, banyaknya potensi budaya yang dimiliki warga GKJ Pekalongan. Ada beberapa warga yang berpotensi dalam bidang seni musik, seni peran, seni rupa, termasuk kesenian tradisional. Hal ini tentu amat bisa mendukung kegiatan pelayanan, terutama dalam hal peribadatan. Persoalannya adalah bagaimana iman dan kebudayaan bisa duduk bersanding membentuk harmoni. Tentu diperlukan kejelian dalam memperlakukan dan memaknai kebudayaan tersebut, agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai iman Kristen. Namun semangat Sadrach bisa menjadi inspirasi, bahwa seseorang yang menjadi Kristen tidak senantiasa harus melupakan/ meninggalkan budayanya. Maka diperlukan pengelolaan yang baik untuk membuat potensi tersebut tetap hidup. Keempat, faktor kemajuan teknologi dan informasi. Gereja sebagai bagian dari realitas sosial, mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Salah satu perkembangan zaman itu adalah kemajuan teknologi-informasi. Kemajuan teknologi tentu bisa dimanfaatkan dalam rangka mendukung pelayanan. Salah satunya adalah komputerisasi data, penggunaan LCD Projector dalam ibadah, sound system, alat musik gereja, dsb. Semua itu untuk memaksimalkan pelayanan, beserta sarana dan prasarana pendukung lainnya. Kemajuan informasi juga membuat arus berita dari luar dapat dengan cepat diterima dan ditanggapi. Tentu saja kemajuan teknologi dan informasi perlu dikelola secara bijak, agar tidak justru jadi bumerang. Kelima, dari perjalanan sejarah GKJ Pekalongan, ada satu pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab secara pasti. Yaitu tentang kapan tepatnya waktu berdirinya GKJ Pekalongan, atau kapan hari kelahiran GKJ Pekalongan? Hal ini menyebabkan sampai sekarang GKJ Pekalongan tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya. Berdasar sumber-sumber yang berhasil dihimpun selama penulisan ini, tidak ada satu sumber pun yang memberikan keterangan yang akurat, tentang kapan tanggal berdirinya GKJ Pekalongan. Walau demikian, apakah mustahil mencari atau menentukan waktu kelahiran GKJ Pekalongan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya berangkat dari keterangan dari tulisan “Sejarah Singkat Gereja Kristen Jawa Pekalongan” karya Y. Sumargiyo dan Samuel Baena. Menurut Y. Sumargiyo, di dalam sejarah sebuah gereja selalu timbul pertanyaan tentang waktu dan tempat kelahiran gereja tersebut. Untuk menentukan hal tersebut, ada beberapa dasar yang bisa dipakai. Ada yang berpendapat bahwa berdirinya sebuah gereja ditentukan sejak kegiatan PI dimulai atau tanggal kedatangan PI di daerah tersebut. Ada pula yang berpendapat bahwa penetapan tanggal kelahiran gereja dihitung sejak ada keputusan dari para pekabar Injil untuk memulai misi PI-nya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kelahiran gereja dihitung sejak terjadinya
peristiwa baptisan para sulung yang menjadi bibit berdirinya gereja di daerah tersebut. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa kelahiran gereja juga bisa ditentukan sejak diadakannya persekutuan ibadah pertama kali olah para orang Kristen awal di sebuah daerah.9 Berangkat dari keterangan di atas, nampaknya masih terbuka kemungkinan bagi GKJ Pekalongan untuk menelusuri dan menentukan hari kelahirannya. Penulis mengusulkan, bahwa ada sebuah peristiwa penting yang bisa dipertimbangkan. Peristiwa tersebut adalah diadakannya kebaktian oleh tujuh keluarga Kristen Jawa di daerah Pekalongan pada tanggal 25 Desember 1950.10 Ada beberapa alasan, di antaranya: - Peristiwa tersebut memenuhi kriteria penentuan waktu kelahiran gereja, yaitu terjadinya persekutuan ibadah pertama kali. Persekutuan itu dimaknai sebagai cikal-bakal lahirnya GKJ Pekalongan. - Memang sebelum tanggal itu, telah ada orang-orang Jawa yang menjadi Kristen. Namun mereka masih bergabung dengan persekutuan dengan orang Belanda di PTP. - Ibadah tgl 25 Desember 1950 tersebut adalah ibadah pertama kali oleh orangorang Jawa, yang berinisiatif mengadakan persekutuan sendiri. - Sebelum tanggal itu, persekutuan ibadah masih bergabung dengan warga jemaat GPIB dan Tionghoa. - Berangkat dari persekutuan 7 keluarga orang Kristen Jawa di Pekalongan itulah berkembang menjadi persekutuan yang semakin berkembang, sampai akhirnya menjadi persekutuan gereja yang mandiri.
9 Y. Sumargiyo mengutip dari sebuah buku sejarah, namun tidak mencantumkan catatan kaki atau daftar pustaka tentang sumber tersebut. (Lih. Y. Sumargiyo & Samuel Baena, “Sejarah Singkat Gereja Kristen Jawa Pekalongan”, hlm 2-3). 10 Lih. Y. Sumargiyo & Samuel Baena, “Sejarah Singkat Gereja Kristen Jawa Pekalongan”, hlm 40.