Salon yang Mempercantik Jiwa Posted by: gedeprama | 29 October 2008
Menyusul derasnya jumlah bencana yang menghadang di depan mata, dari tsunami, gunung meletus, bom teroris, lumpur panas, banjir, tanah longsor lengkap dengan jumlah korbannya yang tidak terhitung, tidak sedikit manusia yang bertanya: apakah Tuhan sedang marah? Sebuah pertanyaan sederhana, sekaligus menjadi warna dominan banyak wacana. Dan sebagaimana biasa, jawaban pun terbelah dua: ada yang menjawab positif, ada yang menjawab negatif. Di Timur telah lama terdengar pendapat, kalau Tuhan penari maka alam adalah tarianNya. Bila demikian, adakah alam yang murka di mata pikiran manusia mencerminkan kemarahan Tuhan?. Entahlah, yang jelas pertanyaan terakhir mengingatkan pada cerita seorang sahabat pastur tentang seorang Ibu yang permennya dicuri puteranya Rio. Melihat puteranya mencuri, Ibu ini bertanya: „Rio, tidakkah kamu melihat Tuhan ketika mencuri permen mama?‟. Dengan polos Rio menjawab: „lihat ma!‟. Mendengar jawaban seperti ini, mamanya tambah marah, dan diikuti pertanyaan yang lebih emosi: „Tuhan bilang apa sama kamu Rio?‟. Dasar seorang anak polos, Rio menjawab jujur: „boleh ambil dua!‟. Tentu saja ini cerita yang terbuka dari penafsiran. Dari salah satu sudut pandang terlihat, wajah Tuhan di kepala kita teramat tergantung pada kebersihan batin kita masing-masing. Dalam batin bersih seorang anak polos dan jujur seperti Rio, Tuhan berwajah pemaaf dan pemurah. Dalam batin yang mudah emosi dan curiga seperti mama Rio, wajah Tuhan menjadi pemarah dan penghukum. Hal serupa juga terjadi dalam cara Indonesia memandang bencana. Tanpa menggunakan kerangka baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, tinggi-rendah, banyak guru mengajarkan kalau manusia berada pada tingkat pertumbuhan masing-masing. Dimanapun tingkatannya, semua punya tugas yang sama: bertumbuh!. Tidak disarankan yang sudah sampai tingkatan SMU misalnya kemudian menghina yang baru sampai SD. Tidak juga disarankan kalau yang baru sampai SMP kemudian minder berlebihan pada mereka yang sudah sampai perguruan tinggi. Semuanya bertumbuh. Tidak ada jaminan yang sekarang SMA pasti lebih cepat sampai dibandingkan dengan yang sekarang baru SD misalnya. Dengan spirit seperti ini, izinkanlah tulisan ini membagi pertumbuhan ke dalam empat pertumbuhan jiwa. Pertama mereka yang menjadi pedagang kehidupan dan pedagang doa. Jangankan dengan Tuhan, dengan siapa saja ia berdagang. Kalau permohonan tercapai maka Tuhan berwajah baik, kalau tidak dipenuhi apa lagi dihadang bencana maka Tuhan disebut marah. Dan dalam pandangan kelompok ini, bencana tidak lain hanyalah Tuhan yang murka pada ulah manusia. Tidak salah tentunya, karena ini bagian dari proses pertumbuhan. Kelompok kedua adalah pencinta tingkat remaja. Ciri kelompok ini adalah rasa memiliki yang tinggi. Tidak boleh ada orang lain, hanya dia yang boleh dekat dan dicintai Tuhan. Cinta bagi kelompok ini, tidak ada pilihan lain kecuali menyayangi, memaafkan, membebaskan. Tidak dibolehkan. ada ekspresi dari cinta Tuhan selain menyayangi, memaafkan dan membebaskan. Begitu ada wajah cinta yang lain (lebih-lebih berwajah bencana), maka mudah ditebak kemana kehidupan bergerak: benci tapi rindu!. Ini asal muasal pertanyaan sejumlah sahabat yang luka ketika bencana, kemudian bertanya: Tuhan, masihkah Engkau menyayangiku?
Kelompok ketiga adalah pencinta tingkat dewasa. Cinta tidak lagi diikuti kebencian. Cinta adalah cinta. Ia tidak berlawankan kebencian. Lebih dari itu, berbeda dengan kelompok kedua yang menempatkan dicintai lebih indah dibandingkan dengan mencintai, pada tingkat ini terbalik: mencintai lebih indah dibandingkan dicintai. Sehingga bencana, bagi jiwa yang sudah sampai di sini, tidak ditempatkan sebagai hukuman, melainkan masukan tentang segisegi di dalam diri yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain, bencana adalah vitamin bagi bertumbuhnhya jiwa. Kelompok keempat adalah jiwa yang tidak lagi mencari apa-apa. Bukan karena marah apalagi frustrasi. Sekali lagi bukan. Namun karena melalui rasa berkecukupan, ikhlas dan syukur yang mendalam kemudian dibimbing, kalau semuanya sudah sempurna. Sehat sempurna, sakit juga sempurna. Bukankah sakit yang mengajari menghargai kesehatan secara baik? Sukses sempurna, gagal juga sempurna. Bukankah kegagalan membimbing kita pada puncak kehidupan yang bernama tahu diri? Kehidupan sempurna, kematian juga sempurna. Bukankah kematian adalah mitra makna kehidupan yang membukakan pengertian kehidupan yang jauh lebih dalam? Kaya sempurna, miskin juga sempurna. Bukankah kemiskinan adalah pendidikan untuk tidak sombong dan senantiasa rendah hati? Sehingga dalam jiwa-jiwa yang sudah sampai di sini, tidak ada kamus bencana. Apapun yang terjadi diberi judul sama: sempurna!. 0rang Buddha menyebut ini Nirvana. Sebagian sahabat Islam dan Nasrani menyebutnya surga sebelum kematian. Sebagian orang Hindu menyebutnya maha samadhi. Dalam bahasa Confucius: „Bila bertemu orang baik tauladanilah. Jika bertemu orang jahat periksalah pikiran Anda sendiri‟. Kembali ke cerita awal tentang bencana dan Tuhan yang sedang marah, pilihan sikap yang diambil memang cermin pertumbuhan jiwa masing-masing. Seperti disebut sebelumnya, semuanya sedang bertumbuh. Penghakiman terhadap orang lain hanya menghambat pertumbuhan kita sendiri. Menyebut diri lebih baik, menempatkan orang kurang baik, hanya kesibukan ego yang meracuni pertumbuhan jiwa kemudian. Dan bagi siapa saja yang sudah tumbuh menjadi pencinta tingkat dewasa, lebih-lebih sudah menjadi jiwa yang tidak lagi mencari, Indonesia tidak lagi berwajah negara bencana. Indonesia adalah salon yang mempercantik jiwa. Tanpa cobaan, bukankah kehidupan hanya berputar-putar di luar dan mudah terasa hambar? Bukankah dalam cobaan, dalam godaan, dalam guncangan, semua jiwa sedang digerakkan masuk ke dalam? Bukankah hanya di dalam sini jiwa bisa dibuat indah dan cantik? Seperti seorang wanita yang segar bugar keluar dari ruang olah raga, bukankah kesediaan untuk lelah sebentar (baca: digoda bencana sebentar) yang membuatnya jadi bugar? Maafkanlah tulisan ini ditutup dengan pertanyaan.
Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan Posted by: gedeprama | 21 November 2008
Ada seorang Ibu yang memiliki sepasang putera-puteri kemudian mengisi hidupnya hanya dengan kesedihan. Putera tertua kebetulan penjual es krim keliling. Sedangkan puteri kedua adalah seorang penjual payung. Ketika hari panas, Ibu ini menangis untuk puterinya, karena teramat sedikit yang beli payung. Tatkala hari hujan, Ibu ini menangis untuk puteranya, karena jarang sekali orang membeli es krim. Cerita ini memang hanya pengandaian, tentang teramat banyaknya hidup kekinian yang diwarnai oleh kesedihan. Ada saja alasan yang membuat kehidupan tergelincir ke dalam kesedihan. Dari bencana, penyakit, umur tua, kematian. Sehingga jadilah kesedihan semacam hulu dari sungai kehidupan yang penuh dengan stres, keluhan, penyakit dan konflik. Seorang sahabat psikiater pernah bercerita, tidak sedikit rumah sakit jiwa yang mulai kekurangan tempat. Sejumlah rumah sakit jiwa bahkan memulangkan pasien yang belum sepenuhnya sembuh. Semata-mata karena ada pasien parah yang lebih membutuhkan. Kebanyakan orang membenci kesedihan. Mungkin karena berbicara ke dunia publik, kemudian Dalai Lama kerap mengatakan: „ada yang sama di antara kita, tidak mau penderitaan, mau kebahagiaan‟. Dan ini tentu saja teramat manusiawi. Sedikit manusia yang berani mengatakan, kalau mau menangis janganlah menangis di depan kematian. Menangislah di depan kelahiran. Sebab semua kelahiran membawa serta penyakit, umur tua, dan akhirnya kematian. Dengan kata lain, kelahiran sekaligus kehidupan tidak bisa menghindar dari kesedihan. Kesedihan selalu ikut serta mengikuti langkah kelahiran. Seberapa kuat pun manusia berusaha, seberapa perkasa pun manusia membentengi diri, tetap kesedihan datang dan datang lagi. Seperti ayunan bandul, semakin keras serta semakin bernafsu seseorang dengan kebahagiaan, semakin keras juga kesedihan menggoda. Ini yang bisa menjelaskan, kenapa sejumlah penikmat kebahagiaan secara berlebihan, kemudian digoda kesedihan juga berlebihan. Ini juga yang ada di balik data WHO kalau Amerika Serikat (sebagai salah satu tempat terbesar di mana kebahagiaan demikian dikejar dan dicari), menjadi konsumen pil tidur per kapita tertinggi di dunia. Ada peneliti yang membandingkan dua negara yang sama-sama mayoritas beragama Buddha (biar layak dibandingkan), yakni Jepang dan Burma. Berbicara pencapaian materi, Jepang tentu saja sebuah keajaiban dan keunikan. Dan Burma jauh dari layak untuk dibandingkan dengan Jepang secara materi. Namun begitu berbicara fenomena sosial seperti bunuh diri, perceraian, depresi, Jepang juga jauh lebih tinggi dari Burma. Seperti berbisik meyakinkan, di mana kebahagiaan materi berlimpah, di sana kesedihan juga berlimpah. Seperti sadar sedalam-dalamnya realita pendulum seperti inilah, kemudian banyak pertapa, penekun meditasi, yogi, sahabat sufi atau pejalan kaki ke dalam lainnya, mengizinkan pendulum emosi hanya bergerak dalam ruang yang terbatas. Tatkala kebahagiaan datang, disadari betul kalau kebahagiaan akan diganti oleh kesedihan. Sehingga nafsu perayaan berlebihan agak direm. Konsekwensinya, ketika kesedihan betul-betul berkunjung, ia tidak seberapa menggoda. Dalam bahasa indah Kahlil Gibran (The Prophet), tatkala kita bercengkrama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur. Dalam pengertian
yang lebih sederhana, manusia serumah dengan kebahagiaan serta kesedihan. Bagaimana bisa lari jauh-jauh atau lama-lama dari kesedihan yang nota bene serumah dengan kita? Karena hal inilah, kemudian sejumlah guru mengajarkan untuk melampaui kebahagiaankesedihan. Dalam bahasa guru jenis ini, kebahagiaan dan kesedihan hanyalah permainan bagi jiwa-jiwa yang sedang bertumbuh menjadi dewasa. Pertumbuhan itulah yang memerlukan gerakan kebahagiaan, kesedihan, kebahagiaan, kesedihan, dst. Namun bagi setiap jiwa yang sudah mulai dewasa, ia akan sadar sesadar-sadarnya, kalau baik kebahagiaan maupun kesedihan memiliki sifat yang sama: tidak pasti serta silih berganti. Bergantung pada sesuatu yang tidak pasti, bukankah akan membuat hidup juga tidak pasti? Lebih dari itu, baik kebahagiaan maupun kesedihan berakar pada satu hal yang sama: keinginan. Bila keinginan terpenuhi, kebahagiaan menjadi tamu yang berkunjung. Tatkala keinginan tidak terpenuhi, maka kesedihan tamunya. Dan setiap pejalan kaki ke dalam diri yang cukup jauh tahu, keinginan (lebih-lebih disertai kemelekatan) adalah ibunya penderitaan. Kesadaran seperti inilah, kemudian yang membimbing sejumlah orang untuk memasuki wilayah-wilayah keheningan. Berbeda dengan kebahagiaan yang lapar akan ini lapar akan itu. Membandingkan dengan ini membandingkan dengan itu. Ingin lebih dari ini lebih dari itu. Keheningan sudah berkecukupan apa adanya. Seperti burung terbang di udara, ikan berenang di air, serigala berlari di hutan, matahari bersinar di siang hari, bintang bercahaya di malam hari. Semuanya sudah sempurna apa adanya. Tidak ada hal yang layak ditambahkan atau dikurangkan. Penambahan atau pengurangan mungkin bisa membahagiakan. Namun dalam kebahagiaan, batin tidak sepenuhnya tenang-seimbang. Selalu ada ketakutan digantikan kesedihan. Dalam kamus orang-orang yang sudah memasuki keheningan, sekaya apa pun Anda akan tetap miskin tanpa rasa berkecukupan. Semiskin apa pun Anda, akan tetap kaya kalau hidup berkecukupan. Makanya seorang guru yang telah tercerahkan pernah berucap: „Enlightenment is like the reflection of the moon in the water. The moon doesn‟t get wet, the water is not separated‟. Pencerahan seperti bayangan bulan di air. Bulannya tidak basah karena air. Airnya tidak terpecah karena bulan. Dengan kata lain, inti pencerahan adalah tidak tersentuh. Tidak marah ketika dimaki, tidak sombong tatkala dipuji. Tidak melekat pada kebahagiaan, tidak menolak kesedihan. Persis seperti bunga padma, di air tidak basah, di lumpur tidak kotor. Dan salah satu akar menentukan dari ketidaktersentuhan ini adalah keberhasilan mendidik diri untuk merasa berkecukupan. Yang tersisa setelah ini hanya 4 M: mengalir, mengalir, mengalir dan mengalir.
Seteguh Gandhi, Semenyentuh Rumi Posted by: gedeprama | 8 November 2008
Menyusul maraknya kekerasan di sejumlah negara Barat (sebagai contoh serangan AS dkk ke Afghanistan dan Irak) yang tadinya menjadi suri tauladan dunia dalam banyak hal, sejumlah sahabat mulai bertanya: siapakah yang akan menjadi tauladan di depan dalam menentukan peradaban manusia? Sebuah pertanyaan sulit. Meminjam pendapat seorang guru, mungkin lebih mudah bagi benang kusut untuk keluar dari lubang jarum, dibandingkan mencari suri tauladan peradaban di zaman ini. Bagi pencinta optimisme, tentu selalu ada jendela-jendela kesempatan yang terbuka di setiap zaman. Bila saja cahaya tauladan belum kelihatan, mungkin karena awan penghalang belum waktunya untuk berlalu. Bukannya karena tidak bercahaya. Ada dua jenis pemanah yang targetnya dihalangi awan: menunggu awannya berlalu, atau tetap memanah kendati beresiko tidak tepat sasaran. Keduanya membawa plus minusnya masing-masing. Yang pertama aman, namun ketika awan berlalu papan sasaran sudah penuh dengan anak panah orang lain. Yang kedua beresiko, namun ia lebih mungkin mencapai sasaran dibandingkan yang pertama. Dengan resiko seperti inilah, kemudian sejumlah sahabat mulai berspekulasi tentang penentupenentu peradaban di masa depan. Ada yang mengemukakan kalau Cina sebuah kandidat terutama dengan melihat jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonominya. Ada yang menoleh pada India, terutama karena penguasaan teknologi informasi yang menonjol. Ada juga yang menunjuk pada Afrika Selatan, secara lebih khusus karena fundamen kemajuan yang dibangun Nelson Mandela demikian kokoh. Dan Anda pun boleh menambahkannya dengan pendapat yang lain. Dan apapun negaranya, sulit membayangkan bisa menjadi tauladan peradaban tanpa peran pemimpin yang mengagumkan. 0leh karena itulah, maka eksplorasi ide tentang hal ini akan difokuskan pada sifat-sifat kepemimpinan. Mendalami tantangan-tantangan yang menghadang, tidak ada kata yang lebih tepat dari kata berat. Jangankan pemimpin yang belum menunjukkan tanda-tanda kinerja yang mengagumkan, Thaksin di Thailand yang sudah menunjukkan sejumlah kinerja saja dikudeta. Jangankan mereka yang umur tahun kepemimpinannya masih bisa dihitung dengan beberapa jari, yang sudah mencengkram beberapa puluh tahun pun harus runtuh. Dari sinilah muncul perlunya sikap teguh dalam memimpin. Dan salah satu pemimpin dengan kualitas keteguhan mengagumkan yang pernah lahir bernama Mahatma Gandhi. Tidak terhitung banyak sekaligus besarnya tantangan yang pernah dihadapi Gandhi. Dari disiksa ketika menjadi pengacara di Afrika Selatan, berhadapan dengan penjajah Inggris yang memegang kuasa sekaligus senjata, sampai dengan digoda kekuasaan setelah India merdeka. Dan apapun godaannya, Gandhi tetap teguh pada dua hal: tanpa kekerasan, tidak mencampurkan urusan pribadi dengan urusan perjuangan. Soal tanpa kekerasan, Gandhi memang nyaris tiada tandingannya di abad ini. Baik ketika di Afrika Selatan maupun di India, berkali-kali tubuhnya disakiti dan dilukai, ia tetap konsisten
dengan prinsip tanpa kekerasan. Bahkan ketika tubuhnya ditembus peluru pun, beberapa detik sebelum mati masih sempat memohon agar yang menembak dirinya diampuni. Berkaitan dengan keteguhan tidak mencampurkan perjuangan dengan urusan pribadi, terlihat puncaknya tatkala India baru merdeka. Tidak sedikit tokoh baik dari kubu Hindu maupun Muslim yang sepakat, Gandhilah yang paling pantas duduk sebagai Perdana Menteri India yang pertama. Namun sebagaimana telah dicatat rapi oleh sejarah, ia menjaga kemurnian perjuangan dengan mempersilahkan Nehru memegang kursi perdana menteri. Sehingga dalam totalitas, jadilah Gandhi tokoh yang merenda keindahan kehidupan dengan dua keteguhan: tanpa kekerasan dan kemurnian perjuangan. Namun sebagaimana telah banyak dicatatkan oleh waktu, terlalu banyak pemimpin yang menggunakan keteguhan tanpa pedoman. Ibarat pengayuh perahu, keras sekali ia mengayuh (baca: teguh), namun lupa bahwa ia tidak seorang diri di dalam perahu. Sehingga jadilah keteguhan bersahabatkan kesewenang-wenangan. Dan di zaman di mana wacana, perjuangan, konflik, tarik menarik kepentingan demikian riuhnya, bukan lagi saatnya merubah orang dengan pentungan, kepalan tangan, ancaman, apa lagi pembunuhan. Seberapa keras pun kepribadian seseorang, seberapa gelap pun pengalamannya, seberapa sentimen pun ia akan kehidupan, tetap manusia rindu akan sentuhan-sentuhan. Seperti Cleopatra yang menundukkan Eropa pertama kalinya. Seperti Taj Mahal yang bukan permaisuri raja, bukan beragama Hindu, tetapi dikenang menawan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Seperti Ibu Theresa yang menyentuh hati dunia. Di sinilah kemudian manusia memerlukan seorang Rumi. Bila Gandhi menawan dengan keteguhan, Rumi menawan dengan sentuhan-sentuhan. Ada wibawa, ada karisma, ada getaran, ada sentuhan di hampir setiap karya-karya Rumi. Suatu hari Rumi berdoa dalam-dalam. Sehabis berdoa, ia ketuk pintu Kekasih Yang Maha Mencintai. Dari dalam ada yang bertanya: ‟siapa?‟. Dengan teduh Rumi menjawab: áku!. Tanpa menunggu lama-lama suara tadi menjawab kembali : ‟tidak ada tempat untuk berdua‟. Kembali Rumi berdoa dalam-dalam. Setelah dirasa cukup, ia ketuk lagi pintu yang sama. Kali ini pun terdengar suara yang sama: ‟siapa?‟. Dengan bergetar Rumi menjawab: Éngkau!‟. Tanpa aba-aba pintu itu langsung terbuka. Bagi setiap pejalan kaki ke dalam diri akan mengerti, seberapa jauh Rumi sudah pergi. Dalam doa, dalam kerja selalu Pintu itu diketok-ketok dengan berbagai cara. Namun bagi manusia yang masih sibuk dengan kata aku (baca: penuh ego, kesombongan, kecongkakan, kemarahan, kebencian), Pintu itu tidak terbuka. Kapan saja akunya menghilang, tanpa diketuk pun Pintu ini otomatis terbuka. Dalam bahasa seorang guru: when you step up in the path of God means you step down in the path of ego. Kalau kaki manusia melangkah naik di tangga-tangga keTuhanan, berarti melangkah turun dalam tangga-tangga keegoan. Dan baik kehidupan Gandhi maupun kehidupan Rumi sama-sama penuh inspirasi karena melangkah turun dalam tangga-tangga keegoan.
Kembali ke cerita awal tentang tauladan peradaban, di mana saja lahir pemimpin yang seteguh Gandhi dan semenyentuh Rumi, barangkali dari sana cahaya peradaban akan mulai membimbing kegelapan-kegelapan.
Wajah Agama Yang Indah Posted by: gedeprama | 13 November 2008
Dalam banyak hal, Barat menyimpan banyak tanda-tanda ke mana peradaban akan bergerak. Demokrasi, kapitalisme, feminisme, hak-hak azasi manusia hanya sebagian unsur peradaban yang awalnya merebak di Barat, kemudian menular ke mana-mana. Di sebuah kesempatan, seorang dosen di Barat bertanya pada ratusan mahasiswanya di sebuah kelas: siapa yang beragama di kelas ini? Dan yang menaikkan tangan hanya segelintir orang. Itu pun semuanya berwajah Asia. Namun, dari mayoritas yang tidak menaikkan tangan itu, mengembalikan pensil sehabis meminjam, membukakan pintu pada wanita yang ada di belakangnya, tersenyum mengucapkan selamat pagi pada orang-orang yang dijumpai. Sekelumit cerita singkat ini mau bertutur, kalau wibawa dan karisma agama di Barat sudah demikian menurun. Jika ada yang berani bertanya pada orang Barat yang baru dikenal dengan pertanyaan „agama Anda apa?‟, siap-siaplah diterima dengan tatapan muka yang tidak bersahabat. Dan pada saat yang sama, ada gelombang besar yang sedang melanda dunia berupa rasa lapar dan dahaga yang mendalam akan kedamaian. Tidak terlalu penting judul dan bungkusnya apa, asal memberikan kedamaian, banyak orang akan ikut. Ini yang berada dibalik merebak pesatnya pusat-pusat meditasi di mana-mana. Tidak ada hal lain yang dicari kecuali kedamaian. Sehingga memunculkan tantangan menawan bagi agama-agama, agama mana pun yang gagal menjawab aspirasi damai umatnya, kemungkinan besar akan ditinggalkan. Menyeberangi samudera kekisruhan Meminjam pengandaian seorang guru, ajaran-ajaran religiusitas ibarat perahu untuk menyebeberangi samudera kekisruhan. Pertama-tama kita perlu membangun perahu. Kemudian bergerak menyeberangi samudera. Terakhir meninggalkan perahunya di belakang. Hampir semua perahu religiusitas dibangun dengan etika dan tata susila. Di Islam disebut Syari‟at, dalam Kristianitas diberi judul sepuluh perintah Tuhan, penganut Buddha menyebutnya Vinaya, orang Hindu menyebutnya Tri Kaya Parisudha. Ada yang serupa di antara semua ini: menghentikan semua kejahatan, memperbanyak kebajikan, memurnikan hati dan pikiran. Siapa saja yang sudah mulai melaksanakan etika dan tata susila, ia sudah melangkah menyeberangi samudera kekisruhan. Dan mulai melihat wajah-wajah kedamaian, kendati dalam bentuk yang kasar dan tidak kekal pada awalnya. Sedikit musuh, banyak sahabat itulah wajah kedamaian yang mulai dijumpai di awal. Begitu etika dan tata susila diterapkan lebih sempurna lagi, hidup mulai menunjukkan wajahnya yang lebih sejuk lagi. Dalam meditasi maupun keseharian, ia muncul dalam bentuk batin yang teduh dan menyentuh. Tidak lagi tertarik untuk melakukan segala bentuk kejahatan, dan pada saat yang sama muncul rasa lapar untuk tersenyum pada semuanya. keserakahan, kemarahan, kebencian dan segala kekotoran batin lenyap.
Mungkin ini sebabnya J. Krishnamurti pernah menyebut understanding is doing. Pengertian baru muncul setelah pelaksanaan. Makanya ada guru yang menyarankan, janganlah menyebut diri mengerti semata-mata karena bisa mengucapkan. Buka pintu pengertian melalui pelaksanaan. Inilah wajah agama yang indah: agama yang telah dilaksanakan. Kejernihan agung (great clarity) itulah tanda kalau seseorang telah melaksanakan agamanya, sekaligus menjadi tanda telah diseberanginya lautan kekisruhan. Segala nafsu inderawi sudah duduk di bawah sebagai pembantu dan berhenti menjadi penguasa yang menakutkan, keinginan untuk menjadi yang lain dari sekarang juga sudah menghilang, itulah tanda-tanda pejalan kaki yang sudah menyeberang. Dan begitu sampai di seberang, semua hal (termasuk perahu) ditinggalkan di belakang. Tidak tertarik menggunakan etika dan tata susila untuk menghakimi orang, tidak tertarik untuk menyebut diri sendiri dengan sebutan suci, apa lagi menyebut agama orang salah. Inilah yang kerap disebut keheningan agung. Nafsu ini nafsu itu, keinginan ini keinginan itu, semuanya lenyap. Yang tersisa hanya cinta dan hanya cinta.
Sepi Sunyi yang Menerangi Posted by: gedeprama | 19 December 2008
Ketika seorang guru ditanya evolusi jiwa manusia ratusan tahun terakhir, dengan diam sebentar, menatap mata dalam-dalam kemudian menjawab: „dari gelap ke gelap‟. Dari ketidakpuasan satu ke ketidakpuasan yang lain. Dari konflik satu ke konflik lain. Melihat kehidupan bergerak begini, sejumlah orang desa yang polos bertanya, kenapa kemajuan iptek harus seperti ini? Maafkanlah keluguan. Andaikan keluguan ini dijawab dengan data, angka, logika mungkin sinyalemen „dari gelap ke gelap‟ akan tambah panjang. Angka dilawan angka. Logika mengundang serangan balik logika. Karena demikian keadaannya, izinkanlah sekali-sekali bukan angka, bukan logika yang bicara. Melainkan sepi-sunyi. Tidak dalam posisi menyebut sepi benar, yang berbeda salah. Sekali lagi tidak. Serupa dengan mulut manusia, gigi wujudnya keras karena tugasnya memotong dan menghancurkan. Lidah bentuknya lembut karena panggilan hidupnya bukan untuk menghancurkan melainkan merasakan. Keduanya punya tugas lain. Dengan spirit seperti inilah sepi-sunyi dalam tulisan ini mohon izin bicara. Sejak dulu, pencinta sepi memang selalu tidak banyak. 0rang yang bertapa di kesunyian selalu lebih sedikit dibandingkan mereka yang mencari di keramaian. Dan kedua-duanya sama-sama bertumbuh. 0rang-orang keramaian memang menyukai bertumbuh keluar (dengan ukuran kekaguman orang, pujian orang). Sedangkan pencinta kesunyian menyukai bertumbuh ke dalam. Kekaguman dan pujian orang malah dihindari karena penuh dengan godaan ego. Melihat bulan dengan lampu Satu contoh yang amat menerangi di jalan sunyi adalah pertapa suci Ramana Maharshi. Sampai umur enam belas tahun tidak ada tanda-tanda ia akan jadi pertapa. Namun begitu berkenalan dengan perjalanan ke dalam diri, tiba-tiba badannya panas. Dan ini yang membuatnya lari ke Bukit Arunachala. Lebih dari sekadar panasnya menghilang, ia menikmati sekali kesunyian di tempat ini. Dan bahkan selama puluhan tahun menghabiskan hidup yang sepenuhnya diam. Ketika ia mengakhiri diamnya, Ramana menjawab pertanyaan banyak orang secara mengagumkan hanya dengan segelintir kata-kata. Dari situ didirikan ashram oleh banyak pengikutnya di sekitar tempat ia bertapa. Setiap kali ditanya siapa gurunya, ia selalu menggeleng sambil bergumam: „The ultimate consciousness is the only teacher„. Kesadaran yang maha utama itulah gurunya. Serupa dengan ini, di sejumlah perenungan dengan judul agama yang berbeda-beda, banyak murid diminta diam. Awalnya percakapan ke luar menghilang, diganti dengan percapakan ke dalam. Akhirnya percakapan ke dalam ini pun menghilang. Dan yang tersisa setelah ini hanya satu yakni kesadaran. 0rang-orang yang sudah disinari cahaya kesadaran, ia akan bergumam pelan: untuk melihat bulan tidak memerlukan lampu!. Kata-kata, logika, angka mirip dengan lampu luar. Manusia membutuhkannya tatkala gelap. Namun dalam terang cahaya kesadaran, manusia tidak memerlukan lampu luar. Salah satu
founding father kehidupan spiritual Bali (Dang Hyang Dwijendra), pernah menulis kakawin Dharma Sunya. Di sini ia bertutur kalau batin yang tenang-seimbang adalah sumber keindahan. Bila sumber keindahannya sudah di dalam, masihkah manusia memerlukan lampu penerang dari luar? Dalam bahasa provokatif seorang guru: when you still have some one who can make you happy or sad, you are not a master, you are a slave! Bila sumber kebahagiaan/kesedihan masih dari luar, itu tandanya seseorang belum menjadi master, ia masih jadi budak. Apresiasi akan sepi memang bukan monopoli Bali, Lama Surya Das (Awakening the Buddha Within) pernah menulis kalau puncak perjalanan menemukan perkataan yang benar adalah hening. Eckhart Tolle (Stillness Speaks) juga serupa: „wisdom comes with the ability to be still. Just look and just listen….let stillness direct your words and actions„. Kearifan datang dari keheningan. Lihat dan dengar saja….biar keheningan yang menjadi pembimbing. Thomas Merton (Thoughts in solitude) menambahkan: „My knowledge of myself in silence….opens out into the silence….of God„. Pengetahuan diri dalam keheningan membuka rangkaian keheningan yang berujung pada Tuhan. J. Krishnamurti (The light in oneself) menyarankan: meditation is absolute silence of the mind. Meditasi adalah keadaan batin yang sepenuhnya hening. Dainin Katagiri (Returning to silence) menulis: Shakyamuni is some one who practice tranquil silence. Siapa saja yang mempraktekkan kesempurnaan keheningan, ia menjadi Buddha. Murid-murid Zen yang perjalanannya jauh suka menekuni latihan silent illumination. Penyair sufi Rumi bertumbuh jauh dalam sepi. Perhatikan salah satu syairnya (The Rumi collections): when you know your own definition, flee from it, that you may attain to the 0ne who cannot be defined. Tatkala Anda dipagari kata-kata, cepat-cepatlah menjauh. Ia menghalangi mencapai yang Satu yang tidak terucapkan. Dengan seluruh cerita ini, terlihat ada banyak manusia yang terterangi rapi oleh sepi sunyi. Ia melewati banyak sekat-sekat tradisi. Dari Sufi, Nasrani, Buddha sampai dengan Hindu. Jenis manusia-manusia ini memiliki pola pertumbuhan serupa. Logika dan kata-kata ibarat kulit dan batok kelapa. Di awal manusia membutuhkannya. Namun begitu dikupas dan dibuka, kelapanya dimakan, airnya diminum, maka kulit dan batoknya dibuang. Mikhail Naimy (The book of Mirdad) bahkan lebih terang lagi. Kata-kata, logika serupa tongkat, berguna bagi mereka yang kakinya bermasalah. Bagi jiwa yang kakinya sehat, tongkat hanyalah beban. Lebih-lebih jiwa yang bisa terbang, tongkat adalah beban berat.
Meledakkan Kemelekatan Posted by: gedeprama | 12 December 2008
Kebenaran itu mengerikan, mungkin itu warna dominan interaksi antarmanusia di awal abad 21. Yakin benar kemudian melakukan pembunuhan. Amerika Serikat dkk yakin benar maka berani menyerang Afghanistan dan Irak. Teroris yakin benar maka bom diledakkan. IndiaPakistan, Palestina-Israel, Korea Utara-Korea Selatan hanyalah contoh bagaimana kebenaran diikuti kebencian. Sehingga dalam totalitas jadilah kebenaran berwajah mengerikan. Bila ditelusuri, ideologi dan agama khususnya kerap digunakan sebagai baju luar dari badan asli yang bernama kemelekatan. Ada kemelekatan harga diri, ketidakadilan, dendam. Dan inilah yang menghasilkan kehidupan mengerikan. Meledakkan kemelekatan Di Timur sudah lama disadari kalau kemelekatan adalah awal kemelaratan. Karena itulah dalam sebagian kearifan Timur, kemelekatan menjadi fokus yang diledakkan. Zen adalah salah satunya. Dari segi sejarahnya, bibit Zen berasal dari India, tumbuh di China, berbunga di Jepang. Ada yang mengkaitkan Zen dengan Buddha, ada yang tanpa embel-embel agama. Dan apa pun keterkaitannya, Zen bertemakan yang satu: meledakkan kemelekatan. Mungkin karena berbunga di Jepang, kemudian hampir semua yang diledakkan Zen berbau Buddha. Zen sebenarnya lebih cocok dengan jiwa yang sudah dewasa. Namun karena kedewasaan mudah tergelincir pada kemelekatanlah, maka dibutuhkan peledakan. Dan dalam sejarah Zen, banyak guru yang mengalami pencerahan setelah diledakkan oleh cerita-cerita Zen seperti di bawah. Bagi jiwa yang kearifannya masih memerlukan banyak pertumbuhan, Zen bisa mengundang ketersinggungan. Untuk itulah, tulisan ini belum-belum sudah minta maaf. Memaafkan adalah salah satu sifat mulia Buddha dan tokoh suci lainnya. Mari mulai dengan cerita Zen pertama. Suatu hari ada pendeta Zen yang kedinginan. Semua kayu bakar sudah habis. Dengan enteng diambil patung Buddha dari kayu kemudian dibakar. Kontan saja ini mengundang marah orang: berani-beraninya membakar patung Buddha?. Pendeta ini menjawab: „Yang masih bisa terbakar bukan Buddha‟. Tidak saja dalam Zen, di banyak negara keseharian manusia ditandai oleh mudah terbakarnya emosi gara-gara agama dll. Karena berbagai faktor, ada manusia yang demikian melekat dengan agama. Sedikit-sedikit tersinggung. Sehingga jadilah agama bukan sebagai sumber kesejukan, melainkan sumber api yang membakar. Dengan indah kemelekatan ini diledakkan: „yang masih bisa terbakar hanyalah kepalsuan‟. Cerita Zen kedua, suatu kali ada raja yang telah membangun tidak terhitung jumlah tempat ibadah datang ke Bodhidharma. Dengan bangga raja ini bertanya: saya sudah membangun ratusan tempat ibadah, berapa pahalanya? Tanpa menoleh Bodhidharma menjawab: „tidak ada pahala-pahalaan!‟.
Inilah persoalan kekinian. Berbuat namun melekat. Tentu saja ada pahala. Karena ini hukum alam. Namun melekat kalau tindakan harus diikuti pahala, maka bertindak membuat pelakunya tidak bebas, kotor dengan ego, salah-salah kecewa. Ini yang diledakkan Bodhidharma dengan: „berbuat, lepas, ikhlas‟. Cerita Zen ketiga. Suatu hari dua pendeta Zen berjalan di tengah hutan. Tiba-tiba pendeta Zen yang lebih tua mau kencing. Dengan tanpa beban pendeta tua ini kencing di sebelah patung Buddha. Tentu saja yang muda marah. Tanpa menoleh seinchi pun pendeta tua tadi bertanya: tunjukkan saya tempat di mana tidak ada Buddha? Tentu saja dijawab standar kalau semua tempat adalah Buddha. Dengan enteng pendeta tua bertanya balik: kalau begitu saya kencing di mana dong? Menganggap atribut agama sebagai sesuatu yang suci tentu baik. Namun melekat berlebihan pada konsep kesucian, kemudian memproduksi kekotoran batin , tentu layak direnungkan. Terutama karena kesucian tidak diciptakan untuk menghasilkan kemarahan/permusuhan. Lebih-lebih kalau konsep kesucian menghasilkan pembunuhan. Kesucian juga mengerikan. Kemelekatan ini yang diledakkan cerita Zen ketiga: kesucian ada karena ada kekotoran, tanpa kekotoran kesucian menghilang. Totalitas dari keduanya itulah yang membebaskan. Cerita Zen keempat paling banyak dikenal. Sudah lama orang disuruh bertanya: bagaimana suara tepuk tangan yang dilakukan oleh sebelah tangan? Kendati sudah berumur ratusan tahun, sampai kini pun pertanyaan ini masih terbuka. Seperti menitipkan makna, tidak semua pertanyaan bisa dijawab pikiran. Bila ada sesuatu yang belum bisa dimengerti, kemungkinan ia jauh di atas kemampuan pikiran untuk bisa mengerti. Atau sebaliknya, terlalu sederhana untuk bisa memuaskan kerumitan pikiran. Penghakiman berlebihan membuat pertumbuhan terhenti. Untuk itulah, ia diledakkan: biarkan terbuka, masuki gerbang kebebasan. Menghasilkan keindahan Mungkin karena terlepas bebas dari kemelekatanlah kemudian sejumlah sahabat Sufi membingkai hidupnya dengan keindahan. Praktisi Sufi Hazrat Hinayat Khan dalam The Heart of Sufism menulis: „indifference and independence are two wings which enable the soul to fly„. Ketidakmelekatan serta kebebasan adalah dua sayap yang membuat jiwa terbang.
Wayne W. Dyer dalam Spiritual Solutions, mengulas doa Santo Franciscus yang amat indah. Lord, make me an instrument of Thy peace..where there‟s hatred, let me sow love….where there‟s sadness, joy. Hidup jadi indah, indah, indah dan indah bila menerapkan doa-doa ini. Murid-murid di jalan advaita vedanta sudah lama diajari untuk terfokus hanya pada sat cit ananda (kebenaran, kesadaran, keindahan abadi) sebagai fokus perjalanan. Sederhananya, keindahan adalah hasil ikutan ditemukannya kebenaran serta dipraktekkannya kesadaran. Di samping itu, keindahan adalah ibunya kebersatuan. Buddha Gautama telah lama berpesan: babarkan Dharma yang indah di awal, indah di tengah, indah di akhir. Buddhadasa pernah mengajarkan, inti ajaran Buddha adalah melihat semua
sebagaimana adanya. Bila semua sudah sempurna sebagaimana adanya, bukankah kehidupan adalah keindahan? Di penghujung cerita meledakkan kemelekatan menghasilkan keindahan, layak direnungkan kembali, wajah kebenaran dan kesucian yang mengerikan. Zen sudah meledakkan kemelekatan sebagai inti semua ini. Setelah kemelekatan diledakkan, ternyata oleh keikhlasan dibukakan keindahan. Ini sebabnya orang-orang di jalan ini berbisik: „God is beautiful, that‟s why He loves beauty„. Ini yang kerap disebut the religion of beauty. Mudah-mudahan keindahan tidak menjadi kemelekatan baru.
Terbitnya Matahari Pencerahan Posted by: gedeprama | 5 December 2008
Seorang sahabat yang kerap disebut-sebut di dunia sufi adalah Nasrudin. Bagi sebagian orang, Nasrudin adalah simbolik dari hal-hal lucu, menghibur. Bagi sebagian yang lain, Nasrudin adalah simbol hidup yang jenius. Karena dari dia sering lahir kearifan kehidupan mengagumkan. Suatu hari, Nasrudin lari terbirit-birit menemui gurunya. Begitu berjumpa, tanpa permisi ia langsung minta tolong: „Tolong guru rumah saya jadi neraka. Ada istri cerewet, mertua yang banyak maunya, putera-puteri beserta sepupu-sepupu mereka yang ribut lari ke sana ke mari. Apa pun yang guru sarankan akan saya lakukan, asal nerakanya hilang surganya datang‟. Yakin Nasrudin akan memenuhi janji, gurunya pun bertanya: „Apakah kamu punya binatang peliharaan?‟. Dengan gesit Nasrudin menyebut ada empat angsa, enam ayam, tujuh kambing, delapan kelinci, serta sejumlah burung. Karena itu, sang guru menyuruh Nasrudin memasukkan semua binatang peliharaan ke dalam rumah, semua manusia juga harus ada di dalam, kemudian tutup pintu dan jendela rapat-rapat. Selama sebelas hari tidak boleh ada satu pun manusia atau binatang yang keluar dari rumah. „Tapi, tapi….‟, sahut Nasrudin dengan nada gugup. Dengan sigap gurunya menjawab: „Jangan lupa kamu sudah janji!‟. Dan terpaksalah Nasrudin kembali ke rumah melaksanakan perintah gurunya. Sebelas hari kemudian, Nasrudin datang dengan langkah yang jauh lebih kacau dari sebelumnya. „Toloong guru, tolong, jangankan manusia, bahkan kambing pun sudah mau gila sebelas hari di dalam rumah‟. Dengan tersenyum bijaksana gurunya berucap: „Sekarang keluarkan semua binatang, bergotong royong penuh gembiralah, bersihkan rumah‟. Dan beberapa waktu kemudian, Nasrudin mendatangi rumah gurunya dengan wajah ceria: „Terimakasih guru, rumahnya sudah jadi surga!‟. Inilah cerita manusia dari dulu hingga sekarang. Banyak rumah kehidupan yang berubah jadi neraka karena saling benci dan saling memarahi. Tatkala ia diakhiri, rumah dengan manusia dan binatang yang sama pun jadi surga. Dan ternyata menemukan surga hanya persoalan memilih pembanding yang tepat. Bila pembandingnya tepat (dalam kisah Nasrudin pembandingnya rumahnya yang penuh binatang), surga terbuka. Jika pembandingnya selalu yang serba lebih (lebih kaya, lebih cantik, lebih terkenal, lebih bijaksana) maka surga pun tidak pernah terbuka. Akhirnya, hidup ternyata persoalan sikap. Surga maupun neraka ternyata hasil ikutan dari sikap. Bila sikapnya keluhan dan kekurangan maka neraka yang terlihat. Jika sikapnya bersabar dan bersyukur maka surga yang tampak. Matahari pencerahan Mungkin karena hidup persoalan sikap inilah, kemudian sejumlah guru menyempurnakan hidup dengan sikap penuh keindahan. Awalnya memang terpaksa. Apa indahnya dihina dan dicerca? Di mana letak keindahan bencana? Seperti menggosok gigi, awalnya memang terpaksa. Namun, begitu melihat gigi putih, sehat, baru menggosok gigi menjadi kebiasaan yang membadan. Keindahan juga serupa.
Chogyal Namkhai Norbu (Dzogchen: The self perfected state) adalah salah satu contoh guru yang sudah sampai di dunia keindahan. Menurut guru asli Tibet ini, tidak ada yang perlu dirubah, tidak juga memerlukan pelepasan. Tugas murid Dzogchen hanya satu: melihat! Persisnya, melihat dengan kesadaran, bukan melihat dengan pengetahuan. Kebahagiaan datang, lihatlah. Kesedihan berkunjung, lihatlah. Kesuksesan menjelang, lihatlah. Kegagalan bertamu, lihatlah. Dan siapa saja yang tekun berlatih melihat, suatu hari akan mengalami hidup diterangi cahaya kesadaran. Deepak Chopra (How to know God: The soul‟s journey into the mystery of mysteries), bahkan menulis: „the only clear path to God is a path of constant awareness‟. Kesadaran adalah jalan terang menuju Tuhan. Lex Hixon (Coming home: the experience of enlightenment in sacred traditions), adalah contoh guru lain yang juga menemukan keindahan. Kebanyakan orang mudah tergoda, begitu bercerita tradisi sendiri maka ceritanya jadi indah berlebihan. Begitu bercerita tradisi orang lain, cerita pun jadi miring berlebihan. Hixon bercerita sama indahnya baik ketika bercerita soal Heidegger, Krishnamurti, Ramakrishna, Ramana Maharshi, Zen, I Ching, advaita vedanta, sampai dengan guru sufi Bawa Muhaiyaddeen. Seperti semua sungai yang mengalir ke samudera. Sebelum sampai di samudera, sungaisungai berbeda. Namun begitu sampai, semuanya berwajah sama: warnanya biru, bergelombang, rasanya asin, begitu ombak menyentuh pantai ia berwarna putih. Sulit untuk menyebutkan bahwa agama-agama dunia sama, sama sulitnya dengan memaksakan semua sungai harus sama. Namun, begitu tercerahkan (Hixon menyebutnya coming home), ada hal yang sama: keindahan! Meminjam pengalaman pencerahan Zen, Hixon menulis: „enlightenment is simply the blue lake and the green mountain‟. Pencerahan sesederhana danau biru dan bukit hijau. Sederhana, murah, meriah, indah! Cerita yang sama juga ditemukan Stephen Mitchell (The enlightened heart: an anthology of sacred poetry). Kendati bercerita dalam spektrum tradisi yang demikian luas (dari Upanishad, Lao-tzu, Izumi Shikibu, Santo Franciscus, Rumi, Kabir, William Shakespeare, Bibi Hayati sampai dengan Robinson Jeffers), semua terangkum ke dalam sebuah cerita dari keindahan untuk keindahan. Ini sebabnya, setiap kali murid-murid kritis, skeptis, apatis sampai dengan yang suka menyerang orang lain, bertemu guru-guru tercerahkan, mereka senantiasa dinasehati untuk melanjutkan pertumbuhan, melanjutkan perjalanan. Seperti air sungai yang sedang mengalir, teruslah mengalir, temukan samudera yang berwajah, bergelombang, berasa, berwarna sama. Seperti para pendaki ke puncak gunung di pagi hari. Ketika ditanya matahari terbit di sebelah mana, yang mendaki dari barat menyebut di depan. Pendaki dari timur menyebut di belakang. Keduanya memiliki jawaban bertentangan. Namun begitu sampai di puncak, mereka akan tertawa dengan pertentangan yang pernah dialami. Dalam tawa penuh persahabatan inilah terlihat keindahan yang menawan. Dan hidup pun memasuki wilayah dari keindahan untuk keindahan. Dalam bahasa Lex Hixon: „once enlightenment has dawned, we are at home every where‟.
Renungan awal Tahun 2009 Posted by: gedeprama | 9 January 2009
Cahaya-Cahaya Duka Cita Banyak sudah yang dicapai manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Tidak terhitung kemajuan material yang dihasilkannya. Namun sejalan dengan itu, logika manusia yang semakin kaya diikuti oleh semakin banyak duka cita. Belum saja air mata kering oleh tewasnya ratusan manusia tidak berdaya oleh serangan bersenjata di Mumbai (India), lagi-lagi air mata duka harus meleleh di Palestina sana karena serangan Israel. Kemajuan iptek, kayanya logika tidak digunakan sebagai jembatan dialog antarmanusia. Sebaliknya digunakan sebagai senjata yang mematikan. Derasnya kemajuan iptek melalui cepatnya pertumbuhan pendidikan/penelitian memang tidak bisa dibendung, namun terinspirasi oleh aliran-aliran sungai air mata yang tidak mengenal kering, mungkin ini saatnya melengkapi kekayaan logika dengan kekayaan rasa. Benar pesan seorang guru, agama bukanlah senjata untuk menyerang orang lain. Agama adalah kemulyaan untuk memperbaiki diri. Bila iptek dibuat tumbuh deras oleh keinginan, agama mulai dengan menempatkan keinginan ke tempat semula sebagai pembantu (bukan sebagai penguasa). Tatkala nafsu keinginan sudah kembali menjadi pembantu, lebih mudah mendudukkan agama ke fungsi semula: menjadi sumber kemulyaan bukan sumber kebencian. Maka dari itulah, agama dimulai dengan pertanyaan seberapa banyak kemarahan/kebencian/keserakahan yang mengotori diri ini. Tanpa pembersihan diri seperti ini, kekayaan logika mana pun hanya akan memperpanjang daftar panjang kesedihan. Dibimbing kepekaan-kepekaan rasa seperti ini, mungkin berguna dan bermakna kalau belajar menemukan cahaya di balik duka cita: 1. Duka cita telah ada sejak awal sejarah manusia. Iptek, kekayaan logika dan upaya manusia yang lain tidak bisa membuatnya sirna sepenuhnya. 2. Karena tidak bisa dimusnahkan, pasti ada cahaya makna di sana. Berbeda dengan kebanyakan orang yang mau mengenyahkan duka cita, banyak guru yang mencoba menemukan cahaya di balik duka cita. Dan ternyata, duka cita tidak seburuk dibayangkan kebanyakan orang. 3. Dengan kejernihan rasa terlihat, duka cita adalah „mesin turbo‟ yang mendorong manusia segera keluar dari samudera derita (kelahiran, usia tua, sakit-sakitan, kemalangan, kebencian, kematian dll). Tanpa duka cita, manusia akan diikat kuat-kuat oleh godaan-godaan duniawi, untuk kemudian terus menerus berputar di samudera derita ini. Kebahagiaan memang menawan, tapi ia tidak memberi pelajaran semenawan duka cita. Cuman, cahaya makna ini hanya mungkin timbul dalam batin yang tidak buru-buru menyebut duka sebagai kesalahan/hukuman, namun dengan penuh kesabaran melihatnya sebagi kekuatan pendorong untuk keluar dari derita berkepanjangan.
Itu sebabnya, banyak sekali orang yang tulus/ikhlas sembahyangnya, meditasinya, dzikirnya, yoganya akan jauh lebih dalam justru ketika sedang digoda duka cita. Karena ada cahaya di sana! Untuk itu, mungkin layak direnungkan ulang membenci duka cita secara membabi buta. Lebih-lebih menyebutnya sebagai kesalahan/hukuman secara berlebihan. Dibimbing kesabaran/ketulusan/keikhlasan, temukan cahaya bimbingannya. Mengalirlah bersamanya. 4. Duka cita tidak saja menerangi ke dalam (sebagaimana renungan ketiga), ia juga menerangi keluar. Dibimbing kepekaan rasa, belajarlah melihat orang-orang yang menimbulkan duka cita tidak dengan judul menakutkan seperti “musuh/barbar/teroris/zionis” dan sejenisnya. Belajar melihat mereka dengan judul “manusia yang sedang berduka”. Disebut berduka karena sedang kehilangan seluruh akal sehat dan kekayaan rasa. Dengan kehilangan terakhir, mereka sedang tenggelam dalam derita. Untuk itu, mereka tidak membutuhkan kemarahan kita, mereka sedang membutuhkan welas asih kita. Disamping itu, setiap tindakan kejahatan tidak berdiri sendiri. Dalam bahasa The Book of Mirdad: „dalam setiap pembunuhan, si terbunuhlah yang mengasah pisaunya‟. Cara pandang seperti ini diperlukan, sebab bila judulnya “musuh” maka yang muncul di dalam sini adalah kemarahan. Bila judulnya „duka cita‟ maka yang muncul di dalam sini adalah welas asih. Dan pintu pemahaman seperti ini muncul bila manusia tekun/sujud/tulus di depan kehidupan, tidak buru-buru dibawa lari oleh kemarahan. Dalam bahasa orang-orang sufi, tidak ada kebetulan, hanya bimbingan-bimbingan. Semoga semuanya berbahagia!
Menyingkap Keindahan Bencana Posted by: gedeprama | 17 January 2009
Lihat kebunku penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah. Bencana, bencana, bencana, bencana, mungkin itu kabut-kabut kehidupan yang berganti menyelimuti Indonesia beberapa tahun terakhir. Belum sepenuhnya pulih dari banjir dahsyat Jakarta, tiba-tiba tanah longsor menggelegar, gempa bumi memakan nyawa, pesawat Garuda terbakar. Bencana seperti tidak bosan-bosannya menggoda jiwa Indonesia. Seorang sahabat asli Jawa, berulang-ulang menyebut kata miris. Seorang psikiater mengutip sebutan tua tentang zaman edan, tatkala menyaksikan seorang Ibu membakar diri dan sejumlah puteraputerinya karena terhimpit kesulitan kehidupan. Salah seorang penulis luar, bahkan memberi judul menyentuh di International Herald Tribune, Indonesia: Mass murder or natural disaster, terutama setelah menghitung ratusan ribu nyawa yang melayang akibat bencana. Berduka, bersedih, tersentuh oleh penderitaan sesama tentu salah satu tanda pertumbuhan jiwa. Di Timur telah lama diajarkan, untuk memasuki wilayah-wilayah kesucian bahkan menginjak rumput pun dilarang. Terutama karena setiap rasa sakit yang kita timpakan ke ciptaan lain, akan kembali menyakiti diri ini. Sehingga sungguh layak disyukuri kalau Indonesia masih memiliki demikian banyak hati yang punya empati. Cahaya bencana Dengan tetap menghormati banyak hati yang punya empati, banyak guru setuju kalau jalanjalan keindahan apa lagi kesucian tidak ada yang sepenuhnya lurus dan mulus. Semakin indah sebuah tujuan, semakin berat jalan-jalan yang harus dilalui. Bila ini cara memandangnya, mungkin Indonesia bisa menarik nafas dalam-dalam sebentar. Menghimpun energi untuk melewati banyak tanjakan serta kelokan di depan yang masih banyak menghadang. Dalam jeda jiwa seperti ini, bisa jadi berguna kalau merenung sebentar tentang cahayacahaya bencana. Bagi banyak jiwa, bencana identik dengan kematian, perpisahan, kesedihan, duka cita. Dan tentu saja ini teramat manusiawi. Sedikit jiwa yang mau menggali lebih dalam kalau di balik bencana, ada sejumlah langit kehidupan yang tersingkap rahasianya. Ketakutan, kesedihan adalah masukan berguna tentang keinginan yang demikian mencengkeram. Semakin mencengkeram keinginan, semakin menakutkan wajah bencana. Ada keinginan agar kehidupan hanya berwajah damai, keluarga yang hanya boleh bahagia, perpisahan yang identik dengan hukuman, kemiskinan sama dengan kutukan. Dan melalui hentakan-kentakan bencana, manusia sedang diingatkan, seberapa kuat pun keinginan mencengkeram, kehidupan tetap harus berputar. Bila saatnya matahari tenggelam, tenggelamlah ia. Ketika putaran bumi harus ditandai oleh gempa, gempalah yang menjadi sahabat kehidupan. Bila kematian sudah waktunya berkunjung, berkunjunglah ia menjadi sahabat kehidupan. Makanya, seorang ayah berpesan kepada putera-puterinya, kematian datang bukan karena penyakit, bukan karena dikerjain orang, bukan juga akibat bencana,
kematian datang memang karena putaran waktunya sudah tiba. Penyakit, bencana hanyalah pintu-pintu pembuka. Bila ini cara meneropongnya, tidak saja keinginan mulai longgar cengkeramannya, namun cahaya-cahaya bencana juga terbuka. Ternyata bencana lebih dari sekedar hulunya kesedihan, ketakutan dan kutukan, ia juga membukakan pengertian tentang wajah kehidupan yang lebih utuh. Serupa dengan lagu anak-anak yang dikutip di awal tulisan ini, hidup serupa dengan mengurus taman. Kendati yang ditanam rumput Jepang, ada rumput liar yang ikut tumbuh. Kendati sudah banyak berbuat baik, banyak berdoa, sering ke tempat ibadah, bila saatnya bencana menggoda, ia tetap menggoda. Bila rumput Jepang yang ditanam seratus meter, rumput liar hanya mengambil porsi sedikit sekali. Demikian juga dengan kehidupan, sehat berumur bertahun-tahun tapi kerap lupa disyukuri. Sakit hanya segelintir hari sudah penuh dengan caci maki. Indonesia sebentar lagi mau berumur 62 tahun, hanya seglintir hari yang digoda bencana. Taman jadi indah karena penuh bunga dan warna. Kehidupan juga serupa. Kebahagiaan jadi lebih indah kalau pernah melewati kesedihan. Kehidupan bermakna amat dalam karena ada kematian. Kesuksesan berakarkan rasa syukur yang mendalam, kalau pernah dibanting kegagalan. Taman bertumbuh terus bila disirami. Pertumbuhan jiwa juga sama. Tidak saja kebahagiaan yang menyirami kehidupan, kesedihan juga menyirami, terutama karena kesedihan adalah gurunya sikap rendah hati dan mawas diri. Tidak saja kedamaian yang memperkuat kehidupan, bencana juga memperkuat kemudian. Kedamaian memperkuat seperti air yang bertemu kerongkongan dahaga, bencana memperkuat seperti amplas keras dan kasar yang membuat berlian tambah bersinar. Sebagai catatan kontemplasi, Jepang dan Jerman yang kini menjadi salah satu pemimpin dunia, kalah perang secara amat menyedihkan puluhan tahun lalu. Di puncak semua perjalanan ini, tersisa bait indah kehidupan: ”mawar melati semuanya indah!”. Mawar yang berduri indah, melati yang wangi juga indah. Siapa saja yang bisa melihat keindahan dalam setiap unsur dualitas (bahagia-bencana, untung-rugi, suci-kotor, dipuji-dicaci) dia berada di depan gerbang pencerahan, kemudian hatinya bernyanyi: ”semuanya indah!”. Dalam bahasa indah sejumlah sahabat penyair, keuntungan adalah hasil pelajaran dari banyak kerugian, kekotoran adalah kesucian yang sedang siap-siap menunjukkan rahasianya, kekayaan adalah sisi lain dari kemiskinan dalam mata uang kehidupan. Pada jiwa yang sedang bertumbuh, dualitas terus bergerak dari satu ujung bandul ke ujung bandul lain. Habis bahagia derita, setelah untung rugi dan seterusnya. Dan lagu anak-anak ini mengajarkan, setelah semua segi kehidupan dicintai, disirami, diterima, kemudian dari dalam sini ada yang bernyanyi: ”semuanya indah!”. Ini mungkin yang menyebabkan Robert Fulghum pernah menulis “Apa yang perlu dipelajari tentang kehidupan, sudah selengkapnya diajarkan di taman kanak-kanak“. Sebuah masa di mana semuanya terasa indah. Guru dzogchen Chogyal Namkai Norbu menyebutnya primordial state (titik awal sekaligus titik akhir perjalanan ke dalam). Cirinya sederhana, tidak ada hal positif yang perlu diterima, tidak ada hal negatif yang perlu ditolak.
Bunga Kamboja Di Bali, bunga Kamboja adalah bunga favorit untuk persembahan. Indah, sejuk, lembut rasanya di dalam sini bagi kebanyakan orang Bali bila melihat dan menggenggam bunga Kamboja. Namun di Jawa umumnya, bunga Kamboja ditanam di kuburan. Terbalik dengan apa yang terjadi di Bali. Karena di kuburan, maka kesannya seram dan menakutkan. Hanya belakangan ketika banyak pelancong yang mengagumi Bali, banyak rumah dan hotel di Jakarta ikut menanam bunga Kamboja. Pelajarannya sederhana, pemaknaan memang relatif sekaligus subyektif. Dari satu sisi, bunga Kamboja adalah simbol kesucian. Di lain sisi, ia simbol ketakutan. Kehidupan juga serupa. Bagi siapa saja yang pernah belajar di sekolah bisnis tahun 1980 dan 1990 pasti pernah mendengar nama Lee Iacocca. Ketika itu ia kerap disebut pahlawan Amerika karena menyelamatkan raksasa otomotif Chrysler dari kebangkrutan. Sebelum disebut pahlawan, beliau hanyalah seorang petinggi yang tersingkir di perusahaan otomotif Ford. Tidak terlalu jelas ceritanya (maklum politik memang tidak pernah terang hitam-putihnya), tiba-tiba suatu waktu Iacocca hanya kebagian kursi wakil presiden plus kantor di gudang. Tentu saja hatinya panas. Di tengah godaan ini, tiba-tiba datang tawaran untuk memimpin Chrysler. Karena mau cepatcepat meninggalkan kursi panas, kesempatannya diambil. Ternyata pekerjaan baru jauh lebih panas. Maka berputarlah kehidupan dari satu jurang panas ke jurang panas yang lain. Selesai menghadapi buruh mogok, datang bankir yang menagih hutang, kemudian petugas pajak, pemegang saham, distributor, keluhan pelanggan. Semuanya seperti tidak ada habisnya. Namun keteguhan kerap menjadi kendaraan yang mengantar seseorang keluar dari terowongan gelap kegagalan. Di suatu waktu, keteguhan Lee Iacocca berbuah. Chrysler ketika itu tidak saja keluar dari krisis, namun berubah dari pecundang menjadi pemenang. Dan Iacocca sebagai komandan juga bertransformasi dari korban menjadi pahlawan. Ini memberi pelajaran inspiratif, musibah di satu tahun bisa menjadi sumber berkah di tahun lain. Serupa bunga Kamboja, kehidupan terus berputar. Hari ini sampah bau, beberapa waktu kemudian menjadi bunga Kamboja wangi berwajah indah. Hari ini bunga wangi mewakili keindahan, beberapa hari kemudian menjadi sampah menjijikkan. Penderitaan kebanyakan manusia berakar dari sini: mau bunga namun menolak sampah. Ini serupa dengan mau api tapi menolak panas, mau air tapi membuang basah. Itu sebabnya, guru-guru tercerahkan melatih diri keras-keras untuk menyatu dengan semua aliran kehidupan. Serupa samudera, ia penuh dengan gelombang naik-turun. Ada gelombang tinggi (dipuji), ada gelombang rendah (dicaci). Namun gelombang mana pun akan merunduk rendah hati ketika mencium bibir pantai. Maknanya, kehidupan boleh bergerak naik-turun. Namun, ketika dipanggil kematian jangan lupa merunduk rendah hati. Kematian bukan perpisahan mengerikan, namun gerakan kembali memeluk samudera yang maha luas. Dibekali modal kontemplasi ini, ada guru yang berpesan: “Jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri, namun selembut air dalam melayani orang lain”. Ada yang berpesan
lain: “Agama tidak diniatkan untuk menyerang orang, namun untuk menyerang kekurangankekurangan kita”. Kadang ada yang bertanya, setelah mencapai pencerahan, apa berarti kehidupan selalu pasif? Sifat alami pencerahan jauh dari kepasifan. Ia serupa dengan kambing dan serigala. Bila kambing dikasi makan daging, secara alamiah ia akan menolak. Jika serigala dikasi makan rumput, secara alamiah ia akan menghindar. Guru-guru tercerahkan juga serupa, ada memang yang tinggal di gua-gua sepi. Namun mereka menyepi bukan untuk diri sendiri, melainkan menjaga keseimbangan alam. Sebagian besar guru tercerahkan beredar di masyarakat. Baju luarnya bisa bermacam-macam, namun spirit di dalamnya sama: kehidupan adalah kendaraan pelayanan!. Persis sama dengan bunga Kamboja. Di Bali boleh digunakan sarana persembahan. Di Jawa boleh ditanam di kuburan. Namun, di kedua tempat itu bunga Kamboja tetap melayani kehidupan dengan menebar keindahan dan keharuman. Begitu juga dengan mahluk tercerahkan, pujian tidak memproduksi kesombongan, cacian tidak menjadi bahan kemarahan.
Keberuntungan Sejati Di tahun 1920-an, peneliti Belanda datang ke Bali dan menemukan bahwa dalam kamus hidup orang Bali ketika itu tidak dikenal istilah kesenian sebagai pertunjukan komersial. Semua gerak kehidupan (bertani, mengukir, menari) dilakukan sebagai serangkaian persembahan. Makanya salah satu arti Bali adalah persembahan. Tidak ada yang sempurna di bawah langit, kendati demikian Bali pernah digoda bom teroris. Terasa sekali penderitaan setelah itu. Namun, beberapa waktu kemudian tidak saja bangkit, malah berkali-kali dinobatkan sebagai pulau tujuan wisata terbaik di seluruh dunia oleh media global. Bila boleh jujur, ada spirit yang bersemayam di balik karisma Bali yang kerap disebut the last paradise (surga terakhir) oleh masyarakat internasional. Dan spirit itu bertumbuh sebagai hasil percampuran antara agama dan seni selama ribuan tahun. Perpaduan keduanya, kemudian dipersembahkan sebagai serangkaian pelayanan. Sehingga menjadi sumber inspirasi Indonesia yang masih menyimpan banyak lobang-lobang pelayanan, lebih-lebih tatkala nurani publik terlukai skandal korupsi, bila Bali bisa berkarisma dengan pelayanan sebagai hasil penggabungan antara agama dengan seni, kenapa Indonesia tidak bisa? Dalam agama dan seni, Indonesia kaya dengan nilai-nilai yang menjujung tinggi pelayanan. Keberuntungan dalam pelayanan Dulunya, hanya pedagang yang tekun mencari keberuntungan. Sekarang, ia merambah ke mana-mana. Rumah, tempat kerja, taman semuanya ditata sehingga keberuntungan datang dari segala penjuru. Dan ukuran keberuntungan, apa lagi kalau bukan kekayaan. Ini tentu saja layak dihormati. Masyarakat Barat sudah berjalan jauh di depan dalam hal kekayaan. Namun, Kemajuan ala Barat ini memakan biaya mahal. Baru di zaman ini terjadi banyak rumah sakit jiwa penuh, sebagian pasien yang belum sepenuhnya sembuh terpaksa dipulangkan karena ada pasien baru yang lebih parah dan lebih membutuhkan. Lembaga pemasyarakatan kehabisan ruang untuk menampung nara pidana, sebagian remisi terpaksa diberikan karena ruang yang ada sudah tidak manusiawi. Angka perceraian menaik tajam. Keadaban manusia tidak berhasil mengerem perang dan terorisme. Seorang guru dari Timur pernah menginap di salah satu rumah orang super kaya di AS. Rumahnya tentu super mewah, namun yang mengejutkan, di kamar mandi tersedia pil tidur dalam jumlah berlimpah. Rupanya, semakin kaya seseorang bukannya semakin mudah tidurnya. Contoh termutahir di negeri ini adalah dibukanya rekaman percakapan berbagai pihak yang mau membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Terlihat jelas, bagaimana nafsu berlebihan akan kekayaan bahkan bisa menghancurkan seluruh tatanan hukum sebuah negara. Dalam totalitas, tidak ada yang melarang mengejar kekayaan, namun karena demikian besarnya ongkos nafsu berlebihan akan kekayaan, mungkin layak merenungkan ulang pengertian tentang keberuntungan. Tetua di Timur telah lama mengenal kearifan tentang kucing yang mengejar ekornya. Semakin dikejar semakin lari. Dan tatkala tidak dikejar, ia berhenti. Dalam bahasa Franz
Kafka: the meaning of life is that it stops. Makna kehidupan baru terbuka ketika manusia belajar berhenti. Anehnya, ketika berhenti bukan kehilangan makna, malah menemukan. Ini yang bisa menjelaskan kenapa ada guru meditasi menyarankan, kehidupan serupa air di gelas. Setenang apa pun tangannya, bila air di gelas dicoba ditenangkan dengan cara memegangnya, ia tetap bergerak. Untuk itu, letakkan saja!. Saran letakkan saja ini tentu bukan berarti semua harus meninggalkan kota pergi ke hutan, atau semua orang duniawi harus meninggalkan kesehariannya untuk bermeditasi. Sekali lagi bukan. Namun meletakkan keinginan berlebihan bahwa hidup harus selalu sesuai dengan tuntutan ideal. Untuk kemudian mendalami ternyata keberuntungan tidak saja ada dalam tujuan-tujuan ideal, melainkan juga tersedia dalam setiap langkah pelayanan. Pertumbuhan tidak saja memerlukan kehebatan hasil, juga merindukan kelembutan proses. Siapa saja yang diberi berkah spiritual untuk bisa melihat Nusantara dalam-dalam, lebih-lebih di putaran waktu ketika negeri ini mau runtuh oleh skandal korupsi, akan menitikkan air mata ketika mengetahui bahwa Mohammad Hatta, salah satu proklamator, ternyata mengisi hidupnya di jalan pelayanan. Di sebuah jumat, istrinya mengatakan kalau tabungan baru cukup untuk membeli mesin jahit. Dan karena kesibukan, akan ke toko hari senen. Pak Hatta tahu kalau senen berikutnya tabungan itu tidak akan cukup, karena beliau sendiri yang akan mengumumkan kebijakan pemotongan uang hari senennya. Namun karena meletakkan kepentingan publik di kepala, kepentingan pribadi di kaki, Pak Hatta diam seribu bahasa. Serupa dengan Mahatma Gandhi dan Bunda Theresa, mereka yang mengisi hidupnya dengan pelayanan, semakin lama bukannya semakin redup, malah semakin bercahaya. Bercermin dari sini, seorang guru menulis: The joy of life ultimately comes from effortlessly giving our selves to others, like a white bird in the snow. Dalam kehidupan para bijaksana, suka cita datang dari ketulusan untuk terus menerus memberi. Persis seperti burung putih di salju. Menyediakan tangan bantuan namun tidak kelihatan. Dalam perspektif ini, bisa dimengerti bila salah seorang penekun meditasi di Barat setelah mengalami pencerahan kemudian bukannya mengenakan baju suci, namun menjadi supir taksi. Inilah keberuntungan sejati: tercerahkan, kemudian melakukan tugas pelayanan dan tidak kelihatan. Mungkin itu sebabnya di negara maju pekerja birokrasi tidak disebut pegawai negeri melainkan pelayan publik. Melayani, itu dan hanya itu alasan birokrasi dan profesi dibentuk. Melayani, itu dan hanya itu tugas manusia yang tercerahkan. Dan tugas pelayanan menjadi menggetarkan bila ada yang bisa membaca pesan suci di balik kisah burung putih di salju. Andaikan banyak pemimpin, pendidik, penyembuh, praktisi hukum negeri ini yang tergetar hatinya dengan kisah burung putih di salju, terterangi batinnya oleh roh pelayanan pulau Bali, tidak terhitung banyaknya kemiskinan yang bisa diusir dari Nusantara. Tidak terhitung banyaknya bunuh diri, depresi, kriminalitas, perceraian dan penyakit sosial lainnya yang bisa dihindarkan. Sekaligus berhenti menyebarkan virus negatif yang membuat alam terus menggoda dengan bencana. Dan yang paling penting, hanya dengan melayani kejujuran maka luka publik mungkin terobati.
Dua, Satu, Kosong Seorang anak muda bertanya ke pamannya tentang jenis usaha yang begitu dibuka, enam bulan kemudian langsung kaya raya. Sambil senyum-senyum penuh pengertian pamannya menjawab: “kalau ada sudah om ambil duluan!”. Bila boleh jujur, demikianlah perilaku manusia kekinian. Semuanya mau serba cepat. Tatkala sekolah mau lulus cepat-cepat, begitu bekerja buru-buru mau naik pangkat, yang jadi pengusaha mau kaya dalam waktu singkat. Padahal, bila lulusnya cepat, naik pangkatnya cepat, terkena stroke dan matinya pun cepat. Tidak elok bila bercerita kekurangan orang lain. Yang jelas alam sebagai guru bertutur, bila gunung tinggi maka jurangnya dalam. Di mana ada kelebihan yang menjulang tinggi di sana tersembunyi kekurangan yang mendalam. Sayangnya, tidak sedikit manusia yang hanya mau puncak gunung, serta menolak jurang. Mau kaya selama-lamanya, kepingin duduk di atas seumur hidup, berdoa agar kecantikan tidak dibawa pergi oleh penuaan, suka dihormati tidak suka dimaki. Dan ternyata, tidak pernah ada kehidupan yang berwajah serba positif, serupa dengan tidak ada gunung tanpa jurang. Sadar dengan wajah kehidupan seperti inilah, kemudian para bijaksana meninggalkan mimpi hidup berupa muda kaya tua bahagia. Dalam pengalaman para bijaksana, muda adalah waktuwaktu belajar dan bekerja. Kalau pun ada porsi doanya, sebagian lebih doa anak muda dilatarbelakangi sayup-sayup lirik lagu maju tak gentar membela yang bayar. Bagi yang pernah melewati masa muda akan tersenyum-senyum malu menoleh ke belakang. Dulu, ketika umur masih kepala dua atau tiga, tenaga sedang kencang-kencangnya, nafsu untuk disebut lebih demikian menggeloranya, mata selalu menoleh bila ketemu wanita cantik, rasanya bila ada pekerjaan mengecat langit pun akan disanggupi dengan kata bisa. Maklum masih muda. Ada orang tua bijaksana yang bercerita, kalau ia dulu mengira dirinya serupa dengan pesawat tempur yang lari melesat kencang di langit secara berwibawa. Bisa melakukan banyak hal-hal hebat. Namun ketika melewati banyak jatuh bangun dalam kehidupan, serta banyak jatuh sakit, baru menyadari ternyata dirinya hanya sebuah sepeda motor tua. Namun sepeda motor tua yang bahagia. Makanya tetua di Jawa punya pesan indah dan menggugah. Puncak perjalanan kehidupan ketemu ketika seseorang mulai tahu diri. Dengan bekal ilmu tahu diri inilah kemudian sayupsayup lirik lagu maju tak gentar membela yang bayar kemudian lenyap. Awalnya diganti dengan lirik lagu kemesraan ini janganlah cepat berlalu. Kemudian berubah menjadi lagu syukur. Dan ujung-ujungnya, tidak ada satu lirik lagu pun yang tersisa. Hanya hening, sepi, sunyi yang menyentuh hati. Di salah satu pojokan kehidupan guru di dalam diri pernah berpesan, awalnya adalah dua (penyembah dan yang disembah). Ketulusan, keikhlasan dan kepasrahan kemudian membuat yang dua menjadi satu. Setelah lama tenggelam dalam kebersatuan, bahkan yang satu ini pun ikut menghilang. Untuk itu ada yang menulis: The best theologian is the one who never
speaks about God. Theolog terbesar adalah mereka yang tidak pernah berbicara tentang Tuhan. Bukan karena ateis, apa lagi karena membenci Tuhan, sekali lagi bukan!. Namun bila masih menyebut nama Tuhan artinya masih dua. Perhatikan apa yang ditulis Ezra Bayda dalam At home in the muddy water: “The joy of relationship ultimately comes from effortlessly giving ourselves to others, like a white bird in the snow”. Beginilah keseharian manusia yang sudah meninggalkan angka dua sekaligus angka satu. Dulunya, suka cita memang datang dari kegiatan memberi sesuatu buat diri sendiri. Di tingkatan ini, suka cita adalah buah dari ketulusan untuk memberi pada pihak lain, persis seperti burung putih di salju: membantu namun tidak kelihatan!. Tidak kebayang indahnya kehidupan bila bisa sampai di sini. Dan baju luar orang jenis ini bisa petugas satpam yang membukakan pintu di kantor cabang bank, supir taksi di jalan raya sampai seorang pajabat tinggi. Namun ada yang sama di antara mereka, berbahagia dalam menolong, karena menolong sedang membuat manusia bergerak dari angka dua menjadi angka satu. Begitu menolong dilakukan terus menerus tanpa kebutuhan untuk dipuji atau disebut suci, angka satu ini pun lenyap dalam keheningan. Persis seperti burung putih di salju.
Kaya Rasa, Kaya Makna “Cangkul,
cangkul,
cangkul
yang
dalam…”
Kemiskinan badan yang berjumpa dengan kemiskinan pikiran, demikian seorang murid mendengar bisikan gurunya di akhir meditasi. Rumah sakit yang seyogyanya menjadi tempat penyembuhan, tidak saja mahal malah mengirim pasiennya ke penjara. Rumah tangga yang dulunya menjadi tempat teduh pertumbuhan manusia, sekarang menjadi ladang perkelahian yang kering kerontang. Sekolah yang dulunya membahagiakan, sekarang ketika ujian dijaga polisi. Bahkan terjadi penangkapan-penangkapan menakutkan. Contoh seperti ini masih bisa ditambah dengan yang lain. Dari sini timbul pertanyaan bagi generasi baru, ke mana peradaban akan berteduh? Sekolah yang indah Di banyak tempat, mulai ditemukan kasus-kasus home schooling. Anak-anak takut pergi ke sekolah karena berbagai alasan. Dari dipukuli teman, ngeri guru galak, pekerjaan rumah yang menumpuk, ujian (ulangan) yang tidak ada habisnya. Seorang sahabat menteri kabinet yang anaknya terkena home schooling, memutar kepala habis-habisan bagaimana agar wajah sekolah menjadi indah di mata anaknya. Ini memberi inspirasi, mungkin ini saatnya merenungkan sisi-sisi sekolah yang indah. Dan diantara sekian pilihan yang tersedia, latihan memberi adalah salah satu alternatif. Di sebuah pelatihan supir untuk perusahaan taksi terkemuka pernah dilakukan latihan memberi yang menarik. Di hari pertama peserta diminta membawa nasi bungkus karena tidak diberikan makan siang. Maka berlomba peserta membawa makanan yang seenak-enaknya. Ternyata di waktu makan siang supir diminta meletakkan nasi bungkusnya di kelas sebelah untuk dimakan peserta kelas sebelah. Sedangkan yang bersangkutan memakan makanan yang dibawa sahabat kelas sebelah. Di hari kedua, lagi-lagi diumumkan untuk membawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau nasi yang dibawa untuk orang lain, banyak peserta yang hanya membawa nasi seadanya. Tidak sedikit hanya memasukkan nasi putih tanpa berisi satu lauk pun. Dan ternyata di hari kedua aturannya berubah, peserta harus memakan nasi yang dibawa dari rumah. Dan tahu sendiri akibatnya. Apa yang mau diilustrasikan di sini, menyangkut perut sendiri betapa borosnya manusia kekinian memberi, bahkan banyak yang sampai stroke hanya karena memberi berlebihan pada perut. Namun berkaitan dengan perut orang lain betapa sedikit yang diberikan. Dan tiba-tiba para supir taksi tersentak, betapa egoisnya hidup, dan keegoisan inilah yang membuat hidup jadi penuh penderitaan. Para guru yang kaya di dalam, tidak pernah bosan membimbing muridnya: “Memberi, memberi, memberilah terus. Dan lihat bagaimana hidupmu jadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.
Dan ini bisa dilakukan melalui hal-hal yang kerap disebut “sepele”: menyapu lantai, membantu anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah, menemani anak-anak main bola, merapikan piring ketika pembantu tidak ada, membantu pekerjaan teman di kantor yang bebannya lagi tinggi, memberi jalan pada orang-orang yang sedang terburu-buru. Di sekolah para guru boleh meniru pola pelatihan supir taksi tadi, bisa juga mengajak anakanak didik pergi ke panti asuhan, rumah orang-orang yang tubuhnya tidak lengkap, menjenguk pasien-pasien tua di rumah jompo, bermain bola bersama anak kampung. Intinya satu, menyadarkan mereka bahwa memberikan itu membahagiakan. Dalam bahasa orang-orang yang rajin memberi, ketika memberi sesungguhnya manusia tidak saja sedang mengurangi beban orang lain, melainkan juga sedang membangunkan sifat-sifat bajik yang ada di dalam diri. Dan tatkala sifat-sifat bajik muncul, kebahagiaan muncul secara alamiah. Tiga tangga pemberian Ada yang membagi pemberian ke dalam tiga tangga keutamaan. Pertama, para mahluk sama dengan kita: “mau bahagia, tidak mau menderita”. 0leh karena itu, jangan pernah menyakiti. Kedua, para mahluk lebih penting dari kita. Nasi, lauk, air, udara, pekerjaan dan semua yang memungkinkan hidup berputar, dihasilkan pihak lain. Binatang bahkan terbunuh agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah menyayangi. Dari menanam pohon, membeli burung kemudian melepaskannya, mengurangi memakan daging, sampai memberikan bea siswa anak-anak miskin. Ketiga, karena para mahluk lebih penting, belajarlah memberikan mereka kebahagiaan, mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo Fransiscus dari Asisi. Cintaku, izinkan saya menjadi budak perdamaian. Di mana ada kemarahan, biar saya hadir dengan kasih. Di mana ada kebencian, biar batin ini muncul dengan memaafkan. Mistikus Sufi Kabir menulis: I glimpsed it for fifteen seconds and it made me a servant of life. Nur itu terlihat hanya beberapa detik, namun ia merubah seorang penyembah menjadi seorang pelayan. HH Dalai Lama kerap menyentuh publik ketika menyampaikan pesan lembut ini: “Jika Anda mau bahagia, sayangi orang lain. Bila Anda mau orang lain bahagia, sayangi orang lain”. Ini serupa dengan lirik lagu anak-anak tentang menanam pohon yang dikutip di awal, cangkul, cangkul, cangkul yang dalam. Karena hanya dengan mencangkul yang dalam, akarakar pohon bisa menghidupi batang, daun, bunga dan buah. Kehidupan manusia juga sama. Hanya pemberian yang memungkinkan seseorang “mencangkul hidupnya” secara mendalam. Dan sebagai hasilnya, ada sekuntum bunga indah kehidupan yang mekar: “kaya rasa, kaya makna”. Di tahap ini, ada yang berbisik: Death can be beautiful too!. Bahkan kematian pun berwajah indah. Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa kemelekatan yang membuat kematian berwajah menakutkan. Kematian menakutkan karena belum terbiasa melepaskan. Kedua, melalui kematian manusia sedang melaksanakan kesempurnaan pemberian. Jangankan uang, bahkan tubuh pun harus diikhlaskan. Unsur tanah dari tubuh menyatu dengan tanah, kemudian ikut menghidupi semua mahluk di bumi karena menghasilkan padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar mahluk tidak kehausan. Unsur api menyatu dengan api agar mahluk bisa memasak. Unsur udara bersatu dengan udara sehingga mahluk bisa melanjutkan kehidupan. Unsur jiwa (ada yang
menyebutnya kesadaran) menyatu dengan semua jiwa (kesadaran) agar mahluk ikut ketularan teduh. Inilah kematian yang menawan. Melalui kematian manusia bukannya kehilangan, malah memberikan.
Manusia dengan Berkah Agung Dalam ilmu-ilmu manusia, sudah lama dikenal rumus ‟kita bisa menjadi apa yang kita pikirkan‟. Ketika perang dingin antara AS-Soviet demikian menakutkan, pikiran kolektif manusia berpikir bagaimana ia segera berakhir. Dan keruntuhan Soviet membuat perang dingin berakhir, digantikan dengan kedigdayaan AS yang tidak tertandingi. Bom teroris yang meraung-raung, kemudian berusaha menjadi pengimbang. Ini disusul oleh bom yang lebih besar di Afghanistan dan Irak. Dalam keadaan seperti ini, pikiran kolektif mulai rindu dengan negara yang bisa menjadi pengimbang AS. Dan jangan-jangan ini bisa berujung pada datangnya perang dingin kembali. Indonesia juga serupa. Ketika orde baru berkuasa, banyak sekali orang yang merindukan kebebasan. Dan tatkala orba runtuh, kebebasan memang datang. Namun, mulai ada tandatanda banyak manusia Indonesia yang bosan kebebasan, rindu keteraturan. Jangan-jangan pikiran kolektif seperti ini juga akan menghasilkan orde baru dengan baju baru. Sebagaimana ditulis Dr. Michael Newton dalam Journey of the Souls, banyak sekali jiwa yang mengalami depresi berat, setelah dihipnoterapi ternyata berkejaran dengan keinginan sejak kehidupan-kehidupan sebelumnya. Dalam derajat yang berbeda, umat manusia juga sedang berkejar-kejaran dengan keinginan. Tanda-tandanya, menyukai sesuatu yang akan terjadi nanti, membenci sesuatu yang sudah kita genggam kini. Setelah yang nanti menjadi sesuatu yang kini, lagi-lagi kita merindukan yang nanti. Ini serupa dengan kisah Nasrudin. Suatu hari Nasrudin sedang asik memancing. Tiba-tiba polisi datang. Dan berlari kencanglah Nasrudin yang diikuti polisi di belakangnya. Setelah berhenti karena kelelahan, polisi sambil membentak bertanya : ‟mana tiket masuknya?‟. Dengan polos Nasrudin mengeluarkan tiket dari kantong. Sadar polisinya keliru, ia bertanya balik: ‟kalau punya tiket kenapa tadi lari?‟. Dengan lugu Nasrudin berucap: ‟saya tadi lari karena penyakit maag kambuh, ingin cepat-cepat bertemu dokter‟. Beginilah kehidupan banyak orang. Terlalu banyak waktu terbuang untuk berlari. Setelah habis energi, baru sadar kalau berlari untuk sebuah kesalahpahaman. Dan yang paling banyak bertanggungjawab terhadap hidup yang terus berlari adalah keserakahan/ keinginan. Kebahagiaan vs. keinginan Sadar akan bahayanya keserakahan inilah, kemudian tidak sedikit guru yang belajar mengelolanya. Seperti menangkap sapi liar, awalnya melawan, memberi penjelasan kalau terpenuhinya keinginan adalah tanda dicapainya kebahagiaan. Namun, apa pun alasannya, tetap keinginan dikembalikan ke tempat semula, hanya sebagai pembantu bukan penguasa. Makanya ada yang mencoba bercakap-cakap dengan keserakahan. Hai keserakahan, rumah siapakah yang suka kau kunjungi?. ‟Rumah orang kaya karena di sana saya jadi raja‟. Tatkala pertanyaannya dibalik, rumah siapa yang dibenci, ia menjawab sedih: ‟rumah orang bijaksana karena di sana saya hanya jadi pembantu‟. Inilah tanda-tanda awal manusia yang mulai diterangi kebijaksanaan, keinginan dan keserakahan kembali ke tempat duduk asalnya sebagai pembantu setelah lama congkak jadi penguasa. Kalau bukan terpenuhinya keinginan sebagai ukuran kebahagiaan, lantas adakah ukuran kebahagiaan yang lain?
Seorang pejalan kaki ke dalam diri pernah berbisik, orang yang bahagianya amat mendalam adalah orang yang sadar di dalam batinnya bahwa dialah yang paling hina. Untuk itu, tidak ada pilihan lebih baik untuk menemukan kebahagiaan terkecuali rendah hati. Sebagai akibat meletakkan diri di tempat terendah, maka tidak ada seorang pun yang bisa menghinanya. Karena tidak bisa dihina, maka ia bahagia di mana saja berada. Di dunia Sufi pernah lahir Faried yang agung. Oleh gurunya pernah diajari: ‟Faried kapan saja engkau dipukuli orang, cepat cium kakinya, kemudian pulanglah tanpa rasa dendam‟. Murid-murid Kristus telah lama diajari hanya kasih yang bisa membuat setetes jiwa menjadi lautan Tuhan. Lebih terang lagi ada yang menulis: all souls are perfected in love. Bhisma pernah berpesan pada Yudistira tentang orang suci ketika tubuhnya beberapa saat lagi akan wafat. Orang suci adalah manusia dengan batin tenang seimbang. Dalam batin seperti ini, semua arah adalah indah. Bagi segelintir pencari kesucian di jalan Buddha, penderitaan bukanlah sesuatu yang ditakuti. Ketika memilih antara penderitaan dengan kebahagiaan, mereka memilih penderitaan. Terutama karena penderitaan seperti air suci yang memurnikan perjalanan. Inilah contoh-contoh manusia yang berbahagia tanpa tenggelam dalam keserakahan. Mereka memiliki pengertian tentang kekayaan secara berbeda. Contentment is the greatest wealth. Dalam rasa berkecukupan itulah letak kekayaan teragung. Orang-orang seperti ini kerap berpesan, ketika orang menyebut dirimu agung, bukan karena engkau agung, namun karena jiwa mulai tersambung dengan jiwanya jiwa. Orang-orang theistik (Islam, Nasrani, Hindu) memberi simbol angka satu terhadap hal ini. Terutama karena yang dua (diri dan Tuhan) telah menyatu. Orang-orang non theistik (contohnya Buddha) memberi simbol angka nol akan hal ini. Secara lebih khusus karena semua sudah sempurna apa adanya. Tidak ada lagi hal positif yang perlu ditambahkan, tidak ada lagi hal negatif yang perlu dikurangkan. Terlihat berbeda memang. Dan biarlah pohon kelapa tumbuh di pantai, pohon cemara bertumbuh di gunung. Keduanya bertumbuh indah di tempat asalnya. Makanya di Timur pernah lahir pendapat tentang ciri-ciri manusia dengan berkah agung: ‟memandang perbedaan sebagai keindahan, melindungi diri dengan perisai kesabaran, kekayaannya adalah rasa berkecukupan, hidupnya diterangi matahari kesadaran, dan kalau terpaksa mengeluarkan pedang, ia mengeluarkan pedang kebijaksanaan‟. Di Barat pernah ada yang menulis: ‟my parent hate me when they know that I am a Buddhist but they love me when they know that I am a Buddha‟. Orang tua pernah terkejut melihat anaknya karena kerap masuk Vihara. Namun ia cinta sekaligus bangga ketika melihat puterinya menunjukkan sifat-sifat bajik setiap hari. Seperti memberikan tanda makna, bukan judul agama yang membuat seseorang menjadi agung, melainkan kebajikan-kebajikan dalam keseharian.
Mengusir Kegelapan Dengan Sapu Seorang sahabat pengagum bintang sinetron Paramita Rusadi punya cara unik dalam mengekspresikan kekaguman. Setiap kali ia bertemu wanita cantik, ia selalu bergumam paramita. Entah di jalan, di pasar, mall, kantor, di mana saja asal ketemu wanita yang berparas cantik selalu ia bergumam paramita. Namun, begitu ia melihat istrinya di rumah yang tidak pernah merawat dirinya, ia bergumam lain: „parah banget‟. Maafkanlah lelucon, ia hanya bunga canda yang membuat kehidupan jadi indah penuh tawa. Namun, inilah ciri kehidupan yang bergerak dari kegelapan menuju kegelapan. Menyangkut punya orang selalu penuh puji, begitu melihat milik sendiri selalu penuh caci. Ada saja alasan yang membuat hadiah-hadiah kehidupan yang sudah tergenggam tangan, kemudian terlihat tidak sempurna. Ciri lain kegelapan adalah keseharian yang mudah marah dan tersinggung. Perhatikan wacana lewat media. Semakin tinggi kadar marah publik kepada pemerintah khususnya, semakin penting tempatnya di media. Lihat juga surat-surat pembaca, setengah lebih yang dimuat media cetak adalah ekspresi kemarahan. Demikian juga dengan tulisan-tulisan atau komentar-komentar para pemuka, kalau tidak marah kecil kemungkinannya mendapat perhatian publik sekaligus media. Dalam bahasa hati, ini pertanda masih banyak yang memperhatikan nasib bangsa. Masih ada yang rela berfungsi sebagai penjaga sejarah agar keburukan masa lalu tidak terulang kembali. Tidak sedikit yang masih cinta dengan Indonesia. Sehingga tidak seluruh kemarahan sebenarnya berwajah negatif. Dalam bahasa kejernihan, ketidakpuasan, kemarahan, ketersinggungan adalah tanda-tanda kalau emosi terlalu mudah untuk dicuri. Jangankan kejadian besar, hal sepele pun bisa membuat emosi tercuri. Sehingga dalam totalitas, kehidupan manusia seperti rumah besar yang setiap hari kecurian. Marah, tersinggung, tidak puas, protes hanya sebagian tanda-tanda emosi yang tercuri. Pencuri di rumah kosong Seperti dituturkan salah satu logika tua, kegelapan tidak bisa diusir dengan sapu, ia hanya bisa menghilang bila dihidupkan cahaya terang. Sehingga menimbulkan keingintahuan, apa cahaya penerang yang bisa membantu mengusir kegelapan kemarahan? Kembali ke pengandaian tentang rumah yang tercuri, ia mungkin terjadi kalau rumahnya penuh dengan barang, sekaligus tidak terjaga. Ada beberapa „barang‟ di dalam sini yang memungkinkan emosi mudah tercuri yakni harga diri yang terlalu tinggi, kepintaran penuh kemelekatan serta logika batu. Memiliki harga diri tentu sebuah pertanda kedewasaan, namun mengharap agar diri dihargai tinggitinggi setiap hari mudah sekali membuat emosi tercuri. Jangankan orang biasa, orang berpangkat serta bereputasi tinggi pun tidak bisa membuat dirinya selalu dihargai. Oleh karena itulah, banyak guru mengimbangi harga diri dengan sikap yang rendah hati. Dihargai adalah sumber motivasi. Dicaci adalah masukan berguna kalau masih ada sejumlah hal dalam diri ini yang perlu diperbaiki. Kepintaran memiliki perilaku unik yang tidak semua menyadari. Pertama-tama kepintaran membikin ukuran. Kemudian menilai dan menghakimi semuanya sesuai dengan ukuran tadi. Bila kehidupan sesuai dengan ukuran, senang, gembira, setuju hasil ikutannya, Namun karena kehidupan berwajah jauh lebih besar, lebih rumit, lebih dalam dari ukuran mana pun, maka ukuran-ukuran ala kepintaran mudah sekali membuat kehidupan bermuara pada kekecewaan. Di sinilah kebijaksanaan bisa menjadi pengimbang kepintaran. Bila kepintaran penuh dengan ukuran, kemudian menolak banyak segi kehidupan, kebijaksanaan lebih banyak belajar untuk menerima
semua apa adanya. Terutama karena kesadaran mendalam, kesempurnaan sudah berada dalam kehidupan sejak awal hingga akhir. Keinginan saja yang memperkosanya dengan tuntutan harus begini harus begitu, sehingga bahagia menjadi barang langka. Dalam bahasa kebijaksanaan, penerimaan adalah awal pembebasan. Logika batu yang laku keras dalam peradaban modern lain lagi. Seperti batu bertemu batu, ia selalu bertabrakan. Pemerintah bertemu legislatif, pekerja berjumpa pengusaha, lembaga sosial masyarakat bersentuhan dengan media, tabrakan, tabrakan dan tabrakan. Fundamental dalam logika batu, kebenaran ditemukan dengan jalan melawan. Semakin banyak perlawanan, semakin banyak kredit yang diperoleh dalam kehidupan. Namun setelah teroris dengan logika batunya berhadapan dengan pemerintah AS bersama sekutusekutunya dengan logika yang sama, kemudian berputar dari satu kerumitan menuju kerumitan lain, mulai banyak orang yang haus akan logika air. Seperti pendapat Lao Tzu, the people who cultivate the Way should be more like water. Perhatikan air yang mengalir di sungai, ia bisa melewati setiap penghalang karena lentur. Bandingkan tubuh manusia yang masih hidup dengan tubuh manusia yang sudah mati, batang pohon yang masih hidup dengan batang pohon yang telah mati. Yang masih hidup lebih lentur dibandingkan dengan yang sudah mati. Sehingga dari sini bisa ditarik pelajaran, kehidupan lebih dekat dengan kelenturan. Lebih dari itu, ia lebih mudah membahagiakan. Sadar akan benturan-benturan yang ditimbulkan kepintaran, logika batu, serta harga diri yang tinggi, sejumlah guru bahkan pergi lebih jauh lagi. Tidak sedikit yang belajar menerangi kegelapan dengan keheningan. Sehebat apa pun harga diri, kepintaran dan logika batu, tapi semuanya pasti berlalu bersama waktu. Keheningan membuat semuanya berlalu secara hening. Keburukan berlalu, kebaikan juga berlalu. Kesucian berlalu, kekotoran juga berlalu. Keberhasilan berlalu, kegagalan juga berlalu. Bila ini acuan kehidupan, maka jiwa mulai mengalir. Rumah jiwa akan jadi rumah kosong yang dimasuki pencuri. Pertama, karena kosong sehingga tidak ada yang bisa dicuri. Kedua, rumah jiwa dijaga oleh kewaspadaan dan kesadaran. Eksekutif boleh saja teramat jarang akur dengan legislatif, pekerja kerap bertabrakan kepentingan dengan pengusaha, demokrasi berubah menjadi demo like crazy, tapi tidak ada di dalam sini yang bisa dicuri. Di Tibet, ini disebut rigpa (pure presence), keadaan jiwa yang terang benderang akibat praktek alert mindfulness yang panjang. Sebagai hasilnya, jiwa menerangi dirinya sendiri. Sehingga setiap jalan kehidupan seperti penuh sinar penerang.
Cinta, Kedamaian, Pencerahan Dalam banyak hal, Barat menyimpan tanda-tanda ke mana peradaban bergerak. Industrialisasi, demokrasi, kapitalisme, feminisme hanyalah sebagian hal yang awalnya terjadi di Barat, kemudian menerjang ke seluruh dunia. Kepunahan agama Siapa saja yang rajin ke Barat di abad 21 ini, boleh bertanya „what is your religion?‟. Dan siap-siaplah dijawab: stupid question. Seorang pengajar di perguruan tinggi di Melbourne, pernah bertanya ke mahasiswanya di sebuah kelas: any one of you who have religion? Dan yang menaikkan tangan hanya segelintir. Itu pun semuanya berwajah Asia. Dari salah satu segi terlihat, agama di Barat lebih dipandang sebagai beban dibandingkan identitas yang membahagiakan. Dan pada saat yang sama, ada kecenderungan lain yang layak direnungkan. Karen Amstrong (penulis buku Hystory of God) menulis, inilah zaman keemasan Buddha di Barat. Albert Einstein (fisikawan besar abad 20) berpendapat, agama yang bisa memenuhi kebutuhan intelek manusia masa depan adalah agama Buddha. Lama Surya Das (penulis Awakening to the Sacred) menjumpai sejumlah anak muda di Barat yang mengaku: „my parent hate me when they know that I am a Buddhist, but they love me when they know that I am a Buddha‟. 0rang tua kesal melihat puterinya masuk Vihara. Namun mereka cinta ketika menyadari anaknya sabar, santun, penuh rasa hormat dan rendah hati. Digabung menjadi satu, ada sebuah pintu kecenderungan yang terbuka. Di satu sisi ada rasa dahaga manusia akan kedamaian. Terutama karena materialisme di Barat sudah menunjukkan batas-batasnya. Dan di lain sisi, agama Buddha menyentuh komunitas Barat dengan kedamaian. Membaca tanda-tanda seperti ini, tantangan agama-agama sebenarnya bukan persaingan antaragama. Raja Asoka (murid serius Buddha) mewariskan: ‟siapa yang menghina agama orang, ia sedang mencaci agamanya sendiri. Siapa yang menghormati agama orang, ia sedang mencintai agamanya sendiri‟. Tantangan agama-agama ke depan adalah memuaskan rasa dahaga manusia akan kedamaian. Tanpa kemampuan memuaskan rasa dahaga akan kedamaian, lebih-lebih memperpanjang daftar kekerasan yang sudah panjang, maka bukan tidak mungkin ada agama yang mengalami kepunahan di masa depan. Bahasa-bahasa cinta Kalau boleh jujur, semua agama berbahasakan cinta. Islam menempatkan cinta di urutan nomer satu dalam 99 nama Allah. Nasrani mengalami dinamika dari perjanjian lama ke perjanjian baru, namun dalam kasih ia tidak bergeser sama sekali. Yoga Hindu tidak bisa sempurna tanpa bhakti yoga (path of love and devotion). Rumah batin luhurnya Buddha mulai dengan cinta kasih. Dalam ketokohan juga serupa. Islam bersinar di tangan manusia seperti Jalaludin Rumi, Imam Al-Ghazalli yang tidak punya bahasa lain selain cinta. Ajaran Kristus menyentuh di
tangan orang seperti Santo Franciscus dari Asisi yang digerakkan kasih. Di tangan Mahatma Gandhi, Bhagawad Gita hidup. Tidak ada kekuatan lain yang membantu Gandhi terkecuali bhakti. Tatkala Dalai Lama ditanya pengertian Tuhan, ia menjawab: God is an infinite compassion. Teduh, menyentuh, itulah wajah asli agama-agama. Namun, kerap ini dihadang keingintahuan yang membandingkan wacana dengan realita. Bila memang demikian, kenapa ada serangan teroris, pemerintah AS dan kawan-kawan menyerang Afghanistan dan Irak, rezim militer Myanmar demikian kejam menembaki sejumlah Bhiksu, masyarakat Bali yang tekun berupacara melakukan sejumlah kekerasan? Latihan sebagai langkah Meminjam cerita Zen, setiap kata hanyalah jari yang menunjuk bulan. Bahkan kata-kata Buddha digabung dengan Krishna pun tidak bisa menghantar manusia menemukan pencerahan, terutama bila hanya sebatas dimengerti kemudian lupa. Apa yang kita tahu adalah sebuah tebing. Apa yang kita laksanakan dalam keseharian adalah tebing lain. Dan jembatan yang menghubungkan keduanya bernama latihan. Sulit membayangkan ada pencerahan tanpa ketekunan latihan. Raksasa spiritual dari Jalaludin Rumi, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama, semuanya dibesarkan latihan. Siapa yang berani membayar latihannya dengan ongkos lebih mahal, ia sampai di tempat yang lebih jauh. Sayangnya, ini yang tidak mau dilakukan banyak orang. Hanya berbekalkan intelek, kemudian berharap pencerahan. Ia serupa dengan hanya melihat ujung jari, mau sampai di bulan. Thich Nhat Hanh dalam Creating true peace lebih konkrit soal latihan. Di dalam diri kita ada bibit kedamaian sekaligus bibit kemarahan. Perjalanan latihan bergerak semakin sempurna, ketika manusia dalam keseharian menyirami bibit kedamaian, berhenti menyirami bibit kemarahan. Cara terbaik melakukan ini adalah dengan mempraktekkan kesadaran (mindfulness). Dalam aktivitas apa pun (bangun, makan, bekerja sampai tidur lagi) lakukanlah dengan penuh kesadaran. Bila kemarahan yang datang, senyumlah sambil ingat untuk tidak mengikuti kehendak kemarahan. Tatkala kedamaian yang berkunjung senyumlah sambil sadar kalau kedamaian pasti pergi. Sehingga ketika kedamaian pergi, tidak perlu kecewa. Bila digoda orang menjengkelkan, berfokuslah pada api amarah yang ada di dalam. Lihat, senyum, jangan diikuti. Bila ini tidak membantu, ganti judul orang menjengkelkan dengan orang yang membutuhkan uluran cinta kita. Sebab bila judulnya menjengkelkan, respon alaminya marah. Jika judulnya ia memerlukan cinta kita, maka respon alaminya membantu. Teruslah berlatih sampai tidak ada lagi yang tersisa (kemarahan menghilang, kedamaian menghilang), terkecuali kesadaran agung. Kadang disebut kesempurnaan agung karena semua sempurna apa adanya. Dan yang terlihat oleh orang lain di luar adalah keseharian yang diam, senyum serta tangan yang bahagia bila ada kesempatan membantu. Dibimbing cinta manusia bertemu keteduhan, kesejukan kedamaian. Kedamaian kemudian membukakan pintu pencerahan. Ada yang bertanya, apa itu pencerahan? Seperti berlatih naik
sepeda. Teorinya sederhana. Namun begitu berlatih dijamin jatuh. Ada yang masuk selokan. Ada juga kakinya berdarah. Hanya dengan ketekunan latihan seseorang bisa menemukan keseimbangan (baca: kesadaran agung). Dan momen ketika kesadaran agung dialami, ia akan berujar: oooo! Itulah pencerahan. Ia di luar kata-kata. Bila ada yang mau menjelaskannya dengan kata-kata, nasibnya akan serupa dengan sepasang tangan manusia yang mau mengambil seluruh air samudera.
Bahagia Menjadi Nomer Dua Puluhan tahun lalu, David C Mc. Clleland pernah dikenal dengan idenya tentang masyarakat berprestasi. Hampir setiap negara, korporasi tertarik mempercepat pertumbuhan dengan menginjeksikan virus motivasi berprestasi. Fundamental dalam ide ini, kehidupan hanya layak dijalani bila menjadi nomer satu. Dan sekian puluh tahun setelah ide ini berlalu, tampaknya penyebaran virusnya masih berjalan cepat. Di dunia korporasi, pusat pertumbuhan dari mana masa depan banyak dipersiapkan, ditandai oleh semakin derasnya penyebaran virus ini. Dalam pergeseran-pergeseran kekuasaan negara juga serupa. Yang berpengaruh adalah tokoh seperti George W. Bush, John Howard yang agresif, diimbangi oleh teroris yang tidak kalah agresif. Sebagai hasilnya, suhu hubungan antarmanusia di dunia memanas dari hari ke hari. Soal implikasi kemajuan materi dari injeksi virus berprestasi, memang tidak diragukan. Namun semua ada ongkosnya. Kedamaian, kebahagiaan dan kenyamanan jiwa hanyalah sebagian hal yang mesti dikorbankan. Isu pemanasan global yang belakangan ditiupkan ulang secara besar-besaran oleh Al Gore, belum terlihatnya tanda-tanda perdamaian akibat serangan AS ke Afghanistan dan Irak, serta memanasnya suhu politik di beberapa negara yang dulunya sejuk seperti Thailand dan Myanmar hanyalah sebagian tanda. Negeri ini juga serupa. Sepuluh tahun reformasi ditandai oleh gesekan-gesekan antarelit yang berebut menjadi nomer satu. Di zaman pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat teramat sibuk melayani elit yang semuanya mau nomer satu. Rahasia-rahasia sentuhan Sebagaimana ditulis Daoed Joesoef tentang ekonomi Jepang. Tiang penopang kemajuan Jepang yang mengagumkan itu adalah ibu rumah tangga yang melaksanakan tugas keibuannya dengan rasa bangga dan bahagia. Cerita India juga serupa. Begitu India merdeka, dengan ikhlas Mahatma Gandhi memberikan kursi perdana menteri kepada Nehru. Sebuah keputusan yang menyelamatkan India, sekaligus memberikan kesempatan India bertumbuh tanpa diganggu virus perseteruan menjadi nomer satu. Mohammad Hatta adalah legenda Indonesia. Ia berbahagia mengisi hidupnya dengan menjadi nomer dua. Beberapa kali pun terjadi perselisihan dengan orang nomer satu ketika itu, ia selamatkan negeri ini dengan cara berbahagia menjadi nomer dua. Di Timur pernah lahir guru agung dengan cahaya terang benderang. Jauh sebelum ia mengalami pencerahan, guru ini pernah lahir sebagai kura-kura. Suatu hari di tengah lautan, kura-kura ini melihat manusia terapung. Hanya karena menempatkan hidup orang lebih penting dari hidupnya, ia gendong manusia ini ke pinggir pantai. Setelah kelelahan di pantai, ia tertidur. Dan terbangun dalam keadaan tubuh yang sudah diselimuti ribuan semut. Lagilagi karena menganggap hidup orang lebih penting dari hidupnya, ia biarkan ribuan semut ini
memakan tubuhnya sampai mati. Padahal, hanya dengan sebuah gerakan ke arah laut, ia selamat dan ribuan semut ini mati. Terinspirasi dari kehidupan seperti inilah, kemudian lahir orang-orang seperti Master Hsing Yun. Dalam karya indahnya The Philosophy of Being Second, guru rendah hati yang banyak dipuji ini bertutur mengenai rahasia hidupnya. Di salah satu pojokan bukunya ia menulis: ‟you are important, he is important, I am not‟. Terdengar aneh memang, terutama bagi mereka yang biasa menyembah ego, meletakkan nomer satu sebagai satu-satunya kelayakan kehidupan. Namun bagi raksasa pelayanan kelas dunia seperti Singapore Airlines dll, keberhasilan mereka disebabkan karena rajin mengajari orang-orangnya: ‟orang lain penting, saya tidak penting‟. Dalai Lama is a living spiritual giant. Mendapat hadiah nobel perdamaian dan penghargaan sivil tertinggi di AS yang membuatnya sejajar dengan George Washington dan Paus Yohanes Paulus II. Rahasia di balik semua ini juga serupa: musnahnya semua ego, kemudian hanya menyisakan kebajikan. Lebih-lebih pejalan kaki di jalan Tuhan dan jalan Buddha. Hampir tidak pernah terdengar kalau ego dan kecongkakan membawa seseorang sampai di tempat jauh. Mereka-mereka yang dikagumi di jalan ini, hampir selalu ditandai oleh kesediaan menempatkan orang lain di nomer satu, kemudian membangun kebahagiaan dengan membahagiakan orang lain. Bagi seorang Master Hsing Yun malah lebih jauh lagi: being touched is the most wonderful thing in life. Tersentuh (apa lagi sampai menitikkan air mata) adalah pengalaman batin yang menawan. Siapa saja yang berhasil membuat orang lain tersentuh, tidak saja sedang menciptakan kebahagiaan, juga membuat orang membangun tembok-tembok kesetiaan yang susah ditembus. Di sebuah pojokan kehidupan guru rendah hati ini, pernah terjadi ia demikian dipuji, dikagumi. Sehingga tidak saja dirinya yang menitikkan air mata, langit yang biru tanpa awan sedikit pun ikut meneteskan air mata dengan menurunkan hujan. Seperti sedang bercerita, tidak ada kecongkakan yang menyentuh hati. Kebajikan, ketulusan, kesediaan membangun kebahagiaan di bawah kebahagiaan orang lain, itulah rahasia-rahasia sentuhan. Alam memang penuh tanda. Ia tidak melarang manusia menjadi nomer satu. Jumlah batu yang menjadi puncak gunung jauh lebih sedikit dibandingkan batu yang menjadi lereng dan dasar gunung. Bila usaha hanya berujung pada nomer dua, ia sebuah pertanda mulya: kita sedang menjadi lereng dan membuat orang lain jadi nomer satu di puncak gunung. Bukankah ini sebuah sikap yang menyentuh? Perlambang alam lain, kelapa tumbuh di pantai, cemara tumbuh di gunung. Mc. Clleland telah membuat banyak manusia jadi nomer satu, lengkap dengan hawa panas ala kelapa di pantai. Master Hsing Yun memberikan inspirasi tentang kehidupan yang menyentuh karena berbahagia jadi nomer dua, mempersilahkan orang lain jadi nomer satu, mirip dengan cemara yang sejuk di gunung. Bila pencinta nomer satu berfokus pada menjadi benar dan hebat, kesejukan ala cemara berfokus pada menjadi baik dan menyentuh. Ia serupa dengan kisah tiga anak yang memilih tiga buah pir pemberian tetangga. Murid Mc.Clleland akan memilih yang terbesar dan tersegar. Anak yang batinnya sejuk akan memilih yang terkecil dan terjelek. Ia berbahagia melihat orang lain menikmati buah pir yang besar dan segar. Dan Anda pun bebas memilih ikut yang mana.
Menyentuh Kedamaian Sejumlah wisatawan yang datang ke Bali, heran membaca peringatan berbunyi: ‟pemulung dilarang masuk‟ di mana-mana. Bagi yang punya empati dan memahami psiko-linguistik (ada cermin kejiwaan dalam pilihan-pilihan kata yang digunakan dalam keseharian) akan bertanya, ada apa di pulau kedamaian Bali? Persahabatan, pengertian, kesabaran, kebaikan adalah ciri-ciri tempat penuh kedamaian. Dengan banyaknya papan ‟pemulung dilarang masuk‟ di Bali, adakah kedamaian sudah pergi dari tempat yang kerap disebut the last paradise ini? Maafkanlah keingintahuan. Dan kalau boleh jujur, Bali tidak sendiri. Keseharian kehidupan di mana pun ditandai oleh semakin langkanya kedamaian. Jangankan negara miskin seperti Botswana di Afrika yang harapan hidupnya di bawah empat puluh tahun, sebagian manusia dewasanya positif terjangkit HIV. Amerika Serikat dan Jepang yang dikenal makmur harus menandai diri sebagai konsumen pil tidur per kapita terbesar di dunia, dan angka bunuh diri yang tinggi. Mungkin langkanya kedamaian ini yang ada di balik data amat cepatnya pertumbuhan pusat meditasi di Barat. Sebagian guru dari Timur disambut oleh komunitas Barat dengan rasa amat lapar akan kedamaian. Republik ini serupa. Setelah lebih dari enam dasa warsa merdeka, kedamaian tidak tambah dekat. Kemiskinan, bencana, bunuh diri, pengangguran hanyalah sebagian data yang memperkuat. Semakin menjauhnya kedamaian di luar inilah yang membuat banyak sekali manusia memulai perjalanan ke dalam. Mencari cahaya penerang di dalam. Pohon Kedamaian Dalam perjalanan ke dalam, ada yang serupa antara pohon dengan pencinta kedamaian. Pohon bertumbuh mendekati cahaya. Pencinta kedamaian juga serupa. Dengan keseriusan latihan, suatu waktu hidupnya terang benderang. Makanya dalam bahasa Inggris puncak perjalanan ke dalam disebut enlightenment (pencerahan), ada kata light (cahaya) di tengahnya. Untuk itulah, perjalanan menyentuh kedamaian dalam tulisan ini dibuat menyerupai pohon. Mari dimulai dengan bibit. Bibit jiwa ketika berjalan ke dalam adalah tabungan perbuatan baik sekaligus buruk. Bukan baik–buruknya yang jadi bibit, namun bagaimana ia diolah menjadi bibit. Kebaikan belum tentu menjadi bibit yang baik, terutama kalau kebaikan diikuti kesombongan dan kecongkakan. Keburukan tidak otomatis menjadi bibit buruk, secara lebih khusus kalau keburukan menjadi awal tobat mendalam serta komitmen kuat menjalani latihan keras. Orang baik dengan bibit yang baik jumlahnya banyak. Namun orang jahat dengan bibit yang baik juga ada. Milarepa adalah sebuah contoh. Setelah melakukan santet yang berbuntut pada matinya sejumlah keluarga paman dan tante yang menipunya, Milarepa dihinggapi rasa bersalah yang mendalam. Sekaligus kesediaan untuk membayar kesalahan dengan
pengorbanan berharga berapa pun. Inilah bibit Milarepa berjalan ke dalam yang membuatnya menjadi salah satu orang suci yang amat dikagumi di Tibet. Lahan-lahan pertumbuhan lain lagi. Meminjam kalimat indah Kahlil Gibran, keseharian adalah tempat ibadah yang sebenarnya. Makanya suatu hari Guru Nanak yang memiliki murid Islam sekaligus Hindu yang sama banyaknya di India, ditanya mana yang lebih agung Islam atau Hindu. Dengan sejuk dan teduh Guru Nanak menyebutkan, baik Islam mau pun Hindu sama-sama kehilangan keagungan kalau umatnya tidak berbuat baik. Siapa saja yang mengisi hidupnya dengan kebaikan, ia sudah menyiapkan lahan subur. Akar pohon kedamaian adalah pikiran yang bebas dari penghakiman. Sebagaimana ditulis Ajahn Munindo dalam The gift of well–being : ‟until we enter this dimension, all our wise words will be mere imitation‟. Sebelum kita bebas dari penghakiman, maka kata-kata kita hanya barang tiruan hambar yang tidak bergetar. Makanya mereka yang berkarya dengan kualitas kenabian (prophetic) seperti Jalaluddin Rumi, Thich Nhat Han, Michael Naimy, Rabindranath Tagore, dengan kata-kata yang menggetarkan, semuanya sudah lewat dari kesukaan melakukan penghakiman. Dan siapa saja yang telah melewati ini tahu, betapa cepatnya pertumbuhan kemudian. Teknik yang tepat adalah batang pohonnya. Bertemu teknik yang terlalu maju, atau terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan, hanya akan membuat perjalanan hambar dan biasa. Sehingga layak disarankan untuk mencoba berbagai teknik, kemudian rasakan. Teknik mana pun yang menghadirkan rasa damai yang paling mendalam, bisa jadi itulah teknik yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan kini. Daun rimbun kedamaian muncul ketika perjalanan ke dalam mulai menyatu dengan keseharian. Seperti mandi, ada yang kurang kalau sehari tidak melakukan perjalanan ke dalam. Lebih dari itu, setiap kejadian dalam keseharian (yang menyenangkan sekaligus yang menjengkelkan) menghadirkan bimbingan-bimbingan. Bunga pohon kedamaian mulai bermekaran tatkala keseharian mulai menyentuh kedamaian. Hidup serupa dengan berjalan ke puncak gunung. Semakin lama semakin teduh dan sejuk. Ini baru bayangan bulan. Bila bayangannya saja demikian indah, betapa indahnya bulan kedamaian yang sebenarnya. Siapa saja yang tekun dan terus menerus menyentuh kedamaian, persoalan waktu akan melihat munculnya buah pohon kedamaian. Kedamaian yang berlawankan kesedihan memang menghilang, ia digantikan batin tenang seimbang yang keluar dari segala dualitas. Sejumlah sahabat Sufi yang sampai di sini berhenti memuji surga, berhenti mencaci neraka. Di Jawa disebut suwung. Di Bali diberi sebutan Embang (Sunyi). Orang Zen menyebutnya attaining the non attainment. Mencapai keadaan tanpa pencapaian. Yang membuat cerita pohon kedamaian ini jadi lebih utuh, Thomas Merton pernah mengungkapkan, pekerjaan manusia yang telah tercerahkan mirip dengan pohon. Dalam hening, dalam damai pohon mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang dihirup tidak terhitung jumlah mahluk. Peraih buah kedamaian juga serupa, ia tidak menikmati kedamaiannya sendiri. Dalam hening, dalam damai ia menghasilkan vibrasi kedamaian, yang serupa dengan oksigen kendati tidak terlihat, namun amat dibutuhkan oleh tidak terhitung jumlah mahluk. Sebagian orang-orang tercerahkan cara bernafasnya berbeda. Ketika menarik nafas, ia bayangkan sedang menarik
masuk semua kekotoran. Tatkala menghembuskan nafas, ia bayangkan sedang membuang semua hal yang bersih dan jernih.
Berjumpa Cinta Di Mana-Mana Cerita manusia adalah cerita derita, demikian bisik seorang kawan. Di Pakistan, belum lama Bhenazir Bhutto menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, lehernya sudah ditembus peluru sampai tewas. Di Kamboja, pendeta Buddha berkelahi dengan polisi. Amerika Serikat yang menjadi tauladan dunia menjadi penghalang kesepakatan untuk mengurangi dampak pemanasan global. Gempa, tsunami, kelaparan, mengunjungi semua pojokan bumi. Di negeri ini serupa. Banyak pemilihan kepala daerah berakhir rusuh. Kekerasan di kalangan remaja amat mengkhawatirkan. Di Bali, kadang kekerasan muncul bahkan ketika upacara dilaksanakan. Membaca tanda-tanda seperti ini, ada yang mengeluh, bila demikian bukankah hidup manusia sama dengan neraka? Entahlah, yang jelas wajah kehidupan yang terlihat tergantung pada siapa diri kita di dalam. Bila di dalamnya cinta, manusia berjumpa cinta di mana-mana. Jika di dalamnya kebencian, manusia menemukan kebencian di mana-mana. Membangun rumah cinta Dilihat dari segi bahan, manusia berbahankan cinta. 0rang tua berpelukan penuh cinta ketika manusia dibikin. Disusui Ibu penuh dengan pelukan cinta. Banyak ayah yang tidak jadi memasukkan makanan ke mulut, hanya karena mau berbagi cinta dengan anak. Makanan dan minuman manusia datang dari alam yang berlimpah cinta. Ada yang mengandaikan kehidupan sebagai hujan cinta yang tidak pernah berhenti. Cuman sebagian memayungi dirinya dengan keangkuhan, sehingga badannya kering dari hujan cinta. Dengah bahan seperti itu, bila outputnya kebencian, mungkin kita perlu merenungkan prosesnya. Perilaku kehidupan serupa matahari. Bila sudah waktunya terbit, ia terbit. Jika saatnya terbenam, ia terbenam. Dan di dalam pikiran yang dipenuhi rasa cinta, matahari akan disebut menerangi, memberi energi. Dalam pikiran yang penuh keluhan, ia diberi judul panas, sumber kekeringan, awal paceklik. Berdiri di atas kesadaran seperti inilah kemudian banyak guru sepakat, fondasi awal membangun rumah cinta adalah pikiran yang terawasi secara rapi. Ketika senang diawasi, tatkala sedih juga diawasi. Persoalan dengan banyak manusia, terlalu melekat dengan hal-hal yang menyenangkan, menolak yang menjengkelkan, bosan dengan hal-hal biasa. Karena yang menyenangkan berpasangan dengan hal-hal yang menjengkelkan (seperti malam berpasangan dengan siang), maka berputarlah kehidupan dalam siklus tanpa akhir: senang, sedih, bosan dan seterusnya. Inilah awal dari banyak kelelahan emosi. Sadar dengan akibat kelelahan inilah, kemudian sejumlah orang mengakhiri siklus terakhir hanya dengan mengamatinya. Being a compassionate witness, demikian saran seorang penulis meditasi. Lihat emosi dan pikiran yang naik turun seperti seorang nenek penuh cinta sedang melihat cucu-cucunya berlari ke sana ke mari. Semuanya sudah, sedang dan akan baik-baik saja. Atau lihat keseharian yang digerakkan senang, sedih, bosan seperti melihat aliran air di sungai. Kesenangan mengalir berlalu, kesedihan mengalir berlalu. Di atas siklus yang terawasi rapi ini, kemudian dibangun tiang-tiang keseharian yang banyak membantu. „Bila tidak bisa membantu cukup jangan menyakiti‟, demikian pesan sejuk
seorang Lama. Atap rumah cinta kemudian bernama kaya karena rasa berkecukupan. Dalam bahasa seorang bapak yang amat mencintai anaknya: „dalam rasa berkecukupanlah letak kekayaan teragung‟. Sebagai hasilnya, terbangunlah rumah-rumah cinta yang sejuk dan teduh. Agar rumahnya tidak pengap, ia memerlukan pintu dan jendela. Pintunya bernama deep listening. Jendelanya berupa loving speech. Sebagaimana sudah menjadi rahasia banyak terapis, kesediaan untuk mendengarkan adalah sebuah penyegar banyak kepengapan jiwa di zaman ini. Tidak sedikit pasien yang sudah mendapatkan sebagian penyembuhan hanya dengan didengarkan. Dan bila harus berbicara, berbicaralah dengan bahasa-bahasa cinta. Seorang sahabat dengan kata-kata yang berkarisma, pernah ditanya kenapa kata-katanya demikian berkarisma. Dengan tangkas ia menjawab, gunakan kata-kata hanya untuk membantu bukan untuk menyakiti. Kombinasi antara kesediaan mendengar dengan kata-kata yang penuh cinta inilah yang membuat rumah cinta dipenuhi udara segar. Meminjam hasil kontemplasi orang suci, bila ada waktu merenung renungkanlah kekurangankekurangan Anda. Jika ada waktu berbicara bicarakanlah kelebihan-kelebihan orang lain. Mendengar penjelasan seperti ini, ada yang bertanya, kalau demikian apa itu cinta?. The Book of Mirdad menulis: „cintamu adalah dirimu yang sesungguhnya‟. Dengan kata lain, di luar cinta adalah kepalsuan-kepalsuan. Laksanakan cinta, kemudian lihat bagaimana ia membuka keindahan dirinya. Kata-kata hanya penghalang pemahaman. Rumah cinta berjalan Di pulau Okinawa Jepang, pernah ada guru karate yang disegani. Di suatu latihan, muridnya bertanya apakah karate itu?. Dengan tersenyum ia menjawab: „karate means keep smiling in all situations„. Karate berarti tersenyum di semua keadaan. Dan tentu muridnya bingung. Hanya karena segan, kemudian ia diam. Sepulang latihan, murid ini menemui tentara Amerika mabuk yang mau membuat keributan di jalan. Murid karate ini panas. Begitu siap berkelahi, tiba-tiba gurunya muncul dengan penuh senyuman menyambut tentara-tentara tadi: ‟selamat datang di Okinawa, Anda pasti sudah menikmati keindahan Okinawa‟. Dan selanjutnya tidak saja perkelahian bisa dihindarkan, persahabatan dengan tentara Amerika juga berjalan baik-baik saja. Ini mungkin yang disebut dengan rumah cinta berjalan. Ia menjadi contoh nyata cerita di awal: „bila di dalamnya cinta, maka manusia berjumpa cinta di mana-mana‟. Berkaitan dengan momentum pergantian tahun, kebanyakan orang bertanya seberapa tua umur sekarang. Jarang yang mau bertanya, seberapa indah rumah cinta sekarang. Melalui tatapan mata suami, kesetiaan isteri, rasa hormat putera/puteri, perlakuan atasan, senyuman tetangga, jabat tangan bawahan, bantuan teman atau keluarga, senyuman orangorang yang pernah menyakiti, kita sedang melihat rumah cinta kita. Adakah ia lebih baik atau lebih buruk dari tahun lalu?. Perhatikan apa yang ditulis Thich Nhat Hanh dalam The diamond that cuts through illusion: „If you die with compassion in mind, you are a torch lightening our path„. Ia yang meninggal dengan cinta kasih, menjadi lilin penerang banyak perjalanan. Mungkin ini yang membuat Yesus Kristus tidak pernah berhenti menerangi banyak sekali perjalanan.
Damai dalam Setiap Langkah Di Bali ada cerita seorang anak yang pintar, cerdas, ganteng bernama Nyoman. Karena itu ia disayangi orang. Bosan dengan semua ini, ia datang ke hutan menemui penyihir. Dan diberilah Nyoman seruling waktu yang hanya bisa diputar ke depan. Dan mulailah ia bereksperimen. Pertama-tama ia putar ke masa remaja. Tidak berapa lama ia bosan, diputar lagi seruling waktunya ke masa tua. Ia lihat seorang ayah dengan seorang istri yang menua. Ini lebih membosankan lagi, ia putar ke masa lebih tua lagi. Dan di sini baru timbul penyesalan. Ada banyak momen kekinian yang lupa dinikmati. Masa kanak-kanak yang penuh tawa, masa remaja yang penuh persahabatan, masa kuliah yang penuh perdebatan. Dan menangislah Nyoman pergi ke hutan minta penyihir untuk mengembalikan hidupnya. Kalau boleh jujur, setengah lebih manusia berperilaku serupa Nyoman: buru-buru ke masa depan. Dan sesampai di sana, baru menyesal ada banyak masa kini yang sudah jadi masa lalu lupa dinikmati. Manusia cerdas dan keras sekali mempersiapkan diri menyongsong masa depan. Namun sering gagal menikmati dan mensyukurinya. Dalam bahasa kawan yang suka mengeluh, dulu tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Sekarang juga tidak bisa makan enak karena keburu stroke. Bangsa ini serupa. Pengap dengan orde lama kemudian ia ditumbangkan, datanglah orde baru. Orde terakhir serupa, nikmatnya sebentar, lagi-lagi harus ditumbangkan diganti orde reformasi. Ada tanda-tanda kuat, inipun sudah membawa kebosanan banyak orang. Peradaban manusia setali tiga uang. Bergerak dari satu kebosanan ke kebosanan lain: perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin antara dua negeri adi kuasa, hantaman bom teroris. Hari ini sebagai hadiah Mungkin karena lelah dengan kehidupan yang terus berkejaran ke masa depan, kemudian banyak guru meditasi mengajari muridnya berpelukan dengan masa kini. Dan tidak perlu menunggu dengan syarat yang berat dan sulit, dengan badan sekarang, umur sekarang, kekayaan materi sekarang belajarlah memeluk semuanya dengan senyuman dan persahabatan. Sebagaimana telah dibuktikan, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan senyuman dan persahabatan dibandingkan dengan kemarahan dan kebencian. Makanya, tidak sedikit penulis (sebagai contoh Spencer Johnson dalam bukunya berjudul The Present) menyimpulkan kalau hari ini sama dengan the present (hadiah). Suami, istri, anak-anak, orang tua, rumah, pekerjaan, kesehatan sekarang, memang tidak sempurna, namun semuanya menunggu untuk disyukuri. Indonesia sebagai rumah banyak manusia juga tidak sempurna. Namun ia menyisakan berlimpah hal yang layak disyukuri. Dari matahari terbit dan terbenam membawa keindahan, dengan pendapatan sedang-sedang saja sudah bisa menggaji pembantu lebih dari seorang, godaan bencana sering kali membukakan bukti kalau manusia Indonesia masih peduli dan punya hati.
Ada sahabat yang berfantasi seperti ini. Andaikan kita tersesat di luar angkasa, mimpi terindah yang ingin segera terealisasi adalah melangkahkan kaki di planet indah bumi ini. Pakistan boleh bergelora dengan politiknya, Timur-Tengah dengan Israel boleh masih berseteru, namun di sini di bumi ini masih tersedia berlimpah hal yang layak disyukuri. Pernafasan adalah keindahan Ada yang bertanya, kalau demikian kenapa begitu susah menikmati masa kini? Bila diibaratkan rumah, tubuh manusia berisi demikian banyak jendela terbuka. Mata, telinga, mulut, hidung, pikiran, keinginan, perasaan terbuka setiap hari tanpa dijaga. Sudah terbuka tanpa penjaga, kita membiarkannya menonton acara-acara menakutkan di televisi, mendengarkan dialog penuh kekerasan di radio. Dan jadilah kehidupan seperti rumah berantakan. Dengan pemahaman mendalam akan hal inilah kemudian banyak orang menjaga jendelajendela kehidupannya dengan penjaga yang bernama kesadaran dan kewaspadaan. Dan mengaktifkan penjaga ini amat dan teramat sederhana, murah meriah. Hanya dengan memperhatikan nafas. Bagi siapa saja yang perjalanan meditasinya sudah jauh, akan tahu ketika manusia rajin memperhatikan nafas, tidak saja penjaga bernama kesadaran dan kewaspadaan mulai bekerja, namun juga menemukan ada yang indah dalam bernafas penuh kesadaran: berpelukan dengan masa kini yang abadi!. Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang, kedua-duanya tidak dalam genggaman. Satu-satunya waktu kehidupan yang menyediakan dirinya untuk bisa dipeluk adalah masa kini. Dan untuk memeluknya, ia sesederhana tersenyum, lihat, nikmati, syukuri udara masuk dan keluar melalui lubang hidung. Akan lebih mudah lagi melakukannya kalau seseorang sudah bisa semengagumkan Jalalludin Rumi: all are sent as guides from the beyond. Semua yang terjadi membawa bimbinganbimbingan dan tuntunan-tuntunan. Sukses indah, gagal juga indah. Bukankah kegagalan memberi tahu batas-batas kemampuan diri? Disebut suci baik, disebut munafik juga baik. Bukankah sebutan munafik membuat kita jadi rendah hati? Semuanya menyediakan tuntunan-tuntunan. Bila begini cara memandangnya, maka menyatu dengan masa kini yang abadi, bisa dilakukan dengan lebih mudah sekaligus indah. Ketenangan membuat semuanya lebih menawan. Dan ini tidak hanya bisa dilakukan di ruang meditasi. Dari membuka mata di pagi hari, menyatu dengan air yang mengucur dari wastafel, tersenyum pada kemacetan, memimpin rapat, pulang memeluk pipi orang rumah. Inilah yang disebut damai dalam setiap langkah. Dalam bahasa Dalai Lama, transformasi kedamaian dunia melalui kedamaian diri memang sulit tapi itu satu-satunya cara. Untuk itulah perlu melengkapi keindahan pernafasan dengan kesadaran dalam setiap kontak. Tatkala mata mengalami kontak (misalnya melihat orang menjengkelkan), ia menimbulkan perasaan tertentu. Latihannya kemudian, perasaan ini bersahabat dengan kewaspadaan atau bersahabat dengan kebodohan. Diterangi kesadaran dan kewaspadaan, setiap langkah menjadi langkah kedamaian sekaligus langkah kesucian. Thich Nhat Hanh tidak memiliki saingan dalam hal ini. Dalam sejumlah karyanya (dari Present moment wonderful moment sampai Peace is every step), ia senantiasa
menggaris bawahi pentingnya kedamaian saat ini. Di mana pun penulis ini akan terdiam sebentar, menarik nafas, terhubung dengan kekinian setiap mendengar bunyi bel. Di ruangan meditasinya di desa Plum Perancis ia menulis: bernafaslah, engkau masih hidup!
Taman Kedamaian Indah Menawan Di suatu waktu, ada tikus serakah yang menjumpai penyihir. Terganggu oleh ulah kucing, ia minta dirinya diubah jadi kucing. Baru sehari jadi kucing, ia sudah tidak puas, memohon pada penyihir biar dirubah jadi anjing karena terganggu oleh anjing. Sehari kemudian karena dikejar serigala, ia minta berubah lagi serigala. Satu hari berikutnya karena serigala ini dikejar harimau, ia minta disihir biar jadi harimau. Ketika menjadi harimau, keserakahannya memuncak, ia mau memakan penyihir agar hidupnya tidak berubah-ubah lagi. Dan marahlah penyihir, dikembalikanlah tikus ini menjadi tikus kembali. Kalau boleh jujur, nasib banyak manusia serupa tikus tadi. Keserakahan membuat hidup manusia berkejaran, berkejaran dan berkejaran. Selalu mengira rumah ada di depan. Ketika sekolah dasar mengira sekolah menengah pertama enak. Tatkala sekolah menengah pertama menduga sekolah menengah atas yang indah. Di bangku kuliah menghayal dunia kerja yang menawan. Sesudah kerja dan banyak stres berfantasi pensiunlah istirahat sebenarnya. Setelah pensiun kehilangan rasa hormat orang, penghasilan berkurang, sakit-sakitan. Sehingga menimbulkan pertanyaan, di mana rumah kedamaian yang sesungguhnya? Setelah dikejar-kejar demikian banyak orang, dicari-cari melalui segudang materi, digali-gali melalui banyak buku suci, tetap saja manusia berkejaran, berkejaran dan berkejaran. Doggy mind, lion mind Di negara-negara Barat umumnya, banyak orang menyukai memelihara anjing. Tidak saja menjadi penjaga, anjing juga menjadi sahabat. Permainan yang kerap dilakukan bersama anjing adalah melemparkan plastik dicat mirip tulang berisi daging. Kemana pun daging palsu ini dilempar, ke sanalah anjing mengejarnya. Serupa dengan anjing yang mengejar daging palsu, kehidupan sebagian manusia juga berlarian ke sana ke mari mengejar kepalsuan. Uang bukan, jabatan bukan, rumah bukan, mobil bukan. Tiba-tiba sudah tua dan sakit-sakitan. Dalam meditasi, orang-orang seperti ini akan berputar-putar ke sana ke mari dibawa pikirannya. Tambah keras ia berusaha, tambah keras putaran pikirannya. Ini yang disebut doggy mind. Berbeda dengan anjing, singa secara mudah bisa membedakan daging palsu dengan daging asli. Tidak saja tidak lari ke sana ke mari, namun dengan tenang ia menatap semuanya tanpa ketakutan. Itu sebabnya singa kerap digunakan simbol pencerahan karena diam tenang tidak menakuti apa-apa. Termasuk tidak menakuti kematian. Hal yang sama juga terjadi dengan orang-orang yang perjalanan latihannya sudah jauh. Para master badannya memang menua, tatkala putaran waktunya sakit ia pun sakit, bila saatnya tiba untuk meninggal ia juga meninggal. Bedanya yang mengagumkan, para master menjalani semuanya dengan ketenangan sempurna. Makanya banyak guru menegaskan, hasil latihan adalah boundless capacity to suffer. Kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas. Ini yang kerap disebut lion mind. Rumah yang sesungguhnya
Sharon Salzberg pernah mengumpulkan pengalaman-pengalaman guru meditasi yang perjalanan latihannya sudah jauh. Dari Joseph Goldstein, Jack Kornfield, Larry Rosenberg yang terkenal, Kamala Masters yang ibu rumah tangga biasa, Bhante Gunaratana yang sudah berpraktek lebih dari lima puluh tahun, sampai dengan Ajahn Sumedo yang guru. Dalam karya indah berjudul Voices of insight, terlihat jelas bagaimana orang-orang berlatih itu hidupnya berbeda: tenang, damai, tenteram, bebas! Ada yang ditarik oleh meditasi karena ingin berjumpa diri sesungguhnya, ada karena dihempaskan kehidupan lewat godaan dan cobaan, ada juga bermeditasi karena mendalami kehidupan suci. Namun apa pun latar belakangnya, tetap diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk senantiasa berlatih, berlatih dan berlatih. Bedanya dengan orang kebanyakan yang dibuat amat sibuk oleh seluruh keriuhan kehidupan luar (dengarkan radio, nonton televisi, berdebat), penekun-penekun meditasi memusatkan seluruh perhatiannya pada semesta di dalam diri. Perhatikan hasil perenungan dalam dan mengagumkan mistikus sufi abad tiga belas bernama Jalaludin Rumi dalam salah satu maha karyanya berjudul The guest house. Hidup ini serupa dengan rumah penginapan. Setiap hari ada saja yang datang silih berganti. Kebahagiaan, kesedihan, pujian, cacian. Belajarlah tersenyum ramah pada semuanya. Bahkan pada petaka, bencana, kematian sekali pun. Sebab semuanya menghadirkan bimbingan-bimbingan sekaligus tuntunan-tuntunan. Semuanya menggoreskan makna. Tidak kebayang indah dan bebasnya kehidupan ala Jalaludin Rumi. Sekaligus memberikan bayangan, inilah rumah kedamaian yang sesungguhnya, rumah untuk semua. Bagi manusia kebanyakan, senyuman baru hadir ketika tamu kehidupan adalah kebahagiaan, pujian. Dan penolakan, kemarahan bahkan penghakiman mudah sekali muncul tatkala tamunya adalah kesedihan, rasa sakit, makian. Itu sebabnya praktisi-praktisi meditasi yang sudah berjalan teramat jauh, berfokus hanya pada satu hal: the unbroken continuity of mindfulness. Apa pun yang terjadi, semuanya dilihat dengan penuh kesadaran. Sebagaimana Rumi, punya uang senyum, punya hutang senyum, dibilang baik senyum, disebut munafik senyum. Seorang cucu bertanya ke neneknya ketika kesedihan membuat keyakinannya akan Tuhan jadi mengendur. Dengan lembut nenek penyabar sekaligus bijaksana ini bertanya: di buku suci mana ditulis kalau Tuhan hanya hadir dalam kebahagiaan? Dalam khotbah Buddha yang mana disebutkan kalau penderitaan hanyalah sampah yang layak dibuang? Cerita nenek ini serupa dengan pengalaman mistikus sufi Hazrat Hinayat Khan. Suatu hari Khan menjumpai Kekasih Yang Maha Mencintai. Dengan bersujud pencinta ini berbisik: „Engkau yang mengirim musibah buat orang jahat, Engkau juga yang memberi berkah pada orang baik‟. Dalam senyum lembut dikulum Kekasih ini menjawab: „bukan, sekali lagi bukan, orang jahat mengundang musibahnya sendiri, orang baik menarik berkahnya sendiri‟. Belajar dari respon indah Kekasih yang pernah dijumpai Khan, rumah kedamaian sesungguhnya adalah tempat di mana semuanya diterima dengan senyuman. Semuanya sudah ada hukumnya, sesederhana menyentuh air kemudian basah, menyentuh api kemudian terbakar. Tatkala semuanya bermandikan senyuman, kesadaran kemudian membimbing manusia menjumpai taman kedamaian indah menawan. Bukannya serba membahagiakan, namun serba senyuman.
Di taman kedamaian ini, setiap pagi manusia bergumam tenang, ada 24 jam yang segar menunggu untuk diisi dengan senyuman, karena senyuman membantu kita memasuki hari dengan kelembutan, dengan pengertian.
Pembawa-pembawa Cahaya Di pinggiran danau Toba, dari arah pusat rekreasi Taman Simalem (dekat Banjae), tidak saja alam sedang melukis keindahan, tetapi juga melukis kesempurnaan. Bayangkan, pulau Samosir dari kejauhan dipeluk oleh kelembutan danau Toba. Dan pelukan lembut antara bukit dan danau ini ditandai oleh sinar sejuk matahari yang menerangi. Bagi siapa saja yang dibekali cukup kepekaan, tempat-tempat seperti ini serupa dengan buku tua makna yang terbuka. Ia amat rindu untuk dibaca. Danau dengan airnya adalah simbolik kelembutan. Gunung dengan batu-batunya adalah wakil ketegasan. Ketika keduanya berpelukan dengan penuh kemesraan, ia menghasilkan cahaya terang kesejukan. Ia seperti sedang mau berpesan pada manusia (khususnya pemimpin), jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri, selembut air dalam melayani orang lain. Dan sebagai hasilnya, engkau pun jadi bercahaya penuh kesejukan. Bunga-bunga mekar nan indah di pinggir danau sebagai contoh lain, ia seperti tersenyum memanggil, hai manusia tersenyumlah. Karena dalam senyumanlah letak kebahagiaan. Dalam senyuman itulah tersembunyi persahabatan dengan kehidupan. Lebih mudah menemukan kedamaian melalui persahabatan dibandingkan permusuhan. Ia yang mau mendengar lebih dalam lagi, akan dapat pelajaran, ada bunga dalam sampah, ada sampah dalam bunga. Tidak mungkin ada bunga tanpa pupuk yang kerap disebut sampah. Dan bunga mana pun yang mekar hari ini, akan menjadi sampah beberapa hari kemudian. Ini juga terjadi dalam kehidupan manusia. Ada kemenangan dalam kekalahan. Ada kekalahan dalam kemenangan. Ketika manusia kalah kemudian tidak bikin ulah, ia sebenarnya sedang memenangkan kemulyaan-kemulyaan dirinya. Kemenangan manusia mana pun akan selalu berakhir dengan kekalahan seperti pensiun. Betapa indahnya pesan-pesan alam seperti ini. We are what we choose Tidak banyak orang yang terhubung rapi dengan alam, terutama karena frekuensi batinnya berbeda dengan frekuensi alam. Batin kebanyakan manusia ditandai oleh terlalu banyak ketidaktenangan (marah, serakah, protes, benci), sementara alam sepenuhnya tenang sempurna tanpa gangguan. Bila boleh membandingkan dengan televisi, batin seperti televisi dengan ribuan saluran. Kemarahan adalah sebuah saluran. Ketenangan adalah saluran yang lain. Sengaja maupun tidak sengaja, kitalah yang memilih saluran-saluran itu. Tatkala dipuji, orang bisa memilih saluran congkak, atau memilih saluran rendah hati. Ketika dimaki, manusia bisa memilih saluran membalas memaki balik, atau memilih saluran kesadaran bahwa orang yang memaki sedang membutuhkan welas asih kita. Yang jelas, bukan makian orang yang menghancurkan, namun konsekwensi dari memilih saluran kemarahanlah yang menghancurkan. Dengan demikian, bila sejumlah psikolog memiliki rumus we are what we think, dalam jalur pemahaman ini menjadi we are what we choose. Kita menjadi sebagaimana pilihan-pilihan kita dalam keseharian. Catatannya kemudian, ada yang memilih dengan kesadaran yang terang, ada yang memilih karena diarahkan oleh kegelapan hawa nafsu.
Itu sebabnya manusia-manusia yang perjalanan doa dan meditasinya telah jauh, berlatih keras untuk mengelola hawa nafsu, dan pada saat yang sama bekerja keras menghidupkan cahaya kesadaran. Apa pun yang terjadi dengan orang-orang jenis ini, ia selalu memilih kesadaran yang terang, menjauh dari kegelapan hawa nafsu. Ciri lain dari pejalan kaki di jalan ini, ia tidak saja tersenyum dengan bibirnya, ia juga tersenyum dengan matanya (baca: memandang semuanya dengan spirit pengertian, penerimaan dan persahabatan). Makanya ada yang menasehatkan, less thinking more smiling. Dengan pikiran, manusia mudah sekali tergelincir ke dalam penghakiman dan kemudian penderitaan. Melalui senyuman semuanya dipeluk dengan kelembutan, dan ini kemudian menghadiahkan kebahagiaan, kedamaian dan keheningan. Segenggam puisi, sekeranjang matahari Siapa saja yang rajin berlatih menerangi diri dengan kesadaran, menjauh dari hawa nafsu, hidup menjadi segenggam puisi dan sekeranjang matahari. Segenggam puisi karena semuanya bermakna. Lebih dari bermakna, ia sudah dalam genggaman (baca: menjadi kekuatan yang membimbing pilihan dalam keseharian). Sekeranjang matahari karena maknamakna ini sudah bisa dibawa kemana-mana sebagai cahaya yang menerangi perjalanan. Tidak ada lagi tersisa kegelapan dengki, sakit hati dll. Semuanya terang benderang. Kesuksesan adalah puisi, kegagalan juga puisi. Pujian adalah puisi, makian juga puisi. Kesucian adalah puisi, kekotoran juga puisi. Disebut puisi karena semuanya kaya makna. Bila makna-makna ini menjadi pedoman keseharian, ia berubah menjadi matahari kesadaran yang menerangi. Kehidupan boleh digantikan kematian. Keterkenalan boleh berubah menjadi ketidakterkenalan. Pujian boleh disubstitusi cacian. Namun cahaya kesadaran tetap bersinar. Persis seperti cahaya matahari yang sebenarnya. Tanpa membeda-bedakan, demikianlah kesadaran melaksanakan tugasnya. Barbara Marciniak dalam Bringers of the dawn, yang mengaku dapat inspirasi salah satunya di Bali, lebih konkrit dalam hal ini. Cermati salah satu kesimpulannya: “Emotions are a source of food. This is how you nourish yourself“. Keadaan emosi (senang-sedih, gembiramarah) adalah makanan berguna. Beginilah bibit-bibit di dalam disirami. Bila kebanyakan orang membenci emosi negatif seperti marah, di jalan ini semua emosi (positif-negatif) adalah petunjuk jalan. Makanya Barbara Marciniak menulis: “anger serves a purpose“. Kemarahan hanyalah pelayan, bukan penguasa menentukan, namun ia membantu pencapaian tujuan. Ini mudah dimengerti. Kemarahan adalah sejenis kegelapan. Marah pada kemarahan sama dengan menambahkan kegelapan pada kegelapan. Tersenyumlah pada kemarahan. Sadari ketika hadir, sekaligus waspada untuk tidak mengikuti kemauannya. Setelah itu, terlihat kemarahan sebenarnya memberi tanda-tanda. Setidak-tidaknya jadi tahu kalau di dalam sini masih ada noda. Di luar sana, ada orang atau keadaan yang perlu diwaspadai. Perhatikan nasehat Barbara berikutnya: “Be kind when you speak of the forces of darkness. Do not speak as if they are bad. Simply understand that they are uninformed” Bersikaplah baik bila berjumpa kekuatan-kekuatan kegelapan. Mereka tidak jahat, hanya belum tahu saja.
Ia yang menerangi kesehariannya dengan kesadaran dari dalam seperti ini, sebenarnya juga Bringers of the dawn. Sekumpulan pembawa cahaya di tengah-tengah pekatnya kegelapan kemarahan, keserakahan, kebencian, kebingungan, ketidakpuasan. Bersama-sama kita doakan, semoga semua mahluk berbahagia.