Sebuah Senja di Kota Lama
Jangan kau lihat diriku melalui lentik bulu matamu, sebab aku akan malu. Tapi lihatlah keseluruhan diriku dengan bola mata hatimu, maka jiwa ini akan terharu. Jangan kaucaci apa yang telah kita lalui dalam kebersamaan, namun tersenyumlah, untuk semangat dan sepenggal cerita yang kita lalui bersama. Sebab semua dijadikan indah adanya, bukan untuk mencerca apalagi meminta. Dan sama seperti indahnya salju di atas dahan, sama seperti desau pucuk cemara yang setia tertiup angin, Aku akan selalu ada, untuk semua tawa dan damai suka cita buat semua.
Bagian Kesatu Kepadamu seorang aku menceritakan semua ini, bukan berarti bahwa yang lain tidak boleh membaca. Silahkan! Bahkan jika semua penghuni jagad semesta raya ini turut membacanya sekalipun, aku tidak akan pernah merasa keberatan. Hanya saja, apakah semua akan dapat dimengerti atau dipahami? Perlu kamu ketahui juga, bahwa namamu sekalipun tidak akan pernah kusebutkan, nanti kamu malah besar kepala. Jadi biarlah semua ini apa adanya seperti sedia kala. Pun jika ada pihak-pihak yang merasa tersinggung, aku tidak bermaksud untuk itu selain menunjukkan betapa sepenggal waktu dalam sebuah kerangka kebersamaan akan selalu menyisakan aula hikmah bagi siapa saja. Untuk cita, cinta dan sejenak usia saat kita bersama, meniti sebuah senja di peraduan Kota Lama, Semarang, semua ini ada dan kujadikan. Semoga tulisan ini akan menjadi bagian dari refleksi yang akan selalu abadi. Damai untuk semua! Kuawali tulisanku pada sebuah senja yang telah mulai merayap, menggantikan terik yang membakar bumi di Kota Lama, Semarang. Sang Kala telah meredup di sisi barat cakrawala. Dari sisa-sisa terangnya, masih jelas dapat kulihat bangunan tiga lantai yang berdiri kokoh di seberang sungai itu, Padepokanmu, Nik! Sengaja aku berlama-lama di tempat itu sekedar untuk bernostalgi, mengenang kembali semua yang pernah kulalui disana. Dari atas jembatan, masih jelas kulihat beberapa papan kecil identitas Padepokanmu yang pernah
2
kubuat ketika akan diakreditasi beberapa tahun yang telah berlalu. Dalam hati aku tersenyum. “Nik, dibalik papan itu tertera namaku, tanda diriku, lihatlah kalau tidak percaya!” Terlalu banyak cerita untuk dikisahkan dari bangunan itu. Sesaat kemudian, kuarahkan sejurus pandangku ke sisi lain dari sungai itu. Dari salah satu ruang dalam bangunan itulah keberadaanku dimulai. Ironisnya, yang berwenang kutemui pertama kali, kini juga telah pergi, sama denganku, meninggalkanmu. Sebelumnya aku tidak pernah menyangka, mengharap, apalagi merencanakan akan menghabiskan waktu lebih kurang dua puluh empat bulan di tempat itu. Awalnya sungguh sederhana sekali. Hari itu aku begitu lelah justru setelah seharian tidak melakukan apa-apa. Aku masih ingat, langkah kedua kakiku begitu berat, sedikit gontai, tanpa menyisakan semangat menghadapi senja yang baru saja meratap. Perlu kamu ketahui, Nik, bagi kami, para penghuni malam di kampung Negeri-Castleku, Ambarawa, sebuah hari dimulai manakala senja bergulir, bukan pagi hari dimana bola mata ini masih terasa berat menahan kantuk, terlebih setelah semalaman menghabiskan waktu bersama di asrama, rumah salah satu temanku yang biasa kami gunakan untuk berkumpul. Kiranya hanya waktu senjalah kami biasa berbagi tawa dan canda, bahkan hingga menjelang fajar kami baru berpisah. Demikian rutinitas itu terjadi hampir setiap hari. Kami tidak pernah menyukai pagi, sebab bola mata kami, sekali lagi, pasti sedang berat-beratnya untuk dibuka. “Kamu pasti juga tahu kan, Nik, dulu tiap pagi bola mataku pasti masih merah, kurang tidur!”
3
Juga siang hari yang teriknya tidak lagi pernah bersahabat di Kota Tua, Ambarawa, dimana Negeri-Castleku berada. Dahulu, ketika aku masih seusiamu, Nik, kampungku tidaklah sepanas saat ini. Dulu masih banyak pohon-pohon besar, tanah-tanah kosong yang rimbun ditumbuhi perdu-perdu rindang, juga tanah lapang dimana kami biasa bermain bola. Kini semua sudah berubah. Bangunan rumah baru di sana-sini bermunculan, rumahrumah jati yang masih asri diganti bangunan permanen, bahkan rumah istanaku sendiri turut berubah. Satu hal yang pasti, siang hari di kampungku semakin terasa panas, tidak lagi bersahabat. Oleh karena itu, kami selalu menganggap bahwa sebuah hari dimulai justru manakala senja mulai bergulir. Saat senja menjelang malam adalah saat yang kami tunggu. Tanpa mempedulikan pekat dan gelapnya malam di kampung Negeri-Castleku, tak peduli dingin dan sepinya kota kecil di kaki pegunungan itu, kami tetap menganggap bahwa malam adalah sahabat kami, hari kami dan terutama hidup kami, saat itu. Satu-satunya penjelasan untuk semua itu adalah bahwa hampir semua dari kami tidak ada yang bekerja saat itu. Bisa dikatakan bahwa kami adalah sekelompok pengangguran, dengan cita, asa yang tersisa dan mencoba menggapai mimpi dengan apa yang masih sanggup kami lakukan. Kiranya hanya malam yang dingin dan sunyi sajalah yang mampu menghibur kami. Jika boleh kami gambarkan, seolah Sang Malam selalu bertutur, “Lihat, nasib kalian sama dengan nasibku, gelap, pekat, dingin dan sunyi!” Itu semua betul terjadi, Nik, dan aku pernah melalui, tinggal serta menjalaninya jauh hari sebelum aku mengenalmu. 4
kartun.
Kulanjutkan ceritaku agar tidak menjadi semakin
Petang itu, aku berjalan menuju „warung‟. Tempat itu adalah istana keduaku setelah yang pertama tentu saja adalah istana pembaringanku di rumah. Aku masuk tanpa permisi, mengingat seluruh penghuninya sudah seperti keluargaku, dan langsung rebah di kasur. Dari balik pintu, muncul sahabatku, anak dari pemilik rumah sambil bersiul tanpa menunjukkan semangat hidup apalagi keceriaan. “Dicari Mas Heru di ruang tamu, soal pekerjaan!” tuturnya. Aku bergegas dan langsung menuju ke ruang tamu yang tidak lain adalah ruang di sebelah warung itu sendiri. “Ini dia yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kamu mau mengajar tidak, SMP sedang butuh guru Bahasa Inggris!” tutur laki-laki berusia tiga puluh tahunan itu lugas, tegas dan apa adanya seperti biasanya. Perlu kamu ketahui, Nik, Mas Heru adalah guru di SMU di Padepokan yang masih satu yayasan dengan Padepokan tempatmu berada, juga mengajar Bahasa Inggris, mengingat beliau adalah seniorku. Kelak jika kamu melanjutkan kesana pasti akan bertemu. Dijamin kamu tidak akan bisa berakrab-ria dengannya. Sekali lagi, itupun jika dirimu melanjutkan kesana. “Terus Mas Her, soal…” “Santai saja, seadanya!” potongnya.
yang
penting
siapkan
lamaran
“Tapi segera, besok pagi sekalian kubawa!” lanjutnya. Rasanya masih malas saat itu untuk segera pulang dan menyiapkan segalanya. Jalan aspal yang tidak begitu 5
menanjak itu serasa seperti tanjakan Gunung Sumbing atau bahkan Puncak Garuda di Merapi. Belum juga makan, setelah mandi dan mencari berkas-berkas yang kubutuhkan, aku segera meluncur kembali ke warung. Rupanya Mas Heru masih setia menungguku sebelum pada akhirnya kuserahkan berkasberkas seadanya itu. Berikutnya, aku segera berpindah ke warung dimana sahabat-sahabatku telah menungguku. Pembicaraanpun segera bermunculan, seolah yang satu tak mau ketinggalan atas lainnya. “Wah, asyik juga kalau kamu mengajar lagi, stok soal tidak bakalan kekurangan lagi nanti!” tutur salah seorang temanku. “Kalau diterima!” potongku. “Lho, kan lagi butuh guru Bahasa Inggris, Mas Heru yakin kamu bisa dan mampu.” lanjutnya. “Tapi…” “Tenang saja, tunggu kabarnya besok siang!” lagilagi kalimatku terpotong. “Ya, semoga impian ini bisa menjadi berwarna!” lanjutku. “Tapi hati-hati, kamu sudah siap betul apa belum?” “Siap tidak siap, harus siap!” “Tapi warnanya tetap putih dan putih lho!” “Kita lihat saja besok!” Pembicaraan kami akhiri tanpa kupahami betul semua maksud dari penuturan sahabatku. Detik berikutnya, kami segera meluncur ke asrama, istana ketigaku. Dari 6
kejauhan sudah dapat kulihat beberapa temanku duduk di pelataran depan asrama. Belum juga sempat bicara, salah satu temanku sudah langsung menegur, “Ditunggu teman-teman di Angga! Disuruh segera menyusul!” “Ok, kuterima tantangan kalian!” sahutku sambil bergegas. Perlu kamu ketahui, Nik, asrama ataupun istana ketigaku adalah rumah sahabatku dimana kami biasa berkumpul. Sebagian ada yang menyebutnya MC kependekan dari Media Centre, karena dulu pernah kami gunakan untuk agen koran. Sedangkan Angga adalah tempat bermain billiard, tidak begitu jauh dari kampungku. Kamu tidak tahu, kan, kalau aku bisa bermain billiard? Di ruangan yang cukup lebar itu, sekalipun hanya terdapat lima meja billiard, kedatanganku langsung disambut para scoregirls yang duduk di pintu masuk. Bak raja kecil, kami berdua langsung menuju ke meja dimana temantemanku telah menunggu. Tanpa menunggu lama lagi, aku langsung memegang stick billiard dan teman-temanku pun langsung mempersilahkan diriku untuk memulai. Malam itupun menjadi malam yang panjang di meja hijau dengan enam belas bola meluncur kesana-kemari. “Tadi siang dicari Mas Heru, sudah ketemu?” tutur salah satu temanku disela-sela permainan. “Diminta mengajar di SMP!” sahutku. “Terus?” lanjutnya. “Ya, dicoba saja!” tukasku. Semua tertawa seolah mengejek kemampuanku untuk kembali mengajar. Dalam hati aku sempat bertanya-
7
tanya, kenapa teman-teman dekatku meragukan kemampuanku bahkan keyakinan akan diriku sendiri. “Ya, siap-siap mental saja kamu!” lanjut sahabatku itu ketus sambil tertawa. “Tak masalah!” memasukkan bola terakhir.
potongku
singkat
sambil
“Kamu yang bermasalah, silahkan pakai segitiga ini!” lanjutku setelah memasukkan bola terakhir dan mengalungkan segitiga kayu yang digunakan untuk menata bola ke lehernya sebagai hukuman bagi yang kalah. Satu hal lagi perlu kamu catat, Nik, mungkin dalam ‘Book of Dreams’ milikmu yang sudah usang dan jarang kautengok lagi, bahwa tubuh kecil ini tidak hanya mampu mengajar Bahasa Inggris, namun juga bisa bermain billiard, bahkan hampir semua permainan menggunakan kartu kukuasai dengan baik, mengingat diriku adalah anak terminal yang dikelilingi oleh kehidupan perjudian. Permainan penuh canda dan tawa itupun berlangsung hingga menjelang fajar. Hanya saja, saat itu belum kusadari sungguh, mengapa seolah seluruh percakapan memojokkan diriku pada tingkat dimana teman, sahabat dekatku sendiri, justru seolah tidak yakin dengan kesiapanku untuk kembali mengajar. Menjelang matahari terbit, aku sudah sampai di rumah dan langsung merebahkan tubuh kecilku di kasur. Ketika pintu kamarku diketuk dari luar, matahari sudah lumayan tinggi. Kudapati Mas Heru sudah di depan pintu. “Besok wawancara jam sepuluh!” tuturnya singkat. Setelah mengiyakan, aku kembali tidur. Baru pada sore harinya aku keluar, mampir ke warung sebentar, kemudian langsung ke asrama. Sepanjang malam, yang 8
kudengar hanya keraguan dan keraguan dari teman-temanku pada kesiapan diriku untuk mengajar. Pada akhirnya kuketahui bahwa mereka tidak meragukan kemampuanku, namun justru kesiapan diriku, pribadi dalam diri yang kumiliki untuk mengajar lagi. Malam itu sengaja aku pulang awal untuk istirahat menghadapi waktu terjanji esok harinya. Namun demikian, seawal apapun, lonceng gereja telah berdentang dua belas kali, tengah malam, dan sesungguhnya hari telah berganti. Pukul delapan tepat aku telah siap di warung. Pagi itu aku diantar salah seorang temanku karena tidak tahu dimana Padepokan itu berada. Motor langsung meluncur menuju Kota Lama, di sebelah utara Negeri-Castleku. Benar saja, kalau saja aku naik bus umum, dijamin pasti kebingungan. Banyak jalan searah, terlebih aku tidak begitu mengenal dengan jalur-jalur di kotamu waktu itu. Tepat pukul sepuluh, kendaraan memasuki pelataran parkir SD di samping gereja. Setelah bertanya, kulangkahkan kakiku menuju kantor yayasan yang tidak lain adalah di seberang sungai itu. Sesuai dengan waktu yang diminta, aku menghadap yang berwenang saat itu. Rupanya pihak yang paling berwenang tidak berada di tempat. Pada akhirnya aku ditemui seorang biarawati dan pembicaraanpun tidak menemui banyak masalah kecuali satu hal…..aku bukanlah seorang sarjana penuh, sarjana sekalipun bukan! Jujur, Nik, saat itu juga benakku berseru mengagumi biarawati dihadapanku, “Kenapa juga mesti jadi suster, alangkah eloknya kalau menjadi bintang film!” Benar kan, Nik, entah karena apa, yang jelas pada akhirnya Sang Biarawati itupun meninggalkanmu, 9
meninggalkan kita, meninggalkan semua ayal dan imajiku tentang sosok dirinya. Tak lebih dari lima belas menit, aku segera keluar setelah minta diri sesopan mungkin, mengikat erat segala ayalku tentang sosok Biarawati itu dan menguburnya dalam alam imajiku yang paling dalam sekalipun. “Sopan, sopan, kamu harus sopan!” demikian kirakira kata hatiku kalau boleh berteriak. Aku masih ingat sungguh, semua kata-katanya yang lembut menawarkan segala kekhawatiranku, terutama tentang satu syarat mutlak yang tidak kumiliki, ijazah. Katakata itu justru membiusku, tak lagi aku mampu berkata-kata. Sebaliknya, aku terpaku memandang gerak bibirnya yang lembut menuturkan penjelasan-penjelasan. Terakhir kali kurasakan tanganku bergetar saat menjabat jemari tangannya setelah menandatangani surat-surat perjanjian. Surat-surat itu sampai sekarang masih rapi kusimpan, Nik, bukan sebagai bukti tertentu, namun terlebih karena nilai yang terkandung di dalamnya. Surat itu tidak lain adalah bentuk peng-orang-an atas tubuh kecil ini. Terlebih setelah sekian waktu, sampai aku sendiri lupa tepatnya, aku jarang diorangkan. Biasanya aku hanya dianggap ada, namun tak berarti, tak bermakna. Tapi surat itu, dengan surat itu aku merasa pernah diorangkan, pernah dianggap sebagai seseorang. Satu lagi, Nik, ucapannya yang terakhir sungguh membawaku ke negeri tanpa batas. Ucapan itu hanyalah penuturan formal biasa, namun bagi jiwa yang terlalu lama mengelana ini, tuturan itu menjadikan diriku seolah harus segera melabuhkan jiwa ini di dermaga Padepokanmu, sebuah pengakuan yang lama kutunggu-tunggu, sebuah pengakuan sederhana, 10