Sambutan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Keberhasilan pembangunan pertanian tidak dapat dipisahkan dari kesadaran petani dalam menggunakan pupuk anorganik
atau pupuk kimia dan sebagian menyebutnya pupuk buatan. Hingga awal tahun 1970an, pada saat petani belum menggunakan pupuk anorganik, hasil padi varietas lokal yang diusahakan hanya mampu berproduksi 2,0-2,5 t/ha, meskipun mereka telah menggunakan pupuk kandang. Dengan menggunakan pupuk anorganik, hasil varietas unggul padi di lahan sawah irigasi meningkat lebih dua kali lipat menjadi 5-6 t/ha. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya peningkatan produksi padi melalui gerakan revolusi hijau telah mengantarkan Indonesia untuk berswasembada beras pada tahun 1984. Selain didukung oleh pengembangan varietas unggul dan pembangunan jaringan irigasi, keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan produksi padi tentu tidak terlepas dari pengembangan teknologi pupuk anorganik. Di satu sisi, pengembangan pupuk anorganik berdampak positif terhadap peningkatan produksi padi, namun di sisi lain penggunaan pupuk anorgranik juga berdampak negatif, seperti pencemaran lingkungan dan inefisiensi pemupukan di sebagian besar daerah intensifikasi padi. Hal ini mendorong tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik, bahkan mereka seringkali menggunakannya dalam jumlah yang berlebihan. Selain tidak lagi meningkatkan hasil, penggunaan pupuk anorganik dengan takaran di atas kebutuhan tanaman juga mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh dari usahatani. Menyadari pentingnya upaya penghematan pupuk bagi peningkatan pendapatan petani, penghematan sumberdaya pupuk, dan pelestarian sumberdaya alam, Badan Litbang Pertanian telah menyusun Peta Potensi Penghematan Pupuk Anorganik dan Pengembangan Pupuk Organik pada Lahan Sawah. Peta ini diharapkan menjadi acuan dan merupakan bagian dari rasionalisasi pemupukan di Indonesia, sejalan dengan upaya pengembangan teknologi pemupukan spesifik lokasi.
Jakarta, 2010
Menteri Pertanian,
Suswono
i
Kata Pengantar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik dalam usahatani padi sangat tinggi, sehingga penggunaannya seringkali
berlebihan dan berdampak terhadap lingkungan dan inefisiensi usaha tani. Di sisi lain, mulai tahun 2010 anggaran subsidi pupuk akan diturunkan secara bertahap dari Rp. 17 trilyun menjadi sekitar Rp. 11 trilyun. Hal ini tentu akan meningkatkan HET (harga eceran tertinggi) pupuk. Oleh karena itu, untuk menghindari dampak pengurangan subsidi pupuk terhadap produksi padi nasional, diperlukan strategi yang tepat dan bijaksana yaitu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik dan meningkatkan penggunaan pupuk organik berdasarkan sifat dan tingkat kesuburan tanah. Untuk itu lahan sawah dipilah menjadi beberapa kelompok berdasarkan bahan induk, jenis, status, dan tingkat kesuburan tanahnya baik secara tabular maupun spasial (peta). Peta Potensi Penghematan Pupuk Anorganik dan Pengembangan Pupuk Organik pada Lahan Sawah telah disusun oleh tim dari berbagai bidang masalah yang dikoordinasikan oleh Badan Litbang Pertanian melalui BBSDLP, dilengkapi dengan narasi yang ringkas dan mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan. Penghargaan dan ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Sekjen Kementerian Pertanian, Dirjen dan Kepala Badan lingkup Kementerian Pertanian, tim penyusun dan kontributor baik dari Badan Litbang Pertanian khususnya BBSDLP, PSEKP, Puslitbangtan, maupun dari Setjen, Ditjen, dan Badan terkait, dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan peta ini.
Jakarta, 2010 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
ii
Sumardjo Gatot Irianto
A. Inefisiensi Pupuk Anorganik
Agriculture) maka produktivitas tanaman, terutama padi, tidak akan maksimal. Hasil usahatani yang tinggi hanya dapat dicapai apabila mengaplikasikan kombinasi pupuk organik dan anorganik dalam sistem Integrated Plant Nutrients Management (IPNM) seperti halnya PTT.
Selain ditunjang oleh pengembangan varietas unggul baru (VUB) dan irigasi, keberhasilan peningkatan produksi padi sejak dimulainya implementasi revolusi hijau pada tahun 1960-an hingga saat ini tidak terlepas dari penggunaan pupuk kimia (anorganik). Namun sejak 1990an, laju peningkatan produksi padi tidak lagi seimbang dengan laju penggunaan pupuk dengan rasio 1:10. Hingga kini, ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik dalam usahatani padi sangat tinggi, sehingga penggunaannya seringkali berlebihan. Hal ini terkait dengan respon tanaman terhadap penggunaan pupuk anorganik sangat cepat, nyata, dan didorong oleh adanya kebijakan pupuk murah melalui subsidi, terutama urea.
Pertanian organik didefinisikan sebagai “kegiatan usaha tani secara menyeluruh sejak proses produksi (prapanen) sampai pengolahan hasil (pascapanen) yang bersifat ramah lingkungan dan dikelola secara alami (tanpa penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk yang dinilai lebih sehat dan bergizi” (IFOAM, 2002). Sedangkan menurut SNI (2009), pertanian organik adalah “sistem manajemen produksi holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah dengan mengutamakan penggunaan input dari limbah kegiatan budidaya di lahan, dan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat.
Kecenderungan semakin intensifnya penggunaan pupuk anorganik menyebabkan turunnya kandungan bahan organik tanah dan kemampuan tanah menyimpan dan melepaskan hara dan air bagi tanaman. Akibatnya, efisiensi penggunaan pupuk dan air irigasi serta produktivitas lahan semakin menurun, sehingga berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan, terutama perairan.
Penggunaan pupuk organik bertujuan untuk: (a) mengatasi degradasi lahan atau penurunan kualitas lahan, (b) meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik, dan (c) menghindari pencemaran lingkungan akibat pemakaian pupuk anorganik yang tidak terkendali. Pada tanah marjinal dan/atau tanah yang sudah terdegradasi, penggunaan pupuk organik merupakan suatu keharusan.
Pendahuluan
B. Dinamika Kebijakan Subsidi Pupuk Anggaran subsidi pupuk meningkat dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun ke depan anggaran subsidi pupuk diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 20 trilyun. Angka ini akan membebani anggaran pemerintah. Oleh karena itu, mulai tahun 2010, anggaran subsidi pupuk diturunkan dari Rp. 17 trilyun menjadi sekitar Rp. 11 trilyun pada tahun 2010. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya HET (harga eceran tertinggi) pupuk. Untuk menghindari dampak pengurangan subsidi pupuk terhadap produksi padi nasional yang harus terus meningkat diperlukan strategi yang tepat dan bijaksana. Salah satu strategi adalah meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik melalui penerapan sistem pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan acuan Permentan No. 40/2007 (Rekomendasi Pupuk N, P, K Padi Sawah Spesifik Lokasi). Implementasi prescription farming secara luas sebagaimana yang telah dikembangkan melalui model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) di beberapa sentra produksi padi di Indonesia dapat menghemat penggunaan pupuk hingga 20-25%, hasil meningkat 1020%, dan pencemaran lingkungan dapat dihindari. Permentan No. 40/2007 merekomendasikan pengembalian bahan organik atau pemberian pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi dan kesuburan tanah, sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik. Dalam penerapan rekomendasi tersebut, usahatani padi dapat diintegrasikan dengan ternak (SITT, sistem integrasi tanaman ternak) atau menerapkan System Rice of Intensification (SRI) yang lebih menonjolkan penggunaan pupuk/bahan organik dengan dukungan pemberian MOL (mikro organisme lokal) dan efisiensi penggunaan air.
C. Kerancuan Pemahaman Pupuk Organik Kurangnya pemahaman dan terbatasnya informasi tentang pupuk organik menyebabkan kerancuan berpikir bagi sebagian kalangan dalam pengembangan dan pemanfaatannya. Ada anggapan bahwa usahatani yang menggunakan pupuk organik diartikan sebagai usahatani pertanian organik. Padahal pertanian organik mempunyai falsafah, orientasi, dan tujuan tertentu, tidak hanya sekadar menggunakan pupuk organik, tetapi juga menganut persyaratan lain yang lebih spesifik. Di sisi lain, apabila hanya menggunakan pupuk organik seperti halnya usaha pertanian input rendah atau LEISA (Low External Input Sustainable
Selain mengandung hara yang jauh lebih rendah, pupuk organik juga memiliki respon yang lambat dan butuh waktu yang panjang dalam memperbaiki tingkat kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman padi, harus dikombinasikan dengan pupuk anorganik dengan takaran yang lebih rendah. Penggunaan pupuk organik secara berlebihan seperti pada umumnya budidaya sayuran intensif juga berpotensi mencemari lingkungan dan badan air yaitu nitrat dan fosfat. Dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem, lingkungan, dan terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan, serta antisipasi terhadap kelangkaan bahan baku pupuk dan meningkatnya harga pupuk akibat perubahan kebijakan subsidi maka diperlukan berbagai upaya untuk menghemat penggunanan pupuk anorganik dan meningkatkan penggunaan pupuk organik.
Filosofi dan Dasar Pemikiran A. Keseimbangan Hara dan Konsep Pemupukan Berimbang Varietas unggul baru (VUB) yang telah mendominasi lebih dari 90% areal pertanaman padi di Indonesia saat ini umumnya responsif terhadap pemberian pupuk makro N, P, dan K. Untuk menghasilkan gabah sekitar 6 t/ha, varietas unggul padi tersebut membutuhkan 165 kg N, 19 kg P, dan 112 kg K/ha atau setara dengan 350 kg urea, 120 kg SP-36, dan 225 kg KCl/ha. Apabila kebutuhan unsur hara tidak terpenuhi, maka untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi, tanaman akan menguras unsur hara dari dalam tanah. Jika tanahnya subur, tanaman padi tidak akan memperlihatkan penurunan produksi dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang akan terjadi penurunan produktivitas tanah dan tanaman. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitian di lapangan. Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status semua hara esensial seimbang dan optimum dalam tanah sehingga mampu meningkatkan produksi dan mutu hasil pertanian, meningkatkan efisiensi pemupukan dan kesuburan tanah serta menghindari pencemaran lingkungan. Pada jenis tanah dengan kadar hara optimum atau status tinggi, pemberian pupuk hanya berfungsi menggantikan hara yang terangkut sewaktu panen. Pemupukan berimbang tidak harus menggunakan semua jenis pupuk, dan sumber hara dapat berupa pupuk tunggal, pupuk majemuk, atau kombinasi
keduanya, termasuk pupuk organik. Inovasi teknologi pupuk untuk mendukung sistem pemupukan berimbang sudah berkembang. Hal ini diindikasikan oleh semakin sempitnya wilayah rekomendasi pemupukan yang pada awalnya bersifat umum (nasional), kemudian mengarah pada tingkat provinsi, dan seterusnya pada tingkat kabupaten. Pada tahun 2006, Badan Litbang Pertanian melalui Kepmentan No. 1/2006 juncto Permentan 40/2007, mengeluarkan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi hingga tingkat kecamatan. Bahkan pada tataran operasional, rekomendasi pemupukan spesifik lokasi ditujukan untuk satuan hamparan sawah yang luasnya hanya beberapa hektar. Hal ini didukung oleh pengembangan penggunaan PUTS (perangkat uji tanah sawah) dan BWD (bagan warna daun) yang dikemas dalam PUPS (pemupukan padi sawah spesifik lokasi).
B. Kesuburan/Produktivitas Lahan Tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh jenis tanah dan bahan induknya, iklim, sistem pengelolaan dan status hara. Bahan induk yang berasal dari bahan volkan relatif lebih subur dibanding bahan nonvolkan (marin, sedimen, aluvium). Namun demikian, ditinjau dari proses pembentukan tanah, pada wilayah beriklim basah (Sumatera, Kalimantan, Jawa), proses penghancuran/ pelapukan kimia berjalan sangat intensif (pelapukan lanjut). Cadangan mineral menjadi rendah, basa tanah (Ca, Mg, K, dan Na) cepat dibebaskan dan tercuci, sehingga tingkat kesuburan tanah rendah, seperti yang dicirikan oleh tanah bereaksi masam, kejenuhan basa rendah, dan kejenuhan aluminium tinggi. Tanah ini umumnya berwarna merah, sebagian besar termasuk Inceptisols (Dystrudepts), Ultisols, Oxisols, dan Spodosols. Sebaliknya pada wilayah beriklim kering, pelapukan belum lanjut dan cadangan mineral masih tinggi, sehingga tingkat kesuburan tanah relatif lebih baik dengan pH netral sampai agak alkalis, kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation tinggi, kejenuhan Al rendah. Tanah ini umumnya berwarna lebih gelap, termasuk Andisols, Alfisols, Mollisols, Vertisols, Entisols, dan Inceptisols (Eutrudepts). Status hara tanah sangat dinamis sesuai dengan tingkat pengelolaan lahan. Pengelolaan intensif dengan pemupukan secara terus-menerus meningkatkan kadar P dan K tanah sawah. Tanaman padi hanya memanfaatkan sekitar 15-20% dari jumlah pupuk P yang diberikan dan sisanya tertinggal sebagai residu dalam tanah yang masih dapat dimanfaatkan oleh tanaman pada musim berikutnya. Kandungan Corganik tanah merupakan salah satu indikator kesuburan tanah. Hasil kajian kadar C-organik tanah di lahan sawah mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan sawah intensifikasi berkadar C-organik rendah (<2%), sehingga perlu peningkatan penggunaan pupuk organik, yang penyediaannya dilakukan secara in situ.
C. Pupuk Anorganik dan Organik Pupuk anorganik Implementasi revolusi hijau melalui pengembangan varietas unggul berumur pendek, anakan banyak, produktivitas tinggi, dan responsif terhadap pupuk anorganik, telah menempatkan pupuk anorganik sebagai faktor produksi yang penting dalam upaya peningkatan produksi padi Indonesia. Pupuk anorganik seperti urea, SP-36, dan KCl merupakan sumber utama hara makro tanaman. Akibat penggunaan pupuk yang cenderung berlebihan dan tidak berimbang di beberapa wilayah intensifikasi menyebabkan produktivitas lahan sawah mengalami penurunan.
perbaikan dosis rekomendasi pemupukan agar sesuai dengan kebutuhan hara tanaman dan status hara tanah, (c) penambahan pupuk mikro seperti Cu dan Zn di beberapa areal sawah yang mengalami gejala kahat.
Pupuk organik Pupuk organik mengandung unsur hara makro dan mikro secara lengkap, namun dalam jumlah sedikit dan lambat tersedia, karena memerlukan proses mineralisasi agak lama. Selain itu, pupuk organik juga mengandung asam-asam organik, hormon, dan zat perangsang tumbuh yang sangat dibutuhkan tanaman dan tidak dimiliki oleh pupuk anorganik. Penggunaan pupuk organik lebih berperan dalam memperbaiki kesuburan tanah dan kualitas tanaman dibandingkan sebagai pensuplai unsur hara. Kebutuhan hara makro padi varietas unggul tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh pupuk organik dalam bentuk kompos jerami maupun kotoran ternak (ayam, sapi, kerbau, kambing). Untuk dapat menggantikan seluruh kebutuhan unsur hara makro yang berasal dari pupuk anorganik, maka jumlah pupuk organik yang diperlukan akan sangat tinggi hingga puluhan ton per hektar. Pemberian pupuk organik saja (100% organik) tetap dapat dilakukan, namun tingkat produktivitas tanaman akan lebih rendah, kecuali pada jenis dan kondisi tanah yang subur, iklim yang sesuai, serta membutuhkan pemicu perkembangan mikroba/biota tanah yang bersifat spesifik lokasi.
Pendekatan A. Kriteria dan Prosedur Pemetaan Berdasarkan keragaman kesuburan tanah yang diindikasikan oleh cadangan mineral dari bahan induk, jenis, dan status hara P dan K di dalam tanah, maka lahan sawah di seluruh Indonesia secara umum dapat dipilah ke dalam lima zona, yaitu zona A, B, C, D, dan E. Lahan sawah subur yang berada pada daerah volkan dengan cadangan mineral tinggi serta status hara P dan K tinggi termasuk zona A, namun apabila status hara P atau K sedang sampai tinggi maka lahan termasuk zona B. Demikian seterusnya untuk zona C, D, dan E ditentukan berdasarkan kriteria seperti disajikan pada Tabel 1. Dengan pengelompokan zona berdasarkan tanah, cadangan mineral, dan status hara P dan K, dapat diketahui potensi peningkatan efisiensi penggunaan pupuk anorganik dan pupuk organik. Wilayah yang termasuk zona A dapat diarahkan untuk penggunaan bahan organik secara mutlak (100%) melalui pengembangan SRI tanpa menggunakan pupuk anorganik, dengan dosis >15 t/ha pupuk organik ditambah MOL (mikro organisme lokal). Zona B dapat diarahkan sebagai kawasan SRI+ (10 t/ha pupuk organik ditambah 25-50% NPK rekomendasi Permentan No. 40/2007). Zona C, D, dan E harus diarahkan pada pendekatan PTT yang mengintegrasikan pupuk anorganik dan pupuk organik secara seimbang. Jenis teknologi dan rekomendasi pemupukan untuk masingmasing zona disajikan pada Tabel 2. Penyebaran secara spasial disusun dengan teknik GIS yaitu dengan menumpangtindihkan peta sumberdaya tanah, peta lahan sawah utama, dan peta status hara P dan K.
Peningkatan produktivitas tanah dan tanaman dapat diupayakan melalui: (a) perbaikan kualitas tanah dengan penggunaan pupuk organik, (b)
Tabel 1. Kriteria pengelompokan lahan sawah berdasarkan bahan induk, tanah, dan status hara P dan K. Zona
Volkan
Non Volkan
A
√
-
√
B
C
D
E
Jenis tanah dominan
Status hara P
K
Andisols,Alfisols, Inceptisols
T
T
-
Andisols,Alfisols, Inceptisols
T
S
√
-
Andisols,Alfisols, Inceptisols
S
T
√
-
Andisols,Alfisols, Inceptisols
S
S
-
√
Inceptisols,Alfisols,Vertisols
T
T
-
√
Inceptisols,Alfisols,Vertisols
T
S
√
-
Inceptisol, Entisols,Vertisols
T
R
√
-
Inceptisol, Entisols,Vertisols
S
R
-
√
Inceptisols, Vertisols,Ultisols
T
R
-
√
Inceptisols, Vertisols,Ultisols
S
T
-
√
Inceptisols, Vertisols,Ultisols
S
S
√
-
Inceptisols, Ultisols, Entisols
R
T
√
-
Inceptisols, Ultisols, Entisols
R
S
√
-
Inceptisols, Ultisols, Entisols
R
R
-
√
Inceptisols, Ultisols, Vertisols
S
R
-
√
Inceptisols, Ultisols, Vertisols
R
T
-
√
Inceptisols, Ultisols, Vertisols
R
S
-
√
Inceptisols, Ultisols, Vertisols
R
R
Tabel 2. Pengelompokan teknologi SRI dan PTT, serta rekomendasi pupuk. Rekomendasi pupuk Anorganik*) Organik (t/ha)
Zona
Teknologi
A
SRI
0% rekomendasi
B
SRI+
25-50% rekomendasi
10-15**
C
PTT1
50-75% rekomendasi
5-10
D
PTT2
75-100% rekomendasi
2-5
E
PTT3
100% rekomendasi
>15**
2
*) Dosis rekomendasi pupuk NPK mengacu pada Permentan No. 40/ Permentan/ OT.140/4/2007 **) Ditambah MOL (Mikro Organisme Lokal)
B. Kebutuhan dan Efisiensi Pupuk Dosis pupuk anorganik urea ditentukan berdasarkan pada kebutuhan N tanaman untuk mencapai rata-rata produktivitas nasional, sedangkan dosis anjuran SP-36 dan KCl didasarkan pada rata-rata status hara P dan K tanah sawah dengan sasaran utama pemanfaatan pupuk/bahan organik semaksimal mungkin dan penggunaan pupuk anorganik sehemat mungkin (Tabel 3). Kebutuhan dan potensi efisiensi penggunaan pupuk anorganik dihitung berdasarkan pengurangan penggunaan pupuk anorganik dengan beberapa skenario berdasarkan persentase luas lahan yang menerapkan rekomendasi pada masing-masing zona dibandingkan dengan kondisi eksisting. Skenario 1: rekomendasi pemupukan diterapkan di seluruh wilayah pada masing-masing zona, sedangkan Skenario 2-4: rekomendasi pemupukan hanya diterapkan pada sebagian wilayah pada masing-masing zona (Tabel 4) dengan asumsi indeks pertanaman per tahun rata-rata 1,5.
Tabel 3. Dosis rata-rata pupuk untuk padi sawah. Zona A B C D E A–E A–E
Teknologi SRI SRI+ PTT1 PTT2 PTT3 Existing PTT*) Konvensional**)
Urea
SP-36
KCl
0 75 125 175 200 200 250
kg/ha 0 20 30 45 50 50 75
0 10 15 20 25 25 50
Pupuk organik t/ha 20 12,5 7,5 3,75 2 2 0
*). Sesuai dengan rekomendasi Permentan No.40/2007 **). Pupuk yang umum digunakan petani saat ini
Tabel 4. Asumsi luas lahan sawah untuk setiap skenario zona teknologi Zona Teknologi A B C D E
SRI SRI+ PTT1 PTT2 PTT3
Skenario-1 429.016 163.453 2.057.760 3.560.409 1.000.453
Luas sawah untuk zona (ha) Skenario-2 Skenario-3 Skenario-4 42.902 107.254 107.254 40.863 81.726 485.214 1.028.880 1.543.320 1.028.880 2.670.306 3.560.409 1.780.204 3.428.139 1.918.381 3.809.537
Catatan: Skenario-1=luas lahan sawah sesuai data BPS yang dikoreksi Skenario-2=luas A=10%, B=25%, C=50%, D=75%, E=100%E+sisa luas A,B,C,D Skenario-3=luas A=25%, B=50%, C=75%, D=100%, E=100%E+sisa luas A,B,C Skenario-4=luas A=25%, B=100%B+75%A, C=50%, D=50%, E=100%E+sisa luas C,D
Delineasi dan Potensi Penghematan Pupuk A. Peta dan Interpretasi Luas lahan sawah di seluruh Indonesia pada zona A, B, C, D, dan E disajikan secara tabular (Tabel 5) dan secara spasial (Peta 1-20). Dari Tabel 5 terlihat bahwa dari total lahan sawah 7.211.090 ha, Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah mempunyai lahan sawah terluas berturut-turut 1.143.394 ha dan 1.051.922 ha. Dari total lahan sawah di Indonesia, zona D menempati urutan terluas yaitu 3.560.409 ha (49%) dengan penyebaran utama di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Zona kedua terluas adalah zona C yaitu 2.057.760 ha (29%) dengan sebaran utama di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah, selanjutnya adalah zona E seluas 1.000.453 ha (14%) terluas berada di Propinsi Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Sedangkan zona A yang sesuai untuk pengembangan SRI murni seluas 429.016 ha (6%), dengan penyebaran terluas di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Zona B hanya sekitar 163.453 ha (2%) terluas berada di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara.
B. Kebutuhan dan Potensi Penghematan Pupuk Potensi peningkatan efisiensi penggunaan pupuk anorganik dapat dicapai sesuai dengan kemampuan penerapan rekomendasi (Tabel 6). Di seluruh Indonesia, total kebutuhan pupuk anorganik pada sistem usahatani konvensional adalah 2.704.159 ton urea, 811.248 ton SP-36, dan 540.832 ton KCl/tahun. Apabila teknologi PTT diterapkan pada seluruh lahan sawah di Indonesia, maka terjadi penurunan kebutuhan (penghematan) pupuk anorganik sebanyak 540.832 ton urea (20%), 270.416 ton SP-36 (33%) dan 270.416 ton KCl/tahun (50%) dan sebagai kompensasinya diperlukan pupuk organik sebanyak 21.633.270 ton.
Tabel 5. Luas dan penyebaran Zona A, B, C, D, E di Indonesia No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Zona Rekomendasi
Jumlah (ha)
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Banten Jabar Jateng Jatim DIY Bali NTB Kalsel Sulut Sultra Sulteng’ Sulsel Sulbar Gorontalo Jumlah
A 529 103.505 16.385 0 643 9.077 3.110 0 0 1.772 80.108 79.268 69.577 0 28.923 2.018 0 15 0 0 31.504 2.582 0 429.016
B 2.571 36.970 9.067 0 0 0 5.609 27 0 16.060 52.043 7.694 13.318 372 4.319 0 0 663 0 0 13.977 763 0 163.453
C 106.930 148.969 69.683 20.261 78.840 27.830 18.696 28.814 0 33.838 337.723 271.846 338.967 0 45.605 103.889 75.898 33.906 13.593 86.040 192.929 10.726 12.778 2.057.760
D 116.634 136.491 74.607 106.742 85.729 247.273 34.069 237.611 2.154 115.225 383.164 608.619 614.753 51.528 26.899 41.292 269.393 24.233 26.411 26.417 280.301 42.525 8.339 3.560.409
E 49.678 68.488 65.959 38.850 26.562 146.273 19.774 14.349 90 71.610 86.190 84.495 106.779 17.164 1.706 0 80.441 8.415 28.394 21.135 62.788 0 1.310 1.000.453
276.342 494.422 235.701 165.853 191.774 430.454 81.259 280.801 2.244 238.504 939.228 1.051.922 1.143.394 69.064 107.452 147.199 425.732 67.232 68.398 133.593 581.499 56.596 22.427 7.211.090
Persentase (%)
6
2
29
49
14
100
Tabel 7. Penghematan pupuk anorganik dari beberapa skenario penerapan teknologi dibandingkan konvensional. Skenario Konvensional Skenario-1 Skenario-2 Skenario-3 Skenario-4 PTT
Penghematan pupuk (ton) Urea
SP-36
KCl
-
-
-
1.065.197
398.383
347.751
39%
49%
64%
777.250
326.366
308.405
29%
40%
57%
895.470
355.140
326.130
33%
44%
60%
846.492
344.512
314.140
31%
42%
58%
540.832
270.416
270.416
20%
33%
50%
Penerapan teknologi pemupukan secara bertahap pada setiap zona rekomendasi berdasarkan skenario 1-4 maupun existing PTT dapat menghemat penggunaan pupuk anorganik cukup signifikan, yaitu 2039% urea, 33-49% SP-36, dan 50-64% KCl dibandingkan dengan dosis konvensional (Tabel 7). Sebaliknya, kebutuhan pupuk organik (in situ) meningkat sangat tinggi hingga lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan existing PTT (Tabel 6). Penggunaan pupuk organik dapat mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik pada berbagai tingkatan. Pada lahan sawah di zona A, sesuai diterapkan model SRI organik atau padi organik murni tanpa menggunakan pupuk anorganik. Sedangkan pada lahan sawah di zona B, C, D, dan E sesuai diterapkan pupuk anorganik dan pupuk organik dalam berbagai kombinasi. Tabel 6. Total kebutuhan pupuk anorganik dan pupuk organik untuk berbagai skenario luas lahan Skenario
Kebutuhan pupuk (ton) Urea
SP-36
KCl
Pupuk organik
Skenario-1
1.638.962
412.864
193.081
62.113.665
Skenario-2
1.926.909
484.882
232.427
38.933.021
Skenario-3
1.808.688
456.107
214.702
47.894.777
Skenario-4
1.857.666
466.735
226.692
45.332.549
PTT
2.163.327
540.832
270.416
21.633.270
Konvensional
2.704.159
811.248
540.832
-
Tim Penyusun: Penanggung Jawab: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Penyusun:
Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS Dr. Sri Rochayati Dr. Diah Setyorini Ir. Anny Mulyani, MS Dr. D. Subardja
Aplikasi GIS dan Database: Adi Priyono Saefoel Bachri, S. Kom Hadijah Asisah Jaelani
Kontributor: Drs. Wahyunto, MSc. Ir. Sofyan Ritung, MSc. Dr. Ir. Achmad Hidayat, MS. Prof. UD. Djaenudin, MS. Dr. Nata Suharta Dr. Didi Ardi, MSc. Dr. Wiwik Hartatik Dr. Aljabri Ir. Nurjaya, MP. Ir. A. Kasno, MS. Dr. Edi Santoso
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN Jln. Ragunan No. 29, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12540 Telp. (021) 7806202, faxs. (021) 7800644 E-mail:
[email protected] Website: litbang.deptan.go.id Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jl. Juanda No. 98, Bogor, 16123 Telp (0251) 8323012 Fax (0251) 8311256 Email:
[email protected] Website: http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id
ISBN: 978-602-8218-58-0
Pustaka/Sumber Data Bakosurtanal. 1986. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:250.000. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Cibinong Bogor. Bappenas. 2003. Peta Batas Administrasi Provinsi di Indonesia. Bappenas. Jakarta. Lembaga Penelitian Tanah. 1966. Peta Tanah Tinjau Jawa, Bali, Lombok skala 1:250.000. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1990. Peta Satuan Lahan Sumatera skala 1:250.000. LREP I. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993/1999. Peta Status Hara Fosfat Tanah Sawah di 18 Provinsi skala 1:250.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993/1999. Peta Status Hara Kalium Tanah Sawah di 18 Provinsi skala 1:250.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2000. Peta Sumberdaya Lahan/Tanah Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2000. Peta Tanah Tinjau Provinsi Kalimantan Selatan skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2003. Peta Sawah Abadi Jawa, Bali, Lombok, Sulsel, Kalsel, dan Lampung, skala 1250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Setyorini, D., L. Retno Widowati, S. Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hara tanah sawah intensifikasi dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya (Editor: Agus, F., A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A. M. Fagi, W. Hartatik). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Hal:116-137. Sofyan, A., Nurjaya dan A. Kasno. 2004. Status hara tanah sawah untuk rekomendasi pemupukan dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya (Editor: Agus, F,. A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A. M. Fagi, W. Hartatik). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Hal:30-83.