ANALISIS PEMETAAN DAN PENANGGULANGAN PERMASALAHAN PELAKU EKONOMI LEMAH (UMKM) TERHADAP PENINGKATAN DAYA SAING USAHA DALAM MEMANFAATKAN POTENSI EKONOMI LOKAL DI KABUPATEN BEKASI
Rusham
ABSTRACT The story of the failure of programs designed and funded by the government and the World Bank, also occurred in the village of Cash for Work-Integrated Area Development (PKD-PWT) in NTT, South Sulawesi, North Sulawesi and NTB and PDMDEK program in West Java. PKD-PWT program distributed cash assistance amounting to 50 million dollars to every village and go directly to the account of the Village Implementation Team (TPD). The number of villages that assisted with this program reached 1,957 villages. The program is a failure, because the process of planning, execution and delivery of benefits to the village, is dependent upon the TPD. While PDMDEK in West Java, failed due to revolving funds provided to each village as much as 14 million dollars per village, used by the community for the purpose of consumption. Looking at some of the problems faced by these communities, the weak economy has a great power to raise revenue (income) per capita public, but an increase in revenue in this sector should not be decided on the issue of capital alone, but there are several other important issues to be addressed by the weak economy, among other institutional issues, human resources (HR), production, marketing, finance, and partnerships with large businesses. With the study Countermeasures Analysis and Mapping Weak Economy in Bekasi, then the result is expected to help governments and communities to overcome the problems faced by the weak economy and SMEs. On their next turn is expected to play a greater role in boosting the real sector by partnering efforts with existing industrial areas in Bekasi. Keywords: Analysis and Mapping, Weak economy, Kabupaten Bekasi 1. LATAR BELAKANG Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi untuk meningkatkan peran Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UMKM) perlu ditindaklanjuti dengan analisis dan pemetaan penanggulangan ekonomi lemah. Hal ini berkaitan dengan upaya menggerakkan sektor riil, sehingga ekonomi lemah dapat menjadi lebih kuat dan dapat berperan sebagai mitra bagi usaha menengah dan besar. Ekonomi lemah dapat ditingkatkan peranannya apabila peta permasalahan yang dialaminya dapat diidentifikasi kemudian dibantu dengan program penanggulangan secara komprehensif sehingga pertumbuhannya dapat dirasakan oleh masyarakat paling bawah khususnya masyarakat pedesaan di Kabupaten Bekasi. Permasalahan yang sering dihadapi oleh ekonomi lemah adalah masalah permodalan, oleh karena itu perlu pengkajian yang lebih mendalam untuk mengidentifikasi dan memetakan kondisi dan permasalahan utama yang sebenarnya. Selama ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan, didesain secara sentralistik oleh pemerintah pusat yang diwakili BAPPENAS. BAPPENAS merancang program penanggulangan
kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan multinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran tersebut, pemerintah pusat menjalankan kebijakan sentralistik dengan program-program yang bersifat karitatif. Sejak tahun 1970-an sampai sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai objek dari seluruh proyek penanggulangan kemiskinan. Adapun kebijakan pemerintah pusat untuk menjalankan program penaggulangan kemiskinan antara lain berbentuk: 1) Menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya; 2) Mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara gratis kepada penduduk miskin; 3) Mengusahakan pelayanan kesehatan yang memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan obat-obatan melalui PUSKESMAS; 4) Mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; 5) Menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin; 6) Memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; 7) Mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; 8) Menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya, dan sebagainya. Berbagai program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut, lebih banyak menuai kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Program Kredit Usaha Tani (KUT) misalnya, merupakan salah satu di antara serangkaian program pemerintah yang terbaru, yang menuai kegagalan. Program ini menempatkan Bank, Koperasi, LSM dan kelompok tani hanya sebagai mesin penyalur kredit, sedangkan tanggungjawab kredit terletak di tangan Departemen Koperasi. Pada tahun 1998, plafon KUT mencapai 8,4 triliun rupiah naik 13 kali lipat dari sebelumnya. Para petani menyebut program ini sebagai “kesalahan bertingkat enam” dikarenakan oleh: 1) Pelaksanaan KUT tidak benar-benar memberdayakan petani; 2) Mesin penyalur KUT (LSM, Bank, Koperasi), ditunjuk tidak diseleksi secara ketat; 3) Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dibuat secara serampangan, banyak fiktifnya; 4) Kredit diberikan kepada siapa saja termasuk nonpetani, sehingga kurang tepat sasaran; 5) Tidak ada pengawasan dalam penyaluran, penerimaan dan penggunaan kredit; 6) Dana penyaluran banyak bocornya, mulai dari Departemen Koperasi, hingga ke KUD. Akibatnya per September 2004, tunggakan KUT mencapai 6,169 triliun rupiah atau 73,69% dari realisasi kredit yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat melalui Koperasi. Sejak tahun 2004, program KUT yang dianggap gagal total diganti pemerintah dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi lagi-lagi mengalami kegagalan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit. Dari plafon sebesar 2,3 triliun rupiah, sampai Maret 2004 baru terrealisasi 3,85 miliar rupiah atau 1,57%. Akibatnya, terjadi kelangkaan kredit usaha tani di desa. Di samping program KUT dan KKP juga ada Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan modal dan pengadaan infrastruktur. Inti dari program ini adalah perencanaan yang melibatkan masyarakat, laki-laki dan perempuan, termasuk masyarakat miskin. Program ini dirancang melalui mekanisme musyawarah mulai dari tingkat dusun hingga ke tingkat kecamatan. Pelaksanaan program didampingi oleh seorang fasilitator kecamatan, dua orang fasilitator desa, satu laki-laki, satu perempuan di tiap desa, juga dibantu lembaga pengelola yaitu Unit Pengelola Keuangan (UPK) di kecamatan yang melibatkan LMD. Program ini di beberapa daerah mengalami kegagalan, karena tidak adanya perencanaan yang matang dan juga kuranya transparansi penggunaan dan alokasi anggaran kepada masyarakat desa. Kisah kegagalan program yang dirancang dan didanai oleh pemerintah dan Bank Dunia, juga terjadi dalam Program Padat Karya Desa-Pengembangan Wilayah Terpadu (PKD-PWT) di NTT , Sulawesi Selatan, NTB dan Sulawesi Utara serta program PDMDEK di Jawa Barat. Program PKD-PWT membagikan uang bantuan sebesar 50 juta rupiah kepada setiap desa dan langsung disalurkan ke rekening Tim Pelaksana Desa (TPD). Jumlah desa yang dibantu dengan program ini mencapai 1.957 desa. Program ini mengalami kegagalan, karena proses perencanaan, pelaksanaan dan penyaluran bantuan kepada desa, sangat tergantung kepada TPD. Sementara PDMDEK di Jawa Barat, mengalami kegagalan karena dana bergulir yang diberikan kepada masing-masing desa sebanyak 14 juta rupiah per desa, digunakan masyarakat untuk tujuan konsumtif. Melihat beberapa permasalahan yang dialami oleh masyarakat ini, maka sektor ekonomi lemah memiliki kekuatan besar untuk meningkatkan pendapatan (income) perkapita masyarakat, namun peningkatan pendapatan pada sektor ini tidak harus diputuskan pada masalah permodalan saja, tetapi terdapat beberapa persoalan lain yang cukup penting untuk diatasi oleh ekonomi lemah ini, antara lain masalah kelembagaan, sumber daya manusia (SDM), produksi, pemasaran, keuangan, dan kemitraan dengan usaha besar. Dengan adanya kajian Analisis dan Pemetaan Penanggulangan Ekonomi Lemah di Kabupaten Bekasi, maka hasilnya diharapkan mampu membantu pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh ekonomi lemah dan UMKM. Pada giliran selanjutnya mereka diharapkan dapat lebih berperan dalam menggerakkan sektor riil dengan bermitra usaha dengan kawasan industri yang ada di Kabupaten Bekasi. 2. METODE PENELITIAN Pelaksanaan pekerjaan penyusunan Analisis dan Pemetaan Penanggulangan Ekonomi Lemah Sektor UMKM di Kabupaten Bekasi dilaksanakan dengan berbagai tahapan pelaksanaan pekerjaan yang disesuaikan dengan kondisi eksisting yang ada.
Gambar 1.1 Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan Identifikasi dan Pemetaan serta penanggulangan ekonomi lemah sektor UMKM di Kabupaten Bekasi
Kondisi Eksisting GOLEK Kab. Bekasi
Identifikasi dan klasifikasi datadata sesuai kebutuhan
Data Skunder
Data primer
Pengumpulan data
Analisa data
Kesimpulan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis dan Solusi Kelembagaan Kelembagaan Kategori UMKM didominasi oleh Sektor Informal yaitu sekitar 85% sementara terkategori Sektor Formal seperti Koperasi dan Persero (CV, PT) hanya sekitar 15%. Sesuai dengan cirinya sebagai Sektor Informal maka yang ber-Badan Hukum hanya sekitar 7,8% dan yang memiliki NPWP (pembayar pajak hanya sekitar 9,3%. Umumnya UMKM melakukan aktifitas untuk memproduksi barang (72,0%) dan selebihnya yaitu 28,0% memproduksi jasa. Aset yang dimiliki berupa tanah, bangunan, dan peralatan dengan nilai yang bervariasi dari Rp 1.800.000,- sampai Rp 175.000.000.000,- atau rata-rata sekitar Rp 172.023.077,-. Hal ini mengindikasikan dua sisi, sisi pertama menggambarkan kelemahan di bidang ekonomi, namun sisi lainnya memperlihatkan bahwa UMKM mempunyai potensi untuk dikembangkan karena telah memiliki aset yang dapat terukur. Indikasi tersebut diperlihatkan pula oleh omset usahanya yang berkisar antara Rp 200.000,- saja per bulan sampai Rp 350.000.000,- per bulan atau rata-rata
Rp 16.941.759,- per bulan. Nilai omset ini menunjukan bahwa ada kegiatan ekonomi cukup berarti yang diperankan oleh UMKM. Pelaku Usaha Dan Pekerja UMKM digeluti oleh pelaku dari berbagai usia mulai dari 26 tahun sampai 67 tahun atau rata-rata pada usia produktif yaitu 41 tahun. Selain itu UMKM juga dapat melibatkan pelaku dari berbagai tingkat pendidikan, mulai dari Tidak Lulus SD (23.33%), yang terbanyak SD 26.67%), SLTP (6.67%), SLTA (16.67%), bahkan tetap diminati oleh Lulusan Perguruan Tinggi (20.00%). Namun pelaku didominasi oleh kaum laki-laki yang mencapai 93.33% baru oleh kaum perempuan yaitu 6.67%. Para pelaku dapat dikatakan cukup berpengalaman dalam bidang usahanya yaitu rata-rata telah berusaha selama 8,75 tahun (berkisar 4 bulan sampai 41 tahun). Mereka juga umumnya telah mempunyai pengalaman berusaha lebih dari satu kegiatan usaha. Pendapatan pelaku usaha sangat bervariasi mulai dari pendapatan yang cukup minim yaitu hanya Rp 200.000,- per bulan sampai pendapatan yang tergolong tinggi yaitu Rp 30.000.000,- per bulan, dan rata-rata mencapai Rp 2.580.000,- per bulan. Aspek-Aspek Pekerja Ketenagakerjaan UMKM mampu menyerap tenaga kerja sekitar 1 – 10 orang atau rata-rata 3 orang per unit usaha. Selain itu UMKM juga mampu mendayagunakan tenaga kerja dari kedua gender lakilaki dan perempuan. Hanya sebanyak 46,67% yang mensyaratkan pekerjanya harus laki-laki, sementara sebanyak 16,67%. % bisa dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Para pekerjanya diharuskan sudah terampil/berpengalaman (28,7%) namun bisa pula dilakukan oleh yang belum terampil/belum berpengalaman (14,0%). Batas usia dipertimbangkan dalam menerima pekerja yaitu sekurang-kurangnya 15 tahun dipersyaratkan oleh 13,5% UMKM, tidak terlalu tua atau maksimal 40 tahun dipersyaratkan oleh 10,8% UMKM. Seperempat dari UMKM yang diamati (33.33%) telah menyadari akan pentingnya pelatihan bagi pekerjanya. Pelatihan dilakukan atas inisiatif sendiri dengan menugaskan pekerjanya yang telah berpengalaman (24.14%), bahkan adanya yang menyewa tenaga ahli untuk memberikan pelatihan (10.34%). Namun pelatihan masih dilakukan sangat terbatas yaitu hanya rata-rata 2 kali per tahun atau berkisar 0 – 12 kali per tahun dengan pengertian bahwa ada yang sama sekali tidak menyelenggarakan pelatihan, dan ada yang menyelenggarakan pelatihan sebanyak 12 kali per tahun atau tiap bulan. UMKM memberi imbalan upah kepada pekerja dengan berbagai sistem atau cara. Namun pada umumnya Sistem Bulanan (40%), diikuti dengan Sistem Harian (10%), dan ada pula yang mengupah dengan Sistem Mingguan (3.33%). Selain itu ada pula sistem lain yang digunakan adalah kombinasi dari sistem-sistem di atas, kontrak kerja, borongan atau pengupahan sesuai dengan pemberian pekerjaan – yang meliputi 46,6 %. Tingkat upah yang dibayarkan pada UMKM masih sangat beranekaragam. Pada batas terendah tergolong cukup minim yaitu Rp 10.000,- per hari; Rp 30.000,- per minggu; dan Rp 150.000,- per bulan. Di sisi lain dijumpai pula tingkat upah yang cukup tinggi yaitu Rp 80.000,per hari; Rp 300.000,- per minggu; bahkan dijumpai upah yang mencapai Rp 6.000.000,- per bulan. Masih sedikit UMKM yang memberikan fasilitas asuransi pada pekerjanya, yaitu hanya 3.33%, dan ada pula yang telah menyediakan tunjangan kesehatan bagi pekerjanya (20%), pada istri (3.33%) dan pada anak (3.34%). Sebagian kecil UMKM sudah memperhatikan masalah keselamatan dan sanitasi kerja dengan cara memberikan penyuluhan/pelatihan (13.33%), menyediakan pakaian dan perangkat kerja (16.67%), dan menyediakan alat pelindung di tempat kerja (13.33%).
Masalah hak-hak pekerja belum sepenuhnya menyentuh UMKM karena hanya sekitar 13.33% pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja dengan cara membentuk sendiri (11.11%) atau menginduk pada serikat pekerja yang sudah ada (3.70%). Demikian pula halnya dengan koperasi pekerja, hanya 6,90% yang menyatakan menjadi anggota koperasi pada umumnya dengan cara membentuk sendiri (7.69%) dan menginduk pada koperasi yang ada (0,8%) B. Analisis Kondisi Produksi UMKM Ketersediaan Bahan Baku Jenis bahan baku yang sulit diperoleh para UMKM secara umum adalah pupuk, obatobatan dan berbagai bibit. Meskipun jika dilihat asal bahan baku yang sulit diperoleh tersebut 15.5% berasal dari sekitar Kecamatan dan 29.5% berasal dari sekitar Kabupaten, sedangkan 6.2% dari sekitar Propinsi dan 0.8% berasal dari luar Propinsi. Bahan baku yang sulit diperoleh tersebut pada saat ini hanya dapat dibeli pada sekitar tempat usaha yaitu sebesar 16.3% dan 17.8% sekitar Kabupaten, sedangkan sekitar Propinsi 6.2% dan 0.8% di luar Propinsi. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum para UMKM cukup mengalami kesulitan dalam penyediaan bahan baku. Cara penyediaan bahan baku pada UMKM yang diamati, sebagian besar menggunakan sistem pembelian tunai melalui eceran yaitu sebesar 42.6 %, dan tunai dalam jumlah besar 17.1%. sebesar 10.1% penyediaan bahan baku dengan cara memesan sedangkan 5.4% karena pembibitan sendiri maupun karena bantuan dari pemerintah. Dalam pengadaan bahan baku pelaku UMKM rata-rata mengalami kesulitan karena faktor kelangkaan 11.6% dan faktor musiman 15.5%. faktor jarak yang jauh memberi kontribusi sebesar 10.1%. dengan sulitnya mendapatkan bahan baku yang dibutuhkan dapat berakibat pada aktivitas produksi yang terganggu. Sehingga kondisi yang demikian perlu dimonitor yaitu ketersediaan bahan baku yang cukup di wilayah yang mudah dijangkau oleh UMKM sehingga kelangsungan usaha dimasa depan dapat lebih terjamin. Peralatan Mesin yang digunakan untuk proses produksi secara umum adalah buatan dalam negeri yaitu 45.7% sedangkan mesin buatan luar negeri 16.3%. dengan umur ekonomis dari peralatan utama yang digunakan oleh UMKM adalah rata-rata 5 tahun. Sehingga UMKM perlu memperhatikan hal ini melalui kesiapan dari segi permodalan yaitu ketaatan terhadap penyediaan dana untuk depresiasi peralatan utama secara teratur, sehingga pada saat mesin perlu peremajaan UMKM tidak mengalami kesulitan. Pada sisi lain UMKM perlu melakukan perawatan yang memadai agar mesin yang dipergunakan dapat lebih awet dan tidak mengganggu proses produksi secara keseluruhan. Adapun jenis tenaga pembangkit atau bahan bakar yang dipergunakan pada UMKM sebagian besar atau 23.3% menggunakan listrik PLN, solar 20.9% , bensin 7.8% dan kayu bakar 2.3% sedangkan tenaga pembangkit yang lain adalah 10.1% diantaranya menggunakan tenaga manusia dan minyak tanah. Secara keseluruhan pengadaan tenaga pembangkit cukup mudah didapat, namun jika ditinjau dari segi biaya cukup memberatkan, karena harga listrik, bensin dan solar yang relatif tinggi. Pengendalian Mutu Produksi Secara umum UMKM telah menyadari pentingnya upaya pengendalian mutu hal ini tercermin dengan adanya pemilihan bibit yang baik dan berkualitas kemudian adanya upaya pada saat proses produksi yaitu dilakukan pengawasan yang cukup ketat pada setiap tahapan, sehingga akan berdampak pada standarisasi hasil produksi seperti tercermin sebesar 45.0% UMKM melakukan hal tersebut. Ini menjadi nilai positif bagi UMKM untuk dapat tetap survive dalam
menjalankan usahanya, karena dukungan kesadaran terhadap mutu produk yang harus dipertahankan. Apalagi jika dilihat dari angka persaingan yang semakin tinggi, dukungan dari standarisasi produk menjadi hal yang utama dalam menghasilkan output yang dapat diminati oleh konsumen. Meski hasil produknya hanya 9.3% yang mendaftarkan dalam bentuk sertifikasi, tentu ini menjadi kelemahan yang harus segera diatasi sehingga para UMKM memahami pentingnya serifikasi. Pengemasan Salah satu fakor kelemahan dari UMKM adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya kemasan dalam menampilkan hasil produksinya, sehingga terlihat lebih menarik dan diminati konsumen. Dari pelaku UMKM yang diamati sebesar 36.4% tidak melakukan pengemasan sebagaimana seharusnya, hanya 17.1% dan 3.9% mengemas produknya dengan cara dibungkus dan dikotakkan. Kondisi ini perlu pembinaan kepada UMKM tentang pentingnya pengemasan, sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing dengan usaha-usaha keluaran pabrikasi. Kesadaran ini juga belum muncul pada UMKM akan pentingnya merek dagang, hanya sebesar 4.7% yang telah memberi merek dagang pada hasil produksinya. sementara merk dagang sangat penting untuk menghindari adanya barang imitation disisi lain merek dagang berfungsi memberikan ciri dan dapat menjadi media untuk mempromosikan produk yang dihasilkan. Penanganan Limbah Secara umum komoditi yang dihasilkan oleh UMKM menghasilkan limbah (38.8%), namun limbah yang dihasilkan rata-rata tidak membahayakan untuk kehidupan ekosistem, salah satunya adalah dedeg, kotoran ayam, kulit jarak, jerami, potongan-potongan kain, kayu bakar dan lain-lain. Hal ini ditunjukkan dari hasil survey bahwa sebesar 16.3% limbah yang dihasilkan justru dijual untuk digunakan menjadi salah satu bahan baku bagi produk lain, maupun dimanfaatkan untuk konsumen langsung sehingga dalam penanganan limbah secara umum telah teratasi meski 9.3% menyatakan hanya dibuang begitu saja. Dan ini menjadi peluang untuk dilakukan pembinaan agar limbah yang ada dapat dioleh kembali untuk dihasilkan produk sampingan lainnya, tentu dibutuhkan kreativitas, biaya dan penanganan yang serius. C. Kondisi Pemasaran UMKM Dalam memasarkan hasil produksinya, UMKM secara umum melakukannya secara mandiri yaitu 31.0% sedang melalui agen atau perantara dengan cara dititipkan sebesar 18.6% dan sisanya penjualan pasif yaitu dengan menunggu pembeli sebesar 40.3%. angka ini menunjukkan bahwa UMKM telah menyadari pentingnya pemasaran, namun dalam prosesnya mereka masih melakukannya dengan cara tradisional yaitu menyampaikan secara langsung kepada konsumen perihal produknya. Hal ini diperkuat dengan hasil temuan sekitar 35.7% skala pemasarannya eceran atau produk langsung ketangan konsumen akhir. Sedangkan 26.0% diserap oleh penjualan skala besar. Jika ditinjau dari bentuk promosi yang dilakukan sangat konfensional yaitu 69.8% konsumen mengetahui komoditi yang dihasilkan UMKM adalah hasil dari mulut ke mulut, sehingga sangat berpotensi untuk terbukanya pasar potensial pada wilayah-wilayah lainnya, karena pada dasarnya promosi dari mulut kemulut secara cakupan wilayah sangat dekat/sempit. 30.2% lainnya promosi menggunakan selebaran, televisi dan bentuk-bentuk lain dalam bentuk kaset dan CD. Dari segi frekuensi pemasaran yang dilakukan masih jarang hanya rata-rata dalam bulan melakukan promosi sebanyak 7 kali, tentunya dengan continuitas yang rendah akan berdampak pula pada lambatnya informasi yang diberikan kepada konsumen atau pasar Rendahnya frekuwensi pemasaran dan tradisonalnya cara yang digunakan, maka akan berdampak pada jangkauan pemasaran yang terbatas, yaitu 46.51% produk yang dihasilkan
UMKM dikonsumsi oleh konsumen sekitar kecamatan saja, dan 31.78% oleh konsumen sekitar kabupaten, 6.98% secara propinsi dan secara nasional 3.10% serta 0.78% telah merambah pasar internasional. Masih rendahnya jangkauan pemasaran ini juga menjadi peluang kedepan bagi UMKM untuk melakukan pemasaran yang lebih modern dengan menggunakan media pemasaran yang lebih bervariatif dan ditunjang oleh kontribusi pemerintah daerah untuk ikut membuka peluang dan kesempatan bagi UMKM dalam bentuk melakukan pameran-pameran dan pola kemitraan. Untuk produk sampai kepada konsumen, maka diperlukan alat trasnportasi pengangkutan yang memadai, namun hal ini merupakan salah satu kendala bagi UMKM untuk dapat produknya cepat sampai kepada konsumen, hal yang paling memberatkan adalah infrastruktur yang tidak mendukung yaitu jalan-jalan yang rusak menjadi salah satu faktor penghambat sebesar 24.03%. Mahalnya biaya angkutan sebesar 21.71% menjadi kendala berikutnya dalam hal distribusi hasil produksi UMKM. Hal ini berdampak juga pada kelangkaan angkutan yang bersedia masuk ke wilayah dengan infrastruktur yang tidak mendukung. Lebih lanjut produk yang diangkut berpotensi akan mengalami kerusakan karena adanya benturan-benturan akibat dari kerusakan jalan. Secara keseluruhan dampak dari pemasaran yang tidak merata dengan media yang masih konfensional ditunjang dengan keberadaaan infrastruktur yang kurang memadai, akhirnya mempengaruhi cakupan pasar yang dapat dilayani yaitu masih kisaran kecamatan 8.53% dan kabupaten 21.71%. sedang dengan keterbatasan media dan biaya, pasar propinsi baru dapat diraih 13.18% secara nasional 3.88% dan sisanya 3.10% saja komoditi UMKM baru dapat menyumbangkan devisa kepada pemerintah dalam bentuk pelaksanaan eksport. D. Analisis dan Evaluasi tentang Manajemen Keuangan UMKM Uang atau kas itu dapat diibaratkan sebagai darahnya perusahaan. Jika manusia kurang darah akan menjadi lesu, pucat dan tidak bergairah. Oleh karena itu darah perlu dijaga kecukupan dan kadar elemennya. Demikian pula keadaan keuangan UMKM harus dikelola sebaik-baiknya. Salah satu ilmu pengelolaan keuangan tersebut adalah perencanaan dan pengawasan keuangan. Hasil survey menunjukkan bahwa hanya 18,6% dari responden yang melakukan perencanaan dan pengawasan. Jadi masih banyak pengusaha ekonomi lemah di Kabupaten Bekasi yang kurang peduli dengan menajamen keuangan. Hal ini dapat dimaklumi karena kebanyakan tingkat pendidikan mereka masih rendah, 31% responden adalah lulus Sekolah Dasar (SD) seperti terlihat dalam Tabel 3.36 pada Bab III terdahulu. Seperti diketahui bahwa tujuan usaha ekonomi lemah itu dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu: 1)
2)
Tujuan umum, meliputi: a. Pengusaha menghendaki berperan sebagai lembaga yang bergerak di bidang ekonomi. b. Pengusaha menghendaki dapat hidup (survival) dan untuk itu harus mencari keuntungan. c. Pengusaha menghendaki produk/jasa yang dihasilkan dapat memuaskan konsumen. d. Menjalin hubungan sebaik mungkin dengan para pemodal/investor agar tetap bersedia memberikan modal yang diperlukan. Tujuan khusus, meliputi: a. Penentuan jenis produk/jasa yang dihasilkan. b. Penentuan jumlah produk yang dihasilkan. c. Penentuan luas daerah pemasaran yang ingin dicapai. d. Penentuan dana yang dibutuhkan. e. Penentuan tingkat pengembalian investasi.
Bagaimana mungkin tujuan itu dapat terwujud bilamana modal masih menjadi permasalahan serius dan keuntungan yang diraihpun tidak memadai. Tabel 4.5 menggambarkan
peta tingkat keuntungan dalam persentase dari harga pokok yang diambil oleh para pengusaha ekonomi lemah di Kabupaten Bekasi, yaitu: rata-rata 14%, maksimum 100% dan minimum 2%. Berdasarkan potret kondisi perencanaan dan pengawasan keuangan di atas, maka dapatlah diungkapkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk pengembangan diri para pengusaha ekonomi lemah di Kabupaten Bekasi masih belum optimal. Hal itu tercermin dalam jawaban naratif dari para UMKM yang berkeinginan dapat: 1) Memperluas jangkauan pemasaran. 2) Menabung memupuk modal. 3) Mengajukan pinjaman ke bank untuk menambah modal usaha. 4) Promosi melalui media cetak. 5) Mempertahankan pelanggan/nasabah lama dan mencari yang baru. 6) Perawatan dan pemeriksaan sapi secara rutin. 7) Menggemukkan ternak domba dan sapi. 8) Mempergunakan bibit ayam unggul, memperbaiki kandang dan melakukan vaksinasi ayam. 9) Memperbanyak kolam ikan, penyaringan air, dan memelihara ikan yang mudah dipasarkan, yaitu lobster. 10) Memperluas empang, dan meminta bantuan dinas perikanan setempat. 11) Memperluas lahan kelapa, menambah tanaman cangkokan seperti melinjo dan tanaman tumpang sari lainnya. Sehubungan dengan itu tidaklah ayal kalau UMKM juga tidak banyak yang memiliki anggaran. Terbukti pada Tabel 3.32 hanya 11,6% dari jumlah responden yang membuat anggaran. Padahal anggaran merupakan alat perencanaan dan pengawasan keuangan yang sangat berguna baik bagi UMKM itu sendiri maupun bagi pihak ketiga misalnya bank yang akan memberikan kredit dan pemerintah daerah yang membinanya. Rendahnya jumlah UMKM yang membuat anggaran ini terkait dengan rendahnya jumlah UMKM yang melakukan pembukuan, yaitu 9,3%. Sebab pembukuan merupakan proses pencatatan atas transaksi keuangan, pengelompokan hartakewajiban-modal-pendapatan-biaya, serta pengikhtisaran neraca, dan perhitungan laba rugi guna menunjang dibuatnya anggaran yang baik. Langkah-langkah ini juga belum banyak dilakukan oleh UMKM di Kabupaten Bekasi, terbukti responden yang membuat neraca sebanyak 3,1% dan yang menghitung laba rugi sebanyak 5,4%. Belum terbiasanya para UMKM menyusun anggaran akan berdampak lambannya pengambilan keputusan perencanaan baik untuk tujuan jangka panjang maupun jangka pendek, karena : 1) Keputusan jangka panjang, memerlukan: a. Metode persentase dari penjualan untuk merencanakan kebutuhan selama tiga sampai lima tahun ke depan. b. Urut-urutan dan kombinasi laba, modal dan pembelanjaan utang yang direncanakan. 2) Keputusan jangka pendek, memerlukan: a. Metode persentase dari penjualan untuk merencanakan kebutuhan selama satu tahun ke depan. b. Anggaran kas yang menunjukkan bagaimana dana akan digunakan dan bilamana dana tersebut akan dibayar kembali. c. Informasi tentang anggaran penting dalam rangka mendapatkan kredit dari bank. Masalah manajemen keuangan UMKM tidak terlepas dari sisi aktiva dan pasiva neraca yang dibuat oleh UMKM. Sisi pasiva menggambarkan bagaimana sikap pengusaha ekonomi lemah mencari atau menarik sumber dana, sedangkan sisi aktiva menggambarkan bagaimana membelanjakan dana tersebut secara efektif dan efisien.
E. Analisis dan Evaluasi tentang Kemitraan dan Pembinaan Jumlah dan jenis sektor ekonomi rakyat tidak terhitung jumlahnya, antara lain berbentuk usaha kecil, menengah, dan koperasi yang kita sering disebut dengan (UMKM). Sejarah telah membuktikan bahwa sektor ekonomi rakyat ini telah mampu bertahan dalam mengembangkan misinya dengan menghidupkan mayoritas anak bangsa. Pada zaman pemerintahan Belanda sektor-sektor ekonomi yang potensial seperti sektor perkebunan sebagai penghasil untuk ekspor dimonopoli oleh pemerintah Belanda bersama antek-anteknya. Sektor ekonomi rakyat tidak diperhatikan, malahan ditekan dan termarginalisasi. Namun demikian sektor ini yang digeluti oleh rakyat banyak, yang memberikan hidup rakyat banyak tetap bertahan dan tetap survive. Namun demikian nasib sektor ini sangat memperihatinkan, karena dari data yang diperoleh baru 11.6% UMKM di wilayah kabupaten Bekasi mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pihak luar sisanya sebesar 88.4% belum tersentuh, sehingga mereka akhirnya berjalan sesuai dengan kemampuan mereka miliki tanpa suatu arahan yang jelas untuk dapat memproduksi suatu produk yang berdaya saing. Menurut mereka sektor ini tidak mendapat perhatian dari pihak luar karena dianggap kurang mampu mendorong pembangunan ekonomi padahal justu pada saat terjadi krisis ekonomi sektor inilah yang bertahan. Timbul pertanyaan mengapa sektor ini dalam perjalanan sejarah yang panjang tidak mendapatkan perhatian, bantuan, malahan termarginalisasi namun tetap hidup dan berkembang. Jawaban pertanyaan tersebut antara lain disebabkan : 1. Sektor ini mudah didirikan, tanpa melalui prosedur yang berbelit-belit. Dengan demikian setiap orang tidak sulit untuk dapat terjun menggeluti sektor ini. 2. Relatif kurang memerlukan modal yang besar. Hal ini disebabkan karena sektor usaha ini umumnya berskala kecil dan menengah. Pada sektor usaha tertentu dengan modal yang relatif kecil usaha mereka sudah dapat dijalankan, misalnya pedagang kaki lima (sektor informal). 3. Sektor ini umumnya berbasis pada sumber daya domestik. Dengan demikian relatif kurang terpengaruh pada perubahan-perubahan konjungtur ekonomi dunia. Bahkan pada saat memuncaknya krisis ekonomi baru-baru ini ada beberapa sektor menikmati keuntungan, misalnya sektor agrobisnis. Tidak sama dengan perusahaan besar yang sangat rentan terhadap perubahan ekonomi dunia. 4. Unit-unit usaha ini umumnya menggunakan teknologi tepat guna. Dengan demikian unitunit usaha dapat dikelola secara efisien dan efektif 5. Umumnya sektor ini sangat fleksibel dalam mengantisipasi keinginan pasar. Mereka dengan mudah dapat berpindah dari satu sektor usaha ke sektor usaha lain. Hal semacam ini sangat sulit bagi industrti-industri/perusahaan-perusahaan besar. 6. Sektor ini dapat menjadi mitra bagi perusahaan besar, baik sebagai pemasok bahan baku, penyediaan komponen, maupun dalam pemasaran. Dengan demikian tidak perlu ada dikotomi antara perusahaan besar (mega company) dengan perusahaan kecil/menengah (sektor ekonomi rakyat). Malahan diharapkan terjadinya simbiose mutualistis (saling menghidupkan), dan saling menguntungkan (win-win solution). Mitra yang penulis maksudkan di sini bukan berdasar belas kasihan dari perusahaan besar kepada perusahaan kecil, tetapi kemitraan berarti adanya saling ketergantungan (interdependensi). Jangan sampai terjadi seperti pada masa Orde Baru di mana himbauan kepada perusahaan besar untuk membantu perusahaan kecil dilandasi dengan belas kasihan. Dengan demikian sektor ekonomi rakyat pada saat itu dianggap sektor yang inferior (inferior sector). 7. Sektor ini kalau diperhatikan bentuk pasarnya, maka sesungguhnya sektor ini dalam keadaan persaingan sempurna (perfect competition). Dikatakan demikian karena banyak sekali penjual yang menjual pada satu jenis barang. Akibatnya tidak ada seorang penjualpun yang dapat mempengaruhi harga. Harga suatu produk relatif sama dan kualitas
8.
produknya juga relatif sama, sehingga sektor ini berjalan secara efisien. Dengan demikian efisiensi yang diharapkan melalui mekanisme pasar seperti yang biasa didengungkan sesungguhnya sudah lama teraplikasi. Berbagai produk yang dihasilkan oleh sektor ekonomi rakyat misalnya hasil-hasil pertanian dan berbagai hasil kerajinan sangat kompetitif di pasar internasional. Juga sektor usaha kecil yang digeluti oleh rakyat banyak dapat diperkirakan relatif kurang diminati oleh para investor asing. Dengan demikian walaupun era globalisasi ekonomi menerpa dengan karakteristik antara lain arus modal yang sangat besar dari suatu kawasan atau negara menuju kawasan atau negara yang menguntungkan, tetapi dengan keunggulan UMKM seperti dipaparkan di atas diharapkan akan tetap bertahan melaksanakan misinya dalam hal ini adalah memberikan kehidupan pada rakyat untuk menuntaskan kemiskinan.
Selanjutnya di lihat dari bentuk hubungan UMKM yang ada di wilayah Kabupaten Bekasi inipun berpariasi seperti yang terlihat dari table 3.37, namun demikian yang perlu kita cermati adalah bahwa pembinaan yang berhubungan dengan prasarana produk masih sangat kecil prosentasenya hanya 0.8%. jumlah ini akan berdampak terhadap rendahnya tingkat persaingan produk yang dihasilkan oleh UMKM tersebut. Dengan produk yang sulit bersaing di pasaran akan menyebabkan kesulitan untuk kontuinitas operasi usaha sehingga mungkin pihak luar yang tadinya tertarik ingin menanamkan modalnya untuk kemajuan dari UMKM tersebut justru akan mengalihkan investasinya ke perusahaan besar. Oleh sebab itulah jaringan dan penyeluhan serta kerjasama dari pihak luar khususnya pemerintah sangat diharapakan. Dari data yang ada bahwa UMKM yang sudah mendapatkan hubungan dengan pihak luar yang mempunyai prosentase tinggi adalah penyuluhan mutu sebesar 15.5%. Namun jumlah ini masih jauh dari harapan para pengolola UMKM. HASIL ANALISIS KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENANGGULANGAN EKONOMI LEMAH (UMKM) A. Kebijakan Umum Penanggulangan Ekonomi Lemah Dalam perumusan arah dan kebijakan umum penanggulangan ekonomi lemah di Kabupaten Bekasi didasarkan pada kajian-kajian terhadap : a) Rencana strategis Daerah (Renstra) Kabupaten Bekasi Tahun 2005 - 2009. b) Kebijakan Umum APBD TA 2007. c) Refleksi terhadap kebijakan, program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan yang telah dan sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi berdasarkan Dokumen APBD 2004 dan 2005, tetapi hasilnya belum memenuhi sasaran dan target yang diharapkan. d) Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Penanggulangan ekonomi lemah dan masyarakat miskin. Maka dalam kebijakan umum penanggulangan ekonomi lemah di Kabupaten Bekasi mendatang adalah ; 1. Review dan kaji ulang terhadap semua kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dan masyarakat golongan ekonomi lemah yang telah dilaksanakan, diantaranya meliputi aspek : a. Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat Perencanaan, perumusan, penetapan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. b. AnalisisKinerja UKM Capaian indikator kinerja, akurasi target, evaluasi manfaat dan dampak yang ditimbulkan, mengacu pada input, output, outcome, benefit dan impact. c. Analisis Anggaran UKM
2. Besaran alokasi anggaran, penggunaan anggaran dan audit sebagai bentuk transparansi.Membangun komitmen dan keseriusan semua pihak dalam upaya penanggulangan ekonomi lemah di Kabupaten Bekasi. 3. Pembuatan peraturan daerah yang mendorong kemitraan antara pengusaha besar dengan usaha kecil dan mikro. 4. Upaya penanggulangan ekonomi harus dilaksanakan secara partisipatif, integratif, efektif, efisien, aplikatif, berkesinambungan dan transparan serta pro poor dan sensitive gender. 5. Mengalokasikan anggaran sebesar sedikitnya 15 % dari masing-masing anggaran dinas bidang kesehatan, pendidikan dan bidang sosial. Sementara untuk ketiga bidang tersebut dialokasikan masing-masing sedikitnya 20 % dari total APBD. 6. Perumusan program penanggulangan ekonomi lemah didasarkan pada pilar : a. Perluasan Kesempatan Kerja dan Berusaha. b. Pemberdayaan Masyarakat. c. Peningkatan Kapasitas SDM. d. Perlindungan Sosial. 7. Menumbuhkembangkan kemitraan dengan pihak-pihak yang peduli dan concern dalam penanggulangan ekonomi lemah termasuk kalangan swasta dan dunia usaha. 8. Pelaksanaan penangulangan ekonomi lemah harus memberikan perhatian pada aspek “Proses” tanpa melupakan “hasil “ akhir dari proses tersebut. Kebijakan dan Program Perluasan Kesempatan Kerja dan Berusaha Berdasarkan acuan arah dan kebijakan umum penanggulangan ekonomi lemah dan hasil kajian lapangan, maka kebijakan dan program dalam upaya penanggulangan ekonomi yang terkait dengan perluasan kesempatan kerja dan berusaha dalam tabel berikut ini :
No 1
2
4
Tabel 6.1. Kebijakan dan Program Perluasan Kesempatan Kerja dan Berusaha Kebijakan Program Indikasi Kegiatan Peningkatan kuantitas 1. Peningkatan kualitas 1. Pelatihan ketrampilan dan kualitas tenaga kerja dan produktivitas kerja sesuai kebutuhan serta wira usaha baru tenaga kerja pasar 2. Perluasan dan 1. Penyaluran dan pengembangan penempatan tenaga kerja kesempatan kerja 2. Pembentukan dan dan usaha mandiri bantuan modal tenaga kerja mandiri terdidik 3. Pembentukan dan bantuan modal wirausaha baru Peningkatan dan 1. Penciptaan iklim 1. Pengembangan industri pengembangan investasi investasi yang kecil kondusif 2. Penyusunan kebijakan investasi yang ramping birokrasi. Pengembangan usaha 1. Peningkatan 1. Pelatihan ketrampilan mikro kemampuan dan bantuan modal berusaha bagi usaha khusus kelompok kelompok perempuan miskin perempuan
No
Kebijakan
Program 2. Peningkatan ketrampilan berusaha dan bantuan modal bagi usaha mikro 3. Penguatan Kapasitas Lembaga Keuangan Mikro
4. Peningkatan peran agama dalam penanggulangan kemiskinan
1.
1. 2.
1.
Indikasi Kegiatan Pelatihan ketrampilan dan perluasan usaha serta bantuan modal usaha bagi kelompok usaha mikro Pelatihan lembaga keuangan mikro Kemitraan Lembaga keuangan dengan lembaga keuangan mikro Optimalisasi pengelolaan zakat, infak dan sodakoh secara profesional untuk penanggulangan kemiskinan
Sumber: Data Primer (2006) Kebijakan dan Program Pemberdayaan Masyarakat Berdasarkan acuan arah dan kebijakan umum penanggulangan ekonomi lemah, maka arah dan kebijakan dalam upaya penanggulangan ekonomi yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat dalam tabel berikut ini ; Tabel 6.2. Kebijakan dan Program Pemberdayaan Masyarakat No 1
Kebijakan Peningkatan komitmen dan keseriusan bersama dalam penanggulangan ekonomi lemah
Program 1. Validasi data masyarakat golongan ekonomi lemah 1. Optimalisasi upaya penanggulangan ekonomi lemah
2
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan ekonomi lemah
1. Membangun kemitraan dalam upaya penanggulangan ekonomi lemah
3
Menumbuhkembangkan partisipasi sosial 1. Peningkatan peran masyarakat kelembagaan partisipasi sosial masyarakat
Sumber: Data Primer (2006)
Indikasi Kegiatan 1. Pemutakhiran data gakin dengan Evidence Based Survey (EBS) secara partisipatif atau Pemetaan Swadaya 1. Optimalisasi peran KPKD 2. Perencanaan pembangunan partisipatif dengan melibatkan kelompok UKM dan usaha mikro 1. Forum Kemitraan Penanggulangan ekonomi lemah dengan Lembaga Swasta/kelompok Peduli 1. Bimbingan kemasyarakatan dan pelatihan ketrampilan teknologi tepat guna 2. Bantuan UED-SP 3. Bantuan UP2K/MUBR 4. Pelatihan Lembaga Kemasyarakatan
Kebijakan dan Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Berdasarkan acuan arah dan kebijakan umum penanggulangan ekonomi lemah, maka kebijakan dan program dalam upaya penanggulangan ekonomi lemah yang terkait dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam tabel berikut ini : Tabel 6.3. Kebijakan dan Program Peningkatan Kapasitas SDM No 1
Kebijakan Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dasar serta memfasilitasinya secara adil dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan daerah
Program
Indikasi Kegiatan
1. Perluasan kesempatan memperoleh pendidikan 2. Peningkatan peran UKM dalam menyerap tenaga kerja
1. Bantuan beasiswa dan perlengkapan sekolah 2. Kejar Paket A, B dan C 3. Bantuan penyelenggaraan pendidikan non formal
Sumber: Data Primer (2006) Kebijakan dan Program Peningkatan Kapasitas Produksi Berdasarkan acuan arah dan kebijakan umum penanggulangan ekonomi lemah, maka kebijakan dan program dalam upaya penanggulangan ekonomi lemah yang terkait dengan peningkatan kapasitas produksi dalam tabel berikut ini : Tabel 6.4. Kebijakan dan Program Peningkatan Kapasitas Produksi No 1
Kebijakan Peningkatan Produksitvitas Usaha sektor UKMK
Program
1. Bantuan dan pendammpingan Produksi melalui kemitraan dengan Usaha Besar
Indikasi Kegiatan 1. PelatihanPemanfaatan teknologi tepat guna
2. Bantuan Peralatan Produksi
Sumber: Data Primer (2006) Kebijakan dan Program Peningkatan/Perluasan Jaringan Pemasaran Berdasarkan acuan arah dan kebijakan umum penanggulangan kemiskinan, maka kebijakan dan program dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang terkait dengan peningkatan kualitas lingkungan dalam tabel berikut ini:
Tabel 6.5. Kebiajkan dan Program Peningkatan/Perluasan Jaringan Pemasaran No
1.
2.
Kebijakan
Meningkatkan Volume Penjualan
Meningkatkan Pangsa pasar dan akses informasi pasar UKMK
Program
1. Peningkatan akses dan saluran distribusi barang
1. Pengembangan Jaringan Informasi Pasar
Indikasi Kegiatan 1. Kerjasama dengan dengan Usaha Besar 1. Perluasan Jaringan melalui Pusat aktivitas Ekonomi 2. Pameran Hasil UKMK 1. Pemanfaatan Teknologi informasi untuk UKM 2. Pembentukan dan pengembangan kelompok UKM 3. Pelatihan Penggunaan teknologi informasi
Sumber: Data Primer (2006)
Kebijakan dan Program Peningkatan /Penguatan Permodalan Berdasarkan acuan arah dan kebijakan umum penanggulangan ekonomi lemah, maka kebijakan dan program dalam upaya penanggulangan ekonomi lemah yang terkait dengan peningkatan/Penguatan Permodalan Usaha dalam tabel berikut ini:
Tabel 6.6. Kebiajkan dan Program Peningkatan/Penguatan Permodalan No
1.
Kebijakan
Peningkatan dan Penguatan Permodalan Usaha
Program 1. Dana Bergulir untuk UKMK 2. Program Kemitraan dengan Perbankan dan sumber pembiayaan lainnya
Indikasi Kegiatan 1. Bantuan Dana Bergulir yang dialokasi melalui APBD 2. Kerjasama dengan Lembaga Keuangan Perbankan maupun sumber pembiayaan lainnya
Sumber: Data Primer (2006) B. Kelembagaan Mekanisme Pelaksanaan Program Program Perluasan Kesempatan Kerja dan Berusaha Kelembagaan pelaksanaan terkait dengan program perluasan kesempatan kerja dan berusaha, dan perlu menjalin koordinasi secara akurat terlihat dalam tabel berikut :
Tabel 6.7 Kelembagaan Mekanisme Pelaksanaan Program Perluasan Kesempatan Kerja No
Program
1
Peningkatan kualitas dan produktifitas tenaga kerja
2
Perluasan dan pengembangan kesempatan kerja dan usaha mandiri
3
Penciptaan iklim investasi yang kondusif
4
Peningkatan kemampuan berusaha bagi kelompok perempuan
5
6
Peningkatan ketrampilan berusaha dan bantuan modal bagi usaha mikro Penguatan Kapasitas Lembaga Keuangan Mikro
Pelaksana Dinas Tenaga Kerja, BPM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi dan PMD Dinas Tenaga Kerja, BPM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi & PMD, Bagian Ekonomi Setda Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi & PMD, Bagian Ekonomi Setda Dinas Tenaga Kerja, BPM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi dan PMD, Bagian Ekonomi Setda Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi dan PMD BPM, Bapeda, Bagian Ekonomi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi dan PMD, Bagian Ekonomi Setda
Sumber: Data Primer (2006) Program Pemberdayaan Masyarakat Program pemberdayaan masyarakat dalam rangka penganggulangan ekonomi lemah, kelembagaan yang terkait dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6.8 Kelembagaan Mekanisme Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat No
Program
Pelaksana
1
Validasi data kemiskinan
Bappeda, BPS, BPM, Casip dan KB
2
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan ekonomi lemah
Bappeda, Kecamatan, Kelurahan, BPM
3
Membangun kemitraan dalam upaya penanggulangan ekonomi lemah dan UKMK
Bappeda, BPM
4
Peningkatan peran kelembagaan partisipasi sosial masyarakat Sumber: Data Primer (2006)
BPM, Bagian Sosial
Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia, berkaitan erat dengan pendidikan dan tenaga kerja.
Tabel 6.9 Kelembagaan Mekanisme Pelaksanaan Program Peningkatan Kapasitas SDM No 1
Program Perluasan kesempatan memperoleh pendidikan 2 Peningkatan peran UKM dalam menyerap tenaga kerja Sumber: Data Primer (2006)
Pelaksana Dinas Pendidikan Dinas Pendidikan, Disnaker, UKM dan Koperasi
Program Peningkatan Kapasitas Produksi Program peningkatan kapasitas produksi bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi UKMK. Tabel 6.10 Kelembagaan Mekanisme Pelaksanaan Program Peningkatan Kapasitas Produksi No 1
Program Program Bantuan Peralatan, dan Subsidi Bahan Baku melalui pemanfaatan local community base melalui kemitraan dengan Pemerintah dan dunia usaha lainnya Sumber: Data Primer (2006)
Pelaksana BPM, Bagian Sosial (Setda), Bappeda, Dinas Koperasi dan UKM, Pertanian dan Perikanan
Program Peningkatan Penguatan Permodalan Usaha Lembaga pelaksana program Peningkatan Penguatan Permodalan Usaha dalam rangka meningkatkan aktivitas dan keberlanjutan kelangsungan usaha sehingga dapat mewujudkan UKMK yang tangguh dan produktif adalah : Tabel 6.11 Kelembagaan Mekanisme Pelaksana Program Peningkatan Penguatan Modal Usaha UKM No 1
Program Bantuan dana Bergulir untuk UKMK
2
Program Kemitraan dengan Perbankan dan Sumber Pembiyaan lainnya Sumber: Data Primer (2006)
Pelaksana Dinas Koperasi dan UKM, Setda Bagian Ekonomi, Bapeda Dinas Koperasi dan UKM, Setda Bagian Ekonomi, Bapeda
C. Indikator Kinerja dan Target Untuk dapat mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan ekonomi lemah seperti diuraikan diatas, perlu dirumuskan terlebih dahulu indikator kinerja dan terget dari masing-masing program dan kegiatan. Indikator kinerja dan target program didasarkan pada kondisi yang ada baik kondisi ekonomi maupun sumberdaya yang ada untuk jangka waktu selama 3 tahun, yaitu TA 2007 -TA 2010. Program Perluasan Kesempatan Kerja dan Berusaha Tolok ukur kinerja dan target kinerja program perluasan kesempatan kerja dan berusaha disajikan dalam tabel 6.12 sampai 6.1
Tabel 6.12. Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja Nama Program : Peningkatan kualitas dan produktifitas tenaga kerja Pelaksana : Disnaker, BPM, Diperindagkop dan PMD Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Meningkatnya kualitas dan produktifitas 200 calon tenaga kerja terserap tenaga kerja di sektor UKMK Outcomes Adanya tenaga kerja memiliki 200 calon tenaga kerja siap ketrampilan yang dibutuhkan oleh pasar pakai kerja Benefits Tenaga kerja dapat memasuki dunia 200 calon tenaga kerja kerja memperoleh pekerjaan Impacts Berkurangnya pengangguran Terjadi penurunan angka pengangguran Sumber: Data Primer (2006) Tabel 6.13. Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja dan Usaha Mandiri Nama Program : Perluasan, pengembangan kesempatan kerja dan usaha mandiri Pelaksana : Disnaker, BPM, Diperindagkop dan PMD Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Ada Anggaran Untuk UKMK Output Adanya perluasan dan pengembangan Jumlah pengangguran Berkurang kesempatan kerja dan usaha mandiri Outcomes Adanya penyaluran tenaga kerja, Penganggur mampunyai skill adanya tenaga kerja terdidik mandiri untuk berkerja dan 300 dan adanya wira usaha baru menciptakan usaha baru Benefits Tersalurkannya tenaga kerja dan 200 TK teserap pada lembaga terciptanya lapangan kerja baru usaha, 100 orang mampu menciptakan usaha baru Impacts Berkurangnya pengangguran 300 penggangguran Berkurang Sumber: Data Primer (2006) Tabel 6.14 Program Menciptakan Iklim Investasi yang Kondusif Nama Program : Penciptaan iklim investasi yang kondusif Pelaksana : Diperindagkop dan PMD Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya iklim investasi yang kondusif Berkurangnya biaya yang tidak perlu, penegakan hukum untuk mengurangi Ekonomi Biaya Tinggi Outcomes Masuknya para investor dan 10 investor untuk 100 Home berkembangnya UKMK industri dan UKMK Benefits Adanya penyaluran tenaga kerja 30 % tenaga kerja terdaftar dapat tersalur
Nama Program : Penciptaan iklim investasi yang kondusif Pelaksana : Diperindagkop dan PMD Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Impacts Berkurangnya pengangguran, 10 % berkurang pengangguran, meningkatnya penanaman modal 15 % peningkatan modal dari investasi yang ada Sumber: Data Primer (2006) Tabel 6.15 Program Peningkatan Kemampuan Berusaha Bagi Kelompok Perempuan Nama Program : Peningkatan kemampuan berusaha bagi kelompok perempuan Pelaksana : Disnaker, BPM dan Diperindagkop dan PMD Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya peningkatan kemampuan 20 kelompok UEP berusaha bagi kelompok perempuan Outcomes Kelompok perempuan memiliki 10 kelompok aktif UEP kemampuan berusaha Benefits Kelompok perempuan memiliki 10 KK kemampuan untuk membantu ekonomi keluarga Impacts Berkurangnya pengangguran kelompok 100 orang perempuan Sumber: Data Primer (2006) Tabel 6.16 Program Peningkatan Ketrampilan Berusaha dan Bantuan Modal bagi Usaha Mikro Nama Program : Peningkatan ketrampilan berusaha & bantuan modal bagi usaha Pelaksana : BPM dan Diperindagkop dan PMD Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya peningkatan ketrampilan 20 usaha mikro berusaha dan pemberian bantuan modal usaha dan jaminan pemasaran bagi usaha mikro Outcomes Adanya perluasan usaha bagi kelompok Diversifikasi usaha mikro usaha mikro Benefits Berkembangnya usaha kelompok usaha Omzet usaha berkembang mikro Impacts Kelompok usaha mikro menjadi usaha UKMK dari yang diberi bantuan yang lebih besar oleh Pemerintah Sumber: Data Primer (2006)
Tabel 6.17. Program Peningkatan Kemitraan Nama Program : Peningkatan kemitraan antar pengusaha besar dan usaha mikro Pelaksana : BPM dan Diperindagkop dan PMD Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya peningkatan kemitraan antar 10 pengusaha besar Bermitra pengusaha besar dan mikro dengan 100 pengusaha kecil Outcomes Adanya bapak angkat bagi kelompok Ada Program Kemitraan antara usaha mikro Usaha Besar dan UKMK Benefits Terbukanya akses pasar dan 10 % dapat menjalin kemitraan permodalan bagi kelompok usaha mikro Impacts Kelompok usaha mikro menjadi usaha 10 % usaha mikro yang lebih besar Sumber: Data Primer (2006) Tabel 6.18. Program Penguatan Kapasitas Lembaga Keuangan Mikro Nama Program : Penguatan kapasitas lembaga keuangan mikro Pelaksana : BPM, Bappeda, Diperindagkop dan PMD Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya penguatan kapasitas lembaga 4 LKM keuangan mikro (LKM) Outcomes Adanya Lembaga Keuangan Mikro 50% LKM aktif yang mandiri Benefits Masyarakat miskin mudah mendapatkan 30% UKMK terlayani akses permodalan Impacts Adanya kesinambungan dan 15% berkelanjutan berkembangnya usaha mikro Sumber: Data Primer (2006)
Program Pemberdayaan Masyarakat Tolok ukur kinerja dan target kinerja program pemberdayaan masyarakat disajikan dalam tabel 6.19 sampai 6.24. Tabel 6.19 Program Validasi data Kemiskinan Nama Program : Validasi data UKMK Pelaksana : Bappeda, Disnaker, Dinas Pendidikan, BPM dan BPS Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya akurasi data persoalan Kesamaan indikator miskin kemiskinan Outcomes
Adanya kemudahan dalam penanggulangan Ekonomi Lemah
Tidak ada perbedaan data UKMK
Benefits
Tingkat akurasi dalam penanggulangan ekonomi lemah akan lebih baik Impacts Akselerasi penurunanan angka kemiskinan dan pengangguran Sumber: Data Primer (2006)
Ketepatan sasaran penangulangan kemiskinan 10-15 %
Tabel 6.20 Program Optimalisasi Upaya Penanggulangan Ekonomi Lemah Nama Program : Optimalisasi upaya penanggulangan ekonomi lemah Pelaksana : Bappeda, Disnaker, Dinas Pendidikan, BPM dan BPS Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya optimalisasi peran SKPD dan SKPD dan KPKD dapat adanya keterlibatan UKMK dan melakukan kegiatan secara kelompok perempuan dalam berkesinambungan, adanya perencanaan pembangunan partisipatif keterlibatan masyarakat UKMK dalam perencanaan pembangunan Outcomes SKPD sebagai leading sector dalam KPKD dapat menjalankan tugas upaya penanggulangan ekonomi lemah dan fungsinya (mengkordinir, di Kabupaten Bekasi dan perencanaan memonitoring dan pembangunan partisipatif lebih pro poor mengevaluasi) and sensitive gender Benefits Penanggulangan kemiskinan dilakukan Pelaksanaan Penanggulangan secara terintegrasi dan komprehensif Kemiskinan dilaksanakan secara terpadu Impacts Akselerasi penurunan angka kemiskinan 20 %, 10 % APBD langsung ditandai dengan APBD yang pro poor dirasakan manfaatnya bagi and sensitive gender UKMK Sumber: Data Primer (2006) Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Tolok ukur kinerja dan target kinerja program perluasan kesempatan kerja dan berusaha disajikan dalam tabel 6.21. sampai 6.28. meliputi program perluasan kesempatan memperoleh pendidikan, penyuluhan kesehatan, pelayanan kesehatan, pengadaan dan pengawasan obat, dan peningkatan kesehatan keluarga Tabel 6.21 Perluasan Kesempatan Memperoleh Pendidikan Nama Program : Perluasan kesempatan memperoleh pendidikan Pelaksana : Dinas Pendidikan Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Pemerataan untuk memperoleh 20 % Anak-anak Pengusaha kesempatan pendidikan Kecil dapat melanjutkan sekolah Outcomes Adanya perluasan akses bagi siswa dari 50% Mendapat Bantuan dari keluarga miskin dalam pendidikan Pemerintah Benefits Peningkatan kapasitas SDM masyarakat 50 % keluarga miskin lulus
Nama Program : Perluasan kesempatan memperoleh pendidikan Pelaksana : Dinas Pendidikan Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja miskin SMA Impacts Penurunan angka putus sekolah 50% angka putus sekolah dapat diturunkan untuk Keluarga Miskin Sumber: Data Primer (2006) Program Peningkatan Kapasitas Produksi Tabel 6.22 Peningkatan Kapasitas Produksi UKMK Nama Program : Bantuan Pendampingan produksi melalui Kemitraan Usaha Pelaksana : Dinas Perindagkop Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya Bantuan Modal dan Peralatan 100 UKMK mendapat bantuan Outcomes Fasiltas dan peralatan yang memadai 100 UKMK mendapat bantuan Benefits Adanya Peningkatan Kapasitas Produksi Ada Peningkatan Kapasitas pertahun Produksi Impacts Adanya peningkatan kesejahteraan 100 UKMK rata-rata Masyarakat melaui peningkatan income memiliki income perkapita perkapita UKMK Rp 100.000.000/tahun Sumber: Data Primer (2006) Program Peningkatan dan Perluasan Jaringan Pemasaran Tabel 6.23 Peningkatan Akses dan Saluran Distribusi Barang UKMK Nama Program : Peningkatan akses dan saluran distribusi barang UKM Pelaksana : BPM, Bappeda, Diperindagkop dan PMD Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya Saluran distribusi barang UKM 100 UKMK memiliki saluran distribusi Outcomes Kerjasama dengan Dunia Usaha 100 UKMK memiliki kesepakatan kerjasama Benefits Peningkatan Kapasitas volume penjualan Ada Peningkatan Volume pertahun Penjualan setiap tahun Impacts Adanya peningkatan keuntungan UKMK 100 UKMK rata-rata memiliki keuntungan Rp 50100 juta/tahun Sumber: Data Primer (2006)
Tabel 6.24 Peningkatan Jaringan Informasi Pasar UKM Nama Program : Pengembangan jaringan informasi pasar UKM Pelaksana : BPM, Bappeda, Diperindagkop dan PMD dan PDE Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya Saluran distribusi barang UKM 100 UKMK memiliki saluran distribusi Outcomes Kerjasama dengan Dunia Usaha 100 UKMK memiliki kesepakatan kerjasama Benefits Peningkatan Kapasitas volume penjualan Akses Pasar yang lebih luas pertahun Impacts Adanya peningkatan keuntungan UKMK 100 UKMK rata-rata memiliki keuntungan Rp 50100 jt/tahun Sumber: Data Primer (2006) Program Peningkatan dan Penguatan Permodalan UKM Tabel 6.25 Dana Bergulir Untuk UKMK Nama Program : Dana Bergulir untuk UKM Pelaksana : Bidang Ekonomi SETDA, Bappeda, Diperindagkop Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya Dana bergulir setiap tahun untuk 100 UKMK mendapat UKM bantuan permodalan Outcomes Peningkatan Produktivitas Usaha UKMK 50% UKMK meningkat produktivitasnya Benefits Berkembangnya dunia usaha UKMK 100 UKM bertambah jenis usahanya Impacts Adanya peningkatan income dan 100 UKMK rata-rata kesejahteraan UKMK memiliki keuntungan Rp 50100 jt/tahun Sumber: Data Primer (2006) Tabel 6.26 Program Kemitraan Dengan Perbankan Dengan Sumber Pembiayaan Lainnya Nama Program : Kemitraan dengan Perbankan dan sumber pembiayaan lainnya Pelaksana : SETDA bidang perekonomian, Bappeda, Diperindagkop Indikator Tolak Ukur Kinerja Target Kinerja Input Anggaran, SDM Anggaran Tersedia Output Adanya kemitraan UKM dengan lembaga 100 UKMK akan melakukan Perbankan MOU dengan Bank (BRI, Bank Jabar) Outcomes Peningkatan kapasitas permodalan melalui 50 % UKMK mendapatkan pinjaman bantuan modal usaha dari Bank BRI dan Bank Jabar
Nama Program : Kemitraan dengan Perbankan dan sumber pembiayaan lainnya Pelaksana : SETDA bidang perekonomian, Bappeda, Diperindagkop Benefits Peningkatan Kapasitas volume usaha Ada Peningkatan Kapasitas pertahun Usaha Impacts Adanya peningkatan keuntungan UKMK 100 UKMK rata-rata dan omzet setiap tahun memiliki keuntungan Rp 50100 juta/tahun Sumber: Data Primer (2006) Berdasarkan tabel tersebut diatas, penganggaran untuk indikasi Program Jangka Menengah tahun 2007-2010 adalah sebagai berikut : Tabel 6.27 Perkiraan Anggaran Program Jangka Menengah Anggaran No Program (Rp) 1 Perluasan Kesempatan Kerja pada Sektor UKMK 2.000.000.000 2 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat 2.500.000.000 3 Peningkatan Kapasitas SDM 500.000.000 4 Peningkatan Kapasitas Produksi UKM 2.000.000.000 Peningkatan dan Perluasan Jaringan Pemasaran 5 500.000.000 UKM 6 Peningkatan dan Penguatan Permodalan UKM 15.000.000.000 Jumlah 22.500.000.000 Sumber: Data Primer (2006) Kebijakan penganggaran tersebut di atas didasarkan pada Ringkasan pendanaan Pembangunan Kabupaten Bekasi Tahun 2007 berdasarkan fungsi pemerintahan. Prakiraan dan perumusan penganggaran dalam Kebijakan Umum APBD Tahun 2007 – 2010 sebagai berikut : Tabel 6.28 Perkiraan Anggran Kebijakan Umum APBD Perkiraan Anggaran No Tahun (Rp) 1 2007 4.500.000.000 2 2008 5.000.000.000 3 2009 6.000.000.000 4 2010 7.000.000.000 Jumlah 22.500.000.000 Sumber: Data Primer (2006) Berdasarkan kebijakan penganggaran yang tertuang dalam Dokumen Renstra Kabupaten Bekasi tahun 2005-2009, alokasi anggaran untuk program pemberdayaan UKM sedikitnya sebesar 15 % dari masing-masing SKPD. Diharapkan sampai dengan tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Bekasi dapat mengalokasikan anggaran untuk Penaggulangan ekonomi lemah dan Pemberdayaan UKMK sampai dengan Rp. 22.500.000.000.
C. Prioritas Program dan Anggaran Jangka Pendek Prioritas program dan anggaran jangka pendek adalah prioritas program dan anggaran untuk jangka waktu 1 tahun pertama ( TA 2007 ). Tabel 6.29. Prioritas Program Jangka Pendek dalam Penanggulangan Ekonomi Lemah No Nama Program Prioritas 1 Perluasan dan pengembangan kesempatan kerja dan usaha mandiri 2 Optimalisasi upaya pemberdayaan UKM melalui penguatan permodalan usaha 3 Peningkatan kemitraan antar pengusaha besar dan usaha mikro 4 Pembangunan jaringan informasi pasar melalui teknologi informasi UKM 5 Penguatan Kapasitas Lembaga Keuangan Mikro Sumber: Data Primer (2006) Jadi ada 5 (lima) agenda program pembangunan untuk penanggulan ekonomi lemah dan UKMK di Kabupaten Bekasi. Bersarkan beberapa informasi di atas, maka arah Kebijakan Penanggulangan Ekonomi Lemah di Kabupaten Bekasi telah dilakukan dengan berbagai program penanggulangan baik yang bersifat sektoral maupun struktural, dengan berbagai strategi antara lain: a. Upaya penanggulangan yang bersifat desentralistik artinya harus dilakukan dengan melibatkan pemerintah kabupaten Bekasi dan masyarakat lokal melalui pemberdayaan ekonomi rakyat di tingkat akar rumput. b. Upaya penanggulangan yang harus diikuti dengan perbaikan akses terhadap faktor produksi, untuk itu perlu ada: 1. Kebijakan daerah untuk membuka akses UKM dengan berbagai mitra usaha lainnya. 2. Demokratisasi ekonomi rakyat dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yaitu sistem ekonomi yang memihak pada sektor ekonomi rakyat melalui upaya pemberdayaan ekonomi penduduk miskin. 3. Lembaga keuangan mikro untuk membiayai usaha ekonomi rakyat. c. Upaya penanggulangan ekonomi lemah harus dilakukan dengan pendekatan pembangunan ekonomi rumah tangga melalui pengembangan usaha ekonomi produktif. d. Dalam era otonomi daerah sekarang strategi penanggulangan ekonomi lemah melalui peningkatan peran serta dunia usaha dan pemerintah dalam menyusun program pembangunan yang pro pada peningkatan income per kapita, oleh karena itu strategi ini harus memenuhi syarat: 1. Sederhana, sehingga mudah dipahami serta dapat menggerakkkan aktifitas ekonomi masyarakat setempat dengan daya dukung sumber daya ekonomi lokal. 2. Open menu, dalam arti masyarakat lokal diberikan ruang otonom untuk menentukan aktifitas ekonomi yang dibutuhkan berdasarkan ketersediaan sumber daya ekonomi lokal. e. Operasionalisasi strategi penanggulangan ekonomi lemah harus dilaksanakan dengan menerapkan hal-hal sebagai berikut: 1. Koordinasi, yaitu adanya lembaga yang dapat melakukan koordinasi meliputi koordinasi kebijakan dan program; prumusan standar dan model penanggulangan serta proses sosialiasi program pemerintah dan advokasi. 2. Katalisasi, yaitu mendorong efektivitas kebijakan yang ada dan mendorong inovasi dalam pelaksanaan program serta memecahkan kendala utama dalam implementasi pelaksanaan program.
3. Mediasi, adanya wahana untuk mengembangkan konsensus daerah mengenai prioritas program pembangunan yang diarahkan dalam meningkatakan peran usaha ekonomi produktif masyarakat. 4. Fasilitasi, yaitu memfasilitasi hubungan dan kemitraan dengan dunia industri dalam memfasilitasi proses alokasi anggaran dan proses penyusunan kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah.
KESIMPULAN
Mencermati arah kebijakan umum pembangunan Kabupaten Bekasi yang tertuang dalam Renstra khususnya, bidang kesejahteraan masyarakat, telah ditempuh upaya untuk meningkatakan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian secara operasional belum diperoleh indikasi terjadinya perkembangan dan peningkatan seperti yang diharapkan. Perubahan yang signifikan, umumnya lebih disebabkan oleh adanya dukungan program dari luar lingkunganl, misalnya program pusat atau program provinsi. Beberapa hal yang secara konsisten perlu diperhatikan dari proses dan kondisi yang ada, anatar lain adalah sebagai berikut: a. Pendekatan baru dalam penanggulangan masyarakat ekonomi lemah haruslah dilandasi dengan suatu premis bahwa, kelompok masyarakat ini merupakan aktor utama dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat kelompok yang dimaksud. Upaya penanggulangan dan pemetaan masyarakat ekonomi lemah melalui peningkatan ekonomi produktif harus didorong dengan berbagai upaya baik yang bersifat suplementer dan komplementer. b. Peran pemerintah haruslah difungsikan sebagai pihak yang memfasilitasi dan mengkatalisasi serta memberikan dukungan terhadap upaya menaggulangi permasalahan ekonomi lemah di Kabupaten Bekasi, sehingga peran sektor UKM dapat mendorong peningkatan pendapatan per kapita masyarakat golongan ekonomi lemah. Persoalan ini merupakan salah satu permasalahan yang belum dapat ditanggulangi secara integratif oleh pemerintah kabupaten Bekasi melalui perencanaan program yang dilaksanakan selama ini.
REKOMENDASI Dari beberapa aspek di atas, maka ada beberapa upaya yang harus dilakukan secara serius oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam meningkatkan peran UKMK untuk menanggulangi masalah kemiskinan. Berikut ini adalah Strategi yang dapat direkomendasikan dalam kajian ini untuk memberikan peluang yang besar kepada UKMK sebagai upaya untuk menanggulangi permasalahan ekonomi lemah di kabupaten Bekasi : 1.
Sebagian besar atau 85% UKMK masih tergolong Sektor Informal yang berarti belum terkait secara kelembagaan dengan sistem ekonomi moderen, baik dalam bentuk akses-akses pembinaan, permodalan, sekuritas usaha dan lain sebagainya. Karena itu upaya-upaya perlu dilakukan untuk mendekatkan UKMK ke Sektor Ekonomi Moderen/Formal baik kelembagaan koperasi atau badan-badan usaha formal lainnya dalam konteks tetap mempertahankan ciri kemandirian UKMK.
2.
Pada sisi yang sangat ekstrim aset dan omset UKMK tertentu sulit dibayangkan mampu untuk memberikan penghidupan yang layak, misalnya aset yang hanya mencapai Rp 800.000,- dan omset yang hanya mencapai Rp 200.000,- per bulan. Karena itu pembinaan dari sisi investasi, permodalan, dan pembinaan kemampuan usaha perlu diprioritaskan bagi UKMK yang tergolong Usaha Mikro tersebut.
3.
UKMK sangat “ramah tenaga kerja” dalam arti dapat menyerap tenaga kerja dari berbagai usia (22 – 80 tahun); dari berbagai tingkat pendidikan (Tidak Lulus SD sampai Perguruan Tinggi); dapat cukup menyerap tenaga kerja perempuan (3,1 – 22,5%), bahkan dapat menyerap tenaga kerja yang tidak terampil/belum berpengalaman (14,0%). Namun dalam prakteknya pekerja sangat didominasi oleh kaum laki-laki (91,5%) menunjukan masih besarnya kesenjangan gender pada UKMK umumnya sehingga pembinaan peningkatan peranan perempuan pada UKMK merupakan hal yang perlu diangkat kepermukaan. Hal yang cukup penting adalah UKMK telah mengenal pembatasan usia minimal (15 tahun) dan maksimal (40 tahun) bagi pekerjanya. Hal ini sejalan dengan upaya meniadakan pekerja anak-anak sesuai dengan upaya-upaya perlindungan hak anak-anak.
4.
Pelatihan bagi pekerja walaupun sudah mulai disadari kepentingannya namun masih relatif kurang memadai mengingat hanya 7,0% UKMK yang yang menyewa tenaga ahli untuk memberikan pelatihan. Selain itu intensitas pelatihan masih sangat terbatas yaitu hanya rata-rata 2 kali setahun dan bahkan pada sebagian besar UKMK sama sekali tidak ada pelatihan untuk pekerjanya. Oleh sebab itu pelatihanpelatihan keterampilan kerja yang diselengarakan secara profesional bagi pekerja berikut intensitas dan rutinitasnya perlu menjadi perhatian.
5.
Pengupahan pada sebagian besar UKMK masih belum sistematis karena ada sekitar 46,5% UKMK yang menerapkan kurang jelas. Tingkat upahpun masih banyak yang berada pada tingkat yang wajar untuk pemenuhan kehidupan yang layak, misalnya
hanya Rp 150.000,- per bulan. Karena itu penerangan-penerangan dan penyuluhan-penyuluhan menyangkut sistem pengupahan dan tingkat upah yang layak perlu diperhatikan demi kesejahteraan pekerja di satu sisi dan kelangsungan usaha di sisi lain. 6.
Berbagai bentuk jaminan kesejahteraan bagi pekerja belum menjadi keperdulian pada UKMK misalnya hanya kurang dari 1% UKMK, tepatnya 0,8% UKMK yang memberikan fasilitas asuransi pada pekerja. Tapi pemberian tunjangan kesehatan pada pekerja cukup menonjol yaitu 9,3% sementara bagi istri dan anak belum cukup berarti yaitu masing-masing hanya 0,8%. Karena itu sosialisasi program-program asuransi pekerja dan keluarganya di lingkungan UKMK sudah tiba saatnya untuk dilakukan.
7.
Keselamatan dan sanitasi lingkungan kerja merupakan hal yang cukup rawan di lingkungan UKMK karena baru merupakan pelatihan/penyuluhan diselenggarakan oleh 14,0% dari UKMK yang ada. Penyediaan pakaian dan perangkat kerjapun baru mencapai 7,8% sama halnya dengan penyediaan alat pelindung di tempat kerja baru mencapai 8,5%. Sehubungan dengan hal ini upaya-upaya peningkatan keselamatan dan sanitasi lingkungan kerja perlu mulai dipikirkan dan digalakan di lingkungan UKMK.
8.
Serikat Pekerja secara umum dapat dikatakan belum menyentuh UKM secara berarti mengingat hanya 4,7% pekerja yang menjadi anggota Serikat Pekerga baik dengan cara membentuk sendiri atau menginduk pada Serikat Pekerja. Dapat dibayangkan bahwa hak-hak pekerja di lingkungan UKMK belum dapat terlindungi, dan karena itu sosialisasi undang-undang ketenagakerjaan dan penumbuhan serikat-serikat pekerja di lingkungan UKMK perlu menjadi prioritas dalam rangka peningkatan kesejahteraan, produktivitas kerja dan keserasian hubungan kerja.
9.
Koperasi pekerja merupakan salah satu wahana peningkatan kesejahteraan pekerja. Namun hanya 3,9% pekerja yang menyatakan menjadi anggota koperasi baik membentuk sendiri (3,1%) maupun menginduk pada koperasi yang ada (0,8%). Karena itu pembentukan, penggalangan, dan pengembangan koperasi pekerja di lingkungan UKMK dapat merupakan hal yang cukup strategis dalam pemberdayaan UKMK.
10.
Secara umum UKMK telah menyadari pentingnya upaya pengendalian mutu hal ini tercermin dengan adanya pemilihan bibit yang baik dan berkualitas kemudian adanya upaya pada saat proses produksi yaitu dilakukan pengawasan yang cukup ketat pada setiap tahapan hal ini akan berdampak pada standarisasi hasil produksi, meski hasil produknya hanya 9.30% yang mendaftarkan dalam bentuk sertifikasi, tentu ini menjadi kelemahan, oleh karena itu pelaku UKMK perlu didorong untuk melakukan sertifikasi usaha.
12.
Dalam bidang pemasaran, secara umum pelaku UKMK masih sangat tradisional dengan jangkauan pasar yang terbatas hanya pada wilayah sekitar kecamatan, sehingga dalam bidang ini diperlukan program pemasaran melalui kemitraan dengan usaha besar.
DAFTAR PUSTAKA
Laode Ida, 2000. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Goverment. PPSK, Jakarta. __________. 1995. Peran serta masyarakat dan keterpaduan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Perencanaan Pembangunan. No. 2 tahun 1995. P: 90-95. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Paper Number 3. Washington D.C. Freddy, Rangkuti. 2000. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Malang : UM-Press Moleong, Lexy. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Permendagri No.13 Tentang Penyusunan dan Pelaporan Keuangan Daerah LPPM Unisma, 2003. Evaluasi Implementasi Visi dan Misi Kabupaten Bekasi LPPM Unisma, 2004. Evaluasi Implementasi Renstra Kabupaten Bekasi Tahun 2002-2004 BPS Kabupaten Bekasi, 2006. Dokumen IPM Kabupaten Bekasi BPS Kabupaten Bekasi, 2002, 2003-2006. Kabupaten Bekasi dalam Angka Tahun 2002 – 2006 RPJMD Kabupaten Bekasi 2007-2012, Tahun 2007 LPJ Bupati Bekasi dari Tahun 2005-2007 Visi dan Misi Kabupaten Bekasi, 2004-2008 Renstra Kabupaten Bekasi, 2004-2008